BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kanker Kolorektal 2.1.1. Definisi

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kanker Kolorektal
2.1.1. Definisi
Kanker kolorektal adalah kanker yang dimulai dari bagian kolon atau rektum
(American Cancer Society, 2014). Kanker kolorektal terjadi ketika tumor
terbentuk pada lapisan usus besar (National Institute of Health, 2013).
Pertumbuhan awal jaringan tumor terjadi dalam bentuk non polip kanker sebelum
berkembang menjadi kanker pada lapisan dalam kolon dan rektum (American
Cancer Society, 2014). Sebagian besar terdapat di kolon ascendens (30%), diikuti
oleh kolon sigmoid (25%), rektum (20%), kolon descendens (15%) dan kolon
transversum (10%) (Gambar 2-1) (John Hopkins Medicine Colon Cancer Centre,
2015).
Gambar 2.1 Letak kanker kolorektal
(Sumber: John Hopkins Medicine Colon Cancer Centre, 2015).
2.1.2. Klasifikasi Kanker Kolorektal
Sistem TNM yang dikembangkan oleh American Joint Committee on
Cancer (AJCC) adalah yang paling banyak digunakan, dan dianggap paling tepat
dan deskriptif. T singkatan tumor dan kedalaman yang telah menembus dinding
Universitas Sumatera Utara
usus besar, N singkatan keterlibatan kelenjar getah bening, dan M mengacu pada
metastasis, atau apakah kanker telah menyebar ke bagian tubuh lainnya (John
Hopkins Medicine Colon Cancer Centre, 2015).
A comparision of TNM and Dukes' Classification
Tabel 2.1 Perbandingan klasifikasi TNM dan Dukes
(Sumber: John Hopkins Medicine Colon Cancer Centre, 2015)
Kunci Staging TNM
Primary tumor (T)
o TX - primary tumor cannot be assessed
o T0 - no evidence of primary tumor
o Tis - carcinoma in situ: intraepithelial or invasion of lamina propria
o T1 - tumor invades submucosa
o T2 - tumor invades muscularis propria
o T3 - tumor invades through muscularis propria into subserosa or
into nonperitonealized pericolic or perirectal tissues
o T4 - tumor directly invades other organs or structures and/or
perforates visceral peritoneum
Regional Lymph Nodes (N)
o NX - regional lymph nodes cannot be assessed
o N0 - no regional lymph nodes metastatis
Universitas Sumatera Utara
o N1 - metastatis in one to three regional lymph nodes
o N2 - metastatis in four or more regional lymph nodes
Distant Metastases (M)
o MX - distant metastatis cannot be assessed
o M0 - no distant metastatis
o M1 - distant metastatis
Klasifikasi menurut Dukes’ (Astler-Coller modification)
tumors invade through the muscularis mucosae into the
Stage A
submucosa but do not reach the muscularis propria
tumors invade into the muscularis propria
Stage B1
tumors completely penetrate the smooth muscle layer into
Stage B2
the serosa
tumors encompass any degree of invasion but are defined
Stage C
by regional lymph node involvement
tumors invade the muscularis propria with fewer than
Stage C1
four positive nodes
tumors completely penetrate the smooth muscle layer into
Stage C2
the serosa with four or more involved nodes
lesions with distant metastases
Stage D
(may be referred to as high grade dysplasia) –
Carcinoma in situ
intramucosal carcinoma that does not penetrate the
muscularis mucosae
Tabel 2.2 Klasifikasi stadium menurut Dukes
(Sumber: John Hopkins Medicine Colon Cancer Centre, 2015)
2.1.3. Epidemiologi
Kanker kolorektal adalah kanker ketiga yang paling umum pada pria ( 746.000
kasus, 10,0 %) dan yang kedua pada wanita (614.000 kasus , 9,2 %) di seluruh
dunia (Globocan, 2012). Menurut Jemal A et al. CA Cancer J Clin 2011; 61:69–
insiden kanker kolorektal lebih sering ditemui di negara-negara berkembang. Hal
Universitas Sumatera Utara
ini adalah karena perbedaan diet dan paparan lingkungan (Hingorani, M., &
Sebag-Montefiore, D., 2011).
Pada tahun 2012, ada 14,1 juta kasus kanker baru, 8.2 juta kematian dan 32,6
juta orang yang hidup dengan kanker (dalam 5 tahun didiagnosis) di seluruh dunia
(Globocan, 2012). Kanker kolorektal lebih sering dijumpai pada laki-laki
berbanding perempuan dengan rasio 1.2:1 (Hingorani, M., & Sebag-Montefiore,
D., 2011).
Di Indonesia sendiri, kanker kolorektal menempati urutan kanker nombor tiga
paling banyak ditemui setelah kanker payudara dan kanker paru. Berdasarkan
estimasi Globocan tahun 2012, insidens kanker kolorektal di Indonesia adalah
sebesar 16 per 100.000 laki-laki yang menempati urutan kedua pada laki-laki
setelah kanker paru.
2.1.4. Faktor Risiko
Berdasarkan American Cancer Society tahun (2014) ada banyak faktor yang
diketahui yang dapat meningkatkan atau mengurangkan risiko kanker kolorektal.
Terdapat beberapa faktor yang dapat dimodifikasi dan juga faktor yang tidak
dapat dimodifikasi. Antara faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi termasuk
riwayat peribadi, riwayat kanker kolorektal di keluarga atau polip adenomatous
dan riwayat Inflammatory bowel disease. Studi epidemiologi juga telah
mengidentifikasi banyak faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Ini termasuk
aktivitas fisik, obesitas, tingginya konsumsi daging merah/diproses, merokok dan
konsumsi alkohol (American Cancer Society, 2014).

Keturunan dan riwayat keluarga
Seseorang dengan orang tua, saudara atau anak yang memiliki kanker
kolorektal memiliki 2 sampai 3 kali risiko mengembangkan penyakit
dibandingkan dengan individu yang tidak mempunyai riwayat kanker
kolorektal di keluarga (American Cancer Society, 2014). Jika terdapat
riwayat keluarga yang didiagnosis pada usia muda atau jika ada sahli
keluarga lebih dari satu orang yang terkena, risiko meningkat hingga 3
Universitas Sumatera Utara
sampai 6 kali. Sekitar 20% dari semua pasien kanker kolorektal memiliki
saudara dengan riwayat kanker kolorektal. Dan sekitar 5% dari pasien
kanker kolorektal mempunyai sindrom genetik yang menyebabkan
penyakit ini. Yang paling umum adalah Lynch syndrome (juga dikenal
sebagai hereditary non-polyposis colorectal cancer) (American Cancer
Society, 2014). Meskipun individu dengan sindrom Lynch cenderung juga
untuk berbagai jenis kanker lain, risiko kanker kolorektal adalah tertinggi.
Familial adenomatous polyposis (FAP) adalah faktor predisposisi sindrom
genetik yang paling umum dan ditandai dengan perkembangan ratusan
hingga ribuan polip kolorektal pada individu yang terkena. Tanpa
intervensi, risiko seumur hidup kanker kolorektal mendekati 100% pada
usia 40 (American Cancer Society, 2014).

Riwayat kesehatan pribadi
Riwayat
polip
adenomatous
adalah
salah
satu
penyebab
yang
meningkatkan risiko kanker kolorektal. Hal ini terutamanya apabila ukuran
polip besar atau jika lebih dari satu. Seseorang dengan Inflammatory
bowel disease, kondisi dimana terjadi peradangan usus selama jangka
waktu yang panjang, memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker kolorektal
(American Cancer Society, 2014). Inflammatory bowel disease yang
paling umum adalah Ulcerative colitis dan penyakit Crohn (American
Cancer Society, 2014).

Faktor risiko perilaku
 Aktifitas fisik
Sebuah tinjauan literatur ilmiah telah menemukan bahawa seorang
yang aktif dari segi fisik mempunyai risiko 25% lebih rendah
terkena kanker usus berbanding seseorang yang tidak aktif.
Sebaliknya pada pasien kanker kolorektal yang kurang aktif
mempunyai risiko kematian yang lebih tinggi berbandingkan
mereka yang lebih aktif (American Cancer Society, 2014).
Universitas Sumatera Utara
 Obesitas
Obesitas atau kegemukan dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi
terjadinya kanker kolorektal pada laki-laki dan kanker usus pada
perempuan (American Cancer Society, 2014). Obesitas perut
(diukur keliling pinggang) merupakan faktor risiko yang lebih
penting berbanding obesitas keseluruhan baik pada laki-laki dan
perempuan (American Cancer Society, 2014).
 Diet
Konsumsi daging merah atau daging diproses secara berlebihan
akan meningkatkan risiko terjadinya kanker di usus besar dan
juga rektum. Alasan untuk ini belum jelas tetapi mungkin terkait
dengan karsinogen (zat penyebab kanker) yang terbentuk ketika
daging merah dimasak pada suhu yang tinggi selama jangka
waktu yang panjang atau aditif nitrit yang digunakan untuk
pengawetan (American Cancer Society, 2014).
 Merokok
Pada bulan November 2009, International Agency for Research on
Cancer melaporkan bahawa ada bukti yang cukup untuk
menyimpulkan bahawa tembakau dalam rokok dapat menyebabkan
kanker kolorektal. Asosiasi tampaknya lebih kuat pada rektum dari
kanker kolon (American Cancer Society, 2014).
 Alkohol
Kanker kolorektal dikaitkan dengan konsumsi alkohol berat dan
sedang. Seseorang yang mempunyai purata hidup dengan konsumsi
alkohol 2 hingga 4 minuman per hari memiliki risiko 23% lebih
tinggi terkena kanker kolorektal dibandingkan dengan mereka yang
mengkonsumsi 1 minuman per hari (American Cancer Society,
2014).
Universitas Sumatera Utara
2.1.5. Patofisiologi
Kanker kolorektal khususnya, memiliki hubungan terhadap kondisi feses dari
individu, serta riwayat penyakit yang diderita, dimana kondisi tersebut
merupakan dampak dari faktor risiko yang ada pada individu seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya. Tanda awal kanker pada kolon dan rektum adalah adanya
riwayat riwayat polip pada seseorang individu. Massa dari jaringan yang
menonjol pada lumen usus adalah dikenal sebagai polip (Smeltzer & Bare, 2002).
Apabila terdapat polip yang tidak diatasi atau dilakukan intervensi, maka ia dapat
berubah menjadi sesuatu maligna. Polip yang telah berubah menjadi ganas
tersebut akan menyerang dan menghancurkan sel yang normal dan meluas di
jaringan sekitarnya.
Manusia pada dasarnya memiliki zat karsinogen atau zat pemicu kanker pada
tubuh. Efek karsinogen akan semakin meningkat apabila mendapat penyebab
kanker dari luar. Corwin (2001) menyatakan, kurangnya asupan antioksidan
dengan minimnya konsumsi buah dan sayuran yang mengandung antioksidan
(seperti vitamin E dan vitamin C) dapat mengurangi perlindungan sel terhadap
efek karsinogen. Buah dan sayuran yang segar memiliki enzim aktif yang dapat
memelihara dan meningkatkan pertumbuhan sel yang sehat.
Antara hal yang dapat memicu terjadinya kanker kolon adalah kondisi feses
yang yang kurang baik. Aktivitas atau olahraga yang kurang teratur dapat
mengakibatkan feses menjadi lebih lama berada di kolon atau rektum, terlebih
jika individu melakukan diet rendah serat. Kondisi ini dapat mengakibatkan
toksin yang terdapat dalam feses mencetuskan pertumbuhan sel kanker (Corwin,
2001). Selain itu, feses yang mengandung banyak lemak juga dapat memicu
pertumbuhan sel kanker. Tingginya lemak dalam feses diakibatkan oleh
konsumsi tinggi lemak seperti daging. Feses yang mengandung banyak lemak
dapat mengubah flora dalam feses menjadi bakteri Clostridia & Bacteriodes
yang mempunyai enzim 7-alfa hidroksilase yang mencerna asam menjadi asam
Deoxycholic dan Lithocholic (yang bersifat karsinogenik) meningkat dalam feses.
Universitas Sumatera Utara
Massa kanker yang terdapat pada kolon ataupun rektum akan menyebabkan
terjadinya sumbatan atau obstruksi, yang mengakibatkan evakuasi feses yang
terhambat atau tidak lengkap setelah defekasi (Corwin, 2001). Komplikasi lebih
lanjutnya ialah konstipasi, distensi atau nyeri abdomen, hingga feses berdarah.
Apabila massa kanker ini tidak dideteksi sejak dini dan dibiarkan, maka besar
kemungkinan sel kanker akan melakukan metastasis. Metastasis pada sel kanker
kolorektal terdiri dari penyebaran langsung, penyebaran limfogen, dan
hematogen.
2.1.6. Gejala klinis
Sekitar 5-20% kasus kanker adalah asimptomatik dan didiagnosa selama
proses skrining (American Cancer Society, 2014). Kanker dengan gejala
obstruksi dan perforasi mempunyai prognosis yang buruk (Hingorani, M. &
Sebag-Montefiore, D., 2011).
Kanker
kolorektal dini seringkali tidak
menunjukkan gejala, itulah sebabnya skrining sangat penting (American Cancer
Society, 2014).
Berdasarkan Oxford Desk Reference: Oncology tahun (2011) antara gejalagejala kanker kolorektal adalah seperti berikut:
Perdarahan rektal
Perdarahan rektal adalah keluhan utama yang penting dalam 20-50%
kasus kanker kolorektal. Pasien dengan perdarahan yang diamati dengan
satu atau lebih gejala dibawah harus segera dirujuk untuk pemeriksaan
selanjutya.
 Usia lanjut (>50 tahun)
 Perubahan pola buang air besar dan nyeri perut
 Positif tes FOB
 Feses dengan darah

Perubahan pola buang air besar
Universitas Sumatera Utara
Perubahan pola BAB sering dijumpai pada banyak pasien kanker
kolorektal sekitar 39-85%. Gejala dibawah meningkatkan probabiliti yang
mendasari kejadian kanker kolorektal.
 Perubahan pola BAB terutamanya pada pasien lanjut usia.
 Riwayat mencret darah atau lendir harus segera merujuk pendapat
spesialis
 Riwayat baru diare dengan frekuensi yang sering dan konsistensi
cair

Nyeri perut
 Nyeri perut pada pasien kanker kolorektal mungkin tanda dari
obstruksi yang akan terjadi
 Nyeri kolik abdomen dengan gejala obstruksi lain seperti mual,
muntah harus segera diperiksa

Gejala lain
 Kehilangan darah kronis; anemia defiensi besi, kelelahan, lesu ;
sering dijumpai pada tumor sisi kanan
 Massa abdomen
 Pada pemeriksaan Digital Rectal Examination (DRE) mungkin
dijumpai massa yang dapat diraba pada kanker rektal
 Penurunan berat badan, kehilangan nafsu makan
2.1.7. Penegakan Diagnosa

Anamnesa (Thankamma, A., Barrett, A., Hatcher, H., et al., 2011)
 Riwayat onset dan durasi gejala fokal dan sistemik
 Kenalpasti pasien dengan risiko obstruksi
 Riwayat keluarga dengan sindrom kanker kolorektal keturunan

Pemeriksaan fisik dan Pemeriksaan penunjang
Universitas Sumatera Utara
 Tumor kecil pada tahap dini tidak teraba pada palpasi perut,
apabila teraba menunjukan keadaan sudah lanjut. Massa di dalam
sigmoid lebih jelas teraba daripada masa di bagian lain kolon.
 Fecal Occult Blood Test (FOBT), kanker maupun polip dapat
menyebabkan pendarahan dan tes FOB dapat mendeteksi adanya
darah pada tinja. Bila tes ini mendeteksi adanya darah, harus dicari
dari mana sumber darah tersebut, apakah dari rektum, kolon atau
bagian usus lainnya dengan pemeriksaan yang lain. Penyakit wasir
juga dapat menyebabkan adanya darah dalam tinja. Tes Singlestool sample pada FOBT (Fecal Occult Blood Test) hasilnya tidak
memuaskan sebagai skrining kanker kolorektal dan tidak
direkomendasikan (Levin, 2008).
 Sigmoidoscopy, adalah suatu pemeriksaan dengan suatu alat
berupa kabel seperti kabel kopling yang diujungnya ada alat
petunjuk yang ada cahaya dan bisa diteropong. Alat ini
dimasukkan melalui lubang dubur kedalam rektum sampai kolon
sigmoid, sehingga dinding dalam rektum dan kolon sigmoid dapat
dilihat. Bila ditemukan adanya polip, dapat sekalian diangkat. Bila
ada masa tumor yang dicurigai kanker, dilakukan biopsi, kemudian
diperiksakan ke bagian patologi anatomi untuk menentukan ganas
tidaknya dan jenis keganasannya.
 Colonoscopy, sama seperti sigmoidoscopy, namun menggunakan
kabel yang lebih panjang, sehingga seluruh rektum dan usus besar
dapat diteropong dan diperiksa. Pemeriksaan ini dapat menunjukan
gambaran seluruh mukosa kolon dan rektum. Kolonoskopi
merupakan cara yang paling akurat untuk dapat menunjukkan polip
dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan
kolonoskopi adalah sebesar 94% (Depkes, 2006).
 Double-contrast barium enema, adalah pemeriksaan radiologi
dengan sinar rontgen pada kolon dan rektum. Penderita diberikan
enema dengan larutan barium dan udara yang dipompakan ke
Universitas Sumatera Utara
dalam rektum. Kemudian difoto. Dan dilihat seluruh
lapisan
dinding dapat dilihat apakah normal atau ada kelainan (Hingorani,
M., & Sebag-Montefiore, D., 2011)
 Digital Rectal Examination (DRE), adalah pemeriksaan yang
sederhana dan dapat dilakukan oleh semua dokter dengan
memasuki jari yang sudah dilapisi sarung tangan dan zat lubrikasi
kedalam dubur kemudian memeriksa bagian dalam rektum.
Merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan. Bila ada tumor di
rektum akan teraba dan diketahui dengan pemeriksaan ini (Wendy,
Y.M., 2013).
2.1.8. Tatalaksana

Kanker kolon
Kebanyakan orang dengan kanker usus besar akan memiliki beberapa jenis
operasi untuk mengangkat tumor. Terapi adjuvant (pengobatan tambahan setelah
operasi) juga dapat digunakan (American Cancer Society, 2014).
 Karsinoma in situ
Karsinoma in situ adalah kanker yang belum menyebar di luar
lapisan sel di mana ia mulai. Pembedahan untuk mengangkat
pertumbuhan sel abnormal dapat dilakukan dengan polypectomy
(pengangkatan polip) atau eksisi lokal menggunakan kolonoskop.
Reseksi segmen usus besar mungkin diperlukan jika tumor
terlalu besar untuk diangkat dengan eksisi lokal (American
Cancer Society, 2014).
 Tahap lokal
Tahap lokal mengacu pada kanker invasif yang telah menembus
dinding usus besar. Reseksi bedah untuk mengangkat kanker,
bersama-sama dengan usus di kedua sisi tumor dan kelenjar
getah bening di dekatnya, adalah pengobatan standar (American
Cancer Society, 2014).
 Tahap regional
Universitas Sumatera Utara
Tahap regional adalah kanker yang telah tumbuh melalui dinding
usus besar, serta kanker yang telah menyebar ke kelenjar getah
bening di dekatnya. Jika kanker hanya tumbuh melalui dinding
usus besar tetapi belum menyebar ke kelenjar getah bening
terdekat, reseksi bedah dari segmen usus yang mengandung
tumor mungkin satu-satunya pengobatan yang dibutuhkan. Jika
kemungkinan kanker untuk kembali, karena penampilannya di
bawah mikroskop atau karena tumbuh menjadi jaringan lain,
terapi radiasi dan/atau kemoterapi juga mungkin dianjurkan. Jika
kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening terdekat, reseksi
bedah dari segmen usus yang mengandung tumor adalah
pengobatan pertama, biasanya diikuti dengan kemoterapi.
Perawatan kemoterapi berdasarkan obat fluorouracil (5-FU) telah
menunjukkan untuk peningkatkan kelangsungan hidup pada
pasien dengan stadium III terutama dengan mengurangi
kekambuhan. Terapi radiasi penyakit juga mungkin dianjurkan
jika kanker telah tumbuh menjadi jaringan yang berdekatan
(American Cancer Society, 2014).
 Adjuvant (diberikan setelah operasi) kemoterapi atau radiasi
untuk kanker usus besar adalah efektif pada pasien usia 70 dan
lebih tua (lebih dari setengah dari semua pasien). Pasien yang
sehat seperti pasien yang lebih muda, obat-obatan tertentu
(misalnya,
oxaliplatin)
dapat dihindari untuk
membatasi
toksisitas (American Cancer Society, 2014).
 Tahap distant
Pada tahap ini, kanker telah menyebar ke organ jauh dan
jaringan, seperti hati, paru-paru, peritoneum (selaput perut), atau
ovarium. Ketika operasi dilakukan, tujuannya biasanya untuk
menghilangkan atau mencegah penyumbatan usus dan mencegah
komplikasi lokal lainnya. Jika hanya ada beberapa metastasis ke
hati atau paru-paru, operasi untuk membuang metastasis, serta
Universitas Sumatera Utara
tumor usus besar, bisa menjadi pilihan.
Operasi tidak
direkomendasikan untuk semua pasien. Kemoterapi dan radiasi
dapat diberikan sendiri atau dalam kombinasi untuk mengurangi
gejala dan memperpanjang kelangsungan hidup (American
Cancer Society, 2014).

Kanker rektum
Pembedahan adalah pengobatan utama untuk kanker rektum, dengan
pengecualian pada beberapa pasien. Perawatan tambahan, seperti kemoterapi dan
radiasi, sering digunakan sebelum operasi (terapi neoadjuvant) dan/atau setelah
operasi (terapi adjuvant) untuk mengurangi risiko kekambuhan dan metastasis.
Obat kemoterapi yang digunakan dalam pengobatan kanker rektum adalah sama
dengan yang digunakan untuk kanker usus besar (American Cancer Society,
2014).
 Karsinoma in situ
Membuang pertumbuhan sel abnormal adalah tujuan utama.
Pilihan pengobatan termasuk polypectomy (pengangkatan
polip), eksisi lokal, atau reseksi rektum. Tidak ada pengobatan
lanjut diperlukan (American Cancer Society, 2014).
 Tahap lokal
Pada tahap ini, kanker telah tumbuh melalui lapisan pertama
dari rektum ke lapisan yang lebih dalam, namun belum
menyebar di luar dinding rektum. Beberapa kanker dubur kecil
lokal dapat diobati dengan pembedahan melalui anus, tanpa
insisi perut. Untuk kanker dekat dengan anus, operasi mungkin
memerlukan pembedahan anus dan otot sfingter, sehingga
kolostomi permanen diperlukan (American Cancer Society,
2014).
 Tahap regional
Jika kanker telah menyebar melalui dinding rektum ke jaringan
di dekatnya dan/atau kelenjar getah bening, radiasi dan
Universitas Sumatera Utara
kemoterapi sering diberikan bersamaan sebelum operasi,
kemoterapi
tambahan
sering
diberikan
setelah
operasi
(American Cancer Society, 2014).
 Tahap distant
Pada tahap ini, kanker telah menyebar ke organ dan jaringan,
seperti hati atau paru-paru. Kanker dapat diatasi dengan
pembedahan tumor bersama dengan perawatan yang lain. Jika
tidak, operasi, kemoterapi, dan/atau terapi radiasi dilakukan
untuk meringankan, memperlambat, atau mencegah gejala dan
memperpanjang hidup (American Cancer Society, 2014).

Kolostomi
Kolostomi adalah sebuah prosedur bedah untuk membuat pembukaan di
antara usus besar dan bagian luar perut untuk memungkinkan
pengosongan tinja ke dalam kantung penampung, meskipun rektum telah
dihapus. Ketika bagian dari usus besar atau rektum dioperasi, ahli bedah
biasanya dapat menghubungkan bagian-bagian
yang sehat,
yang
memungkinkan pasien untuk mengeliminasi limbah secara normal.
(American Cancer Society, 2014).
Universitas Sumatera Utara
2.2. Anemia
2.2.1. Definisi
Menurut WHO tahun (2011) anemia adalah satu kondisi di mana jumlah sel darah
merah atau kapasitas pembawa oksigen tidak mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan fisiologis, yang bervariasi menurut umur, jenis kelamin, ketinggian,
merokok, dan status kehamilan.
Kekurangan zat besi diperkirakan menjadi penyebab paling umum dari anemia
secara global, meskipun kondisi lain, kekurangans eperti folat, vitamin B12, dan
vitamin A, peradangan kronis, infeksi parasit, dan kelainan bawaan semua dapat
menyebabkan anemia (World Health Organization, 2011).
Beberapa hal yang menyebabkan kekurangan darah (Yatim, F., 2012) :
a. Kekurangan konsentrasi Hemoglobin (Hb)
b. Berkurangnya Hematokrit (Ht)
c. Jumlah sel darah merah berkurang
2.2.2. Kategori Anemia
1) Tingkat keparahan pada anemia (Soebroto, I., 2010) :a. Normal
: > 10 gr/dl
b. Anemia ringan
: Kadar Hb 8 – 10 gr/dl
c. Anemia sedang
: Kadar Hb 5 – 8gr/dl
d. Anemia berat
: Kadar Hb < 5 gr/dl
2.2.3. Jenis-jenis Anemia
a. Anemia Defisiensi Zat Besi
Anemia akibat kekurangan zat besi. Kurangnya zat besi dalam tubuh bisa
disebabkan karena banyak hal. Kurangnya zat besi pada orang dewasa
hampir selalu disebabkan karena perdarahan menahun, berulang-ulang
yang bisa berasal dari semua bagian tubuh (Soebroto, I., 2010).
b. Anemia Defisiensi Vitamin C
Universitas Sumatera Utara
Anemia yang disebabkan karena kekurangan vitamin C yang berat dalam
jangka waktu lama. Penyebab kekurangan vitamin C adalah kurangnya
asupan vitamin C dalam makanan sehari-hari. Salah satu fungsi vitamin C
adalah membantu penyerapan zat besi, sehingga jika terjadi kekurangan
vitamin C, maka jumlah zat besi yang diserap akan berkurang dan bisa
terjadi anemia (Soebroto, I., 2010).
c. Anemia Makrositik
Anemia yang disebabkan karena kekurangan vitamin B12 atau asam folat
yang diperlukan dalam proses pembentukan dan pematangan sel darah
merah, granulosit, dan platelet. Kekurangan vitamin B12 dapat terjadi
karena berbagai hal, salah satunya adalah karena kegagalan usus untuk
menyerap vitamin B12 dengan optimal (Soebroto, I., 2010).
d. Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik terjadi apabila sel darah merah dihancurkan lebih cepat
dari normal. Penyebabnya kemungkinan karena keturunan atau karena
salah satu dari beberapa penyakit, termasuk leukemia dan kanker lainnya,
fungsi limpa yang tidak normal, gangguan kekebalan, dan hipertensi berat
(Soebroto, I., 2010).
e. Anemia Sel Sabit
Yaitu suatu penyakit keturunan yang ditandai dengan sel darah merah
yang berbentuk sabit, kaku, dan anemia hemolitik kronik (Soebroto, I.,
2010). Anemia sel sabit merupakan penyakit genetik yang resesif, artinya
seseorang harus mewarisi dua gen pembawa penyakit ini dari kedua orang
tuanya. Gejala utama penderita anemia sel sabit adalah:
1) Kurang energi dan sesak nafas
2) Mengalami penyakit kuning (kulit dan mata berwarna kuning)
3) Serangan sakit akut pada tulang dada atau daerah perut akibat
tersumbatnya pembuluh darah kapiler.
f. Anemia Aplastik
Universitas Sumatera Utara
Terjadi apabila sumsum tulang terganggu, dimana sumsum merupakan
tempat pembuatan sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit),
maupun trombosit (Soebroto, I., 2010).
g. Anemia Penyakit Kronik
Anemia ini disebabkan oleh penyakit kronis tertentu, contohnya kanker
dan HIV/AIDS. Dapat mempengaruhi produksi sel darah merah,
menghasilkan anemia kronis. Gagal ginjal juga dapat menyebabkan
anemia (Soebroto, I., 2010).
2.2.4. Penyebab anemia
Penyebab timbulnya anemia antara lain adalah (Yatim, F., 2012) :1. Kegagalan sumsum tulang :
o Anemia aplastik (gangguan pembentukan sel darah merah
disertai gangguan pembentukan sel darah lain) dan anemia
aplastik sel darah merah yang murni.
o Kerusakan sumsum
tulang seperti pada
keganasan,
osteoporosis, dan myeloma fibrosis (jaringan sumsum
tulang digantikan jaringan fibrosis) seperti pada penyakit
ginjal kronis dan defisiensi vitamin D.
o Produksi hormon pankreas kurang seperti pada :
-
Penyakit ginjal kronis
-
Produksi kelenjar gondok kurang
-
Kurang gizi terutama protein
-
Peradangan kronis
-
Mutasi
hemoglobin
hingga
kurang
kemampuan
mengikat oksigen.
2. Gangguan pematangan sel darah merah dan sel darah kurang efektif
pada :
o Pematangan sitoplasma sel terganggu karena :
-
Kurang zat besi (Fe), talasemia
-
Anemia sideroblastik
o Pematangan inti sel darah terganggu karena :
Universitas Sumatera Utara
-
Defisiensi vitamin B-12
-
Defisiensi asam folat
-
Kekurangan vitamin B-1
-
Kelainan metabolisme asam folat
o Anemia hemolitik (sel darah merah cepat hancur)
-
Gangguan hemoglobin
 Mutasi struktural
 Mutasi pembentukan pada sindroma talasemia
 Kelainan membran dari sel darah merah
 Kekurangan oksigen hingga merusak sel darah
merah
 Penyakit infeksi yang menimbulkan kerusakan
pada sel darah merah
2.2.5. Patofisiologi dan Gejala Anemia
Gejala umum anemia adalah gejala yang timbul pada setiap kasus anemia
apapun penyebabnya, apabila kadar Hb turun dibawah kadar tertentu. Gejala
umum anemia ini timbul karena (Bakta, I., 2013) :1. Anoksia organ target: karena berkurangnya jumlah oksigen yang dapat
dibawa oleh darah ke jaringan.
2. Mekanisme kompensasi tubuh terhadap anemia.
Gejala umum anemia menjadi jelas apabila kadar Hb kurang dari 7g/dl. Berat
ringannya gejala umum anemia tergantung pada (Bakta, I., 2013) :a. Derajat penurunan Hb
b. Kecepatan penurunan Hb
c. Usia
d. Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya
Universitas Sumatera Utara
Gejala anemia dapat dibagi menjadi tiga jenis gejala, yaitu (Bakta, I., 2013) :1. Gejala umum anemia atau sindroma anemia, timbul karena iskemia organ
target serta akibat kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar Hb. Gejala
ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan Hb sampai kadar
tertentu (<7g/dl). Sindroma anemia terdiri daripada rasa lemah, lesu cepat
lelah, telinga berdenging (tinnitus), kaki terasa dingin, sesak nafas dan
dyspepsia. Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat
pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan di bawah
kuku. Sindroma anemia tidak bersifat khusus karena dapat ditimbulkan
oleh penyakit di luar anemia dan tidak sensitive karena timbul setelah
penurunan Hb yang berat (<7g/dl).
2. Gejala khas masing-masing anemia. Gejala ini spesifik untuk masingmasing jenis anemia. Sebagai contoh (Bakta, I., 2013) :o Anemia defisiensi besi : disfagia, atrofi papil lidah,
stomatitis angularis, dan kuku sendok
o Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada
defisiensi vitamin B12
o Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali
o Anemia aplastik : perdarahan dan tanda infeksi
3. Gejala penyakit dasar. Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang
menyebabkan anemia sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia
tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi cacing tambang: sakit perut,
pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada kasus
tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan seperti misalnya pada
anemia penyakit kronik oleh karena arthritis reumatoid.
Universitas Sumatera Utara
Eritrosit / Haemoglobin menurun
Kapasitas angkut oksigen menurun
Anoksia organ target
Mekanisme kompensasi tubuh
Gejala anemia
Gambar 2.2 Skema patofisiologi anemia
(Sumber: Bakta, I., 2013)
2.2.6. Tatalaksana
Terapi untuk mengatasi keadaan gawat darurat (Bakta, I., 2013).
 Pada kasus anemia dengan payah jantung atau ancaman payah jantung
maka harus segera diberikan terapi gawat darurat dengan transfusi sel
darah merah yang dimampatkan (packed red blood cell) untuk mencegah
perburukan payah jantung tersebut. Dalam keaadan sedemikian, spesimen
untuk pemeriksaan yang dipengaruhi oleh transfusi harus diambil terlebih
dahulu, seperti apusan darah tepi, bahan untuk pemeriksaan besi serum,
dan lain-lain.
Terapi khas untuk masing-masing anemia (Bakta, I., 2013).
 Terapi ini bergantung pada jenis anemia yang dijumpai. Misalnya, preparat
besi untuk anemia defisiensi besi, asam folat untuk defisiensi asam folat
dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
Terapi untuk mengobati penyakit dasar (Bakta, I., 2013).
 Penyakit dasar yang menjadi penyebab anemia harus diobati dengan baik.
Jika tidak, anemia akan kambuh. Misalnya, anemia defisiensi besi yang
disebabkan oleh infeksi cacing tambang harus diberikan obat anti cacing
tambang. Akan tetapi, tidak semua penyakit anemia dapat dikoreksi,
seperti anemia yang bersifat familial atau herediter.
Terapi ex juvantivus (Bakta, I., 2013).
 Terapi yang terpaksa diberikan sebelum diagnosis dapat dipastikan, jika
terapi ini berhasil berarti diagnosis dapat dikuatkan. Terapi ini hanya
dilakukan jika tidak tersedia fasilitas diagnosis yang mencukupi. Pada
pemberian terapi jenis ini penderita harus diawasi dengan ketat.
Universitas Sumatera Utara
2.3. Anemia pada Kanker Kolorektal
Anemia adalah salah satu gejala umum pada penyakit kanker kolorektal
namun tidak semua pasien kanker kolorektal mengalami anemia. Jenis anemia
yang umumnya sering terjadi adalah anemia defisiensi zat besi (Fahrizal, K.,
2014). Patofisiologi terjadinya anemia merupakan kondisi yang multifaktorial,
selain karena reaksi imun dari keganasan, adanya perdarahan yang sedikit tetapi
kronis atau perdarahan akut pada keganasan traktus digestivus diduga menjadi
salah satu penyebab utama terjadinya anemia pada karsinoma kolorektal (Fahrizal,
K., 2014).
Perdarahan traktus digestivus juga merupakan penyebab tersering terjadinya
anemia defisiensi besi pada laki-laki dewasa dan urutan kedua pada wanita setelah
perdarahan menstruasi (Rizqhan, M., 2014). Pada anemia akibat perdarahan
kronik, jumlah perdarahan mungkin sedikit namun berlangsung dalam jangka
waktu yang lama. Anemia akibat perdarahan kronik jika tetap berlanjut dapat
menjadi anemia defisiensi besi (Rizqhan, M., 2014).
Penelitian yang dilakukan sebelumnya menunjukkan bahawa anemia pada
pasien kanker kolorektal adalah tergantung kepada beberapa faktor. Antara faktor
yang bisa mempengaruhi keadaan anemia pada pasien kanker kolorektal adalah
lokasi lesi, usia, jenis kelamin dan juga penyakit kronis lain. Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan di RSUP Dr.Kariadi menunjukkan hasil bahawa
pasien dengan lokasi tumor di kolon kiri dengan dijumpai dengan anemia derajat
ringan sedangkan anemia derajat sedang dan berat dijumpai pada pasien dengan
lokasi tumor di kolon kanan. Hal ini disebabkan karena tumor di kolon kanan
menyebabkan perdarahan terus-menerus dalam jangka waktu yang lama (Rizqhan,
M., 2014).
Dari segi usia, anemia paling banyak dijumpai pada pasien dengan usia lanjut
berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di RSUP Dr.Kariadi Semarang
(Aisyah, S., 2013). Menurut penelitian tersebut tidak ada alasan yang jelas
mengapa pasien usia tua dengan kanker kolorektal lebih sering mengalami anemia
berbanding pasien usia muda.
Universitas Sumatera Utara
Insidensi terjadinya anemia pada pasien kanker kolorektal adalah tinggi pada
pasien wanita berbanding pasien laki-laki. Hal ini adalah karena, wanita pada
umumnya memiliki cadangan besi yang lebih sedikit berbanding laki-laki dan
lebih banyak berkurang akibat menstruasi, yang menyebabkan wanita lebih
beresiko mengalami anemia (Aisyah, S., 2013). Faktor diet juga adalah salah satu
faktor yang berperan karena wanita lebih sedikit mengkonsumsi daging
berbanding laki-laki baik di Negara barat dan masyarakat tradisional (Aisyah, S.,
2013).
Selain itu anemia bisa juga menjadi efek samping perawatan kemoterapi
(Sridianti, 2015). Selama perawatan kemoterapi, sel-sel di sumsum tulang, saluran
pencernaan dan folikel rambut yang membelah dengan cepat dalam keadaan
normal juga merugikan. Hal ini dapat mengakibatkan myelosupresi atau
penurunan produksi sel darah (Sridianti, 2015). Efek kemoterapi pada jumlah sel
darah tergantung pada dosis dan jadwal obat. Sebuah jumlah hemoglobin rendah,
yang mengakibatkan anemia juga dapat disebabkan oleh efek dari pengobatan,
membuat pasien merasa lelah atau sesak napas. Ada juga kemungkinan jumlah
trombosit yang rendah, yang dapat menyebabkan mudah memar dan berdarah
(Sridianti, 2015).
Anemia pada pasien kanker akan memberikan pengaruh yang negatif terhadap
kualitas hidup pasien akibat timbulnya kelelahan yang diinduksi oleh kanker
tersebut dan berpengaruh dalam proses terapi pasien. Penelitian yang telah
dilakukan di Norwegia menyatakan kejadian anemia preoperatif pada pasien
kanker kolon berpengaruh terhadap memburuknya overall survival pasien
(Fahrizal, K., 2014).
Universitas Sumatera Utara
Download