13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Belief Dalam bahasa

advertisement
13
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1.
Belief
Dalam bahasa sehari-hari istilah keyakinan atau belief sering disamaartikan dengan
istilah sikap (attitude), disposisi (disposition), pendapat (opinion), filsafat
(philosopy), atau nilai (value).
Ada juga peneliti yang menghubungkan belief
dengan motivasi (motivation) dan konsepsi (conception).
Secara umum belief
diartikan sebagai keyakinan atau kepercayaan diri terhadap sesuatu. Belief siswa
terhadap matematika adalah keyakinan siswa terhadap matematika yang
mempengaruhi respon siswa dalam menanggapi masalah matematika. Breiteig
(2010: 1) mengungkapkan “The learning outcomes of students are strongly
related to their beliefs and attitudes about mathematics”, yaitu hasil pembelajaran
siswa sangat berkaitan dengan kepercayaan dan sikap terhadap matematika.
Keyakinan yang dimiliki seseorang dipengaruhi oleh diri dan lingkungannya. Hal
ini berimplikasi bahwa keyakinan seseorang dapat berubah sebab setiap saat
setiap orang mengalami pembentukan, pengubahan, atau penguataan atas
keyakinan yang dimilikinya. Ada tiga aspek yang secara simultan mempengaruhi
keyakinan matematik, yakni objek pendidikan matematika, konteks kelas, dan
dirinya sendiri. Menurut Eynde, Corte, dan Verschaffel (Sugiman, 2009:4), ketiga
14
aspek tersebut satu sama lain saling mengkait dalam membentuk keyakinan
matematik pada diri siswa. Implikasinya dalam pembelajaran matematika adalah
untuk meningkatkan keyakinan matematik siswa, maka perlu memperhatikan
kondisi masing-masing siswa, situasi kelas secara umum, interaksi antar siswa,
buku matematika yang menjadi pegangan, guru pengajar, dan metode mengajar
yang digunakan oleh guru.
Hasil penelitian tentang belief terhadap matematika, yang dilakukan oleh
Schoenfeld (1989: 338) mengindikasikan adanya korelasi yang kuat antara hasil
tes matematika yang diharapkan oleh siswa dan kepercayaan siswa itu tentang
kemampuannya. Dari korelasi itu disimpulkan sebagai berikut: (1) siswa yang
merasa lemah dalam matematika percaya bahwa keberhasilan dalam tes
matematika merupakan kebetulan atau nasib baik, sedangkan kegagalan (hasil
rendah) dalam tes matematika merupakan akibat dari kekurangmampuan.
Sementara itu, murid yang merasa dirinya kuat dalam matematika percaya bahwa
keberhasilan dalam tes matematika adalah hasil dari kemampuannya sendiri, (2)
semakin kuat dalam matematika siswa semakin kurang percaya bahwa
kebanyakan isi pelajaran matematika merupakan hafalan, dan (3) semakin kuat
dalam matematika siswa semakin kurang percaya bahwa keberhasilan dalam tes
matematika tergantung pada kekuatan menghafal.
Beberapa aspek keyakinan matematika lain yang diadaptasi dari Torner (Maab
dan Schloglmann, 2009:3) diantaranya: (1) aspek ontologi dimana keyakinan
dapat menjadi domain tertentu, dan dapat menjadi pribadi, sosial, atau estimologis
di alam, (2) aspek enumiratif dimana keyakinan dapat ditetapkan sebagai suatu
15
kesatuan dari berbagai kemungkinan, persepsi, karakteristik pengandaian, filsafat,
dan/atau ideology, (3) aspek normatif, dimana keyakinan dianggap sebagai
sesuatu yang sangat individualis, dan (4) aspek afektif, dimana keyakinan terjalin
dengan mempengaruhi perasaan-perasaan emosional, mental, serta nilai-nilai.
Selanjutnya, Sugiman (2009) juga menyebutkan empat aspek yang terdapat dalam
keyakinan matematika siswa, yaitu keyakinan siswa terhadap karakteristik
matematika, keyakinan siswa terhadap kemampuan diri sendiri, keyakinan siswa
terhadap proses pembelajaran, dan keyakinan siswa terhadap kegunaan
matematika.
Penelitian ini menggunakan skala untuk mengetahui sejauh mana siswa yakin
terhadap matematika.
Pertanyaan atau pernyataan dalam skala dapat berupa
keyakinan terhadap kemenarikan matematika, keyakinan terhadap kegunaan
matematika, serta keyakinan pada diri sendiri ketika berhadapan dengan
permasalahan matematika. Breiteig (2010:6) mengatakan bahwa pertanyaan atau
pernyataan dalam skala lebih sering disajikan dengan beberapa pilihan jawaban
yang meliputi sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju, dan sangat tidak setuju
(The coloumns refers to respectively: totally agree, partially agree, uncertain,
partially disagree, and totally disagree). Breiteig dalam buku yang sama juga
menuliskan cara untuk menghitung taraf keyakinan siswa terhadap matematika,
yaitu dengan membuat persentase jawaban dengan membagi jumlah siswa yang
memilih pilihan jawaban tersebut dengan jumlah keseluruhan siswa yang tersedia
saat pengisian skala.
16
Ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam menyusun skala, sehingga
bisa memperoleh jawaban yang benar-benar diharapkan, setiap pernyataan yang
diajukan hendaknya tidak meragukan dan menimbulkan tafsiran lain. Edwards
(Priatna, 2008:82) mengemukakan kriteria tersebut adalah:
1.
Arahkan pernyataan yang dikemukakan yang berhubungan dengan kondisi
aktual, tidak mengungkapkan hal-hal yang sifatnya sudah basi;
2.
Hindarkan pernyataan yang merupakan suatu fakta atau dapat dianggap fakta
sehingga tidak mengungkapkan sikap;
3.
Pernyataan hendaknya tidak mengandung arti yang bermacam-macam,
sehingga membingungkan;
4.
Pernyataan hendaknya relevan dengan aspek psikologi yang akan dievaluasi;
5.
Hindarkan pernyataan yang akan disetujui oleh semua responden, atau
sebaliknya;
6.
Pilihlah pernyataan-pernyataan yang dianggap mewakili isi keseluruhan skala
sikap yang akan dievaluasi;
7.
Pernyataan yang disajikan diusahakan singkat;
8.
Susunlah pernyataan dalam bahasa yang sederhana, jelas, dan langsung pada
pokok masalah;
9.
Hindarkanlah kata-kata yang sifatnya universal, seperti semua, setiap, selalu,
tak satu pun, atau tak pernah sehingga tidak menimbulkan keraguan;
10. Hati-hati menuliskan pernyataan dengan menggunakan kata “hanya”, dan
sejenisnya;
11. Tiap pernyataan diusahakan hanya memuat satu pokok pikiran;
12. Usahakan menyusun pernyataan dengan kalimat tunggal;
17
13. Gunakan kata-kata yang sudah banyak dikenal (familiar) agar tidak menyesatkan; dan
14. Hindarkan menggunakan pernyataan yang mengandung kata negatif lebih
dari satu kali.
Pada penelitian ini, keyakinan matematis siswa yang akan diteliti mencakup 4
aspek belief, yaitu keyakinan siswa terhadap karakteristik matematika, keyakinan
siswa terhadap kemampuan diri sendiri, keyakinan siswa terhadap proses
pembelajaran, dan keyakinan siswa terhadap kegunaan matematika dengan
indikator belief yang dikembangkan sebagai berikut:
Tabel 2.1 Indikator Belief terhadap Matematika
NO
DIMENSI
1
Keyakinan
siswa
terhadap
karakteristik
matematika.
INDIKATOR
1. Matematika dipandang sebagai ilmu yang abstrak dan
penuh rumus.
2. Matematika dipandang sebagai ilmu yang terbentuk
dari proses penalaran.
3. Matematika dipandang sebagai ilmu berpikir logis,
kritis, dan kreatif.
2
3
4.
Keyakinan
siswa
terhadap
kemampuan
diri sendiri.
Keyakinan
siswa dalam
mengikuti
proses
pembelajaran
matematika.
Keyakinan
siswa
terhadap
kegunaan
matematika.
4. Pandangan siswa terhadap kemampuan matematika
yang dimilikinya.
5. Pandangan tentang kelebihan dan kekurangan yang
dimiliki siswa pada matematika.
6. Pandangan siswa terhadap proses pembelajaran
matematika yang ideal.
7. Pandangan siswa terhadap keberhasilan proses
pembelajaran matematika.
8. Pandangan siswa terhadap kendala yang dapat
mempengaruhi keberhasilan prosses pembelajaran
matematika.
9. Pandangan siswa terhadap kegunaan matematika
dalam kehidupan sehari-hari.
10. Pandangan siswa terhadap kegunaan matematika
dalam bidang ilmu lain.
18
2.
Pemecahan Masalah
Kemampuan pemecahan masalah adalah suatu tindakan untuk menyelesaikan
masalah atau proses yang menggunakan kekuatan dan manfaat matematika dalam
menyelesaikan masalah, yang juga merupakan metode penemuan solusi melalui
tahap-tahap pemecahan masalah. Bisa juga dikatakan bahwa pemecahan masalah
sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan. Masalah timbul karena
adanya suatu kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan kenyataan, antara
apa yang dimiliki dengan apa yang dibutuhkan, antara apa yang telah diketahui
yang berhubungan dengan masalah tertentu dengan apa yang ingin diketahui.
Kesenjangan itu perlu segera diatasi.
Proses mengenai bagaimana mengatasi
kesenjangan ini disebut sebagai proses memecahkan masalah.
Masalah dalam pembelajaran matematika merupakan pertanyaan yang harus
dijawab atau direspon. Namun tidak semua pertanyaan otomatis akan menjadi
masalah. Cooney (Shadiq, 2004: 10) mengungkapkan bahwa suatu pertanyaan
akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu
tantangan (challenge) yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin
(routine procedure) yang sudah diketahui oleh si pelaku.
Menurut Nasution (2008: 170) pemecahan masalah merupakan perluasan yang
wajar dari belajar aturan. Dalam pemecahan masalah prosesnya terutama letak
dalam diri pelajar. Variabel dari luar hanya berupakan instruksi verbal yang
membantu
atau membimbing pelajar untuk
memecahkan masalah itu.
Memecahkan masalah dapat dipandang sebagai proses dimana pelajar
menemukan kombinasi aturan-aturan yang telah dipelajarinya lebih dahulu yang
19
digunakannya untuk memecahkan masalah yang baru.
Namun memecahkan
masalah tidak sekedar menerapkan aturan-aturan yang diketahui, akan tetapi juga
menghasilkan pelajaran baru.
Studi Carpenter (Fauzi, 2013) menunjukkan bahwa penggunaan kalimat dalam
soal matematika merupakan hal yang mempengaruhi kesulitan siswa untuk
menyelesaikannnya. Turmudi (2008: 2) mengatakan bahwa pemecahan masalah
dalam matematika melibatkan metode dan cara penyelesaian yang tidak standar
dan tidak diketahui sebelumnya.
Sementara itu, Bagby (2009: 38)
mengemukakan bahwa pemecahan masalah dapat membuat siswa menggunakan
apa yang mereka tahu untuk mencapai suatu tujuan ketika tidak ditemukan solusi
yang nyata.
Oleh karena itu, siswa harus sering dilatih untuk menggunakan
kemampuan pemecahan masalahnya melaui penugasan dalam pembelajaran
matematika di kelas.
Untuk menyelesaikan setiap penugasan atau pertanyaan yang berbentuk pemecahan masalah, Polya (1973: 5-6) mengemukakan empat fase utama dalam pemecahan masalah yaitu :
1. understanding the problem, yaitu kita harus mampu melihat dengan jelas apa
saja yang dibutuhkan.
2. devising a plan, yaitu kita harus mampu melihat hubungan berbagai data dan
bagaimana hal-hal yang tak diketahui berhubungan dengan data.
3. carrying out the plan, yakni melaksanakan rencana yang telah disusun.
4. looking back, yakni melihat solusi yang kita munculkan, me-review-nya dan
mendiskusikannya.
20
Pemecahan masalah sebagai salah satu aspek kemampuan berpikir tingkat tinggi.
Polya menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan suatu tingkat aktivitas
intelektual yang sangat tinggi.
Pemecahan masalah adalah suatu aktivitas
intelektual untuk mencari penyelesaiaan masalah yang dihadapi dengan
menggunakan bekal pengetahuan yang sudah dimiliki.
Pendapat tersebut
didukung oleh pernyataan Branca (Sumarmo, 1994: 8) bahwa kemampuan
pemecahan masalah merupakan tujuan umum dalam perkuliahan matematika,
bahkan sebagai jantungnya matematika, artinya kemampuan pemecahan masalah
merupakan kemampuan dasar dalam kuliah matematika
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan
pemecahan masalah matematika adalah kecakapan atau potensi yang dimiliki
seseorang atau siswa dalam menyelesaikan soal cerita, menyelesaikan soal yang
tidak rutin, mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari atau
keadaan lain, dan membuktikan atau menciptakan atau menguji konjektur.
3.
Pendekatan Kontekstual
Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang
kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang
terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi,
menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan
teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis
pendekatan, yaitu; (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat
pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang
berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach).
21
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) merupakan
suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk
memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan
materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi,
sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/keterampilan yang
secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan (konteks) ke
permasalahan (konteks) lainnya.
Pembelajaran Kontekstual merupakan suatu
konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan
masyarakat. Dengan konsep ini, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna
bagi siswa.
Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya.
Guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas
guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan
sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari
menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru di kelas yang
dikelola dengan pendekatan kontekstual.
Pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan kontekstual bertujuan agar pembelajaran berjalan lebih produktif dan
bermakna. Pendekatan kontekstual dapat dilaksanakan tanpa harus mengubah
kurikulum atau tatanan yang ada.
Dalam pendekatan kontekstual, pembelajaran dimulai atau dikaitkan dengan dunia
nyata, diawali dengan bercerita atau tanya-jawab lisan tentang kondisi aktual
22
dalam kehidupan siswa, kemudian diarahkan dengan informasi melalui modeling
agar siswa termotivasi, questioning agar siswa berpikir, constructivism agar siswa
membangun pengertian, inquiry agar siswa dapat menemukan konsep dengan
bimbingan guru, learning community agar siswa dapat dan terbiasa berkolaborasi
dan berkomunikasi berbagai pengetahuan dan pengalaman, reflection agar siswa
dapat mengulang kembali pengalaman belajarnya untuk koreksi dan revisi, serta
authentic assessment agar asesmen yang diberikan menjadi sangat objektif.
Pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual memperhatikan tujuh
komponen utama pembelajaran efektif, yakni sebagai berikut.
1.
Konstruktivisme (Constructivism)
Pembentukan pengetahuan menurut model konstruktivisme Piaget (dalam
Kartikasarie, 2008: 8) memandang subyek aktif menciptakan strukturstruktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Melalui bantuan
struktur kognitif ini, subyek menyusun pengertian realitasnya.
Interaksi
kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif
yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus
diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang
sedang berubah.
Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus
melalui proses rekonstruksi.
Selanjutnya Wilantra (Kartikasarie, 2008: 9) menungkapkan pengetahuan
dalam konstruktivisme tidak dibatasi pada pengetahuan yang logis dan
tinggi. Pengetahuan di sini juga dapat mengacu pada pembentukan gagasan,
gambaran, pandangan akan sesuatu atau gejala sederhana.
Dalam
23
konstruktivisme, pengalaman dan lingkungan kadang punya arti lain dengan
arti sehari-hari. Pengalaman tidak harus pengalaman fisis seseorang seperti
melihat, merasakan dengan inderanya, tetapi dapat pula pengalaman mental
yaitu berinteraksi secara pikiran dengan suatu obyek.
2.
Inkuiri (Inquiry)
Inkuiri adalah metode penemuan (terbimbing) dengan maksud untuk
mengembangkan
kemampuan
pemahaman,
penalaran,
eksplorasi,
identifikasi, dan generalisasi. Biasanya metode penemuan dilakukan dengan
diawali contoh-contoh kemudian diidentifikasi pola yang sesuai dan
kemudian dikonstruksi generalisasinya.
Inkuiri menurut (Wahyu, 2007: 13) merupakan cara siswa dalam menemukan
sesuatu yang baru menurut mereka. Pada dasarnya proses inkuiri merupakan
proses menemukan kembali, karena sesuatu yang ditemukan itu merupakan
hal yang telah ada sebelumnya. Namun dalam inkuiri juga tidak menutup
kemungkinan terjadi penemuan baru yang belum diketahui sebelumnya.
3.
Bertanya (Questioning)
Bertanya merupakan strategi utama dalam pendekatan kontekstual. Bertanya
dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong,
membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Dalam pembelajaran,
kegiatan bertanya berguna untuk menggali informasi, baik administrasi
maupun akademis, mengecek pemahaman siswa, membangkitkan respon
siswa, mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa, mengetahui hal-hal
yang sudah diketahui siswa, memfokuskan perhatian pada sesuatu yang
24
dikehendaki guru, merangsang pertanyaan dari siswa, menyegarkan kembali
pengetahuan siswa.
4.
Masyarakat belajar (Learning Community)
Konsep masyarakat belajar menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh
dari hasil kerjasama dengan orang lain. Masyarakat belajar didasarkan pada
adanya asumsi bahwa manusia adalah makhluk sosial, dimana setiap individu
membutuhkan bantuan orang lain.
Dengan adanya saling membantu ini,
diharapkan siswa dapat saling membelajarkan. Siswa yang tidak bisa dapat
meminta bantuan kepada siswa yang bisa.
Masyarakat belajar dalam pembelajaran dapat terwujud melalui;
(1)
pembentukan kelompok besar atau kecil, (2) kedatangan ahli ke kelas (jika
diperlukan), (3) bekerja dalam kelas sederajat, (4) bekerja kelompok dengan
kelas di atasnya, (5) bekerja dengan masyarakat.
5.
Pemodelan (Modeling)
Dalam pembelajaran konsep atau topik tertentu, diperlukan adanya model
untuk ditiru. Model ini bisa berupa cara untuk mengoperasikan sesuatu, cara
menyelesaikan soal, dan sebagainya. Dengan cara demikian, guru memberi
model “bagaimana cara belajar”.
Dalam matematika, salah satu contoh
pemodelan
guru
adalah
memperagakan
bagaimana
bagaimana
menyelesaikan
langkah-langkah
yang
soal.
ditempuh
Guru
dalam
menyelesaikan suatu soal dengan baik. Selain guru, teman atau pihak lain
pun bisa dijadikan sebagai model.
25
6.
Refleksi (Reflection)
Refleksi merupakan cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau
berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan atau tidak
dilakukan.
Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas yang
dilakukan atau pengetahuan yang baru diterima. Misalkan setelah pelajaran
berakhir, siswa merenung “Jika demikian, cara yang saya lakukan selama
ini perlu diperbaiki” dan “Masih banyak hal yang perlu dibenahi” setelah
memperoleh pengetahuan baru. Refleksi dilakukan oleh siswa dan guru,
bertujuan untuk memperbaiki kesalahan dan mengembangkan apa yang telah
dikerjakan.
7.
Asesmen Otentik (Authentic Assessment)
Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru untuk
bisa memastikan bahwa siswa telah mengalami proses pembelajaran yang
benar. Dalam pembelajaran kontekstual, gambaran tentang kemajuan siswa
dilihat sejak awal pembelajaran, sepanjang proses pembelajaran, dan pada
akhir pembelajaran. Gambaran kemajuan belajar ini diketahui melalui
asesmen otentik. Data yang dikumpulkan pada asesmen otentik adalah data
yang diperoleh dari hasil kegiatan siswa selama proses pembelajaran
berlangsung dan hasil belajar siswa.
Dalam setiap kegiatan pembelajaran kontekstual, guru harus mengupayakan
ketujuh komponen tersebut dapat dilakukan oleh siswa, namun tetap disesuaikan
dengan karakteristik materi yang dibahas.
26
Menurut Sutardi dan Sudirjo (2007: 99), kelebihan pembelajaran dengan
pendekatan kontekstual adalah, “real world learning, mengutamakan pengalaman
nyata, berpikir tingkat tinggi, berpusat pada siswa, siswa aktif, kreatif,
pengetahuan diberi makna, dan keinginannya bukan mengajar tetapi belajar”.
Sedangkan kelemahan dari pendekatan pembelajaran kontekstual adalah orientasi
yang melibatkan aktivitas siswa sehingga guru harus memahami secara mendasar
tentang perbedaan potensi masing-masing individu dan pembelajaran ini
membutuhkan berbagai sarana dan media yang variatif. Menurut Sutardi dan
Sudirjo (2007: 100), kelemahan dari pendekatan pembelajaran ini antara lain:
Bagi guru, harus memiliki kemampuan untuk memahami secara mendalam
tentang konsep pembelajaran itu sendiri, potensi perbedaan individu siswa
di kelas, beberapa pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada
aktivitas siswa dan sarana, media, alat bantu serta kelengkapan
pembelajaran yang menunjang aktivitas siswa dalam belajar. Bagi siswa,
diperlukan inisiatif dan kreativitas dalam belajar, memiliki wawasan dan
pengetahuan yang memadai dari setiap mata pelajaran, adanya perubahan
sikap dalam menghadapi persoalan dan memiliki tanggung jawab yang
tinggi dalam menyelesaikan tugas-tugas.
Berdasarkan berdasarkan definisi pembelajaran kontekstual tersebut dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah pendekatan
dalam
pembelajaran yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan
dengan kehidupan nyata siswa sehari-hari, baik dalam lingkungan keluarga,
sekolah, masyarakat maupun warga negara, dengan tujuan untuk menemukan
makna materi tersebut bagi kehidupannya dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka.
27
4.
Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang selama ini sering
digunakan guru dalam proses pembelajaran. Dalam pembelajaran konvensional
kegiatan pembelajaran berpusat pada guru, pembelajaran cenderung pasif karena
interaksi siswa kurang sehingga siswa kurang mempunyai kesempatan untuk
mengembangkan kreativitas dan inisiatif dalam memahami suatu konsep yang
dipelajari.
Sukandi (2003: 8) mengatakan bahwa pembelajaran konvensional ditandai dengan
guru lebih banyak mengajarkan tentang konsep-konsep bukan kompetensi, tujuannya adalah siswa mengetahui sesuatu bukan mampu untuk melakukan sesuatu.
Hamalik (2004: 56) mengungkapkan bahwa pembelajaran nasional menitikberatkan pada pembelajaran klasikal, yaitu guru memberikan bahan yang sama, cara
yang sama, dan penilaian yang sama kepada siswa serta semua siswa dianggap
akan memperoleh hasil yang sama. Pernyataan ini membuktikan bahwa pembelajaran yang berpusat pada guru atau pembelajaran konvensional merupakan
pembelajaran yang paling banyak dipilih dan diterapkan oleh guru.
Pembelajaran konvensional dianggap sebagai pembelajaran yang paling efektif
karena metode ini merupakan metode yang paling murah dan mudah. Namun,
pembelajaran ini memiliki kelemahan yaitu pengetahuan siswa hanya terbatas pada apa yang disampaikan dan diketahui oleh guru. Kegiatan penyampaian materi
oleh guru dapat membuat siswa cepat bosan sehingga perhatian mereka tidak
terfokus pada pelajaran lagi.
Terlebih soal-soal yang diberikan guru hanya
28
bersifat rutin, bukan soal-soal yang berupa soal pemecahan masalah. Dengan
demikian, siswa kurang berperan aktif dalam proses pembelajaran.
Pembelajaran konvensional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pembelajaran yang biasa dilakukan di sekolah yang akan diteliti. Pembelajaran ini biasanya dilakukan dengan penyampaian materi oleh guru, siswa mendengarkan dan
mencatat penjelasan materi dari guru, siswa diberi contoh soal dan penyelesaian
lalu siswa diberi tugas untuk mengerjakan soal-soal latihan.
B. Kerangka Pikir
Pada pembelajaran matematika mengkonstruksi pengetahuan, memecahkan
persoalan matematika, dan mengerjakan tugas merupakan tiga aspek yang
mempengaruhi kepercayaan matematika dan kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa. Oleh karena itu, pendekatan kontekstual diimplementasikan
oleh para guru dalam proses pembelajaran di sekolah.
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) merupakan
suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk
memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan
materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari sehingga siswa
memiliki pengetahuan/keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan dari
satu permasalahan (konteks) ke permasalahan (konteks) lainnya. Dalam kelas
kontekstual, tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama
untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa).
Beberapa
komponen utama dalam pembelajaran kontekstual, yaitu konsep keterkaitkan
29
(relating), konsep pengalaman langsung (experiencing), konsep aplikasi
(applying), konsep kerja sama (cooperating), konsep pengaturan diri (self
regulating), dan konsep penilaian autentik (authentic assessment).
Komponen yang pertama yaitu konsep keterkaitkan (relating).
Strategi ini
digunakan untuk mengaitkan konsep baru dengan pengetahuan yang dimiliki oleh
siswa untuk memecahkan suatu permasalahan matematika. Dalam proses ini
siswa akan mengembangkan aspek keyakinan terhadap kemampuan dirinya
sendiri.
Komponen
yang kedua
yaitu
konsep
pengalaman
langsung
(experiencing). Mengalami merupakan suatu proses belajar dimana siswa terlibat
secara langsung dalam proses pembelajaran. Belajar dapat terjadi lebih cepat
ketika siswa dapat memanipulasi peralatan dan bahan serta melakukan bentukbentuk penelitian yang aktif.
Komponen yang ketiga yaitu konsep aplikasi (applying). Siswa menerapkan suatu
konsep ketika ia malakukan kegiatan pemecahan masalah.
Guru dapat
memotivasi siswa dengan memberikam latihan yang realistik dan relevan.
Komponen yang keempat yaitu konsep kerja sama (cooperating). Siswa dapat
bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok,
membantu mereka memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan
saling berkomunikasi untuk memecahkan permasalahan matematika. Siswa yang
bekerja secara individu sering tidak membantu kemajuan yang signifikan.
Sebaliknya, siswa yang bekerja secara kelompok sering dapat mengatasi masalah
yang komplek dengan sedikit bantuan.
Pengalaman kerjasama tidak hanya
membantu siswa mempelajari bahan ajar, tetapi konsisten dengan dunia nyata.
30
Komponen yang kelima yaitu konsep pengaturan diri (self regulating).
Pembelajaran yang diatur sendiri, merupakan pembelajaran yang aktif, mandiri,
melibatkan kegiatan menghubungkan masalah ilmu dengan kehidupan sehari-hari
dengan cara-cara yang berarti bagi siswa. Pembelajaran yang diatur siswa sendiri,
memberi kebebasan kepada siswa menggunakan gaya belajarnya sendiri.
Komponen yang terakhir yaitu konsep penilaian autentik (authentic assessment).
Penilaian autentik menantang para siswa untuk menerapkan informasi dan
keterampilan akademik baru dalam situasi nyata untuk tujuan tertentu. Penilaian
autentik merupakan antitesis dari ujian standar, penilaian autentik memberi
kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan kemampuan terbaik mereka sambil
mempertunjukkan apa yang sudah mereka pelajari.
Fungsi pelaksanaan
komponen terakhir ini adalah untuk menghilangkan pengertian-pengertian siswa
yang keliru terhadap solusi masalah yang mereka temukan. Dengan demikin,
pada kegiatan ini siswa akan terbiasa untuk melakukan looking back terhadap
kinerja mereka sendiri.
Dengan melihat keseluruhan komponen-komponen Pendekatan Kontekstual,
nampak bahwa setiap indikator kemampuan pemecahan masalah yaitu: (1)
understanding the problem (memahami masalah), (2) devising a plan (menyusun
rencana), (3) carrying out the plan (menggunakan strategi pemecahan masalah),
dan (4) looking back (melihat kembali) akan berkembang secara maksimal.
Demikian pula dengan setiap indikator belief siswa terhadap matematika juga
akan berkembang secara maksimal.
31
Keempat indikator pemecahan masalah tersebut ternyata kurang dapat berkembang dalam pembelajaran konvensional. Pada pembelajaran konvensional, pembelajaran berpusat pada guru. Transfer pengetahuan terjadi dari guru langsung ke
siswa. Bahkan, jika siswa diberikan soal, soal-soal tersebut hanyalah berupa soalsoal rutin yang pada dasarnya bukan soal pemecahan masalah. Sehingga kemampuan pemecahan masalah siswa kurang berkembang dengan baik karena siswa kurang dilibatkan dalam proses pembelajaran yang menyajikan masalah.
Berbeda dengan pembelajaran matematika yang menggunakan pendekatan
kontekstual, pembelajaran matematika yang menggunakan model pembelajaran
konvensional tidak menuntut siswa belajar lebih aktif. Pembelajaran ini berpusat
pada guru sebagai pemberi informasi, sehingga siswa hanya pasif mendengarkan
semua materi pembelajaran yang guru sampaikan. Padahal dalam pembelajaran
yang baik siswa tidak hanya dituntut untuk menerima fakta-fakta yang diberikan,
namun siswa juga dituntut untuk berfikir mandiri.
Dalam pembelajaran konvensional, guru masih menggunakan metode ceramah
sebagai cara penyampaian materi yang masih sangat dominan di dalam kelas.
Melalui metode ceramah, guru menjelaskan pokok-pokok materi pembelajaran,
sehingga dalam waktu singkat materi dapat selesai diajarkan. Selain itu, kebiasaan
guru mendemonstrasikan solusi juga menyebabkan siswa cenderung merasa tidak
yakin apakah mereka mampu memahami dan menyelesaikan permasalahan
matematis yang ada. Dengan demikian, penerapan pembelajaran dengan
pendekatan
kontekstual
diharapkan
dapat
mengembangkan
kemampuan
pemecahan masalah matematis dan belief siswa dibandingkan dengan penerapan
32
pembelajaran konvensional, sehingga pendekatan kontekstual berpengaruh
terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis dan belief siswa SMP Negeri
2 Sekampung.
C.
1.
Anggapan Dasar Dan Hipotesis
Anggapan Dasar
Penelitian ini mempunyai anggapan dasar sebagai berikut.
a. Besar pengaruh faktor-faktor lain yang tidak diteliti pada tiap siswa
dianggap memiliki kontribusi yang sama.
b. Seluruh siswa kelas VIII SMP N 2 Sekampung selama ini memperoleh
materi pelajaran matematika yang sesuai dengan kurikulum yang berlaku.
2.
Hipotesis
Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini
adalah pendekatan kontekstual berpengaruh terhadap kemampuan pemecahan
masalah matematis dan belief siswa.
Download