BAB IV Hasil dan Pembahasan

advertisement
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan
Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan
jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki ukuran sebesar 10-24
GT yang lebih sering dioperasikan di daerah yang cukup jauh dari kawasan PPP
Labuan, sedangkan kapal dengan alat tangkap jaring rampus memiliki ukuran kapal
sebesar 2-3 GT lebih sering dioperasikan di daerah yang tidak terlalu jauh dari PPP
Labuan.
Gambar 5. Pemetaan partisipatif daerah penangkapan ikan kurisi di Perairan
Selat Sunda
Kedua alat tangkap ini memiliki lama trip atau lamanya penangkapan pun
berbeda. Nelayan dengan alat tangkap jaring rampus akan melakukan penangkapan
selama satu hari, sedangkan nelayan dengan alat tangkap cantrang sekali berangkat
lamanya adalah 3-4 hari. Selain itu yang membedakan kedua alat tangkap ini adalah
daerah penangkapan yang berbeda. Nelayan dengan alat tangkap jaring rampus
lebih banyak menangkap ikan di daerah Carita, Panimbang, Tanjung Lesung dan
Pulau Papole. Nelayan dengan menggunakan alat tangkap cantrang lebih banyak
23 menangkap di daerah Sumur, Panaitan, Rakata, Sebesi dan Leukecang (lihat Gambar
5).
Biasanya nelayan di TPI Labuan, setiap berangkat menangkap ikan, akan
melakukan penangkapan di daerah sama. Namun, jika di tempat tersebut tidak ada
ikan, maka nelayan akan pindah tempat ke suatu tempat dimana terdapat banyak
ikannya.
Jika pada musim paceklik dimana tidak terdapat ikan maka banyak
nelayan yang melakukan andon, yaitu nelayan berangkat melaut ke suatu daerah
dengan lama yang tidak ditentukan. Biasanya, nelayan melakukan andon ke daerah
Binuangen atau Lampung dengan lama yang tidak ditentukan biasanya selama 8-30
hari.
4.2. Komposisi Alat Tangkap
PPP Labuan merupakan salah satu PPP yang memiliki jumlah nelayan
terbanyak. PPP Labuan terdapat tiga TPI yang aktif yaitu TPI I untuk kapal-kapal
berukuran >24 GT dengan alat tangkap kursin, obor dan bagan. Selain itu terdapat
TPI II untuk kapal-kapal berukuran 10-24 GT dengan menggunakan alat tangkap
jaring rampus, cantrang, rawai dan payang. TPI III digunakan untuk mendaratkan
hasil tangkapan kapal perikanan berukuran 2-10 GT dengan alat tangkap arad dan
payang.
Gambar 6. Komposisi alat tangkap di PPP Labuan tahun 2011
PPP Labuan merupakan PPP dengan jumlah penduduk yang cukup banyak.
Sebagian besar penduduk Labuan merupakan nelayan, baik berasal dari Labuan itu
sendiri maupun penduduk pendatang dari luar Pulau Jawa. PPP Labuan memiliki
139 unit alat tangkap. Alat tangkap yang digunakan pun berbagai macam, seperti
24 terlihat pada Gambar 6, sehingga dapat disimpulkan bahwa nelayan Labuan lebih
banyak menggunakan jaring arad yaitu sebesar 27%, kemudian alat tangkap payang,
kursin, bagan, gardan, obor, rawe dan jaring. Dengan komposisi sebesar 13%, 11%,
10%, 9%, 10%, 12% dan 7%. Jaring arad merupakan alat tangkap yang lebih
banyak digunakan oleh nelayan PPP Labuan, kondisi alat tangkap arad adalah
indikasi sebagian besar nelayan Labuan adalah nelayan yang menangkap sehari (one
day fishing) kondisi nelayan Labuan yang memiliki tingkat keterbatasan biaya,
faktor lain karena biasanya nelayan jaring arad hanya melakukan penangkapan
selama satu hari saja (one day fishing), sehingga biaya yang dibutuhkan untuk modal
awal tidak terlalu banyak. Hal ini terjadi karena untuk satu kali melaut nelayan
membutuhkan modal untuk membeli keperluan melaut seperti es balok, bahan bakar,
air bersih dan persediaan makanan, untuk mendapatkan perbekalan maka
membutuhkan biaya yang cukup besar, sehingga banyak nelayan yang hanya
menggunakan alat tangkap arad dengan one day fishing sehingga biaya yang
digunakan lebih kecil.
4.3. Komposisi Hasil Tangkapan
Hasil penelitian pada TPI I Labuan, di dapatkan nelayan jaring rampus lebih
dominan menangkap Ikan Kurisi. Komposisi hasil tangkapan kurisi mencapai 29%
dari total tangkapan lainnya. Komposisi tangkapan seperti di sajikan pada Gambar
7.
Gambar 7. Komposisi hasil tangkapan yang didaratkan
di TPI I Labuan
25 Dari Gambar 7, dapat dilihat bahwa ikan dominan lainnya yang tertangkap dan
di daratkan di TPI I Labuan adalah ikan kurisi, kuniran, raja gantang, banyar dan
layur. Jika cuaca dan kondisi perairan baik, maka ikan kurisi dan ikan kuniran lebih
banyak tertangkap sedangkan untuk ikan layur hanya sedikit. Sebaliknya jika pada
musim paceklik ikan layur yang banyak tertangkap sedangkan ikan lainnya
tertangkap dalam jumlah yang sedikit bahkan tidak ada yang tertangkap sama sekali.
Komposisi tangkapan nelayan juga di pengaruhi oleh cuaca pada setiap
tahunnya. Hasil tangkapan juga digunakan oleh nelayan untuk mengindikasikan
kondisi perairan.
4.4. Produksi Harian Nelayan Cantrang
Dalam penelitian ini dilakukan analisis produksi harian dari empat orang
nelayan cantrang. Dalam menganalisis produksi harian ini diambil 6-10 kali trip
keberangkatan untuk masing-masing nelayan.
Gambar 8. Produksi dari 4 orang nelayan cantrang saat sampling
Dari Gambar 8, dapat dilihat bahwa produksi harian dari masing-masing
nelayan mengalami fluktuasi. Hasil tangkapan ikan kurisi oleh nelayan Mashuri
mengalami fluktuasi. Pada trip ke-5 merupakan trip dimana hasil tangkapan ikan
kurisi dalam jumlah yang paling besar selama 10 kali trip penangkapan yaitu sebesar
26 161,3 kg, sedangkan untuk hasil tangkapan ikan kurisi terendah selama 10 kali trip
terjadi pada trip ke-1 sebesar 23,8 kg. Hasil tangkapan ikan kurisi nelayan Terso
lebih besar daripada hasil tangkapan ikan kurisi nelayan Mashuri. Produksi terendah
terjadi pada trip ke-1 sebesar 53,4 kg, sedangkan produksi tertinggi selama 10 kali
trip terjadi pada trip ke-3 sebesar 170 kg. Nelayan Tohari merupakan salah satu
nelayan dengan alat tangkap cantrang yang lebih sering melaut. Selama 10 kali trip,
produksi terendah terjadi pada trip ke-9 sebesar 40 kg dan produksi tertinggi terjadi
pada trip ke-10 sebesar 95,8 kg. Berbeda dengan nelayan Tohari, pengambilan data
nelayan Anshori hanya dilakukan selama 5 kali trip penangkapan.
Produksi
tertinggi terjadi pada trip ke-10 yaitu sebesar 275 kg dan produksi terendah terjadi
pada trip ke-6 sebesar 53,4 kg.
Pada nelayan Anshori terlihat bahwa terjadi peningkatan hasil tangkapan,
karena pengambilan data hasil tangkapan ini berbeda dengan nelayan lain yang
diambil data hasil tangkapan selama 10 kali trip keberangkatan, namun kapal Mina
Bakti ini hanya dilakukan sebanyak 5 kali trip keberangkatan. Hal disebabkan
karena selang waktu dari trip pertama dan kedua dan seterusnya tidak dapat
ditentukan bahkan dapat mencapai satu bulan untuk pengecekan kapal dan alat
tangkap. Berbeda dengan kapal nelayan cantrang yang lain, biasanya memiliki
selang waktu dari trip satu ke trip lainnya selama 3-4 hari. Oleh karena itu, grafik
yang didapatkan pada nelayan Anshori mengalami peningkatan (lihat Gambar 8).
Dari Gambar 8, dapat disimpulkan bahwa nelayan Terso merupakan nelayan
dengan hasil tangkapan terbanyak dan nelayan Tohari memiliki hasil tangkapan
terendah selama 10 kali trip penangkapan ikan kurisi di Perairan Selat Sunda. Hal
ini dapat disebabkan karena kapal dari nelayan Terso memiliki ukuran kapal yang
lebih besar apabila dibandingkan dengan kapal yang dimilik oleh tiga nelayan
lainnya.
Keempat dari nelayan ini, secara relatif mengalami peningkatan hasil
tangkapan ikan kurisi. Pada Gambar 8, untuk keempat nelayan menggunakan model
eksponensial, sehingga terlihat produksi dari keempat nelayan mengalami
peningkatan secara relatif.
Produksi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Salah satu faktor yang
mempengaruhi produksi harian adalah cuaca, sehingga menyebabkan produksi
harian dari masing-masing nelayan tidak dapat ditentukan, karena biasanya jika
27 kondisi cuaca buruk maka hasil tangkapan nelayan sedikit. Sebaliknya jika cuaca
baik maka hasil tangkapan nelayan pun akan semakin banyak.
4.5. Hasil Tangkapan Per Upaya Tangkap
Di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan, ikan kurisi merupakan ikan
yang dominan ditangkap menggunakan alat tangkap cantrang.
Menurut hasil
wawancara dengan nelayan di PPP Labuan, ikan kurisi juga ditangkap oleh alat
tangkap selain cantrang yaitu jaring rampus. Pada penelitian ini, dikhususkan untuk
sumberdaya ikan kurisi yang ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang
dan jaring rampus. Berdasarkan data statistik perikanan Labuan alat tangkap ikan
kurisi yang dominan adalah cantrang dan jaring rampus.
Dengan melakukan
standarisasi alat tangkap, kedua alat tangkap ini dipilih untuk menentukan upaya
yang tepat. Hasil produksi dari alat tangkap yang telah distandarisasi disajikan pada
Lampiran 6. Data hasil tangkapan (catch), upaya penangkapan (effort) di Perairan
Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan menggunakan alat tangkap jaring
rampus dan cantrang dengan perahu motor 2-3 GT dan 10-24 GT, berdasarkan
Statistik Perikanan PPP Labuan dari tahun 2001-1011 disajikan pada Gambar 9. Hal
ini berbeda pada penelitian yang dilakukan oleh Sulistiyawati (2011) yang dilakukan
di Perairan Teluk Banten, dimana ikan kurisi ditangkap oleh alat tangkap dogol.
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Fitriyanti (2011) di Perairan Teluk Jakarta
dimana ikan kurisi ditangkap menggunakan alat tangkap dogol.
Dari Gambar 9, dapat dilihat bahwa hasil tangkapan ikan kurisi di PPP
Labuan, Banten mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Hasil tangkapan tertinggi
terjadi pada tahun 2002 yaitu sebesar 13.421,88 kg, sedangkan hasil tangkapan
terendah terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 7.626,00 kg. Dari tahun 2001 ke
tahun 2002 mengalami kenaikan sebesar 3.134,64 kg.
Kemudian mengalami
penurunan pada tahun 2006 sebesar 4.655,00 kg. Pada tahun pada tahun 2010
mengalami kenaikan menjadi sebesar 1.2740,16 kg dan kembali mengalami
penurunan pada tahun 2011 sebesar 4.844,00 kg dari tahun 2010.
Upaya
penangkapan ikan kurisi dari tahun ke tahun mengalami penurunan, namun dari
tahun 2001 ke tahun 2002 mengalami kenaikan sebesar 73 trip alat tangkap. Dari
28 tahun 2002 ke tahun 2006 mengalami penurunan yang cukup besar yaitu sebesar 291
trip alat tangkap, sedangkan dari tahun 2006 ke tahun 2010 mengalami penurunan
trip alat tangkap menjadi 153 trip, dan ke tahun 2011 terjadi penurunan yang tidak
terlalu besar yaitu sebesar 21 trip alat tangkap.
Gambar 9. Produksi dan upaya penangkapan ikan kurisi di PPP Labuan
Hasil tangkapan pada prinsipnya merupakan keluaran dari kegiatan
penangkapan atau effort. Hasil tangkapan ikan kurisi di Selat Sunda pada tahun
2001 sampai 2011 dapat dilihat pada Gambar 9. Berdasarkan Gambar 9, dapat
dilihat bahwa hasil tangkapan ikan kurisi mengalami fluktuasi. Pada tahun 2006 dan
2011, hasil tangkapan ikan kurisi mengalami penurunan. Penurunan hasil tangkapan
ini dapat disebabkan oleh faktor cuaca, misalnya pada saat keberadaaan ikan kurisi
yang melimpah, di daerah penangkapan tersebut terjadi gelombang laut tinggi
menyebabkan nelayan tidak melaut dan menyebabkan jumlah hasil tangkapan ikan
kurisi berkurang. Pada tahun 2002 dan 2010 terjadi peningkatan hasil tangkapan
dari tahun-tahun sebelumnya, hal ini dapat disebabkan karena sumberdaya tersebut
sudah pulih kembali sehingga produksi ikan kurisi meningkat.
Peningkatan hasil tangkapan ikan kurisi juga dapat disebabkan oleh upaya
penangkapan yang meningkat sehingga daerah penangkapannya pun meluas dari
sebelumnya. Menurut Widodo dan Suadi (2006), laju produksi sangat bervariasi
karena faktor fluktuasi lingkungan, pemangsaan dan berbagai interaksi dengan
29 populasi lain.
Fluktuasi hasil tangkapan terjadi dikarenakan faktor lingkungan,
ekonomi dan nelayan.
Faktor lingkungan merupakan faktor umum yang
mempengaruhi hasil tangkapan ikan kurisi karena lingkungan memberikan pengaruh
yang langsung terhadap ikan kurisi. Contohnya, jika keadaan lingkungan perairan
yang buruk maka akan mempengaruhi kisaran ukuran ikan yang tertangkap dalam
kaitannya dengan ketersediaan makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan ikan.
Faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan ikan kurisi adalah jenis subtrat,
ketersediaan makanan dan pemangsaan.
Upaya penangkapan merupakan masukan dari kegiatan penangkapan. Upaya
penangkapan ikan kurisi di Selat Sunda terdiri dari 2 macam yaitu cantrang dan
jaring rampus. Ikan kurisi merupakan hasil tangkapan dominan bagi alat tangkap
cantrang dan jaring rampus.
Adapun kapal motor yang digunakan untuk alat
tangkap jaring rampus adalah 2-3 GT dengan operasi penangkapan selama satu hari
sedangkan untuk alat tangkap cantrang sebesar 10-24 GT dengan operasi
penangkapan selama 3-4 hari per trip atau keberangkatan.
Upaya penangkapan tahunan ikan kurisi dapat dilihat pada Gambar 9. Upaya
penangkapan mengalami peningkatan dan penurunan.
Hal ini terjadi karena
dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan ekonomi. Faktor lingkungan yang sangat
mempengaruhi adalah cuaca atau musim yang mempengaruhi operasi penangkapan
ikan. Faktor ekonomi meliputi kecenderungan nelayan dalam memperhitungkan
untung atau ruginya dalam melakukan operasi penangkapan ikan sehingga upaya
penangkapan terkadang mengalami peningkatan dan terkadang mengalami
penurunan. Pada tahun 2002 upaya penangkapan sebanyak 516 trip namun pada
tahun 2006 hingga 2011 mengalami penurunan, hal ini dapat diakibatkan karena
faktor ekonomi nelayan dan faktor ketersediaan ikan kurisi di alam yang berkurang
sehingga banyak nelayan yang beralih profesi.
Tangkapan per satuan upaya (CPUE) atau sering disebut dengan catch per unit
effort dapat menggambarkan suatu kelimpahan ikan di suatu wilayah. Menurut
Widodo dan Suadi (2006), kecenderungan kelimpahan relatif selang beberapa tahun
sering dapat diukur dengan menggunakan data hasil tangkapan per satuan upaya
yang diperoleh dari suatu perikanan atau dari penelitian penarikan contoh. Pola
30 sebaran hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) ikan kurisi dari tahun 2001 hingga
2011 ditampilkan pada Gambar 10.
Gambar 10. Hasil tangkapan per unit upaya
Dari Gambar 10, dapat dilihat bahwa CPUE ikan kurisi tiap tahunnya memiliki
fluktuasi yang berbeda-beda. Nilai CPUE tertinggi berada pada tahun 2010 sebesar
83, 27 kg/trip, sedangkan nilai CPUE terendah terjadi pada tahun 2001 yaitu sebesar
23,22 kg/trip.
Pada tahun 2001 hingga 2010 terjadi peningkatan, hal ini
menggambarkan pada masa tersebut kelimpahan ikan kurisi cukup banyak serta
merupakan musim penangkapan yang baik bagi nelayan. Nilai CPUE yang rendah
seperti pada tahun 2011 disebabkan karena kelimpahan ikan yang cenderung
menurun akibat sudah ditangkap pada tahun sebelumnya.
Dengan adanya data hasil tangkapan per unit penangkapan serta data upaya
penangkapan per tahun maka dapat dilakukan suatu analisis regresi untuk
mendapatkan tingkat produksi lestari atau maximum sustainable yield (MSY) serta
untuk mendapatkan upaya penangkapan yang optimal. Untuk itu diperlukan suatu
pendekatan, salah satunya pendekatan surplus produksi menggunakan model
Schaefer dan Fox yang sering digunakan.
31 Hubungan effort dan CPUE dengan pendekatan Schaefer dan Fox disajikan
pada Gambar 11 dan Gambar 12. Dimana pendekatan Schaefer merupakan hasil
regresi dari upaya penangkapan dengan hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE),
Gambar 11. Grafik hubungan effort dan CPUE dengan pendekatan Schaefer
Sedangkan grafik dengan menggunakan pendekatan Fox, dimana pendekatan Fox
merupakan hasil regresi dari upaya penangkapan dengan logaritma natural dari
CPUE. Grafik hubungan pendekatan Fox adalah sebagai berikut :
Gambar 12. Grafik hubungan effort dan Ln CPUE dengan pendekatan Fox
32 Dari hasil regresi yang dilakukan dengan pendekatan model Schaefer dan Fox
dapat diketahui nilai tangkapan lestari atau sering disebut dengan maximum
sustainable yield (MSY) dan upaya penangkapan optimal yang harus dilakukan
(lihat Tabel 2)
Tabel 2. Hasil dari pendekatan Schaefer dan Fox
Parameter
Schaefer
Fox
a
80,68
4,52
b
-0,12
0,00
r
0,69
0,81
R
68,90
80,80
Fmsy
342
500
MSY
13.790,81
16.875,33
Berdasarkan Tabel 2, maka dapat dilihat bahwa hasil hubungan regresi antara
effort per tahun dengan CPUE yang menggunakan model Schaefer dan Fox
didapatkan koefisien determinasi (R2) sebesar 68,90% dan 80,80%.
Koefisien
determinasi model Schaefer lebih kecil daripada koefisien determinasi model Fox.
Namun, model Schaefer yang digunakan untuk menggambarkan dinamika stok ikan
kurisi di Perairan Selat Sunda pada periode 2001-2011.
Potensi lestari merupakan suatu parameter pengelolaan yang dihasilkan dalam
pengkajian stok sumberdaya perikanan dan merupakan suatu unsur penunjang bagi
peluang pengembangan di suatu wilayah (Badrudin 1992 in Syamsiah 2010). Hasil
analisis model stok Schaefer memperoleh nilai upaya penangkapan optimum (fMSY)
sebesar 342 trip per tahun dengan jumlah tangkapan maksimum lestari (MSY)
sebesar 13.790,81 kg per tahun dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC)
sebesar 11.032,65 kg per tahun. Secara umum menunjukkan bahwa pemanfaatan
sumberdaya ikan kurisi di perairan Selat Sunda telah melebihi potensi lestarinya
(MSY) yang terjadi pada tahun 2001-2010. Selain itu, pada tahun 2011 produksi
ikan kurisi belum mencapai produksi lestari. TAC merupakan 80% dari nilai MSY,
sehingga berdasarkan Tabel 3, pada tahun 2002 dan 2006 produksi aktual sudah
33 melebihi produksi lestari berdasarkan model Schaefer. Upaya penangkapan ikan
kurisi dari tahun 2001 hingga 2006 telah melebihi upaya penangkapan optimum.
Penurunan hasil tangkapan terjadi karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan
faktor ekonomi nelayan (lihat Tabel 3).
Tabel 3. Produksi aktual rata-rata dan upaya aktual rata-rata sumberdaya ikan
kurisi di PPP Labuan
Tahun
produksi
aktual ratarata (kg)
upaya
aktual ratarata (trip)
2001
24.689,35
1.063
2002
32.212,50
1.238
2006
17.533,75
450
2010
19.110,24
230
2011
7.626,00
132
Fox
Fmsy
MSY
(trip) (kg/trip)
500
16.875,33
Schaefer
Fmsy
MSY
(trip) (kg/trip)
342
13.790,81
Menurut Widodo dan Suadi (2006) beberapa ciri yang dapat menjadi patokan
suatu perikanan sedang menuju kondisi upaya tangkap lebih adalah waktu melaut
menjadi lebih panjang dari biasanya, lokasi penangkapan menjadi lebih jauh, ukuran
mata jaring menjadi lebih kecil yang kemudian diikuti penurunan produktivitas
(hasil tangkapan per satuan upaya). Berdasarkan tangkapan per satuan upaya ikan
kurisi di PPP Labuan menunjukkan adanya trend (kecenderungan) yang menurun.
Analisis hasil tangkapan yang telah dilaksanakan di PPP Labuan terhadap
sumberdaya ikan kurisi diperoleh model Fox. Oleh karena itu, untuk pengelolaan
perikanan yang bersifat multispesies dengan alat tangkap yang sama digunakan
pendekatan Fox. Pertimbangannya, jika dalam pelaksanaannya digunakan upaya
penangkapan optimum dengan model Fox maka kelestarian sumberdaya ikan kurisi
akan terancam. Dapat disimpulkan bahwa ikan kurisi di Perairan Selat Sunda telah
mengalami overfishing dari tahun 2001 hingga 2010, sedangkan pada tahun 2011
hasil tangkapan ikan kurisi belum mencapai MSY sehingga pada tahun 2011 ikan
kurisi di Perairan Selat Sunda belum mengalami overfishing.
Hal ini dapat
disebabkan karena kondisi jumlah armada penangkapan di PPP Labuan dari tahun
ke tahun mengalami penurunan.
34 Berdasarkan Sulistiyawati (2011), ikan kurisi di Teluk Banten didapatkan
upaya penangkapan telah melebihi upaya penangkapan optimum, selain itu
berdasarkan hasil tangkapan ikan kurisi di Teluk Banten telah melebihi jumlah
tangkapan yang diperbolehkan sehingga disimpulkan bahwa ikan kurisi di Teluk
Banten telah mengalami overfishing.
4.6. Pola Musim Penangkapan Ikan Kurisi
Analisis pola musim penangkapan bertujuan untuk melihat musim atau waktu
penangkapan yang tepat bagi ikan kurisi sehingga dapat digunakan sebagai
pertimbangan dalam operasi penangkapan ikan. Analisis pola musim penangkapan
ikan kurisi di perairan selat sunda menggunakan metode rata-rata bergerak (moving
average) dengan menghitung nilai indeks musim penangkapan (IMP) pada setiap
bulannya. Hasil perhitungan pola musim penangkapan ikan kurisi dapat dilihat pada
Lampiran 6. Pergerakan nilai IMP ikan kurisi dapat dilihat pada Gambar 13.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pola musim penangkapan ikan adalah cuaca
dan iklim pada suatu daerah.
Menurut Nuraini (2004) in Sulistiyawati (2011)
menyatakan bahwa cuaca yang buruk biasanya akan mempengaruhi tingkah laku
ikan kurisi yang akan migrasi ke tempat yang lebih dalam. Oleh karena itu ketika
cuaca buruk biasanya banyak nelayan yang tidak melaut, beberapa nelayan tetap
melaut dengan hasil tangkapan yang tidak maksimal artinya hasil tangkapan ikan
kurisi hanya sedikit.
Pola musim yang berlangsung di suatu perairan sangat
dipengaruhi oleh pola arus dimana terjadi interaksi antara udara dan laut (Nontji
1987 in Sulistyawati 2011).
35 Gambar 13. Nilai rata-rata indeks musim penangkapan ikan kurisi
Berdasarkan Gambar 13, pergerakan nilai IMP ikan kurisi mengalami
kenaikan dari bulan Juli ke bulan Agustus, kemudian mengalami penurunan dari
bulan Agustus sampai bulan Oktober, dan mengalami kenaikan kembali pada bulan
November. Kemudian mengalami penurunan yang besar pada bulan November
sampai Januari, lalu mulai mengalami kenaikan kembali sampai bulan Mei. Dari
bulai Mei sampai Juni mengalami penurunan kembali. Nilai IMP tertinggi terdapat
pada bulan Agustus yaitu sebesar 154,45 % dan nilai IMP terendah pada bulan
Januari sebesar 25,83 %.
Analisis pola musim penangkapan bertujuan untuk melihat musim atau waktu
penangkapan ikan kurisi yang tepat, sehingga dapat digunakan sebagai
pertimbangan dalam operasi penangkapan ikan. Indeks musim penangkapan ikan
kurisi dihitung dengan memakai data tangkapan per satuan upaya bulanan ikan
kurisi dari Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan. Data bulanan tersebut
kemudian diurutkan dari tahun 2001 sampai 2011 kemudian dihitung menggunakan
metode rata-rata bergerak dan setelah itu dilakukan perhitungan dengan prosedur
yang berlaku.
Kriteria yang dipakai untuk menentukan musim penangkapan ikan kurisi
adalah jika nilai indeks musim penangkapan (IMP) lebih besar dari 100%,
sedangkan jika nilai kurang dari 100% maka bukan musim penangkapan ikan. Nilai
indeks musim penangkapan juga mengidentifikasikan kehadiran ikan di perairan
36 tersebut. Jika nilai IMP lebih dari 100% maka kehadiran ikan di perairan tersebut
cukup melimpah dibandingkan kondisi normal. Apabila nilai IMP dibawah 100%
maka jumlah ikan dibawah kondisi normal.
diketahui pola musim paceklik.
Selain musim penangkapan, dapat
Musim paceklik ditentukan apabila nilai IMP
kurang dari 50%. Berdasarkan Gambar 13, musim penangkapan ikan kurisi adalah
pada bulan Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober dan November dengan nilai
IMP masing-masing sebesar 123,14%, 106,50%, 119,05%, 154,45%, 149,02%,
120,65% dan 131,06%. selain itu, pada bulan Febuari, Maret, April dan Desember
diduga bukan merupakan musim penangkapan ikan kurisi karena nilai IMP yang
dibawah 100%, sedangkan pada bulan Januari merupakan musim paceklik dimana
nilai IMP kurang dari 50%.
Menurut Nontji (2007) in Yuwana (2011), angin yang berhembus di Perairan
Indonesia terutama angin musim (moonsoon) yang dalam setahun terjadi dua kali
pembalikan arah yang mantap masing-masing disebut dengan angin musim barat
dan musim timur, sedangkan diantara dua kali perubahan musim tersebut terdapat
juga dua kali musim peralihan yaitu musim peralihan Barat-Timur dan musim
peralihan Timur-Barat. Bulan Desember, Januari dan Febuari adalah musim angin
di belahan bumi bagian utara dan musim panas di belahan bumi bagian selatan.
Pada saat itu, terjadilah pusat tekanan tinggi di atas daratan Asia dan pusat tekanan
rendah di atas daratan Australia. Keadaan ini menyebabkan angin berhembus dari
Asian menuju Australia, yang di Indonesia umumnya dikenal sebagai angin musim
barat (West Moonsoon). Sebaliknya pada bulan Juli hingga Agustus, terjadi pada
pusat tekanan tinggi di atas daratan Australia dan pusat tekanan rendah di atas
daratan Asia hingga Indonesia berhembuslah Angin Musim Timur (East Moonsoon).
Dalam bulan Maret, angin barat masih berhembus tetapi kecepatannya berkurang,
dalam bulan April dan Mei arah angin sudah tidak menentu dan periode ini dikenal
sebagai musim pancaroba. Demikian pula yang terjadi dalam bulan Oktober dan
November arah angin tidak menentu dan periode ini dikenal sebagai musim
pancaroba akhir tahun. Apabila dikaitkan dengan musim perairan di Indonesia,
maka musim penangkapan ikan kurisi di Selat Sunda terjadi empat musim yaitu
musim timur, musim barat, musim pancaroba awal dan musim pancaroba akhir.
37 Berdasarkan hasil wawancara nelayan Labuan, beberapa nelayan menyatakan
bahwa pada bulan Januari merupakan musim dimana hasil tangkapan ikan dalam
jumlah yang sedikit. Pada bulan Febuari hingga bulan Agustus merupakan musim
dimana hasil tangkapan nelayan dalam jumlah yang besar.
Namun, beberapa
nelayan menyatakan bahwa musim penangkapan berawal dari bulan Januari hingga
Agustus, hal ini dapat disebabkan karena pada tahun tersebut, kondisi cuaca dan
kondisi perairan tidak dapat diprediksi sehingga hasil tangkapan nelayan pun tidak
dapat ditentukan.
Apabila pola musim penangkapan ikan kurisi dikaitkan dengan daerah
penangkapan ikan kurisi maka didapatkan bahwa pada musim panen dan musim
paceklik didapatkan bahwa nelayan menangkap ikan kurisi di daerah yang sama.
Namun, hal yang berbeda adalah pada saat musim paceklik. Pada musim paceklik
nelayan menangkap ikan di daerah yang berbeda dan cukup jauh dari PPP Labuan.
Nelayan Labuan melakukan andon, yaitu menangkap ikan di daerah yang cukup
jauh dengan lama waktu yang tidak ditentukan biasanya 10 hingga 30 hari lamanya
(lihat Tabel 4).
Tabel 4. Matriks hubungan musim dengan daerah penangkapan
Daerah Rakata Panaitan Binuangeun Tanjung Lesung Carita Papole Sebesi Leukeucang Lampung 1
2
3
4 5
Bulan 6 7 8
musim tangkapan
musim paceklik
musim sedang
9
10
11 12 38 Jika dilihat dari Tabel 4, terlihat bahwa pada musim paceklik banyak nelayan
yang menjadi andon ke daerah Perairan Lampung, Binuangeun selama 8-30 hari.
Pada musim sedang dan musin panen nelayan menangkap di daerah yang sama,
yang membedakan hanyalah hasil produksinya. Hasil produksi pada musim panen
akan lebih banyak daripada hasil produksi pada musim sedang.
4.7. Analisis CPUE dan RPUE
Prediksi keuntungan ekonomi tidak dapat dihitung secara langsung tetapi
dapat diestimasi melalui perhitungan pendapatan per trip upaya (RPUE). Adapun
untuk dapat mendapatkan nilai pendapatan per trip upaya (RPUE) menggunakan
data catch per unit effort (CPUE) per trip dan menggunakan data harga. Data CPUE
yang digunakan adalah data hasil tangkapan nelayan per trip, dimana diambil contoh
responden nelayan dengan alat tangkap cantrang sebanyak 4 orang nelayan dengan
10 kali keberangkatan. Keuntungan ekonomi per trip dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Keterkaitan antara CPUE dan RPUE
Untuk mengestimasi keuntungan ekonomi menggunakan data hasil tangkapan
selama 10 kali trip yang diambil dari beberapa contoh nelayan PPP Labuan. PPP
Labuan, memilik 6 kapal Cantrang yang aktif yang dimiliki oleh empat orang
nelayan. Adapun data harian yang diambil diambil per trip, dikarenakan untuk
39 nelayan cantrang melaut selama 3-4 hari/trip. Dari Gambar 14, dapat dilihat bahwa
keuntungan ekonomi per trip mengalami fluktuasi. Pada tanggal 01 April 2012
dengan keuntungan ekonomi terbesar yaitu sebesar Rp. 3.489.885,00 sedangkan
keuntungan ekonomi terendah terjadi pada tanggal 6 Febuari 2012 dengan
keuntungan sebesar Rp. 380.000,00.
Jika sumberdaya ikan memiliki CPUE dan RPUE berbanding terbalik dimana
ketika CPUE tinggi maka keuntungan ekonomi rendah, sebaliknya jika CPUE
rendah maka keuntungan ekonomi yang didapatkan akan tinggi. Hal ini dapat
diartikan bahwa sumberdaya ikan tersebut bersifat tidak responsif, artinya harga
sumberdaya ikan tersebut dipengaruhi oleh harga pasar. Namun, dari Gambar 14,
maka dapat dilihat bahwa hubungan hasil tangkapan per satuan upaya dengan
keuntungan ekonomi tidak berbeda jauh. Penerimaan ekonomi dan hasil tangkapan
per unit upaya penangkapan ikan kurisi berbanding lurus, artinya ikan kurisi bersifat
tidak responsif dimana harga ikan kurisi tidak dipengaruhi oleh harga pasar. CPUE
dan RPUE berbanding lurus disebabkan karena untuk mendapatkan nilai RPUE
didapatkan dari perkalian CPUE dan harga ikan kurisi. Harga ikan kurisi yang
relatif stabil, sehingga menyebabkan CPUE dan RPUE berbanding lurus.
4.8. Alternatif Pengelolaan Ikan Kurisi di Selat Sunda
Menurut FAO (1997) in Widodo dan Suadi (2006), pengelolaan perikanan
adalah
proses
perencanaan,
yang
terintegrasi
konsultasi,
dalam
pembuatan
pengumpulan
keputusan,
alokasi
informasi,
analisis,
sumberdaya
dan
implementasi dari aturan-aturan main di bidang ikan dalam rangka menjamin
kelangsungan produktivitas sumberdaya, dan pencapaian tujuan perikanan lainnya.
Pengelolaan terhadap stok ikan kurisi dilakukan agar sumberdaya ikan kurisi dapat
berlangsung keberlanjutannya.
Dari hasil perhitungan didapatkan nilai MSY sebesar 13.790,81 kg, apabila
dibandingkan dengan produksi aktual tahun 2001, 2002, 2006 dan 2010 yaitu
sebesar 24.689,35 kg, 32.212,50 kg, 17.533,75 kg dan 19.110,24 kg maka dapat
diindikasikan bahwa ikan kurisi di Perairan Selat Sunda telah mengalami
overfishing. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya dimana pengambilan data
40 dalam penelitian sebelumnya dilakukan di Kabupaten Pandeglang dengan sembilan
Pelabuhan Perikanan Pantai salah satunya PPP Labuan yang termasuk ke dalam
Kecamatan Labuan.
Oleh karena ikan kurisi telah mencapai titik maximum sustainable yield maka
diperlukan pengaturan upaya penangkapan ikan kurisi agar keberadaan sumberdaya
ikan kurisi dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan dengan didasarkan
pada analisis produksi lestari dan upaya penangkapan optimal.
Selain itu,
diperlukan adanya pembatasan daerah penangkapan agar nelayan tidak menangkap
ikan kurisi di daerah pemijahan, jika hal ini dibiarkan maka kondisi sumberdaya
ikan kurisi di alam lama-kelamaan stoknya menjadi menipis bahkan menjadi langka.
Diperlukan suatu komunikasi antar tingkat tinggi seperti KKP Banten, DKP
Pandeglang dengan tingkat bawah seperti UPT Labuan dan TPI Labuan. Serta
diperlukan suatu pembukuan yang lebih tersusun lagi untuk mendata produksi,
upaya penangkapan serta raman yang didapatkan per hari. Hal ini bertujuan agar
sumberdaya ikan kurisi dapat dikelola secara bersama.
Download