1.1 Latar Belakang

advertisement
RTRW Provinsi Sumatera Barat 2009-2029
1.1
Latar Belakang
Provinsi Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak
di pantai barat Pulau Sumatera, dan merupakan pintu gerbang masuk di wilayah
barat pulau ini. Provinsi Sumatera Barat dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 61 tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Swatantra Tingkat I
Sumatera Barat, Jambi dan Riau. Secara administrasi, wilayah Provinsi Sumatera
Barat terdiri dari 12 (dua belas) wilayah kabupaten dan 7 (tujuh) wilayah kota
dengan jumlah kecamatan sebanyak 166 kecamatan.
Selain itu secara geologis Provinsi Sumatera Barat merupakan daerah rawan
gempa bumi, terutama di jalur gunung berapi. Hal ini terkait dengan kondisi fisik
Pulau Sumatera sebagai Great Sumatra Fault di sepanjang pesisir barat
Sumatera dan Mentawai Fault di kepulauan Mentawai yang saling mendesak
sehingga terjadi gerakan di lempeng besar dan micro plate. Kondisi tersebut
menjadikan rentan terhadap bencana alam seperti tanah longsor, letusan gunung
berapi, dan dan gempa bumi yang berpotensi terjadinya gelombang tinggi
dan/atau tsunami.
Selanjutnya dengan berlakukannya UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, maka peraturan daerah tentang RTRW perlu dilakukan penyesuaian
terhadap UU tersebut. Penyesuaian diantaranya dilakukan terhadap masa
berlaku RTRW provinsi dari 15 tahun menjadi 20 tahun, selain beberapa hal
prinsip yang perlu disesuaikan, seperti perlunya penekanan pola insentif dan
Hal. 1 - 1
RTRW Provinsi Sumatera Barat 2009-2029
disinsentif dalam pemanfaatan ruang, penerapan sanksi, proporsi kawasan
lindung dalam DAS dan ruang terbuka hijau perkotaan masing-masing paling
sedikit 30%, dan perlunya zoning regulation pada kawasan-kawasan strategis.
Selain itu PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
(RTRWN) juga telah menetapkan struktur ruang yang mengatur sistem perkotaan
nasional, dan penetapan kawasan strategis nasional di wilayah Provinsi Sumatera
Barat tentunya harus dijabarkan lebih lanjut dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Sumatera Barat untuk 20 (dua puluh) tahun mendatang terhitung mulai
tahun 2009 sampai dengan tahun 2029.
1.2
Dasar Hukum
Beberapa paraturan perundangan yang terkait dengan penyusunan Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Barat, meliputi :
1.
2.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1958 tentang
Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang
Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi,
3.
dan Riau menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1958 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1646) Jo
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1979);
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
5 Tahun 1960 tentang
4.
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2043);
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona
5.
Ekonomi Eksklusif Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1983 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3260);
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3419);
6.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang
Perumahan dan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
Hal. 1 - 2
RTRW Provinsi Sumatera Barat 2009-2029
1992 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3469);
7.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda
Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3470);
8.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3406);
9.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647);
10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3699);
11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
12. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888);
13. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247);
14. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 134 Tahun 2004,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477);
15. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 85,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411);
16. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2004 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Hal. 1 - 3
RTRW Provinsi Sumatera Barat 2009-2029
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4412);
17. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433);
18. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4844);
19. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 444);
20. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
23
Tahun
2007 Tentang
Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4722);
21. Undang-Undang Republik Indonesia
Penanggulangan
Bencana
Nomor 24 Tahun 2007
Tentang
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Nomor 4723);
22. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
23. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4739);
24. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4746 );
Hal. 1 - 4
RTRW Provinsi Sumatera Barat 2009-2029
25. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
26. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang
Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849);
27. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
18
Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4851);
28. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956);
29. Undang-Undang Republik Indonesia
Pertambangan Mineral dan Batubara
Nomor
4 Tahun 2009 tentang
(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4959);
30. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966);
31. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1996 tentang
Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, Serta Bentuk Tata Cara Peran Serta
Masyarakat dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1996 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3660);
32. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1998 tentang
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3776);
33. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2000 tentang
Ketelitian Peta untuk RTRW (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3034);
34. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah
Hal. 1 - 5
RTRW Provinsi Sumatera Barat 2009-2029
Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3952);
35. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2004 Tentang
Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 146; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4452);
36. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 tentang
Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4490);
37. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2005 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);
38. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2006 tentang
Irigasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 46,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4624);
39. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006 tentang
Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4655);
40. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta
Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 22; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696);
41. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4737);
42. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembar Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor
4833);
43. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung;
Hal. 1 - 6
RTRW Provinsi Sumatera Barat 2009-2029
44. Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 174 Tahun
2004 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah;
45. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 4 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi Sumatera Barat Tahun
2006-2010.
46. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2008 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang.
1.3
Gambaran Umum Provinsi Sumatera Barat
1.3.1 Letak dan Luas
Secara geografis Provinsi Sumatera Barat terletak antara 0º54’ LU - 3º30’ LS
serta 98º36’ BT - 101º53’ BT dan dilalui garis katulistiwa (garis lintang nol
derajat/garis equator). Wilayah ini mempunyai batas-batas sebagai berikut :
•
•
Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara;
Sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Bengkulu;
•
•
Sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Riau dan Jambi; dan
Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia.
Dengan letak tersebut menjadikan provinsi ini sebagai gerbang masuk wilayah
barat Indonesia yang didukung oleh prasarana baik transportasi darat, laut dan
udara yang memadai, seperti jalan nasional Trans Sumatera, Bandara
Internasional Minangkabau (BIM), maupun pelabuhan laut Internasional Teluk
Bayur. Provinsi ini juga termasuk dalam pengembangan Kawasan Ekonomi Sub
Regional (KESR) segitiga pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Thailand (IMT-GT).
Luas daratan Provinsi Sumatera Barat ± 42.297,30 km² dan luas perairan (laut) ±
52.882,42 km² dengan panjang pantai wilayah daratan ± 375 km ditambah
panjang garis pantai kepulauan mentawai ± 1.003 km, sehingga total garis pantai
keseluruhan ± 1.378 km. Perairan laut ini memiliki 375 pulau-pulau kecil dengan
jumlah pulau terbanyak yaitu 323 pulau berada di Kabupaten Kepulauan
Mentawai. Untuk lebih jelasnya mengenai letak dan luas wilayah Provinsi
Sumatera Barat dapat dilihat pada Tabel 1.1, Gambar 1.1 dan Gambar 1.2.
Hal. 1 - 7
RTRW Provinsi Sumatera Barat 2009-2029
Tabel 1.1
Luas Wilayah Daratan Provinsi Sumatera Barat
Dirinci Menurut Kabupaten/Kota
Nama
Wilayah
No
A
Jumlah
Kecamatan
Luas Wilayah
Ha
%
Kabupaten
1 Limapuluh Kota
13
335.430
7,93
2 Agam
16
223.230
5,28
3 Dhamasraya
4
296.113
7,00
4 Kepulauan Mentawai
10
601.135
14,21
5 Padang Pariaman
17
132.879
3,14
6 Pasaman
12
444.763
10,52
7 Pasaman Barat
11
338.777
8,01
8 Pesisir Selatan
12
579.495
13,70
9 Sijunjung
8
313.080
7,40
10 Solok
14
373.800
8,84
11 Solok Selatan
7
334.620
7,91
12 Tanah Datar
14
133.600
3,16
1 Bukittinggi
3
2.524
0,06
2 Padang
11
69.496
1,64
3 Padang Panjang
2
2.300
0,05
4 Pariaman
3
7.336
0,17
5 Payakumbuh
3
8.043
0,19
6 Sawahlunto
4
27.345
0,65
7 Solok
2
5.764
0,14
4.229.730
100,00
B
Kota
Sumatera Barat
166
Sumber : Sumatera Barat Dalam Angka Tahun 2007/2008.
Hal. 1 - 8
RTRW Provinsi Sumatera Barat 2009-2029
1.3.2 Sumberdaya Lahan
Daratan Provinsi Sumatera Barat yang sangat luas termasuk pulau-pulau kecil
merupakan modal pembangunan yang sangat potensial untuk dikembangkan,
tidak saja untuk kegiatan pertanian (khususnya perkebunan) dan kehutanan
(HTI), tetapi juga pada beberapa bagian wilayahnya dapat dikembangkan untuk
permukiman maupun industri. Secara umum pemanfaatan lahan darat di provinsi
ini yang berada di Pulau Sumatera telah berkembang secara intensif untuk
pengembangan ekonomi daerah, sementara daratan kepulauan khususnya
Kepulauan Mentawai pemanfaatannya masih menghadapi beberapa kendala,
terutama terkait dengan kondisi fisiografi. Secara fisik kondisi daratan Provinsi
Sumatera Barat umumnya berupa perbukitan dan pegunungan sehingga
membutuhkan kehati-hatian agar tidak menimbulkan bencana alam, terutama
tanah longsor.
1.3.3 Penggunaan Lahan
Pengunaan lahan merupakan manifestasi dari kegiatan sosial-budaya dan sosialekonomi dalam upaya pemanfaatan potensi sumberdaya alam yang ada.
Penggunaan lahan di Provinsi Sumatera Barat secara umum meliputi kawasan
lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung dibedakan menjadi kawasan
yang
memberikan
perlindungan
kawasan
bawahannya,
dan
kawasan
perlindungan setempat, sedang kawasan budidaya diantaranya berupa kawasan
permukiman, kawasan pertanian tanaman pangan, kawasan perkebunan,
kawasan peternakan, kawasan industri, kawasan pertambangan,
kawasan
perikanan dan kelautan, dan kawasan hutan.
1. Kawasan Permukiman
Kawasan permukiman di Provinsi Sumatera Barat dapat dikelompokkan menjadi
kawasan permukiman perkotaan dan kawasan permukiman perdesaan. Sebaran
permukiman perkotaan relatif terkonsentrasi di wilayah bagian tengah, terutama
jalur antara Kota Padang – Bukittinggi, sedang permukiman perdesaan menyebar
di seluruh wilayah provinsi.
Sebaran kawasan permukiman perkotaan mencakup beberapa wilayah, yaitu
seperti Kota Padang, Kota Solok, Kota Sawahlunto, Kota Padang Panjang,
Hal. 1 - 11
RTRW Provinsi Sumatera Barat 2009-2029
Kabupaten Tanah Datar, dan Kabupaten Agam. Dari sebaran kawasan
permukiman perkotaan tersebut paling luas adalah Kota Padang dan yang terkecil
Kota Sawahlunto. Perkembangan kawasan permukiman Kota Padang berjalan
cukup pesat baik dari segi jumlah penduduk maupun luas kawasan, bahkan
cenderung membentuk kawasan perkotaan cukup luas yang mencakup beberapa
bagian wilayah kabupaten di sekitarnya, seperti Kabupaten Padang Pariaman,
Kabupaten Solok, dan Kabupaten Pesisir Selatan. Perkembangan ini ditunjang
oleh tersedianya sarana dan prasarana transportasi yang memadai, dan
prasarana permukiman lainnya.
2. Kawasan Pertanian Tanaman Pangan
Budidaya pertanian tanaman pangan di Provinsi Sumatera Barat meliputi
pertanian tanaman pangan lahan basah, dan pertanian tanaman pangan lahan
kering. Sampai tahun 2007 luas pertanian lahan basah yang meliputi sawah
dengan irigasi, tadah hujan, pasang surut, dan polder lainnya yang mencapai
237.327 Ha. Dari luas sawah yang diusahakan, sebagian besar diusahakan untuk
tanaman padi yang mencapai 230.756 Ha (97,23%) dan sisanya bukan tanaman
padi. Selanjutnya dari luas tanaman padi yang diusahakan sekitar 73,84% dapat
dilakukan tanam dan panen dua kali setahun, dan sisanya sekali dalam setahun.
Untuk pertanian tanaman pangan lahan kering sampai tahun 2007 luasnya sekitar
692.604 Ha yang diusahakan dalam bentuk lahan pekarangan, tegalan/kebun,
dan ladang dengan total luas 510.945 Ha (73,77%) dan sisanya untuk sementara
tidak diusahakan seluas 181.659 Ha.
3. Kawasan Perkebunan
Lahan di Provinsi Sumatera Barat sangat sesuai untuk pengembangan budidaya
perkebunan, untuk tanaman karet, kelapa sawit, kelapa, kopi, dan kakao sebagai
komoditas utama, dan komoditi lain yang meliputi gambir, kasiavera, pala,
cengkeh, tembakau, tebu, pinang, nilam, kemiri dan sebagainya termasuk dalam
komoditi unggulan lokal. Pemasaran komoditi utama telah menembus pasar
internasional, terutama Singapura, Jepang, Amerika, dan beberapa negara
Eropa.
Pengelolaan dan pengembangan perkebunan dilakukan oleh berbagai pihak baik
pemerintah, BUMN, swasta maupun masyarakat yang menyebar di seluruh
wilayah kabupaten/kota. Budidaya perkebunan di provinsi ini sebagian besar
dikelola oleh perkebunan rakyat, dan sisanya dikelola oleh pemerintah dan
Hal. 1 - 12
RTRW Provinsi Sumatera Barat 2009-2029
swasta. Sampai tahun 2007, tanaman kelapa sawit menunjukkan luas terbesar
yaitu mencapai sekitar 291.734 Ha dan menunjukkan pertambahan dari tahun ke
tahun. Hal ini terjadi karena perluasan dan pembangunan kawasan perkebunan
yang dilakukan oleh BUMN maupun perusahaan swasta cukup besar dalam
sepuluh tahun terakhir. Dari segi produktivitas, kelapa sawit mempunyai produksi
paling tinggi dibandingkan dengan komoditas perkebunan utama lainnya.
4. Kawasan Peternakan
Pembangunan peternakan di Provinsi Sumatera Barat merupakan usaha untuk
meningkatkan populasi dan produksi ternak dalam upaya menyediakan protein
hewani baik untuk konsumsi sendiri, pemasokan ke wilayah provinsi lain maupun
ekspor. Usaha pengembangan peternakan di provinsi ini ditunjang dengan
ketersediaan pakan ternak dan prasarana penunjang peternakan. Pakan ternak
untuk ternak besar dan kecil tersedia cukup banyak, yang terdiri dari rumput alam
maupun rumput unggul, sisa pertanian (daun jagung dan jerami), dan limbah
industri.
Prasarana penunjang yang lain meliputi Rumah Potong Hewan
sebanyak 7 unit, pasar ternak 29 unit, TPH 32 unit, poskeswan 41 unit, pos
Inseminasi Buatan (IB) 110 unit, dan Balai Inseminasi Buatan (BIB) 1 unit.
5. Industri
Kegiatan industri yang telah berkembang di Provinsi Sumatera Barat
dikelompokkan menjadi industri besar, menengah dan kecil. Bahan baku industri
memanfaatkan bahan baku lokal. Industri besar yang berkembang seperti Semen
Padang, industri menengah meliputi industri pengolahan, sedangkan industri kecil
meliputi industri pengolahan hasil tanaman pangan seperti gula aren, pengolahan
kelapa; industri sandang kulit; industri kimia bangunan; industri logam elektronika
dan industri kerajinan seperti industri bordir, konveksi, tenun, batik tanah liat,
mebel kayu, rotan, dan kerajinan tanah liat.
Sampai tahun 2007 jumlah industri kecil baik formal maupun non formal memiliki
42.483 unit usaha, dan menyerap tenaga kerja sebanyak 147.002 orang, dengan
total investasi sebesar Rp. 295.698.914.000. Industri menengah besar menurut
kelompok industri IAK (Industri Agro dan Kimia) dan ILMTA (Industri Logam,
Mesin, Tekstil dan Aneka) mengalami perkembangan dari tahun 2003 sebanyak
248 unit dengan jumlah tenaga kerja 16.385 orang, dan pada tahun 2007 menjadi
276 unit dengan jumlah tenaga kerja 34.118 orang, sedangkan nilai investasi
Hal. 1 - 13
RTRW Provinsi Sumatera Barat 2009-2029
industri menegah dan besar mengalami penurunan, pada tahun 2006 berjumlah
Rp. 5.388.181.093.000 dan tahun 2007 hanya Rp. 3.116.600.704.000.
Potensi industri yang ada dapat dikembangkan dalam kawasan atau zona industri
secara terpadu sehingga memudahkan dalam pemantauan limbah yang
dihasilkan. Kendala pengembangan terutama industri perkayuan disebabkan
semakin berkurangnya bahan baku kayu dari hutan produksi. Potensi hutan
produksi yang semakin berkurang disebabkan oleh illegal logging dan konversi
hutan untuk kegiatan non kehutanan.
Industri semen yang merupakan pabrik semen pertama di Indonesia juga
menghadapi permasalahan lokasi/potensi bahan baku yang berada didalam
kawasan hutan lindung, sehingga menjadi kendala dalam upaya peningkatan
kapasitas produksi.
6. Kawasan Pertambangan
Pengelolaan usaha pertambangan yang ditetapkan dalam wilayah pertambangan
(WP), terdiri dari wilayah usaha pertambangan (WUP), wilayah pertambangan
rakyat (WPR) dan wilayah pencadangan negara (WPN), sedangkan untuk potensi
usaha pertambangan dapat dikelompokkan menjadi pertambangan mineral dan
pertambangan batu bara. Selanjutnya pertambangan mineral digolongkan atas
pertambangan mineral radioaktif, pertambangan mineral logam, pertambangan
mineral bukan logam dan pertambangan batuan.
Sebaran bahan pertambangan batubara dan pertambangan mineral di Provinsi
Sumatera Barat terdapat hampir di seluruh wilayah kabupaten/kota. Bahan
pertambangan batubara potensinya cukup besar dan telah diusahakan untuk
memasok kebutuhan bahan bakar di beberapa industri dan pembangkit listrik
tenaga uap, baik di dalam maupun di luar wilayah Provinsi Sumatera Barat.
Penyebaran lokasi pertambangan batubara diantaranya di Kota Sawahlunto,
Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Solok, Kabupaten
Limapuluh Kota dan Kabupaten Solok Selatan.
Sebaran bahan pertambangan mineral logam seperti emas berada di wilayah
Kabupaten Pasaman, Kabupaten Limapuluh Kota, Kabupaten Solok, Kabupaten
Solok Selatan, Kabupaten Dharmasraya, Kota Sawahlunto, Kabupaten Sijunjung,
dan Kabupaten Pesisir Selatan. Bahan mineral bijih besi diantaranya di
Kabupaten Solok, Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten
Agam, Kota Sawahlunto, Kabupaten Sijunjung, dan Kabupaten Pasaman Barat.
Hal. 1 - 14
RTRW Provinsi Sumatera Barat 2009-2029
Bahan pertambangan mineral logam lainnya berupa mangan ditemukan di
Kabupaten Solok, Kabupaten Agam, dan Kabupaten Tanah Datar. Sedang timah
hitam ditemukan di Kabupaten Limapuluh Kota, Kabupaten Solok, Kabupaten
Solok Selatan, dan Kabupaten Pasaman.
Pertambangan mineral bukan logam, seperti pertambangan pasir besi menyebar
di kawasan pesisir di Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Padang Pariaman,
dan Kabupaten Pasaman. Tembaga dapat ditemukan di wilayah Kabupaten Solok
Selatan, dan Kabupaten Solok. Untuk bahan tambang yang berupa belerang
ditemukan di Kabupaten Solok dan Kabupaten Tanah Datar, sementara air raksa
potensinya ditemukan di Kota Sawahlunto dan Kabupaten Sijunjung.
Selanjutnya bahan pertambangan mineral bukan logam dan pertambangan
batuan untuk industri yang berupa batu kapur menyebar di wilayah Kabupaten
Agam, Kota Padang, Kota Sawahlunto, Kabupaten Sijunjung, Kabupaten
Limapuluh Kota, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Solok, Kabupaten
Pasaman, dan Kabupaten Pasaman Barat. Dolomit ditemukan di Kota
Sawahlunto, Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Agam, dan Kabupaten Solok.
Bahan pertambangan mineral bukan logam dan pertambangan batuan lain yang
ditemukan di provinsi ini adalah marmer (Kota Sawahlunto, Kabupaten Sijunjung,
Kabupaten Agam, Kabupaten Limapuluh Kota, dan Kabupaten Pasaman Barat);
granit (Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Pasaman, Kota Sawahlunto,
Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Padang Pariaman, dan
Kabupaten Dharmasraya); andesit dan basalt (Kabupaten Limapuluh Kota dan
Kabupaten Pesisir Selatan), batu apung (Kabupaten Pasaman dan Kabupaten
Solok), Batu tulis (Kabupaten Solok, dan Kota Sawahlunto); feldspar (Kabupaten
Pasaman dan Kabupaten Solok); obsidian (Kabupaten Pasaman, Kabupaten
Solok, Kabupaten Padang Pariaman, dan Kabupaten Tanah Datar); perlit
(Kabupaten Pasaman, Kabupaten Solok, dan Kabupaten Padang Pariaman);
Trass (Kabupaten Agam, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Tanah Datar,
dan Kota Payakumbuh); kaolin (Kabupaten Pasaman, Kabupaten Agam,
Kabupaten Solok, dan Kota Sawahlunto); pasir kuarsa (Kabupaten Tanah Datar,
Kabupaten Pesisir Selatan, dan Kabupaten Sijunjung); fosfat (Kabupaten Tanah
Datar, Kabupaten Agam, dan Kota Padang); dan tawas (Kabupaten Pasaman dan
Kabupaten Pesisir Selatan).
Permasalahan yang dihadapi adalah sebagian besar lokasi usaha pertambangan
tersebut berada di dalam kawasan hutan lindung yang perlu dijaga
kelestariannya, sementara metode penambangan umumnya dilakukan secara
terbuka yang dapat mengancam keberadaan hutan lindung di atasnya. Kondisi
Hal. 1 - 15
RTRW Provinsi Sumatera Barat 2009-2029
fisik provinsi ini sangat membutuhkan kawasan hutan lindung untuk menjaga
kelestarian lingkungan dan mencegah terjadinya bencana alam (banjir dan tanah
longsor). Untuk lebih jelasnya sebaran bahan tambang ditunjukkan Gambar 1.3.
7. Perikanan dan Kelautan
Produksi ikan dari perikanan laut di Provinsi Sumatera Barat tahun 2007
sebanyak 184.561,3 ton, dengan jumlah nelayan penuh sebanyak 16.073 orang
nelayan dan 30.061 orang nelayan sambilan. Potensi pembudidayaan perikanan
darat (perairan umum dan budidaya) di Provinsi Sumatera Barat cukup besar.
Potensi lahan budidaya perikanan darat tahun 2007 di perairan umum seluas
53.806 Ha dengan produksi 9.360 ton. Budidaya perikanan darat seluas 31.228,3
Ha yang terdiri dari 9.620,4 Ha di kolam dengan produksi 30.407,2 ton, seluas
1.698,9 Ha yang dimanfaatkan untuk usaha mina padi dengan produksi 6.232,7
ton. Budidaya ikan keramba seluas 19.909 Ha dengan produksi sebanyak 4.294,4
ton. Budidaya perikanan darat lainya berupa jala apung dan kolam air deras
dengan produksi masing-masing yaitu 10.554,9 ton dan 3.260,9 ton.
Pengembangan sub sektor perikanan masih ada peluang untuk memanfaatkan
potensi yang ada seperti :
ƒ
Masih tersedianya lahan budidaya di darat seperti danau, sungai, kolam,
sawah dan perairan umum lainnya untuk budidaya ikan air tawar,
ƒ
Adanya potensi ikan tuna dan cakalang di perairan ZEE yang belum
sepenuhnya di eksploitasi.
ƒ
Adanya potensi pengembangan perairan di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil di kawasan barat Provinsi Sumatera Barat, yang belum tersentuh oleh
nelayan setempat.
Selanjutnya sumberdaya kelautan yang ada meliputi terumbu karang, hutan
mangrove, moluska, teripang, dan penyu laut. Ekosistem terumbu karang di
Provinsi Sumatera Barat luasnya 25.984 Ha dan menyebar di perairan pesisir
kota/kabupaten di Provinsi Sumatera Barat yang mempunyai persentase tutupan
karang rendah, sehingga dapat dikategorikan rusak dan rusak berat. Tutupan
terumbu karang dengan kondisi baik hanya ditemukan pada 4 lokasi sebaran,
yaitu Pulau Pieh di Kabupaten Padang Pariaman, Pulau Simangke Kecil, Pulau
Cingkuak dan Pulau Penyu di Kabupaten Pesisir Selatan.
Hal. 1 - 16
RTRW Provinsi Sumatera Barat 2009-2029
Potensi mangrove di Provinsi Sumatera Barat sebesar 39.832 Ha yang terdapat
di sepanjang pesisir Kabupaten Pasaman Barat (6.273,5 hektar) sampai
Kabupaten Pesisir Selatan, dan Kabupaten Kepulauan Mentawai seluas 32.600
hektar. Di Kota Padang, luas hutan mangrove tidak lebih dari 10 hektar, yang
terdapat di kawasan Sungai Pisang. Budidaya rumput laut di Provinsi Sumatera
Barat diusahakan masih dalam taraf skala rumah tangga, sehingga besaran
tingkat pemanfaatan rumput laut masih sulit terdata. Jenis rumput laut yang
diambil adalah jenis Grasillaria sp dan Gellidum sp.
Penyebaran kerang-kerangan meliputi seluruh perairan pantai yang berlumpur,
terutama pada kawasan hutan bakau (mangrove), sepanjang pantai di Provinsi
Sumatera Barat. Penyebaran cumi-cumi meliputi seluruh perairan di Provinsi
Sumatera Barat.
8. Kawasan Hutan
Secara umum kawasan hutan di Provinsi Sumatera Barat dibedakan menjadi
hutan lindung, dan hutan suaka alam dan wisata (HSAW), hutan produksi, hutan
produksi terbatas, dan hutan produksi yang dapat dikonversi. Total luas kawasan
hutan di provinsi Sumatera Barat tahun 2007 mencapai 2.560.424 Ha (60,53%).
Luas hutan lindung dan HSAW mencapai sekitar 40,59% dari luas provinsi
Sumatera Barat, dan hutan produksi mencapai 19,94%. Hal ini sebagaimana
disampaikan pada Tabel 1.2 dan Gambar 1.4.
Permasalahan yang dihadapi sektor kehutanan selain menurunnya produktivitas
hasil hutan karena semakin berkurangnya potensi hutan produksi, juga masalah
perluasan kawasan budidaya ke dalam kawasan hutan, kondisi ini telah banyak
menimbulkan bencana alam terutama banjir dan tanah longsor, bahkan
berpengaruh terhadap perubahan iklim mikro.
Penetapan Kawasan Perairan seluas 39.900 Ha berupa Taman Wisata Laut
Pulau Pieh di Kabupaten Padang Pariaman berdasarkan penunjukan SK Menhut
070/Kpts-II/2000.
Hal. 1 - 18
RTRW Provinsi Sumatera Barat 2009-2029
Tabel 1.2
Luas dan Fungsi Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2007
No.
Luas
Fungsi Hutan
Ha
%
1.
Hutan Suaka Alam dan Wisata (HSAW)
806.275
19,06
2.
Hutan Lindung
910.532
21,53
3.
Hutan Produksi Terbatas
246.384
5,83
4.
Hutan Produksi
407.849
9,64
5.
Hutan Produksi yang dapat dikonservasi
189.384
4,48
6
Kawasan Perairan
39.900
0,94
Total Luas Kawasan
2.560.424
60,53
Luas Provinsi
4.229.730
100,00
Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat, 2008 (SK. Menhut No. 422/Kpt/1999)
1.3.4 Kependudukan
Jumlah penduduk Provinsi Sumatera Barat dari tahun 2002 hingga 2007
menunjukkan peningkatan rata-rata 1,32% per tahun. Tahun 2002 jumlah
penduduk sebanyak 4.289.647
jiwa dan tahun 2007 meningkat menjadi
4.641.774 jiwa. Tingkat pertambahan ini cukup tinggi, sehingga perlu diambil
langkah-langkah yang tepat agar pertambahannya dapat dikendalikan dan sesuai
dengan daya dukung lingkungan. Kebijakan lain yang dapat dilakukan adalah
dengan mengatur distribusi penduduk untuk setiap permukiman sesuai daya
tampung.
Menurut kelompok usia penduduk, sebagian besar (69,498%) termasuk usia
produktif dengan angka beban tanggungan sebesar 41,43%. Jumlah angkatan
kerja yang bekerja pada tahun 2007 adalah sebanyak 2.106.711 jiwa atau
58,57%. Sedangkan tingkat partisipasi angkatan kerja di Provinsi Sumatera Barat
mencapai 65,31%.
Hal. 1 - 19
RTRW Provinsi Sumatera Barat 2009-2029
Hasil perhitungan jumlah penduduk tahun 2029, Kota Padang masih menjadi
orientasi utama penduduk Provinsi Sumatera Barat dan diperkirakan berjumlah
sebanyak 1,3 juta jiwa. Untuk itu maka penataan wilayah Kota Padang
mengakumulasikan jumlah penduduk tersebut perlu dilakukan secara terpadu
dengan wilayah yang berbatasan (Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten
Solok dan Kabupaten Pesisir Selatan) dan kota-kota di sekitarnya yang menjadi
satu kesatuan kawasan pendukung kawasan metropolitan (Kota Pariaman dan
Kota Solok). Hal ini dapat dilakukan dengan penyediaan sarana dan prasarana
perkotaan secara terpadu melalui pengembangan konsep kawasan perkotaan
metropolitan. Lebih jelasnya sebaran kepadatan penduduk provinsi ini dapat
dilihat pada Gambar 1.5.
1.3.5 Kawasan Rawan Bencana Alam
Wilayah Provinsi Sumatera Barat termasuk dalam kawasan yang rawan bencana
alam baik berupa gempa bumi, banjir, tanah longsor, letusan gunung berapi,
gelombang tinggi dan tsunami. Pada Tabel 1.3 disampaikan kejadian bencana
alam di Provinsi Sumatera Barat tahun 2005-2007 dan Gambar 1.6 menunjukkan
sebaran potensi daerah rawan bencana alam.
Bencana alam gempa bumi ini terkait dengan letak geografis Provinsi Sumatera
Barat yang berada pada pertemuan lempeng benua. Sedangkan tanah longsor
dan banjir lebih diakibatkan oleh sifat fisik dan tutupan lahan (hutan) yang
semakin berkurang. Demikian juga bahaya bencana alam lain saling berkaitan
penyebabnya.
Selama ini jenis bencana alam di Provinsi ini tentunya menjadi kendala dalam
upaya pengembangan kawasan budidaya untuk meningkatkan pembangunan dan
kesejahteraan masyarakat.
Tabel 1.3
Kejadian Bencana Alam di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2005-2007
No.
1
2
3
4
5
6
7
Jenis Bencana
Gempa
Tanah longsor
Banjir
Abrasi Pantai
Gelombang Pasang
Angin Puting Beliung
Gunung Meletus
Jumlah
Sumber : Bappeda Provinsi Sumatera Barat, 2007/2008
2005
7
11
1
3
3
1
87
Tahun
2006
11
11
16
2
52
2007
5
3
12
2
3
57
Hal. 1 - 21
RTRW Provinsi Sumatera Barat 2009-2029
1.3.6 Perekonomian
Struktur ekonomi Provinsi Sumatera Barat tahun 2007 didominasi oleh sektor
pertanian, baik atas harga berlaku maupun harga kostan dimana dari PDRB atas
dasar berlaku terlihat bahwa sumbangan sektor ini tahun 2007 sebesar 24,67 %;
sedang menurut harga konstan tahun 2000 kontribusinya sebesar 24,42%. Sektor
lain yang cukup besar memberikan kontribusinya terhadap PDRB Provinsi
Sumatera Barat adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran; sektor jasa-jasa,
sektor pengangkutan dan komunikasi; dan sektor industri pengolahan yang
memberikan kontribusi antara 12%-18%. Pada Tabel 1.4 ditunjukkan distribusi
sektor terhadap perekonomian Provinsi Sumatera Barat Tahun 2007.
Selanjutnya pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Barat kurun waktu tahun
2003-2007, baik atas harga berlaku (ADHB) maupun atas dasar harga konstan
tahun 2000 (ADHK) menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2003, PDRB Provinsi
Sumatera Barat atas dasar harga konstan mempunyai laju pertumbuhan sebesar
5,26 %, dan meningkat menjadi 6,34 % pada tahun 2007. Hal ini sebagaimana
ditunjukkan pada Gambar 1.7.
Tabel 1.4
Distribusi Sektor Ekonomi Provinsi Sumatera Barat Tahun 2007
Menurut Harga Berlaku dan Harga Konstan Tahun 2000
No
Sektor
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pertanian
Pertambangan dan Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik, Gas dan Air Minum
Bangunan
Perdagangan, Hotel dan restoran
Pengangkutan dan Komunikasi
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
Jasa-Jasa
Jumlah
Harga Berlaku
Rp
14.754.867,69
2.059.937,26
7.179.242,77
822.189,05
3.290.146,38
10.367.999,17
9.009.321,18
2.963.365,97
9.351.975,83
59.799.045,30
Harga Konstan th. 2000
%
24,67
3,44
12,01
1,37
5,50
17,34
15,07
4,96
15,64
100,00
Rp
8.038.919,12
1.028.828,26
4.209.069,40
394.432,98
1.627.195,26
6.056.682,55
4.526.737,30
1.692.546,42
5.338.557,30
32.912.968,59
%
24,42
3,13
12,79
1,20
4,94
18,40
13,75
5,14
16,22
100,00
Sumber : Bappeda Provinsi Sumatera Barat, 2007/2008
Hal. 1 - 24
RTRW Provinsi Sumatera Barat 2009-2029
Sebagai sektor unggulan di Provinsi Sumatera Barat yang dilihat dari nilai LQ
setiap sektor, dengan kriteria jika sektor yang bersangkutan mempunyai nilai LQ ≥
1. Dari hasil perhitungan LQ menunjukkan bahwa sektor pertanian, khususnya
pertanian tanaman pangan dan perkebunan merupakan sektor unggulan yang
mampu memberikan kontribusi terhadap perekonomian daerah. Sub sektor
perkebunan yang menjadi unggulan terutama dari komoditi karet, dan kelapa
sawit, walaupun komoditi perkebunan lain juga potensial menjadi unggulan.
2003
2004
2005
2006
2007
Gambar 1.7 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Sumatera Barat Tahun 2003-2007
1.3.7 Pariwisata
Pembangunan kepariwisataan di Provinsi Sumatera Barat dilakukan melalui
pengembangan industri pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran dan
kelembagaan pariwisata. Provinsi Sumatera Barat memiliki berbagai ragam daya
tarik wisata andalan maupun potensial, meliputi daya tarik wisata alam (gunung,
danau, sungai, ngarai, panorama, keunikan struktur geologi, dsb), daya tarik
wisata minat khusus, dan daya tarik wisata budaya/sejarah, hal ini tidak terlepas
dari keindahan alamnya yang terkenal hingga ke mancanegara, banyaknya
peninggalan sejarah serta berbagai ragam budaya yang terdapat hampir
diseluruh daerah.
Selain itu, pengembangan wisata tirta telah menjadi salah satu produk usaha dan
tujuan wisata (destinasi) yang penting. Hal ini ditunjukkan dengan semakin
meningkatnya permintaan jasa wisata dan olahraga air di perairan laut, pantai,
Hal. 1 - 25
RTRW Provinsi Sumatera Barat 2009-2029
sungai, danau dan waduk, baik oleh wisatawan manca negara, nusantara
maupun wisatawan lokal.
Pembangunan wisata tirta pada hakekatnya merupakan upaya untuk
mengembangkan dan memanfaatkan objek dan daya tarik wisata bahari antara
lain dalam bentuk keindahan pantai sepanjang pesisir kabupaten/ kota di Provinsi
Sumatera Barat, keanekaragaman flora dan fauna (taman laut), keindahan alam
danau, maupun sungai-sungai terjal yang terdapat di seluruh kabupaten/ kota
Provinsi Sumatera Barat.
Seiring dengan terus meningkatnya minat kunjungan wisatawan ke Ranah
Minang ini, pemerintah daerah di setiap kota dan kabupaten di Sumatera Barat
mulai mengupayakan alternatif wisata baru dengan potensi keindahan alam laut
yang tidak kalah dengan objek-objek wisata bahari lain diluar Provinsi Sumatera
Barat. Di sisi lain diharapkan terjadinya keseimbangan dan pemerataan di bidang
kepariwisataan tanpa membedakan jenis dan nilai jual potensi wisata yang ada.
Pada tahun 2007 tercatat sebanyak 4.871.800 orang wisatawan yang berkunjung
ke Provinsi Sumatera Barat dengan perincian 27.978 orang wisatawan asing dan
4.843.822 wisatawan domestik. Dengan difungsikannya beberapa kawasan
wisata tirta ini, diharapkan akan mampu menarik minat kunjungan wisatawan
untuk berkunjung ke Sumatera Barat terutama untuk menikmati keindahan
potensi laut/bahari yang ada.
Berikut beberapa lokasi objek wisata tirta yang terdapat di Propinsi Sumatera
Barat :
•
Pantai Padang : Kota Padang.
•
Pantai Bungus : Kota Padang.
•
Pantai Caroline : Kota Padang.
•
Wisata Bahari Pulau Sikuai : Kota Padang.
•
Pantai Air Manis : Kota Padang.
•
Pantai Arta : Kabupaten Padang Pariaman.
•
Pantai Kata : Kabupaten Padang Pariaman.
•
Pantai Carocok Tarusan : Kabupaten Pesisir Selatan.
•
Wisata Bahari Batu Kolong : Kabupaten Pesisir Selatan.
Hal. 1 - 26
RTRW Provinsi Sumatera Barat 2009-2029
•
Wisata Bahari Kawasan Mandeh : Kabupaten Pesisir Selatan.
•
Pantai Tanjung Mutiara : Kabupaten Agam.
•
Danau Maninjau : Kabupaten Agam.
•
Danau Singkarak : Kabupaten Solok dan Kabupaten Tanah Datar
•
Danau Diatas dan Dibawah (D. Kembar) : Kabupaten Solok
1.3.8 Prasarana Wilayah
Prasarana wilayah yang dimaksud meliputi
telekomunikasi, energi, dan sumberdaya air.
prasarana
transportasi,
1. Prasarana Transportasi
Prasarana transportasi di Provinsi Sumatera Barat meliputi transportasi darat,
laut, udara, dan kereta api. Prasarana transportasi darat ditunjang dengan adanya
jaringan jalan baik jalan nasional, jalan provinsi, maupun jalan kabupaten/kota.
Untuk menunjang perwujudan rencana struktur ruang dan pemanfaatan potensi
ekonomi yang ada, maka pengembangan dan pembangunan prasarana jalan
masih dibutuhkan. Namun permasalahan yang dihadapi adalah karena kondisi
fisik provinsi ini yang menjadi kendala untuk pengembangannya. Kendala-kendala
tersebut diantaranya topografi, banyaknya aliran sungai, dan luasnya kawasan
hutan lindung termasuk taman nasional. Selanjutnya untuk angkutan sungai,
danau dan penyeberangan (ASDP) sangat dimungkinkan untuk dikembangkan.
Pengembangan angkutan danau yang memungkinkan dapat dikembangkan
adalah untuk menunjang pariwisata, seperti Danau Maninjau, Danau Singkarak,
Danau Diatas dan Danau Dibawah. Pengembangan angkutan sungai memiliki
banyak permasalahan, seperti kondisi fisik sungai, debit air, dan tingginya
sedimentasi.
Prasarana transportasi laut provinsi ini telah ditunjang oleh pelabuhan
Internasional Teluk Bayur dan beberapa pelabuhan skala lokal di beberapa
kabupaten/kota yang memiliki perairan laut, seperti Kabupaten Pesisir Selatan,
Kota Padang, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Pasaman Barat dan
Kabupaten Kepulauan Mentawai. Sama halnya dengan permasalahan yang
dihadapi pengembangan prasarana transportasi darat (jalan), pengembangan
pelabuhan di provinsi ini juga menghadapi kendala status kawasan untuk
Hal. 1 - 27
RTRW Provinsi Sumatera Barat 2009-2029
pengembangan pelabuhan laut yang umumnya termasuk kawasan hutan dan
kawasan konservasi.
Prasarana transportasi udara di Provinsi Sumatera Barat memiliki 3 (tiga)
pelabuhan udara yang berfungsi sampai saat ini, yaitu Bandara Internasional
Minangkabau di Padang Pariaman, Bandara Tabing (kepentingan militer) di Kota
Padang, dan Bandara Rokot di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Pengembangan
prasarana ini lebih tergantung pada kecenderungan permintaan angkutan
penumpang dan barang.
Angkutan kereta api cenderung menurun untuk angkutan penumpang. Pelayanan
angkutan kereta api di provinsi ini mengandalkan pada angkutan barang,
khususnya hasil tambang batubara dan semen, sedang angkutan penumpang
terbatas untuk kereta wisata. Kendala pengembangan angkutan kereta api selain
biaya investasi prasarana yang sangat mahal, juga karena kondisi morfologi yang
kurang sesuai dengan persyaratan jaringan jalan kereta api. Namun demikian
untuk jangka panjang pengembangan angkutan kereta api perlu dipertimbangkan
pengembangnnya karena angkutan ini memiliki efisiensi yang tinggi dibandingkan
angkutan jalan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.8.
2. Prasarana Telekomunikasi
Pelayanan telekomunikasi di Provinsi Sumatera Barat dikelola oleh PT. Telkom
Tbk, Kandatel II Sumatera Barat. Wilayah yang telah terjangkau jaringan
telekomunikasi umumnya di wilayah perkotaan, termasuk di dalamnya adalah
kota kecamatan dan kota kabupaten. Pengembangan jaringan pelayanan
telekomunikasi menghadapi kendala pada terbatasnya kemampuan penyediaan
jaringan dan satuan sambungan telepon. Namun dengan berkembangnya
teknologi telekomunikasi seluler/telepon genggam, maka penyediaan sambungan
telepon kabel sementara bisa diatasi dengan penggunaan telepon seluler. Hal
yang perlu diperhatikan adalah pengaturan menara telekomunikasi seluler
khususnya untuk kawasan perkotaan agar tidak mengganggu keindahan ruang
udara di kawasan perkotaan.
3. Prasarana Energi
Pemenuhan energi listrik di Provinsi Sumatera Barat dilakukan oleh PT. PLN
(Persero) KITLUR SUMBAGSEL dan PLN (Persero) P3B Wilayah Sumatera.
Hal. 1 - 28
RTRW Provinsi Sumatera Barat 2009-2029
Pembangkit listrik yang dikelola oleh KITLUR umumnya berkapasitas besar, yang
terdiri dari PLTA, PLTG, PLTD dan PLTU. Unit KITLUR telah dimekarkan untuk
efektifitas operasional menjadi :
a.
PT PLN (Persero) KIT Sumbagsel : mengelola pembangkitan berkapasitas
besar untuk wilayah Sumatera bagian Selatan.
b.
PT PLN (Persero) P3B Sumatera : mengelola penyaluran dan pengaturan
beban untuk seluruh wilayah Sumatera.
Selain itu beberapa PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) juga telah
dibangun oleh perusahaan swasta, koperasi dan swadaya masyarakat seperti
ditunjukkan pada Tabel 1.5 Namun demikian, sekitar 80 % PLTMH yang ada
sudah tidak beroperasi lagi karena sudah masuknya jaringan PLN.
Kebutuhan tenaga listrik Provinsi Sumatera Barat dalam 5 tahun terakhir
mencapai rata-rata 6,2% per tahun. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor
komersil dengan tumbuh rata-rata sebesar 17,0 % per tahun, diikuti sektor publik
rata-rata 8,2% per tahun, sektor rumah tangga 4,9% per tahun dan sektor industri
tumbuh rata-rata 4,6 % per tahun. Kapasitas pembangkit energi listrik yang ada
dan akan dikembangkan kiranya mampu memenuhi kebutuhan energi listrik
sampai tahun 2029 yang diperkirakan sebesar 7.300 GWh (7.300.000 MWh), atau
tumbuh rata-rata 6,3 % per tahun.
Tabel 1.5
Jumlah dan Total Daya PLTMH di Sumatera Barat Tahun 2007
No
Kabupaten
1.
Kab. Agam
2.
Kab. 50 Kota
3.
Jumlah
(Unit)
Daya (KVA)
Total Daya
(KVA)
27
3 – 60
317
8
3 –10
51
Kab. Pasaman
30
2 - 60
280
4.
Kab. Solok
14
3 - 60
338
5.
Kab. Pesisir Selatan
8
2 - 40
85
6.
Kab. SWL Sijunjung
2
5 - 30
35
7.
Kab. Tanah Datar
4
3 - 15
26
93
2 - 60
1.132
Total
Sumber : Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sumatera Barat, Tahun 2008
Hal. 1 - 30
RTRW Provinsi Sumatera Barat 2009-2029
4. Sumberdaya Air
Provinsi Sumatera Barat memiliki kondisi geografis yang bergunung dan
hidrografi sungai yang beragam. Struktur hidrografi dengan aliran sungai yang
banyak di lerengnya dan menjadi hulu beberapa sungai yang cukup besar di
Pulau Sumatera. Beberapa sungai besar yang berhulu dari provinsi ini adalah:
Sungai Rokan, Sungai Inderagiri (disebut sebagai Batang Kuantan di bagian
hulunya), Sungai Kampar dan Batang Hari. Semua sungai ini bermuara di pantai
timur Sumatera, di Provinsi Riau atau Jambi. Sungai-sungai yang bermuara di
pantai barat pendek-pendek, diantaranya Batang Anai, Batang Arau dan Batang
Tarusan. Disamping itu Sumatera Barat juga memiliki beberapa danau besar dan
kecil yang tersebar di beberapa Kabupaten dan Kota. Diantaranya Danau
Maninjau (99,5 km²), Danau Singkarak (130,1 km²), Danau Diatas (31,5 km²),
Danau Dibawah (14,0 km²), dan Danau Talang (5,0 km²).
Berdasarkan
Permen PU Nomor 11A/PRT/M/2006
tentang Kriteria dan
Penetapan Wilayah Sungai, pengelolaan sumberdaya air dilakukan dengan
membagi 9 (sembilan) Wilayah Sungai (WS) seperti pada Gambar 1.9.
Selanjutnya secara ekologis wilayah Provinsi Sumatera Barat dibagi menjadi
beberapa
Wilayah Sungai (WS)/Daerah Aliran Sungai (DAS) seperti pada
Gambar 1.10. Dan beberapa WS/DAS tersebut terdapat WS/DAS Lintas Provinsi
yaitu :
-
WS/DAS Rokan melintasi Provinsi Sumatera Utara – Sumatera Barat –
Riau.
-
WS/DAS Kampar dan Indragiri, melintasi Provinsi Sumatera Barat – Riau.
-
WS/DAS Batanghari, melintasi Provinsi Sumatera Barat – Jambi.
-
WS/DAS Batang Natal – Batahan melintasi Provinsi Sumatera Barat –
Sumatera Utara.
Kondisi ini memerlukan adanya sinkronisasi pola ruang antar wilayah agar
tatanan kelestarian lingkungan dapat dipertahankan kelestariannya. Sungaisungai yang tersebar di Provinsi Sumatera Barat menjadi penopang dalam
mensuplai ketersediaan air bagi daerah irigasi yang diatur melalui saluran irigasi.
Hal. 1 - 31
RTRW Provinsi Sumatera Barat 2009-2029
1.4
Isu-Isu Strategis
Beberapa isu strategis yang mempunyai pengaruh langsung maupun tidak
langsung terhadap perkembangan wilayah provinsi ini diantaranya :
1. Bencana alam.
Bencana alam seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, letusan gunung
berapi, dan gelombang tinggi telah menimbulkan korban dan kerusakan di
beberapa wilayah Provinsi Sumatera Barat. Kondisi ini terkait dengan letak
geografis Provinsi Sumatera Barat yang berpotensi terjadinya bencana alam.
Gempa bumi terkait dengan kondisi geologi yang berada pada gugus Bukit
Barisan dan gunung berapi aktif. Selain itu wilayah Provinsi Sumatera Barat
juga terletak pada jalur Patahan Sumatera dan lempeng benua yang rawan
terjadinya gempa bumi dan berpotensi terjadinya tsunami.
2. Keterpaduan pemanfaatan ruang dengan provinsi yang berbatasan langsung
dengan Provinsi Sumatera Barat.
Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan keterpaduan pemanfaatan ruang
terutama pola ruang dan prasarana lintas wilayah sehingga tercipta satu
kesatuan antar wilayah. Untuk wilayah Provinsi Sumatera Barat keterpaduan
pola ruang terutama menyangkut fungsi kawasan lindung lintas wilayah
seperti Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang mencakup wilayah
Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau, Provinsi Jambi, Provinsi Bengkulu
dan Provinsi Sumatera Selatan. Demikian juga adanya WS/DAS lintas
wilayah provinsi seperti WS/DAS Batanghari yang meliputi wilayah Provinsi
Sumatera Barat dan Provinsi Jambi. Dengan demikian dibutuhkan
keterpaduan penataan ruangnya.
3. Sumatera Barat memiliki kultur Minangkabau, dikenal sebagai penganut
agama Islam yang kuat dan teguh dengan adat dan tradisi.
Falsafah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato,
Adat Mamakai’” adalah jati diri masyarakat Minangkabau yang menunjukkan
keseimbangan hidup antara agama dan budaya. Islam memberikan sistem
bagi prinsip kehidupan yang agamais, sementara sistem adat merupakan
implementasi Syara’ dalam kehidupan sosial budaya di ranah minang.
Mengakomodir konsep filosofis ini dan didorong oleh semangat otonomi,
Pemerintah Daerah Sumatera Barat semenjak tahun 2000 telah
mencanangkan program “Kembali ke Nagari” dan “Kembali ke Surau” dengan
Hal. 1 - 34
RTRW Provinsi Sumatera Barat 2009-2029
dikeluarkanya Perda Nomor 9 Tahun 2000 dan direvisi oleh Perda Nomor 2
Tahun 2007. Pelaksanaan kedua program tersebut secara umum telah
berjalan dan pada tahun 2006 telah terdapat 520 nagari yang secara resmi
berada dalam struktur pemerintahan. Kembali ke Nagari berimplikasi kepada
revitalisasi budaya dan adat Minangkabau. Sementara itu Kembali ke Surau
berimplikasi kepada aktualisasi nilai-nilai syara’ secara komprehensif.
4. Perkembangan sosial ekonomi dan sosial budaya.
Kondisi ini terkait dengan pertambahan jumlah penduduk yang membutuhkan
tambahan lahan/ruang baik untuk perumahan maupun untuk melakukan
aktivitas. Tidak jarang dijumpai aktivitas masyarakat yang tidak
memperhatikan kemampuan daya dukung lingkungan, seperti perambahan
hutan lindung dan lahan hutan lindung yang seharusnya dilindungi;
pemanfaatan lahan yang dilakukan tidak sesuai dengan rencana tata ruang,
seperti pemanfatan daerah rawan bencana menjadi kawasan budidaya
terutama permukiman, sehingga pada saat terjadi bencana alam timbul
korban manusia. Perkembangan sosial ekonomi dan sosial budaya tidak
hanya terjadi di wilayah Provinsi Sumatera Barat, namun juga dipengaruhi
perubahan yang terjadi di wilayah provinsi lain terutama yang berbatasan
langsung.
5. Pemekaran Wilayah.
Kebijakan politik yang mengakomodasikan perkembangan aspirasi
masyarakat,
terutama pemekaran wilayah kabupaten/kota di Provinsi
Sumatera Barat yang tentunya berpengaruh terhadap perubahan struktur
dan pola ruang yang telah ditetapkan. Pemekaran yang dilakukan sampai
tahun 2007 meliputi Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kota Pariaman,
Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Pasaman Barat, dan Kabupaten Solok
Selatan.
6. Berlakukannya UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Peraturan daerah tentang RTRW Provinsi Sumatera Barat perlu dilakukan
penyesuaian terhadap UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Penyesuaian diantaranya dilakukan terhadap masa berlaku RTRW provinsi
dari 15 tahun menjadi 20 tahun, selain beberapa hal prinsip yang perlu
disesuaikan dengan UU, seperti perlunya penekanan pola insentif dan
disinsentif, penerapan sanksi, proporsi kawasan lindung dalam WS/DAS dan
ruang terbuka hijau perkotaan masing-masing paling sedikit 30%, dan
Hal. 1 - 35
RTRW Provinsi Sumatera Barat 2009-2029
perlunya arahan zonasi pada kawasan-kawasan strategis. Selain itu PP No.
26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN)
juga telah menetapkan struktur ruang yang mengatur sistem perkotaan
nasional, dan penetapan pola ruang serta penetapan kawasan strategis
nasional di wilayah Provinsi Sumatera Barat tentunya harus dijabarkan lebih
lanjut dalam kebijakan penataan ruang Provinsi Sumatera Barat.
7. Konversi lahan
Terjadinya konversi lahan pertanian produktif menjadi kawasan
terbangun/non pertanian, pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan non
kehutanan, dan perambahan hutan lindung serta kebakaran hutan. Hal ini
berimplikasi terhadap perekonomian daerah dan menurunnya daya dukung
lingkungan. Pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan diluar kehutanan
dalam skala besar seperti pertambangan dan perkebunan tentunya perlu
disikapi secara bijaksana sehingga tidak terjadi konflik kepentingan antar
sektor.
8. Perkembangan isu Carbon Trade (perdagangan karbon).
Khususnya bagi kawasan hutan lindung. Isu ini berkembang dari
meningkatnya pemanasan global (global worming). Hal ini adanya minat dari
beberapa negara industri untuk memberikan kompensasi kepada negara
yang memiliki potensi hutan tropis untuk mempertahankan keberadaan
kawasan hutan, terutama hutan lindung sebagai bentuk insentif dan
disinsentif. Negara Indonesia yang memiliki luas hutan tropis terluas di dunia,
termasuk Provinsi Sumatera Barat untuk mensikapi melalui inventarisasi dan
penegasan kembali fungsi kawasan lindung dan hutan lindung.
9. Potensi pesisir dan laut
Potensi pesisir dan laut di Provinsi Sumatera Barat yang besar dan
cenderung menurun karena pengelolaan dan pemanfaatannya yang masih
terbatas. Luas perairan laut provinsi ini ± 52.882,42 km², dan panjang garis
pantai sekitar 1.378 Km. Potensi perikanan dan kelautan yang sangat besar
baru sekitar 35% yang tereksploitasi. Potensi lain di daerah pesisir yang
dapat dimanfaatkan antara lain :
ƒ Estuaria (daerah pantai pertemuan antara air laut dan air tawar);
berpotensi sebagai daerah penangkapan ikan (fishing grounds) yang
baik.
ƒ Hutan mangrove (ekosistem yang tingkat kesuburannya lebih tinggi dari
Estuaria); untuk mendukung kelangsungan hidup biota laut.
Hal. 1 - 36
RTRW Provinsi Sumatera Barat 2009-2029
Padang Lamun (tumbuhan berbunga yang beradaptasi pada kehidupan
di lingkungan bahari); sebagai habitat utama ikan duyung, bulubabi,
ƒ
penyu hijau, ikan baronang, kakatua dan teripang.
Terumbu Karang (ekosistim yang tersusun dari beberapa jenis karang
batu tempat hidupnya beraneka ragam biota perairan).
Pantai Berpasir (tempat kehidupan moluska); memiliki nilai pariwisata
ƒ
ƒ
terutama pasir putih.
1.5
Sistematika Laporan
BAB 1
PENDAHULUAN
Pada bab ini diuraikan dasar hukum yang melandasi penyusunan
RTRW dan gambaran umum wilayah yang berupa potensi dan masalah
serta isu yang mengemuka di Provinsi Sumatera Barat.
BAB 2
TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENATAAN RUANG
PROVINSI SUMATERA BARAT
Pada bab ini diuraikan tujuan yang akan dicapai dari Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Barat, kebijakan dan strategi dalam
penataan ruang Provinsi Sumatera Barat sampai tahun 2029.
BAB 3
RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH PROVINSI SUMATERA
BARAT
Bab ini menguraikan rencana sistem pusat perkotaaan, rencana sistem
jaringan transportasi, rencana sistem jaringan energi, rencana sistem
jaringan telekomunikasi, rencana sistem jaringan sumber daya air, dan
rencana sistem jaringan lainnya.
BAB 4
RENCANA POLA RUANG
BARAT
WILAYAH PROVINSI SUMATERA
Pada bab ini diuraikan rencana pemanfaatan ruang kawasan lindung
dan pemanfaatan ruang kawasan budidaya wilayah Provinsi Sumatera
Barat.
BAB 5
PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS
BARAT
PROVINSI SUMATERA
Pada bab ini diuraikan mengenai penetapan kawasan strategis yang
ada di Provinsi Sumatera Barat dan sumber pembiayaan pengembang-
Hal. 1 - 37
RTRW Provinsi Sumatera Barat 2009-2029
an kawasan strategis.
BAB 6
ARAHAN PEMANFAATAN RUANG PROVINSI SUMATERA BARAT
Pada bab ini diuraikan arahan prioritas penanganan kawasan dan
program pemanfaatan ruang, indikasi program untuk duapuluh (20)
tahun yang dijabarkan dalam empat (4) tahap; lima (5) tahun tahap
pertama dirinci dalam bentuk program utama tahunan, sedangkan
untuk tahap kedua, ketiga dan keempat dalam bentuk progam lima
tahunan, dengan pendanaan yang bersumber dari APBN, APBD,
Swasta dan lain-lain.
BAB 7
ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG PROVINSI
SUMATERA BARAT
Pada bab ini diuraikan arahan pengendalian pemanfaatan ruang yang
meliputi indikasi arahan peraturan zonasi, arahan perizinan, arahan
pemberian insentif dan disinsentif, arahan sanksi, dan kelembagaan.
BAB 8
HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT
Pada bab ini diuraikan hak, kewajiban, dan peran masyarakat dalam
penataan ruang, baik pada tahap penyusunan rencana tata ruang,
pemanfaatan ruang, maupun tahap pengendalian pemanfaatan ruang.
Hal. 1 - 38
Download