BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1 Pengertian Motivasi Motivasi berasal dari motive atau dengan bahasa latinnya, yaitu movere, yang berarti “mengerahkan”. Martoyo dalam Elqorni (2008) menyatakan, motif adalah suatu dorongan yang menjadi pangkal seseorang melakukan sesuatu atau bekerja. Seseorang yang sangat termotivasi, yaitu orang yang melaksanakan upaya substansial, guna menunjang tujuan-tujuan produksi kesatuan kerjanya, dan organisasi dimana ia bekerja. Seseorang yang tidak termotivasi, hanya memberikan upaya minimum dalam hal bekerja. Motivasi merupakan sebuah konsep penting dalam studi tentang kinerja individual. Dengan demikian motivasi atau motivation berarti pemberian motif, penimbulan motif atau hal yang menimbulkan dorongan atau keadaan yang menimbulkan dorongan. Definisi motivasi menurut Schiffman dan Kanuk (1991:5): “Motivation can be described as the driving force between individuals that impels them to action”. Penjelasan terhadap motivasi tersebut dapat digambarkan sebagai individu-individu kekuatan yang penggerak mendorong di mereka antara untuk bertindak. Kekuatan penggerak tersebut disebabkan adanya ketegangan yang timbul karena adanya 9 kebutuhan yang tidak terpenuhi. Sedangkan menurut Robbins (2008): “Motivation is the processes that account for individual’s intensity, direction, and persistence of effort toward attaining a goal”, yang berarti motivasi merupakan suatu proses yang menjelaskan kesediaan seseorang untuk berusaha mencapai ke arah tujuan, yang dikondisikan oleh kemampuan/intensitas seseorang dalam memenuhi kebutuhannya. Menurut Gitosudarmo dan Mulyono (dalam Elqorni, 2008) motivasi adalah suatu faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu perbuatan atau kegiatan tertentu. Oleh karena itu motivasi seringkali diartikan pula sebagai faktor pendorong perilaku seseorang. Setiap tindakan yang dilakukan oleh seorang manusia pasti memiliki sesuatu faktor yang mendorong perbuatan tersebut. Pentingnya motivasi karena motivasi adalah hal yang menyebabkan, menyalurkan dan mendukung perilaku manusia, supaya mau bekerja giat dan antusias mencapai hasil yang optimal (Wahyuddin, 2010). Sedangkan menurut Prabu (2005) motivasi adalah hal yang menyebabkan, menyalurkan dan mendukung perilaku manusia supaya mau bekerja giat dan antusias untuk mencapai hasil maksimal. Dari berbagai definisi motivasi tersebut di atas, motivasi selalu dikaitkan dengan kata-kata: hasrat, keinginan, harapan, tujuan, sasaran, dorongan, dan insentif. Luthans (2005) secara komprehensif menye10 but definisi motivasi adalah proses yang dimulai dari defisiensi fisiologis atau psikologis yang menggerakkan perilaku atau dorongan yang ditujukan untuk tujuan atau insentif. Dengan kata lain, kebutuhan membentuk dorongan yang bertujuan pada insentif, sehingga dapat digambarkan proses motivasi sebagai berikut: Sumber: Luthans (2005) Gambar 2.1 Proses motivasi Dengan demikian, kunci untuk memahami proses motivasi bergantung pada pengertian dan hubungan antara kebutuhan, dorongan serta insentif: 1. Kebutuhan Kebutuhan tercipta saat tidak adanya keseimbangan fisiologis atau psikologis. Misalnya, kebutuhan muncul di saat sel-sel di dalam tubuh kehilangan makanan atau air. 2. Dorongan Dorongan atau motif terbentuk untuk mengurangi kebutuhan. Dorongan fisiologis dan psikologis adalah tindakan yang berorientasi menghasilkan daya 11 dorong dalam meraih insentif. Hal tersebut adalah proses motivasi. 3. Insentif Pada akhir siklus motivasi adalah insentif, didefinisikan sebagai semua yang akan mengurangi sebuah kebutuhan dan dorongan. Dengan demikian, memperoleh sebuah insentif cenderung memulihkan keseimbangan fisiologis atau psikologis dan akan mengurangi dorongan. 2.2 Fenomena Guru Tidak Tetap (GTT) Menjadi guru di bumi pertiwi ini, memang tidaklah sesulit seperti di Amerika bahkan Australia. Cukup dengan berbekal ijazah S1 pendidikan dan dengan dibekali Akta mengajar sudah bisa diterima menjadi guru. Tidak hanya itu, ternyata dengan ijazah non pendidikan pun juga bisa diterima menjadi seorang guru. Meskipun saat ini Undang-undang guru dan dosen menggariskan bahwa seorang guru wajib memiliki sertifikasi, pada kenyataannya terkesan hanya profesionalisme yang komersil dan hanya memotivasi seorang guru secara sesaat saja (Suhendi, 2009). Banyak fakta yang menggambarkan bahwa ketika awal mengajar (menjadi guru GTT) lebih karena dorongan orientasi minimalis yaitu pokoknya mengajar dulu, meskipun honornya tidak seberapa yang penting 12 ada kegiatan dan maksimal masuk di data base guru honorer, ya minimal ada peluang untuk memudahkan menjadi guru definitif (guru PNS). Bahkan tidak sedikit yang harus membayar sekedar bisa menjadi seorang guru honorer di suatu sekolah tertentu. Pilihan ini tentunya sedikit banyak telah menyumbangkan pola relasi yang seringkali tidak adil di persekolahan. Eksploitasi dan diskriminasi acapkali dialami oleh seorang GTT (Syairi, 2012). Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap tahunnya perguruan tinggi di seluruh Indonesia yang memiliki Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) selalu meluluskan ribuan sarjana pendidikan. Seiring dengan itu maka jumlah sarjana pendidikan di Indonesia mengalami penambahan yang begitu cepat. Namun realitas ini berbanding terbalik dengan volume pengangkatan atau rekruitmen guru yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah sendiri sangat memahami bahwa masih banyak sekolah-sekolah yang membutuhkan guru, namun minimnya anggaran yang ada menjadi alasan untuk melakukan rasionalisasi dalam rekruitmen tenaga pendidik. Fenomena di atas telah melahirkan dampak positif dan negatif bagi pendidikan di Indonesia. Dampak positifnya adalah iklim kompetitif antar lulusan FKIP menjadi kenyataan yang tak terbantahkan, terlepas apakah kompetisi antar lulusan berdasarkan kompetensi ataukah tidak (ada indikasi KKN). 13 Yang pasti rekruitmen yang diselenggarakan melalui ujian merupakan sebuah upaya untuk menjaring para tenaga pendidik yang berkualitas. Sedangkan dampak negatifnya adalah mereka yang gagal dalam seleksi guru PNS masih berharap banyak untuk bisa diterima pada rekruitmen di lain waktu sehingga banyak di antara mereka meluangkan waktunya untuk memilih menjadi guru non PNS/guru honorer/guru tidak tetap (GTT) (Suhendi, 2009) Fenomena guru tidak tetap (GTT) di berbagai daerah, secara umum memiliki problematika yang relatif sama yakni kerentanan dalam menjalankan kinerjanya sebagai seorang guru. Bahkan tidak jarang di antara mereka harus dipecat secara sepihak oleh pihak yayasan karena lemahnya status yang mereka miliki. Meskipun demikian fenomena guru tidak tetap setiap tahunnya menunjukkan penambahan yang signifikan di berbagai daerah (Syairi, 2012). Jaringan Aksi Peduli Pendidikan (JAPP) menemukan banyak sekali bentuk-bentuk pelanggaran terhadap guru tidak tetap di setiap sekolah. Pelanggaran tersebut seperti diskriminasi antara guru PNS dan Guru non PNS dalam konteks kebijakan sekolah, pemecatan secara sepihak oleh yayasan, jam mengajar yang dinolkan hingga honor yang jauh di bawah UMR. Di antara banyak persoalan yang dialami oleh GTT, honor yang jauh dari rasa kemanusian menjadi kenyataan yang banyak terjadi di berbagai daerah. Di 14 Mungkit, Magelang, guru wiyata bakti (honorer) menerima gaji yang nilainya sangat melecehkan dan sangat tidak manusiawi, berkisar Rp. 15.000 sampai dengan Rp. 50.000,- perbulan (http:// www.indomedia. com/bernas/2012/12/UTAMA/12mgl.htm). Sedang- kan hasil studi tentang para guru PNS di SD, SLTP dan SLTA di Bengkulu menunjukkan bahwa hampir seluruh guru (94,25%) menganggap gaji dan profesi kurang mencukupi kebutuhan hidupnya (Husin dan Sasongko, 2002). Meski gaji guru SD lulusan PGSD dengan golongan II/b sebesar Rp. 667.300,- per bulan di atas UMP (upah Minimum Provinsi), namun harga kebutuhan sembako relatif tinggi dan terus melonjak. Akibatnya, pengeluaran adalah tidak seimbang dengan pendapatan. Ketimpangan gaji tersebut, benar-benar tidak adil mengingat kewajiban tugas mendidik adalah tugas mulia. Guru sebagai sebuah profesi yang terhormat di masyarakat (officium nobile), guru memiliki peran yang sangat vital dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) suatu bangsa. Bila dilihat dari tugas dan tanggung jawab yang diemban, GTT jauh lebih berat daripada tenaga honorer yang ada di lingkup pemerintahan. GTT setiap hari harus berhadapan langsung dengan siswa-siswa yang memiliki karakter berbeda dan berusaha mendidik mereka ke arah yang lebih baik, tanpa mengenal lelah dan menahan segala 15 emosional jika ada siswa yang bertindak kurang baik (Suhendi, 2009). 2.3 Teori-Teori Motivasi Morgan (1986: 348) menyatakan Muray adalah orang pertama yang mengenalkan beberapa motif sosial antara lain: abasement, achievement, affiliation, aggression, autonomy, counteraction, defense, deference, dominance, exihibition, harm avoidance, infavoidance, nurturance, order, play, rejection, serta sentience. Menurut Schemerhorn, Jr. (1997: 345-356) asal mula teori motivasi dimulai dari: 1) Teori isi (Content Theory), 2) Teori proses (Process Theory), 3) Teori penguatan tentang motivasi (Reinforcement Theory of Motivation). Teori isi (Content Theory) tentang motivasi membahas adanya kebutuhan seseorang sehingga ada dorongan dari diri seseorang untuk menghasilkan target yang telah ditetapkan. Teori ini meliputi antara lain: (1) Teori hirarki kebutuhan (Hierarchy of Needs Theory) merupakan teori Abraham Maslow tentang kebutuhan manusia. Dengan kebutuhan tingkat lebih rendah meliputi fisilogis, keamanan, dan sosial. Kebutuhan tingkat lebih tinggi meliputi harga diri dan aktualisasi diri. Kebutuhan tingkat lebih tinggi tersebut mewakili keinginan seseorang akan pertumbuhan dan perkembangan psikologis, (2) Teori ERG merupakan teori yang diusulkan oleh Clayton Aldefer yang 16 telah membagi kebutuhan menjadi tiga macam antara lain: a) Kebutuhan eksistensi (Existence Needs), b) Kebutuhan keterkaitan (Relatedness Needs), c) Kebutuhan pertumbuhan (Growth Needs), (3) Teori Dua-Faktor (Two-Factor Theory) yang dikemukakan oleh Frederick Herzberg merupakan kerangka kerja lain untuk memahami implikasi motivasional dari lingkungan kerja dan ada dua faktor di dalam teori ini yaitu: faktor-faktor higienis (sumber-ketidakpuasan karyawan) dan faktor-faktor pemuas (sumber kepuasan karyawan), (4) Teori kebutuhan yang diperoleh (Aquired-Needs Theory), David McClelland mengidentifikasikan tiga macam kebutuhan antara lain: a) kebutuhan berprestasi (Achievement Needs), b) kebutuhan akan kekuasaan (Power Needs), c) kebutuhan berafiliasi (Affiliation Needs). Teori proses (Process Theory) menjelaskan bagaimana seseorang melakukan tindakan atau berperilaku untuk memenuhi kebutuhan mereka dan menentukan pilihan mereka. Teori ini meliputi antara lain: (1) Teori Ekuitas (Equity Theory) dikemukakan oleh J. Stacy Adams yang menyatakan bahwa ketidakadilan yang dirasakan merupakan suatu keadaan yang memotivasi. Artinya, ketika para karyawan yakin bahwa mereka diperlakukan secara tidak adil jika dibandingkan dengan orang lain maka mereka mencoba mengurangi ketidaknyamanan dan mengembalikan suatu perasaan tentang suatu keadilan pada situasi; 17 (2) Teori Pengharapan (Expectancy Theory) dari Victor Vroom menyatakan bahwa motivasi untuk bekerja tergantung pada hubungan di antara tiga macam faktor pengharapan yaitu: pengharapan, instrumentalitas, dan valensi (nilai); (3) Teori Penetapan Tujuan (Goal Setting Theory) dari Edwin Locke menyatakan bahwa tujuan tugas sangat memotivasi jika tujuan itu ditetapkan dengan tepat dan dikelola dengan baik dan prinsip partisipasi merupakan unsur penting dalam teori ini. Teori penguatan tentang motivasi (Reinforcement Theory of Motivation) yang dilandaskan pada hukum efek Thorndike, yaitu membahas mengenai perilaku yang memberikan hasil yang menyenangkan akan berkemungkinan untuk diulangi lagi dan perilaku yang memberikan hasil yang tidak menyenangkan tidak akan mungkin diulang lagi. Teori ini mempelajari straategi penguatan positif, hukuman, etika OB-MOD (Organizational Behavior-Modification). Dari berbagai teori motivasi di atas, teori isi (content) yang akan digunakan dalam penelitian ini untuk membahas motivasi menjadi GTT di SMK N 1 Pringapus adalah teori ERG dengan pertimbangan teori tersebut yang mendekati realita permasalahan yang dihadapi GTT. 18 2.4 Teori Motivasi yang Berkaitan dengan Motivasi Menjadi GTT 2.4.1 Teori ERG (Existence, Relatedness, Growth) Teori motivasi ERG dari Clayton Alderfer, juga merupakan kelanjutan dari teori Maslow yang dimaksudkan untuk memperbaiki beberapa kelemahannya. Teori ini membagi tingkat kebutuhan manusia ke dalam 3 tingkatan yaitu (Gouzaly, 2000: 250). 1. Keberadaan (Existence) Ini untuk mempertahankan kebutuhan pokok dan dasar manusia. Yang tergolong dalam kebutuhan ini adalah sama dengan tingkatan 1 (fisiologis) dan 2 (keamanan) dari teori Maslow. Dalam perspektif organisasi, kebutuhan-kebutuhan yang dikategorikan ke dalam kelompok ini adalah: gaji, insentif, kondisi kerja, keselamatan kerja, keamanan, jabatan. 2. Keterkaitan (Relatedness) Tercermin dari sifat manusia sebagai insan sosial yang ingin dihargai dan diterima di lingkungan sosial, yang meliputi kebutuhan-kebutuhan pada tingkatan 3 (berafiliasi) dari teori Maslow. Hubungan dengan atasan, hubungan dengan kolega, hubungan dengan bawahan, hubungan dengan teman, hubungan dengan orang luar organisasi. 19 3. Pertumbuhan (Growth) Menekankan kepada keinginan seseorang untuk tumbuh dan berkembang, mengalami kemajuan dalam kehidupan serta mengaktualisasikan diri, yang meliputi kebutuhan-kebutuhan pada tingkat 4 (penghargaan) dan 5 (aktualisasi diri) dari teori Maslow, bekerja kreatif, inovatif, bekerja keras, kompeten, pengembangan pribadi. 2.4.2 Hubungan Teori ERG (Existence, Relatedness, Growth) dengan Guru Tidak Tetap (GTT) GTT memiliki upah yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan PNS, sehingga para Guru Tidak Tetap ini memiliki alasan tertentu ketika memutuskan memilih profesi menjadi GTT, di antaranya untuk memenuhi kebutuhan keberadaan (existence), keterkaitan (relatedness), pertumbuhan (growth). Kebutuhan keberadaan berkaitan dengan gaji, insentif, rasa aman, kondisi kerja menjadi seorang GTT. Kebutuhan keterkaitan merupakan hubungan GTT dengan atasan, hubungan GTT dengan teman, hubungan GTT dengan organisasi. Sedangkan kebutuhan pertumbuhan GTT berkeinginan meningkatkan kinerjanya dengan inovasi dalam pembelajaran, metode pembelajaran. 20 kreatif dalam menggunakan