Strategi pengembangan kinerja perizinan usaha

advertisement
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kapal dan Pengukuran
Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis apapun, yang
digerakkan dengan tenaga mekanik, tenaga angin, atau ditunda, termasuk
kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air serta
alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah (PP No.51 tahun
2002 tentang perkapalan). Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor PER 05/MEN/2008 menyebutkan kapal perikanan adalah kapal,
perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan
ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidaya ikan, pengangkutan
ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/eksplorasi perikanan.
Kapal penangkap ikan adalah kapal yang secara khusus dipergunakan untuk
menangkap ikan, termasuk menampung menyimpan, mendinginkan, dan/atau
mengawetkan.
Berdasarkan PP No. 51 Th 2002 bahwa setiap kapal yang digunakan untuk
berlayar wajib diukur. Surat ukur adalah surat kapal yang memuat ukuran dan
tonase kapal berdasarkan hasil pengukuran. Pengukuran kapal dapat dilakukan
menurut 3 (tiga) metode : a) pengukuran dalam negeri; b) pengukuran
internasional; c) pengukuran khusus. Metode pengukuran dalam negeri dilakukan
untuk pengukuran dan penentuan tonase kapal yang berukuran panjang kurang
dari 24 m (dua puluh empat meter). Metode pengukuran internasional dilakukan
untuk pengukuran dan penentuan tonase kapal yang berukuran panjang 24 m (dua
puluh empat meter) atau lebih.
Metode pengukuran khusus dilakukan untuk
pengukuran dan penentuan tonase kapal yang akan melewati terusan tertentu.
Purbayanto et al. (2004) menyebutkan bahwa pengukuran GT kapal baik secara
internasional maupun dalam negeri bukanlah merupakan hal yang mudah
dilakukan. Terlebih jika pengukurannya diterapkan secara langsung pada kapal.
Selain kesulitan-kesulitas teknis, pengukuran GT di lapang membutuhkan waktu
dan tingkat ketelitian yang tinggi.
7
PP No. 51 Th 2002 menyebutkan bahwa kapal yang telah diukur menurut
metode pengukuran internasional tidak dibenarkan diukur ulang dengan metode
pengukuran dalam negeri. Pengukuran kapal dilaksanakan oleh pejabat
Pemerintah yang telah memenuhi kualifikasi sebagai ahli ukur kapal. Kapal yang
telah diukur wajib dipasang tanda selar.
Pengukuran volume palka pada kapal ikan lebih mudah diterapkan jika
dibandingkan dengan pengukuran GT kapal. Pengukuran GT kapal sebagaimana
yang telah dijelaskan sebelumnya, meliputi pengukuran seluruh ruangan tertutup
yang berada di bawah maupun di atas geladak ukur. Pengukuran volume palka
adalah kegiatan pengukuran terhadap salah satu atau beberapa ruangan tertutup
(apabila palka lebih dari satu ruangan) yang berada di bawah geladak ukur kapal.
Selain lebih mudah, pengukuran volume palka tidak membutuhkan waktu lama
dibandingkan dengan pengukuran GT kapal (Purbayanto et al., 2004).
2.1.1 Tonase
Tonase kapal adalah volume kapal yang dinyatakan dalam tonase kotor
(gross tonnage/GT) dan tonase bersih (net tonnage/NT) (PP No.51 Th 2002).
Gross Register Tonnage (GRT) represents the total internal volume of a vessel,
with some exemptions for non-productive space such as crew quarters; 1 gross
register
ton
is
equal
to
a
volume
of
100
cubic
feet
(2,83
m3)
(http://en.wikipedea.org/wiki/Tonnage).
Tonase adalah kapasitas atau volume ruang kapal yang dinyatakan dalam
satuan meter kubik atau ton register, yang dihitung berdasarkan peraturan nasional
ataupun internasional. Tonase internasional adalah tonase kapal yang dihitung
berdasarkan peraturan yang ditetapkan berdasarkan peraturan yang ditetapkan
oleh Konvensi Internasional mengenai pengukuran tonase kapal tahun 1969.
Satuan yang dipakai dalam perhitungan adalah meter kubik atau gross ton
(disingkat GT). 1 GT = 100 kaki kubik = 2,83 meter kubik (Soegiono et al.,
2006).
Gross Tonnage (GT/isi kotor) kapal berdasarkan International Convention
on Tonnage Measurement of Ships 1969 (Konvensi Internasional Tentang
Pengukuran Kapal 1969) yang telah diratifikasi dengan Keppres No.5 Tahun 1989
8
tentang pengesahan International Convention on Tonnage Measurement of Ships
1969, adalah ukuran besarnya kapal secara keseluruhan dengan memperhitungkan
jumlah isi semua ruangan-ruangan tertutup baik yang terdapat di atas geladak
maupun di bawah geladak ukur (Purbayanto et al., 2004).
2.1.2 Volume Palka
Palka atau palkah adalah nama umum untuk ruangan di bawah geladak
yang dipakai untuk menyimpan muatan. Palka ikan adalah palka pada kapal
penangkap ikan yang dipergunakan untuk menyimpan ikan hasil tangkapan
sebelum dibawa ke pelabuhan, sedangkan palka umpan adalah palka yang
digunakan untuk menyimpan umpan pada kapal penangkap ikan (Soegiono et al.,
2006).
Berdasarkan bentuk palka, metode yang digunakan untuk mengukur
volume palka apabila palka berbentuk ruang segi empat adalah dengan
mengalikan panjang, lebar dan tinggi ruangan tersebut. Untuk bentuk palka yang
mengikuti bentuk badan kapal, pengukuran volume palka dapat dilakukan dengan
menggunakan Sympson’s Rules untuk menghitung luas penampang pada sisi
melintang palka kemudian dikalikan dengan panjang palka (searah panjang
kapal). Hasil pengukuran terhadap volume palka adalah dalam satuan meter
kubik (Purbayanto et al., 2004).
Selanjutnya Purbayanto et al. (2004) menyebutkan bahwa pengukuran
volume palka pada kapal ikan lebih mudah diterapkan jika dibandingkan dengan
pengukuran GT kapal. Pengukuran GT kapal sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya, meliputi pengukuran seluruh ruangan tertutup yang berada di bawah
maupun di atas geladak ukur.
Pengukuran volume palka adalah kegiatan
pengukuran terhadap salah satu atau beberapa ruangan tertutup (apabila palka
lebih dari satu ruangan) yang berada di bawah geladak ukur kapal. Selain lebih
mudah, pengukuran volume palka tidak membutuhkan waktu lama dibandingkan
dengan pengukuran GT kapal.
9
2.2 Pungutan Perikanan
Pungutan perikanan menjadi salah satu potensi ekonomi nasional sebagai
sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor kelautan dan
perikanan, sehingga hal ini perlu dikelola dan dimanfaatkan untuk menunjang
pembangunan nasional.
Pungutan perikanan dikenakan kepada nelayan,
perusahaan perikanan nasional murni, maupun dengan fasilitas PMDN dan PMA
yang melakukan usaha penangkapan ikan. Dalam implementasinya, pungutan
perikanan diperoleh melalui pengaturan perizinan kapal-kapal penangkap ikan
yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia oleh pemerintah dalam hal ini
Departemen Kelautan dan Perikanan (Purbayanto et al., 2004).
Pungutan perikanan dikenakan bagi perusahaan perikanan Indonesia dan
perusahaan perikanan asing.
Pungutan perikanan bagi perusahaan perikanan
Indonesia terdiri atas Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) dan Pungutan Hasil
Perikanan (PHP). Pungutan Perikanan yang dikenakan bagi perusahaan asing
adalah Pungutan Perikanan Asing (PP RI No 62 Tahun 2002).
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER 05/MEN/2008
mendefiniskan pungutan pengusahaan perikanan, yang selanjutnya disebut PPP,
adalah pungutan Negara yang dikenakan kepada perusahaan perikanan Indonesia
yang memperoleh SIUP dan SIKPI, sebagai imbalan atas kesempatan yang
diberikan oleh Pemerintah Indonesia untuk melakukan usaha perikanan dalam
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Pada PP RI No 62 tahun
2002, PPP dikenakan pada saat perusahaan perikanan Indonesia memperoleh Izin
Usaha Perikanan (IUP) baru atau perubahan, Alokasi Penangkapan Ikan
Penanaman Modal (APIPM) baru atau perubahan, atau Surat Izin Kapal Pengakut
Ikan (SIKPI) baru atau perpanjangan.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER 05/MEN/2008
mendefiniskan pungutan hasil perikanan, yang selanjutnya disebut PHP, adalah
pungutan Negara yang dikenakan kepada perusahaan perikanan yang melakukan
usaha penangkapan ikan sesuai dengan SIPI yang diperoleh. Pada PP RI No 62
tahun 2002, PHP dikenakan pada saat perusahaan perikanan Indonesia
memperoleh dan/atau memperpanjang Surat Penangkapan Ikan (SPI). Pungutan
10
Perikanan Asing dikenakan pada saat perusahaan perikanan asing memperoleh
atau memperpanjang Surat Penangkapan Ikan (SPI).
2.3 Sistem Perizinan Perikanan di Indonesia
Kewenangan perizinan kapal penangkap ikan juga diatur oleh pemerintah
berdasarkan besarnya kapal (gross tonnage, GT) dan/atau kekuatan mesin (daya
kuda, DK) dan daerah operasinya sebagaimana tercantum dalam PP 62 tahun
2002 pasal 8 yang menyebutkan bahwa pungutan perikanan dikenakan bagi
perusahaan perikanan Indonesia yang menggunakan kapal penangkap ikan dengan
bobot lebih besar dari 30 GT dan/atau yang mesinnya berkekuatan lebih besar dari
90 DK dan beroperasi di luar perairan 12 mil laut.
Selain itu, perusahaan
perikanan asing yang menggunakan kapal penangkap ikan dan mendapatkan izin
untuk beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) juga dikenakan
pungutan perikanan. Untuk perusahaan perikanan Indonesia yang menggunakan
kapal penangkap ikan dibawah kriteria di atas akan diatur oleh Pemerintah Daerah
setempat (Purbayanto et al., 2004) (Gambar 2).
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008
pasal 19 ayat (1) menyebutkan Menteri memberikan kewenangan kepada Direktur
Jenderal untuk menerbitkan dan/atau memperpanjang : a) SIUP, SIPI dan/atau
SIKPI kepada orang atau badan hukum Indonesia yang menggunakan kapal
dengan ukuran di atas 30 (tiga puluh) GT; b) SIUP, SIPI dan/atau SIKPI kepada
orang atau badan hukum Indonesia yang menggunakan tenaga kerja asing; dan
c) SIUP, SIPI dan/atau SIKPI di bidang penanaman modal kepada badan hukum
Indonesia yang melakukan kegiatan penangkapan ikan dan/atau pengangkutan
ikan dengan fasilitas penanaman modal.
11
Nelayan/Perusahaan
Perikanan Swasta
Nasional
tidak
Perusahaan Perikanan
Indonesia dengan fasilitas
PMDN/PMA
Alokasi Penangkapan
Ikan Penanaman Modal
(APIPM)
Kapal >=30GT
dan/atau mesin
kapal >=90DK?
Surat persetujuan
penanaman modal/
izin usaha
Pemohon
bayar PPP
Izin Usaha Perikanan (IUP)
Izin Usaha Perikanan (IUP)
Surat Penangkapan
Ikan (SPI) atau Surat
Izin Kapal
Pengangkut Ikan
(SIKPI)
Perusahaan
perikanan asing
Izin Usaha Perikanan (IUP)
Surat Penangkapan Ikan
(SPI) atau Surat Izin
Kapal Pengangkut Ikan
(SIKPI)
Pemohon
Bayar
PPA
Pemohon
Bayar
PHP
Kapal Penangkap Ikan
Beroperasi di luar 12 mil
laut dari garis pantai di
wilayah perairan Indonesia
memperpanjang
memperpanjang
1 tahun
Mengikuti PERDA yang ditetapkan
oleh PEMDA setempat
Gambar 2 Mekanisme perizinan kapal penangkap ikan di Indonesia.
(sumber : Purbayanto et al., 2004).
Pada pasal 21 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.05/MEN/2008 mengatur kewenangan Gubernur dan Bupati/Walikota pada
usaha perikanan. Pada ayat (1) disebutkan bahwa Gubernur diberikan kewenangan
untuk menerbitkan SIUP kepada orang atau badan hukum Indonesia yang
melakukan usaha perikanan, SIPI dan/atau SIKPI bagi kapal perikanan yang
12
berukuran di atas 10 (sepuluh) GT sampai dengan 30 (tiga puluh) GT kepada
orang atau badan hukum Indonesia yang berdomisili di wilayah administrasinya
dan beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan yang menjadi kewenangannya,
serta tidak menggunakan modal dan/atau tenaga kerja asing. Sedangkan pada ayat
(2) : Bupati/Walikota diberikan kewenangan untuk menerbitkan SIUP kepada
orang atau badan hukum Indonesia yang melakukan usaha perikanan, SIPI
dan/atau SIKPI bagi kapal perikanan yang berukuran 5 (lima) GT sampai dengan
10 (sepuluh) GT kepada orang atau badan hukum Indonesia yang berdomisili di
wilayah administrasinya dan beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan yang
menjadi kewenangannya, serta tidak menggunakan modal dan/atau tenaga kerja
asing.
13
Gambar 3 Flowchart penerbitan baru surat izin usaha perikanan (SIUP-I).
14
Gambar 4 Flowchart penerbitan baru surat izin usaha perikanan penanaman modal (SIUP-PM).
15
Gambar 5 Flowchart perluasan/perubahan/perpanjangan SIUP.
16
Gambar 6 Flowchart penerbitan baru surat izin penangkapan ikan/surat izin kapal pengangkut ikan (SIPI/SIKPI).
17
Gambar 7 Flowchart perpanjangan SIPI/SIKPI.
18
2.4 Balanced Scorecard
Terminologi Balanced Scorecard (BSC) pertama kali muncul pada tahun
1992 dalam artkel yang ditulis oleh Kaplan dan Norton di majalah Harvard
Business Review edisi Januari-Februari 1992.
Selanjutnya teori BSC telah
berkembang dengan pesat, dan pada tahun 1996 Kaplan dan Norton merevisi BSC
yang telah mereka bangun itu.
Di sana muncul istilah Strategy Map (Peta
Strategy). Strategy Map mempunyai hubungan sebab akibat di antara berbagai
sasaran strategis. Pembaruan yang terdapat pada revisi BSC tersebut yaitu fokus,
tujuan dan bidang penerapan. Mengenai fokus: BSC generasi pertama berfokus
pada pengukuran kinerja, sedangkan BSC generasi kedua berfokus pada
manajemen.
Mengenai tujuan : BSC generasi pertama bertujuan untuk
mengendalikan pelaksaan strategi, sedangkan BSC generasi kedua menekankan
komunikasi strategi. Mengenai bidang penerapan : BSC generasi pertama hanya
ditujukan untuk sektor swasta, sedangkan BSC generasi kedua lebih luas sampai
mencakup sektor publik (Luis dan Biromo, 2007).
Menurut Howard Rohm (www. balancedscorecard.org, 2002), langkahlangkah dalam perancangan dan pengimplementasian Balanced Scorecard adalah
sebagai berikut:
1) Langkah Pertama (Organizational Assessment)
Merupakan tahap penilaian dari dasar organisasi, kepercayaan inti, menjual
peluang, kompetisi, posisi keuangan, sasaran jangka pendek dan panjang serta
pemahaman yang membentuk sebuah kepuasan pelanggan. Dalam langkah ini
organisasi harus mengidentifikasi suatu nilai, baik kekuatan, kelemahan,
peluang dan ancaman organisasi (SWOT : strength, weakness, opportunity,
threats), yang dikembangkan, dibahas dan kemudian didokumentasikan.
Selain itu organisasi juga harus menetapkan jadwal untuk langkah-langkah
pengembangan, menjamin/mengamankan komitmen sumber daya diperlukan
untuk mengembangkan dan mendukung sistem balanced scorecard.
2) Langkah Kedua (Define Strategies)
Dalam organisasi yang lebih besar, terdapat beberapa tema yang strategis dan
dapat dikembangkan menjadi strategi bisnis yang spesifik, contoh dari tema
strategi yang spesifik untuk organisasi publik antara lain: membangun suatu
19
masyarakat yang kuat, meningkatkan pendidikan, langkah-langkah penetapan
Good Corporate Government (GCG) dan lain-lain.
Strategi
merupakan
hipotesis dari apakah yang kita pikirkan dan apa yang akan kita kerjakan
untuk mencapai sukses.
Langkah berikutnya adalah membangun basis untuk menguji apakah strategi
sedang bekerja, secara efektif dan efisien dalam menggerakkan daur hidup
organisasi supaya maju ke arah pencapaian tujuan dan sasaran organisasi.
3) Langkah Ketiga (Strategic Objective)
Tahapan ketiga yaitu menguraikan strategi bisnis ke dalam komponen yang
lebih spesifik/kecil. Sasaran yang dihasilkan adalah membangun dari bagian
strategi untuk menjadikan bisnis strategi yang lebih lengkap.
4) Langkah Keempat (Strategic Mapping)
Menciptakan peta strategi bisnis dari keseluruhan strategi dalam organisasi,
dalam hal ini harus ada pertalian antar komponen dalam strategi yang
dihubungkan dalam perspektif. Hubungan antar komponen strategi digunakan
untuk mengidentifikasi pengarah capaian kunci dari setiap strategi, sehingga
dapat terjalin hubungan yang saling ketergantungan antar masing-masing
perspektif.
5) Langkah Kelima (Performance Measure)
Pada tahapan ini, ukuran kinerja yang dikembangkan untuk menjaga
kemajuan-kemajuan operasional dan strategis, untuk pengembangan ukuran
kinerja
maka harus dipahami hasil yang diinginkan dengan proses yang
digunakan untuk berhasil dari perspektif eksternal dan internal.
Dalam pengukuran terdapat tiga model, yaitu : a) Model Logika (The Logic
Model) adalah sebuah model yang mengizinkan kita untuk menyelidiki
hubungan antar jenis ukuran dari input/masukan (masukan apa yang akan
menghasilkan nilai), proses (bagaimana kita mengubah bentuk masukan
menjadi produk barang atau jasa), output/keluaran (apa yang telah kita
hasilkan) Model ini menguatkan logika dari peta strategis dengan
menunjukkan hubungan di antara aktivitas yang menghasilkan keluaran;
Arus Proses (Process Flow),
b)
merupakan proses yang panjang dari suatu
kegiatan yang mengidentifikasi setiap pengukuran untuk menghasilkan
20
kualitas produk atau jasa yang lebih baik; c) Analisa sebab akibat (Causal
Analysis) adalah analisis yang mengidentifikasi penyebab proses pencapain
menjadi lebih baik. Dalam hal ini kita memulai efek dari hasil yang dicapai
kemudian mengidentifikasi semua penyebab yang berperan dalam pencapaian
hasil yang diinginkan.
Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan model logika (The Logic
Model) untuk menguatkan logika dari peta strategis dengan mempertunjukkan
hubungan di antara aktivitas yang menghasilkan hasil yang baik.
6) Langkah Keenam (Initiatives)
Inisiatif - inisiatif
baru
yang
dibentuk
untuk
mengidentifikasi dan
mengimplementasikan bahwa inisiatif itu berhasil, dalam hal ini inisiatif
yang dikembangkan pada ujung proses bangunan scorecard lebih strategis jika
dibandingkan dan dikembangkan secara teoritis.
7) Langkah Ketujuh (Automation)
Melibatkan dan mengotomatiskan scorecard yang terdiri dari pemilihan
pilihan perangkat lunak dan persyaratan pemakai untuk membuat pilihan
perangkat lunak paling hemat biaya untuk hari ini, sebagai titik temu
persyaratan pencapaian informasi perusahaan di masa yang akan datang.
8)
Langkah Kedelapan (Cascade Scorecard Support Strategy)
Cascading kartu catatan perusahaan/organisasi ke dalam seluruh organisasi ke
bisnis dan unit pendukung dan pada akhirnya jatuh kepada regu dan tiap-tiap
individu.
9)
Langkah Kesembilan (Evaluate and Change)
Dalam hal ini evaluasi keberhasilan dari pemilihan strategi bisnis yang telah
ditetapkan, diharapkan apakah dapat mencapai hasil yang baik, mengingat
strategi tersebut terbangun dan dibentuk pada langkah kedua
tahapan
rancangan dan implementasi scorecard yang mempunyai hipotesis bagaimana
sebuah organisasi dipercaya dapat menghasilkan value/nilai bagi para
konsumen dan stakeholder.
21
Aplikasi Balanced Scorecard
Balanced Scorecard sudah banyak diaplikasikan pada pengukuran kinerja
dan manajemen suatu organisasi. Bremser dan White (2001) meneliti tentang
pengarahan implementasi BSC pada organisasi. Hasil pendekatan yang dilakukan
menekankan praktek berdasarkan tim, kelompok fungsional dan aspek strategi
dari desain manajemen akuntansi pada beberapa tujuan pendidikan.
BSC juga dapat diterapkan pada organisasi pemerintah. Contoh penelitian
tersebut adalah Max Moulin yang menerapkan PSS (Public Sector Scorecard)
untuk meningkatkan performa pelayanan kesehatan (rumah sakit) yang diterbitkan
pada jurnal Nursing Management. PSS menawarkan cara yang luar biasa untuk
memastikan peningkatan pelayanan dan pengukuran kinerja berfokus pada hasil
yang penting pada pelayanan pengguna jasa, pasien dan stakeholder lain, di
samping proses yang menuju hasil, serta kebudayaan dan kemampuan organisasi
untuk memastikan bahwa hal tersebut mendukung staf mereka (Moulin, 2009).
Wing, Guo, Li dan Yang (2007) melakukan penelitian berjudul
Mengurangi Konflik pada Evaluasi Balanced Scorecard. Beberapa studi yang
muncul belakangan ini adalah tentang pengukuran kinerja non finansial, implikasi
kinerja dari strategi pengukuran kinerja pada perusahaan pelayanan keuangan,
bukti-bukti kecenderungan perusahaan menghadapi validitas hubungan sebab
akibat antara pengguna dan pengukuran hasil dari Balanced Scorecard dan
mengabaikan strategi hubungan kausal model bisnis. Kondisi ini mengakibatkan
konflik
antara
pengendali
dan
manajer
divisi,
dikarenakan
kegagalan
pendahulunya untuk mengevaluasi dan mempertimbangkan strategi yang efektif
dalam evaluasi kinerja. Hipotesis pada studi yang dilakukan Wing, Guo, Li dan
Yang menyebutkan bahwa aturan individu pada manager di tingkat atas tidak
dimasukkan ke dalam strategi efektif, kecuali secara eksplisit dibutuhkan untuk
dilakukan. Hasil penelitian yang dilakukan memberikan implikasi pada studi
evaluasi bias di Balanced Scorecard sebagaimana sistem pengukuran kinerja yang
lain dan menciptakan sarana untuk mengurangi konflik yang ada.
Download