Biofumigasi: Alternatif Baru dalam Mengendalikan Penyakit Tanaman Pembatasan penggunaan fumigan metil bromida di bidang pertanian menyebabkan penggunanya mencari alternatif penggantinya. Alternatif yang sesuai dengan isu pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan adalah biofumigasi. Salah satu tanaman kubis-kubisan asal Indonesia yang diberi kode TB574 berpotensi besar sebagai biofumigan, terutama terhadap bakteri Ralstonia solanacearum. B iofumigasi adalah penggunaan senyawa volatil yang dihasilkan makhluk hidup untuk mengendalikan hama, penyakit maupun gulma yang ada di dalam tanah. Ada dua sumber biofumigan yang populer. Yang pertama adalah jamur Muscodor spp. Jamur ini banyak ditemukan di hutan tropis Indonesia, Malaysia, Thailand, Peru, Bolivia, dan Australia. Jamur ini menghasilkan senyawa volatil organik kompleks yang sangat beracun bagi serangga dan patogen (jamur, bakteri, dan nematoda) penyebab penyakit. Namun, penggunaannya belum meluas, meskipun telah tersedia di pasar. Sumber biofumigan yang kedua adalah tanaman dari keluarga Brassicaceae (kubis-kubisan). Biofumigan dari tanaman kubis-kubisan lebih populer dan telah digunakan secara luas. Tanaman kubis-kubisan tumbuh di hampir seluruh belahan bumi, biasanya ditanam untuk sayuran Nemfix, salah satu tanaman kubiskubisan yang sudah dikomersialkan sebagai biofumigan. 4 (kubis, sawi, kol bunga, brokoli, dan bit), penambah rasa (mustard), atau diambil minyaknya (canola). Tanaman kubis-kubisan makin populer karena nilai ekonomi dan kandungan nutrisinya, selain bermanfaat sebagai antikarsinogen (antikanker) dan antibakteri. mengandung lebih dari satu macam GSL. Kandungan GSL bergantung pada jenis jaringan, umur, dan kesehatan tanaman. Produksi GSL pada suatu tanaman dipengaruhi oleh teknik budi daya, iklim, tempat tumbuh, dan umur tanaman. Beberapa literatur menyebutkan bahwa senyawa alelokimia ini mempengaruhi siklus hidup, sistem reproduksi, menghambat pertumbuhan, mengurangi nafsu makan, atau bersifat racun bagi nematoda patogen seperti Globodera rostochiensis, Pratylenchus penetrans, dan Meloidogyne chitwoodi, meskipun tidak mampu mengeradikasinya. Patogen penyebab penyakit, baik yang berasal dari jamur seperti Pythium, Fusarium, Verticillium dahliae, Sclerotium rolfsii, dan Rhizoctonia solani maupun bakteri seperti Ralstonia solanacearum dan Pseudomonas marginalis terhambat perkembangannya sehingga menurunkan keparahan penyakit. Kandungan Biofumigan pada Kubis-kubisan Kubis-kubisan dikenal sebagai sumber biofumigan karena mengandung glukosinolat (GSL). Jika keluar dari jaringan tanaman, GSL akan terhidrolisis menjadi senyawa yang bersifat racun bagi hama maupun patogen. Kelompok tanaman kubis-kubisan menghasilkan 30-40 senyawa GSL. Senyawa tersebut terdapat pada seluruh bagian tanaman mulai dari akar, batang, daun, bunga, sampai biji. Satu tanaman biasanya Bagaimana Kubis-kubisan Berperan sebagai Biofumigan? Ian Potter dalam pidatonya pada pembukaan simposium internasional biofumigasi ketiga di Canberra tahun 2008 menyebutkan, penggunaan kubis-kubisan sebagai biofumigan bukan berfungsi sebagai pengeradikasi mikroba seperti halnya metil bromida atau pestisida lainnya. Penggunaan biofumigan merupakan salah satu bagian dari manajemen pertanian berkelanjut- Aplikasi biofumigan dari tanaman kubis-kubisan dengan mencacah dan membenamkannya ke dalam tanah. an karena berfungsi sebagai penyeimbang biologis dan keanekaragaman hayati, sekaligus memperbaiki kondisi tanaman. Hal ini karena adanya dua mekanisme yang bekerja ketika kubis-kubisan dibenamkan ke dalam tanah. Pertama, pelepasan senyawa GSL dari jaringan tanaman yang kemudian diikuti dengan hidrolisis untuk menghasilkan senyawa beracun. Senyawa tersebut berada di dalam tanah 5-10 hari untuk membunuh patogen. Mekanisme kedua terjadi pada saat proses dekomposisi bahan organik. Selama proses dekomposisi, komposisi komunitas mikroba dalam tanah berubah lebih kompleks sehingga terbentuk keseimbangan alami. Bahan organik memperbaiki kondisi fisik dan kimia tanah sehingga menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Di luar negeri, para pemulia telah merakit varietas Brassicaceae yang mengandung GSL tinggi sebagai sumber biofumigan dan sudah dikomersialkan. BQ mulch™, misalnya, campuran dari Brassica napus dan B. rapa produksi Australia, Caliente 61 dan Caliente 99 (B. nigra) produksi Italia, serta Humus (Rapeseed), Ida Gold (Sinapsis alba), dan Pacific Gold (B. juncea) produksi Amerika Serikat. Varietas kubis-kubisan tersebut ditanam secara rotasi dan biomassanya dikembalikan ke tanah sebagai pupuk hijau dan sumber biofumigan. Banyak pula yang menggunakan tanaman komersial seperti brokoli, sawi, kol bunga, dan sayuran kubis-kubisan lainnya sebagai tanaman rotasi. Di Filipina, tanaman brokoli telah diadopsi oleh petani di Mindanao dan Banquet sebagai sumber biofumigan untuk mengendalikan bakteri R. solanacearum pada tanaman tomat melalui sekolah lapang yang diselenggarakan ACIAR. ACIAR bekerja sama dengan FAO telah memperluas jaringan biofumigan ini di Asia Pasifik, Nepal, Cina, dan Taiwan. Di Indonesia, pemanfaatan tanaman kubis-kubisan sebagai alternatif pengendali penyakit tular tanah belum dikenal luas. Pada simposium internasional di Canberra tahun 2008, seorang peneliti dari Taiwan mengemukakan bahwa salah satu jenis tanaman kubiskubisan dari Indonesia yang diberi kode TB574 memiliki potensi biocidal (racun bagi patogen) yang sangat tinggi, melebihi varietas komersial, khususnya terhadap bakteri R. solanacearum, penyebab penyakit layu pada tomat, kentang, jahe, tembakau, dan pisang. Arah Pengembangan ke Depan Pengendalian hama dan penyakit secara alami dan ramah lingkung- an berperan penting dalam mewujudkan pertanian berkelanjutan. Eksplorasi tanaman kubis-kubisan liar yang mengandung GSL tinggi dan kompleks, ataupun mikroba yang berpotensi sebagai biofumigan, seperti Muscodor spp. perlu dilakukan. Percobaan dengan menggunakan beberapa jenis tanaman kubiskubisan untuk mengendalikan R. solanacearum pada tembakau di rumah kaca menunjukkan bahwa brokoli atau sawi memberikan prospek yang baik. Namun, ketika diaplikasikan di lapang, S. rolfsii dan R. solanacearum hanya mampu ditekan sampai tanaman berumur 3 minggu karena patogen menyebar melalui aliran air. Hasil ini perlu ditindaklanjuti dalam skala yang lebih luas dan berkesinambungan (Titik Yulianti) . Informasi lebih lanjut hubungi: Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat Jalan Raya Karangploso km 4 Kotak Pos 199 Malang 65152 Telepon : (0341) 491447 Faksimile : (0341) 485121 E-mail : [email protected] Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 31, No. 6 2009 Cengkih Berpotensi sebagai Pestisida Nabati Minyak cengkih mengandung eugenol yang berpotensi sebagai pestisida nabati. Eugenol efektif mengendalikan nematoda, jamur patogen, bakteri, dan serangga hama. Agar mudah diaplikasikan, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) telah memformulasi eugenol menjadi pestisida nabati siap pakai, yaitu CEES, CEKAM, dan Bio-Protector-1. C engkih (Syzygium aromaticum) merupakan salah satu tanaman asli Indonesia. Tanaman ini dibudidayakan secara luas di berbagai provinsi, seperti Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Sula- wesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Maluku. Tanaman cengkih dapat tumbuh pada daerah beriklim kering sampai basah dengan curah hujan optimal 1.500-2.500 mm/ tahun. Pada tahun 2009, luas areal perkebunan cengkih mencapai 460.186 ha, terdiri atas 451.415 ha perkebunan rakyat, 1.905 ha perkebunan negara, dan 6.866 ha perkebunan swasta dengan total produksi 82.543 ton. Cengkih pada awalnya banyak dimanfaatkan sebagai rempah yang mempunyai nilai jual tinggi. Akhir-akhir ini pemanfaatan cengkih makin luas, yaitu sebagai bahan 5