BAB 2 PRIORITAS NASIONAL DAN PRIORITAS NASIONAL LAINNYA A. PRIORITAS NASIONAL Upaya untuk mewujudkan Visi dan Misi Pembangunan Nasional yang tercantum dalam RPJMN 2010—2014 dilaksanakan melalui pencapaian 11 prioritas nasional yang meliputi (1) reformasi birokrasi; (2) pendidikan; (3) kesehatan; (4) penanggulangan kemiskinan; (5) ketahanan pangan; (6) infrastruktur; (7) iklim investasi dan usaha; (8) energi; (9) lingkungan hidup dan pengelolaan bencana; (10) daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pascakonflik; serta (11) kebudayaan, kreativitas, dan inovasi teknologi. 2.1 PRIORITAS NASIONAL 1: REFORMASI BIROKRASI DAN TATA KELOLA 2.1.1. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI Reformasi birokrasi dan tata kelola memiliki peran strategis untuk mendukung efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan pencapaian sasaran pembangunan nasional serta untuk mempercepat penyelesaian berbagai masalah yang dihadapi dalam manajemen pemerintahan. Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business process) dan sumber daya manusia. Reformasi birokrasi dan tata kelola dimaksudkan untuk memantapkan tata kelola pemerintahan yang lebih baik, yang dilakukan melalui: (1) terobosan kinerja secara terpadu, penuh integritas, akuntabel, taat kepada hukum dan berwibawa, transparan; dan (2) peningkatan kualitas pelayanan publik yang ditopang oleh efisiensi struktur pemerintah di pusat dan di daerah, kapasitas pegawai pemerintah yang memadai, dan data kependudukan yang baik. Adapun sasaran yang ingin dicapai adalah: (a) meningkatnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN melalui penegakan hukum, peningkatan kualitas regulasi, dan penguatan pengawasan dan sistem pengendalian internal; (b) meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi melalui penataan kelembagaan sesuai dengan prinsip structure follows function, pengembangan sistem ketatalaksanaan yang efektif dan efisien, dan penerapan manajemen SDM aparatur berbasis merit; (c) meningkatnya kualitas pelayanan publik melalui sinergi pusat dan daerah dan pengembangan data kependudukan yang akurat berbasis TIK; dan (d) makin mantapnya konsolidasi pelaksanaan otonomi daerah. Untuk mencapai sasaran tersebut, maka arah kebijakan yang ditempuh meliputi sebagai berikut: (1) Penataan struktur organisasi pemerintah menjadi lebih efisien (tepat fungsi, tepat ukuran) dan sinergis; (2) Peningkatan efektivitas otonomi daerah melalui: (a) Penghentian/pembatasan pemekaran wilayah; (b) Peningkatan efisiensi dan efektivitas penggunaan dana perimbangan daerah; dan (c) Efektivitas dan efisiensi pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah; (3) Penyempurnaan pengelolaan PNS yang meliputi sistem rekrutmen, pendidikan, penempatan, promosi, dan mutasi PNS 2-2 secara terpusat; (4) Percepatan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundangan di tingkat pusat maupun daerah hingga tercapai keselarasan arah dalam implementasi pembangunan, di antaranya penyelesaian kajian 12.000 peraturan daerah; (5) Penetapan dan penerapan sistem Indikator Kinerja Utama Pelayanan Publik yang selaras antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, antara lain melalui penyusunan/penerapan SPM; (6) Peningkatan integrasi dan integritas penerapan dan penegakan hukum melalui peningkatan kinerja penegakan hukum dan pemberantasan korupsi sehingga kepercayaan masyarakat makin meningkat; (7) Penetapan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan pengembangan Sistem Informasi dan Administrasi Kependudukan (SIAK), dan penerapan e-KTP. Namun demikian, dalam pencapaian sasaran dan pelaksanaan arah kebijakan reformasi birokrasi dan tata kelola masih terdapat berbagai permasalahan yang harus diselesaikan. Struktur/Kelembagaan. Dalam aspek kelembagaan, masalah yang dihadapi adalah belum proporsionalnya jumlah dan besaran struktur organisasi pemerintah baik di pusat maupun daerah, termasuk meningkatnya jumlah Lembaga Non Struktural (LNS). Meningkatnya jumlah LNS, perlu diselaraskan dengan komponen lembaga pemerintah lainnya agar tidak menimbulkan inefisiensi dan inefektifitas karena tumpang tindih tugas dan fungsi, termasuk bertambahnya beban anggaran negara untuk belanja birokrasi. Hal lain yang juga masih menjadi masalah adalah kinerja birokrasi yang belum optimal, kurang responsif, dan kurang inovatif, sehingga berdampak pada masih rendahnya kualitas pelayanan dan akuntabilitas kinerjanya. Otonomi daerah. Dalam pelaksanaan penataan otonomi daerah terdapat beberapa kegiatan yang menjadi prioritas nasional, antara lain: penghentian/pembatasan pemekaran wilayah, penyempurnaan pengelolaan keuangan daerah, dan penyempurnaan pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah. Permasalahan utama yang masih 2-3 dihadapi dalam rangka penghentian/pembatasan pemekaran wilayah adalah masih banyaknya desakan dari berbagai elemen masyarakat untuk melaksanakan pemekaran daerah. Dalam rangka peningkatan efisiensi dan penggunaan dana perimbangan daerah, beberapa kegiatan prioritas yang dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri adalah Pembinaan Fasilitasi Dana Perimbangan; Pembinaan Administrasi Anggaran Daerah; dan Fasilitasi Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah. Permasalahan yang di hadapi, antara lain: (a) Pengelolaan anggaran sebagian besar APBD masih belum melaksanakan prinsip pro-poor, pro-job, and pro-growth serta belum memperhatikan kebijakan Millenium Development Goals (MDGs) and Justice for All dimana belum banyak program pemberdayaan ekonomi. Lebih lanjut, hanya 162 daerah yang mempunyai belanja langsung lebih besar dari belanja tidak langsung. (b) Berkaitan dengan Dana Alokasi Khusus (DAK), pada akhir tahun 2010 penyerapan masih sebesar 85% karena keterlambatan penyaluran DAK ke daerah dan dalam pelaksanaannya hanya 80% sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dari kementerian teknis. (c) Pelaksanaan pengelolaan dana hibah dan bansos belum mencerminkan asas keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat. (d) Belum optimalnya pemanfaatan sistem informasi dan teknologi dalam pengelolaan keuangan daerah. Disamping itu, terkait masalah administrasi keuangan, masih terdapat masalah antara lain: masih banyak daerah yang tidak tepat waktu menetapkan APBD di TA 2011 (29 dari 33 Provinsi dan 196 dari 314 Kab/Kota yang tepat waktu); akuntabilitas pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah masih rendah (hanya 14 dari 348 daerah di tahun 2009 mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian dari hasil audit BPK); dan hanya 21 provinsi yang menetapkan Ranperda tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD (provinsi) menjadi Perda sebelum bulan Juli. Terkait dengan permasalahan sumber daya manusia, masih rendahnya kuantitas 2-4 maupun kualitas SDM yang mempunyai kompetensi di bidang pengelolaan keuangan dan teknologi informasi sehingga menghambat proses pengelolaan keuangan daerah yang efektif. Sedangkan terkait dengan penyempurnaan pelaksanaan Pemilukada, permasalahan yang dihadapi adalah penyelesaian RUU Pilkada berpotensi tidak tepat waktu karena secara simultan dilakukan pembahasan revisi Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Beberapa isu krusial Pilkada berpotensi membuat jadwal pembahasan melebihi target waktu yang di tentukan karena mendapatkan perhatian luas dari masyarakat dan berpotensi tarik-menarik kepentingan seperti pengangkatan Wakil Kepala Daerah dari PNS dan isu Pemilihan Gubernur melalui DPRD. Sumber daya manusia. Kinerja birokrasi sangat ditentukan oleh kompetensi, profesionalitas dan integritas SDM Aparatur. Namun demikian, masih terdapat banyak permasalahan yang harus diperbaiki dalam aspek kepegawaian saat ini, antara lain: komposisi PNS yang belum ideal untuk melakukan tugas-tugasnya agar lebih efektif, efisien dan profesional dalam melayani masyarakat. Hal ini diantaranya berkaitan dengan komposisi jabatan, tingkat pendidikan maupun distribusi antar wilayah. Permasalahan lainnya yang masih dihadapi yakni: disiplin dan kinerja pegawai yang masih rendah; belum diterapkannya secara konsisten sistem remunerasi pegawai menuju sistem remunerasi yang berbasis kinerja dan dapat mendorong peningkatan kinerja pegawai; belum sepenuhnya diterapkan sistem karier berdasarkan kinerja; sistem penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) belum sepenuhnya berdasarkan pada kompetensi yang diperlukan. Selain itu, pendidikan dan pelatihan (diklat) belum berbasis kompetensi dan mampu mendorong peningkatan kinerja. Regulasi. Substansi inti regulasi ini adalah percepatan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundangan di tingkat pusat 2-5 maupun daerah hingga tercapai keselarasan arah dalam implementasi pembangunan. Beberapa kegiatan di dalam substansi inti ini antara lain adalah penyelesaian kajian 12.000 peraturan daerah selambatlambatnya 2011. Hingga saat ini masih banyak peraturan perundangan daerah yang perlu dilakukan klarifikasi dan dievaluasi, di tahun 2010 Kementerian Dalam Negeri telah melakukan klarifikasi dan pemberhentian pelaksanaan terhadap 419 Perda, karena bertentangan dengan kepentingan umum, menimbulkan ekonomi biaya tinggi, merintangi arus barang dan jasa serta menghambat iklim investasi di daerah. Sinergi Pusat dan Daerah. Penetapan dan penerapan sistem Indikator Kinerja Utama Pelayanan Publik dilakukan melalui upaya penyusunan dan penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) di daerah. Permasalahan yang dihadapi adalah: (i) Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) sebagai indikator utama pelayanan publik di daerah belum optimal karena keterbatasan sumber daya dan regulasi pendukung; dan (ii) SPM belum dapat diterapkan di daerah karena belum terintegrasinya SPM dalam dokumen perencanaan dan anggaran, belum mencukupinya kapasitas keuangan daerah, dan terbatasnya ketersediaan dan kapasitas personil daerah. Beberapa permasalahan lainnya, adalah: manajemen pelayanan publik belum dapat memenuhi keinginan masyarakat terhadap pelayanan yang cepat, mudah, murah, dan transparan, terutama di bidang pertanahan, investasi dan perizinan, perpajakan dan kepabeanan, pengadaan barang dan jasa pemerintah/publik, dan sistem administrasi kependudukan; belum meratanya penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (e-government) dalam pemberian pelayanan publik di instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Selain itu permasalahan lainnya adalah masih lemahnya SDM pelayanan publik baik dari segi kapasitas dan sikap perilaku dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dari aspek kebijakan/regulasi, pemerintah juga belum menyelesaikan 2-6 peraturan perundang-undangan yang diperlukan, khususnya sebagai implementasi UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Penegakan Hukum. Pemerintahan yang kuat cerminan dari penegakan hukum oleh aparat penegak hukum yang berjalan dengan baik. Namun sampai dengan saat ini, permasalahan yang selalu dihadapi dalam rangka penegakan hukum antara lain (1) masih lemahnya integritas aparat penegak hukum sehingga menyebabkan belum optimalnya penegakan hukum yang dilakukan; (2) masih lemahnya koordinasi dan kerjasama antara lembaga penegak hukum yang menyebabkan penegakan hukum masih belum terintegrasi, contohnya pada kasus korupsi dimana koordinasi dan supervisi yang dilakukan oleh KPK dengan aparat penegak hukum lainnya yaitu Kepolisian dan Kejaksaan masih lemah; dan (3) belum optimalnya pencegahan dan pemberantasan korupsi khususnya peran dari lembaga penegak hukum dan institusi hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Kementerian Hukum dan HAM. Data Kependudukan. Dalam pelaksanaan Penataan Data Kependudukan permasalahan yang dihadapi antara lain (i) masih terdapat Peraturan Daerah (PERDA) yang mengatur tentang pelaksanaan pelayanan Administrasi Kependudukan di daerah, yang belum berpedoman pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan; (ii) masih kurangnya harmonisasi peraturan antar sektor dalam pemanfaatan dokumen kependudukan, antara lain yang terkait dengan sertifikasi tanah, perijinan usaha dan lain-lain, yang berakibat adanya dokumen penduduk ganda (misalnya KTP ganda/palsu); (iii) masih rendahnya tingkat kemampuan teknis SDM aparat pelaksana Administrasi Kependudukan di daerah Kabupaten/Kota (verifikator, pengelola SIAK, pejabat pencatatan sipil dan registrar); dan belum adanya aturan yang mengatur standar kompetensi dan jenjang karier SDM yang berkaitan dengan pengelolaan dan perencanaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Sistem Administrasi 2-7 Kependudukan; (iv) masih rendahnya tingkat kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan tertib administrasi kependudukan, karena keterbatasan informasi yang diterima; (v) terbatasnya infrastruktur dan kurangnya dukungan APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dialokasikan untuk mendukung penyelenggaraan Administrasi Kependudukan di daerah, terutama untuk sosialisasi, operasional pelayanan, dan peningkatan infrastruktur SIAK; serta (vi) Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) yang belum terintegrasi secara nasional (online sistem) dimana baru tersambung secara on-line sistem di 329 kab/kota dari 497 kab/kota. 2.1.2. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN HASIL YANG DICAPAI DAN HASIL- Dalam rangka pemantapan pelaksanaan reformasi birokrasi dan tata kelola, langkah-langkah strategis yang telah dan sedang dilaksanakan oleh pemerintah, beserta hasil-hasil yang telah dicapai, diuraikan di bawah ini. Kelembagaan. Dalam rangka peningkatan koordinasi dan kualitas pelaksanaan Reformasi Birokrasi, telah ditempuh langkahlangkah penguatan kelembagaan pengelolaan reformasi birokrasi, antara lain melalui: (i) pembentukan Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional, mealui Keppres 14 Tahun 2010 yang disempurnakan menjadi Keppres Nomor 23 Tahun 2010; (ii) pembentukan Tim Independen dan Tim Penjamin Kualitas (Quality Assurance). Secara bersamaan, pelaksanaan Reformasi Birokrasi Nasional terus diperkuat landasan kebijakannya dan diperluas pelaksanaannya pada instansi pemerintah pusat dan daerah. Dari sisi kebijakan telah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Selanjutnya, dalam implementasinya telah ditetapkan landasan operasional dalam bentuk 2-8 Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 20 tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014. Road Map RB merupakan bentuk operasionalisasi Grand Design Reformasi Birokrasi yang disusun dan dilakukan setiap 5 (lima) tahun sekali dan merupakan rencana rinci reformasi birokrasi dari satu tahapan ke tahapan selanjutnya selama lima tahun dengan sasaran per tahun yang jelas. Di samping itu, sebagai acuan pelaksanaan pada setiap instansi pemerintah, telah diterbitkan 11 Pedoman Pelaksanaan Reformasi Birokrasi melalui Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Sejalan dengan ditetapkannya berbagai kebijakan tersebut, perluasan reformasi birokrasi pada lingkungan Kementerian/Lembaga terus meningkat. Hingga Juni 2011, sudah terdapat 16 K/L yang telah melaksanakan Reformasi Birokrasi Instansi (RBI) sesuai kebijakan nasional dan telah mendapatkan tunjangan kinerja. Pada tahun 2011, diharapkan K/L yang telah melaksanakan RBI semakin bertambah sejalan dengan komitmen pemerintah untuk menuntaskan RBI pada seluruh K/L. 2-9 TABEL 2.1.1 PROGRES PELAKSANAAN REFORMASI BIROKRASI DI KEMENTERIAN/LEMBAGA 2007—2011 Tahun 2007- 2008 2009 2010 2011 (s.d Juni 2011) K/L Keterangan 1) Kementerian Keuangan; 2) BPK; 3) MA Sudah melaksanakan proses Reformasi Birokrasi dan memperoleh tunjangan kinerja 1) Sekretariat Negara; 2) Sekretariat Kabinet Sudah melaksanakan proses Reformasi Birokrasi dan memperoleh tunjangan kinerja 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) Kemenko Perekonomian; BPKP; Kementerian PPN/Bapppenas Kemenko Polhukkam Kemenko Kesra; Polri ; TNI; Kementerian Pertahanan; Kementerian PAN dan RB; 1) Kejaksaaan Agung; 2) Kementerian Hukum HAM. dan Sudah melaksanakan proses Reformasi Birokrasi dan memperoleh tunjangan kinerja • • Sumber: Kementerian PAN dan RB, 2011 2 - 10 Sudah melaksanakan proses Reformasi Birokrasi dan memperoleh tunjangan kinerja Diharapkan 12 K/L telah melaksanakan proses reformasi birokrasi sesuai kebijakan nasional Untuk melihat sampai sejauh mana pelaksanaan reformasi birokrasi telah dilaksanakan sesuai rencana yang telah ditetapkan, saat ini juga sedang dilakukan upaya monitoring dan evaluasi terhadap beberapa kementerian tertentu, seperti Kementerian Keuangan, Sekretariat Negara, dan Kementerian PAN dan RB oleh Tim Penjamin Kualitas (Tim Quality Assurance). Selanjutnya, dalam rangka mendorong percepatan pelaksanaan RB pada K/L lainnya, Kementerian PAN dan RB telah melaksanakan workshop penyusunan usulan reformasi birokrasi bagi 31 instansi (K/L), dan direncanakan pada akhir tahun 2011, seluruh instansi lainnya telah mengikuti workshop tersebut. Dalam rangka penataan organisasi K/L, telah selesai dilakukan penyusunan Peraturan Presiden dan penataan organisasi dan tata kerja Badan Narkotika Nasional, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Kepolisian Negara RI, dan Kejaksaan Republik Indonesia, yang merupakan tindak lanjut amanat dari UndangUndang. Di samping itu, sedang dilakukan penyusunan Peraturan Presiden mengenai Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) sebagai acuan dalam penataan LPNK secara keseluruhan. Saat ini juga sedang dilakukan pengkajian untuk menata kembali Lembaga Non Struktural. Otonomi daerah. Dalam penataan otonomi daerah, langkahlangkah yang telah dilakukan dan hasil- hasil yang dicapai terkait dengan kegiatan penghentian/pembatasan pemekaran wilayah, pada tahun 2010 telah tersusun Desain Besar Penataan Daerah (Desartada) dan draft kajian terhadap 20 usulah pemekaran daerah. Tahun 2011 tidak ada pemekaran, dan sedang di lakukan evaluasi/kajian usulan pembentukan daerah otonom baru sesuai dengan PP Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Sedangkan untuk memperbaiki pengelolaan keuangan daerah, maka langkah-langkah yang dilakukan dan hasil yang di capai antara 2 - 11 lain: (a) sedang dilakukan pengkoordinasian penyusunan petunjuk teknis Dana Alokasi Khusus TA 2011; (b) diterbitkannya Pedoman dalam Penyusunan APBD Tahun 2012 melalui Permendagri Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2012 dan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan kedua atas Permendagri No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; (c) telah dilakukan evaluasi terhadap Ranperda Provinsi tentang APBD dan Ranperkada tentang Penjabaran APBD TA 2011 serta Perubahan APBD 2010 melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri; (d) telah berkembangannya Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah di 119 Daerah (PHLN) dari target 171 daerah; (e) telah disusun draft Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tentang Dana Hibah dan Bantuan Sosial serta pengelolaan Dana BOS dalam APBD TA 2011 (SE Mendagri No 900/5106/SJ tanggal 28 Desember 2010); (f) SE Menteri Dalam Negeri No. 027/824/SE Tanggal 16 Maret 2011 perihal Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang Jasa Pemerintah dikaitkan dengan Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; (g) tersusunnya Postur APBD Provinsi, Kabupaten dan Kota Tahun Anggaran 2010 dan 2011; (h) tersedianya rekonsiliasi data jumlah PNSD dan realisasi belanja pegawai sebagai dasar penghitungan alokasi dasar DAU 2011; dan hasil-hasil lainnya. Sedangkan berkaitan Revisi Undang-undang Pemilukada, hasil yang dicapai adalah saat ini sedang dalam proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM untuk selanjutnya akan dibahas dengan DPR-RI. Sumber Daya Manusia. Reformasi Birokrasi tidak hanya mencakup upaya perbaikan organisasi birokrasi, namun hal yang juga sangat penting adalah pembenahan SDM Aparatur. Pemerintah terus melanjutkan langkah-langkah penyempurnaan pengelolaan PNS yang meliputi sistem rekrutmen, pendidikan, penempatan, 2 - 12 promosi, mutasi, dan kesejahteraan PNS. Penerapan sistem merit dalam manajemen kepegawaian terus ditingkatkan, antara lain, melalui penerapan assesment center untuk menilai kemampuan, kualifikasi, dan kompetensi PNS. Pendidikan dan pelatihan bagi PNS terus disempurnakan dengan meningkatkan kualitas kurikulum dan proses belajarnya, sejalan dengan perkembangan manajemen birokrasi yang makin modern. Upaya penataan yang telah dan sedang dilakukan antara lain: (a) melakukan evaluasi peringkat jabatan dalam rangka reformasi birokrasi terhadap 14 (empat belas) K/L yang telah melaksanakan proses reformasi birokrasi; (b) sosialisasi dan implementasi PP 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS; (c) penyusunan Pedoman Analisis Jabatan (Peraturan Menteri Negara PAN dan RB Nomor: 33 Tahun 2011) dan Pedoman Evaluasi Jabatan (Peraturan Menteri Negara PAN dan RB Nomor: 34 Tahun 2011); (d) penyusunan Peraturan Menteri Negara PAN dan RB Nomor 26 Tahun 2011 tentang Pedoman Perhitungan Kebutuhan PNS yang tepat untuk Daerah dan telah dilaksanakan sosialisasi tentang Tatacara Perhitungan Kebutuhan PNS dengan seluruh Kabupaten/Kota yang dikoordinasikan oleh Provinsi. Sedangkan penyusunan dan penyempurnaan berbagai peraturan perundang-undangan yang ditargetkan dapat diselesaikan tahun 2011 ini antara lain: (a) penyusunan RPP tentang Formasi PNS sebagai penyempurnaan PP Nomor 97 Tahun 2000 jo PP 54 Tahun 2003; (b) penyusunan RPP tentang Pengadaan PNS sebagai Penyempurnaan PP Nomor 98 Tahun 2000 jo PP Nomor 11 Tahun 2002; (c) penyusunan RPP tentang Penilaian Prestasi Kerja; (d) penyusunan RPP Perubahan dari PP Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan dalam Jabatan Struktural jo. PP Nomor 13 Tahun 2002; (e) penyusunan RPerpres tentang Penilaian pengangkatan dalam jabatan struktural; (f) penyusunan RPerpres tentang Pola Karier PNS; (g) penyempurnaan PP Nomor 9 Tahun 2003 Jo PP 2 - 13 Nomor 63 Tahun 2009 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil; dan (h) perubahan PP Nomor 48 Tahun 2005 jo. PP Nomor 43 Tahun 2007 untuk menyelesaikan tenaga honorer yang sudah terdata dalam database di BKN. Penyempurnaan sistem pengadaan PNS dilakukan sesuai kebutuhan organisasi baik jumlah maupun kompetensinya. Dalam pelaksanaan pengadaannya, harus dilaksanakan berdasarkan prinsip obyektif, transparan, tidak diskriminatif, akuntabel dan tidak KKN, serta tidak dipungut biaya. Untuk formasinya diprioritaskan bagi PNS yang kompetensinya pro-growth, pro-job, pro-poor, dan projustice yang akan menduduki jabatan dalam melaksanakan tugas pelayanan dasar seperti tenaga guru dan tenaga kesehatan serta tenaga teknis strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan. Berkaitan dengan upaya pemerintah untuk melakukan perbaikan system THT PNS, saat ini sedang dilakukan penyempurnaan PP Nomor 25 Tahun 1981 tentang Asuransi Sosial PNS. Hal ini sesuai dengan surat Menteri Keuangan nomor: S-251/MK.02/2011, tanggal 12 Mei 2011, yang mengusulkan antara lain perlu adanya perubahan sistem THT PNS dari Pay As You Go menjadi Fully Funded. Regulasi. Penataan regulasi khususnya di tingkat pemerintah daerah, maka langkah-langkah yang dilakukan dan hasil yang dicapai dalam rangka harmonisasi peraturan perundangan di tingkat pusat dan daerah, Kementerian Dalam Negeri telah melakukan inventarisasi dan pengkajian terhadap 3000 Perda di tahun 2010 (100% dari target) dan 4500 Perda sampai dengan bulan Juni 2011 atau 50% dari target. Dari 4500 Perda yang dievaluasi pada tahun 2011 terdapat 175 Peraturan Daerah yang perlu dilakukan klarifikasi dan di hentikan pelaksanaannya. Sinergi antara Pusat dan Daerah. Upaya peningkatan kualitas pelayanan publik memerlukan adanya sinergi yang kuat antara pusat 2 - 14 dan daerah. Disadari bahwa ujung tombak pelayanan kepada masyarakat berada pada pemerintahan daerah. Pemerintah telah melakukan berbagai langkah kebijakan untuk meningkatkan sinergi antara pusat dan daerah, dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik. Kebijakan dan hasil yang dicapai untuk mewujudkan sinergi pusat dan daerah untuk mendorong peningkatan kualitas pelayanan publik adalah: (i) ditetapkan 13 SPM melalui Peraturan Menteri masing-masing sektor pelayanan publik; (ii) pada tahun 2011 ditargetkan penetapan terhadap 2 (dua) SPM yakni SPM Bidang Perhubungan dan Penanaman Modal; dan (iii) hingga saat ini 7 Standar Pelayanan Minimal (SPM) telah diterapkan di beberapa daerah, yaitu SPM Bidang Kesehatan, Bidang Lingkungan Hidup, Bidang Sosial, Bidang BKKBN, Bidang Pemberdayaan Perempuan, Bidang Ketahanan Pangan, dan Bidang Pendidikan. Untuk mengukur kualitas manajemen pelayanan, pada tahun 2010 dilakukan penilaian kepada unit-unit pelayanan publik yang mewakili instansi pemerintah pusat maupun instansi daerah, yang dinilai berhasil menciptakan inovasi perbaikan dalam upaya meningkatkan kinerja penyelenggaraan pelayanan. Aspek yang dinilai meliputi visi, misi serta motto pelayanan; sistem dan prosedur pelayanan; SDM pelayanan; dan sarana dan prasarana pelayanan. Hasil penilaian tahun 2010, adalah (a) penghargaan berupa Piala Citra Pelayanan Prima Tahun 2010 diberikan kepada 83 Unit Pelayanan Publik (UPP) yang dinilai berpredikat “amat baik”; (b) Penghargaan berupa Piagam Pratama Citra Pelayanan Prima Tahun 2010 diberikan kepada 48 UPP yang dinilai masuk dalam predikat “baik”; dan (c) Penghargaan berupa Piagam Madya Citra Pelayanan Prima Tahun 2010 diberikan kepada 72 UPP yang dinilai berpredikat “cukup baik”. Pada tahun 2011, penilaian akan dilakukan terhadap pemerintah daerah melalui Citra Bakti Abdi Negara (CBAN). 2 - 15 Selanjutnya, saat ini sedang disusun dan dirumuskan Rancangan Perpres tentang Mekanisme dan Ketentuan Pembayaran Ganti Rugi Dalam Pelayanan Publik sebagai amanah Pasal 50 ayat (8) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. R-Perpres ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi penyelenggara dan penerima pelayanan publik dalam pemberian ganti rugi serta mewujudkan kepastian dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Disamping itu, sedang disusun dan dirumuskan Petunjuk Teknis tentang Penyusunan, Penetapan dan Penerapan Standar Pelayanan Publik. Petunjuk Teknis ini sebagai acuan atau panduan bagi Penyelenggara dalam menyusun, menetapkan, dan menerapkan standar pelayanan. Upaya-upaya lainnya yang ditempuh adalah (a) Mendorong terbentuknya Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota; (b) telah dilakukan survey Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) di 16 Provinsi/Kabupaten dan Kota; dan (c) sedang di bangun Sistem Manajemen Mutu dalam rangka meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik. Penegakan hukum. Pada penanganan kasus tindak pidana korupsi, sampai dengan saat ini walaupun telah dilakukan berbagai langkah dalam pemberantasan korupsi namun tidak dapat dipungkiri masih terdapat hambatan baik dalam hal kerjasama antar aparat penegak hukum maupun dari segi implementasi peraturan perundang-undangan. Pemerintah telah menetapkan Inpres No. 9 Tahun 2011 yang merupakan bentuk rencana aksi Kementerian Lembaga dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Berbagai upaya pencegahan dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terus dilakukan dalam membangun integritas dan akuntabilitas Penyelenggara Negara melalui transparansi harta kekayaan kepada public dan pemeriksaan LHKPN yang efektif. Sampai dengan bulan Juni 2011, KPK telah menerima laporan LHKPN sebanyak 126.717 laporan dari total wajib lapor LHKPN 2 - 16 sebanyak 170.858. Dari jumlah laporan tersebut, KPK telah melakukan klarifikasi terhadap 317 Penyelenggaran Negara. Selain pelaporan LHKPN, dalam rangka pencegahan pemberantasan korupsi, KPK juga telah membentuk Pusat Pengendalian Gratifikasi (PPG) di setiap instansi yang bertujuan agar pelaporan gratifikasi yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dapat dilakukan dan akan meminimalisir terjadinya bentuk-bentuk korupsi yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara. Sampai dengan saati ini, KPK telah melakukan penanganan terhadap 716 laporan gratifikasi yang kemudian ditetapkan statusnya menjadi milik negara ataupun sebagai milik penerima. Data Kependudukan. Dalam penataan data kependudukan yang absah dan mutakhir, langkah-langkah yang dilakukan dan hasilhasil yang dicapai, antara lain: (i) Untuk penerapan KTP elektrik (eKTP) di 197 Kabupaten/Kota pada tahun 2011, saat ini telah ditetapkan pemenang tender dan telah dilaksanakan supervisi pada kabupaten/kota terkait dengan penerapan e-KTP; (ii) Dalam rangka mendukung penerapan e-KTP, telah di terbitkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 471.13/1515/SJ tanggal 27 April 2011 perihal Dukungan APBD untuk Operasional Penerapan KTP Elektronik Tahun 2011 dan Surat Edaran Mendagri No. 471.13/1565A/SJ tanggal 29 April 2011 perihal Penerbitan NIK Tahun 2011 dan Pemantapan Persiapan Penerapan KTP Elektronik Tahun 2012; (iii) Telah dilaksanakan Rakernas Penerapan e-KTP pada tanggal 10 – 12 April dan 16 – 18 Juni 2011; dan (iv) Di tahun 2011 telah diterbitkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) di 497 Kabupaten/Kota (329 di 2010 dan 168 di 2011) dan Permendagri Nomor 9 Tahun 2011 tentang Pedoman Penerbitan KTP Berbasis NIK Secara Nasional. 2 - 17 2.1.3. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN Berdasarkan permasalahan yang masih dihadapi, kebijakan dan hasil-hasil yang telah dicapai saat ini, maka masih diperlukan upaya-upaya untuk menyelesaikan permasalahan, dan meningkatkan keberhasilan yang sudah dicapai sebelumnya serta melakukan penajaman pelaksanaan reformasi birokrasi dan tata kelola, sebagaimana di bawah ini. a. Penataan Kelembagaan 1) Penguatan sistem reformasi birokrasi untuk memberikan acuan yang kuat yang bersifat sistemik dan komprehensif, baik secara legalitas formal maupun secara teknis dalam setiap tahapan pelaksanaan reformasi birokrasi secara keseluruhan. Langkah-langkah yang dilakukan antara lain: a) Melanjutkan perluasan dan pemantapan RB di K/L dan juga memulai upaya RB di daerah. b) Merancang instrumen monitoring dan evaluasi yang mampu menilai dan mengukur kemajuan pelaksanaan program RB pada K/L dan Pemda. c) Memperkuat kapasitas K/L dan Pemda dalam pelaksanaan RB. d) Mendorong inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. e) Mendorong dilakukannya pertukaran pengetahuan (knowledge sharing/ management) antara K/L dan Pemda. f) Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan RB. 2) Melanjutkan dan melakukan penajaman dalam penataan kelembagaan untuk menjamin terbangunnya organisasi pemerintah pusat dan daerah yang rasional dan proporsional sehingga mampu melaksanakan seluruh tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan serta pelayanan masyarakat secara efektif, efisien, dan optimal. Adapun tindak lanjut yang dilakukan, sebagai berikut : 2 - 18 a) Penyempurnaan peraturan dan penataan organisasi Lembaga Pemerintah Non Kementerian, sebagai kelanjutan penataan organisasi Kementerian Negara yang telah ditata berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dan peraturan pelaksanaannya, termasuk didalamnya mengenai hubungan fungsional antara Kementerian dengan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) dan Pemerintah Daerah. Hal ini dimaksudkan agar kelembagaan LPNK dan Kementerian dapat lebih sinergis, efisien dan efektif dalam menjalankan tugas pemerintahan dan pembangunan; b) Penyusunan grand design sistem kelembagaan sebagai ketentuan payung (umbrella provision) yang memuat format dasar kelembagaan pemerintah dan menjadi acuan keseluruhan jenis kelembagaan pemerintah, baik kementerian negara, lembaga pemerintah non kementerian, lembaga setingkat kementerian, kesekretariatan lembaga negara, lembaga nonstruktural, dan instansi pemerintah lainnya; c) Evaluasi dan penataan organisasi Lembaga Non Struktural (LNS) termasuk organisasi kesekretariatan pendukungnya (Sekretariat Lembaga Negara) sebagai upaya menempatkan LNS ke dalam posisi dan peran yang tepat sehingga pelaksanaan tugas dan fungsinya akan lebih efektif dan efisien; d) Evaluasi dan penataan Organisasi Perangkat Daerah guna menyusun kelembagaan organisasi satuan kerja perangkat daerah yang lebih proporsional, efektif, dan efisien serta benar-benar sesuai dengan kebutuhan nyata daerah. b. Penataan Otonomi Daerah 1) Berkaitan dengan penataan otonomi daerah khususnya pembatasan pemekaran daerah, maka (a) perlu dilakukan sosialisasi, diseminasi dan kajian usulan berdasarkan 2 - 19 Desartada dan PP Nomor 78 Tahun 2007 kepada Pemerintah Daerah. (b) Perlu dilakukan proses penyelarasan dalam revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan Desartada dalam hal penataan daerah. (c) Perlu dilakukannya konsolidasi dengan pakar dan stakeholders mengenai beberapa isu-isu krusial RUU Pilkada. 2) Sedangkan dalam pembenahan dan penyempurnaan pengelolaan keuangan daerah, maka diperlukan tindak lanjut antara lain: (a) Terkait permasalahan DAK, akan dioptimalkan koordinasi pengalokasian DAK ke daerah dan perlu ditingkatkan asistensi pembinaan dan pengawasan pelaksanaan DAK agar sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dari kementerian teknis. (b) Peningkatan frekuensi dan kualitas pembinaan dan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan daerah perlu dilaksanakan untuk mendorong pemerintahan daerah agar meningkatkan proporsi belanja langsung dengan berpedoman pada Permendagri No 22 Tahun 2011 tentang Pedoman penyusunan APBD Tahun Anggaran 2012. (c) Pengefektifan proses asistensi dan pembinaan/pengawasan penyusunan APBD Provinsi dan pelaksanaan/pertanggungjawaban APBD (d) Perlu diadakan perbaikan proses recruitment personalia yang membidangi masalah keuangan daerah dan peningkatan kapasitas melalui training dan pelatihan. c. Sumber Daya Manusia Aparatur 1) Tindak lanjut penataan SDM aparatur diarahkan untuk mengembangkan dan melaksanakan sistem manajemen kepegawaian yang berbasis kinerja atau berorientasi kepada sistem merit yang mencakup seluruh aspek pembinaan mulai dari penetapan formasi, 2 - 20 2) 3) 4) 5) 6) d. rekruitmen/seleksi, diklat, promosi, remunerasi, penegakan disiplin serta peraturan termasuk peningkatan tertib administrasi kepegawaian. Mempercepat penyelesaian penyempurnaan berbagai kebijakan berupa peraturan perundang-undangan di bidang SDM Aparatur . Pengendalian jumlah, distribusi dan komposisi PNS melalui pengendalian formasi termasuk penyempurnaan sistem rekruitmen dan seleksi pegawai secara obyektif, adil/tidak diskriminatif dan transparan serta bebas KKN. Penataan pegawai, guna menjamin jumlah dan kualifikasi pegawai di masing-masing unit kerja sesuai dengan kebutuhan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien dan produktif. Di samping itu ditempuh pula penyempurnaan sistem remunerasi agar memenuhi prinsip adil, layak dan transparan sesuai dengan beban kerja dan tanggung jawabnya, guna mendorong terbentuknya PNS yang profesional dan produktif. Pembangunan dan penerapan sistem manajemen kepegawaian yang berorientasi pada prestasi kerja (kinerja), dalam rangka mendorong peningkatan profesionalisme, kinerja dan akuntabilitas PNS. Selain itu, untuk meningkatkan kapasitas dan kinerja PNS akan ditempuh pengembangan sistem diklat yang berbasis kompetensi guna mendukung pelaksanaan manajemen kepegawaian yang berbasis kinerja. Perbaikan system manajemen kepegawaian juga dilakukan melalui pengembangan system informasi kepegawaian berbasis TIK. Peningkatan integritas, netralitas, etika dan disiplin serta perlindungan hukum PNS melalui pelaksanaan PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS secara konsisten. Regulasi Tindaklanjut yang masih di perlukan dalam penyempurnaan regulasi adalah pengkajian terhadap 4500 peraturan daerah 2 - 21 akan tetap dilaksanakan sampai dengan tahun 2011. Selain pengkajian terhadap Peraturan Daerah harmonisasi peraturan perundangan bersama instansi terkait akan di laksanakan secara kontinu. e. Sinergi Pusat dan Daerah 1) Sinergi pusat dan daerah dalam peningkatan kualitas pelayanan publik, akan difokuskan pada upaya menerbitkan landasan hukum agar terwujud kepastian dalam penyelenggaraan pelayanan publik; meningkatkan kualitas manajemen pelayanan; melakukan penataan kelembagaan pelayanan; dan mendorong inovasi pelayanan pada lingkungan pemerintahan daerah, serta mengembangkan sistem pengaduan masyarakat dalam pelayanan publik yang efektif. 2) Mempercepat penyusunan peraturan perundang-undangan mengenai peningkatan kualitas pelayanan publik, khususnya peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. 3) Perlu dilakukan pendalaman substansi pelayanan dasar pada urusan wajib yang akan dituangkan dalam materi dalam Revisi UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah 4) Perlu dilakukan koordinasi secara kontinyu dengan sektor dalam rangka pemantauan perkembangan penerapan SPM di daerah. 5) Sosialisasi sekaligus bimbingan teknis terhadap penerapan kualitas pelayanan pada instansi pemerintah pusat maupun daerah, dan meningkatkan kapasitas, profesionalisme dan integritas SDM pelayanan publik. 6) Meningkatkan koordinasi pada instansi pemerintah dalam rangka menyederhanakan prosedur persyaratan, waktu, dan biaya dalam pelayanan perijinan di bidang investasi dan pelayanan sipil. Pada saat bersamaan juga dilaksanakan evaluasi dan penilaian terhadap pemerintah daerah dan unit pelayanan publik dengan tujuan menilai kualitas kinerja pelayanan publik instansi pemerintah. 2 - 22 f. Penegakan Hukum 1) Meningkatkan koordinasi antara lembaga penegak hukum sehingga dapat melakukan kerjasama yang baik dalam penanganan kasus-kasus korupsi. 2) Meningkatkan integritas aparatur penegak hukum melalui peningkatan kualitas pengembangan SDM di masingmasing lembaga penegak hukum. g. Data Kependudukan 1) Perluasan Penerapan KTP Elektronik yang dilengkapi biometrik dan chip di 300 Kabupaten/Kota melanjutkan tahun 2011 yang diterapkan di 197 Kab/Kota, sehingga pada akhir tahun 2012 penerapan KTP Elektronik sudah dilakasanakan di seluruh Kab/Kota di seluruh Indonesia. 2) Melakukan sosialisasi secara luas dalam upaya merubah budaya masyarakat yang pasif menjadi masyarakat yang aktif dalam melaksanakan kewajibannya untuk melaporkan dan mencatatkan diri penduduk bersangkutan dan keluarganya atas peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialaminya dengan memberikan data diri penduduk yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. 3) Menyiapkan SOP secara menyeluruh yang berkaitan dengan bisnis proses pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, dan penyelenggaraan SIAK bagi aparat pusat dan daerah. 2.2 PRIORITAS NASIONAL 2 : PENDIDIKAN Pembangunan pendidikan merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Upaya tersebut sejalan dengan salah satu tujuan berdirinya Negara Republik Indonesia yang diabadikan dalam Pembukaan Konstitusi, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. 2 - 23 Untuk mengejawantahkan cita-cita tersebut, pemerintah mengembangkan berbagai kebijakan yang diharapkan dapat meningkatkan perluasan, pemerataan akses, dan mutu pendidikan. 2.2.1. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI Permasalahan pembangunan pendidikan adalah: (1) masih terbatasnya kesempatan memperoleh pendidikan; (2) rendahnya kualitas, relevansi, dan masih rendahnya daya saing pendidikan; (3) masih rendahnya profesionalisme guru dan belum meratanya distribusi guru; (4) terbatasnya kualitas sarana dan prasarana pendidikan; (5) belum efektifnya manajemen dan tatakelola pendidikan; dan (6) belum terwujudnya pembiayaan pendidikan yang berkeadilan; serta rendahnya budaya baca masyarakat karena masih dominannya budaya lisan di masyarakat dan minimnya ketersediaan sumber bacaan dalam pemenuhan kebutuhan informasi dan ilmu pengetahuan. Adapun tantangan pembangunan pendidikan adalah: Pertama, menyelesaikan permasalahan akses dan kualitas pendidikan yang meliputi: (1) meningkatkan pemerataan akses terhadap pendidikan semua jenjang, termasuk akses terhadap pendidikan agama dan pendidikan keagamaan; (2) meningkatkan tingkat keberaksaraan; (3) meningkatkan kesiapan anak bersekolah; (4) meningkatkan kemampuan kognitif, karakter, dan soft-skill lulusan; (5) meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan menengah; (6) meningkatkan kualitas, relevansi dan daya saing pendidikan tinggi termasuk kualitas penelitiannya; dan (6) meningkatkan kualitas pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Kedua, tantangan pembangunan pendidikan terkait masalah ketenagaan, sarana dan prasarana yang meliputi: (1) meningkatkan pemerataan distribusi guru; (2) meningkatkan kualifikasi akademik dan profesionalisme guru; (3) mempercepat penuntasan rehabilitasi gedung sekolah dan ruang kelas yang rusak; (4) meningkatkan ketersediaan buku mata pelajaran; (5) meningkatkan ketersediaan 2 - 24 dan kualitas laboratorium dan perpustakaan; dan (6) meningkatkan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pendidikan. Ketiga, tantangan untuk mewujudkan manajemen, tatakelola, serta pembiayaan pendidikan yang berkeadilan yang meliputi: (1) meningkatkan manajemen, tatakelola, dan kapasitas lembaga penyelenggara pendidikan; (2) mendorong otonomi perguruan tinggi; (3) meningkatkan kemitraan publik dan swasta; (4) mewujudkan alokasi dan mekanisme penyaluran dana yang efisien, efektif, dan akuntabel; dan (5) menyelenggarakan pendidikan dasar bermutu yang terjangkau bagi semua. 2.2.2. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASILHASIL YANG DICAPAI Berdasarkan permasalahan di atas, maka pembangunan pendidikan diarahkan untuk: (1) peningkatan kualitas wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang merata; (2) peningkatan akses, kualitas, dan relevansi pendidikan menengah; (3) peningkatan kualitas, relevansi, dan daya saing pendidikan tinggi; (4) peningkatan profesionalisme dan pemerataan distribusi guru dan tenaga kependidikan; (5) peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan non-formal; (6) peningkatan minat dan budaya gemar membaca masyarakat; (6) peningkatan akses dan kualitas pendidikan anak usia dini, yang holistik dan integratif; (7) peningkatan kualitas pendidikan agama dan keagamaan; (8) pemantapan pelaksanaan sistem pendidikan nasional; (9) peningkatan efisiensi dan efektivitas manajemen pelayanan pendidikan; (10) penguatan sistem evaluasi, akreditasi dan sertifikasi termasuk sistem pengujian dan penilaian pendidikan; (11) penyusunan peraturan perundang-undangan yang menjamin tercapainya pendidikan dasar sembilan tahun yang bermutu dan terjangkau; (12) peningkatan ketersediaan dan kualitas sarana dan prasarana pendidikan; (13) peningkatan penerapan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di bidang pendidikan; (14) peningkatan karakter bangsa peserta didik; (15) 2 - 25 peningkatan pemanfaatan potensi perpustakaan dan pertumbuhan semua jenis perpustakaan; dan (16) peningkatan sarana- prasarana dan jumlah bahan pustaka. Peningkatan akses dan kualitas pelayanan pendidikan tersebut juga ditujukan untuk mengurangi kesenjangan taraf pendidikan antarwilayah, gender, dan antartingkat sosial ekonomi dengan meningkatkan: (a) pemihakan pada siswa dan mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin melalui pemberian bantuan beasiswa bagi siswa dan mahasiswa miskin; (b) pemihakan kebijakan bagi daerah dan satuan pendidikan yang tertinggal (underprivileged); (c) pengalokasian sumberdaya yang lebih memihak kepada daerah dan satuan pendidikan yang tertinggal; (d) pemihakan kebijakan pendidikan yang responsif gender di seluruh jenjang pendidikan; (e) pengembangan instrumen untuk memonitor kesenjangan antarwilayah, gender, dan antartingkat sosial ekonomi; dan (f) peningkatan advokasi dan capacity building bagi daerah dan satuan pendidikan yang tertinggal. Langkah tersebut telah berhasil meningkatkan taraf pendidikan penduduk yang ditunjukan dengan membaiknya angka partisipasi murni (APM) jenjang SD/MI/sederajat yang telah mencapai 95,41 persen; APK pada jenjang SMP/MTs/sederajat yang telah mencapai 98,20 persen; dan APK pada jenjang pendidikan menengah 70,53 persen, serta APK pendidikan tinggi yang mencapai 26,34 persen. Di samping itu, pembangunan pendidikan telah mampu menurunkan angka buta aksara penduduk usia 15 tahun keatas dari 10,2 persen pada tahun 2004 menjadi 5,3 persen pada tahun 2009. Kemajuan penting lainnya adalah dalam hal peningkatan keadilan dan kesetaraan gender dalam hal akses terhadap pelayanan pendidikan yang ditunjukkan oleh indeks paritas gender APM atau APK yang sudah mencapai angka sekitar 1,0 untuk semua jenjang pendidikan. Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat miskin dalam menyekolahkan anaknya telah disediakan beasiswa bagi siswa 2 - 26 miskin untuk semua jenjang pendidikan. Penyediaan beasiswa siswa miskin ini sudah dimulai sejak tahun 2005 dan cakupannya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Berbagai upaya tersebut telah berhasil menurunkan angka putus sekolah siswa SD dari 1,7 persen pada tahun 2009 menjadi 1,5 persen pada tahun 2010. Angka melanjutkan sekolah dari jenjang SD ke SMP juga mengalami meningkat dari 90 persen menjadi 91,4 persen pada periode yang sama. Disamping itu, pada tahun 2010 juga telah dilaksanakan program pemberian makanan tambahan bagi anak sekolah (PMTAS) yang mencakup 1,38 juta siswa TK/RA/SD/MI terutama yang berada di daerah terpencil dan terluar. Seiring dengan meningkatnya partisipasi pendidikan, mutu pendidikan juga mengalami perbaikan yang didukung antara lain melalui peningkatan proporsi guru yang memenuhi kualifikasi akademik S1/D4 dari 50,77 persen pada tahun 2009 menjadi 58,9 persen pada tahun 2010 dan yang memiliki sertifikasi pendidik dari 17,89 persen pada tahun 2009 menjadi 34,0 persen pada tahun 2010. Di samping itu, sejak tahun 2011 penentuan kelulusan siswa tidak lagi hanya berdasarkan atas capaian hasil UN, tetapi juga mempertimbangkan hasil evaluasi selama bersekolah. Pemerintah menggunakan hasil pemetaan mutu tersebut untuk memfasilitasi daerah yang kompetensi lulusannya rendah dalam bentuk bantuan khusus peningkatan mutu pendidikan. Kualitas pendidikan tinggi mengalami kemajuan yang ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah perguruan tinggi Indonesia yang masuk kelas dunia. Pada tahun 2010, tujuh PTN, yaitu UI, UGM, UNAIR, ITB, UNPAD, IPB, dan UNDIP masuk dalam daftar 200 universitas terbaik Asia. Dalam rangka mendukung kualitas pendidikan, upaya pengembangan budaya baca dan pembinaan perpustakaan telah berhasil menyelenggarakan layanan perpustakaan berbasis teknologi informasi dan komunikasi serta 2 - 27 pengembangan e-library di 35 perpustakaan, serta menyediakan layanan koleksi digital melalui e-resources. Dalam rangka meningkatkan akses dan pemerataan, serta kualitas pendidikan, telah dilakukan upaya peningkatan anggaran pendidikan secara terus menerus, yaitu dari sebesar Rp 225,2 triliun pada tahun 2010 menjadi Rp 266,9 triliun pada tahun 2011, yang sebagian besar dialokasikan melalui Transfer Daerah sebesar Rp 127,7 trilyun pada tahun 2010 dan Rp 159,0 triliun pada tahun 2011. 2.2.3. TINDAKLANJUT YANG DIPERLUKAN Dengan memperhatikan pencapaian dan beberapa permasalahan yang masih dihadapi, maka diperlukan tindaklanjut sebagai berikut: (1) meningkatkan kualitas wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang merata; (2) meningkatkan akses, kualitas, dan relevansi pendidikan menengah; (3) meningkatkan kualitas, relevansi, dan daya saing pendidikan tinggi; (4) meningkatkan profesionalisme dan pemerataan distribusi guru dan tenaga kependidikan; (5) meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan non-formal; (6) peningkatan minat dan budaya gemar membaca masyarakat; (6) meningkatkan akses dan kualitas pendidikan anak usia dini, yang holistik dan integratif; (7) meningkatkan kualitas pendidikan agama dan keagamaan; (8) memantapkan pelaksanaan sistem pendidikan nasional; (9) meningkatkan efisiensi dan efektivitas manajemen pelayanan pendidikan; (10) penguatan sistem evaluasi, akreditasi dan sertifikasi termasuk sistem pengujian dan penilaian pendidikan; (11) menyusun peraturan perundang-undangan yang menjamin tercapainya pendidikan dasar sembilan tahun yang bermutu dan terjangkau; (12) peningkatan ketersediaan dan kualitas sarana dan prasarana pendidikan; (13) meningkatkan penerapan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di bidang pendidikan; (14) meningkatkan karakter bangsa peserta didik; (15) meningkatkan pemanfaatan potensi perpustakaan dan pertumbuhan 2 - 28 semua jenis perpustakaan; dan (16) meningkatkan sarana- prasarana perpustakaan dan jumlah bahan pustaka. 2.3 PRIORITAS NASIONAL 3: KESEHATAN Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal melalui upaya peningkatan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang. Pembangunan kesehatan merupakan salah satu upaya utama untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang pada gilirannya mendukung percepatan pencapaian sasaran pembangunan nasional yang dititikberatkan pada pendekatan promotif dan preventif, tidak hanya kuratif serta rehabilitatif. Pendekatan tersebut secara keseluruhan diharapkan dapat meningkatkan angka harapan hidup menjadi 72,0 tahun pada tahun 2014 sekaligus dalam pencapaian sasaran tujuan pembangunan milenium (MDGs) kesehatan tahun 2015. 2.3.1 PERMASALAHAN YANG DIHADAPI Pembangunan kesehatan yang telah dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan sepanjang periode 2009-2010 telah berhasil meningkatkan status kesehatan masyarakat dengan cukup bermakna. Namun, dalam pelaksanaannya ditemukan beragam permasalahan dalam peningkatan status kesehatan, antara lain mencakup: masih tingginya angka kematian ibu dan anak, masih tingginya prevalensi kasus penyakit menular, sumber daya manusia kesehatan masih terbatas, masih terbatasnya ketersediaan, keterjangkauan, dan pemerataan obat, pembiayaan kesehatan untuk memberikan jaminan perlindungan kesehatan masyarakat masih terbatas, dan masih rendahnya akses masyarakat terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang berkualitas. 2 - 29 Dalam bidang pembangunan keluarga berencana, permasalahan yang dihadapi, mencakup: masih tingginya angka kelahiran total/total fertility rate (TFR), masih rendahnya angka pemakaian kontrasepsi (contraceptive prevalence rate/CPR), masih tingginya kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi pada pasangan usia subur/PUS (unmet need), kurangnya pengetahuan dan kesadaran pasangan usia subur dan remaja tentang hak-hak reproduksi dan kesehatan reproduksi, serta melemahnya kelembagaan KB pasca desentralisasi. 2.3.2 LANGKAH-LANGKAH HASILYANG DICAPAI KEBIJAKAN DAN HASIL- Langkah-langkah kebijakan yang telah ditempuh untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam pembangunan kesehatan, antara lain adalah: (1) peningkatan kesehatan ibu, bayi, dan balita; (2) peningkatan kualitas dan jangkauan layanan KB; (3) penurunan prevalensi kasus penyakit menular; (4) pengembangan sumber daya manusia kesehatan; (5) peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemerataan obat; (6) pengembangan sistem pembiayaan jaminan kesehatan; dan (7) peningkatan pelayanan kesehatan primer, sekunder dan tersier. Adapun hasil-hasil pembangunan bidang kesehatan, antara lain: (1) meningkatnya pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan menjadi 82,2 persen; (2) meningkatnya cakupan imunisasi lengkap anak balita yang mencapai 53,8 persen; (3) meningkatnya jumlah peserta KB baru mencapai 50,3 persen; (4) persentase kasus baru tuberkulosis (TB) paru (BTA positif) yang ditemukan dan yang disembuhkan masing-masing mencapai 78,3 persen dan 91,2 persen; (5) angka penemuan kasus malaria (annual parasite index/API) mencapai 1,96 per 1.000 penduduk; (6) meningkatnya pengiriman tenaga kesehatan PTT untuk DTPK dan Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK) sebanyak 32.978 orang yang terdiri dari dokter umum sebanyak 3.254 orang, dokter gigi 904 orang, dokter gigi 2 - 30 spesialis 20 orang dan bidan sebanyak 10.175 orang; (7) meningkatnya ketersediaan obat dan vaksin di sarana pelayanan kesehatan mencapai 82 persen; (8) peningkatan cakupan jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) dan jaminan kesehatan daerah (jamkesda) bagi penduduk miskin di puskesmas dan jaringannya; (9) meningkatnya jumlah rumah sakit pemerintah menjadi 755 rumah sakit, rumah sakit swasta menjadi 768 rumah sakit; dan (10) meningkatnya rasio tempat tidur (TT) rumah sakit terhadap penduduk menjadi 70,74 TT per 100.000 penduduk. Pencapaian-pencapaian pembangunan kesehatan diatas merupakan hasil pelaksanaan dari langkah-langkah kebijakan yang dirumuskan berdasarkan dari permasalahan kesehatan yang dihadapi selama ini. 2.3.3 TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN Dengan memperhatikan permasalahan dan hasil capaian pembangunan kesehatan, maka tindak lanjut yang diperlukan mencakup: (1) peningkatan kesehatan ibu, bayi dan balita yang menjamin continuum of care; (2) peningkatan kualitas dan jangkauan layanan KB melalui revitalisasi program KB, yang ditekankan pada penguatan akses dan kualitas pelayanan KB; (3) perbaikan status gizi masyarakat; (4) pengendalian penyakit menular serta penyakit tidak menular, diikuti penyehatan lingkungan; (5) peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, pemerataan, mutu dan penggunaan obat serta pengawasan obat dan makanan; (6) pengembangan sistem pembiayaan jaminan kesehatan; dan (7) peningkatan upaya kesehatan yang menjamin terintegrasinya pelayanan kesehatan primer, sekunder dan tersier. 2 - 31 2.4 PRIORITAS NASIONAL KEMISKINAN 4: PENANGGULANGAN Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, agenda pembangunan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Upaya ini dilakukan melalui 4 (empat) jalur strategi, yaitu pro-growth, pro-job, pro-poor dan pro-environment. Keberhasilan pelaksanaan keempat jalur strategi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat salah satunya dapat dilihat dari indikator penurunan angka kemiskinan. Oleh sebab itu, dalam agenda pembangunan setiap tahunnya, penanggulangan kemiskinan selalu menjadi prioritas yang harus dilaksanakan secara berkesinambungan. Berbagai upaya yang terkoordinasi telah dilakukan dalam rangka penanggulangan kemiskinan mengingat bahwa penurunan angka kemiskinan merupakan muara dari hasil kerja keras pembangunan di bidang ekonomi sosial dan budaya baik di pusat maupun di daerah. Selain itu, berbagai kebijakan pertumbuhan yang pro-poor dan pro-job serta kebijakan affirmative/keberpihakan kepada masyarakat miskin juga semakin ditingkatkan untuk mempercepat upaya penanggulangan kemiskinan. 2.4.1. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI Angka kemiskinan menunjukkan adanya penurunan yang terus menerus dari tahun ke tahun. Namun demikian, secara absolut, jumlah penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan masih relatif cukup besar, yaitu sebesar 30,02 juta jiwa sehingga masih perlu kerja keras untuk menurunkan jumlah penduduk miskin. Selain itu, terjadi kecenderungan pelambatan dalam penurunan angka kemiskinan dari tahun ke tahun. Walaupun penurunan angka kemiskinan tahun 2010-2011 sedikit mengalami peningkatan yaitu 0,84 persen dibandingkan 0,82 persen pada tahun 2009-2010, angka ini masih jauh dari keberhasilan penurunan angka kemiskinan pada tahun 2008-2009 yang mencapai 1,7 persen. Di lain pihak, jumlah 2 - 32 penduduk miskin yang rentan untuk jatuh ke bawah garis kemiskinan juga meningkat. Berdasarkan hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2008, jumlah Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) dan Rumah Tangga Miskin (RTM) telah mengalami penurunan yaitu menjadi 9,8 juta dari 12,13 juta pada tahun 2005. Akan tetapi jumlah Rumah Tangga Hampir Miskin (RTHM) meningkat menjadi 7,66 juta jiwa pada tahun 2008 dari 6,97 juta jiwa pada tahun 2005. Hal ini menunjukkan terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin, walaupun mereka masih sangat rentan terhadap terjadinya gejolak ekonomi maupun sosial. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat miskin ini juga ditandai dengan makin berkurangnya selisih antara rata-rata pendapatan masyarakat miskin dengan garis kemiskinan, yaitu dilihat dari menurunnya tingkat kedalaman kemiskinan dari 2,21 pada tahun 2010 menjadi 2,08 pada tahun 2011, serta semakin berkurangnya kesenjangan antar masyarakat miskin dilihat dari menurunnya tingkat keparahan kemiskinan yang menjadi 0,55 pada tahun 2011, dari 0,58 tahun 2010. Namun demikian, gambaran tersebut masih menunjukkan bahwa peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin masih belum dapat mengangkat mereka ke atas garis kemiskinan, sehingga masih perlu upaya-upaya yang lebih terfokus dalam penanggulangan kemiskinan. Beberapa permasalahan masih ditemui dalam upaya penanggulangan kemiskinan untuk mengangkat masyarakat miskin keluar dari garis kemiskinan, diantaranya adalah: (1) tingginya laju inflasi year on year (Juni 2011 terhadap Juni 2010) sebesar 5,54 persen dengan sumbangan dari kelompok bahan makanan sebesar 0,3 persen, merupakan yang tertinggi dibandingkan kelompok lainnya. Hal ini sangat berpengaruh terhadap daya beli masyarakat miskin, dan karena komoditi makanan menyumbang sebesar 73,52 persen terhadap garis kemiskinan, maka hal ini menyebabkan angka kemiskinan tidak dapat berkurang secara cepat; (2) semakin banyaknya masyarakat yang rentan untuk jatuh miskin dan di lain 2 - 33 pihak masih terdapat program/kegiatan penanggulangan kemiskinan yang menjadi tidak tepat sasaran baik karena pendataan yang sudah tidak akurat dengan kondisi riil di lapangan, ataupun karena adanya permasalahan dalam pelaksanaan program/kegiatan. Saat ini, data untuk pelaksanaan program bantuan sosial masih menggunakan pendataan PPLS tahun 2008 yang sudah banyak berbeda dengan kondisi di lapangan. sehingga mempengaruhi keakuratan data penerima program. Di lain pihak, berbagai program bantuan sosial memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga memerlukan pendataan yang spesifik yang selama ini belum dilakukan, baik oleh BPS atau pun lembaga lain; (3) masih rendahnya pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakat miskin seperti pendidikan, kesehatan dan perumahan, karena ketidakterjangkauan mereka dalam mengakses pelayanan dasar akibat dari keterbatasan ekonomi maupun geografis; (4) masih terbatasnya kesempatan berusaha dan bekerja yang dapat menjadi sarana peningkatan pendapatan masyarakat miskin, yang diantaranya disebabkan oleh masih belum berkembangnya iklim usaha yang kondusif di daerah, sehingga belum mampu menarik investasi lokal serta belum meluasnya budaya usaha di masyarakat. Di lain pihak, keterbatasan masyarakat miskin maupun UMKM dalam mengakses permodalan juga menjadi salah satu penghambat kesempatan berusaha, diantaranya karena jangkauan kredit usaha rakyat (KUR) masih terbatas, terutama kepada UMKM di sektor-sektor produktif seperti pertanian, perikanan, peternakan dan industri pengolahan. Hal ini di satu sisi disebabkan kelayakan UMKM di sektor-sektor tersebut yang masih rendah, di sisi lain disebabkan oleh persepsi resiko kredit yang tinggi dari perbankan dan keterbatasan informasi. Kurangnya sosialisasi mengenai KUR juga menyebabkan masyarakat belum memiliki pemahaman mengenai KUR yang lengkap. Penyediaan bantuan dana bagi UMKM juga belum mampu meningkatkan akses UMKM kepada sumber permodalan yang sesuai dengan kebutuhan mereka, khususnya untuk usaha baru; (5) masih belum optimalnya pelibatan 2 - 34 masyarakat miskin dalam pelaksanaan berbagai program/kegiatan penanggulangan kemiskinan, bahkan di beberapa tempat semakin termarjinalkan karena ketidakjelasan status tempat tinggal. Akibatnya masih terdapat masyarakat miskin yang belum dapat merasakan manfaat program penanggulangan kemiskinan secara optimal; (6) masih kurang efektifnya penyelenggaraan bantuan dan jaminan sosial, serta masih terbatasnya jumlah dan kapasitas sumber daya manusia, seperti tenaga lapangan yang terdidik dan terlatih serta memiliki kemampuan pelayanan kesejahteraan sosial. Selain itu, kendala administrasi kependudukan, birokrasi yang rumit serta mekanisme yang kurang dipahami menjadi permasalahan dalam pelaksanaan program bantuan sosial; dan (7) masih kurangnya koordinasi dalam pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan baik di tingkat pusat, daerah maupun antara pusat dan daerah. Hal ini menyebabkan tidak bersinerginya pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan, keterlambatan penerima manfaat dalam menikmati manfaat program/kegiatan, dan penggunaan anggaran program/kegiatan menjadi tidak efisien. Selain permasalahan tersebut di atas, penanggulangan kemiskinan juga menghadapi permasalahan dalam pembangunan Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB) yang memiliki peran strategis dalam upaya mewujudkan penduduk tumbuh seimbang dan meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Upaya pelaksanaan program KKB untuk terbentuk keluarga kecil, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup anak dan keluarga, sehingga mendukung upaya penanggulangan kemiskinan, masih menghadapi berbagai permasalahan. Permasalahan dan tantangan program KKB dalam rangka mendukung penanggulangan kemiskinan adalah upaya untuk meningkatkan dan mempertahankan angka kesertaan ber-KB bagi masyarakat miskin, terutama yang tersebar di daerah-daerah tertinggal, terpencil, dan perbatasan. Selain itu, tingkat pendidikan masyarakat yang rendah disertai minimnya pemahaman akan kesehatan reproduksi juga menjadi kendala dalam 2 - 35 upaya menurunkan angka kelahiran pada masyarakat miskin mengingat jumlah anak pada kelompok tersebut lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang lebih sejahtera. 2.4.2. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN HASIL YANG DICAPAI DAN HASIL- Secara makro, berbagai langkah telah dilakukan untuk mendukung upaya keberlanjutan penurunan kemiskinan, diantaranya adalah dengan menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi yang positif pada triwulan I tahun 2011 dibandingkan dengan triwulan I tahun 2010 (y-o-y) sebesar 6,5 persen. Angka ini meningkat dilihat dari pertumbuhan ekonomi pada triwulan I tahun 2010 dibandingkan dengan triwulan I tahun 2009 (y-o-y) yang sebesar 5,7 persen. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang juga didukung dengan pelaksanaan berbagai kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan telah berhasil menurunkan angka kemiskinan menjadi 12,49 persen pada bulan Maret tahun 2011, dari 13,33 persen pada tahun 2010 (Gambar 2.4.1). GAMBAR 2.4.1 PERKEMBANGAN KEMISKINAN TAHUN 2009—2011 Sumber: BPS 2 - 36 Selain upaya untuk menjaga kestabilan di tingkat makro, berbagai upaya keberpihakan kepada masyarakat miskin atau propoor telah dilaksanakan untuk mengurangi masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Melalui Peraturan Presiden Nomor 13 tahun 2009 tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan yang kemudian diperbaharui dengan Peraturan Presiden Nomor 15 tahun 2010 telah diupayakan untuk memberikan kejelasan mengenai program-program penanggulangan kemiskinan yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok program (tiga klaster), yaitu: (i) kelompok program bantuan sosial terpadu berbasis keluarga adalah kelompok program penanggulangan kemiskinan yang diarahkan untuk mengurangi beban pengeluaran keluarga miskin serta membantu pemenuhan kebutuhan dasar bagi keluarga miskin dengan tujuan untuk memutus rantai kemiskinan dan mendukung peningkatan kualitas SDM. Termasuk dalam kelompok program ini adalah Program Keluarga Harapan (PKH), program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), program subsidi beras untuk masyarakat miskin (Raskin), dan program beasiswa siswa miskin; (ii) kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat adalah kelompok program penanggulangan kemiskinan yang diarahkan untuk meningkatkan kemandirian dan keberdayaan masyarakat miskin sehingga dapat terlibat aktif pada proses pembangunan melalui penyempurnaan dan peningkatan efektivitas pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat melalui usaha dan bekerja bersama untuk mencapai keberdayaan dan kemandirian. PNPM Mandiri terdiri dari PNPM Inti yang bertujuan untuk membangun kelompok-kelompok masyarakat yang berdaya dan PNPM Penguatan yang merupakan program-program sektoral berbasis pemberdayaan masyarakat; dan (iii) kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil dalam rangka meningkatkan akses masyarakat miskin maupun UMKM terhadap 2 - 37 sumber-sumber permodalan dan sumberdaya produktif lainnya, termasuk dana kredit untuk rakyat (KUR). Selain itu, juga terdapat program-program lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat miskin. Selanjutnya, melalui Perpres ini, juga diupayakan untuk meningkatkan sinkronisasi kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, serta harmonisasi antar pelaku dan para pihak terkait baik di pusat maupun di daerah agar efektif dalam menurunkan angka kemiskinan dan menyejahterakan masyarakat. Berikut ini adalah gambaran dari hasil-hasil pencapaian contoh kegiatan penanggulangan kemiskinan di masing-masing klaster, yaitu Program Keluarga Harapan (PKH), Raskin dan pembangunan Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB) untuk masyarakat miskin pada Klaster I, PNPM Mandiri untuk Klaster II, serta Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan UMKM untuk Klaster III yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah. 1. Program Keluarga Harapan (PKH) Program Keluarga Harapan (PKH) adalah skema bantuan tunai bersyarat (conditional cash transfer) yang diberikan bagi Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) yang memiliki ibu hamil/ibu menyusui/balita/anak usia sekolah dasar dan menengah pertama. PKH merupakan salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk menurunkan angka kemiskinan dengan sasaran rumah tangga sangat miskin (RTSM) dan melalui pendekatan pada sektor pendidikan dan kesehatan. Program Keluarga Harapan (PKH) telah dilaksanakan sejak tahun 2007. Ketidaksesuaian antara angka target dan realisasi jumlah RTSM penerima PKH karena adanya perubahan data di tingkat lapangan. Pada tahun 2011, target penerima PKH direncanakan mencapai sasaran sebanyak 1.116.000 RTSM di 25 provinsi di Indonesia (Tabel 2.4.1). Perkembangan PKH pada tahun kelima ini cukup signifikan, tidak hanya berhasil meningkatkan 2 - 38 jumlah penerima, PKH juga menyempurnakan manajemen dan mencoba berbagai inovasi dalam pelaksanaannya. Sebagai contoh, sistem online pendukung proses verifikasi komitmen telah disempurnakan pada akhir 2009 dan pembayaran berdasarkan hasil verifikasi komitmen sudah dilaksanakan mulai tahun 2010 lalu. TABEL 2.4.1 SEBARAN DAN ALOKASI PKH 2007—2012 Jumlah Target Realisasi Alokasi Tahun RTSM RTSM Dana Provinsi Kab/Kota Kecamatan Desa Penerima Penerima (RpMilyar) 2007 500.000 383.584 843 7 48 337 4.311 2008 642.000 620.755 1.006 13 70 629 7.654 2009 720.000 726.000 1.100 13 70 779 9.068 2010 816.000 772.000 1.300 20 88 954 11.080 2011 1.116.000 *) 1.610 25 118 1.351 13.641 2012 1.516.000 *) 2.084 33 166 1.551 14.336 Sumber: Kementerian Sosial Keterangan: *) masih berjalan dan rencana sehingga belum ada info realisasi akhir Dengan kemajuan yang dicapai dalam penerapan sistem online, pembayaran kepada RTSM dapat dilakukan 4 (empat) kali dalam setahun. Pengajuan pembayaran yang sudah dilakukan untuk RTSM tahap I dan II sebesar Rp 479,3 miliar. Sampai pertengahan tahun 2011, realisasi pembayaran tahap I adalah sebesar Rp217,8 miliar dari pengajuan tahap I sebesar Rp271,5 miliar atau sudah mencapai 80 persen. Adapun untuk pengajuan tahap II masih dalam proses penyaluran sehingga belum tercatat realisasinya. Diharapkan dengan beberapa pilihan metode pembayaran manfaat kepada peserta, yaitu melalui rekening bank dan giro PT. Pos, maka proses pembayaran pada tahun 2011 dapat dipercepat. Subsidi beras untuk rumah tangga miskin (Raskin) merupakan program nasional yang dilaksanakan Pemerintah untuk mengurangi beban pengeluaran Rumah Tangga Sasaran (RTS) melalui pemenuhan sebagian kebutuhan pangan pokok dalam bentuk beras. 2 - 39 Pada tahun 2010, jumlah penerima Raskin sebanyak 17,488,007 RTSM berdasarkan data hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2008 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Alokasi Raskin untuk setiap penerima yaitu 15 kg beras selama 12 bulan, dengan harga tebus beras sebesar Rp 1.600 per kg netto di titik distribusi. Sampai dengan Februari 2011, realisasi penyaluran Raskin tahun 2010 mencapai 98,67 persen. Dari total pagu Raskin sebanyak 2,97 juta ton beras, hanya 2,93 juta ton beras yang dapat disalurkan ke penerima. Meskipun demikian, realisasi penyaluran Raskin tahun 2010 lebih baik jika dibandingkan dengan realisasi Raskin tahun 2009 yang sebesar 97,74 persen. Sampai dengan Juni 2011, realisasi Raskin telah mencapai 50,87 persen (Tabel 2.4.2). TABEL 2.4.2 REALISASI PENYALURAN RASKIN 2009—2011 Tahun 2009 2010 2011*) Jumlah RTS 18.497.302 17.488.007 17.488.007 Penerima Manfaat Durasi (bulan) 12 12 12 Pagu Alokasi 3.329.514 2.972.961 3.147.841 Setahun (ton) Realisasi setahun 3.254.121 2.933.333 1.601.298 (ton) % Realisasi thd 97,74 98,67 50,87 alokasi Sumber: BULOG Keterangan:RTS = Rumah Tangga Sasaran *) sampai dengan Juli 2011 Selain PKH dan Raskin, Pemerintah juga menyelenggarakan kegiatan bantuan dan pelayanan sosial bagi anak, lanjut usia, dan penyandang cacat telantar. Hasil evaluasi PKSA (Program 2 - 40 Kesejahteraan Sosial Anak) tahun 2010, telah berhasil meningkatkan kesejahteraan anak-anak yang sebelumnya berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan, termarjinalkan dan tidak memiliki akses ke dalam sistem pelayanan sosial dasar. Beberapa kegiatan pelayanan sosial bagi lanjut usia dilaksanakan dalam bentuk pemberian Jaminan Sosial Lanjut Usia (JS-LU), bantuan kebutuhan dasar, pendampingan dan perawatan bagi lanjut usia, dan peningkatan keterampilan, serta bantuan pengembangan usaha. Untuk meningkatkan kualitas hidup dan akses, serta perlindungan sosial para penyandang cacat atau orang dengan kecacatan berat, dilaksanakan pemberian bantuan JSPC (Jaminan Sosial Penyandang Cacat) sejak tahun 2006, saat ini telah mencapai 19.500 orang. Hasil-hasil yang dicapai dalam pembangunan Kependudukan dan KB sampai dengan bulan Mei 2011, antara lain adalah peningkatan jumlah peserta KB baru yang telah mencapai sekitar 50,3 persen, yaitu sebanyak 3,6 juta peserta dari target sebanyak 7,2 juta peserta, termasuk di dalamnya peserta KB baru miskin (KPS dan KS-1) dan rentan lainnya, yaitu sebanyak 1,6 juta peserta dari target sebanyak 3,8 juta peserta; dan peserta KB baru pria sebanyak 240,8 ribu peserta. Capaian tersebut didukung pula oleh peningkatan jumlah peserta KB baru yang menggunakan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP), yaitu sebanyak 559,8 ribu peserta. Selanjutnya, pencapaian pembinaan peserta KB aktif sampai dengan bulan Mei 2011 tercatat sebanyak 33,4 juta peserta, termasuk di dalamnya adalah peserta KB aktif miskin (KPS dan KS-1) yang telah mencapai 14,3 juta peserta dan peserta KB aktif pria sebanyak 1,1 juta peserta. 2. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri PNPM Mandiri merupakan program utama pada klaster 2 program penanggulangan kemiskinan. Program ini ditujukan untuk 2 - 41 meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat miskin melalui pembentukan kelompok-kelompok masyarakat sehingga mereka dapat terlibat mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan. Dengan demikian, diharapkan masyarakat miskin semakin dapat menikmati hasil-hasil pembangunan dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin. PNPM Mandiri mulai dicanangkan sejak tahun 2008 dan sejak itu, berbagai hasil pembangunan telah dapat dinikmati oleh masyarakat. PNPM Mandiri Pada tahun 2011, PNPM Mandiri inti dilaksanakan di 6.622 kecamatan yang terdiri dari 5.020 kecamatan PNPM Perdesaan, 1.153 kecamatan PNPM Perkotaan, 215 kecamatan PNPM Infrastruktur Perdesaan (PPIP/RIS), 237 kecamatan PNPM Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW) dan 7 kabupaten untuk Program Pengembangan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK). Total alokasi dana PNPM Mandiri Inti yang bersumber dari APBN dan APBD untuk tahun 2011 adalah sebesar Rp13,14 triliun dengan proporsi Rp9,58 triliun untuk PNPM Perdesaan, Rp1,67 triliun untuk PNPM Perkotaan, Rp1,01 miliar untuk PPIP/RIS, Rp527,8 miliar untuk PISEW dan Rp345,9 miliar untuk P2DTK (Tabel 2.4.3). Pada tahun 2011 ini juga telah disetujui untuk penambahan dana PNPM melalui dana APBN-P sebesar Rp1,82 triliun yang ditujukan untuk PNPM perdesaan sebesar Rp1,29 triliun dan PNPM perkotaan sebesar Rp524 miliar. Anggaran ini dialokasikan sebagai penambahan untuk memenuhi BLM bagi lokasi-lokasi PNPM Perkotaan dan Perdesaan, serta untuk meningkatkan kesempatan kerja melalui usaha ekonomi produktif terutama di kecamatan-kecamatan dengan tenaga kerja Indonesia yang tinggi. 2 - 42 TABEL 2.4.3 JUMLAH KECAMATAN PNPM TAHUN 2010-2011 2010 2011 Alokasi Tambahan APBN-P Alokasi Alokasi Program Jml Jml 2011 (miliar (miliar Kec Kec (miliar rupiah) rupiah) rupiah) PNPM 4.805 9.685,7 5.020 9.583,0 1.293,0 Perdesaan PNPM 885 1.356,4 1.153 1.670,0 524 Perkotaan PPIP/RIS 215 425, 5 215 1.011,3 PISEW P2DTK Total 237 186 6.328 Total Alokasi 2011 (miliar rupiah) 10.876,0 2.217,9 1.011,3 355,5 11,3 237 -* 527,8 345,9 - 527,8 345,9 11.408,9 6.622 13.138,0 1.817,0 14.978,9 Sumber: Kementerian Keuangan Keterangan: *Lokasi P2DTK 2011 dilaksanakan di 7 Kabupaten, dalam rangka memanfaatkan sisa alokasi anggaran 2010 Pemanfaatan BLM yang telah dikucurkan selama tahun 2010 untuk PNPM inti (khususnya PNPM Perdesaan, Perkotaan, dan Daerah tertinggal) lebih dari separuhnya atau 55,88 persen digunakan untuk membangun akses transportasi, diikuti dengan kegiatan ekonomi, kesehatan dan pendidikan masing-masing sebesar 15,06 persen, 11,31 persen, dan 9,27 persen (Gambar 2.4.2). Umumnya akses transportasi yang dibangun adalah jalan sebesar 71,1 persen. Selain itu, juga dibangun penunjang jalan sebesar 28,9 persen. Untuk infrastruktur jalan, kegiatan perkerasan beton menjadi mayoritas pemanfaatan dana, yaitu sebesar 39,62 persen, disusul oleh kegiatan perkerasan telford dan perkerasan sirtu masing-masing 18,94 persen dan 17,32 persen. Selanjutnya, di bidang ekonomi, 2 - 43 11,31% 9,27% 15,06% 55,88% alokasi dana terutama digunakan untuk kegiatan dana bergulir (89,44 persen). Untuk sektor pendidikan, alokasi pendanaan PNPM digunakan terutama untuk gedung sekolah (79,89 persen) dan media ajar (12,69 persen). Sementara, untuk sektor kesehatan adalah untuk air bersih (34,61 persen), kesehatan masyarakat (35,6 persen) dan sanitasi (20,94 persen). GAMBAR 2.4.2 REALISASI BLM PER SEKTOR TA 2010 Akses Transportasi Ekonomi Kesehatan Pendidikan Sumber: Simpadu PNPM, Bappenas Sesuai dengan disain PNPM Mandiri, melalui kegiatan PNPM Mandiri diharapkan dapat tercipta lapangan kerja bagi masyarakat miskin. Pada tahun 2010, telah terserap 5,22 juta tenaga kerja dengan jumlah sebesar 66,72 juta hari orang kerja (HOK) dari pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri. Dengan demikian, pelaksanaan PNPM Mandiri tidak hanya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yang merupakan pembangunan modal sosial yang diwujudkan dalam kegiatan gotong-royong, proses pengambilan keputusan bersama, adanya peningkatan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan, dan adanya rasa memiliki dalam memelihara fasilitas hasil 2 - 44 pembangunan secara berkelanjutan, namun juga memberikan tambahan pendapatan bagi masyarakat setempat. Dalam beberapa tahun terakhir ini, telah dilakukan upaya perluasan dan peningkatan kualitas pelaksanaan PNPM Mandiri. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui sinkronisasi proses perencanaan partisipatif dari masyarakat dengan perencanaan regular dalam program P2SPP (Program Pengembangan Sistem Perencanaan Pembangunan) sehingga diharapkan usulan masyarakat akan dapat lebih banyak tertampung dalam dokumen perencanaan dan penganggaran di tingkat daerah. Selain itu, upaya untuk mensinergikan program-program sektor berbasis pemberdayaan masyarakat juga ditingkatkan melalui perluasan cakupan program yang masuk sebagai PNPM Mandiri Penguatan, diantaranya adalah PNPM PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan), PNPM Pariwisata, PNPM Permukiman, PNPM SANIMAS (Sanitasi Masyarakat), PNPM LMP (Lingkungan Mandiri Perdesaan), dan PNPM Generasi Cerdas dan Sehat. Melalui sinergi programprogram sektoral, diharapkan pelaksanaan program-program sektoral berbasis pemberdayaan masyarakat yang ditujukan untuk penanggulangan kemiskinan dapat berjalan secara terpadu. Salah satu contoh kegiatan yang dilakukan melalui PNPM Penguatan adalah pelaksanaan PNPM Mandiri Kelautan dan Perikanan (PNPM Mandiri KP). Upaya pemberdayaan masyarakat kelautan dan perikanan melalui PNPM Mandiri KP dilakukan melalui Pengembangan Usaha Mina Pedesaan dan Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat. Kegiatan tersebut dilakukan di 351 kab/kota, melalui pemberian Bantuan Langsung Masyarakat dengan sasaran 1.000 kelompok nelayan, 3.000 kelompok pembudidaya, 400 kelompok pengolah, dan 750 kelompok usaha garam rakyat. Upaya ini dilakukan untuk meningkatkan kehidupan ekonomi kelompokkelompok nelayan yang pada umumnya adalah kelompok 2 - 45 masyarakat miskin, sehingga diharapkan mereka dapat keluar dari kemiskinan. 3. Kredit Usaha Rakyat (KUR) Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) merupakan program utama dalam klaster ketiga penanggulangan kemiskinan. KUR dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan akses UMKM dan koperasi kepada sumber pembiayaan. KUR diberikan kepada UMKM dan koperasi yang memiliki usaha produktif yang bersifat individu, kelompok, kemitraan dan/atau klaster yang layak (feasible) untuk dibiayai dengan kredit/pembiayaan, namun belum bankable. Kredit/pembiayaan yang diberikan yaitu untuk keperluan modal kerja dan atau investasi UMKM dan koperasi. Penyaluran KUR mencakup (1) kredit/pembiayaan setinggi-tingginya Rp 20 juta untuk KUR Mikro, dan (2) di atas Rp 20 juta sampai dengan Rp 500 juta untuk KUR Ritel. Agunan pokok untuk KUR adalah kelayakan usaha dan obyek yang dibiayai, sedangkan dana penjaminan yang disediakan pemerintah digunakan untuk menjamin 70 persen dari plafon KUR (agunan tambahan) yang dipersyaratkan bank, dengan pengecualian KUR di sektor pertanian, kelautan dan perikanan, kehutanan dan industri kecil mendapat penjaminan sebesar 80 persen. Penyaluran KUR bisa dilakukan langsung oleh bank pemberi kredit atau tidak langsung melalui pola linkage yang melibatkan lembaga keuangan mikro, termasuk koperasi. Penjaminan disediakan pemerintah dalam bentuk penyertaan modal negara (PMN) kepada Perum Jamkrindo dan PT. Askrindo, dengan nilai sebesar Rp 1,45 triliun pada tahun 2007/2008, Rp 0,5 triliun pada tahun 2009, Rp 1,8 triliun pada tahun 2010 (APBN-P), dan Rp 2 triliun pada tahun 2011. 2 - 46 TABEL 2.4.4. REALISASI PENYALURAN KUR SAMPAI DENGAN TAHUN 2010 Periode 2007-2010 Indikator Jumlah Tahun 2010 Proporsi (%) Jumlah Proporsi (%) Volume: 6 Bank Umum 13 BPD Rp34,42 triliun Rp32,21 triliun Rp2,21 triliun 93,58 6,42 Rp17,23 triliun Rp15,02 triliun Rp 2,21 triliun 87,17 12,83 Debitur: 6 Bank Umum 13 BPD 3.812.558 debitur 3.786.326 debitur 26.232 debitur 99,31 0,69 1.437.650 debitur 1.411.418 debitur 26.232 debitur 98,18 1,82 Rata-rata kredit per debitur: 6 Bank Umum 13 BPD Rp9,03 juta Rp11,98 juta Rp8,51 juta Rp84,28 juta Rp10,64 juta Rp84,28 juta Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2011) Penyaluran KUR selama tahun 2010 telah mencapai Rp17,23 triliun (Tabel 2.4.4). Namun volume tersebut masih di bawah target penyaluran KUR yang ditetapkan dalam RPJMN 2010-2014 yaitu Rp 20 triliun per tahun. Selain itu, target penyaluran KUR kepada sektor pertanian, kelautan dan perikanan, kehutanan dan perindustrian sebesar 25 persen sesuai amanat Inpres No. 1 tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010 belum tercapai. Sampai dengan tanggal 31 Desember 2010, penyaluran KUR di sektor-sektor produktif tersebut baru mencapai 21,21 persen, yaitu pertanian sebesar 18,85 persen dan industri pengolahan sebesar 2,36 persen. Jumlah debitur KUR 2 - 47 sampai Desember 2010 tercatat sekitar 3,81 juta debitur, dengan ratarata volume KUR yang diterima per debitur yaitu sebesar Rp 9,03 juta, dan tingkat non performing loan (NPL) KUR sebesar 2,52 persen. Penambahan jumlah bank penyalur KUR pada tahun 2010 sehingga menjadi 19 bank yang terdiri dari 6 bank umum dan 13 Bank Pembangunan Daerah (BPD) telah meningkatkan jangkauan penyaluran KUR Sementara itu realisasi penyaluran KUR pada semester pertama tahun 2011 telah melebihi target yang ditetapkan (Gambar 2.4.3). Volume penyaluran KUR periode 1 Januari s/d 31 Mei 2011 telah mencapai lebih dari Rp 14,57 triliun, dengan jumlah debitur mencapai 989.406 debitur. Volume Rata-rata KUR yang diterima per debitur yaitu sebesar Rp 14,73 juta. Tingkat pengembalian KUR cukup baik dengan tingkat non performing loan (NPL) hanya sebesar 2,19 persen. Sebaran penyaluran KUR per sektor sampai dengan tahun 2011 menunjukkan bahwa sebagian besar KUR disalurkan untuk UMKM dan koperasi di sektor perdagangan, restoran, dan hotel dan sektor pertanian (Tabel 2.4.5). Sebaran penyaluran KUR per provinsi terdapat di Tabel 2.4.6. GAMBAR 2.4.3. REALISASI PENYALURAN KUR SEMESTER 1 TAHUN 2011 (1 JANUARI–30 JUNI 2011) 2 - 48 Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2011) TABEL 2.4.5. SEBARAN PENYALURAN KUR PER SEKTOR PADA PERIODE 2007- MEI 2011 Proporsi Kredit (%) Proporsi Debitur (%) Rata-rata Kredit/ Debitur (Rp Juta) 17,19 13,23 13,25 17,08 13,21 13,19 0,11 0,02 52,96 Pertambangan 0,06 0,01 68,49 Industri Pengolahan 2,39 1,36 17,92 Listrik, Gas & Air 0,04 0,00 95,14 Konstruksi 1,85 0,10 193,74 Perdagangan, Restoran & Hotel 62,60 76,80 8,32 Perdagangan besar dan eceran Penyediaan akomodasi dan penyediaan mamin Pengangkutan, Pergudangan & Komunikasi Jasa-jasa Dunia Usaha 62,26 76,63 8,29 0,34 0,17 20,73 0,94 0,21 45,21 4,64 1,67 28,42 Sektor Pertanian Pertanian, kehutanan Perikanan perburuan dan 2 - 49 Proporsi Kredit (%) Proporsi Debitur (%) Rata-rata Kredit/ Debitur (Rp Juta) Perantara keuangan Real estate, persewaan, dan jasa perusahaan Jasa-jasa Sosial/ Masyarakat 0,50 0,03 188,63 4,15 1,64 25,80 1,99 1,49 13,59 Lain-lain 8,30 5,13 16,51 100,00 100,00 10,20 Sektor Total Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2011) TABEL 2.4.6. SEBARAN PENYALURAN KUR PER PROVINSI PADA PERIODE 2007-2011 Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Kepri Babel DKI Jakarta Jabar Jateng D. I. Yogyakarta Jatim Banten Bali 2 - 50 Volume (%) 1,92 5,82 3,26 2,78 1,95 2,45 0,64 0,30 0,76 0,28 4,60 13,58 14,80 1,86 17,37 1,94 2,53 Debitur (%) 1,79 4,01 2,51 1,78 1,19 1,53 0,60 1,64 0,34 0,18 2,05 14,44 22,96 2,43 17,84 1,53 2,46 Provinsi NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Gorontalo Sulbar Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Volume (%) 1,19 1,04 1,61 2,33 1,95 2,34 0,92 1,08 5,97 0,71 0,70 0,57 0,95 0,51 0,33 0,95 Debitur (%) 1,51 1,07 1,10 1,18 1,75 1,72 0,73 1,33 6,43 0,82 0,93 0,56 0,66 0,33 0,13 0,50 Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2011) Selain melalui KUR, peningkatan akses permodalan usaha mikro melalui koperasi juga dilaksanakan melalui bantuan dana kepada 2.600 koperasi perdesaan dan perkotaan dengan nilai sebesar Rp130 milyar. Bantuan dana tersebut diharapkan dapat memperkuat kapasitas koperasi untuk memfasilitasi kebutuhan modal dari anggotanya yang sebagian besar merupakan usaha mikro yang usahanya belum feasible dan belum bankable. Pada tahun 2011, bantuan dana telah dialokasikan sebesar Rp 62,5 milyar untuk 1.250 koperasi perdesaan dan perkotaan. Jumlah bantuan yang sudah direalisasikan sampai Juni 2011 adalah sebesar Rp52,5 milyar untuk 1.050 koperasi. Penyaluran bantuan diharapkan dapat diselesaikan pada akhir bulan September 2011. Selain pemberian bantuan dana, kegiatan fasilitasi bagi usaha mikro dan kecil untuk mengakses sumber-sumber permodalan lainnya juga dilaksanakan melalui (1) fasilitasi akses usaha mikro dan kecil ke Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN); (2) pengembangan linkage program antara bank umum dan koperasi; (3) penyediaan skim kredit usaha mikro dan kecil dari dana Surat Utang Pemerintah (SUP – 005) sebesar Rp3,1 triliun yang disalurkan melalui Bank BUMN, BPD, PT Permodalan Nasional Madani (PNM), Perum Pegadaian, dan Bank Bukopin; (4) fasilitasi bagi Pemerintah Daerah untuk mendirikan Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah (PPKD) dalam rangka meningkatkan akses pembiayaan koperasi dan UMKM setempat yang menghadapi masalah penjaminan. Pada tahun 2010, Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Bali telah merespon upaya ini dan membentuk PPKD; (5) kerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri dan Badan Pertanahan Nasional dalam penerbitan Sertifikasi Hak Atas Tanah bagi usaha mikro dan kecil dalam rangka meningkatkan nilai agunan atas kredit bagi usaha mikro dan kecil; 2 - 51 dan (6) fasilitasi kerja sama antara koperasi jasa keuangan syariah (KJKS) dan lembaga pengelola zakat dalam rangka optimalisasi zakat untuk meningkatkan akses pembiayaan (modal awal usaha) bagi usaha mikro dan kecil. Penyaluran dana bergulir bagi koperasi dan UMKM juga dilakukan melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) KUMKM dan sejak Okober 2010 s/d Juni 2011 telah mencapai Rp803,52 millyar. Dana tersebut disalurkan kepada koperasi dan UMKM melalui 495 mitra LPDB-KUKM yang terdiri dari 474 koperasi, dan 21 lembaga keuangan non koperasi (bank umum, BPR, BPD, dan lembaga modal ventura). Jumlah UMKM yang telah memanfaatkan dana tersebut mencapai 52.987 unit yang tersebar di 32 provinsi. Proyeksi dampak ekonomi dari penyaluran dana bergulir kepada UMKM pada tahun 2011 yaitu penyerapan tenaga kerja sebanyak 372.294 orang. Berbagai upaya juga dilakukan untuk penguatan lembaga pembiayaan bagi UMKM, melalui (1) penilaian kesehatan sekitar 25.877 KSP/USP koperasi dan KJKS/UJKS koperasi di 25 provinsi; dan (2) sosialisasi badan hukum koperasi sebagai bentuk legalitas usaha bagi lembaga keuangan mikro (LKM) sesuai Surat Keputusan Bersama (SKB) Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Koperasi dan UKM. dan Gubernur Bank Indonesia mengenai Strategi Pengembangan LKM dengan hasil 2.100 (60 persen) Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) dan 40 persen KUBE sudah berbadan hukum koperasi. 2.4.3. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN Upaya penanggulangan kemiskinan merupakan upaya yang berkesinambungan dan membutuhkan keterlibatan semua pihak dalam pelaksanaannya mengingat bahwa kemiskinan merupakan permasalahan multidimensi. Untuk itu, upaya koordinasi menjadi sangat penting baik antar program, antara pusat dan daerah maupun 2 - 52 antar pelaku pembangunan. Selain itu, upaya untuk menjaga kondisi ekonomi makro yang kondusif agar dapat tercipta kesempatan kerja, terutama kesempatan kerja formal, serta kestabilan harga juga menjadi hal penting yang perlu terus dilakukan sehingga dapat lebih mempercepat upaya penurunan kemiskinan. Dalam kerangka kebijakan affirmative (keberpihakan), pemerintah terus menerus akan meningkatkan efektivitas penanggulangan kemiskinan melalui upaya peningkatan keterkaitan dan sinkronisasi antar kegiatan dalam tiga klaster penanggulangan kemiskinan. Dengan demikian, diharapkan akan terjadi proses kesinambungan penanganan masalah kemiskinan secara sekuensial mulai dari klaster 1, klaster 2, hingga klaster 3. Dalam konteks daerah, pemerintah masih terus melakukan berbagai kegiatan peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam mengharmonisasikan dan mensinkronisasikan berbagai program penanggulangan kemiskinan yang ada dengan berbagai kebijakan dan program dari daerah. Sehubungan dengan hal tersebut, peran Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) dalam mengkoordinasikan program-program penanggulangan kemiskinan di daerah menjadi sangat penting untuk ditingkatkan. Selain itu, kapasitas pemerintah daerah dalam menyusun perencanaan dan penanganggaran yang lebih peka terhadap kebutuhan masyarakat miskin dan mengacu pada penyelesaian permasalahan kemiskinan (pro-poor), juga perlu ditingkatkan. Dengan demikian, diharapkan dapat semakin meningkatkan efektivitas pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan di daerah. Sebagai upaya untuk meningkatkan keberhasilan dalam pelaksanaan program-program pada klaster 1, maka permasalahan terkait dengan pendataan perlu terus diperbaiki. Terkait dengan hal tersebut, pada tahun 2011 ini sedang dilakukan Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2011 yang akan menjadi basis data bagi 2 - 53 pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis keluarga atau individu, termasuk untuk PKH, Jamkesmas, Raskin dan beasiswa siswa miskin. PPLS 2011 dilaksanakan dengan menggunakan metode yang lebih disempurnakan dengan basis data adalah keluarga. Diharapkan dengan adanya data tersebut, dapat meningkatkan akurasi ketepatan program bantuan sosial. Khusus untuk PKH, diharapkan pula agar dapat memanfaatkan data hasil Survey Pelayanan Dasar Kesehatan dan Pendidikan (SPDKP), sehingga ketepatan sasaran program dapat ditingkatkan. Selain itu, koordinasi antar sektor dalam pelaksanaan PKH juga akan terus diupayakan diantaranya melalui koordinasi di bawah Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Untuk mempercepat proses pemberian bantuan, berbagai mekanisme pembayaran bantuan, salah satunya adalah dengan memanfaatkan rekening giro/tabungan, akan terus dikembangkan. Dengan perbaikan tersebut, pada tahun 2012, PKH akan diperluas pelaksanaan 166 Kabupaten/Kota di 33 Provinsi, dengan jumlah peserta meningkat menjadi 1.516.000 RTSM. Untuk kegiatan pelayanan sosial anak, dalam mencapai kesamaan perspektif dalam pelaksanaan Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) sebagai program peningkatan kesejahteraan sosial anak berbasis keluarga dan komunitas, maka PKSA akan memprioritaskan kerjasama dengan Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak yang memiliki basis layanan keluarga dan komunitas. Selanjutnya akan dilaksanakan pula peningkatan kerjasama dengan Perguruan Tinggi dan Lembaga-lembaga Kesejahteraan Sosial lainnya. Selanjutnya untuk pendataan lanjut usia, terbatasnya data yang akurat dari masing-masing provinsi akan diperbaiki, terutama data lanjut usia yang memerlukan bantuan pelayanan sosial. Dalam kaitan dengan pendanaan bagi pendamping lanjut usia, diupayakan adanya dukungan dana yang berasal dari APBD 2 - 54 Selain itu, dalam rangka pembangunan kependudukan dan KB, pelaksanaan pembangunan KKB diprioritaskan pada revitalisasi program KB, yang ditekankan pada penguatan akses dan kualitas pelayanan KB melalui penguatan kapasitas tenaga dan kelembagaan KB di lini lapangan dalam rangka pembinaan dan peningkatan peserta/akseptor KB serta peningkatan kemandirian ber-KB; promosi dan penggerakan masyarakat yang didukung dengan pengembangan dan sosialisasi kebijakan pengendalian penduduk; peningkatan dukungan sarana dan prasarana pelayanan program KB; peningkatan pemanfaatan sistem informasi manajemen (SIM) berbasis teknologi informasi. Di samping itu juga dilakukan pelatihan, penelitian, dan pengembangan program kependudukan dan KB; serta peningkatan kualitas manajemen program dan kegiatan. Untuk meningkatkan efektivitas penanggulangan kemiskinan, pemerintah tetap akan melaksanakan harmonisasi program-program pemberdayaan masyarakat di bawah payung kebijakan PNPM Mandiri melalui Tim Pengendali PNPM Mandiri. Harmonisasi terutama ditujukan untuk mensinkronkan antara program-program di bawah PNPM Inti dengan PNPM Penguatan yang merupakan program-program sektoral berbasis pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian, terjadi keberlanjutan upaya untuk meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat miskin yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Selain itu, sinkronisasi perencanaan juga akan terus dilakukan antara perencanaan partisipatif yang dilaksanakan di tingkat masyarakat dengan perencanaan reguler melalui mekanisme yang sudah berjalan. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa usulan-usulan masyarakat dapat diakomodasi dalam dokumen perencanaan dan penganggaran. Selanjutnya, dalam rangka menjaga keberlanjutan dari lembaga-lembaga di tingkat masyarakat telah terbentuk melalui proses pemberdayaan masyarakat, juga akan dilakukan sinkronisasi lembaga-lembaga tersebut dengan kelembagaan-kelembagaan yang telah ada dan berbadan hukum. Dengan demikian, keberdayaan sosial masyarakat 2 - 55 yang sudah dibangun melalui PNPM Mandiri akan dapat dimanfaatkan oleh program lain yang memberikan peran partisipasi lebih besar kepada masyarakat. Terkait dengan berbagai upaya sinkronisasi ini, maka peran TKPKD perlu ditingkatkan dalam melakukan sinergi dan harmonisasi di tingkat lapangan. Dalam kaitannya dengan peningkatan akses permodalan baik melalui KUR maupun dana-dana lainnya bagi UMKM, maka perlu ditingkatkan sosialisasi mengenai KUR, serta pemantuan dan evaluasi terhadap efektivitas penyaluran KUR melalui kerja sama dengan pemangku kepentingan terkait. Upaya ini juga perlu didukung dengan peningkatan kerja sama dalam penyediaan pendampingan bagi calon-calon debitur dalam mengkases KUR dan debitur KUR dalam mengelola pinjaman secara lebih produktif. Pendampingan bagi usaha mikro dan kecil dalam rangka meningkatkan kapasitas pengelolaan usaha dan keuangannya sehingga dapat menjadi usaha yang layak dan berkelanjutan juga akan terus dilaksanakan. Selanjutnya, peningkatan kualitas kelembagaan dan kapasitas KSP/USP Koperasi sebagai lembaga keuangan yang berbasis anggota dalam meningkatkan akses usaha mikro dan kecil kepada sumber pembiayaan juga perlu dilanjutkan. Sejalan dengan pelaksanaan ketiga klaster program penanggulangan kemiskinan dan dalam rangka untuk mempercepat upaya-upaya penurunan kemiskinan, maka kebijakan penanggulangan kemiskinan yang bersifat affirmative akan diperluas cakupannya, baik sasaran maupun program/kegiatannya. Dengan demikian akan semakin banyak melibatkan masyarakat miskin untuk terlibat dalam proses dan merasakan hasil-hasil pembangunan. Untuk itu, mulai tahun 2011 sudah mulai dipersiapkan perluasan program pro-rakyat yang akan diimplementasikan pada tahun 2012 dan sebagian kegiatan bahkan akan dimulai pada tahun 2011 ini. Perluasan program pro-rakyat ini dimasukkan kedalam kelompok program penanggulangan kemiskinan Klaster 4. Program pro-rakyat 2 - 56 ini ditujukan untuk melengkapi berbagai program dan kegiatan yang telah dijalankan melalui tiga klaster program penanggulangan kemiskinan. Melalui Klaster 4 program penanggulangan kemiskinan ini, cakupan sasaran, program dan kegiatan untuk pengurangan kemiskinan akan diperluas termasuk juga keterlibatan berbagai pihak dalam pelaksanaan program. Program pro-rakyat akan dilaksanakan melalui enam program, yaitu: (1) Pembangunan rumah murah dan sangat murah bagi masyarakat sangat miskin dan miskin; (2) Penyediaan angkutan umum murah; (3) Penyediaan air bersih untuk rakyat; (4) Penyediaan listrik murah dan hemat serta terjangkau bagi masyarakat miskin; (5) Peningkatan kehidupan nelayan yang diarahkan pada sejumlah Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI); dan (6) Peningkatan kehidupan masyarakat pinggir perkotaan. Khusus untuk Program Peningkatan Kehidupan nelayan, mulai tahun 2011 akan dilaksanakan di 100 Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) pada tahun 2011. Kegiatan yang akan dilaksanakan meliputi intervensi langsung pada individu nelayan, kelompok nelayan, dan sarana prasarana PPI itu sendiri. Beberapa kegiatan untuk individu nelayan mencakup pemberian sertifikasi hak atas tanah nelayan, dan bantuan peralatan rantai dingin. Untuk kelompok nelayan akan diberikan bantuan kapal penangkap ikan, bantuan langsung melalui Pengembangan Usaha Mina Pedesaan (PUMP) perikanan tangkap dan pengolahan, serta pemberian pendampingan pada kelompok. Sedangkan untuk mendukung pengembangan sarana prasarana di PPI, akan dilakukan pembangunan cold storage/pabrik es, pembangunan SPDN (Solar Packed Dealer Nelayan), dan kendaraan roda 3 berinsulasi. 2.5 PRIORITAS NASIONAL 5: KETAHANAN PANGAN Pembangunan ketahanan pangan nasional diarahkan untuk memenuhi aspek ketersediaan, distribusi dan aksesibilitas, serta 2 - 57 konsumsi, baik pada level nasional maupun rumah tangga. Sejalan dengan RPJMN 2010-2014, prioritas ketahanan pangan diarahkan untuk meningkatkan ketahanan dan kemandirian pangan serta kecukupan gizi masyarakat secara luas. Selain itu, pembangunan ketahanan pangan nasional juga diarahkan untuk mendukung pertumbuhan sektor pertanian secara luas, penguatan perekonomian nasional, serta peningkatan kesejahteraan petani dan nelayan. 2.5.1. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI Pembangunan ketahanan pangan nasional dalam beberapa tahun terakhir maupun ke depan dihadapkan kepada empat tantangan utama, yaitu: (i) semakin terbatasnya sumber daya produktif yang menuntut adanya perluasan dan peningkatan sumberdaya, serta peningkatan efektivitas dan efisiensi pemanfaatan; (ii) kondisi pasar global dan domestik yang semakin terbuka menyebabkan distribusi bahan pangan sangat dipengaruhi oleh mekanisme pasar yang berjalan; (iii) masih tingginya pertumbuhan penduduk Indonesia yang berdampak kepada meningkatnya kebutuhan pangan nasional; serta (iv) pola konsumsi pangan masyarakat yang semakin beragam sehingga menuntut tersedianya bahan pangan yang beragam pula. Pada tingkat global, pembangunan ketahanan pangan nasional berperan penting di dalam pencapaian Millenium Development Goals (MDG’s), khususnya terkait dengan pengurangan tingkat kemiskinan dan kelaparan. Komitmen tersebut menegaskan bahwa pembangunan pangan sangat terkait dengan upaya pengentasan kemiskinan, mengingat kedua hal tersebut merupakan rangkaian yang tidak dapat terpisahkan. Pada tingkat kawasan, tantangan untuk menjadikan kawasan ASEAN sebagai food basket merupakan komitmen yang harus diwujudkan bersama di antara negara anggota. Tantangan berikutnya adalah bagaimana ketahanan pangan nasional dapat diiwujudkan di tengah-tengah persaingan global serta pertumbuhan ekonomi dunia yang sangat rentan dengan krisis global. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dengan pasar global yang 2 - 58 semakin terbuka tentunya kondisi perekonomian sebuah negara, baik langsung maupun tidak langsung, akan berdampak kepada kondisi pangan global. Sementara itu, permasalahan yang masih dihadapi di dalam pembangunan ketahanan pangan adalah: (i) Dampak perubahan iklim (DPI) yang berpotensi terhadap produksi pertanian, khususnya bahan pangan. Potensi dampak yang dimaksud adalah meningkatnya serangan Organisme Penggangu Tanaman (OPT) dan penyakit hewan sehingga berpengaruh terhadap menurunnya produktivitas dan kualitas hasil panen; (ii) Terbatasnya infrastruktur lahan dan air menyebabkan upaya peningkatan produksi pangan melalui ekstensifikasi/perluasan lahan sulit untuk dilaksanakan. Permasalahan tersebut juga disebabkan oleh semakin terbatasnya ketersediaan air akibat dampak perubahan iklim maupun kerusakan pada sumber-sumber air yang ada seperti adanya deforestasi. Sementara pada sisi lain, pembangunan waduk/embung/situ sebagai sumber air irigasi masih menghadapi permasalahan pembebasan tanah dan permasalahan sosial; (iii) Pemanfaatan pupuk kimiawi yang berlebihan menyebabkan ketergantungan petani terhadap jenis pupuk tersebut sangat besar, sementara di sisi lain lahan menjadi jenuh dan peningkatan produktivitasnya semakin melambat. Dalam kerangka makro ekonomi, penggunaan pupuk kimiawi secara berlebihan dapat berdampak terhadap peningkatan beban Pemerintah di dalam menyediakan anggaran subsidi pupuk; (iv) Lemahnya diseminasi teknologi dan pemanfaatan teknologi masih menyebabkan upaya peningkatan produksi pertanian menjadi lambat. Hal ini perlu diperhatikan, mengingat banyaknya teknologi dan inovasi yang telah dikembangkan pada berbagai lembaga penelitian dan pengembangan. Namun demikian, pada sisi lain masyarakat/petani belum memanfaatkan teknologi tersebut karena akses yang kurang; (v) Terbatasnya pembiayaan pertanian yang mudah diakses oleh petani/peternak. Kondisi ini menyebabkan akses petani/peternak untuk mendapatkan sumberdaya produktif terhambat dan berdampak 2 - 59 kepada terhambatnya peningkatan produktivitas dan produksi bahan pangan; dan (vi) Kelembagaan penyuluhan pertanian yang belum efektif sehingga berdampak kepada sulitnya proses transfer dan adopsi teknologi oleh petani. Kelembagaan tersebut tidak hanya sebatas kepada jumlah penyuluh di lapangan yang terbatas, namun lebih luas termasuk di dalamnya sistem dan lembaga yang menaungi penyuluhan di daerah yang masih belum optimal. Permasalahan selanjutnya adalah: (vii) stabilitas harga pangan yang semakin rentan terhadap kondisi ketersediaan dan kebutuhan pasar. Rentannya harga pangan tentu berpotensi menimbulkan tradeoff bagi pendapatan petani dan akses pangan masyarakat. Peningkatan harga dapat berpengaruh terhadap berkurangnya akses masyarakat selaku konsumen terhadap pangan tersebut dan pada sisi lain pendapatan petani selaku produsen berpotensi untuk ditingkatkan. Sementara pada kondisi sebaliknya ketika harga turun dapat berperan sebagai disinsentif bagi petani dalam berusahatani, namun pada sisi lain dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap bahan pangan tersebut; (viii) tingginya konsumsi pangan bersumber padi-padian dan rendahnya konsumsi pangan beragam. Upaya Pemerintah di dalam mendorong penganekaragaman konsumsi pangan sebagaimana diamanatkan di dalam Pepres Nomor 29 Tahun 2009 tentang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan yang Berbasis Sumber Daya Lokal masih menghadapi tantangan mengingat perubahan pola konsumsi masyarakat (demand management) membutuhkan proses dan waktu yang cukup panjang. Lebih lanjut, sistem mutu dan penanggulangan masalah keamanan pangan; termasuk penanggulangan penyakit zoonosis, higienisasi, dan penggunaan bahan berbahaya dalam produk pangan masih harus ditingkatkan dan menjadi perhatian bersama ke depan. Terkait penyediaan ikan untuk konsumsi masyarakat, kurang memadainya kondisi sarana dan prasarana pemasaran produk perikanan dalam negeri, rendahnya kesadaran masyarakat terhadap nilai kandungan 2 - 60 gizi ikan, dan rendahnya jaminan keamanan produk perikanan menyebabkan masih rendahnya tingkat konsumsi ikan. Terkait dengan kelembagaan di daerah, peran Pemerintah Derah di dalam pembangunan pangan dinilai masih belum optimal, sehingga permasalahan pangan yang terjadi masih dianggap hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. Namun demikian, otonomi daerah telah memberikan kewenangan bagi Pemerintah Daerah untuk dapat melakukan langkah-langkah yang diperlukan di dalam penanganan permasalahan pangan di wilayahnya. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota telah menempatkan pangan sebagai urusan wajib bagi Pemerintah Daerah. 2.5.2. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASILHASIL YANG DICAPAI Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014 telah digariskan bahwa untuk mencapai ketahanan pangan nasional terdapat enam (6) substansi yang harus diperhatikan. Keenam substansi yang dimaksud adalah: (i) Lahan, Pengembangan Kawasan dan Tata Ruang Pertanian, yang mencakup penataan regulasi untuk menjamin kepastian hukum atas lahan pertanian, pengembangan areal pertanian baru seluas 2 juta hektar, dan penertiban serta optimalisasi penggunaan lahan terlantar; (ii) Infrastruktur, yang mencakup pembangunan dan pemeliharaan sarana transportasi dan angkutan, pengairan, jaringan listrik, serta teknologi komunikasi dan sistem informasi nasional yang melayani daerah-daerah sentra produksi pertanian demi peningkatan kuantitas dan kualitas produksi serta kemampuan pemasarannya; (iii) Penelitian dan Pengembangan, yang mencakup peningkatan upaya 2 - 61 penelitian dan pengembangan bidang pertanian yang mampu menciptakan benih unggul dan hasil penelitian lainnya menuju kualitas dan produktivitas hasil pertanian nasional yang tinggi. Substansi selanjutnya adalah: (iv) Investasi, Pembiayaan, dan Subsidi, yang mencakup dorongan untuk investasi pangan, pertanian, dan industri perdesaan berbasis produk lokal oleh pelaku usaha dan pemerintah, penyediaan pembiayaan yang terjangkau, serta sistem subsidi yang menjamin ketersediaan benih varietas unggul yang teruji, pupuk, teknologi dan sarana pasca panen yang sesuai secara tepat waktu, tepat jumlah, dan terjangkau; (v) Pangan dan Gizi, yang mencakup peningkatan kualitas gizi dan keanekaragaman pangan melalui pola pangan harapan; serta (vi) Adaptasi Perubahan Iklim yang mencakup pengambilan langkah-langkah konkrit terkait adaptasi dan antisipasi sistem pangan dan pertanian terhadap perubahan iklim. Sebagai penjabaran dari kebijakan jangka menengah tersebut di atas, maka langkah-langkah yang telah dilaksanakan adalah: (i) penyediaan dan peningkatan infrastruktur melalui optimalisasi dan perluasan lahan, jaringan irigasi, jalan usahatani dan jalan desa. Penyediaan lahan tersebut termasuk di dalamnya pemanfaatan tanah terlantar sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar; (ii) penelitian dan pengembangan dalam menghasilkan inovasi dan teknologi unggul; (iii) penguatan modal usaha petani di dalam meningkatkan produktivitas dan posisi tawar terhadap pelaku usaha lain; (iv) penguatan lembaga penyuluhan; (v) pemberdayaan petani melalui penguatan Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat (LM3) dan Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP). Selanjutnya, Pemerintah telah melakukan langkah: (vi) peningkatan konektivitas antar daerah dalam meningkatkan dan memperlancar distribusi pangan. Demikian pula, Pemerintah telah memperkuat infrastruktur transportasi seperti jalan, pelabuhan, 2 - 62 armada angkutan; (vii) penanganan daerah rawan pangan dan pengembangan lumbung pangan; serta (viii) penganekaragaman konsumsi pangan melalui pendidikan dan sosialisasi/kampanye. Berbagai langkah tersebut di atas telah mampu meningkatkan kondisi ketersediaan, distribusi dan aksesibilitas, serta konsumsi pangan secara nasional. Produksi bahan pangan utama pada tahun 2010 dan 2011 terus menunjukkan peningkatan, kecuali pada bahan pangan tertentu seperti jagung dan kedelai. Padi sebagai bahan pangan terbesar di Indonesia, tercatat terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2010 sendiri, produksi padi nasional mencapai 66,47 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) atau dengan tingkat konversi 60 persen maka diperkirakan mampu menyediakan beras secara nasional sebesar 39,88 juta ton. Sementara pada tahun berikutnya produksi padi nasional diperkirakan mampu mencapai 68,06 juta ton GKG atau sekitar 40,84 juta ton beras. Kondisi ini tentunya sangat baik untuk mendukung pemenuhan kebutuhan beras nasional mengingat penduduk Indonesia yang dalam sepuluh tahun terakhir (2000-2010) ini meningkat 15,21 persen. Dengan jumlah penduduk sekitar 237,64 juta penduduk pada tahun 2010 dan dengan tingkat konsumsi 131 kg per kapita, maka jumlah kebutuhan konsumsi beras nasional adalah 31,13 juta ton. Peningkatan produksi padi tersebut lebih didorong oleh peningkatan luasan panen yang antara lain didukung oleh jaringan irigasi yang baik. Pada tahun 2010 telah dilakukan pembangunan/peningkatan 115 ribu ha dan rehabilitasi 293 ribu ha jaringan irigasi. Sementara produktivitas padi, meskipun terus meningkat namun pertambahannya terus menurun. Kondisi ini perlu mendapatkan perhatian mengingat penurunan pertambahan produktivitas berpotensi menurunkan produksi dalam beberapa tahun ke depan apabila tidak diiringi dengan pertambahan luasan panen. Sementara itu, pada tahun 2010 produksi jagung meningkat menjadi sekitar 18,33 juta ton dibandingkan tahun 2009 atau sekitar 2 - 63 17,63 juta ton. Sedikit berbeda dengan padi, pertumbuhan positif jagung tersebut lebih didorong oleh peningkatan produktivitas jagung dibandingkan luasan panennya. Demikian pula untuk produksi jagung pada tahun 2011 yang diperkirakan turun menjadi 17,39 juta ton lebih disebabkan penurunan luasan panen yang mencapai 5,71 persen, sementara pada sisi lain produktivitas mampu ditingkatkan meskipun hanya 0,63 persen. Penurunan produksi juga terjadi pada bahan pangan kedelai, dimana pada tahun 2010 mencapai 907 ribu ton dan diperkirakan turun kembali pada tahun 2011 menjadi sekitar 819 ribu ton. Penurunan tersebut juga dipengaruhi oleh menurunnya luasan panen kedelai. Kondisi penurunan luasan panen, baik pada jagung maupun kedelai, diperkirakan sebagai dampak dari preferensi petani di dalam memilih usahatani padi dibandingkan kedua jenis komoditas tersebut. Kondisi ini dipahami sebagai pilihan ekonomi yang secara logis mendorong petani lebih mengusahakan padi ketika harga gabah dan beras cukup menarik dibandingkan keduanya. Sementara pada sisi lain, dengan luasan lahan yang relatif sama, dengan upaya Pemerintah di dalam menambah ketersediaan beras nasional diperkirakan mempengaruhi kondisi pelaksanaan di lapangan yang lebih memprioritaskan usahatani padi dibandingkan komoditas pangan lainnya. Selanjutnya untuk gula, pada tahun 2010 jumlah produksi nasionalnya diperkirakan turun menjadi 2,39 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya. Meskipun demikian, pada tahun berikutnya (2011) diperkirakan jumlah produksinya akan kembali meningkat menjadi 2,70 juta ton. Sementara itu, sebagai salah satu sumber pangan hewani, daging sapi nasional masih mengalami kerentanan di dalam hal produksinya. Apabila pada tahun 2010 produksi daging nasional hanya mampu mencapai 390 ribu ton atau turun dibandingkan pada tahun 2009, maka pada tahun berikutnya (2011) tingkat produksinya justru menunjukkan peningkatan kembali 2 - 64 menjadi 417 ribu ton. Peningkatan produksi daging ini diperkirakan merupakan dampak dari upaya Pemerintah di dalam mendorong produksi daging sapi nasional di dalam kerangka Program Pencapaian Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK). Upaya untuk penyelamatan sapi betina produktif serta peningkatan benih dan bibit ternak merupakan langkah utama di dalam mendorong produksi daging sapi nasional. Selanjutnya, sebagai salah satu sumber protein hewani, pada tahun 2010 produksi perikanan mengalami peningkatan sebesar 10,6 persen dari tahun sebelumnya, yaitu dari 9,82 juta ton pada tahun 2009 menjadi 10,86 juta ton pada tahun 2010. Peningkatan tersebut didukung oleh peningkatan produksi perikanan budidaya, terutama pada beberapa komoditas penting, diantaranya yaitu rumput laut, udang, nila dan patin. Pada tahun 2011, produksi perikanan diperkirakan mencapai 12,26 juta ton. TABEL 2.5.1. CAPAIAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2009-2011 Tahun No. Sasaran 2009 2010 Ketersediaan 1. Produksi Padi (juta ton GKG) 2. Produksi jagung (juta ton) 3. Produksi Kedelai (juta ton) 4. Produksi Gula (juta ton hablur) 5. Produksi daging sapi (ribu ton) 6. Produksi Perikanan (juta ton) Distribusi dan Aksesibilitas 7. Stabilitas Harga Pangan 8. Aksesibilitas Masyarakat terhadap Pangan 2011*) 64,40 17,63 0,98 2,62 405 9,82 66,47 18,33 0,907 2,39 390 10,83 68,06 17,39 0,819 3,87 439 12,26 Stabil Stabil Stabil Stabil Stabil Stabil 2 - 65 9. Penyaluran Raskin (juta ton beras) Konsumsi 10. Kualitas Konsumsi Pangan Masyarakat (Skor PPH) PDB dan NTP/NTN 11. Pertumbuhan PDB Pertanian (persen) 12. Nilai Tukar Petani (indeks) 13. Nilai Tukar Nelayan (indeks) 3,26 2,93 3,15 78,8 80,6 88,1 4,1 2,9 3,7 99,85 105,3 104,79 105,5 > 105 107 Sumber : BPS, beberapa tahun penerbitan Keterangan : *) Target RKP 2011 kecuali padi, jagung, kedelai (ARAM II BPS) Selanjutnya, aspek distribusi dan aksesibilitas pangan dapat ditunjukkan dengan kondisi perkembangan harga bahan pangan pada tingkat konsumen. Dengan tingkat harga yang relatif stabil, maka dapat menggambarkan kondisi distribusi pangan yang relatif lancar, baik antar waktu maupun antar lokasi dan daerah. Terlebih dengan dukungan infrastruktur transportasi dan sistem informasi yang semakin baik, maka distribusi pangan lebih mengarah kepada mekanisme pasar sempurna. Kondisi inilah yang diharapkan Pemerintah dimana bahan pangan dapat bergerak dari daerah surplus ke daerah kurang berdasarkan mekanisme pasar yang ada. Peran Pemerintah muncul ketika terjadi distorsi pasar, di antaranya kelangkaan dan kenaikan harga pangan yang cukup besar. Sepanjang tahun 2010 dan semester pertama tahun 2011, harga beras nasional bergerak cukup stabil dengan kecenderungan meningkat. Pada tahun 2010, harga rata-rata beras umum dan termurah di tingkat konsumen masing-masing mencapai Rp8.017,dan Rp6.430,- per kg. Memasuki tahun 2011, harga beras dalam negeri masih relatif stabil meskipun pada awal tahun sempat menyentuh harga Rp9.000,- per kg untuk jenis beras umum. Namun demikian, capaian positif yang dapat dilaporkan adalah perkembangan harga beras dalam negeri relatif tidak terpengaruh dengan perkembangan harga beras internasional, dimana dalam 2 - 66 periode 2010—2011 harga beras internasional berada pada kisaran Rp5.000,- sampai dengan Rp6.000,- per kg untuk jenis beras Thai. Kondisi ini merupakan dampak kebijakan Pemerintah yang lebih mengutamakan produksi dalam negeri daripada impor. Melihat tingginya kebutuhan masyarakat terhadap beras dan untuk menjamin ketersediaan beras bagi masyarakat yang kurang mampu, maka Pemerintah telah mendistribusikan Beras untuk Rumah Tangga Miskin (Raskin). Pada tahun 2010, telah disalurkan Raskin sebesar 2,93 juta ton beras dan pada semester I tahun 2011 mencapai 1,57 juta ton yang dinikmati oleh 17,5 juta Rumah Tangga Sasaran (RTS). GAMBAR 2.5.1. PERKEMBANGAN HARGA BERAS DALAM DAN LUAR NEGERI TAHUN 2010-2011 Sumber : Tim Stabilisasi Harga Pangan Menko Perekonomian (beberapa bulan, diolah) Sementara itu, harga gula dan daging sapi juga relatif stabil meskipun harga internasional cenderung fluktuatif. Dalam periode 2 - 67 2010—semester I 2011, harga gula dalam negeri mampu bertahan pada kisaran Rp10 ribu per kg, sementara harga di pasar internasional bergerak dari Rp. 7.000,- sampai dengan Rp11.000,-. Demikian pula untuk harga daging sapi dalam negeri yang dapat bertahan pada kisaran Rp60 ribu sampai dengan Rp70 ribu per kg. Peningkatan harga daging sapi secara signifikan hanya terjadi pada Bulan September 2010, dimana kebutuhan terhadap daging sapi tersebut meningkat karena bertepatan dengan perayaan Hari Besar Keagamaan. Selanjutnya, tingkat konsumsi masyarakat dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan, meskipun masih berada di bawah tingkat ideal. Pada tahun 2010, tingkat konsumsi energi masyarakat dapat mencapai 1.957 kkal per kapita/hari atau relatif sama dengan tahun sebelumnya. Sejalan dengan hal tersebut, tingkat konsumsi protein masyarakat pada tahun 2010 mencapai 59,98 gram perkapita/hari dimana salah satunya didukung dengan peningkatan konsumsi ikan yang mencapai 30,47 kg/kapita/tahun. Indikator selanjutnya sebagai gambaran tingkat konsumsi masyarakat adalah pencapaian skor Pola Pangan Harapan (PPH) dimana pada tahun 2010 telah mencapai skor 80,6 atau meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Dari capaian skor tersebut, dapat digambarkan bahwa tingkat konsumsi beras masyarakat masih lebih tinggi dibandingkan tingkat ideal (50,0 persen) yaitu 60,9 persen. Meskipun demikian, dengan trend konsumsi beras yang terus menurun, maka dapat menunjukkan upaya Pemerintah di dalam mengurangi ketergantungan terhadap beras telah menuju ke arah yang benar. Dalam rangka mendukung pertumbuhan sektor pertanian secara luas, maka Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan pada tahun 2010 dapat tumbuh 2,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut sangat didorong dengan peningkatan sub sektor peternakan dan subsektor 2 - 68 perikanan yang dapat tumbuh masing-masing 4,1 persen dan 5,9 persen. Sementara itu, dalam mendukung lapangan kerja nasional, maka sektor pertanian telah mampu menyerap sekitar 41,49 juta tenaga kerja atau sekitar 38,34 persen dari tenaga kerja nasional secara keseluruhan. Sebagai pelaku utama dalam pembangunan pertanian maka kesejahteraan petani dan nelayan tentu menjadi salah satu tujuan akhir dari pembangunan ketahanan pangan, yaitu meningkatnya kesejahteraan petani dan nelayan. Salah satu indikator yang mendukung hal tersebut adalah peningkatan Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Nelayan (NTN) dimana pada tahun 2010 indeks keduanya masing-masing mencapai 104,79 dan 105,5 indeks tersebut menunjukkan bahwa nilai produk yang diperoleh petani lebih besar dibandingkan nilai biaya dari kebutuhan hidupnya. Sementara itu pada tahun 2011, NTP dan NTN diperkirakan meningkat masing-masing menjadi 104,5 dan 107. Untuk sektor industri, hasil-hasil yang dicapai dalam mendukung Ketahanan Pangan meliputi revitalisasi industri pupuk dan industri gula. Dalam rangka revitalisasi industri pupuk, dilaksanakan berbagai fasilitasi oleh pemerintah antara lain: untuk pembangunan pabrik urea Kaltim-5, Natural Gas Supply Agreement (NGSPA) telah ditanda tangani antara PT. Pupuk kaltim dengan KKKS Eastkal untuk jangka waktu 10 tahun (2012-2021) serta kontrak pembangunan pabrik urea kapasitas 1,1 juta ton/tahun antara PT. Pupuk Kaltim dengan Konsorsium IKPT dan Toyo Engineering Corporation (TEC) pada tanggal 20 Juni 2011; telah ditandatangani MoA terkait alokasi pasokan gas bumi untuk pembangunan pabrik urea II PT. Petrokimia Gresik dari lapangan gas Cepu sebanyak 85 MMSCFD; telah ditandatangani Joint Venture Company antara PT. Petrokimia Gresik (Indonesia) dengan Jordan Phosphate Mines Company (JPMC) dari Jordan untuk membangun pabrik Phosphoric Acid (PA) di Gresik Jatim dengan kapasitas produksi 200.000 2 - 69 ton/tahun, pabrik diharapkan dapat beroperasi pada tahun 2013; telah ditandatangani MoU antara PT. Pusri (Persero) dengan Jordan Phosphate Mines Company (JPMC) tentang pembangunan pabrik pupuk NPK di Indonesia dengan kapasitas 200.000 – 300.000 ton/tahun dan penyediaan bahan baku phosphate dipasok oleh JPMC. Sedangkan dalam rangka Revitalisasi Industri Gula telah diberikan bantuan keringanan pembelian mesin/peralatan kepada 47 PG yang melakukan investasi dalam rangka peningkatan kapasitas produksi, efisiensi dan mutu gula; bantuan langsung mesin/peralatan kepada Pabrik Gula (PG) Semboro, PG Jatiroto dan PG Meritjanantara; telah diberikan bantuan kepada PT. Barata Indonesia dan PT. Boma Bisma Indra dalam bentuk peralatan foundry, peralatan las, CNC Cutting Machine, Deep Drill System, Electric Arc Furnace Heavy Duty, dll. Penelitian dan pengembangan untuk mendukung ketahanan pangan nasional telah berhasil menemukan varietas unggul padi Pandan Putri (2010) dan Inpari Sidenuk (2011), varietas unggul kedelai Mutiara 1 (2010) dan varietas sorgum Pahat (2011). Hasil litbang ini telah didesiminasikan kepada masyarakat bekerjasama dengan pemerintah daerah dalam program ATP (Agro Techno Park) di 5 kawasan yakni Palembang, Cianjur, Jembrana, Limapuluh Kota dan Jepara. Di samping itu, LIPI dalam rangka mengembangkan benih unggul telah berhasil menemukan lebih dari 2000 galur mutan stabil padi yang siap diuji kemampuan adaptasinya terhadap perubahan iklim, tahan hama penyakit dan atau cekaman lingkungan. Produk pupuk Beyonic-LIPI, a.l Seri BioPoska, Kompenit@, Biomat, Kedelai Plus, Biorhizin, BioVam, Biosmik, StarTmik, Azofor dan Katalek yang dibuat dari mikroba Indonesia terpilih dan mampu memperbaiki kondisi lahan pertanian, menghilangkan hama penyakit, mengurai polutan, menstabilkan pH tanah, menyediakan kekurangan nitrogen, fosfat, mineral, zat faktor tumbuh dan menurunkan laju emisi gas rumah kaca dari lahan pertanian. Uji lapangan di di Malinau-Kalimantan Timur, Gunung KidulYogyakarta, dan Cicurug-Jawa Barat sedang berlangsung. 2 - 70 2.5.3. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN Pada tahun 2012, pembangunan ketahanan pangan akan diarahkan untuk tetap menjaga swasembada beras serta menuju tercapainya swasembada pangan lainnya. Untuk mencapai sasaran utama tersebut maka produksi padi nasional diharapkan dapat mencapai 74,14 juta ton GKG, jagung 24,0 juta ton, kedelai 1,9 juta ton, daging sapi 471 ribu ton karkas, dan gula 4,39 juta ton. Sementara itu, PDB sektor pertanian secara luas pada tahun tersebut dapat tumbuh sebesar 3,2 persen, dengan indeks NTP dan NTN masing-masing berkisar antara 105-110 dan 110. Dalam rangka meningkatkan pembangunan ketahanan pangan dan sektor pertanian secara umum, maka Pemerintah sebagai pemegang fungsi regulasi telah merumuskan berbagai program/kegiatan yang dapat mendukung sasaran pembangunan tersebut di atas. Untuk itu, program pembangunan diarahkan untuk dapat menjamin ketersediaan dan konsumsi pangan dalam jumlah yang cukup, beragam, aman, bergizi seimbang dan berkelanjutan, baik di tingkat nasional, daerah, maupun rumah tangga. serta memenuhi kebutuhan industri melalui upaya peningkatan perluasan areal tanaman dan atau indeks pertanaman, serta peningkatan produktivitas. Selanjutnya, program pembangunan juga diarahkan untuk meningkatkan pertumbuhan PDB, meningkatkan kemampuan dan keterampilan petani, perlindungan dari dampak perdagangan global yang tidak adil, peningkatan daya saing produk pertanian, peningkatan mutu produk pertanian, peningkatan efisiensi usaha tani, peningkatan promosi, dukungan infrastruktur, serta regulasi yang kondusif sehingga dapat mendorong pembangunan berkelanjutan. Sejalan dengan arah pembangunan yang pro-poor, pro-job, pro-growth, dan pro-environment, dengan sekitar 40 persen angkatan kerja di sektor pertanian, maka pembangunan ketahanan pangan dan revitalisasi pertanian juga dilakukan dengan pendekatan kawasan, 2 - 71 dimana fokus kegiatan sesuai keunggulan komparatif dengan mensinergiskan seluruh sumberdaya yang dimiliki, mengembangkan pola-pola integrasi tanaman dengan ternak, dan memperkuat kelembagaan petani. Pada tataran operasional, Pemerintah akan tetap berupaya: (i) meningkatan akses petani terhadap input produksi, diantaranya melalui penyediaan subsidi dan bantuan input produksi komoditas pangan dan pertanian; (ii) meminimalisasi alih fungsi lahan pertanian, khususnya sawah, serta melakukan optimalisasi lahan yang ada; (iii) mengurangi susut pasca panen yang mengakibatkan berkurangnya produksi pertanian; (iv) meningkatkan jumlah produksi pangan hewani melalui intensifikasi kawin suntik, perbaikan penanganan pakan bagi ternak, perbaikan penanganan penyakit hewan, intensifikasi dan ekstensifikasi usaha perikanan, diantaranya memanfaatan lahan tidur dan kawasan minapolitan; (v) membangun dan merehabilitasi jaringan irigasi, sarana dan prasana pertanian di tingkat desa dan usaha tani, termasuk di dalamnya sarana prasarana distribusi yang selama ini menjadi permasalahan utama di perdesaan; (vi) penyediaan prasarana dan fasilitasi penyuluhan pertanian, termasuk di dalamnya dukungan teknologi dan diseminasi hasil-hasil penelitian kepada petani, serta penyediaan informasi yang diperlukan; (vii) meningkatkan akses petani terhadap sumber pembiayaan melalui pemberdayaan dan penguatan kelembagaan petani; dan (viii) mengoptimalkan pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar untuk mendukung ketahanan pangan. Sementara itu, dalam rangka meningkatkan distribusi dan aksesibilitas masyarakat terhadap pangan, maka langkah-langkah yang akan diambil adalah: (i) meningkatkan efisiensi distribusi dan logistik pangan dalam perdagangan dan mengurangi kerusakan bahan pangan; (ii) stabilisasi harga pangan dalam negeri melalui 2 - 72 peningkatan jumlah cadangan pangan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat pada tingkat yang dinilai aman; (iii) mengembangkan kebijakan perdagangan dan ekspor-impor untuk mendukung ketahanan pangan; (iv) melanjutkan penyediaan dan penyaluran bahan pangan bersubsidi untuk keluarga miskin; (v) peningkatan pencegahan dan penanganan keadaan rawan pangan dan gizi karena keterbatasan akses, akibat adanya bencana alam dan bencana sosial;serta (vi) penguatan kelembagaan ketahanan pangan dan gizi, baik di pusat maupun daerah, termasuk di dalamnya regulasi yang mendukung peningkatan ketahanan pangan. Selanjutnya, terkait dengan penganekaragaman konsumsi pangan, maka Pemerintah akan tetap mendorong pergeseran pola konsumsi masyarakat kepada pangan beragam sebagaimana diamanatkan di dalam Perpres Nomor 22 Tahun 2009. Upaya tersebut sejalan dengan langkah Pemerintah di dalam meningkatkan penyediaan pangan beragam melalui pengembangan pengolahan pangan, serta perbaikan mutu dan penguatan keamanan pangan melalui pengembangan sistem mutu, kehalalan, dan keamanan pangan, termasuk pengendalian risiko penyakit zoonosis yang telah ditetapkan di dalam Inpres Nomor 30 Tahun 2011. 2.6 PRIORITAS NASIONAL 6: INFRASTRUKTUR Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2010 – 2014, program aksi bidang infrastruktur adalah: (1) konsolidasi kebijakan penanganan dan pemanfaatan tanah untuk kepentingan umum secara menyeluruh di bawah satu atap dan pengelolaan tata ruang secara terpadu; (2) penyelesaian pembangunan Lintas Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Papua sepanjang total 19.370 km pada tahun 2014; (3) pembangunan jaringan prasarana dan penyediaan sarana transportasi antar-moda dan antar2 - 73 pulau yang terintegrasi sesuai dengan Sistem Transportasi Nasional dan Cetak Biru Transportasi Multimoda; (4) penurunan tingkat kecelakaan transportasi sehingga pada tahun 2014 lebih kecil dari 50% keadaan saat ini; (5) perbaikan sistem transportasi di 4 kota besar (Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan) sesuai dengan Cetak Biru Transportasi Perkotaan, termasuk penyelesaian pembangunan angkutan kereta listrik di Jakarta (MRT dan Monorail) selambatlambatnya tahun 2014; (6) pembangunan 685.000 Rumah Sederhana Sehat Bersubsidi, 180 Rusunami dan 650 twin blok berikut fasilitas pendukung kawasan permukiman yang dapat menampung 836.000 keluarga yang kurang mampu pada tahun 2012; (7) penyelesaian pembangunan prasarana pengendalian banjir diantaranya Banjir Kanal Timur Jakarta sebelum tahun 2012 dan penanganan secara terpadu Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo sebelum tahun 2013; (8) penuntasan pembangunan jaringan serat optik di Indonesia bagian timur sebelum tahun 2013 dan maksimalisasi tersedianya akses komunikasi data dan suara bagi seluruh rakyat. 2.6.1. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI Permasalahan utama di bidang tanah dan tata ruang adalah: (1) Belum tersedianya peraturan terkait dengan pengumpulan data geospasial, pengolahan data dan informasi geospasial, penyimpanan dan pengamanan data dan informasi geospasial, penyebarluasan data dan informasi geospasial dan penggunaan informasi geospasial; (2) Belum tersedianya data dan informasi geospasial dasar dalam berbagai resolusi dan berbagai skala yang mencakup seluruh wilayah darat dan dirgantara serta sebagian wilayah laut nasional; (3) Belum tersedianya secara optimal simpul jaringan data dan informasi geospasial menyebabkan standarisasi data spasial menemui berbagai kendala. Permasalahan utama di bidang jalan, perhubungan dan transportasi perkotaan adalah: (1) kelebihan beban kendaraan (overloading vehicles), terutama di lintas timur Sumatera, pantai 2 - 74 utara Jawa, dan lintas selatan Kalimantan, masih terjadi di lapangan sehingga meningkatkan biaya pemeliharaan jalan; (2) permasalahan pembebasan lahan juga masih menjadi hambatan dalam penyelesaian beberapa proyek jalan seperti pembangunan jalan tol di Sumatera dan Trans Jawa; (3) Kondisi kualitas dan kuantitas sarana dan pelayanan angkutan umum khususnya di kawasan perkotaan yang masih terbatas dan belum optimal; (4) Tingginya jumlah dan fatalitas kecelakaan akibat kurangnya disiplin pengguna jalan, rendahnya tingkat kelaikan armada, rambu dan fasilitas keselamatan di jalan, law enforcement peraturan lalu lintas dan pendidikan berlalu lintas; (5) Belum terpadunya pembangunan akses prasarana jalan dengan prasarana pelabuhan penyeberangan, pelabuhan laut, bandara, dan kereta api yang dapat mendukung terwujudnya pelayanan jaringan transportasi multimoda maupun antar moda Pembangunan prasarana dan sarana transportasi yang meliputi pelabuhan laut dan penyeberangan, kereta api, serta bandara; (6) Masih belum terpenuhinya kebutuhan untuk pengadaan/pembangunan sarana transportasi ynag meliputi bus perintis, kapal penumpang/perintis, armada pesawat perintis termasuk biaya subsidi operasinya dalam rangka peningkatan kelancaran distribusi di suatu wilayah; (7) Proses penyediaan/pengadaan lahan yang membutuhkan waktu yang lama; (8) Insentif pajak yang masih kurang bagi pemberdayaan industri pelayaran dan industri perkapalan nasional. Permasalahan yang dihadapi oleh bidang perumahan rakyat adalah aksesibilitas dan jangkauan pelayanan terhadap perumahan beserta sarana dan prasarananya yang belum memadai. Upaya pencapaian Millenium Development Goals pada tahun 2015 masih perlu ditingkatkan untuk mengurangi separuh penduduk yang belum memiliki akses terhadap sumber air minum layak dan fasilitas sanitasi dasar layak serta pengurangan separuh penduduk miskin yang menghuni permukiman kumuh. Permasalahan lain yang dihadapi dalam pembangunan perumahan dan permukiman khususnya dalam pembangunan rusunawa dan Tempat Pemrosesan 2 - 75 Akhir (TPA) adalah terkait dengan kesiapan lahan termasuk aspek legalitas lahan yang harus disiapkan oleh pemerintah daerah. kelembagaan penyelenggaraan pembangunan perumahan dan permukiman belum mantap, dan efisiensi pembangunan perumahan masih rendah. Selain itu, belum mantapnya kelembagaan penyelenggaraan pembangunan perumahan dan permukiman dan efisiensi pembangunan perumahan yang masih rendah juga menjadi permasalahan yang menghambat pencapaian kinerja. Pengembangan dan pengelolaan sumber daya air dalam RPJMN 2010-2014 ditujukan untuk mendukung sasaran prioritas nasional infrastruktur dalam hal pengendalian banjir dan pengurangan dampak kerusakan akibat banjir, abrasi dan erosi pantai, lahar sedimen pada wilayah permukiman, pusat perekonomian, dan industri. Dalam mewujudkan dukungan tersebut, pengembangan dan pengelolaan sumber daya air masih terkendala pada permasalahan dan tantangan pokok sebagai berikut: (1) masih minimnya infrastruktur pengendali banjir seiring dengan semakin meningkatnya kondisi kerawanan banjir, abrasi dan erosi pantai, serta lahar sedimen di pusat pertumbuhan ekonomi, perkotaan, industri, dan kawasan permukiman; dan (2) terhambatnya penyelesaian pembangunan infrastruktur pengendali banjir akibat kendala pembebasan lahan dan permasalahan sosial seperti pada penyelesaian Kanal Banjir Timur (KBT) Jakarta dan waduk pengendali banjir di DAS Bengawan Solo. Pertumbuhan pembangunan akses telekomunikasi Indonesia sangat mengesankan dengan tingkat penetrasi total pada tahun 2009 mencapai 86,1 persen atau tumbuh lebih dari tiga kali lipat dibandingkan dengan tahun 2005. Pada tahun 2009, tingkat penetrasi seluler Indonesia (71,0 persen) bahkan sudah melebihi rata-rata dunia (68,3 persen). Di sisi lain, ketimpangan penyediaan infrastruktur komunikasi dan informatika masih menjadi masalah. Pada tahun 2009, lebih dari 80 persen infrastruktur akses terdapat di 2 - 76 wilayah barat Indonesia dan baru dua persen desa blank spot yang menjadi target program Universal Service Obligation (USO) memiliki akses internet. Selain itu, tingkat penetrasi broadband nasional masih sangat terbatas yaitu kurang dari dua persen dan jauh tertinggal dari rata-rata dunia (7,0 persen), padahal broadband merupakan infrastruktur komunikasi dan informatika masa depan yang menjadi salah satu pilar pendukung pertumbuhan ekonomi dan daya saing nasional. Kenaikan sepuluh persen tingkat penetrasi broadband diyakini akan memicu pertumbuhan ekonomi sebesar 1,38 persen di negara berkembang. 2.6.2. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN HASIL YANG DICAPAI DAN HASIL- Langkah kebijakan dan hasil yang dicapai untuk masingmasing substansi inti program aksi bidang infrastruktur dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20102014, diuraikan sebagai berikut: Berdasarkan berbagai permasalahan yang dihadapi, langkah kebijakan dalam pembangunan tanah dan tata ruang adalah: (1) Menyusun berbagai peraturan terkait dengan pengumpulan data geospasial, pengolahan data dan informasi geospasial, penyimpanan dan pengamanan data dan informasi geospasial, penyebarluasan data dan informasi geospasial dan penggunaan informasi geospasial; (2) Melanjutkan percepatan penyediaan data dan informasi geospasial dasar rupabumi, kelautan dan dirgantara dalam berbagai skala; (3) Mempercepat penyusunan standarisasi informasi geospasial dan terhubung seta berfungsinya simpul jaringan data spasial pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Rencana pencapaian tanah dan tata ruang sampai akhir tahun 2011 adalah: (1) UU RI Nomor 4/2011 tentang Informasi Geospasial; (2) Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 85/2007 tentang Jaringan Data Spasial Nasional (JDSN); (3) Peta rupabumi skala 2 - 77 1:250.000 telah selesai 100 % sebanyak 306 NLP yang mencakup seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan berbagai permasalahan yang dihadapi, langkah kebijakan dalam pembangunan transportasi tahun 2011 adalah: (1) peningkatan efisiensi sistem jaringan jalan di dalam sistem transportasi yang mendukung perekonomian nasional dan sosial masyarakat serta pengembangan wilayah melalui preservasi dan peningkatan kapasitas jalan lintas utama beberapa pulau besar serta pembangunan Jalan Tol Trans Jawa; (2) rehabilitasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana transportasi untuk mempertahankan dan memulihkan tingkat pelayanan jasa transportasi; (3) penyediaan fasilitas keselamatan jalan serta penyediaan subsidi keperintisan dan sarana keperintisan; (4) Pembangunan dan pengembangan bandar udara strategis dan pelabuhan-pelabuhan utama/strategis; (5) Upaya pencabutan Larang Terbang Maskapai Nasional Indonesia di Negara Uni Eropa; serta (6) terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 8/2011 tentang Angkutan Multimoda. Capaian pembangunan sarana dan prasarana transportasi hingga tahun 2010 berdasarkan fokus prioritas nasional adalah: (1) Penyelesaian pembangunan 17 dermaga penyeberangan baru; (2) Penyelesaian pembangunan 9 kapal penyeberangan perintis; (3) Penyelesaian Pembangunan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP) 28 Unit; (4) Penataan kawasan jalur KA pada lintas Jakarta Kota—Tanjung Priok dan Tanjung Priok—Pasar Senen; (5) Elektrifikasi jalur KA eksisting antara Serpong—Parungpanjang sepanjang 11,7 km; (6) Pembangunan jalur KA termasuk jalur ganda sepanjang 89,2 km; (7) pelaksanaan Inpres Nomor 5/2005; (8) pengoperasian kapal type coaster sebanyak 28 unit kapal yang melayani 61 (enam puluh satu) trayek untuk jalur perintis; (9) lanjutan pembangunan/pengembangan pelabuhan lebih dari 100 lokasi di mana 5 (lima) pelabuhan 5 diantara dapat diselesaikan pada 2 - 78 akhir tahun 2011; (10) pemeliharaan 30.854 km jalan nasional dan 100.824 m jembatan; (11) pembangunan 33 km jalan dan 3.904 m jembatan; (12) peningkatan kapasitas 2.047 km jalan pada lintas timur Sumatera, pantai utara Jawa, lintas selatan Kalimantan, lintas barat Sulawesi, dan lintas lainnya serta non lintas; (13) pembangunan flyover/underpass sepanjang 3.766 m; serta (14) pembangunan 245 km jalan dan 1.180 m jembatan pada jalan strategis di lintas Selatan Jawa, kawasana perbatasan, daerah terpencil dan pulau-pulau terluar. Langkah-langkah kebijakan yang telah dilakukan dalam rangka meningkatkan aksesibilitas dan jangkauan pelayanan perumahan dan kawasan permukiman serta untuk mendukung pencapaian target Millenium Development Goals yaitu: (1) Pengembangan regulasi dan kebijakan untuk menciptakan iklim yang kondusif serta koordinasi pelaksanaan kebijakan di tingkat Pusat dan Daerah dalam rangka pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman; (2) Peningkatan pemenuhan kebutuhan rumah layak huni yang didukung dengan prasarana, sarana dan utilitas (PSU) serta kepastian bermukim bagi masyarakat berpenghasilan menengah-bawah, melalui: (a) Pembangunan rumah layak huni melalui pasar formal maupun secara swadaya masyarakat baik untuk pembangunan baru maupun peningkatan kualitas, (b) Pembangunan rumah susun (rusun) baik sewa maupun milik, (c) Penyediaan PSU perumahan dan kawasan permukiman yang memadai untuk pengembangan kawasan perumahan dan permukiman serta PSU perumahan swadaya, (d) Penataan lingkungan perumahan dan permukiman kumuh, (e) Pembangunan rumah khusus, (f) Fasilitasi pra-sertipikasi dan pendampingan pasca sertipikasi tanah bagi MBR; (3) Pengembangan sistem pembiayaan perumahan dan kawasan permukiman bagi MBR melalui: (a) Pemberian kemudahan dan pengembangan bantuan pembiayaan perumahan melalui dukungan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), (b) Peningkatan pengerahan dan pemupukan dana, baik dana masyarakat, dana tabungan perumahan 2 - 79 maupun dana lainnya sesuai peraturan perundang-undangan, dan (c) Peningkatan pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan untuk pembangunan perumahan dan kawasan permukiman; (4) Peningkatan pendayagunaan sumberdaya pembangunan perumahan dan kawasan permukiman serta pengembangan dan pemanfaatan hasil-hasil penelitian dan pengembangan teknologi maupun sumber daya dan kearifan lokal; (5) Peningkatan sinergi pusat-daerah dan pemberdayaan pemangku kepentingan lainnya dalam pembangunan perumahan dan kawasan permukiman; (6) peningkatan kualitas lingkungan permukiman untuk mewujudkan terciptanya lingkungan permukiman yang sehat, harmonis, dan berkelanjutan baik melalui peningkatan kualitas lingkungan perumahan perkotaan maupun penanggulangan kemiskinan (PNPM) di perkotaan dan perdesaan; (7) peningkatan kapasitas kelembagaan penyelenggaraan pembangunan perumahan melalui pembinaan teknis, pengembangan kebijakan dan strategi, dan peningkatan pengendalian, koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan; (8) peningkatan cakupan pelayanan prasarana dan sarana dasar permukiman yang layak sesuai standar pelayanan minimum untuk meningkatkan cakupan pelayanan air minum, air limbah, persampahan, dan drainase baik yang diselenggarakan oleh badan usaha milik daerah (BUMD) maupun yang dilaksanakan oleh komunitas masyarakat. Pencapaian di bidang perumahan dan kawasan permukiman selama tahun 2010 yaitu: (1) Terbangunnya 49 twin blok (TB) rumah susun sewa dan infrastruktur pendukungnya untuk TNI/POLRI, pekerja industri, pondok pesantren, dan mahasiswa; (2) Penerbitan subsidi perumahan sebanyak 109.523 unit; (3) Terfasilitasinya perumahan swadaya berupa pembangunan 2.000 unit rumah baru serta peningkatan kualitas 20.000 unit rumah yang didukung dengan PSU; (4) Terbangunnya 1.006 unit rumah khusus; (5) Terfasilitasinya penataan lingkungan perumahan dan permukiman kumuh berbasis kawasan seluas 30 hektar; (6) Terfasilitasinya 12.470 unit rumah melalui pembangunan PSU kawasan perumahan 2 - 80 dan permukiman; (7) Terlayaninya 242 kawasan oleh infrastruktur kawasan permukiman perkotaan; (8) Terlayaninya 153 kawasan oleh infrastruktur kawasan permukiman perdesaan; (9) Terlayaninya 237 kecamatan oleh infrastruktur pendukung kegiatan ekonomi dan sosial (RISE); (10) Terbangunnya infrastruktur permukiman di 3.900 desa tertinggal; (11) Terselenggaranya pendampingan pemberdayaan sosial (P2KP/PNPM) di 10.948 desa; (12) Terlayaninya infrastruktur air minum di 71 kawasan MBR Perkotaan, 170 Ibu Kota Kecamatan (IKK), 19 kawasan khusus, dan 2.807 desa; (13) Terlayaninya 26 kawasan oleh infrastruktur air limbah dengan sistem on-site dan 11 kab/kota dengan sistem off-site; (14) Terlayaninya 25 kawasan oleh infrastruktur drainase perkotaan; serta (15) Terbangunnya infrastruktur stasiun antara dan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah di 62 kab/kota. Langkah-langkah kebijakan yang ditempuh dalam mengatasi permasalahan dan tantangan dalam pengelolaan dan pengembangan sumber daya air tersebut adalah dengan mempercepat penyelesaian pembangunan sarana/prasarana pengendali banjir, pengendali lahar sedimen dan pengaman pantai, terutama pada daerah perkotaan dan pusat-pusat perekonomian melalui: (1) percepatan penyelesaian Kanal Banjir Timur (KBT) Jakarta dan penanganan secara terpadu Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo; (2) memprioritaskan pelaksanaan rehabilitasi sarana dan prasarana pengendali banjir dan pengaman pantai; serta (3) mengoptimalkan dan mengefektifkan pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana pengendali banjir dan pengaman pantai. Dalam upaya mengendalikan dan mengurangi dampak kerusakan akibat banjir, serta erosi dan abrasi pantai baik secara struktural maupun non struktural terutama pada wilayah berpenduduk padat, wilayah strategis dan pusat-pusat perekenomian, hasil yang telah dicapai selama tahun 2010 adalah: (1) diselesaikannya konstruksi utama Kanal Banjir Timur Jakarta paket 2 - 81 22-29; (2) perbaikan dan pengaturan Sungai Bengawan Solo Hilir untuk pengamanan Kota Cepu; (3) pengadaan 2 unit pompa di Kabupaten Madiun untuk penanganan banjir di Sub DAS Kali Madiun; (4) pembangunan 321 km prasarana pengendali banjir dengan debit banjir rencana 10 tahunan dan rehabilitasi 171 km prasarana pengendali banjir; serta (5) pembangunan pengamanan pantai sepanjang 25 km. Ketersediaan infrastruktur komunikasi dan informatika yang memadai sangat diperlukan untuk mendukung pemantapan konektivitas nasional, peningkatan daya saing perekonomian nasional dan merupakan persyaratan mutlak untuk mewujudkan masyarakat informasi Indonesia 2015. Kegiatan pembangunan infrastruktur komunikasi dan informatika 2010-2014 difokuskan kepada: (1) penuntasan pembangunan jaringan serat optik di Indonesia Bagian Timur sebelum tahun 2013 yang juga merupakan bagian dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011—2025; dan (2) maksimalisasi tersedianya akses komunikasi data dan suara bagi seluruh rakyat tahun 2014. Hasil pelaksanaan kedua kegiatan tersebut sejak pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II hingga Juni 2011 adalah: (1) beroperasinya jaringan tulang punggung (backbone) serat optik berkualitas broadband oleh PT. Telkom yang pada tahun 2010 sudah menjangkau 323 ibukota kabupaten/kota (65 persen) serta selesainya pembangunan link Mataram-Kupang sebagai bagian dari Palapa Ring; (2) selesai disusunnya model bisnis dan konsep peraturan mengenai pembiayaan TIK atau Information and Communications Technology (ICT) Fund sebagai salah satu sumber pembiayaan pengembangan TIK secara umum dan jaringan broadband serat optik Palapa Ring pada khususnya; serta (3) beroperasinya akses telekomunikasi di 28.288 desa, Pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK) di 5.037 desa ibukota kecamatan, Nusantara Internet Exchange (NIX) di 5 kota, serta Desa Informasi di 16 kabupaten 2 - 82 melalui program Universal Service Obligation (USO). Melalui pengembangan berbagai kebijakan di sektor telekomunikasi, tingkat penetrasi total akses telekomunikasi nasional hingga akhir tahun 2010 telah melebihi jumlah populasi Indonesia yaitu mencapai 105,9 persen. 2.6.3. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN Berdasarkan hasil-hasil yang telah dicapai dan mempertimbangkan permasalahan yang dihadapi, maka Pemerintah berupaya merumuskan berbagai kebijakan dan program/kegiatan pembangunan infrastruktur. Tindak lanjut yang akan dilakukan diuraikan sebagai berikut. Berdasarkan berbagai permasalahan, langkah kebijakan, dan hasil yang dicapai, maka tindak lanjut yang masih perlu dilakukan adalah: (1) Memprioritaskan implementasi UU RI Nomor 4/2011 tentang Informasi Geospasial (UU IG) dan Peraturan Presiden Nomor 85/2007 tentang Jaringan Data Spasial Nasional (JDSN); (2) Memprioritaskan pemenuhan data dan informasi geospasial dasar pada wilayah yang belum terpetakan; (3) Memprioritaskan pemenuhan data dan informasi geospasial tema-tema tertentu terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup serta daerah rawan bencana alam; serta (4) Memprioritaskan pembangunan sistem simpul jaringan instansi pemerintah pusat dan daerah. Optimalisasi fungsi penghubung simpul jaringan dengan menyusun dan mengimplementasikan protokol pertukaran dan penyebarluasan data dan informasi geospasial. Berdasarkan berbagai permasalahan, langkah kebijakan, dan hasil yang dicapai sampai dengan bulan Juni 2011, maka tindak lanjut yang masih perlu dilakukan adalah: (1) pengembangan dan pembangunan jaringan pelayanan transportasi secara antarmoda dan intermoda antara lain upaya untuk memadukan kereta api dengan moda lainnya diantaranya dengan pengembangan akses KA menuju 2 - 83 bandara (KA bandara Soekarno – Hatta, Juanda, Kualanamu dan Minangkabau), pembangunan MRT di DKI Jakarta untuk jalur utaraselatan serta peningkatan aksesibilitas menuju pelabuhan utama untuk mendukung angkutan barang (pelabuhan Tanjung Priok, Cirebon, Tanjung Mas, Tanjung Perak dan Belawan); (2) penyelesaian dan sosialisasi revisi undang-undang sektor transportasi dan peraturan pelaksanaannya; (3) pengembangan angkutan penyeberangan dalam jangka panjang akan disesuaikan dengan pengembangan jalan dan jembatan; (4) pengembangan angkutan perkotaan, angkutan massal, penggunaan kendaraan yang ramah lingkungan, hemat BBM, meningkatkan rekayasa dan manajemen lalu lintas, menciptakan keterpaduan antar moda di kawasan perkotaan; (5) peningkatan iklim kompetisi secara sehat agar dapat meningkatkan efisiensi dan memberikan alternatif bagi pengguna jasa dengan tetap mempertahankan keberpihakan pemerintah sebagai regulator terhadap pelayanan umum yang terjangkau oleh masyarakat; (6) Menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif bagi industri pelayaran nasional; (7) Pelaksanaan National Single Window (NSW); (8) peningkatan kapasitas jalan pada jalan nasional lintas dan non lintas, terutama pada ruas-ruas utama perekonomian seperti Pantura Jawa, Lintas Timur Sumatera, Lintas Barat Sulawesi, Lintas Selatan Kalimantan, sedangkan jalan non lintas di Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Pulau Bali, Kepulauan Nusa Tenggara dan Pulau Papua; serta (9) dukungan pemerintah untuk pembangunan jalan tol melalui penyediaan biaya pengadaan tanah. Pada tahun 2011, akan dilanjutkan upaya-upaya pembangunan perumahan dan kawasan permukiman yang telah dilakukan pada tahun 2010 yaitu: (1) melanjutkan pembangunan 143 TB rumah susun sewa dan infrastruktur pendukungnya yang dialokasikan untuk TNI/POLRI, pekerja industri, pondok pesantren, dan mahasiswa; (2) penyaluran FLPP untuk 338.815 unit rumah baik untuk rumah tapak, rumah susun milik dan rumah murah; (3) fasilitasi perumahan 2 - 84 swadaya/rumah sangat murah berupa pembangunan baru sebanyak 12.500 unit, peningkatan kualitas yang didukung dengan PSU sebanyak 12.500 unit serta pendampingan pra dan pasca sertipikasi hak atas tanah sebanyak 7.500 unit ; (4) pembangunan 750 unit rumah khusus; (5) fasilitasi penataan lingkungan perumahan dan permukiman kumuh berbasis kawasan seluas 100 hektar; (6) fasilitasi PSU kawasan perumahan dan permukiman berupa bantuan stimulan PSU rumah sejahtera susun sebanyak 4.046 unit dan bantuan stimulan PSU rumah sejahtera tapak sebanyak 112.964 unit; (7) melanjutkan pembangunan infrastruktur permukiman di 3.987 desa tertinggal; (8) penyelenggaraan pendampingan pemberdayaan sosial (P2KP/PNPM) di 10.948 desa; (9) pelayanan 259 kawasan oleh infrastruktur kawasan permukiman perkotaan; (10) pelayanan 102 kawasan oleh infrastruktur kawasan permukiman perdesaan; (11) pelayanan infrastruktur air minum di 170 kawasan MBR perkotaan, 165 Ibukota Kecamatan (IKK), 67 kawasan khusus, dan 1.717 desa; (12) pelayanan 131 kawasan oleh infrastruktur air limbah dengan sistem on-site dan 11 kab/kota dengan sistem off-site; serta (13) pelayanan 54 kawasan oleh infrastruktur drainase perkotaan; (14) melanjutkan pembangunan infrastruktur stasiun antara dan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah di 91 kab/kota. Dalam rangka melanjutkan upaya mengendalikan dan mengurangi dampak kerusakan akibat banjir baik, abrasi pantai dan lahar/sedimen secara struktural maupun non struktural terutama pada wilayah berpenduduk padat, wilayah strategis dan pusat-pusat perekenomian, kebijakan yang dilakukan adalah mempercepat penyelesaian pembangunan sarana/prasarana pengendali banjir, pengaman pantai dan pengendali lahar/sedimen terutama pada daerah perkotaan dan pusat-pusat perekonomian dan daerah bencana seperti bencana Merapi dan Wasior Papua dengan sasaran yang akan dicapai di tahun 2012 adalah: (1) penyelesaian bangunan pelengkap Kanal Banjir Timur; (2) pelaksanaan penanganan Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo secara terpadu sesuai tahapan yang direncanakan; (3) 2 - 85 pembangunan, rehabilitasi, operasi dan pemeliharaan prasarana pengendali banjir masing-masing sepanjang 195,90 km, 200,12 km, dan 1.354,15 km; (4) pembangunan, rehabilitasi, operasi dan pemeliharaan sarana/prasarana pengaman pantai masing-masing sepanjang 43,51 km, 11,38 km dan 25,96 km; dan (5) pembangunan, rehabilitasi, operasi dan pemeliharaan sarana/prasarana pengendali lahar/sedimen pada masing-masing sebanyak 57 buah, 30 buah dan 47 buah. Hingga tahun 2014, pembangunan komunikasi dan informatika akan difokuskan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan dalam RPJMN 2010—2014 serta Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011—2025 yaitu: (1) melanjutkan pembangunan Palapa Ring hingga menjangkau seluruh pulau besar di Indonesia dan 88 persen ibukota kabupaten/kota baik yang dilakukan oleh PT. Telkom maupun pemerintah melalui ICT Fund; (2) melanjutkan penyediaan jasa akses dan memastikan keberlanjutan layanan telekomunikasi dan informatika dengan sasaran 100 persen jangkauan di daerah blank spot yang menjadi target USO. 2.7 PRIORITAS NASIONAL 7: IKLIM INVESTASI DAN IKLIM USAHA Kondisi perekonomian dunia sepanjang tahun 2010 telah menunjukkan perbaikan (recovery) sejak gejolak pasar keuangan yang terjadi pada tahun 2009. Sejak awal tahun 2011, geopolitik kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara memanas dan menimbulkan instabilitas pemerintahan, ditambah bencana alam dan tsunami di Jepang cukup mempengaruhi perekonomian dunia terutama di negara-negara industri. Namun demikian, kondisi perekonomian Indonesia masih menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Ketahanan dan stabilitas ekonomi masih dapat 2 - 86 terjaga. Perekonomian Indonesia yang diukur berdasarkan PDB besaran harga berlaku pada Semester I-2011 mencapai nilai Rp 3.543,4 triliun sedangkan berdasarkan harga konstan 2000 Rp 1.205,1 triliun (BPS). Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester I/2011 meningkat 6,5 persen dibandingkan tahun 2010 pada semester yang sama. Dukungan internal masih terjaga dengan investasi berupa Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTB) dan ekspor yang masing-masing naik 8,3 persen dan 17,4 persen. Kondisi bisnis dan perekonomian Indonesia pada triwulan II/2011 dan kecenderungan triwulan ke depan yang ditunjukkan oleh Indeks Tendensi Bisnis/ITB (survey BI dan BPS) memperlihatkan perkembangan positif yaitu mencapai 105,75, yang berarti meningkat dari triwulan sebelumnya, Triwulan I/2011 yang mencapai 102,16. Prospek bisnis pada Triwulan III-2011 diperkirakan lebih meningkat lagi yang ditunjukkan dengan nilai 108,51. Peningkatan terjadi di semua sektor terutama sektor pengangkutan dan komunikasi, sedangkan sektor keuangan, real estate, jasa perusahaan mengalami peningkatan bisnis terendah. Secara global, aliran masuk FDI diprediksi meningkat dari USD 1.536,8 miliar pada tahun 2010 menjadi USD 1.604,0 miliar pada tahun 2011. Demikian halnya aliran masuk FDI ke negaranegara berkembang yang meningkat dari USD 564,2 miliar menjadi 586,7 miliar (World Investment Prospect, 2011). Pada tahun 2011, aliran masuk FDI ke Indonesia diperkirakan akan mencapai USD 6,6 miliar atau 0,4 persen dari total FDI dunia dan menduduki peringkat ke 36 dari 82 negara. Kelangsungan proses perbaikan ekonomi dunia dalam tahun 2010, terutama di negara-negara mitra dagang utama Indonesia, menyebabkan ekspor terus meningkat. Di antara mitra dagang utama Indonesia, pertumbuhan ekonomi China dan India masih yang tertinggi sehingga memberikan pengaruh positif terhadap 2 - 87 perkembangan ekspor Indonesia, khususnya komoditas berbasis sumber daya alam. Dalam tahun 2010, pertumbuhan total ekspor sebesar 33,4 persen dan ekspor nonmigas sebesar 31,3 persen. Perbaikan kinerja ekspor tersebut diiringi pula dengan meningkatnya surplus neraca perdagangan Indonesia, membaiknya tingkat diversifikasi pasar tujuan ekspor, serta tingginya pertumbuhan ekspor produk manufaktur. Neraca perdagangan tahun 2010 mengalami surplus sebesar USD 21,4 miliar atau lebih tinggi 12,4 persen dari tahun 2009. Diperkirakan surplus neraca perdagangan pada tahun 2011 akan mencapai angka yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2010, seiring dengan terus membaiknya kinerja perekonomian Indonesia dan perekonomian global. Selain itu, kontribusi 5 (lima) pasar tujuan ekspor Indonesia pada tahun 2011 terlihat lebih kecil dibandingkan dengan tahun sebelumnya; di mana pada tahun 2010 adalah sebesar 48,8 persen sedangkan di tahun 2011 (Jan-Jun) adalah sebesar 48,2 persen. Hal ini merupakan salah satu indikasi bahwa pasar ekspor nonmigas mulai bergeser sedikit demi sedikit ke negara non-utama, sehingga tingkat ketergantungan ekspor Indonesia ke pasar utama menjadi lebih kecil. Sementara itu, iklim investasi dan iklim usaha yang menarik diperlukan untuk mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup tinggi secara berkelanjutan dan berkualitas. Iklim investasi dan iklim usaha yang menarik dilaksanakan melalui perbaikan kepastian hukum, penyederhanaan prosedur, pengembangan dan penetapan Sistem Logistik Nasional, perbaikan sistem informasi, pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus, dan kebijakan ketenagakerjaan. 2.7.1 PERMASALAHAN YANG DIHADAPI Dalam upaya menggerakkan sektor riil sebagai motor penggerak perekonomian nasional perlu peningkatan iklim investasi 2 - 88 dan iklim usaha. Sampai saat ini, realisasi investasi rata-rata per tahun lebih dari 60 persen berada di Pulau Jawa. Sektor yang menjadi daya tarik investasi semakin cenderung kepada sektor jasa, di lain pihak sektor pengolahan cenderung menurun dan sektor primer kurang diminati. Sektor pengolahan sangat penting untuk meningkatkan daya saing produk, dan sektor primer terutama bidang usaha pertanian sangat penting untuk menjaga ketahanan pangan sebagai upaya antisipasi dampak perubahan iklim global. Iklim investasi Indonesia dinilai masih kurang kondusif yang ditunjukkan dengan peringkat “Doing Business” oleh IFC Bank Dunia 2010, yaitu menduduki peringkat ke 121 dari peringkat ke 115 pada tahun 2009. Berbagai masalah yang dihadapi sebagaimana laporan lembaga tersebut dan keluhan para investor yakni: (i) pelayanan perijinan dinilai masih lama, dan sulit terutama dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya, serta prosedur perijinan yang bervariasi di masing-masing daerah karena pandangan daerah yang berbeda terhadap pentingnya investasi; (ii) banyaknya Perda yang kontra produktif bagi iklim investasi daerah; (iii) belum harmonisnya aturan di pusat dan belum sinkronnya aturan antara pusat dengan daerah; (iv) masih sulitnya akses kredit usaha dan masih tingginya suku bunga kredit usaha terutama bagi investor domestik; (v) belum optimalnya kelancaran distribusi barang dan perlunya peningkatan kualitas sistem logistik nasional. Terkait dengan persiapan pembangunan kawasan ekonomi khusus (KEK), masih menunggu penyelesaian RPP perpajakan/kepabeanan dan cukai di KEK, belum selesainya Rapermen pendelegasian wewenang dari kementerian/lembaga ke KEK, dan kemudahan dalam kepelabuhanan, keimigrasian, dan fasilitas keamanan. Masalah yang cukup mendesak harus segera ditangani adalah percepatan penyediaan infrastruktur dan energi seperti pelabuhan laut dan bandar udara, jalan, serta listrik dan air bersih. Sebagai 2 - 89 salah satu upaya untuk memenuhi penyediaan infrastruktur dan energi, pemerintah telah mempersiapkan skema pendanaan kemitraan pemerintah dan swasta (KPS), namun implementasinya masih terkendala antara lain oleh penyediaan lahan akibat sulitnya pembebasan tanah. Selain faktor domestik, sebagaimana telah diuraikan di atas, faktor eksternal juga berpotensi untuk diwaspadai. Tantangan perekonomian global yang mungkin dihadapi pada tahun 2011, di antaranya adalah: (i) potensi berlanjutnya gejolak pasar keuangan yang terjadi di beberapa negara Eropa; (ii) perlu diwaspadainya dampak dengan semakin meningkatnya beban hutang Amerika Serikat dalam satu dekade terakhir; serta (iii) belum pulihnya arus kredit perbankan dunia yang menyebabkan perbankan global mengurangi ekspansi kredit ke sektor riil. Belum optimalnya sistem logistik nasional saat ini tercermin dari peringkat Indonesia pada logistic performance index tahun 2010 yang secara keseluruhan berada pada urutan ke-75, posisi ini lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara tetangga seperti: Singapura, Malaysia, dan Thailand. Selain itu, kompetensi logistik Indonesia berada pada urutan ke 92, yang merupakan paling rendah diantara negara ASEAN lainnya. Rendahnya kinerja sistem logistik nasional antara lain ditandai oleh: 1. Masih terjadinya kelangkaan stok pada daerah tertentu dikarenakan terhambatnya jaringan distribusi dan fluktuasi harga kebutuhan bahan pokok masyarakat, terutama pada harihari besar nasional/keagamaan ataupun adanya gangguan harga/suplai di pasar internasional; 2. Masih adanya hambatan operasional pelayanan di pelabuhan laut dan udara; 3. Masih terbatasnya kapasitas dan jaringan pelayanan penyedia jasa logistik nasional. 2 - 90 Sementara itu, belum terbitnya aspek legal untuk cetak biru pengembangan Sistem Logistik Nasional menjadi salah satu faktor yang menyebabkan belum optimalnya upaya pemerintah maupun swasta untuk dapat mengembangkan sistem logistik nasional secara terintegrasi. TABEL 2.7.1 RANKING DAN SKOR LOGISTIC PERFORMANCE INDEX (LPI) 2010 Negara Kompetensi Logistik Total Singapore Rank 2 Score 4,09 3,44 Rank 6 31 Score 4,12 3,34 Malaysia 29 Thailand 35 3,29 39 3,16 Indonesia Vietnam Philipines 75 53 44 2,76 2,96 3,14 92 2.47 51 47 2,89 2,95 Sumber: Connecting to Compete: “Trade Logistic in the Global Economy”, Bank Dunia, 2010 Permasalahan dalam pergerakan arus barang ekspor dan impor yang masih dihadapi antara lain sebagai berikut. Pertama, fasilitasi perdagangan terkait dengan perdagangan barang dan jasa antar negara masih perlu lebih ditingkatkan. Meskipun peringkat Indonesia tahun 2011 untuk perdagangan antar negara (Trading Across Borders) berdasarkan Doing Business terlihat lebih baik 2 - 91 dibandingkan dengan tahun 2010 (yaitu dari 49 menjadi 47), tetapi posisinya di antara negara ASEAN masih lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga, seperti: Singapura, Thailand, dan Malaysia. Walaupun demikian, posisi Indonesia untuk trading across border masih lebih baik dibandingkan dengan Brunei, Filipina, Vietnam, Kamboja, dan Laos. TABEL 2.7.2 PERINGKAT PERDAGANGAN LINTAS BATAS Peringkat: Trading Across Borders Negara 2010 2011 Singapura 1 1 Thailand 16 12 Malaysia 37 37 Indonesia 49 47 Brunei 51 52 Filipina 68 61 Vietnam 59 63 Kamboja 126 118 Laos 170 170 Sumber: Doing Business 2011, Bank Dunia Kedua, pemanfaatan National Single Window (NSW) yang masih perlu diperluas agar jumlah eksportir dan importir yang memanfaatkan sistem NSW tersebut menjadi lebih banyak. Upaya optimalisasi NSW ini tentunya akan dapat membantu dalam menurunkan biaya ekonomi tinggi, karena proses ekspor dan impor melalui NSW dapat mencegah adanya pungutan diluar biaya resmi. 2 - 92 Di bidang ketenagakerjaan, sejak dikeluarkannya UU 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tingkat fleksibisitas pasar kerja Indonesia menempati urutan 149 dari 183 negara di dunia. Jika dibandingkan dengan Negara pesaing dalam menarik investasi di kalangan Asia Pasifik, Indonesia menempati urutan 23 dari 24 negara, menurut laporan Doing Business (tahun 2010), sebuah survei yang antara lain mengukur secara kuantitatif berbagai peraturan dalam mempekerjakan pekerja. Undang-undang tersebut dirasakan sangat memberatkan bagi perusahaan dalam mempekerjakan karyawan. Pasal yang dianggap memberatkan bagi perusahaan adalah pasal 156 dari UU no 13/2003 tentang pemberian pesangon. Upaya pemerintah untuk menyempurnakan peraturan ketenagakerjaan sudah dilakukan sejak tahun 2006. Beberapa pasal dalam UU tersebut yang dinilai sangat kaku dan berdampak kepada turunnya laju pertumbuhan penciptaan lapangan kerja formal diusulkan untuk dirubah. Namun hingga saat ini, belum ada kata sepakat dari serikat pekerja untuk menyetujui usulan perubahan tersebut. Secara keseluruhan, lapangan kerja yang tercipta dalam periode Februari 2010 sampai Februari 2011 mengalami peningkatan 3,87 juta orang, sehingga tingkat pengangguran terbuka menurun menjadi 6,8 persen. Namun demikian, pertumbuhan pekerja formal sektor industri manufaktur pada Februari tahun 2010 mengalami penurunan sebesar 4,66 persen. 2.7.2 LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN HASIL YANG DICAPAI DAN HASIL- Dalam upaya meningkatkan iklim investasi dan iklim usaha yang kondusif, beberapa langkah kebijakan secara simultan telah dilakukan dengan hasil yang dicapai adalah: 1. Dalam rangka penyederhanaan prosedur, sampai bulan Juni 2011 telah terbangun 256 Pelayanan Terpadu Satu Pintu 2 - 93 (PTSP) yang tersebar diseluruh Indonesia. Dari 256 PTSP tersebut, sebanyak 55 kabupaten/kota dan 33 propinsi atau 34,4 persennya telah tersambung dengan Sistem Pelayanan Informasi dan Perijinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE). 2. Pemberian tax holiday melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94/2010 ditujukan kepada penanam modal pada industri baru, industri pionir, industri yang tidak mendapatkan fasilitas pajak yang ada sebelumnya, memperkenalkan teknologi baru, dan memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional. 3. Untuk mempercepat pelaksanaan proyek kerjasama pemerintah swasta (KPS) telah ditandatangani MoU trilateral antara Menteri PPN/Kepala BAPPENAS, Menteri Keuangan, dan Kepala BKPM. Pemerintah dalam komitmennya untuk mempercepat implementasi KPS telah dilakukan antara lain: 1) dana talangan menjamin ketersediaan tanah (land fund), 2) dana penjaminan (Guarantee fund ) dengan dibentuknya PT. Penjaminan Infrastruktur Indonesia, 3) dana pembiayaan infrastruktur dengan dibentuknya PT. Sarana Multi Infrastruktur dan PT. Indonesia Infrastructure Financing Facility, dan 4) penyediaan fasilitas pendukung dana bergulir untuk eksplorasi panas bumi. 4. Telah dibatalkannya 1.843 Perda bermasalah menghambat investasi sepanjang tahun 2010. 5. Diterbitkannya berbagai peraturan tentang kawasan ekonomi khusus (KEK), yaitu Perpres No. 33 Tahun 2010 tentang Dewan Nasional dan Dewan Kawasan untuk Kawasan Ekonomi Khusus, Kepres No. 8 Tahun 2010 tentang Keanggotaan Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus, dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus yang Berbagai implementasi kebijakan ekonomi yang telah dilakukan mampu menjaga stabilitas perekonomian dan sekaligus meningkatkan kredibilitas di mata berbagai lembaga pemeringkat 2 - 94 internasional seperti Fitch, Moody’s, dan Standard & Poors yang merefleksikan optimisme sekaligus kepercayaan lembaga rating tersebut terhadap kredibilitas serta kemampuan otoritas perekonomian Indonesia dalam mengatasi berbagai tantangan termasuk peningkatan tekanan inflasi serta besarnya arus modal masuk. Aliran modal asing (foreign direct investment-FDI) periode Januari-Maret 2011 (triwulan I) meningkat 55,2 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya dari USD 2,9 miliar menjadi USD 4,5 miliar, dan meningkat 4,7 persen dari triwulan IV2010 yang hanya USD 4,3 miliar. Kenaikan arus masuk FDI di lain pihak juga diikuti oleh meningkatnya aliran ke luar yang mencapai 275 persen dari USD 0.4 miliar menjadi USD 1,5 miliar (y-o-y). Nilai realisasi PMDN dan PMA sektor nonmigas pada semester I/2010 masing-masing mencapai Rp21,9 triliun dan USD 7,6 miliar, sedangkan pada semester I/2011 masing-masing mencapai Rp33,0 triliun dan USD 9,2 miliar, atau meningkat sebesar 50,8 persen dan 20,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2010 (y-o-y). Sementara itu, fungsi utama dari sistem logistik nasional adalah untuk menjamin kelancaran arus barang strategis dan ekspor yang ditujukan untuk: (i) meningkatkan efisiensi biaya distribusi; dan (ii) meningkatkan jaminan ketersediaan dan keterjangkauan terhadap barang strategis. Upaya yang telah dilakukan pemerintah antara lain sebagai berikut: 1. Penetapan pengembangan sistem logistik nasional sebagai salah satu prioritas pembangunan nasional, yang tertuang dalam RPJMN 2010—2014 (Perpres No. 5 tahun 2010) pada Prioritas Nasional 7 dan Fokus Prioritas pada pembangunan Bidang Ekonomi. 2. Penyempurnaan rancangan Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional, yang akan segera ditetapkan melalui 2 - 95 Peraturan Presiden yang rencananya akan dikeluarkan pada akhir tahun 2011. 3. Terbitnya Peraturan Pemerintah No. 8/2011 tentang Angkutan Multimoda 4. Pembangunan 112 unit pasar tradisional di daerah tertinggal dan terpencil serta renovasi 127 unit pasar tradisional pada tahun 2010. Selain itu, dalam rangka pelaksanaan Sistem Resi Gudang (SRG), pada tahun 2010 telah dibangun 11 gudang di 11 kabupaten. Dalam rangka mempercepat proses ekspor dan impor, Indonesia telah menerapkan National Single Window (NSW) sehingga proses ekspor dan impor dapat lebih cepat dan lebih sederhana. Sampai saat ini, portal INSW telah beroperasi secara penuh (mandatory) di 5 pelabuhan utama (sekitar 90% dari layanan nasional) yang memberikan fasilitasi semua layanan terkait eksporimpor. INSW dimandatorikan secara resmi oleh Presiden RI pada Januari 2010. Sementara itu, integrasi aplikasi INATRADE untuk ekspor telah dimandatorikan pada akhir bulan Oktober 2010.Selain itu, portal INSW sudah dapat dioperasikan secara live dengan waktu layanan 7X24 Jam. Pada tahun 2011, implementasi NSW sudah masuk pada tahapan pengembangan Sistem NSW 2011, yang difokuskan pada pengembangan sistem untuk “Cargo Release” di TPS (Tempat Penimbunan Sementara/Terminal) dan pengembangan TPS Online untuk diintegrasikan dengan Portal INSW. Jadwal penerapan INSW dapat dilihat pada Gambar 2.7.1 berikut: GAMBAR 2.7.1 JADWAL IMPLEMENTASI INSW 2007-2011 2 - 96 Sumber : Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Sampai saat ini, INSW melayani kurang lebih 15.200 perusahaan pengguna, yang terdiri dari Importir, Eksportir serta PPJK melalui jaringan publik (Internet), dengan jumlah transaksi dokumen impor (PIB) rata-rata per tahun sebanyak 600 ribu dokumen dan jumlah transaksi dokumen ekspor (PEB) rata-rata per tahun sebanyak 1,2 juta dokumen. Sebagai bagian dari penerapan NSW, Pemerintah telah mengembangkan sistem pelayanan perdagangan luar negeri online (INATRADE) yang secara resmi telah diluncurkan pada tanggal 10 Agustus 2010. INATRADE merupakan sistem pengajuan/penerimaan permohonan serta pemrosesan perijinan secara elektronik (e-licensing) yang terintegrasi dengan sistem INSW (Indonesia National Single Window). Penggunaan sistem ini akan mempercepat proses customs clearance karena perijinan impor yang telah dikeluarkan dapat langsung dikirimkan secara wajib ke portal NSW melalui sistem elektronik. Dalam rangka memperluas lapangan kerja dan meningkatkan daya saing ketenagakerjaan, Pemerintah mengupayakan penyempurnaan kebijakan ketenagakerjaan yang difokuskan pada 3 fokus prioritas, yaitu: (a) peningkatan kualitas dan kompetensi tenaga kerja untuk mempersiapakan calon pekerja/pekerja memasuki pasar kerja, (b) memperkuat kelembagaan hubungan industrial dan 2 - 97 peraturan ketenagakerjaan, dan (c) meningkatkan mobilitas tenaga kerja dan fasilitasi perpindahan pekerja. Hasil-hasil yang telah dicapai di bidang ketenakerjaan antara lain meliputi: (a) peningkatan kondisi dan mekanisme hubungan industrial, fasilitasi pekerja/buruh guna peningkatan teknik-teknik berunding yang baik, fasilitasi keikutsertaan pekerja mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja dalam rangka mendorong terciptanya kesempatan kerja yang baik (decent work); (b) penyelesaian naskah akademis dan rancangan penyempurnaan peraturan kompensasi dan penetapan PHK, hubungan kerja (PKWT dan outsourcing), pengupahan, perlindungan pekerja, dan mogok kerja terkait rencana amandemen UU 13/2003; (c) harmonisasi peraturan jaminan sosial melalui rancangan peraturan pelaksanaan program jaminan sosial; (d) perbaikan mekanisme perundingan secara bipartite; (e) inventarisasi Peraturan Daerah (Perda) yang berpotensi menghambat penciptaan kesempatan kerja, dalam rangka harmonisasi peraturan pusat-daerah, (f) ditetapkannya Peraturan Presiden No. 21 tahun 2010 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan. Hasil-hasil pelaksanaan program-program ketenagakerjaan secara lengkap, dapat dilihat pada Bidang Ekonomi. 2.7.3 TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN Secara terencana dan bertahap, program dan kegiatan untuk mencapai iklim investasi dan iklim usaha yang semakin kondusif terus dilaksanakan sampai dengan tahun 2014. Tindak lanjut yang diperlukan adalah: 1. Peningkatan pelayanan perijinan antara lain melalui peningkatan jumlah PTSP yang tersambung dengan SPIPISE. 2. Percerpatan penyelesaian masalah yang menghambat realisasi proyek dengan skema KPS. 3. Percepatan penetapan lokasi KEK. 2 - 98 4. Mencegah munculnya berbagai perda yang menghambat terwujundya iklim investasi dan iklim usaha yang kondusif. 5. Untuk mempercepat Pengembangan Sistem Logistik Nasional, Pemerintah akan melakukan beberapa langkah sebagai berikut: a. Melakukan penyempurnaan rancangan Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional yang disesuaikan dengan perkembangan terakhir dan direncanakan akan ditetapkan dengan Peraturan Presiden; b. Melakukan upaya peningkatan stabilisasi harga dan menurunkan disparitas harga antar wilayah, terutama untuk bahan pokok; antara lain dengan cara peningkatan intensitas pemantauan harga dan suplai kebutuhan pokok di seluruh Indonesia melalui optimalisasi Early Warning System (EWS); c. Meningkatkan koordinasi dengan pemerintah daerah untuk upaya peningkatan kelancaran arus barang antara wilayah maupun antar kabupaten/kota dalam peningkatan ketersedian sarana perdagangan antara lain penyediaan lahan. 6. Untuk terus memberikan kemudahan dalam proses ekspor dan impor, Pemerintah akan menindaklanjuti berbagai upaya antara lain: a. Penguatan infrastruktur teknologi informasi dan pengembangan sistem aplikasi untuk: single sign on, single reference, utilization report, otomasi rekomendasi perijinan, serta penyempurnaan akses data manifest bagi K/L terkait; b. Pengembangan cargo release system melalui integrasi Tempat Penimbunan Sementara (TPS) secara online; c. Perluasan cakupan penerapan sistem NSW dan perumusan konsep kelembagaan pengelola INSW. 7. Di bidang ketenagakerjaan, tindak lanjut yang diperlukan adalah sebagai berikut: 2 - 99 a. peningkatan pemahaman peraturan/kebijakan ketenagakerjaan, melalui dialog sosial dalam berbagai media yang melibatkan seluruh pemangku kepetingan ketenagakerjan; b. memperbaiki mekanisme hubungan industrial antara pekerja dan pengusaha, untuk mendukung penciptaan iklim investasi bagi dunia usaha; c. meningkatkan penerapan standar pelayanan minimal (SPM) yang mencakup kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja dan proses penyelesaian hubungan industrial untuk mengurangi PHK; d. mengembangkan kelembagaan hubungan industrial dalam rangka meningkatkan produktivitas untuk mewujudkan kenyamanan bekerja dan kepastian berusaha. 2.8 PRIORITAS NASIONAL 8: ENERGI Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010—2014, sasaran pencapaian ketahanan energi nasional adalah untuk menjamin kelangsungan pertumbuhan nasional melalui restrukturisasi kelembagaan dan optimalisasi pemanfaatan energi alternatif seluas-luasnya. Sasaran utama dari ketahanan dan kemandirian energi adalah: (1) Peningkatan kapasitas pembangkit listrik sebesar rata-rata 3000 MW pertahun mulai 2010 dengan rasio elektrifikasi yang mencakup 62% pada 2010 dan 80% pada 2014; (2) Produksi minyak bumi sebesar 1,01 juta barrel perhari pada 2014; (3) Peningkatan pemanfaatan energi terbarukan termasuk energi alternatif panas bumi sehingga mencapai 2.000 MW pada 2012 dan 5.000 MW pada 2014 dan dimulainya produksi coal bed methane (CBM) pada tahun 2011 untuk membangkitkan listrik disertai dengan pemanfaatan potensi tenaga surya, mikrohidro serta nuklir secara bertahap. 2 - 100 2.8.1. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI Dalam rangka mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi nasional guna mendukung percepatan, pemulihan dan menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi nasional baik dalam jangka pendek, menengah maupun jangka panjang, terdapat beberapa permasalahan yang harus dihadapai antara lain: (1) Ketidakseimbangan antara kebutuhan energi dan pasokan energi; (2) Ketergantungan terhadap BBM yang tinggi; (3) Kurangnya tingkat pelayanan infrastruktur energi; (4) kurangnya peningkatan pemanfaatan gas bumi untuk domestik sebagai bahan bakar dan bahan baku; dan (5) kurangnya pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) termasuk didalamnya pengembangan panas bumi. Permasalahan dalam ketidakseimbangan antara kebutuhan energi dan pasokan energi timbul karena pertumbuhan permintaan energi yang terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan bertambahnya jumlah penduduk yang melebihi pertumbuhan pasokan energi. Kendala tersebut diperparah dengan rendahnya tingkat pelayanan, efisiensi dan keandalan sistem penyediaan dan penyaluran energi di seluruh Indonesia. Permasalahan kedua terkait dengan ketergantungan terhadap BBM saat ini masih tinggi. Meskipun pangsa minyak bumi dalam bauran energi nasional makin menurun yaitu dari 48,4% pada tahun 2008 menjadi 48% pada tahun 2010 sejalan dengan pertumbuhan kebutuhan energi nasional, volume pemakaian BBM masih bertambah dari tahun ke tahun. Tingginya tingkat konsumsi BBM menyebabkan ketergantungan yang besar terhadap impor minyak mentah maupun BBM. Ketergantungan ini menyebabkan ketahanan energi nasional menjadi rentan terhadap fluktuasi harga, pasokan dan permintaan minyak mentah dunia. Menurunnya produksi minyak mentah disebabkan oleh terbatasnya pembukaan lapangan minyak baru yang masih terkendala akibat konflik tumpang tindih lahan dengan hutan konservasi atau hutan lindung, perkebunan dan 2 - 101 ketersediaan data geosains migas yang terbatas baik kualitas maupun kuantitas. Pada sisi lain, sebagian besar (lebih dari 90%) kilang yang ada di Indonesia merupakan kilang-kilang tua yang memiliki efisiensi semakin menurun dibandingkan dengan saat dibangun. Saat ini, Indonesia hanya mempunyai 10 (sepuluh) unit kilang pengolahan BBM dengan kapasitas kilang sebesar 1,16 juta barel per hari, yang tidak optimal dalam operasionalnya karena kondisi kilang pengolahan seringkali mengalami berhenti operasi (shutdown), baik karena masalah teknis maupun untuk tujuan pemeliharaan. Hal ini diperparah dengan terbakarnya unit kilang pengolahan BBM di Cilacap pada bulan April 2011 yang memasok 34% dari kebutuhan BBM nasional. Permasalahan ketiga ketahanan energi yaitu kurangnya tingkat pelayanan infrastruktur energi, sangat mempengaruhi tingkat ketersediaan dan aksesbilitas energi, yang menyebabkan ketergantungan terhadap pasokan energi dalam negeri maupun impor BBM. Permasalahan ini semakin banyak dihadapi pada jaminan pasokan BBM untuk wilayah-wilayah yang sulit dijangkau. Faktor gangguan cuaca, kondisi jalan yang rusak, kondisi gelombang laut dan faktor penghambat distribusi dan pengangkutan BBM lainnya memberikan tantangan bagi Pemerintah untuk menjamin pasokan BBM. Selain itu keterbatasan dalam jumlah sarana kapal dan fasilitas pengangkut BBM yang sudah tua juga mempengaruhi kehandalan sistem pengangkutan tersebut. Permasalahan keempat, kurangnya peningkatan pemanfaatan gas bumi untuk domestik sebagai bahan bakar dan bahan baku. Untuk mengurangi ketergantungan yang tinggi terhadap minyak bumi, perlu dilakukan pemanfaatan sumber energi lainnya seperti gas bumi. Pada beberapa wilayah, belum ada kepastian ketersedian gas bumi dalam waktu jangka panjang, dikarenakan sebagian besar produksi gas dalam negeri sudah dikontrak sebelumnya dengan pembeli luar negeri (committed gas) berdasarkan UU Nomor 2 - 102 22/2001 tentang minyak dan gas bumi. Hal ini menyebabkan calon investor di bidang pengangkutan dan niaga gas bumi melalui pipa masih ragu untuk berinvestasi. Selain itu, peraturan perundangan yang ada terkait dengan kegiatan usaha pengangkutan dan niaga gas bumi beberapa diantaranya masih belum lengkap sehingga menimbulkan kendala dalam pelaksanaan atau pengawasannya. Permasalahan lainnya yaitu masih sulitnya koordinasi antar lembaga pemerintah yang terkait bidang gas bumi karena adanya ego sektoral, sehingga membuat beberapa keputusan menjadi lambat dan sulit terealisasi yang berakibat lambatnya investasi di bidang infrastruktur gas bumi. Pemanfaatan gas bumi untuk rumah tangga dan bahan bakar angkutan umum juga belum maksimal dikarenakan permasalahan regulasi, kebijakan harga dan kurangnya infrastruktur serta alat konversi yang masih relatif mahal. Permasalahan kelima, kurangnya pemanfaatan EBT, termasuk panas bumi yang belum dapat dilaksanakan secara maksimal. Permasalahan yang timbul adalah regulasi dan kelembagaan, kebijakan harga, serta konflik tumpang tindih lahan. Belum adanya penetapan harga energi baru terbarukan yang menguntungkan bagi investor menyebabkan nilai investasi untuk EBT menjadi kurang menarik. Subsidi BBM dan listrik yang masih dipertahankan juga menjadi salah satu faktor sulitnya perkembangan EBT, hal ini dikarenakan harga dari sumber energi baru dan terbarukan untuk bahan bakar dan bahan baku tidak dapat berkompetisi dengan harga BBM yang disubsidi. Adanya tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam melakukan perencanaan dan pengambilan keputusan serta masalah tumpang tindih lahan juga menyebabkan banyak proyek-proyek EBT yang terhambat. 2.8.2. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN HASIL YANG DICAPAI DAN HASIL- 2 - 103 Berbagai upaya untuk meningkatkan produksi minyak bumi adalah dengan meningkatkan kontrak kerja sama ekplorasi sebanyak 26 kontrak baru dari tahun 2010 sampai dengan Juni 2011. Pada tahun 2010, realisasi investasi mengalami peningkatan mencapai US$ 13,5 Miliar dan diharapkan akan meningkat pada tahun 2011 seiring dengan terealisasinya rencana investasi untuk pembangunan kilang minyak baru, revitalisasi kilang, pembangunan Floating Storage Regasification Unit (FSRU) di Sumatera Utara dan Jawa Barat. Selain itu, guna meningkatkan cadangan minyak bumi dilakukan survei seismik 2 Dimensi (2D) dan 3 Dimensi (3D) untuk melakukan pemutakhiran hasil kegiatan eksplorasi. Survei seismik 2D sampai bulan Juni 2011 telah mencapai 4.435 km2 dari rencana tahun 2011 sebesar 13.752 km2. Adapun survei seismik 3D sampai bulan Juni 2011 telah mencapai 2.123 km2 dari rencana tahun 2011 sebesar 13.377 km2. Sedangkan keberhasilan pemboran sumur ekplorasi dari Januari sampai dengan Juni 2011 yaitu sebesar 28 dari 191 sumur ekplorasi dengan success ratio sebesar 18%. Produksi minyak mentah mencapai rata-rata sebesar 954 ribu barel perhari selama tahun 2010 dan 860,8 ribu barel perhari selama kurun waktu Januari sampai Mei 2011. Penyediaan BBM oleh kilang dalam negeri telah dioptimalkan dengan upaya-upaya yang dilakukan antara lain: melakukan perawatan secara rutin dan meremajakan kilang-kilang yang memiliki tingkat efisiensi rendah, digantikan dengan kilang baru dan teknologi yang lebih up to date, sehingga penyediaan kilang dalam negeri bisa lebih terjamin. Selain itu pemenuhan kebutuhan BBM dapat dilakukan dengan melakukan impor BBM dari pasar spot BBM. Untuk mendorong tercapainya jaminan pasokan BBM, dilakukan optimalisasi fasilitas penyimpanan dan pendistribusian BBM dengan mengkaji ulang persebaran depot dan merelokasinya apabila diperlukan. Pada tahun 2011 status sampai dengan bulan Maret 2011, total konsumsi BBM adalah sebesar 14,8 ribu barel dengan total persediaan BBM sebesar 15,8 ribu barel yang terdiri 2 - 104 dari impor 6,8 ribu barel dan produksi dalam negeri sebesar 9,06 ribu barel. Kebutuhan gas nasional dari tahun ke tahun semakin meningkat sehingga diperlukan upaya-upaya yang terintegrasi. Upaya-upaya tersebut antara lain meliputi: pemberian insentif dalam pembangunan FSRU; telah ditandatanganinya 34 persetujuan harga gas bumi dalam kurun waktu 2009 – 2011; telah ditandatanganinya kesepakatan bisnis penjualan gas bumi dari tahun 2009—2010 sebanyak 13 Head of Agreement (HoA) dan sebanyak 47 perjanjian jual beli gas (PJBG); penyusunan neraca gas Indonesia dan rencana induk jaringan transmisi dan distribusi gas bumi nasional (RIJTDGBN). Selain itu, terjadi peningkatan penggunaan LPG untuk rumah tangga mulai tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 karena adanya program konversi minyak tanah ke LPG dan meningkatnya pemahaman masyarakat tentang manfaat LPG sebagai bahan bakar. Pengembangan energi baru dan terbarukan untuk pembangkit listrik mengalami kemajuan yang cukup berarti. Pada tahun 2009 kapasitas PLTP terpasang sebesar 1.189 MW. Pada tahun 2011 diharapkan kapasitas PLTP terpasang menjadi 1.209 MW. Mengacu program percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW tahap II, panas bumi diharapkan dapat memberikan kontribusi sebesar 3.351 MW sampai dengan tahun 2014. Untuk pengembangan bioenergi, telah dilakukan penetapan mandatori pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN) sesuai Permen ESDM Nomor 32/2008 yang telah mewajibkan secara bertahap pemanfaatan BBN pada sektor utama konsumen BBM yaitu tranportasi, industri dan pembangkit listrik. Untuk mendukung pengembangan teknologi pemanfaatan energi panas bumi, pihak Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) memusatkan kegiatannya pada pengembangan PLTP skala kecil dengan kapasitas 1 MW, 3 MW, dan 5 MW. Untuk itu, telah berhasil dibuat prototip PLTP bersiklus ganda (binary 2 - 105 cycle) dengan kapasitas 2 MW dan pilot plant-nya sedang dalam tahap pembangunan. Untuk PLTP 3 MW telah diselesaikan perancangan teknik dan pilot plant-nya sedang dalam tahap pembangunan di Kamojang – Jawa Barat. Sedangkan PLTP 5 MW sedang dalam tahap perekayasaan. Pengembangan PLTP ini sejalan dengan pembinaan industri manufaktur dalam negeri agar terus ditingkatkan produk-produk dengan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN). Adapun dalam rangka mendukung pengembangan energi baru dan terbarukan khususnya panas bumi yang berada Kawasan Pelestarian Alam dan Kawasan Suaka Alam (KPA/KSA), telah terbit PP Nomor 28/2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam sebagai pengganti PP Nomor 68/1998. Dalam rangka meningkatkan kesiapan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) telah melakukan berbagai persiapan diantaranya melaksanakan studi kelayakan, khususnya yang terkait dengan kelayakan tapak. Hasil yang telah dicapai adalah tersusunnya 3 paket dokumen pedoman penyusunan infrastruktur dasar pendukung program energi nuklir nasional yaitu: (1) dokumen Pengembangan Kebijakan Iptek Nuklir Nasional Bidang Energi dan Jaminan Mutu; (2) Dokumen Penyiapan PLTN, dan (3) Dokumen Penyusunan Strategi Program Partisipasi Industri Nasional. Ketiga dokumen tersebut merupakan sebagian dokumen yang dipersyaratkan oleh Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) untuk persiapan pembangunan PLTN pertama di Indonesia sesuai dengan arah kebijakan dalam RPJPN. Dokumen tersebut kemudian akan digunakan oleh pemangku kepentingan (KESDM, PLN dan Investor) untuk tindak lanjut tahap berikutnya yang diperlukan. Dalam mendukung persiapan pembangunan PLTN juga telah dilakukan kajian teknis tentang pengawasan dan pengoperasian PLTN serta kajian teknis tentang pengembangan standar PLTN. 2 - 106 Hasil kajian digunakan sebagai dasar penyusunan peraturan perundangan ketenaganukliran. Sedangkan peraturan yang telah disusun antara lain: (1) Rancangan Peraturan Kepala BAPETEN tentang Desain Sistem Catu Daya Darurat pada PLTN; (2) Rancangan Peraturan Kepala BAPETEN tentang Desain Proteksi Kebakaran dan Ledakan Internal pada PLTN. Peraturan keselamatan PLTN tersebut akan menjadi landasan yang penting dalam pengembangan dan pelaksanaan sistem perizinan, dan sistem inspeksi untuk pengawasan PLTN. Kegiatan sosialisasi tentang manfaat energi nuklir untuk kesejahteraan masyarakat difokuskan pada penyampaian informasi dan pendidikan kepada masyarakat secara seimbang, transparan, dan dilaksanakan secara terencana dan berkelanjutan. Sosialisasi PLTN secara umum dilakukan melalui: (1) kampanye media, baik cetak maupun elektronik; (2) pengembangan komunitas (community development); (3) keterlibatan para pemangku keputusan (stakeholder involvement) dan (4) akhirnya didukung dengan jajak pendapat. Tahun 2010 telah dilakukan jajak pendapat mengenai tingkat pemahaman masyarakat mengenai PLTN yang dilaksanakan oleh pihak ketiga di 22 kota, dan jajak pendapat tersebut diambil secara sampling dari wilayah Jawa, Madura, dan Bali, dengan jumlah responden sebanyak 3.000 orang, terdiri dari pelajar, tokoh masyarakat, dosen, pengurus LSM dan ormas, aparat, pengurus parpol, dan anggota DPRD. Dari jajak pendapat tersebut diperoleh hasil bahwa 59,7 persen menerima PLTN. Tahun 2011 akan dilaksanakan jajak pendapat serupa untuk seluruh Indonesia dengan jumlah responden 5.000 orang. 2.8.3. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN Untuk meningkatkan produksi minyak bumi diperlukan insentif yang lebih menarik bagi pemanfaatan teknologi Enhance Oil Recovery (EOR) yang digunakan untuk peningkatan produksi minyak bumi pada sumur-sumur tua, serta insentif untuk 2 - 107 meningkatkan kegiatan eksplorasi pencarian cadangan minyak baru. Upaya-upaya untuk meningkatkan optimaliasi pemanfaatan BBM dapat dilakukan melalui : (1) Pengawasan kegiatan penyediaan dan pendistribusian jenis BBM tertentu dan BBM non PSO (Public Service Obligation); (2) Monitoring dan evaluasi pendistribusian sistem tertutup jenis BBM tertentu menggunakan kartu fasilitas kepada transportasi darat; dan (3) Pengembangan pengawasan dan pemantauan sistem pendistribusian tertutup jenis BBM tertentu untuk sektor nelayan dan trasportasi darat. Terkait dengan upaya untuk meningkatkan pemanfaatan gas bumi akan dilakukan: (1) Lelang ruas transmisi dan wilayah jaringan distribusi gas bumi dalam rangka pemberian hak khusus; (2) Penetapan pengaturan akses pada ruas transmisi dan wilayah jaringan distribusi gas bumi; (3) Kajian pembentukan kota gas di wilayah Duri, Dumai, Langkat, Tanjung Pinang, Bulungan, Kutai Timur dan Lubuk Linggau. Selain itu, sebagai penunjang dilakukan upayaupaya optimalisasi pemanfaatan BBM dan gas bumi melalui: (1) Penyelidikan, penyidikan dan keterangan ahli tindak pidana penyalahgunaan BBM dan pengangkutan gas bumi melalui pipa; dan (2) Sosialiasi pelaksanaan pengawasan dan pendistribusian BBM dan kegiatan usaha pengangkutan gas bumi melalui pipa. Sedangkan untuk pengembangan energi baru dan terbarukan, akan dilakukan: (1) Penyelesaian pembangunan PLTP Ulumbu, Lahendong, Sarulla l dan Wayang Windu; (2) Amandemen UU Nomor 27/2003 tentang panas bumi; (3) Terselesaikannya RPP ketahanan energi dan RPP energi baru dan energi terbarukan; (4) Penyusunan revisi Permen ESDM Nomor 11/2009 tentang pedoman penyelenggaraan kegiatan usaha panas bumi; (5) Pelaksanaan desa mandiri energi; (6) Terselenggaranya 92 layanan audit energi pada gedung dan industri; dan (7) Penyempurnaan koordinasi, terutama untuk pengembangan lapangan-lapangan panas bumi yang letaknya bersinggungan dengan pemanfaatan lahan lainnya, misalnya hutan 2 - 108 lindung, kawasan konservasi dan/atau cagar alam, termasuk penyelesaian pemetaan secara detail pada lokasi-lokasi yang akan disepakati sebagai kawasan pengembangan panas bumi, (8) Sosialisasi PP Nomor 28/2011 tentang Pengelolaan KSA dan KPA sebagai pengganti PP Nomor 68/1998. 2.9 PRIORITAS NASIONAL 9: LINGKUNGAN HIDUP DAN PENGELOLAAN BENCANA 2.9.1. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI Sebagai bentuk antisipasi dalam mengatasi perubahan iklim telah dilakukan berbagai upaya perbaikan kerusakan lingkungan yang mengarah kepada upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global. Beberapa permasalahan dan tantangan pokok yang dihadapi dalam upaya mengantisipasi dampak perubahan iklim, antara lain adalah: (i) banyaknya pemangku kepentingan dalam penanggulangan dampak perubahan iklim, (ii) rendahnya kesiapan institusi dan rendahnya kapasitas sumber daya manusia, (iii) masih kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap upaya penanganan perubahan iklim, (iv) masih kurangnya kebijakan dan peraturan yang berpihak pada pelaksana kegiatan di bidang perubahan iklim, (v) masih terbatasnya sumber-sumber pendanaan bagi kegiatan penanganan dampak perubahan iklim, serta (vi) belum terciptanya sistem dan mekanisme insentif maupun disinsentif. Dari aspek pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan, masalah yang dihadapi adalah: (i) penurunan kualitas lingkungan hidup dan peningkatan potensi bencana ekologis; (ii) kecenderungan meningkatnya pencemaran lingkungan; (iii) meningkatnya luas wilayah yang tercemar dan rusak berat; (iv) masih rendahnya kapasitas sumber daya manusia dan institusi pengelola dan juga masih rendahnya kesadaran masyarakat; (v) 2 - 109 belum terpadunya kebijakan pengelolaan keanekaragaman hayati dan potensi timbulnya konflik antar daerah dalam pemanfaatan dan pengelolaan; (vi) bertambahnya lahan kritis dan kerusakan hutan; (vii) perlunya peningkatan koordinasi dalam pengelolaan hutan dan konservasi; (viii) belum optimalnya pengawasan pemanfaatan ruang; (ix) masih lemahnya koordinasi dan sinergitas antar pihak yang terlibat di dalam pengelolaan DAS; (x) pengelolaan terumbu karang, lamun dan mangrove yang perlu terus ditingkatkan; (xi) pemanfaatan sumber daya kelautan yang kurang memperhatikan keseimbangan ekosistem alam; serta (xi) pencemaran laut di daerah pesisir akibat kegiatan di darat dan laut, termasuk tumpahan minyak di laut. Sementara itu tantangan pokok dalam Sistem Peringatan Dini adalah tetap terkelolanya Sistem Peringatan Dini Cuaca (MEWS) dan Sistem Peringatan Dini Iklim (CEWS), sehingga data dan informasi yang diperoleh dapat segera disampaikan kepada masyarakat secepatnya. Permasalahan yang dihadapi dalam Sistem Peringatan Dini adalah: (i) belum tersedianya jaringan komunikasi yang dapat mendiseminasikan peringatan dini sampai tingkat kecamatan di seluruh wilayah Indonesia; (ii) masih terjadinya kesalahan dalam interpretasi informasi sehingga belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh sektor-sektor terkait, serta (iii) masih rendahnya kualitas sumber daya manusia pengelola Sistem Peringatan Dini. Dalam hal penanganan bencana, besarnya potensi ancaman bencana alam di wilayah Indonesia merupakan gambaran dari kondisi geografis wilayah Indonesia, yang terletak pada pertemuan 3 jalur lempeng dunia yang aktif, yaitu: lempeng Indo-Australia, lempeng Pasifik dan lempeng Eurasia. Interaksi antar lempeng tersebut telah menempatkan Indonesia sebagai wilayah yang memiliki aktivitas kegunungapian dan kegempabumian yang tinggi. Disamping itu, relief permukaan yang bervariasi dari wilayah pegunungan hingga landaian pantai menyimpan potensi bencana 2 - 110 longsor, banjir dan tsunami yang tinggi. Kurangnya kesadaran pemerintah maupun masyarakat akan potensi ancaman bencana tersebut turut memicu meningkatkan kerentanan. Seiring dengan perubahan paradigma penanganan bencana yang telah mengalami perubahan yang semula lebih berorientasi pada penanganan darurat, menjadi upaya pencegahan dan pengurangan risiko bencana, diharapkan dapat menyikapi permasalahan dalam penanggulangan bencana, seperti: (i) belum memadainya kinerja penanggulangan bencana karena keterbatasan kapasitas sumberdaya manusia; (ii) keterbatasan sumber daya rehabilitasi dan rekonstruksi, menyebabkan terhambatnya proses pemulihan wilayah pasca bencana; (iii) besarnya ketergantungan pendanaan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat dalam pendanaan penyelenggaraan penanggulangan bencana; dan (iv) belum tersedianya secara menyeluruh kerangka geodesi dan geodinamika serta belum memadainya sarana dan prasarana peringatan dini bencana gempa dan tsunami. 2.9.2.LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN HASIL YANG DICAPAI DAN HASIL- Sebagai wujud komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% pada tahun 2020, pada tahun 2010 telah disusun Rancangan Peraturan Presiden mengenai Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) 2020, yang selanjutnya akan dilaksanakan oleh masing-masing sektor terkait. Sementara di tingkat daerah juga akan disusun Rencana Aksi Daerah (RAD-GRK) dalam kurun waktu 12 (dua belas) bulan sejak RAN-GRK ditetapkan sebagai Perpres. Disamping itu, telah disusun pula Rancangan Peraturan Presiden tentang Inventarisasi Gas Rumah Kaca, yang bertujuan untuk menyediakan informasi secara berkala mengenai tingkat, status dan serapan emisi GRK, termasuk informasi 2 - 111 pencapaian penurunan emisi GRK. Disamping itu, dalam mengembangkan mekanisme pengelolaan pendanaan untuk penanganan perubahan iklim telah dibentuk Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) yang merupakan alternatif mekanisme pendanaan yang disesuaikan dengan peraturan perundangan di Indonesia. Pada tahun 2010 melalui ICCTF telah didanai 3 (tiga) kegiatan percontohan (pilot project), yaitu (i) pengembangan manajemen lahan gambut berkelanjutan, (ii) konservasi energi pada industri baja dan pulp kertas, dan (iii) penyadaran publik, pelatihan dan pendidikan. Selanjutnya, upaya pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan dilakukan untuk mempertahankan kelestarian lingkungan dan meningkatkan kualitas daya dukung lingkungan. Langkah kebijakan yang telah dilaksanakan dan hasil yang telah dicapai antara lain adalah: (i) Pengendalian dan pemulihan kerusakan ekosistem situ, danau, dan waduk; (ii) pengendalian pencemaran lingkungan dengan perbaikan pelaksanaan Program Kali Bersih (PROKASIH); (iii) pengawasan intensif kepada perusahaanperusahaan yang berpotensi mencemari lingkungan terus ditingkatkan melalui Program Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER); (iv) program langit biru dengan mengembangkan standar dan teknologi emisi dan kebisingan kendaraan; (v) menurunkan beban pencemaran limbah B3 dan pemulihan lahan terkontaminasi limbah; (vi) mencegah penurunan dan kerusakan keanekaragaman hayati dengan melaksanakan Program Taman Keanekaragaman Hayati (Kehati); (vii) peningkatan tata kelola lingkungan yang baik; (viii) peningkatan penguatan kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup di daerah, serta (ix) penataan dan penegakan hukum lingkungan. Pada tahun 2011 ditargetkan beban pencemaran lingkungan akan menurun dan tingkat polusi juga menurun yang didukung oleh pelaksanaan pengendalian pencemaran air, udara, dan limbah padat di daerah, serta memperkuat 2 - 112 pelaksanaan Standar Pelayanan Minimum (SPM) bidang lingkungan hidup. Sementara itu, upaya lain yang dilakukan adalah peningkatan konservasi dan rehabilitasi sumber daya hutan melalui: (i) penataan batas kawasan; (ii) konservasi termasuk penanggulangan illegal logging dan kebakaran hutan, pengembangan jasa lingkungan dan rehabilitasi hutan dan lahan; (iii) peningkatan fungsi daya dukung daerah aliran sungai (DAS); (iv) koordinasi para pemangku kepetingan di tingkat provinsi dalam rangka penyusunan DAS Terpadu di 36 DAS Prioritas; dan (v) peningkatan penelitian, ilmu pengetahuan dan teknologi kehutanan. Selanjutnya, dalam rangka memelihara ekosistem wilayah pesisir dan laut guna menjaga kelestarian sumber daya ikan dan biota lainnya, langkah-langkah yang telah dilakukan antara lain adalah (i) penyusunan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil; (ii) penyusunan peraturan tentang mitigasi bencana pesisir, peningkatan ketahanan masyarakat pesisir atas dampak perubahan iklim; (iii) rehabilitasi mangrove dan terumbu karang; serta (iv) pengelolaan kawasan konservasi perairan. Hasil yang telah dicapai antara lain, adalah (i) penetapan kawasan konservasi perairan seluas 13,95 juta hektar; (ii) rehabilitasi mangrove seluas 47 hektar; (iii) kerjasama antarnegara dalam pengelolaan sumber daya kelautan melalui Coral Triangle Initiative (CTI), The Arafura and Timor Seas Ecosystem Action (ATSEA), serta (iv) rehabilitasi ekosistem terumbu karang di 16 kabupaten/kota di 8 provinsi. Dalam hal pengembangan Sistem Peringatan Dini, kebijakan yang ditempuh adalah meningkatkan pelayanan data dan informasi meteorologi publik serta peringatan dini cuaca ekstrim, dan menyediakan kebijakan teknis dalam penanganan penyediaan informasi dini gempa bumi dan peringatan dini tsunami. Hasil-hasil yang telah dicapai adalah terkelolanya Sistem Peringatan Dini Cuaca (MEWS) dan Sistem Peringatan Dini Iklim (CEWS) meliputi 2 - 113 antara lain adalah (i) Radar Cuaca; (ii) Automatic Weather Station (AWS); (iii) Automatic Rain Gauge (ARG), dan (iv) Penakar Hujan Observasi sebanyak 1000 unit. Disamping itu, dihasilkan Atlas Normal Ikilm di Indonesia periode 1971 - 2000 yang memuat informasi iklim, meliputi curah hujan, kelembaban udara, suhu udara, arah angin dan kecepatan angin. Terkelolanya Sistem Operasional Peringatan Dini Tsunami Indonesia (Ina TEWS) yang meliputi antara lain, jaringan Sensor Seismik, Sistem Sirine, Sistem Komunikasi dan Integrasi, dan Sistem Prosesing; Sistem Monitoring CCTV, jaringan Accelerometer, dan jaringan Digital Video Broadcast (DVB). Dalam rangka mendukung pelaksanaan penanggulangan bencana yang efektif, terpadu dan menyeluruh, kebijakan pembangunan dalam bidang penanggulangan bencana dititik beratkan pada: (i) peningkatan upaya pengurangan risiko bencana melalui integrasi ke dalam prioritas pembangunan nasional dan daerah serta penguatan kelembagaan penanggulangan bencana; (ii) peningkatan kapasitas penanganan kedaruratan dan penanganan korban yang terkena dampak bencana alam dan kerusuhan sosial secara terkoordinasi, efektif dan terpadu dengan dukungan alat transportasi yang memadai dengan basis 2 lokasi strategis: Jakarta dan Malang; (iii) pemulihan wilayah pascabencana bencana, dengan fokus pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pascabencana Wasior, Provinsi Papua Barat, Kepulauan Mentawai Provinsi Sumatera Barat, erupsi Gunung Merapi dan Banjir Lahar Dingin di wilayah Provinsi D.I. Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah serta wilayah pasca bencana alam lainnya. Pencapaian pelaksanaan sesuai dengan arah kebijakan yang ditetapkan sampai dengan triwulan kedua tahun 2011 adalah: (i) telah dibentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di 33 Provinsi dan 365 kabupaten/kota; (ii) telah dibentuk Satuan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana (SRC-PB) yang berbasis di 2 - 114 Jakarta dan Malang; (iii) Rencana Penanggulangan Bencana 20102014 sebagai kerangka kebijakan penanggulangan bencana nasional yang ditetapkan melalui Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Nomor 3 Tahun 2010; (iv) Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana 2010—2012 yang ditetapkan melalui Peraturan Kepala BNPB No. 5 Tahun 2010; dan (v) telah disusun informasi geospasial berbagai tema, baik matra darat maupun matra laut, sedangkan untuk kebutuhan khusus disusun pula berbagai atlas. Dalam rangka pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah yang terkena dampak bencana di Wasior, Mentawai dan erupsi Gunung Merapi di Provinsi DI Yogyakarta dan Jawa Tengah, telah diterbitkan: (i) Keputusan Presiden No. 16 Tahun 2011 tertanggal 5 Juli 2011 tentang Tim Koordinasi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pascabencana Erupsi Gunung Merapi di Provinsi D.I. Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah; (ii) Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Wilayah Pascabencana Erupsi Gunung Merapi di Provinsi D.I. Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011-2013, yang telah ditetapkan melalui Peraturan Kepala BNPB No. 5 Tahun 2011; (iii) Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pascabencana Gempabumi dan Tsunami di Wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat Tahun 2011-2013, yang telah ditetapkan melalui Peraturan Kepala BNPB No. 3 Tahun 2011; serta (iv) Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pascabencana Banjir Bandang di Wasior Kabupaten Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat Tahun 2010—2011, yang telah ditetapkan melalui Peraturan Kepala BNPB No. 2 Tahun 2011. 2.9.3. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN Tindak lanjut yang diperlukan dalam penanggulangan perubahan iklim, antara lain adalah ( i ) terus dilakukannya upaya-upaya dalam mengurangi lahan kritis melalui rehabilitasi dan 2 - 115 reklamasi hutan; (ii) peningkatan pengelolaan kualitas ekosistem lahan gambut; (iii) terus ditingkatkannya kualitas kebijakan konservasi dan pengendalian kerusakan hutan dan lahan yang terpadu; (iv) rehabilitasi dan konservasi ekosistem pesisir; (v) evaluasi pemanfaatan ruang berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang bersifat lintas K/L; (vi) dukungan terhadap penelitian dan pengembangan untuk penurunan gas rumah kaca dan adaptasi perubahan iklim; (vii) peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di berbagai sektor pembangunan dan daerah; dan (viii) penyusunan insentif ekonomi dan fiskal bagi pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah untuk berpartisipasi dalam program penanganan perubahan iklim. Selain itu, Peraturan Presiden mengenai RAN-GRK akan segera ditetapkan yang akan menjadi peraturan payung bagi seluruh sektor, dan akan ditindaklanjuti dengan disusunnya pedoman untuk penyusunan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RADGRK). Demikian pula dengan Peraturan Presiden tentang Inventarisasi Gas Rumah Kaca akan diselesaikan. Sementara itu, tindak lanjut yang diperlukan dalam pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan adalah meningkatkan kualitas pengelolaan daya dukung lingkungan hidup agar kemampuannya dapat pulih kembali dalam mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan, yang terutama difokuskan pada : (i) penurunan beban pencemaran lingkungan akibat meningkatnya aktivitas pembangunan; (ii) menekan laju kerusakan SDA dan lingkungan hidup, melalui upaya konservasi dan rehabilitasi ekosistem yang rusak, baik di kawasan hutan, laut, pesisir, maupun di areal bekas pertambangan, serta pengelolaan keanekaragaman hayati dengan melakukan update Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP); (iii) penguatan kelembagaan serta peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam perbaikan kualitas lingkungan hidup; (iv) rehabilitasi hutan dan lahan serta reklamasi hutan di DAS prioritas; (v) pembinaan 2 - 116 penyelenggaraan pengelolaan DAS; (vi) pengendalian kebakaran hutan; serta (vii) menurunkan tindak pidana kehutanan. Terkait dengan pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan, arah dan kebijakan yang akan dikembangkan dilakukan melalui langkah-langkah: (i) melanjutkan proses internalisasi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang berdasarkan pada 3 (tiga) pilar utama pembangunan berkelanjutan; (ii) menjabarkan hal-hal konkrit dalam pilar kerangka kelembagaan untuk mempercepat internalisasi 3 (tiga) prinsip pembangunan berkelanjutan, serta (iii) menyepakati ukuran-ukuran untuk pembangunan berkelanjutan yang tepat dan dapat digunakan, baik di tingkat nasional dan daerah, sehingga prinsip pembangunan berkelanjutan dapat berjalan nyata di lapangan. Selanjutnya, tindak lanjut yang diperlukan dalam pengembangan Sistem Peringatan Dini adalah (i) menyediakan informasi peringatan dini cuaca ekstrim di seluruh wilayah Indonesia; (ii) menyediakan informasi cuaca secara rutin untuk mendukung keselamatan transportasi dan masyarakat; (iii) mengembangkan sistem peringatan dini iklim ekstrim dan sistem informasi dini kualitas udara; (iv) meningkatkan ragam dan jangkauan informasi iklim, perubahan iklim, dan kualitas udara; (v) meningkatkan kecepatan, keakuratan, dan jangkauan diseminasi informasi dini gempa bumi dan peringatan dini tsunami. Sementara, untuk pelaksanaan penanggulangan bencana, tindak lanjut yang diperlukan adalah: (i) mengintegrasikan kebijakan penanggulangan bencana nasional ke dalam kebijakan penanggulangan bencana di daerah, dimana dalam penjabaran Rencana Penanggulangan Bencana Nasional dilaksanakan dengan menyusun Rencana Penanggulangan Bencana Daerah, serta penyusunan Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana, sebagai acuan pelaksanaan pengurangan risiko bencana oleh berbagai pemangku kepentingan di daerah; (ii) peningkatan kapasitas penanggulangan bencana di daerah guna meningkatkan 2 - 117 kesiapsiagaan dan kewaspadaan pemerintah daerah serta masyarakat daerah dalam menghadapi bencana; serta (iii) percepatan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pascabencana Wasior, Provinsi Papua Barat, Kepulauan Mentawai Provinsi Sumatera Barat, erupsi Gunung Merapi dan Banjir Lahar Dingin di wilayah Provinsi D.I. Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah serta wilayah pasca bencana alam lainnya, serta (iv) mengoptimalkan sumberdaya yang ada dalam menghasilkan data dan informasi kerangka geodesi dan geodinamika serta pasang surut laut real time sehingga dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan khususnya dalam rangka mitigasi bencana. 2.10 PRIORITAS NASIONAL 10: DAERAH TERTINGGAL, TERDEPAN, TERLUAR, DAN PASCAKONFLIK Program aksi untuk daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pascakonflik (DT3PK) ditujukan untuk pengutamaan dan penjaminan pertumbuhan di daerah tertinggal, terdepan, terluar serta keberlangsungan kehidupan damai di wilayah pascakonflik. Dalam Prioritas Nasional 10 ini terdapat empat Substansi Inti sebagai berikut: (1) kebijakan khusus di bidang infrastruktur dan pendukung kesejahteraan lainnya yang dapat mendorong pertumbuhan di DT3PK; (2) kerjasama internasional, termasuk di dalamnya adalah pembentukan kerjasama dengan negara-negara tetangga dalam rangka pengamanan wilayah dan sumberdaya kelautan; (3) keutuhan wilayah yang meliputi penyelesaian batas dan pemetaan wilayah perbatasan RI dengan Malaysia, Papua Nugini, Timor Leste, dan Filipina; dan (4) pengentasan daerah tertinggal di sedikitnya 50 kabupaten paling lambat pada Tahun 2014. Prioritas Nasional 10 sesuai dengan RPJMN Tahun 2010— 2014 bertujuan untuk menghasilkan pengutamaan dan penjaminan pertumbuhan di daerah tertinggal, terdepan, terluar serta 2 - 118 keberlangsungan kehidupan damai di wilayah pascakonflik. Selanjutnya, permasalahan, pencapaian, serta tindak lanjut yang dilakukan untuk membangun daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pascakonflik dijabarkan menurut substansi inti seperti tersebut di atas. 2.10.1. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI 2.10.1.1. Substansi Inti 1: Kebijakan Khusus dalam Bidang Infrastruktur dan Pendukung Kesejahteraan Lainnya di Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar dan Pascakonflik Secara umum, pembangunan infrastruktur di DT3PK masih diwarnai dengan ketimpangan yang besar dengan daerah maju. Pada bidang transportasi, permasalahan yang dihadapi adalah: (1) masih terbatasnya jumlah prasarana dan sarana penyeberangan angkutan sungai danau dan penyeberangan di daerah tertinggal dan perbatasan; (2) masih terbatasnya angkutan laut untuk penumpang di daerah tertinggal dan perbatasan, sedangkan faktanya kebutuhan angkutan penumpang lebih dominan dari barang; (3) masih rendahnya aksesibilitas pelayanan angkutan udara di daerah tertinggal dan perbatasan; (4) masih rendahnya ketersediaan dan kualitas jalan untuk mendukung pengamanan batas wilayah dan kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Di bidang telekomunikasi, ketimpangan penyediaan infrastruktur komunikasi dan informatika masih menjadi masalah. Pada Tahun 2009, lebih dari 80 persen infrastruktur akses terdapat di wilayah barat Indonesia dan baru dua persen desa blank spot yang menjadi target program Universal Service Obligation (USO) memiliki akses internet. Di bidang energi, permasalahan yang dihadapi di daerah tertinggal dan perbatasan adalah terbatasnya akses terhadap sumber energi baik untuk melayani kebutuhan rumah tangga, fasilitas umum dan juga sektor produksi 2 - 119 Permasalahan dihadapi dalam pembangunan transmigrasi adalah (1) banyaknya tanah milik transmigran yang statusnya belum legal; (2) belum serasinya program antar instansi terkait pembangunan transmigrasi; (3) masih terbatasnya kualitas prasarana dan sarana pemukiman; (4) belum terintegrasinya pemukiman transmigrasi dengan desa setempat; (5) kurangnya kesiapan calon transmigran; (6) kurangnya dukungan tenaga ahli yang kompeten dalam merencanakan pembangunan kawasan transmigrasi di perdesaan; (7) adanya potensi konflik interaksi antara penduduk pendatang dan penduduk setempat. Selanjutnya, di bidang pendidikan, permasalahan yang dihadapi di daerah tertinggal dan perbatasan, yaitu: (1) masih belum meratanya distribusi sarana dan prasarana pendidikan; (2) masih sulitnya aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan pendidikan akibat faktor topografi wilayah dan populasi yang tersebar dalam jumlah yang relatif kecil, dan keterbatasan infrastruktur; (3) masih rendahnya kualitas tenaga pendidik; (4) masih belum optimalnya pendidikan ketrampilan (life skill); (5) masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk menempuh pendidikan formal; (6) insentif yang diberikan masih belum cukup menarik minat tenaga pendidik untuk bertugas di daerah tertinggal dan perbatasan. Di bidang kesehatan, permasalahan yang dihadapi di daerah tertinggal dan perbatasan, yaitu: (1) masih belum meratanya distribusi sarana dan prasarana kesehatan; (2) masih sulitnya aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan akibat faktor topografi wilayah dan populasi yang tersebar dalam jumlah yang relatif kecil; (3) masih rendahnya kualitas tenaga kesehatan; (4) masih terbatasnya ketersediaan obat serta pengawasan obat dan makanan, serta belum optimalnya cakupan pengawasan sarana produksi obat dan makanan; (5) belum optimalnya operasionalisasi pelayanan kesehatan akibat kurangnya dukungan infrastruktur penunjang lainnya; serta (6) masih terbatasnya pembiayaan 2 - 120 kesehatan untuk memberikan jaminan perlindungan kesehatan masyarakat terutama penduduk miskin dan sektor informal 2.10.1.2. Substansi Inti 2: Kerjasama Internasional Kerjasama internasional dalam pengelolaan batas wilayah dan kawasan perbatasan sangat diperlukan untuk menghadapi beberapa permasalahan yang terkait dengan pengamanan wilayah dan sumberdaya kelautan antara lain: (1) pencurian ikan dan kegiatan penangkapan ikan yang merusak baik oleh kapal asing maupun kapal Indonesia; (2) penyelundupan barang, termasuk narkoba dan senjata; (3) penyelundupan manusia; dan (4) imigran ilegal. 2.10.1.3. Substansi Inti 3: Keutuhan wilayah Untuk mendukung upaya penegakan keutuhan wilayah NKRI, masih terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi antara lain : (1) belum diselesaikannya delimitasi batas wilayah negara di beberapa segmen batas melalui kesepakatan dengan negara tetangga; (2) belum memadainya jumlah dan sarana prasarana pos pertahanan dan pos pengamanan di pulau-pulau terdepan; (3) masih rendahnya kesejahteraan personel penjaga perbatasan yang mempengaruhi kinerja sehingga tidak optimal dalam melakukan pengamanan wilayah perbatasan; dan (4) belum optimalnya koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan sinergitas antar sektor terkait dalam pembangunan kawasan perbatasan sebagai beranda depan negara. 2.10.1.4. Substansi Inti 4: Daerah Tertinggal Permasalahan sosial-ekonomi dalam pembangunan di 183 kabupaten daerah tertinggal dihadapkan pada beberapa permasalahan yaitu: (1) rendahnya kualitas sumber daya manusia dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tercermin dari rendahnya tingkat pendidikan keterampilan angkatan kerja, derajat kesehatan masyarakat dan tingginya tingkat kemiskinan; (2) belum optimalnya pengelolaan potensi sumber daya lokal dalam pengembangan 2 - 121 perekonomian daerah tertinggal, karena: (a) rendahnya kemampuan permodalan, penguasaan teknologi, informasi pasar dan investasi dalam pengembangan produk unggulan daerah, dan (b) rendahnya kapasitas kelembagaan pemerintah daerah dan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya lokal; (3) lemahnya koordinasi dan keterpaduan antara pelaku pengembangan daerah tertinggal, yaitu pemerintah, swasta, lembaga nonpemerintah, dan masyarakat serta antara tiga level pemerintahan, yaitu pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten; (4) belum optimalnya tindakan afirmatif kepada daerah tertinggal, khususnya pada aspek kebijakan perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, koordinasi, dan pengendalian pembangunan; (5) belum memadainya insentif bagi para petugas pemerintah dan pelayan masyarakat yang bekerja di daerah terpencil dan perbatasan telah mendapatkan perhatian; serta (6) terbatasnya data yang ada di pusat sehingga belum dapat menggambarkan total kebutuhan percepatan pembangunan daerah. 2.10.2. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASILHASIL YANG DICAPAI Sejalan dengan arah kebijakan RPJMN 2010—2014, reformulasi arah kebijakan program untuk meningkatan kesejahteraan dan memperkokoh kedaulatan negara telah diselaraskan dalam upaya percepatan pembangunan DT3PK. Sasaran untuk pembangunan daerah tertinggal antara lain: (1) meningkatnya rata-rata pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal sebesar 6,8 persen pada Tahun 2012; (2) berkurangnya persentase penduduk miskin di daerah tertinggal hingga mencapai rata-rata sebesar 16,6 persen pada Tahun 2012; dan (3) meningkatnya kualitas sumberdaya manusia di daerah tertinggal yang diindikasikan oleh rata-rata Indeks pembangunan manusia (IPM) pada Tahun 2012 menjadi 69,9. 2 - 122 Arah kebijakan dalam rangka percepatan pembangunan daerah tertinggal adalah meningkatkan sinergi antar sektor pembangunan dan antara pemerintah pusat dan daerah dalam rangka meningkatkan perekonomian daerah dan kesejahteraan masyarakat yang dijabarkan ke dalam upaya-upaya sebagai berikut: (1) pengembangan ekonomi lokal di daerah tertinggal; (2) penguatan kelembagaan masyarakat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya lokal di daerah tertinggal; (3) peningkatan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau di daerah tertinggal; (4) peningkatan pelayanan pendidikan yang berkualitas di daerah tertinggal; dan (5) peningkatan sarana dan prasarana infrastruktur daerah tertinggal serta peningkatan aksesibilitas daerah tertinggal dengan pusat-pusat pertumbuhan. Sesuai dengan kebijakan dalam RPJMN 2010—2014, sasaran untuk pembangunan kawasan perbatasan antara lain: (1) terselesaikannya secara bertahap permasalahan perbatasan; (2) tercapainya kemajuan yang signifikan dalam upaya penyelesaian segmen batas darat, dengan prioritas batas negara antara RI-Malaysia di Pulau Kalimantan dan RI-Timor Leste di Provinsi NTT; (3) menurunnya tingkat kejadian kegiatan ilegal secara gradual di seluruh kawasan perbatasan darat dan laut; (4) meningkatnya akses masyarakat kepada sarana dan prasarana dasar, dengan prioritas 39 kecamatan perbatasan prioritas; (5) meningkatnya pendapatan masyarakat dengan prioritas di 39 kecamatan perbatasan prioritas; (6) terciptanya keterkaitan sistem produksi dan distribusi antara Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) dengan pusat kegiatan di kecamatan perbatasan sekitarnya dalam suatu sistem kawasan pengembangan ekonomi. Sedangkan arah kebijakan yang terkait dengan pembangunan kawasan perbatasan adalah mengoptimalkan dan mengkonsolidasikan seluruh pemangku kepentingan dalam penegakan kedaulatan wilayah NKRI dan membuka akses 2 - 123 masyarakat terhadap pelayanan sosial-ekonomi melalui upaya-upaya strategis sebagai berikut: (1) peningkatan diplomasi perbatasan dan menindaklanjuti hasil-hasil perundingan perbatasan; (2) penyelesaian penetapan dan penegasan batas wilayah negara; (3) peningkatan upaya pertahanan, keamanan, serta penegakan hukum; (4) peningkatan kegiatan ekonomi di kawasan perbatasan; (5) peningkatan pelayanan sosial dasar; dan (6) penguatan kapasitas kelembagaan dalam upaya pengembangan kawasan perbatasan secara terintegrasi. 2.10.2.1. Substansi Inti 1: Kebijakan Khusus dalam Bidang Infrastruktur dan Pendukung Kesejahteraan Lainnya di Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar dan Pascakonflik Pencapaian di bidang infrastruktur dan pendukung kesejahteraan lainnya di daerah tertinggal selama kurun waktu sejak pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II sampai dengan bulan Juni 2011 adalah sebagai berikut. Pertama, Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan: (1) pembangunan terminal penumpang di 15 lokasi diantaranya : Kabupaten Aceh Timur, Nagan Raya; Meulaboh, Aceh Barat; Ogan Ilir, Sumatera Selatan; Tasikmalaya, Jawa Baratr; Wonosari, DIY; Pacitan, Jawa Timur; Sei Ambawang, Kalimantan Barat; Palangkaraya; Banjar Baru, Kalimantan Selatan; Tana Toraja, Sulawesi Selatan; Simbuang, Sulawesi Barat; Entrop, Papua; Barru, Sulawesi Selatan; Wonogiri, Jawa Tengah; (2) subsidi operasional bus perintis 145 lintas di 22 Provinsi; (3) penyelesaian pembangunan 17 dermaga penyeberangan baru; (4) penyelesaian pembangunan 36 dermaga penyeberangan lanjutan; (5) penyelesaian pembangunan 2 dermaga sungai lanjutan, yaitu Sungai Bayung Lencir dan Sungai Kayan; (6) penyelesaian pembangunan 17 kapal berupa kapal penyeberangan perintis baru dan kapal kerja; (7) penyelesaian pembangunan 9 kapal penyeberangan perintis lanjutan, yaitu untuk lintas penyeberangan perintis Labuhan Haji—Sinabang, Tanjung 2 - 124 Pinang—Karimun, Dabo—Kuala—Tungkal, Tagulandang—Siau— Biaro, Namlea—Sanana, Ilwaki—Kisar—Moa—Lakor, Babang— Obi—Sanana, Nabire—Manokwari, Kuala Tungkal—Tanjung— Uban; (8) penyelesaian rehabilitasi 14 dermaga penyeberangan, yaitu rehabilitasi pelabuhan penyeberangan di Labuhan Haji, Ulee Lheue, Kahyapu, Pototano, Rasau Jaya, Luwuk, Gorontalo, Mamuju, Kulur, Wairiang—Haruku, Tual, Kabuena, Biak, Manokwari; (9) penyelesaian rehabilitasi 10 dermaga sungai, yaitu rehabilitasi Dermaga Sungai di Kuala Teladas, Cabang Sei Way Seputih, Kalipucang, Eretan, Wijaya Pura, Danau Mare, Bareng Bengkel, Kumai, Pasar Baru, Tarailu; (10) penyelesaian rehabilitasi 7 dermaga danau, yaitu rehabilitasi Dermaga Sungai di Gajah Mungkur, Mijing, Cisentul, Sermo, Klepu, Sermo tengah, Danau Matano Lintas NuhaSoroako, Danau Matano Lintas Soroako—Nuha; (11) penyelesaian pembangunan rambu Sungai Sebanyak 1.062 Unit, yaitu Sungai Penyebuan (24 unit), Sumsel (100 Unit), Sungai Tulang Bawang (38 Unit), Sunagi Way Seputih (36 Unit), Sermo (14 Unit), BaritoKapuas, Katingan-dan Mentaya (400 Unit), Papua Barat (400 Unit); (12) pelaksanaan subsidi angkutan penyeberangan perintis pada 115 lintas penyeberangan perintis untuk 53 kapal penyeberangan. Kedua, Angkutan Laut: (1) Angkutan Laut Perintis sampai dengan Tahun anggaran 2011, pemerintah telah mengoperasikan kapal type coaster sebanyak 28 unit kapal yang melayani 61 (enam puluh satu) trayek; (2) telah diselesaikan pembangunan pelabuhan di 5 lokasi (Beo-Lirung-Propinsi Sulawesi Utara Kakorotang-LirungPropinsi Sulawesi Utara, Belang-Sulawesi Utara, Karimun JawaJawa Tengah, Ilwaki-Maluku) tersebar di 3 provinsi. Ketiga, Angkutan Udara, pembangunan dan pengembangan bandar udara strategis, yaitu Bandar Udara Juanda-Surabaya, Bandara Hasanuddin Makassar, Pembangunan Bandar Udara Kuala Namu-Medan Baru, Bandar Udara Samarinda Baru, Bandar Udara Lombok Baru. 2 - 125 Pembangunan komunikasi dan informatika sejak pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II hingga Juni 2011 telah menghasilkan berbagai pencapaian program prioritas dan strategis di antaranya adalah (1) penyediaan layanan pos di 2.363 kantor pos cabang luar kota (KPCLK) melalui program PSO; (2) pengoperasian akses telekomunikasi di 28.288 desa, Pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK) di 5.037 desa ibukota kecamatan, Nusantara Internet Exchange (NIX) di 5 kota, serta Desa Informasi di 16 kabupaten melalui program USO; (3) pengoperasian jaringan tulang punggung (backbone) serat optik berkualitas broadband oleh PT Telkom yang pada Tahun 2010 sudah menjangkau 323 ibukota kabupaten/kota atau sekitar 65 persen dari total ibukota kabupaten/kota serta pembangunan link Mataram-Kupang sebagai bagian dari Palapa Ring; (4) penyelesaian model bisnis Information and Communications Technology (ICT) Fund sebagai salah satu sumber pembiayaan pengembangan TIK secara umum dan jaringan broadband serat optik Palapa Ring pada khususnya; (5) pemberian izin penyelenggaraan akses nirkabel pita lebar (broadband wireless access) secara kompetitif untuk 15 zona di Indonesia; (6) pengoperasian (on air) pemancar TVRI di 30 lokasi non komersial; (7) penetapan Digital Video Broadcasting (DVB) sebagai standar TV digital serta pembangunan pemancar TV digital di Jakarta, Surabaya, dan Batam; (8) dimulainya pembangunan community access point (CAP) di 56 kecamatan dari target 112 kecamatan di Jawa Barat dan Banten, dan di 29 kecamatan dari target 110 kecamatan di Lampung; (9) selesainya pengembangan sistem e-pendidikan di 110 sekolah di provinsi DIY yang akan dilanjutkan ke 390 sekolah lainnya; (10) pencapaian indeks e-government sebesar 2,3 (kategori kurang), pengembangan 15 aplikasi e-government, serta penyediaan bimbingan teknis dan pendampingan untuk pemerintah daerah; (11) fasilitasi pemanfaatan open source software di antaranya untuk Pemko Makassar, Pemkab Jayapura, Pemkab Klungkung, Pemko Pekalongan, dan Pemko Bogor; serta (12) pengoperasian pusat 2 - 126 pendidikan dan pelatihan TIK (ICT Training Center) di Tangerang Selatan bekerjasama dengan UIN Syarif Hidayatullah dan Jababeka. Melalui pengembangan berbagai kebijakan di sektor telekomunikasi, tingkat penetrasi total akses telekomunikasi hingga akhir Tahun 2010 tumbuh sekitar 27 persen dari Tahun 2009 atau mencapai 105,9 persen (melebihi jumlah populasi Indonesia) yang terdiri dari tingkat penetrasi akses kabel (PSTN) dan nirkabel (FWA dan seluler) masing-masing sebesar 3,5 persen dan 102,4 persen. Pada Tahun 2010 pembangunan kawasan transmigrasi di daerah tertinggal dan perbatasan dilakukan di 67 Unit Pelayanan Terpadu (UPT) dan 12 kabupaten dengan penempatan transmigran sebanyak 7.486 KK/29.881 jiwa. Pada Tahun 2011, pembangunan kawasan transmigrasi dilaksanakan di 77 lokasi pada 64 kabupaten. Adapun hasil-hasil yang telah dicapai dalam pembangunan kawasan transmigrasi di daerah tertinggal dan perbatasan sejak Tahun 2010 hingga akhir Juni 2011 adalah (1) terbukanya lahan pemukiman transmigrasi seluas 3.833 Ha; (2) terbangunnya 6439 Rumah Transmigran dan Jamban Keluarga (RTJK); (3) terfasilitasinya perpindahan dan penempatan keluarga transmigran sebanyak 4.908 KK; (4) terbangunnya jalan penghubung sepanjang 380,4 km; dan (5) penyediaan tanah seluas 184.502 Ha di daerah tertinggal dan 87.577 Ha di daerah perbatasan. Dalam memberikan kepastian hak atas tanah transmigran, pada Tahun 2010 telah dilakukan fasilitasi sertifikasi hak atas tanah transmigran bekerjasama dengan BPN sebanyak 22.132 bidang atau 73,19 persen dari target 30.237 bidang. Dalam upaya menarik minat stakeholder dan calon transmigran, telah berhasil dilakukan: (1) peningkatan anima masyarakat yang bertransmigrasi sejumlah 44.775 KK, (2) kesepakatan bersama antar kabupaten/kota sejumlah 273 kesepakatan; dan (3) peningkatan UPT yang ada di permukiman transmigrasi baik melalui Kawasan Perkotaan Baru sebanyak 12 di daerah tertinggal dan 9 di daerah perbatasan, maupun pembenahan infrastuktur di daerah tertinggal, meliputi fasilitas umum sebanyak 471 unit, dan Sarana Air Bersih 2 - 127 (SAB) sebanyak 6.296 unit; serta di daerah perbatasan meliputi fasilitas umum sebanyak 79 unit, SAB sebanyak 1.855 unit. Sedangkan beberapa hal yang dicapai dalam pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi adalah telah dilakukannya penyerahan pembinaan transmigrasi ke Pemerintah Daerah sebanyak 31 permukiman transmigrasi dari target sebanyak 75 permukiman transmigrasi. Peningkatan akses dan kualitas pelayanan pendidikan ditujukan untuk mengurangi kesenjangan taraf pendidikan antarwilayah, gender, dan antartingkat sosial ekonomi di DT3K adalah sebagai berikut. Pertama, pada Tahun 2010 Angka Partisipasi Murni (APM) jenjang SD sederajat telah mencapai 95,41 persen; Angka Partisipasi Kelas (APK) pada jenjang SMP sederajat telah mencapai 98,20 persen; dan APK pada jenjang pendidikan menengah 70,53 persen, serta APK pendidikan tinggi mencapai 26,34 persen. Kedua, pembangunan pendidikan juga telah berhasil meningkatkan kemampuan keberaksaraan penduduk yang ditandai dengan semakin menurunnya persentase buta aksara penduduk di atas 15 Tahun dari 10,21 persen pada Tahun 2004 menjadi 5,30 persen pada Tahun 2009. Ketiga, disediakan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk seluruh sekolah, madrasah, pondok pesantren salafiyah, yaitu sekolah keagamaan Islam yang menyelenggarakan wajib belajar pendidikan dasar 9 Tahun. Keempat, dalam rangka meningkatkan gizi siswa Taman Kanak-Kanak/Raudhatul Athfal (TK/RA) dan SD/MI pada Tahun 2010 telah diberikan pemberian makanan tambahan anak sekolah (PMTAS) kepada sebanyak 69.981 siswa TK, 29.512 siswa RA, 1.130.019 siswa SD, dan 131.354 siswa MI di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan, dan kepulauan. Kelima, untuk meningkatkan kemampuan masyarakat miskin menyekolahkan anaknya disediakan pula beasiswa bagi siswa miskin untuk semua jenjang pendidikan. Pada Tahun 2010 sebanyak sekitar 2 - 128 2,8 juta siswa SD/MI, 1,4 juta siswa SMP/MTs, 874.750 siswa SMA/SMK/MA, dan 130.000 mahasiswa PT/PTA telah mendapat beasiswa miskin. Keenam, seiring dengan upaya mendorong peningkatan kinerja pendidik, kesejahteraan pendidik juga terus ditingkatkan antara lain melalui penyediaan tunjangan profesi bagi guru dan dosen, tunjangan fungsional bagi guru PNS dan subsidi tunjangan fungsional bagi guru Non-PNS, serta tunjangan khusus untuk guru yang mengajar di daerah terpencil. Pada Tahun 2010, sebanyak 44.000 guru baik di sekolah umum maupun madrasah di daerah terpencil telah mendapatkan tunjungan khusus. Di Bidang Kesehatan, dalam mendukung upaya perbaikan status kesehatan di Daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan (DTPK), adalah sebagai berikut. Pertama, program penempatan tenaga kesehatandan penugasan khusus terus dilakukan. Berdasarkan hasil pengumpulan data Tahun 2010 di peroleh gambaran sumberdaya manusia di Bidang Kesehatan yang bekerja difasilitas kesehatan berjumlah 501.052 orang dengan rincian tenaga kesehatan sebanyak 391.745 orang dan tenaga non kesehatan sebanyak 109.309 orang. Sumberdaya manusia di Bidang Kesehatan ini tersebar di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah, baik di fasilitas pelayanan kesehatan dasar maupun fasilitas kesehatan rujukan. Dari data tersebut diperoleh jumlah dokter umum sebanyak 25.333 orang (rasio 10,66 per 100.000 penduduk), dokter gigi sebanyak 8.731 orang (rasio 3,68 per 100.000 penduduk) dan bidan sebanyak 96.551 orang (rasio 40,64 per 100.000 penduduk). Kedua, pada Tahun 2010 telah dilakukan penempatan tenaga kesehatan tidak tetap (PTT) dan penugasan khusus tenaga D3 kesehatan di DTPK, yang meliputi 1.030 tenaga PTT dan 293 orang penugasan khusus, yang ditempatkan pada 35 kabupaten/kota prioritas. Ketiga, dalam rangka meningkatkan keterjangkauan masyarakat terhadap obat, ketersediaan obat dan vaksin di sarana pelayanan kesehatan terus ditingkatkan dan mencapai 82 persen 2 - 129 (2010). Penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, seperti puskesmas, puskesmas pembantu, poskesdes, serta rumah sakit sebagai salah satu komponen untuk perbaikan upaya kesehatan juga terus ditingkatkan. Pada Tahun 2010, jumlah rumah sakit pemerintah meningkat menjadi 755, sedangkan rumah sakit swasta meningkat menjadi 768 rumah sakit. Keempat, akses masyarakat dalam mencapai sarana pelayanan kesehatan dasar juga membaik, yaitu 94 persen masyarakat dapat mengakses sarana pelayanan kesehatan kurang dari 5 kilometer 78,9 persen rumah tangga berada kurang dari satu kilometer dari fasilitas UKBM (Riskesdas, 2007). Dalam bidang pemanfaatan teknologi untuk mendukung DT3K, telah tersedia data satelit penginderaan jauh untuk pemetaan wilayah perbatasan RI dan pemetaan pulau- pulau kecil terluar berbasis data citra satelit; Penyediaan data satelit penginderaan jauh untuk pemetaan Wilayah Perbatasan RI dengan Malaysia, PNG, Timor Leste dan Filipina pada 2010 dengan berkerjasama antara Lapan, Kementerian Dalam Negeri, TNI, BIN, dan Pemda. 2.10.2.2. Substansi Inti 2: Kerjasama Internasional Hasil-hasil yang telah dicapai hingga bulan Juni 2011 dalam rangka pelaksanaan kerja sama internasional melalui peningkatan intensitas kerja sama dengan negara-negara tetangga dalam rangka memperkokoh kedaulatan negara dan pengamanan sumber daya kelautan, antara lain sebagai berikut. Pertama, penetapan batas secara tuntas telah dilakukan dengan Papua Nugini berupa batas darat dan laut serta Australia berupa batas Landas Kontinen (LK) dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Ketetapan batas maritim sudah tercapai pada sebagian segmen batas laut wilayah dengan Malaysia dan Singapura, LK dengan India, Thailand, Malaysia, Vietnam, Australia, dan Papua Nugini. Hingga Tahun 2011 telah terdapat 16 2 - 130 (enam belas) perjanjian perbatasan laut Indonesia dengan negara tetangga. Kedua, sepanjang Tahun 2009 hingga Tahun 2010, total pelaksanaan perundingan/pertemuan perbatasan maritim dan darat yang telah dilaksanakan adalah sebanyak 44 kali perundingan/pertemuan. Pada Tahun 2009 telah dilaksanakan 21 pertemuan dengan 6 negara yaitu: Filipina, Malaysia, palau, Timor Leste, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Pada Tahun 2010 telah dilaksanakan 23 kali pertemuan dengan 7 negara, yaitu: Filipina, Malaysia, Palau, Timor Leste, Singapura, Thailand, dan Veitnam. Dengan demikian, selama periode 2009—2010 telah terjadi peningkatan frekuensi perundingan sebesar 2 kali perundingan dan tambahan 1 negara. Ketiga, untuk menanggulangi kegiatan pencurian dan kegiatan yang merusak sumber daya kelautan, upaya yang dilakukan adalah: (1) operasi kapal pengawas dan kerjasama operasi antara TNI-AL, Bakorkamla, POLRI, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan; (2) pemantauan ketaatan kapal perikanan dan pengawasan usaha budidaya serta pengawasan sumber daya kelautan pada ekosistem terumbu karang. Keempat, terbentuknya Badan Nasional Pengelola Perbatasan melalui Perpres No. 12 Tahun 2010 tentang BNPP sebagai amanat UU No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara beserta peraturan operasionalnya (Permendagri No. 31Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Tetap BNPP). Kelima, tersusunnya grand design pengelolaan perbatasan 2011-2025 (Peraturan Kepala BNPP No. 1 Tahun 2011), Rencana Induk Pengelolaan Perbatasan 2011—2015 (Peraturan Kepala BNPP No. 2 Tahun 2011), dan Rencana Aksi Pengelolaan Perbatasan Tahun 2011 (Peraturan Kepala BNPP No. 3 Tahun 2011). Adapun hasil-hasil yang dicapai sampai dengan Semester I Tahun 2011 dari kinerja pembangunan bidang pertahanan dan keamanan dalam konteks pengamanan wilayah dan sumberdaya kelautan adalah sebagai berikut. Pertama, pembangunan sarana dan 2 - 131 prasarana serta fasilitas pengamanan pulau teluar yaitu di P. Rondo. Pada aspek pendukung penanganan keamanan wilayah perbatasan lainnya oleh TNI AL, sedang dilaksanakan peningkatan sarana dan prasarana serta fasilitas lanal di wilayah perbatasan yaitu Pangkalan TNI AL (Lanal) Siemeulue, Lanal Melonguane, Lanal Morotai, dan Lanal Saumlaki. Kedua, di wilayah perbatasan Republik Indonesia dengan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) sedang dilaksanakan pembangunan Pos Satuan Tugas (Satgas) Teritorial yang akan difungsikan sebagai pos pembinaan territorial di wilayah perbatasan RI dan RDTL. Kemajuan yang diperolah pada saat ini mencapai 30 Persen. Kedua, dalam rangka peningkatan kesadaran bela negara bagi masyarakat di perbatasan khususnya wilayah Papua, sedang dilaksanakan pembangunan Pusat Komando Pendidikan (Dodik) Bela Negara di Jayapura. Namun demikian progress pembangunan Dodik Bela Negara tersebut sampai dengan Semester I baru mencapai 15 Persen. Ketiga, dilaksanakannya Perpres No. 49 Tahun 2010 tentang Tunjangan Operasi Pengamanan bagi Prajurit TNI dan PNS yang bertugas dalam operasi pengamanan pada pulau-pulau kecil terluar dan wilayah perbatasan yang telah secara langsung memberikan peningkatan kesejahteraan bagi prajurit penjaga pos perbatasan dan pos pengamanan pulau-pulau terluar. Secara bersamaan, dilaksanakan pula amanat Perpres No. 72 Tahun 2010 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di lingkungan TNI, yaitu bahwa pegawai di lingkungan TNI termasuk di dalam K/L yang ikut gerbong reformasi birokrasi sehingga diberikan imbalan berupa tunjangan kinerja juga menjadi langkah pemerintah dalam peningkatan kesejahteraan prajurit. Keempat, penciptaan kondisi aman di wilayah perbatasan yang dilakukan melalui pembinaan dan penertiban administrasi kependudukan terhadap para pelintas batas. 2.10.2.3. 2 - 132 Substansi Inti 3: Keutuhan wilayah Pencapaian dalam kerangka penyelesaian batas dan pemetaan wilayah perbatasan RI dengan Malaysia, Papua Nugini, Timor Leste, dan Filipina adalah sebagai berikut. Pertama, pembangunan pertanahan melanjutkan kegiatan Inventarisasi Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil, Perbatasan, dan Wilayah Tertentu dengan target 545 SP sampai dengan 2014. Kedua, pemetaan daerah tertinggal, pulau terluar dan terdepan, hasil yang dicapai: Peta pulau-pulau kecil sebanyak 56 pulau atau 49 persen dari 114 pulau-pulau kecil terluar yang direncanakan. Ketiga, pemetaan Wilayah Perbatasan, dengan melakukan kegiatan: (1) kajian dan pemetaan wilayah batas Negara RIMalaysia-PNG-RDTL; (2) kajian dan pemetaan batas maritim RIMalaysia-Filipina; (3) survei, demarkasi dan pemetaan darat dengan PNG, RDTL dan Malaysia serta pemeliharaan tanda batas Negara dan pemetaan etnik perbatasan; dan (4) fasilitasi dan penyediaan peta batas dan wilayah pemerintahan daerah serta kajian penyelesaian konflik batas antar daerah; pengelolaan basis data dan sistem informasi batas wilayah negara dan daerah. Hasil yang dicapai adalah sebagai berikut. Pertama peta batas wilayah negara di darat yaitu: (1) peta RI-PNG sebanyak 18 NLP (67 persen); (2) RIMalaysia sebanyak 18 NLP (40 persen); dan (3) RI-RDTL sebanyak 34 NLP (50 persen). Kedua peta batas wilayah negara di laut yaitu: (1) Peta Zona Ekonomi Eksklusif skala 1:1.000.000 (100 persen); (2) Peta Garis Pangkal skala 1:200.000 (100 persen); (3) Peta NKRI skala 1:5.000.000 sebanyak 1 NLP; (4) peta pulau-pulau kecil sebanyak 56 pulau atau 49 persen. Ketiga, khusus untuk pulau-pulau kecil terluar, dilakukan upaya: (1) identifikasi potensi dan pemetaan pulau-pulau kecil, termasuk pulau-pulau kecil terluar; (2) peningkatan fasilitasi penyediaan sarana dan prasarana di pulau-pulau kecil; (3) bantuan listrik tenaga surya untuk masyarakat pulau kecil; dan (4) 2 - 133 penyusunan PP No. 62 Tahun 2011 tentang Pemanfaatan Pulaupulau Kecil Terluar. Sebagai implementasi dari UU No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara mengamanatkan pembentukan suatu Badan Pengelola Perbatasan, Pemerintah telah mengeluarkan beberapa langkah kebijakan strategis. Langkah-langkah kebijakan tersebut antara lain: (1) pembentukan Badan Nasional Pengelola Perbatasan melalui penerbitan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP); (2) pembentukan Sekretariat Tetap BNPP melalui penerbitan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 31 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Tetap Badan Nasional Pengelola Perbatasan; dan (3) pembentukan Badan Pengelola Perbatasan Daerah melalui penerbitan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2011 tentang Pedoman Pembentukan Badan Pengelola Perbatasan Daerah. Adapun hasil-hasil yang telah dicapai hingga Bulan Juni 2011 antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, tersusunnya tiga dokumen pengelolaan batas wilayah dan kawasan perbatasan meliputi: (1) peraturan Badan Nasional Pengelola Perbatasan No. 1 Tahun 2011 tentang Desain Besar Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Tahun 2011—2025; (2) peraturan Badan Nasional Pengelola Perbatasan No. 2 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Tahun 2011—2014; dan (3) peraturan Badan Nasional Pengelola Perbatasan No. 3 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Tahun 2011. Pada periode 2011—2014 telah ditetapkan 111 kecamatan yang menjadi Lokasi Prioritas (Lokpri) yang akan ditangani secara bertahap. Hasil yang telah dicapai adalah sebagai berikut. Pertama, terlaksananya serangkaian forum rapat koordinasi dengan pemerintah daerah dan K/L dalam rangka penyusunan Rencana Aksi 2 - 134 Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Tahun 2012, dimana telah terinventarisir rencana kebutuhan pengelolaan batas wilayah dan kawasan perbatasan Tahun 2012 sebesar Rp4.42 Triliun untuk menangani 24 kabupaten dan 39 kecamatan lokasi prioritas, serta alokasi anggaran K/L (per 17 Juli 2011) sebesar Rp691,75 Miliar (15.66 persen dari total kebutuhan). Kedua, terlaksananya upaya fasilitasi pembangunan berbagai sarana dan prasarana untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat di kawasan perbatasan negara mempergunakan anggaran tugas pembantuan BNPP, antara lain meliputi pembangunan poros penghubung antar desa/kampung dengan jalan utama, pembangunan sarana air bersih dan pembangunan talud penahan gelombang laut di pulau kecil terluar. Disamping itu, juga didukung penyiapan sarana dan prasarana kerja bagi lembaga pengelola perbatasan negara di daerah. Ketiga, pelibatan kalangan dunia usaha (private sectors) dan perguruan tinggi dalam pembangunan kawasan perbatasan melalui penandatanganan nota kesepahaman. 2.10.2.4. Substansi Inti 4: Daerah Tertinggal Dalam bidang pelaksanaan kebijakan khusus dan regulasi, upaya-upaya pemerintah terus dilakukan secara berkesinambungan telah memberikan hasil dan pencapaian di daerah tertinggal. Hasilhasil yang telah dicapai selama kurun waktu sejak pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II sampai dengan Bulan Juni 2011 antara lain. Pertama, telah dilakukan sinkronisasi dan koordinasi dengan seluruh K/L terkait untuk mendukung pembangunan di daerah tertinggal pada Tahun 2012, antara lain sebagai berikut: (1) terlaksananya Rapat Koordinasi Pusat-Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (Rakorpus-PPDT) yang menghasilkan dokumen perencanaan pembangunan antar sektor di pusat untuk berperan serta 2 - 135 dalam PPDT; (2) terlaksananya Rapat Koordinasi NasionalPercepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (Rakornas PPDT) yang dihadiri K/L, propinsi dan kabupaten daerah tertinggal; (3) tersusunnya dokumen Rencana Aksi Nasional-Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (RAN PPDT) Tahun 2012 yang dapat menjadi pedoman dalam Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal baik untuk K/L, provinsi dan kabupaten daerah tertinggal. Kedua, terbentuknya Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (TK-PPDT) baik di tingkat Pusat, Provinsi, dan Kabupaten dengan tujuan untuk mengkoordinasikan, mensinergikan, dan mengharmonisasikan kebijakan, strategi, rencana dan program yang dilakukan oleh seluruh K/L dan pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan koordinasi antar K/L dan daerah. Ketiga, tersusunnya konsep Pembangunan Perdesaan Terpadu (Bedah Desa) dan Pengembangan Produk Unggulan Kabupaten (Prukab) sebagai instrumen utama dalam koordinasi lintas sektor yang dikoordinasikan oleh KPDT. Keempat, tersusunnya Kesepakatan Bersama (MoU) yang diinisiasi oleh KPDT dengan melibatkan enam K/L dan perbankan dalam rangka percepatan pembangunan ekonomi masyarakat daerah tertinggal khususnya untuk pengembangan rumput laut di darrah tertinggal. Kelima, dalam rangka melaksanakan fungsi operasionalisasi berdasarkan Peraturan Presiden No. 90 Tahun 2006, pada Tahun 2010 KPDT melaksanakan enam instrumen yaitu: (1) Percepatan Pembangunan Infrastruktur Perdesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT), dilakukan melalui penyediaan prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi, pelayanan infrastruktur sosial dasar, dan pemberdayaan komunitas adat terasing; (2) Percepatan Pembangunan Kawasan Produksi Daerah Tertinggal (P2KPDT) dilakukan melalui: penyiapan lahan dan investasi dalam kegiatan usaha: pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan, pertambangan rakyat, pariwisata, berikut industri pengolahan dan pendukung, yang dikelola secara 2 - 136 kemitraan antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat; (3) Percepatan Pembangunan Pusat Pertumbuhan Daerah Tertinggal (P4DT) dilakukan melalui pembangunan pusat pelayanan jasa dan distribusi/kota penyangga, termasuk kawasan industri terpadu, dan kawasan perdagangan bebas atau kawasan ekonomi khusus; (4) Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) dilakukan melalui penyediaan ’block grant’ untuk mendukung pengembangan ekonomi lokal, penyediaan prasarana dan sarana lokal/perdesaan, dan pemberdayaan masyarakat, serta peningkatan kapasitas pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat; (5) Percepatan Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah Tertinggal (P2SEDT) dilakukan melalui: manajemen regional dan marketing, pengembangan sistem distribusi barang dan jasa, pelayanan informasi, maupun pengembangan jaringan prasarana antar wilayah (transportasi dan komunikasi); (6) Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan (P2WP) dilakukan melalui: penyediaan prasarana dan sarana transportasi/komunikasi, pengembangan ekonomi lokal, pelayanan sosial dasar, dan pelayanan lintas batas. Keenam, terlaksananya evaluasi pembangunan daerah tertinggal selama periode 2005-2009 yang menghasilkan 50 daerah tertinggal menjadi non tertinggal. Namun terdapat 34 Daerah Otonomi Baru (DOB) yang termasuk kategori daerah tertinggal, sehingga jumlah daerah tertinggal Tahun 2010 menjadi 183 kabupaten. Ketujuh, menyusun kebijakan DAK yang berpihak kepada daerah tertinggal melalui perumusan formula agar 183 kabupaten daerah tertinggal mendapatkan DAK dengan rata-rata senilai Rp 100 Milyar per kabupaten dari seluruh bidang DAK yang ada. Kedelapan, terlaksananya evaluasi rencana aksi percepatan pembangunan daerah tertinggal (PPDT) dengan hasil masih rendahnya kualitas perencanaan yang disusun oleh: (1) pemerintah pusat yaitu Strategi Nasional (Stranas) (5 tahunan) serta Rencana Aksi Nasional dan Rencana Aksi Sektoral (RAN dan RAS) PPDT (tahunan); dan (2) pemerintah daerah yaitu Strategi Daerah (Srada) 2 - 137 PPDT (5 tahunan) dan Rencana Aksi Daerah (RAD) PPDT (tahunan). 2.10.3. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN 2.10.3.1. Substansi Inti 1: Kebijakan Khusus dalam Bidang Infrastruktur dan Pendukung Kesejahteraan Lainnya di Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar dan Pascakonflik Beberapa kegiatan di bidang infrastruktur yang merupakan tindaklanjut yang harus dilakukan dalam rangka percepatan pembangunan kawasan antara lain sebagai berikut. Pertama, peningkatan profesionalisme sumberdaya manusia Bidang Perhubungan, dengan mengoptimalkan kepada peran serta swasta dalam pengoperasian dan pembangunan infrastruktur perhubungan, serta mereposisi peran pemerintah dari operator dan pemilik (owner) menjadi regulator dan fasilitator. Penyediaan subsidi keperintisan dan sarana keperintisan. Kedua, membangun beberapa kapal perintis dengan tipe dan jenis yang sesuai untuk angkutan penumpang dan barang sesuai dengan kebutuhan daerah. Ketiga, penyediaan prasarana di daerah rawan bencana; daerah perbatasan dan terpencil untuk mendukung integritas NKRI. Keempat, rehabilitasi sarana dan prasarana perhubungan udara. Pembangunan perhubungan udara diarahkan untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas pelayanan dalam kerangka penyediaan aksesibilitas perhubungan udara kepada masyarakat di seluruh pelosok tanah air. Kelima, pembangunan komunikasi dan informatika hingga Tahun 2014 akan difokuskan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan dalam RPJMN 2010—2014 serta Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011—2025 yaitu antara lain kepada: (1) menyelesaikan penyediaan jasa akses dan memastikan keberlanjutan penyediaan layanan telekomunikasi di 33.184 desa dan internet di 5.748 desa ibukota kecamatan target 2 - 138 wilayah USO; (2) pembangunan infrastruktur broadband hingga mencapai tingkat penetrasi terhadap populasi sebesar 30 persen; (3) pembangunan Palapa Ring yang menghubungkan seluruh pulau besar Indonesia dan menjangkau 88 persen ibukota kabupaten/kota; (4) melanjutkan migrasi sistem penyiaran dari analog ke digital hingga tingkat penetrasi siaran TV digital terhadap populasi mencapai 35 persen; (5) melanjutkan pengembangan e-government hingga mencapai indeks sebesar 3,4 (kategori baik); (6) melakukan reformasi di sektor penyiaran termasuk merestukturisasi kelembagaan TVRI dan RRI untuk memperkuat fungsinya sebagai lembaga penyiaran publik yang diharapkan akan mempunyai jangkauan siaran terhadap populasi sebesar 88 persen pada akhir Tahun 2014. Upaya tindak lanjut yang diperlukan dalam pembangunan ketransmigrasian adalah melaksanakan koordinasi pusat-daerah serta koordinasi lintas sektoral dalam perencanaan maupun pelaksanaan dimulai dari pembangunan kawasan transmigrasi baru, serah maupun terima, antara lain. Pertama, meningkatkan pengembangan potensi ekonomi masyarakat melalui program padat karya di daerah transmigrasi (pengembangan potensi perikanan, perkebunan, dan pertanian organik) terutama di Kawasan Perkotaan Baru dalam rangka meningkatkan kesejahteraan, mengurangi pengangguran serta meningkatkan ketahanan pangan bagi warga transmigran. Kedua, meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana prasarana infrastruktur di permukiman transmigrasi dengan memenuhi target standar pelayanan minimal untuk sarana prasarana jalan, perumahan, permukiman (drainase, sarana air bersih, dan lain-lain), transportasi, dan pelayanan dasar (sarana pendidikan, sarana ibadah, dan sarana kesehatan). Ketiga, meningkatkan kerjasama antar daerah, lintas sektor, pemerintah-nonpemerintah di bidang ketransmigrasian dalam rangka meningkatkan keterpaduan dan koordinasi dalam pembentukan 2 - 139 rencana induk kegiatan secara komprehensif. Keempat, meningkatkan analisis potensi/kualitas transmigran dan calon transmigran melalui peningkatan kapasitas dalam keterampilan, penguasaan inovasi dan teknologi tepat guna, disesuaikan dengan kriteria yang dibutuhkan dalam mengelola sumber daya alam yang berbeda-beda di tiap lokasi transmigrasi. Kelima, menuntaskan sengketa lahan melalui mediasi dan sertifikasi lahan bagi transmigran. Keenam, meningkatkan penyediaan dan pembebasan lahan transmigrasi yang clear dan clean layak huni, layak usaha, layak lingkungan dan layak berkembang (2C4L) sebelum dilakukan penempatan transmigran. Ketujuh, meningkatkan penanganan transmigran terlantar akibat konflik sosial antara masyarakat transmigran dan penduduk lokal melalui upaya mediasi dan pendampingan dari pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten. Kedelapan, memberikan standar minimal dan bantuan-bantuan kebutuhan hidup bagi transmigran, serta pemenuhan gizi bagi balita dan pendidikan bagi anak-anak, dan kesembilan, menawarkan program transmigrasi bagi warga yang tinggal di daerah rawan bencana. Dengan memperhatikan pencapaian dan beberapa permasalahan yang masih dihadapi pembangunan pendidikan khususnya yang berkaitan dengan daerah tertinggal, terdepan, terluar, maka diperlukan tindaklanjut sebagai berikut. Pertama, peningkatan kualitas wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang merata melalui: (1) penyelenggaraan pendidikan dasar bermutu yang terjangkau bagi semua dalam kerangka pelaksanaan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan; (2) pemantapan/rasionalisasi implementasi BOS; (3) perbaikan gizi siswa TK/RA dan SD/MI melalui PMTAS; dan (4) peningkatan daya tampung SMP sederajat terutama di daerah terpencil dan kepulauan. Kedua, peningkatan akses, kualitas, dan relevansi pendidikan 2 - 140 menengah, melalui peningkatan akses pendidikan menengah jalur formal dan non-formal untuk dapat menampung meningkatnya lulusan SMP sederajat sebagai dampak penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Ketiga, peningkatan kualitas, relevansi, dan daya saing pendidikan tinggi, melalui: (1) peningkatan akses dan pemerataan pendidikan tinggi dengan memperhatikan keseimbangan antara jumlah program studi sejalan dengan tuntutan kebutuhan pembangunan dan masyarakat serta daerah; dan (2) pemberian beasiswa perguruan tinggi untuk siswa SMA/SMK/MA yang berprestasi dan kurang mampu. Keempat, peningkatan profesionalisme dan pemerataan distribusi guru dan tenaga kependidikan, melalui penyediaan tenaga pendidik di daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan sesuai dengan standar pelayanan minimal. Kelima, peningkatan akses dan kualitas pelayanan pendidikan tersebut juga ditujukan untuk mengurangi kesenjangan taraf pendidikan antarwilayah, gender, dan antartingkat sosial ekonomi dengan meningkatkan: (1) pemihakan pada siswa dan mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin melalui pemberian bantuan beasiswa bagi siswa dan mahasiswa miskin; (2) pemihakan kebijakan bagi daerah dan satuan pendidikan yang tertinggal (underprivileged); (3) pengalokasian sumberdaya yang lebih memihak kepada daerah dan satuan pendidikan yang tertinggal; (4) pengembangan instrumen untuk memonitor kesenjangan antarwilayah, gender, dan antartingkat sosial ekonomi; dan (5) peningkatan advokasi dan capacity building bagi daerah dan satuan pendidikan yang tertinggal. Dengan memperhatikan permasalahan dan sasaran yang akan dicapai pada Tahun 2012, maka arah kebijakan pembangunan kesehatan di DTPK diprioritaskan pada upaya sebagai berikut. Pertama, peningkatan kesehatan ibu, bayi dan balita yang menjamin continuum of care, antara lain melalui: (1) penyediaan sarana 2 - 141 kesehatan yang mampu melaksanakan PONED dan PONEK; (2) pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan strategis untuk meningkatkan pertolongan persalinan oleh tenaga terlatih; (3) peningkatan cakupan kunjungan ibu hamil (K1 dan K4); (4) peningkatan cakupan pasien komplikasi kebidanan yang ditangani; (5) peningkatan cakupan peserta KB aktif yang dilayani sektor pemerintah; (6) peningkatan cakupan kunjungan neonatal pertama; (7) peningkatan cakupan pelayanan kesehatan bayi; (8) peningkatan cakupan pelayanan kesehatan anak balita; dan (9) peningkatan cakupan persalinan di sarana pelayanan kesehatan dasar dan rumah sakit pemerintah. Kedua, pengembangan sumber daya manusia kesehatan, antara lain melalui: (1) pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan strategis, terutama dokter, bidan dan perawat di daerahdaerah sesuai kebutuhan terutama di daerah bermasalah kesehatan (DBK) dan daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan (DTPK); (2) penyempurnaan sistem insentif dan penempatan sumberdaya manusia Bidang Kesehatan di daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan; dan (3) pemantapan standar kompetensi tenaga kesehatan, terutama tenaga dokter, dokter gigi, perawat, bidan, kesehatan masyarakat, gizi, dan farmasi. Ketiga, peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, pemerataan, mutu dan penggunaan obat serta pengawasan obat dan makanan, melalui: (1) peningkatan ketersediaan, dan keterjangkauan obat, terutama obat esensial generik; (2) perkuatan pengawasan pre market obat dan makanan utamanya penerapan e-registration untuk meningkatkan pelayanan publik; (3) peningkatan penelitian di bidang obat dan makanan; (4) peningkatan kemandirian di bidang produksi obat, bahan baku obat, obat tradisional, kosmetika dan alat kesehatan; (5) peningkatan perlindungan kesehatan masyarakat melalui revitalisasi pengujian laboratorium pengawasan obat dan makanan termasuk pemenuhan kebutuhan infrastruktur dan penunjang laboratorium serta peningkatan kompetensi sumberdaya manusia; (6) perkuatan pengawasan post market obat dan makanan; 2 - 142 (7) peningkatan efektivitas pengawasan produk obat dan makanan ilegal melalui intensifikasi operasi satuan tugas (Satgas) pemberantasan produk obat dan makanan ilegal; (8) peningkatan status gizi masyarakat terutama anak sekolah melalui gerakan menuju pangan jajanan anak sekolah (PJAS) yang aman dan bermutu; (9) peningkatan kapasitas sumberdaya manusia di bidang pengawasan obat dan makanan; (10) pengembangan dan penerapan quality management system (QMS) untuk mendukung tata kelola kepemerintahan yang baik termasuk e-government; (11) pengembangan sistem e-logistic; dan (12) peningkatan pelayanan kefarmasian yang berkualitas. Keempat, pengembangan sistem pembiayaan jaminan kesehatan, melalui: (1) peningkatan cakupan jaminan kesehatan secara bertahap; (2) peningkatan pembiayaan pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin; (3) penyediaan pembiayaan jaminan persalinan (Jampersal) yang mencakup pelayanan antenatal, persalinan, nifas, dan KB; dan (4) perluasan cakupan jaminan kesehatan melalui jaminan kesehatan kelas III di rumah sakit. Kelima, peningkatan upaya kesehatan yang menjamin terintegrasinya pelayanan kesehatan primer, sekunder dan tersier, melalui: (1) peningkatan jumlah rumah sakit dan puskesmas serta jaringannya, terutama pada daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan serta daerah dengan aksesibilitas relatif rendah; (2) peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dasar dan rujukan dalam bentuk pemenuhan kebutuhan sarana, prasarana, dan ketenagaan; (3) peningkatan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan rujukan yang memenuhi standar bertaraf internasional; (4) peningkatan mutu pelayanan keperawatan, kebidanan dan keteknisian medik kepada masyarakat di tingkat pelayanan kesehatan primer, sekunder, dan tersier; (5) pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan jiwa yang berkualitas, aman dan terjangkau; dan (6) perluasan bantuan operasional kesehatan (BOK) bagi pelayanan kesehatan primer di puskesmas. 2 - 143 2.10.3.2. Substansi Inti 2: Kerjasama Internasional Upaya tindak lanjut yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan kerja sama internasional rangka memperkokoh kedaulatan negara dan pengamanan sumber daya kelautan, antara lain sebagai berikut. Pertama, penyelesaian masalah perbatasan serta pengembangan kawasan perbatasan dan pulau-pulau terluar tetap menjadi salah satu perhatian utama politik luar negeri Indonesia. Penguatan hukum nasional menjadi penting sebagai landasan bagi perundingan masalah perbatasan dengan negara bilateral. Untuk Tahun 2011, Pemerintah Indonesia telah merencanakan untuk melaksanakan 27 pertemuan perundingan dengan tujuh negara, yaitu: India, Malaysia, Palau, Papua Nugini, Timor Leste, Singapura, dan Vietnam. Kedua, prioritas kebijakan luar negeri terkait Border Diplomacy adalah sebagai berikut: (1) prioritas pertama adalah perundingan penetapan perbatasan dengan Malaysia (batas laut dan darat), Singapura (Batas laut wilayah segmen timur), Filipina (batas ZEE dan LK), Palau (batas LK dan ZEE), Vietnam (batas ZEE), Thailand (batas ZEE), dan India (batas ZEE), Timor Leste (batas darat); (2) prioritas kedua adalah perundingan penetapan perbatasan dengan Timor Leste (batas laut wilayah, ZEE, LK). Ketiga, percepatan penyusunan peta pulau-pulau terluar dan terdepan dalam upaya memenuhi kebutuhan pemerintah pusat maupun daerah atas data dan informasi kawasan perbatasan. Pembangunan pertanahan ke depan tetap melanjutkan kegiatan Inventarisasi Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil, Perbatasan, dan Wilayah Tertentu dengan target 545 SP sampai dengan 2014. Keempat, mendorong terus dilakukannya berbagai perundingan batas negara secara intens terutama pada segmen batas RI-Malaysia di sebelah Selatan Selat Malaka dan Laut Sulawesi; batas RI- Filipina di Laut Sulawesi ; RI-Singapura pada segmen barat di selat Singapura, serta diperlukan kajian batas maritime pada wilayah 2 - 144 lainnya seperti Indonesia-Palau dan Indonesia-Timor Leste, yang sampai saat ini belum dimulai perundingannya. Kelima, koordinasi lintas sektor dan antara pusat dengan daerah dalam pendayagunaan pulau-pulau kecil, termasuk pulaupulau kecil terdepan dan terluar melalui peningkatan sarana dan prasarana dasar, dan transportasi perekat antarpulau. Selain itu, perlu dilakukan pengembangan promosi investasi dalam rangka pengembangan pulau-pulau kecil. Keenam, peningkatan pemantauan dan pengawasan pemanfaatan sumber daya kelautan melalui peningkatan sarana dan prasarana pengawasan, kerjasama operasi dan penegakan hukum. Ketujuh, sampai dengan Tahun 2011 telah terbangun 206 pos pertahanan dari total kebutuhan minimal sebanyak 395 pos pertahanan. Sementara itu dari 92 pulau kecil terluar baru 13 pulau yang terbangun pos pengamanan pulau kecil terluar. Dengan masih belum memadainya jumlah pos perbatasan dan pos pengamanan pulau-pulau terluar yang dimiliki, menjadikan tuntutan cukup mendesak bagi pemerintah untuk melakuan percepatan pembangunan pos-pos pengamanan beserta sarana dan prasarana serta fasilitasnya di wilayah perbatasan baik darat maupun laut. 2.10.3.3. Substansi Inti 3: Keutuhan wilayah Upaya tindak lanjut yang diperlukan dalam rangka Penyelesaian batas dan pemetaan wilayah perbatasan RI, antara lain sebagai berikut. Pertama, mengefektifkan tugas BNPP dalam menetapkan kebijakan dan program pembangunan serta menetapkan rencana kebutuhan anggaran pengelolaan batas wilayah dan kawasan perbatasan, yaitu dengan: (1) mempercepat penetapan RTR KSN Perbatasan menjadi Peraturan Presiden sesuai amanat PP No. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN dan menjamin sinkronisasinya dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten di Kawasan Perbatasan; (2) menyusun atau menyesuaikan substansi Rencana Induk dan Rencana Aksi berdasarkan RTR KSN Perbatasan sesuai dengan amanat Perpres No. 12 Tahun 2010 tentang BNPP pasal 5. 2 - 145 Dengan demikian, RTR KSN Perbatasan dan Rencana Induk Perbatasan menjadi acuan bagi penyusunan arah pengembangan kecamatan Lokpri sehingga penetapan berbagai program, kegiatan, dan rencana kebutuhan anggaran di masing-masing Lokpri sesuai dengan arahan pengembangan dalam RTR KSN dan Rencana Induk; (3) mengintegrasikan proses penyusunan rencana aksi dengan mekanisme Musrenbang di tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Nasional; dan (4) menyusun basis data wilayah di kawasan perbatasan secara komprehensif sebagai dasar bagi upaya penetapan kebijakan di kawasan perbatasan. Kedua, mengefektifkan tugas BNPP dalam mengoordinasikan pelaksanaan pengelolaan batas wilayah dan pembangunan kawasan perbatasan, yaitu dengan: (1) memperjelas kewenangan pusat-daerah dalam pengelolaan perbatasan melalui penyusunan Peraturan Pemerintah mengenai pelaksanaan kewenangan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan sesuai amanat UU No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara Pasal 13; (2) mengupayakan pengintegrasian fungsi koordinasi pengelolaan batas wilayah dan kawasan perbatasan yang masih tersebar di beberapa instansi ke dalam BNPP agar koordinasi berjalan satu pintu; (3) mengefektifkan tugas BNPP dalam melaksanakan evaluasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai program pembangunan di kawasan perbatasan negara secara berkala dan berkesinambungan, sehingga berbagai kemajuan maupun permasalahan yang dihadapi dapat terpetakan secara komprehensif, dan dapat menjadi dasar bagi upaya perumusan kebijakan maupun tindakan korektif lebih lanjut. Ketiga, mendorong seluruh K/L terkait untuk memberikan keberpihakan (affirmative action) baik dari sisi kebijakan maupun pembiayaan pembangunan, bagi upaya pembangunan di kawasan perbatasan yang memerlukan lebih banyak perhatian dibandingkan 2 - 146 wilayah lain serta pola penanganan yang bersifat spesifik. Keempat, mendorong BNPP untuk dapat menyelesaikan Rencana Aksi 2012, termasuk melakukan penyerasian substansi Rencana Induk dan Rencana Aksi Perbatasan dengan RTR KSN Perbatasan setelah nanti ditetapkan. Selanjutnya, untuk menjaga pengamanan sumberdaya hayati kelautan serta pengamanan wilayah, upaya-upaya yang dilakukan adalah sebagai berikut. Pertama, melanjutkan pembangunan pos perbatasan dan pos pengamanan pulau-pulau terluar melalui alternatif percepatan pembangunan sehingga jumlah kebutuhan minimal pos-pos pengamanan di wilayah perbatasan dapat segera terpenuhi. Kedua, meningkatkan peran dan dukungan masyarakat di wilayah perbatasan melalui pendidikan bela negara bagi masyarkat Indonesia, utamanya di wilayah perbatasan sehingga memiliki pemahaman dan rasa kebangsaan yang tangguh dan bangga menjadi warga negara Indonesia (WNI). 2.10.3.4. Substansi Inti 4: Daerah Tertinggal Upaya tindak lanjut target pemerintah untuk mengentaskan 50 kabupaten kabupaten tertinggal pada akhir Tahun 2014, perlu pemihakan yang lebih serius terutama dalam, pertama, kebijakan fiskal dengan meningkatkan kemampuan fiskal Daerah Tertinggal melalui DAK. DAK adalah salah satu harapan dalam mengatasi keterisolasian wilayah serta mendorong percepatan pembangunan daerah tertinggal. Kedua, dalam RKP Tahun 2012 memuat berbagai prakarsa baru untuk memenuhi tuntutan terkini dari pembangunan nasional, maka dari itu diperlukan sinergi agar implementasi prakasa baru dapat mendorong percepatan pembangunan daerah tertinggal sebagai berikut. Pertama adalah MP3EI Tahun 2025 yang memuat berbagai komitmen dan kesepakatan pemerintah dan swasta yang ditetapkan 2 - 147 pada bulan April 2011. Kedua, percepatan pembangunan Papua, Papua Barat, dan NTT yang mencakup: (1) penguatan ketahanan pangan; (2) penanggulangan kemiskinan; (3) Pengembangan ekonomi rakyat; (4) peningkatan pelayanan pendidikan; (5) peningkatan pelayanan kesehatan; (6) pengembangan infrastruktur dasar; dan (7) pemihakan pada masyarakat asli Papua; Ketiga, klaster program-program penanggulangan kemiskinan: (1) Program Rumah Sangat Murah; (2) Program Kendaraan Angkutan Umum Murah; (3) Program Air Bersih Untuk Rakyat; (4) Program Listrik Murah dan Hemat; (5) Program Peningkatan Kehidupan Nelayan; (6) Program Peningkatan Kehidupan Masyarakat Pinggir Perkotaan. Keempat, terkait dengan perluasan lapangan kerja. Selain itu untuk meningkatkan akselerasi pembangunan di kawasan timur Indonesia dilakukan affirmative program untuk percepatan pembangunan Provinsi Papua, Papua Barat, dan NTT. Kelima, penentuan 70 kabupaten tertinggal prioritas dan mendorong KPDT untuk dapat meningkatkan koordinasi dan melakukan sosialisasi khususnya mengenai 70 kabupaten prioritas agar K/L dapat berperan aktif dalam mendukung percepatan pembangunan daerah tertinggal. 2.11 PRIORITAS NASIONAL 11: KEBUDAYAAN, KREATIVITAS DAN INOVASI TEKNOLOGI Prioritas kebudayaan, kreativitas dan inovasi teknologi diarahkan untuk (1) peningkatan upaya pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya, dan mendorong berkembangnya apresiasi masyarakat terhadap keragaman budaya untuk memperkaya khasanah artistik dan intelektual bagi tumbuh mapannya jati diri; dan (2) penguatan sistem inovasi nasional melalui penguatan kelembagaan, sumberdaya, dan jaringan iptek nasional serta upaya inovasi di bidang teknologi yang strategis. Dalam RPJMN 20102 - 148 2014, substansi inti pembangunan bidang kebudayaan, kreativitas dan inovasi teknologi mencakup: (1) penetapan dan pembentukan pengelolaan terpadu untuk pengelolaan cagar budaya, revitalisasi museum dan perpustakaan; (2) penyediaan sarana yang memadai bagi pengembangan, pendalaman dan pagelaran seni budaya di kota besar dan ibukota kabupaten; (3) pengembangan kapasitas nasional untuk pelaksanaan penelitian, penciptaan dan inovasi yang memudahkan akses dan penggunanya oleh masyarakat luas; (4) peningkatan perhatian dan kesertaan pemerintah dalam program seni budaya yang diinisiasi oleh masyarakat dan mendorong berkembangnya apresiasi terhadap kemajemukan budaya; (5) peningkatan keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif yang mencakup pengelolaan sumber daya maritim menuju ketahanan energi, pangan, dan antisipasi perubahan iklim, dan pengembangan penguasaan teknologi dan kreativitas pemuda. 2.11.1. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI Berbagai kemajuan di bidang kebudayaan, kreativitas, dan inovasi teknologi telah dicapai, namun masih terdapat permasalahan dan tantangan yang dihadapi, antara lain (1) menurunnya penghargaan pada nilai budaya, bahasa, dan nilai solidaritas sosial; (2) belum optimalnya upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan warisan budaya sebagai sarana rekreasi, edukasi, dan pengembangan kebudayaan; (3) belum berkembangnya apresiasi masyarakat terhadap seni dan budaya serta pelindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual (HKI); (4) terbatasnya kapasitas sumber daya pembangunan kebudayaan; (5) masih rendahnya kesesuaian antara ilmu dan teknologi yang dibutuhkan oleh pengguna; dan (6) masih rendahnya kapasitas inovasi teknologi. 2 - 149 2.11.2. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASILHASIL YANG DICAPAI Langkah kebijakan yang ditempuh di bidang kebudayaan, kreativitas dan inovasi teknologi pada tahun 2011, antara lain adalah (1) penguatan jati diri dan karakter bangsa yang berbasis pada keragaman budaya, (2) peningkatan apresiasi terhadap keragaman serta kreativitas seni dan budaya, (3) peningkatan kualitas pelindungan, penyelamatan, pengembangan dan pemanfaatan warisan budaya serta revitalisasi museum dan perpustakaan, (4) peningkatan kemampuan sisi penelitian dan pengembangan menyediakan solusi-solusi teknologi; (5) peningkatan kemampuan sisi pengguna dalam menyerap teknologi baru yang tersedia; serta (6) integrasi dari sisi penyedia dan pengguna teknologi. Hasil-hasil yang dicapai dalam kurun waktu tahun 2010 sampai dengan Juni 2011, antara lain sebagai berikut. Dalam rangka penetapan dan pembentukan pengelolaan terpadu untuk pengelolaan cagar budaya, revitalisasi museum dan perpustakaan di seluruh Indonesia, antara lain (1) kesepakatan Bentuk Lembaga Pengelolaan Terpadu Warisan Budaya Dunia Candi Borobudur dan kajian Bentuk Pengelolaan Terpadu Kawasan Warisan Budaya Dunia Situs Manusia Purba Sangiran dan Candi Prambanan; (2) revitalisasi 6 museum, yaitu Museum Negeri Jawa Timur (Surabaya), Museum Negeri Kalimantan Barat (Pontianak), Museum Negeri Jambi (Jambi), Museum Negeri Nusa Tenggara Barat (Mataram), Museum Negeri Sumatera Utara, dan Museum Negeri Batak TB Silalahi di Balige Sumatera Utara; (3) peningkatan layanan jasa perpustakaan dan informasi serta perpustakaan digital (e-library) di 31 perpustakaan provinsi, 2 kabupaten/kota dan 2 UPT Perpustakaan Proklamator, pembudayaan gemar membaca dan pemberian bantuan untuk pengembangan perpustakaan melalui 88 mobil perpustakaan keliling, 3 unit perpustakaan terapung, fasilitasi 2 - 150 kegiatan dekonsentrasi bagi 33 perpustakaan provinsi, perpustakaan kabupaten/kota, dan 5.338 perpustakaan desa. 250 Dalam rangka penyediaan sarana yang memadai bagi pengembangan, pendalaman dan pagelaran seni budaya di kota besar dan ibukota kabupaten, serta peningkatan perhatian dan kesertaan pemerintah dalam program seni budaya yang diinisiasi oleh masyarakat dan mendorong berkembangnya apresiasi terhadap kemajemukan budaya antara lain telah dilakukan (1) fasilitasi sarana di 6 provinsi dan 20 Kabupaten/kota; (2) fasilitasi 97 pergelaran, pameran, festival, lomba karya seni budaya dan film; (3) fasilitasi penyelenggaraan 14 even festival film dalam dan luar negeri; dan (4) pelaksanaan sensor terhadap 63.658 judul film/video/iklan. Dalam rangka pengembangan kapasitas nasional melalui penelitian, penciptaan dan inovasi yang memudahkan akses dan penggunanya oleh masyarakat luas khususnya di bidang kebudayaan telah dilaksanakan 13 penelitian di bidang kebudayaan dan 144 penelitian di bidang arkeologi. Di samping itu, dalam rangka pengembangan penguasaan teknologi dan kreativitas pemuda telah dilakukan fasilitasi peningkatan kapasitas di bidang iptek dan imtaq bagi 3.180 orang pemuda kader dan fasilitasi peningkatan kapasitas di bidang seni, budaya, dan industri kreatif bagi 3.180 orang pemuda kader. Dalam rangka pengembangan kapasitas nasional dalam penelitian, penciptaan, dan inovasi sejak pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II telah ditetapkan Kebijakan Strategis Nasional (Jakstranas) Iptek tahun 2010-2014, yang berisi arah, prioritas utama dan kerangka kebijakan pembangunan iptek baik tingkat pusat maupun daerah; dan Agenda Riset Nasional (ARN) tahun 2010—2014, sebagai penjabaran lebih lanjut dari Jakstranas Iptek yang memuat agenda riset dalam 7 bidang iptek sesuai dengan arahan RPJMN 2010—2014. Sejalan dengan itu, untuk meningkatkan kualitas SDM Iptek telah dilaksanakan berbagai 2 - 151 program beasiswa di dalam negeri untuk jenjang pendidikan S2 dan S3 bagi para peneliti. Sedangkan revitalisasi sarana penelitian dimulai dengan pembangunan tahap awal Laboratorium BPPT Terpadu di Serpong. Secara umum hasil yang dicapai ditunjukkan oleh jumlah publikasi ilmiah yang pada tahun 2010 mencapai 1.415 judul, dengan 273 di antaranya merupakan publikasi internasional. Sedangkan jumlah paten baru yang terdaftar mencapai 38 paten baru, melampaui target yang hanya 28 paten. Dari 109 kegiatan yang ditujukan menciptakan produk baru telah menghasilkan 39 prototipe dan 13 di antaranya layak diusulkan mendapat Hak Kekayaan Intellektual (HKI). Dalam rangka peningkatan kemampuan inovasi dan kreativitas pemuda, Kementerian Riset dan Teknologi melaksanakan upaya peningkatan kemampuan inovasi dan kreativitas pemuda yang didasarkan pada konsep serta arah kebijakan yang telah disiapkan dalam Program 100 (seratus) Hari Kementerian Riset dan Teknologi. Dengan implementasi tersebut, diperoleh model bagi kegiatan peningkatan kemampuan inovasi dan kreativitas pemuda. Sebagai sasaran kegiatan ini adalah implementasi pilot project melalui skema Community Development (Comdev), Technopreneurship, dan Pilot Project berbasis Sistem Inovasi Daerah (SIDa). Selanjutnya pada tahun 2011 ini, kegiatan ini ditingkatkan menjadi kegiatan Technopreneurship Pemuda. Untuk itu, Kementerian Riset dan Teknologi menyelenggarakan lomba inovasi pemuda untuk kesejahteraan rakyat. Lomba ini berbasis pada kegiatan technopreneurship. Tujuan dari kegiatan ini adalah menumbuhkan minat pemuda agar dapat menjadi technopreneur melalui kreativitas dan inovasi pemuda, serta memanfaatan iptek untuk dapat dikembangkan oleh pemuda sehingga dapat berperan dalam perekonomian di suatu daerah. Sasaran kegiatan ini adalah tumbuhnya enterpreneur pemuda yang berbasis iptek, terciptanya 2 - 152 industri kecil dan menengah (IKM) baru berbasis iptek dan terwujudnya peningkatan kegiatan perekonomian (baru/existing) yang sustainable yang dipelopori oleh pemuda. Proses seleksi lomba ini menggabungkan tahapan seleksi proposal dengan pelatihan technopreneurship pemuda. Seleksi proposal telah dilakukan terhadap 323 proposal yang masuk dari seluruh Indonesia, dan telah terpilih 27 proposal, dimana anggota kelompok yang mengajukan 27 proposal tersebut mendapatkan kesempatan mengikuti pelatihan Technopreneurship Pemuda. Pelatihan Technopreneurship Pemuda dilaksanakan pada akhir Juni dengan peserta sebanyak 70 (tujuh puluh) pemuda/pemudi, diselenggarakan di Puspiptek Serpong. Dari hasil pelatihan tersebut akan dipilih peserta/proposal yang layak mendapatkan insentif pembiayaan dari Kementerian Riset dan Teknologi. 2.11.3. RENCANA TINDAK LANJUT Tindak lanjut yang diperlukan dalam pembangunan kebudayaan untuk mencapai sasaran prioritas nasional adalah (1) meningkatkan kualitas pelindungan, pemeliharaan, pengembangan, dan pemanfaatan BCB/Situs dan kawasan kepurbakalaan secara terpadu melalui pengembangan pengelolaan peninggalan kepurbakalaan; (2) meningkatkan kualitas pengelolaan dan pelayanan museum, termasuk museum daerah melaui Pengembangan pengelolaan permuseuman: (3) meningkatkan kegiatan layanan jasa perpustakaan dan informasi yang didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai dan meningkatkan upaya pengembangan perpustakaan dan budaya gemar membaca; (4) memberikan fasilitasi sarana bagi pengembangan, pendalaman dan pergelaran seni budaya terutama di kota-kota besar; (5) melakukan penelitian dan pengembangan di bidang kebudayaan dan arkeologi dalam mendukung kebijakan pembangunan kebudayaan; (5) memberikan fasilitasi festival film baik di dalam maupun di luar negeri; melakukan sensor film dan fasilitasi pergelaran, pameran, festival, 2 - 153 lomba dan pawai; (6) memberikan fasilitasi bagi kader pemuda di bidang iptek dan imtaq serta di bidang seni, budaya, dan industri kreatif. Tindak lanjut yang akan diambil dalam meningkatkan kapasitas nasional dalam inovasi teknologi adalah menumbuhkembangkan motivasi, memberikan stimulasi dan fasilitasi, serta menciptakan iklim yang kondusif guna terwujudnya Sistem Inovasi Nasional (SINas) melalui: a) Kelembagaan iptek yang efektif, b) Sumberdaya iptek yang kuat, c) Jaringan antar-kelembagaan iptek yang saling memperkuat (mutualistik), d) Relevansi dan produktivitas iptek yang tinggi, dan e) Pendayagunaan iptek yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Arah kebijakan ini telah dituangkan dalam Renstra Kementerian Riset dan Teknologi 20102014, yang menjadikan peningkatan produktivitas litbang nasional dan peningkatan kontribusi iptek dalam pembangunan nasional sebagai tujuan untuk mewujudkan Visi iptek untuk kesejahteraan dan kemajuan peradaban. B. PRIORITAS NASIONAL LAINNYA 2.12 PRIORITAS NASIONAL LAINNYA: BIDANG POLITIK, HUKUM, DAN KEAMANAN 2.12.1 PERMASALAHAN YANG DIHADAPI Dalam bidang politik luar negeri, khususnya terkait peran Indonesia dalam perdamaian dunia, permasalahan dihadapi adalah stabilitas keamanan kawasan yang ditandai dengan timbulnya konflik bersenjata antara Thailand dan Kamboja terkait perebutan Candi Prah Vihear; perseteruan di Laut China Selatan yang melibatkan 4 negara anggota ASEAN; Vietnam, Filippina, Malaysia dan Brunei. 2 - 154 Masalah konflik Kamboja dan Thailand merupakan persoalan yang menyita perhatian regional di kawasan Asia Pasifik dan Afrika. Kedua negara sejak lama telah bersitegang mengenai candi Preah Vihear dan tanah seluas 4,6 km² di sekitarnya. Konflik ini berawal dari saling klaim kedua belah pihak atas kepemilikan kompleks Candi Preah Vihear. Konflik tersebut segera diikuti dengan pengerahan kekuatan bersenjata dari masing-masing pihak. Namun demikian, upaya penyelesaian juga telah dilaksanakan oleh kedua negara melalui negosiasi antara delegasi Kamboja dengan delegasi Thailand dalam Joint Border Commission tanggal 5-7 April 2009 untuk membahas mengenai demarkasi perbatasan darat kedua negara. Ketegangan kembali meningkat setelah Pemerintah Kamboja memutuskan memberikan konsesi eksplorasi minyak lepas pantai kepada perusahaan minyak Prancis, Total, di wilayah yang berdekatan dengan overlapping claims area (oca) Kamboja-Thailand. Ketegangan kedua semakin meningkat yang ditandai pemulangan masing-masing Duta Besarnya pada bulan November 2009. Permasalahan lain di kawasan adalah persoalan potensi konflik di Laut China Selatan (LCS). Meskipun Indonesia bukan claimant states, perkembangan situasi akhir-akhir ini di kawasan jika tidak tertangani dengan baik dapat menimbulkan ketidak-stabilan di kawasan yang merupakan jalur ekonomi dan energi terpenting di dunia. Situasi menghangat ketika Amerika Serikat pada pertemuan ARF di Hanoi tahun 2010 mengatakan adanya kepentingan nasionalnya di LCS. Pemerintah China kemudian melakukan counter propaganda. Bahkan, Pemerintah China menegaskan menolak upaya internasionalisasi isu tersebut dan berpandangan bahwa penyelesaian terbaik adalah melalui mekanisme bilateral antara negara yang terlibat. Pemerintah China mendukung penuh upaya yang dilakukan ASEAN selama ini dan menolak campur tangan negara lain. 2 - 155 Permasalahan lain yang dihadapi adalah situasi keamanan di Somalia yang terus memburuk karena ketiadaan payung hukum yang mengakibatkan vakumnya hukum (lawless) yang berdampak pada situasi keamanan di perairan Somalia. Situasi ini kemudian dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok orang yang disinyalir berasal dari wilayah Somalia untuk melakukan perompakan-perompakan terhadap kapal-kapal asing, termasuk kapal Indonesia yang melintasi wilayah perairan Somalia. Berdasarkan International Maritime Bureau, dalam tahun 2009 telah terjadi 204 kali penyerangan terhadap kapal-kapal yang berlayar di perairan Somalia, dan 219 kali penyerangan terjadi pada tahun 2010. Hingga bulan Maret 2011 telah terjadi aksi perompakan sebanyak 83 kejadian. Kapal Indonesia MV. Sinar Kudus dengan 20 ABK Indonesia telah dibajak oleh perompak Somalia pada Rabu, 16 Maret 2011 dan telah dibebaskan pada tanggal 1 Mei 2011. Dalam konteks menjaga perdamaian dunia, Indonesia selalu dihadapkan pada tantangan untuk turut serta berpartisipasi membantu negara-negara yang sedang mengalami konflik politik di bawah payung PBB melalui pengiriman pasukan penjaga perdamaian Indonesia. Sedangkan permasalahan yang dihadapi Indonesia dalam kerjasama multilateral khususnya yang terkait dengan kejahatan lintas negara adalah Indonesia menjadi negara transit sebelum meneruskan perjalanan ke negara tujuan, seperti Australia, Selandia Baru dan negara-negara maju lainnya. Keberadaan imigran gelap tersebut berpotensi menimbulkan kerawanan baik di bidang keamanan, sosial dan ekonomi sehingga Indonesia perlu meningkatkan peran aktifnya dalam kerja sama regional dan multilateral termasuk kerja sama melalui Bali Process, UNHCR dan IOM. Perlu diperhatikan juga mengenai aspek prioritas dalam kerangka kerjasama dengan kedua organisasi tersebut, yaitu repatriasi imigran yang tidak memenuhi syarat sebagai pengungsi 2 - 156 (non-refugee) dan resettlement bagi imigran yang ditetapkan sebagai pengungsi (refugee). Selain itu, Indonesia juga masih menghadapi ancaman terorisme dan munculnya beragam bentuk dan semakin luasnya jaringan kejahatan lintas negara. Di bidang hukum, permasalahan penerapan hukum yang menimbulkan ketidakpastian hukum menyebabkan persoalan di masyarakat. Hukuman yang diberikan kepada terdakwa di kasuskasus tertentu seperti korupsi, terorisme sampai dengan penerapan hukum pada kasus-kasus yang melibatkan masyarakat miskin (seperti kasus pencurian coklat, kasus perjudian anak dan lain-lain) memperlihatkan adanya perbedaan dalam pemberlakuan hukum positif yang berlaku. Penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi juga masih diwarnai dengan korupsi oleh para pejabat eksekutif baik di tingkat Pusat maupun Daerah. Meskipun sudah banyak oknum pejabat telah dikenakan sanksi baik administratif sampai dengan pemecatan jabatan, perilaku koruptif masih menjerat sebagian besar aparat pemerintahan. Di samping itu, praktek koruptif di lingkungan legislative (korupsi politis) yang belakangan terjadi sangat mengganggu keutuhan proses demokrasi di Indonesia. Terkait dengan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, walaupun telah ada berbagai upaya untuk mendukung gerakan percepatan pemberantasan korupsi di bidang pencegahan dan pemberantasan korupsi, namun permasalahan pokok yang masih mengemuka adalah tentang komitmen yang masih rendah dan belum meratanya kesepahaman dalam kerangka pemberantasan korupsi di internal pemerintah di tingkat pusat maupun daerah serta lembaga maupun instansi terkait lainnya. Selain itu koordinasi dan kerjasama antara lembaga penegak hukum yang berwenang dalam memeriksa kasus korupsi juga masih lemah. Hal ini yang menyebabkan masih banyaknya kasus korupsi yang belum tertangani sampai dengan saat ini. Penanganan kasus korupsi juga masih bersifat individual, tidak 2 - 157 bersifat komprehensif (menyeluruh) sampai ke akar permasalahan contohnya pada kasus korupsi politik. Lemahnya penindakan terhadap kasus korupsi menjadikan para koruptor masih merajalela mengeruk harta negara dan pada akhirnya akan menurunkan kesejahteraan rakyat. Pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi masih terkendala dengan perbedaan sistem hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia dengan peraturan perundangundangan yang berlaku di negara tempat asset hasil tindak pidana korupsi berada selain kebutuhan peningkatan kapasitas sumber daya aparat penegak hukum dalam proses pengembalian aset. Di samping itu, saat ini RUU Perampasan Aset Tindak Pidana masih dalam proses harmonisasi pada tahun ini. Kendala yang masih ditemui adalah perbedaan pandangan mengenai Instansi atau Unit yang diberi kewenangan untuk mengelola asset hasil Tipikor (Asset Management Unit) antara kewenangan Kejaksaan Agung atau Kementerian Keuangan. Di sisi upaya perlindungan saksi pelapor sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Pelapor masih dibatasi ruang lingkup pengaturan pada saksi dan korban saja. Sedangkan dalam prakteknya seperti kebutuhan perlindungan hukum (sebagai contoh di dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang) diberikan juga kepada Saksi Pelapor, yang relevansinya adalah mendukung upaya pengungkapan/ pemberantasan seluruh kejahatan yang terorganisir dapat diberantas hingga ke akarnya. Meskipun pasal 10 UU No. 13/2006 tuntutan pidana tetap diberikan apabila kejahatan terbukti secara sah dan meyakinkan, tetapi kesaksian seorang Pelapor dapat dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam meringankan pidana kepada Pelapor yang memberikan informasi terhadap tindak pidana yang dilakukan dan bahkan dapat menjadi alasan yang kuat memberikan grasi. 2 - 158 Dengan demikian, ke depan, tantangan dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana adalah koordinasi antar instansi dalam pelaksanaan perlindungan saksi, korban dan pelapor. Dalam penanganan pelanggaran HAM Berat, hasil penyidikan perkara yang dilakukan Kejaksaan masih menunjukan nihil, walaupun telah ada upaya yang dilakukan terkait dengan proses pemeriksaan dan penelitian berkas perkara penyelidikan beberapa kasus pelanggaran yang disampaikan oleh Komnas HAM dimana hasil penyelidikan tersebut telah dikembalikan kepada Komnas HAM untuk disesuaikan dengan prosedur penanganan penyelidikan perkara yang dilakukan di Kejaksaan, namun sampai dengan kurun akhir tahun 2010 dan Juni 2011 masih belum ada tindak lanjut yang dilakukan. Dalam melaksanakan peran peningkatan akses masyarakat kepada pengadilan, pelaksanaan SEMA No. 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum, kendala terkait pelaksanaan di lapangan memerlukan petunjuk teknis untuk para pelaksa dalam menyalurkan anggaran bantuan hukum tersebut. Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN HAM) merupakan dokumen penyearah berbagai program kegiatan pembangunan dalam rangka untuk penghormatan, pemajuan, pemenuhan, perlindungan, dan penegakan HAM. Hak asasi manusia tidak hanya terbatas pada aspek pelanggaran HAM oleh aparat Negara kepada masyarakat akan tetapi ruang lingkup HAM sangat luas hamper meliputi segenap aspek kehidupan masyarakat dari mulai kesehatan, pendidikan, agama, kebebasan berpendapat, politik, hukum dan sebagainya. Dokumen RAN HAM tahun 2004-2009 telah selesai dilaksanakan meskipun sebagai salah satu hasilnya telah terbentuk panitia RAN HAM baik nasional maupun daerah, namun efektivitas dari panitia ini belum optimal. Program kerja dari RAN HAM tersebut banyak tidak terlaksana baik karena kurangnya pemahaman dari pemangku kepentingan yang ada maupun karena 2 - 159 kurangnya dukungan sumber daya dalam rangka untuk melaksanakan RAN HAM periode 2004 – 2009 dan bahkan masih ada anggapan bahwa pemajuan, penghormatan dan penegakan hak asasi manusia hanya menjadi tugas Pemerintah Pusat. Permasalahan yang dihadapi bidang keamanan, khususnya dari aspek penanganan terorisme dan peningkatan peran industri pertahanan, secara umum masih menghadapi berbagai kendala seperti kondisi sosial ekonomi masyarakat, peran masyarakat dalam penanggulangan terorisme, atau kepercayaan user pada hasil industri pertahanan. Terorisme masih menjadi ancaman yang berpotensi mengganggu stabilitas keamanan nasional. Tidak menutup kemungkinan bahwa aksi-aksi terorisme di Indonesia berkaitan dengan jaringan terorisme asing, sehingga sangat mungkin di masa depan aksi-aksi terorisme akan selalu berulang kembali. Akar masalah yang ditengarai menjadi media tumbuh suburnya jaringan terorisme di Indonesia diantaranya adalah kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang lemah, sehingga sangat mudah didogma dan direkrut menjadi anggota jaringan. Oleh karena itu, salah satu tantangan utama yang dihadapi dalam penuntasan masalah terorisme adalah bagaimana membangun kesadaran masyarakat agar masyarakat memahami bahwa terorisme adalah musuh bersama dan dalam mengatasinya sangat membutuhkan peran aktif masyarakat. Langkah tersebut, sekaligus diikuti dengan upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat agar tidak rentan terhadap bujuk rayu jaringan terorisme. Peningkatan peran industri pertahanan dalam negeri merupakan suatu keharusan dalam rangka mewujudkan kemandirian pertahanan dan keamanan nasional. Belajar dari pengalaman masa lalu, kemampuan pertahanan Indonesia sempat melemah akibat embargo yang dilakukan oleh negara-negara supplier. Oleh karena itu, peningkatan peran industri pertahanan dalam negeri dalam 2 - 160 rangka kemandirian alutsista TNI dan peralatan Polri harus dilaksanakan untuk memperkecil resiko ketergantungan alutsista TNI dan peralatan Polri dari luar negeri. Secara umum peran industri pertahanan nasional dalam keamanan nasional relatif belum maksimal, yaitu dicerminkan dari potensi Industri pertahanan yang belum sepenuhnya dapat direalisasikan dan termanfaatkan dalam sistem keamanan nasional. Di sisi lain, industri pertahanan nasional yang saat ini identik dengan inefisiensi, kurang kompetitif, dan tidak memiliki keunggulan komperatif, dan tidak mampu memenuhi persyaratan dalam kontrak, juga harus mentransformasi perilaku bisnisnya agar mampu mengemban kepercayaan yang telah diberikan, yang antara lain dicerminkan dari kesesuaian harga dan kualitas produk serta ketepatan waktu penyerahan. Berbagai permasalahan dalam pengembangan industri pertahanan ini sangat terkait dengan ketersediaan dan belum solidnya payung hukum, kelembagaan, dukungan penelitian dan pengembangan, serta dukungan finansial. Untuk itu, penyusunan road map industri pertahanan nasional merupakan tantangan yang harus segera di atasi dalam lima tahun mendatang agar peran industri pertahanan nasional semakin signifikan dalam mewujudkan keamanan nasional. 2.12.2 LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASILHASIL YANG DICAPAI Di bidang politik luar negeri, untuk merespon perkembangan politik hubungan Thailand dan Kamboja, dalam rangka konsultasi dengan Menteri Luar Negeri Thailand dan Menteri Luar Negeri Kamboja terkait insiden perbatasan Thailand-Kamboja tersebut, pada tanggal 7-8 Februari 2011 Menteri Luar Negeri RI telah melakukan kunjungan kerja ke Phnom Penh dan Bangkok. Pembicaraan antarmenteri luar negeri tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan, antara lain komitmen kedua pihak untuk menyelesaikan 2 - 161 perbedaan dan perselisihan melalui cara damai; kedua pihak mengakui adanya kebutuhan menstabilkan situasi di wilayah perbatasan; dan pentingnya menciptakan situasi kondusif agar proses negosiasi berjalan baik. Selain itu, Dewan Keamanan PBB pada tanggal 7 Februari 2011 di bawah agenda other matters telah melakukan konsultasi informal tertutup guna membahas insiden militer di perbatasan Thailand-Kamboja. Konsultasi informal tersebut dilakukan berdasarkan permintaan Kamboja agar DK PBB melakukan pertemuan darurat membahas permasalahan tersebut. Atas permintaan DK PBB, Menteri Luar Negeri Indonesia menjelaskan hasil-hasil pertemuan dan pandangan Indonesia terkait dengan upaya penyelesaian sengketa perbatasan kedua negara. Presiden DK PBB menyampaikan apresiasi dan penghargaan terhadap peran dan upaya Indonesia untuk memastikan agar kondisi perbatasan kedua negara tidak semakin memburuk. Dalam kapasitas sebagai Ketua ASEAN, Pemerintah Indonesia telah berinisiatif menyelenggarakan pertemuan informal para menteri luar negeri ASEAN pada tanggal 22 Februari 2011 di Jakarta. Salah satu isu yang dibahas secara khusus dalam pertemuan dimaksud adalah perkembangan situasi perbatasan Kamboja-Thailand yang dinilai menghangat akhir-akhir ini. Pada akhir pertemuan, Indonesia selaku Ketua ASEAN telah mengeluarkan pernyataan tentang dukungan dan sambutan yang baik terhadap komitmen yang kuat dari Kamboja dan Thailand untuk menyelesaikan perbedaan dan permasalahan melalui upaya-upaya damai. Indonesia juga menyambut baik undangan dari Kamboja dan Thailand untuk pengiriman observers dari Indonesia ke perbatasan masing-masing negara untuk meng-observe komitmen kedua negara untuk menghindari konflik bersenjata. Di samping itu Indonesia mengharapkan Thailand dan Kamboja melanjutkan negosiasi bilateral dan mekanisme yang telah ada selama ini. 2 - 162 Selain itu, pada tanggal 10 Mei 2011 di Jakarta diadakan trilateral meeting antara Indonesia, Thailand dan Kamboja. Dalam pertemuan ini, Indonesia menawarkan sebuah konsep pendekatan, sebagaimana telah disampaikan Presiden RI di sela-sela KTT ASEAN ke 18 berupa Package Solutions. Dengan solusi ini, penyelesaian masalah tidak lagi berbicara mengenai siapa, mengambil langkah apa terlebih dahulu, sebelum kemudian mengambil langkah berikutnya, tapi melihat masalah ini sebagai suatu proses bukan suatu kejadian. Untuk masalah konflik Laut China Selatan, Pertemuan ASEAN Senior Officials Meeting (SOM) di Lombok tanggal 15 Januari 2011 mencatat hasil Joint Working Group on DOC di Kunming, RRT, bulan Desember 2010. SOM sepakat mendorong agar proses pembahasan guidelines DOC dapat segera dituntaskan. Claimant states ASEAN mencatat usulan yang disampaikan China di Kunming. Pada pertemuan ASEAN Ministerial Meeting (AMM) Retreat di Lombok, 16—17 Januari 2011, para Menlu ASEAN membahas secara mendalam perkembangan terkini mengenai isu LCS dan mencapai kesepahaman. Sementara praktek perompakan di laut harus dipandang sebagai kejahatan universal yang memerlukan penanganan secara komprehensif, inklusif dan terpadu, baik pada tataran nasional, regional maupun global. Dalam penanganan masalah pembajakan, International Maritime Organization (IMO) telah meminta dukungan tambahan dari negara-negara yang dapat menyediakan kapal-kapal perang dan pesawat terbang patroli maritim untuk wilayah Teluk Aden dan Samudra Hindia bagian barat serta menitikberatkan perhatian untuk mengikutsertakan Maritime Rescue Coordination Centres di Mombasa dan Dar es Salaam yang baru saja dibuka untuk berperan serta dalam pemberantasan perompakan di laut. Sementara dalam hal pemberantasan perompakan, pemerintah Somalia, “Puntland” dan “Somaliland” telah sepakat untuk 2 - 163 membentuk mekanisme koordinasi anti perompakan yang disponsori oleh UNPOS (United Nations Political Office for Somalia). Secara lebih meluas dalam konteks menjaga perdamaian dunia, Pemerintah Indonesia telah mengirimkan Pasukan Penjaga Perdamaian/Peacekeeping Operations, dimana pada sepanjang tahun 2010 Indonesia berpartisipasi dalam 7 misi pemeliharaan perdamaian PBB dengan total personil sejumlah 1.795 orang yang menempatkan Indonesia pada posisi ke-16 negara penyumbang pasukan pada misimisi PBB. Selain Personil Polri dan TNI, Indonesia juga mengirimkan Kapal KRI Kaisiepo untuk bergabung pada Maritime Task Force (MTF) di UNIFIL. Selain itu, Indonesia juga secara aktif terlibat dalam berbagai pertemuan yang antara lain membahas isu dan agenda tentang operasi perdamaian dunia dalam pertemuan kelompok kerja di New York; nuklir dan perlucutan senjata nuklir dalam Konferensi PBB ke-22 di Jepang, International Atomic Energy Agency (IAEA), dan pada pertemuan States Parties of Cluster Munitions Coalition (CCM) di Vientiane-Laos; interfaith dialogue dan penguatan peran kawasan Asia dan Timur Tengah; serta counter terrorism di PBB, ASEAN dan expert group meeting di Wina. Capaian lainnya dapat dilihat dari pelaksanaan inisiatif Indonesia untuk melaksanakan delapan pertemuan internasional, dimana Indonesia menjadi tuan rumah, untuk membahas isu dan agenda perdamaian dunia melalui peace keeping dan post conflict building; penguatan pelaksanaan program aksi tentang Small Arms and Light Weapon (SALW); transparansi dalam perlucutan senjata; perlindungan, permukiman kembali, dan repatriasi yang terkait dengan penyelundupan orang, perdagangan manusia, dan kejahatan transnasional, counter terorrism melalui workshop yang diikuti oleh perwakilan dari Kepolisian RI dan Kejaksaan, dan lokakarya untuk membahas pelaksanaan strategi global counter terrorism; serta 2 - 164 membahas isu pengurangan ancaman nuklir yang diperuntukkan bagi para pengambil keputusan. Dalam rangka peningkatan kepastian hukum, berbagai upaya telah dilakukan oleh masing-masing lembaga penegak hukum antara lain peningkatan kapasitas aparat penegak hukum melalui pelatihan terpadu dalam melaksanakan tugas dan fungsi masing-masing sesuai dengan ragam jenis perkara/kasus yang ditangani. Dengan demikian diharapkan ada persamaan cara pandang dalam penanganan kasus/perkara dan menerapkan aturan hukum secara tepat. Selain itu, mekanisme diversi dalam kasus hukum yang melibatkan anak (khususnya yang masih di bawah umur) menjadi salah satu jalur penyelesaian tanpa mengabaikan prinsip keadilan. Pertimbangan penanganan anak yang bermasalah dengan hukum melalui pelibatan masyarakat terkait dengan upaya menghindari pengaruh pemidanaan terhadap perkembangan anak di masa yang akan datang. Dalam rangka meningkatkan upaya pemberantasan korupsi telah ditetapkan Inpres No.9 Tahun 2011 yang mencakup 102 rencana aksi yang melibatkan beberapa Kementerian Lembaga terkait tak terkecuali lembaga penegak hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Kementerian Hukum dan HAM. Inpres tersebut meliputi beberapa rencana aksi yang ditujukan untuk meningkatkan koordinasi antara aparat penegak hukum dalam rangka peningkatan percepatan pemberantasan korupsi. Koordinasi dan kerjasama yang kuat diantara lembaga penegak hukum tersebut dapat meningkatkan pencapaian IPK dengan nilai 5 pada tahun 2014. Penanganan kasus korupsi tidak hanya merupakan jurisdiksi dari KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi saja akan tetapi juga merupakan kewenangan Kejaksaan dan pengadilan negeri. Dalam rangka penanganan kasus korupsi sampai dengan bulan Juni 2011, KPK telah menangani kasus tindak pidana korupsi baik itu yang merupakan sisa dari perkara dari tahun 2010 dan perkara baru di tahun 2011 (tabel 2.12.1). Penanganan kasus korupsi yang 2 - 165 dilakukan oleh KPK sejak tahun 2004 sampai dengan 2011, tercatat bahwa instansi yang banyak melakukan tindak pidana korupsi adalah pada level pemerintah kabupaten/kota dan kedua adalah pada kementerian lembaga (tabel 2.12.2) TABEL 2.12.1. PENANGANAN KASUS/ PERKARA KORUPSI OLEH KPK No. 1. Waktu Januari s.d Juni 2011 Penyelidikan Penyidikan Penuntutan Perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap 38 kasus 44 perkara 23 perkara 20 perkara Putusan pengadilan 16 perkara Sumber Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 2011 TABEL 2.12.2 PERKARA TPK BERDASARKAN INSTANSI (2008-JUNI 2011) 20 15 10 5 0 2008 2009 2010 2011 Pemkab/Pemkot 18 5 8 5 Kementerian/Lembaga 13 13 16 10 7 10 7 1 DPR R I 2 - 166 Sumber : Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 2011 Sedangkan terkait dengan upaya yang dicapai dalam pemberantasan korupsi, dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya pada kurun waktu Januari sampai dengan Desember Tahun 2010 dan mulai Januari sampai dengan Juni 2011, Kejaksaan Agung (tingkat pusat) dan Kejaksaan Tinggi (Kejati), Kejaksaan Negeri (Kejari) dan Cabang Kejaksaan Negeri (Cabjari) seluruh Indonesia telah menyelesaikan penanganan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi seperti yang tercantum dalam Tabel di bawah ini, TABEL 2.12.3. JUMLAH PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN TINDAK PIDANA KORUPSI KEJAKSAAN RI Kejati/ Kejari/ Cabjari No. Waktu Kejaksaan Agung seluruh Indonesia 1. s.d akhir Tahun 2010 Penyidikan sebanyak 148 perkara Penuntutan sebanyak 48 perkara Penyidikan sebanyak 2.167 perkara Penuntutan sebanyak 1.667 perkara 2. Januari Penyidikan Penuntutan Penyidikan Penuntutan 2 - 167 s.d. Juni 2011 sebanyak 66 perkara sebanyak 37 perkara sebanyak 798 perkara sebanyak 621 perkara Sumber : Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 2011 Untuk meningkatkan kualitas penanganan kasus korupsi yang disidik dan dituntut oleh Kepolisian dan kejaksaan maka KPK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan melakukan fungsi koordinasi dan supervisi dibidang penindakan. Pada tahun 2011 KPK telah melakukan fungsi koordinasi bersama-sama dengan Kepolisian dan Kejaksaan seperti yang tercantum pada tabel 2.12.3. Kegiatan koordinasi tersebut adalah dengan meminta informasi tentang telah dimulainya penyidikan perkara TPK (melalui Surat Perintah Dimulainya Penyidikan atau SPDP) dan perkembangan penanganannya. Sementara itu supervisi yang dilakukan oleh KPK adalah dalam bentuk (a) permintaan Perkembangan Penyidikan (Bandik); (b) Gelar Perkara dengan; (c) Analisis perkara; dan (d) Pelimpahan Perkara. Fungsi koordinasi dan supervisi yang dilakukan oleh KPK tersebut merupakan bentuk kerjasama ketiga instansi dalam upaya meningkatkan kualitas penanganan kasus korupsi TABEL 2.12.4. KEGIATAN KOORDINASI DAN SUPERVISI KPK DALAM PENANGANAN KASUS KORUPSI 1. Koordinasi Instansi Kejaksaan Kepolisian Total Januari sd Juni 2011 630 107 737 Sumber : Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 2011 2. Supervisi 2 - 168 Sd. Juni 2011 Jumlah Jawaban Permintaan Bangdik POLRI Kejaksaan 41 97 Gelar Perkara Analisis Pelimpahan POLRI Kejaksaan POLRI Kejaksaan POLRI Kejaksaan 11 6 11 18 15 17 Sumber : Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 2011 Dalam rangka penyelamatan asset, aparat penegak hukum telah melakukan berbagai upaya untuk mengembalikan harta kekayaan negara dari para koruptor dengan melacak harta hasil korupsi yang dibawa koruptor ke luar daerah maupun ke luar negeri. Baik KPK maupun Kejaksaan Agung telah melakukan upaya kerjasama bantuan hukum timbal balik antar negara (Mutual Legal Assistance), ekstradisi dan upaya pencarian dan pengembalian asset hasil kejahatan korupsi di luar negeri (asset tracing and recovery). Kerjasama antar negara yang dilakukan oleh Kejaksaan diantaranya adalah dengan Swiss, Singapura, Belanda, Inggris, Hongkong, China, Amerika Serikat, Australia dan Kanada. Sampai dengan Juni 2011 antara lain tengah dilakukan upaya kerjasama hukum terkait dengan kasus Gayus H.P Tambunan. Sampai dengan tahun 2010, KPK telah berhasil menyelamatkan potensi kerugian negara tak kurang dari 2,5 triliun rupiah. Dalam rangka untuk penyelamatan asset Negara pada tindak pidana korupsi secara lebih optimal maka pada tahun 2011 diharapkan draft RUU Perampasan Aset dapat difinalisasi dan dapat segera disampaikan kepada Presiden. Mengantisipasi belum optimalnya pemberian perlindungan terhadap saksi pelapor dan korban pada tahun 2011 Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengajukan usulan kepada Kementerian Hukum dan HAM agar revisi dari UU No.13 tahun 2006 diharapkan dapat menjadi salah satu rancangan undang-undang yang menjadi prioritas untuk dibahas dengan DPR. Namun demikian karena usulan adanya revisi dari undang-undang ini masuk setelah Prolegnas tahun 2011 sudah ditetapkan maka pada tahun 2010 dan tahun 2011 tidak ada kegiatan yang langsung terkait dengan hal tersebut. Di samping itu, Mahkamah Agung sedang 2 - 169 Total 217 menyiapkan/menyusun suatu Surat Edaran yang akan menekankan kepada para Hakim untuk sungguh-sungguh memperhatikan ketentuan Pasal 10 UU No. 13/2006 tersebut. Dalam mekanisme selanjutnya, pelibatan pihak Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung perlu dilakukan sesuai dengan lingkup kewenangannya. Untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap keadilan, dan mengatasi kendala penyaluran bantuan hukum kepada masyarakat melalui pengadilan, Mahkamah Agung sedang menyiapkan petunjuk pelaksanaan teknis bantuan hukum di 4 (empat) lingkungan peradilan. Pada tanggal 11 April 2011 telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2011 tentang Rencana Nasional Hak Asasi Manusia (RAN HAM) tahun 2011—2014 sebagaimana RAN HAM periode sebelumnya, dokumen ini diharapkan dapat menjadi penyearah dalam rangka pelaksanaan program dan kegiatan yang mendorong perlindungan HAM di Indonesia. Namun demikian kepanitiaan dari RAN HAM ) tahun 2011—2014 diharapkan akan lebih efektiv karena Presiden secara tegas menugaskan kepada seluruh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota untuk melaksanakan RAN HAM sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Pemantapan mekanisme dan koordinasi yang lebih mendasarkan pada pendekatan hasil (outcome), telah lebih memperjelas tugas dan tanggungjawab Panitia RAN HAM secara lebih optimal dengan melibatkan partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan yang terkait. Dalam penanganan pelanggaran HAM Berat, hasil penyidikan perkara yang dilakukan Kejaksaan masih menunjukan Nihil, walaupun telah ada upaya yang dilakukan terkait dengan proses pemeriksaan dan penelitian berkas perkara penyelidikan beberapa kasus pelanggaran yang disampaikan oleh Komnas HAM dimana hasil penyelidikan tersebut telah dikembalikan kepada Komnas HAM untuk disesuaikan dengan prosedur penanganan penyelidikan 2 - 170 perkara yang dilakukan di Kejaksaan, namun sampai dengan kurun akhir tahun 2010 dan Juni 2011 masih belum ada tindak lanjut yang dilakukan. Di bidang pertahanan, langkah kebijakan dalam rangka penanggulangan tindak terorisme adalah dengan pemantapan tata kelola pencegahan dan penanggulangan tindak terorisme, serta pemberdayaan masyarakat dalam pencegahan tindak terorisme. Penanganan terorisme yang dilakukan sejak adanya bom Bali I sampai dengan pertengahan tahun 2011, telah berhasil menangkap 694 orang tersangka. Dari penangkapan tersebut, 65 orang tewas akibat ditembak atau dieksekusi pengadilan, 18 orang dalam proses sidang, 47 orang dalam proses penyidikan, 374 orang telah mendapat vonis hakim,147 orang menjalani hukuman, dan 210 orang sudah bebas menjalani hukuman dan/atau dinyatakan tidak terbukti. Dari hasil penangkapan para pelaku dan pengungkapan jaringan terorisme, menunjukkan bahwa pelaku teror di Indonesia memiliki karakteristik khusus yaitu : (1) para pelaku sebagian besar WNI yang pernah mendapatkan pelatihan militer di Afganistan dan Philipina Selatan; (2) tidak merasa bersalah melakukan aksi teror karena menganggap aksinya sebagai perjuangan dan perintah agama; (3) memiliki idiologi keagamaan dengan kekerasan; dan (4) serangkaian aksi terorisme terutama teror bom sebagian besar dilakukan oleh kelompok Negara Islam Indonesia (NII) dan Jamaah Al-Islamiyah (JI). Hasil pengungkapan aksi terorisme pada tahun 2010 diantaranya adalah: (a) pelatihan militer oleh jaringan terorisme di Aceh; (b) perampokan Bank CIMB cabang Medan yang diduga terkait dengan terorisme, (c) penyerangan Polsek Hamparan Perak, dan (d) perakitan bom oleh kelompok Bandung. Sedangkan pada tahun 2011, hasil pengungkapan aksi terorisme diantaranya adalah : (a) teror bom di Klaten, (b) teror bom buku, dan (c) teror bom bunuh diri di Mapolresta Cirebon. Aparat keamanan telah melakukan 2 - 171 langkah-langkah pembinaan kepada masyarakat agar dapat meningkatkan kepekaan terhadap orang atau benda yang patut dicurigai di lingkungan tempat tinggal masing-masing dan menginformasikan segera ke aparat kepolisian terdekat. Sedangkan kebijakan yang ditempuh untuk mendayagunakan industri pertahanan nasional bagi kemandirian pertahanan adalah melalui penyusunan cetak biru beserta road map, peningkatan penelitian dan pengembangan, serta dukungan pendanaannya. Adapun hasil yang telah dicapai adalah (1) Penelitian dan pengembangan Kementerian Pertahanan telah melakukan kerjasama dengan Kemenristek, perguruan tinggi, Litbang Angkatan serta pembentukan konsorsium Iptek bidang Radar, roket, rudal, UAV dan Alkom; (2) Pembentukan Komite Kebijakan Industri Pertahanan sebagai komitmen pemerintah dalam merevitalisasi industri pertahanan memiliki peran mendorong dan mensikronkan kebutuhan sarana pertahanan dengan kemampuan pemenuhan kebutuhan oleh industri pertahanan nasional dan telah dituangkan dalam MoU bersama pihak-pihak terkait untuk selanjutnya diimplementasikan sesuai tanggung jawab masing-masing; (3) Dalam upaya mengejar ketertinggalan teknologi pesawat tempur telah dilakukan kerjasama dengan Korea Selatan pembuatan pesawat tempur KFX/IFX; dan (4) Dilakukannya evaluasi dan penyesuaian atas regulasi atau kebijakan yang berkaitan dengan perumusan pelaksanaan, perizinan, pengembangan dan standarisasi teknis bidang pengadaan barang dan jasa pada pembangunan kekuatan pertahanan, diharapkan dapat meningkatkan kesiapan Alutsista pertahanan. 2.12.3. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN Di bidang politik luar negeri, terkait masalah konflik Kamboja-Thailand, tindaklanjut yang diperlukan adalah Indonesia akan menugaskan 30 anggota (IOT), yaitu 15 orang akan bertugas di wilayah Kamboja (IOTC) dan 15 orang akan bertugas di wilayah Thailand (IOTT). Dalam penugasan tersebut, Kementerian Luar 2 - 172 Negeri bermaksud mengirimkan 4 (empat) orang pejabatnya secara bergantian sebagai civilian component yang akan membantu pelaporan. Terkait dengan hal ini, rencananya akan dibentuk Posko di Kementerian Luar Negeri yang akan melibatkan unsur dari Menko Polhukam, Kemenham, Panglima TNI, serta Kementerian Luar Negeri. Posko akan bersifat lean, cepat dan beroperasi 24/7. Terkait pengiriman IOT, Pemerintah telah menyampaikan Terms of Reference (TOR) bagi pengerahan Tim Peninjau Indonesia di kawasan perbatasan Thailand dan Kamboja. Pihak Kamboja telah memberikan tanggapan tertulis yang positif terhadap TOR dimaksud, sementara pihak Thailand belum memberikan tanggapan tertulis. Untuk masalah Laut China Selatan, sebagai Ketua ASEAN tahun 2011, Indonesia akan memastikan terpeliharanya tatanan dan situasi di kawasan yang kondusif bagi upaya pencapaian pembangunan. Sebagai equilibrium maker, Indonesia senantiasa memberi ruang bagi terwujudnya perubahan dan berpandangan naiknya kesejahteraan satu negara anggota ASEAN, hendaknya tidak merugikan negara anggota lainnya. Pandangan tersebut yang ditekankan Indonesia dalam membangun ASEAN dan juga melandasi upaya-upaya dalam hal penguatan code of conduct di LCS. Adapun masalah pembajakan, tidak dipungkiri bahwa upayaupaya internasional untuk memberantas perompakan di perairan Somalia, baik secara multilateral melalui badan-badan internasional maupun melalui inisiatif pengiriman kapal-kapal perang dapat membantu mengurangi intensitas pembajakan kapal tersebut. Akan tetapi mengingat luasnya wilayah yang harus diawasi (sekitar 2.000 mil2), maka pembajakan-pembajakan masih terus terjadi. Dalam kaitan ini, maka titik perhatian Indonesia adalah untuk terus memberikan himbauan kepada para ABK untuk menghindari memilih kapal yang melintasi Teluk Aden atau perairan sekitar 2 - 173 Somalia sebagai tindakan preventif terhadap kemungkinan terjadinya pembajakan. Dalam upaya memerangi pembajakan, pada pertemuan World Public-Private Counter Piracy Conference di Dubai, 18 April 2011, Menteri Luar Negeri RI telah menyampakan gagasan mengenai langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam memerangi perompakan antara lain perlunya identifikasi dan penanganan terhadap akar permasalahan yang tidak bisa dipisahkan dari keadaan internal di Somalia; penanganan masalah pembajakan harus didasarkan pada rejim hukum internasional; dan negara-negara pantai yang berada di kawasan rawan pembajakan perlu melakukan patroli secara terkoordinasi untuk memastikan keamanan navigasi dan keamanan maritim. Ke depan, Pemerintah akan memastikan berbagai langkah tersebut dapat dilaksanakan. Dalam menghadapi masalah perompakan di Somalia, Indonesia menekankan pertama, perlunya pemberian capacity building kepada Somalia; kedua, penegakkan instrumen hukum internasional; ketiga, perlunya patroli bersama atau patroli terkoordinasi (coordinated patrol) oleh negara-negara di kawasan. Indonesia akan terus bekerja sama dengan Somalia untuk mencari bentuk penyelesaian yang sesuai dengan kebutuhan Somalia. Disamping itu, Indonesia perlu mempertimbangkan pelaksanaan pemberian bantuan program capacity building dan kerja sama teknik kepada pemerintah Somalia. Dalam upaya menjaga perdamaian dunia, tindak lanjut yang dilakukan adalah dengan terus mendorong efektifitas penggelaran personil Indonesia antara lain melalui pembentukan Tim Koordinasi Misi Pemeliharaan Perdamaian. Selain itu diperlukan juga analisis yang mendalam serta komprehensif dengan instansi terkait untuk memutuskan efektifitas penggelaran personil Indonesia dalam pasukan penjaga perdamaian, pertimbangan keselamatan dan aspek politis yang ditimbulkan dari penggelaran tersebut. 2 - 174 Di bidang penanganan terorisme, Indonesia akan terus berperan aktif dalam berbagai upaya bilateral, regional dan multilateral untuk mengatasi ancaman terorisme. Kebijakan luar negeri difokuskan untuk melakukan pembangunan kapasitas kelembagaan, pertukaran informasi dan intelijen, serta kerjasama teknis. Dalam konteks multilateral khususnya, Indonesia akan terus mendorong terbentuknya Comprehensive Convention on International Terrorism (CCIT). Penanggulangan terorisme dengan mengedepankan strategi ‘soft power’ serta perlindungan terhadap HAM akan tetap menjadi perhatian utama kebijakan Pemerintah Indonesia. Sedangkan terkait dengan kejahatan lintas negara terorganisir, Pemerintah Indonesia akan terus berperan aktif dalam kerja sama regional dan multilateral termasuk kerja sama melalui Bali Process, UNHCR dan IOM. Dalam rangka penegakan hukum, perlu adanya komitmen bersama seluruh pemangku kepentingan untuk melaksanakan agenda pemberantasan korupsi secara komprehensif. Penjabaran langkah aksi harus merupakan satu kesatuan untuk mendapatkan hasil yang optimal disamping menaikkan posisi Indonesia sebagai negara yang berkomitmen sungguh-sungguh dengan tujuan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sebagai tindaklanjut dari adanya undang-undang mengenai perampasan asset dalam rangka penanganan tindak pidana korupsi maka diharapkan penanganan perkara korupsi tidak hanya dimaksudkan untuk pemidanaan terhadap pelakunya akan tetapi juga pengembalian kerugian Negara sebagai akibat tindak pidana korupsi diharapkan dapat lebih optimal. Selanjutnya, pembagian peran dan koordinasi di antara lembaga penegak hukum harus dapat lebih ditingkatkan dalam rangka kerjasama terkait pengembalian asset baik yang berada dalam satuan kerja dengan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Kerjasama yang baik diantara berbagai negara dalam upaya pengembalian asset hasil tindak pidana 2 - 175 korupsi sebagaimana yang diamanatkan dalam UNCAC juga perlu ditingkatkan untuk mendukung pelaksanaan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Pada tahun 2012 diharapkan usulan revisi UU No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dapat disepakati untuk menjadi salah satu prioritas dalam Prolegnas 2012 sehingga nantinya proses penyusunan peraturan perundang-undangan ini dapat segera dilaksanakan. Perlu adanya dorongan untuk meningkatkan komitmen semua pemangku kepentingan untuk mensukseskan pelaksanaan RAN HAM tahun 2011—2014, antara lain melalui kegiatan sosialisasi, diseminasi dan mendorong optimalisasi peran dari panitia RAN HAM baik tingkat Nasional maupun Pemerintah Daerah. Sedangkan dukungan penguatan akses masyarakat terhadap keadilan akan terus diupayakan melalui lembaga pengadilan, yang selanjutnya bersinergi dengan peraturan perundang-undangan mendatang terkait pelaksanaan bantuan hukum. Terkait dengan permasalahan terkait penanganan pencegahan dan pemberantasan korupsi akan lebih diintensifkan koordinasi antara lembaga pemerintah dengan instansi atau lembaga terkait lainnya dalam rangka mendukung dan mempercepat upaya pemberantasan korupsi. Diharapkan dalam waktu dekat rencana aksi yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi dapat dilaksanakan sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing instansi penanggung jawab. Dalam rangka pemantapan pemenuhan, pemajuan dan penegakan hak asasi manusia optimalisasi peran panitia RAN HAM Nasional/Provinsi/Kabupaten/Kota untuk meningkatkan kualitas implementasi rencana aksi akan mendasarkan pada pelaksanaan perencanaan dan anggaran berbasis kinerja, yang artinya juga 2 - 176 menjadi tanggung jawab tidak saja kementerian/lembaga namun juga pemerintah daerah. Pengintegrasian/mainstreaming prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam proses penyusunan peraturan perundangundangan nasional; penerapan prinsip perlindungan hak asasi manusia akan diarahkan untuk lebih memberikan jaminan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia yang merupakan hak dasar rakyat Indonesia. Terkait dengan penanganan pelanggaran HAM Berat, perlu adanya upaya strategis dari Pemerintah dan lembaga terkait lainnya untuk mengupayakan bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM Berat yang masih tertunda penanganannya dapat diselesaikan dengan tuntas sesuai dengan tuntutan masyarakat. Terkait dengan bidang pertahanan dan keamanan, penanganan terorisme sebagai upaya mewujudkan kondisi keamanan dalam negeri perlu dilaksanakan secara berkelanjutan dan terkoordinasi dengan baik. Upaya penanggulangan dan pencegahan dilaksanakan dengan melanjutkan kegiatan operasi penegakan dan ketertiban dan operasi yustisi; operasi intelijen strategis; penyelenggaraan intelijen dan pengamanan matra darat; kegiatan operasi intelijen dalam negeri; penindakan tindak pidana terorisme; koordinasi penanganan kejahatan transnasional dan terorisme; pencegahan dan penanggulangan terorisme (BNPT); kerjasama multilateral terkait isu keamanan internasional, senjata pemusnah massal dan senjata konvensional; dan penanggulangan kejahatan lintas negara dan terorisme. Sedangkan dalam rangka meningkatkan peran industri pertahanan, terutama dalam rangka mendukung pencapaian postur kekuatan pokok minimun (minimum essential force), tindak lanjut yang diperlukan adalah dengan melanjutkan penelitian dan pengembangan alat peralatan pertahanan; produksi alutsista industri dalam negeri; pengkajian dan pengembangan peralatan sandi; pengembangan alut kepolisian produksi dalam negeri; pembuatan 2 - 177 prototype; peningkatan dukungan teknologi bagi pemberdayaan industri strategis bidang pertahanan; serta pengkajian dan penerapan teknologi industri pertahanan dan keamanan. 2.13 PRIORITAS NASIONAL PEREKONOMIAN LAINNYA: BIDANG Program dan kegiatan yang termasuk dalam prioritas nasional lainnya bidang perekonomian untuk industri manufaktur diarahkan agar mendukung Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) melalui pengembangan pengembangan klaster industri hilir kelapa sawit di Sei Mangkei (Sumatera Utara), Dumai (Riau) dan Maloy (Kalimantan Timur). Pada forum multilateral perdagangan internasional, Indonesia semakin aktif dalam perundingan World Trade Organization (WTO), sehingga perdagangan internasional melalui diplomasi perdagangan juga termasuk prioritas yang menjadi perhatian dalam bidang perekonomian. Kemudian upaya peningkatan pelayanan kepada tenaga Kerja Indonesia (TKI) secara lebih komprehensif selama proses penyiapan, pemberangkatan dan kepulangan, serta peningkatan upaya perlindungan TKI di luar negeri, juga menjadi prioritas dengan melibatkan kementerian/lembaga terkait sesuai tugas dan fungsinya masing-masing. 2.13.1. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI Klaster Industri Hilir CPO Permasalahan yang dihadapi industri manufaktur khususnya untuk industri pengolah minyak sawit (CPO) adalah: masih lambatnya proses penumbuhan populasi usaha industri. Kebijakan bea keluar terhadap ekspor CPO dan turunannya yang berlaku saat 2 - 178 ini belum mampu membendung ekspor CPO dan tidak mampu mendorong pengembangan industri hilir minyak kelapa sawit/CPO di dalam negeri. Akar masalahnya antara lain adalah belum memadainya infrastruktur seperti pelabuhan, jalan dan transportasi, termasuk energi (gas bumi dan listrik). Hal ini mengakibatkan rendahnya minat investor di bidang industri hilir kelapa sawit. Perdagangan Internasional Diplomasi perdagangan merupakan bagian penting untuk meningkatkan akses pasar Indonesia dan memecahkan permasalahan perdagangan Indonesia di pasar global. Namun demikian, beberapa permasalahan yang masih dihadapi oleh Indonesia dalam melakukan upaya diplomasi perdagangan di antaranya adalah: (1) belum optimalnya pemanfaatan skema kesepakatan kerjasama perdagangan terutama terkait skema tarif dan belum siapnya sektor riil untuk memanfaatkan peluang yang ada; dan (2) masih belum optimalnya upaya negosiasi perdagangan untuk mengurangi berbagai hambatan tarif dan non-tarif lainnya. Pelayanan dan Perlindungan TKI Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja di luar negeri, setiap tahun sekitar 700.000 orang yang diberangkatkan melalui jalur formal. Menurut catatan, saat ini terdapat sekitar 4,0 juta tenaga kerja (TKI) yang bekerja di luar negeri. Sekitar 70,0 persen diantaranya adalah perempuan dan mayoritas bekerja di sektor domestik. Tingkat pendidikan TKI yang bekerja di luar negeri, sebagian besar hanya lulusan SD sehingga kemampuan mereka dalam mengurus dokumen persyaratan bekerja juga sangat terbatas. Rendahnya kemampuan tersebut belum diimbangi dengan kualitas pendidikan dan pelatihan yang seharusnya dipersiapkan bagi TKI sesuai dengan kebutuhan yang dipersyaratkan di negara penempatan serta perlu disosialisasikan lebih intensif lagi tentang hak dan kewajiban serta hal-hal yang dapat melindungi mereka. Regulasi yang mengatur 2 - 179 penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri adalah UU. No. 39 tahun 2004. UU ini banyak dipersoalkan karena peran pemerintah dalam penyelenggaraan penempatan relatif kecil, terutama peran pemerintah dalam memberikan perlindungan, yang dirasakan belum optimal. Permasalahan tersebut menimbulkan ber-ulangnya kasus yang sama menimpa tenaga kerja di luar negeri, seperti yang akhir-akhir ini terjadi di negara Arab Saudi dan Malaysia. Mulai dari pemutusan hubungan kerja sepihak (PHK), gaji tidak dibayar, penganiayaan oleh majikan dan lain-lain. Sementara proses penyelesaian hukum di negara penempatan memakan waktu yang tidak sedikit. Namun masih perlu lebih ditingkatkan lagi bantuan dan advokasi kepada TKI telah berikan oleh pemerintah. 2.13.2. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASILHASIL YANG DICAPAI Klaster Industri Hilir CPO Untuk menggalang komitmen berbagai sektor yang terlibat, maka dilakukanlah pencanangan pembangunan klaster industri berbasis pertanian, oleochemical di Maloy – Kalimantan Timur tanggal 7 Januari 2010, di Dumai-Kuala Enok- Riau tanggal 23 Januari 2010, di Sei Mangke-Sumatera Utara tanggal 27 Januari 2010. Di samping itu, untuk mempercepat pembangunannnya, Pemerintah telah memfasilitasi dengan melaksanakan penyusunan Amdal, studi kelayakan; rencana induk pengembangan klaster industri hilir kelapa sawit (IHKS) di Sei Mangkei-Medan, DumaiRiau dan Maloy-Kalimantan Timur; melakukan kajian pembangunan infrastruktur utama (rel kereta api, jalan dan pelabuhan) di Sei Mangke – Sumatera Utara; serta promosi investasi ke Amerika Serikat dan Uni Emirat Arab. Upaya tersebut telah berhasil menarik beberapa investor, seperti Procter & Gambler dan Cargill International dari Amerika 2 - 180 Serikat dan MEC dari UEA. Komitemen lintas kementerian juga mulai terbangun, diantaranya adalah komitmen dari Kementerian PU untuk perluasan jalan menuju kawasan IHKS di Sei MangkeSumatera Utara serta rencana pembangunan rel kereta api yang akan menghubungkan kawasan Sei Mangke-Sumatera Utara dengan Pelabuhan Kuala Tanjung oleh PT. Kereta Api Indonesia (PT.KAI). Perdagangan Internasional Peran Indonesia di fora internasional terlihat semakin penting. Beberapa upaya langkah kebijakan dan hasil-hasil yang dicapai selama ini antara lain adalah: 1. Partisipasi aktif Indonesia dalam forum multilateral dilakukan melalui kerjasama dan perundingan internasional di forum World Trade Organization (WTO) telah membuat komposisi kekuatan negara-negara berkembang dengan negara maju dalam forum tersebut menjadi berimbang. Kepemimpinan Indonesia dalam berbagai kelompok inti (misal: G33, G20 di WTO dan ASEAN) membuat posisi Indonesia semakin diperhitungkan di forum internasional. Khusus terkait Indonesia dalam Keketuaan ASEAN tahun 2011, peran penting yang dilakukan terutama dalam mempersiapkan komunitas ASEAN yang berorientasi pada rakyat di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) pada tahun 2015. 2. Perkembangan kerjasama Indonesia di ASEAN dengan mitra dialog meliputi berbagai kesepakatan perdagangan bebas/Free Trade Agreement (FTA), diantaranya adalah: ASEAN-China FTA, ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership Agreement, ASEAN-Australia-New Zealand FTA, serta ASEAN-Korea FTA. Adapun upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menghadapi FTA antara lain dengan: (i) penguatan daya saing global, (ii) pengamanan pasar domestik, dan (iii) penguatan ekspor. 2 - 181 3. Indonesia pun aktif dalam berbagai kerjasama perdagangan bilateral, seperti dengan negara-negara: China, India, Uni Eropa, Rusia, dan lain-lain. Dalam rangka kerjasama Indonesia dengan China, telah dibentuk Komisi Bersama Indonesia–RRT atau Joint Commission Meeting (JCM) yang merupakan wadah formal kerjasama perdagangan bilateral tahunan yang menindaklanjuti Kemitraan Strategis (Strategic Partnership) dalam hal perdagangan yang telah ditandatangani oleh kedua Kepala Negara. Beberapa hasil kesepakatan JCM antara lain adalah: (i) Kedua pihak sepakat untuk mengembangkan langkah-langkah strategis bagi kepentingan jangka panjang kedua bangsa; (ii) Kedua pihak sepakat untuk melaksanakan implementasi ACFTA secara menyeluruh dan saling menguntungkan; serta (iii) Kedua pihak akan mengupayakan pertumbuhan perdagangan yang tinggi dan berkelanjutan. Jika terjadi ketidakseimbangan neraca perdagangan, maka pihak yang surplus wajib melaksanakan langkah-langkah meningkatkan impor dan memberikan dukungan yang diperlukan kepada mitranya. Dalam rangka meningkatkan potensi perdagangan bilateral Indonesia-Uni Eropa telah dilaksanakan beberapa rangkaian pertemuan bilateral antara Indonesia-UE, yaitu European Union-Indonesia Business Dialogue (EIBD), Working Group Trade and Investment (WGTI) serta Vision Group. EIBD merupakan forum tahunan yang melibatkan sektor swasta dan pemerintah. WGTI adalah suatu forum pertemuan antara pemerintah Indonesia dan Uni Eropa (EU) yang khusus membahas isu perdagangan dan investasi kedua negara. 4. Salah satu keberhasilan diplomasi perdagangan yang penting adalah berhasilnya Indonesia bernegosiasi dengan Amerika Serikat untuk mencabut larangan impor tembakau dari Indonesia. Larangan impor tembakau dari Indonesia telah dicabut pada bulan Juli 2011. Pelayanan dan Perlindungan TKI 2 - 182 Dalam rangka memberikan perlindungan TKI sejak proses penempatan, keberangkatan dan ketika bekerja di luar negeri, pemerintah telah melakukan: (a) Penerbitan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER.14/MEN/X/2010 Tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, (b) menyusun draft penyempurnaan UU. No. 39/2004, dengan memperhatikan aspek perlindungan pekerja yang lebih besar, (c) mempertimbangkan secepatnya pelaksanaan ratifikasi konvensi buruh migran dan keluarganya, agar Indonesia memiliki posisi tawar yang lebih kuat, (d) mengevaluasi dan memonitor kinerja PPTKIS agar diketahui dengan cepat jika terjadi PPTKIS yang melanggar norma-norma hukum yang berlaku (e) meluncurkan program Kredit Usaha Rakyat bagi TKI (KUR TKI), dengan tujuan untuk membantu TKI membiayai kebutuhan keuangan selama proses pengurusan dokumen, kesehatan, dan keberangakatan. Pada akhir tahun 2010, tiga bank siap menyalurkan KUR TKI yaitu Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, dan Bank Negara Indonesia (BNI). Selanjutnya, dalam rangka menyelesaikan kasus-kasus yang menimpa TKI di luar negeri Pemerintah telah mengeluarkan: (a) Keputusan Presiden No. 15/2011 Tentang Tim Terpadu Penanganan TKI dan (b) Keputusan Presiden No. 17/2011 Tentang Satgas TK. Kedua Keppres tersebut untuk mengantisipasi pemberlakukan moratorium penempatan TKI di sektor domestik ke Arab Saudi yang dimulai 1 Agustus 2011, hingga MoU Indonesia–Arab Saudi untuk perlindungan TKI ditandatangani dan terbentuknya "joint task force" antar kedua negara. Keputusan ini dibuat oleh pemerintah dengan komitmen untuk terus memberikan pelayanan dan perlindungan terbaik kepada warga negara Indonesia yang bekerja dan yang akan bekerja ke luar negeri. Selain kebijakan, pemerintah telah memberikan berbagai kemudahan dalam rangka penempatan dan perlindungan TKI, yaitu : 2 - 183 (a) pemberian akses pelayanan yang cepat untuk penyelesaian permasalahan baik pada saat calon TKI masih di dalam maupun TKI di luar negeri, pemerintah membangun pusat layanan 24 jam (hotline service/crisis center) sebagai pusat penerimaan pengaduan dan fasilitasi penyelesaian masalah TKI. Pusat Pelayanan Pengaduan (Crisis Center), telah diresmikan pada tanggal 26 Juni 2011, di Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI); dan (b) pembangunan sistem informasi manajemen (SIM) TKI yang aplikasinya dirintis oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. SIM TKI akan diintegrasikan dengan data base yang sudah dimiliki oleh kementerian/lembaga yang menangani TKI, sehingga data dan informasi TKI serta informasi Job-Order di luar negeri menjadi lebih transparan dan dapat diakses oleh masyarakat luas. Pelayanan penempatan yang difasilitasi pemerintah pada tahun 2010 sebanyak 860.086 orang. Penempatan di kawasan Timur Tengah dan Afrika 60,0 persen, kawasan Asia Pasifik 40,0 persen. Dari jumlah tersebut yang bekerja di sektor formal 30,14 persen dan di sektor informal 69,86 persen. Sampai dengan pertengahan tahun 2011, pemerintah telah memulangkan warga negara Indonesia termasuk TKI over-stayer dari negara penempatan di kawasan Timur Tengah sekitar 7.000 orang. 2.13.3. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN Klaster Industri Hilir CPO Untuk lebih menggalakkan penumbuhan usaha industri hilir kelapa sawit akan dikaji restrukturisasi Bea Keluar terhadap CPO dan turunannya sehingga mampu mendorong peningkatan nilai tambah dan menjamin pasokan bahan baku bagi hilirisasi industri CPO di dalam negeri, serta menarik investor untuk mengembangkan industri turunan CPO. Di samping itu, akan dikaji pemberian insentif berupa tax allowance, dan tax holiday untuk industri di luar Pulau Jawa. 2 - 184 Perdagangan Internasional Beberapa upaya tindak lanjut yang diperlukan untuk mengoptimalkan diplomasi perdagangan internasional adalah: (1) meningkatkan peran aktif berbagai pemangku kepentingan pada saat proses persiapan diplomasi perdagangan; (2) meningkatkan peran diplomasi perdagangan dalam menyelesaikan permasalahan dan sengketa perdagangan internasional, serta dalam meningkatkan akses pasar internasional; dan (3) meningkatkan upaya sosialisasi hasilhasil kesepakatan kerjasama perdagangan yang telah dilakukan oleh Indonesia, sehingga para pelaku usaha dapat lebih memanfaatkannya secara optimal. Pelayanan dan Perlindungan TKI Untuk memfasilitasi TKI bekerja di luar negeri dan mengurangi permasalahan TKI, diperlukan: (a) percepatan implementasi SIM-TKI dengan kementerian/lembaga terkait; (b) sosialisasi komprehensif tentang prosedur dan persyaratan bekerja ke luar negeri secara terus menerus di kantong-kantong TKI; (c) pelayanan dokumen, kesehatan, keimigrasian, termasuk pemberian kartu tenaga kerja luar negeri (KTKLN); (d) pendidikan dan pelatihan serta pembekalan sesuai kebutuhan TKI, (e) system dan prosedur pengamanan TKI, dan peningkatan akses layanan bantuan hukum di perwakilan RI; (f) pelaksanaan perundingan dengan negara penempatan dalam bentuk pembuatan MOU; (g) peningkatan kerjasama pada forum-forum bilateral, regional, dan multilateral; (h) memaksimalkan fungsi “shelter” di perwakilan negara dan memperkuat citizen services; (i) mempercepat penyempurnaan UU No. 39/2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia. di luar negeri, dan meratifikasi konvensi buruh migran dan keluarganya. 2 - 185 2.14 PRIORITAS NASIONAL LAINNYA: KESEJAHTERAAN RAKYAT BIDANG Di samping sebelas prioritas nasional, upaya untuk mewujudkan visi dan misi pembangunan nasional juga dilakukan melalui prioritas nasional lainnya di bidang kesejahteraan rakyat yang mencakup (a) pelaksanaan ibadah haji yang tertib dan lancar paling lambat pada 2010; (b) peningkatan kerukunan umat beragama melalui pembentukan dan peningkatan efektivitas Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB); (c) peningkatan jumlah wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara sebesar 20% secara bertahap dalam 5 tahun; (d) promosi 10 tujuan pariwisata Indonesia melalui saluran pemasaran dan pengiklanan yang kreatif dan efektif; (e) perbaikan dan peningkatan kualitas jaringan prasarana dan sarana pendukung pariwisata; (f) peningkatan kapasitas pemerintah dan pemangku kepentingan pariwisata lokal untuk mencapai tingkat mutu pelayanan dan hospitality management yang kompetitif di kawasan Asia; (g) perumusan kebijakan dan pedoman bagi penerapan pengarusutamaan (mainstreaming) Gender dan Anak (PUG & A) oleh Kementerian Negara dan Lembaga Pemerintah Nonkementerian lainnya; (h) pencapaian posisi papan atas pada South East Asia (SEA) Games pada tahun 2011, peningkatan perolehan medali di Asian Games tahun 2010 dan Olimpiade tahun 2012; (i) peningkatan character building melalui gerakan, revitalisasi dan konsolidasi gerakan kepemudaan; serta (j) revitalisasi gerakan pramuka. 2.14.1. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI Pelaksanaan ibadah haji yang tertib dan lancar. Berbagai kemajuan telah berhasil dicapai dalam upaya penyelenggaraan ibadah haji, namun pada pelaksanaannya masih terdapat permasalahan antara lain: (1) belum optimalnya pelaksanaan teknis di lapangan dalam penerapan manajemen penyelenggaraan haji yang telah mendapatkan sertifikat manajemen mutu ISO 9001:2008; dan 2 - 186 (2) belum optimalnya pelayanan ibadah haji, terutama selama di Arab Saudi, seperti masih terdapatnya masalah konsumsi, kondisi pemondokan, jarak pemondokan yang masih jauh dari Masjidil Haram, dan pelayanan transportasi. Peningkatan kerukunan umat beragama. Beberapa permasalahan yang masih dihadapi antara lain: masih adanya tindakan dan gerakan yang mengganggu keharmonisan baik internal maupun antarumat beragama. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa kasus yang masih terjadi saat ini seperti adanya kekerasan atas nama agama, upaya penodaan agama dan munculnya aliran sektarian agama yang memancing konflik sosial. Peningkatan kepariwisataan. Beberapa permasalahan yang masih dihadapi antara lain: (1) belum optimalnya pengelolaan destinasi pariwisata, terbatasnya sarana dan prasarana pendukung pariwisata, dan belum optimalnya kemitraan dan kerja sama antara pemerintah dan swasta termasuk masyarakat; (2) terbatasnya informasi dan belum memadainya promosi destinasi pariwisata di dalam dan luar negeri, belum optimalnya kemitraan antar pemangku kepentingan dalam melakukan pemasaran dan promosi, belum optimalnya pemanfaatan media massa, elektronik, dan media cetak serta teknologi informasi dan komunikasi sebagai sarana promosi, dan terbatasnya dukungan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam mendukung promosi pariwisata daerah; dan (3) terbatasnya jumlah, jenis, dan kualitas SDM pariwisata, dan belum optimalnya kapasitas dan kualitas penelitian dan pengembangan di bidang pariwisata. Peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan serta perlindungan anak. Beberapa permasalahan yang masih dihadapi antara lain: (1) rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan, yang antara lain disebabkan oleh: (a) terjadinya kesenjangan gender dalam hal akses, manfaat, dan partisipasi dalam pembangunan, serta penguasaan terhadap sumber daya, terutama di 2 - 187 tatanan antarprovinsi dan antarkabupaten/kota; (b) rendahnya peran dan partisipasi perempuan di bidang politik, jabatan-jabatan publik, dan di bidang ekonomi; dan (c) rendahnya kesiapan perempuan dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim, krisis energi, krisis ekonomi, bencana alam dan konflik sosial, serta terjadinya penyakit. Hal ini, antara lain, ditunjukkan dengan rendahnya peningkatan nilai Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) setiap tahunnya yang mengindikasikan bahwa peningkatan kesetaraan gender di bidang ekonomi dan ketenagakerjaan, politik, serta pengambilan keputusan belum signifikan; (2) rendahnya perlindungan terhadap perempuan dan anak dari tindak kekerasan. Maraknya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak belum diiringi dengan peningkatan kuantitas dan kualitas layanan terhadap mereka yang menjadi korban tindak kekerasan. Di samping itu, masih terdapat ketidaksesuaian antarproduk hukum yang dihasilkan, termasuk antara produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dengan daerah, sehingga perlindungan terhadap perempuan dan anak belum dapat dilaksanakan secara komprehensif; dan (3) lemahnya kelembagaan pengarusutamaan gender dan anak, yang antara lain disebabkan oleh: (a) belum optimalnya penerapan piranti hukum, piranti analisis, dan dukungan politik terhadap kesetaraan gender dan peduli anak sebagai prioritas pembangunan; (b) belum memadainya kapasitas kelembagaan dalam pelaksanaan PUG dan anak, yang ditandai dengan masih rendahnya kapasitas SDM, termasuk kemampuan dalam memberikan bantuan teknis pelaksanaan PUG, minimnya ketersediaan data terpilah menurut jenis kelamin dan penggunaannya dalam siklus pembangunan, belum tersedianya indeks komposit anak sebagai alat untuk mengukur perkembangan pembangunan anak; dan (c) masih rendahnya pemahaman tentang konsep dan isu gender, nilai-nilai kesetaraan gender, manfaat PUG dalam pembangunan, dan pemenuhan hak-hak anak, baik di pusat maupun di daerah. Pembangunan pemuda dan olahraga. Beberapa permasalahan yang masih dihadapi antara lain: (1) belum optimalnya partisipasi 2 - 188 dan peran aktif pemuda dalam berbagai bidang pembangunan, yang disebabkan antara lain oleh terbatasnya peran serta pemuda sebagai kekuatan moral, kontrol sosial, dan agen perubahan, masih rendahnya tingkat partisipasi pemuda dalam organisasi kepemudaan; belum optimalnya pengembangan potensi pemuda dalam kepemimpinan, kepeloporan, dan kewirausahaan; dan (2) belum optimalnya pengembangan cabang olahraga unggulan di daerah dan terbatasnya upaya pembibitan atlet andalan; terbatasnya sarana dan prasarana olahraga di daerah; serta masih terbatasnya apresiasi dan penghargaan bagi olahragawan dan tenaga keolahragaan yang berprestasi. 2.14.2. LANGKAH LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASILHASIL YANG DICAPAI Pada program penyelenggaraan ibadah haji dan umrah, sejumlah langkah perbaikan pelayanan haji yang telah ditempuh antara lain: (1) perbaikan sistem pendaftaran dengan prinsip first come first served. Sistem ini telah dapat memberikan kepastian keberangkatan pada calon jemaah dan terpenuhinya rasa keadilan. Untuk terlaksananya prinsip first come first served, salah satu kegiatannya ialah pengembangan Sistem Komputerisasi Haji (Siskohat) yang dilaksanakan sejak tahun 1425H/2004 M. Di samping itu, sistem ini juga dapat melindungi jemaah dengan menghilangkan praktek percaloan jual beli kuota oleh oknum yang tidak bertanggung jawab; (2) peningkatan bimbingan jemaah haji melalui penambahan frekuensi bimbingan dari semula sebanyak tiga kali di tingkat kabupaten/kota menjadi empat belas kali, yaitu sebanyak sepuluh kali di KUA kecamatan, dan empat kali di tingkat kabupaten/kota. Demikian juga perubahan struktur komponen Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) menjadi biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost). Dengan sistem ini, jemaah haji hanya membayar komponen biaya langsung, sedangkan komponen biaya tidak langsung dibebankan pada APBN dan hasil 2 - 189 atau manfaat dari dana setoran awal jemaah haji. Laporan BPIH disusun tepat waktu dan neraca keuangannya disampaikan kepada masyarakat luas melalui media massa nasional; (3) peningkatan layanan embarkasi, yaitu dengan menambah embarkasi baru di Palembang dan Padang, serta satu embarkasi transit di Gorontalo. Peningkatan layanan embarkasi juga dilakukan dalam bentuk peningkatan kualitas pelayanan katering, akomodasi, dokumen perjalanan, dan dukungan operasional PPIH embarkasi. Pada tahun 2011 dialokasikan anggaran bagi Pengembangan dan Rehabilitasi Asrama Haji Transit dan Embarkasi pada 15 lokasi. Selain itu juga disediakan anggaran untuk pembangunan dan rehabilitasi gedung asrama haji dan pembangunan Siskohat pada tingkat Kabupaten/Kota. Beberapa dampak positif dari langkah-langkah pembenahan tersebut di atas antara lain pembinaan yang makin meningkat, pelayanan yang semakin baik, adanya perlindungan dan rasa adil bagi jemaah, serta peningkatan manajemen penyelenggaraan haji khususnya di bidang organisasi, tata-laksana, SDM dan pengelolaan BPIH yang lebih transparan dan akuntabel; dan (4) peningkatan penyelenggaraan kesehatan jamaah haji, melalui pembinaan dan pelayanan kesehatan sebelum, saat pelaksanaan, dan pasca haji. Hasil capaian utama antara lain: meningkatnya kabupaten/kota yang melaksanakan pemeriksaan dan pembinaan kesehatan jamaah haji sesuai standar. Dalam upaya peningkatan kualitas kerukunan umat beragama, perkembangan penting adalah terlaksananya upaya-upaya reharmonisasi kehidupan sosial keagamaan daerah pascakonflik; optimalisasi antisipasi disharmoni sosial daerah rawan konflik; peningkatan kemampuan penanganan trauma pascakonflik; upaya membangkitkan motivasi dan gairah hidup; penguatan sistem antisipasi terhadap kemungkinan munculnya konflik baru; penguatan peran dan pemberdayaan nilai-nilai kearifan lokal; peningkatan pemahaman agama berwawasan multikultural; pengembangan budaya damai; participatory action research (PAR) untuk 2 - 190 pengembangan model kerukunan; pemberdayaan organisasi keagamaan; serta penguatan peran tokoh dan pemuka agama. Pada tahun 2011 dialokasikan anggaran untuk kegiatan pemulihan pasca konflik untuk 9 lokasi. Dalam rangka meningkatkan kerukunan umat beragama, sampai tahun 2010 telah berdiri sebanyak 33 Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi, 421 FKUB Kabupaten/Kota, 17 gedung sekretariat FKUB provinsi dan 11 gedung sekretariat FKUB kabupaten/kota. Pada tahun 2011 dialokasikan dana pembangunan Sekretariat Bersama FKUB kabupaten/kota sebanyak 15 lokasi. Untuk menangani masalah aliran sempalan keagamaan yang muncul ke permukaan selama tahun 2010, telah dilakukan berbagai langkah, baik berupa kebijakan dan pembinaan, maupun penyelesaian konkrit di lapangan. Khusus untuk menangani kasus Ahmadiyah, gerakan Islam radikal, terorisme, dan paham liberal, telah dilakukan upaya melalui diskusi, orientasi dan pertemuan tokoh/pemuka agama Islam serta sosialisasi peraturan perundang-undangan tentang keormasan. Sementara itu, dalam menangani kontroversi yang berkepanjangan menyangkut Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), pemerintah juga telah menerbitkan SKB Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008, No. KEP-033/A/JA/6/2008, dan Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. Dalam bidang pariwisata, pencapaian prioritas nasional didukung dengan kebijakan peningkatan jumlah wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara sebesar 20% secara bertahap dalam 5 tahun; promosi 10 tujuan pariwisata Indonesia melalui saluran pemasaran dan pengiklanan yang kreatif dan efektif; perbaikan dan peningkatan kualitas jaringan prasarana dan sarana pendukung pariwisata; dan peningkatan kapasitas pemerintah dan pemangku kepentingan pariwisata lokal untuk mencapai tingkat 2 - 191 mutu pelayanan dan hospitality management yang kompetitif di kawasan Asia. Hasil-hasil yang dicapai dalam pembangunan kepariwisataan pada kurun waktu tahun 2010 sampai dengan Juni 2011, antara lain meningkatnya kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) pada tahun 2010, yang mencapai 7,00 juta orang dari 6,32 juta orang pada tahun 2009, atau mengalami peningkatan sebesar 10,74 persen. Pada periode Januari-Juni 2011, jumlah kunjungan wisman mencapai 3,60 juta orang, atau mengalami pertumbuhan sebesar 6,42 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun 2010 yang sebanyak 3,38 juta orang. Dari kunjungan wisman, devisa yang dihasilkan pada tahun 2010 adalah sebesar USD 7,60 miliar, meningkat 20,70 persen dari tahun 2009 yang sebesar USD 6,30 miliar. Perkembangan kepariwisataan ditunjukkan pula dengan meningkatnya pergerakan wisnus menjadi 234,38 juta perjalanan pada tahun 2010, dari 229,73 juta perjalanan pada tahun 2009, serta total pengeluaran wisnus meningkat menjadi Rp.150.49 triliun pada tahun 2010, dari Rp. 137,91 triliun pada tahun 2009. Keberhasilan pembangunan pariwisata tidak terlepas dari (1) pengelolaan destinasi pariwisata, dalam kurun waktu tahun 2010 sampai dengan Juni 2011 telah dilaksanakan antara lain: (a) pengembangan daya tarik pariwisata yang meliputi pengembangan geopark nasional dan internasional yang telah diusulkan kepada UNESCO sebanyak 2 lokasi, penyusunan data base situs selam yang mencakup 10 dive sites, dan dukungan pengembangan daya tarik wisata di 20 provinsi; (b) pengembangan standardisasi pariwisata yang terdiri dari penyusunan 12 standar kompetensi dan 19 standar usaha, pelatihan 310 orang master asesor dan asesor, fasilitasi sertifikasi kompetensi pada 8.000 orang, pengembangan 2 lembaga sertifikasi profesi pariwisata; (c) pengembangan industri pariwisata berupa penyusunan 2 pola perjalanan/travel pattern (trail of civilization dan wisata kesehatan), fasilitasi investasi pariwisata dan 2 - 192 penyusunan 3 profil investasi di bidang pariwisata; (d) penyelenggaraan PNPM Mandiri Bidang Pariwisata di 200 desa wisata, yang mencakup 75 daya tarik wisata di desa, 25 usaha masyarakat desa berbasis industri kreatif di bidang pariwisata, dan 100 desa yang mendukung usaha pariwisata; (e) dukungan pengembangan tata kelola destinasi pariwisata (destination management organisation/ DMO) di 15 destinasi yaitu Toba, Pangandaran, Flores, Bali, Borobudur, Kota Tua Jakarta, Wakatobi, Derawan, Raja Ampat, Tanjung Puting, Bromo Tengger Semeru, Rinjani, Sabang, Tana Toraja dan Bunaken; dan (f) dukungan amenitas pariwisata di 23 provinsi pada 2010 dan 8 provinsi pada tahun 2011; (2) promosi dan pemasaran pariwisata, dalam kurun waktu tahun 2010 sampai dengan Juni 2011 telah dilaksanakan antara lain: (a) promosi pariwisata di luar negeri yang meliputi partisipasi pada bursa pariwisata internasional sebanyak 74 event, pelaksanaan misi penjualan (sales mision) di fokus pasar wisatawan sebanyak 24 event, penyelenggaraan festival Indonesia di luar negeri sebanyak 13 event, dan penyelenggaraan Indonesia tourism promotion representative officers di 12 negara; (b) promosi pariwisata di dalam negeri yang meliputi penyelenggaraan promosi langsung (direct promotion) sebanyak 27 kali, dan penyelenggaraan event pariwisata berskala nasional dan internasional sebanyak 26 event; (c) pengembangan sarana dan prasarana promosi pariwisata berupa destinasi yang memiliki data dan informasi lengkap sebanyak 10 daerah, bahan promosi yang telah dicetak sebanyak 1 juta eksemplar, pembuatan bahan promosi elektronik sebanyak 76.620 keping, publikasi melalui 78 media dalam dan luar negeri, promosi cetak yang telah terdiseminasi sekitar 600 ribu eksemplar, dan bahan promosi elektronik seluruhnya terdiseminasi ke fokus pasar dan berbagai daerah di tanah air; (d) pengembangan informasi pasar pariwisata dengan tersusunnya 23 naskah hasil analisis pasar dalam dan luar negeri, penyebaran 640 eksemplar informasi produk pariwisata Indonesia ke fokus pasar, penyelenggaraan famillirization 2 - 193 trip/fam trip yang melibatkan 795 orang peserta, penerbitan 6.000 eksemplar Newsletter Pariwisata Indonesia; dan (e) penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran (meeting, incentive travel, conference, and exhibition/MICE) di Indonesia sebanyak 57 event; dan (3) pengembangan sumber daya pariwisata, dalam kurun waktu tahun 2010 sampai dengan Juni 2011 telah dilaksanakan antara lain: (a) pelatihan peningkatan kapasitas pelaku industri pariwisata dan masyarakat sebanyak 1.902 orang, dan pelatihan aparatur pemerintah daerah sebanyak 1453 orang; (b) penelitian dan pengembangan bidang pariwisata sebanyak 16 buah; dan (c) pendidikan tinggi bidang pariwisata dengan dikembangkannya 34 program studi. Langkah kebijakan dalam upaya peningkatan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak dilakukan melalui: (1) peningkatan kapasitas kelembagaan PUG dan pemberdayaan perempuan melalui penerapan strategi PUG, termasuk mengintegrasikan perspektif gender ke dalam siklus perencanaan dan penganggaran di seluruh kementerian dan lembaga; dan (2) peningkatan kapasitas kelembagaan perlindungan anak, melalui: (a) penyusunan dan harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait perlindungan anak, (b) peningkatan kapasitas pelaksana perlindungan anak, (c) peningkatan penyediaan data dan informasi perlindungan anak, dan (d) peningkatan koordinasi dan kemitraan antarpemangku kepentingan terkait pemenuhan hak-hak anak. Hasil-hasil yang telah dicapai dalam rangka peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, antara lain adalah sebagai berikut. Di bidang pendidikan, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengintegrasikan perspektif gender ke dalam pendidikan agama, antara lain adalah ditetapkannya Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pelaksanaan PUG di Madrasah pada Kementerian Agama RI dan Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 12 Tahun 2010 2 - 194 Tentang Pedoman Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender pada Pendidikan Islam. Di bidang kesehatan, kemajuan yang telah dicapai adalah ditetapkannya Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Penerapan Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui, Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 9 Tahun 2010 Tentang Perencanaan dan Penganggaran dalam Pencegahan dan Penanggulangan HIV-AIDS yang Responsif Gender, Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Perencanaan dan Penganggaran Keluarga Berencana yang Responsif Gender, dan dikeluarkannya Panduan Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender Bidang Kesehatan, yang ditindaklanjuti dengan terbitnya Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1459/MENKES/SK/X/2010 tentang Panduan Perencanaan dan Anggaran Responsif Gender. Di bidang politik dan pengambilan keputusan, telah ditetapkan Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 25 Tahun 2010 tentang Pedoman Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender di Kementerian PAN dan RB; dan Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 27 Tahun 2010 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG dalam Pendidikan Politik pada Pemilihan Umum. Di bidang ekonomi dan ketenagakerjaan, kemajuan yang telah dicapai antara lain adalah ditetapkannya Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pedoman Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) di Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian; Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 16 Tahun 2010 Tentang Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) di Bidang Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah; Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) di Bidang Perdagangan; Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 18 Tahun 2010 Tentang Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) di Bidang Perindustrian; dan Peraturan Menteri 2 - 195 Negara PP dan PA Nomor 19 Tahun 2010 Tentang Model Panduan Perencanaan dan Penganggaran Yang Responsif Gender (PPRG) bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah Bidang Koperasi, Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Dalam rangka perlindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan, kemajuan yang dicapai adalah dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan dan Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Panduan Umum Bina Keluarga Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Dalam hal perencanaan dan penganggaran yang responsif gender, sebagai kelanjutan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 119/PMK.02/2009 Tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran K/L dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan dan Pelaksanaan DIPA Tahun Anggaran 2010, yang merupakan dasar penerapan Anggaran Responsif Gender (ARG) tahun 2010, telah ditetapkan pula PMK Nomor 104/PMK.02/2010 Tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelahaan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga Tahun Anggaran 2011, sebagai dasar pelaksanaan ARG tahun 2011. Lebih lanjut, telah ditetapkan pula PMK Nomor 93/PMK.02/2011 Tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, sebagai dasar pelaksanaan ARG tahun 2012 dan tahun-tahun selanjutnya. Sementara itu, hasil yang dicapai dalam penghapusan kekerasan pada anak antara lain sebagai berikut. Pertama, dalam rangka meningkatkan kapasitas para pelaksana Program Perlindungan Anak, telah dilaksanakan pelatihan secara berjenjang tentang pembangunan berbasis sistem (system building approach) dalam Program Perlindungan Anak bagi para pengambil kebijakan dan staf teknis perlindungan anak dari kementerian/lembaga terkait di tingkat pusat dan SKPD terkait dari 7 propinsi, yaitu Aceh, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Nusa 2 - 196 Tenggara Timur, dan Papua. Kedua, dari segi penyediaan data dan informasi perlindungan anak, telah dilaksanakan kajian untuk menilai kondisi sistem informasi perlindungan anak di Indonesia dan penyusunan indikator komposit perlindungan anak. Selain itu, telah dikembangkan pula database pencatatan dan pelaporan perempuan dan anak korban kekerasan. Selanjutnya, sedang direncanakan pelaksanaan survey prevalensi kekerasan terhadap anak. Ketiga, untuk penguatan dasar hukum dan kebijakan yang mendukung peningkatan perlindungan anak, telah ditetapkan: (1) Peraturan Menteri Negara PP dan PA No. 02 Tahun 2010 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Anak (PPKTA) 2010-2014; (2) Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 2 Tahun 2011 tentang Panduan Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak di Lingkungan Keluarga, Masyarakat dan Lembaga Pendidikan; dan (3) Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pedoman Penanganan Anak Korban Kekerasan. Langkah kebijakan dalam pembangunan kepemudaan dilaksanakan dalam bentuk pelayanan kepemudaan yang ditujukan untuk meningkatkan partisipasi dan peran aktif pemuda dalam berbagai bidang pembangunan. Sedangkan kebijakan pembangunan keolahragaan ditujukan untuk meningkatkan budaya dan prestasi olahraga di tingkat regional dan internasional melalui pembinaan dan pengembangan olahraga yang didukung oleh prasarana dan sarana olahraga, serta penerapan teknologi dan kesehatan olahraga. Peningkatan partisipasi dan peran aktif pemuda serta budaya dan prestasi olahraga dilakukan melalui beberapa kegiatan, antara lain: (1) pelatihan kepemimpinan, kepeloporan, dan kewirausahaan pemuda; (2) pemberian penghargaan kepada atlet internasional, regional, nasional, serta pelatih dan mantan atlet yang berprestasi; (3) pelaksanaan berbagai event olahraga untuk menggairahkan semangat dan budaya olahraga di masyarakat; dan (4) keikutsertaan dalam berbagai event olahraga internasional dan regional. Melalui kegiatan tersebut, pembangunan pemuda dan olahraga selama tahun 2010 2 - 197 sampai pertengahan tahun 2011 telah menunjukkan hasil yang menggembirakan, yang ditunjukkan antara lain: (1) penyelenggaraan fasilitasi pelatihan kepemimpinan, manajemen, dan perencanaan program bagi 9.825 pengelola organisasi kepemudaan; (2) penyelenggaraan fasilitasi peningkatan wawasan kebangsaan, perdamaian, dan lingkungan hidup bagi 7.456 orang; (3) pelatihan pemuda kader kepemimpinan bagi 4.500 orang; (4) penyelenggaraan fasilitasi pengembangan kewirausahaan bagi 3.175 orang; (5) penyelenggaraan fasilitasi pendidikan kepramukaaan bagi 1.000 orang; (6) penyelenggaraan fasilitasi penyediaan prasarana olahraga sebanyak 4 prasarana, (7) penyediaan sarana olahraga sebanyak 44 sarana; (8) peningkatan perolehan medali di Asian Games XVII tahun 2010 di Guangzhou China dengan perolehan 4 medali emas, 9 medali perak dan 13 medali perunggu sehingga peringkat Indonesia pada kejuaraaan Asian Games naik menjadi peringkat 15 dibanding Asian Games XVI di Doha tahun 2006 yang menduduki peringkat 22. 2.14.3. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN Berdasarkan perkembangan dan permasalahan serta tantangan yang dihadapi, tindak lanjut yang diperlukan untuk meningkatkan pelaksanaan ibadah haji yang tertib dan lancar adalah: (a) peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji sesuai standar pelayanan minimal; (b) pemantapan penerapan dan pemanfaatan sistem informasi haji terpadu (Siskohat); (c) penyediaan jaringan Siskohat di seluruh kabupaten/kota; (d) peningkatan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas penyelenggaraan ibadah haji; (e) pemantapan landasan peraturan perundang-undangan tentang profesionalisme penyelenggaraan ibadah haji; dan (f) penyiapan rancangan undang-undang tentang pengelolaan dana haji. Tindak lanjut yang diperlukan untuk peningkatan kualitas kerukunan umat beragama adalah melalui: (a) pembentukan dan peningkatan efektivitas forum kerukunan umat beragama; (b) 2 - 198 pengembangan sikap dan perilaku keberagamaan yang inklusif dan toleran; (c) penguatan kapasitas masyarakat dalam menyampaikan dan mengartikulasikan aspirasi-aspirasi keagamaan melalui cara-cara damai; (d) peningkatan dialog dan kerja sama intern dan antarumat beragama, dan pemerintah dalam pembinaan kerukunan umat beragama; (e) peningkatan koordinasi antarinstansi/lembaga pemerintah dalam upaya penanganan konflik terkait isu-isu keagamaan; (f) pengembangan wawasan multikultur bagi guru-guru agama, penyuluh agama, siswa, mahasiswa dan para pemuda calon pemimpin agama; (g) peningkatan peran Indonesia dalam dialog lintas agama di dunia internasional; dan (h) penguatan peraturan perundang-undangan terkait kehidupan keagamaan, seperti perlunya penyusunan undang-undang tentang perlindungan dan kebebasan beragama. Tindak lanjut yang diperlukan dalam pengembangan kepariwisataan adalah melalui: (1) peningkatan daya saing destinasi pariwisata nasional melalui penataan dan penguatan manajemen destinasi pariwisata, peningkatan daya tarik wisata bahari dan budaya; mendorong dan memfasilitasi perbaikan dan peningkatan kualitas jaringan prasarana dan sarana pendukung pariwisata; melakukan konsolidasi akses transportasi mancanegara dalam dan luar negeri; meningkatkan daya tarik pariwisata di pulau-pulau terdepan dan wilayah perbatasan yang mempunyai potensi pariwisata; dan mengembangkan desa wisata melalui PNPM Mandiri; (2) pengembangan usaha, industri dan investasi pariwisata, terutama yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja antara lain melalui penciptaan iklim yang kondusif dengan penataan kebijakan usaha pariwisata; penyusunan dan penerapan pedoman sertifikasi usaha, pengaturan usaha dan kompetensi tenaga kerja di bidang kepariwisataan; (3) pengembangan pemasaran dan promosi pariwisata di dalam dan di luar negeri melalui peningkatan efektifitas pemasaran dan promosi pariwisata terpadu berbasis teknologi 2 - 199 informasi dan komunikasi, dan responsif terhadap pasar; pengembangan analisa dan informasi pasar; dan memfasilitasi pembentukan Badan Promosi Pariwisata Indonesia; (4) pengembangan sumber daya pariwisata melalui penguatan sumber daya pariwisata dengan mendorong peningkatan kapasitas pemerintah dan pemangku kepentingan pariwisata lokal untuk mencapai tingkat mutu pelayanan dan hospitality management yang kompetitif di kawasan Asia; pengembangan dan penguatan kelembagaan kepariwisataan, dan mendorong peningkatan kualitas penelitian dan pengembangan kepariwisataan; dan (5) peningkatan koordinasi lintas sektor pada tataran kebijakan, program, dan kegiatan kepariwisataan, terutama di bidang (a) pelayanan kepabeanan keimigrasian, dan karantina; (b) keamanan dan ketertiban; (c) prasarana umum yang mencakup jalan, air bersih, listrik, telekomunikasi, dan kesehatan lingkungan; (d) transportasi darat, laut, dan udara; dan (e) bidang promosi dan kerjasama luar negeri; serta koordinasi dan kerjasama dengan pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat. Tindak lanjut yang akan dilaksanakan dalam perumusan kebijakan kesetaraan gender dan perlindungan anak adalah: (1) penyusunan dan pengharmonisasian kebijakan yang responsif gender di bidang: (a) pendidikan, (b) kesehatan, (c) politik dan pengambilan keputusan, dan (d) ketenagakerjaan; dan (2) penyusunan dan pengharmonisasian kebijakan perlindungan bagi perempuan dan anak terhadap berbagai tindak kekerasan antara lain melalui: (a) perlindungan perempuan dari tindak kekerasan, (b) penyusunan data gender, (c) perlindungan tenaga kerja perempuan, (d) perlindungan korban perdagangan orang, dan (e) penghapusan kekerasan pada anak. Tindak lanjut yang diperlukan dalam pembangunan pemuda dan olahraga, antara lain sebagai berikut: (1) peningkatan character building melalui gerakan, revitalisasi dan konsolidasi gerakan 2 - 200 kepemudaan dilakukan melalui: a) peningkatan jumlah pemuda yang difasilitasi dalam peningkatan wawasan kebangsaan, perdamaian, dan lingkungan hidup, b) peningkatan jumlah pengelola organisasi kepemudaan yang difasilitasi dalam pelatihan kepemimpinan, manajemen, dan perencanaan program, c) peningkatan jumlah organisasi kepemudaan yang difasilitasi dalam memenuhi kualifikasi berdasarkan standar organisasi kepemudaan, d) peningkatan jumlah pemuda kader kepemimpinan; e) peningkatan jumlah pemuda yang difasilitasi sebagai kader kewirausahaan; (2) revitalisasi Gerakan Pramuka dilakukan melalui peningkatan jumlah pemuda yang difasilitasi dalam pendidikan kepramukaan; dan (3) peningkatan pencapaian posisi papan atas pada South East Asia (SEA) Games pada tahun 2011 dan Olimpiade tahun 2012 dilakukan melalui peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana dan sarana olahraga serta peningkatan pembinaan olahraga prestasi. C. PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Perkembangan ekonomi makro tahun 2010 sampai dengan bulan Juli 2011 dapat diringkas sebagai berikut. Pertama, stabilitas ekonomi sepanjang tahun 2010 terjaga di dalam proses pemulihan ekonomi dunia. Dalam tahun 2010, rata-rata harian nilai tukar rupiah mencapai Rp9.087 per dolar AS atau menguat 12,6 persen dibandingkan rata-rata tahun sebelumnya serta cadangan devisa mencapai USD 96,2 miliar, naik USD 30,1 miliar dibandingkan tahun 2009. Laju inflasi pada tahun 2010 terjaga sebesar 7,0 persen dengan harga-harga komoditi dunia yang meningkat tajam dan cuaca ekstrem di berbagai wilayah. Hingga akhir bulan Juli tahun 2011, stabilitas ekonomi tetap terjaga dengan resiko eksternal terutama dari 2 - 201 potensi krisis utang Eropa dan AS, tingginya harga komoditi dunia termasuk minyak mentah, serta resiko terkait dengan perubahan iklim global. Rata-rata nilai tukar rupiah dalam tujuh bulan pertama tahun 2011 mencapai Rp8.716 per dolar AS, menguat 4,1 persen dibandingkan keseluruhan tahun 2010; cadangan devisa yang mencapai USD 122,7 miliar pada akhir bulan Juli 2011; serta laju inflasi pada bulan Juli 2011 mencapai 4,6 persen (y-o-y). Kedua, tingkat kepercayaan (confidence level) terhadap perekonomian yang terjaga dan dorongan sisi eksternal yang kuat, mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Pada tahun 2010, pertumbuhan ekonomi mencapai 6,1 persen, lebih tinggi dari tahun 2009 (4,6 persen). Dalam semesteri I 2011, momentum pertumbuhan ekonomi tetap terjaga dengan pertumbuhan sebesar 6,5 persen (y-oy). Ketiga, kualitas pertumbuhan ekonomi membaik dengan terjaganya stabilitas ekonomi dan momentum pertumbuhan. Pada tahun 2010, pengangguran terbuka menurun menjadi 8,32 juta orang (7,14 persen) dan terus menurun menjadi hingga mencapai 8,12 juta orang (6,80 persen) pada bulan Februari 2011. Pada bulan Maret 2011, jumlah penduduk miskin berkurang menjadi 30,02 juta orang (12,49 persen), turun 1,0 juta orang dibandingkan dengan bulan Maret 2010. 2.15. PERKEMBANGAN EKONOMI DUNIA Proses pemulihan ekonomi dunia yang berlangsung sejak tahun 2009 masih terus berlanjut. Di dalam ketidakpastian yang tinggi akibat tingginya harga komoditi, berlarutnya penyelesaian krisis utang di beberapa negara maju, serta meluasnya krisis politik negara-negara di kawasan Timur Tengah, ekonomi dunia pada tahun 2010 mampu tumbuh sebesar 5,0 persen, setelah mengalami resesi global pada tahun 2009 (tumbuh negatif 0,5 persen). Terjaganya momentum pemulihan ekonomi dunia pada tahun 2010 terutama 2 - 202 didorong oleh pertumbuhan ekonomi negara-negara di kawasan Asia seperti Cina dan India yang masing-masing tumbuh 10,3 persen (y-oy) dan 8,7 persen (y-o-y). Terjaganya pertumbuhan ekonomi meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan global. Indeks harga saham di berbagai pasar bursa dunia meningkat. Indeks saham Dow Jones di Amerika Serikat mencapai 11.578 pada akhir bulan Desember 2010, meningkat 11,0 persen dibandingkan akhir tahun 2009. Demikian pula indeks bursa FTSE 100 di London, Hang Seng di Hongkong serta STI di Singapura yang masing-masing mencapai 5.900, 23.035 dan 3.190 pada akhir bulan Desember 2010, naik sebesar 9,0 persen, 5,3 persen, dan 10,1 persen dibandingkan akhir tahun sebelumnya. Memasuki tahun 2011 hingga akhir bulan Juli tahun 2011, proses pemulihan ekonomi masih berlanjut dengan perlambatan terutama pada negara-negara maju. Pada triwulan II tahun 2011, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat melambat menjadi 1,6 persen (y-o-y) setelah tumbuh 3,0 persen dalam keseluruhan tahun 2010. Ekonomi Jepang dalam triwulan I 2011 turun 1,0 persen (y-oy) antara lain akibat tsunami yang melanda Jepang. Dalam triwulan I 2011, ekonomi Kawasan Eropa (16) tumbuh 2,5 persen (y-o-y) dengan beberapa negara yang mengalami krisis utang masih mengalami resesi atau tumbuh lambat. Sementara itu ekonomi Cina dalam triwulan I dan II 2011 tetap tumbuh relatif tinggi yaitu 9,7 persen dan 9,5 persen (y-o-y). Terjaganya momentum pemulihan ekonomi dalam semester I 2011 mendorong kinerja bursa saham dunia. Indeks Dow Jones pada akhir bulan Juli 2011 mencapai 12.143,2, atau naik 4,9 persen dibandingkan akhir tahun 2010. Dalam bulan Juni dan Juli 2011, proses pemulihan ekonomi dunia dihadapkan kekhawatiran terhadap kemungkinan gagal bayar (default) di Yunani dan Amerika. Kekhawatiran tersebut tercermin dari melemahnya nilai tukar mata uang, menurunnya indeks saham dan melemahnya harga komoditi. 2 - 203 Langkah-langkah yang ditempuh oleh Uni Eropa, Bank Sentral Eropa, dan IMF mampu meredakan kekhawatiran terhadap gagal bayar di Yunani yang dikhawatirkan berpotensi menjalar ke negaranegara lain di Eropa. Pada tanggal 2 Agustus 2011, konggres Amerika Serikat menyetujui kenaikan pagu utang sebesar USD 2,1 triliun diatas pagu utang lama sebesar USD 14,3 triliun dengan komitmen pengurangan anggaran pengeluaran pemerintah sebesar USD 2,5 triliun selama 10 tahun. Dengan adanya kesepakatan tersebut diharapkan ekonomi Amerika Serikat terhindar dari kegagalan bayar utang (default) yang dapat berpengaruh pada pemulihan ekonomi AS dan sistem keuangan global. 2.16. MONETER, PERBANKAN DAN PASAR MODAL Dalam proses pemulihan ekonomi dunia dengan berbagai resiko (downside risks) yang dihadapi, stabilitas ekonomi nasional tetap terjaga dengan baik tercermin antara lain dari menguatnya nilai tukar rupiah dan terjaganya stabilitas harga. Rata-rata nilai tukar Rupiah pada bulan Juli 2011 mencapai Rp8533 per USD, menguat 4,5 persen dibandingkan bulan Desember 2010. Pada bulan Juli tahun 2011, laju inflasi mencapai 0,67 persen (m-t-m) lebih rendah dibandingkan bulan Juli tahun 2010 (1,57 persen). Laju inflasi pada bulan Juli 2011 terutama didorong oleh kenaikan harga kelompok bahan makanan dan kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau 0,41 persen dan 0,08 persen. Sedangkan bila dilihat dari unsur-unsur pembentuknya, laju inflasi pada bulan Juli 2011, disumbangkan oleh komponen bergejolak sebesar 0,38 persen dan komponen inti sebesar 0,25 persen. Secara keseluruhan dalam tujuh bulan pertama tahun 2011, laju inflasi mencapai 1,74 persen, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (4,02 persen) dan secara tahunan, laju inflasi pada bulan Juli tahun 2011 mencapai 4,61 persen (y-o-y), 2 - 204 lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (6,22 persen, y-o-y). Terjaganya nilai tukar dan laju inflasi memberi ruang bagi Bank Sentral untuk menjaga tingkat bunga. Sejak bulan Februari tahun 2011 hingga akhir bulan Juli tahun 2011, tingkat suku bunga BI rate dijaga pada tingkat 6,75 persen. Dengan terjaganya stabilitas moneter, fungsi intermediasi perbankan terus meningkat dalam membiayai kegiatan ekonomi. Dalam bulan Juni 2011, posisi kredit perbankan mencapai Rp1.973,3 triliun atau naik sebesar 22,9 persen (y-o-y). Berdasarkan penggunaannya, peningkatan kredit didorong oleh kredit investasi, kredit modal kerja, dan kredit konsumsi yang meningkat masingmasing sebesar 20,9 persen; 23,2 persen, dan 23,9 persen. Berdasarkan sektor ekonomi, peningkatan kredit perbankan terutama didorong oleh sektor listrik, gas, dan air bersih; keuangan, real estat, dan jasa usaha; pertambangan; jasa-jasa; dan perdagangan, hotel, dan restoran bangunan. Pertumbuhan kredit tersebut diimbangi oleh kualitas kredit yang cenderung membaik dengan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) sebesar 2,8 persen pada bulan Juni 2011. Kepercayaan masyarakat terhadap perbankan tetap terjaga. Dalam bulan Juni 2011, dana masyarakat yang dihimpun perbankan mencapai Rp2.408,0 triliun atau naik 17,4 persen (y-o-y). Dalam bulan Mei 2011, rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) mencapai 17,4 persen, di atas persyaratan minimum BI sebesar 8 persen. Dengan membaiknya kinerja pasar uang dan perbankan serta terjaganya stabilitas ekonomi, kinerja pasar modal dalam negeri meningkat. Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia pada tanggal 8 Agustus 2011 mencapai 3.850,27 meningkat 3,3 2 - 205 persen dibandingkan akhir tahun 2010 dengan nilai kapitalisasi pasar yang mencapai Rp3.619,9 triliun. 2.17. NERACA PEMBAYARAN Neraca pembayaran hingga semester I tahun 2011 dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal antara lain pertumbuhan ekonomi dunia dan tingginya harga-harga komoditi dunia yang pada gilirannya mendorong penerimaan ekspor. Hingga semester I tahun 2011, total penerimaan ekspor mencapai USD 97,3 miliar, naik dibandingkan periode yang sama tahun 2010 yang mencapai USD 72,5 miliar. Kenaikan tersebut didorong oleh ekspor migas dan nonmigas yang masing-masing mencapai USD 18,2 miliar dan USD 79,1 miliar persen. Terjaganya momentum pertumbuhan ekonomi dan membaiknya pendapatan masyarakat meningkatkan kebutuhan impor. Dalam semester I tahun 2011, pengeluaran impor meningkat menjadi USD 78,9 miliar, atau naik dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai USD 47,1 miliar didorong oleh impor migas dan nonmigas yang masing-masing mencapai USD 19,0 miliar dan USD 59,9 miliar. Dengan defisit jasa-jasa (termasuk pendapatan dan transfer berjalan) yang mencapai USD 20,1 miliar, surplus neraca transaksi berjalan pada semester I tahun 2011 mencapai sekitar USD 2,3 miliar. Pada periode yang sama, arus masuk modal asing dalam bentuk investasi langsung asing (neto) mencapai USD 5,7 miliar, sedangkan investasi berupa portfolio mencapai USD 9,5 miliar. Dengan investasi lainnya yang mencapai surplus USD 3,7 miliar, neraca transaksi modal dan finansial mencapai surplus USD 19,0 miliar. Secara keseluruhan, Neraca Pembayaran Indonesia pada semester I tahun 2011 mencapai surplus USD 19,5 miliar, lebih tinggi dibandingkan dengan semester I tahun 2010 yang mencapai 2 - 206 USD 12,0 miliar. Cadangan devisa hingga akhir bulan Juni 2011 mencapai USD 119,7 miliar dan terus meningkat hingga mencapai USD 122,7 miliar pada akhir bulan Juli 2011. 2.18. KEUANGAN NEGARA Membaiknya perekonomian Indonesia dan terjaganya stabilitas ekonomi mendorong kinerja dan memperkuat ketahanan keuangan negara. Dalam tahun 2010, realisasi pendapatan negara dan hibah meningkat menjadi Rp995,3 triliun atau naik 17,3 persen dibandingkan tahun 2009. Selanjutnya dengan membaiknya kinerja perekonomian serta didukung oleh langkah-langkah pembaharuan kebijakan, penyempurnaan sistem, dan administrasi perpajakan, realisasi pendapatan negara dan hibah dalam semester I 2011 mencapai Rp497,0 triliun (44,98 persen dari pagu). Realisasi tersebut utamanya didukung oleh penerimaan perpajakan yang mencapai Rp387,6 triliun. Dengan prospek ekonomi yang lebih baik serta pelaksanaan kebijakan yang lebih efektif, pendapatan negara dan hibah dalam keseluruhan tahun 2011 diperkirakan mencapai Rp1.169,9 triliun atau meningkat 17,5 persen dibandingkan dengan tahun 2010. Peningkatan ini akan didorong oleh kenaikan penerimaan perpajakan yang diperkirakan mencapai Rp878,7 triliun atau meningkat sekitar Rp28,4 triliun dibandingkan target APBN. Di sisi belanja, dalam tahun 2010 realisasi belanja negara mencapai Rp1.042,1 triliun atau meningkat sebesar 11,2 persen dibandingkan tahun 2009. Meskipun demikian, realisasi belanja tahun 2010 lebih rendah dari APBN-P yaitu sebesar Rp1.126,1 triliun. Kurang terserapnya alokasi belanja tersebut terutama berasal dari pemerintah pusat. Dalam tahun 2010, realisasi belanja pemerintah pusat hanya mencapai Rp697,4 triliun atau 89,2 persen dari alokasi APBN-P. Adapun realisasi transfer ke daerah mencapai Rp344,7 triliun, relatif sama dengan rencana dalam APBN-P. 2 - 207 Dalam semester I tahun 2011, realisasi belanja negara mencapai Rp442,3 triliun (35,97 persen dari pagu), terdiri dari Rp259,8 triliun belanja pemerintah pusat dan Rp182,5 triliun transfer ke daerah. Selain oleh penyerapan yang belum optimal, realisasi belanja negara dalam semester I 2011 juga didorong oleh meningkatnya kebutuhan subsidi energi dengan tingginya harga minyak mentah di pasar internasional. Dalam semester I tahun 2011, sebagian besar belanja pemerintah pusat digunakan untuk belanja pegawai, subsidi, dan pembayaran bunga utang, yakni sekitar 72,8 persen (Rp189,2 triliun), sedangkan sekitar 27,2 persen (Rp70,6 triliun) untuk belanja barang, bantuan sosial, belanja modal, belanja hibah, dan belanja lain-lain. Secara keseluruhan realisasi anggaran belanja pemerintah pusat dalam semester I 2011 meningkat dibandingkan periode yang sama di tahun 2010. Faktor-faktor yang mempengaruhi realisasi belanja pemerintah pusat dari sisi kebijakan antara lain: (a) pencairan anggaran remunerasi pada sejumlah K/L; (b) penerapan kebijakan efisiensi belanja Negara (Instruksi Presiden No. 7 Tahun 2011 tentang Penghematan Belanja K/L Tahun 2011); (c) implementasi Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang memperlancar penyerapan belanja modal; serta (d) realokasi bantuan operasional sekolah (BOS) ke pos transfer ke daerah. Sementara itu subsidi energi dalam semester I 2011 mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Tingginya realisasi subsidi energi disebabkan oleh meningkatnya harga minyak mentah Indonesia yang mencapai USD111,0/barel, lebih tinggi USD31,0/barel dibandingkan asumsi yang digunakan dalam APBN. Selain itu oleh harga, meningkatnya subsidi energi juga didorong oleh konsumsi BBM bersubsidi yang mencapai 20 juta kilo liter dalam semester I 2011. 2 - 208 Dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhi belanja pemerintah pusat serta upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan penyerapannya, realisasi belanja pemerintah pusat dalam tahun 2011 diperkirakan mencapai Rp908,2 triliun atau 108,6 persen dari pagu APBN. Sementara itu transfer ke daerah dalam semester I tahun 2011 mencapai Rp182,5 triliun. Realisasi tersebut terutama bersumber dari dana perimbangan yang mencapai Rp164,5 triliun dengan sekitar 79,9 persen berupa berupa Dana Alokasi Umum (DAU), 15,7 persen berupa Dana Bagi Hasil (DBH), dan 4,4 persen berupa Dana Alokasi Khusus (DAK). Adapun realisasi Dana Otonomi Khusus (Otsus) dan Penyesuaian mencapai Rp18,0 triliun. Dalam keseluruhan tahun 2011, transfer ke daerah diperkirakan mencapai Rp412,3 triliun atau lebih tinggi 5,0 persen dibandingkan dengan pagu APBN 2011 dengan dana perimbangan diperkirakan mencapai Rp347,5 triliun dan Dana Otsus dan Penyesuaian sebesar Rp65,0 triliun. Dengan perkembangan pendapatan negara dan hibah serta belanja negara tersebut, defisit anggaran pada tahun 2010 berkurang menjadi Rp46,8 triliun (0,7 persen PDB) dan stok utang pemerintah yang turun menjadi 26,1 persen PDB. Selanjutnya dengan meningkatnya kebutuhan subsidi energi serta pembiayaan bagi pembangunan, dalam keseluruhan tahun 2011 defisit anggaran diperkirakan mencapai Rp150,8 triliun (2,1 persen PDB). Defisit tersebut dibiayai terutama dari dalam negeri melalui penerbitan surat berharga negara (SBN). Dalam keseluruhan tahun 2011, rasio stok utang pemerintah terhadap PDB diperkirakan turun menjadi 25,7 persen. 2.19. PERTUMBUHAN EKONOMI 2 - 209 Dalam situasi ketidakpastian eksternal yang meningkat, momentum pertumbuhan ekonomi nasional tetap terjaga. Dalam semester I tahun 2011, perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 6,5 persen (y-o-y). Dari sisi penggunaan, pertumbuhan ekonomi terutama didorong oleh ekspor barang dan jasa dan investasi berupa pembentukan modal tetap bruto (PMTB) masing-masing tumbuh sebesar 14,9 persen dan 8,3 persen (y-o-y). Dengan terjaganya stabilitas ekonomi, konsumsi masyarakat dan konsumsi pemerintah meningkat masing-masing sebesar 4,5 persen dan 3,7 persen (y-o-y). Sejalan dengan peningkatan investasi, impor barang dan jasa pada semester I tahun 2011 tumbuh sebesar 15,8 persen. Dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi pada semester I tahun 2011 terutama didukung oleh pertumbuhan sektor tersier pada sektor pengangkutan dan komunikasi serta perdagangan, hotel, dan restauran masing-masing sebesar 12,1 persen dan 8,7 persen (y-o-y). Sektor sekunder terutama didorong oleh pertumbuhan sektor konstruksi dan industri pengolahan yang tumbuh masing-masing sebesar 6,4 persen dan 5,6 persen (y-o-y). Sedangkan sektor primer didukung oleh sektor pertanian yang tumbuh sebesar 3,7 persen (y-oy). 2.20. PENGANGGURAN DAN KEMISKINAN Meningkatnya pertumbuhan ekonomi memberi dampak pada penciptaan lapangan kerja. Dalam tahun 2010, jumlah pengangguran terbuka menurun menjadi 8,32 juta orang (7,14 persen) dan terus menurun hingga mencapai 8,12 juta orang (6,80 persen) pada bulan Februari 2011. Seiring dengan menurunnya jumlah penganggur terbuka, jumlah penduduk miskin juga berkurang. Pada bulan Maret 2011, jumlah penduduk miskin berkurang menjadi 30,02 juta orang (12,49 persen), turun 1,0 juta orang dibandingkan dengan bulan Maret 2010. 2 - 210