Prabowo Try Hartono-FITK

advertisement
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DI PONDOK
PESANTREN AL-AWWABIN DEPOK
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana
Oleh
Prabowo Try Hartono
1110018200053
JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
ABSTRAK
Prabowo Try Hartono 1110018200053, Pola Pendidikan Pondok Peasntren
dalam Membentuk Karakter Santri (Studi di Pondok Pesantren al-Awwabin,
Depok). Jurusan Manajemen Pendidikan, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2017.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pola Pendidikan Pondok Pesantren
dalam Membentuk Karakter Santri di Pondok Pesantren al-Awwabin, Depok.
Metode penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Populasi penelitian ini adalah dua orang guru dan dua orang santri yang berada di
Pondok Pesantren al-Awwabin, Depok.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola pendidikan pondok pesantren alAwwabin cukup efektif dalam membentuk karakter santri melalui kegiatan
rutinitasnya yang terdiri dari pengajian ilmu alat (kitab kuning), kegiatan belajar
mengajar (KBM), muhadhoroh, dan kegiatan tambahan lainnya seperti madrasah
diniyah. Kemudian, peran guru sangatlah penting dalam membentuk karakter
santri, hal ini dibuktikan dengan pemaparan santri melalui proses wawancara
terstruktur yang dilakukan penulis. Selanjutnya, guru dan pimpinan pesantren
memaparkan bahwa keteladanan adalah unsur terpenting dalam membentuk
karakter santri, karena dengan memberi keteladanan maka santri dapat mengambil
contoh perilaku yang dapat dilakukan dalam kesehariannya. Sehingga dapat
dinyatakan bahwa pola pendidikan pondok pesantren al-Awwabin dalam
membentuk karakter santri cukup efektif disertai dengan peran guru dan pimpinan
pesantren sebagai tenaga pendidik.
Dengan demikian, pola pendidikan pondok pesantren dalam membentuk karakter
santri dapat dipengaruhi oleh peran guru dan pimpinan pesantren sebagai tenaga
pendidik. Hal ini membuktikan bahwa peran guru dan pimpinan pesantren
sangatlah penting bagi para santri untuk pembentukan karakternya di pesantren.
Kata Kunci: Pola Pendidikan, Pondok Pesantren, Karakter Santri
i
ABSTRACK
Prabowo Try Hartono 1110018200053, Pattern of Pondok Peasntren in
Shaping the Character of Santri (Study at Pondok Pesantren al Awwabin,
Depok). Department of Management Education, Faculty of Science Tarbiyah
and Teacher Training, State Islamic University (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta 2017.
This study aims to find out the Pattern of Pondok Pesantren in Shaping the
Character of the Students in Pondok Pesantren al Awwabin, Depok. This research
method is descriptive method with qualitative approach. The population of this
research are two teachers and two santri who are in Pondok Pesantren al
Awwabin, Depok.
The results of this study indicate that the pattern of boarding school education alAwwabin quite effective in shaping the character of santri through routine
activities consisting of pengajian science tools (yellow book), teaching and
learning activities (KBM), muhadhoroh, and other additional activities such as
madrasah diniyah. Then, the role of teachers is very important in shaping the
character of santri, this is evidenced by the exposure of students through a
structured interview process conducted by the author. Furthermore, teachers and
leaders of pesantren explained that exemplary is the most important element in
shaping the character of santri, because by giving exemplary the students can take
examples of behaviors that can be done in everyday life. So it can be stated that
the pattern of boarding school education al-Awwabin in shaping the character of
santri quite effectively accompanied by the role of teachers and leaders of the
pesantren as educators.
Thus, the pattern of boarding school education in shaping the character of students
can be influenced by the role of teachers and leaders of the pesantren as educators.
This proves that the role of teachers and leaders of pesantren is very important for
the santri for the establishment of his character in the pesantren.
Keywords: Educational Pattern, Pondok Pesantren, santri’s Character
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beserta salam
senantiasa tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta seluruh
keluarga dan para sahabatnya yang telah membawa obor peradaban menerangi
zaman kegelapan menuju zaman pencerahan.
Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pendidikan pada Fakultas IlmuTarbiyah dankeguruan di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan selesainya penulisan skripsi
sebagai tugas akhir berkat bantuan dan doa dari berbagai pihak maka penulis
dalam kesempatan ini menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1.
Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2.
Dr. Hasyim Asy’ari, M.Pd. Ketua Jurusan Manajemen Pendidikan
sekaligus pembimbing skrispsi yang telah memberikan banyak saran,
petunjuk dan dorongan kepada penulis.
3.
Abdul Ghofur, MA. Sekretaris Jurusan Manajemen Pendidikan yang
telah memberikan saran, arahan, dan motivasi kepada penulis.
4.
Bapak/Ibu dosen Jurusan Manajemen Pendidikan yang telah
memberikan ilmu dan pengalamannya kepada penulis.
5.
Ketiga orang tua tercinta Bapak H. Anton Mistono (Alm), Bapak
Indra Faisal dan Ibu Badriyah yang selalu mendoakan anaknya dengan
tulus, penuh kesabaran dan senantiasa memberikan bantuannya baik
moril maupun materil demi keberhasilan dalam menyusun skripsi.
ii
6.
Adik-adikku tercinta Pratiwi Hayuningtyas Hartono dan Nur Alva
Anindya Saputri yang selalu memberikan dukungan dan semangatnya
dalam menyusun skripsi, kalian adalah adik terbaik.
7.
Titin Suhartini tercinta yang selalu memberikan semangat dan kasih
sayang kepada penulis dalam menyusun skripsi.
8.
Bapak Drs. H. Fathurrohman, MA selaku Pimpinan 1 Pondok
Pesantren al-Awwabin, Depok yang telah memberikan izin dan
meluangkan waktunya untuk penelitian.
9.
Guru-guru Pondok Pesantren al-Awwabin, Depok khususnya Ustadz
M. Labib, S.Pd yang telah banyak membantu selama penelitian di
sekolah.
10. Keluarga Besar Manajemen Pendidikan Angkatan 2010 atas doa,
dukungan dan kenangan yang telah dilalui bersama.
11. Untuk sahabat-sahabat PMII Rayon Manajemen Pendidikan: Yanwar
Firman Salam, Hariyanto, Aria Zakara, Ali Lukmanul Hakim, Salman
Alfarisi, Rudi Hartono, Rhegista, Muhammad Nurul Fikri, M. Abdul
Dzikri,
Asqolani, Rizky Kurnia
Sari,
Iis
Istianah,
Ismania
Choirunnisa, M. Abi Farhan, dan Ahmad Kamaludin, yang telah
memberikan banyak dukungan dan inspirasi untuk penulis.
12. Untuk sahabat-sahabat PMII Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan:
Ahmad Fatah Yasin, Faisal Husseini, Zakki al-Amin, Sarah Hayatin
Nufus, Zamakhsyari, Yogi Septian Nugroho, Akhmad Ali Hasyim,
Rama Indarto Putra, dan Siti Khodijah yang juga telah memberikan
banyak dukungan dan inspirasi untuk penulis.
13. Untuk sahabat-sahabat PMII Cabang Ciputat: M. Rafsanjani, Ahmad
Ridwan Hutagalung, Indra Kurniawan, Ahmad Rosyadi, Aji Pangestu,
M. Said, dan Ady Hidayat Salam, yang juga telah memberikan energi
positif untuk penulis.
14. Rekan-rekan Lembaga Survei Indonesia (LSI): Umam Biladi Kusuma,
Asep Jubaedillah, Abdul Aziz, Abdul Aziz Tasik, Sadri Said, M.
iii
Choirul Anam, Zuhairul Bustan, Asep Nurhidayat, dan Ahmad
Muttakin, yang telah memberikan dukungan dan spirit untuk penulis.
15. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah
memberikan doa dan dukungan secara langsung maupun tidak
langsung dalam proses penulisan skripsi ini.
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat atas semua jasa
yang telah mereka berikan dan menjadikannya sebagai amal shaleh. Amin
Penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya jikamasih banyak
kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini, karena penulis menyadari bahwa
skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Besar harapan semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Jakarta, 16 Juni 2017
Prabowo Try Hartono
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................ i
KATA PENGANTAR .............................................................................. iii
DAFTAR ISI ............................................................................................. v
DAFTAR TABEL .................................................................................... vii
BAB I
: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................ 1
B. Identifikasi Masalah ................................................... 6
C. Pembatasan Masalah .................................................. 6
D. Perumusan Masalah .................................................... 6
E. Tujuan Penelitian ........................................................ 7
F. Manfaat Penelitian ...................................................... 7
BAB II
: KAJIAN TEORI
A. Pendidikan Karakter ................................................... 8
1. Konsep Dasar Pendidikan ...................................... 8
2. Pendidikan .............................................................. 9
3. Pengertian Karakter ................................................. 11
4. Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa ..... 13
5. Pendidikan Karakter dalam Islam .......................... 16
6. Ruang Lingkup Pendidikan Karakter Guru ............ 18
B. Pesantren .................................................................... 29
1. Pengertian Pesantren .............................................. 29
2. Pola Umum Pendidikan Islam Pesantren ............... 30
3. Kurikulum dan Identitas ......................................... 31
C. Strategi dan Manajemen Pesantren ............................ 32
1. Strategi Pesantren ................................................... 32
2. Manajemen Pesantren ............................................. 33
3. Dinamika Sistem Manajemen Pesantren ................ 36
v
4. Kiai ......................................................................... 37
BAB III
: METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian ..................................... 39
B. Metode Penelitian ....................................................... 39
C. Teknik Pengumpulan Data .......................................... 40
D. Teknik Pengelolaan Data ........................................... 42
E. Teknik Analisis Data ................................................... 42
F. Kisi-kisi Instrumen Penelitian...................................... 44
BAB IV
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data ............................................................. 46
1. Implementasi Pendidikan Karakter di Pondok
Pesantren al Awwabin ........................................... 46
2. Peran Guru dalam Pondok Pesantren al-Awwabin 49
B. Pembahasan Hasil Penelitian....................................... 50
1. Bentuk-bentuk Rutinitas di Pondok Pesantren
Al-Awwabin ............................................................ 52
2. Pencapaian Pendidikan di Pondok Pesantren
Al-Awwabin ........................................................... 53
3. Profil Pondok Pesantren al-Awwabin ..................... 55
BAB V
: PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................ 77
B. Saran ........................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN -LAMPIRAN
vi
DAFTAR TABEL
Tabel
1.1 : Rekayasa Pembelajaran Guru dan tindak belajar siswa .................. 22
1.2 : Pedoman wawancara ...................................................................... 44
1.3 : Daftar checklist dokumen ............................................................... 45
1.4 : Daftar Siswa Pondok Pesantren al-Awwabin I ............................... 62
1.5 : Daftar Siswa Pondok Pesantren al-Awwabin II ............................. 63
1.6 : Data Rincian Mata Pelajaran Santri MI .......................................... 60
1.7 : Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 1 MTs ................................. 65
1.8 : Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 2 MTs ................................. 66
1.9 : Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 3 MTs ................................. 67
2.0 : Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 1 MA ................................... 68
2.1 : Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 2 MA ................................... 69
2.2 : Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 3 MA .................................. 69
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya, hakikat pendidikan adalah untuk membentuk karakter
suatu bangsa. Hal tersebut sangat ditentukan oleh semangat, motivasi, nilainilai, dan tujuan dari pendidikan. Menurut
Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 pasal 1 butir 1, pendidikan adalah
“Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan
dirinya, masyarkat, bangsa dan negara.” Kemudian, Pendidikan Nasional
bertujuan: “Untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (UU Sisdiknas No. 20
tahun 2003 Pasal 3).
Berdasarkan tujuan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa amanat
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional bertujuan membentuk insan
Indonesia yang cerdas dan berkepribadian atau berkarakter, sehingga
melahirkan generasi bangsa yang tumbuh dan berkembang dengan karakter
yang bernapaskan nilai-nilai luhur bangsa dan agama.
Rumusan dari Kementrian Pendidikan Nasional, khususnya Direktorat
Pendidikan Tinggi menjelaskan bahwa secara umum, arti karakter adalah
mendemonstrasikan etika atau sistem nilai personal yang ideal (baik dan
penting) untuk eksistensi diri dan berhubungan dengan orang lain.
1
2
Hal tersebut yang membuat pemerintah melalaui Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan membuat rumusan kurikulum berbasis karakter
yaitu kurikulum 2013. Kurikulum tersebut merupakan upaya pemerintah
mewujudkan cita-cita bersama mencetak generasi penerus bangsa yang
berkarakter dan berkepribadian. Meski kurikulum tersebut belum terlalu bisa
diterapkan dengan waktu cepat, namun hal ini merupakan terobosan positif
dalam mewujudkan cita-cita bersama. Kurikulum tersebut bermuatan akhlak
dan karakter, maka sering disebut kurikulum berbasis karakter.
Seiring waktu pemerintah mengganti kurikulum, padahal belum lama
diterapkan kurikulum berbasis karakter tersebut. Seperti istilah yang
dikemukakan oleh Prof. Dr. H.A.R Tilaar dalam bukunya Kaleidoskop
Pendidikan Nasional yang berkata bahwa “Setiap ganti menteri ganti
kurikulum”. Pendapat tersebut merefresetasikan mirisnya pendidikan di
Indonesia. Kemudian Full day school adalah upaya pemerintah era sekarang
untuk menciptakan peserta didik yang berkarakter, namun upaya tersebut
penulis anggap sebagai hal yang terlalu memaksakan. meskipun Indonesia
sudah mempunyai sistem full days school sejak sebelum sistem tersebut
ditetapkan secara resmi yaitu pendidikan berbasis pesantren.
Pendidikan pesantren sudah berlangsung lama berada di indonesia,
sebelum muncul rencana full days school. salah satunya terdapat di pesantren
al-awwabin depok. Kurikulum yang terdapat di pesantren al-awwabin depok
sama seperti kurikulum di pesantren lainnya yang ada di indonesia, akan
tetapi pada realitasnya dilapangan masih ada beberapa kekurangan dalam
penerapan pembelajaarannya kepada setiap santri-santri. Seperti kurangnya
kordinasi antara para setiap guru dalam mengajarkan setiap ilmu kepada para
setiap santrinya.
Para setiap guru dalam melaksanakan program pembelajaran cendrung
hanya fokus terhadap mata pelajaran yang ia akan ajarakan, tetapi tidak
melihat kordinasi antara satu pelajaran dengan pelajaran lainnya. Padahal
pada hakekatnya setiap pelajaran mempunyai peran penting dalam
membentuk karakter dari para setiap santrinya.
3
Sebenarnya Permasalahan yang terdapat di pesantren al-awwabin
adalah
kurang
terorganisirnya
sistem
pendidikan
pesantren
yang
menyebabkan pesantren dianggap sebagai pendidikan dengan sistem yang
terbelakang dibandingkan dengan sistem pendidikan umum. Ini merupakan
potret pendidikan saat ini. Padahal pesantren merupakan dapat melebihi
sistem pendidikan, jika diperhatikan dengan serius dari berbagai pihak
terkait baik dari segi sistem, lulusan, pemibnaan karakter santri dan prospek
keberhasilan para santri.
Dunia pesantren diakui bahwa pesantren adalah lembaga lokal yang
mengajarkan praktik-praktik dan ajaran Islam. Bagaimana pesantren menjadi
lembaga lokal adalah materi dari beberapa perdebatan yang muncul, yang
perdebatan ini selalu menjadi sejarah. Pesantren di Jawa usianya setua Islam
di Jawa sendiri. Baik dalam laporan tertulis maupun berita dari mulut ke
mulut, pesantren erat sekali kaitannya dengan Wali Songo (sembilan wali
yang membawa Islam ke Jawa). Wali pertama, jika malah bukan yang paling
terkenal, Maulana Malik Ibrahim dianggap sebagai yang pertama kali
mendirikan pesantren di Jawa pada tahun 1399 sebagai wahana untuk
menggembleng mubalig dalam rangka menyebarkan Islam lebih jauh di
Jawa (IAIN Sunan Ampel, 1992).
Banyak pihak berpendapat bahwa pesantren itu unik sebab pesantren
merupakan hasil kombinasi dari dua institusi pondok (funduq), suatu tempat
untuk mempelajari dan mempraktikkan mistisisme Islam dan pesantren
sendiri, suatu tempat atau wadah bagi pengajaran. Abdurrahman wahid,
dalam suatu kuliah terbuka, berpendapat bahwa fenomena yang ada di
Malaysia hanyalah pesantren saja (tempat pengajaran Islam). Oleh karena
itu, pesantren di Malaysia telah lenyap seiring dengan perubahan dunia.
Karena komposisi pondok pesantren di Jawa yang seperti itu, maka
Zamakhsyari Dhofier (1980: 31-32) mengatakan bahwa Islam di Jawa tidak
mencetak dua bentuk/model sarjana Islam; ulama berhadap-hadapan dengan
kelompok sufi sebagaimana umumnya terjadi pada masa pertengahan Islam.
Inilah sebabnya, mengapa muslim Jawa memberi gelar yang sama tentang
4
“kyai” untuk menunjukkan sarjana Islam yang menguasai akidah dan syariah
sekaligus juga orang yang sufi.
Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam telah
membuktikan keberadaan dan keberhasilannya dalam peningkatan sumber
daya manusia atau human resources development. Banyak pesantren yang
cikal bakalnya merupakan lembaga pendidikan al-Qur‟an. Di sana santri
diajarkan membaca, di samping kitab-kitab kuning.
Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah sistem
bandongan atau sering juga disebut sistem weton. Dalam sistem ini
sekelompok murid (antara 5-500 murid) mendengarkan seorang guru yang
membaca, menerjemahkan, menerangkan, bahkan seringkali mengulas bukubuku Islam dalam bahasa Arab. Tentu ulasan dalam bahasa Arab buku-buku
tingkat tinggi diberikan kepada kelompok mahasiswa senior yang diketahui
oleh seorang guru besar dapat dipahami oleh para mahasiswa.Kelompok
mahasiswa khusus ini disebut “kelas musyawarah” (kelompok seminar).
Setiap murid menyimak bukunya sendiri dan membuat catatan (baik
arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang
sulit.Kelompok kelas system bandongan ini disebut halaqah yang arti
bahasanya lingkaran murid atau kelompok siswa yang belajar di bawah
bimbingan seorang guru.Semua pesantren tentu memberikan juga sistem
sorogan tetapi hanya diberikan kepada santri-santri yang baru yang masih
memerlukan bimbingan individual.Sistem sorogan dalam pengajian ini
merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan sistem pendidikan
pesantren, sebab sistem sorogan menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan
disiplin pribadi guru pembimbing dan murid. Kebanyakan murid-murid
pengajian di pedesaan gagal dalam pendidikan dasar ini.Di samping itu,
banyak di antara mereka yang tidak menyadari bahwa mereka seharusnya
mematangkan diri pada tingkat sorogan ini sebelum dapat mengikuti
pendidikan selanjutnya di pesantren, sebab pada dasarnya hanya muridmurid yang telah menguasai sistem sorogan sajalah yang dapat mengerti
keuntungan dari sistem bandongan di pesantren.
5
Dalam sistem bandongan, seorang murid tidak harus menunjukkan
bahwa ia mengerti pelajaran yang sedang dihadapi. Para kyai biasanya
membaca dan menerjemahkan kalimat-kalimat secara cepat dan tidak
menerjemahkan kata-kata yang mudah. Dengan cara ini, kyai dapat
menyelesaikan kitab-kitab pendek dalam beberapa minggu saja. Sistem
bandongan, karena dimaksudkan untuk murid-murid tingkat menengah dan
tingkat tinggi, hanya efektif bagi murid-murid yang telah mengikuti sistem
sorogan secara intensif.
Kebanyakan pesantren, terutama pesantren-pesantren besar, biasanya
menyelenggarakan bermacam-macam halaqah (kelas bandongan), yang
mengajarkan mulai dari kitab-kitab elementer sampai ke tingkat tinggi, yang
diselenggarakan setiap hari (kecuali hari Jum‟at). Dari pagi-pagi setelah
sembahyang subuh, sampai larut malam. Penyelenggaraan bermacammacam kelas bandongan ini dimungkinkan oleh suatu sistem yang
berkembang di pesantren di mana kyai sering memerintahkan santri-santri
senior untuk membuka dan mengajar kelompok santri dalam suatu halaqah.
Santri senior yang melakukan praktik mengajar ini mendapatkan gelar ustadz
(guru).Para asatid (guru-guru) ini dapat dikelompokkan ke dalam dua strata
yaitu junior (ustadz muda), dan senior, yang biasanya sudah menjadi anggota
kelas musyawarah. 1-2 ustadz senior yang sudah matang dengan pengalaman
mengajarkan kitab-kitab besar akan memperoleh gelar “kyai muda”.1
Dalam perkembangan terakhir ini telah terbukti bahwa dari pesantren
telah lahir banyak pemimpin bangsa dan pemimpin masyarakat. Pesantren
juga telah memberikan nuansa dan mewarnai corak dan pola kehidupan
masyarakat di sekitarnya. Dengan kata lain, pesantren juga merupakan
“benteng pertahanan” yang kokoh dalam menghadapi dahsyatnya gelombang
budaya dan peradaban yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ilahiah. Sejarah
telah mencatat prestasi pesantren, baik sebagai pembentuk kultur maupun
sebagai benteng pertahanan bagi nilai-nilai religius. Maka dibutuhkan pihak1
Dhofier, Zamaksyari. Tradisi Pesantren : Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai
Masa Depan Indoneisa. LP3ES. Jakarta. 2011. hal 53-57.
6
pihak yang mendukung aktivitas pesantren, agar pesantren secara umum
tertinggal zaman. Sebab banyak sekali pesantren yang kondisinya tidak
menerima perkembangan teknologi. Sehingga menjadi permasalah besar,
bahwa harus adanya refomulasi sistem pendidikan pesantren diberbagai
sekolah di Indonesia.
Berdasarkan deskripsi tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji lebih
mendalam pada permasalahan di atas dalam bentuk skripsi yaitu dengan
judul “Implementasi Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren alAwwabin, Depok”.
B. Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka masalah yang hendak
dikaji dan dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut :
1. Pendidikan karakter belum berjalan optimal di pondok pesantren.
2. Lemahnya peran guru dalam upaya pembentukan karakter santri.
3. Manajemen dan tata kelola pesantren masih lemah dan kurang
terorganisir.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka untuk memudahkan
dan memaksimalkan pemanfaatan instrumen-instrumen penelitian, maka
penulis membatasi permasalahan yang diteliti, yaitu implementasi
pendidikan karakter di pondok pesantren.al-Awwabin, Depok.
D. Rumusan Masalah
Masalah-masalah yang dirumuskan adalah sebagai berikut:
1. Mengapa pendidikan karakter di pondok pesantren belum berjalan
optimal?
2. Bagaimana peran guru dalam membentuk karakter santri?
3. Seperti apa langkah-langkah untuk memperbaiki manajemen dan tata
kelola pesantren yang masih lemah dan kurang terorganisir?
7
E. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dari
penelitian ini adalah:
1. Menjelaskan implementasi pendidikan karakter di pondok pesantren alAwwabin, Depok.
2. Menjelaskan karakter apa saja yang menjadi fokus utama untuk dikaji
lebih mendalam.
3. Menjelaskan ruang lingkup pondok pesantren Al-Awwabin Depok.
F. Manfaat Penelitian
Dengan memperhatikan hasil penelitian ini secara menyeluruh maka kita
akan dapat mengambil manfaat sebagai berikut :
1. Memberikan kontribusi pada khasanah keilmuan
Islam dalam studi
pendidikan Islam, khususnya tentang pentingnya karakter dalam diri
seorang siswa.
2. Memberikan kontribusi pemikiran kepada praktisi dan atau institusiinstitusi yang berkompeten terhadap dunia pendidikan, khususnya
pendidikan Islam
8
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pendidikan Karakter
1. Konsep dasar Pendidikan
Pendidikan merupakan upaya yang dapat mempercepat
pengembangan potensi manusia untuk mampu mengemban tugas
yang dibebankan padanya, karena hanya manusia yang dapat didik
dan mendidik. Pendidikan dapat mempengaruhi perkembangan
fisik, mental, emosional, moral, serta keimanan dan ketakwaan
manusia.2
Dalam proses pembelajaran para pendidik harus bertutur
dan bertindak selalu yang baik. Pendidik harus memahami keadaan
anak didiknya, sehingga tidak ada kesalahan dalam pengambilan
keputusan kepada para peserta didik, pendidik tidak menghukum
secara fisik, tetapi dengan teguhan dan nasihat; sesekali memberi
hadiah bagi siswa yang berprestasi. Karena dengan adanya hadiah
peserta didik akan termotivasi untuk belajar dengan rajin, dan
mereka merasa mendapat pengakuan dan keistimewaan dalam
dirinya.
2. Pendidikan
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dijelaskan
bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
2
Udin Syaefudin Sa‟ud dan abin Syamsuddin makmun, Perencanaan Pendidikan,
(Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2011), h.6
9
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.3
Dalam GBHN tahun 1973 dikemukakan pengertian
pendidikan, bahwa, “pendidikan pada hahekatnya merupakan suatu
usaha yang disadari untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan manusia, yang dilaksanakan di dalam maupun diluar
sekolah, dan berlangsung seumur hidup.
Pendidikan
menurut
Ahmad
D.
Marimba,
adalah
“bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya
kepribadian yang utama.4
Pendidikan adalah bimbingan secara sadar dari pendidik
terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju
terbentuknya manusia memiliki kepribadian yang utama dan ideal.5
Dari pengertian di atas, pendidikan mencakup tiga aspek.
Pertama, usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran. Pendidikan harus disiplin dengan
matang mulai dari mutu guru, kelas, media, metode, evaluasi,
hingga prasarana pendukung keberhasilan pendidikan. Persiapan
yang matang ini akan menetukan keberhasilan pencapaian tujuan
pendidikan di semua level.
Meski demikian, pendidikan tidak hanya ada di sekolah,
pesantren, dan kampus, tetapi juga terjadi di rumah. Meski tidak
tertulis, karakter orangtua di rumah akan membentuk karakter
anak-anak. Bayangkan, sejak bangun tidur, berangkat sekolah,
pulang sekolah, dan menjelang tidur, anak-anak berinteraksi
dengan orangtua.
3
Jejen Musfah, Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2015), h. 9
Ali Anwar, Pembaruan Pendidikan di Pesantren Lirboyo Kediri, (Kediri: Pustaka
Pelajar, 2011), h.20
5
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan,
(jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 7
4
10
Kedua, potensi siswa bereupa sikap, pengetahuan, dan
keterampilan. Tujuan pendidikan melahirkan manusia yang pintar,
terampil, dan saleh; manusia yang imtak dan iptek; manusia yang
terampil dan baik terhadap sesama dan tuhan. Pendidikan harus
menyentuh aspek afektif, kognitif, dan psikomotorik siswa.
Ketiga, Ilmu yang bermanfaat bagi individu, masyarakat
dan bangsa. Tujuan akhir dari sekolah dan kuliah yaitu gar manusia
bisa hidup bahagia dan membahagiakan orang lain. Banyak faktor
orang menjadi bahagia: materi, jabatan, dan keluarga. Pendidikan
harus melahirkan manusia yang hidup untuk kepentingan orang
banyak, masyarakat, dan bangsa.6
Pendidikan dilaksanakan melalui tiga jalur, yaitu:
a. Pendidikan Formal
Pendidikan Formal adalah jalur pendidikan yang
terstruktur
dan
berjenjang
oendidikan
dasar,
yang
pendidikan
terdiri
atas
menengah,
dan
pendidikan tinggi.
b. Pendidikan Nonformal
Pendidikan Nonformal adalah kegiatan belajar yabg
disengaja oelh warga belajar dan pembelajar
didalam satu latar yang diorganisasi (berstruktur)
yang terjadi diluar sistem persekolahan.
c. Pendidikan Informal
Pendidikan
Informal
adalah
jalur
pendidikan
keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan
belajar secara mandiri.7
Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa
pendidikan merupakan kegiatan yang hanya dilakukan
manusia dengan lapangan yang sangat luas, yang mencakup
6
7
Jejen Musfah. op. Cit.
Suprijanto, Pendidikan Orang Dewasa, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), h.5-8
11
semua pengalaman serta pemikiran manusia tentang
pendidikan. Pendidikan sebagai suatu praktik dalam
kehidupan, seperti halnya dengan kegiatan-kegiatan lain,
seperti kegiatan ekonomi, kegiatan hukum, kegiatan agama,
dan lain-lain. Selain itu, kita dapat juga mempelajari
pendidikan secara akademik, baik secara empirik yang
bersumber
maupun
dari
dengan
pengalaman-pengalaman
jalan
pendidikan,
perenungan-perenungan
yang
mencoba melihat makna pendidikan dalam suatu konteks
yang lebih luas.8
3. Pengertian Karakter
Karakter adalah kualitas mental atau moral , kekuatan moral,
nama atau reputasi. Istilah karatker dan kepribadian atau watak
sering digunakan secara bertukar-tukar, tetapi Allport menunjukkan
kata watak berarti normatif, serta mengatakan bahwa watak adalah
pengertian etis dan menyatakan bahwa character is personality
evaluated and personality is character devaluated (watak adalah
kepribadian dinilai, dan kepribadian adalah watak tak dinilai).
Karakter adalah watak, sifat, atau hal-hal yang memang sangat
mendasar yang ada pada diri seseorang. Hal-hal yang sangat
abstrak yang ada pada diri seseorang. Sering orang menyebutnya
dengan tabiat atau perangai.
Apapun sebutannya karakter ini adalah sifat batin manusia yang
memengaruhi sejenak pikiran dan perbuatan. Banyak yang
memandang atau mengartikannya identik dengan kepribadian.
Karakter ini lebih sempit dari kepribadian dan hanya merupakan
salah satu aspek kepribadian sebagai mana juga tempramen. Watak
8
Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: ALFABETA, 2009), h. 1
12
dan karakter berkenaan dengan kecenderungan penilaian tingkah
laku individu berdasarkan standar-standar moral dan etika.9
Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi
etis, spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog
jerman FW.Foester (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan
reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan
Instrumentalisme
pedagogi
natural
Rousseauian
dan
instrumentalisme pedagogis Deweyan.
Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter
yang terwujud dalam kesatuan esensial si subjek dengan prilaku
dan sikap hidup yang dimilikinya. Karakter menjadi identitas yang
mengatasi pengalaman kontigen yang selalu berubah. Dari
kematangan karakter inilah kualitas pribadi diukur.
Sedangkan terbentuknya karakter biasanya di pengaruhi
oleh dua hal yaitu: genetik dan lingkungan (nature dan culture).
Faktor genetik dan teori nature, tidak dapat di pungkiri, dapat
memberikan pengaruh bagi proses pembentukan karakter anak.
Misalnya jika orangtua anak karakternya tidak jauh berbeda dari
orang tuanya, akan tetapi tidak lah ditelan mentah-mentah kalau
anak tersebut keturunan pemarah maka ia pasti pemarah. Anak
orang sabar maka jadi penyabar. Dalam hal ini genetiknya sudah
tersedia, akan tetapi ada pengaruh lingkungan dimana kualitas
kepribadian
karakter,
dan
attitude
bisa
berpengaruh
oleh
lingkungan pergaulan, lingkungan sosial, dan sebagainya.
Menurut Foerster ada 4 ciri dasar dalam pendidikan
karakter:
a. Kelenturan interior diaman setiap tindakan diukur
berdasarkan hirarki nilai. Nilai menjadi pedoman
normatif setiap tindakan.
9
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2011), h. 11
13
b. Kohersi yang memberikan keberanian, membuat
seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah
teobang-ambing pada situasi baru dan takut resiko.
Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa
percaya satu sama lain. Tidak ada koherensi akan
meruntuhkan kepribadian seseorang.
c. Ketiga otonomi disitu orang menginternalisasikan
aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai pribadi.
Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan
pribadi tanpa pengaruh atau desakan dari pihak
lain.
d. Keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan
daya tahan seseorang guna mengingini apa yang di
anggap baik. Dengan kesetiaan merupakan dasar
bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.10
4. Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Menurut Kementrian Pendidikan Nasional, nilai karakter
bangsa terdiri atas sebagai berikut.
a. Religius, yaitu sikap dan perilaku yang patuh dan
melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran
terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup
rukun dengan pemeluk agama lain.
b. Jujur, yaitu perilaku yang didasarkan pada upaya
menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat
dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan perbuatan.
c. Toleransi, yaitu sikap dan tindakan yang menghargai
peredaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan
tindakan orang yang berbeda dari dirinya.
10
Nuraida, dan Rihlah Nur Aulia, Pendidikan Karakter Untuk Guru, (Ciputat: Islamic
Researrch Publishing, 2010), h. 12
14
d. Disiplin, yaitu tindakan yang menunjukkan perilaku
tertib, patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
e. Kerja keras, yaitu perilaku yang menunjukkan upaya
sungguh-sungguh dalam mengatas berbagai hambatan
belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan
sebaik-baiknya.
f. Kreatif, yaitu berpikir dan melakukan sesuatu untuk
menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang
telah dimiliki.
g. Mandiri, yaitu sikap dan perilaku yang tidak mudah
bergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugastugas.
h. Demokratis, yaitu cara berpikir, bersikap, dan bertindak
yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang
lain.
i. Rasa ingin tahu, yaitu sika dan tindakan yang selalu
berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas
dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
j. Semangat kebangsaan, yaitu cara berpikir, bertindak,
dan berwawasan yang menempatkan kepentingan
bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya.
k. Cinta tanah air, yaitu cara berpikir, bersikap, dan
berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan
penghargaan, yang tinggi terhadap bangsa, lingkungan
fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
l. Menghargai prestasi, yaitu sikap dan tindakan yang
mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang
berguna
bagi
masyarakat,
dan
menghormati keberhasilan orang lain.
mengakui
serta
15
m. Bersahabat/komunikatif,
yaitu
tindakan
yang
memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan
bekerja sama dengan orang lain.
n. Cinta
damai,
yaitu
sikap,
dan
tindakan
yang
menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas
kehadiran dirinya.
o. Gemar membaca, yaitu kebiasaan menyediakan waktu
untuk membaca berbagai bacaan yang memerikan
manfaat bagi dirinya.
p. Peduli lingkungan, yaitu sikap dan tindakan yang
berupaya mencegah kerusakan lingkungan alam di
sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk
memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
q. Peduli sosial, yaitu sikap dan tindakan yang selalu ingin
memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang
membutuhkan.
r. Tanggungjawab, yaitu sikap dan perilaku seseorang
untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang
seharusnya dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat,
lingkungan (alam, karakter dimulai dalam sosial dan
budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Adapun peserta didik yang berkarakter memiliki ciri-ciri:
a. Memiliki kesadaran spiritual
b. Memiliki integritas moral
c. Memiliki kemampuan berfikir holistik
d. Memiliki sikap terbuka
e. Memiliki sikap peduli
16
Menurut
Arif
Rahman
pendidikan dikatakan
Hakim
berhasil
(pakar
pendidikan),
apabila memenuhi lima
karakteristik, yaitu:
a. Bertakwa
b. Berkepribadian matang
c. Berilmu mutakhir dan berprestasi
d. Mempunyai rasa kebangsaan
e. Berwawasan global.11
5. Pendidikan Karakter dalam Islam
Dalam Islam, tidak ada disiplin ilmu yang terpisah dari
etika-etika Islam. Dan pentingnya komparasi antara akal dan
wahyu dalam menentukan nilai-nilai moral terbuka untuk
diperdebatkan. Bagi kebanyakan muslim segala yang diamggap
halal dan haram dalam Islam, dipahami sebagai keputusan Allah
tentang benar dan baik. Dalam Islam terdapat tiga nilai utama,
yaitu akhlak, adab, dan keteladanan.
Akhlak merujuk kepada tugas dan tanggung jawab selain
syari‟ah dan ajaran Islam secara umum. Sedangkan term adab
merujuk kepada sikap yang dihubungkan dengan tingkah laku yang
baik. Dan keteladanan merujuk kepada kualitas karakter yang di
tampilkan oleh seorang muslim yang baik yang mengikuti
keteladanan nabi Muhammad Saw. Ketiga nilai inilah yang
menjadi pilar pendidikan karakter dalam Islam.
Sebagai usaha yang identik dengan ajaran agama,
pendidikan karakter dalam Islam memiliki keunikan dan perbedaan
dengan pendidikan karakter di dunia barat. Perbedaan-perbedaan
tersebut mencakup penekanan terhadap prinsip-prinsip agama yang
abadi, aturan dan hukum dalam memperkuat moralitas, perbedaan
11
Drs. Anas Salahudin, M.Pd dan Irwanto Alkrienciehie, Pendidikan Karakter : Pendidikan
Berbasis Agama dan Budaya Bangsa. (Bandung: CV Pustaka Setia. 2013), h. 54-57
17
pemahaman tentang kebenaran, penolakan terhadap otonomi moral
sebagai tujuan pendidikan moral, dan penekanan pahala di akhirat
sebagai motivasi perilaku moral. Inti dari perbedaan-perbedaan ini
adalah keberadaan wahyu Ilahi sebagai sumber dan rambu-rambu
pendidikan karakter dalam Islam. Akibatnya, pendidkian karakter
dala Islam lebih sering dilakukan secara doktriner dan dogmatis,
tidak secara demokratis dan logis.12
a. Akhlak, Adab, Moral, dan Nilai
Secara umum, karakter merupakan prilaku manusia yang
berhubungan dengan tuhan, diri sendiri, sesama manusia,
lingkungan, dan kebangsaan, yang terwujud dalam pikiran,
sikap perasaan, perkataan dan perbuatan berdasarkan normanorma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Karakter di bangun berlandaskan pengahayatan terhadap nilainilai tertentu yang dianggap baik. Misalnya, terkait dengan
kehidupan pribadi maupun bangsa bernegara, terdapat nilainilai universal Islam seperti toleransi(tasamuh), Musyawarah
(syura), Gotong royong (taawun), kejujuran (amanah), dan
lainnya.
Lalu apa perbedaan Akhlak, Adab, Moral dan nilai dengan
pendidikan karakter?
b. akhlak adalah bangunan jiwa yang bersumber darinya
perilaku spontan tanpa didahului pemikiran, berupa
prilaku baik (akhlak yang baik) ataupun prilaku buruk
(akhlak yang tercela).
c. Adab adalah pengetahuan tentang sesuatu yang dapat
mengeluarkan dari segenap kesalahan dan kekeliruan
secara umum meliputi kesalahan ucapan, perkataan,
prilaku, tindakan dan moral.
12
Abdul Majid, dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: PT
REMAJA ROSDAKARYA, 2011), h.58
18
d. Moral adalah pengetahuan seseorang terhadap hal baik
dan buruk.
e. Nilai adalah nilai ideal, baik, benar dan indah bagi
manusia.13
b. Karakter Pribadi Rasulullah Sebagai Simpul Akhlak Islam
Implementasi akhlak dalam Islam tersimpul dalam karakter
pribadi Rasullah SAW. Dalam pribadi rasul, bersemai nialinilai akhlak yang mulai dan agung. Al-qur‟an dalam surat AlAhzab ayat 21 menyatakan:”sesungguhnya telah ada pada diri
Rasullah suri tauladan yang baik”.
Akhlak tidak bisa diragukan lagi memiliki peran besar
dalam kehidupan manusia. Pembinaan akhlak dimulai dari
individu. Khakikat akhlak itu memang individual, meskipun ia
dapat berlaku dalam konteks yang tidak individual. Karenanya,
pembinaan akhlak dimulai dari sebuah gerakan indivual, yang
kemudian diproyeksikan menyebar ke individu-individu
lainnya, lalu setelah jumlah individu yang tercerahkan secara
akhlak menjadi banyak, dengan sendirinya akan mewarnai
kehidupan
masyarakat.
Pembinaan
akhlak
selanjutnya
dilakukan dalam lingkungan keluarga dan harus dilakukan
sedini mungkin sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan anak. Melalui pembinaan akhlak pada setiap
individu dan keluarga akan tercipta peradaban masyarakat
yang tentram dan sejahtera.14
13
Lanny Octavia, dkk., pendidikan karakter berbasis tradisi pesantren, (Jakarta: Rumah
Kitab, 2014), h. 10-16
14
Abdul Majid, dan Dian Andayani, op. Cit., h. 59-60
19
6. Ruang Lingkup Pendidikan Karakter Guru
a. Hakikat Guru
Guru Profesional tidak memilih murid
yang akan
diajarinya. Siapapun muridnya, akan ia didik dengan baik. Di
dunia ini hanya ada dua profesi, yaitu guru dan bukan guru.
Kita boleh kagum pada seorang dokter ahli yang mampu
menyembuhkan penyakit yang kritis, juga sangat kagum
kepada yang merancang sebuah jembatan panjang dengan
tingkat kesulitan tinggi. Namun mereka tidak akan pernah
menjadi orang seperti itu jika ia tidak memiliki guru. Banyak
cerita tentang keberhasilan seorang anak akibat guru yang
hebat, namun banyak cerita juga tentang kegagalan karena
guru salah didik. Kegagalan Albert Einsten, Thomas Alfa
Edison, Stephen Hawking di sekolah, dia lunasi melalui belajar
sendiri, dia menjadikan alam dan ilmu sebagai gurunya.
Mungkin apada awalnya ada yang merasa tidak sengaja jadi
guru, namun jika yang bersangkutan dengan cepat menyadari
akan pentingnya peran dia sebagai guru, lalu ia bangun
paradigmanya denagn benar dan bekerja dengan hati nurani,
inilah guru yang dicari, ditunggu, dipuja, dan dihargai
sepanjang masa.15
Sifat-sifat yang harus dipunyai oleh seorang guru yang baik
menurut Moh. Syafie:
1) Dia mempunyai cukup ilmu untuk melakukan
pekerjaan tersebut.
2) Dia mempunyai kesabaran yang besar.
3) Dia harus pandai bergaul dengan anak-anak
didiknya.
4) Dia mempunyai kerajinan yang tidak putusnya guna
kelancaran tugasnya.
15
Zulfikri Anas, Sekolah Untuk Kehidupan, (Jakarta: AMP Press, 2013) h. 177
20
5) Dia tidak boleh mempunyai perasaan dendam
terhadap anak didiknya.
6) Dia harus memperhatikan anak didiknya tidak
dalam kelas saja, juga diluar kelas, sehingga dia
mendapat tinjauan yang jelas akan sifat-sifat yanng
ada pada tiap-tiap anak didiknya.
7) Dia selalu bersedia menolong anak didiknya.
8) Dia sendiri harus banyak mempunyai sifat-sifat baik
yang kemudian di tanamkan kedalam jiwa anak
didiknya.16
b. Guru Sebagai Teladan
Dalam KBM setiap guru bertindak sebagai pendidik.
Bertutur dan bertindak selalu yang baik. Guru tidak
menghukum secara fisik, tetapi dengan teguhan dan nasihat;
sesekali memberi hadiah bagi siswa yang berprestasi. Karena
dengan adanya hadiah peserta didik akan termotivasi untuk
belajar dengan rajin, dan mereka merasa mendapat pengakuan
dan keistimewaan dalam dirinya.
Di kelas guru memahami bahwa semua peserta didik sama,
sehingga tidak cendrung pada anak-anak tertentu. Prilaku guru
di kelas sangat penting dan berpengaruh bagi peserta didik,
apalagi berkaitan dengan pendidikan moral dan karakter.
Para peserta didik akan hidup dalam masyarakat, karena itu
para guru perlu mengomunikasikan persoalan sosial, etik, dan
konsekuensi plitis dari suatu perubahan. Guru menyadari
bahwa esensi pendidkan yaitu menjadiakn peserta didik yang
bermoral dan religius serta mempunyai karakter yang baik.
Agar setiap peserta didik bisa menyesuaikan dirinya terhadap
lingkungan yang ada disekitarnya.
16
H.A.R. Tilaar, Pedagogik Teoritis Untuk Indonesia, (Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 2015), h. 146
21
Kemampuan yang harus dikembangkan untuk membentuk
karakter guru adalah sebagai berikut:
1) Ketakwaan Kepada Allah
a) Beriman kepada Allah
b) Melaksanakan perintah-perintah allah
c) Menjauhkan segala larangan allah
2) Kamatangan kepribadian
a) Identitas diri (self-identity)
b) Rasa percaya diri
c) Harga diri
d) Konsep diri positif
e) Disiplin diri
3) Kemampuan bersosialisasi
a) Memahami orang lain
b) Peduli orang lain
c) Berbagi dengan orang lain
d) Rasa menolong orang lain
e) Toleransi
f) Senang bersosialisasi
g) Tertib aturan
4) Kematangan emosiaonal
a) Bertindak sesuai usia
b) Kontrol diri emosi
c) Menghargai orang lain
d) Tenggang rasa
e) Memberi dan menerima kasih sayang
5) Kematangan Intelektual
a) Kemandirian berfikir (otonom)
b) Mampu belajar dari l;ingkungan
c) Menghargai orang lain
d) Dapat menerima kritik
22
e) Mau belajar terus
6) Kemampuan vokasional
a) Bertanggung jawab
b) Bermotivasi tinggi
c) Tahu hak dan kewajiban
d) Kreatif
e) Terbuka krittik
f) Jujur dan loyal
7) Kemampuan membina
a) Kepemimpian
b) Empati
c) Komunikasi
d) Decesion making yang efektif
e) Disiplin17
c. Peranan Guru di Sekolah
Tabel 1.1 : Rekayasa Pembelajaran Guru dan tindak belajar siswa.
Dari bagan 1.1 dapat diketahui:
1) Guru sebagai Pendidik melakukan rekayasa pembelajaran.
Rekayasa pembelajaran tersebut dilakukan berdasarkan
kurikulum yang berlaku.
17
Nursyamsi, “Membentuk karakter peserta didik melalui proses pembelajaran oleh guru
kelas di MI/SD”,jurnal Tarbiyah Al-awlad, Volume VI, Edisi I, Hlm. 390
23
2) Siswa
sebagai
pembelajar
di
sekolah
memiliki
kepribadian, pengalaman, dan tujuan. Ia mengalami
perkembangan jiwa, sesuai asas emansipasi dari menuju
keutuhan dan kemandirian.
3) Guru menyusun desain instruksional untuk membelajarkan
siswa.
4) Guru menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar.
5) Guru
bertindak
mengajar
dikelas
dengan
maksud
membelajarkan siswa. Dala tindakan tersebut, guru
menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar.
6) Siswa bertindak belajar, artinya mengalami proses dean
meningkatkan kemampuan mentalnya.
7) Dengan berakhirnya suatu proses belajar, maka siswa
memperoleh suatu hasil belajar. Hasil belajar merupakan
hasil dari suatu insteraksi tindak belajar dan tindak
mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri dengan
proses evaluasi hasil belajar. Dari sisi siswa, hasil belajar
merupakan berakhirnya penggal dan puncak.18
Proses belajar akan meningkat jika siswa diminta untuk
melakukan hal-hal berikut ini:
1) Mengemukakan kembali Informasi dengan kata-kata
mereka sendiri.
2) Memberikan contohnya.
3) Mengenalinya dalam bermacam bentuk dan situasi.
4) Melihat kaitan antara informasi itu dengan fakta atau
gagasan lain.
5) Menggunakannya dengan berbagai macam cara.
6) Memprediksikan sejumlah konsekuensinya.
18
Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 3
24
7) Menyebutkan lawan atau kebalikannya.19
Peranan guru di sekolah, dalam keseluruhan kegiatan
pendidikan di tingkat operasional, guru merupakan penentu
keberhasilan pendidikan. Melalui
kinerjanya
pada
tingkat
institusional, instruksional, dan eksperimensial. Artinya bahwa
guru mempunyai posisi yang strategis di garda terdepan dalam
upaya pembangunan bangsa. Sejalan
dengan
tugas-tugas
utamanya sebagai pendidik di sekolah, guru melakukan tugastugas kinerja pendidikan dalam bimbingan, pengajaran, dan
latihan. Semua kegiatan itu sangat terkait dengan upaya
pengembangan para peserta
didik
melalui
keteladanan,
penciptaan lingkungan pendidikan yang kondusif, membimbing,
mengajar, dan melatih peserta didik sebagai unsur bangsa.
Tugas-tugas guru tersebut akan terlaksana dengan baik
dan berhasil apabila diiringi dengan keperibadian guru yang baik.
Keperibadian seorang guru merupakan titik tumpu sebagai
penyeimbang
antara pengetahuan mengenai pendidikan dan
keterampilan
melaksanakan profesi sebagai pendidik terutama
dalam bidang pembelajaran.
Ketika
pengetahuan
bekerja
berkaitan
dan
pada
keahlian
perubahan
perlaku
titik
tumpu
secara
yang
ini
kuat,
seimbang yang
positif
dalam
pembelajaran. Namun ketika titik tumpu ini lemah, yaitu dalam
keadaan kepribadian guru tidak banyak membantu, maka
pengetahuan dan keterampilan guru tidak akan efektif digunakan.
Untuk itu budi pekerti guru sangat penting dalam
pendidikan karakter atau watak peserta didik. Guru harus menjadi
teladan bagi peserta didik, karena anak didik suka meniru. Di
antara tujuan pendidikan ialah membentuk akhlak yang baik pada
anak, dan ini akan tercapai jika guru berakhlak baik pula. Adapun
19
Melvin L. Siberman, Active Learning 101 cara belajar siswa aktif, (Bandung: Nuansa
Cendekia, 2014). h. 26
25
akhlak yang baik dalam ilmu pendidikan Islam adalah akhlak
yang sesuai dengan ajaran Islam, sebagaimana dicontohkan oleh
Rasulullah SAW. Di antara akhlak guru tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Mencintai jabatan sebagai guru
Tidak semua orang menjadi guru karena panggilan jiwa.
Ada sebagian menjadi guru karena “terpaksa”, seharusnya
seorang guru harus mencintai pekerjaannya, dan menjadi
guru karena didorong oleh panggilan jiwanya.
2) Bersikap adil terhadap semua peserta didik
Anak didik terutama pada tingkat MI/SD, sangat sensitif
jika guru memperlakukannya secara kurang adil dan
pilih kasih. Terutama guru-guru yang masih muda, lebih
memperhatikan anak yang pandai daripada yang lain, sikap
ini tidak baik. Oleh karena itu guru harus memperlakukan
anak dengan cara yang sama.
3) Berlaku sabar dan tenang
Di sekolah guru sering merasa kecewa karena
peserta
didik kurang mengerti apa yang diajarkannya. Bagi anak
yang tidak mengerti, bisa menjadi pendiam atau sebaliknya
membuat keributan di kelas. Kondisi ini dapat membuat
guru kecewa, tetapi guru harus bersikap sabar menghadapi
kondisi anak. Bisa jadi kesalahan ini terletak pada guru itu
sendiri yang kurang terampil mengelola kelas atau materi
pelajaran yang belum terkuasai dengan baik.
4) Guru harus berwibawa
Dalam menyikapi kelas yang ribut, seharusnya guru
menyikapi dengan tenang terhadap peserta didik dan tidak
melakukan kekerasan. Agar kelas dapat tenang maka guru
harus mampu menguasai anak-anak di kelas, inilah guru
yang berwibawa.
26
5) Guru harus gembira
Guru yang gembira memiliki sifat humor, suka tertawa dan
suka memberikan kesempatan tertawa pada anak didiknya.
Guru yang gembira tidak lekas kecewa, mengerti dengan
kemampuan
akan-anak,
dan
berusa-ha
menerangkan
pelajaran sampai anak me-mahaminya.
6) Guru harus bersifat manusiawi
Guru adalah manusia yang tidak luput dari kekurangan dan
kelemahan, bukanlah manusia sempurna. Oleh karena itu
guru harus mampu memahami kekurangan dirinya, dan mau
memperbaikinya. Juga tidak berpikiran picik terhadap
kesalahan-kesalahan
anak
didiknya,
tetapi
memberikan hukuman yang adil dan suka
mampu
memaafkan
apabila anak insaf akan kesalahannya.
7) Bekerja sama dengan guru-guru lain
Hubungan dan kerja sama yang baik antara sesama guru
dalam bekerja, lebih berharga daripada gedung mewah dan
alat-alat yang cukup. Suasana guru-guru di sekolah
sebagian besar dipengaruhi oleh sikap dan kebijaksanaan
kepala sekolah. Kepala sekolah yang baik seharusnya
mampu mengurus dan memperjuangan kepentingan guruguru lainnya.
8) Bekerjasama dengan masyarakat
Guru harus mempunyai pandang luas, guru harus bergaul
dengan segala golongan dan lapisan masyarakat, supaya
sekolah tidak terpencil.
Itulah di antara akhlak yang harus dimiliki oleh seorang
guru
dalam
menjalankan
tugas
mulianya
untuk
mencerdaskan anak-anak bangsa. Kerberhasilan penddikan
sangat ditentukan oleh akhlak dan kualitas kepribadian guru
27
itu sendiri sebagai seorang pendidik terutama dalam
membentuk karakter anak didiknya.
Cavanagh, Michael E dalam Surya mengemukakan ada 12 kualitas
keperibadian yang harus dimiliki seorang guru profesional, yaitu
sebagai berikut:
1) Memiliki pengetahuan diri sendiri.
Guru harus mengetahui tentang dirinya sendiri, apa yang
sedang dilakukan,
permasalahan apa
dihadapi, dan persoalan
didik.
apa yang
yang sedang
dihadapi
peserta
Pengetahuan tentang diri sendiri memungkinkan
guru dapat merasakan dan berkomunikasi secara penuh
perasaan dengan peserta didik yang menjadi peserta
didiknya.
2) Kecakapan
Guru
harus
emosional,
memiliki
dan
moral
kualitas
yang
fisik,
intelektual,
penting untuk dapat
membantu peserta didik, agar mereka dapat hidup efektif
dan bahagia
3) Kesehatan Psikologis
Guru harus menjadi model kesehatan psikologis, guru harus
lebih sehat daripada orang yang mereka temui dalam proses
pembelajaran. Kesehatan psiologis psikologis yang baik
seorang
guru sangatlah penting, karena akan mendasari
pemahaman perilaku dan keahlian mereka. Kesehatan
psikologis guru yang baik dapat membentuk suatu kekuatan
positif dalam pembelajaran.
4) Dapat dipercaya
Kepercayaan sangat penting bagi seorang guru, karena
untuk mendorong orang menjadi dirinya sendiri, dapat
menyimpan rahasia anak didik mereka, dan ketika peserta
28
didik
dapat mempercayai guru, mereka akan mencoba
untuk lebih percaya pada dirinya sendiri.
5) Kejujuran
Kejujuran, maknanya guru harus transparan dan sejati
(authentic, genuine). Karakteristik ini sangat penting,
karena untuk memudahkan guru dan peserta didiknya
berinteraksi, dan memberikan umpan balik yang belum
terselesaikan atau yang belum dipahami oleh peserta didik.
6) Kekuatan
Kekutan merupakan titik tengah antara intimidasi dan
kelemahan.
Hal
ini
dibutuhkan
bagi
guru,
untuk
memberikan peserta didik merasa aman. Para guru perlu
memiliki kekuatan dalam meng-atasi serangan psikologis
dan manupulasi yang dilakukan oleh peserta didik.
7) Kehangatan
Kehangatan artinya sebagai sesuatu yang baik, perhatian,
dan dapat menghibur orang lain. Kehangatan dalam
berkomunikasi
sangatlah penting dalam pembelajaran,
karena dapat mencairkan suasana kelas.
8) Pendengar yang aktif
Mendengar dengan baik adalah titik tengah antara hiperaktif
dan kebingungan. Bagi guru, kualitas mendengarkan ini
sangat penting, karena menunjukkan perhatian secara
personal dan juga menstimulasi peserta didik untuk bereaksi
secara spontan pada guru.
9) Kesabaran
Kesabaran
memperkenankan
peserta
didik
dalam
berkonsultasi dan menciptakan situasi yang kondusif. Para
guru tidak dapat memaksa mempercepat pertumbuhan
psikologis peserta didik tetapi harus membimbingnya.
10) Kepekaan
29
Sensitivitas dalam diri guru sangat penting,karena mereka
harus berkomunikasi dengan peserta didik.Guru yang
sensitif memahami perasaan peserta didik dan dapat
mengangkat masalah-masalah ke permukaan.
11) Kebebasan
Guru dapat memberikan kebebasan kepadapeserta didik
yang sedang berkomunikasi, dan juga akan lebih merasakan
tali persaudaraan apabila disertai rasa kebebasan.
12) Kesadaran Holistik
Kesadaran holistik guru dalam pembelajaranadalah bahwa
guru menyadari keseluruhan o-rang dan tidak mendekati
hanya dari satu aspek saja. Namun begitu tidak berarti
bahwa guru adalah seorang ahli dalam semua aspek, tetapi
menyadari dan bagaimana satu dimensi saling terkait
dengan dimensi lainnya.
Dari berbagai penjelasan di atas dapat dipahami bahwa kualitas
kepribadian guru merupakan salah satu kompetensi yang harus
dimiliki oleh guru. Kompetensi kepribadian menurut
UU No.
14/2005, diartikan sebagai “kemampuan kepribadian yang mantap,
berakhlak mulia, arif, dan berwibawa, serta menjadi teladan peserta
didik”. Kemampuan kepribadian guru berkaitan erat dengan
karakter. Kepribadian dan karakter guru sebagai pendidik,
utamanya mengajar, sangat berpengaruh terhadap keber-hasilan
pengembangan sumber daya manusia. Artinya kepribadian guru
merupakan faktor penentu keberhasilan belajar peserta didik.20
B. Pesantren
1. Pengertian Pesantren
Pondok pesantren biasanya diartikan sebagai lembaga pendidikan
dan pengajaran agama Islam, umunya dengan cara non-klasikal, di
20
Nursyamsi, loc. Cit. h. 390-392
30
mana seorang kyai mengajarkan agama Islam kepada santri-santri
berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa arab oleh ulamaulama Arab abad pertengahan.21
Pondok pesantren adalah merupakan lembaga pendidikan dan
pengajaran Islam di mana di dalamnya terjadi interaksi aktif antara
kyai atau Ustadz sebagai guru dan para santri sebagai murid dengan
mengambil tempat di masjid/mushalla atau berada masjid/mushalla,
ruang kelas, atau emper asrama (pondok) untuk mengaji dan
membahas buku-buku teks keagamaan karya ulama masa lalu.22
Dalam dunia pesantren diakui bahwa pesantren adalah lembaga
lokal yang mengajarkan praktik-praktik dan kepercayaan-kepercayaan
Islam.23 Pesantren tidak hanya fokus memberikan materi pelajaran dan
nilai-nilai agama, tetapi pesantren juga mengajarkan keterampilan
kepada setiap siswa/santrinya untuk menjadi bekal dan pedoman hidup
mereka di masa depan dan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT
agar senantiasa mendapat perlindungan dari berbagai keburukan yang
ada.
2. Pola Umum Pendidikan Islam pesantren
Sebelum tahun 1960-an, pusat-pusat pendidikan pesantren di
Indonesia lebih dikenal dengan nama pondok. Istilah pondok
barangkali berasal dari pengertian asrama-asrama para santri atau
tempat tinggal yang dibuat dari bambu, atau barangkali bearasal dari
kata arab, funduq yang artinya hotel atau asrama.
Perkataan pesantren bearasal dari kata santri, yang dengan awalan
pe di depan dan di akhiran an belarti tempat tinggal para santri.
Profesor Jhons berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa
21
Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005). h. 3
22
Mahmud, Model-model Penbelajaran di Pesantren, (Tangerang: Media Nusantara, 2006), h.1
23
Ronald Alan Lukens-Bull. Jihad ala Pesantren : di Mata Antropolog Amerika. Gama Media.
Jakarta. 2004. Hal 56
31
tamil, yang belarti guru mengaji, sedang C.C Berg berpendapat bahwa
istilah tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa india
belarti orang yang tahu buku-buku suci agama hindu. Dari asal-usul
kata santri pula banyak sarjana berpendapat bahwa lembaga pesantren
pada dasarnya adalah
lembaga pendidikan keagamaan bangsa
Indonesia pada masa menganut agama Hindu Buddha yang bernama
“mandala” yang diIslamkan oleh para kiyai.24
3. Kurikulum dan Identitas
Kurikulum pada pesantren kontemprorer dapat dibagi ke dalam empat
bentuk, yaitu :
a. Ngaji dan Pendidikan Agama
Pendidikan tradisional di pesantren adalah sendiri. Para santri
memilih kitab-kitab dan mempelajarinya di bawah bimbingan kyai.
Kajian individual antara santri dan kyai, disebut sorogan,
memerlukan keseriusan dan kesabaran yang dalam. Para santri
membawa kitabnya di depan kyai dan kemudian membaca dan
dikoreksi oleh sang kyai (Dhofier, 1980: 20). Metode ini
diterapkan dua kali selama masa belajar santri, yaitu pada awal dan
akhir. Jika santri butuh bantuan untuk memperoleh kemampuan
dasar, hal ini dilakukan pada awal masa belajar. Dalam hal ini, para
santri biasanya tidak langsung dibimbing oleh kyai, tetapi dengan
ustadz atau santri senior. Sorogan ini juga diterapkan bagi santri
yang telah pandai, dan biasanya melibatkan kyai.
b. Pengalaman dan Pendidikan Moral
Pengalaman adalah bagian lain dari pendidikan pesantren.
Pengalaman mungkin training khusus untuk khotbah dan bentukbentuk lain dari ceramah-ceramah umum. Terkadang santri senior
dikirim ke desa-desa terdekat untuk memberikan khotbah Jum‟at
atau untuk memimpin doa dan slametan, kebanyakan pengalaman
24
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3Es, 2011), h. 41
32
berkenaan dengan pendidikan moral, yaitu pengamalan nilai-nilai
yang diajarkan saat mengaji.
Nilai-nilai
moral
yang ditekankan
di
pesantren termasuk
persaudaraan Islam, keikhlasan, kesederhanaan, dan kemandirian.
Di samping itu, pesantren bernaksud pula untuk menanamkan
kepada santrinya kesalehan dan komitmen atas lima rukun Islam:
syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji.
c. Sekolah dan Pendidikan Umum
Pesantren secara luas berbeda dalam tingkatan pendidikan yang
menekankan kepada hal yang bersifat sekuler. Di sanalah satu
pesantren, para staf/pengurusnya sangat perhatian/marah jika para
siswa tidak ikut salat jamaah, tetapi tidak berbuat apa-apa ketika
melihat siswa-siswa itu tidak disiplin dalam kelas.
d. Kursus dan Ketrampilan
Siswa/santri tradisional tidak membayar untuk pendidikan dan kos
mereka, tetapi mereka bekerja pada sang kyai, sebuah pola yang
ditemukan di mana-mana dalam dunia Islam (Mottahedeh,
1985:95). Dalam bagian kerja ini mereka akan memperoleh banyak
skill yang bisa mereka pakai setelah pulang. Belakangan, pesantren
gemar menawarkan program ekstra, yang berupa kurus, yang
paling populer adalah bahasa Inggris dan komputer dan jgua kursus
ketrampilan seperti menyetir, reparasi mobil, menjahit, manajemen
bisnis, dan pengelasan. Ini adalah bentuk respons mereka terhadap
seruan pemerintah untuk meningkatkan kualitas SDM.25
C. Strategi dan Manajemen Pesantren
1. Strategi Pesantren
Agar pesantren dapat tetap exist dan survive, serta tetap mampu
memainkan peran yang dikehendaki untuk melahirkan sumber daya
manusia unggul yang dapat mengantisipasi perubahan yang serba
25
Ibid. at 66-83.
33
cepat, sekaligus dapat meningkatkan kualitas peran dan kontribusinya
terhadap kemajuan dan kesejahteraan bangsa, menjawab berbagai
persoalan dan tantangan yang semakin kompleks, maka di antara
bidang yang mendesak untuk dicermati sekaligus dibenahi dari dunia
pesantren, adalah masalah srategi dan manajemennya. Sebagaimana
telah dipraktikkan di dunia pesantren, strategi pendidikan pesantren ke
depan setidaknya meliputi dua hal, yaitu proteksi dan proyeksi.
Strategi proteksi mengacu kepada prinsip “al-muhafazhatu’ala alqadim al-shalih” (memelihara tradisi yang baik), sedangkan strategi
proyeksi kepada prinsip “al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah” (mengambil
hal-hal baru yang lebih baik).
Pertama, strategi proteksi adalah usaha lembaga pendidikan untuk
meningkatkan rating kualitas dan dimiliki para santrinya. Kemudian
kualitas ini diproteksi dari pengaruh negatif lingkungan. Mengenai apa
saja kualitas luhur yang akan diproteksi dari dalam diri santri dapat
dijawab secara berbeda, sesuai dengan titik tekan masing-masing.
Hanya saja pada dasarnya dapat dikatakan bahwa yang akan diproteksi
adalah semua kualitas luhur, baik itu di bidang iman (kecerdasan
spiritual, ilmu (kecerdasan intelektual), dan amal (kecerdasan
emosional). Sedangkan tentang apa saja pengaruh negatif lingkungan
yang harus dihindarkan dari santri, pada dasarnya, adalah seluruh
pengaruh yang memiliki dampak negatif terhadap iman, ilmu, dan
amal tersebut.
Kedua, strategi proyeksi adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh
pihak pesantren untuk membangun dan mengembangkan segenap
potensi yang dimiliki oleh para kyai, guru (asatidz), santri, dan
masyarakat. Proyeksi ini dilakukan dengan dua pendekatan; individual
dan institusional. Secara individual, proyeksi ini mengacu kepada
aneka kecenderungan yang ada pada diri setiap santri, yang dipetakan
untuk membangun dan mengembangkan minat dan bakat individu para
santri dalam tiga domain kecerdasan di atas. Sedangkan pada level
34
institusional pesantren, yang meliputi visi-misi program dan orientasi
pendidikan dan pengajaran di pesantren.
Berdasarkan penjelasakan di atas, kedua strategi tersebut memiliki
peran penting dalam kemajuan pendidikan pesantren, karena sebagai
lembaga pendidikan yang sudah eksis cukup lama di Indonesia
pesantren harus memiliki pertahanan untuk mengantisipasi masuknya
nilai, budaya, dan pengaruh negatif yang datang dari luar agar tidak
melemahkan esensi dan tradisi pesantren itu sendiri. Kemudian,
pesantren dituntuk untuk melihat jauh ke depan dan berfikir lebih
maju, karena seiring dengan berkembangnya zaman maka kebutuhan
masyarakat terus berubah. Oleh karena itu, pesantren harus bisa
mengkategorikan minat, dan bakat yang ada dalam diri siswa/santri
agar bisa menghasilkan output yang mampu beradaptasi di kehidupan
berbangsa dan bernegara.
2. Manajemen Pesantren
Untuk memastikan berjalannya dua strategi di atas kepemimpinan
pesantren perlu terus-menerus mengasah berbagai kepekaan dalam
mengelola
dan
mengembangkan
pesantren,
terutama
dalam
menghadapi berbagai peluang dan tantangan baik dari dalam maupun
dari luar pesantren itu sendiri.
Pertama, kepekaan terhadap efektifitas. Pesantren yang sudah
dibuka untuk akreditasi yang setara dengan sekolah-sekolah umum,
perlu memperkuat basis kulturnya yang positif agar tidak cepat-cepat
tergoda dengan tren kebijakan pendidikan pemerintah, seperti tren
menegerikan lembaga pendidikan. Hal itu karena pada tataran teknis,
efektifitas, dan akuntabilitas kebijakan pemerintah tersebut tida sesuai
dengan kondisi riil kesiapan beberapa pesantren, sehingga tak jarang
karena sikap terburu-buru itu pesantren dapat tercerabut dari akar
kultur yang sudah terbina relatif lama ketimbang sekolah-sekolah
umum. Hal ini nukan berarti mencurigai kenijakan pemerintah, akan
35
tetapi dalam skala yang lebih luas, segala apapun yang menjadi tren
baru
di
masyarakat
harus
tetap
direspon
dengan
tetap
mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi dalam mengikuti tren
tersebut. Hal ini penting dicatatat, apalagi mengingat implementasi
otonomi pndidikan dikembalikan kepada masyarakat itu sendiri yang
mencerminkan kekhasan historis dan sosial-budaya masing-masing.
Kedua, kepekaan terhadap transparansi, perencanaan, dan
evaluasi. Kebijakan pemerintah memberikan akreditasi kepada
sejunmlah pesantren mencerminkan pengakuan adanya hak hidup
berbagai sistem pendidikan nasional. Namun kebijakan ini menuntut
kepemimpinan pesantren untuk mengembangkan kepekaan terhadap
perlunya pengawasan baik di tingkat manajemen kelembagaan maupun
perencanaan dan evaluasi program. Kepekaan dalam manajemen
kelembagaan mencakup kesediaan untuk transparan dalam pengelolaan
dan penggunaan keuangan. Sementaraitu, perencanaan program
pendidikan di pesantren perlu mempertimbangkan azas berkelanjutan
dan kemampuan program tersebut merespon irama perubahan, tanpa
harus kehilangan nilai-nilai dasar dan falsafah hidup pesantren itu
sendiri.
Ketiga, kepekaan terhadap koorporasi dan sinergi. Era
reformasi telah melahirkan persaingan antara lembaga pendidikan,
terutama dalam hal kualitas pendidikan, agar lembaga pendidikan
tersebut semakin diminati oleh masyarakat. Pada level ini, komunikasi
semakin menjadi penting antar pengelola pesantren, agar tidak terjebak
dengan persaingan yang sempit (conlifct of interest). Lagi pula
komunikasi tersebut tak lain adalah sebagai cara untuk menyamakan
persepsi termasuk langkah agar dapat mewujudkan fungsi pesantren
untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka dalam sisi
manajemen, pesantren dituntut untuk lebih meningkatkan kerjasama
dan sinergi yang tidak melulu dengan lembaga-lembaga pesantren,
melainkan juga dengan lembaga-lembaga di luar pesantren. Hal ini
36
ditujukan guna meningkatkan kapasitas pesantren, baik dalam
mengelola dan mengembangkan pendidikan dan pengajarannya,
pendanaan, penyediaan sarana dan prasarana, organisasi dan
kepemimpinan, peningkatan mutu SDM, serta kesejahteraan para guru
dan pembantu pesantren.
Keempat, kepekaan terhadap nilai-nilai kesungguhan dan
keikhlasan. Seperti yang dikemukakan di atas, bahwa penting bagi
pesantren untuk mampu responsif terhadap perubahan. Namun ada
yang tak kalah pentingnya, yaitu tetap memelihara budaya khas
kepemimpinan pesantren yang membedakannya dengan yang lain.
Yaitu kepekaan menilai kesungguhan dan keikhlasan komunitas
pesantren, sejak dari individu, kelompok, lembaga, hingga pesantren
sebagai suatu totalitas. Kenapa harus kesungguhan dan keikhlasan?
Kesungguhan dan keikhlasan adalah dua nilai pesantren yang tidak
bisa dipisahkan satu sama lain. Dengan kesungguhan saja, tanpa
keikhlasan, seseorang akan dipertanyakan motifnya, untuk tujuan
apakah ia sungguh-sungguh, apakah untuk mencari interest pribadi
atau kelompok atau untuk mencapai tujuan bersama. Untuk itu
diperlukan keikhlasan, karena tanpa itu, kesungguhan akan selalu
diukur dengan imbalan yang diterima. Sebaliknya, keikhlasan tanpa
kesungguhan dapat mendorong kepada sebuah bentuk kepasifan dan
kejumudan, karena tidak ada semangat yang mendorong tercapainya
target-target yang telah dicanangkan. Alhasil kesungguhan dan
keikhlasan adalah ibarat dua sisi mata uang yang sama-sama penting.26
Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan peran kyai dalam pola
manajemen dapat menjadi penentu pesantren yang harus selalu peka
terhadap berbagai situasi dan perkembangan zaman yang sedemikian
pesat. Hendaknya, kyai harus membuat pesantren berjalan dengan
26
Abdullah Zukri Zarkasyi. Manajemen Pesantren : Pengalaman Pondok Modern Gontor. Tri
Murti Press. Gontor. 2005. Hal 37-40.
37
dinamis dan penuh kesungguhan dalam mengabdi dan memberikan
yang terbaik untuk kemajuan pendidikan di Indonesia.
3. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren
Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan yang tidak
mencetak pegawai, yang mau diperintah oleh orang lain, tetapi
lembaga pendidikan yang mencetak „majikan‟ (paling tidak) untuk
dirinya sendiri lembaga yang mampu mencetak orang-orang yang
berani hidup dan berdiri sendiri
Kurikulum Pondok pesantren selain menggunakan metode
sorogan dikenal pula sistem weton. Metode ini di sumatra disebut
dengan istilah balaqoh atau juga dikenal dengan sebutan balagban.
Praktik sistem weton hampir selalu dihadirioleh sejumlah santri,
dimana seorang guru (kiyai) membaca, menerjemahkan dan
menjelaskan Kitab tertentu yang di dengar oleh sejumlah santri
yang duduk mengelilingi kiyai. Istilah weton berasal dari kata wektu
(jawa), karena pengajian tersebut dilakukan pada waktu tertentu
sebelum dan sesudah melaksanakan ibadah shalat. 27
4. Kiai
Pesantren dan Kiai adalah dunia yang tak habis-habisnya untuk
dipelajari dan digali. Ada cukup banyak penelitian dan kajian
dengan menjadiakan pesantren dan kiai sebagai obyek kajiannya.
Namun demikian, selalu tersedia perspektif tertentu yang belum
diungkap. Hal ini menunjukan betapa pesantren dan kiai merupaka
khazanah yang kaya dengan berbagai perspektif. 28
Oleh karena itu kiai merupakan elemen paling esensial dari
suatu pesantren. Ia seringkali bahkan merupakan pendirinya. Sudah
27
Sukamto, Kepemiompinan Kiai Dalam Pesantren, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1999), h.136-145
Achmad Patoni, Peran Kiai Pesantren dalam partai Politik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007), h.1
28
38
sewajarnya bahwa pertumbuhan suatu pesantren semata-mata
bergantung pada kemampuan pribadi kyainya.
Kebanyakan para kyai beranggapan bahwa suatu pesantren dapat
diibaratkan sebagai suatu kerajaan kecil di mana kyai merupakan
sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and
authority) dalam kehidupan dan lingkungan pesantren. Tidak
seorang pun santri atau orang lain dapat melawan kekuasaan kyai
(dalam lingkungan pesantrennya) kecuali kyai lain yang lebih besar
pengaruhnya. Para santri selalu mengharap dan berpikir bahwa kyai
yang dianutnya merupakan orang yang percaya penuh kepada
dirinya sendiri (self-confident), baik dalam soal-soal pengetahuan
Islam,
maupun
pesantren.
dalam
bidang
kekuasaan
dan
manajemen
29
Berdasarkan penjelasan tersebut, kyai memiliki pengaruh besar
dalam berbagai bidang, dan ini tidak bisa ditentang oleh santri. Hal
ini disebabkan karena, kyai adalah elemen yang paling mengetahui
segalanya mengenai dirinya, agama, dan apapun yang ada dalam
pesantren. Sehingga kyai mempunyai kebijakan yang sangat mutlak
pada pelaksanaan manajemen di pesantren.
29
Zamakhsyari Dhofier. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai
Masa Depan Indonsia. LP3ES. Jakarta. 2011. Cet. 8. Hal 93-94
39
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu, dan Tempat Penelitian
1. Waktu Penelitian
Adapun waktu penelitian yang dilakukan penulis adalah mulai tanggal
02-22 Juni 2017, dan dilanjutkan kembali hingga tanggal 12 Juli 2017.
2. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di pondok pesantren Al-Awwabin Depok dan
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
B. Metode Penelitian
Dalam sebuah penelitian metode merupakan hal yang sangat penting,
karena dengan metode yang baik dan benar akan memungkinkan
tercapainya tujuan penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan
metode
deskriptif
analisis
yaitu
metode
yang
bertujuan
untuk
menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi, atau
berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi
objek penilaian, dan berupaya menarik realitas itu kepermukaan sebagai
suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, gambaran tentang kondisi, situasi,
ataupun fenomena tertentu30.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang hasil penelitiannya
disimpulkan secara deskripsi, agar dapat memudahkan peneliti dalam
memperoleh data dan menyimpulkan hasil data yang diperoleh di lapangan
nanti. Dengan metode ini, penulis akan menggambarkan mengenai peran
kyai dan guru dalam mengoptimalisasikan pola pendidikan dalam
membentuk karakter santri.
30
Pedoman Penulisan Skripsi, (Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Syarif
Hidayatullah Jakarta 2015), h. 63
40
C. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai setting, berbagai
sumber, dan berbagai cara. Bila dilihat dari setting-nya, data dapat
dikumpulkan pada setting alamiah (natural setting), pada laboratorium
dengan metode eksperimen, di rumah dengan berbagai responden, pada
suatu seminar, diskusi, di jalan dan lain-lain.31 Pada umumnya seseorang
yang ingin memperoleh data, menggunakan teknik pengumpulan data yang
sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas. Maka dalam penelitian ini
penulis menggunakan beberapa teknik, yaitu:
1.
Observasi
Observasi adalah dan pencatatan secara sistematis terhadap
gejala yang tampak pada objek penelitian.32
Dalam observasi ini, penulis Mengadakan Obeservasi secara
langsung
terhadapkegiatan-kegiatan
yang
berkaitan
dengan
pembentukan karakter santri sebagai sumber penelitian. Penulis
melakukan pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap
objek yang dipandang dapat dijadikan sumber data. Dalam
penelitian ini penulis melakukan observasi lapangan. Hasil
pengamatan tersebut akan menjadi salah satu data untuk bahan
rujukan yang selanjutnya akan dianalisis dalam penelitian.
2.
Wawancara
Wawancara
adalah
bentuk
komunikasi
antara
dua
orang,
melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari
seorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan,
berdasarkan tujuan tertentu.33 Dalam hal ini penulis mengadakan
wawancara lansung dengan cara bertatap muka dengan informan
31
Sugiyono,Metodologi Penelitian Kuantitatif R&D, (Bandung: Alfabeta, 2006). h. 253
Pedoman Penulisan Skripsi, (Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Syarif
Hidayatullah Jakarta 2015), h. 66
33
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA,
2010), h.180
32
41
penelitian sebagaimana yang telah ditetapkan diatas sampai datadata yang diperlukan terkumpul. Hal-hal yang akan diwawancarai
adalah seputar aktifitas ibadah sholat berjamaah, mengaji, kegiatan
belajar mengajar dalam mengimplementasikan pendidikan karakter
di pondok pesantren Al-Awwabin Depok.
3. Menyebarkan angket
Dengan membagi-bagikan angket dengan rumusan yang terkait
dengan, pengetahuan, pemahaman sikap, tingkah atau perilaku
yang selanjutnya akan dianalisis dengan kondisi real yang ada di
lapangan.
4. Dokumentasi
Dokumen merupakan catatan atau karya seseorang tentang
sesuatu yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan,
gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.Dokumen
yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan,
(life histories), ceritera, biografi, peraturan, kebijakan.Dokumen
yang berbentuk gambar, misalnya foto, gambar hidup, sketsa dan
lain-lain.dokumen berbentuk karya misalnya karya seni, yang dapat
berupa gambar, patung Film, dan lain-lain.Studi dokumen
merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan
wawancara dalam penelititan kualitatif.34
Teknik dokumentasi menjadi salah satu teknik penunjang
validnya suatu data penelitian, karena penelitian ini bersifat
deskriptif kualitatif, maka penulis menggunakan ini sebagai
pembantu dalam mengambil hasil kesimpulan dalam penelitian
D. Teknik Pengelolaan Data
Setelah data-data terkumpul lengkap, berikutnya yang penulis lakukan
adalah membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi, dan mengklarifikasi
34
Sugiyono. Loc. Cit. h. 270
42
data-data yang relevan dan yang mendukung pokok bahasan, untuk
selanjutnya penulis analisis, simpulkan dalam satu pembahasan utuh.
E. Teknik Analisis Data
Teknis analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini memakai
tiga jalur kegiatan, yakni:
1.
Reduksi Data
Reduksi
data
menunjukan
kepada
proses
pemilihan,
pemokusan, penyederhanaan, pemisahan, pentransformasian data
“mentah” yang terlihat dalam catatan tertulis lapangan (writer-up
field noters). Oleh karena itu, reduksi data berlangsung selama
kegiatan penelitian dilaksanakan. Ini berarti pula reproduksi data
telah dilakukan sebelum pengumpulan data di lapangan, yaitu pada
waktu penyusunan proposal, pada saat menentukan kerangka
konsepsual,
tempat,
perumusan
pertanyaan
penelitian,
dan
pemilihan pendekatan dalam pengumpulan data. Juga dilakukan
pada waktu pengumpulan data, seperti membuat kesimpulan,
pengkodean,
membuat
tema,
membuat
cluster,
membuat
pemisahan dan menulis memo. Reduksi data dilanjutkan sesudah
kerja lapangan, sampai laporan akhir penelitian lengkap dan selesai
disusun.
Reduksi data sangatlah penting dilakukan agar memudahkan
peneliti dalam melakukan kegiatan penyimpulan dari hasil data
penelitian dan demi menghindari kesalahan dalam rangka
penarikan kesimpulan.
2. Penyajian Data
Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah
mendisplaykan data. Kalau dalam penelitian kuantitatif penyajian
data ini dapat dilakukan dalam bentuk tabel, grafik, phie chard,
43
pictogram dan sejenisnya. Melalui penyajian data tersebut, maka
data terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan, seingga akan
semakin mudah dipahami.
Dengan mendisplaykan data, maka akan memudahkan
untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya
beradasarkan apa yang telah dipahami tersebut. Selanjutnyaa
disarankan, dalam melakukan display data, selain dengan teks yang
naratif, juga dapat berupa grafik, matrik, network (jejaring kerja)
dan chart. Untuk mengecek apakah peneliti telah memahami apa
yang didisplaykan.
Dalam prakteknya tidak semudah ilustrasi yang diberikan,
karena fenomena sosial bersifat kompleks, dan dinamis, sehingga
apa yang ditemukan pada saat memasuki lapangan dan setelah
berlangsung
agak
lama
di
lapangan
akan
mengalami
perkembangan data. Untuk itu peneliti harus selalu menguji apa
yang telah ditemukan pada saat memasuki lapangan yang masih
bersifat hipotetik itu berkembang atau tidak. Bila setelah lama
memasuki lapangan ternyata hipotesis yang dirumuskan selalu
didukung oleh data pada saat dikumpulkan di lapangan, maka
hipotesis tersebut terbukti, dan akan berkembang menjadi teori
yang grounded. Teori grounded adalah teori yang ditemukan secaa
induktif, berdasarikan data-data yang ditemukan di lapangan, dan
selanjutnya diuji melalui pengumpulan data terus menerus.35
3. Penarikan Kesimpulan
Setelah data yang terkumpul direduksi dan selanjutnya
disajikan, maka langkah yang terakhir dalam menganalisis data
adalah menarik kesimpulan atau verifikasi.36
Kegiatan utama ketiga dalam analisis data yaitu penarikan
kesimpulan/verifikasi. Sejak pengumpulan data, peneliti telah
35
36
Sugiyono,Metodologi Penelitian Kuantitatif R&D, (Bandung: Alfabeta, 2006). h. 280-281
Ibid., h. 71
44
mencatat dan memberi makna sesuatu yang dilihat atau
diwawancarainya. Memo dan memo telah ditulis, namun
kesimpulan akhir masih jauh. Penelitian harus jujur dan
menghindari bias subjektivitas dirinya.
F. Kisi-kisi Instrumen Penelitian
1. Pedoman Wawancara
Tabel 1.2
Pedoman wawancara
No
1
Variabel
Implementasi
Sub Variabel
Pendidikan
Karakter
1. Pembinaan ideologi keagamaan
a. Penanaman nilai-nilai agama sesuai
dengan
pandangan
wahyu
Tuhan
dalam Kitab Suci
b. Pembinaan keyakinan (akidah)
c. Pembinaan ritual peribadatan (ibadah)
d. Pembinaan tingkah laku (akhlak)
e. Pembinaan
individu
dengan
masyarakat (muamalah duniawiyah).
2. Memberikan suri teladan yang baik
3. Memberikan motiasi kepada santri
4. Berkerjasama membentuk karakter baik di
pesantren dan di rumah
5. Pesantren harus menjadi model masyarakat
yang damai dan harmonis
6. Pesantren harus memberikan kesempatan
kepada para santri untuk mempraktikkan
perilaku moral.
2
Peran
guru
pesantren
dan
pimpinan
1. Merumuskan strategi pembelajaran yang
relevan untuk santri
2. Menentukan pola pendekatan pembelajaran
yang tepat untuk santri
45
3. Merumuskan bahan ajar yang sesuai untuk
santri
4. Memberikan keteladanan yang baik untuk
santri
3
Karakter Santri
1. Belajar dengan tekun dan rajin untuk
meningkatkan prestasi akademik
2. Melatih diri dengan ulet dan kerja keras
untuk membentuk karakter
3. Mengasah
ketrampilan
mengaktualisasikan potensi diri
2. Daftar cocok (checklist) dokumen
Tabel 1.3
Daftar Checklist Dokumen
No
1
Dokumen
Profil Sekolah
Data Santri
1. Madrasah Ibtidaiyah
2. Madrasah Tsanawiyah
3. Madrasah Aliyah
2
Struktur Organisasi
3
Prestasi Santri
4
Foto-foto Kegiatan
Ada
Tidak
Keterangan
guna
46
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data
Pada
bagian
ini
dideskripsikan
hasil
penelitian
tentang
Implementasi Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren al-Awwabin,
Depok, dengan pimpinan pesantren, guru, alumni, dan santri yang
diperoleh
dari
hasil
observasi,
wawancara,
serta
dokumentasi.
Sebagaimana yang akan dipaparkan sebagai berikut:
1. Implementasi Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren alAwwabin
Sebagai institusi pendidikan Islam, pesantren memiliki pola
pendidikan yang sangat menekankan pada aspek pembentukan
karakter santri-santrinya.Kegiatan belajar pesantren dilakukan melalui
berbagai rutinitas harian yang sudah tersusun sedemikian rupa mulai
sejak subuh, hingga malam hari.Meliputi kegiatan sholat berjamaah,
pengajian kitab-kitab, belajar di kelas, muhadhoroh, ekstrakurikuler,
dan lain sebagainya.Dengan menjalankan rutinitas-rutinitas pesantren,
santri mampu mengembangkan dirinya, baik secara kognitif, afektif,
serta psikomotorik, dan ini dapat membantu mencapai tujuan
pendidikan sebagaimana yang diamanatkan undang-undang.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Pimpinan 1 pondok
pesantren al-Awwabin, Depok, Drs. KH. Fathurrahman, MA, dari
beberapa informasi yang diperoleh tentang kegiatan ini. Beliau
menjelaskan bahwa:
Ada dua sistem pendidikan di pesantren al-Awwabin, pertama pendidikan formal
(sekolah) dengan kurikulum pemerintah (Kementrian Agama), dan kurikulum non
formal yaitu pesantren membuat sendiri kurikulum yang disesuaikan dengan tingkat
studinya.Seperti madrasah diniyah, diberikan bagi santri-santri baru yang belum
pernah merasakan pendidikan pesantren.Lalu kurikulum pesantren bagi santri-santri
yang sudah dianggap mampu mengikutinya, santri langsung mengikuti kajian-kajian
kitab dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi. 37
37
Wawancara pribadi dengan ustadz Drs. KH. Fathurrohman, MA (Lurah sekaligus Pimpinan 1
pondok pesantren Al-Awwabin) Depok, 2 Juni 2017
47
Dari pernyataan Pimpinan pesantren tersebut, pondok pesantren alAwwabin memiliki dua sistem pendidikan, yakni formal (sekolah)
dengan menggunakan kurikulum pemerintah (Kementrian Agama) dan
non formal (madrasah diniyah) yang disesuaikan dengan jenjang
pendidikan santri.
Selanjutnya, penulis akan menjelaskan bentuk madrasah diniyah di
pondok pesantren al-Awwabin, madrasah diniyah mempunyai tiga
tingkatan, yakni : Diniyah Awaliyah, Diniyah Wustha dan Diniyah
Ulya. Madrasah Diniah Awaliyah berlangsung 4 tahun (4 tingkatan),
dan Wustha 2 tahun (2 tingkatan). Input Siswa Madrasah Diniyah
Awaliyah adalah siswa yang berasal dari sekolah Dasar dan SMP serta
SMU. Sebagai bagian dari pendidikan luar sekolah. Kemudian, mata
pelajaran yang diajarkan pada madrasah diniyah yaitu:
a. Al-Qur‟an Hadits
b. Aqidah Akhlak
c. Fiqih
d. Sejarah Kebudayaan Islam
e. Bahasa Arab
f. Praktek Ibadah.
Dalam pelajaran al-Qur‟an-Hadits, santri diarahkan kepada
pemahaman dan penghayatan santri tentang isi yang terkandung dalam
qur‟an dan hadits. Mata pelajaran aqidah akhlak berfungsi untuk
memberikan pengetahuan dan
bimbingan
kepada
santri
agar
meneladani kepribadian nabi Muhammad SAW, sebagai Rasul dan
hamba Allah, meyakini dan menjadikan Rukun Iman sebagai pedoman
berhubungan dengan Tuhannya, sesama manusia dengan alam sekitar,
Mata pelajaran Fiqih diarahkan untuk mendorong, membimbing,
mengembangkan dan membina santri untuk mengetahui memahami
dan menghayati syariat Islam. Sejarah Kebudayaan Islam merupakan
48
mata pelajaran yang diharapkan dapat memperkaya pengalaman santri
dengan keteladanan dari Nabi Muhammad SAW dan sahabat dan
tokoh Islam. Selanjutnya, Bahasa Arab sangat penting untuk
penunjang
pemahaman
santri
terhadap
ajaran
agama
Islam,
mengembangkan ilmu pengetahuan Islam dan hubungan antar bangsa
dengan pendekatan komunikatif. Kemudian, praktek ibadah bertujuan
melaksanakan ibadah dan syariat agama Islam.
Berdasarkan penjelasan di atas, madrasah diniyah merupakan
elemen penting bagi pondok pesantren untuk memberikan pembinaan
kepada para santri untuk meningkatkan kualitas akademik, akhlak, dan
ketrampilannya.
Namun,
sebagaimana pondok pesantren pada
umumnya, al-Awwabin menekankan pada pendidikan karakter
(akhlak), di mana santri diharuskan mengikuti berbagai rutinitas yang
ada seperti yang telah dijadwalkan oleh pihak pesantren. Hal tersebut
dilakukan dalam rangka membentuk karakter santri, di antaranya:
1. Disiplin
a. Masuk sekolah tepat waktu pada jam yang telah ditentukan
oleh peraturan di pesantren.
b. Mengakhiri kegiatan belajar dan pulang sesuai jadwal yang
ditentukan.
c. Menggunakan kelengkapan seragam pesantren sesuai
peraturan.
d. Menjaga kerapian dan kebersihan pakaian sesuai dengan
peraturan sekolah.
e. Apabila berhalangan hadir ke pesantren, maka harus
menyampaikan izin kepada guru/wali santri.
f. Mengikuti keseluruhan proses pembelajaran dengan baik
dan aktif.
g. Mengikuti dan melaksanakan kegiatan ekstrakurikuler yang
di tentukan di pesantren.
h. Mengerjakan tugas yang diberikan guru.
49
i. Melaksanakan tugas piket kelas sesuai jadwal yang
ditentukan.
j. Mengatur waktu belajar.
2. Kerja Keras
a. Menyelesaikan semua tugas dengan baik dan tepat waktu
b. Tidak putus asa dalam menghadapi masalah
c. Tidak mudah menyerah dalam menghadapi masalah.
2. Peran Guru dalam Pendidikan di Pesantren al-Awwabin
Satu catatan penting yang perlu disampaikan adalah pentingnya
semua komponen bangsa membantu guru untuk menjadi penjaga
NKRI.
Gurulah
yang
bertanggungjawab
dan
harus
mampu
mengobarkan semangat nasionalisme, karena bangsa kita belum
menjadi bangsa yang dicita-citakan para founding fathers. Negara kita
masih dalam proses on becoming. Gurulah yang bertugas menempa
hati dan bukan hanya otak, supaya generasi kita menjadi generasi
yang mencintai Indonesia, yang tidak membiarkan Indonesia menjadi
17.000 negara. Tugas guru seperti yang diikarkan pada tahun 1945,
belum tuntas, dan adalah kewajiban kita semua untuk membantu
mereka. Guru harus berkontribusi maksimal dalam nation and
character building.38
Berikut ini adalah hasil wawancara terhadap salah satu guru sekaligus
perwakilan alumni pondok pesantren al-Awwabin:
Kami menggunakan KBM dengan cara memberikan cerita seputar akhlakul karimah
Rasulullah SAW, lalu menceritakan isi-isi kitab salafiyah dengan yang membahas
akhlak. Lalu, santri diwajibkan bagi santri untuk mengucapkan salam, mencium
tangan, terhadap orang tua (ustadz, pengurus, kyai, dan para tamu) dengan tujuan
untuk membentuk karakternya agar mampu menghormati orang lain, terutama yang
lebih tua. Santri diharuskan memiliki karakter yang jujur, amanah, disiplin, baik
ketika mengaji, belajar, serta taat kepada ustadz di pondok pesantren.Kendalanya
hanya satu, santri-santri dihadapkan dengan kemajuan teknologi modern (gadget).
Selanjutnya, pergaulan bebas para santri dengan teman-temannya ketika di rumah,
38
Prof. Dr. Sucipto, Pendidikan Nasional : Arah Kemana?. Buku Kompas. 2012. Jakarta. hal 222223
50
melakukan aktivitas seperti merokok dan hal negatif lainnya. Ini cukup menyulitkan
upaya pembentukan karakter bagi para santri di pondok pesantren al-Awwabin.
Santri merasa lebih cepat tanggap untuk memahami berbagai cerita seputar
ketelaadanan dari para ulama, dan Rasulullah SAW.Hal ini diperkuat dengan sikap
ustadz yang berusaha untuk menjadikan dirinya sebagai teladan bagi para santri,
melalui kedisiplinannya, ketekunannya, dan bentuk-bentuk keteladanan lainnya.39
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat diambil kesimpulan
bahwa guru di pondok pesantren al-Awwabin sangat serius dalam
mendidik para santri-santrinya. Hal ini dibuktikan dengan peranan
guru dalam memberikan pendampingan secara penuh terhadap santri
selama kegiatan belajar mengajar (KBM) berlangsung. Sehingga
santri merasa diawasi, dibimbing, dan diarahkan secara intensif oleh
guru, dan tindakan ini mampu memicu meningkatnya minat belajar
santri untuk lebih giat belajar dan berprestasi.
Guru merupakan salah satu unsur pendidikan yang amat penting,
ukuran guru yang baik adalah memiliki kompetensi dan profesional.
Guru yang kompeten akan menuju kepada pendidikan profesional
dalam melaksanakan proses belajar mengajar.
Problema yang terjadi pada tenaga pendidik di pesantren alAwwabin adalah masih terdapat guru yang tidak ahli dan profesional
dalam mengajarkan pelajaran, serta masih terdapat guru yang hanya
lulusan SMA/Aliyah atau masih menempuh kuliah. Permasalahan
inilah yang menyebabkan belum optimalnya pendidikan karakter di
pondok pesantren al-Awwabin.
B. Pembahasan Hasil Penelitian
Dalam konteks Indonesia, character building telah dikembangkan
sejak negeri ini berdiri, di mana presiden RI pertama Ir. Soekarno
mengemukakan gagasan tentang pentingnya pembentukan karakter
bangsa. Ketika itu, nilai-nilai yang diutamakan adalah penghargaan atas
kemerdekaan, kedaulatan, dan kepercayaan pada kekuatan sendiri atau
39
Wawancara pribadi dengan ustadz H. Abdurrahman, S.Pd (guru sekaligus perwakilan alumni
pesantren al-Awwabin) Depok, 12 Juni 2017
51
berdikari. Mengingat pembentukan karakter bersifat kontekstual, maka ia
bisa berubah sesuai dengan maksud dan tujuannya, dengan berbasis selalu
pada nilai-nilai (values).
Secara
umum,
karakter
merupakan
perilaku
manusia
yang
berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, lingkunganm
dan kebangsaan, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan,
dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,
budaya dan adat istiadat. Karakter dibangun berlandaskan pengkhayatan
terhadap nilai-nilai tertentu yang dianggap baik. Misalnya, terkait dengan
kehidupan pribadi maupun berbangsa bernegara, terdapat nilai-nilai
universal Islam seperti toleransi (tasamuh), musyawarah (syura), gotong
royong (ta’awun), kejujuran (amanah) dan lainnya.40
Berdasarkan penjelasan di atas, guru berperan penting untuk menjaga
sekaligus merealisasikan nilai-nilai pembentukan karakter terhadap santri
di pondok pesantren melalui pendampingan dan pola pembelajarannya.
Santri memerlukan keteladanan untuk membentuk karakternya, maka
santri dapat mengamati dan merasakan secara langsung keteladanan itu
dari gurunya. Aktivitas pesantren dimulai sejak adzan subuh hingga
malam hari, tentunya guru betul-betul melakukan kerja ekstra untuk
mendampingi santri secara penuh. Dengan melakukan pendampingan
tersebut, dapat dikatakan bahwa guru merupakan model sekaligus pilar
utama pendidikan, yang kelak akan membentuk manusia yang tidak hanya
memiliki ilmu pengetahuan saja, melainkan juga memiliki karakter atau
akhlakul karimah yang tentunya bisa bermanfaat untuk menjaga tatanan
masyarakat.
Berikut ini adalah pembahasan hasil penelitian yang akan dikemukakan
penulis:
40
Lanny Octavia, dkk.Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren. Tim Penulis Rumah Kitab.
Jakarta. 2014. hal 10-11
52
1. Bentuk-bentuk Rutinitas di Pondok Pesantren al-Awwabin
Selanjutnya, masih dengan responden yang sama yaitu Drs. KH.
Fathurrahman, MA selaku Pimpinan 1 pondok pesantren al-Awwabin,
Depok, penulis memberikan pertanyaan lebih lanjut mengenai seperti apa
bentuk kegiatan rutin yang dilakukan dalam kegiatan belajar di pesantren,
beliau menjelaskan:
Pondok pesantren Al-Awwabin lebih menekankan ilmu alat (kitab kuning) sebagaimana
yang diinginkan abuya. Di samping itu, al-Awwabin juga menekankan ilmu pendidikan
untuk masyarakat, seperti muhadhoroh, tujuannya agar santri dapat menggunakan
ilmunya agar santri mampu berbicara di depan masyarakat dengan baik. Kegiatan
muhadhoroh dilakukan setiap minggu sekali, dengan sistem dibagi menjadi beberapa
kelompok dengan jumlah 10 orang per kelompoknya.Setiap kelompok diberikan tugas
untuk membuat rangkuman pidato, lalu pada gilirannya kelompok tersebut maju dan
menyerahkan naskah yang telah dibuat. Sehingga memungkinkan bagi guru untuk
mengoreksi apa saja yang menjadi kekurangan dalam penulisannya. Guru, ustadz, dan
pengurus ikut terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan yang ada, melalui kegiatan rawi,
ratib, sholat jama‟ah, dan lain sebagainya.Sehingga santri merasa diawasi, didampingi,
dan diarahkan sekaligus ustadz menjadi contoh atau model pendidikan terhadap santrisantrinya.
Bagi santri yang berprestasi, diberikan pelajaran tambahan atau pembinaan secara
intensif.Meliputi kajian kitab di luar struktur kurikulum.Lalu mengenai mata pelajaran
umum hanya diberikan ketika ingin dilaksanakan ujian saja.Namun, para santri cenderung
memiliki kelemahan dalam penguasaan bahasa Inggris.Dalam satu minggu sekali alAwwabin memanggil alumni yang memiliki latar belakang kuliah dari jurusan bahasa
Inggris untuk melakukan pembinaan lebih lanjut terhadap santri. 41
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, pesantren al-Awwabin begitu
menekankan pada pendidikan ilmu alat (kitab kuning) dan ilmu
kemasyarakatan, di antaranya adalah melalui kegiatan muhadhoroh selama
satu minggu sekali.Menurut penulis, aktivitas-aktivitas rutin di pesantren
al-Awwabin sangat membentuk karakter santri, terutama pada aspek tekun
belajar, disiplin, dan bekerja keras. Tentunya hal ini merupakan pondasi
penting bagi santri untuk terus meningkatkan kualitas dirinya dengan
karakter yang sudah terasah secara perlahan melalui pendidikan pesantren.
Selanjutnya, al-Awwabin juga melakukan pemantauan terhadap santri
yang berprestasi untuk diberikan pelajaran tambahan dengan mengkaji
kitab di luar struktur kurikulum untuk menambah pengetahuan dan ilmu
41
Drs. KH. Fathurrohman, MA
53
keagamaannya. Maka, menurut penulis dapat disimpulkan bahwa berbagai
upaya yang sudah dijelaskan di atas dapat direalisasikan dengan baik
apabila seluruh unsur pesantren memiliki komitmen yang kuat untuk terus
mengembangkan pendidikan Islam, serta membentuk karakter bangsa
yang berbudi luhur, dan mampu menjaga tatanan sosial masyarakat.
2. Pencapaian Pendidikan di Pondok Pesantren al-Awwabin
Menurut pengamatan penulis selama melakukan penelitian, pondok
pesantren al-Awwabin Depok memiliki beberapa jenjang pendidikan
formal, di antaranya tingkat MI, MTs, dan MA.Selanjutnya, pada
jenjang pendidikan non formal terdapat madrasah diniyah di dalamnya,
yang memberikan materi-materi tambahan terhadap santri yang belum
begitu menguasai pendidikan pesantren dan disesuaikan dengan
jenjang pendidikannya. Kehadiran madrasah diniyah sangatlah
membantu ketercapaian pendidikan formal di pesantren beserta
rutinitas lainnya, hal tersebut dibuktikan dengan kualitas santrisantrinya secara prestasi akademik maupun akhlaknya, dan ini
merupakan prestasi yang dapat dibanggakan bagi pendidikan Islam
yang belum tentu dapat dicapai pendidikan umum.
Berikut ini hasil wawancara kepada dua orang santri pondok pesantren
al-Awwabin:
Alhamdulillah, terdapat banyak perubahan terutama dalam membaca al-Qur‟an
dengan lancar, lalu menunjukkan akhlakul karimah untuk menghormati guru dan
orang lain dengan baik. Dalam hal mata pelajaran, saya menyukai mata pelajaran
IPS, dan kurang menguasai mata pelajaran matematika.Kemudian, menurut saya
peran guru sangat penting, karena guru yang langsung membimbing kami dalam
membentuk akhlak dengan baik, sehingga ini bisa bermanfaat di dunia dan di akhirat
nanti.Selanjutnya, setelah selesai sekolah di pondok, saya ingin melanjutkan ke
perguruan tinggi, terutama di Tarbiyah.Karena ingin menerapkan ilmu yang di dapat
di pondok pesantren terhadap masyarakat secara luas.Sangat berbeda sekali, santri
seringkali membicarakan soal akhlak, ilmu pengetahuan, dan ini tentunya begitu
bermanfaat. Lalu, di luar pesantren seringkali membicarakan hal yang kurang
bermanfaat yang cukup jauh dari apa yang didapatkan di pondok pesantren. Saran
saya bagi teman-teman, teruslah mengingat Allah, perjuangan Rasul, lalu melakukan
sesuatu yang bermanfaat dan kreatif.Hal ini perlu dilakukan karena banyak sekali
kelompok geng bermotor, dan remaja-remaja yang nakal.Ketika pulang ke rumah,
masyarakat menilai bahwa santri memiliki kelebihan dalam ilmu keagamaan.Ini
54
merupakan kelebihan utama bagi santri yang bisa digunakan untuk memberi manfaat
bagi masyarakat.42
Guru memberikan pengajaran melalui kitab-kitab kuning, seperti menghafal kaidah
nahwu, lalu kemudian disetorkan kepada guru. Kami memiliki kesulitan belajar
apabila tidak mengulang kembali pembelajaran yang diberikan guru, seringkali
merasa lupa dengan apa yang sudah dipelajari sebelumnya. Alhamdulillah selama
menjadi santri banyak sekali perubahan yang dirasakan, seperti lancar membaca alQur‟an, lalu bisa melatih diri untuk berbuat baik kepada masyarakat.Guru
Fathurrahman seringkali membangunkan santri pagi-pagi agar kembali siap belajar,
dan ini membuat kami merasa berkembang lebih baik ke depannya. 43
Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis berkesimpulan bahwa pola
pendidikan di pondok pesantren al-Awwabin Depok cukup efektif dan
dikatakan berhasil membentuk karakter santri melalui berbagai
kegiatan di antaranya muhadhoroh dengan sistem dibagi menjadi
beberapa kelompok, pengajian kitab-kitab secara berkala, kegiatan
belajar mengajar (KBM), serta kegiatan tambahan lainnya. Seluruh
rutinitas pesantren yang telah disebutkan di atas terbukti mampu
membentuk karakter santri, terutama dalam hal kedisiplinan, tekun
belajar, rasa saling menghormati, serta kerja keras. Selanjutnya,
pembentukan karakter santri ini tidak luput dari keteladanan guru,
pimpinan pesantren, dan seluruh unsur lainnya yang tanpa lelah
membimbing santri dengan baik, tidak hanya menyampaikan materi
ajar, tetapi juga memberikan berbagai contoh sikap positif yang bisa
diikuti para santri dalam perilaku kesehariannya. Kemudian, faktor
penting lainnya dalam pembentukan karater santri ialah melalui
rutinitas kegiatan pesantren, yang terdiri dari kegiatan pembelajaran
bermasyarakat atau muhadhoroh, dengan ini santri diberikan bekal
agar bisa berbicara dengan baik di hadapan masyarakat secara santun,
sistematis, dan bermanfaat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
peran
42
pondok
pesantren
sangatlah
penting
untuk
membina
Wawancara pribadi dengan Subhan Mufassir (santri pondok pesantren Al-Awwabin) Depok, 2
Juni 2017
43
Wawancara pribadi dengan Ahmad Sibroh Malisi (santri pondok pesantren Al-Awwabin)
Depok, 9 Fabruari 2010
55
kelangsungan hidup masyarakat melalui kualitas karakter santri-santri
pondok pesantren.
3. Profil Pondok Pesantren Al-Awwabin
Pada tahun 1962, Abuya KH.Abdurrahman Nawi mengadakan
pengajian kitab-kitab kuning yang bersifat non-formal yang bertempat
diruang paviliun rumahnya. Pengajian ini diberi nama As-Salafiah
dengan harapan para jama‟ah dapat mengikuti jejak salafus shaleh
(orang-orang terdahulu yang shaleh) dan pengajian ini bertempat di
kampung Tebet yang sekarang Tebet Barat VI H, Jakarta Selatan.
Pengajian tersebut diikuti oleh banyak kalangan, mulai dari orang tua,
remaja, dan orang-orang dewasa yang datang dari berbagai tempat,
diantarnya: Kebayaoran Lama, Kebayoran Baru, Kebon Baru,
Pengadegan, Bukit Duri, Kampung Melayu, Karang Tengah, Bekasi,
dan para pemuda setempat.
Pengajian atau majlis ta‟lim yang telah dibuka kian terus
berkembang hingga pada tahun 1976 Abuya telah mampu membuka
cabang-cabangnya diberbagai tempat, baik itu di mushola-mushola
atupun di masjid-masjid yang mendapat dukungan dari kalangan
masyarakat luas, ulama, dan umum. Namun, yang namanya perjuangan
tidak lepas dari tantangan dan cobaan, karena majlis ta‟lim yang beliau
bina tersebut mengalami pasang surut.Dan memang telah sunnatullah.
Ada pepatah mengatakan “ kalau tidak lemah bukan manusia, kalau
tidak retak bukan gading”.
Dari pengajian itulah berkembang pemikiran untuk mendirikan
pendidikan formal, guna menolong masyarakat dari belenggu
kebodohan dalam bidang ilmu pengetahuan agama dan ilmu
pengetahuan umum. Pada tahun 1976 Abuya KH. Abdurrahman Nawi
mengajak jama‟ah majlis ta‟lim dan kenalan dekatnya untuk
membangun gedung sekolah permanen dua tingkat di atas tanah milik
pribadinya yang berlokasi di Jalan Tebet Barat VI H, Jakarta Selatan
56
dengan luas tanah seluas 300 m2 ditambah dengan kavling mushola
yang meupakan wakaf dari almarhum orang tua beliau.
Akhirnya
pada
tahun
1979,
tepatnya
pada
hari
minggu
diresmikanlah bangunan itu oleh KH. Idham khalid. Peresmian
tersebut sekaligus dengan peresmian ganti nama dari As-Salafiah
menjadi Al-Awwabin. Dan pada tahun itu pula mulailah penerimaan
murid baru untuk tahun ajaran 1979/1980.Kemudian dari tahun ke
tahun pendidikan itu berjalan dengan pesat hingga sampai tahun
1982/1983. Mengingat banyaknya calon santri yang berminat mukin di
pesantren Al-Awwabin Tebet, Sedangkan kapasitas tempat yang ada
tidak menampung dan dilahan sekitarnya telah padat ditempati rumahrumah penduduk, serta tidak mungkin lagi memperluas lokasi disekitar
pesantren Al-Awwabin Tebet. Maka dengan demikian terpaksa Abuya
KH.Abdurrahman Nawi mengambil kebijaksanaan untuk mencari
lokasi yang tepat bagi pendidikan.Maka dengan izin Allah, Abuya
sebagai pimpinan umum pondok pesantren Al-Awwabin mendapatkan
lokasi yang tepat dan beliau membebaskan sebidang tanah yang
terletak di kampung.Sengon, Kelurahan Pancoran Mas, Depok yang
dijadikan cabang pondok pesantren Al-Awwabin I dengan luas tanah
sekitar 4200m2 dengan harga Rp.20.000/m2.
Abuya KH. Abdurrahman Nawi sengaja mengambil tempat di
daerah Depok mengingat di daerah ini masih kurang sekali lembaga
pendidikan Islam apalagi pondok pesantren.Sedangakan lemabaga
pendidikan Islam khususnya pondok pesantren sangat di butuhkan
sekali oleh kaum muslimin untuk memberantas kebodohan dan
mempersiapkan generasi Islam yang memahami serta menggali
hukum-hukum Islam dari kitab-kitab kuning.
Pada pertengahan tahun 1982/1983 dimulai peletakan batu pertama
yang disaksikan oleh ribuan umat muslim yang terdiri dari para ulama,
habaib, dan para pejabat pemerintahan setempat. Akhir tahun 1982
masuk tahun 1983 telah selesai bangunan lima lokal dan satu asrama,
57
pada saat itu pula diresmikan oleh KH. Dr. Idham Khalid dan pejabat
pemerintah setempat serta dinyatakan kedudukan pondok pesantren
Al-Awwabin cabang Depok. Pada tahun 1983/1984 mulai menerima
murid baru untuk tingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah
Aliyah (MA), dan mukim (untuk para santri mukim).Pondok pesantren
Al-Awwabin merupakan pondok pesantren pertama dikota Depok
untuk wilayah Pancoran Mas.
Tahun demi tahun pondok pesanten Al-Awwabin semakin
berkembang. Pada tahun 1987/1988 kembali membuka Madrasah
Ibtidaiyah (MI) hingga sampai pada tahun ajaran 1991/1992 telah
sampai pada kelas IV MI. Asal usul santri pondok pesantren berasal
dari wilayah antara lain Jambi, Kalimantan, Padang, Jakarta, Bogor,
Tangerang, Bekasi dan masyarakat sekitar pondok pesantren itu
sendiri.
Abuya KH. Abdurrahman Nawi bercita-cita ingin mengembangkan
pesantren dengan membuka pondok pesantren di berbagai tempat
dengan tujuan memelihara syiar Islam.Perkembangan selanjutan,
Abuya mengembangkan dakwah beliau dengan mendirikan pondok
pesantren yang masih satu kota/wilayah Depok, yaitu di Jalan H.
Sulaiman No. 12 desa Perigi, Kelurahan Bedahan Kecamatan
Sawangan, Depok.Awal sejarahnya bermula ketika beliau ingin
mendirikan pondok pesantren Al-Awwabin cabang II di daerah Sasak
Panjang, Bojong Gede, Bogor (5 km dari Bedahan).Karena di Sasak
Panjang sudah ada pondok pesantren yang didirikan oleh H. Jaini,
akirnya Abuya KH. Abdurrahman Nawi mencari tempat yang lain
dengan maksud melebarkan dakwah Islam. Setelah beliau mencari-cari
lokasi, akhirnya beliau mendapatkan lahan untuk membangun
pondoknya di desa Perigi, Kelurahan Bedahan Kecamatan Sawangan,
Depok. Beliau membebaskan tanah tersebut pada tahun 1989 seluas
1600 m2 dan kemudian berkembang sampai sekarang manjadi seluas
2,5 ha.
58
Pada tahun 1989 pesantren Al-Awwabin mulai membangun
sekolah dan asrama.Untuk pembukaan tahun ajaran pertama pada
tahun 1993 untuk tingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah
Aliyah (MA) juga mukim (bagi para santri yang mukim). Pondok
pesantren Al-Awwabin II cabang Bedahan, diperuntukan bagi
santriwati
saja,
dan
pembangunan
pesantren
ini
akan
terus
dikembangkan. Harapan Abuya KH. Abdurrahman Nawi adalah
semoga pondok pesantren Al-Awwabin akan terus melebarkan
sayapnya dengan membuka pondok pesantren di berbagai tempat dan
wilayah untuk memelihara syiar Islam. Sejak saat itulah kegiatan
kepesantrenan berjalan secara rutin.Adapun kegiatan rutin di pesantren
tersebut bertujuan untuk membentuk pribadi santri yang memiliki
kecakapan mental, spiritual dan intelektual.
Di samping itu juga kegiatan rutin tersebut membekali para santri
dengan beberapa keterampilan baik dalam bidang teknologi,
keorganisasian dan ketangkasan dalam menyampaikan gagasan
dimuka umum yang semuanya itu dibutuhkan kelak ketika terjun
kedalam masyarakat. Dimana dengan harapan bagi santri dikemudian
hari menjadi kader-kader dakwah di tengah-tengah masyarakat yang
melanjutkan tongkat estafet perjuangan dan peran Abuya dalam syiar
Islam.
g. Struktur Organisasi
Struktur organisasi atau struktur kepengurusan di pondok pesantren
Al-Awwabin adalah sebagai berikut:
1) Pimpinan umum
: Abuya KH. Abdurrahman Nawi
2) Wakil pimpinan umum
: Ust. Drs. Ahmad muchtar
3) Sekretaris
: Ustz. Zakiyah
4) Bendahara
: Ustz. Hj. Busyroh
5) Pimpinan bidang pendidikan
: Ust.Drs.Ahmad muchtar
6) Pimpinan bidang pesantren I
: Ust. Drs H.Fatchurrahman, MA
7) Pimpinan bidang pesantren II
: Ustz.Diana Rahman
59
Stuktur organisasi dan pengurusan pondok pesantren Al-Awwabin dari
dulu hingga sekarang tidak ada batas waktu penjabatan jadi tetap sama
pemegang jabatannya.
1. Visi dan Misi Pondok Pesantren Al-Awwabin
a. Visi Pondok Pesantren Al-Awwabin
Visi dari pondok pesantren Al-Awwabin adalah menjadi pondok
pesantren progresif dan berkualitas dambaan umat pilihan masyarakat.Hal
ini dikarenakan pondok pesantren Al-Awwabin merupakan pondok
pesantren progresif dalam arti pondok pesantren yang berkelanjutan untuk
memberikan pola pendidikan agama maupun umum yng berlandaskan imtaq
(iman dan takwa).
b. Misi Pondok pesantren Al-Awwabin
Misi dari pondok pesantren Al-awwabin itu sendiri antara lain:
1. Pola pendidikan yang Islami.
2. Ikut memperoses dalam meningkatkan jumlah ragam sepesialis
keilmuan, institut-institut sosial dan fungsional antar lain: penguasan
bahasa Arab, penguasan metode dakwah, penguasaan ilmu-ilmu
agama, penguasaan ilmu-ilmu sosial.
3. Menyiapkan generasi Islam yang bewawasanIPTEKberlandaskan
IMTAQ dan membentuk generasi Islam yang aktif, kreatif, dan
inovatif.
4. Menumbuh kembangakan semangat berprestasi baik dalam bidang
akademis maupun non-akademis.
2. Peran Abuya KH. Abdurrahman Nawi dalam Mengembangkan
Pendidikan Islam
Pengembangan masyarakat yang bermuara pada peningkatan tarap
hidup dan kesejahteraan masyarakat dengan pendekatan kebutuhan dan
permasalahan masyarakat sebagai subyek atau obyek, sedangkan
kebutuhan
masyarakat
itu
selalu
berkembang
dan
permasalahan
60
masyarakat pun hampir tidak pernah absen di semua lapisan masyarakat,
baik secara moril mau pun materiil.
Dengan adanya pesantren sebagai lembaga pendidikan dan
lembaga sosial keagamaan yang pengasuhnya juga menjadi pemimpin
umat dan menjadi sumber rujukan umat dalam memberikan legitimasi
terhadap tindakan warganya, sudah barang tentu mempunyai dasar pijakan
yang bersifat keagamaan dalam melakukan tindakannya, terutama jika itu
dianggap ''baru" oleh masyarakatnya. Hal tersebut, karena watak pimpinan
keagamaan dan rnasyarakat pendukungnya yang fiqih oriented selalu
meletakkan kegiatan yang dilakukan dalam pola hitam-putih atau salahbenar menuntut hukum Islam.
Salah satu kegiatan yang dianggap baru menurut kalangan
masyarakat pesantren adalah pengembangan masyarakat, setidaknya kalau
dilihat secara kultural dari misi utama pesatren, serta porsi kegiatannya
secara global, dalam bidang pendidikan. Sedangkan pengembangan
masyarakat, meskipun selama ini sudah dilakukan, hanya bersifat
sporadis.Kegiatan pengembangan masyarakat belum dilakukan pesantren
secara kelembagaan, di samping tanpa disertai visi yang jelas, serta
perangkat pendukungnya yang memadai.
Perbedaan watak antara pndidikan non forrmal (pesantren) dan
formal (sekolah) terlihat secara jelas. Diantara yang menonjol adalah
Pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin, sebagai lembaga tarbiyah,
sebagai lembaga sosial sebagai gerakan kebudayaan dan bahkan sebagai
kekuatan politik -meskipun sampai sekarang rnasih disebut lembaga
tradisional- mempunyai ciri dan watak yang berbeda dengan lembagalembaga lainnya, termasuk sekolah
Bila perguruan tinggi aksentuasinya lebih ke pengajaran maka
pesantren aksentuasinya lebih pada pendidikan. Bila perguruan tinggi
berorientasi langsung pada lapangan kerja sesuai pesanan industri atau
paling tidak mengantisipasi keperluan industrialisasi -di mana hal ini
memang merupakan potensi dan kekuatan dari sudut kemudahan karier,
61
tetapi sekaligus merupakan kelemahan dari sudut konsumtivisme mental,
daya juang dan kreativitas menciptakan lapangan kerja- maka sebaliknya
pesantren tidak berorientasi langsung pada lapangan kerja.
Pesantren di samping merupakan lembaga pendidikan dan
keilmuan, ia sekaligus juga merupakan lembaga moral. Ilmu di pesantren
mengacu pada pembentukan moral dan akhlaq karimah. Seluruh proses
belajar para santri berpusat pada pengenalan, pengakuan, kesadaran, dan
keagungan Allah SWT dan akhlaq karimah yang terkait secara dialektis,
kohesif dan terus menerus dengan seluruh mekanisme belajar para santri.
Ini semua berbeda dengan perguruan tinggi yang membatasi diri
sebagai institusi keilmuan dan intelektual, dan tidak bertanggung jawab
langsung dalam soal moral. Dosen tidak berkewajiban terhadap akhlaq,
kecuali sekadar komitmen pribadi atau etika sosial dalam arti
umum.Mahasiswa hanya didorong secara terencana untuk menjadi orang
pandai dan intelek. Atau malahan hanya menjadi penghafal, karena
kelulusan ujiannya lebih banyak ditentukan oleh sejauh mana ia menghafal
literatur, bahan kuliah dan referensi yang diwajibkan. Perguruan tinggi
memberikan kebebasan atau demokratisasi ilmiah untuk mengakui,
menyadari dan menghayati atau tidak, akan keagungan Allah dan akhlaq
karimah.
Berdirinya pondok pesantren Al-Awwabin Depok yang dapat
dilihat dalam dua bentuk, yang pertama adalah dalam bentuk kelembagaan
dan yang kedua adalah dalam bentuk ide serta gagasan beliau yang
berkaitan dengan pengembangan pendidikan Islam di pondok pesantren
Al-Awwabin
Depok.
Adalah
bukti
baku
peran
Abuya
dalam
mengembangkan pendidikan Islam dan sebagai wadah untuk menyalurkan,
merealisasikan ide dan gagasan beliau yang akan dibahas dibawah ini serta
sebagai bukti kecerdasan beliau dalam memenuhi kebutuhan masyarakat
dalam keseimbangan pendidikan, karena dua lembaga tersebut mempunyai
perbedaan yang amat jelas dan keduanya dibutuhkan oleh masyarakat.
62
3. Kelembagaan
Dalam mengembangkan pendidikan Islam Abuya telah mendirikan dua
buah lembaga pendidikan, yakni lembaga pendidikan formal (sekolah)
maupun lembaga pendidikan non formal (pondok).
a.
Lembaga Pendidikan Formal
Jengjang pendidikan formal yang diadakan di pondok pesantren AlAwwabin I oleh Abuya mulai dari tingkat MI (Madsarah Ibtidaiyyah),
MTs (Madrasah Tsanawiyah), dan MA (Madrasah Aliyah).Berbeda
halnya dengan Al-Awwabin I, Al-Awwabin II selaku cabang hanya
menyediakan jenjang pendidikan dari tingkat MTs hingga MA.
Al-Awwabin I sebagai pusat bertempat di Jl. Raya Sawangan No. 21
Kecamatan Pancoran Mas kota Depok, sedangkan Al-Awwabin II yang
merupakan cabang dari Al-Awwabin I bertempat di Jl. H. Sulaiman No.
12 Kecamatan Sawangan kota Depok.
Berikut daftar siswa yang menuntut ilmu di pondok pesantren AlAwwabin:
Tabel 1.4
Daftar Siswa pondok pesantren Al-Awwabin I
No.
Kelas
Rombel
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
1.
VII
2
23
35
58
2.
VIII
2
27
22
49
3.
IX
2
38
22
60
4.
X
2
25
20
45
5.
XI
2
24
28
52
6.
XII
1
Jumlah Seluruh Siswa
38
302
63
Tabel 1.5
Daftar Siswa pondok pesantren Al-Awwabin II
No.
Kelas
Rombel
Perempuan
Jumlah
1.
VII
1
27
27
2.
VIII
1
25
25
3.
IX
1
42
42
4.
X
1
25
25
5.
XI
1
25
25
6.
XII
1
23
23
Jumlah Seluruh Siswa
Pada
tahun
1999
MTs
Al-Awwabin
167
mendapat
predikat
DISAMAKAN, kemudian pada tahun 2007 predikat ini pun berubah
menjadi Akreditasi B, dan terakhir pada tahun 2011 MTs Al-Awwabin
meraih predikat yang lebih baik yaitu Akreditasi A. Sedangkan untuk
tingkat MA yang sebelumnya berstatus DIAKUI pada tahun 2012
mendapat predikat Akreditasi A. Kurikulum yang digunakan oleh
sekolah mengikuti kurikulum yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Diantaranya adalah kurikulum KBK, KTSP dan K13.
Di sekolah ini selain disediakan untuk para murid yang bermukim
(santri), tetapi disediakan pula untuk mereka para murid yang pulang
pergi.Hal ini dilakukan dengan harapan agar murid yang pulang pergi
pun dapat mempelajari pelajaran agama Islam secara baik, dengan
diiringi materi pelajaran agama yang lengkap.Salah satu program
keIslaman yang dimasukkan dalam mata pelajaran adalah ilmu
nahwu.Ilmu nahwu menjadi salah satu muatan lokal untuk setiap
tingkatan kelas baik MTs, maupun MA.
Sarana dan prasarana di sekolah ini sudah terbilang lengkap, seperti
adanya lab komputer, lab IPA, kantin, perpustakaan, tempat ibadah,
64
tempat olah raga, dan ruang OSIS. Ekstrakulikuler yang ditawarkan
sekolah pun cukup menarik minat para murid, seperti: drum band,
marawis, pramuka, muhadhoroh (pengkaderan muballigh), BTQ (baca
tulis qur‟an), bulu tangkis, basket, futsal, paskibra, dan kaligrafi. Hal ini
diadakan demi mengasah kreatifitas serta keaktifan murid dan juga
sebagai sarana untuk mencari bakat yang dimiliki para murid.
b.
Lembaga Pendidikan Non Formal
Pendidikan non formal yang dibentuk Abuya yakni dengan
mendirikan pondok pesantren Al-Awwabin yang beliau pimpin sendiri,
adapun kegiatan belajar mengajar yang beliau lakukan di pesantren ini
diselenggarakan setiap hari, kecuali pada waktu tertentu ketika kegiatan
belajar mengajar itu berada di luar kegiatan pesantren. Waktu-waktu
yang ditetapkan oleh Abuya dalam pelaksaan kegiatan belajar ini yakni
seusai sholat subuh dari pada pukul 05.30 sampai 06,15, dilanjutkan
sehabis sholat ashar pukul 16.15 sampai 17. 15 dan terakhir pada malam
hari pukul 19.00 sampai 20.15.
Untuk pendidikan pesantren Abuya mengklasifikasi kitab untuk para
santri sesuai dengan tingkat kemampuan dan kelas mereka. Adapun
pembagian tingkatan kelas ini Abuya mengadopsi sistem yang berada di
pendidikan formal yakni:
1) Tingkatan Ula (MI)
Untuk tingkat ini belum begitu banyak diberikan materi kitab
yang sulit, mengingat usia pada tingkatan ini masih terbilang usia
anak-anak yang masih ingin bermain. Dalam mensiasati hal
demikian Abuya lebih menekankan mereka untuk menghapal
tidak dengan memberikan pelajaran-pelajaran yang sulit untuk
mereka serap, karena menurut Abuya usia seperti ini adalah usia
emas untuk menghapal pelajaran dengan harapan apa yang telah
mereka hapal pada tingkatan Ula ini terus mereka ingat hingga
mereka dewasa. Adapun daftar rincian pelajaran yang dipelajari
pada tingkatan Ula ini sebagai berikut:
65
Tabel 1.6
Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri MI
Hari
Waktu
Pagi
Sore
Malam
Senin
Tahfidz Qur‟an
Mahfuzhat
Al-Qur‟an
Selasa
Tahfidz Qur‟an
Khot
Fiqih
Rabu
Tahfidz Qur‟an
Mahfuzhat
Ubudiyyah
Kamis
Mahfuzhat
Shorof
Yasin & Tahlil
Jumat
Tauhid
Mahfuzhat
Al-Qur‟an
Sabtu
Tahfidz Qur‟an
Al-Qur‟an
Muhadhoroh
Minggu
Bhs. Arab
Shorof
Tajwid
2) Tingkatan Wustho (MTs)
Pada tingkatan ini dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu
Fashlul Awwal (1 MTs), Fashlul Tsani (2 MTs), dan Fashlul
Tsalis (3 MTs). Mata pelajaran yang diajarkan pun berbeda sesuai
dengan tingkatan kelas mereka.
Pada Fashlul Awwal, sistem kitab yang diberikan masih
menggunakan kitab yang berharokat/bersyakal yang dibacakan
dan diartikan oleh para guru yang mengajar. Santri hanya
menyimak dan mencatat apa yang telah disampaikan guru serta
menghapal
beberapa
kitab
yang
menjadi
dasar
dalam
pengembangan kitab selanjutnya. Adapun daftar rincian pelajaran
yang dipelajari pada Fashlul Awwal ini sebagai berikut:
Tabel 1.7
Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 1 Mts
Hari
Waktu
Pagi
Sore
Malam
Senin
Tahfidz Nahwul Wadhi
Tauhid & Akhlaq
Tahfidz Qur‟an
Selasa
Tahfidz nahwul Wadhi
Mattan Safinah
Tahfidz Mahfudzat
66
Rabu
Nahwu Melayu
Khulasoh
Tahfidz Mahfudzat
Kamis
Tahfidz Qur‟an
Akhlaq
Yasin & Ratib
Jumat
Khot
Bhs.arab
Shorof
Sabtu
Bhs.arab
Ubudiyah
Muhadoroh
Minggu
Mufrodat
Qowaid Nahwiyah
Tajwid
Kemudian pada Faslul Tsani, mulai dikenalkan pelajaran
kitab-kitab nahwu dan shorof sebagai dasar tata cara membaca
kitab yang berbahasa Arab. Mengingat bahwa sumber ilmu Islam
berpacu kepada Al-qur‟an dan hadits yang tidak mungkin
dipahami
kecuali
dengan
bekal
kedua
cabang
ilmu
tersebut.Adapun daftar rincian pelajaran yang dipelajari pada
Fashlul Tsani ini sebagai berikut:
Tabel 1.8
Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 2 Mts
Hari
Waktu
Pagi
Sore
Malam
Senin
Tahfidz Nahwul Wadhi
Khulasoh
Tahfidz Qur‟an
Selasa
Tasrif
Mahfudzat
Shorof
Rabu
Tauhid & Akhlaq
Nahwul Wadhi
Qiroatul Qur‟an
Kamis
Jurumiyah
Mattan Safinah
Yasin & Ratib
Jumat
I‟rob
Akhlak & Tauhid
Bhs.arab
Sabtu
Tahfidz mahufdzat
Mattan Jurumiyyah
Muhadoroh
Minggu
Mufrodat
Qowaid Nahwiyah
Tajwid
Selanjutnya pada tingkatan wusto yang terakhir yaitu Faslul
Tsalis, sudah mulai menggunakan sebagian kitab klasik tanpa
harokat. Kemudian pada saat proses pembelajarannya pun santri
sudah sedikit-sedikit menerapkan teori ilmu nahwu dan shorof
yang mereka sudah pelajari dan mereka hafal di kelas
sebelumnya. Dengan cara memberi syakal sendiri pada kitab
67
mereka kemudian belajar menjelaskan hukum pada baris kalimat
menurut kaidah ilmu nahwu dan shorof.
Adapun daftar rincian pelajaran yang dipelajari pada Fashlul
Tsalis ini sebagai berikut:
Tabel 1.9
Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 3 Mts
Hari
Waktu
Pagi
Sore
Malam
Senin
Tauhid &Akhlaq
I‟rob & I‟lal
Tahfidz Qur‟an
Selasa
Nadzom Imriti
Nahwul Wadhi
Nahwul Wadhi
Rabu
Muhktasor Jiddan
Khulasoh
Tahfidz Qur‟an
Kamis
Tasrif
Khat
Yasin & Ratib
Jumat
I‟lal & I‟rob
Lughotu Takotub
Tahfidz Nahwul Wadhi
Sabtu
Kaylani & Tahfidz Imriti
Safinah & Imriti
Muhadoroh
Minggu
Mufrodat
Qowaid Nahwiyah
Tajwid
3) Tingkatan Ulya (MA)
Pada tingkatan ini pun dibagi kedalam tiga kelas sama halnya
dengan tingkat Wusto, perbedaannya yaitu kelas pada tingkat ini
adalah kelas lanjutan dari tingkatan sebelumnya, yakni Fashlul
Robi‟ (1 MA), Fashlul Khomis (2 MA), dan Fashlul Sadis(3
MA).Jadi apabila ada santri yang baru masuk kelas 1 MA di
sekolah tidak bisa mengikuti pelajaran yang ada di kelas 1 MA
dalam pengajian. Akan tetapi diadakan tes terlebih dahulu demi
kesamarataan kompetensi yang dimiliki santri, jika memang santri
baru ini belum mempunyai bekal sama sekali, mereka pun wajib
mengikuti kelas dasar yaitu Fashlul Awwal.
Pada Fashlul Robi‟, proses pembelajarannya sudah banyak
menggunakan kitab tanpa harokat. Para santri pun diharapkan
sudah mampu mengetahui kaidah-kaidah ilmu nahwu dan shorof
dalam membaca dan menterjemahkan kitab mereka.
68
Adapun daftar rincian pelajaran yang dipelajari pada Fashlul
Robi‟ ini sebagai berikut:
Tabel 2.0
Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 1 MA
Waktu
Hari
Pagi
Sore
Malam
Senin
I‟lal & I‟rob
Kawakib
Qiroah Arrasidah
Selasa
Kaylani
Nahwul Wadhi & Tijan
Tahfidz Lubabul Hadits
Rabu
Annasoih
Mattan takrib
Akhlaq
Kamis
Muhktasar Jiddan
Muhktasar Jiddan
Yasin & Ratib
Jumat
Tanqihul Qoul
Khulasoh
Khat
Sabtu
Kaylani
Tahfidz Jurumiyah
Muhadoroh
Minggu
Mufrodat
Qowaid Nahwiyah
Tajwid
Selanjutnya pada Fashlul Khomis dan Fashlul Sadis, kitab
yang
digunakan
sudah
pengembangan
dari
kitab-kitab
sebelumnya serta mengkaji cabang ilmu yang tidak ada pada
kelas
sebelumnya
dengan
maksud
mengenalkan
bukan
menguasai.Dengan bermodalkan pengetahuan ilmu alat yang
cukup mumpuni, maka tak begitu sulit bagi para santri Fashlul
Khomis dan Fashlul Sadis untuk menelaah ilmu yang berada di
dalam kitab yang mereka pelajari.Serta pada tahapan ini, santri
dapat belajar langsung dengan Abuya KH.Abdurrahman Nawi
sebagai guru besar pondok pesantren Al-Awwabin. Dengan
carasantri membaca kitab mereka secara mandiri yang dibimbing
oleh Abuya.
Adapun daftar rincian pelajaran yang dipelajari pada Fashlul
Khomis dan Fashlul Sadis ini sebagai berikut:
69
Tabel 2.1
Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 2 MA
Waktu
Hari
Pagi
Sore
Malam
Senin
Bulughul Maram
Tijan
Tahfidz Nahwul Wadhi
Selasa
Qiroah Arrasidah
Fathul Qorib
Mudzakaroh
Rabu
Diniyah
Mabadi Awwaliyah
Nurul Yaqin
Kamis
Fathul muin
Tahfidz Qur‟an
Yasin & Ratib
Jumat
Al-fiyah
Tafsir
Khat
Sabtu
Balagoh
Tasrif
Muhadoroh
Minggu
At-tibbyan
Qowaid Nahwiyah
Tajwid
Tabel 2.2
Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 3 MA
Waktu
Hari
Pagi
Sore
Malam
Senin
Bulugul Marom
Mantiq
Tahfidz Jurumiyyah
Selasa
Minhatul Mugits
Muhktasor Jiddan
Tahfidz Al-fiyyah
Rabu
Ta‟limu taallim
Bulugul Marom
Husunul Hamidiyah
Kamis
Fathul Muin
Tahfidz Qur‟an
Yasin & Tahlil
Jumat
Mabadi Awwaliyah
Tafsir
Khat
Sabtu
Tasrif
At-tibyan
Muhadoroh
Minggu
ilmuArud
Qowaid Nahwiyah
Al-Qur‟an
Daftar pelajaran diatas menunjukkan bahwasanya Abuya KH.
Abdurrahman Nawi memiliki peran yang penting dalam mengembangkan
pendidikan Islam di pesantren Al-Awwabin Depok, dengan meletakan
pelajaran sesuai dengan porsi tingkat perkembangan dan kemampuan
para santri, hal ini dapat membantu dan memudahkan para santri dalam
mengetahui imu keIslaman dengan cara bertahap-tahap.
2. Ide dan Gasasan
Dalam mengembangkan pendidikan Islam, tentunya diperlukan sebuah
visi dan misi yang melahirkan beberapa ide dan gagasan agar pendidikan
70
Islam semakin maju dan tujuan pendidikan Islam terealisasikan dengan baik.
Dengan adanya pola pengembangan tersebut, santri tidak hanya paham akan
ilmu agama, melainkan santri juga memiliki keterampilan yang apik.
Keterampilan yang dimaksud adalah keterampilan yang bernuansa Islami
karena para santri tidak hanya dituntut untuk mampu memainkan peran
mereka dalam dunia dakwah, melainkan santri juga mampu bertahan hidup di
dalam arus tuntutan zaman. Ide dan gagasan beliau tersebut adalah bukti
bahwa beliau menyadari bahwa pesantren adalah miniatur dari kehidupan
kecil bagi kehidupan bermasyarakat secara luas.Ide dan gagasan Abuya KH.
Abdurrahman Nawi dalam mengembangkan pendidikan Islam ini antara lain:
a.
Membentuk Organisasi Santri
Yaitu dengan membentuk organisasi santri seperti IKSAD dan
OPPTA. IKSAD (Ikatan Santri Al-Awwabin Depok) dan OPPTA
(Organisasi Perempuan Pesantren Terpadu Al-Awwabin) ini dibentuk
pada tahun 1993 dengan tujuan untuk melatih para santri dalam
bersosialisasi, kerjasama antara satu dengan yang lainnya dan melatih
mereka dalam menyelesaikan masalah. Adapun Visi dan Misinya adalah
sebagai organisasi yang berorientasi pada pemberdayaan potensi, bakat,
dan minat santri Al-Awwabin, sehingga pada gilirannya mampu
melahirkan kontribusi berarti bagi pengembangan dan kemajuan pondok
pesantren pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Berikut
merupakan struktural organisasi IKSAD dan OPPTA:
IKSAD Masa Abdi 2016-2017
Ketua
: Muhammad Adam Kholid
Wakil Ketua
: Ahmad Hudzaifi Adnan
Sekretaris
: Nur Akbaruddin Aziz
Bendahara
: Muhammad Maula Rahman
Seksi Pendidikan
: Erri Luthfi T.W
Seksi Dakwah
: M. Wildan Hadziq
Seksi Kesenian
: M. Dimas Sholahuddin
71
Seksi Kesehatan
: Wisnu Hariyadi
Seksi Keamanan
: Syukri Ramadhani
Seksi Humas& Keperpustakaan
: Miftah Sururi
Seksi Ubudiyah
: Subhan Muyassir
Seksi Kebersihan
: Ujang Afan Maulana
Seksi Olahraga
: Ghazy Muhammad Syamil
OPPTA Masa Abdi 2016-2017
Ketua
: Rizka Amelia
Wakil Ketua
: Annisa Trimelinda
Sekretaris
: Siti Sarah Chairunnida
Bendahara
: Nur Khofifah
Seksi Pendidikan
: Sahlatul Ula
Seksi Dakwah
: Qhotrun Nada
Seksi Keamanan
: Tsubaitul Fitria
Seksi Olahraga
: Karimah Vie H
Seksi Humas
: Catur Amelia K
Seksi Ubudiyah
: Khoirunnisa
Seksi Kebersihan
: Nurul Apriyani
Sedangkan untuk para alumni Abuya pun membentuk organisasi
yang diberi nama IKAAD. IKAAD (Ikatan Alumni Al-Awwabin Depok)
ini didirikan pada tahun 2003 dengan tujuan sebagai wadah untuk
menjalin interaksi lintas generasi dan silaturahmi alumni pesantren AlAwwabin, hal ini dilakukan untuk memperkuat hubungan antara murid
dan guru. Adapun struktural organisasi IKAAD sebagai berikut:
IKAAD Masa Abdi 2014-2017
Ketua
: Ust. Zulcham Mushlihun, S.S.I
Wakil Ketua
: Ust. Abdurrahman, S.pd
Sekretaris
: Ahmad Munir, S.Sy
: Yuda Narito
72
Bendahara
: Faizah Salsabila
: Qurrotul Uyun
Divisi Kaderisasi
: M. Haidir Al-karomi
Divisi Litbang dan Intelektual
: Zaim Najibuddin Rahman
Divisi Humas
: Agus Khairuddin, S.Ag
Divisi Ekonomi
: Lukman Hakim
Divisi Pengembangan Minat,
Bakat & Hobi Alumni
: Charry Dwi Manfaat
Program-program IKAAD yang telah diadakan pun cukup menarik
perhatian alumni khususnya dan masyarakat luas secara umum,
diantaranya seperti: mengadakan pengajian alumni mingguan yang
dipimpin oleh musyrif (lurah pondok) KH. Fathurrahman, MA.,
mengadakan penngajian bulanan alumni yang dipimpin langsung oleh
Abuya KH. Abdurrahman Nawi serta guru-guru yang lain, mengadakan
acara tahunan yang dilakukan secara rutin yaitu santunan yatim dan
muharroman untuk para santri, mengadakan pelatihan perhitungan awal
bulan hijriah serta pengijazahan hadits musalsal yang di pimpin oleh
Prof. Dr. Yusuf Hidayat, MA. Hal ini bertujuan untuk mewadahi para
alumni khususnya dan masyarakat luas secara umum untuk meneruskan
pendidikan agama dan mempertahankan akidah ahlussunnah wal jamaah
yang sangat dijunjung oleh beliau.
b.
Mendirikan Saluran Radio Islam
Abuya tidak menutup mata melihat perkembangan teknologi yang
mempengaruhi pergerakan masyarakat dalam menimba ilmu agama yang
sudah berbeda pada era globalisasi seperti sekarang ini maka beliau
berkeinginan untuk mensyiarkan agama Islam lebih jauh lagi dengan
membangun sebuah saluran radio, mengingat saluran radio ini bisa
diakses oleh siapapun dan kapanpun orang mau. Saluran radio ini
merupakan bentuk usaha yang dilakukan Abuya untuk memperluas serta
memperkembangkan pendidikan Islam sampai ke masyarakat.
73
Saluran radio ini diberi nama RIDA FM (Radio Islamic Dakwah AlAwwabin) dengan gelombang 98,5 FM sebagai sarana penyiaran dakwah
Islam. Rida ini dibangun pada tanggal 9 Agustus 2007, Kata rida diambil
dari bahasa Arab yang berarti, “selendang”.Selendang ini memiliki
beberapa fungsi diantara mampu menutupi serta melindungi tubuh kita
ketika kondisi panas maupun hujan, dan mampu memperindah diri kita
dalam berbusana.Begitu pun yang diharapkan oleh Abuya, semoga RIDA
FM menjadi benteng akidah yang mampu membekali dan menangkal
paham-paham yang melenceng untuk umat Islam.
Di dalam membangun RIDA ini, niat Abuya murni untuk
menyebarkan agama Islam lebih jauh lagi sehingga mereka yang berada
diplosok pun mampu mengkaji tentang agama Islam lewat saluran radio.
Hal ini dibuktikan dengan tiadanya iklan komersil yang diselipkan di
radio ini, yang ada hanya pengajian santri yang di pimpin langsung oleh
Abuya dan guru-guru lainnya, lagu-lagu Islami, dan ceramah-ceramah
agama yang mampu mengejukkan hati.
Adanya saluran radio ini pun dapat dimanfaatkan untuk melatih
kemampuan para santri dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan
baik kepada orang lain agar mereka terbiasa menggunakan tata bahasa
yang sopan dan teratur serta memberikan pengalaman kepada para santri
tentang dunia penyiaran.
Respon masyarakat pun sangat baik mengingat sudah sangat sedikit
media yang mensyiarkan agama Islam dengan seutuhnya pada saat
ini.Program-program yang diadakan RIDA ini mampu mencuri hati para
penikmatnya, seperti: jumpa fans RIDA yang diadakan tiap bulan,
silaturahmi rutin kerumah Abuya KH. Abdurrahman Nawi, ziarah ke
para wali nusantara, serta pengajian subuh gabungan.
c.
Mengasah Bakat Santri
Dalam mengasah bakat para santri ini, Abuya memfasilitasinya
dengan mengadakan kesenian marawis, hadroh, kaligrafi, qosidah rebana,
tari saman, seni kaligrafi, dan tahsin Al-qur‟an. Manfaat dari pengasahan
74
bakat ini adalah agar santri memiliki ragam kesibukan, tentu kesibukan
yang dimaksud disini adalah agar santri memiliki ragam kegiatan yang
bermanfaat, mengingat banyaknya kenakalan yang dilakukan remaja
serta bosannya mereka dalam belajar menjadi salah satu penyebabnya
adalah kurang terkontrolnya waktu luang mereka sehingga mereka
memanfaatkan waktu luang tersebut untuk kegiatan yang kurang
bermanfaat.
Berbeda dengan program kegiatan-kegiatan yang lain, program
kegiatan tahsin Al-qur‟an terbilang program baru.Program ini pertama
kali diadakan pada tahun 2011 dan masih terlaksana hingga sekarang.Hal
ini diadakan untuk membekali santri dengan bacaan Al-qur‟an yang
bagus sehingga seminimal-minimalnya mereka mampu mengajarkan Alqur‟an bahkan mampu mendirikan semacam TPA.Selain itu agar
membiasakan para santri untuk membaca Al-qur‟an dengan tajwid dan
makharijul huruf yang benar. Sebagaimana sesuai dengan firman Allah
SWT:
 
Artinya: “Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan”. (Q.S.
Al-Muzammil:4)
Pengasahan
bakat
ini
perlu
digali
agar
santri
mampu
mengembangkan potensi yang mereka miliki. Usaha lain yang dilakukan
Abuya dalam pengasahan bakat ini adalah mengikut sertakan para santri
dalam berbagai macam lomba. Salah satunya adalah lomba festival
marawis, terbukti para santri pun mampu menjuarai lomba ini
diantaranya:
1. Juara 1 marawis se-JABODETABEK, pondok pesantren Qotrun
Nada pada tahun 2008.
2. Juara 1 marawis tingkat umum se-Jakarta Selatan, yayasan Islam
Annuriyah pada tahun 2006.
75
3. Juara 1 marawis ABBAD 06, ikatan jurusan bahasa Arab, FIB
Universitas Indonesia.
4. Juara 1 marawis se-windu, pondok pesantren Qotrun Nada, pada
tahun 1425 H.
5. Juara 1 marawis pekan raya bahasa dan seni Arab, BEM J PBA
FITK UIN Jakarta, pada tahun 2006.
6. Juara 1 festival marawis gebyar muharrom, pondok pesantren AlHidayah pada tahun 2005.
7. Juara 1 marawis pekan muharrom 1428 H, PHBI dan Sie. bidang
sosial yayasan masjid Ar-rahman Depok 2007.
8. Juara 1 festival marawis, WAPRES RI CUP VI dan Fauzi Bowo
CUP pekan nasional, pada tahun 2006.
9. Juara 2 festival marawis pondok pesantren Al-Karimiyah Depok,
pada tahun 2006.
10. Juara 2 festival marawis se-JABODETABEK, pada tahun 2005.
Manfaat dari mengikut sertakan para santri adalah untuk memotivasi
dan memberikan semangat berkompetisi yang sesuai dengan nilai-nilai
Islam.Hal ini menunjukkan bahwa peran Abuya dalam mengasah serta
mengembangkan bakat keterampilan santri amatlah baik, karena Islam
tidak hanya mengajarkan tentang agama saja, tetapi juga tentang seni dan
keterampilan.
d.
Mengadakan Pelatihan Muballigh (Muhadhoroh)
Pada pelatihan ini, santri diajarkan teknik bagaimana cara mengatur
pola bahasa, gestur tubuh serta cara berpaikan ketika ingin berpidato
maupun ketika ingin memberikan mauizhoh hasanah(nasihat), di sebuah
podium. Pelatihan muballigh ini memiliki tujuan agar ilmu-ilmu yang
telah di dapat oleh para santri mampu dikembangkan dan disampaikan
dengan baik kepada masyarakat.Cara ini dinilai cukup efektif dalam
menyampaikan pelajaran agama Islam secara instan.
Metode yang diajarkan pada pelatihan muballigh ini dengan
mengelompokkan para santri yang diketuai oleh santri Fashlul Khomis
76
dan dibimbing oleh para pengabdi pondok.Hal ini bertujuan untuk
memberikan pengajaran kepada santri yang sudah terbilang senior dalam
mengatur dan memberikan materi yang telah mereka dapatkan selama
menimba ilmu di pondok pesantren Al-Awwabin sesuai dengan tema
yang telah ditentukan oleh pembina muhadhoroh.
e.
Membuat Rapot dan Ijazah Pesantren
Peran terakhir Abuya yang dapat dipaparkan oleh penulis adalah
membuat rapot dan ijazah pesantren.Bermula dari keinginan Abuya
untuk
memiliki
alat
dalam
mengukur
kemampuan
dan
untuk
meningkatkan kualitas para santri, maka diadakanlah ujian pesantren
yang dikenal dengan sebutan Imtihan.Sistem Imtihanini diadopsi dari
sistem yang berada di sekolah formal pada umumnya yaitu dengan
mengadakan ujian dalam setahun dua kali (semester ganjil dan genap).
Begitupun dengan Imtihandiadakan dua kali dalam setahun yang diberi
nama Imtihan Nishfu Sanah dan Imtihan Nihai.
Imtihan ini pertama kali diadakan pada tahun 1999 sekaligus
pertama kalinya Abuya mengadakan rapot pesantren. Karena menurut
Abuya kemampuan dan hasil kerja para santri dalam menuntut ilmu perlu
diapresiasi lebih jauh pada tahun setelahnya diadakan ijazah pesantren.
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
hasil
penelitian
ini,
penulis
berkesimpulan
bahwa
implementasi pendidikan karakter di pondok pesantren bisa dilakukan dengan dua
cara, pertama, guru memberikan keteladanan agar santri mampu mengetahui sikap
seperti apa yang baik untuk digunakan dalam kehidupan bermasyarakat. Kedua,
melalui pembiasaan atau pembudayaan karakter melalui seluruh aktivitas ibadah
dan belajar di wilayah pondok pesantren.
Proses pembiasaan di pesantren sangat penting bagi pembentukan karakter
santri. Bagi seorang guru, tidak perlu memberikan materi belajar yang terlalu
banyak kepada santri, dengan adanya pembiasaan dan didukung oleh peran guru
yang ada di pesantren maka akan efektif dalam membentuk karakter santri,
terutama dalam nilai religius, disiplin, kerja keras, toleransi, jujur, tanggungjawab.
Di pondok pesantren, guru berperan sebagai fasilitator. Dalam upaya
membentuk karakter, guru berperan sebagai suri teladan. Karakter tidak diajarkan
tetapi dipraktikkan dalam kehidupan yang nyata. Seorang guru yang berperan
sebagai suri teladan lebih mampu membentuk karakter santri. Dengan adanya
keteladanan, maka santri dapat mencontoh perilaku gurunya yang terampil, baik,
sabar, berwawasan luas, tekun, dan disiplin, meski dirinya tidak meminta siswa
untuk menirunya.
Pendidikan pesantren memiliki dua ruang lingkup, yakni pendidikan
formal (sekolah) dengan menggunakan kurikulum Kementrian Agama, dan
pendidikan non formal (madrasah diniyah) dengan menggunakan kurikulum
sendiri yang dibuat oleh pondok pesantren.
78
B. Saran
Pesantren adalah lembaga pendidikan yang mampu melahirkan generasi
bangsa dengan integritas yang kokoh secara ilmu pengetahuan, sikap, dan
ketrampilan. Hal ini dapat dibentuk melalui keteladanan guru dan habituasi para
santri selama mengikuti kegiatan pembelajaran mulai dari adzan subuh sampai
malam hari meliputi pendidikan keagamaan, dan pendidikan umum dengan pola
yang terstruktur serta sistematis, sehingga menjadikan pesantren memiliki sisi
tersendiri dalam corak pendidikannya dan tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan
yang lain. Oleh karena itulah, kita sebagai civitas akademika beserta masyarakat
perlu menjaga dan mengembangkan potensi pesantren agar terus berkembang
secara dinamis dari zaman ke zaman. Tentunya ini merupakan tanggungjawab
moral bagi generasi bangsa untuk terus membina kelangsungan pendidikan di
pesantren, baik secara ide, pemikiran, gagasan, bahkan tindakan.
Kemudian, perlu adanya penelitian lebih lanjut dengan analisa yang lebih
mendalam mengenai bagaimana pola pendidikan pondok pesantren yang efektif
yang bisa merangsang daya pikir dan perilaku para santri dalam mengembangkan
karakter dalam dirinya. Dengan adanya penelitian lebih lanjut, maka hal ini dapat
berkontribusi besar bagi pengembangan pesantren sekaligus meningkatkan
kualitas pelaksanaan pendidikannya, sehingga mampu secara konsisten untuk
membentuk karakter santri yang merupakan generasi penerus bangsa Indonesia,
sekaligus penjaga keutuhan Negara Republik Indonesia (NKRI) dan penegak
agama.
DAFTAR PUSTAKA
Anas, Zulfikri. Sekolah Untuk Kehidupan. Jakarta: AMP Press, 2013.
Anwar, Ali. Pembaruan Pendidikan di Pesantren Lirboyo Kediri. Kediri: Pustaka Pelajar,
2011.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya
Mengenai Masa Depan Indonsia. Jakarta: LP3ES, 2011.
Dimyati dan Mudjiono. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
Jalaluddin dan Abdullah Idi. Filsafat pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Jakarta:
Rajawali Pers, 2012.
Lukens-Bull, Ronald Alan. Jihad Ala Pesantren : di Mata Antropolog Amerika. Jakarta:
Gama Media, 2004.
Mahmud.Model-model Penbelajaran di Pesantren. Tangerang: Media Nusantara, 2006.
Majid, Abdul dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: PT
REMAJA ROSDAKARYA, 2011.
Mulyana,
Deddy.
Metodologi
Penelitian
Kualitatif.
Bandung:
PT
REMAJA
ROSDAKARYA, 2010.
Musfah, Jejen.Manajemen Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2015.
Nuraida dan Rihlah Nur Aulia. Pendidikan Karakter UntukGuru. Ciputat: Islamic
ResearrchPublishing, 2010.
Octavia,Lanny., et al., Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren. Jakarta: Rumah
Kitab, 2014.
Patoni, Achmad. Peran Kiai Pesantren Dalam Partai Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007.
Sa’ud, Udin Syaefudin dan Abin Syamsuddin Makmun.Perencanaan Pendidikan.Bandung:
PT REMAJA ROSDAKARYA, 2011.
Sadulloh, Uyoh.Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: ALFABETA, 2009.
Salahudin, Anas dan Irwanto Alkrienciehie, Pendidikan Karakter : Pendidikan Berbasis
Agama dan Budaya Bangsa. Bandung: CV Pustaka Setia. 2013
Siberman,Melvin L..Active Learning 101 Cara Belajar Siswa Aktif. Bandung: Nuansa
Cendekia, 2014.
Sucipto. Pendidikan Nasional : Arah Kemana?.Jakarta: Buku Kompas. 2012
Sugiyono, Metodologi Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2006.
Sukamto, Kepemiompinan Kiai Dalam Pesantren. Jakarta: Pustaka LP3ES, 1999.
Suprijanto. Pendidikan Orang Dewasa. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007.
Tilaar, H.A.R.Pedagogik Teoritis Untuk Indonesia. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,
2015.
Zarkasyi, Abdullah Syukri.Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2005.
--------------------------. Manajemen Pesantren : Pengalaman Pondok Modern Gontor. Gontor:
Tri Murti Press, 2005.
Nursyamsi, “Membentuk karakter peserta didik melalui proses pembelajaran oleh guru kelas
di MI/SD”,jurnal Tarbiyah Al-awlad, Volume VI, Edisi I
Lampiran II (Hasil wawancara)
Nama : Drs. H. Fathurrohman, MA
Jabatan: Pimpinan 1 Pondok Pesantren al-Awwabin
Tanggal wawancara: 02 Juni 2017
No
1
Pertanyaan
Jawaban
Bagaimana pola pendidikan pesantren
Al-Awwabin lebih menekankan ilmu alat (kitab
al-Awwabin?
kuning) sebagaimana yang diinginkan abuya. Di
samping itu, al-Awwabin juga menekankan ilmu
pendidikan untuk masyarakat, seperti muhadhoroh,
tujuannya agar santri dapat menggunakan ilmunya
agar santri mampu berbicara di depan masyarakat
dengan baik.
2
Seperti
apa
bentuk
pendidikan Muhadhoroh dilakukan setiap minggu sekali,
muhadhoroh yang diterapkan?
dengan sistem dibagi menjadi beberapa kelompok
dengan jumlah 10 orang per kelompoknya. Setiap
kelompok
diberikan
tugas
untuk
membuat
rangkuman pidato, lalu pada gilirannya kelompok
tersebut maju dan menyerahkan naskah yang telah
dibuat. Sehingga memungkinkan bagi guru untuk
mengoreksi apa saja yang menjadi kekurangan
dalam penulisannya.
3
Fokus karakter apa yang dibentuk?
Karakter yang dititikberatkan adalah tekun belajar,
disiplin mengikuti aturan yang ada.
4
Santri memerlukan keteladanan dari Guru, guru, dan pengurus ikut terlibat langsung
guru/guru,
bagaimana
bentuk dalam kegiatan-kegiatan yang ada, melalui
kegiatan rawi, ratib, sholat jama’ah, dan lain
penerapannya?
sebagainya. Sehingga santri merasa diawasi,
didampingi, dan diarahkan sekaligus guru menjadi
contoh atau model pendidikan terhadap santrisantrinya.
5
Bagaimana
kurikulumnya?
bentuk
manajemeni ada dua sistem pendidikan di pesantren alawwabin, pertama pendidikan formal (sekolah)
dengan
kurikulum
pemerintah
(Kementrian
Agama),
pesantren
dan
kurikulum
membuat
non
sendiri
formal
yaitu
kurikulum
yang
disesuaikan dengan tingkat studinya. Seperti
madrasah diniyah, diberikan bagi santri-santri baru
yang
belum
pernah
merasakan
pendidikan
pesantren. Lalu kurikulum pesantren bagi santrisantri yang sudah dianggap mampu mengikutinya,
maka santri langsung mengikuti kajian-kajian kitab
dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi.
6
Pada saat kapan kurikulum non formal Evaluasi dilakukan satu kali dalam setahun ketika
dievaluasi?
kenaikan kelas, untuk membahas bagaimana
ketercapaian santri dalam menerima pendidikan di
pesantren
Nama : H. Abdurrahman, S.Pd
Jabatan : Guru sekaligus alumni pesantren
Tanggal wawancara: 12 Juni 2017
No
1
Pertanyaan
Jawaban
Bagaimana pola pendekatan guru untuk Kami
menggunakan
KBM
dengan
cara
membina kelangsungan belajar terhadap memberikan cerita seputar akhlakul karimah
para santri?
Rasulullah SAW, lalu menceritakan isi-isi kitab
salafiyah dengan yang membahas akhlak. Lalu,
santri diwajibkan bagi santri untuk mengucapkan
salam, mencium tangan, terhadap orang tua (guru,
pengurus, kyai, dan para tamu) dengan tujuan
untuk
membentuk
karakternya
agar
mampu
menghormati orang lain, terutama yang lebih tua.
2
Fokus karakter apa yang dibentuk?
Santri diharuskan memiliki karakter yang jujur,
amanah, disiplin, baik ketika mengaji, belajar,
serta taat kepada guru di pondok pesantren.
3
Apa yang menjadi kemudahan dalam Santri
menghadapi santri?
merasa
lebih
cepat
tanggap
untuk
memahami berbagai cerita seputar ketelaadanan
dari para ulama, dan Rasulullah SAW. Hal ini
diperkuat dengan sikap guru yang berusaha untuk
menjadikan dirinya sebagai teladan bagi para
santri, melalui kedisiplinannya, ketekunannya, dan
bentuk-bentuk keteladanan lainnya.
4
Apa
yang
menjadi
mendidik santri?
kendala
dalam Kendalanya hanya satu, santri-santri dihadapkan
dengan kemajuan teknologi modern (gadget).
Selanjutnya, pergaulan bebas para santri dengan
teman-temannya ketika di rumah, melakukan
aktivitas seperti merokok dan hal negatif lainnya.
Ini
cukup
menyulitkan
upaya
pembentukan
karakter bagi para santri di pondok pesantren alAwwabin.
Nama: Subhan Mufassir
Jabatan: santri pesantren al-Awwabin
Tanggal wawancara: 12 Juni 2017
No
1
Pertanyaan
Seperti
apa
pola
Jawaban
guru
memberikan pelajaran?
dalam Guru memberikan pengajaran melalui kitab-kitab
kuning, seperti menghafal kaidah nahwu, lalu
kemudian disetorkan kepada guru untuk dinilai
lebih lanjut.
2
Apa faktor yang menyebabkan kesulitan Kami memiliki kesulitan belajar apabila tidak
menerima pelajaran?
mengulang kembali pembelajaran yang diberikan
guru, seringkali merasa lupa dengan apa yang
sudah dipelajari sebelumnya.
3
Selama
menjadi
santri,
apa
perubahan positif yang terjadi?
saja Alhamdulillah selama menjadi santri banyak sekali
perubahan yang dirasakan, seperti lancar membaca
al-Qur’an, lalu bisa melatih diri untuk berbuat baik
kepada masyarakat.
4
Bagaimana peran guru dalam mendidik Guru Fathurrahman seringkali membangunkan
santri?
santri pagi-pagi agar kembali siap belajar, dan ini
membuat kami merasa berkembang lebih baik ke
depannya.
Nama: Ahmad Sibroh Malisi
Jabatan: santri pesantren al-Awwabin
Tanggal wawancara: 12 Juni 2017
No
1
Pertanyaan
Selama
menjadi
santri,
Jawaban
apa
saja Alhamdulillah,
terdapat
banyak
perubahan
perubahan atau pembentukan karakter terutama dalam membaca al-Qur’an dengan lancar,
yang terjadi ?
lalu
menunjukkan
akhlakul
karimah
untuk
menghormati guru dan orang lain dengan baik.
2
Bagaimana
peran
guru
mendampingi santri?
dalam Peran guru sangat penting, karena guru yang
langsung membimbing kami dalam membentuk
akhlak dengan baik, sehingga ini bisa bermanfaat
di dunia dan di akhirat nanti.
3
Apakah ingin melanjutkan ke perguruan Saya ingin melanjutkan ke perguruan tinggi,
tinggi?
terutama di Tarbiyah. Karena ingin menerapkan
ilmu yang di dapat di pondok pesantren terhadap
masyarakat secara luas.
4
Apa perbedaan antara teman pesantren Sangat
dan teman di luar pesantren?
berbeda
sekali,
santri
seringkali
membicarakan soal akhlak, ilmu pengetahuan, dan
ini tentunya begitu bermanfaat. Lalu, di luar
pesantren seringkali membicarakan hal yang
kurang bermanfaat yang cukup jauh dari apa yang
didapatkan di pondok pesantren.
5
Harapan atau pesan-pesan bagi teman- Saran saya bagi teman-teman, teruslah mengingat
teman yang masih merasa ragu untuk Allah, perjuangan Rasul, lalu melakukan sesuatu
masuk pondok pesantren?
yang bermanfaat dan kreatif. Hal ini perlu
dilakukan karena banyak sekali kelompok geng
bermotor, dan remaja-remaja yang nakal.
6
Pentingnya pesantren dalam membentuk Ketika pulang ke rumah, masyarakat menilai
karakter santri?
bahwa santri memiliki kelebihan dalam ilmu
keagamaan. Ini merupakan kelebihan utama bagi
santri yang bisa digunakan untuk memberi manfaat
bagi masyarakat.
Lampiran I (Instrumen Wawancara)
Nama : Drs. H. Fathurrohman, MA
Jabatan: Pimpinan 1 Pondok Pesantren al-Awwabin
Tanggal wawancara: 02 Juni 2017
No
1
Pertanyaan
Jawaban
Bagaimana pola pendidikan pesantren
al-Awwabin?
2
Seperti
apa
bentuk
pendidikan
muhadhoroh yang diterapkan?
3
Fokus karakter apa yang dibentuk?
4
Santri memerlukan keteladanan dari
guru/guru,
bagaimana
bentuk
penerapannya?
5
Bagaimana
bentuk
manajemeni
kurikulumnya?
6
Pada saat kapan kurikulum non formal
dievaluasi?
Nama : H. Abdurrahman, S.Pd
Jabatan : Guru sekaligus alumni pesantren
Tanggal wawancara: 12 Juni 2017
No
Pertanyaan
Jawaban
1
Bagaimana pola pendekatan guru untuk
membina kelangsungan belajar terhadap
para santri?
2
Fokus karakter apa yang dibentuk?
3
Apa yang menjadi kemudahan dalam
menghadapi santri?
4
Apa
yang
menjadi
mendidik santri?
kendala
dalam
Nama: Subhan Mufassir
Jabatan: santri pesantren al-Awwabin
Tanggal wawancara: 12 Juni 2017
No
1
Pertanyaan
Seperti
apa
pola
Jawaban
guru
dalam
memberikan pelajaran?
2
Apa faktor yang menyebabkan kesulitan
menerima pelajaran?
3
Selama
menjadi
santri,
apa
saja
perubahan positif yang terjadi?
4
Bagaimana peran guru dalam mendidik
santri?
Nama: Ahmad Sibroh Malisi
Jabatan: santri pesantren al-Awwabin
Tanggal wawancara: 12 Juni 2017
No
1
Pertanyaan
Selama
menjadi
santri,
Jawaban
apa
saja .
perubahan atau pembentukan karakter
yang terjadi ?
2
Bagaimana
peran
guru
dalam
mendampingi santri?
3
Apakah ingin melanjutkan ke perguruan
tinggi?
4
Apa perbedaan antara teman pesantren
dan teman di luar pesantren?
5
Harapan atau pesan-pesan bagi temanteman yang masih merasa ragu untuk
masuk pondok pesantren?
6
Pentingnya pesantren dalam membentuk
karakter santri?
Lampiran III (Dokumentasi Kegiatan al-Awwabin)
Lampiran 2
Foto Abuya KH. Abdurrahman Nawi dan Abuya Muhtadi bin Abuya Dimyati Banten,
semoga Allah selalu memberikan kesehatan agar mereka terus mensyiarkan agama Islam.
Foto KH. Fathurrahman, MA, Musyrif Tholabah (lurah pondok) pesantren Al-Awwabin.
Semoga Allah selalu memberikan kesabaran kepada beliau dalam membina para santri.
Foto Ust. Ahmad Hafidz Kamil, S.Ag, seorang guru Al-Awwabin yang telah mengabdikan
diri kepada Abuya selama 20 tahun.
Foto team hajir marawis pondok pesantren AlAwwabin serta piala yang pernah diraihnya
Foto Ijazah yang dikeluarkan pesantren,
rapot pesantren dan kegiatan ujian pesantren (Imtihan).
Foto Plang, Sekolah, serta Asrama Putra dan Putri Pondok Pesantren Al-Awwabin Depok.
Foto tower pemancar saluran radio Al-Awwabin, dan foto kegiatan pelatihan dakwah
(muhadhoroh) para santri. Kegiatan ini sangat penting agar para santri tidak canggung ketika
berbicara di depan umum.
Foto kegiatan pengajian santri dan masjid yang sering kali digunakan para santri dalam
mempelajari ilmu-ilmu agama Islam. Semoga Allah menjadikan mereka penerus para ulama
dan memperjuangkan agama Islam pada masa mereka nanti.
Download