1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan arus globalisasi telah
membawa perubahan dihampir semua aspek kehidupan manusia. Dalam rangka
menghadapi berbagai permasalahan yang ditimbulkan oleh proses globalisasi pada
satu pihak, dan proses demokratisasi pada pihak lain, sangat diperlukan sumber
daya manusia yang lebih berkualitas melalui pembaharuan sistem pendidikan, dan
penyempurnaan kurikulum, termasuk kurikulum sejarah yang berwawasan lokal
maupun nasional.
Sehubungan dengan itu perlu dilakukan perubahan ke arah yang lebih baik
dan harus menyesuaikan diri terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Sejalan dengan itu tujuan pembelajaran sejarah nasional yaitu:
mendorong siswa berpikir kritis analitis dalam memanfaatkan pengetahuan
tentang masa lampau untuk memahami kehidupan masa kini dan yang akan
datang. Kaitannya dengan sejarah lokal yang mendapat perhatian utama justru
peristiwa-peristiwa di lingkungan sekitar suatu lokalitas sebagai suatu kebulatan,
dan menempatkan sejarah nasional sebagai latar belakang dari peristiwa-peristiwa
khusus dilokalitas tersebut.
Hal itu menuntut perubahan dan pembenahan pembelajaran sejarah yang
mencakup berbagai aspek baik aspek metodologis maupun aspek lain yang
memang mempengaruhi
kualitas
pembelajaran
sejarah.
Menurut
Helius
Sjamsuddin, (2007:300:301) perlu perubahan dari sejarah lama (the old history)
1
2
ke sejarah baru (the new history), perubahan ini antara lain berupa sejarah yang
berorientasi politik semata ke sejarah yang juga memperhatikan aspek-aspek
sosial-ekonomi, budaya, pertanian, psikologi, pendidikan, teknologi, dan
sebagainya. Singkatnya sejarah lebih luas mencakup sejak aspek kehidupan
manusia.
Sejalan dengan perubahan paradigma tersebut, juga masih terjadi rendahnya
pemahaman generasi muda, khususnya pelajaran terhadap nilai budaya setempat
Iwan Hermawan, (2004:44). Hal itu dikemukakan oleh Hermawan sebagai
berikut:
1.
Kurangnya pemahaman terhadap kondisi lingkungan di mana ia hidup, seperti
tidak mengenal sejarah, kondisi geografis serta potensi-potensi yang dimiliki
daerahnya.
2.
Kurangnya rasa bangga terhadap daerahnya. Pada diri mereka tumbuh
anggapan bahwa sesuatu yang datang dari luar adalah baik, sedangkan nilai
budaya yang ada di lingkungannya dianggap sebagai sesuatu yang kurang
baik dan ketinggalan jaman.
3.
Semakin melunturnya semangat kebersamaan dan gotong royong pada diri
generasi muda karena tergeser oleh sikap individu dan materialis yang
berhembus kencang karena melalui globalisasi.
4.
Semakin lemahnya rasa persaudaraan di kalangan pelajar yang tampak dari
terus meningkatnya angka tawuran pelajar.
5.
Kurangnya penghargaan terhadap budaya setempat oleh para pendatang
sebagai akibat mulai dilupakannya nilai-nilai tradisional yang luhur dari
daerah asalnya.
3
Menurut Ahmad Kosasih Djahiri Strategi Pengajaran Afektif-Nilai-Moral
VTC dan Games dalam VTC, (1985:21) Pengajaran Nilai/Moral menghendaki
lahirnya generasi muda yang memiliki sejumlah bekal sistem nilai baku yang
positif sebagai landasan dan barometer kehidupan, dan lebih jauh lagi sebagai
generasi penerus dan pembaharu nilai/moral menuju nilai dan moral yang
diinginkan yaitu nilai dan moral Pancasila.
Pendidikan nilai dan atau moral tidak hanya berlangsung dalam kelas saja,
sebab dalam kehidupan sehari-hari hal ini juga berlangsung. Lebih luas lagi dalam
kehidupan dan pergaulan anak dalam keluarga, dengan kelompok teman, serta
dalam masyarakat. Maka pendidikan atau moral di kelas akan lebih berhasil dan
mantap bila dipertautkan dengan kehidupan luar kelas. Di sini peran guru sebagai
perencana yang tidak hanya merancang rencana pengajarannya dari sumber baku
kurikulum formal (intended curriculum) melainkan juga dari kurikulum yang
tidak ada dalam rancangan formal, dari pengalaman dan kehidupan (the hidden
curriculum). Khusus para pengajar pengajaran nilai/efektif seperti guru
Pendidikan Kewarganegaraan, guru Pendidikan Agama dan guru Pendidikan
Sejarah, dan lain-lain kemampuan membaca the hidden curriculum sangat penting
disesuaikan dengan sosial budaya masyarakat setempat, khusus siswa agar mudah
dipahami dan aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Perubahan paradigma pembelajaran sejarah maupun mata pelajaran lainnya,
sebagaimana disebutkan di atas, antara lain dimaksudkan untuk menjawab
tantangan globalisasi. Selain itu Indonesia juga menghadapi krisis hilangnya
penghargaan dan kebanggaan terhadap sejarah. Berbagai gerakan separatis dan
4
masalah-masalah sosial budaya lainnya mengarah kepada disintegrasi bangsa.
Oleh karenanya, materi sejarah berdasarkan rekonstruksi sosial dan paradigma
new history membawa siswa belajar sejarah pada lingkungan kehidupan dan
kelompoknya jauh lebih mudah dipahami.
Perubahan tersebut sangat diperlukan mengingat selama ini data empirik
mengidentifikasi bahwa kegiatan pembelajaran sejarah kurang berhasil, tidak
menarik, bahkan sering dianggap membosankan. Pelajaran sejarah sering
dirasakan sebagai uraian fakta-fakta kering berupa urutan tahun dan peristiwa
belaka. Seiring terjadi pengulangan pelajaran sejarah yang sama dari SD, SMP
sampai ke tingkat SMA, bahkan sampai ke Perguruan Tinggi. Pengajaran sejarah
sangat didominasi oleh pengajaran hapalan dengan terlalu banyak menekankan
pada ”chalk and talk” di kelas sangat lemah dalam hal mendorong keterlibatan
murid dalam proses belajarnya. Penekanan pada memorisasi telah mengabaikan
usaha mengembangkan kemampuan intelektual yang lebih tinggi sehingga sejarah
tidak relevan dengan kebutuhan serta minat siswa, karena sulit dimengerti pada
peristiwa sejarah yang terlalu memperhatikan tingkah laku orang dewasa yang ada
di luar jangkauan pemahaman siswa. (Partington dalam I Gde Widja, 1989:92).
Kritikan di atas merupakan tantangan bagi guru-guru sejarah untuk berusaha
mengembangkan alternatif baru dalam proses belajar mengajar. Salah satu
alternatif tersebut adalah melalui pembelajaran sejarah lokal dengan membawa
anak berada pada lingkungan sekitarnya. Dasar utama dari usaha pengembangan
wawasan baru alternatif pembelajaran sejarah lokal ialah agar siswa lebih
menyenangkan dalam mengikuti pelajaran dan mendapatkan manfaat lebih besar
5
dari proses belajarnya. Dalam hal ini sejarah yang berfungsi sebagai sumber
pedoman dalam moral dan keteladanan yang berada pada lingkungan sekitar dapat
disampaikan dengan cara-cara yang bermakna.
Pemikiran di atas menurut Douch (1967) dan Mohoney (1981) dalam Widja
(1998) mengatakan bahwa pembelajaran sejarah lokal lebih mudah dihayati oleh
peserta didik karena langsung berkenaan dengan lingkungan mereka. Sejarah
lokal dapat membawa langsung siswa mengenal masyarakatnya. Selain itu sejarah
lokal memiliki peran sebagai upaya pengembangan potensi siswa ke arah berpikir
aktif dan kreatif serta mampu mengkritisi kejadian atau peristiwa sejarah nasional.
Usaha pengembangan wawasan dalam pengajaran sejarah lokal dituntut
guru yang profesional dalam bidangnya khusus guru mata pelajaran sejarah.
Tujuan profesionalitas keguruan ini akhirnya bukan hanya menciptakan
kesempatan bagi para guru untuk meningkatkan pendapatnya secara sah
(ligitimate), yang lebih penting ialah menaikan kompetensi para guru dalam
kegiatan pembelajaran (teaching), kegiatan pelatihan (training), dan kegiatan
pendidikan (educating), (Kompas, 2008:17). Kenyataannya di lapangan
menunjukkan begitu banyak kendala seperti di Papua luasnya wilayah dengan
jumlah penduduk yang sedikit, letak geografis yang terpisah antar Provinsi,
kabupaten, hingga ke tingkat distrik. Hal-hal ini sangat berpengaruh terhadap
stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan kehidupan sosial budaya masyarakat
Papua. Khusus di bidang pendidikan sarana prasarana yang belum memadai,
tenaga pendidik yang masih terbatas dan lain sebagainya berdampak terhadap
menyiapkan kualitas sumber daya manusia. Ada keluhan dari siswa bahwa mereka
6
lebih banyak belajar sejarah daerah lain seperti sejarah dari Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, Nusatenggara dan Maluku, dari pada sejarah lokal ”Sejarah
Papua”. Hal ini ada keterkaitan dengan anjuran oleh Departemen P dan K dalam
Widja, (1989:10) memperkenalkan apa yang disebut ”Kurikulum Muatan Lokal”
untuk dilaksanakan di sekolah dari tingkat SD sampai SMTA. Secara singkat bisa
dikemukakan bahwa yang menjadi sasaran utama dari tujuan pengembangan
kurikulum semacam ini di samping kurikulum yang sudah ada yang bersifat
nasional, ialah agar murid dalam perkembangan dirinya sebagai insan Indonesia
yang modern tidak tercabut sama sekali dari akar lingkungan sosial-budayanya
sendiri dalam pengertian yang luas. Kurikulum yang bersifat khusus ini diberikan
porsi sekitar 20 persen dari keseluruhan kegiatan belajar murid. Dengan
sendirinya dalam bidang studi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), khususnya yang
menyangkut pelajaran sejarah, mereka juga diharapkan dapat mengetahui serta
menghayati dengan baik perkembangan masyarakat dari masa lampau hingga
masa yang terjadi di lingkungan sendiri, ini tidak lain berarti mereka perlu
diusahakan untuk berkenalan dengan apa yang disebut sejarah lokal itu oleh
karena di dalamnya terkandung semangat dan nilai-nilai edukatif dan inspiratif,
maka tidak dapat disangkal betapa pentingnya penulisan Biografi Pahlawan
Nasional Silas Papare. Hal ini karena Silas Papare telah berjasa besar terhadap
nusa dan bangsanya, sehingga diangkat menjadi pahlawan nasional dengan SK
Presiden RI No. 077/TK/Thn 1993, tanggal 14 September 1993. Tindakan serta
sikap yang diperankannya mencerminkan pribadi yang harus menjadi suri
tauladan yang penting untuk disajikan serta disebarkan secara luas, terutama
7
dikalangan generasi penerus. Suatu studi biografi adalah studi dari suatu individu
dan pengalamannya seperti diberitahu ke peneliti atau ditemukan di dalam
dokumen dan arsip materi (John W. Creswell, 1998:47).
Silas Papare nama lengkapnya Silas Ayari Donrai Papare lahir di kampung
Ariepi (Serui) Kabupaten Yapen Waropen tanggal 18 Desember 1918. Ia adalah
putra dari Musa Papare dan Dorkas Mangge. Semasa kecilnya dididik dengan
nilai-nilai agama Kristen melalui Zending yang masuk ke Papua. Orang tuanya
petani, tetapi ia disekolahkan pada sekolah Desa dengan bahasa pengantar adalah
bahasa daerah dan tamat tahun 1930. Sekolah Desa pada hakekatnya dimaksudkan
untuk menghasilkan kaum tani dan kaum buruh terpelajar. Namun pada waktu itu
kondisi kesehatan masyarakat Papua yang sangat memprihatinkan karena
bermacam wabah seperti malaria, tipes dan kolera, maka Silas Papare tahun 1931
masuk sekolah perawat di Serui dan tamat tahun 1935 langsung ditempatkan di
Serui oleh Zending sebagai juru rawat sampai tahun 1936.
Semasa menjadi juru rawat Silas Papare tidak didukung dengan pendidikan
militer secara khusus tetapi, karena strategi penguasaan medan yang baik
dipercaya oleh Belanda sebagai tenaga Intelijen. Prestasi yang pernah diraihnya
pada masa Belanda adalah keberhasilanya bertugas melayani dan mengeluarkan
rakyat Indonesia dari hutan semasa pendudukan Jepang antara lain di Serui, Biak,
dan Manokwari. Atas keberhasilannya pemerintah Belanda memberikan
penghargaan berupa bintang perunggu yang diberikan oleh Ratu Wilhemina di
London pada tanggal 5 April 1945.
Di Papua perlawanan melawan penjajah dimulai pada masa penjajahan
Jepang. Sekitar tahun 1939 terjadi ”Gerakan Koreri” di Biak dipimpin oleh
8
Angganita Manufandu. Ketika Jepang tiba di Papua Angganita ditangkap dan
dipenjarakan. Gerakan itu dilanjutkan oleh Stefanus Simopiaref terhadap Jepang.
Tujuan politiknya yaitu kemerdekaan Papua dari penjajah, seperti Gerakan Ratu
Adil. Ditumpasnya gerakan perlawanan rakyat di Biak tidak memadamkan
perlawanan di daerah lain yaitu Yapen Waropen. Di Pulau Yapen gerakan
perlawanan dipusatkan di Yapen Timur. Pada akhirnya gerakan ini berhasil
ditumpas Jepang dengan sangat kejam.
Sejak ditumpasnya gerakan tersebut muncul seorang Silas Papare dengan
pengalaman sebagai intelejen Belanda berhasil menghimpun kekuatan rakyat dari
beberapa daerah di Biak, Yapen Waropen, Nabire, dan Wandamen untuk melawan
Jepang melalui kerjsama dengan sekutu. Dengan strategi dan dukungan sekutu
berhasil menguasai basis-basis pertahanan Jepang. Perjuangan Silas Papare pada
masa Jepang merupakan kekhususan perjuangan rakyat Indonesia melawan
penjajah dalam sejarah perjuangan bangsa. Bukan penjajah Belanda yang lama di
Papua pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, tetapi Belanda meninggalkan
Papua karena disiksa dan ditawan Jepang selanjutnya rakyat Papua melawan
penjajah Jepang.
Kedatangan Netherland Indies Civil Administration (NICA) Belanda di
Papua mengikutsertakan orang-orang Indonesia yang dijadikan tawanan di Boven
Digul kemudian dibawa ke Australia. Orang Indonesia yang dibawa kembali ke
Papua adalah Sugoro. Ia dimanfaatkan oleh NICA sebagai penasehat pada kursus
pamong praja untuk orang-orang Papua di kampung Harapan Jayapura. Pada
pertemuan-pertemuan itu Silas Papare dan kawan-kawannya merencanakan
9
pemberontakan terhadap Belanda beberapa kali tetapi mengalami kegagalan,
karena telah diketahui oleh Belanda.
Membicarakan peran Silas Papare dalam arus sejarah, nampaknya telah
dilakukannya melalui jalan yang cukup panjang. Jauh sebelum Republik
Indonesia merdeka Silas Papare sudah menunjukkan aktivitasnya dalam gerakan
perjuangan kebangsaan. Perjuangannya yang dilakukan bukanlah merupakan
tindakan mengangkat senjata melawan penjajah, akan tetapi usahanya melalui
gerakan-gerakan tentang kebangsaan seperti menghimpun massa, mengadakan
pertemuan, mendirikan organisasi, memberitakan melalui media massa dan
perjuangan diplomasi di meja perundingan yang semua itu disumbangkan untuk
kepentingan bangsa dan negara. Dan ini dibuktikan dalam aktivitas-aktivitas yang
diperankan oleh Silas Papare terutama dalam memperjuangkan Papua kembali
kepangkuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (Depdikbud RI,
1977:77).
Dengan demikian, baik dilihat secara akademis kesejarahan, maupun dari
prespektif pendidikan kesejarahan, sudah jelas peranan penting studi sejarah lokal.
Di propinsi Papua terdapat tiga pahlawan nasional yaitu Marthin Indei, Silas
Papare dan Frans Kaisiepo yang menjadi objek penelitian kami adalah Silas
Papare dengan sikap radikal menentang Belanda terdorong mendirikan Partai
Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) pada tanggal 23 November 1946 (Agus
Mulyana dan Restu Gunawan, 2007:108)
Usaha pengembangan wawasan dalam pengajaran sejarah lokal tersebut,
sudah tertuang dalam pengembangan suplemen kurikulum yang dikenal dengan
Kurikulum Muatan Lokal ini diartikan sebagai program pendidikan yang isi dan
10
media penyampaiannya dikaitkan sebagai program pendidikan yang isi dan media
penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial dan
lingkungan budaya serta kebutuhan daerah dan wajib dipelajari oleh siswa di
daerah itu (Lampiran Keputusan Menteri P dan K No. 0412/U/1987). Pentingnya
pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar, bukan saja untuk mempermudah
pemahaman serta penyerapan bahan pengajaran yang disajikan, tetapi lebih dari
itu, akan mendekatkan siswa dengan lingkungan dan menghindarkan dari
keterasingan dengan lingkungannya.
Lampiran keputusan Menteri P dan K tersebut, menyebutkan tujuan diterapkan
kurikulum muatan lokal itu adalah:
1. Bahan pengajaran akan lebih mudah diserap oleh murid.
2. Sumber belajar di daerah dapat lebih mudah dimanfaatkan untuk kepentingan
pendidikan.
3. Murid telah mengenal kondisi alam, lingkungan sosial dan lingkungan
budaya yang terdapat di daerahnya.
4. Murid dapat meningkatkan pengetahuannya mengenai daerahnya.
5. Murid diharapkan dapat menolong orang tuanya dan menolong dirinya sendiri
dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.
6. Murid dapat menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari untuk
memecahkan masalah yang ditemukan disekitarnya.
7. Murid menjadi akrab dengan lingkungannya dan terhindar dari keterasingan
dengan lingkungan sendiri.
(Lampiran Keputusan Menteri P dan K No. 0412/U/1987).
Secara keseluruhan bila diperhatikan tujuan penerapan kurikulum muatan
lokal ini maka di dalamnya dapat dilihat dasar-dasar yang menunjang
pengembangan pengajaran sejarah lokal. Belajar dari lingkungan setempat
membawa anak pada dunia yang dihadapi. Begitupun bahan ajar yang mudah di
dapat sehingga baik guru maupun siswa dapat memahami keadaan sekarang
berpedoman dari masa lalu sesuai dengan lingkungan pembelajaran. Tanpa
11
disadari anak memiliki kemampuan dan minat terhadap sejarah, mereka
mempunyai pengalaman dan pengetahuan tentang peristiwa atau kejadian masa
lalu di lingkungannya, informasi yang mereka peroleh bisa dari orang tua,
saudara, teman, tetangga atau para tokoh masyarakat setempat.
Hubungan masyarakat dan kebudayaan pada hakekatnya tak lain dari pada orangorang atau kelompok orang yang hidup bersama yang mampu menghasilkan,
memelihara dan mengembangkan berbagai sistem nilai, yang dikemas ke dalam
konsep yang disebut Kebudayaan. Selain masyarakat sebagai pencipta,
pendukung, pemelihara dan pengembang kebudayaan, ternyata masyarakatpun
berupaya mewariskan kebudayaan tersebut kepada generasi-generasi selanjutnya
(Awan Mutakin, 2006:70).
Oleh karenanya guru harus mampu menggali potensi minat anak sehingga
mampu mengembangkan berpikir kritis sekaligus menumbuhkan kebanggaan dan
penghargaan melalui pembelajaran sejarah lokal.
Penelitian Dadan Supardan (2004:266) tentang pentingnya pembelajaran
sejarah lokal diajarkan dalam mata pelajaran sejarah nasional, terutama untuk
mengkritik sejarah Indonesia serta membentuk integrasi bangsa, dalam penelitian
yang berjudul: ”Pembelajaran Sejarah Berbasis Pendekatan Multikultural dan
Perspektif Sejarah Lokal, Nasional, Global. Untuk Integrasi Bangsa”. Supardan
menegaskan bahwa pembelajaran sejarah lokal perlu diperkenalkan kepada siswa
untuk mengenali identitas kelokalannya maupun menghargai identitas etnis atau
daerah lain yang ada di Indonesia dengan mempertimbangkan asas belajar dan
tahap perkembangan siswa. Pemerintah pusat dan daerah, guru-guru sejarah di
lapangan berusaha sekuat-kuatnya mendorong terlaksananya pembelajaran sejarah
12
lokal di sekolah-sekolah. Sejarah lokal dalam posisi ini meliputi materi sejarah
keluarga, desa, kelurahan, kecamatan dan seterusnya menjadi penting karena
siswa hidup di lingkungan tersebut sampai kepada sejarah bangsa dimana mereka
sebagai warganya.
Berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa ini, termasuk yang dihadapi
oleh generasi muda, merupakan akibat dari dilupakannya nilai tradisi warisan para
pendahulu kita dan semua yang datang dari luar adalah baik, tanpa cacat serta
sesuai dengan perkembangan jaman.
Menurut Hermawan, (2004:45) solusi yang diambil untuk mengatasi
permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini, terutama generasi muda, adalah
melalui pendidikan yang diarahkan pada penguatan akar budaya bangsa dan
dilakukan disemua jalur pendidikan, yaitu keluarga, masyarakat dan sekolah
(pendidikan formal).
Pada lingkungan keluarga orang tua haruslah memberikan dasar
pengetahuan nilai-nilai tradisional yang harus dimiliki oleh anak sebagai upaya
mempersiapkan kehidupannya di masa mendatang. Upaya ini dilakukan melalui
suatu pembiasaan atau disiplin dalam berbuat dan berprilaku terutama berkaitan
dengan aturan atau nilai-nilai sehari-hari. Kepada anak juga diperkenalkan
perjalanan sejarah tempat di mana mereka tinggal dengan cara mengajak
berkunjung ke tempat-tempat yang memiliki nilai sejarah, seperti museum, situs,
monumen atau taman makam pahlawan. Melalui pengenalan sejarah daerahnya
diharapkan anak dapat juga mempelajari nilai yang terkandung di dalamnya dan
pada akhirnya mampu meneladani nilai yang terkandung di dalamnya.
13
Masyarakat di lingkungan anak tersebut tumbuh dan berkembang perlu
memberikan dukungan terhadap penanaman nilai budaya pada diri anak.
Bagaimana mungkin mereka akan mampu memahami nilai yang terkandung dari
sejarah masa lalu jika bangunan yang mempunyai nilai sejarah telah tergusur.
Demikian pula halnya bagaimana anak akan memahami pentingnya kelestarian
alam jika orang tua kita menggalakan gerakan penebangan pohon atau
penghilangan kawasan hijau.
Pada lingkungan sekolah, dari mulai Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan
Tinggi, nilai-nilai lokal diberikan kepada anak didik melalui pengintegrasian pada
kurikulum persekolahan. Selain melalui teori di kelas, pengenalan nilai budaya
tradisional dapat dilakukan melalui upaya pengenalan anak didik terhadap
lingkungan sekitar. Tujuan pendidikan nilai lokal diberikan pada jenjang
pendidikan formal, adalah agar supaya pelestarian nilai budaya lokal dapat diukur,
sehingga tingkat keberhasilan individu dalam memahami nilai budaya setempat
dapat diketahui pada jangka waktu tertentu.
Keberhasilan perwarisan nilai budaya bangsa merupakan suatu keberhasilan
pendidikan, karena salah satu tujuan dari pendidikan adalah pewarisan nilai
budaya bangsa agar mereka menjadi warga negara yang baik sebagai bagian dari
daerah, bangsa dan dunia. Pada akhirnya bermuara pada empat pilar pendidikan,
yaitu Learning to Know, Learning to do,Learning to be dan Learning to Live
Together dapat tercapai (UNESCO, 1996 dalam Hermawan:46).
14
Pembelajaran sejarah lokal ke dalam sejarah nasional jika dikaitkan dengan
menumbuhkan sikap menghargai sejarah lokal dan pejuang, yaitu sikap seseorang
mempengaruhi kesediaan berpartisipasi dalam kegiatan tertentu, cara merespon
orang-orang, objek atau situasi di lingkungannya yang berpedoman dari
pengalaman masa lampau. Serta kesediaan ikut serta mengambil bagian unsur
penting dari belajar sejarah. Sikap seseorang dapat terbentuk melalui intensitas
pengalaman atau proses belajar, termasuk belajar menghargai sejarah dan
pahlawan (pejuang) di lingkungan tempat mereka berada.
Menurut Heuken (2008:27) sejarah merupakan hal penting karena tanpa
sejarah artinya kita tak punya akar dan tak punya identitas. Dengan demikian
menumbuhkan kesadaran serta menanamkan nilai-nilai melalui pembelajaran
sejarah adalah melalui proses pendidikan sejarah perjuangan bangsa dalam
membentuk sikap dan perilaku. Bertindak dan meneladani nilai-nilai sejarah dan
pejuang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dengan berbuat positif.
Tujuan tersebut dapat dicapai melalui proses pembelajaran yang baik
dengan melibatkan semua komponen terkait. Oleh karena itu penting sekali
mengangkat permasalahan ini dengan harapan bisa menumbuhkan sikap siswa
untuk dapat menghargai sejarah dan pejuang melalui pembelajaran sejarah lokal
ke dalam pembelajaran sejarah nasional.
Berdasarkan gambaran tersebut di atas, peneliti menetapkan penelitian
dalam rangka penyusunan tesis dengan judul: ”KAJIAN NILAI-NILAI
KEJUANGAN
SILAS
KEBANGSAAN SISWA”.
PAPARE
DALAM
MEMBENTUK
SEMANGAT
15
B. Rumusan Masalah
Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana membentuk nilainilai perjuangan Silas Papare dalam pembelajaran sejarah lokal sebagai bagian
dari pelajaran sejarah nasional. Permasalahan penelitian diuraikan dalam bentuk
beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah nilai-nilai kejuangan Silas Papare bagi sikap nasionalisme
siswa?
2.
Bagaimanakah pembelajaran nilai-nilai kejuangan Silas Papare dalam sejarah
lokal?
3.
Bagaimana pengaruh pembelajaran sejarah lokal terhadap siswa dalam
mempertahankan tanah air Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menumbuhkan nilai-nilai kejuangan Silas Papare bagi siswa.
2. Untuk menghargai nilai-nilai kejuangan Silas Papare dalam pembelajaran
sejarah lokal.
3. Untuk meningkatkan nasionalisme pembelajaran sejarah lokal terhadap
siswa dalam mempertahankan tanah air Indonesia.
D. Definisi Operasional
Pembelajaran sejarah yang dimaksud dalam penulisan ini adalah proses
belajar mengajar materi mata pelajaran sejarah di SMA untuk mencapai tujuan
kurikulum pelajaran sejarah di SMA. Sedangkan pembelajaran sejarah lokal
dalam penelitian ini adalah proses pembelajaran sejarah yang memasukkan unsur-
16
unsur sejarah lokal. Secara khusus pahlawan nasional asal Papua untuk
membentuk nilai-nilai semangat kebangsaan dalam pembelajaran sejarah nasional.
Berkaitan dengan itu menurut Widja, (1989:44) mengatakan bahwa sejarah
lokal edukatif inspiratif adalah jenis sejarah lokal yang memang disusun dalam
rangka mengembangkan kecintaan sejarah, terutama pada sejarah lingkungannya,
yang kemudian menjadi pangkal bagi tumbuhnya kesadaran sejarah dalam artian
yang luas (kesadaran sejarah lingkungan dalam rangka kesadaran sejarah
nasional). Atas dasar pengertian yang terkandung oleh kata-kata edukatif inspiratif
ini maka penyusun sejarah lokal jenis ini sejak semula dengan sadar berusaha
menyusun
sejarah
lingkungannya
untuk
mencapai
tujuan-tujuan
seperti
digambarkan di atas, sebagai upaya menanamkan nasionalisme pada siswa untuk
mempertahankan bangsa dan negaranya. Karena terbukti adanya usaha-usaha
pemerintah Belanda pada periode 1950:1962 untuk menguasai dan mengisolasi
Irian Jaya (Papua sekarang) dari kesatuan Indonesia (Soedharto dkk, 1995:67).
Partisipasi rakyat Papua dalam bidang diplomasi memperlihatkan perjuangan
untuk menegakkan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pejuang rakyat Papua diantaranya Silas Papare. Ia menyarankan keinginan rakyat
Papua agar tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia di forumforum internasional. Ketika berlangsungnya KMB tahun 1949 di Den Haag
(Belanda), Silas Papare ikut memperkuat delegasi Indonesia sekaligus
menyaksikan peristiwa penandatanganan persetujuan New York 15 Agustus 1962
(Soedharto dkk, 1995:74). Untuk membatasi sikap menghargai terhadap pejuang
dan pahlawan nasional Silas Papare, maka yang dikaji dalam penelitian ini adalah
sikap patriotik terhadap bangsa dan negara.
17
E. Signifikansi dan Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Dari penelitian ini dapat memberikan wawasan berfikir kepada kita
sebagai komponen bangsa, bahwa diberbagai daerah masih ada pejuang
yang belum diangkat menjadi pahlawan nasional.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini bagi peneliti akan menambah pengalaman dan pengetahuan
dalam mengangkat sejarah lokal untuk lebih mengenal dan mencintai nilainilai historis daerahnya.
3. Manfaat bagi Pemerintah Setempat
Penelitian ini sebagai masukan dalam mengungkapkan fakta-fakta sejarah
yang terkait dengan perjuangan Silas Papare.
4. Manfaat bagi Siswa
Siswa memiliki minat belajar mata pelajaran sejarah untuk menghargai
dan mencintai sejarah lokal untuk menumbuhkan nasionalisme.
F. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif
(Moleong, 2004:44) menjelaskan penelitian kualitatif sebagai berikut:
”Penelitian kualitatif berakar pada latar ilmiah sebagai keutuhan
mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, memanfaatkan metode
kualitatif, mengandalkan analisa secara edukatif, mengarahkan sasaran
penelitiannya pada usaha menemukan teori-teori dasar, bersifat
deskriptif, lebih mementingkan proses dari pada hasil, membatasi studi
dengan fokus, memilih seperangkat cerita untuk memeriksa keabsahan
18
data, rancangan penelitian bersifat sementara, dan hasil penelitiannya
disepakati oleh kedua belah pihak peneliti dan subjek penelitian.”
Setelah menetapkan metode penelitian, langkah selanjutnya adalah
menentukan teknik pengumpulan data. Teknik ini merupakan langkah
strategis, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
observasi, wawancara, dokumentasi, dan triangulasi. Sedangkan subjek dalam
penelitian ini adalah peneliti sendiri dan juga guru mitra sebagai rekan untuk
berdiskusi maupun negosiasi.
1. Teknik Observasi
Nasution (1988:) menyatakan bahwa observasi adalah dasar semua
ilmu pengetahuan. Para ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data
yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi.
Teknik observasi terdiri dari 4 (empat) macam yaitu (1) Observasi
partisipatif, (2) Observasi terus terang atau tersamar, (3) Observasi
terstruktur.
2. Teknik Wawancara
Dalam penelitian kualitatif, teknik observasi saja tidak cukup karena
mengingat teknik observasi juga memiliki kekurangan, ”misalnya sering
terjadi kecenderungan terganggunya suasana, sehingga data tidak lagi
alami dan mungkin beberapa responden merasa terancam karena
prilakunya terdokumentasikan” (Alwasilah, 2002:155). Pengambilan data
harus dilakukan dengan teknik wawancara, demikian dikatakan Nasution
19
(Karnedi, 2006:66) penelitian, itu sebabnya observasi harus dilengkapi
oleh wawancara. Dengan observasi saja tidak memadai dalam melakukan
wawancara peneliti dapat memasuki dunia pikiran dan perasaan
responden. Dengan demikian teknik wawancara semakin mempertegas
data yang telah diperoleh dari informan, tetapi juga dapat membuka
informasi baru yang lebih akurat. Nasution menulis tujuan wawancara
adalah untuk mengetahui apa yang terkandung dalam hati dan pikiran
orang lain, bagaimana pandangannya tentang hal-hal yang tidak dapat kita
ketahui melalui observasi (Karnedi, 2006:66).
Lincoln dan Guba (Moleong, 2005:186) mengemukakan: Manfaat
wawancara
adalah
mengkonstruksikan
mengenai
orang,
kejadian,
organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian, merekonstruksikan
kebulatan-kebulatan sebagai yang diharapkan untuk dialami pada masa
yang akan datang, memferifikasi, mengubah, dan memperluas informasi
yang diperoleh dari orang lain. Jadi apa yang tidak sempat teramati
diharapkan dapat muncul dalam wawancara, begitu sebaliknya.
Dan untuk lebih efektifnya hasil sebuah wawancara, peneliti akan
melengkapi diri dengan beberapa alat-alat bantu wawancara seperti buku
catatan (notebook), tape rocorder, komputer dan kamera.
3. Teknik Dokumentasi
Teknik berikutnya adalah dokumentasi yang juga tidak kalah
pentingnya dalam penelitian ini. Menurut Guba dan Lincoln (Moleong,
2005:216) dokumen ialah setiap bahan tertulis ataupun film yang tidak
20
dipersiapkan karena adanya permintaan seorang penyidik. Dengan
demikian dokumen-dokumen resmi yang dimiliki sekolah bahkan
mungkin dokumen-dokumen pribadi (buku harian, surat pribadi, dan
otobiografi) yang berhubungan dengan sekolah tersebut dijadikan sumber
informasi/data. Dokumen dimaksud yaitu profil sekolah seperti sejarah
berdirinya sekolah, denah lokasi sekolah, kepala-kepala sekolah yang
pernah memimpin sekolah tersebut, jumlah guru, dan jumlah siswa.
Sedangkan dokumen dari guru mitra peneliti adalah kurikulum sejarah,
perangkat pembelajaran (program tahunan, program semester, rencana
program pembelajaran, analisis materi pembelajaran, alat-alat evaluasi,
media pembelajaran, hasil evaluasi siswa (daftar nilai), buku teks, dan
buku penunjang yang digunakan guru mitra, serta daftar hadir siswa.
Hal penting dari lima tradisi dengan mempelajari masing-masing
tradisi secara mendetail, peneliti belajar dan dapat mengetahui lebih
banyak tentang bagaimana cara berproses dan membatasi pilihan yang
mana tradisi itu untuk digunakan. Suatu studi biografi adalah studi dari
suatu individu dan pengalamannya ditemukan dalam dokumen dan arsip
materi. Denzin (1939a) dalam Creswell (1998) ia menggambarkan metode
biografi sebagai ”Koleksi yang dipelajari sebagai dokumen saat ia hidup”.
Heilbrun (1988) menggunakan istilah riwayat hidup untuk arti yang luas
dari tulisan biografi.
Pengertian lain bahwa riwayat hidup suatu pendekatan yang
ditemukan di ilmu-ilmu sosial dan ilmu antropologi di mana peneliti
21
melaporkan tentang kehidupan seseorang itu mencerminkan tema budaya
dari masyarakat, tema pribadi, kelembagaan dan sejarah sosial (Cole,
1994). Peneliti mengumpulkan data lapangan terutama melalui wawancara
percakapan dengan individu.
Menurut James P. Spradley, (2007:5) kajian etnografis amatlah
diperlukan, khususnya tatkala studi di tingkat lokal menuntut adanya
kontak langsung dengan budaya dari kelompok masyarakat yang menjadi
sasaran kajian tersebut. Belajar tentang etnografi berarti belajar tentang
jantung dari ilmu antropologi, khusus antropologi sosial. Teknik
pengumpulan data yang utama adalah observasi-partisipasi, dan juga
wawancara terbuka dan mendalam yang dilakukan. Peneliti memfokuskan
obyek penelitian dengan memperjelas batasan-batasan lebih pada suatu
konsep. Bentuk individu tentang peristiwa itu. Memilih suatu teori dasar
dan mengembangkan terutama melalui wawancara melalui suatu proses
analisis untuk memperoleh data yang akurat, meskipun belum menjamin
keabsahannya.
Peneliti dalam hal ini perlu menyampaikan pokok permasalahan
secara garis besar, dan memberi gambaran tentang tujuan dari penelitian,
agar lebih terbuka untuk diterima, bahkan terjadi interaksi dengan yang
diteliti di lapangan tentang kehidupan mereka dan memperoleh makna dari
pengalaman itu. Setelah peneliti memperoleh data, dan menganalisis
dengan tetap konsisten pada pokok permasalahan.
22
4. Teknik Triangulasi/Gabungan
Susan Stainback (1988:85) menyatakan bahwa dalam teknik
pengumpulan data, tringulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data
yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan
sumber yang telah ada. Bila peneliti melakukan pengumpulan data dengan
triangulasi, maka sebenarnya peneliti mengumpulkan data yang sekaligus
menguji kredibilitas data, yaitu mengecek kredibilitas data dengan
berbagai teknik pengumpulan data dari berbagai sumber data.
Triangulasi teknik yang berarti peneliti menggunakan pengumpulan
data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama.
Peneliti menggunakan observasi partisipatif, wawancara mendalam, dan
dokumentasi untuk sumber data yang sama secara serempak. Triangulasi
sumber berarti, untuk mendapatkan data dari sumber yang berbeda-beda
dengan teknik yang sama.
Menurut Creswell (1998) Triangulasi (triangulation), menggunakan
seluas-luasnya sumber-sumber yang banyak dan berbeda, metode-metode
dari para peneliti, dan teori-teori untuk menyediakan bukti-bukti yang
benar (corroborative evidence).
Selanjutnya Mathinson (1988) mengemukakan bahwa nilai dari
teknik pengumpulan data dengan triangulasi adalah untuk mengetahui data
yang diperoleh convergent (meluas), tidak konsisten atau kontradiksi. Oleh
karena itu dengan menggunakan teknik triangulasi dalam pengumpulan
23
data, maka data yang diperoleh akan lebih konsisten, tuntas dan pasti.
Dengan triangulasi akan lebih meningkatkan kekuatan data, bila
dibandingkan dengan suatu pendekatan.
G. Sistematika Penulisan
Sebagai acuan dan pedoman dalam penulisan penelitian ini, penulis
menyusun sistematika pembahasan yang akan digunakan yaitu sebagai berikut:
Bab pertama merupakan bab pembuka. Dalam bab ini akan membahas latar
belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
definisi operasional, kerangka teoritis, metode dan teknik pengumpulan data, serta
sistematika pembahasan.
Bab kedua berisi tujuan teoritis, bab ini membahas tentang tujuan
pembelajaran
sejarah,
definisi
kontribusi nilai-nilai
perjuangan,
definisi
pembentukan semangat kebangsaan, serta keterkaitan antara kontribusi nilai-nilai
perjuangan dan pembentukan semangat kebangsaan.
Bab ketiga berisi metodologi penelitian. Dalam bab ini akan dibahas tentang
metode penelitian yang digunakan, subjek penelitian, tahapan/prosedur penelitian,
instrumen dan teknik pengumpulan data, analisis data, validasi data serta
interpretasi data.
Bab keempat berisi tentang pembahasan hasil penelitian. Dalam bab ini
deskripsi umum lokasi penelitian, profil beberapa tokoh perjuangan rakyat Papua
dan bagaimana nilai-nilai perjuangan itu dihayati dan dilestarikan.
24
Bab kelima berisi kesimpulan dan saran. Bab ini merupakan bab terakhir
dalam pembahasan tesis, yang berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dan
rekomendasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Download