BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan arus globalisasi telah membawa perubahan dihampir semua aspek kehidupan manusia. Dalam rangka menghadapi berbagai permasalahan yang ditimbulkan oleh proses globalisasi pada satu pihak, dan proses demokratisasi pada pihak lain, sangat diperlukan sumber daya manusia yang lebih berkualitas melalui pembaharuan sistem pendidikan, dan penyempurnaan kurikulum, termasuk kurikulum sejarah yang berwawasan lokal maupun nasional. Sehubungan dengan itu perlu dilakukan perubahan ke arah yang lebih baik dan harus menyesuaikan diri terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejalan dengan itu tujuan pembelajaran sejarah nasional yaitu: mendorong siswa berpikir kritis analitis dalam memanfaatkan pengetahuan tentang masa lampau untuk memahami kehidupan masa kini dan yang akan datang. Kaitannya dengan sejarah lokal yang mendapat perhatian utama justru peristiwa-peristiwa di lingkungan sekitar suatu lokalitas sebagai suatu kebulatan, dan menempatkan sejarah nasional sebagai latar belakang dari peristiwa-peristiwa khusus dilokalitas tersebut. Hal itu menuntut perubahan dan pembenahan pembelajaran sejarah yang mencakup berbagai aspek baik aspek metodologis maupun aspek lain yang memang mempengaruhi kualitas pembelajaran sejarah. Menurut Helius Sjamsuddin, (2007:300:301) perlu perubahan dari sejarah lama (the old history) 1 2 ke sejarah baru (the new history), perubahan ini antara lain berupa sejarah yang berorientasi politik semata ke sejarah yang juga memperhatikan aspek-aspek sosial-ekonomi, budaya, pertanian, psikologi, pendidikan, teknologi, dan sebagainya. Singkatnya sejarah lebih luas mencakup sejak aspek kehidupan manusia. Sejalan dengan perubahan paradigma tersebut, juga masih terjadi rendahnya pemahaman generasi muda, khususnya pelajaran terhadap nilai budaya setempat Iwan Hermawan, (2004:44). Hal itu dikemukakan oleh Hermawan sebagai berikut: 1. Kurangnya pemahaman terhadap kondisi lingkungan di mana ia hidup, seperti tidak mengenal sejarah, kondisi geografis serta potensi-potensi yang dimiliki daerahnya. 2. Kurangnya rasa bangga terhadap daerahnya. Pada diri mereka tumbuh anggapan bahwa sesuatu yang datang dari luar adalah baik, sedangkan nilai budaya yang ada di lingkungannya dianggap sebagai sesuatu yang kurang baik dan ketinggalan jaman. 3. Semakin melunturnya semangat kebersamaan dan gotong royong pada diri generasi muda karena tergeser oleh sikap individu dan materialis yang berhembus kencang karena melalui globalisasi. 4. Semakin lemahnya rasa persaudaraan di kalangan pelajar yang tampak dari terus meningkatnya angka tawuran pelajar. 5. Kurangnya penghargaan terhadap budaya setempat oleh para pendatang sebagai akibat mulai dilupakannya nilai-nilai tradisional yang luhur dari daerah asalnya. 3 Menurut Ahmad Kosasih Djahiri Strategi Pengajaran Afektif-Nilai-Moral VTC dan Games dalam VTC, (1985:21) Pengajaran Nilai/Moral menghendaki lahirnya generasi muda yang memiliki sejumlah bekal sistem nilai baku yang positif sebagai landasan dan barometer kehidupan, dan lebih jauh lagi sebagai generasi penerus dan pembaharu nilai/moral menuju nilai dan moral yang diinginkan yaitu nilai dan moral Pancasila. Pendidikan nilai dan atau moral tidak hanya berlangsung dalam kelas saja, sebab dalam kehidupan sehari-hari hal ini juga berlangsung. Lebih luas lagi dalam kehidupan dan pergaulan anak dalam keluarga, dengan kelompok teman, serta dalam masyarakat. Maka pendidikan atau moral di kelas akan lebih berhasil dan mantap bila dipertautkan dengan kehidupan luar kelas. Di sini peran guru sebagai perencana yang tidak hanya merancang rencana pengajarannya dari sumber baku kurikulum formal (intended curriculum) melainkan juga dari kurikulum yang tidak ada dalam rancangan formal, dari pengalaman dan kehidupan (the hidden curriculum). Khusus para pengajar pengajaran nilai/efektif seperti guru Pendidikan Kewarganegaraan, guru Pendidikan Agama dan guru Pendidikan Sejarah, dan lain-lain kemampuan membaca the hidden curriculum sangat penting disesuaikan dengan sosial budaya masyarakat setempat, khusus siswa agar mudah dipahami dan aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Perubahan paradigma pembelajaran sejarah maupun mata pelajaran lainnya, sebagaimana disebutkan di atas, antara lain dimaksudkan untuk menjawab tantangan globalisasi. Selain itu Indonesia juga menghadapi krisis hilangnya penghargaan dan kebanggaan terhadap sejarah. Berbagai gerakan separatis dan 4 masalah-masalah sosial budaya lainnya mengarah kepada disintegrasi bangsa. Oleh karenanya, materi sejarah berdasarkan rekonstruksi sosial dan paradigma new history membawa siswa belajar sejarah pada lingkungan kehidupan dan kelompoknya jauh lebih mudah dipahami. Perubahan tersebut sangat diperlukan mengingat selama ini data empirik mengidentifikasi bahwa kegiatan pembelajaran sejarah kurang berhasil, tidak menarik, bahkan sering dianggap membosankan. Pelajaran sejarah sering dirasakan sebagai uraian fakta-fakta kering berupa urutan tahun dan peristiwa belaka. Seiring terjadi pengulangan pelajaran sejarah yang sama dari SD, SMP sampai ke tingkat SMA, bahkan sampai ke Perguruan Tinggi. Pengajaran sejarah sangat didominasi oleh pengajaran hapalan dengan terlalu banyak menekankan pada ”chalk and talk” di kelas sangat lemah dalam hal mendorong keterlibatan murid dalam proses belajarnya. Penekanan pada memorisasi telah mengabaikan usaha mengembangkan kemampuan intelektual yang lebih tinggi sehingga sejarah tidak relevan dengan kebutuhan serta minat siswa, karena sulit dimengerti pada peristiwa sejarah yang terlalu memperhatikan tingkah laku orang dewasa yang ada di luar jangkauan pemahaman siswa. (Partington dalam I Gde Widja, 1989:92). Kritikan di atas merupakan tantangan bagi guru-guru sejarah untuk berusaha mengembangkan alternatif baru dalam proses belajar mengajar. Salah satu alternatif tersebut adalah melalui pembelajaran sejarah lokal dengan membawa anak berada pada lingkungan sekitarnya. Dasar utama dari usaha pengembangan wawasan baru alternatif pembelajaran sejarah lokal ialah agar siswa lebih menyenangkan dalam mengikuti pelajaran dan mendapatkan manfaat lebih besar 5 dari proses belajarnya. Dalam hal ini sejarah yang berfungsi sebagai sumber pedoman dalam moral dan keteladanan yang berada pada lingkungan sekitar dapat disampaikan dengan cara-cara yang bermakna. Pemikiran di atas menurut Douch (1967) dan Mohoney (1981) dalam Widja (1998) mengatakan bahwa pembelajaran sejarah lokal lebih mudah dihayati oleh peserta didik karena langsung berkenaan dengan lingkungan mereka. Sejarah lokal dapat membawa langsung siswa mengenal masyarakatnya. Selain itu sejarah lokal memiliki peran sebagai upaya pengembangan potensi siswa ke arah berpikir aktif dan kreatif serta mampu mengkritisi kejadian atau peristiwa sejarah nasional. Usaha pengembangan wawasan dalam pengajaran sejarah lokal dituntut guru yang profesional dalam bidangnya khusus guru mata pelajaran sejarah. Tujuan profesionalitas keguruan ini akhirnya bukan hanya menciptakan kesempatan bagi para guru untuk meningkatkan pendapatnya secara sah (ligitimate), yang lebih penting ialah menaikan kompetensi para guru dalam kegiatan pembelajaran (teaching), kegiatan pelatihan (training), dan kegiatan pendidikan (educating), (Kompas, 2008:17). Kenyataannya di lapangan menunjukkan begitu banyak kendala seperti di Papua luasnya wilayah dengan jumlah penduduk yang sedikit, letak geografis yang terpisah antar Provinsi, kabupaten, hingga ke tingkat distrik. Hal-hal ini sangat berpengaruh terhadap stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan kehidupan sosial budaya masyarakat Papua. Khusus di bidang pendidikan sarana prasarana yang belum memadai, tenaga pendidik yang masih terbatas dan lain sebagainya berdampak terhadap menyiapkan kualitas sumber daya manusia. Ada keluhan dari siswa bahwa mereka 6 lebih banyak belajar sejarah daerah lain seperti sejarah dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusatenggara dan Maluku, dari pada sejarah lokal ”Sejarah Papua”. Hal ini ada keterkaitan dengan anjuran oleh Departemen P dan K dalam Widja, (1989:10) memperkenalkan apa yang disebut ”Kurikulum Muatan Lokal” untuk dilaksanakan di sekolah dari tingkat SD sampai SMTA. Secara singkat bisa dikemukakan bahwa yang menjadi sasaran utama dari tujuan pengembangan kurikulum semacam ini di samping kurikulum yang sudah ada yang bersifat nasional, ialah agar murid dalam perkembangan dirinya sebagai insan Indonesia yang modern tidak tercabut sama sekali dari akar lingkungan sosial-budayanya sendiri dalam pengertian yang luas. Kurikulum yang bersifat khusus ini diberikan porsi sekitar 20 persen dari keseluruhan kegiatan belajar murid. Dengan sendirinya dalam bidang studi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), khususnya yang menyangkut pelajaran sejarah, mereka juga diharapkan dapat mengetahui serta menghayati dengan baik perkembangan masyarakat dari masa lampau hingga masa yang terjadi di lingkungan sendiri, ini tidak lain berarti mereka perlu diusahakan untuk berkenalan dengan apa yang disebut sejarah lokal itu oleh karena di dalamnya terkandung semangat dan nilai-nilai edukatif dan inspiratif, maka tidak dapat disangkal betapa pentingnya penulisan Biografi Pahlawan Nasional Silas Papare. Hal ini karena Silas Papare telah berjasa besar terhadap nusa dan bangsanya, sehingga diangkat menjadi pahlawan nasional dengan SK Presiden RI No. 077/TK/Thn 1993, tanggal 14 September 1993. Tindakan serta sikap yang diperankannya mencerminkan pribadi yang harus menjadi suri tauladan yang penting untuk disajikan serta disebarkan secara luas, terutama 7 dikalangan generasi penerus. Suatu studi biografi adalah studi dari suatu individu dan pengalamannya seperti diberitahu ke peneliti atau ditemukan di dalam dokumen dan arsip materi (John W. Creswell, 1998:47). Silas Papare nama lengkapnya Silas Ayari Donrai Papare lahir di kampung Ariepi (Serui) Kabupaten Yapen Waropen tanggal 18 Desember 1918. Ia adalah putra dari Musa Papare dan Dorkas Mangge. Semasa kecilnya dididik dengan nilai-nilai agama Kristen melalui Zending yang masuk ke Papua. Orang tuanya petani, tetapi ia disekolahkan pada sekolah Desa dengan bahasa pengantar adalah bahasa daerah dan tamat tahun 1930. Sekolah Desa pada hakekatnya dimaksudkan untuk menghasilkan kaum tani dan kaum buruh terpelajar. Namun pada waktu itu kondisi kesehatan masyarakat Papua yang sangat memprihatinkan karena bermacam wabah seperti malaria, tipes dan kolera, maka Silas Papare tahun 1931 masuk sekolah perawat di Serui dan tamat tahun 1935 langsung ditempatkan di Serui oleh Zending sebagai juru rawat sampai tahun 1936. Semasa menjadi juru rawat Silas Papare tidak didukung dengan pendidikan militer secara khusus tetapi, karena strategi penguasaan medan yang baik dipercaya oleh Belanda sebagai tenaga Intelijen. Prestasi yang pernah diraihnya pada masa Belanda adalah keberhasilanya bertugas melayani dan mengeluarkan rakyat Indonesia dari hutan semasa pendudukan Jepang antara lain di Serui, Biak, dan Manokwari. Atas keberhasilannya pemerintah Belanda memberikan penghargaan berupa bintang perunggu yang diberikan oleh Ratu Wilhemina di London pada tanggal 5 April 1945. Di Papua perlawanan melawan penjajah dimulai pada masa penjajahan Jepang. Sekitar tahun 1939 terjadi ”Gerakan Koreri” di Biak dipimpin oleh 8 Angganita Manufandu. Ketika Jepang tiba di Papua Angganita ditangkap dan dipenjarakan. Gerakan itu dilanjutkan oleh Stefanus Simopiaref terhadap Jepang. Tujuan politiknya yaitu kemerdekaan Papua dari penjajah, seperti Gerakan Ratu Adil. Ditumpasnya gerakan perlawanan rakyat di Biak tidak memadamkan perlawanan di daerah lain yaitu Yapen Waropen. Di Pulau Yapen gerakan perlawanan dipusatkan di Yapen Timur. Pada akhirnya gerakan ini berhasil ditumpas Jepang dengan sangat kejam. Sejak ditumpasnya gerakan tersebut muncul seorang Silas Papare dengan pengalaman sebagai intelejen Belanda berhasil menghimpun kekuatan rakyat dari beberapa daerah di Biak, Yapen Waropen, Nabire, dan Wandamen untuk melawan Jepang melalui kerjsama dengan sekutu. Dengan strategi dan dukungan sekutu berhasil menguasai basis-basis pertahanan Jepang. Perjuangan Silas Papare pada masa Jepang merupakan kekhususan perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah dalam sejarah perjuangan bangsa. Bukan penjajah Belanda yang lama di Papua pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, tetapi Belanda meninggalkan Papua karena disiksa dan ditawan Jepang selanjutnya rakyat Papua melawan penjajah Jepang. Kedatangan Netherland Indies Civil Administration (NICA) Belanda di Papua mengikutsertakan orang-orang Indonesia yang dijadikan tawanan di Boven Digul kemudian dibawa ke Australia. Orang Indonesia yang dibawa kembali ke Papua adalah Sugoro. Ia dimanfaatkan oleh NICA sebagai penasehat pada kursus pamong praja untuk orang-orang Papua di kampung Harapan Jayapura. Pada pertemuan-pertemuan itu Silas Papare dan kawan-kawannya merencanakan 9 pemberontakan terhadap Belanda beberapa kali tetapi mengalami kegagalan, karena telah diketahui oleh Belanda. Membicarakan peran Silas Papare dalam arus sejarah, nampaknya telah dilakukannya melalui jalan yang cukup panjang. Jauh sebelum Republik Indonesia merdeka Silas Papare sudah menunjukkan aktivitasnya dalam gerakan perjuangan kebangsaan. Perjuangannya yang dilakukan bukanlah merupakan tindakan mengangkat senjata melawan penjajah, akan tetapi usahanya melalui gerakan-gerakan tentang kebangsaan seperti menghimpun massa, mengadakan pertemuan, mendirikan organisasi, memberitakan melalui media massa dan perjuangan diplomasi di meja perundingan yang semua itu disumbangkan untuk kepentingan bangsa dan negara. Dan ini dibuktikan dalam aktivitas-aktivitas yang diperankan oleh Silas Papare terutama dalam memperjuangkan Papua kembali kepangkuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (Depdikbud RI, 1977:77). Dengan demikian, baik dilihat secara akademis kesejarahan, maupun dari prespektif pendidikan kesejarahan, sudah jelas peranan penting studi sejarah lokal. Di propinsi Papua terdapat tiga pahlawan nasional yaitu Marthin Indei, Silas Papare dan Frans Kaisiepo yang menjadi objek penelitian kami adalah Silas Papare dengan sikap radikal menentang Belanda terdorong mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) pada tanggal 23 November 1946 (Agus Mulyana dan Restu Gunawan, 2007:108) Usaha pengembangan wawasan dalam pengajaran sejarah lokal tersebut, sudah tertuang dalam pengembangan suplemen kurikulum yang dikenal dengan Kurikulum Muatan Lokal ini diartikan sebagai program pendidikan yang isi dan 10 media penyampaiannya dikaitkan sebagai program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan budaya serta kebutuhan daerah dan wajib dipelajari oleh siswa di daerah itu (Lampiran Keputusan Menteri P dan K No. 0412/U/1987). Pentingnya pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar, bukan saja untuk mempermudah pemahaman serta penyerapan bahan pengajaran yang disajikan, tetapi lebih dari itu, akan mendekatkan siswa dengan lingkungan dan menghindarkan dari keterasingan dengan lingkungannya. Lampiran keputusan Menteri P dan K tersebut, menyebutkan tujuan diterapkan kurikulum muatan lokal itu adalah: 1. Bahan pengajaran akan lebih mudah diserap oleh murid. 2. Sumber belajar di daerah dapat lebih mudah dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan. 3. Murid telah mengenal kondisi alam, lingkungan sosial dan lingkungan budaya yang terdapat di daerahnya. 4. Murid dapat meningkatkan pengetahuannya mengenai daerahnya. 5. Murid diharapkan dapat menolong orang tuanya dan menolong dirinya sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. 6. Murid dapat menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari untuk memecahkan masalah yang ditemukan disekitarnya. 7. Murid menjadi akrab dengan lingkungannya dan terhindar dari keterasingan dengan lingkungan sendiri. (Lampiran Keputusan Menteri P dan K No. 0412/U/1987). Secara keseluruhan bila diperhatikan tujuan penerapan kurikulum muatan lokal ini maka di dalamnya dapat dilihat dasar-dasar yang menunjang pengembangan pengajaran sejarah lokal. Belajar dari lingkungan setempat membawa anak pada dunia yang dihadapi. Begitupun bahan ajar yang mudah di dapat sehingga baik guru maupun siswa dapat memahami keadaan sekarang berpedoman dari masa lalu sesuai dengan lingkungan pembelajaran. Tanpa 11 disadari anak memiliki kemampuan dan minat terhadap sejarah, mereka mempunyai pengalaman dan pengetahuan tentang peristiwa atau kejadian masa lalu di lingkungannya, informasi yang mereka peroleh bisa dari orang tua, saudara, teman, tetangga atau para tokoh masyarakat setempat. Hubungan masyarakat dan kebudayaan pada hakekatnya tak lain dari pada orangorang atau kelompok orang yang hidup bersama yang mampu menghasilkan, memelihara dan mengembangkan berbagai sistem nilai, yang dikemas ke dalam konsep yang disebut Kebudayaan. Selain masyarakat sebagai pencipta, pendukung, pemelihara dan pengembang kebudayaan, ternyata masyarakatpun berupaya mewariskan kebudayaan tersebut kepada generasi-generasi selanjutnya (Awan Mutakin, 2006:70). Oleh karenanya guru harus mampu menggali potensi minat anak sehingga mampu mengembangkan berpikir kritis sekaligus menumbuhkan kebanggaan dan penghargaan melalui pembelajaran sejarah lokal. Penelitian Dadan Supardan (2004:266) tentang pentingnya pembelajaran sejarah lokal diajarkan dalam mata pelajaran sejarah nasional, terutama untuk mengkritik sejarah Indonesia serta membentuk integrasi bangsa, dalam penelitian yang berjudul: ”Pembelajaran Sejarah Berbasis Pendekatan Multikultural dan Perspektif Sejarah Lokal, Nasional, Global. Untuk Integrasi Bangsa”. Supardan menegaskan bahwa pembelajaran sejarah lokal perlu diperkenalkan kepada siswa untuk mengenali identitas kelokalannya maupun menghargai identitas etnis atau daerah lain yang ada di Indonesia dengan mempertimbangkan asas belajar dan tahap perkembangan siswa. Pemerintah pusat dan daerah, guru-guru sejarah di lapangan berusaha sekuat-kuatnya mendorong terlaksananya pembelajaran sejarah 12 lokal di sekolah-sekolah. Sejarah lokal dalam posisi ini meliputi materi sejarah keluarga, desa, kelurahan, kecamatan dan seterusnya menjadi penting karena siswa hidup di lingkungan tersebut sampai kepada sejarah bangsa dimana mereka sebagai warganya. Berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa ini, termasuk yang dihadapi oleh generasi muda, merupakan akibat dari dilupakannya nilai tradisi warisan para pendahulu kita dan semua yang datang dari luar adalah baik, tanpa cacat serta sesuai dengan perkembangan jaman. Menurut Hermawan, (2004:45) solusi yang diambil untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini, terutama generasi muda, adalah melalui pendidikan yang diarahkan pada penguatan akar budaya bangsa dan dilakukan disemua jalur pendidikan, yaitu keluarga, masyarakat dan sekolah (pendidikan formal). Pada lingkungan keluarga orang tua haruslah memberikan dasar pengetahuan nilai-nilai tradisional yang harus dimiliki oleh anak sebagai upaya mempersiapkan kehidupannya di masa mendatang. Upaya ini dilakukan melalui suatu pembiasaan atau disiplin dalam berbuat dan berprilaku terutama berkaitan dengan aturan atau nilai-nilai sehari-hari. Kepada anak juga diperkenalkan perjalanan sejarah tempat di mana mereka tinggal dengan cara mengajak berkunjung ke tempat-tempat yang memiliki nilai sejarah, seperti museum, situs, monumen atau taman makam pahlawan. Melalui pengenalan sejarah daerahnya diharapkan anak dapat juga mempelajari nilai yang terkandung di dalamnya dan pada akhirnya mampu meneladani nilai yang terkandung di dalamnya. 13 Masyarakat di lingkungan anak tersebut tumbuh dan berkembang perlu memberikan dukungan terhadap penanaman nilai budaya pada diri anak. Bagaimana mungkin mereka akan mampu memahami nilai yang terkandung dari sejarah masa lalu jika bangunan yang mempunyai nilai sejarah telah tergusur. Demikian pula halnya bagaimana anak akan memahami pentingnya kelestarian alam jika orang tua kita menggalakan gerakan penebangan pohon atau penghilangan kawasan hijau. Pada lingkungan sekolah, dari mulai Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi, nilai-nilai lokal diberikan kepada anak didik melalui pengintegrasian pada kurikulum persekolahan. Selain melalui teori di kelas, pengenalan nilai budaya tradisional dapat dilakukan melalui upaya pengenalan anak didik terhadap lingkungan sekitar. Tujuan pendidikan nilai lokal diberikan pada jenjang pendidikan formal, adalah agar supaya pelestarian nilai budaya lokal dapat diukur, sehingga tingkat keberhasilan individu dalam memahami nilai budaya setempat dapat diketahui pada jangka waktu tertentu. Keberhasilan perwarisan nilai budaya bangsa merupakan suatu keberhasilan pendidikan, karena salah satu tujuan dari pendidikan adalah pewarisan nilai budaya bangsa agar mereka menjadi warga negara yang baik sebagai bagian dari daerah, bangsa dan dunia. Pada akhirnya bermuara pada empat pilar pendidikan, yaitu Learning to Know, Learning to do,Learning to be dan Learning to Live Together dapat tercapai (UNESCO, 1996 dalam Hermawan:46). 14 Pembelajaran sejarah lokal ke dalam sejarah nasional jika dikaitkan dengan menumbuhkan sikap menghargai sejarah lokal dan pejuang, yaitu sikap seseorang mempengaruhi kesediaan berpartisipasi dalam kegiatan tertentu, cara merespon orang-orang, objek atau situasi di lingkungannya yang berpedoman dari pengalaman masa lampau. Serta kesediaan ikut serta mengambil bagian unsur penting dari belajar sejarah. Sikap seseorang dapat terbentuk melalui intensitas pengalaman atau proses belajar, termasuk belajar menghargai sejarah dan pahlawan (pejuang) di lingkungan tempat mereka berada. Menurut Heuken (2008:27) sejarah merupakan hal penting karena tanpa sejarah artinya kita tak punya akar dan tak punya identitas. Dengan demikian menumbuhkan kesadaran serta menanamkan nilai-nilai melalui pembelajaran sejarah adalah melalui proses pendidikan sejarah perjuangan bangsa dalam membentuk sikap dan perilaku. Bertindak dan meneladani nilai-nilai sejarah dan pejuang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dengan berbuat positif. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui proses pembelajaran yang baik dengan melibatkan semua komponen terkait. Oleh karena itu penting sekali mengangkat permasalahan ini dengan harapan bisa menumbuhkan sikap siswa untuk dapat menghargai sejarah dan pejuang melalui pembelajaran sejarah lokal ke dalam pembelajaran sejarah nasional. Berdasarkan gambaran tersebut di atas, peneliti menetapkan penelitian dalam rangka penyusunan tesis dengan judul: ”KAJIAN NILAI-NILAI KEJUANGAN SILAS KEBANGSAAN SISWA”. PAPARE DALAM MEMBENTUK SEMANGAT 15 B. Rumusan Masalah Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana membentuk nilainilai perjuangan Silas Papare dalam pembelajaran sejarah lokal sebagai bagian dari pelajaran sejarah nasional. Permasalahan penelitian diuraikan dalam bentuk beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah nilai-nilai kejuangan Silas Papare bagi sikap nasionalisme siswa? 2. Bagaimanakah pembelajaran nilai-nilai kejuangan Silas Papare dalam sejarah lokal? 3. Bagaimana pengaruh pembelajaran sejarah lokal terhadap siswa dalam mempertahankan tanah air Indonesia? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk menumbuhkan nilai-nilai kejuangan Silas Papare bagi siswa. 2. Untuk menghargai nilai-nilai kejuangan Silas Papare dalam pembelajaran sejarah lokal. 3. Untuk meningkatkan nasionalisme pembelajaran sejarah lokal terhadap siswa dalam mempertahankan tanah air Indonesia. D. Definisi Operasional Pembelajaran sejarah yang dimaksud dalam penulisan ini adalah proses belajar mengajar materi mata pelajaran sejarah di SMA untuk mencapai tujuan kurikulum pelajaran sejarah di SMA. Sedangkan pembelajaran sejarah lokal dalam penelitian ini adalah proses pembelajaran sejarah yang memasukkan unsur- 16 unsur sejarah lokal. Secara khusus pahlawan nasional asal Papua untuk membentuk nilai-nilai semangat kebangsaan dalam pembelajaran sejarah nasional. Berkaitan dengan itu menurut Widja, (1989:44) mengatakan bahwa sejarah lokal edukatif inspiratif adalah jenis sejarah lokal yang memang disusun dalam rangka mengembangkan kecintaan sejarah, terutama pada sejarah lingkungannya, yang kemudian menjadi pangkal bagi tumbuhnya kesadaran sejarah dalam artian yang luas (kesadaran sejarah lingkungan dalam rangka kesadaran sejarah nasional). Atas dasar pengertian yang terkandung oleh kata-kata edukatif inspiratif ini maka penyusun sejarah lokal jenis ini sejak semula dengan sadar berusaha menyusun sejarah lingkungannya untuk mencapai tujuan-tujuan seperti digambarkan di atas, sebagai upaya menanamkan nasionalisme pada siswa untuk mempertahankan bangsa dan negaranya. Karena terbukti adanya usaha-usaha pemerintah Belanda pada periode 1950:1962 untuk menguasai dan mengisolasi Irian Jaya (Papua sekarang) dari kesatuan Indonesia (Soedharto dkk, 1995:67). Partisipasi rakyat Papua dalam bidang diplomasi memperlihatkan perjuangan untuk menegakkan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pejuang rakyat Papua diantaranya Silas Papare. Ia menyarankan keinginan rakyat Papua agar tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia di forumforum internasional. Ketika berlangsungnya KMB tahun 1949 di Den Haag (Belanda), Silas Papare ikut memperkuat delegasi Indonesia sekaligus menyaksikan peristiwa penandatanganan persetujuan New York 15 Agustus 1962 (Soedharto dkk, 1995:74). Untuk membatasi sikap menghargai terhadap pejuang dan pahlawan nasional Silas Papare, maka yang dikaji dalam penelitian ini adalah sikap patriotik terhadap bangsa dan negara. 17 E. Signifikansi dan Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Dari penelitian ini dapat memberikan wawasan berfikir kepada kita sebagai komponen bangsa, bahwa diberbagai daerah masih ada pejuang yang belum diangkat menjadi pahlawan nasional. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini bagi peneliti akan menambah pengalaman dan pengetahuan dalam mengangkat sejarah lokal untuk lebih mengenal dan mencintai nilainilai historis daerahnya. 3. Manfaat bagi Pemerintah Setempat Penelitian ini sebagai masukan dalam mengungkapkan fakta-fakta sejarah yang terkait dengan perjuangan Silas Papare. 4. Manfaat bagi Siswa Siswa memiliki minat belajar mata pelajaran sejarah untuk menghargai dan mencintai sejarah lokal untuk menumbuhkan nasionalisme. F. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif (Moleong, 2004:44) menjelaskan penelitian kualitatif sebagai berikut: ”Penelitian kualitatif berakar pada latar ilmiah sebagai keutuhan mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, memanfaatkan metode kualitatif, mengandalkan analisa secara edukatif, mengarahkan sasaran penelitiannya pada usaha menemukan teori-teori dasar, bersifat deskriptif, lebih mementingkan proses dari pada hasil, membatasi studi dengan fokus, memilih seperangkat cerita untuk memeriksa keabsahan 18 data, rancangan penelitian bersifat sementara, dan hasil penelitiannya disepakati oleh kedua belah pihak peneliti dan subjek penelitian.” Setelah menetapkan metode penelitian, langkah selanjutnya adalah menentukan teknik pengumpulan data. Teknik ini merupakan langkah strategis, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, dokumentasi, dan triangulasi. Sedangkan subjek dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri dan juga guru mitra sebagai rekan untuk berdiskusi maupun negosiasi. 1. Teknik Observasi Nasution (1988:) menyatakan bahwa observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi. Teknik observasi terdiri dari 4 (empat) macam yaitu (1) Observasi partisipatif, (2) Observasi terus terang atau tersamar, (3) Observasi terstruktur. 2. Teknik Wawancara Dalam penelitian kualitatif, teknik observasi saja tidak cukup karena mengingat teknik observasi juga memiliki kekurangan, ”misalnya sering terjadi kecenderungan terganggunya suasana, sehingga data tidak lagi alami dan mungkin beberapa responden merasa terancam karena prilakunya terdokumentasikan” (Alwasilah, 2002:155). Pengambilan data harus dilakukan dengan teknik wawancara, demikian dikatakan Nasution 19 (Karnedi, 2006:66) penelitian, itu sebabnya observasi harus dilengkapi oleh wawancara. Dengan observasi saja tidak memadai dalam melakukan wawancara peneliti dapat memasuki dunia pikiran dan perasaan responden. Dengan demikian teknik wawancara semakin mempertegas data yang telah diperoleh dari informan, tetapi juga dapat membuka informasi baru yang lebih akurat. Nasution menulis tujuan wawancara adalah untuk mengetahui apa yang terkandung dalam hati dan pikiran orang lain, bagaimana pandangannya tentang hal-hal yang tidak dapat kita ketahui melalui observasi (Karnedi, 2006:66). Lincoln dan Guba (Moleong, 2005:186) mengemukakan: Manfaat wawancara adalah mengkonstruksikan mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian, merekonstruksikan kebulatan-kebulatan sebagai yang diharapkan untuk dialami pada masa yang akan datang, memferifikasi, mengubah, dan memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain. Jadi apa yang tidak sempat teramati diharapkan dapat muncul dalam wawancara, begitu sebaliknya. Dan untuk lebih efektifnya hasil sebuah wawancara, peneliti akan melengkapi diri dengan beberapa alat-alat bantu wawancara seperti buku catatan (notebook), tape rocorder, komputer dan kamera. 3. Teknik Dokumentasi Teknik berikutnya adalah dokumentasi yang juga tidak kalah pentingnya dalam penelitian ini. Menurut Guba dan Lincoln (Moleong, 2005:216) dokumen ialah setiap bahan tertulis ataupun film yang tidak 20 dipersiapkan karena adanya permintaan seorang penyidik. Dengan demikian dokumen-dokumen resmi yang dimiliki sekolah bahkan mungkin dokumen-dokumen pribadi (buku harian, surat pribadi, dan otobiografi) yang berhubungan dengan sekolah tersebut dijadikan sumber informasi/data. Dokumen dimaksud yaitu profil sekolah seperti sejarah berdirinya sekolah, denah lokasi sekolah, kepala-kepala sekolah yang pernah memimpin sekolah tersebut, jumlah guru, dan jumlah siswa. Sedangkan dokumen dari guru mitra peneliti adalah kurikulum sejarah, perangkat pembelajaran (program tahunan, program semester, rencana program pembelajaran, analisis materi pembelajaran, alat-alat evaluasi, media pembelajaran, hasil evaluasi siswa (daftar nilai), buku teks, dan buku penunjang yang digunakan guru mitra, serta daftar hadir siswa. Hal penting dari lima tradisi dengan mempelajari masing-masing tradisi secara mendetail, peneliti belajar dan dapat mengetahui lebih banyak tentang bagaimana cara berproses dan membatasi pilihan yang mana tradisi itu untuk digunakan. Suatu studi biografi adalah studi dari suatu individu dan pengalamannya ditemukan dalam dokumen dan arsip materi. Denzin (1939a) dalam Creswell (1998) ia menggambarkan metode biografi sebagai ”Koleksi yang dipelajari sebagai dokumen saat ia hidup”. Heilbrun (1988) menggunakan istilah riwayat hidup untuk arti yang luas dari tulisan biografi. Pengertian lain bahwa riwayat hidup suatu pendekatan yang ditemukan di ilmu-ilmu sosial dan ilmu antropologi di mana peneliti 21 melaporkan tentang kehidupan seseorang itu mencerminkan tema budaya dari masyarakat, tema pribadi, kelembagaan dan sejarah sosial (Cole, 1994). Peneliti mengumpulkan data lapangan terutama melalui wawancara percakapan dengan individu. Menurut James P. Spradley, (2007:5) kajian etnografis amatlah diperlukan, khususnya tatkala studi di tingkat lokal menuntut adanya kontak langsung dengan budaya dari kelompok masyarakat yang menjadi sasaran kajian tersebut. Belajar tentang etnografi berarti belajar tentang jantung dari ilmu antropologi, khusus antropologi sosial. Teknik pengumpulan data yang utama adalah observasi-partisipasi, dan juga wawancara terbuka dan mendalam yang dilakukan. Peneliti memfokuskan obyek penelitian dengan memperjelas batasan-batasan lebih pada suatu konsep. Bentuk individu tentang peristiwa itu. Memilih suatu teori dasar dan mengembangkan terutama melalui wawancara melalui suatu proses analisis untuk memperoleh data yang akurat, meskipun belum menjamin keabsahannya. Peneliti dalam hal ini perlu menyampaikan pokok permasalahan secara garis besar, dan memberi gambaran tentang tujuan dari penelitian, agar lebih terbuka untuk diterima, bahkan terjadi interaksi dengan yang diteliti di lapangan tentang kehidupan mereka dan memperoleh makna dari pengalaman itu. Setelah peneliti memperoleh data, dan menganalisis dengan tetap konsisten pada pokok permasalahan. 22 4. Teknik Triangulasi/Gabungan Susan Stainback (1988:85) menyatakan bahwa dalam teknik pengumpulan data, tringulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber yang telah ada. Bila peneliti melakukan pengumpulan data dengan triangulasi, maka sebenarnya peneliti mengumpulkan data yang sekaligus menguji kredibilitas data, yaitu mengecek kredibilitas data dengan berbagai teknik pengumpulan data dari berbagai sumber data. Triangulasi teknik yang berarti peneliti menggunakan pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama. Peneliti menggunakan observasi partisipatif, wawancara mendalam, dan dokumentasi untuk sumber data yang sama secara serempak. Triangulasi sumber berarti, untuk mendapatkan data dari sumber yang berbeda-beda dengan teknik yang sama. Menurut Creswell (1998) Triangulasi (triangulation), menggunakan seluas-luasnya sumber-sumber yang banyak dan berbeda, metode-metode dari para peneliti, dan teori-teori untuk menyediakan bukti-bukti yang benar (corroborative evidence). Selanjutnya Mathinson (1988) mengemukakan bahwa nilai dari teknik pengumpulan data dengan triangulasi adalah untuk mengetahui data yang diperoleh convergent (meluas), tidak konsisten atau kontradiksi. Oleh karena itu dengan menggunakan teknik triangulasi dalam pengumpulan 23 data, maka data yang diperoleh akan lebih konsisten, tuntas dan pasti. Dengan triangulasi akan lebih meningkatkan kekuatan data, bila dibandingkan dengan suatu pendekatan. G. Sistematika Penulisan Sebagai acuan dan pedoman dalam penulisan penelitian ini, penulis menyusun sistematika pembahasan yang akan digunakan yaitu sebagai berikut: Bab pertama merupakan bab pembuka. Dalam bab ini akan membahas latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, kerangka teoritis, metode dan teknik pengumpulan data, serta sistematika pembahasan. Bab kedua berisi tujuan teoritis, bab ini membahas tentang tujuan pembelajaran sejarah, definisi kontribusi nilai-nilai perjuangan, definisi pembentukan semangat kebangsaan, serta keterkaitan antara kontribusi nilai-nilai perjuangan dan pembentukan semangat kebangsaan. Bab ketiga berisi metodologi penelitian. Dalam bab ini akan dibahas tentang metode penelitian yang digunakan, subjek penelitian, tahapan/prosedur penelitian, instrumen dan teknik pengumpulan data, analisis data, validasi data serta interpretasi data. Bab keempat berisi tentang pembahasan hasil penelitian. Dalam bab ini deskripsi umum lokasi penelitian, profil beberapa tokoh perjuangan rakyat Papua dan bagaimana nilai-nilai perjuangan itu dihayati dan dilestarikan. 24 Bab kelima berisi kesimpulan dan saran. Bab ini merupakan bab terakhir dalam pembahasan tesis, yang berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dan rekomendasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan.