KESETARAAN GENDER DALAM PERSPEKTIF AL

advertisement
KESETARAAN GENDER DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN
(STUDI KRITIS PEMIKIRAN NASARUDDIN UMAR)
Zaprulkhan
Email: [email protected]
Abstract
This article aims to elaborate about gender equality discourses in
quranic perspective. In reality, there is connection between gender
differences and gender inequalities. Oftentimes gender differences
cause gender inequalities. Actually gender deals with someone’s
qualitis more than someone’s identities. Also there is quite difference
between sex and gender. Unfortunately still many people view sex
and gender similarly. In quranic perspective, there is no difference
between man and woman in gender qualities. In quranic outlook,
both of two have the same qualities in morality, intelligence, and
spirituality. This article will explore about gender equality according
to Nasaruddin Umar based on quranic perspective.
Keywords: discourse,
Nasaruddin Umar
gender
A. PRAWACANA
Sifat inferioritas yang telah
dilekatkan oleh tradisi (turats)
kepada perempuan bahwa
mereka adalah kurang dalam
hal akal dan agama hanyalah
pandangan yang mengada-ada
yang telah ditetapkan oleh
equality,
quranic
perspective,
sistem masyarakat patriarkis
yang berlaku saat itu.1
Seperti
diungkapkan
Muhammad Shahrur di atas
bahwa pengaruh budaya
1M. Shahrur, Metodologi Fiqih Islam
Kontemporer, terj Sahiron Syamsuddin
dan Burhanuddin (Yogyakarta: Elsaq,
2004), h. 441.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 108
patriarkis telah membentuk
stereotip dan paradigma
kultural yang merendahkan,
melecehkan
dan
menyebabkan
perspektif
misoginistik terhadap kaum
wanita. Semua itu telah
menjadi tradisi yang begitu
mengakar sehingga menjadi
tugas
yang
sulit
dan
berbenturan dengan banyak
kendala untuk menghapuskan
disparitas subordinatif kaum
wanita dari pria.
Melihat kenyataan seperti
ini,
banyak
pemikir
kontemporer
yang
ingin
menengok secara langsung
pesan ayat-ayat Al-quran
terhadap perempuan. Mereka
ingin
menghadirkan
pandangan qurani yang tidak
diskriminatif. Akan tetapi,
terkadang perspektif analisis
qurani yang diwacanakan
tidak holistik, hanya parsial
yang menyebabkan tidak
tuntasnya paradigma Al-quran
terhadap persoalan yang
dibicarakan.
Pada titik inilah, tulisan ini
akan mengelaborasi pemikiran
Nasaruddin Umar tentang
gender melalui lensa Al-quran
yang bisa dikatakan cukup
representatif
dalam
menyuguhkan paradigma Alquran mengenai gender. Lebih
jauh, pembahasan ini akan
melacak pada beberapa karya,
baik yang berasal dari disertasi
maupun lainnya yang secara
spesifik
membedah
permasalahan gender dari
perspektif Al-quran, disertai
tinjauan
historis-sosiologis
masyarakat Arab klasik agar
bisa mengetahui sejauh mana
pengaruh budaya patriarki
membentuk
pemahaman
negatif terhadap wanita.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 109
B. BIOGRAFI SINGKAT
INTELEKTUAL
NASARUDDIN UMAR
Nasaruddin Umar lahir di
Ujung-Bone, propinsi Sulawesi
Selatan,
tepatnya
pada
tanggal 23 juni tahun 1959. Ia
merupakan
alumnus
pesantren As'adiyah sengkang
pada tahun 1976. Kemudian
masuk fakultas syariah IAIN
Alauddin Ujung Pandang
hingga selesai Sarjana Muda
tahun 1980 dan melanjutkan
sampai Sarjana lengkap tahun
1984.
Selanjutnya
hijrah
ke
Jakarta
untuk
mengikuti
jenjang pendidikan yang lebih
tinggi yaitu program Magister
di IAIN Syarif Hidayatullah
hingga selesai tahun 1992. Di
perguruan tinggi yang sama
pula
ia
menyelesaikan
program S3, dengan disertasi
yang membahas perspektif
gender dalam Al-quran yang
kemudian diterbitkan oleh
Paramadina.
Sebelumnya ia pernah
melakukan visiting student di
Mc. Gill University, Kanada
(1993/1994),
di
Leiden
University (1994/1995) dan
mengikuti Sandwich program
di Paris University (1995). Dan
pernah pula mengadakan
penelitian kepustakaan di
beberapa Perguruan Tinggi di
negara-negara Eropa selama
tiga tahun (1993-1996). Ia juga
pernah
menjabat
Wakil
Menteri Agama RI pada
pemerintahan sebelumnya.
Kini ia aktif mengajar di
berbagai Perguruan Tinggi
Negeri
dan
Swasta
di
Indonesia antara lain: Program
Pascasarjana
UIN
Syarif
Hidayatullah
Jakarta,
Universitas Paramadina, dan
Universitas Indonesia. Serta
aktif mengasuh berbagai
pengajian Tasawuf Masjid
Agung Sunda Kelapa, Masjid
At-Tin,
dan
menjadi
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 110
Narasumber
di
berbagai
2
media televisi. Selain itu, ia
aktif pula menulis artikel di
media massa dan jurnal.
Tulisan ini akan menyoroti
beberapa karya utamanya,
Argumen Kesetaraan Gender
dalam Perspektif Al-quran dan
beberapa
karyanya
yang
membahas tentang gender.3
C. METODE YANG
DIGUNAKAN
NASARUDDIN UMAR
Ada beberapa metode
yang digunakan Nasaruddin
Umar dalam mengkaji gender
melalui perspektif Al-quran:
pertama, mengingat objek
penelitian yang dikaji adalah
ayat-ayat Al-quran, maka
2Biografi yang agak lengkap, bisa
dilihat dalam Nasaruddin Umar, Islam
Fungsional (Jakarta: Quanta, 2014), h.
145-165; Diambil dari sampul belakang
buku Nasaruddin Umar, Argumen
Kesetaraan Gender Perspektif Al-quran
(Jakarta: Paramadina,2001)
3Nasaruddin
Umar,
Argumen
Kesetaraan Gender Perspektif Al-quran
(Jakarta: Paramadina, 2001);
Nasaruddin
menggunakan
perangkat
ilmu
tafsir,
terutama metode tematis
atau maudhu'i. Yang dimaksud
metode maudhu'i di sini
adalah berupaya memahami
dan menjelaskan kandungan
ayat-ayat Al-quran dengan
cara menghimpun ayat-ayat
dari berbagai surat yang
berkaitan dengan satu topik,
lalu dianalisis kandungan ayatayat tersebut hingga menjadi
satu kesatuan konsep yang
utuh.4
Dalam sebagian besar
kajiannya
Nasaruddin
menggunakan
metode
tersebut. Bahkan metode
tematis
paling
dominan
4 Sebagian besar kajian Nasaruddin
Umar mengenai gender menggunakan
metode maudhu'i. Lihat Nasaruddin,
Argumen……Ibid., h. 28-29; Nasaruddin,
"Metode Penelitian Berperspetif Gender
Tentang Literatur Islam" dalam Ema
Marhumah dan Lathiful Khuluq (ed.),
Rekonstruksi
Metodologis
Wacana
Kesetraan
Gender
dalam
Islam
(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2002),h. 85105; Nasaruddin "Perspektif Gender
Dalam Islam", Jurnal Paramadina, No. 1.
Vol.1. Th. 1998, h. 102-113.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 111
seperti ketika membahas
tentang identitas gender, asalusul dan substansi kejadian
manusia yang terdiri dari
beberapa sub bagian serta
mengenai
prinsip-prinsip
kesetaraan gender. Kedua,
menggunakan metode analisis
sejarah (historical analysis)
untuk memahami kondisi
objektif
bangsa
Arab
menjelang dan ketika Alquran
diturunkan. Metode ini juga
sangat
berguna
untuk
memahami fluktuasi peran
laki-laki
dan
perempuan
dalam sejarah panjang umat
manusia.
Ketiga,
metode
hermeneutis (hermeneutical
method), dengan alasan objek
penelitian tersebut adalah
teks-teks masa silam yang
menuntut pemahaman dan
penghayatan di masa sekarang
dan akan datang. Metode
hermeneutis
digunakan
sebagai salah satu upaya
untuk
mengaktualkan
beberapa
konsep
yang
berhubungan dengan gender
di dalam Al-quran.5 Tulisan ini
akan membahas tentang
pengertian gender, perspektif
teori gender, kondisi objektif
jazirah Arab menjelang Alquran diturunkan serta kajian
yang
difokuskan
pada
identitas gender dalam Alquran dan konsep gender
dalam Al-quran.
D. ANALISIS WACANA
GENDER
1 Pengertian gender dan
perbedaannya dengan sex
Istilah "gender" berasal
dari bahasa Inggris "gender"
yang berarti jenis kelamin.
Dalam
kamus
Webster
diartikan sebagai perbedaan
yang tampak antara lelaki dan
perempuan dilihat dari segi
nilai dan tingkah laku. H. T.
5Nasaruddin, Kesetaraan……. Op. Cit,
h. 31-32.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 112
Wilson mengartikan gender
sebagai suatu dasar untuk
menentukan
perbedaan
sumbangan
laki-laki
dan
perempuan pada kebudayaan
dan kehidupan kolektif yang
sebagai akibatnya mereka
menjadi
laki-laki
dan
perempuan.
Singkatnya,
menurut Nasaruddin, gender
merupakan suatu konsep yang
digunakan
untuk
mengidentifikasi perbedaan
laki-laki
dan
perempuan
dilihat dari segi sosial budaya.
Gender
dalam
arti
ini
mendefinisikan laki-laki dan
perempuan dari sudut non
biologis.6
Di
sini,
menurut
Nasaruddin ada perbedaan
yang jelas antara gender dan
sex. Jika gender secara umum
digunakan
untuk
mengidentifikasi perbedaan
laki-laki dan perempuan dari
aspek sosial budaya, maka
6
Ibid., h. 35.
istilah sex secara umum
dipakai untuk mengidentifikasi
perbedaan
laki-laki
dan
perempuan dari segi anatomi
biologi. Istilah sex lebih
banyak berkonsentrasi pada
aspek
biologi
seseorang,
meliputi perbedaan komposisi
kimia dan hormon dalam
tubuh,
anatomi
fisik,
reproduksi dan karakteristik
biologis lainnya. Sedangkan
gender
lebih
banyak
berkonsentrasi pada aspek
sosial, budaya, psikologis dan
aspek-aspek non biologis
lainnya.
Perbedaan ini penting
untuk diungkapkan, karena
menurut Nasaruddin banyak
persepsi yang bias dan tidak
membedakan antara gender
dan sex. Banyak masyarakat
yang
memahami
bahwa
atribut biologis pada seserang
seperti penis pada lelaki dan
vagina pada perempun, maka
hal itu akan menjadi identitas
gender
bagi
yang
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 113
bersangkutan
dan
akan
menentukan peran sosial
dalam masyarakat. Padahal
relasi gender tidak didasarkan
pada faktor biologis melainkan
pada kualitas, skill dan
konvensi-konvensi sosial.7
Lebih jauh, perbedaan
gender (gender differences)
bisa
mengakibatkan
ketidakadilan gender (gender
inequalities) dan berujung
pada
kekerasan
gender.
Kekerasan (violence) adalah
serangan atau invasi (assault)
terhadap
fisik
maupun
integritas mental psikilogis
seseorang.
Kekerasan
terhadap sesama manusia
pada dasarnya berasal dari
berbagai sumber, namun
salah satu kekerasan terhadap
satu jenis kelamin tertentu
yang
disebabkan
oleh
anggapan gender. Kekerasan
yang disebabkan oleh bias
gender in disebut gender-
7
Ibid., h. 35-38.
related
violence.
Pada
dasarnya, kekerasan gender
disebabkan
oleh
ketidaksetaraan
kekuatan
yang ada dalam masyarakat.
Banyak macam dan bentuk
kejahatan
yang
bisa
dikategorikan
sebagai
kekerasan
gender,
di
antaranya:
Pertama,
bentuk
pemerkosaan
terhadap
perempuan,
termasuk
perkosaan dalam perkawinan.
Perkosaan
terjadi
jika
seseorang melakukan paksaan
untuk
mendapatkan
pelayanan
seksual tanpa
kerelaan yang bersangkutan.
Ketidakrelaan ini seringkali
tidak
bisa
terekpresikan
disebabkan oleh pelbagai
faktor, misalnya ketakutan,
malu,
keterpaksaan
baik
ekonomi,
sosial
maupun
kultural, tidak ada pilihan lain.
Kedua,
tindakan
pemukulan dan serangan fisik
yang terjadi dalam rumah
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 114
tangga (domestic violence).
Termasuk tindak kekerasan
dalam bentuk penyiksaan
terhadap anak-anak (child
abuse).
Ketiga, bentuk penyiksaan
yang mengarah kepada organ
alat
kelamin
(genital
mutilation),
misalnya
penyunatan terhadap anak
perempuan. Berbagai alasan
diajukan
oleh
suatu
masyarakat untuk melakukan
penyunatan ini. Namun salah
satu alasan terkuat adalah,
adanya anggapan dan bias
gender di masyarakat, yakni
untuk
mengontrol
kaum
perempuan.
Saat
ini,
penyunatan perempuan sudah
mulai jarang kita dengar.
Keempat, kekerasan dalam
bentuk
pelacuran
(prostitution).
Pelacuran
merupakan bentuk kekerasan
terhadap perempuan yang
diselenggarakan oleh suatu
mekanisme ekonomi yang
merugikan kaum perempuan.
Setiap masyarakat dan negara
selalu menggunakan standar
ganda
terhadap
pekerja
seksual ini. Di satu sisi
pemerintah melarang dan
menangkapi mereka, tetapi di
lain pihak negara juga menarik
pajak dari mereka. Sementara
seorang pelacur dianggap
rendah oleh masyarakat,
namun tempat pusat kegiatan
mereka selalu saja dikunjungi
orang.
Kelima, kekerasan dalam
bentuk pornografi. Pornografi
adalah jenis kekerasan lain
terhadap perempuan. Jenis
kekerasan
ini
termasuk
kekerasan nonfisik, yakni
pelecahan terhadap kaum
perempuan di mana tubuh
perempuan dijadikan objek
demi keuntungan seseorang.
Keenam, kekerasan dalam
bentuk pemaksaan sterilisasi
dalam Keluarga Berencana
(enforced
sterilization).
Keluarga Berencana di banyak
tempat ternyata telah menjadi
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 115
sumber kekerasan terhadap
perempuan. Dalam rangka
memenuhi target mengontrol
pertumbuhan
penduduk,
perempuan
seringkali
dijadikan
korban
demi
program tersebut, meskipun
semua orang tahu bahwa
persoalannya tidak saja pada
perempuan melainkan berasal
dari kaum laki-laki juga.
Namun, lantaran bias gender,
perempuan dipaksa sterilisasi
yang
seringkali
membahayakan baik fisik
ataupun jiwa mereka.
Ketujuh,
adalah
jenis
kekerasan
terselubung
(molestation),
yakni
memegang atau menyentuh
bagian tertentu dari tubuh
perempuan dengan pelbagai
cara dan kesempatan tanpa
kerelaan si pemilik tubuh.
Jenis kekerasan ini sering
terjadi di tempat pekerjaan
maupun di tempat umum,
seperti dalam bis.
Kedelapan,
tindakan
kejahatan
terhadap
perempuan yang paling umum
dilakukan di masyarakat yakni
yang
dikenal
dengan
pelecehan seksual atau sexual
and emotional harassment.
Ada banyak bentuk pelecehan,
dan yang umum terjadi adalah
masalah unwanted attention
from men. Banyak orang
membela bahwa pelecehan
seksual itu sangat relatif
karena sering terjadi tindakan
itu merupakan usaha untuk
bersahabat.
Tetapi
sesungguhnya
pelecehan
seksual bukanlah usaha untuk
bersahabat, karena tindakan
tersebut merupakan sesuatu
yang tidak menyenangkan
bagi perempuan.
Ada beberapa bentuk yang
bisa dikategorikan pelecehan
seksual. Di antaranya:
a. Menyampaikan
lelucon
jorok secara vulgar pada
seseorang dengan cara
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 116
yang dirasakan sangat
ofensif.
b. Menyakiti atau membuat
malu seseorang dengan
omongan kotor.
c. Mengintrograsi seseorang
tentang kehidupan atau
kegiatan seksualnya atau
kehidupan pribadinya.
d. Meminta imbalan seksual
dalam rangka janji untuk
mendapatkan kerja atau
untuk
mendapatkan
promosi atau janji-janji
lainnya.
e. Menyentuh
atau
menyenggol bagian tubuh
tanpa ada minat atau seizin
dari yang bersangkutan.8
Dengan adanya beberapa
fakta
tentang
kekerasan
terhadap kaum wanita yang
bermula
dari
perbedaan
gender tersebut, kiranya
cukup
penting
untuk
memahami secara holistik
8
Mansour Fakih, Analisis Gender &
Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001), h. 17-20.
sifat kesetaraan gender antara
kaum lelaki dan wanita dari
perspektif agama. Sebab tidak
jarang pula, doktrin-doktrin
agama
justru
dijadikan
justifikasi teologis oleh orangorang
yang
memiliki
kepentingan terhadap kaum
wanita.
Dari
sinilah,
Nasaruddin Umar berupaya
menyuguhkan
pandangan
Islam secara proporsional
terhadap kesetaraan gender
antara kaum lelaki dan wanita
dengan berpijak pada doktrin
fundamental Islam yakni AlQuran.
Namun
sebelum
memasuki analisis Nasaruddin
Umar melalui perspektif islam,
mari kita telaah terlebih
dahulu sekilas beberapa teori
gender
kontemporer
mengenai relasi antara kaum
lelaki dan wanita.
2. Perspektif Teori Gender
Dalam studi gender ada
beberapa teori yang cukup
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 117
berpengaruh: pertama, teori
psikoanalisa yang berasumsi
bahwa peran dan relasi
gender
ditentukan
oleh
perkembangan psikoseksual
manusia. Perkembangan ini
terutama terbentuk pada
masa phallic stage, yaitu usia
anak antara 3 dan 6 tahun,
ketika
seorang
anak
menghubungkan
identitas
ayah dan ibunya dengan alat
kelamin yang dimilikinya
masing-masing. Saat itu anak
perempuan merasa rendah
diri
karena
menemukan
kekurangan pada miliknya.
Sehingga
unsur
biologis
merupakan faktor dominan
dalam teori ini dan menafikan
faktor ekologi, sosial dan
budaya.
Kedua, teori fungsionalis
struktural yang mendasarkan
pandangannya pada keutuhan
masyarakat. Hubungan lelaki
dan perempuan, menurut
Talcott Parsons dan Robert
Balers,
lebih
merupakan
pelestarian keharmonisan dari
pada bentuk persaingan.
Fungsi dan peran pria-wanita
masih didasarkan pada jenis
kelamin, sehingga sistem
patriarki yang memberikan
peran menonjol kepada lelaki
dianggap suatu hal yang
wajar.
Ketiga, teori konflik yang
perspektifnya berpijak pada
pertentangan antar kelas
dalam masyarakat. Teori ini
beranggapan bahwa relasi
gender
sepenuhnya
ditentukan oleh lingkungan
budaya. Siapa yang berkuasa,
merekalah yang memiliki
peluang untuk memainkan
peran utama di dalamnya. Jadi
ketimpangan peran gender
dalam masyarakat bukan
karena faktor biologis atau
pemberian Tuhan (divine
creation), tetapi konstruksi
masyarakat
(social
construction)
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 118
Keempat,
teori-teori
feminis yang sangat prihatin
terhadap nasib kaum wanita.
Mereka berasumsi bahwa
sesungguhnya fungsi dan
peran gender tidak ditentukan
oleh faktor biologis, tetapi
oleh faktor budaya dalam
masyarakat.
Diskriminasi
peran dan relasi gender perlu
ditinjau kembali, dengan
berbagai solusi alternatif yang
ditawarkan,
sehingga
memunculkan
aliran-aliran
feminis dengan alternatif
teorinya masing-masing9.
Terakhir,
teori
sosiobiologis. Teori ini ingin
menggabungkan dua teori
lama, nature dan nurture. Jika
teori nature menganggap
perbedaan gender disebabkan
faktor alamiah, maka teori
nurtur menganggap distingsi
gender dikarenakan faktor
9Menurut Nasaruddin secara umum
ada ada tiga teori Feminis: Feminis
Liberal, Marxis-Sosialis dan Radikal. Lihat
Kesetaraan…….Op. Cit., h. 64-68.
budaya masyarakat. Berangkat
dari sini, teori sosio-biologis
berasumsi
bahwa
faktor
biologis dan sosial budaya
memang menyebabkan lelaki
lebih
unggul
ketimbang
10
perempuan .
3. Kondisi Objektif Jazirah
Arab
Dalam
perspektif
Nasaruddin, ayat-ayat tentang
gender dapat disalahpahami
tanpa
memahami
latar
belakang
sosial
budaya
masyarakat Arab. Masyarakat
yang
menganut
sistem
patriarki merupakan pengaruh
atas kontinuitas budaya klasik
Mesopotamia,
seperti
masyarakat Hammurabi, Asiria
dan Achemid, yang terlihat
jelas subordinasi perempuan
dari lelaki. Pada era ini
perempuan selalu menjadi
"jenis kelamin kedua" (the
10
Ibid.,h. 45-70.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 119
second sex) di setiap level
masyarakat.
Dalam masyarakat Arab
saat itu telah dikenal hukum
balas dendam sederajat (lex
talionis),
yang
mengungkapkan
sebuah
prinsip bahwa nyawa dibalas
dengan nyawa, mata dengan
mata, hidung dengan hidung
dan gigi dengan gigi. Hukum
seperti ini merupaka pengaruh
dari masyarakat Hammurabi
sebelumnya.
Diskriminasi
penerapan hukum lex talionis
tersebut sangat transparan
bila
kasusnya
menimpa
wanita:
sanksi
bagi
perempuan tidak mutlak.
Di
samping
itu,
kelangsungan
hidup
masyarakat
Arab
sangat
tergantung
pada
alam.
Pembagian
peran
dalam
masyarakat
juga
sangat
bergantung pada kondisi
objektif
geografis.
Lelaki
menjalankan peran publik,
seperti mencari nafkah dan
mempertahankan keutuhan
dan kehormatan kabilah,
sedangkan
perempuan
menjalankan peran domestik,
seperti mengasuh anak dan
mengatur
urusan
rumah
tangga.
Singkatnya,
ideologi
patriarki begitu dominan
dalam masyarakat, segala
kebijakan prinsip baik dalam
lingkungan keluarga terkecil
sampai kepada lingkungan
kelompok terbesar, berada di
tangan lelaki. Bahkan dalam
sistem
kekeluargaan,
genealogis
bangsa
Arab
ditentukan
laki-laki
dan
perempuan tidak pernah
dicantumkan sebagai nama
marga, betapapun hebatnya
seorang perempuan itu. Tidak
heran bila lelaki menjadi
pemimpin dalam segala aspek
terhadap perempuan dalam
masyarakat seperti itu.
Dalam
konteks
sosiokultural semacam itulah Al-
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 120
quran hadir ke tengah-tengah
masyarakat Arab. Konstruksi
sistem patriarki yang sudah
sedemikian mengakar dalam
masyarakat membuat Alquran
mengakomodir
sebagian corak kultural yang
mewarnai jazirah Arab saat
itu. Tidak bisa dipungkiri,
terjadi
proses
akulturasi
antara pesan-pesan Al-quran
dengan atmosfer kultural Arab
yang begitu dominan.
Kendati
Al-quran
mempertimbangkan variabelvariabel
psiko-sosial
dan
kultural masyarakat Arab,
menurut
Nasaruddin
semangat dan ide Al-quran
yang sesungguhnya berupaya
menciptakan paradigma yang
egaliter antara lelaki dan
perempuan,
serta
menghapuskan segala bentuk
diskriminasi, pelecehan dan
penindasan terhadap kaum
wanita. Hanya saja, karena
sistem
patriarki
yang
menempatkan
perempuan
subordinatif lelaki sudah
menjadi fenomena budaya
internasional ketika itu, maka
Al-quran
tidak
dapat
menghapuskannya
secara
radikal. Sehingga sosialisasi
ajaran
Al-quran
mesti
mengalami tahapan-tahapan
sosiologis atau secara gradual
(al-tadrij fi al-tasyri'11). Akan
tetapi, dilihat dari konteks
sosial yang ada pada masa itu,
menurut sebagian pengamat,
status yang diberikan kepada
wanita justru marupakan
sebuah
langkah
12
revolusioner.
4. Identitas Gender Dalam
Al-quran
Dalam
Al-quran
beberapa
kata
berkonotasi
lelaki
ada
yang
dan
11Ibid.,
h. 93-142, 309.
Asghar Ali Engineer, Pembebasan
Perempuan,
terj
Agus
Nuryatno
(Yogyakarta: Lkis, 2003), h.40; Karen
Armstrong, Muhammad Sang Nabi, terj
Sirikit Syah (Surabaya: Risalah Gusti,
2004), h. 270-273
12
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 121
peremuan, seperti al-rajul, aldzakar, al-mar' dan al-nisa, aluntsa
serta
al-mar'ah.
Penelitian
Nasaruddin
mengungkapkan ada distingsi
makna yang signifikan di
antara
berbagai
istilah
tersebut. Bila kata al-rajul, alnisa, al-mar' dan al-mar'ah
digunakan untuk lelaki dan
perempuan
yang
sudah
dewasa,
telah
berumah
tangga atau telah mempunyai
peran
tertentu
dalam
masyarakat.
Semua
kata
tersebut
dipakai manakala memenuhi
kriteria sosial dan budaya
tertentu,
termasuk
mempunyai
kecakapan
bertindak atau skill; untuk halhal yang berhubungan dengan
fungsi dan relasi gender.
Sedangkan istilah al-dzakar
dan
al-untsa
hanya
menunjukkan jenis kelamin
laki-laki
dan
perempuan
secara biologis tanpa dikaitkan
faktor
kedewasaan
atau
kematangan
yang
bersangkutan.
Dengan
demikian semua kata al-rajul
dan
al-nisa
misalnya,
mencakup kategori al-dzakar
dan al-untsa. Tapi tidak semua
al-dzakar
dan
al-untsa
meliputi kategori al-rajul dan
al-nisa.
Pada titik inilah, khithab
(perintah dan larangan) Tuhan
yang menggunakan kata aldzakar dan al-untsa yang
mengacu
kepada
faktor
biologis lebih mudah dipahami
karena identitas biologis lelaki
dan perempuan mempunyai
ciri-ciri universal, sedangkan
khithab
Tuhan
yang
menggunakan kata al-rajul, alnisa
atau
al-mar'ah
memerlukan
pemahaman
lebih kontekstual karena
identitas
gender
banyak
dipengaruhi faktor budaya,
sementara budaya setiap
masyarakat
mempunyai
kekhususan-kekhususan.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 122
Melalui paradigma di atas,
maka kata al-rijal, misalnya,
dalam ayat yang menyatakan:
Dan
para
perempuan
mempunyai
hak
yang
seimbang
dengan
kewajibannya menurut cara
yang ma'ruf. Dan laki-laki
mempunyai satu tingkatan
kelebihan dari pada istrinya
(Qs 2: 228), merupakan lakilaki tertentu yang mempunyai
kapasitas tertentu, karena
tidak
semua
laki-laki
mempunyai tingkatan lebih
tinggi daripada perempuan.
Kerena
itulah
menurut
Nasaruddin,
Tuhan
tidak
menggunakan kata al-dzakar
(wa lidzakari), sebab jika
demikian
secara
alami
berkonotasi bahwa semua
lelaki memiliki tingkatan lebih
tinggi
ketimbang
13
perempuan.
13Nasaruddin, Kesetaraan…….Op. Cit.,
h.
144-172;
Bandingkan
dengan
Nasaruddin, Islam Fungsional..., h. 8-23.
5. Konsep Gender Dalam Alquran
Nasaruddin mengemukakan lima variabel yang dapat
digunakan sebagai standar
untuk menganalisis prinsipprinsip kesetaraan gender
dalam Al-quran. Pertama, lakilaki dan perempuan samasama sebagai hamba. Ayat Alquran yang bisa dijadikan
justifikasi yaitu surat al-zariyat
ayat 56: Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia
melainkan mereka supaya
beribadah kepada-Ku.
Dalam kedudukannya atau
kapasitas manusia sebagai
hamba, tidak ada perbedaan
antara lelaki dan perempuan.
Keduanya mempunyai potensi
dan peluang yang sama untuk
menjadi hamba ideal, yang
biasa diistilahkan Al-quran
dengan orang-orang yang
bertakwa (muttaqun). Bahkan
untuk
mencapai
derajat
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 123
muttaqun ini tidak dikenal
adanya
perbedaan
jenis
kelamin, suku bangsa atau
kelompok etnis tertentu (Qs
49: 13).14
Kedua,
laki-laki
dan
perempuan sebagai khalifah di
bumi. Selain menjadi hamba
yang tunduk dan patuh serta
mengabdi
kepada
Allah,
maksud
dan
tujuan
penciptaan manusia di muka
bumi
adalah
untuk
mengemban amanah sebagai
pemimpin (khlifah fi al-ardl).
Postulat yang menjadi pijakan
mengenai hal tersebut yaitu
surat al-An'am: 165: Dan
Dialah yang menjadikan kalian
penguasa-penguasa di bumi
dan Dia meninggikan sebagian
kalian atas sebagian yang lain
beberapa
derajat,
untuk
mengujimu tentang apa yang
diberikan-Nya kepada kalian.
14Bandingkan
dengan Waryono
Abdul
Ghafur
yang
memberikan
iterpretasi senada, dalam Tafsir Sosial
(Yogyakarta: Elsaq Press, 2005), h. 109.
Sebenarnya banyak cerita
sukses kaum wanita dalam
mengemban amanah sebagai
pemimpin. Dalam investigasi
historis-sosiologisnya, Fatima
Mernisi
menemukan
15
penguasa
perempuan
di
berbagai wilayah Muslim
antara abad 13 sampai 17. 2
orang penguasa Turki yaitu
Sultanah
Radiyyah
dan
Sultanah Syajarat al-Durr; 6
orang
dari
lingkungan
penguasa Mongol; 3 ratu pada
entitas politik Islam di
Maldives; serta 4 ratu dari
kerajaan Aceh, yakni Sultanah
Taj al-Alim Sufiyyah al-Din
Syah, Sultanah Nur Alam
Nakkiyah al-Din Syah, Sultanah
Inayah Syah dan Sultanah
Kamalat Syah.15
Ketiga,
laki-laki
dan
perempuan
menerima
perjanjian primordial. Baik
15Lihat
Azyumardi Azra, Menuju
Masyarakat
Madani
(Bandung:
Rosdakarya,2000), h. 28 dan Islam
Substantif (Bandung: Mizan,2000), h. 121.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 124
lelaki
dan
perempuan
keduanya
mendapatkan
perjanjian primordial dari
Tuhan.
Al-quran
mendeskripsikan
perjanjian
tersebut saat manusia berada
dalam rahim, dalam keadaan
pra-eksistensial:
Dan
(ingatlah) ketika Tuhanmu
mengeluarkan
keturunan
anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil
kesaksian
terhadap
jiwa
mereka (seraya berfirman):
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?"
Mereka menjawab: "Betul
(Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi" (Qs. 7: 172).
Dengan mengutip Fakhr alRazi, Nasaruddin menegaskan
bahwa tidak seorang anak
manusia pun lahir di muka
bumi ini yang tidak berikrar
akan keberadaan Tuhan dan
ikrar mereka disaksikan para
malaikat. Tidak ada seorang
pun yang mengatakan "tidak"
sehingga
dalam
Islam
tanggungjawab individual dan
kemandirian
berlangsung
sejak dini. Sejak awal sejarah
manusia dalam Islam tidak
dikenal diskriminasi jenis
kelamin.
Laki-laki
dan
perempuan
sama-sama
menyatakan ikrar ketuhanan
yang sama.
Keempat, Adam dan Hawa
terlibat secara aktif dalam
drama kosmis. Semua ayat
yang mengisahkan keadaan
Adam dan pasangannya dalam
surga sampai keluar ke bumi,
selalu menekankan kedua
belah pihak secara aktif
dengan menggunakan kata
ganti untuk dua orang (huma/
), yakni kata ganti untuk Adam
dan
Hawa:
keduanya
diciptakan di surga dan
memanfaatkan fasilitas surga
(Qs.
2:
35);
keduanya
mendapat godaan yang sama
dari setan (Qs. 7: 20); samasama memakan buah khuldi
(Qs.
7:
22);
keduanya
memohon ampun dan samasama diampuni Tuhan (Qs. 7:
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 125
23);
dan
keduanya
mengembangkan keturunan,
saling melengkapi dan saling
membutuhkan setelah berada
di bumi (Qs. 2: 187).
Fenomena ini diakui pula
oleh Annemarie Schimmel
dalam penelitiannya tentang
ayat-ayat
yang
mendeskripsikan
drama
kosmis bahwa tak pernah
sekalipun disebutkan dalam
Al-quran bahwa Hawa (secara
tunggal) bertanggunggjawab
atas terusirnya Adam dan
Hawa dari surga.16 Bahkan
menurut
Quraish
Shihab
kalaupun ada ayat yang
membicarakan godaan setan
berbentuk tunggal, justru
ditujukan
kepada
Adam
seperti dalam surat Thaha
ayat 120.17
16Lihat Annemarie Schimmel, Jiwaku
Adalah Wanita, terj Rahmani Astuti
(Bandung: Mizan, 1998), h. 94.
17Baca Qurqish Shihab, Wawasan
Alquran (Bandung: Mizan,1996), h. 302
dan Membumikan Al-quran (Bandung:
Mizan,1997), h. 272.
Lebih
jauh,
dalam
pegamatan okjektif sebagian
ilmuwan terhadap Al-quran
justru
memperlihatkan
gambaran kepribadian yang
memukau dan simpatik dari
Al-quran tentang wanita: Ratu
Balkis, si pemimpin teladan;
Ibu Musa yang menyerahkan
anaknya kepada kehendak
Tuhan; Istri Fir'aun yang
menyelamatkan bayi Musa
dan memohon pelindungan
Allah
dari
penindasan
suaminya; Serta Maryam
wanita suci yang melahirkan
Isa yang langsung menjadi
saksi akan kesuciannya.18
Persoalan
yang
mengganggu pikiran adalah
mengapa banyak terjadi bias
yang
menyudutkan
perempuan
dalam
menafsirkan
Al-quran?
Menurut Nasaruddin ada
18Schimmel,
Op. Cit., h. 92-97;
Bandingkan dengan Jeffrey Lang,
Berjuang Untuk Berserah, terj Ekana
Priangga dan Satrio Wahono, (Jakarta:
Serambi,2003), h. 197.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 126
beberapa faktor penyebab, di
antaranya adalah biasnya
penafsiran
Al-quran
dan
pendekatan fiqh (penafsiran
kultural)
yang
bercorak
patriarki
yang
dilakukan
ulama. Dengan mengutip hasil
penelitian Johan Meuleman,
Nasaruddin
menyatakan
bahwa di antara 56 buku yang
berbicara tentang perempuan
yang beredar di Indonesia,
pada umumnya lebih bersifat
pengukuhan suatu tradisi.19
Fenomena ini diakui pula
oleh
para
pengamat
kontemporer: Nasr Hamid
menemukan
kaum
salafi
tradisionalis
yang
mengganggap kesetaraan lakilaki dan perempuan hanya
dalam pahala dan siksa di
akhirat bukan kesetaraan
sosial dengan justifikasi ayatayat Al-quran; Budhi Munawar
melihat adanya pembedaan
19Lihat
lebih luas Nasaruddin,
Kesetaraan……Op. Cit., h. 281-297;
Metode Penelitian, Op. Cit., h. 97.
dalam kitab-kitab fiqh dan
tafsir-tafsir klasik bahwa lelaki
dalam
wilayah
publik
sementara wanita dalam
sektor domestik; Serta Karen
Armstrong, seorang peneliti
agama-agama Ibrahim asal
Inggris, menemukan banyak
ulama yang menafsirkan Alquran dengan pandangan
negatif
terhadap
kaum
20
wanita.
Kelima,
laki-laki
dan
perempuan berpotensi meraih
prestasi.
Nasaruddin
mengemukakan
beberapa
ayat secara khusus yang
menegaskan
tidak
ada
perbedaan antara laki-laki dan
perempuan dalam peluang
untuk meraih prestasi secara
maksimum, yaitu surat Alu20Baca
Nasr Hamid Abu Zayd,
Dekonstruksi Gender, terj Moch. Nur
Ichwan dan Moch. Syamsul Hadi
(Yogyakarta: PSW IAIN SUKA, 2003), h.
171; Budhi Munawar-Rachman, Islam
Pluralis ( Jakarta: Grafindo Persada,
2004), h. 534; Karen Armstrong, Sejarah
Tuhan, terj Zaimul Am (Bandung: Mizan,
2004), h. 219.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 127
Imran: 195, al-Nisa: 124, alNahl: 97, dan Gafir: 40. Di sini
akan diturunkan arti dari surat
al-Nahl: 97: Barang siapa yang
mengerjakan amal saleh, baik
laki-laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman,maka
sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan
yang baik dan sesungguhnya
akan Kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala
yang lebih baik dari apa yang
telah mereka kerjakan.
Ayat
tersebut
mengisyaratkan
konsep
kesetaraan gender yang ideal
dan
menegaskan
bahwa
prestasi individual, baik dalam
bidang
spiritual
maupun
urusan karir profesional, tidak
mesti dimonopoli oleh salah
satu jenis kelamin saja. Lakilaki
dan
perempuan
memperoleh
kesempatan
yang sama dalam meraih
prestasi optimal. Namun,
dalam kenyataan masyarakat,
konsep
ideal
ini
membutuhkan tahapan dan
sosialisasi,
karena
masih
terdapat sejumlah kendala,
terutama kendala budaya
yang sulit diselesaikan.21
Contoh kasuistik mengenai
hal ini adalah pengamatan
Jeffrey Lang yang langsung
melakukan
journey
dan
observation di Arab Saudi
selama setahun penuh. Lang
menemukan masih banyak
ulama di Arab Saudi yang
mengklaim bahwa wanita
lebih rendah daripada pria
baik dalam tataran moral,
spiritual maupun intelektual.
Mereka menyatakan bahwa
betapapun kerasnya wanita
berusaha, maka mereka tidak
akan
mampu
secara
intelektual bersaing dengan
lelaki. Terlebih lagi mereka
memperkuat dengan postulat-
21Nasaruddin, Kesetaraan…..Op. Cit.,
h. 247-265.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 128
postulat keagamaan secara
naqli.22
Dengan demikian, melalui
analisis konsep gender dalam
Al-quran
ini,
menurut
Nasaruddin Al-quran tidak
memberikan dukungan secara
eksplisit kepada salah satu
teori tentang gender. Tapi Alquran
cenderung
mempersilahkan
kepada
kecerdasan-kecerdasan
manusia
dalam
menata
pembagian peran pria dan
wanita. Dengan menyadari
bahwa persoalan ini cukup
penting tetapi tidak dirinci
dalam Al-quran, maka itu
menjadi
isyarat
adanya
kewenangan manusia untuk
menggunakan
hak-hak
kebebasannya dalam memilih
pola pembagian peran laki-laki
dan perempuan yang saling
menguntungkan.23
22Jeffrey Lang, Bahkan Malaikat Pun
Bertanya, terj Abdullah Ali (Jakarta:
Serambi, 2002), h. 167.
23Nasaruddin,
Kesetaraan……..Op.
Cit., h. 309; & Islam Fungsional, h. 8-23.
E. Penutup: Demaskulinisasi
Epistemologi
Kalau boleh memberikan
konklusi singkat dalam dalam
sebuah kalimat, maka dapat
disimpulkan:
kesetaraan
gender. Seperti terlihat dari
pembahasan di atas, melalui
penjelajahan ayat-ayat Alquran,
Nasaruddin
menemukan perspektif qurani
yang sangat positif terhadap
kaum wanita: perempuan
mempunyai kesetaraan baik
dalam bidang moral, spiritual
maupun intelektual dalam
kancah
kehidupan
sosial
dengan pria.
Dengan
alasan
inilah,
dalam
karya
terbarunya,
Mendekati Tuhan Dengan
Kualitas Feminin, Nasaruddin
mengusulkan
konsep
demaskulinisasi epistemologi
keilmuan terhadap kajian
gender.
Demaskulinisasi
epistemologi yang diusulkan
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 129
tidak mesti harus berarti
feminisasi
epistemologi.
Demaskulinisasi
lebih
diarahkan
kepada
dekonstruksi
epistemologi
yang
menempatkan
perempuan sebagai objek
studi, tanpa pernah ada
perhatian yang serius untuk
menjadikannya sebagai subjek
yang setara dengan laki-laki.
Wajar kalau produk-produk
teknologi
menjadikan
perempuan sebagai objek.
Teknologi Keluarga Berencana
misalnya, alat-alat kontrasepsi
pada umumnya diperuntukkan
kepada kaum perempuan.
Demaskulinisasi epistemologi diharapkan melahirkan
konsep-konsep
keilmuan,
terutama ilmu-ilmu sosial
keagamaan, yang berspektif
gender.
Konsep-konsep
keilmuan selama ini sarat
dengan bias gender, karena
metode kajian yang digunakan
adalah
metode
yang
mendukung dan mengukuhkan otoritas laki-laki.
Beberapa
ilmuwan
mempertanyakan netralitas
seks sebuah ilmu. Virginia
Wolf, Elizabeth Fee, Charoline
Merchant, Dorothy Smith,
Brian Easlea, dan sejumlah
feminis lainnya menyatakan
dengan tegas, bahwa ilmu
adalah laki-laki. Walaupun
kata ganti untuk ilmu sosial
dalam dunia akademik di
Inggris adalah perempuan
(she) namun Dorothy Smit
menerapkan kata ganti lakilaki (he) untuk menyebut
sosiologi.
Elizabeth
Fee
mengungkapkan
bahwa
atribut-atribut ilmu adalah
atribut-atribut laki-laki dan
struktur konseptual ilmu
berdiri di atas rujukan laki-laki.
Bagaimanapun
maskulinisme gender ilmu
adalah kompleks akumulasi
tertentu dari sejumlah unsur
yang beragam. Salah satu
penjelasan yang mudah untuk
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 130
dikemukakan adalah dominasi
laki-laki dalam praktek ilmu.
Besarnya jumlah laki-laki
daripada jumlah perempuan
dalam
pengelolaan
ilmu
adalah salah satu bentuk
indikasi
ketidaksetaraan
gender dalam ilmu.
Lebih jauh pergulatan
maskulinisme
dan
femeninisme
ilmu
dapat
langsung diamati pada teksteks kitab kuning yang
diajarkan
secara
turuntemurun
di
pesantrenpesantren. Kritik beberapa
kalangan terhadap teks-teks
kitab kuning yang bias gender
ada
benarnya.
Namun
genderisasi lmu yang terdapat
pada kitab kuning harus
dipahami
sebagi
hasil
sekaligus proses pergulatan
yang
kompleks
antara
konstruksi
ideologi,
dan
konsep gender yang dominan
dalam budaya aktual dengan
praktik-praktik kognisi yang
terlembagakan dan dinyatakan sebagai ilmu.
Ada beberapa yang perlu
diperhatikan di sekitar teks
kitab kuning. Antara lain: Dari
mana teks itu diperoleh,
autentitas teks itu sendiri, teks
aslinya dari bahasa apa, siapa
yang
menerjemahkannya,
terjemahan dari bahasa asli
atau dari bahasa lain, jarak
waktu penerjemah dengan
teks-teks
terjemahan—
menurut ahli lingusitik setiap
satu abad, vocabs mengalami
pergeseran makna, dan atas
sponsor siapa penerjemahan
itu? Soal terjemahan perlu
diperhatikan,
karena
transliterasi dan transformasi
satu teks ke redaksi dan
bahasa lain pasti mengalami
beberapa reduksi bahkan bisa
sangat berbeda.
Seorang pembaca teks
harus mampu masuk ke dalam
lorong masa silam, seolaholah sezaman dan akrab
dengan sang penulis teks,
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 131
memahami kondisi objektif
geografis dan latar belakang
sosial budayanya, karena
setiap penulis teks adalah
anak zamannya. Sesudah itu,
si pembaca keluar kembali
dari lorong waktu masa silam
ke dalam masanya, lalu
mengambil kesimpulan. Tidak
bijaksana menghakimi penulis
teks dengan menggunakan
kriteria modern.
Perjuangan panjang untuk
meningkatkan keadilan gender
belum bisa berakhir dengan
modernnya suatu masyarakat.
Nilai-nilai kemodernan tidak
berbanding lurus dengan
peningkatan martabat dan
hak-hak asasi perempuan.
Bahkan kosep modern masih
menyisakan
berbagai
kontradiksi
di
dalam
masyarakat, seperti antara
produktivitas dan pemerataan, lebih khusus lagi antara
konsep peningkatan status
perempuan
dan
konsep
peningkatan
produktivitas
produksi.
Ajaran-ajaran agama tidak
mesti harus berubah dengan
terjadinya perubahan sosial.
Dalam masyarakat modern,
tawaran orisinalitas ajaran
agama sangat diperlukan,
karena ajaran agama adalah
nilai yang paling terakhir
dilepaskan umat manusia di
dalam era mendatang. Dan
gerakan kesetaraan gender
akan
lebih
efektif jika
menggunakan bahasa agama,
karena pemahaman agama
yang keliru dapat menciptakan
stereotype image kepada
perempuan.
Gagasan
pemberdayaan
perempuan
hendaknya
memperhatikan
dan
memahami
betul-betul
kemapanan otoritas sebuah
konsep
dan
institusi.
Perubahan yang dilakukan
jangan sampai dirasakan
adanya kontraditif, yakni di
satu
sisi
kita
hendak
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 132
memberdayakan perempuan,
tetapi pada saat bersamaan
kita
kehilangan
institusi
keagamaan yang justru telah
menunjukkan
bukti-bukti
positif di dalam masyarakat.24
Di samping itu tidak sulit
untuk memberikan apresiasi
terhadap
karya-karya
Nasaruddin melalui perspektif
Al-quran secara spesifik yang
masih langka dilakukan orang
lain.
Kelebihan
karya
Nasaruddin tidak terlepas dari
perpaduan metode yang
cukup
kaya,
penafsiran
kontemporer, ilmu-ilmu sosial,
pendekatan hermeneutik dan
semantik
yang
ikut
mempertajam
analisisnya.
Terlebih lagi, ia menggunakan
sumber primer yang otentik
(Arab dan Inggris) yang tidak
terlepas dari hasil risetnya
selama 6 tahun dalam
menelusuri berbagai sumber
di 27 negara.
24
Nasaruddin
Tuhan, h. 222-225.
Umar,
Akan
tetapi
tanpa
mengurangi
apresiasi
terhadap
karya-karya
Nasaruddin, pembahasannya
belum diperkaya oleh contoh
tokoh-tokoh wanita ideal dan
bijak yang dipaparkan Alquran secara cemerlang serta
tidak diperkuat pula oleh
beberapa, bahkan sebenarnya
banyak tokoh wanita yang
meraih puncak kesuksesan
mengemban amanah dalam
kehidupan sosial dan sebagai
pemimpin.
Mungkin
itu
sebagian kecil yang belum
diungkap oleh Nasaruddin,
seperti dinyatakan Quraish
Shihab bahwa karya tersebut
masih merupakan penelitian
awal dan ada beberapa
persoalan yang belum dibahas
secara tuntas.
Mendekati
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 133
BIBLIOGRAPHY
Abu Zayd, Nasr hamid. Dekonstruksi Gender, terj Moch. Nur Ichwan
dan Moch. Syamsul Hadi. Yogyakarta: Samha,2003.
Armstrong, Karen. Sejarah Tuhan, terj Zaimul Am. Bandung: Mizan,
2004.
Armstrong, Karen. Muhammad Sang Nabi, terj Sirikit Syah. Surabaya:
Risalah Gusti, 2004.
Azra, Azyumardi. Menuju Masyarakat Madani. Bandung: Rosdakarya,
2000.
Azra, Azyumardi. Islam Substantif. Bandung: Mizan, 2000.
Engineer, Asghar Ali. Pembebasan Perempuan, terj Agus Nuryatno.
Yogyakarta: Lkis, 2003.
Fakih, Mansour. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001.
Ghafur, Waryono Abdul. Tafsir Sosial. Yogyakarta: Elsaq press, 2005.
Lang, Jeffrey. Bahkan Malaikat Pun Bertanya, terj Abdullah Ali.
Jakarta: Serambi, 2002.
Lang, Jeffrey. Berjuang Untuk Berserah, terj Eka Priangga dan Satrio
Wahono. Jakarta: Serambi, 2003.
Marhumah, Ema dan Lathiful Khuluq (Eds.), Rekonstruksi
Metodologis Wacana Kesetaraan Gender Dalam Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 134
Rachman, Budhi Munawar-.Islam Pluralis. Jakarta: Grafindo Persada,
2004.
Schimmel, Annemarie. Jiwaku Adalah Wanita, terj Rahmani Astuti.
Bandung: Mizan, 1998.
Sharur, Muhammad. Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terj
Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin. Yogyakarta: Elsaq Press,
2004.
Shihab, Quraish. Wawasan Al-quran. Bandung: Mizan, 1996.
Shihab, Quraish. Membumikan Al-quran. Bandung: Mizan, 1997.
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-quran.
Jakarta: Paramadina, 2001.
Umar, Nasaruddin. "Perspektif Gender Dalam Islam" Jurnal Pemikiran
Islam Paramadina, Vol. 1, No. 1, 1998.
Umar, Nasaruddin. Tasawuf Modern. Jakarta: Republika, 2014.
Umar, Nasaruddin. Mendekati Tuhan Dengan Kualitas Feminin.
Jakarta: Quanta, 2014.
Umar, Nasaruddin. Islam Fungsional. Jakarta: Quanta, 2014.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 135
Download