BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam hukum internasional seorang kepala negara, perwakilan diplomatik ataupun pejabat tinggi negara memiliki imunitas yang membuatnya kebal dari yurisdiksi hukum negara lain.1 Imunitas atau hak kekebalan tersebut dikenal dengan imunitas diplomatik, imunitas negara dan imunitas kepala negara yang merupakan perpanjangan dari kedua imunitas tersebut. Imunitas negara atau state immunity diberikan atas dasar sovereign equality dimana semua negara dianggap memiliki kedaulatan yang sama.2 Imunitas ini muncul berdasarkan hukum kebiasaan internasional sebagai penghormatan kedaulatan negara yang satu dengan negara lainnya dan mutlak dimiliki oleh setiap negara.3 Prinsip ini kemudian menciptakan doktrin imunitas mutlak (absolute immunity) dimana prinsip ini sesuai dengan asas hukum “par in parem non habet imperium” yang artinya kedaulatan suatu negara tidak boleh berlaku diatas kedaulatan negara lainnya.4 1 Dapo Akande and Sangeeta Shah, 2011, Immunity of State Officials, International Crimes, and Foreign Domestic Courts, The European Journal of International Law Vol. 21 no. 4 EJIL 2011, hlm. 818. 2 Article 2(1), Charter of the United Nations 1945. “The Organisation is based on the priciple of the sovereign equality of all its members.” Prinsip ini dijelaskan dalam General Assembly Resolusion Resolution (“GA Res”) 2625 (XXV) 1970. 3 Advisory Comite on Issue of Public International Law, 2011, Advisory Report on the Immunity of Foreign States Officials, Avdisory Report No. 20. The Hague. 4 Ian Brownlie, 2003, Principle of Public International Law, 6th Edition, Oxford University Press, New York, hlm. 321. 1 Imunitas diplomatik yaitu imunitas yang diberikan kepada perwakilan diplomatik suatu negara ketika sedang menjalankan tugasnya di negara penerima.5 Imunitas tersebut diberikan kepada mereka yang merupakan perwakilan negara karena tindakan dari perwakilan negara dianggap sebagai perbuatan negara (act of state doctrine).6 Pemberian hak kekebalan atau hak imunitas pada prinsipnya didasarkan pada asas resiprositas/resiprokal atau asas timbal balik antar negara (the principle of reciprocity).7 Tujuan diberikannya hak imunitas ini adalah agar tercipta hubungan persahabatan yang baik antara negara pengirim maupun negara penerima serta merupakan perwujudan penghargaan atas kepercayaan negara pengirim terhadap negara penerima.8 Pemberian imunitas ini juga mutlak diperlukan untuk menjamin terlaksananya tugas dari para perwakilan diplomatik secara efisien, terutama dalam tugas dari negara yang diwakilinya.9 Imunitas kepala negara adalah imunitas yang diberikan kepada kepala negara atas tugas dan fungsinya sebagai seorang kepala negara.10 Seorang kepala negara memiliki imunitas negara dan juga imunitas diplomatik. Imunitas 5 Article 31, The Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961. “The person of a diplomatic agent shall be inviolable; that he shall not be liable to any form of arrest or detention; and that the receiving State shall take alpropriate steps to prevent any attack on his person, freedom or dignity.” 6 Van Panhuys, 1964, In the Borderland Between the Act of State Doctrine and Question of Jurisdictional Immunities, dalam Dapo Akande and Sangeeta Shah, 2011, Immunity of State Officials, International Crimes, and Foreign Domestic Courts, The European Journal of International Law Vol. 21 no. 4 EJIL 2011, hlm. 7 Sumaryo Suryokusumo, 1997, Hukum Diplomatik Teori dan Kasus, Alumni, Bandung. Hlm. 50.Sumaryo Suryokusumo, 1997, Hukum Diplomatik Teori & Kasus, Alumni, Bandung, hlm. 50. 8 Wickremasinghe, Immunities Enjoyed by Officials of States and International Organizations, dalam Dapo Akande and Sangeeta Shah, 2011, Immunity of State Officials, International Crimes, and Foreign Domestic Court, Op.Cit. 9 Sumaryo Suryokusumo, Loc. Cit, hlm. 55. 10 Sir Arthur Whats, The Legal Position in International Law of Head of Sate, Head of Giverment and Foreign Ministers, Receucil des Cours de I’Academie de droit international de la Haye, Vol 247. Hlm. 102-103. 2 diplomatik karena sebagai seorang kepala negara pasti akan sering melakukan kunjungan ke negara lain, imunitas diplomatik diperlukan untuk menjamin kelancarannya dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya di negara tempat ia bekunjung tanpa ada ketakutan akan penangkapan, penahanan, ataupun tindakan lain yang tidak sesuai dengan aturan mengenai kepala negara.11 Selain imunitas diplomatik kepala negara juga memiliki imunitas negara. Imunitas negara diberikan kepada kepala negara karena kepala negara merupakan perpanjangan dari negara. Kepala negara merupakan simbol dari kedaulatan negara tempat ia memerintah atau dengan kata lain kepala dianggap sebagai negara itu sendiri.12 Prinsip absolute immunity dan asas par in parem non habet imperium jelas berlaku kepada seorang kepala negara. Negara lain yang mencoba untuk menggunakan hukumnya kepada seorang kepala negara berarti tidak menghormati kedaulatan negara lain.13 Jika dalam hukum internasional kita mengenal imunitas diplomatik, imunitas negara dan imunitas kepala negara, dalam hukum pidana internasional imunitas tersebut dikenal dengan imunitas ratione personae (personal immunity) dan imunitas ratione materiae (functional immunity).14 Imunitas ratione personae adalah imunitas yang diberikan negara kepada seseorang berdasarkan kedudukan atau jabatan yang diembannya dalam negara.15 Imunitas ini juga dikenal dengan 11 Michel A. Tunks, 2002, Diplomats or Defendats? Defining the Future of Head-of-State Immunity, Duke Law Journal Vol. 52: 651, hlm. 656. 12 Dapo Akande and Sangeeta Shah, Op. Cit. hlm. 824. 13 Ibid. hlm. 824-825 14 Advisory Comite on Issue of Public International Law, Op. Cit. hlm. 11. 15 Dapo Akande and Sangeeta Shah, Loc. Cit. hlm. 818 3 imunitas negara.16 Imunitas ini terbatas hanya diberikan kepada kepala negara, menteri luar negeri atau kepada pejabat tinggi negara.17 Selain imunitas ratione personae, kepala negara dan pejabat tinggi negara (state officials/high state officials) juga memiliki memiliki imunitas ratione materiae. Bedanya, jika imunitas ratione personae terbatas hanya pada kepala negara atau pejabat tinggi negara, imunitas ratione materiae diberikan kepada mereka yang bukan pejabat tinggi negara namun mewakili negaranya dalam halhal tertentu (acted on behalf of the state).18 Mereka ialah perwakilan diplomatik seperti diplomat19, konsuler20, misi khusus (special missions)21, serta perwakilan negara dalam organisasi internasional.22 Pada negara-negara tertentu imunitas ini juga diberikan pada mantan kepala negara atau mantan pejabat tinggi negara atas jasa-jasa yang dilakukan ketika mereka bertugas.23 Karena imunitas ini diberikan oleh negara kepada mereka yang melakukan tindakan untuk kepentingan negara, 16 Robert Cryer, et.al, An Introduction to International Criminal Law and Procedure, Second Edition, Cambridge University Press, Cambridge, New York, Melbourne, Madrid, Cape Town, Singapore, Soa Paolo, Dehli, Dubai, Tokyo, hlm. 533 17 Antonio Cassese, International Criminal Law, Oxford University Press, Gosport, Hampshire, hlm. 264 18 Remy Prouveze, Immunities, in William A. Schabas and Nadia Bernaz, Routledge Handbook of International Criminal Law, Routledge Taylor and Francis Group, London and New York. hlm. 356 19 Article 31, Vienna Convention on Diplomatic Relations, 1961. Op. Cit 20 Article 43, Article 31(1), Vienna Convention on Consular Relations, 1963. “Immunity from Jurisdiction: 1. Consular officers and consular employees shall not be amenable to the jurisdiction of the judicial or administrative authorities of the receiving State in respect of acts performed in the exercise of consular functions. 21 Lihat Article 29 and 31, Convention on Special Missions, 1969; Dapo Akande and Sangeeta Shah, Op. Cit. hlm. 822-823. 22 Lihat Vienna Convention on the Representation of States in Their Relations with International Organizations of Universal Character, 1975; Convention on the Privileges and Immunities of the United Nations, 1946; Agreement on Privileges and Immunities of the International Criminal Court, 2002. 23 Wickremasinghe, Immunities Enjoyed by Officials of States and International Organizations, dalam Dapo Akande and Sangeeta Shah, Op. Cit. hlm. 825 4 maka negara menjamin semua tindakan yang dilakukan oleh perwakilannya ini. Tindakan dari perwakilan negara dianggap merupakan tindakan dari negaranya maka negara bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukan oleh perwakilannya. Jadi dalam statusnya sebagai perwakilan negara, orang tersebut menikmati imunitas mutlak dari yurisdiksi kriminal (absolute immunity from criminal jurisdiction) suatu negara.24 Jika diperhatikan, imunitas pada hukum pidana internasional konteksnya hampir sama dengan imunitas dalam hukum internasional. Imunitas ratione personae dalam hukum pidana internasional merupakan imunitas negara dan imunitas ratione materiae merupakan imunitas diplomatik. Bedanya, jika pada perkembangannya imunitas dalam hukum internasional kemudian dibatasi oleh kegiatan komersil (commercial activity)25, imunitas dalam hukum pidana internasional memfokuskan pada pertanggungjawaban pidana individu (individual criminal responsibility).26 Hak imunitas yang tujuan awalnya adalah sebagai penghormatan terhadap kedaulatan negara lain serta untuk memberikan jaminan hukum kepada perwakilan negara ketika menjalankan tugas mereka di negara lain, dalam perkembangannya kemudiaan sering disalahgunakan. Beberapa contoh dapat kita lihat pada kasus Omar Al-Bashir27, Robert Mugabe28, Mahinda Rajapaksa, 24 Illias Bantekas and Susan Nash, 2007, International Criminal Law, Third Edition, RoutledgeCavendish, 2 Park Square, Milton Park, Abingdon, Oxon OX 14 4RN, UK. hlm. 100. 25 Yudha Bhakti Adhiwara, 1999, Imunitas Kedaulatan Negara di Forum Pengadilan Asing, Alumni, Bandung, hlm. 172-173. 26 United Nations General Assembly, 2008, Immunity of State Officilas from Foreign Criminal Jurisdiction, International Law Commission, hlm. 39. 27 Warrant of Arrest for Omar Hassan Ahmad Al Bashir, Omar Hassan Ahmad Al-Bashir (ICC 02/05-01/09), Pre-Trial Chamber I, $ March 2009. 5 Manuel Noriega29, Augusto Pinochet30, Slobodan Milosevic31, Charles Taylor32 Hissene Habre33, Muammar Quaddafi34, Fidel Castro, Abdulaye Yerodia Ndombasi35 dan Jean Kambada.36 Mereka merupakan kepala negara, mantan kepala negara serta pejabat tinggi negara yang dituduh melakukan tindakan-tindakan yang dikategorikan sebagai kejahatan internasional. Dalam peradilannya mereka kemudian menggunakan hak imunitas yang mereka miliki untuk terlepas dalam tanggung jawab pidana serta yurisdiksi hukum pengadilan yang mencoba untuk mengadili mereka. Selain beberapa contoh di atas, kasus-kasus hukum mengenai kejahatan internasional yang dilakukan baik oleh kepala negara, mantan kepala negara, maupun pejabat tinggi negara juga terjadi di hampir seluruh belahan dunia. Sebagian besar kasus kejahatan internasional seperti kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi di negara-negara Afrika (Rwanda, 28 Tachiona v. United States, 386 F. 3d 205, 2004, United States Court Appeals for the Second Sircuit. 29 United States v. Noriega, 746 F.Suhlm. 1506, 1511 (S.D.Fla.1990), and The United States v Manuel Antonio Noriega, United States Court of Ahlmeals, Eleventh Circuit, Nos.92-4687; 964471, (7 July 1997). 30 R. v. Bow St. Metro. Stipendiary Magistrate, ex parte Pinochet Ugarte, (2000) 1 A.C. 61 (H.L. 1998) (Pinochet I); R. v. Bow St. Metro. Stipendiary Magistrate, ex parte Pinochet Ugarte, (2000) 1 A.C. 119 (H.L. 1999) (Pinochet II); R. v. Bow St. Metro. Stipendiary Magistrate, ex parte Pinochet Ugarte, (2000) 1 A.C. 147 (H.L. 1999) (Pinochet III). 31 Prosecutor v Slobodan Milosevic (IT-99-37-PT), Decision on Preliminary Motions, 8 November 2001. 32 Prosecutor v Charles Taylor (SCSL-2003-01-I), Decision on Immunity from Jurisdiction, 31 May 2004. 33 Cour de Cassation du Senegal (Premiere chambre statuant en matiere penale), Aff. Habre, Arret n. 14, (20 March 2001). 34 Chambre Criminelle, Frech Supreme Court, Criminal Division, Paris, Arret n. 1414, Mar. 13, 2001, Gaz. Pal. (2001), 2, somm. 35 Case Concerning the Arrest Warrant of 11 April 2000 (D.R.C. v. Belg.), 14 February 2002, I.C.J. 21. 36 Prosecutor v Kambanda (ICTR 97-23-S), Judgment and Sentence, 4 September 1998. 6 Liberia, Uganda, Kenya, Ethiopia, Senegal, Sierra Leone), karena di sana banyak terjadi perang bersaudara maupun perang antar suku.37 Tidak hanya di negaranegara Afrika, kejahatan internasional juga terjadi di bekas negara Yugoslavia (Serbia, Kroasia, Slovenia, Bosnia-Herzegovina), Kosovo, Chile, Sudan, Libanon, Cambodia (Kamboja), Timor-Timor (yang dahulu adalah bagian negara Indonesia) serta negara-negara lainnya. Penegakan hukum bagi kejahatan internasional atau kasus-kasus kemanusiaan dalam skala besar biasanya dimasukkan dalam ranah hukum pidana internasional.38 Secara teoritis, penegakan hukum pidana internasional dibagi menjadi direct enforcement system atau sistem penegakan langsung dan indirect enforcement system atau sistem penegakan tidak langsung.39 Direct enforcement system adalah penegakan hukum pidana internasional oleh Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court).40 Sebelum adanya Mahkamah Pidana Internasional, direct enforcement system diselenggarakan secara ad-hoc. Sedangkan Indirect enforcement system adalah penegakan hukum pidana internasional melalui hukum pidana nasional masing-masing negara di mana kejahatan internasional tersebut dilaksanakan.41 Peradilan atas pelaku kejahatan internasional ini dilakukan oleh pengadilan nasional suatu negara.42 37 Chacha Marunggu and Japhet Bigeon (eds), 2011, Prosecuting International Crimes in Africa, Pretoria University Law Press. hlm 3-4. 38 Shinta Agustina, Hukum Pidana Internasional (Dalam Teori dan Praktek), Andalas University Press, Padang, 2006, hlm. 54. 39 Eddy O. S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Erlangga, Jakarta, 2009, hlm. 69 40 I Gede Widhiana Swarda, 2012, Hukum Pidana Internasiona: Sebuah Pengantar, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 11. 41 Eddy O. S. Hiariej, Op. Cit., hlm. 83. 42 Ibid. hlm. 82. 7 Sama seperti pengadilan-pengadilan pidana internasional sebelumnya43, dalam penegakan hukum pidana internasional yang dilaksanakan oleh International Criminal Court, pertanggungjawaban pidana seseorang (Individual criminal responsibility) tidak dipengaruhi oleh jabatan yang sedang diemban serta imunitas yang dimiliki berdasarkan jabatan tersebut.44 Jika dalam sebuah kasus seseorang terbukti bertanggung jawab secara individu ataupun bertanggung jawab secara komando atas kejahatan yang terjadi, maka orang tersebut harus dihukum berdasarkan ketentuan yang berlaku dalam Statuta Roma (Rome Statute the International Criminal Court). Dengan demikian, dalam konteks penegakan hukum pidana internasional melalui Mahkamah Pidana Internasional, imunitas yang dimiliki oleh kepala negara, mantan kepala negara maupun pejabat tinggi negara tidak berlaku. Pada perkembangan selanjutnya dari penegakan hukum pidana internasional, muncul sistem penegakan baru yaitu penegakan hukum pidana internasional dengan sistem hybrid model.45 Sistem penegakan hukum pidana internasional hybrid model ini pertama kali dilaksanakan di Kampuchea atau lebih 43 Pengadilan Pidana Internasional untuk bekas Negara Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia), Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda), Mahkamah Tokyo (International Military Tribunal for the Far East ) dan Mahkamah Nuremberg (International Military Tribunal for Nuremberg). 44 Article 27, Rome Statute of The International Criminal Court, 1998. “1. This Statute shall apply equally to all persons without any distinction based on official capacity. In particular, official capacity as a Head of State or Government, a member of a Government or parliament, an elected representative or a government official shall in no case exempt a person from criminal responsibility under this Statute, nor shall it, in and of itself, constitute a ground for reduction of sentence. 2. Immunities or special procedural rules which may attach to the official capacity of a person, whether under national or international law, shall not bar the Court from exercising its jurisdiction over such a person.” 45 Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., hlm. 84. 8 dikenal dengan Kamboja.46 Setelah Kamboja sistem hybrid model ini kembali digunakan di Timor Timur47, Kosovo48, Iraq49, Libanon50 dan Sierra Leone.51 Penegakan hukum pidana internasional sistem hybrid model dilakukan oleh pengadilan hybrid yang merupakan pengadilan campuran antara hukum nasional dangan hukum internasional. Hal tersebut kemudian menimbulkan pertentangan sekaligus pertanyaan mengenai status dari pengadilan hybrid tersebut, serta pada pelaksanaannya peradilannya hukum mana yang nantinya akan lebih diutamakan. Hukum nasional yang mengakui imunitas kepala negara atas dasar equality of states dan asas par in parem non habet imperium yang menyatakan seorang kepala negara tidak bisa diadili oleh pengadilan nasional negara lain atau hukum internasional, khususnya hukum pidana internasional yang dalam penegakannya, pertanggujawaban pidana seseorang tidak mengenal relevansi jabatan resmi serta serta imunitas yang dimilikinya berdasarkan jabatan tersebut. 46 Eillen Skinnider, Experiences and Lesson from “Hybrid” Tribunals, Sierra Leone, East Timor dan Cambodia. hlm.4 Suzannah Linton, 2002, NewApproaches to International Justice in Cambodia and East Timor, International Review of the Red Cross: Humanitarian Debate Law, Policy, Action, Vol. 84 no. 845, hlm. 97. 47 Kai Ambos dan Mohamed Othman, 2003, New Approaches in International Criminal Justice, Kosovo, East Timor, Sierra Leone and Cambodia, Ferburg. Hlm. 73. 48 M. Cherif Bassiouni, Introduction to International Criminal Law, Transnational Publisher Inc, Ardsley, New York, hlm 553-557. 49 Michael Scharf, Basic Information about the Iraqi Special Tribunal, Grotion Moment, The International War Crimes Trial Blog, School of Law, Case Western Reserve University. 50 Medwis al-Rashidi, 2012, The Special Court for Sierra Leone and the Special Tribunal for Lebanon: Lesson to be Learn from the Establishment, Composition and Jurisdiction of an International Tribunal, Angkara Law Review, Vol. 5 no. 1, hlm. 4. 51 Michaella Frulli, 2000, The Special Court for Sierra Leone: Some Preliminary Comments, European Journal of International Law. Vol. 11 no. 4, hlm. 857-869. 9 Pada tesis ini peneliti memfokuskan pembahasan mengenai imunitas kepala negara khususnya pada pengadilan hybrid dengan mengambil acuan pada kasus Charles Taylor pada Special Court for Sierra Leone. Peneliti melihat kasus ini adalah contoh yang tepat untuk menjawab pertanyaan yang menjadi pembahasan pokok tesis ini. Charles Taylor adalah mantan kepala negara kedua dalam sejarah setelah Slobodan Milosevich, dan mantan kepala negara Afrika yang pertama yang di tuntut bawah hukum internasional dan dalam level kejahatan internasional. Taylor lahir di Arthington, Liberia, pada 28 Januari 1948. Ia masuk dalam golongan keluarga Americo-Liberia, kelompok elit yang tumbuh dari para budak yang dibebaskan dan mendirikan negara sendiri pada abad ke-19. Pada tahun 1997, Taylor terpilih menjadi Presiden Liberia yang ke-22. Taylor menjabat sebagai Presiden Demokratis Liberia selama 6 tahun. Ia mulai menjabat pada 2 Agustus 1997 hingga 11 Agustus 2003. Pada tahun 1999, Taylor sempat dituduh oleh Ghana dan Nigeria mendukung pemberontakan yang dilakukan oleh Revolutionary United Front (RUF) yang terjadi di Sierra Leone sejak tahun 1996. Sierra Leone merupakan negara tetangga Liberia yang kaya akan berlian dan mineral. Sejak dahulu Sierra Leone telah ramai dengan perang saudara yang terjadi di dalamnya. Ketika terjadi pemberontakan melawan pemerintahannya, Taylor yang pada waktu itu berada dibawah tekanan internasional dan dikelilingi oleh pemberontak-pemberontak akhirnya menyerahkan jabatannya kepada Wakil Presidennya. Pada bulan Agustus 2003, berdasarkan perjanjian sesama Kepala 10 Negara Afrika, Taylor meningggalkan kantornya dan memasuki ibukota Liberia, Monrovia. Pada 4 Juni 2004, Taylor mendapat surat penangkapan dari Pengadilan Khusus untuk mengadili dirinya. Ia menolak untuk ditangkap dengan dalih bahwa dirinya memiliki imunitas di bawah hukum internasional. Pada tanggal 29 Maret 2006, Taylor ditangkap di Nigeria oleh otoritas Nigeria, menyusul permintaan Presiden Liberia, Johnson-Sirleaf agar ia menyerahkan diri pada Pengadilan Khusus sesuai dengan surat penangkapan atas dirinya. Tak lama setelah itu ia dipindahkan ke tahanan khusus di Pengadilan Freetown, Sierra Leone, dan secara resmi dibawah ke Pengadilan pada 3 April 2006. Dengan alasan keamanan, pada 20 Juni 2006, Taylor dipindahkan ke Den Haag. Meski sidang diadakan di Den Haag, Taylor masih diadili oleh Special Court for Sierra Leone yang merupakan pengadilan hybrid yang dibentuk atas dasar perjanjian antara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Pemerintah Sierra Leone.52 Taylor dituntut atas kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan pelanggaran serius lainnya terhadap hukum humaniter internasional termasuk didalamnya pembunuhan dan penyiksaan terhadap warga sipil, mutilasi, penggunaan perempuan sebagai budak seks serta penculikan orang dewasa dan anak-anak yang kemudian dipaksa untuk bekerja dan menjadi pejuang dalam konflik bersenjata yang terjadi di Sierra Leone sejak tanggal 30 November 1996 hingga 18 Januari 2002. 52 Agreement between the United Nations and the Goverment of Sierra Leone on the Establishment of a Special Court of Sierra Leone, di tandatangani pada 16 Januari 2002. (lihat lampiran). 11 B. Rumusan Masalah Berdasarkan pembahasan di atas, peneliti mencoba membahas mengenai pertanyaan pokok pada yang muncul pada tesis ini dengan membaginya kedalam dua rumusan masalah. 1. Bagaimana penerapan imunitas kepala negara dalam hukum internasional? 2. Bagaimana penerapan imunitas kepala negara pada pengadilan hybrid dalam kasus Charles Taylor pada Special Court for Sierra Leone? C. Keaslian Penelitian Peneliti melakukan kegiatan penelusuran terhadap penelitian dan karya- karya ilmiah yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Peneliti menemukan beberapa karya tulis ilmiah yang membahas mengenai imunitas kepala negara, namun inti pembahasan dari karya-karya ilmiah tersebut berbeda dengan pokok permasalahan yang dibahas oleh peneliti. Disertasi Hossein Mahdizadeh Kasrineh pada Hamburg University, dengan judul Immunity of Head of State and its effects on the context of International Criminal Law, tahun 2012. Rumusan masalah dalam disertasi Kasrineh ini adalah bagaimana dampak yurisdiksi universal terhadap imunitas kepala negara serta dampaknya terhadap beberapa peraturan negara sedangkan peneliti memfokuskan pada pembahasan mengenai imunitas kepala negara pada pengadilan hybrid khususnya pada kasus Charles Taylor pada Special Court for Sierra Leone. 12 Disertasi dari Elizabeth Helen Franey pada Department of Law of the London School of Economics. 2009. Immunity, Individuals and Internationals Law. Which Individuals are immune from the Jurisdiction of Nationals Courts under International Law? Rumusan masalah dalam disertasi Franey ini menitikberatkan pembahasan kepada siapa saja yang memiliki imunitas dari yurisdiksi pengadilan nasional ditinjau dari hukum internasional. Berbeda dengan peneliti yang memfokuskan pembahasan pada imunitas kepala negara pada pengadilan hybrid. Tesis dari Christoph Leonhard Funch pada Faculty of Law Twente University, yang berjudul Head of State Immunity in the Case of Grave Violations of Human Rights, tahun 2010. Rumusan masalah dalam tesis Funch ini bertitik berat pada imunitas kepala negara dalam pelanggaran berat HAM. Tesis ini membahas mengenai imunitas kepala negara dalam kasus-kasus pelanggaran berat HAM di mana imunitas kepala negara yang menjadi hukum kebiasaan internasional dapat dikesampingkan apabila menyangkut kasus-kasus pelanggaran berat HAM, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti memfokuskan pada imunitas kepala negara dalam penegakan hukum pidana internasional dengan sistem hybrid model. D. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis. Penelitian ini diharapkan memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang doktrin imunitas kepala negara dalam penegakan hukum pidana internasional sistem hybrid model. 13 b. Manfaat Praktis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penegakan hukum pidana internasional sistem hybrid model berkaitan dengan doktrin imunitas kepala negara atau mantan kepala negara, agar nanti tidak terdapat keraguan dalam penerapannya. E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan yang dikemukan peneliti sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. untuk menguraikan bagaimana penerapan doktrin imunitas kepala negara dalam hukum internasional baik pada pengadilan nasional maupun pengadilan internasional 2. Untuk menjelaskan bagaimana penerapan imunitas kepala negara pada pengadilan hybrid, khususnya dalam kasus Charles Taylor pada special Court for Sierra Leone. 14