Posisi Militer Dalam Negara Demokrasi

advertisement
Posisi Militer Dalam Negara Demokrasi
Ditulis oleh Rizal Darmaputra
Kamis, 31 Januari 2008 19:52 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 13 Agustus 2010 13:11
Latar Belakang
Angkatan Bersenjata atau militer di negara yang menganut sistem demokrasi, merupakan alat
negara
yang dal
am menjalankan fungsi
organisasi
nya
diberikan kewenangan
atau mandat
untuk dapat menggunakan kekerasan dalam skala tertentu,
misalnya
dalam menghadapi ancaman keamanan nasional
baik yang berasal dari luar maupun dalam negara tersebut, tentunya sejauh ancaman tersebut
merupakan bentuk ancaman kombatan yang teorganisasi sebagai
suatu
kekuatan bersenjata.
Dilain pihak, tentara s
elain menjalankan fungsi tempur, juga melakukan tugas-tugas non-tempur seperti tugas-tugas
diplomasi, penjaga perdamaian dan misi kemanusiaan. Hal ini dikenal dengan operasi militer
selain perang
(military operations other than war)
.
Organisasi militer dalam menjalankan berbagai tugasnya, baik di masa damai maupun perang
berada dalam kendali otoritas sipil dari suatu pemerintahan sipil yang dipilih melalui pemilihan
umum yang demokratis. Adapun masing-masing otoritas sipil tersebut yakni, yudikatif, legislatif
dan eksekutif memiliki sisi tanggungjawab dan wewenang yang berbeda dalam melakukan
kendali sipil. Dengan demikian penyelenggaraan organisasi militer sebagai alat negara akan
dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, terutama atas kemungkinan terjadinya
penyalahgunaan wewenang dalam menggunakan atau menjalankan organisasi militer. Apakah
itu wewenang dalam menggunakan kekerasan, anggaran, maupun penyalahgunaan wewenang
dari pimpinan militer itu sendiri atau pemerintah yang berkuasa karena menggunakan
organisasi militer sebagai alat kepentingan politik rezim.
Turunnya Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia pada tahun 1998, maka gerakan
reformasi nasional yang mengagendakan sejumlah perubahan dalam bidang ekonomi, sosial
dan politik, juga mengagendakan reformasi di dalam tubuh militer Indonesia yang pada waktu
itu disebut sebagai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Karena sebagaimana
1 / 13
Posisi Militer Dalam Negara Demokrasi
Ditulis oleh Rizal Darmaputra
Kamis, 31 Januari 2008 19:52 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 13 Agustus 2010 13:11
diketahui bahwa posisi ABRI, yang pada masa tersebut juga tergabung di dalamnya institusi
Kepolisian RI (Polri) telah menjadi alat kekuasaan politik dari rezim represif Soeharto dan
pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun.
Adapun sejumlah perubahan yang dilakukan oleh pemerintah transisi dan ABRI pada saat itu
antara lain adalah dengan melakukan perubahan-perubahan sebagai berikut:
1. Perumusan paradigma baru peran ABRI abad XXI, yang dikemas dalam konsep redefinisi,
reposisi, dan reaktualisasi.
2. Merumuskan paradigma baru peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang lebih
menjangkau ke masa depan, sebagai aktualisasi atas paradigma baru peran ABRI abad XXI.
3. Pemisahan Polri dan ABRI yang telah menjadi keputusan pimpinan ABRI mulai 1 April 1999
sebagai Transformasi Awal.
4. Penghapusan kekaryaan ABRI melalui keputusan pensiun atau alih status
(Kep.03/P/II/1999).
5. Penghapusan Dewan sosial politik khusus dan daerah (Wansospolsus dan Wansospolda Tk.
1), dengan begitu lembaga ini dianggap tidak lagi ada.
6. Penyusutan jumlah anggota Fraksi TNI/Polri di DPR dan DPRD I dan II dalam rangka
penghapusan fungsi sosial politik.
7. TNI tidak lagi terlibat dalam politik praktis/day to day politics, sebagaimana yang terjadi pada
tahun-tahun sebelumnya.
2 / 13
Posisi Militer Dalam Negara Demokrasi
Ditulis oleh Rizal Darmaputra
Kamis, 31 Januari 2008 19:52 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 13 Agustus 2010 13:11
8. Pemutusan hubungan organisatoris dengan Partai Golkar dan mengambil jarak yang sama
dengan semua partai politik yang ada.
9. Komitmen dan konsistensi netralitas TNI dalam pemilihan umum (pemilu). Kenetralan TNI
dalam pemilu ini diwujudkan dalam pemilu 1999.
10. Penataan hubungan TNI dengan KBT (Keluarga Besar TNI). Melalui kebijakan ini TNI tidak
lagi harus mendukung keberhasilan salah satu partai peserta pemilu.
11. Revisi Doktrin TNI disesuaikan dengan Reformasi dan peran ABRI Abad XXI.
12. Perubahan staf Sosial Politik (Sospol) menjadi Komunikasi Sosial (Komsos).
13. Perubahan Kepala Staf Teritorial (Kaster).
14. Penghapusan Sosial Politik Daerah Militer (Sospoldam), Badan Pembinaan Kekaryaan
Daerah Militer (Babinkardam), Sosial politik resor militer (Sospolrem), dan Sosial politik distrik
militer (Sospoldim).
15. Likuidasi Staf Syawan (staf karyawan) ABRI, staf Keamanan dan Ketertiban Masyarakat
(Kamtibmas) ABRI, dan Badan Pembinaan Karyawan (Babinkar) ABRI.
16. Penerapan akuntabilitas publik terhadap yayasan-yayasan milik TNI/Badan Usaha Militer.
17. Likuidasi Organisasi Wakil Panglima TNI.
3 / 13
Posisi Militer Dalam Negara Demokrasi
Ditulis oleh Rizal Darmaputra
Kamis, 31 Januari 2008 19:52 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 13 Agustus 2010 13:11
18. Penghapusan Badan Koordinasi Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas) dan Badan
Koordinasi Pemantapan Stabilitas Nasional Daerah (Bakorstanasda).
19. Penegasan calon Kepala Daerah dari TNI sudah harus pensiun sejak tahap penyaringan.
20. Penghapusan Posko Kewaspadaan.
21. Penghapusan materi Sosial Politik ABRI dari kurikulum pendidikan TNI [1] .
Melalui sejumlah perubahan yang dilakukan oleh ABRI dan pemerintahan transisi pada masa
tersebut, diharapkan institusi TNI dapat berubah menjadi militer yang profesional serta tidak lagi
menjadi instrumen politik dari suatu rezim otoritarian yang ingin mengekalkan kekuasaannya.
Demikian pula bagi TNI diharapkan tidak akan “tergoda” untuk memposisikan diri di republik ini
sebagai suatu rezim militer.
Sejumlah kebijakan untuk membangun TNI yang profesional juga telah digulirkan oleh sejumlah
stake holders yang bukan hanya dari lingkungan TNI, namun juga dari pihak legislatif,
eksekutif, maupun unsur non-pemerintah yang berada dalam
domain
pertahanan-keamanan. Seperti misalnya dengan mengesahkan Undang-undang TNI no.34
Tahun 2004, serta pembahasan sejumlah Rancangan Undang-undang lainnya yang berkaitan
dengan sektor pertahanan-keamanan, misalnya RUU Pertahanan Keamanan Negara/Nasional,
RUU Intelijen, RUU Peradilan Militer dan sebagainya. Demikian juga dengan sejumlah
pengkajian seperti, mengkaji kembali Keberadaan Komando Teritorial serta
pengaturan/pengambilalihan Bisnis TNI. Dalam hal ini sejumlah upaya untuk menggulirkan
sejumlah RUU maupun berbagai riset yang dilakukan oleh para
stake holders
di bidang pertahanan dan keamanan adalah untuk membangun suatu TNI yang profesional
serta dikendalikan oleh otoritas sipil yang kredibel.
Guna mewujudkan tentara yang profesional maka keberadaan suatu pemerintahan yang
demokratis merupakan suatu keharusan. Tentunya pemerintahan tersebut harus memiliki
kemampuan dan konsisten
si
dalam melakukan kendali sipil yang demokratis dan
4 / 13
Posisi Militer Dalam Negara Demokrasi
Ditulis oleh Rizal Darmaputra
Kamis, 31 Januari 2008 19:52 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 13 Agustus 2010 13:11
accountable
, termasuk
keberadaan
otoritas sipil
yang cakap dan
accountable
di lembaga kenegaraan lainnya seperti legislatif dan yudikatif.
Bahkan para otoritas sipil yang bersinggungan dengan domain sektor keamanan, seperti pihak
Legislatif di komisi pertahanan atau bahkan di wilayah Eksekutif seperti Menteri Pertahanan
dan Presiden, hendaknya memiliki kapabilitas dalam merumuskan batasan-batasan
kewenangan dari militer sesuai dengan ruang lingkupnya sebagai alat negara, serta memiliki
wawasan dalam memberikan penilaian atas situasi keamanan nasional, berikut pendelegasian
wewenang terhadap masing-masing institusi yang bertanggungjawab terhadap masalah
ancaman keamanan nasional.
Jadi, dalam hal ini posisi militer di negara demokratis berperan sebagai alat negara untuk
melakukan tugas-tugas kemiliteran sebagaimana disebutkan di atas serta melaksanakan
keputusan politik yang dibuat oleh pemerintahan sipil, tentunya yang berkaitan dengan fungsi
dan tugas kemiliteran tersebut. Oleh karena itu tentara tidak lagi berada dalam posisi untuk
melakukan penilaian dan pembuatan keputusan politik, apalagi terlibat dalam political power
struggle
yang
sarat dengan konflik perebutan kekuasaan.
Profesionalisme Militer
Perjalanan kearah terbentuknya TNI yang profesional merupakan suatu jalan panjang dari
reformasi di sektor keamanan . Hal ini terjadi karena adanya “arus” konservatif yang tidak
menghendaki TNI kehilangan hak
privilege atas
berbagai akses maupun fasilitas di lingkungan bisnis, birokrasi dan politik, sebagaimana yang
terjadi pada era pra- reformasi. D
emikian pula dengan adanya d
inamika politik domestik maupun internasional
5 / 13
Posisi Militer Dalam Negara Demokrasi
Ditulis oleh Rizal Darmaputra
Kamis, 31 Januari 2008 19:52 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 13 Agustus 2010 13:11
yang
turut memberikan “kontribusi” dalam memperlambat reformasi di sektor keamanan
,
atau malah bahkan
terkesan
seperti ingin menarik kembali TNI ke dunia politik praktis. Seperti misalnya dengan agenda
perang melawan terorisme yang diusung Amerika Serikat, dapat dikategorikan sebagai suatu
ancaman terhadap demokrasi yang dapat membuka “pintu” masuk bagi militer untuk melakukan
intervensi kekerasan kepada publik, tentunya dengan mengatasnamakan ancaman terorisme.
Demikian juga dengan
adanya wacana dalam di DPR yang tercantum dalam RUU Politik agar TNI dan Polri dapat
dilibatkan dalam kampanye politik
, dapat dikatakan sebagai suatu langkah mundur bagi upaya untuk mewujudkan TNI yang
profesional. Karena pada saat konsentrasi reformasi di TNI tengah terfokus untuk penataan
sejumlah peraturan, institusi, maupun kerangka
mindset
dari TNI, justru
bergulir
wacana
yang ingin menarik kembali TNI dan Polri untuk berperan aktif dalam politik praktis, yang mana
wacana tersebut ironisnya justru bergulir dari pihak sipil yang nota bene mendapat “amanat”
rakyat untuk duduk di DPR.
Oleh karena itu diperlukan suatu konsistensi dalam membangun militer yang profesional, yakni
dengan tidak hanya sekadar menuntut militer untuk melakukan reformasi dan tunduk pada
supremasi sipil, namun pihak otoritas sipil dan masyarakat harus dapat memberikan kondisi
politik dan masyarakat yang kondusif bagi pembangunan militer yang profesional,
Suatu masyarakat yang demokratis menaruh harapan bahwa militer dapat melaksanakan
tugas-tugas profesionalismenya, antara lain dengan melakukan hal beserta nilai-nilai sebagai
berikut:
- Memiliki kompetensi untuk dapat melaksanakan peran dan misi-misi kemiliteran.
- Memahami dan menghargai proses politik yang demokratis serta hal-hal yang mendasar dari
hak asasi manusia.
6 / 13
Posisi Militer Dalam Negara Demokrasi
Ditulis oleh Rizal Darmaputra
Kamis, 31 Januari 2008 19:52 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 13 Agustus 2010 13:11
- Pengabdian politik (kepada pemerintah sipil) serta dapat dipertanggungjawabkan.
- Bersikap netral terhadap pengaruh eksternal dan internal (diluar tubuh militer).
- Bersikap jujur dengan mengatakan yang sebenar-benarnya serta tidak menutup-nutupi
sesuatu, bilamana sedang melaporkan atau diminta keterangan oleh dewan perwakilan rakyat.
- Memiliki keyakinan untuk mengutamakan kepentingan masyarakat diatas kepentingan
golongan dan organisasi, serta kepentingan pribadi.
Namun demikian, masyarakat juga dituntut untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan dari
militer yang profesional, seperti:
- Ditetapkannya suatu aturan yang jelas atas peran dan tanggungjawab dari militer.
- Tersedianya pendidikan dan pelatihan yang tepat untuk memenuhi kebutuhan atas fungsi
kemiliteran yang harus diemban.
- Pemberian upah yang sepadan atas keahlian dan pengorbanannya dalam dinas militer.
- Menghargai integritas profesi para anggota militer dengan tidak memberikan penugasan diluar
batas-batas dari fungsi kemiliteran.
- Pengakuan terhadap kemampuan personal dari tiap-tiap individu dengan mengikuti hirarki
militer yang berlandaskan pada merit sistem.
7 / 13
Posisi Militer Dalam Negara Demokrasi
Ditulis oleh Rizal Darmaputra
Kamis, 31 Januari 2008 19:52 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 13 Agustus 2010 13:11
- Adanya jaminan (tunjangan) selama menjalankan tugas, atau bantuan pada saat seorang
militer beralih ke lingkungan sipil sebelum berakhirnya masa tugas (purnawira). [2]
Di tengah-tengah tuntutan terhadap TNI untuk melakukan reformasi guna mewujudkan tentara
yang profesional, maka selain menghadapi hambatan arus konservatif dan dinamika politik
internal dan eksternal. Faktor kondisi obyektif berupa minimnya anggaran yang dapat
disediakan oleh pemerintah guna mewujudkan TNI yang profesional, juga merupakan suatu
masalah tersendiri. Karena selama belum “terbebaskannya” Indonesia dari krisis ekonomi yang
berkepanjangan dan masih terjadinya kebocoran anggaran dan berbagai praktek korupsi, akan
sangat sulit untuk dapat mengalokasikan anggaran militer yang layak bagi TNI.
Dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN, anggaran belanja pertahanan Indonesia
adalah yang terkecil dan belum pernah melebihi 1,6% Gross Domestic Product (GDP). Pada
tahun 2005 anggaran belanja pertahanan Indonesia hanya 0,88% GDP atau USD 1,3 Milyar [3]
, walau kemudian pada tahun 2006 naik menjadi Rp. 28,2 trilyun.
[4]
Bahkan untuk tahun anggaran 2008 yang jumlahnya Rp. 36,4 trilyun, rencananya akan
dipotong sebanyak Rp. 5 trilyun. Sehingga pemotongan tersebut tentunya akan mempengaruhi
upaya TNI untuk mewujudkan program modernisasinya, yang dalam hal ini dapat dikatakan
modernisasi merupakan suatu prasyarat bagi terwujudnya tentara profesional.
Sementara itu dalam perkembangan dinamika keamanan global yang menuntut keberadaan
dari tentara yang profesional serta terfokus pada tugas-tugas kemiliteran paska perang dingin,
pada umumnya militer di negara maju menjalankan fungsi sebagai berikut;
- melindungi kemerdekaan negara, kedaulatan dan kebutuhan territorial, atau lebih luas lagi,
para warganegaranya,
- international peace keeping atau peace enforcement missions,
- pertolongan musibah,
8 / 13
Posisi Militer Dalam Negara Demokrasi
Ditulis oleh Rizal Darmaputra
Kamis, 31 Januari 2008 19:52 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 13 Agustus 2010 13:11
- tugas-tugas keamanan dalam negeri (bantuan bagi penguasa pelaksanaan hukum
orang-orang sipil untuk menjaga ketertiban dalam kasus-kasus istimewa manakala ketertiban
terganggu)
- partisipasi dalam nation building (fungsi sosial). [5]
Kondisi Obyektif Ancaman dan TNI
Dalam perkiraan ancaman yang dipaparkan pada buku putih Departemen Pertahanan
disebutkan bahwa, ancaman yang dihadapi bangsa Indonesia diperkirakan lebih besar
kemungkinan berasal dari ancaman non-tradisional, baik yang bersifat lintas negara maupun
yang timbul di dalam negeri. [6] Antara lain seperti misalnya; terorisme, gerakan separatis
bersenjata, kelompok radikal, konflik komunal, kerusuhan sosial, bajak laut, imigrasi ilegal,
illegal fishing
,
dan
illegal logging
.
Artinya, bentuk ancaman nasional yang harus di respon oleh TNI sudah tidak lagi bersifat
konvensional misalnya ancaman invasi atau pendudukan suatu wilayah dari tentara asing
sebagaimana yang terjadi selama perang dunia ke-2
.
Bahkan pendudukan Amerika Serikat di Iraq pun tetap memerlukan adanya elit politik lokal
yang bisa diajak bekerjasama dengan AS. Aksi pendudukan ini pun ternyata memiliki masa
depan yang suram karena begitu kuatnya aksi perlawanan bersenjata dari kelompok-kelompok
resisten di Iraq.
Kembali kepada struktur komando teritorial TNI yang masih merefleksikan atas paradigma
ancaman invasi asing ala-perang dunia ke-2 dan subversi domesti
k, berikut
9 / 13
Posisi Militer Dalam Negara Demokrasi
Ditulis oleh Rizal Darmaputra
Kamis, 31 Januari 2008 19:52 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 13 Agustus 2010 13:11
strategi pertahanan wilayahnya yang masih berorientasi pada konsep pertahanan landas darat,
padahal Indonesia adalah negara maritim.
Menjadikan
keberadaan struktur komando teritorial (koter) masih tetap dipertahankan, yang dalam
strukturnya “membayang-bayangi” pemerintahan sipil dari pusat sampai ke daerah. Memang
sejak era reformasi, struktur dan perangkat koter sudah tidak lagi mengintervensi kehidupan
politik dan masyarakat secara langsung. Akan tetapi jika struktur dan fungsi koter tidak
melakukan penyesuaian terhadap dinamika ancaman gobal, maka disini terkesan adanya
ketidakkonsistenan antara persepsi ancaman yang diuraikan oleh Dephan berupa prioritas
dalam merespon ancaman non-tradisional, sementara struktur pertahanan masih bertumpu
pada struktur Koter yang berorientasi pada konsep pertahanan landas darat.
Apabila kita mau bersikap obyektif dengan mengacu pada tugas utama TNI yakni pertahanan
negara. Maka dalam struktur koter hanya terdapat dua tingkat komando teritorial yang memiliki
perangkat tempur yaitu, Komando Daerah Militer (Kodam) dan Komando Resor Militer (Korem),
sedangkan Kodim kebawah tidak memiliki aparat tempur. Seperti Markas Kodim paling banyak
memiliki staf sejumlah 60 personil dan yang justru banyak adalah staf dari intelijen, namun
Makodim tidak punya pasukan tempur. [7] Memang dalam proyeksi pembangunan kekuatan
TNI dimasa mendatang, pihak pemerintah beserta jajaran Dephan dan Mabes TNI sudah
memproyeksikan pembangunan kekuatan TNI AL. Akan tetapi penataan koter yang merujuk
pada kesatuan manajemen pertahanan wilayah dari tiga angkatan secara terintegrasi
tampaknya masih belum menjadi prioritas. Sedangkan kondisi geografis Indonesia merupakan
negara maritim, yang dewasa ini lebih banyak menghadapi ancaman non-tradisional. Sehingga
diperlukan suatu tentara profesional yang terfokus pada tugas-tugas pertahanan, baik dalam
menghadapi ancaman kombatan eksternal maupun domestik.
Kesimpulan
Militer dan institusi keamanan lainnya merupakan suatu alat negara yang menjalankan
tugas-tugasnya, berdasarkan atas sejumlah aturan dan perundang-undangan yang disusun
atas dasar mekanisme politik yang demokratis. Adapun pihak-pihak yang menyusun sejumlah
peraturan dan perundang-undangan yang berkaitan dengan ruang lingkup dari militer maupun
10 / 13
Posisi Militer Dalam Negara Demokrasi
Ditulis oleh Rizal Darmaputra
Kamis, 31 Januari 2008 19:52 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 13 Agustus 2010 13:11
otoritas keamanan lainnya adalah, otoritas politik sipil yang dipilih dan menjalankan
kewenangannya melalui suatu sistem politik yang demokratis serta dapat
dipertanggungjawabkan mekanismenya secara accountable dan transparan, baik dalam
wilayah politik legislatif, eksekutif maupun yudikatif.
Dalam situasi politik Indonesia yang sedang berjalan pada era transisi kearah demokrasi,
menjadikan realitas kondisi politik obyektif berada dalam kondisi struggle of power antara
sejumlah kekuatan politik utama, seperti partai-partai politik, kekuatan bisnis/pengusaha,
birokrat dan tokoh-tokoh kedaerahan. Pergulatan politik ini antara lain berupa persaingan dalam
menguasai sejumlah birokrasi, jabatan politik, jabatan publik, serta jabatan pemerintahan
daerah dan pusat. Tentunya juga dalam memperebutkan penguasaan sejumlah badan usaha
swasta dan pemerintah, serta akses maupun akses terhadap sumber daya ekonomi dan
fasilitas bisnis lainnya.
Posisi militer dan alat negara yang berkaitan dengan tugas-tugas keamanan negara, akan
kembali lagi menjadi faktor politik yang dapat turut menentukan atas struggle of power
sebagaimana disebutkan diatas. Bilamana para aktor politik yang bersaing
berhasil mengelabui rakyat
dalam
“menarik” kembali militer k
e
wilayah politik praktis, misalnya dengan melakukan “penggarapan” politik ke lingkungan militer
oleh suatu kekuatan politik guna mendukung suatu persaingan atau perebutan kekuasaan
, baik secara clandestine maupun legal dalam selubung legitimasi undang-undang yang
memberi peran politik terhadap militer.
Sehingga berbagai “hajatan” demokrasi,
apakah itu
pemilu legislatif, maupun
pemilihan presiden
atau
kepala daerah
, akan menarik lagi keterlibatan politik TNI.
Atau intervensi militer kedalam politik praktis juga dapat terjadi bilamana berbagai kekuatan
politik sipil tersebut gagal dalam membawa keluar Indonesia dari krisis politik, serta apabila
terjadi berbagai skandal politik, dan merebaknya gerakan separatisme, baik separatisme
bersenjata maupun “separatisme’ dalam konteks yang disebabkan oleh, ketidakmampuan
pemerintah pusat dalam menangani persoalan kedaerahan, yang berujung pada suatu kondisi
politik yang dapat memisahkan daerah tersebut dari negara kesatuan Republik Indonesia.
11 / 13
Posisi Militer Dalam Negara Demokrasi
Ditulis oleh Rizal Darmaputra
Kamis, 31 Januari 2008 19:52 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 13 Agustus 2010 13:11
Kembalinya militer sebagai aktor utama dalam politik praktis di Indonesia berarti kegagalan
bagi otoritas sipil dalam melakukan transisi demokrasi serta dalam mengelola konflik, sehingga
menjadikan militer yang seharusnya berperan sebagai alat negara yang dilengkapi dengan
sarana kekerasan dan organisasi yang hirarkis mengambil peran otoritas sipil dalam tugas
kenegaraan, seperti pemeintahan dan pengelolaan konflik, tentunya melalui pendekatan yang
militeristik dan sistem komando terpusat.
Memang sampai saat ini belum terindikasi adanya kondisi subyektif dari militer untuk
mengambilalih kekuasaan, namun faktor kondisi obyektif di Indonesia seperti “menggiring”
militer untuk mengintervensi kembali wilayah politik sipil, seperti krisis ekonomi yang belum
terlihat ujung pangkalnya, kemudian merebaknya berbagai skandal politik, berlarut-larutnya
konflik horizontal seperti di Poso serta masih berlangsungnya gerakan separatis di Papua yang
tidak jelas penanganan politiknya dari pemerintah pusat. Demikian juga dengan sering
terjadinya kekisruhan politik di daerah, baik dalam konteks pilkada maupun berupa konflik
antara pemda dengan dewan perwakilan rakyat daerah setempat, ataupun antara pemda
dengan pemerintah pusat, sehingga berdampak pada ketidakefisienan roda pembangunan di
daerah, dan sebagainya. Akhirnya keadaan yang demikian ini, apakah disadari atau tidak akan
terus menerus menggerogoti kredibilitas politik otoritas sipil, dalam mengelola dan menjalankan
tugas kenegaraan sesuai dengan fungsi dan tanggungjawabnya masing-masing.
[1] Makalah Muhammad Asfar, “Permasalahan dan Tantangan Reformasi TNI: Fungsi
Teritorial; Bagaimana Kita Menahaminya?”
[2] Nicole Ball, Tsjeard Bouta, Luc Van Goor, Enhancing Democratic Governance of the
Security
Sector: An Institusional Asessment
Framework
, Clingendael Institute, The
Netherlands, 2003, hal. 63.
[3] Syafnil Armen (Mayjen) Kepala Badan Intelijen Strategis, Makalah; Persepsi Ancaman
Internal dan Transnasional Pada Seminar di Departemen Pertahanan
, 29 Agustus 2006, hal.16.
[4] Deputy for Politics, Law, Defense, and Security Bappenas, Makalah Rapid Assessment
on Indonesia Defense Industry
12 / 13
Posisi Militer Dalam Negara Demokrasi
Ditulis oleh Rizal Darmaputra
Kamis, 31 Januari 2008 19:52 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 13 Agustus 2010 13:11
dalam Seminar Reviewing and Reinventing, Defense Acquisition in Indonesia, ITB, 27-28
November 2006. hal.2
[5] Hans Born (red), Pengawasan Parlemen dalam Sektor Keamanan – Asas, mekanisme
dan pelaksanaan
, Geneva Center for the Democratic Control of Armed
Forces, Interpaliamentary Union, Jakarta, 2003, hal.63
[6] Mempertahankan Tanah Air Memasuki Abad 21, Departemen Pertahanan, Jakarta,
2003, hal IX.
[7] Lesperssi, Rekomendasi Kebijakan tentang Fungsi Teritorial dan Komando Teritorial,
hal.3.
13 / 13
Download