kementerian kesehatan republik indonesia

advertisement
ISSN 2087-703X
e-ISSN 2354-8762

Volume
No. 21
Volume
77 No.
April 201
6
Agustus
2016
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
Jalan Permtakan Negara 29, Jakarta 10560
Te lp. (021) 4287 2392, Fax. (021) 4287 2392
E-mail : [email protected]
Website : http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/kespro
Jurnal
Kesehatan
Reproduksi
Vol. 7
No.12
No.
Halaman
1- 70
71-144
Jakarta,
Agustus
2016
April 2016
ISSN:
2087-703X
e-ISSN:
2354-8762
ISSN : 2087-703X
Volume 7 No. 2, Agustus 2016
Jurnal
Kesehatan Reproduksi
e-ISSN : 2354-8762
Reproductive Health Journal
Dewan Redaksi/Editorial Board
Pelindung/Patronage
:
Kepala Badan Litbang Kesehatan / Director General of National Institute of
Health Research and Development
Penanggung Jawab / Editor-in-chief
:
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan /
Director of Centre for Public Health Research and Development
Mitra Bestari / Advisory Board
:
Dr. dr. Trihono, M.Sc.
Prof. dr. Agus Suwandono, MPH, Dr.PH
dr. Sarimawar Djaja, M.Kes
drg. Christiana R Titaley, MIPH, PhD
Dr. dr. Sabarinah Prasetyo, MS
Prof. Dr. dr. Nugroho Abikusno
Dr. Salahuddin Muhidin
Atmarita, MPH, Dr.PH
dr. Asri C. Adisasmita, MPH, M.Phil, PhD
dr. Siti Nurul Qomariah , M.Kes, Ph.D
Dr. Irwan M. Hidayana, M.Si
Sandjaja, MPH, Dr.PH
Dr. Melania Hidayat, MPH
Soeharsono Soemantri, PhD
Ketua Dewan Redaksi / Editor in Chief
:
Dr. Joko Irianto, SKM, M.Kes
Wakil Ketua Dewan Redaksi / Editor Section
:
Tin Afifah SKM, MKM
Sudikno, SKM, MKM
Anggota Redaksi / Managing Editor
:
Iram Barida Maisya, SKM, MKM (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM)
Anissa Rizkianti, SKM, MIPH (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM)
Prisca Petty Arfines, S.Gz, MPH (Gizi Masyarakat, Puslitbang UKM)
dr. Ika Saptarini (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM)
Andi Susilowati, SKM, M.Kes (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM)
Penyunting Ahli / Copy Editor
:
Dr. Ir. Anies Irawati, M.Kes (Gizi Masyarakat, Puslitbang UKM)
Ning Sulistyowati, SKM, M.Kes (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM)
Dra. Rr. Rachmalina S, MSc.PH (Sosial Antropologi, Puslitbang UKM)
dr. Teti Tejayanti, MKM (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM)
Dr. dr. Felly P. Senewe, M.Kes (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM)
Nunik Kusumawardani, MSc.PH, Ph.D (Promosi Kesehatan, Puslitbang UKM)
Manajer Langganan / Subscription Manager
:
dr. Yuwono Wiryawan, M.Kes
Sekretariat Pelaksana / Executive Secretariat
:
Indra Cans Yunina, S.Sos
Puput Sumarta Puri, S.Gz
Ahmad Rezha Gumilar, Amd
Penerbit/Publisher
:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI, Jakarta
Jl. Percetakan Negara 29 Jakarta
Telp. 021-42872392, Fax. 021-42872392
Email : [email protected]
Diterbitkan oleh
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI, Jakarta
Published by
National Institute of Health Research and Development
Ministry of Health, Republic of Indonesia, Jakarta
Volume 7, No. 2, Agustus 2016
p-ISSN: 2087-703X e-ISSN: 2354-8762
No Akreditasi: 563/Akred/P2MI-LIPI/09/2013
UCAPAN TERIMA KASIH
REVIEWER
Prof. Dr. dr. Nugroho Abikusno
Fakultas Kedokteran, Universitas Trisakti
Atmarita, MPH, Dr.PH
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
dr. Sarimawar Djaja, M.Kes
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Sandjaja, MPH, Dr.PH
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Soeharsono Soemantri, PhD
Forum Masyarakat Statistik
Dr. Ir. Anies Irawati, M.Kes
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Dr. Joko Irianto, M.Kes
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
KATA PENGANTAR
Jurnal Kesehatan Reproduksi Volume 7 Nomor 2 Tahun 2016 merupakan edisi Bulan Agustus yang
diproses secara full online jurnal system. Suatu pengalaman baru yang penuh tantangan dengan berbagai
kendala teknis dan non teknis yang harus diatasi. Namun semangat 17 Agustus yang merupakan hari
kemerdekaan Indonesia menginspirasi dan memotivasi segenap pihak yang terlibat dalam nomor ini,
jajaran Dewan Redaksi, Para Reviewer dan Penulis serta dukungan pimpinan dan berbagai pihak hingga
akhirnya dapat terbit di penghujung minggu terakhir bulan Agustus.
Tahun ini merupakan peringatan kemerdekaan yang ke 71 tahun. Permasalahan kesehatan ibu dan anak
masih merupakan tantangan besar bagi bangsa Indonesia untuk mengisi kemerdekaan ini dalam upaya
meningkatkan status kesehatan ibu, anak dan gizi. Permasalahan anemia pada wanita usia subur masih
merupakan tantangan di bidang gizi kesehatan reproduksi. Demikian pula masalah konsumsi kalsium
pada ibu hamil. Dua penelitian data primer yang terkait dengan gizi kesehatan reproduksi. Artikel
berikutnya masih merupakan hasil penelitian data primer tentang implementasi kebijakan inisiasi
menyusui dini (IMD) di satu Rumah Sakit swasta dan Rumah Sakit Umum Daerah yang memberikan
gambaran yang berbeda. IMD merupakan investasi bagi calon generasi bangsa sehingga diharapkan hasil
temuan ini dapat menjadi masukan untuk meningkatkan pelaksanaan IMD di semua fasilitas pelayanan
kesehatan.
Tiga artikel berikutnya merupakan hasil analisis data sekunder dari data Riskesdas dan Survei
Demoografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) yang kaya akan informasi sehingga perlu digali potensi
ketersediaan data untuk menghasilkan suatu masukan bagi pihak terkait dengan kesehatan ibu dan anak.
Dari analisis data sekunder diperoleh hasil bahwa usia reproduksi yang belum matang dan usia saat
melahirkan berisiko mempunyai risiko melahirkan bayi BBLR sebesar 2,43 kali dibandingkan usia
reproduksi yang matang dan usia saat melahirkan yang aman. Kejadian kehamilan yang tidak diinginkan
terbukti berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam perawatan kesehatan selama kehamilan dan
kelangsungan perawatan selama kehamilan ini juga terbukti berhubungan dengan perolehan imunisasi
dasar lengkap bagi anaknya. Hal ini memperkuat konsep pelayanan kesehatan ibu dan anak saling
terintegrasi dalam paradigm continuum of care.
Terbukanya berbagai informasi tentang gizi kesehatan reproduksi dan perawatan kehamilan maternal
kami harapkan dapat semakin membuka wawasan dan masukan bagi berbagai pihak terkait serta
memunculkan pemikiran penelitian baru dari kesenjangan yang disajikan dari keenam artikel dalam edisi
kali. Bangsa ini memerlukan dukungan informasi dan teknologi dalam mengisi kemerdekaan ini agar
status kesehatan ibu dan anak menjadi lebih baik dan tidak tertinggal dengan negara-negara tetangga
lainnya.
Selamat membaca dan semoga bermanfaat. Merdeka !!
REDAKSI
Volume 7, No. 2, Agustus 2016
ISSN : 2087-703X e-ISSN : 2354-8762
No Akreditasi: 563/Akred/P2MI-LIPI/09/2013
JURNAL KESEHATAN REPRODUKSI
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
1.
PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO ANEMIA PADA
WANITA USIA SUBUR DI RUMAH TANGGA MISKIN DI
KABUPATEN TASIKMALAYA DAN CIAMIS, PROVINSI
JAWA BARAT
Oleh: Sudikno, Sandjaja
71 – 82
2.
KEPATUHAN KONSUMSI SUPLEMEN KALSIUM SERTA
HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT KECUKUPAN
KALSIUM PADA IBU HAMIL DI KABUPATEN JEMBER
Oleh: Galih Purnasari, Dodik Briawan, Cesilia Meti Dwiriani
83 – 93
3.
DUKUNGAN
TENAGA
KESEHATAN
TERHADAP
PELAKSANAAN IMD: STUDI KASUS DI RS SWASTA X
DAN RSUD Y DI JAKARTA
Oleh: Novianti Margareth Sihombing, Anissa Rizkianti
95 – 108
4.
HUBUNGAN USIA GINEKOLOGI DAN USIA SAAT
MELAHIRKAN DENGAN KEJADIAN BAYI BERAT LAHIR
RENDAH (BBLR) DI INDONESIA TAHUN 2010
Oleh: Rofingatul Mubasyiroh, Teti Tejayanti, Felly Philipus
Senewe
109 – 118
5.
PENGARUH STATUS KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN
TERHADAP PERILAKU IBU SELAMA KEHAMILAN DAN
SETELAH KELAHIRAN DI INDONESIA (ANALISIS DATA
SDKI 2012)
Oleh: Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulisttyowati
119 – 133
6.
HUBUNGAN
KESINAMBUNGAN
PEMANFAATAN
PELAYANAN KESEHATAN MATERNAL DENGAN
PEMBERIAN IMUNISASI LENGKAP DI INDONESIA
Oleh: Dwi Sisca Kumala Putri, Nur Handayani Utami, Olwin
Nainggolan
135 –144
Jurnal Kesehatan Reproduksi (ISSN 2087-703X) - Vol 7, No. 2, (2016), pp. 71-82
Prevalensi dan Faktor Risiko ………… (Sudikno, Sandjaja) PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO ANEMIA PADA WANITA USIA SUBUR
DI RUMAH TANGGA MISKIN DI KABUPATEN TASIKMALAYA DAN CIAMIS,
PROVINSI JAWA BARAT
Prevalence and Risk Factors of Anemia among Women of Reproductive Age in Poor Household
in Tasikmalaya and Ciamis District, West Java Province
Sudikno*, Sandjaja
Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat, Badan Litbangkes
*E-mail: [email protected]
Abstract
Background: Anemia in women of reproductive age remains a nutritional problem in developing countries,
especially among poor households.
Objective: This study aimed to determine the prevalence and risk factors for anemia among women of
reproductive age (WRA) in poor households.
Methods: The study design was cross-sectional. The research was conducted in June-July 2011 in two selected
districts, namely Tasikmalaya and Ciamis, West Java Province. A sample was 146 WRA of poor households in
24 villages selected peri-urban. The inclusion criteria include healthy WRA age 15-35 years, did not suffer
serious illness (chronic or acute), severe anemia (<7 g / dl), and had been wiling to participate in research by
signing an informed consent. While, the exclusion criteria were WRA who were still breastfeeding, and WRA
are pregnant
Results: The prevalence of anemia among women of reproductive age (hemoglobin level <12 g / dl) in this
study was 9.6 percent. The women of reproductive age with low ferritin status were 4.01 times likely to become
anemic (95% CI: 1.03-15.48) compared with those with sufficient ferritin status after being controlled by
vitamin A status and age.
Conclusion: This study showed that there was a relationship between serum ferritin with anemia in women of
reproductive age in poor households.
Keywords: risk factors, anemia, women of reproductive age, poor household
Abstrak
Latar belakang: Anemia pada wanita usia subur masih merupakan masalah gizi di negara berkembang,
terutama pada rumahtangga miskin.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor risiko anemia pada wanita usia subur
(WUS) di rumahtangga miskin.
Metode: Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten
Tasikmalaya dan Ciamis. Sampel sebanyak 146 WUS dari rumahtangga miskin di 24 desa peri-urban yang
terpilih. Kriteria inklusi meliputi WUS yang sehat, usia 15-35 tahun, tidak menderita penyakit serius (kronis
atau akut), dan tidak mengalami anemia yang serius (<7 g/dl), dan bersedia ikut dalam penelitian.
Hasil: Prevalensi anemia WUS (kadar hemoglobin <12 g/dl) pada peneltian ini sebesar 9,6 persen. Pada WUS
dengan status feritin yang kurang berisiko untuk menjadi anemia sebesar 4,01 kali (95% CI: 1,03-15,48)
dibandingkan dengan WUS dengan status feritin yang cukup setelah dikontrol oleh variabel status vitamin A
dan umur.
Kesimpulan: Adanya hubungan antara serum feritin dengan anemia pada wanita usia subur di rumah tangga
miskin setelah dikontrol oleh status vitamin A dan umur.
Kata kunci: faktor risiko, anemia, wanita usia subur, rumah tangga miskin
Naskah masuk: 28 April 2016
Review: 10 Agustus 2016
Disetujui terbit: 31 Agustus 2016
Prevalensi dan Faktor Risiko ………… (Sudikno, Sandjaja) PENDAHULUAN
Anemia merupakan masalah gizi yang
mempengaruhi jutaan orang di negara-negara
berkembang dan tetap menjadi tantangan besar
bagi kesehatan manusia.1 Prevalensi anemia
diperkirakan 9 persen di negara-negara maju,
sedangkan
di
negara
berkembang
prevalensinya 43 persen. Anak-anak dan
wanita usia subur (WUS) adalah kelompok
yang paling berisiko, dengan perkiraan
prevalensi anemia pada balita sebesar 47
persen, pada wanita hamil sebesar 42 persen,
dan pada wanita yang tidak hamil usia 15-49
tahun sebesar 30 persen.2 World Health
Organization (WHO) menargetkan penurunan
prevalensi anemia pada WUS sebesar 50
persen pada tahun 2025.3
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2007 menunjukkan bahwa persentase anemia
di Indonesia pada WUS tidak hamil (≥ 15
tahun) di perkotaan sebesar 19,7 persen.4
Selanjutnya
hasil
Riskesdas
2013
menunjukkan persentase anemia pada WUS
umur 15-44 tahun sebesar 35,3 persen.5
Kondisi anemia dapat meningkatkan risiko
kematian ibu pada saat melahirkan, melahirkan
bayi dengan berat badan lahir rendah, janin
dan ibu mudah terkena infeksi, keguguran, dan
meningkatkan risiko bayi lahir prematur.6 Di
Afrika dan Asia, anemia diperkirakan
berkontribusi lebih dari 115 000 kematian ibu
dan 591 000 kematian perinatal secara global
per tahun.7 Konsekuensi morbiditas terkait
dengan anemia kronis memperpanjang
hilangnya
produktivitas
dari
kapasitas
gangguan kerja, gangguan kognitif, dan
peningkatan kerentanan terhadap infeksi, yang
juga memberikan beban ekonomi.8
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
anemia pada populasi melibatkan interaksi
kompleks dari faktor-faktor sosial, politik,
ekologi, dan biologi.9 Menurut Agragawal S
bahwa penyebab utama anemia adalah gizi dan
infeksi. Di antara faktor gizi yang
berkontribusi
terhadap
anemia
adalah
kekurangan zat besi. Hal ini karena konsumsi
makanan yang monoton, namun kaya akan zat
yang menghambat penyerapan zat besi
(phytates) sehingga zat besi tidak dapat
dimanfaatkan oleh tubuh.10 Kekurangan zat
besi juga dapat diperburuk oleh status gizi
72 yang buruk, terutama ketika dikaitkan dengan
kekurangan asam folat, vitamin A atau B12,
seperti yang sering terjadi di negara-negara
berkembang.11 Penelitian Pala K dan Dundar
N di Turki menunjukkan bahwa faktor lama
menstruasi juga berhubungan dengan kejadian
anemia.12 Berkaitan dengan penyakit infeksi,
malaria dan kecacingan merupakan penyebab
anemia, terutama di daerah endemik.10 Di
samping itu kondisi sosial ekonomi
rumahtangga juga terkait dengan kejadian
anemia. Beberapa penelitian menunjukkan
angka kejadian anemia yang cenderung lebih
tinggi pada rumahtangga miskin.13,14
Penelitian ini merupakan bagian dari
penelitian Riset Khusus “Evaluasi Dampak
Fortifikasi Minyak Goreng Dengan Vitamin
A”, oleh Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI tahun
2011 yang dilaksanakan di Kabupaten
Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis, Provinsi
Jawa Barat. Tujuan penelitian untuk
mengetahui prevalensi dan faktor risiko
anemia pada WUS di rumah tangga miskin.
METODE PENELITIAN
Desain penelitian yang digunakan adalah
cross-sectional. Penelitian dilaksanakan pada
bulan Juni-Juli 2011 di dua kabupaten terpilih,
yaitu Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis
yang meliputi 4 kecamatan peri-urban (dekat
dengan
perkotaan)
di
masing-masing
kabupaten. Di tiap-tiap kecamatan dipilih 3
desa peri-urban, sehingga keseluruhan terdapat
24 desa.
Perhitungan sampel dengan menggunakan
rumus estimasi proporsi dengan presisi
absolut, tingkat kepercayaan 95%, presisi
absolute (d) = 10 persen, dan prevalensi
anemia WUS sebesar 19,7 persen4, dan desain
efek = 2, diperoleh sampel minimal 122.
Sampel merupakan anggota rumah tangga
miskin di 24 desa peri-urban yang terpilih
(clusters). Definisi rumah tangga miskin
berdasarkan keberadaan kartu keluarga miskin
baik dari kriteria pemerintah pusat maupun
daerah setempat. Hanya rumah tangga yang
memiliki kartu tersebut yang dipilih untuk
menjadi sampel. Kriteria inklusi meliputi
WUS yang sehat, usia 15-35 tahun (usia
produktif), tidak menderita penyakit serius
Prevalensi dan Faktor Risiko ………… (Sudikno, Sandjaja) (kronis atau akut), dan tidak mengalami
anemia yang serius (kadar hemoglobin darah
<7 g/dl), bersedia ikut dalam penelitian yang
dibuktikan dengan menandatangani informed
consent, dan adanya kelengkapan variabel data
yang dianalisis. Sedangkan kriteria eksklusi
adalah WUS yang masih menyusui, dan WUS
yang hamil.
Pengumpulan data menggunakan kuesioner
yang sudah dilakukan pengujian lapangan dan
terstruktur
yang
dilakukan
oleh
enumerator/pewawancara yang sudah dilatih
terlebih
dahulu.
Pendidikan
minimal
enumerator adalah Diploma III kesehatan yang
bekerja di Puskesmas maupun Dinas
Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya dan
Kabupaten Ciamis. Pada saat pengumpulan
data direkrut juga koordinator lapangan di
kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis yang
bertugas mengawasi secara langsung pada
proses pengumpulan data.
Variabel yang dianalisis meliputi: variabel
dependen (status anemia pada WUS), variabel
independen, yaitu: status vitamin A, status
feritin, umur, status kawin, pendidikan,
pekerjaan, jumlah anak yang pernah
dilahirkan/paritas, riwayat keguguran, status
gizi, konsumsi zat gizi (energi, protein,
vitamin A, vitamin C, zat besi, dan zink).
Analisis kadar hemoglobin dan kadar vitamin
A dilakukan oleh PT “P”. Data biokimia
meliputi kadar hemoglobin dan kadar vitamin
A. Anemia adalah keadaan dimana seseorang
mempunyai kadar hemoglobin di bawah nilai
normal berdasarkan jenis kelompok umur dan
jenis
kelamin.
Untuk
subyek
WUS
dikategorikan anemia bila kadar Hb kurang
dari 12,0 g/dl.15,16 Kurang vitamin A apabila
kadar vitamin A kurang dari 20 ug/dL.17
Sedangkan kategori kurang feritin apabila
kadar serum feritin kurang dari 15µg/l.15
Hemoglobin diukur menggunakan alat ukur
HemocueTM portabel dan hemocuvettes
(Hemocue, Aangelsborg, Swedia). Pengukuran
dilakukan langsung di fasilitas kesehatan desa
(balai desa/kelurahan, posyandu, pos bidan
desa), dan hasilnya dicatat pada formulir
individu dan dikomunikasikan kepada subyek
yang bersangkutan. Untuk pemeriksaan serum
retinol, serum yang disimpan dalam cool box,
segera dikirim ke laboratorium pusat PT “P” di
Jakarta untuk dianalisa kadar retinol dengan
menggunakan High Performance
Chromatography (HPLC).
Liquid
Pemeriksaan
hemoglobin
dilakukan
menggunakan metode Cyanmeth dengan
Hemocue. Alat hemocue dipersiapkan dengan
membaca blangko terlebih dahulu, kemudian
membaca standar sebelum digunakan untuk
pembacaan sampel guna melihat apakah alat
stabil.
Pemeriksaan vitamin A dengan metode HPLC.
Serum diekstraksi dengan SDS (Sodium
Dodecyl Sulfate) dan Ethanol Absolut,
kemudian dicampur hingga homogen selama
satu menit. Selanjutnya ditambah dengan
Heptan yang telah ditambah BHT (Butylated
Hydroxy Toluene), kemudian dicampur dengan
vortex selama satu menit. Setelah itu dilakukan
pemisahan cairan serun menggunakan
centrifuge selama 10 menit dengan kecepatan
2000 rpm sampai terbentuk cairan bening dan
sedikit endapan. Cairan bening tersebut
diambil dan diuapkan dengan gas N2 sampai
kering. Kemudian diambahkan pelarut fase
gerak HPLC, dan dicampur dengan vortex
selama 45 detik. Cairan tersebut dipindahkan
ke Vial Insert, dan siap untuk diperiksa dengan
alat HPLC. Kemudian dilakukan pembacaan
kurva sampel dengan dibandingkan kurva
standar.
Pengumpulan data sosiodemografi (umur,
status kawin, pendidikan, pekerjaan, jumlah
anak yang pernah dilahirkan/paritas, riwayat
keguguran) dilakukan melalui wawancara
dengan WUS. Pengukuran berat badan WUS
dilakukan dengan menggunakan timbangan
berat badan merk “AND” dengan ketelitian 0,1
kg. Sedangkan pengukuran tinggi badan WUS
dilakukan dengan alat ukur tinggi badan
microtoice dengan ketelitian 0,1 cm.
Selanjutnya pengumpulan data konsumsi
makanan dilakukan dengan metode food recall
2x24 jam, dengan hari yang tidak berurutan
untuk mengontrol terhadap variasi dan jumlah
makanan yang dikonsumsi oleh sampel.18
Wawancara recall konsumsi 2x24 jam
dilakukan terhadap ibu menyusui di
rumahtangga. Beberapa makanan jadi yang
banyak dikonsumsi subyek di tiap desa terpilih
yang belum diketahui bahan dan beratnya
dibeli dan ditimbang dengan food scale untuk
memperkirakan berat bahan makanannya lebih
73
Prevalensi dan Faktor Risiko ………… (Sudikno, Sandjaja) tepat. Selanjutnya kandungan zat gizi dihitung
dengan menggunakan program nutrisoft.
Pengelompokkan kandungan zat gizi (energi,
protein, vitamin A, vitamin C, zat besi, zink)
berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG).
Konsumsi zat gizi energi dikategorikan
menjadi dua, yaitu: defisit (<70% AKG) dan
cukup (≥70% AKG). Konsumsi zat gizi
protein dikategorikan menjadi dua, yaitu:
defisit (<80% AKG) dan cukup (≥80% AKG).
Sedangkan konsumsi zat gizi vitamin A,
vitamin C, zat besi, zink dikategorikan
menjadi dua, yaitu: defisit (<100% AKG) dan
cukup (≥100% AKG).
logistic
regression
digunakan
untuk
mengetahui faktor risiko anemia pada WUS.
Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan
etik (ethical clearance) dari Komisi Etik,
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI Nomor:
KE.01.05/EC/262/2011.
HASIL
Jumlah sampel yang dianalisis sebanyak 146
wanita WUS. Tabel 1 menunjukkan rata-rata
umur WUS adalah 23,6±0,5 tahun. Rata-rata
indeks massa tubuh (IMT) adalah 23,2±0,3
kg/m2. Rata-rata hemoglobin 13,6±0,1 g/dL,
rata-rata serum retinol 44,2±1,4 µg/dL, dan
rata-rata feritin 60,8±3,4 (µg/l).
Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui
sebaran masing-masing variabel, dan untuk
mengetahui distribusi variabel menurut
kategori anemia pada WUS digunakan analisis
bivariat. Selanjutnya analisis multivariate
Tabel 1. Karakteristik Sampel menurut Rata-rata Umur, IMT, Hemoglobin,
Serum Retinol, dan Serum Feritin
Karakteristik
Rata-rata
Median
Standar Error
23,6
23,2
13,6
44,2
60,8
24,0
22,5
13,7
42,7
55,4
±0,51
±0,38
±0,11
±1,47
±3,44
Umur (tahun)
IMT (kg/m2)
Hemoglobin (g/dL)
Serum Retinol (µg/dL)
Serum Feritin (µg/l)
Distribusi karakteristik sampel dijelaskan pada
Tabel 2. Prevalensi anemia (kadar hemoglobin
<12 g/dL) pada WUS didapatkan sebesar 9,6
persen. Persentase WUS dengan kekurangan
vitamin A sebesar 4,8 persen. Sedangkan
status feritin WUS yang kurang didapatkan
sebesar 11,6 persen. Umur WUS pada
penelitian ini sebagian besar berkisar antara
20-35 tahun (60,3%). Menurut status kawin
diketahui bahwa 56,8 persen di antaranya
sudah menikah. WUS dengan pendidikan SD
ke bawah dan SMP masing-masing sebesar
41,8 persen, dan hanya 16,4 persen yang
berpendidikan SMA ke atas. Pekerjaan WUS
sebagian besar adalah sebagai ibu rumah
tangga (42,4%), yang masih sekolah sebesar
29,5 persen. WUS yang sudah pernah
melahirkan satu anak sebesar 28,1 persen, dan
yang pernah melahirkan dua anak atau lebih
sebesar 27,4 persen. Riwayat keguguran
ditemukan pada 9 WUS (6,2%). Sedangkan
menurut status gizi, dengan indikator indeks
74 massa tubuh (IMT) diketahui bahwa sebagian
besar WUS termasuk dalam kategori IMT
normal (18,5-24,9 (kg/m2)19, yaitu sebesar 54,1
persen. Selanjutnya Tabel 2 juga menunjukkan
distribusi sampel menurut konsumsi zat gizi.
Konsumsi energi pada WUS sebagian besar,
yaitu 88,4 persen masih dalam kategori defisit.
Konsumsi protein juga sebagian besar masih
dalam kategori defisit, yaitu sebesar 71,9
persen. Konsumsi vitamin A dalam kategori
defisit diketahui sebesar 39,7 persen.
Sedangkan konsumsi vitamin C, zat besi, dan
zink masih jauh dari angka kecukupan gizi
yang dianjurkan, sebagian besar masih dalam
kategori defisit.
Kejadian anemia pada WUS menurut status
vitamin A dan status feritin dijelaskan pada
Tabel 3. Persentase kejadian anemia pada
WUS dengan status vitamin A kurang sebesar
28,6 persen. Sedangkan kejadian anemia pada
WUS dengan status feritin kurang sebesar 23,5
Prevalensi dan Faktor Risiko ………… (Sudikno, Sandjaja) persen. Dari Tabel 3 menunjukkan bahwa
variabel status vitamin A dan status feritin
dapat dilanjutkan untuk analisis multivariat
(p<0,25).
Tabel 2. Karakteristik Sampel menurut Sosiodemografi
Karakteristik
n
%
Status Anemia
14
− Ya
132
− Tidak
Status vitamin A
7
− Kurang
139
− Cukup
Status feritin
17
− Kurang
129
− Cukup
Umur (tahun)
58
− < 20
88
− 20-35
Status kawin
63
− Belum kawin
83
− Kawin
Pendidikan
61
− SD ke bawah
61
− SMP
24
− SMA ke atas
Pekerjaan
43
− Sekolah
23
− Bekerja
62
− Ibu rumah tangga
18
− Tidak bekerja
Jumlah anak yang pernah dilahirkan
65
− 0
41
− 1
40
− ≥2
9,6
90,4
4,8
95,2
11,6
88,4
39.7
60,3
43,2
56,8
41.8
41,8
16,4
29,5
15,8
42,4
12,3
44,5
28,1
27,4
Karakteristik
Riwayat keguguran
− − Ya
− − Tidak
Status gizi18 (kg/m2)
− − IMT< 18,5
− − IMT= 18,5-24,9
− − IMT= 25-29,9
− − IMT ≥ 30
Energi
− − Defisit
− − Cukup
Protein
− − Defisit
− − Cukup
Vitamin A
− − Defisit
− − Cukup
Vitamin C
− − Defisit
− − Cukup
Zat Besi
− − Defisit
− − Cukup
Zink
− − Defisit
− − Cukup
n
%
9
137
6,2
93,8
20
79
35
12
13,7
54,1
24,0
8,2
115
31
78,8
21,2
119
27
81,5
18,5
58
88
39,7
60,3
144
2
98,6
1,4
138
8
94,5
5,5
145
1
99,3
0,7
Tabel 3. Persentase Kejadian Anemia menurut Status Vitamin A dan Status Feritin
Karakteristik
Status Vitamin A
Status Feritin
−
−
−
−
Cukup
Kurang
Cukup
Kurang
n
12
2
10
4
Kejadian Anemia
Ya
Tidak
%
n
%
8,6
127
91,4
28,6
5
71,4
7,8
119
92,2
23,5
13
76,5
Tabel 4 menunjukkan bahwa prevalensi
kejadian anemia pada WUS berumur <20
tahun sebesar 13,8 persen lebih tinggi
dibandingkan WUS yang berumur 20-35 tahun
(6,8%). Persentase kejadian anemia pada WUS
yang belum kawin sebesar 14,3 persen,
sedangkan pada WUS yang sudah kawin
ORCrude
95% CI
1
4,23(0,74-24,20)
1
3,66(1,00-13,34)
p
0,105
0,049
hanya 6 persen. Persentase anemia pada WUS
dengan pendidikan SD ke bawah sebesar 11,5
persen, lebih tinggi dibandingkan WUS
dengan pendidikan SMP maupun SMA ke
atas. Menurut pekerjaan diketahui bahwa
WUS yang masih sekolah persentase kejadian
aneminya lebih tinggi (16,3%) dibandingkan
75
Prevalensi dan Faktor Risiko ………… (Sudikno, Sandjaja) dengan WUS yang bekerja, tidak bekerja dan
ibu rumah tangga. WUS yang belum pernah
melahirkan persentase kejadian aneminya
sebesar 13,8 persen lebih tinggi dari WUS
yang sudah pernah melahirkan. Menurut
riwayat keguguran diketahui bahwa persentase
kejadian anemia pada WUS yang tidak
mengalami keguguran sebesar 10,2 persen.
Dari variabel status gizi diketahui bahwa
persentase kejadian anemia pada WUS dengan
IMT <18,5 kg/m2 sebesar 15,0 persen lebih
tinggi dari kelompok WUS dengan IMT
≥18,5-24,9 kg/m2, IMT =25,0-29,9 kg/m2, dan
kelompok IMT ≥30,0 kg/m2. Dari Tabel 4
diketahui bahwa variabel umur, status kawin,
pekerjaan, dan jumlah anak yang pernah
dilahirkan, masuk dalam tahap analisis
multivariat (p<0,25).
Tabel 4. Persentase Kejadian Anemia menurut Karakteristik Sosiodemografi
Karakteristik
Umur
−
−
−
−
−
−
−
−
−
−
−
−
−
−
−
−
−
−
−
−
Status kawin
Pendidikan
Pekerjaan
Jumlah anak
yang pernah
dilahirkan
Riwayat
keguguran
Status gizi
(kg/m2)
20-35 tahun
< 20 tahun
Kawin
Belum pernah
SMA ke atas
SMP
SD ke bawah
Bekerja
Tidak bekerja
Ibu rumah tangga
Sekolah
0
1
≥2
Ya
Tidak
IMT= 18,5-24,9
IMT< 18,5
IMT= 25-29,9
IMT ≥ 30
n
6
8
5
9
2
5
7
1
1
5
7
9
1
4
0
14
9
3
1
1
Kejadian Anemia
Ya
Tidak
%
n
%
6,8
82
93,2
13,8
50
86,2
6,0
78
94,0
14,3
54
85,7
8,3
22
91,7
8,2
56
91,8
11,5
54
88,5
4,3
22
95,7
5,6
17
94,4
8,1
57
91,9
16,3
36
83,7
13,8
56
86,2
2,4
40
97,6
10,0
36
90,0
0,0
9 100,0
10,2
123
89,8
11,4
70
88,6
15,0
17
85,0
2,9
34
97,1
8,3
11
91,7
ORCrude
95% CI
1
2,18(0,71-6,67)
1
2,60(0,82-8,18)
1
0,98(0,17-5,44)
1,42(0,27-7,40)
1
1,29(0,07-22,22)
1,93(0,21-17,46)
4,27(0,49-37,14)
1
0,15(0,01-1,27)
0,69(0,19-2,41)
NA*
1
1,37(0,33-5,62)
0,22(0,02-1,88)
0,70(0,08-6,14)
p
0,169
0,103
0,984
0,673
0,859
0,559
0,188
0,083
0,563
0,660
0,170
0,753
* NA: Not Applicable
Tabel 5. Persentase Kejadian Anemia menurut Konsumsi Zat Gizi
Konsumsi Zat Gizi
Energi
Protein
Vitamin A
Vitamin C
Zat besi
Zink
* NA: Not Applicable
76 −
−
−
−
−
−
−
−
−
−
−
−
Cukup
Defisit
Cukup
Defisit
Cukup
Defisit
Cukup
Defisit
Cukup
Defisit
Cukup
Defisit
Kejadian Anemia
Ya
Tidak
n
%
n
%
1
3,2
30
96,8
13 11,3
102
88,7
3 11,1
24
88,9
11
9,2
108
90,8
7
8,0
81
92,0
7 12,1
51
87,9
1 50,0
1
50,0
13
9,0
131
91,0
0
0.0
8 100,0
14 10,1
124
89,9
0
0,0
1 100,0
14
9,7
131
90,3
ORCrude
95% CI
1
3,82(0,48-30,43)
1
0,81(0,21-3,14)
1
1,58(0,52-4,79)
1
0,09(0,00-1,68)
NA*
NA*
p
0,205
0,766
0,412
0,110
Prevalensi dan Faktor Risiko ………… (Sudikno, Sandjaja) Tabel 5 menjelaskan kejadian anemia menurut
konsumsi zat gizi. Persentase kejadian anemia
sebesar 10,1 persen pada WUS dengan
konsumsi energi kategori defisit. Pada WUS
dengan konsumsi protein kategori defisit,
persentase kejadian anemia sebesar 10,5
persen. Persentase kejadian anemia sebesar
12,1 persen pada WUS dengan konsumsi
vitamin A kategori defisit. Sedangkan pada
WUS dengan konsumsi vitamin C kategori
defisit, persentase kejadian anemia didapatkan
sebesar 9 persen. Selanjutnya persentase
kejadian anemia sebesar 10,1 persen pada
WUS dengan konsumsi zat besi kategori
defisit, dan pada WUS dengan konsumsi zink
kategori defisit, persentase kejadian anemia
didapatkan sebesar 9,7 persen. Dari Tabel 5
diketahui bahwa hanya variabel konsumsi
vitamin C yang masuk dalam tahap analisis
multivariat (p<0,25).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa WUS
dengan status feritin yang kurang berisiko
sebesar 4,01 kali (95% CI: 1,03-15,48) untuk
menjadi anemia dibandingkan dengan WUS
dengan status feritin yang cukup setelah
dikontrol oleh variabel status vitamin A dan
umur (Tabel 6).
Tabel 6. Regresi Logistik Multivariat Faktor Risiko Anemia Wanita Usia Subur (WUS) di
Rumah Tangga Miskin
Variabel
ORAdjusted
95% CI
p
4,01
5,86
2,85
1,03-15,48
0,92-37,29
0,83-9,78
0,04
0,06
0,09
Status feritin
Status vitamin A
Umur
PEMBAHASAN
Prevalensi anemia wanita usia subur (kadar
hemoglobin <12 g/dl) pada peneltian ini
sebesar 9,6 persen, termasuk masalah
kesehatan masyarakat dengan kategori sedang
menurut WHO (5,0%-19,9%).15,16 Hasil ini
masih lebih rendah dibandingkan dengan hasil
Riskesdas 2007 di perkotaan maupun hasil
Riskesdas 2013.4,5 Penelitian Buseri FI, dkk. di
Nigeria mendapatkan angka prevalensi anemia
pada WUS yang tidak hamil sebesar 16,7
persen, dan pada WUS yang hamil sebesar
23,2 persen.20 Penelitian Pala K dan Dundar N
di Turki mendapatkan angka prevalensi
anemia WUS sebesar 32,8 persen.12
Sedangkan di Etiopia menurut Ethiopian
Demographic and Health Survey (EDHS),
prevalensi anemia pada WUS menyusui adalah
29,9 persen pada tahun 2005 dan 18,5 persen
pada tahun 2011. Persentase anemia di antara
WUS yang hamil sebesar 30,6 persen pada
tahun 2005 dan 22 persen pada tahun 2011.
Selanjutnya persentase anemia pada WUS
yang tidak hamil atau menyusui sebesar 23,9
persen pada tahun 2005 dan 15 persen pada
tahun 2011.21,22 Penelitian Dabral M, dkk.23 di
Uttarakhand, India mendapatkan prevalensi
anemia pada WUS sebesar 64,28 persen.
Dilihat dari variabel umur tidak menunjukkan
adanya hubungan antara umur WUS dengan
kejadian anemia. Hasil ini sejalan dengan
penelitian Mirzaie F, dkk.24 di Kerman (Iran),
Swarnlatha25 di Andhra Pradesh (India).
Gartner A, dkk.26 di Maroko dan Tunisia.
Sebaliknya hasil penelitian Yi S-W, dkk.
menunjukkan adanya hubungan antara umur
dengan kejadian anemia pada WUS.27
Menurut pendidikan juga tidak menunjukkan
adanya hubungan antara tingkat pendidikan
dengan kejadian anemia. Penelitian Nik
Rosmawati NH, dkk.28 di Malaysia, Gartner A,
dkk.26 di Maroko dan Tunisia yang juga
menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak
berhubungan dengan kejadian anemia. Namun
sebaliknya pada penelitian Sanku DEY, dkk.14
di India, Mirzaie F, dkk.24 di Iran, Yi S-W,
dkk.27 di Korea, Patavegar BN, dkk.29 di India,
Wilunda C, dkk.30 di Tanzania menunjukkan
bahwa tingkat pendidikan berhubungan
dengan kejadian anemia pada WUS. Dari hasil
Riskesdas 2007 juga menunjukkan bahwa
77
Prevalensi dan Faktor Risiko ………… (Sudikno, Sandjaja) semakin tinggi tingkat pendidikan semakin
rendah prevalensi anemia.4
Pada penelitian ini tidak menunjukkan adanya
hubungan antara status kawin dengan risiko
kejadian anemia. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Gartner A, dkk.26 pada WUS
di Maroko dan Tunisia, Wilunda C, dkk.30 di
Tanzania. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa ada kecenderungan kejadian anemia
pada WUS yang belum kawin dibandingkan
WUS yang sudah kawin.
Menurut pekerjaan diketahui bahwa WUS
yang masih sekolah persentase kejadian
aneminya lebih tinggi dibandingkan dengan
WUS yang bekerja, tidak bekerja dan ibu
rumah tangga. Sedangkan pada Riskesdas
2007 menunjukkan bahwa ibu rumah tangga
mempunyai prevalensi anemia tertinggi
dibandingkan di antara jenis pekerjaan yang
lain.4 Hasil pada penelitian ini tidak
membuktikan adanya hubungan antara
pekerjaan dengan risiko kejadian anemia pada
WUS. Penelitian ini sejalan dengan Gartner A,
dkk.26 di Maroko dan Tunisia. Sebaliknya pada
penelitian Sanku DEY, dkk. 14 menunjukkan
bahwa jenis pekerjaan berhubungan dengan
kejadian anemia pada WUS.
Pada penelitian ini variabel paritas tidak
menunjukkan adanya hubungan dengan risiko
kejadian anemia pada WUS. Penelitian ini
sejalan dengan penelitian Wilunda C, dkk.30 di
Tanzania. Sedangkan pada penelitian Mirzaie
F, dkk.24 di Kerman (Iran), Gartner A, dkk.26
di Maroko dan Tunisia, Yi S-W, dkk.27 di
Korea menunjukkan adanya hubungan antara
paritas dengan risiko kejadian anemia. Pada
penelitian ini menunjukkan kecenderungan
kejadian anemia pada WUS yang belum
pernah melahirkan dibandingkan WUS yang
sudah pernah melahirkan.
Selanjutnya hasil penelitian ini tidak
menunjukkan adanya hubungan antara riwayat
keguguran dengan kejadian anemia. Meskipun
demikian, kehilangan darah selama keguguran
menunjukkan peningkatan kejadian anemia
secara signifikan.31
Dilihat dari variabel status gizi diketahui
bahwa kejadian anemia pada WUS cenderung
terjadi pada WUS dengan IMT kurang dari
18,5
kg/m2 (underweight) dibandingkan
78 kelompok WUS dengan kelompok IMT 18,524,9 kg/m2 (normal), walaupun dalam
penelitian ini belum menunjukkan hubungan
yang bermakna. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Wilunda C, dkk. (2013)30 di
Tanzania. Namun, pada penelitian Yi S-W,
dkk.27 di Korea menunjukkan adanya
hubungan antara IMT dengan kejadian
anemia. Menurut Qin Y, dkk. bahwa wanita
yang
mengalami
obesitas
memiliki
kecenderungan asupan zat besi lebih tinggi
daripada wanita kurus.32
Selanjutnya penelitian ini menunjukkan bahwa
konsumsi zat gizi WUS (energi, protein,
vitamin C, zat besi, dan zink) sebagian besar
masih di bawah angka kecukupan gizi yang
dianjurkan.
Hasil
penelitian
tidak
menunjukkan adanya hubungan antara
konsumsi zat gizi (energi, protein, vitamin A,
vitamin C, zat besi, dan zink). Hasil penelitian
ini tidak jauh berbeda dengan penelitian
Wallace LJ, dkk.33 di Kandal, Kamboja yang
menunjukkan bahwa konsumsi makanan
harian belum memenuhi, terutama konsumsi
zat besi dan vitamin A. Sedangkan pada
penelitian Batool Z, dkk. di Punjab, Pakistan
menunjukkan
bahwa
konsumsi
energi
berhubungan dengan kejadian anemia pada
WUS.
Hasil analisis regresi logistik multivariat pada
penelitian ini menunjukkan bahwa WUS
dengan status feritin yang kurang berisiko
menjadi anemia sebesar 4,01 kali (95% CI:
1,03-15,48) dibandingkan dengan WUS
dengan status feritin yang cukup setelah
dikontrol oleh variabel status vitamin A dan
umur. Sebagaimana diketahui bahwa serum
feritin diproduksi secara intraseluler yang
merespon terhadap peningkatan kandungan zat
besi. Jika cadangan zat besi meningkat, maka
konsentrasi serum feritin juga meningkat.34
Menurut WHO, serum feritin merupakan
cadangan zat besi di dalam tubuh. Molekul
feritin
merupakan
protein
intraseluler
berongga yang terdiri dari 24 subunit yang
mengelilingi inti zat besi yang berisi sebanyak
4.000-4.500 atom besi. Di dalam tubuh,
sebagian kecil feritin disekresikan ke dalam
plasma. Konsentrasi plasma (atau serum)
feritin berkorelasi positif dengan ukuran total
simpanan zat besi tubuh dengan tidak adanya
peradangan.35 Konsentrasi feritin yang normal
bervariasi berdasarkan usia dan jenis kelamin.
Konsentrasi tinggi pada saat lahir, meningkat
Prevalensi dan Faktor Risiko ………… (Sudikno, Sandjaja) selama dua bulan pertama kehidupan, dan
kemudian turun.36 Pada sekitar usia satu tahun,
konsentrasi mulai naik lagi dan terus
meningkat hingga dewasa.37
Sedangkan vitamin A diduga berperan dalam
penyerapan zat besi dan atau pemanfaatan
cadangan zat besi untuk produksi heme baru.38
Penelitian Suharno, dkk. menunjukkan bahwa
pengaruh suplementasi besi pada konsentrasi
hemoglobin dapat ditingkatkan dengan
penambahan vitamin A.39
Pola
konsumsi
sumber
penghambat
penyerapan zat besi (Inhibitor) berpengaruh
terhadap dengan status anemia. Makanan
yang
merupakan
sumber
penghambat
penyerapan zat besi (inhibitor) yaitu tanin dan
oksalat yang banyak terkandung dalam
makanan seperti kacang-kacangan, pisang,
bayam, coklat, kopi, dan teh.40 Penelitian Putri
dan Sumarmi pada pengantin wanita (19-29
tahun) di Kabupaten Probolinggo juga
menunjukkan bahwa konsumsi zat besi
sebagian besar adalah dari non-heme, dan
kurang makanan sumber zink.41
Menurut WHO perlu adanya intervensi
peningkatan
sumber
zat
besi
yang
bioavailabilitas tinggi dalam makanan wanita
usia reproduksi. Selain itu perlu adanya
diversifikasi makanan, suplementasi zat besi,
dan fortifikasi yang universal untuk
menurunkan tingkat anemia.42 Menurut
Bhutta, dkk. bahwa meningkatkan status zat
besi pada masa pra konsepsi sama seperti
pemberian suplemen mikronutrien besi folat
selama kehamilan yang akan menurunkan
kejadian berat bayi lahir rendah (BBLR).43
Penelitian Taha A, dkk. menyimpulkan bahwa
status zat besi pada janin dan status zat besi
bayi yang baru lahir tergantung pada status
besi ibu hamil dan oleh karena itu, kekurangan
zat besi pada ibu berarti bahwa janin yang
tumbuh mungkin akan kekurangan zat besi
juga.44
Selanjutnya
Patavegar
BN29
menambahkan bahwa faktor kecacingan juga
dapat menyebabkan anemia, namun pada
penelitian ini tidak dilakukan pemeriksaan
kecacingan pada WUS.
melalui sekolah-sekolah menengah atas untuk
menjaring remaja putri dalam program
pemberian tablet tambah darah. Shrivastava D,
dkk. menambahkan perlu adanya monitoring
kepatuhan yang baik dalam pelaksanaan
pemberian suplemen zat besi.45 Di samping itu
perlu adanya upaya penyuluhan tentang
makanan seimbang kepada kelompok WUS.
Kelompok bahan makanan atau makanan
hewani yang relatif murah dan mudah
diperoleh, seperti: telur ayam, ikan segar dari
sungai/kolam/laut sangat baik bagi WUS,
karena memiliki bioavailabilitas besi yang
baik.
KESIMPULAN
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa
anemia pada wanita usia subur di rumahtangga
miskin masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat dengan kategori sedang. Pada
WUS dengan status feritin yang kurang
(defisit) mempunyai risiko untuk menjadi
anemia sebesar 4,01 kali dibandingkan dengan
WUS dengan status feritin yang cukup setelah
dikontrol oleh variabel status vitamin A dan
umur.
SARAN
Pemberian tablet tambah darah kepada
kelompok WUS diharapkan masih menjadi
prioritas program. Di samping itu perlu adanya
upaya penyuluhan tentang makanan seimbang,
terutama makanan hewani yang murah dan
mudah diperoleh.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
Kepala Badan Peneitian dan Pengembangan
Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya,
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Ciamis
beserta staf, dan kepada almarhum Bapak
Robert L. Tilden selaku konsultan dalam
penelitian ini.
Dengan demikian program pemberian tablet
tambah darah pada WUS, termasuk remaja
putri diharapkan masih menjadi program
prioritas. Perlu adanya upaya menyeluruh
79
Prevalensi dan Faktor Risiko ………… (Sudikno, Sandjaja) DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. The world
health report. Reducing risks, promoting
healthy life. Geneva: World Health
Organization, 2002.
2. McLean E, Cogswell M, Egli I, Wojdyla
D, de Benoist B. Worldwide prevalence of
anaemia, WHO Vitamin and Mineral
Nutrition Information System, 1993–2005.
Public Health Nutr 2009; 12: 444–54.
3. World Health Organization. WHA Global
Nutrition Targets 2025: Anaemia Policy
Brief.
Geneva:
World
Health
Organization. 2014.
4. Departemen Kesehatan. Laporan Nasional
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun
2007 Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
Jakarta: 2009.
5. Kementerian
Kesehatan
RI.
Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI. Jakarta: 2013.
6. Kementerian Kesehatan RI. Profil
Kesehatan Indonesia Tahun 2014. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. 2015.
7. Ezzati M, Lopez AD, Rodgers AA,
Murray CJL. Comparative quantifi cation
of health risks: global and regional burden
of disease attributable to selected major
risk factors. Geneva, Switzerland: World
Health Organization, 2004.
8. Horton S, Ross J. The economics of iron
deficiency. Food Policy 2003; 28: 51–75.
9. Balarajan Y, Ramakrishnan U, Özaltin E,
Shankar AH, Subramanian SV. Anaemia
in low-income and middle-income
countries.
Lancet.
2011:
1-13.
DOI:10.1016/S0140736(10)62304-5.
10. Agrawal S, Misra R,
Aggarwal A.
Anemia in rheumatoid arthritis: high
prevalence of iron-deficiency anemia in
Indian patients. Rheumatol Int (2006) 26:
1091–1095. DOI 10.1007/s00296-0060133-4.
11. Kaur K. Anaemia ‘a silent killer’ among
women in India: Present scenario. Euro J
Zool Res, 2014, 3 (1):32-36.
12. Pala K, Dundar N. Prevalence & risk
factors of anaemia among women of
reproductive age in Bursa, Turkey. Indian
J Med Res 128. 2008:282-286.
13. Siteti MC, Namasaka SD, Ariya OP, Injete
SD, Wanyonyi WA. Anaemia in
80 14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
pregnancy: Prevalence and possible risk
factors in Kakamega County, Kenya.
Science Journal of Public Health 2014;
2(3):
216-222.
doi:
10.11648/j.sjph.20140203.23.
http://www.sciencepublishinggroup.com/j/
sjph
Sanku DEY, Goswami S, Goswami M.
Prevalence of anaemia in women of
reproductive age in Meghalaya: a logistic
regression analysis. Turk J Med Sci. 2010;
40 (5): 783-789. doi:10.3906/sag-0811-44
WHO.
Iron
deficiency
anaemia:
assessment, prevention and control, a
guide for programme managers. Geneva,
World Health Organization, 2001.
Available
from:
http://www.who.int/nutrition/publications/
micronutrients/anaemia_iron_deficiency/
WHO_NHD_01.3/en/index.html.
WHO. Worldwide prevalence of anaemia
1993–2005: WHO global database on
anaemia. Geneva, Switzerland: World
Health Organization, 2008.
WHO. Serum retinol concentrations for
determining the prevalence of vitamin A
deficiency in populations. Geneva: WHO,
2011.
Available
http://www.who.int/vmnis/indicators/retin
ol.pdf.
Nelson M, Erens B, Bates B, Church
S, and Boshier T. 23-hour recall
instruction. London:
University
of
London, (tanpa tahun).
World Health Organization. Obesity:
Preventing and Managing the Global
Epidemic. Report of a WHO Consultation.
Geneva: WHO. 2000.
Buseri FI, Uko EK, Jeremiah ZA,Usanga
EA. Prevalence and Risk Factors of
Anaemia Among Pregnant women in
Nigeria. The Open Hematology Journal.
2008; 2:14-19.
Central
Statistical
Agency
(CSA)
Ethiopia. Demographic and Health Survey
2011. Addis Ababa, Ethiopia and
Calverton, Maryland, USA: CSA and
ORC Macro, 2011.
Central Statistical Agency (CSA).
Demographic and Health Survey 2005.
Addis Ababa, Ethiopia and Calverton,
Maryland, USA: CSA and ORC Macro,
2005.
Dabral M, Kothiyal P. Prevalence Of
Anemia Among Reproductive Age Group
Prevalensi dan Faktor Risiko ………… (Sudikno, Sandjaja) 24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
Tribal Women In Uttarakhand, India.
Indian Journal of Pharmaceutical Science
& Research. 2015; 5(4): 301-304.
Mirzaie F, Eftekhari N, Goldozeian S,
Mahdavinia J. Prevalence of anemia risk
factors in pregnant women in Kerman,
Iran. Iranian Journal of Reproductive
Medicine. 2010;8(2): 66-69.
Swarnlatha. Prevalence of Anaemia and its
Socio Demographic. Determinants among
Pregnant Women Attending Government
Maternity
Hospital,
Tirupati,
A.P.
Sudanese Journal Of Public Health.
2013;8 (3):104-106.
Gartner A, Ati JE, Traissac P, Bour A,
Berger J, Landais E, Hsaı¨ni HE, Rayana
CB, Delpeuch F. A Double Burden of
Overall or Central Adiposity and Anemia
or Iron Deficiency Is Prevalent but with
Little Socioeconomic Patterning among
Moroccan and Tunisian Urban Women. J.
Nutr.
144:
87–97,
2014.
doi:10.3945/jn.113.178285.
http://jn.nutrition.org/content/suppl/2013/1
2/11/jn.113.178285.DCSupplemental.html
.
Yi S-W, Han Y-J, Ohrr H. Anemia before
pregnancy and risk of preterm birth, low
birth weight and small-for-gestational-age
birth in Korean women. European Journal
of Clinical Nutrition (2013) 67, 337–342.
Nik Rosmawati NH, Mohd Nazri S, Mohd
Ismail I. The Rate and Risk Factors for
Anemia among Pregnant Mothers in Jerteh
Terengganu, Malaysia. J Community Med
Health
Educ.
2012;
2:150.
doi:10.4172/2161-0711.1000150.
Patavegar BN, Kamble MS, Langare-Patil
S. Prevalence of anaemia and its
epidemiological correlates among women
of reproductive age in a rural setting.
International Journal of Basic and Applied
Medical Sciences. 2014; 4 (2): 155-159.
Wilunda C, Massawe S, Jackson C.
Determinants
of
moderate-to-severe
anaemia among women of reproductive
age in Tanzania: analysis of data from the
2010 Tanzania demographic and health
survey.
Tropical
Medicine
and
International Health. 2013; 18 (12): 14881497. doi:10.1111/tmi.12199.
Batool Z, Zafar MI, Maann AA, Tanvir
Ali T. Socio-Cultural Factors Affecting
Anemia and Their Effects on Mother, and
Child Health in Rural Areas of District
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
Faisalabad, Punjab, Pakistan. Pak. J. Agri.
Sci. 2010; 47(1):59-65.
Qin Y, Melse-Boonstra A, Pan X, Yuan B,
Dai Y, Zhao J, Zimmermann MB, Kok FJ,
Zhou M, Shi Z. Anemia in relation to body
mass index and waist circumference
among chinese women. Nutrition Journal.
2013;12:10. doi:10.1186/1475-2891-1210.
http://www.nutritionj.com/content/12/1/10
.
Wallace LJ, Summerlee AJS, Dewey CE,
Hak C, Hall A, Charles CV. Women’s
nutrient
intakes
and
food-related
knowledge in rural Kandal province,
Cambodia. Asia Pac J Clin Nutr
2014;23(2):263-271.
doi:
10.6133/apjcn.2014.23.2.02.
Baynes RD. Assessment of iron status.
Clinical biochemistry. 1996;29(3):209215.
WHO. Serum ferritin concentrations for
the assessment of iron status and iron
deficiency in populations. Vitamin and
Mineral Nutrition Information System.
Geneva, World Health Organization, 2011
(WHO/NMH/NHD/MNM/11.2).
(http://www.who.int/vmnis/indicators/seru
m_ferritin. pdf.)
Domellof M, Dewey KG, Lonnerdal B,
Cohen RJ, Hernell O. The diagnostic
criteria for iron deficiency in infants
should be reevaluated. Journal of
Nutrition, 2002, 132:3680-3686.
Gibson R. Principles of nutritional
assessment, 2nd ed. Oxford, UK, Oxford
University Press, 2005.
Zimmermann MB, Biebinger R, Rohner F,
Dib A, Zeder C, Hurrell RF, and Chaouki
N. 2006. Vitamin A supplementation in
children with poor vitamin A and iron
status increases erythropoietin and
hemoglobin
concentrations
without
changing total body iron. Am J Clin Nutr.
2006:84:580-586.
Suharno D, West CE, Muhilal, Karyadi D,
and Hautvast JG. Supplementation with
vitamin A and iron for nutritional anaemia
in pregnant women in West Java,
Indonesia. Lancet 1993: 342:1325-1328.
Masthalina H, Laraeni Y, Dahlia YP. Pola
Konsumsi (Faktor Inhibitor dan Enhancer
Fe) Terhadap Status Anemia Remaja Putri.
Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2015; 11
(1): 80-86.
81
Prevalensi dan Faktor Risiko ………… (Sudikno, Sandjaja) 41. Putri SI, Sumarmi S. Perbandingan
Konsumsi Zat Gizi, Status Gizi, dan Kadar
Hemoglobin Pengantin Wanita di Wilayah
Pantai
dan
Pertanian
Kabupaten
Probolinggo. Media Gizi Indonesia. 2013;
9(1):72–77.
42. Chaparro C, Oot L, Sethuraman K. 2014.
Overview of the Nutrition Situation in
Seven Countries in Southeast Asia.
Washington, DC: FHI 360/FANTA.
43. Bhutta, Z. et al. Maternal and child
undernutrition and overweight in lowincome and middle-income countries. The
Lancet. 2013; 382(9890):427–451.
44. Taha A, Azhar S, Lone T, Murtaza G,
Khan SA, Mumtaz A, Muhammad
82 Hassham Hassan Bin Asad2, Kousar R,
Karim S, Tariq I, Syed Saeed ul Hassan,
Hussain I. Iron Deficiency Anaemia In
Reproductive Age Women Attending
Obstetrics And Gynecology Outpatient Of
University Health Centre In Al-Ahsa,
Saudi Arabia. Afr J Tradit Complement
Altern
Med.
2014;11(2):339-342.
http://dx.doi.org/10.4314/ajtcam.v11i2.19.
45. Shrivastava D, Mukherjee S, Lohana R,
Khemka S. Determinants of Factors for
Anaemia in Pregnancy in a Rural Medical
College. Global Journal of Medical
research Gynecology and Obstetrics.
2013;13(2) Version 1.0
Jurnal Kesehatan Reproduksi (ISSN 2087-703X) - Vol 7, No. 2, (2016), pp. 83-93
Kepatuhan Konsumsi Kalsium ………… (Galih Purnasari, Dodik Briawan, Cesilia Meti Dwiriani) KEPATUHAN KONSUMSI SUPLEMEN KALSIUM SERTA HUBUNGANNYA DENGAN
TINGKAT KECUKUPAN KALSIUM PADA IBU HAMIL DI KABUPATEN JEMBER
Calcium Supplementation Compliance and Its Relationship to Calcium
Adequacy among Pregnant Women in Jember
Galih Purnasari*, Dodik Briawan, Cesilia Meti Dwiriani
Departemen Ilmu Gizi Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
*E-mail: [email protected]
Abstract
Background: World Health Organization (WHO) recommended supplementation of 1500-2000 mg/day calcium to
be integrated into antenatal care (ANC) programmes to prevent pre-eclampsia, but the current program has not
followed these recommendation. There was limited information about factors related to calcium supplements
compliance and calcium adequacy in pregnant women in Indonesia.
Objective: The study aims to analyze factors related to calcium supplements compliance and calcium adequacy in
pregnant women.
Method: This research was observational with cross sectional design. Subjects were 96 pregnant women received
calcium supplements and attended ANC in Sumbersari and Ambulu Community Health Centre, Jember Regency.
Data was analyzed using logistic regression to assess factors related to calcium intake compliance.
Result: Factors associated to calcium supplements compliance were family support (OR= 3.40; 95% CI: 1.29–9.01)
and perceived calcium benefits (OR= 3.02; 95% CI: 1.22-7.48). A high number of subjects (76.1%) was below
estimated average requirement (EAR) of calcium. The average contribution of calcium intake from supplements was
only 2.6% of subject’s EAR.
Conclusion: This study implies that family support can improve compliance among the pregnant women and the
needs of optimizing calcium supplementation program in Indonesia.
Keywords: Calcium supplements, calcium adequacy, pregnant women, ANC
Abstrak
Latar belakang: WHO menganjurkan suplementasi kalsium 1500-2000 mg/hari bagi ibu hamil sebagai bagian dari
ANC untuk pencegahan pre-eklampsi, namun program suplementasi kalsium di Indonesia saat ini belum
sepenuhnya mengikuti anjuran tersebut. Belum banyak informasi mengenai faktor yang mempengaruhi kepatuhan
ibu dalam mengonsumsi suplemen kalsium maupun informasi kecukupan kalsium pada ibu hamil di Indonesia.
Tujuan: Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan ibu hamil dalam mengonsumsi suplemen
kalsium dan tingkat kecukupan kalsium pada ibu hamil.
Metode: Penelitian observasional dengan rancangan cross sectional study. Subjek penelitian adalah 96 ibu hamil
yang telah mendapatkan suplemen kalsium dan melakukan ANC di Puskesmas Sumbersari dan Ambulu, Kabupaten
Jember. Regresi logistik digunakan untuk menganalisis faktor yang paling berpengaruh.
Hasil: Hasil penelitian diperoleh faktor yang mempengaruhi kepatuhan konsumsi tablet kalsium adalah dukungan
keluarga (OR= 3,40; 95% CI: 1,29 – 9,01) dan manfaat suplemen kalsium yang dirasakan (OR= 3,02; 95% CI: 1,227,48). Tingkat kecukupan kalsium sebagian besar ibu hamil (76,1%) masih di bawah estimated average requirement
(EAR) kalsium. Kontribusi asupan kalsium dari suplemen tidak besar, yaitu hanya memenuhi 2,6% EAR.
Kesimpulan: Meningkatkan dukungan keluarga dapat menjadi strategi meningkatkan kepatuhan konsumsi
suplemen kalsium dan perlunya mengoptimalkan program suplementasi kalsium di Indonesia.
Kata kunci: Suplemen kalsium, kecukupan kalsium, ibu hamil, ANC
Naskah masuk: 19 Mei 2015
Review: 10 Agustus 2016
Disetujui terbit: 24 Agustus 2016
Kepatuhan Konsumsi Kalsium ………… (Galih Purnasari, Dodik Briawan, Cesilia Meti Dwiriani) PENDAHULUAN
Hipertensi dalam kehamilan termasuk di
dalamnya preeklampsia merupakan penyebab
utama nomor dua kematian ibu di seluruh
dunia.1 Di Indonesia kematian ibu didominasi
oleh penyebab utama yaitu hipertensi dalam
kehamilan dan perdarahan.2 Hipertensi dalam
kehamilan proporsinya semakin meningkat, dari
20 persen di tahun 2007 menjadi hampir 30
persen di tahun 2011.3 Kebutuhan kalsium
meningkat selama kehamilan. Selain penting
bagi kesehatan tulang ibu dan janin, asupan
kalsium yang cukup dapat mengurangi kejadian
hipertensi selama kehamilan, mengurangi risiko
preeklampsia
dan
mencegah
kelahiran
prematur.4
Wanita hamil di negara berkembang umumnya
memiliki asupan kalsium yang rendah.
Penelitian yang dilakukan di Kamerun
menunjukkan sebanyak 94,6 persen ibu hamil
memiliki asupan kalsium yang inadekuat.5
Berdasarkan penelitian di daerah selatan
Thailand, tampak bahwa sebanyak 55 persen ibu
hamil memiliki asupan kalsium inadekuat
dengan rata–rata asupan kalsium sebesar 493,2
mg/hari.6 Penelitian Sacco et al. di Peru
menunjukkan bahwa prevalensi ibu hamil yang
memiliki asupan kalsium inadekuat sebesar 86
persen.7
World Health Organization merekomendasikan
suplementasi kalsium 1500-2000 g/hari pada
populasi dengan asupan kalsium rendah sebagai
bagian
dari
ANC
untuk
pencegahan
preeklampsia pada ibu hamil, terutama pada ibu
hamil yang memiliki risiko tinggi hipertensi.8
Diketahui kalsium karbonat merupakan pilihan
yang paling cost-effective menjadi suplemen
kalsium bagi ibu hamil, namun secara
farmakologi hanya dapat mengandung maksimal
500 mg kasium elemental per tabletnya.
Sehingga membutuhkan 3 hingga 4 tablet per
hari.9 Selain itu perlunya tablet kalsium
dikonsumsi terpisah dari suplemen besi karena
akan muncul efek negatif pada absorpsi kalsium
dan besi jika dikonsumsi bersamaan. 10
Di Indonesia, rekomendasi pemberian suplemen
kalsium sebesar 1500–2000 mg/hari pada
84 populasi dengan asupan kalsium rendah sebagai
pencegahan preeklampsia telah tertuang dalam
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas
Kesehatan Dasar dan Rujukan.11 Meskipun
demikian, rekomendasi ini belum diadopsi
secara luas karena cukup sulit jika
diimplementasikan, termasuk jenis dan jumlah
tablet kalsium yang dibutuhkan untuk mencapai
dosis yang direkomendasikan. Suplemen
kalsium di Jember diberikan saat ANC
bersamaan dengan pemberian suplemen besi dan
vitamin C dengan anjuran minum 1 kali per hari
untuk masing-masing tablet minimal sebanyak
90 tablet selama kehamilan.
Berbagai studi tentang evaluasi program
suplementasi
besi
menunjukkan
bahwa
kepatuhan ibu hamil mengonsumsi suplemen
selama kehamilan menjadi salah satu tantangan
yang paling sering ditemui dalam mencapai
pelaksanaan program suplementasi mikronutrien
yang efektif pada ibu hamil.12–14 Selama ini
informasi
mengenai
faktor-faktor
yang
berhubungan dengan kepatuhan konsumsi
suplemen kalsium masih terbatas dan belum
banyak informasi mengenai tingkat kecukupan
kalsium pada ibu hamil di Indonesia. Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis faktor yang
berhubungan dengan kepatuhan konsumsi
kalsium pada ibu hamil serta menganalisis faktor
yang berhubungan dengan tingkat kecukupan
kalsium pada ibu hamil. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai faktor-faktor yang berhubungan
dengan
kepatuhan
ibu
hamil
dalam
mengonsumsi tablet kalsium dan sebagai bahan
masukan bagi perencanaan kebijakan yang
berkaitan dengan peningkatan gizi ibu hamil,
mengingat gizi pada ibu hamil sangat
menentukan kualitas generasi berikutnya.
METODE
Jenis penelitian yang digunakan adalah
observasional analitik dengan rancangan cross
sectional study. Pemilihan lokasi penelitian
dilakukan secara purposive, yaitu di Puskesmas
Sumbersari dan Puskesmas Ambulu Kabupaten
Jember, Provinsi Jawa Timur. Kabupaten
Jember dan kedua puskesmas ini dipilih karena
Kepatuhan Konsumsi Kalsium ………… (Galih Purnasari, Dodik Briawan, Cesilia Meti Dwiriani) telah menjalankan program suplementasi
kalsium pada ibu hamil. Selain itu diketahui
Jember memiliki angka kematian ibu (AKI)
tertinggi ke-2 di Jawa Timur yaitu 31 orang dari
semua kelahiran di tahun 2014 dan cakupan
pemeriksaan kehamilan minimal 4 kali (K4) di
Jember tergolong rendah (69,78%).15,16
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari
sampai bulan Februari tahun 2016. Populasi
adalah ibu hamil yang berada di wilayah kerja
Puskesmas Sumbersari dan Puskesmas Ambulu,
Kabupaten Jember. Kriteria inklusi yang
ditetapkan adalah ibu hamil trimester I sampai
III yang mendapatkan pelayanan ANC di
puskesmas ataupun posyandu di wilayah kerja
puskesmas,
sudah
pernah
mendapatkan
suplemen kalsium dan bersedia diwawancarai.
Jumlah subjek minimal menggunakan rumus
Lemeshow et al. adalah 92 ibu hamil.17 Setelah
proses pengumpulan data selesai, didapatkan
subjek ibu hamil yang mengikuti penelitian
dengan data yang lengkap berjumlah 96 orang.
Suplemen kalsium dibagikan saat kunjungan
ANC ibu hamil setiap bulannya dengan jumlah
minimal 90 tablet selaman kehamilan. Namun
jumlah tablet kalsium yang diberikan saat ANC
tidak selalu sama. Pada penelitian ini didapatkan
jumlah minimal tablet yang diterima ibu adalah
6 tablet dan maksimal 30 tablet.
Variabel terikat adalah kepatuhan ibu dalam
mengonsumsi suplemen kalsium dan tingkat
kecukupan kalsium. Sedangkan variabel bebas
yaitu karakteristik ibu hamil, pengetahuan
mengenai kecukupan kalsium dan suplementasi
kalsium, dukungan keluarga, manfaat suplemen
kalsium yang dirasakan, kualitas konseling yang
diterima, dan asupan kalsium dari pangan.
Wawancara terstruktur menggunakan kuesioner
untuk mengetahui data ibu hamil yang meliputi
karakteristik ibu hamil (usia ibu hamil, frekuensi
ANC, pendidikan, status pekerjaan ibu),
pengetahuan mengenai kecukupan kalsium dan
suplementasi kalsium; kualitas konseling
petugas kesehatan dalam pemberian suplemen
kalsium; dukungan keluarga; manfaat suplemen
kalsium yang dirasakan. jumlah suplemen
kalsium yang diterima; kepatuhan ibu hamil
dalam
mengonsumsi suplemen kalsium.
Kategori pendidikan dibagi dalam pendidikan
<SMA (sekolah menengah atas) dan ≥ SMA
merujuk pada Fitri (2015).18 Wawancara
menggunakan food frequency questionnaire
(FFQ) semi kuantitatif selama sebulan untuk
mengetahui asupan kalsium dari pangan.
Subjek dikatakan patuh apabila mengonsumsi
seluruh suplemen kalsium yang didapat.
Penilaian kualitas konseling didapatkan dari
jumlah jenis nasihat mengenai kecukukupan
kalsium dan suplementasi kalsium dikalikan
dengan frekuensi pemberian nasihat tersebut lalu
dibagi dengan frekuensi ANC ibu. Jenis nasihat
yang ditanyakan terdiri dari fungsi kalsium,
perlunya tablet kalsium, dosis suplemen
kalsium, cara mengonsumsi suplemen kalsium
dan hubungan suplemen kalsium dengan
hipertensi dalam kehamilan. Asupan kalsium
pangan dianggap cukup apabila asupan kalsium
≥ estimated average requirement (EAR)
kalsium. Sesuai dengan Institute of Medicine
(IOM), angka kecukupan gizi (AKG) adalah
sebesar 120 persen dari EAR, sehingga dengan
membagi AKG kalsium dengan 1,2 didapatkan
EAR kalsium. EAR kalsium ibu hamil di
Indonesia sebesar 1167,7 mg/hari untuk usia 1618 tahun, 1083,3 mg/hari untuk usia 19-29 tahun
dan 1000 mg/hari untuk usia 30-49 tahun.19,20
Tingkat kecukupan kalsium pada penelitian ini
didapatkan dari rata-rata asupan kalsium dari
pangan dan makanan yang ditambahkan dengan
rata-rata asupan kalsium dari suplemen
kemudian dibandingkan dengan EAR. Asupan
kalsium diolah menggunakan Daftar Komposisi
Bahan Makanan (DKBM) Excel 2007 untuk
bahan pangan dan Nutrisurvey 2005 untuk
bahan makanan. Regresi logistik digunakan
untuk menganalisis secara bersama-sama
berbagai
variabel
yang
mempengaruhi
kepatuhan mengonsumsi suplemen kalsium. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan
Etik dari Komite Etik Penelitian Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia No.
112/UN2.F1/ETIK/2016.
85
Kepatuhan Konsumsi Kalsium ………… (Galih Purnasari, Dodik Briawan, Cesilia Meti Dwiriani) HASIL
Karakteristik Subjek
Sebagian besar subjek ibu hamil (82,3%) berada
pada kisaran usia 20 sampai 35 tahun yang
tergolong dalam kategori usia dengan faktor
resiko rendah dalam kehamilan. Lebih dari
setengah subjek (92,8%) memiliki usia
kehamilan di trimester 2 dan 3. Lebih dari
setengah subjek ibu hamil (62,6%) memiliki
pendidikan terakhir ≥ SMA. Penelitian ini
dilakukan di puskesmas sehingga ibu hamil yang
dijadikan subjek adalah mereka yang umumnya
rutin melakukan ANC setiap bulannya di
puskesmas tersebut, diketahui sebagian besar
subjek (95,8%) telah memenuhi frekuensi ANC
yang dianjurkan yaitu 1 kali di trimester I, 1 kali
di trimester II dan 2 kali di trimester III. Lebih
dari setengah subjek (65,6%) memiliki frekuensi
ANC ≥5. Sebagian besar subjek (79,2%)
merupakan ibu rumah tangga. Sebaran ibu hamil
berdasarkan karakteristik subjek ditunjukkan
pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik subjek ibu hamil
Karakteristik
Usia
Risiko tinggi (<20 tahun atau >35 tahun)
Risiko rendah (20-35 tahun)
Usia kehamilan
Trimester I
Trimester II
Trimester III
Tingkat pendidikan
≤SD
≤SMP
≤SMA
Perguruan tinggi
Frekuensi ANC
<5 kali
≥5 kali
Status pekerjaan
Tidak bekerja
Bekerja
Faktor-faktor yang berhubungan dengan
kepatuhan ibu hamil dalam mengonsumsi
suplemen kalsium
Kepatuhan ibu hamil dalam mengonsumsi
suplemen kalsium dapat dipengaruhi berbagai
faktor. Hasil analisis bivariat (Tabel 2)
menunjukkan bahwa variabel yang memiliki
hubungan yang signifikan dengan kepatuhan ibu
hamil dalam mengonsumsi suplemen kalsium
adalah usia ibu, pendidikan ibu, adanya
dukungan keluarga, jumlah tablet kalsium yang
diterima, dan manfaat suplemen kalsium yang
dirasakan oleh ibu hamil.
86 n
%
17
79
17,7
82,3
7
30
59
7,3
31.3
61.5
15
21
42
18
15,6
21,9
43,8
18,8
33
63
34,4
65,6
76
20
79,2
20,8
Analisis bivariat menunjukkan bahwa frekuensi
ANC, pengetahuan mengenai kecukupan
kalsium dan suplementasi kalsium, kualitas
konseling tidak menunjukkan hubungan yang
bermakna dengan kepatuhan konsumsi suplemen
kalsium (Tabel 2). Analisis multivariat
dilakukan untuk mengetahui variabel yang
berpengaruh dengan kepatuhan ibu hamil dalam
mengonsumsi suplemen kalsium. Analisis yang
digunakan adalah regresi logistik dengan
menggunakn metode Backward. Hasil analisis
ini
menunjukkan
bahwa
faktor
yang
berpengaruh terhadap kepatuhan ibu hamil
dalam mengonsumsi suplemen kalsium adalah
adanya dukungan keluarga dalam mengonsumsi
Kepatuhan Konsumsi Kalsium ………… (Galih Purnasari, Dodik Briawan, Cesilia Meti Dwiriani) suplemen kalsium (OR= 3,953; 95% CI: 1,52210,265) dan manfaat suplemen kalsium yang
dirasakan (OR= 3,020; 95% CI: 1,219-7.481).
Tabel 2. Hubungan antar variabel dengan kepatuhan ibu hamil dalam mengonsumsi suplemen
kalsium
Tidak patuh
n
%
Variabel
Usia ibu (tahun)
Risiko tinggi (<20 tahun atau >35 tahun)
Risiko rendah (20-35 tahun)
Tingkat pendidikan
<SMA
≥SMA
Frekuensi ANC
<5 kali
≥5 kali
Pengetahuan mengenai kecukupan kalsium
dan suplementasi kalsium
Kurang
Cukup
Adanya dukungan keluarga
Tidak
Ya
Kualitas konseling mengenai kecukupan
kalsium dan suplementasi kalsium
Kurang
Baik
Jumlah tablet kalsium yang diterima
>15 tablet
≤15 tablet
Manfaat suplemen kalsium
Tidak merasakan
Merasakan
Patuh
n
%
P-value
OR
95% CI
5
45
29,4
57,0
12
34
70,6
43,0
0,039*
0,315
0,101-0,979
15
35
39.5
60,3
23
23
60,5
39.7
0,045*
0,429
0,186-0,989
20
30
60.6
47,6
13
33
39,4
52,4
0,226
1,692
0,719-3,982
32
18
59,3
42,9
22
24
40,7
57,1
0,111
1,939
0,856-4,392
25
25
71,4
41,0
10
36
28,6
59,0
0,004*
3,600
1,473-8,796
22
28
44,9
59.6
27
19
55,1
40,4
0,150
0,553
0,246-1,243
26
24
66,7
42,1
13
33
33,7
57,9
0,018*
2,750
1,177-6,423
30
20
62,5
41,7
18
28
37,5
58,3
0,041*
2,333
1,029-5,292
*Bermakna pada p<0,05
Asupan kalsium dari pangan
Sebagian besar subjek (81.3%) pada penelitian
ini memiliki asupan kasium dari pangan dan
makanan yang tergolong defisit (kurang).
Sebaran subjek berdasarkan kategori asupan
kalsium dari pangan dan makanan disajikan
dalam Tabel 3.
Tabel 3. Kategori asupan kalsium subjek
dari pangan
Asupan kalsium dari
pangan
Defisit
Cukup
n
%
78
18
81.2
18.8
Kontribusi suplemen kalsium dan asupan
kalsium pangan terhadap tingkat kecukupan
kalsium pada ibu hamil
Pada penelitian ini asupan kalsium total
didapatkan dari konsumsi pangan harian dan
konsumsi suplemen kalsium. Tingkat kecukupan
kalsium pada penelitian ini adalah jumlah ratarata asupan kalsium pangan yang ditambahkan
dengan rata-rata asupan kalsium dari suplemen
kemudian dibandingkan dengan EAR. Dalam
penelitian ini dilakukan uji hubungan antara
beberapa variabel terhadap tingkat kecukupan
kalsium pada ibu hamil melalui uji bivariat.
Didapatkan faktor yang berhubungan dengan
tingkat kecukupan kalsium adalah konsumsi
87
Kepatuhan Konsumsi Kalsium ………… (Galih Purnasari, Dodik Briawan, Cesilia Meti Dwiriani) kalsium pangan. Hasil uji tersebut disajikan
dalam Tabel 4.
Tabel 4. Hubungan antar konsumsi kalsium
dan tingkat kecukupan kalsium
pada ibu hamil
Tingkat Kecukupan
Kalsium
Variabel
Inadekuat
n
%
Kepatuhan konsumsi tablet
kalsium
39
78,0
− Tidak patuh
35
76,1
− Patuh
Konsumsi kalsium dari
pangan
74
94,9
− Defisit
0
0
− Cukup
*Bermakna pada p<0.05
Adekuat
Pvalue
n
%
11
11
22,0
23,9
0,824
4
18
5,1
100,0
0,000*
PEMBAHASAN
Ibu dengan risiko kehamilan rendah lebih tidak
patuh
mengonsumsi
suplemen
kalsium
dibandingkan dengan ibu dengan kondisi risiko
kehamilan tinggi (OR=0,315). Berbeda dengan
penelitian Dairo dan Lawoyin yang melaporkan
bahwa ibu dengan risiko kehamilan tinggi lebih
tidak patuh mengonsumsi suplemen besi
dibandingkan ibu dengan risiko kehamilan
rendah.21 Hal ini dapat disebabkan oleh jumlah
ibu hamil pada kategori risiko kehamilan rendah
jauh lebih banyak (82,3%) dibanding ibu pada
kategori risiko tinggi (18,7%). Diketahui pada
kelompok ibu yang tidak patuh, proporsi
terbanyaknya adalah ibu dengan kategori risiko
kehamilan rendah (90%).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu
dengan pendidikan ≥SMA lebih tidak patuh
mengonsumsi suplemen kalsium (OR=0,429).
Sejalan dengan hasil penelitian ini, Kulkarni et
al. menyebutkan bahwa ibu yang lebih
berpendidikan dan memiliki pengetahuan serta
kemampuan untuk mendapatkan perawatan
antenatal sesuai keinginan mereka akan
beranggapan bahwa suplemen program yang
didapat kurang bermanfaat sehingga menjadi
kurang patuh mengonsumsi suplemen tersebut
dibandingkan ibu dengan pendidikan rendah.22
88 Beberapa
penelitian
melaporkan
bahwa
frekuensi ANC berhubungan bermakna dengan
kepatuhan ibu dalam mengonsumsi suplemen
besi.18,23 Namun, setelah dilakukan uji bivariat,
tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
frekuensi ANC dan kepatuhan ibu dalam
mengonsumsi
suplemen
kalsium
dalam
penelitian ini (p=0,226). Meskipun demikian,
ada kecenderungan ibu yang memiliki frekuensi
ANC lebih banyak akan lebih patuh
mengonsumsi suplemen kalsium, tampak dari
proporsi subjek yang patuh lebih banyak pada
kelompok subjek dengan frekuensi ANC ≥ 5 kali
(52,4%) dibandingkan subjek dengan frekuensi
ANC < 5 kali (39,4%).
Dalam beberapa studi mengenai suplementasi
besi dilaporkan terdapat hubungan positif antara
pengetahuan ibu dan kepatuhan dalam
mengonsumsi suplemen besi.24,25 Namun, pada
penelitian ini tidak terdapat hubungan bermakna
antara pengetahuan ibu mengenai kecukupan
kalsium dan suplementasi kalsium dengan
kepatuhan ibu mengonsumsi suplemen tersebut
(p=0,111). Meskipun demikian, dari Tabel 2
tampak bahwa proporsi tertinggi ibu yang tidak
patuh mengonsumsi suplemen kalsium adalah
pada mereka yang memiliki pengetahuan yang
kurang (59,3%).
Kualitas konseling dalam penelitian ini dinilai
melalui aspek jenis nasihat yang diberikan
kepada ibu hamil, frekuensi penyampaian
nasihat dan jumlah ANC yang dilakukan ibu
hamil.
Penelitian
di
Kota
Tangerang
menunjukkan
bahwa
kualitas
konseling
mengenai suplementasi besi berhubungan
dengan kepatuhan ibu hamil mengonsumsi
suplemen
besi
(p=0,000).18
Sebaliknya
penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan
yang bermakna antara kualitas konseling
mengenai kecukupan kalsium dan suplementasi
kalsium dengan kepatuhan ibu mengonsumsi
suplemen kalsium (p=0,150). Pada penelitian ini
sebagian besar ibu merasa pernah diberi nasihat
mengenai dosis suplemen kalsium (97,9%),
hanya 26 persen ibu merasa pernah diberi
nasihat mengenai perlunya tablet kalsium, dan
tidak ada ibu hamil yang merasa pernah diberi
nasihat mengenai suplementasi kalsium dan
Kepatuhan Konsumsi Kalsium ………… (Galih Purnasari, Dodik Briawan, Cesilia Meti Dwiriani) preeklampsia.
Hal
ini
mengindikasikan
kurangnya konseling petugas mengenai peranan
fungsi kalsium sehingga ibu hamil kurang
memahami
pentingnya
kalsium
selama
kehamilan. Penelitian di Sao Paula juga
menunjukkan hanya 10,4 persen ibu hamil
pernah diberi nasihat untuk menambah asupan
kalsiumnya.26
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya variasi
jumlah tablet kalsium yang diberikan saat ANC.
Diketahui jumlah minimal tablet yang diberikan
saat ANC adalah 6 tablet dan maksimal 30
tablet. Hasil uji bivariate menggambarkan
adanya hubungan bermakna antara jumlah tablet
yang diterima pada saat ANC terakhir dengan
kepatuhan ibu (p=0,018). Berdasarkan hasil
analisis diketahui ibu yang menerima tablet
kalsium ≤15 tablet lebih patuh dibandingkan
dengan ibu yang mendapat >15 tablet kalsium
(OR=2,750). Pada penelitian ini tablet kalsium
diberikan bersamaan dengan tablet besi dan
vitamin C sehingga ibu menerima cukup banyak
suplemen saat ANC. Mithra et al. melaporkan
bahwa ibu hamil lebih patuh jika mengonsumsi
suplemen besi 1 tablet per hari dibandingkan ibu
yang mengonsumsi suplemen besi ≥2 tablet per
hari.27 Semakin banyak tablet yang diterima
semakin besar kemungkinan ibu hamil merasa
bosan untuk mengonsumsi tablet yang diterima
sehingga
berdampak
negatif
terhadap
kepatuhan.28
Hasil penelitian ini menyatakan, proporsi subjek
yang patuh mengonsumsi suplemen kalsium
lebih besar pada kelompok yang merasakan
manfaat setelah mengonsumsi suplemen kalsium
(58,3%) dibandingkan yang tidak merasakan
manfaat (37,5%). Uji bivariat menunjukkan hasil
adanya hubungan yang bermakna antara manfaat
yang dirasakan setelah mengonsumsi suplemen
kalsium dengan kepatuhan ibu (p=0,041).
Adanya persepsi manfaat yang dirasakan oleh
ibu hamil diketahui berhubungan dengan
peningkatan konsumsi tablet besi sebanyak 6,8
persen.29 Adanya manfaat yang dirasakan ibu
dari mengonsumsi suplemen besi merupakan
salah satu hal yang mendukung keberhasilan
program suplementasi besi (facilitators of
effective iron supplementation).23
Tantangan yang paling sering ditemui dalam
kepatuhan ibu hamil mengonsumsi suplemen
besi adalah ‘lupa’, sehingga perlu adanya
strategi yang dapat membantu ibu hamil agar
ingat untuk mengonsumsi suplemen secara
teratur.22,30 Pada penelitian ini terdapat
hubungan yang bermakna antara dukungan
keluarga dengan kepatuahan ibu hamil
mengonsumsi suplemen kalsium (p=0,004).
Anggota keluarga dapat memberikan dukungan
dan membantu mengingatkan sehingga dapat
meningkatkan
kepatuhan
mengonsumsi
suplemen besi maupun kalsium.14,31 Pada
penelitian ini dukungan keluarga dan adanya
manfaat kalsium yang dirasakan adalah faktor
yang mempengaruhi kepatuhan konsumsi
supelemen kalsium. Salah satu program
kesehatan ibu hamil untuk meningkatkan peran
keluarga adalah program Kelas Ibu Hamil.32
Pada kegiatan Kelas Ibu Hamil suami atau
keluarga dilibatkan dalam sesi Kelas Ibu Hamil.
Petugas kesehatan dapat memanfaatkan forum
ini untuk memberi edukasi tentang suplemen
kalsium kepada ibu hamil dan keluarga yang
ikut supaya target konsumsi suplemen kalsium
dapat tercapai dengan didukung oleh keluarga.
Asupan kalsium dari pangan menurut Tabel 3,
sebagian besar subjek pada penelitian ini
(81,3%) memiliki asupan kasium yang tergolong
rendah (defisit). Diketahui rata-rata asupan
kalsium harian subjek pada penelitian ini sebesar
718,0±408,4 mg/hari, sedangkan EAR kalsium
ibu hamil di Indonesia berkisar antara 10001166,7 mg/hari.19,20 Hasil ini sejalan dengan
berbagai penelitian mengenai rendahnya asupan
kalsium ibu hamil di negara berkembang.5–7
Wanita hamil di negara berkembang umumnya
memiliki asupan kalsium pada sangat rendah
dikarenakan pola makan yang berbasis grains
dan legumes.6,33 Berbeda dengan negara maju
yang umumnya memiliki asupan kalsium yang
tinggi karena produksi dan konsumsi produk
susu yang tinggi.34
Sebagian besar dari subjek (76,1%) yang patuh
mengonsumsi
suplemen
kalsium,
masih
tergolong dalam tingkat kecukupan kalsium
inadekuat (Tabel 4). Diketahui suplemen
kalsium program adalah calcium lactate 500 mg
yang setara dengan 77 mg kalsium elemental
89
Kepatuhan Konsumsi Kalsium ………… (Galih Purnasari, Dodik Briawan, Cesilia Meti Dwiriani) dari tiap tabletnya. Sedangkan rekomendasi
suplementasi kalsium dari WHO adalah 15002000 mg kalsium elemental per hari.
Berdasarkan hasil perhitungan, rata-rata asupan
kalsium dari suplemen program hanya
memenuhi 2,6 persen EAR kalsium ibu hamil.
Kalsium karbonat diketahui merupakan pilihan
paling
cost-effective
karena
memiliki
bioavailabilitas yang lebih baik (bioavailabilitas
40%) daripada kalsium laktat (bioavailabilitas
13%) dan memiliki harga yang relatif
terjangkau.35,36 Membutuhkan 3-4 tablet kalsium
karbonat untuk memenuhi anjuran WHO karena
kalsium karbonat hanya dapat mengandung
maksimal 500 mg kalsium elemental tiap
tabletnya.36 Diketahui tablet kalsium perlu
dikonsumsi terpisah dari suplemen besi karena
efek negatif pada absorpsi kalsium dan besi jika
dikonsumsi bersamaan.10
Saran kepada ibu hamil untuk mengonsumsi
suplemen dalam jumlah yang cukup banyak
dengan aturan minum tertentu dalam rangka
mencegah gangguan kesehatan yang belum
akrab
di
telinga
masyarakat
seperti
preeklampsia tidaklah mudah. Hal ini
mengindikasikan perlunya mengoptimalkan
program suplementasi kalsium yang saat ini
sudah berjalan di Indonesia agar sesuai dengan
anjuran WHO dengan memahami faktor-faktor
yang berpotensi menjadi hambatan keberhasilan
program ini. Masih sedikitnya data mengenai
keberhasilan program suplementasi kalsium,
faktor-faktor penting dari pelaksanaan program
suplementasi besi merupakan pilihan tepat untuk
dijadikan panduan pelaksanaan program
suplementasi
kalsium.
Hal-hal
yang
mempengaruhi
keberhasilan
pelaksanaan
program suplementasi besi yang diketahui yaitu
1) Ketersediaan suplemen dalam sistem
kesehatan, pada pelaksanaan suplementasi
kalsium, perlu dukungan pemerintah dalam
penyediaan suplemen kalsium pada skala
nasional yang sesuai dengan anjuran WHO; 2)
Kualitas konseling yang baik mengenai dosis
dan manfaat suplemen bagi ibu hamil pada
fasilitas kesehatan, yang artinya membutuhkan
pemahaman yang baik dari petugas kesehatan
mengenai peranan kalsium dan preeklampsia
sehingga dapat memberikan konseling yang
90 berkualitas kepada ibu hamil; 3) Partisipasi
komunitas, dalam hal ini ialah peranan kader
dan 4) Keinginan, pemahaman dan kepatuhan
ibu hamil dalam mengonsumsi suplemen
kalsium, dengan keluarga menjadi sumber
dukungan. 13,14
KESIMPULAN
Faktor yang berhubungan dengan kepatuhan ibu
hamil dalam mengonsumsi suplemen kalsium
adalah adanya dukungan keluarga dalam
mengonsumsi suplemen kalsium dan manfaat
suplemen kalsium yang dirasakan. Sebagian
besar ibu hamil pada penelitian ini memiliki
asupan kasium pangan harian yang tergolong
defisit dan tingkat kecukupan kalsium sebagian
besar ibu masih tergolong inadekuat. Kontribusi
kalsium dari suplemen program pemerintah
tidak besar sehingga belum dapat memenuhi
kebutuhan kasium ibu hamil yang tidak
terpenuhi dari pangan. Suplementasi kalsium
pada ibu hamil merupakan hal yang penting,
namun upaya meningkatkan pangan sumber
kalsium bagi ibu hamil tetap diperlukan.
SARAN
Pemberian suplemen kalsium bagi ibu hamil
merupakan hal penting mengingat hipertensi
dalam kehamilan merupakan salah satu
penyebab kematian ibu yang utama di Indonesia
sehingga program suplementasi kalsium yang
ada sebaiknya mengikuti rekomendari WHO
yaitu sebesar 1500-2000 mg/hari dan dimulai
sejak kehamilan 20 minggu. Perlunya
mengoptimalkan program suplementasi kalsium
yang ada agar sesuai dengan rekomendasi WHO
melalui
dukungan
pemerintah,
fasilitas
kesehatan, komunitas, keluarga dan ibu hamil
sendiri. Penguatan dukungan keluarga terhadap
peningkatan asupan suplemen kalsium pada ibu
hamil dapat dilakukan melalui pemberian materi
mengenai manfaat kalsium bagi ibu hamil dalam
kegiatan Kelas Ibu Hamil yang diikuti oleh ibu
hamil dan keluarganya.
Kepatuhan Konsumsi Kalsium ………… (Galih Purnasari, Dodik Briawan, Cesilia Meti Dwiriani) UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
seluruh ibu hamil dan petugas kesehatan
Puskesmas Sumbersari dan Ambulu yang telah
berpastisipasi dan membantu dalam penelitian
ini
8.
9.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Say L, Chou D, Gemmill A, Tuncalp O,
Moller AB, Daniels J, et al. Global causes
of maternal death: A WHO systematic
analysis. Lancet Glob Heal. 2014;2(6).
Afifah T. Maternal death in indonesia:
follow-up study of the 2010 indonesia
population census. 2010;(April 2016):1–13.
Available
from:
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.p
hp/kespro/article/view/5102/4311
[Kemenkes RI] Kementrian Kesehatan RI.
Rencana aksi percepatan penurunan angka
kematian ibu di Indonesia. Kementeri
Kesehat RI [Internet]. 2013;3. Available
from: http://www.gizikia.depkes.go.id/wpcontent/uploads/downloads/2013/12/RANPP-AKI-2013-2015.pdf
Camargo EB, Moraes LFS, Souza CM,
Akutsu R, Barreto JM, da Silva EMK, et al.
Survey of calcium supplementation to
prevent preeclampsia: the gap between
evidence and practice in Brazil. BMC
Pregnancy
Childbirth
[Internet].
2013;13(1):206.
Available
from:
http://www.biomedcentral.com/14712393/13/206
Agueh VD, Tugoué MF, Sossa C,
Métonnou C, Azandjemè C, Paraiso NM, et
al. Dietary Calcium Intake and Associated
Factors among Pregnant Women in
Southern
Benin
in
2014.
2015;(August):945–54.
Sukchan
P,
Liabsuetrakul
T,
Chongsuvivatwong V, Songwathana P,
Sornsrivichai V, Kuning M. Inadequacy of
nutrients intake among pregnant women in
the deep south of Thailand. BMC Public
Health. 2010;10:572.
Sacco LM, Caulfield LE, Zavaleta N,
Retamozo L. Dietary pattern and usual
2.
3.
4.
5.
6.
7.
10.
11.
12.
13.
14.
nutrient intakes of Peruvian women during
pregnancy.
Eur
J
Clin
Nutr.
2003;57(11):1492–7.
[WHO] World Health Organization.
Guideline  : Calcium supplementation in
pregnant women. 2013;1–35.
Omotayo MO, Dickin KL, Chapleau GM,
Martin SL, Chang C, Mwanga EO, et al.
Cluster-Randomized Non-Inferiority Trial
to Compare Supplement Consumption and
Adherence to Different Dosing Regimens
for Antenatal Calcium and Iron-Folic Acid
Supplementation to Prevent Preeclampsia
and Anaemia: Rationale and Design of the
Micronutrient . J Public health Res
[Internet]. 2015;4(3):582. Available from:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlere
nder.fcgi?artid=4693340&tool=pmcentrez
&rendertype=abstract
Hofmeyr JG, Lawrie TA, Atallah AN,
Duley
L,
Torloni
MR.
Calcium
supplementation during pregnancy for
preventing hypertensive disorders and
related problems. Cochrane Database Syst
Rev [Internet]. 2014;(6). Available from:
http://ovidsp.ovid.com/ovidweb.cgi?T=JS&
CSC=Y&NEWS=N&PAGE=fulltext&D=c
och&AN=00075320-10000000001029\nhttp://linksource.ebsco.com/linking.
aspx?sid=OVID:cochdb&id=pmid:&id=doi
:&issn=&isbn=&volume=&issue=6&spage
=&date=2014&title=Cochrane+Database+o
f+System
Kemenkes RI, POGI IBI. Buku Saku
Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas
Kesehatan Dasar dan Rujukan. Jakarta:
Kemenkes. 2013.
Yip R. Iron supplementation: country level
experiences and lessons learned. J Nutr.
2002;132(4):859S–861S.
Sanghvi TG, Harvey PWJ, Wainwright E.
Maternal iron–folic acid supplementation
programs: Evidence of impact and
implementation. Food Nutr Bull. 2010;31(2
suppl2):S100–7.
Martin SL, Seim GL, Wawire S, Chapleau
GM, Young SL, Dickin KL. Translating
formative research findings into a
behaviour change strategy to promote
antenatal calcium and iron and folic acid
supplementation in western Kenya. Matern
91
Kepatuhan Konsumsi Kalsium ………… (Galih Purnasari, Dodik Briawan, Cesilia Meti Dwiriani) Child Nutr. 2016;1–14.
15. [Dinkes] Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Timur. Profil Kesehatan Jawa Timur Tahun
2014. Surabaya: Dinas Kesehat Provinsi
Jawa Timur. 2015.
16. [Dinkes] Dinas Kesehatan Kabupaten
Jember. Profil Kesehatan Kabupaten
Jember Tahun 2013. Jember: Dinas
Kesehatan Kabupaten Jember. 2014.
17. Lemeshow S, Hosmer DW, Klar J, Lwanga
SK. Besar sampel dalam penelitian
kesehatan. Yogyakarta Gajah Mada Univ.
1997;
18. Fitri YP, Briawan D, Tanziha I, Amalia L.
Kepatuhan Konsumsi Suplemen Besi Dan
Pengaruhnya Terhadap Kejadian Anemia
Pada Ibu Hamil Di Kota Tangerang. J Gizi
dan Pangan. 2015;10(3).
19. Institute of Medicine. Dietary reference
intakes: applications in dietary planning.
Haworth Press; 2003.
20. [Kemenkes RI] Kementrian Kesehatan RI.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 75 Tahun 2013 tentang
angka kecukupan gizi yang dianjurkan bagi
bangsa Indonesia. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta. 10hlm. 2013.
21. Dairo MD, Lawoyin TO. Demographic
factors determining compliance to iron
supplementation in pregnancy in Oyo State,
Nigeria. Niger J Med J Natl Assoc Resid Dr
Niger. 2005;15(3):241–4.
22. Kulkarni B, Christian P, LeClerq SC,
Khatry SK. Determinants of compliance to
antenatal micronutrient supplementation
and women’s perceptions of supplement
use in rural Nepal. Public Heal Nutr.
2010;13(1):82–90.
23. Galloway R, Dusch E, Elder L, Achadi E,
Grajeda R, Hurtado E, et al. Women’s
perceptions of iron deficiency and anemia
prevention and control in eight developing
countries. Soc Sci Med. 2002;55(4):529–
44.
24. Fuady M. Hubungan Pengetahuan Ibu
Hamil tentang Anemia Defisiensi Besi
terhadap Kepatuhan Mengkonsumsi Tablet
Zat Besi. e-jurnal Fak Kedokt USU.
2013;1(1).
25. Taye B, Abeje G, Mekonen A. Factors
associated with compliance of prenatal iron
92 26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
folate supplementation among women in
Mecha district, Western Amhara: a crosssectional study. Pan Afr Med J. 2015;20(1).
Silva CAP da, Silva CAP da, Atallah ÁN,
Sass N, Mendes ETR, Peixoto S.
Evaluation of calcium and folic acid
supplementation in prenatal care in São
Paulo. Sao Paulo Med J [Internet].
2010;128(6):324–7.
Available
from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2130
8154
Mithra P, Unnikrishnan B, Rekha T, Nithin
K, Mohan K, Kulkarni V, et al. Compliance
with iron-folic acid (IFA) therapy among
pregnant women in an urban area of south
India. Afr Health Sci. 2013;13(4):880–5.
Ingersoll KS, Cohen J. The impact of
medication regimen factors on adherence to
chronic treatment: a review of literature. J
Behav Med. 2008;31(3):213–24.
Lutsey PL, Dawe D, Villate E, Valencia S,
Lopez O. Iron supplementation compliance
among pregnant women in Bicol,
Philippines.
Public
Health
Nutr.
2008;11(1):76–82.
Zavaleta N, Caulfield LE, Figueroa A,
Chen P. Patterns of compliance with
prenatal iron supplementation among
Peruvian women. Matern Child Nutr.
2014;10(2):198–205.
Rai SS, Ratanasiri T, Thapa P, Koju R,
Ratanasiri A, Arkaravichien T, et al. Effect
of knowledge and perception on adherence
to iron and folate supplementation during
pregnancy in Kathmandu, Nepal. J Med
Assoc Thail. 2014;97:S67–74.
[Kemenkes RI] Kementrian Kesehatan RI.
Pedoman Pelaksanaan Kelas Ibu Hamil.
Kementrian Kesehatan RI. 2011;1–26.
Cheng Y, Dibley MMJ, Zhang X, Zeng L,
Yan H. Assessment of dietary intake among
pregnant women in a rural area of western
China. BMC Public Health [Internet].
2009;9:222.
Available
from:
http://www.biomedcentral.com/14712458/9/222/\nhttp://www.pubmedcentral.ni
h.gov/articlerender.fcgi?artid=2716336&to
ol=pmcentrez&rendertype=abstract
Harville EW, Schramm M, Watt-Morse M,
Chantala K, Anderson JJB, Hertz-Picciotto
I. Calcium intake during pregnancy among
Kepatuhan Konsumsi Kalsium ………… (Galih Purnasari, Dodik Briawan, Cesilia Meti Dwiriani) white and African-American pregnant
women in the United States. J Am Coll
Nutr. 2004;23(1):43–50.
35. Gerstner G. The challenge of calcium
fortification in beverages. Innov Food
Technol. 2002;(14).
36. Omotayo MO, Dickin KL, O’Brien KO,
Neufeld LM, De Regil LM, Stoltzfus RJ.
Calcium Supplementation to Prevent
Preeclampsia: Translating Guidelines into
Practice in Low-Income Countries. Adv
Nutr [Internet]. 2016;7(2):275–8. Available
from:
http://www.scopus.com/inward/record.url?e
id=2-s2.084961626022&partnerID=tZOtx3y1
93
Jurnal Kesehatan Reproduksi (ISSN 2087-703X) - Vol 7, No. 2, (2016), pp. 95-108
Dukungan Tenaga Kesehatan ………… (Novianti, Anissa Rizkianti) DUKUNGAN TENAGA KESEHATAN TERHADAP PELAKSANAAN IMD:
STUDI KASUS DI RS SWASTA X DAN RSUD Y DI JAKARTA
Health Professional’s Support towards Breastfeeding Initiation:
Case Study in a Private and Government Hospital in Jakarta
Novianti*, Anissa Rizkianti
Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat, Badan Litbangkes
*E-mail: [email protected]
Abstract
Background: Early Initiation of Breastfeeding (IMD) aims to encourage the provision of colostrum to the
newborn, as well as to prevent neonatal deaths. The role of health workers are needed to support the successful
implementation of the IMD.
Objective: This study aims to identify the role of health professionals and hospital on the implementation of the
IMD shortly after childbirth.
Methods: This is a qualitative study on 30 mothers who had delivery, both with pervaginam or cesarean section
methods in two hospitals in Jakarta, private and government hospital. Data were collected through in-depth
interview. Triangulation of data was obtained through in-depth interviews to informants of health workers,
including midwives, lactation counselors and obstetricians.
Results: Health workers’ support was reflected from the efforts of health workers to inform the IMD practice
and benefits, as well as accompany the mother whiled conducting IMD. Health personnels in private hospital
were tend to be more supportive than those who work in public hospital. This was due to their high commitment
and positive attitude supported by clear regulations regarding the practice of IMD.
Conclusion: The role of health professionals in supporting the implementation of IMD needs to be improved not
only through improving the technical skills of IMD, but also building a positive attitude, so health professionals
become more serious in running the IMD program.
Keywords: Early Initiation of Breastfeeding, Health Workers, Support
Abstrak
Latar Belakang: Program Inisiasi Menyusu Dini (IMD) merupakan upaya untuk mendorong pemberian
kolostrum pada bayi baru lahir, sekaligus mencegah kematian neonatal. Peran tenaga kesehatan tentunya
dibutuhkan guna mendukung keberhasilan pelaksanaan IMD.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran dukungan tenaga kesehatan dan pegawasan Rumah
Sakit terhadap pelaksanaan IMD sesaat setelah proses persalinan.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian kualitatif pada 30 informan ibu yang baru melahirkan, baik dengan
metode pervaginam maupun seksio sesarea di dua RS di Jakarta, yaitu RS Swasta X dan RSUD Y. Data
dikumpulkan melalui teknik wawancara mendalam. Triangulasi data diperoleh melalui hasil wawancara
mendalam terhadap informan tenaga kesehatan, di antaranya bidan, konselor laktasi dan dokter spesialis
kebidanan.
Hasil: Dukungan tenaga kesehatan terlihat dari upaya tenaga kesehatan untuk menginformasikan tata laksana
dan manfaat IMD, serta mendampingi ibu saat proses IMD dilakukan. Tenaga kesehatan di RS Swasta X
cenderung lebih mendukung praktik IMD dibandingkan mereka yang bekerja di RSUD Y. Hal ini disebabkan
oleh adanya komitmen tinggi dan sikap positif tenaga kesehatan ditunjang dengan peraturan yang jelas
mengenai praktik IMD.
Kesimpulan: Peran tenaga kesehatan dalam mendukung pelaksanaan IMD perlu ditingkatkan tidak hanya
melalui peningkatan keterampilan teknis tentang IMD,melainkan juga denganmembangun sikap positif agar
tenaga kesehatan menjadi lebih serius dalam menjalankan program IMD.
Kata Kunci: Inisiasi Menyusu Dini, Tenaga Kesehatan, Dukungan
Naskah masuk: 19 Juli 2016
Review: 9 Agustus 2016
Disetujui terbit: 26 Agustus 2016
Dukungan Tenaga Kesehatan ………… (Novianti, Anissa Rizkianti) PENDAHULUAN
Di era globalisasi saat ini, Indonesia masih
mengalami berbagai permasalahan terkait
rendahnya derajat kesehatan masyarakat. Salah
satu indikator derajat kesehatan suatu negara
adalah Angka Kematian Bayi (AKB) yang
hingga kini masih sangat relevan untuk
menilai derajat kesehatan negara-negara
berkembang seperti Indonesia.1 Data Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
tahun 2012 menunjukan bahwa Angka
Kematian Neonatal (AKN) tidak mengalami
penurunan yang signifikan sejak tahun 2007,
yaitu sebesar 19 AKN per 1000 kelahiran
hidup dari total 32 AKB per 1000 kelahiran
hidup.2
Pada tahun 2010, Bappenas menyatakan
sekaligus menguatkan temuan data SDKI
bahwa penyebab utama kematian bayi di
Indonesia adalah kematian neonatal sebesar
46,2 persen, diare sebesar 15 persen dan
infeksi pneumonia sebesar 12,7 persen.1 Jika
dilihat dari data tersebut, maka diperlukan
langkah nyata dalam upaya mencegah
penyebab tingginya AKB pada 28 hari
pertama kehidupan seorang bayi. Lebih lanjut,
sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun
2010 menyatakan bahwa kematian neonatal
lebih banyak diakibatkan oleh infeksi sebesar
36 persen, kondisi kelahiran prematur sebesar
28 persen dan afiksia sebesar 23 persen.3
Salah satu langkah yang utama dalam
mencegah terjadinya kematian bayi neonatal
adalah dengan memberikan asupan gizi yang
cukup dan berkualitas kepada bayi. Pemberian
kolostrum pada bayi baru lahir menjadi bagian
terpenting dalam upaya memenuhi asupan gizi
pada tahun-tahun pertama kehidupannya.
Kolostrum merupakan merupakan cairan
pertama yang disekresi oleh kelenjar payudara
ibu dan merupakan sel darah putih atau
antibodi yang mengandung immunoglobulin A
(IgA),
yang
berfungsi
memberikan
perlindungan terhadap usus pada bayi baru
lahir.3 Oleh sebab itu, cairan kental berwarna
kekuningan ini penting dalam menjaga
ketahanan tubuh bayi terhadap infeksi kuman
dan bakteri sehingga meningkatkan kekebalan
tubuh sang bayi.4
Berdasarkan hal tersebut, maka program
Inisiasi Menyusu Dini (IMD) digalakkan
96 sebagai upaya untuk mendorong pemberian
kolostrum pada bayi baru lahir, sekaligus
mencegah tingginya kematian neonatal.
Cakupan IMD pada bayi secara nasional
tercatat masih sangat rendah. Hal ini terlihat
pada laporan hasil Riskesdas tahun 2010 yang
menyebutkan bahwa hanya 29,3 persen bayi
yang berhasil menyusui kurang dari satu jam
setelah persalinan.5
Menurut Roesli, Inisiasi Menyusu Dini (early
initiation of breastfeeding) adalah proses
menyusui sendiri yaitu minimal satu jam
pertama pada bayi baru lahir.3 Setelah lahir,
bayi harus segera didekatkan ke tubuh ibu
dengan cara meletakkan bayi di atas dada atau
perut ibu sehingga terjadi kontak antara kulit
bayi dengan kulit ibu (skin-to-skin contact).
Bayi
kemudian
akan
menunjukkan
kemampuan yang menakjubkan, dimana bayi
akan berusaha untuk merangkak ke arah
payudara ibu dan menemukan puting susunya
sehingga bayi akan dapat menyusu sendiri.
Cara bayi menyusu sendiri tersebut dinamakan
The Breast Crawl atau merangkak mencari
payudara.6
Beberapa
penelitian
dilakukan
untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
proses IMD. Penelitian terhadap 577
persalinan sejak Juli-Oktober 2006 di Rumah
Sakit Dr. Zekai Tahir Burak di Turki, salah
satunya menunjukkan bahwa faktor yang
berpengaruh terhadap IMD antara lain: nyeri
pada ibu bersalin pasca persalinan, bayi
prematur dan jenis persalinan melalui operasi
sectio caesarea.7 Penelitian serupa yang
dilakukan di sejumlah Rumah Sakit di
California, Amerika Serikat, menemukan
bahwa karakteristik demografi ibu seperti
umur dan etnis, serta metode persalinan
berkorelasi dengan IMD.8
Inisiasi Menyusu Dini (IMD) pada dasarnya
tidak boleh terlambat diberikan karena refleks
menghisap bayi baru lahir akan mencapai
puncaknya pada usia 20-30 menit dan refleks
ini akan terus berkurang dan melemah seiring
waktu. Kekuatan refleks bayi setelah lahir ini
telah dibuktikan oleh Righard pada
penelitiannya terhadap 72 bayi baru lahir.
Berdasarkan
hasil
penelitian
dapat
disimpulkan bahwa: 1) jika bayi diletakkan di
atas dada atau perut ibu melalui kontak kulit
bayi ke kulit ibu segera setelah lahir, maka
Dukungan Tenaga Kesehatan ………… (Novianti, Anissa Rizkianti) bayi dapat menyusu dengan baik pada usia 50
menit; 2) jika setelah lahir bayi dipisahkan dari
ibunya untuk ditimbang, diukur ataupun
dibersihkan, maka 50 persen bayi tidak akan
dapat menyusu sendiri.3
Bayi yang diberikan kesempatan untuk IMD
tentunya akan lebih cepat memperoleh
kolostrum daripada bayi yang tidak
memperoleh kesempatan tersebut. Kolostrum
mempunyai nilai gizi yang tinggi dan
mengandung semua unsur yang diperlukan
oleh bayi termasuk zat anti infeksi. Kolostrum
tidak hanya mengandung protein, tetapi juga
vitamin A yang tinggi, karbohidrat, dan lemak
rendah, sehingga sesuai dengan kebutuhan gizi
bayi pada hari-hari pertama setelah
kelahirannya serta membantu mengeluarkan
mekonium yaitu kotoran bayi pertama
berwarna hitam kehijauan.9
Kolostrum yang diperoleh bayi pada saat
proses IMD juga terbukti membantu
meningkatkan imunitas. Penyakit infeksi yang
merupakan penyebab utama kematian neonatal
terjadi akibat rendahnya daya tahan tubuh
bayi. Daya tahan tubuh bayi pada masa
neonatal masih sangat rentan karena proses
pematangan sistem tubuh bayi, seperti sistem
pernapasan, pencernaan dan imunitas masih
belum sempurna.3 Sebuah hasil penelitian
yang dilakukan terhadap 10.947 bayi yang
lahir antara bulan Juli 2003 hingga Juni 2004
di Ghana menunjukkan bahwa; 1) jika bayi
diberikan kesempatan menyusu dalam satu
jam pertama melalui kontak kulit bayi ke kulit
ibu, maka 22 persen nyawa bayi neonatal bisa
diselamatkan; dan 2) jika bayi mulai pertama
kali menyusu saat berusia dua sampai dua
puluh empat jam setelah lahir, maka hanya 16
persen nyawa bayi neonatal yang dapat
diselamatkan.10
Keberhasilan program IMD tidak hanya
membutuhkan peran ibu, tetapi juga peran
tenaga kesehatan. Penolong persalinan seperti
bidan merupakan tenaga kesehatan yang
paling berperan dalam pelaksanaan IMD
karena ibu tidak dapat melakukan IMD tanpa
bantuan dan fasilitasi dari bidan atau penolong
persalinan lainnya. Selain bidan, peran
konselor laktasi juga penting karena
diharapkan
mampu
menumbuhkan
kepercayaan dan motivasi ibu untuk
mengetahui lebih lanjut mengenai IMD dan
ASI eksklusif. Keberhasilan konselor ASI
dalam memberikan konseling yang positif
kepada ibu dipengaruhi oleh pengetahuan dan
ketrampilan dasar yang menyangkut teori dan
praktik
konseling
serta
ketrampilan
wawancara dan intervensi dalam pemecahan
masalah.11 Untuk menjadi seorang konselor
laktasi, tenaga kesehatan diharapkan telah
memenuhi kualifikasi kompetensi sebagai
International Board Certified Lactation
Consultant (IBCLC). IBCLC adalah konsultan
laktasi
yang
telah
disertifikasi
oleh
International Board of Lactation Consultant
Examiners (IBCLE) atau Badan Internasional
Penguji Konsultan Laktasi dan telah
menunjukan
bahwa
mereka
memiliki
pengetahuan khusus dan keahlian dalam hal
pemberian ASI dan laktasi.12
Namun demikian, kendala utama dalam
pelaksanaan IMD yang ditemukan di lapangan
adalah belum optimalnya komitmen serta
dukungan Rumah Sakit dan penolong
persalinan untuk menerapkan IMD pada bayi
baru lahir. Beranjak dari permasalahan diatas,
maka artikel ini bertujuan untuk mengetahui
peran dukungan tenaga kesehatan dan
pegawasan Rumah Sakit terhadap pelaksanaan
IMD sesaat setelah proses persalinan.
METODE
Penelitian ini merupakan bagian dari
penelitian Riset Pembinaan Kesehatan
(Risbinkes), Badan Litbang Kesehatan yang
dilaksanakan tahun 2013. Pendekatan yang
digunakan adalah studi kasus dengan metode
penelitian kualitatif. Lokasi penelitian yaitu
RSUD Y dan RS Swasta X yang keduanya
berada di daerah Jakarta. Pengumpulan data
dilakukan melalui wawancara mendalam
kepada 30 informan yaitu ibu yang baru
melahirkan baik dengan metode pervaginam
maupun seksio sesarea, serta masih dalam
perawatan nifas di RS menggunakan pedoman
wawancara mendalam. Wawancara mendalam
berlangsung selama kurang lebih 30 menit,
sementara keseluruhan proses pengumpulan
data dilakukan selama 2 (dua) minggu. Selain
itu, peneliti juga melakukan observasi
terhadap lingkungan RS untuk mengetahui
keberadaan media sosialisasi mengenai IMD.
Dukungan Tenaga Kesehatan ………… (Novianti, Anissa Rizkianti) Untuk
mengecek
keabsahan
data atau
informasi yang diperoleh dari informan, maka
dilakukan metode triangulasi data dengan
mewawancarai informan tenaga kesehatan
yang terdiri dari bidan, konselor laktasi dan
dokter spesialis kebidanan di masing-masing
RS. Data yang terkumpul kemudian dianalisis
menggunakan metode content analysis. Hasil
wawancara mendalam dianalisis melalui
beberapa tahapan antara lain reduksi data,
penelusuran tema jawaban menurut topik
pertanyaan ke dalam bentuk matriks, lalu
dihubungkan dengan catatan-catatan teori
yang didapat. Oleh karena itu, bahan dan alat
yang digunakan dalam pengumpulan data
adalah pedoman wawancara mendalam yang
telah disusun untuk dapat menjawab
pertanyaan penelitian ini.
HASIL
Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar
informan yang melahirkan di RS Swasta X
berhasil melakukan proses Inisiasi Menyusu
Dini (IMD) dan kondisi berbeda dialami oleh
informan yang melahirkan di RSUD Y dimana
hampir seluruh informan tidak berhasil
melakukan proses IMD sesaat setelah
melahirkan. Dari 15 informan ibu yang
melahirkan di RS Swasta X, hanya ada 2 orang
informan ibu yang tidak dapat melakukan
IMD hal tersebut dikarenakan alasan
pertimbangan medis yaitu lilitan tali pusat
yang membuat bayi membiru sesaat setelah
dilahirkan dan kondisi ibu yang mual muntah
sebagai efek anastesi dalam persalinan SC. Hal
ini diungkapkan beberapa informan melalui
kutipan wawancara seperti di bawah ini.
“Ya, saya IMD… mungkin selama kurang lebih
hampir 1 jam.” (Informan Fl, 28 tahun,
melahirkan di RS Swasta X, Persalinan Sesar,
IMD)
“Waktu itu IMD sekitar hampir 2 jam sih, hampir
2 jam atau 1,5 jam, saya nggak begitu ngeh tapi
lama kok IMD-nya.” (Informan VH, 24 tahun,
melahirkan di RS Swasta X, Persalinan
Pervaginam, IMD)
“Tidak IMD karena bayi terlilit tali pusat waktu
itu sampai biru dan tidak menangis bayi saya, jadi
langsung dilarikan ke unit perawatan intensif
bayi.” (Informan R, 38 tahun, melahirkan di RS
Swasta X, Persalinan Pervaginam, Tidak IMD)
98 “Saya cuma ditempel bayi sesaat tidak sampai 15
menit mbak karena saya mual dan terus muntah
selama proses operasi dan ternyata ada pelekatan
plasenta jadi sempat terjadi perdarahan sesaat
dokter tidak mengizinkan lah waktu itu.”
(Informan AA, 25 tahun, melahirkan di RS
Swasta X, Persalinan Sesar, Tidak IMD)
Sedangkan pada informan ibu yang
melahirkan di RSUD Y semua informan tidak
melakukan proses IMD sesaat setelah
melahirkan, adapun alasan tidak melakukan
IMD lebih kepada ketidaktahuan informan ibu
mengenai IMD dan proses pelaksanaannya,
hal tersebut seperti yang disampaikan
beberapa informan ibu melalui kutipan
wawancara di bawah ini.
“Tidak ada begituan mbak. Ada sih diletakkan ke
dada saya yah tapi itu juga udahan 7 jam setelah
bayi saya lahir mbak, lagian sayamah kurang tahu
IMD itu mbak kaya gimananya gitu proses
prosesnya.”
(Informan
HU,
38
tahun,
melahirkan di RSUD Y, Persalinan Sesar, Tidak
IMD)
“Tidak gerak-gerak nyari puting sih. Habis
lahiran hanya diletakin di dada sebentar banget
itu juga nggak sampe lah 10 menit mbak sambil
bidannya bersih-bersih aja kok, …saya tahu sih
IMD ya naroh bayi di dada kan abis lahiran, tapi
gimana gimana prosesnya nggak paham banget
mbak.” (Informan E, 26 tahun, melahirkan di
RSUD Y, Persalinan Sesar, Tidak IMD)
Selain itu, pengaruh dukungan tenaga
kesehatan terlihat dari upaya yang dilakukan
oleh tenaga kesehatan untuk membantu
menginformasikan tentang pelaksanaan IMD
dan manfaatnya, serta mendampingi ibu untuk
membantu mengenal perilaku bayi saat proses
IMD dilakukan. Sebagian besar informan yang
berhasil IMD pada RS Swasta X mengatakan
bahwa setelah proses persalinan dan bayi
dibersihkan
seadanya,
bidan
langsung
meletakkan bayi dengan posisi tengkurap di
atas dada ibu sambil mendampingi dan
memberi semangat pada ibu dan bayi, serta
membantu bayi hingga mampu mencapai
puting susu dan menyusu. Hal tersebut seperti
yang diceritakan informan ibu melalui kutipan
wawancara seperti di bawah ini.
“Waktu habis lahir kan, dibersihin dikeluarin
selangnya, langsung ditempelin ke dada, udah
langsung dia tiduran didada, langsung tidur,
belum ada gerakan, tapi udah ada 20 menitan
Dukungan Tenaga Kesehatan ………… (Novianti, Anissa Rizkianti) baru ada gerak-gerak, pas dia gerak-gerak itu dia
mulai nyium-nyium kaya nengok sana-nengok sini,
pas dia nengok-nengok itu baru dia jilat-jilatin
tangannya abis jilat-jilatin tangannya, abis
itu….oh sama bidannya dipencet puting saya, baru
keluar asinya, keluar…abis itu dia mulai
ngedekatin untuk ngisapnya. Cuma karena
mungkin dia masih agak susah jalannya, eh
maksudnya nggak susah bergeraknya, diarahin
sedikit, dia langsung nyusu.” (Informan VH, 24
tahun, melahirkan di RS Swasta X, Persalinan
Pervaginam, IMD)
“Langsung ditaro di dada saya sama bidan atau
suster yang dampingin saya nah pokoknya bidan
itu yang temanin selama di ruang operasi dan bayi
saya IMD….terus bidan bantu kasih tau tuh
bayinya lagi nyari putingnya dimana, terus
akhirnya ketemu, tapi dibantu juga sama bidannya
sampai selesai dan lanjut di ruang pemulihan.
Soalnya kan bayinya kayaknya masih belum tegak
kepalanya takut jatuh kalau nggak didampingi.
Cairan di tubuhnya masih ada, belum dibersihin,
belum dimandiin.” (Informan Fl, 28 tahun,
melahirkan di RS Swasta X, Persalinan Sesar,
IMD)
Ketika ditanyakan kepada bidan, diakui bahwa
mereka
harus
melakukan
prosedur
penginformasian pelaksanaan IMD pada saat
ibu masuk ke kamar bersalin untuk
diobservasi. Para bidan yang bertugas
diwajibkan
untuk
menjelaskan
sekilas
mengenai pelaksanaan IMD dan meyakinkan
ibu untuk bersedia melakukannya dan
menandatangani lembar persetujuan tindakan
IMD.
Sedangkan informan ibu di RSUD Y hanya
ada 1 informan ibu yang melakukan
pelekatan/kontak
kulit
sesaat
setelah
persalinan namun tanpa ada proses merangkak
menuju payudaya dan menyusu (breastcrawl),
hampir semua informan ibu mengatakan
bahwa mereka tidak diberitahukan perihal
pelaksanaan IMD baik di Puskesmas maupun
di RSUD Y saat kontrol kehamilan. Namun
ketika dikonfirmasi dan ditanyakan kepada
bidan di RSUD Y tersebut, memang diakui
bahwa hingga saat ini peraturan RS mengenai
pelaksanaan IMD belum ada secara tertulis,
sehingga mereka tidak mengetahui dengan
jelas tatalaksana IMD yang seharusnya dan
merasa tidak perlu untuk menyampaikan
pelaksanaan IMD kepada ibu karena menurut
mereka yang penting sebisa mungkin bayi
langsung disusui oleh ibunya setelah lahir dan
hal ini akan dibahas lebih lanjut pada sub bab
di bawah ini.
Peran
Tenaga
Pelaksanaan IMD
Kesehatan
dalam
Berdasarkan Tabel 1 yaitu matriks hasil
wawancara mendalam terhadap informan
tenaga kesehatan di masing-masing RS,
terlihat bahwa pada pelaksanaan IMD di RS
Swasta X, semua tenaga kesehatan baik bidan,
dokter spesialis kebidanan, spesialis anak dan
konselor
laktasi
berkomitmen
untuk
mewajibkan pelaksanaan IMD pada semua
metode kelahiran, kecuali jika ada indikasi
medis yang kuat yang tidak memungkinkan
bayi dan ibu untuk melakukan IMD (lampiran
1). Pembagian peran di antara ketiga tenaga
kesehatan tersebut baik bidan, dokter spesialis
kebidanan maupun dokter anak/konselor
laktasi terlihat sudah cukup baik.
Peran dari konselor laktasi lebih kepada
terlaksananya penyuluhan pada ibu hamil,
dimana penyuluhan tersebut intinya adalah
untuk menyampaikan informasi mengenai
pentingnya pemberian ASI (Air Susu Ibu)
eksklusif, serta faktor-faktor yang mendorong
keberhasilan menyusui, yaitu yang terutama
adalah dengan melaksanakan IMD sesaat
setelah bayi dilahirkan. Selain itu, informasi
yang diberikan antara lain manfaat IMD dan
manfaat rawat gabung, yang intinya adalah
menyangkut 10 langkah RS Swasta X sebagai
RS sayang ibu dan bayi. Sementara itu, peran
bidan di RS tersebut menyangkut pemberian
penyuluhan, pelaksanaan serta pendampingan
IMD. Sedangkan peran dokter spesialis
kebidanan adalah memastikan bahwa kondisi
ibu
cukup
baik
dan
sehat
untuk
dilaksanakannya IMD, baik pada persalinan
normal maupun saesar, seperti yang
diungkapkan beberapa informan sebagai
berikut.
“Semua pihak baik bidan, dokter obgyn, spesialis
anak dan konselor laktasi berkomitmen untuk satu
kata mewajibkan pelaksanaan IMD pada semua
metode kelahiran kecuali ada indikasi medis yang
kuat yang tidak memungkinkan bayi dan ibu untuk
melakukan IMD. Kalau dari konselor laktasi
sendiri, bentuk peranannya lebih kepada
terlaksananya penyuluhan pada ibu hamil, dimana
penyuluhan
tersebut
intinya
hendak
menyampaikan informasi pentingnya ASI eksklusif,
Dukungan Tenaga Kesehatan ………… (Novianti, Anissa Rizkianti) kemudian
faktor-faktor
yang
mendorong
keberhasilan menyusui, salah satunya adalah
dengan melaksanakan IMD, kemudian manfaat
IMD, manfaat rawat gabung, yang intinya
menyangkut 10 langkah RS Swasta X sebagai RS
sayang ibu dan bayi.” (Informan Konselor
Laktasi RS Swasta X)
untuk proses persalinan, sedangkan konselor
laktasi yang juga adalah dokter anak berperan
mendorong ibu untuk memberikan ASI kepada
bayi mereka pasca melahirkan. Hal ini seperti
yang diungkapkan informan dalam kutipan
wawancara berikut.
“Untuk pelaksanaan IMD pasien dokter, yang
membantu memberikan bayi untuk di IMD
memang bidan pendamping. Karena dokter fokus
kepada proses persalinan dan sesudahnya yaitu
penjahitan jika ada robek perineum ibu. Jika
pasien tersebut adalah pasien bidan, maka yang
menolong adalah bidan. Ada sekitar 3-4 bidan
tergantung kesulitan proses persalinan itu sendiri.
Nah jika pasien bidan, maka dari awal kehamilan,
masuk kamar bersalin, kemudian menolong proses
persalinan, hingga IMD kita sebagai bidan yang
melakukan dan bertanggung jawab dalam
pelaksanaan IMD pada ibu sesaat setelah
melahirkan.” (Informan Bidan RS Swasta X)
”Idealnya belum bisa kita lakukan, mungkin ke
depannya nanti dokternya ada berapa, perawatnya
ada berapa, nah mungkin itu bisa kita lakukan
(karena SDM-nya kita sangat-sangat minim). Tapi
kalau kondisi kita masih begini, kita memang agak
kesulitan. Tapi biarpun begitu, kita coba, biasanya
sesudah dia lahir, kita kenalkan sama ibunya,
sama putingnya. Nah gitu, jadi perawat kita nanti
dateng, kenalkan ini anaknya, laki/perempuan,
beratnya sekian, itu yang bisa kita lakukan.
Idealnya kan dia ditaruh di sini (dada) terus nanti
dia naik, dia manjat-manjat, itu butuh waktu
setengah jam aja itu udah cepet ya, tapi itu terus
terang belum bisa kita terapkan.” (Informan
Konselor Laktasi RSUD Y)
“Kalau persalinan dengan dokter (saya) atau
seksio sesarea, umumnya kita tetap lakukan IMD
pada ibu dan bayinya segera setelah lahir. Hanya
saja untuk pelaksana dan pengawas IMD itu
sendiri saat dilakukan memang tugas bidan
pendamping.” (Informan dr. Sp.OG RS Swasta
X)
Berbeda dengan RS Swasta X, pelaksanaan
IMD di RSUD Y belum berjalan dengan baik
dikarenakan
belum
ada
kesepahaman
mengenai pelaksanaan IMD pasca persalinan.
Baik bidan, dokter spesialis kebidanan
maupun konselor laktasi menilai IMD
merupakan hal yang penting, namun pada
kenyataannya sangat sulit untuk dilakukan,
khususnya pada kasus persalinan seksio
sesarea. Padahal IMD sepatutnya menjadi
langkah awal dalam keberhasilan ibu
menyusui secara eksklusif. Salah satu hal yang
menjadi hambatan adalah masalah tenaga
pelaksana IMD itu sendiri dan metode
persalinan. Akan tetapi, berdasarkan hasil
penelitian, pada persalinan normal di RSUD Y
pun IMD belum dapat berjalan sesuai prosedur
yang ada dikarenakan ketiadaan Standard
Operational Procedure (SOP) atau tatalaksana
pelaksanaan IMD. Selain itu, belum ada
sinergi dan koordinasi yang baik antara tenaga
kesehatan terkait, khususnya pada persalinan
seksio sesarea.
Di sisi lain, peran dokter spesialis kebidanan
dan bidan di RSUD Y hanya dikhususkan
100 ”Perannya bantu naruh bayi ke dada ibunya, Tapi
rata-rata sih IMD, dulu lumayan juga sih yang
partus normal disini. Nah kalo sectio-nya, kita
belum. Pasien disini kebanyakan rujukan, kalo
yang selain rujukan, sedikit sekali (sambil
menunjukkan data persalinan). Kondisinya kita
juga cuma ber-3, pasiennya segitu banyak,
jadi....kalo preeklampsia, dan lain-lain, untuk
menghindari itu, paling kita deketin bayinya ke
sebelah ibunya aja.” (Informan Bidan RSUD Y)
”Peranan saya sebagai obgyn lebih kepada proses
persalinan, kalau IMD..kondisi memungkinkan yah
kita lakukan..masalahnya kan nggak mungkin
disitu bayi lahir langsung kita proses IMD itu
kan..biasanya disini tunggu di ruang RR atau di
ruang perawatan baru dia IMD, tapi itupun bukan
dibawa obgyn lagi..udah tanggung jawab
perawatnya itu.” (Informan dr. Sp.OG RSUD Y)
Pelatihan IMD bagi Tenaga Kesehatan di
Rumah Sakit
Tabel 2 menunjukan matriks hasil wawancara
mendalam dengan informan tenaga kesehatan
terkait pelatihan tenaga kesehatan dalam
pelaksanaan IMD (lampiran 2).Dari tabel
tersebut dapat dilihat bahwa tenaga kesehatan
di RS Swasta X mengungkapkan adanya
pelatihan yang rutin dilakukan secara internal
maupun eksternal, dengan sumber pembiayaan
dari Rumah Sakit. Sedangkan informan tenaga
kesehatan di RSUD Y mengungkapkan bahwa
Dukungan Tenaga Kesehatan ………… (Novianti, Anissa Rizkianti) pelatihan untuk tenaga kesehatan lebih banyak
dilakukan kearah penanganan kasus neonatal
(PONEK dan PMK) dan tidak secara spesifik
mengenai pelaksanaan IMD.
Namun, bidan sebagai pelaksana IMD merasa
pelatihan terkait pelaksanaan IMD sangatlah
penting mengingat tidak adanya SOP di RS
mengenai pelaksanaan IMD yang dapat
mereka gunakan. Keterbatasan ini diakui oleh
informan terjadi karena tidak adanya anggaran
dana dari pihak RS, sehingga jarang sekali
tenaga kesehatan yang dikirim untuk
mengikuti pelatihan-pelatihan dari instansi di
luar RS. Selama ini pengetahuan tenaga
kesehatan mengenai IMD, khususnya bidan,
hanya diperoleh dari hasil pembelajaran
individu dan inisiatif sendiri. Hal ini seperti
yang diungkapkan oleh informan dalam
kutipan wawancara di bawah ini.
”Pernah, di sini biasanya sering juga dapat
undangan dari luar untuk seminar tentang laktasi
dan IMD yah. Hanya saja kita digilir untuk hadir
disana. Kalau sudah pernah ikut biasanya seminar
atau pelatihan berikutnya dipilih lagi bidan yang
lain untuk mendampingi konselor laktasinya. Dan
biasanya kalau abis pelatihan atau seminar, kita
wajib buat laporan dan presentasi didepan temanteman hasil atau informasi yang kita dapatkan
dari pelatihan atau seminar tersebut, jadi walau
wakilnya paling cuma satu atau dua dari RS,
informasi selalu berputar di sini.. sumber dana
dari RS.. direksi makanya paling dipilih wakilnya
aja dan digilir.” (Informan Bidan RS Swasta X)
”Kita (pelatihan) IMD tidak pernah, PMK kita
yang pernah. Kalo IMD, kita baca-baca-baca,
baca-baca terus kayak Al-Qur’an. PMK yang
ngadain RSCM, ya elah udah lama bener, tahun
berapa ya, udah udik banget, udah basi banget.
Pelatihan (yang bener) yang kayak gimana sih,
kadang kita tanya-tanya, kalo ibunya beresiko,
apakah layak? Kita belum tahu kondisi-kondisi
kayak gitu. (Selama ini) kita liat, kalo kondisinya
bagus, ya udah kita naikkin...nggak pelatihan ya
karena nggak ada dananya bu..kalau soal SOP
mah nggak ada karena RS sendiri belum ada
memang mengarah kelayanan IMD.” (Informan
Bidan RSUD Y)
Keberadaan konselor laktasi tentunya juga
merupakan hal yang penting dalam mendorong
terlaksananya IMD sesaat setelah persalinan.
Konselor laktasi bertugas memberikan
penyuluhan dari masa kehamilan hingga pasca
persalinan untuk membantu ibu menyusui
dengan baik. Berdasarkan informasi yang
diperoleh, jumlah tenaga konselor laktasi di
RS Swasta X sudah cukup banyak dan
ditetapkan dalam peraturan Rumah Sakit dan
ada Surat Ketetapan (SK) di bawah
pengawasan Kelompok POKDI ASI RS
Swasta X, dimana terdiri dari dokter spesialis
anak, dokter umum, bidan dan perawat.
Beberapa di antaranya bahkan sudah
mendapatkan sertifikat teregistrasi seperti
IBLCC.
Sedangkan di RSUD Y, konselor laktasi
merupakan pekerjaan rangkapan dari dokter
spesialis anak, namun tidak semua dokter
spesialis anak merangkap sebagai konselor
laktasi namun penetapan sebagai konselor
laktasi tidak diatur secara tertulis oleh aturan
dan kebijakan internal Rumah Sakit seperti
halnya yang terjadi di RS Swasta X. Dokter
Spesialis Anak yang didaulat sebagai konselor
laktasi lebih dikarenakan beliau telah
mengikuti pelatihan dan seminar mengenai
ASI Eksklusif yang diselenggarakan oleh
Institusi Pemerintah namun tidak tersertifikasi.
Di samping itu, beberapa konselor laktasi di
RSUD Y diketahui belum mengikuti pelatihan
laktasi teregistrasi seperti IBLCC dikarenakan
keterbatasan dana. Hal ini sejalan dengan
pernyataan
informan
dalam
kutipan
wawancara di bawah ini.
”Konselor banyak yah. Ada dari spesialis anak,
ada dari dokter umum dan ada juga dari bidan.
Kemudian, konselor pun dibagi dua ada yang
tersertifikat IBLCC ada yang tidak tersertifikat
tapi sudah mendapatkan pelatihan rutin. Totalnya
lebih dari 20 orang. Semua yang menjadi konselor
laktasi dimasukkan SK Rumah Sakit jadi kita
punya aturan yang mengatur pelaksanaan tugas
Konselor Laktasi dan ini bentuk dukungan dari
Rumah Sakit” (Informan Konselor Laktasi RS
Swasta X)
”...saya disini juga konselor merangkap sebagai
spesialis anak, saya memang belum ikut yang
tersertifikasi seperti IBLCC gitu yah..baru level
apa yah kita bilang..yah baru level Kementerian
Kesehatan aja lah, kalau yang internasional
IBLCC nggak ada dananya, untuk yang Kemenkes
aja kita sharing dengan RS..sebagai konselor
laktasi lebih karena itu tadi saya sudah mengikuti
pelatihan
atau
seminar
mengenai
ASI
eksklusif..kalau tentang SK penetapan tidak ada,
sejauh ini belum ada memang aturan RS atau SK
untuk konselor laktasi..ini sebagai wujud tanggung
Dukungan Tenaga Kesehatan ………… (Novianti, Anissa Rizkianti) jawab saya saja sebagai dokter spesialis anak..”
(Informan Konselor Laktasi RSUD Y)
PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
peran dukungan tenaga kesehatan dan
pegawasan Rumah Sakit terhadap pelaksanaan
IMD di dua RS di Jakarta. Berdasarkan hasil
penelitian, ditemukan bahwa sebagian besar
ibu yang berhasil IMD di RS Swasta X selama
ini dibantu oleh bidan pada saat mendekatkan
posisi bayi ke arah puting ibu. Hal ini
dilakukan sesuai dengan prosedur pelaksanaan
IMD yang diwajibkan oleh pihak RS.
Sementara ibu yang melahirkan di RSUD Y
tidak memperoleh informasi mengenai
pelaksanaan IMD sebelumnya oleh bidan
karena ketiadaan peraturan tertulis mengenai
tatalaksana IMD yang dikeluarkan oleh RS.
Padahal sampai saat ini beberapa legislasi
terkait dengan pemberian ASI eksklusif di
Indonesia telah dikeluarkan oleh pemerintah,
antara lain Peraturan Menteri Kesehatan No.
240/MENKES/PER/V/1985 tentang Pengganti
ASI,13 Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
237/Menkes/SK/IV/1997 tentang Pemasaran
Pengganti ASI,14 Peraturan Pemerintah No. 69
tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan,15
maupun
Kepmenkes
RI
No.
450/Menkes/SK/IV/2004 tentang Pemberian
ASI secara Eksklusif pada Bayi di Indonesia.16
Bahkan
dalam
Kepmenkes
RI
No.
450/Menkes/SK/IV/2004 ditetapkan bahwa
tenaga kesehatan agar menginformasikan
kepada ibu mengenai anjuran ASI eksklusif
yang mengacu pada 10 Langkah Menuju
Keberhasilan Menyusui (LMKM).16 Akan
tetapi, sejauh ini IMD belum diakomodasi
dalam kebijakan tersebut dan pengertian IMD
masih merujuk pada pemberian ASI segera
dalam waktu 30 menit setelah melahirkan.17
Hal ini tentu saja menyebabkan kurangnya
penguatan kebijakan mengenai pentingnya
IMD sehingga penerapannya di beberapa
fasilitas kesehatan belum sepenuhnya berjalan.
Di sisi lain, praktik IMD sebenarnya berperan
penting terhadap kesuksesan ibu dalam
menyusui. Pengalaman seorang ibu dalam
menyusui dini amat dipengaruhi oleh peristiwa
yang berlangsung selama satu jam setelah
kelahiran bayi. Awal yang baik dalam proses
IMD tentu akan dapat membantu ibu agar
102 proses menyusui berlangsung sukses dan tidak
menyakitkan. Menurut Newman dan Pittman,
secara alamiah, bayi pada dasarnya tidak
memerlukan bantuan apa pun agar dapat
mendorong pergerakannya menuju dan
melekat pada payudara ibu.18 Bayi baru lahir
memiliki refleks olfaktori (penciuman) dan
visual yang mampu mengenali areola dan bau
khas payudara ibu.18 Oleh sebab itu, pada
proses awal IMD, bayi biasanya diam, namun
waspada (alert) sehingga mereka cenderung
untuk tidak menangis dan siap untuk memulai
pengalaman baru seperti belajar menyusu.
Newman dan Pittman menambahkan bahwa
pemaksaan terhadap bayi justru hanya akan
membuat bayi kesal, marah atau langsung
tertidur.18
Kesuksesan praktik IMD tidak hanya
dipengaruhi oleh kesiapan ibu, namun juga
perlu didukung oleh tenaga kesehatan. Tenaga
kesehatan menduduki posisi penting dalam
memberikan pengaruh, edukasi, dan dukungan
terhadap praktik menyusui karena mereka
yang menangani langsung proses persalinan
ibu. Pada penelitian ini, semua tenaga
kesehatan di RS Swasta X, baik bidan, dokter
spesialis kebidanan, dokter spesialis anak
maupun konselor laktasi berkomitmen untuk
melaksanakan IMD pada seluruh kasus
kelahiran. Hal ini tentu dinilai sangat baik
karena seluruh elemen RS berarti telah
berkomitmen dalam mendukung gerakan RS
Sayang Ibu dan Bayi sebagai salah satu upaya
penurunan AKB di Indonesia.
Di dalam Pedoman Pelaksanaan Program
Rumah Sakit Sayang Ibu dan Bayi yang
dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan telah
disebutkan bahwa untuk menuju RS Sayang
Ibu dan Bayi, diperlukan adanya kebijakan
tertulis tentang manajemen yang mendukung
pemberian ASI eksklusif, termasuk di
dalamnya mengenai praktik IMD, serta upaya
memberdayakan kelompok pendukung ASI
dalam menindaklanjuti pemberian ASI
eksklusif. Dengan kata lain, perlu adanya
kerjasama yang efektif antara pihak
manajemen RS dengan pelaksana tenaga
kesehatan baik dokter, bidan, perawat maupun
kelompok penggiat ASI agar kebijakan serta
pedoman pemberian ASI eksklusif dan IMD
dapat tersosialisasikan dan terimplementasikan
dengan baik.
Dukungan Tenaga Kesehatan ………… (Novianti, Anissa Rizkianti) Namun demikian, hasil penelitian justru
memperlihatkan bahwa pelaksanaan IMD di
RSUD Y belum berjalan dengan baik karena
tidak adanya koordinasi yang baik antara
tenaga kesehatan, baik bidan, dokter spesialis
kebidanan maupun konselor laktasi, untuk
dapat melaksanakan IMD pada beberapa kasus
persalinan, khususnya pada persalinan seksio
sesarea. Selain itu, ketiadaan SOP dan
petunjuk tata laksana juga menjadi hambatan
lain bagi para tenaga kesehatan di RSUD Y
untuk menerapkan praktik IMD. Padahal
menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI), sosialisasi menyusui sebenarnya tetap
dapat dilakukan meskipun rumah sakit belum
mempunyai kebijakan menyusui.19
Penyusunan kebijakan dan manajemen
menyusui di RS sudah seyogyanya mengikuti
prosedur yang sudah ditetapkan secara
universal sebagaimana tertera dalam 10
langkah menuju keberhasilan menyusui yang
dikeluarkan oleh World Health Organisation
(WHO).19 Hal ini merupakan syarat mutlak
sebuah RS dikatakan memiliki kebijakan
menyusui. Di samping itu, penerapan
kebijakan
menyusui
juga
perlu
dikomunikasikan secara rutin oleh manajemen
RS kepada seluruh pegawainya, sehingga
kebijakanyang telah dibuat tersebut benarbenar dilaksanakan secara konsisten.
Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2012
tentang pemberian ASI eksklusif sebenarnya
juga telah mengatur mengenai pelaksanaan
IMD.20 Pada peraturan tersebut jelas dikatakan
bahwa tenaga kesehatan dan penyelenggara
fasilitas kesehatan wajib melakukan IMD
terhadap bayi yang baru dilahirkan kepada
ibunya paling singkat selama 1 (satu) jam
(pasal 9 ayat 1), dan dilakukan dengan cara
meletakkan bayi secara tengkurap didada atau
perut ibu sehingga kulit bayi melekat pada
kulit ibu (pasal 9 ayat 2).20 Pasal tersebut
secara langsung telah menjelaskan bahwa
tenaga kesehatan dan penyelenggara fasilitas
pelayanan kesehatan wajib melakukan proses
IMD segera setelah proses melahirkan pada
setiap ibu serta memberikan informasi dan
edukasi mengenai pentingnya IMD kepada ibu
dan keluarganya sejak pemeriksaan kehamilan
sampai dengan mendekati proses persalinan.
Sehingga diharapkan ibu-ibu yang tengah
hamil dan akan melahirkan dapat terus
memperoleh dukungan dalam pelaksanaan
IMD sesaat setelah persalinan nantinya.
Sejumlah hasil penelitian mengenai IMD juga
menemukan bahwa praktik IMD dipengaruhi
oleh sikap dan dukungan tenaga kesehatan.
Sebuah penelitian di salah satu rumah sakit
pusat rujukan di Jakarta menunjukkan adanya
hubungan yang signifikan antara bidan yang
memiliki sikap positif terhadap IMD dengan
penerapan praktik IMD.17 Artinya adalah
bidan yang bersikap positif akan lebih
cenderung untuk melakukan IMD. Sikap
positif bidan terhadap IMD mencakup bidan
merasa senang bila ibu mengerti akan
pentingnya IMD, bidan mau menyebarluaskan
informasi tentang pentingnya IMD, bidan mau
membantu melaksanakan IMD, dan bidan
tidak mau memberikan susu botol kepada
bayi.17 Hal ini menunjukkan tingkat
pengetahuan bidan tentang arti dan manfaat
IMD sudah baik. Untuk itu, keterampilan IMD
perlu dikuasai oleh bidan.
Menurut
WHO
dan
Federation
of
International Gynecologist Obstetritian, bidan
diakui sebagai tenaga profesional yang bekerja
sebagai mitra perempuan dalam memberikan
dukungan dan asuhan selama masa kehamilan,
persalinan dan nifas, termasuk memberikan
asuhan kepada bayi baru lahir.21 Adapun
keterampilan dasar yang wajib dimiliki oleh
seorang bidan salah satunya adalah
menfasilitasi ibu untuk menyusui sesegera
mungkin dan mendukung ASI eksklusif.22 Hal
ini tertuang dalam Keputusan Menteri
Kesehatan No. 369 Tahun 2007 tentang
Standar Profesi Bidan.
Berdasarkan hal tersebut, sudah menjadi tugas
dan tanggung jawab seorang bidan untuk
membantu proses IMD pada ibu yang baru
bersalin. Bagi tenaga kesehatan lain seperti
dokter spesialis anak misalnya, praktik
pemberian ASI (Infant Feeding Practice),
termasuk pemberian kolostrum sesaat setelah
melahirkan disebutkan di dalam Pedoman
Pelayanan Medis (PPM) yang dikeluarkan
oleh IDAI.23 Artinya, dokter juga berperan
dalam mendukung pelaksanaan IMD. Selain
itu, keberadaan tenaga konselor menyusui juga
sangat
penting
terhadap
peningkatan
pemberdayaan ibu, peningkatan dukungan
anggota keluarga serta peningkatan kualitas
pelayanan kesehatan dalam pelaksanaan IMD.
Dukungan Tenaga Kesehatan ………… (Novianti, Anissa Rizkianti) Namun, dalam penelitian ini, peran tenaga
kesehatan terhadap praktik IMD tidak
ditunjangoleh upaya peningkatan pengetahuan
dan keterampilan IMD melalui kegiatan
pendidikan dan pelatihan. Penelitian ini
menunjukkan bahwa pelatihan khusus
mengenai praktik IMD masih belum
dilaksanakan di RSUD Y. Padahal pelatihan
AsuhanP ersalinan Normal (APN), termasuk
di dalamnya materi mengenai IMD, umumnya
diadakan oleh RS, fasilitas pendidikan atau
dinas kesehatan setempat. Keterbatasan dana
yang disediakan oleh pihak RSUD Y diketahui
menjadi faktor utama kurangnya tenaga
kesehatan yang dilatih.
Pada dasarnya, kegiatan pendidikan dan
pelatihan
sangat
diperlukan
untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
tenaga kesehatan dalam melaksanakan
program IMD dan ASI eksklusif. Pelatihan
tidak
hanya
berfungsi
membentuk
keterampilan teknis tenaga kesehatan, namun
juga membentuk sikap positif mereka terhadap
pelaksanaan IMD itu sendiri sehingga dapat
mendorong dan memotivasi ibu untuk mampu
menyusui dengan benar.24 Oleh sebab itu,
keberadaan tenaga kesehatan dan konselor ASI
perlu dipertahankan dan ditingkatkan melalui
kegiatan pelatihan.
Sebagaimana disebutkan pada penelitian
Yesie, salah satu upaya untuk memacu
motivasi dan mendorong sikap positif tenaga
kesehatan terhadap praktik IMD adalah
dengan adanya umpan balik berupa reward
kepada tenaga kesehatan yang berhasil
melakukan
IMD
maupun
yang
menyarankan/menganjurkan
ibu
untuk
memberikan ASI eksklusif.24 Aturan yang jelas
mengatur tentang sanksi maupun reward baik
bagi tenaga kesehatan yang melakukan atau
tidak melakukan IMD juga perlu dibuat.
Dengan demikian, tenaga kesehatan merasa
ada kewajiban dan senantiasa menjalankan
program tersebut.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian di dua lokasi di Jakarta
yaitu RS Swasta X dan RSUD Y, ditemukan
bahwa masih ada beberapa ibu baru
melahirkan yang kurang didukung oleh tenaga
kesehatan untuk melakukan praktik IMD dan
104 sebagian besar merupakan ibu yang
melahirkan di RSUD Y. Hal ini disebabkan
oleh belum adanya persamaan pemahaman
tentang IMD antara tenaga kesehatan serta
belum berjalannya prosedur pelaksanaan IMD
yang sesuai. Minimnya koordinasi antara
penolong persalinan dengan konselor ASI
menyebabkan kurangnya perhatian tenaga
kesehatan terhadap manfaat praktik IMD
sehingga ibu yang bersalin kurang didorong
untuk dapat melakukan IMD.
Dukungan tenaga kesehatan pada pelaksanaan
IMD tentu saja bergantung pada pengetahuan
dan keterampilan mereka tentang proses IMD
itu sendiri. Keterampilan teknis yang baik
kemudian akan mendorong sikap yang positif
di antara tenaga kesehatan untuk melakukan
IMD.Selain itu kondisi pendidikan dan
pelatihan mengenai praktik IMD masih jarang
dilakukan bagi para tenaga kesehatan di
RSUD Y. Sebaliknya, pelatihan rutin terkait
IMD dan pemberian ASI sudah rutin
dilakukan di RS Swasta X.
SARAN
Untuk mendorong adanya dukungan tenaga
kesehatan terhadap pelaksanaan IMD pada
bayi baru lahir maka perlu dilakukan hal-hal
yang dapat membangun sikap positif tenaga
kesehatan. Hal tersebut di antaranya dengan
meningkatkan keterampilan teknis dan
pengetahuan tentang IMD melalui kegiatan
pendidikan
dan
pelatihan
yang
berkesinambungan dengan APN, serta
memberikan umpan balik baik sanksi maupun
reward bagi setiap tenaga kesehatan yang
melakukan atau tidak melakukan IMD, agar
tenaga kesehatan menjadi lebih serius dalam
menjalankan program tersebut. Selain itu,
kebijakan tertulis atau peraturan mengenai
pelaksanaan IMD perlu dibuat dan rutin
disosialisasikan kepada seluruh petugas.
Penjelasan tentang manfaat dan tata laksana
IMD juga penting diberikan kepada ibu hamil
sehingga ibu-ibu tersebut nantinya akan
termotivasi untuk melakukan IMD pada
metode persalinan apapun.
Dukungan Tenaga Kesehatan ………… (Novianti, Anissa Rizkianti) UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada para
informan penelitian yang telah berpartisipasi
dalam penelitian ini serta Tim Risbinkes 2014
baik Tim Pembina Ilmiah, Tim Sekretariat
hingga Tim Peneliti atas bantuan yang telah
diberikansehingga penelitian ini dapat berjalan
dengan baik. Penulis juga mengucapkan
banyak terimakasih kepada Direktur Rumah
Sakit yang telah memberikan izin pelaksanaan
penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Badan Perencanaan
Pembangunan
Nasional (Bappenas RI). Program
Nasional Bagi Anak Indonesia Kelompok
Kesehatan. Jakarta: Bappenas; 2012.
Badan Pusat Statistik, BKKBN dan,
Kementerian
Kesehatan.
Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI) 2012. Jakarta: Badan Pusat
Statistik; 2013.
Roesli U. Panduan: inisiasi menyusu dini:
plus asi eksklusif: Pustaka Bunda; 2012.
Saleha S. Asuhan kebidanan pada masa
nifas. Jakarta: Salemba Medika. 2009.
Departemen Kesehatan. Laporan Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2010.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2010.
Crawl IOBBB. BREAST CRAWL. 2007.
Örün E, Yalçin SS, Madendag Y,
Üstünyurt-Eras Z, Kutluk S, Yurdakök K.
Factors associated with breastfeeding
initiation time in a Baby-Friendly
Hospital. The Turkish journal of
pediatrics. 2010;52(1):10.
Bramson L, Lee JW, Moore E,
Montgomery S, Neish C, Bahjri K, et al.
Effect of early skin-to-skin mother–infant
contact during the first 3 hours following
birth on exclusive breastfeeding during
the maternity hospital stay. Journal of
Human Lactation. 2010.
Departemen Kesehatan RI. Manajemen
Laktasi; Buku Panduan bagi Bidan dan
Petugas Kesehatan di Puskesmas.
Departemen Kesehatan RI Direktorat
Jendral Bina Kesehatan Masyarakat
Direktorat Gizi Masyarakat Jakarta.
2005:8-10.
10. Edmond KM, Zandoh C, Quigley MA,
Amenga-Etego S, Owusu-Agyei S,
Kirkwood BR. Delayed Breastfeeding
Initiation Increases Risk of Neonatal
Mortality. Pediatrics. 2006;117(3):e380e6.
11. Ambarwati R, Muis SF, Susanti P.
Pengaruh konseling laktasi intensif
terhadap pemberian air susu ibu (ASI)
eksklusif sampai 3 bulan. Jurnal Gizi
Indonesia. 2013;2(1).
12. Clinical Competencies of Practice for
IBCLCs. In: International Board of
Lactation Consultant Examiners, editor.
http://iblceorg/wp-­‐
content/uploads/2013/08/clinical-­‐
competencies-­‐indonesianpdf.
13. Peraturan Menteri Kesehatan No.
240/MENKES/PER/V/1985
tentang
Pengganti ASI.
14. Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
237/Menkes/SK/IV/1997
tentang
Pemasaran Pengganti ASI.
15. Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999
Tentang Label dan Iklan Pangan, (1999).
16. Kepmenkes
RI
No.
450/Menkes/SK/IV/2004
tentang
Pemberian ASI secara Eksklusif pada
Bayi di Indonesia.
17. Fikawati
S,
Syafiq
A.
Kajian
implementasi dan kebijakan air susu ibu
eksklusif dan inisiasi menyusu dini di
Indonesia.
Makara
Kesehatan.
2010;14(1):17-24.
18. Noer ER, Muis SF, Aruben R. Praktik
Inisiasi Menyusu Dini dan Pemberian
ASI Eksklusif Studi Kualitatif pada Dua
Puskesmas, Kota Semarang. Media
Medika Indonesiana. 2011;45(3):144-50.
19. Ikatan
Dokter
Anak
Indonesia.
Revitalisasi Rumah Sakit Sayang Bayi:
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2013.
Available
from:
http://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/r
evitalisasi-­‐rumah-­‐sakit-­‐sayang-­‐bayi.
20. Peraturan Pemerintah No 33 Tahun 2012
tentang Pemberian ASI Eksklusif, (2012).
21. World Health Organization. Midwife in
Maternity Care-Report of a WHO Expert
Committee1966.
22. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia
Nomor
369.
Dukungan Tenaga Kesehatan ………… (Novianti, Anissa Rizkianti) MENKES/SK/III/2007 Tentang Standar
Profesi Bidan, 2007.
23. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman
Pelayanan Medis. Jakarta2009.
106 24. Aprillia Y. Analisis Sosialisasi Program
Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif
kepada Bidan di Kabupaten Klaten. 2010.
Dukungan Tenaga Kesehatan ………… (Novianti, Anissa Rizkianti)
LAMPIRAN
Tabel 1. Matriks Hasil Wawancara Mendalam Peran Tenaga Kesehatan Terhadap Pelaksanaan IMD di Masing-Masing Rumah Sakit
KETERANGAN
Pelaksanaan IMD
di RS
Peran Nakes
KONSELOR ASI
RS SWASTA X
IMD di RS ini adalah
suatu kewajiban.
Semua tenaga kesehatan
harus menjamin
terlaksananya IMD pada
semua persalinan.
Ada informed consent
(pernyataan
persetujuan).
KONSELOR ASI
RSUD Y
IMD sangat penting
dan nakes sangat
setuju, namun dalam
pelaksanaannya belum
bisa ideal karena
terbatasnya jumlah
SDM, sehingga yang
dilakukan adalah
sebatas
memperkenalkan bayi
kepada ibu dan puting
ibunya.
BIDAN
RS SWASTA X
Wajib dilakukan.
Ada informed
consent
(pernyataan
persetujuan).
BIDAN
RSUD Y
Pasien dengan partus
normal rata-rata IMD,
kecuali bayi asfiksia atau
yang lain. Paling lama
IMD dilakukan sampai 2
jam, namun rata-rata
setengah jam (sampai
selesai hatching). Jika ibu
merasa geli, maka bayi
langsung diangkat. Ibu
dengan pre-eklampsia atau
kondisi yang lain, maka
bayinya hanya didekatkan
ke ibu saja.
Tidak ada informed
consent(pernyataan
persetujuan).
OBGYN
RS SWASTA X
Wajib dilakukan.
Konselor laktasi, dokter
spesialis anak, dokter
obgyn dan bidan
merupakan penggerak
pelaksanaan IMD.
Peranannya adalah
membentuk motivasi
dan niat untuk IMD
sejak masa kehamilan.
Penyuluhan kepada ibu
hamil dilakukan secara
rutin dibawah
pengawasan konselor
laktasi.
Keberhasilan 10
LMKM.
IMD secara ideal
belum bisa dilakukan
karena kurangnya
SDM. IMD selama ini
dilakukan sebatas
mengenalkan bayi
kepada ibu dan puting
ibunya.
Pelaksana dan
pendamping IMD
pada persalinan
spontan maupun
dengan operasi
saesar adalah
dokter.
Bidan
bertanggungjawab
dalam
pelaksanaan IMD
pada ibu sesaat
setelah
melahirkan pada
pasien bidan.
Bidan mengelap bayi,
meletakkan bayi di dada
ibu selama kurang lebih
setengah jam (sampai
selesai hatching) untuk
memperkenalkan bayi
dengan ibu dan puting
ibunya. Jika kondisi ibu
tidak memungkinkan (preeklampsia, dan lain-lain)
maka bayi hanya
didekatkan saja ke ibunya.
Pengobservasi
kondisi ibu pada
proses persalinan
dan post partum
apakah dapat
melakukan IMD.
Untuk pelaksana
dan pengawas
IMD adalah tugas
bidan
pendamping.
OBGYN RSUD Y
IMD penting, tapi tidak
mungkin dilakukan
langsung segera bayi lahir.
Keterbatasan utama SC itu
adalah kondisi ibu dan
bayinya. Untuk SC harus
dipertimbangkan juga
keterbatasan tempatdan
waktu.
Sulit untuk melakukan
IMD dalam arti
sesungguhnya saat SC.
Cukup dengan pelekatan di
ruang operasi dan
dilanjutkan di ruang
perawatan nifas atau RR.
Belum ada peran spesifik
untuk IMD.
Untuk IMD dilakukan
beberapa jam setelah
persalinan.
Fokus utama obgyn adalah
pada persalinan SC
IMD adalah
tanggungjawab perawat
anak.
Sejauh ini IMD hanya
berupa pelekatan sesaat,
itupun mempertimbangkan
kondisi ibu dan bayi.
107
Dukungan Tenaga Kesehatan ………… (Novianti, Anissa Rizkianti)
Tabel 2. Matriks Hasil Wawancara Mendalam Terkait Pelatihan Tenaga Kesehatan dalam Pelaksanaan IMD di Masing-Masing Rumah Sakit
KETERANGAN
KONSELOR ASI
RS SWASTA X
Ada, rutin dilakukan
jika ada undangan dari
pihak luar maupun
secara internal juga kita
lakukan.
Sumber dana dari
direksi, dan jika
konselor laktasi
tersertifikat tergantung
kebijakan RS.
KONSELOR ASI
RSUD Y
Pelatihan sudah level 3
NICU. Penyelenggara
pelatihan dari Depkes dan
Dinkes.
Sumber biaya dari biaya
sendiri dan ada pula daripos
biaya IMD, PONED,
PONEK dan PMK.
Pelatihan terakhir tahun
2012 atau tahun 2013 awal.
BIDAN
RS SWASTA X
Ada, baik internal RS
maupun eksternal.
Kalau internal
dilakukan oleh
konselor laktasi, kalau
eksternal digilir siapa
yang ikut.
BIDAN
RSUD Y
Pelatihan penting bagi
bidan karena
pelasksana IMD
adalah bidan.
Jarang diikutsertakan
pelatihan karena faktor
pembiayaan.
OBGYN
RS SWASTA X
Ada.
OBGYN
RSUD Y
Tidak ada kalau
pelatihan IMD.
Pelatihan tentang
IMD dan SOP nya
bukan ranah dokter
spesialis
kandungan
melainkan
spesialis anak.
Konselor Laktasi
Banyak, dari spesialis
anak, dokter umum dan
bidan. Konselor dibagi
dua yaitu yang
tersertifikat IBLCC dan
yang tidak tersertifikat
tapi sudah mendapatkan
pelatihan rutin. Totalnya
lebih dari 20 orang.
Banyak
Dokter spesialis
anakjuga merangkap
sebagai konselor, tapi
hanya dokter spesialis
anak tertentu juga
yang bisa jadi
konselor.
Banyak.
Tidak ada.
Pembiayaan
pelatihan konselor
laktasi
Pembiayaan dari direksi
RS, kecuali ada
permintaan dari luar
biasanya sharing budget
antara peserta dengan
RS.
Dokter spesialis anak
merangkap tapi belum
tersertifikat seperti IBLCC,
baru mengikuti pelatihan
lokal atau nasional saja.
Tidak semua dokter
spesialis anak adalah
konselor.
Kesadaran akan pentingnya
menyusui masih kurang,
padahal dokter spesialis
anak punya peranan penting
juga untuk IMD dan ASI
eksklusif.
Dari pusat (Kemenkes)
karena pelatihannya dari
pusat.
Pembiayaan dari
direksi RS, kecuali
ada permintaan dari
luar biasanya sharing
budget antara peserta
dengan RS.
Bidan atau perawat
anak jarang atau tidak
pernah ikut serta.
Dari RS
Tidak tahu.
Pelatihan terkait
IMD bagi nakes
108
Jurnal Kesehatan Reproduksi
(ISSN 2087-703X)
- Vol…………
7, No. 2, (2016),
pp. 109-118
Hubungan Kematangan
Reproduksi
(Rofingatul
Mubasyiroh, Teti Tejayanti, Felly P. Senewe) HUBUNGAN KEMATANGAN REPRODUKSI DAN USIA SAAT MELAHIRKAN DENGAN
KEJADIAN BAYI BERAT LAHIR RENDAH (BBLR) DI INDONESIA TAHUN 2010
Relation of Reproductive Maturity and Maternal Age at Delivery with Low Birth Weight (LBW)
in Indonesia 2010
Rofingatul Mubasyiroh*, Teti Tejayanti, Felly Philipus Senewe
Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat, Badan Litbangkes
*E-mail: [email protected]
Abstract
Background: Infant Low Birth Weight (LBW) is a major factor in increased mortality, morbidity and disability
neonatal infants and children. One of biological characteristics of mothers that increases the risk of low birth
weight is young gynecological age (reproductive maturity).
Objective: This study aims to determine the relationship of reproductive maturity and maternal age at delivery
with Infant LBW.
Methods: The study design was cross-sectional with the outcome (LBW) clearly preceded by exposure
(condition during pregnancy). Sample was 1562 subjects of Riskesdas 2010 namely married with first child.
Birth weight data recorded in the health record book/KMS/KIA books. Multivariate analysis done by Cox
regression.
Result: Overall incidence of LBW was 6.1 percent. There were 11.8 percent of LBW with immaturity
reproduction and 8.4 percent in women at risk on maternal age (<20 years)). The final result of multivariate
analysis showed that women with immaturity reproduction and at risk on maternal age were 2.43 times having
low birth weight baby compared to those with maturity reproduction and safe age of childbirth, controlled by
education, iron tablet consumption, gestational age at first visit and number of ANC visits.
Conclusions: Immaturity reproduction and at risk maternal age affect the incidence of LBW in Indonesia in
2010 adjusted by education, iron tablet consumption, gestational age at first visit and the number of ANC visits.
Keywords: reproductive maturity, age at delivery, low birth weight
Abstrak
Latar belakang: Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) termasuk faktor utama dalam peningkatan mortalitas,
morbiditas dan disabilitas neonatus bayi dan anak. Salah satu karakteristik biologis ibu yang memiliki peran
meningkatkan risiko BBLR adalah usia ginekologi yang muda.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kematangan reproduksi dan usia ibu saat
melahirkan dengan kejadian Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR).
Metode: Disain studi ini adalah cross-sectional dengan outcome (BBLR) jelas didahului oleh exposure (kondisi
saat hamil). Sampel penelitian adalah 1562 sampel Riskesdas 2010 yaitu wanita pernah menikah yang memiliki
anak pertama dengan data berat lahirnya dicatat dalam buku catatan kesehatan/KMS/buku KIA. Analisis
multivariat dengan cox regression.
Hasil: Penelitian menunjukkan secara keseluruhan terdapat 6,1 persen kejadian BBLR. Terdapat 11,8 persen
BBLR pada ibu dengan usia reproduksi yang belum matang dan 8,4 persen pada ibu dengan usia melahirkan
berisiko. Hasil akhir multivariat menunjukkan kombinasi usia reproduksi yang belum matang dan usia saat
melahirkan berisiko mempunyai risiko melahirkan bayi BBLR sebesar 2,43 kali dibandingkan usia reproduksi
yang matang dan usia saat melahirkan yang aman, setelah dikendalikan faktor pendidikan, konsumsi Fe, usia
kandungan saat pertama kali periksa dan frekuensi ANC.
Kesimpulan: Usia reproduksi yang belum matang dan usia ibu saat melahirkan yang berisiko mempengaruhi
kejadian BBLR setelah dikontrol faktor pendidikan, konsumsi Fe, usia kandungan saat pertama kali periksa,dan
frekuensi ANC.
Kata kunci: kematangan reproduksi, usia saat melahirkan, BBLR
Naskah masuk: 6 April 2016
Review: 14 Juni 2016
Disetujui terbit: 26 Agustus 2016
Hubungan Kematangan Reproduksi ………… (Rofingatul Mubasyiroh, Teti Tejayanti, Felly P. Senewe) PENDAHULUAN
Salah satu arah RPJMN Tahap II yang
ditetapkan dalam UU nomor 17 tahun 2007
tentang Rencana Pembanguan Jangka Panjang
Nasional adalah meningkatkan kualitas
sumber daya manusia (SDM). Setiap bayi
yang lahir memiliki hak hidup dan tumbuh
menjadi manusia yang produktif. Bayi yang
lahir merupakan aset bangsa yang perlu
diperhatikan dan dipenuhi hak-hak dasarnya
sebagai manusia dan dibantu dalam
peningkatan kualitas hidupnya.1
Berat bayi merupakan ukuran antropometri
yang terpenting dan paling sering digunakan
pada bayi baru lahir (neonatus). Berat badan
digunakan untuk diagnosa bayi normal atau
mengalami bayi berat lahir rendah (BBLR).
Pada masa bayi sampai balita, berat badan
dapat dipergunakan untuk melihat laju
pertumbuhan fisik maupun status gizi.2 BBLR
didefinisikan sebagai bayi yang berat badan
lahirnya pada saat kelahiran kurang dari 2500
gram. BBLR termasuk faktor utama dalam
peningkatan mortalitas, morbiditas dan
disabilitas neonatus bayi dan anak, serta
memberikan dampak jangka panjang terhadap
kehidupannya di masa depan.3
Bayi berat lahir rendah (BBLR) merupakan
salah satu faktor risiko yang mempunyai
kontribusi terhadap kematian bayi, khususnya
pada masa perinatal. Berbagai studi
menunjukkan bahwa BBLR memiliki risiko
kematian neonatal lebih besar dibandingkan
bayi dengan berat normal. Menurut SKRT
2001, kematian neonatal akibat prematur dan
BBLR mencapai 29 persen dan merupakan
penyebab kematian terbesar setelah gangguan
perinatal (34%).4 Hasil penelitian Registrasi
Kematian dan Penyebab Kematian di 12
Kabupaten/Kota di Indonesia tahun 2012, bayi
berat lahir rendah merupakan penyebab ke-dua
terbesar (21%) kejadian kematian perinatal (06 hari dan IUFD) setelah faktor penyebab
IUFD (27%).5 Nelson, dkk menyebutkan
bahwa BBLR adalah faktor risiko utama pada
morbiditas dan mortalitas neonatal di negaranegara berkembang. Bayi dengan BBLR
mempunyai risiko mengalami kematian
perinatal antara 5-35 kali lebih besar dari bayi
dengan berat normal.6
110 Bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) lebih
rentan terhadap kondisi-kondisi penyakit
infeksi sehingga di masa mendatang sering
terjadi gangguan dalam belajar, kemampuan
intelektual yang rendah dan sering terjadi
gangguan yang berkaitan dengan masalah.7
Penelitian di negara-negara Asia Selatan juga
menunjukkan bahwa anak dengan riwayat
BBLR pada masa mendatang akan lebih
banyak menderita kurang energi protein (KEP)
dan lebih banyak putus sekolah dan tinggal
kelas.8
Berdasarkan publikasi World
Health
Organization (WHO) 2011, kejadian bayi
berat lahir rendah di dunia sebesar 15 persen
pada periode 2000-2009. Penyumbang angka
terbesar 24 persen di wilayah Asia Tenggara.
Menurut WHO (2004), prevalensi BBLR di
suatu negara disebut rendah jika kurang dari 5
persen. Hasil Riset Kesehatan Dasar
menunjukkan persentase anak balita yang
mempunyai berat badan lahir < 2500 gram
pada tahun 2007 sebesar 11,5 persen dan
menurun menjadi 11,1 persen pada tahun
2010. Disparitas proporsi BBLR terjadi antara
satu daerah dengan daerah lain, yaitu 5,8
persen - 27,0 persen di tahun 2007, dan variasi
pada tahun 2010 adalah berkisar 6,0 persen 18,5 persen. Adapun proporsi BBLR lebih
besar di perdesaan (12,0%) dibandingkan di
perkotaan (10,4%).
Penyebab BBLR masih terus dikaji sampai
saat ini. Beberapa studi menyatakan bahwa
penyebab BBLR ini adalah multifaktorial,
antara lain: ibu yang hamil di usia muda,
faktor demografi, biologi ibu, riwayat obstetri,
morbiditas ibu selama hamil, periksa
kehamilan (antenatal care), dan paparan
toksis.
Salah satu karakteristik biologis ibu secara
umum
yang
memiliki
peran
dalam
meningkatkan
risiko
BBLR
adalah
kematangan reproduksi yang masih muda.
Ketidakmatangan reproduksi diperkirakan
mempengaruhi luaran kahamilan. Namun
demikian konsep ini masih menjadi
kontroversi apakah memang ketidakmatangan
reproduksi (usia ginekologi) menjadi faktor
independen signifikan terhadap kejadian
BBLR.
Hubungan Kematangan Reproduksi ………… (Rofingatul Mubasyiroh, Teti Tejayanti, Felly P. Senewe) Masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini
adalah apakah ada hubungan antara
kematangan reproduksi dan usia ibu saat
melahirkan dengan kejadian BBLR di
Indonesia pada tahun 2010. Tujuan penelitian
adalah diketahui besar hubungan kematangan
reproduksi dan usia ibu saat melahirkan
dengan kejadian BBLR setelah mengontrol
pengaruh faktor ibu (tingkat pendidikan ibu,
status ekonomi ibu, komplikasi kehamilan,
konsumsi tablet besi (Fe), merokok) dan faktor
pelayanan kesehatan (usia kandungan saat
pertama kali periksa kehamilan, frekuensi
antenatal care (ANC), tenaga pemeriksa
ANC).
METODE
Penelitian ini menggunakan data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010.
Penelitian ini adalah penelitian non-intervensi
dengan disain penelitian potong lintang (cross
sectional). Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh wanita pernah kawin usia 10-59
tahun yang memiliki bayi lahir hidup di
Indonesia selama kurun waktu 5 tahun antara 1
Januari 2005 sampai pertengahan Agustus
2010 (periode pelaksanaan Riskesdas 2010).
sampel dalam penelitian ini adalah wanita usia
10-59 tahun yang memiliki bayi lahir hidup,
terpilih menjadi sampel Riskesdas dan
memenuhi kriteria inklusi (semua populasi
yang memenuhi syarat dijadikan sampel).
Kriteria inklusi penelitian ini adalah wanita
pernah kawin berusia 10-59 tahun, pernah
hamil dan melahirkan selama periode 1
Januari 2005 sampai pelaksanaan survei
Riskesdas
2010,
kelahiran
merupakan
kelahiran pertama (tidak pernah keguguran),
bayi lahir hidup, bayi ditimbang saat lahir,
informasi berat lahir bayi berdasarkan catatan
KMS/buku KIA/catatan kesehatan, data semua
variabel lengkap. Kriteria eksklusi adalah ibu
yang memiliki bayi kembar.
Besar sampel minimal penelitian ini dihitung
menggunakan rumus besar sampel pada
penelitian survei untuk uji hipotesis beda dua
proporsi satu arah.9 Rumus perhitungan
sebagai berikut:
(z
n=
1−α
2 P (1 − P ) + z1− β P1 (1 − P1 ) + P2 (1 − P2 )
)
2
( P1 − P2 ) 2
Keterangan :
n
= besar sampel minimal
Z 1-α = deviasi normal standar dengan α =
0,05 = 1,65
Z 1-β = deviasi normal standar dengan β =
20 persen, Z 1-β = 0,842
Variabel usia ibu saat melahirkan
P1 = Proporsi BBLR pada ibu dengan usia
saat melahirkan < 20 tahun yaitu 10,4
persen dan ≥ 34 tahun yaitu 8,9
persen.10
P2 = Proporsi BBLR pada ibu dengan usia
saat melahirkan 20-34 tahun yaitu 6,5
persen10, dengan ORadjusted= 1,15
(untuk ibu usia < 20 tahun) dan
ORadjusted= 1,91 (untuk ibu usia ≥ 34
tahun). OR sudah di-adjust jenis
kelamin bayi, status perkawinan, jumlah
anak, usia kehamilan, frekuensi ANC,
jenis
persalinan,
jenis
asuransi
kesehatan, merokok.
Variabel usia ginekologi
P1 = Proporsi BBLR pada ibu dengan
kematangan reproduksi < 2 tahun yaitu
26,5 persen (Dengan kriteria usia
ginekologi 2-4 tahun).11
P2 = Proporsi BBLR pada ibu dengan
kematangan reproduksi > 2 tahun yaitu
6,7 persen (Dengan kriteria usia
ginekologi > 4 tahun).11
Berdasarkan rumus di atas, diperoleh jumlah
sampel mimimal yang dibutuhkan pada
kelompok ibu dengan usia saat melahirkan <
20 tahun adalah sebanyak 293 orang. Adapun
jumlah sampel mimimal yang dibutuhkan pada
kelompok ibu dengan usia saat melahirkan ≥
34 tahun adalah sebanyak 675 orang. Untuk
variabel kematangan reproduksi, jika dengan
batasan usia 2-4 tahun diperoleh jumlah
111
Hubungan Kematangan Reproduksi ………… (Rofingatul Mubasyiroh, Teti Tejayanti, Felly P. Senewe) sampel 15 orang. Namun jika batasan
kematangan reproduksi adalah < 2 tahun,
dengan asumsi bahwa kematangan reproduksi
merupakan faktor risiko kejadian BBLR, maka
diperkirakan proporsi BBLR pada usia
ginekologi < 2 tahun adalah semakin besar,
sehingga jumlah sampel minimal yang
butuhkan adalah lebih kecil dari 15 orang per
kelompok. Dengan demikian, jumlah sampel
minimal penelitian ini adalah 1350 orang.
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah
berat badan bayi lahir rendah. Variabel bebas
adalah kematangan reproduksi dan usia saat
melahirkan. Adapun variabel kovariat antara
lain status ekonomi, pendidikan, merokok,
usia kandungan saat pertama ke pelayanan
kesehatan, konsumsi tablet Fe, tenaga
pemeriksa ANC, frekuensi periksa ANC.
Kombinasi kedua variabel independen utama
untuk
efek
modifier,
yaitu
variabel
kematangan reproduksi dan usia ibu saat
melahirkan dengan kejadian BBLR terdiri dari
4 macam kelompok gabungan:
1. Sebagai reference adalah usia ginekologi >
2 tahun dan usia saat melahirkan 20-34
tahun.
2. Kombinasi usia ginekologi usia ginekologi
> 2 tahun dan usia saat melahirkan < 20
tahun atau > 34 tahun.
3. Kombinasi usia ginekologi < 2 tahun dan
usia saat melahirkan 20-34 tahun.
4. Kombinasi usia ginekologi < 2 tahun dan
usia saat melahirkan < 20 tahun atau > 34
tahun.
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat ada
tidaknya dan besarnya hubungan antara dua
variabel penelitian (satu variabel dependen dan
satu variabel independen). Dalam penelitian
ini variabel dependen (BBLR) dalam bentuk
katagorik dan semua variabel independen juga
dalam bentuk kategorik, maka analisis yang
cocok adalah menggunakan uji Chi Square,
dengan batas kemaknaan yang dipakai α= 0,05
sebagai tanda adanya perbedaan proporsi. Uji
hubungan antara dua variabel akan dianggap
bermakna jika hasil perhitungan statistik
mempunyai nilai p < 0,05. Sedangkan
besarnya hubungan kedua variabel akan
dihitung dengan Prevalen Rasio (PR) yang
merupakan nilai estimasi risiko untuk
terjadinya outcome (variabel dependen) karena
112 pengaruh adanya variabel independen.
Perubahan satu unit variabel independen akan
menyebabkan perubahan sebesar nilai PR pada
variabel dependen.
Analisis multivariat bertujuan untuk membuat
model sehingga dapat menjelaskan hubungan
kausal antara kematangan reproduksi dan usia
saat melahirkan dengan kejadian BBLR.
Analisis menggunakan modifikasi cox
regression dengan variabel (waktu) bebas.
Variabel (waktu) bebas adalah variabel yang
nilainya untuk suatu subjek tetap konstan dari
waktu ke waktu. Hasilnya akan diperoleh
Prevalence Ratio (PR) dan 95 persen CI untuk
memprediksi hubungan usia ginekologi dan
usia saat melahirkan dengan kejadian BBLR.
Nilai PR diestimasi dari nilai HR yang
dihasilkan dalam cox regression.
Selanjutnya dilakukan uji confounder terhadap
variabel covariat lain yang berpengaruh
terhadap hubungan independen utama dengan
variabel dependen. Pengujian confounder
dilakukan dengan backward elimination
procedurs yaitu mengeluarkan satu per satu
variabel
kovariat.
Selanjutnya
membandingkan perubahan nilai PR jika
kovariat dikeluarkan dengan nilai PR full
model, dengan rumus:
PR = PR reduce – PR full model x 100%
PR full model
HASIL
Populasi sumber penelitian ini adalah 20591
wanita 10-59 tahun pernah kawin yang
melahirkan dalam kurun waktu 2006-2010
dengan jumlah balita yang dilahirkan sejumlah
22296. dari jumlah balita tersebut diperoleh
sejumlah 6011 balita yang merupakan anak
urutan pertama. Dari seluruh anak pertama
tersebut sejumlah 2007 anak yang data berat
badan saat lahir diperoleh berdasarkan catatan
KMS/buku KIA/catatan kesehatan/catatan
kelahiran. Setelah proses manajemen data,
diperoleh sejumlah data 1562 sampel ibu dan
anak yang lengkap pada seluruh variabel
(dependen dan independen) serta bersih dari
isian data “tidak tahu” atau “lupa”.
Hubungan Kematangan Reproduksi ………… (Rofingatul Mubasyiroh, Teti Tejayanti, Felly P. Senewe) Tabel 1 menunjukkan kejadian BBLR lebih
banyak pada kelompok usia ginekologi < 2
tahun (11,8%) dibandingkan pada kelompok
dengan usia ginekologi > 2 tahun (6,1%)
dengan nilai PR=1,93 (95% CI = 0,52-7,21).
BBLR juga lebih banyak terjadi pada
kelompok responden dengan usia melahirkan
< 20 tahun atau > 34 tahun (8,4%)
dibandingkan pada kelompok dengan usia
melahirkan 20-34 tahun (6,7%). Nilai PR=1,48
(95% CI = 0,94-2,33).
Tabel 1 Hubungan usia ginekologi dengan kejadian BBLR
BBLR
Usia Ginekologi
<= 2 th
> 2 th
Ya
N (%)
2 (11,8)
94 (6,1)
Tidak
N (%)
15 (88,2)
1451 (93,9)
22 (8,4)
74 (6,7)
240 (91,6)
1226 (94,3)
PR
95% CI
1,93
0,52 – 7,21
1,48
0,94 – 2,33
Usia Melahirkan
< 20 th atau > 34 th
20-34 th
Tabel 2 menunjukkan hasil analisis hubungan
antara beberapa variabel kovariat dengan
kejadian BBLR. Kejadian BBLR sedikit lebih
banyak terjadi pada kelompok responden
dengan status ekonomi tinggi (6,6%)
dibandingkan pada kelompok dengan status
ekonomi rendah (5,8%). Nilai PR=0,88 (95%
CI = 0,59-1,29), yang berarti bahwa responden
dengan status ekonomi tinggi mempunyai
risiko lebih tinggi untuk melahirkan anak
BBLR dibandingkan dengan responden
dengan status ekonomi rendah.
Tabel 2. Hubungan beberapa variabel kovariat dengan kejadian BBLR
Karakteristik
Status Ekonomi
Rendah
Tinggi
Tingkat pendidikan
Rendah
Tinggi
Konsumsi Fe
< 90
>= 90
Usia kandungan saat pertama
kali periksa
> 3 bln
<= 3 bln
Frekuensi ANC
tidak tepat
tepat
Tenaga pemeriksa ANC
Non kesehatan
Kesehatan
Merokok
Merokok
Tidak Merokok
BBLR
N (%)
Berat Lahir
BBLN
N (%)
PR
95% CI
52 (5,8)
44 (6,6)
845 (94,2)
621 (93,4)
0,88
0,59 - 1,29
48 (6,1)
48 (6,2)
740 (93,1)
726 (93,8)
0,98
0,66 - 1,45
78 (7,0)
18 (4,0)
1028 (93,0)
438 (96,0)
1,79
1,08 - 2,95
10 (6,1)
(86) 6,2
153 (93,9)
1313 (93,8)
0,99
0,53 - 1,88
30 (9,7)
66 (5,3)
280 (90,3)
1186 (94,7)
1,84
1,21 - 2,78
5 (5,0)
91 (6,2)
96 (95,0)
1370 (93,8)
0,79
0,33 - 1,91
1 (9,1)
95 (6,1)
10 (90,9)
1456 (93,9)
1,48
0,21 - 9,72
113
Hubungan Kematangan Reproduksi ………… (Rofingatul Mubasyiroh, Teti Tejayanti, Felly P. Senewe) Hampir tidak ada perbedaan kejadian BBLR
pada kelompok responden dengan tingkat
pendidikan rendah (6,1%) dibandingkan pada
kelompok dengan tingkat pendidikan tinggi
(6,2%). Nilai PR = 0,98 (95% CI = 0,66-1,45),
yang berarti bahwa responden dengan tingkat
pendidikan tinggi mempunyai risiko lebih
tinggi untuk melahirkan anak BBLR
dibandingkan dengan responden tingkat
pendidikan rendah.
Kejadian BBLR lebih banyak pada kelompok
responden yang mengkonsumsi Fe <90 hari
(7,0%) dibandingkan pada kelompok yang
mengkonsumsi Fe > 90 hari (4,0%). Nilai
PR=1,79 (95% CI = 1,08-2,95), yang berarti
bahwa responden dengan konsumsi Fe < 90
hari mempunyai risiko 1,79 kali untuk
melahirkan anak BBLR dibandingkan dengan
responden yang mengkonsumsi Fe > 90 hari.
Kejadian BBLR hampir sama pada kelompok
responden yang pertama kali memeriksakan
kehamilan saat > 3 bulan (6,1%) dan pada
kelompok yang pertama kali memeriksakan
kehamilan saat < 3 bulan (6,2%). Nilai
PR=0,99 (95% CI = 0,53-1,88, yang berarti
bahwa responden yang pertama kali
memeriksakan kehamilan saat > 3 bulan
mempunyai risiko yang hampir sama untuk
melahirkan anak BBLR dengan responden
yang pertama kali memeriksakan kehamilan
saat < 3 bulan.
Kejadian BBLR lebih banyak pada kelompok
responden yang tidak tepat dalam melakukan
ANC (9,7%) dibandingkan pada kelompok
yang tepat dalam melakukan ANC (5,3%).
Nilai PR=1,84 (95% CI = 1,21-2,78), yang
berarti bahwa responden yang tidak tepat
dalam melakukan ANC mempunyai risiko
1,84 kali untuk melahirkan anak BBLR
dibandingkan dengan responden yang tepat
dalam melakukan ANC.
Kejadian BBLR lebih banyak pada kelompok
responden yang memeriksakan kandungan di
tenaga kesehatan (6,2%) dibandingkan pada
kelompok yang memeriksakan kandungan di
tenaga non kesehatan (5,0%). Nilai PR=0,79
(95% CI = 0,33-1,91), yang berarti bahwa
responden yang memeriksakan kandungan di
tenaga non kesehatan tidak lebih berisiko
untuk melahirkan anak BBLR dibandingkan
114 dengan responden yang memeriksakan
kandungan di tenaga kesehatan.
Kejadian BBLR lebih banyak pada kelompok
responden yang merokok (9,1%) dibandingkan
pada kelompok yang tidak merokok (6,1%).
Nilai PR=1,48 (95% CI = 0,21-9,72), yang
berarti bahwa responden yang merokok
mempunyai risiko 1,48 kali untuk melahirkan
anak BBLR dibandingkan dengan responden
yang tidak merokok.
Dilakukan analisis multivariat untuk membuat
model hubungan kausal antara kematangan
reproduksi dan usia saat melahirkan dengan
kejadian BBLR. Analisis multivariat yang
digunakan adalah analisis cox regression
dengan model faktor risiko. Pada analisis ini
dilakukan permodelan yang mengikutsertakan
semua potensial konfounder. Model yang
diharapkan terbentuk adalah model yang
parsimonious yaitu model yang valid dan
presisinya baik serta sederhana. Langkahlangkah yang harus dilakukan untuk
memperoleh
model
yang
paling
fit
(parsimonious) untuk melihat hubungan
tersebut adalah melakukan pemilihan kandidat
multivariat, pembuatan Hierachically Well
Formulated (HWF Model) dengan melakukan
Hierachically Backward Elimination yaitu
eliminasi interaksi yang mungkin antara
variabel independen utama dengan variabel
konfounding dan eliminasi confounder
(Kleimbaum, et. al., 1998). Kemudian
dilakukan pengujian confounder dengan
backward elimination procedures model
dengan cara mengeluarkan satu per satu
variabel kovariat dan dibandingkan dengan
perubahan nilai PR pada variabel independen
utama dan variabel interaksi.
Analisis
multivariat
dimulai
dengan
penyeleksian variabel. Variabel yang dapat
masuk dalam analisis multivariat adalah
variabel yang memiliki p-value <0,25. Khusus
variabel independen utama yaitu kematangan
reproduksi dan usia saat melahirkan apabila
memiliki p-value >0,25 tetap akan dimasukkan
ke dalam model. Berdasarkan analisis bivariat
yang telah dilakukan sebelumnya, terdapat 4
variabel yang akan masuk ke dalam analisis
multivariat, yaitu kematangan reproduksi, usia
saat melahirkan, konsumsi Fe, dan frekuensi
ANC. Sedangkan variabel yang tidak masuk
Hubungan Kematangan Reproduksi ………… (Rofingatul Mubasyiroh, Teti Tejayanti, Felly P. Senewe) dalam model adalah status ekonomi, tingkat
pendidikan, usia kandungan saat pertama
periksa, tenaga pemeriksa ANC dan merokok.
Namun berdasarkan substansi, semua variabel
kovariat
dimasukkan
dalam
analisis
multivariat.
Analisis multivariat yang akan dilakukan
adalah multivariat kematangan reproduksi
dengan kejadian BBLR, multivariat usia saat
melahirkan dengan kejadian BBLR, dan
multivariat kombinasi kematangan reproduksi
dan usia saat melahirkan dengan kejadian
BBLR.
Prinsip terpenting dalam pemodelan adalah
model yang valid yaitu model yang dapat
menggambarkan
hubungan
yang
sesungguhnya antara variabel independen
utama dengan variabel dependen di populasi.
Estimasi efek variabel independen terhadap
variabel dependen yang terbaik adalah
estimasi efek yang telah memperhitungkan
confounder dan juga effect modifier
(Kleimbaum, et. al., 1998).
Berdasarkan hasil akhir analisis multivariat
menunjukkan bahwa kombinasi kematangan
reproduksi < 2 tahun dan usia saat melahirkan
< 20 atau > 34 tahun mempunyai risiko untuk
melahirkan bayi BBLR sebesar 2,43 kali jika
dibandingkan dengan kematangan reproduksi
> 2 tahun dan usia saat melahirkan 20 - 34
tahun, setelah dikendalikan faktor pendidikan,
konsumsi Fe, usia kandungan saat pertama kali
periksa,dan frekuensi ANC. Besar asosiasi
pada kelompok 4 ini spesifik untuk kelompok
umur < 20 tahun. Hal ini terjadi karena pada
sebaran usia, responden yang memiliki
kematangan reproduksi < 2 tahun adalah
kelompok usia < 20 tahun. Sedangkan pada
kelompok usia > 34 tahun tidak ditemukan
responden yang memiliki usia ginekologi < 2
tahun.
Langkah
selanjutnya
adalah
membuat
pemodelan
dengan
HWF
Model
(Hierarchically Well Formulated Model).
Caranya yaitu dengan memasukkan semua
variabel yang ada serta variabel yang
mungkinkan terjadi interaksi antara variabel
lain dengan variabel independen utama
sehingga menghasilkan suatu model yang
maksimum (paling lengkap). Langkah ini
dapat mengontrol semua effect modifier dan
confounder.
Tabel 3 Pemodelan Multivariat (Tahap Akhir) Usia Ginekologi dan Usia Melahirkan
Terhadap Kejadian BBLR
Variabel
Coef
SE
PR
95% CI
p-value
0,86 - 2,38
0,265
Usia ginekologi dan usia melahirkan
Kelompok 1
1
Kelompok 2
0,29
0,26
1,33
Kelompok 3
-30,01
1,01E+07
4.58e-15
Kelompok 4
1,000
0,888
0,73
2,43
0,65 - 11,59
0,225
Pendidikan
-0,161
0,212
0,85
0,56 - 1,29
0,448
Konsumsi Fe
0,475
0,267
1,61
0,95 - 2,72
0,076
Usia kandungan saat periksa
-0,786
0,389
0,46
0,21 - 0,98
0,043
Frekuensi ANC
0,815
0,262
2,26
1,35 - 3,78
0,002
Adapun
pada
kelompok
kematangan
reproduksi > 2 tahun dan usia saat melahirkan
< 20 atau > 34 tahun mempunyai risiko untuk
melahirkan bayi BBLR sebesar 1,33 kali jika
dibandingkan dengan kematangan reproduksi
> 2 tahun dan usia saat melahirkan 20-34
tahun, setelah dikendalikan faktor pendidikan,
konsumsi Fe, usia kandungan saat pertama kali
periksa dan frekuensi ANC.
115
Hubungan Kematangan Reproduksi ………… (Rofingatul Mubasyiroh, Teti Tejayanti, Felly P. Senewe) Nilai PR pada kelompok responden yang
memiliki kematangan reproduksi < 2 tahun
dan usia saat melahirkan 20-34 tahun tidak
teridentifikasi. Hal ini dapat terjadi karena
jumlah absolut kejadian BBLR pada kelompok
ini tidak ada (nol).
PEMBAHASAN
Kematangan reproduksi merupakan indikator
derajat kematangan fisiologi wanita yang
dihitung dari rentang waktu antara usia hamil
pertama kali dengan usia menarche. Cut off
point usia ginekologi dalam penelitian ini
adalah < 2 tahun yang termasuk dalam
kategori immature.
Dalam penelitian ini diperoleh besar hubungan
kematangan reproduksi dengan kejadian
BBLR di Indonesia tahun 2010 adalah 1,58
(95% CI = 0,37-6,77) setelah dikontrol usia
saat melahirkan, konsumsi Fe, usia kandungan
saat pertama periksa, dan frekuensi ANC.
Hasil ini sama dengan Laporan IOM (Institute
of Medicine), Amerika tahun 1990, yang
mencatat bahwa dari data terbatas yang
tersedia menunjukkan bahwa remaja muda (<
2 tahun setelah menarche) melahirkan bayi
yang lebih kecil untuk berat badan diberikan
daripada wanita yang lebih tua. Hasil ini juga
ditunjukkan dalam penelitian kasus pada
kehamilan remaja Afrika Amerika dengan
kohort
retrospektif
data
rekam
medik. Hasilnya menunjukkan orang-orang
dari kematangan reproduksi rendah memiliki
bayi dengan berat lahir secara signifikan lebih
rendah daripada rata-rata orang-orang yang
lebih matang. Hasil tersebut diperoleh dengan
analisis regresi logistik dengan dikontrol
dengan merokok, BMI saat hamil, paritas,
preeklampsia, masa kehamilan dan berat
badan saat hamil. Hal ini terjadi karena terjadi
kompetisi asupan ibu dengan bayi yang
dikandungnya. Perempuan yang hamil kurang
dari 2 tahun setelah menarche pertama
berisiko untuk mengalami kekurangan zat gizi
akibat terjadinya persaingan nutrisi antara ibu
dan janin yang dikandungnya. Pada
kematangan reproduksi yang muda, rahim dan
panggul seringkali juga belum tumbuh
sempurna.
116 Penelitian di Banglades pada tahun 200
menemukan pada usia di bawah 18 tahun
berisiko terjadinya BBLR sebesar OR=1,59
(95% CI: 1,03-2,5) dan kurang bermakna pada
kelompok di atas 35 tahun dengan OR=1,42
(95% CI: 0,96-2,09) dibanding ibu hamil usia
19-34 tahun (Kusiako, 2000). Namun hasil
tersebut berbeda dengan penelitian Collin
(2004) pada masyarakat Chicago. Collin
mendapatkan bahwa usia di bawah 20 tahun
tidak bermakna sebagai faktor risiko terjadinya
BBLR dengan OR sebesar 1,1 (95% CI: 0,62,1) namun bermakna pada usia >30 tahun
dengan OR=2,0 (95% CI: 1,0-3,9) dibanding
ibu hamil usia antara 20-24 tahun. Penelitian
di Utah pada tahun 1970-1990 menunjukkan
usia 18-19 tahun memiliki peningkatan risiko
yang signifikan sama seperti pada usia 13
sampai 17 tahun dalam risiko terjadinya
BBLR.15 Pada penelitian ini diperoleh hasil
multivariat yang menunjukkan hubungan usia
saat melahirkan dengan kejadian BBLR
sebesar 1,30 (95% CI = 0,79-2,13) setelah
dikontrol kematangan reproduksi, konsumsi
Fe, dan frekuensi ANC. Secara umum, hasil
ini sesuai dengan penelitian Oster (2010)
dengan analisis data SDKI 2007 yang
menunjukkan ibu berusia < 20 tahun atau > 34
tahun berisiko 1,36 kali melahirkan BBLR
dibandingkan usia 20-34 tahun.12
Pada usia kurang dari 20 tahun, organ-organ
reproduksi belum berfungsi sempurna, rahim
dan panggul ibu belum tumbuh mencapai
ukuran dewasa sehingga bila terjadi kehamilan
dan persalinan akan lebih mudah mengalami
komplikasi. Sedangkan pada usia lebih dari 35
tahun, terjadi penurunan kesehatan reproduktif
karena proses degeneratif sudah mulai muncul.
Salah satu efek degeneratif adalah terjadi
sklerosis pembuluh darah arteri kecil dan
arteriola miometrium yang menyebabkan
aliran darah ke endometrium tidak merata dan
maksimal sehingga dapat mempengaruhi
penyaluran nutrisi dari ibu ke janin yang
akhirnya membuat gangguan pertumbuhan
janin dalam rahim.13,14
Dari
penelitian
ini
diketahui
besar
hubungan/risiko secara bersama antara
kematangan reproduksi dan usia ibu saat
melahirkan.
Pada
responden
dengan
kematangan reproduksi < 2 tahun dan usia ibu
saat melahirkan < 20 atau > 34 tahun memiliki
Hubungan Kematangan Reproduksi ………… (Rofingatul Mubasyiroh, Teti Tejayanti, Felly P. Senewe) risiko 2,43 kali untuk melahirkan bayi BBLR
setelah dikontrol faktor pendidikan, konsumsi
Fe, usia kandungan saat pertama kali
periksa,dan frekuensi ANC. Besar asosiasi
pada kelompok 4 ini spesifik untuk kelompok
umur < 20 tahun. Secara spesifik, deskripsi
sebaran kasus BBLR lebih banyak terjadi pada
usia < 20 tahun. kematangan reproduksi < 2
tahun juga paling banyak terjadi pada usia <
20 tahun, serta tidak ditemukan kematangan
reproduksi < 2 tahun pada kelompok > 34
tahun. Hal ini menunjukkan pada kelompok 4,
kontribusi terbesar kejadian BBLR pada
kelompok kematangan reproduksi < 2 tahun
terjadi pada wanita < 20 tahun. Sedangkan
pada kelompok usia > 34 tahun tidak
ditemukan
responden
yang
memiliki
kematangan reproduksi < 2 tahun.
Pada kelompok kematangan reproduksi > 2
tahun dan usia ibu saat melahirkan < 20 atau >
34 tahun berisiko melahirkan bayi BBLR
adalah 1,33 setelah dikontrol faktor
pendidikan, konsumsi Fe, usia kandungan saat
pertama kali periksa dan frekuensi ANC.
Nilai 95 persen CI besar asosiasi pada
responden dengan kematangan reproduksi < 2
tahun dan usia ibu saat melahirkan < 20 atau >
34 tahun adalah 0,65-11,59. Dan pada
kelompok usia ginekologi > 2 tahun dan usia
ibu saat melahirkan < 20 atau > 34 tahun
adalah 0,86-2,38. Nilai interval yang
dihasilkan menunjukkan adanya signifikansi
secara statistik hasil temuan. Nilai ekstrem
atas dan bawah dari interval kepercayaan
mununjukkan seberapa besar atau kecil efek
yang sebenarnya mungkin diperoleh. Interval
kepercayaan dari penelitian besar cenderung
sangat sempit, ini menunjukkan presisi
penelitian tersebut mampu memperkirakan
ukuran efek yang nyata. Sebaliknya, pada
studi yang lebih kecil biasanya menghasilkan
interval kepercayaan yang lebar.
KESIMPULAN
Dari penelitian ini diketahui bahwa
kematangan reproduksi yang muda dan usia
ibu
saat
melahirkan
yang
berisiko
berhubungan dengan kejadian BBLR di
Indonesia tahun 2010
dengan besar
hubungan/risiko adalah 2,43 (95% CI = 0,6511,59). Dimana besar hubungan ini berlaku
untuk usia ibu saat melahirkan < 20 tahun.
Besar hubungan/risiko kematangan reproduksi
yang muda (tanpa kontribusi usia saat
melahirkan) dengan kejadian BBLR tidak
dapat dievaluasi nilainya, dikarenakan terdapat
angka absolut nol (0) pada subjek. Besar
hubungan/risiko usia ibu saat melahirkan yang
berisiko (tanpa kontribusi kematangan
reproduksi) dengan kejadian BBLR adalah
1,33 (95% CI = 0,86-2,38).
SARAN
Bagi program pemerintah, dapat lebih
ditekankan promosi pada kelompok remaja (<
20 tahun) tentang adanya risiko yang lebih
besar jika melahirkan pada saat usia
ginekologi < 2 tahun. Diperlukan penelitian
lanjutan dengan besar sampel yang lebih besar,
sehingga diharapkan terdapat subjek penelitian
pada semua kategori joint effect. Dengan
demikian besar asosiasi pada semua kategori
dapat
diketahui.
Dimungkinkan
untuk
menghitung atau mencari cut off point usia
ginekologi pada perempuan di Indonesia.
Diperlukan penelitian lanjutan dengan fokus
pada usia remaja dengan menyertakan variabel
faktor risiko BBLR, seperti faktor asupan gizi
ibu serta IMT sebelum hamil. Metode
pengukuran variabel outcome dengan lebih
akurat sesuai kriteria atau batasan yang ada (12 jam setelah kelahiran). Bagi penelitian
selanjutnya, lebih diperhatikan temporality
variabel-variabel yang diteliti, terutama pada
variabel kovariat seperti status ekonomi,
tingkat pendidikan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada drg.
Nurhayati Prihartono, MPH, MSc, DSc yang
telah banyak memberikan masukan dalam
pelaksanaan penelitian ini. Ucapan terimakasih
juga penulis sampaikan kepada Kepala Badan
Litbang Kesehatan yang telah mengijinkan
penulis melakukan analisis data Riset
Kesehatan Dasar Tahun 2010.
117
Hubungan Kematangan Reproduksi ………… (Rofingatul Mubasyiroh, Teti Tejayanti, Felly P. Senewe) DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Kementerian
Kesehatan.
Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan Tahun
2010-2014. Jakarta: 2010.
Supariasa. Penilaian Status Gizi. Jakarta:
EGC. 2001. Dalam Hubungan Kenaikan
Berat Badan Ibu Hamil dengan Berat
Bayi Lahir di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta.
Muwakhidah
dan
Siti
Zulaekah. Jurnal Penelitian Sains dan
Teknologi. 2004; 5(1): 11-20.
Linda, Mai. Pengaruh Karakteristik,
Perilaku, dan Sosial Ekonomi Ibu
Terhadap Kelahiran Bayi BBLR (Berat
Badan Lahir Rendah) di Kabupaten
Sidoarjo. [Skripsi]. Surabaya: Universitas
Negeri Surabaya. 2011.
Departemen Kesehatan RI. Kajian
Kematian Ibu dan Anak di Indonesia.
Jakarta:
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Kesehatan. 2004.
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan,
Kementerian
Kesehatan.
Laporan Penelitian Pengembangan Model
Pengendalian
Masalah
Kesehatan
Berbasis Registrasi Kematian dan
Penyebab
Kematian
di
12
Kabupaten/Kota di Indonesia tahun 2012.
Jakarta:
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Kesehatan. 2012.
Nelson. Kendrad E. Infectious Diseases
Epidemiology, Theory and Practice.
Massachusetts: Jones and Bartlett
Publisher, Sudbury. 2005.
Institute of Medicine. Nutrition during
Pregnancy part I Weight Gain.
Washington: National Academy Press.
1990.
Guricci, S. Dampak Krisis Ekonomi
terhadap Status Gizi Masyarakat dan
118 9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Kualitas Sumber Daya Manusia. 1998.
Disajikan pada Kajian Kesehatan FKM
Peduli 1998 di FKM UI Depok.
Lemeshow, S. Et al. Besar Sampel dalam
penelitian kesehatan. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press. 1997.
A.A.M. Silva, M.A. Barbieri, U.A.
Gomes, & H. BettioI. Trends in low birth
weight: a comparison of two birth cohorts
separated by a 15-year interval in
Ribeirao Preto, Brazil. Bulletin of the
World Health Organization. 1998; 76 (1):
73-84
Nursyarifah, Irma. Lingkar Lengan Atas
pada Ibu Hamil Remaja sebagai Faktor
Dominan terhadap Berat Lahir Bayi di
Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat
tahun 2013. [Tesis]. Depok: FKM UI.
Suriani,
Oster.
Determinan
yang
Berhubungan
dengan
Kejadian
Komplikasi Persalinan 5 tahun di
Indonesia tahun 2010.
Cunningham, F G, Gant, N F, Leveno, K
J, Gilstrap-III, L C, Haulth, J C,
Wenstrom, K D. Obstetri Williams
Volume I. Jakarta: EGC. 2005.
Prawirohardjo,S.
Ilmu
Kebidanan.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. 2008.
Collins, JW, et.al., Very Low Birth Weight
in African American Infants: The Role of
Maternal Exposure to Interpersonal
Racial Discrimination. American Journal
of Public Health. Dec 2004; 94 (12),
pp2132-8.
Neilsen, Jennifer, et al., High gestational
weight gain does not improve birth
weight in cohort of African American
adolescents. USA: American Journal
Clinic Nutrition. 2006; 84: 183-9.
Jurnal Kesehatan Reproduksi (ISSN 2087-703X) - Vol 7, No. 2, (2016), pp. 119-133
Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan ..................................... (Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulistiyawati)
Vol
PENGARUH STATUS KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN TERHADAP PERILAKU
IBU SELAMA KEHAMILAN DAN SETELAH KELAHIRAN
DI INDONESIA(ANALISIS DATA SDKI 2012)
Effect of Unintended Pregnancy towards Mothers’ Behaviour during Prenatal and Postnatal in
Indonesia (An Analysis of IDHS 2012)
Lisa Indrian Dini1*, Pandu Riono2 , Ning Sulistiyowati3
1
2
Kesehatan Reproduksi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia
Departemen Biostatistik dan Kependudukan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia;
3
Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat, Badan Litbangkes
*E-mail: [email protected]/[email protected]
Abstract
Background: The status of unintended pregnancies is an important concern as unintended pregnancy can affect
mother and infant health.
Objective: This study aimed to determine the description and influence of unintended pregnancies towards
mothers’ behaviour during prenatal and postnatal within different economic status.
Methods: An analysis of secondary data from Indonesian Demographic and Health Survey (IDHS) 2012 is
conducted. A sample of 11.742 respondents qualified into inclusive criteria were women aged 15-49 years who
had pregnant and gave birth to single births since January 2007 until the time of the survey. The analysis was
performed with logistic regression and stratified multivariate logistic regression.
Results: The results showed that mothers who experienced an unintended pregnancy were 1.79 more likely to
not conduct prenatal care compared to those who didn’t, and had the same opportunities of not having
behaviour of exclusive breastfeeding and not giving complete basic immunization as those who didn’t. The study
also obtained results that behaviour of obstetric care, exclusive breastfeeding and complete basic immunization
also influenced by economic status.
Conclusion: Unintended pregnancy affected behaviour of antenatal care (ANC) visit whereas exclusive
breastfeeding and complete basic imunization were not different compare to intended pregnancy. Effect
unintended pregnanvy toward materna; behavior’s mother are vary according economics status.
Keyword: unintended pregnancy, antenatal care, exclusive breastfeeding, complete basic immunization
Abstrak
Pendahuluan: Status kehamilan tidak diinginkan menjadi penting karena dapat mempengaruhi kesehatan ibu
dan bayi yang akan dilahirkannya dan kelangsungan hidupnya.
Tujuan: Penelitian bertujuan untuk mengetahui gambaran dan pengaruh kehamilan tidak diinginkan terhadap
perilaku ibu selama kehamilan dan setelah kelahiran menurut status status ekonomi
Metode: Analisis data sekunder dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012. Sampel
sebanyak 11.742 responden yang memenuhi syarat inklusi (wanita usia 15-49 tahun pernah hamil dan
melahirkan kelahiran tunggal, masih hidup dan melahirkan sejak Januari 2007 sampai survei. Analisis dengan
regeresi logistik dan stratifikasi regresi logistik multivariat.
Hasil: Ibu yang mengalami kehamilan tidak diinginkan berpeluang tidak melakukan perawatan kehamilan 1,79
dibandingkan kehamilan diinginkan; berpeluang sama terhadap perilaku tidak memberikan ASI eksklusif dan
tidak memberikan imunisasi dasar lengkap. Hasil analisis stratifikasi menunjukkan pengaruh status kehamilan
tidak diinginkan terhadap perilaku: perawatan kehamilan; pemberian ASI eksklusif dan pemberian imunisasi
dasar lengkap yang juga dipengaruhi oleh status status ekonomi. Semakin kaya cenderung melakukan perawatan
kehamilan.
Kesimpulan: Kehamilan tidak diinginkan berpengaruh terhadap perilaku perawatan kehamilan (ANC), namun
tidak ada perbedaan bermakna pada perilaku pemberian ASI eksklusif dan pemberian imunisasi dasar lengkap.
Pengaruh status kehamilan tidak diinginkan bervariasi menurut status ekonomi.
Kata kunci : Kehamilan tidak diinginkan, perawatan kehamilan, asi eksklusif, imunisasi dasar lengkap
Naskah masuk: 19-07-2016
Review: 19-08-2016
Disetujui terbit: 02-09-2016
Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan ...................................... (Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulistiyawati)
PENDAHULUAN
Kehamilan merupakan kodrat seorang wanita
sebagai salah satu fase kehidupan dan
merupakan fase reproduksi manusia yang
berfungsi melahirkan janin sebagai manusia
baru di dunia. Banyak perubahan yang terjadi
selama proses kehamilan sampai bayi
dilahirkan, baik perubahan fisik maupun
psikososial akibat dari pertumbuhan dan
perkembangan janin. Banyak faktor yang
mempengaruhi kehamilan, dari dalam maupun
dari luar yang dapat menimbulkan masalah,
terutama bagi yang pertama kali hamil.
Perubahan yang terjadi pada kehamilan dapat
berdampak pada aspek psikologis kehamilan.1
Setiap tahun di seluruh dunia terdapat jutaan
wanita yang mengalami kehamilan. Kehamilan
terjadi karena direncanakan ataupun tidak
direncanakan. Setiap kehamilan seharusnya
merupakan kehamilan yang diinginkan oleh
ibunya,
termasuk
kapan
kehamilan
dikehendaki dan berapa jumlah anak yang
diinginkan. Kehamilan yang diinginkan jika
kehamilan terjadi pada waktu yang tepat atau
memang sudah berkeinginan untuk hamil
(intended pregnancy). Namun tidak semua
wanita menghendaki dirinya hamil, bahkan
dapat menimbulkan perasaan syok dan
menyangkal kehamilan tersebut. Tidak sedikit
kasus wanita seperti ini yang mengambil jalan
pintas
yaitu
dengan
menggugurkan
kandungannya tanpa mempertimbangkan
moral manusia sebagai makhluk Tuhan.2
Kehamilan yang tidak diinginkan (KTD/
unintended pregnancy) didefinisikan sebagai
kehamilan yang terjadi pada saat tidak
menginginkan anak pada saat itu (mistimed
pregnancy) dan kehamilan yang tidak
diharapkan sama sekali (unwanted pregnancy).
Gilda Sedgn melaporkan bahwa pada tahun
2012 terdapat 213,4 juta kehamilan di seluruh
dunia dengan angka kehamilan usia 15-44
tahun 133 per 1000 wanita pada kelompok
usia yang sama dan 40 persen diantaranya
adalah angka kehamilan yang tidak
diinginkan. Sedangkan di kawasan Asia
Tenggara terdapat 18,8 juta total kehamilan
dan 44 persen diantaranya adalah KTD.3
Di Indonesia, terdapat 86 persen kelahiran
dari kehamilan yang diinginkan, 7 persen
kelahiran dari kehamilan yang tidak
120
direncanakan dan 7 persen kelahiran dari
kehamilan tidak diinginkan. Informasi tentang
keinginan memiliki anak pada responden
wanita berusia 15-49 tahun yang sudah
menikah didapatkan 15 persen wanita masih
menginginkan anak lagi, 24 persen belum
memutuskan kapan ingin menambah anak lagi,
dan 47 persen sudah tidak menginginkan anak
lagi. Pada responden pria berusia 15-54 tahun
yang sudah menikah, didapatkan sebanyak 15
persen pria menginginkan anak lagi, 25 persen
belum merencanakan memiliki anak lagi, dan
45 persen tidak ingin memiliki anak lagi.4 Ika
Saptarini melaporkan kejadian kehamilan yang
tidak diinginkan menurut data Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) 2013 adalah sebesar 15
persen.5
Wanita yang mengalami kehamilan tidak
diinginkan dihadapkan pada dua pilihan, yaitu
tetap
melanjutkan
kehamilan
atau
menggugurkan
kandungan
dengan
menanggung risiko menghadapi bahaya bagi
kesehatan karena cara pengguguran yang
ditempuh biasanya adalah aborsi tidak aman.6
Definisi ‘unsafe abortion’ atau pengguguran
tidak aman
menurut World Health
Organization(WHO) adalah suatu prosedur
untuk mengakhiri kehamilan yang tidak
diinginkan yang dilakukan oleh orang yang
tidak memiliki keterampilan yang sesuai atau
di lingkungan yang tidak sesuai dengan
standar medis minimal atau keduanya. Aborsi
merupakan 1 dari 7 penyebab kematian ibu di
dunia, dan hampir setengah dari kehamilan
tidak diinginkan berakhir dengan aborsi tidak
aman.7,8
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya
kehamilan tidak diinginkan pada seorang
wanita. Hasil penelitian Abdallah menemukan
proporsi wanita dengan pendidikan rendah
(13,4%) lebih besar
untuk mengalami
kehamilan tidak diinginkan dari pada
kehamilan yang diinginkan (4,1%). Proporsi
wanita dari keluarga berpendapatan yang
rendah lebih banyak mengalami kehamilan
tidak diinginkan (15,9%) dibandingkan
kehamilan yang diinginkan (4,1%). 9
Penelitian Gipson JD, et al menunjukkan
bahwa wanita yang berusia di bawah 20 tahun
mempunya kemungkinan (risiko) 2,7 kali
mengalami kehamilan tidak diinginkan dan 2,3
kali pada wanita usia di atas 35 tahun.
Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan ..................................... (Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulistiyawati)
Sedangkan wanita yang tidak menikah
mempunyai risiko 2,5 kali untuk mengalami
kehamilan yang tidak diinginkan daripada
kehamilan yang diinginkan.10 Namun yang
harus diperhatikan adalah kehamilan yang
tidak diinginkan selain mempunyai dampak
kecenderung untuk melakukan aborsi, dapat
berdampak pula pada proses dan outcome dari
kehamilan itu sendiri
D'Angelo, et al melaporkan bahwa kematian
ibu, aborsi, bayi berat lahir rendah, kelahiran
prematur dan kematian bayi yang tinggi
dikaitkan dengan kehamilan yang tidak
diinginkan.11 Laukaran.VH dan Berg.BJV
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
perilaku maternal dengan outcome kehamilan
dan komplikasi persalinan. Pengaruh secara
psikologis terhadap perilaku dari kehamilan
yang tidak diinginkan salah satunya adalah
masalah kunjungan pemeriksaan kehamilan.12
Perawatan kehamilan yang dilakukan secara
rutin bermanfaat untuk mendeteksi dan
menangani secara dini beberapa masalah/
penyakit
yang
dapat
mempengaruhi
kehamilan, pertumbuhan janin dan bahkan
dapat menimbulkan komplikasi kehamilan dan
persalinan yang kelak dapat mengancam
kehidupan ibu dan bayi serta mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan bayi yang
dilahirkan. Pada penelitian D’angelo juga
menunjukkan bahwa wanita dengan kehamilan
yang tidak diinginkan memiliki peluang 2,1
kali
untuk
tidak
memeriksakan
kehamilannya.11 Penelitian lain yang dilakukan
oleh Singh. et al di India juga menunjukkan
bahwa kurangnya pemanfaatan perawatan
kehamilan oleh wanita yang mengalami
kehamilan tidak diinginkan dengan Odds Ratio
(OR) 2,32.8 Hasil penelitian Dye, et al
menyatakan bahwa ibu yang mengalami
kehamilan tidak diinginkan berpeluang 2,12
kali untuk tidak memberikan ASI secara
eksklusif kepada bayinya3. Sedangkan
penelitian yang dilakukan pada 5 negara
Demographic Health Suervey (DHS)) analisis
oleh Marston dan Cleland menemukan adanya
risiko tinggi imunisasi tidak lengkap pada satu
tahun pertama pada kelahiran yang tidak
diinginkan di Kenya OR=1,6 95%CI: 1,122,28) dan Peru (OR=1,24 95%CI 1,09-1,41).13
Penelitian Kosh et.al juga menunjukkan hasil
yang sama, anak yang lahir dari kehamilan
yang tidak diinginkan berisiko 1,39 kali untuk
tidak mendapatkan imunisasi secara lengkap.14
Ajzen dan Fishbein dalam Notoatmodjo
menyatakan bahwa keinginan seseorang untuk
berperilaku merupakan determinan utama dari
perilaku individu tersebut. Bagi ibu yang tidak
menginginkan kehamilannya akan merasa
tidak siap hamil sehingga cenderung untuk
tidak mengurus kehamilannya dengan baik,
yang dapat berisiko pada kesehatan bayinya
dan perawatan bayinya setelah melahirkan.15
Pemerintah Indonesia
memberi perhatian
terhadap status kesehatan ibu dan anak,
sehingga informasi tentang bagaimana
keinginan untuk hamil pada ibu bermanfaat
untuk berbagai tujuan, seperti memperkirakan
jumlah kehamilan tidak diinginkan dan
selanjutnya untuk memperkirakan dampak
status kehamilan terhadap perilaku ibu selama
kehamilan,
kelahiran,
kesehatan
dan
perkembangan anak yang lahir dari kehamilan
yang tidak diinginkan.16,12 Selama ini sudah
banyak penelitian dan analisis tentang
kehamilan yang tidak diinginkan, seperti
analisis determinan kehamilan yang tidak
diinginkan5,17 pengaruh KTD terhadap berat
badan bayi lahir rendah dan analisis lainnya
terkait KTD.18 Penelitian ini menitik beratkan
pada analisis dampak kehamilan tidak
diinginkan terhadap perilaku ibu selama hamil
dan sesudah melahirkan dari data SDKI 2012.
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh kehamilan yang tidak diinginkan
terhadap perilaku ibu baik perilaku selama
hamil dan perawatan terhadap anak, serta
pengaruh pada stratifikasi status ekonomi
METODE
Data yang digunakan pada penelitian adalah
analisis data sekunder dari SDKI 2012, yang
merupakan kerjama antara Badan Pusat
Statistis (BPS), Badan Koordinasi Keluarga
Berencana
Nasional
(BKKBN),
dan
Kementerian Kesehatan (Depkes). Penelitian
ini menggunakan data dari SDKI 2012 yang
mempunyai desain penelitian potong lintang.
Populasi adalah semua wanita berusia 15-49
tahun di seluruh provinsi di Indonesia. Sampel
penelitian ini adalah semua wanita berusia 1549 tahun yang pernah hamil dan melahirkan
121
Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan ....................………… (Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulistiyowati)
anak terakhir saat survei dilakukan sejak
Januari 2012.
Kriteria inklusi pada sampel ini adalah lahir
tunggal, masih hidup dan wanita yang
melahirkan sejak bulan Januari 2007 sampai
dengan survei dilakukan. Sedangkan kriteria
eksklusi adalah ibu yang mempunyai anak
berusia < 12 bulan, ibu dan anak yang datanya
tidak lengkap. Jumlah sampel sesuai syarat
inklusi yang dianalisis sebanyak 11.742 orang
dari 16.320 responden yang memiliki anak
terakhir.
Variabel terikat adalah variabel perawatan
kehamilan, perawatan persalinan, pemberian
ASI eksklusif dan pemberian imunisasi dasar.
Ada tiga variabel terikat yaitu: Perawatan
Kehamilan, adalah pemeriksaan kehamilan
yang dilakukan oleh ibu dengan kriteria ANC
K4 yaitu pemeriksaan kehamilan oleh tenaga
kesehatan minimal 4x kunjungan selama
kehamilan dengan ketentuan minimal 1 kali
trimester 1, minimal 1 pada trimester 2, dan
minimal 2 kali pada trimester 3 (1,1,2);
Pemberian ASI Eksklusif, adalah pemberian
air susu ibu pada bayi tanpa cairan atau
makanan lain pada tiga hari pertama setelah
melahirkan; Pemberian Imunisasi Dasar,
adalah suatu usaha memberikan kekebalan
pada bayi dengan memasukkan vaksin ke
dalam tubuh yaitu, 1x vaksin Bacillus
Calmette Guerin (BCG), 4x vaksin Hepatitis
B, 3x vaksin Dipteri Pertusis dan Tetanus
(DPT), 4x vaksin polio, dan 1x vaksin
campak sesuai dengan jadwal pemberian
untuk mencegah penyakit tertentu.
Variabel bebas adalah
kehamilan tidak
diinginkan yaitu, kejadian kehamilan yang
sebenarnya tidak diharapkan pada waktu itu
karena menginginkan kehamilan kemudian
atau sama sekali tidak ingin hamil.
Variabel
kovariat
mencakup
variabel
karakteristik ibu meliputi umur, tingkat
pendidikan,
status
pekerjaan,
status
perkawinan, paritas, status ekonomi, dan
tempat tinggal. Umur Ibu, adalah umur
responden berdasarkan ulang tahun terakhir
saat survei. Tingkat Pendidikan, adalah
tingkat pendidikan formal terakhir yang telah
dicapai responden. Status Pekerjaan adalah
kegiatan
sehari-hari
responden
yang
122
menghasilkan sesuatu dalam 12 bulan terakhir
selain mengurus rumah tangga. Status
Perkawinan, adalah ikatan yang diakui oleh
negara dan agama di antara dua orang yang
berbeda jenis kelamin. Paritas adalah jumlah
anak yang pernah dilahirkan. Status ekonomi
adalah variabel proxy tingkat status ekonomi
rumah tangga yang diperoleh dari komposit
aset yang dimiliki rumah tangga. Tempat
tinggal, adalah penggolongan dalam sistem
perstatistikan nasional bahwa setiap desa
digolongkan sebagai daerah perkotaan atau
perdesaan.
Kriteria
penggolongan
ini
didasarkan dari 3 variabel yaitu kepadatan
penduduk, persentase rumah tangga tani dan
jumlah fasilitas perkotaan yang tersedia.19.
Analisis data dilakukan secara univariat,
bivariat dengan regresi logistik untuk melihat
pengaruh dan analisis multivariabel dengan uji
regresi logistik ganda untuk melihat pengaruh
dan adanya stratifikasi status ekonomi.
HASIL
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
adalah survei berkala yang dilaksanakan
secara kolaborasi antara Badan Pusat Statistik,
Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional
(BKKBN)
dan
Kementerian
Kesehatan. SDKI telah dilaksanakan sebanyak
7 kali. Survei pertama adalah Survei
Prevalensi Kontrasepsi Indonesia yang
dilakukan pada tahun 1987, kedua sampai
kelima adalah SDKI 1991, SDKI1994, SDKI
1997, SDKI 2002-2003, SDKI 2007 dan
terakhir SDKI 2012. Cakupan SDKI 2012 kali
ini agak berbeda dengan SDKI 2007, yaitu
mencakup semua wanita usia subur (WUS)
umur 15-49 tahun, pria kawin umur 15-54
tahun, dan remaja pria belum kawin umur 1524 tahun. SDKI merupakan bagian dari
program Demographic and Health Surveys
(DHS) yang tersebar di seluruh dunia, yang
dirancang untuk mengumpulkan data fertilitas,
keluarga berencana, serta kesehatan ibu dan
anak.
Data SDKI 2012 terdiri dari data rumah tangga
dan data individu. Dalam analisis ini data yang
digunakan adalah file individu. Pada tahapan
persiapan analisis data diperoleh hasil
penapisan data yang digunakan untuk analisis
yaitu 11.742 kasus ( record).
Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan ..................................... (Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulistiyawati)
Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian
kecil dari ibu yang tidak melakukan perawatan
kehamilan sesuai kriteria (24,3%), sedangkan
sebagian besar dari ibu tidak memberikan Air
Susu Ibu (ASI) eksklusif (62,1%) dan sebagian
besar tidak memberikan imunisasi dasar
lengkap (65%) (lihat Tabel 1). Status
kehamilan berdasarkan kategori kehamilan
diinginkan dan kehamilan tidak diinginkan,
menunjukkan bahwa sebagian kecil ibu
mengalami kehamilan tidak diinginkan
(15,4%) (lihat Tabel 1). Tingkat pendidikan
ibu lebih banyak yang tidak tamat SMP (56%).
Begitu juga dengan status pekerjaan ibu
sebagian besar adalah bekerja (55,5%).
Sebagian besar ibu berstatus kawin (96,9%).
Status ekonomi ibu sebarannya hampir merata
pada setiap status dan lebih dari sebagian ibu
tinggal di daerah perkotaan (51,4%) (lihat
Tabel 1)
Tabel 1. Distribusi frekuensi ibu menurut variabel terikat, variabel bebas dan kovariat
di Indonesia Tahun 2012
Variabel dan kategorinya
Perawatan kehamilan
Sesuai kriteria ANC K4
Tidak sesuai kriteria ANC K4
Pemberian ASI eksklusif
Ya
Tidak
Pemberian imunisasi dasar
Lengkap
Tidak lengkap
Status kehamilan
Kehamilan diinginkan (intended pregnancy)
Kehamilan tidak diinginkan (unintended) *
- Mistime (ingin hamil nanti/tidak tepat waktu)
- Unwanted (tidak ingin sama sekali
Tingkat Pendidikan
≥ SMP
< SMP
Tidak sekolah
Status pekerjaan
Tidak bekerja
Bekerja
Status perkawinan
Kawin
Tidak kawin
Status ekonomi
Terkaya (Kuintil 5 )
Menengah atas (Kuintil 4)
Menengah (Kuintil 3)
Menengah bawah (Kuintil 2)
Termiskin (Kuintil 1)
Tempat tinggal
Perkotaan
Perdesaan
Jumlah sampel (weighted)
Proporsi
(%)
95% CI
(%)
75,7
24,3
74,5-76,9
23,1-25,5
37,9
62,1
36,4-39,4
60,6-63,6
35,0
65,0
33,4-36,6
63,4-66,6
84,6
83,5-85,7
7,3
8,1
6,49-8,08
7,22-8,88
42,6
56,0
1,4
40,6-44,5
54,1-57,9
1,1-1,7
44,5
55,5
42,9-46,1
53,9-57,1
96,9
3,1
96,5-97,3
2,7-3,5
20,7
21.1
20,1
19,0
19,1
19,1-22,3
19,7-22,4
18,9-21,4
17,9-20,2
17,8-20,4
51,4
48,6
11.742
50,0-52-8
47,2-49,9
‘* dalam analisis digabung sebagai kehamilan tidak diinginkan
Untuk variabel umur dan paritas dengan skala
statistik sebagaimana pada Tabel 3. Umur ibu
ratio maka sebaran data diperoleh hasil
rata-rata adalah 30 tahun dengan standar
123
Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan ....................………… (Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulistiyowati)
deviasi 6,2. Umur termuda 15 tahun dan umur
tertua 49 tahun serta mediannya adalah 30
tahun. Pada variabel paritas didapatkan ratarata jumlah kelahiran ibu adalah 2 kelahiran
dengan standar deviasi 1,3. Jumlah paritas
paling sedikit 1 kelahiran dan yang paling
banyak 13 kelahiran (lihat Tabel 2).
Tabel 2. Distribusi data berdasarkan umur ibu (dalam tahun)
dan paritas (jumlah kelahiran) di Indonesia, Tahun 2012
Variabel
Mean
SD
Median
Umur ibu
30,3
6,2
30
15
49
Paritas
2,1
1,3
2
1
13
Analisis bivariat bertujuan untuk melihat
pengaruh kehamilan tidak diinginkan terhadap
Minimal-Maximal
perilaku ibu selama kehamilan dan setelah
kehamilan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengaruh status kehamilan tidak diinginkan terhadap perilaku ibu selama kehamilan
dan setelah kelahiran di Indonesia, Tahun 2012
Perawatan kehamilan sebelum dan
sesudah
(1)
Tidak melakukan perawatan kehamilan
sesuai kriteria
Tidak memberikan ASI eksklusif
Crude Association
OR
95% CI
(2)
(3)
2,02
1,7-2,4
Adjusted Association*
OR
95% CI
(4)
(5)
1,79
1,5-2,1
0,89
0,8-1,1
1,0
0,8-1,2
Tidak memberikan imunisasi dasar lengkap
1,23
1,0-1,5
1,03
0,9-1,2
Keterangan *Adjusted : umur, tingkat pendidikan, status pekerjaan, status pernikahan, paritas, status ekonomi,
dan tempat tinggal.
Tabel 3 di atas adalah hasil analisis bivariat
untuk melihat pengaruh kehamilan tidak
diinginkan terhadap perilaku ibu. Kolom 4
(OR) dan 5 (95% CI) merupakan hasil bivariat
dari
variabel kovariat (umur, tingkat
pendidikan, status perkawinan, paritas, status
ekonomi dan tempat tinggal) yang sudah
ajusted. Pada kehamilan yang tidak diinginkan
cenderung 1,79 kali (1,50 – 2,1 kali) untuk
tidak melakukan perawatan kehamilan sesuai
kriteria (ANC K4) dibandingkan kehamilan
yang diinginkan. Pada variabel terikat ASI
eksklusif dan imunisasi dasar lengkap tidak
terdapat perbedaan yang berarti .
Hasil analisis menunjukkan bahwa ibu yang
mengalami kehamilan tidak diinginkan
mempunyai peluang untuk tidak melakukan
perawatan kehamilan sesuai kriteria 1,79
dibandingkan
ibu
yang
kehamilannya
diinginkan. Sedangkan ibu yang mengalami
124
kehamilan tidak diinginkan mempunyai
peluang yang sama dengan kehamilan
diinginkan untuk tidak memberikan ASI
eksklusif. Begitu juga dengan ibu yang tidak
memberikan
imunisasi
dasar
lengkap
mempunyai peluang yang sama antara
kehamilan tidak diinginkan dengan kehamilan
yang diinginkan. Bila dilihat dari nilai OR1
berarti tidak ada perbedaan, maka analisis ini
dapat dianggap secara statistik tidak ada
hubungan antara kehamilan tidak diinginkan
terhadap pemberian ASI eksklusif dan
pemberian imunisasi dasar lengkap.
Analisis Stratifikasi
Multipel
Regresil
Logistik
Terdapat perbedaan proporsi perilaku ibu yang
tidak melakukan perawatan kehamilan sesuai
kriteria pada kehamilan tidak diinginkan
dengan status ekonomi terbawah (46,9%) dan
proporsi perilaku ibu yang tidak melakukan
Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan ..................................... (Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulistiyawati)
perawatan kehamilan sesuai kriteria pada
kehamilan tidak diinginkan dengan status
ekonomi teratas (18,9%), artinya ibu yang
mengalami kehamilan tidak diinginkan dengan
status ekonomi terbawah efeknya lebih besar
untuk tidak melakukan perawatan kehamilan
sesuai kriteria dibandingkan ibu yang
mengalami kehamilan tidak diinginkan dengan
status ekonomi teratas (lihat Gambar 2 dan
Tabel 4).
Terdapat perbedaan proporsi perilaku ibu yang
tidak memberikan ASI eksklusif pada
kehamilan tidak diinginkan dengan status
ekonomi terbawah (52,7%) dan proporsi
perilaku ibu yang tidak memberikan ASI
eksklusif pada kehamilan tidak diinginkan
dengan status ekonomi terkaya (65,0%),
artinya ibu yang mengalami kehamilan tidak
diinginkan dengan ekonomi teratas efeknya
lebih besar untuk tidak memberikan ASI
eksklusif dibandingkan ibu yang mengalami
kehamilan tidak diinginkan dengan status
ekonomi termiskin (lihat gambar 2 dan Tabel 4
pada lampiran).
terdapat beberapa variabel yang secara
literatur berhubungan dengan status kehamilan
tidak diinginkan terhadap perilaku ibu selama
kehamilan dan setelah kelahiran seperti
variabel ketersediaan informasi/pelayanan dan
akses informasi/pelayanan tidak dapat
diikutsertakan. Selain itu untuk variabel
pemberian ASI eksklusif tidak ditanyakan
secara pasti berapa lama ibu memberikan ASI
secara eksklusif, sehingga peneliti hanya
menggabungkan beberapa pertanyaan yang
berkaitan dengan definisi pemberian ASI
eksklusif tanpa melihat lama waktu
pemberian.
PEMBAHASAN
Peneliti juga tidak dapat mengontrol kualitas
data sekunder hasil survei yang diperoleh dari
hasil wawancara dengan responden wanita
usia 15-49 tahun yang pernah hamil dan
melahirkan anak terakhir. Pada SDKI 2012,
bisa saja terjadi recall bias (bias mengingat)
yaitu bias yang disebabkan karena kesalahan
subjek dalam mengingat atau mengulang
kejadian yang berhubungan dengan variabel
penelitian. Pada penelitian ini dapat terjadi
pada saat menanyakan jumlah total kunjungan
pemeriksaan kehamilan yang telah dilakukan
ibu pada saat hamil. Selain itu, recall bias juga
dapat terjadi pada saat menanyakan tentang
pemberian ASI eksklusif, dimana pertanyaan
yang ditanyakan berkaitan dengan pemberian
minum selain ASI dalam 3 hari pertama saat
melahirkan sebelum air susu ibu keluar. Hal
yang sama juga dapat terjadi pada variabel
pemberian imunisasi dasar untuk kasus yang
tidak dapat menunjukkan catatan, dimana bayi
yang tidak mempunyai catatan imunisasi,
peneliti tidak mengetahui secara pasti apakah
bayi tersebut benar-benar diberikan imunisasi
secara lengkap atau tidak berdasarkan jawaban
ibu.
Keterbatasan Penelitian
Gambaran Status Kehamilan
Di dalam penelitian ini, terdapat beberapa
keterbatasan yaitu keterbatasan dari sisi
variabel dan keterbatasan dari sisi kontrol
kualitas yang dihadapi peneliti. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder SDKI tahun 2012, sehingga variabel
yang digunakan dalam penelitian ini terbatas
pada variabel yang ada dalam SDKI. Variabel
yang didapat disesuaikan dengan data yang
ada karena tidak semua data yang tersedia
sesuai dengan keinginan peneliti, sehingga
Dalam penelitian ini, kehamilan dibagi
menjadi 2 (tiga) yaitu kehamilan diinginkan
dan kehamilan tidak diinginkan. Pada
kehamilan yang tidak diinginkan terdapat dua
kondisi yaitu kehamilan tidak tepat waktu
(belum menginginkan saat itu) dan tidak
menginginkan sama sekali. Hasil penelitian ini
menemukan proporsi ibu yang mengalami
kehamilan tidak diinginkan (KTD) ada
sebanyak 15,4 persen. Perilaku ibu hamil
sangat berperan dalam perilaku perawatan
Ada perbedaan proporsi perilaku ibu yang
tidak memberikan imunisasi dasar lengkap
pada kehamilan tidak diinginkan dengan status
ekonomi terbawah (78,7%) dan proporsi
perilaku ibu yang tidak memberikan imunisasi
dasar lengkap pada kehamilan tidak diinginkan
dengan status ekonomi terkaya (kuintil 5)
(60,5%), artinya ibu yang mengalami
kehamilan tidak diinginkan dengan status
ekonomi termiskin (kuintil 1) efeknya lebih
besar untuk tidak memberikan imunisasi dasar
lengkap dibandingkan ibu yang mengalami
kehamilan tidak diinginkan dengan status
ekonomi teratas (lihat Gambar 4
125
Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan ....................………… (Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulistiyowati)
kehamilan dan perawatan bayinya. Masalah
psikososial
dapat
berdampak
pada
perkembangan janin, kesehatan ibu dan
perawatan bayi hingga balita.
Pada penelitian Berliana dengan data SDKI
2007 menemukan proporsi KTD yang tidak
begitu jauh berbeda dengan hasil penelitian
ini, mencatat proporsi kehamilan
tidak
diinginkan sebanyak 19 persen.20 Sedangkan
menurut Nucahyani dengan data Riskesdas
2010 didapatkan proporsi ibu yang mengalami
kehamilan tidak diinginkan (unwanted) ada
sebanyak 8,5 persen.18 Hasil ini terlihat
berbeda karena dalam penelitian ini untuk
kategori kehamilan tidak tepat waktu
(mistimed) dan kehamilan tidak diinginkan
(unwanted) digabung menjadi satu kategori.
Penggabungan
kedua
kategori
ini
dimaksudkan untuk memperoleh ukuran
sampel yang cukup untuk kategori kehamilan
tidak diinginkan mengingat jumlah variabel
yang digunakan cukup banyak.
Salah satu penyebab kehamilan tidak
diinginkan menurut Perkumpulan Keluarga
Berncana Indonesia (PKBI) adalah kegagalan
kontrasepsi, hasil penelitian menemukan
bahwa sedikitnya 8 juta kasus pertahunnya
terjadi akibat kegagalan metode kontrasepsi
yang digunakan.21 Sedangkan menurut WHO
alasan untuk tidak menginginkan kehamilan
adalah perkosaan, kurang pengetahuan yang
memadai tentang kontrasepsi, terlalu banyak
anak, alasan kesehatan, janin cacat, usia muda
atau belum siap menikah, pasangan tidak
bertanggung jawab atau hubungan dengan
pasangan belum mantap, terikat kontrak kerja,
suami tidak mau menggunakan kondom, usia
sudah tua dan jumlah anak sudah cukup, tidak
boleh hamil karena sudah tiga kali operasi
caesar, suami tidak menerima kehamilan, gaji
kecil, dan tidak sanggup menanggung anak
tambahan. Kehamilan tidak diinginkan saat
ini, menimbulkan isu kesehatan masyarakat
yang krusial dalam pembangunan kesehatan
karena mempunyai kerugian dalam efek
kesehatan, sosial dan ekonomi secara luas,
tidak hanya kesehatan ibu dan anak saja. Ibu
yang mengalami KTD kemungkinan kurang
untuk mencari dan memanfaatkan pelayanan
prenatal dan antenatal dibandingkan ibu yang
menginginkan kehamilannya. Dan kehamilan
yang tidak direncanakan juga kemungkinan
lebih tinggi melahirkan bayi dengan berat lahir
126
rendah dan mendorong melakukan aborsi yang
tidak aman.22
Pengaruh
Status
Kehamilan
Tidak
Diinginkan Terhadap Perilaku Perawatan
Maternal
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang
mengalami kehamilan tidak diinginkan
mempunyai peluang untuk tidak melakukan
perawatan kehamilan sesuai kriteria 1,79
dibandingkan
ibu
yang
kehamilannya
diinginkan. Hasil penelitian ini tidak jauh
berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Anggraini menggunakan data SDKI 2012, ibu
yang mengalami kehamilan tidak diinginkan
memiliki odds untuk tidak memeriksakan
kehamilan secara lengkap 1,4 dibandingkan
kehamilan yang diinginkan. 23
Hasil penelitian ini juga serupa dengan hasil
penelitian Hambert menunjukkan bahwa
wanita yang mengalami kehamilan tidak
diinginkan 2,1 kali lebih besar untuk tidak
memanfaatkan pelayanan antenatal secara
maksimal.24 Namun berbeda dengan hasil
penelitian Tosson pada wanita Saudi Arabia,
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
jumlah kunjungan pemeriksaan kehamilan
pada wanita yang kehamilannya direncanakan
dengan wanita yang kehamilannya tidak
direncanakan, sehingga dapat disimpulkan
tidak ada terdapat hubungan antara status
kehamilan dengan pemeriksaan kehamilan. 16
Menurut Kost, wanita dengan kehamilan tidak
diinginkan memiliki kecenderungan untuk
tidak mengenali tanda-tanda awal kehamilan
dibandingkan wanita dengan kehamilan yang
diinginkan, yang menyebabkan mereka tidak
melakukan
pemeriksaan
sejak
awal
kehamilan.14
Wanita dengan kehamilan tidak diinginkan
lebih sedikit untuk termotivasi dalam mencari
informasi mengenai kesehatan kehamilan, oleh
karena itu dapat mendorong perilaku yang
tidak sehat karena mereka tidak peduli pada
risiko yang akan terjadi. Penelitian
sebelumnya diketahui ibu dengan kehamilan
tidak diinginkan lebih sedikit dalam
memanfaatkan pelayanan kesehatan, tidak
cukup nutrisi, serta stres dan depresi. 8,25
Hasil analisis stratifikasi menunjukkan ada
beda efek kehamilan tidak diinginkan terhadap
perilaku perawatan kehamilan pada berbagai
Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan ..................................... (Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulistiyawati)
status ekonomi setelah dikontrol oleh variabel
umur, tingkat pendidikan, status pekerjaan,
status perkawinan, paritas, dan tempat tinggal.
Ibu yang mengalami kehamilan tidak
diinginkan dengan status ekonomi termiskin
efeknya lebih besar untuk tidak melakukan
perawatan
kehamilan
sesuai
kriteria
dibandingkan ibu yang mengalami kehamilan
tidak diinginkan dengan status ekonomi
terkaya.
Perawatan kehamilan merupakan awal dari
continuum
of
care
atau
perawatan
keberlanjutan dari sejak ibu hamil sampai
masa nifas dan dilanjutkan dengan bayi baru
lahir sampai usia balita.26 Saat seorang ibu
hamil kontak dengan tenaga kesehatan
merupakan peluang bagi tenaga kesehatan
memberikan edukasi agar ibu hamil
mempunyai pengetahuan yang baik akan
pentingnya perawatan kesehatan sejak masa
hamil sampai masa nifas serta memberikan
pemahaman tentang pentingnya rangkaian
perawatan dan akses bayinya sampai balita
terhadap pelayanan kesehatan.
Pengaruh
Status
Kehamilan
Tidak
Diinginkan Terhadap Perilaku Pemberian
ASI Eksklusif
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang
mengalami kehamilan tidak diinginkan
mempunyai peluang yang sama dengan
kehamilan diinginkan untuk tidak memberikan
ASI eksklusif. Bila dilihat dari nilai rasio odds
1 berarti tidak ada perbedaan, maka analisis ini
dapat dianggap secara statistik tidak ada
pengaruh antara kehamilan tidak diinginkan
dengan pemberian ASI eksklusif.Hasil
penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian
Aprianda menggunakan data Riskesda 2010,
menunjukkan bahwa ada hubungan antara
kehamilan
tidak
diinginkan
terhadap
pemberian ASI eksklusif.27
Begitu juga
dengan hasil penelitian Dye, menunjukkan
bahwa wanita dengan kehamilan tidak
diinginkan berpeluang 1,41 untuk tidak
memberikan ASI eksklusif dibandingkan
kehamilan diinginkan.25 Hasil penelitian
Pulley juga menunjukkan bahwa proporsi
wanita yang menyusui lebih besar pada
kehamilan diinginkan (61%) dibandingkan
kehamilan yang tidak diinginkan (39,1%).28
Hal ini kemungkinan dikarenakan adanya rasa
dicintai dan dukungan dari keluarga sehingga
ibu yang mengalami kehamilan tidak
diinginkan mengalami perubahan perilaku
setelah kelahiran bayinya, meskipun awalnya
terdapat perasaan menolak, merasa takut dan
cemas atau ketakutan terhadap kehamilan dan
persalinan. Menurut Rubin di dalam Nengah,
menyatakan jika ibu dari wanita yang
mengalami kehamilan tidak diinginkan terlihat
tidak senang terhadap kehamilan tersebut,
wanita itu akan merasa sangsi terhadap dirinya
dan tidak akan peduli dengan bayinya, bahkan
dapat memberikannya kepada orang lain.
Sebaliknya, jika ibu menghargai dan
memberikan dukungan, wanita tersebut akan
lebih percaya diri dan lebih merawat bayi yang
akan dilahirkannya.1
Hal ini juga sesuai dengan penelitian Ida,
menunjukkan bahwa dukungan keluarga
terutama dari ibu dan ibu mertua merupakan
orang yang berperan penting dalam
pengasuhan anak dari mulai lahir hingga
bahkan sampai dewasa. Ibu dan ibu mertua
yang sudah dianggap berpengalaman dalam
pengasuhan anak termasuk dalam hal
menyusui akan menjadi acuan dalam
pemberian ASI ke bayi. Adanya dukungan dari
keluarga membuat ibu lebih termotivasi untuk
memberikan ASI eksklusif.13
Hasil analisis stratifikasi menunjukkanada
beda efek kehamilantidak diinginkan terhadap
perilaku pemberian ASI eksklusif pada
berbagai status ekonomi setelah dikontrol oleh
variabel umur, tingkat pendidikan, status
pekerjaan, status perkawinan, paritas, dan
tempat tinggal. Ibu yang mengalami
kehamilan tidak diinginkan dengan status
ekonomi tinggi efeknya lebih besar untuk
tidak memberikan ASI eksklusif dibandingkan
ibu yang mengalami kehamilan tidak
diinginkan dengan status ekonomi rendah.
Pengaruh
Status
Kehamilan
Tidak
Diinginkan Terhadap Perilaku Pemberian
Imunisasi Dasar
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang
mengalami kehamilan tidak diinginkan
mempunyai peluang yang sama dengan
kehamilan diinginkan untuk tidak memberikan
imunisasi dasar lengkap kepada bayinya. Bila
dilihat dari nilai rasio odds 1 berarti tidak ada
perbedaan, maka analisis ini dapat dianggap
secara statistik tidak ada pengaruh kehamilan
tidak diinginkan atau sedikit sekali
127
Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan ....................………… (Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulistiyowati)
pengaruhnya terhadap pemberian imunisasi
dasar lengkap. Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian di Bolivia dan Egypt
menunjukkan OR kehamilan tidak diinginkan
terhadap kelengkapan imunisasi sebesar 1,01
di Bolivia dan 1,1 di Egypt.29 Namun berbeda
dengan penelitian lainnya, penelitian yang
dilakukan oleh Singh, menunjukkan bahwa
status kehamilan mempengaruhi status
kelengkapan imunisasi anak. Wanita yang
mengalami kehamilan tidak diinginkan
mempunyai peluang 1,4 untuk tidak
memberikan imunisasi lengkap kepada
anaknya dibandingkan kehamilan diinginkan.8
Hal ini kemungkinan dikarenakan adanya
dukungan keluarga dan dukungan sosial dari
lingkungan sekitar. Ibu yang mengalami
kehamilan tidak diinginkan kemungkinan
mereka masih belum siap untuk menghadapi
perubahan yang ada seperti mengasuh dan
memperhatikan
kesehatan
anaknya.
Ketidaksiapan mereka dalam menghadapi
perubahan ini dapat membuat mereka menjadi
frustasi dalam menghadapinya, rasa lelah dan
bosan mungkin saja terjadi. Pada saat inilah
dibutuhkan adanya bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak seperti pasangan dan keluarga
untuk
membantu
proses
pengasuhan.
Datangnya bantuan akan membuat ibu menjadi
lebih mudah dalam memperhatikan kesehatan
anaknya. 15
Selain itu pemberian informasi mengenai
imunisasi dasar yang dapat berpengaruh positif
terhadap sikap dan perilaku ibu dalam
memberikan imunisasi dasar lengkap kepada
anaknya. Keberadaan media informasi
berhubungan erat dengan peningkatan
pengetahuan dan pemahaman seseorang
tentang kesehatan.23 Menurut Lubis dalam
Tawi, dari suatu penelitian yang dilakukan
didapatkan bahwa motivasi dan informasi
mengenai
imunisasi
berperan
dalam
kelengkapan imunisasi anak.30
Hasil analisis stratifikasi menunjukkan ada
beda efek kehamilan tidak diinginkan terhadap
perilaku pemberian imunisasi dasar lengkap
pada berbagai status ekonomi setelah dikontrol
oleh variabel umur, tingkat pendidikan, status
pekerjaan, status perkawinan, paritas, dan
tempat tinggal. Ibu yang mengalami
kehamilan tidak diinginkan dengan status
ekonomi rendah efeknya lebih besar untuk
128
tidak memberikan imunisasi dasar lengkap
dibandingkan ibu yang mengalami kehamilan
tidak diinginkan dengan status ekonomi tinggi.
Implikasi kebijakan
Hasil
analisis
ini
diharapkan
dapat
berkontribusi terhadap program kesehatan ibu
anak dan gizi di Indonesia. Kementerian
Kesehatan dalam Rencana Strategis (Renstra)
Kementerian Kesehatan telah menetapkan
kesehatan ibu, anak dan gizi sebagai salah satu
prioritas program Kementerian Kesehatan.31
Terdapat berbagai program unggulan terkait
dengan program peningkatan kesehatan ibu,
anak dan gizi. Program yang terkait dengan
perilaku ibu hamil akibat status kehamilan
yang tidak diinginkan adalah program 1000
hari kehidupan dan program continuum of care
maternal dan anak.
Continuum of care maternal dan anak
merupakan upaya pelayanan kesehatan yang
harus diperoleh setiap ibu hamil sampai masa
nifas dan sejak neonatus sampai usia balita.
Hasil analisis menunjukkan adanya pengaruh
status kehamilan yang tidak diinginkan
terhadap akses kesehatan selama masa
kehamilan (ANC). Pemilihan variabel
pemeriksaan kehamilan sesuai kriteria K4
merupakan variabel yang menggambarkan
adanya kelangsungan dalam perawatan
kehamilan oleh tenaga kesehatan.
Hasil analisis yang menunjukkan bahwa
kehamilan tidak diinginkan cenderung hampir
dua kali membuat ibu tidak mau
memeriksakan kehamilannya dibandingkan
kehamilan yang memang diinginkan dan
direncanakan. Masalah perawatan kehamilan
merupakan kunci penting dalam penerapan
program kesehatan ibu dan lainnya. Petugas
kesehatan yang memahami status kehamilan
yang tidak diinginkan perlu memberikan
edukasi agar semua ibu hamil mau melakukan
pemeriksaan
kehamilan
dan
tetap
memperhatikan kebutuhan asupan gizi dan
perawatan kesehatan anaknya sejak janin
dalam kandungan.
Dua variabel lainnya meskipun menurut hasil
analisis tidak sebesar pengaruh variabel
perawatan kehamilan namun berperan penting
dalam gambaran program secara continuum of
care dan 1000 hari pertama kehidupan.
Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan ..................................... (Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulistiyawati)
Pemberian imunisasi dasar lengkap juga
menjadi gambaran continuum of care
kesehatan kepada bayi hingga usia baduta.
Variabel imunisasi dasar memberi gambaran
berbagai jenis imunisasi dasar yang
seharusnya diterima oleh seorang bayi baru
lahir hingga usia dua tahun. Imunisasi
merupakan upaya pelayanan kesehatan untuk
mencegah penyakit yang banyak menyerang
bayi dan anak dan merupakan penyakit
penyebab kematian bayi dan balita seperti
tuberkulosis, maupun kecacatan seperti polio.
Program 1000 hari pertama kehidupan (HPK)
adalah upaya untuk memastikan bahwa janin
sejak dari paska konsepsi sampai usia dua
tahun mendapatkan asupan yang baik dengan
gizi yang adequate agar mencetak sumber
daya berdaya saing tinggi. Sejak masa
kehamilan janin harus mendapat asupan yang
baik karena pada periode trimester pertama
merupakan periode proses pembentukan otak
sehingga kebutuhan nutrisi yang terpenuhi
dengan baik akan mendukung perkembangan
otak janin yang baik. Demikian pula pada saat
janin telah lahir memerlukan ASI eksklusif
sebagai nutrisi terbaik untuk bayi selama 6
bulan dan menjadi nutrisi yang tetap baik
sampai usia dua tahun. Pada kondisi ibu
dengan status kehamilan yang tidak diinginkan
berdasarkan uraian berbagai hasil penelitian di
atas secara psikologi ibu cenderung kurang
memperhatikan kehamilannya. Hal ini juga
terlihat dari aspek pemberian ASI Eksklusif
menunjukkan ada pengaruh status kehamilan
tidak diinginkan dengan pemberian ASI
Eksklusif.
Hal yang juga tidak kalah penting adalah
mencegah terjadinya kehamilan yang tidak
diinginkan
melalui
program Keluarga
Berencana (KB) agar setiap kehamilan sudah
direncanakan dengan baik dan bila terjadi
suatu kehamilan yang tidak diinginkan dapat
diberikan edukasi agar perilaku yang tidak
mendukung peningkatan kesehatan ibu dan
anak dapat diminimalisir. Untuk itu hasil
penelitian ini penting bagi pelaksana pemberi
layanan kesehatan ibu hamil bahwa
identifikasi
status
kehamilan
apakah
diinginkan atau tidak dapat menjadi bahan
untuk memberikan edukasi lebih kepada ibu
hamil tentang pentingnya pemeriksaan
kesehatan dan memperhatikan faktor gizi ibu
dan janin /bayi. Hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberi masukan untuk peningkatan
program 1000 HPK dan keberlangsungan
pelayanan kesehatan ibu anak.
Hasil analisis ini menimbulkan pemikiran akan
pentingnya penjaringan ibu hamil dan
identifikasi status kehamilan tidak diinginkan
sebagai dasar memberikan pemahaman dan
kesadaran untuk berperilaku positif melakukan
perawatan dan pemeriksaan sejak masa
kehamilan sampai masa nifas dan perawatan
bayi baru lahir sampai balita.
KESIMPULAN
Status kehamilan yang tidak diinginkan masih
cukup tinggi. Kehamilan yang tidak
diinginkan ini dapat mempengaruhi perilaku
ibu untuk tidak melakukan ataupun kalau
melakukan tidak maksimal,
kunjungan
perawatan antenatal, persalinan, nifas, dan
bayi, karena ibu yang KTD pada umumnya
berharap kehamilannya tidak akan berlanjut.
Karakteristik ibu KTD pada umumnya dalam
tataran
variable
penghambat
seperti
pendidikan rendah, tidak bekerja, dan tinggal
di perdesaan. Hanya dari sisi status ekonomi
(kuintail) tidak ada perbedaan proporsi yang
berarti antar kuintailnya.
Status kehamilan tidak diinginkan mempunyai
pengaruh terhadap perilaku perawatan
kehamilan yang tidak sesuai dengan kriteria
(OR=1,79). Status kehamilan tidak diinginkan
mempunyai peluang yang sama dengan
kehamilan diinginkan untuk tidak memberikan
ASI eksklusif dan imunisasi dasar lengkap.
Pengaruh status kehamilan tdak diinginkan
terhadap perilaku ibu selama kehamilan dan
setelah kelahiran juga dipengaruhi oleh status
ekonomi. Makin miskin cenderung makin
tidak melakukan ANC dan imunisasi dasar
lengkap. makin kaya cenderung tidak
memberikan ASI Eksklusif.
SARAN
1. Pentingnya mencegah kehamilan tidak
diinginkan terutama pada masyarakat status
ekonomi
rendah
untuk
meningkatkan
kesehatan ibu dan bayi melalui promosi
kesehatan.
129
Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan ...................................... (Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulistiyawati)
2. Penjaringan kasus ibu hamil dengan status
kehamilan yang tidak diinginkan perlu
dilakukan dengan bantuan kader agar mau ibu
melakukan pemeriksaan kehamilan sehingga
petugas kesehatan dapat memberikan edukasi
untuk mencegah perilaku yang tidak
mendukung program kesehatan ibu dan anak.
6.
Yuarsi SE. Perempuan yang Terpuruk.
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan
Universitas. Yogyakarta.: Gajah Mada;
2005.
7.
World Health Organization. WHO,
Global and Regional Estimates of
Incidence of Unsaf abortion and
associated mortality [Internet]. Vol. 6.
Geneva: World Health Organization;
2008. 1-55 p. Available from:
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/4
4529/1/9789241501118_eng.pdf
8.
Singh S, Sedgh G, Hussain R. Unintended
pregnancy: worldwide levels, trends, and
outcomes. Stud Fam Plann. Wiley Online
Library; 2010;41(4):241–50.
Ucapan terima kasih dapat ditujukan pada semua pihak 9.
yang telah membantu bila memang ada dan harus
diterangkan sejelas mungkin, termasuk pihak yang
berperan sebagai sumber dana pelaksanaan penelitian.
Abdallah IM, Fatouh E, Mone A, Abd M,
Sabour E. Determinants and Outcomes of
Unintended Pregnancy among Women in
Helwan District. 2011;7(11).
3. Identifikasi status kehamilan diinginkan
atau tidak diinginkan agar menjadi prosedur
umum saat pemberi pelayanan kesehatan ibu
hamil sehingga pemberian edukasi dapat
dilakukan sejak dini sehingga program 1000
pertama kehidupan dapat terlaksana dengan
baik oleh setiap ibu hamil.
UCAPAN TERIMAKASIH
DAFTAR PUSTAKA
1.
Susanti NN. Psikologi kehamilan:
Kehamilan -- Aspek psikologi. BCG;
2008.
2.
Mellyana H. Panduan Menjalani
Kehamilan Sehat. Jakarta: Swara Puspa;
2007.
3.
Sedgh G, Singh S, Hussain R. Intended
and unintended pregnancies worldwide in
2012 and recent trends. Stud Fam Plann
[Internet]. Wiley Online Library;
2014;45(3):301–14. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles
/PMC4727534/
4.
Badan Pusat Statistik, Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana
(BKKBN), Kementerian Kesehatan,
2012. Survei Demogr dan Kesehat
Indones 2012 [Internet]. 2013; Available
from:
http://dhsprogram.com/publications/publi
cation-FR275-DHS-Final-Reports.cfm
5.
130
Saptarini I, Suparmi S. DETERMINAN
KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN
DI INDONESIA (ANALISIS DATA
SEKUNDER RISKESDAS 2013). J
Kesehat Reproduksi [Internet]. 2016;7(1
Apr):15–24. Available from:
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.
php/kespro/article/view/5096
10. Gipson JD, Koenig MA, Hindin MJ. The
effects of unintended pregnancy on infant,
child, and parental health: a review of the
literature. Stud Fam Plann [Internet].
Wiley Online Library; 2008;39(1):18–38.
Available from:
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.111
1/j.1728-4465.2008.00148.x/abstract
11. D’Angelo D V, Gilbert BC, Rochat RW,
Santelli JS, Herold JM. Differences
between mistimed and unwanted
pregnancies among women who have live
births. Perspect Sex Reprod Health
[Internet]. Wiley Online Library;
2004;36(5):192–7. Available from:
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.136
3/3619204/abstract
12. Laukaran VH, van den Berg BJ. The
relationship of maternal attitude to
pregnancy outcomes and obstetric
complications. Am J Obstet Gynecol
[Internet]. Elsevier; 1980 Feb 1 [cited
2016 Aug 21];136(3):374–9. Available
from:
http://www.ajog.org/article/00029378809
08649/fulltext
13. Marston C, Cleland J. Do unintended
pregnancies carried to term lead to
adverse outcomes for mother and child?
An assessment in five developing
countries. Popul Stud (NY) [Internet].
Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan ..................................... (Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulistiyawati)
Routledge; 2003 Jan 1;57(1):77–93.
Available from:
http://dx.doi.org/10.1080/0032472032000
061749
14. Kost K, Landry DJ, Darroch JE. The
effects of pregnancy planning status on
birth outcomes and infant care. Fam
Plann Perspect. 1998;30(5):223–30.
15. Notoatmodjo S. Ilmu Perilaku Kesehatan.
Jakarta: Rineka Cipta; 2010.
16. Tosson SA, Badawy AS, Sara A, Hesa A.
Reproductive health and neonatal
consequences of unintended childbearing
among Saudi women. J Nurs Educ Pract
[Internet]. 2014;5(1):115–20. Available
from:
http://www.sciedu.ca/journal/index.php/jn
ep/article/view/4700
17. Lestary H. Faktor-faktor yang
Berhubungan dengan Kejadian
Kehamilan Tidak Diinginkan pada
Wanita Usia 15-49 Tahun di Indonesia
(Analisis Data Sekunder SDKI 20022003). 2004.
18. Nurcahyani DA, Trihandini I. Kehamilan
yang Tidak Diinginkan dan Berat Badan
Lahir Bayi. Kesmas J Kesehat Masy Nas
[Internet]. 2013;7(8):354–9. Available
from:
http://jurnalkesmas.ui.ac.id/kesmasphj/art
icle/view/21
19. Pajung Surbakti. Survei Sosial Ekonomi
Nasional. Badan Pusat Statistik; 1995.
20. Berliana S. Status Kehamilan dan
Pengaruhnya Terhadap Perilaku Perawatn
Kehamilan. 2010.
21. PKBI. KTD (Kehamilan yang Tidak
Diinginkan) Seri Kesehatan Reproduksi
Perempuan. Jakarta; 1998.
Universitas Indonesia; 2014.
24. Hambert.L et.all. The Effect of Pregnancy
Intention on Important Maternal
Behaviors and Satisfaction with Care in a
Socially and Economically At-Risk
Population. , 15 : Matern Child Heal J.
2011;(15):1055–66.
25. Dye TD, Wojtowycz MA, Aubry RH,
Quade J, Kilburn H. Unintended
pregnancy and breast-feeding behavior.
Am J Public Health [Internet]. American
Public Health Association;
1997;87(10):1709–11. Available from:
http://ajph.aphapublications.org/doi/abs/1
0.2105/AJPH.87.10.1709
26. Graft-johnson J De, Kerber K, Tinker A,
Otchere S, Narayanan I, Shoo R, et al.
continuum of care. :23–36.
27. Aprianda R. Hubungan Kehamilan Tidak
Diinginkan dengan Pemberian ASI
Eksklusif di Wilayah Perkotaan di
Indonesia Tahun 2012 (Analisis Data
Riskesdas 2010). 2014.
28. Pulley.et.all. The Extent of Pregnancy
Mistiming and Its Association With
Maternal Characteristics and Behaviors
and Pregnancy Outcomes. Perspect Sex
Reprod Health. 2002;34(4):206–11.
29. Dewi Y. Penghayatan Peran Ibu pada
Perempuan yang Mengalami Kehamilan
Tidak Diinginkan. Universitas Indonesia;
2005.
30. Tawi M (2008). Imunisasi dan Faktor
yang Mempengaruhinya. 2010;
31. Kementerian
Kesehatan.
Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan Tahun
2015-2019 KepMenKes RI Nomor HK 02
02 MENKES 52 2015. 2015; Available
from: www.perpustakaan.depkes.go.id
22. Joyce TJ, Kaestner R, Korenman S. The
effect of pregnancy intention on child
development. Demography [Internet].
Springer; 2000;37(1):83–94. Available
from:
http://link.springer.com/article/10.2307/2
648098
23. Anggraini K. NoNiat Kehamilan dan
Perilaku Pemeriksaan K1 dan K4 pada
Perempuan Usia Reproduksi di Indonesia
(Analisis Data SDKI Tahun 2012). Title.
131
Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan ...................................... (Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulistiyawati)
Lampiran
Tabel 4 Pengaruh status kehamilan tidak diinginkan terhadap perilaku ibu selama kehamilan dan setelah kelahiran dilihat dari
status ekonomi di Indoneisa, tahun 2012
Tidak melakukan
perawatan
kehamilan sesuai
kriteria
Odd Ratio (OR)
Beda proporsi
Unintended
Intended
Kuintil 1
Odd Ratio (OR)
Beda proporsi
Unintended
Intended
Kuintil 2
Odd Ratio (OR)
Beda proporsi
Unintended
Intended
Odd Ratio (OR)
Beda proporsi
Unintended
Intended
Kuintil 4
Odd Ratio (OR)
Beda proporsi
Unintended
Variabel
terikat
Intended
Kuintil 5
Status Ekonomi
Kuintil 3
9,3
18,0
8,7
2,2
14,5
30,3
15,8
2,5
19,1
39,1
20,0
2,8
26,7
40,7
14,0
1,9
42,8
56,1
13,3
1,7
Tidak memberikan
ASI eksklusif
69,6
65,0
4,9
0,8
63,6
60,5
3,1
0,8
65,2
63,8
1,4
0,9
60,3
55,9
4,4
0,8
53,1
52,7
0,4
1,0
Tidak memberikan
imunisasi dasar
lengkap
56,1
60,5
4,4
1,2
61,5
70,9
9,4
1,5
61,8
64,2
2,4
1,1
66,0
71,3
5,3
1,3
76,9
78,7
1,8
1,1
132
Pengaruh Status Kehamilan Tidak Diinginkan ..................................... (Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulistiyawati)
Gambar 2a. Pengaruh status kehamilan tidak
Gambar 2b. Pengaruh status kehamilan tidak
Gambar 2c. Pengaruh status kehamilan tidak
diinginkan terhadap perilaku perawatan
kehamilan berdasarkan status ekonomi
diinginkan terhadap perilaku pemberian
ASI eksklusif berdasarkan status ekonomi
diinginkan terhadap perilaku pemberian
imunisasi dasar lengkap berdasarkan status
ekonomi
133
Jurnal Kesehatan Reproduksi (ISSN 2087-703X) - Vol 7, No. 2, (2016), pp. 135-144
135-133
Hubungan Kesinambungan Pemanfaatan ................... (Dwi Siska Kumala Putri, Nur Handayani Utama, Olwin Nainggolan)
Vol
HUBUNGAN KESINAMBUNGAN PEMANFAATAN PELAYANAN KESEHATAN
MATERNAL DENGAN PEMBERIAN IMUNISASI LENGKAP DI INDONESIA
Association Between The Sustainability Utilization Of Maternal Health Care And
Immunization Completeness In Indonesia
Dwi Sisca Kumala Putri*, Nur Handayani Utami, Olwin Nainggolan
*Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat, Balitbangkes
Email: [email protected]
Abstract
Background: Morbidity and mortality due to infections in infants and children can be reduced by
immunization program. Some studies indicate that sustainability utilization of maternal health care will
improve maternal health and the quality of child care including immunization.
Objective: The aim of the analysis is to determine the relationship between sustainability utilization of
maternal health services with complete immunization of children aged 12-23 months in Indonesia.
Methods: The samples in this analysis were children aged 12 -23 months from mothers aged 10-54 years
taken from Baseline Health Research Data 2013 who has history of immunization recorded on KMS /KIA /
infant health records. The main independent variable was the sustainability utilization of maternal health
services. The dependent variable is the immunization status. Logistic regression analysis was performed by
calculating odds ratios and 95% Confidence Interval.
Result: The analysis showed that pregnant women who were not sustainably utilize maternal health
services were 1.58 times more likely to not provide complete immunization to their children compare to
women who continuously utilized maternal health services adjusted by economic status and number of
children in family.
Conclusion: The sustainability utilization of maternal health care significantly related with complete
immunization of children aged 12 – 23 months in Indonesia.
Keywords: complete immunization, sustainability, maternal health care
Abstrak
Latar Belakang: Upaya untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian karena infeksi pada bayi dan
anak dapat dilakukan dengan program imunisasi. Beberapa studi menunjukkan bahwa kesinambungan
pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal akan meningkatkan derajat kesehatan ibu serta kualitas
perawatan anak termasuk didalamnya imunisasi.
Tujuan: Analisis ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kesinambungan pemanfaatan pelayanan
kesehatan maternal dengan pemberian imunisasi lengkap anak umur 12 – 23 bulan di Indonesia.
Metodologi: Data yang digunakan di dalam analisis ini ialah data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013.
Sampel di dalam analisis ini ialah anak umur 12 – 23 tahun dari ibu umur 10 – 54 tahun yang memiliki
riwayat imunisasi yang tercatat pada buku KMS/KIA/catatan kesehatan bayi. Variabel independen utama
ialah kesinambungan pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal. Variabel dependen ialah status imunisasi
dasar lengkap.Analisis regresi logistik dilakukan dengan perhitungan odds ratio dan 95% Confidence
Interval.
Hasil: Hasil analisis menunjukkan bahwa ibu hamil yang tidak berkesinambungan memanfaatkan
pelayanan kesehatan maternal, memiliki kecenderungan 1,58 kali untuk tidak memberikan imunisasi
lengkap kepada anaknya dibandingkan dengan ibu hamil yang berkesinambungan memanfaatkan
pelayanan kesehatan maternal.
Kesimpulan: Kesinambungan pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal berhubungan signifikan dengan
pemberian imunisasi lengkap anak umur 12 – 23 bulan di Indonesia.
Kata Kunci : imunisasi lengkap, kesinambungan, pelayanan kesehatan maternal
Naskah masuk: 18-05-2016
Review: 09-08-2016
Disetujui terbit: 04-09-2016
Hubungan Kesinambungan Pemanfaatan ................... (Dwi Siska Kumala Putri, Nur Handayani Utama, Olwin Nainggolan)
PENDAHULUAN
Angka kematian balita (AKBA) merupakan
salah satu indikator kesejahteraan negara.
Peningkatan status kesehatan anak dengan
indikator menurunkan AKBA merupakan
salah satu target dari Rencana Pembangunan
Jangan Menengah Nasional (RPJMN) 20152019 dan merupakan salah satu prioritas
Rencana Strategis Kementerian Kesehatan
2015-2019 dengan salah satu fokus
pembangunan kesehatan, yaitu peningkatan
kesehatan anak dan pemberantasan penyakit
menular.1
Penyebab utama kematian anak usia diatas
neonatal sampai dengan usia satu tahun ialah
infeksi.2 Penyakit infeksi pada bayi dapat
dicegah dengan program imunisasi. Imunisasi
ialah suatu upaya untuk menimbulkan atau
meningkatkan kekebalan seseorang secara
aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila
suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut,
maka orang tersebut tidak akan sakit atau
hanya mengalami sakit ringan.3
Imunisasi tidak hanya melindungi bayi dan
balita dari penyakit infeksi, namun dapat
mencegah penularan penyakit kepada orang
lain, serta melindungi sekelompok orang dari
epidemi
penyakit
infeksi
dengan
meningkatkan kekebalan komunitas.4Imunisasi
diperkirakan dapat mencegah 2,5 juta kasus
kematian anak per tahun di seluruh dunia.5
Imunisasi terbukti telah memberi keuntungan
global untuk kelangsungan hidup anak.
Imunisasi juga merupakan investasi jangka
panjang dan sangat diperlukan untuk
melakukan pengendalian Penyakit yang Dapat
Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I), seperti
tuberkulosis (TB), dipteri, pertusis, campak,
tetanus, polio dan hepatitis B.3
Program imunisasi juga merupakan salah satu
indikator RPJMN tahun 2015-2019 yaitu ialah
persentase anak umur 0 – 11 bulan yang
mendapat imunisasi dasar lengkap sebesar
93% dan sebanyak 95% Kabupaten/Kota harus
mencapai 80 persen imunisasi dasar lengkap
pada
bayi.1 Riset
Kesehatan
Dasar
menunjukkan bahwa anak umur 12-23 bulan
yang mendapatkan imunisasi lengkap sedikit
mengalami peningkatan dari 46,2 % pada
tahun 20076, naik menjadi 53,8%, pada tahun
20108 dan 59,2%, pada tahun 20137.
136
Persentase imunisasi tidak lengkap tahun 2007
sebesar 45,3% turun menjadi 33,5% pada
tahun 2010, namun pada tahun 2013 nyaris
tidak mengalami perubahan hanya sebesar
32,1%.6-8 Data ini menunjukkan bahwa
capaian imunisasi lengkap masih di bawah 50
persen.
Continuum of care atau perawatan secara
berkelanjutan merupakan paradigma yang
digunakan untuk mengatasi permasalahan
kesehatan maternal, bayi baru lahir dan balita
secara terintegrasi dan berkesinambungan.
Sebelumnya, program kesehatan ibu dan anak
dilakukan secara terpisah. Beberapa studi
menunjukkan
bahwa
kesinambungan
perawatan akan meningkatkan derajat
kesehatan (health outcome). Dalam hal ini
kesinambungan perawatan kesehatan maternal
akan meningkatkan derajat kesehatan ibu serta
kualitas perawatan anak, termasuk didalamnya
pemberian imunisasi lengkap.9,10
Sesuai dengan konsep continuum of care,
terdapat keterkaitan antara perawatan sejak
masa kehamilan hingga masa balita.
Perawatan seorang anak dimulai sejak janin di
dalam kandungan, yaitu sejak seorang ibu
hamil
melakukan
pemeriksaan
kehamilan/antenatal care (ANC), kemudian
persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas
kesehatan, dilanjutkan dengan perawatan
kesehatan ibu nifas/ KF (Kontak ibu Nifas)
sebanyak 3 kali, dan dilanjutkan dengan
perawatan bayi baru lahir serta perawatan
kesehatan neonatus sebanyak 3 kali (KN),
kemudian dilanjutkan dengan perawatan
kesehatan serta tumbuh kembang anak balita,
termasuk di dalamnya imunisasi.
Strategi untuk meningkatkan pemberian
imunisasi lengkap harus dilakukan mulai dari
hulu,
yaitu
dengan
meningkatkan
kesinambungan
pemanfaatan
pelayanan
kesehatan maternal sejak hamil, masa
persalinan, dan nifas. Hasil Riset Kesehatan
Dasar 2013 menunjukkan bahwa 95,4 persen
ibu hamil di Indonesia sudah memeriksakan
kehamilan (K1) dan yang melakukan
pemeriksaan dengan frekuensi pemeriksaan
minimal 4 kali selama masa kehamilan sebesar
83,5 persen. Persalinan yang dilakukan di
fasilitas kesehatan sebesar 70,4 persen dan
81,7 persen ditolong oleh tenaga kesehatan
yang kompeten (dokter spesialis, dokter
Hubungan Kesinambungan Pemanfaatan ................... (Dwi Siska Kumala Putri, Nur Handayani Utama, Olwin Nainggolan)
umum, dan bidan). Namun ibu yang mendapat
pelayanan nifas lengkap (KF 1 - KF 3) hanya
sebesar 32,1 persen.8
Sejauh ini target Universal Child Imunization
(UCI) menurut hasil Riskedas 2013 belum
tercapai sehingga informasi terkait dengan
upaya peningkatan cakupan imunisasi dasar
lengkap diperlukan untuk masukan program.
Selama ini gambaran cakupan pelayanan
kesehatan ibu dan anak disajikan secara
terpisah dengan mensandingkan berbagai
indikator program kesehatan ibu dan anak.
Pada Riskesdas 2013 terdapat rangkaian
pertanyaan yang memungkinkan untuk
menghubungan antara informasi ibu dan anak
sehingga menjadi satu rangkaian riwayat
seorang anak sejak dalam kandungan hingga
usia 12-23 bulan. Tim peneliti tertarik untuk
melihat sejauh mana hubungan antara
perawatan kesehatan maternal dan pemberian
imunisasi dasar dengan pendekatan continuum
of care tersebut di atas. Data Riskesdas juga
mempunyai informasi faktor-faktor lainnya
sehingga dapat memperkaya informasi dan
analisis yang dilakukan. Tujuan dari analisis
ini ialah untuk menilai hubungan antara
pelayanan
kesehatan
maternal
secara
berkesinambungan
dengan
pemberian
imunisasi lengkap anak balita dengan
mempertimbangkan faktor lain, seperti
wilayah, status sosial (pendidikan, pekerjaan)
dan ekonomi, ketersediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan lain – lain.
METODE
Sumber data yang digunakan pada analisis ini
ialah data Riskesdas tahun 2013. Riskesdas
merupakan sebuah survei kesehatan berskala
nasional dengan desain potong lintang dan
dirancang untuk estimasi Kabupaten/Kota.
Sampling Riskesdas 2013 ialah penarikan
sampel tiga tahap berstrata. Tahap pertama
memilih Primary Sampling Unit (PSU) dari
PSU terpilih secara sistematik pada setiap
Kabupaten/Kota sesuai alokasi domain. Tahap
kedua, dari PSU terpilih, dipilih 2 Blok Sensus
(BS) secara Probability Proportional to Size
(PPS). Tahap ketiga, dipilih 25 Bangunan
Sensus secara sistematik berdasarkan data
bangunan sensus hasil SP2010-C1 di
setiap BS. Kegiatan pengumpulan data
Riskesdas 2013 dilaksanakan di semua
Kabupaten/Kota di Indonesia pada periode
bulan Mei sampai dengan Juni 2013
dengan 294.959 rumah tangga yang
berhasil dikunjungi.
Sampel pada analisis ini ialah anak umur 12 –
23 bulan dari ibu usia 10-54 tahun, dengan
kriteria inklusi (1) memiliki riwayat imunisasi
yang tercatat pada buku KMS/KIA/catatan
kesehatan bayi; (2) tersedia data riwayat
pemeriksaan kehamilan, persalinan, dan nifas.
Pada analisis ini diperoleh anak dan ibu yang
memenuhi kriteria inklusi sebanyak 14.377
orang.
Variabel bebas utama ialah pemanfaatan
pelayanan kesehatan maternal, yang dibagi
menjadi
tiga
kategori,
yaitu
berkesinambungan, tidak berkesinambungan,
dan tidak periksa kehamilan sama sekali.
Definisi operasional berkesinambungan ialah
pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal
secara berkelanjutan sejak masa hamil
melakukan pemeriksaan kehamilan minimal 4
kali /K4 (minimal 1 kali pada trimester
pertama, minimal 1 kali pada trimester kedua,
dan minimal 2 kali pada trimester ke-3),
dilanjutkan dengan persalinan yang ditolong
oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan,
serta kunjungan nifas (KF1 KF2- KF3)
lengkap.
Definisi
kategori
tidak
berkesinambungan adalah ibu tidak melakukan
antenatal care secara kontinu atau melakukan
persalinan tidak ditolong oleh tenaga
kesehatan atau tidak melakukan kunjungan
nifas (KF1 – KF3) secara lengkap. Sedangkan
kategori tidak periksa sama sekali ialah ibu
tidak melakukan kunjungan ANC sama sekali
selama kehamilan.
Variabel terikat ialah status imunisasi dasar
lengkap. Imunisasi dasar lengkap adalah
pemberian vaksin yang diterima oleh anak
terdiri dari HB-0, BCG, DPT-HB Combo 1 3, Polio 1- 4, dan campak. Status imunisasi
anak dibagi menjadi 2 kategori, yaitu
imunisasi lengkap dan tidak lengkap.
Variabel perancu di dalam analisis ini antara
lain, umur ibu, wilayah, status sosial ekonomi
(pekerjaan, pendidikan, status ekonomi),
jumlah anak di dalam keluarga, jumlah balita
di dalam keluarga, ketersediaan fasilitas
kesehatan, dan urutan kehamilan. Umur ibu
137
Hubungan Kesinambungan Pemanfaatan ................... (Dwi Siska Kumala Putri, Nur Handayani Utama, Olwin Nainggolan)
dibagi dua kategori, yaitu umur 20 sampai
dengan 35 tahun serta 19 tahun atau kurang
dan 36 tahun atau lebih.
Tipe tempat tinggal dibagi dalam dua
kategori perkotaan dan perdesaan. Status
ekonomi diperoleh dari komposit variabel aset
yang dimiliki rumah tangga dan dibagi dalam
kuintil. Dalam analisis ini status ekonomi
dibagi menjadi tiga kategori, yaitu bawah
(kuintil 1 dan 2), sedang (kuintil 3), dan atas
(kuintil 4 dan 5). Variabel pekerjaan ibu
dibagi menjadi dua kategori, yaitu bekerja dan
tidak bekerja. Pendidikan ibu dibagi menjadi
tiga kategori, yaitu di atas SLTA, tamat SLTA,
dan kurang dari SLTA. Untuk variabel
Jumlah anak di dalam keluarga dibagi
menjadi dua kategori, yaitu 2 anak atau kurang
dan lebih dari 2 anak. Variabel jumlah balita
di dalam keluarga dibagi menjadi dua kategori,
yaitu 1 balita dan 2 balita atau lebih. Urutan
kehamilan dibagi menjadi dua kategori, yaitu
urutan pertama dan kedua serta urutan ketiga
atau lebih. Ketersediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dibagi menjadi dua kategori, yaitu
tersedia dan tidak tersedia.
Analisis hubungan antara kesinambungan
pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal
dengan imunisasi lengkap anak dengan
mempertimbangkan
variabel
lainnya,
70,8
dianalisis dengan menggunakan analisis
regresi logistik dengan perhitungan odds ratio
dan 95% Confidence Interval. Analisis regresi
logistik dengan perhitungan odds ratio
digunakan dengan pertimbangan variabel
dependen pada analisis ini merupakan data
kategori yang bersifat dikotom.
HASIL
Analisis ini mencakup riwayat pelayanan
kesehatan ibu selama hamil yang merupakan
riwayat dari anak usia 12 sampai 23 bulan,
serta riwayat imunisasi anak tersebut. Setiap
record data merupakan satu rangkaian dari
pelayanan kesehatan selama kehamilan anak
tersebut. Pembatasan usia 12 sampai 23 tahun
mempertimbangkan bahwa pada anak usia
tersebut periode imunisasi dasar lengkap
selesai diterima.
Gambar 1 menunjukkan proporsi ibu hamil
yang memanfaatkan pelayanan kesehatan K4
dan proporsi ibu hamil yang persalinannya
dibantu oleh tenaga kesehatan di fasilitas
kesehatan cenderung sama, namun proporsi
ibu yang memanfaatkan pelayanan kesehatan
maternal setelah persalinan (kunjungan nifas)
jauh lebih rendah/menurun. Proporsi ibu yang
kemudian memberikan imunisasi lengkap
untuk anaknya juga rendah.
70,2
35,9
26,8
ANC K4
Salin nakes di
faskes
Kunjungan ibu
nifas
Imunisasi
Gambar 1.
Proporsi Ibu yang Memanfaatkan Pelayanan Kesehatan Maternal dan Imunisasi
Tabel 1 berikut merupakan hasil analisis
bivariat
yang
menunjukkan
bahwa
pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal
138
yang
berkesinambungan
berhubungan
bermakna dengan pemberian imunisasi
lengkap anak (p value ≤ 0,05).
Hubungan Kesinambungan Pemanfaatan ................... (Dwi Siska Kumala Putri, Nur Handayani Utama, Olwin Nainggolan)
Tabel 1
Proporsi Imunisasi Anak Umur 12 – 23 Bulan berdasarkan Kesinambungan Pemanfaatan Pelayanan
Kesehatan Maternal di Indonesia Tahun 2013
Kesinambungan Pemanfaatan Pelayanan
Kesehatan Maternal

Berkesinambungan
Status Imunisasi
Lengkap
Tidak Lengkap
N
%
N
%
1026
48,1
1017
51,9

Tidak berkesinambungan
3482
35,6
7077
64,4

Tidak periksa kehamilan
214
12,0
1561
88,0
P value
0,000*
Keterangan * bermakna bila p value ≤ 0,05
Proporsi anak yang memiliki status imunisasi
lengkap, lebih besar pada kelompok ibu yang
memanfaatkan pelayanan kesehatan maternal
secara berkesinambungan (48%) dibandingkan
pada kelompok yang tidak berkesinambungan
memanfaatkan pelayanan kesehatan maternal
(35,6%) maupun kelompok yang tidak periksa
kehamilan sama sekali (12,0%).
Untuk menilai hubungan kesinambungan
pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal
dengan status imunisasi lengkap anak, setelah
di kontrol dengan variabel perancu yang lain,
dilakukan analisis regresi logistik dengan
perhitungan odds ratio dan 95% Confidence
Intervals.Model awal analisis tersebut dapat
dilihat pada Tabel 2.
Hasil analisis uji perancu didapatkan bahwa
pada model akhir kesinambungan pelayanan
kesehatan maternal berhubungan erat dengan
pemberian imunisasi lengkap pada anak
setelah dikontrol oleh status ekonomi dan
jumlah anak. Diketahui pula bahwa variabel
ketersediaan fasilitas kesehatan, pekerjaan ibu,
urutan kehamilan, umur ibu, pendidikan ibu,
wilayah, jumlah balita, serta kepemilikan dan
penggunaan jaminan kesehatan bukan
merupakan perancu karena setelah variabel –
variabel tersebut dikeluarkan dari model,
perubahan odds ratio kurang dari 10%. Tabel
adjusted OR hubungan kesinambungan
pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal
dengan pemberian imunisasi lengkap pada
anak umur 12 – 23 bulan di Indonesia ialah
Tabel 3 di bawah.
PEMBAHASAN
Program kesehatan ibu dan anak merupakan
upaya yang saling terkait dan tidak berdiri
sendiri karena merupakan suatu rangkaian
siklus hidup seorang anak sejak masa
kandungan dalam diri ibunya. Selama masa
kehamilan apa yang diterima atau dilakukan
oleh ibu hamil akan mempunyai dampak
kepada anak yang dikandungnya sampai lahir
dan tumbuh kembang sebagai seorang anak.
Kesinambungan
pelayanan
kesehatan
diperlukan di semua siklus kehidupan (remaja,
kehamilan, persalinan, periode setelah
persalinan, dan masa kanak-kanak).11 Hal
inilah yang menjadi dasar bahwa penyelesaian
masalah kesehatan ibu dan anak harus
dilakukan dalam suatu rangkaian upaya yang
berkelanjutan dengan pendekatan continuum
of care across life cycle, yaitu dimulai
sebelum masa kehamilan, saat kehamilan,
masa persalinan dan nifas, serta masa bayi dan
balita.12
Sebuah review yang pernah dilakukan
menunjukkan
bahwa
kesinambungan
pemanfaatan
pelayanan
kesehatan
berhubungan secara signifikan terhadap
outcome kesehatan. Ada hubungan positif
antara kesinambungan pemanfaatan kesehatan
dengan upaya preventif kesehatan.13 Grafik 1
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
proporsi dari waktu ke waktu di dalam hal
pelayanan kesehatan yang diterima oleh ibu
selama hamil, masa nifas, serta perawatan
kesehatan anak, dalam hal ini imunisasi. Hal
ini menunjukkan adanya lost opportunity,
yaitu hilangnya kesempatan seorang ibu
139
Hubungan Kesinambungan Pemanfaatan ................... (Dwi Siska Kumala Putri, Nur Handayani Utama, Olwin Nainggolan)
mendapatkan pelayanan kesehatan yang
seharusnya diterima oleh seorang ibu hamil
dan bersalin serta anaknya. Pada indikator KF
lengkap yang paling rendah proporsinya
menunjukkan bahwa ibu paska bersalin selama
masa nifas yang seharusnya mendapat
perawatan/pelayanan kesehatan turun (<30%),
artinya sebanyak dua per tiga dari ibu hamil
tidak mendapat pelayanan yang seharusnya.
Masa nifas tersebut merupakan periode kritis
ibu baru bersalin yang perlu mendapatkan
pengawasan kesehatan.
Tabel 2
Model Awal Hubungan Kesinambungan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Maternal dengan Status
Imunisasi Lengkap Anak
Variabel
Kesinambungan pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal



Berkesinambungan
Tidak berkesinambungan
Tidak pernah melakukan pemeriksaan
kehamilan
OR(95% CI)
p value
1
1,58 (1,37 – 1,83)
5,16 (3,95 – 6,75)
0,000
0,000
1
1,02 (0,87 – 1,18)
1,14 (1,01 – 1,29)
0,819
0,038
1
0,92 (0,81 – 1,04)
0,190
1
0,98 (0,85 – 1,13)
1,34 (1,16 – 1,55)
0,804
0,000
1
1,42 (1,16 – 1,73)
0,001
1
1,04 (0,93 – 1,17)
0,482
1
1,46 (1,27 – 1,67)
0,000
1
0,92 (0,80 – 1,05)
0,210
1
1,09 (0,91 – 1,32)
0,325
1
1,09 (0,89 – 1,34)
1,18 (0,96 – 1,45)
0,359
0,109
1
1,10 (0,64 – 1,91)
0,731
Kepemilikan dan penggunaan jaminan kesehatan



Memiliki jamkes dan digunakan
Memiliki, tidak digunakan
Tidak memiliki
Tipe tempat tinggal


Perkotaan
Perdesaan
Status Ekonomi



Atas
Sedang
Bawah
Jumlah anak


≤ 2 anak
> 2 anak
Pekerjaan Ibu

Tidak Bekerja
Bekerja
Jumlah Balita


1 balita
≥ 2 balita
Umur ibu


20 – 35 tahun
≤ 19 tahun ≥ 36 tahun
Urutan Kehamilan


Urut ke 1 dan 2
Urut ≥ 3
Pendidikan ibu



D1 – PT
Tamat SLT
< SLTA
Ketersediaan Fasilitas Yankes


140
Tersedia
Tidak tersedia
Hubungan Kesinambungan Pemanfaatan ................... (Dwi Siska Kumala Putri, Nur Handayani Utama, Olwin Nainggolan)
Tabel 3
Hubungan KesinambunganPemanfaatan Pelayanan Kesehatan Maternal dengan Pemberian Imunisasi
Lengkap pada Anak Umur 12 – 23 Bulan di Indonesia
Variabela
p-value
Adjusted
OR(95%CI)b
Kesinambungan pemanfaatan pelayanan kesehatan maternal
 Berkesinambungan
1
 Tidak berkesinambungan
0,000c
1,58 (1,37 – 1,83)
 Tidak pernah melakukan pemeriksaan kehamilan
0,000c
5,39 (4,14 – 7,03)
Keterangan : abackward logistic regression, wilayah, jumlah balita, pekerjaan ibu, pendidikan ibu, urutan
kehamilan, umur ibu, kepemilikan dan penggunaan jaminan kesehatan, ketersediaan fasilitas
kesehatan, tidak signifikan, bukan perancu
b
setelah dikontrol status ekonomi dan jumlah anak
c
bermakna < 0,05
Hasil analisis multivariate menunjukkan
bahwa ibu yang tidak memeriksakan
kehamilannya
sama
sekali,
memiliki
kecenderungan 5,39 kali untuk tidak
memberikan imunisasi lengkap kepada
anaknya dibandingkan dengan ibu hamil yang
berkesinambungan memanfaatkan pelayanan
kesehatan maternal. Sedangkan ibu hamil yang
tidak
berkesinambungan
memanfaatkan
pelayanan kesehatan maternal, memiliki
kecenderungan1,58
kali
untuk
tidak
memberikan imunisasi lengkap kepada
anaknya dibandingkan dengan ibu hamil yang
berkesinambungan memanfaatkan pelayanan
kesehatan maternal. Hal ini menunjukkan
bahwa kesinambungan pelayanan maternal
memberikan pengaruh positif terhadap
pemanfaatan pelayanan kesehatan anak, dalam
hal ini ialah pemberian imunisasi lengkap.
Tujuan pemanfaatan pelayanan antenatal care
ialah ibu hamil dapat memantau kesehatan dan
kehamilannya, memastikan tumbuh kembang
janin, mengenali secara dini kelainan atau
komplikasi yang mungkin terjadi selama
kehamilan,
mempersiapkan
persalinan,
mempersiapkan diri untuk menjalani masa
nifas, dan mempersiapkan peran untuk
menjadi ibu. Dengan memanfaatkan pelayanan
antenatal di fasilitas kesehatan, ibu hamil akan
diarahkan untuk melakukan persalinan di
fasilitas kesehatan dengan penolong persalinan
tenaga kesehatan.14 Pada periode kehamilan ini
jika ibu melakukan ANC maka merupakan
kesempatan
petugas
kesehatan
untuk
memberikan edukasi terkait dengan rangkaian
pelayanan yang seharusnya diterima dan
dilakukan oleh ibu untuk dirinya dan anaknya.
Setelah persalinan, ibu akan diarahkan oleh
tenaga
kesehatan
untuk
melakukan
pemeriksaan nifas untuk memantau kesehatan
ibu dan bayi pasca persalinan. Pada saat
pemeriksaan nifas, ibu akan mendapat
arahan/konseling dari tenaga kesehatan untuk
melakukan kunjungan bayi yang bertujuan
meningkatkan
akses
bayi
terhadap
pemeliharaan kesehatan dan pencegahan
penyakit melalui pemantauan pertumbuhan
dan perkembangan anak serta imunisasi.14 Ibu
yang sudah melakukan ANC minimal 4 kali
sesuai
dengan
indikator
ANC
K4,
menunjukkan ibu perilaku penggunaaan
pelayanan kesehatan yang sudah baik. Ibu
sudah menyadari akan perlunya akses ke
pelayanan kesehatan ibu sehingga akan
mempunyai kesadaran pula untuk memberikan
perawatan dan pelayanan kesehatan yang
diperlukan anaknya.
Selain itu, ibu yang memanfaatkan pelayanan
antenatal di fasilitas kesehatan secara
berkesinambungan, akan memperoleh buku
catatan kesehatan ibu dan anak (buku KIA).
Buku KIA tersebut berfungsi sebagai
pencatatan berbagai riwayat/permasalahan
selama masa kehamilan, bersalin, dan nifas
serta pencatatan kesehatan anak (bayi baru
lahir sampai anak usia 6 tahun), termasuk
catatan imunisasi. Dengan catatan imunisasi
tersebut, ibu diharapkan dapat melengkapi
imunisasi dasar anak. Selain itu, buku tersebut
141
Hubungan Kesinambungan Pemanfaatan ................... (Dwi Siska Kumala Putri, Nur Handayani Utama, Olwin Nainggolan)
dapat
menjadi
sarana
efektif
untuk
memberikan pengetahuan bagi ibu hamil dan
menyusui mengenai cara memelihara dan
merawat kesehatan ibu dan anak.15
Ibu yang memiliki buku catatan kesehatan ibu
dan anak lebih sering berkunjung ke pelayanan
kesehatan dibandingkan ibu yang tidak
memiliki buku catatan kesehatan ibu dan
anak.16 Penelitian di Nigeria menunjukkan
bahwa ketersediaan catatan/kartu imunisasi
sejak awal berhubungan dengan pemberian
imunisasi lengkap pada anak umur 12 – 23
bulan.17Analisis terhadap Survei Demografi
dan Kesehatan Indonesia tahun 1997, 2002 –
2003, dan 2007 menunjukkan bahwa
kepemilikan buku Kesehatan Ibu dan Anak
berhubungan erat dengan kelengkapan
pemberian imunisasi dasar (OR(95%CI) : 4,86
(2,37 – 9,95).18 Oleh karena itu Sosialisasi
pemanfaatan buku catatan Kesehatan Ibu dan
Anak (buku KIA) perlu ditingkatkan karena
buku KIA merupakan sarana efektif untuk
meningkatkan sikap dan perilaku ibu di dalam
hal
pemanfaatan
pelayanan
kesehatan
maternal, sehingga pada akhirnya diharapkan
ibu juga melengkapi lima imunisasi dasar bayi.
Menurut hasil Riskesdas 2013 balita yang
memiliki buku KIA dan dapat menunjukkan
sebesar 40,4 persen. Di lapangan juga ditemui
penggunaan buku KIA yang belum sesuai
seperti disimpan oleh Kader atau Bidan Desa
padahal seharusnya buku KIA dipegang dan
disimpan oleh ibu/yang merawat balita
tersebut.8
Analisis terhadap Survei Demografi dan
Kesehatan (Tahun 2006 – 2007) di Pakistan
menunjukkan bahwa pemanfaatan/penggunaan
pelayanan antenatal careberhubungan erat
dengan pemberian imunisasi lengkap pada
anak umur 12 – 23 bulan. Ibu yang tidak
melakukan kunjungan antenatal care memiliki
kecenderungan 1,3 kali untuk tidak
memberikan imunisasi lengkap kepada anak
(OR (95% CI) : (1,33 (1,07 –
166)).19Demikian halnya di Filipina, analisis
terhadap data Survei Demografi dan
Kesehatan
di
Filipina
tahun
2003
menunjukkan bahwa ibu yang tidak
melakukan kunjungan antenatal care minimal
4 kali sesuai anjuran, cenderung tidak
memberikan
imunisasi
lengkap
pada
anaknya.20 Penelitian lain di Ethiopia pada
tahun 2011 menunjukkan bahwa antenatal
142
care follow – up dan melakukan persalinan di
fasilitas kesehatan berhubungan erat dengan
pemberian imunisasi lengkap anak. Anak yang
dilahirkan di fasilitas kesehatan memiliki
kecenderungan 2,1 kali untuk mendapat
imunisasi lengkap dibandingkan dengan anak
yang dilahirkan di rumah.21Analisis dari data
Demographic Health Survey (DHS) negaranegara di sub sahara Afrika menunjukkan
bahwa pemanfaatan pelayanan maternal
(antenatal) akan mempengaruhi pemanfaatan
selanjutnya (postnatal) dan selanjutnya juga
akan mempengaruhi pemberian imunisasi pada
anak.22
Sebuah systematic review menunjukkan bahwa
ialah kelahiran diluar rumah sakit, tidak
adanya pengingat untuk kunjungan ibu dan
anak selanjutnya (next follow-up visit)
merupakan beberapa faktor yang sering
disebutkan berhubungan dengan pemberian
imunisasi
yang
tidak
lengkap.23
Kesinambungan pelayanan kesehatan yang
diterima oleh ibu akan memungkinkan
keterpaparan yang lebih banyak terhadap
informasi kesehatan dari tenaga kesehatan.
Sejalan dengan hal ini Fitriyanti (2014)
menyatakan bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi kelengkapan imunisasi di Desa
Botubarani
Kecamatan
Kabila
Bone
Kabupaten Bone Bolango yaitu pelayanan
petugas kesehatan .24 Untuk itu tenaga
kesehatan memiliki peran yang sangat penting
untuk menjamin kesinambungan pelayanan
kesehatan yang diterima ibu.
Hasil penelitian dari Gambar 1 hingga Tabel 2
mengindikasikan bahwa masih ada lost
opportunity ibu dan anak di dalam hal
mendapatkan pelayanan kesehatan secara
berkelanjutan. Seharusnya bila ANC K4
mencapai 70% maka untuk rangkaian
pelayanannya selanjutnya juga pada cakupan
yang tidak berbeda. Hal ini berarti masih perlu
peningkatan kesadaran ibu dan keluarganya
untuk
mau
memanfaatkan
pelayanan
kesehatan terutama imunisasi untuk anak.
Karena imunisasi adalah investasi bangsa.
Penyuluhan dari tenaga kesehatan untuk
meningkatkan pengetahuan, sikap, dan
perilaku ibu hamil akan pentingnya
memanfaatkan pelayanan kesehatan maternal
secara berkesinambungan perlu dilakukan.
Kesinambungan
pemanfaatan
pelayanan
Hubungan Kesinambungan Pemanfaatan ................... (Dwi Siska Kumala Putri, Nur Handayani Utama, Olwin Nainggolan)
kesehatan berhubungan dengan kualitas
maupun kuantitas kontak antara pasien dengan
tenaga kesehatan. Dengan kontak yang lebih
sering, memungkinkan pasien untuk dapat
terus memanfaatkan pelayanan kesehatan
sehingga mendapatkan hasil yang lebih baik
juga.25 Sebagaimana hasil analisis, bahwa
terdapat
hubungan
bermakna
antara
kesinambungan pelayanan kesehatan maternal
dengan imunisasi dasar lengkap, maka
penyuluhan ini sebaiknya dilakukan sejak
masa kehamilan. Perlu dilakukan penjaringan
ibu hamil untuk mau melakukan pemeriksaan
kehamilan, sehingga memberi peluang bagi
tenaga
kesehatan
untuk
memberikan
penyuluhan kepada ibu hamil dan keluarga
akan pentingnya perawatan kesehatan sejak
hamil, bersalin, nifas, sampai dengan
perawatan kesehatan yang seharusnya diterima
oleh setiap anak, salah satu diantaranya
imunisasi.
KESIMPULAN
merupakan sarana efektif untuk meningkatkan
sikap dan perilaku ibu di dalam hal
pemanfaatan
pelayanan
kesehatan
maternal.Kesinambungan
pemanfaatan
pelayanan kesehatan maternal dapat dicapai
melalui sistem pelayanan ibu dan anak yang
terintegrasi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia yang telah memberikan izin dalam
penggunaan data Riskesdas 2013 untuk
analisis ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementerian Kesehatan RI. Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan Tahun
2015 – 2019, Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia. 2015.
Jakarta
Kesinambungan
pemanfaatan
pelayanan kesehatan maternal berhubungan
signifikan dengan pemberian imunisasi
lengkap anak umur 12 – 23 bulan di Indonesia.
Ibu yang tidak memeriksakan kehamilannya
sama sekali memiliki kecenderungan 5,39 kali
untuk tidak memberikan imunisasi lengkap
kepada anaknya dibandingkan dengan ibu
hamil yang berkesinambungan memanfaatkan
pelayanan kesehatan maternal. Sedangkan ibu
hamil
yang
tidak
berkesinambungan
memanfaatkan pelayanan kesehatan maternal,
memiliki kecenderungan 1,58 kali untuk tidak
memberikan imunisasi lengkap kepada
anaknya dibandingkan dengan ibu hamil yang
berkesinambungan memanfaatkan pelayanan
kesehatan maternal.
2. Unicef Indonesia. Ringkasan Kajian
Kesehatan Ibu dan Anak. 2013. Jakarta
SARAN
7. Depkes RI, Balitbangkes. Laporan Hasil
Riset Kesehatan Dasar Riskesdas 2007.
2008. Jakarta.
Kesinambungan pemanfaaatan pelayanan
kesehatan maternal merupakan salah satu cara
untuk meningkatkan cakupan imunisasi dasar
lengkap. Penyuluhan untuk meningkatkan
pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu hamil
akan pentingnya memanfaatkan pelayanan
kesehatan maternal secara berkesinambungan
perlu dilakukan. Sosialisasi pemanfaatan buku
catatan Kesehatan Ibu dan Anak (buku KIA)
perlu ditingkatkan karena buku KIA
3. Kementerian Kesehatan RI. PP Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 42
Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan
Imunisasi. 2013. Jakarta
4. Departemen kesehatan RI, Masyarakat
tidak perlu ragu melakukan imunisasi.
2019.http://www.depkes.go.id/index.php?
vw=2&id=314,
diunduh
tanggal
25022014.
5. WHO, UNICEF, World Bank. 2009. State
of
the
world’s
vaccines
and
immunization. 3rd edition. 2009. Geneva.
6. Depkes RI, Balitbangkes. Laporan Hasil
Riset Kesehatan Dasar Riskesdas 2010.
2010. Jakarta.
8. Kementerian Kesehatan RI, Balitbangkes.
Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar
Riskesdas 2013. 2013. Jakarta.
9. Gill JM, Saldarriaga A, Mainous AG
3rd, Unger D. Does continuity between
prenatal and well-child care improve
childhood immunizations?Fam
Med. 2002; 34(4):274-80.
143
Hubungan Kesinambungan Pemanfaatan ................... (Dwi Siska Kumala Putri, Nur Handayani Utama, Olwin Nainggolan)
10. D A Christakis, L Mell, J A Wright, R
Davis, and F A Connell. The Association
Between Greater Continuity of Care and
Timely Measles - Mumps – Rubella
Vaccination. Am J Public Health, 2000.
Vol 90 No.6 : 962 - 965
11. Kementerian Kesehatan RI. Rencana Aksi
Percepatan Penurunan Angka Kematian
Ibu di Indonesia. Direktorat Bina
Kesehatan Ibu. Ditjen Bina Gizi dan KIA.
2013. Jakarta.
12. Kerber KJ, Graft-Johnson JE, Bhutta Z,
Starrs A & Lawn JE. Continuum of care
for maternal, newborn, and child health:
from slogan to service delivery. The
Lancet, 2007; Volume 370, Issue 9595,
13ld health: from slogan to service
13. John W. Saultz, MD and Jennifer
Lochner, MD. Interpersonal Continuity of
Care and Care Outcomes: A Critical
Review. Ann Fam Med, 2005. Mar; 3(2):
159–166.
14. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman
Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan
Ibu dan Anak (PWS- KIA). Direktorat
Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat,
Direktorat Bina Kesehatan Ibu. 2010.
Jakarta
15. Sistiarani Colti, Gamelia Elviera,
Hariyadi Bambang. Analisis Kualitas
Penggunaan Buku Kesehatan Ibu Anak.
Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2014; 10
(1) : 14 – 20.
16. Hagiwara, A (2012). Is the Maternal and
Child Health (MCH) Handbook Effective
in Improving Health Related Behavior?
dalam Sistiarani Colti, Gamelia Elviera,
Hariyadi Bambang. Analisis Kualitas
22. Patrick Opiyo Owili, Miriam Adoyo
Muga, Yiing-Jenq Chou, Yi-Hsin Elsa
Hsu, Nicole Huang, and Li-Yin Chien.
Associations in the continuum of care for
maternal, newborn and child health: a
population-based study of 12 sub-Saharan
Africa countries. BMC Public Health,
2016;
16:
414.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles
/PMC4869316/
23. Marcia de Cantuaria Tauil, Ana Paula
Sayuri Sato, Eliseu Alves Waldman.
Review
Factors
Associated
with
Incomplete or Delayed Vaccination
144
Penggunaan Buku Kesehatan Ibu Anak.
Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2014; 10
(1) : 14 – 20.
17. Akinola Ayoola Fatiregun, Anselm O,
Okoro. Maternal Determinants of
Complete Child Immunization among
Children Aged 12 – 23 Months in a
Southern District of Nigeria. Vaccine,
2012. Vol.30 (4) : 730 – 736.
18. Keiko Osaki, Tooko Hattori, Soewarta
Kosen. The Role of Home-based records
in the establishment of a Continuum of
Care for Mothers, Newborns, and
children in Indonesia. Glob. Health
Action,
2013.
6
:
20429.
http://dx.doi.org/10.3402/gha.v6i0.20429.
19. Ayesha Siddiqa Bugvi, Rahla rahat,
Rubeena Zakkar, Muhammad Zakria
Zakar, Florian Fischer, et.al . Factors
associated with non-utilization of child
immunization in Pakistan: Evidence from
the Demographic and Health Survey
2006-07. BMC Public Health, 2014. 14:
232
20. Jennifer N. Bondy, Amardeep Thind,
et.al. Identyfying the Determinants of
Childhood
Immunization
in
the
Philippines. Vaccine, 2009. Vol.27(1):
169 – 175.
21. Belachew Etana, Wakgari Deressa.
Factors Associated with Complete
Immunization Coverage in Children aged
12 – 23 Months in Ambo Woreda,
Central Ethiopia. BMC Public Health,
2012.
12
:
566.
http://www.biomedcentral.com/14712458/12/566
Across Countries: A Systematic Review.
Vaccine, 2016. Vol 34(24) : 2635 – 2643.
24. Ismet, Fitriyanti. Analisis Faktor-Faktor
Yang Berhubungan Dengan Imunisasi
Dasar Lengkap Pada Balita Di Desa
Botubarani Kecamatan Kabila Bone
Kabupaten Bone Bolango Tahun 2013.
Thesis.
2014.
Universitas
Negeri
Gorontalo.
25. Dimitri A. Christakis. Does Continuity of
Care Matter?YesConsistent contact with a
physician improves outcomes. West J
Med, 2001 Jul; 175(1
ISSN : 2087-703X
Volume 7 No. 2, Agustus 2016
Jurnal
Kesehatan Reproduksi
e-ISSN : 2354-8762
Reproductive Health Journal
Dewan Redaksi/Editorial Board
Pelindung/Patronage
:
Kepala Badan Litbang Kesehatan / Director General of National Institute of
Health Research and Development
Penanggung Jawab / Editor-in-chief
:
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan /
Director of Centre for Public Health Research and Development
Mitra Bestari / Advisory Board
:
Dr. dr. Trihono, M.Sc.
Prof. dr. Agus Suwandono, MPH, Dr.PH
dr. Sarimawar Djaja, M.Kes
drg. Christiana R Titaley, MIPH, PhD
Dr. dr. Sabarinah Prasetyo, MS
Prof. Dr. dr. Nugroho Abikusno
Dr. Salahuddin Muhidin
Atmarita, MPH, Dr.PH
dr. Asri C. Adisasmita, MPH, M.Phil, PhD
dr. Siti Nurul Qomariah , M.Kes, Ph.D
Dr. Irwan M. Hidayana, M.Si
Sandjaja, MPH, Dr.PH
Dr. Melania Hidayat, MPH
Soeharsono Soemantri, PhD
Ketua Dewan Redaksi / Editor in Chief
:
Dr. Joko Irianto, SKM, M.Kes
Wakil Ketua Dewan Redaksi / Editor Section
:
Tin Afifah SKM, MKM
Sudikno, SKM, MKM
Anggota Redaksi / Managing Editor
:
Iram Barida Maisya, SKM, MKM (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM)
Anissa Rizkianti, SKM, MIPH (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM)
Prisca Petty Arfines, S.Gz, MPH (Gizi Masyarakat, Puslitbang UKM)
dr. Ika Saptarini (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM)
Andi Susilowati, SKM, M.Kes (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM)
Penyunting Ahli / Copy Editor
:
Dr. Ir. Anies Irawati, M.Kes (Gizi Masyarakat, Puslitbang UKM)
Ning Sulistyowati, SKM, M.Kes (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM)
Dra. Rr. Rachmalina S, MSc.PH (Sosial Antropologi, Puslitbang UKM)
dr. Teti Tejayanti, MKM (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM)
Dr. dr. Felly P. Senewe, M.Kes (Kesehatan Reproduksi, Puslitbang UKM)
Nunik Kusumawardani, MSc.PH, Ph.D (Promosi Kesehatan, Puslitbang UKM)
Manajer Langganan / Subscription Manager
:
dr. Yuwono Wiryawan, M.Kes
Sekretariat Pelaksana / Executive Secretariat
:
Indra Cans Yunina, S.Sos
Puput Sumarta Puri, S.Gz
Ahmad Rezha Gumilar, Amd
Penerbit/Publisher
:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI, Jakarta
Jl. Percetakan Negara 29 Jakarta
Telp. 021-42872392, Fax. 021-42872392
Email : [email protected]
Diterbitkan oleh
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI, Jakarta
Published by
National Institute of Health Research and Development
Ministry of Health, Republic of Indonesia, Jakarta
Volume 7, No. 2, Agustus 2016
p-ISSN: 2087-703X e-ISSN: 2354-8762
No Akreditasi: 563/Akred/P2MI-LIPI/09/2013
UCAPAN TERIMA KASIH
REVIEWER
Prof. Dr. dr. Nugroho Abikusno
Fakultas Kedokteran, Universitas Trisakti
Atmarita, MPH, Dr.PH
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
dr. Sarimawar Djaja, M.Kes
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Sandjaja, MPH, Dr.PH
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Soeharsono Soemantri, PhD
Forum Masyarakat Statistik
Dr. Ir. Anies Irawati, M.Kes
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Dr. Joko Irianto, M.Kes
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
KATA PENGANTAR
Jurnal Kesehatan Reproduksi Volume 7 Nomor 2 Tahun 2016 merupakan edisi Bulan Agustus yang
diproses secara full online jurnal system. Suatu pengalaman baru yang penuh tantangan dengan berbagai
kendala teknis dan non teknis yang harus diatasi. Namun semangat 17 Agustus yang merupakan hari
kemerdekaan Indonesia menginspirasi dan memotivasi segenap pihak yang terlibat dalam nomor ini,
jajaran Dewan Redaksi, Para Reviewer dan Penulis serta dukungan pimpinan dan berbagai pihak hingga
akhirnya dapat terbit di penghujung minggu terakhir bulan Agustus.
Tahun ini merupakan peringatan kemerdekaan yang ke 71 tahun. Permasalahan kesehatan ibu dan anak
masih merupakan tantangan besar bagi bangsa Indonesia untuk mengisi kemerdekaan ini dalam upaya
meningkatkan status kesehatan ibu, anak dan gizi. Permasalahan anemia pada wanita usia subur masih
merupakan tantangan di bidang gizi kesehatan reproduksi. Demikian pula masalah konsumsi kalsium
pada ibu hamil. Dua penelitian data primer yang terkait dengan gizi kesehatan reproduksi. Artikel
berikutnya masih merupakan hasil penelitian data primer tentang implementasi kebijakan inisiasi
menyusui dini (IMD) di satu Rumah Sakit swasta dan Rumah Sakit Umum Daerah yang memberikan
gambaran yang berbeda. IMD merupakan investasi bagi calon generasi bangsa sehingga diharapkan hasil
temuan ini dapat menjadi masukan untuk meningkatkan pelaksanaan IMD di semua fasilitas pelayanan
kesehatan.
Tiga artikel berikutnya merupakan hasil analisis data sekunder dari data Riskesdas dan Survei
Demoografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) yang kaya akan informasi sehingga perlu digali potensi
ketersediaan data untuk menghasilkan suatu masukan bagi pihak terkait dengan kesehatan ibu dan anak.
Dari analisis data sekunder diperoleh hasil bahwa usia reproduksi yang belum matang dan usia saat
melahirkan berisiko mempunyai risiko melahirkan bayi BBLR sebesar 2,43 kali dibandingkan usia
reproduksi yang matang dan usia saat melahirkan yang aman. Kejadian kehamilan yang tidak diinginkan
terbukti berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam perawatan kesehatan selama kehamilan dan
kelangsungan perawatan selama kehamilan ini juga terbukti berhubungan dengan perolehan imunisasi
dasar lengkap bagi anaknya. Hal ini memperkuat konsep pelayanan kesehatan ibu dan anak saling
terintegrasi dalam paradigm continuum of care.
Terbukanya berbagai informasi tentang gizi kesehatan reproduksi dan perawatan kehamilan maternal
kami harapkan dapat semakin membuka wawasan dan masukan bagi berbagai pihak terkait serta
memunculkan pemikiran penelitian baru dari kesenjangan yang disajikan dari keenam artikel dalam edisi
kali. Bangsa ini memerlukan dukungan informasi dan teknologi dalam mengisi kemerdekaan ini agar
status kesehatan ibu dan anak menjadi lebih baik dan tidak tertinggal dengan negara-negara tetangga
lainnya.
Selamat membaca dan semoga bermanfaat. Merdeka !!
REDAKSI
Volume 7, No. 2, Agustus 2016
ISSN : 2087-703X e-ISSN : 2354-8762
No Akreditasi: 563/Akred/P2MI-LIPI/09/2013
JURNAL KESEHATAN REPRODUKSI
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
1.
PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO ANEMIA PADA
WANITA USIA SUBUR DI RUMAH TANGGA MISKIN DI
KABUPATEN TASIKMALAYA DAN CIAMIS, PROVINSI
JAWA BARAT
Oleh: Sudikno, Sandjaja
71 – 82
2.
KEPATUHAN KONSUMSI SUPLEMEN KALSIUM SERTA
HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT KECUKUPAN
KALSIUM PADA IBU HAMIL DI KABUPATEN JEMBER
Oleh: Galih Purnasari, Dodik Briawan, Cesilia Meti Dwiriani
83 – 93
3.
DUKUNGAN
TENAGA
KESEHATAN
TERHADAP
PELAKSANAAN IMD: STUDI KASUS DI RS SWASTA X
DAN RSUD Y DI JAKARTA
Oleh: Novianti Margareth Sihombing, Anissa Rizkianti
95 – 108
4.
HUBUNGAN USIA GINEKOLOGI DAN USIA SAAT
MELAHIRKAN DENGAN KEJADIAN BAYI BERAT LAHIR
RENDAH (BBLR) DI INDONESIA TAHUN 2010
Oleh: Rofingatul Mubasyiroh, Teti Tejayanti, Felly Philipus
Senewe
109 – 118
5.
PENGARUH STATUS KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN
TERHADAP PERILAKU IBU SELAMA KEHAMILAN DAN
SETELAH KELAHIRAN DI INDONESIA (ANALISIS DATA
SDKI 2012)
Oleh: Lisa Indrian Dini, Pandu Riono, Ning Sulisttyowati
119 – 133
6.
HUBUNGAN
KESINAMBUNGAN
PEMANFAATAN
PELAYANAN KESEHATAN MATERNAL DENGAN
PEMBERIAN IMUNISASI LENGKAP DI INDONESIA
Oleh: Dwi Sisca Kumala Putri, Nur Handayani Utami, Olwin
Nainggolan
135 –144
Download