BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan Kemajuan teknologi mampu mengeksploitasi, mengubah sumber daya alam yang ada, dan mampu meningkatkan ekonomi masyarakat sehingga membuat manusia memiliki kebanggaan yang tinggi akan kemampuan dalam mengolah alam. Manusia pada awalnya dengan alam sangat bersahabat, merasakan saling ketergantungan, dan mengandalkan alam untuk melangsungkan kehidupannya serta memperlakukan alam sama seperti memperlakukan kehidupan manusia itu sendiri. Teknologi juga dapat mengubah pola hidup manusia, teknologi yang dikerjakan manusia kurang mendapat pertimbangan dari dampak yang akan ditimbulkannya. Efek samping kemajuan teknologi muncul secara menonjol dengan kurang mampunya mengendalikan limbah-limbah yang kemudian terbuang ke dalam lingkungan (Wijana, 2014: 1-3). Manusia harus disadarkan pemikiran, sikap, dan perilakunya terhadap alam untuk menjaga lingkungan dan demi kesejahteraan antar makhluk hidup (Anonimus dalam Wijana, 2014: 67). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Bab 1 pasal 1 ayat 1 1 2 menjelaskan bahwa lingkungan hidup ialah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Undang-undang tersebut juga menjelaskan pada Bab 1 pasal 1 ayat 9 bahwa sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan non hayati, yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem. Lingkungan pada dasarnya hanya ada karena dihuni oleh suatu organisme (hidup tertentu), tiap kelompok manusia dan individu mempunyai lingkungannya sendiri dan masing-masing membentuk bagian lingkungan bagi makhluk lainnya. Lingkungan digunakan bukan hanya untuk suatu ekosistem saja, tetapi untuk dunia alamiah sebagai sistem keseluruhan yang meliputi alam semesta (Attfield, 2010: 4). Ekosistem merupakan satuan kehidupan makhluk hidup (dari berbagai jenis) dengan berbagai benda mati yang berinteraksi membentuk suatu sistem (Soerjani, 2008: 3). Lingkungan tidak pernah ada tanpa adanya komponen-komponen yang di dalamnya, baik itu komponen biotik ataupun abiotik. Lingkungan membentuk suatu proses, dan terus-menerus dibuat melalui aktivitas-aktivitas makhluk hidup yang dilingkungi, sehingga harus dibedakan antara lingkungan dengan alam. Alam adalah suatu dunia yang berada terpisah dari diri manusia sendiri, dan dapat dipelajari dengan cara yang berjarak dan keberadaannya mendahului sejarah manusia, sedangkan lingkungan merupakan segala sesuatu yang ada dan bagian dari kehidupan 3 manusia serta memberi pengaruh terhadap keberadaan manusia sendiri (Attfield, 2010: 5-6). Manusia dan unsur lingkungan lain memiliki hubungan yang sangat erat, keduanya saling memberi keuntungan yang besar. Manusia memberi pengaruh terhadap unsur lingkungan yang lebih aktif, sedangkan lingkungan yang pasif memberi keuntungan terhadap manusia, dikarenakan manusia lebih mampu dalam mengeksploitasi lingkungan sehingga keuntungan yang didapat dari lingkungan tergantung dari pengolahan manusia itu sendiri. Lingkungan yang bersih akan membuat hidup dan kesehatan manusia ke arah yang positif sedangkan lingkungan yang kotor akan terjadi pencemaran dan akan menjadi lingkungan yang buruk bagi manusia. Manusia awalnya bergairah untuk memutar roda pembangunan demi mencapai dan memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, tetapi berlanjut pada pemenuhan keinginan yang ternyata tanpa batas. Bila hal ini dibiarkan terus maka, danau, sungai mengalami degradasi, sedimentasi, pedangkalan, tanah tergerus, hanyut, dan longsor dimanamana. Udara mulai dipenuhi dengan polutan. Asap hasil kebakaran hutan, baik disengaja ataupun secara alami merupakan sumber pencemaran udara, selain itu Pabrik-pabrik, asap kendaraan bermotor juga merupakan pencemaran udara (Wijana, 2014: 8). Pencemaran lingkungan yang terjadi seperti pencemaran udara, air, dan tanah berdampak pada ancaman kesehatan, kesejahteraan dan nilai estetis dari manusia dan pemukimannya. Pencemaran ini terjadi sebagai akibat dari industri-industri yang 4 dibangun dan dikelola manusia, kemajuan industri dalam mengelola limbahnya belum cukup untuk membayar kerusakan yang terjadi, bahkan manusia tidak peduli dengan kerusakan lingkungan tersebut. Hasil industri tersebut hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia belaka, sedangkan komponen ekosistem lainnya diabaikan (Wijana, 2014: 8). Kerusakan lingkungan akibat kegiatan dan pekerjaan manusia akan mengakibatkan pelumpuran pantai dan muara karena adanya aliran sungai yang membawa lumpur dalam kadar tinggi, sebagai akibat dari kegiatan pertanian di bagian hulu. Pengambilan sumber daya alam dari laut secara berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan dan pengikisan pantai (Wijana, 2014: 181-182). Efek kerusakan ini akan dirasakan oleh makhluk hidup terutama hewan dan tumbuhan, karena dampak dari semua kerusakan yang terjadi merupakan sumber kehidupan bagi hewan dan tumbuhan. Salah satu dampak yang terjadi akibat kerusakan lingkungan adalah hampir punahnya spesies penyu. Penyu merupakan spesies reptil yang hidup di laut yang keberadaannya sekarang ini terancam karena faktor alam dan faktor manusia yang merusak lingkungan sehingga mengancam keberadaan penyu. Indonesia memiliki 6 dari 7 spesies penyu di dunia (Sutarto, 2006), keberadaannya menyebar di seluruh pulau di Indonesia. Penyu masuk dalam daftar hewan yang hampir punah, sehingga segala bentuk penjagaan dan pengembangannya harus diperhatikan secara serius. Beberapa penyebab hampir punahnya penyu ialah dari tangan-tangan manusia yang mengambil mulai dari telur sampai daging penyu untuk dijual sehingga menyebabkan penyu sulit berkembang. Salah satu langkah 5 untuk melindungi penyu yaitu dengan cara konservasi. Konservasi adalah usaha manusia untuk memanfaatkan biosfer dengan berusaha memberikan hasil yang besar dan melestarikannya untuk generasi kini dan mendatang (Wijana, 2014: 200). Pantai merupakan salah satu tempat lahirnya tukik (anak penyu), karena penyu dewasa menyimpan dan mengubur telur-telurnya di bibir pantai. Salah satunya yaitu Pantai Goa Cemara, Bantul, Yogyakarta. Semua jenis penyu harus dilindungi di bawah pengawasan pemerintah, untuk menghindari beberapa pihak yang menggunakan kesempatan dengan mengambil telur-telur tersebut untuk dijual ke pasaran, sehingga membuat populasi penyu terancam. Masyarakat pantai Goa Cemara, Bantul, Yogyakarta untuk mendukung keberhasilan dan keberlanjutan konservasi penyu dibutuhkan kerjasama, pengetahuan, serta dasar yang kokoh mengenai lingkungan dan konservasi yang benar. Etika lingkungan hidup merupakan hubungan moral antara manusia dengan lingkungan atau alam semesta, dan bagaimana perilaku manusia yang seharusnya terhadap lingkungan. Manusia harus tahu bagaimana dalam bersikap dan berperilaku terhadap lingkungan hidup. Tidak hanya bersikap seakan-akan hanya manusia yang memiliki nilai. Etika lingkungan hidup menuntut agar etika dan moralitas diberlakukan juga bagi komunitas biotis atau komunitas ekologis, memasukkan lingkungan atau alam semesta sebagai bagian dari komunitas moral (Keraf, 2006: 26). Biosentrisme memandang manusia tidak hanya sebagai makhluk sosial, manusia harus dipahami sebagai makhluk biologis, yaitu makhluk yang 6 kehidupannya tergantung dan terikat erat dengan semua kehidupan lain di alam semesta. Tanpa alam, dan tanpa makhluk hidup lain, manusia tidak akan bertahan hidup, karena manusia hanya merupakan salah satu entitas di alam semesta. Biosentrisme juga memandang tidak hanya manusia yang mempunyai nilai, alam juga mempunyai nilai pada dirinya sendiri lepas dari kepentingan manusia (Keraf, 2006: xvii dan 49). Biosentrisme menganggap serius setiap kehidupan dan makhluk hidup di alam semesta. Alam harus diperlakukan secara moral dan setiap kehidupan harus dilindungi. Etika lingkungan hidup menuntun manusia ke arah yang baik demi menjaga dan melindungi kehidupan, teori ini didasari moralitas pada keluhuran kehidupan, baik pada manusia atau pada makhluk hidup lainnya (Keraf, 2006: 49, 50). Penyelamatan penyu menjadi perhatian pada Kelompok Konservasi Mino Raharjo di Pantai Goa Cemara, Bantul, Yogyakarta. Pentingnya penyelamatan penyu dari tangan-tangan manusia dalam mengeksploitasi penyu dan diharapkan dapat mempengaruhi perkembangan ekonomi masyarakat Pantai Goa Cemara, Bantul, Yogyakarta. Kelompok konservasi Mino Raharjo sadar akan pentingnya keberadaan penyu khususnya dalam membantu perkembangan perekonomian masyarakat, dengan adanya penyu maka masyarakat berharap wisatawan akan lebih banyak mendatangi kawasan pantai tersebut. Adanya kelompok konservasi penyu, perhatian, kesadaran dan kewajiban tanggung jawab moral masyarakat terhadap upaya penyelamatan penyu dari kepunahan sesuai dengan pemikiran Biosentrisme yang memandang 7 seluruh makhluk hidup di alam semesta memiliki nilai bukan hanya manusia, ini dapat diapresiasi dan di contoh oleh kelompok-kelompok konservasi lain. 2. Rumusan masalah Uraian yang telah disampaikan pada latar belakang, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: a. Bagaimana proses konservasi penyu di Pantai Goa Cemara, Bantul Yogyakarta ? b. Bagaimana pengertian dan esensi teori etika lingkungan Biosentrisme? c. Apa konservasi penyu di Pantai Goa Cemara, Bantul Yogyakarta dipandang dari Teori Etika Lingkungan Biosentrisme ? 3. Keaslian penelitian Penelitian mengenai Tinjauan Etika Lingkungan Biosentrisme Terhadap Konservasi Penyu di Pantai Goa Cemara, Bantul Yogyakarta sejauh penelusuran yang penulis lakukan belum pernah menemukan penelitian yang sama persis. Penelitian yang mirip dengan objek material diantaranya sebagai berikut: a. Perbawa Agung Iman Tohari, 2013, Skripsi Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, dengan Judul: Persepsi dan Partisipasi Masyarakat dalam Konservasi Penyu di Pantai Samas Kabupaten Bantul dan Pantai Trisik Kabupaten Kulon Progo. Penelitian ini berisi tentang kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam konservasi penyu serta pemahaman akan pengetahuan masyarakat mengenai manfaat penyu. 8 b. Ardanti Yulia Cahyaningrum Sutarto, 2006, Tesis Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, dengan Judul: Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Konservasi Penyu di Daerah Kepesisiran Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini berisi tentang tingkat partisipasi masyarakat Kepesisiran Kabupaten Bantul, Yogyakarta dalam konservasi penyu yang rendah karena faktor sosial ekonomi. c. Utari Dewi Fatimah, 2003, Tesis Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, dengan Judul: Konservasi Sumber Daya Alam Terhadap Pelestarian Penyu (Sea Turtle/Marine Turtle) di Pantai Selatan Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat. penelitian ini berisi tentang upaya pemerintah dalam pelaksanaan konservasi terhadap pelestarian penyu di Pantai Selatan Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat. 4. Manfaat penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: a. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dalam kajian ilmu Biologi, khususnya mengenai konservasi. b. Bagi Filsafat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan wacana baru khususnya bagi kajian etika lingkungan serta memberikan wawasan baru mengenai upaya penyelamatan penyu dengan konservasi. 9 c. Bagi masyarakat, bangsa dan negara Penelitian ini diharapkan dapat membantu menyadarkan masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan dan makhluk hidup yang ada di sekelilingnya. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi dorongan atau masukan bagi pemerintah dalam mengendalikan atau setidaknya menumbuhkan rasa peduli akan lingkungan dan spesies-spesies yang ada. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengungkapkan jawaban dari permasalahan yang telah terangkum dalam rumusan masalah, yaitu: 1. Memaparkan dan menjelaskan secara mendalam tentang penjelasan konservasi penyu pada kelompok konservasi Mino Raharjo di pantai Goa Cemara, Bantul-Yogyakarta. 2. Menjelaskan tentang teori etika lingkungan Biosentrisme yang memandang makhluk hidup lain memiliki hak untuk hidup dan manusia wajib melindunginya. 3. Menganalisis penerapan pemikiran teori etika lingkungan Biosentrisme dalam pencemaran lingkungan dan konservasi penyu di pantai Goa Cemara, Bantul-Yogyakarta. 10 C. Tinjauan Pustaka Sejarah kehidupan makhluk hidup di Bumi, telah banyak muncul bermacammacam makhluk hidup dengan penguasa yang berbeda di era masing-masing. Hancur dan punahnya keanekaragaman hayati pada saat tempo dulu, lebih banyak disebabkan oleh kondisi alamiah. Keanekaragaman yang dimiliki dan diamati sekarang, ada beberapa spesies yang sudah menunjukkan kehancuran atau menunjukkan gejala menuju ke arah kehancuran (Wijana, 2014: 199). Manusia merasa sebagai penguasa tertinggi di alam dan bebas dalam mengolah lingkungan sehingga membuat terancam punahnya suatu makhluk hidup. Masyarakat mulai menyadari akan hal tersebut dengan mulai memperhatikan dan peduli lingkungan. Muncul berbagai lembaga-lembaga penyelamatan dan masyarakat tradisional mempunyai cara tersendiri dalam pelaksanaan konservasi hayati ini. Tidak jarang bahwa pola konservasi yang digunakan memberikan hasil yang menakjubkan (Wijana, 2014: 199). Konservasi berarti suatu proses yang kompleks untuk menjaga, memelihara dan menghemat bahan-bahan di alam. Konservasi menuntut manusia harus dapat memanfaatkan secara bijaksana dan mengganti bahan-bahan yang telah terpakai untuk memenuhi kebutuhan manusia. (Subiyanto dalam Wijana, 2014: 199). Konservasi lingkungan sering dipelajari di dalam ilmu Biokonservasi. Biologi konservasi adalah ilmu yang berorientasi pada tujuan yang mencari penyelesaiaan untuk menghadapi krisis keanekaragaman biologis, yaitu keanekaragaman kehidupan 11 bumi saat ini (Wijana, 2014: 200). Pengelolaaan kawasan lingkungan merupakan salah satu cara dalam melindungi, mengelola dan pengendalian makhluk hidup dari keserakahan manusia mengeksploitasi alam. Pantai merupakan salah satu tempat persinggahan penyu. Penyu yang baru lahir akan berkelana mengelilingi lautan luas sampai dewasa, penyu betina akan kembali ke pantai apabila akan menggali dan menimbun telur-telurnya di pantai. Tujuh dari jenis penyu yang ada didunia, enam jenis penyu ditemukan di Indonesia yaitu penyu sisik/Hawkbill turtle, penyu lekang/Olive ridley turtle, penyu belimbing/Leatherback turtle, penyu pipih/Flatback turtle, penyu tempayan/Loggerhead turtle, dan penyu hijau/green turtle. Keenam penyu tersebut hanya lima yang mendarat untuk bertelur di daerah pantai Indonesia (Sutarto, 2006: 15). Pemanfaatan penyu oleh manusia sebagai salah satu bahan kosmetik, kerajinan tangan, industri kulit, makanan bahkan penyu diawetkan dan dipajang sebagai hiasan rumah. Pengolahan tersebut yang membuat populasi penyu menjadi sangat turun drastis. Upaya yang dilakukan pemerintah, dalam rangka konservasi, pemerintah mewajibkan penetasan telur penyu dan masyarakat diharapkan mengerti akan pentingnya konservasi dalam menekan tingginya pemanfaatan penyu (Sutarto, 2006: 75). Kematian penyu memiliki banyak faktor, diantaranya yaitu pergesaran fungsi lahan yang menyebabkan kerusakan habitat pantai dan ruaya pakan, kegiatan perikanan, pengelolaan teknik-teknik konservasi yang tidak memadai, perubahan iklim, penyakit, dan predator. Karakteristik siklus hidup penyu yang sangat panjang 12 untuk mencapai kondisi stabil membutuhkan waktu sekitar 30-40 tahun merupakan faktor pelestarian penyu menjadi hal penting. Kondisi tersebut membuat semua jenis penyu di Indonesia dilindungi oleh negara dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi (Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, 2009: 15). Pemberian status perlindungan saja tidak cukup untuk memulihkan dan melestarikan populasi penyu di Indonesia. Pengelolaan konservasi yang komprehensif, sistematis dan terukur sangat dibutuhkan oleh Kelompok Konservasi Mino Raharjo pantai Goa Cemara, Bantul, Yogyakarta. Pengelolaan tersebut dilakukan dengan cara memberikan pengetahuan teknis tentang pengelolaan konservasi penyu bagi pihak-pihak terkait khususnya pelaksana di lapangan dan memberikan buku lengkap yang memuat informasi tentang pengelolaan konservasi penyu (Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, 2009: 16). Tesis karya Ardanti Yulia Cahyaningrum Sutarto, pada tahun 2006 dengan judul “Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam Konservasi Penyu di Daerah Kepesisiran Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat nelayan dalam konservasi penyu dan perbedaan tingkat partisipasi masyarakat nelayan di Pesisir Pandansimo, Pesisir Kuwaru, Pesisir Samas dan Pesisir Depok dalam konservasi penyu signifikan atau tidak signifikan. Hasil penelitian menunjukkan sebagian masyarakat daerah pesisir Bantul mempunyai tingkat partisipasi yang rendah. Hal tersebut terjadi karena, dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi masyarakat yang tidak ingin meluangkan 13 waktu dan uang untuk ikut berpartisipasi dalam konservasi penyu (Sutarto, 2006: 105-106). Tesis karya Utari Dewi Fatimah pada tahun 2003 dengan judul “Konservasi Sumber Daya Alam Terhadap Pelestarian Penyu (Sea Turtle/Marine Turtle) di Pantai Selatan Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka pelaksanaan konservasi sumber daya alam terhadap pelestarian penyu di Pantai Selatan Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat. Hasil dari penelitian tersebut adalah pemerintah menunjuk kawasan konservasi pantai Sidangkerta Cipatujah sebagai suaka margasatwa laut, upaya lainnya adalah berupa penegakkan hukum dan peraturan (Fatimah, 2003: 98-99). Skripsi Karya Perbawa Agung Iman Tohari tahun 2013 dengan judul “Persepsi dan Partisipasi Masyarakat dalam Konservasi Penyu di Pantai Samas Kabupaten Bantul dan Pantai Trisik Kabupaten Kulon Progo”. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam konservasi penyu, serta mengetahui tingkat pengetahuan, persepsi, dan partisipasi masyarakat dalam konservasi penyu di Pantai Samas, Kabupaten Bantul dan Pantai Trisik, Kabupaten Kulon Progo. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata tingkat pengetahuan, persepsi, dan partisipasi masyarakat dalam konservasi penyu tergolong tinggi (Tohari, 2013: 71). 14 D. Landasan Teori Masalah lingkungan semakin lama semakin besar, meluas, dan serius. Dampakdampak yang terjadi akan saling berkaitan antara satu makhluk hidup dengan makhluk hidup lainnya (Siahaan, 2004: 1). Biosentrisme menekankan bahwa alam memiliki fungsi kehidupan yang harus dihargai dan diperlakukan dengan baik. Manusia merupakan makhluk yang akan memelihara alam demi kepentingan bersama, kepentingan manusia, dan kepentingan alam itu sendiri. Biosentrisme juga menekankan hal-hal seperti: manusia adalah bagian dari alam, memperhatikan perasaan semua makhluk hidup, dan menekankan hak untuk hidup makhluk lain (Wijana, 2014: 257-258). Teori etika lingkungan Biosentrisme meletakkan posisi manusia sejajar dengan alam karena sama-sama memiliki nilai. Konsekuensinya, alam semesta adalah sebuah komunitas moral, di mana setiap kehidupan dalam alam semesta ini, baik manusia maupun yang bukan manusia, sama-sama mempunyai nilai moral. Kehidupan di alam semesta memiliki hak-hak tersendiri untuk hidup dan makhluk apapun pantas untuk dipertimbangkan secara serius dalam setiap keputusan dan tindakan moral, bahkan lepas dari perhitungan untung-rugi bagi kepentingan manusia (Keraf, 2006: 49-50). Etika lingkungan Biosentrisme merupakan suatu pandangan yang menempatkan alam sebagai yang mempunyai nilai sendiri, lepas dari kepentingan manusia. Biosentrisme menolak Antroposentrisme yang memandang bahwa hanya manusia 15 yang memiliki nilai. Teori Biosentrisme memandang bahwa makhluk hidup bukan hanya manusia saja dan mendasarkan kehidupan sebagai pusat perhatian. Setiap kehidupan dibumi patut dihargai, sehingga harus dilindungi dan diselamatkan (Wijana, 2014: 257-258). Biosentrisme menjadikan kehidupan sebagai standar moral. Hal yang ditujukan bukanlah rasa senang atau menderita, namun kemampuan atau kepentingan suatu makhluk untuk hidup. Kepentingan untuk hidup tersebut menjadikan Biosentrisme melihat standar moral bukan hanya manusia dan hewan, melainkan keseluruhan makhluk hidup yang ada (Wijana, 2014: 259-260). Biosentrisme terbagi pada dua pilar utama dalam mengkaji kaitan problem moral mengenai Hak Asasi Alam. Pertama, yaitu teori etika yang berpusat pada kehidupan (life-centered theory of environment). Teori ini menuntut manusia harus mempunyai kewajiban moral terhadap alam. Kedua, etika bumi (the land ethic) yang timbul karena dipicu oleh krisis lingkungan dalam masyarakat modern sekarang ini dan anti-spesiesme yang membela kepentingan dan keberlangsungan hidup spesies lain. (Keraf, 2006: 51-58). E. Metode Penelitian 1. Bahan dan materi penelitian Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan model penelitian masalah aktual. Penelitian dilakukan melalui studi pustaka dan diperkuat 16 dengan wawancara dan observasi lapangan (Kaelan, 2005: 292). Wawancara dan observasi lapangan dilakukan di pantai Goa Cemara, Bantul Yogyakarta tentang konservasi penyu sebagai pengendali dan penyelamatan penyu sebagai objek material, sedangkan teori etika lingkungan Biosentrisme sebagai objek formal. a. Sumber primer Sumber primer yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah hasil buku-buku yang berkaitan dengan konservasi penyu (Kaelan, 2005: 61). Sumber tersebut antara lain: 1) Laporan Kelompok Konservasi Mino Raharjo Pantai Goa Cemara, Bantul Yogyakarta. 2) Indrawan, dkk. 2012. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 3) Anonim. 2009. Pedoman Teknis Pengelolaan Konservasi Penyu. Direktorat konservasi dan Taman Nasional Laut. Direktorat Jendral Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan RI. b. Sumber pustaka sekunder Data sekunder yang dimaksud dalam penelitian ini adalah referensi yang diperoleh dari berbagai tulisan, artikel, jurnal atau makalah, juga internet. Sumber tersebut antara lain : 17 1) Attfield, Robin. 2010. Etika Lingkungan Global. Yogyakarta: Kreasi Wacana. 2) Keraf, Sonny. 2006. Etika Lingkungan. Jakarta : Kompas 3) Bertens, K. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius. 4) Borrong, Robert. P. 2000. Etika Bumi Baru. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. 2. Jalan penelitian Jalan penelitian yang berjalan ini dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: a. Persiapan dan pengumpulan data Tahap ini pengumpulan data berupa literatur ilmiah dan studi kepustakaan, baik dari buku-buku maupun secara online yang berkaitan dengan objek material maupun objek formal penelitian. Data terkait data hasil penelitian di lapangan berupa wawancara. b. Klasifikasi data Pengumpulan data-data yang telah dicari dan disusun dan dibagi, data tersebut menjadi bagian data primer dan sekunder. Data yang sekiranya kurang relevan akan dieliminasi. c. Analisis hasil penelitian Pada tahap akhir dilakukan analisis atas penelitian ini guna menjawab rumusan masalah dan mencapai tujuan penelitian secara berimbang dan objektif. 18 3. Analisis data Analisis data dalam penelitian ini mengacu pada buku karangan Kaelan (2005: 297-299) sebagai berikut: a. Verstehen: data yang dikumpulkan dipahami berdasarkan karakteristik masing-masing. Penulis memahami konservasi sebagai upaya pengendalian spesies, serta memahami teori etika lingkungan Biosentrisme sebagai simbol penyelamatan lingkungan. b. Interpretasi: dalam setiap pengumpulan data, peneliti sekaligus melakukan analisis. Dengan unsur ini penulis berusaha menangkap serta memahami makna filosofis untuk menunjukkan arti, mengungkapkan, serta mengatakan makna yang terkandung dalam data secara objektif. c. Hermeneutika: melalui unsur metodis ini penulis berupaya menangkap makna esensial sesuai dengan konteksnya. Setelah data konservasi penyu dan teori etika lingkungan Biosentrisme terkumpul penulis melakukan analisis. Analisis dilakukan dengan penafsiran terhadap data, sehingga esensi makna dapat dipahami. 19 F. Hasil yang Dicapai Hasil yang dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut; 1. Memperoleh penjelasan mengenai konsep konservasi penyu pada masyarakat di pantai Goa Cemara, Bantul Yogyakarta. 2. Memperoleh penjelasan mengenai teori etika Biosentrisme. 3. Memperoleh pemahaman mengenai pandangan teori etika Biosentrisme tentang konservasi penyu. G. Sistematika Penulisan Penulisan penelitian ini disusun dengan sistematika sebagai berikut: Bab I berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, keaslian penelitian, manfaat penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, hasil yang dicapai, dan sistematika penulisan. Bab II berisi pembahasan objek formal dalam penelitian ini yang berisi uraian mengenai teori etika lingkungan Biosentrisme serta pengertian etika, lingkungan hidup, ekologi, ekosistem, etika lingkungan hidup, teori-teori etika lingkungan, dan prinsip-prinsip etika lingkungan. Bab III berisi pembahasan tentang pengertian, tujuan dan manfaat konservasi penyu. Kemudian akan dijelaskan sekilas tentang penyu, serta akan dijelaskan tentang latar belakang konservasi penyu pada kelompok konservasi mino raharjo. 20 Bab IV berisi tentang analisis pandangan Biosentrisme dalam menilai pencemaran lingkungan dan konservasi penyu di pantai Goa Cemara, Bantul Yogyakarta, peranan masyarakat sekitar dalam pengelolaan konservasi penyu, serta konservasi penyu sebagai upaya pengelolaan lingkungan hidup. Bab V berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran terkait dengan inti penelitian serta menjelaskan secara garis besar pembahasan penelitian.