VI PENGETAHUAN LOKAL PETANI DI LAHAN RAWA PASANG SURUT 6.1 Bentuk dan makna pengetahuan lokal Pemahaman tentang karakteristik spesifik lahan rawa pasang surut merupakan dasar dalam proses pembentukan pengetahuan petani, terutama bagaimana menjadikan lahan tersebut cocok untuk kegiatan pertanian. Tindakan-tindakan pengelolaan atas lahan rawa pasang surut yang dilakukan berulang-ulang secara coba-coba (trial and error) telah menghasilkan berbagai pengetahuan tentang lahan rawa pasang surut dengan berbagai teknik pengelolaannya (Brouwer 1998). Proses pengenalan dan pemahaman ini tidak lepas dari pengaruh sistem sosial yang melingkupi kehidupan masyarakat di wilayah lahan rawa pasang surut ini. Nilai dan norma, kelembagaan, kepercayaan, teknologi serta perkembangan penduduk merupakan faktor internal yang turut berpengaruh terhadap proses pembentukan perkembangan pengetahuan masyarakat tersebut (Vlaenderen 1999). dan Begitu juga halnya dengan faktor eksternal seperti kebijakan pemerintah dan kondisi global turut menentukan dinamika yang terjadi. Dengan kata lain, proses pembentukan dan perkembangan pengetahuan lokal merupakan proses dinamis yang kompleks sebagai suatu bentuk adaptasi masyarakat di lahan rawa pasang surut terhadap lingkungannya. Pemanfaatan lahan rawa pasang surut yang merupakan lahan marginal sebagai areal pertanian memerlukan pengetahuan dan keterampilan spesifik. Penanganan dan pengelolaan yang dilakukan terhadap lahan rawa pasang surut inilah yang membentuk berbagai pengetahuan, baik menyangkut tanaman, tanah, air, mikroorganisme dan infrastuktur yang dibangun. Begitu juga halnya dengan sistem sosial yang dikembangkanpun disesuaikan dengan kondisikondisi spesifik yang ada di lahan rawa pasang surut. Oleh karena itu, pengetahuan lokal yang terbentuk ini menyangkut berbagai aspek dalam sistem pertanian yang dikembangkan termasuk nilai dan norma dalam kehidupan petani tersebut. Keterlekatannya dengan nilai-nilai dan kepercayaan masyarakat sering menjadikan pengetahuan lokal sebagai mitos dan tidak rasional menurut pandangan sains. Padahal dalam pandangan Kalland (2005), justeru pengetahuan lokal memiliki sifat sebagai pengetahuan empiris, terutama menyangkut persepsi tentang lingkungan. 106 Bagi masyarakat berbagai pengetahuan yang mereka miliki dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut merupakan modal utama untuk mampu mengembangkan sistem pertanian di lahan rawa pasang surut. Petani yang ‘ahli’ adalah mereka yang mampu menangkap dan membaca gejala dan tandatanda alam dan mengimplementasikannya dalam kegiatan pertanian. Pengetahuan tentang ‘perilaku alam’ di lahan rawa pasang surut diperoleh melalui pengalaman dan pemahaman dalam berinteraksi dan mengelola lahan tersebut untuk kegiatan pertanian. Oleh karena itulah, pengetahuan lokal dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut mengandung makna sebagai perwujudan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara manusia dengan alam. Bebagai bentuk selamatan dan pantangan dalam praktik-praktik pertanian di lahan rawa pasang surut merupakan implementasi dari ungkapan terima kasih mereka terhadap alam sebagai anugrah yang Maha Kuasa yang harus dipelihara dan dikelola dengan sebaik-baiknya. Pengetahuan lokal ini ternyata tidak hanya berfungsi sebagai basis dalam praktik-praktik pertanian saja tetapi mencakup aspek-aspek kehidupan sosial yang lebih luas lagi. Pengetahuan lokal dalam kehidupan sosial masyarakat juga terkait dengan status dan peranan petani dalam sistem sosialnya. Hal ini karena pengetahuan-pengetahuan tersebut tidak dimiliki merata pada setiap orang dalam suatu masyarakat. Misalnya, salah satu pertimbangan dalam memilih atau menunjuk kepala padang adalah karena ia memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam tentang kondisi lingkungan setempat. Ini berarti bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang dalam konteks pengelolan lahan rawa pasang surut tidak hanya mengandung makna sarana untuk memenuhi kebutuhan ekonomi saja, tetapi sekaligus sebagai penentu dalam kehidupan sosial. 6.1.1 Pengetahuan tentang budidaya tanaman padi Padi bagi masyarakat petani di lahan rawa pasang surut bukan hanya sebagai komoditas ekonomis semata, tetapi lebih dari itu karena tanaman padi juga merupakan komoditas sosial. Oleh karena itu sistem budidaya padi yang dikembangkan bukan semata-mata menyangkut aspek produksi saja tetapi juga menyangkut eksistensinya sebagai komoditas sosial budaya. Padi yang ditanam dan dikembangkan di lahan rawa pasang surut umumnya adalah 107 varietas lokal dan telah beradaptasi dengan kondisi lingkungan spesifik setempat. Pemilihan varietas yang mana yang akan ditanam sangat tergantung pada faktor kondisi kesuburan lahan, tipe luapan lahan, harga jual, rasa nasi, serta pertimbangan sesama petani di lahan yang berdekatan. Berdasarkan pengalaman yang mereka peroleh selama ini, jenis banih barat (berumur panjang) umumnya tumbuh baik pada areal lahan yang selalu terluapi dengan pasang surut air, yakni di lahan rawa pasang surut tipe A. Jenis ini harus ditanam lebih cepat dibanding dengan jenis varietas lainnya (jenis banih ringan), paling tidak masa tanam harus sudah berakhir pada Akhir Maret atau awal April. Jika terlambat melakukan penanaman, dapat berakibat gagal panen akibat masuknya air asin pada awal kemarau (bulan Juni) dimana tanaman belum memasuki fase pengisian buah. Tetapi jika fase pengisian buah ini sudah dilewati, masuknya air asin ke sawah pada saat pasang tidak berpengaruh terhadap produksi padi. Kondisi seperti di atas berimplikasi terhadap strategi penentuan luas dan lokasi sawah yang diusahakan. Terkait dengan luas garapan dan kepemilikan lahan, petani di wilayah ini umumnya mengusahakan lahan yang luas, rata-rata dua hektar serta tersebar/terpencar pada berbagai tempat (dari lahan rawa pasang surut tipe A hingga peralihan A ke B). Dengan kata lain, lokasi lahan yang diusahakan terdapat di daerah rendah dan daerah agak tinggi. Lahanlahan yang berada di daerah yang agak tinggi tinggi umumnya ditanami dengan varietas padi lokal dari kelompok banih ringan untuk menghindari kegagalan akibat kemarau yang datang lebih awal. Sebaliknya lahan-lahan yang berada di daerah rendah dapat dilakukan penanaman lebih belakangan. Oleh karena itu pengetahuan tentang sifat dan karakteristik dari masing-masing varietas padi lokal ini mutlak harus diketahui oleh petani setempat. Begitu juga halnya dengan petani di wilayah pasang surut tipe C dan D, dimana air pasang tidak selancar di tipe A, curah hujan dan kondisi iklim sangat menentukan keberhasilan usaha tani padi. Pengetahuan masyarakat tentang iklim dan penentuan musim hujan atau kemarau lebih berkembang dibandingkan dengan petani di tipe A atau B. Penentuan awal tanam dengan mempertimbangkan kedudukan bintang-bintang di langit (petani setempat menyebutnya sebagai bintang karantika dan baur bilah) merupakan pengetahuan yang diyakini mampu meramalkan kondisi kemarau atau 108 penghujan dengan akurasi yang cukup tinggi. Melalui pengetahuan tentang kedudukan ini para petani dapat memperhitungkan apakah masa tanam dapat dilakukan lebih lama atau harus segera diselesaikan lebih cepat. Ketidaktepatan atau perhitungan yang keliru dapat meningkatkan risiko kegagalan panen akibat kekeringan atau kebanjiran. Menurut Idak (1982), pengetahuan tentang musim inilah yang memungkinkan petani setempat dapat memanfaatkan berbagai jenis sawah untuk mengembangkan budidaya tanaman padi. Pengetahuan-pengetahuan petani menyangkut kondisi iklim dan gerakan pasang surut air juga penting untuk menentukan waktu kegiatan penyemaian bibit. Bagi petani di lahan rawa pasang suru tipe A, waktu penyemaian bibit tahap pertama yang disebut palai harus dilakukan pada saat pasang kecil terjadi, agar lahan yang digunakan untuk persemaian tersebut tidak terendam air pasang. Dengan demikian, ketika waktu pasang besar mulai datang, umur persemaian sudah mencapai 7 hari dan siap dipindahkan ke tahap berikutnya (tahap lacak). Begitu juga halnya dengan petani di lahan rawa pasang surut tipe B, C dan D, selain pengetahuan tentang peredaran bulan dan hubungannya dengan pasang surut air, juga menyangkut peredaran bintang dan hubungannya dengan musim yang akan terjadi. Khusus di lahan rawa pasang surut tipe C dan D jika diprakirakan terjadi masa kemarau yang agak panjang, maka kegiatan pembibitan dilakukan lebih cepat (awal Oktober) serta dengan melakukan pembibitan dengan dua tahapan saja (tahapan taradak dan tahapan lacak). Kondisi-kondisi di atas seperti gerakan pasang surut air yang terjadi setiap hari di tipe A, ketergantungan yang tinggi terhadap kondisi iklim di lahan rawa pasang surut tipe C, dan D berimplikasi dalam sistem sosial kehidupan petani. Gerakan air pasang dan surut yang terjadi setiap hari di lahan rawa pasang surut tipe A tidak memungkinkan kegiatan di sawah dilakukan satu hari penuh, tetapi hanya sekitar setengah hari. Oleh karena itu kelembagaan ekonomi terutama sistem upah yang dilakukan di daerah ini diperhitungkan setengah hari saja. Fenomena terjadinya pasang besar yang terjadi dua kali dalam setiap bulan juga membatasi aktivitas-aktivitas dalam usahatani padi di sawah. Kegiatan gotong royong juga tidak setiap saat memungkinkan untuk dilakukan karena kendala genangan air yang dalam pada saat pasang. Faktor inilah yang juga menjadi penyebab mengapa kegiatan gotong royong penanaman padi (handipan) di tipe A hanya dalam kelompok-kelompok kecil, sekitar 10 orang. 109 Perhitungan tentang musim ini juga mendorong petani melakukan aktivitas persemaian secara serentak sehingga nilia-nilai kebersamaan dalam kegiatan pertanian padi dapat lebih terjalin. Kegiatan-kegiatan selamatan yang mengawali penyemaian padi ini masih sering dilakukan karena mereka yakin bahwa keberhasilan penanaman ini sangat ditentukan oleh kondisi musim dan iklim yang datang dari Tuhan semesta alam. Bagi petani setempat acara selamatan diyakini dapat menghindarkan mereka dari bencana dan kegagalan baik oleh faktor iklim maupun gangguan hama tanaman. Tokoh masyarakat yang berperan dalam kegiatan ini dahulu adalah kepala handil, tetapi seiring dengan memudarnya peranan kelembagaan handil maka guru agama atau ulama menjadi tokoh dalam upacara selamatan ini. Secara skematis keterkaitan pengetahuan tentang peredaran bintang dan bulan hubungannya dengan kegiatan pertanian padi dan sistem sosial di lahan rawa pasang surut seperti Gambar 7 berikut. Peredaran / kedudukan bintang di langit Kedudukan bulan terhadap bumi Posisi bintang karantika dan haurbilah Bulan purnama dan bulan sabit Kondisi iklim (musim kemarau atau penghujan) Gerakan pasang surut air Penentuan waktu semai, jenis varietas padi, sistem semai, masa tanam Kelembagaan upah kerja, Organisasi sosial, Nilai dan Norma Gambar 7 Pengetahuan tentang peredaran bintang dan bulan hubungannya dengan kegiatan pertanian padi dan sistem sosial di lahan rawa pasang surut 110 6.1.2 Pengetahuan tentang pengelolaan lahan Lahan atau tanah merupakan modal utama petani dalam kegiatan pertanian yang berperan penting dalam proses produksi. Pemilihan lahan yang sesuai untuk dijadikan sawah dan pengelolaannya memerlukan pengetahuan khusus, mengingat lahan rawa pasang surut merupakan lahan spesifik dengan berbagai kendala dalam pengelolaannya. Dalam sejarah pembukaan lahan rawa pasang surut, wilayah yang pertama dibuka untuk dijadikan sawah adalah lahan-lahan yang berada di sepanjang sungai besar karena pengaturan airnya mudah dilakukan. Salah satu kunci keberhasilan pertanian padi di lahan rawa pasang surut dengan kendala menyangkut tata air. kemasaman tanah yang tinggi adalah Umumnya daerah-daerah sepanjang pinggiran sungai merupakan wilayah yang bisa langsung dipengaruhi gerakan pasang surut air. Petani memiliki pengetahuan bahwa air pasang yang masuk ke sawah pada wilayah ini banyak mengandung bahan-bahan organik yang berguna bagi pertumbuhan tanaman. Selain itu proses pasang surut air juga berfungsi untuk proses pencucian (leaching) bahan-bahan yang menyebabkan terjadinya kemasaman tanah. Dalam pengembangan selanjutnya, di mana lahan-lahan di sepanjang pinggiran sungai sudah habis terbuka, maka para petani kemudian memanfaatkan lahan-lahan di bagian dalam yang tidak langsung dapat dipengaruhi oleh gerakan pasang surut air. Untuk memecahkan kendala ini maka dibuatlah saluran-saluran yang disebut handil agar gerakan pasang surut air ini dapat mencapai persawahan pada bagian dalam tersebut. Pada awal pembuatannya, handil ini dikerjakan secara bergotong royong dan dilakukan secara bertahap hingga handil-handil ini menjangkau jarak yang cukup jauh dari sungai besar (hingga ada yang mencapai 5 km atau lebih). Handil-handil ini diperpanjang sejauh gerakan pasang surut air masih dapat berlangsung lancar. Untuk menjamin kelancaran handil-handil ini, setiap tahun dilakukan gotong royong untuk membersihakannya dari sedimentasi atau tumbuhan-tumbuhan liar yang dapat menghambat aliran air. Sawah-sawah dicetak di sepanjang handil ini untuk kemudian ditanami dengan padi. Penentuan lahan yang akan dicetak ini juga dipengaruhi oleh kondisi awal lahan tersebut. Petani harus mampu menentukan mana lahan yang subur atau baik untuk ditanami padi. Pengetahuan tentang lahan di wilayah pasang surut ini mutlak dimiliki agar usaha pertanian padi yang akan 111 dilakukan dapat memberikan hasil yang baik. Secara sederhana, petani mengenali lahan yang subur dengan memperhatikan atau mengamati kondisi fisik tanah tersebut dan vegetasi awal yang tumbuh di lahan tersebut. Tanah subur atau baik untuk dijadikan sebagai sawah adalah tanah yang pada lapisan bagian bawahnya (sekitar 20-30 cm) mengandung tanah liat yang diketahui dengan cara menusukkan parang (golok) ke tanah dengan kedalaman sekitar 30 cm. Jika parang tersebut dicabut, terdapat tanah liat yang menempel pada parang tersebut, maka ini menunjukkan bahwa tanah di areal tersebut cocok untuk tanaman padi. Sebaliknya jika parang yang ditusukkan tersebut tidak terdapat tanah liat yang menempel atau bagian tanahnya sangat dalam maka tanahnya kurang cocok untuk dijadikan sawah. Cara lain adalah dengan cara menginjakan kaki ke dalam tanah tersebut, jika bagian tanah tersebut tidak banyak menempel di kaki (terlepas sendiri) artinya tanah tersebut mengandung gambut dan kurang baik untuk dijadikan sawah. Pengetahuan dan teknik mengidentifikasi kesuburan tanah ini merupakan hasil pengalaman yang diperoleh selama puluhan tahun dan ditularkan secara turun temurun antar generasi. Pengenalan kesuburan lahan ini juga dapat dilakuan melalui pengenalan jenis vegetasi awal yang tumbuh di lahan tersebut. Lahan yang sebelumnya banyak ditumbuhi Piai atau Kelakai (Achrosticum aureum) merupakan tanda bahwa lahan tersebut baik untuk dijadikan sawah. Sebaliknya, lahan-lahan yang sebelumnya didominasi oleh tumbuhan Galam (Melaleuca leucadendron), Purun Tikus atau Purun Bundung (Eleocharis dulcis) dan Karamunting (Melastoma affine) merupakan indikasi bahwa tanahnya mempunyai tingkat kemasaman yang tinggi (pH tanah rendah). Lahan-lahan seperti ini perlu dikelola secara hati-hati agar lapisan pirit atau lapisan yang mengandung bahan-bahan penyebab kemasaman dan mengandung racun bagi tanaman tidak terangkat atau terbongkar ke atas. Pengetahuan mengenai kondisi fisik lahan ini terkait langsung dengan teknik pengolahan lahan yang harus dilakukan. Penggunaan alat tajak untuk kegiatan pengolahan tanah merupakan pilihan tepat pada lahan-lahan yang pada lapisan bawahnya mengandung bahan-bahan beracun bagi tanaman. Pengetahuan tentang sifat-sifat lahan rawa pasang surut dan kendala kemasaman tanah ini mendorong berkembangnya pengetahuan tentang pengendalian kemasaman tanah melalui pembuatan bedengan/surjan atau 112 tukungan untuk keperluan penanaman tanaman tahunan seperti jeruk, mangga, rambutan, kelapa dan lainnya atau tanaman sayuran. Kombinasi pembuatan surjan atau tukungan dengan pengaturan air menjadikan lahan rawa pasang surut yang sebelumnya memiliki tingkat kemasaman relatif tinggi dapat digunakan untuk budidaya tanaman padi sekaligus dengan tanaman tahunan atau tanaman sayuran. Khusus di lahan rawa pasang surut tipe A, pembuatan bedengan atau surjan selain berfungsi untuk penananam kelapa, juga sebagai tempat untuk menaikkan lumpur atau sedimen yang masuk ke areal persawahan. Lumpur sedimen ini perlu dinaikkan ke bedengan atau surjan agar tanaman padi tidak mudah tumbang atau rebah karena lumpur yang terlalu dalam. Di sisi lain, pengangkatan lumpur sedimen ini ke bedengan sekaligus berfungsi untuk meningkatkan kesuburan tanaman kelapa atau tanaman lain yang ditanam di atas bedengan atau surjan tersebut. Untuk memperlancar aliran air ke petak sawah dan di dalam sawah, petani membuat saluran kecil yang disebut saluran cacing di sekeliling atau di bagian tengah sawah. Kelancaran air pasang surut ini merupakan salah satu kunci keberhasilan usahatani padi di lahan rawa pasang surut. Pengetahuan tentang pengaturan air dan teknik pembuatan bedengan atau surjan ini merupakan hasil proses adaptasi masyarakat terhadap kondisi lingkungan spesifik yang ada. Kondisi lingkungan lahan rawa pasang surut yang memerlukan penanganan dan pengelolaan khusus mendorong ikatan kerjasama antar petani menjadi lebih erat. Pengaturan air dan pengelolaan lahan harus dilakukan secara bersama dalam suatu wilayah hamparan. Kelancaran arus pasang surut air ke persawahan harus dijaga dan membutuhkan kerjasama antar petani. Masalah pengaturan tata air di lahan rawa pasang surut telah lama mereka ketahui dan pahami sebagai faktor penentu keberhasilan usahatani di wilayah ini. Mereka menyadari bahwa tanpa kerjasama dalam pengaturan air maka lahan tersebut tidak akan dapat menghasilkan produksi padi yang tinggi. Pengetahuan dan praktik-praktik yang terkait dengan pengelolaan lahan ini membentuk sistem sosial tersendiri dalam kehidupan masyarakat di lahan rawa pasang surut. Kegiatan gotong royong dalam pembuatan dan pemeliharaan handil menciptakan kelompok-kelompok petani di suatu handil. Terbentuknya struktur sosial masyarakat dalam bentuk kelompok handil ini merupakan implementasi dari sistem kerjasama untuk menghadapi tantangan 113 dan kendala dalam mengelola lahan rawa pasang surut. Kelompok ini dipimpin oleh seorang tokoh petani yang disebut kepala handil. Norma dan aturan dalam kegiatan berusahatani diterapkan dengan tujuan untuk kepentingan bersama. Keberhasilan usahatani di suatu wilayah atau handil merupakan kebanggaan tersendiri bagi para petani yang tergabung dalam kelompok tersebut. Umumnya anggota kelompok dalam suatu handil berasal dari wilayah asal yang sama (walaupun tidak selalu) sehingga mereka memliki solidaritas sosial yang tinggi. Selain itu organisasi sosial berdasarkan handil ini juga merupakan eksistensi kelompok-kelompok petani pelopor yang memulai usahatani di wilayah itu. Penggunaan nama-nama handil yang terdapat di lokasi penelitian seperti Handil Mahang, Handil Barabai, Handil Amuntai dan lainnya merupakan eksistensi kepeloporan petani-petani yang berasal dari wilayah-wilayah tersebut. Pola dan teknik pengelolaan lahan ini juga memungkinkan petani mengembangkan komoditas tanaman sayuran dan buah-buahan selain padi. Khusus petani di lahan rawa pasang surut tipe A, mereka juga dapat menanaminya dengan tanaman kelapa pada bagian surjannya. Kepemilikan lahan umumnya adalah hak milik di mana petani menggarap sendiri lahan tersebut. Jika-lahan–lahan tersebut disewakan maupun disakapkan kepada orang lain, maka penyewa atau penggarap hanya mengelola lahan untuk tanaman padi. Tanaman yang tumbuh di atas surjan atau tukungan tetap merupakan bagian pemilik lahan, kecuali ada perjanjian sebelumnya untuk membagi hasil dari tanaman yang tumbuh pada tukungan atau surjan tersebut. Norma dan aturan-aturan tentang sistem sakap dan sewa ini berlaku umum di wilayah lahan rawa pasang surut. Pelanggaran akan kesepakatan yang telah dibuat bukan hanya penyewa atau penggarap ini tidak bisa lagi menjalin kerjama dengan pemilik lahan tersebut, tetapi juga kemungkinan dengan pemilik lainnya di sekitar wilayah tersebut. Secara skematis pembentukan pengetahuan lokal petani menyangkut pengelolaan lahan rawa pasang surut dan hubungannya dengan kegiatan pertanian padi serta sistem sosial masyarakat dapat dilihat pada Gambar 8. 114 Kedudukan lahan terhadap sungai atau anak sungai Kondisi Lahan Tata air Kondisi Fisik Tanah V t iA l Pembuatan saluran/ handil Karakteristik tanah subur dan tanah masam Pembuatan surjan Saluran cacing Peralatan kerja Sistem tanaman campuran Kelembagaan handil Organisasi sosial Kepemimpinan Gambar 8 Pengetahuan tentang pengelolaan lahan hubungannya dengan kegiatan pertanian padi dan sistem sosial di lahan rawa pasang surut 6.1.3 Pengetahuan tentang pemeliharaan dan kelestarian lingkungan Lahan rawa pasang surut merupakan lahan marginal yang bersifat rentan (fragile) terhadap penanganan yang salah. Terbakarnya gambut dan peningkatan kemasaman tanah merupakan dua hal yang harus dihindari dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut untuk kegiatan pertanian. Bagi petani, pengetahuan tentang kemasaman tanah dan upaya penangannya serta sifatsifat tanah gambut merupakan hasil dari pengalaman dan percobaan-percobaan yang sejak ratuan tahun telah dilakukan. Sifat tanah gambut yang penting adalah bahwa gambut menampung air hingga 300-800% dari bobot beratnya 115 dan berfungsi sebagai penampung air di wilayah ini serta adanya sifat “kering tak balik’ (Radjagukguk 1997). Sifat-sifat khas ini membuat petani paham betul bahwa gambut harus diperlakukan dengan hati-hati. Seperti yang dituturkan oleh Mhd (65 tahun) seorang petani di Desa Tinggiran Darat: “Tanah nang ada gambutnya, apalagi nang tabal hampai samitir atau labih kada baik diulah gasan pahumaan. amun gusang ngalih mamajahinya, wan amun gambut ini habis tanahnya kada baik lagi gasan pahumaan. Nang bagus gasan pahumaan itu tanahnya kada banyak bagambut wan banyak ditumbuhi kalakai. Amun banyak bagalam, kada tapi baik jua gasan dijadiakan pahumaan.” [Tanah yang mengandung gambut, terutama dengan ketebalan satu meter atau lebih tidak sesuai dijadikan sebagai sawah. Jika terbakar sulit untuk memadamkannya, dan jika gambut ini habis terbakar maka tidak baik lagi untuk areal persawahan. Yang cocok untuk dijadikan sebagai sawah adalah yang tidak banyak gambutnya dan banyak ditumbuhi Kelakai. Jika banyak tanaman Galam, juga tidak baik dijadikan sebagai sawah] Begitu juga halnya dengan gambut dan lahan yang memiliki kemasaman tinggi diupayakan untuk selalu dalam kondisi tergenangi air untuk mencegah naiknya lapisan pirit (bersifat masam dan beracun bagi tanaman) ke permukaan tanah. Gambut yang telah mengalami kekeringan (karena proses pembukaan lahan atau kelebihan drainase) tidak akan dapat lagi berfungsi seperti semula sebagai penampung air (sifat ‘kering tak balik’). Pembuatan surjan dan tukungan serta pengaturan keluar masuknya air merupakan langkah yang harus ditempuh dalam mengurangi dan mencegah munculnya kemasaman yang tinggi di persawahan. Upaya-upaya untuk mempertahankan kelestarian lingkungan di wilayah pasang surut ini juga dilakukan dengan pemberian pupuk organik dari hasil pelapukan rumput atau gulma yang ditebas pada saat pengolahan tanah. Bahkan sekarang petani telah menggunakan kapur pertanian untuk mempercepat proses pelapukan tersebut serta sekaligus sebagai bahan yang mampu mengurangi kemasaman tanah. Waktu persiapan lahan yang relatif panjang (3-4 bulan) memungkinkan proses pelapukan gulma dan rumputrumputan hasil tebasan ini berlangsung baik sehingga sifat-sifat fisik serta kimia tanah menjadi lebih baik. Pengetahuan petani tentang bagaimana mempertahankan keberlanjutan usaha pertanian di lahan rawa pasang surut merupakan hasil pengalaman dan uji coba (trial and error) yang juga terkait dengan sistem sosial dalam kehidupan masyarakat. Sistem gotong royong dalam pengolahan tanah dan penggunaan 116 peralatan adaptif (alat tajak) yang mampu mencegah terbongkarnya lapisan tanah masam merupakan respon sistem sosial untuk menyesuaikan dengan kondisi biofisik lahan rawa pasang surut. Masa pengolahan tanah yang relatif lama (Des-Feb) memungkinkan kegiatan gotong royong dalam pengolahan tanah dilakukan secara bergiliran (sistem handipan). Kegiatan gotong royong ini biasanya dilakukan oleh petani dalam suatu kelompok handil. Terkait dengan upaya pencegahan kerusakan lingkungan akibat kebakaran lahan, petani tiak dibenarkan untuk melakukan pembakaran lahan atau gambut di areal persawahan. Hal ini bukan hanya dapat merusak lahan sawah tetapi juga dapat menjalar ke lahan sawah di sekitarnya. Membakar lahan atau gambut merupakan bentuk pelanggaran norma dan dapat diberikan sanksi jika sampai merusak lahan petani lain. Kepala handil memiliki peranan penting dalam hal ini jika sampai terjadi konflik antar petani akibat kebakaran lahan tersebut. Penyelesaian biasanya dilakukan secara musyawarah antar pihak yang terlibat dan ganti rugi harus ditanggung pihak yang menjadi penyebab kebakaran tersebut. (jika proses pembakaran lahan tersebut dilakukan secara sengaja). Upaya penyelesaian ini kadang tidak sederhana dan sulit dilakukan karena api dapat menjalar ke lahan di sekitarnya melalui bawah permukaan tanah dan muncul di tempat lain setelah beberapa hari kemudian. Untuk hal-hal seperti ini maka selain kepala handil maka tokoh masyarakat lain juga sering dilibatkan. Tokoh yang sering dilibatkan dalam penyelesaian konflik-konflik antar petani ini seperti kepala desa, ketua RT, ulama atau guru agama. Penyelesaian secara musyawarah ini bertujuan agar pihak-pihak yang terlibat dalam konflik dapat saling memahami dan memaafkan satu sama lain. Kerugian yang ditimbulkan dapat diganti rugi sesuai dengan kesepakatan dan kesanggupan pihak yang menanggungnya. Oleh karena itulah pembakaran lahan ini sangat dihindari oleh petani setempat karena mengandung potensi konflik antar petani. Secara skematis pembentukan pengetahuan lokal petani menyangkut pemeliharan kelestarian lingkungan lahan rawa pasang surut hubungannya dengan kegiatan pertanian padi serta sistem sosial masyarakat dapat dilihat pada Gambar 9. 117 Karakteristik gambut Kemasaman tanah Sifat kering tak balik Penampung air Lapisan pirit Penanganan kemasaman tanah dan pengelolaan gambut Surjan / tukungan Tata air Kapur pertanian Pupuk organik Teknik olah tanah Sistem gotong royong Sistem teknologi peralatan olah tanah, Nilai dan Norma Gambar 9 Pengetahuan tentang pemeliharaan kelestarian lingkungan hubungannya dengan kegiatan pertanian padi dan sistem sosial di lahan rawa pasang surut. 6.1.4 Pengetahuan tentang peralatan usahatani Pengetahuan menyangkut sistem peralatan yang digunakan dalam usahatani di lahan rawa pasang surut merupakan hasil pemikiran dan upaya mencoba-coba (trial and error) sehingga akhirnya ditemukan peralatan-peralatan yang adaptif bagi lingkungan setempat. Alat pertanian yang disebut tajak merupakan bentuk alat pengolahan tanah yang sesuai untuk mencegah terangkatnya pirit ke permukaan. Petani di lahan rawa pasang surut sangat paham bahwa pirit yang terangkat ke atas permukaan dapat meracuni tanaman. Pirit ini bukan hanya dapat menurunkan produksi padi, tetapi juga dapat 118 mengakibatkan kematian pada tanaman padi tersebut. Oleh karena itulah mengapa petani menolak jika lahannya diolah dengan menggunakan traktor tangan (hand tractor) atau dengan bajak seperti halnya petani di lahan beririgasi. Pengolahan tanah dengan cara hanya mengupas sedikit lapisan tanah ini dalam pertanian modern dikenal dengan pengolahan tanah minimum (minimum tillage). Begitu juga dengan peralatan lain seperti alat bantu untuk menancapkan bibit padi pada saat tanam yang disebut tatajuk atau tutujah. Dengan penggunan alat ini maka bibit padi dapat ditancapkan dengan mudah ke tanah dengan kedalaman yang diinginkan (sekitar 5 cm) sehingga cukup kuat untuk menahan aliran pasang surut serta tidak terlalu dalam hingga memasuki area tanah masam. Peralatan tutujah untuk menanam ini merupakan implikasi atas pengolahan tanah dengan menggunakan tajak, karena tanahnya tidak ikut terolah. Oleh karena itu, diperlukan alat yang mampu membuat lubang untuk menancapkan bibit padi dengan posisi membungkuk. Prinsip kerja alat ini pada dasarnya mirip dengan alat tugal pada pertanian di lahan kering, tetapi mempunyai tangkai yang pendek. Alat ini dapat dibuat sendiri oleh petani dari ranting atau cabang pohon-pohon yang ada di sekitar. Pada waktu dulu, alat ini banyak dibuat dari bahan kayu besi (ulin) dan dapat dipergunakan hingga puluhan tahun. Peralatan-peralatan lainnya seperti kakakar untuk mengumpulkan sisasisa gulma yang akan dibusukkan, ani-ani atau ranggaman untuk kegiatan pemanenan, tanggui untuk penutup kepala serta peralatan pascapanen berupa tikar purun, lanjung atau cupikan maupun gumbaan adalah hasil kreasi dari pengetahuan lokal masyarakat untuk mempermudah kegiatan usahatani yang dilakukan. Beberapa di antara peralatan tersebut diproduksi sendiri oleh masyarakat setempat, seperti tikar purun untuk menjemur padi, tanggui dan umumnya dikerjakan oleh kaum wanita sebagai kerajinan rumah tangga. Bahan baku untuk pembuatan peralatan tersebut umumnya terdapat di lahan rawa pasang surut di sekitar tempat tingal mereka. Pengetahuan dan keterampilan dalam pemanfaatan bahan-bahan ini sudah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu dan diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya. Kerajinan tangan ini merupakan salah satu bentuk matapencaharian sampingan yang umumnya dilakukan oleh kaum wanita. Pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat dalam pembuatan dan penggunaan peralatan untuk usahatani di lahan rawa pasang surut ini 119 merupakan bentuk penerapan teknologi sederhana yang tepat guna. Pengetahuan tentang kondisi ekosistem lahan rawa pasang surut dengan berbagai kendalanya mendorong berkembangnya pengetahuan masyarakat dalam menciptakan dan menggunakan alat bantu dalam kegiatan usahataninya. Pengembangan atau penyempurnaan peralatan sederhana ini dari waktu ke waktu terus berlangsung seiring dengan perubahan yang terjadi dalam sistem pertanian maupun sistem sosial masyarakat setempat. Secara skematis pembentukan pengetahuan lokal petani menyangkut peralatan pertanian di lahan rawa pasang surut hubungannya dengan sistem sosial masyarakat dapat dilihat pada Gambar 10. Karakteristik lahan sulfat masam Karakteristik pasang surut air Lapisan pirit Sistem perakaran tanaman Pengolahan tanah dan teknis penananam bibit Peralatan pertanian sederhana yang adaptif Sistem matapencaharian Gambar 10 Pengetahuan tentang peralatan pertanian hubungannya dengan sistem sosial di lahan rawa pasang surut. 120 Pengetahuan lokal ini merupakan hasil adaptasi melalui proses pemahaman dan pengalaman mereka dalam berinteraksi dengan lingkungan. Koadaptasi sistem sosial dan sistem biofisik (ekosistem) lahan rawa pasang surut yang berlangsung secara pengetahuan lokal bersifat dinamis. terus menerus menunjukkan bahwa Walaupun demikian, dasar-dasar dalam pembentukan dan perkembangan pengetahuan lokal di lahan rawa pasang surut ini tidak lepas dari eksistensi mereka dalam berinteraksi dengan alam. Ini artinya perubahan-perubahan yang terjadi hanya akan mudah diterima jika perubahan tersebut sesuai (compatible) dengan sistem sosial dan pandangan yang mereka anut selama ini. Beberapa bentuk pengetahuan lokal petani dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut di Kalimantan Selatan ini dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Bentuk-bentuk pengetahuan lokal petani dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut Kegiatan / Aktivitas Pengelolaan Bentuk Pengetahuan Lokal 1. Pengelolaan lahan • Teknik pembuatan handil • Teknik pembuatan surjan/tukungan • Karakteristik lahan yang cocok untuk dijadikan sebagai sawah • Teknik pembuatan saluran • Hubungan vegetasi yang tumbuh dengan kondisi kesuburan lahan • Sistem organisasi sosial dan kelembagaan handil untuk menciptakan kebersamaan dalam pengeloalan lahan rawa pasang surut yang berkelanjutan 2. Peralatan usahatani • Peralatan pengolahan tanah (tajak) yang adaptif untuk kondisi lahan rawa pasang surut yang umumnya dengan tingkat kemasaman tinggi (adanya lapisan pirit) • Teknik pembuatan peralatan sederhana untuk persiapan lahan (kakakar) • Peralatan untuk tanam menanam pada kondisi air yang dalam (arus pasang surut yang kuat) • Peralatan panen yang sesuai dengan karakteristik fisik tanaman (posisi malai padi). • Peralatan pemisah gabah bernas dengan gabah hampa yang sederhana dan efektif (gumbaan) • Lumbung penyimpanan padi yang dapat mencegah gangguan serangan tikus 121 Lanjutan Kegiatan / Aktivitas Pengelolaan Bentuk Pengetahuan Lokal 3. Sistem budidaya tanaman padi - Pembukaan lahan • Identifikasi kesuburan melalui vegetasi • Kedudukan terhadap sungai/anak sungai • Sifat fisik tanah (Lapisan tanah permukan dan tanah bagian bawahnya) • Pengaturan tata air untuk mencuci kemasaman • Pembuatan surjan - Pengolahan tanah • Adanya lapisan pirit yang beracun bagi tanaman • Penggunaan alat tajak untuk mencegah terangkatnya pirit • Pemanfaatan gulma/sisa pengolahan tanah untuk pupuk organik • Teknik mempercepat pembusukan gulma - Varietas padi • Sifat dan karakteristik varietas lokal yang adaftif terhadap kemasaman tinggi • Karakteristik beras yang dihasilkan • Hubungan varietas yang ditanam dengan kelembagan sosial • Teknik seleksi untuk memperoleh benih yang baik - Persemaian • Teknik persemaian secara bertahap dengan perpindahan tempat (transplanting) sehingga bibit dapat beradaptasi dengan kondisi lahan • Hubungan antara teknik pembibitan dengan waktu persiapan lahan • Pengetahuan tentang cuaca dan iklim • Pengetahuan tentang kedudukan bintang karantika dan baur bilah • Pengetahuan tentang kedudukan bulan thd bumi • Pengetahuan tentang sistem pasang surut air - Penanaman • Sistem gotong royong (handipan atau baharian) dalam kegiatan penanaman • Hubungan antara jarak tanam, jumlah bibit dan jenis varietas • Penentuan awal dan akhir musim hujan • Pengaturan waktu tanam dengan cara memiliki banyak persil lahan dengan kondisi air yang berbeda • Pengaruh air asin terhadap tanaman padi • Sistem kerja harian dan borongan dalam kegiatan tanam 122 Lanjutan Kegiatan / Aktivitas Pengelolaan Bentuk Pengetahuan Lokal - Pemeliharaan • Pemeliharaan yang tidak intensif hubungannya dengan ketersedian waktu luang untuk kegiatan lain • Pengetahuan tentang kondisi tanaman yang perlu dipupuk atau tidak • Pengendalian hama dan penyakit tanaman • Pengetahuan tentang kapur pertanian - Pemanenan • Hubungan karakteristik jenis varietas lokal dengan teknik pemanenan • Penggunaan alat panen dan perontok yang sesuai dengan situasi dan kondisi • Sistem pembagian kerja dan tenaga upahan dalam kegiatan panen - Pascapanen • Teknik pembersihan gabah dengan menggunakan alat gumbaan • Teknik penjemuran atau pengeringan sehingga padi dapat bertahan lama • Sistem penyimpanan padi (lumbung) agar tidak diganggu tikus 4. Pemeliharaan dan • Karakteristik lahan rawa pasng surut dan lahan pelestarian gambut lingkungan lahan • Pencegahan degradasi lingkungan (misalnya rawa pasang surut kebakaran lahan gambut) • Peranan pupuk organik terhadap kesuburan tanah • Peranan dan dampak pupuk kimia serta pestisida terhadap kelestarian lingkungan • Peranan kapur dalam menjaga agar kemasaman tanah dapat dikurangi • Penyelenggaraan sistem gotong royong dalam pengelolan lingkungan • Teknik pengolahan tanah dan peralatan yang digunakan agar tidak membongkar lapisan pirit • Peranan hutan galam dan gambut dalam sebagai wilayah konservasi Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009 123 Pengaturan Air Pembuatan Handil Pembuatan Tukungan Sistem Pengelolaan Lahan Kesuburan Tanah Sifat Fisik Tanah Jenis Vegetasi Peralatan Adaptif Kelembagaan handil Pola kepemilikan lahan Kondisi Biofisik Kondisi Sosial Budaya Sistem Peralatan Pertanian Teknologi Tepat Guna Bahan Baku Lokal Pola mata pencaharian Konstruksi Sederhana Pengetahuan Lokal Pengetahuan Asronomi Gerakan Pasang Surut Siklus Musim Hujan Sistem Budidaya Pertanian Pengetahuan Agronomi Budidaya dan pascapanen Jenis Varietas Padi Lokal Lahan Sulfat Masam Pupuk Organik Pengolahan Tanah MInimum Sistem Pelestarian Lingkungan Karakteristik Gambut Sifat Kering Tak Balik Pencegahan Kebakaran Sistem kerja sama dan gotongroyong Sistem upah dan Bagi hasil Sistem kerja sama dan gotongroyong Kelembagaan Handil dan Sanksi Sosial Gambar 11 Taksonomi pengetahuan lokal petani dan hubungannya dengan komponen sistem sosial . 124 6.2 Proses pembentukan dan transmisi pengetahuan lokal Pemahaman masyarakat terhadap kondisi biofisik (ekosistem) lahan rawa pasang surut dan upaya-upaya untuk memanfaatkan sumberdaya alam setempat untuk keberlangsungan kehidupan lama kelamaan membentuk berbagai pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan lahan rawa pasang surut tersebut. Melalui usaha yang bersifat coba-coba (trial and error) akhirnya mereka menemukan berbagai hubungan antara komponen dalam sistem biofisik dan sistem sosial masyarakat di lahan rawa pasang surut. Pengetahuan tentang karakteristik tanah masam atau pirit yang beracun bagi tanaman diperoleh melalui pengalaman puluhan hingga ratusan tahun berusahatani di lahan rawa pasang surut. Begitu juga halnya dengan berbagai pengetahuan lainnya tidak diperoleh dalam waktu singkat, tetapi melalui suatu proses yang relatif panjang. Pengetahuan-pengetahuan yang terbentuk ini ternyata terbukti mampu mengantarkan masyarakat di lahan rawa pasang surut untuk mencapai tujuan berusahatani, yakni diperolehnya hasil yang cukup. Karena sifatnya spesifik, pengetahuan-pengetahuan ini hanya dapat digunakan pada aras lokal atau pada wilayah lain yang memiliki karaktersitik biofisik dan sistem sosial tidak jauh berbeda. Keterbatasan dalam luas jangkauan ini membuat pengetahuan lokal yang terbentuk dan dimiliki oleh masyarakat di lahan rawa pasang surut dianggap kuno dan ketinggalan jaman. Hal ini semakin nampak bagi orang luar, jika sistem atau model pertanian ini dibandingkan dengan pertanian modern yang mampu menghasilkan produksi yang jauh lebih tinggi. Perbandingan ini kurang tepat dilakukan, mengingat bahwa lahan rawa pasang surut termasuk kategori lahan marginal yang memang sebenarnya kurang cocok dijadikan sebagai lahan pertanian. Kemampuan petani dalam memanfaat lahan yang marginal sehingga memberikan manfaat atau hasil pertanian yang cukup merupakan sebuah prestasi dan bukti kemampuan pengetahuan yang dimiliki masyarakat mampu mengatasi kendala-kendala yang ada di lahan marginal tersebut. Pengetahuan lokal yang terbentuk sebagai sebuah proses adaptasi terhadap kondisi biofisik dan sistem sosial masyarakat akan menghasilkan sebuah praktik pertanian adaptif dan berkelanjutan. Keberlajutan pertanian di lahan rawa pasang surut merupakan salah satu indikator keberhasilan dalam mengelola ekosistem, sehingga ekosistem tersebut mampu memberikan hasil 125 dalam jangka yang relatif lama. Berdasarkan hasil diskusi dengan para petani di lahan rawa pasang surut, praktik-praktik pertanian yang didasarkan atas pengetahuan lokal ternyata mampu meningkatkan produksi khususnya tanaman padi di lahan rawa pasang surut. pertanian, Pada awal-awal pembukaan lahan, produktivitas lahan yang diusahakan untuk tanaman padi hanya mencapai 3-5 blek per borong (1,05 -1,75 ton/ha). Setelah tiga hingga lima tahun diusahakan, produktivitas tanaman padi sudah mencapai kondisi stabil untuk wilayah ini, yakni mencapai 6-10 blek/borong (2,10 – 3,50 ton/ha). Fluktuasi produksi selanjutnya sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim (terutama lahan rawa pasang surut tipe C dan D) serta serangan hama dan penyakit tanaman. Pengetahuan lokal yang dimiliki ini ditransmisikan baik dalam sistem sosial tersebut maupun antar generasi. Hubungan sosial yang akrab, solidaritas sosial yang tinggi, sistem kelembagan handil yang umumnya beranggotakan orang-orang dari daerah asal yang sama merupakan faktor pendorong dalam proses transmisi pengetahuan lokal dalam sistem sosial masyarakat tersebut. Bahkan dalam kegiatan usahatani tidak ada sesuatu hal yang harus dirahasiakan, apalagi menyangkut hal-hal atau upaya untuk meningkatkan produksi. Pengetahuan atau temuan-temuan baru akan cepat beredar dalam masyarakat dan biasanya secara informal. Informasi baru tentang berbagai hal dalam konteks peningkatan produksi menyebar cepat secara berantai dari mulut ke mulut. Adanya jenis bibit varietas lokal baru yang dianggap baik akan cepat direspon masyarakat, dan dipraktikkan dalam skala kecil sebagai suatu bentuk uji coba. Proses transmisi secara oral, melalui peniruan dan demonstrasi merupakan salah satu karakteriktik khas dari pengetahuan lokal (Ellen and Bicker 2005). Masyarakat di wilayah lahan rawa pasang surut sebagaimana masyarakat pedesaan pada umumnya akan lebih yakin terhadap sesuatu kalau telah melihat atau membuktikan sendiri kebenarannya. Transmisi pengetahuan juga berlangsung dari satu ke generasi dalam sistem sosial tersebut. Seorang petani akan memberikan berbagai pengetahuan yang dimilikinya kepada anak-anaknya melalui proses pembelajaran langsung atau melalui praktik langsung dalam kegiatan usahatani. Anak-anak yang telah berusia sepuluh tahun biasanya telah diajak orang tuanya untuk membantu ke sawah. Pada tahap-tahap awal pengenalan kegiatan berusahatani, anak-anak 126 ini hanya sekedar dibawa ke lahan pertanian untuk bermain sambil memperhatikan orangtuanya bekerja. Tahap selanjutnya, anak-anak ini akan diminta membantu kegiatan-kegiatan ringan, seperti membersihkan rumput di galangan, membawakan bibit padi yang akan ditanam, hingga ikut memanen padi dengan menggunakan peralatan ani-ani atau sabit, serta merontok padi dengan cara menginjak-injak (meirik). Semakin, meningkat usianya, anak-anak ini selanjutnya ikut membantu orang tuanya dengan pekerjaan-pekerjaan spesifik yang membutuhkan keterampilan dan kehati-hatian, seperti mengolah tanah dengan menggunakan alat tajak, menanam padi dengan menggunakan alat tatajuk hingga pembersihan gabah dengan menggunakan alat gumbaan. Berdasarkan diskusi dengan masyarakat (melalui FGD) pada semua lokasi lahan rawa pasang surut, seorang anak petani yang sering dibawa orang tuanya ke sawah dan ikut membantu bekerja di sawah, sudah mampu mandiri dalam berusahatani padi pada usia sekitar 15 tahun. Pada usia ini, petani remaja ini sudah memiliki berbagai pengetahuan dalam berusahatani padi yang secara langsung ditularkan oleh orangtuanya. Walaupun demikian, anak tersebut masih belum diserahi lahan untuk dikelola sendiri hingga anak tersebut berkeluarga atau menikah. Jika anak tersebut menikah, maka orang tuanya atau mertuanya akan memberikan pinjaman atau pemberian lahan untuk dikelola sendiri dalam upaya memenuhi kebutuhan keluarganya. Proses demikian terus berlangsung, hingga berbagai pengetahuan lokal dalam mengelola lahan rawa pasang surut tersebut berlangsung dari generasi ke generasi. Proses transmisi pengetahuan lokal ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan interaksi dan komunikasi dalam kehidupan masyarakat setempat. Kebiasaan untuk duduk-duduk di warung minum saat siang hari setelah pulang dari sawah atau sore hari menjelang senja merupakan media efektif terjalinnya komunikasi antar petani. Petani pergi ke warung minum ini selain untuk beristirahat sambil minum teh atau kopi, juga memanfaatkannya untuk saling mengobrol atau bertukar informasi. Hubungan informal yang terjalin menjadikan komunikasi ini berjalan secara konvergen. Pada ruang publik (public sphere) seperti inilah masing-masing pihak bebas mengajukan pendapat dan pandangannya, baik menyangkut permasalahan pertanian maupun masalahmasalah di luar pertanian. Umumnya yang duduk-duduk atau mengobrol di warung ini adalah kaum laki-laki. Oleh karena itu dinding-dinding warung sering 127 dijadikan sebagai media untuk menempelkan pengumuman atau berita-berita yang menyangkut masyarakat desa setempat. Ruang publik lainnya yang sering dimanfaatkan oleh petani dalam proses transfer pengetahuan adalah mushala/masjid dan pada saat pertemuan yasinan /arisan di rumah warga yang dilakukan secara bergantian satu minggu sekali. Biasanya pada sore hari sebelum masuk waktu shalat magrib, petani dudukduduk diteras mushalla/masjid sambil berbincang-bincang. Pada saat inilah diperbincangkan berbagai hal atau kejadian tertentu, termasuk misalnya permasalahan perkembangan maupun permasalahan pertanian yang mereka hadapi. Begitu juga halnya pada saat sebelum atau sesudah kegiatan yasinan atau arisan dilakukan. Mereka memperbincangkan berbagai hal dari masalah keagamaan hingga masalah kehidupan sehari-hari. Pertukaran informasi dan pengetahuan berlangsung tanpa ada hambatan atau kendala tekanan dan dominasi. Ruang publik seperti inilah yang berperan dalam proses transmisi pengetahuan lokal dalam kehidupan masyarakat di lahan rawa pasang surut. Mekanisme pembentukan dan transmisi pengetahuan dalam sistem sosial masyarakat di lahan rawa pasang surut dapat dilihat pada Gambar 12. Sistem Biofisik (Ekosistem) Lahan Rawa Pasang Surut Petani A (Generasi I) Petani B (Generasi I) Petani Aa (Generasi II) Petani Bb (Generasi II) Sistem Sosial Masyarakat Lahan Rawa Pasang Surut = pengaruh Gambar 12 = transmisi Mekanisme pembentukan dan transmisi pengetahuan lokal di lahan rawa pasang surut. 128 Proses pembentukan dan transmisi hingga pelanggengan pengetahuan lokal ini sangat terkait dengan sistem sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Proses transmisi dari orang tua kepada anak dikaitkan dengan normanorma sosial yang menunjukkan kepatuhan anak kepada orang tuanya untuk ikut membantu orang tuanya bekerja di sawah. Melalui media inilah anak-anak memperoleh pengetahuan tentang bercocok tani padi beserta seluk beluk lahan rawa pasang surut. Begitu juga halnya dengan struktur sosial masyarakat yang umumnya relatif homogen sebagai petani padi memungkinkan transmisi pengetahuan berlangsung dalam kondisi tanpa hambatan dan dominasi. Petani yang memiliki pengetahuan luas tentang berbagai aspek mengenai pengetahuan pertanian di lahan rawa pasang surut memiliki kedudukan yang lebih dalam struktur sosial masyarakat. Pembentukan dan transmisi pengetahuan ini berbeda dibandingkan dengan sains yang umumnya bersumber dari luar sistem sosial. Sains di bidang pertanian di lahan rawa pasang surut merupakan hasil-hasil penelitian dari berbagai lembaga dan instansi pemerintah. Proses transmisinya melalui agenagen penyuluhan pertanian yang disampaikan sebagai bagian dari program pembangunan pertanian secara nasional. Perbandingan proses pembentukan dan transmisi antara pengetahuan lokal dan sains dalam sistem sosial masyarakat di lahan rawa pasang surut dapat dilihat pada Tabel 12 Pengetahuan lokal petani di lahan rawa pasang surut secara umum terbentuk berdasarkan pemahaman dan pengalaman yang kadang diikuti dengan proses mencoba-coba (trial and error). Hal ini berbeda dengan sains yang pembentukannya merupakan hasil dari penelitian dan ujicoba yang dilakukan melalui kerangka ilmiah yang objektif analitis dan dikembangkan melalui capaian-capaian rigorus sebelumnya serta sistematis (Agrawal 1995). Perbedaan proses pembentukan inilah yang juga berimplikasi terhadap proses transmisinya. 129 Tabel 12 Perbandingan bentuk serta proses transmisi antara pengetahuan lokal dengan sains PROSES BENTUK 1 Produksi pengetahuan Transmisi pengetahuan Pelanggengan/Pemeliharaan pengetahuan Pengetahuan Lokal Sains Pengetahuan Lokal Sains Pengetahuan Lokal Sains 2 3 4 5 6 7 Pengetahuan tentang pengelolaan lahan Pemahaman tentang sifat masam, gambut, dan adanya lapisan pirit Hasil penelitian dan uji coba di lahan rawa pasang surut Praktek dan pembelajaran langsung di lahan usaha oleh anak maupun pengalaman petani lain (teman/ tetangga) Kegiatan penyuluhan pertanian, demplot, sekolah lapang, dan lainnya Pembuatan saluran air (tata air mikro) dan pemeliharaan handil secara gotong royong Lembaga penyuluhan pertanian dan pembinaan dari Dinas pertanian atau instansi terkait lainnya seperti Dinas Kimpraswil Pengetahuan tentang peralatan usahatani Ujicoba (trial and error) tentang peralatan yang sesuai dengan kondisi sosiobiofisik lahan rawa pasang surut Hasil penelitian tentang peralatan dalam usahatani padi sawah Praktek dan pembelajaran langsung di lahan usaha oleh anak maupun pengalaman petani lain (teman/ tetangga) Kegiatan penyuluhan pertanian, demplot, sekolah lapang, dan lainnya Penggunaan peralatan usahatani yang adaptif untuk kondisi lahan rawa pasang surut (seperti ’tajak’, ’tutujah’, ’kakakar’, ’ani-ani’, ’gumbaan’ dan lainnya) Pelatihan penggunaan dan bantuan pengadaan peralatan modern seperti handtraktor, power thresser, sabit bergerigi dan lainnya 130 Lanjutan 1 2 3 4 Pengetahuan tentang budidaya tanaman padi Pengalaman dan pemahaman tentang sifat khas tanaman padi di lahan rawa pasang surut Hasil penelitian dan uji coba di lahan rawa pasang surut Praktek dan pembelajaran langsung di lahan usaha oleh anak maupun pengalaman petani lain (teman/ tetangga) Kegiatan penyuluhan pertanian, demplot, sekolah lapang, dan lainnya Mengusahakan padi lokal dengan sistem, tradisional yang adaptif dengan lingkungan setempat Lembaga penyuluhan pertanian dan pembinaan dari Dinas pertanian atau instansi terkait lainnya Pengetahuan tentang pemeliharaan dan pelestarian lingkungan Pemahaman tentang sifat rapuh (fragile) dari lahan rawa pasang surut terhadap kesalahan dalam pengelolaannya Hasil penelitian dan uji coba di lahan rawa pasang surut, Konvensi tentang lingkungan Praktek dan pembelajaran langsung di lahan usaha oleh anak maupun pengalaman petani lain (teman/ tetangga) Kegiatan penyuluhan pertanian Penerapan sistem surjan dan pencegahan kebakaran lahan gambut Penerapan sistem pertanian terpadu melalui program SLPHT dan SLPTT Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009 5 6 7 131 Proses transmisi pengetahuan lokal dilakukan melalui pembelajaran langsung di lapangan terutama transmisi antar generasi. Transmisi intergenerasi yang terjadi sesama petani berlangsung dalam ruang publik seperti pada saat perbincangan di warung, sebelum dan setelah kegiatan yasinan atau arisan, maupun di tempat-tempat seperti teras mushala atau masjid. Proses transmisi ini berlangsung dalam bentuk komunikasi yang bersifat konvergen dan bebas dari dominasi. Sebaliknya proses transmisi sains dilakukan melalui kegiatan penyuluhan oleh petugas penyuluh baik berupa ceramah, demonstrasi plot maupun praktik lapang yang lebih banyak bersifat komunikasi satu arah, yakni penyuluh sebagai sumber informasi. Pelanggengan atau pemeliharaan pengetahuan lokal dilakukan melalui penerapan sistem petanian spesifik lahan rawa pasang surut yang menekankan pada aspek penggunaan varietas lokal, pengaturan tata air, serta penggunaan peralatan tepat guna yang bersifat adaptif. Pelaksanaan program-program dinas dalam pembinaan petani di lahan rawa pasang surut, pemberian bantuan pengadaan peralatan atau mekanisasi pertanian merupakan bentuk-bentuk yang dilakukan pemerintah dalam upaya pemeliharaan dan pelanggengan sains di bidang pertanian. Semua kegiatan ini diintegrasikan dalam kegiatan penyuluhan pertanian yang mengacu pada kebijakan pemerintah pusat (sentralistik). 6.3 Peranan dan Eksistensi Pengetahuan Lokal Seiring dengan perkembangan waktu dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama di bidang pendidikan, proses penularan pengetahuan ini sekarang tidak selancar hal tersebut di atas. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal yang ditempuh anak tersebut, cenderung untuk semakin tidak terlibat langsung dalam kegiatan pertanian. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Shr (49 thn) salah seorang petani di Tabunganen: “Aku ini baiisi ampat ikung anak, sakulah wan kuliah di Banjarmasin, tapi pinanya kadada nang pina handak jadi patani. Jadi kami baduan haja lawan mamanya manggawi pahumaan ini. Bila inya datang kasini gin kadada nang hakunnya umpat manggawi pahumaan.” [Saya ini memiliki empat orang anak, mereka sekolah dan kuliah di Banjarmasin tetapi sepertinya tidak ada yang ingin jadi petani. Jadi kami cuma berdua, suami isteri saja yang mengerjakan sawah ini. Jika mereka pulang, tidak ada yang berminat ikut bekerja di sawah.] 132 Kasus-kasus seperti ini walaupun tidak banyak tetapi memberikan gambaran bahwa peningkatan pendidikan formal anak seorang petani pada satu sisi cenderung semakin menjauhkannya dari kegiatan-kegiatan pertanian. Pertanian menjadi kurang menarik dibandingkan pekerjaan-pekerjaan lain seperti menjadi pegawai negeri, karyawan perusahaan, dan lainnya. Kondisi seperti ini umumnya terjadi pada mereka yang memiliki anak-anak yang mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dalam sistem pertanian tradisional yang dilakukan masyarakat di lahan rawa pasang surut, pengetahuan-pengetahuan tentang teknis budidaya padi lokal dan seluk-beluk ekosistem lahan rawa pasang surut merupakan hal mutlak yang harus dimiliki. Pengetahuan lokal ini diwujudkan dalam bentuk praktikpraktik pertanian dan sistem sosial yang dikembangkan. Lahan rawa pasang surut bagi masyarakat petani merupakan aset bagi kelangsungan hidup mereka. Pengelolaan lahan yang tepat agar dapat berkelanjutan merupakan langkah yang harus ditempuh dan diwujudkan dalam berbagai praktik kearifan lokal. Hilangnya praktik-praktik spesifik dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut secara langsung akan menghilangkan berbagai pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Pengendalian hama tanaman padi tanpa menggunakan pestisida yang dilakukan oleh petani pada waktu sebelum adanya revolusi hijau (sebelum tahun 1970) hampir tidak dilakukan lagi. Untuk mengendalikan serangan ulat dan walang sangit, petani menggunakan caracara mekanis menggunakan asap dengan membakar ranting-ranting pohon dan dedaunan di sekitar sawah untuk mengusir hama tersebut. Cara lain yang dilakukan dengan bantuan seorang yang dianggap memiliki kelebihan tertentu (supranatural). Melalui cara ini, seorang petani yang lahannya diserang oleh hama wereng ulat atau hama lainnya cukup meminta bantuan orang tersebut. Tanpa harus melihat atau mendatangi lahan yang terserang hama tersebut, orang yang memiliki kemampuan supranatural tersebut, setelah diberitahu posisi lahannya terhadap kedudukan matahari. Seperti yang dikatakan oleh Zni (65 thn) tokoh pertani di Desa Simpang Nungki: “Sidin ini kawa mahalau hampangau atau hama bilalang matan jauh. Sidin cukup batakun ampah kamana pahumaannya, limbah itu disambur sidin lawan banyu ka ampah pahumaannya. Isuknya hampangau atau bilalang sudah kadada lagi dipahumaan.” 133 [Beliau ini dapat mengusir walang sangit atau hama belalang dari jauh. Beliau cukup bertanya kemana arah sawahnya, setelah itu beliau menyemburkan air ke arah sawah tersebut. Keesokan harinya walang angit dan hama belalang tersebut sudah tidak ada lagi di sawah tersebut] Praktik-praktik seperti di atas, saat ini sulit dipercaya kebenarannya, terutama oleh petani-petani muda di wilayah ini. Hal ini menunjukkan bahwa praktik-praktik atau pengetahuan yang di luar jangkauan nalar petani saat ini sulit untuk bertahan dan diterima dalam kehidupan masyararakat. Di sisi lain, pengetahuan-pengetahuan lokal yang dianggap masyarakat lebih realistis dan memperlihatkan hasil nyata akan semakin eksis dalam kehidupan masyarakat hingga munculnya pengetahuan-pengetahuan baru yang dianggap lebih baik dari pengetahuan lama tersebut. Pengetahuan tentang peranan pupuk kimia, seperti Urea, SP-36 dan SP 18, pupuk NPK (Posnka) yang terbukti mampu meningkatkan produksi padi, cepat diterima masyarakat sebagai suatu pengetahuan baru dan dipraktikan dalam sistem pertanian padi sawah yang mereka kembangkan. Begitu juga halnya dengan pengetahuan tentang kapur pertanian yang ternyata dapat mengurangi kemasaman tanah serta mempercepat proses pelapukan gulma yang ditebas melalui kegiatan pengolahan tanah, berkembang menjadi pengetahuan baru dalam kehidupan mereka. Pengetahuan-pengetahuan baru dari luar ini umumnya cepat diterima karena sifatnya sebagai pelengkap yang memperkaya pengetahuan tentang teknik-teknik pertanian yang selama ini dilakukan. Berbeda halnya dengan pengetahuan-pengetahuan yang berimplikasi mengganti praktik-praktik lama yang telah dilakukan, seperti penggunaan benih unggul, penggunaan traktor tangan (hand tractor), mesin perontok dan sabit bergerigi. Perubahan atau proses penerimaannya berlangsung relatif lama dibandingkan dengan teknologi yang berimplikasi sebagai pelengkap pengetahuan lama (Rogers, 2003) Keterbukaan masyarakat akan masuknya nilai-nilai baru yang dianggap dapat membawa ke arah kehidupan yang lebih baik serta sesuai dengan kondisi biofisik dan sosial masyarakat akan cepat diterima. Berdasarkan hasil diskusi dengan petani pada semua tipe lahan rawa pasang surut, diperoleh gambaran yang memperlihatkan bahwa pengetahuan yang mereka miliki yang terwujud dalam bentuk praktik-praktik pertanian di lahan rawa pasang surut merupakan warisan dari orang-orang tua jaman dulu dan mampu bertahan hingga sekarang. 134 Berbagai pengetahuan yang terbentuk akan tatap eksis selama praktik-praktik atau sistem yang digunakan tidak mengalami perubahan. Perubahan penggunaan varietas dari lokal menjadi unggul dan perubahan pola tanam dari satu kali menjadi dua kali setahun dalam pandangan masyarakat di lahan rawa pasang surut tipe A, akan membawa perubahan besar dalam sistem pengetahuan yang selama ini mereka miliki. Hal ini karena perubahan tersebut akan berimplikasi dengan perubahan sistem sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Walaupun demikian, menurut mereka pengembangan padi unggul dengan sistem pertanian modern seperti sekarang, kecil kemungkinannya untuk diterapkan di wilayah ini. Besarnya fluktuasi air di lahan sawah pasang surut tipe (30-50 cm) serta kuatnya arus pasang surut hampir tidak memungkinkan untuk menanam bibit padi unggul di sawah tersebut. Berbeda halnya dengan kondisi di lahan rawa pasang surut tipe B, C, dan D, dimana secara teknis budidaya padi unggul memungkinkan untuk dilakukan asalkan mampu mengatasi permasalahan tata air dan kemasaman tanah yang tinggi. Bagi masyarakat, pengetahuan lokal dalam mengelola lahan rawa pasang surut merupakan bentuk penyesuaian terhadap kondisi spesifik lahan rawa pasang surut yang tegolong marginal dengan kendala utama kemasaman tanah yang tinggi. Pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki menjadi dasar penentu dalam menjaga kelestarian dan keberlanjutan pertanian di lahan rawa pasang surut. Dengan demikian, pengetahuan lokal ini merupakan salah satu kearifan masyarakat dalam menjaga keseimbangan ekosistem di lahan rawa pasang surut. pertanian yang Oleh karena itu, pengelolaan yang salah atau praktik-praktik bersifat merusak (seperti pembakaran gambut) berarti penghancuran terhadap sumber-sumber kehidupan mereka. 6.4 Pengaruh Sistem Sosial dalam Pengembangan Pengetahuan Lokal Selain kondisi biofisik di lahan rawa pasang surut, sistem sosial masyarakat juga turut menentukan peranan dan eksistensi pengetahuan lokal. Komponen sistem sosial ini meliputi perkembangan teknologi, pertumbuhan penduduk, keberadaan organisasi sosial serta nilai dan norma yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Keterkaitan dan hubungan timbal balik antara sistem biofisik dan sistem sosial inilah yang menjadi faktor penentu dalam dinamika pengetahuan lokal masyarakat di lahan rawa pasang surut. Di sisi lain, 135 dinamika pengetahuan lokal masyarakat ini juga berimpliksi terhadap perubahan-perubahan pada sistem biofisik dan sistem sosial itu sendiri. Teknologi sebagai suatu bentuk nyata dari penerapan ilmu pengetahuan bertujuan untuk mempermudah kehidupan manusia. Oleh karena itu ilmu pengetahuan hanya akan terbentuk dalam sebuah medium kepentingan (Habermas 1990). Perkembangan teknologi pertanian yang dintroduksi dalam kehidupan masyarakat di lahan rawa pasang surut merupakan faktor penting yang mempengaruhi dinamika pengetahuan lokal masyarakat petani. Dengan basis sains di bidang pertanian, teknologi pertanian modern merasuk ke dalam kehidupan masyarakat dan menciptakan ideologi baru sebagai suatu solusi untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Praktik-praktik pertanian yang didasarkan atas pengetahuan lokal dianggap ketinggalan jaman sehingga tidak mampu untuk berproduksi secara efisien dan memberikan keuntungan ekonomi yang besar. Teknologi pertanian modern yang berbasis pada efisiensi produksi merupakan ciri utama dari sistem kapitalis pada bidang pertanian. Sistem pertanian yang diterapkan masyarakat petani di lahan rawa pasang surut selama ini masih menonjolkan aspek subsistensi yang cukup tinggi. Pemenuhan kebutuhan pangan keluarga merupakan faktor utama dalam sistem pertanian padi, dan jika ada kelebihan produksi baru dijual untuk keperluan hidup sehari-hari. Strategi pengembangan usahatani dengan modal minimal untuk memperoleh hasil tertentu merupakan prinsip ekonomi dasar yang dianut petani di lahan rawa pasang surut selama ini. Teknologi sederhana yang adaptif dikembangkan untuk mendukung sistem pertanian ini merupakan produk utama dari pengetahuan lokal masyarakat petani. Masuknya teknologi pertanian modern di bidang pertanian telah menimbulkan goncangan dalam pengembangan pengetahuan lokal yang menjadi basis sistem pertanian yang selama ini dilakukan masyarakat. Sistem pertanian modern dengan komponen teknologi utama pada penggunaan benih unggul dan pemakaian bahan-bahan kimia (pupuk anorganik dan pestisida) bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian, khususnya padi. Melalui program peningkatan produksi yang dicanangkan pemerintah (dari model Bimas hingga program Intensifikasi) pertanian padi diarahkan pada upaya peningkatan produksi. Padahal, dalam kenyataannya sering terjadi bahwa peningkatan produksi yang dicapai ternyata tidak diikuti dengan peningkatan pendapatan petani. Hal ini dapat terjadi karena dalam sistem 136 pertanian modern diperlukan biaya atau modal yang relatif besar. Besarnya peningkatan atau penambahan modal ini ternyata tidak seimbang dengan kenaikan nilai produk yang diperoleh. Akibatnya walaupun produksi yang dihasilkan besar tetapi keuntungan yang diperoleh petani tidak mengalami peningkatan. Faktor yang juga menyebabkan penerimaan petani rendah adalah harga jual gabah varietas unggul relatif lebih murah dari varietas lokal. Sebagai perbandingan harga gabah kering giling varietas lokal jenis Siam rata-rata mencapai Rp 35.000,- per blek (sekitar Rp 3.500,-per kg), harga gabah kering giling varietas unggul Ciherang hanya mencapai Rp 20.000,-/blek (sekitar Rp 2.000,- per kg). Pengaruh perubahan teknologi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat bukan hanya semata menghambat pengembangan atau menghilangkan pengetahuan lokal, tetapi di sisi lain juga ada yang mendorong ke arah pengembangan yang lebih dinamis. Penggunaan kapur pertanian untuk mengatasi kemasaman dan proses pelapukan sisa potongan gulma di persawahan merupakan teknologi yang memberikan pengetahuan baru bagi masyarakat tentang cara yang lebih baik dalam sistem pertanian padi. Begitu juga penggunaan pupuk anorganik, terutama Urea dalam pembibitan padi (fase lacak dan tangkar anak) dapat menghasilkan bibit-bibit padi yang berbatang besar dan panjang sehingga cocok untuk kondisi lahan pasang surut yang berair dalam (terutama di lahan rawa pasang surut). Melalui penggunan pupuk ini, petani memiliki pengetahuan tambahan tentang bagaimana menghasilkan bibitbibit padi yang baik dan dalam pertanamannya dapat ditanam hanya dengan satu tanaman per rumpun tanam. Komponen sistem sosial yang juga berperan dalam dinamika pengetahuan lokal adalah pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk ini terutama menyangkut semakin meningkatnya kebutuhan pangan. Pemenuhan kebutuhan pangan yang semakin meningkat harus diimbangi dengan peningkatan produksi tanaman pangan itu sendiri. Upaya peningkatan produksi ini dapat dilakukan melalui peningkatan luas areal persawahan maupun dengan peningkatan produktivitas lahan. Khusus di Kabupaten Barito Kuala, dalam kurun duapuluh lima tahun terakhir, pertumbuhan penduduknya (1,57%/ pertahun) lebih tinggi dari pertumbuhan luas lahan yang diusahakan (1,11% pertahun). Walaupun demikian, pertumbuhan produksinya (3,05% pertahun) ternyata lebih besar dari pertumbuhan penduduk. Dengan keterbatasan jumlah 137 lahan yang dapat digunakan untuk areal persawahan, peningkatan jumlah penduduk yang terus berlangsung serta kebutuhan areal pemukiman yang semakin meningkat maka upaya peningkatan produktivitas melalui kegiatan intensifikasi mutlak dilakukan. Selama duapuluh lima tahun terakhir produksi rata-rata tanaman padi hanya mengalami peningkatan sebesar 2,29% pertahun, dari 16,92 kw/ha pada tahun 1983 menjadi 35,10 kw/ha pada tahun 2008. Perubahan strategi peningkatan produksi dari perluasan areal menjadi intensifikas pertanian mendorong petani mengembangkan pengetahuannya dalam rangka meningkatkan produksi persatuan luas lahan. Upaya peningkatan produktivitas ini telah dilakukan petani sejak sebelum revolusi hijau melalui perbaikan kualitas lahan dan pengaturan tata air. Untuk menjaga kesuburan tanah, petani dahulu menaburkan garam pada bagian lahan sawah tertentu yang tanahnya agak keras. Cara ini diyakini dapat memperbaiki kualitas fisik tanah sehingga tanah menjadi gembur dan pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik. Praktik-praktik menabur garam di sawah ini umumnya ditemui pada lahan rawa pasang surut tipe C dan D. Untuk lahan rawa pasang surut tipe A dan B, upaya meningkatkan produktivitas lahan dilakukan melalui pengaturan tata air sehingga pasang surut air dapat berjalan lancar sehingga pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik. Teknik-teknik yang dilakukan petani di lahan rawa pasang surut pada era setelah revolusi hijau saat ini selain masih menggunakan teknik atau cara di atas, juga digunakan pupuk anorganik, pestisida, dan kapur pertanian. Pengetahuan tentang manfaat dan teknik penggunaan bahan-bahan kimia ini diperoleh melalui program-program penyuluhan pertanian yang dilaksanakan pemerintah dalam upaya peningkatan produksi padi. Dengan demikian, desakan pertambahan penduduk yang diiringi dengan keterbatasan jumlah lahan telah mendorong dinamika pengembangan pengetahuan lokal petani di lahan rawa pasang surut agar dapat eksis mempertahankan kehidupannya. Organisasi sosial sebagai bagian dari sistem sosial merupakan komponen yang juga berperan dalam dinamika pengetahuan lokal petani di lahan rawa pasang surut. Ikatan geneologis yang kuat yang terhimpun dalam kelompok-kelompok handil merupakan organisasi sosial petani yang eksis dan adaptif terhadap kondisi lahan rawa pasang surut. Pengetahuan tentang gerakan pasang surut air hubungannya dengan ukuran handil, sehingga air dapat lancar keluar masuk ke areal persawahan telah membentuk organisasi 138 handil sebagai organisasi penting dalam proses produksi pertanian. Nilai dan norma yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari mengacu pada kebersamaan yang terwujud dalam berbagai bentuk kegiatan gotong royong. Proses penularan pengetahuan dalam sistem ini menjadi lebih efektif, dimana untuk menjaga kelangsungannya dipilih seorang ‘kepala handil’ yang bertugas mengatur dan menegakkan nilai-nilai dan norma yang telah ditetapkan, walaupun secar tidak tertulis. Berbagai permasalahan dan kendala dalam usaha meningkatkan produksi pertanian, musyawarah antar anggotanya. khususnya padi dilakukan melalui Kegiatan pembersihan handil diatur dan dilaksanakan secara bergotong royong, termasuk jika ada penambahan anggota atau petani yang ingin berusaha di wilayah handil tersebut. Seiring dengan perkembangan pertanian dan program pembangunan pertanian yang dilaksanakan pemerintah, dibentuk kelompok-kelompok tani yang tujuannya untuk mempermudah pembinaan yang dilakukan oleh aparat pemerintah. Tujuan pembentukan kelompok tani ini lebih berorientasi pada kepentingan kemudahan pembinaan oleh aparat pemerintah, ketimbang kepentingan petani. Dalam pembentukan kelompok tani ini ada dua dasar yang digunakan, yakni berdasar atas domisili atau tempat tinggal petani dan berdasarkan atas hamparan. Khusus di lokasi penelitian, pembentukan kelompok tani didasarkan atas domisili atau tempat tinggal petani. Hal ini dilakukan mengingat, umumnya dalam suatu handil terdapat petani yang tempat tinggalnya jauh atau di luar desa. Dengan kedekatan domisili, maka penyuluh lebih mudah memberikan penyuluhan atau mengunjungi rumah petani. Kelemahan pola ini adalah permasalahan spesifik yang dihadapi petani di lokasi lahan pertaniannya berbeda-beda, dan kegiatan gotong royong di lahan pertanian menjadi kurang efektif. Pola ini berbeda dengan kelompok handil yang didasarkan atas hamparan lahan, dimana untuk kegiatan gotong royong akan lebih mudah dilaksanakan. Pembentukan kelompok tani seperti ini memunculkan konflik dalam kehidupan masyarakat karena petani yang lahannya berdekatan belum tentu tergabung dalam satu kelompok tani. Akibatnya ketika akan dilakukan gotong royong dalam satu hamparan, mereka mengalami kesulitan. Kegiatan kelompok tani kini lebih pada penataan administrasi petani oleh pemerintah, terutama dalam pemberian bantuan dan subsidi. Banyak petani yang masuk atau terdaftar sebagai angota kelompok tani hanya sekedar memenuhi persyaratan 139 adminsitratif semata. Walaupun kegiatan penyuluhan pertanian dilakukan oleh petugas penyuluh tetapi lebih banyak dilakukan dalam bentuk pertemuan kelompok di rumah ketua kelompok tani. Terkait dengan pengembangan pengetahuan lokal, kelompok handil relatif lebih dinamis karena dengan hamparan sawah yang berdekatan, permasalahan dan pengetahuan tentang sistem petanian di wilayah handil tersebut relatif sama. Proses tukar menukar pengetahuan dan pengalaman juga akan mudah dilakukan serta jalinan kebersamaan akan berlangsung semakin erat. Memang pembinaan yang dilakukan dengan basis wilayah hamparan lebih berat dibandingkan dengan kelompok yang dibentuk berdasarkan tempat tinggal, terutama dari sudut pembinaan yang dilakukan oleh aparat penyuluhan. Konsekuensi lainnya adalah bahwa kegiatan penyuluh akan lebih banyak dilakukan di lahan usaha petani, yang umumnya letaknya cukup jauh serta sarana transportasi yang terbatas dengan medan yang berat. Secara skematis, pengaruh komponen sistem sosial terhadap pengetahuan lokal petani dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut dapat dilihat pada Gambar 13. Teknologi Model penyuluhan / komunikasi Organisasi Sosial Teknik produksi Pengetahuan Lokal Kelompok / organisasi petani Populasi Pola kerjasama / gotong royong Gambar 13. Nilai dan Norma Mekanisme pengaruh komponen sistem sosial terhadap pengetahuan lokal dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut 140 Pembentukan kelompok tani sebagai organisasi sosial petani di pedesaan berpengaruh terhadap eksistensi kelembagaan petani yang telah ada seperti kelompok handil. Peranan kelompok handil dalam mengorganisir dan mengatur kegiatan pertanian digeser oleh kelompok tani, akibatnya kegiatan petani dalam kelompok hamparan menjadi kurang berkembang. Begitu juga nilai dan norma yang dikembangkan dalam kelompok tani lebih berorientasi pada penataan administrasi petani dibandingkan pembinaan petani. penyuluhan yang dikembangkan melalui kelompok tani Model kurang menyentuh kebutuhan mendasar petani dan lebih banyak berfungsi sebagai media diseminasi program-program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah secara nasional. Permasalahan-permasalahan spesifik lokal kurang mendapat perhatian dan pembinaan dari petugas penyuluh. Faktor ini tentu saja berpengaruh terhadap perkembangan dan eksistensi pengetahuan lokal. Perkembangan teknologi pertanian dan tekanan jumlah penduduk merupakan faktor lainnya yang mendorong pemerintah lebih berorientasi pada peningkatan produksi dalam pembinaan petani secara nasional. Program- program nasional peningkatan produksi ini kebanyakan berbasis pada pengembangan padi unggul yang selama ini masih belum dapat diterima masyarakat di lahan rawa pasang surut. Konflik kepentingan ini tercipta dengan penolakan sebagian besar petani untuk mengembangkan padi unggul. Pada sisi lain, program-program pemerintah dalam upaya peningkatan produksi ini lebih mengutamakan teknologi yang dikembangkan secara nasional dan kurang sesuai dengan kondisi spesifik di lahan rawa pasang surut. Faktor inilah yang secara langsung juga berpengaruh terhadap perkembangan dan eksistensi pengetahuan lokal petani di lahan rawa pasang surut. 6.5 Kendala dalam Pengembangan Pengetahuan Lokal Seiring dengan pembangunan pertanian yang dilaksanakan pemerintah melalui berbagai program intensifikasi pertanian dalam upaya peningkatan produksi padi telah memberikan hasil yang cukup penting. Pembangunan dan rehabilitasi saluran atau handil, pembangunan infrastruktur jalan usahatani, pengembangan kelembagaan kelompok tani, bantuan kredit produksi hingga pengembangan usaha agribisnis pedesaan dilaksanakan pemerintah untuk mencapai sasaran dan target produksi pertanian di lahan rawa pasang surut. 141 Semua program yang pernah dan sedang dilaksanakan ini walaupun diarahkan untuk kepentingan petani, tetapi ternyata masih belum mencapai sasaran akhir untuk mencapai kesejahteraan petani dan keluarganya. Bahkan pada sisi lain justeru melemahkan keberdayaan dan pengetahuan lokal yang dimiliki petani (Fakih 1995, Maliki 1999). Petani selalu diposisikan sebagai komunitas statik, tertinggal, dan tidak siap menerima inovasi. Sebelum pemerintah melaksanakan pengembangan pertanian melalui revolusi hijau, petani dengan kemampuan lokal yang dimilikinya mampu menggalang kekuatan mengelola lahan rawa pasang surut sehingga menghasilkan areal pertanian yang dapat mencukupi kebutuhan hidup petani setempat. Melalui jalinan kerjasama dan gotong royong yang terwujud dalam kehidupan sosial, para petani beradaptasi dengan kondisi spesifik lahan rawa pasang surut. Ketika pemerintah turut campur tangan membenahi sistem tata air, pengunaan tenaga mesin untuk pengerukan handil, penataan kelembagaan sosial petani melalui kelompok tani, produktivitas padi memang mengalami peningkatan. Pada sisi lain, dampak dari besarnya campur tangan pemerintah ini justeru semakin pemerintah. meningkatkan ketergantungan petani pada bantuan Kegiatan gotong royong pembersihan dan pemeliharaan handil yang sebelumnya selalu dilakukan petani kini sudah jarang sekali dilakukan, karena secara berkala dilakukan pemeliharaan oleh pemerintah. Semakin lama jumlah handil yang harus ditangani pemerintah semakin bertambah, sedangkan anggaran yang tersedia untuk kegiatan pemeliharan tersebut juga terbatas. Akibatnya frekuensi pemeliharan menjadi berkurang, biasanya setiap tiga hingga lima tahun selalu dibersihkan atau dikeruk, kini hingga puluhan tahun masih belum dilakukan pemeliharaan. Seperti yang dikemukakan Tlb (64 thn), seorang tokoh petani di Desa Tinggiran Darat: “Dahulu kami bagutung ruyung mambarasihi handil saban tahun pabila mulai musim tanam. Limbah handil Anang ini dikarukakan pamarintah, banyunya batambah lancar karana didalami lawan diluasi. Pabila mulai surut lawan banyak kumpainya atau tatapal, tapaksa kami mamuhun lawan pamarintah supaya dikarukakan. Amun sudah dalam lawan luas kaya ini kami kada sanggup lagi manggawi lawan tanaga manusia, jadi harus mamakai masin karuk.” [ Dahulu kami bergotong royong membersihkan handil setiap tahun ketika awal musim tanam. Setelah handil Anang ini dikeruk oleh pemerintah, aliran airnya bertambah lancar karena dilakukan pendalaman dan perluasan. Pada saat handil ini surut serta banyak rumput/gulma atau tersumbat, terpaksa kami memohon kepada pemerintah agar dilakukan pengerukan. Sebab handil yang sudah 142 dalam dan luas seperti ini kami tidak sanggup lagi mengerjakannya dengan tenaga manusia, kecuali memakai peralatan keruk (excavator) ] Pendapat petani di atas menunjukkan bahwa mereka bahwa kegiatan pengerukan dan pemeliharaan handil adalah tanggung jawab pemerintah, sehingga umumnya mereka bersikap pasif dan menunggu. Mereka beralasan bahwa pembersihan dan pemeliharan handil tersebut harus menggunakan peralatan berat dan kurang efektif jika dikerjakan secara manual dengan tenaga manusia. Untuk kegiatan pembersihan rumput, menurut mereka masih dapat dikerjakan secara bergotong royong dengan tenaga manusia. Pandangan dan sikap ini menunjukkan ketergantungan petani terhadap bantuan pemerintah dan menimbulkan konflik di masyarakat. Timbul anggapan bahwa pemerintah kurang memperhatikan nasib dan kehidupan petani. Mereka menilai bahwa berbagai program pemerintah yang ada sekarang ini kurang efektif untuk meningkatkan produksi padi jika aliran air pasang dan surut pada handil tersebut tidak lancar. Melemahnya semangat gotong royong ini juga didorong oleh berkembangnya sistem upah dan sistem kepemilikan lahan (terutama sistem sewa). Petani yang kaya biasanya lebih banyak menggunakan tenaga upahan untuk mengerjakan kegiatan usahatani padinya. Mereka lebih banyak melakukan kegiatan lain seperti berdagang, mengurus penggilingan padi, ataupun mengatur kegiatan-kegiatan pertanian pada lahan-lahan di lokasi lain (baik di dalam desa maupun di desa sekitar). Untuk kegiatan gotong royong, jika berhalangan mereka memberikan konpensasi berupa uang untuk membeli konsumsi gotong royong. Begitu juga dengan petani penyewa, rasa memiliki dan tanggung jawab atas kondisi handil sebagian dari mereka relatif kurang dibandingkan dengan petani yang menggarap lahannya sendiri. Padahal berdasarkan norma yang ada, penyewa ikut bertanggung jawab terhadap pemeliharaan handil. Terhadap mereka yang sering tidak mau ikut bergotong royong, biasanya disarankan kepada pemilik lahannya untuk tidak menyewakan lagi lahan tersebut kepada yang malsa ikut bergotong royong. Kendala lain dalam pengembangan pengetahuan lokal ini justeru datang dari sistem sosial masyarakat petani itu sendiri. penduduk, tekanan Desakan pertumbuhan ekonomi dan komersialisasi yang berlangsung cepat merupakan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan pengetahuan lokal. Hasil diskusi dengan petani melalui kegiatan FGD 143 menyimpulkan bahwa meningkatnya berbagai kebutuhan hidup merupakan salah satu faktor yang mendorong perubahan sosial dalam kehidupan petani. Jika sebelumnya berbagai kebutuhan hidup hanya terfokus pada kebutuhan primer semata seperti sandang, pangan dan perumahan. Berbagai kebutuhan hidup ini, terutama pangan dan perumahan dipenuhi dan diproduksi sendiri dengan menggunakan sumberdaya yang ada di lingkungan setempat. Kini mulai dari kebutuhan primer, sekunder hingga tersier harus dipenuhi dari hasil pendapatan baik dari usaha pertanian padi maupun di luar usaha tani padi. Kendaraan roda dua seperti sepeda motor, lemari es, televisi, pemutar DVD, antena parabola, telepon genggam dan lainnya bukan merupakan barang mewah lagi, tetapi sudah menjadi kebutuhan hidup sehari-hari. Perubahan gaya hidup ini secara perlahan mulai merubah pandangan hidup sebagian petani di wilayah ini. Walaupun sistem pertanian masih bersifat subsisten, tetapi tingkat subsistensinya sudah mulai berkurang. Komoditas pertanian komersial nonpadi mulai dikembangkan, seperti nanas dan jeruk dengan memanfaatkan lahanlahan bedengan atau surjan. Perubahan gaya hidup inilah yang menjadi kendala dalam pengembangan pengetahuan lokal, karena ternyata gaya hidup baru ini dianggap lebih sebagai kemajuan dalam sistem sosial petani setempat. Mulai memudarnya kegiatan gotong royong dan berkembangnya sistem upah merupakan bentuk-bentuk penyesuaian sistem sosial terhadap perubahan yang terjadi. Sebelumnya, kegiatan gotong royong sering dilakukan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang membutuhkan tenaga kerja banyak dan harus segera diselesaikan seperti penanaman dan pemanenan Semakin meningkatnya luas areal lahan yang diusahakan serta kebutuhan akan penyelesaian kegiatan memaksa petani menggunakan tenaga kerja luar keluarga. Hal ini terutama dirasakan oleh petani yang mengusahakan lebih dari satu hektar sawah dan hanya memiliki 2-3 orang tenaga kerja dalam keluarga. Masing-masing keluarga petani petani secara bersamaan memerlukan tenaga kerja dalam jumlah yang besar, maka mau tidak mau harus didatangkan tenaga kerja upahan dari luar desa bahkan dari luar daerah. Seperti yang dituturkan Ysr (45 thn) seorang penyuluh pertanian di Tabunganen: “Kegiatan gotong royong saat ini umumnya hanya dilakukan pada kegiatan penanaman. Untuk kegiatan panen biasanya berlaku sistem bagi hasil dan sistem tebusan atau upah. Biasanya pada saat kegiatan panen petani kekurangan tenaga kerja padahal padi harus segera dipanen dan mereka masing-masing memanen padinya. Untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja harus didatangkan dari luar desa, 144 bahkan dari luar Batola. Untuk transportasi dan akomodasi selama dipekerjakan, ditanggung oleh petani pemilik lahan. Selain memperoleh upah kerja, tenaga upahan ini juga memperoleh jaminan makan tiga kali sehari.” Kegiatan gotong royong yang dilakukan bukan hanya berkurang intensitasnya tetapi jenis kegiatan dan pesertanya pun juga menurun. Kegiatan gotong royong yang masih banyak dilakukan adalah pada saat penanaman (handipan) dan pembersihan saluran handil. Begitu juga dengan jumlah peserta, terutama untuk kegiatan handipan biasanya hanya dalam kelompok-kelompok kecil 10-15 orang, padahal sebelumnya bisa mencapai 25-30 orang. Penurunan ini terkait semakin banyaknya petani yang menggunakan tenaga upahan karena dinilai lebih praktis dan lebih cepat selesai. 6.6 Ikhtisar: Mengapa Pengetahuan Lokal Perlu Dikembangkan? Dalam sejarah perkembangannya pengetahuan lokal yang dimiliki oleh suatu komunitas merupakan sekumpulan strategi adaptasi dalam berinteraksi dengan lingkungan setempat. Proses pembentukannya lebih menekankan pada pengalaman dan pemahaman terhadap gejala alam. Proses trial and error akan selalu berlangsung sehingga ditemukan suatu pemahaman yang holistik tentang gejala-gejala alam yang terjadi tersebut (Ellen and Bicker 2005). Oleh karena itu, secara kontekstual pengetahuan lokal sangat terkait dengan kondisi lingkungan sosial-biofisik dengan konteks spesifik lokal. Merubah lahan rawa pasang surut menjadi sebuah areal pertanian yang subur bukan hanya memerlukan pengetahuan dan keterampilan teknis semata terkait sifat-sifat yang melingkupinya. Diperlukan adanya pola hubungan sosial spesifik dalam kehidupan masyarakat sehingga kendala-kendala teknis yang ada dapat diatasi secara lebih holistik. Pola kerjasama kelompok handil yang merupakan cikal bakal dalam terbentuknya komunitas masyarakat pertanian di lahan rawa pasang surut. Bentuk kerjasama dengan ikatan sosial dan hubungan kekeluargaan yang kuat menjadi pendorong dalam mengembangkan pertanian di lahan marjinal ini. Pemahaman yang holistik terhadap gejala alam inilah yang melahirkan pengetahuan-pengetahuan lokal dalam mengelola lahan rawa pasang surut. Pengetahuan lokal petani untuk mengelola lahan rawa pasang surut terbentuk dari interaksi mereka untuk mengatasi dua kendala spesifik, yakni genangan air dan tingkat kemasaman yang relatif tinggi (berupa tanah sulfat 145 masam). Hal ini selaras dengan teori koevolusi (coevolution) yang menyatakan bahwa pengetahuan lokal mengacu pada proses dinamis dan berkelanjutan dari adaptasi timbal balik antara lingkungan alamiah dan umat manusia. Terkait dengan aspek metodologis menurut Agrawal (1995) bahwa pengetahuan lokal berkembang melalui pengalaman dan pemahaman terhadap gejala alam. Begitu juga dengan hasil penelitian dari Sunaryo dan Joshi (2003) yang menyatakan bahwa pengetahuan lokal merupakan hasil dari proses belajar berdasarkan persepsi petani sebagai pelaku utama pengelola sumber daya lokal. Menyangkut persepsi terhadap lingkungan ini, Kalland (2005) menyebut pengetahuan lokal sebagai pengetahuan yang bersifat empiris, sehingga mampu menyesuaikan dengan kondisi lingkungan sekitar. Tata air dengan sistem handil yang dikembangkan secara bertahap seiring dengan pertumbuhan anggota kelompok handil tersebut ternyata mampu menghadapi kendala biofisik yang ada. Aspek kepemimpinan dalam kelompok handil turut menentukan keberhasilan kegiatan pertanian di wilayah tersebut. Seorang kepala handil dipilih karena ia memiliki pengetahuan dan pemahaman baik tentang kondisi di wilayah tersebut, jujur dan bersifat adil. Hal ini penting karena salah satu tugas utamanya adalah mendistribusikan lahan-lahan yang ada kepada mereka yang membutuhkan secara adil. Lahan yang telah didistribusikan, tetapi tidak dikelola atau dibiarkan terbengkalai oleh anggota kelompok dapat berpengaruh buruk terhadap lahan-lahan pertanian di sekitarnya. Semak dan tumbuhan liar pada lahan yang terbengkalai ini merupakan sarang yang baik bagi beberapa jenis hama seperti tikus, wereng, ulat dan babi. Oleh karena itu sikap tegas seorang kepala handil juga diperlukan untuk menjaga keberhasilan pertanian di wilayahnya. Pengetahuan dan pengalaman tentang bercocok tanam padi di lahan rawa pasang surut yang dimiliki akan saling dipertukarkan antar petani anggota kelompok handil ini. Hingga pada akhirnya mereka memiliki pengetahuan dan pengalaman yang komprehensif dalam mengelola lahan rawa pasang surut ini. Bagaimana kemasaman tanah terjadi dan cara mengindari atau mengatasinya agar tanaman tidak terganggu pertumbuhannya merupakan pengetahuan teknis dasar yang mereka miliki sejak ratusan tahun lalu. Pengetahuan ini diturunkan atau ditularkan secara lisan dari satu generasi ke generasi lain secara oral dan praktik langsung di lahan usahatani. Penggunaan varietas lokal, peralatan usahatani, serta teknik bercocok tanam yang adaptif dengan kondisi lahan rawa 146 pasang surut merupakan pengetahuan yang berkembang sesuai dengan kondisi biofisik dan kehidupan sosial masyarakat. Pada lahan rawa pasang surut tipe A pengetahuan petani tentang gerakan air pasang, perhitungan iklim dan cuaca berdasarkan peredaran bintang lebih berkembang dibandingkan dengan di tipe lahan rawa pasang surut lainnnya. Pengetahuan-pengetahuan ini berimplikasi pada pengetahuan tentang teknik pembibitan padi serta penentuan suatu kegiatan usahatani. Kegiatankegiatan seperti penanaman dan pemupukan hanya efektif dilakukan pada saat terjadinya pasang kecil. Pada saat ini genangan air berada pada tingkat terendah dan kegiatan tanam maupun pemupukan mudah dilakukan. Kegiatan di sawah hanya berlangsung setengah hari, yakni pada saat air surut sehingga pola ini juga berpengaruh terhadap aktivitas petani sehari-hari. Pengetahuan petani di lahan rawa pasang surut tipe B terutama menyangkut teknik tata air untuk mengatasi kemasaman tanah. Sistem tata air yang baik dapat mencegah terjadinya oksidasi pirit karena lapisan ini secara alamiah akan mengalami oksidasi pada kondisi kering dan dapat meracuni tanaman. Pengetahuan mereka tentang lapisan pirit ini berimplikasi pada pengetahuan tentang pembuatan saluran baik yang ada dalam petakan sawah maupun di luar petakan sawah. Pengetahuan tentang peralatan pengolahan tanah (tajak) yang tidak membongkar lapisan pirit merupakan teknik yang dalam istilah pertanian dikenal dengan pengolahan tanah minimum (minimum tillage). Petani di lahan rawa pasang surut tipe C dan D yang kondisi agroekosistemnya tidak memperoleh luapan langsung dari air pasang, lebih dihadapkan pada masalah kemasaman tanah yang tinggi. Pengetahuan tentang ciri-ciri tanah yang baik untuk dijadikan sebagai areal persawahan lebih berkembang dibandingkan dengan masalah pasang surutnya air. Pengetahuan tentang cara mengidentifikasi kesuburan tanah melalui vegetasi yang tumbuh di atas lahan tersebut maupun kondisi fisik tanah merupakan keahlian petani setempat. Pembuatan surjan dan tukungan untuk ditanami dengan tanaman hortikultura merupakan strategi pertanian polikultur (tanaman campuran) untuk mengimbangi produktivitas padi yang relatif rendah. Penggunaan peralatan tajak merupakan implementasi dari pengetahuan mereka tentang lapisan pirit yang tidak boleh terbongkar pada saat pengolahan tanah. Teknik pembibitan secara bertahap lebih ditujukan untuk memperoleh bibit yang memiliki adaptasi tinggi terhadap kemasaman tanah. 147 Pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat dalam mengelola lahan rawa pasang surut ini pada kondisi tertentu terbukti mampu memenuhi kebutuhan hidup masyarakat setempat. Sistem sosial berkembang seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada kondisi lingkungan biofisik lahan rawa pasang surut. Terlebih lagi ketika kebijakan pertanian nasional dalam pengadaan pangan kini diarahkan pada wilayah-wilayah di luar jawa akibat penyusutan lahan pertanian subur di jawa akibat konversi ke penggunaan lain. Lahan-lahan marjinal, termasuk lahan rawa pasang surut dan lahan gambut dituntut untuk menghasilkan pangan dengan produktivitas tinggi. Program-program nasional dalam peningkatan produksi pangan selanjutnya dibebankan kepada masyarakat petani di lahan rawa pasang surut. Mereka dituntut untuk menghasilkan pangan dalam jumlah besar dengan merubah pola tanam dan jenis varietas padi yang diusahakan. Program penyuluhan melalui bimbingan massal hingga intensifikasi pertanian yang dilaksanakan secara nasional juga diberlakukan di lahan rawa pasang surut. Produktivitas dan efisiensi pertanian menjadi semboyan baru yang didengungkan kepada para petani. Teknik-teknik lama dalam bercocok tanam yang menggunakan varietas lokal berproduktivitas rendah harus diganti dengan varietas unggul berproduktivitas tinggi dengan penerapan teknologi pertanian modern. Haruskah sistem pertanian yang dianggap tradisional tetapi adaptif terhadap lingkungan digantikan dengan pertanian modern yang berproduksi tinggi? Kalau menguntungkan petani, kenapa tidak? Demikianlah pendapat yang dikemukakan aparat pembangunan pertanian. Proses seperti inilah yang oleh Fakih (1995) disebut sebagai dominasi dan penjinakan. Pada tataran lebih lanjut hal ini dapat menghilangkan pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Untuk mendukung program dan kegiatan peningkatan produksi padi ini dilakukanlah berbagai bimbingan dan penyuluhan tentang sistem bercocok tanam padi unggul yang benar-benar baru bagi masyarakat setempat. Berbagai bentuk bantuan, mulai dari benih unggul, pupuk, hingga modal usaha berupa kredit usahatani dikucurkan demi keberhasilan proyek ini. Bahkan dalam beberapa hal terkesan dipaksakan untuk mencapai target luas tanam padi unggul pada satu wilayah. Penyuluh pertanian yang di wilayahnya banyak petani menanam padi unggul akan diberi penghargaan, sedangkan yang tidak mampu mengajak petaninya untuk menanam padi unggul akan memperoleh 148 ‘sanksi’ atau dianggap gagal dalam menjalankan tugasnya. Target luas tanam untuk masing-masing wilayah telah ditetapkan dan harus dilaksanakan oleh petugas penyuluh di lapangan. Eksistensi kelembagaan petani seperti handil digeser oleh kelompok tani melalui penerapan peraturan Menteri Pertanian dalam rangka program nasional peningkatan produksi padi. Kelompok tani ini pada awalnya merupakan kelompok informal bagi petani tetapi dalam pelaksanannya berperan sebagai perpanjangan tangan petugas penyuluh untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan pertanian. Padahal dalam perjalanan sejarahnya, kelompok handil ini dapat membangun kebersamaan petani dalam meningkatkan produksi padi. Bahkan kelembagaan lokal seperti ini dapat menjembatani berbagai kepentingan dalam kehidupan masyarakat lokal (Yurisetou 2003). Kelompok tani yang menanam padi unggul diberi penghargaan dan berbagai fasilitas bantuan. Sebaliknya, kelompok tani yang tidak mau menanam padi unggul tidak mendapat pembinaan dan perhatian bahkan bantuan dari pemerintah. Hal ini terjadi karena sistem pembangunan pertanian yang dijalankan lebih berorientasi pada program bukan pada kesejahteraan petani. Bahkan kini, kepala daerah (kabupaten dan provinsi) yang mampu meningkatkan poduksi padinya di atas 5% akan memperoleh penghargaan dari presiden. Kenapa bukan pendapatan petani yang menjadi indikatornya? Konflik kepentingan inilah yang pada akhirnya dapat menyebabkan kelembagaan sosial yang telah ada di masyarakat mulai kehilangan eksistensinya sedangkan kelompok tani belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan petani. hanya sebatas nama dan Bahkan banyak kelompok tani yang kepentingan administrasi petugas, sedang kegiatannya tidak memberikan manfat bagi petani anggotanya. Kenyataan yang terjadi di wilayah lahan rawa pasang surut di Kalimantan Selatan, khususnya di Kabupaten Barito Kuala sedikit sekali petani yang mau menanam padi varietas unggul tersebut. Bahkan jika varietas lokal Siam Mutiara tidak ditetapkan sebagai varietas unggul, hanya 1.467 ha (1,55%) dari 94.658 ha luas pertanaman padi di Kabupaten Barito Kuala pada musim tanam 2009 ini. Mengapa hal ini bisa terjadi? Berapa kajian dan penelitian yang dilakukan menyebutkan bahwa faktor yang menyebabkan petani tidak mengadopsi benih unggul antara lain : a) hasil riil di lapangan yang tidak begitu tinggi dibandingkan dengan varietas lokal; b) keuntungan yang diperoleh kecil; c) harga jual yang relatif rendah dibanding varietas lokal; serta d) rasa nasi yang 149 kurang sesuai dengan selera masyarakat setempat (Ismadi dkk 2008, Rina Y dan Noorginayuwati 2007). Mengacu pada berbagai kendala teknis dan sosial ekonomi yang menjadi penyebab tidak banyaknya petani mengadopsi padi varietas unggul, pada tahun 2000 Balai Penelitian Pertanian Tanaman Pangan (Balittan) 6 Banjarbaru melepas dua varietas unggul baru Martapura dan Varietas Margasari. Varietas Martapura merupakan persilangan antara varietas lokal Siam Unus dengan varietas unggul nasional Dodokan. Varietas Margasari merupakan hasil persilangan antara varietas lokal Siam Unus dengan varietas unggul Cisokan. Kedua varietas ini memiliki butiran kecil dan panjang serta rasa nasi yang sesuai dengan selera masyarakat setempat (pera). Ternyata setelah hampir sepuluh tahun sejak dilepas petani juga tidak terlalu berminat menanam varietas baru ini. Alasannya karena mudah rebah dan harga jual yang diberikan pedagang pengumpul disamakan dengan harga padi unggul (lebih murah dari varietas lokal). Pedagang pengumpul menganggap padi jenis ini adalah padi unggul karena umurnya sekitar 4 bulan dan dalam perdagangannya varietas ini mereka sebut IR-Nus (Artinya padi unggul IR yang berpenampilan seperti varietas Siam Unus). Padahal dalam praktik perdagangan beras selanjutnya beras ini sering digunakan sebagai pencampur beras dari varietas Siam Unus yang harganya relatif mahal di antara varietas lokal lainnya. Ini memberikan gambaran bahwa, dalam sistem pemasaran hasil pertanian di tingkat lokal pun petani selalu dirugikan dan berada pada posisi tawar yang lemah. Mengapa petani mempertahankan sistem pertanian tradisional dengan varietas lokal dan enggan menggantinya dengan varietas unggul? Selain keuntungan yang diperoleh relatif kecil dibandingkan dengan varietas lokal, pengusahaan varietas unggul ternyata memerlukan biaya nyata (explicit cost) yang relatif besar. Resiko kegagalan panen akibat kondisi lahan rawa pasang surut yang dengan kemasaman tinggi juga menjadi pertimbangan petani untuk mengusahakan varietas unggul. Sistem pembibitan secara bertahap dari lahan kering hingga ke areal sawah yang berair merupakan bentuk penyesuaian bibit tanaman terhadap kondisi lahan rawa pasang surut yang memiliki tingkat kemasaman tinggi. Walaupun varietas unggul memiliki potensi produksi yang 6 Sejak Desember 1994 berubah menjadi Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa (Balittra) dan pada Januari 2002 berubah lagi menjadi Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra) 150 tinggi, tetapi kenyataan di lapangan memberikan hasil yang tidak jauh berbeda ketika ditanam di lahan rawa pasang surut. Bahkan dalam beberapa kasus produksinya lebih rendah dari varietas lokal. Bagi petani, peningkatan produksi bukan tujuan akhir dalam kegiatan pertanian padi, karena mereka lebih memperhitungkan pendapatan rumah tangga serta selera masyarakat terhadap rasa dan tekstur nasi. Mengusahakan padi varietas unggul memerlukan biaya tambahan seperti untuk pembelian pupuk dan pestisida, tetapi hasilnya tidak jauh berbeda dengan varietas lokal bahkan harga gabah varietas unggul jauh lebih rendah dari harga gabah varietas lokal 7. Faktor inilah yang menjadi penyebab mengapa padi varietas unggul nasional ini sejak diintroduksi tahun 1970-an hingga sekarang tidak banyak diminati petani di lahan rawa pasang surut. Upaya pemerintah mengembangkan pertanian modern berbasis padi unggul melalui program-program berbantuan menghasilkan kesadaran palsu. Program pembinaan justeru lebih mengarah pada hegemoni pemerintah yang mengusung dikotomi antara modern dan tradisional. Akibatnya segala yang berbau tradisional harus diubah menjadi modern melalui penerapan sains dan teknologi. Kondisi inilah yang dikritik oleh Habermas (2006) sebagai bentuk modernisasi kapitalis yang lebih menekankan pada tindakan strategis dalam bentuk kekuasan politis dan kemakmuran ekonomis. Proses seperti akan menutup pintu komunikasi antara penganut entitas pengetahuan lokal dengan sains. Bahkan pada tataran praktis, kegiatan penyuluhan yang dilakukan lebih bermakna pada penyampaian pesan-pesan pembangunan agar mereka mau menerapkan sains dan teknologi baru serta meninggalkan cara-cara lama. Sains dan praktik pertanian modern berbasis benih unggul yang disebarkan kepada petani melalui kegiatan penyuluhan pertanian ternyata kurang mendapat respon positif dari masyarakat di lahan rawa pasang surut. Bahkan penemuan varietas unggul baru 8 yang karakteristiknya menyerupai varietas lokal serta sesuai dengan kondisi di lahan rawa pasang surut juga tidak 7 Biaya pupuk untuk padi varietas lokal sekitar Rp 105.000,- - Rp 240.000,- per hektar, sedang untuk biaya pupuk varietas unggul mencapai Rp 650.000,- per hektar. Harga gabah lokal rata-rata Rp 3.000,- sampai Rp 3.500,- per kg, sedangkan harga gabah varetas unggul hanya Rp 2.000,- sampai Rp 2.500,- per kg. 8 Pada tahun 2000 diintroduksi varietas unggul Margasari dan Martapura yang merupakan hasil persilangan antara varietas lokal peka fotoperiod (Siam Unus) dengan padi sawah varietas unggul introduksi (Cisokan dan Dodokan) yang memiliki butiran kecil dengan rasa nasi yang pera dan cocok dengan selera masyarakat setempat. 151 banyak diadopsi petani. Beberapa petani menyatakan karena varietas ini mudah roboh dan harga jualnya di tingkat petani relatif rendah (Rp 2.000,hingga Rp 2.500,- per kg). Walaupun varietas ini berumur relatif pendek (sekitar 4 bulan), tetapi karena sistem budidayanya berbeda dengan teknik bercocok tanam padi yang selama ini dilakukan masyarakat sehingga sampai sekarang tidak banyak petani yang menanamnya. Bagi petani di lahan rawa pasang surut tipe A, pengetahuan mereka tentang kondisi biofisik setempat telah meyakinkan mereka bahwa sistem pertanian dengan teknik baru ini sangatlah sulit dilakukan. Kondisi air pada saat pasang yang cukup dalam tidak memungkinkan bibit ditanam secara baik di sawah. Berbeda halnya dengan yang terjadi di lahan rawa pasang surut tipe C dan D, berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki alasannya bukan hanya permasalahan kondisi biofisik semata, tetapi juga menyangkut aspek sosial ekonomi. Hasil analisis dalam kegiatan FGD dengan petani di lahan rawa pasang surut tipe C, dan D menunjukkan bahwa perubahan sistem bercocok tanamlah yang merupakan akar dari sulitnya masyarakat setempat menerapkan pengetahuan baru tentang budidaya varietas unggul. Berdasarkan pengetahuan petani setempat, sistem pertanian padi secara tradisional dengan varietas lokal merupakan sistem pertanian yang menggunakan input lokal dengan modal yang rendah serta memerlukan input luar yang kecil. Kegiatan pengolahan tanah, pembibitan, penanaman, pemeliharaan hingga panen dan pascapanen lebih banyak dikerjakan dengan tenaga kerja dalam keluarga. Hanya kegiatan panen yang banyak menggunakan tenaga upahan. Kegiatan penanaman selain dengan tenaga kerja dalam keluarga juga ada yang menggunakan tenaga upahan maupun dengan sistem handipan. Sarana produksi yang harus dibeli biasanya berupa pupuk buatan dan pestisida, sedangkan untuk bibit digunakan dari hasil panen sebelumnya. Waktu pengolahan tanah dan pembibitan yang relatif panjang dan intensitas curahan waktu kerja yang relatif sedikit memungkinkan masyarakat petani dapat memanfaatkan waktu senggangnya untuk kegiatan produktif baik dibidang pertanian maupun di luar bidang pertanian. Pemanfaatan waktu senggang untuk kegiatan pertanian lainnya seperti mengusahakan tanaman sayuran dan hortikultura, tanaman perkebunan maupun pengumpulan hasil hutan dan penangkapan ikan. Kegiatan di luar pertanian yang dilakukan seperti 152 bekerja sebagai buruh atau tukang bangunan, kerajinan anyaman, maupun jasa angkutan darat dan sungai. Pola pertanian padi dengan waktu yang relatif panjang ini secara teknis terkait dengan kendala kemasaman tanah di lahan rawa pasang surut. Pengetahuan petani setempat tentang sifat-sifat tanam masam dan pengendaliannya secara alamiah terbukti mampu mengatasi permalahan ini dengan biaya murah. Persawahan petani di rawa pasang surut umumnya merupakan lahan sulfat masam dan kemasamannya semakin meningkat setelah fase musim kemarau dan air mulai masuk ke sawah pada awal penghujan (terutama di tipe C dan D). Proses pencucian kemasaman tanah ini oleh air hujan terus berlangsung seiring dengan tingginya intensitas hujan pada bulan Desember dan Januari. Oleh karena itulah petani di wilayah ini akan mulai melakukan kegiatan penananam setelah bulan tersebut karena kondisi sawah sudah berkurang kemasamannya. Pada bulan-bulan dimana kondisi kemasaman di sawah masih tinggi (Oktober-Nopember), petani melakukan tahapan pembibitan dan pengolahan tanah. Pengetahuan tentang kondisi iklim (terutama curah hujan) dan sifat dan karakteristik tanah masam inilah yang mendasari mengapa sistem pertanian tradisional petani di lahan rawa pasang surut dilakukan dengan teknik pembibitan bertahap menggunakan varietas lokal yang mulai ditanam sekitar Januari hingga April. Model pertanian tradisional dianggap rendah produksinya sehingga perlu diganti dengan varietas unggul yang berproduksi tinggi dengan penerapan panca usahatani. Petani diperkenalkan dengan benih unggul, pupuk buatan, pestisida dan teknik pengelolaan yang intensif karena tanaman padi tersebut berumur pendek. Melalui kegiatan penyuluhan pertanian, petani diberi pengetahuan dan teknik baru dalam bercocok tanam padi sawah. Kelompok tani dibentuk untuk memudahkan pembinaan terhadap para petani dan dilengkapi dengan berbagai demonstrasi tentang teknik atau cara modern dengan menerapkan pancausahatani. pertanian Apa yang terjadi hingga sekarang, ternyata sangat sedikit sekali petani yang mau menerapkan pengetahuan dan teknologi pertanian modern ini. Mengapa mereka berperilaku demikian? Bagi petani di lahan rawa pasang surut tipe C dan D, selain produksinya yang tidak jauh berbeda dengan varietas lokal, ternyata diperlukan input dan modal yang relatif besar, sehingga keuntungannya juga relatif sedikit dibandingkan dengan varietas lokal, seperti ditunjukkan pada Tabel 13. 153 Tabel 13 No Perbandingan ekonomi usahatani padi lokal dengan padi unggul di lahan rawa pasang surut per hektar lahan Komponen Perhitungan Satuan Padi Lokal Padi Unggul 1 Produksi (Q) kg 2.800 3.500 2 Harga Gabah (P) Rp 3.500 2.500 3 Biaya Eksplisit (EC) Rp 1.992.500 3.212.500 4 Biaya Implisit (IC) Rp 5.502.500 4.372.500 5 Biaya Total (TC = EC + IC) Rp 7.495.000 7.585.000 6 Penerimaan (TR = P x Q) Rp 9.800.000 8.750.000 7 Pendapatan ( P = TR - EC) Rp 7.807.500 5.537.500 8 Keuntungan (π = TR - TC) Rp 2.305.000 1.165.000 9 R/C 1,31 1,15 - Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009 Berdasarkan alasan yang dikemukakan oleh petani tersebut, terdapat tiga masalah utama yang menyebabkan praktik budidaya padi unggul kurang diminati dibandingkan dengan praktik budidaya pertanian padi lokal (Gambar 14). Pertama, menyangkut aspek teknis budidaya dan hubungannya dengan kondisi spesifik lahan rawa pasang surut. Kendala kemasaman dan genangan air yang berpengaruh terhadap produksi aktual padi unggul merupakan alasan teknis yang menyebabkan petani kurang berminat mengusahakan padi unggul. Kedua, menyangkut aspek ekonomis dan keuntungan relatif usaha padi unggul yang lebih kecil dibandingkan dengan padi lokal. Biaya produksinya cukup tinggi karena memerlukan input luar serta curahan tenaga kerja yang banyak. Di sisi lain, harga jual gabah yang relatif rendah serta pemasaran yang sulit merupakan kendala ekonomis yang dihadapi petani padi unggul. Ketiga, aspek sosiologis yang menyangkut kebiasaan dan selera atau preferensi terhadap beras dari padi lokal. Hal ini juga tekait dengan pola matapencaharian masyarakat setempat yang terbentuk seiring dengan banyaknya waktu luang yang tersedia jika mengusahakan padi lokal. Ketiga aspek tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi juga memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Aspek teknis seperti kondisi lahan yang relatif masam dengan kesuburan yang rendah memerlukan masukan input seperti kapur dan pupuk kimia. Penambahan input luar ini tentu memerlukan tambahan biaya eksplisit yang harus ditanggung petani. Begitu juga dengan sistem 154 pemeliharaan yang intensif memerlukan curahan tenaga kerja yang lebih besar dibandingkan dengan usahatani padi lokal. Peningkatan curahan tenaga kerja ini berimplikasi pada berkurangnya kesempatan petani untuk melakukan kegiatan lain (misalnya mata pencaharian sampingan) atau harus mengeluarkan biaya upah tenaga kerja. Aspek Teknis Aspek Ekonomis Aspek Sosiologis Rentan serangan HPT Input luar tinggi Selera Konsumen Ketersediaan benih Lembaga Pemasaran Barang imperior Kemasaman tanah dan pasang surut Curahan TK banyak Sistem pemeliharaan intensif Produksi aktual relatif rendah Biaya Produksi tinggi Pemasaran gabah sulit / kurang laku Ketersediaan waktu untuk kegiatan lain Harga gabah relatif murah Pendapatan dan Keuntungan UT padi sedikit Pendapatan UT nonpadi dan non pertanian rendah Pendapatan rumah tangga petani kecil Gambar 14 Faktor-faktor yang menyebabkan petani kurang berminat mengadopsi usahatani padi unggul 155 Melalui pengalaman dan pengetahuan yang mereka miliki, petani mampu menghasilkan produksi pertanian yang tinggi. Bahkan pada tahun 2008 Pemerintah Kabupaten Barito Kuala memperoleh penghargaan dari Presiden RI karena mampu meningkatkan produksinya di atas 5% (Peningkatan produksi padi Kabupaten Batola pada tahun 2008 sebesar 12,88% dibandingkan dengan tahun 2007). Peningkatan produksi ini sebenarnya karena konstribusi dari usaha padi lokal, hampir semua lahan tersebut ditanami padi varietas lokal. Itulah sebabnya mengapa pengetahuan lokal petani dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut tetap diperlukan dan dipertahankan eksistensinya.