ISSN 2087-703X e-ISSN 2354-8762 Volume No. 21 Volume 77 No. April 201 6 Agustus 2016 KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Jalan Permtakan Negara 29, Jakarta 10560 Te lp. (021) 4287 2392, Fax. (021) 4287 2392 E-mail : [email protected] Website : http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/kespro Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 7 No.12 No. Halaman 1- 70 71-144 Jakarta, Agustus 2016 April 2016 ISSN: 2087-703X e-ISSN: 2354-8762 ISSN : 2087-703X Volume 7 No. 2, Agustus 2016 Jurnal Kesehatan Reproduksi e-ISSN : 2354-8762 Reproductive Health Journal Dewan Redaksi/Editorial Board Pelindung/Patronage : Kepala Badan Litbang Kesehatan / Director General of National Institute of Health Research and Development Penanggung Jawab / Editor-in-chief : Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan / Director of Centre for Public Health Research and Development Mitra Bestari / Advisory Board : Dr. dr. Trihono, M.Sc. Prof. dr. Agus Suwandono, MPH, Dr.PH dr. Sarimawar Djaja, M.Kes drg. Christiana R Titaley, MIPH, PhD Dr. dr. Sabarinah Prasetyo, MS Prof. Dr. dr. Nugroho Abikusno Dr. Salahuddin Muhidin Atmarita, MPH, Dr.PH dr. Asri C. Adisasmita, MPH, M.Phil, PhD dr. Siti Nurul Qomariah , M.Kes, Ph.D Dr. Irwan M. Hidayana, M.Si Sandjaja, MPH, Dr.PH Dr. Melania Hidayat, MPH Soeharsono Soemantri, PhD Ketua Dewan Redaksi / Editor in Chief : Dr. Joko Irianto, SKM, M.Kes Wakil Ketua Dewan Redaksi / Editor Section : Tin Afifah SKM, MKM Sudikno, SKM, MKM Anggota Redaksi / Managing Editor : Iram Barida Maisya, SKM, MKM (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM) Anissa Rizkianti, SKM, MIPH (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM) Prisca Petty Arfines, S.Gz, MPH (Gizi Masyarakat, Puslitbang UKM) dr. Ika Saptarini (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM) Andi Susilowati, SKM, M.Kes (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM) Penyunting Ahli / Copy Editor : Dr. Ir. Anies Irawati, M.Kes (Gizi Masyarakat, Puslitbang UKM) Ning Sulistyowati, SKM, M.Kes (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM) Dra. Rr. Rachmalina S, MSc.PH (Sosial Antropologi, Puslitbang UKM) dr. Teti Tejayanti, MKM (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM) Dr. dr. Felly P. Senewe, M.Kes (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM) Nunik Kusumawardani, MSc.PH, Ph.D (Promosi Kesehatan, Puslitbang UKM) Manajer Langganan / Subscription Manager : dr. Yuwono Wiryawan, M.Kes Sekretariat Pelaksana / Executive Secretariat : Indra Cans Yunina, S.Sos Puput Sumarta Puri, S.Gz Ahmad Rezha Gumilar, Amd Penerbit/Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Jakarta Jl. Percetakan Negara 29 Jakarta Telp. 021-42872392, Fax. 021-42872392 Email : [email protected] Diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Jakarta Published by National Institute of Health Research and Development Ministry of Health, Republic of Indonesia, Jakarta Volume 7, No. 2, Agustus 2016 p-ISSN: 2087-703X e-ISSN: 2354-8762 No Akreditasi: 563/Akred/P2MI-LIPI/09/2013 UCAPAN TERIMA KASIH REVIEWER Prof. Dr. dr. Nugroho Abikusno Fakultas Kedokteran, Universitas Trisakti Atmarita, MPH, Dr.PH Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dr. Sarimawar Djaja, M.Kes Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Sandjaja, MPH, Dr.PH Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Soeharsono Soemantri, PhD Forum Masyarakat Statistik Dr. Ir. Anies Irawati, M.Kes Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Dr. Joko Irianto, M.Kes Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan KATA PENGANTAR Jurnal Kesehatan Reproduksi Volume 7 Nomor 2 Tahun 2016 merupakan edisi Bulan Agustus yang diproses secara full online jurnal system. Suatu pengalaman baru yang penuh tantangan dengan berbagai kendala teknis dan non teknis yang harus diatasi. Namun semangat 17 Agustus yang merupakan hari kemerdekaan Indonesia menginspirasi dan memotivasi segenap pihak yang terlibat dalam nomor ini, jajaran Dewan Redaksi, Para Reviewer dan Penulis serta dukungan pimpinan dan berbagai pihak hingga akhirnya dapat terbit di penghujung minggu terakhir bulan Agustus. Tahun ini merupakan peringatan kemerdekaan yang ke 71 tahun. Permasalahan kesehatan ibu dan anak masih merupakan tantangan besar bagi bangsa Indonesia untuk mengisi kemerdekaan ini dalam upaya meningkatkan status kesehatan ibu, anak dan gizi. Permasalahan anemia pada wanita usia subur masih merupakan tantangan di bidang gizi kesehatan reproduksi. Demikian pula masalah konsumsi kalsium pada ibu hamil. Dua penelitian data primer yang terkait dengan gizi kesehatan reproduksi. Artikel berikutnya masih merupakan hasil penelitian data primer tentang implementasi kebijakan inisiasi menyusui dini (IMD) di satu Rumah Sakit swasta dan Rumah Sakit Umum Daerah yang memberikan gambaran yang berbeda. IMD merupakan investasi bagi calon generasi bangsa sehingga diharapkan hasil temuan ini dapat menjadi masukan untuk meningkatkan pelaksanaan IMD di semua fasilitas pelayanan kesehatan. Tiga artikel berikutnya merupakan hasil analisis data sekunder dari data Riskesdas dan Survei Demoografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) yang kaya akan informasi sehingga perlu digali potensi ketersediaan data untuk menghasilkan suatu masukan bagi pihak terkait dengan kesehatan ibu dan anak. Dari analisis data sekunder diperoleh hasil bahwa usia reproduksi yang belum matang dan usia saat melahirkan berisiko mempunyai risiko melahirkan bayi BBLR sebesar 2,43 kali dibandingkan usia reproduksi yang matang dan usia saat melahirkan yang aman. Kejadian kehamilan yang tidak diinginkan terbukti berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam perawatan kesehatan selama kehamilan dan kelangsungan perawatan selama kehamilan ini juga terbukti berhubungan dengan perolehan imunisasi dasar lengkap bagi anaknya. Hal ini memperkuat konsep pelayanan kesehatan ibu dan anak saling terintegrasi dalam paradigm continuum of care. Terbukanya berbagai informasi tentang gizi kesehatan reproduksi dan perawatan kehamilan maternal kami harapkan dapat semakin membuka wawasan dan masukan bagi berbagai pihak terkait serta memunculkan pemikiran penelitian baru dari kesenjangan yang disajikan dari keenam artikel dalam edisi kali. Bangsa ini memerlukan dukungan informasi dan teknologi dalam mengisi kemerdekaan ini agar status kesehatan ibu dan anak menjadi lebih baik dan tidak tertinggal dengan negara-negara tetangga lainnya. Selamat membaca dan semoga bermanfaat. Merdeka !! REDAKSI Volume 7, No. 2, Agustus 2016 ISSN : 2087-703X e-ISSN : 2354-8762 No Akreditasi: 563/Akred/P2MI-LIPI/09/2013 JURNAL KESEHATAN REPRODUKSI DAFTAR ISI Kata Pengantar 1. PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO ANEMIA PADA WANITA USIA SUBUR DI RUMAH TANGGA MISKIN DI KABUPATEN TASIKMALAYA DAN CIAMIS, PROVINSI JAWA BARAT Oleh: Sudikno, Sandjaja 71 – 82 2. KEPATUHAN KONSUMSI SUPLEMEN KALSIUM SERTA HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT KECUKUPAN KALSIUM PADA IBU HAMIL DI KABUPATEN JEMBER Oleh: Galih Purnasari, Dodik Briawan, Cesilia Meti Dwiriani 83 – 93 3. DUKUNGAN TENAGA KESEHATAN TERHADAP PELAKSANAAN IMD: STUDI KASUS DI RS SWASTA X DAN RSUD Y DI JAKARTA Oleh: Novianti Margareth Sihombing, Anissa Rizkianti 95 – 108 4. HUBUNGAN USIA GINEKOLOGI DAN USIA SAAT MELAHIRKAN DENGAN KEJADIAN BAYI BERAT LAHIR RENDAH (BBLR) DI INDONESIA TAHUN 2010 Oleh: Rofingatul Mubasyiroh, Teti Tejayanti, Felly Philipus Senewe 109 – 118 5. PENGARUH STATUS KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN TERHADAP PERILAKU IBU SELAMA KEHAMILAN DAN SETELAH KELAHIRAN DI INDONESIA (ANALISIS DATA SDKI 2012) Oleh: Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulisttyowati 119 – 133 6. HUBUNGAN KESINAMBUNGAN PEMANFAATAN PELAYANAN KESEHATAN MATERNAL DENGAN PEMBERIAN IMUNISASI LENGKAP DI INDONESIA Oleh: Dwi Sisca Kumala Putri, Nur Handayani Utami, Olwin Nainggolan 135 –144 Jurnal Kesehatan Reproduksi (ISSN 2087-703X) - Vol 7, No. 2, (2016), pp. 71-82 Prevalensi dan Faktor Risiko ………… (Sudikno, Sandjaja) PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO ANEMIA PADA WANITA USIA SUBUR DI RUMAH TANGGA MISKIN DI KABUPATEN TASIKMALAYA DAN CIAMIS, PROVINSI JAWA BARAT Prevalence and Risk Factors of Anemia among Women of Reproductive Age in Poor Household in Tasikmalaya and Ciamis District, West Java Province Sudikno*, Sandjaja Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat, Badan Litbangkes *E-mail: [email protected] Abstract Background: Anemia in women of reproductive age remains a nutritional problem in developing countries, especially among poor households. Objective: This study aimed to determine the prevalence and risk factors for anemia among women of reproductive age (WRA) in poor households. Methods: The study design was cross-sectional. The research was conducted in June-July 2011 in two selected districts, namely Tasikmalaya and Ciamis, West Java Province. A sample was 146 WRA of poor households in 24 villages selected peri-urban. The inclusion criteria include healthy WRA age 15-35 years, did not suffer serious illness (chronic or acute), severe anemia (<7 g / dl), and had been wiling to participate in research by signing an informed consent. While, the exclusion criteria were WRA who were still breastfeeding, and WRA are pregnant Results: The prevalence of anemia among women of reproductive age (hemoglobin level <12 g / dl) in this study was 9.6 percent. The women of reproductive age with low ferritin status were 4.01 times likely to become anemic (95% CI: 1.03-15.48) compared with those with sufficient ferritin status after being controlled by vitamin A status and age. Conclusion: This study showed that there was a relationship between serum ferritin with anemia in women of reproductive age in poor households. Keywords: risk factors, anemia, women of reproductive age, poor household Abstrak Latar belakang: Anemia pada wanita usia subur masih merupakan masalah gizi di negara berkembang, terutama pada rumahtangga miskin. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor risiko anemia pada wanita usia subur (WUS) di rumahtangga miskin. Metode: Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis. Sampel sebanyak 146 WUS dari rumahtangga miskin di 24 desa peri-urban yang terpilih. Kriteria inklusi meliputi WUS yang sehat, usia 15-35 tahun, tidak menderita penyakit serius (kronis atau akut), dan tidak mengalami anemia yang serius (<7 g/dl), dan bersedia ikut dalam penelitian. Hasil: Prevalensi anemia WUS (kadar hemoglobin <12 g/dl) pada peneltian ini sebesar 9,6 persen. Pada WUS dengan status feritin yang kurang berisiko untuk menjadi anemia sebesar 4,01 kali (95% CI: 1,03-15,48) dibandingkan dengan WUS dengan status feritin yang cukup setelah dikontrol oleh variabel status vitamin A dan umur. Kesimpulan: Adanya hubungan antara serum feritin dengan anemia pada wanita usia subur di rumah tangga miskin setelah dikontrol oleh status vitamin A dan umur. Kata kunci: faktor risiko, anemia, wanita usia subur, rumah tangga miskin Naskah masuk: 28 April 2016 Review: 10 Agustus 2016 Disetujui terbit: 31 Agustus 2016 Prevalensi dan Faktor Risiko ………… (Sudikno, Sandjaja) PENDAHULUAN Anemia merupakan masalah gizi yang mempengaruhi jutaan orang di negara-negara berkembang dan tetap menjadi tantangan besar bagi kesehatan manusia.1 Prevalensi anemia diperkirakan 9 persen di negara-negara maju, sedangkan di negara berkembang prevalensinya 43 persen. Anak-anak dan wanita usia subur (WUS) adalah kelompok yang paling berisiko, dengan perkiraan prevalensi anemia pada balita sebesar 47 persen, pada wanita hamil sebesar 42 persen, dan pada wanita yang tidak hamil usia 15-49 tahun sebesar 30 persen.2 World Health Organization (WHO) menargetkan penurunan prevalensi anemia pada WUS sebesar 50 persen pada tahun 2025.3 Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan bahwa persentase anemia di Indonesia pada WUS tidak hamil (≥ 15 tahun) di perkotaan sebesar 19,7 persen.4 Selanjutnya hasil Riskesdas 2013 menunjukkan persentase anemia pada WUS umur 15-44 tahun sebesar 35,3 persen.5 Kondisi anemia dapat meningkatkan risiko kematian ibu pada saat melahirkan, melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah, janin dan ibu mudah terkena infeksi, keguguran, dan meningkatkan risiko bayi lahir prematur.6 Di Afrika dan Asia, anemia diperkirakan berkontribusi lebih dari 115 000 kematian ibu dan 591 000 kematian perinatal secara global per tahun.7 Konsekuensi morbiditas terkait dengan anemia kronis memperpanjang hilangnya produktivitas dari kapasitas gangguan kerja, gangguan kognitif, dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi, yang juga memberikan beban ekonomi.8 Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya anemia pada populasi melibatkan interaksi kompleks dari faktor-faktor sosial, politik, ekologi, dan biologi.9 Menurut Agragawal S bahwa penyebab utama anemia adalah gizi dan infeksi. Di antara faktor gizi yang berkontribusi terhadap anemia adalah kekurangan zat besi. Hal ini karena konsumsi makanan yang monoton, namun kaya akan zat yang menghambat penyerapan zat besi (phytates) sehingga zat besi tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh.10 Kekurangan zat besi juga dapat diperburuk oleh status gizi 72 yang buruk, terutama ketika dikaitkan dengan kekurangan asam folat, vitamin A atau B12, seperti yang sering terjadi di negara-negara berkembang.11 Penelitian Pala K dan Dundar N di Turki menunjukkan bahwa faktor lama menstruasi juga berhubungan dengan kejadian anemia.12 Berkaitan dengan penyakit infeksi, malaria dan kecacingan merupakan penyebab anemia, terutama di daerah endemik.10 Di samping itu kondisi sosial ekonomi rumahtangga juga terkait dengan kejadian anemia. Beberapa penelitian menunjukkan angka kejadian anemia yang cenderung lebih tinggi pada rumahtangga miskin.13,14 Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Riset Khusus “Evaluasi Dampak Fortifikasi Minyak Goreng Dengan Vitamin A”, oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI tahun 2011 yang dilaksanakan di Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Tujuan penelitian untuk mengetahui prevalensi dan faktor risiko anemia pada WUS di rumah tangga miskin. METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2011 di dua kabupaten terpilih, yaitu Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis yang meliputi 4 kecamatan peri-urban (dekat dengan perkotaan) di masing-masing kabupaten. Di tiap-tiap kecamatan dipilih 3 desa peri-urban, sehingga keseluruhan terdapat 24 desa. Perhitungan sampel dengan menggunakan rumus estimasi proporsi dengan presisi absolut, tingkat kepercayaan 95%, presisi absolute (d) = 10 persen, dan prevalensi anemia WUS sebesar 19,7 persen4, dan desain efek = 2, diperoleh sampel minimal 122. Sampel merupakan anggota rumah tangga miskin di 24 desa peri-urban yang terpilih (clusters). Definisi rumah tangga miskin berdasarkan keberadaan kartu keluarga miskin baik dari kriteria pemerintah pusat maupun daerah setempat. Hanya rumah tangga yang memiliki kartu tersebut yang dipilih untuk menjadi sampel. Kriteria inklusi meliputi WUS yang sehat, usia 15-35 tahun (usia produktif), tidak menderita penyakit serius Prevalensi dan Faktor Risiko ………… (Sudikno, Sandjaja) (kronis atau akut), dan tidak mengalami anemia yang serius (kadar hemoglobin darah <7 g/dl), bersedia ikut dalam penelitian yang dibuktikan dengan menandatangani informed consent, dan adanya kelengkapan variabel data yang dianalisis. Sedangkan kriteria eksklusi adalah WUS yang masih menyusui, dan WUS yang hamil. Pengumpulan data menggunakan kuesioner yang sudah dilakukan pengujian lapangan dan terstruktur yang dilakukan oleh enumerator/pewawancara yang sudah dilatih terlebih dahulu. Pendidikan minimal enumerator adalah Diploma III kesehatan yang bekerja di Puskesmas maupun Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis. Pada saat pengumpulan data direkrut juga koordinator lapangan di kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis yang bertugas mengawasi secara langsung pada proses pengumpulan data. Variabel yang dianalisis meliputi: variabel dependen (status anemia pada WUS), variabel independen, yaitu: status vitamin A, status feritin, umur, status kawin, pendidikan, pekerjaan, jumlah anak yang pernah dilahirkan/paritas, riwayat keguguran, status gizi, konsumsi zat gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin C, zat besi, dan zink). Analisis kadar hemoglobin dan kadar vitamin A dilakukan oleh PT “P”. Data biokimia meliputi kadar hemoglobin dan kadar vitamin A. Anemia adalah keadaan dimana seseorang mempunyai kadar hemoglobin di bawah nilai normal berdasarkan jenis kelompok umur dan jenis kelamin. Untuk subyek WUS dikategorikan anemia bila kadar Hb kurang dari 12,0 g/dl.15,16 Kurang vitamin A apabila kadar vitamin A kurang dari 20 ug/dL.17 Sedangkan kategori kurang feritin apabila kadar serum feritin kurang dari 15µg/l.15 Hemoglobin diukur menggunakan alat ukur HemocueTM portabel dan hemocuvettes (Hemocue, Aangelsborg, Swedia). Pengukuran dilakukan langsung di fasilitas kesehatan desa (balai desa/kelurahan, posyandu, pos bidan desa), dan hasilnya dicatat pada formulir individu dan dikomunikasikan kepada subyek yang bersangkutan. Untuk pemeriksaan serum retinol, serum yang disimpan dalam cool box, segera dikirim ke laboratorium pusat PT “P” di Jakarta untuk dianalisa kadar retinol dengan menggunakan High Performance Chromatography (HPLC). Liquid Pemeriksaan hemoglobin dilakukan menggunakan metode Cyanmeth dengan Hemocue. Alat hemocue dipersiapkan dengan membaca blangko terlebih dahulu, kemudian membaca standar sebelum digunakan untuk pembacaan sampel guna melihat apakah alat stabil. Pemeriksaan vitamin A dengan metode HPLC. Serum diekstraksi dengan SDS (Sodium Dodecyl Sulfate) dan Ethanol Absolut, kemudian dicampur hingga homogen selama satu menit. Selanjutnya ditambah dengan Heptan yang telah ditambah BHT (Butylated Hydroxy Toluene), kemudian dicampur dengan vortex selama satu menit. Setelah itu dilakukan pemisahan cairan serun menggunakan centrifuge selama 10 menit dengan kecepatan 2000 rpm sampai terbentuk cairan bening dan sedikit endapan. Cairan bening tersebut diambil dan diuapkan dengan gas N2 sampai kering. Kemudian diambahkan pelarut fase gerak HPLC, dan dicampur dengan vortex selama 45 detik. Cairan tersebut dipindahkan ke Vial Insert, dan siap untuk diperiksa dengan alat HPLC. Kemudian dilakukan pembacaan kurva sampel dengan dibandingkan kurva standar. Pengumpulan data sosiodemografi (umur, status kawin, pendidikan, pekerjaan, jumlah anak yang pernah dilahirkan/paritas, riwayat keguguran) dilakukan melalui wawancara dengan WUS. Pengukuran berat badan WUS dilakukan dengan menggunakan timbangan berat badan merk “AND” dengan ketelitian 0,1 kg. Sedangkan pengukuran tinggi badan WUS dilakukan dengan alat ukur tinggi badan microtoice dengan ketelitian 0,1 cm. Selanjutnya pengumpulan data konsumsi makanan dilakukan dengan metode food recall 2x24 jam, dengan hari yang tidak berurutan untuk mengontrol terhadap variasi dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh sampel.18 Wawancara recall konsumsi 2x24 jam dilakukan terhadap ibu menyusui di rumahtangga. Beberapa makanan jadi yang banyak dikonsumsi subyek di tiap desa terpilih yang belum diketahui bahan dan beratnya dibeli dan ditimbang dengan food scale untuk memperkirakan berat bahan makanannya lebih 73 Prevalensi dan Faktor Risiko ………… (Sudikno, Sandjaja) tepat. Selanjutnya kandungan zat gizi dihitung dengan menggunakan program nutrisoft. Pengelompokkan kandungan zat gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin C, zat besi, zink) berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG). Konsumsi zat gizi energi dikategorikan menjadi dua, yaitu: defisit (<70% AKG) dan cukup (≥70% AKG). Konsumsi zat gizi protein dikategorikan menjadi dua, yaitu: defisit (<80% AKG) dan cukup (≥80% AKG). Sedangkan konsumsi zat gizi vitamin A, vitamin C, zat besi, zink dikategorikan menjadi dua, yaitu: defisit (<100% AKG) dan cukup (≥100% AKG). logistic regression digunakan untuk mengetahui faktor risiko anemia pada WUS. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan etik (ethical clearance) dari Komisi Etik, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI Nomor: KE.01.05/EC/262/2011. HASIL Jumlah sampel yang dianalisis sebanyak 146 wanita WUS. Tabel 1 menunjukkan rata-rata umur WUS adalah 23,6±0,5 tahun. Rata-rata indeks massa tubuh (IMT) adalah 23,2±0,3 kg/m2. Rata-rata hemoglobin 13,6±0,1 g/dL, rata-rata serum retinol 44,2±1,4 µg/dL, dan rata-rata feritin 60,8±3,4 (µg/l). Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui sebaran masing-masing variabel, dan untuk mengetahui distribusi variabel menurut kategori anemia pada WUS digunakan analisis bivariat. Selanjutnya analisis multivariate Tabel 1. Karakteristik Sampel menurut Rata-rata Umur, IMT, Hemoglobin, Serum Retinol, dan Serum Feritin Karakteristik Rata-rata Median Standar Error 23,6 23,2 13,6 44,2 60,8 24,0 22,5 13,7 42,7 55,4 ±0,51 ±0,38 ±0,11 ±1,47 ±3,44 Umur (tahun) IMT (kg/m2) Hemoglobin (g/dL) Serum Retinol (µg/dL) Serum Feritin (µg/l) Distribusi karakteristik sampel dijelaskan pada Tabel 2. Prevalensi anemia (kadar hemoglobin <12 g/dL) pada WUS didapatkan sebesar 9,6 persen. Persentase WUS dengan kekurangan vitamin A sebesar 4,8 persen. Sedangkan status feritin WUS yang kurang didapatkan sebesar 11,6 persen. Umur WUS pada penelitian ini sebagian besar berkisar antara 20-35 tahun (60,3%). Menurut status kawin diketahui bahwa 56,8 persen di antaranya sudah menikah. WUS dengan pendidikan SD ke bawah dan SMP masing-masing sebesar 41,8 persen, dan hanya 16,4 persen yang berpendidikan SMA ke atas. Pekerjaan WUS sebagian besar adalah sebagai ibu rumah tangga (42,4%), yang masih sekolah sebesar 29,5 persen. WUS yang sudah pernah melahirkan satu anak sebesar 28,1 persen, dan yang pernah melahirkan dua anak atau lebih sebesar 27,4 persen. Riwayat keguguran ditemukan pada 9 WUS (6,2%). Sedangkan menurut status gizi, dengan indikator indeks 74 massa tubuh (IMT) diketahui bahwa sebagian besar WUS termasuk dalam kategori IMT normal (18,5-24,9 (kg/m2)19, yaitu sebesar 54,1 persen. Selanjutnya Tabel 2 juga menunjukkan distribusi sampel menurut konsumsi zat gizi. Konsumsi energi pada WUS sebagian besar, yaitu 88,4 persen masih dalam kategori defisit. Konsumsi protein juga sebagian besar masih dalam kategori defisit, yaitu sebesar 71,9 persen. Konsumsi vitamin A dalam kategori defisit diketahui sebesar 39,7 persen. Sedangkan konsumsi vitamin C, zat besi, dan zink masih jauh dari angka kecukupan gizi yang dianjurkan, sebagian besar masih dalam kategori defisit. Kejadian anemia pada WUS menurut status vitamin A dan status feritin dijelaskan pada Tabel 3. Persentase kejadian anemia pada WUS dengan status vitamin A kurang sebesar 28,6 persen. Sedangkan kejadian anemia pada WUS dengan status feritin kurang sebesar 23,5 Prevalensi dan Faktor Risiko ………… (Sudikno, Sandjaja) persen. Dari Tabel 3 menunjukkan bahwa variabel status vitamin A dan status feritin dapat dilanjutkan untuk analisis multivariat (p<0,25). Tabel 2. Karakteristik Sampel menurut Sosiodemografi Karakteristik n % Status Anemia 14 − Ya 132 − Tidak Status vitamin A 7 − Kurang 139 − Cukup Status feritin 17 − Kurang 129 − Cukup Umur (tahun) 58 − < 20 88 − 20-35 Status kawin 63 − Belum kawin 83 − Kawin Pendidikan 61 − SD ke bawah 61 − SMP 24 − SMA ke atas Pekerjaan 43 − Sekolah 23 − Bekerja 62 − Ibu rumah tangga 18 − Tidak bekerja Jumlah anak yang pernah dilahirkan 65 − 0 41 − 1 40 − ≥2 9,6 90,4 4,8 95,2 11,6 88,4 39.7 60,3 43,2 56,8 41.8 41,8 16,4 29,5 15,8 42,4 12,3 44,5 28,1 27,4 Karakteristik Riwayat keguguran − − Ya − − Tidak Status gizi18 (kg/m2) − − IMT< 18,5 − − IMT= 18,5-24,9 − − IMT= 25-29,9 − − IMT ≥ 30 Energi − − Defisit − − Cukup Protein − − Defisit − − Cukup Vitamin A − − Defisit − − Cukup Vitamin C − − Defisit − − Cukup Zat Besi − − Defisit − − Cukup Zink − − Defisit − − Cukup n % 9 137 6,2 93,8 20 79 35 12 13,7 54,1 24,0 8,2 115 31 78,8 21,2 119 27 81,5 18,5 58 88 39,7 60,3 144 2 98,6 1,4 138 8 94,5 5,5 145 1 99,3 0,7 Tabel 3. Persentase Kejadian Anemia menurut Status Vitamin A dan Status Feritin Karakteristik Status Vitamin A Status Feritin − − − − Cukup Kurang Cukup Kurang n 12 2 10 4 Kejadian Anemia Ya Tidak % n % 8,6 127 91,4 28,6 5 71,4 7,8 119 92,2 23,5 13 76,5 Tabel 4 menunjukkan bahwa prevalensi kejadian anemia pada WUS berumur <20 tahun sebesar 13,8 persen lebih tinggi dibandingkan WUS yang berumur 20-35 tahun (6,8%). Persentase kejadian anemia pada WUS yang belum kawin sebesar 14,3 persen, sedangkan pada WUS yang sudah kawin ORCrude 95% CI 1 4,23(0,74-24,20) 1 3,66(1,00-13,34) p 0,105 0,049 hanya 6 persen. Persentase anemia pada WUS dengan pendidikan SD ke bawah sebesar 11,5 persen, lebih tinggi dibandingkan WUS dengan pendidikan SMP maupun SMA ke atas. Menurut pekerjaan diketahui bahwa WUS yang masih sekolah persentase kejadian aneminya lebih tinggi (16,3%) dibandingkan 75 Prevalensi dan Faktor Risiko ………… (Sudikno, Sandjaja) dengan WUS yang bekerja, tidak bekerja dan ibu rumah tangga. WUS yang belum pernah melahirkan persentase kejadian aneminya sebesar 13,8 persen lebih tinggi dari WUS yang sudah pernah melahirkan. Menurut riwayat keguguran diketahui bahwa persentase kejadian anemia pada WUS yang tidak mengalami keguguran sebesar 10,2 persen. Dari variabel status gizi diketahui bahwa persentase kejadian anemia pada WUS dengan IMT <18,5 kg/m2 sebesar 15,0 persen lebih tinggi dari kelompok WUS dengan IMT ≥18,5-24,9 kg/m2, IMT =25,0-29,9 kg/m2, dan kelompok IMT ≥30,0 kg/m2. Dari Tabel 4 diketahui bahwa variabel umur, status kawin, pekerjaan, dan jumlah anak yang pernah dilahirkan, masuk dalam tahap analisis multivariat (p<0,25). Tabel 4. Persentase Kejadian Anemia menurut Karakteristik Sosiodemografi Karakteristik Umur − − − − − − − − − − − − − − − − − − − − Status kawin Pendidikan Pekerjaan Jumlah anak yang pernah dilahirkan Riwayat keguguran Status gizi (kg/m2) 20-35 tahun < 20 tahun Kawin Belum pernah SMA ke atas SMP SD ke bawah Bekerja Tidak bekerja Ibu rumah tangga Sekolah 0 1 ≥2 Ya Tidak IMT= 18,5-24,9 IMT< 18,5 IMT= 25-29,9 IMT ≥ 30 n 6 8 5 9 2 5 7 1 1 5 7 9 1 4 0 14 9 3 1 1 Kejadian Anemia Ya Tidak % n % 6,8 82 93,2 13,8 50 86,2 6,0 78 94,0 14,3 54 85,7 8,3 22 91,7 8,2 56 91,8 11,5 54 88,5 4,3 22 95,7 5,6 17 94,4 8,1 57 91,9 16,3 36 83,7 13,8 56 86,2 2,4 40 97,6 10,0 36 90,0 0,0 9 100,0 10,2 123 89,8 11,4 70 88,6 15,0 17 85,0 2,9 34 97,1 8,3 11 91,7 ORCrude 95% CI 1 2,18(0,71-6,67) 1 2,60(0,82-8,18) 1 0,98(0,17-5,44) 1,42(0,27-7,40) 1 1,29(0,07-22,22) 1,93(0,21-17,46) 4,27(0,49-37,14) 1 0,15(0,01-1,27) 0,69(0,19-2,41) NA* 1 1,37(0,33-5,62) 0,22(0,02-1,88) 0,70(0,08-6,14) p 0,169 0,103 0,984 0,673 0,859 0,559 0,188 0,083 0,563 0,660 0,170 0,753 * NA: Not Applicable Tabel 5. Persentase Kejadian Anemia menurut Konsumsi Zat Gizi Konsumsi Zat Gizi Energi Protein Vitamin A Vitamin C Zat besi Zink * NA: Not Applicable 76 − − − − − − − − − − − − Cukup Defisit Cukup Defisit Cukup Defisit Cukup Defisit Cukup Defisit Cukup Defisit Kejadian Anemia Ya Tidak n % n % 1 3,2 30 96,8 13 11,3 102 88,7 3 11,1 24 88,9 11 9,2 108 90,8 7 8,0 81 92,0 7 12,1 51 87,9 1 50,0 1 50,0 13 9,0 131 91,0 0 0.0 8 100,0 14 10,1 124 89,9 0 0,0 1 100,0 14 9,7 131 90,3 ORCrude 95% CI 1 3,82(0,48-30,43) 1 0,81(0,21-3,14) 1 1,58(0,52-4,79) 1 0,09(0,00-1,68) NA* NA* p 0,205 0,766 0,412 0,110 Prevalensi dan Faktor Risiko ………… (Sudikno, Sandjaja) Tabel 5 menjelaskan kejadian anemia menurut konsumsi zat gizi. Persentase kejadian anemia sebesar 10,1 persen pada WUS dengan konsumsi energi kategori defisit. Pada WUS dengan konsumsi protein kategori defisit, persentase kejadian anemia sebesar 10,5 persen. Persentase kejadian anemia sebesar 12,1 persen pada WUS dengan konsumsi vitamin A kategori defisit. Sedangkan pada WUS dengan konsumsi vitamin C kategori defisit, persentase kejadian anemia didapatkan sebesar 9 persen. Selanjutnya persentase kejadian anemia sebesar 10,1 persen pada WUS dengan konsumsi zat besi kategori defisit, dan pada WUS dengan konsumsi zink kategori defisit, persentase kejadian anemia didapatkan sebesar 9,7 persen. Dari Tabel 5 diketahui bahwa hanya variabel konsumsi vitamin C yang masuk dalam tahap analisis multivariat (p<0,25). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa WUS dengan status feritin yang kurang berisiko sebesar 4,01 kali (95% CI: 1,03-15,48) untuk menjadi anemia dibandingkan dengan WUS dengan status feritin yang cukup setelah dikontrol oleh variabel status vitamin A dan umur (Tabel 6). Tabel 6. Regresi Logistik Multivariat Faktor Risiko Anemia Wanita Usia Subur (WUS) di Rumah Tangga Miskin Variabel ORAdjusted 95% CI p 4,01 5,86 2,85 1,03-15,48 0,92-37,29 0,83-9,78 0,04 0,06 0,09 Status feritin Status vitamin A Umur PEMBAHASAN Prevalensi anemia wanita usia subur (kadar hemoglobin <12 g/dl) pada peneltian ini sebesar 9,6 persen, termasuk masalah kesehatan masyarakat dengan kategori sedang menurut WHO (5,0%-19,9%).15,16 Hasil ini masih lebih rendah dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2007 di perkotaan maupun hasil Riskesdas 2013.4,5 Penelitian Buseri FI, dkk. di Nigeria mendapatkan angka prevalensi anemia pada WUS yang tidak hamil sebesar 16,7 persen, dan pada WUS yang hamil sebesar 23,2 persen.20 Penelitian Pala K dan Dundar N di Turki mendapatkan angka prevalensi anemia WUS sebesar 32,8 persen.12 Sedangkan di Etiopia menurut Ethiopian Demographic and Health Survey (EDHS), prevalensi anemia pada WUS menyusui adalah 29,9 persen pada tahun 2005 dan 18,5 persen pada tahun 2011. Persentase anemia di antara WUS yang hamil sebesar 30,6 persen pada tahun 2005 dan 22 persen pada tahun 2011. Selanjutnya persentase anemia pada WUS yang tidak hamil atau menyusui sebesar 23,9 persen pada tahun 2005 dan 15 persen pada tahun 2011.21,22 Penelitian Dabral M, dkk.23 di Uttarakhand, India mendapatkan prevalensi anemia pada WUS sebesar 64,28 persen. Dilihat dari variabel umur tidak menunjukkan adanya hubungan antara umur WUS dengan kejadian anemia. Hasil ini sejalan dengan penelitian Mirzaie F, dkk.24 di Kerman (Iran), Swarnlatha25 di Andhra Pradesh (India). Gartner A, dkk.26 di Maroko dan Tunisia. Sebaliknya hasil penelitian Yi S-W, dkk. menunjukkan adanya hubungan antara umur dengan kejadian anemia pada WUS.27 Menurut pendidikan juga tidak menunjukkan adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian anemia. Penelitian Nik Rosmawati NH, dkk.28 di Malaysia, Gartner A, dkk.26 di Maroko dan Tunisia yang juga menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan kejadian anemia. Namun sebaliknya pada penelitian Sanku DEY, dkk.14 di India, Mirzaie F, dkk.24 di Iran, Yi S-W, dkk.27 di Korea, Patavegar BN, dkk.29 di India, Wilunda C, dkk.30 di Tanzania menunjukkan bahwa tingkat pendidikan berhubungan dengan kejadian anemia pada WUS. Dari hasil Riskesdas 2007 juga menunjukkan bahwa 77 Prevalensi dan Faktor Risiko ………… (Sudikno, Sandjaja) semakin tinggi tingkat pendidikan semakin rendah prevalensi anemia.4 Pada penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan antara status kawin dengan risiko kejadian anemia. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Gartner A, dkk.26 pada WUS di Maroko dan Tunisia, Wilunda C, dkk.30 di Tanzania. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada kecenderungan kejadian anemia pada WUS yang belum kawin dibandingkan WUS yang sudah kawin. Menurut pekerjaan diketahui bahwa WUS yang masih sekolah persentase kejadian aneminya lebih tinggi dibandingkan dengan WUS yang bekerja, tidak bekerja dan ibu rumah tangga. Sedangkan pada Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa ibu rumah tangga mempunyai prevalensi anemia tertinggi dibandingkan di antara jenis pekerjaan yang lain.4 Hasil pada penelitian ini tidak membuktikan adanya hubungan antara pekerjaan dengan risiko kejadian anemia pada WUS. Penelitian ini sejalan dengan Gartner A, dkk.26 di Maroko dan Tunisia. Sebaliknya pada penelitian Sanku DEY, dkk. 14 menunjukkan bahwa jenis pekerjaan berhubungan dengan kejadian anemia pada WUS. Pada penelitian ini variabel paritas tidak menunjukkan adanya hubungan dengan risiko kejadian anemia pada WUS. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Wilunda C, dkk.30 di Tanzania. Sedangkan pada penelitian Mirzaie F, dkk.24 di Kerman (Iran), Gartner A, dkk.26 di Maroko dan Tunisia, Yi S-W, dkk.27 di Korea menunjukkan adanya hubungan antara paritas dengan risiko kejadian anemia. Pada penelitian ini menunjukkan kecenderungan kejadian anemia pada WUS yang belum pernah melahirkan dibandingkan WUS yang sudah pernah melahirkan. Selanjutnya hasil penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan antara riwayat keguguran dengan kejadian anemia. Meskipun demikian, kehilangan darah selama keguguran menunjukkan peningkatan kejadian anemia secara signifikan.31 Dilihat dari variabel status gizi diketahui bahwa kejadian anemia pada WUS cenderung terjadi pada WUS dengan IMT kurang dari 18,5 kg/m2 (underweight) dibandingkan 78 kelompok WUS dengan kelompok IMT 18,524,9 kg/m2 (normal), walaupun dalam penelitian ini belum menunjukkan hubungan yang bermakna. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wilunda C, dkk. (2013)30 di Tanzania. Namun, pada penelitian Yi S-W, dkk.27 di Korea menunjukkan adanya hubungan antara IMT dengan kejadian anemia. Menurut Qin Y, dkk. bahwa wanita yang mengalami obesitas memiliki kecenderungan asupan zat besi lebih tinggi daripada wanita kurus.32 Selanjutnya penelitian ini menunjukkan bahwa konsumsi zat gizi WUS (energi, protein, vitamin C, zat besi, dan zink) sebagian besar masih di bawah angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Hasil penelitian tidak menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi zat gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin C, zat besi, dan zink). Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Wallace LJ, dkk.33 di Kandal, Kamboja yang menunjukkan bahwa konsumsi makanan harian belum memenuhi, terutama konsumsi zat besi dan vitamin A. Sedangkan pada penelitian Batool Z, dkk. di Punjab, Pakistan menunjukkan bahwa konsumsi energi berhubungan dengan kejadian anemia pada WUS. Hasil analisis regresi logistik multivariat pada penelitian ini menunjukkan bahwa WUS dengan status feritin yang kurang berisiko menjadi anemia sebesar 4,01 kali (95% CI: 1,03-15,48) dibandingkan dengan WUS dengan status feritin yang cukup setelah dikontrol oleh variabel status vitamin A dan umur. Sebagaimana diketahui bahwa serum feritin diproduksi secara intraseluler yang merespon terhadap peningkatan kandungan zat besi. Jika cadangan zat besi meningkat, maka konsentrasi serum feritin juga meningkat.34 Menurut WHO, serum feritin merupakan cadangan zat besi di dalam tubuh. Molekul feritin merupakan protein intraseluler berongga yang terdiri dari 24 subunit yang mengelilingi inti zat besi yang berisi sebanyak 4.000-4.500 atom besi. Di dalam tubuh, sebagian kecil feritin disekresikan ke dalam plasma. Konsentrasi plasma (atau serum) feritin berkorelasi positif dengan ukuran total simpanan zat besi tubuh dengan tidak adanya peradangan.35 Konsentrasi feritin yang normal bervariasi berdasarkan usia dan jenis kelamin. Konsentrasi tinggi pada saat lahir, meningkat Prevalensi dan Faktor Risiko ………… (Sudikno, Sandjaja) selama dua bulan pertama kehidupan, dan kemudian turun.36 Pada sekitar usia satu tahun, konsentrasi mulai naik lagi dan terus meningkat hingga dewasa.37 Sedangkan vitamin A diduga berperan dalam penyerapan zat besi dan atau pemanfaatan cadangan zat besi untuk produksi heme baru.38 Penelitian Suharno, dkk. menunjukkan bahwa pengaruh suplementasi besi pada konsentrasi hemoglobin dapat ditingkatkan dengan penambahan vitamin A.39 Pola konsumsi sumber penghambat penyerapan zat besi (Inhibitor) berpengaruh terhadap dengan status anemia. Makanan yang merupakan sumber penghambat penyerapan zat besi (inhibitor) yaitu tanin dan oksalat yang banyak terkandung dalam makanan seperti kacang-kacangan, pisang, bayam, coklat, kopi, dan teh.40 Penelitian Putri dan Sumarmi pada pengantin wanita (19-29 tahun) di Kabupaten Probolinggo juga menunjukkan bahwa konsumsi zat besi sebagian besar adalah dari non-heme, dan kurang makanan sumber zink.41 Menurut WHO perlu adanya intervensi peningkatan sumber zat besi yang bioavailabilitas tinggi dalam makanan wanita usia reproduksi. Selain itu perlu adanya diversifikasi makanan, suplementasi zat besi, dan fortifikasi yang universal untuk menurunkan tingkat anemia.42 Menurut Bhutta, dkk. bahwa meningkatkan status zat besi pada masa pra konsepsi sama seperti pemberian suplemen mikronutrien besi folat selama kehamilan yang akan menurunkan kejadian berat bayi lahir rendah (BBLR).43 Penelitian Taha A, dkk. menyimpulkan bahwa status zat besi pada janin dan status zat besi bayi yang baru lahir tergantung pada status besi ibu hamil dan oleh karena itu, kekurangan zat besi pada ibu berarti bahwa janin yang tumbuh mungkin akan kekurangan zat besi juga.44 Selanjutnya Patavegar BN29 menambahkan bahwa faktor kecacingan juga dapat menyebabkan anemia, namun pada penelitian ini tidak dilakukan pemeriksaan kecacingan pada WUS. melalui sekolah-sekolah menengah atas untuk menjaring remaja putri dalam program pemberian tablet tambah darah. Shrivastava D, dkk. menambahkan perlu adanya monitoring kepatuhan yang baik dalam pelaksanaan pemberian suplemen zat besi.45 Di samping itu perlu adanya upaya penyuluhan tentang makanan seimbang kepada kelompok WUS. Kelompok bahan makanan atau makanan hewani yang relatif murah dan mudah diperoleh, seperti: telur ayam, ikan segar dari sungai/kolam/laut sangat baik bagi WUS, karena memiliki bioavailabilitas besi yang baik. KESIMPULAN Pada penelitian ini menunjukkan bahwa anemia pada wanita usia subur di rumahtangga miskin masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dengan kategori sedang. Pada WUS dengan status feritin yang kurang (defisit) mempunyai risiko untuk menjadi anemia sebesar 4,01 kali dibandingkan dengan WUS dengan status feritin yang cukup setelah dikontrol oleh variabel status vitamin A dan umur. SARAN Pemberian tablet tambah darah kepada kelompok WUS diharapkan masih menjadi prioritas program. Di samping itu perlu adanya upaya penyuluhan tentang makanan seimbang, terutama makanan hewani yang murah dan mudah diperoleh. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Badan Peneitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Ciamis beserta staf, dan kepada almarhum Bapak Robert L. Tilden selaku konsultan dalam penelitian ini. Dengan demikian program pemberian tablet tambah darah pada WUS, termasuk remaja putri diharapkan masih menjadi program prioritas. Perlu adanya upaya menyeluruh 79 Prevalensi dan Faktor Risiko ………… (Sudikno, Sandjaja) DAFTAR PUSTAKA 1. World Health Organization. The world health report. Reducing risks, promoting healthy life. Geneva: World Health Organization, 2002. 2. McLean E, Cogswell M, Egli I, Wojdyla D, de Benoist B. Worldwide prevalence of anaemia, WHO Vitamin and Mineral Nutrition Information System, 1993–2005. Public Health Nutr 2009; 12: 444–54. 3. World Health Organization. WHA Global Nutrition Targets 2025: Anaemia Policy Brief. Geneva: World Health Organization. 2014. 4. Departemen Kesehatan. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2007 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Jakarta: 2009. 5. Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Jakarta: 2013. 6. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2015. 7. Ezzati M, Lopez AD, Rodgers AA, Murray CJL. Comparative quantifi cation of health risks: global and regional burden of disease attributable to selected major risk factors. Geneva, Switzerland: World Health Organization, 2004. 8. Horton S, Ross J. The economics of iron deficiency. Food Policy 2003; 28: 51–75. 9. Balarajan Y, Ramakrishnan U, Özaltin E, Shankar AH, Subramanian SV. Anaemia in low-income and middle-income countries. Lancet. 2011: 1-13. DOI:10.1016/S0140736(10)62304-5. 10. Agrawal S, Misra R, Aggarwal A. Anemia in rheumatoid arthritis: high prevalence of iron-deficiency anemia in Indian patients. Rheumatol Int (2006) 26: 1091–1095. DOI 10.1007/s00296-0060133-4. 11. Kaur K. Anaemia ‘a silent killer’ among women in India: Present scenario. Euro J Zool Res, 2014, 3 (1):32-36. 12. Pala K, Dundar N. Prevalence & risk factors of anaemia among women of reproductive age in Bursa, Turkey. Indian J Med Res 128. 2008:282-286. 13. Siteti MC, Namasaka SD, Ariya OP, Injete SD, Wanyonyi WA. Anaemia in 80 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. pregnancy: Prevalence and possible risk factors in Kakamega County, Kenya. Science Journal of Public Health 2014; 2(3): 216-222. doi: 10.11648/j.sjph.20140203.23. http://www.sciencepublishinggroup.com/j/ sjph Sanku DEY, Goswami S, Goswami M. Prevalence of anaemia in women of reproductive age in Meghalaya: a logistic regression analysis. Turk J Med Sci. 2010; 40 (5): 783-789. doi:10.3906/sag-0811-44 WHO. Iron deficiency anaemia: assessment, prevention and control, a guide for programme managers. Geneva, World Health Organization, 2001. Available from: http://www.who.int/nutrition/publications/ micronutrients/anaemia_iron_deficiency/ WHO_NHD_01.3/en/index.html. WHO. Worldwide prevalence of anaemia 1993–2005: WHO global database on anaemia. Geneva, Switzerland: World Health Organization, 2008. WHO. Serum retinol concentrations for determining the prevalence of vitamin A deficiency in populations. Geneva: WHO, 2011. Available http://www.who.int/vmnis/indicators/retin ol.pdf. Nelson M, Erens B, Bates B, Church S, and Boshier T. 23-hour recall instruction. London: University of London, (tanpa tahun). World Health Organization. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic. Report of a WHO Consultation. Geneva: WHO. 2000. Buseri FI, Uko EK, Jeremiah ZA,Usanga EA. Prevalence and Risk Factors of Anaemia Among Pregnant women in Nigeria. The Open Hematology Journal. 2008; 2:14-19. Central Statistical Agency (CSA) Ethiopia. Demographic and Health Survey 2011. Addis Ababa, Ethiopia and Calverton, Maryland, USA: CSA and ORC Macro, 2011. Central Statistical Agency (CSA). Demographic and Health Survey 2005. Addis Ababa, Ethiopia and Calverton, Maryland, USA: CSA and ORC Macro, 2005. Dabral M, Kothiyal P. Prevalence Of Anemia Among Reproductive Age Group Prevalensi dan Faktor Risiko ………… (Sudikno, Sandjaja) 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. Tribal Women In Uttarakhand, India. Indian Journal of Pharmaceutical Science & Research. 2015; 5(4): 301-304. Mirzaie F, Eftekhari N, Goldozeian S, Mahdavinia J. Prevalence of anemia risk factors in pregnant women in Kerman, Iran. Iranian Journal of Reproductive Medicine. 2010;8(2): 66-69. Swarnlatha. Prevalence of Anaemia and its Socio Demographic. Determinants among Pregnant Women Attending Government Maternity Hospital, Tirupati, A.P. Sudanese Journal Of Public Health. 2013;8 (3):104-106. Gartner A, Ati JE, Traissac P, Bour A, Berger J, Landais E, Hsaı¨ni HE, Rayana CB, Delpeuch F. A Double Burden of Overall or Central Adiposity and Anemia or Iron Deficiency Is Prevalent but with Little Socioeconomic Patterning among Moroccan and Tunisian Urban Women. J. Nutr. 144: 87–97, 2014. doi:10.3945/jn.113.178285. http://jn.nutrition.org/content/suppl/2013/1 2/11/jn.113.178285.DCSupplemental.html . Yi S-W, Han Y-J, Ohrr H. Anemia before pregnancy and risk of preterm birth, low birth weight and small-for-gestational-age birth in Korean women. European Journal of Clinical Nutrition (2013) 67, 337–342. Nik Rosmawati NH, Mohd Nazri S, Mohd Ismail I. The Rate and Risk Factors for Anemia among Pregnant Mothers in Jerteh Terengganu, Malaysia. J Community Med Health Educ. 2012; 2:150. doi:10.4172/2161-0711.1000150. Patavegar BN, Kamble MS, Langare-Patil S. Prevalence of anaemia and its epidemiological correlates among women of reproductive age in a rural setting. International Journal of Basic and Applied Medical Sciences. 2014; 4 (2): 155-159. Wilunda C, Massawe S, Jackson C. Determinants of moderate-to-severe anaemia among women of reproductive age in Tanzania: analysis of data from the 2010 Tanzania demographic and health survey. Tropical Medicine and International Health. 2013; 18 (12): 14881497. doi:10.1111/tmi.12199. Batool Z, Zafar MI, Maann AA, Tanvir Ali T. Socio-Cultural Factors Affecting Anemia and Their Effects on Mother, and Child Health in Rural Areas of District 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. Faisalabad, Punjab, Pakistan. Pak. J. Agri. Sci. 2010; 47(1):59-65. Qin Y, Melse-Boonstra A, Pan X, Yuan B, Dai Y, Zhao J, Zimmermann MB, Kok FJ, Zhou M, Shi Z. Anemia in relation to body mass index and waist circumference among chinese women. Nutrition Journal. 2013;12:10. doi:10.1186/1475-2891-1210. http://www.nutritionj.com/content/12/1/10 . Wallace LJ, Summerlee AJS, Dewey CE, Hak C, Hall A, Charles CV. Women’s nutrient intakes and food-related knowledge in rural Kandal province, Cambodia. Asia Pac J Clin Nutr 2014;23(2):263-271. doi: 10.6133/apjcn.2014.23.2.02. Baynes RD. Assessment of iron status. Clinical biochemistry. 1996;29(3):209215. WHO. Serum ferritin concentrations for the assessment of iron status and iron deficiency in populations. Vitamin and Mineral Nutrition Information System. Geneva, World Health Organization, 2011 (WHO/NMH/NHD/MNM/11.2). (http://www.who.int/vmnis/indicators/seru m_ferritin. pdf.) Domellof M, Dewey KG, Lonnerdal B, Cohen RJ, Hernell O. The diagnostic criteria for iron deficiency in infants should be reevaluated. Journal of Nutrition, 2002, 132:3680-3686. Gibson R. Principles of nutritional assessment, 2nd ed. Oxford, UK, Oxford University Press, 2005. Zimmermann MB, Biebinger R, Rohner F, Dib A, Zeder C, Hurrell RF, and Chaouki N. 2006. Vitamin A supplementation in children with poor vitamin A and iron status increases erythropoietin and hemoglobin concentrations without changing total body iron. Am J Clin Nutr. 2006:84:580-586. Suharno D, West CE, Muhilal, Karyadi D, and Hautvast JG. Supplementation with vitamin A and iron for nutritional anaemia in pregnant women in West Java, Indonesia. Lancet 1993: 342:1325-1328. Masthalina H, Laraeni Y, Dahlia YP. Pola Konsumsi (Faktor Inhibitor dan Enhancer Fe) Terhadap Status Anemia Remaja Putri. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2015; 11 (1): 80-86. 81 Prevalensi dan Faktor Risiko ………… (Sudikno, Sandjaja) 41. Putri SI, Sumarmi S. Perbandingan Konsumsi Zat Gizi, Status Gizi, dan Kadar Hemoglobin Pengantin Wanita di Wilayah Pantai dan Pertanian Kabupaten Probolinggo. Media Gizi Indonesia. 2013; 9(1):72–77. 42. Chaparro C, Oot L, Sethuraman K. 2014. Overview of the Nutrition Situation in Seven Countries in Southeast Asia. Washington, DC: FHI 360/FANTA. 43. Bhutta, Z. et al. Maternal and child undernutrition and overweight in lowincome and middle-income countries. The Lancet. 2013; 382(9890):427–451. 44. Taha A, Azhar S, Lone T, Murtaza G, Khan SA, Mumtaz A, Muhammad 82 Hassham Hassan Bin Asad2, Kousar R, Karim S, Tariq I, Syed Saeed ul Hassan, Hussain I. Iron Deficiency Anaemia In Reproductive Age Women Attending Obstetrics And Gynecology Outpatient Of University Health Centre In Al-Ahsa, Saudi Arabia. Afr J Tradit Complement Altern Med. 2014;11(2):339-342. http://dx.doi.org/10.4314/ajtcam.v11i2.19. 45. Shrivastava D, Mukherjee S, Lohana R, Khemka S. Determinants of Factors for Anaemia in Pregnancy in a Rural Medical College. Global Journal of Medical research Gynecology and Obstetrics. 2013;13(2) Version 1.0 Jurnal Kesehatan Reproduksi (ISSN 2087-703X) - Vol 7, No. 2, (2016), pp. 83-93 Kepatuhan Konsumsi Kalsium ………… (Galih Purnasari, Dodik Briawan, Cesilia Meti Dwiriani) KEPATUHAN KONSUMSI SUPLEMEN KALSIUM SERTA HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT KECUKUPAN KALSIUM PADA IBU HAMIL DI KABUPATEN JEMBER Calcium Supplementation Compliance and Its Relationship to Calcium Adequacy among Pregnant Women in Jember Galih Purnasari*, Dodik Briawan, Cesilia Meti Dwiriani Departemen Ilmu Gizi Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor *E-mail: [email protected] Abstract Background: World Health Organization (WHO) recommended supplementation of 1500-2000 mg/day calcium to be integrated into antenatal care (ANC) programmes to prevent pre-eclampsia, but the current program has not followed these recommendation. There was limited information about factors related to calcium supplements compliance and calcium adequacy in pregnant women in Indonesia. Objective: The study aims to analyze factors related to calcium supplements compliance and calcium adequacy in pregnant women. Method: This research was observational with cross sectional design. Subjects were 96 pregnant women received calcium supplements and attended ANC in Sumbersari and Ambulu Community Health Centre, Jember Regency. Data was analyzed using logistic regression to assess factors related to calcium intake compliance. Result: Factors associated to calcium supplements compliance were family support (OR= 3.40; 95% CI: 1.29–9.01) and perceived calcium benefits (OR= 3.02; 95% CI: 1.22-7.48). A high number of subjects (76.1%) was below estimated average requirement (EAR) of calcium. The average contribution of calcium intake from supplements was only 2.6% of subject’s EAR. Conclusion: This study implies that family support can improve compliance among the pregnant women and the needs of optimizing calcium supplementation program in Indonesia. Keywords: Calcium supplements, calcium adequacy, pregnant women, ANC Abstrak Latar belakang: WHO menganjurkan suplementasi kalsium 1500-2000 mg/hari bagi ibu hamil sebagai bagian dari ANC untuk pencegahan pre-eklampsi, namun program suplementasi kalsium di Indonesia saat ini belum sepenuhnya mengikuti anjuran tersebut. Belum banyak informasi mengenai faktor yang mempengaruhi kepatuhan ibu dalam mengonsumsi suplemen kalsium maupun informasi kecukupan kalsium pada ibu hamil di Indonesia. Tujuan: Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan ibu hamil dalam mengonsumsi suplemen kalsium dan tingkat kecukupan kalsium pada ibu hamil. Metode: Penelitian observasional dengan rancangan cross sectional study. Subjek penelitian adalah 96 ibu hamil yang telah mendapatkan suplemen kalsium dan melakukan ANC di Puskesmas Sumbersari dan Ambulu, Kabupaten Jember. Regresi logistik digunakan untuk menganalisis faktor yang paling berpengaruh. Hasil: Hasil penelitian diperoleh faktor yang mempengaruhi kepatuhan konsumsi tablet kalsium adalah dukungan keluarga (OR= 3,40; 95% CI: 1,29 – 9,01) dan manfaat suplemen kalsium yang dirasakan (OR= 3,02; 95% CI: 1,227,48). Tingkat kecukupan kalsium sebagian besar ibu hamil (76,1%) masih di bawah estimated average requirement (EAR) kalsium. Kontribusi asupan kalsium dari suplemen tidak besar, yaitu hanya memenuhi 2,6% EAR. Kesimpulan: Meningkatkan dukungan keluarga dapat menjadi strategi meningkatkan kepatuhan konsumsi suplemen kalsium dan perlunya mengoptimalkan program suplementasi kalsium di Indonesia. Kata kunci: Suplemen kalsium, kecukupan kalsium, ibu hamil, ANC Naskah masuk: 19 Mei 2015 Review: 10 Agustus 2016 Disetujui terbit: 24 Agustus 2016 Kepatuhan Konsumsi Kalsium ………… (Galih Purnasari, Dodik Briawan, Cesilia Meti Dwiriani) PENDAHULUAN Hipertensi dalam kehamilan termasuk di dalamnya preeklampsia merupakan penyebab utama nomor dua kematian ibu di seluruh dunia.1 Di Indonesia kematian ibu didominasi oleh penyebab utama yaitu hipertensi dalam kehamilan dan perdarahan.2 Hipertensi dalam kehamilan proporsinya semakin meningkat, dari 20 persen di tahun 2007 menjadi hampir 30 persen di tahun 2011.3 Kebutuhan kalsium meningkat selama kehamilan. Selain penting bagi kesehatan tulang ibu dan janin, asupan kalsium yang cukup dapat mengurangi kejadian hipertensi selama kehamilan, mengurangi risiko preeklampsia dan mencegah kelahiran prematur.4 Wanita hamil di negara berkembang umumnya memiliki asupan kalsium yang rendah. Penelitian yang dilakukan di Kamerun menunjukkan sebanyak 94,6 persen ibu hamil memiliki asupan kalsium yang inadekuat.5 Berdasarkan penelitian di daerah selatan Thailand, tampak bahwa sebanyak 55 persen ibu hamil memiliki asupan kalsium inadekuat dengan rata–rata asupan kalsium sebesar 493,2 mg/hari.6 Penelitian Sacco et al. di Peru menunjukkan bahwa prevalensi ibu hamil yang memiliki asupan kalsium inadekuat sebesar 86 persen.7 World Health Organization merekomendasikan suplementasi kalsium 1500-2000 g/hari pada populasi dengan asupan kalsium rendah sebagai bagian dari ANC untuk pencegahan preeklampsia pada ibu hamil, terutama pada ibu hamil yang memiliki risiko tinggi hipertensi.8 Diketahui kalsium karbonat merupakan pilihan yang paling cost-effective menjadi suplemen kalsium bagi ibu hamil, namun secara farmakologi hanya dapat mengandung maksimal 500 mg kasium elemental per tabletnya. Sehingga membutuhkan 3 hingga 4 tablet per hari.9 Selain itu perlunya tablet kalsium dikonsumsi terpisah dari suplemen besi karena akan muncul efek negatif pada absorpsi kalsium dan besi jika dikonsumsi bersamaan. 10 Di Indonesia, rekomendasi pemberian suplemen kalsium sebesar 1500–2000 mg/hari pada 84 populasi dengan asupan kalsium rendah sebagai pencegahan preeklampsia telah tertuang dalam Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.11 Meskipun demikian, rekomendasi ini belum diadopsi secara luas karena cukup sulit jika diimplementasikan, termasuk jenis dan jumlah tablet kalsium yang dibutuhkan untuk mencapai dosis yang direkomendasikan. Suplemen kalsium di Jember diberikan saat ANC bersamaan dengan pemberian suplemen besi dan vitamin C dengan anjuran minum 1 kali per hari untuk masing-masing tablet minimal sebanyak 90 tablet selama kehamilan. Berbagai studi tentang evaluasi program suplementasi besi menunjukkan bahwa kepatuhan ibu hamil mengonsumsi suplemen selama kehamilan menjadi salah satu tantangan yang paling sering ditemui dalam mencapai pelaksanaan program suplementasi mikronutrien yang efektif pada ibu hamil.12–14 Selama ini informasi mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan konsumsi suplemen kalsium masih terbatas dan belum banyak informasi mengenai tingkat kecukupan kalsium pada ibu hamil di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor yang berhubungan dengan kepatuhan konsumsi kalsium pada ibu hamil serta menganalisis faktor yang berhubungan dengan tingkat kecukupan kalsium pada ibu hamil. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan ibu hamil dalam mengonsumsi tablet kalsium dan sebagai bahan masukan bagi perencanaan kebijakan yang berkaitan dengan peningkatan gizi ibu hamil, mengingat gizi pada ibu hamil sangat menentukan kualitas generasi berikutnya. METODE Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan rancangan cross sectional study. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive, yaitu di Puskesmas Sumbersari dan Puskesmas Ambulu Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Jember dan kedua puskesmas ini dipilih karena Kepatuhan Konsumsi Kalsium ………… (Galih Purnasari, Dodik Briawan, Cesilia Meti Dwiriani) telah menjalankan program suplementasi kalsium pada ibu hamil. Selain itu diketahui Jember memiliki angka kematian ibu (AKI) tertinggi ke-2 di Jawa Timur yaitu 31 orang dari semua kelahiran di tahun 2014 dan cakupan pemeriksaan kehamilan minimal 4 kali (K4) di Jember tergolong rendah (69,78%).15,16 Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai bulan Februari tahun 2016. Populasi adalah ibu hamil yang berada di wilayah kerja Puskesmas Sumbersari dan Puskesmas Ambulu, Kabupaten Jember. Kriteria inklusi yang ditetapkan adalah ibu hamil trimester I sampai III yang mendapatkan pelayanan ANC di puskesmas ataupun posyandu di wilayah kerja puskesmas, sudah pernah mendapatkan suplemen kalsium dan bersedia diwawancarai. Jumlah subjek minimal menggunakan rumus Lemeshow et al. adalah 92 ibu hamil.17 Setelah proses pengumpulan data selesai, didapatkan subjek ibu hamil yang mengikuti penelitian dengan data yang lengkap berjumlah 96 orang. Suplemen kalsium dibagikan saat kunjungan ANC ibu hamil setiap bulannya dengan jumlah minimal 90 tablet selaman kehamilan. Namun jumlah tablet kalsium yang diberikan saat ANC tidak selalu sama. Pada penelitian ini didapatkan jumlah minimal tablet yang diterima ibu adalah 6 tablet dan maksimal 30 tablet. Variabel terikat adalah kepatuhan ibu dalam mengonsumsi suplemen kalsium dan tingkat kecukupan kalsium. Sedangkan variabel bebas yaitu karakteristik ibu hamil, pengetahuan mengenai kecukupan kalsium dan suplementasi kalsium, dukungan keluarga, manfaat suplemen kalsium yang dirasakan, kualitas konseling yang diterima, dan asupan kalsium dari pangan. Wawancara terstruktur menggunakan kuesioner untuk mengetahui data ibu hamil yang meliputi karakteristik ibu hamil (usia ibu hamil, frekuensi ANC, pendidikan, status pekerjaan ibu), pengetahuan mengenai kecukupan kalsium dan suplementasi kalsium; kualitas konseling petugas kesehatan dalam pemberian suplemen kalsium; dukungan keluarga; manfaat suplemen kalsium yang dirasakan. jumlah suplemen kalsium yang diterima; kepatuhan ibu hamil dalam mengonsumsi suplemen kalsium. Kategori pendidikan dibagi dalam pendidikan <SMA (sekolah menengah atas) dan ≥ SMA merujuk pada Fitri (2015).18 Wawancara menggunakan food frequency questionnaire (FFQ) semi kuantitatif selama sebulan untuk mengetahui asupan kalsium dari pangan. Subjek dikatakan patuh apabila mengonsumsi seluruh suplemen kalsium yang didapat. Penilaian kualitas konseling didapatkan dari jumlah jenis nasihat mengenai kecukukupan kalsium dan suplementasi kalsium dikalikan dengan frekuensi pemberian nasihat tersebut lalu dibagi dengan frekuensi ANC ibu. Jenis nasihat yang ditanyakan terdiri dari fungsi kalsium, perlunya tablet kalsium, dosis suplemen kalsium, cara mengonsumsi suplemen kalsium dan hubungan suplemen kalsium dengan hipertensi dalam kehamilan. Asupan kalsium pangan dianggap cukup apabila asupan kalsium ≥ estimated average requirement (EAR) kalsium. Sesuai dengan Institute of Medicine (IOM), angka kecukupan gizi (AKG) adalah sebesar 120 persen dari EAR, sehingga dengan membagi AKG kalsium dengan 1,2 didapatkan EAR kalsium. EAR kalsium ibu hamil di Indonesia sebesar 1167,7 mg/hari untuk usia 1618 tahun, 1083,3 mg/hari untuk usia 19-29 tahun dan 1000 mg/hari untuk usia 30-49 tahun.19,20 Tingkat kecukupan kalsium pada penelitian ini didapatkan dari rata-rata asupan kalsium dari pangan dan makanan yang ditambahkan dengan rata-rata asupan kalsium dari suplemen kemudian dibandingkan dengan EAR. Asupan kalsium diolah menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) Excel 2007 untuk bahan pangan dan Nutrisurvey 2005 untuk bahan makanan. Regresi logistik digunakan untuk menganalisis secara bersama-sama berbagai variabel yang mempengaruhi kepatuhan mengonsumsi suplemen kalsium. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan Etik dari Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia No. 112/UN2.F1/ETIK/2016. 85 Kepatuhan Konsumsi Kalsium ………… (Galih Purnasari, Dodik Briawan, Cesilia Meti Dwiriani) HASIL Karakteristik Subjek Sebagian besar subjek ibu hamil (82,3%) berada pada kisaran usia 20 sampai 35 tahun yang tergolong dalam kategori usia dengan faktor resiko rendah dalam kehamilan. Lebih dari setengah subjek (92,8%) memiliki usia kehamilan di trimester 2 dan 3. Lebih dari setengah subjek ibu hamil (62,6%) memiliki pendidikan terakhir ≥ SMA. Penelitian ini dilakukan di puskesmas sehingga ibu hamil yang dijadikan subjek adalah mereka yang umumnya rutin melakukan ANC setiap bulannya di puskesmas tersebut, diketahui sebagian besar subjek (95,8%) telah memenuhi frekuensi ANC yang dianjurkan yaitu 1 kali di trimester I, 1 kali di trimester II dan 2 kali di trimester III. Lebih dari setengah subjek (65,6%) memiliki frekuensi ANC ≥5. Sebagian besar subjek (79,2%) merupakan ibu rumah tangga. Sebaran ibu hamil berdasarkan karakteristik subjek ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik subjek ibu hamil Karakteristik Usia Risiko tinggi (<20 tahun atau >35 tahun) Risiko rendah (20-35 tahun) Usia kehamilan Trimester I Trimester II Trimester III Tingkat pendidikan ≤SD ≤SMP ≤SMA Perguruan tinggi Frekuensi ANC <5 kali ≥5 kali Status pekerjaan Tidak bekerja Bekerja Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan ibu hamil dalam mengonsumsi suplemen kalsium Kepatuhan ibu hamil dalam mengonsumsi suplemen kalsium dapat dipengaruhi berbagai faktor. Hasil analisis bivariat (Tabel 2) menunjukkan bahwa variabel yang memiliki hubungan yang signifikan dengan kepatuhan ibu hamil dalam mengonsumsi suplemen kalsium adalah usia ibu, pendidikan ibu, adanya dukungan keluarga, jumlah tablet kalsium yang diterima, dan manfaat suplemen kalsium yang dirasakan oleh ibu hamil. 86 n % 17 79 17,7 82,3 7 30 59 7,3 31.3 61.5 15 21 42 18 15,6 21,9 43,8 18,8 33 63 34,4 65,6 76 20 79,2 20,8 Analisis bivariat menunjukkan bahwa frekuensi ANC, pengetahuan mengenai kecukupan kalsium dan suplementasi kalsium, kualitas konseling tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan kepatuhan konsumsi suplemen kalsium (Tabel 2). Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui variabel yang berpengaruh dengan kepatuhan ibu hamil dalam mengonsumsi suplemen kalsium. Analisis yang digunakan adalah regresi logistik dengan menggunakn metode Backward. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap kepatuhan ibu hamil dalam mengonsumsi suplemen kalsium adalah adanya dukungan keluarga dalam mengonsumsi Kepatuhan Konsumsi Kalsium ………… (Galih Purnasari, Dodik Briawan, Cesilia Meti Dwiriani) suplemen kalsium (OR= 3,953; 95% CI: 1,52210,265) dan manfaat suplemen kalsium yang dirasakan (OR= 3,020; 95% CI: 1,219-7.481). Tabel 2. Hubungan antar variabel dengan kepatuhan ibu hamil dalam mengonsumsi suplemen kalsium Tidak patuh n % Variabel Usia ibu (tahun) Risiko tinggi (<20 tahun atau >35 tahun) Risiko rendah (20-35 tahun) Tingkat pendidikan <SMA ≥SMA Frekuensi ANC <5 kali ≥5 kali Pengetahuan mengenai kecukupan kalsium dan suplementasi kalsium Kurang Cukup Adanya dukungan keluarga Tidak Ya Kualitas konseling mengenai kecukupan kalsium dan suplementasi kalsium Kurang Baik Jumlah tablet kalsium yang diterima >15 tablet ≤15 tablet Manfaat suplemen kalsium Tidak merasakan Merasakan Patuh n % P-value OR 95% CI 5 45 29,4 57,0 12 34 70,6 43,0 0,039* 0,315 0,101-0,979 15 35 39.5 60,3 23 23 60,5 39.7 0,045* 0,429 0,186-0,989 20 30 60.6 47,6 13 33 39,4 52,4 0,226 1,692 0,719-3,982 32 18 59,3 42,9 22 24 40,7 57,1 0,111 1,939 0,856-4,392 25 25 71,4 41,0 10 36 28,6 59,0 0,004* 3,600 1,473-8,796 22 28 44,9 59.6 27 19 55,1 40,4 0,150 0,553 0,246-1,243 26 24 66,7 42,1 13 33 33,7 57,9 0,018* 2,750 1,177-6,423 30 20 62,5 41,7 18 28 37,5 58,3 0,041* 2,333 1,029-5,292 *Bermakna pada p<0,05 Asupan kalsium dari pangan Sebagian besar subjek (81.3%) pada penelitian ini memiliki asupan kasium dari pangan dan makanan yang tergolong defisit (kurang). Sebaran subjek berdasarkan kategori asupan kalsium dari pangan dan makanan disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Kategori asupan kalsium subjek dari pangan Asupan kalsium dari pangan Defisit Cukup n % 78 18 81.2 18.8 Kontribusi suplemen kalsium dan asupan kalsium pangan terhadap tingkat kecukupan kalsium pada ibu hamil Pada penelitian ini asupan kalsium total didapatkan dari konsumsi pangan harian dan konsumsi suplemen kalsium. Tingkat kecukupan kalsium pada penelitian ini adalah jumlah ratarata asupan kalsium pangan yang ditambahkan dengan rata-rata asupan kalsium dari suplemen kemudian dibandingkan dengan EAR. Dalam penelitian ini dilakukan uji hubungan antara beberapa variabel terhadap tingkat kecukupan kalsium pada ibu hamil melalui uji bivariat. Didapatkan faktor yang berhubungan dengan tingkat kecukupan kalsium adalah konsumsi 87 Kepatuhan Konsumsi Kalsium ………… (Galih Purnasari, Dodik Briawan, Cesilia Meti Dwiriani) kalsium pangan. Hasil uji tersebut disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4. Hubungan antar konsumsi kalsium dan tingkat kecukupan kalsium pada ibu hamil Tingkat Kecukupan Kalsium Variabel Inadekuat n % Kepatuhan konsumsi tablet kalsium 39 78,0 − Tidak patuh 35 76,1 − Patuh Konsumsi kalsium dari pangan 74 94,9 − Defisit 0 0 − Cukup *Bermakna pada p<0.05 Adekuat Pvalue n % 11 11 22,0 23,9 0,824 4 18 5,1 100,0 0,000* PEMBAHASAN Ibu dengan risiko kehamilan rendah lebih tidak patuh mengonsumsi suplemen kalsium dibandingkan dengan ibu dengan kondisi risiko kehamilan tinggi (OR=0,315). Berbeda dengan penelitian Dairo dan Lawoyin yang melaporkan bahwa ibu dengan risiko kehamilan tinggi lebih tidak patuh mengonsumsi suplemen besi dibandingkan ibu dengan risiko kehamilan rendah.21 Hal ini dapat disebabkan oleh jumlah ibu hamil pada kategori risiko kehamilan rendah jauh lebih banyak (82,3%) dibanding ibu pada kategori risiko tinggi (18,7%). Diketahui pada kelompok ibu yang tidak patuh, proporsi terbanyaknya adalah ibu dengan kategori risiko kehamilan rendah (90%). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu dengan pendidikan ≥SMA lebih tidak patuh mengonsumsi suplemen kalsium (OR=0,429). Sejalan dengan hasil penelitian ini, Kulkarni et al. menyebutkan bahwa ibu yang lebih berpendidikan dan memiliki pengetahuan serta kemampuan untuk mendapatkan perawatan antenatal sesuai keinginan mereka akan beranggapan bahwa suplemen program yang didapat kurang bermanfaat sehingga menjadi kurang patuh mengonsumsi suplemen tersebut dibandingkan ibu dengan pendidikan rendah.22 88 Beberapa penelitian melaporkan bahwa frekuensi ANC berhubungan bermakna dengan kepatuhan ibu dalam mengonsumsi suplemen besi.18,23 Namun, setelah dilakukan uji bivariat, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara frekuensi ANC dan kepatuhan ibu dalam mengonsumsi suplemen kalsium dalam penelitian ini (p=0,226). Meskipun demikian, ada kecenderungan ibu yang memiliki frekuensi ANC lebih banyak akan lebih patuh mengonsumsi suplemen kalsium, tampak dari proporsi subjek yang patuh lebih banyak pada kelompok subjek dengan frekuensi ANC ≥ 5 kali (52,4%) dibandingkan subjek dengan frekuensi ANC < 5 kali (39,4%). Dalam beberapa studi mengenai suplementasi besi dilaporkan terdapat hubungan positif antara pengetahuan ibu dan kepatuhan dalam mengonsumsi suplemen besi.24,25 Namun, pada penelitian ini tidak terdapat hubungan bermakna antara pengetahuan ibu mengenai kecukupan kalsium dan suplementasi kalsium dengan kepatuhan ibu mengonsumsi suplemen tersebut (p=0,111). Meskipun demikian, dari Tabel 2 tampak bahwa proporsi tertinggi ibu yang tidak patuh mengonsumsi suplemen kalsium adalah pada mereka yang memiliki pengetahuan yang kurang (59,3%). Kualitas konseling dalam penelitian ini dinilai melalui aspek jenis nasihat yang diberikan kepada ibu hamil, frekuensi penyampaian nasihat dan jumlah ANC yang dilakukan ibu hamil. Penelitian di Kota Tangerang menunjukkan bahwa kualitas konseling mengenai suplementasi besi berhubungan dengan kepatuhan ibu hamil mengonsumsi suplemen besi (p=0,000).18 Sebaliknya penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara kualitas konseling mengenai kecukupan kalsium dan suplementasi kalsium dengan kepatuhan ibu mengonsumsi suplemen kalsium (p=0,150). Pada penelitian ini sebagian besar ibu merasa pernah diberi nasihat mengenai dosis suplemen kalsium (97,9%), hanya 26 persen ibu merasa pernah diberi nasihat mengenai perlunya tablet kalsium, dan tidak ada ibu hamil yang merasa pernah diberi nasihat mengenai suplementasi kalsium dan Kepatuhan Konsumsi Kalsium ………… (Galih Purnasari, Dodik Briawan, Cesilia Meti Dwiriani) preeklampsia. Hal ini mengindikasikan kurangnya konseling petugas mengenai peranan fungsi kalsium sehingga ibu hamil kurang memahami pentingnya kalsium selama kehamilan. Penelitian di Sao Paula juga menunjukkan hanya 10,4 persen ibu hamil pernah diberi nasihat untuk menambah asupan kalsiumnya.26 Hasil penelitian ini menunjukkan adanya variasi jumlah tablet kalsium yang diberikan saat ANC. Diketahui jumlah minimal tablet yang diberikan saat ANC adalah 6 tablet dan maksimal 30 tablet. Hasil uji bivariate menggambarkan adanya hubungan bermakna antara jumlah tablet yang diterima pada saat ANC terakhir dengan kepatuhan ibu (p=0,018). Berdasarkan hasil analisis diketahui ibu yang menerima tablet kalsium ≤15 tablet lebih patuh dibandingkan dengan ibu yang mendapat >15 tablet kalsium (OR=2,750). Pada penelitian ini tablet kalsium diberikan bersamaan dengan tablet besi dan vitamin C sehingga ibu menerima cukup banyak suplemen saat ANC. Mithra et al. melaporkan bahwa ibu hamil lebih patuh jika mengonsumsi suplemen besi 1 tablet per hari dibandingkan ibu yang mengonsumsi suplemen besi ≥2 tablet per hari.27 Semakin banyak tablet yang diterima semakin besar kemungkinan ibu hamil merasa bosan untuk mengonsumsi tablet yang diterima sehingga berdampak negatif terhadap kepatuhan.28 Hasil penelitian ini menyatakan, proporsi subjek yang patuh mengonsumsi suplemen kalsium lebih besar pada kelompok yang merasakan manfaat setelah mengonsumsi suplemen kalsium (58,3%) dibandingkan yang tidak merasakan manfaat (37,5%). Uji bivariat menunjukkan hasil adanya hubungan yang bermakna antara manfaat yang dirasakan setelah mengonsumsi suplemen kalsium dengan kepatuhan ibu (p=0,041). Adanya persepsi manfaat yang dirasakan oleh ibu hamil diketahui berhubungan dengan peningkatan konsumsi tablet besi sebanyak 6,8 persen.29 Adanya manfaat yang dirasakan ibu dari mengonsumsi suplemen besi merupakan salah satu hal yang mendukung keberhasilan program suplementasi besi (facilitators of effective iron supplementation).23 Tantangan yang paling sering ditemui dalam kepatuhan ibu hamil mengonsumsi suplemen besi adalah ‘lupa’, sehingga perlu adanya strategi yang dapat membantu ibu hamil agar ingat untuk mengonsumsi suplemen secara teratur.22,30 Pada penelitian ini terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan kepatuahan ibu hamil mengonsumsi suplemen kalsium (p=0,004). Anggota keluarga dapat memberikan dukungan dan membantu mengingatkan sehingga dapat meningkatkan kepatuhan mengonsumsi suplemen besi maupun kalsium.14,31 Pada penelitian ini dukungan keluarga dan adanya manfaat kalsium yang dirasakan adalah faktor yang mempengaruhi kepatuhan konsumsi supelemen kalsium. Salah satu program kesehatan ibu hamil untuk meningkatkan peran keluarga adalah program Kelas Ibu Hamil.32 Pada kegiatan Kelas Ibu Hamil suami atau keluarga dilibatkan dalam sesi Kelas Ibu Hamil. Petugas kesehatan dapat memanfaatkan forum ini untuk memberi edukasi tentang suplemen kalsium kepada ibu hamil dan keluarga yang ikut supaya target konsumsi suplemen kalsium dapat tercapai dengan didukung oleh keluarga. Asupan kalsium dari pangan menurut Tabel 3, sebagian besar subjek pada penelitian ini (81,3%) memiliki asupan kasium yang tergolong rendah (defisit). Diketahui rata-rata asupan kalsium harian subjek pada penelitian ini sebesar 718,0±408,4 mg/hari, sedangkan EAR kalsium ibu hamil di Indonesia berkisar antara 10001166,7 mg/hari.19,20 Hasil ini sejalan dengan berbagai penelitian mengenai rendahnya asupan kalsium ibu hamil di negara berkembang.5–7 Wanita hamil di negara berkembang umumnya memiliki asupan kalsium pada sangat rendah dikarenakan pola makan yang berbasis grains dan legumes.6,33 Berbeda dengan negara maju yang umumnya memiliki asupan kalsium yang tinggi karena produksi dan konsumsi produk susu yang tinggi.34 Sebagian besar dari subjek (76,1%) yang patuh mengonsumsi suplemen kalsium, masih tergolong dalam tingkat kecukupan kalsium inadekuat (Tabel 4). Diketahui suplemen kalsium program adalah calcium lactate 500 mg yang setara dengan 77 mg kalsium elemental 89 Kepatuhan Konsumsi Kalsium ………… (Galih Purnasari, Dodik Briawan, Cesilia Meti Dwiriani) dari tiap tabletnya. Sedangkan rekomendasi suplementasi kalsium dari WHO adalah 15002000 mg kalsium elemental per hari. Berdasarkan hasil perhitungan, rata-rata asupan kalsium dari suplemen program hanya memenuhi 2,6 persen EAR kalsium ibu hamil. Kalsium karbonat diketahui merupakan pilihan paling cost-effective karena memiliki bioavailabilitas yang lebih baik (bioavailabilitas 40%) daripada kalsium laktat (bioavailabilitas 13%) dan memiliki harga yang relatif terjangkau.35,36 Membutuhkan 3-4 tablet kalsium karbonat untuk memenuhi anjuran WHO karena kalsium karbonat hanya dapat mengandung maksimal 500 mg kalsium elemental tiap tabletnya.36 Diketahui tablet kalsium perlu dikonsumsi terpisah dari suplemen besi karena efek negatif pada absorpsi kalsium dan besi jika dikonsumsi bersamaan.10 Saran kepada ibu hamil untuk mengonsumsi suplemen dalam jumlah yang cukup banyak dengan aturan minum tertentu dalam rangka mencegah gangguan kesehatan yang belum akrab di telinga masyarakat seperti preeklampsia tidaklah mudah. Hal ini mengindikasikan perlunya mengoptimalkan program suplementasi kalsium yang saat ini sudah berjalan di Indonesia agar sesuai dengan anjuran WHO dengan memahami faktor-faktor yang berpotensi menjadi hambatan keberhasilan program ini. Masih sedikitnya data mengenai keberhasilan program suplementasi kalsium, faktor-faktor penting dari pelaksanaan program suplementasi besi merupakan pilihan tepat untuk dijadikan panduan pelaksanaan program suplementasi kalsium. Hal-hal yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan program suplementasi besi yang diketahui yaitu 1) Ketersediaan suplemen dalam sistem kesehatan, pada pelaksanaan suplementasi kalsium, perlu dukungan pemerintah dalam penyediaan suplemen kalsium pada skala nasional yang sesuai dengan anjuran WHO; 2) Kualitas konseling yang baik mengenai dosis dan manfaat suplemen bagi ibu hamil pada fasilitas kesehatan, yang artinya membutuhkan pemahaman yang baik dari petugas kesehatan mengenai peranan kalsium dan preeklampsia sehingga dapat memberikan konseling yang 90 berkualitas kepada ibu hamil; 3) Partisipasi komunitas, dalam hal ini ialah peranan kader dan 4) Keinginan, pemahaman dan kepatuhan ibu hamil dalam mengonsumsi suplemen kalsium, dengan keluarga menjadi sumber dukungan. 13,14 KESIMPULAN Faktor yang berhubungan dengan kepatuhan ibu hamil dalam mengonsumsi suplemen kalsium adalah adanya dukungan keluarga dalam mengonsumsi suplemen kalsium dan manfaat suplemen kalsium yang dirasakan. Sebagian besar ibu hamil pada penelitian ini memiliki asupan kasium pangan harian yang tergolong defisit dan tingkat kecukupan kalsium sebagian besar ibu masih tergolong inadekuat. Kontribusi kalsium dari suplemen program pemerintah tidak besar sehingga belum dapat memenuhi kebutuhan kasium ibu hamil yang tidak terpenuhi dari pangan. Suplementasi kalsium pada ibu hamil merupakan hal yang penting, namun upaya meningkatkan pangan sumber kalsium bagi ibu hamil tetap diperlukan. SARAN Pemberian suplemen kalsium bagi ibu hamil merupakan hal penting mengingat hipertensi dalam kehamilan merupakan salah satu penyebab kematian ibu yang utama di Indonesia sehingga program suplementasi kalsium yang ada sebaiknya mengikuti rekomendari WHO yaitu sebesar 1500-2000 mg/hari dan dimulai sejak kehamilan 20 minggu. Perlunya mengoptimalkan program suplementasi kalsium yang ada agar sesuai dengan rekomendasi WHO melalui dukungan pemerintah, fasilitas kesehatan, komunitas, keluarga dan ibu hamil sendiri. Penguatan dukungan keluarga terhadap peningkatan asupan suplemen kalsium pada ibu hamil dapat dilakukan melalui pemberian materi mengenai manfaat kalsium bagi ibu hamil dalam kegiatan Kelas Ibu Hamil yang diikuti oleh ibu hamil dan keluarganya. Kepatuhan Konsumsi Kalsium ………… (Galih Purnasari, Dodik Briawan, Cesilia Meti Dwiriani) UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh ibu hamil dan petugas kesehatan Puskesmas Sumbersari dan Ambulu yang telah berpastisipasi dan membantu dalam penelitian ini 8. 9. DAFTAR PUSTAKA 1. Say L, Chou D, Gemmill A, Tuncalp O, Moller AB, Daniels J, et al. Global causes of maternal death: A WHO systematic analysis. Lancet Glob Heal. 2014;2(6). Afifah T. Maternal death in indonesia: follow-up study of the 2010 indonesia population census. 2010;(April 2016):1–13. Available from: http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.p hp/kespro/article/view/5102/4311 [Kemenkes RI] Kementrian Kesehatan RI. Rencana aksi percepatan penurunan angka kematian ibu di Indonesia. Kementeri Kesehat RI [Internet]. 2013;3. Available from: http://www.gizikia.depkes.go.id/wpcontent/uploads/downloads/2013/12/RANPP-AKI-2013-2015.pdf Camargo EB, Moraes LFS, Souza CM, Akutsu R, Barreto JM, da Silva EMK, et al. Survey of calcium supplementation to prevent preeclampsia: the gap between evidence and practice in Brazil. BMC Pregnancy Childbirth [Internet]. 2013;13(1):206. Available from: http://www.biomedcentral.com/14712393/13/206 Agueh VD, Tugoué MF, Sossa C, Métonnou C, Azandjemè C, Paraiso NM, et al. Dietary Calcium Intake and Associated Factors among Pregnant Women in Southern Benin in 2014. 2015;(August):945–54. Sukchan P, Liabsuetrakul T, Chongsuvivatwong V, Songwathana P, Sornsrivichai V, Kuning M. Inadequacy of nutrients intake among pregnant women in the deep south of Thailand. BMC Public Health. 2010;10:572. Sacco LM, Caulfield LE, Zavaleta N, Retamozo L. Dietary pattern and usual 2. 3. 4. 5. 6. 7. 10. 11. 12. 13. 14. nutrient intakes of Peruvian women during pregnancy. Eur J Clin Nutr. 2003;57(11):1492–7. [WHO] World Health Organization. Guideline : Calcium supplementation in pregnant women. 2013;1–35. Omotayo MO, Dickin KL, Chapleau GM, Martin SL, Chang C, Mwanga EO, et al. Cluster-Randomized Non-Inferiority Trial to Compare Supplement Consumption and Adherence to Different Dosing Regimens for Antenatal Calcium and Iron-Folic Acid Supplementation to Prevent Preeclampsia and Anaemia: Rationale and Design of the Micronutrient . J Public health Res [Internet]. 2015;4(3):582. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlere nder.fcgi?artid=4693340&tool=pmcentrez &rendertype=abstract Hofmeyr JG, Lawrie TA, Atallah AN, Duley L, Torloni MR. Calcium supplementation during pregnancy for preventing hypertensive disorders and related problems. Cochrane Database Syst Rev [Internet]. 2014;(6). Available from: http://ovidsp.ovid.com/ovidweb.cgi?T=JS& CSC=Y&NEWS=N&PAGE=fulltext&D=c och&AN=00075320-10000000001029\nhttp://linksource.ebsco.com/linking. aspx?sid=OVID:cochdb&id=pmid:&id=doi :&issn=&isbn=&volume=&issue=6&spage =&date=2014&title=Cochrane+Database+o f+System Kemenkes RI, POGI IBI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta: Kemenkes. 2013. Yip R. Iron supplementation: country level experiences and lessons learned. J Nutr. 2002;132(4):859S–861S. Sanghvi TG, Harvey PWJ, Wainwright E. Maternal iron–folic acid supplementation programs: Evidence of impact and implementation. Food Nutr Bull. 2010;31(2 suppl2):S100–7. Martin SL, Seim GL, Wawire S, Chapleau GM, Young SL, Dickin KL. Translating formative research findings into a behaviour change strategy to promote antenatal calcium and iron and folic acid supplementation in western Kenya. Matern 91 Kepatuhan Konsumsi Kalsium ………… (Galih Purnasari, Dodik Briawan, Cesilia Meti Dwiriani) Child Nutr. 2016;1–14. 15. [Dinkes] Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Profil Kesehatan Jawa Timur Tahun 2014. Surabaya: Dinas Kesehat Provinsi Jawa Timur. 2015. 16. [Dinkes] Dinas Kesehatan Kabupaten Jember. Profil Kesehatan Kabupaten Jember Tahun 2013. Jember: Dinas Kesehatan Kabupaten Jember. 2014. 17. Lemeshow S, Hosmer DW, Klar J, Lwanga SK. Besar sampel dalam penelitian kesehatan. Yogyakarta Gajah Mada Univ. 1997; 18. Fitri YP, Briawan D, Tanziha I, Amalia L. Kepatuhan Konsumsi Suplemen Besi Dan Pengaruhnya Terhadap Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Di Kota Tangerang. J Gizi dan Pangan. 2015;10(3). 19. Institute of Medicine. Dietary reference intakes: applications in dietary planning. Haworth Press; 2003. 20. [Kemenkes RI] Kementrian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013 tentang angka kecukupan gizi yang dianjurkan bagi bangsa Indonesia. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. 10hlm. 2013. 21. Dairo MD, Lawoyin TO. Demographic factors determining compliance to iron supplementation in pregnancy in Oyo State, Nigeria. Niger J Med J Natl Assoc Resid Dr Niger. 2005;15(3):241–4. 22. Kulkarni B, Christian P, LeClerq SC, Khatry SK. Determinants of compliance to antenatal micronutrient supplementation and women’s perceptions of supplement use in rural Nepal. Public Heal Nutr. 2010;13(1):82–90. 23. Galloway R, Dusch E, Elder L, Achadi E, Grajeda R, Hurtado E, et al. Women’s perceptions of iron deficiency and anemia prevention and control in eight developing countries. Soc Sci Med. 2002;55(4):529– 44. 24. Fuady M. Hubungan Pengetahuan Ibu Hamil tentang Anemia Defisiensi Besi terhadap Kepatuhan Mengkonsumsi Tablet Zat Besi. e-jurnal Fak Kedokt USU. 2013;1(1). 25. Taye B, Abeje G, Mekonen A. Factors associated with compliance of prenatal iron 92 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. folate supplementation among women in Mecha district, Western Amhara: a crosssectional study. Pan Afr Med J. 2015;20(1). Silva CAP da, Silva CAP da, Atallah ÁN, Sass N, Mendes ETR, Peixoto S. Evaluation of calcium and folic acid supplementation in prenatal care in São Paulo. Sao Paulo Med J [Internet]. 2010;128(6):324–7. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2130 8154 Mithra P, Unnikrishnan B, Rekha T, Nithin K, Mohan K, Kulkarni V, et al. Compliance with iron-folic acid (IFA) therapy among pregnant women in an urban area of south India. Afr Health Sci. 2013;13(4):880–5. Ingersoll KS, Cohen J. The impact of medication regimen factors on adherence to chronic treatment: a review of literature. J Behav Med. 2008;31(3):213–24. Lutsey PL, Dawe D, Villate E, Valencia S, Lopez O. Iron supplementation compliance among pregnant women in Bicol, Philippines. Public Health Nutr. 2008;11(1):76–82. Zavaleta N, Caulfield LE, Figueroa A, Chen P. Patterns of compliance with prenatal iron supplementation among Peruvian women. Matern Child Nutr. 2014;10(2):198–205. Rai SS, Ratanasiri T, Thapa P, Koju R, Ratanasiri A, Arkaravichien T, et al. Effect of knowledge and perception on adherence to iron and folate supplementation during pregnancy in Kathmandu, Nepal. J Med Assoc Thail. 2014;97:S67–74. [Kemenkes RI] Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Pelaksanaan Kelas Ibu Hamil. Kementrian Kesehatan RI. 2011;1–26. Cheng Y, Dibley MMJ, Zhang X, Zeng L, Yan H. Assessment of dietary intake among pregnant women in a rural area of western China. BMC Public Health [Internet]. 2009;9:222. Available from: http://www.biomedcentral.com/14712458/9/222/\nhttp://www.pubmedcentral.ni h.gov/articlerender.fcgi?artid=2716336&to ol=pmcentrez&rendertype=abstract Harville EW, Schramm M, Watt-Morse M, Chantala K, Anderson JJB, Hertz-Picciotto I. Calcium intake during pregnancy among Kepatuhan Konsumsi Kalsium ………… (Galih Purnasari, Dodik Briawan, Cesilia Meti Dwiriani) white and African-American pregnant women in the United States. J Am Coll Nutr. 2004;23(1):43–50. 35. Gerstner G. The challenge of calcium fortification in beverages. Innov Food Technol. 2002;(14). 36. Omotayo MO, Dickin KL, O’Brien KO, Neufeld LM, De Regil LM, Stoltzfus RJ. Calcium Supplementation to Prevent Preeclampsia: Translating Guidelines into Practice in Low-Income Countries. Adv Nutr [Internet]. 2016;7(2):275–8. Available from: http://www.scopus.com/inward/record.url?e id=2-s2.084961626022&partnerID=tZOtx3y1 93 Jurnal Kesehatan Reproduksi (ISSN 2087-703X) - Vol 7, No. 2, (2016), pp. 95-108 Dukungan Tenaga Kesehatan ………… (Novianti, Anissa Rizkianti) DUKUNGAN TENAGA KESEHATAN TERHADAP PELAKSANAAN IMD: STUDI KASUS DI RS SWASTA X DAN RSUD Y DI JAKARTA Health Professional’s Support towards Breastfeeding Initiation: Case Study in a Private and Government Hospital in Jakarta Novianti*, Anissa Rizkianti Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat, Badan Litbangkes *E-mail: [email protected] Abstract Background: Early Initiation of Breastfeeding (IMD) aims to encourage the provision of colostrum to the newborn, as well as to prevent neonatal deaths. The role of health workers are needed to support the successful implementation of the IMD. Objective: This study aims to identify the role of health professionals and hospital on the implementation of the IMD shortly after childbirth. Methods: This is a qualitative study on 30 mothers who had delivery, both with pervaginam or cesarean section methods in two hospitals in Jakarta, private and government hospital. Data were collected through in-depth interview. Triangulation of data was obtained through in-depth interviews to informants of health workers, including midwives, lactation counselors and obstetricians. Results: Health workers’ support was reflected from the efforts of health workers to inform the IMD practice and benefits, as well as accompany the mother whiled conducting IMD. Health personnels in private hospital were tend to be more supportive than those who work in public hospital. This was due to their high commitment and positive attitude supported by clear regulations regarding the practice of IMD. Conclusion: The role of health professionals in supporting the implementation of IMD needs to be improved not only through improving the technical skills of IMD, but also building a positive attitude, so health professionals become more serious in running the IMD program. Keywords: Early Initiation of Breastfeeding, Health Workers, Support Abstrak Latar Belakang: Program Inisiasi Menyusu Dini (IMD) merupakan upaya untuk mendorong pemberian kolostrum pada bayi baru lahir, sekaligus mencegah kematian neonatal. Peran tenaga kesehatan tentunya dibutuhkan guna mendukung keberhasilan pelaksanaan IMD. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran dukungan tenaga kesehatan dan pegawasan Rumah Sakit terhadap pelaksanaan IMD sesaat setelah proses persalinan. Metode: Penelitian ini adalah penelitian kualitatif pada 30 informan ibu yang baru melahirkan, baik dengan metode pervaginam maupun seksio sesarea di dua RS di Jakarta, yaitu RS Swasta X dan RSUD Y. Data dikumpulkan melalui teknik wawancara mendalam. Triangulasi data diperoleh melalui hasil wawancara mendalam terhadap informan tenaga kesehatan, di antaranya bidan, konselor laktasi dan dokter spesialis kebidanan. Hasil: Dukungan tenaga kesehatan terlihat dari upaya tenaga kesehatan untuk menginformasikan tata laksana dan manfaat IMD, serta mendampingi ibu saat proses IMD dilakukan. Tenaga kesehatan di RS Swasta X cenderung lebih mendukung praktik IMD dibandingkan mereka yang bekerja di RSUD Y. Hal ini disebabkan oleh adanya komitmen tinggi dan sikap positif tenaga kesehatan ditunjang dengan peraturan yang jelas mengenai praktik IMD. Kesimpulan: Peran tenaga kesehatan dalam mendukung pelaksanaan IMD perlu ditingkatkan tidak hanya melalui peningkatan keterampilan teknis tentang IMD,melainkan juga denganmembangun sikap positif agar tenaga kesehatan menjadi lebih serius dalam menjalankan program IMD. Kata Kunci: Inisiasi Menyusu Dini, Tenaga Kesehatan, Dukungan Naskah masuk: 19 Juli 2016 Review: 9 Agustus 2016 Disetujui terbit: 26 Agustus 2016 Dukungan Tenaga Kesehatan ………… (Novianti, Anissa Rizkianti) PENDAHULUAN Di era globalisasi saat ini, Indonesia masih mengalami berbagai permasalahan terkait rendahnya derajat kesehatan masyarakat. Salah satu indikator derajat kesehatan suatu negara adalah Angka Kematian Bayi (AKB) yang hingga kini masih sangat relevan untuk menilai derajat kesehatan negara-negara berkembang seperti Indonesia.1 Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menunjukan bahwa Angka Kematian Neonatal (AKN) tidak mengalami penurunan yang signifikan sejak tahun 2007, yaitu sebesar 19 AKN per 1000 kelahiran hidup dari total 32 AKB per 1000 kelahiran hidup.2 Pada tahun 2010, Bappenas menyatakan sekaligus menguatkan temuan data SDKI bahwa penyebab utama kematian bayi di Indonesia adalah kematian neonatal sebesar 46,2 persen, diare sebesar 15 persen dan infeksi pneumonia sebesar 12,7 persen.1 Jika dilihat dari data tersebut, maka diperlukan langkah nyata dalam upaya mencegah penyebab tingginya AKB pada 28 hari pertama kehidupan seorang bayi. Lebih lanjut, sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2010 menyatakan bahwa kematian neonatal lebih banyak diakibatkan oleh infeksi sebesar 36 persen, kondisi kelahiran prematur sebesar 28 persen dan afiksia sebesar 23 persen.3 Salah satu langkah yang utama dalam mencegah terjadinya kematian bayi neonatal adalah dengan memberikan asupan gizi yang cukup dan berkualitas kepada bayi. Pemberian kolostrum pada bayi baru lahir menjadi bagian terpenting dalam upaya memenuhi asupan gizi pada tahun-tahun pertama kehidupannya. Kolostrum merupakan merupakan cairan pertama yang disekresi oleh kelenjar payudara ibu dan merupakan sel darah putih atau antibodi yang mengandung immunoglobulin A (IgA), yang berfungsi memberikan perlindungan terhadap usus pada bayi baru lahir.3 Oleh sebab itu, cairan kental berwarna kekuningan ini penting dalam menjaga ketahanan tubuh bayi terhadap infeksi kuman dan bakteri sehingga meningkatkan kekebalan tubuh sang bayi.4 Berdasarkan hal tersebut, maka program Inisiasi Menyusu Dini (IMD) digalakkan 96 sebagai upaya untuk mendorong pemberian kolostrum pada bayi baru lahir, sekaligus mencegah tingginya kematian neonatal. Cakupan IMD pada bayi secara nasional tercatat masih sangat rendah. Hal ini terlihat pada laporan hasil Riskesdas tahun 2010 yang menyebutkan bahwa hanya 29,3 persen bayi yang berhasil menyusui kurang dari satu jam setelah persalinan.5 Menurut Roesli, Inisiasi Menyusu Dini (early initiation of breastfeeding) adalah proses menyusui sendiri yaitu minimal satu jam pertama pada bayi baru lahir.3 Setelah lahir, bayi harus segera didekatkan ke tubuh ibu dengan cara meletakkan bayi di atas dada atau perut ibu sehingga terjadi kontak antara kulit bayi dengan kulit ibu (skin-to-skin contact). Bayi kemudian akan menunjukkan kemampuan yang menakjubkan, dimana bayi akan berusaha untuk merangkak ke arah payudara ibu dan menemukan puting susunya sehingga bayi akan dapat menyusu sendiri. Cara bayi menyusu sendiri tersebut dinamakan The Breast Crawl atau merangkak mencari payudara.6 Beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses IMD. Penelitian terhadap 577 persalinan sejak Juli-Oktober 2006 di Rumah Sakit Dr. Zekai Tahir Burak di Turki, salah satunya menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap IMD antara lain: nyeri pada ibu bersalin pasca persalinan, bayi prematur dan jenis persalinan melalui operasi sectio caesarea.7 Penelitian serupa yang dilakukan di sejumlah Rumah Sakit di California, Amerika Serikat, menemukan bahwa karakteristik demografi ibu seperti umur dan etnis, serta metode persalinan berkorelasi dengan IMD.8 Inisiasi Menyusu Dini (IMD) pada dasarnya tidak boleh terlambat diberikan karena refleks menghisap bayi baru lahir akan mencapai puncaknya pada usia 20-30 menit dan refleks ini akan terus berkurang dan melemah seiring waktu. Kekuatan refleks bayi setelah lahir ini telah dibuktikan oleh Righard pada penelitiannya terhadap 72 bayi baru lahir. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1) jika bayi diletakkan di atas dada atau perut ibu melalui kontak kulit bayi ke kulit ibu segera setelah lahir, maka Dukungan Tenaga Kesehatan ………… (Novianti, Anissa Rizkianti) bayi dapat menyusu dengan baik pada usia 50 menit; 2) jika setelah lahir bayi dipisahkan dari ibunya untuk ditimbang, diukur ataupun dibersihkan, maka 50 persen bayi tidak akan dapat menyusu sendiri.3 Bayi yang diberikan kesempatan untuk IMD tentunya akan lebih cepat memperoleh kolostrum daripada bayi yang tidak memperoleh kesempatan tersebut. Kolostrum mempunyai nilai gizi yang tinggi dan mengandung semua unsur yang diperlukan oleh bayi termasuk zat anti infeksi. Kolostrum tidak hanya mengandung protein, tetapi juga vitamin A yang tinggi, karbohidrat, dan lemak rendah, sehingga sesuai dengan kebutuhan gizi bayi pada hari-hari pertama setelah kelahirannya serta membantu mengeluarkan mekonium yaitu kotoran bayi pertama berwarna hitam kehijauan.9 Kolostrum yang diperoleh bayi pada saat proses IMD juga terbukti membantu meningkatkan imunitas. Penyakit infeksi yang merupakan penyebab utama kematian neonatal terjadi akibat rendahnya daya tahan tubuh bayi. Daya tahan tubuh bayi pada masa neonatal masih sangat rentan karena proses pematangan sistem tubuh bayi, seperti sistem pernapasan, pencernaan dan imunitas masih belum sempurna.3 Sebuah hasil penelitian yang dilakukan terhadap 10.947 bayi yang lahir antara bulan Juli 2003 hingga Juni 2004 di Ghana menunjukkan bahwa; 1) jika bayi diberikan kesempatan menyusu dalam satu jam pertama melalui kontak kulit bayi ke kulit ibu, maka 22 persen nyawa bayi neonatal bisa diselamatkan; dan 2) jika bayi mulai pertama kali menyusu saat berusia dua sampai dua puluh empat jam setelah lahir, maka hanya 16 persen nyawa bayi neonatal yang dapat diselamatkan.10 Keberhasilan program IMD tidak hanya membutuhkan peran ibu, tetapi juga peran tenaga kesehatan. Penolong persalinan seperti bidan merupakan tenaga kesehatan yang paling berperan dalam pelaksanaan IMD karena ibu tidak dapat melakukan IMD tanpa bantuan dan fasilitasi dari bidan atau penolong persalinan lainnya. Selain bidan, peran konselor laktasi juga penting karena diharapkan mampu menumbuhkan kepercayaan dan motivasi ibu untuk mengetahui lebih lanjut mengenai IMD dan ASI eksklusif. Keberhasilan konselor ASI dalam memberikan konseling yang positif kepada ibu dipengaruhi oleh pengetahuan dan ketrampilan dasar yang menyangkut teori dan praktik konseling serta ketrampilan wawancara dan intervensi dalam pemecahan masalah.11 Untuk menjadi seorang konselor laktasi, tenaga kesehatan diharapkan telah memenuhi kualifikasi kompetensi sebagai International Board Certified Lactation Consultant (IBCLC). IBCLC adalah konsultan laktasi yang telah disertifikasi oleh International Board of Lactation Consultant Examiners (IBCLE) atau Badan Internasional Penguji Konsultan Laktasi dan telah menunjukan bahwa mereka memiliki pengetahuan khusus dan keahlian dalam hal pemberian ASI dan laktasi.12 Namun demikian, kendala utama dalam pelaksanaan IMD yang ditemukan di lapangan adalah belum optimalnya komitmen serta dukungan Rumah Sakit dan penolong persalinan untuk menerapkan IMD pada bayi baru lahir. Beranjak dari permasalahan diatas, maka artikel ini bertujuan untuk mengetahui peran dukungan tenaga kesehatan dan pegawasan Rumah Sakit terhadap pelaksanaan IMD sesaat setelah proses persalinan. METODE Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Riset Pembinaan Kesehatan (Risbinkes), Badan Litbang Kesehatan yang dilaksanakan tahun 2013. Pendekatan yang digunakan adalah studi kasus dengan metode penelitian kualitatif. Lokasi penelitian yaitu RSUD Y dan RS Swasta X yang keduanya berada di daerah Jakarta. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam kepada 30 informan yaitu ibu yang baru melahirkan baik dengan metode pervaginam maupun seksio sesarea, serta masih dalam perawatan nifas di RS menggunakan pedoman wawancara mendalam. Wawancara mendalam berlangsung selama kurang lebih 30 menit, sementara keseluruhan proses pengumpulan data dilakukan selama 2 (dua) minggu. Selain itu, peneliti juga melakukan observasi terhadap lingkungan RS untuk mengetahui keberadaan media sosialisasi mengenai IMD. Dukungan Tenaga Kesehatan ………… (Novianti, Anissa Rizkianti) Untuk mengecek keabsahan data atau informasi yang diperoleh dari informan, maka dilakukan metode triangulasi data dengan mewawancarai informan tenaga kesehatan yang terdiri dari bidan, konselor laktasi dan dokter spesialis kebidanan di masing-masing RS. Data yang terkumpul kemudian dianalisis menggunakan metode content analysis. Hasil wawancara mendalam dianalisis melalui beberapa tahapan antara lain reduksi data, penelusuran tema jawaban menurut topik pertanyaan ke dalam bentuk matriks, lalu dihubungkan dengan catatan-catatan teori yang didapat. Oleh karena itu, bahan dan alat yang digunakan dalam pengumpulan data adalah pedoman wawancara mendalam yang telah disusun untuk dapat menjawab pertanyaan penelitian ini. HASIL Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar informan yang melahirkan di RS Swasta X berhasil melakukan proses Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan kondisi berbeda dialami oleh informan yang melahirkan di RSUD Y dimana hampir seluruh informan tidak berhasil melakukan proses IMD sesaat setelah melahirkan. Dari 15 informan ibu yang melahirkan di RS Swasta X, hanya ada 2 orang informan ibu yang tidak dapat melakukan IMD hal tersebut dikarenakan alasan pertimbangan medis yaitu lilitan tali pusat yang membuat bayi membiru sesaat setelah dilahirkan dan kondisi ibu yang mual muntah sebagai efek anastesi dalam persalinan SC. Hal ini diungkapkan beberapa informan melalui kutipan wawancara seperti di bawah ini. “Ya, saya IMD… mungkin selama kurang lebih hampir 1 jam.” (Informan Fl, 28 tahun, melahirkan di RS Swasta X, Persalinan Sesar, IMD) “Waktu itu IMD sekitar hampir 2 jam sih, hampir 2 jam atau 1,5 jam, saya nggak begitu ngeh tapi lama kok IMD-nya.” (Informan VH, 24 tahun, melahirkan di RS Swasta X, Persalinan Pervaginam, IMD) “Tidak IMD karena bayi terlilit tali pusat waktu itu sampai biru dan tidak menangis bayi saya, jadi langsung dilarikan ke unit perawatan intensif bayi.” (Informan R, 38 tahun, melahirkan di RS Swasta X, Persalinan Pervaginam, Tidak IMD) 98 “Saya cuma ditempel bayi sesaat tidak sampai 15 menit mbak karena saya mual dan terus muntah selama proses operasi dan ternyata ada pelekatan plasenta jadi sempat terjadi perdarahan sesaat dokter tidak mengizinkan lah waktu itu.” (Informan AA, 25 tahun, melahirkan di RS Swasta X, Persalinan Sesar, Tidak IMD) Sedangkan pada informan ibu yang melahirkan di RSUD Y semua informan tidak melakukan proses IMD sesaat setelah melahirkan, adapun alasan tidak melakukan IMD lebih kepada ketidaktahuan informan ibu mengenai IMD dan proses pelaksanaannya, hal tersebut seperti yang disampaikan beberapa informan ibu melalui kutipan wawancara di bawah ini. “Tidak ada begituan mbak. Ada sih diletakkan ke dada saya yah tapi itu juga udahan 7 jam setelah bayi saya lahir mbak, lagian sayamah kurang tahu IMD itu mbak kaya gimananya gitu proses prosesnya.” (Informan HU, 38 tahun, melahirkan di RSUD Y, Persalinan Sesar, Tidak IMD) “Tidak gerak-gerak nyari puting sih. Habis lahiran hanya diletakin di dada sebentar banget itu juga nggak sampe lah 10 menit mbak sambil bidannya bersih-bersih aja kok, …saya tahu sih IMD ya naroh bayi di dada kan abis lahiran, tapi gimana gimana prosesnya nggak paham banget mbak.” (Informan E, 26 tahun, melahirkan di RSUD Y, Persalinan Sesar, Tidak IMD) Selain itu, pengaruh dukungan tenaga kesehatan terlihat dari upaya yang dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk membantu menginformasikan tentang pelaksanaan IMD dan manfaatnya, serta mendampingi ibu untuk membantu mengenal perilaku bayi saat proses IMD dilakukan. Sebagian besar informan yang berhasil IMD pada RS Swasta X mengatakan bahwa setelah proses persalinan dan bayi dibersihkan seadanya, bidan langsung meletakkan bayi dengan posisi tengkurap di atas dada ibu sambil mendampingi dan memberi semangat pada ibu dan bayi, serta membantu bayi hingga mampu mencapai puting susu dan menyusu. Hal tersebut seperti yang diceritakan informan ibu melalui kutipan wawancara seperti di bawah ini. “Waktu habis lahir kan, dibersihin dikeluarin selangnya, langsung ditempelin ke dada, udah langsung dia tiduran didada, langsung tidur, belum ada gerakan, tapi udah ada 20 menitan Dukungan Tenaga Kesehatan ………… (Novianti, Anissa Rizkianti) baru ada gerak-gerak, pas dia gerak-gerak itu dia mulai nyium-nyium kaya nengok sana-nengok sini, pas dia nengok-nengok itu baru dia jilat-jilatin tangannya abis jilat-jilatin tangannya, abis itu….oh sama bidannya dipencet puting saya, baru keluar asinya, keluar…abis itu dia mulai ngedekatin untuk ngisapnya. Cuma karena mungkin dia masih agak susah jalannya, eh maksudnya nggak susah bergeraknya, diarahin sedikit, dia langsung nyusu.” (Informan VH, 24 tahun, melahirkan di RS Swasta X, Persalinan Pervaginam, IMD) “Langsung ditaro di dada saya sama bidan atau suster yang dampingin saya nah pokoknya bidan itu yang temanin selama di ruang operasi dan bayi saya IMD….terus bidan bantu kasih tau tuh bayinya lagi nyari putingnya dimana, terus akhirnya ketemu, tapi dibantu juga sama bidannya sampai selesai dan lanjut di ruang pemulihan. Soalnya kan bayinya kayaknya masih belum tegak kepalanya takut jatuh kalau nggak didampingi. Cairan di tubuhnya masih ada, belum dibersihin, belum dimandiin.” (Informan Fl, 28 tahun, melahirkan di RS Swasta X, Persalinan Sesar, IMD) Ketika ditanyakan kepada bidan, diakui bahwa mereka harus melakukan prosedur penginformasian pelaksanaan IMD pada saat ibu masuk ke kamar bersalin untuk diobservasi. Para bidan yang bertugas diwajibkan untuk menjelaskan sekilas mengenai pelaksanaan IMD dan meyakinkan ibu untuk bersedia melakukannya dan menandatangani lembar persetujuan tindakan IMD. Sedangkan informan ibu di RSUD Y hanya ada 1 informan ibu yang melakukan pelekatan/kontak kulit sesaat setelah persalinan namun tanpa ada proses merangkak menuju payudaya dan menyusu (breastcrawl), hampir semua informan ibu mengatakan bahwa mereka tidak diberitahukan perihal pelaksanaan IMD baik di Puskesmas maupun di RSUD Y saat kontrol kehamilan. Namun ketika dikonfirmasi dan ditanyakan kepada bidan di RSUD Y tersebut, memang diakui bahwa hingga saat ini peraturan RS mengenai pelaksanaan IMD belum ada secara tertulis, sehingga mereka tidak mengetahui dengan jelas tatalaksana IMD yang seharusnya dan merasa tidak perlu untuk menyampaikan pelaksanaan IMD kepada ibu karena menurut mereka yang penting sebisa mungkin bayi langsung disusui oleh ibunya setelah lahir dan hal ini akan dibahas lebih lanjut pada sub bab di bawah ini. Peran Tenaga Pelaksanaan IMD Kesehatan dalam Berdasarkan Tabel 1 yaitu matriks hasil wawancara mendalam terhadap informan tenaga kesehatan di masing-masing RS, terlihat bahwa pada pelaksanaan IMD di RS Swasta X, semua tenaga kesehatan baik bidan, dokter spesialis kebidanan, spesialis anak dan konselor laktasi berkomitmen untuk mewajibkan pelaksanaan IMD pada semua metode kelahiran, kecuali jika ada indikasi medis yang kuat yang tidak memungkinkan bayi dan ibu untuk melakukan IMD (lampiran 1). Pembagian peran di antara ketiga tenaga kesehatan tersebut baik bidan, dokter spesialis kebidanan maupun dokter anak/konselor laktasi terlihat sudah cukup baik. Peran dari konselor laktasi lebih kepada terlaksananya penyuluhan pada ibu hamil, dimana penyuluhan tersebut intinya adalah untuk menyampaikan informasi mengenai pentingnya pemberian ASI (Air Susu Ibu) eksklusif, serta faktor-faktor yang mendorong keberhasilan menyusui, yaitu yang terutama adalah dengan melaksanakan IMD sesaat setelah bayi dilahirkan. Selain itu, informasi yang diberikan antara lain manfaat IMD dan manfaat rawat gabung, yang intinya adalah menyangkut 10 langkah RS Swasta X sebagai RS sayang ibu dan bayi. Sementara itu, peran bidan di RS tersebut menyangkut pemberian penyuluhan, pelaksanaan serta pendampingan IMD. Sedangkan peran dokter spesialis kebidanan adalah memastikan bahwa kondisi ibu cukup baik dan sehat untuk dilaksanakannya IMD, baik pada persalinan normal maupun saesar, seperti yang diungkapkan beberapa informan sebagai berikut. “Semua pihak baik bidan, dokter obgyn, spesialis anak dan konselor laktasi berkomitmen untuk satu kata mewajibkan pelaksanaan IMD pada semua metode kelahiran kecuali ada indikasi medis yang kuat yang tidak memungkinkan bayi dan ibu untuk melakukan IMD. Kalau dari konselor laktasi sendiri, bentuk peranannya lebih kepada terlaksananya penyuluhan pada ibu hamil, dimana penyuluhan tersebut intinya hendak menyampaikan informasi pentingnya ASI eksklusif, Dukungan Tenaga Kesehatan ………… (Novianti, Anissa Rizkianti) kemudian faktor-faktor yang mendorong keberhasilan menyusui, salah satunya adalah dengan melaksanakan IMD, kemudian manfaat IMD, manfaat rawat gabung, yang intinya menyangkut 10 langkah RS Swasta X sebagai RS sayang ibu dan bayi.” (Informan Konselor Laktasi RS Swasta X) untuk proses persalinan, sedangkan konselor laktasi yang juga adalah dokter anak berperan mendorong ibu untuk memberikan ASI kepada bayi mereka pasca melahirkan. Hal ini seperti yang diungkapkan informan dalam kutipan wawancara berikut. “Untuk pelaksanaan IMD pasien dokter, yang membantu memberikan bayi untuk di IMD memang bidan pendamping. Karena dokter fokus kepada proses persalinan dan sesudahnya yaitu penjahitan jika ada robek perineum ibu. Jika pasien tersebut adalah pasien bidan, maka yang menolong adalah bidan. Ada sekitar 3-4 bidan tergantung kesulitan proses persalinan itu sendiri. Nah jika pasien bidan, maka dari awal kehamilan, masuk kamar bersalin, kemudian menolong proses persalinan, hingga IMD kita sebagai bidan yang melakukan dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan IMD pada ibu sesaat setelah melahirkan.” (Informan Bidan RS Swasta X) ”Idealnya belum bisa kita lakukan, mungkin ke depannya nanti dokternya ada berapa, perawatnya ada berapa, nah mungkin itu bisa kita lakukan (karena SDM-nya kita sangat-sangat minim). Tapi kalau kondisi kita masih begini, kita memang agak kesulitan. Tapi biarpun begitu, kita coba, biasanya sesudah dia lahir, kita kenalkan sama ibunya, sama putingnya. Nah gitu, jadi perawat kita nanti dateng, kenalkan ini anaknya, laki/perempuan, beratnya sekian, itu yang bisa kita lakukan. Idealnya kan dia ditaruh di sini (dada) terus nanti dia naik, dia manjat-manjat, itu butuh waktu setengah jam aja itu udah cepet ya, tapi itu terus terang belum bisa kita terapkan.” (Informan Konselor Laktasi RSUD Y) “Kalau persalinan dengan dokter (saya) atau seksio sesarea, umumnya kita tetap lakukan IMD pada ibu dan bayinya segera setelah lahir. Hanya saja untuk pelaksana dan pengawas IMD itu sendiri saat dilakukan memang tugas bidan pendamping.” (Informan dr. Sp.OG RS Swasta X) Berbeda dengan RS Swasta X, pelaksanaan IMD di RSUD Y belum berjalan dengan baik dikarenakan belum ada kesepahaman mengenai pelaksanaan IMD pasca persalinan. Baik bidan, dokter spesialis kebidanan maupun konselor laktasi menilai IMD merupakan hal yang penting, namun pada kenyataannya sangat sulit untuk dilakukan, khususnya pada kasus persalinan seksio sesarea. Padahal IMD sepatutnya menjadi langkah awal dalam keberhasilan ibu menyusui secara eksklusif. Salah satu hal yang menjadi hambatan adalah masalah tenaga pelaksana IMD itu sendiri dan metode persalinan. Akan tetapi, berdasarkan hasil penelitian, pada persalinan normal di RSUD Y pun IMD belum dapat berjalan sesuai prosedur yang ada dikarenakan ketiadaan Standard Operational Procedure (SOP) atau tatalaksana pelaksanaan IMD. Selain itu, belum ada sinergi dan koordinasi yang baik antara tenaga kesehatan terkait, khususnya pada persalinan seksio sesarea. Di sisi lain, peran dokter spesialis kebidanan dan bidan di RSUD Y hanya dikhususkan 100 ”Perannya bantu naruh bayi ke dada ibunya, Tapi rata-rata sih IMD, dulu lumayan juga sih yang partus normal disini. Nah kalo sectio-nya, kita belum. Pasien disini kebanyakan rujukan, kalo yang selain rujukan, sedikit sekali (sambil menunjukkan data persalinan). Kondisinya kita juga cuma ber-3, pasiennya segitu banyak, jadi....kalo preeklampsia, dan lain-lain, untuk menghindari itu, paling kita deketin bayinya ke sebelah ibunya aja.” (Informan Bidan RSUD Y) ”Peranan saya sebagai obgyn lebih kepada proses persalinan, kalau IMD..kondisi memungkinkan yah kita lakukan..masalahnya kan nggak mungkin disitu bayi lahir langsung kita proses IMD itu kan..biasanya disini tunggu di ruang RR atau di ruang perawatan baru dia IMD, tapi itupun bukan dibawa obgyn lagi..udah tanggung jawab perawatnya itu.” (Informan dr. Sp.OG RSUD Y) Pelatihan IMD bagi Tenaga Kesehatan di Rumah Sakit Tabel 2 menunjukan matriks hasil wawancara mendalam dengan informan tenaga kesehatan terkait pelatihan tenaga kesehatan dalam pelaksanaan IMD (lampiran 2).Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa tenaga kesehatan di RS Swasta X mengungkapkan adanya pelatihan yang rutin dilakukan secara internal maupun eksternal, dengan sumber pembiayaan dari Rumah Sakit. Sedangkan informan tenaga kesehatan di RSUD Y mengungkapkan bahwa Dukungan Tenaga Kesehatan ………… (Novianti, Anissa Rizkianti) pelatihan untuk tenaga kesehatan lebih banyak dilakukan kearah penanganan kasus neonatal (PONEK dan PMK) dan tidak secara spesifik mengenai pelaksanaan IMD. Namun, bidan sebagai pelaksana IMD merasa pelatihan terkait pelaksanaan IMD sangatlah penting mengingat tidak adanya SOP di RS mengenai pelaksanaan IMD yang dapat mereka gunakan. Keterbatasan ini diakui oleh informan terjadi karena tidak adanya anggaran dana dari pihak RS, sehingga jarang sekali tenaga kesehatan yang dikirim untuk mengikuti pelatihan-pelatihan dari instansi di luar RS. Selama ini pengetahuan tenaga kesehatan mengenai IMD, khususnya bidan, hanya diperoleh dari hasil pembelajaran individu dan inisiatif sendiri. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh informan dalam kutipan wawancara di bawah ini. ”Pernah, di sini biasanya sering juga dapat undangan dari luar untuk seminar tentang laktasi dan IMD yah. Hanya saja kita digilir untuk hadir disana. Kalau sudah pernah ikut biasanya seminar atau pelatihan berikutnya dipilih lagi bidan yang lain untuk mendampingi konselor laktasinya. Dan biasanya kalau abis pelatihan atau seminar, kita wajib buat laporan dan presentasi didepan temanteman hasil atau informasi yang kita dapatkan dari pelatihan atau seminar tersebut, jadi walau wakilnya paling cuma satu atau dua dari RS, informasi selalu berputar di sini.. sumber dana dari RS.. direksi makanya paling dipilih wakilnya aja dan digilir.” (Informan Bidan RS Swasta X) ”Kita (pelatihan) IMD tidak pernah, PMK kita yang pernah. Kalo IMD, kita baca-baca-baca, baca-baca terus kayak Al-Qur’an. PMK yang ngadain RSCM, ya elah udah lama bener, tahun berapa ya, udah udik banget, udah basi banget. Pelatihan (yang bener) yang kayak gimana sih, kadang kita tanya-tanya, kalo ibunya beresiko, apakah layak? Kita belum tahu kondisi-kondisi kayak gitu. (Selama ini) kita liat, kalo kondisinya bagus, ya udah kita naikkin...nggak pelatihan ya karena nggak ada dananya bu..kalau soal SOP mah nggak ada karena RS sendiri belum ada memang mengarah kelayanan IMD.” (Informan Bidan RSUD Y) Keberadaan konselor laktasi tentunya juga merupakan hal yang penting dalam mendorong terlaksananya IMD sesaat setelah persalinan. Konselor laktasi bertugas memberikan penyuluhan dari masa kehamilan hingga pasca persalinan untuk membantu ibu menyusui dengan baik. Berdasarkan informasi yang diperoleh, jumlah tenaga konselor laktasi di RS Swasta X sudah cukup banyak dan ditetapkan dalam peraturan Rumah Sakit dan ada Surat Ketetapan (SK) di bawah pengawasan Kelompok POKDI ASI RS Swasta X, dimana terdiri dari dokter spesialis anak, dokter umum, bidan dan perawat. Beberapa di antaranya bahkan sudah mendapatkan sertifikat teregistrasi seperti IBLCC. Sedangkan di RSUD Y, konselor laktasi merupakan pekerjaan rangkapan dari dokter spesialis anak, namun tidak semua dokter spesialis anak merangkap sebagai konselor laktasi namun penetapan sebagai konselor laktasi tidak diatur secara tertulis oleh aturan dan kebijakan internal Rumah Sakit seperti halnya yang terjadi di RS Swasta X. Dokter Spesialis Anak yang didaulat sebagai konselor laktasi lebih dikarenakan beliau telah mengikuti pelatihan dan seminar mengenai ASI Eksklusif yang diselenggarakan oleh Institusi Pemerintah namun tidak tersertifikasi. Di samping itu, beberapa konselor laktasi di RSUD Y diketahui belum mengikuti pelatihan laktasi teregistrasi seperti IBLCC dikarenakan keterbatasan dana. Hal ini sejalan dengan pernyataan informan dalam kutipan wawancara di bawah ini. ”Konselor banyak yah. Ada dari spesialis anak, ada dari dokter umum dan ada juga dari bidan. Kemudian, konselor pun dibagi dua ada yang tersertifikat IBLCC ada yang tidak tersertifikat tapi sudah mendapatkan pelatihan rutin. Totalnya lebih dari 20 orang. Semua yang menjadi konselor laktasi dimasukkan SK Rumah Sakit jadi kita punya aturan yang mengatur pelaksanaan tugas Konselor Laktasi dan ini bentuk dukungan dari Rumah Sakit” (Informan Konselor Laktasi RS Swasta X) ”...saya disini juga konselor merangkap sebagai spesialis anak, saya memang belum ikut yang tersertifikasi seperti IBLCC gitu yah..baru level apa yah kita bilang..yah baru level Kementerian Kesehatan aja lah, kalau yang internasional IBLCC nggak ada dananya, untuk yang Kemenkes aja kita sharing dengan RS..sebagai konselor laktasi lebih karena itu tadi saya sudah mengikuti pelatihan atau seminar mengenai ASI eksklusif..kalau tentang SK penetapan tidak ada, sejauh ini belum ada memang aturan RS atau SK untuk konselor laktasi..ini sebagai wujud tanggung Dukungan Tenaga Kesehatan ………… (Novianti, Anissa Rizkianti) jawab saya saja sebagai dokter spesialis anak..” (Informan Konselor Laktasi RSUD Y) PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran dukungan tenaga kesehatan dan pegawasan Rumah Sakit terhadap pelaksanaan IMD di dua RS di Jakarta. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa sebagian besar ibu yang berhasil IMD di RS Swasta X selama ini dibantu oleh bidan pada saat mendekatkan posisi bayi ke arah puting ibu. Hal ini dilakukan sesuai dengan prosedur pelaksanaan IMD yang diwajibkan oleh pihak RS. Sementara ibu yang melahirkan di RSUD Y tidak memperoleh informasi mengenai pelaksanaan IMD sebelumnya oleh bidan karena ketiadaan peraturan tertulis mengenai tatalaksana IMD yang dikeluarkan oleh RS. Padahal sampai saat ini beberapa legislasi terkait dengan pemberian ASI eksklusif di Indonesia telah dikeluarkan oleh pemerintah, antara lain Peraturan Menteri Kesehatan No. 240/MENKES/PER/V/1985 tentang Pengganti ASI,13 Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 237/Menkes/SK/IV/1997 tentang Pemasaran Pengganti ASI,14 Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan,15 maupun Kepmenkes RI No. 450/Menkes/SK/IV/2004 tentang Pemberian ASI secara Eksklusif pada Bayi di Indonesia.16 Bahkan dalam Kepmenkes RI No. 450/Menkes/SK/IV/2004 ditetapkan bahwa tenaga kesehatan agar menginformasikan kepada ibu mengenai anjuran ASI eksklusif yang mengacu pada 10 Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui (LMKM).16 Akan tetapi, sejauh ini IMD belum diakomodasi dalam kebijakan tersebut dan pengertian IMD masih merujuk pada pemberian ASI segera dalam waktu 30 menit setelah melahirkan.17 Hal ini tentu saja menyebabkan kurangnya penguatan kebijakan mengenai pentingnya IMD sehingga penerapannya di beberapa fasilitas kesehatan belum sepenuhnya berjalan. Di sisi lain, praktik IMD sebenarnya berperan penting terhadap kesuksesan ibu dalam menyusui. Pengalaman seorang ibu dalam menyusui dini amat dipengaruhi oleh peristiwa yang berlangsung selama satu jam setelah kelahiran bayi. Awal yang baik dalam proses IMD tentu akan dapat membantu ibu agar 102 proses menyusui berlangsung sukses dan tidak menyakitkan. Menurut Newman dan Pittman, secara alamiah, bayi pada dasarnya tidak memerlukan bantuan apa pun agar dapat mendorong pergerakannya menuju dan melekat pada payudara ibu.18 Bayi baru lahir memiliki refleks olfaktori (penciuman) dan visual yang mampu mengenali areola dan bau khas payudara ibu.18 Oleh sebab itu, pada proses awal IMD, bayi biasanya diam, namun waspada (alert) sehingga mereka cenderung untuk tidak menangis dan siap untuk memulai pengalaman baru seperti belajar menyusu. Newman dan Pittman menambahkan bahwa pemaksaan terhadap bayi justru hanya akan membuat bayi kesal, marah atau langsung tertidur.18 Kesuksesan praktik IMD tidak hanya dipengaruhi oleh kesiapan ibu, namun juga perlu didukung oleh tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan menduduki posisi penting dalam memberikan pengaruh, edukasi, dan dukungan terhadap praktik menyusui karena mereka yang menangani langsung proses persalinan ibu. Pada penelitian ini, semua tenaga kesehatan di RS Swasta X, baik bidan, dokter spesialis kebidanan, dokter spesialis anak maupun konselor laktasi berkomitmen untuk melaksanakan IMD pada seluruh kasus kelahiran. Hal ini tentu dinilai sangat baik karena seluruh elemen RS berarti telah berkomitmen dalam mendukung gerakan RS Sayang Ibu dan Bayi sebagai salah satu upaya penurunan AKB di Indonesia. Di dalam Pedoman Pelaksanaan Program Rumah Sakit Sayang Ibu dan Bayi yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan telah disebutkan bahwa untuk menuju RS Sayang Ibu dan Bayi, diperlukan adanya kebijakan tertulis tentang manajemen yang mendukung pemberian ASI eksklusif, termasuk di dalamnya mengenai praktik IMD, serta upaya memberdayakan kelompok pendukung ASI dalam menindaklanjuti pemberian ASI eksklusif. Dengan kata lain, perlu adanya kerjasama yang efektif antara pihak manajemen RS dengan pelaksana tenaga kesehatan baik dokter, bidan, perawat maupun kelompok penggiat ASI agar kebijakan serta pedoman pemberian ASI eksklusif dan IMD dapat tersosialisasikan dan terimplementasikan dengan baik. Dukungan Tenaga Kesehatan ………… (Novianti, Anissa Rizkianti) Namun demikian, hasil penelitian justru memperlihatkan bahwa pelaksanaan IMD di RSUD Y belum berjalan dengan baik karena tidak adanya koordinasi yang baik antara tenaga kesehatan, baik bidan, dokter spesialis kebidanan maupun konselor laktasi, untuk dapat melaksanakan IMD pada beberapa kasus persalinan, khususnya pada persalinan seksio sesarea. Selain itu, ketiadaan SOP dan petunjuk tata laksana juga menjadi hambatan lain bagi para tenaga kesehatan di RSUD Y untuk menerapkan praktik IMD. Padahal menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), sosialisasi menyusui sebenarnya tetap dapat dilakukan meskipun rumah sakit belum mempunyai kebijakan menyusui.19 Penyusunan kebijakan dan manajemen menyusui di RS sudah seyogyanya mengikuti prosedur yang sudah ditetapkan secara universal sebagaimana tertera dalam 10 langkah menuju keberhasilan menyusui yang dikeluarkan oleh World Health Organisation (WHO).19 Hal ini merupakan syarat mutlak sebuah RS dikatakan memiliki kebijakan menyusui. Di samping itu, penerapan kebijakan menyusui juga perlu dikomunikasikan secara rutin oleh manajemen RS kepada seluruh pegawainya, sehingga kebijakanyang telah dibuat tersebut benarbenar dilaksanakan secara konsisten. Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2012 tentang pemberian ASI eksklusif sebenarnya juga telah mengatur mengenai pelaksanaan IMD.20 Pada peraturan tersebut jelas dikatakan bahwa tenaga kesehatan dan penyelenggara fasilitas kesehatan wajib melakukan IMD terhadap bayi yang baru dilahirkan kepada ibunya paling singkat selama 1 (satu) jam (pasal 9 ayat 1), dan dilakukan dengan cara meletakkan bayi secara tengkurap didada atau perut ibu sehingga kulit bayi melekat pada kulit ibu (pasal 9 ayat 2).20 Pasal tersebut secara langsung telah menjelaskan bahwa tenaga kesehatan dan penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan wajib melakukan proses IMD segera setelah proses melahirkan pada setiap ibu serta memberikan informasi dan edukasi mengenai pentingnya IMD kepada ibu dan keluarganya sejak pemeriksaan kehamilan sampai dengan mendekati proses persalinan. Sehingga diharapkan ibu-ibu yang tengah hamil dan akan melahirkan dapat terus memperoleh dukungan dalam pelaksanaan IMD sesaat setelah persalinan nantinya. Sejumlah hasil penelitian mengenai IMD juga menemukan bahwa praktik IMD dipengaruhi oleh sikap dan dukungan tenaga kesehatan. Sebuah penelitian di salah satu rumah sakit pusat rujukan di Jakarta menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara bidan yang memiliki sikap positif terhadap IMD dengan penerapan praktik IMD.17 Artinya adalah bidan yang bersikap positif akan lebih cenderung untuk melakukan IMD. Sikap positif bidan terhadap IMD mencakup bidan merasa senang bila ibu mengerti akan pentingnya IMD, bidan mau menyebarluaskan informasi tentang pentingnya IMD, bidan mau membantu melaksanakan IMD, dan bidan tidak mau memberikan susu botol kepada bayi.17 Hal ini menunjukkan tingkat pengetahuan bidan tentang arti dan manfaat IMD sudah baik. Untuk itu, keterampilan IMD perlu dikuasai oleh bidan. Menurut WHO dan Federation of International Gynecologist Obstetritian, bidan diakui sebagai tenaga profesional yang bekerja sebagai mitra perempuan dalam memberikan dukungan dan asuhan selama masa kehamilan, persalinan dan nifas, termasuk memberikan asuhan kepada bayi baru lahir.21 Adapun keterampilan dasar yang wajib dimiliki oleh seorang bidan salah satunya adalah menfasilitasi ibu untuk menyusui sesegera mungkin dan mendukung ASI eksklusif.22 Hal ini tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 369 Tahun 2007 tentang Standar Profesi Bidan. Berdasarkan hal tersebut, sudah menjadi tugas dan tanggung jawab seorang bidan untuk membantu proses IMD pada ibu yang baru bersalin. Bagi tenaga kesehatan lain seperti dokter spesialis anak misalnya, praktik pemberian ASI (Infant Feeding Practice), termasuk pemberian kolostrum sesaat setelah melahirkan disebutkan di dalam Pedoman Pelayanan Medis (PPM) yang dikeluarkan oleh IDAI.23 Artinya, dokter juga berperan dalam mendukung pelaksanaan IMD. Selain itu, keberadaan tenaga konselor menyusui juga sangat penting terhadap peningkatan pemberdayaan ibu, peningkatan dukungan anggota keluarga serta peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dalam pelaksanaan IMD. Dukungan Tenaga Kesehatan ………… (Novianti, Anissa Rizkianti) Namun, dalam penelitian ini, peran tenaga kesehatan terhadap praktik IMD tidak ditunjangoleh upaya peningkatan pengetahuan dan keterampilan IMD melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan. Penelitian ini menunjukkan bahwa pelatihan khusus mengenai praktik IMD masih belum dilaksanakan di RSUD Y. Padahal pelatihan AsuhanP ersalinan Normal (APN), termasuk di dalamnya materi mengenai IMD, umumnya diadakan oleh RS, fasilitas pendidikan atau dinas kesehatan setempat. Keterbatasan dana yang disediakan oleh pihak RSUD Y diketahui menjadi faktor utama kurangnya tenaga kesehatan yang dilatih. Pada dasarnya, kegiatan pendidikan dan pelatihan sangat diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tenaga kesehatan dalam melaksanakan program IMD dan ASI eksklusif. Pelatihan tidak hanya berfungsi membentuk keterampilan teknis tenaga kesehatan, namun juga membentuk sikap positif mereka terhadap pelaksanaan IMD itu sendiri sehingga dapat mendorong dan memotivasi ibu untuk mampu menyusui dengan benar.24 Oleh sebab itu, keberadaan tenaga kesehatan dan konselor ASI perlu dipertahankan dan ditingkatkan melalui kegiatan pelatihan. Sebagaimana disebutkan pada penelitian Yesie, salah satu upaya untuk memacu motivasi dan mendorong sikap positif tenaga kesehatan terhadap praktik IMD adalah dengan adanya umpan balik berupa reward kepada tenaga kesehatan yang berhasil melakukan IMD maupun yang menyarankan/menganjurkan ibu untuk memberikan ASI eksklusif.24 Aturan yang jelas mengatur tentang sanksi maupun reward baik bagi tenaga kesehatan yang melakukan atau tidak melakukan IMD juga perlu dibuat. Dengan demikian, tenaga kesehatan merasa ada kewajiban dan senantiasa menjalankan program tersebut. KESIMPULAN Dari hasil penelitian di dua lokasi di Jakarta yaitu RS Swasta X dan RSUD Y, ditemukan bahwa masih ada beberapa ibu baru melahirkan yang kurang didukung oleh tenaga kesehatan untuk melakukan praktik IMD dan 104 sebagian besar merupakan ibu yang melahirkan di RSUD Y. Hal ini disebabkan oleh belum adanya persamaan pemahaman tentang IMD antara tenaga kesehatan serta belum berjalannya prosedur pelaksanaan IMD yang sesuai. Minimnya koordinasi antara penolong persalinan dengan konselor ASI menyebabkan kurangnya perhatian tenaga kesehatan terhadap manfaat praktik IMD sehingga ibu yang bersalin kurang didorong untuk dapat melakukan IMD. Dukungan tenaga kesehatan pada pelaksanaan IMD tentu saja bergantung pada pengetahuan dan keterampilan mereka tentang proses IMD itu sendiri. Keterampilan teknis yang baik kemudian akan mendorong sikap yang positif di antara tenaga kesehatan untuk melakukan IMD.Selain itu kondisi pendidikan dan pelatihan mengenai praktik IMD masih jarang dilakukan bagi para tenaga kesehatan di RSUD Y. Sebaliknya, pelatihan rutin terkait IMD dan pemberian ASI sudah rutin dilakukan di RS Swasta X. SARAN Untuk mendorong adanya dukungan tenaga kesehatan terhadap pelaksanaan IMD pada bayi baru lahir maka perlu dilakukan hal-hal yang dapat membangun sikap positif tenaga kesehatan. Hal tersebut di antaranya dengan meningkatkan keterampilan teknis dan pengetahuan tentang IMD melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan dengan APN, serta memberikan umpan balik baik sanksi maupun reward bagi setiap tenaga kesehatan yang melakukan atau tidak melakukan IMD, agar tenaga kesehatan menjadi lebih serius dalam menjalankan program tersebut. Selain itu, kebijakan tertulis atau peraturan mengenai pelaksanaan IMD perlu dibuat dan rutin disosialisasikan kepada seluruh petugas. Penjelasan tentang manfaat dan tata laksana IMD juga penting diberikan kepada ibu hamil sehingga ibu-ibu tersebut nantinya akan termotivasi untuk melakukan IMD pada metode persalinan apapun. Dukungan Tenaga Kesehatan ………… (Novianti, Anissa Rizkianti) UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada para informan penelitian yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini serta Tim Risbinkes 2014 baik Tim Pembina Ilmiah, Tim Sekretariat hingga Tim Peneliti atas bantuan yang telah diberikansehingga penelitian ini dapat berjalan dengan baik. Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada Direktur Rumah Sakit yang telah memberikan izin pelaksanaan penelitian. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas RI). Program Nasional Bagi Anak Indonesia Kelompok Kesehatan. Jakarta: Bappenas; 2012. Badan Pusat Statistik, BKKBN dan, Kementerian Kesehatan. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012. Jakarta: Badan Pusat Statistik; 2013. Roesli U. Panduan: inisiasi menyusu dini: plus asi eksklusif: Pustaka Bunda; 2012. Saleha S. Asuhan kebidanan pada masa nifas. Jakarta: Salemba Medika. 2009. Departemen Kesehatan. Laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2010. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2010. Crawl IOBBB. BREAST CRAWL. 2007. Örün E, Yalçin SS, Madendag Y, Üstünyurt-Eras Z, Kutluk S, Yurdakök K. Factors associated with breastfeeding initiation time in a Baby-Friendly Hospital. The Turkish journal of pediatrics. 2010;52(1):10. Bramson L, Lee JW, Moore E, Montgomery S, Neish C, Bahjri K, et al. Effect of early skin-to-skin mother–infant contact during the first 3 hours following birth on exclusive breastfeeding during the maternity hospital stay. Journal of Human Lactation. 2010. Departemen Kesehatan RI. Manajemen Laktasi; Buku Panduan bagi Bidan dan Petugas Kesehatan di Puskesmas. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat Gizi Masyarakat Jakarta. 2005:8-10. 10. Edmond KM, Zandoh C, Quigley MA, Amenga-Etego S, Owusu-Agyei S, Kirkwood BR. Delayed Breastfeeding Initiation Increases Risk of Neonatal Mortality. Pediatrics. 2006;117(3):e380e6. 11. Ambarwati R, Muis SF, Susanti P. Pengaruh konseling laktasi intensif terhadap pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif sampai 3 bulan. Jurnal Gizi Indonesia. 2013;2(1). 12. Clinical Competencies of Practice for IBCLCs. In: International Board of Lactation Consultant Examiners, editor. http://iblceorg/wp-­‐ content/uploads/2013/08/clinical-­‐ competencies-­‐indonesianpdf. 13. Peraturan Menteri Kesehatan No. 240/MENKES/PER/V/1985 tentang Pengganti ASI. 14. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 237/Menkes/SK/IV/1997 tentang Pemasaran Pengganti ASI. 15. Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan, (1999). 16. Kepmenkes RI No. 450/Menkes/SK/IV/2004 tentang Pemberian ASI secara Eksklusif pada Bayi di Indonesia. 17. Fikawati S, Syafiq A. Kajian implementasi dan kebijakan air susu ibu eksklusif dan inisiasi menyusu dini di Indonesia. Makara Kesehatan. 2010;14(1):17-24. 18. Noer ER, Muis SF, Aruben R. Praktik Inisiasi Menyusu Dini dan Pemberian ASI Eksklusif Studi Kualitatif pada Dua Puskesmas, Kota Semarang. Media Medika Indonesiana. 2011;45(3):144-50. 19. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Revitalisasi Rumah Sakit Sayang Bayi: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2013. Available from: http://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/r evitalisasi-­‐rumah-­‐sakit-­‐sayang-­‐bayi. 20. Peraturan Pemerintah No 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif, (2012). 21. World Health Organization. Midwife in Maternity Care-Report of a WHO Expert Committee1966. 22. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 369. Dukungan Tenaga Kesehatan ………… (Novianti, Anissa Rizkianti) MENKES/SK/III/2007 Tentang Standar Profesi Bidan, 2007. 23. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta2009. 106 24. Aprillia Y. Analisis Sosialisasi Program Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif kepada Bidan di Kabupaten Klaten. 2010. Dukungan Tenaga Kesehatan ………… (Novianti, Anissa Rizkianti) LAMPIRAN Tabel 1. Matriks Hasil Wawancara Mendalam Peran Tenaga Kesehatan Terhadap Pelaksanaan IMD di Masing-Masing Rumah Sakit KETERANGAN Pelaksanaan IMD di RS Peran Nakes KONSELOR ASI RS SWASTA X IMD di RS ini adalah suatu kewajiban. Semua tenaga kesehatan harus menjamin terlaksananya IMD pada semua persalinan. Ada informed consent (pernyataan persetujuan). KONSELOR ASI RSUD Y IMD sangat penting dan nakes sangat setuju, namun dalam pelaksanaannya belum bisa ideal karena terbatasnya jumlah SDM, sehingga yang dilakukan adalah sebatas memperkenalkan bayi kepada ibu dan puting ibunya. BIDAN RS SWASTA X Wajib dilakukan. Ada informed consent (pernyataan persetujuan). BIDAN RSUD Y Pasien dengan partus normal rata-rata IMD, kecuali bayi asfiksia atau yang lain. Paling lama IMD dilakukan sampai 2 jam, namun rata-rata setengah jam (sampai selesai hatching). Jika ibu merasa geli, maka bayi langsung diangkat. Ibu dengan pre-eklampsia atau kondisi yang lain, maka bayinya hanya didekatkan ke ibu saja. Tidak ada informed consent(pernyataan persetujuan). OBGYN RS SWASTA X Wajib dilakukan. Konselor laktasi, dokter spesialis anak, dokter obgyn dan bidan merupakan penggerak pelaksanaan IMD. Peranannya adalah membentuk motivasi dan niat untuk IMD sejak masa kehamilan. Penyuluhan kepada ibu hamil dilakukan secara rutin dibawah pengawasan konselor laktasi. Keberhasilan 10 LMKM. IMD secara ideal belum bisa dilakukan karena kurangnya SDM. IMD selama ini dilakukan sebatas mengenalkan bayi kepada ibu dan puting ibunya. Pelaksana dan pendamping IMD pada persalinan spontan maupun dengan operasi saesar adalah dokter. Bidan bertanggungjawab dalam pelaksanaan IMD pada ibu sesaat setelah melahirkan pada pasien bidan. Bidan mengelap bayi, meletakkan bayi di dada ibu selama kurang lebih setengah jam (sampai selesai hatching) untuk memperkenalkan bayi dengan ibu dan puting ibunya. Jika kondisi ibu tidak memungkinkan (preeklampsia, dan lain-lain) maka bayi hanya didekatkan saja ke ibunya. Pengobservasi kondisi ibu pada proses persalinan dan post partum apakah dapat melakukan IMD. Untuk pelaksana dan pengawas IMD adalah tugas bidan pendamping. OBGYN RSUD Y IMD penting, tapi tidak mungkin dilakukan langsung segera bayi lahir. Keterbatasan utama SC itu adalah kondisi ibu dan bayinya. Untuk SC harus dipertimbangkan juga keterbatasan tempatdan waktu. Sulit untuk melakukan IMD dalam arti sesungguhnya saat SC. Cukup dengan pelekatan di ruang operasi dan dilanjutkan di ruang perawatan nifas atau RR. Belum ada peran spesifik untuk IMD. Untuk IMD dilakukan beberapa jam setelah persalinan. Fokus utama obgyn adalah pada persalinan SC IMD adalah tanggungjawab perawat anak. Sejauh ini IMD hanya berupa pelekatan sesaat, itupun mempertimbangkan kondisi ibu dan bayi. 107 Dukungan Tenaga Kesehatan ………… (Novianti, Anissa Rizkianti) Tabel 2. Matriks Hasil Wawancara Mendalam Terkait Pelatihan Tenaga Kesehatan dalam Pelaksanaan IMD di Masing-Masing Rumah Sakit KETERANGAN KONSELOR ASI RS SWASTA X Ada, rutin dilakukan jika ada undangan dari pihak luar maupun secara internal juga kita lakukan. Sumber dana dari direksi, dan jika konselor laktasi tersertifikat tergantung kebijakan RS. KONSELOR ASI RSUD Y Pelatihan sudah level 3 NICU. Penyelenggara pelatihan dari Depkes dan Dinkes. Sumber biaya dari biaya sendiri dan ada pula daripos biaya IMD, PONED, PONEK dan PMK. Pelatihan terakhir tahun 2012 atau tahun 2013 awal. BIDAN RS SWASTA X Ada, baik internal RS maupun eksternal. Kalau internal dilakukan oleh konselor laktasi, kalau eksternal digilir siapa yang ikut. BIDAN RSUD Y Pelatihan penting bagi bidan karena pelasksana IMD adalah bidan. Jarang diikutsertakan pelatihan karena faktor pembiayaan. OBGYN RS SWASTA X Ada. OBGYN RSUD Y Tidak ada kalau pelatihan IMD. Pelatihan tentang IMD dan SOP nya bukan ranah dokter spesialis kandungan melainkan spesialis anak. Konselor Laktasi Banyak, dari spesialis anak, dokter umum dan bidan. Konselor dibagi dua yaitu yang tersertifikat IBLCC dan yang tidak tersertifikat tapi sudah mendapatkan pelatihan rutin. Totalnya lebih dari 20 orang. Banyak Dokter spesialis anakjuga merangkap sebagai konselor, tapi hanya dokter spesialis anak tertentu juga yang bisa jadi konselor. Banyak. Tidak ada. Pembiayaan pelatihan konselor laktasi Pembiayaan dari direksi RS, kecuali ada permintaan dari luar biasanya sharing budget antara peserta dengan RS. Dokter spesialis anak merangkap tapi belum tersertifikat seperti IBLCC, baru mengikuti pelatihan lokal atau nasional saja. Tidak semua dokter spesialis anak adalah konselor. Kesadaran akan pentingnya menyusui masih kurang, padahal dokter spesialis anak punya peranan penting juga untuk IMD dan ASI eksklusif. Dari pusat (Kemenkes) karena pelatihannya dari pusat. Pembiayaan dari direksi RS, kecuali ada permintaan dari luar biasanya sharing budget antara peserta dengan RS. Bidan atau perawat anak jarang atau tidak pernah ikut serta. Dari RS Tidak tahu. Pelatihan terkait IMD bagi nakes 108 Jurnal Kesehatan Reproduksi (ISSN 2087-703X) - Vol………… 7, No. 2, (2016), pp. 109-118 Hubungan Kematangan Reproduksi (Rofingatul Mubasyiroh, Teti Tejayanti, Felly P. Senewe) HUBUNGAN KEMATANGAN REPRODUKSI DAN USIA SAAT MELAHIRKAN DENGAN KEJADIAN BAYI BERAT LAHIR RENDAH (BBLR) DI INDONESIA TAHUN 2010 Relation of Reproductive Maturity and Maternal Age at Delivery with Low Birth Weight (LBW) in Indonesia 2010 Rofingatul Mubasyiroh*, Teti Tejayanti, Felly Philipus Senewe Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat, Badan Litbangkes *E-mail: [email protected] Abstract Background: Infant Low Birth Weight (LBW) is a major factor in increased mortality, morbidity and disability neonatal infants and children. One of biological characteristics of mothers that increases the risk of low birth weight is young gynecological age (reproductive maturity). Objective: This study aims to determine the relationship of reproductive maturity and maternal age at delivery with Infant LBW. Methods: The study design was cross-sectional with the outcome (LBW) clearly preceded by exposure (condition during pregnancy). Sample was 1562 subjects of Riskesdas 2010 namely married with first child. Birth weight data recorded in the health record book/KMS/KIA books. Multivariate analysis done by Cox regression. Result: Overall incidence of LBW was 6.1 percent. There were 11.8 percent of LBW with immaturity reproduction and 8.4 percent in women at risk on maternal age (<20 years)). The final result of multivariate analysis showed that women with immaturity reproduction and at risk on maternal age were 2.43 times having low birth weight baby compared to those with maturity reproduction and safe age of childbirth, controlled by education, iron tablet consumption, gestational age at first visit and number of ANC visits. Conclusions: Immaturity reproduction and at risk maternal age affect the incidence of LBW in Indonesia in 2010 adjusted by education, iron tablet consumption, gestational age at first visit and the number of ANC visits. Keywords: reproductive maturity, age at delivery, low birth weight Abstrak Latar belakang: Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) termasuk faktor utama dalam peningkatan mortalitas, morbiditas dan disabilitas neonatus bayi dan anak. Salah satu karakteristik biologis ibu yang memiliki peran meningkatkan risiko BBLR adalah usia ginekologi yang muda. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kematangan reproduksi dan usia ibu saat melahirkan dengan kejadian Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR). Metode: Disain studi ini adalah cross-sectional dengan outcome (BBLR) jelas didahului oleh exposure (kondisi saat hamil). Sampel penelitian adalah 1562 sampel Riskesdas 2010 yaitu wanita pernah menikah yang memiliki anak pertama dengan data berat lahirnya dicatat dalam buku catatan kesehatan/KMS/buku KIA. Analisis multivariat dengan cox regression. Hasil: Penelitian menunjukkan secara keseluruhan terdapat 6,1 persen kejadian BBLR. Terdapat 11,8 persen BBLR pada ibu dengan usia reproduksi yang belum matang dan 8,4 persen pada ibu dengan usia melahirkan berisiko. Hasil akhir multivariat menunjukkan kombinasi usia reproduksi yang belum matang dan usia saat melahirkan berisiko mempunyai risiko melahirkan bayi BBLR sebesar 2,43 kali dibandingkan usia reproduksi yang matang dan usia saat melahirkan yang aman, setelah dikendalikan faktor pendidikan, konsumsi Fe, usia kandungan saat pertama kali periksa dan frekuensi ANC. Kesimpulan: Usia reproduksi yang belum matang dan usia ibu saat melahirkan yang berisiko mempengaruhi kejadian BBLR setelah dikontrol faktor pendidikan, konsumsi Fe, usia kandungan saat pertama kali periksa,dan frekuensi ANC. Kata kunci: kematangan reproduksi, usia saat melahirkan, BBLR Naskah masuk: 6 April 2016 Review: 14 Juni 2016 Disetujui terbit: 26 Agustus 2016 Hubungan Kematangan Reproduksi ………… (Rofingatul Mubasyiroh, Teti Tejayanti, Felly P. Senewe) PENDAHULUAN Salah satu arah RPJMN Tahap II yang ditetapkan dalam UU nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembanguan Jangka Panjang Nasional adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Setiap bayi yang lahir memiliki hak hidup dan tumbuh menjadi manusia yang produktif. Bayi yang lahir merupakan aset bangsa yang perlu diperhatikan dan dipenuhi hak-hak dasarnya sebagai manusia dan dibantu dalam peningkatan kualitas hidupnya.1 Berat bayi merupakan ukuran antropometri yang terpenting dan paling sering digunakan pada bayi baru lahir (neonatus). Berat badan digunakan untuk diagnosa bayi normal atau mengalami bayi berat lahir rendah (BBLR). Pada masa bayi sampai balita, berat badan dapat dipergunakan untuk melihat laju pertumbuhan fisik maupun status gizi.2 BBLR didefinisikan sebagai bayi yang berat badan lahirnya pada saat kelahiran kurang dari 2500 gram. BBLR termasuk faktor utama dalam peningkatan mortalitas, morbiditas dan disabilitas neonatus bayi dan anak, serta memberikan dampak jangka panjang terhadap kehidupannya di masa depan.3 Bayi berat lahir rendah (BBLR) merupakan salah satu faktor risiko yang mempunyai kontribusi terhadap kematian bayi, khususnya pada masa perinatal. Berbagai studi menunjukkan bahwa BBLR memiliki risiko kematian neonatal lebih besar dibandingkan bayi dengan berat normal. Menurut SKRT 2001, kematian neonatal akibat prematur dan BBLR mencapai 29 persen dan merupakan penyebab kematian terbesar setelah gangguan perinatal (34%).4 Hasil penelitian Registrasi Kematian dan Penyebab Kematian di 12 Kabupaten/Kota di Indonesia tahun 2012, bayi berat lahir rendah merupakan penyebab ke-dua terbesar (21%) kejadian kematian perinatal (06 hari dan IUFD) setelah faktor penyebab IUFD (27%).5 Nelson, dkk menyebutkan bahwa BBLR adalah faktor risiko utama pada morbiditas dan mortalitas neonatal di negaranegara berkembang. Bayi dengan BBLR mempunyai risiko mengalami kematian perinatal antara 5-35 kali lebih besar dari bayi dengan berat normal.6 110 Bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) lebih rentan terhadap kondisi-kondisi penyakit infeksi sehingga di masa mendatang sering terjadi gangguan dalam belajar, kemampuan intelektual yang rendah dan sering terjadi gangguan yang berkaitan dengan masalah.7 Penelitian di negara-negara Asia Selatan juga menunjukkan bahwa anak dengan riwayat BBLR pada masa mendatang akan lebih banyak menderita kurang energi protein (KEP) dan lebih banyak putus sekolah dan tinggal kelas.8 Berdasarkan publikasi World Health Organization (WHO) 2011, kejadian bayi berat lahir rendah di dunia sebesar 15 persen pada periode 2000-2009. Penyumbang angka terbesar 24 persen di wilayah Asia Tenggara. Menurut WHO (2004), prevalensi BBLR di suatu negara disebut rendah jika kurang dari 5 persen. Hasil Riset Kesehatan Dasar menunjukkan persentase anak balita yang mempunyai berat badan lahir < 2500 gram pada tahun 2007 sebesar 11,5 persen dan menurun menjadi 11,1 persen pada tahun 2010. Disparitas proporsi BBLR terjadi antara satu daerah dengan daerah lain, yaitu 5,8 persen - 27,0 persen di tahun 2007, dan variasi pada tahun 2010 adalah berkisar 6,0 persen 18,5 persen. Adapun proporsi BBLR lebih besar di perdesaan (12,0%) dibandingkan di perkotaan (10,4%). Penyebab BBLR masih terus dikaji sampai saat ini. Beberapa studi menyatakan bahwa penyebab BBLR ini adalah multifaktorial, antara lain: ibu yang hamil di usia muda, faktor demografi, biologi ibu, riwayat obstetri, morbiditas ibu selama hamil, periksa kehamilan (antenatal care), dan paparan toksis. Salah satu karakteristik biologis ibu secara umum yang memiliki peran dalam meningkatkan risiko BBLR adalah kematangan reproduksi yang masih muda. Ketidakmatangan reproduksi diperkirakan mempengaruhi luaran kahamilan. Namun demikian konsep ini masih menjadi kontroversi apakah memang ketidakmatangan reproduksi (usia ginekologi) menjadi faktor independen signifikan terhadap kejadian BBLR. Hubungan Kematangan Reproduksi ………… (Rofingatul Mubasyiroh, Teti Tejayanti, Felly P. Senewe) Masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara kematangan reproduksi dan usia ibu saat melahirkan dengan kejadian BBLR di Indonesia pada tahun 2010. Tujuan penelitian adalah diketahui besar hubungan kematangan reproduksi dan usia ibu saat melahirkan dengan kejadian BBLR setelah mengontrol pengaruh faktor ibu (tingkat pendidikan ibu, status ekonomi ibu, komplikasi kehamilan, konsumsi tablet besi (Fe), merokok) dan faktor pelayanan kesehatan (usia kandungan saat pertama kali periksa kehamilan, frekuensi antenatal care (ANC), tenaga pemeriksa ANC). METODE Penelitian ini menggunakan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010. Penelitian ini adalah penelitian non-intervensi dengan disain penelitian potong lintang (cross sectional). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wanita pernah kawin usia 10-59 tahun yang memiliki bayi lahir hidup di Indonesia selama kurun waktu 5 tahun antara 1 Januari 2005 sampai pertengahan Agustus 2010 (periode pelaksanaan Riskesdas 2010). sampel dalam penelitian ini adalah wanita usia 10-59 tahun yang memiliki bayi lahir hidup, terpilih menjadi sampel Riskesdas dan memenuhi kriteria inklusi (semua populasi yang memenuhi syarat dijadikan sampel). Kriteria inklusi penelitian ini adalah wanita pernah kawin berusia 10-59 tahun, pernah hamil dan melahirkan selama periode 1 Januari 2005 sampai pelaksanaan survei Riskesdas 2010, kelahiran merupakan kelahiran pertama (tidak pernah keguguran), bayi lahir hidup, bayi ditimbang saat lahir, informasi berat lahir bayi berdasarkan catatan KMS/buku KIA/catatan kesehatan, data semua variabel lengkap. Kriteria eksklusi adalah ibu yang memiliki bayi kembar. Besar sampel minimal penelitian ini dihitung menggunakan rumus besar sampel pada penelitian survei untuk uji hipotesis beda dua proporsi satu arah.9 Rumus perhitungan sebagai berikut: (z n= 1−α 2 P (1 − P ) + z1− β P1 (1 − P1 ) + P2 (1 − P2 ) ) 2 ( P1 − P2 ) 2 Keterangan : n = besar sampel minimal Z 1-α = deviasi normal standar dengan α = 0,05 = 1,65 Z 1-β = deviasi normal standar dengan β = 20 persen, Z 1-β = 0,842 Variabel usia ibu saat melahirkan P1 = Proporsi BBLR pada ibu dengan usia saat melahirkan < 20 tahun yaitu 10,4 persen dan ≥ 34 tahun yaitu 8,9 persen.10 P2 = Proporsi BBLR pada ibu dengan usia saat melahirkan 20-34 tahun yaitu 6,5 persen10, dengan ORadjusted= 1,15 (untuk ibu usia < 20 tahun) dan ORadjusted= 1,91 (untuk ibu usia ≥ 34 tahun). OR sudah di-adjust jenis kelamin bayi, status perkawinan, jumlah anak, usia kehamilan, frekuensi ANC, jenis persalinan, jenis asuransi kesehatan, merokok. Variabel usia ginekologi P1 = Proporsi BBLR pada ibu dengan kematangan reproduksi < 2 tahun yaitu 26,5 persen (Dengan kriteria usia ginekologi 2-4 tahun).11 P2 = Proporsi BBLR pada ibu dengan kematangan reproduksi > 2 tahun yaitu 6,7 persen (Dengan kriteria usia ginekologi > 4 tahun).11 Berdasarkan rumus di atas, diperoleh jumlah sampel mimimal yang dibutuhkan pada kelompok ibu dengan usia saat melahirkan < 20 tahun adalah sebanyak 293 orang. Adapun jumlah sampel mimimal yang dibutuhkan pada kelompok ibu dengan usia saat melahirkan ≥ 34 tahun adalah sebanyak 675 orang. Untuk variabel kematangan reproduksi, jika dengan batasan usia 2-4 tahun diperoleh jumlah 111 Hubungan Kematangan Reproduksi ………… (Rofingatul Mubasyiroh, Teti Tejayanti, Felly P. Senewe) sampel 15 orang. Namun jika batasan kematangan reproduksi adalah < 2 tahun, dengan asumsi bahwa kematangan reproduksi merupakan faktor risiko kejadian BBLR, maka diperkirakan proporsi BBLR pada usia ginekologi < 2 tahun adalah semakin besar, sehingga jumlah sampel minimal yang butuhkan adalah lebih kecil dari 15 orang per kelompok. Dengan demikian, jumlah sampel minimal penelitian ini adalah 1350 orang. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah berat badan bayi lahir rendah. Variabel bebas adalah kematangan reproduksi dan usia saat melahirkan. Adapun variabel kovariat antara lain status ekonomi, pendidikan, merokok, usia kandungan saat pertama ke pelayanan kesehatan, konsumsi tablet Fe, tenaga pemeriksa ANC, frekuensi periksa ANC. Kombinasi kedua variabel independen utama untuk efek modifier, yaitu variabel kematangan reproduksi dan usia ibu saat melahirkan dengan kejadian BBLR terdiri dari 4 macam kelompok gabungan: 1. Sebagai reference adalah usia ginekologi > 2 tahun dan usia saat melahirkan 20-34 tahun. 2. Kombinasi usia ginekologi usia ginekologi > 2 tahun dan usia saat melahirkan < 20 tahun atau > 34 tahun. 3. Kombinasi usia ginekologi < 2 tahun dan usia saat melahirkan 20-34 tahun. 4. Kombinasi usia ginekologi < 2 tahun dan usia saat melahirkan < 20 tahun atau > 34 tahun. Analisis bivariat dilakukan untuk melihat ada tidaknya dan besarnya hubungan antara dua variabel penelitian (satu variabel dependen dan satu variabel independen). Dalam penelitian ini variabel dependen (BBLR) dalam bentuk katagorik dan semua variabel independen juga dalam bentuk kategorik, maka analisis yang cocok adalah menggunakan uji Chi Square, dengan batas kemaknaan yang dipakai α= 0,05 sebagai tanda adanya perbedaan proporsi. Uji hubungan antara dua variabel akan dianggap bermakna jika hasil perhitungan statistik mempunyai nilai p < 0,05. Sedangkan besarnya hubungan kedua variabel akan dihitung dengan Prevalen Rasio (PR) yang merupakan nilai estimasi risiko untuk terjadinya outcome (variabel dependen) karena 112 pengaruh adanya variabel independen. Perubahan satu unit variabel independen akan menyebabkan perubahan sebesar nilai PR pada variabel dependen. Analisis multivariat bertujuan untuk membuat model sehingga dapat menjelaskan hubungan kausal antara kematangan reproduksi dan usia saat melahirkan dengan kejadian BBLR. Analisis menggunakan modifikasi cox regression dengan variabel (waktu) bebas. Variabel (waktu) bebas adalah variabel yang nilainya untuk suatu subjek tetap konstan dari waktu ke waktu. Hasilnya akan diperoleh Prevalence Ratio (PR) dan 95 persen CI untuk memprediksi hubungan usia ginekologi dan usia saat melahirkan dengan kejadian BBLR. Nilai PR diestimasi dari nilai HR yang dihasilkan dalam cox regression. Selanjutnya dilakukan uji confounder terhadap variabel covariat lain yang berpengaruh terhadap hubungan independen utama dengan variabel dependen. Pengujian confounder dilakukan dengan backward elimination procedurs yaitu mengeluarkan satu per satu variabel kovariat. Selanjutnya membandingkan perubahan nilai PR jika kovariat dikeluarkan dengan nilai PR full model, dengan rumus: PR = PR reduce – PR full model x 100% PR full model HASIL Populasi sumber penelitian ini adalah 20591 wanita 10-59 tahun pernah kawin yang melahirkan dalam kurun waktu 2006-2010 dengan jumlah balita yang dilahirkan sejumlah 22296. dari jumlah balita tersebut diperoleh sejumlah 6011 balita yang merupakan anak urutan pertama. Dari seluruh anak pertama tersebut sejumlah 2007 anak yang data berat badan saat lahir diperoleh berdasarkan catatan KMS/buku KIA/catatan kesehatan/catatan kelahiran. Setelah proses manajemen data, diperoleh sejumlah data 1562 sampel ibu dan anak yang lengkap pada seluruh variabel (dependen dan independen) serta bersih dari isian data “tidak tahu” atau “lupa”. Hubungan Kematangan Reproduksi ………… (Rofingatul Mubasyiroh, Teti Tejayanti, Felly P. Senewe) Tabel 1 menunjukkan kejadian BBLR lebih banyak pada kelompok usia ginekologi < 2 tahun (11,8%) dibandingkan pada kelompok dengan usia ginekologi > 2 tahun (6,1%) dengan nilai PR=1,93 (95% CI = 0,52-7,21). BBLR juga lebih banyak terjadi pada kelompok responden dengan usia melahirkan < 20 tahun atau > 34 tahun (8,4%) dibandingkan pada kelompok dengan usia melahirkan 20-34 tahun (6,7%). Nilai PR=1,48 (95% CI = 0,94-2,33). Tabel 1 Hubungan usia ginekologi dengan kejadian BBLR BBLR Usia Ginekologi <= 2 th > 2 th Ya N (%) 2 (11,8) 94 (6,1) Tidak N (%) 15 (88,2) 1451 (93,9) 22 (8,4) 74 (6,7) 240 (91,6) 1226 (94,3) PR 95% CI 1,93 0,52 – 7,21 1,48 0,94 – 2,33 Usia Melahirkan < 20 th atau > 34 th 20-34 th Tabel 2 menunjukkan hasil analisis hubungan antara beberapa variabel kovariat dengan kejadian BBLR. Kejadian BBLR sedikit lebih banyak terjadi pada kelompok responden dengan status ekonomi tinggi (6,6%) dibandingkan pada kelompok dengan status ekonomi rendah (5,8%). Nilai PR=0,88 (95% CI = 0,59-1,29), yang berarti bahwa responden dengan status ekonomi tinggi mempunyai risiko lebih tinggi untuk melahirkan anak BBLR dibandingkan dengan responden dengan status ekonomi rendah. Tabel 2. Hubungan beberapa variabel kovariat dengan kejadian BBLR Karakteristik Status Ekonomi Rendah Tinggi Tingkat pendidikan Rendah Tinggi Konsumsi Fe < 90 >= 90 Usia kandungan saat pertama kali periksa > 3 bln <= 3 bln Frekuensi ANC tidak tepat tepat Tenaga pemeriksa ANC Non kesehatan Kesehatan Merokok Merokok Tidak Merokok BBLR N (%) Berat Lahir BBLN N (%) PR 95% CI 52 (5,8) 44 (6,6) 845 (94,2) 621 (93,4) 0,88 0,59 - 1,29 48 (6,1) 48 (6,2) 740 (93,1) 726 (93,8) 0,98 0,66 - 1,45 78 (7,0) 18 (4,0) 1028 (93,0) 438 (96,0) 1,79 1,08 - 2,95 10 (6,1) (86) 6,2 153 (93,9) 1313 (93,8) 0,99 0,53 - 1,88 30 (9,7) 66 (5,3) 280 (90,3) 1186 (94,7) 1,84 1,21 - 2,78 5 (5,0) 91 (6,2) 96 (95,0) 1370 (93,8) 0,79 0,33 - 1,91 1 (9,1) 95 (6,1) 10 (90,9) 1456 (93,9) 1,48 0,21 - 9,72 113 Hubungan Kematangan Reproduksi ………… (Rofingatul Mubasyiroh, Teti Tejayanti, Felly P. Senewe) Hampir tidak ada perbedaan kejadian BBLR pada kelompok responden dengan tingkat pendidikan rendah (6,1%) dibandingkan pada kelompok dengan tingkat pendidikan tinggi (6,2%). Nilai PR = 0,98 (95% CI = 0,66-1,45), yang berarti bahwa responden dengan tingkat pendidikan tinggi mempunyai risiko lebih tinggi untuk melahirkan anak BBLR dibandingkan dengan responden tingkat pendidikan rendah. Kejadian BBLR lebih banyak pada kelompok responden yang mengkonsumsi Fe <90 hari (7,0%) dibandingkan pada kelompok yang mengkonsumsi Fe > 90 hari (4,0%). Nilai PR=1,79 (95% CI = 1,08-2,95), yang berarti bahwa responden dengan konsumsi Fe < 90 hari mempunyai risiko 1,79 kali untuk melahirkan anak BBLR dibandingkan dengan responden yang mengkonsumsi Fe > 90 hari. Kejadian BBLR hampir sama pada kelompok responden yang pertama kali memeriksakan kehamilan saat > 3 bulan (6,1%) dan pada kelompok yang pertama kali memeriksakan kehamilan saat < 3 bulan (6,2%). Nilai PR=0,99 (95% CI = 0,53-1,88, yang berarti bahwa responden yang pertama kali memeriksakan kehamilan saat > 3 bulan mempunyai risiko yang hampir sama untuk melahirkan anak BBLR dengan responden yang pertama kali memeriksakan kehamilan saat < 3 bulan. Kejadian BBLR lebih banyak pada kelompok responden yang tidak tepat dalam melakukan ANC (9,7%) dibandingkan pada kelompok yang tepat dalam melakukan ANC (5,3%). Nilai PR=1,84 (95% CI = 1,21-2,78), yang berarti bahwa responden yang tidak tepat dalam melakukan ANC mempunyai risiko 1,84 kali untuk melahirkan anak BBLR dibandingkan dengan responden yang tepat dalam melakukan ANC. Kejadian BBLR lebih banyak pada kelompok responden yang memeriksakan kandungan di tenaga kesehatan (6,2%) dibandingkan pada kelompok yang memeriksakan kandungan di tenaga non kesehatan (5,0%). Nilai PR=0,79 (95% CI = 0,33-1,91), yang berarti bahwa responden yang memeriksakan kandungan di tenaga non kesehatan tidak lebih berisiko untuk melahirkan anak BBLR dibandingkan 114 dengan responden yang memeriksakan kandungan di tenaga kesehatan. Kejadian BBLR lebih banyak pada kelompok responden yang merokok (9,1%) dibandingkan pada kelompok yang tidak merokok (6,1%). Nilai PR=1,48 (95% CI = 0,21-9,72), yang berarti bahwa responden yang merokok mempunyai risiko 1,48 kali untuk melahirkan anak BBLR dibandingkan dengan responden yang tidak merokok. Dilakukan analisis multivariat untuk membuat model hubungan kausal antara kematangan reproduksi dan usia saat melahirkan dengan kejadian BBLR. Analisis multivariat yang digunakan adalah analisis cox regression dengan model faktor risiko. Pada analisis ini dilakukan permodelan yang mengikutsertakan semua potensial konfounder. Model yang diharapkan terbentuk adalah model yang parsimonious yaitu model yang valid dan presisinya baik serta sederhana. Langkahlangkah yang harus dilakukan untuk memperoleh model yang paling fit (parsimonious) untuk melihat hubungan tersebut adalah melakukan pemilihan kandidat multivariat, pembuatan Hierachically Well Formulated (HWF Model) dengan melakukan Hierachically Backward Elimination yaitu eliminasi interaksi yang mungkin antara variabel independen utama dengan variabel konfounding dan eliminasi confounder (Kleimbaum, et. al., 1998). Kemudian dilakukan pengujian confounder dengan backward elimination procedures model dengan cara mengeluarkan satu per satu variabel kovariat dan dibandingkan dengan perubahan nilai PR pada variabel independen utama dan variabel interaksi. Analisis multivariat dimulai dengan penyeleksian variabel. Variabel yang dapat masuk dalam analisis multivariat adalah variabel yang memiliki p-value <0,25. Khusus variabel independen utama yaitu kematangan reproduksi dan usia saat melahirkan apabila memiliki p-value >0,25 tetap akan dimasukkan ke dalam model. Berdasarkan analisis bivariat yang telah dilakukan sebelumnya, terdapat 4 variabel yang akan masuk ke dalam analisis multivariat, yaitu kematangan reproduksi, usia saat melahirkan, konsumsi Fe, dan frekuensi ANC. Sedangkan variabel yang tidak masuk Hubungan Kematangan Reproduksi ………… (Rofingatul Mubasyiroh, Teti Tejayanti, Felly P. Senewe) dalam model adalah status ekonomi, tingkat pendidikan, usia kandungan saat pertama periksa, tenaga pemeriksa ANC dan merokok. Namun berdasarkan substansi, semua variabel kovariat dimasukkan dalam analisis multivariat. Analisis multivariat yang akan dilakukan adalah multivariat kematangan reproduksi dengan kejadian BBLR, multivariat usia saat melahirkan dengan kejadian BBLR, dan multivariat kombinasi kematangan reproduksi dan usia saat melahirkan dengan kejadian BBLR. Prinsip terpenting dalam pemodelan adalah model yang valid yaitu model yang dapat menggambarkan hubungan yang sesungguhnya antara variabel independen utama dengan variabel dependen di populasi. Estimasi efek variabel independen terhadap variabel dependen yang terbaik adalah estimasi efek yang telah memperhitungkan confounder dan juga effect modifier (Kleimbaum, et. al., 1998). Berdasarkan hasil akhir analisis multivariat menunjukkan bahwa kombinasi kematangan reproduksi < 2 tahun dan usia saat melahirkan < 20 atau > 34 tahun mempunyai risiko untuk melahirkan bayi BBLR sebesar 2,43 kali jika dibandingkan dengan kematangan reproduksi > 2 tahun dan usia saat melahirkan 20 - 34 tahun, setelah dikendalikan faktor pendidikan, konsumsi Fe, usia kandungan saat pertama kali periksa,dan frekuensi ANC. Besar asosiasi pada kelompok 4 ini spesifik untuk kelompok umur < 20 tahun. Hal ini terjadi karena pada sebaran usia, responden yang memiliki kematangan reproduksi < 2 tahun adalah kelompok usia < 20 tahun. Sedangkan pada kelompok usia > 34 tahun tidak ditemukan responden yang memiliki usia ginekologi < 2 tahun. Langkah selanjutnya adalah membuat pemodelan dengan HWF Model (Hierarchically Well Formulated Model). Caranya yaitu dengan memasukkan semua variabel yang ada serta variabel yang mungkinkan terjadi interaksi antara variabel lain dengan variabel independen utama sehingga menghasilkan suatu model yang maksimum (paling lengkap). Langkah ini dapat mengontrol semua effect modifier dan confounder. Tabel 3 Pemodelan Multivariat (Tahap Akhir) Usia Ginekologi dan Usia Melahirkan Terhadap Kejadian BBLR Variabel Coef SE PR 95% CI p-value 0,86 - 2,38 0,265 Usia ginekologi dan usia melahirkan Kelompok 1 1 Kelompok 2 0,29 0,26 1,33 Kelompok 3 -30,01 1,01E+07 4.58e-15 Kelompok 4 1,000 0,888 0,73 2,43 0,65 - 11,59 0,225 Pendidikan -0,161 0,212 0,85 0,56 - 1,29 0,448 Konsumsi Fe 0,475 0,267 1,61 0,95 - 2,72 0,076 Usia kandungan saat periksa -0,786 0,389 0,46 0,21 - 0,98 0,043 Frekuensi ANC 0,815 0,262 2,26 1,35 - 3,78 0,002 Adapun pada kelompok kematangan reproduksi > 2 tahun dan usia saat melahirkan < 20 atau > 34 tahun mempunyai risiko untuk melahirkan bayi BBLR sebesar 1,33 kali jika dibandingkan dengan kematangan reproduksi > 2 tahun dan usia saat melahirkan 20-34 tahun, setelah dikendalikan faktor pendidikan, konsumsi Fe, usia kandungan saat pertama kali periksa dan frekuensi ANC. 115 Hubungan Kematangan Reproduksi ………… (Rofingatul Mubasyiroh, Teti Tejayanti, Felly P. Senewe) Nilai PR pada kelompok responden yang memiliki kematangan reproduksi < 2 tahun dan usia saat melahirkan 20-34 tahun tidak teridentifikasi. Hal ini dapat terjadi karena jumlah absolut kejadian BBLR pada kelompok ini tidak ada (nol). PEMBAHASAN Kematangan reproduksi merupakan indikator derajat kematangan fisiologi wanita yang dihitung dari rentang waktu antara usia hamil pertama kali dengan usia menarche. Cut off point usia ginekologi dalam penelitian ini adalah < 2 tahun yang termasuk dalam kategori immature. Dalam penelitian ini diperoleh besar hubungan kematangan reproduksi dengan kejadian BBLR di Indonesia tahun 2010 adalah 1,58 (95% CI = 0,37-6,77) setelah dikontrol usia saat melahirkan, konsumsi Fe, usia kandungan saat pertama periksa, dan frekuensi ANC. Hasil ini sama dengan Laporan IOM (Institute of Medicine), Amerika tahun 1990, yang mencatat bahwa dari data terbatas yang tersedia menunjukkan bahwa remaja muda (< 2 tahun setelah menarche) melahirkan bayi yang lebih kecil untuk berat badan diberikan daripada wanita yang lebih tua. Hasil ini juga ditunjukkan dalam penelitian kasus pada kehamilan remaja Afrika Amerika dengan kohort retrospektif data rekam medik. Hasilnya menunjukkan orang-orang dari kematangan reproduksi rendah memiliki bayi dengan berat lahir secara signifikan lebih rendah daripada rata-rata orang-orang yang lebih matang. Hasil tersebut diperoleh dengan analisis regresi logistik dengan dikontrol dengan merokok, BMI saat hamil, paritas, preeklampsia, masa kehamilan dan berat badan saat hamil. Hal ini terjadi karena terjadi kompetisi asupan ibu dengan bayi yang dikandungnya. Perempuan yang hamil kurang dari 2 tahun setelah menarche pertama berisiko untuk mengalami kekurangan zat gizi akibat terjadinya persaingan nutrisi antara ibu dan janin yang dikandungnya. Pada kematangan reproduksi yang muda, rahim dan panggul seringkali juga belum tumbuh sempurna. 116 Penelitian di Banglades pada tahun 200 menemukan pada usia di bawah 18 tahun berisiko terjadinya BBLR sebesar OR=1,59 (95% CI: 1,03-2,5) dan kurang bermakna pada kelompok di atas 35 tahun dengan OR=1,42 (95% CI: 0,96-2,09) dibanding ibu hamil usia 19-34 tahun (Kusiako, 2000). Namun hasil tersebut berbeda dengan penelitian Collin (2004) pada masyarakat Chicago. Collin mendapatkan bahwa usia di bawah 20 tahun tidak bermakna sebagai faktor risiko terjadinya BBLR dengan OR sebesar 1,1 (95% CI: 0,62,1) namun bermakna pada usia >30 tahun dengan OR=2,0 (95% CI: 1,0-3,9) dibanding ibu hamil usia antara 20-24 tahun. Penelitian di Utah pada tahun 1970-1990 menunjukkan usia 18-19 tahun memiliki peningkatan risiko yang signifikan sama seperti pada usia 13 sampai 17 tahun dalam risiko terjadinya BBLR.15 Pada penelitian ini diperoleh hasil multivariat yang menunjukkan hubungan usia saat melahirkan dengan kejadian BBLR sebesar 1,30 (95% CI = 0,79-2,13) setelah dikontrol kematangan reproduksi, konsumsi Fe, dan frekuensi ANC. Secara umum, hasil ini sesuai dengan penelitian Oster (2010) dengan analisis data SDKI 2007 yang menunjukkan ibu berusia < 20 tahun atau > 34 tahun berisiko 1,36 kali melahirkan BBLR dibandingkan usia 20-34 tahun.12 Pada usia kurang dari 20 tahun, organ-organ reproduksi belum berfungsi sempurna, rahim dan panggul ibu belum tumbuh mencapai ukuran dewasa sehingga bila terjadi kehamilan dan persalinan akan lebih mudah mengalami komplikasi. Sedangkan pada usia lebih dari 35 tahun, terjadi penurunan kesehatan reproduktif karena proses degeneratif sudah mulai muncul. Salah satu efek degeneratif adalah terjadi sklerosis pembuluh darah arteri kecil dan arteriola miometrium yang menyebabkan aliran darah ke endometrium tidak merata dan maksimal sehingga dapat mempengaruhi penyaluran nutrisi dari ibu ke janin yang akhirnya membuat gangguan pertumbuhan janin dalam rahim.13,14 Dari penelitian ini diketahui besar hubungan/risiko secara bersama antara kematangan reproduksi dan usia ibu saat melahirkan. Pada responden dengan kematangan reproduksi < 2 tahun dan usia ibu saat melahirkan < 20 atau > 34 tahun memiliki Hubungan Kematangan Reproduksi ………… (Rofingatul Mubasyiroh, Teti Tejayanti, Felly P. Senewe) risiko 2,43 kali untuk melahirkan bayi BBLR setelah dikontrol faktor pendidikan, konsumsi Fe, usia kandungan saat pertama kali periksa,dan frekuensi ANC. Besar asosiasi pada kelompok 4 ini spesifik untuk kelompok umur < 20 tahun. Secara spesifik, deskripsi sebaran kasus BBLR lebih banyak terjadi pada usia < 20 tahun. kematangan reproduksi < 2 tahun juga paling banyak terjadi pada usia < 20 tahun, serta tidak ditemukan kematangan reproduksi < 2 tahun pada kelompok > 34 tahun. Hal ini menunjukkan pada kelompok 4, kontribusi terbesar kejadian BBLR pada kelompok kematangan reproduksi < 2 tahun terjadi pada wanita < 20 tahun. Sedangkan pada kelompok usia > 34 tahun tidak ditemukan responden yang memiliki kematangan reproduksi < 2 tahun. Pada kelompok kematangan reproduksi > 2 tahun dan usia ibu saat melahirkan < 20 atau > 34 tahun berisiko melahirkan bayi BBLR adalah 1,33 setelah dikontrol faktor pendidikan, konsumsi Fe, usia kandungan saat pertama kali periksa dan frekuensi ANC. Nilai 95 persen CI besar asosiasi pada responden dengan kematangan reproduksi < 2 tahun dan usia ibu saat melahirkan < 20 atau > 34 tahun adalah 0,65-11,59. Dan pada kelompok usia ginekologi > 2 tahun dan usia ibu saat melahirkan < 20 atau > 34 tahun adalah 0,86-2,38. Nilai interval yang dihasilkan menunjukkan adanya signifikansi secara statistik hasil temuan. Nilai ekstrem atas dan bawah dari interval kepercayaan mununjukkan seberapa besar atau kecil efek yang sebenarnya mungkin diperoleh. Interval kepercayaan dari penelitian besar cenderung sangat sempit, ini menunjukkan presisi penelitian tersebut mampu memperkirakan ukuran efek yang nyata. Sebaliknya, pada studi yang lebih kecil biasanya menghasilkan interval kepercayaan yang lebar. KESIMPULAN Dari penelitian ini diketahui bahwa kematangan reproduksi yang muda dan usia ibu saat melahirkan yang berisiko berhubungan dengan kejadian BBLR di Indonesia tahun 2010 dengan besar hubungan/risiko adalah 2,43 (95% CI = 0,6511,59). Dimana besar hubungan ini berlaku untuk usia ibu saat melahirkan < 20 tahun. Besar hubungan/risiko kematangan reproduksi yang muda (tanpa kontribusi usia saat melahirkan) dengan kejadian BBLR tidak dapat dievaluasi nilainya, dikarenakan terdapat angka absolut nol (0) pada subjek. Besar hubungan/risiko usia ibu saat melahirkan yang berisiko (tanpa kontribusi kematangan reproduksi) dengan kejadian BBLR adalah 1,33 (95% CI = 0,86-2,38). SARAN Bagi program pemerintah, dapat lebih ditekankan promosi pada kelompok remaja (< 20 tahun) tentang adanya risiko yang lebih besar jika melahirkan pada saat usia ginekologi < 2 tahun. Diperlukan penelitian lanjutan dengan besar sampel yang lebih besar, sehingga diharapkan terdapat subjek penelitian pada semua kategori joint effect. Dengan demikian besar asosiasi pada semua kategori dapat diketahui. Dimungkinkan untuk menghitung atau mencari cut off point usia ginekologi pada perempuan di Indonesia. Diperlukan penelitian lanjutan dengan fokus pada usia remaja dengan menyertakan variabel faktor risiko BBLR, seperti faktor asupan gizi ibu serta IMT sebelum hamil. Metode pengukuran variabel outcome dengan lebih akurat sesuai kriteria atau batasan yang ada (12 jam setelah kelahiran). Bagi penelitian selanjutnya, lebih diperhatikan temporality variabel-variabel yang diteliti, terutama pada variabel kovariat seperti status ekonomi, tingkat pendidikan. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada drg. Nurhayati Prihartono, MPH, MSc, DSc yang telah banyak memberikan masukan dalam pelaksanaan penelitian ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Badan Litbang Kesehatan yang telah mengijinkan penulis melakukan analisis data Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010. 117 Hubungan Kematangan Reproduksi ………… (Rofingatul Mubasyiroh, Teti Tejayanti, Felly P. Senewe) DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Kementerian Kesehatan. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014. Jakarta: 2010. Supariasa. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC. 2001. Dalam Hubungan Kenaikan Berat Badan Ibu Hamil dengan Berat Bayi Lahir di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Muwakhidah dan Siti Zulaekah. Jurnal Penelitian Sains dan Teknologi. 2004; 5(1): 11-20. Linda, Mai. Pengaruh Karakteristik, Perilaku, dan Sosial Ekonomi Ibu Terhadap Kelahiran Bayi BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) di Kabupaten Sidoarjo. [Skripsi]. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya. 2011. Departemen Kesehatan RI. Kajian Kematian Ibu dan Anak di Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2004. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan. Laporan Penelitian Pengembangan Model Pengendalian Masalah Kesehatan Berbasis Registrasi Kematian dan Penyebab Kematian di 12 Kabupaten/Kota di Indonesia tahun 2012. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2012. Nelson. Kendrad E. Infectious Diseases Epidemiology, Theory and Practice. Massachusetts: Jones and Bartlett Publisher, Sudbury. 2005. Institute of Medicine. Nutrition during Pregnancy part I Weight Gain. Washington: National Academy Press. 1990. Guricci, S. Dampak Krisis Ekonomi terhadap Status Gizi Masyarakat dan 118 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Kualitas Sumber Daya Manusia. 1998. Disajikan pada Kajian Kesehatan FKM Peduli 1998 di FKM UI Depok. Lemeshow, S. Et al. Besar Sampel dalam penelitian kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1997. A.A.M. Silva, M.A. Barbieri, U.A. Gomes, & H. BettioI. Trends in low birth weight: a comparison of two birth cohorts separated by a 15-year interval in Ribeirao Preto, Brazil. Bulletin of the World Health Organization. 1998; 76 (1): 73-84 Nursyarifah, Irma. Lingkar Lengan Atas pada Ibu Hamil Remaja sebagai Faktor Dominan terhadap Berat Lahir Bayi di Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat tahun 2013. [Tesis]. Depok: FKM UI. Suriani, Oster. Determinan yang Berhubungan dengan Kejadian Komplikasi Persalinan 5 tahun di Indonesia tahun 2010. Cunningham, F G, Gant, N F, Leveno, K J, Gilstrap-III, L C, Haulth, J C, Wenstrom, K D. Obstetri Williams Volume I. Jakarta: EGC. 2005. Prawirohardjo,S. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2008. Collins, JW, et.al., Very Low Birth Weight in African American Infants: The Role of Maternal Exposure to Interpersonal Racial Discrimination. American Journal of Public Health. Dec 2004; 94 (12), pp2132-8. Neilsen, Jennifer, et al., High gestational weight gain does not improve birth weight in cohort of African American adolescents. USA: American Journal Clinic Nutrition. 2006; 84: 183-9. Jurnal Kesehatan Reproduksi (ISSN 2087-703X) - Vol 7, No. 2, (2016), pp. 119-133 Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan ..................................... (Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulistiyawati) Vol PENGARUH STATUS KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN TERHADAP PERILAKU IBU SELAMA KEHAMILAN DAN SETELAH KELAHIRAN DI INDONESIA(ANALISIS DATA SDKI 2012) Effect of Unintended Pregnancy towards Mothers’ Behaviour during Prenatal and Postnatal in Indonesia (An Analysis of IDHS 2012) Lisa Indrian Dini1*, Pandu Riono2 , Ning Sulistiyowati3 1 2 Kesehatan Reproduksi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia Departemen Biostatistik dan Kependudukan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia; 3 Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat, Badan Litbangkes *E-mail: [email protected]/[email protected] Abstract Background: The status of unintended pregnancies is an important concern as unintended pregnancy can affect mother and infant health. Objective: This study aimed to determine the description and influence of unintended pregnancies towards mothers’ behaviour during prenatal and postnatal within different economic status. Methods: An analysis of secondary data from Indonesian Demographic and Health Survey (IDHS) 2012 is conducted. A sample of 11.742 respondents qualified into inclusive criteria were women aged 15-49 years who had pregnant and gave birth to single births since January 2007 until the time of the survey. The analysis was performed with logistic regression and stratified multivariate logistic regression. Results: The results showed that mothers who experienced an unintended pregnancy were 1.79 more likely to not conduct prenatal care compared to those who didn’t, and had the same opportunities of not having behaviour of exclusive breastfeeding and not giving complete basic immunization as those who didn’t. The study also obtained results that behaviour of obstetric care, exclusive breastfeeding and complete basic immunization also influenced by economic status. Conclusion: Unintended pregnancy affected behaviour of antenatal care (ANC) visit whereas exclusive breastfeeding and complete basic imunization were not different compare to intended pregnancy. Effect unintended pregnanvy toward materna; behavior’s mother are vary according economics status. Keyword: unintended pregnancy, antenatal care, exclusive breastfeeding, complete basic immunization Abstrak Pendahuluan: Status kehamilan tidak diinginkan menjadi penting karena dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan bayi yang akan dilahirkannya dan kelangsungan hidupnya. Tujuan: Penelitian bertujuan untuk mengetahui gambaran dan pengaruh kehamilan tidak diinginkan terhadap perilaku ibu selama kehamilan dan setelah kelahiran menurut status status ekonomi Metode: Analisis data sekunder dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012. Sampel sebanyak 11.742 responden yang memenuhi syarat inklusi (wanita usia 15-49 tahun pernah hamil dan melahirkan kelahiran tunggal, masih hidup dan melahirkan sejak Januari 2007 sampai survei. Analisis dengan regeresi logistik dan stratifikasi regresi logistik multivariat. Hasil: Ibu yang mengalami kehamilan tidak diinginkan berpeluang tidak melakukan perawatan kehamilan 1,79 dibandingkan kehamilan diinginkan; berpeluang sama terhadap perilaku tidak memberikan ASI eksklusif dan tidak memberikan imunisasi dasar lengkap. Hasil analisis stratifikasi menunjukkan pengaruh status kehamilan tidak diinginkan terhadap perilaku: perawatan kehamilan; pemberian ASI eksklusif dan pemberian imunisasi dasar lengkap yang juga dipengaruhi oleh status status ekonomi. Semakin kaya cenderung melakukan perawatan kehamilan. Kesimpulan: Kehamilan tidak diinginkan berpengaruh terhadap perilaku perawatan kehamilan (ANC), namun tidak ada perbedaan bermakna pada perilaku pemberian ASI eksklusif dan pemberian imunisasi dasar lengkap. Pengaruh status kehamilan tidak diinginkan bervariasi menurut status ekonomi. Kata kunci : Kehamilan tidak diinginkan, perawatan kehamilan, asi eksklusif, imunisasi dasar lengkap Naskah masuk: 19-07-2016 Review: 19-08-2016 Disetujui terbit: 02-09-2016 Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan ...................................... (Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulistiyawati) PENDAHULUAN Kehamilan merupakan kodrat seorang wanita sebagai salah satu fase kehidupan dan merupakan fase reproduksi manusia yang berfungsi melahirkan janin sebagai manusia baru di dunia. Banyak perubahan yang terjadi selama proses kehamilan sampai bayi dilahirkan, baik perubahan fisik maupun psikososial akibat dari pertumbuhan dan perkembangan janin. Banyak faktor yang mempengaruhi kehamilan, dari dalam maupun dari luar yang dapat menimbulkan masalah, terutama bagi yang pertama kali hamil. Perubahan yang terjadi pada kehamilan dapat berdampak pada aspek psikologis kehamilan.1 Setiap tahun di seluruh dunia terdapat jutaan wanita yang mengalami kehamilan. Kehamilan terjadi karena direncanakan ataupun tidak direncanakan. Setiap kehamilan seharusnya merupakan kehamilan yang diinginkan oleh ibunya, termasuk kapan kehamilan dikehendaki dan berapa jumlah anak yang diinginkan. Kehamilan yang diinginkan jika kehamilan terjadi pada waktu yang tepat atau memang sudah berkeinginan untuk hamil (intended pregnancy). Namun tidak semua wanita menghendaki dirinya hamil, bahkan dapat menimbulkan perasaan syok dan menyangkal kehamilan tersebut. Tidak sedikit kasus wanita seperti ini yang mengambil jalan pintas yaitu dengan menggugurkan kandungannya tanpa mempertimbangkan moral manusia sebagai makhluk Tuhan.2 Kehamilan yang tidak diinginkan (KTD/ unintended pregnancy) didefinisikan sebagai kehamilan yang terjadi pada saat tidak menginginkan anak pada saat itu (mistimed pregnancy) dan kehamilan yang tidak diharapkan sama sekali (unwanted pregnancy). Gilda Sedgn melaporkan bahwa pada tahun 2012 terdapat 213,4 juta kehamilan di seluruh dunia dengan angka kehamilan usia 15-44 tahun 133 per 1000 wanita pada kelompok usia yang sama dan 40 persen diantaranya adalah angka kehamilan yang tidak diinginkan. Sedangkan di kawasan Asia Tenggara terdapat 18,8 juta total kehamilan dan 44 persen diantaranya adalah KTD.3 Di Indonesia, terdapat 86 persen kelahiran dari kehamilan yang diinginkan, 7 persen kelahiran dari kehamilan yang tidak 120 direncanakan dan 7 persen kelahiran dari kehamilan tidak diinginkan. Informasi tentang keinginan memiliki anak pada responden wanita berusia 15-49 tahun yang sudah menikah didapatkan 15 persen wanita masih menginginkan anak lagi, 24 persen belum memutuskan kapan ingin menambah anak lagi, dan 47 persen sudah tidak menginginkan anak lagi. Pada responden pria berusia 15-54 tahun yang sudah menikah, didapatkan sebanyak 15 persen pria menginginkan anak lagi, 25 persen belum merencanakan memiliki anak lagi, dan 45 persen tidak ingin memiliki anak lagi.4 Ika Saptarini melaporkan kejadian kehamilan yang tidak diinginkan menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 adalah sebesar 15 persen.5 Wanita yang mengalami kehamilan tidak diinginkan dihadapkan pada dua pilihan, yaitu tetap melanjutkan kehamilan atau menggugurkan kandungan dengan menanggung risiko menghadapi bahaya bagi kesehatan karena cara pengguguran yang ditempuh biasanya adalah aborsi tidak aman.6 Definisi ‘unsafe abortion’ atau pengguguran tidak aman menurut World Health Organization(WHO) adalah suatu prosedur untuk mengakhiri kehamilan yang tidak diinginkan yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki keterampilan yang sesuai atau di lingkungan yang tidak sesuai dengan standar medis minimal atau keduanya. Aborsi merupakan 1 dari 7 penyebab kematian ibu di dunia, dan hampir setengah dari kehamilan tidak diinginkan berakhir dengan aborsi tidak aman.7,8 Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kehamilan tidak diinginkan pada seorang wanita. Hasil penelitian Abdallah menemukan proporsi wanita dengan pendidikan rendah (13,4%) lebih besar untuk mengalami kehamilan tidak diinginkan dari pada kehamilan yang diinginkan (4,1%). Proporsi wanita dari keluarga berpendapatan yang rendah lebih banyak mengalami kehamilan tidak diinginkan (15,9%) dibandingkan kehamilan yang diinginkan (4,1%). 9 Penelitian Gipson JD, et al menunjukkan bahwa wanita yang berusia di bawah 20 tahun mempunya kemungkinan (risiko) 2,7 kali mengalami kehamilan tidak diinginkan dan 2,3 kali pada wanita usia di atas 35 tahun. Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan ..................................... (Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulistiyawati) Sedangkan wanita yang tidak menikah mempunyai risiko 2,5 kali untuk mengalami kehamilan yang tidak diinginkan daripada kehamilan yang diinginkan.10 Namun yang harus diperhatikan adalah kehamilan yang tidak diinginkan selain mempunyai dampak kecenderung untuk melakukan aborsi, dapat berdampak pula pada proses dan outcome dari kehamilan itu sendiri D'Angelo, et al melaporkan bahwa kematian ibu, aborsi, bayi berat lahir rendah, kelahiran prematur dan kematian bayi yang tinggi dikaitkan dengan kehamilan yang tidak diinginkan.11 Laukaran.VH dan Berg.BJV menyatakan bahwa terdapat hubungan antara perilaku maternal dengan outcome kehamilan dan komplikasi persalinan. Pengaruh secara psikologis terhadap perilaku dari kehamilan yang tidak diinginkan salah satunya adalah masalah kunjungan pemeriksaan kehamilan.12 Perawatan kehamilan yang dilakukan secara rutin bermanfaat untuk mendeteksi dan menangani secara dini beberapa masalah/ penyakit yang dapat mempengaruhi kehamilan, pertumbuhan janin dan bahkan dapat menimbulkan komplikasi kehamilan dan persalinan yang kelak dapat mengancam kehidupan ibu dan bayi serta mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan bayi yang dilahirkan. Pada penelitian D’angelo juga menunjukkan bahwa wanita dengan kehamilan yang tidak diinginkan memiliki peluang 2,1 kali untuk tidak memeriksakan kehamilannya.11 Penelitian lain yang dilakukan oleh Singh. et al di India juga menunjukkan bahwa kurangnya pemanfaatan perawatan kehamilan oleh wanita yang mengalami kehamilan tidak diinginkan dengan Odds Ratio (OR) 2,32.8 Hasil penelitian Dye, et al menyatakan bahwa ibu yang mengalami kehamilan tidak diinginkan berpeluang 2,12 kali untuk tidak memberikan ASI secara eksklusif kepada bayinya3. Sedangkan penelitian yang dilakukan pada 5 negara Demographic Health Suervey (DHS)) analisis oleh Marston dan Cleland menemukan adanya risiko tinggi imunisasi tidak lengkap pada satu tahun pertama pada kelahiran yang tidak diinginkan di Kenya OR=1,6 95%CI: 1,122,28) dan Peru (OR=1,24 95%CI 1,09-1,41).13 Penelitian Kosh et.al juga menunjukkan hasil yang sama, anak yang lahir dari kehamilan yang tidak diinginkan berisiko 1,39 kali untuk tidak mendapatkan imunisasi secara lengkap.14 Ajzen dan Fishbein dalam Notoatmodjo menyatakan bahwa keinginan seseorang untuk berperilaku merupakan determinan utama dari perilaku individu tersebut. Bagi ibu yang tidak menginginkan kehamilannya akan merasa tidak siap hamil sehingga cenderung untuk tidak mengurus kehamilannya dengan baik, yang dapat berisiko pada kesehatan bayinya dan perawatan bayinya setelah melahirkan.15 Pemerintah Indonesia memberi perhatian terhadap status kesehatan ibu dan anak, sehingga informasi tentang bagaimana keinginan untuk hamil pada ibu bermanfaat untuk berbagai tujuan, seperti memperkirakan jumlah kehamilan tidak diinginkan dan selanjutnya untuk memperkirakan dampak status kehamilan terhadap perilaku ibu selama kehamilan, kelahiran, kesehatan dan perkembangan anak yang lahir dari kehamilan yang tidak diinginkan.16,12 Selama ini sudah banyak penelitian dan analisis tentang kehamilan yang tidak diinginkan, seperti analisis determinan kehamilan yang tidak diinginkan5,17 pengaruh KTD terhadap berat badan bayi lahir rendah dan analisis lainnya terkait KTD.18 Penelitian ini menitik beratkan pada analisis dampak kehamilan tidak diinginkan terhadap perilaku ibu selama hamil dan sesudah melahirkan dari data SDKI 2012. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kehamilan yang tidak diinginkan terhadap perilaku ibu baik perilaku selama hamil dan perawatan terhadap anak, serta pengaruh pada stratifikasi status ekonomi METODE Data yang digunakan pada penelitian adalah analisis data sekunder dari SDKI 2012, yang merupakan kerjama antara Badan Pusat Statistis (BPS), Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dan Kementerian Kesehatan (Depkes). Penelitian ini menggunakan data dari SDKI 2012 yang mempunyai desain penelitian potong lintang. Populasi adalah semua wanita berusia 15-49 tahun di seluruh provinsi di Indonesia. Sampel penelitian ini adalah semua wanita berusia 1549 tahun yang pernah hamil dan melahirkan 121 Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan ....................………… (Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulistiyowati) anak terakhir saat survei dilakukan sejak Januari 2012. Kriteria inklusi pada sampel ini adalah lahir tunggal, masih hidup dan wanita yang melahirkan sejak bulan Januari 2007 sampai dengan survei dilakukan. Sedangkan kriteria eksklusi adalah ibu yang mempunyai anak berusia < 12 bulan, ibu dan anak yang datanya tidak lengkap. Jumlah sampel sesuai syarat inklusi yang dianalisis sebanyak 11.742 orang dari 16.320 responden yang memiliki anak terakhir. Variabel terikat adalah variabel perawatan kehamilan, perawatan persalinan, pemberian ASI eksklusif dan pemberian imunisasi dasar. Ada tiga variabel terikat yaitu: Perawatan Kehamilan, adalah pemeriksaan kehamilan yang dilakukan oleh ibu dengan kriteria ANC K4 yaitu pemeriksaan kehamilan oleh tenaga kesehatan minimal 4x kunjungan selama kehamilan dengan ketentuan minimal 1 kali trimester 1, minimal 1 pada trimester 2, dan minimal 2 kali pada trimester 3 (1,1,2); Pemberian ASI Eksklusif, adalah pemberian air susu ibu pada bayi tanpa cairan atau makanan lain pada tiga hari pertama setelah melahirkan; Pemberian Imunisasi Dasar, adalah suatu usaha memberikan kekebalan pada bayi dengan memasukkan vaksin ke dalam tubuh yaitu, 1x vaksin Bacillus Calmette Guerin (BCG), 4x vaksin Hepatitis B, 3x vaksin Dipteri Pertusis dan Tetanus (DPT), 4x vaksin polio, dan 1x vaksin campak sesuai dengan jadwal pemberian untuk mencegah penyakit tertentu. Variabel bebas adalah kehamilan tidak diinginkan yaitu, kejadian kehamilan yang sebenarnya tidak diharapkan pada waktu itu karena menginginkan kehamilan kemudian atau sama sekali tidak ingin hamil. Variabel kovariat mencakup variabel karakteristik ibu meliputi umur, tingkat pendidikan, status pekerjaan, status perkawinan, paritas, status ekonomi, dan tempat tinggal. Umur Ibu, adalah umur responden berdasarkan ulang tahun terakhir saat survei. Tingkat Pendidikan, adalah tingkat pendidikan formal terakhir yang telah dicapai responden. Status Pekerjaan adalah kegiatan sehari-hari responden yang 122 menghasilkan sesuatu dalam 12 bulan terakhir selain mengurus rumah tangga. Status Perkawinan, adalah ikatan yang diakui oleh negara dan agama di antara dua orang yang berbeda jenis kelamin. Paritas adalah jumlah anak yang pernah dilahirkan. Status ekonomi adalah variabel proxy tingkat status ekonomi rumah tangga yang diperoleh dari komposit aset yang dimiliki rumah tangga. Tempat tinggal, adalah penggolongan dalam sistem perstatistikan nasional bahwa setiap desa digolongkan sebagai daerah perkotaan atau perdesaan. Kriteria penggolongan ini didasarkan dari 3 variabel yaitu kepadatan penduduk, persentase rumah tangga tani dan jumlah fasilitas perkotaan yang tersedia.19. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat dengan regresi logistik untuk melihat pengaruh dan analisis multivariabel dengan uji regresi logistik ganda untuk melihat pengaruh dan adanya stratifikasi status ekonomi. HASIL Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia adalah survei berkala yang dilaksanakan secara kolaborasi antara Badan Pusat Statistik, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Kementerian Kesehatan. SDKI telah dilaksanakan sebanyak 7 kali. Survei pertama adalah Survei Prevalensi Kontrasepsi Indonesia yang dilakukan pada tahun 1987, kedua sampai kelima adalah SDKI 1991, SDKI1994, SDKI 1997, SDKI 2002-2003, SDKI 2007 dan terakhir SDKI 2012. Cakupan SDKI 2012 kali ini agak berbeda dengan SDKI 2007, yaitu mencakup semua wanita usia subur (WUS) umur 15-49 tahun, pria kawin umur 15-54 tahun, dan remaja pria belum kawin umur 1524 tahun. SDKI merupakan bagian dari program Demographic and Health Surveys (DHS) yang tersebar di seluruh dunia, yang dirancang untuk mengumpulkan data fertilitas, keluarga berencana, serta kesehatan ibu dan anak. Data SDKI 2012 terdiri dari data rumah tangga dan data individu. Dalam analisis ini data yang digunakan adalah file individu. Pada tahapan persiapan analisis data diperoleh hasil penapisan data yang digunakan untuk analisis yaitu 11.742 kasus ( record). Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan ..................................... (Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulistiyawati) Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian kecil dari ibu yang tidak melakukan perawatan kehamilan sesuai kriteria (24,3%), sedangkan sebagian besar dari ibu tidak memberikan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif (62,1%) dan sebagian besar tidak memberikan imunisasi dasar lengkap (65%) (lihat Tabel 1). Status kehamilan berdasarkan kategori kehamilan diinginkan dan kehamilan tidak diinginkan, menunjukkan bahwa sebagian kecil ibu mengalami kehamilan tidak diinginkan (15,4%) (lihat Tabel 1). Tingkat pendidikan ibu lebih banyak yang tidak tamat SMP (56%). Begitu juga dengan status pekerjaan ibu sebagian besar adalah bekerja (55,5%). Sebagian besar ibu berstatus kawin (96,9%). Status ekonomi ibu sebarannya hampir merata pada setiap status dan lebih dari sebagian ibu tinggal di daerah perkotaan (51,4%) (lihat Tabel 1) Tabel 1. Distribusi frekuensi ibu menurut variabel terikat, variabel bebas dan kovariat di Indonesia Tahun 2012 Variabel dan kategorinya Perawatan kehamilan Sesuai kriteria ANC K4 Tidak sesuai kriteria ANC K4 Pemberian ASI eksklusif Ya Tidak Pemberian imunisasi dasar Lengkap Tidak lengkap Status kehamilan Kehamilan diinginkan (intended pregnancy) Kehamilan tidak diinginkan (unintended) * - Mistime (ingin hamil nanti/tidak tepat waktu) - Unwanted (tidak ingin sama sekali Tingkat Pendidikan ≥ SMP < SMP Tidak sekolah Status pekerjaan Tidak bekerja Bekerja Status perkawinan Kawin Tidak kawin Status ekonomi Terkaya (Kuintil 5 ) Menengah atas (Kuintil 4) Menengah (Kuintil 3) Menengah bawah (Kuintil 2) Termiskin (Kuintil 1) Tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Jumlah sampel (weighted) Proporsi (%) 95% CI (%) 75,7 24,3 74,5-76,9 23,1-25,5 37,9 62,1 36,4-39,4 60,6-63,6 35,0 65,0 33,4-36,6 63,4-66,6 84,6 83,5-85,7 7,3 8,1 6,49-8,08 7,22-8,88 42,6 56,0 1,4 40,6-44,5 54,1-57,9 1,1-1,7 44,5 55,5 42,9-46,1 53,9-57,1 96,9 3,1 96,5-97,3 2,7-3,5 20,7 21.1 20,1 19,0 19,1 19,1-22,3 19,7-22,4 18,9-21,4 17,9-20,2 17,8-20,4 51,4 48,6 11.742 50,0-52-8 47,2-49,9 ‘* dalam analisis digabung sebagai kehamilan tidak diinginkan Untuk variabel umur dan paritas dengan skala statistik sebagaimana pada Tabel 3. Umur ibu ratio maka sebaran data diperoleh hasil rata-rata adalah 30 tahun dengan standar 123 Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan ....................………… (Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulistiyowati) deviasi 6,2. Umur termuda 15 tahun dan umur tertua 49 tahun serta mediannya adalah 30 tahun. Pada variabel paritas didapatkan ratarata jumlah kelahiran ibu adalah 2 kelahiran dengan standar deviasi 1,3. Jumlah paritas paling sedikit 1 kelahiran dan yang paling banyak 13 kelahiran (lihat Tabel 2). Tabel 2. Distribusi data berdasarkan umur ibu (dalam tahun) dan paritas (jumlah kelahiran) di Indonesia, Tahun 2012 Variabel Mean SD Median Umur ibu 30,3 6,2 30 15 49 Paritas 2,1 1,3 2 1 13 Analisis bivariat bertujuan untuk melihat pengaruh kehamilan tidak diinginkan terhadap Minimal-Maximal perilaku ibu selama kehamilan dan setelah kehamilan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Pengaruh status kehamilan tidak diinginkan terhadap perilaku ibu selama kehamilan dan setelah kelahiran di Indonesia, Tahun 2012 Perawatan kehamilan sebelum dan sesudah (1) Tidak melakukan perawatan kehamilan sesuai kriteria Tidak memberikan ASI eksklusif Crude Association OR 95% CI (2) (3) 2,02 1,7-2,4 Adjusted Association* OR 95% CI (4) (5) 1,79 1,5-2,1 0,89 0,8-1,1 1,0 0,8-1,2 Tidak memberikan imunisasi dasar lengkap 1,23 1,0-1,5 1,03 0,9-1,2 Keterangan *Adjusted : umur, tingkat pendidikan, status pekerjaan, status pernikahan, paritas, status ekonomi, dan tempat tinggal. Tabel 3 di atas adalah hasil analisis bivariat untuk melihat pengaruh kehamilan tidak diinginkan terhadap perilaku ibu. Kolom 4 (OR) dan 5 (95% CI) merupakan hasil bivariat dari variabel kovariat (umur, tingkat pendidikan, status perkawinan, paritas, status ekonomi dan tempat tinggal) yang sudah ajusted. Pada kehamilan yang tidak diinginkan cenderung 1,79 kali (1,50 – 2,1 kali) untuk tidak melakukan perawatan kehamilan sesuai kriteria (ANC K4) dibandingkan kehamilan yang diinginkan. Pada variabel terikat ASI eksklusif dan imunisasi dasar lengkap tidak terdapat perbedaan yang berarti . Hasil analisis menunjukkan bahwa ibu yang mengalami kehamilan tidak diinginkan mempunyai peluang untuk tidak melakukan perawatan kehamilan sesuai kriteria 1,79 dibandingkan ibu yang kehamilannya diinginkan. Sedangkan ibu yang mengalami 124 kehamilan tidak diinginkan mempunyai peluang yang sama dengan kehamilan diinginkan untuk tidak memberikan ASI eksklusif. Begitu juga dengan ibu yang tidak memberikan imunisasi dasar lengkap mempunyai peluang yang sama antara kehamilan tidak diinginkan dengan kehamilan yang diinginkan. Bila dilihat dari nilai OR1 berarti tidak ada perbedaan, maka analisis ini dapat dianggap secara statistik tidak ada hubungan antara kehamilan tidak diinginkan terhadap pemberian ASI eksklusif dan pemberian imunisasi dasar lengkap. Analisis Stratifikasi Multipel Regresil Logistik Terdapat perbedaan proporsi perilaku ibu yang tidak melakukan perawatan kehamilan sesuai kriteria pada kehamilan tidak diinginkan dengan status ekonomi terbawah (46,9%) dan proporsi perilaku ibu yang tidak melakukan Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan ..................................... (Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulistiyawati) perawatan kehamilan sesuai kriteria pada kehamilan tidak diinginkan dengan status ekonomi teratas (18,9%), artinya ibu yang mengalami kehamilan tidak diinginkan dengan status ekonomi terbawah efeknya lebih besar untuk tidak melakukan perawatan kehamilan sesuai kriteria dibandingkan ibu yang mengalami kehamilan tidak diinginkan dengan status ekonomi teratas (lihat Gambar 2 dan Tabel 4). Terdapat perbedaan proporsi perilaku ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif pada kehamilan tidak diinginkan dengan status ekonomi terbawah (52,7%) dan proporsi perilaku ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif pada kehamilan tidak diinginkan dengan status ekonomi terkaya (65,0%), artinya ibu yang mengalami kehamilan tidak diinginkan dengan ekonomi teratas efeknya lebih besar untuk tidak memberikan ASI eksklusif dibandingkan ibu yang mengalami kehamilan tidak diinginkan dengan status ekonomi termiskin (lihat gambar 2 dan Tabel 4 pada lampiran). terdapat beberapa variabel yang secara literatur berhubungan dengan status kehamilan tidak diinginkan terhadap perilaku ibu selama kehamilan dan setelah kelahiran seperti variabel ketersediaan informasi/pelayanan dan akses informasi/pelayanan tidak dapat diikutsertakan. Selain itu untuk variabel pemberian ASI eksklusif tidak ditanyakan secara pasti berapa lama ibu memberikan ASI secara eksklusif, sehingga peneliti hanya menggabungkan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan definisi pemberian ASI eksklusif tanpa melihat lama waktu pemberian. PEMBAHASAN Peneliti juga tidak dapat mengontrol kualitas data sekunder hasil survei yang diperoleh dari hasil wawancara dengan responden wanita usia 15-49 tahun yang pernah hamil dan melahirkan anak terakhir. Pada SDKI 2012, bisa saja terjadi recall bias (bias mengingat) yaitu bias yang disebabkan karena kesalahan subjek dalam mengingat atau mengulang kejadian yang berhubungan dengan variabel penelitian. Pada penelitian ini dapat terjadi pada saat menanyakan jumlah total kunjungan pemeriksaan kehamilan yang telah dilakukan ibu pada saat hamil. Selain itu, recall bias juga dapat terjadi pada saat menanyakan tentang pemberian ASI eksklusif, dimana pertanyaan yang ditanyakan berkaitan dengan pemberian minum selain ASI dalam 3 hari pertama saat melahirkan sebelum air susu ibu keluar. Hal yang sama juga dapat terjadi pada variabel pemberian imunisasi dasar untuk kasus yang tidak dapat menunjukkan catatan, dimana bayi yang tidak mempunyai catatan imunisasi, peneliti tidak mengetahui secara pasti apakah bayi tersebut benar-benar diberikan imunisasi secara lengkap atau tidak berdasarkan jawaban ibu. Keterbatasan Penelitian Gambaran Status Kehamilan Di dalam penelitian ini, terdapat beberapa keterbatasan yaitu keterbatasan dari sisi variabel dan keterbatasan dari sisi kontrol kualitas yang dihadapi peneliti. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder SDKI tahun 2012, sehingga variabel yang digunakan dalam penelitian ini terbatas pada variabel yang ada dalam SDKI. Variabel yang didapat disesuaikan dengan data yang ada karena tidak semua data yang tersedia sesuai dengan keinginan peneliti, sehingga Dalam penelitian ini, kehamilan dibagi menjadi 2 (tiga) yaitu kehamilan diinginkan dan kehamilan tidak diinginkan. Pada kehamilan yang tidak diinginkan terdapat dua kondisi yaitu kehamilan tidak tepat waktu (belum menginginkan saat itu) dan tidak menginginkan sama sekali. Hasil penelitian ini menemukan proporsi ibu yang mengalami kehamilan tidak diinginkan (KTD) ada sebanyak 15,4 persen. Perilaku ibu hamil sangat berperan dalam perilaku perawatan Ada perbedaan proporsi perilaku ibu yang tidak memberikan imunisasi dasar lengkap pada kehamilan tidak diinginkan dengan status ekonomi terbawah (78,7%) dan proporsi perilaku ibu yang tidak memberikan imunisasi dasar lengkap pada kehamilan tidak diinginkan dengan status ekonomi terkaya (kuintil 5) (60,5%), artinya ibu yang mengalami kehamilan tidak diinginkan dengan status ekonomi termiskin (kuintil 1) efeknya lebih besar untuk tidak memberikan imunisasi dasar lengkap dibandingkan ibu yang mengalami kehamilan tidak diinginkan dengan status ekonomi teratas (lihat Gambar 4 125 Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan ....................………… (Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulistiyowati) kehamilan dan perawatan bayinya. Masalah psikososial dapat berdampak pada perkembangan janin, kesehatan ibu dan perawatan bayi hingga balita. Pada penelitian Berliana dengan data SDKI 2007 menemukan proporsi KTD yang tidak begitu jauh berbeda dengan hasil penelitian ini, mencatat proporsi kehamilan tidak diinginkan sebanyak 19 persen.20 Sedangkan menurut Nucahyani dengan data Riskesdas 2010 didapatkan proporsi ibu yang mengalami kehamilan tidak diinginkan (unwanted) ada sebanyak 8,5 persen.18 Hasil ini terlihat berbeda karena dalam penelitian ini untuk kategori kehamilan tidak tepat waktu (mistimed) dan kehamilan tidak diinginkan (unwanted) digabung menjadi satu kategori. Penggabungan kedua kategori ini dimaksudkan untuk memperoleh ukuran sampel yang cukup untuk kategori kehamilan tidak diinginkan mengingat jumlah variabel yang digunakan cukup banyak. Salah satu penyebab kehamilan tidak diinginkan menurut Perkumpulan Keluarga Berncana Indonesia (PKBI) adalah kegagalan kontrasepsi, hasil penelitian menemukan bahwa sedikitnya 8 juta kasus pertahunnya terjadi akibat kegagalan metode kontrasepsi yang digunakan.21 Sedangkan menurut WHO alasan untuk tidak menginginkan kehamilan adalah perkosaan, kurang pengetahuan yang memadai tentang kontrasepsi, terlalu banyak anak, alasan kesehatan, janin cacat, usia muda atau belum siap menikah, pasangan tidak bertanggung jawab atau hubungan dengan pasangan belum mantap, terikat kontrak kerja, suami tidak mau menggunakan kondom, usia sudah tua dan jumlah anak sudah cukup, tidak boleh hamil karena sudah tiga kali operasi caesar, suami tidak menerima kehamilan, gaji kecil, dan tidak sanggup menanggung anak tambahan. Kehamilan tidak diinginkan saat ini, menimbulkan isu kesehatan masyarakat yang krusial dalam pembangunan kesehatan karena mempunyai kerugian dalam efek kesehatan, sosial dan ekonomi secara luas, tidak hanya kesehatan ibu dan anak saja. Ibu yang mengalami KTD kemungkinan kurang untuk mencari dan memanfaatkan pelayanan prenatal dan antenatal dibandingkan ibu yang menginginkan kehamilannya. Dan kehamilan yang tidak direncanakan juga kemungkinan lebih tinggi melahirkan bayi dengan berat lahir 126 rendah dan mendorong melakukan aborsi yang tidak aman.22 Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan Terhadap Perilaku Perawatan Maternal Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang mengalami kehamilan tidak diinginkan mempunyai peluang untuk tidak melakukan perawatan kehamilan sesuai kriteria 1,79 dibandingkan ibu yang kehamilannya diinginkan. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Anggraini menggunakan data SDKI 2012, ibu yang mengalami kehamilan tidak diinginkan memiliki odds untuk tidak memeriksakan kehamilan secara lengkap 1,4 dibandingkan kehamilan yang diinginkan. 23 Hasil penelitian ini juga serupa dengan hasil penelitian Hambert menunjukkan bahwa wanita yang mengalami kehamilan tidak diinginkan 2,1 kali lebih besar untuk tidak memanfaatkan pelayanan antenatal secara maksimal.24 Namun berbeda dengan hasil penelitian Tosson pada wanita Saudi Arabia, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan jumlah kunjungan pemeriksaan kehamilan pada wanita yang kehamilannya direncanakan dengan wanita yang kehamilannya tidak direncanakan, sehingga dapat disimpulkan tidak ada terdapat hubungan antara status kehamilan dengan pemeriksaan kehamilan. 16 Menurut Kost, wanita dengan kehamilan tidak diinginkan memiliki kecenderungan untuk tidak mengenali tanda-tanda awal kehamilan dibandingkan wanita dengan kehamilan yang diinginkan, yang menyebabkan mereka tidak melakukan pemeriksaan sejak awal kehamilan.14 Wanita dengan kehamilan tidak diinginkan lebih sedikit untuk termotivasi dalam mencari informasi mengenai kesehatan kehamilan, oleh karena itu dapat mendorong perilaku yang tidak sehat karena mereka tidak peduli pada risiko yang akan terjadi. Penelitian sebelumnya diketahui ibu dengan kehamilan tidak diinginkan lebih sedikit dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan, tidak cukup nutrisi, serta stres dan depresi. 8,25 Hasil analisis stratifikasi menunjukkan ada beda efek kehamilan tidak diinginkan terhadap perilaku perawatan kehamilan pada berbagai Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan ..................................... (Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulistiyawati) status ekonomi setelah dikontrol oleh variabel umur, tingkat pendidikan, status pekerjaan, status perkawinan, paritas, dan tempat tinggal. Ibu yang mengalami kehamilan tidak diinginkan dengan status ekonomi termiskin efeknya lebih besar untuk tidak melakukan perawatan kehamilan sesuai kriteria dibandingkan ibu yang mengalami kehamilan tidak diinginkan dengan status ekonomi terkaya. Perawatan kehamilan merupakan awal dari continuum of care atau perawatan keberlanjutan dari sejak ibu hamil sampai masa nifas dan dilanjutkan dengan bayi baru lahir sampai usia balita.26 Saat seorang ibu hamil kontak dengan tenaga kesehatan merupakan peluang bagi tenaga kesehatan memberikan edukasi agar ibu hamil mempunyai pengetahuan yang baik akan pentingnya perawatan kesehatan sejak masa hamil sampai masa nifas serta memberikan pemahaman tentang pentingnya rangkaian perawatan dan akses bayinya sampai balita terhadap pelayanan kesehatan. Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan Terhadap Perilaku Pemberian ASI Eksklusif Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang mengalami kehamilan tidak diinginkan mempunyai peluang yang sama dengan kehamilan diinginkan untuk tidak memberikan ASI eksklusif. Bila dilihat dari nilai rasio odds 1 berarti tidak ada perbedaan, maka analisis ini dapat dianggap secara statistik tidak ada pengaruh antara kehamilan tidak diinginkan dengan pemberian ASI eksklusif.Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Aprianda menggunakan data Riskesda 2010, menunjukkan bahwa ada hubungan antara kehamilan tidak diinginkan terhadap pemberian ASI eksklusif.27 Begitu juga dengan hasil penelitian Dye, menunjukkan bahwa wanita dengan kehamilan tidak diinginkan berpeluang 1,41 untuk tidak memberikan ASI eksklusif dibandingkan kehamilan diinginkan.25 Hasil penelitian Pulley juga menunjukkan bahwa proporsi wanita yang menyusui lebih besar pada kehamilan diinginkan (61%) dibandingkan kehamilan yang tidak diinginkan (39,1%).28 Hal ini kemungkinan dikarenakan adanya rasa dicintai dan dukungan dari keluarga sehingga ibu yang mengalami kehamilan tidak diinginkan mengalami perubahan perilaku setelah kelahiran bayinya, meskipun awalnya terdapat perasaan menolak, merasa takut dan cemas atau ketakutan terhadap kehamilan dan persalinan. Menurut Rubin di dalam Nengah, menyatakan jika ibu dari wanita yang mengalami kehamilan tidak diinginkan terlihat tidak senang terhadap kehamilan tersebut, wanita itu akan merasa sangsi terhadap dirinya dan tidak akan peduli dengan bayinya, bahkan dapat memberikannya kepada orang lain. Sebaliknya, jika ibu menghargai dan memberikan dukungan, wanita tersebut akan lebih percaya diri dan lebih merawat bayi yang akan dilahirkannya.1 Hal ini juga sesuai dengan penelitian Ida, menunjukkan bahwa dukungan keluarga terutama dari ibu dan ibu mertua merupakan orang yang berperan penting dalam pengasuhan anak dari mulai lahir hingga bahkan sampai dewasa. Ibu dan ibu mertua yang sudah dianggap berpengalaman dalam pengasuhan anak termasuk dalam hal menyusui akan menjadi acuan dalam pemberian ASI ke bayi. Adanya dukungan dari keluarga membuat ibu lebih termotivasi untuk memberikan ASI eksklusif.13 Hasil analisis stratifikasi menunjukkanada beda efek kehamilantidak diinginkan terhadap perilaku pemberian ASI eksklusif pada berbagai status ekonomi setelah dikontrol oleh variabel umur, tingkat pendidikan, status pekerjaan, status perkawinan, paritas, dan tempat tinggal. Ibu yang mengalami kehamilan tidak diinginkan dengan status ekonomi tinggi efeknya lebih besar untuk tidak memberikan ASI eksklusif dibandingkan ibu yang mengalami kehamilan tidak diinginkan dengan status ekonomi rendah. Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan Terhadap Perilaku Pemberian Imunisasi Dasar Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang mengalami kehamilan tidak diinginkan mempunyai peluang yang sama dengan kehamilan diinginkan untuk tidak memberikan imunisasi dasar lengkap kepada bayinya. Bila dilihat dari nilai rasio odds 1 berarti tidak ada perbedaan, maka analisis ini dapat dianggap secara statistik tidak ada pengaruh kehamilan tidak diinginkan atau sedikit sekali 127 Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan ....................………… (Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulistiyowati) pengaruhnya terhadap pemberian imunisasi dasar lengkap. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian di Bolivia dan Egypt menunjukkan OR kehamilan tidak diinginkan terhadap kelengkapan imunisasi sebesar 1,01 di Bolivia dan 1,1 di Egypt.29 Namun berbeda dengan penelitian lainnya, penelitian yang dilakukan oleh Singh, menunjukkan bahwa status kehamilan mempengaruhi status kelengkapan imunisasi anak. Wanita yang mengalami kehamilan tidak diinginkan mempunyai peluang 1,4 untuk tidak memberikan imunisasi lengkap kepada anaknya dibandingkan kehamilan diinginkan.8 Hal ini kemungkinan dikarenakan adanya dukungan keluarga dan dukungan sosial dari lingkungan sekitar. Ibu yang mengalami kehamilan tidak diinginkan kemungkinan mereka masih belum siap untuk menghadapi perubahan yang ada seperti mengasuh dan memperhatikan kesehatan anaknya. Ketidaksiapan mereka dalam menghadapi perubahan ini dapat membuat mereka menjadi frustasi dalam menghadapinya, rasa lelah dan bosan mungkin saja terjadi. Pada saat inilah dibutuhkan adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak seperti pasangan dan keluarga untuk membantu proses pengasuhan. Datangnya bantuan akan membuat ibu menjadi lebih mudah dalam memperhatikan kesehatan anaknya. 15 Selain itu pemberian informasi mengenai imunisasi dasar yang dapat berpengaruh positif terhadap sikap dan perilaku ibu dalam memberikan imunisasi dasar lengkap kepada anaknya. Keberadaan media informasi berhubungan erat dengan peningkatan pengetahuan dan pemahaman seseorang tentang kesehatan.23 Menurut Lubis dalam Tawi, dari suatu penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa motivasi dan informasi mengenai imunisasi berperan dalam kelengkapan imunisasi anak.30 Hasil analisis stratifikasi menunjukkan ada beda efek kehamilan tidak diinginkan terhadap perilaku pemberian imunisasi dasar lengkap pada berbagai status ekonomi setelah dikontrol oleh variabel umur, tingkat pendidikan, status pekerjaan, status perkawinan, paritas, dan tempat tinggal. Ibu yang mengalami kehamilan tidak diinginkan dengan status ekonomi rendah efeknya lebih besar untuk 128 tidak memberikan imunisasi dasar lengkap dibandingkan ibu yang mengalami kehamilan tidak diinginkan dengan status ekonomi tinggi. Implikasi kebijakan Hasil analisis ini diharapkan dapat berkontribusi terhadap program kesehatan ibu anak dan gizi di Indonesia. Kementerian Kesehatan dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan telah menetapkan kesehatan ibu, anak dan gizi sebagai salah satu prioritas program Kementerian Kesehatan.31 Terdapat berbagai program unggulan terkait dengan program peningkatan kesehatan ibu, anak dan gizi. Program yang terkait dengan perilaku ibu hamil akibat status kehamilan yang tidak diinginkan adalah program 1000 hari kehidupan dan program continuum of care maternal dan anak. Continuum of care maternal dan anak merupakan upaya pelayanan kesehatan yang harus diperoleh setiap ibu hamil sampai masa nifas dan sejak neonatus sampai usia balita. Hasil analisis menunjukkan adanya pengaruh status kehamilan yang tidak diinginkan terhadap akses kesehatan selama masa kehamilan (ANC). Pemilihan variabel pemeriksaan kehamilan sesuai kriteria K4 merupakan variabel yang menggambarkan adanya kelangsungan dalam perawatan kehamilan oleh tenaga kesehatan. Hasil analisis yang menunjukkan bahwa kehamilan tidak diinginkan cenderung hampir dua kali membuat ibu tidak mau memeriksakan kehamilannya dibandingkan kehamilan yang memang diinginkan dan direncanakan. Masalah perawatan kehamilan merupakan kunci penting dalam penerapan program kesehatan ibu dan lainnya. Petugas kesehatan yang memahami status kehamilan yang tidak diinginkan perlu memberikan edukasi agar semua ibu hamil mau melakukan pemeriksaan kehamilan dan tetap memperhatikan kebutuhan asupan gizi dan perawatan kesehatan anaknya sejak janin dalam kandungan. Dua variabel lainnya meskipun menurut hasil analisis tidak sebesar pengaruh variabel perawatan kehamilan namun berperan penting dalam gambaran program secara continuum of care dan 1000 hari pertama kehidupan. Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan ..................................... (Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulistiyawati) Pemberian imunisasi dasar lengkap juga menjadi gambaran continuum of care kesehatan kepada bayi hingga usia baduta. Variabel imunisasi dasar memberi gambaran berbagai jenis imunisasi dasar yang seharusnya diterima oleh seorang bayi baru lahir hingga usia dua tahun. Imunisasi merupakan upaya pelayanan kesehatan untuk mencegah penyakit yang banyak menyerang bayi dan anak dan merupakan penyakit penyebab kematian bayi dan balita seperti tuberkulosis, maupun kecacatan seperti polio. Program 1000 hari pertama kehidupan (HPK) adalah upaya untuk memastikan bahwa janin sejak dari paska konsepsi sampai usia dua tahun mendapatkan asupan yang baik dengan gizi yang adequate agar mencetak sumber daya berdaya saing tinggi. Sejak masa kehamilan janin harus mendapat asupan yang baik karena pada periode trimester pertama merupakan periode proses pembentukan otak sehingga kebutuhan nutrisi yang terpenuhi dengan baik akan mendukung perkembangan otak janin yang baik. Demikian pula pada saat janin telah lahir memerlukan ASI eksklusif sebagai nutrisi terbaik untuk bayi selama 6 bulan dan menjadi nutrisi yang tetap baik sampai usia dua tahun. Pada kondisi ibu dengan status kehamilan yang tidak diinginkan berdasarkan uraian berbagai hasil penelitian di atas secara psikologi ibu cenderung kurang memperhatikan kehamilannya. Hal ini juga terlihat dari aspek pemberian ASI Eksklusif menunjukkan ada pengaruh status kehamilan tidak diinginkan dengan pemberian ASI Eksklusif. Hal yang juga tidak kalah penting adalah mencegah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan melalui program Keluarga Berencana (KB) agar setiap kehamilan sudah direncanakan dengan baik dan bila terjadi suatu kehamilan yang tidak diinginkan dapat diberikan edukasi agar perilaku yang tidak mendukung peningkatan kesehatan ibu dan anak dapat diminimalisir. Untuk itu hasil penelitian ini penting bagi pelaksana pemberi layanan kesehatan ibu hamil bahwa identifikasi status kehamilan apakah diinginkan atau tidak dapat menjadi bahan untuk memberikan edukasi lebih kepada ibu hamil tentang pentingnya pemeriksaan kesehatan dan memperhatikan faktor gizi ibu dan janin /bayi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan untuk peningkatan program 1000 HPK dan keberlangsungan pelayanan kesehatan ibu anak. Hasil analisis ini menimbulkan pemikiran akan pentingnya penjaringan ibu hamil dan identifikasi status kehamilan tidak diinginkan sebagai dasar memberikan pemahaman dan kesadaran untuk berperilaku positif melakukan perawatan dan pemeriksaan sejak masa kehamilan sampai masa nifas dan perawatan bayi baru lahir sampai balita. KESIMPULAN Status kehamilan yang tidak diinginkan masih cukup tinggi. Kehamilan yang tidak diinginkan ini dapat mempengaruhi perilaku ibu untuk tidak melakukan ataupun kalau melakukan tidak maksimal, kunjungan perawatan antenatal, persalinan, nifas, dan bayi, karena ibu yang KTD pada umumnya berharap kehamilannya tidak akan berlanjut. Karakteristik ibu KTD pada umumnya dalam tataran variable penghambat seperti pendidikan rendah, tidak bekerja, dan tinggal di perdesaan. Hanya dari sisi status ekonomi (kuintail) tidak ada perbedaan proporsi yang berarti antar kuintailnya. Status kehamilan tidak diinginkan mempunyai pengaruh terhadap perilaku perawatan kehamilan yang tidak sesuai dengan kriteria (OR=1,79). Status kehamilan tidak diinginkan mempunyai peluang yang sama dengan kehamilan diinginkan untuk tidak memberikan ASI eksklusif dan imunisasi dasar lengkap. Pengaruh status kehamilan tdak diinginkan terhadap perilaku ibu selama kehamilan dan setelah kelahiran juga dipengaruhi oleh status ekonomi. Makin miskin cenderung makin tidak melakukan ANC dan imunisasi dasar lengkap. makin kaya cenderung tidak memberikan ASI Eksklusif. SARAN 1. Pentingnya mencegah kehamilan tidak diinginkan terutama pada masyarakat status ekonomi rendah untuk meningkatkan kesehatan ibu dan bayi melalui promosi kesehatan. 129 Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan ...................................... (Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulistiyawati) 2. Penjaringan kasus ibu hamil dengan status kehamilan yang tidak diinginkan perlu dilakukan dengan bantuan kader agar mau ibu melakukan pemeriksaan kehamilan sehingga petugas kesehatan dapat memberikan edukasi untuk mencegah perilaku yang tidak mendukung program kesehatan ibu dan anak. 6. Yuarsi SE. Perempuan yang Terpuruk. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas. Yogyakarta.: Gajah Mada; 2005. 7. World Health Organization. WHO, Global and Regional Estimates of Incidence of Unsaf abortion and associated mortality [Internet]. Vol. 6. Geneva: World Health Organization; 2008. 1-55 p. Available from: http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/4 4529/1/9789241501118_eng.pdf 8. Singh S, Sedgh G, Hussain R. Unintended pregnancy: worldwide levels, trends, and outcomes. Stud Fam Plann. Wiley Online Library; 2010;41(4):241–50. Ucapan terima kasih dapat ditujukan pada semua pihak 9. yang telah membantu bila memang ada dan harus diterangkan sejelas mungkin, termasuk pihak yang berperan sebagai sumber dana pelaksanaan penelitian. Abdallah IM, Fatouh E, Mone A, Abd M, Sabour E. Determinants and Outcomes of Unintended Pregnancy among Women in Helwan District. 2011;7(11). 3. Identifikasi status kehamilan diinginkan atau tidak diinginkan agar menjadi prosedur umum saat pemberi pelayanan kesehatan ibu hamil sehingga pemberian edukasi dapat dilakukan sejak dini sehingga program 1000 pertama kehidupan dapat terlaksana dengan baik oleh setiap ibu hamil. UCAPAN TERIMAKASIH DAFTAR PUSTAKA 1. Susanti NN. Psikologi kehamilan: Kehamilan -- Aspek psikologi. BCG; 2008. 2. Mellyana H. Panduan Menjalani Kehamilan Sehat. Jakarta: Swara Puspa; 2007. 3. Sedgh G, Singh S, Hussain R. Intended and unintended pregnancies worldwide in 2012 and recent trends. Stud Fam Plann [Internet]. Wiley Online Library; 2014;45(3):301–14. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles /PMC4727534/ 4. Badan Pusat Statistik, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), Kementerian Kesehatan, 2012. Survei Demogr dan Kesehat Indones 2012 [Internet]. 2013; Available from: http://dhsprogram.com/publications/publi cation-FR275-DHS-Final-Reports.cfm 5. 130 Saptarini I, Suparmi S. DETERMINAN KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN DI INDONESIA (ANALISIS DATA SEKUNDER RISKESDAS 2013). J Kesehat Reproduksi [Internet]. 2016;7(1 Apr):15–24. Available from: http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index. php/kespro/article/view/5096 10. Gipson JD, Koenig MA, Hindin MJ. The effects of unintended pregnancy on infant, child, and parental health: a review of the literature. Stud Fam Plann [Internet]. Wiley Online Library; 2008;39(1):18–38. Available from: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.111 1/j.1728-4465.2008.00148.x/abstract 11. D’Angelo D V, Gilbert BC, Rochat RW, Santelli JS, Herold JM. Differences between mistimed and unwanted pregnancies among women who have live births. Perspect Sex Reprod Health [Internet]. Wiley Online Library; 2004;36(5):192–7. Available from: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.136 3/3619204/abstract 12. Laukaran VH, van den Berg BJ. The relationship of maternal attitude to pregnancy outcomes and obstetric complications. Am J Obstet Gynecol [Internet]. Elsevier; 1980 Feb 1 [cited 2016 Aug 21];136(3):374–9. Available from: http://www.ajog.org/article/00029378809 08649/fulltext 13. Marston C, Cleland J. Do unintended pregnancies carried to term lead to adverse outcomes for mother and child? An assessment in five developing countries. Popul Stud (NY) [Internet]. Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan ..................................... (Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulistiyawati) Routledge; 2003 Jan 1;57(1):77–93. Available from: http://dx.doi.org/10.1080/0032472032000 061749 14. Kost K, Landry DJ, Darroch JE. The effects of pregnancy planning status on birth outcomes and infant care. Fam Plann Perspect. 1998;30(5):223–30. 15. Notoatmodjo S. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2010. 16. Tosson SA, Badawy AS, Sara A, Hesa A. Reproductive health and neonatal consequences of unintended childbearing among Saudi women. J Nurs Educ Pract [Internet]. 2014;5(1):115–20. Available from: http://www.sciedu.ca/journal/index.php/jn ep/article/view/4700 17. Lestary H. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Kehamilan Tidak Diinginkan pada Wanita Usia 15-49 Tahun di Indonesia (Analisis Data Sekunder SDKI 20022003). 2004. 18. Nurcahyani DA, Trihandini I. Kehamilan yang Tidak Diinginkan dan Berat Badan Lahir Bayi. Kesmas J Kesehat Masy Nas [Internet]. 2013;7(8):354–9. Available from: http://jurnalkesmas.ui.ac.id/kesmasphj/art icle/view/21 19. Pajung Surbakti. Survei Sosial Ekonomi Nasional. Badan Pusat Statistik; 1995. 20. Berliana S. Status Kehamilan dan Pengaruhnya Terhadap Perilaku Perawatn Kehamilan. 2010. 21. PKBI. KTD (Kehamilan yang Tidak Diinginkan) Seri Kesehatan Reproduksi Perempuan. Jakarta; 1998. Universitas Indonesia; 2014. 24. Hambert.L et.all. The Effect of Pregnancy Intention on Important Maternal Behaviors and Satisfaction with Care in a Socially and Economically At-Risk Population. , 15 : Matern Child Heal J. 2011;(15):1055–66. 25. Dye TD, Wojtowycz MA, Aubry RH, Quade J, Kilburn H. Unintended pregnancy and breast-feeding behavior. Am J Public Health [Internet]. American Public Health Association; 1997;87(10):1709–11. Available from: http://ajph.aphapublications.org/doi/abs/1 0.2105/AJPH.87.10.1709 26. Graft-johnson J De, Kerber K, Tinker A, Otchere S, Narayanan I, Shoo R, et al. continuum of care. :23–36. 27. Aprianda R. Hubungan Kehamilan Tidak Diinginkan dengan Pemberian ASI Eksklusif di Wilayah Perkotaan di Indonesia Tahun 2012 (Analisis Data Riskesdas 2010). 2014. 28. Pulley.et.all. The Extent of Pregnancy Mistiming and Its Association With Maternal Characteristics and Behaviors and Pregnancy Outcomes. Perspect Sex Reprod Health. 2002;34(4):206–11. 29. Dewi Y. Penghayatan Peran Ibu pada Perempuan yang Mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan. Universitas Indonesia; 2005. 30. Tawi M (2008). Imunisasi dan Faktor yang Mempengaruhinya. 2010; 31. Kementerian Kesehatan. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019 KepMenKes RI Nomor HK 02 02 MENKES 52 2015. 2015; Available from: www.perpustakaan.depkes.go.id 22. Joyce TJ, Kaestner R, Korenman S. The effect of pregnancy intention on child development. Demography [Internet]. Springer; 2000;37(1):83–94. Available from: http://link.springer.com/article/10.2307/2 648098 23. Anggraini K. NoNiat Kehamilan dan Perilaku Pemeriksaan K1 dan K4 pada Perempuan Usia Reproduksi di Indonesia (Analisis Data SDKI Tahun 2012). Title. 131 Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan ...................................... (Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulistiyawati) Lampiran Tabel 4 Pengaruh status kehamilan tidak diinginkan terhadap perilaku ibu selama kehamilan dan setelah kelahiran dilihat dari status ekonomi di Indoneisa, tahun 2012 Tidak melakukan perawatan kehamilan sesuai kriteria Odd Ratio (OR) Beda proporsi Unintended Intended Kuintil 1 Odd Ratio (OR) Beda proporsi Unintended Intended Kuintil 2 Odd Ratio (OR) Beda proporsi Unintended Intended Odd Ratio (OR) Beda proporsi Unintended Intended Kuintil 4 Odd Ratio (OR) Beda proporsi Unintended Variabel terikat Intended Kuintil 5 Status Ekonomi Kuintil 3 9,3 18,0 8,7 2,2 14,5 30,3 15,8 2,5 19,1 39,1 20,0 2,8 26,7 40,7 14,0 1,9 42,8 56,1 13,3 1,7 Tidak memberikan ASI eksklusif 69,6 65,0 4,9 0,8 63,6 60,5 3,1 0,8 65,2 63,8 1,4 0,9 60,3 55,9 4,4 0,8 53,1 52,7 0,4 1,0 Tidak memberikan imunisasi dasar lengkap 56,1 60,5 4,4 1,2 61,5 70,9 9,4 1,5 61,8 64,2 2,4 1,1 66,0 71,3 5,3 1,3 76,9 78,7 1,8 1,1 132 Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan ..................................... (Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulistiyawati) Gambar 2a. Pengaruh status kehamilan tidak Gambar 2b. Pengaruh status kehamilan tidak Gambar 2c. Pengaruh status kehamilan tidak diinginkan terhadap perilaku perawatan kehamilan berdasarkan status ekonomi diinginkan terhadap perilaku pemberian ASI eksklusif berdasarkan status ekonomi diinginkan terhadap perilaku pemberian imunisasi dasar lengkap berdasarkan status ekonomi 133 Jurnal Kesehatan Reproduksi (ISSN 2087-703X) - Vol 7, No. 2, (2016), pp. 135-144 135-133 Hubungan Kesinambungan Pemanfaatan ................... (Dwi Siska Kumala Putri, Nur Handayani Utama, Olwin Nainggolan) Vol HUBUNGAN KESINAMBUNGAN PEMANFAATAN PELAYANAN KESEHATAN MATERNAL DENGAN PEMBERIAN IMUNISASI LENGKAP DI INDONESIA Association Between The Sustainability Utilization Of Maternal Health Care And Immunization Completeness In Indonesia Dwi Sisca Kumala Putri*, Nur Handayani Utami, Olwin Nainggolan *Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat, Balitbangkes Email: [email protected] Abstract Background: Morbidity and mortality due to infections in infants and children can be reduced by immunization program. Some studies indicate that sustainability utilization of maternal health care will improve maternal health and the quality of child care including immunization. Objective: The aim of the analysis is to determine the relationship between sustainability utilization of maternal health services with complete immunization of children aged 12-23 months in Indonesia. Methods: The samples in this analysis were children aged 12 -23 months from mothers aged 10-54 years taken from Baseline Health Research Data 2013 who has history of immunization recorded on KMS /KIA / infant health records. The main independent variable was the sustainability utilization of maternal health services. The dependent variable is the immunization status. Logistic regression analysis was performed by calculating odds ratios and 95% Confidence Interval. Result: The analysis showed that pregnant women who were not sustainably utilize maternal health services were 1.58 times more likely to not provide complete immunization to their children compare to women who continuously utilized maternal health services adjusted by economic status and number of children in family. Conclusion: The sustainability utilization of maternal health care significantly related with complete immunization of children aged 12 – 23 months in Indonesia. Keywords: complete immunization, sustainability, maternal health care Abstrak Latar Belakang: Upaya untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian karena infeksi pada bayi dan anak dapat dilakukan dengan program imunisasi. Beberapa studi menunjukkan bahwa kesinambungan pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal akan meningkatkan derajat kesehatan ibu serta kualitas perawatan anak termasuk didalamnya imunisasi. Tujuan: Analisis ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kesinambungan pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal dengan pemberian imunisasi lengkap anak umur 12 – 23 bulan di Indonesia. Metodologi: Data yang digunakan di dalam analisis ini ialah data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013. Sampel di dalam analisis ini ialah anak umur 12 – 23 tahun dari ibu umur 10 – 54 tahun yang memiliki riwayat imunisasi yang tercatat pada buku KMS/KIA/catatan kesehatan bayi. Variabel independen utama ialah kesinambungan pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal. Variabel dependen ialah status imunisasi dasar lengkap.Analisis regresi logistik dilakukan dengan perhitungan odds ratio dan 95% Confidence Interval. Hasil: Hasil analisis menunjukkan bahwa ibu hamil yang tidak berkesinambungan memanfaatkan pelayanan kesehatan maternal, memiliki kecenderungan 1,58 kali untuk tidak memberikan imunisasi lengkap kepada anaknya dibandingkan dengan ibu hamil yang berkesinambungan memanfaatkan pelayanan kesehatan maternal. Kesimpulan: Kesinambungan pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal berhubungan signifikan dengan pemberian imunisasi lengkap anak umur 12 – 23 bulan di Indonesia. Kata Kunci : imunisasi lengkap, kesinambungan, pelayanan kesehatan maternal Naskah masuk: 18-05-2016 Review: 09-08-2016 Disetujui terbit: 04-09-2016 Hubungan Kesinambungan Pemanfaatan ................... (Dwi Siska Kumala Putri, Nur Handayani Utama, Olwin Nainggolan) PENDAHULUAN Angka kematian balita (AKBA) merupakan salah satu indikator kesejahteraan negara. Peningkatan status kesehatan anak dengan indikator menurunkan AKBA merupakan salah satu target dari Rencana Pembangunan Jangan Menengah Nasional (RPJMN) 20152019 dan merupakan salah satu prioritas Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2015-2019 dengan salah satu fokus pembangunan kesehatan, yaitu peningkatan kesehatan anak dan pemberantasan penyakit menular.1 Penyebab utama kematian anak usia diatas neonatal sampai dengan usia satu tahun ialah infeksi.2 Penyakit infeksi pada bayi dapat dicegah dengan program imunisasi. Imunisasi ialah suatu upaya untuk menimbulkan atau meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut, maka orang tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan.3 Imunisasi tidak hanya melindungi bayi dan balita dari penyakit infeksi, namun dapat mencegah penularan penyakit kepada orang lain, serta melindungi sekelompok orang dari epidemi penyakit infeksi dengan meningkatkan kekebalan komunitas.4Imunisasi diperkirakan dapat mencegah 2,5 juta kasus kematian anak per tahun di seluruh dunia.5 Imunisasi terbukti telah memberi keuntungan global untuk kelangsungan hidup anak. Imunisasi juga merupakan investasi jangka panjang dan sangat diperlukan untuk melakukan pengendalian Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I), seperti tuberkulosis (TB), dipteri, pertusis, campak, tetanus, polio dan hepatitis B.3 Program imunisasi juga merupakan salah satu indikator RPJMN tahun 2015-2019 yaitu ialah persentase anak umur 0 – 11 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap sebesar 93% dan sebanyak 95% Kabupaten/Kota harus mencapai 80 persen imunisasi dasar lengkap pada bayi.1 Riset Kesehatan Dasar menunjukkan bahwa anak umur 12-23 bulan yang mendapatkan imunisasi lengkap sedikit mengalami peningkatan dari 46,2 % pada tahun 20076, naik menjadi 53,8%, pada tahun 20108 dan 59,2%, pada tahun 20137. 136 Persentase imunisasi tidak lengkap tahun 2007 sebesar 45,3% turun menjadi 33,5% pada tahun 2010, namun pada tahun 2013 nyaris tidak mengalami perubahan hanya sebesar 32,1%.6-8 Data ini menunjukkan bahwa capaian imunisasi lengkap masih di bawah 50 persen. Continuum of care atau perawatan secara berkelanjutan merupakan paradigma yang digunakan untuk mengatasi permasalahan kesehatan maternal, bayi baru lahir dan balita secara terintegrasi dan berkesinambungan. Sebelumnya, program kesehatan ibu dan anak dilakukan secara terpisah. Beberapa studi menunjukkan bahwa kesinambungan perawatan akan meningkatkan derajat kesehatan (health outcome). Dalam hal ini kesinambungan perawatan kesehatan maternal akan meningkatkan derajat kesehatan ibu serta kualitas perawatan anak, termasuk didalamnya pemberian imunisasi lengkap.9,10 Sesuai dengan konsep continuum of care, terdapat keterkaitan antara perawatan sejak masa kehamilan hingga masa balita. Perawatan seorang anak dimulai sejak janin di dalam kandungan, yaitu sejak seorang ibu hamil melakukan pemeriksaan kehamilan/antenatal care (ANC), kemudian persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan, dilanjutkan dengan perawatan kesehatan ibu nifas/ KF (Kontak ibu Nifas) sebanyak 3 kali, dan dilanjutkan dengan perawatan bayi baru lahir serta perawatan kesehatan neonatus sebanyak 3 kali (KN), kemudian dilanjutkan dengan perawatan kesehatan serta tumbuh kembang anak balita, termasuk di dalamnya imunisasi. Strategi untuk meningkatkan pemberian imunisasi lengkap harus dilakukan mulai dari hulu, yaitu dengan meningkatkan kesinambungan pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal sejak hamil, masa persalinan, dan nifas. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan bahwa 95,4 persen ibu hamil di Indonesia sudah memeriksakan kehamilan (K1) dan yang melakukan pemeriksaan dengan frekuensi pemeriksaan minimal 4 kali selama masa kehamilan sebesar 83,5 persen. Persalinan yang dilakukan di fasilitas kesehatan sebesar 70,4 persen dan 81,7 persen ditolong oleh tenaga kesehatan yang kompeten (dokter spesialis, dokter Hubungan Kesinambungan Pemanfaatan ................... (Dwi Siska Kumala Putri, Nur Handayani Utama, Olwin Nainggolan) umum, dan bidan). Namun ibu yang mendapat pelayanan nifas lengkap (KF 1 - KF 3) hanya sebesar 32,1 persen.8 Sejauh ini target Universal Child Imunization (UCI) menurut hasil Riskedas 2013 belum tercapai sehingga informasi terkait dengan upaya peningkatan cakupan imunisasi dasar lengkap diperlukan untuk masukan program. Selama ini gambaran cakupan pelayanan kesehatan ibu dan anak disajikan secara terpisah dengan mensandingkan berbagai indikator program kesehatan ibu dan anak. Pada Riskesdas 2013 terdapat rangkaian pertanyaan yang memungkinkan untuk menghubungan antara informasi ibu dan anak sehingga menjadi satu rangkaian riwayat seorang anak sejak dalam kandungan hingga usia 12-23 bulan. Tim peneliti tertarik untuk melihat sejauh mana hubungan antara perawatan kesehatan maternal dan pemberian imunisasi dasar dengan pendekatan continuum of care tersebut di atas. Data Riskesdas juga mempunyai informasi faktor-faktor lainnya sehingga dapat memperkaya informasi dan analisis yang dilakukan. Tujuan dari analisis ini ialah untuk menilai hubungan antara pelayanan kesehatan maternal secara berkesinambungan dengan pemberian imunisasi lengkap anak balita dengan mempertimbangkan faktor lain, seperti wilayah, status sosial (pendidikan, pekerjaan) dan ekonomi, ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan lain – lain. METODE Sumber data yang digunakan pada analisis ini ialah data Riskesdas tahun 2013. Riskesdas merupakan sebuah survei kesehatan berskala nasional dengan desain potong lintang dan dirancang untuk estimasi Kabupaten/Kota. Sampling Riskesdas 2013 ialah penarikan sampel tiga tahap berstrata. Tahap pertama memilih Primary Sampling Unit (PSU) dari PSU terpilih secara sistematik pada setiap Kabupaten/Kota sesuai alokasi domain. Tahap kedua, dari PSU terpilih, dipilih 2 Blok Sensus (BS) secara Probability Proportional to Size (PPS). Tahap ketiga, dipilih 25 Bangunan Sensus secara sistematik berdasarkan data bangunan sensus hasil SP2010-C1 di setiap BS. Kegiatan pengumpulan data Riskesdas 2013 dilaksanakan di semua Kabupaten/Kota di Indonesia pada periode bulan Mei sampai dengan Juni 2013 dengan 294.959 rumah tangga yang berhasil dikunjungi. Sampel pada analisis ini ialah anak umur 12 – 23 bulan dari ibu usia 10-54 tahun, dengan kriteria inklusi (1) memiliki riwayat imunisasi yang tercatat pada buku KMS/KIA/catatan kesehatan bayi; (2) tersedia data riwayat pemeriksaan kehamilan, persalinan, dan nifas. Pada analisis ini diperoleh anak dan ibu yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 14.377 orang. Variabel bebas utama ialah pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal, yang dibagi menjadi tiga kategori, yaitu berkesinambungan, tidak berkesinambungan, dan tidak periksa kehamilan sama sekali. Definisi operasional berkesinambungan ialah pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal secara berkelanjutan sejak masa hamil melakukan pemeriksaan kehamilan minimal 4 kali /K4 (minimal 1 kali pada trimester pertama, minimal 1 kali pada trimester kedua, dan minimal 2 kali pada trimester ke-3), dilanjutkan dengan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan, serta kunjungan nifas (KF1 KF2- KF3) lengkap. Definisi kategori tidak berkesinambungan adalah ibu tidak melakukan antenatal care secara kontinu atau melakukan persalinan tidak ditolong oleh tenaga kesehatan atau tidak melakukan kunjungan nifas (KF1 – KF3) secara lengkap. Sedangkan kategori tidak periksa sama sekali ialah ibu tidak melakukan kunjungan ANC sama sekali selama kehamilan. Variabel terikat ialah status imunisasi dasar lengkap. Imunisasi dasar lengkap adalah pemberian vaksin yang diterima oleh anak terdiri dari HB-0, BCG, DPT-HB Combo 1 3, Polio 1- 4, dan campak. Status imunisasi anak dibagi menjadi 2 kategori, yaitu imunisasi lengkap dan tidak lengkap. Variabel perancu di dalam analisis ini antara lain, umur ibu, wilayah, status sosial ekonomi (pekerjaan, pendidikan, status ekonomi), jumlah anak di dalam keluarga, jumlah balita di dalam keluarga, ketersediaan fasilitas kesehatan, dan urutan kehamilan. Umur ibu 137 Hubungan Kesinambungan Pemanfaatan ................... (Dwi Siska Kumala Putri, Nur Handayani Utama, Olwin Nainggolan) dibagi dua kategori, yaitu umur 20 sampai dengan 35 tahun serta 19 tahun atau kurang dan 36 tahun atau lebih. Tipe tempat tinggal dibagi dalam dua kategori perkotaan dan perdesaan. Status ekonomi diperoleh dari komposit variabel aset yang dimiliki rumah tangga dan dibagi dalam kuintil. Dalam analisis ini status ekonomi dibagi menjadi tiga kategori, yaitu bawah (kuintil 1 dan 2), sedang (kuintil 3), dan atas (kuintil 4 dan 5). Variabel pekerjaan ibu dibagi menjadi dua kategori, yaitu bekerja dan tidak bekerja. Pendidikan ibu dibagi menjadi tiga kategori, yaitu di atas SLTA, tamat SLTA, dan kurang dari SLTA. Untuk variabel Jumlah anak di dalam keluarga dibagi menjadi dua kategori, yaitu 2 anak atau kurang dan lebih dari 2 anak. Variabel jumlah balita di dalam keluarga dibagi menjadi dua kategori, yaitu 1 balita dan 2 balita atau lebih. Urutan kehamilan dibagi menjadi dua kategori, yaitu urutan pertama dan kedua serta urutan ketiga atau lebih. Ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dibagi menjadi dua kategori, yaitu tersedia dan tidak tersedia. Analisis hubungan antara kesinambungan pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal dengan imunisasi lengkap anak dengan mempertimbangkan variabel lainnya, 70,8 dianalisis dengan menggunakan analisis regresi logistik dengan perhitungan odds ratio dan 95% Confidence Interval. Analisis regresi logistik dengan perhitungan odds ratio digunakan dengan pertimbangan variabel dependen pada analisis ini merupakan data kategori yang bersifat dikotom. HASIL Analisis ini mencakup riwayat pelayanan kesehatan ibu selama hamil yang merupakan riwayat dari anak usia 12 sampai 23 bulan, serta riwayat imunisasi anak tersebut. Setiap record data merupakan satu rangkaian dari pelayanan kesehatan selama kehamilan anak tersebut. Pembatasan usia 12 sampai 23 tahun mempertimbangkan bahwa pada anak usia tersebut periode imunisasi dasar lengkap selesai diterima. Gambar 1 menunjukkan proporsi ibu hamil yang memanfaatkan pelayanan kesehatan K4 dan proporsi ibu hamil yang persalinannya dibantu oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan cenderung sama, namun proporsi ibu yang memanfaatkan pelayanan kesehatan maternal setelah persalinan (kunjungan nifas) jauh lebih rendah/menurun. Proporsi ibu yang kemudian memberikan imunisasi lengkap untuk anaknya juga rendah. 70,2 35,9 26,8 ANC K4 Salin nakes di faskes Kunjungan ibu nifas Imunisasi Gambar 1. Proporsi Ibu yang Memanfaatkan Pelayanan Kesehatan Maternal dan Imunisasi Tabel 1 berikut merupakan hasil analisis bivariat yang menunjukkan bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal 138 yang berkesinambungan berhubungan bermakna dengan pemberian imunisasi lengkap anak (p value ≤ 0,05). Hubungan Kesinambungan Pemanfaatan ................... (Dwi Siska Kumala Putri, Nur Handayani Utama, Olwin Nainggolan) Tabel 1 Proporsi Imunisasi Anak Umur 12 – 23 Bulan berdasarkan Kesinambungan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Maternal di Indonesia Tahun 2013 Kesinambungan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Maternal Berkesinambungan Status Imunisasi Lengkap Tidak Lengkap N % N % 1026 48,1 1017 51,9 Tidak berkesinambungan 3482 35,6 7077 64,4 Tidak periksa kehamilan 214 12,0 1561 88,0 P value 0,000* Keterangan * bermakna bila p value ≤ 0,05 Proporsi anak yang memiliki status imunisasi lengkap, lebih besar pada kelompok ibu yang memanfaatkan pelayanan kesehatan maternal secara berkesinambungan (48%) dibandingkan pada kelompok yang tidak berkesinambungan memanfaatkan pelayanan kesehatan maternal (35,6%) maupun kelompok yang tidak periksa kehamilan sama sekali (12,0%). Untuk menilai hubungan kesinambungan pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal dengan status imunisasi lengkap anak, setelah di kontrol dengan variabel perancu yang lain, dilakukan analisis regresi logistik dengan perhitungan odds ratio dan 95% Confidence Intervals.Model awal analisis tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil analisis uji perancu didapatkan bahwa pada model akhir kesinambungan pelayanan kesehatan maternal berhubungan erat dengan pemberian imunisasi lengkap pada anak setelah dikontrol oleh status ekonomi dan jumlah anak. Diketahui pula bahwa variabel ketersediaan fasilitas kesehatan, pekerjaan ibu, urutan kehamilan, umur ibu, pendidikan ibu, wilayah, jumlah balita, serta kepemilikan dan penggunaan jaminan kesehatan bukan merupakan perancu karena setelah variabel – variabel tersebut dikeluarkan dari model, perubahan odds ratio kurang dari 10%. Tabel adjusted OR hubungan kesinambungan pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal dengan pemberian imunisasi lengkap pada anak umur 12 – 23 bulan di Indonesia ialah Tabel 3 di bawah. PEMBAHASAN Program kesehatan ibu dan anak merupakan upaya yang saling terkait dan tidak berdiri sendiri karena merupakan suatu rangkaian siklus hidup seorang anak sejak masa kandungan dalam diri ibunya. Selama masa kehamilan apa yang diterima atau dilakukan oleh ibu hamil akan mempunyai dampak kepada anak yang dikandungnya sampai lahir dan tumbuh kembang sebagai seorang anak. Kesinambungan pelayanan kesehatan diperlukan di semua siklus kehidupan (remaja, kehamilan, persalinan, periode setelah persalinan, dan masa kanak-kanak).11 Hal inilah yang menjadi dasar bahwa penyelesaian masalah kesehatan ibu dan anak harus dilakukan dalam suatu rangkaian upaya yang berkelanjutan dengan pendekatan continuum of care across life cycle, yaitu dimulai sebelum masa kehamilan, saat kehamilan, masa persalinan dan nifas, serta masa bayi dan balita.12 Sebuah review yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa kesinambungan pemanfaatan pelayanan kesehatan berhubungan secara signifikan terhadap outcome kesehatan. Ada hubungan positif antara kesinambungan pemanfaatan kesehatan dengan upaya preventif kesehatan.13 Grafik 1 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan proporsi dari waktu ke waktu di dalam hal pelayanan kesehatan yang diterima oleh ibu selama hamil, masa nifas, serta perawatan kesehatan anak, dalam hal ini imunisasi. Hal ini menunjukkan adanya lost opportunity, yaitu hilangnya kesempatan seorang ibu 139 Hubungan Kesinambungan Pemanfaatan ................... (Dwi Siska Kumala Putri, Nur Handayani Utama, Olwin Nainggolan) mendapatkan pelayanan kesehatan yang seharusnya diterima oleh seorang ibu hamil dan bersalin serta anaknya. Pada indikator KF lengkap yang paling rendah proporsinya menunjukkan bahwa ibu paska bersalin selama masa nifas yang seharusnya mendapat perawatan/pelayanan kesehatan turun (<30%), artinya sebanyak dua per tiga dari ibu hamil tidak mendapat pelayanan yang seharusnya. Masa nifas tersebut merupakan periode kritis ibu baru bersalin yang perlu mendapatkan pengawasan kesehatan. Tabel 2 Model Awal Hubungan Kesinambungan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Maternal dengan Status Imunisasi Lengkap Anak Variabel Kesinambungan pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal Berkesinambungan Tidak berkesinambungan Tidak pernah melakukan pemeriksaan kehamilan OR(95% CI) p value 1 1,58 (1,37 – 1,83) 5,16 (3,95 – 6,75) 0,000 0,000 1 1,02 (0,87 – 1,18) 1,14 (1,01 – 1,29) 0,819 0,038 1 0,92 (0,81 – 1,04) 0,190 1 0,98 (0,85 – 1,13) 1,34 (1,16 – 1,55) 0,804 0,000 1 1,42 (1,16 – 1,73) 0,001 1 1,04 (0,93 – 1,17) 0,482 1 1,46 (1,27 – 1,67) 0,000 1 0,92 (0,80 – 1,05) 0,210 1 1,09 (0,91 – 1,32) 0,325 1 1,09 (0,89 – 1,34) 1,18 (0,96 – 1,45) 0,359 0,109 1 1,10 (0,64 – 1,91) 0,731 Kepemilikan dan penggunaan jaminan kesehatan Memiliki jamkes dan digunakan Memiliki, tidak digunakan Tidak memiliki Tipe tempat tinggal Perkotaan Perdesaan Status Ekonomi Atas Sedang Bawah Jumlah anak ≤ 2 anak > 2 anak Pekerjaan Ibu Tidak Bekerja Bekerja Jumlah Balita 1 balita ≥ 2 balita Umur ibu 20 – 35 tahun ≤ 19 tahun ≥ 36 tahun Urutan Kehamilan Urut ke 1 dan 2 Urut ≥ 3 Pendidikan ibu D1 – PT Tamat SLT < SLTA Ketersediaan Fasilitas Yankes 140 Tersedia Tidak tersedia Hubungan Kesinambungan Pemanfaatan ................... (Dwi Siska Kumala Putri, Nur Handayani Utama, Olwin Nainggolan) Tabel 3 Hubungan KesinambunganPemanfaatan Pelayanan Kesehatan Maternal dengan Pemberian Imunisasi Lengkap pada Anak Umur 12 – 23 Bulan di Indonesia Variabela p-value Adjusted OR(95%CI)b Kesinambungan pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal Berkesinambungan 1 Tidak berkesinambungan 0,000c 1,58 (1,37 – 1,83) Tidak pernah melakukan pemeriksaan kehamilan 0,000c 5,39 (4,14 – 7,03) Keterangan : abackward logistic regression, wilayah, jumlah balita, pekerjaan ibu, pendidikan ibu, urutan kehamilan, umur ibu, kepemilikan dan penggunaan jaminan kesehatan, ketersediaan fasilitas kesehatan, tidak signifikan, bukan perancu b setelah dikontrol status ekonomi dan jumlah anak c bermakna < 0,05 Hasil analisis multivariate menunjukkan bahwa ibu yang tidak memeriksakan kehamilannya sama sekali, memiliki kecenderungan 5,39 kali untuk tidak memberikan imunisasi lengkap kepada anaknya dibandingkan dengan ibu hamil yang berkesinambungan memanfaatkan pelayanan kesehatan maternal. Sedangkan ibu hamil yang tidak berkesinambungan memanfaatkan pelayanan kesehatan maternal, memiliki kecenderungan1,58 kali untuk tidak memberikan imunisasi lengkap kepada anaknya dibandingkan dengan ibu hamil yang berkesinambungan memanfaatkan pelayanan kesehatan maternal. Hal ini menunjukkan bahwa kesinambungan pelayanan maternal memberikan pengaruh positif terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan anak, dalam hal ini ialah pemberian imunisasi lengkap. Tujuan pemanfaatan pelayanan antenatal care ialah ibu hamil dapat memantau kesehatan dan kehamilannya, memastikan tumbuh kembang janin, mengenali secara dini kelainan atau komplikasi yang mungkin terjadi selama kehamilan, mempersiapkan persalinan, mempersiapkan diri untuk menjalani masa nifas, dan mempersiapkan peran untuk menjadi ibu. Dengan memanfaatkan pelayanan antenatal di fasilitas kesehatan, ibu hamil akan diarahkan untuk melakukan persalinan di fasilitas kesehatan dengan penolong persalinan tenaga kesehatan.14 Pada periode kehamilan ini jika ibu melakukan ANC maka merupakan kesempatan petugas kesehatan untuk memberikan edukasi terkait dengan rangkaian pelayanan yang seharusnya diterima dan dilakukan oleh ibu untuk dirinya dan anaknya. Setelah persalinan, ibu akan diarahkan oleh tenaga kesehatan untuk melakukan pemeriksaan nifas untuk memantau kesehatan ibu dan bayi pasca persalinan. Pada saat pemeriksaan nifas, ibu akan mendapat arahan/konseling dari tenaga kesehatan untuk melakukan kunjungan bayi yang bertujuan meningkatkan akses bayi terhadap pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit melalui pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak serta imunisasi.14 Ibu yang sudah melakukan ANC minimal 4 kali sesuai dengan indikator ANC K4, menunjukkan ibu perilaku penggunaaan pelayanan kesehatan yang sudah baik. Ibu sudah menyadari akan perlunya akses ke pelayanan kesehatan ibu sehingga akan mempunyai kesadaran pula untuk memberikan perawatan dan pelayanan kesehatan yang diperlukan anaknya. Selain itu, ibu yang memanfaatkan pelayanan antenatal di fasilitas kesehatan secara berkesinambungan, akan memperoleh buku catatan kesehatan ibu dan anak (buku KIA). Buku KIA tersebut berfungsi sebagai pencatatan berbagai riwayat/permasalahan selama masa kehamilan, bersalin, dan nifas serta pencatatan kesehatan anak (bayi baru lahir sampai anak usia 6 tahun), termasuk catatan imunisasi. Dengan catatan imunisasi tersebut, ibu diharapkan dapat melengkapi imunisasi dasar anak. Selain itu, buku tersebut 141 Hubungan Kesinambungan Pemanfaatan ................... (Dwi Siska Kumala Putri, Nur Handayani Utama, Olwin Nainggolan) dapat menjadi sarana efektif untuk memberikan pengetahuan bagi ibu hamil dan menyusui mengenai cara memelihara dan merawat kesehatan ibu dan anak.15 Ibu yang memiliki buku catatan kesehatan ibu dan anak lebih sering berkunjung ke pelayanan kesehatan dibandingkan ibu yang tidak memiliki buku catatan kesehatan ibu dan anak.16 Penelitian di Nigeria menunjukkan bahwa ketersediaan catatan/kartu imunisasi sejak awal berhubungan dengan pemberian imunisasi lengkap pada anak umur 12 – 23 bulan.17Analisis terhadap Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 1997, 2002 – 2003, dan 2007 menunjukkan bahwa kepemilikan buku Kesehatan Ibu dan Anak berhubungan erat dengan kelengkapan pemberian imunisasi dasar (OR(95%CI) : 4,86 (2,37 – 9,95).18 Oleh karena itu Sosialisasi pemanfaatan buku catatan Kesehatan Ibu dan Anak (buku KIA) perlu ditingkatkan karena buku KIA merupakan sarana efektif untuk meningkatkan sikap dan perilaku ibu di dalam hal pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal, sehingga pada akhirnya diharapkan ibu juga melengkapi lima imunisasi dasar bayi. Menurut hasil Riskesdas 2013 balita yang memiliki buku KIA dan dapat menunjukkan sebesar 40,4 persen. Di lapangan juga ditemui penggunaan buku KIA yang belum sesuai seperti disimpan oleh Kader atau Bidan Desa padahal seharusnya buku KIA dipegang dan disimpan oleh ibu/yang merawat balita tersebut.8 Analisis terhadap Survei Demografi dan Kesehatan (Tahun 2006 – 2007) di Pakistan menunjukkan bahwa pemanfaatan/penggunaan pelayanan antenatal careberhubungan erat dengan pemberian imunisasi lengkap pada anak umur 12 – 23 bulan. Ibu yang tidak melakukan kunjungan antenatal care memiliki kecenderungan 1,3 kali untuk tidak memberikan imunisasi lengkap kepada anak (OR (95% CI) : (1,33 (1,07 – 166)).19Demikian halnya di Filipina, analisis terhadap data Survei Demografi dan Kesehatan di Filipina tahun 2003 menunjukkan bahwa ibu yang tidak melakukan kunjungan antenatal care minimal 4 kali sesuai anjuran, cenderung tidak memberikan imunisasi lengkap pada anaknya.20 Penelitian lain di Ethiopia pada tahun 2011 menunjukkan bahwa antenatal 142 care follow – up dan melakukan persalinan di fasilitas kesehatan berhubungan erat dengan pemberian imunisasi lengkap anak. Anak yang dilahirkan di fasilitas kesehatan memiliki kecenderungan 2,1 kali untuk mendapat imunisasi lengkap dibandingkan dengan anak yang dilahirkan di rumah.21Analisis dari data Demographic Health Survey (DHS) negaranegara di sub sahara Afrika menunjukkan bahwa pemanfaatan pelayanan maternal (antenatal) akan mempengaruhi pemanfaatan selanjutnya (postnatal) dan selanjutnya juga akan mempengaruhi pemberian imunisasi pada anak.22 Sebuah systematic review menunjukkan bahwa ialah kelahiran diluar rumah sakit, tidak adanya pengingat untuk kunjungan ibu dan anak selanjutnya (next follow-up visit) merupakan beberapa faktor yang sering disebutkan berhubungan dengan pemberian imunisasi yang tidak lengkap.23 Kesinambungan pelayanan kesehatan yang diterima oleh ibu akan memungkinkan keterpaparan yang lebih banyak terhadap informasi kesehatan dari tenaga kesehatan. Sejalan dengan hal ini Fitriyanti (2014) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kelengkapan imunisasi di Desa Botubarani Kecamatan Kabila Bone Kabupaten Bone Bolango yaitu pelayanan petugas kesehatan .24 Untuk itu tenaga kesehatan memiliki peran yang sangat penting untuk menjamin kesinambungan pelayanan kesehatan yang diterima ibu. Hasil penelitian dari Gambar 1 hingga Tabel 2 mengindikasikan bahwa masih ada lost opportunity ibu dan anak di dalam hal mendapatkan pelayanan kesehatan secara berkelanjutan. Seharusnya bila ANC K4 mencapai 70% maka untuk rangkaian pelayanannya selanjutnya juga pada cakupan yang tidak berbeda. Hal ini berarti masih perlu peningkatan kesadaran ibu dan keluarganya untuk mau memanfaatkan pelayanan kesehatan terutama imunisasi untuk anak. Karena imunisasi adalah investasi bangsa. Penyuluhan dari tenaga kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu hamil akan pentingnya memanfaatkan pelayanan kesehatan maternal secara berkesinambungan perlu dilakukan. Kesinambungan pemanfaatan pelayanan Hubungan Kesinambungan Pemanfaatan ................... (Dwi Siska Kumala Putri, Nur Handayani Utama, Olwin Nainggolan) kesehatan berhubungan dengan kualitas maupun kuantitas kontak antara pasien dengan tenaga kesehatan. Dengan kontak yang lebih sering, memungkinkan pasien untuk dapat terus memanfaatkan pelayanan kesehatan sehingga mendapatkan hasil yang lebih baik juga.25 Sebagaimana hasil analisis, bahwa terdapat hubungan bermakna antara kesinambungan pelayanan kesehatan maternal dengan imunisasi dasar lengkap, maka penyuluhan ini sebaiknya dilakukan sejak masa kehamilan. Perlu dilakukan penjaringan ibu hamil untuk mau melakukan pemeriksaan kehamilan, sehingga memberi peluang bagi tenaga kesehatan untuk memberikan penyuluhan kepada ibu hamil dan keluarga akan pentingnya perawatan kesehatan sejak hamil, bersalin, nifas, sampai dengan perawatan kesehatan yang seharusnya diterima oleh setiap anak, salah satu diantaranya imunisasi. KESIMPULAN merupakan sarana efektif untuk meningkatkan sikap dan perilaku ibu di dalam hal pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal.Kesinambungan pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal dapat dicapai melalui sistem pelayanan ibu dan anak yang terintegrasi. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia yang telah memberikan izin dalam penggunaan data Riskesdas 2013 untuk analisis ini. DAFTAR PUSTAKA 1. Kementerian Kesehatan RI. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015 – 2019, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Jakarta Kesinambungan pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal berhubungan signifikan dengan pemberian imunisasi lengkap anak umur 12 – 23 bulan di Indonesia. Ibu yang tidak memeriksakan kehamilannya sama sekali memiliki kecenderungan 5,39 kali untuk tidak memberikan imunisasi lengkap kepada anaknya dibandingkan dengan ibu hamil yang berkesinambungan memanfaatkan pelayanan kesehatan maternal. Sedangkan ibu hamil yang tidak berkesinambungan memanfaatkan pelayanan kesehatan maternal, memiliki kecenderungan 1,58 kali untuk tidak memberikan imunisasi lengkap kepada anaknya dibandingkan dengan ibu hamil yang berkesinambungan memanfaatkan pelayanan kesehatan maternal. 2. Unicef Indonesia. Ringkasan Kajian Kesehatan Ibu dan Anak. 2013. Jakarta SARAN 7. Depkes RI, Balitbangkes. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Riskesdas 2007. 2008. Jakarta. Kesinambungan pemanfaaatan pelayanan kesehatan maternal merupakan salah satu cara untuk meningkatkan cakupan imunisasi dasar lengkap. Penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu hamil akan pentingnya memanfaatkan pelayanan kesehatan maternal secara berkesinambungan perlu dilakukan. Sosialisasi pemanfaatan buku catatan Kesehatan Ibu dan Anak (buku KIA) perlu ditingkatkan karena buku KIA 3. Kementerian Kesehatan RI. PP Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 42 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Imunisasi. 2013. Jakarta 4. Departemen kesehatan RI, Masyarakat tidak perlu ragu melakukan imunisasi. 2019.http://www.depkes.go.id/index.php? vw=2&id=314, diunduh tanggal 25022014. 5. WHO, UNICEF, World Bank. 2009. State of the world’s vaccines and immunization. 3rd edition. 2009. Geneva. 6. Depkes RI, Balitbangkes. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Riskesdas 2010. 2010. Jakarta. 8. Kementerian Kesehatan RI, Balitbangkes. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Riskesdas 2013. 2013. Jakarta. 9. Gill JM, Saldarriaga A, Mainous AG 3rd, Unger D. Does continuity between prenatal and well-child care improve childhood immunizations?Fam Med. 2002; 34(4):274-80. 143 Hubungan Kesinambungan Pemanfaatan ................... (Dwi Siska Kumala Putri, Nur Handayani Utama, Olwin Nainggolan) 10. D A Christakis, L Mell, J A Wright, R Davis, and F A Connell. The Association Between Greater Continuity of Care and Timely Measles - Mumps – Rubella Vaccination. Am J Public Health, 2000. Vol 90 No.6 : 962 - 965 11. Kementerian Kesehatan RI. Rencana Aksi Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu di Indonesia. Direktorat Bina Kesehatan Ibu. Ditjen Bina Gizi dan KIA. 2013. Jakarta. 12. Kerber KJ, Graft-Johnson JE, Bhutta Z, Starrs A & Lawn JE. Continuum of care for maternal, newborn, and child health: from slogan to service delivery. The Lancet, 2007; Volume 370, Issue 9595, 13ld health: from slogan to service 13. John W. Saultz, MD and Jennifer Lochner, MD. Interpersonal Continuity of Care and Care Outcomes: A Critical Review. Ann Fam Med, 2005. Mar; 3(2): 159–166. 14. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS- KIA). Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Kesehatan Ibu. 2010. Jakarta 15. Sistiarani Colti, Gamelia Elviera, Hariyadi Bambang. Analisis Kualitas Penggunaan Buku Kesehatan Ibu Anak. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2014; 10 (1) : 14 – 20. 16. Hagiwara, A (2012). Is the Maternal and Child Health (MCH) Handbook Effective in Improving Health Related Behavior? dalam Sistiarani Colti, Gamelia Elviera, Hariyadi Bambang. Analisis Kualitas 22. Patrick Opiyo Owili, Miriam Adoyo Muga, Yiing-Jenq Chou, Yi-Hsin Elsa Hsu, Nicole Huang, and Li-Yin Chien. Associations in the continuum of care for maternal, newborn and child health: a population-based study of 12 sub-Saharan Africa countries. BMC Public Health, 2016; 16: 414. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles /PMC4869316/ 23. Marcia de Cantuaria Tauil, Ana Paula Sayuri Sato, Eliseu Alves Waldman. Review Factors Associated with Incomplete or Delayed Vaccination 144 Penggunaan Buku Kesehatan Ibu Anak. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2014; 10 (1) : 14 – 20. 17. Akinola Ayoola Fatiregun, Anselm O, Okoro. Maternal Determinants of Complete Child Immunization among Children Aged 12 – 23 Months in a Southern District of Nigeria. Vaccine, 2012. Vol.30 (4) : 730 – 736. 18. Keiko Osaki, Tooko Hattori, Soewarta Kosen. The Role of Home-based records in the establishment of a Continuum of Care for Mothers, Newborns, and children in Indonesia. Glob. Health Action, 2013. 6 : 20429. http://dx.doi.org/10.3402/gha.v6i0.20429. 19. Ayesha Siddiqa Bugvi, Rahla rahat, Rubeena Zakkar, Muhammad Zakria Zakar, Florian Fischer, et.al . Factors associated with non-utilization of child immunization in Pakistan: Evidence from the Demographic and Health Survey 2006-07. BMC Public Health, 2014. 14: 232 20. Jennifer N. Bondy, Amardeep Thind, et.al. Identyfying the Determinants of Childhood Immunization in the Philippines. Vaccine, 2009. Vol.27(1): 169 – 175. 21. Belachew Etana, Wakgari Deressa. Factors Associated with Complete Immunization Coverage in Children aged 12 – 23 Months in Ambo Woreda, Central Ethiopia. BMC Public Health, 2012. 12 : 566. http://www.biomedcentral.com/14712458/12/566 Across Countries: A Systematic Review. Vaccine, 2016. Vol 34(24) : 2635 – 2643. 24. Ismet, Fitriyanti. Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Imunisasi Dasar Lengkap Pada Balita Di Desa Botubarani Kecamatan Kabila Bone Kabupaten Bone Bolango Tahun 2013. Thesis. 2014. Universitas Negeri Gorontalo. 25. Dimitri A. Christakis. Does Continuity of Care Matter?YesConsistent contact with a physician improves outcomes. West J Med, 2001 Jul; 175(1 ISSN : 2087-703X Volume 7 No. 2, Agustus 2016 Jurnal Kesehatan Reproduksi e-ISSN : 2354-8762 Reproductive Health Journal Dewan Redaksi/Editorial Board Pelindung/Patronage : Kepala Badan Litbang Kesehatan / Director General of National Institute of Health Research and Development Penanggung Jawab / Editor-in-chief : Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan / Director of Centre for Public Health Research and Development Mitra Bestari / Advisory Board : Dr. dr. Trihono, M.Sc. Prof. dr. Agus Suwandono, MPH, Dr.PH dr. Sarimawar Djaja, M.Kes drg. Christiana R Titaley, MIPH, PhD Dr. dr. Sabarinah Prasetyo, MS Prof. Dr. dr. Nugroho Abikusno Dr. Salahuddin Muhidin Atmarita, MPH, Dr.PH dr. Asri C. Adisasmita, MPH, M.Phil, PhD dr. Siti Nurul Qomariah , M.Kes, Ph.D Dr. Irwan M. Hidayana, M.Si Sandjaja, MPH, Dr.PH Dr. Melania Hidayat, MPH Soeharsono Soemantri, PhD Ketua Dewan Redaksi / Editor in Chief : Dr. Joko Irianto, SKM, M.Kes Wakil Ketua Dewan Redaksi / Editor Section : Tin Afifah SKM, MKM Sudikno, SKM, MKM Anggota Redaksi / Managing Editor : Iram Barida Maisya, SKM, MKM (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM) Anissa Rizkianti, SKM, MIPH (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM) Prisca Petty Arfines, S.Gz, MPH (Gizi Masyarakat, Puslitbang UKM) dr. Ika Saptarini (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM) Andi Susilowati, SKM, M.Kes (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM) Penyunting Ahli / Copy Editor : Dr. Ir. Anies Irawati, M.Kes (Gizi Masyarakat, Puslitbang UKM) Ning Sulistyowati, SKM, M.Kes (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM) Dra. Rr. Rachmalina S, MSc.PH (Sosial Antropologi, Puslitbang UKM) dr. Teti Tejayanti, MKM (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM) Dr. dr. Felly P. Senewe, M.Kes (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM) Nunik Kusumawardani, MSc.PH, Ph.D (Promosi Kesehatan, Puslitbang UKM) Manajer Langganan / Subscription Manager : dr. Yuwono Wiryawan, M.Kes Sekretariat Pelaksana / Executive Secretariat : Indra Cans Yunina, S.Sos Puput Sumarta Puri, S.Gz Ahmad Rezha Gumilar, Amd Penerbit/Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Jakarta Jl. Percetakan Negara 29 Jakarta Telp. 021-42872392, Fax. 021-42872392 Email : [email protected] Diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Jakarta Published by National Institute of Health Research and Development Ministry of Health, Republic of Indonesia, Jakarta Volume 7, No. 2, Agustus 2016 p-ISSN: 2087-703X e-ISSN: 2354-8762 No Akreditasi: 563/Akred/P2MI-LIPI/09/2013 UCAPAN TERIMA KASIH REVIEWER Prof. Dr. dr. Nugroho Abikusno Fakultas Kedokteran, Universitas Trisakti Atmarita, MPH, Dr.PH Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dr. Sarimawar Djaja, M.Kes Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Sandjaja, MPH, Dr.PH Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Soeharsono Soemantri, PhD Forum Masyarakat Statistik Dr. Ir. Anies Irawati, M.Kes Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Dr. Joko Irianto, M.Kes Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan KATA PENGANTAR Jurnal Kesehatan Reproduksi Volume 7 Nomor 2 Tahun 2016 merupakan edisi Bulan Agustus yang diproses secara full online jurnal system. Suatu pengalaman baru yang penuh tantangan dengan berbagai kendala teknis dan non teknis yang harus diatasi. Namun semangat 17 Agustus yang merupakan hari kemerdekaan Indonesia menginspirasi dan memotivasi segenap pihak yang terlibat dalam nomor ini, jajaran Dewan Redaksi, Para Reviewer dan Penulis serta dukungan pimpinan dan berbagai pihak hingga akhirnya dapat terbit di penghujung minggu terakhir bulan Agustus. Tahun ini merupakan peringatan kemerdekaan yang ke 71 tahun. Permasalahan kesehatan ibu dan anak masih merupakan tantangan besar bagi bangsa Indonesia untuk mengisi kemerdekaan ini dalam upaya meningkatkan status kesehatan ibu, anak dan gizi. Permasalahan anemia pada wanita usia subur masih merupakan tantangan di bidang gizi kesehatan reproduksi. Demikian pula masalah konsumsi kalsium pada ibu hamil. Dua penelitian data primer yang terkait dengan gizi kesehatan reproduksi. Artikel berikutnya masih merupakan hasil penelitian data primer tentang implementasi kebijakan inisiasi menyusui dini (IMD) di satu Rumah Sakit swasta dan Rumah Sakit Umum Daerah yang memberikan gambaran yang berbeda. IMD merupakan investasi bagi calon generasi bangsa sehingga diharapkan hasil temuan ini dapat menjadi masukan untuk meningkatkan pelaksanaan IMD di semua fasilitas pelayanan kesehatan. Tiga artikel berikutnya merupakan hasil analisis data sekunder dari data Riskesdas dan Survei Demoografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) yang kaya akan informasi sehingga perlu digali potensi ketersediaan data untuk menghasilkan suatu masukan bagi pihak terkait dengan kesehatan ibu dan anak. Dari analisis data sekunder diperoleh hasil bahwa usia reproduksi yang belum matang dan usia saat melahirkan berisiko mempunyai risiko melahirkan bayi BBLR sebesar 2,43 kali dibandingkan usia reproduksi yang matang dan usia saat melahirkan yang aman. Kejadian kehamilan yang tidak diinginkan terbukti berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam perawatan kesehatan selama kehamilan dan kelangsungan perawatan selama kehamilan ini juga terbukti berhubungan dengan perolehan imunisasi dasar lengkap bagi anaknya. Hal ini memperkuat konsep pelayanan kesehatan ibu dan anak saling terintegrasi dalam paradigm continuum of care. Terbukanya berbagai informasi tentang gizi kesehatan reproduksi dan perawatan kehamilan maternal kami harapkan dapat semakin membuka wawasan dan masukan bagi berbagai pihak terkait serta memunculkan pemikiran penelitian baru dari kesenjangan yang disajikan dari keenam artikel dalam edisi kali. Bangsa ini memerlukan dukungan informasi dan teknologi dalam mengisi kemerdekaan ini agar status kesehatan ibu dan anak menjadi lebih baik dan tidak tertinggal dengan negara-negara tetangga lainnya. Selamat membaca dan semoga bermanfaat. Merdeka !! REDAKSI Volume 7, No. 2, Agustus 2016 ISSN : 2087-703X e-ISSN : 2354-8762 No Akreditasi: 563/Akred/P2MI-LIPI/09/2013 JURNAL KESEHATAN REPRODUKSI DAFTAR ISI Kata Pengantar 1. PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO ANEMIA PADA WANITA USIA SUBUR DI RUMAH TANGGA MISKIN DI KABUPATEN TASIKMALAYA DAN CIAMIS, PROVINSI JAWA BARAT Oleh: Sudikno, Sandjaja 71 – 82 2. KEPATUHAN KONSUMSI SUPLEMEN KALSIUM SERTA HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT KECUKUPAN KALSIUM PADA IBU HAMIL DI KABUPATEN JEMBER Oleh: Galih Purnasari, Dodik Briawan, Cesilia Meti Dwiriani 83 – 93 3. DUKUNGAN TENAGA KESEHATAN TERHADAP PELAKSANAAN IMD: STUDI KASUS DI RS SWASTA X DAN RSUD Y DI JAKARTA Oleh: Novianti Margareth Sihombing, Anissa Rizkianti 95 – 108 4. HUBUNGAN USIA GINEKOLOGI DAN USIA SAAT MELAHIRKAN DENGAN KEJADIAN BAYI BERAT LAHIR RENDAH (BBLR) DI INDONESIA TAHUN 2010 Oleh: Rofingatul Mubasyiroh, Teti Tejayanti, Felly Philipus Senewe 109 – 118 5. PENGARUH STATUS KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN TERHADAP PERILAKU IBU SELAMA KEHAMILAN DAN SETELAH KELAHIRAN DI INDONESIA (ANALISIS DATA SDKI 2012) Oleh: Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulisttyowati 119 – 133 6. HUBUNGAN KESINAMBUNGAN PEMANFAATAN PELAYANAN KESEHATAN MATERNAL DENGAN PEMBERIAN IMUNISASI LENGKAP DI INDONESIA Oleh: Dwi Sisca Kumala Putri, Nur Handayani Utami, Olwin Nainggolan 135 –144