BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Agensi Teori agensi merupakan teori yang mendasari hubungan keagenan antara Principal (pemegang saham) dengan Agent (manajerial) dalam sebuah perusahaan. Jensen dan Meckling (1976), mendefinisikan hubungan keagenan (agency relationship) sebagai suatu kontrak antara pemilik (principal) dengan manajer (agent) untuk menjalankan suatu tugas demi kepentingan pemilik dengan mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada manajer. Menurut Anthony dan Govindarajan (2005), principal mempekerjakan agen untuk melakukan tugas demi kepentingan principal , termasuk pendelegasian otorisasi pengambilan keputusan dari principal kepada agen. Doledan Schroeder (2001) berasumsi bahwa pada teori agensi setiap individu berusaha untuk melakukan segala sesuatu secara maksimal untuk mengoptimalkan kepentingannya sendiri. Adanya perbedaan kepentingan diantara kedua pihak tersebut dimana masing-masing pihak berusaha untuk memaksimalkan kesejahteraan mereka terutama secara ekonomis cenderung menimbulkan konflik kepentingan diantara keduanya. Konflik kepentingan semakin meningkat terutama karena principal tidak dapat memonitor aktivitas agent sehari-hari utuk memastikan bahwa agent bekerja sesuai dengan keinginan pemegang saham (Widyaningdyah, 2001). 10 11 Dalam teori agensi, agen diasumsikan memiliki informasi lebih banyak dibandingkan prinsipal. Manajer memiliki data yang lebih valid mengenai kondisi perusahaan dikarenakan manajer mengendalikan setiap kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan. Menurut Widyaningdyah (2001), agen mempunyai lebih banyak informasi mengnai kapasitas diri, lingkungan kerja, dan perusahaan secara keseluruhan dan didukung dengan keadaan prinsipal yang tidak mempunyai informasi yang memadai mengenai kinerja agen. Perbedaan informasi yang dimiliki oleh agen dan prinsipal tersebut biasa disebut dengan asimetri informasi. Adanya asimetri informasi dimana kedua pihak memiliki kualitas dan jumlah informasi yang bebeda, dapat mengakibatkan salah satu dari kedua belah pihak menggunakan informasi yang tersembunyi untuk memenuhi kepentingan dan kepuasannya sendiri. B. Manajemen Laba Manajemen laba menurut Schipper (1989) adalah suatu kondisi saat manajemen melakukan intervensi dalam proses penyusunan laporan keuangan bagi pihak eksternal sehingga dapat meratakan, menaikkan, dan menurunkan laba. Sedangkan Subramanyam dan Wild (2010) menyebutkan bahwa manajemen laba adalah penggunaan penilaian dan estimasi dalam akuntansi akrual yang digunakan manajer untuk menambah kegunaan angka akuntansi terutama laba untuk keuntungan pribadi. Healy dan Wahlen (1999) menyatakan bahwa manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan penilaian dalam pelaporan keuangan dan dalam 12 struktur transaksi untuk mengubah laporan keuangan sehingga menyesatkan pemegang saham dalam menilai prestasi ekonomi yang dicapai perusahaan. Manajemen memiliki motivasi dalam melakukan manajemen laba. Beberapa motivasi praktik manajemen laba menurut Subramanyam dan Wild (2010). a. Insentif Perjanian Beberapa contoh insentif perjanjian antara lain (a) Perjanjian bonus. Terdapat batas atas dan batas bawah dalam perjanjian bonus, artinya manajer tidak mendapat bonus jika laba lebih rendah dari batas bawah dan tidak mendapat bonus jika laba lebih tinggi dari batas atas. Hal ini berarti manajer memiliki insentif untuk meningkatkan atau mengurangi laba berdasarkan tingkat laba yang belum diubah terkait batas atas dan batas bawah. (b) Persyaratan utang. Rasio yang menggunakan angka akuntansi seperti laba biasanya menjadi persyaratan utang. Oleh karena persyaratan utang menimbulkan biaya tinggi bagi manajer, maka mereka cenderung melakukan manajemen laba untuk menghindari peanggaran tersebut. b. Dampak Harga Saham Manajer dapat meningkatkan laba untuk menaikkan harga saham perusahaan. Manajer juga melakukan perataan laba untuk menurunkan persepsi pasar akan risiko dan menurunkan biaya modal. c. Insentif Lain Laba seringkali diturunkan untuk menghindari biaya politik dan penelitian yang dilakukan badan pemerintah, misalnya untuk ketaatan 13 undang-undang antimonopoli. Selain itu, perusahaan dapat menurunkan laba untuk memperoleh keuntungan dari pemerintah, misalnya subsidi atau proteksi dari persaingan asing. Praktik manajemen laba yang saat ini lebih disukai oleh manajer adalah manajemen laba riil dibandingkan akrual. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, aktivitas manipulasi riil sulit untuk dideteksi oleh auditor eksternal dan regulator karena keputusan operasional dikuasai oleh manajer sedangkan aktivitas akrual diperhatikan oleh auditor eksternal dan regulator. Alasan kedua, akrual memiliki resiko pengawasan yang tinggi dari pengawas pasar modal. Alasan ketiga, penggunaan akrual memiliki fleksibilitas terbatas. Alasan keempat, pada akhir tahun penggunaan akrual memiliki ketidakpastian perlakuan akuntansi yang harus memenuhi persyaratan auditor (Gunny, 2005 dan Rajgopal, Harvey, dan Graham, 2005). Manajemen laba riil terjadi ketika manajer melakukan tindakan nyata yang menyimpang dari praktek bisnis secara normal, tindakan ini termotivasi atas keinginan manajer untuk menyesatkan stakeholder sehingga mereka percaya bahwa pelaporan keuangan telah terpenuhi dalam keadaan bisnis yang normal (Roychowdhury, 2006). Praktik manajemen laba riil menurut Cohen dan Zarowin (2010) dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu: a. Manipulasi Penjualan Sebuah usaha yang dilakukan oleh pihak manajemen (manajer) untuk meningkatkan penjualan periodik perusahaan dengan menawarkan diskon 14 harga produk secara berlebihan dan memberikan persyaratan kredit dengan mudah (Roychowdhury, 2006). Penggunaan strategi ini dalam jangka pendek dapat meningkatkan volume penjualan dan laba periode apabila diasumsikan margin terbentuk positif. Dampak lainnya yaitu adanya pemberian diskon harga dan syarat kredit yang mudah kepada konsumen sehingga akan menurunkan aliran kas periode saat ini dibandingkan periode sebelumnya. b. Penurunan beban diskresionari (dicretionary expenditures) Menurut Roychowdhury (2006) pengeluaran biaya dikresionari dilakukan oleh manajer dengan mengurangi biaya iklan, biaya Research and Development, dan biaya penjualan, umum, dan administrasi dalam periode di mana pengeluaran tersebut tidak langsung menyebabkan pendapatan dan laba untuk meningkatkan laba. Ketiga komponen di atas sering digunakan dalam memanipulasi laba riil perusahaan, sebagai contoh: penggunaan biaya iklan dalam menekan biaya penjualan, umum, dan administrasi yang berdampak pada peningkatan laba. Strategi ini dapat meningkatkan kepercayaan investor tetap dan berpotensi meningkatkan investor potensial untuk menginvestasikan dananya tanpa melihat resiko atas investasi yang terjadi dikarenakan pengaruh laba dan arus kas baik pada periode berjalan. c. Produksi yang berlebihan (Overproduction) Untuk meningkatkan laba, manajer perusahaan akan memproduksi lebih banyak unit produk pada periode berjalan dari unit produk yang diperlukan dengan asumsi bahwa tingkat produksi yang lebih tinggi akan 15 menyebabkan biaya tetap per unit produk dan harga pokok produksi menjadi lebih rendah (Roychowdhury, 2006). Strategi ini dapat menurunkan harga pokok penjualan (cost of goods sold) dan meningkatkan laba operasi periode berjalan. Strategi ini menjadi bargaining power bagi manajemen untuk menarik minat investor yang beranggapan bahwa perusahaan memiliki kinerja baik. Pemikiran tersebut tidak melihat resiko atas investasi di masa depan yaitu dapat menimbulkan biaya penyimpanan di gudang yang akan menurunkan arus kas di masa depan. C. Mekanisme Corporate Governance Corporate governance merupakan topik yang sudah banyak dibahas dalam beberapa penelitian. Corporate governance merupakan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengelola perusahaan, pihak kreditor, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan (FCGI, 2001). Sedangkan Morck, Shleifer, dan Vishny (1989) mengemukakan bahwa corporate governance merupakan suatu mekanisme yang dapat digunakan untuk memastikan bahwa supplier keuangan atau pemilik modal perusahaan memperoleh return dari kegiatan yang dijalankan oleh manajer. Komite Nasional Kebijakan Governance (2006) menjelaskan bahwa corporate governance merupakan acuan bagi perusahaan dalam rangka : 16 a. Mendorong tercapainya kesinambungan perusahaan melalui pengelolaan yang didasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan. b. Mendorong pemberdayaan fungsi dan kemandirian masing-masing organ perusahaan, yaitu dewan komisaris, direksi, dan rapat umum pemegang saham (RUPS). c. Mendorong pemegang saham, anggota dewan komisaris, dan anggota direksi agar dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakannya dilandasi oleh nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. d. Mendorong timbulnya kesadaran dan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan. e. Mengoptimalkan nilai perusahaan bagi pemegang saham dengan tetap memperhatikan pemangku kepentingan lainnya. f. Meningkatkan daya saing perusahan secara nasional maupun internasional, sehingga meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat mendorong arus investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang berkesinambungan. Asas good corporate governance menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (2006) adalah : a. Transparansi (Transparency) Untuk menjaga obyektifitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang 17 mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya. b. Akuntabilitas (Accountability) Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur, dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan. c. Responsibilitas (Responsibility) Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen. d. Independensi (Independency) Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. 18 e. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness) Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. D. Penelitian Terdahulu dan Perumusan Hipotesis 1. Proporsi Dewan Komisaris Independen Dewan komisaris merupakan lembaga yang memiliki tugas untuk mengawasi jalannya perusahaan yang dipimpin oleh dewan direksi. Dewan komisaris berperan penting dalam fungsi monitoring, karena bertindak sebagai wakil dari para pemegang saham dalam mengawasi dan memberikan nasihat kepada direksi dalam rangka menjalankan kepengurusan perusahaan yang baik. Dewan komisaris ditugaskan dan bertanggung jawab untuk mengawasi kualitas informasi dalam laporan keuangan. Oleh sebab itu, dewan komisaris diperbolehkan untuk memiliki akses pada informasi perusahaan. Komisaris Independen merupakan posisi terbaik untuk melaksanakan fungsi monitoring agar tercipta good corporate governance (Ujiyantho dan Pramuka, 2007). Xie, Davidson, dan DaDalt (2003) menyimpulkan bahwa perusahaan yang memiliki proporsi anggota dewan komisaris yang berasal dari luar dapat mempengaruhi tindakan manajemen laba. Sehingga, jika anggota dewan komisaris dari luar meningkatkan pengawasannya terhadap 19 perusahaan, hal tersebut akan berpengaruh pada rendahnya manajemen laba di perusahaan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wedari (2004) menemukan bahwa dewan komisaris yang independen akan membatasi aktivitas pengelolaan laba. Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Siregar dan Utama (2005). Dalam penelitian tersebut, proporsi dewan komisaris independen tidak berpengaruh terhadap manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan. Dari beberapa penelitian tersebut hipotesis yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut : H1 : Proporsi Dewan Komisaris Independen berpengaruh negatif terhadap manajemen laba 2. Ukuran Dewan Komisaris Dalam penelitian yang dilakukan oleh Yu (2006) ukuran dewan komisaris berpengaruh negatif secara signifikan terhadap manajemen laba. Hal ini menandakan bahwa semakin sedikit jumlah dewan komisaris maka semakin banyak praktik manajemen laba. Hasil yang sama juga ditunjukkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Chtourou et al. (2001) bahwa ukuran dewan komisaris berpengaruh negatif secara signifikan terhadap manajemen laba, namun dalam penelitian mereka hal tersebut hanya terjadi pada manajemen laba yang dilakukan dengan penurunan laba (income decreasing). 20 Dari beberapa penelitian tersebut hipotesis yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut : H2 : Ukuran Dewan Komisaris berpengaruh negatif terhadap manajemen laba riil. 3. Proporsi Anggota Komite Audit Independen Komite audit dianggap sebagai penghubung antara pemegang saham dan dewan komisaris dengan pihak manajemen dalam menangani masalah pengendalian. Komite audit yang bertanggung jawab untuk mengawasi laporan keuangan, mengawasi audit eksternal, dan mengamati sistem pengendalian internal (termasuk audit internal) dapat mengurangi sifat opportunistic manajemen yang melakukan manajemen laba (earning management) dengan cara mengawasi laporan keuangan dan melakukan pengawasan pada audit eksternal (Siallagan dan Machfoedz 2006). Xie et al. (2003) menguji keefektifan komite audit dalam mengurangi praktik manajemen laba yang dilakukan oleh manajemen. Penelitian tersebut memberikan hasil bahwa komite audit yang berasal dari luar perusahaan dapat melindungi kepentingan para pemegang saham dari manajemen laba yang dilakukan oleh manajemen dalam perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Siallagan dan Machfoedz (2006) memberikan bukti secara empiris bahwa perusahaan dengan komite audit independen melaporkan laba dengan discretionary accrual lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan yang tidak membentuk komite audit independen. 21 Dari beberapa penelitian tersebut hipotesis yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut : H3 : Proporsi Anggota Komite Audit Independen berpengaruh negatif terhadap manajemen laba riil. 4. Financial Expertise Komite Audit Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG, 2006), salah seorang anggota komite audit harus memiliki latar belakang dan kemampuan akuntansi dan keuangan. Dalam sebuah perusahaan, paling sedikit satu anggota komite audit harus memiliki pengetahuan yang memadai mengenai akuntansi dan keuangan. Seorang financial expert memiliki pengetahuan keuangan dan akuntansi yang lebih baik daripada anggota biasa, sehingga mampu untuk lebih memahami dan mengawasi proses pelaporan keuangan (Lerong dan Yang 2014). Menurut Lerong dan Yang (2014) proporsi financial expert yang lebih besar dalam komite audit atau dewan direksi berhubungan dengan kemungkinan lebih kecil pada financial restatements, lebih sedikit kecurangan keuangan, dan lebih sedikit manajemen laba. Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Carcello, Hollingsworth, Klein, dan Neal (2006) anggota komite dengan financial expertise paling efektif dalam mengurangi manajemen laba. H4 : Financial Expertise Komite terhadap manajemen laba riil. Audit berpengaruh negatif 22 5. Kualitas Audit Pengauditan merupakan sebuah alat pengawasan bagi para pemegang saham karena auditor akan melaporkan salah saji material yang terdeteksi pada laporan keuangan yang diaudit (Zgarni et al. 2012). Sedangkan Jensen dan Meckling (1976) menyebutkan bahwa pengauditan merupakan suatu proses pengawasan dan peningkatan keselarasan informasi yang terwujud antara manajemen dan pemegang saham. Proses pengauditan pada laporan keuangan diperlukan untuk meningkatkan kualitas informasi yang terkandung di dalamnya serta memperjelas kondisi perusahaan yang sebenarnya. Sehingga dapat meminimalkan praktik manajemen laba serta kesalahan penyajian informasi pada laporan keuangan. Informasi yang terdapat pada laporan keuangan diperlukan bagi para pemegang saham untuk dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Apabila informasi yang disajikan dalam laporan keuangan salah, dikhawatirkan keputusan yang diambil juga salah, dan akan memberikan dampak di masa yang akan datang. Public Company Accounting Oversight Board (PCAOB, 2013) menyebutkan bahwa kualitas audit merupakan pemenuhan kebutuhan klien untuk audit yang independen dan dapat diandalkan (reliable) serta mengkomunikasikan hasil audit kepada komite audit, terkait: a. Laporan keuangan, termasuk pengungkapan yang berhubungan; b. Jaminan terhadap pengendalian internal perusahaan; dan c. Peringatan keberlangsungan usaha (going concern) entitas. 23 Auditor yang berkualitas yang dapat mendeteksi terjadinya praktik manajemen laba diperlukan untuk meminimalisasi terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh manajer dalam perusahaan. PCAOB (2013) membuat kerangka kualitas audit dalam tiga elemen kualitas, yaitu : a. Audit Inputs: berkaitan dengan kompetensi dan bakat auditor. b. Audit Process: berkaitan dengan quality control standarts yang dikembangkan oleh Committee of Sponsoring Organizations of The Tradeway Commission (COSO). c. Audit Result: berkaitan dengan standar yang harus diberikan dan dipenuhi oleh auditor dalam menyampaikan laporan auditnya. Salah satu proksi yang sering digunakan untuk mengukur kualitas audit adalah ukuran KAP. 1.) Ukuran Kantor Akuntan Publik Kualitas audit dari akuntan publik dapat dilihat dari ukuran KAP yang melakukan audit (DeAngelo, 1981). Sedangkan Siregar dan Utama (2005) menjelaskan bahwa pada KAP yang lebih besar diasumsikan audit yang dilaksanakan lebih berkualitas dibandingkan dengan KAP yang lebih kecil karena adanya kecenderungan untuk lebih berhati-hati dalam melaksankan audit, termasuk menjalankan prosedur-prosedur audit yang baku. KAP yang lebih besar dianggap dapat meminimalisasi praktik manajemen laba yang dilakukan oleh manajemen dalam laporan dibandingkan dengan KAP yang lebih kecil. keuangan perusahaan 24 Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyanto (2007), ukuran KAP dibedakan menjadi : a.) KAP besar ( Big Four Accounting Firms) b.) KAP kecil (Non Big Four Accounting Firms) Berdasarkan penelitian Zgarni et al. (2012) ukuran KAP berpengaruh negatif terhadap praktik manajemen laba akrual tetapi berpengaruh positif terhadap praktik manajemen laba riil. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Panjaitan dan Chairi (2014) ukuran KAP tidak berpengaruh negatif terhadap praktik manajemen laba. H5 : Ukuran Kantor Akuntan Publik berpengaruh negatif terhadap manajemen laba 25 E. Kerangka Teoritis Mekanisme Corporate Govenance 1. Proporsi Dewan Komisaris Independen (H1) 2. Ukuran Dewan Komisaris (H2) 3. Proporsi Anggota Komite Audit Independen (H3) 4. Financial Expertise Komite Audit (H4) (-) (-) (-) Manajemen Laba Riil (-) Kualitas Audit (-) Ukuran KAP (H5) Gambar 2.1 Kerangka Teoritis Penelitian