Laporan Penelitian GAMBARAN HASIL PEMERIKSAAN

advertisement
Laporan Penelitian
GAMBARAN HASIL PEMERIKSAAN AUDIOMETRI SKRINING SISWA
SMK JURUSAN OTOMOTIF DI PROVINSI BALI
Oleh :
I Gusti Ayu Oka Sri Utari, I Made Wiranadha
IImu Kesehatan THT-KL FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gangguan pendengaran akibat bising atau noice induce hearing loss
adalah hilangnya sebagian atau seluruh pendengaran seseorang yang bersifat
menetap, mengenai satu atau dua telinga yang disebabkan oleh paparan bising
yang cukup keras dan terus menerus dalam jangka waktu yang lama dari
lingkungan sekitarnya.1,2 Banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli
akibat terpapar bising antara lain intensitas bising yang tinggi, frekuensi tinggi,
lebih lama terpapar bising, kepekaan individu dan faktor lain yang dapat
menimbulkan ketulian.2,3
Bising di sekitar kita sering kali tidak dianggap sebagai sesuatu yang
berbahaya sehingga kurang mendapat perhatian, padahal gangguan pendengaran
akibat kebisingan seharusnya dapat dicegah dengan menggunakan pelindung
telinga diantaranya yaitu sumbat telinga atau ear plug, tutup telinga atau ear muff
dan pelindung kepala atau helmet.1,4,5 Selama ini banyak keluhan yang
menyangkut gangguan pendengaran yang dapat muncul setelah beberapa lama
terpapar dengan suara bising antara lain tinitus, kurang mendengar serta nyeri
telinga.2,4,6 Dampak yang dapat ditimbulkan akibat adanya gangguan pendengaran
adalah terganggunya perkembangan kognitif, psikologi dan sosial.1,4,7
Badan kesehatan dunia WHO melaporkan sebanyak 16% gangguan
pendengaran pada orang dewasa disebabkan oleh dampak kebisingan dan pada
tahun 2000 dilaporkan sebanyak 250 juta orang atau 4,2% penduduk dunia
menderita gangguan pendengaran akibat dampak kebisingan dalam berbagai
bentuk. Angka itu diperkirakan akan terus meningkat. 2 Di Amerika Serikat
1
terdapat sekitar 22 juta orang atau 10% penduduk terancam menderita tuli akibat
bising.2 Di Belanda jumlahnya mencapai 200.000-300.000 orang, di Canada dan
Swedia masing-masing sekitar 0,03% dari seluruh populasi, dan sekitar 75 - 140
juta orang atau 50% berada di Asia Tenggara.4,8 Indonesia berada pada urutan
keempat prevalensi gangguan pendengaran di Asia Tenggara sesudah Sri Lanka
8,8%, Myanmar 8,4% dan India 6,3% yaitu diperkirakan sekitar 4,6% dan salah
satu penyebabnya adalah bising di lingkungan kerja.9
Bising adalah bunyi yang tidak diinginkan.6,10 Menurut Permenakertrans
No. 13 Tahun 2011, nilai ambang batas untuk kebisingan di tempat kerja adalah
nilai rata-rata intensitas kebisingan yang masih dapat diterima tenaga kerja tanpa
mengakibatkan hilangnya daya dengar yang tetap untuk waktu terus menerus
yaitu 85 dB dengan waktu maksimum 8 jam perhari atau 40 jam perminggu dan
kurang dari 91 dB selama 2 jam perhari.11
Menurut Komnas Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan ketulian
atau PGPKT, salah satu populasi resiko tinggi untuk terjadinya ketulian akibat
bising adalah siswa SMK akibat bising mesin pelatihan. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Komnas PGPKT pada SMK jurusan otomotif di Ternate dan
Cirebon didapatkan bahwa bising mesin-mesin di tempat pelatihan bengkelnya
rata-rata berkisar 100 dB dan para siswa tidak memakai pelindung telinga,
sedangkan mereka bekerja di bengkel pelatihan tersebut selama 2 jam, sehingga
mereka sangat beresiko mengalami gangguan pendengaran akibat bising. 12
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Komnas PGPKT tersebut, kami
melakukan penelitian deskriptif di 4 SMK jurusan otomotif yang ada di provinsi
Bali yaitu SMK PGRI 6 Denpasar, SMK Saraswati 1 Tabanan, SMK Negeri 1
Kuta Selatan, dan SMK Negeri 2 Manggis Karangasem untuk mengetahui tingkat
kebisingan di tempat pelatihan bengkel mereka dan gambaran hasil pemeriksaan
audiometri skrining para siswa SMK tersebut.
2
1.2 Rumusan Masalah
Apakah ada siswa SMK jurusan otomotif yang mengalami penurunan fungsi
pendengaran setelah masa pendididikan tertentu akibat paparan bising di tempat
pelatihan bengkel.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui hasil pemeriksaan audiometri skrining pada siswa SMK
jurusan otomotif setelah masa pendididikan tertentu.
1.3.2 Tujuan khusus
1.3.2.1 Mengetahui tingkat kebisingan di tempat pelatihan bengkel pada siswa
SMK jurusan otomotif.
1.3.2.2 Mengetahui hasil pemeriksaan audiometri skrining siswa SMK setelah
melewati masa pendidikan tertentu.
1.3.2.3
Mengetahui adanya penurunan fungsi pendengaran pada siswa SMK
setelah melewati masa pendidikan tertentu.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Penelitian ini dapat memberikan gambaran hasil pemeriksaan audiometri
skrining pada siswa SMK jurusan otomotif selama masa pendidikan
tertentu.
1.4.2 Untuk skrining awal adanya penurunan fungsi pendengaran pada siswa
SMK jurusan otomotif, sehingga dapat dilakukan sosialisasi penggunaan
alat pelindung telinga seperti earplug, earmuff atau helmet untuk
pencegahan lebih dini terjadinya gangguan pendengaran akibat bising.
1.4.3 Penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar penelitian lebih lanjut dalam
usaha untuk menurunkan angka kejadian ganggguan pendengaran akibat
bising di Indonesia.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Telinga terdiri dari telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Telinga
luar terdiri dari daun telinga atau aurikula serta liang telinga atau kanalis
auditorius eksternus. Daun telinga dibentuk oleh tulang rawan dan otot. Liang
telinga sepertiga lateral dibentuk oleh tulang rawan dan dua pertiga bagian dalam
dibentuk oleh tulang. Panjang keseluruhan liang telinga adalah sekitar 2,5 cm.13,14
Telinga tengah berbentuk kubah dengan enam sisi. Organ konduksi pada telinga
tengah adalah membrana timpani, rangkaian tulang-tulang pendengaran,
ligamentum penunjang dan fenestra rotundum.13,14
Telinga bagian dalam terdiri dari koklea dan komponen penyusunnya.
Koklea berbentuk kumparan yang terdiri dari skala vestibuli, skala media dan
skala timpani. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfe, suatu cairan
ekstraseluler yang kaya natrium yaitu 139 mEq/L dan rendah kalium yaitu 4
mEq/L. Perilimfe di skala vestibuli berhubungan dengan perilimfe di skala
timpani melalui suatu apeks koklea yang disebut helikotrema. Skala media
mengandung cairan endolimfe, suatu cairan intraselular yang kaya kalium yaitu
144 mEq/L dan rendah natrium yaitu 13 mEq/L yang dikelilingi oleh membran
Reissner, membrane basilaris, lamina spiralis pars osseus dan dinding lateral
koklea.13,14
Gambar 1. Anatomi telinga.14
4
Organon korti terletak pada membran basilaris berbentuk seperti spiral
yang lebarnya 0,12 mm di bagian basal dan melebar sampai 0,5 mm di bagian
apeks yang merupakan kumpulan neuroepitel yang merupakan ujung organ
penerima rangsangan saraf akibat getaran bunyi. Organon Corti mempunyai tiga
bangun penting yaitu sel-sel rambut, sel penyokong dan membrane tektoria. Sel
rambut memiliki stereosilia yang mengandung aktin dan prestin. Aktin merupakan
protein yang sensitif
terhadap sentuhan dan pergerakan, sedangkan prestin
merupakan protein motorik yang berperan untuk mengatur dan mengendalikan
kekuatan elektromotilitas sel-sel rambut.13,14
2.2 Fisiologi Pendengaran
Pada mekanisme mendengar, aurikula berfungsi untuk menangkap,
memantulkan, mengumpulkan serta mengarahkan gelombang suara ke kanalis
auditorius eksternus. Gelombang suara ini oleh kanalis auditorius eksternus
diresonansikan, diperkuat dan diteruskan ke membrana timpani. Telinga tengah
berfungsi untuk meneruskan gelombang suara dari telinga luar ke telinga dalam
dan memperkuat gelombang tersebut.2,3,14 Impul akustik dalam perjalanannya dari
telinga luar sampai telinga dalam sebagian besar akan hilang atau tertahan akibat
perpindahan media yaitu udara menuju padat dan cair. Suara yang hilang ini
mencapai 99,9% sehingga impuls akustik yang mencapai organon korti tinggal
0,1%. Telinga tengah memiliki mekanisme ungkit dan hidrolik yang memperkuat
impuls akustik sebesar 18,2 kali setara dengan 25 dB.2,3,14
Pada telinga dalam terjadi dua proses penting dalam sistem pendengaran.
Pertama adalah proses transmisi hidrodinamik yaitu perpindahan energi bunyi dari
foramen ovale ke sel-sel bersilia. Kedua adalah proses transduksi yaitu terjadi
pengubahan pola energi bunyi pada organon korti menjadi potensial aksi dalam
nervus auditorius. Proses transduksi dimulai dari pergerakan membran basilaris
dan membran tektoria akibat bergeraknya skala media dan endolimfe karena
proses transmisi sehingga terbentuk suatu pola energi listrik yang berjalan
sepanjang membran basilaris.13,14 Pola pergeseran membran basilaris membentuk
gelombang berjalan dengan amplitude maksimal yang berbeda dan sesuai dengan
5
frekuensi stimulus yang diterima. Gerak gelombang membran basilaris yang
timbul oleh bunyi berfrekuensi tinggi yaitu 10 kHz mempunyai pergeseran
maksimal pada bagian basal koklea, sedangkan stimulus bunyi berfrekuensi
rendah sebesar 125 Hz mempunyai pergeseran maksimum lebih kearah apeks.
Gelombang yang timbul oleh bunyi berfrekuensi sangat tinggi tidak dapat
mencapai bagian apeks sedangkan bunyi yang berfrekuensi sangat rendah dapat
melalui bagian basal maupun bagian apeks membran basilaris. Pergerakan
membran basilaris merupakan rangsangan mekanik yang menyebabkan terjadinya
defleksi stereosilia sel-sel rambut sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan
ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi
sel rambut terlepasnya neurotransmitter ke dalam sinapsis yang menimbulkan
potensial aksi pada saraf auditorius dan dilanjutkan ke nucleus auditorius sampai
ke pusat pendengaran di korteks serebri.2,13,14
2.3 Derajat Gangguan Pendengaran
World Health Organization atau WHO mengklasifikasikan derajat
gangguan pendengaran menjadi 5 yaitu derajat 0-4 yang menggambarkan dari
tidak adanya gangguan pendengaran sampai adanya gangguan pendengaran sangat
berat yang ditunjukkan pada tabel 1. Nilai ambang dengar ditentukan berdasarkan
hasil rata-rata ambang dengar frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz pada
pemeriksaaan audiometri.15-17
American Speech Language Hearing Association atau ASHA juga
menetapkan derajat gangguan pendengaran yang dapat digunakan untuk program
skrining anak usia sekolah yang beresiko mengalami gangguan pendengaran
akibat berbagai faktor predisposisi. Adanya gangguan pendengaran pada anak usia
sekolah akan
dapat
berpengaruh terhadap pendidikan, kesehatan serta
komunikasi.18,19 ASHA menetapkan kriteria gangguan pendengaran derajat sangat
ringan sampai derajat sangat berat dengan derajat gangguan pendengaran sangat
ringan merupakan nilai ambang dengar 16-25 dB seperti ditunjukkan pada tabel 2,
sehingga gangguan pendengaran yang minimal pada anak usia sekolah dapat
diidentifikasi .18,19
6
Tabel 1. Derajat gangguan pendengaran berdasarkan WHO 199115
Derajat gangguan
pendengaran
0 : tidak ada gangguan
Audiometri
rata-rata dari 500,
1000, 2000, 4000 Hz
25 dB atau kurang
1 : gangguan ringan
26-40 dB
2 : gangguan sedang
41-60 dB
3 : gangguan berat
61-80 dB
4 : gangguan sangat
berat atau tuli
81 dB atau lebih
Deskripsi gangguan
Tidak ada atau ada
gangguan sangat ringan,
dapat mendengar bisikan
Dapat mendengar atau
mengulang kata-kata dengan
suara normal yang
diucapkan dari jarak 1 meter
Dapat mendengar atau
mengulang kata-kata dengan
suara keras yang diucapkan
dari jarak 1 meter
Dapat mendengar kata-kata
yang diteriakkan pada
telinga yang lebih baik
Tidak dapat mendengar atau
mengerti kata-kata
walaupun telah diteriakkan
Tabel 2. Derajat gangguan pendengaran berdasarkan ASHA 198118
Derajat gangguan
Audiometri
pendengaran
rata-rata dari 500, 1000, 2000, 4000 Hz
Normal
-10 – 15
Sangat ringan
16 – 25
Ringan
26 – 40
Sedang
41 – 55
Sedang - berat
56 – 70
Berat
71 – 90
Sangat berat
>90
7
2.4 Definisi Bising
Bising adalah bunyi yang tidak diinginkan.6,10 Bunyi yang menimbulkan
keluhan subyektif pada individu dikategorikan sebagai suatu kebisingan,
walaupun frekuensi dan intensitas dari bunyi tersebut masih dalam batas
normal.4,20
Menurut
Peraturan
Menteri
Tenaga
Kerja
nomor
PER.13/MEN/X/2011, kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki
yang bersumber dari alat-alat proses produksi atau alat-alat kerja yang pada
tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran .11
Kebisingan dapat dibagi berdasarkan sifat dan spektrum frekuensi bunyi
antara lain 1) Steady State, Wide Band Noise adalah kebisingan yang terjadi terus
menerus dengan spektrum frekuensi yang luas dan relatif tetap dalam batas kurang
lebih 6 dB, misalnya mesin, kipas angin dan dapur pijar. 2) Steady State Noise,
Narrow Band Noise adalah kebisingan yang terjadi terus menerus dengan
spektrum frekuensi yang sempit dan relatif tetap, akan tetapi hanya mempunyai
frekuensi tertentu saja yaitu pada frekuensi 500, 1000, dan 4000 Hz, misalnya
gergaji sirkuler dan katup gas. 3) Impact noise adalah kebisingan dimana waktu
yang diperlukan untuk mencapai intensitas maksimal kurang dari 35 milidetik dan
waktu yang diperlukan untuk penurunan intensitas sampai 20 dB di bawah puncak
kurang dari 500 milidetik, misalnya suara meriam, palu dan paku bumi.
4) Intermitten Noise atau kebisingan terputus-putus adalah kebisingan dimana
suara mengeras kemudian melemah secara perlahan-lahan, misalnya: bising lalu
lintas dan bising pesawat udara yang tinggal landas. 5) Implusif Noise
atau
kebisingan berulang adalah kebisingan yang tidak beraturan terkadang keras tapi
tiba–tiba melemah tetapi berulang ulang, misalnya mesin tempa di pabrik
peralatan berat.21,22
Berdasarkan pengaruhnya pada manusia, bising dapat dibagi menjadi 3
yaitu 1) Irritating Noise
atau bising yang mengganggu adalah bising yang
mempunyai intensitas tidak terlalu keras, misalnya mendengkur. 2) Masking
Noise atau bising yang menutupi adalah bunyi yang menutupi pendengaran yang
jelas namun secara tidak langsung akan membahayakan kesehatan dan
keselamatan tenaga kerja, karena teriakan atau isyarat tanda bahaya dalam bising
8
dari sumber lain menjadi tidak terdengar. 3) Damaging noise atau bising yang
merusak adalah bunyi yang intensitasnya melampaui nilai ambang batas sehingga
akan merusak atau menurunkan fungsi pendengaran.10,21,22
2.5 Efek Kebisingan
Efek kebisingan dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu
gangguan indera pendengaran atau auditori dan gangguan non pendengaran atau
non auditori.1,5,6,14 Efek bising terhadap indera pendengaran secara klinis dapat
menimbulkan reaksi adaptasi, perubahan ambang dengar sementara atau
temporary threshold shift, trauma akustik dan perubahan ambang dengar menetap
atau permanent threshold shift.1,23,24 Gangguan non auditori dapat berupa
gangguan komunikasi, ganggguan pelaksanaan tugas, perasaan tidak senang serta
mudah marah.1,4,7
Reaksi adaptasi merupakan fenomena fisiologis yang disebabkan oleh
kelelahan saraf pendengaran yaitu terjadinya perubahan ambang dengar segera
akibat paparan bising pada frekuensi tertentu dengan intensitas di atas 90 dB.
Pemulihan dapat terjadi dalam beberapa detik. 3,6,24 Perubahan ambang dengar
sementara adalah keadaan terdapatnya perubahan ambang dengar akibat paparan
bising dengan intensitas yang cukup tinggi dan biasanya waktu pemaparan terlalu
singkat. Apabila tenaga kerja diberikan waktu istirahat secara cukup, daya
dengarnya akan pulih kembali. Pemulihan dapat terjadi dalam beberapa menit atau
jam.3,6,22 Perubahan ambang dengar sementara dapat berlangsung singkat yang
disebut dengan kelelahan fisiologik dan masa pemulihan lengkap terjadi dalam
24-48 jam. Perubahan ambang dengar sementara yang berlangsung lama disebut
dengan kelelahan patologik dan terjadi perpanjangan masa pemulihan.2,3,6
Trauma akustik adalah setiap perlukaan yang merusak sebagian atau
seluruh alat pendengaran yang disebabkan oleh pengaruh pajanan tunggal atau
beberapa pajanan dari bising dengan intensitas yang sangat tinggi berupa ledakan
atau suara yang sangat keras, seperti suara ledakan meriam yang dapat
menyebabkan pecahnya membrana timpani, putusnya rantai tulang pendengaran
atau rusaknya saraf sensoris pendengaran.2,3,25
9
Perubahan ambang dengar menetap dapat disebabkan oleh paparan bising
dengan intensitas yang sangat tinggi dalam waktu yang singkat atau intensitas
yang cukup tinggi dan berlangsung lama sehingga terjadi kerusakan atau
perubahan yang menetap pada struktur koklea.1,17,20 Bila paparan bising terus
berlangsung, kerusakan koklea makin meluas mengenai sel rambut dan saraf yang
berperan untuk mengantarkan impuls bunyi frekuensi lebih rendah dan lebih
tinggi sehingga penderita mulai merasa adanya kendala dalam berkomunikasi. 3,6
NIHL merupakan perubahan ambang dengar menetap yang diduga terjadi
akibat adanya stress mekanis dan metabolik pada organ sensorik auditorik
bersamaan dengan kerusakan sel sensorik atau bahkan kerusakan total organ Corti
di dalam koklea. Kepekaan terhadap stress pada sel rambut luar ini berada pada
kisaran 0-50 dB sedangkan untuk sel rambut dalam di atas 50 dB. 1,3,6 Berbagai
proses mekanis yang dapat menyebabkan kerusakan sel rambut akibat pajanan
terhadap bising meliputi aliran cairan yang kuat pada sekat koklea dapat
menyebabkan robeknya membran Reissner sehingga cairan dalam endolimfe dan
perilimfe bercampur yang mengakibatkan kerusakan sel rambut, gerakan
membran Basilaris yang kuat dapat menyebabkan gangguan organ Corti dengan
pencampuran endolimfe dan kortilimfe yang mengakibatkan kerusakan sel
rambut, aliran cairan yang kuat pada sekat koklea dapat langsung merusak sel
rambut dengan melepaskan organ Corti atau merobek membran Basilaris. 1,3,4
Proses metabolik yang dapat merusak sel rambut akibat pajanan bising
meliputi pembentukan vesikel dan vakuol di dalam retikulum endoplasma sel
rambut serta pembengkakan mitokondria dapat berlanjut menjadi robeknya
membran sel dan hilangnya sel rambut, kehilangan sel rambut mungkin
disebabkan kelelahan metabolik akibat gangguan system enzim yang esensial
untuk produksi energi, biosintesis protein dan pengangkutan ion.1,3,22
Daerah organ Corti sekitar 8 hingga 10 mm dari ujung basal yaitu daerah
yang sesuai dengan 4 kHz pada audiogram dianggap sebagai daerah yang secara
khas rentan terhadap kebisingan.1,6,18 Daerah 4 kHz mungkin lebih rentan karena
insufisiensi vaskular akibat bentuk anatomis yang tidak biasa di daerah ini dan
amplitude pemindahan di dalam saluran koklea mulai terbentuk di daerah 4 kHz
10
saat kecepatan perambatan gelombang yang berjalan masih cukup tinggi dan
struktur anatomi koklea menyebabkan pergeseran cairan pada daerah 4 kHz. 1,25
2.6 Nilai Ambang Batas Kebisingan
Berdasarkan
Peraturan
Menteri
Tenaga
Kerja
nomor
PER.
13/MEN/X/2011 pasal 1 ayat 8 membahas tentang nilai ambang batas faktor fisika
dan faktor kimia di tempat kerja, yang dimaksud dengan nilai ambang batas
adalah standar rata-rata waktu kerja yang dapat diterima tenaga kerja tanpa
mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan adalah tidak melebihi 8 jam
perhari atau 40 jam perminggu. Pada pasal 5 ditetapkan nilai ambang batas
kebisingan sebesar 85 dB.11
Tabel 3. Nilai ambang batas kebisingan berdasarkan Peraturan Menteri
Tenaga Kerja nomor PER. 13/MEN/X/2011.11
Waktu pemaparan per hari
Intensitas kebisingan dalam dBA
8
4
2
1
Jam
85
88
91
94
30
15
7,5
3,75
1,88
0,94
Menit
97
100
103
106
109
112
28,12
14,06
7,03
3,52
1,76
0,88
0,44
0,22
0,11
Detik
115
118
121
124
127
130
133
136
139
2.7 Pengukuran Kebisingan
11
Pengukuran kebisingan dapat dilakukan menggunakan alat Sound Level
Meter yaitu alat digital yang dapat menunjukkan secara langsung hasil kebisingan
di tempat kerja. Alat ini dapat mengukur intensitas kebisingan antara 30-130 dB
dan frekuensi 20 - 20.000 Hz yang terdiri dari mikropon, alat penunjuk elektronik,
amplifier dan terdapat tiga skala pengukuran yaitu skala A untuk memperlihatkan
kepekaan yang terbesar telinga pada frekuensi rendah dan tinggi, skala B untuk
memperlihatkan kepekaan telinga terhadap bunyi dengan intensitas sedang, skala
C untuk memperlihatkan kepekaan telinga terhadap bunyi dengan intensitas
tinggi.26
Gambar 2. Sound Level Meter 26
2.8 Diagnosis Gangguan Pendengaran Akibat Bising
2.8.1 Anamnesis dan gejala klinis
Dari anamnesis didapatkan informasi mengenai riwayat pajanan bising
dalam waktu tertentu. Selain itu ditanyakan juga adanya riwayat penyakit pada
telinga sebelumnya dan riwayat konsumsi obat ototoksik seperti streptomisin yang
juga menjadi faktor predisposisi terjadinya gangguan pendengaran.1,3,9
Gejala yang dapat muncul adalah tinnitus dengan suara berdenging pada
telinga yang timbul segera setelah pajanan dan dapat menjadi permanen pada
pajanan yang berlangsung terus menerus. Tinitus akibat pajanan bising biasanya
bernada tinggi.2,9,18 Vertigo dapat juga timbul setelah mengalami pajanan yang
12
sangat kuat. Penderita mengalami kesulitan memahami pembicaraan terutama
dalam suasana bising.2,6,15,20
2.8.2 Pemeriksaan fisik dan audiometri
Pada pemeriksaan otoskopi penderita dengan gangguan pendengaran
akibat bising tidak ditemukan adanya kelainan patologis. Pada pemeriksaan garpu
tala didapatkan tes rinne positif pada kedua telinga, tes weber lateralisasi ke
telinga yang sehat dan tes schwabach memendek, kesan tuli sensorineural.1,2,9
Pada pemeriksaan audiometri, tahap awal audiogram menunjukkan gambaran
yang khas berupa penurunan fungsi pendengaran pada frekuensi 3 kHz, 4 kHz dan
6 KHz, sedangkan pada frekuensi lain masih normal.1,3,20 Pada audiogram
didapatkan suatu takik yang dikenal dengan takik akustik. Pada keadaan lanjut,
bila paparan bising terus menerus berlangsung, kerusakan koklea makin meluas
mengenai sel rambut dan saraf yang berperan untuk mengantarkan impuls bunyi
dengan frekuensi lebih rendah atau frekuensi komunikasi sehingga penderita
mulai merasa adanya kendala dalam mendengar atau berkomunikasi. 1-3
III. KERANGKA KONSEP
Intensitas bising di
tempat pelatihan
bengkel
Penggunaan alat
pelindung telinga
Pemeriksaan
audiometri
skrining
Derajat nilai
ambang dengar
Siswa SMK
- Jenis kelamin
- Umur
13
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan rancangan potong lintang
untuk mengetahui tingkat kebisingan selama melakukan pelatihan bengkel dan
hasil pemeriksaan audiometri siswa di 4 SMK jurusan otomotif yang ada di
provinsi Bali.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada 4 SMK jurusan otomotif yang ada di provinsi
Bali yaitu SMK PGRI 6 Denpasar, SMK Saraswati 1 Tabanan, SMK Negeri 1
Kuta Selatan, dan SMK Negeri 2 Manggis Karangasem pada bulan April dan Mei
2013.
4.3 Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah siswa SMK PGRI 6 Denpasar, SMK Saraswati
1 Tabanan, SMK Negeri 1 Kuta Selatan dan SMK Negeri 2 Manggis Karangasem.
4.4 Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah siswa SMK PGRI 6 Denpasar, SMK Saraswati 1
Tabanan, SMK Negeri 1 Kuta Selatan, dan SMK Negeri 2 Manggis Karangasem
yang telah menjalani masa pendidikan selama 1 tahun 9 bulan atau kelas 2 dengan
besar sampel sebanyak 120 orang. Sampel penelitian dipilih secara stratified
random sampling.
4.4.1 Kriteria inklusi
Siswa SMK yang berusia 15-19 tahun dan berlatih rutin minimal 1 kali
dalam satu minggu.
4.4.2 Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi dari sampel adalah adanya riwayat konsumsi obat
ototoksik, riwayat ketulian dalam keluarga, riwayat otore, perforasi membran
timpani, dan riwayat kurang pendengaran sebelum menjadi siswa SMK jurusan
otomotif.
14
4.5 Definisi Operasional Variabel
1. Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan, tidak disukai dan
mengganggu.
2. Intensitas bising adalah tingkat kebisingan yang diukur dengan menggunakan
alat Sound Level Meter.
3. Umur adalah umur sejak lahir dalam tahun.
4. Alat pelindung telinga adalah perlengkapan perlindungan personal yang
dipergunakan selama pelatihan bengkel seperti earplug, earmuff atau helmet.
5. Nilai ambang dengar adalah bunyi terlemah pada frekuensi tertentu yang masih
dapat didengar oleh telinga seseorang pada pemeriksaan audiometri dan
kemudian dihitung dengan menggunakan indek Fletcher yaitu nilai rata-rata
ambang dengar hantaran tulang pada frekuensi 500, 1000, 2000, 4000 Hz.
6. Derajat nilai ambang dengar adalah hasil penghitungan rata-rata ambang
dengar hantaran udara pada frekuensi 500, 1000, 2000, 4000 Hz, kemudian
ditentukan derajat ambang dengar sesuai dengan ASHA 1981.
7. Ketulian adalah peningkatan nilai ambang dengar diatas normal sesuai dengan
ASHA 1981.
4.6 Cara Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data dilakukan dengan cara seleksi subyek melalui
anamnesis lengkap dan pemeriksaan fisik THT, untuk selanjutnya dilakukan
pemeriksaan audiometri. Pemeriksaan audiometri yang dilakukan adalah air
conduction atau hantaran udara pada frekwensi 500, 1000, 2000, 4000 dan 8000
Hz pada kedua telinga. Intensitas kebisingan di tempat pelatihan bengkel diukur
dengan alat sound level meter.
4.7 Pengolahan Data
Data yang diperoleh kemudian ditabulasi dan dipaparkan secara deskriptif
dalam bentuk tabel dan narasi.
15
V. HASIL PENELITIAN
Berdasarkan data yang diperoleh pada penelitian yang dilakukan terhadap
siswa SMK jurusan otomotif di provinsi Bali pada bulan April dan Mei 2013
didapatkan hasil sebagai berikut.
Tabel 3. Intensitas kebisingan di tempat pelatihan bengkel yang diukur
dengan sound level meter
No
Nama Sekolah
Bising di tempat pelatihan bengkel
1
SMK Saraswati 1 Tabanan
69,7 dB - 98,7 dB
2
SMK Negeri 1 Kuta Selatan
94,1 dB - 110 dB
3
SMK PGRI 6 Denpasar
95,7 dB - 101,7 dB
4
SMKN 2 Manggis Karangasem
79,9 dB - 98,9 dB
Dari hasil pengukuran dengan sound level meter didapatkan pada SMK
Negeri 1 Kuta Selatan dan SMK PGRI 6 Denpasar, intensitas kebisingan mesin di
tempat pelatihan bengkelnya rata-rata adalah lebih dari 91 dB, sedangkan di SMK
Saraswati 1 Tabanan dan SMKN 2 Manggis Karangasem, terdapat beberapa
mesin di tempat pelatihan bengkelnya memiliki intensitas lebih dari 91 dB.
Tabel 4. Distribusi siswa SMK berdasarkan jenis kelamin
Jenis kelamin
Frekuensi
%
Laki-laki
119
99,2
Perempuan
1
0,8
Siswa SMK yang menjadi sampel penelitian kebanyakan adalah laki-laki
yaitu sebanyak 119 orang dan hanya 1 orang siswa SMK perempuan yaitu siswa
dari SMK Negeri I Kuta Selatan.
16
Tabel 5. Distribusi siswa SMK berdasarkan Umur
Umur ( tahun )
Frekuensi
%
15
11
9,2
16
29
24,2
17
64
53,3
18
15
12,5
19
1
0,8
Siswa SMK yang dilakukan pemeriksaan audiometri pada penelitian ini
adalah berusia antara 15 sampai 19 tahun dan terbanyak berusia 17 tahun yaitu
sebanyak 53,3 %.
Tabel 6. Distribusi siswa SMK berdasarkan nilai ambang dengar sesuai
dengan ASHA 1981
Ambang dengar
( dB )
Derajat
gangguan
pendengaran
Telinga kanan
Frekuensi
%
Telinga kiri
Frekuensi
%
-10 - 15
Normal
52
43,3
58
48,3
16 - 25
Sangat ringan
58
48,4
56
46,7
26 - 40
Ringan
10
8,3
6
5
41 - 55
Sedang
-
-
-
-
56 - 70
Sedang berat
-
-
-
-
71-90
Berat
-
-
-
-
>90
Sangat berat
-
-
-
-
Berdasarkan hasil pemeriksaan audiometri pada 120 orang siswa SMK
yang menjadi sampel penelitian didapatkan hasil ambang dengar normal pada
telinga kanan sebanyak 52 orang dan pada telinga kiri sebanyak 58 orang. Siswa
SMK dengan gangguan pendengaran derajat sangat ringan pada telinga kanan
sebanyak pada 58 orang dan pada telinga kiri sebanyak 56 orang sedangkan siswa
17
SMK dengan gangguan pendengaran derajat ringan pada telinga kanan adalah
sebanyak 10 orang dan pada telinga kiri sebanyak 6 orang.
Pada siswa SMK yang mengalami gangguan pendengaran derajat sangat
ringan terdapat 6 orang siswa memiliki gambaran takik akustik di frekuensi 4000
Hz yaitu sebanyak 4 orang pada telinga kanan dan 2 orang siswa pada telinga kiri
sedangkan pada siswa SMK yang mengalami gangguan pendengaran derajat
ringan terdapat 1 orang siswa dengan hasil pemeriksaan audiometri memiliki
gambaran takik akustik di frekuensi 4000 Hz pada telinga kiri.
Tabel 7. Distribusi siswa SMK berdasarkan sisi telinga yang mengalami
gangguan pendengaran
Hasil pemeriksaan
Frekuensi
%
Normal
37
30,8
Ketulian Unilateral
36
30
Ketulian Bilateral
47
39,2
Total
120
100
audiometri
Berdasarkan sisi telinga yang terkena terdapat 36 siswa SMK mengalami
ketulian pada satu sisi telinga atau unilateral dan 47 siswa SMK mengalami
ketulian pada kedua sisi telinga atau bilateral.
VI. PEMBAHASAN
Bising adalah bunyi yang tidak diinginkan yang pada tingkat tertentu dapat
menyebabkan gangguan pendengaran.6,10 Menurut Permenakertrans No. 13 Tahun
2011, nilai ambang batas untuk kebisingan di tempat kerja adalah 85 dB dengan
waktu maksimum 8 jam perhari atau 40 jam seminggu dan kurang dari 91 dB
selama 2 jam perhari.11 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Komnas PGPKT
pada SMK jurusan otomotif di Ternate dan Cirebon didapatkan bahwa bising
mesin-mesin di tempat pelatihan bengkelnya rata-rata berkisar 100 dB dan para
siswa tidak memakai pelindung telinga, sedangkan mereka bekerja di bengkel
18
pelatihan tersebut selama 2 jam, sehingga mereka sangat beresiko mengalami
gangguan pendengaran akibat bising. Dengan demikian dilakukan penelitian
deskriptif pada bulan April dan Mei 2015 di 4 SMK jurusan otomotif yang ada di
provinsi Bali yaitu SMK PGRI 6 Denpasar, SMK Saraswati 1 Tabanan, SMK
Negeri 1 Kuta Selatan, dan SMK Negeri 2 Manggis Karangasem untuk
mengetahui tingkat kebisingan di tempat pelatihan bengkel mereka dan gambaran
pemeriksaan audiometri para siswa SMK tersebut.
Dari hasil pengukuran dengan sound level meter didapatkan pada SMK
Negeri 1 Kuta Selatan dan SMK PGRI 6 Denpasar, intensitas kebisingan mesin di
tempat pelatihan bengkelnya adalah lebih dari 91 dB, sedangkan di SMK
Saraswati 1 Tabanan dan SMKN 2 Manggis Karangasem, sebagian besar mesin di
tempat pelatihan bengkelnya memiliki intensitas lebih dari 91 dB. Intensitas
kebisingan lebih dari 91 dB melebihi nilai ambang batas kebisingan di tempat
kerja dengan waktu kerja selama 2 jam perhari. 11 Feidihal melakukan penelitian
terhadap mahasiswa tehnik mesin Politeknik Negeri Padang didapatkan
pengukuran intensitas kebisingan di tempat prakteknya adalah 95,3 dB -101,5
dB.27
Siswa SMK yang menjadi sampel penelitian kebanyakan adalah laki-laki
yaitu sebanyak 119 orang dan hanya 1 orang siswa SMK perempuan yaitu siswa
dari SMK Negeri 1 Kuta Selatan. Siswa SMK tersebut berusia antara 15 sampai
19 tahun dan terbanyak berusia 17 tahun yaitu sebanyak 64 % dengan masa
pendidikan 1 tahun 6 bulan. Selama masa pendidikan, siswa SMK melakukan
pelatihan bengkel selama 2 jam perhari dengan tanpa pelindung telinga sedangkan
nilai ambang batas untuk kebisingan dengan lama kerja 2 jam perhari adalah
91 dB. Alat pelindung telinga dapat mengurangi intensitas bising yang diterima
telinga dalam. Sumbat telinga dapat mengurangi kebisingan antara 8 sampai 30
dB, tutup telinga dapat mengurangi kebisingan 25 sampai 40 dB dan helmet dapat
mengurangi kebisingan 40 sampai 50 dB.4
Berdasarkan hasil pemeriksaan audiometri pada 120 orang siswa SMK
yang menjadi sampel penelitian didapatkan hasil ambang dengar normal pada
telinga kanan sebanyak 52 orang dan pada telinga kiri sebanyak 58 orang. Siswa
19
SMK dengan gangguan pendengaran derajat sangat ringan pada telinga kanan
sebanyak pada 58 orang siswa dan pada telinga kiri sebanyak 56 orang. Gangguan
pendengaran derajat ringan pada telinga kanan adalah sebanyak 10 orang siswa
dan pada telinga kiri sebanyak 6 orang. Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan
hasil pemeriksaan audiometri skrining didapatkan sebagian besar siswa SMK
jurusan otomotif tersebut mengalami gangguan pendengaran yaitu sebanyak 68
siswa mengalami gangguan pendengaran pada telinga kanan dan 62 siswa
mengalami gangguan pendengaran pada telinga kiri. Gambaran takik akustik di
frekuensi 4000 Hz pada pemeriksaan audiometri didapatkan pada 7 orang siswa
yang mengalami gangguan pendengaran tersebut. Berdasarkan sisi telinga yang
terkena, sebanyak 36 siswa SMK mengalami ketulian unilateral dan 47 siswa
SMK mengalami ketulian bilateral dan hanya 37 orang atau 30,8% mempunyai
pendengaran normal pada kedua sisi telinga.
Beberapa penelitian telah dilakukan terhadap siswa SMK jurusan tertentu
yang beresiko mengalami gangguan pendengaran akibat bising di tempat
prakteknya diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Tumundo S dkk.28
terhadap 20 siswa SMK Negeri 1 Tumpaan jurusan otomotif didapatkan 1 orang
yang mengalami gangguan pendengaran unilateral. 28 Raintung HF dkk.29
melakukan penelitian terhadap siswa SMK Negeri 2 Manado Jurusan Teknik
Konstruksi Batu Beton didapatkan hasil dari 20 siswa yang diperiksa sebanyak 4
orang siswa mengalami gangguan pendengaran. Sedangkan Feryadi dkk.30
melakukan penelitian terhadap 15 pekerja bengkel las di kelurahan Sepang Raya
Way Halim Bandara Lampung yang bekerja selama 1-3 tahun dengan intensitas
kebisingan 83,4 dB - 92,6 dB didapatkan sebanyak 11 orang mengalami gangguan
pendengaran dan hanya 4 orang yang mempunyai pendengaran normal.
VII. SIMPULAN
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang dilakukan pada siswa di 4
SMK jurusan otomotif yaitu SMK PGRI 6 Denpasar, SMK Saraswati 1 Tabanan,
SMK Negeri 1 Kuta Selatan, dan SMK Negeri 2 Manggis Karangasem dengan
20
tujuan untuk mengetahui tingkat kebisingan di tempat pelatihan bengkel dan hasil
pemeriksaan audiometri siswa SMK tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa pada SMK Negeri I Kuta
Selatan dan SMK PGRI 6 Denpasar, intensitas kebisingan mesin di tempat
pelatihan bengkelnya adalah lebih dari 91 dB, sedangkan di SMK Saraswati 1
Tabanan dan SMKN 2 Manggis Karangasem, sebagian besar mesin di tempat
pelatihan bengkelnya memiliki intensitas lebih dari 91 dB. Berdasarkan
pemeriksaan audiometri yang dilakukan terhadap 120 orang siswa SMK
didapatkan hasil yaitu siswa SMK yang mengalami gangguan pendengaran pada
telinga kanan sebanyak 68 orang dan telinga kiri sebanyak 62 orang, sebanyak 36
orang siswa mengalami gangguan pendengaran unilateral, 47 orang siswa
mengalami gangguan pendengaran bilateral dan 37 orang memiliki pendengaran
normal pada kedua sisi telinga. Pada hasil pemeriksaan audiometri tersebut
didapatkan gambaran takik akustik di frekuensi 4000 Hz pada 7 orang siswa.
VIII. SARAN
Penelitian mengenai gambaran hasil pemeriksaan audiometri skrining pada
siswa SMK jurusan otomotif dapat dilakukan secara berkelajutan dan sebaiknya
dilakukan pada seluruh siswa SMK jurusan otomotif yang ada di provinsi Bali.
Pemeriksaan audiometri dilakukan setelah pelatihan bengkel untuk menentukan
adanya temporary threshold shift pada siswa SMK tersebut serta dapat dilakukan
pemeriksaan terhadap hantaran udara dan hantaran tulang untuk dapat
menentukan jenis ketuliannya. Dengan pemahaman yang baik terhadap adanya
gangguan pendengaran akibat bising diharapkan siswa sekolah dapat melakukan
upaya pencegahan dengan menggunakan alat pelindung telinga secara lebih dini.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Dobie RA. Noise-Induced Hearing Loss. In : Bailey BJ, Johnson JT editors.
Head and Neck Surgery - Otolaryngology. 5th ed. Philadelphia : Lippincott
Williams and Wilkins; 2014.p. 2190-99.
2. Hong O, Kerr MJ, Poling GL, Dhar S. Understanding and Preventing Noise
Induced Hearing Loss. Disease-a-Month. 2013 ; 59 : 110-18.
3. Moller AR. Noise-Induced Hearing Loss. In : Moller AR editor. Hearing:
Anatomy, Physiology, and Disorders of The Auditory System 2 nd ed.
London : Elsevier ; 2006.p. 220-5.
4. Timmins P, Granger O. Occupational noise-induced hearing loss in
Australia: Overcoming barriers to effective noise control and hearing loss
prevention. Barton: Common wealth of Australia ; 2010.p. 12-86.
5. Meinke DK. School Based Hearing Screening Won’t Prevent Noise
Induced Hearing Loss. Arch Pediatr Adolesc Med. 2011; 165(12): 11351136
6. Alberti PW, Occupational Hearing Loss. In: Ballenger JJ, Snow JB,editors.
Ballenger,s Ohinolaryngology Head and Neck Surgery. 16th ed. Chicago :
BC Decker; 2003.p.357-60.
7. Sekhar DL, Rhoades JA, Longenecker ALet al. Improving Detection of
Adolescent Hearing Loss. JAMA. 2011; 165(12): 1094-1100.
8. Abel SM. Risk factors for the development of noise induce hearing loss in
Canadian Forces personnel. Toronto: DRDC Toronto ECR, 2004 ; h 11-25.
9. McBride D, Zhang Z. Purdy S. Williams W. Guideline for diagnosing
occupational noise Indiced hearing loss.In : Greville A, Gilbert J, Baber B,
editors. Assessment of occupational noise induced hearing loss for ACC.
The New Zealand Society of Otolaryngology, Head and Neck Surgery.
New Zealand : ACC ; 2011. P. 20-30
10. Kirchner DB, MD, Evenson CE, Dobie RA, Rabinowitz P, Crawford J,
Kopke R, Hudson TW. Occupational Noise-Induced Hearing Loss. JOEM .
2012 ; 54( 1 ) :106-8.
22
11. Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.
13/MEN/X/2011 Tahun 2011.
12. Soetjipto D. Program dan Gerakan Peningkatan Kesehatan Telinga.
Komnas PGPKT. Januari 2013.
13. Mills JH, Khariwala SS, Weber PC. Anatomy and Physiology of Hearing.
In : Bailey BJ, Johnson JT editors. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 4th ed. Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins;
2006.p. 2190-99.
14. Gacek RR, Gacek MR. Anatomy of The Auditory and Vestibular Systems.
In: Ballenger JJ, Snow JB,editors. Ballenger,s Ohinolaryngology Head and
Neck Surgery. 16th ed. Chicago : BC Decker; 2003.p.1-24.
15. Mathers C, Smith A, Concha M. Global Burden of hearing loss in the year
2000. Geneva: World Health Organization; 2000.p. 1-30
16. Shield B. Evaluation of the Social and Economi Costs of Hearing
Impairment. A report for hear it. 2006; 11- 20.
17. Espina C. Children and noise. WHO Training Package for The
Health Sector. World Health organization. Available from URL:
http://www.who.int/ceh.capacity.noise.pdf. Accessed on june 3, 2015.
18. Clark, J. G. Type, Degree, and Configuration of Hearing Loss. ASHA .
2011 ; 7976-16.
19. Anderson KL, Bown C, Cohen MR, Miller SD, Smiley DF, Gwinner D et
al. The charge of the Subcommittee on Childhood Hearing Screening was
to develop evidenceā€based recommendations for screening hearing of
children age 6 months through high school. American Academy of
Audiology Childhood Hearing Screening Guidelines. September 2011; 178.
20. Phillips SL, Henrich VC, Mace ST. Prevalence of noise-induced hearing
loss in student musicians. International Journal of Audiology. 2010 ; 4:
309-316.
23
21. Abel SM. Risk factors for the development of noise induce hearing loss in
Canadian Forces personnel. Toronto: DRDC Toronto ECR, 2004 ; p 11-25.
22. Ijaz S, Verbeek J, Toppila E, Kateman E, Rytkonen E, Dreschler W,
Ojajarvi A, Neuvonen K. A systematic review of predictors of noise
induced hearing loss. Helsinki : Finnish Institute of Occupational Health ;
2014.
23. Christensen K, Karam L, Douglas J, Walters J, Green M. Occupational
Noise- induced Hearing Loss. National Institute for Occupational Safety
and Health. 2009 ; 1-10.
24. Rabinowitz PM. The Public Health Significance of Noise-Induced Hearing
Loss. In : Lee Prell CG, Henderson d, Fay RR. popper AN editors. NoiseInduced Hearing Loss : Scientific Advances, New Haven : Springer, 2012;
p. 1-14.
25. Suskovic D. Noise Induced Hearing Loss. Acoustical Society of Croatia.
2012 ; 1-5.
26. David N, Nina AC, Nwamaka EI , Opeyemi AA. Library Sound Level
Meter.
Journal
of
Electronics
and
Communication
Engineering
Research.2013 ; 1: 1 20-29.
27. Feidihal. Tingkat Kebisingan dan Pengaruhnya Terhadap Mahasiswa di
Bengkel Tehnik Mesin Politeknik Negeri Padang. Jurnal Teknik Mesin.
2007 ; 4:1 1-11.
28. Tumundo S, Dehoop J, Mengku S. Kesehatan Telinga Siswa SMK Negeri 2
Manado dan SMK Negeri 1 Tumpaan. Jurnal e Clinic. 2014 ; 2:2 1-4.
29. Raintung HF. Mengko SK. Dehoop J. Pengaruh Paparan Bising Terhadap
Ambang Pendengaran Siswa SMK Negeri 2 Manado Jurusan Teknik
Konstruksi Batu Beton. Jurnal e-Clinic. 2014 ; 2:2 1-7
30. Feryadi H. Pengaruh paparan bising dengan fungsi pendengaran pada
pekerja bengkel las di kelurahan Sepang Raya Way Halim Bandar
Lampung. Medical Journal of Lampung University. 2013 ; 2 : 3 44-52.
24
25
Download