ISSN 2088-5474 Jurnal Transformasi Administrasi Pengarah Kepala PKP2A IV LAN Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab Kabid Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara PKP2A IV LAN Nurul Hidayah, SH, M. Si Penyunting Rati Sumanti, S.Sos, Edy Saputra, SH, Ervina Yunita, S.Si, Heru Syahputra, SE, Yasnifa S.Pd Desain Grafis Henri Prianto Sinurat, S.IP Sekretariat Said Fadhil, S.IP Hilma Yuniasti, S.Hi Mitra Bestari Dr. M. Saleh Sjafei, SH, M.Si. (Sosiologi Hukum) Prof. Dr. Syahrizal Abbas, MA. (Hukum dan Syari'at Islam) Prof. Dr. Faisal A Rany, SH, M.Hum. (Hukum Tata Negara) Tri Widodo W. Utomo, SH., MA, APU. (Kebijakan, Administrasi Publik) Prof. Dr. Husni Jalil, S.H., M.H. (Hukum Tata Negara, Otonomi Daerah) Prof. Dr. Nasir Azis, SE., MBA. (Ekonomi Manajemen dan Pembangunan) Prof. Dr. Marlon Sihombing, MA. (Sosial dan Politik, Administrasi Negara) Prof. Dr. Rusdi Muchtar, MA, APU. (Kebijakan Publik, Sosial Kemasyarakatan) Saiful Mahdi, S.Si., M.Sc., Ph.D. (Statistik Kepemerintahan, Statistik Sosial, dan Statistik Ekonomi) Drs. Irhamuddin (Pendidikan dan Perencanaan) Penerbit LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur IV Jl. T.P. Nyak Makam 12 Lampineung Banda Aceh Telp. 0651-7552569 – Fax. 0651-7552568 Email. [email protected] Akses ke – website. www.lan.go.id Petunjuk Penulisan Artikel JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI merupakan jurnal ilmiah berkala yang diterbitkan oleh Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur IV Lembaga Administrasi Negara–RI (PKP2A IVLAN). Jurnal ini memuat tulisan ilmiah baik bersifat hasil kajian konseptual atau penelitian empirik pada isu-isu penyelenggaraan dan pembangunan administrasi negara secara luas. Seperti kinerja pemerintahan dan aparatur, penyelenggaraan kebijakan dan pelayanan publik, penyelenggaraan otonomi daerah, hukum, sosial, ekonomi dan sebagainya. Tulisan dapat bersifat penemuan baru, koreksi, pengembangan atau penguatan terhadap paradigma atau teori yang sudah ada. Dan belum pernah dimuat/dipublikasikan pada media jurnal atau media publikasi lainnya. Tulisan harus didukung oleh referensi / bibliography yang relevan. Petunjuk penulisan naskah adalah sebagai berikut: 609 1. Naskah diketik dalam bahasa Indonesia (untuk abstract dan keywords diketik dalam bahasa Inggris), mengguna-kan kertas ukuran A4 sepanjang 10-20 halaman, jenis huruf Time New Roman, spasi tunggal (1), margin 3 cm dari atas dan kiri, serta 2,5 cm dari kanan dan bawah. 2. Format tulisan/artikel terdiri atas: a. Judul tulisan (14 pt), ditulis 2 hingga 4 baris, spasi tunggal; b. Nama penulis (12 pt), diberikan footnote tentang identitas penulis. Apabila penulis lebih dari satu orang maka penulis yang ditulis pertama adalah penulis utama; c. Abstract (12 pt) merupakan ringkasan dari isi artikel yang dituangkan secara padat, bukan komentar atau pengantar penulis, terdiri dari 100200 kata yang di susun dalam satu paragraf dengan format esei bukan enumeratif, ditulis dalam bahasa Inggris. d. Keywords (12 pt), merupakan kata-kata kunci berkenaan topik tulisan, ditulis dalam bahasa Inggris. e. Pendahuluan (12 pt), spasi tunggal (1). Memuat dan menguraikan informasi-informasi umum, topik dan substansi yang mampu menarik dan mengundang rasa keingintahuan (curiousity) pembaca, dengan memberikan acuan bagi permasalahan yang akan dibahas, arti pentingnya materi yang ditulis, atau gagasan baru yang inovatif dan konstruktif. Tulisan disertai dengan data-data pendukung dan sumber referensi. Bagian ini terdiri; (a) rumusan masalah; (b) tujuan; (c) dan deskripsi singkat mengenai kerangka pemikiran. Apabila tulisan merupakan hasil penelitian empirik maka perlu dicantumkan; (a) metode penelitian; memuat tentang rancangan penelitian, populasi dan sampel, uraian singkat opera sionalisasi variabel, dan teknik analisis; (b) hasil penelitian; memuat tentang hasil akhir dari proses analisis data, dapat berupa angka, gambar dan tabel. f. Pembahasan (12 pt). Memuat uraian, analisis, argumentasi, interpretasi penulis terhadap data 3. 4. 5. 6. berkenaan masalah yang disoroti. Data-data yang diguna kan disertai sumber referensi yang mendukung. g. Penutup (12 pt). Memuat kesimpulan yang menjadi ringkasan uraian atau jawaban sistimatis dari masalah yang diajukan secara singkat dan diikuti oleh saran-saran atau rencana tindak lanjut. h. Daftar Pustaka (12 pt). Berupa buku teks, artikel dari majalah, makalah, perundangundangan dan dokumen pendukung lainnya, ditulis pada bagian akhir tulisan dengan mengikuti kaidah-kaidah penerbitan daftar pustaka dalam publikasi ilmiah. Penulisan Tabel dan Gambar/Grafik. Judul tabel ditulis di atas tabel, sedangkan judul gambar/grafik ditulis di bawah gambar/grafik. Jika tabel atau gambar/grafik tersebut merupakan kutipan atau modifikasi dari buku atau sumber tertentu maka wajib menyebutkan sumber aslinya. Jika tabel tadi merupakan data olahan terhadap suatu instrumen penelitian, maka harus pula diberikan keterangan. Penulisan Kutipan. Penulisan kutipan dalam penulisan sumbernya menggunakan format catatan kaki (footnote). Penyerahan Tulisan. Tulisan yang diserahkan kepada Redaksi akan dievaluasi oleh Tim Redaksi Penyunting. Tim berhak mengubah susunan kalimat, panjang tulisan dan aspekaspek penulisan lainnya sesuai dengan visi misi Jurnal Transformasi Administrasi, tanpa menghilangkan substansi tulisan. Untuk tulisan yang tidak dimuat, akan dikembalikan kepada penulis, dan untuk tulisan yang dimuat akan diberikan honorarium sepantasnya sesuai dengan jumlah halaman terbitan. Naskah dapat dikirim ke Redaksi Jurnal “Transformasi Administrasi” D/A : Kantor PKP2A IV LAN, Cq Bidang Kajian Aparatur, Jalan T. Panglima Nyak Makam No. 12, Lampineung Banda Aceh 23125, Telp 06517552569, Fax 0651 7552568 atau melalui email ke: [email protected]. Naskah yang dikirim dalam bentuk hardcopy agar disertakan softcopy-nya dalam bentuk Ms Word. n Jurnal Transformasi Administrasi mengundang Anda mengirimkan artikel hasil kajian konseptual maupun penelitian empirik bersifat penemuan baru, koreksi, pengembangan, dan atau penguatan terhadap paradigma maupun teori yang telah ada. editorial Reformasi Birokrasi dan Perubahan Perilaku Birokrat K etika kita menafsirkan Reformasi Birokrasi dari penggalan kata, maka pada satu sisi reformasi bermakna perubahan dari satu sistem ke sistem yang lain, sementara birokrasi merupakan sistem pemerintahan yang dijalankan oleh birokrat pemerintah sesuai dengan hirarki jabatan yang melekat. Sehingga apa yang dimaksud Reformasi Birokrasi tentunya mengarah kepada upaya perubahan tata kelola pemerintahan yang lebih baik yang menghasilkan produk berupa layanan masyarakat. Kepuasan masyarakat dapat menjadi tolok ukur bekerjanya para birokrat sebagai pengemban amanat Reformasi Birokrasi. Karenanya, adalah wajar ketika harapan terhadap terwujudnya Reformasi Birokrasi yang di atas kertas komitmen negara yang tertuang dalam Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-1014 begitu besar. Namun, apa yang terjadi dan dirasakan hingga agenda periode pertama akan berakhir adalah Reformasi Birokrasi yang senyatanya belum mampu merubah wajah birokrasi kita yang sampai saat ini masih carut marut jika tidak ingin dikatakan gagal. Meski tidak dipungkiri pula telah adanya perbaikan pada beberapa sasaran area perubahan, namun berdasarkan Corruption Perception Index 2013, Indonesia menduduki peringkat 114 dari 177, sedangkan menurut laporan Global Innovation Index 2013, kemudahan berbisnis dan pendidikan hanya menduduki ranking 108 dan 104 dari 142 negara. Data empiris tersebut menunjukkan kondisi birokrasi Indonesia yang belum menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat sebagai penikmat pelayanan sesungguhnya. Masyarakat belum merasakan sentuhan nyata dalam memperoleh hak pelayanan sebagai warga negara yang semestinya dipenuhi. Lantas kepada siapa kita harus bertanya tentang siapa sesungguhnya aktor dibalik perubahan itu sendiri?. JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 iii EDITORIAL iv Merujuk pendapat Michael G. Roskin, dalam bukunya; Political Science: An Introduction, menyebutkan bahwa “birokrasi adalah setiap organisasi yang berskala besar yang terdiri atas para pejabat yang diangkat, di mana fungsi utamanya adalah untuk melaksanakan (to implement) kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh para pengambil keputusan (decision makers)”. Hal ini dapat kita maknai bahwa birokrasi menjadi sarana dalam memudahkan penyelesaian administrasi dan memungkinkan adanya pelaksanaan kebijakan publik yang efektif dan efisien. Namun pada sisi lain, sepenggal kata “birokrasi” lebih sering dipersepsikan sebagai penghambat dalam menjalankan fungsinya sebagai pelayan publik karena penerapan aturan yang berbelit-belit, ketidak pastian biaya dan waktu dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat. Dalam konteks Tata Kelola Pemerintahan, tugas memberikan pelayanan dan mengatur masyarakat merupakan kewajiban Pemerintah. Tugas memberikan pelayanan semestinya dititikberatkan pada upaya mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik dan mempersingkat waktu dalam menyelesaikan urusan publik. Sedangkan tugas mengatur lebih menekankan kepada kekuasan atau power yang melekat secara administratif pada posisi jabatan birokrasi. Namun apa yang kita lihat selama ini, tugas mengatur lebih mendominasi para birokrat dari pada melayani masyarakat. Sehingga proses birokrasi selalu dipersepsikan pada serangkaian pekerjaan administrasi yang berisi aturan-aturan normatif yang mengabaikan tugas pelayanan. Bagi para birokrat, melanggar aturan lebih berat dampaknya daripada memprioritaskan pelayanan kepada masyarakat yang sesungguhnya merupakan implementasi dari peraturan itu sendiri. Perilaku, kekuasaan dan pengaruh situasional seorang birokrat masih memberi warna yang berbeda dalam birokrasi kita. Masih ditemukan pula aparatur yang menempatkan diri untuk melayani diri sendiri dalam mengelola birokrasi. Tipikal yang tentunya akan menjadi cikal bakal terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme yang lagi-lagi berdampak pada mengabaikan kepentingan masyarakat. Dalam kondisi di mana masyarakat semakin kritis, berani mengajukan keinginan, tuntutan, aspirasinya serta melakukan kontrol atas kinerja pemerintah, birokrat harus mampu melakukan revitalisasi terhadap peran yang awalnya terbiasa mengatur dan memerintah menjadi melayani. Sehingga apa yang dilakukan tidak memberi kesan elitis dan membuat masyarakat gerah, kesal dan apatis untuk berharap akan memperoleh pelayanan yang baik. Seorang birokrat adalah administrator yang memiliki kepekaan/responsibilitas dalam menjalankan tugasnya. Karenanya, perubahan perilaku administrator haruslah dimulai dari pemahaman kinerja birokrasi dengan standar penilaian yang bersifat administratif atau teknis, bukan politis. Sehingga terbebas dari “belenggu” kepentingan dan intervesi pihak manapun. Disamping itu, pertanggungjawaban administratif juga menuntut administrator untuk bertindak dengan landasan moral yang kuat yang ditunjukkan dengan sikap adil tanpa membedakan masyarakat sebagai client, peka terhadap ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat, atau memegang teguh kode etik sebagai pelayan publik, sebagaimana pendapat Tjokrowinoto (2001:11) bahwa, “relevansi pemuasan JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 REFORMASI BIROKRASI DAN PERUBAHAN PERILAKU BIROKRAT masyarakat atas pelayanan yang disediakan, merupakan perilaku birokrasi yang perlu diperhitungkan kompetensinya dengan mengacu pada dua hal yaitu: pertama, birokrasi harus memberikan pelayanan publik dengan adil, menuntut kemampuan untuk memahami keadaan masyarakat, mengartikulasikan aspirasi dari kebutuhan masyarakat, lalu merumuskan dalam suatu kebijakan kemudian diimplementasikan; kedua, birokrasi harus mempunyai kompetensi untuk memberdayakan masyarakat sipil dengan menciptakan enabling social setting, dari pendekatan top down yang menguasai dinamika interaksi antara birokrasi dengan masyarakat dapat mengalami perubahan menjadi hubungan horizontal. Karenanya, semangat Reformasi Birokrasi haruslah diikuti dengan semangat perubahan perilaku birokrat yang dalam perannya sebagai administrator publik harus mampu membangun sinergitas dan interaksi yang harmonis dalam melayani masyarakat, tidak justru menjadi bayangan buruk dan pesimisme masyarakat sebagaimana dinyatakan Wachs (1985) bahwa “Administrator publik tidak sematamata berusaha menghindari kesalahan, tetapi juga berusaha mengejar atau mencari kebenaran”. Jika kondisi ini dapat kita wujudkan, maka menaruh asa atas birokrasi yang responsible dan mampu memberikan layanan publik yang baik dan profesional merupakan keniscayaan. Nurul Hidayah v JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 ISSN 2088-5474 daftar isi Editorial Reformasi Birokrasi dan Perubahan Perilaku Birokrat iii Zarmaili Peran Pemerintah Adat Terhadap Pemerintah Desa (Studi Kasus di Desa Tanjung Pauh Mudik Kerinci-Jambi) 609 Suryanto Pencapaian Target Standar Pelayanan Minimal (SPM) : Apa yang Terjadi ? 627 Hayat vi Implikasi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara Terhadap Peningkatan Kualitas Sumber Daya Aparatur 649 Info Kebijakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Aparatur Sipil Negara 670 Bidang Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara PKP2A IV LAN-Aceh Kesiapan Penerapan Reformasi Birokrasi di Sumatera 681 Erika Revida Strategi Peningkatan Daya Saing Pendidikan Di Era Globalisasi dan Otonomi Daerah 700 Resensi Pelayanan Publik Baru dari Manajemen Steering ke Serving 710 JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 PERAN PEMERINTAH ADAT TERHADAP PEMERINTAH DESA (Studi Kasus di Desa Tanjung Pauh Mudik Kerinci-Jambi) 1 THE ROLE OF INDIGENOUS GOVERNMENT INTO THE VILLAGE GOVERNMENT (Case Study on the village of Tanjung Pauh Mudik Kerinci-Jambi) ZARMAILI Peneliti pada Balitbangda Provinsi Jambi Email: [email protected] ABSTRACT Indonesia consists of various ethnics and cultures must have the various systems of indigenous life adopted for generations . Thus, the process of implementing the system of village government will be faced with the traditional governance system that has long been adhered to by the people in the village . This study answered how the role of government's indigenous in the governance of villages ( case study in the village of Tanjung Pauh Mudik Kerinci Jambi ). Research used qualitative descriptive approach, the data was obtained through interviews and observations of indigenous stakeholders and community leaders, as well as secondary data obtained from books or records of indigenous heritage. The result show that the process of governance in the village of Tanjung Pauh Mudik Kerinci Jambi will not run if it does not include the indigenous government. Development planning should be based on consideration of the indigenous government, as the object and regional development in the territorial government are bound by customary law and local custom values. Furthermore, the implementation of development programs by the village government should involve indigenous government in order not to deviate from customary norms. With the involvement of Indigenous Government, the implementation of rural development programs in more trusted and respected by the community. People are more obedient to the Indigenous Government, because it is a customary rule of law and governance systems that have long been attached to the people in the village and is considered clean and objective. Keywords : Indigenous Government,Village Government, Society, Norms Indigenous ABSTRAK Indonesia terdiri berbagai suku bangsa dan budaya tentunya memiliki berbagai sistem kehidupan adat yang dianut secara turun temurun. Dengan demikian, proses pelaksanaan sistem pemerintahan desa akan akan berhadapan dengan sistem pemerintahan adat yang telah lama dipatuhi oleh masyarakat di desa. Penelitian ini menjawab bagaimana peran pemerintah adat dalam penyelenggaraan pemerintahan desa (studi kasus di Desa Tanjung Pauh Mudik Kerinci Jambi). Penelitian 1 Naskah diterima 21 April 2014. Direvisi 2 Juni 2014 609 ZARMAILI menggunakan pendekatan diskriptif kualitatif, data diperoleh melalui wawancara dan pengamatan terhadap pemangku adat dan tokoh-tokoh masyarakat, serta data sekunder diperoleh dari buku-buku atau catatan peninggalan adat. Hasilnya bahwa proses penyelenggaraan pemerintahan desa di Tanjung Pauh Mudik Kerinci Jambi tidak akan berjalan jika tidak mengikutsertakan Pemerintah Adat. Perencanaan pembangunan harus berdasarkan pertimbangan pemerintah adat, karena objek dan kawasan pembangunan berada dalam teritorial Pemerintah Adat yang terikat dengan hukum dan nilai-nilai adat setempat. Selanjutnya, implementasi program pembangunan oleh Pemerintah Desa harus mengikutsertakan pemerintah adat agar tidak menyimpang dari norma-norma adat. Dengan keterlibatan Pemerintah Adat, pelaksanaan program pembangunan di desa lebih dipercaya dan dihormati masyarakat. Masyarakat lebih patuh kepada Pemerintah Adat, hal ini karena pemerintahan adat merupakan sistem hukum dan pemerintahan yang telah lama melekat pada masyarakat di desa dan dianggap bersih dan objektif. Kata Kunci: Pemerintah Adat, Pemerintahan Desa, Masyarakat, Norma Adat 610 PENDAHULUAN Latar Belakang rovinsi Jambi pada tahun 2011 terdapat 1223 desa dan 144 Kelurahan, artinya sekitar 90% lebih penduduk tinggal di desa, sehingga kalau pemerintah daerah berhasil membangun desa, berarti 90% lebih Pemerintah Provinsi Jambi berhasil membangun Jambi. Jikalau kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat di desa sudah terwujud, tentunya visi dan misi Gubernur Jambi berhasil. Pemerintah telah berjuang memberikan kekuasan dan kebebasan kepada desa sebagaimana yang dituangkan di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 pasal 206 (butir a, b dan d), mengungkapkan bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa dan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang P diserahkan pengaturannya kepada desa serta urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada desa. Sementara dalam Permendagri Nomor 66 Tahun 2007 menjelaskan bahwa, proses pelaksanaan pembangunan desa berdasarkan pembangunan partisipatif, yaitu suatu sistem pengelolaan pembangunan di desa bersama-sama secara musyawarah, mufakat, dan gotong royong yang merupakan cara hidup masyarakat yang telah lama berakar budaya di wilayah Indonesia. Kedua dasar tersebut di atas telah mengembalikan status desa kepada masa sebelum kemerdekaan Indonesia hingga masa Orde Lama, di mana desa masih memiliki kebebasan di dalam mengurus diri mereka sendiri berdasarkan kebutuhan dan kemampuan mereka. Kebebasan yang mereka miliki membuat desa mampu menyelesaikan berbagai persoalan pembangunan. Sifat gotong royong membuat desa lebih cepat maju, JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 PERAN PEMERINTAH ADAT TERHADAP PEMERINTAH DESA kesadaran masyarakat berlomba-lomba untuk menyumbang bagi pembangunan desa. Masyarakat patuh dan hormat kepada pimpinan desa dan mengganggap pimpinan desa adalah orang yang membawa mereka kepada kemajuan. Konflik masyarakat dapat diselesaikan di tingkat desa dan hukum adat sangat dipatuhi dan dijunjung. Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan pada tingkat desa. Pada masa itu, demokrasi berjalan dengan baik, semua kebijakan desa adalah berdasarkan untuk kepentingan bersama bukan kepentingan pribadi, sehingga kesejahteraan dalam bidang ekonomi dan pembangunan dimiliki oleh desa. Aplikasi undang-undang tersebut di atas menghadapi kendala dengan pergeseran hukum dan wewenang yang telah dibentuk oleh Orde Baru, yakni akibat diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, masyarakat desa mengalami perubahan sosial, terjadi pergeseran nilai, penyelenggaraan pemerintahan desa yang dilaksanakan berdasarkan hukum adat dan nilai-nilai tradisi yang asli sudah mulai terkikis bahkan hilang terutama di wilayah perkotaan atau yang dekat dengan perkotaan, hukum adat sudah tidak dilaksanakan lagi, kecuali di wilayah tertentu saja. Desa tempat otonomi asli sudah tidak dikenali lagi, sudah terjadi perubahan sosial yang diikuti dengan pergeseran penyelenggaraan pemerintahan. Penyelenggaraan pemerintahan desa tidak berbasis pada adat setempat, karena adat sudah pudar. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa menyebutkan bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asalusul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan Pemerintah Adat adalah sistem pemerintahan yang berdasarkan hukum adat setempat, yaitu peraturan-peraturan hidup yang dihormati dan ditaati oleh rakyat yang dianggap sebagai hukum (Bellefroid,tt). Pemerintah Adat merupakan sistem yang dibentuk secara alamiah oleh sekelompok masyarakat setempat dalam rangka mengatur hidup dan kehidupan mereka demi kepentingan bersama. Norma-norma tersebut dianggap sakral dan wajib ditaati oleh masyarakat yang hidup di wilayah mereka. Widjaya (2003) menjelaskan, bahwa di daerah-daerah ada hubungan yang khas antara penerapan adat dan penyelenggaran pemerintahan desa atau desa dinas. Di Papua, lembaga adat sangat dominan sedangkan desa dinas tidak memiliki pengaruh. Berbeda dengan di Jawa, sebagian besar Sulawesi, Kalimantan Timur, dan sebagian Sumatera, pengaruh adat sangat kecil. Desa dinas sudah tumbuh kuat. Di Sumatera Barat terjadi kompromi antara adat dan desa dinas, karena lembaga adat dan desa dinas sama kuat. Selanjutnya dijelaskan, di Bali termasuk juga di Kalimantan Barat, Aceh, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku, pengaruh lembaga adat jauh lebih kuat ketimbang Desa dinas. Bali, terlihat aktif dalam memperhatikan masyarakat adat dan untuk itu telah mengeluarkan JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 611 ZARMAILI 612 berbagai kebijakan, diantaranya Pemda Bali mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi, dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Provinsi Bali (selanjutnya disebut dengan Perda Desa Adat). Perda Desa Adat ini merupakan pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1997 tentang pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaankebiasaan Masyarakat, dan Lembaga Adat di Daerah. Perda Desa Adat tersebut untuk menegaskan bahwa desa adat merupakan kesatuan masyarakat hukum adat. Akan tetapi di samping sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, desa adat juga sekaligus merupakan suatu organisasi pemerintah yang tidak langsung di bawah camat. Pembinaan desa adat dilakukan oleh gubernur yang dibantu oleh Majelis Pembinaan Lembaga Adat dan Badan Pembinaan Lembaga Adat. Dari sejumlah kasus di atas, peran pemerintah adat di dalam proses pelaksanaan pemerintahan desa sangat penting, karena mula lahirnya desa diatur dengan sistem yang yang disepakati oleh masyarakat setempat. Sistem tersebut dianggap sebagai aturan yang mengatur hidup mereka yang harus mereka patuhi dan hormati. Sungguhpun secara konstitsional terbentuknya pemerintahan di suatu desa yang merupakan bagian dari struktur pemerintahan nasional, namun tidak akan teraplikasi secara efektif bila tidak sejalan dengan pemerintah adat. Hal inilah yang diamalkan di Desa Tanjung Pauh Mudik Kerinci-Jambi, di mana desa ini merupakan desa adat yang masih eksis dan berperan penting di dalam proses pelaksanaan pemerintahan desa. Penelitian ini akan menguraikan sistem pemerintahan adat yang dijalankan oleh Desa Tanjung Pauh Mudik Kerinci Jambi dan perannya di dalam proses pelaksanaan sistem pemerintahan desa. LANDASAN TEORI 1. Pemerintahan Desa Pemerintahan desa adalah penyelenggara urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (PP No 72 Th 2005, Pasal 1.6). Secara struktural pemerintah desa terdiri dari kepala desa dan perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa (PP No 72 Th 2005, Pasal 1.7). Sedangkan yang dimaksud dengan BPD (Badan Permusyawaratan Desa) adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Peraturan pemerintah menyebutkan pula perihal Lembaga Kemasyarakatan, yaitu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan merupakan mitra pemerintah desa dalam pemberdayaan masyarakat. Untuk terselanggaranya sistem pemerintahan desa maka Pemerintah Desa dan BPD membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang disingkat APB Desa yang ditetapkan dengan Peraturan Desa JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 PERAN PEMERINTAH ADAT TERHADAP PEMERINTAH DESA (PP No 72 Th 2005, Pasal 12). Yang dimaksud dengan Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh BPD bersama Kepala desa (PP No 72 Th 2005, Pasal 14). Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan kepentingan masyarakat setempat. Dari pengertian di atas, pemerintahan desa memiliki desentralisasi dalam 3 hal yaitu: 1) Desentralisasi politik (devolusi) yang membagi kekuasaan dan kewenangan dari negara kepada desa. 2) Desentralisasi pembangunan yakni membagi dan memastikan desa sebagai entitas lokal yang berwenang merumuskan perencanaan sendiri (local self planning), bukan sekedar bottom up planning. 3) Desentralisasi keuangan, yakni transfer dana dari negara (bukan kabupaten/kota) kepada desa untuk membiayai pengelolaan pemerintahan dan pembangunan desa. Pemerintah desa memiliki peran yang cukup baik sebagai dinamisator, katalisator, maupun sebagai pelopor dalam setiap gerak pembangunan yang dilaksanakan untuk memperoleh dukungan (partisipasi) penuh dari masyarakat. Desa di samping memiliki kewenangan asli yang diakui seperti kewenangan mengelola sumber daya lokal (tanah kas desa, tanah bengkok, tanah ulayat, hutan adat), kewenangan membuat dan menjalankan hukum adat setempat, juga harus memiliki kewenangan yang didesentralisasikan, yaitu kewenangan yang diserahkan dari pemerintah atasnya. 2. Pemerintah Adat Hukum adat menurut Schmid (2007) adalah sejumlah peraturan yang berlaku dalam sebuah masyarakat, kelompok atau komunitas, yang mengatur hak, kewajiban, tanggung jawab, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Ostrom (2010) mengartikan kelembagaan sebagai aturan yang berlaku dalam masyarakat yang menentukan siapa yang berhak membuat keputusan, tindakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, aturan apa yang berlaku umum di masyarakat, prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa yang mesti atau tidak boleh disediakan dan keuntungan apa yang individu akan terima sebagai buah dari tindakan yang dilakukannya. Di Desa Tanjung Pauh Mudik Kerinci Jambi, Pemerintah Adat dipimpin oleh seorang Depati beserta ninik mamak yang berasal dari utusan rakyat dan dipilih oleh rakyat untuk mewikili kelompok-kelompok masyarakat. Dalam sistem ini yang dikedepankan adalah musyawarah untuk mufakat, dan dari praktek Depati ini tercemin bahwa sistem demokrasi sudah merupakan bagian dari praktis kehidupan masyarakat adat di Tanjung Pauh Mudik (Burkan, 2009 ). Berdasarkan sistem pelaksanaan pemerintahan adat dan hukum adat yang berlaku dan dilaksanakan di sejumlah pemerintah adat, seperti pemerintahan adat Minang Kabau Sumatera Barat, Pemerintah Adat Tiga Tungku Irian Jaya, Gowa, Banten, Bali, Jogjakarta dan JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 613 ZARMAILI 614 lainnya, maka Pemerintah Adat adalah sebuah organisasi kemasyarakatan baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan atau dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam wilayah hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku. Peran Pemerintah Adat adalah mengelola keragaman dalam kerangka tujuan bersama, pemimpin adat bertindak sebagai seorang pamong terhadap individu-individu yang berbeda, berlaku sebagai seorang negarawan lokal, bersikap sebagai seorang maha guru, bertutur sebagai seorang raja untuk melenyapkan gosip murahan antar ras, bukan memperlebar jurang perbedaan yang menganga lebar. Dalam relevansinya dengan hukum itu sendiri, hukum adat kita butuhkan untuk menyelesaikan sebagian besar persoalan yang tak tersentuh menurut hukum positif. Jadi, peran pemerintah adat sangat objektif, yakni pengaturan wilayah adat dan meningkatkan kesejahteraan rakyat berdasarkan keinginan bersama. 3. Pemerintah Adat dan Pemerintah Desa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa, batasbatas wilayah dan hukum yang berlaku di setiap desa di seluruh daerah adalah sistem adat. Jadi, jika sistem pemerintahan desa yang konstitusional masuk ke suatu desa haruslah menghormati dan sejalan dengan sistem pemerintahan adat. Pemerintah desa merupakan struktur pemerintahan negara yang paling dekat dengan masyarakat, sebagai penyambung pemerintahan pusat di desa yang bertindak sebagai pembina, pengayom, dan pelayanan masyarakat guna mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan desa. Penyelenggaraaan pemerintahan desa merupakan sub sistem dalam penyelenggaraan sistem Pemerintahan Nasional, sehingga desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Adapun landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai pemerintahan desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli dan pemberdayaan masyarakat. Sedangkan partisipasi dan otonomi telah dimiliki oleh masyarakat desa sejak lahirnya struktur pemerintahannya yaitu sistem pemerintahan adat. Di mana sifat gotong royong dan keputusan bermusyawarah telah melekat pada masyarakat desa. Masyarakat desa lebih mematuhi dan taat kepada pemimpin adat yang mereka anggap sakral dan kuat. Apapun peraturan dan kebijakan yang dibuat oleh pemimpin adat tetap JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 PERAN PEMERINTAH ADAT TERHADAP PEMERINTAH DESA dipatuhi oleh masyarakat desa. Hal ini sejalan dengan Undang-undang Dasar Tahun 1945 pasa 18B mengungkapkan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. METODE PENELITIAN Pada riset ini dilakukan analisis deskriptif dengan menggunakan data primer dan sekunder yang dilakukan dengan pendekatan riset kualitatif. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara dengan responden dan pengamatan terhadap prilaku dan budaya masyarakat Desa Tajung Pauh Mudik Kerinci Jambi. Data sekunder diperoleh melalui catatan dan peninggalan adat Desa Tanjung Pauh Mudik Kerinci, seperti buku-buku catatan adat dan catatan orang-orang tua tentang pemerintahan adat. Populasi padapenelitian ini adalah masyarakat dan tokoh-tokoh adat yang masih menjabat sebagai pemangku adat (ninik mamak) di Tanjung Pauh Mudik Kerinci Jambi. Selanjutnya sampel pada penelitian diambil dengan menggunakan purposive sampling, dengan kriterianya adalah tokoh adat, pemuka masyarakat, orang-orang tua yang dianggap tahu dengan pemerintahan adat. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Tanjung Pauh Mudik Kerinci Jambi, selama 5 (lima) bulan yaitu bulan Pebruari hingga bulan Juni 2013. Penelitian ini akan mengungkapkan sistem pemerintahan adat dan pelaksanaan pemerintahan desa yang meliputi sebagai berikut: 1) Aspek sejarah; mencakup sejarah lahirnya Desa Tanjung Pauh Mudik, asal-usul budaya dan pemerintahan adat yang masih berjalan sekarang. 2) Aspek pemerintahan; mencakup sistem pemerintah adat, struktur pemerintahan adat, wewenang dan kekuasaan pemerintahan adat. Sistem pemerintahan desa, posisi pemerintahan desa di dalam pemerintahan adat dan sebaliknya, struktur pemerintahan desa, wewenang dan kekuasaan pemerintahan desa. 3) A s p e k s o s i a l ; m e n c a k u p kepatuhan masayarakat terhadap pemerintahan adat dan kepatuhan masyarakat terhadap pemerintahan desa. 4) Hubungan pemerintah desa dengan pemerintah adat dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunan desa. Data yang diperoleh dianalisis dengan cara deskriptif, yakni dengan menggambarkan secara terperinci dan mendalam dari data yang diperoleh di lapangan. Selain itu, metode hermeneutik digunakan guna untuk memahami teksteks peraturan adat secara menyeluruh dan menginterpretasikannya sehingga dapat dideskriptifkan. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Geografis Desa Adat Tanjung Pauh Mudik Desa Tanjung Pauh Mudik adalah salah satu bagian dari daerah Kabupaten Kerinci yang terletak di kawasan Kerinci JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 615 ZARMAILI 616 Tengah, tepatnya pada Kecamatan Keliling Danau Kerinci. Luas wilayahnya + 177 Hektar. Tanah atau lahan yang ada di Desa Tanjung Pauh Mudik ini dimanfaatkan warga untuk pemukiman, perkebunan, dan persawahan. Adapun batas-batas Desa Tanjung Pauh ini dapat dirinci sebagai berikut. Sebelah Utara berbatas dengan Desa Kumun, sebelah Selatan berbatas dengan Semerap sebelah Barat berbatas dengan Bukit Barisan, sebelah Timur berbatas dengan Desa Debai. Secara adat wilayah Desa tanjung Pauh Mudik bersatu dengan wilayah Desa Tanjung Pauh Hilir, kedua desa ini masih berada di dalam satu sistem adat dan adat yang saling terkait. Batas-batas wilayah adatnya adalah disebut dengan “Kembo Duo Kembo Tigo” yaitu: - Di hilir berbatas dengan durian kecil, (Desa Semerap) - Di mudik berbatas dengan sialang berlantak besi (Desa Kumun disebut Sandaran Galeh) - Timur berbatas lubuk pelayang gajah (Desa Debai) - Utara berbatas dengan lubuk langkakak (Desa Bunga Tanjung) 2. Penduduk Berdasarkan data yang didapat bahwa penduduk Tanjung Pauh Mudik adalah penduduk asli yang turun temurun. Masyarakat Tanjung Pauh Mudik terdiri dari 18 tembo (tumbi). Masing-masing tembo memiliki jabatan di dalam pemerintahan adat yang bersifat turun temurun, berdasarkan laporan BPS Kerinci jumlah penduduk desa adat Tanjung Pauh Mudik berjumlah 8231 jiwa. Penduduk Desa Tanjung Pauh Mudik bersifat homogen, sebagian besar dari mereka merupakan penduduk asli setempat. Sebagian kecil sebagai pendatang yang berasal dari luar wilayah, seperti Batak, Minangkabau, dan Jawa. Masyarakat Desa Tanjung Pauh Mudik pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani. Tapi, pada akhir-akhir ini mata pencaharian pada masyarakat Desa Tanjung Pauh Mudik ini telah bervariasi, seperti menjadi guru, dosen, wiraswasta, dan sebagainya. 3. Asal Usul Orang Kerinci Menurut Tambo Kerinci Berbicara tentang asal usul orang Kerinci, Umar Ali ( 60) Mantan Depati Atur Bumi mengungkapkan, bermula dari lembaran sejarah, Iskandar Zulkarnaen menikah dengan Zailun melahirkan empat orang anak masingmasing, Maharajo Dipang turun ke negeri cina, Maharajo Alip, Maharaja diraja turun ke negeri Sumbar, tepatnya di negeri perhiangan Padang Panjang. Empat Indar Jati, orang pertama turun ke negeri Sumbar dengan menepati kawasan gunung emas atau Gunung berapi, Pariaman Padang Panjang. Ia menikah dengan Indi Jelatang melahirkan keturunan dua orang di antaranya, Datuk perpatih nan Sebatang dan Indarbaya. Indar Jati dengan anaknya, Indarbaya, berlayar pula ke luhak Alam Kerinci. Sedangkan perpatih nan Sebatang. Karena asik bermain dengan rekannya, ia tidak ikut serta. Kemudian dipersiapkan alat untuk berangkat, pertama Payung Sekaki, Tombak, serta tongkat nan sebuah, keris nan satu dibawa pula kambing nan seekor. Dalam perjalanan menuju luhah alam Kerinci, ia JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 PERAN PEMERINTAH ADAT TERHADAP PEMERINTAH DESA kesulitan. Karena medan tempuh rute laut lepas. Kemudian Allah menurunkan petunjuk dengan menerbangkan daun sintuh dengan berlabuh di Gunung Jelatang. Tahun berlalu musim berganti, ia melahirkan anak tiga orang masingmasing indar bersusu tunggal, Indar bertelawang lidah, Indi Mariam serta Indar bayo.Kemudian setelah anaknya dewasa. Indar tunggal dinikahkan dengan Puti Samaiyah, penghuni Gunung Jelatang itu melahirkan pula anak tiga orang diantaranya, Puti Dayang Indah, Puti Dayang Ramaiyah. Kemudian Puti Dayang Indah melahirkan anak lima orang. Yaitu, Dari Indah, Daristu, Indi Cincin, Mipin, Mas Jamain. Puti Ramaiyah melahirkan anak satu orang Yakni, Sibungo Layu. Puti Dayang Rawani, pernikahan dengan seorang laki-laki, Abdul Rahman, asal Jawa Mataram melahirkan keturunan bertempat di Jambi masing-masing tiga orang, Karban, Kartan, kalipan. Sementara di Jawa Mataram terdapat tiga orang pula. Yaitu, Nahkudo Kubang, Nahkudo Belang, Gajah Mada. Dari Indah melahirkan pula Incik Permato, Intan bermato, Lilo Permato. Daristu melahirkan pula keturunan tigo orang, Patimah, Unggu, Mangku Agung. Sedangkan Indi Cincin melahirkan keturunan, Jaburiyah, Jabulino. Mipin melahirkan satu orang, Puti Sepadan. Mas Jamain suaminya, Sutan Maalim Hidayah, asal Pagaruyung melahirkan keturunan Sirujan Angin. Dituturkan, Indar Jati yang gaib yang tiada kembali dalam persemadian di alam gaib. Indar bersusu tunggal, gelar Depati Batu Hampar, setelah melihat kehilir dan kemudik air laut telah surut. Maka dipecahlah pembagian wilayah, untuk menunggu kawasan negeri yang dibagi itu masing-masing Incik Permato menungu latih Koto Pandan, Pondok Tinggi. Bajina Latih Koto limo Sering, Sungai Penuh. Ungguk menunggu latih Koto Beringin, Rawang, Mangku Agung menunggu Tebat Tinggi, Sungai Tutung. Sibungo Alam menunggu Talang Banio, Kemantan.Puti Dayang Ramaiyah, menunggu kawasan Kemantan Darat. Dari Pembagian inilah yang disebut Latih yang enam Luhah Alam Kerinci. Sementara itu di sebelah hilir, Sirujan Angin menunggu Tamia, Mewarisi Depati Muaro langkap, Lilo permato menungu Pulau Sangkar, Mewarisi Depati Rencong Telang, Intan Bermato Sanggaran Agung, mewarisi Depati Biang sari. Kemudian Indar Berusu tunggal diangkat pula Sultan Maalim Hidayah menjadi Depati atur Bumi. Ini disebut Depati Empat Alam Kerinci. Kemudian didirikan pula Kerinci rendah yaitu Karban, mewarisi Depati Setio Rajo, Bangko. Kartan mewarisi Depati Setio Nyato, Parentak. Sedangkan kalipan mewarisi Depati Setio Putih Limbur tanah Cugguk. Ini disebut tigo di Baruih. Sibungo Alam melahirkan keturunan tiga orang,Cik Rah, Cik Kudo, Sijago-jago, Hulu baling rajo Siulak. Datang pula dari Jambi, Bandaro Putih, dengan sebutan pangeran Temengung dengan membawa kain kehormatan diberikan kepada Depati Muaro langkap di Tamia. Depati Rencong Telang di Pulau Sangkar. Depati Biang Sari di Pengasi. Depati Atur Bumi di Hiang. Oleh Depati Atur Bumi dibagi pula kain kebesaran olehnya dengan Delapan bahagian, Depati Serah Bumi di Seleman . JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 617 ZARMAILI Depati Mudo Penawar, Depati Kepalo Ino, Tanah ampong. Depati Mudo bertelawang lidah di Rawang. Depati Sekungkung Putih di Sekungkung. Depati Kepalo Sembah di Semurup. Depati Setuo di Kemantan. Depati Atur Bumi/Depati Atur Bayo di Hiang. Ini disebut Delapan Helai di Kerinci. 618 4. Sekilas Sejarah Pemerintahan Adat Kerinci Idris Ja`far (2003) menuturkan bahwa diperkirakan sekitar abad ke 6 Masehi di wilayah Alam Kerinci, Jambi, telah terbentuk negeri-negeri yang secara terpisah mempunyai pemerintahan sendiri. Sebuah komunitas masyarakat sudah barang tentu mencari pemimpin dari orang-orang yang mempunyai pengaruh dan disegani dalam kelompoknya. Biasanya mereka juga merupakan orang yang diyakini memiliki kesaktian sehingga diharapkan dapat melindungi negeri dari berbagai marabahaya yang ditimbulkan manusia, alam, binatang, maupun makhluk halus. Munculnya pemimpin-pemimpin negeri baru ini diperkiranan seiring dengan pertumbuhan negeri-negeri di Alam Kerinci, yaitu sekitar abad ke 6 Masehi. Para pemimpin negeri itu, dikenal dengan sebutan Sigindo atau kepala kaum/kelompok dari suatu komunitas keturunan dari kelompok masyarakat yang mendiami suatu daerah tertentu, di mana sekaligus merangkap sebagai kepala pemerintahan dari suatu wilayah negeri. Sebuah negeri Sigindo terdiri atas beberapa buah dusun, di dalam sebuah dusun terdapat kelompok kekerabatan masyarakat seketurunan. Pada kelompok kekerabatan ini masih terdapat lagi kelompok yang lebih kecil yaitu kumpulan dari kelompokkelompok kekeluargaan, sedangkan strata masyarakat yang paling kecil adalah keluarga. Masing-masing strata kekerabatan mulai dari unit yang terkecil dipimpin oleh seorang kelompok yang ditunjuk dan dipilih menurut ketentuan adat yang berlaku. Dalam perkembangan selanjutnya, untuk unit keluarga terkecil disebut dengan Tumbi oleh kepala Tumbi atau kepala keluarga. Kumpulan dari beberapa unit keluarga kecil (tumbi) dalam lingkup kekerabatan seketurunan disebut dengan istilah Perut, dan dipimpin oleh Tengganai. Lapisan berikutnya merupakan dari beberapa Perut disebut dengan istilah Kelebu dan dipimpin oleh kepala Kelebu yang lazim disebut sekarang dengan istilah Ninik Mamak. Sedangkan kumpulan dari kekerabatan Kelebu disebut dengan 'luhak; atau lurah yang dipimpin oleh seorang kepala lurah yang lazim disebut dengan Depati. Masing-masing strata di atas mempunyai tugas dan tanggung jawab sendiri-sendiri yang pada intinya menuntun dan membimbing masyarakat untuk dapat mentaati norma dan ketentuan adat negeri. Melalui strata kemasyarakatan di atas, segala bentuk kebijakan pemerintah negeri disampaikan secara beranting ke bawah. Melalui alir sistem ini dilakukan pengendalian terhadap komponen masyarakat atau warga yang terhimpun dalam sebuah negeri Sigindo. Masing-masing pemimpin pada strata masyarakat yang terbentuk memikul tugas dan tanggung jawab membina dan mengurus anak negeri atau kaum kerabatnya. JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 PERAN PEMERINTAH ADAT TERHADAP PEMERINTAH DESA 5. Struktur Pemerintahan Adat Depati Anum Hulu Balang Ninik Mamak Pemegang dusun dalam - Rio perang - Sutan alam - Datuk - Depati cayo negeri - Depati simpan negeri - Rio malim - Rio indah - Qodi maulana - Alim ulama - Orang tuo Cerdik Pemegang kota tuo - Depati didung - Depati mudo - Depati jayo mudo - Mangku rajo - Depati kayo - Depati muko - Mangku depati Gambar 1. Struktur Pemerintahan Adat Tanjung Pauh Mudik Sumber: Burkan Saleh, 2009, Pengetahuan Tentang Hukum Adat Desa Tanjung Pauh Mudik, catatan sejarah pribadi. 6. T u g a s d a n T a n g g u n g J a w a b Pemangku Adat 1) Depati Anum Pemangku pemerintahan adat Desa Tanjung Pauh Mudik dipimpin oleh seorang yang disebut dengan Depati Anum. Beliau memimpin para pemangku adat yang disebut dengan Ninik Mamak. Beliau adalah salah seorang angggota ninik mamak yang dianggap bijak, cerdas, pintar dan mengayomi, yang dipilih secara musyawarah oleh anggota ninik mamak. Depati Anum adalah pimpinan pemerintahan adat, dia memiliki wewenang membuat keputusan dari hasil musyawarah bersama dengan depati ninik mamak. Tugasnya turun langsung memimpin segala bentuk kegiatan di dalam masyarakat. Seperti gotong 2) 3) royong, membuat patok bangunan, patok jalan, sawah dan perkebunan. Ninik Mamak Secara umum nenek mamak berperanan langsung dan terlibat di dalam berbagai kegiatan kehidupan masyarakat secara moril. Mereka bertanggung jawab atas jalan atau tidaknya sesuatu rencana atau sesuatu peraturan dalam kehidupan masyarakat. Qodi Maulana Petugas yang memutuskan hukum di dalam masyarakat adalah Qodi Maulana, terutama hukum di dalam pelaksanaan ibadah seperti menentukan hari puasa, jumlah zakat, pembagian waris dan ibadah lainnya. Beliau juga yang memiliki hak wakil di dalam menikahkan anak jantan dan anak betino serta menetapkan perceraian mereka. JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 619 ZARMAILI 4) 5) 6) 620 Orang Tuo Cerdik Pandai Tugas Orang Tuo Cerdik Pandai adalah memberikan pengarahan, saran dan petunjuk untuk kemaslahatan masyarakat. Alim Ulama Alim Ulama bertugas memberikan masukan kepada Qodi maulana di dalam menentukan halal dan haram di dalam kegiatan bermasyarakat. Hulu Balang Hulu balang adalah kelompok pemuda yang kuat, berani, tegap dan kesatria, mereka memiliki tugas yaitu: a. Membendung orang yang masuk dari hilir dan yang datang dari mudik. b. B e r p e d a n g h u n u s d a n berparang tajam. c. Bermata jelang dan bertelinga nyaring. d. Cepat kakinya dan ringan tangannya. e. Setapak berpantang mundur dan sejari berpantang bergeser. 7. Pemilihan Pemangku Adat Pemangku adat adalah utusan dari setiap kelebu yang terdiri dari beberapa tumbi yang ada di dalam desa Tanjung Pauh Mudik. Tumbi adalah sekelompok keluarga terkecil yang memiliki satu keturunan yang turun temurun sebagai warga masyarakat asli Desa Tanjung Pauh Mudik. Setiap sejumlah tumbi memiliki utusan untuk memegang jabatan yang ada di dalam depati ninik mamak, artinya anggota depati ninik mamak adalah wakil setiap tumbi di pemerintahan adat. Jabatan dalam pemerintahan adat melekat pada masingmasing kelebu secara turun-temurun. Orang luar seperti pedagang dari jauh, penumpang sementara dan orang yang tidak seagama dengan agama Islam tidak dibenarkan menjabat di dalam pemerintahan adat atau sebagai anggota depati ninik mamak. PROSES PELAKSANAAN PEMERINTAHAN DESA DAN PEMERINTAHAN ADAT Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa seluruh dusun di Kabupaten Kerinci dileburkan menjadi pemerintahan desa, sehingga dusun dengan sendirinya menjadi hilang. Pemerintahan desa yang berasal dari budaya Jawa dipimpin oleh seorang Kepala Desa. Pada pemerintahan desa, desa atau kelurahan adalah bagian dari wilayah kecamatan. Dalam menjalankan hak, wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintahan desa, Kepala Desa bertanggung jawab kepada pejabat yang berwenang mengangkat melalui Camat, dan memberikan keterangan pertanggungjawaban tersebut kepada Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Sejak masa ini sistem pemerintahan adat di dalam pembangunan dan pemerintahan desa tidak dipakai, semua kebijakan dan pembangunan masyarakat desa berdasarkan kebijakan dan bantuan dari pemerintah pusat, sehingga pada masa Orde Baru (ORBA) pemerintahan adat semakin lama semakin luntur. Sungguhpun demikian, di dalam perjalanannya kebijakan pemerintahan desa yang didasarkan pada kebijakan pemerintahan pusat tidak mampu berjalan dengan baik. Oleh karena itu, JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 PERAN PEMERINTAH ADAT TERHADAP PEMERINTAH DESA pemerintahan adat harus dilaksanakan bersamaan dengan pemerintah desa. Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 j.o Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka semua pemerintahan desa dikembalikan kepada sistem pemerintahan yang diinginkan oleh masyarakat setempat. Oleh itu, di Desa Tanjung Pauh Mudik yang sudah dimekarkan menjadi lima desa tetap berada di bawah satu pemerintahan adat. Dalam proses pelaksanaannya, pemerintahan desa bertanggungjawab di dalam menyediakan sarana dan dana, sedangkan pemerintahan adat bertugas menetapkan kebijakan pembangunan dan memutuskannya serta melaksanakan keputusan. Selanjutnya, pemerintahan desa melaksanakan program pembangunan yang telah diputuskan oleh pemerintahan adat. Pemerintahan adat melakukan pengawasan dan penilaian pelaksanaan program pembangunan. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2005 Tentang “Desa” sebagai bentuk implementasi dari UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang “Pemerintahan Daerah” maka dilegitimasilah kekuasaan pemerintah desa untuk menyelenggarakan pemerintahan secara mandiri. Hal ini ditambah dengan dihargainya faktorfaktor heterogenitas, asal-usul, nilai-nilai tradisional, dan kearifan lokal terutama yang sudah terbungkus dalam suatu sistem pemerintahan yaitu adat desa setempat. Satu hal lain yang harus kita cermati bahwa ternyata meskipun PP Nomor 72 Tahun 2005 telah memberikan ruang yang lebih luas kepada Kepala Desa dan seluruh perangkat desa lain untuk mengatur masyarakatnya, namun masih memerlukan penyempurnaan di beberapa pasal agar tercapai hakekat dari otonomi desa yang sesungguhnya. Apalagi di desa yang telah memiliki sistem pemerintahan tradisional. Reformasi dan otonomi daerah sebenarnya adalah harapan baru bagi pemerintah dan masyarakat desa untuk membangun desanya sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Bagi sebagian besar aparat pemerintah desa, otonomi adalah satu peluang baru yang dapat membuka ruang kreativitas bagi aparatur desa dalam mengelola desa. Kalau dulu semua hal yang akan dilakukan oleh pemerintah desa harus melalui rute persetujuan kecamatan, untuk konteks sekarang hal itu sudah tidak berlaku lagi. Intervensi dari atas yang dulu sangat kental terasa kini sudah mulai berkurang. Hal itu jelas membuat pemerintah desa menjadi semakin leluasa dalam menentukan program pembangunan yang akan dilaksanakan, dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat desa. Sistem pemerintahan adat yang dijalankan di Desa Adat Tanjung Pauh Mudik sangat membantu terlaksananya pemerintahan desa. Realisasi sistem pemerintahan yang demokratis sangat didukung oleh pemerintahan adat. Pemerintahan adat dipangku oleh utusan atau wakil dari setiap kelebu yang terpilih dan tersaring dan disegani serta dihormati oleh kelebunya, wakil yang diutuskan dapat dipercayakan atau mampu menyambung aspirasi kelebunya. Warga kelebu patuh dan taat kepada wakilnya di pemerintahan adat, karena kepercayaan mereka sepenuhnya JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 621 ZARMAILI 622 diberikan kepada wakil mereka di pemerintahan adat untuk menyalurkan aspirasi mereka guna memenuhi hajat hidup mereka dalam desa. Dengan demikian, pemerintahan adat sangat kuat, dihormati dan dipatuhi. Hukum adat ditaati oleh masyarakat, segala keputusan pembangunan dan permasalahan dalam masyarakat dapat diselesaikan di tingkat pemerintah adat. Tidak ada masalah yang tidak selesai pada tingkat pemerintahan adat, apapun keputusan pemerintah adat itulah keputusan bersama masyarakat. Merujuk kepada sistem pelaksanaan pemerintahan adat tersebut di atas, menunjukkan bahwa pemerintah sangat mudah menjalankan roda pemerintahan di segala bidang. Hal ini disebabkan adanya keterbukaan dan partisipasi masyarakat melalui wakilnya di dalam pemerintahan adat, sehingga semua keputusan dan kebijakan adalah berasal dari suara masyarakat. Pemerintahan seperti ini sangat efektif untuk menjauhkan penyimpangan bagi pemimpin adat dan jauh terhindar dari diskriminasi terhadap suatu kelompok atau golongan, artinya pemerintahan terlaksana secara demokratis, adil dan bijaksana. Pemerintahan adat di dalam proses pelaksanaan pemerintahan desa sangat dibutuhkan, karena masyarakat adat yang sudah kental dan patuh dengan sistem pemerintahan adat sangat mudah diatur sebab masyarakat lebih menghormati dan memepercayai pemerintahan atau pemangku adat. 1) Sistem Perencanaan Pasal 63 Peraturan Pemerintah Desa masih mengikuti jejak UU No. 32 Th 2004, yang menempatkan perencanaan desa sebagai satu kesatuan dengan sistem perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota. Sementara itu, pasal 150 UU No. 32 Th 2004 telah menegaskan bahwa sistem perencanaan daerah merupakan satu kesatuan dengan perencanaan pembangunan nasional. Apabila ditarik garis lurus untuk menghubungkan substansi pengaturan mengenai perencanaan di desa, daerah dan pusat, terlihat sangat jelas yang dibangun adalah model perencanaan terpusat (centralized planning). Sentralisasi perencanaan semacam itu sebenarnya justru mengingkari hakekat otonomi daerah, yang seharusnya terus mengalir menjadi otonomi desa dan akhirnya menjadi otonomi rakyat. Meskipun kini pemerintah memercusuarkan program bottom up planning dengan kegiatan Musbangdes (Musyawarah Pembangunan Desa), rapat LPM tingkat kecamatan, Rakorbang tingkat kabupaten dan provinsi hingga Rakornas tingkat pusat, namun kenyataannya belum dapat dilaksanakan secara optimal. Bahkan kondisi riil di lapangan terkadang ditemukan usulan yang dirumuskan dari level bawah, diintervensi oleh kekuasaan yang berada setingkat di atasnya. Pada tingkat LPM dan Rakorbang juga seringkali ditemukan adanya dominasi sektoral dalam proses bargaining tanpa melihat dan mempertimbangkan usul yang muncul dari bawah. Dalam akhir tulisan ini, penulis mendapat kesimpulan bahwa dengan adanya revisi UU 22 Th 1999 menjadi UU 32 Th 2004 belum menjawab tuntas permasalahan desa, karena tersirat dalam peraturan perundangan tersebut pemerintah pusat belum sepenuhnya JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 PERAN PEMERINTAH ADAT TERHADAP PEMERINTAH DESA memberikan otonomi. Begitupun paradigma orde baru masih dipakai pemerintah pusat saat ini, yang menganggap desa sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Sungguhpun sistem perencanaan desa berdasarkan kepada aturan Pemerintah yang telah ditetapkan, namun di Desa Tanjung Pauh Mudik Kerinci Jambi, perencanaan pembangunan harus berdasarkan sistem adat yang telah berlaku, artinya rencana program pembangunan desa berasal dari aspirasi setiap tumbi melalui wakil kelebu mereka. Selanjutnya, perencanaan pembangunan tidak boleh menyimpang dari norma adat yang telah lama ada, seperti pengrusakan hutan adat, sungai adat dan lubuk ikan adat. Seluruh wilayah desa adalah wilayah adat yang sudah memiliki batas-batas hukum adat yang tidak boleh diganggu guna untuk kelestarian dan keaslian alam. Selain itu juga, perencanaan tidak boleh berbau pengrusakan budaya dan tradisi masyarakat setempat dan tetap berasas budaya dan tradisi warisan nenek moyang mereka. Jadi perencanaan program pembangunan desa harus mempertimbangkan hukum adat yang telah ada. Keputusan program pembangunan desa yang akan dilaksanakan adalah hasil musyawarah antara Kepala Desa beserta staf dengan para anggota ninik mamak, keputusan yang diambil adalah berdasarkan pertimbangan prioritas dan hal-hal yang mendesak, seperti irigasi, jembatan, jalan pertanian dan lain sebagainya. Di dalam pengambilan keputusan ini tidak ada intervensi dari pihak manapun dan tetap mengutamakan prinsip keadilan dan merata. 2) Pelaksanaan Program Pembangunan Setelah perencanaan dibuat dan disetujui oleh Pemerintah Daerah Kabupaten, program pembangunan dilaksanakan dengan sistem pembagian tugas dan tanggungjawab. Proses pelaksanaan program tersebut, pemerintah desa bertanggungjawab menyiapkan dana dan sarana serta infrastruktur lainnya, hal ini diperoleh berdasarkan pengajuan program pembangunan secara dinas dari pemerintah desa kepada Bupati melalui Camat. Jadi, sedikit beban berkurang atas masyarakat di mana dana dan prsarana pembangunan desa disediakan oleh pemerintah daerah, artinya masyarakat desa tidak harus sibuk mengumpulkan dana sebagaimana masa pemerintahan adat, masyarakat wajib mengumpulkan dana hasil pertanian, jadi setiap habis panen masyarakat menyisihkan hasil pertanian mereka untuk program pembangunan desa sejumlah yang telah ditetapkan berdasarkan hasil musyawarah. Namun, kewajiban tersebut tidak diberlakukan lagi setelah dibentuknya pemerintahan desa, kecuali untuk keadaan darurat dan dana pendamping pelaksanaan pembangunan. Selanjutnya, proses pelaksanaan pembangunan dilaksanakan bersamasama dengan pemerintah adat. Hal ini dilaksanakan berdasarkan respek masyarakat terhadap pemerintah adat. Pemerintah desa menghadapi kesulitan di dalam melaksanakan program pembangunan, karena akan berhadapan dengan masyarakat yang masih kental dengan pemerintah adat dan mereka kurang percaya dengan pemerintahan desa yang dianggap sebagai tangannya JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 623 ZARMAILI pemerintah pusat di daerah, yang telah mengikiskan budaya dan tradisi hidup mereka. Penghormatan masyarakat terhadap pemerintah desa masih sangat rendah dan mengganggap kinerja mereka penuh dengan tipuan dan penyimpangan. Bagi masyarakat, pemerintah desa hanyalah bonekanya pemerintah pusat yang penuh dengan tipu daya, yang bekerja hanyalah mengejar laporan dan bukan kualitas. Oleh itu, mereka tidak akan diterima oleh masyarakat apalagi bila pembangunan yang dilaksanakan berhubungan langsung dengan wilayah adat atau inventaris adat. Mereka dianggap oleh masyarakat desa pihak yang akan merusak tatanan tradisi yang telah lama mereka pelihara dan mereka hormati. 624 3) Pertanggung-jawaban Kepala Desa Ditinjau dari sudut aliran pertanggung-jawaban (legalaccountability), penyelenggaraan pemerintahan desa oleh Kepala Desa versi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, terlihat sangat kentara adanya tarikan ke atas. Pasal 15 ayat (2) PP No. 72 Th 2005 menyebutkan bahwa Kepala Desa mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada Bupati/Walikota. Tanggung jawab Kepala Desa kepada BPD hanya dalam bentuk penyampaian laporan keterangan pertanggung-jawaban, dan kepada masyarakat hanya menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa. Rumusan aturan dalam pasal 15 ayat (2) PP desa itu tentu saja terlihat kontradiktif dengan pasal 35 huruf b PP desa, yang mengatur kewenangan BPD untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa. Meskipun pada pasal 35 huruf c PP Desa BPD diberikan kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa kepada Bupati/walikota, namun mengacu pada rumusan pasal 15 ayat (2) PP Desa di atas, sangat jelas terlihat ambiguitas pengaturan kewenangan pengawasan oleh BPD. Di Desa Tanjung Pauh Mudik Kerinci Jambi, pemerintah desa di dalam pelaksanaan program pembangunan harus menyiapkan laporan pertanggungjawaban di samping menyampaikannya ke Bupati, mereka wajib menyampaikannya kepada anggota ninik mamak dalam rapat adat. Pertanggungjawaban pemerintah desa bisa diterima dan bisa ditolak, apabila pelaksanan program pembangunan menyalahi aturan adat setempat, maka pemerintah desa harus mendapat hukuman adat yakni meminta maaf kepada masyarakat dengan memotong seekor kerbau dan dibagikan kepada masyarakat. Selanjutnya, program pembangunan yang akan mereka laksanakan akan diawasi dengan sangat ketat. Jadi, proses pelaksanaan pembangunan pemerintahan desa senantiasa berada di dalam pengawasan dan harus dilaporkan kepada ninik mamak sebagai wakil masyarakat adat. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1) Kesimpulan Proses pelaksanaan pemerintahan desa di Desa Tanjung Pauh Mudik Kerinci Jambi telah berjalan bersamaan dengan sistem pemerintahan adat, yang JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 PERAN PEMERINTAH ADAT TERHADAP PEMERINTAH DESA bersifat demokratis, transparan dan akuntabel. Di mana bentuk pelaksanaan pemerintahannya adalah sebagai berikut: 1) Bentuk pemerintahan adat di desa Tanjung Pauh Mudik Kerinci Jambi menganut sistem demokrasi, semua pemangku adat atau unsur pemerintahan berasal dari wakil setiap keluarga masyarakat, azas pemerintahan-nya mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. 2) Pemerintahan adat dipimpin oleh seorang depati yang disebut dengan Depati Anum dengan anggotanya disebut dengan ninik mamak. Depati Anum berasal dari salah seorang anggota ninik mamak yang dipilih oleh anggota ninik mamak hasil musyawarah. 3) Proses pelaksanaan pemerintahan desa di tengah masyarakat penganut sistem pemerintahan adat di Desa Tanjung Pauh Mudik berjalan seiring dan saling mendukung, pemerintah desa bertanggungjawab dalam menyediakan dana dan sarana, sedangkan pemerintah adat bertanggungjawab di dalam membuat keputusan dan bersamasama melaksanakannya. 4) Di dalam proses pelaksanaan pemerintahan desa semua kebijakan diambil berdasarkan suara masyarakat melalui ninik mamak. 5) Pertanggungjawaban pelaksanaan program pembangunan di samping diberikan kepada Bupati, mereka wajib menyampaikannya kepada anggota ninik mamak dalam rapat adat. 2) Rekomendasi 1) Untuk meningkatkan peran pemerintah adat dalam sistem pemerintahan desa, diperlukan regulasi yang kuat, sehingga eksistensi pemerintahan adat yang sangat demokratis lebih meluas dan dapat diamalkan oleh daerahdaerah lainnya di seluruh wilayah Indonesia. 2) Setiap daerah perlu mengeksiskan pemerintahan adat setempat, sedangkan desa yang baru terbentuk dan belum memiliki pemerintahan adat hendaklah membentuk pemerintahan adat berdasarkan hasil kesepakatan bersama kelompok masyarakat. 3) Pemerintah hendaklah membuat undang-undang yang mengatur pembentukan pemerintah adat di setiap daerah. KEPUSTAKAAN Bellefroid, J.H.P., tt, Inleiding Tot De Rechtswertenschap In Nenderland, Terjemahan: Hukum yang Positif, Tri Tunggal, Yokyakarta. Burkan Saleh, 2009, Pengetahuan Tentang Hukum Adat Desa Tanjung Pauh Mudik, catatan sejarah pribadi. Hendra Mondong, Peran Pemerintah Desa dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Desa, , Diakses Tanggal 20 Mei 2014. Idris Ja`far, 2003, Asal Usul Pemerintahan Kerinci, Yogyakarta Pers. Ostrom, 2010,Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action (Political Economy of Institutions and Decisions), Cambridge University Press. Schmid, A. Allan (Alfred Allan), 2007, JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 625 ZARMAILI 626 Converting land from rural to urban uses, Johns Hopkins Press, Baltimore. Widjaya, HAW, 2003, Otonomi Desa: Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat, Utuh, PT. RajaGrafindon Persada,Jakarta: DPRRI, Undang-undang Dasar 1945, www.dpr.go.id/id/uu-danruu/uud45. Diakses tanggal 12 Mei 2014 __________, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, /,. Diakses tanggal 12 Mei 2014 Menteri Dalam Negeri RI, Permendagri Nomor 3 Tahun 1997, http://ropeg.setjen.kemendagri.go. id,. Diakses tanggal 12 Mei 2014 __________, Permendagri Nomor 66 Tahun 2007,. http://ropeg. setjen.kemendagri.go.id,. Diakses tanggal 12 Mei 2014 Presiden RI, Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001,. www.hukumonline.com/.../pp-no76-tahun-2001-pedoman-umumpeng,. Diakses tanggal 12 Mei 2014 __________, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005,. www.sanitasi.net/peraturanpemerintah-no-72-tahun-2005tentang-desa...,. Diakses tanggal 12 Mei 2014 JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 PENCAPAIAN TARGET STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM): APA YANG TERJADI ? 1 TARGET ACHIEVEMENT OF MINIMUM SERVICE STANDARDS (SPM): WHAT'S GOING ON? SURYANTO Peneliti Pusat Kajian Sistem Administrasi Negara dan Hukum Administrasi Negara – LAN email: [email protected] ABSTRACT Enthusiasm of the various parties to the implementation of the policy of minimum service standards turned out to be different. Ministry of the Home Affair (MoHA) , as the leading sector of the successful policy of SPM, is certainly a very active part in voicing that the policy should be run smoothly as mandated by legislation. But beyond that, many other parties actually give a different response, ministries / agencies, for example, assume that a SPM's problem is MoHA's domain so that ministries/agencies does not have to "bother" to pay attention in the implementation of SPM in the area. Meanwhile, local governments both provincial and district / city - especially district / city, assume that the implementation of SPM with outcomes predetermined considered a burden to the budget so it does not need to be supported to the maximum, except for the preparation of standard operating procedures ( SOP ) and standards public services ( SPP ), two terminologies that is often interpreted as an SPM . The debate arises because of ignorance about the definition of the concept of the SPM itself. If so, how can the government expect the achievement of the target. Keywords : Local Government, Public Services, Minimum Service Standards. ABSTRAK Antuasiasme berbagai pihak terhadap penerapan kebijakan standar pelayanan minimal ternyata berbeda-beda. Kementerian Dalam Negeri, sebagai leading sector terhadap suksesnya penerapan kebijakan SPM, tentu menjadi pihak yang sangat aktif dalam menyuarakan agar kebijakan tersebut dapat berjalan sesuai amanat peraturan perundangan. Namun di balik itu, berbagai pihak lain justru memberikan respon yang berbeda, kementerian/lembaga misalnya, menganggap bahwa persoalan SPM merupakan domain Kementerian Dalam Negeri sehingga tidak perlu “repot” memberikan perhatian dalam pelaksanaan SPM di daerah. Sementara itu pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota menganggap bahwa penerapan SPM dengan capaian-capaian yang telah ditetapkan dianggap membebani anggaran sehingga tidak perlu didukung secara maksimal, kecuali untuk penyusunan standard operating 1 Naskah diterima 28 April 2014. Direvisi 2 Juni 2014 627 SURYANTO procedures (SOP) dan standar pelayanan publik (SPP), dua terminologi yang sering dimaknai sama sebagai SPM. Perdebatan mengenai definisi muncul karena ketidakpahaman terhadap konsep SPM itu sendiri. Jika demikian, bagaimana mungkin Pemerintah dapat berharap mengenai pencapaian targetnya. Kata Kunci: Pemerintah Daerah, Pelayanan Publik, Standar Pelayanan Minimal (SPM) A. PENDAHULUAN idak perlu diragukan lagi bahwa kehadiran pemerintah adalah untuk melayani warga negara/rakyatnya. Karena itu tidak mengherankan bahwa keberadaan pemerintah hanya akan bermakna apabila pemerintah tersebut dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada rakyat dalam bentuk pelayanan terbaik atau pelayanan prima. Untuk mewujudkan pelayanan prima diperlukan dua dimensi yaitu dimensi prosedur dan dimensi pribadi (Sutopo, 1999). Pelayanan prima, pada saat itu, langsung menjadi “mantra” yang sangat penting untuk memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggannya (excellent service). Terminologi pembaharuan pelayanan publik terus bergulir ke arah yang lebih baik meskipun pada awalnya masih berkutat pada dimensi pribadi, seperti keramahan dan kesopanan dalam pelayanan. Namun, lambat laun hal tersebut mengarah pada perubahan pelayanan publik yang semakin mengarah pada dimensi prosedur terkait dengan mekanisme/tata cara pelayanan itu sendiri. Perkembangan perbaikan ke arah dimensi prosedur tersebut, sebagaimana disampaikan Hardi Warsono (2012), nampak pada upaya Pemerintah dalam T 628 hal ini Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB) dengan menerbitkan berbagai peraturan teknis dalam upaya peningkatkan kualitas pelayanan publik. Beberapa peraturan dimaksud di antaranya Permenpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Kepmenpan No. KEP/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) Unit Pelayanan Instansi Pemerintah, Kempenpan No. KEP/26/M.PAN/2/ 2004 tentang Petunjuk Teknis dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik, dan Kepmenpan No. KEP/118/M.PAN/8/2004 tentang Pedoman Umum Penanganan Pengaduan Masyarakat bagi Instansi Pemerintah. Setelah diberlakukannya UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik telah diterbitkan PP No. 13 Tahun 2009 tentang Pedoman Peningkatan Kualitas Pelayanan dengan Partisipasi Masyarakat, PP No. 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Permenpan dan RB No. 36 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan, Penetapan, dan Penerapan Standar Pelayanan, dan Permenpan dan RB No. JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 PENCAPAIAN TARGET STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM): APA YANG TERJADI ? 38 Tahun 2012 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik. Ketika pemberlakuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah 2 berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, lalu diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. PP ini merupakan pelaksanaan amanat Pasal 11 ayat (4) dan Pasal 14 UU No. 32 Tahun 2004. Standar Pelayanan Minimal (SPM) adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh oleh setiap warga negara secara minimal (Pasal 1 butir 6 PP No. 65 Tahun 2005). Dalam perjalanannya, SPM itu sendiri sering dirancukan dengan Surat Perintah Membayar, istilah yang biasa digunakan dalam pengelolaan anggaran. Sebagai contoh, ketika saya meneliti penerapan SPM di daerah, beberapa narasumber mengira bahwa substansi penelitian berkaitan dengan tugas bendaharawan, padahal yang dimaksud bukan Surat Perintah Membayar (saat ini disebut SP2D = Surat Perintah Pencairan Dana) tetapi Standar Pelayanan Minimal. Hal ini terjadi karena selama ini istilah SPM relatif kurang dikomunikasikan dengan baik, sehingga publik lebih mengenal istilah SPM dalam konteks penganggaran atau keuangan dibandingkan SPM dalam konteks kinerja pelayanan. Ditambah lagi, munculnya dua istilah lain yakni standar pelayanan publik pelayanan (SPP) dan standar operating procedures (SOP) yang ternyata lebih dikenal dengan cukup baik oleh publik. 2 Fakta tersebut bertentangan dengan harapan bahwa SPM yang sedianya direncanakan untuk menciptakan pelayanan dasar yang menjadi hak setiap warga negara. Implementasi SPM masih dihadapkan pada sejumlah persoalan di daerah, khususnya terkait pola perencanaan dan penganggaran. Studi yang dilakukan LAN (2012 dan 2013) di Kabupaten Samosir menunjukkan bahwa implementasi SPM masih menjadi hal asing bagi pemerintah daerah. Sebagian besar satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) yang menangani urusan wajib sebagaimana diamanatkan dalam peraturan teknis menteri dalam negeri belum seluruhnya melaksanakan SPM dengan baik. Dari 15 urusan wajib yang telah memiliki dasar hukum (sesuai peraturan menteri teknis), baru sebagian kecil urusan wajib yang telah ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah. Hal tersebut terjadi bukan semata-mata karena lemahnya perencanaan dan penganggaran, tetapi juga berkaitan dengan persoalan substansi SPM itu sendiri. Hal ini merujuk pada pandangan penyusun kebijakan SPM itu sendiri (kementerian sektoral) bahwa banyaknya indikator dan tingginya angka capaian SPM menyebabkan pemerintah daerah tidak mampu mencapai target yang ditetapkan secara nasional dalam kurun waktu tertentu. Mencermati peliknya pelaksanaan kebijakan SPM tersebut, penulis mencoba memberikan salah satu contoh kasus persoalan SPM bidang kesehatan. Urusan kesehatan dipilih karena Menurut Hanif Nurcholis (2005) desentralisasi dan otonomi daerah sesungguhnya memiliki perbedaan makna, walaupun dalam penggunaannya sering dipertukarkan atau digunakan secara bergantian. Otonomi daerah “ada” karena adanya asas desentralisasi, sehingga otonomi daerah dapat dikatakan merupakan turunan (derivate) dari desentralisasi. 629 SURYANTO merupakan pelayanan dasar yang paling mendasar selain pendidikan dan pekerjaan umum. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang: (a) kerancuan konsep SPM; (b) upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi kerancuan tersebut, dan (c) hal-hal yang perlu diperbaiki dalam rangka meningkatkan capaian target SPM. Dalam jangka panjang, jika memungkinkan dapat direplikasi untuk pencapaian target SPM bidang-bidang lainnya untuk mendukung implementasi PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan SPM, Permenkes No. 741 Tahun 2008 tentang SPM Bidang Kesehatan di Kabupaten & Kota dan SE Mendagri No. 100/676/SJ Tahun 2011 perihal Percepatan Penerapan SPM. 630 B. LANDASAN TEORI Pembahasan teori/konsep meliputi konsep good governance (pemerintahan yang baik), pelayanan publik, dan SPM itu sendiri. 1) Good Governance Governance menurut UNDP (2000) adalah tata pemerintahan dalam penggunaaan wewenang ekonomi, politik, dan administrasi guna mengelola urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses, dan lembagalembaga dimana warga dan kelompokkelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban, dan menjembatani perbedaan-perbedaan di antara mereka. Good governance diartikan sebagai pemerintahan yang baik, lawannya bad government yaitu pemerintahan yang buruk. Good governance merupakan perkembangan dari government (pemerintah). Menurut Edralin (1977, dalam Wasistiono, 2010) disebutkan bahwa perkembangan terakhir mengenai peran pemerintah yaitu telah terjadi pergeseran dari government ke governance : sekedar pemberi pelayanan (provider) menjadi fasilitator, kepemilikan negara menjadi kepemilikan rakyat. Sementara itu, menurut Lalono Krina (2003), kata governance sering dirancukan dengan government. Akibatnya, negara dan pemerintah menjadi korban utama dari seruan kolektif ini, bahwa mereka adalah sasaran nomor satu untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Badan-badan keuangan internasional mengambil prioritas untuk memperbaiki birokrasi pemerintahan di Dunia Ketiga dalam skema good governance mereka. Aktivitis dan kaum oposan, dengan bersemangat, ikut juga dalam aktivitas ini dengan menambahkan prinsip-prinsip kebebasan politik sebagai bagian yang tak terelakkan dari usaha perbaikan institusi negara. Good governance bahkan berhasil mendekatkan hubungan antara badan-badan keuangan multilateral dengan para aktivis politik, yang sebelumnya bersikap sinis pada hubungan antara pemerintah negara berkembang dengan badan-badan ini. Maka, jadilah suatu sintesa antara tujuan ekonomi dengan politik. Mencermati definisi di atas, maka dapat diketahui aktor-aktor/pilar yang menjalankan governance yakni (1) government/state, (2) dunia usaha, dan (3) rakyat yang memiliki posisi sejajar, memiliki kesamaan, kohesi, JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 PENCAPAIAN TARGET STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM): APA YANG TERJADI ? keseimbangan peran serta yang saling mengontrol. Thoha (2003) menambahkan satu pilar lagi yaitu norma sebagai pilar utama dan penyeimbang. Pemberian pelayanan publik (public service delivery) dalam konteks good local governance, tidak hanya menjadi dominasi negara/pemerintah akan tetapi juga menjadi kewajiban kedua pilar lainnya yaitu dunia usaha dan masyarakat madani. Adagium keberadaan pemerintah hanya untuk melayani masyarakat masih tetap relevan, namun saat ini ditambah dengan dua komponen/pilar sebagaimana tersebut di atas. 2) Pelayanan Publik Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa pengertian pelayanan adalah suatu usaha untuk membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan orang lain. Sedangkan pengertian service dalam Oxford (2000) didefinisikan sebagai “a system that provides something that the public needs, organized by the government or a private company”. Menyimak pengertian tersebut, maka pelayanan berfungsi sebagai sebuah sistem yang menyediakan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat (PKKOD LAN, 2008). Terkait pengertian “publik” dalam frase pelayanan publik, Hessel Nogi S. Tangkilisan berpendapat bahwa istilah publik diaplikasikan sebagai berikut : a. Arti kata public sebagai umum, misalnya public offering (penawaran umum), public ownership (milik umum), public switched network (jaringan telepon umum), public utility (perusahaan umum). b. Arti kata public sebagai masyarakat, misalnya public relation (hubungan masyarakat), public service (pelayanan masyarakat), public opinion (pendapat masyarakat), public interest (kepentingan masyarakat) dan lainlain. c. Arti kata public sebagai negara, misalnya public authorities (otoritas negara), public building (gedung negara), public finance (keuangan negara), publik refenue (penerimaan negara), public sector (sektor negara) dan lain-lain. (Tangkilisan, 2003:5) Berdasarkan pendapat yang dikemukakan di atas, seolah-olah terdapat perbedaan antara pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah dengan swasta. Osborne dan Gaebler, menekankan bahwa pelaksanaan pelayanan publik sebenarnya merupakan rowing (pelaksana) sehingga cukup hanya dilaksanakan oleh pihak swasta, sedangkan pemerintah bertindak sebagai steering (pengarah) saja. Oleh karena itu, menurut kedua pakar tersebut, pelayanan publik perlu diserahkan kepada pihak di luar pemerintah. Namun demikian, penyelenggaraan pelayanan publik dengan model privatisasi di Indonesia ternyata belum memuaskan. Sebagai contoh, kepemilikan pemerintah atas sebuah perusahaan yang menguasai barang publik (public goods) sekilas adalah sangat ideal, karena tugas pemerintah adalah menjamin keseimbangan antara kepentingan publik dan swasta. Barang publik dipercaya tidak akan dikelola sepenuhnya oleh perusahaan swasta. Pada perjalanannya, inefektifitas kepemilikan pemerintahan atas perusahaan penghasil barang dan jasa JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 631 SURYANTO 632 publik malah makin menguat (Kuncoro, 2006). Dalam literatur manajemen, terdapat empat lingkup definisi pelayanan. Pertama, pelayanan/service menggambarkan berbagai sub sektor dalam kategorisasi aktivitas ekonomi, seperti transportasi, finansial, perdagangan ritel, personal services, kesehatan, pendidikan, dan layanan publik lain. Dengan kata lain, lingkupnya adalah industri. Kedua, pelayanan/service dipandang sebagai produk intangible yang hasilnya berupa aktivitas ketimbang obyek fisik, meskipun dalam kenyataannya bisa saja produk fisik dilibatkan (misalnya, makanan dan minuman di restoran dan pesawat dalam jasa penerbangan. Ketiga, pelayanan merefleksikan proses yang mencakup penyampaian produk utama, interaksi, personal, kinerja dalam arti luas (termasuk di dalamnya drama dan keterampilan), serta pengalaman layanan. Keempat, pelayanan bisa dipandang sebagai sebuah system yang terdiri atas dua komponen utama, yaitu service operations yang kerapkali tidak tampak atau tidak diketahui keberadaannya oleh pelanggan (back office/backstage) dan service delivery yang biasanya tampak (visible) atau diketahui pelanggan (front office/frontstage) (Sugandi, 2011: 121). Menurut UU Pelayanan Publik Nomor 25 Tahun 2009 , pelayanan publik adalah “kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik”. Dalam Pasal 4 disebutkan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan pada: (a) kepentingan umum; (b) kepastian hukum; (c) kesamaan hak; (d) keseimbangan hak dan kewajiban; (e) keprofesionalan; (f) partisipatif; (g) persarnaan perlakuan/tidak diskriminatif; (h) keterbukaan; (i) akuntabilitas; (j) fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan; (k) ketepatan waktu; dan (l) kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menpan No. 63/Kep/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, disebutkan bahwa hakekat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat. Pelayanan publik dilakukan berdasarkan asas-asas sebagai berikut: 1) Transparansi. Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti; 2) Akuntabilitas. Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan; 3) Kondisional. Sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas; 4) Partisipatif. Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat; 5) Kesamaan Hak. Tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender dan status ekonomi; dan 6) Kesimbangan Hak dan Kewajiban. Pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 PENCAPAIAN TARGET STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM): APA YANG TERJADI ? dan kewajiban masing-masing pihak. Menurut Dwiyanto (2011: 151) pelayanan publik merupakan salah satu sosok birokrasi pemerintah masa depan, yaitu birokrasi yang memiliki keunggulan dibandingkan dengan institusi sosial dan politik lainnya. Keunggulan ini ditunjukkan oleh sikap, perilaku, dan pelayanan yang diselenggarakannya. Selanjutnya, birokrasi harus memperbaiki efisiensi, daya saing, serta daya tahan pelaku sosial dan ekonomi yang ada dalam masyarakat. Untuk itulah birokrasi publik harus efisien, efektif, profesional, modern, dan berorientasi pada pelayanan. Dikatakan efisien dan efektif apabila keberadaan birokrasi mampu memberikan pelayanan kepada warganya secara murah, mudah, dan terjangkau sehingga mampu memperbaiki kesejahteraan warganya (Ibid: 152). Berbicara pelayanan publik tidak dapat terlepas dari kualitas pelayanan publik, yang menyangkut akses pelayanan (service accessibility) dan kepuasan pelayanan (service satisfaction). Akses pelayanan publik, salah satunya diukur dengan standar pelayanan minimal, sedangkan kepuasan pelayanan dapat diukur dengan indeks kepuasan masyarakat (IKM) dan indeks kemudahan berusaha (doing business) untuk sektor privat (PKKOD-LAN, 2013). Kualitas pelayanan menurut Evans dan Lindsay (1997) dapat dilihat dari berbagai sudut. Jika dilihat dari sudut pandang konsumen, maka kualitas pelayanan selalu dihubungkan dengan sesuatu yang baik/prima (excellent). Jika kualitas pelayanan dipandang dari sudut ”product based”, maka kualitas pelayanan dapat didefinisikan sebagi suatu fungsi yang spesifik, dengan variabel pengukuran yang berbeda-beda dalam memberikan penilaian kualitas sesuai dengan karakteristik produk yang bersangkutan. Kualitas pelayanan jika dilihat dari sudut “user based”, maka kualitas pelayanan adalah sesuatu yang diinginkan oleh pelanggan atau tingkat kesesuaian dengan keinginan pelanggan. Sedangkan, jika dilihat dari “value based”, maka kualitas pelayanan merupakan keterkaitan antara kegunaan atau kepuasan dengan harga. 3) Standar Pelayanan Minimal (SPM) Sesuai amanat UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib dilaksanakan dengan berpedoman pada standar pelayanan minimal, dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan pemerintah, yaitu PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Ketentuan ini telah dijabarkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal guna melaksanakan amanat Pasal 7 ayat (2) PP No. 65 Tahun 2005. Selain itu, untuk melaksanakan amanat Pasal 5 ayat (3) PP No. 65 Tahun 2005 telah diterbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 100.05-76 Tahun 2007 tentang Pembentukan Tim Konsultasi Penyusunan Standar Pelayanan Minimal. Petunjuk teknis penyusunan dan penetapan SPM dimaksudkan untuk memberikan acuan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 633 SURYANTO 634 Non-Departemen (: kini Lembaga Pemerintah Non Kementerian/LPNK), dalam menyusun dan menetapkan SPM sesuai tugas dan fungsinya agar pedoman SPM yang disusun tersebut dapat diterapkan Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Sedangkan ruang lingkup penyusunan dan penetapan SPM oleh Menteri/LPND meliputi: a) jenis pelayanan dasar yang berpedoman pada SPM, b) indikator dan nilai SPM, c) batas waktu pencapaian SPM, dan d) pengorganisasian penyelenggaraan SPM. Adapun untuk menyukseskan penyusunan pedoman SPM tersebut telah dibentuk tim konsultasi yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri (Pengarah) dan Dirjen Otda Kemendagri (Penanggung Jawab). Dalam konteks otonomi Aceh, sebagaimana tertuang dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Daerah Aceh Pasal 14 ayat (3) disebutkan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib dilakukan dengan berpedoman pada standar pelayanan minimal, dilaksanakan secara bertahap, dan ditetapkan oleh Pemerintah. Senada dengan pemerintah daerah generik lainnya, pelaksanaan amanat pasal ini juga berpedoman pada PP No. 65 Tahun 2005 sebagai penjabaran UU No. 32 Tahun 2004. Namun demikian, dalam otonomi Aceh terdapat satu pengaturan yang agak berbeda mengenai urusan wajib lainnya: “Urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh merupakan pelaksanaan keistimewaan Aceh yang antara lain meliputi: a. p e n y e l e n g g a r a a n k e h i d u p a n beragama dalam bentuk pelaksanaan syari'at Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama; b. penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam; c. penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syari'at Islam; d. peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh; dan e. penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji sesuai dengan peraturan perundang-undangan”(UU No. 11 Tahun 2006, Pasal 16 ayat 2). Kondisi senada terdapat di Provinsi DKI Jakarta, Provinsi DIY, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat sesuai dengan “otsus” nya. Urusan (wajib) seperti ini tidak terdapat pada pemerintahan daerah lain yang bersifat umum/generic berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004. SPM didefinisikan sebagai ketentuan mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal (PP No. 65 Tahun 2005, Pasal 1 ayat 6). Dalam pelaksanaannya, SPM menganut beberapa prinsip, yakni: a. SPM merupakan standar yang dikenakan pada urusan wajib, sedangkan untuk urusan lainnya pemerintah daerah boleh menetapkan standar sendiri sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. b. SPM berlaku secara nasional, yang berarti harus diberlakukan di seluruh JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 PENCAPAIAN TARGET STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM): APA YANG TERJADI ? daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia. c. SPM harus dapat menjamin akses masyarakat terhadap pelayanan tertentu yang harus disediakan oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan urusan wajibnya. d. SPM bersifat dinamis dan perlu dikaji ulang dan diperbaiki sesuai dengan perubahan kebutuhan nasional dan perkembangan kapasitas daerah secara merata. e. SPM ditetapkan pada tingkat minimal yang diharapkan secara nasional untuk pelayanan jenis tertentu. Yang dianggap minimal dapat merupakan rata-rata kondisi daerah-daerah, merupakan konsensus nasional, dan lain-lain. f. S P M h a r u s m e n g a c u p a d a perencanaan daerah, penganggaran daerah, pengawasan, pelaporan, dan merupakan salah satu alat untuk menilai Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Kepala Daerah serta menilai kinerja penyelenggaraan peemrintahan daerah (LPPD). Pencapaian tingkat kesejahteraan masyarakat salah satunya akan sangat tergantung pada tingkat pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah, sebagai salah satu komponen pemberi layanan di daerah. SPM sangat diperlukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat sebagai konsumen pelayanan itu sendiri. Bagi pemerintah daerah suatu SPM dapat dijadikan sebagai tolok ukur (benchmark) dalam penentuan biaya yang diperlukan untuk menyediakan pelayanan tertentu. Sedangkan bagi masyarakat SPM akan menjadi acuan dalam menilai kinerja pelayanan publik, yakni kualitas dan kuantitas suatu pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah. Hingga saat ini terdapat 15 (lima belas) kementerian terkait yang telah mengeluarkan acuan SPM untuk diterapkan ke seluruh daerah di Indonesia. Kelimabelas SPM dimaksud meliputi: a. B i d a n g p e r u m a h a n r a k y a t berdasarkan Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No. 22 Tahun 2008 tentang SPM Bidang Perumahan Rakyat Daerah Provinsi dan daerah Kabupaten/Kota; b. Bidang pemerintahan dalam negeri berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 62 Tahun 2008 tentang SPM Bidang Pemerintahan Dalam Negeri di Kabupaten/Kota; c. Bidang sosial berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Nomor 129 Tahun 2008 tentang SPM Bidang Sosial Daerah P r o v i n s i d a n D a e r a h Kabupaten/Kota; d. Bidang kesehatan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 741 tahun 2008 tentang SPM Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota; e. B i d a n g p e r e m p u a n d a n a n a k berdasarkan Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan No. 1 Tahun 2009 tentang SPM Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Penghapusan Ekploitasi Seksual pada Anak dan Remaja di Kabupaten/Kota, dan Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan; 635 SURYANTO f. 636 Bidang LH berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 19 Tahun 2010 tentang SPM Lingkungan Hidup Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota; g. Bidang KB dan KS berdasarkan Peraturan Kepala BKKBN Nomor 55/HK-010/B5/2010 tentang SPM Bidang Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera di Kabupaten/Kota; h. Bidang pendidikan berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 15 Tahun 2010 tentang SPM Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota; I. Bidang ketenagakerjaan berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi No. PER. 15/MEN/X/2010 tentang SPM Bidang Ketenagakerjaan. j. B i d a n g P U d a n T a t a R u a n g berdasarkan Peraturan Menteri P e k e r j a a n U m u m N o . 14/PRT/M1/2010 tentang SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang; k. Bidang pertanian berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 65/Permentan/OT.1401121/2010 tentang SPM Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/ Kota; l. B i d a n g K e s e n i a n b e r d a s a r k a n Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM. 106/HK. 501/MKP/2010 tentang SPM Bidang Kesenian; m. B i d a n g k o m i n f o b e r d a s a r k a n Peraturan Menteri Komunikasi dan lnformatika No. 22 Tahun 2010 tentang SPM Bidang Kominfo di Kabupaten/Kota (Surat Edaran Mendagri No. 100/676/SJ tertanggal 7 Maret 2011). n. Bidang Perhubungan berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. PM. 81 Tahun 2011 tentang SPM Bidang Perhubungan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. o. SPM Bidang Penanaman Modal berdasarkan Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2011 tentang SPM Bidang Penamanam Modal Provinsi dan Kabupaten/ Kota. C. TOPIK PEMBAHASAN 1) Memahami Terminologi SOP, SPP dan SPM Guna memahami konsep SPM, terlebih dahulu harus dijelaskan perbedaan istilah atau terminologi yang merancukannya, yaitu standar operating procedures (SOP), standar pelayanan publik (SPP), dan standar pelayanan minimal (SPM). Standard Operating Procedures (SOP) adalah serangkaian instruksi tertulis yang dibakukan mengenai berbagai proses penyelenggaraan administrasi pemerintahan, bagaimana dan kapan harus dilakukan, dimana dan oleh siapa dilakukan. Manfaat Standard Operating Procedures dalam lingkup penyelenggaraan administrasi pemerintahan meliputi antara lain: a. Sebagai standarisasi cara yang dilakukan pegawai dalam menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tugasnya. b. Mengurangi tingkat kesalahan dan kelalaian yang mungkin dilakukan oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugas. c. M e n i n g k a t k a n e f i s i e n s i d a n JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 PENCAPAIAN TARGET STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM): APA YANG TERJADI ? efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab individual pegawai dan organisasi secara keseluruhan. d. Membantu pegawai menjadi lebih mandiri dan tidak tergantung pada intervensi manajemen, sehingga akan mengurangi keterlibatan pimpinan dalam pelaksanaan proses sehari-hari. e. M e n i n g k a t k a n a k u n t a b i l i t a s pelaksanaan tugas. f. Menciptakan ukuran standar kinerja yang akan memberikan pegawai cara konkrit untuk memperbaiki kinerja serta membantu mengevaluasi usaha yang telah dilakukan. g. Memastikan pelaksanaan tugas penyelenggaraan pemerintahan dapat berlangsung dalam berbagai situasi. h. Menjamin konsistensi pelayanan kepada masyarakat, baik dari sisi mutu, waktu dan prosedur. i. Memberikan informasi mengenai kualifikasi kompetensi yang harus dikuasai oleh pegawai dalam melaksanakan tugasnya. j. Memberikan informasi bagi upaya peningkatan kompetensi pegawai. k. Memberikan informasi mengenai beban tugas yang dipikul oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya. l. Sebagai instrumen yang dapat melindungi pegawai dari kemungkinan tuntutan hukum karena tuduhan melakukan penyimpangan. m. M e n g h i n d a r i t u m p a n g t i n d i h pelaksanaan tugas. n. Membantu penelusuran terhadap kesalahan-kesalahan prosedural dalam memberikan pelayanan. o. Membantu memberikan informasi yang diperlukan dalam penyusunan standar pelayanan, sehingga sekaligus dapat memberikan informasi bagi kinerja pelayanan. Standar pelayanan publik (LAN, 2006) adalah suatu tolok ukur yang dipergunakan untuk acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai komitmen atau janji dari pihak penyedia pelayanan kepada pelanggan untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. Setiap pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi dan atau penerima pelayanan. Komponen standar pelayanan sekurang-kurangnya meliputi (Permenpan dan RB No. 36 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan, Penetapan, dan Penerapan Standar Pelayanan ) : a. Dasar Hukum, adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar penyelenggaraan pelayanan. b. Persyaratan, adalah syarat (dokumen atau hal lain) yang harus dipenuhi dalam pengurusan suatu jenis pelayanan, baik persyaratan teknis maupun administratif. c. Sistem, mekanisme dan prosedur, adalah tata cara pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan , termasuk pengaduan. d. Jangka Waktu penyelesaian, adalah jangka waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan seluruh proses pelayanan dari setiap jenis pelayanan. e. Biaya/tarif, adalah ongkos yang dikenakan kepada penerima layanan dalam mengurus dan/atau JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 637 SURYANTO f. g. h. I. 638 j. k. l. m. memperoleh pelayanan dari penyelenggara yang besarnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara penyelenggara dan pelayanan. Produk pelayanan, adalah hasil pelayanan yang diberikan dan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Sarana, prasarana dan /atau fasilitas, adalah peralatan dan fasilitas yang diperlukan dalam penyelenggaraan pelayanan, termasuk pelayanan dan fasilitas pelayanan bagi kelompok rentan. Kompetensi pelaksana, adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh pelaksana meliputi pengetahuan, keahlian, keterampil-an dan pengalaman. Pengawasan internal, adalah system pengendalian intern dan pengawasan langsung yang dilakukan oleh pimpinan satuan kerja atau atasan langsung pelaksana. Penanganan pengaduan, saran, dan masukan, adalah tata cara pelaksanaan penanganan pengaduan dan tindak lanjut. Jumlah pelaksana, adalah tersedianya pelaksana sesuai dengan beban kerja. Informasi mengenai komposisi atau jumlah petugas yang melaksanakan tugas sesuai pembagian dan uraian tugasnya. Jaminan pelayanan, adalah memberikan kepastian pelayanan yang dilaksanakan sesuai dengan Standar Pelayanan. Jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan, adalah dalam bentuk komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, resiko, dan keragu-raguan. n. Evaluasi kinerja pelaksana, adalah penilaian untuk mengetahui seberapa jauh pelaksanaan kegiatan sesuai dengan standar pelayanan. Untuk dapat membedakan ketiga terminologi di atas, akan diuraikan beberapa deskripsi dan contoh sebagai berikut. SOP berbicara mengenai prosedur/mekanisme pelayanan, jadi bagaimana tahapan-tahapan pelayanan tersebut dilakukan. Sedangkan SPP berbicara mengenai ukuran kualitas pelayanan itu sendiri. Sebuah pelayanan dikatakan “bagus/prima” misalnya kalau pelayanan tersebut memenuhi standar yang telah ditetapkan. Sebagai contoh, pelayanan KTP standar waktunya adalah 1 hari, apabila pelayan publik dapat menyelesaikan pelayanan tersebut dalam kurun waktu 1 hari maka dikatakan telah sesuai standar, artinya pelayanan yang diberikan telah sesuai dengan standarnya. Adapun istilah SPM berbicara mengenai pelaksanaan urusan wajib yakni urusan pemerintahan dalam bentuk pelayanan dasar yang harus dilaksanakan oleh pemerintah provinsi, kabupaten dan kota, yang meliputi urusan-urusan wajib seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan tata ruang, dan seterusnya. 2) Kerancuan Konsep dan Kendala Implementasi SPM Kebingungan (confuse) akan pengertian berbagai istilah dalam pelayanan publik tidak hanya terbatas pada terminologi sebagaimana tersebut di atas, namun sebenarnya juga terjadi pada istilah SPM itu sendiri khususnya oleh stakeholders di daerah. Hal ini yang menyebabkan terminologi SPM belum PENCAPAIAN TARGET STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM): APA YANG TERJADI ? diterapkan di sebagian besar pemerintah daerah. Persoalannya cukup jelas, yaitu masih banyaknya aparat pemerintah daerah khususnya aparat kabupaten dan kota yang belum memahami kebijakan SPM secara benar, sehingga timbul anggapan bahwa kebijakan SPM bukan merupakan kebijakan yang menjadi prioritas (Pramusinto, dkk, 2013). Tim UGM-BPP 3 Kemendagri mengungkap banyaknya kendala yang dihadapi pemerintah daerah dalam melaksankan SPM. Pertama, ketidakjelasan konsepsi tentang pelayanan dasar. Kedua, bagi K/L, SPM diperlakukan sebagai peluang untuk memasukkan program sektoralnya agar dapat menjadi program daerah. Idealnya: SPM untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pelayanan dasar yang minimal yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah, namun beberapa kasus bergeser menjadi pencapaian program sektoral melalui pemerintah daerah. Ketiga, Keterbatasan sumbersumber daya (resources) dalam mencapai target SPM yang ditetapkan oleh sektoral. Terkait ketidakjelasan konsep SPM, saat ini terdapat 15 SPM dengan 60 indikator pelayanan dasar yang harus dilaksanakan oleh pemda dengan ukuran pencapaian yang berbeda-beda. Ada SPM yang menghendaki pencapaian proses, output dan ada pula yang outcome. Akibatnya, sebagian K/L seperti Kementrian Pendidikan Nasional merumuskan SPM bidang pendidikan dengan cakupan yang sangat luas 3 meliputi, masukan, proses, dan hasil / outcome. Kerancuan dalam penentuan aspek yang diatur dalam SPM berimplikasi terhadap penerapan SPM oleh pemerintah daerah. Bagi pemerintah daerah, terjadi kebingungan apakah input dan proses, apa output atau outcome yang ingin dicapai? Apa ada jaminan mutu pelayanan? Kalau output atau outcome, bagaimana strategi untuk mencapainya? Dengan sumber daya yang terbatas, pemerintah daerah mengalami kesulitan ketika mereka harus memenuhi indikator SPM yang meliputi indikator masukan, proses, dan hasil/outcome. Selain persoalan konsepsi, menurut Pramusinto, dkk (2013), kendala penerapan SPM di daerah juga ditunjukkan dalam implementasinya terutama terkait dengan pembinaan dan pengawasan. Kemendagri bertugas melaksanakan binwas, namun karena kedudukannya yang setara dengan kementerian sektoral maka peran tersebut tidak mampu dijalankan secara optimal. Selain itu, tidak jelas pula apa yang dimaksudkan dengan istilah pembinaan umum dan pembinaan teknis. Logikanya, pembinaan umum bisa saja dilaksanakan oleh Kemendagri, tetapi pembinaan teknis? Demikian pula dengan monev pelaksanaan SPM, apakah Kemendagri harus melakukan monev sendiri ataukah cukup mengandalkan hasil monev yang telah dilakukan oleh kementerian teknis terkait? BPP Kemendagri = Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri. Penelitian dimaksud merupakan kerjasama UGM dengan BPP Kemendagri untuk mengkaji kendala-kendala penerapan SPM di daerah. 4 Focal point (titik pumpun) adalah istilah yang lazim digunakan dalam bidang arsitektur. Contoh definisi focal point adalah daerah tertentu di dalam ruangan yang pertama kali menarik perhatian mata. Focal point biasanya berbentuk lukisan, back drop TV dan lain-lain. Kemendagri selain sebagai leading sector juga disebut sebagai focal point, yaitu pihak yang dianggap mumpuni dalam mengorganisasikan keberhasilan pelaksanaan kebijakan SPM. 639 SURYANTO 640 PP No. 65 Tahun 2005 pada Pasal 5 menyatakan bahwa penyusunan SPM oleh masing-masing K/L dilakukan melalui konsultasi yang dikoordinasikan oleh Kementerian Dalam Negeri. Bahkan, Tim Konsultasi juga dibentuk dengan SK Menteri Dalam Negeri. Sebagai focal point4, Kemendagri bertugas memfasilitasi dan mengelola proses konsultasi perumusan SPM. Persoalannya adalah, fasilitasi dan proses konsultasi tidak efektif. “Seringkali pembahasan di DPOD kurang serius, karena banyak K/L ketika merumuskan SPM hanya sekedar untuk memenuhi target kinerja dari UKP4”. DPOD juga sering tidak memiliki informasi yang memadai untuk bisa secara rinci membahas usulan SPM karena dukungan dari Tim Konsultasi kurang optimal. Selain itu, tidak adanya kajian yang secara substantif me-review usulan draft SPM dan menilai konsistensinya dengan PP 65/ 2005 membuat SPM yang diusulkan oleh masing-masing K/L memiliki rumusan dan konsepsi yang berbeda-beda. DPOD tidak didukung oleh Tim Teknis yang mampu melakukan analisis kebijakan terhadap setiap isu-isu kebijakan yang diputuskan dalam sidang-sidang DPOD. Para pakar yang dilibatkan dalam keanggotaan DPOD tidak memiliki kapasitas untuk member pertimbangan berdasarkan analisis yang memadai karena tidak adanya kajian yang menyeluruh terhadap pilihan kebijakan yang akan diambil dalam sidang DPOD. Persoalan implementasi SPM tidak terkelola dengan baik, sudah dilakukan tapi tidak disadari sebagai SPM, SPM bukan sebagai dasar dan standar dalam penyelenggaraan pelayanan, dan SPM tidak dipedulikan di dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Sosialisasi yang telah berjalan terlalu teknis dan tidak menjangkau p e r ma sa l a h a n se ca r a u t u h y a n g menyangkut: a) bagaimana payung hukumnya di daerah, b) bagaimana integrasinya dalam perencanaan yang sudah ada, c) bagaimana perhitungan pembiayaan, dan d) bagaimana penilaian kinerja dalam penerapan SPM. Terkait kendala penganggaran (costing), beberapa kendala yang dihadapi seperti tidak adanya tradisi dalam men-design penganggaran yang berbasis kinerja. keterbatasan anggaran yang tersedia untuk penyelenggaraan pelayanan, tidak adanya efisiensi dalam penggunaan anggaran, dan lemahnya efektivitas dan akuntabilitas penggunaan DAK dan dana dekonsentrasi. Selanjutnya, terkait koordinasi pengelolaan SPM terganggu adanya dualisme pengorganisasian, yaitu Bagian/Biro Organisasi : asumsi bahwa Bagian/Biro Organisasi merupakan kepanjangan tangan Sekretaris Daerah (Sekda) tidak memiliki kemampuan teknis untuk mendukung perencanaan dan implementasi SPM di daerah karena PP No. 65/2005 tidak dilengkapi dengan petunjuk teknis yang memadai dari pemerintah pusat. Sebagai SKPD, Bappeda yang memiliki kewenangan dalam merencanakan dan mengawal implementasi berbagai program pembangunan. Bappeda akan lebih mampu mengkoordinasikan perencanaan dan penerapan SPM di daerah. Kedudukan Kemendagri sebagai focal point dilemahkan oleh kenyataan JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 PENCAPAIAN TARGET STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM): APA YANG TERJADI ? bahwa K/L cenderung menggunakan SKPD yang dapat menjadi kepanjangan tangannya di daerah. Terbatasnya PNS yang memiliki kapasitas yang dituntut oleh SPM. Kapasitas daerah untuk menyediakan berbagai infrastruktur sangat terbatas. Alokasi DAK dalam bidang pendidikan dan kesehatan seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan dan problema yang dihadapi daerah dalam pencapaian target nasional. 3) Hal-hal Yang Perlu Diperbaiki dalam Pencapaian Target SPM: Kasus SPM Kesehatan Di lingkungan Kementerian Kesehatan sendiri, keberadaan dokumen SPM bukanlah merupakan sesuatu yang baru, karena sejak awal Kementerian Kesehatan telah memperhatikan pentingnya pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawabnya. Hal ini ditunjukkan dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Kesehatan No. 1457/MENKES/SK/ X/2003 tanggal 10 Oktober 2003 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Menurut kepmen tersebut terdapat 26 jenis pelayanan dasar (47 indikator) dan 7 jenis pelayanan sesuai dengan kebutuhan (7 indikator), sehingga total indikator yang harus dilaksanakan sebanyak 54 indikator. Pasca terbitnya PP No. 65 Tahun 2005, Kepmen No. 1457/MENKES/SK/ X/2003 dianggap tidak relevan lagi dan kemudian diganti dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 741/MENKES/PER/VII/2008 tanggal 29 Juli 2008 tentang SPM Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Dalam 5 peraturan baru ini jumlah pelayanan dasar yang menjadi kewajiban daerah disederhanakan hanya menjadi 4 jenis pelayanan dasar, yang dijabarkan menjadi 22 indikator. Keempat jenis pelayanan tersebut meliputi pelayanan kesehatan dasar (18 Indikator), pelayanan kesehatan rujukan (2 indikator), penyelidikan epidemiologi & penanggulangan kejadian luar biasa/KLB (1 Indikator), dan promosi kesehatan & pemberdayaan masyarakat (1 indikator). Artinya, dari sisi jenis pelayanan dasar dan indikator kinerjanya sudah lebih 'simpel' dibandingkan peraturan terdahulu. Namun demikian, layaknya sebuah kebijakan selalu menimbulkan pro dan kontra, senantiasa terdapat manfaat dan mudharat serta disertai sejumlah permasalahan yang dihadapinya. Begitu pun implementasi SPM bidang kesehatan, manfaat yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat di perkotaan maupun di perdesaan sangat besar, akan tetapi berbagai persoalan juga masih menyertai dan memerlukan penyelesaian segera. Di antara permasalahan yang dihadapi dalam implementasi SPM bidang kesehatan, meliputi: (1) M a s i h t e r d a p a t p e r b e d a a n pemahaman mengenai konsepsi dan pengukuran SPM bidang kesehatan, apakah SPM itu akan mengukur input, proses, output ataukah outcome. Meskipun persoalan ini juga dihadapi oleh SPM bidang lainnya, namun munculnya kesadaran bahwa hal ini merupakan masalah krusial dalam penerapan SPM, kiranya sangat penting bagi Kementerian Kesehatan guna Focal point di kementerian sektoral/kementerian teknis masing-masing sesuai urusan pemerintahan. 641 SURYANTO (2) (3) 642 (4) (5) 6 menyelesaikan persoalan tersebut dalam mendukung pelaksanaan di lapangan; Belum ada/tidak adanya kejelasan pola hubungan antara Kemenkes dengan Kemendagri terkait pembinaan dan pengawasan (binwas) penerapan SPM bidang kesehatan. Hal ini disebabkan tidak adanya pembagian tugas yang jelas antara Kementerian Kesehatan sebagai focal point5 pelaksanaan SPM sekaligus sebagai pihak yang melakukan binwas secara sektoral; Belum dilakukan pengarus-utamaan (mainstreaming) yang serius dalam penerapan SPM bidang kesehatan dalam bentuk sosialisasi kepada seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) baik Pemerintah, pemerintah daerah, swasta, dan NGO. Tidak adanya insentif dan disinsentif atau reward and punishment bagi daerah yang berhasil atau gagal dalam melaksanakan SPM bidang kesehatan; Minimnya SDM yang berkualitas (dokter, bidan, perawat, dan petugas paramedis) sehingga menghambat implementasi program dan kegiatan SPM bidang kesehatan; (6) Keterbatasan anggaran untuk membiayai jenis pelayanan dasar dan indikator kinerja pelayanan dasar yang sangat banyak (artinya penyederhanaan dari 54 indikator menjadi 22 indikator pun masih dinilai tidak realistis karena dianggap terlalu banyak). (7) Cakupan pelayanan dasar bidang kesehatan tidak dapat dicapai secara seragam di tiap daerah karena perbedaan sumber daya (resources) yang dimilikinya. Penerapan SPM bidang kesehatan, sebagaimana dijelaskan pada bagian terdahulu, telah dilaksanakan jauh hari sebelum diterbitkan PP No. 65 Tahun 2005, artinya Kementerian Kesehatan telah cukup memiliki komitmen untuk menjalankan amanat peraturan perundang-undangan. Seiring dengan perubahan kebijakan dan tuntutan lingkungan strategis, maka pemenuhan terhadap SPM kesehatan pun mengalami perubahan. Oleh karena itu, berdasarkan Permenkes No. 741/MENKES/PER/ VII/2008, Kementerian Kesehatan telah memberikan guidance pelaksanaan SPM di pemerintah kabupaten dan kota. Target dan capaian kinerja SPM Bidang Kesehatan secara nasional sampai tahun 20126 sebagaimana terlihat pada tabel berikut. Untuk data capaian SPM Bidang Kesehatan Tahun 2013 belum dapat disajikan dalam tulisan ini karena menurut informasi yang penulis peroleh dari narasumber (Bpk. KRT dr. Bambang Sardjono, MPH-Staf Ahli Kemenkes dan Ibu Ira, staf Bpk. Bambang Sardjono) bahwa data tersebut masih diinput oleh biro yang menangani SPM yakni Biro Hukum dan Organisasi Setjen Kemenkes RI. PENCAPAIAN TARGET STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM): APA YANG TERJADI ? 643 Sumber: Permenkes No. 741/MENKES/PER/VII/2008 dan Paparan Kemenkes di FGD PKKOD-LAN tanggal 16 Juli 2013. Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa capaian kinerja SPM bidang kesehatan menunjukkan kondisi yang bervariasi, artinya terdapat indikator pelayanan dasar yang telah tercapai 100%, seperti indikator cakupan peserta KB aktif (target 70%, realisasi 76,83%), dan Acute Flacid Paralysis (AFP) rate per 100.000 penduduk <15 tahun (target ≥2/100.000 penduduk, realisasi 5.2/100.000 penduduk). Sementara itu, terdapat sejumlah indikator yang hampir mencapai target, meliputi indikator cakupan kunjungan ibu hamil K4 (target JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 SURYANTO 644 90%, realisasi 85,03%), cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan (target 90%, realisasi 87,38%), cakupan pelayanan nifas (target 90%, realisasi 85,74%), cakupan kunjungan bayi (target 90%, realisasi 85,49%), cakupan desa/kelurahan UCI (target 100%, realisasi 89,51%), cakupan penjaringan kesehatan siswa SD dan setingkat (target 100%, realisasi 83, 19%), dan desa siaga aktif (target 80%, realisasi 79,09%). Namun demikian, masih terdapat beberapa indikator pelayanan dasar yang jauh dari target seperti cakupan gizi buruk mendapat perawatan (target 100%, realisasi 5,12%), persentase penderita DBD yang ditangani (target 100%, realisasi 2,96%), cakupan pelayanan kesehatan rujukan masyarakat miskin (target 100%, realisasi 7,65%). Sebagaimana disampaikan para narasumber dalam FGD di LAN7, dari ke22 indikator tersebut di atas pada dasarnya telah dilaksanakan dengan cukup baik, dan bahkan beberapa indikator tersebut telah mencapai target yang ditetapkan. D. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1) Kesimpulan Carut-marut implementasi kebijakan standar pelayanan minimal (SPM), bukan semata-mata persoalan “pelaksanaan” belaka namun terkait pula dengan masalah “konsepsi” SPM itu sendiri. Artinya, istilah SPM belum dipahami sebagaimana mestinya sesuai amanat peraturan perundangannya. Menurut PP No. 65 Tahun 2005 SPM diartikan sebagai ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Di lapangan, istilah SPM terkadang dirancukan dengan istilah standard operating procedures (SOP) dan standar pelayanan publik (SPP). Tidak hanya itu, istilah SPM terkadang pula disalah artikan dengan “Surat Perintah Membayar” yaitu sebuah terminologi yang biasa digunakan dalam konteks pengelolaan keuangan. Kerancuan istilah tersebut menyebabkan kebingungan (confuse) pemerintah daerah dalam menyusun dan menetapkan target capaian SPM. Di satu pihak terdapat pemerintah daerah yang menetapkan capaian SPM pada level input dan proses, ada pula yang menetapkan capaian SPM pada level output dan bahkan outcome. Kebingungan ini berimplikasi pada pada sikap pemerintah daerah yang memandang kebijakan pencapaian target SPM sebagai kebijakan yang TIDAK prioritas. Khusus dalam implementasi SPM bidang kesehatan, pada dasarnya capaian target SPM terlihat cukup baik. Dari 22 indikator pelayanan kesehatan dasar hanya sebagian kecil yang masih sangat jauh dari target (< 10%), di antaranya pelayanan cakupan gizi buruk mendapat perawatan (target 100%, realisasi 5,12%), persentase penderita DBD yang ditangani (target 100%, realisasi 2,96%), dan cakupan pelayanan kesehatan rujukan masyarakat miskin (target 100%, realisasi 7,65%). Untuk persentase penemuan pasien baru TB 7 Paparan Staf Ahli Menteri Kesehatan, KRT dr. Bambang Sardjono, MPH di dalam FGD LAN dengan tema “Kebijakan SPM: Perkembangan, Hambatan, dan Tantangan Ke Depan”, tanggal 16 Juli 2013. PENCAPAIAN TARGET STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM): APA YANG TERJADI ? BTA Positif Case Detection Rate (CDR) sebesar 10,44%. Beberapa capaian yang di bawah 50% antara lain: Cakupan neonatus dengan komplikasi yg ditangani sebesar 27, 11%, Cakupan pemberian makanan pendamping ASI anak usia 6-24 bulan Gakin sebesar 26,75%, Persentase balita dengan pneumonia yang ditangani sebesar 20,76%, Persentase penderita diare yang ditangani sebesar 43,90%, dan cakupan pelayanan gawat darurat level 1 yang harus diberikan sarana kesehatan (RS) di Kabupaten/Kota sebesar 46,14%. Adapun untuk jenis pelayanan kesehatan dasar lainnya telah mencapai target di atas 50%, bahkan ada yang mencapai target 100%. 2) Rekomendasi Rekomendasi penulis terkait pencapaian target SPM dibagi menjadi dua bagian yakni rekomendasi umum dan rekomendasi khusus terkait SPM bidang kesehatan: a. Umum 1) Perlunya internalisasi istilah SPM agar tidak rancu dengan istilah SOP, SPP, dan istilah lainnya di bidang pelayanan publik. Istilah SPM harus senantiasa dikomunikasikan dan diinternalisasikan oleh segenap stakeholders. Untuk hal ini, Kemendagri sebagai focal point (titik pumpun) bersama dengan kementerian sektoral atau kementerian teknis terkait (dalam hal ini Kementerian Kesehatan) serta tim monitoring yang dibentuk oleh Kemendagri dapat dan harus bekerja keras untuk melaksanakannya; 2) K e r a n c u a n k o n s e p d a n implementasi SPM hendaknya menjadi perhatian terutama bagi kementerian teknis yang menerbitkan kebijakan SPM itu sendiri dalam upaya menindaklanjuti PP Nomor 65 T a h u n 2 0 0 5 . Kementerian/Lembaga tidak dapat bekerja sendirian, oleh karena itu dalam pelaksanannya dapat melibatkan berbagai stakeholders terkait. 3) Hal-hal yang perlu diperbaiki dalam rangka pencapaian target SPM nasional perlu terus diupayakan dan dilaksanakan. Perbaikan dimaksud dapat saja dilaksanakan pada lingkup kerangka regulasinya (PP, peraturan menteri, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis yang relevan), kerangka implementasi, dan kerangka monev-nya. Terkait contoh capaian target bidang kesehatan di atas sebenarnya sudah baik dibandingkan capaian SPM bidang lainnya. Namun, perbaikan dan peningkatan implementasi SPM memerlukan dukungan sumber daya (resources) lainnya yang meliputi kecukupan dana dan SDM. b. Khusus Terkait implementasi SPM bidang kesehatan di kabupaten/kota, beberapa saran/rekomendasi yang perlu dilakukan meliputi: 1) Perlunya sosialisasi SPM bidang kesehatan ke segenap stakeholders. Hal ini untuk mengurangi terjadinya kesalahpahaman JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 645 SURYANTO 646 dalam menjalankan kebijakan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah, dalam hal ini pedoman yang telah dikeluarkan oleh kementerian teknisnya. Sebagai contoh, sebuah daerah mengklaim telah menyusun dokumen strategi pencapaian SPM, namun setelah diteliti ternyata yang disusun bukan dokumen SPM, akan tetapi yang disusun adalah SOP atau dokumen SPP (standar pelayanan publik). 2) Perlunya pemahaman konsep dan pengukuran SPM bidang kesehatan sehingga akan terbangun suatu kesepahaman di antara berbagai pemangku kepentingan dalam mencapai target kinerja yang ditetapkan. Disamping itu, perlu perumusan ulang mengenai jenis pelayanan dan indikatornya serta targettarget capaian yang rasional. 3) Perlunya peningkatan jumlah dan kualitas SDM aparatur dalam pencapaian SPM bidang kesehatan, menyangkut dokter, perawat, bidang, mantri, dan tenaga paramedis lainnya. Tidak hanya penambahan, hal yang juga penting dalam hal penataan SDM kesehatan adalah pendistribusian SDM ke berbagai wilayah yang membutuhkan. Pada praktik di lapangan, banyak tenaga kesehatan yang tidak bersedia ditempatkan di daerah terpencil/perdesaan. 4) Perlunya peningkatan alokasi anggaran bagi pelaksanaan SPM bidang kesehatan. Menurut UU No. 36 Tahun 2009 tentang 8 Kesehatan, anggaran kesehatan provinsi, kabupaten dan kota dialokasikan minimal 10% dari APBD di luar gaji 8 . Alokasi pembiayaan adalah salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan suatu kebijakan. Selama ini sebagian besar peraturan SPM yang diatur oleh K/L belum disertai dengan pembiayaannya. Sebaiknya setiap K/L yang membuat peraturan SPM juga menyertakan petunjuk teknis yang mengatur tentang pembiayaan dan sumber pembiayaan SPM-nya. 5) Perlunya memasukkan SPM ke dalam dokumen perencanaan secara terintegrasi. Di dalam target RPJMD terdapat indikator SPM namun tidak ditemukan dalam program. Akibatnya SPM kesehatan sering dianggap sebagai “benda asing” yang mengganggu proses perencanaan. Memang dalam hal ini terdapat 4 tipikal kesulitan memasukkan SPM dalam dokumen perencanaan meliputi : 1) Dalam target RPJMD ditemukan indikator SPM namun tidak ada program, 2) Indikator kinerja dalam bentuk persentase belum ditemukan tapi sudah ada programnya dalam RPJMD, 3) Target dalam RPJMD sudah termuat dan sudah ada programnya, dan 4) Tidak ditemukan dalam target RPJMD dan tidak memiliki program. 6) Perlunya kegiatan pembinaan Untuk besaran anggaran kesehatan Pemerintah dialokasikan minimal 5% dari APBN di luar gaji (Pasal 171 ayat 1). PENCAPAIAN TARGET STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM): APA YANG TERJADI ? dan pengawasan (binwas) secara intensif. Dalam kaitan ini, kementerian teknis bertugas mengawal penerapan SPM kesehatan di daerah sehingga sesuai dengan NSPK (norma, standar, prosedur dan kriteria) yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Kementerian Kesehatan. Selanjutnya, Kementerian Kesehatan bersamasama Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melakukan binwas secara berkelanjutan. 7) P e r l u n y a m o n i t o r i n g d a n evaluasi terhadap penerapan SPM di lingkup pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota. Monitoring ditujukan untuk mendiagnosis penyebab-penyebab belum tercapainya target SPM sebagaimana yang diharapkan. Sedangkan evaluasi ditujukan untuk menilai jenis pelayanan dasar dan indikator-indikator yang pencapaiannya masih sangat rendah, padahal telah melampaui target waktu yang ditetapkan. Monitoring dan evaluasi dilakukan oleh Kementerian Kesehatan sebagai focal point bidang kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri sebagai leading sector pelaksanaan SPM. 8) Perlunya memberikan reward and punishment bagi pemerintah daerah. Penghargaan atau reward diberikan kepada pemerintah daerah atau SKPD yang mampu mencapai target-target SPM dengan baik dan berupaya untuk mewujudkannya semaksimal mungkin. Sedangkan hukuman atau punishment diberikan kepada peemrintah daerah atau SKPD yang cenderung mengabaikan pencapaian SPM tersebut serta tidak ada upaya konkret untuk mewujudkannya. 9) P e r l u n y a p e n i n g k a t a n kompetensi pegawai yang menangani SPM bidang kesehatan di daerah. Biasanya, pencapaian target SPM bidang kesehatan tidak hanya menjadi domain dinas kesehatan tetapi juga dilaksanakan oleh rumah sakit dan puskesmas di lingkup provinsi, kabupaten atau kota, sehingga seluruh komponen SDM pengelola SPM tersebut perlu memperoleh up-grading pengetahuan dan keterampilan, baik berkonsultasi dengan Kementerian Dalam Negeri maupun dengan Lembaga Administrasi Negara (di lingkungan Pemerintah Provinsi Aceh, telah dibentuk PKP2A IV Aceh sehingga pemda di Aceh dapat melakukan konsultasi tentang implementasi SPM tersebut). KEPUSTAKAAN Dwiyanto, Agus. (2011). Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama). Krina, Loina Lalono. (2003). Indikator dan Alat Ukur, Prinsip Akuntabilitas, Transparansi, dan Partisipasi, Sekretariat Good Publik Governance, Bapennas. JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 647 SURYANTO 648 Kuncoro, Wahyu. (2006). Studi Evaluasi Pelayanan Publik dan Kualitas Pelayanan Publik di RS Dr. Soetomo (Tesis Program Studi Magister Ilmu Politik-Undip). Nurcholis, Hanif. (2005). Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. (Jakarta: PT Gramedia Mediasarana Indonesia (GRASINDO)). Pramusinto, Agus dan Tim BPPKemendagri. (2013). Penerapan Standar Pelayanan Minimum (SPM): Kerancuan Konsep dan Kendala Implementasinya. Disampaikan pada FGD di PKKOD LAN tanggal 16 Juli 2013. Sardjono, Bambang. (2013). SPM Bidang Kesehatan di Kabupaten dan Kota “Bahan Paparan FGD LAN tentang Kebijakan SPM: Perkembangan, Hambatan dan Tantangan Ke Depan”. Disampaikan pada FGD di PKKOD LAN tanggal 16 Juli 2013. Sugandi, Yogi Suprayogi. (2011). Administrasi Publik: Konsep dan Perkembanagan Ilmu di Indonesia (Yogyakarta: Graha Ilmu). Sutopo dan Adi Suryanto (1999). Pelayanan Prima-Modul Diklatpim Tingkat IV, Jakarta: LAN. Warsono, Hardi. (2012). Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik (Konsep, Indikator-Indikator Serta Model Pengukurannya), Disampaikan pada Diskusi Terbatas Kajian Penyusunan Indikator Pembangunan Bidang Aparatur, Semarang, 20 September 2012. Wasistiono, Sadu. (2010). Good Governance: Pemerintahan Yang Baik. Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara (PKKODLAN). 2008. Manajemen Pemerintahan Daerah, (Jakarta: LAN RI). Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara (PKKODLAN). 2003. Kajian Penyusunan Indikator Pembangunan Aparatur, (Jakarta: LAN RI). Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara (PKKODLAN). 2013. Penyusunan Strategi Pencapaian Target SPM di Kabupaten Samosir. (Jakarta: LAN RI). Pusat Kajian Manajemen KebiakanLembaga Administrasi Negara (PKMKLAN), 2006, Strategi Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. (Jakarta: LANRI). Tangkilisan, Hessel Nogi S. (2003). Kebijakan Publik yang Membumi. Yogyakarta:Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia (YPAPI) dan Lukman Offset. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara /25/M.Pan/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 IMPLIKASI UNDANG-UNDANG APARATUR SIPIL NEGARA TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA APARATUR 1 IMPLICATIONS OF CIVIL LAW APPARATUS FOR IMPROVING THE QUALITY OF STATE RESOURCES APPARATUS HAYAT Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Islam Malang Jl. MT. Haryono 193 Malang, 65144 Email: [email protected] ABSTRACT Law civilian state apparatus (ASN) is a concrete form of government in creating quality bureaucracy governing implicit government order professionally and comprehensively to improve the quality of public services. Professionalism in the Law ASN refers to the quality of human resources that are reliable and competent in the performance and responsibilities as civil servants. The quality of human resources, to this day remains a serious problem in the bureaucratization in Indonesia, namely the lack of competency, performance on the apparatus is not balanced between performance and responsibility, as well as proporsionallitas where employees are still experiencing overload, and on the other hand are experiencing shortages very significant. So the impact on the quality of public services provided to the public. Public services are the basic needs of people in the livers of nation and state. Therefore, to overcome the low quality and competency of personnel resources can be performed as set out in the Act ASN, namely improving the quality of education, training, character development, and application of ethical standards and moral responsibility in the implementation of the ASN in the bureaucracy. Quality of service is met, if the State apparatus has the competence and professional performance and accountability. Sure, it takes a comprehensive collaboration between stakeholders in the implementation of the reform of the bureaucracy, as the orientation of good governance for the benefit and welfare of the people. Law Implications of ASN in the development and peningkatakan quality of human resources is the creation of the quality of human resources that are reliable, professional, accountable, and competitive. Resource quality can impact on improving public services. So that people can feel the service that is in line with expectations, the service good, fair, dignity, equal, and cheap and easy. Keywords: civil law state apparatus, quality improvement personnel, civilian state apparatus, bureaucratic reform, public service 1 Naskah Diterima 13 April 2014. Direvisi 2 Juni 2014 649 HAYAT 650 ABSTRAK Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan bentuk konkrit pemerintah dalam menciptakan kualitas birokrasi secara implisit yang mengatur tatanan pemerintahan secara professional dan komprehensip untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Profesionalitas dalam UU ASN mengacu kepada kualitas sumber daya manusia aparatur yang handal dan kompeten di dalam kinerja dan tanggung jawabnya sebagai abdi negara. Kualitas sumber daya manusia aparatur, sampai hari ini masih menjadi permasalahan yang serius dalam birokratisasi di Indonesia, yaitu rendahnya kompetensi yang dimiliki, performance aparatur yang tidak seimbang antara kinerja dan tanggung jawab, serta proporsionallitas keberadaan pegawai masih mengalami overload, dan disisi lain mengalami kekurangan yang sangat signifikan. Sehingga berdampak terhadap kualitas pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat. Pelayanan publik adalah kebutuhan dasar masyarakat di dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, untuk mengatasi rendahnya kualitas dan kompetensi sumber daya aparatur dapat dilakukan seperti yang tertuang di dalam UU ASN, yaitu peningkatan kualitas pendidikan, pelatihan, pembinaan karakter, dan penerapan standar etika dan moral ASN dalam pelaksanaan tanggungjawab dalam birokrasi. Kualitas pelayanan terpenuhi, jika aparatur Negara mempunyai kompetensi dan profesional serta akuntabilitas kinerja. Tentu, dibutuhkan kerjasama yang komprehensif antar stakeholder dalam pelaksanaan reformasi birokrasi, sebagai orientasi dari tatanan pemerintahan yang baik untuk kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat. Implikasi dari UU ASN di dalam pengembangan dan peningkatakan kualitas sumber daya manusia aparatur adalah terciptanya kualitas sumber daya manusia aparatur yang handal, professional, akuntabel, dan kompetitif. Kualitas sumber daya dapat berdampak terhadap peningkatan pelayanan publik. Sehingga masyarakat dapat merasakan pelayanan yang sesuai dengan harapan, yaitu pelayanan yang baik, adil, wibawa, setara, dan murah serta mudah. Kata kunci: undang-undang aparatur sipil negara, peningkatan kualitas aparatur, aparatur sipil negara, reformasi birokrasi, pelayanan publik. PENDAHULUAN Latar Belakang enurut Bappenas (2004) dalam penelitian Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah LAN (2012:22) mengungkapkan bahwa citra birokrasi Indonesia masih perlu ditingkatkan. Kondisi birokrasi sejak orde baru masih kental dalam kultur aparatur negara hingga saat ini, budaya M korupsi, kolusi dan nepotisme hingga saat ini masih sering dilakukan oleh aparatur negara, begitu juga dengan rendahnya pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat belum menunjukkan perbaikan yang signifikan, sehingga masyarakat enggan berurusan dengan birokrasi. Pun demikian penyalahgunaan wewenang masih sering terjadi, rendahnya profesionalitas JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 IMPLIKASI UNDANG-UNDANG APARATUR SIPIL NEGARA TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA APARATUR aparatur juga menjadi bagian yang menjadi permasalahan dalam birokratisasi di Indonesia. Lebih lanjut, Kajian Pusat Studi Kependudukan UGM (2002), dalam Penelitian Pusat Kajian Otonomi Daerah LAN (2012:23) mengungkapkan bahwa, faktor yang menimbulkan rendahnya kualitas pelayanan publik adalah: (1) ketidakpastian waktu, biaya dan cara pelayanan; (2) diskriminasi2 ; (3) rantai birokrasi yang panjang; (4) orientasi kepentingan; (5) budaya kekuasaan; (6) adanya distrust; (8) tidak adanya distribusi kewenangan. Menurut Hayat (2013:25), bahwa konsep the right man on the right place di dalam penempatan PNS masih menjadi kendala dalam proses pemberian pelayanan publik. Faktor utamanya adalah kompetensi yang dimiliki oleh pegawai tidak sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya. Kompetensi PNS di dalam kerangka tugas dan tanggung jawabnya tidak sesuai dengan skill dan pendidikan yang dimilikinya. Sehingga berimplikasi terhadap pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Kondisi ini, menurut Akbar (2012: 39), diperparah oleh adanya gesekan kinerja birokrasi dari level elit hingga street level birocracy. Pun demikian, ditambah dengan problematika relasi struktural yang tumpang tindih yang bersifat konfliktual. Oleh karena itu, perbaikan dan peningkatan kualitas PNS harus ditingkatkan. Pemerintah melalui UU ASN memberikan konsepsi realistis tentang perbaikan terhadap sumber daya aparatur di dalam pelayanan publik. Menurut Sudarsa (20/12/2013), bahwa keberadaan UU ASN memperjelas posisi ASN yang bersifat given, netral, professional, dan berorientasi kepada pelayanan publik. Jaminan negara atas ASN merupakan perlindungan terhadap intervensi politik atasannya, begitu pula atas manajemen yang dibangun di dalam UU ASN yang menerapkan sistem merit (sistem berdasarkan kompetensi). Artinya bahwa, setiap ASN mempunyai kemampuan dan skill yang sesuai dengan fungsi dan tugasnya. ASN adalah jabatan professional yang dilakukan melalui persaingan dalam kompetensi, sehingga secara otomatis proporsionalitas ASN bersinergi dengan profesionalitas yang menjadi tanggung jawab dan tugas dari ASN itu dan berdampak terhadap kinerja pelayaan publik yang diberikan kepada masyarakat secara baik, adil, mudah, dan berwibawa. http://www.kangagun.com /konten/317/uu-asn-demi-birokrasiterhormat-dan-pemerintahan-efektif. Diakses tanggal 04 Juni 2014. Pelayanan publik sebagai indikator utama dalam kerangaka menciptakan pemerintahan yang baik harus sinergi dengan kualitas sumber daya manusia di dalamnya. Kualitas sumber daya manusia yang baik dapat menciptakan kualitas pelayanan kepada masyarakat sebagai penerima layanan sesuai dengan yang diharapkan. Menurut United Nations Development Programe (UNDP) (1997) dan Serdamayanti (2004:5), dalam Ahmadi (2013:4), menjelaskan bahwa, beberapa prinsip dan karakteristik 2 Diskriminasi yang dimaksud adalah adanya perlakuan yang tidak sama dalam proses pelayanan publik. Aparatur lebih mementingkan pertemenan, persaudaraan, afiliasi politik, agama dan etnis. Diskriminasi terhadap proses pelayanan yang dibedakan terhadap pelayanan secara umum, sehingga berdampak kepada kualitas pelayanan publik dengan yang diterimanya, yaitu ketidakadilan dan ketidaksetaraan. 651 HAYAT 652 pemerintahan yang baik dalam kerangka pelayanan publik adalah: (1) partisipasi3; (2) rule of law4; (3) transparansi5; (4) responsiveness6; (5) berorientasi consensus7; (6) equity8; (7) efektifitas dan efisiensi9; (8) akuntabilitas10; dan (9) visi strategis11. Pertumbuhan jumlah PNS semakin meningkat dalam 10 tahun terakhir. Badan Kepegawaian Negara (BKN) mencatat tahun 2003 jumlah keseluruhan PNS 3.648.005 orang Terdiri dari PNS wanita 1.475.720 orang dan pria 2.172.285 orang. Pada tahun 2004 jumlah PNS berkurang karena faktor pensiun menjadi 3.587.337 orang. Tahun 2005, jumlah PNS meningkat menjadi 3.662.336, sebesar 2,09% dengan komposisi pria masih mendominasi sebanyak 2.131.674 orang. Pada tahun 2006 naik sebanyak 3.725.231 atau 1,72%. Kemudian pada tahun 2007 bertambah menjadi 4.067.201 orang atau naik sebesar 9,18%. Pada tahun 2008, jumlah PNS semakin meningkat menjadi 4.083.360 orang atau naik sebesar 0,4%. Sedangkan pada tahun 2009 jumlah PNS semakin meningkat yaitu dengan 3 kenaikan 10,8% atau mencapai 4.524.205 orang. Tahun 2010, jumlah PNS sebanyak 4.598.100 orang. Sesuai dengan komposisi jabatan dan jenis kelamin yang ditandai oleh perempuan sebanyak 2.137.817 (46%) dan jumlah PNS laki-laki sebanyak 2.460.283 orang (54%). Dari sisi jabatan, PNS dengan jabatan teknis sebanyak 2.279.423 orang, jabatan fungsional sebanyak 2.099.648 orang, dan jabatan struktural sebanyak 219.029 orang, sedangkan tahun 2011 jumlah PNS menyusut menjadi 4.570.818 orang. Di tahun 2012 jumlah PNS semakin berkurang karena adanya moratorium penerimaan PNS secara nasional, yaitu menjadi 4.467.982 orang, atau berkurang 5,1% dari tahun 2011 dengan asumsi PNS laki-laki sebanyak 2.332.549 orang (52,21%), sedangkan PNS wanita sebanyak 2.135.433 orang (47,79%). http://www.bps.go.id/tab_sub/view.p hp?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subye k=101&notab=3 Diaskses tanggal 03 Juni 2014. Partisipasi adalah bahwa warga negara mempunyai hak yang sama di dalam proses pengambilan keputusan negara, secara langsung ataupun tidak (melalui perwakilan pemerintah) sesuai dengan kebutuhan dan harapan yang diinginkan. Setiap masyarakat mempunyai kewajiban pula berpartisipasi dalam kebijakan negara, baik politik, sosial, ekonomi, budaya, dan pembangunan bangsa yang lebih baik. 4 Peraturan perundang-undangan sebagai prinsip ketaatan di dalam berbangsa dan bernegara, baik sebagai penyelenggara negara maupun masyarakat sebagai obyek dan subyek dari rule of law. Prinsip keadilan dan kebaikan dalam mematuhi aturan hukum tentunya menjadi kewajiban bersama untuk mendorong pemerintahan yang baik dan berwibawa. 5 Transparansi menjadi bagian penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Masyarakat mempunyai hak untuk mengetahui informasi publik secara benar dan baik. Sehingga diharapkan, dengan adanya transparansi dapat berimplikasi terhadap peningkatan kualitas pemerintahan yang lebih baik. 6 Pelayanan publik harus mempunyai responsive yang baik dalam menanggapi berbagai kebutuhan masyarakat dalam penerimaan pelayanan dan diarahkan kepada pihak yang mempunyai kepentingan yaitu stakeholders. 7 Pemerintahan harus menjadi garis tengah bagi pihak yang berkepentingan dan berbeda pendapat. Keberadaan pemerintahan bagi masyarakat sebagai konsepsi dalam menjelaskan dan memberikan pemahaman terhadap setiap perbedaan yang ada dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, untuk mencapai kesepakatan di dalam perbedaan itu sendiri untuk kebaikan bersama terhadap setiap kebijakan dan pelaksanaan dalam implementasi kebijakan publik. IMPLIKASI UNDANG-UNDANG APARATUR SIPIL NEGARA TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA APARATUR Data BPS tahun 2012, Jumlah pegawai negeri sipil di Indonesia dianggap mengalami overload. Jumlah PNS secara keseluruhan ada 4.467.982 orang. http://www.bps.go.id /tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&da ftar=1&id_subyek=101&notab=3. Diakses tanggal 03 Juni 2014. Jumlah ini masih kecil dari rasio rata-rata antara jumlah PNS dan penduduk. Jumlah penduduk di Indonesia sebanyak 237 juta orang yang tersebar di 440 kabupaten/Kota. http://www.bps.go.id /tab_sub/view.php?tabel=1&id_subyek =12. Diakses tanggal 03 Juni 2014. Dari jumlah total PNS tersebut lebih dari 1,6 juta orang adalah tenaga kependidikan dan 126.000 orang adalah tenaga kesehatan, sehingga pelayanan prima yang diharapkan bersama dalam reformasi birokrasi untuk menciptakan tujuan pemerintahan yang baik (good governance) masih sulit dilakukan. (Saragih, 2012:18). Fakta di atas menunjukkan bahwa rasio jumlah PNS dengan jumlah penduduk belum seimbang dan sinergi. Di sisi lain, seperti disebutkan di atas, keberadaan PNS mengalami overload seperti pada lembaga pendidikan dan kesehatan. Sementara pada lembagalembaga lain, rasio jumlah PNS masih jauh dari harapan. Sehingga, 8 menimbulkan efek pelayanan yang tidak prima. Jika PNS mengalami overload, maka komposisi di dalam struktur menjadi tumpang tindih. Tumpang tindih terhadap fungsi dan tanggung jawabnya dapat dilihat dari struktur di dalam jabatan, dengan jabatan ganda. Artinya, satu tanggung jawab dapat diisi oleh 2 PNS, karena overload-nya jumlah PNS di dalam organisasi pemerintahan. Pun demikian, kekurangan PNS dapat dilihat di lembaga pemerintahan yang berada di perbatasan atau daerah terpencil dengan jumlah PNS yang sedikit dan jumlah penduduk yang cukup banyak. Sehingga pelayanan dapat menjadi terganggu. Oleh karena itu, rasio PNS harus seimbang dengan jumlah penduduk yang disesuaikan dengan kebutuhan secara profesional dan proporsional. Penguatan sistem pelayanan umum dapat ditunjang oleh sumber daya manusia PNS yang mempunyai kualitas yang tinggi. Dari total 4.467.982 orang PNS, yang mempunyai tingkat pendidikan sarjana dan pascasarjana S1S3 sebanyak 1.812.961 orang (40,38%), sedangkan PNS yang mempunyai tingkat pendidikan DIII 423.299 orang (9,47%), sementara itu, PNS dengan tingkat pendidikan DI sampai dengan DII sebanyak 677.992 orang (15,17%), Pemerintah sebagai penyelenggara negara dan representasi dari rakyat, seyogyanya memberikan kesempatan yang sama dan setara dalam aspek kebijakan dan pelayanan publik bagi setiap warga negara untuk kualitas hidup yang lebih baik, adil dan sejahtera. 9 Efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan negara harus diarahkan ke dalam kerangka peningkatan profesionalitas dan kualitas kinerja, untuk mendorong kebijakan dan pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan kemanfaatan yang dapat berimplikasi terhadap kebaikan dan kepentingan masyarakat secara utuh. 10 Proses pengambilan kebijakan, baik pemerintah, swasta dan masyarakat memiliki pertanggung jawaban terhadap publik di dalam pelaksanaan setiap kebijakan negara yang berkaitan dengan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. 11 Pembangunan bangsa dan negara harus di dasarkan kepada kebijakan strategis sebagai langkah konkrit pemerintah dalam meningkatkan pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia yang berkelanjutan untuk kesejahteraan bagi masyarakat. 653 HAYAT sedangkan tingkat SLTA sebanyak 1.374.851 orang (30,7%), SLTP 108.348 orang (2,4%), dan SD sebanyak 70.531 orang (1,5%). http://www.bps.go.id /hasil_publikasi/SI_2013/index3.php?p ub=Statistik+Indonesia+2013. Diaskses tanggal 03 Juni 2014. harapan. Jika seorang PNS, dengan kompetensi yang dimiliki dan skill yang diterapkan secara adil dan merata, maka dapat berpengaruh terhadap kinerja yang diembannya. Karena secara prinsip, background pendidikan pegawai mempunyai pengaruh yang signifikan Tabel 1 Jumlah PNS Menurut Pendidikan dan Jenis Kelamin Tahun 2012 Sumber: Data diolah dari BPS dan BKN. http://www.bps. go.id/hasil_publikasi /SI_2013/index3.php?pub=Statistik+Indonesia+2013. Diakses tanggal 03 Juni 2014. 654 Perumusan Masalah dan Tujuan Problematika kompetensi dan kualitas aparatur sipil negara yang sebelumnya disebut PNS dan pegawai kontrak menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam menempatkan jabatannya sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam kerangka struktur birokrasi yang lebih fleksibel dan kompeten. UU ASN mengklasifikasi ASN di dalam kerangka UU ASN adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Masih banyak ditemukan pendidikan dan skill ASN yang tidak sesuai dengan ruang lingkup jabatannya, sehingga berpengaruh terhadap pelaksanaan kebijakan-kebijakan strategis dengan pemahaman dan penafsiran yang tidak sesuai dengan terhadap keberlangsungan proses reformasi birokrasi sebagai langkah menuju pemerintahan yang baik dan berkualitas. Undang-Undang Aparatur Sipil Negara No. 5 tahun 2014, diharapkan menjadi penopang kesetaraan distribusi ASN di berbagai instansi pemerintah, baik pemerintah pusat atau daerah. Pemerataan ASN penting segera dilakukan sebagai arah dan tujuan dari reformasi birokrasi, dengan didorong oleh munculnya UU ASN sebagai pengayom bagi ASN dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai aparatur Negara. Adanya pemerataan, tentu diharapkan dapat berdampak terhadap kualitas dan kompetensi ASN. Berlakunya UU ASN memberikan implikasi yang signifikan, yaitu sumber JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 IMPLIKASI UNDANG-UNDANG APARATUR SIPIL NEGARA TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA APARATUR daya aparatur yang berkualitas di dalam melaksanakan tugas dan fungsi-fungsi pokok kepegawaian sesuai dengan kompetensi, profesionalitas dan akuntabilitas. Pendidikan, pelatihan, sistem magang antar instansi pemerintah atau swasta memberikan ruang yang besar bagi PNS untuk meningkatkan kualitas kinerjanya, maupun program diklat yang dikembangkan sesuai dengan standar kualitas tinggi. Oleh karena itu, implementasi UU ASN bertujuan meningkatkan kinerja. Kualitas layanan akan memberikan implikasi kepada proses layanan yang diberikan. Sehingga, penerima layanan merasa dilayani dengan kualitas yang diterimanya. Esensinya, jika kompetensi ASN mumpuni, maka kinerja pelayanan dapat dilakukan secara profesional. Jika pelayanan sudah profesional, maka reformasi birokrasi dapat dikatakan berhasil yang berorientasi kepada good governance. Landasan Teori Undang-Undang ASN mengatur tentang kelembagaan dalam manajemen SDM aparatur. Aturan ini meminimalisir adanya tumpang tindih dalam pengambilan kebijakan strategis, baik dari sisi hukum yang mengatur tentang kewenangan dan fungsi dari masingmasing kementerian, yaitu antara Kemenpan RB (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi) dan Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri). UU ASN menghapus BAB V tentang Kepegawaian yang berada pada UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pengaturan kewenangan secara rapi diatur sesuai dengan kebutuhan dan kondisi kementerian atau lembaga Negara, antara Kemenpan RB, BKN (Badan Kepegawaian Nasional), Lembaga Administrasi Negara (LAN) dan KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara). Komisi Aparatur Sipil Negara menurut UU ASN pasal 27 adalah lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik. Pasal 28 menjelaskan bahwa tujuan KASN adalah: (1) menjamin terwujudnya sistem merit dalam kebijakan dan Manajemen ASN; (2) mewujudkan ASN yang profesional, berkinerja tinggi, sejahtera, dan berfungsi sebagai perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia; (3) mendukung penyelenggaraan pemerintahan negara yang efektif, efisien dan terbuka, serta bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme; (4) mewujudkan pegawai ASN yang netral dan tidak membedakan masyarakat yang dilayani berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan; (5) menjamin terbentuknya profesi ASN yang dihormati pegawainya dan masyarakat; dan (6) mewujudkan ASN yang dinamis dan berbudaya pencapaian kinerja. Sementara fungsi dan tugas KASN dijelaskan di dalam pasal 30 dan 31, yaitu KASN berfungsi dalam mengawasi pelaksanaan norma dasar, kode etik dan kode perilaku ASN, serta penerapan sistem merit dalam kebijakan dan Manajemen ASN pada Instansi Pemerintah. Sedangkan tugas KASN adalah sebagai berikut: (1) menjaga netralitas Pegawai ASN; (2) melakukan pengawasan atas pembinaan profesi ASN; dan (3) melaporkan pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan Manajemen ASN kepada Presiden. JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 655 HAYAT 656 Dalam melakukan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) KASN dapat: (1) melakukan penelusuran data dan informasi terhadap pelaksanaan sistem merit dalam kebijakan dan Manajemen ASN pada Instansi Pemerintah; (2) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi Pegawai ASN sebagai pemersatu bangsa; (3) menerima laporan terhadap pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN; (4) melakukan penelusuran data dan informasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN; dan (5) melakukan upaya pencegahan pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN. Sementara itu, dalam pasal 32, bahwa wewenang KASN adalah sebagai berikut: (1) mengawasi setiap tahapan proses pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi mulai dari pembentukan panitia seleksi instansi, pengumuman lowongan, pelaksanaan seleksi, pengusulan nama calon, penetapan, dan pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi; (2) mengawasi dan mengevaluasi penerapan asas, nilai dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN; (3) meminta informasi dari pegawai ASN dan masyarakat mengenai laporan pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN; (4) memeriksa dokumen terkait pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN; dan (5) meminta klarifikasi dan/atau dokumen yang diperlukan dari Instansi Pemerintah untuk pemeriksaan laporan atas pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN. Dalam melakukan pengawasan, KASN berwenang untuk memutuskan adanya pelanggaran kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN. Selanjutnya, hasil pengawasan disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian dan Pejabat yang Berwenang untuk ditindaklanjuti. Sumber daya aparatur masih dikatagorikan dalam eselonisasi, di mana dalam UU ASN hanya sampai kepada eselon II sebagai jabatan tertinggi dalam jabatan administratif. Untuk eselon III, IV dan V masuk dalam jajaran tenaga administrasi, sehingga menimbulkan berbagai problematika baru dalam pengalihan eselonisasinya. Hal ini masih menunggu diterbitkannya Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana dari UU ASN. Jabatan ASN dalam UU ASN pasal 13 menjelaskan bahwa terdapat tiga (3) jabatan yang dimiliki oleh ASN, antara lain jabatan administrasi, fungsional dan pimpinan tinggi. Jabatan administrasi dirinci oleh pasal 14 dan 15 yang menyebutkan bahwa jabatan administrasi adalah administrator, pengawas dan pelaksana. Jabatan administrasi terkait dengan jabatan teknik dan operasional bagi ASN dalam menjalankan tugasnya sebagai abdi negara. Lebih lanjut, pada ayat (1), (2) dan (3) pasal 15 dijelaskan bahwa jabatan administrator bertanggung jawab dalam memimpin pelaksanaan seluruh kegiatan pelayanan publik dan administrasi pemerintahan serta pembangunan. Sementara itu, jabatan pengawas adalah bertanggung jawab mengendalikan kegiatan yang dilakukan oleh pejabat pelaksana. Sedangkan pada jabatan pelaksana adalah bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 IMPLIKASI UNDANG-UNDANG APARATUR SIPIL NEGARA TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA APARATUR pelayanan publik, administrasi pemerintahan dan pembangunan. Untuk jabatan fungsional dalam UU ASN dijelaskan dalam pasal 18 ayat (1) bahwa jabatan fungsional terdiri dari jabatan fungsional keahlian dan jabatan fungsional keterampilan. Keahlian meliputan ahli utama, madya, muda dan pratama. Sedangkan keterampilan adalah penyelia, mahir, terampil dan pemula. Sementara jabatan pemimpin tinggi dijelaskan dalam pasal 19 ayat (1), (2) dan (3) antara lain jabatan pemimpin utama, madya, dan pratama. Pasal 70 ayat 1, 5 dan 6 memberikan penegasan kepada PNS, bahwa PNS mempunyai hak dan kesempatan untuk melakukan pengembangan karir di berbagai instansi pemerintah ataupun swasta, baik pusat ataupun daerah. Menjadi penting bagi PNS dalam rangka meningkatkan kualitas dirinya terhadap kinerja yang dikembangkan. Pasal 77 ayat 6 bahwa alasan kinerja membuka peluang bagi PNS untuk diberhentikan. Sedangkan dalam pasal 80 ayat 3 sebagai bentuk pertanggungjawaban pemerintah terhadap PNS bahwa semua aspek penilaian kinerja PNS akan diberikan tunjangan.. Keberadaan kedua pasal di atas memberikan sebuah semangat profesionalisme terhadap PNS dalam melaksanakan tugasnya dengan menjunjung tinggi aspek penilain kinerja sesuai dengan standar yang diberlakukan sebagai tindakan pembangunan manajemen PNS yang lebih berkualitas, terutama dalam pelayanan publik. Undang-Undang ASN juga memberikan kesempatan bagi PNS dalam meningkatkan kualitasnya melalui pendidikan dan pelatihan, hal ini dibutuhkan untuk memberikan efek inovatif terhadap aparatur sipil Negara dalam meningkatkan kinerja. Pun demikian, bagi pemerintah tentunya dibutuhkan kebijakan-kebijakan strategis dalam perkembangan peningkatan kualitas ASN. Mariana (2006: 247) menambahkan, seperti pendapat Hendytio dengan mengkatagorikan tiga tipe pendekatan yang dapat dilakukan dalam konsep pembenahan birokrasi, antara lain: (1) pendekatan komprehensif; (2) pendekatan inkremental; dan (3) pendekatan kombinasi. Pendekatan komprehensif merupakan pendekatan yang mencakup ruang lingkup yang luas dan menyeluruh terhadap konsep pembenahan birokrasi pada sektor tertentu tanpa adanya prioritas atau fokus utama. Pendekatan inkremental merupakan upaya yang berkelanjutan terhadap pembenahan birokrasi yang berfokus pada sektor tertentu dan menjadi prioritas utama di dalam pembenahannya yang ditunjang oleh kebijakan-kebijakan strategis yang lebih khusus. Sedangkan pendekatan kombinasi adalah menggabungkan kedua pendekatan di atas (pendekatan komprehensif dan pendekatan inkremental) dengan melakukan peningkatan kemampuan manajemen bersamaan dengan usaha-usaha reformasi lainnya secara menyeluruh. Kaitannya dengan ASN adalah terletak pada pemecahan permasalahan yang muncul dalam kerangka penataan sumber daya aparatur, baik di daerah maupun dipusat. Setiap kebijakan dalam implementasinya mempunyai porsi problematika yang berbeda-beda. Perlu JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 657 HAYAT 658 dilakukan antisipasi untuk menyelesaikan problem-problem yang muncul di dalam aplikasinya. Sehingga dalam pelaksanaannya, reformasi birokrasi dapat dijalankan secara maksimal dengan melakukan berbagai antisipasi terhadap problematika yang ada. Sementara Benius (2014), mengungkapkan bahwa kunci utama dalam pengembangan aparatur sipil negara yaitu: (1) political will harus dominan dan konsisten dalam perubahan paradigma dan mind set ASN; (2) kesamaan persepsi terhadap ketentuan, tugas, wewenang, tanggung jawab, dan tujuan dengan pola terencana; (3) pemanfaatan TI harus terus dikembangkan melalui e-government dalam penyelenggaraan pemerintahan; (4) rekonstruksi terhadap tumpang tindihnya aturan atau ketentuan hukum ; (5) kemauan dari ASN dalam meningkatkan pola pikir secara berkelanjutan; (6) well plan, well organize, who bring what, well arrangement, dan well control dapat dilaksanakan dengan baik serta penerapan terhadap concept, competence, connections, dan commitment yang diikuti oleh konsistensi dan keseriusan dalam implementasi kinerja; dan (7) memperhatikan well select, motivate, educate, train, equip, dan pay dengan menerapkan commitment, concentration, capabilities, capacity, collaboration, commercialization, culture dan community, good public governance, good corporate governance, dan pengembangan terhadap birokratisasi. PEMBAHASAN Undang-Undang Aparatur Sipil Negara: Implikasi dan Tantangan Keberadaan UU ini memberikan implikasi nyata bagi peningkatan kualias sumber daya aparatur dan memberikan nuansa baru bagi ASN dalam melaksanakan tugas negara. Harapannya tentu kinerja pelayanan bagi masyarakat semakin berkualitas dan profesional. Secara prinsip UU dibentuk untuk mengikat seluruh komponen yang ada di dalamnya untuk perubahan yang lebih baik dan berkualitas. UU ASN memberikan gambaran manifestasi bagi governance yang memberikan perluasan kepada sektor publik atau masyarakat dan sektor swasta. Secara praktek, di berbagai lembaga Negara PNS merupakan bagian terpenting dalam pelaksanaan secara teknis dan administratif. Tentunya, UU ASN memberikan penguatan dalam pengawasan terhadap kinerja aparatur. KASN merupakan lembaga pengawasan terhadap kinerja SDM aparatur untuk mengontrol dan memberikan rekomendasi terhadap kebijakankebijakan yang diambil oleh pimpinan lembaga. Keberadaan KASN harus lebih independen dan profesional dalam rangka menciptakan obyektifitas kinerja dan kualitas lembaga yang dibangun atas dasar public service. Secara otomatis, rakyat sebagi kontrol utama di luar lembaga. Namun, KASN sebagai “jembatan” antara civil society dan SDM dalam rangka menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing perlu mengedepankan kualitas dan kompetensi yang dimilikinya. Undang-Undang ASN JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 IMPLIKASI UNDANG-UNDANG APARATUR SIPIL NEGARA TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA APARATUR memberikan perhatian penuh terhadap perbaikan sumber daya aparatur yang lebih baik, professional dan berkualitas. Harapannya dampak dari kompetensi dan kualitas sumber daya aparatur yang baik dapat berimplikasi terhadap pelayanan yang berkualitas. Pelayanan yang baik, akan menciptakan citra dan kinerja ASN di dalam mengembangkan dan meningkatkan trust masyarakat terhadap birokrasi di Indonesia. Undang-Undang ASN memberikan kesempatan dan ruang seluas-luasnya bagi PNS untuk mengisi Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) sesuai dengan komposisi dan syarat yang sudah ditentukan. JPT dimaksud adalah JPT utama, JPT madya, dan JPT pratama.. Pasal 109 ayat 1 memberikan peluang kepada non-PNS dalam pengisian JPT atas persetujuan Presiden. Pasal ini memberikan kesempatan bagi seluruh warga Negara dalam baik PNS ataupun non-PNS terhadap pengisian JPT sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan reformasi birokrasi dan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Secara prinsip, kesuksesan sebuah l e m b a g a t e r l e t a k p a d a kepemimpinannya sebagai pemegang penuh kebijakan strategis bagi pegawainya. Namun demikian, pada pasal 111 dikatakan bahwa ada pengecualian instansi yang disebutkan dalam pasal 109 ayat 1 yaitu lembaga pemerintah yang telah menerapkan sistem merit dalam pembinaan SDM aparatur PNS dengan persetujuan KASN. Rozi (2009), mengungkapkan, ada beberapa strategi yang perlu dilakukan dalam meningkatkan kualitas pelayanan dengan melakukan inovasi kebijakan untuk memberikan paradigma positif bagi kemampuan dan kapasitas yang dimiliki oleh birokrat, antara lain: (1) rekrutmen berdasarkan profesionalisme dan kompetensi; (2) pemahaman dan penafsiran substansi dari “pemerintah” dan “pemerintahan”; (3) menciptakan tatanan good governance secara kompetititf; (4) memahami jalan dengan menunjukkan kepada publik dan ikut menjalankan bersama publik; (5) aspek moralitas dan keadilan harus diterapkan secara maksimal kepada masyarakat yang dilayani; (6) melakukan terobosan baru dalam administrasi kependudukan dengan tranparansi dan akuntabilitas; (7) peningkatan kualitas penelitian terhadap pengembangan IPTEK; (8) meningkatkan akuntabilitas; (9) penerapan penelitian terhadap kepentingan rakyat; dan (10) komitmen dan konsistensi pejabat publik dalam implementasi kebijakan. http://www.bkn.go.id/attachments/07 7_jurnalvol3juni2009.pdf. Harapan dari adanya UU ASN adalah inovasi pengembangan reformasi melalui kebijakan strategis dan peningkatan kualitas sumber daya manusia yang mumpuni dan akuntabel. Seyogyanya, UU ASN memberikan ruang yang cukup besar terhadap peningkatan kualitas dan kompetensi pegawai dalam rangka meningkatkan kinerja dalam pelayanan publik. Aparatur Sipil Negara Menurut UU ASN Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara pasal 6 menerangkan bahwa aparatur sipil Negara adalah PNS dan PPPK. Pasal 7 ayat (1) PNS adalah pegawai yang diangkat sebagai pegawai tetap oleh pejabat yang berwenang dan memiliki JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 659 HAYAT 660 nomor induk kepegawaian secara nasional. Sementara PPPK adalah pegawai yang diangkat dengan perjanjian kerja oleh pejabat di atasnya sesuai dengan kebutuhan instansi pemerintah dan kompetensi yang dimiliki dalam isian jabatan negara. Pegawai Negeri Sipil dan PPPK tidak ada perbedaan dalam tanggung jawab dan tugas serta sistem penggajiannya. Perbedaan yang mendasar kedua pegawai tersebut terletak pada status yang melekat di dalam dirinya dan hak perlindungan pensiun yang tidak dapat diterima oleh PPPK, sedangkan PNS mendapatkan tunjangan pensiun. Artinya bahwa, jabatan PNS berlaku sampai waktu pensiun yang ditentukan oleh undangundang. Sementara pegawai PPPK dibatasi oleh waktu jabatan dengan ketentuan kerja yang disepakati bersama dalam mengisi jabatan publik hal ini dapat diberhentikan dan diangkat sesuai dengan kebutuhan dan kompetensi yang dimilik oleh pegawai tersebut. Aparatur Sipil Negara sebagai birokrat harus memiliki prinsip etika yang tinggi dalam melaksankan tugas negara. Etika menjadi pondasi bagi aparatur negara dalam membentengi diri dari kondisi dan situasi birokrasi yang semakin kompleks. Birokrat yang beretika akan menjaga harkat dan martabat bangsa dengan moralnya, moral yang tinggi memberikan efek positif dalam kinerja pegawai. Kondisi birokrat saat ini dipengaruhi oleh karakter birokrat yang ada didalamnya, sehingga membutuhkan peningkatan karakter yang berwibawa dan berkualitas dalam merubah paradigma yang berkembang di dalam birokrasi Indonesia. Nurdjaman (2002), dalam Mariana (2006:246), mengungkapkan bahwa, kerangka reformasi birokrasi menuntut ASN agar satu persepsi dan paradigma dalam memahami makna reformasi birokrasi untuk tujuan instansi pemerintah yang lebih baik, akuntabel dan transparan. Konteks Negara demokrasi terhadap birokrasi di Indonesia membutuhkan beberapa konsep reformasi birokrasi melalui reformasi etika, kultural, prosedural dan struktural (kelembagaan). Reformasi etika adalah konsep birokrasi yang menyangkut nilai-nilai moral dan etika bagi aparatur sipil negara atau birokrat dalam berperilaku, bersikap dan bertindak sesuai dengan norma-norma yang telah membudaya dalam kedaerahan. Etika bersikap bagi aparat birokrasi harus sesuai dengan ketentuan dan aturan yang ada dalam kebijakan birokrasi, baik ketika dalam menjalankan tugas kenegaraan ataupun dalam sosial kemasyarakatan. Sikap yang ditunjukkan oleh pegawai dalam tatanan etika dan nilai-nilai moral menjadi penjelmaan pembinaan dan pendidikan dalam peningkatan kualitas sumber daya aparatur. Korelasi dan integrasi antar instansi diperlukan secara inheren untuk melakukan perubahan paradigmaa dan pemikiran dari berbagai aspek budayanya. Pemimpin dalam birokrasi harus mampu mengendalikan praktekpraktek patrimonialnya12 kedalam tubuh birokrasi sebagai acuan bawahan dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga diharapkan peran pemimpin dapat mengubah pola pikir pegawai dalam menempatkan jabatan dan dirinya JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 IMPLIKASI UNDANG-UNDANG APARATUR SIPIL NEGARA TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA APARATUR sebagai pelayanan masyarakat. Serta dapat meyakinkan masyarakat bahawa tujuan reformasi birokrasi untuk meminimalisir adanya praktek-praktek KKN di instansi-instansi pemerintah. Hal itu juga terkait dengan efisiensi layanan yang masih terbilang mahal dalam proses layanan publik, kadangkala memberatkan masyarakat yang semestinya harus menerima pelayanan sebaik-baiknya dan semurahmurahnya sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Jika ada yang lebih mudah, kenapa harus yang susah? Upaya penyederhanaan terhadap prosedur birokrasi perlu terus dilakukan dan dikembangkan sesuai dengan tingkat keamanan dan geografis serta demografisnya. Perampingan organisasi atau struktur akan berimplikasi kepada kualitas kinerja dengan kompetensi yang dimiliki oleh aparatur negara dalam mengemban amanahnya. Konsep desentralisasi memberikan otonomi kepada daerah untuk menyesuaikan komponen birokrasinya sesuai kebutuhan, sumber daya manusia, visi, misi, keuangan daerah, sarana prasarana yang dimiliki dan strategi pembangunan daerah dan tujuan sebagai orientasi peningkatan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Islamy, pakar administrasi publik mengungkapkan, bahwa pembangunan sistem administrasi negara yang menyangkut pejabat negara dan aparatur sipil negara dalam konsep reformasi birokrasi baik di pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah perlu melakukan sebuah aktualisasi prinsipprinsip dan nilai-nilai utama dalam tatanan pemerintah yang baik, antara lain demokrasi dan pemberdayaan, pelayanan, transparansi, partisipasi, kemitraan, desentralisasi, serta konsistensi kebijakan dan kepastian hukum. (Samin, 2011:174) Demokrasi secara aplikatif memberikan ruang terbuka bagi warga negara untuk mengekspresikan secara terbuka terhadap hak-hak yang dimilikinya secara bebas dan terukur. Pemberdayaan sebagai suatu konsepsi realistis pemerintah dalam memberikan penghidupan yang layak bagi seluruh warga negara dalam meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik dan setara. Artinya bahwa, kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia adalah 12 Patrimonial berasal dari kata patir secara normatif dan secara genetif berasal ari kata patris yang mempunyai arti Bapak. Patir atau patris berkembang dengan berbagai persfektif sehingga mempunyai koherensi dengan tafsiran sebagai warisan. Artinya bahwa, pengertian bapak dalam kata patir atau patris dapat diterjemahkan secara lebih luas yaitu mempunyai makna warisan bapak. Sedangkan patriominal merupakan kata sifat dari patris dan patir yang mempunyai makna sistem pewarisan menurut garis bapak atau nenek moyang. Lihat juga dalam artikel Yayan Rudianto, Pelayanan Publik Pada Penyelenggaraan Pemerintahan Kecamatan yang diterbitkan oleh Jurnal Madani Edisi II Nopember 2005, hlm. 33, dikatakan bahwa budaya organisasi penyelenggara negara dan pelayanan publik masih terikat dengan tradisi politik dan budaya loka yang seringkali tidak kondusif dan melanggar aturan hukum yang berlaku. Lihat juga artikel Wasisto Raharjo Jati, Kultur Birokrasi Patriomialisme dalam Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang diterbitkan oleh Analisa, Jurnal Borneo Administrator Volume 8 Nomor 2 Tahun 2012, hlm. 147-148, mengatakan bahwa, Patrimonialisme merujuk pada sentralisasi kekuasaan yang berpusat pada penguasa perseorangan tertentu (kingship rulerships) yang mengakumulasikan kekuasaan, sedangkan yang lain mengidentifikasi kepentingannya. JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 661 HAYAT 662 tanggung jawab pemerintah dan rakyat dalam meningkatkan pembangunan dan kemajuan suatu bangsa secara bersama dan transformatif. Bentuk pelayanan dengan berbagai konsepsi di atas, harus dimulai dengan reformasi etika. Reformasi etika dimaksud adalah sebagai upaya perbaikan terhadap perilaku penyelenggara negara atau pegawai negara. Hal ini sebagai penguatan code of ethical conduct (pembudayaan etika) yang dilandasi oleh enabling stategy. Pembudayaan etika adalah menerapkan nilai-nilai yang baik dalam penyelenggaraan pemerintahan, diikuti oleh penguatan moral, baik dari level top manajemen sampai kepada bawahan. Budaya etika yang baik dalam organisasi pemerintahan, dapat berimplikasi terhadap nilai-nilai moral yang dapat dijadikan sebagai parameter dari penyelenggaraan negara. Artinya bahwa dukungan lingkungan birokrasi yang baik dengan perilaku aparatur yang berkarakter, dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan karakter local culture masing-masing daerah. Aparatur Sipil Negara perlu meningkatkan pembangunan akuntabilitas dengan keterbukaan secara jujur dan adil sebagai upaya mendorong komponen birokrasi untuk merealisasikan kehidupan birokrasi yang bersih, bebas KKN, dan menghindari prinsip-prinsip patrimonialisme. Transparansi sebagai konsep reformasi birokrasi yang terus didorong oleh etika dan moral bagi penyelenggara pemerintahan dalam memberikan pendidikan dan peningkatan kualitas layanan bagi masyarakat sebagai konsekuensi pemerintahan yang baik dan berkeadilan. Tentu, hal ini membutuhkan peran masyarakat dalam memonitor kinerja pemerintah dalam hal ini adalah aparatur sipil negara untuk berpartisipasi aktif dalam memberikan masukan dan saran serta rekomendasi untuk sinergitas kebijakan dan pelaksanaan tugas masing-masing. Peran masyarakat dalam meningkatkan transparansi negara, harus didukung oleh kemauan pemerintah dalam menerima dan mengevaluasi kebijakan yang ada. Hal ini sebagai bentuk kerjasama dan kemitraan bagi kepentingan masyarakat secara profesional dan akuntabel serta berkelanjutan. Trust masyarakat terhadap kinerja pegawai harus ditingkatkan dengan pola pelayanan yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Selain itu, empowering rather than serving (penguatan kemampuan masyarakat) dalam memahami dan berpartisipasi dalam peningkatan kualitas pelayanan publik harus dilakukan secara kredibel dan bertanggungjawab. Penguasa (pemerintah) harus bersinergi dengan pengusaha (mitra) untuk menciptakan iklim produktivitas dalam menunjang pemberdayaan bagi warga negara. Integrasi antara pemerintah dengan mitra usaha perlu difokuskan kepada tujuan kesejahteraan rakyat Indonesia seutuhnya sebagai upaya peningkatan kualitas ekonomi kerakyatan yang berperan terhadap peningkatan ekonomi negara. Pembangunan masyarakat modern saat ini, menuntut negara berperan aktif dalam menghidupkan roda ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan yang berdasarkan kepada keadilan dan JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 IMPLIKASI UNDANG-UNDANG APARATUR SIPIL NEGARA TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA APARATUR kebaikan untuk kesejahteraan rakyat. Perbaikan terhadap kualitas ekonomi rakyat dapat meningktakan nilai produktivitas sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM). Keberadaan SDA dan SDM harus didukung oleh penguasaan teknologi dan informasi dengan manajemen produksi dan pemasaran yang baik. Peran pemerintah dalam kemitraan dengan dunia usaha terletak pada kebijakan dibidang usaha dengan pelayanan dan perijinan dikelola secara profesional dan mengarahkan kepada kepentingan masyarakat dalam kemanfaatan, tentunya harus mematuhi etika dan aturan yang dibuat dengan prinsip-prinsip perundang-undangan yang berlaku bagi keadilan, kesetaraan dan keharmonisan antara usaha besar, menengah dan kecil. Prioritas utama dalam kebijakan usaha adalah meningkatkan taraf kehidupan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur. Perwujudan dari kepastian hukum harus diwujudkan melalui berbagai kebijakan penyelenggaraan negara secara baik, jujur, transparan, akuntabel, dan bertanggung jawab dengan menghindari dan menghilangkan praktek-praktek KKN, money politic, dan patrimonial dalam lingkungan birokrasi. Serta berbagai ketidak pastian hukum dalam prinsip-prinsip kebijakan publik. Perundang-undangan sebagai kerangka hukum dalam kebijakan negara harus menegakkan kepastian hukum secara praktis, konkrit, dan jauh dari multitafsir. Sehingga akuratisasi dari kebijakan dapat dipahami dan dijalani dengan persepsi yang sama dapat diterapkan secara adil dan bijaksana untuk menjamin tatanan pemerintahan yang baik yakni good governance dan good government. Aktualisasi birokrasi perlu koneksivitas dari para stakeholder di dalamnya, termasuk negara dan aparatur sipil negara. Tentunya, hal itu juga didorong oleh kemauan pemangku kebijakan yakni para pemimpin dan pegawai dalam merancang, mengimplementasikan dan mengevaluasi segala bentuk kebijakan yang menyangkut pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bersama dalam menegakkan pilar-pilar keadilan. Partisipasi dan kemitraan terhadap peningkatan kualitas sumber daya aparatur, tentunya harus didukung oleh kinerja yang profesional dalam memberikan pelayanan yang transparan dan akuntabel, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pelayanan publik dapat diukur. Pengukuran kinerja pelayanan publik melalui partisipasi dan kemitraan yang dilakukan oleh pemerintah dengan masyarakat. Peningkatan kualitas sumber daya manusia aparatur daerah dengan berbagai otonomisasi daerah dalam pengambilan kebijakan dan urusan rumah tangga daerah, perlu dilakukan secara adil dan proporsional antara hak dan kewajibannya bagi seluruh komponen daerah, termasuk didalamnya adalah masyarakat daerah dalam memperoleh kebutuhan dan tanggung jawabnya dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap pemerintah daearah. Korelasi ini menjadikan feed back yang baik terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kualitas JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 663 HAYAT pelayanan yang ada di beberapa instansi pemerintah daerah. Jika integrasi antara pemberi layanan dan penerima layanan sudah baik, maka, konsistensi kebijakan terhadap komitmen reformasi birokrasi dapat dijalankan dengan baik pula. Oleh karena itu, tidak ada diskriminasi dalam lingkungan organisasi, pun demikian, tidak ada nilai-nilai patrimonial dalam loyalitas kinerja sumber daya aparatur negara. 664 Strategi Peningkatan Kualitas Sumber Daya Aparatur Negara Melalui UU ASN Kualitas sumber daya aparatur negara dikatakan profesional jika mempunyai kinerja yang baik dan kompetensi yang mumpuni dalam pekerjaannya. Profesionalisme menjadi ukuran penilaian kinerja bagi aparat birokrasi dalam menjalankan fungsi dan tugas pokoknya sebagai penyelenggara negara, tentunya harus diimbangi oleh kemampuan intelektual sebagai penunjang aparatur sipil negara dengan berdasarkan pada UU ASN yang baru saja disahkan oleh DPR sebagai acuan penyelenggaraan negara. Haris (2011:17), seperti dalam konsepnya Johnson dalam Suryono yang menyebutkan bahwa ada beberapa karakteristik pelayanan publik yang dapat dijadikan sebuah strategi manajemen birokrasi yang profesional dan berkualitas, yaitu: (1) penekanan terhadap pergeseran paradigma terhadap tujuan kelompok; (2) motivasi kinerja; (3) penilaian kinerja; (4) senioritas; (5) penanganan melalui market test; (6) mengurangi peran pemerintah; (7) netralitas birokrasi; dan (8) kompetensi ASN. Motivasi aparatur terhadap kinerja yang diembannya dengan budaya birokrasi yang konvensional harus diubah, dari motivasi dilayani menjadi melayani. Seperti yang diungkapkan Semil dan Nurham (2005), dalam Hayat (2013:26). Memberikan ilustrasi bahwa pelayanan dianggap tidak memuaskan, jika kinerja lebih rendah dari pada harapan. Pelayanan dianggap memuaskan, jika harapan dan kinerja pegawai sesuai dengan keinginan masyarakat dalam pemberian layanan. Sedangkan pelayanan dianggap prima atau berkualitas, jika kinerja lebih besar dari harapan yang diinginkan oleh penerima layanan. Oleh karena itu, komponen birokrasi harus diarahkan ke dalam konstruksi realistis, bahwa kinerja pelayanan lebih penting dari harapan yang diinginkan. Penilaian kinerja merupakan evaluasi terhadap aparatur sipil negara dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya untuk mengukur tingkat kualitas dan profesionalitasnya terhadap peran dan kinerjanya dalam birokrasi. Penilaian kinerja sebagai instrumen untuk mengukur sejauhmana tugas dan tanggung jawab ASN dilakukan, dan bagaimana pendapat masyarakat tentang kinerja aparatur, begitu juga penilaian kinerja sebagai indikator untuk pemberian reward bagi ASN yang mempunyai prestasi dan memberikan sanksi bagi ASN yang melanggar. Sebagai tujuan dari organisasi, maka diperlukan sebuah indikator penilaian kinerja sesuai dengan standar penilaian yang jelas, adil dan baik dengan menerapkan ketentuan UU ASN sebagai pedoman dalam pemberian reward bagi aparatur yang berprestasi JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 IMPLIKASI UNDANG-UNDANG APARATUR SIPIL NEGARA TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA APARATUR dan memberikan sanksi bagi yang melanggarnya sebagai konskuensi dari sebuah kinerja. Transformasi birokrasi melalui senioritas dapat mengarahkan dan memberikan transformasi positif bagi pemerintah dengan komitmen politik yang dimiliki. Transformasi melalui senioritas merupakan komitmen pemimpin dalam netralitas terhadap dinamika politik yang berkembang. Artinya bahwa, pemimpin harus memberikan persepsi yang konsisten terhadap bawahan. ASN adalah netral dalam berpolitik. Sehingga pencapaian tujuan birokrasi dan organisasi dapat dicapai dengan bersikap netral dan non partisan. Proses ini untuk menumbuhkembangkan nilai-nilai perubahan dan pengembangan diri bagi aparatur yang ada di dalamnya agar mempunyai koherensi kinerja terhadap tujuan organisasi, yaitu tatanan pemerintahan yang baik dengan sumber daya manusia yang berkualitas, tanpa adanya intervensi dan doktrin politik. Aparatur negara sebagai abdi masyarakat harus menjaga netralitasnya dalam mengemban amanah rakyat terhadap perpolitikan. Netralitas sebagai sebuah penafsiran yang bukan apatis terhadap politik, akan tetapi seorang birokrat tidak terlibat langsung dalam perpolitikan baik dalam proses politik hingga ke dalam pelaksanaan dan kinerja politik. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas kinerja birokrasi dalam menjalankan tanggung jawabnya secara profesional dan transparan. Aparatur negara harus fokus terhadap kinerjanya sebagai kontribusi bagi negara dalam menciptakan tatanan birokrasi yang memberikan konskuensi riil bagi masyarakat, terutama dalam pelayanan publik sebagai konsepsi utama dalam reformasi birokrasi. Konsep the right man on the right place dalam birokrasi harus dipertimbangkan secara adil dan bijak. Proses rekrutmen pegawai harus mengacu kepada standar penilaian yang menjadi dasar diterimanya calon pegawai. Rekrutmen pegawai menjadi dasar utama bagi pemerintah untuk melakukan perbaikan-perbaikan terhadap sumber daya aparatur negara u n t u k m e n d u k u n g d a n mengimplementasikan kinerja pemerintah dalam birokrasi sebagai garda terdepan tercapainya good governance. Begitu juga dalam penempatan pegawai dimaksimalkan sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan manajerialnya. Pusat Kajian Manajemen Pelayanan, Deputi Bidang Kajian Manjemen Kebijakan dan Pelayanan LAN (2009:65-66) menjelaskan aspek peningkatan kualitas sumber daya aparatur Negara, antara lain: (1) formasi kebutuhan ASN dilakukan secara obyektif; (2) transparansi dalam rekrutmen; (3) promosi dan mutasi secara transparan; (4) obyektifitas penilaian berbasis kinerja; (5) penyusunan kebijakan standar secara kompeten; (6) sistem diklat berdasarkan kompetensi yang dimiliki; (7) hak gaji dan pensiun; dan (8) revitalisasi penyelenggaraan diklat. Obyektivitas dalam penentuan formasi atau kebutuhan PNS dilakukan terhadap beban kerja dan kebutuhan instansi dengan melakukan kajian secara JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 665 HAYAT 666 komprehensif tentang peningkatan pelayanan dalam sebuah instansi. Setiap instansi mempunyai perbedaan kepentingan dan kebutuhan dalam kerangka memberikan pelayanan secara maksimal terhadap masyarakat, sehingga diharapkan setiap instansi pemerintah melaporkan terkait kebutuhan dan pengurangan dalam rangka pencapaian reformasi birokrasi. Pasal 58 UU ASN tentang pengadaan PNS dalam ayat (2) dijelaskan bahwa pengadaan PNS dilakukan berdasarkan penetapan kebutuhan. Pengadaan PNS dilakukan melalui perencanaan, pengumuman secara terbuka melalui lowongan, pelamaran, seleksi, pengumuman hasil seleksi, masa calon pegawai atau percobaan terhadap pegawai yang sudah dinyatakan diterima, dan pengangkatan menjadi PNS. Promosi merupakan proses pemindahan jabatan melalui berbagai mekanisme dengan prinsip transaparansi. Artinya bahwa, setiap pegawai mempunyai hak untuk dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi dengan tingkat kompetensi dan kinerja yang berkualitas serta loyalitas dan integritas yang tinggi. Pasal 72 ayat (1) bahwa promosi PNS dilakukan secara objektif antara kompetensi, kualifikasi dan ketentuan yang sebagai prasyarat, prestasi, kepemimpinan, kerjasama, kreativitas, pertimbangan dari tim penilai kinerja dengan tidak memandang jenis kelamin, agama, suku, ras, dan golongan tertentu. Promosi tidak boleh dilakukan secara sepihak oleh pimpinan dengan cara yang tidak adil dan diskriminasi. Bentuk promosi yang dilakuakn berdasarkan ayat (1) akan mempengaruhi kinerja pegawai dalam meningkatkan kualitas kinerja sebagai bentuk peningkatan jabatan yang diharapkan. Oleh karena itu, setiap pegawai diberi kesempatan yang sama dalam memperoleh promosi, bukan karena aspek kekeluargaan, perkoncoan, atau pertemanan semata, akan tetapi lebih kepada aspek kinerja dan prestasi. Pasal 75 UU ASN menyatakan bahwa penilaian kinerja adalah untuk menjamin objektivitas pembinaan PNS dengan sistem prestasi dan karier. Sedangkan dalam pasal 76 menyebutkan bahwa target, capaian, hasil, dan kemanfaatan pada tingkat organisasi, unit dan individu sebagai dasar dari perencanaan kinerja PNS dalam penilaian kinerja beserta perilakunya, ayat (1). Hal ini dilakukan secara transparan, obyektif, partisipatif, terukur, dan akuntabel, ayat (2). Strategi peningkatan kualitas ASN dalam mencapai tujuan pemerintahan yang baik dapat mendorong reformasi birokrasi ke arah yang lebih baik dan berkualitas. Kualitas ASN menjadi tanggung jawab pemerintah dalam berbagai kebijakan terhadap peningkatan itu. Prosojo sebagai Wamenman dan RB mengungkapkan bahwa kualitas ASN menjadi perhatian yang besar dalam UU ASN. Dikatakan, bahwa negara akan mengurus pendidikan PNS sesuai dengan kebutuhan baik dari aspek biaya, sekolah, dan profesor akan mendapatkan bimbingan dari negara. Pendidikan PNS berdasarkan keahlian dan kompetensi yang dimilikinya, sehingga tingkat pendidikan PNS yang berniat untuk meningkatkan kualitas pendidikannya disesuaikan dengan keahliannya yang JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 IMPLIKASI UNDANG-UNDANG APARATUR SIPIL NEGARA TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA APARATUR dijamin oleh negara. (Prasojo, 2014). UU dibuat harus diyakini dan dilakukan secara proporsional dan profesional dengan mengedepankan asas-asas keadilan, kebaikan, kearifan, dan kebijaksanaan dalam implementasi kebijakan untuk menghasilkan kualitas out put yang memadai dan berorientasi kepada kepentingan Negara secara utuh, yaitu good governance. PENUTUP Implikasi UU ASN menjadi acuan pemerintah dalam memberikan penilaian kinerja secara profesional dan berkesinambungan terhadap aparatur negara. Reformasi birokrasi dilakukan untuk meningkatkan kualitas ASN. Peningkatan kualitas ASN menjadi harapan dalam pencapain tujuan reformasi birokrasi. Dalam berbagai tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan UU ASN, harus diikuti oleh peningkatan kualitas dan professional kinerja yang lebih biak, dengan mengedepankan karakteristik dan perilaku yang baik pula. Peningkatan terhadap reformasi etika dan moral, sebagai upaya pembudayaan terhadap etika aparatur negara. Budaya etika yang baik dengan kualitas dan profesionalitas ASN, serta didukung oleh kompetensi yang dimiliki dapat berimplikasi terhadap kualitas kinerja pelayanan publik yang berkualitas, transparan, akuntabel, dan sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat. Konsep yang diterapkan dalam UU ASN adalah semangat reformasi birokrasi yang berorientasi kepada kepentingan bersama, antara pemerintah dan masyarakat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing. Pemerintah sebagai pemberi layanan, tentunya bersandar kepada ketentuan yang mengikat dengan prioritasi utama adalah kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat. Masyarakat sebagai penerima layanan, harus berpartisipasi aktif dalam memonitor kinerja aparatur. Artinya, bahwa partisipasi masyarakat melalui aspirasi yang dibangun atas dasar peningkatan dan pembangunan kualitas birokrasi, harus berorientasi secara obyektif. Sehingga diharapkan, segala bentuk korelasi dengan mitra yang setara antara masyarakat dan pemerintah memberikan dampak yang positif dalam peningkatan kualitas kinerja aparatur negara. Dibutuhkan kerja sama antara kementerian dan lembaga negara dalam mengimplementasikan UU sebagai perwujudan sinkronisasi sebagai upaya meningkatkan kualitas yang lebih baik. KEPUSTAKAAN Ahmadi, Rulam. (2013). Pelayanan Publik Sebagai Guru Yang Baik Untuk Mewujudkan Good Governance. Jurnal Pelopor VII (3), hlm. 1-10. Akbar, Andi Ali Said. (2012). Mengurai Hambatan Relasi Struktural Membangun Kompetensi Birokrasi. Civil Service. Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS 6 (2): 38-46. Badan Kepegawaian Negara Republik Indonesia. Distribusi Jumlah PNS dirinci Menurut Tingkat Pendidikan & Jenis Kelamin Desember 2013. http://bkn.go.id/in/statistik/ distribusi-jumlah-pns-dirincimenurut-tingkat-pendidikan-danjenis-kelamin.html. Diakses tanggal 11 April 2014. JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 667 HAYAT 668 Badan Pusat Statistik. (2013). Statistik Indonesia, Statistical Yearbook of Indonesia 2013. http://www. bps.go.id/hasil_publikasi/SI_2013 /index3.php?pub=Statistik+Indon esia+2013. Diakses tanggal 03 Juni 2014. Badan Pusat Statistik. Jumlah Pegawai Negeri Sipil Menurut Provinsi dan Jenis Kelamin, 2007-2012. http://www.bps.go.id/tab_sub/v iew.php?kat=1&tabel=1&daftar=1 &id_subyek =101&notab=3 . Diakses tanggal 03 Juni 2014. Badan Pusat Statistik. Penduduk Indonesia menurut Provinsi 1971, 1980, 1990, 1995, 2000 dan 2010. http://www.bps.go.id/tab_sub/v iew.php?tabel=1&id_subyek=12. Diakses tanggal 03 Juni 2014. Benius. (2014). Membangun Aparatur sebagai Penyelenggara Pelayanan Publik, Harian Umum Tabengan. (Online).(http://media.harian tabengan.com/index/detailo/id/ 37414, diakses tanggal 7 Maret 2014). Haris, Aidil. (2011). Profesionalisme Aparatur Pemerintah Persfektif Komunikasi Pemerintah. Jurnal Communicatio I (1): 15-23. Hayat. (2013). Profesionalitas dan Proporsionalitas: Pegawai Tidak Tetap Dalam Penilaian Kinerja Pelayanan Publik. Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS 7 (2): 24-39. Jati, Wasisto Raharjo. (2012). Kultur Birokrasi Patriomialisme dalam Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Analisa, Jurnal Borneo Administrator 8 (2): 145160. Mariana, Dede. (2006). Reformasi Birokrasi Pemerintah Pasca Orde Baru. Jurnal Sosiohumaniora 8 (3): 240-254. Prasojo, Eko. (2014). Swasta Bias Jabat Sekda. (Online). (http:// www.radarjogja.co.id/swastabisa-jabat-sekda/. Jan 17, 2014. Diakses tanggal 7 Maret 2014). Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah. (2012). Pengukuran Kinerja dan Evaluasi Kinerja Manajemen PNS di Daerah. Jurnal Info Kajian Lembaga Administrasi Negara 6 (1): 22-58. Pusat Kajian Manajemen Pelayanan, Deputi II Bidang Kajian Manajemen Kebijakan dan Pelayanan Lembaga Administrasi Negara. (2009). Standar Pelayanan Publik: Langkah-langkah Penyusunan. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara. Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 43 tahun 1999 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara. Rozi, Syafuan. (2009). Netralitas Korporat dan Birokrasi Inovatif Di Indonesia: Menanam, Merawat dan Menuai Kemuliaan Bangsa. Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS 3 (1) (http://www.bkn.go.id /attachments/077_jurnalvol3juni2 009.pdf. Diakses tanggal 16 Maret 2014). JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 IMPLIKASI UNDANG-UNDANG APARATUR SIPIL NEGARA TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA APARATUR Rudianto, Yayan. (2005). Pelayanan Publik Pada Penyelenggaraan Pemerintahan Kecamatan. (online). Jurnal Madani Edisi II: 32-45. http://www. ejournal-unisma.net/ojs/ index.php/madani/article/viewFi le/170/157. Diakses tanggal 04 Juni 2014. Samin, Rumzi. (2011). Reformasi Birokrasi. Jurnal FISIP UMRAH 2 (2): 172–182. Saragih. G, Jopinus. (2012). Reformasi Aparatur Negara Untuk Melaksanakan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik Dan Benar (Good Governance). Jurnal Widya 29 (319): 16-21. Sudarsa, Agun Gunadjar. (2013). http://www.kangagun.com/kont en/317/uu-asn-demi-birokrasiterhormat-dan-pemerintahanefektif. Diakses tanggal 04 Juni 2014. JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 669 info kebijakan UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA 670 A. LATAR BELAKANG eformasi birokrasi merupakan agenda prioritas pembangunan nasional. Bertujuan melakukan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama mencakup 3 (tiga) elemen dasar yaitu kelembagaan, ketatalaksanaan dan sumber daya aparatur. Sumber daya aparatur berperan sebagai aktor untuk mencapai reformasi birokrasi. Ada 4,7 juta sumber daya aparatur di Indonesia dan menduduki posisi penting karena sangat menentukan penyelenggaraan pelayanan publik dan pelaksanaan tugastugas pemerintaha dan pembangunan. Oleh karena itu, tantangan yang harus dihadapi oleh Indonesia adalah menjaga, mengembangkan dan menghargai sumber daya aparatur sebagaimana mestinya. Lahirnya Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) R merupakan jawaban terhadap tantangan tersebut karena telah merombak secara dramatis undang-undang tentang kepegawaian yang pernah ada. Pada zaman orde baru (Orba) pernah ada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, kemudian diperbaharui di masa reformasi, yaitu Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Di zaman Orba sebagus apapun sistem aparatur sipil, tetap timbul kritikan, karena undang-undang kepegawaian pada masa itu didesain khusus untuk menjadi monoloyalitas seluruh aparatur yang harus loyal tunggal kepada pemerintah dan partai pendukung pemerintah saat itu. Pada zaman reformasi, undang-undang tentang pokok-pokok kepegawaian yang telah dikoreksi juga menuai beberapa JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 INFO KEBIJAKAN kelemahan. Dalam pelaksanaannya undang-undang kepegawaian ini dianggap belum mampu melahirkan aparatur negara yang profesional, justru yang terjadi adalah politisasi birokrasi yang mengakar sampai ke tingkat kabupaten/kota dan desa-desa. Perubahan sumber daya aparatur memang tidak mudah karena perubahannya tidak hanya meliputi sistem, struktur dan manajemen SDM, tetapi juga perubahan budaya, cetak pikir, dan perilaku birokrasi itu sendiri. Ada beberapa masalah dasar dalam SDM birokrasi Indonesia. Pertama, belum tertanamnya budaya kinerja dan budaya pelayanan. Ukuran kinerja pada umumnya belum terlalu konkret dan belum terencana dengan baik. Sedangkan budaya pelayanan yang harusnya dimiliki oleh setiap aparatur belum terbentuk karena masih terkotak pada budaya dilayani. Kedua, menjadi seorang PNS belum dipandang sebagai sebuah profesi yang memiliki standar pelayanan profesi, kode etik profesi dan pengembangan kompetensi profesi yang harus dihormati, dijaga dan dijadikan dasar dalam berbagai kebijakan dan manajemen SDM. Ketiga, kian besarnya gejala pengaruh politik, hubungan kekerabatan, hubungan ekonomi dan berbagai relasi lain dalam manajemen SDM. Proses rekrutmen dan pengisian/promosi jabatan di sebagian pemerintahan daerah lebih ditentukan relasi-relasi yang berdimensi politik, kekeluargaan/kekerabatan, dan ekonomi. Pengisian jabatan tak didasarkan pada kompetensi, hasil kinerja sebelumnya, dan kesesuaian kualifikasi yang dibutuhkan. Keempat, adalah sulitnya menegakkan integritas dan mencegah terjadinya perilaku menyimpang dalam birokrasi. Sebenarnya, persoalan utamanya adalah ketiadaan nilai dasar profesi yang dijadikan pedoman perilaku. Jika di beberapa jabatan dan instansi ada, nilai dasar itu belum terinternalisasi baik dalam diri PNS UU ASN menganut paradigma baru yang mengharuskan perubahan pengelolaan sumber daya dari perspektif lama manajemen kepegawaian yang menekankan hak dan kewajiban individual pegawai menuju perspektif baru yang menekankan pada manajemen pengembangan sumber daya manusia secara strategis. Sehingga menjadi harapan besar pengelolaan sumber daya aparatur di Indonesia ke depan dapat menjadi lebih efektif, efisien, dan akuntabel serta memiliki kualifikasi dan kompetensi yang diperlukan untuk menghadapi tantangan bangsa ke depannya. Untuk menghasilan aparatur tersebut, UU ASN disusun untuk mengatur ketentuan pokok tentang pengaturan dan pengelolaan aparatur sipil negara sebagai profesi bagi para pegawai negeri sipil yang bekerja pada semua instansi pemerintah pusat, sekretariat lembaga negara, sekretariat lembaga non kementerian, instansi pemerintah daerah dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. UU ASN disetujui oleh DPR-RI pada Rapat Paripurna, 19 Desember 2013 kemudian diundangkan pada tanggal 15 Januari 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6. UU ini memuat 15 Bab terdiri dari 141 Pasal. JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 671 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA 672 B. MUATAN UNDANG-UNDANG (UU) Materi muatan UU ASN mencakup bab-bab: 1. Ketentuan Umum 2. Asas, Prinsip, Nilai Dasar, serta Kode Etik dan Kode Perilaku 3. Jenis,Status dan Kedudukan 4. Fungsi, Tugas dan Peran 5. Jabatan ASN 6. Hak dan Kewajiban 7. Kelembagaan 8. Manajemen ASN 9. Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi 10. Pegawai ASN yang Menjadi Pejabat Negara 11. Organisasi 12. Sistem Informasi ASN 13. Penyelesaian Sengketa 14. Ketentuan Peralihan 15. Ketentuan Penutup 1. Asas, Prinsip, Nilai Dasar, serta Kode Etik dan Kode Perilaku Penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN berdasarkan pada asas: a. Kepastian Hukum, bahwa dalam setiap penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN, mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan. b. P r o f e s i o n a l i t a s , b e r a r t i mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundangundangan. c. P r o p o r s i o n a l i t a s , b e r a r t i mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban pegawai ASN. d. K e t e r p a d u a n , b a h w a e. f. g. h. i. j. k. l. pengelolaan pegawai ASN didasarkan pada satu sistem pengelolaan yang terpadu secara nasional. Delegasi, berarti bahwa sebagian kewenangan pengelolaan pegawai ASN dapat didelegasikan pelaksanaannya kepada kementerian, lembaga pemerintah non kementerian dan pemerintah daerah. Netralitas, bahwa setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun Akuntabilitas, bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan pegawai ASN harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Efektif dan Efisien, bahwa dalam penyelenggaraan manajemen ASN sesuai dengan target atau tujuan dengan tepat waktu sesuai dengan perencanaan yang ditetapkan. Keterbukaan, bahwa dalam penyelenggaraan manajemen ASN bersifat terbuka untuk publik. Non diskriminatif, bahwa dalam penyelenggaraan manajemen ASN, KASN tidak membedakan perlakuan berdasarkan gender, suku, agama, ras dan golongan. Persatuan dan Kesatuan, bahwa pegawai ASN sebagai perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia Keadilan dan Kesetaraan, bahwa JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 INFO KEBIJAKAN pengaturan penyelenggaraan ASN harus mencerminkan rasa keadilan dan kesamaan untuk memperoleh kesempatan akan fungsi dan peran sebagai pegawai ASN. m. K e s e j a h t e r a a n , b a h w a pengaturan penyelenggaraan ASN diarahkan untuk mewujudkan peningkatan kualitas hidup pegawai ASN. 2. Jenis, Status dan Kedudukan Berdasarkan jenisnya, pegawai ASN terdiri dari a. PNS (Pegawai Negeri Sipil), berstatus sebagai pegawai tetap yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan memiliki nomor induk pegawai secara nasional serta menduduki jabatan pemerintahan. b. PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja), merupakan pegawai ASN yang diangkat sebagai pegawai dengan perjanjian kerja oleh pejabat pembina kepegawaian sesuai dengan kebutuhan instansi pemerintah dan ketentuan UU ASN untuk melaksanakann tugas pemerintahan. Pegawai ASN berkedudukan sebagai unsur aparatur negara, melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh pimpinan instansi pemerintah. Harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik. 3. Fungsi, Tugas dan Peran Pegawai ASN berfungsi sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayan publik, perekat dan pemersatu bangsa. Sedangkan tugas pegawai ASN adalah melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian, memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas serta mempererat persatuan dan kesatuan NKRI. Perannya antara lain sebagai perencana, pelaksana dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik serta bersih dari praktik KKN. 4. Jabatan ASN JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 673 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA 5. Hak dan Kewajiban 674 Kewajiban pegawai ASN meliputi: a. Setia dan taat pada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Pemerintah yang sah. b. Menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. c. Melaksanakan kebijakan yang dirumuskan pejabat pemerintah yang berwenang. d. Menaati ketentuan peraturan perundang-undangan. e. Melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian, kejujuran, kesadaran dan tanggungjawab. f. Menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku, ucapan dan tindakan kepada setiap orang, baik di dalam maupun luar kedinasan. g. Menyimpan rahasia jabatan dan hanya dapat mengemukakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 6. Kelembagaan Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi dan manajemen ASN. Untuk menyelenggarakan kekuasaannya, Presiden mendelegasikan sebagian kekuasaannya kepada Kementerian PAN dan RB, Komite Aparatur Sipil Negara (KASN), Lembaga Administrasi Negara (LAN) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 INFO KEBIJAKAN Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) KASN berkedudukan di ibukota negara. KASN merupakan lembaga non struktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik untuk menciptakan pegawai ASN yang profesional dan berkinerja, memberikan pelayanan secara adil dan netral serta menjadi perekat dan pemersatu bangsa. KASN dibentuk paling lama 6 (enam) bulan sejak UU ASN diundangkan. KASN terdiri dari 1 (satu) orang ketua merangkap anggota, 1 (satu) orang wakil ketua merangkap anggota dan 5 (lima) orang anggota. Unsur keanggotaannya berasal dari unsur pemerintah dan atau non pemerintah. Anggota KASN diseleksi dan diusulkan oleh tim seleksi yang beranggotakan 5 (lima) orang dan dibentuk dan dipimpin oleh menteri PAN dan RB dan melakukan tugas selama 3 (tiga) bulan sejak pengangkatan. Tim seleksi melakukan proses seleksi anggota KASN dengan mengumumkan secara terbuka lowongan tersebut kepada masyarakat secara luas. Ketua, wakil ketua dan anggota KASN ditetapkan oleh presiden untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan hanya dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Untuk menjalankan tugasnya KASN dibantu oleh asisten, pejabat fungsional keahlian yang dibutuhkan dan sekretariat. Asisten KASN diangkat dan diberhentikan oleh ketua KASN berdasarkan persetujuan rapat KASN. Asisten bisa berasal dari PNS atau nonPNS yang memiliki kualifikasi akademik paling rendah S2 di bidang tertentu. Sekretariat dipimpin oleh kepala sekretariat yang berasal dari PNS, diangkat dan diberhentikan oleh ketua KASN. KASN memiliki dan melaksanakan kode etik dan kode perilaku. Dalam hal terjadi pelanggaran, maka Presiden membentuk majelis kehormatan kode etik dan kode perilaku. Majelis kehormatan terdiri atas 5 (lima) orang yang berasal di luar KASN dan memiliki kompetensi di bidang ASN, rekam jejak yang baik, memiliki integritas moral dan netralitas serta berusia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun. 7. Manajemen ASN Manajemen ASN diselenggara-kan berdasarkan sistem merit, yaitu didasarkan pada kualifikasi, kompetensi dan kinerja secara adil dan wajar tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur dan kondisi kecacatan. Manajemen ASN meliputi Manajemen PNS dan Manajemen PPPK. Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan ASN dapat mendelegasikan kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat selain pejabat pimpinan tinggi utama dan madya, dan pejabat fungsional keahlian utama kepada Pejabat Pembina Kepegawaian. Pejabat Pembina Kepegawaian adalah pejabat yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian pegawai ASN dan pembinaan manajemen ASN di instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Terdiri atas: - Menteri di kementerian - Pimpinan lembaga di LPNK (Lembaga Pemerintahan Non Kementerian) JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 675 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA - Sekretaris jenderal di sekretariat lembaga negara dan LNS (Lembaga Non Struktural) - Gubernur di provinsi - Bupati/walikota di kabupaten/kota Selanjutnya, Presiden dapat mendelegasikan kewenangan pembinaan manajemen ASN kepada pejabat yang berwenang di kementerian, sekretaris jenderal/sekretariat lembaga negara, sekretariat lembaga non struktural, sekda provinsi dan kabupaten/kota. 676 JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 INFO KEBIJAKAN 7. 8. 4. 5. 6. 677 9. JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA 8. Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Pengisian JPT dilakukan secara kompetitif dan terbuka di kalangan PNS. JPT utama dan madya tertentu dapat berasal dari non-PNS dengan persetujuan Presiden secara kompetitif dan terbuka. JPT dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi. PENGISIAN JPT UTAMA DAN MADYA K/L PUSAT PRESIDEN 8 7 Laporan KEPUTUSAN PRESIDEN JPT TERPILIH 6 KASN MENYAMPAIKAN 3 CALON MEMASTIKAN SISTEM MERIT 2 PENGAWASAN PEMBENTUKAN PANSEL DAN KEPUTUSAN MENGIKAT PIMP K/L/PPK 1 5 KOORDINASI MEMBENTUK MENYAMPAIKAN 3 CALON JPT PANSEL 4 678 PENGAWASAN PELAKSANAAN SELEKSI DAN KEPUTUSAN MENGIKAT 3 MENYELEKSI JPT SECARA TERBUKA MEKANISME SELEKSI JPT PRATAMA K/L PUSAT PRESIDEN 7 Laporan 8 Pembatalan, Peringatan dan Teguran KASN 6 MEMASTIKAN SISTEM MERIT PPK 2 PENGAWASAN PEMBENTUKAN PANSEL DAN KEPUTUSAN MENGIKAT 1 MEMBENTUK KOORDINASI MEMILIH & MENETAPKAN 5 PyB MENYAMPAIKAN 3 CALON JPT PANSEL 4 PENGAWASAN PELAKSANAAN SELEKSI DAN KEPUTUSAN MENGIKAT 3 MENYELEKSI JPT SECARA TERBUKA JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 INFO KEBIJAKAN MEKANISME SELEKSI JPT MADYA DI DAERAH PRESIDEN 9 KEPUTUSAN PRESIDEN JPT TERPILIH KASN 6 Laporan MENYAMPAIKAN 3 CALON 8 MENDAGRI MEMASTIKAN SISTEM MERIT PENGAWASAN DAN KEPUTUSAN 7 MENGIKAT GUBERNUR/ PPK 2 PENGAWASAN PEMBENTUKAN PANSEL DAN KEPUTUSAN MENGIKAT MEMBENTUK 5 1 MENYAMPAIKAN 3 CALON JPT KOORDINASI PANSEL 4 PENGAWASAN PELAKSANAAN SELEKSI DAN KEPUTUSAN MENGIKAT 3 MENYELEKSI JPT SECARA TERBUKA MEKANISME SELEKSI JPT PRATAMA DI DAERAH PRESIDEN 7 LAPORAN 8 679 Pembatalan, Peringatan dan Teguran KASN 6 MEMASTIKAN SISTEM MERIT GUBERNUR/ PPK 2 PENGAWASAN PEMBENTUKAN PANSEL DAN KEPUTUSAN MENGIKAT 1 MEMBENTUK KOORDINASI MENETAPKAN JPT 5 PyB MENYAMPAIKAN 3 CALON JPT PANSEL 4 PENGAWASAN PELAKSANAAN SELEKSI DAN KEPUTUSAN MENGIKAT JPT hanya dapat diduduki paling lama 5 (lima) tahun. Pejabat yang habis masa jabatannya harus mengikuti seleksi/uji kompetensi kembali untuk menduduki jabatan yang sama pada periode berikutnya. Pejabat yang bersangkutan harus memenuhi target 3 MENYELEKSI JPT SECARA TERBUKA kinerja yang diperjanjikan dengan atasan. Pejabat yang tidak memenuhi kinerja yang diperjanjikan dalam waktu satu tahun pada suatu jabatan, diberikan kesempatan 6 (enam) bulan untuk memperbaiki kinerjanya. Namun jika pejabat yang bersangkutan tidak JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA menunjukkan perbaikan kinerja, maka harus mengikuti seleksi ulang uji kompetensi kembali. Dari hasil seleksi tersebut, pejabat yang bersangkutan dapat dipindahkan pada jabatan lain sesuai dengan kompetensi yang dimiliki atau ditempatkan pada jabatan yang lebih rendah. 680 9. Pegawai ASN yang Menjadi Pejabat Negara Pegawai ASN dapat menjadi pejabat negara yaitu a. Presiden, wakil presiden. b. Ketua, wakil ketua dan anggota MPR. c. Ketua, wakil ketua dan anggota DPR d. Ketua, wakil ketua dan anggota Mahkamah Konstitusi e. Ketua, wakil ketua dan anggota BPK f. Ketua, wakil ketua dan anggota Komisi Yudisial g. Ketua dan wakil ketua KPK h. Menteri dan jabatan setingkat menteri i. Gubernur dan wakil gubernur j. Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota k. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh UndangUndang. Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai presiden dan wakil presiden, ketua, wakil ketua dan anggota DPR dan DPRD, kepala daerah, wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon. Sedangkan PNS yang tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara dapat menduduki JPT, jabatan administrasi, jabatan fungsional sepanjang tersedia lowongan jabatan. Jika tidak tersedia lowongan jabatan dalam waktu 2 (dua) tahun, maka PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat. 10. Organisasi ASN Pegawai ASN berhimpun dalam wadah korps profesi Pegawai ASN Republik Indonesia yang bertujuan menjaga kode etik profesi dan standar pelayanan profesi ASN serta mewujudkan jiwa korps ASN sebagai pemersatu bangsa. 11. Sistem Informasi ASN Sistem Informasi ASN adalah rangkaian informasi dan data mengenai pegawai ASN yang disusun secara sistematis, menyeluruh dan terintegrasi dengan berbasis teknologi. Sistem ini dikelola oleh BKN dan dapat diakses oleh nstansi terkait baik untuk keperluan update data maupun untuk pengambilan keputusan. 12. Penyelesaian Sengketa Sengketa pegawai ASN diselesaikan melalui upaya administratif yang terdiri dari keberatan dan banding. Keberatan diajukan secara tertulis kepada atasan pejabat yang berwenang menghukum, sedangkan banding administratif diajukan kepada badan pertimbangan ASN. 13. Ketentuan Peralihan Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, terhadap jabatan PNS dilakukan penyetaraan sampai dengan berlakunya peraturan pelaksanaan mengenai jabatan ASN: JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 INFO KEBIJAKAN C. PENUTUP Undang-undang ini mulai berlaku saat diundangkan pada 15 Januari 2014 dan Undang-Undang tentang PokokPokok Kepegawaian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang ini harus sudah ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini ditetapkan, terdiri dari 19 Peraturan Pemerintah (PP), 4 Peraturan Presiden (Perpres) dan 1 Peraturan Menteri (Permen). Perubahan birokrasi Indonesia perlu didukung aparatur yang profesional, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktek KKN, mampu menyelenggarakan pelayanan publik dan mampu menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan NKRI. Semoga UU ASN dapat menjadi fondasi penting untuk mencapainya. (rati sumanti) JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 681 KESIAPAN 1 PENERAPAN REFORMASI BIROKRASI DI SUMATERA THE READINESS FOR IMPLEMENTATION OF BUREAUCRATIC REFORM IN SUMATERA Bidang Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara 682 ABSTRACT This study aims to develop an instrument to measure the readiness of implementation of bureaucratic reform in Local Governments in Sumatra, also to describe it. The results showed that six areas are well prepered for reform. First, the commitment of leaders to reform has built up. Second, the quality of public service has enhanced. It has been proofed by using standard operating procedures in delivering services. Third, regulations have been adapted to local priorities; Fourth, organizational structure has been created proporly to the needs of local affairs, although not fully efficient or effective Fifth, accountability enhancing through envolving all actors in local governmnets. Sixth, in Apparatus Resource Management, the local government has set some documents related to the development of competence such as Workload Analysis of Individual and job competency standards. In other hand, two (areas are required some attentions beacause iof their resistance of reform. First, management of change. In some local governments, bureaucratic reform agenda seems to only be the responsibility of specific actors or units such as Bappeda (not be a common agenda). Second, th use of SOP as a still low. The research recommends three stategies: (1) conducting a socialization and internalize and disseminate understanding of bureaucratic reform across the lining of the officers, to build motivation and a sense of ownership of bureaucratic reform program; (2) Establishing a multistakeholder team Bureaucratic Reform government, universities, civil society, which is coordinated by the local government in charge of bureaucratic reform program; (3) Preparing documents that releated to bureaucratic reform such as Road Map of Bureaucratic Reform. Keywords : Bureaucratic Reform, Local Readiness, Public Service. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan menyusun instrumen untuk mengukur kesiapan penerapan reformasi birokrasi di Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera dan memetakan kesiapan daerah dalam mengimplementasikan reformasi birokrasi di kabupaten/kota di Sumatera. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 6 (enam) dimensi sudah menunjukkan kondisi yang mendukung penerapan Reformasi Birokrasi, yaitu pertama, mulai terbangunnya komitmen dilevel pimpinan daerah; kedua, upaya kualitas pelayanan publik ditandai dengan tersedianya dokumen standar operasional prosedur untuk beberapa unit layanan publik; ketiga, penetapan perda telah disesuaikan dengan prioritas program legislasi daerah; keempat, penataan Struktur 1 Naskah diterima 1 April 2014. Direvisi 1 Mei 2014 BIDANG KAJIAN KEBIJAKAN DAN INOVASI ADMINISTRASI NEGARA organisasi telah disesuaikan dengan urusan kebutuhan daerah walaupun belum sepenuhnya efisien atau efektif; kelima, penyusunan dan penguatan Akuntabilitas program kerja daerah melalui pendekatan kesepakatan bersama rapat kerja seluruh unsur Pemerintahan, penyusunan LAKIP pemerintah daerah tepat waktu dan melibatkan seluruh unsur pemerintah; keenam, Aspek Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur, pemerintah daerah telah menetapkan dokumen-dokumen terkait peningkatan kompetensi dan manajemen SDM, yaitu Analisis Beban Kerja Individu, standar kompetensi jabatan. Sedangkan 2 (dua) dimensi yang dinilai masih rentan atau sulit menerima perubahan yaitu pada manajemen perubahan, dibeberapa kab/kota agenda reformasi birokrasi sepertinya hanya menjadi tanggungjawab satuan kerja perangkat daerah tertentu yaitu bagian Organisasi, Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah, dan Bappeda, (belum menjadi agenda bersama); Kemudian aspek Penataan Tatalaksana, yaitu ketersedian Standar Pelayanan Publik yang minim, kepatuhan terhadap standar prosedur yang telah disepakati masih rendah. Kajian ini merekomendasikan langkah utama yang harus segera dilakukan adalah : (1) Menginternalisasi dan menyelanggarakan sosialisasi dan diseminasi pemahaman reformasi birokrasi diseluruh lapisan aparatur daerah, untuk membangun motivasi dan rasa kepemilikan program reformasi birokrasi; (2) Membentuk Tim Reformasi Birokrasi multistakeholder unsur pemerintah, universitas, civil society, yang dikoordinasikan oleh pemda sebagai penanggung jawab program reformasi birokrasi; (3) Menyusun dokumen Road Map Reformasi Birokrasi Daerah sesuai dengan kebutuhan daerah, untuk sebagai acuan dalam menerapkan reformasi birokrasi di daerah. Kata Kunci: Reformasi Birokrasi, Kesiapan Daerah, Pelayanan Publik. A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang enyelenggaraan otonomi daerah merupakan langkah yang dianggap paling tepat dalam rangka meningkatkan kemandirian daerah baik dari segi pengelolaan sumber daya maupun keuangan daerah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Dan Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah telah memberikan kewenangan yang cukup besar bagi P daerah untuk mengelola daerahnya. Kewenangan yang cukup luas ini harus mampu dioptimalkan dan dimaksimalkan untuk tercipatanya tujuan otonomi daerah yang tertuang dalam UU yaitu terciptanya penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih efisien dan efektif. Keberhasilan implementasi otonomi daerah selain sangat bergantung pada kondisi daerah beserta kesiapan masyarakat daerah itu sendiri, juga sangat bergantung pada aparat pemerintah atau birokrasi pemerintahnya. Birokrasi pemerintah JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 683 KESIAPAN PENERAPAN REFORMASI BIROKRASI DI SUMATERA THE READINESS FOR IMPLEMENTATION OF BUREAUCRATIC REFORM IN SUMATERA 684 dalam hal ini menjadi prime mover yang menggerakkan jalannya pembangunan dengan semangat reformasi melalui penyelenggaraan otonomi secara luas dan bertanggung jawab. Sebagai lembaga sentral, birokrasi diciptakan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi pemerintah yang misi utamya adalah di bidang pelayanan publik dengan mendasarkan diri pada konsep social equity. Kewenangan Pemerintah Daerah yang besar akan menjadi “senjata makan tuan” bagi daerah jika tidak dikuti dengan kemampuan dalam mengelola dan menyelenggarakan pemerintah daerah secara efisien dan efektif. Undang-undang telah mengamanatkan kewenangan yang cukup luas bagi Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dirinci menjadi 15 kewenangan daerah. Salah satu kewenangan adalah pelayanan publik dasar seperti kesehatan dan kependudukan. Pemberian otonomi daerah diharapkan mampu menciptakan pelayanan kesehatan dan kependudukan yang lebih baik dan berorientasi pada kepuasan masyarakat. Permasalahan yang timbul bahkan sudah membudaya di pelayanan publik adalah mind set para birokrat dalam memberikan pelayanan. Siapa yang melayani dan dilayani menjadi terbalik dalam penyelenggaraan pemerintahan. Masyarakat yang seharusnya sebagai penerima manfaat pelayanan “dipaksa” harus melayani para birokrat dan sebaliknya, birokrat “meminta” pelayanan kepada masyarakat. Hal ini sangat mudah ditemukan dalam pelayanan sehari-hari. Alur proses yang tidak jelas, waktu yang lama, dan biaya yang tidak jelas merupakan temuan sehari-hari di pusat pelayanan publik. Banyaknya penyakit birokrasi (bureaupathologies) telah menimbulkan ekonomi biaya tinggi dalam pembangunan dan pemerintahan. Secara individual perilaku menyimpang dalam birokrasi (seperti korupsi, kolusi dan nepotisme) seringkali dianggap sangat fungsional untuk mengatasi problem rendahnya gaji pegawai negeri. Tentu saja hal ini merupakan pandangan yang keliru, karena perilaku tersebut dapat merugikan kepentingan rakyat. Perilaku menyimpang dalam birokrasi yang dikenal sebagai maladministrasi pada akhirnya merupakan prinsip zero sum game, dimana apabila ada pihak yang diuntungkan maka selalu ada pihak yang dirugikan. Biaya yang harus ditanggung akibat perilaku koruptif birokrat pada akhirnya merupakan beban pada masyarakat sebagai pengguna pelayanan publik. Dalam hal ini masyarakat menanggung biaya ganda (double cost) yaitu pembayaran legal dalam bentuk pajak dan pembayaran ilegal dalam bentuk pengutan liar dan sogokan yang merupakan bagian dari perilaku korupsi. Tuntunan akan reformasi birokrasi sudah tidak dapat dibendung lagi dan pemerintah diharapkan serius menjalankan agenda ini. Reformasi birokrasi telah menjadi agenda prioritas pembangunan nasional pemerintahan. Menerapkan reformasi birokrasi tidaklah mudah karena menyangkut perubahan struktural maupun kultural. Keseriusan pemerintah dapat dilihat dari telah dilakukannya RB pada gelombang pertama. Walaupun baru bersifat instansional, RB Gelombang I telah JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 BIDANG KAJIAN KEBIJAKAN DAN INOVASI ADMINISTRASI NEGARA mampu memberikan gambaran langsung keinginan perubahan dan manfaat perubahan pada birokrasi. Pada tahun 2008, tiga kementerian dan lembaga telah melakukan RB yaitu Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pemberian tunjangan kinerja sebagai wujud penerapan RB juga telah dilakukan di ketiga instansi tersebut. Wujud keseriusan pelaksanaan RB dapat dilihat dari ditetapkannya Grand Desain Reformasi Birokrasi 2025 telah ditetapkan Presiden Republik Indonesia (RI) pada tanggal 21 Desember 2010. Pada RB gelombang kedua, Presiden telah menetapkan delapan area perubahan untuk mewujudkan reformasi birokrasi. Cakupan perubahan tidak hanya pada institusional, tetapi juga sudah merambah nasional. Untuk mencapai tujuan-tujuan reformasi birokrasi, dibutuhkan suatu agenda yang terstruktur dan bertahap sehingga membentuk lintasan (trajectory) reformasi. Reformasi administrasi tanpa lintasan terarah yang jelas bukan saja akan sangat melelahkan, tetapi juga tidak akan membuahkan hasil. Pengalaman menunjukkan bahwa salah satu penyebab belum optimalnya Indonesia melakukan reformasi administrasi adalah ketiadaan lintasan reformasi administrasi. Agenda reformasi tidak hanya diarahkan pada pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah. Pada tahap awal, tiga kementerian menjadi pilot project penerapan reformasi birokrasi di level pemerintah pusat. Hingga tahun 2013, seluruh kementerian diharapkan telah melaksanakan reformasi birokrasi. Perbaikan pelayanan, peningkatan kinerja, dan berkurangnya KKN menjadi fokus reformasi birokrasi. Pemberian tunjangan kinerja (renumerasi) menjadi pelengkap sebagai apresiasi pemerintah terhadap kementerian yang menjalankan reformasi birokrasi (RB). Berbeda dengan kementerian dan lembaga pusat, pemerintah daerah baru mulai menerapkan RB pada tahun 2012. Sebanyak 99 pemerintah daerah yang terdiri dari 33 provinsi, dan 33 ibu kota provinsi, dan 33 kab/kota lainnya ditetapkan menjadi pilot project pelaksananaa RB di daerah. Daerah yang dipilih merupakan perwakilan dari kabupaten/kota yang dianggap telah benar-benar siap menjalankan RB. Daerah yang menjadi pilot project tersebut kemudian akan didampingi proses menerapkan RB di daerah. Daerah yang bukan pilot project dapat menerapkan RB dengan diawali diusulkan oleh provinsi dan telah mengagendakan RB dalam Rencana Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Tuntutan reformasi birokrasi memiliki tantangan yang berbeda-beda di setiap daerah. Daerah yang memiliki catatan baik dalam penyelenggraan pemerintahan seperti opini BPK, Kedisiplinan yang tinggi serta inovasi pelayanan yang baik tidak akan terlalu sulit dalam menerapkan reformasi brokrasi. Sedangkan daerah-daerah yang tidak terbiasa dengan perubahanperubahan dan nilai-nilai good gavernance akan sulit menerapkan agenda reformasi birokrasi. Oleh sebab itu, upaya untuk melakukan pemetaan kondisi awal pemerintahan menjadi sangat penting. Hasil pemetaan ini akan memudahkan pemerintah daerah dalam menetapkan prioritas kegiatan dalam mencapai JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 685 KESIAPAN PENERAPAN REFORMASI BIROKRASI DI SUMATERA THE READINESS FOR IMPLEMENTATION OF BUREAUCRATIC REFORM IN SUMATERA tujuan reformasi birokrasi. Untuk menghasilkan pemetaan yang baik maka penyusunan instrumen yang valid dan reliable menjadi fokus awal dalam kegiatan pemetaan. 686 2. Masalah Penelitian Reformasi Birokrasi belum dipahami dan dilaksanakan oleh seluruh pemerintah daerah di Indonesia. Penerapan RB di daerah nantinya akan menjadi menjadi permasalahan yang sulit untuk dipecahkan jika tidak segera dilakukan kegiatan pemetaan awal kondisi kesiapan daerah. Oleh sebab itu, permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah telah terdapat instrumen awal untuk mengukur kesiapan daerah dalam menerapkan reformasi birokrasi? 2. Bagaimana kesiapan pemerintah daerah di Sumatera dalam menerapkan reformasi birokrasi? 3. Apa saja potensi permasalahan yang akan dihadapi dearah dalam mengimplementasikan reformasi birokrasi Pemerintah Daerah di Sumatera? 3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan: 1. P e n y u s u n a n i n s t r u m e n u n t u k mengukur kesiapan penerapan reformasi birokrasi di Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera. 2. Memetakan kesiapan Pemerintah Daearah khususnya sembilan area perubahan reformasi birokrasi di Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera. 3. M e n g i n d e n t i f i k a s i p o t e n s i permasalahan yang akan dihadapi dalam mengimplementasikan reformasi birokrasi di Pemerintah Daerah di Sumatera. B. LANDASAN TEORI Birokrasi berasal dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor; dan kata “kratia” (cratein) yang berarti pemerintah/rakyat. Pada mulanya, istilah ini digunakan untuk menunjuk pada suatu sistematika kegiatan kerja yang diatur atau diperintah oleh suatu kantor melalui kegiatan-kegiatan administrasi. Dalam konsep bahasa Inggris secara umum, birokrasi disebut dengan “civil service”. Selain itu juga sering disebut dengan public sector, public service atau public administration. Berbicara soal birokrasi, tidak bisa lepas dari konsep yang digagas Max Weber, sosiolog ternama asal Jerman, dalam karyanya ”The Theory of Economy and Social Organization”, yang dikenal melalui ideal type (tipe ideal) birokrasi modern. Model ini yang sering diadopsi dalam berbagai rujukan birokrasi berbagai negara, termasuk di Indonesia, walaupun dalam penerapan tidak sepenuhnya bisa dilakukan. Weber membangun konsep Birokrasi berdasar teori sistem kewarganegaraan yang dikembangkannya. Ada tiga jenis kewenangan yang berbeda, yakni Pertama, Kewenangan Tradisional ( Traditional Authority ) mendasarkan legitimasi kewenangan pada tradisi yang diwariskan antar generasi; Kedua, Kewenangan Kharismatik (Charismatic Authority) mempunyai legitimasi kewenangan dari kualitas pribadi dan yang tinggi dan bersifat supranatural; Ketiga, Kewenangan Legal-rasional ( Legalrational Authority ) mempunyai JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 BIDANG KAJIAN KEBIJAKAN DAN INOVASI ADMINISTRASI NEGARA legitimasi kewenangan yang bersumber pada peraturan perundang-undangan. C. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data dan lokus penelitian adalah sebagai berikut: 1. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen kuesioner dan dilanjutkan dengan melakukan wawancara mendalam k epada narasumber dari pemerintah kabupetan/kota mengenai isi kuesioner. 2. Lokasi Penelitian Kabupaten/kota yang menjadi lokasi penelitian adalah kabupaten/kota yang bukan daerah pilot project penerapan RB di Sumatera. Sebanyak enam kabupaten/kota dari tiga provinsi dipilih menjadi sampel penelitian dan lokasi pengujian kuesioner, yaitu: a. Provinsi Aceh: Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Tamiang. b. P r o v i n s i S u m a t e r a U t a r a : Kabupaten Langkat dan Kota Binjai c. Provinsi Riau: Kota Batam dan Kabupaten Bintan. 3. Kuesioner Kuesioner disusun untuk memudahkan proses pengumpulan data primer. Kuesioner berisikan pernyataan-pernyataan yang b ert ujuan meng uk ur k esiapan sembilan area perubahan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design RB 2010-2025. D. PEMBAHASAN Penilaian mandiri terhadap sembilan aspek yang menjadi fokus penelitian ini dilakukan pada tiga kabupaten dan 3 kota di Sumatera. Hasil pengukuran ini sekaligus menjadi uji kelayakan kuesioner yang telah disusun di awal penelitian. Interpretasi dari nilai yang dipilih mengacu pada keterangan dari kuesioner yang telah ditetapkan. 1. Aspek Manajemen Perubahan Salah satu program yang ditargetkan dalam agenda mikro RB adalah Program Manajemen Perubahan. Program ini bertujuan untuk mengubah secara sistematis dan konsisten dari sistem dan mekanisme kerja organisasi serta pola pikir dan budaya kerja individu atau unit kerja di dalamnya menjadi lebih baik sesuai dengan tujuan dan sasaran reformasi birokrasi. Hasil pengukuran kesamaan persepsi tentang pentingnya RB di daerah menunjukkan bahwa Kab/kota di Sumut memiliki nilai 7,3, sedangkan Aceh dan Kepri memiliki nilai rata-rata 6.5. Hal ini dapat diartikan bahwa pemahan dasar mengenai agenda RB telah dimiliki oleh aparatur di Aceh, Sumut, dan Kepri. Akan tetapi, sosilisasi belum menyentuh seluruh lapisan aparatur khususnya aparatur teknis. Berdasarkan wawancara dengan pejabat terkait disimpulkan bahwa sosialisasi baru dilakukan pada level pimpinan khususnya eselon II dan III, sedangkan untuk level eselon IV dan staf teknis belum sepenuhnya mendapat sosialisasi. Agenda RB juga dibebankan hanya pada SKPD atau bagian tertentu, misalnya Bappeda atau Bagian Organisasi dan Tatalaksana. Agenda RB JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 687 KESIAPAN PENERAPAN REFORMASI BIROKRASI DI SUMATERA THE READINESS FOR IMPLEMENTATION OF BUREAUCRATIC REFORM IN SUMATERA belum menjadi agenda bersama seluruh SKPD. Oleh sebab itu, usulan kegiatan tahun 2013 belum mengarah dan mendukung sepenuhnya program RB di daerah. Adapun hasil penilaian mandiri kab/kota dapat diperhatikan pada Diagram 1. 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 8,6 6,5 7,3 6,5 8,6 7,5 7 khsusunya yang berkaitan dengan pelayanan belum maksimal. Sikap ingin dilayani, bukan melayani, masih terdapat di sebagian tubuh aparatur. Upayaupaya telah dilakukan tetapi belum menunjukkan hasil yang maksimal. Oleh sebab itu, hasil penilaian mandiri yang 7 6,5 6 5,8 6,5 6 6 6,5 ACEH 6,6 Kesamaan Visi Pemerintah Misi Pemerintah Perbaikan Pola Persepsi akan Daerah Daerah Pikir Aparatur pentingnya Penerapan Reformasi Birokrasi di Daerah Perbaikan Budaya Kerja SUMUT 7,25 KEPRI 6,6 688 1 2 3 4 5 Diagram 1. Penilaian Mandiri Aspek Manajemen Perubahan Hasil penilaian terhadap Visi dan Misi di kab/kota di 3 provinsi lokus berada pada nilai 7 dan 8. Hal ini bermakna bahwa visi dan misi daerah telah mampu memberikan motivasi kepada semua jajaran.Visi dan misitelah dipublikasikan dalam bentuk dokumen atau sarana komunikasi lain, dan semua pelaksana unit kerja memahami. Hasil wawancara menunjukkan bahwa visi dan misi telah memuat nilai-nilai reformasi birokrasi, baik secara tersurat maupun tersirat. Penilaian terendah dapat dilihat dari nilai rata-rata terhadap pernyataan pebaikan pola pikir aparatur. Hasil wawancara dapat diketahui bahwa upaya perbaikan pola pikir aparatur diberikan berada pada nilai 5 dan 6. 2. Aspek Penataan Peraturan dan Perundang-Undangan Program ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh K/L dan Pemda. Hasil penilaian mandiri terhadap kondisi aspek peraturan dan perundangundangan dapat dilihat pada Diagram 2. Penilaian terhadap pernyataan penyusunan/penetapan peraturan daerah secara partisipatif berkisar pada angka 6 dan 7. Hal ini bermakna bahwa penyusunan perda diawali dengan naskah akademik dan dilakukan uji JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 BIDANG KAJIAN KEBIJAKAN DAN INOVASI ADMINISTRASI NEGARA 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 7,75 7,5 6 6,5 7 6,5 7 6,7 7,5 7,75 7 7,5 6,75 6,4 6,5 ACEH 7,15 Penyusunan/ penetapan Peraturan Daerah secara partisipasitif Penetapan Peraturan Daerah sesuai dengan skala prioritas yang dibutuhkan daerah 1 2 Peraturan Tumpah Tindih Daerah Peraturan Ditindaklanjuti Daerah dengan Kebijakan Lebih Lanjut 3 4 Pemanfaatan Perda untuk Kebutuhan Publik SUMUT 4,95 KEPRI 7,1 5 Diagram 2. Penilaian Mandiri Aspek Penataan Peraturan dan Perundang-Undangan publik. Nilai yang tidak jauh berbeda juga diberikan pada pernyataan penetapan peraturan daerah sesuai dengan skala prioritas yang dibutuhkan daerah yaitu pada kisaran nilai 6 dan 7. Nilai ini bermakna bahwa penetapan perda sesuai skala prioritas dalam prolegda, dan dapat ditetapkan semua sesuai dengan waktu yang ditentukan. Penilaian yang lebih tinggi diberikan pada pernyataan tumpang tindih perda yaitu bernilai sekitar 7. Nilai ini bermakna materi perda mengatur satu bidang terkait dengan jelas dan tegas, dan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah. Nilai yang lebih rendah diberikan pada pernyataan pemanfaatan perda untuk kebutuhan publik yang bernilai sekitar 6. Hal ini bermakna bahwa perda telah berlaku berlaku tetapi belum sepenuhnya menjawab kebutuhan publik. 3. Aspek Penataan dan Penguatan Organisasi Program ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi K/L dan Pemda secara proporsional sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan tugas masing-masing, sehingga organisasi K/L dan Pemda menjadi tepat fungsi dan tepat ukuran (right sizing). Hasil penilaian terhadap tusi SKPD pada pemerintah kab/kota di Aceh menunjukkannilai 6,5. Hal ini memiliki makna bahwa masih adanya tumpah tinggi tusi antar SKPD. Kab/kota di Sumut dan Kepri memilih nilai 7 yang bermakna bahwa tusi SKPD sudah menunjukkan kejelasan tugas dan fungsiyang tidak tumpang tindih antar SKPD. Penilaian terhadap struktur organisasi di daerah juga terjadi perbedaan. Kab/kota dan Sumut memilih nilai 6 dan 6,5 yang bermakna JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 689 KESIAPAN PENERAPAN REFORMASI BIROKRASI DI SUMATERA THE READINESS FOR IMPLEMENTATION OF BUREAUCRATIC REFORM IN SUMATERA struktur organisasi telah sesuai dengan kebutuhan daerah akan tetapi belum sepenuhnya efisien atau efektif. Kab/kota di Sumut memilih nilai 7 yang bermakna sudah sesuai dengan kebutuhan daerah dan telah menciptakan struktur yang efisien dan efektif. Hasil penilaian mandiri perangkat daerah terhadap aspek penataan dan penguatan organisasi daerah dapat dilihat pada Diagram 3. 4. Aspek Penataan Tatalaksana Program ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem, proses, dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien, dan terukur pada masingmasing K/L. Hasil penilaian mandiri perangkat daerah terhadap aspek penataan dan penguatan organisasi daerah dapat dilihat pada Diagram 4. Penataan tatalaksana dikukur dengan dua pertanyaan yaitu 9 7,7 8 7 7,5 7 6,5 6 6,5 6,5 7 6,4 6 5 4 ACEH 6,3 3 SUMUT 5,25 2 690 KEPRI 7 1 0 Tugas Pokok dan Fungsi SKPD Struktur Organisasi Pemerintah Daerah Kinerja SKPD 1 2 3 Diagram 3. Penilaian Mandiri Aspek Penataan dan Penguatan Organisasi Penilaian selanjutnya adalah kinerja SKPD. Struktur SKPD yang dianggap telah baik diharapkan mampu memiliki kinerja yang tinggi. Hasil penilaian mandiri menunjukkan bahwa kab/kota di Aceh dan Sumut capaian kinerja SKPD menunjukkan trend positif tetapi tidak terlalu tinggi, sedangkan kab/kota di Kepri memberi nilai 7 yang berarti capaian kinerja menunjukkan trend positif dengan kenaikan kinerja yang tinggi setiap tahunnya. pemanfaatan teknologi informasi dan pemanfaatan SOP. Hasil penilaian menunjukkan bahwa pemanfaatan teknologi di kab/kota lokus penelitian belum menunjukkan hasil yang maksimal. Kendala terbesar adalah ketersedian sarana dan prasarana seperti ratio jumlah komputer dan pegawai yang masih sangat rendah. Hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa sebagian perangkat teknolgi informasi sudah masuk dalam usia pergantian, akan tetapi kendala keuangan daerah JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 BIDANG KAJIAN KEBIJAKAN DAN INOVASI ADMINISTRASI NEGARA 8 7 7 6,5 6,25 6,5 5,75 6 5 4 4 ACEH 6 3 SUMUT 4,12 2 KEPRI 6,5 1 0 Pemanfaatan Teknologi Informasi Pemanfaatan SOP 1 2 Diagram 4. Penilaian Mandiri Aspek Penataan Tatalaksana menyebabkan pengadaan perangkat baru menjadi tersendat. Ketatalaksanaan masih bernilai rendah karena ketersedian SOP di SKDP daerah masih sangat rendah. Kab/kota di Sumut memberi nilai rata-rata 4 yang bermakna bahwa SOP tidak tersediadiseluruh SKPD. SOP belum menjadi dokumen acuan dalam penyelanggaraan pemerintahan termasuk dalam pemberian pelayanan.Hasil wawancara dengan beberapa pejabat di lingkungan pemerintah kab/kota di Sumut didapat informasi bahwa kemampuan SKPD dalam menyusun SOP masih sangat rendah karena pemahan terhadap dokumen SOP. Hasil temuan di beberapa SKPD menunjukkanb bahwa SOP yang disusun belum sesuai dengan pedoman terbaru yang telah ditetapkan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik IndonesiaNomor 35 Tahun 2012 TentangPedoman Penyusunan Standar Operasional Prosedur Administrasi Pemerintahan atau Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2011 Tentang Standar Operasional Prosedur Di Lingkungan Pemerintah Provinsi Dan Kabupaten/Kota. Format SOP yang tidak sesuai dengan peraturan terbaru juga terdapat di kab/kota di Aceh. Hal ini disebabkan oleh penyusunan SOP tidak melibatkan lembaga negara yang mengerti betul dengan format SOP yang telah ditetapkan. Sebagian SKPD dan unit pelayanan di daerah mendapata bimbingan penyusunan SOP dari lembaga non pemerintah sehingga format yang disusun tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan. Ketidaksesuaian dan ketidakseragaman format SOP membuat bingung para penerima layanan karena standarisasi pelayanan belum terwujud. JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 691 KESIAPAN PENERAPAN REFORMASI BIROKRASI DI SUMATERA THE READINESS FOR IMPLEMENTATION OF BUREAUCRATIC REFORM IN SUMATERA 5. Aspek Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur Program ini bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme SDM aparatur pada masing-masing K/L dan Pemda, yang didukung oleh sistem rekrutmen dan promosi aparatur berbasis kompetensi, transparan, serta memperoleh gaji dan bentuk jaminan kesejahteraan yang sepadan. Penilaian terhadap aspek Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur diturunkan ke dalam enam pernyataan. Adapun penilaian terhadap setiap pernyataan dapat dperhatikan pada Diagram 5. 8 7 692 6,6 6,5 7 7,25 7 6,5 penerapannya belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Nilai yang lebih baik diberikan pada pernyataan Akuntabilitas Pengelolaan SDM Aparatur yaitu bernilai rata-rata 7. Hal ini bermakna bahwan Seluruh kegiatan dalam rangka pengelolaan SDM dapat dipertanggungjawabkan. Penilaian terhadap kedisiplinan pegawai juga tidak terlalu jauh berbeda antar kab/kota di Aceh, Sumut, dan Kepri yaitu 6 dan 7. Hasil penilaian yang menunjukkan perbedaan terbesar adalah penilaian terhadap pernyataan Reward dan Punishment. Kab/kota di Aceh dan Kepri memberi nilai 6 dan 7 yang memiliki arti 7,5 6,9 6,5 6 6,5 6,5 6,25 5,7 6 4,9 5 4 3 ACEH 6,6 2 SUMUT 4,7 1 KEPRI 6,7 0 Transparansi Pengelolaan SDM Aparatur Akuntabilitas Pengelolaan SDM Aparatur Disiplin SDM Aparatur Profesionalis me SDM Aparatur Reward dan Punishment 1 2 3 4 5 Diagram 5. Penilaian Mandiri Aspek Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur Penilaian terhadap pernyataan Transparansi Pengelolaan SDM Aparatur rata-rata bernilai 6. Hal ini bermakna bahwa sistem rekrutmen pegawai instansi sudah memiliki aturan berbasis kompetensi yang jelaskan tetapi bahwa pemberian reward dan punishment telah dilakukan berdasarkan peraturan yang berlaku. Sedangkan kab/kota di Sumatera memberi nilai 4. Hal ini menggambarkan bahwa pemberian reward dan punishment tidak JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 BIDANG KAJIAN KEBIJAKAN DAN INOVASI ADMINISTRASI NEGARA sepenuhnya didasarkan peraturan yang berlaku dan terkesan tebang pilih. Pemberian reward lebih sering mengedepankan hubungan keakraban dibandingkan profesionalitas. Hal ini muncul dari wawancara beberapa pejabat yang menjadi responden penelitian. 6. Aspek Penguatan Pengawasan Program ini bertujuan untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN pada masing-masing K/L dan Pemda. Penilaian terhadap kepatuhan pengelolaan keuangan dinilai sudah baik yaitu sudah berada pada angka 7 dan 8 yang memiliki arti bahwa pemerintah 9 8 administratif. Penilaian efektifitas pengelolaan keuangan daerah dinilai cukup baik dimana sudah berada pada nilai 6 dan 7 yang memiliki makna bahwa serapan periodik dan tahunan cukup tinggi dan merata di setiap pos belanja. Adapun hasil penilaian mandiri aspek penguatan pengawasan dapat diperhatikan pada Diagram 6. Respon kabupaten/kota di Aceh, Sumut, dan Kerpi juga sangat baik terhadap perbaikan opini BPK setiap tahunnya. Rata-rata nilai pada pernyataan ini adalah 7 dan 8 yang mana memiliki makna bahwa dudah ada langkah strategis dan rencana aksi yang jelas untuk memperbaiki opini BPK dan telah dilaksanakan dengan maksimal. 8,25 7,2 7 7,5 6,9 7 7,5 8 7,3 7,25 6,9 7 693 6,5 6 5 4 ACEH 7,62 3 2 SUMUT 5,37 1 KEPRI 7,12 0 Kepatuhan terhadap Pengelolaan Keuangan Efektivitas Pengelolaan Keuangan Negara Upaya Perbaikan Opini BPK Pemanfaatan Kewenangan 1 2 3 4 Diagram 6. Penilaian Mandiri Aspek Penguatan Pengawasan daerah telah mengacu terhadap Standar Keuangan Daerah dan Standar Keuangan Negara telah sepenuhnya menjadi acuan dalam mengelola keuangan daerah. Jumlah temuan pelanggaran juga dinilai sangat minim dan lebih bersifat 7. Aspek Penguatan Akuntabilitas Program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja K/L dan Pemda. Hasil penilaian aspek penguatan JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 KESIAPAN PENERAPAN REFORMASI BIROKRASI DI SUMATERA THE READINESS FOR IMPLEMENTATION OF BUREAUCRATIC REFORM IN SUMATERA karena hampir seluruh target tercapai. Penilaian akuntabilitas khususnya penyusunan Laporan Akuntabilitas Instansi Pemerintah (LAKIP) dinilai sudah cukup baik. Hal ini dapat diketahui dari pemilihan nilai 6 dan 7 yang memiliki arti penyusunan LAKIP tepat waktu dan melibatkan seluruh unsur penyelenggara pemerintah. Laporan kinerja, hambatan, dan strategi penyelesaian telah diuraikan di dalam LAKIP tahunan sehingga menjadi pedoman perbaikan pada tahun yang akan datang. akuntablitas tidak berbeda jauh satu kab/kota dengan kab/kota lainnya. Rata-rata nilai berada pada kisaran 6 dan 7. Penyusunan dokumen rencana kinerja lima tahun (RPJMD) sudah melalui proses yang benar yaitu melalui rapat kerja yang mewakili seluruh unsur Pemerintahan. Penetapan target capaian rencana kinerja sangat jelas dan terdapat rencana aksi mencapai target tersebut. Hal ini dapat dilihat dari pemberian nilai sekitar 7. Capaian kinerja juga dianggap sudah baik dengan pemilihan angka 7 8 7,8 7,75 7,5 7,6 7,4 7,25 7,2 7,2 694 7,5 7,5 7 7 7 6,9 7 7,25 7 6,9 7 6,9 ACEH 7,45 6,8 SUMUT 5,4 6,6 KEPRI 7 6,4 Rencana Kinerja Capaian Kinerja Rencana Kinerja Capaian Kinerja Lima Tahunan Lima Tahunan Tahunan Tahunan 1 2 3 4 Akuntabiltas Keuangan Daerah 5 Diagram 7. Penilaian Mandiri Aspek Penguatan Akuntabilitas yang memiliki makna hampir seluruh target capaian kinerja di dalam RPJMD dapat tercapai. Proses penyusunan dokumen tahunan dan capaian kinerja dokumen tahunan juga bernilai sama yaitu sekitar angka7. Hal ini bermakna bahwa rencana kinerja tahunan telah dianggap sangat jelas dan terukur serta merupakan turunan dari RPJMD. Capaian kinerja juga dinilai telah baik 8. Aspek Peningkatan Pelayanan Publik Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik pada masing-masing K/L dan Pemda sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat. Kondisi pelayanan publik di kab/kota lokus berbeda-beda. Hasil penilaian mandiri kondisi pelayanan publik bervariasi yaitu berkisar 5 sampai JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 BIDANG KAJIAN KEBIJAKAN DAN INOVASI ADMINISTRASI NEGARA 7. Hasil penilaian terhadap pernyataan kecepatan pelayanan publik, kab/kota di Aceh memiliki nilai tertinggi yaitu 7,75. Kecepatan pelayanan publik di kab/kota di Aceh dapat terwujud karena adanya program perbaikan pelayanan publik khususnya pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan catatan sipil. Hasil wawancara diperoleh informasi bahwa beberapa kab/kota memperoleh bantuan dalam perbaikan pelayanan dari instansi non pemerintahan Local Governance and Infrastructure for Communities in Aceh (LOGICA) yang telah menjalankan program I dan II. Beberapa fokus kegiatan LOGICA adalah peningkatan pelayanan publik melalui penyusunan SOP, penyusunan inovasi pelayanan, penyusunan standar pelayanan dan perubahan mind set penyelanggara pelayanan. Kab/kota di Sumut memberi nilai 7 terhadap pernyataan kecepatan pelayanan yang memiliki makna bahwa waktu pelayanan sudah sesuai dengan standar waktu yang telah 9 8 7,75 7 7 6,5 7 7,75 7,3 7,5 7,3 6,5 ditetapkan.Terdapat standar waktu pelayanan dan dipublikasikan. Penilaian yang tidak jauh berbeda juga diberikan oleh kab/kota di Kepri yaitu bernilai 6,5. Nilai yang tidak jauh berbeda juga diberikan untuk pernyataan kenyamanan dan kemudahan akses pelayanan publik yaitu pada angka 6 dan 7. Hal ini bermakna bahwa ruang tunggu dan sarana pendukung (kursi, meja, alat tulis) telah tersedia dengan baik walaupun belum mempertimbangkan masyarakat berkebutuhan khusus. Masyarakat juga tidak terlalu lama mengantri karena jumlah loket pelayanan sudah cukup memadai. Penilaian mandiri terhadap aspek peningkatan pelayanan publik dapat diperhatikan pada Diagram 8. Temuan lain dalam pelayanan publik adalah pengelolaan pengaduan masyarakat. Kab/kota di Aceh dan Sumut menilai proses pengelolaan pengaduan sudah cukup baik. Sarana pengaduan telah tersedia dan mudah untuk dimanfaatkan. Permasalah yang 7 6,5 6,5 7 6,1 5,5 6 5 4 3 ACEH 7,3 2 SUMUT 5,2 1 KEPRI 6,4 0 Kecepatan Pelayanan Publik Kenyamanan Pelayanan Publik 1 2 Akses Pelayanan Publik 3 Standarisasi Pelayanan 4 Pengaduan Pelayanan Publik 5 Diagram 8. Penilaian Mandiri Aspek Peningkatan Pelayanan Publik JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 695 KESIAPAN PENERAPAN REFORMASI BIROKRASI DI SUMATERA THE READINESS FOR IMPLEMENTATION OF BUREAUCRATIC REFORM IN SUMATERA muncul adalah proses tindaklanjut terhadap pengaduan. Beluma adanya sistem pengelolaan lanjutan terhadap pengaduan sehingga nilai aspek ini masih dianggap rendah. Nilai yang sedikit lebih baik diberikan oleh kab/kota di Kepri. Telah tersedianya sarana pengaduan dan upaya tindak lanjut terhadap setiap pengaduan sehingga pemerintah daerah berani memberi nilai 7. 9. 696 Aspek Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan Program ini bertujuan untuk menjamin agar pelaksanaan reformasi birokrasi dijalankan sesuai dengan ketentuan dan target yang ditetapkan dalam road map K/L dan Pemda. Hasil penilaian aspek Aspek Monitoring dan Evaluasi serta Pelaporan dapat diperhatikan pada Diagram 9. Kegiatan monitoring dan evaluasi kab/kota di Aceh dan Kepri sudah pada kondisi baik yaitu pada angka 7 dan 8. Hal ini bermakna bahwa monitoring periodik (bulan dan triwulan) telah dilakukan dengan maksimal. SKPD dianggap telah berperan aktif untuk mengikuti kegiatan monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh BAPPEDA kab/kota. Strategi percepatan realisasi keuangan dan fisik dirumuskan diakhir pertemuan dan telah dilaksanakan oleh seluruh SKPD. Nilai yang lebih rendah terdapat di kab/kota di Sumut. Hasil wawancara dengan pejabat di BAPPEDA diperoleh informasi bahwa keseriusan SKPD untuk menghadiri rapat monitoring periodik kurang tinggi dan keseriusan penyelesaian permasalahan penyerapan anggaran dan realisasi fisik tidak cepat. Kondisi pelaporan dinilai lebih baik dari kondisi monitoring dan evaluasi. Pengiriman laporan tahunan oleh SKPD ke BEPPEDA diangap telah tepat waktu setiap tahunnya. Walaupun begitu, laporan bulanan dan triwulan dinggap masih sering telat sehingga BAPPEDA harus mengirim beberapa kali surat permintaan laporan bulanan dan triwulan. 8,5 8 8 8 7,75 7,6 7,5 7,25 ACEH 7,5 7 SUMUT 5,3 6,7 KEPRI 8 6,5 6 Monitoring dan Evaluasi Kegiatan Daerah Pelaporan Kegiatan Daerah 1 2 Diagram 9. Penilaian Mandiri Aspek Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 BIDANG KAJIAN KEBIJAKAN DAN INOVASI ADMINISTRASI NEGARA E. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Temuan lapangan menunjukkan, bahwa meskipun kabupaten dan kota yang dikaji belum memiliki dokumen Road Map Reformasi Birokrasi (RMRB). Namun pada prakteknya, pemerintah daerah telah mempunyai kebijakankebijakan dan program-program yang mendukung pencapaian maksud dan tujuan dari agenda-agenda perubahan Reformasi Birokrasi yang dikehendaki. Agenda-agenda pemerintah daerah tersebut terus berjalan. Hanya saja pemerintah daerah belum mendokumenkan agenda-agenda yang telah dilakukan tersebut dalam sebuah RMRB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa aspek yang dinilai sudah lebih mendukung pencapaian tujuan Reformasi Birokrasi pada level mikro di pemerintah daerah adalah: 1. Aspek Peningkatan Pelayanan Publik, Pada aspek ini, komitmen dan kebijakan pemerintah daerah terlihat dari upaya penyelenggaraan pelayanan perizinan secara terintegrasi pada satu lembaga Pelayanan Terpadu Satu Pintu, Ketersediaan Dokumen-Dokumen Standar Pelayanan dan Penetapan sarana dna mekanisme pengaduan pada lembaga PTSP. Penerapan dan penilaian kepuasan masyarakat pada unit-unit pelayanan dasar, di bidang Kesehatan, pendidikan, dan Perijinan. Namun demikian, ketersedian standar pelayanan dan SOP belum terdapat diseluruh unit pelayanan. Di bidang peningkatan kualitas pelayanan publik, pelayanan publik khususnya standarisasi pelayanan dan inovasi pelayanan. Kabupaten Aceh Tamiang salah satu bukti adanya adanya inovasi pelayanan publik dengan dibentuknya PATEN dan menerapkan standar pelayanan publik (SPP) di unit-unit pelayanan dasar di bidang kesehatan, pendidikan dan kecamatan. Penyusunan dokumen standar SPP sudah melibatkan masyarakat dan civil society. Selain itu pemanfaatan teknologi informasi dalam menjalankan roda pemerintahan telah menjadi agenda pemerintah daerah. Pemanfaatan aplikasi perkantoran seperti aplikasi keuangan, kepegawaian, pelelangan sudah dilakukan. Ketersedian web site daerah dan web site SKPD sebagai sumber informasi bagi masyarakat. 2. Aspek Peraturan dan Perundangundangan, Pada Aspek ini, pemerintah daerah telah menyusun dan menetapkan Perda-perda sesuai dengan kebutuhan daerah. Kemudian, penetapan perda disesuaikan dengan prioritas yang telah ditetapkan dalam program legislasi daerah. Hanya saja masih terdapat minimnya pemanfaatan naskah akademik (secara partisipatif) dalam penyusunan perda. 3. Aspek Penataan dan Penguatan Organisasi, pada aspek ini komitmen pemerintah daerah terlihat dari upaya penataan kompetensi tugas dan fungsi setiap kelembagaan. Penataan Struktur organisasi telah sesuai dengan kebutuhan daerah akan tetapi belum sepenuhnya efisien atau efektif. Namun demikian, masih didapati tumpang tindih tusi pada beberapa SKPD. JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 697 KESIAPAN PENERAPAN REFORMASI BIROKRASI DI SUMATERA THE READINESS FOR IMPLEMENTATION OF BUREAUCRATIC REFORM IN SUMATERA 698 4. Aspek Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur, pada aspek ini, pemerintah daerah telah menetapkan dokumen-dokumen terkait peningkatan kompetensi dan manajemen SDM, yaitu Analisis Beban Kerja Individu, standar kompetensi jabatan. Sistem rekruitmen pegawai instansi sudah memiliki aturan berbasis kompetensi yang jelas akan tetapi penerapannya belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Pemberian reward dan punisment di Kab/kota belum menggunakan indikator output kinerja SDM dan lembaga. Hal ini disebabkan belum adanya instrumen penilaian kinerja yang berbasis kinerja. 5. Aspek Penguatan Pengawasan, pada Aspek ini, upaya pemerintah daerah adalah prioritas mencapai perbaikan opini pengelolaan keuangan dari BPK setiap tahunnya. 6. Aspek Penguatan Akuntabilitas, untuk mengawali proses tercapainya penguatan akuntabilitas. Setiap Pemerintah Daerah, dalam penyusunan dokumen rencana kinerja lima tahun (RPJMD) menggunakan pendekatan kesepakatan bersama melalui rapat kerja yang mewakili seluruh unsur Pemerintahan. Agendaagenda RPJMD tersebut, di implementasikan dalam penetapan target capaian rencana kinerja dan rencana aksi. Kemudian dalam Penilaian akuntabilitas khususnya penyusunan Laporan Akuntabilitas Instansi Pemerintah (LAKIP), pemerintah daerah sudah cukup baik. Penyusunan LAKIP telah tepat waktu dan melibatkan seluruh unsur penyelenggara pemerintah. 7. Kegiatan monitoring, evaluasi dan Pelaporan, pada kabupaten dan kota di Aceh dan Kepri, SKPD dianggap telah berperan aktif untuk mengikuti kegiatan monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh Bappeda kab/kota. Strategi percepatan realisasi keuangan dan fisik dirumuskan diakhir pertemuan dan telah dilaksanakan oleh seluruh SKPD. Keadaan yang kurang mengembirakan adalah pada kab/kota di Sumut, bahwa keseriusan SKPD untuk menghadiri rapat monitoring periodik kurang tinggi dan keseriusan penyelesaian permasalahan penyerapan anggarandan realisasi fisik tidak cepat. Dari segi kualitas hasil pelaporan dinilai lebih baik dari kondisi monitoring dan evaluasi. Proses pengiriman laporan tahunan oleh SKPD ke Beppeda diangap telah tepat waktu setiap tahunnya. Hanya saja laporan bulanan dan triwulan dianggap masih sering terlambat sehingga Bappeda harus mengirim beberapa kali surat permintaan laporan bulanan dan triwulan. Hasil penelitian menemukan 2 aspek yang dinilai masih rentan atau sulit menerima perubahan, yaitu: 1. Aspek Manajemen Perubahan, di beberapa kab/kota, agenda reformasi birokrasi sepertinya hanya menjadi tanggungjawab SKPD tertentu, yaitu Bagian Organisasi, Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah, dan Bappeda. Pemahaman aparatur terhadap tuntutan Reformasi Birokrasi masih sangat rendah khusunya pada level teknis atas staf. JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 KESIAPAN PENERAPAN REFORMASI BIROKRASI DI SUMATERA THE READINESS FOR IMPLEMENTATION OF BUREAUCRATIC REFORM IN SUMATERA Upaya sosialisasi baik dari pihak eksternal (kementerian dan lembaga) maupun internal masih sangat kurang. Budaya kerja yang juga masih jauh dari apa yang menjadi tuntutan reformasi birokrasi. Rendahnya kedisiplinan dan belum adanya forum-forum budaya kerja menjadi indikator bahwa budaya kerja belum sesuai dengan tuntutan reformasi birokrasi; dan 2. A s p e k P e n a t a a n T a t a l a k s a n a , ketersedian kebijakan Standar Pelayanan Publik, seperti SOP sebagai bentuk standarisasi pelayanan masih sangat minim. Kepatuhan dalam menjalankan SOP juga masih sangat rendah. Secara rata-rata, hanya 35-40 % SKPD di kabupaten/kota yang menjadi sampel telah memiliki dokumen SOP. 2. Saran Untuk meningkatkan kesiapan daerah dalam menjalankan agenda reformasi birokrasi maka daerah harus segera mengambil langkah strategis, yaitu : 1. Langkah utama (harus segera dilkakukan): (a) Menyelenggarakan sosialisasi dan diseminasi reformasi birokrasi di seluruh lapisan aparatur daerah sehingga pemahaman dan rasa memiliki reformasi birokrasi; (b) Membentuk Tim Reformasi Birokrasi multistakeholder unsur pemerintah, universitas, civil society, yang dikoordinasikan oleh pemda sebagai penanggung jawab program reformasi birokrasi; (c) Menyusun dokumen Road Map Reformasi Birokrasi di Daerah sebagai acuan dalam menerapkan reformasi birokrasi di daerah. 2. Langkah lanjutan: (a) Menyusun dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pelayanan standar pelayanan publik seperti dokumen Standar Pelayanan (SP) dan dokumen Standar Operasional Prosedur (SOP) sebagai pedoman penataan ketatalaksanaan birokrasi; (b) Membentuk forumforum budaya kerja dan peningkatan kedisiplinan aparatur. KEPUSTAKAAN Dwiyanto, Agus. 2008.Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas Press. Dwiyatnto, Agus, dkk. 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas Press. Lembaga Administrasi Negara. 2006. Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Daerah. Jakarta: Pusat Kajian Otonomi Daerah, LAN. Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodelogi Penelitian:Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta:Pustaka Pelajar JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 699 STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING PENDIDIKAN DI ERA 1 GLOBALISASI DAN OTONOMI DAERAH THE STRATEGY FOR ENHANCING THE COMPETITIVENESS OF EDUCATION IN GLOBALIZATION ERA AND REGIONAL AUTONOMY Erika Revida Guru Besar Ilmu Administrasi Negara FISIP USU Email : [email protected] 700 ABSTRAK Pendidikan yang berkualitas merupakan salah satu kunci membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, bahkan kemajuan suatu negara akan sangat ditentukan oleh SDM yang berkualitas sebagai subjek/pelaksana dari pembangunan. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan pembangunan sektor pendidikan terutama di era globalisasi dan otonomi daerah saat ini. Namun hingga saat ini masih saja terdengar selentingan tentang pelaksanaan pendidikan yang kurang mendukung tercapainya SDM pendidikan khususnya guru yang berkualitas dalam rangka meningkatkan daya saing pendidikan. Selain itu, rendahnya alokasi anggaran pendididikan di berbagai daerah menunjukkan masih rendahnya komitmen pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Untuk itu diperlukan beberapa strategi revitalisasi pendidikan melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia guru, dukungan pemerintah, serta partisipasi masyarakat dan dunia usaha/dunia industri. Kata Kunci : Strategi Pendidikan, Daya Saing Pendidikan, Kualitas Guru. ABSTRACT The Quality of education is one of the key to build advanced Human Resources (HR), even the progress of a country will be determined by the quality of human resources as a subject of development. Therefore there is no reason for a country including Indonesia not to increase education sector. There are many efforts that government already done to improve the education sector development, especially in the era of globalization and regional autonomy. However, in fact there is news that the implementing of educational practices does not support the achievement of qualified human resources, especially for teachers in order to enhance competitiveness. In other hand, small portion of education budget means low commitment of 1 Naskah diterima 17 April 2014. Direvisi 16 Mei 2014 ERIKA REVIDA government to enchance education quality. It needs some strategies for revitalization education such as improving the quality of education resources, government support, and participation of the community and business/industrial world. Keywords : Education Strategy, Education Competitiveness, Teacher Quality. 1. PENDAHULUAN istem Pendidikan Nasional di Indonesia diharapkan mampu menjamin pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan global yang sudah di depan mata sesuai dengan tuntutan kemajuan zaman dan perubahan kehidupan lokal, nasional. Untuk itu perlu tetap dilakukan pembaharuan dan perubahan sistem pendidikan ke arah yang lebih baik secara terencana, ajeg, terarah dan berkesinambungan. Tujuan pendidikan di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, memiliki kepribadian yang mantap, mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan". Pendidikan merupakan kebutuhan primer manusia sejak lahir bahkan sejak dalam kandungan sekalipun hingga akhir hayatnya. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan stagnan, S sulit maju dan berkembang bahkan akan menjadi orang yang tertinggal dan terbelakang dalam segala hal. Sedemikian pentingnya pendidikan bagi kelangsungan kehidupan manusia. Namun dalam prakteknya sistem pendidikan kita masih kurang mampu mencerdaskan masyarakat kita, bahkan masih jauh tertinggal jika dibandingkan negaranegara lain seperti Kuba, Singapura, Malaysia bahkan Vietnam sekalipun. Daya saing sistem pendidikan kita masih relatif terpuruk jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Berdasarkan data laporan United National Development Program (UNDP, 2013), daya saing negara Indonesia berada pada peringkat 38 dari 148. Walaupun mengalami kenaikan dari tahun 2012 peringkat 50, namun Indonesia tidak perlu terlalu berbangga diri karena masih menempati peringkat kelima di ASEAN. Empat negara yang berada di atas Indonesia ditempati oleh Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Thailand. Dengan demikian di bidang pendidikan, negara kita masih relatif kalah bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya. Negara kita belum bisa dikategorikan sebagai macan ASIA terutama di sektor pendidikan. Tekad kita untuk membangun bangsa melalui pendidikan masih belum menunjukkan realita seperti yang diharapkan. Sesungguhnya, mendapatkan JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 701 STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING PENDIDIKAN DI ERA GLOBALISASI DAN OTONOMI DAERAH 702 pendidikan yang berkualitas merupakan hak asasi setiap manusia Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Pendidikan diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing dalam berbagai segi kehidupan serta memiliki budi pekerti yang luhur, etika dan moral yang baik. Oleh karena itu, tugas pemerintah baik di pusat maupun di daerah adalah memberikan pendidikan yang berkualitas kepada masyarakatnya. Dalam Undang-Undang tentang pendidikan nasional jelas disebutkan bahwa Pemerintah wajib memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah di luar gaji guru. Namun amanah UU pendidikan tersebut dalam prakteknya masih jauh dari yang diharapkan. Di tingkat daerah sejak otonomi daerah permasalahan pendidikan lebih kompleks lagi. Selain masih rendahnya alokasi anggaran pendidikan, tingkat pendidikan guru yang masih belum seluruhnya sarjana (S1) sesuai dengan amanah Sistem Pendidikan Nasional. Beberapa strategi yang dilakukan pemerintah di daerah antara lain adalah dengan program penyetaraan pendidikan S1 bagi setiap guru mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak/ PAUD, SD, SLTP hingga SLTA. Walaupun pemerintah daerah telah melaksanakan berbagai strategi peningkatan daya saing pendidikan, namun dalam prakteknya masih saja terlihat rendahnya daya saing pendidikan di daerah. Untuk mewujudkan sistem pendidikan nasional yang berkualitas memerlukan berbagai strategi agar daya saing pendidikan dapat lebih meningkat. Bagaimana strategi peningkatan daya saing pendidikan di era globalisasi dan otonomi daerah merupakan pertanyaan yang cukup menarik untuk dikaji dan dibahas secara seksama. II. STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING PENDIDIKAN DI ERA GLOBALISASI DAN OTONOMI DAERAH Di era globalisasi dan otonomi daerah saat ini dan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa setiap daerah memiliki wewenang yang besar dan luas dalam mengatur rumah tangganya sendiri dalam berbagai segi kehidupan manusia dan masyarakat termasuk pembangunan bidang pendidikan dengan memperhitungkan potensi dan keanekaragaman daerah. Sesungguhnya kita tidak menutup mata terhadap kemajuan yang telah terjadi secara signifikan dan fundamental dalam sistem pendidikan kita antara lain perbaikan sistem pendidikan, kurikulum, kualitas pendidikan guru yang minimal harus sudah strata 1, sertifikasi dan insentif guru yang semakin meningkat serta perbaikan sarana prasarana pendidikan. Perubahan sistem pendidikan ini pada dasarnya mengikuti perubahan sistem pemerintah yang sentralistik ke desentralistik yang dikenal dengan istilah otonomi pendidikan. JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 ERIKA REVIDA Kebijakan desentralistik yang telah dicanangkan mempengaruhi sistem pendidikan Indonesia (Suyanto, 2006). Sejalan dengan itu sistem pendidikan Indonesia telah melakukan penyesuaian dengan model otonomi pendidikan. Kebijakan otonomi di bidang pendidikan diharapkan dapat membawa harapan yang tinggi terhadap perbaikan sistem pendidikan di Indonesia dalam rangka meningkatkan daya saing pendidikan baik di pemerintah pusat maupun daerah. Konsep daya saing (competitiveness) sesungguhnya bukanlah hal yang baru dalam dunia pendidikan, karena istilah ini diakui sudah lama muncul dan bahkan telah dilaksanakan sejak pendidikan itu ada. Ada beberapa pendapat para ahli tentang definisi daya saing antara lain dinyatakan oleh Sumihardjo (2008), memberikan penjelasan tentang daya saing yaitu kata “daya” dalam kalimat daya saing bermakna kekuatan, dan kata “saing” berarti mencapai lebih dari yang lain, atau beda dengan yang lain dari segi mutu, atau memiliki keunggulan tertentu. Selain itu Rangkuti (dalam Kuncoro, 2008) menyatakan bahwa keunggulan bersaing merupakan kegiatan spesifik yang dikembangkan oleh perusahaan agar lebih unggul dibandingkan dengan pesaingnya. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses Pendidikan, dinyatakan bahwa daya saing adalah kemampuan untuk menunjukkan hasil lebih baik, lebih cepat atau lebih bermakna. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan daya saing adalah kemampuan dari seseorang/organisasi/institusi untuk menunjukan keunggulan dalam hal/bidang/aspek tertentu sehingga menunjukkan hasil yang lebih baik/unggul, lebih cepat, lebih murah dibandingkan dengan sebelumnya atau dengan yang lainnya. Daya saing dapat bermakna kekuatan untuk berusaha menjadi unggul dalam hal tertentu yang dilakukan seseorang, organisasi, kelompok atau institusi tertentu. Berdasarkan pengertian di atas maka pengertian daya saing pendidikan berarti kemampuan pendidikan dalam melakukan strategi yang tepat untuk mencapai tujuannya yaitu mencerdaskan masyarakat menuju kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Strategi yang dapat dilakukan pemerintah daerah dalam meningkatkan daya saing pendidikan antara lain dengan melakukan perubahan paradigma pembangunan pendidikan. Perubahan paradigma pembangunan pendidikan dimaksudkan untuk mencapai daya saing yang tinggi yang memberi makna bahwa peran pendidikan sangat penting, urgen dan strategis untuk peningkatan daya saing pendidikan dan kualitas hidup masyarakat. Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya saing pendidikan yaitu (1) meningkatkan kualitas guru, (2) dukungan pemerintah, serta (3) partisipasi masyarakat dan dunia usaha/dunia industri. a. Meningkatkan Kualitas Guru Kualitas guru merupakan unsur yang sangat penting dalam meningkatkan daya saing pendidikan. Tanpa kualitas guru, maka daya saing JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 703 STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING PENDIDIKAN DI ERA GLOBALISASI DAN OTONOMI DAERAH 704 pendidikan akan merupakan utopia belaka. Ada beberapa cara yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas guru mulai dari meningkatkan pendidikan guru minimal strata satu hingga perlunya dilakukan pendidikan dan pelatihan secara berkesinambungan (continues improvement) terutama yang berkaitan langsung dengan bidang studi masing-masing guru setiap semester atau minimal setiap tahun. Tanpa peningkatan kualitas guru dikhawatirkan mutu pendidikan dan daya saing pendidikan relatif tidak akan sampai pada cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ditegaskan bahwa profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsipprinsip sebagai berikut : 1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme, 2) m e m i l i k i k o m i t m e n u n t u k meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia, 3) memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas, 4) m e m i l i k i k o m p e t e n s i y a n g diperlukan sesuai dengan bidang tugas, 5) memiliki tanggung jawab atas p e l a k s a n a a n t u g a s keprofesionalan, 6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja, 7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat, 8) memiliki jaminan perlindungan hukum dan melaksanakan tugas keprofesionalan dan, 9) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru. Sesungguhnya, Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD) merupakan suatu ketetapan dan keputusan politik agar pendidik menjadi pekerja fungsional yang profesional, yang berhak mendapatkan hak dan kewajiban yang profesional. Dengan itu diharapkan, pendidik dapat mengabdikan secara total pada profesinya dan dapat hidup layak dari profesi tersebut. Dalam UUGD tersebut ditentukan pula bahwa seorang pendidik wajib memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi pendidik sebagai agen pembelajaran. Kualifikasi akademik yang dimiliki oleh seorang guru antara lain yaitu tingkat pendidikan minimal yang harus dimiliki oleh seorang pendidik yang saat ini minimal telah memiliki jenjang sarjana strata 1 (S1) yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Kompetensi pendidik adalah kompetensi/kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pendidik yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Kompetensi pedagogik adalah kemampuan yang dimiliki oleh seorang guru dalam memahami karakteristik atau kemampuan siswa dengan berbagai cara. Cara yang dapat dilakukan antara JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 ERIKA REVIDA lain dengan memahami kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik yang dimiliki siswa, merancang pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran serta evaluasi hasil belajar sekaligus pengembangan siswa. Kompetensi kepribadian adalah kemampuan personal yang dimiliki oleh guru yang profesional yang mencerminkan kepribadian dan sikap yang baik pada diri sendiri maupun dengan orang lain, arif dan bersikap bijaksana, dewasa dalam berfikir dan berwibawa serta memiliki akhlak yang mulia serta menjadi contoh/teladan yang baik bagi orang lain. Sedangkan kompetensi profesional adalah kemampuan yang harus dimiliki seorang guru dengan menguasai berbagai materi pembelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi sosial adalah kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru dengan cara melakukan adaptasi dan komunikasi yang baik dan harmonis dengan murid dan lingkungannya baik dengan tenaga kependidikan maupun orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar. Namun, kelemahan yang ada dalam setiap upaya meningkatkan daya saing pendidikan di daerah antara lain belum terciptanya profesionalisme dan adanya keterbatasan kemampuan SDM guru. Guru belum memperoleh hak yang sepantasnya untuk dapat mengajar secara profesional dan efektif, Hal itu tercermin dari kondisi saat ini yang mencakup jumlah guru yang kurang sehingga harus bekerja melebihi lingkup tugasnya, mutu yang belum sesuai dengan tuntutan, distribusi yang kurang merata, otonomi dan kebebasan bertindak akademik yang kurang otonom dan manajemen SDM guru yang tidak kondusif. Semua itu merupakan cerminan adanya pelanggaran hak azasi guru. Hak azasi guru harus diproteksi pemerintah melalui undang-undang yang mengatur pendidikan seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini tentu tidak boleh dibiarkan berkelanjutan. Pemerintah daerah harus berupaya semaksimal mungkin menciptakan iklim yang kondusif agar profesionalisme dan meningkatnya kemampuan guru dapat tercapai dengan baik. b. Dukungan Pemerintah Menurut amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 47 tertulis bahwa sumber pendanaan pendidikan berasal dari Pemerintah (APBN), Pemerintah Daerah (APBD) dan masyarakat (individu, dunia usaha). Namun anggaran yang disediakan oleh pemerintah belum sepenuhnya dapat membantu semua biaya yang diperlukan untuk operasional pendidikan (sekolah), sehingga diperlukan tambahan dana dari pihak lain yang dalam hal ini masyarakat atau dunia usaha yang diajak bekerjasama dalam memajukan pendidikan di daerah. Anggaran pendidikan dari pemerintah yang masih belum sesuai dengan amanah undang-undang yaitu 20% di luar gaji dan honor menjadi salah satu kendala dalam meningkatkan daya saing pendidikan. Untuk itu, sangat diharapkan peran dunia usaha untuk dapat memberikan bantuan dana pendidikan dari alokasi Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai wujud JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 705 STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING PENDIDIKAN DI ERA GLOBALISASI DAN OTONOMI DAERAH 706 tanggung jawab sosialnya pada sekolah yang ada di lokasi/daerahnya. Demikian halnya untuk bantuan masyarakat sebagai wujud dari partisipasi sosial masyarakat. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat (4) tentang pembiayaan pendidikan ditegaskan bahwa ”negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurangkurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Selain itu dalam UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun dalam prakteknya, alokasi anggaran pembiayaan pendidikan sangat tergantung pada komitmen dan cara pandang kepala daerah sebagai eksekutif dan legislatif tentang pentingnya meningkatkan daya saing pendidikan. Masalahnya adalah adanya ketidaksamaan cara pandang, arah, sikap dan apresiasi para pemimpin di daerah baik eksekutif maupun legislatif tentang makna dan pentingnya pendidikan mengakibatkan pengalokasian anggaran pendidikan setiap daerah menjadi bervariasi bahkan cenderung menurun jumlahnya dari tahun ke tahun dan tidak sampai 20% dari APBD. Diharapkan dengan anggaran pendidikan yang 20% dari APBD di luar gaji dan honor guru, maka dipastikan sekolah akan lebih leluasa untuk membangun pendidikan ke arah yang lebih baik sehingga daya saing pendidikan pun akan tercapai dengan baik. Namun dalam prakteknya pengalokasian anggaran pendidikan masih diletakkan pada garda yang terbelakang. Selain itu, pemerintah daerah masih lebih banyak mengutamakan pembangunan yang bersifat fisik dan proyek-proyek yang menyangkut kepentingan jangka pendek dengan alasan ingin menggenjot pendapatan asli daerah (PAD). Ini semua sangat tergantung kepada komitmen pemerintah daerah terhadap sektor pendidikan. Untuk itu sangat perlu dipikirkan dengan sungguh-sungguh bahwa sektor pembangunan pendidikan dalam meningkatkan daya saing pendidikan di daerah perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah daerah sehingga diikuti dengan alokasi anggaran pendidikan yang signifikan dari tahun ke tahun. Hal ini sangat penting mengingat bahwa pendidikan merupakan “human investment” yang tiada hentinya dan berlangsung terus sepanjang hayat. c. Partisipasi Masyarakat dan Dunia Usaha Partisipasi masyarakat dalam berbagai segi kehidupan mulai mengemuka sejak isu “people centered government” dikumandangkan tahun 1980-an. Partisipasi masyarakat bukan saja dilakukan pada saat implementasi program, akan tetapi lebih luas dari itu mulai dari tahap perumusan dan pembuatan keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil dan evaluasi kegiatan (Cohen dan Uphoff, 1980). JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 ERIKA REVIDA Partisipasi adalah proses aktif dan inisiatif yang muncul dari masyarakat serta akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi oleh 3 (tiga) faktor pendukungnya yaitu adanya kemauan, kemampuan dan kesempatan untuk berpartisipasi (Slamet, 1992). Partisipasi masyarakat dalam pendidikan bukanlah dimaksudkan masyarakat sebagai objek pendidikan akan tetapi sebagai subjek pendidikan yaitu turut serta dalam menentukan dan merumuskan, implementasi dan evaluasi program pendidikan. Perwujudan partisipasi masyarakat dapat dilakukan, baik secara sendiri-sendiri atau individual, berkelompok, spontan ataupun yang sifatnya terorganisir, secara berkelanjutan, serta dengan caracara tertentu yang dapat dilakukan. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan, penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat merupakan perwujudan prinsip pendidikan yang diselenggarakan oleh, untuk dan dari masyarakat yaitu pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat sebagai pemenuhan atas ciri khas yang berkenaan dengan nilai-nilai sosial dan kultural masyarakat tertentu. Peningkatan sektor pendidikan tidaklah terbatas hanya tanggung jawab pemerintah belaka, akan tetapi seluruh stakeholders pendidikan turut bertanggung jawab terhadap keberhasilan sektor pendidikan di daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 ditegaskan bahwa Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Dengan demikian, persepsi yang selama ini menyalahkan pemerintah saja terhadap rendahnya atau kurangnya prestasi pendidikan Indonesia tidaklah sepenuhnya benar. Peningkatan mutu/kualitas pendidikan di daerah, merupakan tanggung jawab semua unsur yang ada di daerah untuk meningkatkan pendidikan termasuk partisipasi masyarakat dan dunia usaha. Pemerintah daerah sebagai “leading sector”, seharusnya mampu menjalin kerja sama yang harmonis dengan semua stakeholder di daerah yang concern terhadap dunia pendidikan. Partisipasi masyarakat dari yang kecil hingga yang besar menjadi dasar dan keuntungan bagi daerah dalam hal pembiayaan pendidikan yang semakin hari semakin mahal harganya. Anggaran pemerintah yang terbatas di bidang pendidikan akan dapat ditanggulangi dengan peran serta masyarakat dalam pembiayaan pendidikan untuk mendukung kelancaran biaya operasional sekolah. Untuk itu partisipasi masyarakat dalam pendidikan sangat penting artinya sekecil apapun peranan yang bisa diberikan. Adapun bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam peningkatan pendididkan sesuai dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 antara lain yaitu : a). menggunakan jasa sekolah, b). memberikan kontribusi dana, JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 707 STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING PENDIDIKAN DI ERA GLOBALISASI DAN OTONOMI DAERAH 708 bahan, dan tenaga, c). membantu anak belajar di rumah, d). berkonsultasi masalah pendidikan anak, e). terlibat dalam kegiatan ekstra kurikuler dan f). pembahasan kebijakan sekolah. Jika dilihat dari bentuk-bentuk partisipasi masyarakat ini, maka dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pendidikan bukanlah hanya dalam bentuk dukungan dana/biaya saja, akan tetapi juga berupa sumbang pemikiran, masukan, saran, dukungan moral juga sangat penting bagi peningkatan pendidikan sekecil apapun bentuknya. Masyarakat perlu didorong untuk itu terutama tentang program dan kebijakan pendidikan yang dilakukan selama ini. Selanjutnya komite sekolah adalah salah satu wujud keterlibatan masyarakat di sekolah. Komite sekolah dan sekolah saling bekerjasama dalam memajukan pendidikan di sekolah. Komite sekolah turut serta merumuskan, menetapkan melaksanakan dan memonitor pelaksanaan kebijakan sekolah dan pertanggungjawaban yang terfokus pada kualitas pelayanan terhadap peserta didik secara proporsional dan terbuka serta mewadahi partisipasi masyarakat untuk turut serta dalam manajamen sekolah sesuai dengan peran dan fungsinya berkenaan dengan perencanaan pelaksanaan evaluasi program sekolah secara proporsional. Peran Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan sesungguhnya telah diatur dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002. Dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional tersebut disebutkan bahwa peran yang harus diemban oleh dewan pendidikan dan komite sekolah adalah (1). Pemberi pertimbangan dalam pengambilan keputusan, (2). fungsi pengendalian dan akuntabilitas publik, (3). fungsi pendukungan (support), dan (4). Mediator antar sekolah dan masyarakat. Adapun tugas daripada komite sekolah adalah menyelenggarakan rapatrapat komite sesuai dengan program yang ditetapkan bersama-sama sekolah merumuskan dan menetapkan visi misi, menyusun standar pembelajaran, menyusun rencana strategis pengembangan sekolah, menyusun dan menetapkan rencana program tahunan serta mengembangkan potensi ke arah prestasi unggulan membahas dan menetapkan pemberian tambahan kesejahteraan, menghimpun, menggali dan mengelola sumber dana dan kontribusi lainnya baik materil maupun non materil dari masyarakat. Dewan pendidikan serta komite sekolah harus bekerja keras untuk bisa meyakinkan masyarakat akan pentingnya tanggung jawab bersama terhadap pendidikan. III. PENUTUP Pendidikan merupakan faktor yang sangat strategis terhadap keberlangsungan kehidupan manusia, jika kita sungguh-sungguh memahami hakikat pembangunan nasional sebagai pembangunan kualitas manusia Indonesia yang seutuhnya. Guru merupakan titik sentral penentu keberhasilan pembangunan pendidikan. Strategi peningkatan daya saing pendidikan di era globalisasi dan otonomi daerah sangat tergantung pada JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 ERIKA REVIDA komitmen dan semangat pemimpin daerah untuk memajukan sektor pendidikan pada garda terdepan pembangunannya dan bukan sebaliknya serta memiliki kemauan dan komitmen untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar atau melebihi 20% di luar gaji guru sesuai amanah UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sudah saatnya kita berubah ke arah yang lebih baik khususnya dalam mengejar ketertinggalan kita dengan negara lain. Salah satu cara untuk itu diperlukan strategi pendidikan yang berkualitas yaitu dimulai dari peningkatan kualitas guru, meningkatkan dukungan pemerintah dan partisipasi masyarakat dan dunia usaha yang semakin maksimal menuju peningkatan daya saing pendidikan yang semakin baik dari hari ke hari. Dengan pendidikan yang baik, maka kita akan menjadi bangsa yang maju, berdaulat, dan berkepribadian. KEPUSTAKAAN Cohen, dan Uphoff. 1980. Rural Development Participation Concept and Measure for Project Design, Implementation and Evaluation, New York : Cornell University. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Standar Proses. Jakarta. Slamet, Y. 1992. Pembangunan Masyarakat Berwawasan Partisipasi. Surakarta : Sebelas Maret University Press. Suyanto. 2006. Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam Percaturan Dunia Global), Jakarta : PSAP Muhammadiyah. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta : Sekretariat Negara. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Sekretariat Negara. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta : Sekretariat Negara. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah. Jakarta : Sekretariat Negara. United Nation Development Program Report, 2013. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044 Tahun 2002. Tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Jakarta : Kementerian Pendididkan Nasional. Kuncoro, Mudrajat. 2008. Strategi Bagaimana Meraih Keunggulan Kompetitif. Jakarta : Penerbit Erlangga. JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 709 resensi Judul Buku Pelayanan Publik Baru dari Manajemen Steering ke Serving Penulis Janet V. Denhardt & Robert B. Denhardt Cetakan Pertama tahun 2013 Penerbit Kreasi Wacana 710 Jumlah Halaman 290 halaman P emerintah telah menggunakan struktur manajemen dan organisasi yang kompleks di sepanjang sejarah manusia. Administrasi publik merupakan suatu bidang studi dan praktik yang secara umum dianggap telah lahir pada sekitar pergantian abad ini. Diawali dengan deskripsi administrasi publik lama yang merupakan dikotomi antara politik dan administrasi. Pada masa ini, pemerintah berperan memberikan pelayanan. Dalam prosesnya, masyarakat diberi kesempatan untuk menyampaikan secara langsung saran dan kritik terhadap pelayanan tersebut melalui lembaga-lembaga pemerintah yang sudah ada. Namun, para administrator publik sebagai pihak pemberi layanan memiliki peran yang terbatas dalam pembuatan kebijakan dan tata pemerintahan. Buku ini mengurai juga tentang manajemen publik baru yang merupakan koreksi terhadap administrasi publik lama. Manajemen publik baru, mendominasi pemikiran dan tindakan dalam bidang administrasi public yang didasarkan pada ide bahwa cara terbaik untuk memahami perilaku manusia adalah mengasumsikan bahwa pemerintah dan aktor lain membuat pilihan- RESENSI pilihan dalam melaksanakan tindakan berdasarkan kepentingan diri mereka sendiri. Menurut pandangan ini, peran pemerintah ialah membebaskan kekuatan pasar untuk memfasilitasi pilihan individual dan mencapai efisiensi. Buku ini memuat suatu argumen yang lebih maju melalui apa yang disebut dengan layanan publik baru yang mengusahakan nilai bersama dan kepentingan umum melalui dialog yang tersebar luas dan keterlibatan warga negara. Kepentingan publik itu sendiri dilihat sebagai suatu perluasan kewarganegaraan, dimotivasi oleh keinginan untuk melayani orang lain dan mencapai tujuan-tujuan publik. Seperti yang tercetak di sampul depan, buku ini mencoba mengusulkan suatu model layanan publik baru yang didasarkan pada kewarganegaraan, demokrasi dan layanan dalam kepentingan publik sebagai sebuah alternatif bagi modelmodel yang kini dominan didasarkan pada teori ekonomi dan kepentingan diri. Janet V Denhardt dan Robert B.Denhardt menyebutkan sejumlah ide-ide menarik dalam menerapkan layanan publik baru bagi orang-orang yang bertugas dalam administrasi publik. Pertama, melayani warga negara, bukan pelanggan. Kepentingan publik adalah hasil suatu dialog tentang nilai-nilai bersama ketimbang kumpulan kepentingan diri individual. Oleh karena itu pelayanan publik tidak hanya bertanggung jawab kepada tuntutan “para pelanggan”, tetapi lebih tepatnya berfokus pada pembangunan hubungan kepercayaan dan kolaborasi dengan dan diantara warga negara. Kedua, mengusahakan kepentingan publik. Para administrator publik harus memberi sumbangan untuk membangun suatu gagasan kolektif kepentingan publik yang dianut bersama. Tujuannya ialah bukan untuk menemukan solusisolusi yang cepat yang didorong oleh pilihan- pilihan individual. Lebih tepatnya, adalah menciptakan kepentingan-kepentingan bersama dan tanggung jawab bersama. Ketiga, menghargai warga negara melebihi kewirausahaan. Kepentingan publik lebih baik dimajukan oleh pelayanan publik dan warga negara yang bertekad memberikan sumbangan bermakna kepada masyarakat ketimbang oleh manajer usahawan yang bertindak seakan-akan uang publik itu adalah milik mereka sendiri. Keempat, berpikir secara strategis, bertindak secara demokratis. Kebijakan dan program memenuhi kebutuhan publik dapat dicapai secara paling efektif dan paling bertanggung jawab melalui usaha kolektif dan proses kolaboratif. Kelima, mengakui bahwa akuntabilitas tidak sederhana. Pelayanan publik harus lebih memerhatikan ketimbang pasar, mereka juga harus mematuhi undang- JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014 711 RESENSI 712 undang dan hukum konstitusional, nilai komunitas, norma politik, standar profesional, dan kepentingan warga negara. Keenam, melay ani b uk an menyetir. Semakin penting bagi para pelayan publik untuk menggunakan kepemimpinan berbasis nilai yang dianut bersama dalam membantu warga negara mengutarakan dengan jelas dan memenuhi kepentingan bersama mereka ketimbang berusaha mengendalikan atau menyetir masyarakat dalam arah-arah yang baru. Ketujuh menghargai manusia, bukan sekedar produktivitas. Organisasi publik dan jaringan tempat mereka berpartisipasi lebih mungkin berhasil dalam jangka panjang jika mereka bekerja melalui proses-proses kolaborasi dan kepemimpinan bersama yang didasarkan pada penghargaan terhadap semua orang. Poin penting yang perlu digarisbawahi dari buku ini ada dua hal, yaitu Kunci pertama untuk mewujudkan pelayanan publik baru yang berkualitas terletak pada refleksi diri sebagai pelayan publik, hanya refleksi dirilah kita dapat mengembangkan kapasitas untuk melayani orang lain. Poin kedua bagi kita sebagai warga negara, adalah penting untuk mengakui bahwa membuat negeri dan komunitas kita lebih baik memerlukan setidaknya kerjasama kita dan idealnya keterlibatan aktif kita. Menurut definisi, pemerintahan kita adalah milik dan tanggung jawab kita. Kita dapat dan harus mempunyai harapan yang tinggi terhadap pemerintahan, tetapi agar pemerintah bekerja dengan baik, diperlukan kewarganegaraan yang aktif. Kedua poin tersebut saling berkaitan dan tak terpisahkan. Terus terang, buku ini memuat semua yang Anda butuhkan untuk mewujudkan sebuah layanan publik baru yang memberikan teknik-teknik dan nilai-nilai yang berharga dimana kita dapat membayangkan suatu layanan publik yang didasarkan pada dan diintegrasikan sepenuhnya dengan wacana warga negara dan kepentingan publik. Terlepas dari beberapa kesalahan cetak yang agak mengganggu, buku ini pantas untuk dijadikan referensi untuk mengupas model dan manajemen layanan publik baru. Penjelasan dalam buku, terstruktur dengan baik ditambah dengan real case di setiap akhir bab, serta digabung dengan solusi yang applicable merupakan nilai tambah bagi buku ini. Terakhir, mengutip kalimat Louis Gawthrop, “Bekerja dalam layanan demokrasi adalah mengakui bahwa semua kita terpanggil, pada derajat tanggung jawab yang berbeda-beda untuk menjadi penjaga, pengawal atau nabi untuk orang lain”. Semoga, kita dapat menjadikan pekerjaan pelayan publik adalah pekerjaan kehidupan kita. Maka ada kesempatan dan kepuasan besar yang diperoleh dalam bekerja yang membuat dunia dan komunitas kita menjadi lebih baik. Hilma Yuniasti JURNAL TRANSFORMASI ADMINISTRASI VOLUME 04 NOMOR 01 TAHUN 2014