pengetahuan lokal komunitas petani padi

advertisement
VI PENGETAHUAN LOKAL PETANI DI LAHAN
RAWA PASANG SURUT
6.1 Bentuk dan makna pengetahuan lokal
Pemahaman tentang karakteristik spesifik lahan rawa pasang surut
merupakan dasar dalam proses pembentukan pengetahuan petani, terutama
bagaimana menjadikan lahan tersebut cocok untuk kegiatan pertanian.
Tindakan-tindakan pengelolaan atas lahan rawa pasang surut yang dilakukan
berulang-ulang secara coba-coba (trial and error) telah menghasilkan berbagai
pengetahuan tentang lahan rawa pasang surut dengan berbagai teknik
pengelolaannya (Brouwer 1998). Proses pengenalan dan pemahaman ini tidak
lepas dari pengaruh sistem sosial yang melingkupi kehidupan masyarakat di
wilayah lahan rawa pasang surut ini.
Nilai dan norma, kelembagaan,
kepercayaan, teknologi serta perkembangan penduduk merupakan faktor
internal
yang
turut
berpengaruh
terhadap
proses
pembentukan
perkembangan pengetahuan masyarakat tersebut (Vlaenderen 1999).
dan
Begitu
juga halnya dengan faktor eksternal seperti kebijakan pemerintah dan kondisi
global turut menentukan dinamika yang terjadi.
Dengan kata lain, proses
pembentukan dan perkembangan pengetahuan lokal merupakan proses dinamis
yang kompleks sebagai suatu bentuk adaptasi masyarakat di lahan rawa pasang
surut terhadap lingkungannya.
Pemanfaatan lahan rawa pasang surut yang merupakan lahan marginal
sebagai areal pertanian memerlukan pengetahuan dan keterampilan spesifik.
Penanganan dan pengelolaan yang dilakukan terhadap lahan rawa pasang surut
inilah yang membentuk berbagai pengetahuan, baik menyangkut tanaman,
tanah, air, mikroorganisme dan infrastuktur yang dibangun. Begitu juga halnya
dengan sistem sosial yang dikembangkanpun disesuaikan dengan kondisikondisi spesifik yang ada di lahan rawa pasang surut.
Oleh karena itu,
pengetahuan lokal yang terbentuk ini menyangkut berbagai aspek dalam sistem
pertanian yang dikembangkan termasuk nilai dan norma dalam kehidupan petani
tersebut.
Keterlekatannya dengan nilai-nilai dan kepercayaan masyarakat
sering menjadikan pengetahuan lokal sebagai mitos dan tidak rasional menurut
pandangan
sains.
Padahal
dalam
pandangan
Kalland
(2005),
justeru
pengetahuan lokal memiliki sifat sebagai pengetahuan empiris, terutama
menyangkut persepsi tentang lingkungan.
106
Bagi masyarakat berbagai pengetahuan yang mereka miliki dalam
pengelolaan lahan rawa pasang surut merupakan modal utama untuk mampu
mengembangkan sistem pertanian di lahan rawa pasang surut. Petani yang
‘ahli’ adalah mereka yang mampu menangkap dan membaca gejala dan tandatanda
alam
dan
mengimplementasikannya
dalam
kegiatan
pertanian.
Pengetahuan tentang ‘perilaku alam’ di lahan rawa pasang surut diperoleh
melalui pengalaman dan pemahaman dalam berinteraksi dan mengelola lahan
tersebut untuk kegiatan pertanian. Oleh karena itulah, pengetahuan lokal dalam
pengelolaan lahan rawa pasang surut mengandung makna sebagai perwujudan
hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara manusia dengan
alam. Bebagai bentuk selamatan dan pantangan dalam praktik-praktik pertanian
di lahan rawa pasang surut merupakan implementasi dari ungkapan terima kasih
mereka terhadap alam sebagai anugrah yang Maha Kuasa yang harus
dipelihara dan dikelola dengan sebaik-baiknya.
Pengetahuan lokal ini ternyata tidak hanya berfungsi sebagai basis
dalam praktik-praktik pertanian saja tetapi mencakup aspek-aspek kehidupan
sosial yang lebih luas lagi. Pengetahuan lokal dalam kehidupan sosial
masyarakat juga terkait dengan status dan peranan petani dalam sistem
sosialnya. Hal ini karena pengetahuan-pengetahuan tersebut tidak dimiliki
merata pada setiap orang dalam suatu masyarakat.
Misalnya, salah satu
pertimbangan dalam memilih atau menunjuk kepala padang adalah karena ia
memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam tentang kondisi lingkungan
setempat.
Ini berarti bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang dalam
konteks pengelolan lahan rawa pasang surut tidak hanya mengandung makna
sarana untuk memenuhi kebutuhan ekonomi saja, tetapi sekaligus sebagai
penentu dalam kehidupan sosial.
6.1.1 Pengetahuan tentang budidaya tanaman padi
Padi bagi masyarakat petani di lahan rawa pasang surut bukan hanya
sebagai komoditas ekonomis semata, tetapi lebih dari itu karena tanaman padi
juga merupakan komoditas sosial. Oleh karena itu sistem budidaya padi yang
dikembangkan bukan semata-mata menyangkut aspek produksi saja tetapi juga
menyangkut eksistensinya sebagai komoditas sosial budaya.
Padi yang
ditanam dan dikembangkan di lahan rawa pasang surut umumnya adalah
107
varietas lokal dan
telah beradaptasi dengan kondisi lingkungan spesifik
setempat.
Pemilihan varietas yang mana yang akan ditanam sangat tergantung
pada faktor kondisi kesuburan lahan, tipe luapan lahan, harga jual, rasa nasi,
serta pertimbangan sesama petani di lahan yang berdekatan.
Berdasarkan
pengalaman yang mereka peroleh selama ini, jenis banih barat (berumur
panjang) umumnya tumbuh baik pada areal lahan yang selalu terluapi dengan
pasang surut air, yakni di lahan rawa pasang surut tipe A.
Jenis ini harus
ditanam lebih cepat dibanding dengan jenis varietas lainnya (jenis banih ringan),
paling tidak masa tanam harus sudah berakhir pada Akhir Maret atau awal April.
Jika terlambat melakukan penanaman, dapat berakibat gagal panen akibat
masuknya air asin pada awal kemarau (bulan Juni) dimana tanaman belum
memasuki fase pengisian buah.
Tetapi jika fase pengisian buah ini sudah
dilewati, masuknya air asin ke sawah pada saat pasang tidak berpengaruh
terhadap produksi padi.
Kondisi seperti di atas berimplikasi terhadap strategi penentuan luas dan
lokasi sawah yang diusahakan. Terkait dengan luas garapan dan kepemilikan
lahan, petani di wilayah ini umumnya mengusahakan lahan yang luas, rata-rata
dua hektar serta tersebar/terpencar pada berbagai tempat (dari lahan rawa
pasang surut tipe A hingga peralihan A ke B). Dengan kata lain, lokasi lahan
yang diusahakan terdapat di daerah rendah dan daerah agak tinggi. Lahanlahan yang berada di daerah yang agak tinggi tinggi umumnya ditanami dengan
varietas padi lokal dari kelompok banih ringan untuk menghindari kegagalan
akibat kemarau yang datang lebih awal. Sebaliknya lahan-lahan yang berada di
daerah rendah dapat dilakukan penanaman lebih belakangan. Oleh karena itu
pengetahuan tentang sifat dan karakteristik dari masing-masing varietas padi
lokal ini mutlak harus diketahui oleh petani setempat.
Begitu juga halnya dengan petani di wilayah pasang surut tipe C dan D,
dimana air pasang tidak selancar di tipe A, curah hujan dan kondisi iklim sangat
menentukan keberhasilan usaha tani padi. Pengetahuan masyarakat tentang
iklim dan penentuan musim hujan atau kemarau lebih berkembang dibandingkan
dengan petani di tipe A atau B.
Penentuan awal tanam dengan
mempertimbangkan kedudukan bintang-bintang di langit (petani setempat
menyebutnya
sebagai
bintang
karantika
dan
baur
bilah)
merupakan
pengetahuan yang diyakini mampu meramalkan kondisi kemarau atau
108
penghujan dengan akurasi yang cukup tinggi.
Melalui pengetahuan tentang
kedudukan ini para petani dapat memperhitungkan apakah masa tanam dapat
dilakukan lebih lama atau harus segera diselesaikan lebih cepat. Ketidaktepatan
atau perhitungan yang keliru dapat meningkatkan risiko kegagalan panen akibat
kekeringan atau kebanjiran. Menurut Idak (1982), pengetahuan tentang musim
inilah yang memungkinkan petani setempat dapat memanfaatkan berbagai jenis
sawah untuk mengembangkan budidaya tanaman padi.
Pengetahuan-pengetahuan petani menyangkut kondisi iklim dan gerakan
pasang surut air juga penting untuk menentukan waktu kegiatan penyemaian
bibit. Bagi petani di lahan rawa pasang suru tipe A, waktu penyemaian bibit
tahap pertama yang disebut palai harus dilakukan pada saat pasang kecil
terjadi, agar lahan yang digunakan untuk persemaian tersebut tidak terendam air
pasang.
Dengan demikian, ketika waktu pasang besar mulai datang, umur
persemaian sudah mencapai 7 hari dan siap dipindahkan ke tahap berikutnya
(tahap lacak). Begitu juga halnya dengan petani di lahan rawa pasang surut tipe
B, C dan D, selain pengetahuan tentang peredaran bulan dan hubungannya
dengan pasang surut air, juga menyangkut peredaran bintang dan hubungannya
dengan musim yang akan terjadi. Khusus di lahan rawa pasang surut tipe C dan
D jika diprakirakan terjadi masa kemarau yang agak panjang, maka kegiatan
pembibitan dilakukan lebih cepat (awal Oktober) serta dengan melakukan
pembibitan dengan dua tahapan saja (tahapan taradak dan tahapan lacak).
Kondisi-kondisi di atas seperti gerakan pasang surut air yang terjadi
setiap hari di tipe A, ketergantungan yang tinggi terhadap kondisi iklim di lahan
rawa pasang surut tipe C, dan D berimplikasi dalam sistem sosial kehidupan
petani. Gerakan air pasang dan surut yang terjadi setiap hari di lahan rawa
pasang surut tipe A tidak memungkinkan kegiatan di sawah dilakukan satu hari
penuh, tetapi hanya sekitar setengah hari.
Oleh karena itu kelembagaan
ekonomi terutama sistem upah yang dilakukan di daerah ini diperhitungkan
setengah hari saja. Fenomena terjadinya pasang besar yang terjadi dua kali
dalam setiap bulan juga membatasi aktivitas-aktivitas dalam usahatani padi di
sawah. Kegiatan gotong royong juga tidak setiap saat memungkinkan untuk
dilakukan karena kendala genangan air yang dalam pada saat pasang. Faktor
inilah yang juga menjadi penyebab mengapa kegiatan gotong royong
penanaman padi (handipan) di tipe A hanya dalam kelompok-kelompok kecil,
sekitar 10 orang.
109
Perhitungan tentang musim ini juga mendorong petani melakukan
aktivitas persemaian secara serentak sehingga nilia-nilai kebersamaan dalam
kegiatan pertanian padi dapat lebih terjalin. Kegiatan-kegiatan selamatan yang
mengawali penyemaian padi ini masih sering dilakukan karena mereka yakin
bahwa keberhasilan penanaman ini sangat ditentukan oleh kondisi musim dan
iklim yang datang dari Tuhan semesta alam.
Bagi petani setempat acara
selamatan diyakini dapat menghindarkan mereka dari bencana dan kegagalan
baik oleh faktor iklim maupun gangguan hama tanaman. Tokoh masyarakat
yang berperan dalam kegiatan ini dahulu adalah kepala handil, tetapi seiring
dengan memudarnya peranan kelembagaan handil maka guru agama atau
ulama menjadi tokoh dalam upacara selamatan ini. Secara skematis keterkaitan
pengetahuan tentang peredaran bintang dan bulan hubungannya dengan
kegiatan pertanian padi dan sistem sosial di lahan rawa pasang surut seperti
Gambar 7 berikut.
Peredaran /
kedudukan bintang
di langit
Kedudukan bulan
terhadap bumi
Posisi bintang
karantika dan
haurbilah
Bulan purnama dan
bulan sabit
Kondisi iklim
(musim kemarau
atau penghujan)
Gerakan pasang
surut air
Penentuan waktu semai, jenis
varietas padi, sistem semai,
masa tanam
Kelembagaan upah
kerja, Organisasi
sosial, Nilai dan Norma
Gambar 7
Pengetahuan tentang peredaran bintang dan bulan hubungannya
dengan kegiatan pertanian padi dan sistem sosial di lahan rawa
pasang surut
110
6.1.2 Pengetahuan tentang pengelolaan lahan
Lahan atau tanah merupakan modal utama petani dalam kegiatan
pertanian yang berperan penting dalam proses produksi. Pemilihan lahan yang
sesuai untuk dijadikan sawah dan pengelolaannya memerlukan pengetahuan
khusus, mengingat lahan rawa pasang surut merupakan lahan spesifik dengan
berbagai kendala dalam pengelolaannya.
Dalam sejarah pembukaan lahan
rawa pasang surut, wilayah yang pertama dibuka untuk dijadikan sawah adalah
lahan-lahan yang berada di sepanjang sungai besar karena pengaturan airnya
mudah dilakukan. Salah satu kunci keberhasilan pertanian padi di lahan rawa
pasang surut dengan kendala
menyangkut tata air.
kemasaman tanah yang tinggi adalah
Umumnya daerah-daerah sepanjang pinggiran sungai
merupakan wilayah yang bisa langsung dipengaruhi gerakan pasang surut air.
Petani memiliki pengetahuan bahwa air pasang yang masuk ke sawah pada
wilayah ini banyak mengandung bahan-bahan organik yang berguna bagi
pertumbuhan tanaman. Selain itu proses pasang surut air juga berfungsi untuk
proses pencucian (leaching) bahan-bahan yang menyebabkan terjadinya
kemasaman tanah.
Dalam pengembangan selanjutnya, di mana lahan-lahan di sepanjang
pinggiran
sungai
sudah
habis
terbuka,
maka
para
petani
kemudian
memanfaatkan lahan-lahan di bagian dalam yang tidak langsung dapat
dipengaruhi oleh gerakan pasang surut air.
Untuk memecahkan kendala ini
maka dibuatlah saluran-saluran yang disebut handil agar gerakan pasang surut
air ini dapat mencapai persawahan pada bagian dalam tersebut.
Pada awal
pembuatannya, handil ini dikerjakan secara bergotong royong dan dilakukan
secara bertahap hingga handil-handil ini menjangkau jarak yang cukup jauh dari
sungai besar (hingga ada yang mencapai 5 km atau lebih). Handil-handil ini
diperpanjang sejauh gerakan pasang surut air masih dapat berlangsung lancar.
Untuk menjamin kelancaran handil-handil ini, setiap tahun dilakukan gotong
royong untuk membersihakannya dari sedimentasi atau tumbuhan-tumbuhan liar
yang dapat menghambat aliran air.
Sawah-sawah dicetak di sepanjang handil ini untuk kemudian ditanami
dengan padi.
Penentuan lahan yang akan dicetak ini juga dipengaruhi oleh
kondisi awal lahan tersebut.
Petani harus mampu menentukan mana lahan
yang subur atau baik untuk ditanami padi.
Pengetahuan tentang lahan di
wilayah pasang surut ini mutlak dimiliki agar usaha pertanian padi yang akan
111
dilakukan dapat memberikan hasil yang baik.
Secara sederhana, petani
mengenali lahan yang subur dengan memperhatikan atau mengamati kondisi
fisik tanah tersebut dan vegetasi awal yang tumbuh di lahan tersebut. Tanah
subur atau baik untuk dijadikan sebagai sawah adalah tanah yang pada lapisan
bagian bawahnya (sekitar 20-30 cm) mengandung tanah liat yang diketahui
dengan cara menusukkan parang (golok) ke tanah dengan kedalaman sekitar 30
cm.
Jika parang tersebut dicabut, terdapat tanah liat yang menempel pada
parang tersebut, maka ini menunjukkan bahwa tanah di areal tersebut cocok
untuk tanaman padi.
Sebaliknya jika parang yang ditusukkan tersebut tidak
terdapat tanah liat yang menempel atau bagian tanahnya sangat dalam maka
tanahnya kurang cocok untuk dijadikan sawah. Cara lain adalah dengan cara
menginjakan kaki ke dalam tanah tersebut, jika bagian tanah tersebut tidak
banyak menempel di kaki (terlepas sendiri) artinya tanah tersebut mengandung
gambut dan kurang baik untuk dijadikan sawah.
Pengetahuan dan teknik
mengidentifikasi kesuburan tanah ini merupakan hasil pengalaman yang
diperoleh selama puluhan tahun dan ditularkan secara turun temurun antar
generasi.
Pengenalan kesuburan lahan ini juga dapat dilakuan melalui pengenalan
jenis vegetasi awal yang tumbuh di lahan tersebut. Lahan yang sebelumnya
banyak ditumbuhi Piai atau Kelakai (Achrosticum aureum) merupakan tanda
bahwa lahan tersebut baik untuk dijadikan sawah. Sebaliknya, lahan-lahan yang
sebelumnya didominasi oleh tumbuhan Galam (Melaleuca leucadendron), Purun
Tikus atau Purun Bundung (Eleocharis dulcis) dan Karamunting (Melastoma
affine) merupakan indikasi bahwa tanahnya mempunyai tingkat kemasaman
yang tinggi (pH tanah rendah). Lahan-lahan seperti ini perlu dikelola secara
hati-hati agar lapisan pirit atau lapisan yang mengandung bahan-bahan
penyebab kemasaman dan mengandung racun bagi tanaman tidak terangkat
atau terbongkar ke atas.
Pengetahuan mengenai kondisi fisik lahan ini terkait langsung dengan
teknik pengolahan lahan yang harus dilakukan. Penggunaan alat tajak untuk
kegiatan pengolahan tanah merupakan pilihan tepat pada lahan-lahan yang
pada lapisan bawahnya mengandung bahan-bahan beracun bagi tanaman.
Pengetahuan tentang sifat-sifat lahan rawa pasang surut dan kendala
kemasaman tanah ini mendorong berkembangnya pengetahuan tentang
pengendalian kemasaman tanah melalui pembuatan bedengan/surjan atau
112
tukungan untuk keperluan penanaman tanaman tahunan seperti jeruk, mangga,
rambutan, kelapa dan lainnya atau tanaman sayuran. Kombinasi pembuatan
surjan atau tukungan dengan pengaturan air menjadikan lahan rawa pasang
surut yang sebelumnya memiliki tingkat kemasaman relatif tinggi dapat
digunakan untuk budidaya tanaman padi sekaligus dengan tanaman tahunan
atau tanaman sayuran.
Khusus di lahan rawa pasang surut tipe A, pembuatan bedengan atau
surjan selain berfungsi untuk penananam kelapa, juga sebagai tempat untuk
menaikkan lumpur atau sedimen yang masuk ke areal persawahan. Lumpur
sedimen ini perlu dinaikkan ke bedengan atau surjan agar tanaman padi tidak
mudah tumbang atau rebah karena lumpur yang terlalu dalam.
Di sisi lain,
pengangkatan lumpur sedimen ini ke bedengan sekaligus berfungsi untuk
meningkatkan kesuburan tanaman kelapa atau tanaman lain yang ditanam di
atas bedengan atau surjan tersebut. Untuk memperlancar aliran air ke petak
sawah dan di dalam sawah, petani membuat saluran kecil yang disebut saluran
cacing di sekeliling atau di bagian tengah sawah. Kelancaran air pasang surut ini
merupakan salah satu kunci keberhasilan usahatani padi di lahan rawa pasang
surut. Pengetahuan tentang pengaturan air dan teknik pembuatan bedengan
atau surjan ini merupakan hasil proses adaptasi masyarakat terhadap kondisi
lingkungan spesifik yang ada.
Kondisi lingkungan lahan rawa pasang surut yang memerlukan
penanganan dan pengelolaan khusus mendorong ikatan kerjasama antar petani
menjadi lebih erat.
Pengaturan air dan pengelolaan lahan harus dilakukan
secara bersama dalam suatu wilayah hamparan. Kelancaran arus pasang surut
air ke persawahan harus dijaga dan membutuhkan kerjasama antar petani.
Masalah pengaturan tata air di lahan rawa pasang surut telah lama mereka
ketahui dan pahami sebagai faktor penentu keberhasilan usahatani di wilayah
ini. Mereka menyadari bahwa tanpa kerjasama dalam pengaturan air maka
lahan tersebut tidak akan dapat menghasilkan produksi padi yang tinggi.
Pengetahuan dan praktik-praktik yang terkait dengan pengelolaan lahan
ini membentuk sistem sosial tersendiri dalam kehidupan masyarakat di lahan
rawa
pasang
surut.
Kegiatan
gotong
royong
dalam
pembuatan
dan
pemeliharaan handil menciptakan kelompok-kelompok petani di suatu handil.
Terbentuknya struktur sosial masyarakat dalam bentuk kelompok handil ini
merupakan implementasi dari sistem kerjasama untuk menghadapi tantangan
113
dan kendala dalam mengelola lahan rawa pasang surut. Kelompok ini dipimpin
oleh seorang tokoh petani yang disebut kepala handil. Norma dan aturan dalam
kegiatan berusahatani diterapkan dengan tujuan untuk kepentingan bersama.
Keberhasilan usahatani di suatu wilayah atau handil merupakan kebanggaan
tersendiri bagi para petani yang tergabung dalam kelompok tersebut. Umumnya
anggota kelompok dalam suatu handil berasal dari wilayah asal yang sama
(walaupun tidak selalu) sehingga mereka memliki solidaritas sosial yang tinggi.
Selain itu organisasi sosial berdasarkan handil ini juga merupakan eksistensi
kelompok-kelompok petani pelopor yang memulai usahatani di wilayah itu.
Penggunaan nama-nama handil yang terdapat di lokasi penelitian seperti Handil
Mahang, Handil Barabai, Handil Amuntai dan lainnya merupakan eksistensi
kepeloporan petani-petani yang berasal dari wilayah-wilayah tersebut.
Pola dan teknik pengelolaan lahan ini juga memungkinkan petani
mengembangkan komoditas tanaman sayuran dan buah-buahan selain padi.
Khusus petani di lahan rawa pasang surut tipe A, mereka juga dapat
menanaminya dengan tanaman kelapa pada bagian surjannya.
Kepemilikan
lahan umumnya adalah hak milik di mana petani menggarap sendiri lahan
tersebut.
Jika-lahan–lahan tersebut disewakan maupun disakapkan kepada
orang lain, maka penyewa atau penggarap hanya mengelola lahan untuk
tanaman padi.
Tanaman yang tumbuh di atas surjan atau tukungan tetap
merupakan bagian pemilik lahan, kecuali ada perjanjian sebelumnya untuk
membagi hasil dari tanaman yang tumbuh pada tukungan atau surjan tersebut.
Norma dan aturan-aturan tentang sistem sakap dan sewa ini berlaku umum di
wilayah lahan rawa pasang surut. Pelanggaran akan kesepakatan yang telah
dibuat bukan hanya penyewa atau penggarap ini tidak bisa lagi menjalin kerjama
dengan pemilik lahan tersebut, tetapi juga kemungkinan dengan pemilik lainnya
di sekitar wilayah tersebut.
Secara skematis pembentukan pengetahuan lokal petani menyangkut
pengelolaan lahan rawa pasang surut dan hubungannya dengan kegiatan
pertanian padi serta sistem sosial masyarakat dapat dilihat pada Gambar 8.
114
Kedudukan lahan
terhadap sungai
atau anak sungai
Kondisi Lahan
Tata air
Kondisi Fisik
Tanah
V
t iA l
Pembuatan
saluran/ handil
Karakteristik tanah subur dan
tanah masam
Pembuatan surjan
Saluran cacing
Peralatan kerja
Sistem tanaman
campuran
Kelembagaan handil
Organisasi sosial
Kepemimpinan
Gambar 8 Pengetahuan tentang pengelolaan lahan hubungannya dengan
kegiatan pertanian padi dan sistem sosial di lahan rawa pasang
surut
6.1.3 Pengetahuan tentang pemeliharaan dan kelestarian lingkungan
Lahan rawa pasang surut merupakan lahan marginal yang bersifat rentan
(fragile) terhadap penanganan yang salah.
Terbakarnya gambut dan
peningkatan kemasaman tanah merupakan dua hal yang harus dihindari dalam
pengelolaan lahan rawa pasang surut untuk kegiatan pertanian. Bagi petani,
pengetahuan tentang kemasaman tanah dan upaya penangannya serta sifatsifat tanah gambut merupakan hasil dari pengalaman dan percobaan-percobaan
yang sejak ratuan tahun telah dilakukan.
Sifat tanah gambut yang penting
adalah bahwa gambut menampung air hingga 300-800% dari bobot beratnya
115
dan berfungsi sebagai penampung air di wilayah ini serta adanya sifat “kering
tak balik’ (Radjagukguk 1997). Sifat-sifat khas ini membuat petani paham betul
bahwa gambut harus diperlakukan dengan hati-hati. Seperti yang dituturkan
oleh Mhd (65 tahun) seorang petani di Desa Tinggiran Darat:
“Tanah nang ada gambutnya, apalagi nang tabal hampai samitir atau labih
kada baik diulah gasan pahumaan. amun gusang ngalih mamajahinya,
wan amun gambut ini habis tanahnya kada baik lagi gasan pahumaan.
Nang bagus gasan pahumaan itu tanahnya kada banyak bagambut wan
banyak ditumbuhi kalakai. Amun banyak bagalam, kada tapi baik jua
gasan dijadiakan pahumaan.”
[Tanah yang mengandung gambut, terutama dengan ketebalan satu meter
atau lebih tidak sesuai dijadikan sebagai sawah. Jika terbakar sulit untuk
memadamkannya, dan jika gambut ini habis terbakar maka tidak baik lagi
untuk areal persawahan. Yang cocok untuk dijadikan sebagai sawah
adalah yang tidak banyak gambutnya dan banyak ditumbuhi Kelakai. Jika
banyak tanaman Galam, juga tidak baik dijadikan sebagai sawah]
Begitu juga halnya dengan gambut dan lahan yang memiliki kemasaman
tinggi diupayakan untuk selalu dalam kondisi tergenangi air untuk mencegah
naiknya lapisan pirit (bersifat masam dan beracun bagi tanaman) ke permukaan
tanah. Gambut yang telah mengalami kekeringan (karena proses pembukaan
lahan atau kelebihan drainase) tidak akan dapat lagi berfungsi seperti semula
sebagai penampung air (sifat ‘kering tak balik’).
Pembuatan surjan dan
tukungan serta pengaturan keluar masuknya air merupakan langkah yang harus
ditempuh dalam mengurangi dan mencegah munculnya kemasaman yang tinggi
di persawahan.
Upaya-upaya untuk mempertahankan kelestarian lingkungan di wilayah
pasang surut ini juga dilakukan dengan pemberian pupuk organik dari hasil
pelapukan rumput atau gulma yang ditebas pada saat pengolahan tanah.
Bahkan
sekarang
petani
telah
menggunakan
kapur
pertanian
untuk
mempercepat proses pelapukan tersebut serta sekaligus sebagai bahan yang
mampu mengurangi kemasaman tanah.
Waktu persiapan lahan yang relatif
panjang (3-4 bulan) memungkinkan proses pelapukan gulma dan rumputrumputan hasil tebasan ini berlangsung baik sehingga sifat-sifat fisik serta kimia
tanah menjadi lebih baik.
Pengetahuan petani tentang bagaimana mempertahankan keberlanjutan
usaha pertanian di lahan rawa pasang surut merupakan hasil pengalaman dan
uji coba (trial and error) yang juga terkait dengan sistem sosial dalam kehidupan
masyarakat. Sistem gotong royong dalam pengolahan tanah dan penggunaan
116
peralatan adaptif (alat tajak) yang mampu mencegah terbongkarnya lapisan
tanah masam merupakan respon sistem sosial untuk menyesuaikan dengan
kondisi biofisik lahan rawa pasang surut. Masa pengolahan tanah yang relatif
lama (Des-Feb) memungkinkan kegiatan gotong royong dalam pengolahan
tanah dilakukan secara bergiliran (sistem handipan). Kegiatan gotong royong ini
biasanya dilakukan oleh petani dalam suatu kelompok handil.
Terkait dengan upaya pencegahan kerusakan lingkungan akibat
kebakaran lahan, petani tiak dibenarkan untuk melakukan pembakaran lahan
atau gambut di areal persawahan. Hal ini bukan hanya dapat merusak lahan
sawah tetapi juga dapat menjalar ke lahan sawah di sekitarnya.
Membakar
lahan atau gambut merupakan bentuk pelanggaran norma dan dapat diberikan
sanksi jika sampai merusak lahan petani lain. Kepala handil memiliki peranan
penting dalam hal ini jika sampai terjadi konflik antar petani akibat kebakaran
lahan tersebut.
Penyelesaian biasanya dilakukan secara musyawarah antar
pihak yang terlibat dan ganti rugi harus ditanggung pihak yang menjadi
penyebab kebakaran tersebut. (jika proses pembakaran lahan tersebut
dilakukan secara sengaja).
Upaya penyelesaian ini kadang tidak sederhana dan sulit dilakukan
karena api dapat menjalar ke lahan di sekitarnya melalui bawah permukaan
tanah dan muncul di tempat lain setelah beberapa hari kemudian. Untuk hal-hal
seperti ini maka selain kepala handil maka tokoh masyarakat lain juga sering
dilibatkan. Tokoh yang sering dilibatkan dalam penyelesaian konflik-konflik antar
petani ini seperti kepala desa, ketua RT, ulama atau guru agama. Penyelesaian
secara musyawarah ini bertujuan agar pihak-pihak yang terlibat dalam konflik
dapat saling memahami dan memaafkan satu sama lain.
Kerugian yang
ditimbulkan dapat diganti rugi sesuai dengan kesepakatan dan kesanggupan
pihak yang menanggungnya.
Oleh karena itulah pembakaran lahan ini sangat
dihindari oleh petani setempat karena mengandung potensi konflik antar petani.
Secara skematis pembentukan pengetahuan lokal petani menyangkut
pemeliharan kelestarian lingkungan lahan rawa pasang surut hubungannya
dengan kegiatan pertanian padi serta sistem sosial masyarakat dapat dilihat
pada Gambar 9.
117
Karakteristik
gambut
Kemasaman tanah
Sifat kering tak
balik
Penampung air
Lapisan pirit
Penanganan kemasaman
tanah dan pengelolaan
gambut
Surjan / tukungan
Tata air
Kapur pertanian
Pupuk organik
Teknik olah tanah
Sistem gotong royong
Sistem teknologi peralatan
olah tanah, Nilai dan Norma
Gambar 9
Pengetahuan tentang pemeliharaan kelestarian lingkungan
hubungannya dengan kegiatan pertanian padi dan sistem sosial
di lahan rawa pasang surut.
6.1.4 Pengetahuan tentang peralatan usahatani
Pengetahuan menyangkut sistem peralatan yang digunakan dalam
usahatani di lahan rawa pasang surut merupakan hasil pemikiran dan upaya
mencoba-coba (trial and error) sehingga akhirnya ditemukan peralatan-peralatan
yang adaptif bagi lingkungan setempat.
Alat pertanian yang disebut tajak
merupakan bentuk alat pengolahan tanah yang sesuai untuk mencegah
terangkatnya pirit ke permukaan. Petani di lahan rawa pasang surut sangat
paham bahwa pirit yang terangkat ke atas permukaan dapat meracuni tanaman.
Pirit ini bukan hanya dapat menurunkan produksi padi, tetapi juga dapat
118
mengakibatkan kematian pada tanaman padi tersebut.
Oleh karena itulah
mengapa petani menolak jika lahannya diolah dengan menggunakan traktor
tangan (hand tractor) atau dengan bajak seperti halnya petani di lahan beririgasi.
Pengolahan tanah dengan cara hanya mengupas sedikit lapisan tanah ini dalam
pertanian modern dikenal dengan pengolahan tanah minimum (minimum tillage).
Begitu juga dengan peralatan lain seperti alat bantu untuk menancapkan
bibit padi pada saat tanam yang disebut tatajuk atau tutujah.
Dengan
penggunan alat ini maka bibit padi dapat ditancapkan dengan mudah ke tanah
dengan kedalaman yang diinginkan (sekitar 5 cm) sehingga cukup kuat untuk
menahan aliran pasang surut serta tidak terlalu dalam hingga memasuki area
tanah masam. Peralatan tutujah untuk menanam ini merupakan implikasi atas
pengolahan tanah dengan menggunakan tajak, karena tanahnya tidak ikut
terolah. Oleh karena itu, diperlukan alat yang mampu membuat lubang untuk
menancapkan bibit padi dengan posisi membungkuk. Prinsip kerja alat ini pada
dasarnya mirip dengan alat tugal pada pertanian di lahan kering, tetapi
mempunyai tangkai yang pendek. Alat ini dapat dibuat sendiri oleh petani dari
ranting atau cabang pohon-pohon yang ada di sekitar. Pada waktu dulu, alat ini
banyak dibuat dari bahan kayu besi (ulin) dan dapat dipergunakan hingga
puluhan tahun.
Peralatan-peralatan lainnya seperti kakakar untuk mengumpulkan sisasisa gulma yang akan dibusukkan, ani-ani atau ranggaman untuk kegiatan
pemanenan, tanggui untuk penutup kepala serta peralatan pascapanen berupa
tikar purun, lanjung atau cupikan maupun gumbaan adalah hasil kreasi dari
pengetahuan lokal masyarakat untuk mempermudah kegiatan usahatani yang
dilakukan.
Beberapa di antara peralatan tersebut diproduksi sendiri oleh
masyarakat setempat, seperti tikar purun untuk menjemur padi, tanggui dan
umumnya dikerjakan oleh kaum wanita sebagai kerajinan rumah tangga. Bahan
baku untuk pembuatan peralatan tersebut umumnya terdapat di lahan rawa
pasang surut di sekitar tempat tingal mereka. Pengetahuan dan keterampilan
dalam pemanfaatan bahan-bahan ini sudah dilakukan sejak ratusan tahun yang
lalu dan diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya. Kerajinan tangan ini
merupakan salah satu bentuk matapencaharian sampingan yang umumnya
dilakukan oleh kaum wanita.
Pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat dalam pembuatan dan
penggunaan peralatan untuk usahatani di lahan rawa pasang surut ini
119
merupakan
bentuk
penerapan
teknologi
sederhana
yang
tepat
guna.
Pengetahuan tentang kondisi ekosistem lahan rawa pasang surut dengan
berbagai kendalanya mendorong berkembangnya pengetahuan masyarakat
dalam menciptakan dan menggunakan alat bantu dalam kegiatan usahataninya.
Pengembangan atau penyempurnaan peralatan sederhana ini dari waktu ke
waktu terus berlangsung seiring dengan perubahan yang terjadi dalam sistem
pertanian maupun sistem sosial masyarakat setempat.
Secara skematis pembentukan pengetahuan lokal petani menyangkut
peralatan pertanian di lahan rawa pasang surut hubungannya dengan sistem
sosial masyarakat dapat dilihat pada Gambar 10.
Karakteristik lahan
sulfat masam
Karakteristik
pasang surut air
Lapisan pirit
Sistem perakaran
tanaman
Pengolahan tanah dan teknis
penananam bibit
Peralatan pertanian
sederhana yang
adaptif
Sistem matapencaharian
Gambar 10 Pengetahuan tentang peralatan pertanian hubungannya dengan
sistem sosial di lahan rawa pasang surut.
120
Pengetahuan lokal ini merupakan hasil adaptasi melalui proses
pemahaman dan pengalaman mereka dalam berinteraksi dengan lingkungan.
Koadaptasi sistem sosial dan sistem biofisik (ekosistem) lahan rawa pasang
surut
yang
berlangsung
secara
pengetahuan lokal bersifat dinamis.
terus
menerus
menunjukkan
bahwa
Walaupun demikian, dasar-dasar dalam
pembentukan dan perkembangan pengetahuan lokal di lahan rawa pasang surut
ini tidak lepas dari eksistensi mereka dalam berinteraksi dengan alam.
Ini
artinya perubahan-perubahan yang terjadi hanya akan mudah diterima jika
perubahan tersebut sesuai (compatible) dengan sistem sosial dan pandangan
yang mereka anut selama ini.
Beberapa bentuk pengetahuan lokal petani dalam pengelolaan lahan
rawa pasang surut di Kalimantan Selatan ini dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11
Bentuk-bentuk pengetahuan lokal petani dalam pengelolaan lahan
rawa pasang surut
Kegiatan / Aktivitas
Pengelolaan
Bentuk Pengetahuan Lokal
1. Pengelolaan
lahan
• Teknik pembuatan handil
• Teknik pembuatan surjan/tukungan
• Karakteristik lahan yang cocok untuk dijadikan
sebagai sawah
• Teknik pembuatan saluran
• Hubungan vegetasi yang tumbuh dengan kondisi
kesuburan lahan
• Sistem organisasi sosial dan kelembagaan handil
untuk menciptakan kebersamaan dalam pengeloalan
lahan rawa pasang surut yang berkelanjutan
2. Peralatan
usahatani
• Peralatan pengolahan tanah (tajak) yang adaptif
untuk kondisi lahan rawa pasang surut yang
umumnya dengan tingkat kemasaman tinggi
(adanya lapisan pirit)
• Teknik pembuatan peralatan sederhana untuk
persiapan lahan (kakakar)
• Peralatan untuk tanam menanam pada kondisi air
yang dalam (arus pasang surut yang kuat)
• Peralatan panen yang sesuai dengan karakteristik
fisik tanaman (posisi malai padi).
• Peralatan pemisah gabah bernas dengan gabah
hampa yang sederhana dan efektif (gumbaan)
• Lumbung penyimpanan padi yang dapat mencegah
gangguan serangan tikus
121
Lanjutan
Kegiatan / Aktivitas
Pengelolaan
Bentuk Pengetahuan Lokal
3. Sistem budidaya
tanaman padi
- Pembukaan lahan
• Identifikasi kesuburan melalui vegetasi
• Kedudukan terhadap sungai/anak sungai
• Sifat fisik tanah (Lapisan tanah permukan dan tanah
bagian bawahnya)
• Pengaturan tata air untuk mencuci kemasaman
• Pembuatan surjan
- Pengolahan tanah
• Adanya lapisan pirit yang beracun bagi tanaman
• Penggunaan alat tajak untuk mencegah
terangkatnya pirit
• Pemanfaatan gulma/sisa pengolahan tanah untuk
pupuk organik
• Teknik mempercepat pembusukan gulma
- Varietas padi
• Sifat dan karakteristik varietas lokal yang adaftif
terhadap kemasaman tinggi
• Karakteristik beras yang dihasilkan
• Hubungan varietas yang ditanam dengan
kelembagan sosial
• Teknik seleksi untuk memperoleh benih yang baik
- Persemaian
• Teknik persemaian secara bertahap dengan
perpindahan tempat (transplanting) sehingga bibit
dapat beradaptasi dengan kondisi lahan
• Hubungan antara teknik pembibitan dengan waktu
persiapan lahan
• Pengetahuan tentang cuaca dan iklim
• Pengetahuan tentang kedudukan bintang karantika
dan baur bilah
• Pengetahuan tentang kedudukan bulan thd bumi
• Pengetahuan tentang sistem pasang surut air
- Penanaman
• Sistem gotong royong (handipan atau baharian)
dalam kegiatan penanaman
• Hubungan antara jarak tanam, jumlah bibit dan jenis
varietas
• Penentuan awal dan akhir musim hujan
• Pengaturan waktu tanam dengan cara memiliki
banyak persil lahan dengan kondisi air yang berbeda
• Pengaruh air asin terhadap tanaman padi
• Sistem kerja harian dan borongan dalam kegiatan
tanam
122
Lanjutan
Kegiatan / Aktivitas
Pengelolaan
Bentuk Pengetahuan Lokal
- Pemeliharaan
• Pemeliharaan yang tidak intensif hubungannya
dengan ketersedian waktu luang untuk kegiatan lain
• Pengetahuan tentang kondisi tanaman yang perlu
dipupuk atau tidak
• Pengendalian hama dan penyakit tanaman
• Pengetahuan tentang kapur pertanian
- Pemanenan
• Hubungan karakteristik jenis varietas lokal dengan
teknik pemanenan
• Penggunaan alat panen dan perontok yang sesuai
dengan situasi dan kondisi
• Sistem pembagian kerja dan tenaga upahan dalam
kegiatan panen
- Pascapanen
• Teknik pembersihan gabah dengan menggunakan
alat gumbaan
• Teknik penjemuran atau pengeringan sehingga padi
dapat bertahan lama
• Sistem penyimpanan padi (lumbung) agar tidak
diganggu tikus
4. Pemeliharaan dan • Karakteristik lahan rawa pasng surut dan lahan
pelestarian
gambut
lingkungan lahan
• Pencegahan degradasi lingkungan (misalnya
rawa pasang surut
kebakaran lahan gambut)
• Peranan pupuk organik terhadap kesuburan tanah
• Peranan dan dampak pupuk kimia serta pestisida
terhadap kelestarian lingkungan
• Peranan kapur dalam menjaga agar kemasaman
tanah dapat dikurangi
• Penyelenggaraan sistem gotong royong dalam
pengelolan lingkungan
• Teknik pengolahan tanah dan peralatan yang
digunakan agar tidak membongkar lapisan pirit
• Peranan hutan galam dan gambut dalam sebagai
wilayah konservasi
Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009
123
Pengaturan
Air
Pembuatan
Handil
Pembuatan
Tukungan
Sistem
Pengelolaan
Lahan
Kesuburan
Tanah
Sifat Fisik
Tanah
Jenis
Vegetasi
Peralatan
Adaptif
Kelembagaan
handil
Pola
kepemilikan
lahan
Kondisi Biofisik
Kondisi Sosial
Budaya
Sistem
Peralatan
Pertanian
Teknologi
Tepat Guna
Bahan Baku
Lokal
Pola mata
pencaharian
Konstruksi
Sederhana
Pengetahuan
Lokal
Pengetahuan
Asronomi
Gerakan
Pasang Surut
Siklus Musim
Hujan
Sistem
Budidaya
Pertanian
Pengetahuan
Agronomi
Budidaya dan
pascapanen
Jenis Varietas
Padi Lokal
Lahan Sulfat
Masam
Pupuk
Organik
Pengolahan
Tanah MInimum
Sistem
Pelestarian
Lingkungan
Karakteristik
Gambut
Sifat Kering
Tak Balik
Pencegahan
Kebakaran
Sistem kerja
sama dan
gotongroyong
Sistem upah
dan
Bagi hasil
Sistem kerja
sama dan
gotongroyong
Kelembagaan
Handil dan
Sanksi Sosial
Gambar 11 Taksonomi pengetahuan lokal petani dan hubungannya dengan
komponen sistem sosial .
124
6.2 Proses pembentukan dan transmisi pengetahuan lokal
Pemahaman masyarakat terhadap kondisi biofisik (ekosistem) lahan
rawa pasang surut dan upaya-upaya untuk memanfaatkan sumberdaya alam
setempat untuk keberlangsungan kehidupan lama kelamaan membentuk
berbagai pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan lahan rawa pasang
surut tersebut. Melalui usaha yang bersifat coba-coba (trial and error) akhirnya
mereka menemukan berbagai hubungan antara komponen dalam sistem biofisik
dan sistem sosial masyarakat di lahan rawa pasang surut. Pengetahuan tentang
karakteristik tanah masam atau pirit yang beracun bagi tanaman diperoleh
melalui pengalaman puluhan hingga ratusan tahun berusahatani di lahan rawa
pasang surut. Begitu juga halnya dengan berbagai pengetahuan lainnya tidak
diperoleh dalam waktu singkat, tetapi melalui suatu proses yang relatif panjang.
Pengetahuan-pengetahuan yang terbentuk ini ternyata terbukti mampu
mengantarkan masyarakat di lahan rawa pasang surut untuk mencapai tujuan
berusahatani, yakni diperolehnya hasil yang cukup. Karena sifatnya spesifik,
pengetahuan-pengetahuan ini hanya dapat digunakan pada aras lokal atau pada
wilayah lain yang memiliki karaktersitik biofisik dan sistem sosial tidak jauh
berbeda. Keterbatasan dalam luas jangkauan ini membuat pengetahuan lokal
yang terbentuk dan dimiliki oleh masyarakat di lahan rawa pasang surut
dianggap kuno dan ketinggalan jaman. Hal ini semakin nampak bagi orang luar,
jika sistem atau model pertanian ini dibandingkan dengan pertanian modern
yang mampu menghasilkan produksi yang jauh lebih tinggi. Perbandingan ini
kurang tepat dilakukan, mengingat bahwa lahan rawa pasang surut termasuk
kategori lahan marginal yang memang sebenarnya kurang cocok dijadikan
sebagai lahan pertanian.
Kemampuan petani dalam memanfaat lahan yang
marginal sehingga memberikan manfaat atau hasil pertanian yang cukup
merupakan sebuah prestasi dan bukti kemampuan pengetahuan yang dimiliki
masyarakat mampu mengatasi kendala-kendala yang ada di lahan marginal
tersebut.
Pengetahuan lokal yang terbentuk sebagai sebuah proses adaptasi
terhadap kondisi biofisik dan sistem sosial masyarakat akan menghasilkan
sebuah praktik pertanian adaptif dan berkelanjutan. Keberlajutan pertanian di
lahan rawa pasang surut merupakan salah satu indikator keberhasilan dalam
mengelola ekosistem, sehingga ekosistem tersebut mampu memberikan hasil
125
dalam jangka yang relatif lama. Berdasarkan hasil diskusi dengan para petani di
lahan rawa pasang surut, praktik-praktik pertanian yang didasarkan atas
pengetahuan
lokal
ternyata
mampu
meningkatkan
produksi
khususnya tanaman padi di lahan rawa pasang surut.
pertanian,
Pada awal-awal
pembukaan lahan, produktivitas lahan yang diusahakan untuk tanaman padi
hanya mencapai 3-5 blek per borong (1,05 -1,75 ton/ha). Setelah tiga hingga
lima tahun diusahakan, produktivitas tanaman padi sudah mencapai kondisi
stabil untuk wilayah ini, yakni mencapai 6-10 blek/borong (2,10 – 3,50 ton/ha).
Fluktuasi produksi selanjutnya sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim (terutama
lahan rawa pasang surut tipe C dan D) serta serangan hama dan penyakit
tanaman.
Pengetahuan lokal yang dimiliki ini ditransmisikan baik dalam sistem
sosial tersebut maupun antar generasi.
Hubungan sosial yang akrab,
solidaritas sosial yang tinggi, sistem kelembagan handil yang umumnya
beranggotakan orang-orang dari daerah asal yang sama merupakan faktor
pendorong dalam proses transmisi pengetahuan lokal dalam sistem sosial
masyarakat tersebut. Bahkan dalam kegiatan usahatani tidak ada sesuatu hal
yang harus dirahasiakan, apalagi menyangkut hal-hal atau upaya untuk
meningkatkan produksi. Pengetahuan atau temuan-temuan baru akan cepat
beredar dalam masyarakat dan biasanya secara informal.
Informasi baru
tentang berbagai hal dalam konteks peningkatan produksi menyebar cepat
secara berantai dari mulut ke mulut. Adanya jenis bibit varietas lokal baru yang
dianggap baik akan cepat direspon masyarakat, dan dipraktikkan dalam skala
kecil sebagai suatu bentuk uji coba. Proses transmisi secara oral, melalui
peniruan dan demonstrasi merupakan salah satu karakteriktik khas dari
pengetahuan lokal (Ellen and Bicker 2005). Masyarakat di wilayah lahan rawa
pasang surut sebagaimana masyarakat pedesaan pada umumnya akan lebih
yakin terhadap sesuatu kalau telah melihat atau membuktikan sendiri
kebenarannya.
Transmisi pengetahuan juga berlangsung dari satu ke generasi dalam
sistem sosial tersebut. Seorang petani akan memberikan berbagai pengetahuan
yang dimilikinya kepada anak-anaknya melalui proses pembelajaran langsung
atau melalui praktik langsung dalam kegiatan usahatani. Anak-anak yang telah
berusia sepuluh tahun biasanya telah diajak orang tuanya untuk membantu ke
sawah. Pada tahap-tahap awal pengenalan kegiatan berusahatani, anak-anak
126
ini hanya sekedar dibawa ke lahan pertanian untuk bermain sambil
memperhatikan orangtuanya bekerja. Tahap selanjutnya, anak-anak ini akan
diminta membantu kegiatan-kegiatan ringan, seperti membersihkan rumput di
galangan, membawakan bibit padi yang akan ditanam, hingga ikut memanen
padi dengan menggunakan peralatan ani-ani atau sabit, serta merontok padi
dengan cara menginjak-injak (meirik). Semakin, meningkat usianya, anak-anak
ini selanjutnya ikut membantu orang tuanya dengan pekerjaan-pekerjaan
spesifik yang membutuhkan keterampilan dan kehati-hatian, seperti mengolah
tanah dengan menggunakan alat tajak, menanam padi dengan menggunakan
alat tatajuk hingga pembersihan gabah dengan menggunakan alat gumbaan.
Berdasarkan diskusi dengan masyarakat (melalui FGD) pada semua
lokasi lahan rawa pasang surut, seorang anak petani yang sering dibawa orang
tuanya ke sawah dan ikut membantu bekerja di sawah, sudah mampu mandiri
dalam berusahatani padi pada usia sekitar 15 tahun.
Pada usia ini, petani
remaja ini sudah memiliki berbagai pengetahuan dalam berusahatani padi yang
secara langsung ditularkan oleh orangtuanya.
Walaupun demikian, anak
tersebut masih belum diserahi lahan untuk dikelola sendiri hingga anak tersebut
berkeluarga atau menikah. Jika anak tersebut menikah, maka orang tuanya
atau mertuanya akan memberikan pinjaman atau pemberian lahan untuk
dikelola sendiri dalam upaya memenuhi kebutuhan keluarganya.
Proses
demikian terus berlangsung, hingga berbagai pengetahuan lokal dalam
mengelola lahan rawa pasang surut tersebut berlangsung dari generasi ke
generasi.
Proses transmisi pengetahuan lokal ini sangat dipengaruhi oleh
kebiasaan interaksi dan komunikasi dalam kehidupan masyarakat setempat.
Kebiasaan untuk duduk-duduk di warung minum saat siang hari setelah pulang
dari sawah atau sore hari menjelang senja merupakan media efektif terjalinnya
komunikasi antar petani. Petani pergi ke warung minum ini selain untuk
beristirahat sambil minum teh atau kopi, juga memanfaatkannya untuk saling
mengobrol atau bertukar informasi. Hubungan informal yang terjalin menjadikan
komunikasi ini berjalan secara konvergen. Pada ruang publik (public sphere)
seperti
inilah
masing-masing
pihak
bebas
mengajukan
pendapat
dan
pandangannya, baik menyangkut permasalahan pertanian maupun masalahmasalah di luar pertanian.
Umumnya yang duduk-duduk atau mengobrol di
warung ini adalah kaum laki-laki. Oleh karena itu dinding-dinding warung sering
127
dijadikan sebagai media untuk menempelkan pengumuman atau berita-berita
yang menyangkut masyarakat desa setempat.
Ruang publik lainnya yang sering dimanfaatkan oleh petani dalam proses
transfer pengetahuan adalah mushala/masjid dan pada saat pertemuan yasinan
/arisan di rumah warga yang dilakukan secara bergantian satu minggu sekali.
Biasanya pada sore hari sebelum masuk waktu shalat magrib, petani dudukduduk diteras mushalla/masjid sambil berbincang-bincang.
Pada saat inilah
diperbincangkan berbagai hal atau kejadian tertentu, termasuk misalnya
permasalahan perkembangan maupun permasalahan pertanian yang mereka
hadapi. Begitu juga halnya pada saat sebelum atau sesudah kegiatan yasinan
atau arisan dilakukan. Mereka memperbincangkan berbagai hal dari masalah
keagamaan hingga masalah kehidupan sehari-hari. Pertukaran informasi dan
pengetahuan berlangsung tanpa ada hambatan atau kendala tekanan dan
dominasi. Ruang publik seperti inilah yang berperan dalam proses transmisi
pengetahuan lokal dalam kehidupan masyarakat di lahan rawa pasang surut.
Mekanisme pembentukan dan transmisi pengetahuan dalam sistem
sosial masyarakat di lahan rawa pasang surut dapat dilihat pada Gambar 12.
Sistem Biofisik (Ekosistem) Lahan
Rawa Pasang Surut
Petani A
(Generasi I)
Petani B
(Generasi I)
Petani Aa
(Generasi II)
Petani Bb
(Generasi II)
Sistem Sosial Masyarakat Lahan
Rawa Pasang Surut
= pengaruh
Gambar 12
= transmisi
Mekanisme pembentukan dan transmisi pengetahuan lokal di
lahan rawa pasang surut.
128
Proses pembentukan dan transmisi hingga pelanggengan pengetahuan
lokal ini sangat terkait dengan sistem sosial yang ada dalam masyarakat
tersebut. Proses transmisi dari orang tua kepada anak dikaitkan dengan normanorma sosial yang menunjukkan kepatuhan anak kepada orang tuanya untuk
ikut membantu orang tuanya bekerja di sawah. Melalui media inilah anak-anak
memperoleh pengetahuan tentang bercocok tani padi beserta seluk beluk lahan
rawa pasang surut. Begitu juga halnya dengan struktur sosial masyarakat yang
umumnya relatif homogen sebagai petani padi memungkinkan transmisi
pengetahuan berlangsung dalam kondisi tanpa hambatan dan dominasi. Petani
yang memiliki pengetahuan luas tentang berbagai aspek mengenai pengetahuan
pertanian di lahan rawa pasang surut memiliki kedudukan yang lebih dalam
struktur sosial masyarakat.
Pembentukan dan transmisi pengetahuan ini berbeda dibandingkan
dengan sains yang umumnya bersumber dari luar sistem sosial. Sains di bidang
pertanian di lahan rawa pasang surut merupakan hasil-hasil penelitian dari
berbagai lembaga dan instansi pemerintah. Proses transmisinya melalui agenagen penyuluhan pertanian yang disampaikan sebagai bagian dari program
pembangunan pertanian secara nasional. Perbandingan proses pembentukan
dan transmisi antara pengetahuan lokal dan sains dalam sistem sosial
masyarakat di lahan rawa pasang surut dapat dilihat pada Tabel 12
Pengetahuan lokal petani di lahan rawa pasang surut secara umum
terbentuk berdasarkan pemahaman dan pengalaman yang kadang diikuti
dengan proses mencoba-coba (trial and error). Hal ini berbeda dengan sains
yang pembentukannya merupakan hasil dari penelitian dan ujicoba yang
dilakukan melalui kerangka ilmiah yang objektif analitis dan dikembangkan
melalui capaian-capaian rigorus sebelumnya serta sistematis (Agrawal 1995).
Perbedaan proses pembentukan inilah yang juga berimplikasi terhadap proses
transmisinya.
129
Tabel 12 Perbandingan bentuk serta proses transmisi antara pengetahuan lokal dengan sains
PROSES
BENTUK
1
Produksi pengetahuan
Transmisi pengetahuan
Pelanggengan/Pemeliharaan
pengetahuan
Pengetahuan
Lokal
Sains
Pengetahuan
Lokal
Sains
Pengetahuan
Lokal
Sains
2
3
4
5
6
7
Pengetahuan
tentang
pengelolaan
lahan
Pemahaman
tentang sifat
masam, gambut,
dan adanya
lapisan pirit
Hasil penelitian
dan uji coba di
lahan rawa pasang
surut
Praktek dan
pembelajaran
langsung di lahan
usaha oleh anak
maupun
pengalaman petani
lain (teman/
tetangga)
Kegiatan
penyuluhan
pertanian,
demplot, sekolah
lapang, dan
lainnya
Pembuatan
saluran air (tata air
mikro) dan
pemeliharaan
handil secara
gotong royong
Lembaga
penyuluhan
pertanian dan
pembinaan dari
Dinas pertanian
atau instansi
terkait lainnya
seperti Dinas
Kimpraswil
Pengetahuan
tentang peralatan
usahatani
Ujicoba (trial and
error) tentang
peralatan yang
sesuai dengan
kondisi sosiobiofisik lahan rawa
pasang surut
Hasil penelitian
tentang peralatan
dalam usahatani
padi sawah
Praktek dan
pembelajaran
langsung di lahan
usaha oleh anak
maupun
pengalaman petani
lain (teman/
tetangga)
Kegiatan
penyuluhan
pertanian,
demplot, sekolah
lapang, dan
lainnya
Penggunaan
peralatan
usahatani yang
adaptif untuk
kondisi lahan rawa
pasang surut
(seperti ’tajak’,
’tutujah’, ’kakakar’,
’ani-ani’,
’gumbaan’ dan
lainnya)
Pelatihan
penggunaan dan
bantuan
pengadaan
peralatan modern
seperti
handtraktor, power
thresser, sabit
bergerigi dan
lainnya
130
Lanjutan
1
2
3
4
Pengetahuan
tentang budidaya
tanaman padi
Pengalaman dan
pemahaman
tentang sifat khas
tanaman padi di
lahan rawa pasang
surut
Hasil penelitian
dan uji coba di
lahan rawa pasang
surut
Praktek dan
pembelajaran
langsung di lahan
usaha oleh anak
maupun
pengalaman petani
lain (teman/
tetangga)
Kegiatan
penyuluhan
pertanian,
demplot, sekolah
lapang, dan
lainnya
Mengusahakan
padi lokal dengan
sistem, tradisional
yang adaptif
dengan lingkungan
setempat
Lembaga
penyuluhan
pertanian dan
pembinaan dari
Dinas pertanian
atau instansi
terkait lainnya
Pengetahuan
tentang
pemeliharaan dan
pelestarian
lingkungan
Pemahaman
tentang sifat rapuh
(fragile) dari lahan
rawa pasang surut
terhadap
kesalahan dalam
pengelolaannya
Hasil penelitian
dan uji coba di
lahan rawa pasang
surut, Konvensi
tentang lingkungan
Praktek dan
pembelajaran
langsung di lahan
usaha oleh anak
maupun
pengalaman petani
lain (teman/
tetangga)
Kegiatan
penyuluhan
pertanian
Penerapan sistem
surjan dan
pencegahan
kebakaran lahan
gambut
Penerapan sistem
pertanian terpadu
melalui program
SLPHT dan
SLPTT
Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009
5
6
7
131
Proses transmisi pengetahuan lokal dilakukan melalui pembelajaran
langsung
di
lapangan
terutama
transmisi
antar
generasi.
Transmisi
intergenerasi yang terjadi sesama petani berlangsung dalam ruang publik seperti
pada saat perbincangan di warung, sebelum dan setelah kegiatan yasinan atau
arisan, maupun di tempat-tempat seperti teras mushala atau masjid. Proses
transmisi ini berlangsung dalam bentuk komunikasi yang bersifat konvergen dan
bebas dari dominasi.
Sebaliknya proses transmisi sains dilakukan melalui
kegiatan penyuluhan oleh petugas penyuluh baik berupa ceramah, demonstrasi
plot maupun praktik lapang yang lebih banyak bersifat komunikasi satu arah,
yakni penyuluh sebagai sumber informasi.
Pelanggengan atau pemeliharaan pengetahuan lokal dilakukan melalui
penerapan sistem petanian spesifik lahan rawa pasang surut yang menekankan
pada aspek penggunaan varietas lokal, pengaturan tata air, serta penggunaan
peralatan tepat guna yang bersifat adaptif. Pelaksanaan program-program dinas
dalam pembinaan petani di lahan rawa pasang surut, pemberian bantuan
pengadaan peralatan atau mekanisasi pertanian merupakan bentuk-bentuk yang
dilakukan pemerintah dalam upaya pemeliharaan dan pelanggengan sains di
bidang pertanian. Semua kegiatan ini diintegrasikan dalam kegiatan penyuluhan
pertanian yang mengacu pada kebijakan pemerintah pusat (sentralistik).
6.3 Peranan dan Eksistensi Pengetahuan Lokal
Seiring
dengan
perkembangan
waktu
dan
upaya
peningkatan
kesejahteraan masyarakat, terutama di bidang pendidikan, proses penularan
pengetahuan ini sekarang tidak selancar hal tersebut di atas. Semakin tinggi
tingkat pendidikan formal yang ditempuh anak tersebut, cenderung untuk
semakin tidak terlibat langsung dalam kegiatan pertanian. Hal ini seperti yang
dikemukakan oleh Shr (49 thn) salah seorang petani di Tabunganen:
“Aku ini baiisi ampat ikung anak, sakulah wan kuliah di Banjarmasin,
tapi pinanya kadada nang pina handak jadi patani. Jadi kami baduan
haja lawan mamanya manggawi pahumaan ini. Bila inya datang kasini
gin kadada nang hakunnya umpat manggawi pahumaan.”
[Saya ini memiliki empat orang anak, mereka sekolah dan kuliah di
Banjarmasin tetapi sepertinya tidak ada yang ingin jadi petani. Jadi
kami cuma berdua, suami isteri saja yang mengerjakan sawah ini. Jika
mereka pulang, tidak ada yang berminat ikut bekerja di sawah.]
132
Kasus-kasus seperti ini walaupun tidak banyak tetapi memberikan
gambaran bahwa peningkatan pendidikan formal anak seorang petani pada satu
sisi cenderung semakin menjauhkannya dari kegiatan-kegiatan pertanian.
Pertanian menjadi kurang menarik dibandingkan pekerjaan-pekerjaan lain
seperti menjadi pegawai negeri, karyawan perusahaan, dan lainnya. Kondisi
seperti ini umumnya terjadi pada mereka yang memiliki anak-anak yang mampu
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Dalam sistem pertanian tradisional yang dilakukan masyarakat di lahan
rawa pasang surut, pengetahuan-pengetahuan tentang teknis budidaya padi
lokal dan seluk-beluk ekosistem lahan rawa pasang surut merupakan hal mutlak
yang harus dimiliki. Pengetahuan lokal ini diwujudkan dalam bentuk praktikpraktik pertanian dan sistem sosial yang dikembangkan. Lahan rawa pasang
surut bagi masyarakat petani merupakan aset bagi kelangsungan hidup mereka.
Pengelolaan lahan yang tepat agar dapat berkelanjutan merupakan langkah
yang harus ditempuh dan diwujudkan dalam berbagai praktik kearifan lokal.
Hilangnya praktik-praktik spesifik dalam pengelolaan lahan rawa pasang
surut secara langsung akan menghilangkan berbagai pengetahuan lokal yang
dimiliki oleh masyarakat tersebut.
Pengendalian hama tanaman padi tanpa
menggunakan pestisida yang dilakukan oleh petani pada waktu sebelum adanya
revolusi hijau (sebelum tahun 1970) hampir tidak dilakukan lagi.
Untuk
mengendalikan serangan ulat dan walang sangit, petani menggunakan caracara mekanis menggunakan asap dengan membakar ranting-ranting pohon dan
dedaunan di sekitar sawah untuk mengusir hama tersebut.
Cara lain yang
dilakukan dengan bantuan seorang yang dianggap memiliki kelebihan tertentu
(supranatural). Melalui cara ini, seorang petani yang lahannya diserang oleh
hama wereng ulat atau hama lainnya cukup meminta bantuan orang tersebut.
Tanpa harus melihat atau mendatangi lahan yang terserang hama tersebut,
orang yang memiliki kemampuan supranatural tersebut, setelah diberitahu posisi
lahannya terhadap kedudukan matahari. Seperti yang dikatakan oleh Zni (65
thn) tokoh pertani di Desa Simpang Nungki:
“Sidin ini kawa mahalau hampangau atau hama bilalang matan jauh.
Sidin cukup batakun
ampah kamana pahumaannya, limbah itu
disambur sidin lawan banyu ka ampah pahumaannya.
Isuknya
hampangau atau bilalang sudah kadada lagi dipahumaan.”
133
[Beliau ini dapat mengusir walang sangit atau hama belalang dari jauh.
Beliau cukup bertanya kemana arah sawahnya, setelah itu beliau
menyemburkan air ke arah sawah tersebut. Keesokan harinya walang
angit dan hama belalang tersebut sudah tidak ada lagi di sawah
tersebut]
Praktik-praktik seperti di atas, saat ini sulit dipercaya kebenarannya,
terutama oleh petani-petani muda di wilayah ini. Hal ini menunjukkan bahwa
praktik-praktik atau pengetahuan yang di luar jangkauan nalar petani saat ini
sulit untuk bertahan dan diterima dalam kehidupan masyararakat.
Di sisi lain, pengetahuan-pengetahuan lokal yang dianggap masyarakat
lebih realistis dan memperlihatkan hasil nyata akan semakin eksis dalam
kehidupan masyarakat hingga munculnya pengetahuan-pengetahuan baru yang
dianggap lebih baik dari pengetahuan lama tersebut.
Pengetahuan tentang
peranan pupuk kimia, seperti Urea, SP-36 dan SP 18, pupuk NPK (Posnka)
yang terbukti mampu meningkatkan produksi padi, cepat diterima masyarakat
sebagai suatu pengetahuan baru dan dipraktikan dalam sistem pertanian padi
sawah yang mereka kembangkan.
Begitu juga halnya dengan pengetahuan
tentang kapur pertanian yang ternyata dapat mengurangi kemasaman tanah
serta mempercepat proses pelapukan gulma yang ditebas melalui kegiatan
pengolahan tanah, berkembang menjadi pengetahuan baru dalam kehidupan
mereka. Pengetahuan-pengetahuan baru dari luar ini umumnya cepat diterima
karena sifatnya sebagai pelengkap yang memperkaya pengetahuan tentang
teknik-teknik pertanian yang selama ini dilakukan.
Berbeda halnya dengan
pengetahuan-pengetahuan yang berimplikasi mengganti praktik-praktik lama
yang telah dilakukan, seperti penggunaan benih unggul, penggunaan traktor
tangan (hand tractor), mesin perontok dan sabit bergerigi.
Perubahan atau
proses penerimaannya berlangsung relatif lama dibandingkan dengan teknologi
yang berimplikasi sebagai pelengkap pengetahuan lama (Rogers, 2003)
Keterbukaan masyarakat akan masuknya nilai-nilai baru yang dianggap
dapat membawa ke arah kehidupan yang lebih baik serta sesuai dengan kondisi
biofisik dan sosial masyarakat akan cepat diterima. Berdasarkan hasil diskusi
dengan petani pada semua tipe lahan rawa pasang surut, diperoleh gambaran
yang memperlihatkan bahwa pengetahuan yang mereka miliki yang terwujud
dalam bentuk praktik-praktik pertanian di lahan rawa pasang surut merupakan
warisan dari orang-orang tua jaman dulu dan mampu bertahan hingga sekarang.
134
Berbagai pengetahuan yang terbentuk akan tatap eksis selama praktik-praktik
atau sistem yang digunakan tidak mengalami perubahan.
Perubahan penggunaan varietas dari lokal menjadi unggul dan
perubahan pola tanam dari satu kali menjadi dua kali setahun dalam pandangan
masyarakat di lahan rawa pasang surut tipe A, akan membawa perubahan besar
dalam sistem pengetahuan yang selama ini mereka miliki.
Hal ini karena
perubahan tersebut akan berimplikasi dengan perubahan sistem sosial yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Walaupun demikian, menurut mereka
pengembangan padi unggul dengan sistem pertanian modern seperti sekarang,
kecil kemungkinannya untuk diterapkan di wilayah ini. Besarnya fluktuasi air di
lahan sawah pasang surut tipe (30-50 cm) serta kuatnya arus pasang surut
hampir tidak memungkinkan untuk menanam bibit padi unggul di sawah
tersebut. Berbeda halnya dengan kondisi di lahan rawa pasang surut tipe B, C,
dan D, dimana secara teknis budidaya padi unggul memungkinkan untuk
dilakukan asalkan mampu mengatasi permasalahan tata air dan kemasaman
tanah yang tinggi.
Bagi masyarakat, pengetahuan lokal dalam mengelola lahan rawa
pasang surut merupakan bentuk penyesuaian terhadap kondisi spesifik lahan
rawa pasang surut yang tegolong marginal dengan kendala utama kemasaman
tanah yang tinggi.
Pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki menjadi dasar
penentu dalam menjaga kelestarian dan keberlanjutan pertanian di lahan rawa
pasang surut. Dengan demikian, pengetahuan lokal ini merupakan salah satu
kearifan masyarakat dalam menjaga keseimbangan ekosistem di lahan rawa
pasang surut.
pertanian yang
Oleh karena itu, pengelolaan yang salah atau praktik-praktik
bersifat
merusak
(seperti
pembakaran
gambut)
berarti
penghancuran terhadap sumber-sumber kehidupan mereka.
6.4 Pengaruh Sistem Sosial dalam Pengembangan Pengetahuan Lokal
Selain kondisi biofisik di lahan rawa pasang surut, sistem sosial
masyarakat juga turut menentukan peranan dan eksistensi pengetahuan lokal.
Komponen sistem sosial ini meliputi perkembangan teknologi, pertumbuhan
penduduk, keberadaan organisasi sosial serta nilai dan norma yang berkembang
dalam kehidupan masyarakat. Keterkaitan dan hubungan timbal balik antara
sistem biofisik dan sistem sosial inilah yang menjadi faktor penentu dalam
dinamika pengetahuan lokal masyarakat di lahan rawa pasang surut. Di sisi lain,
135
dinamika
pengetahuan
lokal
masyarakat
ini
juga
berimpliksi
terhadap
perubahan-perubahan pada sistem biofisik dan sistem sosial itu sendiri.
Teknologi sebagai suatu bentuk nyata dari penerapan ilmu pengetahuan
bertujuan untuk mempermudah kehidupan manusia.
Oleh karena itu ilmu
pengetahuan hanya akan terbentuk dalam sebuah medium kepentingan
(Habermas 1990). Perkembangan teknologi pertanian yang dintroduksi dalam
kehidupan masyarakat di lahan rawa pasang surut merupakan faktor penting
yang mempengaruhi dinamika pengetahuan lokal masyarakat petani. Dengan
basis sains di bidang pertanian, teknologi pertanian modern merasuk ke dalam
kehidupan masyarakat dan menciptakan ideologi baru sebagai suatu solusi
untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
Praktik-praktik pertanian yang
didasarkan atas pengetahuan lokal dianggap ketinggalan jaman sehingga tidak
mampu untuk berproduksi secara efisien dan memberikan keuntungan ekonomi
yang besar. Teknologi pertanian modern yang berbasis pada efisiensi produksi
merupakan ciri utama dari sistem kapitalis pada bidang pertanian.
Sistem pertanian yang diterapkan masyarakat petani di lahan rawa
pasang surut selama ini masih menonjolkan aspek subsistensi yang cukup
tinggi. Pemenuhan kebutuhan pangan keluarga merupakan faktor utama dalam
sistem pertanian padi, dan jika ada kelebihan produksi baru dijual untuk
keperluan hidup sehari-hari. Strategi pengembangan usahatani dengan modal
minimal untuk memperoleh hasil tertentu merupakan prinsip ekonomi dasar yang
dianut petani di lahan rawa pasang surut selama ini. Teknologi sederhana yang
adaptif dikembangkan untuk mendukung sistem pertanian ini merupakan produk
utama dari pengetahuan lokal masyarakat petani. Masuknya teknologi pertanian
modern
di
bidang
pertanian
telah
menimbulkan
goncangan
dalam
pengembangan pengetahuan lokal yang menjadi basis sistem pertanian yang
selama ini dilakukan masyarakat.
Sistem pertanian modern dengan komponen teknologi utama pada
penggunaan benih unggul dan pemakaian bahan-bahan kimia (pupuk anorganik
dan pestisida) bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian, khususnya
padi.
Melalui program peningkatan produksi yang dicanangkan pemerintah
(dari model Bimas hingga program Intensifikasi) pertanian padi diarahkan pada
upaya peningkatan produksi.
Padahal, dalam kenyataannya sering terjadi
bahwa peningkatan produksi yang dicapai ternyata tidak diikuti dengan
peningkatan pendapatan petani.
Hal ini dapat terjadi karena dalam sistem
136
pertanian modern diperlukan biaya atau modal yang relatif besar. Besarnya
peningkatan atau penambahan modal ini ternyata tidak seimbang dengan
kenaikan nilai produk yang diperoleh.
Akibatnya walaupun produksi yang
dihasilkan besar tetapi keuntungan yang diperoleh petani tidak mengalami
peningkatan. Faktor yang juga menyebabkan penerimaan petani rendah adalah
harga jual gabah varietas unggul relatif lebih murah dari varietas lokal. Sebagai
perbandingan harga gabah kering giling varietas lokal jenis Siam rata-rata
mencapai Rp 35.000,- per blek (sekitar Rp 3.500,-per kg), harga gabah kering
giling varietas unggul Ciherang hanya mencapai Rp 20.000,-/blek (sekitar Rp
2.000,- per kg).
Pengaruh perubahan teknologi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat
bukan hanya semata menghambat pengembangan atau menghilangkan
pengetahuan lokal, tetapi di sisi lain juga ada yang mendorong ke arah
pengembangan yang lebih dinamis.
Penggunaan kapur pertanian untuk
mengatasi kemasaman dan proses pelapukan sisa potongan gulma di
persawahan merupakan teknologi yang memberikan pengetahuan baru bagi
masyarakat tentang cara yang lebih baik dalam sistem pertanian padi. Begitu
juga penggunaan pupuk anorganik, terutama Urea dalam pembibitan padi (fase
lacak dan tangkar anak) dapat menghasilkan bibit-bibit padi yang berbatang
besar dan panjang sehingga cocok untuk kondisi lahan pasang surut yang berair
dalam (terutama di lahan rawa pasang surut). Melalui penggunan pupuk ini,
petani memiliki pengetahuan tambahan tentang bagaimana menghasilkan bibitbibit padi yang baik dan dalam pertanamannya dapat ditanam hanya dengan
satu tanaman per rumpun tanam.
Komponen
sistem
sosial
yang
juga
berperan
dalam
dinamika
pengetahuan lokal adalah pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk ini
terutama menyangkut semakin meningkatnya kebutuhan pangan. Pemenuhan
kebutuhan
pangan
yang
semakin
meningkat
harus
diimbangi
dengan
peningkatan produksi tanaman pangan itu sendiri. Upaya peningkatan produksi
ini dapat dilakukan melalui peningkatan luas areal persawahan maupun dengan
peningkatan produktivitas lahan. Khusus di Kabupaten Barito Kuala, dalam
kurun duapuluh lima tahun terakhir, pertumbuhan penduduknya (1,57%/
pertahun) lebih tinggi dari pertumbuhan luas lahan yang diusahakan (1,11%
pertahun).
Walaupun demikian, pertumbuhan produksinya (3,05% pertahun)
ternyata lebih besar dari pertumbuhan penduduk. Dengan keterbatasan jumlah
137
lahan
yang dapat digunakan untuk areal persawahan, peningkatan jumlah
penduduk yang terus berlangsung serta kebutuhan areal pemukiman yang
semakin meningkat maka upaya peningkatan produktivitas melalui kegiatan
intensifikasi mutlak dilakukan. Selama duapuluh lima tahun terakhir produksi
rata-rata tanaman padi hanya mengalami peningkatan sebesar 2,29% pertahun,
dari 16,92 kw/ha pada tahun 1983 menjadi 35,10 kw/ha pada tahun 2008.
Perubahan strategi peningkatan produksi dari perluasan areal menjadi
intensifikas pertanian mendorong petani mengembangkan pengetahuannya
dalam rangka meningkatkan produksi persatuan luas lahan. Upaya peningkatan
produktivitas ini telah dilakukan petani sejak sebelum revolusi hijau melalui
perbaikan kualitas lahan dan pengaturan tata air. Untuk menjaga kesuburan
tanah, petani dahulu menaburkan garam pada bagian lahan sawah tertentu yang
tanahnya agak keras. Cara ini diyakini dapat memperbaiki kualitas fisik tanah
sehingga tanah menjadi gembur dan pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik.
Praktik-praktik menabur garam di sawah ini umumnya ditemui pada lahan rawa
pasang surut tipe C dan D. Untuk lahan rawa pasang surut tipe A dan B, upaya
meningkatkan produktivitas lahan dilakukan melalui pengaturan tata air sehingga
pasang surut air dapat berjalan lancar sehingga pertumbuhan tanaman menjadi
lebih baik.
Teknik-teknik yang dilakukan petani di lahan rawa pasang surut pada era
setelah revolusi hijau saat ini selain masih menggunakan teknik atau cara di
atas, juga digunakan pupuk anorganik, pestisida, dan kapur pertanian.
Pengetahuan tentang manfaat dan teknik penggunaan bahan-bahan kimia ini
diperoleh melalui program-program penyuluhan pertanian yang dilaksanakan
pemerintah dalam upaya peningkatan produksi padi.
Dengan demikian,
desakan pertambahan penduduk yang diiringi dengan keterbatasan jumlah
lahan telah mendorong dinamika pengembangan pengetahuan lokal petani di
lahan rawa pasang surut agar dapat eksis mempertahankan kehidupannya.
Organisasi sosial sebagai bagian dari sistem sosial merupakan
komponen yang juga berperan dalam dinamika pengetahuan lokal petani di
lahan rawa pasang surut. Ikatan geneologis yang kuat yang terhimpun dalam
kelompok-kelompok handil merupakan organisasi sosial petani yang eksis dan
adaptif terhadap kondisi lahan rawa pasang surut.
Pengetahuan tentang
gerakan pasang surut air hubungannya dengan ukuran handil, sehingga air
dapat lancar keluar masuk ke areal persawahan telah membentuk organisasi
138
handil sebagai organisasi penting dalam proses produksi pertanian. Nilai dan
norma
yang
diterapkan
dalam
kehidupan
sehari-hari
mengacu
pada
kebersamaan yang terwujud dalam berbagai bentuk kegiatan gotong royong.
Proses penularan pengetahuan dalam sistem ini menjadi lebih efektif, dimana
untuk menjaga kelangsungannya dipilih seorang ‘kepala handil’ yang bertugas
mengatur dan menegakkan nilai-nilai dan norma yang telah ditetapkan,
walaupun secar tidak tertulis. Berbagai permasalahan dan kendala dalam usaha
meningkatkan
produksi
pertanian,
musyawarah antar anggotanya.
khususnya
padi
dilakukan
melalui
Kegiatan pembersihan handil diatur dan
dilaksanakan secara bergotong royong, termasuk jika ada penambahan anggota
atau petani yang ingin berusaha di wilayah handil tersebut.
Seiring dengan perkembangan pertanian dan program pembangunan
pertanian yang dilaksanakan pemerintah, dibentuk kelompok-kelompok tani
yang tujuannya untuk mempermudah pembinaan yang dilakukan oleh aparat
pemerintah.
Tujuan pembentukan kelompok tani ini lebih berorientasi pada
kepentingan kemudahan pembinaan oleh aparat pemerintah, ketimbang
kepentingan petani. Dalam pembentukan kelompok tani ini ada dua dasar yang
digunakan, yakni berdasar atas domisili atau tempat tinggal petani dan
berdasarkan atas hamparan.
Khusus di lokasi penelitian, pembentukan
kelompok tani didasarkan atas domisili atau tempat tinggal petani.
Hal ini
dilakukan mengingat, umumnya dalam suatu handil terdapat petani yang tempat
tinggalnya jauh atau di luar desa. Dengan kedekatan domisili, maka penyuluh
lebih mudah memberikan penyuluhan atau mengunjungi rumah petani.
Kelemahan pola ini adalah permasalahan spesifik yang dihadapi petani di lokasi
lahan pertaniannya berbeda-beda, dan kegiatan gotong royong di lahan
pertanian menjadi kurang efektif.
Pola ini berbeda dengan kelompok handil
yang didasarkan atas hamparan lahan, dimana untuk kegiatan gotong royong
akan lebih mudah dilaksanakan.
Pembentukan kelompok tani seperti ini memunculkan konflik dalam
kehidupan masyarakat karena petani yang lahannya berdekatan belum tentu
tergabung dalam satu kelompok tani. Akibatnya ketika akan dilakukan gotong
royong dalam satu hamparan, mereka mengalami kesulitan. Kegiatan kelompok
tani kini lebih pada penataan administrasi petani oleh pemerintah, terutama
dalam pemberian bantuan dan subsidi.
Banyak petani yang masuk atau
terdaftar sebagai angota kelompok tani hanya sekedar memenuhi persyaratan
139
adminsitratif semata. Walaupun kegiatan penyuluhan pertanian dilakukan oleh
petugas penyuluh tetapi lebih banyak dilakukan dalam bentuk pertemuan
kelompok di rumah ketua kelompok tani.
Terkait dengan pengembangan pengetahuan lokal, kelompok handil
relatif lebih dinamis karena dengan hamparan sawah yang berdekatan,
permasalahan dan pengetahuan tentang sistem petanian di wilayah handil
tersebut relatif sama. Proses tukar menukar pengetahuan dan pengalaman juga
akan mudah dilakukan serta jalinan kebersamaan akan berlangsung semakin
erat. Memang pembinaan yang dilakukan dengan basis wilayah hamparan lebih
berat dibandingkan dengan kelompok yang dibentuk berdasarkan tempat
tinggal, terutama dari sudut pembinaan yang dilakukan oleh aparat penyuluhan.
Konsekuensi lainnya adalah bahwa kegiatan penyuluh akan lebih banyak
dilakukan di lahan usaha petani, yang umumnya letaknya cukup jauh serta
sarana transportasi yang terbatas dengan medan yang berat.
Secara
skematis,
pengaruh
komponen
sistem
sosial
terhadap
pengetahuan lokal petani dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut dapat
dilihat pada Gambar 13.
Teknologi
Model penyuluhan
/ komunikasi
Organisasi
Sosial
Teknik produksi
Pengetahuan
Lokal
Kelompok /
organisasi petani
Populasi
Pola kerjasama /
gotong royong
Gambar 13.
Nilai dan Norma
Mekanisme pengaruh komponen sistem sosial terhadap
pengetahuan lokal dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut
140
Pembentukan kelompok tani sebagai organisasi sosial petani di
pedesaan berpengaruh terhadap eksistensi kelembagaan petani yang telah ada
seperti kelompok handil. Peranan kelompok handil dalam mengorganisir dan
mengatur kegiatan pertanian digeser oleh kelompok tani, akibatnya kegiatan
petani dalam kelompok hamparan menjadi kurang berkembang. Begitu juga
nilai dan norma yang dikembangkan dalam kelompok tani lebih berorientasi
pada penataan administrasi petani dibandingkan pembinaan petani.
penyuluhan yang dikembangkan melalui kelompok tani
Model
kurang menyentuh
kebutuhan mendasar petani dan lebih banyak berfungsi sebagai media
diseminasi program-program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah
secara nasional. Permasalahan-permasalahan spesifik lokal kurang mendapat
perhatian dan pembinaan dari petugas penyuluh.
Faktor ini tentu saja
berpengaruh terhadap perkembangan dan eksistensi pengetahuan lokal.
Perkembangan teknologi pertanian dan tekanan jumlah penduduk
merupakan faktor lainnya yang mendorong pemerintah lebih berorientasi pada
peningkatan produksi dalam pembinaan petani secara nasional.
Program-
program nasional peningkatan produksi ini kebanyakan berbasis pada
pengembangan padi unggul yang selama ini
masih belum dapat diterima
masyarakat di lahan rawa pasang surut. Konflik kepentingan ini tercipta dengan
penolakan sebagian besar petani untuk mengembangkan padi unggul. Pada sisi
lain, program-program pemerintah dalam upaya peningkatan produksi ini lebih
mengutamakan teknologi yang dikembangkan secara nasional dan kurang
sesuai dengan kondisi spesifik di lahan rawa pasang surut. Faktor inilah yang
secara langsung juga berpengaruh terhadap perkembangan dan eksistensi
pengetahuan lokal petani di lahan rawa pasang surut.
6.5 Kendala dalam Pengembangan Pengetahuan Lokal
Seiring dengan pembangunan pertanian yang dilaksanakan pemerintah
melalui berbagai program intensifikasi pertanian dalam upaya peningkatan
produksi padi telah memberikan hasil yang cukup penting. Pembangunan dan
rehabilitasi saluran atau handil, pembangunan infrastruktur jalan usahatani,
pengembangan kelembagaan kelompok tani, bantuan kredit produksi hingga
pengembangan usaha agribisnis pedesaan dilaksanakan pemerintah untuk
mencapai sasaran dan target produksi pertanian di lahan rawa pasang surut.
141
Semua program yang pernah dan sedang dilaksanakan ini walaupun diarahkan
untuk kepentingan petani, tetapi ternyata masih belum mencapai sasaran akhir
untuk mencapai kesejahteraan petani dan keluarganya. Bahkan pada sisi lain
justeru melemahkan keberdayaan dan pengetahuan lokal yang dimiliki petani
(Fakih 1995, Maliki 1999). Petani selalu diposisikan sebagai komunitas statik,
tertinggal, dan tidak siap menerima inovasi.
Sebelum pemerintah melaksanakan pengembangan pertanian melalui
revolusi hijau, petani dengan kemampuan lokal yang dimilikinya mampu
menggalang
kekuatan
mengelola
lahan
rawa
pasang
surut
sehingga
menghasilkan areal pertanian yang dapat mencukupi kebutuhan hidup petani
setempat. Melalui jalinan kerjasama dan gotong royong yang terwujud dalam
kehidupan sosial, para petani beradaptasi dengan kondisi spesifik lahan rawa
pasang surut.
Ketika pemerintah turut campur tangan membenahi sistem tata
air, pengunaan tenaga mesin untuk pengerukan handil, penataan kelembagaan
sosial petani melalui kelompok tani, produktivitas padi memang mengalami
peningkatan. Pada sisi lain, dampak dari besarnya campur tangan pemerintah
ini justeru semakin
pemerintah.
meningkatkan ketergantungan petani pada bantuan
Kegiatan gotong royong pembersihan dan pemeliharaan handil
yang sebelumnya selalu dilakukan petani kini sudah jarang sekali dilakukan,
karena secara berkala dilakukan pemeliharaan oleh pemerintah.
Semakin lama jumlah handil yang harus ditangani pemerintah semakin
bertambah, sedangkan anggaran yang tersedia untuk kegiatan pemeliharan
tersebut juga terbatas.
Akibatnya frekuensi pemeliharan menjadi berkurang,
biasanya setiap tiga hingga lima tahun selalu dibersihkan atau dikeruk, kini
hingga puluhan tahun masih belum dilakukan pemeliharaan.
Seperti yang
dikemukakan Tlb (64 thn), seorang tokoh petani di Desa Tinggiran Darat:
“Dahulu kami bagutung ruyung mambarasihi handil saban tahun pabila
mulai musim tanam. Limbah handil Anang ini dikarukakan pamarintah,
banyunya batambah lancar karana didalami lawan diluasi. Pabila mulai
surut lawan banyak kumpainya atau tatapal, tapaksa kami mamuhun
lawan pamarintah supaya dikarukakan. Amun sudah dalam lawan luas
kaya ini kami kada sanggup lagi manggawi lawan tanaga manusia, jadi
harus mamakai masin karuk.”
[ Dahulu kami bergotong royong membersihkan handil setiap tahun
ketika awal musim tanam. Setelah handil Anang ini dikeruk oleh
pemerintah, aliran airnya bertambah lancar karena dilakukan
pendalaman dan perluasan. Pada saat handil ini surut serta banyak
rumput/gulma atau tersumbat, terpaksa kami memohon kepada
pemerintah agar dilakukan pengerukan. Sebab handil yang sudah
142
dalam dan luas seperti ini kami tidak sanggup lagi mengerjakannya
dengan tenaga manusia, kecuali memakai peralatan keruk (excavator) ]
Pendapat petani di atas menunjukkan bahwa mereka bahwa kegiatan
pengerukan dan pemeliharaan handil adalah tanggung jawab pemerintah,
sehingga umumnya mereka bersikap pasif dan menunggu. Mereka beralasan
bahwa pembersihan dan pemeliharan handil tersebut harus menggunakan
peralatan berat dan kurang efektif jika dikerjakan secara manual dengan tenaga
manusia. Untuk kegiatan pembersihan rumput, menurut mereka masih dapat
dikerjakan secara bergotong royong dengan tenaga manusia. Pandangan dan
sikap ini menunjukkan ketergantungan petani terhadap bantuan pemerintah dan
menimbulkan konflik di masyarakat.
Timbul anggapan bahwa pemerintah
kurang memperhatikan nasib dan kehidupan petani.
Mereka menilai bahwa
berbagai program pemerintah yang ada sekarang ini kurang efektif untuk
meningkatkan produksi padi jika aliran air pasang dan surut pada handil tersebut
tidak lancar.
Melemahnya
semangat
gotong
royong
ini
juga
didorong
oleh
berkembangnya sistem upah dan sistem kepemilikan lahan (terutama sistem
sewa). Petani yang kaya biasanya lebih banyak menggunakan tenaga upahan
untuk mengerjakan kegiatan usahatani padinya.
Mereka lebih banyak
melakukan kegiatan lain seperti berdagang, mengurus penggilingan padi,
ataupun mengatur kegiatan-kegiatan pertanian pada lahan-lahan di lokasi lain
(baik di dalam desa maupun di desa sekitar). Untuk kegiatan gotong royong,
jika berhalangan mereka memberikan konpensasi berupa uang untuk membeli
konsumsi gotong royong. Begitu juga dengan petani penyewa, rasa memiliki
dan tanggung jawab atas kondisi handil sebagian dari mereka relatif kurang
dibandingkan dengan petani yang menggarap lahannya sendiri.
Padahal
berdasarkan norma yang ada, penyewa ikut bertanggung jawab terhadap
pemeliharaan handil. Terhadap mereka yang sering tidak mau ikut bergotong
royong, biasanya disarankan kepada pemilik lahannya untuk tidak menyewakan
lagi lahan tersebut kepada yang malsa ikut bergotong royong.
Kendala lain dalam pengembangan pengetahuan lokal ini justeru datang
dari sistem sosial masyarakat petani itu sendiri.
penduduk, tekanan
Desakan pertumbuhan
ekonomi dan komersialisasi yang berlangsung cepat
merupakan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan
pengetahuan lokal.
Hasil diskusi dengan petani melalui kegiatan FGD
143
menyimpulkan bahwa meningkatnya berbagai kebutuhan hidup merupakan
salah satu faktor yang mendorong perubahan sosial dalam kehidupan petani.
Jika sebelumnya berbagai kebutuhan hidup hanya terfokus pada kebutuhan
primer semata seperti sandang, pangan dan perumahan. Berbagai kebutuhan
hidup ini, terutama pangan dan perumahan dipenuhi dan diproduksi sendiri
dengan menggunakan sumberdaya yang ada di lingkungan setempat.
Kini
mulai dari kebutuhan primer, sekunder hingga tersier harus dipenuhi dari hasil
pendapatan baik dari usaha pertanian padi maupun di luar usaha tani padi.
Kendaraan roda dua seperti sepeda motor, lemari es, televisi, pemutar
DVD, antena parabola, telepon genggam dan lainnya bukan merupakan barang
mewah lagi, tetapi sudah menjadi kebutuhan hidup sehari-hari. Perubahan gaya
hidup ini secara perlahan mulai merubah pandangan hidup sebagian petani di
wilayah ini. Walaupun sistem pertanian masih bersifat subsisten, tetapi tingkat
subsistensinya sudah mulai berkurang. Komoditas pertanian komersial nonpadi
mulai dikembangkan, seperti nanas dan jeruk dengan memanfaatkan lahanlahan bedengan atau surjan.
Perubahan gaya hidup inilah yang menjadi
kendala dalam pengembangan pengetahuan lokal, karena ternyata gaya hidup
baru ini dianggap lebih sebagai kemajuan dalam sistem sosial petani setempat.
Mulai memudarnya kegiatan gotong royong dan berkembangnya sistem
upah merupakan bentuk-bentuk penyesuaian sistem sosial terhadap perubahan
yang terjadi.
Sebelumnya, kegiatan gotong royong sering dilakukan untuk
melakukan kegiatan-kegiatan yang membutuhkan tenaga kerja banyak dan
harus segera diselesaikan seperti penanaman dan pemanenan
Semakin
meningkatnya luas areal lahan yang diusahakan serta kebutuhan akan
penyelesaian kegiatan memaksa petani menggunakan tenaga kerja luar
keluarga. Hal ini terutama dirasakan oleh petani yang mengusahakan lebih dari
satu hektar sawah dan hanya memiliki 2-3 orang tenaga kerja dalam keluarga.
Masing-masing keluarga petani petani secara bersamaan memerlukan tenaga
kerja dalam jumlah yang besar, maka mau tidak mau harus didatangkan tenaga
kerja upahan dari luar desa bahkan dari luar daerah.
Seperti yang dituturkan
Ysr (45 thn) seorang penyuluh pertanian di Tabunganen:
“Kegiatan gotong royong saat ini umumnya hanya dilakukan pada
kegiatan penanaman. Untuk kegiatan panen biasanya berlaku sistem
bagi hasil dan sistem tebusan atau upah. Biasanya pada saat
kegiatan panen petani kekurangan tenaga kerja padahal padi harus
segera dipanen dan mereka masing-masing memanen padinya. Untuk
mengatasi kekurangan tenaga kerja harus didatangkan dari luar desa,
144
bahkan dari luar Batola. Untuk transportasi dan akomodasi selama
dipekerjakan, ditanggung oleh petani pemilik lahan. Selain
memperoleh upah kerja, tenaga upahan ini juga memperoleh jaminan
makan tiga kali sehari.”
Kegiatan gotong royong yang dilakukan bukan hanya berkurang
intensitasnya tetapi jenis kegiatan dan pesertanya pun juga menurun. Kegiatan
gotong royong yang masih banyak dilakukan adalah pada saat penanaman
(handipan) dan pembersihan saluran handil. Begitu juga dengan jumlah peserta,
terutama untuk kegiatan handipan biasanya hanya dalam kelompok-kelompok
kecil 10-15 orang, padahal sebelumnya bisa mencapai 25-30 orang. Penurunan
ini terkait semakin banyaknya petani yang menggunakan tenaga upahan karena
dinilai lebih praktis dan lebih cepat selesai.
6.6 Ikhtisar: Mengapa Pengetahuan Lokal Perlu Dikembangkan?
Dalam sejarah perkembangannya pengetahuan lokal yang dimiliki oleh
suatu komunitas merupakan sekumpulan strategi adaptasi dalam berinteraksi
dengan lingkungan setempat. Proses pembentukannya lebih menekankan pada
pengalaman dan pemahaman terhadap gejala alam. Proses trial and error akan
selalu
berlangsung sehingga ditemukan suatu pemahaman yang holistik
tentang gejala-gejala alam yang terjadi tersebut (Ellen and Bicker 2005). Oleh
karena itu, secara kontekstual pengetahuan lokal sangat terkait dengan kondisi
lingkungan sosial-biofisik dengan konteks spesifik lokal.
Merubah lahan rawa pasang surut menjadi sebuah areal pertanian yang
subur bukan hanya memerlukan pengetahuan dan keterampilan teknis semata
terkait sifat-sifat yang melingkupinya. Diperlukan adanya pola hubungan sosial
spesifik dalam kehidupan masyarakat sehingga kendala-kendala teknis yang
ada dapat diatasi secara lebih holistik. Pola kerjasama kelompok handil yang
merupakan cikal bakal dalam terbentuknya komunitas masyarakat pertanian di
lahan rawa pasang surut.
Bentuk kerjasama dengan ikatan sosial dan
hubungan kekeluargaan yang kuat menjadi pendorong dalam mengembangkan
pertanian di lahan marjinal ini. Pemahaman yang holistik terhadap gejala alam
inilah yang melahirkan pengetahuan-pengetahuan lokal dalam mengelola lahan
rawa pasang surut.
Pengetahuan lokal petani untuk mengelola lahan rawa pasang surut
terbentuk dari interaksi mereka untuk mengatasi dua kendala spesifik, yakni
genangan air dan tingkat kemasaman yang relatif tinggi (berupa tanah sulfat
145
masam). Hal ini selaras dengan teori koevolusi (coevolution) yang menyatakan
bahwa pengetahuan lokal mengacu pada proses dinamis dan berkelanjutan dari
adaptasi timbal balik antara lingkungan alamiah dan umat manusia.
Terkait
dengan aspek metodologis menurut Agrawal (1995) bahwa pengetahuan lokal
berkembang melalui pengalaman dan pemahaman terhadap gejala alam.
Begitu juga dengan hasil penelitian dari Sunaryo dan Joshi (2003) yang
menyatakan bahwa pengetahuan lokal merupakan hasil dari proses belajar
berdasarkan persepsi petani sebagai pelaku utama pengelola sumber daya
lokal. Menyangkut persepsi terhadap lingkungan ini, Kalland (2005) menyebut
pengetahuan lokal
sebagai pengetahuan yang bersifat empiris, sehingga
mampu menyesuaikan dengan kondisi lingkungan sekitar.
Tata air dengan sistem handil yang dikembangkan secara bertahap
seiring dengan pertumbuhan anggota kelompok handil tersebut ternyata mampu
menghadapi kendala biofisik yang ada. Aspek kepemimpinan dalam kelompok
handil turut menentukan keberhasilan kegiatan pertanian di wilayah tersebut.
Seorang kepala handil dipilih karena ia memiliki pengetahuan dan pemahaman
baik tentang kondisi di wilayah tersebut, jujur dan bersifat adil. Hal ini penting
karena salah satu tugas utamanya adalah mendistribusikan lahan-lahan yang
ada kepada mereka yang membutuhkan secara adil.
Lahan yang telah
didistribusikan, tetapi tidak dikelola atau dibiarkan terbengkalai oleh anggota
kelompok dapat berpengaruh buruk terhadap lahan-lahan pertanian di
sekitarnya.
Semak dan tumbuhan liar pada lahan yang terbengkalai ini
merupakan sarang yang baik bagi beberapa jenis hama seperti tikus, wereng,
ulat dan babi.
Oleh karena itu sikap tegas
seorang kepala handil juga
diperlukan untuk menjaga keberhasilan pertanian di wilayahnya.
Pengetahuan dan pengalaman tentang bercocok tanam padi di lahan
rawa pasang surut yang dimiliki akan saling dipertukarkan antar petani anggota
kelompok handil ini. Hingga pada akhirnya mereka memiliki pengetahuan dan
pengalaman yang komprehensif dalam mengelola lahan rawa pasang surut ini.
Bagaimana kemasaman tanah terjadi dan cara mengindari atau mengatasinya
agar tanaman tidak terganggu pertumbuhannya merupakan pengetahuan teknis
dasar yang mereka miliki sejak ratusan tahun lalu. Pengetahuan ini diturunkan
atau ditularkan secara lisan dari satu generasi ke generasi lain secara oral dan
praktik langsung di lahan usahatani.
Penggunaan varietas lokal, peralatan
usahatani, serta teknik bercocok tanam yang adaptif dengan kondisi lahan rawa
146
pasang surut merupakan pengetahuan yang berkembang sesuai dengan kondisi
biofisik dan kehidupan sosial masyarakat.
Pada lahan rawa pasang surut tipe A pengetahuan petani tentang
gerakan air pasang, perhitungan iklim dan cuaca berdasarkan peredaran bintang
lebih berkembang dibandingkan dengan di tipe lahan rawa pasang surut
lainnnya. Pengetahuan-pengetahuan ini berimplikasi pada pengetahuan tentang
teknik pembibitan padi serta penentuan suatu kegiatan usahatani. Kegiatankegiatan seperti penanaman dan pemupukan hanya efektif dilakukan pada saat
terjadinya pasang kecil. Pada saat ini genangan air berada pada
tingkat
terendah dan kegiatan tanam maupun pemupukan mudah dilakukan. Kegiatan
di sawah hanya berlangsung setengah hari, yakni pada saat air surut sehingga
pola ini juga berpengaruh terhadap aktivitas petani sehari-hari.
Pengetahuan petani di lahan rawa pasang surut tipe B terutama
menyangkut teknik tata air untuk mengatasi kemasaman tanah. Sistem tata air
yang baik dapat mencegah terjadinya oksidasi pirit karena lapisan ini secara
alamiah akan mengalami oksidasi pada kondisi kering dan dapat meracuni
tanaman.
Pengetahuan mereka tentang lapisan pirit ini berimplikasi pada
pengetahuan tentang pembuatan saluran baik yang ada dalam petakan sawah
maupun di luar petakan sawah. Pengetahuan tentang peralatan pengolahan
tanah (tajak) yang tidak membongkar lapisan pirit merupakan teknik yang dalam
istilah pertanian dikenal dengan pengolahan tanah minimum (minimum tillage).
Petani di lahan rawa pasang surut tipe C dan D yang kondisi
agroekosistemnya tidak memperoleh luapan langsung dari air pasang, lebih
dihadapkan pada masalah kemasaman tanah yang tinggi. Pengetahuan tentang
ciri-ciri tanah yang baik untuk dijadikan sebagai areal persawahan lebih
berkembang dibandingkan dengan masalah pasang surutnya air. Pengetahuan
tentang cara mengidentifikasi kesuburan tanah melalui vegetasi yang tumbuh di
atas lahan tersebut maupun kondisi fisik tanah merupakan keahlian petani
setempat. Pembuatan surjan dan tukungan untuk ditanami dengan tanaman
hortikultura merupakan strategi pertanian polikultur (tanaman campuran) untuk
mengimbangi produktivitas padi yang relatif rendah.
Penggunaan peralatan
tajak merupakan implementasi dari pengetahuan mereka tentang lapisan pirit
yang tidak boleh terbongkar pada saat pengolahan tanah. Teknik pembibitan
secara bertahap lebih ditujukan untuk memperoleh bibit yang memiliki adaptasi
tinggi terhadap kemasaman tanah.
147
Pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat dalam mengelola lahan rawa
pasang surut ini pada kondisi tertentu terbukti mampu memenuhi kebutuhan
hidup masyarakat setempat.
Sistem sosial berkembang seiring dengan
perubahan-perubahan yang terjadi pada kondisi lingkungan biofisik lahan rawa
pasang surut. Terlebih lagi ketika kebijakan pertanian nasional dalam
pengadaan pangan kini diarahkan pada wilayah-wilayah di luar jawa akibat
penyusutan lahan pertanian subur di jawa akibat konversi ke penggunaan lain.
Lahan-lahan marjinal, termasuk lahan rawa pasang surut dan lahan gambut
dituntut untuk menghasilkan pangan dengan produktivitas tinggi.
Program-program
nasional
dalam
peningkatan
produksi
pangan
selanjutnya dibebankan kepada masyarakat petani di lahan rawa pasang surut.
Mereka dituntut untuk menghasilkan pangan dalam jumlah besar dengan
merubah pola tanam dan jenis varietas padi yang diusahakan.
Program
penyuluhan melalui bimbingan massal hingga intensifikasi pertanian yang
dilaksanakan secara nasional juga diberlakukan di lahan rawa pasang surut.
Produktivitas
dan
efisiensi
pertanian
menjadi
semboyan
baru
yang
didengungkan kepada para petani. Teknik-teknik lama dalam bercocok tanam
yang menggunakan varietas lokal berproduktivitas rendah harus diganti dengan
varietas unggul berproduktivitas tinggi dengan penerapan teknologi pertanian
modern. Haruskah sistem pertanian yang dianggap tradisional tetapi adaptif
terhadap lingkungan digantikan dengan pertanian modern yang berproduksi
tinggi?
Kalau menguntungkan petani, kenapa tidak?
Demikianlah pendapat
yang dikemukakan aparat pembangunan pertanian. Proses seperti inilah yang
oleh Fakih (1995) disebut sebagai dominasi dan penjinakan. Pada tataran lebih
lanjut hal ini dapat menghilangkan pengetahuan lokal yang dimiliki oleh
masyarakat setempat.
Untuk mendukung program dan kegiatan peningkatan produksi padi ini
dilakukanlah berbagai bimbingan dan penyuluhan tentang sistem bercocok
tanam padi unggul yang benar-benar baru bagi masyarakat setempat. Berbagai
bentuk bantuan, mulai dari benih unggul, pupuk, hingga modal usaha berupa
kredit usahatani dikucurkan demi keberhasilan proyek ini.
Bahkan dalam
beberapa hal terkesan dipaksakan untuk mencapai target luas tanam padi
unggul pada satu wilayah.
Penyuluh pertanian yang di wilayahnya banyak
petani menanam padi unggul akan diberi penghargaan, sedangkan yang tidak
mampu mengajak petaninya untuk menanam padi unggul akan memperoleh
148
‘sanksi’ atau dianggap gagal dalam menjalankan tugasnya. Target luas tanam
untuk masing-masing wilayah telah ditetapkan dan harus dilaksanakan oleh
petugas penyuluh di lapangan.
Eksistensi kelembagaan petani seperti handil digeser oleh kelompok tani
melalui penerapan peraturan Menteri Pertanian dalam rangka program nasional
peningkatan produksi padi. Kelompok tani ini pada awalnya merupakan
kelompok informal bagi petani tetapi dalam pelaksanannya berperan sebagai
perpanjangan tangan petugas penyuluh untuk menyampaikan pesan-pesan
pembangunan pertanian.
Padahal dalam perjalanan sejarahnya, kelompok
handil ini dapat membangun kebersamaan petani dalam meningkatkan produksi
padi.
Bahkan kelembagaan lokal seperti ini dapat menjembatani berbagai
kepentingan dalam kehidupan masyarakat lokal (Yurisetou 2003). Kelompok
tani yang menanam padi unggul diberi penghargaan dan berbagai fasilitas
bantuan. Sebaliknya, kelompok tani yang tidak mau menanam padi unggul tidak
mendapat pembinaan dan perhatian bahkan bantuan dari pemerintah. Hal ini
terjadi karena sistem pembangunan pertanian yang dijalankan lebih berorientasi
pada program bukan pada kesejahteraan petani. Bahkan kini, kepala daerah
(kabupaten dan provinsi) yang mampu meningkatkan poduksi padinya di atas
5% akan memperoleh penghargaan dari presiden. Kenapa bukan pendapatan
petani yang menjadi indikatornya?
Konflik kepentingan inilah yang pada
akhirnya dapat menyebabkan kelembagaan sosial yang telah ada di masyarakat
mulai kehilangan eksistensinya sedangkan kelompok tani belum sepenuhnya
mampu memenuhi kebutuhan petani.
hanya
sebatas
nama
dan
Bahkan banyak kelompok tani yang
kepentingan
administrasi
petugas,
sedang
kegiatannya tidak memberikan manfat bagi petani anggotanya.
Kenyataan yang terjadi di wilayah lahan rawa pasang surut di Kalimantan
Selatan, khususnya di Kabupaten Barito Kuala sedikit sekali petani yang mau
menanam padi varietas unggul tersebut.
Bahkan jika varietas lokal Siam
Mutiara tidak ditetapkan sebagai varietas unggul, hanya 1.467 ha (1,55%) dari
94.658 ha luas pertanaman padi di Kabupaten Barito Kuala pada musim tanam
2009 ini.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Berapa kajian dan penelitian yang
dilakukan menyebutkan bahwa faktor yang menyebabkan petani tidak
mengadopsi benih unggul antara lain : a) hasil riil di lapangan yang tidak begitu
tinggi dibandingkan dengan varietas lokal; b) keuntungan yang diperoleh kecil; c)
harga jual yang relatif rendah dibanding varietas lokal; serta d) rasa nasi yang
149
kurang sesuai dengan selera masyarakat setempat (Ismadi dkk 2008, Rina Y
dan Noorginayuwati 2007).
Mengacu pada berbagai kendala teknis dan sosial ekonomi yang menjadi
penyebab tidak banyaknya petani mengadopsi padi varietas unggul, pada tahun
2000 Balai Penelitian Pertanian Tanaman Pangan (Balittan) 6 Banjarbaru
melepas dua varietas unggul baru Martapura dan Varietas Margasari. Varietas
Martapura merupakan persilangan antara varietas lokal Siam Unus dengan
varietas unggul nasional Dodokan. Varietas Margasari merupakan hasil
persilangan antara varietas lokal Siam Unus dengan varietas unggul Cisokan.
Kedua varietas ini memiliki butiran kecil dan panjang serta rasa nasi yang sesuai
dengan selera masyarakat setempat (pera). Ternyata setelah hampir sepuluh
tahun sejak dilepas petani juga tidak terlalu berminat menanam varietas baru ini.
Alasannya karena mudah rebah dan harga jual yang diberikan pedagang
pengumpul disamakan dengan harga padi unggul (lebih murah dari varietas
lokal). Pedagang pengumpul menganggap padi jenis ini adalah padi unggul
karena umurnya sekitar 4 bulan dan dalam perdagangannya varietas ini mereka
sebut IR-Nus (Artinya padi unggul IR yang berpenampilan seperti varietas Siam
Unus). Padahal dalam praktik perdagangan beras selanjutnya beras ini sering
digunakan sebagai pencampur beras dari varietas Siam Unus yang harganya
relatif mahal di antara varietas lokal lainnya. Ini memberikan gambaran bahwa,
dalam sistem pemasaran hasil pertanian di tingkat lokal pun petani selalu
dirugikan dan berada pada posisi tawar yang lemah.
Mengapa petani mempertahankan sistem pertanian tradisional dengan
varietas lokal dan enggan menggantinya dengan varietas unggul?
Selain
keuntungan yang diperoleh relatif kecil dibandingkan dengan varietas lokal,
pengusahaan varietas unggul ternyata memerlukan biaya nyata (explicit cost)
yang relatif besar. Resiko kegagalan panen akibat kondisi lahan rawa pasang
surut yang dengan kemasaman tinggi juga menjadi pertimbangan petani untuk
mengusahakan varietas unggul. Sistem pembibitan secara bertahap dari lahan
kering hingga ke areal sawah yang berair merupakan bentuk penyesuaian bibit
tanaman terhadap kondisi lahan rawa pasang surut yang memiliki tingkat
kemasaman tinggi. Walaupun varietas unggul memiliki potensi produksi yang
6
Sejak Desember 1994 berubah menjadi Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan
Rawa (Balittra) dan pada Januari 2002 berubah lagi menjadi Balai Penelitian Pertanian Lahan
Rawa (Balittra)
150
tinggi, tetapi kenyataan di lapangan memberikan hasil yang tidak jauh berbeda
ketika ditanam di lahan rawa pasang surut.
Bahkan dalam beberapa kasus
produksinya lebih rendah dari varietas lokal.
Bagi petani, peningkatan produksi bukan tujuan akhir dalam kegiatan
pertanian padi, karena mereka lebih memperhitungkan pendapatan rumah
tangga serta selera masyarakat terhadap rasa dan tekstur nasi. Mengusahakan
padi varietas unggul memerlukan biaya tambahan seperti untuk pembelian
pupuk dan pestisida, tetapi hasilnya tidak jauh berbeda dengan varietas lokal
bahkan harga gabah varietas unggul jauh lebih rendah dari harga gabah varietas
lokal 7.
Faktor inilah yang menjadi penyebab mengapa padi varietas unggul
nasional ini sejak diintroduksi tahun 1970-an hingga sekarang tidak banyak
diminati petani di lahan rawa pasang surut.
Upaya pemerintah mengembangkan pertanian modern berbasis padi
unggul melalui program-program berbantuan menghasilkan kesadaran palsu.
Program pembinaan justeru lebih mengarah pada hegemoni pemerintah yang
mengusung dikotomi antara modern dan tradisional.
Akibatnya segala yang
berbau tradisional harus diubah menjadi modern melalui penerapan sains dan
teknologi.
Kondisi inilah yang dikritik oleh Habermas (2006) sebagai bentuk
modernisasi kapitalis yang lebih menekankan pada tindakan strategis dalam
bentuk kekuasan politis dan kemakmuran ekonomis.
Proses seperti akan
menutup pintu komunikasi antara penganut entitas pengetahuan lokal dengan
sains. Bahkan pada tataran praktis, kegiatan penyuluhan yang dilakukan lebih
bermakna pada penyampaian pesan-pesan pembangunan agar mereka mau
menerapkan sains dan teknologi baru serta meninggalkan cara-cara lama.
Sains dan praktik pertanian modern berbasis benih unggul yang
disebarkan kepada petani melalui kegiatan penyuluhan pertanian ternyata
kurang mendapat respon positif dari masyarakat di lahan rawa pasang surut.
Bahkan penemuan varietas unggul baru 8 yang karakteristiknya menyerupai
varietas lokal serta sesuai dengan kondisi di lahan rawa pasang surut juga tidak
7
Biaya pupuk untuk padi varietas lokal sekitar Rp 105.000,- - Rp 240.000,- per hektar,
sedang untuk biaya pupuk varietas unggul mencapai Rp 650.000,- per hektar. Harga gabah lokal
rata-rata Rp 3.000,- sampai Rp 3.500,- per kg, sedangkan harga gabah varetas unggul hanya Rp
2.000,- sampai Rp 2.500,- per kg.
8
Pada tahun 2000 diintroduksi varietas unggul Margasari dan Martapura yang
merupakan hasil persilangan antara varietas lokal peka fotoperiod (Siam Unus) dengan padi
sawah varietas unggul introduksi (Cisokan dan Dodokan) yang memiliki butiran kecil dengan rasa
nasi yang pera dan cocok dengan selera masyarakat setempat.
151
banyak diadopsi petani.
Beberapa petani menyatakan karena varietas ini
mudah roboh dan harga jualnya di tingkat petani relatif rendah (Rp 2.000,hingga Rp 2.500,- per kg). Walaupun varietas ini berumur relatif pendek (sekitar
4 bulan), tetapi karena sistem budidayanya berbeda dengan teknik bercocok
tanam padi yang selama ini dilakukan masyarakat sehingga sampai sekarang
tidak banyak petani yang menanamnya.
Bagi petani di lahan rawa pasang surut tipe A, pengetahuan mereka
tentang kondisi biofisik setempat telah meyakinkan mereka bahwa sistem
pertanian dengan teknik baru ini sangatlah sulit dilakukan. Kondisi air pada saat
pasang yang cukup dalam tidak memungkinkan bibit ditanam secara baik di
sawah. Berbeda halnya dengan yang terjadi di lahan rawa pasang surut tipe C
dan D, berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki alasannya bukan hanya
permasalahan kondisi biofisik semata, tetapi juga menyangkut aspek sosial
ekonomi.
Hasil analisis dalam kegiatan FGD dengan petani di lahan rawa
pasang surut tipe C, dan D menunjukkan bahwa perubahan sistem bercocok
tanamlah yang merupakan akar dari sulitnya masyarakat setempat menerapkan
pengetahuan baru tentang budidaya varietas unggul.
Berdasarkan pengetahuan petani setempat, sistem pertanian padi secara
tradisional
dengan
varietas
lokal
merupakan
sistem
pertanian
yang
menggunakan input lokal dengan modal yang rendah serta memerlukan input
luar yang kecil.
Kegiatan pengolahan tanah, pembibitan, penanaman,
pemeliharaan hingga panen dan pascapanen lebih banyak dikerjakan dengan
tenaga kerja dalam keluarga.
Hanya kegiatan panen yang banyak
menggunakan tenaga upahan. Kegiatan penanaman selain dengan tenaga kerja
dalam keluarga juga ada yang menggunakan tenaga upahan maupun dengan
sistem handipan. Sarana produksi yang harus dibeli biasanya berupa pupuk
buatan dan pestisida, sedangkan untuk bibit digunakan dari hasil panen
sebelumnya.
Waktu pengolahan tanah dan pembibitan yang relatif panjang dan
intensitas curahan waktu kerja yang relatif sedikit memungkinkan masyarakat
petani dapat memanfaatkan waktu senggangnya untuk kegiatan produktif baik
dibidang pertanian maupun di luar bidang pertanian.
Pemanfaatan waktu
senggang untuk kegiatan pertanian lainnya seperti mengusahakan tanaman
sayuran dan hortikultura, tanaman perkebunan
maupun pengumpulan hasil
hutan dan penangkapan ikan. Kegiatan di luar pertanian yang dilakukan seperti
152
bekerja sebagai buruh atau tukang bangunan, kerajinan anyaman, maupun jasa
angkutan darat dan sungai.
Pola pertanian padi dengan waktu yang relatif panjang ini secara teknis
terkait dengan kendala kemasaman tanah di lahan rawa pasang surut.
Pengetahuan
petani
setempat
tentang
sifat-sifat
tanam
masam
dan
pengendaliannya secara alamiah terbukti mampu mengatasi permalahan ini
dengan biaya murah.
Persawahan petani di rawa pasang surut umumnya
merupakan lahan sulfat masam dan kemasamannya semakin meningkat setelah
fase musim kemarau dan air mulai masuk ke sawah pada awal penghujan
(terutama di tipe C dan D). Proses pencucian kemasaman tanah ini oleh air
hujan terus berlangsung seiring dengan tingginya intensitas hujan pada bulan
Desember dan Januari.
Oleh karena itulah petani di wilayah ini akan mulai
melakukan kegiatan penananam setelah bulan tersebut karena kondisi sawah
sudah
berkurang
kemasamannya.
Pada
bulan-bulan
dimana
kondisi
kemasaman di sawah masih tinggi (Oktober-Nopember), petani melakukan
tahapan pembibitan dan pengolahan tanah. Pengetahuan tentang kondisi iklim
(terutama curah hujan) dan sifat dan karakteristik tanah masam inilah yang
mendasari mengapa sistem pertanian tradisional petani di lahan rawa pasang
surut dilakukan dengan teknik pembibitan bertahap menggunakan varietas lokal
yang mulai ditanam sekitar Januari hingga April.
Model pertanian tradisional dianggap rendah produksinya sehingga perlu
diganti dengan varietas unggul yang berproduksi tinggi dengan penerapan
panca usahatani. Petani diperkenalkan dengan benih unggul, pupuk buatan,
pestisida dan teknik pengelolaan yang intensif karena tanaman padi tersebut
berumur pendek.
Melalui kegiatan penyuluhan pertanian, petani diberi
pengetahuan dan teknik baru dalam bercocok tanam padi sawah. Kelompok
tani dibentuk untuk memudahkan pembinaan terhadap para petani dan
dilengkapi dengan berbagai demonstrasi tentang teknik atau cara
modern dengan menerapkan pancausahatani.
pertanian
Apa yang terjadi hingga
sekarang, ternyata sangat sedikit sekali petani yang mau menerapkan
pengetahuan dan teknologi pertanian modern ini. Mengapa mereka berperilaku
demikian? Bagi petani di lahan rawa pasang surut tipe C dan D, selain
produksinya yang tidak jauh berbeda dengan varietas lokal, ternyata diperlukan
input dan modal yang relatif besar, sehingga keuntungannya juga relatif sedikit
dibandingkan dengan varietas lokal, seperti ditunjukkan pada Tabel 13.
153
Tabel 13
No
Perbandingan ekonomi usahatani padi lokal dengan padi unggul
di lahan rawa pasang surut per hektar lahan
Komponen Perhitungan
Satuan
Padi Lokal
Padi Unggul
1
Produksi (Q)
kg
2.800
3.500
2
Harga Gabah (P)
Rp
3.500
2.500
3
Biaya Eksplisit (EC)
Rp
1.992.500
3.212.500
4
Biaya Implisit (IC)
Rp
5.502.500
4.372.500
5
Biaya Total (TC = EC + IC)
Rp
7.495.000
7.585.000
6
Penerimaan (TR = P x Q)
Rp
9.800.000
8.750.000
7
Pendapatan ( P = TR - EC)
Rp
7.807.500
5.537.500
8
Keuntungan (π = TR - TC)
Rp
2.305.000
1.165.000
9
R/C
1,31
1,15
-
Sumber : Hasil pengolahan dan analisis data, 2009
Berdasarkan alasan yang dikemukakan oleh petani tersebut, terdapat
tiga masalah utama yang menyebabkan praktik budidaya padi unggul kurang
diminati dibandingkan dengan praktik budidaya pertanian padi lokal (Gambar
14). Pertama, menyangkut aspek teknis budidaya dan hubungannya dengan
kondisi spesifik lahan rawa pasang surut. Kendala kemasaman dan genangan
air yang berpengaruh terhadap produksi aktual padi unggul merupakan alasan
teknis yang menyebabkan petani kurang berminat mengusahakan padi unggul.
Kedua, menyangkut aspek ekonomis dan keuntungan relatif usaha padi unggul
yang lebih kecil dibandingkan dengan padi lokal. Biaya produksinya cukup tinggi
karena memerlukan input luar serta curahan tenaga kerja yang banyak. Di sisi
lain, harga jual gabah yang relatif rendah serta pemasaran yang sulit merupakan
kendala ekonomis yang dihadapi petani padi unggul. Ketiga, aspek sosiologis
yang menyangkut kebiasaan dan selera atau preferensi terhadap beras dari padi
lokal. Hal ini juga tekait dengan pola matapencaharian masyarakat setempat
yang terbentuk seiring dengan banyaknya waktu luang yang tersedia jika
mengusahakan padi lokal.
Ketiga aspek tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi juga memiliki
keterkaitan satu sama lainnya. Aspek teknis seperti kondisi lahan yang relatif
masam dengan kesuburan yang rendah memerlukan masukan input seperti
kapur dan pupuk kimia. Penambahan input luar ini tentu memerlukan tambahan
biaya eksplisit yang harus ditanggung petani.
Begitu juga dengan sistem
154
pemeliharaan yang intensif memerlukan curahan tenaga kerja yang lebih besar
dibandingkan dengan usahatani padi lokal. Peningkatan curahan tenaga kerja
ini berimplikasi pada berkurangnya kesempatan petani untuk melakukan
kegiatan lain (misalnya mata pencaharian sampingan) atau harus mengeluarkan
biaya upah tenaga kerja.
Aspek
Teknis
Aspek
Ekonomis
Aspek
Sosiologis
Rentan
serangan HPT
Input luar
tinggi
Selera
Konsumen
Ketersediaan
benih
Lembaga
Pemasaran
Barang
imperior
Kemasaman
tanah dan
pasang surut
Curahan TK
banyak
Sistem
pemeliharaan
intensif
Produksi aktual
relatif rendah
Biaya
Produksi
tinggi
Pemasaran
gabah sulit /
kurang laku
Ketersediaan
waktu untuk
kegiatan lain
Harga gabah
relatif murah
Pendapatan dan
Keuntungan UT
padi sedikit
Pendapatan UT
nonpadi dan non
pertanian rendah
Pendapatan
rumah tangga
petani kecil
Gambar 14
Faktor-faktor yang menyebabkan petani kurang berminat
mengadopsi usahatani padi unggul
155
Melalui pengalaman dan pengetahuan yang mereka miliki, petani mampu
menghasilkan produksi pertanian yang tinggi.
Bahkan pada tahun 2008
Pemerintah Kabupaten Barito Kuala memperoleh penghargaan dari Presiden RI
karena mampu meningkatkan produksinya di atas 5% (Peningkatan produksi
padi Kabupaten Batola pada tahun 2008 sebesar 12,88% dibandingkan dengan
tahun 2007).
Peningkatan produksi ini sebenarnya karena konstribusi dari
usaha padi lokal, hampir semua lahan tersebut ditanami padi varietas lokal.
Itulah sebabnya mengapa pengetahuan lokal petani dalam pengelolaan lahan
rawa pasang surut tetap diperlukan dan dipertahankan eksistensinya.
Download