BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Era Globalisasi yang dipicu oleh perkembangan tekhnologi membawa dampak kemajuan dalam segala hal. Ilmu pengetahuan berkembang pesat pada segala dimensinya, Informasi menjalar dan merambah segi-segi kehidupan manusia hingga menembus ranahranah pribadi, jalur komunikasi pun melesat cepat mempersempit jarak. Dunia yang begitu luas terasa makin menciut, batas-batas sosial dan budaya menjadi kabur, transformasi kehidupan manusia pun mengalami percepatan-percepatan yang tak terprediksikan. Orang W D K U tidak perlu mengunjungi dan atau berinteraksi langsung dengan masyarakat dari belahan dunia yang lain untuk mengetahui perkembangan yang ada, atau mengetahui trend-trend yang sedang hangat dibicarakan (trending topic). Dengan duduk di belakang meja dan menghadapi layar komputer dengan akses internet yang canggih, orang dapat dengan cepat “menjelajah dunia” dan mempelajari ragam pengetahuan, gaya hidup maupun cara berpikir lintas budaya, lintas bangsa dan lintas keyakinan. Segala input yang masuk potensial memberikan pengaruh bagi gaya hidup dan cara berpikir seseorang. Pengaruh inipun dengan cepat menyebar luas menembus ragam komunitas dan menghasilkan perubahanperubahan yang memoles tata kehidupan manusia. Di tengah-tengah dunia yang serba © mudah berubah inilah Tuhan menempatkan gereja-Nya. Gelombang demi gelombang perubahan pun turut masuk dan mewarnai tata kelola dan nafas hidup bergereja. Tata ibadah mengalami pembaharuan, khotbah-khotbah dituntut mengikuti perkembangan zaman, disain-disain arsitektural mendapat sentuhan-sentuhan baru, demikian juga dengan penataan administrasi, organisasi hingga kepemimpinan gerejawi. Gereja di tempatkan Allah dalam dunia ini untuk menjadi garam dan terang bagi dunia (Matius 5:13-14). Hal ini membawa konsekuensi bahwa gereja tidak dapat memisahkan diri dari dunia, namun pada saat yang bersamaan gereja pun dituntut untuk mengembangkan sikap kritis dan memberi rasa pada dunia. Dalam doanya, Yesus pernah berkata “Aku tidak meminta, supaya Engkau mengambil mereka dari dunia, tetapi supaya Engkau melindungi mereka dari pada yang jahat” (Yohanes 17:15). Dalam perjalanan sejarah, gereja memang telah menunjukkan kemampuan untuk bertahan di tengah berbagai situasi yang mengitarinya. Sistem organisasi dan pola kepemimpinan tertata begitu rupa dan digunakan selama berabad-abad. Namun kenyataannya dunia belum berhenti berputar 1 dan perubahan masih terus terjadi. Masa depan merupakan terra incognita (wilayah yang belum dikenal dan sulit diperkirakan bentuknya)1, yang menawarkan ragam kemungkinan perubahan atas pola kehidupan, budaya maupun sistem sosial termasuk di dalamnya tatanan dan dinamika hidup bergereja. Fenomena global ini memaksa seluruh tatanan kehidupan untuk berani mengoreksi diri, mengambil kebijakan, dan membangun nilai-nilai yang mampu berdiri kokoh di tengah kisaran zaman. Tak terkecuali dengan gereja dan para pemimpinnya. Sebuah statemen di keluarkan oleh Paus Yohanes XXIII saat membuka Konsili Vatikan II, yaitu “aggiornamento”2, yang berarti bahwa gereja perlu membuka diri, membaharui diri dan menyesuaikan dengan situasi terkini. Sebaik-baiknya gereja di masa W D K U lalu dalam menata sistem bergereja dan pola kepemimpinan, perubahan yang ada menuntut gereja untuk berani membuka diri, mengadakan pembaharuan-pembaharuan dengan kreatif dan menyesuaikan diri secara kontekstual dengan situasi serta tuntutan yang ada agar gereja tidak tertinggal atau ditinggalkan oleh anggota-anggotanya. Apabila gereja berhenti dan berpuas diri, maka statemen yang dimunculkan Eddie Gibbs menjadi sebuah peringatan : “Gereja-gereja yang gagal membaca dan menafsirkan tanda-tanda zaman beresiko menghadapi masa depan yang suram”3. Ketika gelombang perubahan zaman menarik gereja dalam arus perubahan, maka © tak pelak pemimpin pun menghadapi tantangan sekaligus tuntutan untuk mengalami pembaharuan. Bahkan jauh sebelum pergeseran dan ragam perubahan menjamah gereja, teks Alkitab telah menunjukkan data-data sahih tentang kemungkinan perubahan dalam pola kepemimpinan, misalnya dalam model kepemimpinan Musa. Paradigma baru dalam kepemimpinan Musa yang mengalami pergeseran dari model kepemimpinan “strong and powerfull leadership” kepada “sharing leadership” merupakan tonggak penting bagi para pemimpin untuk melihat fleksibilitas dalam kepemimpinan. Perubahan ini menghembuskan nafas segar dalam dunia yang berbudaya paternalistik, bahkan menjadi model penting dalam diskusi dan pemikiran mengenai perkembangan kepemimpinan di era modern ini. Kepemimpinan merupakan bagian yang penting dalam kehidupan manusia dan 1 2 3 Benny Salindeho, “Mengelola Perubahan di Era Reformasi”, dalam STT Jakarta, Kepemimpinan Kristiani: Spiritualitas, Etika, dan Tekhnik-tekhnik kepemimpinan dalam Era Penuh Perubahan, (Jakarta: Penerbit Sekolah Tinggi Teologia, 2001), h.44 http://vatican2voice.org/3butlerwrites/aggiorna.htm, secara etimologi berarti “A bringing up to date” Eddie Gibbs, Kepemimpinan Gereja Masa Mendatang: Membentuk dan Memperbarui Kepemimpinan yang Mampu Bertahan dalam Zaman yang Berubah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), h. 3 2 tak terpisahkan, sehingga – tidak mungkin tidak – Alkitab tidak bisa bungkam mengenai masalah yang satu ini4. Namun Alkitab tidak pernah menawarkan satu model kepemimpinan yang ready for use dalam segala konteks zaman. Alkitab hanya memberikan prinsip-prinsip, pola-pola atau model-model kepemimpinan yang masih membutuhkan daya kreatif dan inovatif untuk mereaktualisasikannya dalam situasi yang kongkret. Sehingga perubahan-perubahan dalam situasi kongkret yang menyekitari para pemimpin gereja menjadi dorongan dan alasan utama bagi para pemimpin untuk mengembangkan daya kreatifnya agar kepemimpinannya tetap up to date serta mampu menjawab kebutuhan zaman dan jemaat seiring perubahan yang ada. Namun tidak semua pemimpin gereja tanggap terhadap tuntutan ini. Krisis W D K U kepemimpinan seringkali terjadi bukan semata-mata karena ketidakmampuan para pemimpin mengalami perubahan dan pembaharuan, melainkan karena ketidakmauan dan ketakutan untuk keluar dari zona kenyamanan. Baik kenyamanan atas situasi/sistem yang stabil dan terprediksi, maupun kenyamanan atas kekuasaan yang melekat pada pola kepemimpinan lama sebagai pusat segalanya. Perubahan memang berarti gejolak, dan gejolak seringkali tampil dalam wajah ketidakpastian. Hal inilah yang melahirkan keraguan dan ketakutan untuk melangkah. Kestabilan bahkan stagnasi menjadi pilihan karena minim resiko dibandingkan perubahan, sekalipun hal ini dapat berdampak “kematian” / krisis pada diri pemimpin. Myron Rush mengingatkan bahwa krisis © kepemimpinan seperti ini akan berdampak bagi krisis pengikut, dan krisis pengikut akan berdampak bagi kepemimpinan masa depan5 Krisis pada diri pemimpin gereja nampak dalam berbagai bentuk. Misalnya ketiadaan sukacita dalam pelayanan, terjebak dalam rutinitas tanpa ujung pangkal, membeku dalam belenggu kelelahan tanpa akhir, kemalasan mengembangkan kreatifitas, hilangnya kekuatan otoritas/pengaruh untuk mengatasi persoalan, pudarnya hasrat memelihara spiritualitas pribadi, terkontaminasi oleh kepahitan/kekecewaan yang berdampak stress dan mudah curiga dengan rekan pelayanan atau jemaat. Akibatnya kalau tidak angkat kaki meninggalkan pelayanan, seorang pemimpin akan meringkuk tanpa daya “seperti landak tanpa duri”6 hingga emiritus organisasi maupun “emiritus alami” datang menjemput. 4 5 6 Eka Darmaputera, “Kepemimpinan: Perspektif Alkitab” dalam STT Jakarta, Kepemimpinan Kristiani: Spiritualitas, Etika, dan Tekhnik-Tekhnik Kepemimpinan dalam Era Penuh Perubahan, (Jakarta: Penerbit Sekolah Tinggi Teologia, 2001), h.2 Myron D.Rush, Pemimpin Baru, (Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil Immanuel, 1993) h.7 Eddie Gibbs, Kepemimpinan Gereja Masa Mendatang, h.17 3 Menyitir balik apa yang dikatakan oleh Bill Hybels bahwa “Vitalitas gereja yang berjuang terletak pada pemimpinnya”7 maka jelas bahwa peran pemimpin gereja sangat mempengaruhi dinamika kehidupan bergereja. Ketika pemimpin gereja hanya melakukan aktivitas rutin namun tidak ada gairah kehidupan atau tidak menghasilkan perubahan maka gereja pun akan mengalami “zombification” dan “pengerdilan”8, yaitu suatu keadaan yang nampaknya hidup namun sebenarnya mati, atau nampaknya bertumbuh namun tidak berbuah. Menurut Eka Darmaputera, itulah masa ketika gereja terjebak dalam stagnasi, yaitu ketika gereja berjalan di tempat, berputar-putar dan tertimbun dalam “rutinisme, formalisme dan verbalisme”9 sehingga kehilangan fungsi positif, kritis dan realistis dalam perkembangan masyarakat10. Dengan makna senada, Hadiwitanto mengutip statemen John Cobb yang menyebut kondisi semacam ini sebagai “kesuaman” (lukewarmness), yaitu W D K U ketika pemimpin gereja tidak lagi mengembangkan teologi, dan ini menyebabkan gereja gagal menjawab berbagai perubahan dan melakukan misinya di dalam dunia11. Hal ini – mau tidak mau – terkait dengan peran pemimpinnya, karena pemimpin yang baik menjadi syarat mutlak bagi pertumbuhan, kestabilan dan kemajuan kelompok apapun 12. Tanpa pemimpin yang baik, gereja akan sulit bertumbuh atau berkembang. Kalaupun bergerak, geraknya pun sekedar maju mundur, ke sana kemari dan tanpa arah13. Kenyataan ini seharusnya mendorong para pemimpin gereja untuk berani mendefinisikan ulang model kepemimpinan mereka sekaligus menantang para pemimpin © untuk menata ulang bentuk, metode dan gaya kepemimpinannya. Keberanian ini akan menjadi sebuah ancangan revolusioner yang mendobrak pola kemapanan sekaligus membuka peluang memasuki ranah baru model kepemimpinan yang lebih terbuka terhadap perubahan dan pengubahan. “Di balik setiap pelayanan yang berhasil/berjaya selalu ada pemimpin yang berani dan berorientasi melayani” 14 Demikian dikatakan oleh Bill Hybels, seorang pemimpin yang telah berpengalaman memimpin lebih dari 30 tahun pada Willow Creek Community Church di Amerika Utara 7 Bill Hybels, Kepemimpinan Yang Berani, (Batam: Gospel Press, 2004), h. 26 Kenneth Cloke dan Joan Goldsmith dalam Eddie Gibbs, Kepemimpinan Gereja Masa Mendatang, h. 16 9 Eka Darmaputera, Kepemimpinan dalam Perspektif Alkitab, (Yogyakarta: Kairos Books, 2005), h.32 10 Eka Darmaputera, “Pertumbuhan Gereja dan Konteks Kontemporer Indonesia” dalam Makalah Seminar Pertumbuhan Gereja (Jakarta: Panitia SPG, 1989), h.54 11 Handi Hadiwitanto, “Teologi Praktis-Empiris, Pembangunan Jemaat dan Relevansi Pemikiran Pdt.Prof.E.Gerrit Singgih, Ph.D”, dalam Victorius A.Hamel dkk, Sang Guru dari Labuang Baji, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), h.125 12 Eka Darmaputera, “Kepemimpinan: Perspektif Alkitab”, h.1 13 Ibid 14 Bill Hybels, Kepemimpinan Yang Berani, h. 27 8 4 dan berhasil mengembangkan jemaat tersebut dari “segelintir orang menjadi kekuatan Kerajaan Allah yang tersebar di seluruh dunia”. Keberanian seorang pemimpin bukan hanya ketika menghadapi tantangan dan resiko perubahan, melainkan juga keberanian untuk keluar dari zona nyaman, memahami realita dengan jujur dan membangun kesadaran diri yang kuat terhadap peran kepemimpinannya. Keberanian dan kejujuran tersebut merupakan tanggung jawab mendasar yang harus dimiliki seorang pemimpin untuk dapat menjalankan peran kepemimpinannya dengan benar. Namun sayangnya model kepemimpinan gereja di Indonesia masih menunjukkan pola-pola yang perlu dikaji ulang karena tidak berdampak positif bagi pembangunan jemaat. Beberapa fenomena persoalan yang menggambarkan situasi kepemimpinan gereja W D K U di Indonesia antara lain : 1. Orientasi nilai budaya Indonesia yang tertuju vertikal ke atas15 menyebabkan kepemimpinan cenderung berpola hierarkis. Menurut teori elite kekuasaan Suzanne Keller sebagaimana dikutip oleh Budiarjo, seorang pemimpin hierarkis berada di puncak piramida kekuasaan16. Karena posisi ini, maka model kepemimpinan yang dijalankan pun cenderung berdasarkan kekuasaan dan otoritas, baik dilakukan dengan cara force/tekanan maupun persuasi. Pola ini akhirnya menempatkan pemimpin sebagai “pusat segalanya”. Jaringan kerja pada pola kepemimpinan hierarki lebih bersifat formal daripada sebagai tim kerja, karena yang terjadi lebih © banyak kepemimpinan tunggal sementara anggota tim hanyalah pelaksana. Kepemimpinan seperti ini rentan bagi munculnya penyakit “narsisisme” sebagai konsekuensi alami kedudukannya17. Pada dirinya akan muncul keyakinan bahwa hanya dia saja yang dapat mengambil keputusan dan didukung oleh semua orang. Bahkan dalam keyakinan akan otoritas kepemimpinannya, ia sangat meyakini bahwa hanya keputusannya yang paling benar dan tepat. Pemimpin seperti ini akan sulit bekerja dalam sebuah “team work”, karena ia tidak dapat melihat kebenaran yang dimungkinkan muncul dari pendapat yang berbeda dan juga akan sulit melihat adanya potensi pada jemaat. Apabila dalam satu gereja terdapat lebih dari satu pemimpin maka pola hierarki akan memperkuat persaingan. Menurut Nouwen, hal ini disebabkan karena godaan menjadi populer, hebat dan berkuasa merupakan 15 Koentjoroningrat, “Kepemimpinan dan Kekuasaan : Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi”, dalam Budiardjo, Miriam (ed), Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa (Jakarta: Sinar Harapan, 1984) h.142 16 Miriam Budiardjo, “Konsep Kekuasaan : Tinjauan Kepustakaan”, dalam Ibid, h.22-23 17 Brian P.Hall, Panggilan Akan Pelayanan : Citra Pemimpin Jemaat, (Yogyakarta: Practical Theology Project Universitas Kristen Duta Wacana dan Yogyakarta: Penerbit Kanisius ; Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992) h.57 5 salah satu godaan berat bagi para pemimpin18. Godaan ini paling erat melekat pada model kepemimpinan yang dibangun di atas kekuasaan, jabatan dan otoritas. Kepemimpinan seperti ini menimbulkan persoalan bagi sang pemimpin sendiri maupun bagi gereja yang dipimpinnya. Pemimpin yang menanggung beban sendirian akan mengalami kelelahan, keputusasaan dan kekeringan spiritualitas19. Dengan jujur, Nolan mengatakan : “Kita saling membutuhkan. Tidak ada jenis spiritualitas yang sempurna yang dapat saya peroleh tanpa bantuan orang lain. Jika sungguh tidak ada orang yang membantu saya, tidak ada seorangpun untuk berbagi maka perkembangan saya akan berhenti”20. Sehebat apa pun seorang pemimpin, ia tidak akan sanggup menanggung segala hal W D K U sendirian. Ia membutuhkan orang-orang yang turut memikul beban bersamanya, saling berbagi dan menguatkan serta terlibat dalam jaringan kepemimpinan yang saling melengkapi. Menarik untuk dipertimbangkan apa yang dikatakan Peter Wiwcharruck yang dikutip oleh Eka Darmaputera, yaitu : “Bila sebuah jemaat terkondisi untuk menerima tradisi bahwa seluruh wewenang dan tanggungjawab itu semata-mata ada di tangan pendeta atau hanya di tangan satu kelompok eksklusif di lapisan puncak, maka hampir dipastikan akan terjadi ini : 80 % warga jemaat, lambat atau cepat, akan mengalami situasi spiritual yang suam, pasif dan apatis. 10 % menanggapinya dengan positif; sedangkan 10 % sisanya akan mengabaikan sama sekali kepemimpinan yang ada. Mereka akan mencari jalan mereka sendiri. Tidak jarang mereka tersesat dan menemui kesulitan serius “di tengah jalan” 21. © Terlepas dari kebenaran terhadap angka prosentase yang disebutkan, memang sangat dimungkinkan hal ini terjadi, karena ketergantungan pada kepemimpinan terpusat akan melemahkan kreatifitas dan mematikan daya juang jemaat, terlebih di era yang penuh godaan, tawaran dan perubahan seperti sekarang ini. Bahkan tidak mustahil hal ini akan melemahkan gereja di masa depan. Perkembangan ilmu pengetahuan – khususnya tekhnologi informasi – membuka kesadaran adanya banyak area yang tidak terjangkau oleh satu orang atau 18 Henri J.M.Nouwen, Dalam Nama Yesus: Permenungan tentang Kepemimpinan Kristiani, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h.17-19 19 Flora Slosson Wuellner, Gembalakanlah Gembala-Gembala-Ku, Penyembuhan dan Pembaruan Spiritual bagi Para Pemimpin Kristen, (Jakarta : Gunung Mulia, 2012) h.16 20 Albert Nolan, Jesus Today : Spiritualitas Kebebasan Radikal, (Yogyakarta: Kanisius, 2009) h.247 21 Eka Darmaputera, Kepemimpinan dalam Perspektif Alkitab, h. 32 6 sekelompok orang tertentu. Pemimpin tidak akan mampu menjangkau semuanya, ia harus membangkitkan partisipasi dan potensi jemaat. Menanggapi perkembangan zaman di abad XXI ini, Jimmy Oentoro mengatakan : “Kepemimpinan Kristen seharusnya bersifat demokratis, yang terwujud melalui penggalangan sinergi dan membangun suasana share leadership, yaitu kepemimpinan yang dengan penuh kepercayaan membagikan kekuasaan, keputusan bahkan pengikut”22. 2. Pada umumnya para pemimpin gereja memasuki pelayanannya pada sebuah gereja yang telah terstruktur begitu rupa dengan sistem yang sudah jelas dan terpelihara bertahun-tahun lamanya. Kehadirannya dalam lingkup komunitas gereja tersebut W D K U adalah sebagai pendatang yang diundang/ditugaskan untuk dijadikan sebagai pemimpin di wilayah baru tersebut. Itulah sebabnya muncul masa orientasi/penjajagan/magang yang intinya merupakan tahap pengenalan dan adaptasi, baik dari pihak yang dipimpin terhadap (calon) pemimpinnya maupun dari (calon) pemimpin terhadap konteks jemaat yang dipimpinnya. Persoalan yang muncul pada diri pemimpin dalam situasi ini adalah upaya penyesuaian diri terhadap apa yang sudah ada dan berlaku. Keberhasilan ditentukan oleh kemampuannya menjadi “sama/sesuai” dengan warna, kebiasaan dan dinamika yang ada. Akibatnya seorang pemimpin dapat dengan mudah terjebak © dalam lingkaran status quo dan mengalir bersama arus yang sudah terpola tanpa ada daya maupun hasrat untuk melakukan perubahan. Gereja pun akhirnya berjalan stagnan, mengalir begitu saja dari waktu ke waktu tanpa ada perkembangan atau perubahan yang berarti sekalipun berulang kali terjadi pergantian kepemimpinan. Orang pun terbangun dengan mental models “biasanya begini, dari dulu juga sudah begitu” yang prinsipnya merupakan penolakan atas perubahan. Kepemimpinan yang ada cenderung melanjutkan apa yang ada dan sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya, seolah-olah apa yang lama dan stabil selalu diartikan baik dan tepat. Padahal belum tentu demikian, karena zaman sudah berubah begitu rupa. Kreatifitas pemimpin pun akan “terberangus” karena dalam kreatifitas senantiasa tersimpan kemungkinan perubahan, sementara di balik perubahan tersimpan kemungkinan pertentangan, dan dibalik pertentangan senantiasa terbuka 22 Jimmy Oentoro, Pemimpin Rohani Abad XXI, Kepemimpinan dan pembinaan Warga Gereja, (Jakarta: Yayasan Wahana Dharma Nusa, 1998), h.210 7 kemungkinan penolakan (baca : pemecatan). Pemimpin tidak lagi memiliki fungsi kritis kepemimpinan sebagai “pengendali, penggerak, pendorong dan pengubah”23, melainkan pemimpin yang “dikendalikan, digerakkan, didorong dan diubah” oleh lingkungan/komunitas yang dipimpinnya. Padahal seorang pemimpin pada prinsipnya adalah mereka yang membuat sesuatu terjadi, They make things happen24, artinya pada diri seorang pemimpin seharusnya terdapat kapasitas dan otoritas untuk melakukan sesuatu, termasuk perubahan-perubahan. Fenomena ini menunjukkan bahwa gereja membutuhkan model kepemimpinan yang kritis, berani membuat keputusan/perubahan yang tepat dan bijaksana bagi kebaikan komunitas sekaligus berani mengambil resiko dan W D K U menanggungnya. Dalam orasi ilmiah di hadapan para winisuda program pasca sarjana STT INTI – Bandung pada tgl. 18 Agustus 2009 di bawah tajuk “Kepemimpinan Transformatif”, Frans Magnis Suseno menyatakan : ” Seorang pemimpin transformatif harus mempunyai keberanian. Masyarakat memerlukan pimpinan karena mereka berhadapan dengan tantangan, ancaman dan masalah. Tantangan, ancaman dan masalah hanya bisa diatasi dengan keberanian. Karenanya, seorang pemimpin harus memperlihatkan bahwa ia orang yang berani mengambil keputusan yang berat, berani memilih kebijakan yang tidak populer jika diperlukan, dan berani mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang tidak populer tersebut kepada mereka yang dipimpinnya”25. © 3. Percepatan dunia yang diakibatkan ledakan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, khususnya komunikasi dan informasi menghembuskan perubahan yang cepat dan radikal dalam berbagai aspek yang berdampak pada transformasi yang luas dalam peta kehidupan manusia. Pemimpin gereja tidak jarang berada dalam kebingungan arah. Imbas dari kebingungan ini bukan hanya merusak konsepsi jati diri, ajaran, moral, etika dan pelayanan, namun juga membawa jemaat dalam keadaan bertanya dan mencari, sehingga tidak jarang mereka terjebak ke dalam “jalan yang disangka lurus tetapi ujung-ujungnya menuju maut” (Ams 14:12). Ketika menghadapi perubahan dan kebingungan seperti ini, orang akan cenderung berpaling kepada pemimpinnya yang dianggap lebih mampu membaca dan mengetahui masalah, dan memiliki kemampuan untuk menunjukkan jalan yang 23 Eka Darmaputera, Kepemimpinan dalam Perspektif Alkitab, h.15 Eka Darmaputera, Kepemimpinan dalam Perspektif Alkitab, h.13 25 Frans Magnis Suseno, “Kepemimpinan Transformatif”, dalam http://sttinti.ac.id/welcome/95-artikel1/126transformatif.html , di unduh pada tgl. 24/4/2015 24 8 harus ditempuh26 . Mereka menginginkan arahan, kepercayaan dan meletakkan harapan pada para pemimpin. Yaitu pemimpin yang mampu memberikan solusi, memunculkan visi yang jauh melebihi masa kini, menyodorkan skenario alternatif yang dapat mengatasi ancaman dan memberdayakan orang-orang yang dipimpinnya untuk sigap dan tanggap dalam menghadapi perubahan. Eka Darmaputera menegaskan bahwa : “Kualitas kepemimpinan seorang pemimpin ditentukan oleh kepekaan serta kemampuannya untuk melakukan apa yang tepat, pada saat yang tepat, dengan cara yang tepat”27. Ini berarti para pemimpin gereja perlu bersikap lebih proaktif daripada reaktif, mampu berpikir action-oriented, kritis dan positif serta memiliki ketrampilan nyata W D K U dalam kepemimpinan yang membuat dirinya dapat dipercaya dan dapat menjadi tumpuan harapan jemaat. Namun celakanya banyak pemimpin gereja pada masa kini yang tidak cukup bertumbuh dalam hikmat dan pengetahuan dalam memimpin jemaat. Tidak jarang dijumpai pemimpin yang justru ikut terjebak dalam kebingungankebingungan yang sama, sehingga mungkinkah “orang buta menuntun orang buta”? (Mat 15:14). Hybells menyerukan bahwa : “Gereja setempat adalah harapan dunia dan masa depannya terletak di tangan para pemimpinnya”28. © Hal itu berarti seorang pemimpin harus memiliki sikap, nilai-nilai, visi dan hikmat yang memampukannya menjawab pergolakan yang ada sekaligus menjadi sumber inspirasi bagi jemaat. Seorang pemimpin memang bukan “kamus” yang bisa menjawab segala pertanyaan, pergumulan dan kebingungan jemaat. Namun seorang pemimpin harus menyadari dirinya sebagai pembelajar yang dituntut untuk terus mengembangkan diri, potensi, ketrampilan dan tidak cukup puas/berhenti dengan apa yang dimiliki. 4. Persoalan dan tantangan lain yang dijumpai dalam kepemimpinan gereja masa kini juga nampak dari fakta teralienasinya kaum awam dalam gelanggang pelayanan. Meskipun gereja memiliki banyak anggota dan berlimpah sumber daya manusia (SDM) namun kerapkali dijumpai barisan “pengangguran kaum awam” yang mengindikasikan bahwa gereja kurang memberikan perhatian serius bagi 26 Benny Salindeho, “Mengelola Perubahan di Era Reformasi”, h.44 Eka Darmaputera, Kepemimpinan dalam Perspektif Alkitab, h.17 28 Bill Hybels, Kepemimpinan Yang Berani, h.28 27 9 pemberdayaan jemaat atau kurang melibatkan jemaat secara aktif. Kepemimpinan masih berkutat pada orang-orang yang sama dalam kurun waktu yang lama. Regenerasi kepemimpinan berada pada titik terendah. Jemaat menjadi penonton daripada pemain, pasif daripada aktif, pengikut daripada pemimpin. Akibatnya tingkat mobilitas gereja menjadi kecil, lemah dan stagnan. Demokratisasi sebagai wajah dari kebangkitan kaum awam sebenarnya akan menjadi kekuatan luar biasa jika gereja mampu membangun sinergi yang memadukan semua kekuatan dan potensi jemaat. Tetapi demokratisasi juga berpotensi memunculkan iritasi dan friksi jika tidak diimbangi dengan pemberdayaan yang memadai. Di sinilah kepemimpinan ditantang untuk mampu W D K U merangkul dan membekali jemaat dengan pendidikan/pengajaran yang seimbang antara aspek kognitif, afektif dan aktif dalam gerak pertumbuhan dan pelayanan. Dengan demikian jemaat akan menyadari dirinya sebagai bagian dari komunitas yang berharga dan dapat berkontribusi di dalamnya. Gereja memerlukan perubahan paradigma dalam hal kepemimpinan. Bukan sekedar pemimpin yang menempati posisi/status formal, melainkan sebuah model kepemimpinan yang mampu menembus dan merangkul seluruh lapisan komunitas, sekaligus dapat menjawab kebutuhan masa kini dan berwawasan ke masa depan (visioner). © Dalam wacana kepemimpinan modern, konsep-konsep kepemimpinan yang mengandalkan tangan besi dan kekerasan telah semakin ditinggalkan29, demikian juga dengan model kepemimpinan tunggal maupun “strong and powerful leadership”. Teori-teori kepemimpinan pada masa kini telah mengalami perkembangan begitu rupa sehingga semakin memberikan ruang dan kesempatan bagi model-model kepemimpinan yang hangat, bersahabat dan memberikan dorongan (encouraging), menghargai pentingnya apresiasi dan penyataan perasaan (expressing feeling), mendamaikan konflik dan perbedaan (harmonizing), bersedia mengalah dan mengubah diri terhadap pendapat orang yang dipimpin (compromising), memperlancar keikutsertaan anggota (gatekeeping)30 hingga model kepemimpinan yang berbagi, memberdayakan, melengkapi, menggerakkan dan mengubahkan (transformational). Hal ini dibutuhkan bagi kepemimpinan dalam organisasi-organisasi, tak terkecuali dalam kepemimpinan gereja. 29 30 Andreas Harefa, “Visi dan Misi Kepemimpinan Kristen” dalam STT Jakarta, Kepemimpinan Kristiani, h.35 Charles J.Keating, Kepemimpinan: Teori dan Pengembangannya, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1986) h.10 10 Bagi Ted W.Engstrom, karakteristik seorang pemimpin memang seharusnya merujuk pada kemampuan untuk membuat sesuatu terjadi, bertindak untuk membantu orang lain dalam lingkup pengaruhnya, sehingga lewat dorongan dan stimulasi, orang lain ditolong untuk merealisasikan potensinya secara penuh sehingga dapat memberikan kontribusi maksimal31. Di sini nampak adanya korelasi erat antara perubahan (transformational) dengan pemberdayaan (empowering/energizing). Kedua hal tersebut pada prinsipnya merupakan menjadi ide dasar dari model kepemimpinan transformatif32. Perubahan yang dimaksudkan di sini berbeda dengan perubahan yang disebabkan karena force/tekanan melainkan perubahan yang muncul dari dalam diri jemaat karena termotivasi dan terinspirasi dari pemimpinnya. Di dalamnya tidak ada paksaan, melainkan W D K U kesukarelaan bahkan tidak jarang tanpa disadari oleh yang bersangkutan karena terlahir dari kesadaran, pergumulan dan harapan bersama. Kepemimpinan ini tidak leader-oriented melainkan follower-oriented, tidak otoriter melainkan kooperatif. Visi pemimpin tidak lagi menjadi visi tunggal melainkan menjadi visi bersama (common vision) dan pekerjaan kepemimpinan tidak lagi menjadi beban tunggal di bahu pemimpin melainkan berada dalam jalinan kerja untuk mencapai tujuan bersama. Jemaat tidak lagi menjadi penonton melainkan sebagai pemain yang partisipatif dan turut bertanggung jawab bagi dinamika struktural dan tumbuh kembang gereja. Pada kenyataannya, jemaat akan mampu menaruh apresiasi terhadap efektifitas pelayanan ketika pemimpin gereja mampu membawa transformasi positif yang melibatkan jemaat33. Transformasi ini pada gilirannya akan © menghasilkan perubahan yang menghasilkan regenerasi dan kualifikasi kepemimpinan yang memadai bagi pelayanan dan pembangunan jemaat. Dalam kehidupan bergereja di GKMI, penyusun melihat bahwa topik kepemimpinan merupakan hal yang serius digumulkan, bukan hanya bagi gereja-gereja pada umumnya, namun juga di lingkungan GKMI. Pengembangan dan peningkatan kualitas pemimpin gereja merupakan agenda penting. Misalnya dalam konven pendeta dan penyusunan Pernyataan Iman Bersama (PIB) pada tanggal 16 Juni 2015 di Jepara, Sinode GKMI mengangkat topik kepemimpinan yang dilanjutkan pembahasannya di lingkungan gereja-gereja lokal maupun wilayah. Demikian juga dengan dimunculkannya langkah-langkah spesifik terkait dengan penjaringan, pembekalan dan evaluasi/ujian 31 Ted W.Engstrom, The Making of Christian Leader (Michigan, Zondervan Publishing House,1999), h.20 Jerry C. Wofford, Kepemimpinan Kristen yang Mengubahkan, (Yogyakarta: Penerbit Andi,2001) h.9 ; bdk Eka Darmaputera, “Kepemimpinan: Perspektif Alkitab”, h.14. 33 Agus Lay , Kepemimpinan yang Efektif di Tengah-Tengah Tantangan dan Peluang Abad 21, (Kudus: Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia, 1997) h.2 32 11 peremptoar bagi para calon pemimpin gereja. Hal tersebut menunjukkan bahwa topik kepemimpinan menjadi urgensitas ketika gereja berpikir ke arah pengembangan jemaat di masa depan. Keberadaan pemimpin diakui memiliki peranan besar yang dapat membawa kemajuan atau sebaliknya, dapat menyebabkan gereja mengalami stagnasi, kemunduran bahkan rentan dengan persoalan-persoalan tak terselesaikan. Bahkan dapat yang berujung pada perpecahan gereja. Secara faktual, GKMI Ebenhaezer merupakan salah satu gereja yang terbentuk akibat perpecahan terkait konflik internal. Sekalipun ada banyak faktor terkait di dalamnya, namun peranan pemimpin dan para pengambil keputusan merupakan bagian yang tidak terpisahkan atas tragedi tersebut. Sebagai bagian dari GKMI dan selaku pemimpin jemaat GKMI Ebenhaezer, pergumulan tersebut menjadi salah satu pendorong W D K U bagi penyusun untuk berupaya menggali, menemukan dan mengembangkan model kepemimpinan yang dapat meningkatkan kualitas kepemimpinan gereja di lingkungan GKMI. Upaya ini merupakan bagian kecil dari pergumulan kepemimpinan gereja dalam pengertian yang lebih luas, namun setidaknya melalui pemikiran-pemikiran dalam tesis ini, penyusun dapat turut ambil bagian dan memberikan kontribusi bagi gereja di mana penyusun telah terhisab di dalamnya. Secara khusus, dalam konteks jemaat GKMI Ebenhaezer, hal kepemimpinan gereja merupakan sebuah harapan dan pergumulan penting bagi gereja. Pertama, GKMI Ebenhaezer merupakan gereja yang masih muda – berusia 7 tahun pada tahun 2015 ini - © dan sedang bertumbuh menuju gereja yang dewasa. Dalam perjalanan pertumbuhan tersebut, sangat dibutuhkan adanya model kepemimpinan yang dapat menunjang arah pertumbuhan gereja. Kedua, sebagai gereja yang terbentuk akibat perpecahan, penyusun melihat adanya ketidakpuasan yang berimbas pada harapan terhadap model kepemimpinan gereja. Perpecahan menimbulkan kekecewaan dan ketidakpercayaan terhadap pemimpin gereja yang dianggap cenderung terpusat pada pribadi/kelompok tertentu, lebih menekankan otoritas kekuasaan daripada keperdulian pada aspirasi jemaat, serta kurang tanggap dan peka dalam menjawab krisis34. Hal ini memunculkan harapan adanya pemimpin yang berbeda dengan model kepemimpinan tersebut. Untuk itu dibutuhkan sebuah model kepemimpinan sebagaimana harapan jemaat, yaitu kepemimpinan yang berorientasi pada jemaat sekaligus memiliki kemampuan sebagai problem solver dalam krisis yang menggoyahkan jemaat. 34 Kesimpulan ini berdasarkan pada analisa sejarah, brainstorming dan hasil penelitian CSI (Conggregational Systems Inventory) sebagaimana tertuang dalam paper ekklesiologi-kontekstual yang telah dipertahankan penyusun dalam ujian peremptoar Sinode GKMI, November 2014, h.11, 17, 45 12 Model kepemimpinan transformatif merupakan model kepemimpinan yang memberikan penekanan kuat pada orientasi pada pengikut (follower-oriented), namun juga menekankan sisi keteladanan pemimpin sebagai sumber pengaruh yang melampaui kekuatan otoritas kekuasaan. Kepemimpinan yang juga memiliki orientasi kuat pada perubahan paradigma, sikap hidup dan pemberdayaan jemaat ini merupakan model kepemimpinan yang menarik untuk dikaji dan dikembangkan, baik dalam ranah kepemimpinan lokal maupun terkait pergumulan sinodal. Di dalamnya terdapat ruang yang besar bagi pembelajaran bahkan reframing dalam memandang kesalahan, luka maupun kegagalan untuk menemukan perspektif baru bagi pengembangan yang lebih baik. Bagi model kepemimpinan ini, menemukan hal-hal yang positif, realistis dan indah, dipandang W D K U lebih perlu daripada berorientasi pada masa lalu. Dan hal ini menjadi daya pendorong positif untuk mengarahkan gerak bersama yang berorientasi pada masa depan yang lebih baik 1.2. RUMUSAN MASALAH. Apabila paparan dan harapan tersebut ditarik ke dalam konteks GKMI Ebenhaezer maka rumusan masalah yang menjadi acuan penelitian tesis ini berporos pada pertanyaan mengenai bagaimanakah sebuah model kepemimpinan transformatif dapat dimengerti dan diterapkan sebagai model kepemimpinan gereja di GKMI Ebenhaezer. © Rumusan masalah tersebut mengerucut dalam beberapa pertanyaan penelitian, yaitu : 1. Apa pengertian yang sesungguhnya dari model kepemimpinan transformatif ? Pertanyaan ini mengarah pada upaya pencarian jawaban terhadap model kepemimpinan transformatif secara teoritis-konseptual beserta aspek-aspek yang terkait di dalamnya. Baik terhadap metode kepemimpinan yang dijalankan maupun komponen -komponen atau variabel utama yang dibutuhkan oleh pemimpinnya. 2. Bagaimanakah pemahaman dan pengharapan (idealisme) jemaat terhadap model kepemimpinan gereja yang tepat ? Pertanyaan ini mengarah pada penggalian empiris terhadap konsep kepemimpinan ideal yang dipahami dan diharapkan jemaat, serta menemukan titik singgungnya dengan konsep kepemimpinan transformatif. Jawaban atas pertanyaan ini akan menjadi salah satu skala ukur untuk mengkaji apakah kepemimpinan transformatif mampu menjawab idealisme jemaat sekaligus sebagai batu pijak yang 13 melahirkan action point bagi langkah konstruktif berkesinambungan menuju ke model kepemimpinan transformatif yang tepat guna bagi gereja. 3. Seberapa jauh model kepemimpinan transformatif ini dapat diejawantahkan bagi kepemimpinan gereja di GKMI Ebenhaezer ? Esensi dari pertanyaan ini pertama-tama adalah menemukan dasar teologis melalui kajian biblika yang diperjumpakan dengan teoritis-konseptual kepemimpinan transformatif dan empiris-praktis idealisme jemaat. Kajian biblika akan menjadi batu uji dan titik acu bagi pengejawantahan model kepemimpinan transformatif sebagai model kepemimpinan gereja. Hal ini mengingat bahwa model kepemimpinan ini pertama-tama justru muncul dari dunia kepemimpinan dan W D K U literatur sekuler35, karena itu penerapan dalam konteks bergereja membutuhkan landasan teologis yang perlu digali melalui studi biblika sekaligus kesesuaian dengan konteks lokal kehidupan bergereja di GKMI Ebenhaezer. Jawaban atas pertanyaan ini selanjutnya akan menjadi kerangka model yang mengacu pada pengejawantahan kepemimpinan transformatif bagi GKMI Ebenhaezer. Mendarat tidaknya sebuah konsep sangat ditentukan oleh interaksi antara teks (pustaka dan biblika) dengan konteks36. Kerangka berpikir akademis-biblika-empiris dengan aksentuasi pada kepemimpinan ini pada gilirannya akan mewarnai teologia praktis pembangunan jemaat dan dinamika kehidupan bergereja di GKMI Ebenhaezer . © 1.3. TUJUAN PENELITIAN Tesis ini dibuat dengan tujuan : 1. Secara teoritis : Meneliti model kepemimpinan transformatif sebagai salah satu model kepemimpinan melalui kajian pustaka 2. Secara teologis : Menemukan dasar – dasar teologis melalui kajian biblika yang memungkinkan kepemimpinan transformatif menjadi model yang dapat diterapkan bagi kepemimpinan gereja. 3. Secara empiris : Meneliti dan mendapatkan sebuah deskripsi dan analisa terhadap pemikiran dan harapan jemaat GKMI Ebenhaezer mengenai kepemimpinan gereja yang ideal sesuai konteks lokal dan kebutuhan jemaat. 35 36 Jerry C. Wofford, Kepemimpinan Kristen yang Mengubahkan, h.7 Emanuel Gerrit Singgih, Berteologia dalam Konteks: Pemikiran-Pemikiran mengenai Kontekstualisasi Teologi di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius dan Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000) h.88 14 4. Secara praktis : Menghasilkan sebuah rekomendasi aksi bagi upaya penerapan model kepemimpinan transformatif di GKMI Ebenhaezer yang mengarah pada peningkatan kualitas kepemimpinan dan berdampak bagi upaya pembangunan jemaat. 5. Secara akademis : Untuk memenuhi salah satu syarat akademis guna mencapai gelar Magister Sains Teologi pada program Pascasarjana (S.2) Fakultas Teologia Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta prodi Master of Arts in Practical Theology (MAPT) 1.4. MANFAAT PENELITIAN 1. Dalam perkembangan teologia praktis (practical theology): Penelitian ini memberikan sumbangsih mengenai satu model kepemimpinan yang berguna bagi peningkatan W D K U kualitas kepemimpinan gereja. Kajian ini bukan hanya berbicara tentang teori dan model kepemimpinan, melainkan juga memberikan dasar-dasar teologis serta perealisasiannya dalam kepemimpinan gereja. 2. Dalam dimensi ekklesiologi: Penelitian ini bertujuan untuk memberikan sumbangsih yang berguna bagi pertumbuhan gereja yang sehat dan dinamis melalui model kepemimpinan transformatif37. Secara khusus, penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan pola kepemimpinan di GKMI (sinodal) maupun GKMI Ebenhaezer (lokal). 3. Bagi para pemimpin gereja: Penelitian ini sangat berguna bagi pengembangan diri © sebagai pemimpin-pemimpin yang menerima panggilan mulia dari Allah untuk “menggembalakan kawanan domba-Nya” (I Petrus 5:2-3). Melalui penelitian ini, para pemimpin gereja didorong untuk berani mengkritisi ulang model kepemimpinannya sekaligus menantang para pemimpin gereja untuk melakukan transformasi diri secara eksistensial terkait tanggung jawab dan peran kepemimpinannya di gereja. 4. Bagi penyusun: Penelitian ini akan memperluas wawasan penyusun mengenai kepemimpinan transformatif sebagai salah satu model kepemimpinan modern dalam lautan pengetahuan tentang kepemimpinan, sekaligus sebagai pendorong bagi manajemen pengembangan diri selaku pemimpin gereja. 1.5. PENJELASAN ISTILAH Tesis ini mengambil judul : “Kepemimpinan Transformatif bagi GKMI Ebenhaezer” dengan pemahaman dan batasan pengertian istilah sebagai berikut : a. Pemimpin 37 Peter C.Wagner, Gereja Saudara Dapat Bertumbuh, (Malang: Gandum Mas, 2003) h.31 bdk Roma 12:4-6 15 Kata pemimpin (leader) berasal dari kata kerja pimpin, dan merujuk pada orang/ personal/petunjuk/manual book yang berfungsi/menjalankan tugas/peran dalam memimpin, mengarahkan, membimbing, menuntun, memandu, mendidik, mengajari dan atau melatih 38. Dalam area gereja, dikenal adanya pemimpin klerus (klerk, clergyman) dan pemimpin awam (lay,layman). Pemimpin klerus merujuk pada pemimpin gereja full timer yang diangkat secara resmi dan memiliki latar belakang pendidikan teologia, misalnya tenaga orientasi, pendeta muda dan pendeta. Di lingkungan GKMI, pendeta muda dan pendeta juga memegang jabatan fungsional sebagai gembala jemaat. Sedangkan pemimpin awam adalah pemimpin yang berasal dari jemaat, tidak W D K U melengkapi diri secara profesional dengan pendidikan teologia, misalnya dalam kategori ini adalah para pengurus dan majelis gereja39. Istilah pemimpin dalam tesis ini menunjuk kepada pemimpin gereja dalam arti pemimpin klerus, yang disahkan otoritasnya melalui pengangkatan resmi di hadapan jemaat dan memiliki masa bakti dalam periode waktu tertentu. b. Kepemimpinan Kamus Besar Bahasa Indonesia40 menjelaskan istilah kepemimpinan sebagai perihal pemimpin atau cara memimpin. Menurut Mar‟at, Kata pemimpin baru tercatat dalam The Oxford English Dictionary pada tahun 1300, sedangkan istilah © kepemimpinan sebagai terjemahan resmi dari kata “leadership” belum muncul sebelum tahun 1800. Lebih lanjut Mar‟at mengatakan bahwa : “Sejauh ini belum ada penelitian khusus tentang kapan kata “pemimpin” dan “kepemimpinan” mulai digunakan dalam bahasa Indonesia” 41. Charles J.Keating, mengatakan bahwa kepemimpinan menunjuk pada fungsi seorang pemimpin yang mencakup dua area, yaitu hal menyelesaikan pekerjaan/ tugasnya sebagai pemimpin (task function) dan hal yang terkait dengan kelompok orang yang dipimpinnya (relationship function)42 38 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi III (Jakarta: Balai Pustaka, 2002) h.874. 39 David Sriyanto, “Peranan Klerus dan Awam”, dalam Eddy Paimoen & Soegiharto (ed), Bekerjalah Selama Siang: Buku Bunga rampai 75 tahun Gereja Kristen Muria Indonesia (Semarang: Panitia HUT ke-75 GKMI, 1994) h.21 40 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 874 41 Mar’at, Pemimpin dan Kepemimpinan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984) h.8 42 Charles J.Keating, Kepemimpinan: Teori dan Pengembangannya, h.9 16 Dari uraian tersebut, maka istilah kepemimpinan dalam tesis ini dipahami : a. Task function, yaitu cara seseorang menjalankan peran/fungsi/ pekerjaannya sebagai seorang pemimpin. Di dalamnya terkandung muatan metode, strategi, tujuan hingga kontrol/pengawasan menuju goal yang diharapkan. Sebuah tindakan/aksi yang aktif, bukan pasif. b. Relationship function, yaitu tanggung jawab pemimpin terkait interaksinya dengan komunitas yang dipimpinnya. Di dalamnya terkandung muatan tindakan dan perilaku untuk mewujudkan maupun menjaga interaksi. c. Kepemimpinan gereja (klerus) merujuk pada peran dan fungsi pemimpin terkait task function dan relationship function yang dijalankan di dalam W D K U lingkup gereja, yaitu sebagai pendeta atau gembala jemaat. c. Kepemimpinan Transformatif Kata transformatif termasuk kelas kata adjectiva yang menjelaskan nomina (kata benda) transformasi yang berarti perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi). KBBI menterjemahkan kata transformatif itu sendiri sebagai “bersifat berubah-ubah bentuk (rupa, macam, sifat, keadaan dsb)”43. Kata ini merupakan kata serapan dari bahasa Inggris “transform” . Dalam kata kerja transitip, kata ini menunjuk pada suatu tindakan aktif yang dengan sengaja dilakukan dengan tujuan mengubah atau merubah menjadi sesuatu (bentuk, sifat, fungsi) yang berbeda dengan (bentuk, sifat dan fungsi) © sebelumnya44. Misalnya perubahan panas menjadi energi, potensi menjadi daya, inspirasi menjadi aksi. Dalam bahasa latin digunakan kata “transformare” yang berarti perubahan sifat, fungsi, kondisi, bentuk dan karakter45 yang menunjuk pada perubahan mendasar/radikal. Transformasi merupakan sebuah proses perubahan yang radikal namun terarah dan sistematis. Jika dilihat dari akar katanya, kata “transform” merupakan bentukan dari dua kata dasar, yaitu “trans” yang berarti melintasi dari satu sisi ke sisi lain (across) atau melampaui (beyond) dan “form” yang berarti bentuk. Sehingga kata transformasi dapat dimaknai sebagai perubahan bentuk yang “lebih dari atau melampaui” bentuk semula. Bentuk yang baru dipahami lebih baik dari bentuk yang lama. 43 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h.1209 John M.Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, cet.XX (Jakarta: PT.Gramedia, 1992) h. 601 45 Stephen Hacker dan Tammy Roberts, Transformational Leadership : Creating Organizations of Meaning, (Milwaukee: American Society for Quality (ASQ), 2004), h.1 44 17 Dalam kaitannya dengan kepemimpinan, istilah transformatif ini merujuk pada proses memimpin atau mempengaruhi pengikut menuju pada sebuah perubahan mendasar yang semakin baik/meningkat dari keadaan sebelumnya. Dengan demikian, kepemimpinan transformatif dapat dipahami sebagai kepemimpinan yang mengubahkan (transforming) atau yang bersifat mengubah (transformational). Menurut Jerry C.Wofford dalam bukunya “Transforming Christian Leadership” (1999), penggunaan istilah-istilah tersebut pada intinya sama, baik dalam makna maupun tujuan yaitu kepemimpinan yang menghasilkan perubahan46. d. GKMI Ebenhaezer GKMI (Gereja Kristen Muria Indonesia) Ebenhaezer adalah sebuah gereja W D K U yang terletak di Kabupaten Pati – Jawa Tengah dan saat ini digembalakan penyusun. Gereja ini beraliran Mennonite yang dijalankan menurut tata cara konggregasionalsinodal : “Suatu cara “pemerintahan” yang tidak ditentukan oleh majelis jemaat atau oleh orang yang paling “berpengaruh”. Sebaliknya cara kongregasional (bersifat kejemaatan) bukan dan tidak boleh diartikan sebagai demokrasi (wewenang tertinggi oleh rakyat)”47. Dalam konsep tentang kepemimpinan, GKMI Ebenhaezer mengakui kewenangan tertinggi ada pada Kristus sebagai Kepala Gereja dan sumber dari segala © kekuasaan atau kewibawaan gereja (Matius 23:10; Efesus 5:23), sedangkan kewenangan tertinggi dalam pengambilan keputusan penting dalam konteks hidup bergereja ada pada suara jemaat dalam terang Firman Tuhan dan Roh Kudus. Pemimpin selaku pemegang jabatan gerejawi dipilih dan diangkat oleh jemaat untuk melaksanakan tugas kepemimpinan dalam kehidupan bergereja. Dalam kaitannya dengan kepemimpinan Kristus sebagai pemegang kewenangan tertinggi, para pemimpin gereja ini dipahami sebagai pelaksana tugas dan panggilan Tuhan Yesus Kristus untuk memelihara gereja-Nya dan untuk melanjutkan pelaksanaan panggilan para Rasul. Dengan demikian, istilah GKMI Ebenhaezer dalam tesis ini merujuk pada komunitas terbatas dengan tata organisasi dan pemahaman tentang kepemimpinan sebagaimana paparan tersebut di atas. 46 47 Jerry C. Wofford, Kepemimpinan Kristen yang Mengubahkan, h. 8 Persatuan Gereja-gereja Kristen Muria Indonesia, aku dan AKU: Pedoman bagi Calon warga Jemaat (Semarang: Komisi Literatur Sinode GKMI, Cet.V, 2007), h.74 18 Selain istilah yang termuat dalam judul tersebut, ada beberapa istilah tekhnis yang digunakan dalam tesis dengan pemahaman dan batasan pengertiannya sebagai berikut : a. Gaya Kepemimpinan (style of leadership) KBBI menterjemahkan kata “gaya” dalam arti sikap, irama dan lagu, ragam yang menyangkut cara, rupa, bentuk48. Dalam bahasa Inggris, digunakan kata “style” yang berarti corak, mode. Dari kata tersebut mengembang turunan kata seperti stylewise (kemahiran untuk mengikuti mode), stylish (kemampuan untuk bergaya), stylist (menunjuk pada person stylish), stylize (menyesuaikan dengan mode)49 Gaya Kepemimpinan mengandung pengertian sebagai bentuk sikap/tingkah laku atau cara seseorang dalam memimpin sesuai pola/ bentuk tertentu. Gaya W D K U Kepemimpinan ini bisa bersifat alamiah sesuai bakat, kecenderungan dan karakter pribadi seorang pemimpin, namun bisa juga sebagai hasil bentukan dari pelatihan, disiplin dan konsep/teori tertentu. b. Model Kepemimpinan (model of leadership) Gaya kepemimpinan berbeda dengan model kepemimpinan. Yang pertama lebih mengarah kepada cara atau sikap seorang pemimpin dalam menjalankan perannya, yang kedua lebih mengarah pada sebuah pola kepemimpinan. Kata model itu sendiri berarti pola (contoh, acuan) dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan50. © Dengan demikian, istilah model kepemimpinan dapat dipahami pemaknaannya sebagai sebuah pola kepemimpinan berdasarkan sistem dan kerangka pemahaman tertentu, yang berada dalam jalinan antara teori, metode dan kemampuan/ketrampilan. c. Teori Kepemimpinan (theory of leadership) Kata teori menunjuk pada pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, yang didukung oleh data dan argumentasi. Dapat juga dipahami sebagai sebuah asas/hukum umum yang menjadi dasar dari suatu ilmu pengetahuan51. Dalam penggunaan teori kepemimpinan pada tesis ini, penyusun akan merujuk pada referensi-referensi tertentu dan bukan pada asumsi/dugaan/pra-anggapan, perandaian. d. Awam 48 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h.340 John M.Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, h. 564 50 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h.751 51 Ibid, h. 1177 49 19 Kata awam berarti umum, am. Kata ini digunakan untuk menunjuk pada orang-orang kebanyakan, orang biasa atau orang yang tidak istimewa (bukan ahli, bukan rohaniawan, bukan tentara)52. Dalam bahasa Inggris digunakan kata “lay” (layman, laity) yang merupakan terjemahan dari bahasa Yunani “laikos” (laikos) sebagai bagian “laos” (laos) yang berarti rakyat (biasa), orang banyak, massa, bangsa, suku-suku bangsa atau umat Allah53 (bdk Kis 15:14; Rm 10:21; Ibr 8:10). Dalam Ensiklopedia Indonesia disebutkan bahwa kata awam ini merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang menunjuk pada orang biasa, bukan ahli, dan dibedakan dengan para ulama dan cendekiawan yang disebut “khawas”54. Dalam bahasa Inggris, kata “layman” (awam, orang biasa) ini juga dibedakan dengan “clergyman” (pendeta, W D K U pastor). Penggunaan istilah awam dalam tesis ini menunjuk pada pengertian jemaat sebagai umat Allah dalam artian yang netral, bukan sebagai orang yang tidak istimewa/tidak punya keahlian apalagi dalam pengertian “bodoh” sebagaimana dipahami oleh sebagian orang55. Istilah ini digunakan untuk membedakan peran (role) dalam gereja, terkait dengan pemimpin (secara formal) dan umat yang dipimpin (jemaat). Bagi GKMI yang menganut sistem konggregasional, peran kaum awam ini justru sangat strategis, terutama dalam hal pengambilan keputusan penting dalam kehidupan bergereja56. © 1.6. BATASAN PENELITIAN Dalam penelitian ini, penyusun membatasi penelitian pada konteks jemaat di GKMI Ebenhaezer dengan pertimbangan bahwa GKMI Ebenhaezer merupakan salah satu anggota Sinode GKMI, sehingga pergumulan sinodal terkait dengan kepemimpinan pada hakekatnya juga merupakan pergumulan gereja-gereja lokal. Pertimbangan yang lain karena GKMI Ebenhaezer merupakan gereja yang masih muda dan sedang bertumbuh menuju gereja yang dewasa. Dalam perjalanan pertumbuhan gereja tersebut, sangat dibutuhkan adanya model kepemimpinan yang tepat dan menunjang arah pertumbuhan gereja. Gereja ini juga merupakan komunitas jemaat yang terbentuk sebagai dampak perpecahan gereja terkait konflik-intern yang 52 Ibid, h. 78 Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru (PBIK), Jilid II, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2010) L.20, h.480. Kata ini disebutkan 142 x dalam Alkitab PB (Yunani) 54 Ensiklopedia Nasional Indonesia vol.10 (Jakarta: PT.Cipta Adi Pustaka, 1990) h.23 55 Herlianto, Pengantar PTE YBA Maya (Bandung: Yayasan Bina Awam, 2001) h.1 56 Persatuan Gereja-gereja Kristen Muria Indonesia, aku dan AKU, h.75 53 20 tidak terlepas dari peran kepemimpinan. Sehingga hal kepemimpinan menjadi sebuah harapan dan pergumulan penting bagi gereja. Pada penelitian biblika, penyusun membatasi kajian pada model kepemimpinan Yesus Kristus dengan pertimbangan bahwa Yesus adalah contoh nyata pemimpin ideal dengan pengaruh yang menembus semua lapisan masyarakat. Kepemimpinan Yesus telah menghasilkan perubahan-perubahan yang nyata pada zaman-Nya, dan tetap terasa pengaruh-Nya hingga masa kini. Dalam pemahaman tentang kepemimpinan, GKMI juga telah menetapkan Yesus Kristus sebagai acuan dasar bagi kepemimpinan gereja57. Untuk penelitian kualitatif, penyusun membatasi wawancara pada 10 orang W D K U informan terdiri dari lima anggota jemaat dan lima simpatisan. Tujuh di antaranya adalah fungsionaris gereja, baik sebagai pengurus organisasi maupun aktivis pelayanan non-kepengurusan. Adapun alasan pemetaan penelitian ini adalah : a. Para fungsionaris gereja atau aktivis pelayanan adalah pemimpin-pemimpin awam pada bidangnya masing-masing. Karena itu pengalaman, pengamatan dan penghayatan mereka merupakan kisi-kisi penting yang patut dipertimbangkan. b. Jemaat GKMI Ebenhaezer merupakan profil pengikut dalam konteks kepemimpinan gereja. Idealisme jemaat merupakan masukan yang penting untuk memahami model kepemimpinan yang dapat dikembangkan dan © menjawab kebutuhan/harapan jemaat. c. Jemaat simpatisan merupakan pengamat yang patut dipertimbangkan pemahamannya, yang secara praktis terlahir dari pengalaman dan pengamatan model kepemimpinan di gereja asal masing-masing atau gereja lain yang pernah dikunjungi. d. Penetapan jumlah 10 orang dalam penelitian kualitatif terkait dengan tingkat kejenuhan informasi, di mana informasi yang didapatkan pada prinsipnya mengulang atau menegaskan informasi yang telah didapatkan sebelumnya. 1.7. METODOLOGI PENELITIAN Tesis ini merupakan hasil perpaduan dari penelitian kepustakaan, baik secara teoritis maupun biblika, dan penelitian lapangan. Melalui penelitian kepustakaan, penyusun akan mempelajari dan menggali pengertian kepemimpinan transformatif beserta aspek-aspek yang terkait di dalamnya, yang pada gilirannya akan menjadi sebuah model 57 Lihat h. 18 21 kepemimpinan yang penyusun perjumpakan dengan analisa-interpretatif hasil penelitian lapangan dan kajian teologis kepemimpinan Yesus Kristus Penelitian lapangan merupakan penelitian kualitatif yang memerlukan tahapan kerja berupa pengumpulan data, penyusunan laporan, analisa dan interpretasi data, dan evaluasi. Pengumpulan data akan penyusun tempuh menggunakan metode wawancara terbuka – terfokus dalam rentang waktu antara tanggal 7 – 12 Agustus 2015 pada lokasi pertemuan sesuai kesepakatan yang dibangun terlebih dahulu dengan informan dan didokumentasikan dalam rekaman audio sepengetahuan/seijin informan. Sebagai wawancara terbuka, setiap pertanyaan bukan untuk dijawab begitu saja seperti dalam sebuah angket, melainkan untuk ditanggapi dan dikomentari, diolah dan diperbaiki, dibahas dan dianalisa bersama58. Wawancara ini bersifat fleksibel dan spontan dalam W D K U konteks persahabatan dan kepercayaan sebagai warna khas sebuah wawancara terbuka. Sebagai wawancara terfokus, wawancara ini bermaksud komparatif (membandingkan jawaban) dan representatif (memasukkan jawaban dalam konteks keyakinan dan tema umum dari kelompok)59. Oleh karena itu penulis mempersiapkan beberapa pertanyaan utama sebagai acuan wawancara yang akan berkembang sesuai alur pemikiran informan tanpa menyimpang dari topik utama penelitian. 1.8. KERANGKA TEORI © Kepemimpinan adalah sebuah keniscayaan. Di mana ada kehidupan bersama maka di situ kepemimpinan juga ada. Hal ini berlaku bagi kehidupan berbangsa dan bernegara hingga komunitas gereja, bahkan komunitas terkecil yaitu keluarga. Dalam lingkaran komunitas tersebut, seseorang dapat berperan sebagai orang yang dipimpin atau sebagai pemimpin, bahkan tidak jarang merupakan kombinasi dari keduanya. Pada satu saat dan dalam satu konteks, ia akan menjadi pemimpin dan pada saat lain dalam konteks yang berbeda, ia menjadi orang yang dipimpin. Sebagai sebuah keniscayaan, maka tak terhindarkan muncul pula pemikiranpemikiran tentang kepemimpinan. Ada banyak sekali definisi kepemimpinan dengan berbagai penekanan/pendekatannya. Hal ini disebabkan karena topik tentang kepemimpinan telah diminati banyak orang berabad-abad lamanya. Perbedaan pendapat tentang definisi kepemimpinan didasarkan pada kenyataan bahwa kepemimpinan melibatkan interaksi yang kompleks antara pemimpin, pengikut dan situasi. Kebanyakan 58 59 John Mansford Prior, Meneliti Jemaat : Pedoman Riset Partisipatoris, (Jakarta: Penerbit Grasindo, 1997), h.96 Ibid, h.95 22 definisi tersebut mencerminkan asumsi bahwa kepemimpinan merupakan sebuah proses pengaruh sosial yang sengaja dijalankan seseorang terhadap orang lain untuk menstruktur aktivitas-aktivitas serta hubungan-hubungan di dalam kelompok atau organisasi tersebut60. Konsep dan definisi kepemimpinan ini dapat mengalami perubahan karena pengaruh sosial yang juga berubah. Eddie Gibbs mengumpulkan ragam definisi tentang kepemimpinan antara lain61 : “Seorang pemimpin Kristen adalah seorang yang mendapat kapasitas dan tanggung jawab dari Allah untuk memberi pengaruh kepada sekelompok umat Allah tertentu untuk menjalankan kehendak Allah bagi kelompok tersebut” (J.Robert Clinton , Leadership Emergency Theory). Definisi ini memberikan penekanan pada otoritas pemimpin yang dipahami bukan berasal W D K U dari orang yang dipimpin melainkan datang dari Allah. Dimensi supranatural sangat kuat mewarnai definisi ini. Tugas pemimpin adalah melakukan kehendak Allah bagi kelompok yang dipimpinnya. “Kepemimpinan bukanlah milik pribadi dari beberapa orang yang memiliki karisma. Kepemimpinan adalah proses yang digunakan oleh orang-orang biasa ketika mereka memberikan apa yang terbaik dari diri mereka dan dari orang lain. Kepemimpinan adalah kapasitas anda untuk menuntun orang lain ke tempat yang belum pernah mereka (dan anda) datangi” (James Kouzes dan Barry Posner, The Leadership Challenge). Definisi ini memberikan ruang dan peluang bagi pemimpin yang muncul dari bawah © (pemimpin awam). Penekanannya bukan pada karisma melainkan pada pemberian diri dan kemampuan untuk mengarahkan. Pemimpin dipahami sebagai bagian dari umat yang mendapatkan otoritas bertolak dari kepercayaan orang-orang yang dipimpin. “Kepemimpinan saat ini dipahami banyak orang untuk mengacu pada tindakan kolektif, dirancang dengan suatu cara agar membawa perubahan yang signifikan sembari meningkatkan kompetensi dan motivasi dari semua yang terlibat – tindakan di mana lebih dari satu individu memengaruhi proses” (Steven Bernstein dan Anthony Smith, The Puzzle of Leadership). Definisi ini memberikan penekanan pada kepemimpinan tim yang terbentuk melalui sebuah perencanaan untuk mencapai tujuan tertentu yang mengarah pada sebuah perubahan. Kerjasama dan visi bersama menjadi aspek penting. Setiap orang yang terlibat 60 61 A. Gary Yukl, Leadership In Organizations, Seventh Edition, (New Jersey: Prentice Hall, 2010) h.11 Eddie Gibbs, Kepemimpinan Gereja Masa Mendatang, h.19-22 23 berada dalam jaringan yang saling mempengaruhi, meningkatkan dan memiliki peran yang sama bagi keberhasilan organisasi. “Kepemimpinan melibatkan orang , kelompok atau organisasi yang menunjukkan jalan dalam aspek kehidupan – dalam jangka waktu singkat maupun panjang – dan dengan demikian, akan memengaruhi bahkan memberdayakan cukup orang untuk membawa perubahan terhadap aspek kehidupan tersebut. (Robert Banks dan Bernice M.Ledbetter, Reviewing Leadership). Definisi ini memberi tekanan pada proses dan kemampuan pemimpin untuk mengarahkan anggota kepada suatu tujuan tertentu yang terkait dengan peningkatan kualitas hidup. Pemberdayaan dipahami sebagai konsekuensi logis dari keyakinan terhadap tujuan W D K U tersebut dan menjadi kunci bagi terjadinya perubahan bagi kehidupan anggota. “Kepemimpinan adalah sebuah hubungan – sebuah hubungan di mana satu orang mencoba memengaruhi pemikiran-pemikiran, perilakuperilaku, kepercayaan – kepercayaan atau nilai - nilai orang lain. (Walter Wright, Relational Leadership). Definisi ini memberikan penekanan pada relasi dan kemampuan seorang pemimpin dalam mempengaruhi dan mentransformasikan ide dan nilai-nilai yang dipegangnya. Perubahan tertuju pada dimensi internal yang terwujud pada perilaku pengikut. Meskipun definisi-definisi tentang kepemimpinan tersebut di atas dilakukan dengan berbagai pendekatan, baik dengan teori sifat (sifat pemimpin sebagai determinan © utama), perilaku, kontinum (penekanan pada relasi transaksional), kontingensi atau situasional (gaya kepemimpinan berkorelasi tepat dengan variable-situasional) namun ragam pendefinisian tersebut bermuara pada satu pengertian yaitu bahwa kepemimpinan merupakan sebuah proses yang berpaut-erat dengan kemampuan untuk mempengaruhi orang lain kepada suatu tujuan yang menghasilkan perubahan. Persoalannya apakah pengaruh itu dinyatakan melalui kekuatan yang menekan (force) ataukah meyakinkan (persuasion), berdasar otoritas-formal ataukah legitimasi-informal, kepatuhan membuta ataukah kesadaran, itulah yang membedakan bagaimana sebuah model kepemimpinan dijalankan. Menurut Hall, ketaatan pengikut terhadap pemimpin sebenarnya telah mengalami pergeseran. Pada masa lalu ketaatan berarti melaksanakan apa yang diperintahkan, namun pada masa kini ketaatan berarti konsensus, yaitu ketika pemimpin dan pengikut terampil berbagi dan saling mendengarkan lalu mencapai keputusan bersama62. 62 Brian P.Hall, Panggilan Akan Pelayanan, h. 58 24 Dari pemahaman terakhir nampak bahwa kepemimpinan pada masa sekarang ini seharusnya sudah memasuki ranah keterbukaan dan bukan eksklusif-instruksional dengan mendiktekan apa yang harus mereka jalankan63. Gaya kepemimpinan hierarkis yang mengandalkan kekuasaan dan otoritas pada masa kini sudah banyak ditinggalkan, dan berganti dengan gaya kepemimpinan yang lebih bersahabat. Bornemann, sebagaimana dikutip oleh Hendriks menyebut gaya ini “bukan otoriter tetapi kooperatif”, dengan perbedaan sebagai berikut : Gaya otoriter menempatkan referensi pada jabatan; gaya kooperatif pada rundingan bersama; gaya otoriter membangun jarak dan hierarkis; gaya kooperatif membangun kedekatan dan susunan datar; gaya otoriter mengutamakan anggota yang patuh, taat dan disiplin; gaya kooperatif mengutamakan karakter yang kuat dan menghargai orang yang bebas dan dewasa pikirannya; gaya otoriter mengakibatkan pengikut kurang dimengerti dan dihargai, merasa diperas dan tangan terikat; gaya kooperatif mengakibatkan pengikut merasa dihargai dan dimengerti sebagai person; gaya otoriter membangun iklim yang penuh ketegangan, bahaya kecurigaan satu sama lain dan pembentukan klik; gaya kooperatif bertendensi ke arah kepercayaan, kesatuan, intern dan harmoni; gaya otoriter tidak membangun kemandirian dan tanggung jawab sehingga harus mengandalkan otoritas jabatan; gaya kooperatif menghasilkan kemandirian dan tanggung jawab sehingga memberikan peneguhan dan pembenaran kepercayaan kepada pemimpin64. W D K U Dalam paparannya mengenai kepemimpinan gereja masa mendatang, Eddie Gibbs menyatakan bahwa kepemimpinan pada masa kini harus bergerak dari model transaksional © ke model transformasional65. Dalam kepemimpinan transaksional terjadi transaksi di mana pemimpin akan menukarkan apa yang dibutuhkan pengikutnya untuk memperoleh apa yang dibutuhkannya. Pemimpin transaksional memiliki satu tujuan dan para pengikutnya memiliki tujuan yang lain66 sedangkan kepemimpinan transformatif terjalin dalam koneksi karena memiliki tujuan dan visi yang dihidupi bersama. Mempertajam hal tersebut, Eka Darmaputera mengekspos apa yang dituturkan oleh Leighton Ford : “Kepemimpinan transaksional bekerja dalam situasi, kepemimpinan transformasional bekerja mengubah situasi; yang satu menerima apa yang dibicarakan orang, yang lain mengubah apa yang dibicarakan orang; yang satu menerima aturan dan nilai-nilai; yang lain mengubahnya; yang satu asyik berbicara mengenai apa yang harus dipertukarkan, yang lain berbicara mengenai tujuan67. 63 Jan Hendriks, Jemaat Vital dan Menarik, Membangun Jemaat dengan Menggunakan Metode Lima Faktor. (Yogyakarta: Kanisius, Cet.V, 2006) h. 68 64 Jan Hendriks, Jemaat Vital dan Menarik, h.76-77 65 Eddie Gibbs, Kepemimpinan Gereja Masa Mendatang, h.29 66 Jerry C. Wofford, Kepemimpinan Kristen yang Mengubahkan, h.8 67 Eka Darmaputera, “Kepemimpinan: Perspektif Alkitab”, h. 14 25 Bertolak dari uraian-uraian tersebut di atas nampak bahwa kepemimpinan transformatif merupakan satu model kepemimpinan yang mengubahkan, kreatif dan tidak terpancang pada status quo. Kepemimpinan transformatif menggunakan pengaruhnya bukan dengan gaya menekan atau memaksa, melainkan dengan membangun relasi berdasarkan penghargaan dan kepercayaan. Dengan demikian jemaat/pengikut tidak merasa didikte atau diindoktrinasi. Penghargaan dan kepercayaan akan membangkitkan rasa simpati, dan pada gilirannya dapat mendorong keinginan untuk terlibat dengan sukarela. Dengan gaya kepemimpinan seperti ini, beban seorang pemimpin akan menjadi lebih ringan karena ditanggung bersama. Demikian juga dengan visi, tanggung jawab dan upaya pencapaian tujuan. Model kepemimpinan ini pun sangat terbuka bagi kemungkinan W D K U perubahan, kreatifitas, pembaruan dan pemberdayaan yang menunjang pencapaian tujuan bersama. Sebagai sebuah komunitas, gereja juga membutuhkan pemimpin dengan gaya dan model kepemimpinan yang mampu menjawab kebutuhan umat di tengah-tengah arus zaman yang bergerak cepat dan serba mudah berubah seperti saat ini. Sebuah model kepemimpinan yang tidak statis namun dinamis. Sebuah model kepemimpinan yang tidak berpusat pada kultus individu maupun kekuasaan kelompok tertentu melainkan mampu melibatkan, memberdayakan bahkan melahirkan pemimpin-pemimpin baru. Sebuah model kepemimpinan yang tidak eksklusif melainkan terbuka atas perubahan bahkan mampu © menghasilkan perubahan yang meningkatkan kualitas hidup, harkat kemanusiaan dan sistem-sistem yang menata kehidupan bersama. Sebuah model kepemimpinan yang tidak membekukan kreatifitas dan potensi, tidak mematikan inspirasi dan inovasi, tidak memanipulasi namun memotivasi, tidak sebatas teori namun sungguh-sungguh teraktualisasi, tidak sekedar mengalir namun bergerak dalam visi, tidak berpusatkan pada diri dan ambisi melainkan berorientasi pada hasrat melayani, tidak hanya menjawab kebutuhan masa kini namun juga berorientasi ke masa depan. Model kepemimpinan yang mampu menjawab kebutuhan tersebut adalah model kepemimpinan transformatif, karena kepemimpinan ini memberikan penekanan yang kuat pada nilai, visi, relasi, apresiasi, inspirasi, mobilisasi, pemberdayaan, pelayanan, keteladanan hingga cara kerja team work. Model kepemimpinan transformatif ini memang terkesan baru dan sedang populer pada dasa warsa terakhir ini, terutama di kalangan sekuler semacam dunia pendidikan, perusahaan/bisnis maupun instansi-instansi pemerintah. Namun jauh sebelum teks kepemimpinan transformatif ini mencuat ke permukaan, Alkitab telah menunjukkan 26 prinsip-prinsip kepemimpinan semacam ini telah dijalankan oleh para pemimpin di Alkitab. Tidak hanya Musa dengan perubahan paradigma kepemimpinan yang mampu mendelegasikan tugas, membentuk team work, men-transformasikan nilai-nilai dan visi yang dipegangnya, dan memberdayakan orang-orang yang dipimpinnya. Alkitab pun mencatat nama Yusuf sebagai pemimpin yang berprinsip (memiliki keyakinan dan nilai yang teguh), berkarakter, trampil dan visioner yang merupakan konsekuensi dari kepemimpinan transformatif68. Demikian juga dengan kepemimpinan Yohanes Pembaptis, yang dalam kesederhanaannya ia berani menyuarakan perubahan sekaligus dalam segala kebesarannya ia mampu memberikan tempat bagi pemimpin lain (bdk. Mat 3:1-17, Mrk 1:1-11, Yoh 1:6-8, 19-34; Luk 7:28). Catat juga tokoh pemimpin besar di Alkitab W D K U Perjanjian Lama seperti Daniel, Elia, Nehemia, Yeremia, Ezra hingga era Perjanjian Baru seperti Paulus, Petrus dan Yesus Kristus. Pada para pemimpin tersebut dapat ditemukan prinsip-prinsip dan ide kepemimpinan transformatif. Salah satu pemimpin yang menarik untuk dikaji model kepemimpinan-Nya adalah Yesus Kristus. Sejarah telah menunjukkan dampak transformasi yang dilakukan Yesus. Nilai-nilai dan prinsip hidup yang mendasari kepemimpinan-Nya sampai saat ini tetap eksis sekalipun sudah ribuan tahun berlalu sejak kehadiran, pelayanan dan kiprah kepemimpinan-Nya mewarnai konteks sosial, politik dan religiositas yang menyekitari umat Israel. Transformasi kehidupan yang Yesus ajarkan dan teladankan telah mendasari © berbagai model kepemimpinan yang ada di dunia sekuler maupun gereja hingga era digital sekarang ini. Sejarah di tangan pemimpin transformatif tidak akan berjalan biasa-biasa saja, melainkan akan menembus kebekuan dan menghasilkan perubahan dan pembaruan. Dalam perjumpaannya dengan kepemimpinan Yesus Kristus maka model kepemimpinan transformatif menemukan dasar teologis dan penyempurnaan untuk diterapkan sebagai model kepemimpinan gereja. Nilai-nilai prinsip yang dipegang, diperjuangkan dan dibagikan Yesus menjadi nilai-nilai ideal bagi para pemimpin Kristen transformatif dalam membentuk karakteristik kepemimpinan dan arah bagi pengembangan jemaat. Orientasi yang kuat terhadap pengikut membentuk sebuah kepemimpinan yang rendah hati dan melayani sekaligus yang mengubah dan meningkatkan kualitas kehidupan jemaat sesuai Firman Tuhan dan keteladanan Yesus. Kesadaran akan peran dan otoritas Ilahi menjadikan kepemimpinan transformatif mendapatkan penyempurnaan dari sisi spiritualitas sebagai satu model kepemimpinan gereja. 68 Eka Darmaputera, “Kepemimpinan: Perspektif Alkitab”, h .14 27 Bagi GKMI Ebenhaezer pada khususnya, kepemimpinan transformatif menawarkan sebuah model kepemimpinan yang terbuka bagi aspirasi jemaat, peka dan tangguh menghadapi krisis, terbuka bagi pembelajaran dan pemberdayaan, serta memberikan ruang penting bagi terbangunnya interaksi dan keterpercayaan terhadap pemimpin. 1.9. SISTEMATIKA Tesis ini di susun dengan sistematika penulisan sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN W D K U Pada bab ini penyusun akan mengutarakan latar belakang dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, penjelasan istilah, batasan dan metodologi penelitian, kerangka teori dan sistematika penulisan tesis. BAB II : KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF Pada bab ini penyusun akan menguraikan model kepemimpinan transformatif dalam kajian teoritis-konseptual. Di dalamnya akan diuraikan tentang pengertian kepemimpinan transformatif, keberadaannya sebagai paradigma baru dalam dunia kepemimpinan, konsep kepemimpinan dan variabel pemimpin transformatif serta evaluasi terkait keunggulan dan kelemahan model © kepemimpinan ini. BAB III : IDEALISME KEPEMIMPINAN GEREJA DALAM PARADIGMA JEMAAT GKMI EBENHAEZER Bab III merupakan kajian terhadap hasil laporan penelitian pada lampiran 2. Pada bab ini akan diinformasikan terlebih dahulu hal-hal yang terkait dengan penelitian mencakup lokasi, populasi, subyek, topik penelitian dan deskripsi profil informan. Kemudian akan diuraikan hasil analisa-interpretatif data informan untuk memahami idealisme kepemimpinan gereja dalam kerangka berpikir (paradigma) jemaat GKMI Ebenhaezer. Bab ini akan diakhiri dengan kesimpulan. 28 BAB IV : PERSPEKTIF KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF TERHADAP IDEALISME KEPEMIMPINAN GEREJA, YESUS KRISTUS DAN HIDUP MENGGEREJA Pada bab ini penyusun akan menyajikan pandangan-pandangan dari perspektif kepemimpinan transformatif. Pertama, sebagai evaluasi terhadap idealisme kepemimpinan gereja sebagaimana terurai pada bab III. Kedua, kajian terhadap kepemimpinan Yesus Kristus sebagai model ideal. Dan ketiga, perspektif kepemimpinan transformatif dalam hidup menggereja terkait dengan idealisme jemaat dan kepemimpinan Yesus Kristus. W D K U BAB V : PENUTUP Pada bab terakhir ini penyusun akan memberikan kesimpulan, saran dan strategi bagi pengejawantahan model kepemimpinan transformatif bagi GKMI Ebenhaezer. © 29