IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DI PONDOK PESANTREN AL-AWWABIN DEPOK Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Oleh Prabowo Try Hartono 1110018200053 JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017 ABSTRAK Prabowo Try Hartono 1110018200053, Pola Pendidikan Pondok Peasntren dalam Membentuk Karakter Santri (Studi di Pondok Pesantren al-Awwabin, Depok). Jurusan Manajemen Pendidikan, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2017. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pola Pendidikan Pondok Pesantren dalam Membentuk Karakter Santri di Pondok Pesantren al-Awwabin, Depok. Metode penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Populasi penelitian ini adalah dua orang guru dan dua orang santri yang berada di Pondok Pesantren al-Awwabin, Depok. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola pendidikan pondok pesantren alAwwabin cukup efektif dalam membentuk karakter santri melalui kegiatan rutinitasnya yang terdiri dari pengajian ilmu alat (kitab kuning), kegiatan belajar mengajar (KBM), muhadhoroh, dan kegiatan tambahan lainnya seperti madrasah diniyah. Kemudian, peran guru sangatlah penting dalam membentuk karakter santri, hal ini dibuktikan dengan pemaparan santri melalui proses wawancara terstruktur yang dilakukan penulis. Selanjutnya, guru dan pimpinan pesantren memaparkan bahwa keteladanan adalah unsur terpenting dalam membentuk karakter santri, karena dengan memberi keteladanan maka santri dapat mengambil contoh perilaku yang dapat dilakukan dalam kesehariannya. Sehingga dapat dinyatakan bahwa pola pendidikan pondok pesantren al-Awwabin dalam membentuk karakter santri cukup efektif disertai dengan peran guru dan pimpinan pesantren sebagai tenaga pendidik. Dengan demikian, pola pendidikan pondok pesantren dalam membentuk karakter santri dapat dipengaruhi oleh peran guru dan pimpinan pesantren sebagai tenaga pendidik. Hal ini membuktikan bahwa peran guru dan pimpinan pesantren sangatlah penting bagi para santri untuk pembentukan karakternya di pesantren. Kata Kunci: Pola Pendidikan, Pondok Pesantren, Karakter Santri i ABSTRACK Prabowo Try Hartono 1110018200053, Pattern of Pondok Peasntren in Shaping the Character of Santri (Study at Pondok Pesantren al Awwabin, Depok). Department of Management Education, Faculty of Science Tarbiyah and Teacher Training, State Islamic University (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2017. This study aims to find out the Pattern of Pondok Pesantren in Shaping the Character of the Students in Pondok Pesantren al Awwabin, Depok. This research method is descriptive method with qualitative approach. The population of this research are two teachers and two santri who are in Pondok Pesantren al Awwabin, Depok. The results of this study indicate that the pattern of boarding school education alAwwabin quite effective in shaping the character of santri through routine activities consisting of pengajian science tools (yellow book), teaching and learning activities (KBM), muhadhoroh, and other additional activities such as madrasah diniyah. Then, the role of teachers is very important in shaping the character of santri, this is evidenced by the exposure of students through a structured interview process conducted by the author. Furthermore, teachers and leaders of pesantren explained that exemplary is the most important element in shaping the character of santri, because by giving exemplary the students can take examples of behaviors that can be done in everyday life. So it can be stated that the pattern of boarding school education al-Awwabin in shaping the character of santri quite effectively accompanied by the role of teachers and leaders of the pesantren as educators. Thus, the pattern of boarding school education in shaping the character of students can be influenced by the role of teachers and leaders of the pesantren as educators. This proves that the role of teachers and leaders of pesantren is very important for the santri for the establishment of his character in the pesantren. Keywords: Educational Pattern, Pondok Pesantren, santri’s Character i KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beserta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta seluruh keluarga dan para sahabatnya yang telah membawa obor peradaban menerangi zaman kegelapan menuju zaman pencerahan. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas IlmuTarbiyah dankeguruan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan selesainya penulisan skripsi sebagai tugas akhir berkat bantuan dan doa dari berbagai pihak maka penulis dalam kesempatan ini menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Hasyim Asy’ari, M.Pd. Ketua Jurusan Manajemen Pendidikan sekaligus pembimbing skrispsi yang telah memberikan banyak saran, petunjuk dan dorongan kepada penulis. 3. Abdul Ghofur, MA. Sekretaris Jurusan Manajemen Pendidikan yang telah memberikan saran, arahan, dan motivasi kepada penulis. 4. Bapak/Ibu dosen Jurusan Manajemen Pendidikan yang telah memberikan ilmu dan pengalamannya kepada penulis. 5. Ketiga orang tua tercinta Bapak H. Anton Mistono (Alm), Bapak Indra Faisal dan Ibu Badriyah yang selalu mendoakan anaknya dengan tulus, penuh kesabaran dan senantiasa memberikan bantuannya baik moril maupun materil demi keberhasilan dalam menyusun skripsi. ii 6. Adik-adikku tercinta Pratiwi Hayuningtyas Hartono dan Nur Alva Anindya Saputri yang selalu memberikan dukungan dan semangatnya dalam menyusun skripsi, kalian adalah adik terbaik. 7. Titin Suhartini tercinta yang selalu memberikan semangat dan kasih sayang kepada penulis dalam menyusun skripsi. 8. Bapak Drs. H. Fathurrohman, MA selaku Pimpinan 1 Pondok Pesantren al-Awwabin, Depok yang telah memberikan izin dan meluangkan waktunya untuk penelitian. 9. Guru-guru Pondok Pesantren al-Awwabin, Depok khususnya Ustadz M. Labib, S.Pd yang telah banyak membantu selama penelitian di sekolah. 10. Keluarga Besar Manajemen Pendidikan Angkatan 2010 atas doa, dukungan dan kenangan yang telah dilalui bersama. 11. Untuk sahabat-sahabat PMII Rayon Manajemen Pendidikan: Yanwar Firman Salam, Hariyanto, Aria Zakara, Ali Lukmanul Hakim, Salman Alfarisi, Rudi Hartono, Rhegista, Muhammad Nurul Fikri, M. Abdul Dzikri, Asqolani, Rizky Kurnia Sari, Iis Istianah, Ismania Choirunnisa, M. Abi Farhan, dan Ahmad Kamaludin, yang telah memberikan banyak dukungan dan inspirasi untuk penulis. 12. Untuk sahabat-sahabat PMII Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan: Ahmad Fatah Yasin, Faisal Husseini, Zakki al-Amin, Sarah Hayatin Nufus, Zamakhsyari, Yogi Septian Nugroho, Akhmad Ali Hasyim, Rama Indarto Putra, dan Siti Khodijah yang juga telah memberikan banyak dukungan dan inspirasi untuk penulis. 13. Untuk sahabat-sahabat PMII Cabang Ciputat: M. Rafsanjani, Ahmad Ridwan Hutagalung, Indra Kurniawan, Ahmad Rosyadi, Aji Pangestu, M. Said, dan Ady Hidayat Salam, yang juga telah memberikan energi positif untuk penulis. 14. Rekan-rekan Lembaga Survei Indonesia (LSI): Umam Biladi Kusuma, Asep Jubaedillah, Abdul Aziz, Abdul Aziz Tasik, Sadri Said, M. iii Choirul Anam, Zuhairul Bustan, Asep Nurhidayat, dan Ahmad Muttakin, yang telah memberikan dukungan dan spirit untuk penulis. 15. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan doa dan dukungan secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penulisan skripsi ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat atas semua jasa yang telah mereka berikan dan menjadikannya sebagai amal shaleh. Amin Penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya jikamasih banyak kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini, karena penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Besar harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Jakarta, 16 Juni 2017 Prabowo Try Hartono iv DAFTAR ISI ABSTRAK ................................................................................................ i KATA PENGANTAR .............................................................................. iii DAFTAR ISI ............................................................................................. v DAFTAR TABEL .................................................................................... vii BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................ 1 B. Identifikasi Masalah ................................................... 6 C. Pembatasan Masalah .................................................. 6 D. Perumusan Masalah .................................................... 6 E. Tujuan Penelitian ........................................................ 7 F. Manfaat Penelitian ...................................................... 7 BAB II : KAJIAN TEORI A. Pendidikan Karakter ................................................... 8 1. Konsep Dasar Pendidikan ...................................... 8 2. Pendidikan .............................................................. 9 3. Pengertian Karakter ................................................. 11 4. Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa ..... 13 5. Pendidikan Karakter dalam Islam .......................... 16 6. Ruang Lingkup Pendidikan Karakter Guru ............ 18 B. Pesantren .................................................................... 29 1. Pengertian Pesantren .............................................. 29 2. Pola Umum Pendidikan Islam Pesantren ............... 30 3. Kurikulum dan Identitas ......................................... 31 C. Strategi dan Manajemen Pesantren ............................ 32 1. Strategi Pesantren ................................................... 32 2. Manajemen Pesantren ............................................. 33 3. Dinamika Sistem Manajemen Pesantren ................ 36 v 4. Kiai ......................................................................... 37 BAB III : METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ..................................... 39 B. Metode Penelitian ....................................................... 39 C. Teknik Pengumpulan Data .......................................... 40 D. Teknik Pengelolaan Data ........................................... 42 E. Teknik Analisis Data ................................................... 42 F. Kisi-kisi Instrumen Penelitian...................................... 44 BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data ............................................................. 46 1. Implementasi Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren al Awwabin ........................................... 46 2. Peran Guru dalam Pondok Pesantren al-Awwabin 49 B. Pembahasan Hasil Penelitian....................................... 50 1. Bentuk-bentuk Rutinitas di Pondok Pesantren Al-Awwabin ............................................................ 52 2. Pencapaian Pendidikan di Pondok Pesantren Al-Awwabin ........................................................... 53 3. Profil Pondok Pesantren al-Awwabin ..................... 55 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................ 77 B. Saran ........................................................................... 78 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN -LAMPIRAN vi DAFTAR TABEL Tabel 1.1 : Rekayasa Pembelajaran Guru dan tindak belajar siswa .................. 22 1.2 : Pedoman wawancara ...................................................................... 44 1.3 : Daftar checklist dokumen ............................................................... 45 1.4 : Daftar Siswa Pondok Pesantren al-Awwabin I ............................... 62 1.5 : Daftar Siswa Pondok Pesantren al-Awwabin II ............................. 63 1.6 : Data Rincian Mata Pelajaran Santri MI .......................................... 60 1.7 : Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 1 MTs ................................. 65 1.8 : Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 2 MTs ................................. 66 1.9 : Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 3 MTs ................................. 67 2.0 : Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 1 MA ................................... 68 2.1 : Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 2 MA ................................... 69 2.2 : Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 3 MA .................................. 69 vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya, hakikat pendidikan adalah untuk membentuk karakter suatu bangsa. Hal tersebut sangat ditentukan oleh semangat, motivasi, nilainilai, dan tujuan dari pendidikan. Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 pasal 1 butir 1, pendidikan adalah “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarkat, bangsa dan negara.” Kemudian, Pendidikan Nasional bertujuan: “Untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Pasal 3). Berdasarkan tujuan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional bertujuan membentuk insan Indonesia yang cerdas dan berkepribadian atau berkarakter, sehingga melahirkan generasi bangsa yang tumbuh dan berkembang dengan karakter yang bernapaskan nilai-nilai luhur bangsa dan agama. Rumusan dari Kementrian Pendidikan Nasional, khususnya Direktorat Pendidikan Tinggi menjelaskan bahwa secara umum, arti karakter adalah mendemonstrasikan etika atau sistem nilai personal yang ideal (baik dan penting) untuk eksistensi diri dan berhubungan dengan orang lain. 1 2 Hal tersebut yang membuat pemerintah melalaui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membuat rumusan kurikulum berbasis karakter yaitu kurikulum 2013. Kurikulum tersebut merupakan upaya pemerintah mewujudkan cita-cita bersama mencetak generasi penerus bangsa yang berkarakter dan berkepribadian. Meski kurikulum tersebut belum terlalu bisa diterapkan dengan waktu cepat, namun hal ini merupakan terobosan positif dalam mewujudkan cita-cita bersama. Kurikulum tersebut bermuatan akhlak dan karakter, maka sering disebut kurikulum berbasis karakter. Seiring waktu pemerintah mengganti kurikulum, padahal belum lama diterapkan kurikulum berbasis karakter tersebut. Seperti istilah yang dikemukakan oleh Prof. Dr. H.A.R Tilaar dalam bukunya Kaleidoskop Pendidikan Nasional yang berkata bahwa “Setiap ganti menteri ganti kurikulum”. Pendapat tersebut merefresetasikan mirisnya pendidikan di Indonesia. Kemudian Full day school adalah upaya pemerintah era sekarang untuk menciptakan peserta didik yang berkarakter, namun upaya tersebut penulis anggap sebagai hal yang terlalu memaksakan. meskipun Indonesia sudah mempunyai sistem full days school sejak sebelum sistem tersebut ditetapkan secara resmi yaitu pendidikan berbasis pesantren. Pendidikan pesantren sudah berlangsung lama berada di indonesia, sebelum muncul rencana full days school. salah satunya terdapat di pesantren al-awwabin depok. Kurikulum yang terdapat di pesantren al-awwabin depok sama seperti kurikulum di pesantren lainnya yang ada di indonesia, akan tetapi pada realitasnya dilapangan masih ada beberapa kekurangan dalam penerapan pembelajaarannya kepada setiap santri-santri. Seperti kurangnya kordinasi antara para setiap guru dalam mengajarkan setiap ilmu kepada para setiap santrinya. Para setiap guru dalam melaksanakan program pembelajaran cendrung hanya fokus terhadap mata pelajaran yang ia akan ajarakan, tetapi tidak melihat kordinasi antara satu pelajaran dengan pelajaran lainnya. Padahal pada hakekatnya setiap pelajaran mempunyai peran penting dalam membentuk karakter dari para setiap santrinya. 3 Sebenarnya Permasalahan yang terdapat di pesantren al-awwabin adalah kurang terorganisirnya sistem pendidikan pesantren yang menyebabkan pesantren dianggap sebagai pendidikan dengan sistem yang terbelakang dibandingkan dengan sistem pendidikan umum. Ini merupakan potret pendidikan saat ini. Padahal pesantren merupakan dapat melebihi sistem pendidikan, jika diperhatikan dengan serius dari berbagai pihak terkait baik dari segi sistem, lulusan, pemibnaan karakter santri dan prospek keberhasilan para santri. Dunia pesantren diakui bahwa pesantren adalah lembaga lokal yang mengajarkan praktik-praktik dan ajaran Islam. Bagaimana pesantren menjadi lembaga lokal adalah materi dari beberapa perdebatan yang muncul, yang perdebatan ini selalu menjadi sejarah. Pesantren di Jawa usianya setua Islam di Jawa sendiri. Baik dalam laporan tertulis maupun berita dari mulut ke mulut, pesantren erat sekali kaitannya dengan Wali Songo (sembilan wali yang membawa Islam ke Jawa). Wali pertama, jika malah bukan yang paling terkenal, Maulana Malik Ibrahim dianggap sebagai yang pertama kali mendirikan pesantren di Jawa pada tahun 1399 sebagai wahana untuk menggembleng mubalig dalam rangka menyebarkan Islam lebih jauh di Jawa (IAIN Sunan Ampel, 1992). Banyak pihak berpendapat bahwa pesantren itu unik sebab pesantren merupakan hasil kombinasi dari dua institusi pondok (funduq), suatu tempat untuk mempelajari dan mempraktikkan mistisisme Islam dan pesantren sendiri, suatu tempat atau wadah bagi pengajaran. Abdurrahman wahid, dalam suatu kuliah terbuka, berpendapat bahwa fenomena yang ada di Malaysia hanyalah pesantren saja (tempat pengajaran Islam). Oleh karena itu, pesantren di Malaysia telah lenyap seiring dengan perubahan dunia. Karena komposisi pondok pesantren di Jawa yang seperti itu, maka Zamakhsyari Dhofier (1980: 31-32) mengatakan bahwa Islam di Jawa tidak mencetak dua bentuk/model sarjana Islam; ulama berhadap-hadapan dengan kelompok sufi sebagaimana umumnya terjadi pada masa pertengahan Islam. Inilah sebabnya, mengapa muslim Jawa memberi gelar yang sama tentang 4 “kyai” untuk menunjukkan sarjana Islam yang menguasai akidah dan syariah sekaligus juga orang yang sufi. Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam telah membuktikan keberadaan dan keberhasilannya dalam peningkatan sumber daya manusia atau human resources development. Banyak pesantren yang cikal bakalnya merupakan lembaga pendidikan al-Qur‟an. Di sana santri diajarkan membaca, di samping kitab-kitab kuning. Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah sistem bandongan atau sering juga disebut sistem weton. Dalam sistem ini sekelompok murid (antara 5-500 murid) mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan, bahkan seringkali mengulas bukubuku Islam dalam bahasa Arab. Tentu ulasan dalam bahasa Arab buku-buku tingkat tinggi diberikan kepada kelompok mahasiswa senior yang diketahui oleh seorang guru besar dapat dipahami oleh para mahasiswa.Kelompok mahasiswa khusus ini disebut “kelas musyawarah” (kelompok seminar). Setiap murid menyimak bukunya sendiri dan membuat catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit.Kelompok kelas system bandongan ini disebut halaqah yang arti bahasanya lingkaran murid atau kelompok siswa yang belajar di bawah bimbingan seorang guru.Semua pesantren tentu memberikan juga sistem sorogan tetapi hanya diberikan kepada santri-santri yang baru yang masih memerlukan bimbingan individual.Sistem sorogan dalam pengajian ini merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan sistem pendidikan pesantren, sebab sistem sorogan menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi guru pembimbing dan murid. Kebanyakan murid-murid pengajian di pedesaan gagal dalam pendidikan dasar ini.Di samping itu, banyak di antara mereka yang tidak menyadari bahwa mereka seharusnya mematangkan diri pada tingkat sorogan ini sebelum dapat mengikuti pendidikan selanjutnya di pesantren, sebab pada dasarnya hanya muridmurid yang telah menguasai sistem sorogan sajalah yang dapat mengerti keuntungan dari sistem bandongan di pesantren. 5 Dalam sistem bandongan, seorang murid tidak harus menunjukkan bahwa ia mengerti pelajaran yang sedang dihadapi. Para kyai biasanya membaca dan menerjemahkan kalimat-kalimat secara cepat dan tidak menerjemahkan kata-kata yang mudah. Dengan cara ini, kyai dapat menyelesaikan kitab-kitab pendek dalam beberapa minggu saja. Sistem bandongan, karena dimaksudkan untuk murid-murid tingkat menengah dan tingkat tinggi, hanya efektif bagi murid-murid yang telah mengikuti sistem sorogan secara intensif. Kebanyakan pesantren, terutama pesantren-pesantren besar, biasanya menyelenggarakan bermacam-macam halaqah (kelas bandongan), yang mengajarkan mulai dari kitab-kitab elementer sampai ke tingkat tinggi, yang diselenggarakan setiap hari (kecuali hari Jum‟at). Dari pagi-pagi setelah sembahyang subuh, sampai larut malam. Penyelenggaraan bermacammacam kelas bandongan ini dimungkinkan oleh suatu sistem yang berkembang di pesantren di mana kyai sering memerintahkan santri-santri senior untuk membuka dan mengajar kelompok santri dalam suatu halaqah. Santri senior yang melakukan praktik mengajar ini mendapatkan gelar ustadz (guru).Para asatid (guru-guru) ini dapat dikelompokkan ke dalam dua strata yaitu junior (ustadz muda), dan senior, yang biasanya sudah menjadi anggota kelas musyawarah. 1-2 ustadz senior yang sudah matang dengan pengalaman mengajarkan kitab-kitab besar akan memperoleh gelar “kyai muda”.1 Dalam perkembangan terakhir ini telah terbukti bahwa dari pesantren telah lahir banyak pemimpin bangsa dan pemimpin masyarakat. Pesantren juga telah memberikan nuansa dan mewarnai corak dan pola kehidupan masyarakat di sekitarnya. Dengan kata lain, pesantren juga merupakan “benteng pertahanan” yang kokoh dalam menghadapi dahsyatnya gelombang budaya dan peradaban yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ilahiah. Sejarah telah mencatat prestasi pesantren, baik sebagai pembentuk kultur maupun sebagai benteng pertahanan bagi nilai-nilai religius. Maka dibutuhkan pihak1 Dhofier, Zamaksyari. Tradisi Pesantren : Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indoneisa. LP3ES. Jakarta. 2011. hal 53-57. 6 pihak yang mendukung aktivitas pesantren, agar pesantren secara umum tertinggal zaman. Sebab banyak sekali pesantren yang kondisinya tidak menerima perkembangan teknologi. Sehingga menjadi permasalah besar, bahwa harus adanya refomulasi sistem pendidikan pesantren diberbagai sekolah di Indonesia. Berdasarkan deskripsi tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam pada permasalahan di atas dalam bentuk skripsi yaitu dengan judul “Implementasi Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren alAwwabin, Depok”. B. Identifikasi Masalah Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka masalah yang hendak dikaji dan dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut : 1. Pendidikan karakter belum berjalan optimal di pondok pesantren. 2. Lemahnya peran guru dalam upaya pembentukan karakter santri. 3. Manajemen dan tata kelola pesantren masih lemah dan kurang terorganisir. C. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka untuk memudahkan dan memaksimalkan pemanfaatan instrumen-instrumen penelitian, maka penulis membatasi permasalahan yang diteliti, yaitu implementasi pendidikan karakter di pondok pesantren.al-Awwabin, Depok. D. Rumusan Masalah Masalah-masalah yang dirumuskan adalah sebagai berikut: 1. Mengapa pendidikan karakter di pondok pesantren belum berjalan optimal? 2. Bagaimana peran guru dalam membentuk karakter santri? 3. Seperti apa langkah-langkah untuk memperbaiki manajemen dan tata kelola pesantren yang masih lemah dan kurang terorganisir? 7 E. Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Menjelaskan implementasi pendidikan karakter di pondok pesantren alAwwabin, Depok. 2. Menjelaskan karakter apa saja yang menjadi fokus utama untuk dikaji lebih mendalam. 3. Menjelaskan ruang lingkup pondok pesantren Al-Awwabin Depok. F. Manfaat Penelitian Dengan memperhatikan hasil penelitian ini secara menyeluruh maka kita akan dapat mengambil manfaat sebagai berikut : 1. Memberikan kontribusi pada khasanah keilmuan Islam dalam studi pendidikan Islam, khususnya tentang pentingnya karakter dalam diri seorang siswa. 2. Memberikan kontribusi pemikiran kepada praktisi dan atau institusiinstitusi yang berkompeten terhadap dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam 8 BAB II KAJIAN TEORI A. Pendidikan Karakter 1. Konsep dasar Pendidikan Pendidikan merupakan upaya yang dapat mempercepat pengembangan potensi manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena hanya manusia yang dapat didik dan mendidik. Pendidikan dapat mempengaruhi perkembangan fisik, mental, emosional, moral, serta keimanan dan ketakwaan manusia.2 Dalam proses pembelajaran para pendidik harus bertutur dan bertindak selalu yang baik. Pendidik harus memahami keadaan anak didiknya, sehingga tidak ada kesalahan dalam pengambilan keputusan kepada para peserta didik, pendidik tidak menghukum secara fisik, tetapi dengan teguhan dan nasihat; sesekali memberi hadiah bagi siswa yang berprestasi. Karena dengan adanya hadiah peserta didik akan termotivasi untuk belajar dengan rajin, dan mereka merasa mendapat pengakuan dan keistimewaan dalam dirinya. 2. Pendidikan Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, 2 Udin Syaefudin Sa‟ud dan abin Syamsuddin makmun, Perencanaan Pendidikan, (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2011), h.6 9 kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.3 Dalam GBHN tahun 1973 dikemukakan pengertian pendidikan, bahwa, “pendidikan pada hahekatnya merupakan suatu usaha yang disadari untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia, yang dilaksanakan di dalam maupun diluar sekolah, dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan menurut Ahmad D. Marimba, adalah “bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.4 Pendidikan adalah bimbingan secara sadar dari pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya manusia memiliki kepribadian yang utama dan ideal.5 Dari pengertian di atas, pendidikan mencakup tiga aspek. Pertama, usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran. Pendidikan harus disiplin dengan matang mulai dari mutu guru, kelas, media, metode, evaluasi, hingga prasarana pendukung keberhasilan pendidikan. Persiapan yang matang ini akan menetukan keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan di semua level. Meski demikian, pendidikan tidak hanya ada di sekolah, pesantren, dan kampus, tetapi juga terjadi di rumah. Meski tidak tertulis, karakter orangtua di rumah akan membentuk karakter anak-anak. Bayangkan, sejak bangun tidur, berangkat sekolah, pulang sekolah, dan menjelang tidur, anak-anak berinteraksi dengan orangtua. 3 Jejen Musfah, Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2015), h. 9 Ali Anwar, Pembaruan Pendidikan di Pesantren Lirboyo Kediri, (Kediri: Pustaka Pelajar, 2011), h.20 5 Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan, (jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 7 4 10 Kedua, potensi siswa bereupa sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Tujuan pendidikan melahirkan manusia yang pintar, terampil, dan saleh; manusia yang imtak dan iptek; manusia yang terampil dan baik terhadap sesama dan tuhan. Pendidikan harus menyentuh aspek afektif, kognitif, dan psikomotorik siswa. Ketiga, Ilmu yang bermanfaat bagi individu, masyarakat dan bangsa. Tujuan akhir dari sekolah dan kuliah yaitu gar manusia bisa hidup bahagia dan membahagiakan orang lain. Banyak faktor orang menjadi bahagia: materi, jabatan, dan keluarga. Pendidikan harus melahirkan manusia yang hidup untuk kepentingan orang banyak, masyarakat, dan bangsa.6 Pendidikan dilaksanakan melalui tiga jalur, yaitu: a. Pendidikan Formal Pendidikan Formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang oendidikan dasar, yang pendidikan terdiri atas menengah, dan pendidikan tinggi. b. Pendidikan Nonformal Pendidikan Nonformal adalah kegiatan belajar yabg disengaja oelh warga belajar dan pembelajar didalam satu latar yang diorganisasi (berstruktur) yang terjadi diluar sistem persekolahan. c. Pendidikan Informal Pendidikan Informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.7 Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa pendidikan merupakan kegiatan yang hanya dilakukan manusia dengan lapangan yang sangat luas, yang mencakup 6 7 Jejen Musfah. op. Cit. Suprijanto, Pendidikan Orang Dewasa, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), h.5-8 11 semua pengalaman serta pemikiran manusia tentang pendidikan. Pendidikan sebagai suatu praktik dalam kehidupan, seperti halnya dengan kegiatan-kegiatan lain, seperti kegiatan ekonomi, kegiatan hukum, kegiatan agama, dan lain-lain. Selain itu, kita dapat juga mempelajari pendidikan secara akademik, baik secara empirik yang bersumber maupun dari dengan pengalaman-pengalaman jalan pendidikan, perenungan-perenungan yang mencoba melihat makna pendidikan dalam suatu konteks yang lebih luas.8 3. Pengertian Karakter Karakter adalah kualitas mental atau moral , kekuatan moral, nama atau reputasi. Istilah karatker dan kepribadian atau watak sering digunakan secara bertukar-tukar, tetapi Allport menunjukkan kata watak berarti normatif, serta mengatakan bahwa watak adalah pengertian etis dan menyatakan bahwa character is personality evaluated and personality is character devaluated (watak adalah kepribadian dinilai, dan kepribadian adalah watak tak dinilai). Karakter adalah watak, sifat, atau hal-hal yang memang sangat mendasar yang ada pada diri seseorang. Hal-hal yang sangat abstrak yang ada pada diri seseorang. Sering orang menyebutnya dengan tabiat atau perangai. Apapun sebutannya karakter ini adalah sifat batin manusia yang memengaruhi sejenak pikiran dan perbuatan. Banyak yang memandang atau mengartikannya identik dengan kepribadian. Karakter ini lebih sempit dari kepribadian dan hanya merupakan salah satu aspek kepribadian sebagai mana juga tempramen. Watak 8 Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: ALFABETA, 2009), h. 1 12 dan karakter berkenaan dengan kecenderungan penilaian tingkah laku individu berdasarkan standar-standar moral dan etika.9 Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis, spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog jerman FW.Foester (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan Instrumentalisme pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan. Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subjek dengan prilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontigen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah kualitas pribadi diukur. Sedangkan terbentuknya karakter biasanya di pengaruhi oleh dua hal yaitu: genetik dan lingkungan (nature dan culture). Faktor genetik dan teori nature, tidak dapat di pungkiri, dapat memberikan pengaruh bagi proses pembentukan karakter anak. Misalnya jika orangtua anak karakternya tidak jauh berbeda dari orang tuanya, akan tetapi tidak lah ditelan mentah-mentah kalau anak tersebut keturunan pemarah maka ia pasti pemarah. Anak orang sabar maka jadi penyabar. Dalam hal ini genetiknya sudah tersedia, akan tetapi ada pengaruh lingkungan dimana kualitas kepribadian karakter, dan attitude bisa berpengaruh oleh lingkungan pergaulan, lingkungan sosial, dan sebagainya. Menurut Foerster ada 4 ciri dasar dalam pendidikan karakter: a. Kelenturan interior diaman setiap tindakan diukur berdasarkan hirarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. 9 Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h. 11 13 b. Kohersi yang memberikan keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah teobang-ambing pada situasi baru dan takut resiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak ada koherensi akan meruntuhkan kepribadian seseorang. c. Ketiga otonomi disitu orang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa pengaruh atau desakan dari pihak lain. d. Keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang di anggap baik. Dengan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.10 4. Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Menurut Kementrian Pendidikan Nasional, nilai karakter bangsa terdiri atas sebagai berikut. a. Religius, yaitu sikap dan perilaku yang patuh dan melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. b. Jujur, yaitu perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan perbuatan. c. Toleransi, yaitu sikap dan tindakan yang menghargai peredaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang yang berbeda dari dirinya. 10 Nuraida, dan Rihlah Nur Aulia, Pendidikan Karakter Untuk Guru, (Ciputat: Islamic Researrch Publishing, 2010), h. 12 14 d. Disiplin, yaitu tindakan yang menunjukkan perilaku tertib, patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. e. Kerja keras, yaitu perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatas berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. f. Kreatif, yaitu berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. g. Mandiri, yaitu sikap dan perilaku yang tidak mudah bergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugastugas. h. Demokratis, yaitu cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. i. Rasa ingin tahu, yaitu sika dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. j. Semangat kebangsaan, yaitu cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. k. Cinta tanah air, yaitu cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan, yang tinggi terhadap bangsa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. l. Menghargai prestasi, yaitu sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan menghormati keberhasilan orang lain. mengakui serta 15 m. Bersahabat/komunikatif, yaitu tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. n. Cinta damai, yaitu sikap, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. o. Gemar membaca, yaitu kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memerikan manfaat bagi dirinya. p. Peduli lingkungan, yaitu sikap dan tindakan yang berupaya mencegah kerusakan lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. q. Peduli sosial, yaitu sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. r. Tanggungjawab, yaitu sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, karakter dimulai dalam sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Adapun peserta didik yang berkarakter memiliki ciri-ciri: a. Memiliki kesadaran spiritual b. Memiliki integritas moral c. Memiliki kemampuan berfikir holistik d. Memiliki sikap terbuka e. Memiliki sikap peduli 16 Menurut Arif Rahman pendidikan dikatakan Hakim berhasil (pakar pendidikan), apabila memenuhi lima karakteristik, yaitu: a. Bertakwa b. Berkepribadian matang c. Berilmu mutakhir dan berprestasi d. Mempunyai rasa kebangsaan e. Berwawasan global.11 5. Pendidikan Karakter dalam Islam Dalam Islam, tidak ada disiplin ilmu yang terpisah dari etika-etika Islam. Dan pentingnya komparasi antara akal dan wahyu dalam menentukan nilai-nilai moral terbuka untuk diperdebatkan. Bagi kebanyakan muslim segala yang diamggap halal dan haram dalam Islam, dipahami sebagai keputusan Allah tentang benar dan baik. Dalam Islam terdapat tiga nilai utama, yaitu akhlak, adab, dan keteladanan. Akhlak merujuk kepada tugas dan tanggung jawab selain syari‟ah dan ajaran Islam secara umum. Sedangkan term adab merujuk kepada sikap yang dihubungkan dengan tingkah laku yang baik. Dan keteladanan merujuk kepada kualitas karakter yang di tampilkan oleh seorang muslim yang baik yang mengikuti keteladanan nabi Muhammad Saw. Ketiga nilai inilah yang menjadi pilar pendidikan karakter dalam Islam. Sebagai usaha yang identik dengan ajaran agama, pendidikan karakter dalam Islam memiliki keunikan dan perbedaan dengan pendidikan karakter di dunia barat. Perbedaan-perbedaan tersebut mencakup penekanan terhadap prinsip-prinsip agama yang abadi, aturan dan hukum dalam memperkuat moralitas, perbedaan 11 Drs. Anas Salahudin, M.Pd dan Irwanto Alkrienciehie, Pendidikan Karakter : Pendidikan Berbasis Agama dan Budaya Bangsa. (Bandung: CV Pustaka Setia. 2013), h. 54-57 17 pemahaman tentang kebenaran, penolakan terhadap otonomi moral sebagai tujuan pendidikan moral, dan penekanan pahala di akhirat sebagai motivasi perilaku moral. Inti dari perbedaan-perbedaan ini adalah keberadaan wahyu Ilahi sebagai sumber dan rambu-rambu pendidikan karakter dalam Islam. Akibatnya, pendidkian karakter dala Islam lebih sering dilakukan secara doktriner dan dogmatis, tidak secara demokratis dan logis.12 a. Akhlak, Adab, Moral, dan Nilai Secara umum, karakter merupakan prilaku manusia yang berhubungan dengan tuhan, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan, yang terwujud dalam pikiran, sikap perasaan, perkataan dan perbuatan berdasarkan normanorma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Karakter di bangun berlandaskan pengahayatan terhadap nilainilai tertentu yang dianggap baik. Misalnya, terkait dengan kehidupan pribadi maupun bangsa bernegara, terdapat nilainilai universal Islam seperti toleransi(tasamuh), Musyawarah (syura), Gotong royong (taawun), kejujuran (amanah), dan lainnya. Lalu apa perbedaan Akhlak, Adab, Moral dan nilai dengan pendidikan karakter? b. akhlak adalah bangunan jiwa yang bersumber darinya perilaku spontan tanpa didahului pemikiran, berupa prilaku baik (akhlak yang baik) ataupun prilaku buruk (akhlak yang tercela). c. Adab adalah pengetahuan tentang sesuatu yang dapat mengeluarkan dari segenap kesalahan dan kekeliruan secara umum meliputi kesalahan ucapan, perkataan, prilaku, tindakan dan moral. 12 Abdul Majid, dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2011), h.58 18 d. Moral adalah pengetahuan seseorang terhadap hal baik dan buruk. e. Nilai adalah nilai ideal, baik, benar dan indah bagi manusia.13 b. Karakter Pribadi Rasulullah Sebagai Simpul Akhlak Islam Implementasi akhlak dalam Islam tersimpul dalam karakter pribadi Rasullah SAW. Dalam pribadi rasul, bersemai nialinilai akhlak yang mulai dan agung. Al-qur‟an dalam surat AlAhzab ayat 21 menyatakan:”sesungguhnya telah ada pada diri Rasullah suri tauladan yang baik”. Akhlak tidak bisa diragukan lagi memiliki peran besar dalam kehidupan manusia. Pembinaan akhlak dimulai dari individu. Khakikat akhlak itu memang individual, meskipun ia dapat berlaku dalam konteks yang tidak individual. Karenanya, pembinaan akhlak dimulai dari sebuah gerakan indivual, yang kemudian diproyeksikan menyebar ke individu-individu lainnya, lalu setelah jumlah individu yang tercerahkan secara akhlak menjadi banyak, dengan sendirinya akan mewarnai kehidupan masyarakat. Pembinaan akhlak selanjutnya dilakukan dalam lingkungan keluarga dan harus dilakukan sedini mungkin sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Melalui pembinaan akhlak pada setiap individu dan keluarga akan tercipta peradaban masyarakat yang tentram dan sejahtera.14 13 Lanny Octavia, dkk., pendidikan karakter berbasis tradisi pesantren, (Jakarta: Rumah Kitab, 2014), h. 10-16 14 Abdul Majid, dan Dian Andayani, op. Cit., h. 59-60 19 6. Ruang Lingkup Pendidikan Karakter Guru a. Hakikat Guru Guru Profesional tidak memilih murid yang akan diajarinya. Siapapun muridnya, akan ia didik dengan baik. Di dunia ini hanya ada dua profesi, yaitu guru dan bukan guru. Kita boleh kagum pada seorang dokter ahli yang mampu menyembuhkan penyakit yang kritis, juga sangat kagum kepada yang merancang sebuah jembatan panjang dengan tingkat kesulitan tinggi. Namun mereka tidak akan pernah menjadi orang seperti itu jika ia tidak memiliki guru. Banyak cerita tentang keberhasilan seorang anak akibat guru yang hebat, namun banyak cerita juga tentang kegagalan karena guru salah didik. Kegagalan Albert Einsten, Thomas Alfa Edison, Stephen Hawking di sekolah, dia lunasi melalui belajar sendiri, dia menjadikan alam dan ilmu sebagai gurunya. Mungkin apada awalnya ada yang merasa tidak sengaja jadi guru, namun jika yang bersangkutan dengan cepat menyadari akan pentingnya peran dia sebagai guru, lalu ia bangun paradigmanya denagn benar dan bekerja dengan hati nurani, inilah guru yang dicari, ditunggu, dipuja, dan dihargai sepanjang masa.15 Sifat-sifat yang harus dipunyai oleh seorang guru yang baik menurut Moh. Syafie: 1) Dia mempunyai cukup ilmu untuk melakukan pekerjaan tersebut. 2) Dia mempunyai kesabaran yang besar. 3) Dia harus pandai bergaul dengan anak-anak didiknya. 4) Dia mempunyai kerajinan yang tidak putusnya guna kelancaran tugasnya. 15 Zulfikri Anas, Sekolah Untuk Kehidupan, (Jakarta: AMP Press, 2013) h. 177 20 5) Dia tidak boleh mempunyai perasaan dendam terhadap anak didiknya. 6) Dia harus memperhatikan anak didiknya tidak dalam kelas saja, juga diluar kelas, sehingga dia mendapat tinjauan yang jelas akan sifat-sifat yanng ada pada tiap-tiap anak didiknya. 7) Dia selalu bersedia menolong anak didiknya. 8) Dia sendiri harus banyak mempunyai sifat-sifat baik yang kemudian di tanamkan kedalam jiwa anak didiknya.16 b. Guru Sebagai Teladan Dalam KBM setiap guru bertindak sebagai pendidik. Bertutur dan bertindak selalu yang baik. Guru tidak menghukum secara fisik, tetapi dengan teguhan dan nasihat; sesekali memberi hadiah bagi siswa yang berprestasi. Karena dengan adanya hadiah peserta didik akan termotivasi untuk belajar dengan rajin, dan mereka merasa mendapat pengakuan dan keistimewaan dalam dirinya. Di kelas guru memahami bahwa semua peserta didik sama, sehingga tidak cendrung pada anak-anak tertentu. Prilaku guru di kelas sangat penting dan berpengaruh bagi peserta didik, apalagi berkaitan dengan pendidikan moral dan karakter. Para peserta didik akan hidup dalam masyarakat, karena itu para guru perlu mengomunikasikan persoalan sosial, etik, dan konsekuensi plitis dari suatu perubahan. Guru menyadari bahwa esensi pendidkan yaitu menjadiakn peserta didik yang bermoral dan religius serta mempunyai karakter yang baik. Agar setiap peserta didik bisa menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan yang ada disekitarnya. 16 H.A.R. Tilaar, Pedagogik Teoritis Untuk Indonesia, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2015), h. 146 21 Kemampuan yang harus dikembangkan untuk membentuk karakter guru adalah sebagai berikut: 1) Ketakwaan Kepada Allah a) Beriman kepada Allah b) Melaksanakan perintah-perintah allah c) Menjauhkan segala larangan allah 2) Kamatangan kepribadian a) Identitas diri (self-identity) b) Rasa percaya diri c) Harga diri d) Konsep diri positif e) Disiplin diri 3) Kemampuan bersosialisasi a) Memahami orang lain b) Peduli orang lain c) Berbagi dengan orang lain d) Rasa menolong orang lain e) Toleransi f) Senang bersosialisasi g) Tertib aturan 4) Kematangan emosiaonal a) Bertindak sesuai usia b) Kontrol diri emosi c) Menghargai orang lain d) Tenggang rasa e) Memberi dan menerima kasih sayang 5) Kematangan Intelektual a) Kemandirian berfikir (otonom) b) Mampu belajar dari l;ingkungan c) Menghargai orang lain d) Dapat menerima kritik 22 e) Mau belajar terus 6) Kemampuan vokasional a) Bertanggung jawab b) Bermotivasi tinggi c) Tahu hak dan kewajiban d) Kreatif e) Terbuka krittik f) Jujur dan loyal 7) Kemampuan membina a) Kepemimpian b) Empati c) Komunikasi d) Decesion making yang efektif e) Disiplin17 c. Peranan Guru di Sekolah Tabel 1.1 : Rekayasa Pembelajaran Guru dan tindak belajar siswa. Dari bagan 1.1 dapat diketahui: 1) Guru sebagai Pendidik melakukan rekayasa pembelajaran. Rekayasa pembelajaran tersebut dilakukan berdasarkan kurikulum yang berlaku. 17 Nursyamsi, “Membentuk karakter peserta didik melalui proses pembelajaran oleh guru kelas di MI/SD”,jurnal Tarbiyah Al-awlad, Volume VI, Edisi I, Hlm. 390 23 2) Siswa sebagai pembelajar di sekolah memiliki kepribadian, pengalaman, dan tujuan. Ia mengalami perkembangan jiwa, sesuai asas emansipasi dari menuju keutuhan dan kemandirian. 3) Guru menyusun desain instruksional untuk membelajarkan siswa. 4) Guru menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar. 5) Guru bertindak mengajar dikelas dengan maksud membelajarkan siswa. Dala tindakan tersebut, guru menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar. 6) Siswa bertindak belajar, artinya mengalami proses dean meningkatkan kemampuan mentalnya. 7) Dengan berakhirnya suatu proses belajar, maka siswa memperoleh suatu hasil belajar. Hasil belajar merupakan hasil dari suatu insteraksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi hasil belajar. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan berakhirnya penggal dan puncak.18 Proses belajar akan meningkat jika siswa diminta untuk melakukan hal-hal berikut ini: 1) Mengemukakan kembali Informasi dengan kata-kata mereka sendiri. 2) Memberikan contohnya. 3) Mengenalinya dalam bermacam bentuk dan situasi. 4) Melihat kaitan antara informasi itu dengan fakta atau gagasan lain. 5) Menggunakannya dengan berbagai macam cara. 6) Memprediksikan sejumlah konsekuensinya. 18 Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 3 24 7) Menyebutkan lawan atau kebalikannya.19 Peranan guru di sekolah, dalam keseluruhan kegiatan pendidikan di tingkat operasional, guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan. Melalui kinerjanya pada tingkat institusional, instruksional, dan eksperimensial. Artinya bahwa guru mempunyai posisi yang strategis di garda terdepan dalam upaya pembangunan bangsa. Sejalan dengan tugas-tugas utamanya sebagai pendidik di sekolah, guru melakukan tugastugas kinerja pendidikan dalam bimbingan, pengajaran, dan latihan. Semua kegiatan itu sangat terkait dengan upaya pengembangan para peserta didik melalui keteladanan, penciptaan lingkungan pendidikan yang kondusif, membimbing, mengajar, dan melatih peserta didik sebagai unsur bangsa. Tugas-tugas guru tersebut akan terlaksana dengan baik dan berhasil apabila diiringi dengan keperibadian guru yang baik. Keperibadian seorang guru merupakan titik tumpu sebagai penyeimbang antara pengetahuan mengenai pendidikan dan keterampilan melaksanakan profesi sebagai pendidik terutama dalam bidang pembelajaran. Ketika pengetahuan bekerja berkaitan dan pada keahlian perubahan perlaku titik tumpu secara yang ini kuat, seimbang yang positif dalam pembelajaran. Namun ketika titik tumpu ini lemah, yaitu dalam keadaan kepribadian guru tidak banyak membantu, maka pengetahuan dan keterampilan guru tidak akan efektif digunakan. Untuk itu budi pekerti guru sangat penting dalam pendidikan karakter atau watak peserta didik. Guru harus menjadi teladan bagi peserta didik, karena anak didik suka meniru. Di antara tujuan pendidikan ialah membentuk akhlak yang baik pada anak, dan ini akan tercapai jika guru berakhlak baik pula. Adapun 19 Melvin L. Siberman, Active Learning 101 cara belajar siswa aktif, (Bandung: Nuansa Cendekia, 2014). h. 26 25 akhlak yang baik dalam ilmu pendidikan Islam adalah akhlak yang sesuai dengan ajaran Islam, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Di antara akhlak guru tersebut adalah sebagai berikut: 1) Mencintai jabatan sebagai guru Tidak semua orang menjadi guru karena panggilan jiwa. Ada sebagian menjadi guru karena “terpaksa”, seharusnya seorang guru harus mencintai pekerjaannya, dan menjadi guru karena didorong oleh panggilan jiwanya. 2) Bersikap adil terhadap semua peserta didik Anak didik terutama pada tingkat MI/SD, sangat sensitif jika guru memperlakukannya secara kurang adil dan pilih kasih. Terutama guru-guru yang masih muda, lebih memperhatikan anak yang pandai daripada yang lain, sikap ini tidak baik. Oleh karena itu guru harus memperlakukan anak dengan cara yang sama. 3) Berlaku sabar dan tenang Di sekolah guru sering merasa kecewa karena peserta didik kurang mengerti apa yang diajarkannya. Bagi anak yang tidak mengerti, bisa menjadi pendiam atau sebaliknya membuat keributan di kelas. Kondisi ini dapat membuat guru kecewa, tetapi guru harus bersikap sabar menghadapi kondisi anak. Bisa jadi kesalahan ini terletak pada guru itu sendiri yang kurang terampil mengelola kelas atau materi pelajaran yang belum terkuasai dengan baik. 4) Guru harus berwibawa Dalam menyikapi kelas yang ribut, seharusnya guru menyikapi dengan tenang terhadap peserta didik dan tidak melakukan kekerasan. Agar kelas dapat tenang maka guru harus mampu menguasai anak-anak di kelas, inilah guru yang berwibawa. 26 5) Guru harus gembira Guru yang gembira memiliki sifat humor, suka tertawa dan suka memberikan kesempatan tertawa pada anak didiknya. Guru yang gembira tidak lekas kecewa, mengerti dengan kemampuan akan-anak, dan berusa-ha menerangkan pelajaran sampai anak me-mahaminya. 6) Guru harus bersifat manusiawi Guru adalah manusia yang tidak luput dari kekurangan dan kelemahan, bukanlah manusia sempurna. Oleh karena itu guru harus mampu memahami kekurangan dirinya, dan mau memperbaikinya. Juga tidak berpikiran picik terhadap kesalahan-kesalahan anak didiknya, tetapi memberikan hukuman yang adil dan suka mampu memaafkan apabila anak insaf akan kesalahannya. 7) Bekerja sama dengan guru-guru lain Hubungan dan kerja sama yang baik antara sesama guru dalam bekerja, lebih berharga daripada gedung mewah dan alat-alat yang cukup. Suasana guru-guru di sekolah sebagian besar dipengaruhi oleh sikap dan kebijaksanaan kepala sekolah. Kepala sekolah yang baik seharusnya mampu mengurus dan memperjuangan kepentingan guruguru lainnya. 8) Bekerjasama dengan masyarakat Guru harus mempunyai pandang luas, guru harus bergaul dengan segala golongan dan lapisan masyarakat, supaya sekolah tidak terpencil. Itulah di antara akhlak yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam menjalankan tugas mulianya untuk mencerdaskan anak-anak bangsa. Kerberhasilan penddikan sangat ditentukan oleh akhlak dan kualitas kepribadian guru 27 itu sendiri sebagai seorang pendidik terutama dalam membentuk karakter anak didiknya. Cavanagh, Michael E dalam Surya mengemukakan ada 12 kualitas keperibadian yang harus dimiliki seorang guru profesional, yaitu sebagai berikut: 1) Memiliki pengetahuan diri sendiri. Guru harus mengetahui tentang dirinya sendiri, apa yang sedang dilakukan, permasalahan apa dihadapi, dan persoalan didik. apa yang yang sedang dihadapi peserta Pengetahuan tentang diri sendiri memungkinkan guru dapat merasakan dan berkomunikasi secara penuh perasaan dengan peserta didik yang menjadi peserta didiknya. 2) Kecakapan Guru harus emosional, memiliki dan moral kualitas yang fisik, intelektual, penting untuk dapat membantu peserta didik, agar mereka dapat hidup efektif dan bahagia 3) Kesehatan Psikologis Guru harus menjadi model kesehatan psikologis, guru harus lebih sehat daripada orang yang mereka temui dalam proses pembelajaran. Kesehatan psiologis psikologis yang baik seorang guru sangatlah penting, karena akan mendasari pemahaman perilaku dan keahlian mereka. Kesehatan psikologis guru yang baik dapat membentuk suatu kekuatan positif dalam pembelajaran. 4) Dapat dipercaya Kepercayaan sangat penting bagi seorang guru, karena untuk mendorong orang menjadi dirinya sendiri, dapat menyimpan rahasia anak didik mereka, dan ketika peserta 28 didik dapat mempercayai guru, mereka akan mencoba untuk lebih percaya pada dirinya sendiri. 5) Kejujuran Kejujuran, maknanya guru harus transparan dan sejati (authentic, genuine). Karakteristik ini sangat penting, karena untuk memudahkan guru dan peserta didiknya berinteraksi, dan memberikan umpan balik yang belum terselesaikan atau yang belum dipahami oleh peserta didik. 6) Kekuatan Kekutan merupakan titik tengah antara intimidasi dan kelemahan. Hal ini dibutuhkan bagi guru, untuk memberikan peserta didik merasa aman. Para guru perlu memiliki kekuatan dalam meng-atasi serangan psikologis dan manupulasi yang dilakukan oleh peserta didik. 7) Kehangatan Kehangatan artinya sebagai sesuatu yang baik, perhatian, dan dapat menghibur orang lain. Kehangatan dalam berkomunikasi sangatlah penting dalam pembelajaran, karena dapat mencairkan suasana kelas. 8) Pendengar yang aktif Mendengar dengan baik adalah titik tengah antara hiperaktif dan kebingungan. Bagi guru, kualitas mendengarkan ini sangat penting, karena menunjukkan perhatian secara personal dan juga menstimulasi peserta didik untuk bereaksi secara spontan pada guru. 9) Kesabaran Kesabaran memperkenankan peserta didik dalam berkonsultasi dan menciptakan situasi yang kondusif. Para guru tidak dapat memaksa mempercepat pertumbuhan psikologis peserta didik tetapi harus membimbingnya. 10) Kepekaan 29 Sensitivitas dalam diri guru sangat penting,karena mereka harus berkomunikasi dengan peserta didik.Guru yang sensitif memahami perasaan peserta didik dan dapat mengangkat masalah-masalah ke permukaan. 11) Kebebasan Guru dapat memberikan kebebasan kepadapeserta didik yang sedang berkomunikasi, dan juga akan lebih merasakan tali persaudaraan apabila disertai rasa kebebasan. 12) Kesadaran Holistik Kesadaran holistik guru dalam pembelajaranadalah bahwa guru menyadari keseluruhan o-rang dan tidak mendekati hanya dari satu aspek saja. Namun begitu tidak berarti bahwa guru adalah seorang ahli dalam semua aspek, tetapi menyadari dan bagaimana satu dimensi saling terkait dengan dimensi lainnya. Dari berbagai penjelasan di atas dapat dipahami bahwa kualitas kepribadian guru merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh guru. Kompetensi kepribadian menurut UU No. 14/2005, diartikan sebagai “kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa, serta menjadi teladan peserta didik”. Kemampuan kepribadian guru berkaitan erat dengan karakter. Kepribadian dan karakter guru sebagai pendidik, utamanya mengajar, sangat berpengaruh terhadap keber-hasilan pengembangan sumber daya manusia. Artinya kepribadian guru merupakan faktor penentu keberhasilan belajar peserta didik.20 B. Pesantren 1. Pengertian Pesantren Pondok pesantren biasanya diartikan sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam, umunya dengan cara non-klasikal, di 20 Nursyamsi, loc. Cit. h. 390-392 30 mana seorang kyai mengajarkan agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa arab oleh ulamaulama Arab abad pertengahan.21 Pondok pesantren adalah merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran Islam di mana di dalamnya terjadi interaksi aktif antara kyai atau Ustadz sebagai guru dan para santri sebagai murid dengan mengambil tempat di masjid/mushalla atau berada masjid/mushalla, ruang kelas, atau emper asrama (pondok) untuk mengaji dan membahas buku-buku teks keagamaan karya ulama masa lalu.22 Dalam dunia pesantren diakui bahwa pesantren adalah lembaga lokal yang mengajarkan praktik-praktik dan kepercayaan-kepercayaan Islam.23 Pesantren tidak hanya fokus memberikan materi pelajaran dan nilai-nilai agama, tetapi pesantren juga mengajarkan keterampilan kepada setiap siswa/santrinya untuk menjadi bekal dan pedoman hidup mereka di masa depan dan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT agar senantiasa mendapat perlindungan dari berbagai keburukan yang ada. 2. Pola Umum Pendidikan Islam pesantren Sebelum tahun 1960-an, pusat-pusat pendidikan pesantren di Indonesia lebih dikenal dengan nama pondok. Istilah pondok barangkali berasal dari pengertian asrama-asrama para santri atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu, atau barangkali bearasal dari kata arab, funduq yang artinya hotel atau asrama. Perkataan pesantren bearasal dari kata santri, yang dengan awalan pe di depan dan di akhiran an belarti tempat tinggal para santri. Profesor Jhons berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa 21 Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005). h. 3 22 Mahmud, Model-model Penbelajaran di Pesantren, (Tangerang: Media Nusantara, 2006), h.1 23 Ronald Alan Lukens-Bull. Jihad ala Pesantren : di Mata Antropolog Amerika. Gama Media. Jakarta. 2004. Hal 56 31 tamil, yang belarti guru mengaji, sedang C.C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa india belarti orang yang tahu buku-buku suci agama hindu. Dari asal-usul kata santri pula banyak sarjana berpendapat bahwa lembaga pesantren pada dasarnya adalah lembaga pendidikan keagamaan bangsa Indonesia pada masa menganut agama Hindu Buddha yang bernama “mandala” yang diIslamkan oleh para kiyai.24 3. Kurikulum dan Identitas Kurikulum pada pesantren kontemprorer dapat dibagi ke dalam empat bentuk, yaitu : a. Ngaji dan Pendidikan Agama Pendidikan tradisional di pesantren adalah sendiri. Para santri memilih kitab-kitab dan mempelajarinya di bawah bimbingan kyai. Kajian individual antara santri dan kyai, disebut sorogan, memerlukan keseriusan dan kesabaran yang dalam. Para santri membawa kitabnya di depan kyai dan kemudian membaca dan dikoreksi oleh sang kyai (Dhofier, 1980: 20). Metode ini diterapkan dua kali selama masa belajar santri, yaitu pada awal dan akhir. Jika santri butuh bantuan untuk memperoleh kemampuan dasar, hal ini dilakukan pada awal masa belajar. Dalam hal ini, para santri biasanya tidak langsung dibimbing oleh kyai, tetapi dengan ustadz atau santri senior. Sorogan ini juga diterapkan bagi santri yang telah pandai, dan biasanya melibatkan kyai. b. Pengalaman dan Pendidikan Moral Pengalaman adalah bagian lain dari pendidikan pesantren. Pengalaman mungkin training khusus untuk khotbah dan bentukbentuk lain dari ceramah-ceramah umum. Terkadang santri senior dikirim ke desa-desa terdekat untuk memberikan khotbah Jum‟at atau untuk memimpin doa dan slametan, kebanyakan pengalaman 24 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3Es, 2011), h. 41 32 berkenaan dengan pendidikan moral, yaitu pengamalan nilai-nilai yang diajarkan saat mengaji. Nilai-nilai moral yang ditekankan di pesantren termasuk persaudaraan Islam, keikhlasan, kesederhanaan, dan kemandirian. Di samping itu, pesantren bernaksud pula untuk menanamkan kepada santrinya kesalehan dan komitmen atas lima rukun Islam: syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji. c. Sekolah dan Pendidikan Umum Pesantren secara luas berbeda dalam tingkatan pendidikan yang menekankan kepada hal yang bersifat sekuler. Di sanalah satu pesantren, para staf/pengurusnya sangat perhatian/marah jika para siswa tidak ikut salat jamaah, tetapi tidak berbuat apa-apa ketika melihat siswa-siswa itu tidak disiplin dalam kelas. d. Kursus dan Ketrampilan Siswa/santri tradisional tidak membayar untuk pendidikan dan kos mereka, tetapi mereka bekerja pada sang kyai, sebuah pola yang ditemukan di mana-mana dalam dunia Islam (Mottahedeh, 1985:95). Dalam bagian kerja ini mereka akan memperoleh banyak skill yang bisa mereka pakai setelah pulang. Belakangan, pesantren gemar menawarkan program ekstra, yang berupa kurus, yang paling populer adalah bahasa Inggris dan komputer dan jgua kursus ketrampilan seperti menyetir, reparasi mobil, menjahit, manajemen bisnis, dan pengelasan. Ini adalah bentuk respons mereka terhadap seruan pemerintah untuk meningkatkan kualitas SDM.25 C. Strategi dan Manajemen Pesantren 1. Strategi Pesantren Agar pesantren dapat tetap exist dan survive, serta tetap mampu memainkan peran yang dikehendaki untuk melahirkan sumber daya manusia unggul yang dapat mengantisipasi perubahan yang serba 25 Ibid. at 66-83. 33 cepat, sekaligus dapat meningkatkan kualitas peran dan kontribusinya terhadap kemajuan dan kesejahteraan bangsa, menjawab berbagai persoalan dan tantangan yang semakin kompleks, maka di antara bidang yang mendesak untuk dicermati sekaligus dibenahi dari dunia pesantren, adalah masalah srategi dan manajemennya. Sebagaimana telah dipraktikkan di dunia pesantren, strategi pendidikan pesantren ke depan setidaknya meliputi dua hal, yaitu proteksi dan proyeksi. Strategi proteksi mengacu kepada prinsip “al-muhafazhatu’ala alqadim al-shalih” (memelihara tradisi yang baik), sedangkan strategi proyeksi kepada prinsip “al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah” (mengambil hal-hal baru yang lebih baik). Pertama, strategi proteksi adalah usaha lembaga pendidikan untuk meningkatkan rating kualitas dan dimiliki para santrinya. Kemudian kualitas ini diproteksi dari pengaruh negatif lingkungan. Mengenai apa saja kualitas luhur yang akan diproteksi dari dalam diri santri dapat dijawab secara berbeda, sesuai dengan titik tekan masing-masing. Hanya saja pada dasarnya dapat dikatakan bahwa yang akan diproteksi adalah semua kualitas luhur, baik itu di bidang iman (kecerdasan spiritual, ilmu (kecerdasan intelektual), dan amal (kecerdasan emosional). Sedangkan tentang apa saja pengaruh negatif lingkungan yang harus dihindarkan dari santri, pada dasarnya, adalah seluruh pengaruh yang memiliki dampak negatif terhadap iman, ilmu, dan amal tersebut. Kedua, strategi proyeksi adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak pesantren untuk membangun dan mengembangkan segenap potensi yang dimiliki oleh para kyai, guru (asatidz), santri, dan masyarakat. Proyeksi ini dilakukan dengan dua pendekatan; individual dan institusional. Secara individual, proyeksi ini mengacu kepada aneka kecenderungan yang ada pada diri setiap santri, yang dipetakan untuk membangun dan mengembangkan minat dan bakat individu para santri dalam tiga domain kecerdasan di atas. Sedangkan pada level 34 institusional pesantren, yang meliputi visi-misi program dan orientasi pendidikan dan pengajaran di pesantren. Berdasarkan penjelasakan di atas, kedua strategi tersebut memiliki peran penting dalam kemajuan pendidikan pesantren, karena sebagai lembaga pendidikan yang sudah eksis cukup lama di Indonesia pesantren harus memiliki pertahanan untuk mengantisipasi masuknya nilai, budaya, dan pengaruh negatif yang datang dari luar agar tidak melemahkan esensi dan tradisi pesantren itu sendiri. Kemudian, pesantren dituntuk untuk melihat jauh ke depan dan berfikir lebih maju, karena seiring dengan berkembangnya zaman maka kebutuhan masyarakat terus berubah. Oleh karena itu, pesantren harus bisa mengkategorikan minat, dan bakat yang ada dalam diri siswa/santri agar bisa menghasilkan output yang mampu beradaptasi di kehidupan berbangsa dan bernegara. 2. Manajemen Pesantren Untuk memastikan berjalannya dua strategi di atas kepemimpinan pesantren perlu terus-menerus mengasah berbagai kepekaan dalam mengelola dan mengembangkan pesantren, terutama dalam menghadapi berbagai peluang dan tantangan baik dari dalam maupun dari luar pesantren itu sendiri. Pertama, kepekaan terhadap efektifitas. Pesantren yang sudah dibuka untuk akreditasi yang setara dengan sekolah-sekolah umum, perlu memperkuat basis kulturnya yang positif agar tidak cepat-cepat tergoda dengan tren kebijakan pendidikan pemerintah, seperti tren menegerikan lembaga pendidikan. Hal itu karena pada tataran teknis, efektifitas, dan akuntabilitas kebijakan pemerintah tersebut tida sesuai dengan kondisi riil kesiapan beberapa pesantren, sehingga tak jarang karena sikap terburu-buru itu pesantren dapat tercerabut dari akar kultur yang sudah terbina relatif lama ketimbang sekolah-sekolah umum. Hal ini nukan berarti mencurigai kenijakan pemerintah, akan 35 tetapi dalam skala yang lebih luas, segala apapun yang menjadi tren baru di masyarakat harus tetap direspon dengan tetap mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi dalam mengikuti tren tersebut. Hal ini penting dicatatat, apalagi mengingat implementasi otonomi pndidikan dikembalikan kepada masyarakat itu sendiri yang mencerminkan kekhasan historis dan sosial-budaya masing-masing. Kedua, kepekaan terhadap transparansi, perencanaan, dan evaluasi. Kebijakan pemerintah memberikan akreditasi kepada sejunmlah pesantren mencerminkan pengakuan adanya hak hidup berbagai sistem pendidikan nasional. Namun kebijakan ini menuntut kepemimpinan pesantren untuk mengembangkan kepekaan terhadap perlunya pengawasan baik di tingkat manajemen kelembagaan maupun perencanaan dan evaluasi program. Kepekaan dalam manajemen kelembagaan mencakup kesediaan untuk transparan dalam pengelolaan dan penggunaan keuangan. Sementaraitu, perencanaan program pendidikan di pesantren perlu mempertimbangkan azas berkelanjutan dan kemampuan program tersebut merespon irama perubahan, tanpa harus kehilangan nilai-nilai dasar dan falsafah hidup pesantren itu sendiri. Ketiga, kepekaan terhadap koorporasi dan sinergi. Era reformasi telah melahirkan persaingan antara lembaga pendidikan, terutama dalam hal kualitas pendidikan, agar lembaga pendidikan tersebut semakin diminati oleh masyarakat. Pada level ini, komunikasi semakin menjadi penting antar pengelola pesantren, agar tidak terjebak dengan persaingan yang sempit (conlifct of interest). Lagi pula komunikasi tersebut tak lain adalah sebagai cara untuk menyamakan persepsi termasuk langkah agar dapat mewujudkan fungsi pesantren untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka dalam sisi manajemen, pesantren dituntut untuk lebih meningkatkan kerjasama dan sinergi yang tidak melulu dengan lembaga-lembaga pesantren, melainkan juga dengan lembaga-lembaga di luar pesantren. Hal ini 36 ditujukan guna meningkatkan kapasitas pesantren, baik dalam mengelola dan mengembangkan pendidikan dan pengajarannya, pendanaan, penyediaan sarana dan prasarana, organisasi dan kepemimpinan, peningkatan mutu SDM, serta kesejahteraan para guru dan pembantu pesantren. Keempat, kepekaan terhadap nilai-nilai kesungguhan dan keikhlasan. Seperti yang dikemukakan di atas, bahwa penting bagi pesantren untuk mampu responsif terhadap perubahan. Namun ada yang tak kalah pentingnya, yaitu tetap memelihara budaya khas kepemimpinan pesantren yang membedakannya dengan yang lain. Yaitu kepekaan menilai kesungguhan dan keikhlasan komunitas pesantren, sejak dari individu, kelompok, lembaga, hingga pesantren sebagai suatu totalitas. Kenapa harus kesungguhan dan keikhlasan? Kesungguhan dan keikhlasan adalah dua nilai pesantren yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dengan kesungguhan saja, tanpa keikhlasan, seseorang akan dipertanyakan motifnya, untuk tujuan apakah ia sungguh-sungguh, apakah untuk mencari interest pribadi atau kelompok atau untuk mencapai tujuan bersama. Untuk itu diperlukan keikhlasan, karena tanpa itu, kesungguhan akan selalu diukur dengan imbalan yang diterima. Sebaliknya, keikhlasan tanpa kesungguhan dapat mendorong kepada sebuah bentuk kepasifan dan kejumudan, karena tidak ada semangat yang mendorong tercapainya target-target yang telah dicanangkan. Alhasil kesungguhan dan keikhlasan adalah ibarat dua sisi mata uang yang sama-sama penting.26 Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan peran kyai dalam pola manajemen dapat menjadi penentu pesantren yang harus selalu peka terhadap berbagai situasi dan perkembangan zaman yang sedemikian pesat. Hendaknya, kyai harus membuat pesantren berjalan dengan 26 Abdullah Zukri Zarkasyi. Manajemen Pesantren : Pengalaman Pondok Modern Gontor. Tri Murti Press. Gontor. 2005. Hal 37-40. 37 dinamis dan penuh kesungguhan dalam mengabdi dan memberikan yang terbaik untuk kemajuan pendidikan di Indonesia. 3. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan yang tidak mencetak pegawai, yang mau diperintah oleh orang lain, tetapi lembaga pendidikan yang mencetak „majikan‟ (paling tidak) untuk dirinya sendiri lembaga yang mampu mencetak orang-orang yang berani hidup dan berdiri sendiri Kurikulum Pondok pesantren selain menggunakan metode sorogan dikenal pula sistem weton. Metode ini di sumatra disebut dengan istilah balaqoh atau juga dikenal dengan sebutan balagban. Praktik sistem weton hampir selalu dihadirioleh sejumlah santri, dimana seorang guru (kiyai) membaca, menerjemahkan dan menjelaskan Kitab tertentu yang di dengar oleh sejumlah santri yang duduk mengelilingi kiyai. Istilah weton berasal dari kata wektu (jawa), karena pengajian tersebut dilakukan pada waktu tertentu sebelum dan sesudah melaksanakan ibadah shalat. 27 4. Kiai Pesantren dan Kiai adalah dunia yang tak habis-habisnya untuk dipelajari dan digali. Ada cukup banyak penelitian dan kajian dengan menjadiakan pesantren dan kiai sebagai obyek kajiannya. Namun demikian, selalu tersedia perspektif tertentu yang belum diungkap. Hal ini menunjukan betapa pesantren dan kiai merupaka khazanah yang kaya dengan berbagai perspektif. 28 Oleh karena itu kiai merupakan elemen paling esensial dari suatu pesantren. Ia seringkali bahkan merupakan pendirinya. Sudah 27 Sukamto, Kepemiompinan Kiai Dalam Pesantren, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1999), h.136-145 Achmad Patoni, Peran Kiai Pesantren dalam partai Politik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.1 28 38 sewajarnya bahwa pertumbuhan suatu pesantren semata-mata bergantung pada kemampuan pribadi kyainya. Kebanyakan para kyai beranggapan bahwa suatu pesantren dapat diibaratkan sebagai suatu kerajaan kecil di mana kyai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam kehidupan dan lingkungan pesantren. Tidak seorang pun santri atau orang lain dapat melawan kekuasaan kyai (dalam lingkungan pesantrennya) kecuali kyai lain yang lebih besar pengaruhnya. Para santri selalu mengharap dan berpikir bahwa kyai yang dianutnya merupakan orang yang percaya penuh kepada dirinya sendiri (self-confident), baik dalam soal-soal pengetahuan Islam, maupun pesantren. dalam bidang kekuasaan dan manajemen 29 Berdasarkan penjelasan tersebut, kyai memiliki pengaruh besar dalam berbagai bidang, dan ini tidak bisa ditentang oleh santri. Hal ini disebabkan karena, kyai adalah elemen yang paling mengetahui segalanya mengenai dirinya, agama, dan apapun yang ada dalam pesantren. Sehingga kyai mempunyai kebijakan yang sangat mutlak pada pelaksanaan manajemen di pesantren. 29 Zamakhsyari Dhofier. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonsia. LP3ES. Jakarta. 2011. Cet. 8. Hal 93-94 39 BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu, dan Tempat Penelitian 1. Waktu Penelitian Adapun waktu penelitian yang dilakukan penulis adalah mulai tanggal 02-22 Juni 2017, dan dilanjutkan kembali hingga tanggal 12 Juli 2017. 2. Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di pondok pesantren Al-Awwabin Depok dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. B. Metode Penelitian Dalam sebuah penelitian metode merupakan hal yang sangat penting, karena dengan metode yang baik dan benar akan memungkinkan tercapainya tujuan penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif analisis yaitu metode yang bertujuan untuk menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penilaian, dan berupaya menarik realitas itu kepermukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu30. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang hasil penelitiannya disimpulkan secara deskripsi, agar dapat memudahkan peneliti dalam memperoleh data dan menyimpulkan hasil data yang diperoleh di lapangan nanti. Dengan metode ini, penulis akan menggambarkan mengenai peran kyai dan guru dalam mengoptimalisasikan pola pendidikan dalam membentuk karakter santri. 30 Pedoman Penulisan Skripsi, (Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta 2015), h. 63 40 C. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai setting, berbagai sumber, dan berbagai cara. Bila dilihat dari setting-nya, data dapat dikumpulkan pada setting alamiah (natural setting), pada laboratorium dengan metode eksperimen, di rumah dengan berbagai responden, pada suatu seminar, diskusi, di jalan dan lain-lain.31 Pada umumnya seseorang yang ingin memperoleh data, menggunakan teknik pengumpulan data yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas. Maka dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa teknik, yaitu: 1. Observasi Observasi adalah dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian.32 Dalam observasi ini, penulis Mengadakan Obeservasi secara langsung terhadapkegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pembentukan karakter santri sebagai sumber penelitian. Penulis melakukan pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap objek yang dipandang dapat dijadikan sumber data. Dalam penelitian ini penulis melakukan observasi lapangan. Hasil pengamatan tersebut akan menjadi salah satu data untuk bahan rujukan yang selanjutnya akan dianalisis dalam penelitian. 2. Wawancara Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu.33 Dalam hal ini penulis mengadakan wawancara lansung dengan cara bertatap muka dengan informan 31 Sugiyono,Metodologi Penelitian Kuantitatif R&D, (Bandung: Alfabeta, 2006). h. 253 Pedoman Penulisan Skripsi, (Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta 2015), h. 66 33 Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2010), h.180 32 41 penelitian sebagaimana yang telah ditetapkan diatas sampai datadata yang diperlukan terkumpul. Hal-hal yang akan diwawancarai adalah seputar aktifitas ibadah sholat berjamaah, mengaji, kegiatan belajar mengajar dalam mengimplementasikan pendidikan karakter di pondok pesantren Al-Awwabin Depok. 3. Menyebarkan angket Dengan membagi-bagikan angket dengan rumusan yang terkait dengan, pengetahuan, pemahaman sikap, tingkah atau perilaku yang selanjutnya akan dianalisis dengan kondisi real yang ada di lapangan. 4. Dokumentasi Dokumen merupakan catatan atau karya seseorang tentang sesuatu yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan, (life histories), ceritera, biografi, peraturan, kebijakan.Dokumen yang berbentuk gambar, misalnya foto, gambar hidup, sketsa dan lain-lain.dokumen berbentuk karya misalnya karya seni, yang dapat berupa gambar, patung Film, dan lain-lain.Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelititan kualitatif.34 Teknik dokumentasi menjadi salah satu teknik penunjang validnya suatu data penelitian, karena penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, maka penulis menggunakan ini sebagai pembantu dalam mengambil hasil kesimpulan dalam penelitian D. Teknik Pengelolaan Data Setelah data-data terkumpul lengkap, berikutnya yang penulis lakukan adalah membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi, dan mengklarifikasi 34 Sugiyono. Loc. Cit. h. 270 42 data-data yang relevan dan yang mendukung pokok bahasan, untuk selanjutnya penulis analisis, simpulkan dalam satu pembahasan utuh. E. Teknik Analisis Data Teknis analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini memakai tiga jalur kegiatan, yakni: 1. Reduksi Data Reduksi data menunjukan kepada proses pemilihan, pemokusan, penyederhanaan, pemisahan, pentransformasian data “mentah” yang terlihat dalam catatan tertulis lapangan (writer-up field noters). Oleh karena itu, reduksi data berlangsung selama kegiatan penelitian dilaksanakan. Ini berarti pula reproduksi data telah dilakukan sebelum pengumpulan data di lapangan, yaitu pada waktu penyusunan proposal, pada saat menentukan kerangka konsepsual, tempat, perumusan pertanyaan penelitian, dan pemilihan pendekatan dalam pengumpulan data. Juga dilakukan pada waktu pengumpulan data, seperti membuat kesimpulan, pengkodean, membuat tema, membuat cluster, membuat pemisahan dan menulis memo. Reduksi data dilanjutkan sesudah kerja lapangan, sampai laporan akhir penelitian lengkap dan selesai disusun. Reduksi data sangatlah penting dilakukan agar memudahkan peneliti dalam melakukan kegiatan penyimpulan dari hasil data penelitian dan demi menghindari kesalahan dalam rangka penarikan kesimpulan. 2. Penyajian Data Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data. Kalau dalam penelitian kuantitatif penyajian data ini dapat dilakukan dalam bentuk tabel, grafik, phie chard, 43 pictogram dan sejenisnya. Melalui penyajian data tersebut, maka data terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan, seingga akan semakin mudah dipahami. Dengan mendisplaykan data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya beradasarkan apa yang telah dipahami tersebut. Selanjutnyaa disarankan, dalam melakukan display data, selain dengan teks yang naratif, juga dapat berupa grafik, matrik, network (jejaring kerja) dan chart. Untuk mengecek apakah peneliti telah memahami apa yang didisplaykan. Dalam prakteknya tidak semudah ilustrasi yang diberikan, karena fenomena sosial bersifat kompleks, dan dinamis, sehingga apa yang ditemukan pada saat memasuki lapangan dan setelah berlangsung agak lama di lapangan akan mengalami perkembangan data. Untuk itu peneliti harus selalu menguji apa yang telah ditemukan pada saat memasuki lapangan yang masih bersifat hipotetik itu berkembang atau tidak. Bila setelah lama memasuki lapangan ternyata hipotesis yang dirumuskan selalu didukung oleh data pada saat dikumpulkan di lapangan, maka hipotesis tersebut terbukti, dan akan berkembang menjadi teori yang grounded. Teori grounded adalah teori yang ditemukan secaa induktif, berdasarikan data-data yang ditemukan di lapangan, dan selanjutnya diuji melalui pengumpulan data terus menerus.35 3. Penarikan Kesimpulan Setelah data yang terkumpul direduksi dan selanjutnya disajikan, maka langkah yang terakhir dalam menganalisis data adalah menarik kesimpulan atau verifikasi.36 Kegiatan utama ketiga dalam analisis data yaitu penarikan kesimpulan/verifikasi. Sejak pengumpulan data, peneliti telah 35 36 Sugiyono,Metodologi Penelitian Kuantitatif R&D, (Bandung: Alfabeta, 2006). h. 280-281 Ibid., h. 71 44 mencatat dan memberi makna sesuatu yang dilihat atau diwawancarainya. Memo dan memo telah ditulis, namun kesimpulan akhir masih jauh. Penelitian harus jujur dan menghindari bias subjektivitas dirinya. F. Kisi-kisi Instrumen Penelitian 1. Pedoman Wawancara Tabel 1.2 Pedoman wawancara No 1 Variabel Implementasi Sub Variabel Pendidikan Karakter 1. Pembinaan ideologi keagamaan a. Penanaman nilai-nilai agama sesuai dengan pandangan wahyu Tuhan dalam Kitab Suci b. Pembinaan keyakinan (akidah) c. Pembinaan ritual peribadatan (ibadah) d. Pembinaan tingkah laku (akhlak) e. Pembinaan individu dengan masyarakat (muamalah duniawiyah). 2. Memberikan suri teladan yang baik 3. Memberikan motiasi kepada santri 4. Berkerjasama membentuk karakter baik di pesantren dan di rumah 5. Pesantren harus menjadi model masyarakat yang damai dan harmonis 6. Pesantren harus memberikan kesempatan kepada para santri untuk mempraktikkan perilaku moral. 2 Peran guru pesantren dan pimpinan 1. Merumuskan strategi pembelajaran yang relevan untuk santri 2. Menentukan pola pendekatan pembelajaran yang tepat untuk santri 45 3. Merumuskan bahan ajar yang sesuai untuk santri 4. Memberikan keteladanan yang baik untuk santri 3 Karakter Santri 1. Belajar dengan tekun dan rajin untuk meningkatkan prestasi akademik 2. Melatih diri dengan ulet dan kerja keras untuk membentuk karakter 3. Mengasah ketrampilan mengaktualisasikan potensi diri 2. Daftar cocok (checklist) dokumen Tabel 1.3 Daftar Checklist Dokumen No 1 Dokumen Profil Sekolah Data Santri 1. Madrasah Ibtidaiyah 2. Madrasah Tsanawiyah 3. Madrasah Aliyah 2 Struktur Organisasi 3 Prestasi Santri 4 Foto-foto Kegiatan Ada Tidak Keterangan guna 46 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data Pada bagian ini dideskripsikan hasil penelitian tentang Implementasi Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren al-Awwabin, Depok, dengan pimpinan pesantren, guru, alumni, dan santri yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara, serta dokumentasi. Sebagaimana yang akan dipaparkan sebagai berikut: 1. Implementasi Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren alAwwabin Sebagai institusi pendidikan Islam, pesantren memiliki pola pendidikan yang sangat menekankan pada aspek pembentukan karakter santri-santrinya.Kegiatan belajar pesantren dilakukan melalui berbagai rutinitas harian yang sudah tersusun sedemikian rupa mulai sejak subuh, hingga malam hari.Meliputi kegiatan sholat berjamaah, pengajian kitab-kitab, belajar di kelas, muhadhoroh, ekstrakurikuler, dan lain sebagainya.Dengan menjalankan rutinitas-rutinitas pesantren, santri mampu mengembangkan dirinya, baik secara kognitif, afektif, serta psikomotorik, dan ini dapat membantu mencapai tujuan pendidikan sebagaimana yang diamanatkan undang-undang. Berdasarkan hasil wawancara dengan Pimpinan 1 pondok pesantren al-Awwabin, Depok, Drs. KH. Fathurrahman, MA, dari beberapa informasi yang diperoleh tentang kegiatan ini. Beliau menjelaskan bahwa: Ada dua sistem pendidikan di pesantren al-Awwabin, pertama pendidikan formal (sekolah) dengan kurikulum pemerintah (Kementrian Agama), dan kurikulum non formal yaitu pesantren membuat sendiri kurikulum yang disesuaikan dengan tingkat studinya.Seperti madrasah diniyah, diberikan bagi santri-santri baru yang belum pernah merasakan pendidikan pesantren.Lalu kurikulum pesantren bagi santri-santri yang sudah dianggap mampu mengikutinya, santri langsung mengikuti kajian-kajian kitab dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi. 37 37 Wawancara pribadi dengan ustadz Drs. KH. Fathurrohman, MA (Lurah sekaligus Pimpinan 1 pondok pesantren Al-Awwabin) Depok, 2 Juni 2017 47 Dari pernyataan Pimpinan pesantren tersebut, pondok pesantren alAwwabin memiliki dua sistem pendidikan, yakni formal (sekolah) dengan menggunakan kurikulum pemerintah (Kementrian Agama) dan non formal (madrasah diniyah) yang disesuaikan dengan jenjang pendidikan santri. Selanjutnya, penulis akan menjelaskan bentuk madrasah diniyah di pondok pesantren al-Awwabin, madrasah diniyah mempunyai tiga tingkatan, yakni : Diniyah Awaliyah, Diniyah Wustha dan Diniyah Ulya. Madrasah Diniah Awaliyah berlangsung 4 tahun (4 tingkatan), dan Wustha 2 tahun (2 tingkatan). Input Siswa Madrasah Diniyah Awaliyah adalah siswa yang berasal dari sekolah Dasar dan SMP serta SMU. Sebagai bagian dari pendidikan luar sekolah. Kemudian, mata pelajaran yang diajarkan pada madrasah diniyah yaitu: a. Al-Qur‟an Hadits b. Aqidah Akhlak c. Fiqih d. Sejarah Kebudayaan Islam e. Bahasa Arab f. Praktek Ibadah. Dalam pelajaran al-Qur‟an-Hadits, santri diarahkan kepada pemahaman dan penghayatan santri tentang isi yang terkandung dalam qur‟an dan hadits. Mata pelajaran aqidah akhlak berfungsi untuk memberikan pengetahuan dan bimbingan kepada santri agar meneladani kepribadian nabi Muhammad SAW, sebagai Rasul dan hamba Allah, meyakini dan menjadikan Rukun Iman sebagai pedoman berhubungan dengan Tuhannya, sesama manusia dengan alam sekitar, Mata pelajaran Fiqih diarahkan untuk mendorong, membimbing, mengembangkan dan membina santri untuk mengetahui memahami dan menghayati syariat Islam. Sejarah Kebudayaan Islam merupakan 48 mata pelajaran yang diharapkan dapat memperkaya pengalaman santri dengan keteladanan dari Nabi Muhammad SAW dan sahabat dan tokoh Islam. Selanjutnya, Bahasa Arab sangat penting untuk penunjang pemahaman santri terhadap ajaran agama Islam, mengembangkan ilmu pengetahuan Islam dan hubungan antar bangsa dengan pendekatan komunikatif. Kemudian, praktek ibadah bertujuan melaksanakan ibadah dan syariat agama Islam. Berdasarkan penjelasan di atas, madrasah diniyah merupakan elemen penting bagi pondok pesantren untuk memberikan pembinaan kepada para santri untuk meningkatkan kualitas akademik, akhlak, dan ketrampilannya. Namun, sebagaimana pondok pesantren pada umumnya, al-Awwabin menekankan pada pendidikan karakter (akhlak), di mana santri diharuskan mengikuti berbagai rutinitas yang ada seperti yang telah dijadwalkan oleh pihak pesantren. Hal tersebut dilakukan dalam rangka membentuk karakter santri, di antaranya: 1. Disiplin a. Masuk sekolah tepat waktu pada jam yang telah ditentukan oleh peraturan di pesantren. b. Mengakhiri kegiatan belajar dan pulang sesuai jadwal yang ditentukan. c. Menggunakan kelengkapan seragam pesantren sesuai peraturan. d. Menjaga kerapian dan kebersihan pakaian sesuai dengan peraturan sekolah. e. Apabila berhalangan hadir ke pesantren, maka harus menyampaikan izin kepada guru/wali santri. f. Mengikuti keseluruhan proses pembelajaran dengan baik dan aktif. g. Mengikuti dan melaksanakan kegiatan ekstrakurikuler yang di tentukan di pesantren. h. Mengerjakan tugas yang diberikan guru. 49 i. Melaksanakan tugas piket kelas sesuai jadwal yang ditentukan. j. Mengatur waktu belajar. 2. Kerja Keras a. Menyelesaikan semua tugas dengan baik dan tepat waktu b. Tidak putus asa dalam menghadapi masalah c. Tidak mudah menyerah dalam menghadapi masalah. 2. Peran Guru dalam Pendidikan di Pesantren al-Awwabin Satu catatan penting yang perlu disampaikan adalah pentingnya semua komponen bangsa membantu guru untuk menjadi penjaga NKRI. Gurulah yang bertanggungjawab dan harus mampu mengobarkan semangat nasionalisme, karena bangsa kita belum menjadi bangsa yang dicita-citakan para founding fathers. Negara kita masih dalam proses on becoming. Gurulah yang bertugas menempa hati dan bukan hanya otak, supaya generasi kita menjadi generasi yang mencintai Indonesia, yang tidak membiarkan Indonesia menjadi 17.000 negara. Tugas guru seperti yang diikarkan pada tahun 1945, belum tuntas, dan adalah kewajiban kita semua untuk membantu mereka. Guru harus berkontribusi maksimal dalam nation and character building.38 Berikut ini adalah hasil wawancara terhadap salah satu guru sekaligus perwakilan alumni pondok pesantren al-Awwabin: Kami menggunakan KBM dengan cara memberikan cerita seputar akhlakul karimah Rasulullah SAW, lalu menceritakan isi-isi kitab salafiyah dengan yang membahas akhlak. Lalu, santri diwajibkan bagi santri untuk mengucapkan salam, mencium tangan, terhadap orang tua (ustadz, pengurus, kyai, dan para tamu) dengan tujuan untuk membentuk karakternya agar mampu menghormati orang lain, terutama yang lebih tua. Santri diharuskan memiliki karakter yang jujur, amanah, disiplin, baik ketika mengaji, belajar, serta taat kepada ustadz di pondok pesantren.Kendalanya hanya satu, santri-santri dihadapkan dengan kemajuan teknologi modern (gadget). Selanjutnya, pergaulan bebas para santri dengan teman-temannya ketika di rumah, 38 Prof. Dr. Sucipto, Pendidikan Nasional : Arah Kemana?. Buku Kompas. 2012. Jakarta. hal 222223 50 melakukan aktivitas seperti merokok dan hal negatif lainnya. Ini cukup menyulitkan upaya pembentukan karakter bagi para santri di pondok pesantren al-Awwabin. Santri merasa lebih cepat tanggap untuk memahami berbagai cerita seputar ketelaadanan dari para ulama, dan Rasulullah SAW.Hal ini diperkuat dengan sikap ustadz yang berusaha untuk menjadikan dirinya sebagai teladan bagi para santri, melalui kedisiplinannya, ketekunannya, dan bentuk-bentuk keteladanan lainnya.39 Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa guru di pondok pesantren al-Awwabin sangat serius dalam mendidik para santri-santrinya. Hal ini dibuktikan dengan peranan guru dalam memberikan pendampingan secara penuh terhadap santri selama kegiatan belajar mengajar (KBM) berlangsung. Sehingga santri merasa diawasi, dibimbing, dan diarahkan secara intensif oleh guru, dan tindakan ini mampu memicu meningkatnya minat belajar santri untuk lebih giat belajar dan berprestasi. Guru merupakan salah satu unsur pendidikan yang amat penting, ukuran guru yang baik adalah memiliki kompetensi dan profesional. Guru yang kompeten akan menuju kepada pendidikan profesional dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Problema yang terjadi pada tenaga pendidik di pesantren alAwwabin adalah masih terdapat guru yang tidak ahli dan profesional dalam mengajarkan pelajaran, serta masih terdapat guru yang hanya lulusan SMA/Aliyah atau masih menempuh kuliah. Permasalahan inilah yang menyebabkan belum optimalnya pendidikan karakter di pondok pesantren al-Awwabin. B. Pembahasan Hasil Penelitian Dalam konteks Indonesia, character building telah dikembangkan sejak negeri ini berdiri, di mana presiden RI pertama Ir. Soekarno mengemukakan gagasan tentang pentingnya pembentukan karakter bangsa. Ketika itu, nilai-nilai yang diutamakan adalah penghargaan atas kemerdekaan, kedaulatan, dan kepercayaan pada kekuatan sendiri atau 39 Wawancara pribadi dengan ustadz H. Abdurrahman, S.Pd (guru sekaligus perwakilan alumni pesantren al-Awwabin) Depok, 12 Juni 2017 51 berdikari. Mengingat pembentukan karakter bersifat kontekstual, maka ia bisa berubah sesuai dengan maksud dan tujuannya, dengan berbasis selalu pada nilai-nilai (values). Secara umum, karakter merupakan perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, lingkunganm dan kebangsaan, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat. Karakter dibangun berlandaskan pengkhayatan terhadap nilai-nilai tertentu yang dianggap baik. Misalnya, terkait dengan kehidupan pribadi maupun berbangsa bernegara, terdapat nilai-nilai universal Islam seperti toleransi (tasamuh), musyawarah (syura), gotong royong (ta’awun), kejujuran (amanah) dan lainnya.40 Berdasarkan penjelasan di atas, guru berperan penting untuk menjaga sekaligus merealisasikan nilai-nilai pembentukan karakter terhadap santri di pondok pesantren melalui pendampingan dan pola pembelajarannya. Santri memerlukan keteladanan untuk membentuk karakternya, maka santri dapat mengamati dan merasakan secara langsung keteladanan itu dari gurunya. Aktivitas pesantren dimulai sejak adzan subuh hingga malam hari, tentunya guru betul-betul melakukan kerja ekstra untuk mendampingi santri secara penuh. Dengan melakukan pendampingan tersebut, dapat dikatakan bahwa guru merupakan model sekaligus pilar utama pendidikan, yang kelak akan membentuk manusia yang tidak hanya memiliki ilmu pengetahuan saja, melainkan juga memiliki karakter atau akhlakul karimah yang tentunya bisa bermanfaat untuk menjaga tatanan masyarakat. Berikut ini adalah pembahasan hasil penelitian yang akan dikemukakan penulis: 40 Lanny Octavia, dkk.Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren. Tim Penulis Rumah Kitab. Jakarta. 2014. hal 10-11 52 1. Bentuk-bentuk Rutinitas di Pondok Pesantren al-Awwabin Selanjutnya, masih dengan responden yang sama yaitu Drs. KH. Fathurrahman, MA selaku Pimpinan 1 pondok pesantren al-Awwabin, Depok, penulis memberikan pertanyaan lebih lanjut mengenai seperti apa bentuk kegiatan rutin yang dilakukan dalam kegiatan belajar di pesantren, beliau menjelaskan: Pondok pesantren Al-Awwabin lebih menekankan ilmu alat (kitab kuning) sebagaimana yang diinginkan abuya. Di samping itu, al-Awwabin juga menekankan ilmu pendidikan untuk masyarakat, seperti muhadhoroh, tujuannya agar santri dapat menggunakan ilmunya agar santri mampu berbicara di depan masyarakat dengan baik. Kegiatan muhadhoroh dilakukan setiap minggu sekali, dengan sistem dibagi menjadi beberapa kelompok dengan jumlah 10 orang per kelompoknya.Setiap kelompok diberikan tugas untuk membuat rangkuman pidato, lalu pada gilirannya kelompok tersebut maju dan menyerahkan naskah yang telah dibuat. Sehingga memungkinkan bagi guru untuk mengoreksi apa saja yang menjadi kekurangan dalam penulisannya. Guru, ustadz, dan pengurus ikut terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan yang ada, melalui kegiatan rawi, ratib, sholat jama‟ah, dan lain sebagainya.Sehingga santri merasa diawasi, didampingi, dan diarahkan sekaligus ustadz menjadi contoh atau model pendidikan terhadap santrisantrinya. Bagi santri yang berprestasi, diberikan pelajaran tambahan atau pembinaan secara intensif.Meliputi kajian kitab di luar struktur kurikulum.Lalu mengenai mata pelajaran umum hanya diberikan ketika ingin dilaksanakan ujian saja.Namun, para santri cenderung memiliki kelemahan dalam penguasaan bahasa Inggris.Dalam satu minggu sekali alAwwabin memanggil alumni yang memiliki latar belakang kuliah dari jurusan bahasa Inggris untuk melakukan pembinaan lebih lanjut terhadap santri. 41 Berdasarkan hasil wawancara tersebut, pesantren al-Awwabin begitu menekankan pada pendidikan ilmu alat (kitab kuning) dan ilmu kemasyarakatan, di antaranya adalah melalui kegiatan muhadhoroh selama satu minggu sekali.Menurut penulis, aktivitas-aktivitas rutin di pesantren al-Awwabin sangat membentuk karakter santri, terutama pada aspek tekun belajar, disiplin, dan bekerja keras. Tentunya hal ini merupakan pondasi penting bagi santri untuk terus meningkatkan kualitas dirinya dengan karakter yang sudah terasah secara perlahan melalui pendidikan pesantren. Selanjutnya, al-Awwabin juga melakukan pemantauan terhadap santri yang berprestasi untuk diberikan pelajaran tambahan dengan mengkaji kitab di luar struktur kurikulum untuk menambah pengetahuan dan ilmu 41 Drs. KH. Fathurrohman, MA 53 keagamaannya. Maka, menurut penulis dapat disimpulkan bahwa berbagai upaya yang sudah dijelaskan di atas dapat direalisasikan dengan baik apabila seluruh unsur pesantren memiliki komitmen yang kuat untuk terus mengembangkan pendidikan Islam, serta membentuk karakter bangsa yang berbudi luhur, dan mampu menjaga tatanan sosial masyarakat. 2. Pencapaian Pendidikan di Pondok Pesantren al-Awwabin Menurut pengamatan penulis selama melakukan penelitian, pondok pesantren al-Awwabin Depok memiliki beberapa jenjang pendidikan formal, di antaranya tingkat MI, MTs, dan MA.Selanjutnya, pada jenjang pendidikan non formal terdapat madrasah diniyah di dalamnya, yang memberikan materi-materi tambahan terhadap santri yang belum begitu menguasai pendidikan pesantren dan disesuaikan dengan jenjang pendidikannya. Kehadiran madrasah diniyah sangatlah membantu ketercapaian pendidikan formal di pesantren beserta rutinitas lainnya, hal tersebut dibuktikan dengan kualitas santrisantrinya secara prestasi akademik maupun akhlaknya, dan ini merupakan prestasi yang dapat dibanggakan bagi pendidikan Islam yang belum tentu dapat dicapai pendidikan umum. Berikut ini hasil wawancara kepada dua orang santri pondok pesantren al-Awwabin: Alhamdulillah, terdapat banyak perubahan terutama dalam membaca al-Qur‟an dengan lancar, lalu menunjukkan akhlakul karimah untuk menghormati guru dan orang lain dengan baik. Dalam hal mata pelajaran, saya menyukai mata pelajaran IPS, dan kurang menguasai mata pelajaran matematika.Kemudian, menurut saya peran guru sangat penting, karena guru yang langsung membimbing kami dalam membentuk akhlak dengan baik, sehingga ini bisa bermanfaat di dunia dan di akhirat nanti.Selanjutnya, setelah selesai sekolah di pondok, saya ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, terutama di Tarbiyah.Karena ingin menerapkan ilmu yang di dapat di pondok pesantren terhadap masyarakat secara luas.Sangat berbeda sekali, santri seringkali membicarakan soal akhlak, ilmu pengetahuan, dan ini tentunya begitu bermanfaat. Lalu, di luar pesantren seringkali membicarakan hal yang kurang bermanfaat yang cukup jauh dari apa yang didapatkan di pondok pesantren. Saran saya bagi teman-teman, teruslah mengingat Allah, perjuangan Rasul, lalu melakukan sesuatu yang bermanfaat dan kreatif.Hal ini perlu dilakukan karena banyak sekali kelompok geng bermotor, dan remaja-remaja yang nakal.Ketika pulang ke rumah, masyarakat menilai bahwa santri memiliki kelebihan dalam ilmu keagamaan.Ini 54 merupakan kelebihan utama bagi santri yang bisa digunakan untuk memberi manfaat bagi masyarakat.42 Guru memberikan pengajaran melalui kitab-kitab kuning, seperti menghafal kaidah nahwu, lalu kemudian disetorkan kepada guru. Kami memiliki kesulitan belajar apabila tidak mengulang kembali pembelajaran yang diberikan guru, seringkali merasa lupa dengan apa yang sudah dipelajari sebelumnya. Alhamdulillah selama menjadi santri banyak sekali perubahan yang dirasakan, seperti lancar membaca alQur‟an, lalu bisa melatih diri untuk berbuat baik kepada masyarakat.Guru Fathurrahman seringkali membangunkan santri pagi-pagi agar kembali siap belajar, dan ini membuat kami merasa berkembang lebih baik ke depannya. 43 Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis berkesimpulan bahwa pola pendidikan di pondok pesantren al-Awwabin Depok cukup efektif dan dikatakan berhasil membentuk karakter santri melalui berbagai kegiatan di antaranya muhadhoroh dengan sistem dibagi menjadi beberapa kelompok, pengajian kitab-kitab secara berkala, kegiatan belajar mengajar (KBM), serta kegiatan tambahan lainnya. Seluruh rutinitas pesantren yang telah disebutkan di atas terbukti mampu membentuk karakter santri, terutama dalam hal kedisiplinan, tekun belajar, rasa saling menghormati, serta kerja keras. Selanjutnya, pembentukan karakter santri ini tidak luput dari keteladanan guru, pimpinan pesantren, dan seluruh unsur lainnya yang tanpa lelah membimbing santri dengan baik, tidak hanya menyampaikan materi ajar, tetapi juga memberikan berbagai contoh sikap positif yang bisa diikuti para santri dalam perilaku kesehariannya. Kemudian, faktor penting lainnya dalam pembentukan karater santri ialah melalui rutinitas kegiatan pesantren, yang terdiri dari kegiatan pembelajaran bermasyarakat atau muhadhoroh, dengan ini santri diberikan bekal agar bisa berbicara dengan baik di hadapan masyarakat secara santun, sistematis, dan bermanfaat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa peran 42 pondok pesantren sangatlah penting untuk membina Wawancara pribadi dengan Subhan Mufassir (santri pondok pesantren Al-Awwabin) Depok, 2 Juni 2017 43 Wawancara pribadi dengan Ahmad Sibroh Malisi (santri pondok pesantren Al-Awwabin) Depok, 9 Fabruari 2010 55 kelangsungan hidup masyarakat melalui kualitas karakter santri-santri pondok pesantren. 3. Profil Pondok Pesantren Al-Awwabin Pada tahun 1962, Abuya KH.Abdurrahman Nawi mengadakan pengajian kitab-kitab kuning yang bersifat non-formal yang bertempat diruang paviliun rumahnya. Pengajian ini diberi nama As-Salafiah dengan harapan para jama‟ah dapat mengikuti jejak salafus shaleh (orang-orang terdahulu yang shaleh) dan pengajian ini bertempat di kampung Tebet yang sekarang Tebet Barat VI H, Jakarta Selatan. Pengajian tersebut diikuti oleh banyak kalangan, mulai dari orang tua, remaja, dan orang-orang dewasa yang datang dari berbagai tempat, diantarnya: Kebayaoran Lama, Kebayoran Baru, Kebon Baru, Pengadegan, Bukit Duri, Kampung Melayu, Karang Tengah, Bekasi, dan para pemuda setempat. Pengajian atau majlis ta‟lim yang telah dibuka kian terus berkembang hingga pada tahun 1976 Abuya telah mampu membuka cabang-cabangnya diberbagai tempat, baik itu di mushola-mushola atupun di masjid-masjid yang mendapat dukungan dari kalangan masyarakat luas, ulama, dan umum. Namun, yang namanya perjuangan tidak lepas dari tantangan dan cobaan, karena majlis ta‟lim yang beliau bina tersebut mengalami pasang surut.Dan memang telah sunnatullah. Ada pepatah mengatakan “ kalau tidak lemah bukan manusia, kalau tidak retak bukan gading”. Dari pengajian itulah berkembang pemikiran untuk mendirikan pendidikan formal, guna menolong masyarakat dari belenggu kebodohan dalam bidang ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum. Pada tahun 1976 Abuya KH. Abdurrahman Nawi mengajak jama‟ah majlis ta‟lim dan kenalan dekatnya untuk membangun gedung sekolah permanen dua tingkat di atas tanah milik pribadinya yang berlokasi di Jalan Tebet Barat VI H, Jakarta Selatan 56 dengan luas tanah seluas 300 m2 ditambah dengan kavling mushola yang meupakan wakaf dari almarhum orang tua beliau. Akhirnya pada tahun 1979, tepatnya pada hari minggu diresmikanlah bangunan itu oleh KH. Idham khalid. Peresmian tersebut sekaligus dengan peresmian ganti nama dari As-Salafiah menjadi Al-Awwabin. Dan pada tahun itu pula mulailah penerimaan murid baru untuk tahun ajaran 1979/1980.Kemudian dari tahun ke tahun pendidikan itu berjalan dengan pesat hingga sampai tahun 1982/1983. Mengingat banyaknya calon santri yang berminat mukin di pesantren Al-Awwabin Tebet, Sedangkan kapasitas tempat yang ada tidak menampung dan dilahan sekitarnya telah padat ditempati rumahrumah penduduk, serta tidak mungkin lagi memperluas lokasi disekitar pesantren Al-Awwabin Tebet. Maka dengan demikian terpaksa Abuya KH.Abdurrahman Nawi mengambil kebijaksanaan untuk mencari lokasi yang tepat bagi pendidikan.Maka dengan izin Allah, Abuya sebagai pimpinan umum pondok pesantren Al-Awwabin mendapatkan lokasi yang tepat dan beliau membebaskan sebidang tanah yang terletak di kampung.Sengon, Kelurahan Pancoran Mas, Depok yang dijadikan cabang pondok pesantren Al-Awwabin I dengan luas tanah sekitar 4200m2 dengan harga Rp.20.000/m2. Abuya KH. Abdurrahman Nawi sengaja mengambil tempat di daerah Depok mengingat di daerah ini masih kurang sekali lembaga pendidikan Islam apalagi pondok pesantren.Sedangakan lemabaga pendidikan Islam khususnya pondok pesantren sangat di butuhkan sekali oleh kaum muslimin untuk memberantas kebodohan dan mempersiapkan generasi Islam yang memahami serta menggali hukum-hukum Islam dari kitab-kitab kuning. Pada pertengahan tahun 1982/1983 dimulai peletakan batu pertama yang disaksikan oleh ribuan umat muslim yang terdiri dari para ulama, habaib, dan para pejabat pemerintahan setempat. Akhir tahun 1982 masuk tahun 1983 telah selesai bangunan lima lokal dan satu asrama, 57 pada saat itu pula diresmikan oleh KH. Dr. Idham Khalid dan pejabat pemerintah setempat serta dinyatakan kedudukan pondok pesantren Al-Awwabin cabang Depok. Pada tahun 1983/1984 mulai menerima murid baru untuk tingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), dan mukim (untuk para santri mukim).Pondok pesantren Al-Awwabin merupakan pondok pesantren pertama dikota Depok untuk wilayah Pancoran Mas. Tahun demi tahun pondok pesanten Al-Awwabin semakin berkembang. Pada tahun 1987/1988 kembali membuka Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga sampai pada tahun ajaran 1991/1992 telah sampai pada kelas IV MI. Asal usul santri pondok pesantren berasal dari wilayah antara lain Jambi, Kalimantan, Padang, Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi dan masyarakat sekitar pondok pesantren itu sendiri. Abuya KH. Abdurrahman Nawi bercita-cita ingin mengembangkan pesantren dengan membuka pondok pesantren di berbagai tempat dengan tujuan memelihara syiar Islam.Perkembangan selanjutan, Abuya mengembangkan dakwah beliau dengan mendirikan pondok pesantren yang masih satu kota/wilayah Depok, yaitu di Jalan H. Sulaiman No. 12 desa Perigi, Kelurahan Bedahan Kecamatan Sawangan, Depok.Awal sejarahnya bermula ketika beliau ingin mendirikan pondok pesantren Al-Awwabin cabang II di daerah Sasak Panjang, Bojong Gede, Bogor (5 km dari Bedahan).Karena di Sasak Panjang sudah ada pondok pesantren yang didirikan oleh H. Jaini, akirnya Abuya KH. Abdurrahman Nawi mencari tempat yang lain dengan maksud melebarkan dakwah Islam. Setelah beliau mencari-cari lokasi, akhirnya beliau mendapatkan lahan untuk membangun pondoknya di desa Perigi, Kelurahan Bedahan Kecamatan Sawangan, Depok. Beliau membebaskan tanah tersebut pada tahun 1989 seluas 1600 m2 dan kemudian berkembang sampai sekarang manjadi seluas 2,5 ha. 58 Pada tahun 1989 pesantren Al-Awwabin mulai membangun sekolah dan asrama.Untuk pembukaan tahun ajaran pertama pada tahun 1993 untuk tingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) juga mukim (bagi para santri yang mukim). Pondok pesantren Al-Awwabin II cabang Bedahan, diperuntukan bagi santriwati saja, dan pembangunan pesantren ini akan terus dikembangkan. Harapan Abuya KH. Abdurrahman Nawi adalah semoga pondok pesantren Al-Awwabin akan terus melebarkan sayapnya dengan membuka pondok pesantren di berbagai tempat dan wilayah untuk memelihara syiar Islam. Sejak saat itulah kegiatan kepesantrenan berjalan secara rutin.Adapun kegiatan rutin di pesantren tersebut bertujuan untuk membentuk pribadi santri yang memiliki kecakapan mental, spiritual dan intelektual. Di samping itu juga kegiatan rutin tersebut membekali para santri dengan beberapa keterampilan baik dalam bidang teknologi, keorganisasian dan ketangkasan dalam menyampaikan gagasan dimuka umum yang semuanya itu dibutuhkan kelak ketika terjun kedalam masyarakat. Dimana dengan harapan bagi santri dikemudian hari menjadi kader-kader dakwah di tengah-tengah masyarakat yang melanjutkan tongkat estafet perjuangan dan peran Abuya dalam syiar Islam. g. Struktur Organisasi Struktur organisasi atau struktur kepengurusan di pondok pesantren Al-Awwabin adalah sebagai berikut: 1) Pimpinan umum : Abuya KH. Abdurrahman Nawi 2) Wakil pimpinan umum : Ust. Drs. Ahmad muchtar 3) Sekretaris : Ustz. Zakiyah 4) Bendahara : Ustz. Hj. Busyroh 5) Pimpinan bidang pendidikan : Ust.Drs.Ahmad muchtar 6) Pimpinan bidang pesantren I : Ust. Drs H.Fatchurrahman, MA 7) Pimpinan bidang pesantren II : Ustz.Diana Rahman 59 Stuktur organisasi dan pengurusan pondok pesantren Al-Awwabin dari dulu hingga sekarang tidak ada batas waktu penjabatan jadi tetap sama pemegang jabatannya. 1. Visi dan Misi Pondok Pesantren Al-Awwabin a. Visi Pondok Pesantren Al-Awwabin Visi dari pondok pesantren Al-Awwabin adalah menjadi pondok pesantren progresif dan berkualitas dambaan umat pilihan masyarakat.Hal ini dikarenakan pondok pesantren Al-Awwabin merupakan pondok pesantren progresif dalam arti pondok pesantren yang berkelanjutan untuk memberikan pola pendidikan agama maupun umum yng berlandaskan imtaq (iman dan takwa). b. Misi Pondok pesantren Al-Awwabin Misi dari pondok pesantren Al-awwabin itu sendiri antara lain: 1. Pola pendidikan yang Islami. 2. Ikut memperoses dalam meningkatkan jumlah ragam sepesialis keilmuan, institut-institut sosial dan fungsional antar lain: penguasan bahasa Arab, penguasan metode dakwah, penguasaan ilmu-ilmu agama, penguasaan ilmu-ilmu sosial. 3. Menyiapkan generasi Islam yang bewawasanIPTEKberlandaskan IMTAQ dan membentuk generasi Islam yang aktif, kreatif, dan inovatif. 4. Menumbuh kembangakan semangat berprestasi baik dalam bidang akademis maupun non-akademis. 2. Peran Abuya KH. Abdurrahman Nawi dalam Mengembangkan Pendidikan Islam Pengembangan masyarakat yang bermuara pada peningkatan tarap hidup dan kesejahteraan masyarakat dengan pendekatan kebutuhan dan permasalahan masyarakat sebagai subyek atau obyek, sedangkan kebutuhan masyarakat itu selalu berkembang dan permasalahan 60 masyarakat pun hampir tidak pernah absen di semua lapisan masyarakat, baik secara moril mau pun materiil. Dengan adanya pesantren sebagai lembaga pendidikan dan lembaga sosial keagamaan yang pengasuhnya juga menjadi pemimpin umat dan menjadi sumber rujukan umat dalam memberikan legitimasi terhadap tindakan warganya, sudah barang tentu mempunyai dasar pijakan yang bersifat keagamaan dalam melakukan tindakannya, terutama jika itu dianggap ''baru" oleh masyarakatnya. Hal tersebut, karena watak pimpinan keagamaan dan rnasyarakat pendukungnya yang fiqih oriented selalu meletakkan kegiatan yang dilakukan dalam pola hitam-putih atau salahbenar menuntut hukum Islam. Salah satu kegiatan yang dianggap baru menurut kalangan masyarakat pesantren adalah pengembangan masyarakat, setidaknya kalau dilihat secara kultural dari misi utama pesatren, serta porsi kegiatannya secara global, dalam bidang pendidikan. Sedangkan pengembangan masyarakat, meskipun selama ini sudah dilakukan, hanya bersifat sporadis.Kegiatan pengembangan masyarakat belum dilakukan pesantren secara kelembagaan, di samping tanpa disertai visi yang jelas, serta perangkat pendukungnya yang memadai. Perbedaan watak antara pndidikan non forrmal (pesantren) dan formal (sekolah) terlihat secara jelas. Diantara yang menonjol adalah Pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin, sebagai lembaga tarbiyah, sebagai lembaga sosial sebagai gerakan kebudayaan dan bahkan sebagai kekuatan politik -meskipun sampai sekarang rnasih disebut lembaga tradisional- mempunyai ciri dan watak yang berbeda dengan lembagalembaga lainnya, termasuk sekolah Bila perguruan tinggi aksentuasinya lebih ke pengajaran maka pesantren aksentuasinya lebih pada pendidikan. Bila perguruan tinggi berorientasi langsung pada lapangan kerja sesuai pesanan industri atau paling tidak mengantisipasi keperluan industrialisasi -di mana hal ini memang merupakan potensi dan kekuatan dari sudut kemudahan karier, 61 tetapi sekaligus merupakan kelemahan dari sudut konsumtivisme mental, daya juang dan kreativitas menciptakan lapangan kerja- maka sebaliknya pesantren tidak berorientasi langsung pada lapangan kerja. Pesantren di samping merupakan lembaga pendidikan dan keilmuan, ia sekaligus juga merupakan lembaga moral. Ilmu di pesantren mengacu pada pembentukan moral dan akhlaq karimah. Seluruh proses belajar para santri berpusat pada pengenalan, pengakuan, kesadaran, dan keagungan Allah SWT dan akhlaq karimah yang terkait secara dialektis, kohesif dan terus menerus dengan seluruh mekanisme belajar para santri. Ini semua berbeda dengan perguruan tinggi yang membatasi diri sebagai institusi keilmuan dan intelektual, dan tidak bertanggung jawab langsung dalam soal moral. Dosen tidak berkewajiban terhadap akhlaq, kecuali sekadar komitmen pribadi atau etika sosial dalam arti umum.Mahasiswa hanya didorong secara terencana untuk menjadi orang pandai dan intelek. Atau malahan hanya menjadi penghafal, karena kelulusan ujiannya lebih banyak ditentukan oleh sejauh mana ia menghafal literatur, bahan kuliah dan referensi yang diwajibkan. Perguruan tinggi memberikan kebebasan atau demokratisasi ilmiah untuk mengakui, menyadari dan menghayati atau tidak, akan keagungan Allah dan akhlaq karimah. Berdirinya pondok pesantren Al-Awwabin Depok yang dapat dilihat dalam dua bentuk, yang pertama adalah dalam bentuk kelembagaan dan yang kedua adalah dalam bentuk ide serta gagasan beliau yang berkaitan dengan pengembangan pendidikan Islam di pondok pesantren Al-Awwabin Depok. Adalah bukti baku peran Abuya dalam mengembangkan pendidikan Islam dan sebagai wadah untuk menyalurkan, merealisasikan ide dan gagasan beliau yang akan dibahas dibawah ini serta sebagai bukti kecerdasan beliau dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dalam keseimbangan pendidikan, karena dua lembaga tersebut mempunyai perbedaan yang amat jelas dan keduanya dibutuhkan oleh masyarakat. 62 3. Kelembagaan Dalam mengembangkan pendidikan Islam Abuya telah mendirikan dua buah lembaga pendidikan, yakni lembaga pendidikan formal (sekolah) maupun lembaga pendidikan non formal (pondok). a. Lembaga Pendidikan Formal Jengjang pendidikan formal yang diadakan di pondok pesantren AlAwwabin I oleh Abuya mulai dari tingkat MI (Madsarah Ibtidaiyyah), MTs (Madrasah Tsanawiyah), dan MA (Madrasah Aliyah).Berbeda halnya dengan Al-Awwabin I, Al-Awwabin II selaku cabang hanya menyediakan jenjang pendidikan dari tingkat MTs hingga MA. Al-Awwabin I sebagai pusat bertempat di Jl. Raya Sawangan No. 21 Kecamatan Pancoran Mas kota Depok, sedangkan Al-Awwabin II yang merupakan cabang dari Al-Awwabin I bertempat di Jl. H. Sulaiman No. 12 Kecamatan Sawangan kota Depok. Berikut daftar siswa yang menuntut ilmu di pondok pesantren AlAwwabin: Tabel 1.4 Daftar Siswa pondok pesantren Al-Awwabin I No. Kelas Rombel Laki-laki Perempuan Jumlah 1. VII 2 23 35 58 2. VIII 2 27 22 49 3. IX 2 38 22 60 4. X 2 25 20 45 5. XI 2 24 28 52 6. XII 1 Jumlah Seluruh Siswa 38 302 63 Tabel 1.5 Daftar Siswa pondok pesantren Al-Awwabin II No. Kelas Rombel Perempuan Jumlah 1. VII 1 27 27 2. VIII 1 25 25 3. IX 1 42 42 4. X 1 25 25 5. XI 1 25 25 6. XII 1 23 23 Jumlah Seluruh Siswa Pada tahun 1999 MTs Al-Awwabin 167 mendapat predikat DISAMAKAN, kemudian pada tahun 2007 predikat ini pun berubah menjadi Akreditasi B, dan terakhir pada tahun 2011 MTs Al-Awwabin meraih predikat yang lebih baik yaitu Akreditasi A. Sedangkan untuk tingkat MA yang sebelumnya berstatus DIAKUI pada tahun 2012 mendapat predikat Akreditasi A. Kurikulum yang digunakan oleh sekolah mengikuti kurikulum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Diantaranya adalah kurikulum KBK, KTSP dan K13. Di sekolah ini selain disediakan untuk para murid yang bermukim (santri), tetapi disediakan pula untuk mereka para murid yang pulang pergi.Hal ini dilakukan dengan harapan agar murid yang pulang pergi pun dapat mempelajari pelajaran agama Islam secara baik, dengan diiringi materi pelajaran agama yang lengkap.Salah satu program keIslaman yang dimasukkan dalam mata pelajaran adalah ilmu nahwu.Ilmu nahwu menjadi salah satu muatan lokal untuk setiap tingkatan kelas baik MTs, maupun MA. Sarana dan prasarana di sekolah ini sudah terbilang lengkap, seperti adanya lab komputer, lab IPA, kantin, perpustakaan, tempat ibadah, 64 tempat olah raga, dan ruang OSIS. Ekstrakulikuler yang ditawarkan sekolah pun cukup menarik minat para murid, seperti: drum band, marawis, pramuka, muhadhoroh (pengkaderan muballigh), BTQ (baca tulis qur‟an), bulu tangkis, basket, futsal, paskibra, dan kaligrafi. Hal ini diadakan demi mengasah kreatifitas serta keaktifan murid dan juga sebagai sarana untuk mencari bakat yang dimiliki para murid. b. Lembaga Pendidikan Non Formal Pendidikan non formal yang dibentuk Abuya yakni dengan mendirikan pondok pesantren Al-Awwabin yang beliau pimpin sendiri, adapun kegiatan belajar mengajar yang beliau lakukan di pesantren ini diselenggarakan setiap hari, kecuali pada waktu tertentu ketika kegiatan belajar mengajar itu berada di luar kegiatan pesantren. Waktu-waktu yang ditetapkan oleh Abuya dalam pelaksaan kegiatan belajar ini yakni seusai sholat subuh dari pada pukul 05.30 sampai 06,15, dilanjutkan sehabis sholat ashar pukul 16.15 sampai 17. 15 dan terakhir pada malam hari pukul 19.00 sampai 20.15. Untuk pendidikan pesantren Abuya mengklasifikasi kitab untuk para santri sesuai dengan tingkat kemampuan dan kelas mereka. Adapun pembagian tingkatan kelas ini Abuya mengadopsi sistem yang berada di pendidikan formal yakni: 1) Tingkatan Ula (MI) Untuk tingkat ini belum begitu banyak diberikan materi kitab yang sulit, mengingat usia pada tingkatan ini masih terbilang usia anak-anak yang masih ingin bermain. Dalam mensiasati hal demikian Abuya lebih menekankan mereka untuk menghapal tidak dengan memberikan pelajaran-pelajaran yang sulit untuk mereka serap, karena menurut Abuya usia seperti ini adalah usia emas untuk menghapal pelajaran dengan harapan apa yang telah mereka hapal pada tingkatan Ula ini terus mereka ingat hingga mereka dewasa. Adapun daftar rincian pelajaran yang dipelajari pada tingkatan Ula ini sebagai berikut: 65 Tabel 1.6 Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri MI Hari Waktu Pagi Sore Malam Senin Tahfidz Qur‟an Mahfuzhat Al-Qur‟an Selasa Tahfidz Qur‟an Khot Fiqih Rabu Tahfidz Qur‟an Mahfuzhat Ubudiyyah Kamis Mahfuzhat Shorof Yasin & Tahlil Jumat Tauhid Mahfuzhat Al-Qur‟an Sabtu Tahfidz Qur‟an Al-Qur‟an Muhadhoroh Minggu Bhs. Arab Shorof Tajwid 2) Tingkatan Wustho (MTs) Pada tingkatan ini dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu Fashlul Awwal (1 MTs), Fashlul Tsani (2 MTs), dan Fashlul Tsalis (3 MTs). Mata pelajaran yang diajarkan pun berbeda sesuai dengan tingkatan kelas mereka. Pada Fashlul Awwal, sistem kitab yang diberikan masih menggunakan kitab yang berharokat/bersyakal yang dibacakan dan diartikan oleh para guru yang mengajar. Santri hanya menyimak dan mencatat apa yang telah disampaikan guru serta menghapal beberapa kitab yang menjadi dasar dalam pengembangan kitab selanjutnya. Adapun daftar rincian pelajaran yang dipelajari pada Fashlul Awwal ini sebagai berikut: Tabel 1.7 Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 1 Mts Hari Waktu Pagi Sore Malam Senin Tahfidz Nahwul Wadhi Tauhid & Akhlaq Tahfidz Qur‟an Selasa Tahfidz nahwul Wadhi Mattan Safinah Tahfidz Mahfudzat 66 Rabu Nahwu Melayu Khulasoh Tahfidz Mahfudzat Kamis Tahfidz Qur‟an Akhlaq Yasin & Ratib Jumat Khot Bhs.arab Shorof Sabtu Bhs.arab Ubudiyah Muhadoroh Minggu Mufrodat Qowaid Nahwiyah Tajwid Kemudian pada Faslul Tsani, mulai dikenalkan pelajaran kitab-kitab nahwu dan shorof sebagai dasar tata cara membaca kitab yang berbahasa Arab. Mengingat bahwa sumber ilmu Islam berpacu kepada Al-qur‟an dan hadits yang tidak mungkin dipahami kecuali dengan bekal kedua cabang ilmu tersebut.Adapun daftar rincian pelajaran yang dipelajari pada Fashlul Tsani ini sebagai berikut: Tabel 1.8 Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 2 Mts Hari Waktu Pagi Sore Malam Senin Tahfidz Nahwul Wadhi Khulasoh Tahfidz Qur‟an Selasa Tasrif Mahfudzat Shorof Rabu Tauhid & Akhlaq Nahwul Wadhi Qiroatul Qur‟an Kamis Jurumiyah Mattan Safinah Yasin & Ratib Jumat I‟rob Akhlak & Tauhid Bhs.arab Sabtu Tahfidz mahufdzat Mattan Jurumiyyah Muhadoroh Minggu Mufrodat Qowaid Nahwiyah Tajwid Selanjutnya pada tingkatan wusto yang terakhir yaitu Faslul Tsalis, sudah mulai menggunakan sebagian kitab klasik tanpa harokat. Kemudian pada saat proses pembelajarannya pun santri sudah sedikit-sedikit menerapkan teori ilmu nahwu dan shorof yang mereka sudah pelajari dan mereka hafal di kelas sebelumnya. Dengan cara memberi syakal sendiri pada kitab 67 mereka kemudian belajar menjelaskan hukum pada baris kalimat menurut kaidah ilmu nahwu dan shorof. Adapun daftar rincian pelajaran yang dipelajari pada Fashlul Tsalis ini sebagai berikut: Tabel 1.9 Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 3 Mts Hari Waktu Pagi Sore Malam Senin Tauhid &Akhlaq I‟rob & I‟lal Tahfidz Qur‟an Selasa Nadzom Imriti Nahwul Wadhi Nahwul Wadhi Rabu Muhktasor Jiddan Khulasoh Tahfidz Qur‟an Kamis Tasrif Khat Yasin & Ratib Jumat I‟lal & I‟rob Lughotu Takotub Tahfidz Nahwul Wadhi Sabtu Kaylani & Tahfidz Imriti Safinah & Imriti Muhadoroh Minggu Mufrodat Qowaid Nahwiyah Tajwid 3) Tingkatan Ulya (MA) Pada tingkatan ini pun dibagi kedalam tiga kelas sama halnya dengan tingkat Wusto, perbedaannya yaitu kelas pada tingkat ini adalah kelas lanjutan dari tingkatan sebelumnya, yakni Fashlul Robi‟ (1 MA), Fashlul Khomis (2 MA), dan Fashlul Sadis(3 MA).Jadi apabila ada santri yang baru masuk kelas 1 MA di sekolah tidak bisa mengikuti pelajaran yang ada di kelas 1 MA dalam pengajian. Akan tetapi diadakan tes terlebih dahulu demi kesamarataan kompetensi yang dimiliki santri, jika memang santri baru ini belum mempunyai bekal sama sekali, mereka pun wajib mengikuti kelas dasar yaitu Fashlul Awwal. Pada Fashlul Robi‟, proses pembelajarannya sudah banyak menggunakan kitab tanpa harokat. Para santri pun diharapkan sudah mampu mengetahui kaidah-kaidah ilmu nahwu dan shorof dalam membaca dan menterjemahkan kitab mereka. 68 Adapun daftar rincian pelajaran yang dipelajari pada Fashlul Robi‟ ini sebagai berikut: Tabel 2.0 Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 1 MA Waktu Hari Pagi Sore Malam Senin I‟lal & I‟rob Kawakib Qiroah Arrasidah Selasa Kaylani Nahwul Wadhi & Tijan Tahfidz Lubabul Hadits Rabu Annasoih Mattan takrib Akhlaq Kamis Muhktasar Jiddan Muhktasar Jiddan Yasin & Ratib Jumat Tanqihul Qoul Khulasoh Khat Sabtu Kaylani Tahfidz Jurumiyah Muhadoroh Minggu Mufrodat Qowaid Nahwiyah Tajwid Selanjutnya pada Fashlul Khomis dan Fashlul Sadis, kitab yang digunakan sudah pengembangan dari kitab-kitab sebelumnya serta mengkaji cabang ilmu yang tidak ada pada kelas sebelumnya dengan maksud mengenalkan bukan menguasai.Dengan bermodalkan pengetahuan ilmu alat yang cukup mumpuni, maka tak begitu sulit bagi para santri Fashlul Khomis dan Fashlul Sadis untuk menelaah ilmu yang berada di dalam kitab yang mereka pelajari.Serta pada tahapan ini, santri dapat belajar langsung dengan Abuya KH.Abdurrahman Nawi sebagai guru besar pondok pesantren Al-Awwabin. Dengan carasantri membaca kitab mereka secara mandiri yang dibimbing oleh Abuya. Adapun daftar rincian pelajaran yang dipelajari pada Fashlul Khomis dan Fashlul Sadis ini sebagai berikut: 69 Tabel 2.1 Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 2 MA Waktu Hari Pagi Sore Malam Senin Bulughul Maram Tijan Tahfidz Nahwul Wadhi Selasa Qiroah Arrasidah Fathul Qorib Mudzakaroh Rabu Diniyah Mabadi Awwaliyah Nurul Yaqin Kamis Fathul muin Tahfidz Qur‟an Yasin & Ratib Jumat Al-fiyah Tafsir Khat Sabtu Balagoh Tasrif Muhadoroh Minggu At-tibbyan Qowaid Nahwiyah Tajwid Tabel 2.2 Daftar Rincian Mata Pelajaran Santri 3 MA Waktu Hari Pagi Sore Malam Senin Bulugul Marom Mantiq Tahfidz Jurumiyyah Selasa Minhatul Mugits Muhktasor Jiddan Tahfidz Al-fiyyah Rabu Ta‟limu taallim Bulugul Marom Husunul Hamidiyah Kamis Fathul Muin Tahfidz Qur‟an Yasin & Tahlil Jumat Mabadi Awwaliyah Tafsir Khat Sabtu Tasrif At-tibyan Muhadoroh Minggu ilmuArud Qowaid Nahwiyah Al-Qur‟an Daftar pelajaran diatas menunjukkan bahwasanya Abuya KH. Abdurrahman Nawi memiliki peran yang penting dalam mengembangkan pendidikan Islam di pesantren Al-Awwabin Depok, dengan meletakan pelajaran sesuai dengan porsi tingkat perkembangan dan kemampuan para santri, hal ini dapat membantu dan memudahkan para santri dalam mengetahui imu keIslaman dengan cara bertahap-tahap. 2. Ide dan Gasasan Dalam mengembangkan pendidikan Islam, tentunya diperlukan sebuah visi dan misi yang melahirkan beberapa ide dan gagasan agar pendidikan 70 Islam semakin maju dan tujuan pendidikan Islam terealisasikan dengan baik. Dengan adanya pola pengembangan tersebut, santri tidak hanya paham akan ilmu agama, melainkan santri juga memiliki keterampilan yang apik. Keterampilan yang dimaksud adalah keterampilan yang bernuansa Islami karena para santri tidak hanya dituntut untuk mampu memainkan peran mereka dalam dunia dakwah, melainkan santri juga mampu bertahan hidup di dalam arus tuntutan zaman. Ide dan gagasan beliau tersebut adalah bukti bahwa beliau menyadari bahwa pesantren adalah miniatur dari kehidupan kecil bagi kehidupan bermasyarakat secara luas.Ide dan gagasan Abuya KH. Abdurrahman Nawi dalam mengembangkan pendidikan Islam ini antara lain: a. Membentuk Organisasi Santri Yaitu dengan membentuk organisasi santri seperti IKSAD dan OPPTA. IKSAD (Ikatan Santri Al-Awwabin Depok) dan OPPTA (Organisasi Perempuan Pesantren Terpadu Al-Awwabin) ini dibentuk pada tahun 1993 dengan tujuan untuk melatih para santri dalam bersosialisasi, kerjasama antara satu dengan yang lainnya dan melatih mereka dalam menyelesaikan masalah. Adapun Visi dan Misinya adalah sebagai organisasi yang berorientasi pada pemberdayaan potensi, bakat, dan minat santri Al-Awwabin, sehingga pada gilirannya mampu melahirkan kontribusi berarti bagi pengembangan dan kemajuan pondok pesantren pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Berikut merupakan struktural organisasi IKSAD dan OPPTA: IKSAD Masa Abdi 2016-2017 Ketua : Muhammad Adam Kholid Wakil Ketua : Ahmad Hudzaifi Adnan Sekretaris : Nur Akbaruddin Aziz Bendahara : Muhammad Maula Rahman Seksi Pendidikan : Erri Luthfi T.W Seksi Dakwah : M. Wildan Hadziq Seksi Kesenian : M. Dimas Sholahuddin 71 Seksi Kesehatan : Wisnu Hariyadi Seksi Keamanan : Syukri Ramadhani Seksi Humas& Keperpustakaan : Miftah Sururi Seksi Ubudiyah : Subhan Muyassir Seksi Kebersihan : Ujang Afan Maulana Seksi Olahraga : Ghazy Muhammad Syamil OPPTA Masa Abdi 2016-2017 Ketua : Rizka Amelia Wakil Ketua : Annisa Trimelinda Sekretaris : Siti Sarah Chairunnida Bendahara : Nur Khofifah Seksi Pendidikan : Sahlatul Ula Seksi Dakwah : Qhotrun Nada Seksi Keamanan : Tsubaitul Fitria Seksi Olahraga : Karimah Vie H Seksi Humas : Catur Amelia K Seksi Ubudiyah : Khoirunnisa Seksi Kebersihan : Nurul Apriyani Sedangkan untuk para alumni Abuya pun membentuk organisasi yang diberi nama IKAAD. IKAAD (Ikatan Alumni Al-Awwabin Depok) ini didirikan pada tahun 2003 dengan tujuan sebagai wadah untuk menjalin interaksi lintas generasi dan silaturahmi alumni pesantren AlAwwabin, hal ini dilakukan untuk memperkuat hubungan antara murid dan guru. Adapun struktural organisasi IKAAD sebagai berikut: IKAAD Masa Abdi 2014-2017 Ketua : Ust. Zulcham Mushlihun, S.S.I Wakil Ketua : Ust. Abdurrahman, S.pd Sekretaris : Ahmad Munir, S.Sy : Yuda Narito 72 Bendahara : Faizah Salsabila : Qurrotul Uyun Divisi Kaderisasi : M. Haidir Al-karomi Divisi Litbang dan Intelektual : Zaim Najibuddin Rahman Divisi Humas : Agus Khairuddin, S.Ag Divisi Ekonomi : Lukman Hakim Divisi Pengembangan Minat, Bakat & Hobi Alumni : Charry Dwi Manfaat Program-program IKAAD yang telah diadakan pun cukup menarik perhatian alumni khususnya dan masyarakat luas secara umum, diantaranya seperti: mengadakan pengajian alumni mingguan yang dipimpin oleh musyrif (lurah pondok) KH. Fathurrahman, MA., mengadakan penngajian bulanan alumni yang dipimpin langsung oleh Abuya KH. Abdurrahman Nawi serta guru-guru yang lain, mengadakan acara tahunan yang dilakukan secara rutin yaitu santunan yatim dan muharroman untuk para santri, mengadakan pelatihan perhitungan awal bulan hijriah serta pengijazahan hadits musalsal yang di pimpin oleh Prof. Dr. Yusuf Hidayat, MA. Hal ini bertujuan untuk mewadahi para alumni khususnya dan masyarakat luas secara umum untuk meneruskan pendidikan agama dan mempertahankan akidah ahlussunnah wal jamaah yang sangat dijunjung oleh beliau. b. Mendirikan Saluran Radio Islam Abuya tidak menutup mata melihat perkembangan teknologi yang mempengaruhi pergerakan masyarakat dalam menimba ilmu agama yang sudah berbeda pada era globalisasi seperti sekarang ini maka beliau berkeinginan untuk mensyiarkan agama Islam lebih jauh lagi dengan membangun sebuah saluran radio, mengingat saluran radio ini bisa diakses oleh siapapun dan kapanpun orang mau. Saluran radio ini merupakan bentuk usaha yang dilakukan Abuya untuk memperluas serta memperkembangkan pendidikan Islam sampai ke masyarakat. 73 Saluran radio ini diberi nama RIDA FM (Radio Islamic Dakwah AlAwwabin) dengan gelombang 98,5 FM sebagai sarana penyiaran dakwah Islam. Rida ini dibangun pada tanggal 9 Agustus 2007, Kata rida diambil dari bahasa Arab yang berarti, “selendang”.Selendang ini memiliki beberapa fungsi diantara mampu menutupi serta melindungi tubuh kita ketika kondisi panas maupun hujan, dan mampu memperindah diri kita dalam berbusana.Begitu pun yang diharapkan oleh Abuya, semoga RIDA FM menjadi benteng akidah yang mampu membekali dan menangkal paham-paham yang melenceng untuk umat Islam. Di dalam membangun RIDA ini, niat Abuya murni untuk menyebarkan agama Islam lebih jauh lagi sehingga mereka yang berada diplosok pun mampu mengkaji tentang agama Islam lewat saluran radio. Hal ini dibuktikan dengan tiadanya iklan komersil yang diselipkan di radio ini, yang ada hanya pengajian santri yang di pimpin langsung oleh Abuya dan guru-guru lainnya, lagu-lagu Islami, dan ceramah-ceramah agama yang mampu mengejukkan hati. Adanya saluran radio ini pun dapat dimanfaatkan untuk melatih kemampuan para santri dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik kepada orang lain agar mereka terbiasa menggunakan tata bahasa yang sopan dan teratur serta memberikan pengalaman kepada para santri tentang dunia penyiaran. Respon masyarakat pun sangat baik mengingat sudah sangat sedikit media yang mensyiarkan agama Islam dengan seutuhnya pada saat ini.Program-program yang diadakan RIDA ini mampu mencuri hati para penikmatnya, seperti: jumpa fans RIDA yang diadakan tiap bulan, silaturahmi rutin kerumah Abuya KH. Abdurrahman Nawi, ziarah ke para wali nusantara, serta pengajian subuh gabungan. c. Mengasah Bakat Santri Dalam mengasah bakat para santri ini, Abuya memfasilitasinya dengan mengadakan kesenian marawis, hadroh, kaligrafi, qosidah rebana, tari saman, seni kaligrafi, dan tahsin Al-qur‟an. Manfaat dari pengasahan 74 bakat ini adalah agar santri memiliki ragam kesibukan, tentu kesibukan yang dimaksud disini adalah agar santri memiliki ragam kegiatan yang bermanfaat, mengingat banyaknya kenakalan yang dilakukan remaja serta bosannya mereka dalam belajar menjadi salah satu penyebabnya adalah kurang terkontrolnya waktu luang mereka sehingga mereka memanfaatkan waktu luang tersebut untuk kegiatan yang kurang bermanfaat. Berbeda dengan program kegiatan-kegiatan yang lain, program kegiatan tahsin Al-qur‟an terbilang program baru.Program ini pertama kali diadakan pada tahun 2011 dan masih terlaksana hingga sekarang.Hal ini diadakan untuk membekali santri dengan bacaan Al-qur‟an yang bagus sehingga seminimal-minimalnya mereka mampu mengajarkan Alqur‟an bahkan mampu mendirikan semacam TPA.Selain itu agar membiasakan para santri untuk membaca Al-qur‟an dengan tajwid dan makharijul huruf yang benar. Sebagaimana sesuai dengan firman Allah SWT: Artinya: “Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan”. (Q.S. Al-Muzammil:4) Pengasahan bakat ini perlu digali agar santri mampu mengembangkan potensi yang mereka miliki. Usaha lain yang dilakukan Abuya dalam pengasahan bakat ini adalah mengikut sertakan para santri dalam berbagai macam lomba. Salah satunya adalah lomba festival marawis, terbukti para santri pun mampu menjuarai lomba ini diantaranya: 1. Juara 1 marawis se-JABODETABEK, pondok pesantren Qotrun Nada pada tahun 2008. 2. Juara 1 marawis tingkat umum se-Jakarta Selatan, yayasan Islam Annuriyah pada tahun 2006. 75 3. Juara 1 marawis ABBAD 06, ikatan jurusan bahasa Arab, FIB Universitas Indonesia. 4. Juara 1 marawis se-windu, pondok pesantren Qotrun Nada, pada tahun 1425 H. 5. Juara 1 marawis pekan raya bahasa dan seni Arab, BEM J PBA FITK UIN Jakarta, pada tahun 2006. 6. Juara 1 festival marawis gebyar muharrom, pondok pesantren AlHidayah pada tahun 2005. 7. Juara 1 marawis pekan muharrom 1428 H, PHBI dan Sie. bidang sosial yayasan masjid Ar-rahman Depok 2007. 8. Juara 1 festival marawis, WAPRES RI CUP VI dan Fauzi Bowo CUP pekan nasional, pada tahun 2006. 9. Juara 2 festival marawis pondok pesantren Al-Karimiyah Depok, pada tahun 2006. 10. Juara 2 festival marawis se-JABODETABEK, pada tahun 2005. Manfaat dari mengikut sertakan para santri adalah untuk memotivasi dan memberikan semangat berkompetisi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.Hal ini menunjukkan bahwa peran Abuya dalam mengasah serta mengembangkan bakat keterampilan santri amatlah baik, karena Islam tidak hanya mengajarkan tentang agama saja, tetapi juga tentang seni dan keterampilan. d. Mengadakan Pelatihan Muballigh (Muhadhoroh) Pada pelatihan ini, santri diajarkan teknik bagaimana cara mengatur pola bahasa, gestur tubuh serta cara berpaikan ketika ingin berpidato maupun ketika ingin memberikan mauizhoh hasanah(nasihat), di sebuah podium. Pelatihan muballigh ini memiliki tujuan agar ilmu-ilmu yang telah di dapat oleh para santri mampu dikembangkan dan disampaikan dengan baik kepada masyarakat.Cara ini dinilai cukup efektif dalam menyampaikan pelajaran agama Islam secara instan. Metode yang diajarkan pada pelatihan muballigh ini dengan mengelompokkan para santri yang diketuai oleh santri Fashlul Khomis 76 dan dibimbing oleh para pengabdi pondok.Hal ini bertujuan untuk memberikan pengajaran kepada santri yang sudah terbilang senior dalam mengatur dan memberikan materi yang telah mereka dapatkan selama menimba ilmu di pondok pesantren Al-Awwabin sesuai dengan tema yang telah ditentukan oleh pembina muhadhoroh. e. Membuat Rapot dan Ijazah Pesantren Peran terakhir Abuya yang dapat dipaparkan oleh penulis adalah membuat rapot dan ijazah pesantren.Bermula dari keinginan Abuya untuk memiliki alat dalam mengukur kemampuan dan untuk meningkatkan kualitas para santri, maka diadakanlah ujian pesantren yang dikenal dengan sebutan Imtihan.Sistem Imtihanini diadopsi dari sistem yang berada di sekolah formal pada umumnya yaitu dengan mengadakan ujian dalam setahun dua kali (semester ganjil dan genap). Begitupun dengan Imtihandiadakan dua kali dalam setahun yang diberi nama Imtihan Nishfu Sanah dan Imtihan Nihai. Imtihan ini pertama kali diadakan pada tahun 1999 sekaligus pertama kalinya Abuya mengadakan rapot pesantren. Karena menurut Abuya kemampuan dan hasil kerja para santri dalam menuntut ilmu perlu diapresiasi lebih jauh pada tahun setelahnya diadakan ijazah pesantren. 77 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis berkesimpulan bahwa implementasi pendidikan karakter di pondok pesantren bisa dilakukan dengan dua cara, pertama, guru memberikan keteladanan agar santri mampu mengetahui sikap seperti apa yang baik untuk digunakan dalam kehidupan bermasyarakat. Kedua, melalui pembiasaan atau pembudayaan karakter melalui seluruh aktivitas ibadah dan belajar di wilayah pondok pesantren. Proses pembiasaan di pesantren sangat penting bagi pembentukan karakter santri. Bagi seorang guru, tidak perlu memberikan materi belajar yang terlalu banyak kepada santri, dengan adanya pembiasaan dan didukung oleh peran guru yang ada di pesantren maka akan efektif dalam membentuk karakter santri, terutama dalam nilai religius, disiplin, kerja keras, toleransi, jujur, tanggungjawab. Di pondok pesantren, guru berperan sebagai fasilitator. Dalam upaya membentuk karakter, guru berperan sebagai suri teladan. Karakter tidak diajarkan tetapi dipraktikkan dalam kehidupan yang nyata. Seorang guru yang berperan sebagai suri teladan lebih mampu membentuk karakter santri. Dengan adanya keteladanan, maka santri dapat mencontoh perilaku gurunya yang terampil, baik, sabar, berwawasan luas, tekun, dan disiplin, meski dirinya tidak meminta siswa untuk menirunya. Pendidikan pesantren memiliki dua ruang lingkup, yakni pendidikan formal (sekolah) dengan menggunakan kurikulum Kementrian Agama, dan pendidikan non formal (madrasah diniyah) dengan menggunakan kurikulum sendiri yang dibuat oleh pondok pesantren. 78 B. Saran Pesantren adalah lembaga pendidikan yang mampu melahirkan generasi bangsa dengan integritas yang kokoh secara ilmu pengetahuan, sikap, dan ketrampilan. Hal ini dapat dibentuk melalui keteladanan guru dan habituasi para santri selama mengikuti kegiatan pembelajaran mulai dari adzan subuh sampai malam hari meliputi pendidikan keagamaan, dan pendidikan umum dengan pola yang terstruktur serta sistematis, sehingga menjadikan pesantren memiliki sisi tersendiri dalam corak pendidikannya dan tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan yang lain. Oleh karena itulah, kita sebagai civitas akademika beserta masyarakat perlu menjaga dan mengembangkan potensi pesantren agar terus berkembang secara dinamis dari zaman ke zaman. Tentunya ini merupakan tanggungjawab moral bagi generasi bangsa untuk terus membina kelangsungan pendidikan di pesantren, baik secara ide, pemikiran, gagasan, bahkan tindakan. Kemudian, perlu adanya penelitian lebih lanjut dengan analisa yang lebih mendalam mengenai bagaimana pola pendidikan pondok pesantren yang efektif yang bisa merangsang daya pikir dan perilaku para santri dalam mengembangkan karakter dalam dirinya. Dengan adanya penelitian lebih lanjut, maka hal ini dapat berkontribusi besar bagi pengembangan pesantren sekaligus meningkatkan kualitas pelaksanaan pendidikannya, sehingga mampu secara konsisten untuk membentuk karakter santri yang merupakan generasi penerus bangsa Indonesia, sekaligus penjaga keutuhan Negara Republik Indonesia (NKRI) dan penegak agama. DAFTAR PUSTAKA Anas, Zulfikri. Sekolah Untuk Kehidupan. Jakarta: AMP Press, 2013. Anwar, Ali. Pembaruan Pendidikan di Pesantren Lirboyo Kediri. Kediri: Pustaka Pelajar, 2011. Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonsia. Jakarta: LP3ES, 2011. Dimyati dan Mudjiono. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta, 2009. Jalaluddin dan Abdullah Idi. Filsafat pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers, 2012. Lukens-Bull, Ronald Alan. Jihad Ala Pesantren : di Mata Antropolog Amerika. Jakarta: Gama Media, 2004. Mahmud.Model-model Penbelajaran di Pesantren. Tangerang: Media Nusantara, 2006. Majid, Abdul dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2011. Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2010. Musfah, Jejen.Manajemen Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2015. Nuraida dan Rihlah Nur Aulia. Pendidikan Karakter UntukGuru. Ciputat: Islamic ResearrchPublishing, 2010. Octavia,Lanny., et al., Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren. Jakarta: Rumah Kitab, 2014. Patoni, Achmad. Peran Kiai Pesantren Dalam Partai Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Sa’ud, Udin Syaefudin dan Abin Syamsuddin Makmun.Perencanaan Pendidikan.Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2011. Sadulloh, Uyoh.Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: ALFABETA, 2009. Salahudin, Anas dan Irwanto Alkrienciehie, Pendidikan Karakter : Pendidikan Berbasis Agama dan Budaya Bangsa. Bandung: CV Pustaka Setia. 2013 Siberman,Melvin L..Active Learning 101 Cara Belajar Siswa Aktif. Bandung: Nuansa Cendekia, 2014. Sucipto. Pendidikan Nasional : Arah Kemana?.Jakarta: Buku Kompas. 2012 Sugiyono, Metodologi Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2006. Sukamto, Kepemiompinan Kiai Dalam Pesantren. Jakarta: Pustaka LP3ES, 1999. Suprijanto. Pendidikan Orang Dewasa. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007. Tilaar, H.A.R.Pedagogik Teoritis Untuk Indonesia. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2015. Zarkasyi, Abdullah Syukri.Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005. --------------------------. Manajemen Pesantren : Pengalaman Pondok Modern Gontor. Gontor: Tri Murti Press, 2005. Nursyamsi, “Membentuk karakter peserta didik melalui proses pembelajaran oleh guru kelas di MI/SD”,jurnal Tarbiyah Al-awlad, Volume VI, Edisi I Lampiran II (Hasil wawancara) Nama : Drs. H. Fathurrohman, MA Jabatan: Pimpinan 1 Pondok Pesantren al-Awwabin Tanggal wawancara: 02 Juni 2017 No 1 Pertanyaan Jawaban Bagaimana pola pendidikan pesantren Al-Awwabin lebih menekankan ilmu alat (kitab al-Awwabin? kuning) sebagaimana yang diinginkan abuya. Di samping itu, al-Awwabin juga menekankan ilmu pendidikan untuk masyarakat, seperti muhadhoroh, tujuannya agar santri dapat menggunakan ilmunya agar santri mampu berbicara di depan masyarakat dengan baik. 2 Seperti apa bentuk pendidikan Muhadhoroh dilakukan setiap minggu sekali, muhadhoroh yang diterapkan? dengan sistem dibagi menjadi beberapa kelompok dengan jumlah 10 orang per kelompoknya. Setiap kelompok diberikan tugas untuk membuat rangkuman pidato, lalu pada gilirannya kelompok tersebut maju dan menyerahkan naskah yang telah dibuat. Sehingga memungkinkan bagi guru untuk mengoreksi apa saja yang menjadi kekurangan dalam penulisannya. 3 Fokus karakter apa yang dibentuk? Karakter yang dititikberatkan adalah tekun belajar, disiplin mengikuti aturan yang ada. 4 Santri memerlukan keteladanan dari Guru, guru, dan pengurus ikut terlibat langsung guru/guru, bagaimana bentuk dalam kegiatan-kegiatan yang ada, melalui kegiatan rawi, ratib, sholat jama’ah, dan lain penerapannya? sebagainya. Sehingga santri merasa diawasi, didampingi, dan diarahkan sekaligus guru menjadi contoh atau model pendidikan terhadap santrisantrinya. 5 Bagaimana kurikulumnya? bentuk manajemeni ada dua sistem pendidikan di pesantren alawwabin, pertama pendidikan formal (sekolah) dengan kurikulum pemerintah (Kementrian Agama), pesantren dan kurikulum membuat non sendiri formal yaitu kurikulum yang disesuaikan dengan tingkat studinya. Seperti madrasah diniyah, diberikan bagi santri-santri baru yang belum pernah merasakan pendidikan pesantren. Lalu kurikulum pesantren bagi santrisantri yang sudah dianggap mampu mengikutinya, maka santri langsung mengikuti kajian-kajian kitab dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi. 6 Pada saat kapan kurikulum non formal Evaluasi dilakukan satu kali dalam setahun ketika dievaluasi? kenaikan kelas, untuk membahas bagaimana ketercapaian santri dalam menerima pendidikan di pesantren Nama : H. Abdurrahman, S.Pd Jabatan : Guru sekaligus alumni pesantren Tanggal wawancara: 12 Juni 2017 No 1 Pertanyaan Jawaban Bagaimana pola pendekatan guru untuk Kami menggunakan KBM dengan cara membina kelangsungan belajar terhadap memberikan cerita seputar akhlakul karimah para santri? Rasulullah SAW, lalu menceritakan isi-isi kitab salafiyah dengan yang membahas akhlak. Lalu, santri diwajibkan bagi santri untuk mengucapkan salam, mencium tangan, terhadap orang tua (guru, pengurus, kyai, dan para tamu) dengan tujuan untuk membentuk karakternya agar mampu menghormati orang lain, terutama yang lebih tua. 2 Fokus karakter apa yang dibentuk? Santri diharuskan memiliki karakter yang jujur, amanah, disiplin, baik ketika mengaji, belajar, serta taat kepada guru di pondok pesantren. 3 Apa yang menjadi kemudahan dalam Santri menghadapi santri? merasa lebih cepat tanggap untuk memahami berbagai cerita seputar ketelaadanan dari para ulama, dan Rasulullah SAW. Hal ini diperkuat dengan sikap guru yang berusaha untuk menjadikan dirinya sebagai teladan bagi para santri, melalui kedisiplinannya, ketekunannya, dan bentuk-bentuk keteladanan lainnya. 4 Apa yang menjadi mendidik santri? kendala dalam Kendalanya hanya satu, santri-santri dihadapkan dengan kemajuan teknologi modern (gadget). Selanjutnya, pergaulan bebas para santri dengan teman-temannya ketika di rumah, melakukan aktivitas seperti merokok dan hal negatif lainnya. Ini cukup menyulitkan upaya pembentukan karakter bagi para santri di pondok pesantren alAwwabin. Nama: Subhan Mufassir Jabatan: santri pesantren al-Awwabin Tanggal wawancara: 12 Juni 2017 No 1 Pertanyaan Seperti apa pola Jawaban guru memberikan pelajaran? dalam Guru memberikan pengajaran melalui kitab-kitab kuning, seperti menghafal kaidah nahwu, lalu kemudian disetorkan kepada guru untuk dinilai lebih lanjut. 2 Apa faktor yang menyebabkan kesulitan Kami memiliki kesulitan belajar apabila tidak menerima pelajaran? mengulang kembali pembelajaran yang diberikan guru, seringkali merasa lupa dengan apa yang sudah dipelajari sebelumnya. 3 Selama menjadi santri, apa perubahan positif yang terjadi? saja Alhamdulillah selama menjadi santri banyak sekali perubahan yang dirasakan, seperti lancar membaca al-Qur’an, lalu bisa melatih diri untuk berbuat baik kepada masyarakat. 4 Bagaimana peran guru dalam mendidik Guru Fathurrahman seringkali membangunkan santri? santri pagi-pagi agar kembali siap belajar, dan ini membuat kami merasa berkembang lebih baik ke depannya. Nama: Ahmad Sibroh Malisi Jabatan: santri pesantren al-Awwabin Tanggal wawancara: 12 Juni 2017 No 1 Pertanyaan Selama menjadi santri, Jawaban apa saja Alhamdulillah, terdapat banyak perubahan perubahan atau pembentukan karakter terutama dalam membaca al-Qur’an dengan lancar, yang terjadi ? lalu menunjukkan akhlakul karimah untuk menghormati guru dan orang lain dengan baik. 2 Bagaimana peran guru mendampingi santri? dalam Peran guru sangat penting, karena guru yang langsung membimbing kami dalam membentuk akhlak dengan baik, sehingga ini bisa bermanfaat di dunia dan di akhirat nanti. 3 Apakah ingin melanjutkan ke perguruan Saya ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, tinggi? terutama di Tarbiyah. Karena ingin menerapkan ilmu yang di dapat di pondok pesantren terhadap masyarakat secara luas. 4 Apa perbedaan antara teman pesantren Sangat dan teman di luar pesantren? berbeda sekali, santri seringkali membicarakan soal akhlak, ilmu pengetahuan, dan ini tentunya begitu bermanfaat. Lalu, di luar pesantren seringkali membicarakan hal yang kurang bermanfaat yang cukup jauh dari apa yang didapatkan di pondok pesantren. 5 Harapan atau pesan-pesan bagi teman- Saran saya bagi teman-teman, teruslah mengingat teman yang masih merasa ragu untuk Allah, perjuangan Rasul, lalu melakukan sesuatu masuk pondok pesantren? yang bermanfaat dan kreatif. Hal ini perlu dilakukan karena banyak sekali kelompok geng bermotor, dan remaja-remaja yang nakal. 6 Pentingnya pesantren dalam membentuk Ketika pulang ke rumah, masyarakat menilai karakter santri? bahwa santri memiliki kelebihan dalam ilmu keagamaan. Ini merupakan kelebihan utama bagi santri yang bisa digunakan untuk memberi manfaat bagi masyarakat. Lampiran I (Instrumen Wawancara) Nama : Drs. H. Fathurrohman, MA Jabatan: Pimpinan 1 Pondok Pesantren al-Awwabin Tanggal wawancara: 02 Juni 2017 No 1 Pertanyaan Jawaban Bagaimana pola pendidikan pesantren al-Awwabin? 2 Seperti apa bentuk pendidikan muhadhoroh yang diterapkan? 3 Fokus karakter apa yang dibentuk? 4 Santri memerlukan keteladanan dari guru/guru, bagaimana bentuk penerapannya? 5 Bagaimana bentuk manajemeni kurikulumnya? 6 Pada saat kapan kurikulum non formal dievaluasi? Nama : H. Abdurrahman, S.Pd Jabatan : Guru sekaligus alumni pesantren Tanggal wawancara: 12 Juni 2017 No Pertanyaan Jawaban 1 Bagaimana pola pendekatan guru untuk membina kelangsungan belajar terhadap para santri? 2 Fokus karakter apa yang dibentuk? 3 Apa yang menjadi kemudahan dalam menghadapi santri? 4 Apa yang menjadi mendidik santri? kendala dalam Nama: Subhan Mufassir Jabatan: santri pesantren al-Awwabin Tanggal wawancara: 12 Juni 2017 No 1 Pertanyaan Seperti apa pola Jawaban guru dalam memberikan pelajaran? 2 Apa faktor yang menyebabkan kesulitan menerima pelajaran? 3 Selama menjadi santri, apa saja perubahan positif yang terjadi? 4 Bagaimana peran guru dalam mendidik santri? Nama: Ahmad Sibroh Malisi Jabatan: santri pesantren al-Awwabin Tanggal wawancara: 12 Juni 2017 No 1 Pertanyaan Selama menjadi santri, Jawaban apa saja . perubahan atau pembentukan karakter yang terjadi ? 2 Bagaimana peran guru dalam mendampingi santri? 3 Apakah ingin melanjutkan ke perguruan tinggi? 4 Apa perbedaan antara teman pesantren dan teman di luar pesantren? 5 Harapan atau pesan-pesan bagi temanteman yang masih merasa ragu untuk masuk pondok pesantren? 6 Pentingnya pesantren dalam membentuk karakter santri? Lampiran III (Dokumentasi Kegiatan al-Awwabin) Lampiran 2 Foto Abuya KH. Abdurrahman Nawi dan Abuya Muhtadi bin Abuya Dimyati Banten, semoga Allah selalu memberikan kesehatan agar mereka terus mensyiarkan agama Islam. Foto KH. Fathurrahman, MA, Musyrif Tholabah (lurah pondok) pesantren Al-Awwabin. Semoga Allah selalu memberikan kesabaran kepada beliau dalam membina para santri. Foto Ust. Ahmad Hafidz Kamil, S.Ag, seorang guru Al-Awwabin yang telah mengabdikan diri kepada Abuya selama 20 tahun. Foto team hajir marawis pondok pesantren AlAwwabin serta piala yang pernah diraihnya Foto Ijazah yang dikeluarkan pesantren, rapot pesantren dan kegiatan ujian pesantren (Imtihan). Foto Plang, Sekolah, serta Asrama Putra dan Putri Pondok Pesantren Al-Awwabin Depok. Foto tower pemancar saluran radio Al-Awwabin, dan foto kegiatan pelatihan dakwah (muhadhoroh) para santri. Kegiatan ini sangat penting agar para santri tidak canggung ketika berbicara di depan umum. Foto kegiatan pengajian santri dan masjid yang sering kali digunakan para santri dalam mempelajari ilmu-ilmu agama Islam. Semoga Allah menjadikan mereka penerus para ulama dan memperjuangkan agama Islam pada masa mereka nanti.