13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Belief Dalam bahasa sehari-hari istilah keyakinan atau belief sering disamaartikan dengan istilah sikap (attitude), disposisi (disposition), pendapat (opinion), filsafat (philosopy), atau nilai (value). Ada juga peneliti yang menghubungkan belief dengan motivasi (motivation) dan konsepsi (conception). Secara umum belief diartikan sebagai keyakinan atau kepercayaan diri terhadap sesuatu. Belief siswa terhadap matematika adalah keyakinan siswa terhadap matematika yang mempengaruhi respon siswa dalam menanggapi masalah matematika. Breiteig (2010: 1) mengungkapkan “The learning outcomes of students are strongly related to their beliefs and attitudes about mathematics”, yaitu hasil pembelajaran siswa sangat berkaitan dengan kepercayaan dan sikap terhadap matematika. Keyakinan yang dimiliki seseorang dipengaruhi oleh diri dan lingkungannya. Hal ini berimplikasi bahwa keyakinan seseorang dapat berubah sebab setiap saat setiap orang mengalami pembentukan, pengubahan, atau penguataan atas keyakinan yang dimilikinya. Ada tiga aspek yang secara simultan mempengaruhi keyakinan matematik, yakni objek pendidikan matematika, konteks kelas, dan dirinya sendiri. Menurut Eynde, Corte, dan Verschaffel (Sugiman, 2009:4), ketiga 14 aspek tersebut satu sama lain saling mengkait dalam membentuk keyakinan matematik pada diri siswa. Implikasinya dalam pembelajaran matematika adalah untuk meningkatkan keyakinan matematik siswa, maka perlu memperhatikan kondisi masing-masing siswa, situasi kelas secara umum, interaksi antar siswa, buku matematika yang menjadi pegangan, guru pengajar, dan metode mengajar yang digunakan oleh guru. Hasil penelitian tentang belief terhadap matematika, yang dilakukan oleh Schoenfeld (1989: 338) mengindikasikan adanya korelasi yang kuat antara hasil tes matematika yang diharapkan oleh siswa dan kepercayaan siswa itu tentang kemampuannya. Dari korelasi itu disimpulkan sebagai berikut: (1) siswa yang merasa lemah dalam matematika percaya bahwa keberhasilan dalam tes matematika merupakan kebetulan atau nasib baik, sedangkan kegagalan (hasil rendah) dalam tes matematika merupakan akibat dari kekurangmampuan. Sementara itu, murid yang merasa dirinya kuat dalam matematika percaya bahwa keberhasilan dalam tes matematika adalah hasil dari kemampuannya sendiri, (2) semakin kuat dalam matematika siswa semakin kurang percaya bahwa kebanyakan isi pelajaran matematika merupakan hafalan, dan (3) semakin kuat dalam matematika siswa semakin kurang percaya bahwa keberhasilan dalam tes matematika tergantung pada kekuatan menghafal. Beberapa aspek keyakinan matematika lain yang diadaptasi dari Torner (Maab dan Schloglmann, 2009:3) diantaranya: (1) aspek ontologi dimana keyakinan dapat menjadi domain tertentu, dan dapat menjadi pribadi, sosial, atau estimologis di alam, (2) aspek enumiratif dimana keyakinan dapat ditetapkan sebagai suatu 15 kesatuan dari berbagai kemungkinan, persepsi, karakteristik pengandaian, filsafat, dan/atau ideology, (3) aspek normatif, dimana keyakinan dianggap sebagai sesuatu yang sangat individualis, dan (4) aspek afektif, dimana keyakinan terjalin dengan mempengaruhi perasaan-perasaan emosional, mental, serta nilai-nilai. Selanjutnya, Sugiman (2009) juga menyebutkan empat aspek yang terdapat dalam keyakinan matematika siswa, yaitu keyakinan siswa terhadap karakteristik matematika, keyakinan siswa terhadap kemampuan diri sendiri, keyakinan siswa terhadap proses pembelajaran, dan keyakinan siswa terhadap kegunaan matematika. Penelitian ini menggunakan skala untuk mengetahui sejauh mana siswa yakin terhadap matematika. Pertanyaan atau pernyataan dalam skala dapat berupa keyakinan terhadap kemenarikan matematika, keyakinan terhadap kegunaan matematika, serta keyakinan pada diri sendiri ketika berhadapan dengan permasalahan matematika. Breiteig (2010:6) mengatakan bahwa pertanyaan atau pernyataan dalam skala lebih sering disajikan dengan beberapa pilihan jawaban yang meliputi sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju, dan sangat tidak setuju (The coloumns refers to respectively: totally agree, partially agree, uncertain, partially disagree, and totally disagree). Breiteig dalam buku yang sama juga menuliskan cara untuk menghitung taraf keyakinan siswa terhadap matematika, yaitu dengan membuat persentase jawaban dengan membagi jumlah siswa yang memilih pilihan jawaban tersebut dengan jumlah keseluruhan siswa yang tersedia saat pengisian skala. 16 Ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam menyusun skala, sehingga bisa memperoleh jawaban yang benar-benar diharapkan, setiap pernyataan yang diajukan hendaknya tidak meragukan dan menimbulkan tafsiran lain. Edwards (Priatna, 2008:82) mengemukakan kriteria tersebut adalah: 1. Arahkan pernyataan yang dikemukakan yang berhubungan dengan kondisi aktual, tidak mengungkapkan hal-hal yang sifatnya sudah basi; 2. Hindarkan pernyataan yang merupakan suatu fakta atau dapat dianggap fakta sehingga tidak mengungkapkan sikap; 3. Pernyataan hendaknya tidak mengandung arti yang bermacam-macam, sehingga membingungkan; 4. Pernyataan hendaknya relevan dengan aspek psikologi yang akan dievaluasi; 5. Hindarkan pernyataan yang akan disetujui oleh semua responden, atau sebaliknya; 6. Pilihlah pernyataan-pernyataan yang dianggap mewakili isi keseluruhan skala sikap yang akan dievaluasi; 7. Pernyataan yang disajikan diusahakan singkat; 8. Susunlah pernyataan dalam bahasa yang sederhana, jelas, dan langsung pada pokok masalah; 9. Hindarkanlah kata-kata yang sifatnya universal, seperti semua, setiap, selalu, tak satu pun, atau tak pernah sehingga tidak menimbulkan keraguan; 10. Hati-hati menuliskan pernyataan dengan menggunakan kata “hanya”, dan sejenisnya; 11. Tiap pernyataan diusahakan hanya memuat satu pokok pikiran; 12. Usahakan menyusun pernyataan dengan kalimat tunggal; 17 13. Gunakan kata-kata yang sudah banyak dikenal (familiar) agar tidak menyesatkan; dan 14. Hindarkan menggunakan pernyataan yang mengandung kata negatif lebih dari satu kali. Pada penelitian ini, keyakinan matematis siswa yang akan diteliti mencakup 4 aspek belief, yaitu keyakinan siswa terhadap karakteristik matematika, keyakinan siswa terhadap kemampuan diri sendiri, keyakinan siswa terhadap proses pembelajaran, dan keyakinan siswa terhadap kegunaan matematika dengan indikator belief yang dikembangkan sebagai berikut: Tabel 2.1 Indikator Belief terhadap Matematika NO DIMENSI 1 Keyakinan siswa terhadap karakteristik matematika. INDIKATOR 1. Matematika dipandang sebagai ilmu yang abstrak dan penuh rumus. 2. Matematika dipandang sebagai ilmu yang terbentuk dari proses penalaran. 3. Matematika dipandang sebagai ilmu berpikir logis, kritis, dan kreatif. 2 3 4. Keyakinan siswa terhadap kemampuan diri sendiri. Keyakinan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran matematika. Keyakinan siswa terhadap kegunaan matematika. 4. Pandangan siswa terhadap kemampuan matematika yang dimilikinya. 5. Pandangan tentang kelebihan dan kekurangan yang dimiliki siswa pada matematika. 6. Pandangan siswa terhadap proses pembelajaran matematika yang ideal. 7. Pandangan siswa terhadap keberhasilan proses pembelajaran matematika. 8. Pandangan siswa terhadap kendala yang dapat mempengaruhi keberhasilan prosses pembelajaran matematika. 9. Pandangan siswa terhadap kegunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari. 10. Pandangan siswa terhadap kegunaan matematika dalam bidang ilmu lain. 18 2. Pemecahan Masalah Kemampuan pemecahan masalah adalah suatu tindakan untuk menyelesaikan masalah atau proses yang menggunakan kekuatan dan manfaat matematika dalam menyelesaikan masalah, yang juga merupakan metode penemuan solusi melalui tahap-tahap pemecahan masalah. Bisa juga dikatakan bahwa pemecahan masalah sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan. Masalah timbul karena adanya suatu kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan kenyataan, antara apa yang dimiliki dengan apa yang dibutuhkan, antara apa yang telah diketahui yang berhubungan dengan masalah tertentu dengan apa yang ingin diketahui. Kesenjangan itu perlu segera diatasi. Proses mengenai bagaimana mengatasi kesenjangan ini disebut sebagai proses memecahkan masalah. Masalah dalam pembelajaran matematika merupakan pertanyaan yang harus dijawab atau direspon. Namun tidak semua pertanyaan otomatis akan menjadi masalah. Cooney (Shadiq, 2004: 10) mengungkapkan bahwa suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan (challenge) yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin (routine procedure) yang sudah diketahui oleh si pelaku. Menurut Nasution (2008: 170) pemecahan masalah merupakan perluasan yang wajar dari belajar aturan. Dalam pemecahan masalah prosesnya terutama letak dalam diri pelajar. Variabel dari luar hanya berupakan instruksi verbal yang membantu atau membimbing pelajar untuk memecahkan masalah itu. Memecahkan masalah dapat dipandang sebagai proses dimana pelajar menemukan kombinasi aturan-aturan yang telah dipelajarinya lebih dahulu yang 19 digunakannya untuk memecahkan masalah yang baru. Namun memecahkan masalah tidak sekedar menerapkan aturan-aturan yang diketahui, akan tetapi juga menghasilkan pelajaran baru. Studi Carpenter (Fauzi, 2013) menunjukkan bahwa penggunaan kalimat dalam soal matematika merupakan hal yang mempengaruhi kesulitan siswa untuk menyelesaikannnya. Turmudi (2008: 2) mengatakan bahwa pemecahan masalah dalam matematika melibatkan metode dan cara penyelesaian yang tidak standar dan tidak diketahui sebelumnya. Sementara itu, Bagby (2009: 38) mengemukakan bahwa pemecahan masalah dapat membuat siswa menggunakan apa yang mereka tahu untuk mencapai suatu tujuan ketika tidak ditemukan solusi yang nyata. Oleh karena itu, siswa harus sering dilatih untuk menggunakan kemampuan pemecahan masalahnya melaui penugasan dalam pembelajaran matematika di kelas. Untuk menyelesaikan setiap penugasan atau pertanyaan yang berbentuk pemecahan masalah, Polya (1973: 5-6) mengemukakan empat fase utama dalam pemecahan masalah yaitu : 1. understanding the problem, yaitu kita harus mampu melihat dengan jelas apa saja yang dibutuhkan. 2. devising a plan, yaitu kita harus mampu melihat hubungan berbagai data dan bagaimana hal-hal yang tak diketahui berhubungan dengan data. 3. carrying out the plan, yakni melaksanakan rencana yang telah disusun. 4. looking back, yakni melihat solusi yang kita munculkan, me-review-nya dan mendiskusikannya. 20 Pemecahan masalah sebagai salah satu aspek kemampuan berpikir tingkat tinggi. Polya menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan suatu tingkat aktivitas intelektual yang sangat tinggi. Pemecahan masalah adalah suatu aktivitas intelektual untuk mencari penyelesaiaan masalah yang dihadapi dengan menggunakan bekal pengetahuan yang sudah dimiliki. Pendapat tersebut didukung oleh pernyataan Branca (Sumarmo, 1994: 8) bahwa kemampuan pemecahan masalah merupakan tujuan umum dalam perkuliahan matematika, bahkan sebagai jantungnya matematika, artinya kemampuan pemecahan masalah merupakan kemampuan dasar dalam kuliah matematika Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika adalah kecakapan atau potensi yang dimiliki seseorang atau siswa dalam menyelesaikan soal cerita, menyelesaikan soal yang tidak rutin, mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari atau keadaan lain, dan membuktikan atau menciptakan atau menguji konjektur. 3. Pendekatan Kontekstual Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu; (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach). 21 Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan (konteks) ke permasalahan (konteks) lainnya. Pembelajaran Kontekstual merupakan suatu konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep ini, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual. Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual bertujuan agar pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakna. Pendekatan kontekstual dapat dilaksanakan tanpa harus mengubah kurikulum atau tatanan yang ada. Dalam pendekatan kontekstual, pembelajaran dimulai atau dikaitkan dengan dunia nyata, diawali dengan bercerita atau tanya-jawab lisan tentang kondisi aktual 22 dalam kehidupan siswa, kemudian diarahkan dengan informasi melalui modeling agar siswa termotivasi, questioning agar siswa berpikir, constructivism agar siswa membangun pengertian, inquiry agar siswa dapat menemukan konsep dengan bimbingan guru, learning community agar siswa dapat dan terbiasa berkolaborasi dan berkomunikasi berbagai pengetahuan dan pengalaman, reflection agar siswa dapat mengulang kembali pengalaman belajarnya untuk koreksi dan revisi, serta authentic assessment agar asesmen yang diberikan menjadi sangat objektif. Pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual memperhatikan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni sebagai berikut. 1. Konstruktivisme (Constructivism) Pembentukan pengetahuan menurut model konstruktivisme Piaget (dalam Kartikasarie, 2008: 8) memandang subyek aktif menciptakan strukturstruktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Melalui bantuan struktur kognitif ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi. Selanjutnya Wilantra (Kartikasarie, 2008: 9) menungkapkan pengetahuan dalam konstruktivisme tidak dibatasi pada pengetahuan yang logis dan tinggi. Pengetahuan di sini juga dapat mengacu pada pembentukan gagasan, gambaran, pandangan akan sesuatu atau gejala sederhana. Dalam 23 konstruktivisme, pengalaman dan lingkungan kadang punya arti lain dengan arti sehari-hari. Pengalaman tidak harus pengalaman fisis seseorang seperti melihat, merasakan dengan inderanya, tetapi dapat pula pengalaman mental yaitu berinteraksi secara pikiran dengan suatu obyek. 2. Inkuiri (Inquiry) Inkuiri adalah metode penemuan (terbimbing) dengan maksud untuk mengembangkan kemampuan pemahaman, penalaran, eksplorasi, identifikasi, dan generalisasi. Biasanya metode penemuan dilakukan dengan diawali contoh-contoh kemudian diidentifikasi pola yang sesuai dan kemudian dikonstruksi generalisasinya. Inkuiri menurut (Wahyu, 2007: 13) merupakan cara siswa dalam menemukan sesuatu yang baru menurut mereka. Pada dasarnya proses inkuiri merupakan proses menemukan kembali, karena sesuatu yang ditemukan itu merupakan hal yang telah ada sebelumnya. Namun dalam inkuiri juga tidak menutup kemungkinan terjadi penemuan baru yang belum diketahui sebelumnya. 3. Bertanya (Questioning) Bertanya merupakan strategi utama dalam pendekatan kontekstual. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Dalam pembelajaran, kegiatan bertanya berguna untuk menggali informasi, baik administrasi maupun akademis, mengecek pemahaman siswa, membangkitkan respon siswa, mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa, mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, memfokuskan perhatian pada sesuatu yang 24 dikehendaki guru, merangsang pertanyaan dari siswa, menyegarkan kembali pengetahuan siswa. 4. Masyarakat belajar (Learning Community) Konsep masyarakat belajar menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dengan orang lain. Masyarakat belajar didasarkan pada adanya asumsi bahwa manusia adalah makhluk sosial, dimana setiap individu membutuhkan bantuan orang lain. Dengan adanya saling membantu ini, diharapkan siswa dapat saling membelajarkan. Siswa yang tidak bisa dapat meminta bantuan kepada siswa yang bisa. Masyarakat belajar dalam pembelajaran dapat terwujud melalui; (1) pembentukan kelompok besar atau kecil, (2) kedatangan ahli ke kelas (jika diperlukan), (3) bekerja dalam kelas sederajat, (4) bekerja kelompok dengan kelas di atasnya, (5) bekerja dengan masyarakat. 5. Pemodelan (Modeling) Dalam pembelajaran konsep atau topik tertentu, diperlukan adanya model untuk ditiru. Model ini bisa berupa cara untuk mengoperasikan sesuatu, cara menyelesaikan soal, dan sebagainya. Dengan cara demikian, guru memberi model “bagaimana cara belajar”. Dalam matematika, salah satu contoh pemodelan guru adalah memperagakan bagaimana bagaimana menyelesaikan langkah-langkah yang soal. ditempuh Guru dalam menyelesaikan suatu soal dengan baik. Selain guru, teman atau pihak lain pun bisa dijadikan sebagai model. 25 6. Refleksi (Reflection) Refleksi merupakan cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan atau tidak dilakukan. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas yang dilakukan atau pengetahuan yang baru diterima. Misalkan setelah pelajaran berakhir, siswa merenung “Jika demikian, cara yang saya lakukan selama ini perlu diperbaiki” dan “Masih banyak hal yang perlu dibenahi” setelah memperoleh pengetahuan baru. Refleksi dilakukan oleh siswa dan guru, bertujuan untuk memperbaiki kesalahan dan mengembangkan apa yang telah dikerjakan. 7. Asesmen Otentik (Authentic Assessment) Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru untuk bisa memastikan bahwa siswa telah mengalami proses pembelajaran yang benar. Dalam pembelajaran kontekstual, gambaran tentang kemajuan siswa dilihat sejak awal pembelajaran, sepanjang proses pembelajaran, dan pada akhir pembelajaran. Gambaran kemajuan belajar ini diketahui melalui asesmen otentik. Data yang dikumpulkan pada asesmen otentik adalah data yang diperoleh dari hasil kegiatan siswa selama proses pembelajaran berlangsung dan hasil belajar siswa. Dalam setiap kegiatan pembelajaran kontekstual, guru harus mengupayakan ketujuh komponen tersebut dapat dilakukan oleh siswa, namun tetap disesuaikan dengan karakteristik materi yang dibahas. 26 Menurut Sutardi dan Sudirjo (2007: 99), kelebihan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual adalah, “real world learning, mengutamakan pengalaman nyata, berpikir tingkat tinggi, berpusat pada siswa, siswa aktif, kreatif, pengetahuan diberi makna, dan keinginannya bukan mengajar tetapi belajar”. Sedangkan kelemahan dari pendekatan pembelajaran kontekstual adalah orientasi yang melibatkan aktivitas siswa sehingga guru harus memahami secara mendasar tentang perbedaan potensi masing-masing individu dan pembelajaran ini membutuhkan berbagai sarana dan media yang variatif. Menurut Sutardi dan Sudirjo (2007: 100), kelemahan dari pendekatan pembelajaran ini antara lain: Bagi guru, harus memiliki kemampuan untuk memahami secara mendalam tentang konsep pembelajaran itu sendiri, potensi perbedaan individu siswa di kelas, beberapa pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada aktivitas siswa dan sarana, media, alat bantu serta kelengkapan pembelajaran yang menunjang aktivitas siswa dalam belajar. Bagi siswa, diperlukan inisiatif dan kreativitas dalam belajar, memiliki wawasan dan pengetahuan yang memadai dari setiap mata pelajaran, adanya perubahan sikap dalam menghadapi persoalan dan memiliki tanggung jawab yang tinggi dalam menyelesaikan tugas-tugas. Berdasarkan berdasarkan definisi pembelajaran kontekstual tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah pendekatan dalam pembelajaran yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan kehidupan nyata siswa sehari-hari, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat maupun warga negara, dengan tujuan untuk menemukan makna materi tersebut bagi kehidupannya dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka. 27 4. Pembelajaran Konvensional Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang selama ini sering digunakan guru dalam proses pembelajaran. Dalam pembelajaran konvensional kegiatan pembelajaran berpusat pada guru, pembelajaran cenderung pasif karena interaksi siswa kurang sehingga siswa kurang mempunyai kesempatan untuk mengembangkan kreativitas dan inisiatif dalam memahami suatu konsep yang dipelajari. Sukandi (2003: 8) mengatakan bahwa pembelajaran konvensional ditandai dengan guru lebih banyak mengajarkan tentang konsep-konsep bukan kompetensi, tujuannya adalah siswa mengetahui sesuatu bukan mampu untuk melakukan sesuatu. Hamalik (2004: 56) mengungkapkan bahwa pembelajaran nasional menitikberatkan pada pembelajaran klasikal, yaitu guru memberikan bahan yang sama, cara yang sama, dan penilaian yang sama kepada siswa serta semua siswa dianggap akan memperoleh hasil yang sama. Pernyataan ini membuktikan bahwa pembelajaran yang berpusat pada guru atau pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang paling banyak dipilih dan diterapkan oleh guru. Pembelajaran konvensional dianggap sebagai pembelajaran yang paling efektif karena metode ini merupakan metode yang paling murah dan mudah. Namun, pembelajaran ini memiliki kelemahan yaitu pengetahuan siswa hanya terbatas pada apa yang disampaikan dan diketahui oleh guru. Kegiatan penyampaian materi oleh guru dapat membuat siswa cepat bosan sehingga perhatian mereka tidak terfokus pada pelajaran lagi. Terlebih soal-soal yang diberikan guru hanya 28 bersifat rutin, bukan soal-soal yang berupa soal pemecahan masalah. Dengan demikian, siswa kurang berperan aktif dalam proses pembelajaran. Pembelajaran konvensional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pembelajaran yang biasa dilakukan di sekolah yang akan diteliti. Pembelajaran ini biasanya dilakukan dengan penyampaian materi oleh guru, siswa mendengarkan dan mencatat penjelasan materi dari guru, siswa diberi contoh soal dan penyelesaian lalu siswa diberi tugas untuk mengerjakan soal-soal latihan. B. Kerangka Pikir Pada pembelajaran matematika mengkonstruksi pengetahuan, memecahkan persoalan matematika, dan mengerjakan tugas merupakan tiga aspek yang mempengaruhi kepercayaan matematika dan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Oleh karena itu, pendekatan kontekstual diimplementasikan oleh para guru dalam proses pembelajaran di sekolah. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari sehingga siswa memiliki pengetahuan/keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan dari satu permasalahan (konteks) ke permasalahan (konteks) lainnya. Dalam kelas kontekstual, tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Beberapa komponen utama dalam pembelajaran kontekstual, yaitu konsep keterkaitkan 29 (relating), konsep pengalaman langsung (experiencing), konsep aplikasi (applying), konsep kerja sama (cooperating), konsep pengaturan diri (self regulating), dan konsep penilaian autentik (authentic assessment). Komponen yang pertama yaitu konsep keterkaitkan (relating). Strategi ini digunakan untuk mengaitkan konsep baru dengan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa untuk memecahkan suatu permasalahan matematika. Dalam proses ini siswa akan mengembangkan aspek keyakinan terhadap kemampuan dirinya sendiri. Komponen yang kedua yaitu konsep pengalaman langsung (experiencing). Mengalami merupakan suatu proses belajar dimana siswa terlibat secara langsung dalam proses pembelajaran. Belajar dapat terjadi lebih cepat ketika siswa dapat memanipulasi peralatan dan bahan serta melakukan bentukbentuk penelitian yang aktif. Komponen yang ketiga yaitu konsep aplikasi (applying). Siswa menerapkan suatu konsep ketika ia malakukan kegiatan pemecahan masalah. Guru dapat memotivasi siswa dengan memberikam latihan yang realistik dan relevan. Komponen yang keempat yaitu konsep kerja sama (cooperating). Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi untuk memecahkan permasalahan matematika. Siswa yang bekerja secara individu sering tidak membantu kemajuan yang signifikan. Sebaliknya, siswa yang bekerja secara kelompok sering dapat mengatasi masalah yang komplek dengan sedikit bantuan. Pengalaman kerjasama tidak hanya membantu siswa mempelajari bahan ajar, tetapi konsisten dengan dunia nyata. 30 Komponen yang kelima yaitu konsep pengaturan diri (self regulating). Pembelajaran yang diatur sendiri, merupakan pembelajaran yang aktif, mandiri, melibatkan kegiatan menghubungkan masalah ilmu dengan kehidupan sehari-hari dengan cara-cara yang berarti bagi siswa. Pembelajaran yang diatur siswa sendiri, memberi kebebasan kepada siswa menggunakan gaya belajarnya sendiri. Komponen yang terakhir yaitu konsep penilaian autentik (authentic assessment). Penilaian autentik menantang para siswa untuk menerapkan informasi dan keterampilan akademik baru dalam situasi nyata untuk tujuan tertentu. Penilaian autentik merupakan antitesis dari ujian standar, penilaian autentik memberi kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan kemampuan terbaik mereka sambil mempertunjukkan apa yang sudah mereka pelajari. Fungsi pelaksanaan komponen terakhir ini adalah untuk menghilangkan pengertian-pengertian siswa yang keliru terhadap solusi masalah yang mereka temukan. Dengan demikin, pada kegiatan ini siswa akan terbiasa untuk melakukan looking back terhadap kinerja mereka sendiri. Dengan melihat keseluruhan komponen-komponen Pendekatan Kontekstual, nampak bahwa setiap indikator kemampuan pemecahan masalah yaitu: (1) understanding the problem (memahami masalah), (2) devising a plan (menyusun rencana), (3) carrying out the plan (menggunakan strategi pemecahan masalah), dan (4) looking back (melihat kembali) akan berkembang secara maksimal. Demikian pula dengan setiap indikator belief siswa terhadap matematika juga akan berkembang secara maksimal. 31 Keempat indikator pemecahan masalah tersebut ternyata kurang dapat berkembang dalam pembelajaran konvensional. Pada pembelajaran konvensional, pembelajaran berpusat pada guru. Transfer pengetahuan terjadi dari guru langsung ke siswa. Bahkan, jika siswa diberikan soal, soal-soal tersebut hanyalah berupa soalsoal rutin yang pada dasarnya bukan soal pemecahan masalah. Sehingga kemampuan pemecahan masalah siswa kurang berkembang dengan baik karena siswa kurang dilibatkan dalam proses pembelajaran yang menyajikan masalah. Berbeda dengan pembelajaran matematika yang menggunakan pendekatan kontekstual, pembelajaran matematika yang menggunakan model pembelajaran konvensional tidak menuntut siswa belajar lebih aktif. Pembelajaran ini berpusat pada guru sebagai pemberi informasi, sehingga siswa hanya pasif mendengarkan semua materi pembelajaran yang guru sampaikan. Padahal dalam pembelajaran yang baik siswa tidak hanya dituntut untuk menerima fakta-fakta yang diberikan, namun siswa juga dituntut untuk berfikir mandiri. Dalam pembelajaran konvensional, guru masih menggunakan metode ceramah sebagai cara penyampaian materi yang masih sangat dominan di dalam kelas. Melalui metode ceramah, guru menjelaskan pokok-pokok materi pembelajaran, sehingga dalam waktu singkat materi dapat selesai diajarkan. Selain itu, kebiasaan guru mendemonstrasikan solusi juga menyebabkan siswa cenderung merasa tidak yakin apakah mereka mampu memahami dan menyelesaikan permasalahan matematis yang ada. Dengan demikian, penerapan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual diharapkan dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis dan belief siswa dibandingkan dengan penerapan 32 pembelajaran konvensional, sehingga pendekatan kontekstual berpengaruh terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis dan belief siswa SMP Negeri 2 Sekampung. C. 1. Anggapan Dasar Dan Hipotesis Anggapan Dasar Penelitian ini mempunyai anggapan dasar sebagai berikut. a. Besar pengaruh faktor-faktor lain yang tidak diteliti pada tiap siswa dianggap memiliki kontribusi yang sama. b. Seluruh siswa kelas VIII SMP N 2 Sekampung selama ini memperoleh materi pelajaran matematika yang sesuai dengan kurikulum yang berlaku. 2. Hipotesis Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah pendekatan kontekstual berpengaruh terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis dan belief siswa.