BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Multikulturalisme adalah gambaran mengenai keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia saat ini, baik menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya dan kebiasaan masyarakat. Budaya terdiri dari beberapa unsur yang rumit termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, pakaian bangunan dan karya seni. Bahasa yang merupakan salah satu perwujudan budaya yang digunakan untuk berkomunikasi baik lewat tulisan, lisan maupun isyarat. Fungsi bahasa secara khusus adalah untuk berkomunikasi, mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Indonesia sebagai negara yang pluralis memiliki berbagai macam suku, etnik dan budaya. Kebudayaan merupakan sebuah sistem arti dan makna yang tercipta secara historis atau apa yang menuju pada hal-hal yang sama, sebuah sistem keyakinan dan praktek suatu kelompok manusia memahami dan mengatur kehidupan individual dan kolektif mereka. Selain itu, merupakan sebuah cara baik memahami maupun untuk mengorganisasi kehidupan manusia. Kabupaten Banyumas secara administratif terletak pada Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten ini berbatasan langsung dengan Gunung Slamet, Kabupaten Tegal dan Kabupaten Pemalang di utara, sedangkan di sebelah selatan berbatasan langsung dengan Kabupaten Cilacap. Di sisi barat, Kabupaten Banyumasan terapit oleh dua Kabupaten yaitu Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Brebes. Selain itu, di 1 2 sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Kebumen dan Kabupaten Banjarnegara. Masyarakat yang tinggal di wilayah Kabupaten Banyumas ini memiliki kebudayaan yang sama dengan sebagian besar warga di Jawa Tengah. Kultur daerah ini memiliki bahasa yang cukup unik yang dikenal dengan bahasa banyumasan. Dalam interaksi masyarakat di Kabupaten Banyumas selain menggunakan dialek/bahasa Banyumas juga menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa serta bahasa Sunda. Bahasa merupakan identitas suatu bangsa. bahasa dipakai dan digunakan dari situlah bahasa tersebut berasal. Bahasa juga merupakan suatu keunikan dan kekhasan yang dimiliki suatu bangsa. Bahasa bersifat arbitrer. Ia mampu menghasilkan sistem budaya baru yang akan menandakan bagaimana budaya tersebut tumbuh dalam masyarakat. Jawa Tengah bagian barat memiliki dialek Jawa yang khas dibandingkan dengan bahasa Jawa standar yang dipakai di wilayah Jawa Tengah yang lain. Dialek adalah varian dari sebuah bahasa menurut pemakai, variasi ini berbeda satu sama lain, tetapi masih banyak menunjukkan kemiripan. Banyumasan adalah salah satu jenis dialek regional yang berada di daerah Jawa Tengah bagian barat. Dialek yang digunakan oleh mayarakat daerah Banyumas adalah dialek Banyumasan yang sekaligus merupakan ciri khas yang unik dari wilayah tersebut. 3 Penggunaan bahasa Banyumasan sangat melekat jika seseorang tinggal di lingkungan yang menggunakan bahasa Banyumasan. Bahasa sebagai salah satu elemen budaya, dapat menunjukkan suatu dunia simbolik yang khas melukiskan realitas penggunanya. Dalam hal ini kebudayaan dapat diwariskan secara turun temurun. Di era globalisasi dan perkembangan media, proses mobilisasi pada masyarakat sangat pesat. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor baik di bidang pendidikan, kesehatan, budaya, ekonomi, hukum dan lain sebagainya. Salah satu penyebab utama proses mobilisasi ini adalah peluang kebutuhan masyarakat memiliki kesempatan hidup lebih layak didaerahperkotaan dibandingkan di daerah pedesaan. Perkembangan teknologi dan pendidikan yang semakin meningkat membuat kebutuhan hidup semakin meningkat. Munculnya gejala culturlag yang tampak di Indonesia salah satunya adalah sarana dan prasarana pemuas kebutuhan yang masih minim dibandingkan dengan jumlah penduduknya yang tiap tahun semakin meningkat. Mobilitas sosial ini bergerak tidak hanya berlaku untuk satu daerah saja. Namun, berbagai daerah yang ada di seluruh Indonesia. Dominasi wilayah kota yang berpenduduk asli mulai tercampur oleh pendatang yang membawa segala jenis suku, etnik dan budayanya, sehingga proses asimilasi, akulturasi dan lain sebagainya terjadi di daerah kota. Oleh karena itu, kota memiliki tingkat heterogensi yang cukup tinggi dibandingkan dengan wilayah desa. 4 Bahasa Jawa dengan bahasa Banyumas merupakan aset budaya yang nyaris terancam keberadaannya. Banyak orang memandang sebelah mata bahasa Banyumas. Dalam suatu kasus, seorang pengguna bahasa Banyumas merasa malu jika ia menggunakan dialeknya di luar lingkup daerahnya. Hal ini juga terjadi karena labelling yang muncul pada budaya Banyumasan yang tidak hanya diberikan pada sisi bahasanya namun juga di sisi para penuturnya. Selain itu, pencarian identitas diri yang dilakukan oleh masyarakat Banyumas yang dilakukan pada saat berkomunikasi mulai mengalami peralihan dalam menggunakan bahasa. Hal ini berpengaruh juga pada identitas bahasa Banyumasan. Pada kalangan remaja, mereka cenderung menggunakan bahasa – bahasa yang lebih kebarat-baratan atau menggunakan bahasa gaul. Di sisi lain, pada kalangan dewasa, mereka cenderung selektif dalam menirukan bahasa yang diadopsi dari luar daerah Banyumas. Contoh sebuah kasus dalam dunia hiburan (entertainment), penggunaan dialek Banyumasan dijadikan peluang bisnis bagi penuturnya untuk mendapatkan ketenaran dengan menonjolkan beberapa kekhasan tertentu. Dalam hal ini menimbulkan fenomena identitas yang melekat dengan seseorang disebabkan oleh dialek Banyumasan. Sebagai contoh artis Kartika Putri, Cici Tegal dan Parto. Masyarakat memberikan identitas seorang komedian dengan logat khas banyumasannya yang menjadikan penonton atau orang yang mendengar pada saat dia sedang show dalam sebuah acara menjadi bahan tertawaan. 5 Dalam hal ini, bahasa Banyumas mengalami pergeseran oleh para penuturnya dimana hal tersebut terkait dengan konstruksi budaya yang dinilai oleh masyarakat umum baik dari pengguna maupun pihak luar dari suatu sistem budaya. Termasuk bahasa Banyumas yang memiliki anggapan bahwa bahasa Banyumas adalah bahasa yang dianggap kasar dan tidak memiliki unggah-ungguh sehingga dialek tersebut dinilai sebagai dialek guyonan yang digunakan oleh kaum jelata. Jika dilihat dari segi penutur, para pengguna dialek Banyumas tidak sedikit yang merasa malu, bahkan merasa rendah diri jika menggunakan dialeknya dalam berkomunikasi lintas dialek. Bahkan dari beberapa mereka yang memiliki bahasa Banyumasan justru menyembunyikan identitas asli mereka baik laki-laki maupun perempuan. Mereka kadang merasa tidak cocok bahkan tidak pantas jika berkomunikasi menggunakan dialek Banyumasan. Bahkan mereka akan merasa dicemoooh. Dalam hal ini, bahasa atau dialek bukanlah suatu ukuran dalam capaian kemajuan seseorang karena bahasa atau dialek merupakan sebuah identitas. Jika ditinjau dari segi sosial, banyak para orangtua yang mulai enggan untuk mengajarkan bahasa banyumasan kepada para anak-anaknya, sehingga timbul kekhawatiran mengenai punahnya jenis bahasa banyumasan. Para orangtua justru lebih bangga ketika anak-anaknya menggunakan bahasa Indonesia, bahkan bahasa asing. Kebanggaan dalam berbahasa samping kesadaran norma dan loyalitas bahasa, merupakan faktor yang sangat penting bagi keberhasilan usaha pemertahanan sebauah bahasa dalam menghadapi tekanan-tekanan eksternal dari 6 masyarakat yang memiliki bahasa dominan. Meski bahasa Banyumas memunculkan identitas tertentu, secara tidak langsung terjadi proses stereotype. Dimana stereotype dibentuk dan dikonstruksikan oleh masyarakat yang berada di luar komunitas dan penutur suatu dialek yang kemudian memberikan label tertentu dari suatu dialek. Dalam penelitian ini, kajian pada bidang ilmu komunikasi berfokus pada pemerintah sebagai komunikator dalam pelaksanaan strategi komunikasi pemerintah dalam memelihara bahasa daerah. Dalam hal ini pemerintah Kabupaten Banyumas sebagai elemen pemerintahan negara memiliki andil dalam memberikan pandangan-pandangan baru mengenai bahasa Banyumas. Selain itu juga memberikan rasa nyaman kepada masyarakat Banyumas dalam berbahasa sehingga tidak merasa berbeda dalam menggunakan bahasa Banyumas sebagai bahasa utama dalam berkomunikasi serta terdapat penggunaan simbol-simbol Banyumasan sehingga kontruksi identitas bahasa Banyumas dapat dibangun kembali. Fenomena tersebut mengungkapkan bahwa kebijakan dalam berbahasa sangat penting dalam kerangka menjaga dan melestarikan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia. Pergeseran informasi dan labelling mengenai bahasa daerah bisa diminimalisir jika paradigma pemerintah dan masyarakat memandang bahwa bahasa daerah bukan sekadar alat komunikasi dan interaksi saja tetapi merupakan suatu peninggalan budaya yang harus dijaga dan dipelihara keberadaannya dan penggunaannya dalam komunikasi sehari-hari. 7 Mengacu dari permasalahan di atas, pada kesempatan ini peneliti tertarik melakukan penelitian tentang identitas bahasa Banyumas yang dikonstruksi oleh pemerintah Kabupaten Banyumas. Maka penelitian ini mengambil judul “STRATEGI KOMUNIKASI PEMERINTAH BANYUMAS DALAM MEMELIHARA BAHASA DAERAH”. B. RUMUSAN MASALAH Mengacu dari latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana konstruksi identitas bahasa yang bersifat kedaerahan dalam dialek Banyumasan dibentuk dan dinegosiasikan, dilihat dari : 1. Bagaimana Strategi Komunikasi Pemerintah Banyumas Dalam Pemerintah Banyumas Dalam Memelihara Bahasa Daerah ? C. TUJUAN PENELITIAN 1. Mengetahui Strategi Komunikasi Memelihara Bahasa Daerah 2. Mengetahui Keefektifan Strategi Komunikasi Pemerintah Banyumas Dalam Memelihara Bahasa Daerah 3. Memberikan Edukasi Kepada Masyarakat Untuk Membudayakan Berbahasa Daerah Demi Melestarikan Kebudayaan Lokal D. MANFAAT PENELITIAN a. Manfaat teoritik : a. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan dukungan data riset bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan, terutama 8 yang berkaitan dengan disiplin ilmu Komunikasi, Antropologi, Sosiologi tentang Strategi Komunikasi Pemerintah Banyumas Dalam Memelihara Bahasa Daerah. b. Penelitian ini secara teoritis bermanfaat untuk mendeskripsikan kontruksi identitas dialek Banyumasan oleh pemerintah Banyumas. b. Manfaat Rekomendatif/praktis : a. Memperkenalkan jenis dialek Banyumasan yang digunakan oleh masyarakat asli Banyumas. b. Bagi lembaga pendidikan hasil dari penelitian dapat dijadikan sebagai bahan kajian dibidang strategi komunikasi khususnya bagi mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi. 9 E. TINJAUAN PUSTAKA 1. Komunikasi Komunikasi menurut Komsarial Romli adalah transisi informasi dan pemahaman melalui penggunaan symbol-simbol bersama dari satu orang atau kelompok ke pihak lainnya1. “Dalam formulasi Laswell, komunikasi adalah who (siapa), says what (mengatakan apa), in which channel (lewat saluran mana), to whom (kepada siapa), with what effect (efek yang diharapkan). Ditinjau dari pola yang dilakukan ada beberapa jenis yang bisa dikemukakan yaitu pola komunikasi dapat dibagi menjadi lima yakni komunikasi antar pribadi (interpersonal communication), komunikasi kelompok kecil (small group communication), komunikasi organisasi (organization communication), komunikasi massa (mass communication) dan komunikasi publik (public communication)2. Sedangkan dalam secara pragmatis komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan, maupun tak langsung melalui media3.” Komunikasi mempunyai fungsi isi, yang melibatkan pertukaran informasi yang kita perlukan untuk menyelesaikan tugas dan fungsi hubungan yang melibatkan pertukaran informasi mengenai bagaimana hubungan kita dengan orang lain4. Namun, setiap orang punya tujuan yang berbeda, latar belakang yang berbeda, kebiasaan dan preferensi yang berbeda maka komunikasi yang efektif harus bersifat interaktif. Komunikasi interaktif adalah setiap orang ikut aktif dalam mendengarkan dan merespon satu sama lain5. 1 Khomsahrial Romli, Komunikasi Organisasi (Jakarta, Grasindo, 2011) Hlm.9 Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia (Yogyakarta, Bigraf, 2000) Hlm.21 3 Onong Uchana Effendy, Dinamika Komunikasi (Bandung, PT Remaja Rosdakarya,2004) Hlm.5 4 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi : Suatu Pengantar (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2002) Hlm.4 5 Dan O’Hair & Gustav W.F & Lynda Dee D, Strategic Communication in Bussiness and the Professions (Jakarta, Kencana, 2009) Hlm.5 2 10 2. Strategi Komunikasi Fokus perhatian pada program-program yang akan dilakukan oleh organisasi baik berupa pemerintahan maupun perusahaan mulai menumpahkan perhatiannya kepada strategi komunikasi. Strategi komunikasi merupakan paduan dari perencanaan komunikasi (communication planning) dan manajemen (managemen communication) untuk mencapai suatu tujuan 6 . Senada dengan rosady ruslan dalam bukunya berjudul Kiat Dan Strategi Kampanye Public Relations menyatakan bahwa strategi komunikasi hakikatnya adalah suatu perencanaan (planning) dan manajemen (management) untuk mencapai tujuan tertentu dalam praktik operasionalnya.7 Komunikasi membantu anggota-anggota organisasi mencapai tujuan individu dan juga organisasi, merespon dan mengimplementasikan perubahan organisasi, mengordinasikan aktivitas organisasi dan ikut memainkan peran dalam hampir semua tindakan organisasi yang relevan8. Hal ini berkaitan dengan strategi komunikasi perlu disusun secara luwes, sehingga taktik operasional komunikasi dapat segera disesuaikan dengan faktor-faktor yang berpengaruh9. “Kebanyakan organisasi beroperasi berdasarkan management by objectives (MBO), atau management berbasis sasaran dan hasil (MOR). Secara sederhana, MBO secara sistematis mengaplikasikan tekhniktekhnik management yang efektiv untuk menjalankan organisasi. MBO menspesifikasikan hasil (konsekuensi, hasil, dampak) yang akan dicapai, dan karenanya menetapkan kriteria untuk memilih strategi, memonitor kinerja dan kemajuan, dan mengevaluasi efektifitas program.10” 6 Onong Uchana Effendy, Dinamika Komunikasi (Bandung, PT Remaja Rosdakarya,2004) Hlm.29 Rosady Ruslan, Kiat dan Strategi kampanye public relations (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,1997) Hlm.37 8 Khomsarial Romli, Komunikasi Organisasi (Jakarta, PT Grasindo, 2011) Hlm.7 9 Onong Uchana Effendy, Op.Cit., Hlm.33 10 Scott M Cutlip, et al, Effective Public Relitions (Jakarta, Kencana, 2011) Hlm.359 7 11 Manajemen dalam konteks strategi, mempunyai peran untuk membantu perusahaan/instansi menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dalam lingkungan usaha. 11 Perencanaan strategis dalam PR melibatkan pembuat keputusan tentang tujuan dan sasaran program, mengidentifikasi publik kunci, menentukan kebijakan atau aturan untuk memandu pemilihan strategi dan menentukan strategi. 12 Dalam praktik PR, strategi biasanya mengacu pada konsep, pendekatan atau rencana umum untuk program yang didesain guna mencapai tujuan. Taktik mengacu kepada level operasional: kejadian actual, media dan metode yang dipakai untuk mengimplementasikan strategi. Tujuan strategi komunikasi menurut R Wayne Pace, Brent D. Peterson dan M Dallas Burnet dalam buku berjuddul Kiat Dan Strategi Kampanye Public Relations terdapat beberapa hal diantaranya adalah : a. To Secure Understanding Untuk memastikan bahwa terjadi suatu pengertian dalam berkomunikasi b. To Establish Acceptance Bagaimana cara penerimaan itu terus dibina dengan baik c. To Motion Action Penggiatan untuk motivasi d. The Goal Which The Communicator Sought To Achieve Bagaimana mencapai tujuan yang hendak dicapai oleh pihak komunikator dari proses komunikasi tersebut 11 12 Scott M Cutlip, et al, Effective Public Relitions (Jakarta, Kencana, 2011) Hlm.352 Ibid, Hlm.356 12 Dalam melakukan perencanan, penting dalam suah strategi komunikasi agar mendapatkan dukungan penuh baik dari pimpinan puncak perusahaan/instansi karena besar kemungkinan langkah yang diambil akan sangat strategis dan melibatkan keikutsertaan banyak bagian maupun dukungan dari khalayak atau masyarakat. Pada tahap perencanaan, terdapat model perencanaan yaitu model perencanaan “model enam langkah”. Model ini sudah diterima secara luas oleh para praktisi. Adapun keenam tahapannya yaitu sebagai berikut : (1) pengenalan situasi, (2) penetapan tujuan, (3) definisi khalayak, (4) pemiihan media dan teknik-teknik humas, (5) perencanaan anggaran serta, (6) pengukuran hasil.13 Dilihat pada segi implementasi, teori difusi berpengaruh pada strategi komunikasi. Teori difusi adalah cara lain dalam melihat bagaimana orang memproses dan menerima informasi. Teori ini mengatakan bahwa seseorang akan mengadopsi sebuah ide hanya setelah melewati lima langkah terpisah berikut : a. Kesadaran, individu yang bersangkutan telah terekspos dengan ide tersebut b. Minat, ide harus membangkitkan minat individu yang bersangkutan c. Evaluasi, individu harus mempertimbangkan bahwa ide tersebut berpotensi memiliki kegunaan d. Percobaan. Individu tersebut mengujicobakan ide itu kepada orang lain e. Adopsi. Tahap ini merepresentasikan penerimaan akhir dari ide tersebut setelah sukses melewati empat langkah sebelumnya.14 13 14 M. Linggar Anggoro, Teori & Profesi Kehumasan (Jakarta, Bumi Aksara, 2005) Hlm.77 Dan Lattimore, et al, Public Relitions: Profesi dan Praktik (Jakarta, Salemba Humanika, 2010) Hlm.57 13 Dalam menjangkau keefektifitasan sebuah strategi komunikasi tidak hanya diukur dari strategi komunikasi namun juga faktor yang organisasi sebagai pelaku komunikasi. Komunikasi antar persona efektif apabila perangsang yang diprakarsai dan dimaksudkan oleh komunikator amat cocok dengan perangsang yang dirasakan dan ditanggapi oleh komunikan, semakin besar kecocokan antara makna yang kita maksudkan dengan tanggapan yang kita terima, berarti semakin efektif komunikasi.15 Beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas komunikasi kelompok adalah kohesivitas, norma, peran konformitas, groupthink, advokasi dan konflik 16 . Pada proses implementasi dari strategi komunikasi juga mempertimbangkan khalayak atau sasarannya. Khalayak adalah (public) adalah kelompok atau orang- orang yang berkomunikasi bersama dengan suatu organisasi, baik secara internal maupun secara eksternal.17 Selain itu, peranan media juga menjadi salah satu pendukung dalam proses penyampaian pesan dalam sebuah strategi komunikasi. Dalam jurnal internasional Media as Educator, Media as Disruptor: Conceptualizing the Role of Social Context in Media Effects menerangkan bahwa : “Media bring information about the outside world into people’s homes, communities, and networks, but this incoming information does not fall into a social vacuum. Rather, much like light that bends according to the density of the medium through which it travels, mediated messages are 15 Onong Uchana, Human Relation and Public Relations dalam Management (Bandung, Alumni, 1983) Hlm.79-80 16 Dan O’Hair & Gustav W.F & Lynda Dee D, Strategic Communication in Bussiness and the Professions (Jakarta, Kencana, 2009) Hlm.342 17 Frank Jefkins, Public Relitions (Jakarta, Erlangga, 2003) Hlm.80 14 subject to interpretive refraction when they encounter environments that vary in beliefs, values, and social contexts”18 3. Bahasa Sebagai Unsur Budaya Masyarakat Indonesia dengan kemajemukan dan multikulturalnya, memiliki unsur budaya yang beraneka ragam. Terutama dalam hal bahasa. Setiap masyarakat didaerah tertentu memiliki bahasa tertentu. Selain itu, Revitalisasai budaya hanya terdapat dua kunci yang harus dimiliki untuk tetap eksis sebagai warga dunia. Pertama, harus menjadi karakter yang berkualitas dalam pengertian memiliki kepekaan budaya yang tinggi (high culture sensitivity) dan jati diri bangsa yang kukuh (strong nation identity)19. Maka bahasa memiliki hubungan yang sangat erat dengan budaya dari suatu masyarakat. Setiap kebudayaan menjadikan bahasa sebagai media untuk menyatakan prinsip-prinsip ajaran, nilai, norma budaya kepada para pendukungnya. Bahasa merupakan mediasi pikiran, perkataan dan perbuatan. Seperti kebudayaan secara umum, bahasa dipelajari untuk melayani setiap pikiran manusia20. Bahasa memiliki beberapa fungsi yaitu fungsi pertama bahasa yaitu mempelajari apa saja yang menarik minat anda. Fungsi kedua yakni, sebagai sarana untuk berhubungan dengan orang lain dan ketiga untuk hidup lebih teratur, 18 Rajiv N Rimal, Adrienne H. Chung and Nimesh Dhung Ana. 2015. “Media as Educator, Media as Disruptor: Conceptualizing the Role of Social Context in Media Effects” Journal Of Communication 65 (5), 863-887 19 Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata, Dialog Budaya, Wahana Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Bangsa (Jakarta, CV mitra Sari, 2001) Hlm.125 20 Aloliliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2011) Volume 2, Hlm.129 15 saling memahami mengenai diri kita, kepercayaan-kepercayaan kita dan tujuantujuan kita21. Banyumasan sebagai dialek bahasa merupakan bagian dari budaya, dimana budaya menurut aliran culture relativition tidak ada yang baik dan tidak ada yang buruk. Semua tergantung dari cara orang atau kelompok orang memandangnya 22 . Penggunaan bahasa menerjemahkan nilai dan norma, menerjemahkan skema kognitif manusia, menerjemahkan persepsi, sikap dan kepercayaan manusia tentang dunia para pendukungnya. Selain itu, hubungan antara bahasa yang digunakan seseorang, bagaimana pendangan mereka tentang jati diri mereka dan kesimpulan apa yang dibuat orang lain tetntang jati diri mereka itu23. 4. Bahasa, Dialek dan Identitas Penggunaan bahasa sebagai bentuk bagian dari budaya, bahasa juga digunakan kelompok tertentu memiliki kesesuaian dengan aspek-aspek lain dari identitas sosial dan keanggotaan kelompok itu24. Bahasa sebagai pembawa pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain. Bahasa ini bisa dalam arti sempit, yakni bahasa verbal, dapat juga dalam arti luas yaitu bahasa non verbal, termasuk isyarat dan tingkah laku. Tidak jarang efektivitas komunikasi ditentukan oleh 21 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Bandung, Rosdakarya, 2002) Volume 4, Hlm.243244 22 Ibid, Hlm.125 23 Linda Thomas dan Shan Wareing, Bahasa, Masyarakat & Kekuasaan (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007) Hlm.17 24 Ibid, Hlm.239 16 faktor bahasa. Peliknya bahasa sebagai medium komunikasi ialah karena bahasa mengandung pengertian konotatif selain denotatif25. Dalam bahasa terdapat beberapa bentuk aksen dan dialek. Bahkan untuk daerah tertentu memiliki gaya aksen dan dialek tertentu pula. Dialek adalah varian dari sebuah bahasa menurut pemakai, variasi ini berbeda satu sama lain, tetapi masih banyak menunjukkan kemiripan. Banyumasan adalah salah satu jenis dialek regional yang berada di daerah jawa bagian selatan. Hal ini menunjukkan bahwa Komunikasi akan menemukan bentuknya secara lebih baik manakala menggunakan bahasa sebagai alat penyampaian pesan kepada orang lain. Penggunaan bahasa yang efektif, memakai bahasa apa, siapa yang menjadi sasaran adalah manifestasi dari komunikasi sebagai proses budaya26. Kesamaan norma linguistik dalam kelompok, peran dari masyarakat bahasa / speech community (yaitu kelompok sosial pengguna bahasa tertentu yang bisa bermacam-macam ukurannya dari kelompok jalanan atau geng remaja sampi seluruh warga di sebuah daerah tertentu) 27 . Dalam proses peran inilah, maka muncul identitas-identitas baik dari pengguna bahasa maupun identitas bahasa itu sendiri. Konsekuensi dalam sosio-linguistik dapat dibaca di luar konteks, beberapa faktor yang harus dipertimbangkan ketika mencoba untuk menentukan 25 Onong Uchana Effendy, Kepemimpinan dan Komunikasi (Bandung, Alumni, 1981) Volume 4, Hlm. 50 Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia (Yogyakarta, Bigraf, 2000) Hlm.43 27 Linda Thomas dan Shan Wareing, Bahasa, Masyarakat & Kekuasaan (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007) Hlm. 236 26 17 batas-batas suatu bahasa masyarakat (dialek), atau relevansi konsep 'masyarakat tutur' untuk analisis28. Hubungan antara bahasa dan identitas akan selalu menghasilkan hubungan yang kompleks antara faktor individu, faktor sosial dan faktor politik yang secara bersama-sama membentuk identitas orang sebagai bagian kelompok sosial atau sebagai pihak yang berada diluar kelompok sosial itu29. Sedangkan untuk identitas pengguna bahasa akan muncul beberapa identitas, diantaranya adalah identitas individu, identitas sosial, identitas institusional adalah sesuatu yang terus-menerus dibentuk dan dinegosiasikan dalam sepanjang kehidupan kita lewat interaksi kita dengan orang lain. Selain itu identitas juga memiliki banyak aspek karena orang bisa berganti peran dan menjalankan identitas yang berbeda pada waktu yang berbeda dan situasi yang berbeda dan tiap-tiap konteks mengharuskan satu orang yang sama untuk beralih ke peran lain yang kadang-kadang mengalami konflik dengan peran lainyang juga dilakukan dalam konteks lain30. 5. Dialek Banyumasan dan Perkembangannya Nilai besar dialektologi persepsi adalah bahwa hal itu menyoroti sejauh mana ideologi bahasa dibatasi letak geografis, kontingen sosial , dan tempattempat, waktu, dan orang-orang tertentu31. Banyumasan merupakan dialek khas 28 Peter Trudgill, On Dialect: Social and Geographical Perspectives (Blackwell, Oxford, 1983) Linda Thomas dan Shan Wareing, Bahasa, Masyarakat & Kekuasaan (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007) Hlm.239 30 Linda Thomas dan Shan Wareing, Bahasa, Masyarakat & Kekuasaan (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007) Hlm. 224 31 Mary Bucholtz dan Nancy Bermudez dan Victor Fung dan Lisa Edwards dan Rosalva Vargas, “Hella Nor Cal or Totally So Cal?: The Perceptual Dialectology of California”, Journal of English Linguistics, Nomor 35, (2007) Hlm.325 29 18 untuk daerah Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap, Purwakerto dan Kebumen. Di daerah Banyumas, terdapat beberapa jenis bahasa yang digunakan oleh masyarakatnya yaitu bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan bahasa Sunda. Namun, penggunaan bahasa di wilayah ini mayoritas menggunakan bahasa jawa tetapi masih tercampur dengan aksen Banyumasan. Hal ini disebabkan karena dialek Banyumasan digunakan sebagai bahasa ibu. Hal ini juga didukung dengan salah satu teori bahwa Aksen dan dialek seseorang akan menunjukkan banyak hal tentang latar belakang mereka. Aksen dapat menunjukkan dari mana seseorang berasal dan tidak hanya itu saja, aksen juga dapat menunjukkan kelas sosial dan jenis pendidikan yang pernah mereka dapatkan32. Akan tetapi stereotipe dapat terjadi kepada bahasa tertentu stereotipe ini disebabkan oleh etnosentrisme budaya yang berakibat pada etnosentrisme bahasa. Stereotyping adalah kategorisasi atas suatu kelompok secara serampangan dan mengabaikan perbedaan-perbadaan individual 33 . Pandangan etosentrisme bahasa adalah kecenderungan mengukur bahasa orang lain dengan bahasa sendiri. Sehingga akan akan berakibat pada pemaknaan bahwa bahasa orang lain akan dinilai sebagai bahasa aneh, lucu, kasar dan dinilai tidak baik. Selain itu, dalam pemberian identitas juga dapat dipengaruhi oleh prasangka. Prasangka (prejudice) adalah suatu kekeliruan persepsi terhadap orang 32Linda Thomas dan Shan Wareing, Bahasa, Masyarakat & Kekuasaan (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007) Hlm.225 33 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Bandung, Rosdakarya, 2002) Volume 4, Hlm 218 19 yang berbeda 34 . Identitas linguistik tidak terletak pada hanya dialek atau kode saja, melainkan identitas linguistik juga dipengaruhi oleh cara kita menggunakan bahasa itu dengan orang lain, atau dengan kata lain oleh cara kita berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain lewat pembicaraan35. Hal ini berpengaruh pada intensitas penggunaan dialek Banyumasan oleh pelaku komunikasi. Mereka bersifat selektif dalam menggunakan jenis bahasa tertentu. F. KERANGKA PEMIKIRAN Bangsa Indonesia dalam perkembangan menuju masyarakat yang bebas dan berdaulat dalam keanekaragaman ras, budaya, bahasa, suku dan agama. Pada dasarnya dinamika masyarakat dan kebudayaan terus berkembang. Salah satu perkembangan kebudayaan dalam masa orde baru dan reformasi adalah mengenai eksistensi bahasa. Penggunaan bahasa sebagai bentuk bagian dari budaya, bahasa juga digunakan kelompok tertentu memiliki kesesuaian dengan aspek-aspek lain dari identitas sosial dan keanggotaan kelompok itu36. Istilah bahasa, terdapat yang berupa bahasa nasional dan bahasa lokal (bahasa daerah). Varian dari sebuah bahasa menurut pemakai, variasi ini berbeda satu sama lain, tetapi masih banyak menunjukkan kemiripan adalah dialek. 34 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Bandung, Rosdakarya, 2002) Volume 4, Hlm 218 Linda Thomas dan Shan Wareing, Bahasa, Masyarakat & Kekuasaan (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007) Hlm 227 36 Ibid, Hlm.6 35 20 Dalam penelitian ini akan meneliti tentang strategi komunikasi pemerintah Banyumas dalam memelihara bahasa daerah. Sesuai dengan kebijakan pemerintah Kabupaten Banyumas dalam Surat Keputusan Bupati No. 1867, Tentang Penggunaan Bahasa Jawa Dialek Bayumas Di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Banyumas. Hal ini disebabkan karena identitas dialek yang berasal dari daerah Banyumas ini terbentuk oleh strereotype yang diperoleh dari orang luar daerah Banyumas. Stereotype-stereotype ini semacam ini dapat mempengaruhi hilangnya bahasa daerah asli Banyumas. Selain itu, bahasa ini telah mengalami pergeseran fungsi bahasa bagi penuturnya, terutama dikalangan masyarakat asli Banyumas yang tinggal berada di luar wilayahnya. Penelitian ini berdasarkan kasus penggunaan bahasa/dialek Banyumasan yang mulai tidak digunakan oleh penuturnya jika berada di luar wilayah banyumasan. Fenomena yang terjadi adalah beberapa kecenderungan selain bahasa/dialek banyumasan yang tidak digunakan oleh penuturnya jika berada di luar wilayah banyumasan yaitu proses akulturasi budaya dengan budaya yang berada di perkotaan yang mengakibatkan pada masyarakat asli banyumas merasa malu jika menggunakan dialeknya. Seharusnya proses beradaptasi dan berintegrasi dengan lingkungan dimana ia berada, tidak menghilangkan identitas bahasa/dialek malah sebaliknya, masyarakat banyumasan justru cenderung untuk bergabung dan berkomunikasi serta berinteraksi menggunakan bahasa yang ada di perkotaan. Kesadaran pemerintah Banyumas dalam kepeduliannya terhadap bahasa daerah senada dengan Pasal 32 Ayat 1 dan 2 UUD 1945 yang berbunyi “Negara 21 menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional” dan Surat Keputusan Bupati No. 1867, Tentang Penggunaan Bahasa Jawa Dialek Bayumas Di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Banyumas. Beberapa program pemerintah Banyumas dalam meningkatkan kesadaran bahasa daerah kepada masyarakat telah dilakasanakan. Hal ini akan berdampak pada pembentukan dan negosiasi pemerintah dalam mengkonstruksi identitas bahasa yang bersifat kedaerahan dalam bahasa/dialek Banyumas. Dalam konstruksi identitas, pemerintah Banyumas melakukan strategistrategi komunikasi hal ini dilakukan agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Baik berupa rasa nyaman dan tidak merasa berbeda kerana menggunakan dialek Banyumasan sebagai bahasa utama dalam berkomunikasi. Sehingga kontruksi identitas dialek Banyumasan dapat dibangun kembali sesui dengan nilai-nilai dan norma karena penggunaan dialek dalam berbahasa tidak menunjukkan kemajuan atau kemunduran suatu masyarakat. Akan tetapi, identitas pengguna dialek tidak hanya ditentukan oleh kelompok atau masyarakat tertentu. Namun, juga dapat diperoleh dengan prosesproses pelabelan (labeling) yang diperoleh dalam konstruki identitas yang dilakukan oleh masyarakat luas. Pelabelan identitas yang didapatkan oleh dialek Banyumasan dan penggunanya diharapkan dapat sesuai dengan harapan pemerintah melalui strategi komunikasi yang telah dilakukan oleh pemerintah Kabupaten. Hal ini dipengaruhi persepsi pengguna dialek Banyumasan, pengaruh lingkungan dan upaya-upaya mempertahankan identitas dialek Banyumasan 22 Dengan munculnya identitas-identitas baru, maka akan memberi efek-efek yang dapat mempengaruhi perilaku baik kelompok maupun anggota kelompok. Untuk memperjelas keterangan diatas, berikut kerangka berpikir dalam penelitian ini: Tabel 1. Kerangka Berpikir G. METODOLOGI PENELITIAN Secara umum, metode adalah prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu secara sistematis. Sementara metodologi adalah proses, prinsip dan prosedur yang kita gunakan untuk mendekati problem dan mencari jawaban 37 . Jadi metode penelitian merupakan bagian dari ilmu pengetahuan yang mempelajari bagaimana prosedur kerja mencari kebenaran.38 37 38 Dedy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2006) Hlm. 145 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta, Rake Sarasin, 2000) 23 1. Pendekatan Penelitian Berdasarkan masalah yang diajukan dalam penelitian ini, yang lebih menekankan pada masalah proses dan makna (persepsi dan partisipasi), maka jenis penelitian dengan strateginya yang terbaik adalah jenis penelitian kualitatif yang bertujuan untuk menggali atau membangun proporsi atau menjelaskan makna di balik realita. Dalam penelitian kualitatif ini menggunakan tipe eksploratif. Penelitian pada tingkat ekploratif ini merupakan tingkat penelitian awal, yang sifatnya merupakan penelitian penjelajahan, artinya peneliti sama sekali belum mengetahui apa yang terjadi. 39 Dalam penelitian ini peneliti mengawali penelitiannya tanpa prasangka ataupun pertanyaan yang mengarah, karena sasaran penelitiannya sama sekali asing baginya. Teori penunjang yang digunakan dalam teknis penelitian dan mengarahkan serta membentuk cara penekatan khusus menggunakan teori budaya dalam penelitan kualitatf. Hal ini disebabkan perilaku selalu didasarkan pada makna sebagai hasil persepsi terhadap kehidupan para pelakunya. Apa yang dilakukan dan mengapa orang yang melakukan berbagai hal dalan kehidupannya, selalu didasarkan pada definisi menurut pendapatnya sendiri yang dipengaruhi secara kuat oleh latar belakang budayanya yang khusus. Tugas peneliti kualitatif wajib memahami karakteristik metodologi yang digunakannya, karena karakteristik metodologi tersebut secara jelas mewarnai setiap langkah kegiatan dalam proses pelaksanaan penelitian baik penelitian dasar 39 H.B. Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif (Surakarta, Sebelas Maret University Press, 2002) Hlm. 39 24 maupun terapan, yang tampak tajam yang membedakannya dengan pelaksanaan penelitian kualitatif40. Dari kajian tentang definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian dimana peneliti belum mengerti variabel mengenai jawaban sehingga peneliti dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti hendak mendeskripsikan dan menggali data tentang strategi komunikasi pemerintah Banyumas dalam memelihara bahasa daerah). 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kantor Pemerintah Kabupaten Banyumas yang berada di Ibukota Kabupaten Banyumas yaitu Purwokerto. Kabupaten Banyumas terbagi menjadi empat bagian yaitu kecamatan Purwokerto Barat, Purwokerto Timur, Purwokerto Selatan, dan Purwokerto Utara. 3. Subyek Penelitian Data atau informasi paling penting untuk dikumpulkan dan dikaji dalam penelitian ini sebagian besar berupa data kualitatif. Penelitan ini menggunakan sumber data berupa informan, peristiwa atau aktivitas dan perilaku serta tempat atau lokasi. Menurut Sutopo, informan (narasumber) adalah individu yang memiliki informasi. 40 H.B. Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif (Surakarta, Sebelas Maret University Press, 2002) Hlm.34 25 Dalam penelitian kualitatif posisi sumber data yang berupa manusia (narasumber) sangat penting perannya sebagai individu yang memiliki informasinya. Peneliti dan narasumber disini memiliki posisi yang sama. Oleh karena itu narasumber bukan sekedar memberikan tanggapan pada yang diminta peneliti, tetapi ia bisa lebih memilih arah dan selera dalam menyajikan informasi yang ia miliki. Karena posisi inilah sumber data yang berupa manusia di dalam penelitian kualitatif lebih tepat disebut sebagai informan daripada responden.41 Penelitian kualitatif cenderung menggunakan teknik sampling yang bersifat selektif dengan menggunakan pertimbangan berdasarkan teoritis yang digunakan, keingintahuan peneliti, karakteristik empirisnya dan lain-lainnya. Dalam penelitian ini, peneliti sebelumnya sudah memahami informasi awal tentang objek penelitian sehingga informan penelitian dilakukan dengan cara key person. Key person adalah tokoh formal dan informal yang terlibat dalam objek penelitian yang dibutuhkan untuk memulai wawancara atau observasi. 42 Dalam hal ini, peneliti akan memilih informan yang dipandang paling tahu, sehingga kemungkinan pilihan informan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti dalam memperoleh data. Oleh karena itu, dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. “Karena pengambilan cuplikan berdasarkan atas pertimbangan tertentu, maka pengertianny sejajar dengan jenis teknik cuplike yang dikenal dengan purposive sampling dengan kecenderungan peneliti untuk memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap.43” Definisi informan adalah individu yang tidak sekedar memberikan teanggapan pada yang diminta peneliti, tetapi ia bisa memilih arah dan selera 41 H.B. Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif (Surakarta, Sebelas Maret University Press, 2002) Hlm.5755. 42 Ibid, Hlm.77 43 Ibid, Hlm 56 26 dalam menyajikan informasi yang ia miliki. Adapun sumber data kedua dalam penelitian ini yaitu berupa peristiwa atau aktifitas dan perilaku. Peristiwa adalah proses bagaimana sesuatu terjadi secara lebih pasti dan dapat disaksikan oleh peneliti. sedangkan aktifitas merupakan kegiatan rutin yang berulang atau yang bisa juga haya satu kali terjadi, aktifitas yang formal dan juga yang tidak formal, yang tertutup atau pun yang terbuka untuk bisa diamati oleh siapa saja tanpa persyaratan tertentu44. Data kuantitas juga akan dimanfaatkan sebagai pendukung simpulan penelitian Informasi tersebut akan digali dari beragam sumber data dan jenis sumber data yang akan dimanfaatkan dalam penelitian ini meliputi : a. Informan atau narasumber yang terdiri: 1) Pemerintah Kabupaten Banyumas a) Bupati Kabupaten Banyumas b) Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas c) Dinas Pemuda, Olahraga, Budaya dan Pariwisata 2) Masyarakat Banyumas: a) Lembaga swadaya masyarakat LPPSLH b) Ikatan Mahasiswa Banyumas di Surakarta (Satria Solo) b. Peristiwa-peristiwa atau aktivitas yang berkaitan dengan strategi komunikasi pemerintah Banyumas dalam memelihara bahasa daerah c. Peristiwa-peristiwa atau aktivitas yang berkaitan dengan kegiatan komunikasi oleh masyarakat Banyumas. 44 H.B. Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif (Surakarta, Sebelas Maret University Press, 2002) Hlm.59 27 d. Arsip dan dokumen resmi mengenai strategi komunikasi pemerintah Banyumas dalam memelihara bahasa daerah Peran informan pemerintah adalah untuk menjawab mengenai strategi komunikasi pemerintah Banyumas dalam memelihara bahasa daerah, bagaimana pihak pemerintah mengatur dan mengelola pemerintahan untuk memelihara bahasa daerah. Beberapa informasi yang dibutuhkan dari pihak pemerintah meliputi : a. Perencanaan komunikasi pemerintah Banyumas dalam memelihara bahasa daerah b. Manajemen komunikasi pemerintah Banyumas dalam memelihara bahasa daerah c. Jenis-jenis media yang digunakan dalam mengkomunikasikan strategi pemerintah Disamping itu, dalam penelitian ini juga melibatkan beberapa informan pendamping yaitu lembaga swadaya masyarakat (LSM). Tujuan penggalian informasi dari lembaga swadaya masyarakat adalah untuk mencari tahu tentang keefektifan strategi komunikasi pemerintah Banyumas sehingga mengerti akan pesan yang diterima mengenai identitas dialek dan pengguna dialek. Adapun dalam rangka penggalian informasi kepada lembaga swadaya masyarakat adalah : 28 a. Keefektifan strategi komunikasi pemerintah Banyumas dalam memelihara bahasa daerah yang didapat baik saat mendengarkan percakapan dengan persepsi secara umum. b. Stereotype dialek Banyumasan sebagai gambaran identitas dialek Banyumasan di masyarakat umum. Sedangkan penggalian informasi dari pakar bahasa adalah mencari tahu mengenai kesesuaian konsep dialek yang ditunjukkan oleh pemerintah kepada masyarakat. beberapa jenis penggalian informasi yang dicari dari pakar bahasa adalah : a. Konsep bahasa banyumasan b. Bahasa banyumasan dan perkembangannya di masyarakat Selain dari kedua jenis informasn, juga dilengkapi informan pendukung dari masyarakat Banyumas. Jenis informasi yang dicari meliputi : a. Persepsi masyarakat mengenai penggunaan bahasa anyumasan b. Penggunaan bahasa banyumasan Sumber data yang kedua pada penelitian ini adalah berupa peristiwaperistiwa atau aktivitas. Peristiwa adalah sumber data yang sangat beragam dari berbagai peristiwa, baik yang terjadi secara disengaja atau pun tidak. Terkait dengan peristiwa, perilaku dan aktivitas, dalam peneltian ini hendak mengamati dan mengobsevasi mengenai kegiatan-kegitan Pemerintah Banyumas dalam melaksanakan strategi komunikasi pemerintah Banyumas dalam memelihara 29 bahasa daerah di lingkungan sosial, baik dari tingkat instasi pemerintahan paling rendah sampai tingkat instasi pemerintahan paling tinggi. Sumber data keempat berkaitan dengan arsip dan dokumen resmi yang berkaitan dengan strategi komunikasi pemerintah Banyumas dalam memelihara bahasa daerah. Hal ini diperlukan karena memiliki informasi yang dalam untuk mengetahui seberapa legal dan kredibilitas pemerintah Banyumas di masyarakat umum. Metode dokumenter adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan untuk menelusuri data historis.45 4. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data berupa wawancara, observasi dan mencatat dokumen (content analysis). Tujuan melakukan wawancara adalah untuk bisa menyajikan kontruksi saat sekarang dalam konteks mengenai para pribadi, peristiwa, aktivitas, organisasi, perasaan, motivasi, tanggapan atau persepsi, tingkat dan bentuk keterlibatan dan sebagainya untuk merekontruksi berbagai hal seperti itu sebagai bagian dari pengalaman masa lampau dan memproyeksikan hal-hal itu yang dikaitkan dengan harapan yang bisa terjadi di masa mendatang.46 Adapun berbagai pengertian di atas, wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu wawancara tidak terstruktur atau biasa disebut dengan wawancara mendalam (indepth interviewing) karena peneliti tidak tahu apa yang belum diketahuinya. Wawancara ini dilakukan untuk mencari kedalaman 45 46 Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif (Jakarta, Kencana, 2008) H.B. Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif (Surakarta, Sebelas Maret University Press, 2002) Hlm 68. 30 informasi dengan cara yang tidak berstruktur berupa pertanyaan open-ended (tebuka) untuk menggali pandangan subjek yang diteliti. “Di samping itu wawancara mendalam tidak hanya dilakukan sekali atau dua kali saja, melainkan berulang-ulang. Peneliti tidak percaya begitu saja pada apa yang disampaikan oleh informan, melainkan perlu melakukan pengecekan melalui pengamatan. Sehingga fungsi cek dan re-cek dilakukan secara bergantian dari hasil wawancara ke pengamatan di lapangan atau dari informan satu ke informan lain.”47 Dalam penelitian ini wawancara akan dilakukan kepada informan, yaitu Pemerintah Kabupaten Banyumas. Selain itu, informan pendukung wawancara adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pakar bahasa serta Masyarakat Banyumas. Hal ini ditujukan untuk mendapatkan jawaban dari pemaknaan sosial mengenai strategi komunikasi pemerintah Banyumas dalam memelihara bahasa daerah. Selain itu, dalam pencarian data yang besifat mendalam, tidak hanya dibutuhkan wawancara, tetapi juga memerlukan pengamatan atau observasi. Teknik observasi digunakan untuk menggali data yang berupa peristiwa, aktivitas, perilaku, tempat atau lokasi dan benda serta rekaman gambar. Observasi merupakan hasil perbuatan jiwa secara aktif dan penuh perhatian untuk menyadari adanya sesuatu rangsangan tertentu yang diinginkan atau suatu studi yang 47 H.B. Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif (Surakarta, Sebelas Maret University Press, 2002) Hlm 68 31 disengaja dan sistematis tentang keadaan/fenomena sosial dan gejala-gejala psikis dengan jalan mengamati dan mencatat.48 Dalam observasi, hal yang ingin diamatai adalah penggunaan bahasa pada kegiatan komunikasi masyarakat Banyumas yang tinggal di Banyumas, penggunaan bahasa pada kegiatan komunikasi masyarakat Banyumas yang tinggal di luar Banyumas, kegiatan strategi komunikasi pemerintah dalam memelihara bahasa daerah. Lokasi observasi meliputi Pasar Sokaraja, Kos Abu-Abu di Surakarta, Kantor Pemerintah daerah Banyumas, SMP Negeri 1 Tambak. Dengan pemilihan observasi tersebut, dapat digunakan menjadi sumberdata yang representatif dalam penelitian strategi komunikasi pemerintah Banyumas dalam memelihara bahasa daerah. Metode observasi dalam penelitian ini menggunakan observasi berperan pasif. Observasi berperan pasif merupakan teknik yang digunakan peneliti untuk mengamati dan menggali informasi mengenai perilaku dan kondisi lingkungan penelitian menurut kondisi sebenarnya 49 . Dalam penelitian ini peneliti hanya sebagai pengamat, tidak memainkan berbagai peran yang dapat mempengaruhi data yang akan diteliti. Sedangkan observasi berperan dilakukan dengan mendatangi lokasi peristiwa sehingga kehadiran peneliti di lokasi dianggap sebagai orang asing50. Dalam observasi ini juga menggunakan pengamatan berperan serta. Peneliti dapat berpartisipasi dalam rutinitas subjek penelitian baik mengamati apa 48 Mardalis, Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal (Jakarta, Bumi Aksara, 2004) Hlm 63 Ibid, Hlm 76 50 H.B. Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif (Surakarta, Sebelas Maret University Press, 2002) Hlm.76 dan 78. 49 32 yang mereka lakukan, mendengarkan apa yang mereka katakan dan menanyai orang-orang lainnya di sekitar mereka selama jangka waktu tertentu. Pengamatan berperan pasif dalam penelitian ini yaitu mengamati peristiwa-peristiwa atau aktivitas yang ada di dalam pemerintah Banyumas. Selain itu, pencatatan dokumen dilakukan untuk mengumpulkan data yang bersumber dari dokumen dan arsip yang berkaitan dengan strategi komunikasi pemerintah Banyumas dalam memelihara bahasa daerah. Dokumen yang digunakan adalah Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 50 Tahun 2015 tentang penerapanmata pelajaran muatan lokal bahasa Banyumasn pada satuan pendidikan dan Surat Edaran (SE) Nomor 061/7079 tanggal 22 Desember 2014 tentang penggunaan pakaian adat dan bahasa Banyumasan. 5. Validitas Data Dalam menjamin dan mengembangkan validitas data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini, teknik pengembangan validitas data yang biasa digunakan dalam penelitian kualitatif adalah teknik trianggulasi. Trianggulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah trianggulasi sumber (data) dan triangulasi metode. Trianggulasi sumber data mengarahkan peneliti dalam mengumpulkan data, ia wajib mengggunakan beragam sumber data yang berbedabeda yang tersedia. Artinya, data yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari sumber data yang berbeda51. Penelitian menggunakan trianggulasi data (sumber) yaitu informan yang berbeda-beda dengan mengkategorikan informan yang berkaitan dengan strategi 51 H.B. Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif (Surakarta, Sebelas Maret University Press, 2002) Hlm.93 33 komunikasi pemerintah Banyumas dalam memelihara bahasa daerah. Pengecekan balik untuk memperoleh derajat kepercayaan (validitas) dilakukan dengan: a. Membandingkan persepsi informan satu dengan informan yang lainnya tentang strategi komunikasi pemerintah Banyumas dalam memelihara bahasa daerah. b. Membandingkan data hasil wawancara dengan hasil pengamatan yaitu membandingkan antara persepsi dengan aktivitas atau peristiwa yang terjadi di pemerintahan yang berkaitan dengan strategi komunikasi pemerintah Banyumas dalam memelihara bahasa daerah. Tabel 2. Trianggulasi sumber (data) Sumber : Buku Metodologi Penelitian Kualitatif (H.B. Sutopo: 2002) Triangulasi kedua dari penelitian ini adalah triangulasi metode. Triangulasi metode adalah penggunaan metode pengumpulan data yang berbeda dan bahkan lebih jelas untuk diusahakan mengarah pada sumber data yang sama untuk 34 menguji kemantapan informasinya 52 . Sehingga pada penelitian ini mengkombinasikan beberapa metode yaitu in-depth intervieiwing dan observasi. Tabel 3. Trianggulasi metode Sumber : Buku Metodologi Penelitian Kualitatif (H.B. Sutopo: 2002) 6. Teknik Analisis Data Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirunuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan data 53. Dalam hal ini, analisis data diawali dengan mengorganisasi data, memberikan kode dan melakukan mengkategorikannya. Dalam melakukan organisasi dan pengelolaan data harus dilandasi pada tipologi satuan yang dipengaruhi oleh hasil analisis proses kognitif dan struktur kognitif orang yang diteliti, bukan segi etnosentrisme peneliti dan penyusunan satuan yang bersifat heuristik dan dapat berdiri sendiri. 52 53 H.B. Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif (Surakarta, Sebelas Maret University Press, 2002) Hlm 95. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2000) Hlm.103 35 Tabel 4. Komponen analisis data model interaktif Sumber : Buku Metodologi Penelitian Kualitatif (H.B. Sutopo: 2002) Reduksi data juga dilakukan dengan jalan membuat abtraksi. Abtraksi adalah membuat rangkuman yang inti, proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya 54 . Selain itu pemberian kode dimaksudkan untuk mempermudah waktu mengadakan tabulasi dan analisa data55. Setelah melakukan pengelolaan data meliputi pemrosesan satuan (unityzing) dan penyusunan satuan serta kategorisasi maka langkah selanjunya adalah penafsiran data. Tujuan penafsiran data adalah penyusunan teori substantif dengan menggunakan metode analisis komparatif. Pada mulanya analisis komparatif hanya digunakan untuk menganalisi satuan sosial berskala besar seperti organisasi, bangsa, lembaga. Namun, yang jelas analisis komparatif tersebut dapat 54 55 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2000) Hlm.190 Mardalis, Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal (Jakarta, Bumi Aksara, 2004) Hlm.78 36 juga digunakan untuk satuan sosial berukuran besar maupun kecil 56 . Adapun tujuan utama dalam melakukan pengorganisasian dan pengelolaan data adalah menentukan tema dan hipotesis kerja yang akan diangkat sebagai teori substantif. 56 Mardalis, Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal (Jakarta, Bumi Aksara, 2004) Hlm.207.