gkmi ebenhaezer - SInTA UKDW - Universitas Kristen Duta Wacana

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Era Globalisasi yang dipicu oleh perkembangan tekhnologi membawa dampak
kemajuan dalam segala hal. Ilmu pengetahuan berkembang pesat pada segala dimensinya,
Informasi menjalar dan merambah segi-segi kehidupan manusia hingga menembus ranahranah pribadi, jalur komunikasi pun melesat cepat mempersempit jarak. Dunia yang begitu
luas terasa makin menciut, batas-batas sosial dan budaya menjadi kabur, transformasi
kehidupan manusia pun mengalami percepatan-percepatan yang tak terprediksikan. Orang
W
D
K
U
tidak perlu mengunjungi dan atau berinteraksi langsung dengan masyarakat dari belahan
dunia yang lain untuk mengetahui perkembangan yang ada, atau mengetahui trend-trend
yang sedang hangat dibicarakan (trending topic). Dengan duduk di belakang meja dan
menghadapi layar komputer dengan akses internet yang canggih, orang dapat dengan cepat
“menjelajah dunia” dan mempelajari ragam pengetahuan, gaya hidup maupun cara berpikir
lintas budaya, lintas bangsa dan lintas keyakinan. Segala input yang masuk potensial
memberikan pengaruh bagi gaya hidup dan cara berpikir seseorang. Pengaruh inipun
dengan cepat menyebar luas menembus ragam komunitas dan menghasilkan perubahanperubahan yang memoles tata kehidupan manusia. Di tengah-tengah dunia yang serba
©
mudah berubah inilah Tuhan menempatkan gereja-Nya. Gelombang demi gelombang
perubahan pun turut masuk dan mewarnai tata kelola dan nafas hidup bergereja. Tata
ibadah mengalami pembaharuan, khotbah-khotbah dituntut mengikuti perkembangan
zaman, disain-disain arsitektural mendapat sentuhan-sentuhan baru, demikian juga dengan
penataan administrasi, organisasi hingga kepemimpinan gerejawi.
Gereja di tempatkan Allah dalam dunia ini untuk menjadi garam dan terang bagi
dunia (Matius 5:13-14). Hal ini membawa konsekuensi bahwa gereja tidak dapat
memisahkan diri dari dunia, namun pada saat yang bersamaan gereja pun dituntut untuk
mengembangkan sikap kritis dan memberi rasa pada dunia. Dalam doanya, Yesus pernah
berkata “Aku tidak meminta, supaya Engkau mengambil mereka dari dunia, tetapi supaya
Engkau melindungi mereka dari pada yang jahat” (Yohanes 17:15). Dalam perjalanan
sejarah, gereja memang telah menunjukkan kemampuan untuk bertahan di tengah berbagai
situasi yang mengitarinya. Sistem organisasi dan pola kepemimpinan tertata begitu rupa
dan digunakan selama berabad-abad. Namun kenyataannya dunia belum berhenti berputar
1
dan perubahan masih terus terjadi. Masa depan merupakan terra incognita (wilayah yang
belum dikenal dan sulit diperkirakan bentuknya)1, yang menawarkan ragam kemungkinan
perubahan atas pola kehidupan, budaya maupun sistem sosial termasuk di dalamnya
tatanan dan dinamika hidup bergereja. Fenomena global ini memaksa seluruh tatanan
kehidupan untuk berani mengoreksi diri, mengambil kebijakan, dan membangun nilai-nilai
yang mampu berdiri kokoh di tengah kisaran zaman. Tak terkecuali dengan gereja dan
para pemimpinnya.
Sebuah statemen di keluarkan oleh Paus Yohanes XXIII saat membuka Konsili
Vatikan II, yaitu “aggiornamento”2, yang berarti bahwa gereja perlu membuka diri,
membaharui diri dan menyesuaikan dengan situasi terkini. Sebaik-baiknya gereja di masa
W
D
K
U
lalu dalam menata sistem bergereja dan pola kepemimpinan, perubahan yang ada menuntut
gereja untuk berani membuka diri, mengadakan pembaharuan-pembaharuan dengan kreatif
dan menyesuaikan diri secara kontekstual dengan situasi serta tuntutan yang ada agar
gereja tidak tertinggal atau ditinggalkan oleh anggota-anggotanya. Apabila gereja berhenti
dan berpuas diri, maka statemen yang dimunculkan Eddie Gibbs menjadi sebuah
peringatan :
“Gereja-gereja yang gagal membaca dan menafsirkan tanda-tanda
zaman
beresiko menghadapi masa depan yang suram”3.
Ketika gelombang perubahan zaman menarik gereja dalam arus perubahan, maka
©
tak pelak pemimpin pun menghadapi tantangan sekaligus tuntutan untuk mengalami
pembaharuan. Bahkan jauh sebelum pergeseran dan ragam perubahan menjamah gereja,
teks Alkitab telah menunjukkan data-data sahih tentang kemungkinan perubahan dalam
pola kepemimpinan, misalnya dalam model kepemimpinan Musa. Paradigma baru dalam
kepemimpinan Musa yang mengalami pergeseran dari model kepemimpinan “strong and
powerfull leadership” kepada “sharing leadership” merupakan tonggak penting bagi para
pemimpin
untuk
melihat
fleksibilitas
dalam
kepemimpinan.
Perubahan
ini
menghembuskan nafas segar dalam dunia yang berbudaya paternalistik, bahkan menjadi
model penting dalam diskusi dan pemikiran mengenai perkembangan kepemimpinan di era
modern ini. Kepemimpinan merupakan bagian yang penting dalam kehidupan manusia dan
1
2
3
Benny Salindeho, “Mengelola Perubahan di Era Reformasi”, dalam STT Jakarta, Kepemimpinan Kristiani:
Spiritualitas, Etika, dan Tekhnik-tekhnik kepemimpinan dalam Era Penuh Perubahan, (Jakarta: Penerbit
Sekolah Tinggi Teologia, 2001), h.44
http://vatican2voice.org/3butlerwrites/aggiorna.htm, secara etimologi berarti “A bringing up to date”
Eddie Gibbs, Kepemimpinan Gereja Masa Mendatang: Membentuk dan Memperbarui Kepemimpinan yang
Mampu Bertahan dalam Zaman yang Berubah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), h. 3
2
tak terpisahkan, sehingga – tidak mungkin tidak – Alkitab tidak bisa bungkam mengenai
masalah yang satu ini4. Namun Alkitab tidak pernah menawarkan satu model
kepemimpinan yang ready for use dalam segala konteks zaman. Alkitab hanya
memberikan prinsip-prinsip, pola-pola atau model-model kepemimpinan yang masih
membutuhkan daya kreatif dan inovatif untuk mereaktualisasikannya dalam situasi yang
kongkret. Sehingga perubahan-perubahan dalam situasi kongkret yang menyekitari para
pemimpin gereja menjadi dorongan dan alasan utama bagi para pemimpin untuk
mengembangkan daya kreatifnya agar kepemimpinannya tetap up to date serta mampu
menjawab kebutuhan zaman dan jemaat seiring perubahan yang ada.
Namun tidak semua pemimpin gereja tanggap terhadap tuntutan ini. Krisis
W
D
K
U
kepemimpinan seringkali terjadi bukan semata-mata karena ketidakmampuan para
pemimpin mengalami perubahan dan pembaharuan, melainkan karena ketidakmauan dan
ketakutan untuk keluar dari zona kenyamanan. Baik kenyamanan atas situasi/sistem yang
stabil dan terprediksi, maupun kenyamanan atas kekuasaan yang melekat pada pola
kepemimpinan lama sebagai pusat segalanya. Perubahan memang berarti gejolak, dan
gejolak seringkali tampil dalam wajah ketidakpastian. Hal inilah yang melahirkan
keraguan dan ketakutan untuk melangkah. Kestabilan bahkan stagnasi menjadi pilihan
karena minim resiko dibandingkan perubahan, sekalipun hal ini dapat
berdampak
“kematian” / krisis pada diri pemimpin. Myron Rush mengingatkan bahwa krisis
©
kepemimpinan seperti ini akan berdampak bagi krisis pengikut, dan krisis pengikut akan
berdampak bagi kepemimpinan masa depan5
Krisis pada diri pemimpin gereja nampak dalam berbagai bentuk. Misalnya
ketiadaan sukacita dalam pelayanan, terjebak dalam rutinitas tanpa ujung pangkal,
membeku dalam belenggu kelelahan tanpa akhir, kemalasan mengembangkan kreatifitas,
hilangnya kekuatan otoritas/pengaruh untuk mengatasi persoalan, pudarnya hasrat
memelihara spiritualitas pribadi, terkontaminasi oleh kepahitan/kekecewaan yang
berdampak stress dan mudah curiga dengan rekan pelayanan atau jemaat. Akibatnya kalau
tidak angkat kaki meninggalkan pelayanan, seorang pemimpin akan meringkuk tanpa daya
“seperti landak tanpa duri”6 hingga emiritus organisasi maupun “emiritus alami” datang
menjemput.
4
5
6
Eka Darmaputera, “Kepemimpinan: Perspektif Alkitab” dalam STT Jakarta, Kepemimpinan Kristiani:
Spiritualitas, Etika, dan Tekhnik-Tekhnik Kepemimpinan dalam Era Penuh Perubahan, (Jakarta: Penerbit
Sekolah Tinggi Teologia, 2001), h.2
Myron D.Rush, Pemimpin Baru, (Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil Immanuel, 1993) h.7
Eddie Gibbs, Kepemimpinan Gereja Masa Mendatang, h.17
3
Menyitir balik apa yang dikatakan oleh Bill Hybels bahwa “Vitalitas gereja yang
berjuang terletak pada pemimpinnya”7 maka jelas bahwa peran pemimpin gereja sangat
mempengaruhi dinamika kehidupan bergereja. Ketika pemimpin gereja hanya melakukan
aktivitas rutin namun tidak ada gairah kehidupan atau tidak menghasilkan perubahan maka
gereja pun akan mengalami “zombification” dan “pengerdilan”8, yaitu suatu keadaan yang
nampaknya hidup namun sebenarnya mati, atau nampaknya bertumbuh namun tidak
berbuah. Menurut Eka Darmaputera, itulah masa ketika gereja terjebak dalam stagnasi,
yaitu ketika gereja berjalan di tempat, berputar-putar dan tertimbun dalam “rutinisme,
formalisme dan verbalisme”9 sehingga kehilangan fungsi positif, kritis dan realistis dalam
perkembangan masyarakat10. Dengan makna senada, Hadiwitanto mengutip statemen John
Cobb yang menyebut kondisi semacam ini sebagai “kesuaman” (lukewarmness), yaitu
W
D
K
U
ketika pemimpin gereja tidak lagi mengembangkan teologi, dan ini menyebabkan gereja
gagal menjawab berbagai perubahan dan melakukan misinya di dalam dunia11. Hal ini –
mau tidak mau – terkait dengan peran pemimpinnya, karena pemimpin yang baik menjadi
syarat mutlak bagi pertumbuhan, kestabilan dan kemajuan kelompok apapun 12. Tanpa
pemimpin yang baik, gereja akan sulit bertumbuh atau berkembang. Kalaupun bergerak,
geraknya pun sekedar maju mundur, ke sana kemari dan tanpa arah13.
Kenyataan ini seharusnya mendorong para pemimpin gereja untuk berani
mendefinisikan ulang model kepemimpinan mereka sekaligus menantang para pemimpin
©
untuk menata ulang bentuk, metode dan gaya kepemimpinannya. Keberanian ini akan
menjadi sebuah ancangan revolusioner yang mendobrak pola kemapanan sekaligus
membuka peluang memasuki ranah baru model kepemimpinan yang lebih terbuka
terhadap perubahan dan pengubahan.
“Di balik setiap pelayanan yang berhasil/berjaya selalu ada pemimpin
yang berani dan berorientasi melayani” 14
Demikian dikatakan oleh Bill Hybels, seorang pemimpin
yang telah berpengalaman
memimpin lebih dari 30 tahun pada Willow Creek Community Church di Amerika Utara
7
Bill Hybels, Kepemimpinan Yang Berani, (Batam: Gospel Press, 2004), h. 26
Kenneth Cloke dan Joan Goldsmith dalam Eddie Gibbs, Kepemimpinan Gereja Masa Mendatang, h. 16
9
Eka Darmaputera, Kepemimpinan dalam Perspektif Alkitab, (Yogyakarta: Kairos Books, 2005), h.32
10
Eka Darmaputera, “Pertumbuhan Gereja dan Konteks Kontemporer Indonesia” dalam Makalah Seminar
Pertumbuhan Gereja (Jakarta: Panitia SPG, 1989), h.54
11
Handi Hadiwitanto, “Teologi Praktis-Empiris, Pembangunan Jemaat dan Relevansi Pemikiran Pdt.Prof.E.Gerrit
Singgih, Ph.D”, dalam Victorius A.Hamel dkk, Sang Guru dari Labuang Baji, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010),
h.125
12
Eka Darmaputera, “Kepemimpinan: Perspektif Alkitab”, h.1
13
Ibid
14
Bill Hybels, Kepemimpinan Yang Berani, h. 27
8
4
dan berhasil mengembangkan jemaat tersebut dari “segelintir orang menjadi kekuatan
Kerajaan Allah yang tersebar di seluruh dunia”. Keberanian seorang pemimpin bukan
hanya ketika menghadapi tantangan dan resiko perubahan, melainkan juga keberanian
untuk keluar dari zona nyaman, memahami realita dengan jujur dan membangun kesadaran
diri yang kuat terhadap peran kepemimpinannya. Keberanian dan kejujuran tersebut
merupakan tanggung jawab mendasar yang harus dimiliki seorang pemimpin untuk dapat
menjalankan peran kepemimpinannya dengan benar.
Namun sayangnya model kepemimpinan gereja di Indonesia masih menunjukkan
pola-pola yang perlu dikaji ulang karena tidak berdampak positif bagi pembangunan
jemaat. Beberapa fenomena persoalan yang menggambarkan situasi kepemimpinan gereja
W
D
K
U
di Indonesia antara lain :
1. Orientasi nilai budaya Indonesia yang tertuju vertikal ke atas15 menyebabkan
kepemimpinan cenderung berpola hierarkis. Menurut teori elite kekuasaan Suzanne
Keller sebagaimana dikutip oleh Budiarjo, seorang pemimpin hierarkis berada di
puncak piramida kekuasaan16. Karena posisi ini, maka model kepemimpinan yang
dijalankan pun cenderung berdasarkan kekuasaan dan otoritas, baik dilakukan
dengan cara force/tekanan maupun persuasi. Pola ini akhirnya menempatkan
pemimpin sebagai “pusat segalanya”. Jaringan kerja pada pola kepemimpinan
hierarki lebih bersifat formal daripada sebagai tim kerja, karena yang terjadi lebih
©
banyak kepemimpinan tunggal sementara anggota tim hanyalah pelaksana.
Kepemimpinan seperti ini rentan bagi munculnya penyakit “narsisisme” sebagai
konsekuensi alami kedudukannya17. Pada dirinya akan muncul keyakinan bahwa
hanya dia saja yang dapat mengambil keputusan dan didukung oleh semua orang.
Bahkan dalam keyakinan akan otoritas kepemimpinannya, ia sangat meyakini
bahwa hanya keputusannya yang paling benar dan tepat. Pemimpin seperti ini akan
sulit bekerja dalam sebuah “team work”, karena ia tidak dapat melihat kebenaran
yang dimungkinkan muncul dari pendapat yang berbeda dan juga akan sulit melihat
adanya potensi pada jemaat. Apabila dalam satu gereja terdapat lebih dari satu
pemimpin maka pola hierarki akan memperkuat persaingan. Menurut Nouwen, hal
ini disebabkan karena godaan menjadi populer, hebat dan berkuasa merupakan
15
Koentjoroningrat, “Kepemimpinan dan Kekuasaan : Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi”, dalam
Budiardjo, Miriam (ed), Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa (Jakarta: Sinar Harapan, 1984) h.142
16
Miriam Budiardjo, “Konsep Kekuasaan : Tinjauan Kepustakaan”, dalam Ibid, h.22-23
17
Brian P.Hall, Panggilan Akan Pelayanan : Citra Pemimpin Jemaat, (Yogyakarta: Practical Theology Project
Universitas Kristen Duta Wacana dan Yogyakarta: Penerbit Kanisius ; Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992) h.57
5
salah satu godaan berat bagi para pemimpin18. Godaan ini paling erat melekat pada
model kepemimpinan yang dibangun di atas kekuasaan, jabatan dan otoritas.
Kepemimpinan seperti ini menimbulkan persoalan bagi sang pemimpin
sendiri maupun bagi gereja yang dipimpinnya. Pemimpin yang menanggung beban
sendirian akan mengalami kelelahan, keputusasaan dan kekeringan spiritualitas19.
Dengan jujur, Nolan mengatakan :
“Kita saling membutuhkan. Tidak ada jenis spiritualitas yang
sempurna yang dapat saya peroleh tanpa bantuan orang lain. Jika
sungguh tidak ada orang yang membantu saya, tidak ada seorangpun
untuk berbagi maka perkembangan saya akan berhenti”20.
Sehebat apa pun seorang pemimpin, ia tidak akan sanggup menanggung segala hal
W
D
K
U
sendirian. Ia membutuhkan orang-orang yang turut memikul beban bersamanya,
saling berbagi dan menguatkan serta terlibat dalam jaringan kepemimpinan yang
saling melengkapi.
Menarik untuk dipertimbangkan apa yang dikatakan Peter Wiwcharruck
yang dikutip oleh Eka Darmaputera, yaitu :
“Bila sebuah jemaat terkondisi untuk menerima tradisi bahwa
seluruh wewenang dan tanggungjawab itu semata-mata ada di
tangan pendeta atau hanya di tangan satu kelompok eksklusif di
lapisan puncak, maka hampir dipastikan akan terjadi ini : 80 %
warga jemaat, lambat atau cepat, akan mengalami situasi spiritual
yang suam, pasif dan apatis. 10 % menanggapinya dengan positif;
sedangkan 10 % sisanya akan mengabaikan sama sekali
kepemimpinan yang ada. Mereka akan mencari jalan mereka sendiri.
Tidak jarang mereka tersesat dan menemui kesulitan serius “di
tengah jalan” 21.
©
Terlepas dari kebenaran terhadap angka prosentase yang disebutkan, memang
sangat dimungkinkan hal ini terjadi, karena ketergantungan pada kepemimpinan
terpusat akan melemahkan kreatifitas dan mematikan daya juang jemaat, terlebih di
era yang penuh godaan, tawaran dan perubahan seperti sekarang ini. Bahkan tidak
mustahil hal ini akan melemahkan gereja di masa depan.
Perkembangan ilmu pengetahuan – khususnya tekhnologi informasi –
membuka kesadaran adanya banyak area yang tidak terjangkau oleh satu orang atau
18
Henri J.M.Nouwen, Dalam Nama Yesus: Permenungan tentang Kepemimpinan Kristiani, (Yogyakarta: Kanisius,
1993), h.17-19
19
Flora Slosson Wuellner, Gembalakanlah Gembala-Gembala-Ku, Penyembuhan dan Pembaruan Spiritual bagi
Para Pemimpin Kristen, (Jakarta : Gunung Mulia, 2012) h.16
20
Albert Nolan, Jesus Today : Spiritualitas Kebebasan Radikal, (Yogyakarta: Kanisius, 2009) h.247
21
Eka Darmaputera, Kepemimpinan dalam Perspektif Alkitab, h. 32
6
sekelompok orang tertentu. Pemimpin tidak akan mampu menjangkau semuanya, ia
harus membangkitkan partisipasi dan potensi jemaat. Menanggapi perkembangan
zaman di abad XXI ini, Jimmy Oentoro mengatakan :
“Kepemimpinan Kristen seharusnya bersifat demokratis, yang
terwujud melalui penggalangan sinergi dan membangun suasana
share leadership, yaitu kepemimpinan yang dengan penuh
kepercayaan membagikan kekuasaan, keputusan bahkan
pengikut”22.
2. Pada umumnya para pemimpin gereja memasuki pelayanannya pada sebuah gereja
yang telah terstruktur begitu rupa dengan sistem yang sudah jelas dan terpelihara
bertahun-tahun lamanya. Kehadirannya dalam lingkup komunitas gereja tersebut
W
D
K
U
adalah sebagai pendatang yang diundang/ditugaskan untuk dijadikan sebagai
pemimpin
di
wilayah
baru
tersebut.
Itulah
sebabnya
muncul
masa
orientasi/penjajagan/magang yang intinya merupakan tahap pengenalan dan
adaptasi, baik dari pihak yang dipimpin terhadap (calon) pemimpinnya maupun
dari (calon) pemimpin terhadap konteks jemaat yang dipimpinnya.
Persoalan yang muncul pada diri pemimpin dalam situasi ini adalah upaya
penyesuaian diri terhadap apa yang sudah ada dan berlaku. Keberhasilan ditentukan
oleh kemampuannya menjadi “sama/sesuai” dengan warna, kebiasaan dan
dinamika yang ada. Akibatnya seorang pemimpin dapat dengan mudah terjebak
©
dalam lingkaran status quo dan mengalir bersama arus yang sudah terpola tanpa
ada daya maupun hasrat untuk melakukan perubahan. Gereja pun akhirnya berjalan
stagnan, mengalir begitu saja dari waktu ke waktu tanpa ada perkembangan atau
perubahan yang berarti sekalipun berulang kali terjadi pergantian kepemimpinan.
Orang pun terbangun dengan mental models “biasanya begini, dari dulu juga
sudah
begitu”
yang
prinsipnya
merupakan
penolakan
atas
perubahan.
Kepemimpinan yang ada cenderung melanjutkan apa yang ada dan sudah
berlangsung bertahun-tahun lamanya, seolah-olah apa yang lama dan stabil selalu
diartikan baik dan tepat. Padahal belum tentu demikian, karena zaman sudah
berubah begitu rupa.
Kreatifitas pemimpin pun akan “terberangus” karena dalam kreatifitas
senantiasa tersimpan kemungkinan perubahan, sementara di balik perubahan
tersimpan kemungkinan pertentangan, dan dibalik pertentangan senantiasa terbuka
22
Jimmy Oentoro, Pemimpin Rohani Abad XXI, Kepemimpinan dan pembinaan Warga Gereja, (Jakarta: Yayasan
Wahana Dharma Nusa, 1998), h.210
7
kemungkinan penolakan (baca : pemecatan). Pemimpin tidak lagi memiliki fungsi
kritis kepemimpinan sebagai “pengendali, penggerak, pendorong dan pengubah”23,
melainkan pemimpin yang “dikendalikan, digerakkan, didorong dan diubah” oleh
lingkungan/komunitas yang dipimpinnya. Padahal seorang pemimpin pada
prinsipnya adalah mereka yang membuat sesuatu terjadi, They make things
happen24, artinya pada diri seorang pemimpin seharusnya terdapat kapasitas dan
otoritas untuk melakukan sesuatu, termasuk perubahan-perubahan.
Fenomena
ini
menunjukkan
bahwa
gereja
membutuhkan
model
kepemimpinan yang kritis, berani membuat keputusan/perubahan yang tepat dan
bijaksana bagi kebaikan komunitas sekaligus berani mengambil resiko dan
W
D
K
U
menanggungnya. Dalam orasi ilmiah di hadapan para winisuda program pasca
sarjana STT INTI – Bandung pada tgl. 18 Agustus 2009 di bawah tajuk
“Kepemimpinan Transformatif”, Frans Magnis Suseno menyatakan :
” Seorang pemimpin transformatif harus mempunyai keberanian.
Masyarakat memerlukan pimpinan karena mereka berhadapan
dengan tantangan, ancaman dan masalah. Tantangan, ancaman dan
masalah hanya bisa diatasi dengan keberanian. Karenanya, seorang
pemimpin harus memperlihatkan bahwa ia orang yang berani
mengambil keputusan yang berat, berani memilih kebijakan yang
tidak
populer
jika
diperlukan,
dan
berani
mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang tidak populer
tersebut kepada mereka yang dipimpinnya”25.
©
3. Percepatan dunia yang diakibatkan ledakan perkembangan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi, khususnya komunikasi dan informasi menghembuskan perubahan yang
cepat dan radikal dalam berbagai aspek yang berdampak pada transformasi yang
luas dalam peta kehidupan manusia. Pemimpin gereja tidak jarang berada dalam
kebingungan arah. Imbas dari kebingungan ini bukan hanya merusak konsepsi jati
diri, ajaran, moral, etika dan pelayanan, namun juga membawa jemaat dalam
keadaan bertanya dan mencari, sehingga tidak jarang mereka terjebak ke dalam
“jalan yang disangka lurus tetapi ujung-ujungnya menuju maut” (Ams 14:12).
Ketika menghadapi perubahan dan kebingungan seperti ini, orang akan
cenderung berpaling kepada pemimpinnya yang dianggap lebih mampu membaca
dan mengetahui masalah, dan memiliki kemampuan untuk menunjukkan jalan yang
23
Eka Darmaputera, Kepemimpinan dalam Perspektif Alkitab, h.15
Eka Darmaputera, Kepemimpinan dalam Perspektif Alkitab, h.13
25
Frans Magnis Suseno, “Kepemimpinan Transformatif”, dalam http://sttinti.ac.id/welcome/95-artikel1/126transformatif.html , di unduh pada tgl. 24/4/2015
24
8
harus ditempuh26 . Mereka menginginkan arahan, kepercayaan dan meletakkan
harapan pada para pemimpin. Yaitu pemimpin yang mampu memberikan solusi,
memunculkan visi yang jauh melebihi masa kini, menyodorkan skenario alternatif
yang dapat mengatasi ancaman dan memberdayakan orang-orang yang
dipimpinnya untuk sigap dan tanggap dalam menghadapi perubahan. Eka
Darmaputera menegaskan bahwa :
“Kualitas kepemimpinan seorang pemimpin ditentukan oleh
kepekaan serta kemampuannya untuk melakukan apa yang tepat,
pada saat yang tepat, dengan cara yang tepat”27.
Ini berarti para pemimpin gereja perlu bersikap lebih proaktif daripada reaktif,
mampu berpikir action-oriented, kritis dan positif serta memiliki ketrampilan nyata
W
D
K
U
dalam kepemimpinan yang membuat dirinya dapat dipercaya dan dapat menjadi
tumpuan harapan jemaat.
Namun celakanya banyak pemimpin gereja pada masa kini yang tidak
cukup bertumbuh dalam hikmat dan pengetahuan dalam memimpin jemaat. Tidak
jarang dijumpai pemimpin yang justru ikut terjebak dalam kebingungankebingungan yang sama, sehingga mungkinkah “orang buta menuntun orang
buta”? (Mat 15:14). Hybells menyerukan bahwa :
“Gereja setempat adalah harapan dunia dan masa depannya
terletak di tangan para pemimpinnya”28.
©
Hal itu berarti seorang pemimpin harus memiliki sikap, nilai-nilai, visi dan hikmat
yang memampukannya menjawab pergolakan yang ada sekaligus menjadi sumber
inspirasi bagi jemaat. Seorang pemimpin memang bukan “kamus” yang bisa
menjawab segala pertanyaan, pergumulan dan kebingungan jemaat. Namun
seorang pemimpin harus menyadari dirinya sebagai pembelajar yang dituntut untuk
terus mengembangkan diri, potensi, ketrampilan dan tidak cukup puas/berhenti
dengan apa yang dimiliki.
4. Persoalan dan tantangan lain yang dijumpai dalam kepemimpinan gereja masa kini
juga nampak dari fakta teralienasinya kaum awam dalam gelanggang pelayanan.
Meskipun gereja memiliki banyak anggota dan berlimpah sumber daya manusia
(SDM) namun kerapkali dijumpai barisan “pengangguran kaum awam”
yang
mengindikasikan bahwa gereja kurang memberikan perhatian serius bagi
26
Benny Salindeho, “Mengelola Perubahan di Era Reformasi”, h.44
Eka Darmaputera, Kepemimpinan dalam Perspektif Alkitab, h.17
28
Bill Hybels, Kepemimpinan Yang Berani, h.28
27
9
pemberdayaan jemaat atau kurang melibatkan jemaat secara aktif. Kepemimpinan
masih berkutat pada orang-orang yang sama dalam kurun waktu yang lama.
Regenerasi kepemimpinan berada pada titik terendah. Jemaat menjadi penonton
daripada pemain, pasif daripada aktif, pengikut daripada pemimpin. Akibatnya
tingkat mobilitas gereja menjadi kecil, lemah dan stagnan.
Demokratisasi sebagai wajah dari kebangkitan kaum awam sebenarnya
akan menjadi kekuatan luar biasa jika gereja mampu membangun sinergi yang
memadukan semua kekuatan dan potensi jemaat. Tetapi demokratisasi juga
berpotensi memunculkan iritasi dan friksi jika tidak diimbangi dengan
pemberdayaan yang memadai. Di sinilah kepemimpinan ditantang untuk mampu
W
D
K
U
merangkul dan membekali jemaat dengan pendidikan/pengajaran yang seimbang
antara aspek kognitif, afektif dan aktif dalam gerak pertumbuhan dan pelayanan.
Dengan demikian jemaat akan menyadari dirinya sebagai bagian dari komunitas
yang berharga dan dapat berkontribusi di dalamnya.
Gereja memerlukan perubahan paradigma dalam hal kepemimpinan. Bukan
sekedar pemimpin yang menempati posisi/status formal, melainkan sebuah model
kepemimpinan yang mampu menembus dan merangkul seluruh lapisan komunitas,
sekaligus dapat menjawab kebutuhan masa kini dan berwawasan ke masa depan (visioner).
©
Dalam wacana kepemimpinan modern, konsep-konsep kepemimpinan yang mengandalkan
tangan besi dan kekerasan telah semakin ditinggalkan29, demikian juga dengan model
kepemimpinan tunggal
maupun “strong and powerful
leadership”. Teori-teori
kepemimpinan pada masa kini telah mengalami perkembangan begitu rupa sehingga
semakin memberikan ruang dan kesempatan bagi model-model kepemimpinan yang
hangat, bersahabat dan memberikan dorongan (encouraging), menghargai pentingnya
apresiasi dan penyataan perasaan (expressing feeling), mendamaikan konflik dan
perbedaan (harmonizing), bersedia mengalah dan mengubah diri terhadap pendapat orang
yang dipimpin (compromising), memperlancar keikutsertaan anggota (gatekeeping)30
hingga model kepemimpinan yang berbagi, memberdayakan, melengkapi, menggerakkan
dan mengubahkan (transformational). Hal ini dibutuhkan bagi kepemimpinan dalam
organisasi-organisasi, tak terkecuali dalam kepemimpinan gereja.
29
30
Andreas Harefa, “Visi dan Misi Kepemimpinan Kristen” dalam STT Jakarta, Kepemimpinan Kristiani, h.35
Charles J.Keating, Kepemimpinan: Teori dan Pengembangannya, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1986) h.10
10
Bagi Ted W.Engstrom, karakteristik seorang pemimpin memang seharusnya
merujuk pada kemampuan untuk membuat sesuatu terjadi, bertindak untuk membantu
orang lain dalam lingkup pengaruhnya, sehingga lewat dorongan dan stimulasi, orang lain
ditolong untuk merealisasikan potensinya secara penuh sehingga dapat memberikan
kontribusi maksimal31. Di sini nampak adanya korelasi erat antara perubahan
(transformational) dengan pemberdayaan (empowering/energizing). Kedua hal tersebut
pada prinsipnya merupakan menjadi ide dasar dari model kepemimpinan transformatif32.
Perubahan yang dimaksudkan di sini berbeda dengan perubahan yang disebabkan karena
force/tekanan melainkan perubahan yang muncul dari dalam diri jemaat karena termotivasi
dan terinspirasi dari pemimpinnya. Di dalamnya tidak ada paksaan, melainkan
W
D
K
U
kesukarelaan bahkan tidak jarang tanpa disadari oleh yang bersangkutan karena terlahir
dari kesadaran, pergumulan dan harapan bersama. Kepemimpinan ini tidak leader-oriented
melainkan follower-oriented, tidak otoriter melainkan kooperatif. Visi pemimpin tidak
lagi menjadi visi tunggal melainkan menjadi visi bersama (common vision) dan pekerjaan
kepemimpinan tidak lagi menjadi beban tunggal di bahu pemimpin melainkan berada
dalam jalinan kerja untuk mencapai tujuan bersama. Jemaat tidak lagi menjadi penonton
melainkan sebagai pemain yang partisipatif dan turut bertanggung jawab bagi dinamika
struktural dan tumbuh kembang gereja. Pada kenyataannya, jemaat akan mampu menaruh
apresiasi terhadap efektifitas pelayanan ketika pemimpin gereja mampu membawa
transformasi positif yang melibatkan jemaat33. Transformasi ini pada gilirannya akan
©
menghasilkan perubahan yang menghasilkan regenerasi dan kualifikasi kepemimpinan
yang memadai bagi pelayanan dan pembangunan jemaat.
Dalam kehidupan bergereja di GKMI, penyusun melihat bahwa topik
kepemimpinan merupakan hal yang serius digumulkan, bukan hanya bagi gereja-gereja
pada umumnya, namun juga di lingkungan GKMI. Pengembangan dan peningkatan
kualitas pemimpin gereja merupakan agenda penting. Misalnya dalam konven pendeta
dan penyusunan Pernyataan Iman Bersama (PIB) pada tanggal 16 Juni 2015 di Jepara,
Sinode GKMI mengangkat topik kepemimpinan yang dilanjutkan pembahasannya di
lingkungan gereja-gereja lokal maupun wilayah. Demikian juga dengan dimunculkannya
langkah-langkah spesifik terkait dengan penjaringan, pembekalan dan evaluasi/ujian
31
Ted W.Engstrom, The Making of Christian Leader (Michigan, Zondervan Publishing House,1999), h.20
Jerry C. Wofford, Kepemimpinan Kristen yang Mengubahkan, (Yogyakarta: Penerbit Andi,2001) h.9 ; bdk Eka
Darmaputera, “Kepemimpinan: Perspektif Alkitab”, h.14.
33
Agus Lay , Kepemimpinan yang Efektif di Tengah-Tengah Tantangan dan Peluang Abad 21, (Kudus: Lembaga
Pelayanan Mahasiswa Indonesia, 1997) h.2
32
11
peremptoar bagi para calon pemimpin gereja. Hal tersebut menunjukkan bahwa topik
kepemimpinan menjadi urgensitas ketika gereja berpikir ke arah pengembangan jemaat di
masa depan. Keberadaan pemimpin diakui memiliki peranan besar yang dapat membawa
kemajuan atau sebaliknya, dapat menyebabkan gereja mengalami stagnasi, kemunduran
bahkan rentan dengan persoalan-persoalan tak terselesaikan. Bahkan dapat yang berujung
pada perpecahan gereja. Secara faktual, GKMI Ebenhaezer merupakan salah satu gereja
yang terbentuk akibat perpecahan terkait konflik internal. Sekalipun ada banyak faktor
terkait di dalamnya, namun peranan pemimpin dan para pengambil keputusan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan atas tragedi tersebut. Sebagai bagian dari GKMI dan selaku
pemimpin jemaat GKMI Ebenhaezer, pergumulan tersebut menjadi salah satu pendorong
W
D
K
U
bagi penyusun untuk berupaya menggali, menemukan dan mengembangkan model
kepemimpinan yang dapat meningkatkan kualitas kepemimpinan gereja di lingkungan
GKMI. Upaya ini merupakan bagian kecil dari pergumulan kepemimpinan gereja dalam
pengertian yang lebih luas, namun setidaknya melalui pemikiran-pemikiran dalam tesis
ini, penyusun dapat turut ambil bagian dan memberikan kontribusi bagi gereja di mana
penyusun telah terhisab di dalamnya.
Secara khusus, dalam konteks jemaat GKMI Ebenhaezer, hal kepemimpinan gereja
merupakan sebuah harapan dan pergumulan penting bagi gereja. Pertama, GKMI
Ebenhaezer merupakan gereja yang masih muda – berusia 7 tahun pada tahun 2015 ini -
©
dan sedang bertumbuh menuju gereja yang dewasa. Dalam perjalanan pertumbuhan
tersebut, sangat dibutuhkan adanya model kepemimpinan yang dapat menunjang arah
pertumbuhan gereja. Kedua, sebagai gereja yang terbentuk akibat perpecahan, penyusun
melihat adanya ketidakpuasan yang berimbas pada harapan terhadap model kepemimpinan
gereja. Perpecahan menimbulkan kekecewaan dan ketidakpercayaan terhadap pemimpin
gereja yang dianggap cenderung terpusat pada pribadi/kelompok tertentu,
lebih
menekankan otoritas kekuasaan daripada keperdulian pada aspirasi jemaat, serta kurang
tanggap dan peka dalam menjawab krisis34. Hal ini memunculkan harapan adanya
pemimpin yang berbeda dengan model kepemimpinan tersebut. Untuk itu dibutuhkan
sebuah model kepemimpinan sebagaimana harapan jemaat, yaitu kepemimpinan yang
berorientasi pada jemaat sekaligus memiliki kemampuan sebagai problem solver dalam
krisis yang menggoyahkan jemaat.
34
Kesimpulan ini berdasarkan pada analisa sejarah, brainstorming dan hasil penelitian CSI (Conggregational
Systems Inventory) sebagaimana tertuang dalam paper ekklesiologi-kontekstual yang telah dipertahankan
penyusun dalam ujian peremptoar Sinode GKMI, November 2014, h.11, 17, 45
12
Model kepemimpinan transformatif merupakan model kepemimpinan yang
memberikan penekanan kuat pada orientasi pada pengikut (follower-oriented), namun juga
menekankan sisi keteladanan pemimpin sebagai sumber pengaruh yang melampaui
kekuatan otoritas kekuasaan. Kepemimpinan yang juga memiliki orientasi kuat pada
perubahan paradigma, sikap hidup dan pemberdayaan jemaat ini merupakan model
kepemimpinan yang menarik untuk dikaji dan dikembangkan, baik dalam ranah
kepemimpinan lokal maupun terkait pergumulan sinodal. Di dalamnya terdapat ruang yang
besar bagi pembelajaran bahkan reframing dalam memandang kesalahan, luka maupun
kegagalan untuk menemukan perspektif baru bagi pengembangan yang lebih baik. Bagi
model kepemimpinan ini, menemukan hal-hal yang positif, realistis dan indah, dipandang
W
D
K
U
lebih perlu daripada berorientasi pada masa lalu. Dan hal ini menjadi daya pendorong
positif untuk mengarahkan gerak bersama yang berorientasi pada masa depan yang lebih
baik
1.2. RUMUSAN MASALAH.
Apabila paparan dan harapan tersebut ditarik ke dalam konteks GKMI Ebenhaezer
maka rumusan masalah yang menjadi acuan penelitian tesis ini berporos pada pertanyaan
mengenai bagaimanakah sebuah model kepemimpinan transformatif dapat dimengerti dan
diterapkan sebagai model kepemimpinan gereja di GKMI Ebenhaezer.
©
Rumusan masalah tersebut mengerucut dalam beberapa pertanyaan penelitian,
yaitu :
1. Apa pengertian yang sesungguhnya dari model kepemimpinan transformatif ?
Pertanyaan ini mengarah pada upaya pencarian jawaban terhadap model
kepemimpinan transformatif secara teoritis-konseptual beserta aspek-aspek yang
terkait di dalamnya. Baik terhadap metode kepemimpinan yang dijalankan maupun
komponen -komponen atau variabel utama yang dibutuhkan oleh pemimpinnya.
2. Bagaimanakah pemahaman dan pengharapan (idealisme) jemaat terhadap model
kepemimpinan gereja yang tepat ?
Pertanyaan ini mengarah pada penggalian empiris terhadap konsep
kepemimpinan ideal yang dipahami dan diharapkan jemaat, serta menemukan titik
singgungnya dengan konsep kepemimpinan transformatif. Jawaban atas pertanyaan
ini akan menjadi salah satu skala ukur untuk mengkaji apakah kepemimpinan
transformatif mampu menjawab idealisme jemaat sekaligus sebagai batu pijak yang
13
melahirkan action point bagi langkah konstruktif berkesinambungan menuju ke
model kepemimpinan transformatif yang tepat guna bagi gereja.
3. Seberapa jauh model kepemimpinan transformatif ini dapat diejawantahkan bagi
kepemimpinan gereja di GKMI Ebenhaezer ?
Esensi dari pertanyaan ini pertama-tama adalah menemukan dasar teologis
melalui
kajian
biblika
yang
diperjumpakan
dengan
teoritis-konseptual
kepemimpinan transformatif dan empiris-praktis idealisme jemaat. Kajian biblika
akan menjadi batu uji dan titik acu bagi pengejawantahan model kepemimpinan
transformatif sebagai model kepemimpinan gereja. Hal ini mengingat bahwa model
kepemimpinan ini pertama-tama justru muncul dari dunia kepemimpinan dan
W
D
K
U
literatur sekuler35, karena itu penerapan dalam konteks bergereja membutuhkan
landasan teologis yang perlu digali melalui studi biblika sekaligus kesesuaian
dengan konteks lokal kehidupan bergereja di GKMI Ebenhaezer. Jawaban atas
pertanyaan ini selanjutnya akan menjadi kerangka model yang mengacu pada
pengejawantahan kepemimpinan transformatif bagi GKMI Ebenhaezer. Mendarat
tidaknya sebuah konsep sangat ditentukan oleh interaksi antara teks (pustaka dan
biblika) dengan konteks36. Kerangka berpikir akademis-biblika-empiris dengan
aksentuasi pada kepemimpinan ini pada gilirannya akan mewarnai teologia praktis
pembangunan jemaat dan dinamika kehidupan bergereja di GKMI Ebenhaezer .
©
1.3. TUJUAN PENELITIAN
Tesis ini dibuat dengan tujuan :
1. Secara teoritis : Meneliti model kepemimpinan transformatif sebagai salah satu model
kepemimpinan melalui kajian pustaka
2. Secara teologis : Menemukan dasar – dasar teologis melalui kajian biblika yang
memungkinkan kepemimpinan transformatif menjadi model yang dapat diterapkan bagi
kepemimpinan gereja.
3. Secara empiris : Meneliti dan mendapatkan sebuah deskripsi dan analisa terhadap
pemikiran dan harapan jemaat GKMI Ebenhaezer mengenai kepemimpinan gereja yang
ideal sesuai konteks lokal dan kebutuhan jemaat.
35
36
Jerry C. Wofford, Kepemimpinan Kristen yang Mengubahkan, h.7
Emanuel Gerrit Singgih, Berteologia dalam Konteks: Pemikiran-Pemikiran mengenai Kontekstualisasi Teologi
di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius dan Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000) h.88
14
4. Secara praktis : Menghasilkan sebuah rekomendasi aksi bagi upaya penerapan model
kepemimpinan transformatif di GKMI Ebenhaezer yang mengarah pada peningkatan
kualitas kepemimpinan dan berdampak bagi upaya pembangunan jemaat.
5. Secara akademis : Untuk memenuhi salah satu syarat akademis guna mencapai gelar
Magister Sains Teologi pada program Pascasarjana (S.2) Fakultas Teologia Universitas
Kristen Duta Wacana Yogyakarta prodi Master of Arts in Practical Theology (MAPT)
1.4. MANFAAT PENELITIAN
1. Dalam perkembangan teologia praktis (practical theology): Penelitian ini memberikan
sumbangsih mengenai satu model kepemimpinan yang berguna bagi peningkatan
W
D
K
U
kualitas kepemimpinan gereja. Kajian ini bukan hanya berbicara tentang teori dan
model kepemimpinan, melainkan juga memberikan dasar-dasar teologis serta
perealisasiannya dalam kepemimpinan gereja.
2. Dalam dimensi ekklesiologi: Penelitian ini bertujuan untuk memberikan sumbangsih
yang berguna bagi pertumbuhan gereja yang sehat dan dinamis melalui model
kepemimpinan transformatif37. Secara khusus, penelitian ini bermanfaat bagi
pengembangan pola kepemimpinan di GKMI (sinodal) maupun GKMI Ebenhaezer
(lokal).
3. Bagi para pemimpin gereja: Penelitian ini sangat berguna bagi pengembangan diri
©
sebagai pemimpin-pemimpin yang menerima panggilan mulia dari Allah untuk
“menggembalakan kawanan domba-Nya” (I Petrus 5:2-3). Melalui penelitian ini, para
pemimpin gereja didorong untuk berani mengkritisi ulang model kepemimpinannya
sekaligus menantang para pemimpin gereja untuk melakukan transformasi diri secara
eksistensial terkait tanggung jawab dan peran kepemimpinannya di gereja.
4. Bagi penyusun: Penelitian ini akan memperluas wawasan penyusun mengenai
kepemimpinan transformatif sebagai salah satu model kepemimpinan modern dalam
lautan pengetahuan tentang kepemimpinan, sekaligus sebagai pendorong bagi
manajemen pengembangan diri selaku pemimpin gereja.
1.5. PENJELASAN ISTILAH
Tesis ini mengambil judul : “Kepemimpinan Transformatif bagi GKMI Ebenhaezer”
dengan pemahaman dan batasan pengertian istilah sebagai berikut :
a. Pemimpin
37
Peter C.Wagner, Gereja Saudara Dapat Bertumbuh, (Malang: Gandum Mas, 2003) h.31 bdk Roma 12:4-6
15
Kata pemimpin (leader) berasal dari kata kerja pimpin, dan merujuk pada
orang/ personal/petunjuk/manual book yang berfungsi/menjalankan tugas/peran dalam
memimpin, mengarahkan, membimbing, menuntun, memandu, mendidik, mengajari
dan atau melatih 38.
Dalam area gereja, dikenal adanya pemimpin klerus (klerk, clergyman) dan
pemimpin awam (lay,layman). Pemimpin klerus merujuk pada pemimpin gereja full
timer yang diangkat secara resmi dan memiliki latar belakang pendidikan teologia,
misalnya tenaga orientasi, pendeta muda dan pendeta. Di lingkungan GKMI, pendeta
muda dan pendeta juga memegang jabatan fungsional sebagai gembala jemaat.
Sedangkan pemimpin awam adalah pemimpin yang berasal dari jemaat, tidak
W
D
K
U
melengkapi diri secara profesional dengan pendidikan teologia, misalnya dalam
kategori ini adalah para pengurus dan majelis gereja39.
Istilah pemimpin dalam tesis ini menunjuk kepada pemimpin gereja dalam arti
pemimpin klerus, yang disahkan otoritasnya melalui pengangkatan resmi di hadapan
jemaat dan memiliki masa bakti dalam periode waktu tertentu.
b. Kepemimpinan
Kamus Besar Bahasa Indonesia40 menjelaskan istilah kepemimpinan sebagai
perihal pemimpin atau cara memimpin. Menurut Mar‟at, Kata pemimpin baru
tercatat dalam The Oxford English Dictionary pada tahun 1300, sedangkan istilah
©
kepemimpinan sebagai terjemahan resmi dari kata “leadership”
belum muncul
sebelum tahun 1800. Lebih lanjut Mar‟at mengatakan bahwa :
“Sejauh ini belum ada penelitian khusus tentang kapan kata
“pemimpin”
dan “kepemimpinan”
mulai digunakan dalam
bahasa
Indonesia” 41.
Charles J.Keating, mengatakan bahwa kepemimpinan menunjuk pada fungsi
seorang pemimpin yang mencakup dua area, yaitu hal menyelesaikan pekerjaan/
tugasnya sebagai pemimpin (task function) dan hal yang terkait dengan kelompok
orang yang dipimpinnya (relationship function)42
38
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi III (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002) h.874.
39
David Sriyanto, “Peranan Klerus dan Awam”, dalam Eddy Paimoen & Soegiharto (ed), Bekerjalah Selama
Siang: Buku Bunga rampai 75 tahun Gereja Kristen Muria Indonesia (Semarang: Panitia HUT ke-75 GKMI,
1994) h.21
40
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 874
41
Mar’at, Pemimpin dan Kepemimpinan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984) h.8
42
Charles J.Keating, Kepemimpinan: Teori dan Pengembangannya, h.9
16
Dari uraian tersebut, maka istilah kepemimpinan dalam tesis ini dipahami :
a. Task function, yaitu cara seseorang menjalankan peran/fungsi/ pekerjaannya
sebagai seorang pemimpin. Di dalamnya terkandung muatan metode, strategi,
tujuan hingga kontrol/pengawasan menuju goal yang diharapkan. Sebuah
tindakan/aksi yang aktif, bukan pasif.
b. Relationship function, yaitu tanggung jawab pemimpin terkait interaksinya
dengan komunitas yang dipimpinnya. Di dalamnya terkandung muatan
tindakan dan perilaku untuk mewujudkan maupun menjaga interaksi.
c. Kepemimpinan gereja (klerus) merujuk pada peran dan fungsi pemimpin
terkait task function dan relationship function yang dijalankan di dalam
W
D
K
U
lingkup gereja, yaitu sebagai pendeta atau gembala jemaat.
c. Kepemimpinan Transformatif
Kata transformatif termasuk kelas kata adjectiva yang menjelaskan nomina
(kata benda) transformasi yang berarti perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi). KBBI
menterjemahkan kata transformatif itu sendiri sebagai “bersifat berubah-ubah bentuk
(rupa, macam, sifat, keadaan dsb)”43. Kata ini merupakan kata serapan dari bahasa
Inggris
“transform” . Dalam kata kerja transitip, kata ini menunjuk pada suatu
tindakan aktif yang dengan sengaja dilakukan dengan tujuan mengubah atau merubah
menjadi sesuatu (bentuk, sifat, fungsi) yang berbeda dengan (bentuk, sifat dan fungsi)
©
sebelumnya44. Misalnya perubahan panas menjadi energi, potensi menjadi daya,
inspirasi menjadi aksi. Dalam bahasa latin digunakan kata “transformare” yang berarti
perubahan sifat, fungsi, kondisi, bentuk dan karakter45 yang menunjuk pada perubahan
mendasar/radikal. Transformasi merupakan sebuah proses perubahan yang radikal
namun terarah dan sistematis.
Jika dilihat dari akar katanya, kata “transform” merupakan bentukan dari dua
kata dasar, yaitu “trans” yang berarti melintasi dari satu sisi ke sisi lain (across) atau
melampaui (beyond) dan “form” yang berarti bentuk. Sehingga kata transformasi
dapat dimaknai sebagai perubahan bentuk yang “lebih dari atau melampaui” bentuk
semula. Bentuk yang baru dipahami lebih baik dari bentuk yang lama.
43
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h.1209
John M.Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, cet.XX (Jakarta: PT.Gramedia, 1992) h. 601
45
Stephen Hacker dan Tammy Roberts, Transformational Leadership : Creating Organizations of Meaning,
(Milwaukee: American Society for Quality (ASQ), 2004), h.1
44
17
Dalam kaitannya dengan kepemimpinan, istilah transformatif ini merujuk pada
proses memimpin atau mempengaruhi pengikut menuju pada sebuah perubahan
mendasar yang semakin baik/meningkat dari keadaan sebelumnya. Dengan demikian,
kepemimpinan
transformatif
dapat
dipahami
sebagai
kepemimpinan
yang
mengubahkan (transforming) atau yang bersifat mengubah (transformational).
Menurut Jerry C.Wofford dalam bukunya “Transforming Christian Leadership”
(1999), penggunaan istilah-istilah tersebut pada intinya sama, baik dalam makna
maupun tujuan yaitu kepemimpinan yang menghasilkan perubahan46.
d. GKMI Ebenhaezer
GKMI (Gereja Kristen Muria Indonesia) Ebenhaezer adalah sebuah gereja
W
D
K
U
yang terletak di Kabupaten Pati – Jawa Tengah dan saat ini digembalakan penyusun.
Gereja ini beraliran Mennonite yang dijalankan menurut tata cara konggregasionalsinodal :
“Suatu cara “pemerintahan” yang tidak ditentukan oleh majelis
jemaat atau oleh orang yang paling “berpengaruh”. Sebaliknya cara
kongregasional (bersifat kejemaatan) bukan dan tidak boleh
diartikan
sebagai demokrasi (wewenang tertinggi oleh rakyat)”47.
Dalam konsep tentang kepemimpinan, GKMI Ebenhaezer mengakui
kewenangan tertinggi ada pada Kristus sebagai Kepala Gereja dan sumber dari segala
©
kekuasaan atau kewibawaan gereja (Matius 23:10; Efesus 5:23), sedangkan
kewenangan tertinggi dalam pengambilan keputusan penting dalam konteks hidup
bergereja ada pada suara jemaat dalam terang Firman Tuhan dan Roh Kudus.
Pemimpin selaku pemegang jabatan gerejawi dipilih dan diangkat oleh jemaat untuk
melaksanakan tugas kepemimpinan dalam kehidupan bergereja. Dalam kaitannya
dengan kepemimpinan Kristus sebagai pemegang kewenangan tertinggi, para
pemimpin gereja ini dipahami sebagai pelaksana tugas dan panggilan Tuhan Yesus
Kristus untuk memelihara gereja-Nya dan untuk melanjutkan pelaksanaan panggilan
para Rasul.
Dengan demikian, istilah GKMI Ebenhaezer dalam tesis ini merujuk pada
komunitas terbatas dengan tata organisasi dan pemahaman tentang kepemimpinan
sebagaimana paparan tersebut di atas.
46
47
Jerry C. Wofford, Kepemimpinan Kristen yang Mengubahkan, h. 8
Persatuan Gereja-gereja Kristen Muria Indonesia, aku dan AKU: Pedoman bagi Calon warga Jemaat
(Semarang: Komisi Literatur Sinode GKMI, Cet.V, 2007), h.74
18
Selain istilah yang termuat dalam judul tersebut, ada beberapa istilah tekhnis yang
digunakan dalam tesis dengan pemahaman dan batasan pengertiannya sebagai berikut :
a. Gaya Kepemimpinan (style of leadership)
KBBI menterjemahkan kata “gaya” dalam arti sikap, irama dan lagu, ragam
yang menyangkut cara, rupa, bentuk48. Dalam bahasa Inggris, digunakan kata “style”
yang berarti corak, mode. Dari kata tersebut mengembang turunan kata seperti
stylewise (kemahiran untuk mengikuti mode), stylish (kemampuan untuk bergaya),
stylist (menunjuk pada person stylish), stylize (menyesuaikan dengan mode)49
Gaya Kepemimpinan mengandung pengertian sebagai bentuk sikap/tingkah
laku atau cara seseorang dalam memimpin sesuai pola/ bentuk tertentu. Gaya
W
D
K
U
Kepemimpinan ini bisa bersifat alamiah sesuai bakat, kecenderungan dan karakter
pribadi seorang pemimpin, namun bisa juga sebagai hasil bentukan dari pelatihan,
disiplin dan konsep/teori tertentu.
b. Model Kepemimpinan (model of leadership)
Gaya kepemimpinan berbeda dengan model kepemimpinan. Yang pertama
lebih mengarah kepada cara atau sikap seorang pemimpin dalam menjalankan
perannya, yang kedua lebih mengarah pada sebuah pola kepemimpinan. Kata model
itu sendiri berarti pola (contoh, acuan) dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan50.
©
Dengan demikian, istilah model kepemimpinan dapat dipahami pemaknaannya
sebagai sebuah pola kepemimpinan berdasarkan sistem dan kerangka pemahaman
tertentu, yang berada dalam jalinan antara teori, metode dan kemampuan/ketrampilan.
c. Teori Kepemimpinan (theory of leadership)
Kata teori menunjuk pada pendapat yang didasarkan pada penelitian dan
penemuan, yang didukung oleh data dan argumentasi. Dapat juga dipahami sebagai
sebuah asas/hukum umum yang menjadi dasar dari suatu ilmu pengetahuan51. Dalam
penggunaan teori kepemimpinan pada tesis ini, penyusun akan merujuk pada
referensi-referensi tertentu dan bukan pada asumsi/dugaan/pra-anggapan, perandaian.
d. Awam
48
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h.340
John M.Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, h. 564
50
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h.751
51
Ibid, h. 1177
49
19
Kata awam berarti umum, am. Kata ini digunakan untuk menunjuk pada
orang-orang kebanyakan, orang biasa atau orang yang tidak istimewa (bukan ahli,
bukan rohaniawan, bukan tentara)52. Dalam bahasa Inggris digunakan kata “lay”
(layman, laity) yang merupakan terjemahan dari bahasa Yunani “laikos” (laikos)
sebagai bagian “laos” (laos) yang berarti rakyat (biasa), orang banyak, massa, bangsa,
suku-suku bangsa atau umat Allah53 (bdk Kis 15:14; Rm 10:21; Ibr 8:10). Dalam
Ensiklopedia Indonesia disebutkan bahwa kata awam ini merupakan kata serapan dari
bahasa Arab yang menunjuk pada orang biasa, bukan ahli, dan dibedakan dengan para
ulama dan cendekiawan yang disebut “khawas”54. Dalam bahasa Inggris, kata
“layman” (awam, orang biasa) ini juga dibedakan dengan “clergyman” (pendeta,
W
D
K
U
pastor).
Penggunaan istilah awam dalam tesis ini menunjuk pada pengertian jemaat
sebagai umat Allah dalam artian yang netral, bukan sebagai orang yang tidak
istimewa/tidak punya keahlian apalagi dalam pengertian “bodoh” sebagaimana
dipahami oleh sebagian orang55. Istilah ini digunakan untuk membedakan peran (role)
dalam gereja, terkait dengan pemimpin (secara formal) dan umat yang dipimpin
(jemaat). Bagi GKMI yang menganut sistem konggregasional, peran kaum awam ini
justru sangat strategis, terutama dalam hal pengambilan keputusan penting dalam
kehidupan bergereja56.
©
1.6. BATASAN PENELITIAN
Dalam penelitian ini, penyusun membatasi penelitian pada konteks jemaat di
GKMI Ebenhaezer dengan pertimbangan bahwa GKMI Ebenhaezer merupakan salah
satu
anggota
Sinode
GKMI,
sehingga
pergumulan
sinodal
terkait
dengan
kepemimpinan pada hakekatnya juga merupakan pergumulan gereja-gereja lokal.
Pertimbangan yang lain karena GKMI Ebenhaezer merupakan gereja yang
masih muda dan sedang bertumbuh menuju gereja yang dewasa. Dalam perjalanan
pertumbuhan gereja tersebut, sangat dibutuhkan adanya model kepemimpinan yang
tepat dan menunjang arah pertumbuhan gereja. Gereja ini juga merupakan komunitas
jemaat yang terbentuk sebagai dampak perpecahan gereja terkait konflik-intern yang
52
Ibid, h. 78
Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru (PBIK), Jilid II,
(Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2010) L.20, h.480. Kata ini disebutkan 142 x dalam Alkitab PB (Yunani)
54
Ensiklopedia Nasional Indonesia vol.10 (Jakarta: PT.Cipta Adi Pustaka, 1990) h.23
55
Herlianto, Pengantar PTE YBA Maya (Bandung: Yayasan Bina Awam, 2001) h.1
56
Persatuan Gereja-gereja Kristen Muria Indonesia, aku dan AKU, h.75
53
20
tidak terlepas dari peran kepemimpinan. Sehingga hal kepemimpinan menjadi sebuah
harapan dan pergumulan penting bagi gereja.
Pada
penelitian
biblika,
penyusun
membatasi
kajian
pada
model
kepemimpinan Yesus Kristus dengan pertimbangan bahwa Yesus adalah contoh nyata
pemimpin ideal dengan pengaruh yang menembus semua lapisan masyarakat.
Kepemimpinan Yesus telah menghasilkan perubahan-perubahan yang nyata pada
zaman-Nya, dan tetap terasa pengaruh-Nya hingga masa kini. Dalam pemahaman
tentang kepemimpinan, GKMI juga telah menetapkan Yesus Kristus sebagai acuan
dasar bagi kepemimpinan gereja57.
Untuk penelitian kualitatif, penyusun membatasi wawancara pada 10 orang
W
D
K
U
informan terdiri dari lima anggota jemaat dan lima simpatisan. Tujuh di antaranya
adalah fungsionaris gereja, baik sebagai pengurus organisasi maupun aktivis pelayanan
non-kepengurusan. Adapun alasan pemetaan penelitian ini adalah :
a. Para fungsionaris gereja atau aktivis pelayanan adalah pemimpin-pemimpin
awam pada bidangnya masing-masing. Karena itu pengalaman, pengamatan dan
penghayatan mereka merupakan kisi-kisi penting yang patut dipertimbangkan.
b. Jemaat GKMI Ebenhaezer merupakan profil pengikut dalam konteks
kepemimpinan gereja. Idealisme jemaat merupakan masukan yang penting
untuk memahami model kepemimpinan yang dapat dikembangkan dan
©
menjawab kebutuhan/harapan jemaat.
c. Jemaat
simpatisan
merupakan
pengamat
yang
patut
dipertimbangkan
pemahamannya, yang secara praktis terlahir dari pengalaman dan pengamatan
model kepemimpinan di gereja asal masing-masing atau gereja lain yang pernah
dikunjungi.
d. Penetapan jumlah 10 orang dalam penelitian kualitatif terkait dengan tingkat
kejenuhan informasi, di mana informasi yang didapatkan pada prinsipnya
mengulang atau menegaskan informasi yang telah didapatkan sebelumnya.
1.7. METODOLOGI PENELITIAN
Tesis ini merupakan hasil perpaduan dari penelitian kepustakaan, baik secara
teoritis maupun biblika, dan penelitian lapangan. Melalui penelitian kepustakaan,
penyusun akan mempelajari dan menggali pengertian kepemimpinan transformatif beserta
aspek-aspek yang terkait di dalamnya, yang pada gilirannya akan menjadi sebuah model
57
Lihat h. 18
21
kepemimpinan yang penyusun perjumpakan dengan analisa-interpretatif hasil penelitian
lapangan dan kajian teologis kepemimpinan Yesus Kristus
Penelitian lapangan merupakan penelitian kualitatif yang memerlukan tahapan
kerja berupa pengumpulan data, penyusunan laporan, analisa dan interpretasi data, dan
evaluasi. Pengumpulan data akan penyusun tempuh menggunakan metode wawancara
terbuka – terfokus dalam rentang waktu antara tanggal 7 – 12 Agustus 2015 pada lokasi
pertemuan sesuai kesepakatan yang dibangun terlebih dahulu dengan informan dan
didokumentasikan dalam rekaman audio sepengetahuan/seijin informan. Sebagai
wawancara terbuka, setiap pertanyaan bukan untuk dijawab begitu saja seperti dalam
sebuah angket, melainkan untuk ditanggapi dan dikomentari, diolah dan diperbaiki,
dibahas dan dianalisa bersama58. Wawancara ini bersifat fleksibel dan spontan dalam
W
D
K
U
konteks persahabatan dan kepercayaan sebagai warna khas sebuah wawancara terbuka.
Sebagai wawancara terfokus, wawancara ini bermaksud komparatif (membandingkan
jawaban) dan representatif (memasukkan jawaban dalam konteks keyakinan dan tema
umum dari kelompok)59. Oleh karena itu penulis mempersiapkan beberapa pertanyaan
utama sebagai acuan wawancara yang akan berkembang sesuai alur pemikiran informan
tanpa menyimpang dari topik utama penelitian.
1.8. KERANGKA TEORI
©
Kepemimpinan adalah sebuah keniscayaan. Di mana ada kehidupan bersama maka
di situ kepemimpinan juga ada. Hal ini berlaku bagi kehidupan berbangsa dan bernegara
hingga komunitas gereja, bahkan komunitas terkecil yaitu keluarga. Dalam lingkaran
komunitas tersebut, seseorang dapat berperan sebagai orang yang dipimpin atau sebagai
pemimpin, bahkan tidak jarang merupakan kombinasi dari keduanya. Pada satu saat dan
dalam satu konteks, ia akan menjadi pemimpin dan pada saat lain dalam konteks yang
berbeda, ia menjadi orang yang dipimpin.
Sebagai sebuah keniscayaan, maka tak terhindarkan muncul pula pemikiranpemikiran tentang kepemimpinan. Ada banyak sekali definisi kepemimpinan dengan
berbagai
penekanan/pendekatannya.
Hal
ini
disebabkan
karena
topik
tentang
kepemimpinan telah diminati banyak orang berabad-abad lamanya. Perbedaan pendapat
tentang definisi kepemimpinan didasarkan pada kenyataan bahwa kepemimpinan
melibatkan interaksi yang kompleks antara pemimpin, pengikut dan situasi. Kebanyakan
58
59
John Mansford Prior, Meneliti Jemaat : Pedoman Riset Partisipatoris, (Jakarta: Penerbit Grasindo, 1997), h.96
Ibid, h.95
22
definisi tersebut mencerminkan asumsi bahwa kepemimpinan merupakan sebuah proses
pengaruh sosial yang sengaja dijalankan seseorang terhadap orang lain untuk menstruktur
aktivitas-aktivitas serta hubungan-hubungan di dalam kelompok atau organisasi tersebut60.
Konsep dan definisi kepemimpinan ini dapat mengalami perubahan karena pengaruh sosial
yang juga berubah.
Eddie Gibbs mengumpulkan ragam definisi tentang kepemimpinan antara lain61 :
“Seorang pemimpin Kristen adalah seorang yang mendapat kapasitas
dan tanggung jawab dari Allah untuk memberi pengaruh kepada
sekelompok umat Allah tertentu untuk menjalankan kehendak Allah
bagi
kelompok tersebut” (J.Robert Clinton , Leadership Emergency Theory).
Definisi ini memberikan penekanan pada otoritas pemimpin yang dipahami bukan berasal
W
D
K
U
dari orang yang dipimpin melainkan datang dari Allah. Dimensi supranatural sangat kuat
mewarnai definisi ini. Tugas pemimpin adalah melakukan kehendak Allah bagi kelompok
yang dipimpinnya.
“Kepemimpinan bukanlah milik pribadi dari beberapa orang yang
memiliki karisma. Kepemimpinan adalah proses yang digunakan oleh
orang-orang biasa ketika mereka memberikan apa yang terbaik dari diri
mereka dan dari orang lain. Kepemimpinan adalah kapasitas anda untuk
menuntun orang lain ke tempat yang belum pernah mereka (dan anda)
datangi” (James Kouzes dan Barry Posner, The Leadership Challenge).
Definisi ini memberikan ruang dan peluang bagi pemimpin yang muncul dari bawah
©
(pemimpin awam). Penekanannya bukan pada karisma melainkan pada pemberian
diri dan kemampuan untuk mengarahkan. Pemimpin dipahami sebagai bagian dari
umat yang mendapatkan otoritas bertolak dari kepercayaan orang-orang yang
dipimpin.
“Kepemimpinan saat ini dipahami banyak orang untuk mengacu pada
tindakan kolektif, dirancang dengan suatu cara agar membawa
perubahan yang signifikan sembari meningkatkan kompetensi dan
motivasi dari semua yang terlibat – tindakan di mana lebih dari satu
individu memengaruhi proses” (Steven Bernstein dan Anthony Smith,
The Puzzle
of Leadership).
Definisi ini memberikan penekanan pada kepemimpinan tim yang terbentuk melalui
sebuah perencanaan untuk mencapai tujuan tertentu yang mengarah pada sebuah
perubahan. Kerjasama dan visi bersama menjadi aspek penting. Setiap orang yang terlibat
60
61
A. Gary Yukl, Leadership In Organizations, Seventh Edition, (New Jersey: Prentice Hall, 2010) h.11
Eddie Gibbs, Kepemimpinan Gereja Masa Mendatang, h.19-22
23
berada dalam jaringan yang saling mempengaruhi, meningkatkan dan memiliki peran yang
sama bagi keberhasilan organisasi.
“Kepemimpinan melibatkan orang , kelompok atau organisasi yang
menunjukkan jalan dalam aspek kehidupan – dalam jangka waktu
singkat maupun panjang – dan dengan demikian, akan memengaruhi
bahkan memberdayakan cukup orang untuk membawa perubahan
terhadap aspek kehidupan tersebut. (Robert Banks dan Bernice
M.Ledbetter, Reviewing
Leadership).
Definisi ini memberi tekanan pada proses dan kemampuan pemimpin untuk mengarahkan
anggota kepada suatu tujuan tertentu yang terkait dengan peningkatan kualitas hidup.
Pemberdayaan dipahami sebagai konsekuensi logis dari keyakinan terhadap tujuan
W
D
K
U
tersebut dan menjadi kunci bagi terjadinya perubahan bagi kehidupan anggota.
“Kepemimpinan adalah sebuah hubungan – sebuah hubungan di mana
satu orang mencoba memengaruhi pemikiran-pemikiran, perilakuperilaku, kepercayaan – kepercayaan atau nilai - nilai orang lain.
(Walter
Wright, Relational Leadership).
Definisi ini memberikan penekanan pada relasi dan kemampuan seorang pemimpin dalam
mempengaruhi dan mentransformasikan ide dan nilai-nilai yang dipegangnya. Perubahan
tertuju pada dimensi internal yang terwujud pada perilaku pengikut.
Meskipun definisi-definisi tentang kepemimpinan tersebut di atas dilakukan
dengan berbagai pendekatan, baik dengan teori sifat (sifat pemimpin sebagai determinan
©
utama), perilaku, kontinum (penekanan pada relasi transaksional), kontingensi atau
situasional (gaya kepemimpinan berkorelasi tepat dengan variable-situasional) namun
ragam pendefinisian tersebut bermuara pada satu pengertian yaitu bahwa kepemimpinan
merupakan sebuah proses yang berpaut-erat dengan kemampuan untuk mempengaruhi
orang lain kepada suatu tujuan yang menghasilkan perubahan. Persoalannya apakah
pengaruh itu dinyatakan melalui kekuatan yang menekan (force) ataukah meyakinkan
(persuasion), berdasar otoritas-formal ataukah legitimasi-informal, kepatuhan membuta
ataukah kesadaran, itulah yang membedakan bagaimana sebuah model kepemimpinan
dijalankan. Menurut Hall, ketaatan pengikut
terhadap pemimpin sebenarnya telah
mengalami pergeseran. Pada masa lalu ketaatan berarti melaksanakan apa yang
diperintahkan, namun pada masa kini ketaatan berarti konsensus, yaitu ketika pemimpin
dan pengikut terampil berbagi dan saling mendengarkan lalu mencapai keputusan
bersama62.
62
Brian P.Hall, Panggilan Akan Pelayanan, h. 58
24
Dari pemahaman terakhir nampak bahwa kepemimpinan pada masa sekarang ini
seharusnya sudah memasuki ranah keterbukaan dan bukan eksklusif-instruksional dengan
mendiktekan apa yang harus mereka jalankan63. Gaya kepemimpinan hierarkis yang
mengandalkan kekuasaan dan otoritas pada masa kini sudah banyak ditinggalkan, dan
berganti dengan gaya kepemimpinan yang lebih bersahabat. Bornemann, sebagaimana
dikutip oleh Hendriks menyebut gaya ini “bukan otoriter tetapi kooperatif”, dengan
perbedaan sebagai berikut :
Gaya otoriter menempatkan referensi pada jabatan; gaya kooperatif pada
rundingan bersama; gaya otoriter membangun jarak dan hierarkis; gaya
kooperatif membangun kedekatan dan susunan datar; gaya otoriter
mengutamakan anggota yang patuh, taat dan disiplin; gaya kooperatif
mengutamakan karakter yang kuat dan menghargai orang yang bebas dan
dewasa pikirannya; gaya otoriter mengakibatkan pengikut kurang
dimengerti dan dihargai, merasa diperas dan tangan terikat; gaya
kooperatif mengakibatkan pengikut merasa dihargai dan dimengerti
sebagai person; gaya otoriter membangun iklim yang penuh ketegangan,
bahaya kecurigaan satu sama lain dan pembentukan klik; gaya kooperatif
bertendensi ke arah kepercayaan, kesatuan, intern dan harmoni; gaya
otoriter tidak membangun kemandirian dan tanggung jawab sehingga
harus mengandalkan otoritas jabatan; gaya kooperatif menghasilkan
kemandirian dan tanggung jawab sehingga memberikan
peneguhan dan pembenaran kepercayaan kepada pemimpin64.
W
D
K
U
Dalam paparannya mengenai kepemimpinan gereja masa mendatang, Eddie Gibbs
menyatakan bahwa kepemimpinan pada masa kini harus bergerak dari model transaksional
©
ke model transformasional65. Dalam kepemimpinan transaksional terjadi transaksi di mana
pemimpin akan menukarkan apa yang dibutuhkan pengikutnya untuk memperoleh apa
yang dibutuhkannya. Pemimpin transaksional memiliki satu tujuan dan para pengikutnya
memiliki tujuan yang lain66 sedangkan kepemimpinan transformatif terjalin dalam koneksi
karena memiliki tujuan dan visi yang dihidupi bersama. Mempertajam hal tersebut, Eka
Darmaputera mengekspos apa yang dituturkan oleh Leighton Ford :
“Kepemimpinan transaksional bekerja dalam situasi, kepemimpinan
transformasional bekerja mengubah situasi; yang satu menerima apa
yang dibicarakan orang, yang lain mengubah apa yang dibicarakan
orang; yang satu menerima aturan dan nilai-nilai; yang lain
mengubahnya; yang satu asyik berbicara mengenai apa yang harus
dipertukarkan, yang lain berbicara mengenai tujuan67.
63
Jan Hendriks, Jemaat Vital dan Menarik, Membangun Jemaat dengan Menggunakan Metode Lima Faktor.
(Yogyakarta: Kanisius, Cet.V, 2006) h. 68
64
Jan Hendriks, Jemaat Vital dan Menarik, h.76-77
65
Eddie Gibbs, Kepemimpinan Gereja Masa Mendatang, h.29
66
Jerry C. Wofford, Kepemimpinan Kristen yang Mengubahkan, h.8
67
Eka Darmaputera, “Kepemimpinan: Perspektif Alkitab”, h. 14
25
Bertolak dari uraian-uraian tersebut di atas nampak bahwa kepemimpinan
transformatif merupakan satu model kepemimpinan yang mengubahkan, kreatif dan tidak
terpancang pada status quo. Kepemimpinan transformatif menggunakan pengaruhnya
bukan dengan gaya menekan atau memaksa, melainkan dengan membangun relasi
berdasarkan penghargaan dan kepercayaan. Dengan demikian jemaat/pengikut tidak
merasa didikte atau diindoktrinasi. Penghargaan dan kepercayaan akan membangkitkan
rasa simpati, dan pada gilirannya dapat mendorong keinginan untuk terlibat dengan
sukarela. Dengan gaya kepemimpinan seperti ini, beban seorang pemimpin akan menjadi
lebih ringan karena ditanggung bersama. Demikian juga dengan visi, tanggung jawab dan
upaya pencapaian tujuan. Model kepemimpinan ini pun sangat terbuka bagi kemungkinan
W
D
K
U
perubahan, kreatifitas, pembaruan dan pemberdayaan yang menunjang pencapaian tujuan
bersama.
Sebagai sebuah komunitas, gereja juga membutuhkan pemimpin dengan gaya dan
model kepemimpinan yang mampu menjawab kebutuhan umat di tengah-tengah arus
zaman yang bergerak cepat dan serba mudah berubah seperti saat ini. Sebuah model
kepemimpinan yang tidak statis namun dinamis. Sebuah model kepemimpinan yang tidak
berpusat pada kultus individu maupun kekuasaan kelompok tertentu melainkan mampu
melibatkan, memberdayakan bahkan melahirkan pemimpin-pemimpin baru. Sebuah model
kepemimpinan yang tidak eksklusif melainkan terbuka atas perubahan bahkan mampu
©
menghasilkan perubahan yang meningkatkan kualitas hidup, harkat kemanusiaan dan
sistem-sistem yang menata kehidupan bersama. Sebuah model kepemimpinan yang tidak
membekukan kreatifitas dan potensi, tidak mematikan inspirasi dan inovasi, tidak
memanipulasi namun memotivasi, tidak sebatas teori namun sungguh-sungguh
teraktualisasi, tidak sekedar mengalir namun bergerak dalam visi, tidak berpusatkan pada
diri dan ambisi melainkan berorientasi pada hasrat melayani, tidak hanya menjawab
kebutuhan masa kini namun juga berorientasi ke masa depan. Model kepemimpinan yang
mampu menjawab kebutuhan tersebut adalah model kepemimpinan transformatif, karena
kepemimpinan ini memberikan penekanan yang kuat pada nilai, visi, relasi, apresiasi,
inspirasi, mobilisasi, pemberdayaan, pelayanan, keteladanan hingga cara kerja team work.
Model kepemimpinan transformatif ini memang terkesan baru dan sedang populer
pada dasa warsa terakhir ini, terutama di kalangan sekuler semacam dunia pendidikan,
perusahaan/bisnis maupun instansi-instansi pemerintah. Namun jauh sebelum teks
kepemimpinan transformatif ini mencuat ke permukaan, Alkitab telah menunjukkan
26
prinsip-prinsip kepemimpinan semacam ini telah dijalankan oleh para pemimpin di
Alkitab. Tidak hanya Musa dengan perubahan paradigma kepemimpinan yang mampu
mendelegasikan tugas, membentuk team work, men-transformasikan nilai-nilai dan visi
yang dipegangnya, dan memberdayakan orang-orang yang dipimpinnya. Alkitab pun
mencatat nama Yusuf sebagai pemimpin yang berprinsip (memiliki keyakinan dan nilai
yang teguh), berkarakter, trampil dan visioner yang merupakan konsekuensi dari
kepemimpinan transformatif68. Demikian juga dengan kepemimpinan Yohanes Pembaptis,
yang dalam kesederhanaannya ia berani menyuarakan perubahan sekaligus dalam segala
kebesarannya ia mampu memberikan tempat bagi pemimpin lain (bdk. Mat 3:1-17, Mrk
1:1-11, Yoh 1:6-8, 19-34; Luk 7:28). Catat juga tokoh pemimpin besar di Alkitab
W
D
K
U
Perjanjian Lama seperti Daniel, Elia, Nehemia, Yeremia, Ezra hingga era Perjanjian Baru
seperti Paulus, Petrus dan Yesus Kristus. Pada para pemimpin tersebut dapat ditemukan
prinsip-prinsip dan ide kepemimpinan transformatif.
Salah satu pemimpin yang menarik untuk dikaji model kepemimpinan-Nya adalah
Yesus Kristus. Sejarah telah menunjukkan dampak transformasi yang dilakukan Yesus.
Nilai-nilai dan prinsip hidup yang mendasari kepemimpinan-Nya sampai saat ini tetap
eksis sekalipun sudah ribuan tahun berlalu sejak kehadiran, pelayanan dan kiprah
kepemimpinan-Nya mewarnai konteks sosial, politik dan religiositas yang menyekitari
umat Israel. Transformasi kehidupan yang Yesus ajarkan dan teladankan telah mendasari
©
berbagai model kepemimpinan yang ada di dunia sekuler maupun gereja hingga era digital
sekarang ini. Sejarah di tangan pemimpin transformatif tidak akan berjalan biasa-biasa
saja, melainkan akan menembus kebekuan dan menghasilkan perubahan dan pembaruan.
Dalam perjumpaannya dengan kepemimpinan Yesus Kristus maka model
kepemimpinan transformatif menemukan dasar teologis dan penyempurnaan untuk
diterapkan sebagai model kepemimpinan gereja. Nilai-nilai prinsip yang dipegang,
diperjuangkan dan dibagikan Yesus menjadi nilai-nilai ideal bagi para pemimpin Kristen
transformatif dalam membentuk karakteristik kepemimpinan dan arah bagi pengembangan
jemaat. Orientasi yang kuat terhadap pengikut membentuk sebuah kepemimpinan yang
rendah hati dan melayani sekaligus yang mengubah dan meningkatkan kualitas kehidupan
jemaat sesuai Firman Tuhan dan keteladanan Yesus. Kesadaran akan peran dan otoritas
Ilahi menjadikan kepemimpinan transformatif mendapatkan penyempurnaan dari sisi
spiritualitas sebagai satu model kepemimpinan gereja.
68
Eka Darmaputera, “Kepemimpinan: Perspektif Alkitab”, h .14
27
Bagi
GKMI
Ebenhaezer
pada
khususnya,
kepemimpinan
transformatif
menawarkan sebuah model kepemimpinan yang terbuka bagi aspirasi jemaat, peka dan
tangguh menghadapi krisis, terbuka bagi pembelajaran dan pemberdayaan, serta
memberikan ruang penting bagi terbangunnya interaksi dan keterpercayaan terhadap
pemimpin.
1.9. SISTEMATIKA
Tesis ini di susun dengan sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
W
D
K
U
Pada bab ini penyusun akan mengutarakan latar belakang dan rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, penjelasan istilah, batasan dan metodologi
penelitian, kerangka teori dan sistematika penulisan tesis.
BAB II : KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF
Pada bab ini penyusun akan menguraikan model kepemimpinan transformatif
dalam kajian teoritis-konseptual. Di dalamnya akan diuraikan tentang pengertian
kepemimpinan transformatif, keberadaannya sebagai paradigma baru dalam
dunia
kepemimpinan,
konsep
kepemimpinan
dan
variabel
pemimpin
transformatif serta evaluasi terkait keunggulan dan kelemahan model
©
kepemimpinan ini.
BAB III : IDEALISME KEPEMIMPINAN GEREJA DALAM PARADIGMA
JEMAAT GKMI EBENHAEZER
Bab III merupakan kajian terhadap hasil laporan penelitian pada lampiran 2.
Pada bab ini akan diinformasikan terlebih dahulu hal-hal yang terkait dengan
penelitian mencakup lokasi, populasi, subyek, topik penelitian dan deskripsi
profil informan. Kemudian akan diuraikan hasil
analisa-interpretatif data
informan untuk memahami idealisme kepemimpinan gereja dalam kerangka
berpikir (paradigma) jemaat GKMI Ebenhaezer. Bab ini akan diakhiri dengan
kesimpulan.
28
BAB IV : PERSPEKTIF KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF TERHADAP
IDEALISME KEPEMIMPINAN GEREJA, YESUS KRISTUS DAN
HIDUP MENGGEREJA
Pada bab ini penyusun akan menyajikan pandangan-pandangan dari perspektif
kepemimpinan transformatif. Pertama, sebagai evaluasi terhadap idealisme
kepemimpinan gereja sebagaimana terurai pada bab III. Kedua, kajian terhadap
kepemimpinan Yesus Kristus sebagai model ideal. Dan ketiga, perspektif
kepemimpinan transformatif dalam hidup menggereja terkait dengan idealisme
jemaat dan kepemimpinan Yesus Kristus.
W
D
K
U
BAB V : PENUTUP
Pada bab terakhir ini penyusun akan memberikan kesimpulan, saran dan strategi
bagi pengejawantahan model kepemimpinan transformatif bagi GKMI
Ebenhaezer.
©
29
Download