BAB 2 PRIORITAS NASIONAL DAN PRIORITAS

advertisement
BAB 2
PRIORITAS NASIONAL DAN
PRIORITAS NASIONAL LAINNYA
A. PRIORITAS NASIONAL
Upaya untuk mewujudkan Visi dan Misi Pembangunan
Nasional yang tercantum dalam RPJMN 2010—2014 dilaksanakan
melalui pencapaian 11 prioritas nasional yang meliputi (1) reformasi
birokrasi; (2) pendidikan; (3) kesehatan; (4) penanggulangan
kemiskinan; (5) ketahanan pangan; (6) infrastruktur; (7) iklim
investasi dan usaha; (8) energi; (9) lingkungan hidup dan
pengelolaan bencana; (10) daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan
pascakonflik; serta (11) kebudayaan, kreativitas, dan inovasi
teknologi.
2.1
PRIORITAS NASIONAL 1: REFORMASI BIROKRASI
DAN TATA KELOLA
2.1.1. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Reformasi birokrasi dan tata kelola memiliki peran strategis
untuk mendukung efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan
pemerintahan dan pencapaian sasaran pembangunan nasional serta
untuk mempercepat penyelesaian berbagai masalah yang dihadapi
dalam manajemen pemerintahan. Reformasi birokrasi pada
hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan
perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan
terutama
menyangkut
aspek
kelembagaan
(organisasi),
ketatalaksanaan (business process) dan sumber daya manusia.
Reformasi birokrasi dan tata kelola dimaksudkan untuk
memantapkan tata kelola pemerintahan yang lebih baik, yang
dilakukan melalui: (1) terobosan kinerja secara terpadu, penuh
integritas, akuntabel, taat kepada hukum dan berwibawa, transparan;
dan (2) peningkatan kualitas pelayanan publik yang ditopang oleh
efisiensi struktur pemerintah di pusat dan di daerah, kapasitas
pegawai pemerintah yang memadai, dan data kependudukan yang
baik. Adapun sasaran yang ingin dicapai adalah: (a) meningkatnya
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN melalui
penegakan hukum, peningkatan kualitas regulasi, dan penguatan
pengawasan dan sistem pengendalian internal; (b) meningkatnya
kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi melalui penataan
kelembagaan sesuai dengan prinsip structure follows function,
pengembangan sistem ketatalaksanaan yang efektif dan efisien, dan
penerapan manajemen SDM aparatur berbasis merit; (c)
meningkatnya kualitas pelayanan publik melalui sinergi pusat dan
daerah dan pengembangan data kependudukan yang akurat berbasis
TIK; dan (d) makin mantapnya konsolidasi pelaksanaan otonomi
daerah.
Untuk mencapai sasaran tersebut, maka arah kebijakan yang
ditempuh meliputi sebagai berikut: (1) Penataan struktur organisasi
pemerintah menjadi lebih efisien (tepat fungsi, tepat ukuran) dan
sinergis; (2) Peningkatan efektivitas otonomi daerah melalui: (a)
Penghentian/pembatasan pemekaran wilayah; (b) Peningkatan
efisiensi dan efektivitas penggunaan dana perimbangan daerah; dan
(c) Efektivitas dan efisiensi pelaksanaan pemilihan umum kepala
daerah; (3) Penyempurnaan pengelolaan PNS yang meliputi sistem
rekrutmen, pendidikan, penempatan, promosi, dan mutasi PNS
2-2
secara terpusat; (4) Percepatan harmonisasi dan sinkronisasi
peraturan perundangan di tingkat pusat maupun daerah hingga
tercapai keselarasan arah dalam implementasi pembangunan, di
antaranya penyelesaian kajian 12.000 peraturan daerah; (5)
Penetapan dan penerapan sistem Indikator Kinerja Utama Pelayanan
Publik yang selaras antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,
antara lain melalui penyusunan/penerapan SPM; (6) Peningkatan
integrasi dan integritas penerapan dan penegakan hukum melalui
peningkatan kinerja penegakan hukum dan pemberantasan korupsi
sehingga kepercayaan masyarakat makin meningkat; (7) Penetapan
Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan pengembangan Sistem
Informasi dan Administrasi Kependudukan (SIAK), dan penerapan
e-KTP. Namun demikian, dalam pencapaian sasaran dan pelaksanaan
arah kebijakan reformasi birokrasi dan tata kelola masih terdapat
berbagai permasalahan yang harus diselesaikan.
Struktur/Kelembagaan. Dalam aspek kelembagaan, masalah
yang dihadapi adalah belum proporsionalnya jumlah dan besaran
struktur organisasi pemerintah baik di pusat maupun daerah,
termasuk meningkatnya jumlah Lembaga Non Struktural (LNS).
Meningkatnya jumlah LNS, perlu diselaraskan dengan komponen
lembaga pemerintah lainnya agar tidak menimbulkan inefisiensi dan
inefektifitas karena tumpang tindih tugas dan fungsi, termasuk
bertambahnya beban anggaran negara untuk belanja birokrasi. Hal
lain yang juga masih menjadi masalah adalah kinerja birokrasi yang
belum optimal, kurang responsif, dan kurang inovatif, sehingga
berdampak pada masih rendahnya kualitas pelayanan dan
akuntabilitas kinerjanya.
Otonomi daerah. Dalam pelaksanaan penataan otonomi daerah
terdapat beberapa kegiatan yang menjadi prioritas nasional, antara
lain: penghentian/pembatasan pemekaran wilayah, penyempurnaan
pengelolaan keuangan daerah, dan penyempurnaan pelaksanaan
Pemilihan Umum Kepala Daerah. Permasalahan utama yang masih
2-3
dihadapi dalam rangka penghentian/pembatasan pemekaran wilayah
adalah masih banyaknya desakan dari berbagai elemen masyarakat
untuk melaksanakan pemekaran daerah.
Dalam rangka peningkatan efisiensi dan penggunaan dana
perimbangan daerah, beberapa kegiatan prioritas yang dilaksanakan
oleh Kementerian Dalam Negeri adalah Pembinaan Fasilitasi Dana
Perimbangan; Pembinaan Administrasi Anggaran Daerah; dan
Fasilitasi Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah.
Permasalahan yang di hadapi, antara lain: (a) Pengelolaan anggaran
sebagian besar APBD masih belum melaksanakan prinsip pro-poor,
pro-job, and pro-growth serta belum memperhatikan kebijakan
Millenium Development Goals (MDGs) and Justice for All dimana
belum banyak program pemberdayaan ekonomi. Lebih lanjut, hanya
162 daerah yang mempunyai belanja langsung lebih besar dari
belanja tidak langsung. (b) Berkaitan dengan Dana Alokasi Khusus
(DAK), pada akhir tahun 2010 penyerapan masih sebesar 85% karena
keterlambatan penyaluran DAK ke daerah dan dalam
pelaksanaannya hanya 80% sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dari
kementerian teknis. (c) Pelaksanaan pengelolaan dana hibah dan
bansos belum mencerminkan asas keadilan, kepatutan dan manfaat
untuk masyarakat. (d) Belum optimalnya pemanfaatan sistem
informasi dan teknologi dalam pengelolaan keuangan daerah.
Disamping itu, terkait masalah administrasi keuangan, masih
terdapat masalah antara lain: masih banyak daerah yang tidak tepat
waktu menetapkan APBD di TA 2011 (29 dari 33 Provinsi dan 196
dari 314 Kab/Kota yang tepat waktu); akuntabilitas pelaksanaan
pengelolaan keuangan daerah masih rendah (hanya 14 dari 348
daerah di tahun 2009 mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian
dari hasil audit BPK); dan hanya 21 provinsi yang menetapkan
Ranperda tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD
(provinsi) menjadi Perda sebelum bulan Juli. Terkait dengan
permasalahan sumber daya manusia, masih rendahnya kuantitas
2-4
maupun kualitas SDM yang mempunyai kompetensi di bidang
pengelolaan keuangan dan teknologi informasi sehingga
menghambat proses pengelolaan keuangan daerah yang efektif.
Sedangkan terkait dengan penyempurnaan pelaksanaan
Pemilukada, permasalahan yang dihadapi adalah penyelesaian RUU
Pilkada berpotensi tidak tepat waktu karena secara simultan
dilakukan pembahasan revisi Undang-undang Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah. Beberapa isu krusial Pilkada berpotensi
membuat jadwal pembahasan melebihi target waktu yang di tentukan
karena mendapatkan perhatian luas dari masyarakat dan berpotensi
tarik-menarik kepentingan seperti pengangkatan Wakil Kepala
Daerah dari PNS dan isu Pemilihan Gubernur melalui DPRD.
Sumber daya manusia. Kinerja birokrasi sangat ditentukan
oleh kompetensi, profesionalitas dan integritas SDM Aparatur.
Namun demikian, masih terdapat banyak permasalahan yang harus
diperbaiki dalam aspek kepegawaian saat ini, antara lain: komposisi
PNS yang belum ideal untuk melakukan tugas-tugasnya agar lebih
efektif, efisien dan profesional dalam melayani masyarakat. Hal ini
diantaranya berkaitan dengan komposisi jabatan, tingkat pendidikan
maupun distribusi antar wilayah.
Permasalahan lainnya yang masih dihadapi yakni: disiplin dan
kinerja pegawai yang masih rendah; belum diterapkannya secara
konsisten sistem remunerasi pegawai menuju sistem remunerasi yang
berbasis kinerja dan dapat mendorong peningkatan kinerja pegawai;
belum sepenuhnya diterapkan sistem karier berdasarkan kinerja;
sistem penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) belum
sepenuhnya berdasarkan pada kompetensi yang diperlukan. Selain
itu, pendidikan dan pelatihan (diklat) belum berbasis kompetensi dan
mampu mendorong peningkatan kinerja.
Regulasi. Substansi inti regulasi ini adalah percepatan
harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundangan di tingkat pusat
2-5
maupun daerah hingga tercapai keselarasan arah dalam implementasi
pembangunan. Beberapa kegiatan di dalam substansi inti ini antara
lain adalah penyelesaian kajian 12.000 peraturan daerah selambatlambatnya 2011. Hingga saat ini masih banyak peraturan
perundangan daerah yang perlu dilakukan klarifikasi dan dievaluasi,
di tahun 2010 Kementerian Dalam Negeri telah melakukan
klarifikasi dan pemberhentian pelaksanaan terhadap 419 Perda,
karena bertentangan dengan kepentingan umum, menimbulkan
ekonomi biaya tinggi, merintangi arus barang dan jasa serta
menghambat iklim investasi di daerah.
Sinergi Pusat dan Daerah. Penetapan dan penerapan sistem
Indikator Kinerja Utama Pelayanan Publik dilakukan melalui upaya
penyusunan dan penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) di
daerah. Permasalahan yang dihadapi adalah: (i) Penerapan Standar
Pelayanan Minimal (SPM) sebagai indikator utama pelayanan publik
di daerah belum optimal karena keterbatasan sumber daya dan
regulasi pendukung; dan (ii) SPM belum dapat diterapkan di daerah
karena belum terintegrasinya SPM dalam dokumen perencanaan dan
anggaran, belum mencukupinya kapasitas keuangan daerah, dan
terbatasnya ketersediaan dan kapasitas personil daerah.
Beberapa permasalahan lainnya, adalah: manajemen
pelayanan publik belum dapat memenuhi keinginan masyarakat
terhadap pelayanan yang cepat, mudah, murah, dan transparan,
terutama di bidang pertanahan, investasi dan perizinan, perpajakan
dan kepabeanan, pengadaan barang dan jasa pemerintah/publik, dan
sistem administrasi kependudukan; belum meratanya penggunaan
teknologi informasi dan komunikasi (e-government) dalam
pemberian pelayanan publik di instansi pemerintah baik di pusat
maupun di daerah. Selain itu permasalahan lainnya adalah masih
lemahnya SDM pelayanan publik baik dari segi kapasitas dan sikap
perilaku dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dari
aspek kebijakan/regulasi, pemerintah juga belum menyelesaikan
2-6
peraturan perundang-undangan yang diperlukan, khususnya sebagai
implementasi UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Penegakan Hukum. Pemerintahan yang kuat cerminan dari
penegakan hukum oleh aparat penegak hukum yang berjalan dengan
baik. Namun sampai dengan saat ini, permasalahan yang selalu
dihadapi dalam rangka penegakan hukum antara lain (1) masih
lemahnya integritas aparat penegak hukum sehingga menyebabkan
belum optimalnya penegakan hukum yang dilakukan; (2) masih
lemahnya koordinasi dan kerjasama antara lembaga penegak hukum
yang menyebabkan penegakan hukum masih belum terintegrasi,
contohnya pada kasus korupsi dimana koordinasi dan supervisi yang
dilakukan oleh KPK dengan aparat penegak hukum lainnya yaitu
Kepolisian dan Kejaksaan masih lemah; dan (3) belum optimalnya
pencegahan dan pemberantasan korupsi khususnya peran dari
lembaga penegak hukum dan institusi hukum yaitu Kepolisian,
Kejaksaan dan Kementerian Hukum dan HAM.
Data Kependudukan. Dalam pelaksanaan Penataan Data
Kependudukan permasalahan yang dihadapi antara lain (i) masih
terdapat Peraturan Daerah (PERDA) yang mengatur tentang
pelaksanaan pelayanan Administrasi Kependudukan di daerah, yang
belum berpedoman pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan; (ii) masih kurangnya
harmonisasi peraturan antar sektor dalam pemanfaatan dokumen
kependudukan, antara lain yang terkait dengan sertifikasi tanah,
perijinan usaha dan lain-lain, yang berakibat adanya dokumen
penduduk ganda (misalnya KTP ganda/palsu); (iii) masih rendahnya
tingkat kemampuan teknis SDM aparat pelaksana Administrasi
Kependudukan di daerah Kabupaten/Kota (verifikator, pengelola
SIAK, pejabat pencatatan sipil dan registrar); dan belum adanya
aturan yang mengatur standar kompetensi dan jenjang karier SDM
yang berkaitan dengan pengelolaan dan perencanaan Teknologi
Informasi
dan
Komunikasi
(TIK)
Sistem
Administrasi
2-7
Kependudukan; (iv) masih rendahnya tingkat kesadaran dan
partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan tertib administrasi
kependudukan, karena keterbatasan informasi yang diterima; (v)
terbatasnya infrastruktur dan kurangnya dukungan APBD Provinsi
dan Kabupaten/Kota yang dialokasikan untuk mendukung
penyelenggaraan Administrasi Kependudukan di daerah, terutama
untuk sosialisasi, operasional pelayanan, dan peningkatan
infrastruktur SIAK; serta (vi) Sistem Informasi Administrasi
Kependudukan (SIAK) yang belum terintegrasi secara nasional (online sistem) dimana baru tersambung secara on-line sistem di 329
kab/kota dari 497 kab/kota.
2.1.2. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN
HASIL YANG DICAPAI
DAN
HASIL-
Dalam rangka pemantapan pelaksanaan reformasi birokrasi
dan tata kelola, langkah-langkah strategis yang telah dan sedang
dilaksanakan oleh pemerintah, beserta hasil-hasil yang telah dicapai,
diuraikan di bawah ini.
Kelembagaan. Dalam rangka peningkatan koordinasi dan
kualitas pelaksanaan Reformasi Birokrasi, telah ditempuh langkahlangkah penguatan kelembagaan pengelolaan reformasi birokrasi,
antara lain melalui: (i) pembentukan Komite Pengarah Reformasi
Birokrasi Nasional dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional, mealui
Keppres 14 Tahun 2010 yang disempurnakan menjadi Keppres
Nomor 23 Tahun 2010; (ii) pembentukan Tim Independen dan Tim
Penjamin Kualitas (Quality Assurance).
Secara bersamaan, pelaksanaan Reformasi Birokrasi Nasional
terus diperkuat landasan kebijakannya dan diperluas pelaksanaannya
pada instansi pemerintah pusat dan daerah. Dari sisi kebijakan telah
diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand
Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Selanjutnya, dalam
implementasinya telah ditetapkan landasan operasional dalam bentuk
2-8
Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 20 tahun 2010 tentang Road
Map Reformasi Birokrasi 2010-2014. Road Map RB merupakan
bentuk operasionalisasi Grand Design Reformasi Birokrasi yang
disusun dan dilakukan setiap 5 (lima) tahun sekali dan merupakan
rencana rinci reformasi birokrasi dari satu tahapan ke tahapan
selanjutnya selama lima tahun dengan sasaran per tahun yang jelas.
Di samping itu, sebagai acuan pelaksanaan pada setiap instansi
pemerintah, telah diterbitkan 11 Pedoman Pelaksanaan Reformasi
Birokrasi melalui Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi.
Sejalan dengan ditetapkannya berbagai kebijakan tersebut,
perluasan
reformasi
birokrasi
pada
lingkungan
Kementerian/Lembaga terus meningkat. Hingga Juni 2011, sudah
terdapat 16 K/L yang telah melaksanakan Reformasi Birokrasi
Instansi (RBI) sesuai kebijakan nasional dan telah mendapatkan
tunjangan kinerja. Pada tahun 2011, diharapkan K/L yang telah
melaksanakan RBI semakin bertambah sejalan dengan komitmen
pemerintah untuk menuntaskan RBI pada seluruh K/L.
2-9
TABEL 2.1.1
PROGRES PELAKSANAAN REFORMASI BIROKRASI
DI KEMENTERIAN/LEMBAGA
2007—2011
Tahun
2007- 2008
2009
2010
2011
(s.d Juni
2011)
K/L
Keterangan
1) Kementerian Keuangan;
2) BPK;
3) MA
Sudah melaksanakan
proses Reformasi
Birokrasi dan
memperoleh tunjangan
kinerja
1) Sekretariat Negara;
2) Sekretariat Kabinet
Sudah melaksanakan
proses Reformasi
Birokrasi dan
memperoleh tunjangan
kinerja
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
Kemenko Perekonomian;
BPKP;
Kementerian PPN/Bapppenas
Kemenko Polhukkam
Kemenko Kesra;
Polri ;
TNI;
Kementerian Pertahanan;
Kementerian PAN dan RB;
1) Kejaksaaan Agung;
2) Kementerian Hukum
HAM.
dan
Sudah melaksanakan
proses Reformasi
Birokrasi dan
memperoleh tunjangan
kinerja
•
•
Sumber: Kementerian PAN dan RB, 2011
2 - 10
Sudah melaksanakan
proses Reformasi
Birokrasi dan
memperoleh
tunjangan kinerja
Diharapkan 12 K/L
telah melaksanakan
proses reformasi
birokrasi sesuai
kebijakan nasional
Untuk melihat sampai sejauh mana pelaksanaan reformasi
birokrasi telah dilaksanakan sesuai rencana yang telah ditetapkan,
saat ini juga sedang dilakukan upaya monitoring dan evaluasi
terhadap beberapa kementerian tertentu, seperti Kementerian
Keuangan, Sekretariat Negara, dan Kementerian PAN dan RB oleh
Tim Penjamin Kualitas (Tim Quality Assurance). Selanjutnya, dalam
rangka mendorong percepatan pelaksanaan RB pada K/L lainnya,
Kementerian PAN dan RB telah melaksanakan workshop
penyusunan usulan reformasi birokrasi bagi 31 instansi (K/L), dan
direncanakan pada akhir tahun 2011, seluruh instansi lainnya telah
mengikuti workshop tersebut.
Dalam rangka penataan organisasi K/L, telah selesai dilakukan
penyusunan Peraturan Presiden dan penataan organisasi dan tata
kerja Badan Narkotika Nasional, Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional, Kepolisian Negara RI, dan Kejaksaan Republik
Indonesia, yang merupakan tindak lanjut amanat dari UndangUndang. Di samping itu, sedang dilakukan penyusunan Peraturan
Presiden mengenai Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK)
sebagai acuan dalam penataan LPNK secara keseluruhan. Saat ini
juga sedang dilakukan pengkajian untuk menata kembali Lembaga
Non Struktural.
Otonomi daerah. Dalam penataan otonomi daerah, langkahlangkah yang telah dilakukan dan hasil- hasil yang dicapai terkait
dengan kegiatan penghentian/pembatasan pemekaran wilayah, pada
tahun 2010 telah tersusun Desain Besar Penataan Daerah (Desartada)
dan draft kajian terhadap 20 usulah pemekaran daerah. Tahun 2011
tidak ada pemekaran, dan sedang di lakukan evaluasi/kajian usulan
pembentukan daerah otonom baru sesuai dengan PP Nomor 78
Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan
Penggabungan Daerah.
Sedangkan untuk memperbaiki pengelolaan keuangan daerah,
maka langkah-langkah yang dilakukan dan hasil yang di capai antara
2 - 11
lain: (a) sedang dilakukan pengkoordinasian penyusunan petunjuk
teknis Dana Alokasi Khusus TA 2011; (b) diterbitkannya Pedoman
dalam Penyusunan APBD Tahun 2012 melalui Permendagri Nomor
22 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun
Anggaran 2012 dan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Perubahan kedua atas Permendagri No. 13 tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; (c) telah dilakukan
evaluasi terhadap Ranperda Provinsi tentang APBD dan Ranperkada
tentang Penjabaran APBD TA 2011 serta Perubahan APBD 2010
melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri; (d) telah
berkembangannya Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah
di 119 Daerah (PHLN) dari target 171 daerah; (e) telah disusun draft
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tentang Dana Hibah dan
Bantuan Sosial serta pengelolaan Dana BOS dalam APBD TA 2011
(SE Mendagri No 900/5106/SJ tanggal 28 Desember 2010); (f) SE
Menteri Dalam Negeri No. 027/824/SE Tanggal 16 Maret 2011
perihal Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang Jasa Pemerintah dikaitkan dengan Peraturan
Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah; (g) tersusunnya Postur APBD Provinsi, Kabupaten dan Kota
Tahun Anggaran 2010 dan 2011; (h) tersedianya rekonsiliasi data
jumlah PNSD dan realisasi belanja pegawai sebagai dasar
penghitungan alokasi dasar DAU 2011; dan hasil-hasil lainnya.
Sedangkan berkaitan Revisi Undang-undang Pemilukada, hasil
yang dicapai adalah saat ini sedang dalam proses harmonisasi di
Kementerian Hukum dan HAM untuk selanjutnya akan dibahas
dengan DPR-RI.
Sumber Daya Manusia. Reformasi Birokrasi tidak hanya
mencakup upaya perbaikan organisasi birokrasi, namun hal yang
juga sangat penting adalah pembenahan SDM Aparatur. Pemerintah
terus melanjutkan langkah-langkah penyempurnaan pengelolaan
PNS yang meliputi sistem rekrutmen, pendidikan, penempatan,
2 - 12
promosi, mutasi, dan kesejahteraan PNS. Penerapan sistem merit
dalam manajemen kepegawaian terus ditingkatkan, antara lain,
melalui penerapan assesment center untuk menilai kemampuan,
kualifikasi, dan kompetensi PNS. Pendidikan dan pelatihan bagi PNS
terus disempurnakan dengan meningkatkan kualitas kurikulum dan
proses belajarnya, sejalan dengan perkembangan manajemen
birokrasi yang makin modern.
Upaya penataan yang telah dan sedang dilakukan antara lain:
(a) melakukan evaluasi peringkat jabatan dalam rangka reformasi
birokrasi terhadap 14 (empat belas) K/L yang telah melaksanakan
proses reformasi birokrasi; (b) sosialisasi dan implementasi PP 53
Tahun 2010 tentang Disiplin PNS; (c) penyusunan Pedoman Analisis
Jabatan (Peraturan Menteri Negara PAN dan RB Nomor: 33 Tahun
2011) dan Pedoman Evaluasi Jabatan (Peraturan Menteri Negara
PAN dan RB Nomor: 34 Tahun 2011); (d) penyusunan Peraturan
Menteri Negara PAN dan RB Nomor 26 Tahun 2011 tentang
Pedoman Perhitungan Kebutuhan PNS yang tepat untuk Daerah dan
telah dilaksanakan sosialisasi tentang Tatacara Perhitungan
Kebutuhan PNS dengan seluruh Kabupaten/Kota yang
dikoordinasikan oleh Provinsi.
Sedangkan penyusunan dan penyempurnaan berbagai
peraturan perundang-undangan yang ditargetkan dapat diselesaikan
tahun 2011 ini antara lain: (a) penyusunan RPP tentang Formasi PNS
sebagai penyempurnaan PP Nomor 97 Tahun 2000 jo PP 54 Tahun
2003; (b) penyusunan RPP tentang Pengadaan PNS sebagai
Penyempurnaan PP Nomor 98 Tahun 2000 jo PP Nomor 11 Tahun
2002; (c) penyusunan RPP tentang Penilaian Prestasi Kerja; (d)
penyusunan RPP Perubahan dari PP Nomor 100 Tahun 2000 tentang
Pengangkatan dalam Jabatan Struktural jo. PP Nomor 13 Tahun
2002; (e) penyusunan RPerpres tentang Penilaian pengangkatan
dalam jabatan struktural; (f) penyusunan RPerpres tentang Pola
Karier PNS; (g) penyempurnaan PP Nomor 9 Tahun 2003 Jo PP
2 - 13
Nomor 63 Tahun 2009 tentang Wewenang Pengangkatan,
Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil; dan (h)
perubahan PP Nomor 48 Tahun 2005 jo. PP Nomor 43 Tahun 2007
untuk menyelesaikan tenaga honorer yang sudah terdata dalam
database di BKN.
Penyempurnaan sistem pengadaan PNS dilakukan sesuai
kebutuhan organisasi baik jumlah maupun kompetensinya. Dalam
pelaksanaan pengadaannya, harus dilaksanakan berdasarkan prinsip
obyektif, transparan, tidak diskriminatif, akuntabel dan tidak KKN,
serta tidak dipungut biaya. Untuk formasinya diprioritaskan bagi
PNS yang kompetensinya pro-growth, pro-job, pro-poor, dan projustice yang akan menduduki jabatan dalam melaksanakan tugas
pelayanan dasar seperti tenaga guru dan tenaga kesehatan serta
tenaga teknis strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,
meningkatkan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan. Berkaitan
dengan upaya pemerintah untuk melakukan perbaikan system THT
PNS, saat ini sedang dilakukan penyempurnaan PP Nomor 25 Tahun
1981 tentang Asuransi Sosial PNS. Hal ini sesuai dengan surat
Menteri Keuangan nomor: S-251/MK.02/2011, tanggal 12 Mei 2011,
yang mengusulkan antara lain perlu adanya perubahan sistem THT
PNS dari Pay As You Go menjadi Fully Funded.
Regulasi. Penataan regulasi khususnya di tingkat pemerintah
daerah, maka langkah-langkah yang dilakukan dan hasil yang dicapai
dalam rangka harmonisasi peraturan perundangan di tingkat pusat
dan daerah, Kementerian Dalam Negeri telah melakukan
inventarisasi dan pengkajian terhadap 3000 Perda di tahun 2010
(100% dari target) dan 4500 Perda sampai dengan bulan Juni 2011
atau 50% dari target. Dari 4500 Perda yang dievaluasi pada tahun
2011 terdapat 175 Peraturan Daerah yang perlu dilakukan klarifikasi
dan di hentikan pelaksanaannya.
Sinergi antara Pusat dan Daerah. Upaya peningkatan kualitas
pelayanan publik memerlukan adanya sinergi yang kuat antara pusat
2 - 14
dan daerah. Disadari bahwa ujung tombak pelayanan kepada
masyarakat berada pada pemerintahan daerah. Pemerintah telah
melakukan berbagai langkah kebijakan untuk meningkatkan sinergi
antara pusat dan daerah, dalam rangka peningkatan kualitas
pelayanan publik.
Kebijakan dan hasil yang dicapai untuk mewujudkan sinergi
pusat dan daerah untuk mendorong peningkatan kualitas pelayanan
publik adalah: (i) ditetapkan 13 SPM melalui Peraturan Menteri
masing-masing sektor pelayanan publik; (ii) pada tahun 2011
ditargetkan penetapan terhadap 2 (dua) SPM yakni SPM Bidang
Perhubungan dan Penanaman Modal; dan (iii) hingga saat ini 7
Standar Pelayanan Minimal (SPM) telah diterapkan di beberapa
daerah, yaitu SPM Bidang Kesehatan, Bidang Lingkungan Hidup,
Bidang Sosial, Bidang BKKBN, Bidang Pemberdayaan Perempuan,
Bidang Ketahanan Pangan, dan Bidang Pendidikan.
Untuk mengukur kualitas manajemen pelayanan, pada tahun
2010 dilakukan penilaian kepada unit-unit pelayanan publik yang
mewakili instansi pemerintah pusat maupun instansi daerah, yang
dinilai berhasil menciptakan inovasi perbaikan dalam upaya
meningkatkan kinerja penyelenggaraan pelayanan. Aspek yang
dinilai meliputi visi, misi serta motto pelayanan; sistem dan prosedur
pelayanan; SDM pelayanan; dan sarana dan prasarana pelayanan.
Hasil penilaian tahun 2010, adalah (a) penghargaan berupa Piala
Citra Pelayanan Prima Tahun 2010 diberikan kepada 83 Unit
Pelayanan Publik (UPP) yang dinilai berpredikat “amat baik”; (b)
Penghargaan berupa Piagam Pratama Citra Pelayanan Prima Tahun
2010 diberikan kepada 48 UPP yang dinilai masuk dalam predikat
“baik”; dan (c) Penghargaan berupa Piagam Madya Citra Pelayanan
Prima Tahun 2010 diberikan kepada 72 UPP yang dinilai berpredikat
“cukup baik”. Pada tahun 2011, penilaian akan dilakukan terhadap
pemerintah daerah melalui Citra Bakti Abdi Negara (CBAN).
2 - 15
Selanjutnya, saat ini sedang disusun dan dirumuskan
Rancangan Perpres tentang Mekanisme dan Ketentuan Pembayaran
Ganti Rugi Dalam Pelayanan Publik sebagai amanah Pasal 50 ayat
(8) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik. R-Perpres ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi
penyelenggara dan penerima pelayanan publik dalam pemberian
ganti rugi serta mewujudkan kepastian dan akuntabilitas dalam
penyelenggaraan pelayanan publik. Disamping itu, sedang disusun
dan dirumuskan Petunjuk Teknis tentang Penyusunan, Penetapan dan
Penerapan Standar Pelayanan Publik. Petunjuk Teknis ini sebagai
acuan atau panduan bagi Penyelenggara dalam menyusun,
menetapkan, dan menerapkan standar pelayanan. Upaya-upaya
lainnya yang ditempuh adalah (a) Mendorong terbentuknya
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di tingkat Propinsi dan
Kabupaten/Kota; (b) telah dilakukan survey Indeks Kepuasan
Masyarakat (IKM) di 16 Provinsi/Kabupaten dan Kota; dan (c)
sedang di bangun Sistem Manajemen Mutu dalam rangka
meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik.
Penegakan hukum. Pada penanganan kasus tindak pidana
korupsi, sampai dengan saat ini walaupun telah dilakukan berbagai
langkah dalam pemberantasan korupsi namun tidak dapat dipungkiri
masih terdapat hambatan baik dalam hal kerjasama antar aparat
penegak hukum maupun dari segi implementasi peraturan
perundang-undangan. Pemerintah telah menetapkan Inpres No. 9
Tahun 2011 yang merupakan bentuk rencana aksi Kementerian
Lembaga dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi. Berbagai upaya pencegahan dalam pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi terus dilakukan dalam membangun integritas dan
akuntabilitas Penyelenggara Negara melalui transparansi harta
kekayaan kepada public dan pemeriksaan LHKPN yang efektif.
Sampai dengan bulan Juni 2011, KPK telah menerima laporan
LHKPN sebanyak 126.717 laporan dari total wajib lapor LHKPN
2 - 16
sebanyak 170.858. Dari jumlah laporan tersebut, KPK telah
melakukan klarifikasi terhadap 317 Penyelenggaran Negara.
Selain pelaporan LHKPN, dalam rangka pencegahan
pemberantasan korupsi, KPK juga telah membentuk Pusat
Pengendalian Gratifikasi (PPG) di setiap instansi yang bertujuan agar
pelaporan gratifikasi yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara
dapat dilakukan dan akan meminimalisir terjadinya bentuk-bentuk
korupsi yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara. Sampai dengan
saati ini, KPK telah melakukan penanganan terhadap 716 laporan
gratifikasi yang kemudian ditetapkan statusnya menjadi milik negara
ataupun sebagai milik penerima.
Data Kependudukan. Dalam penataan data kependudukan
yang absah dan mutakhir, langkah-langkah yang dilakukan dan hasilhasil yang dicapai, antara lain: (i) Untuk penerapan KTP elektrik (eKTP) di 197 Kabupaten/Kota pada tahun 2011, saat ini telah
ditetapkan pemenang tender dan telah dilaksanakan supervisi pada
kabupaten/kota terkait dengan penerapan e-KTP; (ii) Dalam rangka
mendukung penerapan e-KTP, telah di terbitkan Surat Edaran
Menteri Dalam Negeri No. 471.13/1515/SJ tanggal 27 April 2011
perihal Dukungan APBD untuk Operasional Penerapan KTP
Elektronik Tahun 2011 dan Surat Edaran Mendagri No.
471.13/1565A/SJ tanggal 29 April 2011 perihal Penerbitan NIK
Tahun 2011 dan Pemantapan Persiapan Penerapan KTP Elektronik
Tahun 2012; (iii) Telah dilaksanakan Rakernas Penerapan e-KTP
pada tanggal 10 – 12 April dan 16 – 18 Juni 2011; dan (iv) Di tahun
2011 telah diterbitkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) di 497
Kabupaten/Kota (329 di 2010 dan 168 di 2011) dan Permendagri
Nomor 9 Tahun 2011 tentang Pedoman Penerbitan KTP Berbasis
NIK Secara Nasional.
2 - 17
2.1.3. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN
Berdasarkan permasalahan yang masih dihadapi, kebijakan
dan hasil-hasil yang telah dicapai saat ini, maka masih diperlukan
upaya-upaya untuk menyelesaikan permasalahan, dan meningkatkan
keberhasilan yang sudah dicapai sebelumnya serta melakukan
penajaman pelaksanaan reformasi birokrasi dan tata kelola,
sebagaimana di bawah ini.
a.
Penataan Kelembagaan
1) Penguatan sistem reformasi birokrasi untuk memberikan
acuan yang kuat yang bersifat sistemik dan komprehensif,
baik secara legalitas formal maupun secara teknis dalam
setiap tahapan pelaksanaan reformasi birokrasi secara
keseluruhan. Langkah-langkah yang dilakukan antara lain:
a) Melanjutkan perluasan dan pemantapan RB di K/L dan
juga memulai upaya RB di daerah.
b) Merancang instrumen monitoring dan evaluasi yang
mampu menilai dan mengukur kemajuan pelaksanaan
program RB pada K/L dan Pemda.
c) Memperkuat kapasitas K/L dan Pemda dalam
pelaksanaan RB.
d) Mendorong
inovasi
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan.
e) Mendorong dilakukannya pertukaran pengetahuan
(knowledge sharing/ management) antara K/L dan
Pemda.
f) Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan
RB.
2) Melanjutkan dan melakukan penajaman dalam penataan
kelembagaan untuk menjamin terbangunnya organisasi
pemerintah pusat dan daerah yang rasional dan
proporsional sehingga mampu melaksanakan seluruh
tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan serta
pelayanan masyarakat secara efektif, efisien, dan optimal.
Adapun tindak lanjut yang dilakukan, sebagai berikut :
2 - 18
a) Penyempurnaan peraturan dan penataan organisasi
Lembaga Pemerintah Non Kementerian, sebagai
kelanjutan penataan organisasi Kementerian Negara
yang telah ditata berdasarkan Undang-Undang Nomor
39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dan
peraturan pelaksanaannya, termasuk didalamnya
mengenai hubungan fungsional antara Kementerian
dengan Lembaga Pemerintah Non Kementerian
(LPNK) dan Pemerintah Daerah. Hal ini dimaksudkan
agar kelembagaan LPNK dan Kementerian dapat lebih
sinergis, efisien dan efektif dalam menjalankan tugas
pemerintahan dan pembangunan;
b) Penyusunan grand design sistem kelembagaan sebagai
ketentuan payung (umbrella provision) yang memuat
format dasar kelembagaan pemerintah dan menjadi
acuan keseluruhan jenis kelembagaan pemerintah, baik
kementerian negara, lembaga pemerintah non
kementerian,
lembaga
setingkat
kementerian,
kesekretariatan lembaga negara, lembaga nonstruktural, dan instansi pemerintah lainnya;
c) Evaluasi dan penataan organisasi Lembaga Non
Struktural (LNS) termasuk organisasi kesekretariatan
pendukungnya (Sekretariat Lembaga Negara) sebagai
upaya menempatkan LNS ke dalam posisi dan peran
yang tepat sehingga pelaksanaan tugas dan fungsinya
akan lebih efektif dan efisien;
d) Evaluasi dan penataan Organisasi Perangkat Daerah
guna menyusun kelembagaan organisasi satuan kerja
perangkat daerah yang lebih proporsional, efektif, dan
efisien serta benar-benar sesuai dengan kebutuhan
nyata daerah.
b.
Penataan Otonomi Daerah
1) Berkaitan dengan penataan otonomi daerah khususnya
pembatasan pemekaran daerah, maka (a) perlu dilakukan
sosialisasi, diseminasi dan kajian usulan berdasarkan
2 - 19
Desartada dan PP Nomor 78 Tahun 2007 kepada
Pemerintah Daerah. (b) Perlu dilakukan proses
penyelarasan dalam revisi UU Nomor 32 Tahun 2004
dengan Desartada dalam hal penataan daerah. (c) Perlu
dilakukannya konsolidasi dengan pakar dan stakeholders
mengenai beberapa isu-isu krusial RUU Pilkada.
2) Sedangkan dalam pembenahan dan penyempurnaan
pengelolaan keuangan daerah, maka diperlukan tindak
lanjut antara lain:
(a) Terkait permasalahan DAK, akan dioptimalkan
koordinasi pengalokasian DAK ke daerah dan perlu
ditingkatkan asistensi pembinaan dan pengawasan
pelaksanaan DAK agar sesuai dengan petunjuk
pelaksanaan dari kementerian teknis.
(b) Peningkatan frekuensi dan kualitas pembinaan dan
pengawasan terhadap pengelolaan keuangan daerah
perlu dilaksanakan untuk mendorong pemerintahan
daerah agar meningkatkan proporsi belanja langsung
dengan berpedoman pada Permendagri No 22 Tahun
2011 tentang Pedoman penyusunan APBD Tahun
Anggaran 2012.
(c) Pengefektifan
proses
asistensi
dan
pembinaan/pengawasan penyusunan APBD Provinsi
dan pelaksanaan/pertanggungjawaban APBD
(d) Perlu diadakan perbaikan proses recruitment
personalia yang membidangi masalah keuangan daerah
dan peningkatan kapasitas melalui training dan
pelatihan.
c.
Sumber Daya Manusia Aparatur
1) Tindak lanjut penataan SDM aparatur diarahkan untuk
mengembangkan dan melaksanakan sistem manajemen
kepegawaian yang berbasis kinerja atau berorientasi
kepada sistem merit yang mencakup seluruh aspek
pembinaan
mulai
dari
penetapan
formasi,
2 - 20
2)
3)
4)
5)
6)
d.
rekruitmen/seleksi, diklat, promosi, remunerasi, penegakan
disiplin serta peraturan termasuk peningkatan tertib
administrasi kepegawaian.
Mempercepat penyelesaian penyempurnaan berbagai
kebijakan berupa peraturan perundang-undangan di bidang
SDM Aparatur .
Pengendalian jumlah, distribusi dan komposisi PNS
melalui pengendalian formasi termasuk penyempurnaan
sistem rekruitmen dan seleksi pegawai secara obyektif,
adil/tidak diskriminatif dan transparan serta bebas KKN.
Penataan pegawai, guna menjamin jumlah dan kualifikasi
pegawai di masing-masing unit kerja sesuai dengan
kebutuhan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara
efektif, efisien dan produktif. Di samping itu ditempuh
pula penyempurnaan sistem remunerasi agar memenuhi
prinsip adil, layak dan transparan sesuai dengan beban
kerja dan tanggung jawabnya, guna mendorong
terbentuknya PNS yang profesional dan produktif.
Pembangunan dan penerapan sistem manajemen
kepegawaian yang berorientasi pada prestasi kerja
(kinerja), dalam rangka mendorong peningkatan
profesionalisme, kinerja dan akuntabilitas PNS. Selain itu,
untuk meningkatkan kapasitas dan kinerja PNS akan
ditempuh pengembangan sistem diklat yang berbasis
kompetensi guna mendukung pelaksanaan manajemen
kepegawaian yang berbasis kinerja. Perbaikan system
manajemen kepegawaian juga dilakukan melalui
pengembangan system informasi kepegawaian berbasis
TIK.
Peningkatan integritas, netralitas, etika dan disiplin serta
perlindungan hukum PNS melalui pelaksanaan PP No. 53
Tahun 2010 tentang Disiplin PNS secara konsisten.
Regulasi
Tindaklanjut yang masih di perlukan dalam penyempurnaan
regulasi adalah pengkajian terhadap 4500 peraturan daerah
2 - 21
akan tetap dilaksanakan sampai dengan tahun 2011. Selain
pengkajian terhadap Peraturan Daerah harmonisasi peraturan
perundangan bersama instansi terkait akan di laksanakan
secara kontinu.
e.
Sinergi Pusat dan Daerah
1) Sinergi pusat dan daerah dalam peningkatan kualitas
pelayanan publik, akan difokuskan pada upaya
menerbitkan landasan hukum agar terwujud kepastian
dalam penyelenggaraan pelayanan publik; meningkatkan
kualitas manajemen pelayanan; melakukan penataan
kelembagaan pelayanan; dan mendorong inovasi
pelayanan pada lingkungan pemerintahan daerah, serta
mengembangkan sistem pengaduan masyarakat dalam
pelayanan publik yang efektif.
2) Mempercepat penyusunan peraturan perundang-undangan
mengenai peningkatan kualitas pelayanan publik,
khususnya peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan pelaksanaan Undang-Undang No. 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik.
3) Perlu dilakukan pendalaman substansi pelayanan dasar
pada urusan wajib yang akan dituangkan dalam materi
dalam Revisi UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah
4) Perlu dilakukan koordinasi secara kontinyu dengan sektor
dalam rangka pemantauan perkembangan penerapan SPM di
daerah.
5) Sosialisasi sekaligus bimbingan teknis terhadap penerapan
kualitas pelayanan pada instansi pemerintah pusat maupun
daerah, dan meningkatkan kapasitas, profesionalisme dan
integritas SDM pelayanan publik.
6) Meningkatkan koordinasi pada instansi pemerintah dalam
rangka menyederhanakan prosedur persyaratan, waktu, dan
biaya dalam pelayanan perijinan di bidang investasi dan
pelayanan sipil. Pada saat bersamaan juga dilaksanakan
evaluasi dan penilaian terhadap pemerintah daerah dan unit
pelayanan publik dengan tujuan menilai kualitas kinerja
pelayanan publik instansi pemerintah.
2 - 22
f.
Penegakan Hukum
1) Meningkatkan koordinasi antara lembaga penegak hukum
sehingga dapat melakukan kerjasama yang baik dalam
penanganan kasus-kasus korupsi.
2) Meningkatkan integritas aparatur penegak hukum melalui
peningkatan kualitas pengembangan SDM di masingmasing lembaga penegak hukum.
g.
Data Kependudukan
1) Perluasan Penerapan KTP Elektronik yang dilengkapi
biometrik dan chip di 300 Kabupaten/Kota melanjutkan
tahun 2011 yang diterapkan di 197 Kab/Kota, sehingga
pada akhir tahun 2012 penerapan KTP Elektronik sudah
dilakasanakan di seluruh Kab/Kota di seluruh Indonesia.
2) Melakukan sosialisasi secara luas dalam upaya merubah
budaya masyarakat yang pasif menjadi masyarakat yang
aktif dalam melaksanakan kewajibannya untuk melaporkan
dan mencatatkan diri penduduk bersangkutan dan
keluarganya atas peristiwa kependudukan dan peristiwa
penting yang dialaminya dengan memberikan data diri
penduduk yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.
3) Menyiapkan SOP secara menyeluruh yang berkaitan
dengan bisnis proses pendaftaran penduduk, pencatatan
sipil, dan penyelenggaraan SIAK bagi aparat pusat dan
daerah.
2.2 PRIORITAS NASIONAL 2 : PENDIDIKAN
Pembangunan pendidikan merupakan salah satu upaya untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa. Upaya tersebut sejalan dengan salah satu tujuan berdirinya
Negara Republik Indonesia yang diabadikan dalam Pembukaan
Konstitusi, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan
kesejahteraan umum.
2 - 23
Untuk mengejawantahkan cita-cita tersebut, pemerintah
mengembangkan berbagai kebijakan yang diharapkan dapat
meningkatkan perluasan, pemerataan akses, dan mutu pendidikan.
2.2.1. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Permasalahan pembangunan pendidikan adalah: (1) masih
terbatasnya kesempatan memperoleh pendidikan; (2) rendahnya
kualitas, relevansi, dan masih rendahnya daya saing pendidikan; (3)
masih rendahnya profesionalisme guru dan belum meratanya
distribusi guru; (4) terbatasnya kualitas sarana dan prasarana
pendidikan; (5) belum efektifnya manajemen dan tatakelola
pendidikan; dan (6) belum terwujudnya pembiayaan pendidikan yang
berkeadilan; serta rendahnya budaya baca masyarakat karena masih
dominannya budaya lisan di masyarakat dan minimnya ketersediaan
sumber bacaan dalam pemenuhan kebutuhan informasi dan ilmu
pengetahuan. Adapun tantangan pembangunan pendidikan adalah:
Pertama, menyelesaikan permasalahan akses dan kualitas pendidikan
yang meliputi: (1) meningkatkan pemerataan akses terhadap
pendidikan semua jenjang, termasuk akses terhadap pendidikan
agama dan pendidikan keagamaan; (2) meningkatkan tingkat
keberaksaraan; (3) meningkatkan kesiapan anak bersekolah; (4)
meningkatkan kemampuan kognitif, karakter, dan soft-skill lulusan;
(5) meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan menengah; (6)
meningkatkan kualitas, relevansi dan daya saing pendidikan tinggi
termasuk kualitas penelitiannya; dan (6) meningkatkan kualitas
pendidikan agama dan pendidikan keagamaan.
Kedua, tantangan pembangunan pendidikan terkait masalah
ketenagaan, sarana dan prasarana yang meliputi: (1) meningkatkan
pemerataan distribusi guru; (2) meningkatkan kualifikasi akademik
dan profesionalisme guru; (3) mempercepat penuntasan rehabilitasi
gedung sekolah dan ruang kelas yang rusak; (4) meningkatkan
ketersediaan buku mata pelajaran; (5) meningkatkan ketersediaan
2 - 24
dan kualitas laboratorium dan perpustakaan; dan (6) meningkatkan
pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pendidikan.
Ketiga, tantangan untuk mewujudkan manajemen, tatakelola,
serta pembiayaan pendidikan yang berkeadilan yang meliputi: (1)
meningkatkan manajemen, tatakelola, dan kapasitas lembaga
penyelenggara pendidikan; (2) mendorong otonomi perguruan tinggi;
(3) meningkatkan kemitraan publik dan swasta; (4) mewujudkan
alokasi dan mekanisme penyaluran dana yang efisien, efektif,
dan akuntabel; dan (5) menyelenggarakan pendidikan dasar
bermutu yang terjangkau bagi semua.
2.2.2. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASILHASIL YANG DICAPAI
Berdasarkan permasalahan
di atas, maka pembangunan
pendidikan diarahkan untuk: (1) peningkatan kualitas wajib belajar
pendidikan dasar sembilan tahun yang merata; (2) peningkatan akses,
kualitas, dan relevansi pendidikan menengah; (3) peningkatan
kualitas, relevansi, dan daya saing pendidikan tinggi; (4) peningkatan
profesionalisme dan pemerataan distribusi guru dan tenaga
kependidikan; (5) peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan
non-formal; (6) peningkatan minat dan budaya gemar membaca
masyarakat; (6) peningkatan akses dan kualitas pendidikan anak usia
dini, yang holistik dan integratif; (7) peningkatan kualitas pendidikan
agama dan keagamaan; (8) pemantapan pelaksanaan sistem
pendidikan nasional; (9) peningkatan efisiensi dan efektivitas
manajemen pelayanan pendidikan; (10) penguatan sistem evaluasi,
akreditasi dan sertifikasi termasuk sistem pengujian dan penilaian
pendidikan; (11) penyusunan peraturan perundang-undangan yang
menjamin tercapainya pendidikan dasar sembilan tahun yang
bermutu dan terjangkau; (12) peningkatan ketersediaan dan kualitas
sarana dan prasarana pendidikan; (13) peningkatan penerapan dan
pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di bidang
pendidikan; (14) peningkatan karakter bangsa peserta didik; (15)
2 - 25
peningkatan pemanfaatan potensi perpustakaan dan pertumbuhan
semua jenis perpustakaan; dan (16) peningkatan sarana- prasarana
dan jumlah bahan pustaka.
Peningkatan akses dan kualitas pelayanan pendidikan tersebut
juga ditujukan untuk mengurangi kesenjangan taraf pendidikan
antarwilayah, gender, dan antartingkat sosial ekonomi dengan
meningkatkan: (a) pemihakan pada siswa dan mahasiswa yang
berasal dari keluarga miskin melalui pemberian bantuan beasiswa
bagi siswa dan mahasiswa miskin; (b) pemihakan kebijakan bagi
daerah dan satuan pendidikan yang tertinggal (underprivileged); (c)
pengalokasian sumberdaya yang lebih memihak kepada daerah dan
satuan pendidikan yang tertinggal; (d) pemihakan kebijakan
pendidikan yang responsif gender di seluruh jenjang pendidikan; (e)
pengembangan
instrumen
untuk
memonitor
kesenjangan
antarwilayah, gender, dan antartingkat sosial ekonomi; dan (f)
peningkatan advokasi dan capacity building bagi daerah dan satuan
pendidikan yang tertinggal.
Langkah tersebut telah berhasil meningkatkan taraf pendidikan
penduduk yang ditunjukan dengan membaiknya angka partisipasi
murni (APM) jenjang SD/MI/sederajat yang telah mencapai 95,41
persen; APK pada jenjang SMP/MTs/sederajat yang telah mencapai
98,20 persen; dan APK pada jenjang pendidikan menengah 70,53
persen, serta APK pendidikan tinggi yang mencapai 26,34 persen. Di
samping itu, pembangunan pendidikan telah mampu menurunkan
angka buta aksara penduduk usia 15 tahun keatas dari 10,2 persen
pada tahun 2004 menjadi 5,3 persen pada tahun 2009. Kemajuan
penting lainnya adalah dalam hal peningkatan keadilan dan
kesetaraan gender dalam hal akses terhadap pelayanan pendidikan
yang ditunjukkan oleh indeks paritas gender APM atau APK yang
sudah mencapai angka sekitar 1,0 untuk semua jenjang pendidikan.
Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat miskin dalam
menyekolahkan anaknya telah disediakan beasiswa bagi siswa
2 - 26
miskin untuk semua jenjang pendidikan. Penyediaan beasiswa siswa
miskin ini sudah dimulai sejak tahun 2005 dan cakupannya semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Berbagai upaya tersebut telah
berhasil menurunkan angka putus sekolah siswa SD dari 1,7 persen
pada tahun 2009 menjadi 1,5 persen pada tahun 2010. Angka
melanjutkan sekolah dari jenjang SD ke SMP juga mengalami
meningkat dari 90 persen menjadi 91,4 persen pada periode yang
sama. Disamping itu, pada tahun 2010 juga telah dilaksanakan
program pemberian makanan tambahan bagi anak sekolah (PMTAS)
yang mencakup 1,38 juta siswa TK/RA/SD/MI terutama yang
berada di daerah terpencil dan terluar.
Seiring dengan meningkatnya partisipasi pendidikan, mutu
pendidikan juga mengalami perbaikan yang didukung antara lain
melalui peningkatan proporsi guru yang memenuhi kualifikasi
akademik S1/D4 dari 50,77 persen pada tahun 2009 menjadi 58,9
persen pada tahun 2010 dan yang memiliki sertifikasi pendidik dari
17,89 persen pada tahun 2009 menjadi 34,0 persen pada tahun 2010.
Di samping itu, sejak tahun 2011 penentuan kelulusan siswa tidak
lagi hanya berdasarkan atas capaian hasil UN, tetapi juga
mempertimbangkan hasil evaluasi selama bersekolah. Pemerintah
menggunakan hasil pemetaan mutu tersebut untuk memfasilitasi
daerah yang kompetensi lulusannya rendah dalam bentuk bantuan
khusus peningkatan mutu pendidikan.
Kualitas pendidikan tinggi mengalami kemajuan yang
ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah perguruan tinggi
Indonesia yang masuk kelas dunia. Pada tahun 2010, tujuh PTN,
yaitu UI, UGM, UNAIR, ITB, UNPAD, IPB, dan UNDIP masuk
dalam daftar 200 universitas terbaik Asia. Dalam rangka mendukung
kualitas pendidikan, upaya pengembangan budaya baca dan
pembinaan perpustakaan telah berhasil menyelenggarakan layanan
perpustakaan berbasis teknologi informasi dan komunikasi serta
2 - 27
pengembangan e-library di 35 perpustakaan, serta menyediakan
layanan koleksi digital melalui e-resources.
Dalam rangka meningkatkan akses dan pemerataan, serta
kualitas pendidikan, telah dilakukan upaya peningkatan anggaran
pendidikan secara terus menerus, yaitu dari sebesar Rp 225,2 triliun
pada tahun 2010 menjadi Rp 266,9 triliun pada tahun 2011, yang
sebagian besar dialokasikan melalui Transfer Daerah sebesar Rp
127,7 trilyun pada tahun 2010 dan Rp 159,0 triliun pada tahun 2011.
2.2.3. TINDAKLANJUT YANG DIPERLUKAN
Dengan
memperhatikan
pencapaian
dan
beberapa
permasalahan yang masih dihadapi, maka diperlukan tindaklanjut
sebagai berikut: (1) meningkatkan kualitas wajib belajar pendidikan
dasar sembilan tahun yang merata; (2) meningkatkan akses, kualitas,
dan relevansi pendidikan menengah; (3) meningkatkan kualitas,
relevansi, dan daya saing pendidikan tinggi; (4) meningkatkan
profesionalisme dan pemerataan distribusi guru dan tenaga
kependidikan; (5) meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan
non-formal; (6) peningkatan minat dan budaya gemar membaca
masyarakat; (6) meningkatkan akses dan kualitas pendidikan anak
usia dini, yang holistik dan integratif; (7) meningkatkan kualitas
pendidikan agama dan keagamaan; (8) memantapkan pelaksanaan
sistem pendidikan nasional; (9) meningkatkan efisiensi dan
efektivitas manajemen pelayanan pendidikan; (10) penguatan sistem
evaluasi, akreditasi dan sertifikasi termasuk sistem pengujian dan
penilaian pendidikan; (11) menyusun peraturan perundang-undangan
yang menjamin tercapainya pendidikan dasar sembilan tahun yang
bermutu dan terjangkau; (12) peningkatan ketersediaan dan kualitas
sarana dan prasarana pendidikan; (13) meningkatkan penerapan dan
pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di bidang
pendidikan; (14) meningkatkan karakter bangsa peserta didik; (15)
meningkatkan pemanfaatan potensi perpustakaan dan pertumbuhan
2 - 28
semua jenis perpustakaan; dan (16) meningkatkan sarana- prasarana
perpustakaan dan jumlah bahan pustaka.
2.3
PRIORITAS NASIONAL 3: KESEHATAN
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat yang optimal melalui upaya
peningkatan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi
setiap orang. Pembangunan kesehatan merupakan salah satu upaya
utama untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang pada
gilirannya mendukung percepatan pencapaian sasaran pembangunan
nasional yang dititikberatkan pada pendekatan promotif dan
preventif, tidak hanya kuratif serta rehabilitatif. Pendekatan tersebut
secara keseluruhan diharapkan dapat meningkatkan angka harapan
hidup menjadi 72,0 tahun pada tahun 2014 sekaligus dalam
pencapaian sasaran tujuan pembangunan milenium (MDGs)
kesehatan tahun 2015.
2.3.1 PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Pembangunan kesehatan yang telah dilaksanakan secara
bertahap dan berkesinambungan sepanjang periode 2009-2010 telah
berhasil meningkatkan status kesehatan masyarakat dengan cukup
bermakna. Namun, dalam pelaksanaannya ditemukan beragam
permasalahan dalam peningkatan status kesehatan, antara lain
mencakup: masih tingginya angka kematian ibu dan anak, masih
tingginya prevalensi kasus penyakit menular, sumber daya manusia
kesehatan masih terbatas, masih terbatasnya ketersediaan,
keterjangkauan, dan pemerataan obat, pembiayaan kesehatan untuk
memberikan jaminan perlindungan kesehatan masyarakat masih
terbatas, dan masih rendahnya akses masyarakat terhadap fasilitas
pelayanan kesehatan yang berkualitas.
2 - 29
Dalam
bidang
pembangunan
keluarga
berencana,
permasalahan yang dihadapi, mencakup: masih tingginya angka
kelahiran total/total fertility rate (TFR), masih rendahnya angka
pemakaian kontrasepsi (contraceptive prevalence rate/CPR), masih
tingginya kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi pada pasangan
usia subur/PUS (unmet need), kurangnya pengetahuan dan kesadaran
pasangan usia subur dan remaja tentang hak-hak reproduksi dan
kesehatan reproduksi, serta melemahnya kelembagaan KB pasca
desentralisasi.
2.3.2 LANGKAH-LANGKAH
HASILYANG DICAPAI
KEBIJAKAN
DAN
HASIL-
Langkah-langkah kebijakan yang telah ditempuh untuk
mengatasi berbagai permasalahan dalam pembangunan kesehatan,
antara lain adalah: (1) peningkatan kesehatan ibu, bayi, dan balita;
(2) peningkatan kualitas dan jangkauan layanan KB; (3) penurunan
prevalensi kasus penyakit menular; (4) pengembangan sumber daya
manusia kesehatan; (5) peningkatan ketersediaan, keterjangkauan,
dan pemerataan obat; (6) pengembangan sistem pembiayaan jaminan
kesehatan; dan (7) peningkatan pelayanan kesehatan primer,
sekunder dan tersier.
Adapun hasil-hasil pembangunan bidang kesehatan, antara
lain: (1) meningkatnya pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
menjadi 82,2 persen; (2) meningkatnya cakupan imunisasi lengkap
anak balita yang mencapai 53,8 persen; (3) meningkatnya jumlah
peserta KB baru mencapai 50,3 persen; (4) persentase kasus baru
tuberkulosis (TB) paru (BTA positif) yang ditemukan dan yang
disembuhkan masing-masing mencapai 78,3 persen dan 91,2 persen;
(5) angka penemuan kasus malaria (annual parasite index/API)
mencapai 1,96 per 1.000 penduduk; (6) meningkatnya pengiriman
tenaga kesehatan PTT untuk DTPK dan Daerah Bermasalah
Kesehatan (DBK) sebanyak 32.978 orang yang terdiri dari dokter
umum sebanyak 3.254 orang, dokter gigi 904 orang, dokter gigi
2 - 30
spesialis 20 orang dan bidan sebanyak 10.175 orang; (7)
meningkatnya ketersediaan obat dan vaksin di sarana pelayanan
kesehatan mencapai 82 persen; (8) peningkatan cakupan jaminan
kesehatan masyarakat (jamkesmas) dan jaminan kesehatan daerah
(jamkesda) bagi penduduk miskin di puskesmas dan jaringannya; (9)
meningkatnya jumlah rumah sakit pemerintah menjadi 755 rumah
sakit, rumah sakit swasta menjadi 768 rumah sakit; dan (10)
meningkatnya rasio tempat tidur (TT) rumah sakit terhadap
penduduk menjadi 70,74 TT per 100.000 penduduk.
Pencapaian-pencapaian pembangunan kesehatan diatas
merupakan hasil pelaksanaan dari langkah-langkah kebijakan yang
dirumuskan berdasarkan dari permasalahan kesehatan yang dihadapi
selama ini.
2.3.3 TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN
Dengan memperhatikan permasalahan dan hasil capaian
pembangunan kesehatan, maka tindak lanjut yang diperlukan
mencakup: (1) peningkatan kesehatan ibu, bayi dan balita yang
menjamin continuum of care; (2) peningkatan kualitas dan jangkauan
layanan KB melalui revitalisasi program KB, yang ditekankan pada
penguatan akses dan kualitas pelayanan KB; (3) perbaikan status gizi
masyarakat; (4) pengendalian penyakit menular serta penyakit tidak
menular, diikuti penyehatan lingkungan; (5) peningkatan
ketersediaan, keterjangkauan, pemerataan, mutu dan penggunaan
obat serta pengawasan obat dan makanan; (6) pengembangan sistem
pembiayaan jaminan kesehatan; dan (7) peningkatan upaya
kesehatan yang menjamin terintegrasinya pelayanan kesehatan
primer, sekunder dan tersier.
2 - 31
2.4
PRIORITAS NASIONAL
KEMISKINAN
4:
PENANGGULANGAN
Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2010-2014, agenda pembangunan ditujukan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Upaya ini dilakukan
melalui 4 (empat) jalur strategi, yaitu pro-growth, pro-job, pro-poor
dan pro-environment. Keberhasilan pelaksanaan keempat jalur
strategi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat salah satunya
dapat dilihat dari indikator penurunan angka kemiskinan. Oleh sebab
itu, dalam agenda pembangunan setiap tahunnya, penanggulangan
kemiskinan selalu menjadi prioritas yang harus dilaksanakan secara
berkesinambungan. Berbagai upaya yang terkoordinasi telah
dilakukan dalam rangka penanggulangan kemiskinan mengingat
bahwa penurunan angka kemiskinan merupakan muara dari hasil
kerja keras pembangunan di bidang ekonomi sosial dan budaya baik
di pusat maupun di daerah.
Selain itu, berbagai kebijakan
pertumbuhan yang pro-poor dan pro-job serta kebijakan
affirmative/keberpihakan kepada masyarakat miskin juga semakin
ditingkatkan untuk mempercepat upaya penanggulangan kemiskinan.
2.4.1. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Angka kemiskinan menunjukkan adanya penurunan yang terus
menerus dari tahun ke tahun. Namun demikian, secara absolut,
jumlah penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan
masih relatif cukup besar, yaitu sebesar 30,02 juta jiwa sehingga
masih perlu kerja keras untuk menurunkan jumlah penduduk miskin.
Selain itu, terjadi kecenderungan pelambatan dalam penurunan angka
kemiskinan dari tahun ke tahun. Walaupun penurunan angka
kemiskinan tahun 2010-2011 sedikit mengalami peningkatan yaitu
0,84 persen dibandingkan 0,82 persen pada tahun 2009-2010, angka
ini masih jauh dari keberhasilan penurunan angka kemiskinan pada
tahun 2008-2009 yang mencapai 1,7 persen. Di lain pihak, jumlah
2 - 32
penduduk miskin yang rentan untuk jatuh ke bawah garis kemiskinan
juga meningkat. Berdasarkan hasil Pendataan Program Perlindungan
Sosial (PPLS) tahun 2008, jumlah Rumah Tangga Sangat Miskin
(RTSM) dan Rumah Tangga Miskin (RTM) telah mengalami
penurunan yaitu menjadi 9,8 juta dari 12,13 juta pada tahun 2005.
Akan tetapi jumlah Rumah Tangga Hampir Miskin (RTHM)
meningkat menjadi 7,66 juta jiwa pada tahun 2008 dari 6,97 juta jiwa
pada tahun 2005. Hal ini menunjukkan terjadinya peningkatan
kesejahteraan masyarakat miskin, walaupun mereka masih sangat
rentan terhadap terjadinya gejolak ekonomi maupun sosial.
Meningkatnya kesejahteraan masyarakat miskin ini juga ditandai
dengan makin berkurangnya selisih antara rata-rata pendapatan
masyarakat miskin dengan garis kemiskinan, yaitu dilihat dari
menurunnya tingkat kedalaman kemiskinan dari 2,21 pada tahun
2010 menjadi 2,08 pada tahun 2011, serta semakin berkurangnya
kesenjangan antar masyarakat miskin dilihat dari menurunnya
tingkat keparahan kemiskinan yang menjadi 0,55 pada tahun 2011,
dari 0,58 tahun 2010. Namun demikian, gambaran tersebut masih
menunjukkan bahwa peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin
masih belum dapat mengangkat mereka ke atas garis kemiskinan,
sehingga masih perlu upaya-upaya yang lebih terfokus dalam
penanggulangan kemiskinan.
Beberapa permasalahan masih ditemui dalam upaya
penanggulangan kemiskinan untuk mengangkat masyarakat miskin
keluar dari garis kemiskinan, diantaranya adalah: (1) tingginya laju
inflasi year on year (Juni 2011 terhadap Juni 2010) sebesar 5,54
persen dengan sumbangan dari kelompok bahan makanan sebesar 0,3
persen, merupakan yang tertinggi dibandingkan kelompok lainnya.
Hal ini sangat berpengaruh terhadap daya beli masyarakat miskin,
dan karena komoditi makanan menyumbang sebesar 73,52 persen
terhadap garis kemiskinan, maka hal ini menyebabkan angka
kemiskinan tidak dapat berkurang secara cepat; (2) semakin
banyaknya masyarakat yang rentan untuk jatuh miskin dan di lain
2 - 33
pihak masih terdapat program/kegiatan penanggulangan kemiskinan
yang menjadi tidak tepat sasaran baik karena pendataan yang sudah
tidak akurat dengan kondisi riil di lapangan, ataupun karena adanya
permasalahan dalam pelaksanaan program/kegiatan. Saat ini, data
untuk pelaksanaan program bantuan sosial masih menggunakan
pendataan PPLS tahun 2008 yang sudah banyak berbeda dengan
kondisi di lapangan. sehingga mempengaruhi keakuratan data
penerima program. Di lain pihak, berbagai program bantuan sosial
memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga memerlukan
pendataan yang spesifik yang selama ini belum dilakukan, baik oleh
BPS atau pun lembaga lain; (3) masih rendahnya pemenuhan
kebutuhan dasar bagi masyarakat miskin seperti pendidikan,
kesehatan dan perumahan, karena ketidakterjangkauan mereka dalam
mengakses pelayanan dasar akibat dari keterbatasan ekonomi
maupun geografis; (4) masih terbatasnya kesempatan berusaha dan
bekerja yang dapat menjadi sarana peningkatan pendapatan
masyarakat miskin, yang diantaranya disebabkan oleh masih belum
berkembangnya iklim usaha yang kondusif di daerah, sehingga
belum mampu menarik investasi lokal serta belum meluasnya budaya
usaha di masyarakat. Di lain pihak, keterbatasan masyarakat miskin
maupun UMKM dalam mengakses permodalan juga menjadi salah
satu penghambat kesempatan berusaha, diantaranya karena
jangkauan kredit usaha rakyat (KUR) masih terbatas, terutama
kepada UMKM di sektor-sektor produktif seperti pertanian,
perikanan, peternakan dan industri pengolahan. Hal ini di satu sisi
disebabkan kelayakan UMKM di sektor-sektor tersebut yang masih
rendah, di sisi lain disebabkan oleh persepsi resiko kredit yang tinggi
dari perbankan dan keterbatasan informasi. Kurangnya sosialisasi
mengenai KUR juga menyebabkan masyarakat belum memiliki
pemahaman mengenai KUR yang lengkap. Penyediaan bantuan dana
bagi UMKM juga belum mampu meningkatkan akses UMKM
kepada sumber permodalan yang sesuai dengan kebutuhan mereka,
khususnya untuk usaha baru; (5) masih belum optimalnya pelibatan
2 - 34
masyarakat miskin dalam pelaksanaan berbagai program/kegiatan
penanggulangan kemiskinan, bahkan di beberapa tempat semakin
termarjinalkan karena ketidakjelasan status tempat tinggal.
Akibatnya masih terdapat masyarakat miskin yang belum dapat
merasakan manfaat program penanggulangan kemiskinan secara
optimal; (6) masih kurang efektifnya penyelenggaraan bantuan dan
jaminan sosial, serta masih terbatasnya jumlah dan kapasitas sumber
daya manusia, seperti tenaga lapangan yang terdidik dan terlatih serta
memiliki kemampuan pelayanan kesejahteraan sosial. Selain itu,
kendala administrasi kependudukan, birokrasi yang rumit serta
mekanisme yang kurang dipahami menjadi permasalahan dalam
pelaksanaan program bantuan sosial; dan (7) masih kurangnya
koordinasi dalam pelaksanaan program-program penanggulangan
kemiskinan baik di tingkat pusat, daerah maupun antara pusat dan
daerah. Hal ini menyebabkan tidak bersinerginya pelaksanaan
program-program penanggulangan kemiskinan, keterlambatan
penerima manfaat dalam menikmati manfaat program/kegiatan, dan
penggunaan anggaran program/kegiatan menjadi tidak efisien.
Selain permasalahan tersebut di atas, penanggulangan
kemiskinan juga menghadapi permasalahan dalam pembangunan
Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB) yang memiliki peran
strategis dalam upaya mewujudkan penduduk tumbuh seimbang dan
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Upaya
pelaksanaan program KKB untuk terbentuk keluarga kecil, yang
pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup anak dan keluarga,
sehingga mendukung upaya penanggulangan kemiskinan, masih
menghadapi berbagai permasalahan. Permasalahan dan tantangan
program KKB dalam rangka mendukung penanggulangan
kemiskinan adalah upaya untuk meningkatkan dan mempertahankan
angka kesertaan ber-KB bagi masyarakat miskin, terutama yang
tersebar di daerah-daerah tertinggal, terpencil, dan perbatasan. Selain
itu, tingkat pendidikan masyarakat yang rendah disertai minimnya
pemahaman akan kesehatan reproduksi juga menjadi kendala dalam
2 - 35
upaya menurunkan angka kelahiran pada masyarakat miskin
mengingat jumlah anak pada kelompok tersebut lebih besar
dibandingkan dengan kelompok yang lebih sejahtera.
2.4.2. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN
HASIL YANG DICAPAI
DAN
HASIL-
Secara makro, berbagai langkah telah dilakukan untuk
mendukung upaya keberlanjutan penurunan kemiskinan, diantaranya
adalah dengan menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi yang positif
pada triwulan I tahun 2011 dibandingkan dengan triwulan I tahun
2010 (y-o-y) sebesar 6,5 persen. Angka ini meningkat dilihat dari
pertumbuhan ekonomi pada triwulan I tahun 2010 dibandingkan
dengan triwulan I tahun 2009 (y-o-y) yang sebesar 5,7 persen.
Meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang juga didukung dengan
pelaksanaan berbagai kebijakan dan program penanggulangan
kemiskinan telah berhasil menurunkan angka kemiskinan menjadi
12,49 persen pada bulan Maret tahun 2011, dari 13,33 persen pada
tahun 2010 (Gambar 2.4.1).
GAMBAR 2.4.1
PERKEMBANGAN KEMISKINAN TAHUN 2009—2011
Sumber: BPS
2 - 36
Selain upaya untuk menjaga kestabilan di tingkat makro,
berbagai upaya keberpihakan kepada masyarakat miskin atau propoor telah dilaksanakan untuk mengurangi masyarakat yang hidup di
bawah garis kemiskinan. Melalui Peraturan Presiden Nomor 13
tahun 2009 tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan yang
kemudian diperbaharui dengan Peraturan Presiden Nomor 15 tahun
2010 telah diupayakan untuk memberikan kejelasan mengenai
program-program penanggulangan kemiskinan yang dikelompokkan
menjadi tiga kelompok program (tiga klaster), yaitu: (i) kelompok
program bantuan sosial terpadu berbasis keluarga adalah kelompok
program penanggulangan kemiskinan yang diarahkan untuk
mengurangi beban pengeluaran keluarga miskin serta membantu
pemenuhan kebutuhan dasar bagi keluarga miskin dengan tujuan
untuk memutus rantai kemiskinan dan mendukung peningkatan
kualitas SDM. Termasuk dalam kelompok program ini adalah
Program Keluarga Harapan (PKH), program Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas), program subsidi beras untuk masyarakat
miskin (Raskin), dan program beasiswa siswa miskin; (ii) kelompok
program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan
masyarakat adalah kelompok program penanggulangan kemiskinan
yang diarahkan untuk meningkatkan kemandirian dan keberdayaan
masyarakat miskin sehingga dapat terlibat aktif pada proses
pembangunan melalui penyempurnaan dan peningkatan efektivitas
pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
Mandiri dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan dan taraf
hidup masyarakat melalui usaha dan bekerja bersama untuk
mencapai keberdayaan dan kemandirian. PNPM Mandiri terdiri dari
PNPM Inti yang bertujuan untuk membangun kelompok-kelompok
masyarakat yang berdaya dan PNPM Penguatan yang merupakan
program-program sektoral berbasis pemberdayaan masyarakat; dan
(iii) kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis
pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil dalam rangka
meningkatkan akses masyarakat miskin maupun UMKM terhadap
2 - 37
sumber-sumber permodalan dan sumberdaya produktif lainnya,
termasuk dana kredit untuk rakyat (KUR). Selain itu, juga terdapat
program-program lainnya yang secara langsung maupun tidak
langsung dapat meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat miskin.
Selanjutnya, melalui Perpres ini, juga
diupayakan untuk meningkatkan sinkronisasi kebijakan dan program
penanggulangan kemiskinan, serta harmonisasi antar pelaku dan para
pihak terkait baik di pusat maupun di daerah agar efektif dalam
menurunkan angka kemiskinan dan menyejahterakan masyarakat.
Berikut ini adalah gambaran dari hasil-hasil pencapaian contoh
kegiatan penanggulangan kemiskinan di masing-masing klaster,
yaitu Program Keluarga Harapan (PKH), Raskin dan pembangunan
Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB) untuk masyarakat
miskin pada Klaster I, PNPM Mandiri untuk Klaster II, serta Kredit
Usaha Rakyat (KUR) dan UMKM untuk Klaster III yang telah
dilaksanakan oleh Pemerintah.
1. Program Keluarga Harapan (PKH)
Program Keluarga Harapan (PKH) adalah skema bantuan tunai
bersyarat (conditional cash transfer) yang diberikan bagi Rumah
Tangga Sangat Miskin (RTSM) yang memiliki ibu hamil/ibu
menyusui/balita/anak usia sekolah dasar dan menengah pertama.
PKH merupakan salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk
menurunkan angka kemiskinan dengan sasaran rumah tangga sangat
miskin (RTSM) dan melalui pendekatan pada sektor pendidikan dan
kesehatan.
Program Keluarga Harapan (PKH) telah dilaksanakan sejak
tahun 2007. Ketidaksesuaian antara angka target dan realisasi
jumlah RTSM penerima PKH karena adanya perubahan data di
tingkat lapangan.
Pada tahun 2011, target penerima PKH
direncanakan mencapai sasaran sebanyak 1.116.000 RTSM di 25
provinsi di Indonesia (Tabel 2.4.1). Perkembangan PKH pada tahun
kelima ini cukup signifikan, tidak hanya berhasil meningkatkan
2 - 38
jumlah penerima, PKH juga menyempurnakan manajemen dan
mencoba berbagai inovasi dalam pelaksanaannya. Sebagai contoh,
sistem online pendukung proses verifikasi komitmen telah
disempurnakan pada akhir 2009 dan pembayaran berdasarkan hasil
verifikasi komitmen sudah dilaksanakan mulai tahun 2010 lalu.
TABEL 2.4.1
SEBARAN DAN ALOKASI PKH 2007—2012
Jumlah
Target
Realisasi
Alokasi
Tahun
RTSM
RTSM
Dana
Provinsi Kab/Kota Kecamatan Desa
Penerima Penerima (RpMilyar)
2007 500.000
383.584
843
7
48
337
4.311
2008 642.000
620.755
1.006
13
70
629
7.654
2009 720.000
726.000
1.100
13
70
779
9.068
2010 816.000
772.000
1.300
20
88
954
11.080
2011 1.116.000
*)
1.610
25
118
1.351
13.641
2012 1.516.000
*)
2.084
33
166
1.551
14.336
Sumber: Kementerian Sosial
Keterangan: *) masih berjalan dan rencana sehingga belum ada info realisasi akhir
Dengan kemajuan yang dicapai dalam penerapan sistem online, pembayaran kepada RTSM dapat dilakukan 4 (empat) kali
dalam setahun. Pengajuan pembayaran yang sudah dilakukan untuk
RTSM tahap I dan II sebesar Rp 479,3 miliar. Sampai pertengahan
tahun 2011, realisasi pembayaran tahap I adalah sebesar Rp217,8
miliar dari pengajuan tahap I sebesar Rp271,5 miliar atau sudah
mencapai 80 persen. Adapun untuk pengajuan tahap II masih dalam
proses penyaluran sehingga belum tercatat realisasinya. Diharapkan
dengan beberapa pilihan metode pembayaran manfaat kepada
peserta, yaitu melalui rekening bank dan giro PT. Pos, maka proses
pembayaran pada tahun 2011 dapat dipercepat.
Subsidi beras untuk rumah tangga miskin (Raskin) merupakan
program nasional yang dilaksanakan Pemerintah untuk mengurangi
beban pengeluaran Rumah Tangga Sasaran (RTS) melalui
pemenuhan sebagian kebutuhan pangan pokok dalam bentuk beras.
2 - 39
Pada tahun 2010, jumlah penerima Raskin sebanyak 17,488,007
RTSM berdasarkan data hasil Pendataan Program Perlindungan
Sosial (PPLS) 2008 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik
(BPS). Alokasi Raskin untuk setiap penerima yaitu 15 kg beras
selama 12 bulan, dengan harga tebus beras sebesar Rp 1.600 per kg
netto di titik distribusi. Sampai dengan Februari 2011, realisasi
penyaluran Raskin tahun 2010 mencapai 98,67 persen. Dari total
pagu Raskin sebanyak 2,97 juta ton beras, hanya 2,93 juta ton beras
yang dapat disalurkan ke penerima. Meskipun demikian, realisasi
penyaluran Raskin tahun 2010 lebih baik jika dibandingkan dengan
realisasi Raskin tahun 2009 yang sebesar 97,74 persen. Sampai
dengan Juni 2011, realisasi Raskin telah mencapai 50,87 persen
(Tabel 2.4.2).
TABEL 2.4.2
REALISASI PENYALURAN RASKIN 2009—2011
Tahun
2009
2010
2011*)
Jumlah RTS
18.497.302 17.488.007 17.488.007
Penerima Manfaat
Durasi (bulan)
12
12
12
Pagu Alokasi
3.329.514 2.972.961 3.147.841
Setahun (ton)
Realisasi setahun
3.254.121 2.933.333 1.601.298
(ton)
% Realisasi thd
97,74
98,67
50,87
alokasi
Sumber: BULOG
Keterangan:RTS = Rumah Tangga Sasaran
*) sampai dengan Juli 2011
Selain PKH dan Raskin, Pemerintah juga menyelenggarakan
kegiatan bantuan dan pelayanan sosial bagi anak, lanjut usia, dan
penyandang cacat telantar. Hasil evaluasi PKSA (Program
2 - 40
Kesejahteraan Sosial Anak) tahun 2010, telah berhasil meningkatkan
kesejahteraan anak-anak yang sebelumnya berada dalam kondisi
yang tidak menguntungkan, termarjinalkan dan tidak memiliki akses
ke dalam sistem pelayanan sosial dasar. Beberapa kegiatan
pelayanan sosial bagi lanjut usia dilaksanakan dalam bentuk
pemberian Jaminan Sosial Lanjut Usia (JS-LU), bantuan kebutuhan
dasar, pendampingan dan perawatan bagi lanjut usia, dan
peningkatan keterampilan, serta bantuan pengembangan usaha.
Untuk meningkatkan kualitas hidup dan akses, serta perlindungan
sosial para penyandang cacat atau orang dengan kecacatan berat,
dilaksanakan pemberian bantuan JSPC (Jaminan Sosial Penyandang
Cacat) sejak tahun 2006, saat ini telah mencapai 19.500 orang.
Hasil-hasil yang dicapai dalam pembangunan Kependudukan
dan KB sampai dengan bulan Mei 2011, antara lain adalah
peningkatan jumlah peserta KB baru yang telah mencapai sekitar
50,3 persen, yaitu sebanyak 3,6 juta peserta dari target sebanyak 7,2
juta peserta, termasuk di dalamnya peserta KB baru miskin (KPS dan
KS-1) dan rentan lainnya, yaitu sebanyak 1,6 juta peserta dari target
sebanyak 3,8 juta peserta; dan peserta KB baru pria sebanyak 240,8
ribu peserta. Capaian tersebut didukung pula oleh peningkatan
jumlah peserta KB baru yang menggunakan metode kontrasepsi
jangka panjang (MKJP), yaitu sebanyak 559,8 ribu peserta.
Selanjutnya, pencapaian pembinaan peserta KB aktif sampai dengan
bulan Mei 2011 tercatat sebanyak 33,4 juta peserta, termasuk di
dalamnya adalah peserta KB aktif miskin (KPS dan KS-1) yang telah
mencapai 14,3 juta peserta dan peserta KB aktif pria sebanyak 1,1
juta peserta.
2. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
Mandiri
PNPM Mandiri merupakan program utama pada klaster 2
program penanggulangan kemiskinan. Program ini ditujukan untuk
2 - 41
meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat miskin
melalui pembentukan kelompok-kelompok masyarakat sehingga
mereka dapat terlibat mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan
dan pengawasan pembangunan. Dengan demikian, diharapkan
masyarakat miskin semakin dapat menikmati hasil-hasil
pembangunan dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
miskin. PNPM Mandiri mulai dicanangkan sejak tahun 2008 dan
sejak itu, berbagai hasil pembangunan telah dapat dinikmati oleh
masyarakat. PNPM Mandiri
Pada tahun 2011, PNPM Mandiri inti dilaksanakan di 6.622
kecamatan yang terdiri dari 5.020 kecamatan PNPM Perdesaan,
1.153 kecamatan PNPM Perkotaan, 215 kecamatan PNPM
Infrastruktur Perdesaan (PPIP/RIS), 237 kecamatan PNPM
Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW) dan
7 kabupaten untuk Program Pengembangan Daerah Tertinggal dan
Khusus (P2DTK). Total alokasi dana PNPM Mandiri Inti yang
bersumber dari APBN dan APBD untuk tahun 2011 adalah sebesar
Rp13,14 triliun dengan proporsi Rp9,58 triliun untuk PNPM
Perdesaan, Rp1,67 triliun untuk PNPM Perkotaan, Rp1,01 miliar
untuk PPIP/RIS, Rp527,8 miliar untuk PISEW dan Rp345,9 miliar
untuk P2DTK (Tabel 2.4.3). Pada tahun 2011 ini juga telah disetujui
untuk penambahan dana PNPM melalui dana APBN-P sebesar
Rp1,82 triliun yang ditujukan untuk PNPM perdesaan sebesar
Rp1,29 triliun dan PNPM perkotaan sebesar Rp524 miliar. Anggaran
ini dialokasikan sebagai penambahan untuk memenuhi BLM bagi
lokasi-lokasi PNPM Perkotaan dan Perdesaan, serta untuk
meningkatkan kesempatan kerja melalui usaha ekonomi produktif
terutama di kecamatan-kecamatan dengan tenaga kerja Indonesia
yang tinggi.
2 - 42
TABEL 2.4.3
JUMLAH KECAMATAN PNPM TAHUN 2010-2011
2010
2011
Alokasi
Tambahan
APBN-P
Alokasi
Alokasi
Program
Jml
Jml
2011
(miliar
(miliar
Kec
Kec
(miliar
rupiah)
rupiah)
rupiah)
PNPM
4.805
9.685,7 5.020
9.583,0
1.293,0
Perdesaan
PNPM
885
1.356,4 1.153
1.670,0
524
Perkotaan
PPIP/RIS
215
425, 5
215
1.011,3
PISEW
P2DTK
Total
237
186
6.328
Total
Alokasi
2011
(miliar
rupiah)
10.876,0
2.217,9
1.011,3
355,5
11,3
237
-*
527,8
345,9
-
527,8
345,9
11.408,9
6.622
13.138,0
1.817,0
14.978,9
Sumber: Kementerian Keuangan
Keterangan: *Lokasi P2DTK 2011 dilaksanakan di 7 Kabupaten, dalam
rangka memanfaatkan sisa alokasi anggaran 2010
Pemanfaatan BLM yang telah dikucurkan selama tahun 2010
untuk PNPM inti (khususnya PNPM Perdesaan, Perkotaan, dan
Daerah tertinggal) lebih dari separuhnya atau 55,88 persen
digunakan untuk membangun akses transportasi, diikuti dengan
kegiatan ekonomi, kesehatan dan pendidikan masing-masing sebesar
15,06 persen, 11,31 persen, dan 9,27 persen (Gambar 2.4.2).
Umumnya akses transportasi yang dibangun adalah jalan sebesar
71,1 persen. Selain itu, juga dibangun penunjang jalan sebesar 28,9
persen. Untuk infrastruktur jalan, kegiatan perkerasan beton menjadi
mayoritas pemanfaatan dana, yaitu sebesar 39,62 persen, disusul oleh
kegiatan perkerasan telford dan perkerasan sirtu masing-masing
18,94 persen dan 17,32 persen. Selanjutnya, di bidang ekonomi,
2 - 43
11,31% 9,27%
15,06%
55,88%
alokasi dana terutama digunakan untuk kegiatan dana bergulir (89,44
persen). Untuk sektor pendidikan, alokasi pendanaan PNPM
digunakan terutama untuk gedung sekolah (79,89 persen) dan media
ajar (12,69 persen). Sementara, untuk sektor kesehatan adalah untuk
air bersih (34,61 persen), kesehatan masyarakat (35,6 persen) dan
sanitasi (20,94 persen).
GAMBAR 2.4.2
REALISASI BLM PER SEKTOR TA 2010
Akses Transportasi
Ekonomi
Kesehatan
Pendidikan
Sumber: Simpadu PNPM, Bappenas
Sesuai dengan disain PNPM Mandiri, melalui kegiatan PNPM
Mandiri diharapkan dapat tercipta lapangan kerja bagi masyarakat
miskin. Pada tahun 2010, telah terserap 5,22 juta tenaga kerja
dengan jumlah sebesar 66,72 juta hari orang kerja (HOK) dari
pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri. Dengan demikian,
pelaksanaan PNPM Mandiri tidak hanya meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan, yang merupakan pembangunan
modal sosial yang diwujudkan dalam kegiatan gotong-royong, proses
pengambilan keputusan bersama, adanya peningkatan partisipasi
perempuan dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan,
dan adanya rasa memiliki dalam memelihara fasilitas hasil
2 - 44
pembangunan secara berkelanjutan, namun juga memberikan
tambahan pendapatan bagi masyarakat setempat.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, telah dilakukan upaya
perluasan dan peningkatan kualitas pelaksanaan PNPM Mandiri.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui sinkronisasi proses
perencanaan partisipatif dari masyarakat dengan perencanaan regular
dalam program P2SPP (Program Pengembangan Sistem Perencanaan
Pembangunan) sehingga diharapkan usulan masyarakat akan dapat
lebih banyak tertampung dalam dokumen perencanaan dan
penganggaran di tingkat daerah. Selain itu, upaya untuk
mensinergikan program-program sektor berbasis pemberdayaan
masyarakat juga ditingkatkan melalui perluasan cakupan program
yang masuk sebagai PNPM Mandiri Penguatan, diantaranya adalah
PNPM PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan), PNPM
Pariwisata, PNPM Permukiman, PNPM SANIMAS (Sanitasi
Masyarakat), PNPM LMP (Lingkungan Mandiri Perdesaan), dan
PNPM Generasi Cerdas dan Sehat. Melalui sinergi programprogram sektoral, diharapkan pelaksanaan program-program sektoral
berbasis pemberdayaan masyarakat yang ditujukan untuk
penanggulangan kemiskinan dapat berjalan secara terpadu.
Salah satu contoh kegiatan yang dilakukan melalui PNPM
Penguatan adalah pelaksanaan PNPM Mandiri Kelautan dan
Perikanan (PNPM Mandiri KP). Upaya pemberdayaan masyarakat
kelautan dan perikanan melalui PNPM Mandiri KP dilakukan
melalui Pengembangan Usaha Mina Pedesaan dan Pemberdayaan
Usaha Garam Rakyat. Kegiatan tersebut dilakukan di 351 kab/kota,
melalui pemberian Bantuan Langsung Masyarakat dengan sasaran
1.000 kelompok nelayan, 3.000 kelompok pembudidaya, 400
kelompok pengolah, dan 750 kelompok usaha garam rakyat. Upaya
ini dilakukan untuk meningkatkan kehidupan ekonomi kelompokkelompok nelayan yang pada umumnya adalah kelompok
2 - 45
masyarakat miskin, sehingga diharapkan mereka dapat keluar dari
kemiskinan.
3.
Kredit Usaha Rakyat (KUR)
Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) merupakan program
utama dalam klaster ketiga penanggulangan kemiskinan. KUR
dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan akses UMKM dan
koperasi kepada sumber pembiayaan. KUR diberikan kepada
UMKM dan koperasi yang memiliki usaha produktif yang bersifat
individu, kelompok, kemitraan dan/atau klaster yang layak (feasible)
untuk dibiayai dengan kredit/pembiayaan, namun belum bankable.
Kredit/pembiayaan yang diberikan yaitu untuk keperluan modal
kerja dan atau investasi UMKM dan koperasi. Penyaluran KUR
mencakup (1) kredit/pembiayaan setinggi-tingginya Rp 20 juta untuk
KUR Mikro, dan (2) di atas Rp 20 juta sampai dengan Rp 500 juta
untuk KUR Ritel. Agunan pokok untuk KUR adalah kelayakan usaha
dan obyek yang dibiayai, sedangkan dana penjaminan yang
disediakan pemerintah digunakan untuk menjamin 70 persen dari
plafon KUR (agunan tambahan) yang dipersyaratkan bank, dengan
pengecualian KUR di sektor pertanian, kelautan dan perikanan,
kehutanan dan industri kecil mendapat penjaminan sebesar 80
persen. Penyaluran KUR bisa dilakukan langsung oleh bank pemberi
kredit atau tidak langsung melalui pola linkage yang melibatkan
lembaga keuangan mikro, termasuk koperasi. Penjaminan disediakan
pemerintah dalam bentuk penyertaan modal negara (PMN) kepada
Perum Jamkrindo dan PT. Askrindo, dengan nilai sebesar Rp 1,45
triliun pada tahun 2007/2008, Rp 0,5 triliun pada tahun 2009, Rp 1,8
triliun pada tahun 2010 (APBN-P), dan Rp 2 triliun pada tahun 2011.
2 - 46
TABEL 2.4.4.
REALISASI PENYALURAN KUR SAMPAI DENGAN
TAHUN 2010
Periode 2007-2010
Indikator
Jumlah
Tahun 2010
Proporsi
(%)
Jumlah
Proporsi
(%)
Volume:
6 Bank Umum
13 BPD
Rp34,42 triliun
Rp32,21 triliun
Rp2,21 triliun
93,58
6,42
Rp17,23 triliun
Rp15,02 triliun
Rp 2,21 triliun
87,17
12,83
Debitur:
6 Bank Umum
13 BPD
3.812.558 debitur
3.786.326 debitur
26.232 debitur
99,31
0,69
1.437.650 debitur
1.411.418 debitur
26.232 debitur
98,18
1,82
Rata-rata
kredit per
debitur:
6 Bank Umum
13 BPD
Rp9,03 juta
Rp11,98 juta
Rp8,51 juta
Rp84,28 juta
Rp10,64 juta
Rp84,28 juta
Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2011)
Penyaluran KUR selama tahun 2010 telah mencapai Rp17,23
triliun (Tabel 2.4.4). Namun volume tersebut masih di bawah target
penyaluran KUR yang ditetapkan dalam RPJMN 2010-2014 yaitu Rp
20 triliun per tahun. Selain itu, target penyaluran KUR kepada
sektor pertanian, kelautan dan perikanan, kehutanan dan
perindustrian sebesar 25 persen sesuai amanat Inpres No. 1 tahun
2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan
Nasional Tahun 2010 belum tercapai. Sampai dengan tanggal 31
Desember 2010, penyaluran KUR di sektor-sektor produktif tersebut
baru mencapai 21,21 persen, yaitu pertanian sebesar 18,85 persen
dan industri pengolahan sebesar 2,36 persen. Jumlah debitur KUR
2 - 47
sampai Desember 2010 tercatat sekitar 3,81 juta debitur, dengan ratarata volume KUR yang diterima per debitur yaitu sebesar Rp 9,03
juta, dan tingkat non performing loan (NPL) KUR sebesar 2,52
persen. Penambahan jumlah bank penyalur KUR pada tahun 2010
sehingga menjadi 19 bank yang terdiri dari 6 bank umum dan 13
Bank Pembangunan Daerah (BPD) telah meningkatkan jangkauan
penyaluran KUR
Sementara itu realisasi penyaluran KUR pada semester
pertama tahun 2011 telah melebihi target yang ditetapkan (Gambar
2.4.3). Volume penyaluran KUR periode 1 Januari s/d 31 Mei 2011
telah mencapai lebih dari Rp 14,57 triliun, dengan jumlah debitur
mencapai 989.406 debitur. Volume Rata-rata KUR yang diterima per
debitur yaitu sebesar Rp 14,73 juta. Tingkat pengembalian KUR
cukup baik dengan tingkat non performing loan (NPL) hanya sebesar
2,19 persen. Sebaran penyaluran KUR per sektor sampai dengan
tahun 2011 menunjukkan bahwa sebagian besar KUR disalurkan
untuk UMKM dan koperasi di sektor perdagangan, restoran, dan
hotel dan sektor pertanian (Tabel 2.4.5). Sebaran penyaluran KUR
per provinsi terdapat di Tabel 2.4.6.
GAMBAR 2.4.3.
REALISASI PENYALURAN KUR
SEMESTER 1 TAHUN 2011
(1 JANUARI–30 JUNI 2011)
2 - 48
Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2011)
TABEL 2.4.5.
SEBARAN PENYALURAN KUR PER SEKTOR
PADA PERIODE 2007- MEI 2011
Proporsi
Kredit
(%)
Proporsi
Debitur
(%)
Rata-rata Kredit/
Debitur (Rp Juta)
17,19
13,23
13,25
17,08
13,21
13,19
0,11
0,02
52,96
Pertambangan
0,06
0,01
68,49
Industri Pengolahan
2,39
1,36
17,92
Listrik, Gas & Air
0,04
0,00
95,14
Konstruksi
1,85
0,10
193,74
Perdagangan, Restoran & Hotel
62,60
76,80
8,32
Perdagangan besar dan eceran
Penyediaan akomodasi dan
penyediaan mamin
Pengangkutan, Pergudangan &
Komunikasi
Jasa-jasa Dunia Usaha
62,26
76,63
8,29
0,34
0,17
20,73
0,94
0,21
45,21
4,64
1,67
28,42
Sektor
Pertanian
Pertanian,
kehutanan
Perikanan
perburuan
dan
2 - 49
Proporsi
Kredit
(%)
Proporsi
Debitur
(%)
Rata-rata Kredit/
Debitur (Rp Juta)
Perantara keuangan
Real estate, persewaan, dan
jasa perusahaan
Jasa-jasa Sosial/ Masyarakat
0,50
0,03
188,63
4,15
1,64
25,80
1,99
1,49
13,59
Lain-lain
8,30
5,13
16,51
100,00
100,00
10,20
Sektor
Total
Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2011)
TABEL 2.4.6.
SEBARAN PENYALURAN KUR PER PROVINSI
PADA PERIODE 2007-2011
Provinsi
NAD
Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
Kepri
Babel
DKI Jakarta
Jabar
Jateng
D. I. Yogyakarta
Jatim
Banten
Bali
2 - 50
Volume
(%)
1,92
5,82
3,26
2,78
1,95
2,45
0,64
0,30
0,76
0,28
4,60
13,58
14,80
1,86
17,37
1,94
2,53
Debitur
(%)
1,79
4,01
2,51
1,78
1,19
1,53
0,60
1,64
0,34
0,18
2,05
14,44
22,96
2,43
17,84
1,53
2,46
Provinsi
NTB
NTT
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Sulut
Sulteng
Sulsel
Sultra
Gorontalo
Sulbar
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Volume
(%)
1,19
1,04
1,61
2,33
1,95
2,34
0,92
1,08
5,97
0,71
0,70
0,57
0,95
0,51
0,33
0,95
Debitur
(%)
1,51
1,07
1,10
1,18
1,75
1,72
0,73
1,33
6,43
0,82
0,93
0,56
0,66
0,33
0,13
0,50
Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2011)
Selain melalui KUR, peningkatan akses permodalan usaha
mikro melalui koperasi juga dilaksanakan melalui bantuan dana
kepada 2.600 koperasi perdesaan dan perkotaan dengan nilai sebesar
Rp130 milyar. Bantuan dana tersebut diharapkan dapat memperkuat
kapasitas koperasi untuk memfasilitasi kebutuhan modal dari
anggotanya yang sebagian besar merupakan usaha mikro yang
usahanya belum feasible dan belum bankable. Pada tahun 2011,
bantuan dana telah dialokasikan sebesar Rp 62,5 milyar untuk 1.250
koperasi perdesaan dan perkotaan. Jumlah bantuan yang sudah
direalisasikan sampai Juni 2011 adalah sebesar Rp52,5 milyar untuk
1.050 koperasi. Penyaluran bantuan diharapkan dapat diselesaikan
pada akhir bulan September 2011.
Selain pemberian bantuan dana, kegiatan fasilitasi bagi usaha
mikro dan kecil untuk mengakses sumber-sumber permodalan
lainnya juga dilaksanakan melalui (1) fasilitasi akses usaha mikro
dan kecil ke Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) dari
Badan Usaha Milik Negara (BUMN); (2) pengembangan linkage
program antara bank umum dan koperasi; (3) penyediaan skim kredit
usaha mikro dan kecil dari dana Surat Utang Pemerintah (SUP –
005) sebesar Rp3,1 triliun yang disalurkan melalui Bank BUMN,
BPD, PT Permodalan Nasional Madani (PNM), Perum Pegadaian,
dan Bank Bukopin; (4) fasilitasi bagi Pemerintah Daerah untuk
mendirikan Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah (PPKD) dalam
rangka meningkatkan akses pembiayaan koperasi dan UMKM
setempat yang menghadapi masalah penjaminan. Pada tahun 2010,
Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Bali telah merespon upaya ini
dan membentuk PPKD; (5) kerja sama dengan Kementerian Dalam
Negeri dan Badan Pertanahan Nasional dalam penerbitan Sertifikasi
Hak Atas Tanah bagi usaha mikro dan kecil dalam rangka
meningkatkan nilai agunan atas kredit bagi usaha mikro dan kecil;
2 - 51
dan (6) fasilitasi kerja sama antara koperasi jasa keuangan syariah
(KJKS) dan lembaga pengelola zakat dalam rangka optimalisasi
zakat untuk meningkatkan akses pembiayaan (modal awal usaha)
bagi usaha mikro dan kecil.
Penyaluran dana bergulir bagi koperasi dan UMKM juga
dilakukan melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB)
KUMKM dan sejak Okober 2010 s/d Juni 2011 telah mencapai
Rp803,52 millyar. Dana tersebut disalurkan kepada koperasi dan
UMKM melalui 495 mitra LPDB-KUKM yang terdiri dari 474
koperasi, dan 21 lembaga keuangan non koperasi (bank umum, BPR,
BPD, dan lembaga modal ventura). Jumlah UMKM yang telah
memanfaatkan dana tersebut mencapai 52.987 unit yang tersebar di
32 provinsi. Proyeksi dampak ekonomi dari penyaluran dana bergulir
kepada UMKM pada tahun 2011 yaitu penyerapan tenaga kerja
sebanyak 372.294 orang.
Berbagai upaya juga dilakukan untuk penguatan lembaga
pembiayaan bagi UMKM, melalui (1) penilaian kesehatan sekitar
25.877 KSP/USP koperasi dan KJKS/UJKS koperasi di 25 provinsi;
dan (2) sosialisasi badan hukum koperasi sebagai bentuk legalitas
usaha bagi lembaga keuangan mikro (LKM) sesuai Surat Keputusan
Bersama (SKB) Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam
Negeri, Kementerian Koperasi dan UKM. dan Gubernur Bank
Indonesia mengenai Strategi Pengembangan LKM dengan hasil
2.100 (60 persen) Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) dan 40 persen
KUBE sudah berbadan hukum koperasi.
2.4.3. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN
Upaya penanggulangan kemiskinan merupakan upaya yang
berkesinambungan dan membutuhkan keterlibatan semua pihak
dalam pelaksanaannya mengingat bahwa kemiskinan merupakan
permasalahan multidimensi. Untuk itu, upaya koordinasi menjadi
sangat penting baik antar program, antara pusat dan daerah maupun
2 - 52
antar pelaku pembangunan. Selain itu, upaya untuk menjaga kondisi
ekonomi makro yang kondusif agar dapat tercipta kesempatan kerja,
terutama kesempatan kerja formal, serta kestabilan harga juga
menjadi hal penting yang perlu terus dilakukan sehingga dapat lebih
mempercepat upaya penurunan kemiskinan.
Dalam kerangka kebijakan affirmative (keberpihakan),
pemerintah terus menerus akan meningkatkan efektivitas
penanggulangan kemiskinan melalui upaya peningkatan keterkaitan
dan sinkronisasi antar kegiatan dalam tiga klaster penanggulangan
kemiskinan. Dengan demikian, diharapkan akan terjadi proses
kesinambungan penanganan masalah kemiskinan secara sekuensial
mulai dari klaster 1, klaster 2, hingga klaster 3. Dalam konteks
daerah, pemerintah masih terus melakukan berbagai kegiatan
peningkatan
kapasitas
pemerintah
daerah
dalam
mengharmonisasikan dan mensinkronisasikan berbagai program
penanggulangan kemiskinan yang ada dengan berbagai kebijakan
dan program dari daerah. Sehubungan dengan hal tersebut, peran
Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD)
dalam mengkoordinasikan program-program penanggulangan
kemiskinan di daerah menjadi sangat penting untuk ditingkatkan.
Selain itu, kapasitas pemerintah daerah dalam menyusun
perencanaan dan penanganggaran yang lebih peka terhadap
kebutuhan masyarakat miskin dan mengacu pada penyelesaian
permasalahan kemiskinan (pro-poor), juga perlu ditingkatkan.
Dengan demikian, diharapkan dapat semakin meningkatkan
efektivitas pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan di
daerah.
Sebagai upaya untuk meningkatkan keberhasilan dalam
pelaksanaan program-program pada klaster 1, maka permasalahan
terkait dengan pendataan perlu terus diperbaiki. Terkait dengan hal
tersebut, pada tahun 2011 ini sedang dilakukan Pendataan Program
Perlindungan Sosial (PPLS) 2011 yang akan menjadi basis data bagi
2 - 53
pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis
keluarga atau individu, termasuk untuk PKH, Jamkesmas, Raskin
dan beasiswa siswa miskin. PPLS 2011 dilaksanakan dengan
menggunakan metode yang lebih disempurnakan dengan basis data
adalah keluarga. Diharapkan dengan adanya data tersebut, dapat
meningkatkan akurasi ketepatan program bantuan sosial. Khusus
untuk PKH, diharapkan pula agar dapat memanfaatkan data hasil
Survey Pelayanan Dasar Kesehatan dan Pendidikan (SPDKP),
sehingga ketepatan sasaran program dapat ditingkatkan. Selain itu,
koordinasi antar sektor dalam pelaksanaan PKH juga akan terus
diupayakan diantaranya melalui koordinasi di bawah Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Untuk
mempercepat proses pemberian bantuan, berbagai mekanisme
pembayaran bantuan, salah satunya adalah dengan memanfaatkan
rekening giro/tabungan, akan terus dikembangkan.
Dengan
perbaikan tersebut, pada tahun 2012, PKH akan diperluas
pelaksanaan 166 Kabupaten/Kota di 33 Provinsi, dengan jumlah
peserta meningkat menjadi 1.516.000 RTSM.
Untuk kegiatan pelayanan sosial anak, dalam mencapai
kesamaan perspektif dalam pelaksanaan Program Kesejahteraan
Sosial Anak (PKSA) sebagai program peningkatan kesejahteraan
sosial anak berbasis keluarga dan komunitas, maka PKSA akan
memprioritaskan kerjasama dengan Lembaga Kesejahteraan Sosial
Anak yang memiliki basis layanan keluarga dan komunitas.
Selanjutnya akan dilaksanakan pula peningkatan kerjasama dengan
Perguruan Tinggi dan Lembaga-lembaga Kesejahteraan Sosial
lainnya. Selanjutnya untuk pendataan lanjut usia, terbatasnya data
yang akurat dari masing-masing provinsi akan diperbaiki, terutama
data lanjut usia yang memerlukan bantuan pelayanan sosial. Dalam
kaitan dengan pendanaan bagi pendamping lanjut usia, diupayakan
adanya dukungan dana yang berasal dari APBD
2 - 54
Selain itu, dalam rangka pembangunan kependudukan dan KB,
pelaksanaan pembangunan KKB diprioritaskan pada revitalisasi
program KB, yang ditekankan pada penguatan akses dan kualitas
pelayanan KB melalui penguatan kapasitas tenaga dan kelembagaan
KB di lini lapangan dalam rangka pembinaan dan peningkatan
peserta/akseptor KB serta peningkatan kemandirian ber-KB; promosi
dan penggerakan masyarakat yang didukung dengan pengembangan
dan sosialisasi kebijakan pengendalian penduduk; peningkatan
dukungan sarana dan prasarana pelayanan program KB; peningkatan
pemanfaatan sistem informasi manajemen (SIM) berbasis teknologi
informasi. Di samping itu juga dilakukan pelatihan, penelitian, dan
pengembangan program kependudukan dan KB; serta peningkatan
kualitas manajemen program dan kegiatan.
Untuk meningkatkan efektivitas penanggulangan kemiskinan,
pemerintah tetap akan melaksanakan harmonisasi program-program
pemberdayaan masyarakat di bawah payung kebijakan PNPM
Mandiri melalui Tim Pengendali PNPM Mandiri. Harmonisasi
terutama ditujukan untuk mensinkronkan antara program-program di
bawah PNPM Inti dengan PNPM Penguatan yang merupakan
program-program sektoral berbasis pemberdayaan masyarakat.
Dengan demikian, terjadi keberlanjutan upaya untuk meningkatkan
keberdayaan dan kemandirian masyarakat miskin yang disesuaikan
dengan kebutuhan masyarakat. Selain itu, sinkronisasi perencanaan
juga akan terus dilakukan antara perencanaan partisipatif yang
dilaksanakan di tingkat masyarakat dengan perencanaan reguler
melalui mekanisme yang sudah berjalan. Hal ini dilakukan untuk
memastikan bahwa usulan-usulan masyarakat dapat diakomodasi
dalam dokumen perencanaan dan penganggaran. Selanjutnya, dalam
rangka menjaga keberlanjutan dari lembaga-lembaga di tingkat
masyarakat telah terbentuk melalui proses pemberdayaan
masyarakat, juga akan dilakukan sinkronisasi lembaga-lembaga
tersebut dengan kelembagaan-kelembagaan yang telah ada dan
berbadan hukum. Dengan demikian, keberdayaan sosial masyarakat
2 - 55
yang sudah dibangun melalui PNPM Mandiri akan dapat
dimanfaatkan oleh program lain yang memberikan peran partisipasi
lebih besar kepada masyarakat. Terkait dengan berbagai upaya
sinkronisasi ini, maka peran TKPKD perlu ditingkatkan dalam
melakukan sinergi dan harmonisasi di tingkat lapangan.
Dalam kaitannya dengan peningkatan akses permodalan baik
melalui KUR maupun dana-dana lainnya bagi UMKM, maka perlu
ditingkatkan sosialisasi mengenai KUR, serta pemantuan dan
evaluasi terhadap efektivitas penyaluran KUR melalui kerja sama
dengan pemangku kepentingan terkait. Upaya ini juga perlu
didukung dengan peningkatan kerja sama dalam penyediaan
pendampingan bagi calon-calon debitur dalam mengkases KUR dan
debitur KUR dalam mengelola pinjaman secara lebih produktif.
Pendampingan bagi usaha mikro dan kecil dalam rangka
meningkatkan kapasitas pengelolaan usaha dan keuangannya
sehingga dapat menjadi usaha yang layak dan berkelanjutan juga
akan terus dilaksanakan.
Selanjutnya, peningkatan kualitas
kelembagaan dan kapasitas KSP/USP Koperasi sebagai lembaga
keuangan yang berbasis anggota dalam meningkatkan akses usaha
mikro dan kecil kepada sumber pembiayaan juga perlu dilanjutkan.
Sejalan dengan pelaksanaan ketiga klaster program
penanggulangan kemiskinan dan dalam rangka untuk mempercepat
upaya-upaya
penurunan
kemiskinan,
maka
kebijakan
penanggulangan kemiskinan yang bersifat affirmative akan diperluas
cakupannya, baik sasaran maupun program/kegiatannya. Dengan
demikian akan semakin banyak melibatkan masyarakat miskin untuk
terlibat dalam proses dan merasakan hasil-hasil pembangunan. Untuk
itu, mulai tahun 2011 sudah mulai dipersiapkan perluasan program
pro-rakyat yang akan diimplementasikan pada tahun 2012 dan
sebagian kegiatan bahkan akan dimulai pada tahun 2011 ini.
Perluasan program pro-rakyat ini dimasukkan kedalam kelompok
program penanggulangan kemiskinan Klaster 4. Program pro-rakyat
2 - 56
ini ditujukan untuk melengkapi berbagai program dan kegiatan yang
telah dijalankan melalui tiga klaster program penanggulangan
kemiskinan. Melalui Klaster 4 program penanggulangan kemiskinan
ini, cakupan sasaran, program dan kegiatan untuk pengurangan
kemiskinan akan diperluas termasuk juga keterlibatan berbagai pihak
dalam pelaksanaan program. Program pro-rakyat akan dilaksanakan
melalui enam program, yaitu: (1) Pembangunan rumah murah dan
sangat murah bagi masyarakat sangat miskin dan miskin; (2)
Penyediaan angkutan umum murah; (3) Penyediaan air bersih untuk
rakyat; (4) Penyediaan listrik murah dan hemat serta terjangkau bagi
masyarakat miskin; (5) Peningkatan kehidupan nelayan yang
diarahkan pada sejumlah Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI); dan (6)
Peningkatan kehidupan masyarakat pinggir perkotaan.
Khusus untuk Program Peningkatan Kehidupan nelayan, mulai
tahun 2011 akan dilaksanakan di 100 Pangkalan Pendaratan Ikan
(PPI) pada tahun 2011. Kegiatan yang akan dilaksanakan meliputi
intervensi langsung pada individu nelayan, kelompok nelayan, dan
sarana prasarana PPI itu sendiri. Beberapa kegiatan untuk individu
nelayan mencakup pemberian sertifikasi hak atas tanah nelayan, dan
bantuan peralatan rantai dingin. Untuk kelompok nelayan akan
diberikan bantuan kapal penangkap ikan, bantuan langsung melalui
Pengembangan Usaha Mina Pedesaan (PUMP) perikanan tangkap
dan pengolahan, serta pemberian pendampingan pada kelompok.
Sedangkan untuk mendukung pengembangan sarana prasarana di
PPI, akan dilakukan pembangunan cold storage/pabrik es,
pembangunan SPDN (Solar Packed Dealer Nelayan), dan kendaraan
roda 3 berinsulasi.
2.5
PRIORITAS NASIONAL 5: KETAHANAN PANGAN
Pembangunan ketahanan pangan nasional diarahkan untuk
memenuhi aspek ketersediaan, distribusi dan aksesibilitas, serta
2 - 57
konsumsi, baik pada level nasional maupun rumah tangga. Sejalan
dengan RPJMN 2010-2014, prioritas ketahanan pangan diarahkan
untuk meningkatkan ketahanan dan kemandirian pangan serta
kecukupan gizi masyarakat secara luas. Selain itu, pembangunan
ketahanan pangan nasional juga diarahkan untuk mendukung
pertumbuhan sektor pertanian secara luas, penguatan perekonomian
nasional, serta peningkatan kesejahteraan petani dan nelayan.
2.5.1. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Pembangunan ketahanan pangan nasional dalam beberapa
tahun terakhir maupun ke depan dihadapkan kepada empat tantangan
utama, yaitu: (i) semakin terbatasnya sumber daya produktif yang
menuntut adanya perluasan dan peningkatan sumberdaya, serta
peningkatan efektivitas dan efisiensi pemanfaatan; (ii) kondisi pasar
global dan domestik yang semakin terbuka menyebabkan distribusi
bahan pangan sangat dipengaruhi oleh mekanisme pasar yang
berjalan; (iii) masih tingginya pertumbuhan penduduk Indonesia
yang berdampak kepada meningkatnya kebutuhan pangan nasional;
serta (iv) pola konsumsi pangan masyarakat yang semakin beragam
sehingga menuntut tersedianya bahan pangan yang beragam pula.
Pada tingkat global, pembangunan ketahanan pangan nasional
berperan penting di dalam pencapaian Millenium Development Goals
(MDG’s), khususnya terkait dengan pengurangan tingkat kemiskinan
dan kelaparan. Komitmen tersebut menegaskan bahwa pembangunan
pangan sangat terkait dengan upaya pengentasan kemiskinan,
mengingat kedua hal tersebut merupakan rangkaian yang tidak dapat
terpisahkan. Pada tingkat kawasan, tantangan untuk menjadikan
kawasan ASEAN sebagai food basket merupakan komitmen yang
harus diwujudkan bersama di antara negara anggota. Tantangan
berikutnya adalah bagaimana ketahanan pangan nasional dapat
diiwujudkan di tengah-tengah persaingan global serta pertumbuhan
ekonomi dunia yang sangat rentan dengan krisis global.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dengan pasar global yang
2 - 58
semakin terbuka tentunya kondisi perekonomian sebuah negara, baik
langsung maupun tidak langsung, akan berdampak kepada kondisi
pangan global.
Sementara itu, permasalahan yang masih dihadapi di dalam
pembangunan ketahanan pangan adalah: (i) Dampak perubahan iklim
(DPI) yang berpotensi terhadap produksi pertanian, khususnya bahan
pangan. Potensi dampak yang dimaksud adalah meningkatnya
serangan Organisme Penggangu Tanaman (OPT) dan penyakit
hewan sehingga berpengaruh terhadap menurunnya produktivitas dan
kualitas hasil panen; (ii) Terbatasnya infrastruktur lahan dan air
menyebabkan upaya peningkatan produksi pangan melalui
ekstensifikasi/perluasan
lahan
sulit
untuk
dilaksanakan.
Permasalahan tersebut juga disebabkan oleh semakin terbatasnya
ketersediaan air akibat dampak perubahan iklim maupun kerusakan
pada sumber-sumber air yang ada seperti adanya deforestasi.
Sementara pada sisi lain, pembangunan waduk/embung/situ sebagai
sumber air irigasi masih menghadapi permasalahan pembebasan
tanah dan permasalahan sosial; (iii) Pemanfaatan pupuk kimiawi
yang berlebihan menyebabkan ketergantungan petani terhadap jenis
pupuk tersebut sangat besar, sementara di sisi lain lahan menjadi
jenuh dan peningkatan produktivitasnya semakin melambat. Dalam
kerangka makro ekonomi, penggunaan pupuk kimiawi secara
berlebihan dapat berdampak terhadap peningkatan beban Pemerintah
di dalam menyediakan anggaran subsidi pupuk; (iv) Lemahnya
diseminasi teknologi dan pemanfaatan teknologi masih menyebabkan
upaya peningkatan produksi pertanian menjadi lambat. Hal ini perlu
diperhatikan, mengingat banyaknya teknologi dan inovasi yang telah
dikembangkan pada berbagai lembaga penelitian dan pengembangan.
Namun demikian, pada sisi lain masyarakat/petani belum
memanfaatkan teknologi tersebut karena akses yang kurang; (v)
Terbatasnya pembiayaan pertanian yang mudah diakses oleh
petani/peternak. Kondisi ini menyebabkan akses petani/peternak
untuk mendapatkan sumberdaya produktif terhambat dan berdampak
2 - 59
kepada terhambatnya peningkatan produktivitas dan produksi bahan
pangan; dan (vi) Kelembagaan penyuluhan pertanian yang belum
efektif sehingga berdampak kepada sulitnya proses transfer dan
adopsi teknologi oleh petani. Kelembagaan tersebut tidak hanya
sebatas kepada jumlah penyuluh di lapangan yang terbatas, namun
lebih luas termasuk di dalamnya sistem dan lembaga yang menaungi
penyuluhan di daerah yang masih belum optimal.
Permasalahan selanjutnya adalah: (vii) stabilitas harga pangan
yang semakin rentan terhadap kondisi ketersediaan dan kebutuhan
pasar. Rentannya harga pangan tentu berpotensi menimbulkan tradeoff bagi pendapatan petani dan akses pangan masyarakat.
Peningkatan harga dapat berpengaruh terhadap berkurangnya akses
masyarakat selaku konsumen terhadap pangan tersebut dan pada sisi
lain pendapatan petani selaku produsen berpotensi untuk
ditingkatkan. Sementara pada kondisi sebaliknya ketika harga turun
dapat berperan sebagai disinsentif bagi petani dalam berusahatani,
namun pada sisi lain dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap
bahan pangan tersebut; (viii) tingginya konsumsi pangan bersumber
padi-padian dan rendahnya konsumsi pangan beragam. Upaya
Pemerintah di dalam mendorong penganekaragaman konsumsi
pangan sebagaimana diamanatkan di dalam Pepres Nomor 29 Tahun
2009 tentang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan yang
Berbasis Sumber Daya Lokal masih menghadapi tantangan
mengingat perubahan pola konsumsi masyarakat (demand
management) membutuhkan proses dan waktu yang cukup panjang.
Lebih lanjut, sistem mutu dan penanggulangan masalah keamanan
pangan; termasuk penanggulangan penyakit zoonosis, higienisasi,
dan penggunaan bahan berbahaya dalam produk pangan masih harus
ditingkatkan dan menjadi perhatian bersama ke depan. Terkait
penyediaan ikan untuk konsumsi masyarakat, kurang memadainya
kondisi sarana dan prasarana pemasaran produk perikanan dalam
negeri, rendahnya kesadaran masyarakat terhadap nilai kandungan
2 - 60
gizi ikan, dan rendahnya jaminan keamanan produk perikanan
menyebabkan masih rendahnya tingkat konsumsi ikan.
Terkait dengan kelembagaan di daerah, peran Pemerintah
Derah di dalam pembangunan pangan dinilai masih belum optimal,
sehingga permasalahan pangan yang terjadi masih dianggap hanya
menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. Namun demikian,
otonomi daerah telah memberikan kewenangan bagi Pemerintah
Daerah untuk dapat melakukan langkah-langkah yang diperlukan di
dalam penanganan permasalahan pangan di wilayahnya. Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota telah menempatkan pangan
sebagai urusan wajib bagi Pemerintah Daerah.
2.5.2. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASILHASIL YANG DICAPAI
Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional 2010-2014 telah digariskan bahwa untuk mencapai
ketahanan pangan nasional terdapat enam (6) substansi yang harus
diperhatikan. Keenam substansi yang dimaksud adalah: (i) Lahan,
Pengembangan Kawasan dan Tata Ruang Pertanian, yang mencakup
penataan regulasi untuk menjamin kepastian hukum atas lahan
pertanian, pengembangan areal pertanian baru seluas 2 juta hektar,
dan penertiban serta optimalisasi penggunaan lahan terlantar; (ii)
Infrastruktur, yang mencakup pembangunan dan pemeliharaan
sarana transportasi dan angkutan, pengairan, jaringan listrik, serta
teknologi komunikasi dan sistem informasi nasional yang melayani
daerah-daerah sentra produksi pertanian demi peningkatan kuantitas
dan kualitas produksi serta kemampuan pemasarannya; (iii)
Penelitian dan Pengembangan, yang mencakup peningkatan upaya
2 - 61
penelitian dan pengembangan bidang pertanian yang mampu
menciptakan benih unggul dan hasil penelitian lainnya menuju
kualitas dan produktivitas hasil pertanian nasional yang tinggi.
Substansi selanjutnya adalah: (iv) Investasi, Pembiayaan, dan
Subsidi, yang mencakup dorongan untuk investasi pangan, pertanian,
dan industri perdesaan berbasis produk lokal oleh pelaku usaha dan
pemerintah, penyediaan pembiayaan yang terjangkau, serta sistem
subsidi yang menjamin ketersediaan benih varietas unggul yang
teruji, pupuk, teknologi dan sarana pasca panen yang sesuai secara
tepat waktu, tepat jumlah, dan terjangkau; (v) Pangan dan Gizi, yang
mencakup peningkatan kualitas gizi dan keanekaragaman pangan
melalui pola pangan harapan; serta (vi) Adaptasi Perubahan Iklim
yang mencakup pengambilan langkah-langkah konkrit terkait
adaptasi dan antisipasi sistem pangan dan pertanian terhadap
perubahan iklim.
Sebagai penjabaran dari kebijakan jangka menengah tersebut
di atas, maka langkah-langkah yang telah dilaksanakan adalah: (i)
penyediaan dan peningkatan infrastruktur melalui optimalisasi dan
perluasan lahan, jaringan irigasi, jalan usahatani dan jalan desa.
Penyediaan lahan tersebut termasuk di dalamnya pemanfaatan tanah
terlantar sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 11
Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar;
(ii) penelitian dan pengembangan dalam menghasilkan inovasi dan
teknologi unggul; (iii) penguatan modal usaha petani di dalam
meningkatkan produktivitas dan posisi tawar terhadap pelaku usaha
lain; (iv) penguatan lembaga penyuluhan; (v) pemberdayaan petani
melalui penguatan Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat
(LM3) dan Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP).
Selanjutnya, Pemerintah telah melakukan langkah: (vi)
peningkatan konektivitas antar daerah dalam meningkatkan dan
memperlancar distribusi pangan. Demikian pula, Pemerintah telah
memperkuat infrastruktur transportasi seperti jalan, pelabuhan,
2 - 62
armada angkutan; (vii) penanganan daerah rawan pangan dan
pengembangan lumbung pangan; serta (viii) penganekaragaman
konsumsi pangan melalui pendidikan dan sosialisasi/kampanye.
Berbagai langkah tersebut di atas telah mampu meningkatkan
kondisi ketersediaan, distribusi dan aksesibilitas, serta konsumsi
pangan secara nasional. Produksi bahan pangan utama pada tahun
2010 dan 2011 terus menunjukkan peningkatan, kecuali pada bahan
pangan tertentu seperti jagung dan kedelai. Padi sebagai bahan
pangan terbesar di Indonesia, tercatat terus meningkat dalam lima
tahun terakhir. Pada tahun 2010 sendiri, produksi padi nasional
mencapai 66,47 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) atau dengan
tingkat konversi 60 persen maka diperkirakan mampu menyediakan
beras secara nasional sebesar 39,88 juta ton. Sementara pada tahun
berikutnya produksi padi nasional diperkirakan mampu mencapai
68,06 juta ton GKG atau sekitar 40,84 juta ton beras. Kondisi ini
tentunya sangat baik untuk mendukung pemenuhan kebutuhan beras
nasional mengingat penduduk Indonesia yang dalam sepuluh tahun
terakhir (2000-2010) ini meningkat 15,21 persen. Dengan jumlah
penduduk sekitar 237,64 juta penduduk pada tahun 2010 dan dengan
tingkat konsumsi 131 kg per kapita, maka jumlah kebutuhan
konsumsi beras nasional adalah 31,13 juta ton.
Peningkatan produksi padi tersebut lebih didorong oleh
peningkatan luasan panen yang antara lain didukung oleh jaringan
irigasi yang baik. Pada tahun 2010 telah dilakukan
pembangunan/peningkatan 115 ribu ha dan rehabilitasi 293 ribu ha
jaringan irigasi. Sementara produktivitas padi, meskipun terus
meningkat namun pertambahannya terus menurun. Kondisi ini perlu
mendapatkan perhatian mengingat penurunan pertambahan
produktivitas berpotensi menurunkan produksi dalam beberapa tahun
ke depan apabila tidak diiringi dengan pertambahan luasan panen.
Sementara itu, pada tahun 2010 produksi jagung meningkat
menjadi sekitar 18,33 juta ton dibandingkan tahun 2009 atau sekitar
2 - 63
17,63 juta ton. Sedikit berbeda dengan padi, pertumbuhan positif
jagung tersebut lebih didorong oleh peningkatan produktivitas
jagung dibandingkan luasan panennya. Demikian pula untuk
produksi jagung pada tahun 2011 yang diperkirakan turun menjadi
17,39 juta ton lebih disebabkan penurunan luasan panen yang
mencapai 5,71 persen, sementara pada sisi lain produktivitas mampu
ditingkatkan meskipun hanya 0,63 persen. Penurunan produksi juga
terjadi pada bahan pangan kedelai, dimana pada tahun 2010
mencapai 907 ribu ton dan diperkirakan turun kembali pada tahun
2011 menjadi sekitar 819 ribu ton. Penurunan tersebut juga
dipengaruhi oleh menurunnya luasan panen kedelai.
Kondisi penurunan luasan panen, baik pada jagung maupun
kedelai, diperkirakan sebagai dampak dari preferensi petani di dalam
memilih usahatani padi dibandingkan kedua jenis komoditas
tersebut. Kondisi ini dipahami sebagai pilihan ekonomi yang secara
logis mendorong petani lebih mengusahakan padi ketika harga gabah
dan beras cukup menarik dibandingkan keduanya. Sementara pada
sisi lain, dengan luasan lahan yang relatif sama, dengan upaya
Pemerintah di dalam menambah ketersediaan beras nasional
diperkirakan mempengaruhi kondisi pelaksanaan di lapangan yang
lebih memprioritaskan usahatani padi dibandingkan komoditas
pangan lainnya.
Selanjutnya untuk gula, pada tahun 2010 jumlah produksi
nasionalnya diperkirakan turun menjadi 2,39 juta ton dibandingkan
tahun sebelumnya. Meskipun demikian, pada tahun berikutnya
(2011) diperkirakan jumlah produksinya akan kembali meningkat
menjadi 2,70 juta ton. Sementara itu, sebagai salah satu sumber
pangan hewani, daging sapi nasional masih mengalami kerentanan di
dalam hal produksinya. Apabila pada tahun 2010 produksi daging
nasional hanya mampu mencapai 390 ribu ton atau turun
dibandingkan pada tahun 2009, maka pada tahun berikutnya (2011)
tingkat produksinya justru menunjukkan peningkatan kembali
2 - 64
menjadi 417 ribu ton. Peningkatan produksi daging ini diperkirakan
merupakan dampak dari upaya Pemerintah di dalam mendorong
produksi daging sapi nasional di dalam kerangka Program
Pencapaian Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK). Upaya
untuk penyelamatan sapi betina produktif serta peningkatan benih
dan bibit ternak merupakan langkah utama di dalam mendorong
produksi daging sapi nasional.
Selanjutnya, sebagai salah satu sumber protein hewani, pada
tahun 2010 produksi perikanan mengalami peningkatan sebesar 10,6
persen dari tahun sebelumnya, yaitu dari 9,82 juta ton pada tahun
2009 menjadi 10,86 juta ton pada tahun 2010. Peningkatan tersebut
didukung oleh peningkatan produksi perikanan budidaya, terutama
pada beberapa komoditas penting, diantaranya yaitu rumput laut,
udang, nila dan patin. Pada tahun 2011, produksi perikanan
diperkirakan mencapai 12,26 juta ton.
TABEL 2.5.1.
CAPAIAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN
TAHUN 2009-2011
Tahun
No.
Sasaran
2009
2010
Ketersediaan
1.
Produksi Padi (juta ton GKG)
2.
Produksi jagung (juta ton)
3.
Produksi Kedelai (juta ton)
4.
Produksi Gula (juta ton hablur)
5.
Produksi daging sapi (ribu ton)
6.
Produksi Perikanan (juta ton)
Distribusi dan Aksesibilitas
7.
Stabilitas Harga Pangan
8.
Aksesibilitas Masyarakat terhadap
Pangan
2011*)
64,40
17,63
0,98
2,62
405
9,82
66,47
18,33
0,907
2,39
390
10,83
68,06
17,39
0,819
3,87
439
12,26
Stabil
Stabil
Stabil
Stabil
Stabil
Stabil
2 - 65
9.
Penyaluran Raskin (juta ton beras)
Konsumsi
10. Kualitas Konsumsi Pangan
Masyarakat (Skor PPH)
PDB dan NTP/NTN
11. Pertumbuhan PDB Pertanian
(persen)
12. Nilai Tukar Petani (indeks)
13. Nilai Tukar Nelayan (indeks)
3,26
2,93
3,15
78,8
80,6
88,1
4,1
2,9
3,7
99,85
105,3
104,79
105,5
> 105
107
Sumber
: BPS, beberapa tahun penerbitan
Keterangan : *) Target RKP 2011 kecuali padi, jagung, kedelai (ARAM II BPS)
Selanjutnya, aspek distribusi dan aksesibilitas pangan dapat
ditunjukkan dengan kondisi perkembangan harga bahan pangan pada
tingkat konsumen. Dengan tingkat harga yang relatif stabil, maka
dapat menggambarkan kondisi distribusi pangan yang relatif lancar,
baik antar waktu maupun antar lokasi dan daerah. Terlebih dengan
dukungan infrastruktur transportasi dan sistem informasi yang
semakin baik, maka distribusi pangan lebih mengarah kepada
mekanisme pasar sempurna. Kondisi inilah yang diharapkan
Pemerintah dimana bahan pangan dapat bergerak dari daerah surplus
ke daerah kurang berdasarkan mekanisme pasar yang ada. Peran
Pemerintah muncul ketika terjadi distorsi pasar, di antaranya
kelangkaan dan kenaikan harga pangan yang cukup besar.
Sepanjang tahun 2010 dan semester pertama tahun 2011, harga
beras nasional bergerak cukup stabil dengan kecenderungan
meningkat. Pada tahun 2010, harga rata-rata beras umum dan
termurah di tingkat konsumen masing-masing mencapai Rp8.017,dan Rp6.430,- per kg. Memasuki tahun 2011, harga beras dalam
negeri masih relatif stabil meskipun pada awal tahun sempat
menyentuh harga Rp9.000,- per kg untuk jenis beras umum. Namun
demikian, capaian positif yang dapat dilaporkan adalah
perkembangan harga beras dalam negeri relatif tidak terpengaruh
dengan perkembangan harga beras internasional, dimana dalam
2 - 66
periode 2010—2011 harga beras internasional berada pada kisaran
Rp5.000,- sampai dengan Rp6.000,- per kg untuk jenis beras Thai.
Kondisi ini merupakan dampak kebijakan Pemerintah yang lebih
mengutamakan produksi dalam negeri daripada impor.
Melihat tingginya kebutuhan masyarakat terhadap beras dan
untuk menjamin ketersediaan beras bagi masyarakat yang kurang
mampu, maka Pemerintah telah mendistribusikan Beras untuk
Rumah Tangga Miskin (Raskin). Pada tahun 2010, telah disalurkan
Raskin sebesar 2,93 juta ton beras dan pada semester I tahun 2011
mencapai 1,57 juta ton yang dinikmati oleh 17,5 juta Rumah Tangga
Sasaran (RTS).
GAMBAR 2.5.1.
PERKEMBANGAN HARGA BERAS DALAM DAN LUAR
NEGERI TAHUN 2010-2011
Sumber : Tim Stabilisasi Harga Pangan Menko Perekonomian (beberapa
bulan, diolah)
Sementara itu, harga gula dan daging sapi juga relatif stabil
meskipun harga internasional cenderung fluktuatif. Dalam periode
2 - 67
2010—semester I 2011, harga gula dalam negeri mampu bertahan
pada kisaran Rp10 ribu per kg, sementara harga di pasar
internasional bergerak dari Rp. 7.000,- sampai dengan Rp11.000,-.
Demikian pula untuk harga daging sapi dalam negeri yang dapat
bertahan pada kisaran Rp60 ribu sampai dengan Rp70 ribu per kg.
Peningkatan harga daging sapi secara signifikan hanya terjadi pada
Bulan September 2010, dimana kebutuhan terhadap daging sapi
tersebut meningkat karena bertepatan dengan perayaan Hari Besar
Keagamaan.
Selanjutnya, tingkat konsumsi masyarakat dalam beberapa
tahun terakhir menunjukkan peningkatan, meskipun masih berada di
bawah tingkat ideal. Pada tahun 2010, tingkat konsumsi energi
masyarakat dapat mencapai 1.957 kkal per kapita/hari atau relatif
sama dengan tahun sebelumnya. Sejalan dengan hal tersebut, tingkat
konsumsi protein masyarakat pada tahun 2010 mencapai 59,98 gram
perkapita/hari dimana salah satunya didukung dengan peningkatan
konsumsi ikan yang mencapai 30,47 kg/kapita/tahun.
Indikator selanjutnya sebagai gambaran tingkat konsumsi
masyarakat adalah pencapaian skor Pola Pangan Harapan (PPH)
dimana pada tahun 2010 telah mencapai skor 80,6 atau meningkat
dibandingkan tahun sebelumnya. Dari capaian skor tersebut, dapat
digambarkan bahwa tingkat konsumsi beras masyarakat masih lebih
tinggi dibandingkan tingkat ideal (50,0 persen) yaitu 60,9 persen.
Meskipun demikian, dengan trend konsumsi beras yang terus
menurun, maka dapat menunjukkan upaya Pemerintah di dalam
mengurangi ketergantungan terhadap beras telah menuju ke arah
yang benar.
Dalam rangka mendukung pertumbuhan sektor pertanian
secara luas, maka Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian,
perikanan, dan kehutanan pada tahun 2010 dapat tumbuh 2,9 persen
dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut sangat
didorong dengan peningkatan sub sektor peternakan dan subsektor
2 - 68
perikanan yang dapat tumbuh masing-masing 4,1 persen dan 5,9
persen. Sementara itu, dalam mendukung lapangan kerja nasional,
maka sektor pertanian telah mampu menyerap sekitar 41,49 juta
tenaga kerja atau sekitar 38,34 persen dari tenaga kerja nasional
secara keseluruhan.
Sebagai pelaku utama dalam pembangunan pertanian maka
kesejahteraan petani dan nelayan tentu menjadi salah satu tujuan
akhir dari pembangunan ketahanan pangan, yaitu meningkatnya
kesejahteraan petani dan nelayan. Salah satu indikator yang
mendukung hal tersebut adalah peningkatan Nilai Tukar Petani
(NTP) dan Nilai Tukar Nelayan (NTN) dimana pada tahun 2010
indeks keduanya masing-masing mencapai 104,79 dan 105,5 indeks
tersebut menunjukkan bahwa nilai produk yang diperoleh petani
lebih besar dibandingkan nilai biaya dari kebutuhan hidupnya.
Sementara itu pada tahun 2011, NTP dan NTN diperkirakan
meningkat masing-masing menjadi 104,5 dan 107.
Untuk sektor industri, hasil-hasil yang dicapai dalam
mendukung Ketahanan Pangan meliputi revitalisasi industri pupuk
dan industri gula. Dalam rangka revitalisasi industri pupuk,
dilaksanakan berbagai fasilitasi oleh pemerintah antara lain: untuk
pembangunan pabrik urea Kaltim-5, Natural Gas Supply Agreement
(NGSPA) telah ditanda tangani antara PT. Pupuk kaltim dengan
KKKS Eastkal untuk jangka waktu 10 tahun (2012-2021) serta
kontrak pembangunan pabrik urea kapasitas 1,1 juta ton/tahun antara
PT. Pupuk Kaltim dengan Konsorsium IKPT dan Toyo Engineering
Corporation (TEC) pada tanggal 20 Juni 2011; telah ditandatangani
MoA terkait alokasi pasokan gas bumi untuk pembangunan pabrik
urea II PT. Petrokimia Gresik dari lapangan gas Cepu sebanyak 85
MMSCFD; telah ditandatangani Joint Venture Company antara PT.
Petrokimia Gresik (Indonesia) dengan Jordan Phosphate Mines
Company (JPMC) dari Jordan untuk membangun pabrik Phosphoric
Acid (PA) di Gresik Jatim dengan kapasitas produksi 200.000
2 - 69
ton/tahun, pabrik diharapkan dapat beroperasi pada tahun 2013; telah
ditandatangani MoU antara PT. Pusri (Persero) dengan Jordan
Phosphate Mines Company (JPMC) tentang pembangunan pabrik
pupuk NPK di Indonesia dengan kapasitas 200.000 – 300.000
ton/tahun dan penyediaan bahan baku phosphate dipasok oleh JPMC.
Sedangkan dalam rangka Revitalisasi Industri Gula telah diberikan
bantuan keringanan pembelian mesin/peralatan kepada 47 PG yang
melakukan investasi dalam rangka peningkatan kapasitas produksi,
efisiensi dan mutu gula; bantuan langsung mesin/peralatan kepada
Pabrik Gula (PG) Semboro, PG Jatiroto dan PG Meritjanantara; telah
diberikan bantuan kepada PT. Barata Indonesia dan PT. Boma Bisma
Indra dalam bentuk peralatan foundry, peralatan las, CNC Cutting
Machine, Deep Drill System, Electric Arc Furnace Heavy Duty, dll.
Penelitian dan pengembangan untuk mendukung ketahanan
pangan nasional telah berhasil menemukan varietas unggul padi
Pandan Putri (2010) dan Inpari Sidenuk (2011), varietas unggul
kedelai Mutiara 1 (2010) dan varietas sorgum Pahat (2011). Hasil
litbang ini telah didesiminasikan kepada masyarakat bekerjasama
dengan pemerintah daerah dalam program ATP (Agro Techno Park)
di 5 kawasan yakni Palembang, Cianjur, Jembrana, Limapuluh Kota
dan Jepara. Di samping itu, LIPI dalam rangka mengembangkan
benih unggul telah berhasil menemukan lebih dari 2000 galur mutan
stabil padi yang siap diuji kemampuan adaptasinya terhadap
perubahan iklim, tahan hama penyakit dan atau cekaman lingkungan.
Produk pupuk Beyonic-LIPI, a.l Seri BioPoska, Kompenit@, Biomat,
Kedelai Plus, Biorhizin, BioVam, Biosmik, StarTmik, Azofor dan
Katalek yang dibuat dari mikroba Indonesia terpilih dan mampu
memperbaiki kondisi lahan pertanian, menghilangkan hama
penyakit, mengurai polutan, menstabilkan pH tanah, menyediakan
kekurangan nitrogen, fosfat, mineral, zat faktor tumbuh dan
menurunkan laju emisi gas rumah kaca dari lahan pertanian. Uji
lapangan di di Malinau-Kalimantan Timur, Gunung KidulYogyakarta, dan Cicurug-Jawa Barat sedang berlangsung.
2 - 70
2.5.3. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN
Pada tahun 2012, pembangunan ketahanan pangan akan
diarahkan untuk tetap menjaga swasembada beras serta menuju
tercapainya swasembada pangan lainnya. Untuk mencapai sasaran
utama tersebut maka produksi padi nasional diharapkan dapat
mencapai 74,14 juta ton GKG, jagung 24,0 juta ton, kedelai 1,9 juta
ton, daging sapi 471 ribu ton karkas, dan gula 4,39 juta ton.
Sementara itu, PDB sektor pertanian secara luas pada tahun tersebut
dapat tumbuh sebesar 3,2 persen, dengan indeks NTP dan NTN
masing-masing berkisar antara 105-110 dan 110.
Dalam rangka meningkatkan pembangunan ketahanan pangan
dan sektor pertanian secara umum, maka Pemerintah sebagai
pemegang
fungsi
regulasi
telah
merumuskan
berbagai
program/kegiatan yang dapat mendukung sasaran pembangunan
tersebut di atas. Untuk itu, program pembangunan diarahkan untuk
dapat menjamin ketersediaan dan konsumsi pangan dalam jumlah
yang cukup, beragam, aman, bergizi seimbang dan berkelanjutan,
baik di tingkat nasional, daerah, maupun rumah tangga. serta
memenuhi kebutuhan industri melalui upaya peningkatan perluasan
areal tanaman dan atau indeks pertanaman, serta peningkatan
produktivitas.
Selanjutnya, program pembangunan juga diarahkan untuk
meningkatkan pertumbuhan PDB, meningkatkan kemampuan dan
keterampilan petani, perlindungan dari dampak perdagangan global
yang tidak adil, peningkatan daya saing produk pertanian,
peningkatan mutu produk pertanian, peningkatan efisiensi usaha tani,
peningkatan promosi, dukungan infrastruktur, serta regulasi yang
kondusif sehingga dapat mendorong pembangunan berkelanjutan.
Sejalan dengan arah pembangunan yang pro-poor, pro-job,
pro-growth, dan pro-environment, dengan sekitar 40 persen angkatan
kerja di sektor pertanian, maka pembangunan ketahanan pangan dan
revitalisasi pertanian juga dilakukan dengan pendekatan kawasan,
2 - 71
dimana fokus kegiatan sesuai keunggulan komparatif dengan
mensinergiskan seluruh sumberdaya yang dimiliki, mengembangkan
pola-pola integrasi tanaman dengan ternak, dan memperkuat
kelembagaan petani.
Pada tataran operasional, Pemerintah akan tetap berupaya: (i)
meningkatan akses petani terhadap input produksi, diantaranya
melalui penyediaan subsidi dan bantuan input produksi komoditas
pangan dan pertanian; (ii) meminimalisasi alih fungsi lahan
pertanian, khususnya sawah, serta melakukan optimalisasi lahan
yang ada; (iii) mengurangi susut pasca panen yang mengakibatkan
berkurangnya produksi pertanian; (iv) meningkatkan jumlah
produksi pangan hewani melalui intensifikasi kawin suntik,
perbaikan penanganan pakan bagi ternak, perbaikan penanganan
penyakit hewan, intensifikasi dan ekstensifikasi usaha perikanan,
diantaranya memanfaatan lahan tidur dan kawasan minapolitan; (v)
membangun dan merehabilitasi jaringan irigasi, sarana dan prasana
pertanian di tingkat desa dan usaha tani, termasuk di dalamnya
sarana prasarana distribusi yang selama ini menjadi permasalahan
utama di perdesaan; (vi) penyediaan prasarana dan fasilitasi
penyuluhan pertanian, termasuk di dalamnya dukungan teknologi
dan diseminasi hasil-hasil penelitian kepada petani, serta penyediaan
informasi yang diperlukan; (vii) meningkatkan akses petani terhadap
sumber pembiayaan melalui pemberdayaan dan penguatan
kelembagaan petani; dan (viii) mengoptimalkan pelaksanaan
Peraturan Pemerintah No. 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar untuk mendukung ketahanan
pangan.
Sementara itu, dalam rangka meningkatkan distribusi dan
aksesibilitas masyarakat terhadap pangan, maka langkah-langkah
yang akan diambil adalah: (i) meningkatkan efisiensi distribusi dan
logistik pangan dalam perdagangan dan mengurangi kerusakan
bahan pangan; (ii) stabilisasi harga pangan dalam negeri melalui
2 - 72
peningkatan jumlah cadangan pangan pemerintah, pemerintah
daerah, dan masyarakat pada tingkat yang dinilai aman; (iii)
mengembangkan kebijakan perdagangan dan ekspor-impor untuk
mendukung ketahanan pangan; (iv) melanjutkan penyediaan dan
penyaluran bahan pangan bersubsidi untuk keluarga miskin; (v)
peningkatan pencegahan dan penanganan keadaan rawan pangan dan
gizi karena keterbatasan akses, akibat adanya bencana alam dan
bencana sosial;serta (vi) penguatan kelembagaan ketahanan pangan
dan gizi, baik di pusat maupun daerah, termasuk di dalamnya
regulasi yang mendukung peningkatan ketahanan pangan.
Selanjutnya, terkait dengan penganekaragaman konsumsi
pangan, maka Pemerintah akan tetap mendorong pergeseran pola
konsumsi masyarakat kepada pangan beragam sebagaimana
diamanatkan di dalam Perpres Nomor 22 Tahun 2009. Upaya
tersebut sejalan dengan langkah Pemerintah di dalam meningkatkan
penyediaan pangan beragam melalui pengembangan pengolahan
pangan, serta perbaikan mutu dan penguatan keamanan pangan
melalui pengembangan sistem mutu, kehalalan, dan keamanan
pangan, termasuk pengendalian risiko penyakit zoonosis yang telah
ditetapkan di dalam Inpres Nomor 30 Tahun 2011.
2.6
PRIORITAS NASIONAL 6: INFRASTRUKTUR
Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJMN) 2010 – 2014, program aksi bidang infrastruktur adalah: (1)
konsolidasi kebijakan penanganan dan pemanfaatan tanah untuk
kepentingan umum secara menyeluruh di bawah satu atap dan
pengelolaan tata ruang secara terpadu; (2) penyelesaian
pembangunan Lintas Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi,
Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Papua sepanjang
total 19.370 km pada tahun 2014; (3) pembangunan jaringan
prasarana dan penyediaan sarana transportasi antar-moda dan antar2 - 73
pulau yang terintegrasi sesuai dengan Sistem Transportasi Nasional
dan Cetak Biru Transportasi Multimoda; (4) penurunan tingkat
kecelakaan transportasi sehingga pada tahun 2014 lebih kecil dari
50% keadaan saat ini; (5) perbaikan sistem transportasi di 4 kota
besar (Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan) sesuai dengan Cetak
Biru Transportasi Perkotaan, termasuk penyelesaian pembangunan
angkutan kereta listrik di Jakarta (MRT dan Monorail) selambatlambatnya tahun 2014; (6) pembangunan 685.000 Rumah Sederhana
Sehat Bersubsidi, 180 Rusunami dan 650 twin blok berikut fasilitas
pendukung kawasan permukiman yang dapat menampung 836.000
keluarga yang kurang mampu pada tahun 2012; (7) penyelesaian
pembangunan prasarana pengendalian banjir diantaranya Banjir
Kanal Timur Jakarta sebelum tahun 2012 dan penanganan secara
terpadu Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo sebelum tahun 2013;
(8) penuntasan pembangunan jaringan serat optik di Indonesia bagian
timur sebelum tahun 2013 dan maksimalisasi tersedianya akses
komunikasi data dan suara bagi seluruh rakyat.
2.6.1. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Permasalahan utama di bidang tanah dan tata ruang adalah: (1)
Belum tersedianya peraturan terkait dengan pengumpulan data
geospasial, pengolahan data dan informasi geospasial, penyimpanan
dan pengamanan data dan informasi geospasial, penyebarluasan data
dan informasi geospasial dan penggunaan informasi geospasial; (2)
Belum tersedianya data dan informasi geospasial dasar dalam
berbagai resolusi dan berbagai skala yang mencakup seluruh wilayah
darat dan dirgantara serta sebagian wilayah laut nasional; (3) Belum
tersedianya secara optimal simpul jaringan data dan informasi
geospasial menyebabkan standarisasi data spasial menemui berbagai
kendala.
Permasalahan utama di bidang jalan, perhubungan dan
transportasi perkotaan adalah: (1) kelebihan beban kendaraan
(overloading vehicles), terutama di lintas timur Sumatera, pantai
2 - 74
utara Jawa, dan lintas selatan Kalimantan, masih terjadi di lapangan
sehingga meningkatkan biaya pemeliharaan jalan; (2) permasalahan
pembebasan lahan juga masih menjadi hambatan dalam penyelesaian
beberapa proyek jalan seperti pembangunan jalan tol di Sumatera
dan Trans Jawa; (3) Kondisi kualitas dan kuantitas sarana dan
pelayanan angkutan umum khususnya di kawasan perkotaan yang
masih terbatas dan belum optimal; (4) Tingginya jumlah dan fatalitas
kecelakaan akibat kurangnya disiplin pengguna jalan, rendahnya
tingkat kelaikan armada, rambu dan fasilitas keselamatan di jalan,
law enforcement peraturan lalu lintas dan pendidikan berlalu lintas;
(5) Belum terpadunya pembangunan akses prasarana jalan dengan
prasarana pelabuhan penyeberangan, pelabuhan laut, bandara, dan
kereta api yang dapat mendukung terwujudnya pelayanan jaringan
transportasi multimoda maupun antar moda Pembangunan prasarana
dan sarana transportasi yang meliputi pelabuhan laut dan
penyeberangan, kereta api, serta bandara; (6) Masih belum
terpenuhinya kebutuhan untuk pengadaan/pembangunan sarana
transportasi ynag meliputi bus perintis, kapal penumpang/perintis,
armada pesawat perintis termasuk biaya subsidi operasinya dalam
rangka peningkatan kelancaran distribusi di suatu wilayah; (7) Proses
penyediaan/pengadaan lahan yang membutuhkan waktu yang lama;
(8) Insentif pajak yang masih kurang bagi pemberdayaan industri
pelayaran dan industri perkapalan nasional.
Permasalahan yang dihadapi oleh bidang perumahan rakyat
adalah aksesibilitas dan jangkauan pelayanan terhadap perumahan
beserta sarana dan prasarananya yang belum memadai. Upaya
pencapaian Millenium Development Goals pada tahun 2015 masih
perlu ditingkatkan untuk mengurangi separuh penduduk yang belum
memiliki akses terhadap sumber air minum layak dan fasilitas
sanitasi dasar layak serta pengurangan separuh penduduk miskin
yang menghuni permukiman kumuh. Permasalahan lain yang
dihadapi dalam pembangunan perumahan dan permukiman
khususnya dalam pembangunan rusunawa dan Tempat Pemrosesan
2 - 75
Akhir (TPA) adalah terkait dengan kesiapan lahan termasuk aspek
legalitas lahan yang harus disiapkan oleh pemerintah daerah.
kelembagaan penyelenggaraan pembangunan perumahan dan
permukiman belum mantap, dan efisiensi pembangunan perumahan
masih rendah. Selain itu, belum mantapnya kelembagaan
penyelenggaraan pembangunan perumahan dan permukiman dan
efisiensi pembangunan perumahan yang masih rendah juga menjadi
permasalahan yang menghambat pencapaian kinerja.
Pengembangan dan pengelolaan sumber daya air dalam
RPJMN 2010-2014 ditujukan untuk mendukung sasaran prioritas
nasional infrastruktur dalam hal pengendalian banjir dan
pengurangan dampak kerusakan akibat banjir, abrasi dan erosi
pantai, lahar sedimen pada wilayah permukiman, pusat
perekonomian, dan industri. Dalam mewujudkan dukungan tersebut,
pengembangan dan pengelolaan sumber daya air masih terkendala
pada permasalahan dan tantangan pokok sebagai berikut: (1) masih
minimnya infrastruktur pengendali banjir seiring dengan semakin
meningkatnya kondisi kerawanan banjir, abrasi dan erosi pantai,
serta lahar sedimen di pusat pertumbuhan ekonomi, perkotaan,
industri, dan kawasan permukiman; dan (2) terhambatnya
penyelesaian pembangunan infrastruktur pengendali banjir akibat
kendala pembebasan lahan dan permasalahan sosial seperti pada
penyelesaian Kanal Banjir Timur (KBT) Jakarta dan waduk
pengendali banjir di DAS Bengawan Solo.
Pertumbuhan pembangunan akses telekomunikasi Indonesia
sangat mengesankan dengan tingkat penetrasi total pada tahun 2009
mencapai 86,1 persen atau tumbuh lebih dari tiga kali lipat
dibandingkan dengan tahun 2005. Pada tahun 2009, tingkat penetrasi
seluler Indonesia (71,0 persen) bahkan sudah melebihi rata-rata
dunia (68,3 persen). Di sisi lain, ketimpangan penyediaan
infrastruktur komunikasi dan informatika masih menjadi masalah.
Pada tahun 2009, lebih dari 80 persen infrastruktur akses terdapat di
2 - 76
wilayah barat Indonesia dan baru dua persen desa blank spot yang
menjadi target program Universal Service Obligation (USO)
memiliki akses internet. Selain itu, tingkat penetrasi broadband
nasional masih sangat terbatas yaitu kurang dari dua persen dan jauh
tertinggal dari rata-rata dunia (7,0 persen), padahal broadband
merupakan infrastruktur komunikasi dan informatika masa depan
yang menjadi salah satu pilar pendukung pertumbuhan ekonomi dan
daya saing nasional. Kenaikan sepuluh persen tingkat penetrasi
broadband diyakini akan memicu pertumbuhan ekonomi sebesar
1,38 persen di negara berkembang.
2.6.2. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN
HASIL YANG DICAPAI
DAN
HASIL-
Langkah kebijakan dan hasil yang dicapai untuk masingmasing substansi inti program aksi bidang infrastruktur dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20102014, diuraikan sebagai berikut:
Berdasarkan berbagai permasalahan yang dihadapi, langkah
kebijakan dalam pembangunan tanah dan tata ruang adalah: (1)
Menyusun berbagai peraturan terkait dengan pengumpulan data
geospasial, pengolahan data dan informasi geospasial, penyimpanan
dan pengamanan data dan informasi geospasial, penyebarluasan data
dan informasi geospasial dan penggunaan informasi geospasial; (2)
Melanjutkan percepatan penyediaan data dan informasi geospasial
dasar rupabumi, kelautan dan dirgantara dalam berbagai skala; (3)
Mempercepat penyusunan standarisasi informasi geospasial dan
terhubung seta berfungsinya simpul jaringan data spasial pemerintah
pusat dan pemerintah daerah.
Rencana pencapaian tanah dan tata ruang sampai akhir tahun
2011 adalah: (1) UU RI Nomor 4/2011 tentang Informasi
Geospasial; (2) Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 85/2007 tentang
Jaringan Data Spasial Nasional (JDSN); (3) Peta rupabumi skala
2 - 77
1:250.000 telah selesai 100 % sebanyak 306 NLP yang mencakup
seluruh wilayah Indonesia.
Berdasarkan berbagai permasalahan yang dihadapi, langkah
kebijakan dalam pembangunan transportasi tahun 2011 adalah: (1)
peningkatan efisiensi sistem jaringan jalan di dalam sistem
transportasi yang mendukung perekonomian nasional dan sosial
masyarakat serta pengembangan wilayah melalui preservasi dan
peningkatan kapasitas jalan lintas utama beberapa pulau besar serta
pembangunan Jalan Tol Trans Jawa; (2) rehabilitasi dan
pemeliharaan
sarana
dan
prasarana
transportasi
untuk
mempertahankan dan memulihkan tingkat pelayanan jasa
transportasi; (3) penyediaan fasilitas keselamatan jalan serta
penyediaan subsidi keperintisan dan sarana keperintisan; (4)
Pembangunan dan pengembangan bandar udara strategis dan
pelabuhan-pelabuhan utama/strategis; (5) Upaya pencabutan Larang
Terbang Maskapai Nasional Indonesia di Negara Uni Eropa; serta (6)
terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 8/2011 tentang Angkutan
Multimoda.
Capaian pembangunan sarana dan prasarana transportasi
hingga tahun 2010 berdasarkan fokus prioritas nasional adalah: (1)
Penyelesaian pembangunan 17 dermaga penyeberangan baru; (2)
Penyelesaian pembangunan 9 kapal penyeberangan perintis; (3)
Penyelesaian Pembangunan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran
(SBNP) 28 Unit; (4) Penataan kawasan jalur KA pada lintas Jakarta
Kota—Tanjung Priok dan Tanjung Priok—Pasar Senen; (5)
Elektrifikasi jalur KA eksisting antara Serpong—Parungpanjang
sepanjang 11,7 km; (6) Pembangunan jalur KA termasuk jalur ganda
sepanjang 89,2 km; (7) pelaksanaan Inpres Nomor 5/2005; (8)
pengoperasian kapal type coaster sebanyak 28 unit kapal yang
melayani 61 (enam puluh satu) trayek untuk jalur perintis; (9)
lanjutan pembangunan/pengembangan pelabuhan lebih dari 100
lokasi di mana 5 (lima) pelabuhan 5 diantara dapat diselesaikan pada
2 - 78
akhir tahun 2011; (10) pemeliharaan 30.854 km jalan nasional dan
100.824 m jembatan; (11) pembangunan 33 km jalan dan 3.904 m
jembatan; (12) peningkatan kapasitas 2.047 km jalan pada lintas
timur Sumatera, pantai utara Jawa, lintas selatan Kalimantan, lintas
barat Sulawesi, dan lintas lainnya serta non lintas; (13) pembangunan
flyover/underpass sepanjang 3.766 m; serta (14) pembangunan 245
km jalan dan 1.180 m jembatan pada jalan strategis di lintas Selatan
Jawa, kawasana perbatasan, daerah terpencil dan pulau-pulau terluar.
Langkah-langkah kebijakan yang telah dilakukan dalam
rangka meningkatkan aksesibilitas dan jangkauan pelayanan
perumahan dan kawasan permukiman serta untuk mendukung
pencapaian target Millenium Development Goals yaitu: (1)
Pengembangan regulasi dan kebijakan untuk menciptakan iklim yang
kondusif serta koordinasi pelaksanaan kebijakan di tingkat Pusat dan
Daerah dalam rangka pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal
(SPM) Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman; (2)
Peningkatan pemenuhan kebutuhan rumah layak huni yang didukung
dengan prasarana, sarana dan utilitas (PSU) serta kepastian
bermukim bagi masyarakat berpenghasilan menengah-bawah,
melalui: (a) Pembangunan rumah layak huni melalui pasar formal
maupun secara swadaya masyarakat baik untuk pembangunan baru
maupun peningkatan kualitas, (b) Pembangunan rumah susun (rusun)
baik sewa maupun milik, (c) Penyediaan PSU perumahan dan
kawasan permukiman yang memadai untuk pengembangan kawasan
perumahan dan permukiman serta PSU perumahan swadaya, (d)
Penataan lingkungan perumahan dan permukiman kumuh, (e)
Pembangunan rumah khusus, (f) Fasilitasi pra-sertipikasi dan
pendampingan pasca sertipikasi tanah bagi MBR; (3) Pengembangan
sistem pembiayaan perumahan dan kawasan permukiman bagi MBR
melalui: (a) Pemberian kemudahan dan pengembangan bantuan
pembiayaan perumahan melalui dukungan Fasilitas Likuiditas
Pembiayaan Perumahan (FLPP), (b) Peningkatan pengerahan dan
pemupukan dana, baik dana masyarakat, dana tabungan perumahan
2 - 79
maupun dana lainnya sesuai peraturan perundang-undangan, dan (c)
Peningkatan pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan untuk
pembangunan perumahan dan kawasan permukiman; (4)
Peningkatan pendayagunaan sumberdaya pembangunan perumahan
dan kawasan permukiman serta pengembangan dan pemanfaatan
hasil-hasil penelitian dan pengembangan teknologi maupun sumber
daya dan kearifan lokal; (5) Peningkatan sinergi pusat-daerah dan
pemberdayaan pemangku kepentingan lainnya dalam pembangunan
perumahan dan kawasan permukiman; (6) peningkatan kualitas
lingkungan permukiman untuk mewujudkan terciptanya lingkungan
permukiman yang sehat, harmonis, dan berkelanjutan baik melalui
peningkatan kualitas lingkungan perumahan perkotaan maupun
penanggulangan kemiskinan (PNPM) di perkotaan dan perdesaan;
(7)
peningkatan
kapasitas
kelembagaan
penyelenggaraan
pembangunan perumahan melalui pembinaan teknis, pengembangan
kebijakan dan strategi, dan peningkatan pengendalian, koordinasi
dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan; (8) peningkatan cakupan
pelayanan prasarana dan sarana dasar permukiman yang layak sesuai
standar pelayanan minimum untuk meningkatkan cakupan pelayanan
air minum, air limbah, persampahan, dan drainase baik yang
diselenggarakan oleh badan usaha milik daerah (BUMD) maupun
yang dilaksanakan oleh komunitas masyarakat.
Pencapaian di bidang perumahan dan kawasan permukiman
selama tahun 2010 yaitu: (1) Terbangunnya 49 twin blok (TB) rumah
susun sewa dan infrastruktur pendukungnya untuk TNI/POLRI,
pekerja industri, pondok pesantren, dan mahasiswa; (2) Penerbitan
subsidi perumahan sebanyak 109.523 unit; (3) Terfasilitasinya
perumahan swadaya berupa pembangunan 2.000 unit rumah baru
serta peningkatan kualitas 20.000 unit rumah yang didukung dengan
PSU; (4) Terbangunnya 1.006 unit rumah khusus; (5)
Terfasilitasinya penataan lingkungan perumahan dan permukiman
kumuh berbasis kawasan seluas 30 hektar; (6) Terfasilitasinya
12.470 unit rumah melalui pembangunan PSU kawasan perumahan
2 - 80
dan permukiman; (7) Terlayaninya 242 kawasan oleh infrastruktur
kawasan permukiman perkotaan; (8) Terlayaninya 153 kawasan oleh
infrastruktur kawasan permukiman perdesaan; (9) Terlayaninya 237
kecamatan oleh infrastruktur pendukung kegiatan ekonomi dan sosial
(RISE); (10) Terbangunnya infrastruktur permukiman di 3.900 desa
tertinggal; (11) Terselenggaranya pendampingan pemberdayaan
sosial (P2KP/PNPM) di 10.948 desa; (12) Terlayaninya infrastruktur
air minum di 71 kawasan MBR Perkotaan, 170 Ibu Kota Kecamatan
(IKK), 19 kawasan khusus, dan 2.807 desa; (13) Terlayaninya 26
kawasan oleh infrastruktur air limbah dengan sistem on-site dan 11
kab/kota dengan sistem off-site; (14) Terlayaninya 25 kawasan oleh
infrastruktur drainase perkotaan; serta (15) Terbangunnya
infrastruktur stasiun antara dan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA)
sampah di 62 kab/kota.
Langkah-langkah kebijakan yang ditempuh dalam mengatasi
permasalahan dan tantangan dalam pengelolaan dan pengembangan
sumber daya air tersebut adalah dengan mempercepat penyelesaian
pembangunan sarana/prasarana pengendali banjir, pengendali lahar
sedimen dan pengaman pantai, terutama pada daerah perkotaan dan
pusat-pusat perekonomian melalui: (1) percepatan penyelesaian
Kanal Banjir Timur (KBT) Jakarta dan penanganan secara terpadu
Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo; (2) memprioritaskan
pelaksanaan rehabilitasi sarana dan prasarana pengendali banjir dan
pengaman pantai; serta (3) mengoptimalkan dan mengefektifkan
pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana
pengendali banjir dan pengaman pantai.
Dalam upaya mengendalikan dan mengurangi dampak
kerusakan akibat banjir, serta erosi dan abrasi pantai baik secara
struktural maupun non struktural terutama pada wilayah
berpenduduk padat, wilayah strategis dan pusat-pusat perekenomian,
hasil yang telah dicapai selama tahun 2010 adalah: (1)
diselesaikannya konstruksi utama Kanal Banjir Timur Jakarta paket
2 - 81
22-29; (2) perbaikan dan pengaturan Sungai Bengawan Solo Hilir
untuk pengamanan Kota Cepu; (3) pengadaan 2 unit pompa di
Kabupaten Madiun untuk penanganan banjir di Sub DAS Kali
Madiun; (4) pembangunan 321 km prasarana pengendali banjir
dengan debit banjir rencana 10 tahunan dan rehabilitasi 171 km
prasarana pengendali banjir; serta (5) pembangunan pengamanan
pantai sepanjang 25 km.
Ketersediaan infrastruktur komunikasi dan informatika yang
memadai sangat diperlukan untuk mendukung pemantapan
konektivitas nasional, peningkatan daya saing perekonomian
nasional dan merupakan persyaratan mutlak untuk mewujudkan
masyarakat informasi Indonesia 2015. Kegiatan pembangunan
infrastruktur komunikasi dan informatika 2010-2014 difokuskan
kepada: (1) penuntasan pembangunan jaringan serat optik di
Indonesia Bagian Timur sebelum tahun 2013 yang juga merupakan
bagian dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia 2011—2025; dan (2) maksimalisasi tersedianya
akses komunikasi data dan suara bagi seluruh rakyat tahun 2014.
Hasil pelaksanaan kedua kegiatan tersebut sejak pembentukan
Kabinet Indonesia Bersatu II hingga Juni 2011 adalah: (1)
beroperasinya jaringan tulang punggung (backbone) serat optik
berkualitas broadband oleh PT. Telkom yang pada tahun 2010 sudah
menjangkau 323 ibukota kabupaten/kota (65 persen) serta selesainya
pembangunan link Mataram-Kupang sebagai bagian dari Palapa
Ring; (2) selesai disusunnya model bisnis dan konsep peraturan
mengenai pembiayaan TIK atau Information and Communications
Technology (ICT) Fund sebagai salah satu sumber pembiayaan
pengembangan TIK secara umum dan jaringan broadband serat optik
Palapa Ring pada khususnya; serta (3) beroperasinya akses
telekomunikasi di 28.288 desa, Pusat Layanan Internet Kecamatan
(PLIK) di 5.037 desa ibukota kecamatan, Nusantara Internet
Exchange (NIX) di 5 kota, serta Desa Informasi di 16 kabupaten
2 - 82
melalui program Universal Service Obligation (USO). Melalui
pengembangan berbagai kebijakan di sektor telekomunikasi, tingkat
penetrasi total akses telekomunikasi nasional hingga akhir tahun
2010 telah melebihi jumlah populasi Indonesia yaitu mencapai 105,9
persen.
2.6.3. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN
Berdasarkan
hasil-hasil
yang
telah
dicapai
dan
mempertimbangkan permasalahan yang dihadapi, maka Pemerintah
berupaya merumuskan berbagai kebijakan dan program/kegiatan
pembangunan infrastruktur. Tindak lanjut yang akan dilakukan
diuraikan sebagai berikut.
Berdasarkan berbagai permasalahan, langkah kebijakan, dan
hasil yang dicapai, maka tindak lanjut yang masih perlu dilakukan
adalah: (1) Memprioritaskan implementasi UU RI Nomor 4/2011
tentang Informasi Geospasial (UU IG) dan Peraturan Presiden
Nomor 85/2007 tentang Jaringan Data Spasial Nasional (JDSN); (2)
Memprioritaskan pemenuhan data dan informasi geospasial dasar
pada wilayah yang belum terpetakan; (3) Memprioritaskan
pemenuhan data dan informasi geospasial tema-tema tertentu terkait
dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup serta
daerah rawan bencana alam; serta (4) Memprioritaskan
pembangunan sistem simpul jaringan instansi pemerintah pusat dan
daerah. Optimalisasi fungsi penghubung simpul jaringan dengan
menyusun dan mengimplementasikan protokol pertukaran dan
penyebarluasan data dan informasi geospasial.
Berdasarkan berbagai permasalahan, langkah kebijakan, dan
hasil yang dicapai sampai dengan bulan Juni 2011, maka tindak
lanjut yang masih perlu dilakukan adalah: (1) pengembangan dan
pembangunan jaringan pelayanan transportasi secara antarmoda dan
intermoda antara lain upaya untuk memadukan kereta api dengan
moda lainnya diantaranya dengan pengembangan akses KA menuju
2 - 83
bandara (KA bandara Soekarno – Hatta, Juanda, Kualanamu dan
Minangkabau), pembangunan MRT di DKI Jakarta untuk jalur utaraselatan serta peningkatan aksesibilitas menuju pelabuhan utama
untuk mendukung angkutan barang (pelabuhan Tanjung Priok,
Cirebon, Tanjung Mas, Tanjung Perak dan Belawan); (2)
penyelesaian dan sosialisasi revisi undang-undang sektor transportasi
dan peraturan pelaksanaannya; (3) pengembangan angkutan
penyeberangan dalam jangka panjang akan disesuaikan dengan
pengembangan jalan dan jembatan; (4) pengembangan angkutan
perkotaan, angkutan massal, penggunaan kendaraan yang ramah
lingkungan, hemat BBM, meningkatkan rekayasa dan manajemen
lalu lintas, menciptakan keterpaduan antar moda di kawasan
perkotaan; (5) peningkatan iklim kompetisi secara sehat agar dapat
meningkatkan efisiensi dan memberikan alternatif bagi pengguna
jasa dengan tetap mempertahankan keberpihakan pemerintah sebagai
regulator terhadap pelayanan umum yang terjangkau oleh
masyarakat; (6) Menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif bagi
industri pelayaran nasional; (7) Pelaksanaan National Single
Window (NSW); (8) peningkatan kapasitas jalan pada jalan nasional
lintas dan non lintas, terutama pada ruas-ruas utama perekonomian
seperti Pantura Jawa, Lintas Timur Sumatera, Lintas Barat Sulawesi,
Lintas Selatan Kalimantan, sedangkan jalan non lintas di Pulau
Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Pulau
Bali, Kepulauan Nusa Tenggara dan Pulau Papua; serta (9) dukungan
pemerintah untuk pembangunan jalan tol melalui penyediaan biaya
pengadaan tanah.
Pada tahun 2011, akan dilanjutkan upaya-upaya pembangunan
perumahan dan kawasan permukiman yang telah dilakukan pada
tahun 2010 yaitu: (1) melanjutkan pembangunan 143 TB rumah
susun sewa dan infrastruktur pendukungnya yang dialokasikan untuk
TNI/POLRI, pekerja industri, pondok pesantren, dan mahasiswa; (2)
penyaluran FLPP untuk 338.815 unit rumah baik untuk rumah tapak,
rumah susun milik dan rumah murah; (3) fasilitasi perumahan
2 - 84
swadaya/rumah sangat murah berupa pembangunan baru sebanyak
12.500 unit, peningkatan kualitas yang didukung dengan PSU
sebanyak 12.500 unit serta pendampingan pra dan pasca sertipikasi
hak atas tanah sebanyak 7.500 unit ; (4) pembangunan 750 unit
rumah khusus; (5) fasilitasi penataan lingkungan perumahan dan
permukiman kumuh berbasis kawasan seluas 100 hektar; (6) fasilitasi
PSU kawasan perumahan dan permukiman berupa bantuan stimulan
PSU rumah sejahtera susun sebanyak 4.046 unit dan bantuan
stimulan PSU rumah sejahtera tapak sebanyak 112.964 unit; (7)
melanjutkan pembangunan infrastruktur permukiman di 3.987 desa
tertinggal; (8) penyelenggaraan pendampingan pemberdayaan sosial
(P2KP/PNPM) di 10.948 desa; (9) pelayanan 259 kawasan oleh
infrastruktur kawasan permukiman perkotaan; (10) pelayanan 102
kawasan oleh infrastruktur kawasan permukiman perdesaan; (11)
pelayanan infrastruktur air minum di 170 kawasan MBR perkotaan,
165 Ibukota Kecamatan (IKK), 67 kawasan khusus, dan 1.717 desa;
(12) pelayanan 131 kawasan oleh infrastruktur air limbah dengan
sistem on-site dan 11 kab/kota dengan sistem off-site; serta (13)
pelayanan 54 kawasan oleh infrastruktur drainase perkotaan; (14)
melanjutkan pembangunan infrastruktur stasiun antara dan Tempat
Pemrosesan Akhir (TPA) sampah di 91 kab/kota.
Dalam rangka melanjutkan upaya mengendalikan dan
mengurangi dampak kerusakan akibat banjir baik, abrasi pantai dan
lahar/sedimen secara struktural maupun non struktural terutama pada
wilayah berpenduduk padat, wilayah strategis dan pusat-pusat
perekenomian, kebijakan yang dilakukan adalah mempercepat
penyelesaian pembangunan sarana/prasarana pengendali banjir,
pengaman pantai dan pengendali lahar/sedimen terutama pada daerah
perkotaan dan pusat-pusat perekonomian dan daerah bencana seperti
bencana Merapi dan Wasior Papua dengan sasaran yang akan dicapai
di tahun 2012 adalah: (1) penyelesaian bangunan pelengkap Kanal
Banjir Timur; (2) pelaksanaan penanganan Daerah Aliran Sungai
Bengawan Solo secara terpadu sesuai tahapan yang direncanakan; (3)
2 - 85
pembangunan, rehabilitasi, operasi dan pemeliharaan prasarana
pengendali banjir masing-masing sepanjang 195,90 km, 200,12 km,
dan 1.354,15 km; (4) pembangunan, rehabilitasi, operasi dan
pemeliharaan sarana/prasarana pengaman pantai masing-masing
sepanjang 43,51 km, 11,38 km dan 25,96 km; dan (5) pembangunan,
rehabilitasi, operasi dan pemeliharaan sarana/prasarana pengendali
lahar/sedimen pada masing-masing sebanyak 57 buah, 30 buah dan
47 buah.
Hingga tahun 2014, pembangunan komunikasi dan
informatika akan difokuskan untuk mencapai sasaran yang telah
ditetapkan dalam RPJMN 2010—2014 serta Masterplan Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011—2025 yaitu:
(1) melanjutkan pembangunan Palapa Ring hingga menjangkau
seluruh pulau besar di Indonesia dan 88 persen ibukota
kabupaten/kota baik yang dilakukan oleh PT. Telkom maupun
pemerintah melalui ICT Fund; (2) melanjutkan penyediaan jasa akses
dan memastikan keberlanjutan layanan telekomunikasi dan
informatika dengan sasaran 100 persen jangkauan di daerah blank
spot yang menjadi target USO.
2.7
PRIORITAS NASIONAL 7: IKLIM INVESTASI DAN
IKLIM USAHA
Kondisi perekonomian dunia sepanjang tahun 2010 telah
menunjukkan perbaikan (recovery) sejak gejolak pasar keuangan
yang terjadi pada tahun 2009. Sejak awal tahun 2011, geopolitik
kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara memanas dan
menimbulkan instabilitas pemerintahan, ditambah bencana alam dan
tsunami di Jepang cukup mempengaruhi perekonomian dunia
terutama di negara-negara industri. Namun demikian, kondisi
perekonomian Indonesia masih menunjukkan perkembangan yang
menggembirakan. Ketahanan dan stabilitas ekonomi masih dapat
2 - 86
terjaga. Perekonomian Indonesia yang diukur berdasarkan PDB
besaran harga berlaku pada Semester I-2011 mencapai nilai Rp
3.543,4 triliun sedangkan berdasarkan harga konstan 2000 Rp
1.205,1 triliun (BPS). Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada
semester I/2011 meningkat 6,5 persen dibandingkan tahun 2010 pada
semester yang sama. Dukungan internal masih terjaga dengan
investasi berupa Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto
(PMTB) dan ekspor yang masing-masing naik 8,3 persen dan 17,4
persen.
Kondisi bisnis dan perekonomian Indonesia pada triwulan
II/2011 dan kecenderungan triwulan ke depan yang ditunjukkan oleh
Indeks Tendensi Bisnis/ITB (survey BI dan BPS) memperlihatkan
perkembangan positif yaitu mencapai 105,75, yang berarti meningkat
dari triwulan sebelumnya, Triwulan I/2011 yang mencapai 102,16.
Prospek bisnis pada Triwulan III-2011 diperkirakan lebih meningkat
lagi yang ditunjukkan dengan nilai 108,51. Peningkatan terjadi di
semua sektor terutama sektor pengangkutan dan komunikasi,
sedangkan sektor keuangan, real estate, jasa perusahaan mengalami
peningkatan bisnis terendah.
Secara global, aliran masuk FDI diprediksi meningkat dari
USD 1.536,8 miliar pada tahun 2010 menjadi USD 1.604,0 miliar
pada tahun 2011. Demikian halnya aliran masuk FDI ke negaranegara berkembang yang meningkat dari USD 564,2 miliar menjadi
586,7 miliar (World Investment Prospect, 2011). Pada tahun 2011,
aliran masuk FDI ke Indonesia diperkirakan akan mencapai USD 6,6
miliar atau 0,4 persen dari total FDI dunia dan menduduki peringkat
ke 36 dari 82 negara.
Kelangsungan proses perbaikan ekonomi dunia dalam tahun
2010, terutama di negara-negara mitra dagang utama Indonesia,
menyebabkan ekspor terus meningkat. Di antara mitra dagang utama
Indonesia, pertumbuhan ekonomi China dan India masih yang
tertinggi sehingga memberikan pengaruh positif terhadap
2 - 87
perkembangan ekspor Indonesia, khususnya komoditas berbasis
sumber daya alam. Dalam tahun 2010, pertumbuhan total ekspor
sebesar 33,4 persen dan ekspor nonmigas sebesar 31,3 persen.
Perbaikan kinerja ekspor tersebut diiringi pula dengan
meningkatnya surplus neraca perdagangan Indonesia, membaiknya
tingkat diversifikasi pasar tujuan ekspor, serta tingginya
pertumbuhan ekspor produk manufaktur. Neraca perdagangan tahun
2010 mengalami surplus sebesar USD 21,4 miliar atau lebih tinggi
12,4 persen dari tahun 2009. Diperkirakan surplus neraca
perdagangan pada tahun 2011 akan mencapai angka yang lebih
tinggi dibandingkan dengan tahun 2010, seiring dengan terus
membaiknya kinerja perekonomian Indonesia dan perekonomian
global. Selain itu, kontribusi 5 (lima) pasar tujuan ekspor Indonesia
pada tahun 2011 terlihat lebih kecil dibandingkan dengan tahun
sebelumnya; di mana pada tahun 2010 adalah sebesar 48,8 persen
sedangkan di tahun 2011 (Jan-Jun) adalah sebesar 48,2 persen. Hal
ini merupakan salah satu indikasi bahwa pasar ekspor nonmigas
mulai bergeser sedikit demi sedikit ke negara non-utama, sehingga
tingkat ketergantungan ekspor Indonesia ke pasar utama menjadi
lebih kecil.
Sementara itu, iklim investasi dan iklim usaha yang menarik
diperlukan untuk mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang cukup tinggi secara berkelanjutan dan berkualitas.
Iklim investasi dan iklim usaha yang menarik dilaksanakan melalui
perbaikan
kepastian
hukum,
penyederhanaan
prosedur,
pengembangan dan penetapan Sistem Logistik Nasional, perbaikan
sistem informasi, pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus, dan
kebijakan ketenagakerjaan.
2.7.1 PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Dalam upaya menggerakkan sektor riil sebagai motor
penggerak perekonomian nasional perlu peningkatan iklim investasi
2 - 88
dan iklim usaha. Sampai saat ini, realisasi investasi rata-rata per
tahun lebih dari 60 persen berada di Pulau Jawa. Sektor yang
menjadi daya tarik investasi semakin cenderung kepada sektor jasa,
di lain pihak sektor pengolahan cenderung menurun dan sektor
primer kurang diminati. Sektor pengolahan sangat penting untuk
meningkatkan daya saing produk, dan sektor primer terutama bidang
usaha pertanian sangat penting untuk menjaga ketahanan pangan
sebagai upaya antisipasi dampak perubahan iklim global.
Iklim investasi Indonesia dinilai masih kurang kondusif yang
ditunjukkan dengan peringkat “Doing Business” oleh IFC Bank
Dunia 2010, yaitu menduduki peringkat ke 121 dari peringkat ke 115
pada tahun 2009. Berbagai masalah yang dihadapi sebagaimana
laporan lembaga tersebut dan keluhan para investor yakni: (i)
pelayanan perijinan dinilai masih lama, dan sulit terutama
dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya, serta
prosedur perijinan yang bervariasi di masing-masing daerah karena
pandangan daerah yang berbeda terhadap pentingnya investasi; (ii)
banyaknya Perda yang kontra produktif bagi iklim investasi daerah;
(iii) belum harmonisnya aturan di pusat dan belum sinkronnya aturan
antara pusat dengan daerah; (iv) masih sulitnya akses kredit usaha
dan masih tingginya suku bunga kredit usaha terutama bagi investor
domestik; (v) belum optimalnya kelancaran distribusi barang dan
perlunya peningkatan kualitas sistem logistik nasional.
Terkait dengan persiapan pembangunan kawasan ekonomi
khusus
(KEK),
masih
menunggu
penyelesaian
RPP
perpajakan/kepabeanan dan cukai di KEK, belum selesainya
Rapermen pendelegasian wewenang dari kementerian/lembaga ke
KEK, dan kemudahan dalam kepelabuhanan, keimigrasian, dan
fasilitas keamanan.
Masalah yang cukup mendesak harus segera ditangani adalah
percepatan penyediaan infrastruktur dan energi seperti pelabuhan
laut dan bandar udara, jalan, serta listrik dan air bersih. Sebagai
2 - 89
salah satu upaya untuk memenuhi penyediaan infrastruktur dan
energi, pemerintah telah mempersiapkan skema pendanaan
kemitraan pemerintah dan swasta (KPS), namun implementasinya
masih terkendala antara lain oleh penyediaan lahan akibat sulitnya
pembebasan tanah.
Selain faktor domestik, sebagaimana telah diuraikan di atas,
faktor eksternal juga berpotensi untuk diwaspadai. Tantangan
perekonomian global yang mungkin dihadapi pada tahun 2011, di
antaranya adalah: (i) potensi berlanjutnya gejolak pasar keuangan
yang terjadi di beberapa negara Eropa; (ii) perlu diwaspadainya
dampak dengan semakin meningkatnya beban hutang Amerika
Serikat dalam satu dekade terakhir; serta (iii) belum pulihnya arus
kredit perbankan dunia yang menyebabkan perbankan global
mengurangi ekspansi kredit ke sektor riil.
Belum optimalnya sistem logistik nasional saat ini tercermin
dari peringkat Indonesia pada logistic performance index tahun 2010
yang secara keseluruhan berada pada urutan ke-75, posisi ini lebih
rendah dibandingkan dengan beberapa negara tetangga seperti:
Singapura, Malaysia, dan Thailand. Selain itu, kompetensi logistik
Indonesia berada pada urutan ke 92, yang merupakan paling rendah
diantara negara ASEAN lainnya. Rendahnya kinerja sistem logistik
nasional antara lain ditandai oleh:
1.
Masih terjadinya kelangkaan stok pada daerah tertentu
dikarenakan terhambatnya jaringan distribusi dan fluktuasi
harga kebutuhan bahan pokok masyarakat, terutama pada harihari besar nasional/keagamaan ataupun adanya gangguan
harga/suplai di pasar internasional;
2.
Masih adanya hambatan operasional pelayanan di pelabuhan
laut dan udara;
3.
Masih terbatasnya kapasitas dan jaringan pelayanan penyedia
jasa logistik nasional.
2 - 90
Sementara itu, belum terbitnya aspek legal untuk cetak biru
pengembangan Sistem Logistik Nasional menjadi salah satu faktor
yang menyebabkan belum optimalnya upaya pemerintah maupun
swasta untuk dapat mengembangkan sistem logistik nasional secara
terintegrasi.
TABEL 2.7.1
RANKING DAN SKOR LOGISTIC PERFORMANCE INDEX
(LPI) 2010
Negara
Kompetensi Logistik
Total
Singapore
Rank
2
Score
4,09
3,44
Rank
6
31
Score
4,12
3,34
Malaysia
29
Thailand
35
3,29
39
3,16
Indonesia
Vietnam
Philipines
75
53
44
2,76
2,96
3,14
92
2.47
51
47
2,89
2,95
Sumber: Connecting to Compete: “Trade Logistic in the Global Economy”, Bank
Dunia, 2010
Permasalahan dalam pergerakan arus barang ekspor dan impor
yang masih dihadapi antara lain sebagai berikut. Pertama, fasilitasi
perdagangan terkait dengan perdagangan barang dan jasa antar
negara masih perlu lebih ditingkatkan. Meskipun peringkat Indonesia
tahun 2011 untuk perdagangan antar negara (Trading Across
Borders) berdasarkan Doing Business terlihat lebih baik
2 - 91
dibandingkan dengan tahun 2010 (yaitu dari 49 menjadi 47), tetapi
posisinya di antara negara ASEAN masih lebih rendah dibandingkan
dengan negara tetangga, seperti: Singapura, Thailand, dan Malaysia.
Walaupun demikian, posisi Indonesia untuk trading across border
masih lebih baik dibandingkan dengan Brunei, Filipina, Vietnam,
Kamboja, dan Laos.
TABEL 2.7.2
PERINGKAT PERDAGANGAN LINTAS BATAS
Peringkat: Trading Across
Borders
Negara
2010
2011
Singapura
1
1
Thailand
16
12
Malaysia
37
37
Indonesia
49
47
Brunei
51
52
Filipina
68
61
Vietnam
59
63
Kamboja
126
118
Laos
170
170
Sumber: Doing Business 2011, Bank Dunia Kedua, pemanfaatan National Single Window (NSW) yang
masih perlu diperluas agar jumlah eksportir dan importir yang
memanfaatkan sistem NSW tersebut menjadi lebih banyak. Upaya
optimalisasi NSW ini tentunya akan dapat membantu dalam
menurunkan biaya ekonomi tinggi, karena proses ekspor dan impor
melalui NSW dapat mencegah adanya pungutan diluar biaya resmi.
2 - 92
Di bidang ketenagakerjaan, sejak dikeluarkannya UU 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tingkat fleksibisitas pasar kerja
Indonesia menempati urutan 149 dari 183 negara di dunia. Jika
dibandingkan dengan Negara pesaing dalam menarik investasi di
kalangan Asia Pasifik, Indonesia menempati urutan 23 dari 24
negara, menurut laporan Doing Business (tahun 2010), sebuah survei
yang antara lain mengukur secara kuantitatif berbagai peraturan
dalam mempekerjakan pekerja. Undang-undang tersebut dirasakan
sangat memberatkan bagi perusahaan dalam mempekerjakan
karyawan. Pasal yang dianggap memberatkan bagi perusahaan
adalah pasal 156 dari UU no 13/2003 tentang pemberian pesangon.
Upaya pemerintah untuk menyempurnakan peraturan
ketenagakerjaan sudah dilakukan sejak tahun 2006. Beberapa pasal
dalam UU tersebut yang dinilai sangat kaku dan berdampak kepada
turunnya laju pertumbuhan penciptaan lapangan kerja formal
diusulkan untuk dirubah. Namun hingga saat ini, belum ada kata
sepakat dari serikat pekerja untuk menyetujui usulan perubahan
tersebut.
Secara keseluruhan, lapangan kerja yang tercipta dalam
periode Februari 2010 sampai Februari 2011 mengalami peningkatan
3,87 juta orang, sehingga tingkat pengangguran terbuka menurun
menjadi 6,8 persen. Namun demikian, pertumbuhan pekerja formal
sektor industri manufaktur pada Februari tahun 2010 mengalami
penurunan sebesar 4,66 persen.
2.7.2 LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN
HASIL YANG DICAPAI
DAN
HASIL-
Dalam upaya meningkatkan iklim investasi dan iklim usaha
yang kondusif, beberapa langkah kebijakan secara simultan telah
dilakukan dengan hasil yang dicapai adalah:
1.
Dalam rangka penyederhanaan prosedur, sampai bulan Juni
2011 telah terbangun 256 Pelayanan Terpadu Satu Pintu
2 - 93
(PTSP) yang tersebar diseluruh Indonesia. Dari 256 PTSP
tersebut, sebanyak 55 kabupaten/kota dan 33 propinsi atau
34,4 persennya telah tersambung dengan Sistem Pelayanan
Informasi dan Perijinan Investasi Secara Elektronik
(SPIPISE).
2.
Pemberian tax holiday melalui Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 94/2010 ditujukan kepada penanam modal pada
industri baru, industri pionir, industri yang tidak mendapatkan
fasilitas pajak yang ada sebelumnya, memperkenalkan
teknologi baru, dan memiliki nilai strategis bagi perekonomian
nasional.
3.
Untuk mempercepat pelaksanaan proyek kerjasama
pemerintah swasta (KPS) telah ditandatangani MoU trilateral
antara Menteri PPN/Kepala BAPPENAS, Menteri Keuangan,
dan Kepala BKPM. Pemerintah dalam komitmennya untuk
mempercepat implementasi KPS telah dilakukan antara lain:
1) dana talangan menjamin ketersediaan tanah (land fund), 2)
dana penjaminan (Guarantee fund ) dengan dibentuknya PT.
Penjaminan Infrastruktur Indonesia, 3) dana pembiayaan
infrastruktur dengan dibentuknya PT. Sarana Multi
Infrastruktur dan PT. Indonesia Infrastructure Financing
Facility, dan 4) penyediaan fasilitas pendukung dana bergulir
untuk eksplorasi panas bumi.
4.
Telah dibatalkannya 1.843 Perda bermasalah
menghambat investasi sepanjang tahun 2010.
5.
Diterbitkannya berbagai peraturan tentang kawasan ekonomi
khusus (KEK), yaitu Perpres No. 33 Tahun 2010 tentang
Dewan Nasional dan Dewan Kawasan untuk Kawasan
Ekonomi Khusus, Kepres No. 8 Tahun 2010 tentang
Keanggotaan Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus, dan
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus
yang
Berbagai implementasi kebijakan ekonomi yang telah
dilakukan mampu menjaga stabilitas perekonomian dan sekaligus
meningkatkan kredibilitas di mata berbagai lembaga pemeringkat
2 - 94
internasional seperti Fitch, Moody’s, dan Standard & Poors yang
merefleksikan optimisme sekaligus kepercayaan lembaga rating
tersebut terhadap kredibilitas serta kemampuan otoritas
perekonomian Indonesia dalam mengatasi berbagai tantangan
termasuk peningkatan tekanan inflasi serta besarnya arus modal
masuk.
Aliran modal asing (foreign direct investment-FDI) periode
Januari-Maret 2011 (triwulan I) meningkat 55,2 persen dibandingkan
dengan periode yang sama tahun sebelumnya dari USD 2,9 miliar
menjadi USD 4,5 miliar, dan meningkat 4,7 persen dari triwulan IV2010 yang hanya USD 4,3 miliar. Kenaikan arus masuk FDI di lain
pihak juga diikuti oleh meningkatnya aliran ke luar yang mencapai
275 persen dari USD 0.4 miliar menjadi USD 1,5 miliar (y-o-y).
Nilai realisasi PMDN dan PMA sektor nonmigas pada
semester I/2010 masing-masing mencapai Rp21,9 triliun dan USD
7,6 miliar, sedangkan pada semester I/2011 masing-masing mencapai
Rp33,0 triliun dan USD 9,2 miliar, atau meningkat sebesar 50,8
persen dan 20,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2010
(y-o-y).
Sementara itu, fungsi utama dari sistem logistik nasional
adalah untuk menjamin kelancaran arus barang strategis dan ekspor
yang ditujukan untuk: (i) meningkatkan efisiensi biaya distribusi; dan
(ii) meningkatkan jaminan ketersediaan dan keterjangkauan terhadap
barang strategis. Upaya yang telah dilakukan pemerintah antara lain
sebagai berikut:
1.
Penetapan pengembangan sistem logistik nasional sebagai
salah satu prioritas pembangunan nasional, yang tertuang
dalam RPJMN 2010—2014 (Perpres No. 5 tahun 2010) pada
Prioritas Nasional 7 dan Fokus Prioritas pada pembangunan
Bidang Ekonomi.
2.
Penyempurnaan rancangan Cetak Biru Pengembangan Sistem
Logistik Nasional, yang akan segera ditetapkan melalui
2 - 95
Peraturan Presiden yang rencananya akan dikeluarkan pada
akhir tahun 2011.
3.
Terbitnya Peraturan Pemerintah No. 8/2011 tentang Angkutan
Multimoda
4.
Pembangunan 112 unit pasar tradisional di daerah tertinggal
dan terpencil serta renovasi 127 unit pasar tradisional pada
tahun 2010. Selain itu, dalam rangka pelaksanaan Sistem Resi
Gudang (SRG), pada tahun 2010 telah dibangun 11 gudang di
11 kabupaten.
Dalam rangka mempercepat proses ekspor dan impor,
Indonesia telah menerapkan National Single Window (NSW)
sehingga proses ekspor dan impor dapat lebih cepat dan lebih
sederhana. Sampai saat ini, portal INSW telah beroperasi secara
penuh (mandatory) di 5 pelabuhan utama (sekitar 90% dari layanan
nasional) yang memberikan fasilitasi semua layanan terkait eksporimpor. INSW dimandatorikan secara resmi oleh Presiden RI pada
Januari 2010. Sementara itu, integrasi aplikasi INATRADE untuk
ekspor telah dimandatorikan pada akhir bulan Oktober 2010.Selain
itu, portal INSW sudah dapat dioperasikan secara live dengan waktu
layanan 7X24 Jam. Pada tahun 2011, implementasi NSW sudah
masuk pada tahapan pengembangan Sistem NSW 2011, yang
difokuskan pada pengembangan sistem untuk “Cargo Release” di
TPS (Tempat Penimbunan Sementara/Terminal) dan pengembangan
TPS Online untuk diintegrasikan dengan Portal INSW. Jadwal
penerapan INSW dapat dilihat pada Gambar 2.7.1 berikut:
GAMBAR 2.7.1
JADWAL IMPLEMENTASI INSW 2007-2011
2 - 96
Sumber : Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
Sampai saat ini, INSW melayani kurang lebih 15.200
perusahaan pengguna, yang terdiri dari Importir, Eksportir serta
PPJK melalui jaringan publik (Internet), dengan jumlah transaksi
dokumen impor (PIB) rata-rata per tahun sebanyak 600 ribu
dokumen dan jumlah transaksi dokumen ekspor (PEB) rata-rata per
tahun sebanyak 1,2 juta dokumen.
Sebagai bagian dari penerapan NSW, Pemerintah telah
mengembangkan sistem pelayanan perdagangan luar negeri online
(INATRADE) yang secara resmi telah diluncurkan pada tanggal 10
Agustus
2010.
INATRADE
merupakan
sistem
pengajuan/penerimaan permohonan serta pemrosesan perijinan
secara elektronik (e-licensing) yang terintegrasi dengan sistem INSW
(Indonesia National Single Window). Penggunaan sistem ini akan
mempercepat proses customs clearance karena perijinan impor yang
telah dikeluarkan dapat langsung dikirimkan secara wajib ke portal
NSW melalui sistem elektronik.
Dalam rangka memperluas lapangan kerja dan meningkatkan
daya
saing
ketenagakerjaan,
Pemerintah
mengupayakan
penyempurnaan kebijakan ketenagakerjaan yang difokuskan pada 3
fokus prioritas, yaitu: (a) peningkatan kualitas dan kompetensi
tenaga kerja untuk mempersiapakan calon pekerja/pekerja memasuki
pasar kerja, (b) memperkuat kelembagaan hubungan industrial dan
2 - 97
peraturan ketenagakerjaan, dan (c) meningkatkan mobilitas tenaga
kerja dan fasilitasi perpindahan pekerja.
Hasil-hasil yang telah dicapai di bidang ketenakerjaan antara
lain meliputi: (a) peningkatan kondisi dan mekanisme hubungan
industrial, fasilitasi pekerja/buruh guna peningkatan teknik-teknik
berunding yang baik, fasilitasi keikutsertaan pekerja mengikuti
program jaminan sosial tenaga kerja dalam rangka mendorong
terciptanya kesempatan kerja yang baik (decent work); (b)
penyelesaian naskah akademis dan rancangan penyempurnaan
peraturan kompensasi dan penetapan PHK, hubungan kerja (PKWT
dan outsourcing), pengupahan, perlindungan pekerja, dan mogok
kerja terkait rencana amandemen UU 13/2003; (c) harmonisasi
peraturan jaminan sosial melalui rancangan peraturan pelaksanaan
program jaminan sosial; (d) perbaikan mekanisme perundingan
secara bipartite; (e) inventarisasi Peraturan Daerah (Perda) yang
berpotensi menghambat penciptaan kesempatan kerja, dalam rangka
harmonisasi peraturan pusat-daerah, (f) ditetapkannya Peraturan
Presiden No. 21 tahun 2010 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan.
Hasil-hasil pelaksanaan program-program ketenagakerjaan
secara lengkap, dapat dilihat pada Bidang Ekonomi.
2.7.3 TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN
Secara terencana dan bertahap, program dan kegiatan untuk
mencapai iklim investasi dan iklim usaha yang semakin kondusif
terus dilaksanakan sampai dengan tahun 2014. Tindak lanjut yang
diperlukan adalah:
1.
Peningkatan pelayanan perijinan antara lain melalui
peningkatan jumlah PTSP yang tersambung dengan SPIPISE.
2.
Percerpatan penyelesaian masalah yang menghambat realisasi
proyek dengan skema KPS.
3.
Percepatan penetapan lokasi KEK.
2 - 98
4.
Mencegah munculnya berbagai perda yang menghambat
terwujundya iklim investasi dan iklim usaha yang kondusif.
5.
Untuk mempercepat Pengembangan Sistem Logistik Nasional,
Pemerintah akan melakukan beberapa langkah sebagai berikut:
a. Melakukan penyempurnaan rancangan Cetak Biru
Pengembangan Sistem Logistik Nasional yang disesuaikan
dengan perkembangan terakhir dan direncanakan akan
ditetapkan dengan Peraturan Presiden;
b. Melakukan upaya peningkatan stabilisasi harga dan
menurunkan disparitas harga antar wilayah, terutama untuk
bahan pokok; antara lain dengan cara peningkatan intensitas
pemantauan harga dan suplai kebutuhan pokok di seluruh
Indonesia melalui optimalisasi Early Warning System
(EWS);
c. Meningkatkan koordinasi dengan pemerintah daerah untuk
upaya peningkatan kelancaran arus barang antara wilayah
maupun antar kabupaten/kota dalam peningkatan ketersedian
sarana perdagangan antara lain penyediaan lahan. 6.
Untuk terus memberikan kemudahan dalam proses ekspor dan
impor, Pemerintah akan menindaklanjuti berbagai upaya
antara lain:
a. Penguatan
infrastruktur teknologi informasi dan
pengembangan sistem aplikasi untuk: single sign on, single
reference, utilization report, otomasi rekomendasi perijinan,
serta penyempurnaan akses data manifest bagi K/L terkait;
b. Pengembangan cargo release system melalui integrasi
Tempat Penimbunan Sementara (TPS) secara online;
c. Perluasan cakupan penerapan sistem NSW dan perumusan
konsep kelembagaan pengelola INSW. 7.
Di bidang ketenagakerjaan, tindak lanjut yang diperlukan
adalah sebagai berikut:
2 - 99
a. peningkatan
pemahaman
peraturan/kebijakan
ketenagakerjaan, melalui dialog sosial dalam berbagai media
yang
melibatkan
seluruh
pemangku
kepetingan
ketenagakerjan;
b. memperbaiki mekanisme hubungan industrial antara pekerja
dan pengusaha, untuk mendukung penciptaan iklim investasi
bagi dunia usaha;
c. meningkatkan penerapan standar pelayanan minimal (SPM)
yang mencakup kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja dan
proses penyelesaian hubungan industrial untuk mengurangi
PHK;
d. mengembangkan kelembagaan hubungan industrial dalam
rangka meningkatkan produktivitas untuk mewujudkan
kenyamanan bekerja dan kepastian berusaha. 2.8
PRIORITAS NASIONAL 8: ENERGI
Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2010—2014, sasaran pencapaian ketahanan
energi nasional adalah untuk menjamin kelangsungan pertumbuhan
nasional melalui restrukturisasi kelembagaan dan optimalisasi
pemanfaatan energi alternatif seluas-luasnya. Sasaran utama dari
ketahanan dan kemandirian energi adalah: (1) Peningkatan kapasitas
pembangkit listrik sebesar rata-rata 3000 MW pertahun mulai 2010
dengan rasio elektrifikasi yang mencakup 62% pada 2010 dan 80%
pada 2014; (2) Produksi minyak bumi sebesar 1,01 juta barrel perhari
pada 2014; (3) Peningkatan pemanfaatan energi terbarukan termasuk
energi alternatif panas bumi sehingga mencapai 2.000 MW pada
2012 dan 5.000 MW pada 2014 dan dimulainya produksi coal bed
methane (CBM) pada tahun 2011 untuk membangkitkan listrik
disertai dengan pemanfaatan potensi tenaga surya, mikrohidro serta
nuklir secara bertahap.
2 - 100
2.8.1. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Dalam rangka mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi
nasional guna mendukung percepatan, pemulihan dan menjamin
kelangsungan pertumbuhan ekonomi nasional baik dalam jangka
pendek, menengah maupun jangka panjang, terdapat beberapa
permasalahan
yang
harus
dihadapai
antara
lain:
(1)
Ketidakseimbangan antara kebutuhan energi dan pasokan energi; (2)
Ketergantungan terhadap BBM yang tinggi; (3) Kurangnya tingkat
pelayanan infrastruktur energi; (4) kurangnya peningkatan
pemanfaatan gas bumi untuk domestik sebagai bahan bakar dan
bahan baku; dan (5) kurangnya pemanfaatan energi baru dan
terbarukan (EBT) termasuk didalamnya pengembangan panas bumi.
Permasalahan dalam ketidakseimbangan antara kebutuhan
energi dan pasokan energi timbul karena pertumbuhan permintaan
energi yang terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi
dan bertambahnya jumlah penduduk yang melebihi pertumbuhan
pasokan energi. Kendala tersebut diperparah dengan rendahnya
tingkat pelayanan, efisiensi dan keandalan sistem penyediaan dan
penyaluran energi di seluruh Indonesia.
Permasalahan kedua terkait dengan ketergantungan terhadap
BBM saat ini masih tinggi. Meskipun pangsa minyak bumi dalam
bauran energi nasional makin menurun yaitu dari 48,4% pada tahun
2008 menjadi 48% pada tahun 2010 sejalan dengan pertumbuhan
kebutuhan energi nasional, volume pemakaian BBM masih
bertambah dari tahun ke tahun. Tingginya tingkat konsumsi BBM
menyebabkan ketergantungan yang besar terhadap impor minyak
mentah maupun BBM. Ketergantungan ini menyebabkan ketahanan
energi nasional menjadi rentan terhadap fluktuasi harga, pasokan dan
permintaan minyak mentah dunia. Menurunnya produksi minyak
mentah disebabkan oleh terbatasnya pembukaan lapangan minyak
baru yang masih terkendala akibat konflik tumpang tindih lahan
dengan hutan konservasi atau hutan lindung, perkebunan dan
2 - 101
ketersediaan data geosains migas yang terbatas baik kualitas maupun
kuantitas. Pada sisi lain, sebagian besar (lebih dari 90%) kilang yang
ada di Indonesia merupakan kilang-kilang tua yang memiliki
efisiensi semakin menurun dibandingkan dengan saat dibangun. Saat
ini, Indonesia hanya mempunyai 10 (sepuluh) unit kilang pengolahan
BBM dengan kapasitas kilang sebesar 1,16 juta barel per hari, yang
tidak optimal dalam operasionalnya karena kondisi kilang
pengolahan seringkali mengalami berhenti operasi (shutdown), baik
karena masalah teknis maupun untuk tujuan pemeliharaan. Hal ini
diperparah dengan terbakarnya unit kilang pengolahan BBM di
Cilacap pada bulan April 2011 yang memasok 34% dari kebutuhan
BBM nasional.
Permasalahan ketiga ketahanan energi yaitu kurangnya tingkat
pelayanan infrastruktur energi, sangat mempengaruhi tingkat
ketersediaan dan aksesbilitas energi, yang menyebabkan
ketergantungan terhadap pasokan energi dalam negeri maupun impor
BBM. Permasalahan ini semakin banyak dihadapi pada jaminan
pasokan BBM untuk wilayah-wilayah yang sulit dijangkau. Faktor
gangguan cuaca, kondisi jalan yang rusak, kondisi gelombang laut
dan faktor penghambat distribusi dan pengangkutan BBM lainnya
memberikan tantangan bagi Pemerintah untuk menjamin pasokan
BBM. Selain itu keterbatasan dalam jumlah sarana kapal dan fasilitas
pengangkut BBM yang sudah tua juga mempengaruhi kehandalan
sistem pengangkutan tersebut.
Permasalahan keempat, kurangnya peningkatan pemanfaatan
gas bumi untuk domestik sebagai bahan bakar dan bahan baku.
Untuk mengurangi ketergantungan yang tinggi terhadap minyak
bumi, perlu dilakukan pemanfaatan sumber energi lainnya seperti gas
bumi. Pada beberapa wilayah, belum ada kepastian ketersedian gas
bumi dalam waktu jangka panjang, dikarenakan sebagian besar
produksi gas dalam negeri sudah dikontrak sebelumnya dengan
pembeli luar negeri (committed gas) berdasarkan UU Nomor
2 - 102
22/2001 tentang minyak dan gas bumi. Hal ini menyebabkan calon
investor di bidang pengangkutan dan niaga gas bumi melalui pipa
masih ragu untuk berinvestasi. Selain itu, peraturan perundangan
yang ada terkait dengan kegiatan usaha pengangkutan dan niaga gas
bumi beberapa diantaranya masih belum lengkap sehingga
menimbulkan kendala dalam pelaksanaan atau pengawasannya.
Permasalahan lainnya yaitu masih sulitnya koordinasi antar lembaga
pemerintah yang terkait bidang gas bumi karena adanya ego sektoral,
sehingga membuat beberapa keputusan menjadi lambat dan sulit
terealisasi yang berakibat lambatnya investasi di bidang infrastruktur
gas bumi. Pemanfaatan gas bumi untuk rumah tangga dan bahan
bakar angkutan umum juga belum maksimal dikarenakan
permasalahan regulasi, kebijakan harga dan kurangnya infrastruktur
serta alat konversi yang masih relatif mahal.
Permasalahan kelima, kurangnya pemanfaatan EBT, termasuk
panas bumi yang belum dapat dilaksanakan secara maksimal.
Permasalahan yang timbul adalah regulasi dan kelembagaan,
kebijakan harga, serta konflik tumpang tindih lahan. Belum adanya
penetapan harga energi baru terbarukan yang menguntungkan bagi
investor menyebabkan nilai investasi untuk EBT menjadi kurang
menarik. Subsidi BBM dan listrik yang masih dipertahankan juga
menjadi salah satu faktor sulitnya perkembangan EBT, hal ini
dikarenakan harga dari sumber energi baru dan terbarukan untuk
bahan bakar dan bahan baku tidak dapat berkompetisi dengan harga
BBM yang disubsidi. Adanya tumpang tindih kewenangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam melakukan
perencanaan dan pengambilan keputusan serta masalah tumpang
tindih lahan juga menyebabkan banyak proyek-proyek EBT yang
terhambat.
2.8.2. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN
HASIL YANG DICAPAI
DAN
HASIL-
2 - 103
Berbagai upaya untuk meningkatkan produksi minyak bumi
adalah dengan meningkatkan kontrak kerja sama ekplorasi sebanyak
26 kontrak baru dari tahun 2010 sampai dengan Juni 2011. Pada
tahun 2010, realisasi investasi mengalami peningkatan mencapai
US$ 13,5 Miliar dan diharapkan akan meningkat pada tahun 2011
seiring dengan terealisasinya rencana investasi untuk pembangunan
kilang minyak baru, revitalisasi kilang, pembangunan Floating
Storage Regasification Unit (FSRU) di Sumatera Utara dan Jawa
Barat. Selain itu, guna meningkatkan cadangan minyak bumi
dilakukan survei seismik 2 Dimensi (2D) dan 3 Dimensi (3D) untuk
melakukan pemutakhiran hasil kegiatan eksplorasi. Survei seismik
2D sampai bulan Juni 2011 telah mencapai 4.435 km2 dari rencana
tahun 2011 sebesar 13.752 km2. Adapun survei seismik 3D sampai
bulan Juni 2011 telah mencapai 2.123 km2 dari rencana tahun 2011
sebesar 13.377 km2. Sedangkan keberhasilan pemboran sumur
ekplorasi dari Januari sampai dengan Juni 2011 yaitu sebesar 28 dari
191 sumur ekplorasi dengan success ratio sebesar 18%. Produksi
minyak mentah mencapai rata-rata sebesar 954 ribu barel perhari
selama tahun 2010 dan 860,8 ribu barel perhari selama kurun waktu
Januari sampai Mei 2011.
Penyediaan BBM oleh kilang dalam negeri telah dioptimalkan
dengan upaya-upaya yang dilakukan antara lain: melakukan
perawatan secara rutin dan meremajakan kilang-kilang yang
memiliki tingkat efisiensi rendah, digantikan dengan kilang baru dan
teknologi yang lebih up to date, sehingga penyediaan kilang dalam
negeri bisa lebih terjamin. Selain itu pemenuhan kebutuhan BBM
dapat dilakukan dengan melakukan impor BBM dari pasar spot
BBM. Untuk mendorong tercapainya jaminan pasokan BBM,
dilakukan optimalisasi fasilitas penyimpanan dan pendistribusian
BBM dengan mengkaji ulang persebaran depot dan merelokasinya
apabila diperlukan. Pada tahun 2011 status sampai dengan bulan
Maret 2011, total konsumsi BBM adalah sebesar 14,8 ribu barel
dengan total persediaan BBM sebesar 15,8 ribu barel yang terdiri
2 - 104
dari impor 6,8 ribu barel dan produksi dalam negeri sebesar 9,06 ribu
barel.
Kebutuhan gas nasional dari tahun ke tahun semakin
meningkat sehingga diperlukan upaya-upaya yang terintegrasi.
Upaya-upaya tersebut antara lain meliputi: pemberian insentif dalam
pembangunan FSRU; telah ditandatanganinya 34 persetujuan harga
gas bumi dalam kurun waktu 2009 – 2011; telah ditandatanganinya
kesepakatan bisnis penjualan gas bumi dari tahun 2009—2010
sebanyak 13 Head of Agreement (HoA) dan sebanyak 47 perjanjian
jual beli gas (PJBG); penyusunan neraca gas Indonesia dan rencana
induk jaringan transmisi dan distribusi gas bumi nasional
(RIJTDGBN). Selain itu, terjadi peningkatan penggunaan LPG untuk
rumah tangga mulai tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 karena
adanya program konversi minyak tanah ke LPG dan meningkatnya
pemahaman masyarakat tentang manfaat LPG sebagai bahan bakar.
Pengembangan energi baru dan terbarukan untuk
pembangkit listrik mengalami kemajuan yang cukup berarti. Pada
tahun 2009 kapasitas PLTP terpasang sebesar 1.189 MW. Pada tahun
2011 diharapkan kapasitas PLTP terpasang menjadi 1.209 MW.
Mengacu program percepatan pembangunan pembangkit listrik
10.000 MW tahap II, panas bumi diharapkan dapat memberikan
kontribusi sebesar 3.351 MW sampai dengan tahun 2014. Untuk
pengembangan bioenergi, telah dilakukan penetapan mandatori
pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN) sesuai Permen ESDM
Nomor 32/2008 yang telah mewajibkan secara bertahap pemanfaatan
BBN pada sektor utama konsumen BBM yaitu tranportasi, industri
dan pembangkit listrik.
Untuk mendukung pengembangan teknologi pemanfaatan
energi panas bumi, pihak Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT) memusatkan kegiatannya pada pengembangan
PLTP skala kecil dengan kapasitas 1 MW, 3 MW, dan 5 MW. Untuk
itu, telah berhasil dibuat prototip PLTP bersiklus ganda (binary
2 - 105
cycle) dengan kapasitas 2 MW dan pilot plant-nya sedang dalam
tahap pembangunan. Untuk PLTP 3 MW telah diselesaikan
perancangan teknik dan pilot plant-nya sedang dalam tahap
pembangunan di Kamojang – Jawa Barat. Sedangkan PLTP 5 MW
sedang dalam tahap perekayasaan. Pengembangan PLTP ini sejalan
dengan pembinaan industri manufaktur dalam negeri agar terus
ditingkatkan produk-produk dengan tingkat kandungan dalam negeri
(TKDN). Adapun dalam rangka mendukung pengembangan energi
baru dan terbarukan khususnya panas bumi yang berada Kawasan
Pelestarian Alam dan Kawasan Suaka Alam (KPA/KSA), telah terbit
PP Nomor 28/2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam sebagai pengganti PP Nomor 68/1998.
Dalam rangka meningkatkan kesiapan membangun
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia, Badan
Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) telah melakukan berbagai
persiapan diantaranya melaksanakan studi kelayakan, khususnya
yang terkait dengan kelayakan tapak. Hasil yang telah dicapai adalah
tersusunnya 3 paket dokumen pedoman penyusunan infrastruktur
dasar pendukung program energi nuklir nasional yaitu: (1) dokumen
Pengembangan Kebijakan Iptek Nuklir Nasional Bidang Energi dan
Jaminan Mutu; (2) Dokumen Penyiapan PLTN, dan (3) Dokumen
Penyusunan Strategi Program Partisipasi Industri Nasional. Ketiga
dokumen
tersebut
merupakan
sebagian
dokumen
yang
dipersyaratkan oleh Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) dan
Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) untuk persiapan
pembangunan PLTN pertama di Indonesia sesuai dengan arah
kebijakan dalam RPJPN. Dokumen tersebut kemudian akan
digunakan oleh pemangku kepentingan (KESDM, PLN dan Investor)
untuk tindak lanjut tahap berikutnya yang diperlukan.
Dalam mendukung persiapan pembangunan PLTN juga telah
dilakukan kajian teknis tentang pengawasan dan pengoperasian
PLTN serta kajian teknis tentang pengembangan standar PLTN.
2 - 106
Hasil kajian digunakan sebagai dasar penyusunan peraturan
perundangan ketenaganukliran. Sedangkan peraturan yang telah
disusun antara lain: (1) Rancangan Peraturan Kepala BAPETEN
tentang Desain Sistem Catu Daya Darurat pada PLTN; (2)
Rancangan Peraturan Kepala BAPETEN tentang Desain Proteksi
Kebakaran dan Ledakan Internal pada PLTN. Peraturan keselamatan
PLTN tersebut akan menjadi landasan yang penting dalam
pengembangan dan pelaksanaan sistem perizinan, dan sistem
inspeksi untuk pengawasan PLTN.
Kegiatan sosialisasi tentang manfaat energi nuklir untuk
kesejahteraan masyarakat difokuskan pada penyampaian informasi
dan pendidikan kepada masyarakat secara seimbang, transparan, dan
dilaksanakan secara terencana dan berkelanjutan. Sosialisasi PLTN
secara umum dilakukan melalui: (1) kampanye media, baik cetak
maupun elektronik; (2) pengembangan komunitas (community
development); (3) keterlibatan para pemangku keputusan
(stakeholder involvement) dan (4) akhirnya didukung dengan jajak
pendapat. Tahun 2010 telah dilakukan jajak pendapat mengenai
tingkat pemahaman masyarakat mengenai PLTN yang dilaksanakan
oleh pihak ketiga di 22 kota, dan jajak pendapat tersebut diambil
secara sampling dari wilayah Jawa, Madura, dan Bali, dengan jumlah
responden sebanyak 3.000 orang, terdiri dari pelajar, tokoh
masyarakat, dosen, pengurus LSM dan ormas, aparat, pengurus
parpol, dan anggota DPRD. Dari jajak pendapat tersebut diperoleh
hasil bahwa 59,7 persen menerima PLTN. Tahun 2011 akan
dilaksanakan jajak pendapat serupa untuk seluruh Indonesia dengan
jumlah responden 5.000 orang.
2.8.3. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN
Untuk meningkatkan produksi minyak bumi diperlukan
insentif yang lebih menarik bagi pemanfaatan teknologi Enhance Oil
Recovery (EOR) yang digunakan untuk peningkatan produksi
minyak bumi pada sumur-sumur tua, serta insentif untuk
2 - 107
meningkatkan kegiatan eksplorasi pencarian cadangan minyak baru.
Upaya-upaya untuk meningkatkan optimaliasi pemanfaatan BBM
dapat dilakukan melalui : (1) Pengawasan kegiatan penyediaan dan
pendistribusian jenis BBM tertentu dan BBM non PSO (Public
Service Obligation); (2) Monitoring dan evaluasi pendistribusian
sistem tertutup jenis BBM tertentu menggunakan kartu fasilitas
kepada transportasi darat; dan (3) Pengembangan pengawasan dan
pemantauan sistem pendistribusian tertutup jenis BBM tertentu untuk
sektor nelayan dan trasportasi darat.
Terkait dengan upaya untuk meningkatkan pemanfaatan gas
bumi akan dilakukan: (1) Lelang ruas transmisi dan wilayah jaringan
distribusi gas bumi dalam rangka pemberian hak khusus; (2)
Penetapan pengaturan akses pada ruas transmisi dan wilayah jaringan
distribusi gas bumi; (3) Kajian pembentukan kota gas di wilayah
Duri, Dumai, Langkat, Tanjung Pinang, Bulungan, Kutai Timur dan
Lubuk Linggau. Selain itu, sebagai penunjang dilakukan upayaupaya optimalisasi pemanfaatan BBM dan gas bumi melalui: (1)
Penyelidikan, penyidikan dan keterangan ahli tindak pidana
penyalahgunaan BBM dan pengangkutan gas bumi melalui pipa; dan
(2) Sosialiasi pelaksanaan pengawasan dan pendistribusian BBM dan
kegiatan usaha pengangkutan gas bumi melalui pipa.
Sedangkan untuk pengembangan energi baru dan terbarukan,
akan dilakukan: (1) Penyelesaian pembangunan PLTP Ulumbu,
Lahendong, Sarulla l dan Wayang Windu; (2) Amandemen UU
Nomor 27/2003 tentang panas bumi; (3) Terselesaikannya RPP
ketahanan energi dan RPP energi baru dan energi terbarukan; (4)
Penyusunan revisi Permen ESDM Nomor 11/2009 tentang pedoman
penyelenggaraan kegiatan usaha panas bumi; (5) Pelaksanaan desa
mandiri energi; (6) Terselenggaranya 92 layanan audit energi pada
gedung dan industri; dan (7) Penyempurnaan koordinasi, terutama
untuk pengembangan lapangan-lapangan panas bumi yang letaknya
bersinggungan dengan pemanfaatan lahan lainnya, misalnya hutan
2 - 108
lindung, kawasan konservasi dan/atau cagar alam, termasuk
penyelesaian pemetaan secara detail pada lokasi-lokasi yang akan
disepakati sebagai kawasan
pengembangan panas bumi, (8)
Sosialisasi PP Nomor 28/2011 tentang Pengelolaan KSA dan KPA
sebagai pengganti PP Nomor 68/1998.
2.9
PRIORITAS NASIONAL 9: LINGKUNGAN HIDUP
DAN PENGELOLAAN BENCANA
2.9.1. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Sebagai bentuk antisipasi dalam mengatasi perubahan iklim
telah dilakukan berbagai upaya perbaikan kerusakan lingkungan
yang mengarah kepada upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim
global. Beberapa permasalahan dan tantangan pokok yang dihadapi
dalam upaya mengantisipasi dampak perubahan iklim, antara lain
adalah: (i) banyaknya pemangku kepentingan dalam penanggulangan
dampak perubahan iklim, (ii) rendahnya kesiapan institusi dan
rendahnya kapasitas sumber daya manusia, (iii) masih kurangnya
pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap upaya penanganan
perubahan iklim, (iv) masih kurangnya kebijakan dan peraturan yang
berpihak pada pelaksana kegiatan di bidang perubahan iklim, (v)
masih terbatasnya sumber-sumber pendanaan bagi kegiatan
penanganan dampak perubahan iklim, serta (vi) belum terciptanya
sistem dan mekanisme insentif maupun disinsentif.
Dari aspek pengendalian pencemaran dan kerusakan
lingkungan, masalah yang dihadapi adalah: (i) penurunan kualitas
lingkungan hidup dan peningkatan potensi bencana ekologis; (ii)
kecenderungan meningkatnya pencemaran lingkungan; (iii)
meningkatnya luas wilayah yang tercemar dan rusak berat; (iv)
masih rendahnya kapasitas sumber daya manusia dan institusi
pengelola dan juga masih rendahnya kesadaran masyarakat; (v)
2 - 109
belum terpadunya kebijakan pengelolaan keanekaragaman hayati
dan potensi timbulnya konflik antar daerah dalam pemanfaatan dan
pengelolaan; (vi) bertambahnya lahan kritis dan kerusakan hutan;
(vii) perlunya peningkatan koordinasi dalam pengelolaan hutan dan
konservasi; (viii) belum optimalnya pengawasan pemanfaatan ruang;
(ix) masih lemahnya koordinasi dan sinergitas antar pihak yang
terlibat di dalam pengelolaan DAS; (x) pengelolaan terumbu karang,
lamun dan mangrove yang perlu terus ditingkatkan; (xi) pemanfaatan
sumber daya kelautan yang kurang memperhatikan keseimbangan
ekosistem alam; serta (xi) pencemaran laut di daerah pesisir akibat
kegiatan di darat dan laut, termasuk tumpahan minyak di laut.
Sementara itu tantangan pokok dalam Sistem Peringatan Dini
adalah tetap terkelolanya Sistem Peringatan Dini Cuaca (MEWS)
dan Sistem Peringatan Dini Iklim (CEWS), sehingga data dan
informasi yang diperoleh dapat segera disampaikan kepada
masyarakat secepatnya. Permasalahan yang dihadapi dalam Sistem
Peringatan Dini adalah: (i) belum tersedianya jaringan komunikasi
yang dapat mendiseminasikan peringatan dini sampai tingkat
kecamatan di seluruh wilayah Indonesia; (ii) masih terjadinya
kesalahan dalam interpretasi informasi sehingga belum dapat
dimanfaatkan secara optimal oleh sektor-sektor terkait, serta (iii)
masih rendahnya kualitas sumber daya manusia pengelola Sistem
Peringatan Dini.
Dalam hal penanganan bencana, besarnya potensi ancaman
bencana alam di wilayah Indonesia merupakan gambaran dari
kondisi geografis wilayah Indonesia, yang terletak pada pertemuan 3
jalur lempeng dunia yang aktif, yaitu: lempeng Indo-Australia,
lempeng Pasifik dan lempeng Eurasia. Interaksi antar lempeng
tersebut telah menempatkan Indonesia sebagai wilayah yang
memiliki aktivitas kegunungapian dan kegempabumian yang tinggi.
Disamping itu, relief permukaan yang bervariasi dari wilayah
pegunungan hingga landaian pantai menyimpan potensi bencana
2 - 110
longsor, banjir dan tsunami yang tinggi. Kurangnya kesadaran
pemerintah maupun masyarakat akan potensi ancaman bencana
tersebut turut memicu meningkatkan kerentanan.
Seiring dengan perubahan paradigma penanganan bencana
yang telah mengalami perubahan yang semula lebih berorientasi
pada penanganan darurat, menjadi upaya pencegahan dan
pengurangan risiko bencana, diharapkan dapat menyikapi
permasalahan dalam penanggulangan bencana, seperti: (i) belum
memadainya kinerja penanggulangan bencana karena keterbatasan
kapasitas sumberdaya manusia; (ii) keterbatasan sumber daya
rehabilitasi dan rekonstruksi, menyebabkan terhambatnya proses
pemulihan wilayah pasca bencana; (iii) besarnya ketergantungan
pendanaan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat dalam
pendanaan penyelenggaraan penanggulangan bencana; dan (iv)
belum tersedianya secara menyeluruh kerangka geodesi dan
geodinamika serta belum memadainya sarana dan prasarana
peringatan dini bencana gempa dan tsunami.
2.9.2.LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN
HASIL YANG DICAPAI
DAN
HASIL-
Sebagai wujud komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi
gas rumah kaca sebesar 26% pada tahun 2020, pada tahun 2010 telah
disusun Rancangan Peraturan Presiden mengenai Rencana Aksi
Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) 2020,
yang selanjutnya akan dilaksanakan oleh masing-masing sektor
terkait. Sementara di tingkat daerah juga akan disusun Rencana Aksi
Daerah (RAD-GRK) dalam kurun waktu 12 (dua belas) bulan sejak
RAN-GRK ditetapkan sebagai Perpres. Disamping itu, telah disusun
pula Rancangan Peraturan Presiden tentang Inventarisasi Gas Rumah
Kaca, yang bertujuan untuk menyediakan informasi secara berkala
mengenai tingkat, status dan serapan emisi GRK, termasuk informasi
2 - 111
pencapaian penurunan emisi GRK. Disamping itu, dalam
mengembangkan mekanisme pengelolaan pendanaan untuk
penanganan perubahan iklim telah dibentuk Indonesia Climate
Change Trust Fund (ICCTF) yang merupakan alternatif mekanisme
pendanaan yang disesuaikan dengan peraturan perundangan di
Indonesia. Pada tahun 2010 melalui ICCTF telah didanai 3 (tiga)
kegiatan percontohan (pilot project), yaitu (i) pengembangan
manajemen lahan gambut berkelanjutan, (ii) konservasi energi pada
industri baja dan pulp kertas, dan (iii) penyadaran publik, pelatihan
dan pendidikan.
Selanjutnya, upaya pengendalian pencemaran dan kerusakan
lingkungan dilakukan untuk mempertahankan kelestarian lingkungan
dan meningkatkan kualitas daya dukung lingkungan. Langkah
kebijakan yang telah dilaksanakan dan hasil yang telah dicapai
antara lain adalah: (i) Pengendalian dan pemulihan kerusakan
ekosistem situ, danau, dan waduk; (ii) pengendalian pencemaran
lingkungan dengan perbaikan pelaksanaan Program Kali Bersih
(PROKASIH); (iii) pengawasan intensif kepada perusahaanperusahaan yang berpotensi mencemari lingkungan terus
ditingkatkan melalui Program Peringkat Kinerja Perusahaan
(PROPER); (iv) program langit biru dengan mengembangkan
standar dan teknologi emisi dan kebisingan kendaraan; (v)
menurunkan beban pencemaran limbah B3 dan pemulihan lahan
terkontaminasi limbah; (vi) mencegah penurunan dan kerusakan
keanekaragaman hayati dengan melaksanakan Program Taman
Keanekaragaman Hayati (Kehati); (vii) peningkatan tata kelola
lingkungan yang baik; (viii) peningkatan penguatan kelembagaan
pengelolaan lingkungan hidup di daerah, serta (ix) penataan dan
penegakan hukum lingkungan. Pada tahun 2011 ditargetkan beban
pencemaran lingkungan akan menurun dan tingkat polusi juga
menurun yang didukung oleh pelaksanaan pengendalian pencemaran
air, udara, dan limbah padat di daerah, serta memperkuat
2 - 112
pelaksanaan Standar Pelayanan Minimum (SPM) bidang lingkungan
hidup.
Sementara itu, upaya lain yang dilakukan adalah peningkatan
konservasi dan rehabilitasi sumber daya hutan melalui: (i) penataan
batas kawasan; (ii) konservasi termasuk penanggulangan illegal
logging dan kebakaran hutan, pengembangan jasa lingkungan dan
rehabilitasi hutan dan lahan; (iii) peningkatan fungsi daya dukung
daerah aliran sungai (DAS); (iv) koordinasi para pemangku
kepetingan di tingkat provinsi dalam rangka penyusunan DAS
Terpadu di 36 DAS Prioritas; dan (v) peningkatan penelitian, ilmu
pengetahuan dan teknologi kehutanan.
Selanjutnya, dalam rangka memelihara ekosistem wilayah
pesisir dan laut guna menjaga kelestarian sumber daya ikan dan biota
lainnya, langkah-langkah yang telah dilakukan antara lain adalah (i)
penyusunan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil; (ii) penyusunan peraturan tentang mitigasi bencana
pesisir, peningkatan ketahanan masyarakat pesisir atas dampak
perubahan iklim; (iii) rehabilitasi mangrove dan terumbu karang;
serta (iv) pengelolaan kawasan konservasi perairan. Hasil yang
telah dicapai antara lain, adalah (i) penetapan kawasan konservasi
perairan seluas 13,95 juta hektar; (ii) rehabilitasi mangrove seluas
47 hektar; (iii) kerjasama antarnegara dalam pengelolaan sumber
daya kelautan melalui Coral Triangle Initiative (CTI), The Arafura
and Timor Seas Ecosystem Action (ATSEA), serta (iv) rehabilitasi
ekosistem terumbu karang di 16 kabupaten/kota di 8 provinsi.
Dalam hal pengembangan Sistem Peringatan Dini, kebijakan
yang ditempuh adalah meningkatkan pelayanan data dan informasi
meteorologi publik serta peringatan dini cuaca ekstrim, dan
menyediakan kebijakan teknis dalam penanganan penyediaan
informasi dini gempa bumi dan peringatan dini tsunami. Hasil-hasil
yang telah dicapai adalah terkelolanya Sistem Peringatan Dini Cuaca
(MEWS) dan Sistem Peringatan Dini Iklim (CEWS) meliputi
2 - 113
antara lain adalah (i) Radar Cuaca; (ii) Automatic Weather Station
(AWS); (iii) Automatic Rain Gauge (ARG), dan (iv) Penakar Hujan
Observasi sebanyak 1000 unit. Disamping itu, dihasilkan Atlas
Normal Ikilm di Indonesia periode 1971 - 2000 yang memuat
informasi iklim, meliputi curah hujan, kelembaban udara, suhu
udara, arah angin dan kecepatan angin. Terkelolanya Sistem
Operasional Peringatan Dini Tsunami Indonesia (Ina TEWS) yang
meliputi antara lain, jaringan Sensor Seismik, Sistem Sirine,
Sistem Komunikasi dan Integrasi, dan Sistem Prosesing; Sistem
Monitoring CCTV, jaringan Accelerometer, dan jaringan Digital
Video Broadcast (DVB).
Dalam rangka mendukung pelaksanaan penanggulangan
bencana yang efektif, terpadu dan menyeluruh, kebijakan
pembangunan dalam bidang penanggulangan bencana dititik
beratkan pada: (i) peningkatan upaya pengurangan risiko bencana
melalui integrasi ke dalam prioritas pembangunan nasional dan
daerah serta penguatan kelembagaan penanggulangan bencana; (ii)
peningkatan kapasitas penanganan kedaruratan dan penanganan
korban yang terkena dampak bencana alam dan kerusuhan sosial
secara terkoordinasi, efektif dan terpadu dengan dukungan alat
transportasi yang memadai dengan basis 2 lokasi strategis: Jakarta
dan Malang; (iii) pemulihan wilayah pascabencana bencana, dengan
fokus pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah
pascabencana Wasior, Provinsi Papua Barat, Kepulauan Mentawai
Provinsi Sumatera Barat, erupsi Gunung Merapi dan Banjir Lahar
Dingin di wilayah Provinsi D.I. Yogyakarta dan Provinsi Jawa
Tengah serta wilayah pasca bencana alam lainnya.
Pencapaian pelaksanaan sesuai dengan arah kebijakan yang
ditetapkan sampai dengan triwulan kedua tahun 2011 adalah: (i)
telah dibentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di
33 Provinsi dan 365 kabupaten/kota; (ii) telah dibentuk Satuan
Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana (SRC-PB) yang berbasis di
2 - 114
Jakarta dan Malang; (iii) Rencana Penanggulangan Bencana 20102014 sebagai kerangka kebijakan penanggulangan bencana nasional
yang ditetapkan melalui Peraturan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) Nomor 3 Tahun 2010; (iv)
Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana 2010—2012
yang ditetapkan melalui Peraturan Kepala BNPB No. 5 Tahun 2010;
dan (v) telah disusun informasi geospasial berbagai tema, baik matra
darat maupun matra laut, sedangkan untuk kebutuhan khusus disusun
pula berbagai atlas.
Dalam rangka pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di
wilayah yang terkena dampak bencana di Wasior, Mentawai dan
erupsi Gunung Merapi di Provinsi DI Yogyakarta dan Jawa Tengah,
telah diterbitkan: (i) Keputusan Presiden No. 16 Tahun 2011
tertanggal 5 Juli 2011 tentang Tim Koordinasi Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Wilayah Pascabencana Erupsi Gunung Merapi di
Provinsi D.I. Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah; (ii) Rencana
Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Wilayah Pascabencana
Erupsi Gunung Merapi di Provinsi D.I. Yogyakarta dan Provinsi
Jawa Tengah Tahun 2011-2013, yang telah ditetapkan melalui
Peraturan Kepala BNPB No. 5 Tahun 2011; (iii) Rencana Aksi
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pascabencana Gempabumi
dan Tsunami di Wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi
Sumatera Barat Tahun 2011-2013, yang telah ditetapkan melalui
Peraturan Kepala BNPB No. 3 Tahun 2011; serta (iv) Rencana Aksi
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pascabencana Banjir
Bandang di Wasior Kabupaten Teluk Wondama, Provinsi Papua
Barat Tahun 2010—2011, yang telah ditetapkan melalui Peraturan
Kepala BNPB No. 2 Tahun 2011.
2.9.3. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN
Tindak lanjut yang diperlukan dalam penanggulangan
perubahan iklim, antara lain adalah ( i ) terus dilakukannya
upaya-upaya dalam mengurangi lahan kritis melalui rehabilitasi dan
2 - 115
reklamasi hutan; (ii) peningkatan pengelolaan kualitas ekosistem
lahan gambut; (iii) terus ditingkatkannya kualitas kebijakan
konservasi dan pengendalian kerusakan hutan dan lahan yang
terpadu; (iv) rehabilitasi dan konservasi ekosistem pesisir; (v)
evaluasi pemanfaatan ruang berdasarkan daya dukung dan daya
tampung lingkungan yang bersifat lintas K/L; (vi) dukungan terhadap
penelitian dan pengembangan untuk penurunan gas rumah kaca dan
adaptasi perubahan iklim; (vii) peningkatan kapasitas adaptasi dan
mitigasi perubahan iklim di berbagai sektor pembangunan dan
daerah; dan (viii) penyusunan insentif ekonomi dan fiskal bagi
pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah untuk
berpartisipasi dalam program penanganan perubahan iklim. Selain
itu, Peraturan Presiden mengenai RAN-GRK akan segera ditetapkan
yang akan menjadi peraturan payung bagi seluruh sektor, dan akan
ditindaklanjuti dengan disusunnya pedoman untuk penyusunan
Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RADGRK). Demikian pula dengan Peraturan Presiden tentang
Inventarisasi Gas Rumah Kaca akan diselesaikan.
Sementara itu, tindak lanjut yang diperlukan dalam
pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan adalah
meningkatkan kualitas pengelolaan daya dukung lingkungan hidup
agar kemampuannya dapat pulih kembali dalam mendukung
pembangunan nasional yang berkelanjutan, yang terutama
difokuskan pada : (i) penurunan beban pencemaran lingkungan
akibat meningkatnya aktivitas pembangunan; (ii) menekan laju
kerusakan SDA dan lingkungan hidup, melalui upaya konservasi dan
rehabilitasi ekosistem yang rusak, baik di kawasan hutan, laut,
pesisir, maupun di areal bekas pertambangan, serta pengelolaan
keanekaragaman hayati dengan melakukan update Indonesia
Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP); (iii) penguatan
kelembagaan serta peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat
dalam perbaikan kualitas lingkungan hidup; (iv) rehabilitasi hutan
dan lahan serta reklamasi hutan di DAS prioritas; (v) pembinaan
2 - 116
penyelenggaraan pengelolaan DAS; (vi) pengendalian kebakaran
hutan; serta (vii) menurunkan tindak pidana kehutanan.
Terkait dengan pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan,
arah dan kebijakan yang akan dikembangkan dilakukan melalui
langkah-langkah: (i) melanjutkan proses internalisasi prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan yang berdasarkan pada 3 (tiga) pilar
utama pembangunan berkelanjutan; (ii) menjabarkan hal-hal konkrit
dalam pilar kerangka kelembagaan untuk mempercepat internalisasi
3 (tiga) prinsip pembangunan berkelanjutan, serta (iii) menyepakati
ukuran-ukuran untuk pembangunan berkelanjutan yang tepat dan
dapat digunakan, baik di tingkat nasional dan daerah, sehingga
prinsip pembangunan berkelanjutan dapat berjalan nyata di lapangan.
Selanjutnya, tindak lanjut yang diperlukan dalam
pengembangan Sistem Peringatan Dini adalah (i) menyediakan
informasi peringatan dini cuaca ekstrim di seluruh wilayah
Indonesia; (ii) menyediakan informasi cuaca secara rutin untuk
mendukung keselamatan transportasi dan masyarakat; (iii)
mengembangkan sistem peringatan dini iklim ekstrim dan sistem
informasi dini kualitas udara; (iv) meningkatkan ragam dan
jangkauan informasi iklim, perubahan iklim, dan kualitas udara; (v)
meningkatkan kecepatan, keakuratan, dan jangkauan diseminasi
informasi dini gempa bumi dan peringatan dini tsunami.
Sementara, untuk pelaksanaan penanggulangan bencana,
tindak lanjut yang diperlukan adalah: (i) mengintegrasikan kebijakan
penanggulangan
bencana
nasional
ke
dalam
kebijakan
penanggulangan bencana di daerah, dimana dalam penjabaran
Rencana Penanggulangan Bencana Nasional dilaksanakan dengan
menyusun Rencana Penanggulangan Bencana Daerah, serta
penyusunan Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana,
sebagai acuan pelaksanaan pengurangan risiko bencana oleh
berbagai pemangku kepentingan di daerah; (ii) peningkatan kapasitas
penanggulangan bencana di daerah guna meningkatkan
2 - 117
kesiapsiagaan dan kewaspadaan pemerintah daerah serta masyarakat
daerah dalam menghadapi bencana; serta (iii) percepatan
pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pascabencana
Wasior, Provinsi Papua Barat, Kepulauan Mentawai Provinsi
Sumatera Barat, erupsi Gunung Merapi dan Banjir Lahar Dingin di
wilayah Provinsi D.I. Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah serta
wilayah pasca bencana alam lainnya, serta (iv) mengoptimalkan
sumberdaya yang ada dalam menghasilkan data dan informasi
kerangka geodesi dan geodinamika serta pasang surut laut real time
sehingga dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan khususnya
dalam rangka mitigasi bencana.
2.10 PRIORITAS NASIONAL 10: DAERAH TERTINGGAL,
TERDEPAN, TERLUAR, DAN PASCAKONFLIK
Program aksi untuk daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan
pascakonflik (DT3PK) ditujukan untuk pengutamaan dan
penjaminan pertumbuhan di daerah tertinggal, terdepan, terluar serta
keberlangsungan kehidupan damai di wilayah pascakonflik. Dalam
Prioritas Nasional 10 ini terdapat empat Substansi Inti sebagai
berikut: (1) kebijakan khusus di bidang infrastruktur dan pendukung
kesejahteraan lainnya yang dapat mendorong pertumbuhan di
DT3PK; (2) kerjasama internasional, termasuk di dalamnya adalah
pembentukan kerjasama dengan negara-negara tetangga dalam
rangka pengamanan wilayah dan sumberdaya kelautan; (3) keutuhan
wilayah yang meliputi penyelesaian batas dan pemetaan wilayah
perbatasan RI dengan Malaysia, Papua Nugini, Timor Leste, dan
Filipina; dan (4) pengentasan daerah tertinggal di sedikitnya 50
kabupaten paling lambat pada Tahun 2014.
Prioritas Nasional 10 sesuai dengan RPJMN Tahun 2010—
2014 bertujuan untuk menghasilkan pengutamaan dan penjaminan
pertumbuhan di daerah tertinggal, terdepan, terluar serta
2 - 118
keberlangsungan kehidupan damai di wilayah pascakonflik.
Selanjutnya, permasalahan, pencapaian, serta tindak lanjut yang
dilakukan untuk membangun daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan
pascakonflik dijabarkan menurut substansi inti seperti tersebut di
atas.
2.10.1. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
2.10.1.1. Substansi Inti 1: Kebijakan Khusus dalam Bidang
Infrastruktur dan Pendukung Kesejahteraan Lainnya
di Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar dan
Pascakonflik
Secara umum, pembangunan infrastruktur di DT3PK masih
diwarnai dengan ketimpangan yang besar dengan daerah maju. Pada
bidang transportasi, permasalahan yang dihadapi adalah: (1) masih
terbatasnya jumlah prasarana dan sarana penyeberangan angkutan sungai
danau dan penyeberangan di daerah tertinggal dan perbatasan; (2)
masih terbatasnya angkutan laut untuk penumpang di daerah tertinggal
dan perbatasan, sedangkan faktanya kebutuhan angkutan penumpang
lebih dominan dari barang; (3) masih rendahnya aksesibilitas
pelayanan angkutan udara di daerah tertinggal dan perbatasan; (4)
masih rendahnya ketersediaan dan kualitas jalan untuk mendukung
pengamanan batas wilayah dan kegiatan sosial ekonomi masyarakat.
Di bidang telekomunikasi, ketimpangan penyediaan infrastruktur
komunikasi dan informatika masih menjadi masalah. Pada Tahun
2009, lebih dari 80 persen infrastruktur akses terdapat di wilayah
barat Indonesia dan baru dua persen desa blank spot yang menjadi
target program Universal Service Obligation (USO) memiliki akses
internet. Di bidang energi, permasalahan yang dihadapi di daerah
tertinggal dan perbatasan adalah terbatasnya akses terhadap sumber
energi baik untuk melayani kebutuhan rumah tangga, fasilitas umum
dan juga sektor produksi
2 - 119
Permasalahan dihadapi dalam pembangunan transmigrasi
adalah (1) banyaknya tanah milik transmigran yang statusnya belum
legal; (2) belum serasinya program antar instansi terkait
pembangunan transmigrasi; (3) masih terbatasnya kualitas prasarana
dan sarana pemukiman; (4) belum terintegrasinya pemukiman
transmigrasi dengan desa setempat; (5) kurangnya kesiapan calon
transmigran; (6) kurangnya dukungan tenaga ahli yang kompeten
dalam merencanakan pembangunan kawasan transmigrasi di
perdesaan; (7) adanya potensi konflik interaksi antara penduduk
pendatang dan penduduk setempat.
Selanjutnya, di bidang pendidikan,
permasalahan yang
dihadapi di daerah tertinggal dan perbatasan, yaitu: (1) masih belum
meratanya distribusi sarana dan prasarana pendidikan; (2) masih
sulitnya aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan pendidikan
akibat faktor topografi wilayah dan populasi yang tersebar dalam
jumlah yang relatif kecil, dan keterbatasan infrastruktur; (3) masih
rendahnya kualitas tenaga pendidik; (4) masih belum optimalnya
pendidikan ketrampilan (life skill); (5) masih rendahnya kesadaran
masyarakat untuk menempuh pendidikan formal; (6) insentif yang
diberikan masih belum cukup menarik minat tenaga pendidik untuk
bertugas di daerah tertinggal dan perbatasan.
Di bidang kesehatan, permasalahan yang dihadapi di daerah
tertinggal dan perbatasan, yaitu: (1) masih belum meratanya
distribusi sarana dan prasarana kesehatan; (2) masih sulitnya
aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan akibat faktor
topografi wilayah dan populasi yang tersebar dalam jumlah yang
relatif kecil; (3) masih rendahnya kualitas tenaga kesehatan; (4)
masih terbatasnya ketersediaan obat serta pengawasan obat dan
makanan, serta belum optimalnya cakupan pengawasan sarana
produksi obat dan makanan; (5) belum optimalnya operasionalisasi
pelayanan kesehatan akibat kurangnya dukungan infrastruktur
penunjang lainnya; serta (6) masih terbatasnya pembiayaan
2 - 120
kesehatan untuk memberikan jaminan perlindungan kesehatan
masyarakat terutama penduduk miskin dan sektor informal
2.10.1.2.
Substansi Inti 2: Kerjasama Internasional
Kerjasama internasional dalam pengelolaan batas wilayah dan
kawasan perbatasan sangat diperlukan untuk menghadapi beberapa
permasalahan yang terkait dengan pengamanan wilayah dan
sumberdaya kelautan antara lain: (1) pencurian ikan dan kegiatan
penangkapan ikan yang merusak baik oleh kapal asing maupun kapal
Indonesia; (2) penyelundupan barang, termasuk narkoba dan senjata;
(3) penyelundupan manusia; dan (4) imigran ilegal.
2.10.1.3.
Substansi Inti 3: Keutuhan wilayah
Untuk mendukung upaya penegakan keutuhan wilayah NKRI,
masih terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi antara lain : (1)
belum diselesaikannya delimitasi batas wilayah negara di beberapa
segmen batas melalui kesepakatan dengan negara tetangga; (2)
belum memadainya jumlah dan sarana prasarana pos pertahanan dan
pos pengamanan di pulau-pulau terdepan; (3) masih rendahnya
kesejahteraan personel penjaga perbatasan yang mempengaruhi
kinerja sehingga tidak optimal dalam melakukan pengamanan
wilayah perbatasan; dan (4) belum optimalnya koordinasi, integrasi,
sinkronisasi, dan sinergitas antar sektor terkait dalam pembangunan
kawasan perbatasan sebagai beranda depan negara.
2.10.1.4.
Substansi Inti 4: Daerah Tertinggal
Permasalahan sosial-ekonomi dalam pembangunan di 183
kabupaten daerah tertinggal dihadapkan pada beberapa permasalahan
yaitu: (1) rendahnya kualitas sumber daya manusia dan tingkat
kesejahteraan masyarakat yang tercermin dari rendahnya tingkat
pendidikan keterampilan angkatan kerja, derajat kesehatan
masyarakat dan tingginya tingkat kemiskinan; (2) belum optimalnya
pengelolaan potensi sumber daya lokal dalam pengembangan
2 - 121
perekonomian daerah tertinggal, karena: (a) rendahnya kemampuan
permodalan, penguasaan teknologi, informasi pasar dan investasi
dalam pengembangan produk unggulan daerah, dan (b) rendahnya
kapasitas kelembagaan pemerintah daerah dan masyarakat dalam
pengelolaan sumberdaya lokal; (3) lemahnya koordinasi dan
keterpaduan antara pelaku pengembangan daerah tertinggal, yaitu
pemerintah, swasta, lembaga nonpemerintah, dan masyarakat serta
antara tiga level pemerintahan, yaitu pemerintah pusat, pemerintah
provinsi, dan pemerintah kabupaten; (4) belum optimalnya tindakan
afirmatif kepada daerah tertinggal, khususnya pada aspek kebijakan
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, koordinasi, dan
pengendalian pembangunan; (5) belum memadainya insentif bagi
para petugas pemerintah dan pelayan masyarakat yang bekerja di
daerah terpencil dan perbatasan telah mendapatkan perhatian; serta
(6) terbatasnya data yang ada di pusat sehingga belum dapat
menggambarkan total kebutuhan percepatan pembangunan daerah.
2.10.2. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASILHASIL YANG DICAPAI
Sejalan dengan arah kebijakan RPJMN 2010—2014,
reformulasi arah kebijakan program untuk meningkatan
kesejahteraan dan memperkokoh kedaulatan negara telah
diselaraskan dalam upaya percepatan pembangunan DT3PK. Sasaran
untuk pembangunan daerah tertinggal antara lain: (1) meningkatnya
rata-rata pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal sebesar 6,8
persen pada Tahun 2012; (2) berkurangnya persentase penduduk
miskin di daerah tertinggal hingga mencapai rata-rata sebesar 16,6
persen pada Tahun 2012; dan (3) meningkatnya kualitas sumberdaya
manusia di daerah tertinggal yang diindikasikan oleh rata-rata Indeks
pembangunan manusia (IPM) pada Tahun 2012 menjadi 69,9.
2 - 122
Arah kebijakan dalam rangka percepatan pembangunan daerah
tertinggal adalah meningkatkan sinergi antar sektor pembangunan
dan antara pemerintah pusat dan daerah dalam rangka meningkatkan
perekonomian daerah dan kesejahteraan masyarakat yang dijabarkan
ke dalam upaya-upaya sebagai berikut: (1) pengembangan ekonomi
lokal di daerah tertinggal; (2) penguatan kelembagaan masyarakat
dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya lokal di
daerah tertinggal; (3) peningkatan pelayanan kesehatan yang
berkualitas dan terjangkau di daerah tertinggal; (4) peningkatan
pelayanan pendidikan yang berkualitas di daerah tertinggal; dan (5)
peningkatan sarana dan prasarana infrastruktur daerah tertinggal
serta peningkatan aksesibilitas daerah tertinggal dengan pusat-pusat
pertumbuhan.
Sesuai dengan kebijakan dalam RPJMN 2010—2014, sasaran
untuk pembangunan kawasan perbatasan antara lain: (1)
terselesaikannya secara bertahap permasalahan perbatasan; (2)
tercapainya kemajuan yang signifikan dalam upaya penyelesaian
segmen batas darat, dengan prioritas batas negara antara RI-Malaysia
di Pulau Kalimantan dan RI-Timor Leste di Provinsi NTT; (3)
menurunnya tingkat kejadian kegiatan ilegal secara gradual di
seluruh kawasan perbatasan darat dan laut; (4) meningkatnya akses
masyarakat kepada sarana dan prasarana dasar, dengan prioritas 39
kecamatan perbatasan prioritas; (5) meningkatnya pendapatan
masyarakat dengan prioritas di 39 kecamatan perbatasan prioritas;
(6) terciptanya keterkaitan sistem produksi dan distribusi antara
Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) dengan pusat kegiatan di
kecamatan perbatasan sekitarnya dalam suatu sistem kawasan
pengembangan ekonomi.
Sedangkan arah kebijakan yang terkait dengan pembangunan
kawasan
perbatasan
adalah
mengoptimalkan
dan
mengkonsolidasikan seluruh pemangku kepentingan dalam
penegakan kedaulatan wilayah NKRI dan membuka akses
2 - 123
masyarakat terhadap pelayanan sosial-ekonomi melalui upaya-upaya
strategis sebagai berikut: (1) peningkatan diplomasi perbatasan dan
menindaklanjuti hasil-hasil perundingan perbatasan; (2) penyelesaian
penetapan dan penegasan batas wilayah negara; (3) peningkatan
upaya pertahanan, keamanan, serta penegakan hukum; (4)
peningkatan kegiatan ekonomi
di kawasan perbatasan; (5)
peningkatan pelayanan sosial dasar; dan (6) penguatan kapasitas
kelembagaan dalam upaya pengembangan kawasan perbatasan
secara terintegrasi.
2.10.2.1. Substansi Inti 1: Kebijakan Khusus dalam Bidang
Infrastruktur dan Pendukung Kesejahteraan Lainnya
di Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar dan
Pascakonflik
Pencapaian di bidang infrastruktur dan pendukung
kesejahteraan lainnya di daerah tertinggal selama kurun waktu sejak
pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II sampai dengan bulan Juni
2011 adalah sebagai berikut. Pertama, Angkutan Sungai, Danau dan
Penyeberangan: (1) pembangunan terminal penumpang di 15 lokasi
diantaranya : Kabupaten Aceh Timur, Nagan Raya; Meulaboh, Aceh
Barat; Ogan Ilir, Sumatera Selatan; Tasikmalaya, Jawa Baratr;
Wonosari, DIY; Pacitan, Jawa Timur; Sei Ambawang, Kalimantan
Barat; Palangkaraya; Banjar Baru, Kalimantan Selatan; Tana Toraja,
Sulawesi Selatan; Simbuang, Sulawesi Barat; Entrop, Papua; Barru,
Sulawesi Selatan; Wonogiri, Jawa Tengah; (2) subsidi operasional
bus perintis 145 lintas di 22 Provinsi; (3) penyelesaian pembangunan
17 dermaga penyeberangan baru; (4) penyelesaian pembangunan 36
dermaga penyeberangan lanjutan; (5) penyelesaian pembangunan 2
dermaga sungai lanjutan, yaitu Sungai Bayung Lencir dan Sungai
Kayan; (6) penyelesaian pembangunan 17 kapal berupa kapal
penyeberangan perintis baru dan kapal kerja; (7) penyelesaian
pembangunan 9 kapal penyeberangan perintis lanjutan, yaitu untuk
lintas penyeberangan perintis Labuhan Haji—Sinabang, Tanjung
2 - 124
Pinang—Karimun, Dabo—Kuala—Tungkal, Tagulandang—Siau—
Biaro, Namlea—Sanana, Ilwaki—Kisar—Moa—Lakor, Babang—
Obi—Sanana, Nabire—Manokwari, Kuala Tungkal—Tanjung—
Uban; (8) penyelesaian rehabilitasi 14 dermaga penyeberangan, yaitu
rehabilitasi pelabuhan penyeberangan di Labuhan Haji, Ulee Lheue,
Kahyapu, Pototano, Rasau Jaya, Luwuk, Gorontalo, Mamuju, Kulur,
Wairiang—Haruku, Tual, Kabuena, Biak, Manokwari; (9)
penyelesaian rehabilitasi 10 dermaga sungai, yaitu rehabilitasi
Dermaga Sungai di Kuala Teladas, Cabang Sei Way Seputih,
Kalipucang, Eretan, Wijaya Pura, Danau Mare, Bareng Bengkel,
Kumai, Pasar Baru, Tarailu; (10) penyelesaian rehabilitasi 7 dermaga
danau, yaitu rehabilitasi Dermaga Sungai di Gajah Mungkur, Mijing,
Cisentul, Sermo, Klepu, Sermo tengah, Danau Matano Lintas NuhaSoroako, Danau Matano Lintas Soroako—Nuha; (11) penyelesaian
pembangunan rambu Sungai Sebanyak 1.062 Unit, yaitu Sungai
Penyebuan (24 unit), Sumsel (100 Unit), Sungai Tulang Bawang (38
Unit), Sunagi Way Seputih (36 Unit), Sermo (14 Unit), BaritoKapuas, Katingan-dan Mentaya (400 Unit), Papua Barat (400 Unit);
(12) pelaksanaan subsidi angkutan penyeberangan perintis pada 115
lintas penyeberangan perintis untuk 53 kapal penyeberangan.
Kedua, Angkutan Laut: (1) Angkutan Laut Perintis sampai
dengan Tahun anggaran 2011, pemerintah telah mengoperasikan
kapal type coaster sebanyak 28 unit kapal yang melayani 61 (enam
puluh satu) trayek; (2) telah diselesaikan pembangunan pelabuhan di
5 lokasi (Beo-Lirung-Propinsi Sulawesi Utara Kakorotang-LirungPropinsi Sulawesi Utara, Belang-Sulawesi Utara, Karimun JawaJawa Tengah, Ilwaki-Maluku) tersebar di 3 provinsi. Ketiga,
Angkutan Udara, pembangunan dan pengembangan bandar udara
strategis, yaitu Bandar Udara Juanda-Surabaya, Bandara Hasanuddin
Makassar, Pembangunan Bandar Udara Kuala Namu-Medan Baru,
Bandar Udara Samarinda Baru, Bandar Udara Lombok Baru.
2 - 125
Pembangunan komunikasi dan informatika sejak pembentukan
Kabinet Indonesia Bersatu II hingga Juni 2011 telah menghasilkan
berbagai pencapaian program prioritas dan strategis di antaranya
adalah (1) penyediaan layanan pos di 2.363 kantor pos cabang luar
kota (KPCLK) melalui program PSO; (2) pengoperasian akses
telekomunikasi di 28.288 desa, Pusat Layanan Internet Kecamatan
(PLIK) di 5.037 desa ibukota kecamatan, Nusantara Internet
Exchange (NIX) di 5 kota, serta Desa Informasi di 16 kabupaten
melalui program USO; (3) pengoperasian jaringan tulang punggung
(backbone) serat optik berkualitas broadband oleh PT Telkom yang
pada Tahun 2010 sudah menjangkau 323 ibukota kabupaten/kota
atau sekitar 65 persen dari total ibukota kabupaten/kota serta
pembangunan link Mataram-Kupang sebagai bagian dari Palapa
Ring; (4) penyelesaian model bisnis Information and
Communications Technology (ICT) Fund sebagai salah satu sumber
pembiayaan pengembangan TIK secara umum dan jaringan
broadband serat optik Palapa Ring pada khususnya; (5) pemberian
izin penyelenggaraan akses nirkabel pita lebar (broadband wireless
access) secara kompetitif untuk 15 zona di Indonesia; (6)
pengoperasian (on air) pemancar TVRI di 30 lokasi non komersial;
(7) penetapan Digital Video Broadcasting (DVB) sebagai standar TV
digital serta pembangunan pemancar TV digital di Jakarta, Surabaya,
dan Batam; (8) dimulainya pembangunan community access point
(CAP) di 56 kecamatan dari target 112 kecamatan di Jawa Barat dan
Banten, dan di 29 kecamatan dari target 110 kecamatan di Lampung;
(9) selesainya pengembangan sistem e-pendidikan di 110 sekolah di
provinsi DIY yang akan dilanjutkan ke 390 sekolah lainnya; (10)
pencapaian indeks e-government sebesar 2,3 (kategori kurang),
pengembangan 15 aplikasi e-government, serta penyediaan
bimbingan teknis dan pendampingan untuk pemerintah daerah; (11)
fasilitasi pemanfaatan open source software di antaranya untuk
Pemko Makassar, Pemkab Jayapura, Pemkab Klungkung, Pemko
Pekalongan, dan Pemko Bogor; serta (12) pengoperasian pusat
2 - 126
pendidikan dan pelatihan TIK (ICT Training Center) di Tangerang
Selatan bekerjasama dengan UIN Syarif Hidayatullah dan Jababeka.
Melalui pengembangan berbagai kebijakan di sektor telekomunikasi,
tingkat penetrasi total akses telekomunikasi hingga akhir Tahun 2010
tumbuh sekitar 27 persen dari Tahun 2009 atau mencapai 105,9
persen (melebihi jumlah populasi Indonesia) yang terdiri dari tingkat
penetrasi akses kabel (PSTN) dan nirkabel (FWA dan seluler)
masing-masing sebesar 3,5 persen dan 102,4 persen.
Pada Tahun 2010 pembangunan kawasan transmigrasi di
daerah tertinggal dan perbatasan dilakukan di 67 Unit Pelayanan
Terpadu (UPT) dan 12 kabupaten dengan penempatan transmigran
sebanyak 7.486 KK/29.881 jiwa. Pada Tahun 2011, pembangunan
kawasan transmigrasi dilaksanakan di 77 lokasi pada 64 kabupaten.
Adapun hasil-hasil yang telah dicapai dalam pembangunan kawasan
transmigrasi di daerah tertinggal dan perbatasan sejak Tahun 2010
hingga akhir Juni 2011 adalah (1) terbukanya lahan pemukiman
transmigrasi seluas 3.833 Ha; (2) terbangunnya 6439 Rumah
Transmigran dan Jamban Keluarga (RTJK); (3) terfasilitasinya
perpindahan dan penempatan keluarga transmigran sebanyak 4.908
KK; (4) terbangunnya jalan penghubung sepanjang 380,4 km; dan
(5) penyediaan tanah seluas 184.502 Ha di daerah tertinggal dan
87.577 Ha di daerah perbatasan. Dalam memberikan kepastian hak
atas tanah transmigran, pada Tahun 2010 telah dilakukan fasilitasi
sertifikasi hak atas tanah transmigran bekerjasama dengan BPN
sebanyak 22.132 bidang atau 73,19 persen dari target 30.237 bidang.
Dalam upaya menarik minat stakeholder dan calon transmigran,
telah berhasil dilakukan: (1) peningkatan anima masyarakat yang
bertransmigrasi sejumlah 44.775 KK, (2) kesepakatan bersama antar
kabupaten/kota sejumlah 273 kesepakatan; dan (3) peningkatan UPT
yang ada di permukiman transmigrasi baik melalui Kawasan
Perkotaan Baru sebanyak 12 di daerah tertinggal dan 9 di daerah
perbatasan, maupun pembenahan infrastuktur di daerah tertinggal,
meliputi fasilitas umum sebanyak 471 unit, dan Sarana Air Bersih
2 - 127
(SAB) sebanyak 6.296 unit; serta di daerah perbatasan meliputi
fasilitas umum sebanyak 79 unit, SAB sebanyak 1.855 unit.
Sedangkan beberapa hal yang dicapai dalam pengembangan
masyarakat dan kawasan transmigrasi adalah telah dilakukannya
penyerahan pembinaan transmigrasi ke Pemerintah Daerah sebanyak
31 permukiman transmigrasi dari target sebanyak 75 permukiman
transmigrasi.
Peningkatan akses dan kualitas pelayanan pendidikan
ditujukan untuk mengurangi kesenjangan taraf pendidikan
antarwilayah, gender, dan antartingkat sosial ekonomi di DT3K
adalah sebagai berikut. Pertama, pada Tahun 2010 Angka Partisipasi
Murni (APM) jenjang SD sederajat telah mencapai 95,41 persen;
Angka Partisipasi Kelas (APK) pada jenjang SMP sederajat telah
mencapai 98,20 persen; dan APK pada jenjang pendidikan menengah
70,53 persen, serta APK pendidikan tinggi mencapai 26,34 persen.
Kedua, pembangunan pendidikan juga telah berhasil meningkatkan
kemampuan keberaksaraan penduduk yang ditandai dengan semakin
menurunnya persentase buta aksara penduduk di atas 15 Tahun dari
10,21 persen pada Tahun 2004 menjadi 5,30 persen pada Tahun
2009.
Ketiga, disediakan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk
seluruh sekolah, madrasah, pondok pesantren salafiyah, yaitu sekolah
keagamaan Islam yang menyelenggarakan wajib belajar pendidikan
dasar 9 Tahun. Keempat, dalam rangka meningkatkan gizi siswa
Taman Kanak-Kanak/Raudhatul Athfal (TK/RA) dan SD/MI pada
Tahun 2010 telah diberikan pemberian makanan tambahan anak
sekolah (PMTAS) kepada sebanyak 69.981 siswa TK, 29.512 siswa
RA, 1.130.019 siswa SD, dan 131.354 siswa MI di daerah tertinggal,
terpencil, perbatasan, dan kepulauan.
Kelima, untuk meningkatkan kemampuan masyarakat miskin
menyekolahkan anaknya disediakan pula beasiswa bagi siswa miskin
untuk semua jenjang pendidikan. Pada Tahun 2010 sebanyak sekitar
2 - 128
2,8 juta siswa SD/MI, 1,4 juta siswa SMP/MTs, 874.750 siswa
SMA/SMK/MA, dan 130.000 mahasiswa PT/PTA telah mendapat
beasiswa miskin. Keenam, seiring dengan upaya mendorong
peningkatan kinerja pendidik, kesejahteraan pendidik juga terus
ditingkatkan antara lain melalui penyediaan tunjangan profesi bagi
guru dan dosen, tunjangan fungsional bagi guru PNS dan subsidi
tunjangan fungsional bagi guru Non-PNS, serta tunjangan khusus
untuk guru yang mengajar di daerah terpencil. Pada Tahun 2010,
sebanyak 44.000 guru baik di sekolah umum maupun madrasah di
daerah terpencil telah mendapatkan tunjungan khusus.
Di Bidang Kesehatan, dalam mendukung upaya perbaikan
status kesehatan di Daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan
(DTPK), adalah sebagai berikut. Pertama, program penempatan
tenaga kesehatandan penugasan khusus terus dilakukan. Berdasarkan
hasil pengumpulan data Tahun 2010 di peroleh gambaran
sumberdaya manusia di Bidang Kesehatan yang bekerja difasilitas
kesehatan berjumlah 501.052 orang dengan rincian tenaga kesehatan
sebanyak 391.745 orang dan tenaga non kesehatan sebanyak 109.309
orang. Sumberdaya manusia di Bidang Kesehatan ini tersebar di
seluruh fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah, baik di fasilitas
pelayanan kesehatan dasar maupun fasilitas kesehatan rujukan. Dari
data tersebut diperoleh jumlah dokter umum sebanyak 25.333 orang
(rasio 10,66 per 100.000 penduduk), dokter gigi sebanyak 8.731
orang (rasio 3,68 per 100.000 penduduk) dan bidan sebanyak 96.551
orang (rasio 40,64 per 100.000 penduduk). Kedua, pada Tahun 2010
telah dilakukan penempatan tenaga kesehatan tidak tetap (PTT) dan
penugasan khusus tenaga D3 kesehatan di DTPK, yang meliputi
1.030 tenaga PTT dan 293 orang penugasan khusus, yang
ditempatkan pada 35 kabupaten/kota prioritas.
Ketiga, dalam rangka meningkatkan keterjangkauan
masyarakat terhadap obat, ketersediaan obat dan vaksin di sarana
pelayanan kesehatan terus ditingkatkan dan mencapai 82 persen
2 - 129
(2010). Penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, seperti puskesmas,
puskesmas pembantu, poskesdes, serta rumah sakit sebagai salah satu
komponen untuk perbaikan upaya kesehatan juga terus ditingkatkan.
Pada Tahun 2010, jumlah rumah sakit pemerintah meningkat
menjadi 755, sedangkan rumah sakit swasta meningkat menjadi 768
rumah sakit. Keempat, akses masyarakat dalam mencapai sarana
pelayanan kesehatan dasar juga membaik, yaitu 94 persen
masyarakat dapat mengakses sarana pelayanan kesehatan kurang dari
5 kilometer 78,9 persen rumah tangga berada kurang dari satu
kilometer dari fasilitas UKBM (Riskesdas, 2007).
Dalam bidang pemanfaatan teknologi untuk mendukung
DT3K, telah tersedia data satelit penginderaan jauh untuk pemetaan
wilayah perbatasan RI dan pemetaan pulau- pulau kecil terluar
berbasis data citra satelit; Penyediaan data satelit penginderaan jauh
untuk pemetaan Wilayah Perbatasan RI dengan Malaysia, PNG,
Timor Leste dan Filipina pada 2010 dengan berkerjasama antara
Lapan, Kementerian Dalam Negeri, TNI, BIN, dan Pemda.
2.10.2.2.
Substansi Inti 2: Kerjasama Internasional
Hasil-hasil yang telah dicapai hingga bulan Juni 2011 dalam
rangka pelaksanaan kerja sama internasional melalui peningkatan
intensitas kerja sama dengan negara-negara tetangga dalam rangka
memperkokoh kedaulatan negara dan pengamanan sumber daya
kelautan, antara lain sebagai berikut. Pertama, penetapan batas secara
tuntas telah dilakukan dengan Papua Nugini berupa batas darat dan
laut serta Australia berupa batas Landas Kontinen (LK) dan Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE). Ketetapan batas maritim sudah tercapai
pada sebagian segmen batas laut wilayah dengan Malaysia dan
Singapura, LK dengan India, Thailand, Malaysia, Vietnam,
Australia, dan Papua Nugini. Hingga Tahun 2011 telah terdapat 16
2 - 130
(enam belas) perjanjian perbatasan laut Indonesia dengan negara
tetangga. Kedua, sepanjang Tahun 2009 hingga Tahun 2010, total
pelaksanaan perundingan/pertemuan perbatasan maritim dan darat
yang
telah
dilaksanakan
adalah
sebanyak
44
kali
perundingan/pertemuan. Pada Tahun 2009 telah dilaksanakan 21
pertemuan dengan 6 negara yaitu: Filipina, Malaysia, palau, Timor
Leste, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Pada Tahun 2010 telah
dilaksanakan 23 kali pertemuan dengan 7 negara, yaitu: Filipina,
Malaysia, Palau, Timor Leste, Singapura, Thailand, dan Veitnam.
Dengan demikian, selama periode 2009—2010 telah terjadi
peningkatan frekuensi perundingan sebesar 2 kali perundingan dan
tambahan 1 negara.
Ketiga, untuk menanggulangi kegiatan pencurian dan kegiatan
yang merusak sumber daya kelautan, upaya yang dilakukan adalah:
(1) operasi kapal pengawas dan kerjasama operasi antara TNI-AL,
Bakorkamla, POLRI, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan; (2)
pemantauan ketaatan kapal perikanan dan pengawasan usaha
budidaya serta pengawasan sumber daya kelautan pada ekosistem
terumbu karang. Keempat, terbentuknya Badan Nasional Pengelola
Perbatasan melalui Perpres No. 12 Tahun 2010 tentang BNPP
sebagai amanat UU No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara
beserta peraturan operasionalnya (Permendagri No. 31Tahun 2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Tetap BNPP). Kelima,
tersusunnya grand design pengelolaan perbatasan 2011-2025
(Peraturan Kepala BNPP No. 1 Tahun 2011), Rencana Induk
Pengelolaan Perbatasan 2011—2015 (Peraturan Kepala BNPP No. 2
Tahun 2011), dan Rencana Aksi Pengelolaan Perbatasan Tahun 2011
(Peraturan Kepala BNPP No. 3 Tahun 2011).
Adapun hasil-hasil yang dicapai sampai dengan Semester I
Tahun 2011 dari kinerja pembangunan bidang pertahanan dan
keamanan dalam konteks pengamanan wilayah dan sumberdaya
kelautan adalah sebagai berikut. Pertama, pembangunan sarana dan
2 - 131
prasarana serta fasilitas pengamanan pulau teluar yaitu di P. Rondo.
Pada aspek pendukung penanganan keamanan wilayah perbatasan
lainnya oleh TNI AL, sedang dilaksanakan peningkatan sarana dan
prasarana serta fasilitas lanal di wilayah perbatasan yaitu Pangkalan
TNI AL (Lanal) Siemeulue, Lanal Melonguane, Lanal Morotai, dan
Lanal Saumlaki. Kedua, di wilayah perbatasan Republik Indonesia
dengan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) sedang
dilaksanakan pembangunan Pos Satuan Tugas (Satgas) Teritorial
yang akan difungsikan sebagai pos pembinaan territorial di wilayah
perbatasan RI dan RDTL. Kemajuan yang diperolah pada saat ini
mencapai 30 Persen.
Kedua, dalam rangka peningkatan kesadaran bela negara bagi
masyarakat di perbatasan khususnya wilayah Papua, sedang
dilaksanakan pembangunan Pusat Komando Pendidikan (Dodik)
Bela Negara di Jayapura. Namun demikian progress pembangunan
Dodik Bela Negara tersebut sampai dengan Semester I baru
mencapai 15 Persen. Ketiga, dilaksanakannya Perpres No. 49 Tahun
2010 tentang Tunjangan Operasi Pengamanan bagi Prajurit TNI dan
PNS yang bertugas dalam operasi pengamanan pada pulau-pulau
kecil terluar dan wilayah perbatasan yang telah secara langsung
memberikan peningkatan kesejahteraan bagi prajurit penjaga pos
perbatasan dan pos pengamanan pulau-pulau terluar. Secara
bersamaan, dilaksanakan pula amanat Perpres No. 72 Tahun 2010
tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di lingkungan TNI, yaitu bahwa
pegawai di lingkungan TNI termasuk di dalam K/L yang ikut
gerbong reformasi birokrasi sehingga diberikan imbalan berupa
tunjangan kinerja juga menjadi langkah pemerintah dalam
peningkatan kesejahteraan prajurit. Keempat, penciptaan kondisi
aman di wilayah perbatasan yang dilakukan melalui pembinaan dan
penertiban administrasi kependudukan terhadap para pelintas batas.
2.10.2.3.
2 - 132
Substansi Inti 3: Keutuhan wilayah
Pencapaian dalam kerangka penyelesaian batas dan pemetaan
wilayah perbatasan RI dengan Malaysia, Papua Nugini, Timor Leste,
dan Filipina adalah sebagai berikut. Pertama, pembangunan
pertanahan melanjutkan kegiatan Inventarisasi Wilayah Pesisir,
Pulau-Pulau Kecil, Perbatasan, dan Wilayah Tertentu dengan target
545 SP sampai dengan 2014. Kedua, pemetaan daerah tertinggal,
pulau terluar dan terdepan, hasil yang dicapai: Peta pulau-pulau kecil
sebanyak 56 pulau atau 49 persen dari 114 pulau-pulau kecil terluar
yang direncanakan.
Ketiga, pemetaan Wilayah Perbatasan, dengan melakukan
kegiatan: (1) kajian dan pemetaan wilayah batas Negara RIMalaysia-PNG-RDTL; (2) kajian dan pemetaan batas maritim RIMalaysia-Filipina; (3) survei, demarkasi dan pemetaan darat dengan
PNG, RDTL dan Malaysia serta pemeliharaan tanda batas Negara
dan pemetaan etnik perbatasan; dan (4) fasilitasi dan penyediaan peta
batas dan wilayah pemerintahan daerah serta kajian penyelesaian
konflik batas antar daerah; pengelolaan basis data dan sistem
informasi batas wilayah negara dan daerah. Hasil yang dicapai
adalah sebagai berikut. Pertama peta batas wilayah negara di darat
yaitu: (1) peta RI-PNG sebanyak 18 NLP (67 persen); (2) RIMalaysia sebanyak 18 NLP (40 persen); dan (3) RI-RDTL sebanyak
34 NLP (50 persen).
Kedua peta batas wilayah negara di laut yaitu: (1) Peta Zona
Ekonomi Eksklusif skala 1:1.000.000 (100 persen); (2) Peta Garis
Pangkal skala 1:200.000 (100 persen); (3) Peta NKRI skala
1:5.000.000 sebanyak 1 NLP; (4) peta pulau-pulau kecil sebanyak 56
pulau atau 49 persen.
Ketiga, khusus untuk pulau-pulau kecil terluar, dilakukan
upaya: (1) identifikasi potensi dan pemetaan pulau-pulau kecil,
termasuk pulau-pulau kecil terluar; (2) peningkatan fasilitasi
penyediaan sarana dan prasarana di pulau-pulau kecil; (3) bantuan
listrik tenaga surya untuk masyarakat pulau kecil; dan (4)
2 - 133
penyusunan PP No. 62 Tahun 2011 tentang Pemanfaatan Pulaupulau Kecil Terluar.
Sebagai implementasi dari UU No. 43 Tahun 2008 tentang
Wilayah Negara mengamanatkan pembentukan suatu Badan
Pengelola Perbatasan, Pemerintah telah mengeluarkan beberapa
langkah kebijakan strategis. Langkah-langkah kebijakan tersebut
antara lain: (1) pembentukan Badan Nasional Pengelola Perbatasan
melalui penerbitan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2010 tentang
Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP); (2) pembentukan
Sekretariat Tetap BNPP melalui penerbitan Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 31 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Sekretariat Tetap Badan Nasional Pengelola Perbatasan; dan (3)
pembentukan Badan Pengelola Perbatasan Daerah melalui penerbitan
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2011 tentang Pedoman
Pembentukan Badan Pengelola Perbatasan Daerah.
Adapun hasil-hasil yang telah dicapai hingga Bulan Juni 2011
antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, tersusunnya tiga
dokumen pengelolaan batas wilayah dan kawasan perbatasan
meliputi: (1) peraturan Badan Nasional Pengelola Perbatasan No. 1
Tahun 2011 tentang Desain Besar Pengelolaan Batas Wilayah
Negara dan Kawasan Perbatasan Tahun 2011—2025; (2) peraturan
Badan Nasional Pengelola Perbatasan No. 2 Tahun 2011 tentang
Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan
Perbatasan Tahun 2011—2014; dan (3) peraturan Badan Nasional
Pengelola Perbatasan No. 3 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi
Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Tahun
2011.
Pada periode 2011—2014 telah ditetapkan 111 kecamatan
yang menjadi Lokasi Prioritas (Lokpri) yang akan ditangani secara
bertahap. Hasil yang telah dicapai adalah sebagai berikut. Pertama,
terlaksananya serangkaian forum rapat koordinasi dengan pemerintah
daerah dan K/L dalam rangka penyusunan Rencana Aksi
2 - 134
Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Tahun
2012, dimana telah terinventarisir rencana kebutuhan pengelolaan
batas wilayah dan kawasan perbatasan Tahun 2012 sebesar Rp4.42
Triliun untuk menangani 24 kabupaten dan 39 kecamatan lokasi
prioritas, serta alokasi anggaran K/L (per 17 Juli 2011) sebesar
Rp691,75 Miliar (15.66 persen dari total kebutuhan). Kedua,
terlaksananya upaya fasilitasi pembangunan berbagai sarana dan
prasarana untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat di kawasan
perbatasan negara mempergunakan anggaran tugas pembantuan
BNPP, antara lain meliputi pembangunan poros penghubung antar
desa/kampung dengan jalan utama, pembangunan sarana air bersih
dan pembangunan talud penahan gelombang laut di pulau kecil
terluar. Disamping itu, juga didukung penyiapan sarana dan
prasarana kerja bagi lembaga pengelola perbatasan negara di daerah.
Ketiga, pelibatan kalangan dunia usaha (private sectors) dan
perguruan tinggi dalam pembangunan kawasan perbatasan melalui
penandatanganan nota kesepahaman.
2.10.2.4.
Substansi Inti 4: Daerah Tertinggal
Dalam bidang pelaksanaan kebijakan khusus dan regulasi,
upaya-upaya pemerintah terus dilakukan secara berkesinambungan
telah memberikan hasil dan pencapaian di daerah tertinggal. Hasilhasil yang telah dicapai selama kurun waktu sejak pembentukan
Kabinet Indonesia Bersatu II sampai dengan Bulan Juni 2011 antara
lain. Pertama, telah dilakukan sinkronisasi dan koordinasi dengan
seluruh K/L terkait untuk mendukung pembangunan di daerah
tertinggal pada Tahun 2012, antara lain sebagai berikut: (1)
terlaksananya Rapat Koordinasi Pusat-Percepatan Pembangunan
Daerah Tertinggal (Rakorpus-PPDT) yang menghasilkan dokumen
perencanaan pembangunan antar sektor di pusat untuk berperan serta
2 - 135
dalam PPDT; (2) terlaksananya Rapat Koordinasi NasionalPercepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (Rakornas PPDT) yang
dihadiri K/L, propinsi dan kabupaten daerah tertinggal; (3)
tersusunnya dokumen Rencana Aksi Nasional-Percepatan
Pembangunan Daerah Tertinggal (RAN PPDT) Tahun 2012 yang
dapat menjadi pedoman dalam Percepatan Pembangunan Daerah
Tertinggal baik untuk K/L, provinsi dan kabupaten daerah tertinggal.
Kedua, terbentuknya Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan
Daerah Tertinggal (TK-PPDT) baik di tingkat Pusat, Provinsi, dan
Kabupaten dengan tujuan untuk mengkoordinasikan, mensinergikan,
dan mengharmonisasikan kebijakan, strategi, rencana dan program
yang dilakukan oleh seluruh K/L dan pemerintah daerah dalam
rangka meningkatkan koordinasi antar K/L dan daerah.
Ketiga, tersusunnya konsep Pembangunan Perdesaan Terpadu
(Bedah Desa) dan Pengembangan Produk Unggulan Kabupaten
(Prukab) sebagai instrumen utama dalam koordinasi lintas sektor
yang dikoordinasikan oleh KPDT. Keempat, tersusunnya
Kesepakatan Bersama (MoU) yang diinisiasi oleh KPDT dengan
melibatkan enam K/L dan perbankan dalam rangka percepatan
pembangunan ekonomi masyarakat daerah tertinggal khususnya
untuk pengembangan rumput laut di darrah tertinggal.
Kelima, dalam rangka melaksanakan fungsi operasionalisasi
berdasarkan Peraturan Presiden No. 90 Tahun 2006, pada Tahun
2010 KPDT melaksanakan enam instrumen yaitu: (1) Percepatan
Pembangunan Infrastruktur Perdesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT),
dilakukan melalui penyediaan prasarana dan sarana transportasi dan
komunikasi, pelayanan infrastruktur sosial dasar, dan pemberdayaan
komunitas adat terasing; (2) Percepatan Pembangunan Kawasan
Produksi Daerah Tertinggal (P2KPDT) dilakukan melalui: penyiapan
lahan dan investasi dalam kegiatan usaha: pertanian, perkebunan,
peternakan, perikanan, kehutanan, pertambangan rakyat, pariwisata,
berikut industri pengolahan dan pendukung, yang dikelola secara
2 - 136
kemitraan antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat; (3)
Percepatan Pembangunan Pusat Pertumbuhan Daerah Tertinggal
(P4DT) dilakukan melalui pembangunan pusat pelayanan jasa dan
distribusi/kota penyangga, termasuk kawasan industri terpadu, dan
kawasan perdagangan bebas atau kawasan ekonomi khusus; (4)
Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK)
dilakukan melalui penyediaan ’block grant’ untuk mendukung
pengembangan ekonomi lokal, penyediaan prasarana dan sarana
lokal/perdesaan, dan pemberdayaan masyarakat, serta peningkatan
kapasitas pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat; (5)
Percepatan Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah Tertinggal
(P2SEDT) dilakukan melalui: manajemen regional dan marketing,
pengembangan sistem distribusi barang dan jasa, pelayanan
informasi, maupun pengembangan jaringan prasarana antar wilayah
(transportasi dan komunikasi); (6) Percepatan Pembangunan Wilayah
Perbatasan (P2WP) dilakukan melalui: penyediaan prasarana dan
sarana transportasi/komunikasi, pengembangan ekonomi lokal,
pelayanan sosial dasar, dan pelayanan lintas batas.
Keenam, terlaksananya evaluasi pembangunan daerah
tertinggal selama periode 2005-2009 yang menghasilkan 50 daerah
tertinggal menjadi non tertinggal. Namun terdapat 34 Daerah
Otonomi Baru (DOB) yang termasuk kategori daerah tertinggal,
sehingga jumlah daerah tertinggal Tahun 2010 menjadi 183
kabupaten. Ketujuh, menyusun kebijakan DAK yang berpihak
kepada daerah tertinggal melalui perumusan formula agar 183
kabupaten daerah tertinggal mendapatkan DAK dengan rata-rata
senilai Rp 100 Milyar per kabupaten dari seluruh bidang DAK yang
ada. Kedelapan, terlaksananya evaluasi rencana aksi percepatan
pembangunan daerah tertinggal (PPDT) dengan hasil masih
rendahnya kualitas perencanaan yang disusun oleh: (1) pemerintah
pusat yaitu Strategi Nasional (Stranas) (5 tahunan) serta Rencana
Aksi Nasional dan Rencana Aksi Sektoral (RAN dan RAS) PPDT
(tahunan); dan (2) pemerintah daerah yaitu Strategi Daerah (Srada)
2 - 137
PPDT (5 tahunan) dan Rencana Aksi Daerah (RAD) PPDT
(tahunan).
2.10.3. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN
2.10.3.1. Substansi Inti 1: Kebijakan Khusus dalam Bidang
Infrastruktur dan Pendukung Kesejahteraan Lainnya
di Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar dan
Pascakonflik
Beberapa kegiatan di bidang infrastruktur yang merupakan
tindaklanjut yang harus dilakukan dalam rangka percepatan
pembangunan kawasan antara lain sebagai berikut. Pertama,
peningkatan profesionalisme sumberdaya manusia Bidang
Perhubungan, dengan mengoptimalkan kepada peran serta swasta
dalam pengoperasian dan pembangunan infrastruktur perhubungan,
serta mereposisi peran pemerintah dari operator dan pemilik (owner)
menjadi regulator dan fasilitator. Penyediaan subsidi keperintisan
dan sarana keperintisan. Kedua, membangun beberapa kapal perintis
dengan tipe dan jenis yang sesuai untuk angkutan penumpang dan
barang sesuai dengan kebutuhan daerah. Ketiga, penyediaan
prasarana di daerah rawan bencana; daerah perbatasan dan terpencil
untuk mendukung integritas NKRI. Keempat, rehabilitasi sarana dan
prasarana perhubungan udara. Pembangunan perhubungan udara
diarahkan untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas pelayanan
dalam kerangka penyediaan aksesibilitas perhubungan udara kepada
masyarakat di seluruh pelosok tanah air.
Kelima, pembangunan komunikasi dan informatika hingga
Tahun 2014 akan difokuskan untuk mencapai sasaran yang telah
ditetapkan dalam RPJMN 2010—2014 serta Master Plan Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011—2025 yaitu
antara lain kepada: (1) menyelesaikan penyediaan jasa akses dan
memastikan keberlanjutan penyediaan layanan telekomunikasi di
33.184 desa dan internet di 5.748 desa ibukota kecamatan target
2 - 138
wilayah USO; (2) pembangunan infrastruktur broadband hingga
mencapai tingkat penetrasi terhadap populasi sebesar 30 persen; (3)
pembangunan Palapa Ring yang menghubungkan seluruh pulau
besar Indonesia dan menjangkau 88 persen ibukota kabupaten/kota;
(4) melanjutkan migrasi sistem penyiaran dari analog ke digital
hingga tingkat penetrasi siaran TV digital terhadap populasi
mencapai 35 persen; (5) melanjutkan pengembangan e-government
hingga mencapai indeks sebesar 3,4 (kategori baik); (6) melakukan
reformasi di sektor penyiaran termasuk merestukturisasi
kelembagaan TVRI dan RRI untuk memperkuat fungsinya sebagai
lembaga penyiaran publik yang diharapkan akan mempunyai
jangkauan siaran terhadap populasi sebesar 88 persen pada akhir
Tahun 2014.
Upaya tindak lanjut yang diperlukan dalam pembangunan
ketransmigrasian adalah melaksanakan koordinasi pusat-daerah serta
koordinasi lintas sektoral dalam perencanaan maupun pelaksanaan
dimulai dari pembangunan kawasan transmigrasi baru, serah maupun
terima, antara lain. Pertama, meningkatkan pengembangan potensi
ekonomi masyarakat melalui program padat karya di daerah
transmigrasi (pengembangan potensi perikanan, perkebunan, dan
pertanian organik) terutama di Kawasan Perkotaan Baru dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan, mengurangi pengangguran serta
meningkatkan ketahanan pangan bagi warga transmigran. Kedua,
meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana prasarana infrastruktur di
permukiman transmigrasi dengan memenuhi target standar pelayanan
minimal untuk sarana prasarana jalan, perumahan, permukiman
(drainase, sarana air bersih, dan lain-lain), transportasi, dan
pelayanan dasar (sarana pendidikan, sarana ibadah, dan sarana
kesehatan).
Ketiga, meningkatkan kerjasama antar daerah, lintas sektor,
pemerintah-nonpemerintah di bidang ketransmigrasian dalam rangka
meningkatkan keterpaduan dan koordinasi dalam pembentukan
2 - 139
rencana induk kegiatan secara komprehensif. Keempat,
meningkatkan analisis potensi/kualitas transmigran dan calon
transmigran melalui peningkatan kapasitas dalam keterampilan,
penguasaan inovasi dan teknologi tepat guna, disesuaikan dengan
kriteria yang dibutuhkan dalam mengelola sumber daya alam yang
berbeda-beda di tiap lokasi transmigrasi. Kelima, menuntaskan
sengketa lahan melalui mediasi dan sertifikasi lahan bagi
transmigran. Keenam, meningkatkan penyediaan dan pembebasan
lahan transmigrasi yang clear dan clean layak huni, layak usaha,
layak lingkungan dan layak berkembang (2C4L) sebelum dilakukan
penempatan transmigran.
Ketujuh, meningkatkan penanganan transmigran terlantar
akibat konflik sosial antara masyarakat transmigran dan penduduk
lokal melalui upaya mediasi dan pendampingan dari pemerintah
pusat dengan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten.
Kedelapan, memberikan standar minimal dan bantuan-bantuan
kebutuhan hidup bagi transmigran, serta pemenuhan gizi bagi balita
dan pendidikan bagi anak-anak, dan kesembilan, menawarkan
program transmigrasi bagi warga yang tinggal di daerah rawan
bencana.
Dengan
memperhatikan
pencapaian
dan
beberapa
permasalahan yang masih dihadapi pembangunan pendidikan
khususnya yang berkaitan dengan daerah tertinggal, terdepan,
terluar, maka diperlukan tindaklanjut sebagai berikut. Pertama,
peningkatan kualitas wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun
yang merata melalui: (1) penyelenggaraan pendidikan dasar bermutu
yang terjangkau bagi semua dalam kerangka pelaksanaan standar
pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan; (2)
pemantapan/rasionalisasi implementasi BOS; (3) perbaikan gizi
siswa TK/RA dan SD/MI melalui PMTAS; dan (4) peningkatan daya
tampung SMP sederajat terutama di daerah terpencil dan kepulauan.
Kedua, peningkatan akses, kualitas, dan relevansi pendidikan
2 - 140
menengah, melalui peningkatan akses pendidikan menengah jalur
formal dan non-formal untuk dapat menampung meningkatnya
lulusan SMP sederajat sebagai dampak penuntasan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar Sembilan Tahun.
Ketiga, peningkatan kualitas, relevansi, dan daya saing
pendidikan tinggi, melalui: (1) peningkatan akses dan pemerataan
pendidikan tinggi dengan memperhatikan keseimbangan antara
jumlah program studi sejalan dengan tuntutan kebutuhan
pembangunan dan masyarakat serta daerah; dan (2) pemberian
beasiswa perguruan tinggi untuk siswa SMA/SMK/MA yang
berprestasi dan kurang mampu. Keempat, peningkatan
profesionalisme dan pemerataan distribusi guru dan tenaga
kependidikan, melalui penyediaan tenaga pendidik di daerah
terpencil, perbatasan, dan kepulauan sesuai dengan standar
pelayanan minimal. Kelima, peningkatan akses dan kualitas
pelayanan pendidikan tersebut juga ditujukan untuk mengurangi
kesenjangan taraf pendidikan antarwilayah, gender, dan antartingkat
sosial ekonomi dengan meningkatkan: (1) pemihakan pada siswa dan
mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin melalui pemberian
bantuan beasiswa bagi siswa dan mahasiswa miskin; (2) pemihakan
kebijakan bagi daerah dan satuan pendidikan yang tertinggal
(underprivileged); (3) pengalokasian sumberdaya yang lebih
memihak kepada daerah dan satuan pendidikan yang tertinggal; (4)
pengembangan
instrumen
untuk
memonitor
kesenjangan
antarwilayah, gender, dan antartingkat sosial ekonomi; dan (5)
peningkatan advokasi dan capacity building bagi daerah dan satuan
pendidikan yang tertinggal.
Dengan memperhatikan permasalahan dan sasaran yang akan
dicapai pada Tahun 2012, maka arah kebijakan pembangunan
kesehatan di DTPK diprioritaskan pada upaya sebagai berikut.
Pertama, peningkatan kesehatan ibu, bayi dan balita yang menjamin
continuum of care, antara lain melalui: (1) penyediaan sarana
2 - 141
kesehatan yang mampu melaksanakan PONED dan PONEK; (2)
pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan strategis untuk
meningkatkan pertolongan persalinan oleh tenaga terlatih; (3)
peningkatan cakupan kunjungan ibu hamil (K1 dan K4); (4)
peningkatan cakupan pasien komplikasi kebidanan yang ditangani;
(5) peningkatan cakupan peserta KB aktif yang dilayani sektor
pemerintah; (6) peningkatan cakupan kunjungan neonatal pertama;
(7) peningkatan cakupan pelayanan kesehatan bayi; (8) peningkatan
cakupan pelayanan kesehatan anak balita; dan (9) peningkatan
cakupan persalinan di sarana pelayanan kesehatan dasar dan rumah
sakit pemerintah. Kedua, pengembangan sumber daya manusia
kesehatan, antara lain melalui: (1) pemenuhan kebutuhan tenaga
kesehatan strategis, terutama dokter, bidan dan perawat di daerahdaerah sesuai kebutuhan terutama di daerah bermasalah kesehatan
(DBK) dan daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan (DTPK); (2)
penyempurnaan sistem insentif dan penempatan sumberdaya
manusia Bidang Kesehatan di daerah tertinggal, perbatasan dan
kepulauan; dan (3) pemantapan standar kompetensi tenaga
kesehatan, terutama tenaga dokter, dokter gigi, perawat, bidan,
kesehatan masyarakat, gizi, dan farmasi.
Ketiga,
peningkatan
ketersediaan,
keterjangkauan,
pemerataan, mutu dan penggunaan obat serta pengawasan obat dan
makanan, melalui: (1) peningkatan ketersediaan, dan keterjangkauan
obat, terutama obat esensial generik; (2) perkuatan pengawasan pre
market obat dan makanan utamanya penerapan e-registration untuk
meningkatkan pelayanan publik; (3) peningkatan penelitian di bidang
obat dan makanan; (4) peningkatan kemandirian di bidang produksi
obat, bahan baku obat, obat tradisional, kosmetika dan alat
kesehatan; (5) peningkatan perlindungan kesehatan masyarakat
melalui revitalisasi pengujian laboratorium pengawasan obat dan
makanan termasuk pemenuhan kebutuhan infrastruktur dan
penunjang laboratorium serta peningkatan kompetensi sumberdaya
manusia; (6) perkuatan pengawasan post market obat dan makanan;
2 - 142
(7) peningkatan efektivitas pengawasan produk obat dan makanan
ilegal melalui intensifikasi operasi satuan tugas (Satgas)
pemberantasan produk obat dan makanan ilegal; (8) peningkatan
status gizi masyarakat terutama anak sekolah melalui gerakan
menuju pangan jajanan anak sekolah (PJAS) yang aman dan
bermutu; (9) peningkatan kapasitas sumberdaya manusia di bidang
pengawasan obat dan makanan; (10) pengembangan dan penerapan
quality management system (QMS) untuk mendukung tata kelola
kepemerintahan yang baik termasuk e-government; (11)
pengembangan sistem e-logistic; dan (12) peningkatan pelayanan
kefarmasian yang berkualitas.
Keempat, pengembangan sistem pembiayaan jaminan
kesehatan, melalui: (1) peningkatan cakupan jaminan kesehatan
secara bertahap; (2) peningkatan pembiayaan pelayanan kesehatan
bagi penduduk miskin; (3) penyediaan pembiayaan jaminan
persalinan (Jampersal) yang mencakup pelayanan antenatal,
persalinan, nifas, dan KB; dan (4) perluasan cakupan jaminan
kesehatan melalui jaminan kesehatan kelas III di rumah sakit.
Kelima, peningkatan upaya kesehatan yang menjamin terintegrasinya
pelayanan kesehatan primer, sekunder dan tersier, melalui: (1)
peningkatan jumlah rumah sakit dan puskesmas serta jaringannya,
terutama pada daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan serta
daerah dengan aksesibilitas relatif rendah; (2) peningkatan kualitas
pelayanan kesehatan dasar dan rujukan dalam bentuk pemenuhan
kebutuhan sarana, prasarana, dan ketenagaan; (3) peningkatan
kualitas fasilitas pelayanan kesehatan rujukan yang memenuhi
standar bertaraf internasional; (4) peningkatan mutu pelayanan
keperawatan, kebidanan dan keteknisian medik kepada masyarakat di
tingkat pelayanan kesehatan primer, sekunder, dan tersier; (5)
pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan
jiwa yang berkualitas, aman dan terjangkau; dan (6) perluasan
bantuan operasional kesehatan (BOK) bagi pelayanan kesehatan
primer di puskesmas.
2 - 143
2.10.3.2.
Substansi Inti 2: Kerjasama Internasional
Upaya tindak lanjut yang diperlukan dalam rangka
pelaksanaan kerja sama internasional rangka memperkokoh
kedaulatan negara dan pengamanan sumber daya kelautan, antara
lain sebagai berikut. Pertama, penyelesaian masalah perbatasan serta
pengembangan kawasan perbatasan dan pulau-pulau terluar tetap
menjadi salah satu perhatian utama politik luar negeri Indonesia.
Penguatan hukum nasional menjadi penting sebagai landasan bagi
perundingan masalah perbatasan dengan negara bilateral. Untuk
Tahun 2011, Pemerintah Indonesia telah merencanakan untuk
melaksanakan 27 pertemuan perundingan dengan tujuh negara, yaitu:
India, Malaysia, Palau, Papua Nugini, Timor Leste, Singapura, dan
Vietnam. Kedua, prioritas kebijakan luar negeri terkait Border
Diplomacy adalah sebagai berikut: (1) prioritas pertama adalah
perundingan penetapan perbatasan dengan Malaysia (batas laut dan
darat), Singapura (Batas laut wilayah segmen timur), Filipina (batas
ZEE dan LK), Palau (batas LK dan ZEE), Vietnam (batas ZEE),
Thailand (batas ZEE), dan India (batas ZEE), Timor Leste (batas
darat); (2) prioritas kedua adalah perundingan penetapan perbatasan
dengan Timor Leste (batas laut wilayah, ZEE, LK).
Ketiga, percepatan penyusunan peta pulau-pulau terluar dan
terdepan dalam upaya memenuhi kebutuhan pemerintah pusat
maupun daerah atas data dan informasi kawasan perbatasan.
Pembangunan pertanahan ke depan tetap melanjutkan kegiatan
Inventarisasi Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil, Perbatasan, dan
Wilayah Tertentu dengan target 545 SP sampai dengan 2014.
Keempat, mendorong terus dilakukannya berbagai perundingan batas
negara secara intens terutama pada segmen batas RI-Malaysia di
sebelah Selatan Selat Malaka dan Laut Sulawesi; batas RI- Filipina
di Laut Sulawesi ; RI-Singapura pada segmen barat di selat
Singapura, serta diperlukan kajian batas maritime pada wilayah
2 - 144
lainnya seperti Indonesia-Palau dan Indonesia-Timor Leste, yang
sampai saat ini belum dimulai perundingannya.
Kelima, koordinasi lintas sektor dan antara pusat dengan
daerah dalam pendayagunaan pulau-pulau kecil, termasuk pulaupulau kecil terdepan dan terluar melalui peningkatan sarana dan
prasarana dasar, dan transportasi perekat antarpulau. Selain itu, perlu
dilakukan pengembangan promosi investasi dalam rangka
pengembangan pulau-pulau kecil. Keenam, peningkatan pemantauan
dan pengawasan pemanfaatan sumber daya kelautan melalui
peningkatan sarana dan prasarana pengawasan, kerjasama operasi
dan penegakan hukum. Ketujuh, sampai dengan Tahun 2011 telah
terbangun 206 pos pertahanan dari total kebutuhan minimal sebanyak
395 pos pertahanan. Sementara itu dari 92 pulau kecil terluar baru 13
pulau yang terbangun pos pengamanan pulau kecil terluar. Dengan
masih belum memadainya jumlah pos perbatasan dan pos
pengamanan pulau-pulau terluar yang dimiliki, menjadikan tuntutan
cukup mendesak bagi pemerintah untuk melakuan percepatan
pembangunan pos-pos pengamanan beserta sarana dan prasarana
serta fasilitasnya di wilayah perbatasan baik darat maupun laut.
2.10.3.3.
Substansi Inti 3: Keutuhan wilayah
Upaya tindak lanjut yang diperlukan dalam rangka
Penyelesaian batas dan pemetaan wilayah perbatasan RI, antara lain
sebagai berikut. Pertama, mengefektifkan tugas BNPP dalam
menetapkan kebijakan dan program pembangunan serta menetapkan
rencana kebutuhan anggaran pengelolaan batas wilayah dan kawasan
perbatasan, yaitu dengan: (1) mempercepat penetapan RTR KSN
Perbatasan menjadi Peraturan Presiden sesuai amanat PP No. 26
Tahun 2008 tentang RTRWN dan menjamin sinkronisasinya dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten di Kawasan
Perbatasan; (2) menyusun atau menyesuaikan substansi Rencana
Induk dan Rencana Aksi berdasarkan RTR KSN Perbatasan sesuai
dengan amanat Perpres No. 12 Tahun 2010 tentang BNPP pasal 5.
2 - 145
Dengan demikian, RTR KSN Perbatasan dan Rencana Induk
Perbatasan menjadi acuan bagi penyusunan arah pengembangan
kecamatan Lokpri sehingga penetapan berbagai program, kegiatan,
dan rencana kebutuhan anggaran di masing-masing Lokpri sesuai
dengan arahan pengembangan dalam RTR KSN dan Rencana Induk;
(3) mengintegrasikan proses penyusunan rencana aksi dengan
mekanisme Musrenbang di tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi, dan
Nasional; dan (4) menyusun basis data wilayah di kawasan
perbatasan secara komprehensif sebagai dasar bagi upaya penetapan
kebijakan di kawasan perbatasan.
Kedua, mengefektifkan tugas BNPP dalam mengoordinasikan
pelaksanaan pengelolaan batas wilayah dan pembangunan kawasan
perbatasan, yaitu dengan: (1) memperjelas kewenangan pusat-daerah
dalam pengelolaan perbatasan melalui penyusunan Peraturan
Pemerintah mengenai pelaksanaan kewenangan Pemerintah,
Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam
pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan sesuai
amanat UU No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara Pasal 13;
(2) mengupayakan pengintegrasian fungsi koordinasi pengelolaan
batas wilayah dan kawasan perbatasan yang masih tersebar di
beberapa instansi ke dalam BNPP agar koordinasi berjalan satu
pintu; (3) mengefektifkan tugas BNPP dalam melaksanakan evaluasi
dan pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai program
pembangunan di kawasan perbatasan negara secara berkala dan
berkesinambungan,
sehingga
berbagai
kemajuan
maupun
permasalahan yang dihadapi dapat terpetakan secara komprehensif,
dan dapat menjadi dasar bagi upaya perumusan kebijakan maupun
tindakan korektif lebih lanjut.
Ketiga, mendorong seluruh K/L terkait untuk memberikan
keberpihakan (affirmative action) baik dari sisi kebijakan maupun
pembiayaan pembangunan, bagi upaya pembangunan di kawasan
perbatasan yang memerlukan lebih banyak perhatian dibandingkan
2 - 146
wilayah lain serta pola penanganan yang bersifat spesifik. Keempat,
mendorong BNPP untuk dapat menyelesaikan Rencana Aksi 2012,
termasuk melakukan penyerasian substansi Rencana Induk dan
Rencana Aksi Perbatasan dengan RTR KSN Perbatasan setelah
nanti ditetapkan.
Selanjutnya, untuk menjaga pengamanan sumberdaya hayati
kelautan serta pengamanan wilayah, upaya-upaya yang dilakukan
adalah sebagai berikut. Pertama, melanjutkan pembangunan pos
perbatasan dan pos pengamanan pulau-pulau terluar melalui
alternatif percepatan pembangunan sehingga jumlah kebutuhan
minimal pos-pos pengamanan di wilayah perbatasan dapat segera
terpenuhi. Kedua, meningkatkan peran dan dukungan masyarakat di
wilayah perbatasan melalui pendidikan bela negara bagi masyarkat
Indonesia, utamanya di wilayah perbatasan sehingga memiliki
pemahaman dan rasa kebangsaan yang tangguh dan bangga menjadi
warga negara Indonesia (WNI).
2.10.3.4.
Substansi Inti 4: Daerah Tertinggal
Upaya tindak lanjut target pemerintah untuk mengentaskan 50
kabupaten kabupaten tertinggal pada akhir Tahun 2014, perlu
pemihakan yang lebih serius terutama dalam, pertama, kebijakan
fiskal dengan meningkatkan kemampuan fiskal Daerah Tertinggal
melalui DAK. DAK adalah salah satu harapan dalam mengatasi
keterisolasian wilayah serta mendorong percepatan pembangunan
daerah tertinggal.
Kedua, dalam RKP Tahun 2012 memuat berbagai prakarsa
baru untuk memenuhi tuntutan terkini dari pembangunan nasional,
maka dari itu diperlukan sinergi agar implementasi prakasa baru
dapat mendorong percepatan pembangunan daerah tertinggal sebagai
berikut. Pertama adalah MP3EI Tahun 2025 yang memuat berbagai
komitmen dan kesepakatan pemerintah dan swasta yang ditetapkan
2 - 147
pada bulan April 2011. Kedua, percepatan pembangunan Papua,
Papua Barat, dan NTT yang mencakup: (1) penguatan ketahanan
pangan; (2) penanggulangan kemiskinan; (3) Pengembangan
ekonomi rakyat; (4) peningkatan pelayanan pendidikan; (5)
peningkatan pelayanan kesehatan; (6) pengembangan infrastruktur
dasar; dan (7) pemihakan pada masyarakat asli Papua;
Ketiga, klaster program-program penanggulangan kemiskinan:
(1) Program Rumah Sangat Murah; (2) Program Kendaraan
Angkutan Umum Murah; (3) Program Air Bersih Untuk Rakyat; (4)
Program Listrik Murah dan Hemat; (5) Program Peningkatan
Kehidupan Nelayan; (6) Program Peningkatan Kehidupan
Masyarakat Pinggir Perkotaan. Keempat, terkait dengan perluasan
lapangan kerja.
Selain itu untuk meningkatkan akselerasi
pembangunan di kawasan timur Indonesia dilakukan affirmative
program untuk percepatan pembangunan Provinsi Papua, Papua
Barat, dan NTT. Kelima, penentuan 70 kabupaten tertinggal prioritas
dan mendorong KPDT untuk dapat meningkatkan koordinasi dan
melakukan sosialisasi khususnya mengenai 70 kabupaten prioritas
agar K/L dapat berperan aktif dalam mendukung percepatan
pembangunan daerah tertinggal.
2.11 PRIORITAS
NASIONAL
11:
KEBUDAYAAN,
KREATIVITAS DAN INOVASI TEKNOLOGI
Prioritas kebudayaan, kreativitas dan inovasi teknologi
diarahkan untuk (1) peningkatan upaya pelindungan, pengembangan
dan pemanfaatan cagar budaya, dan mendorong berkembangnya
apresiasi masyarakat terhadap keragaman budaya untuk memperkaya
khasanah artistik dan intelektual bagi tumbuh mapannya jati diri; dan
(2) penguatan sistem inovasi nasional melalui penguatan
kelembagaan, sumberdaya, dan jaringan iptek nasional serta upaya
inovasi di bidang teknologi yang strategis. Dalam RPJMN 20102 - 148
2014, substansi inti pembangunan bidang kebudayaan, kreativitas
dan inovasi teknologi mencakup: (1) penetapan dan pembentukan
pengelolaan terpadu untuk pengelolaan cagar budaya, revitalisasi
museum dan perpustakaan; (2) penyediaan sarana yang memadai
bagi pengembangan, pendalaman dan pagelaran seni budaya di kota
besar dan ibukota kabupaten; (3) pengembangan kapasitas nasional
untuk pelaksanaan penelitian, penciptaan dan inovasi yang
memudahkan akses dan penggunanya oleh masyarakat luas; (4)
peningkatan perhatian dan kesertaan pemerintah dalam program seni
budaya yang diinisiasi oleh masyarakat dan mendorong
berkembangnya apresiasi terhadap kemajemukan budaya; (5)
peningkatan keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif
yang mencakup pengelolaan sumber daya maritim menuju ketahanan
energi, pangan, dan antisipasi perubahan iklim, dan pengembangan
penguasaan teknologi dan kreativitas pemuda.
2.11.1. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Berbagai kemajuan di bidang kebudayaan, kreativitas, dan
inovasi teknologi telah dicapai, namun masih terdapat permasalahan
dan tantangan yang dihadapi, antara lain (1) menurunnya
penghargaan pada nilai budaya, bahasa, dan nilai solidaritas sosial;
(2) belum optimalnya upaya pelindungan, pengembangan, dan
pemanfaatan warisan budaya sebagai sarana rekreasi, edukasi, dan
pengembangan kebudayaan; (3) belum berkembangnya apresiasi
masyarakat terhadap seni dan budaya serta pelindungan terhadap hak
atas kekayaan intelektual (HKI); (4) terbatasnya kapasitas sumber
daya pembangunan kebudayaan; (5) masih rendahnya kesesuaian
antara ilmu dan teknologi yang dibutuhkan oleh pengguna; dan (6)
masih rendahnya kapasitas inovasi teknologi.
2 - 149
2.11.2. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASILHASIL YANG DICAPAI
Langkah kebijakan yang ditempuh di bidang kebudayaan,
kreativitas dan inovasi teknologi pada tahun 2011, antara lain adalah
(1) penguatan jati diri dan karakter bangsa yang berbasis pada
keragaman budaya, (2) peningkatan apresiasi terhadap keragaman
serta kreativitas seni dan budaya, (3) peningkatan kualitas
pelindungan, penyelamatan, pengembangan dan pemanfaatan
warisan budaya serta revitalisasi museum dan perpustakaan, (4)
peningkatan
kemampuan sisi penelitian dan pengembangan
menyediakan solusi-solusi teknologi; (5) peningkatan kemampuan
sisi pengguna dalam menyerap teknologi baru yang tersedia; serta (6)
integrasi dari sisi penyedia dan pengguna teknologi.
Hasil-hasil yang dicapai dalam kurun waktu tahun 2010
sampai dengan Juni 2011, antara lain sebagai berikut.
Dalam rangka penetapan dan pembentukan pengelolaan
terpadu untuk pengelolaan cagar budaya, revitalisasi museum dan
perpustakaan di seluruh Indonesia, antara lain (1) kesepakatan
Bentuk Lembaga Pengelolaan Terpadu Warisan Budaya Dunia Candi
Borobudur dan kajian Bentuk Pengelolaan Terpadu Kawasan
Warisan Budaya Dunia Situs Manusia Purba Sangiran dan Candi
Prambanan; (2) revitalisasi 6 museum, yaitu Museum Negeri Jawa
Timur (Surabaya), Museum Negeri Kalimantan Barat (Pontianak),
Museum Negeri Jambi (Jambi), Museum Negeri Nusa Tenggara
Barat (Mataram), Museum Negeri Sumatera Utara, dan Museum
Negeri Batak TB Silalahi di Balige Sumatera Utara; (3) peningkatan
layanan jasa perpustakaan dan informasi serta perpustakaan digital
(e-library) di 31 perpustakaan provinsi, 2 kabupaten/kota dan 2 UPT
Perpustakaan Proklamator, pembudayaan gemar membaca dan
pemberian bantuan untuk pengembangan perpustakaan melalui 88
mobil perpustakaan keliling, 3 unit perpustakaan terapung, fasilitasi
2 - 150
kegiatan dekonsentrasi bagi 33 perpustakaan provinsi,
perpustakaan kabupaten/kota, dan 5.338 perpustakaan desa.
250
Dalam rangka
penyediaan sarana yang memadai bagi
pengembangan, pendalaman dan pagelaran seni budaya di kota besar
dan ibukota kabupaten, serta peningkatan perhatian dan kesertaan
pemerintah dalam program seni budaya yang diinisiasi oleh
masyarakat dan mendorong berkembangnya apresiasi terhadap
kemajemukan budaya antara lain telah dilakukan (1) fasilitasi sarana
di 6 provinsi dan 20 Kabupaten/kota; (2) fasilitasi 97 pergelaran,
pameran, festival, lomba karya seni budaya dan film; (3) fasilitasi
penyelenggaraan 14 even festival film dalam dan luar negeri; dan (4)
pelaksanaan sensor terhadap 63.658 judul film/video/iklan.
Dalam rangka pengembangan kapasitas nasional melalui
penelitian, penciptaan dan inovasi yang memudahkan akses dan
penggunanya oleh masyarakat luas khususnya di bidang kebudayaan
telah dilaksanakan 13 penelitian di bidang kebudayaan dan 144
penelitian di bidang arkeologi. Di samping itu, dalam rangka
pengembangan penguasaan teknologi dan kreativitas pemuda telah
dilakukan fasilitasi peningkatan kapasitas di bidang iptek dan imtaq
bagi 3.180 orang pemuda kader dan fasilitasi peningkatan kapasitas
di bidang seni, budaya, dan industri kreatif bagi 3.180 orang pemuda
kader.
Dalam rangka pengembangan kapasitas nasional dalam
penelitian, penciptaan, dan inovasi sejak pembentukan Kabinet
Indonesia Bersatu (KIB) II telah ditetapkan Kebijakan Strategis
Nasional (Jakstranas) Iptek tahun 2010-2014, yang berisi arah,
prioritas utama dan kerangka kebijakan pembangunan iptek baik
tingkat pusat maupun daerah; dan Agenda Riset Nasional (ARN)
tahun 2010—2014, sebagai penjabaran lebih lanjut dari Jakstranas
Iptek yang memuat agenda riset dalam 7 bidang iptek sesuai dengan
arahan RPJMN 2010—2014. Sejalan dengan itu, untuk
meningkatkan kualitas SDM Iptek telah dilaksanakan berbagai
2 - 151
program beasiswa di dalam negeri untuk jenjang pendidikan S2 dan
S3 bagi para peneliti. Sedangkan revitalisasi sarana penelitian
dimulai dengan pembangunan tahap awal Laboratorium BPPT
Terpadu di Serpong.
Secara umum hasil yang dicapai ditunjukkan oleh jumlah
publikasi ilmiah yang pada tahun 2010 mencapai 1.415 judul, dengan
273 di antaranya merupakan publikasi internasional. Sedangkan
jumlah paten baru yang terdaftar mencapai
38 paten baru,
melampaui target yang hanya 28 paten. Dari 109 kegiatan yang
ditujukan menciptakan produk baru telah menghasilkan 39 prototipe
dan 13 di antaranya layak diusulkan mendapat Hak Kekayaan
Intellektual (HKI).
Dalam rangka peningkatan kemampuan inovasi dan kreativitas
pemuda, Kementerian Riset dan Teknologi melaksanakan upaya
peningkatan kemampuan inovasi dan kreativitas pemuda yang
didasarkan pada konsep serta arah kebijakan yang telah disiapkan
dalam Program 100 (seratus) Hari Kementerian Riset dan Teknologi.
Dengan implementasi tersebut, diperoleh model bagi kegiatan
peningkatan kemampuan inovasi dan kreativitas pemuda. Sebagai
sasaran kegiatan ini adalah implementasi pilot project melalui skema
Community Development (Comdev), Technopreneurship, dan Pilot
Project berbasis Sistem Inovasi Daerah (SIDa). Selanjutnya pada
tahun 2011 ini, kegiatan ini ditingkatkan menjadi kegiatan
Technopreneurship Pemuda. Untuk itu, Kementerian Riset dan
Teknologi menyelenggarakan lomba inovasi pemuda untuk
kesejahteraan rakyat. Lomba ini berbasis pada kegiatan
technopreneurship. Tujuan dari kegiatan ini adalah menumbuhkan
minat pemuda agar dapat menjadi technopreneur melalui kreativitas
dan inovasi pemuda, serta memanfaatan iptek untuk dapat
dikembangkan oleh pemuda sehingga dapat berperan dalam
perekonomian di suatu daerah. Sasaran kegiatan ini adalah
tumbuhnya enterpreneur pemuda yang berbasis iptek, terciptanya
2 - 152
industri kecil dan menengah (IKM) baru berbasis iptek dan
terwujudnya peningkatan kegiatan perekonomian (baru/existing)
yang sustainable yang dipelopori oleh pemuda. Proses seleksi lomba
ini menggabungkan tahapan seleksi proposal dengan pelatihan
technopreneurship pemuda. Seleksi proposal telah dilakukan
terhadap 323 proposal yang masuk dari seluruh Indonesia, dan telah
terpilih 27 proposal, dimana anggota kelompok yang mengajukan 27
proposal tersebut mendapatkan kesempatan mengikuti pelatihan
Technopreneurship Pemuda. Pelatihan Technopreneurship Pemuda
dilaksanakan pada akhir Juni dengan peserta sebanyak 70 (tujuh
puluh) pemuda/pemudi, diselenggarakan di Puspiptek Serpong. Dari
hasil pelatihan tersebut akan dipilih peserta/proposal yang layak
mendapatkan insentif pembiayaan dari Kementerian Riset dan
Teknologi.
2.11.3. RENCANA TINDAK LANJUT
Tindak lanjut yang diperlukan dalam pembangunan
kebudayaan untuk mencapai sasaran prioritas nasional adalah (1)
meningkatkan kualitas pelindungan, pemeliharaan, pengembangan,
dan pemanfaatan BCB/Situs dan kawasan kepurbakalaan secara
terpadu
melalui
pengembangan
pengelolaan
peninggalan
kepurbakalaan; (2) meningkatkan kualitas pengelolaan dan
pelayanan museum, termasuk museum daerah melaui Pengembangan
pengelolaan permuseuman: (3) meningkatkan kegiatan layanan jasa
perpustakaan dan informasi yang didukung oleh sarana dan prasarana
yang memadai dan meningkatkan
upaya pengembangan
perpustakaan dan budaya gemar membaca; (4) memberikan fasilitasi
sarana bagi pengembangan, pendalaman dan pergelaran seni budaya
terutama di kota-kota besar; (5) melakukan penelitian dan
pengembangan di bidang kebudayaan dan arkeologi dalam
mendukung kebijakan pembangunan kebudayaan; (5) memberikan
fasilitasi festival film baik di dalam maupun di luar negeri;
melakukan sensor film dan fasilitasi pergelaran, pameran, festival,
2 - 153
lomba dan pawai; (6) memberikan fasilitasi bagi kader pemuda di
bidang iptek dan imtaq serta di bidang seni, budaya, dan industri
kreatif.
Tindak lanjut yang akan diambil dalam meningkatkan
kapasitas nasional dalam inovasi teknologi adalah menumbuhkembangkan motivasi, memberikan stimulasi dan fasilitasi, serta
menciptakan iklim yang kondusif guna terwujudnya Sistem Inovasi
Nasional (SINas) melalui: a) Kelembagaan iptek yang efektif, b)
Sumberdaya iptek yang kuat, c) Jaringan antar-kelembagaan iptek
yang saling memperkuat (mutualistik), d) Relevansi dan
produktivitas iptek yang tinggi, dan e) Pendayagunaan iptek yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Arah kebijakan ini telah
dituangkan dalam Renstra Kementerian Riset dan Teknologi 20102014, yang menjadikan peningkatan produktivitas litbang nasional
dan peningkatan kontribusi iptek dalam pembangunan nasional
sebagai tujuan untuk mewujudkan Visi iptek untuk kesejahteraan dan
kemajuan peradaban.
B.
PRIORITAS NASIONAL LAINNYA
2.12 PRIORITAS NASIONAL LAINNYA: BIDANG POLITIK,
HUKUM, DAN KEAMANAN
2.12.1 PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Dalam bidang politik luar negeri, khususnya terkait peran
Indonesia dalam perdamaian dunia, permasalahan dihadapi adalah
stabilitas keamanan kawasan yang ditandai dengan timbulnya konflik
bersenjata antara Thailand dan Kamboja terkait perebutan Candi
Prah Vihear; perseteruan di Laut China Selatan yang melibatkan 4
negara anggota ASEAN; Vietnam, Filippina, Malaysia dan Brunei.
2 - 154
Masalah konflik Kamboja dan Thailand merupakan persoalan
yang menyita perhatian regional di kawasan Asia Pasifik dan Afrika.
Kedua negara sejak lama telah bersitegang mengenai candi Preah
Vihear dan tanah seluas 4,6 km² di sekitarnya. Konflik ini berawal
dari saling klaim kedua belah pihak atas kepemilikan kompleks
Candi Preah Vihear. Konflik tersebut segera diikuti dengan
pengerahan kekuatan bersenjata dari masing-masing pihak. Namun
demikian, upaya penyelesaian juga telah dilaksanakan oleh kedua
negara melalui negosiasi antara delegasi Kamboja dengan delegasi
Thailand dalam Joint Border Commission tanggal 5-7 April 2009
untuk membahas mengenai demarkasi perbatasan darat kedua
negara.
Ketegangan kembali meningkat setelah Pemerintah Kamboja
memutuskan memberikan konsesi eksplorasi minyak lepas pantai
kepada perusahaan minyak Prancis, Total, di wilayah yang
berdekatan dengan overlapping claims area (oca) Kamboja-Thailand.
Ketegangan kedua semakin meningkat yang ditandai pemulangan
masing-masing Duta Besarnya pada bulan November 2009.
Permasalahan lain di kawasan adalah persoalan potensi konflik
di Laut China Selatan (LCS). Meskipun Indonesia bukan claimant
states, perkembangan situasi akhir-akhir ini di kawasan jika tidak
tertangani dengan baik dapat menimbulkan ketidak-stabilan di
kawasan yang merupakan jalur ekonomi dan energi terpenting di
dunia. Situasi menghangat ketika Amerika Serikat pada pertemuan
ARF di Hanoi tahun 2010 mengatakan adanya kepentingan
nasionalnya di LCS. Pemerintah China kemudian melakukan counter
propaganda. Bahkan, Pemerintah China menegaskan menolak upaya
internasionalisasi isu tersebut dan berpandangan bahwa penyelesaian
terbaik adalah melalui mekanisme bilateral antara negara yang
terlibat. Pemerintah China mendukung penuh upaya yang dilakukan
ASEAN selama ini dan menolak campur tangan negara lain.
2 - 155
Permasalahan lain yang dihadapi adalah situasi keamanan di
Somalia yang terus memburuk karena ketiadaan payung hukum yang
mengakibatkan vakumnya hukum (lawless) yang berdampak pada
situasi keamanan di perairan Somalia. Situasi ini kemudian
dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok orang yang disinyalir berasal
dari wilayah Somalia untuk melakukan perompakan-perompakan
terhadap kapal-kapal asing, termasuk kapal Indonesia yang melintasi
wilayah perairan Somalia. Berdasarkan International Maritime
Bureau, dalam tahun 2009 telah terjadi 204 kali penyerangan
terhadap kapal-kapal yang berlayar di perairan Somalia, dan 219 kali
penyerangan terjadi pada tahun 2010. Hingga bulan Maret 2011 telah
terjadi aksi perompakan sebanyak 83 kejadian. Kapal Indonesia MV.
Sinar Kudus dengan 20 ABK Indonesia telah dibajak oleh perompak
Somalia pada Rabu, 16 Maret 2011 dan telah dibebaskan pada
tanggal 1 Mei 2011.
Dalam konteks menjaga perdamaian dunia, Indonesia selalu
dihadapkan pada tantangan untuk turut serta berpartisipasi membantu
negara-negara yang sedang mengalami konflik politik di bawah
payung PBB melalui pengiriman pasukan penjaga perdamaian
Indonesia.
Sedangkan permasalahan yang dihadapi Indonesia dalam
kerjasama multilateral khususnya yang terkait dengan kejahatan
lintas negara adalah Indonesia menjadi negara transit sebelum
meneruskan perjalanan ke negara tujuan, seperti Australia, Selandia
Baru dan negara-negara maju lainnya. Keberadaan imigran gelap
tersebut berpotensi menimbulkan kerawanan baik di bidang
keamanan, sosial dan
ekonomi sehingga Indonesia perlu
meningkatkan peran aktifnya dalam kerja sama regional dan
multilateral termasuk kerja sama melalui Bali Process, UNHCR dan
IOM. Perlu diperhatikan juga mengenai aspek prioritas dalam
kerangka kerjasama dengan kedua organisasi tersebut, yaitu
repatriasi imigran yang tidak memenuhi syarat sebagai pengungsi
2 - 156
(non-refugee) dan resettlement bagi imigran yang ditetapkan sebagai
pengungsi (refugee). Selain itu, Indonesia juga masih menghadapi
ancaman terorisme dan munculnya beragam bentuk dan semakin
luasnya jaringan kejahatan lintas negara.
Di bidang hukum, permasalahan penerapan hukum yang
menimbulkan ketidakpastian hukum menyebabkan persoalan di
masyarakat. Hukuman yang diberikan kepada terdakwa di kasuskasus tertentu seperti korupsi, terorisme sampai dengan penerapan
hukum pada kasus-kasus yang melibatkan masyarakat miskin
(seperti kasus pencurian coklat, kasus perjudian anak dan lain-lain)
memperlihatkan adanya perbedaan dalam pemberlakuan hukum
positif yang berlaku.
Penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi juga
masih diwarnai dengan korupsi oleh para pejabat eksekutif baik di
tingkat Pusat maupun Daerah. Meskipun sudah banyak oknum
pejabat telah dikenakan sanksi baik administratif sampai dengan
pemecatan jabatan, perilaku koruptif masih menjerat sebagian besar
aparat pemerintahan. Di samping itu, praktek koruptif di lingkungan
legislative (korupsi politis) yang belakangan terjadi sangat
mengganggu keutuhan proses demokrasi di Indonesia.
Terkait dengan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi,
walaupun telah ada berbagai upaya untuk mendukung gerakan
percepatan pemberantasan korupsi di bidang pencegahan dan
pemberantasan korupsi, namun permasalahan pokok yang masih
mengemuka adalah tentang komitmen yang masih rendah dan belum
meratanya kesepahaman dalam kerangka pemberantasan korupsi di
internal pemerintah di tingkat pusat maupun daerah serta lembaga
maupun instansi terkait lainnya. Selain itu koordinasi dan kerjasama
antara lembaga penegak hukum yang berwenang dalam memeriksa
kasus korupsi juga masih lemah. Hal ini yang menyebabkan masih
banyaknya kasus korupsi yang belum tertangani sampai dengan saat
ini. Penanganan kasus korupsi juga masih bersifat individual, tidak
2 - 157
bersifat komprehensif (menyeluruh) sampai ke akar permasalahan
contohnya pada kasus korupsi politik. Lemahnya penindakan
terhadap kasus korupsi menjadikan para koruptor masih merajalela
mengeruk harta negara dan pada akhirnya akan menurunkan
kesejahteraan rakyat.
Pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi masih
terkendala dengan
perbedaan sistem hukum dan peraturan
perundang-undangan di Indonesia dengan peraturan perundangundangan yang berlaku di negara tempat asset hasil tindak pidana
korupsi berada selain kebutuhan peningkatan kapasitas sumber daya
aparat penegak hukum dalam proses pengembalian aset. Di samping
itu, saat ini RUU Perampasan Aset Tindak Pidana masih dalam
proses harmonisasi pada tahun ini. Kendala yang masih ditemui
adalah perbedaan pandangan mengenai Instansi atau Unit yang diberi
kewenangan untuk mengelola asset hasil Tipikor (Asset Management
Unit) antara kewenangan Kejaksaan Agung atau Kementerian
Keuangan.
Di sisi upaya perlindungan saksi pelapor sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Pelapor masih dibatasi ruang lingkup
pengaturan pada saksi dan korban saja. Sedangkan dalam prakteknya
seperti kebutuhan perlindungan hukum (sebagai contoh di dalam
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang) diberikan juga kepada Saksi Pelapor, yang
relevansinya
adalah
mendukung
upaya
pengungkapan/
pemberantasan seluruh kejahatan yang terorganisir dapat diberantas
hingga ke akarnya. Meskipun pasal 10 UU No. 13/2006 tuntutan
pidana tetap diberikan apabila kejahatan terbukti secara sah dan
meyakinkan, tetapi kesaksian seorang Pelapor dapat dijadikan
pertimbangan oleh hakim dalam meringankan pidana kepada Pelapor
yang memberikan informasi terhadap tindak pidana yang dilakukan
dan bahkan dapat menjadi alasan yang kuat memberikan grasi.
2 - 158
Dengan demikian, ke depan, tantangan dalam pelaksanaan sistem
peradilan pidana adalah koordinasi antar instansi dalam pelaksanaan
perlindungan saksi, korban dan pelapor.
Dalam penanganan pelanggaran HAM Berat, hasil penyidikan
perkara yang dilakukan Kejaksaan masih menunjukan nihil,
walaupun telah ada upaya yang dilakukan terkait dengan proses
pemeriksaan dan penelitian berkas perkara penyelidikan beberapa
kasus pelanggaran yang disampaikan oleh Komnas HAM dimana
hasil penyelidikan tersebut telah dikembalikan kepada Komnas
HAM untuk disesuaikan dengan prosedur penanganan penyelidikan
perkara yang dilakukan di Kejaksaan, namun sampai dengan kurun
akhir tahun 2010 dan Juni 2011 masih belum ada tindak lanjut yang
dilakukan.
Dalam melaksanakan peran peningkatan akses masyarakat
kepada pengadilan, pelaksanaan SEMA No. 10 Tahun 2010 tentang
Pedoman Pemberian Bantuan Hukum, kendala terkait pelaksanaan di
lapangan memerlukan petunjuk teknis untuk para pelaksa dalam
menyalurkan anggaran bantuan hukum tersebut.
Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN HAM)
merupakan dokumen penyearah berbagai program kegiatan
pembangunan dalam rangka untuk penghormatan, pemajuan,
pemenuhan, perlindungan, dan penegakan HAM. Hak asasi manusia
tidak hanya terbatas pada aspek pelanggaran HAM oleh aparat
Negara kepada masyarakat akan tetapi ruang lingkup HAM sangat
luas hamper meliputi segenap aspek kehidupan masyarakat dari
mulai kesehatan, pendidikan, agama, kebebasan berpendapat, politik,
hukum dan sebagainya. Dokumen RAN HAM tahun 2004-2009
telah selesai dilaksanakan meskipun sebagai salah satu hasilnya telah
terbentuk panitia RAN HAM baik nasional maupun daerah, namun
efektivitas dari panitia ini belum optimal. Program kerja dari RAN
HAM tersebut banyak tidak terlaksana baik karena kurangnya
pemahaman dari pemangku kepentingan yang ada maupun karena
2 - 159
kurangnya dukungan sumber daya dalam rangka untuk
melaksanakan RAN HAM periode 2004 – 2009 dan bahkan masih
ada anggapan bahwa pemajuan, penghormatan dan penegakan hak
asasi manusia hanya menjadi tugas Pemerintah Pusat.
Permasalahan yang dihadapi bidang keamanan, khususnya dari
aspek penanganan terorisme dan peningkatan peran industri
pertahanan, secara umum masih menghadapi berbagai kendala
seperti kondisi sosial ekonomi masyarakat, peran masyarakat dalam
penanggulangan terorisme, atau kepercayaan user pada hasil industri
pertahanan.
Terorisme masih menjadi ancaman yang berpotensi
mengganggu stabilitas keamanan nasional. Tidak menutup
kemungkinan bahwa aksi-aksi terorisme di Indonesia berkaitan
dengan jaringan terorisme asing, sehingga sangat mungkin di masa
depan aksi-aksi terorisme akan selalu berulang kembali. Akar
masalah yang ditengarai menjadi media tumbuh suburnya jaringan
terorisme di Indonesia diantaranya adalah kondisi sosial dan
ekonomi masyarakat yang lemah, sehingga sangat mudah didogma
dan direkrut menjadi anggota jaringan. Oleh karena itu, salah satu
tantangan utama yang dihadapi dalam penuntasan masalah terorisme
adalah bagaimana membangun kesadaran masyarakat agar
masyarakat memahami bahwa terorisme adalah musuh bersama dan
dalam mengatasinya sangat membutuhkan peran aktif masyarakat.
Langkah tersebut, sekaligus diikuti dengan upaya-upaya
meningkatkan kesejahteraan rakyat agar tidak rentan terhadap bujuk
rayu jaringan terorisme.
Peningkatan peran industri pertahanan dalam negeri
merupakan suatu keharusan dalam rangka mewujudkan kemandirian
pertahanan dan keamanan nasional. Belajar dari pengalaman masa
lalu, kemampuan pertahanan Indonesia sempat melemah akibat
embargo yang dilakukan oleh negara-negara supplier. Oleh karena
itu, peningkatan peran industri pertahanan dalam negeri dalam
2 - 160
rangka kemandirian alutsista TNI dan peralatan Polri
harus
dilaksanakan untuk memperkecil resiko ketergantungan alutsista TNI
dan peralatan Polri dari luar negeri. Secara umum peran industri
pertahanan nasional dalam keamanan nasional relatif belum
maksimal, yaitu dicerminkan dari potensi Industri pertahanan yang
belum sepenuhnya dapat direalisasikan dan termanfaatkan dalam
sistem keamanan nasional. Di sisi lain, industri pertahanan nasional
yang saat ini identik dengan inefisiensi, kurang kompetitif, dan tidak
memiliki keunggulan komperatif, dan tidak mampu memenuhi
persyaratan dalam kontrak, juga harus mentransformasi perilaku
bisnisnya agar mampu mengemban kepercayaan yang telah
diberikan, yang antara lain dicerminkan dari kesesuaian harga dan
kualitas produk serta ketepatan waktu penyerahan. Berbagai
permasalahan dalam pengembangan industri pertahanan ini sangat
terkait dengan ketersediaan dan belum solidnya payung hukum,
kelembagaan, dukungan penelitian dan pengembangan, serta
dukungan finansial. Untuk itu, penyusunan road map industri
pertahanan nasional merupakan tantangan yang harus segera di atasi
dalam lima tahun mendatang agar peran industri pertahanan nasional
semakin signifikan dalam mewujudkan keamanan nasional.
2.12.2 LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASILHASIL YANG DICAPAI
Di bidang politik luar negeri, untuk merespon perkembangan
politik hubungan Thailand dan Kamboja, dalam rangka konsultasi
dengan Menteri Luar Negeri Thailand dan Menteri Luar Negeri
Kamboja terkait insiden perbatasan Thailand-Kamboja tersebut, pada
tanggal 7-8 Februari 2011 Menteri Luar Negeri RI telah melakukan
kunjungan kerja ke Phnom Penh dan Bangkok. Pembicaraan
antarmenteri luar negeri tersebut menghasilkan beberapa
kesepakatan, antara lain komitmen kedua pihak untuk menyelesaikan
2 - 161
perbedaan dan perselisihan melalui cara damai; kedua pihak
mengakui adanya kebutuhan menstabilkan situasi di wilayah
perbatasan; dan pentingnya menciptakan situasi kondusif agar proses
negosiasi berjalan baik.
Selain itu, Dewan Keamanan PBB pada tanggal 7 Februari
2011 di bawah agenda other matters telah melakukan konsultasi
informal tertutup guna membahas insiden militer di perbatasan
Thailand-Kamboja. Konsultasi informal tersebut dilakukan
berdasarkan permintaan Kamboja agar DK PBB melakukan
pertemuan darurat membahas permasalahan tersebut. Atas
permintaan DK PBB, Menteri Luar Negeri Indonesia menjelaskan
hasil-hasil pertemuan dan pandangan Indonesia terkait dengan upaya
penyelesaian sengketa perbatasan kedua negara. Presiden DK PBB
menyampaikan apresiasi dan penghargaan terhadap peran dan upaya
Indonesia untuk memastikan agar kondisi perbatasan kedua negara
tidak semakin memburuk.
Dalam kapasitas sebagai Ketua ASEAN, Pemerintah Indonesia
telah berinisiatif menyelenggarakan pertemuan informal para menteri
luar negeri ASEAN pada tanggal 22 Februari 2011 di Jakarta. Salah
satu isu yang dibahas secara khusus dalam pertemuan dimaksud
adalah perkembangan situasi perbatasan Kamboja-Thailand yang
dinilai menghangat akhir-akhir ini. Pada akhir pertemuan, Indonesia
selaku Ketua ASEAN telah mengeluarkan pernyataan tentang
dukungan dan sambutan yang baik terhadap komitmen yang kuat
dari Kamboja dan Thailand untuk menyelesaikan perbedaan dan
permasalahan melalui upaya-upaya damai. Indonesia juga
menyambut baik undangan dari Kamboja dan Thailand untuk
pengiriman observers dari Indonesia ke perbatasan masing-masing
negara untuk meng-observe komitmen kedua negara untuk
menghindari konflik bersenjata. Di samping itu Indonesia
mengharapkan Thailand dan Kamboja melanjutkan negosiasi
bilateral dan mekanisme yang telah ada selama ini.
2 - 162
Selain itu, pada tanggal 10 Mei 2011 di Jakarta diadakan
trilateral meeting antara Indonesia, Thailand dan Kamboja. Dalam
pertemuan ini, Indonesia menawarkan sebuah konsep pendekatan,
sebagaimana telah disampaikan Presiden RI di sela-sela KTT
ASEAN ke 18 berupa Package Solutions. Dengan solusi ini,
penyelesaian masalah tidak lagi berbicara mengenai siapa,
mengambil langkah apa terlebih dahulu, sebelum kemudian
mengambil langkah berikutnya, tapi melihat masalah ini sebagai
suatu proses bukan suatu kejadian.
Untuk masalah konflik Laut China Selatan, Pertemuan ASEAN
Senior Officials Meeting (SOM) di Lombok tanggal 15 Januari 2011
mencatat hasil Joint Working Group on DOC di Kunming, RRT,
bulan Desember 2010. SOM sepakat mendorong agar proses
pembahasan guidelines DOC dapat segera dituntaskan. Claimant
states ASEAN mencatat usulan yang disampaikan China di
Kunming. Pada pertemuan ASEAN Ministerial Meeting (AMM)
Retreat di Lombok, 16—17 Januari 2011, para Menlu ASEAN
membahas secara mendalam perkembangan terkini mengenai isu
LCS dan mencapai kesepahaman.
Sementara praktek perompakan di laut harus dipandang
sebagai kejahatan universal yang memerlukan penanganan secara
komprehensif, inklusif dan terpadu, baik pada tataran nasional,
regional maupun global. Dalam penanganan masalah pembajakan,
International Maritime Organization (IMO) telah meminta dukungan
tambahan dari negara-negara yang dapat menyediakan kapal-kapal
perang dan pesawat terbang patroli maritim untuk wilayah Teluk
Aden dan Samudra Hindia bagian barat serta menitikberatkan
perhatian untuk mengikutsertakan Maritime Rescue Coordination
Centres di Mombasa dan Dar es Salaam yang baru saja dibuka untuk
berperan serta dalam pemberantasan perompakan di laut.
Sementara dalam hal pemberantasan perompakan, pemerintah
Somalia, “Puntland” dan “Somaliland” telah sepakat untuk
2 - 163
membentuk mekanisme koordinasi anti perompakan yang disponsori
oleh UNPOS (United Nations Political Office for Somalia).
Secara lebih meluas dalam konteks menjaga perdamaian
dunia, Pemerintah Indonesia telah mengirimkan Pasukan Penjaga
Perdamaian/Peacekeeping Operations, dimana pada sepanjang tahun
2010 Indonesia berpartisipasi dalam 7 misi pemeliharaan perdamaian
PBB dengan total personil sejumlah 1.795 orang yang menempatkan
Indonesia pada posisi ke-16 negara penyumbang pasukan pada misimisi PBB. Selain Personil Polri dan TNI, Indonesia juga
mengirimkan Kapal KRI Kaisiepo untuk bergabung pada Maritime
Task Force (MTF) di UNIFIL. Selain itu, Indonesia juga secara aktif
terlibat dalam berbagai pertemuan yang antara lain membahas isu
dan agenda tentang operasi perdamaian dunia dalam pertemuan
kelompok kerja di New York; nuklir dan perlucutan senjata nuklir
dalam Konferensi PBB ke-22 di Jepang, International Atomic
Energy Agency (IAEA), dan pada pertemuan States Parties of
Cluster Munitions Coalition (CCM) di Vientiane-Laos; interfaith
dialogue dan penguatan peran kawasan Asia dan Timur Tengah;
serta counter terrorism di PBB, ASEAN dan expert group meeting di
Wina.
Capaian lainnya dapat dilihat dari pelaksanaan inisiatif
Indonesia untuk melaksanakan delapan pertemuan internasional,
dimana Indonesia menjadi tuan rumah, untuk membahas isu dan
agenda perdamaian dunia melalui peace keeping dan post conflict
building; penguatan pelaksanaan program aksi tentang Small Arms
and Light Weapon (SALW); transparansi dalam perlucutan senjata;
perlindungan, permukiman kembali, dan repatriasi yang terkait
dengan penyelundupan orang, perdagangan manusia, dan kejahatan
transnasional, counter terorrism melalui workshop yang diikuti oleh
perwakilan dari Kepolisian RI dan Kejaksaan, dan lokakarya untuk
membahas pelaksanaan strategi global counter terrorism; serta
2 - 164
membahas isu pengurangan ancaman nuklir yang diperuntukkan bagi
para pengambil keputusan.
Dalam rangka peningkatan kepastian hukum, berbagai upaya
telah dilakukan oleh masing-masing lembaga penegak hukum antara
lain peningkatan kapasitas aparat penegak hukum melalui pelatihan
terpadu dalam melaksanakan tugas dan fungsi masing-masing sesuai
dengan ragam jenis perkara/kasus yang ditangani. Dengan demikian
diharapkan ada persamaan cara pandang dalam penanganan
kasus/perkara dan menerapkan aturan hukum secara tepat. Selain itu,
mekanisme diversi dalam kasus hukum yang melibatkan anak
(khususnya yang masih di bawah umur) menjadi salah satu jalur
penyelesaian tanpa mengabaikan prinsip keadilan. Pertimbangan
penanganan anak yang bermasalah dengan hukum melalui pelibatan
masyarakat terkait dengan upaya menghindari pengaruh pemidanaan
terhadap perkembangan anak di masa yang akan datang.
Dalam rangka meningkatkan upaya pemberantasan korupsi
telah ditetapkan Inpres No.9 Tahun 2011 yang mencakup 102
rencana aksi yang melibatkan beberapa Kementerian Lembaga
terkait tak terkecuali lembaga penegak hukum yaitu Kepolisian,
Kejaksaan dan Kementerian Hukum dan HAM. Inpres tersebut
meliputi beberapa rencana aksi yang ditujukan untuk meningkatkan
koordinasi antara aparat penegak hukum dalam rangka peningkatan
percepatan pemberantasan korupsi. Koordinasi dan kerjasama yang
kuat diantara lembaga penegak hukum tersebut dapat meningkatkan
pencapaian IPK dengan nilai 5 pada tahun 2014.
Penanganan kasus korupsi tidak hanya merupakan jurisdiksi
dari KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi saja akan tetapi
juga merupakan kewenangan Kejaksaan dan pengadilan negeri.
Dalam rangka penanganan kasus korupsi sampai dengan bulan Juni
2011, KPK telah menangani kasus tindak pidana korupsi baik itu
yang merupakan sisa dari perkara dari tahun 2010 dan perkara baru
di tahun 2011 (tabel 2.12.1). Penanganan kasus korupsi yang
2 - 165
dilakukan oleh KPK sejak tahun 2004 sampai dengan 2011, tercatat
bahwa instansi yang banyak melakukan tindak pidana korupsi adalah
pada level pemerintah kabupaten/kota dan kedua adalah pada
kementerian lembaga (tabel 2.12.2)
TABEL 2.12.1.
PENANGANAN KASUS/ PERKARA KORUPSI OLEH KPK
No.
1.
Waktu
Januari
s.d Juni
2011
Penyelidikan
Penyidikan
Penuntutan
Perkara
yang telah
mempunyai
kekuatan
hukum
tetap
38 kasus
44 perkara
23 perkara
20 perkara
Putusan
pengadilan
16 perkara
Sumber Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 2011
TABEL 2.12.2
PERKARA TPK BERDASARKAN INSTANSI
(2008-JUNI 2011)
20
15
10
5
0
2008
2009
2010
2011
Pemkab/Pemkot
18
5
8
5
Kementerian/Lembaga
13
13
16
10
7
10
7
1
DPR R I
2 - 166
Sumber : Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 2011
Sedangkan terkait dengan upaya yang dicapai dalam
pemberantasan korupsi, dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya pada
kurun waktu Januari sampai dengan Desember Tahun 2010 dan
mulai Januari sampai dengan Juni 2011, Kejaksaan Agung (tingkat
pusat) dan Kejaksaan Tinggi (Kejati), Kejaksaan Negeri (Kejari) dan
Cabang Kejaksaan Negeri (Cabjari) seluruh Indonesia telah
menyelesaikan penanganan penyidikan dan penuntutan tindak pidana
korupsi seperti yang tercantum dalam Tabel di bawah ini,
TABEL 2.12.3.
JUMLAH PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN TINDAK
PIDANA KORUPSI KEJAKSAAN RI
Kejati/ Kejari/ Cabjari
No. Waktu
Kejaksaan Agung
seluruh Indonesia
1.
s.d
akhir
Tahun
2010
Penyidikan
sebanyak
148
perkara
Penuntutan
sebanyak
48 perkara
Penyidikan
sebanyak
2.167
perkara
Penuntutan
sebanyak
1.667
perkara
2.
Januari
Penyidikan
Penuntutan
Penyidikan
Penuntutan
2 - 167
s.d.
Juni
2011
sebanyak
66 perkara
sebanyak
37 perkara
sebanyak
798
perkara
sebanyak
621
perkara
Sumber : Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 2011
Untuk meningkatkan kualitas penanganan kasus korupsi yang
disidik dan dituntut oleh Kepolisian dan kejaksaan maka KPK sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan melakukan fungsi
koordinasi dan supervisi dibidang penindakan. Pada tahun 2011 KPK
telah melakukan fungsi koordinasi bersama-sama dengan Kepolisian
dan Kejaksaan seperti yang tercantum pada tabel 2.12.3. Kegiatan
koordinasi tersebut adalah dengan meminta informasi tentang telah
dimulainya penyidikan perkara TPK (melalui Surat Perintah
Dimulainya Penyidikan atau SPDP) dan perkembangan
penanganannya. Sementara itu supervisi yang dilakukan oleh KPK
adalah dalam bentuk (a) permintaan Perkembangan Penyidikan
(Bandik); (b) Gelar Perkara dengan; (c) Analisis perkara; dan (d)
Pelimpahan Perkara. Fungsi koordinasi dan supervisi yang dilakukan
oleh KPK tersebut merupakan bentuk kerjasama ketiga instansi
dalam upaya meningkatkan kualitas penanganan kasus korupsi
TABEL 2.12.4.
KEGIATAN KOORDINASI DAN SUPERVISI KPK DALAM
PENANGANAN KASUS KORUPSI
1. Koordinasi
Instansi
Kejaksaan
Kepolisian
Total
Januari sd Juni 2011
630
107
737
Sumber : Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 2011
2. Supervisi
2 - 168
Sd.
Juni
2011
Jumlah
Jawaban Permintaan
Bangdik
POLRI
Kejaksaan
41
97
Gelar Perkara
Analisis
Pelimpahan
POLRI
Kejaksaan
POLRI
Kejaksaan
POLRI
Kejaksaan
11
6
11
18
15
17
Sumber : Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 2011
Dalam rangka penyelamatan asset, aparat penegak hukum
telah melakukan berbagai upaya untuk mengembalikan harta
kekayaan negara dari para koruptor dengan melacak harta hasil
korupsi yang dibawa koruptor ke luar daerah maupun ke luar negeri.
Baik KPK maupun Kejaksaan Agung telah melakukan upaya
kerjasama bantuan hukum timbal balik antar negara (Mutual Legal
Assistance), ekstradisi dan upaya pencarian dan pengembalian asset
hasil kejahatan korupsi di luar negeri (asset tracing and recovery).
Kerjasama antar negara yang dilakukan oleh Kejaksaan diantaranya
adalah dengan Swiss, Singapura, Belanda, Inggris, Hongkong,
China, Amerika Serikat, Australia dan Kanada. Sampai dengan Juni
2011 antara lain tengah dilakukan upaya kerjasama hukum terkait
dengan kasus Gayus H.P Tambunan. Sampai dengan tahun 2010,
KPK telah berhasil menyelamatkan potensi kerugian negara tak
kurang dari 2,5 triliun rupiah. Dalam rangka untuk penyelamatan
asset Negara pada tindak pidana korupsi secara lebih optimal maka
pada tahun 2011 diharapkan draft RUU Perampasan Aset dapat
difinalisasi dan dapat segera disampaikan kepada Presiden.
Mengantisipasi belum optimalnya pemberian perlindungan
terhadap saksi pelapor dan korban pada tahun 2011 Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengajukan usulan kepada
Kementerian Hukum dan HAM agar revisi dari UU No.13 tahun
2006 diharapkan dapat menjadi salah satu rancangan undang-undang
yang menjadi prioritas untuk dibahas dengan DPR. Namun demikian
karena usulan adanya revisi dari undang-undang ini masuk setelah
Prolegnas tahun 2011 sudah ditetapkan maka pada tahun 2010 dan
tahun 2011 tidak ada kegiatan yang langsung terkait dengan hal
tersebut. Di samping itu, Mahkamah Agung sedang
2 - 169
Total
217
menyiapkan/menyusun suatu Surat Edaran yang akan menekankan
kepada para Hakim untuk sungguh-sungguh memperhatikan
ketentuan Pasal 10 UU No. 13/2006 tersebut. Dalam mekanisme
selanjutnya, pelibatan pihak Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah
Agung perlu dilakukan sesuai dengan lingkup kewenangannya.
Untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap keadilan, dan
mengatasi kendala penyaluran bantuan hukum kepada masyarakat
melalui pengadilan, Mahkamah Agung sedang menyiapkan petunjuk
pelaksanaan teknis bantuan hukum di 4 (empat) lingkungan
peradilan.
Pada tanggal 11 April 2011 telah ditetapkan Peraturan
Presiden Nomor 23 Tahun 2011 tentang Rencana Nasional Hak
Asasi Manusia (RAN HAM) tahun 2011—2014 sebagaimana RAN
HAM periode sebelumnya, dokumen ini diharapkan dapat menjadi
penyearah dalam rangka pelaksanaan program dan kegiatan yang
mendorong perlindungan HAM di Indonesia. Namun demikian
kepanitiaan dari RAN HAM ) tahun 2011—2014 diharapkan akan
lebih efektiv karena Presiden secara tegas menugaskan kepada
seluruh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota untuk
melaksanakan RAN HAM sesuai dengan tugas dan fungsinya
masing-masing. Pemantapan mekanisme dan koordinasi yang lebih
mendasarkan pada pendekatan hasil (outcome), telah lebih
memperjelas tugas dan tanggungjawab Panitia RAN HAM secara
lebih optimal dengan melibatkan partisipasi aktif seluruh pemangku
kepentingan yang terkait.
Dalam penanganan pelanggaran HAM Berat, hasil penyidikan
perkara yang dilakukan Kejaksaan masih menunjukan Nihil,
walaupun telah ada upaya yang dilakukan terkait dengan proses
pemeriksaan dan penelitian berkas perkara penyelidikan beberapa
kasus pelanggaran yang disampaikan oleh Komnas HAM dimana
hasil penyelidikan tersebut telah dikembalikan kepada Komnas
HAM untuk disesuaikan dengan prosedur penanganan penyelidikan
2 - 170
perkara yang dilakukan di Kejaksaan, namun sampai dengan kurun
akhir tahun 2010 dan Juni 2011 masih belum ada tindak lanjut yang
dilakukan.
Di bidang pertahanan, langkah kebijakan dalam rangka
penanggulangan tindak terorisme adalah dengan pemantapan tata
kelola pencegahan dan penanggulangan tindak terorisme, serta
pemberdayaan masyarakat dalam pencegahan tindak terorisme.
Penanganan terorisme yang dilakukan sejak adanya bom Bali I
sampai dengan pertengahan tahun 2011, telah berhasil menangkap
694 orang tersangka. Dari penangkapan tersebut, 65 orang tewas
akibat ditembak atau dieksekusi pengadilan, 18 orang dalam proses
sidang, 47 orang dalam proses penyidikan, 374 orang telah mendapat
vonis hakim,147 orang menjalani hukuman, dan 210 orang sudah
bebas menjalani hukuman dan/atau dinyatakan tidak terbukti. Dari
hasil penangkapan para pelaku dan pengungkapan jaringan
terorisme, menunjukkan bahwa pelaku teror di Indonesia memiliki
karakteristik khusus yaitu : (1) para pelaku sebagian besar WNI yang
pernah mendapatkan pelatihan militer di Afganistan dan Philipina
Selatan; (2) tidak merasa bersalah melakukan aksi teror karena
menganggap aksinya sebagai perjuangan dan perintah agama; (3)
memiliki idiologi keagamaan dengan kekerasan; dan (4) serangkaian
aksi terorisme terutama teror bom sebagian besar dilakukan oleh
kelompok Negara Islam Indonesia (NII) dan Jamaah Al-Islamiyah
(JI).
Hasil pengungkapan aksi terorisme pada tahun 2010
diantaranya adalah: (a) pelatihan militer oleh jaringan terorisme di
Aceh; (b) perampokan Bank CIMB cabang Medan yang diduga
terkait dengan terorisme, (c) penyerangan Polsek Hamparan Perak,
dan (d) perakitan bom oleh kelompok Bandung. Sedangkan pada
tahun 2011, hasil pengungkapan aksi terorisme diantaranya adalah :
(a) teror bom di Klaten, (b) teror bom buku, dan (c) teror bom bunuh
diri di Mapolresta Cirebon. Aparat keamanan telah melakukan
2 - 171
langkah-langkah pembinaan kepada masyarakat agar dapat
meningkatkan kepekaan terhadap orang atau benda yang patut
dicurigai di lingkungan tempat tinggal masing-masing dan
menginformasikan segera ke aparat kepolisian terdekat.
Sedangkan kebijakan yang ditempuh untuk mendayagunakan
industri pertahanan nasional bagi kemandirian pertahanan adalah
melalui penyusunan cetak biru beserta road map, peningkatan
penelitian dan pengembangan, serta dukungan pendanaannya.
Adapun hasil yang telah dicapai adalah (1) Penelitian dan
pengembangan Kementerian Pertahanan telah melakukan kerjasama
dengan Kemenristek, perguruan tinggi, Litbang Angkatan serta
pembentukan konsorsium Iptek bidang Radar, roket, rudal, UAV dan
Alkom; (2) Pembentukan Komite Kebijakan Industri Pertahanan
sebagai komitmen pemerintah dalam merevitalisasi industri
pertahanan memiliki peran mendorong dan mensikronkan kebutuhan
sarana pertahanan dengan kemampuan pemenuhan kebutuhan oleh
industri pertahanan nasional dan telah dituangkan dalam MoU
bersama pihak-pihak terkait untuk selanjutnya diimplementasikan
sesuai tanggung jawab masing-masing; (3) Dalam upaya mengejar
ketertinggalan teknologi pesawat tempur telah dilakukan kerjasama
dengan Korea Selatan pembuatan pesawat tempur KFX/IFX; dan (4)
Dilakukannya evaluasi dan penyesuaian atas regulasi atau kebijakan
yang berkaitan dengan perumusan pelaksanaan, perizinan,
pengembangan dan standarisasi teknis bidang pengadaan barang dan
jasa pada pembangunan kekuatan pertahanan, diharapkan dapat
meningkatkan kesiapan Alutsista pertahanan.
2.12.3. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN
Di bidang politik luar negeri, terkait masalah konflik
Kamboja-Thailand, tindaklanjut yang diperlukan adalah Indonesia
akan menugaskan 30 anggota (IOT), yaitu 15 orang akan bertugas di
wilayah Kamboja (IOTC) dan 15 orang akan bertugas di wilayah
Thailand (IOTT). Dalam penugasan tersebut, Kementerian Luar
2 - 172
Negeri bermaksud mengirimkan 4 (empat) orang pejabatnya secara
bergantian sebagai civilian component yang akan membantu
pelaporan. Terkait dengan hal ini, rencananya akan dibentuk Posko
di Kementerian Luar Negeri yang akan melibatkan unsur dari Menko
Polhukam, Kemenham, Panglima TNI, serta Kementerian Luar
Negeri. Posko akan bersifat lean, cepat dan beroperasi 24/7. Terkait
pengiriman IOT, Pemerintah telah menyampaikan Terms of
Reference (TOR) bagi pengerahan Tim Peninjau Indonesia di
kawasan perbatasan Thailand dan Kamboja. Pihak Kamboja telah
memberikan tanggapan tertulis yang positif terhadap TOR dimaksud,
sementara pihak Thailand belum memberikan tanggapan tertulis.
Untuk masalah Laut China Selatan, sebagai Ketua ASEAN
tahun 2011, Indonesia akan memastikan terpeliharanya tatanan dan
situasi di kawasan yang kondusif bagi upaya pencapaian
pembangunan. Sebagai equilibrium maker, Indonesia senantiasa
memberi ruang bagi terwujudnya perubahan dan berpandangan
naiknya kesejahteraan satu negara anggota ASEAN, hendaknya tidak
merugikan negara anggota lainnya. Pandangan tersebut yang
ditekankan Indonesia dalam membangun ASEAN dan juga
melandasi upaya-upaya dalam hal penguatan code of conduct di
LCS.
Adapun masalah pembajakan, tidak dipungkiri bahwa upayaupaya internasional untuk memberantas perompakan di perairan
Somalia, baik secara multilateral melalui badan-badan internasional
maupun melalui inisiatif pengiriman kapal-kapal perang dapat
membantu mengurangi intensitas pembajakan kapal tersebut. Akan
tetapi mengingat luasnya wilayah yang harus diawasi (sekitar 2.000
mil2), maka pembajakan-pembajakan masih terus terjadi. Dalam
kaitan ini, maka titik perhatian Indonesia adalah untuk terus
memberikan himbauan kepada para ABK untuk menghindari
memilih kapal yang melintasi Teluk Aden atau perairan sekitar
2 - 173
Somalia sebagai tindakan preventif terhadap kemungkinan terjadinya
pembajakan.
Dalam upaya memerangi pembajakan, pada pertemuan World
Public-Private Counter Piracy Conference di Dubai, 18 April 2011,
Menteri Luar Negeri RI telah menyampakan gagasan mengenai
langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam memerangi
perompakan antara lain perlunya identifikasi dan penanganan
terhadap akar permasalahan yang tidak bisa dipisahkan dari keadaan
internal di Somalia; penanganan masalah pembajakan harus
didasarkan pada rejim hukum internasional; dan negara-negara
pantai yang berada di kawasan rawan pembajakan perlu melakukan
patroli secara terkoordinasi untuk memastikan keamanan navigasi
dan keamanan maritim. Ke depan, Pemerintah akan memastikan
berbagai langkah tersebut dapat dilaksanakan.
Dalam menghadapi masalah perompakan di Somalia,
Indonesia menekankan pertama, perlunya pemberian capacity
building kepada Somalia; kedua, penegakkan instrumen hukum
internasional; ketiga, perlunya patroli bersama atau patroli
terkoordinasi (coordinated patrol) oleh negara-negara di kawasan.
Indonesia akan terus bekerja sama dengan Somalia untuk mencari
bentuk penyelesaian yang sesuai dengan kebutuhan Somalia.
Disamping itu, Indonesia perlu mempertimbangkan pelaksanaan
pemberian bantuan program capacity building dan kerja sama teknik
kepada pemerintah Somalia.
Dalam upaya menjaga perdamaian dunia, tindak lanjut yang
dilakukan adalah dengan terus mendorong efektifitas penggelaran
personil Indonesia antara lain melalui pembentukan Tim Koordinasi
Misi Pemeliharaan Perdamaian. Selain itu diperlukan juga analisis
yang mendalam serta komprehensif dengan instansi terkait untuk
memutuskan efektifitas penggelaran personil Indonesia dalam
pasukan penjaga perdamaian, pertimbangan keselamatan dan aspek
politis yang ditimbulkan dari penggelaran tersebut.
2 - 174
Di bidang penanganan terorisme, Indonesia akan terus
berperan aktif dalam berbagai upaya bilateral, regional dan
multilateral untuk mengatasi ancaman terorisme. Kebijakan luar
negeri difokuskan untuk melakukan pembangunan kapasitas
kelembagaan, pertukaran informasi dan intelijen, serta kerjasama
teknis. Dalam konteks multilateral khususnya, Indonesia akan terus
mendorong
terbentuknya
Comprehensive
Convention
on
International Terrorism (CCIT). Penanggulangan terorisme dengan
mengedepankan strategi ‘soft power’ serta perlindungan terhadap
HAM akan tetap menjadi perhatian utama kebijakan Pemerintah
Indonesia. Sedangkan terkait dengan kejahatan lintas negara
terorganisir, Pemerintah Indonesia akan terus berperan aktif dalam
kerja sama regional dan multilateral termasuk kerja sama melalui
Bali Process, UNHCR dan IOM.
Dalam rangka penegakan hukum, perlu adanya komitmen
bersama seluruh pemangku kepentingan untuk melaksanakan agenda
pemberantasan korupsi secara komprehensif. Penjabaran langkah
aksi harus merupakan satu kesatuan untuk mendapatkan hasil yang
optimal disamping menaikkan posisi Indonesia sebagai negara yang
berkomitmen sungguh-sungguh dengan tujuan kesejahteraan
masyarakat Indonesia.
Sebagai tindaklanjut dari adanya undang-undang mengenai
perampasan asset dalam rangka penanganan tindak pidana korupsi
maka diharapkan penanganan perkara korupsi tidak hanya
dimaksudkan untuk pemidanaan terhadap pelakunya akan tetapi juga
pengembalian kerugian Negara sebagai akibat tindak pidana korupsi
diharapkan dapat lebih optimal. Selanjutnya, pembagian peran dan
koordinasi di antara lembaga penegak hukum harus dapat lebih
ditingkatkan dalam rangka kerjasama terkait pengembalian asset baik
yang berada dalam satuan kerja dengan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Kerjasama yang baik diantara
berbagai negara dalam upaya pengembalian asset hasil tindak pidana
2 - 175
korupsi sebagaimana yang diamanatkan dalam UNCAC juga perlu
ditingkatkan untuk mendukung pelaksanaan pengembalian aset hasil
tindak pidana korupsi.
Pada tahun 2012 diharapkan usulan revisi UU No.13 tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dapat disepakati untuk
menjadi salah satu prioritas dalam Prolegnas 2012 sehingga nantinya
proses penyusunan peraturan perundang-undangan ini dapat segera
dilaksanakan.
Perlu adanya dorongan untuk meningkatkan komitmen semua
pemangku kepentingan untuk mensukseskan pelaksanaan RAN
HAM tahun 2011—2014, antara lain melalui kegiatan sosialisasi,
diseminasi dan mendorong optimalisasi peran dari panitia RAN
HAM baik tingkat Nasional maupun Pemerintah Daerah.
Sedangkan dukungan penguatan akses masyarakat terhadap
keadilan akan terus diupayakan melalui lembaga pengadilan, yang
selanjutnya bersinergi dengan peraturan perundang-undangan
mendatang terkait pelaksanaan bantuan hukum.
Terkait dengan permasalahan terkait penanganan pencegahan
dan pemberantasan korupsi akan lebih diintensifkan koordinasi
antara lembaga pemerintah dengan instansi atau lembaga terkait
lainnya dalam rangka mendukung dan mempercepat upaya
pemberantasan korupsi. Diharapkan dalam waktu dekat rencana aksi
yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2011 tentang
Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi dapat
dilaksanakan sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing
instansi penanggung jawab.
Dalam rangka pemantapan pemenuhan, pemajuan dan
penegakan hak asasi manusia optimalisasi peran panitia RAN HAM
Nasional/Provinsi/Kabupaten/Kota untuk meningkatkan kualitas
implementasi rencana aksi akan mendasarkan pada pelaksanaan
perencanaan dan anggaran berbasis kinerja, yang artinya juga
2 - 176
menjadi tanggung jawab tidak saja kementerian/lembaga namun juga
pemerintah daerah. Pengintegrasian/mainstreaming prinsip-prinsip
hak asasi manusia dalam proses penyusunan peraturan perundangundangan nasional; penerapan prinsip perlindungan hak asasi
manusia akan diarahkan untuk lebih memberikan jaminan
penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia yang
merupakan hak dasar rakyat Indonesia.
Terkait dengan penanganan pelanggaran HAM Berat, perlu
adanya upaya strategis dari Pemerintah dan lembaga terkait lainnya
untuk mengupayakan bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM Berat
yang masih tertunda penanganannya dapat diselesaikan dengan
tuntas sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Terkait dengan bidang pertahanan dan keamanan, penanganan
terorisme sebagai upaya mewujudkan kondisi keamanan dalam
negeri perlu dilaksanakan secara berkelanjutan dan terkoordinasi
dengan baik. Upaya penanggulangan dan pencegahan dilaksanakan
dengan melanjutkan kegiatan operasi penegakan dan ketertiban dan
operasi yustisi; operasi intelijen strategis; penyelenggaraan intelijen
dan pengamanan matra darat; kegiatan operasi intelijen dalam negeri;
penindakan tindak pidana terorisme; koordinasi penanganan
kejahatan transnasional dan terorisme; pencegahan dan
penanggulangan terorisme (BNPT); kerjasama multilateral terkait isu
keamanan internasional, senjata pemusnah massal dan senjata
konvensional; dan penanggulangan kejahatan lintas negara dan
terorisme.
Sedangkan dalam rangka meningkatkan peran industri
pertahanan, terutama dalam rangka mendukung pencapaian postur
kekuatan pokok minimun (minimum essential force), tindak lanjut
yang diperlukan adalah dengan melanjutkan penelitian dan
pengembangan alat peralatan pertahanan; produksi alutsista industri
dalam negeri; pengkajian dan pengembangan peralatan sandi;
pengembangan alut kepolisian produksi dalam negeri; pembuatan
2 - 177
prototype; peningkatan dukungan teknologi bagi pemberdayaan
industri strategis bidang pertahanan; serta pengkajian dan penerapan
teknologi industri pertahanan dan keamanan.
2.13
PRIORITAS
NASIONAL
PEREKONOMIAN
LAINNYA:
BIDANG
Program dan kegiatan yang termasuk dalam prioritas nasional
lainnya bidang perekonomian untuk industri manufaktur diarahkan
agar
mendukung Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) melalui pengembangan
pengembangan klaster industri hilir kelapa sawit di Sei Mangkei
(Sumatera Utara), Dumai (Riau) dan Maloy (Kalimantan Timur).
Pada forum multilateral perdagangan internasional, Indonesia
semakin aktif dalam perundingan World Trade Organization (WTO),
sehingga perdagangan internasional melalui diplomasi perdagangan
juga termasuk prioritas yang menjadi perhatian dalam bidang
perekonomian.
Kemudian upaya peningkatan pelayanan kepada tenaga Kerja
Indonesia (TKI) secara lebih komprehensif selama proses penyiapan,
pemberangkatan dan kepulangan, serta peningkatan upaya
perlindungan TKI di luar negeri, juga menjadi prioritas dengan
melibatkan kementerian/lembaga terkait sesuai tugas dan fungsinya
masing-masing.
2.13.1. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Klaster Industri Hilir CPO
Permasalahan yang dihadapi industri manufaktur khususnya
untuk industri pengolah minyak sawit (CPO) adalah: masih
lambatnya proses penumbuhan populasi usaha industri. Kebijakan
bea keluar terhadap ekspor CPO dan turunannya yang berlaku saat
2 - 178
ini belum mampu membendung ekspor CPO dan tidak mampu
mendorong pengembangan industri hilir minyak kelapa sawit/CPO
di dalam negeri. Akar masalahnya antara lain adalah belum
memadainya infrastruktur seperti pelabuhan, jalan dan transportasi,
termasuk energi (gas bumi dan listrik). Hal ini mengakibatkan
rendahnya minat investor di bidang industri hilir kelapa sawit.
Perdagangan Internasional
Diplomasi perdagangan merupakan bagian penting untuk
meningkatkan akses pasar Indonesia dan memecahkan permasalahan
perdagangan Indonesia di pasar global. Namun demikian, beberapa
permasalahan yang masih dihadapi oleh Indonesia dalam melakukan
upaya diplomasi perdagangan di antaranya adalah: (1) belum
optimalnya pemanfaatan skema kesepakatan kerjasama perdagangan
terutama terkait skema tarif dan belum siapnya sektor riil untuk
memanfaatkan peluang yang ada; dan (2) masih belum optimalnya
upaya negosiasi perdagangan untuk mengurangi berbagai hambatan
tarif dan non-tarif lainnya.
Pelayanan dan Perlindungan TKI
Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja di luar negeri,
setiap tahun sekitar 700.000 orang yang diberangkatkan melalui jalur
formal. Menurut catatan, saat ini terdapat sekitar 4,0 juta tenaga kerja
(TKI) yang bekerja di luar negeri. Sekitar 70,0 persen diantaranya
adalah perempuan dan mayoritas bekerja di sektor domestik. Tingkat
pendidikan TKI yang bekerja di luar negeri, sebagian besar hanya
lulusan SD sehingga kemampuan mereka dalam mengurus dokumen
persyaratan bekerja juga sangat terbatas. Rendahnya kemampuan
tersebut belum diimbangi dengan kualitas pendidikan dan pelatihan
yang seharusnya dipersiapkan bagi TKI sesuai dengan kebutuhan
yang dipersyaratkan di negara penempatan serta perlu
disosialisasikan lebih intensif lagi tentang hak dan kewajiban serta
hal-hal yang dapat melindungi mereka. Regulasi yang mengatur
2 - 179
penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri adalah UU. No. 39
tahun 2004. UU ini banyak dipersoalkan karena peran pemerintah
dalam penyelenggaraan penempatan relatif kecil, terutama peran
pemerintah dalam memberikan perlindungan, yang dirasakan belum
optimal.
Permasalahan tersebut menimbulkan ber-ulangnya kasus yang
sama menimpa tenaga kerja di luar negeri, seperti yang akhir-akhir
ini terjadi di negara Arab Saudi dan Malaysia. Mulai dari pemutusan
hubungan kerja sepihak (PHK), gaji tidak dibayar, penganiayaan
oleh majikan dan lain-lain. Sementara proses penyelesaian hukum di
negara penempatan memakan waktu yang tidak sedikit. Namun
masih perlu lebih ditingkatkan lagi bantuan dan advokasi kepada
TKI telah berikan oleh pemerintah.
2.13.2. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASILHASIL YANG DICAPAI
Klaster Industri Hilir CPO
Untuk menggalang komitmen berbagai sektor yang terlibat,
maka dilakukanlah pencanangan pembangunan klaster industri
berbasis pertanian, oleochemical di Maloy – Kalimantan Timur
tanggal 7 Januari 2010, di Dumai-Kuala Enok- Riau tanggal 23
Januari 2010, di Sei Mangke-Sumatera Utara tanggal 27 Januari
2010. Di samping itu, untuk mempercepat pembangunannnya,
Pemerintah telah memfasilitasi dengan melaksanakan penyusunan
Amdal, studi kelayakan; rencana induk pengembangan klaster
industri hilir kelapa sawit (IHKS) di Sei Mangkei-Medan, DumaiRiau dan Maloy-Kalimantan Timur; melakukan kajian pembangunan
infrastruktur utama (rel kereta api, jalan dan pelabuhan) di Sei
Mangke – Sumatera Utara; serta promosi investasi ke Amerika
Serikat dan Uni Emirat Arab.
Upaya tersebut telah berhasil menarik beberapa investor,
seperti Procter & Gambler dan Cargill International dari Amerika
2 - 180
Serikat dan MEC dari UEA. Komitemen lintas kementerian juga
mulai terbangun, diantaranya adalah komitmen dari Kementerian PU
untuk perluasan jalan menuju kawasan IHKS di Sei MangkeSumatera Utara serta rencana pembangunan rel kereta api yang akan
menghubungkan kawasan Sei Mangke-Sumatera Utara dengan
Pelabuhan Kuala Tanjung oleh PT. Kereta Api Indonesia (PT.KAI).
Perdagangan Internasional
Peran Indonesia di fora internasional terlihat semakin penting.
Beberapa upaya langkah kebijakan dan hasil-hasil yang dicapai
selama ini antara lain adalah:
1.
Partisipasi aktif Indonesia dalam forum multilateral dilakukan
melalui kerjasama dan perundingan internasional di forum
World Trade Organization (WTO) telah membuat komposisi
kekuatan negara-negara berkembang dengan negara maju
dalam forum tersebut menjadi berimbang. Kepemimpinan
Indonesia dalam berbagai kelompok inti (misal: G33, G20 di
WTO dan ASEAN) membuat posisi Indonesia semakin
diperhitungkan di forum internasional. Khusus terkait
Indonesia dalam Keketuaan ASEAN tahun 2011, peran
penting yang dilakukan terutama dalam mempersiapkan
komunitas ASEAN yang berorientasi pada rakyat di era
Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community)
pada tahun 2015.
2.
Perkembangan kerjasama Indonesia di ASEAN dengan mitra
dialog meliputi berbagai kesepakatan perdagangan bebas/Free
Trade Agreement (FTA), diantaranya adalah: ASEAN-China
FTA, ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership
Agreement, ASEAN-Australia-New Zealand FTA, serta
ASEAN-Korea FTA. Adapun upaya-upaya yang dilakukan
pemerintah Indonesia dalam menghadapi FTA antara lain
dengan: (i) penguatan daya saing global, (ii) pengamanan
pasar domestik, dan (iii) penguatan ekspor.
2 - 181
3.
Indonesia pun aktif dalam berbagai kerjasama perdagangan
bilateral, seperti dengan negara-negara: China, India, Uni
Eropa, Rusia, dan lain-lain.
Dalam rangka kerjasama Indonesia dengan China, telah
dibentuk Komisi Bersama Indonesia–RRT atau Joint
Commission Meeting (JCM) yang merupakan wadah formal
kerjasama
perdagangan
bilateral
tahunan
yang
menindaklanjuti Kemitraan Strategis (Strategic Partnership)
dalam hal perdagangan yang telah ditandatangani oleh kedua
Kepala Negara. Beberapa hasil kesepakatan JCM antara lain
adalah: (i) Kedua pihak sepakat untuk mengembangkan
langkah-langkah strategis bagi kepentingan jangka panjang
kedua bangsa; (ii) Kedua pihak sepakat untuk melaksanakan
implementasi ACFTA secara menyeluruh dan saling
menguntungkan; serta (iii) Kedua pihak akan mengupayakan
pertumbuhan perdagangan yang tinggi dan berkelanjutan. Jika
terjadi ketidakseimbangan neraca perdagangan, maka pihak
yang
surplus
wajib
melaksanakan
langkah-langkah
meningkatkan impor dan memberikan dukungan yang
diperlukan kepada mitranya.
Dalam rangka meningkatkan potensi perdagangan bilateral
Indonesia-Uni Eropa telah dilaksanakan beberapa rangkaian
pertemuan bilateral antara Indonesia-UE, yaitu European
Union-Indonesia Business Dialogue (EIBD), Working Group
Trade and Investment (WGTI) serta Vision Group. EIBD
merupakan forum tahunan yang melibatkan sektor swasta dan
pemerintah. WGTI adalah suatu forum pertemuan antara
pemerintah Indonesia dan Uni Eropa (EU) yang khusus
membahas isu perdagangan dan investasi kedua negara.
4.
Salah satu keberhasilan diplomasi perdagangan yang penting
adalah berhasilnya Indonesia bernegosiasi dengan Amerika
Serikat untuk mencabut larangan impor tembakau dari
Indonesia. Larangan impor tembakau dari Indonesia telah
dicabut pada bulan Juli 2011.
Pelayanan dan Perlindungan TKI
2 - 182
Dalam rangka memberikan perlindungan TKI sejak proses
penempatan, keberangkatan dan ketika bekerja di luar negeri,
pemerintah telah melakukan: (a) Penerbitan Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER.14/MEN/X/2010 Tentang
Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
di Luar Negeri, (b) menyusun draft penyempurnaan UU. No.
39/2004, dengan memperhatikan aspek perlindungan pekerja yang
lebih besar, (c) mempertimbangkan secepatnya pelaksanaan ratifikasi
konvensi buruh migran dan keluarganya, agar Indonesia memiliki
posisi tawar yang lebih kuat, (d) mengevaluasi dan memonitor
kinerja PPTKIS agar diketahui dengan cepat jika terjadi PPTKIS
yang melanggar norma-norma hukum yang berlaku (e) meluncurkan
program Kredit Usaha Rakyat bagi TKI (KUR TKI), dengan tujuan
untuk membantu TKI membiayai kebutuhan keuangan selama proses
pengurusan dokumen, kesehatan, dan keberangakatan. Pada akhir
tahun 2010, tiga bank siap menyalurkan KUR TKI yaitu Bank
Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, dan Bank Negara Indonesia
(BNI).
Selanjutnya, dalam rangka menyelesaikan kasus-kasus yang
menimpa TKI di luar negeri Pemerintah telah mengeluarkan: (a)
Keputusan Presiden No. 15/2011 Tentang Tim Terpadu Penanganan
TKI dan (b) Keputusan Presiden No. 17/2011 Tentang Satgas TK.
Kedua Keppres tersebut untuk mengantisipasi pemberlakukan
moratorium penempatan TKI di sektor domestik ke Arab Saudi yang
dimulai 1 Agustus 2011, hingga MoU Indonesia–Arab Saudi untuk
perlindungan TKI ditandatangani dan terbentuknya "joint task force"
antar kedua negara. Keputusan ini dibuat oleh pemerintah dengan
komitmen untuk terus memberikan pelayanan dan perlindungan
terbaik kepada warga negara Indonesia yang bekerja dan yang akan
bekerja ke luar negeri.
Selain kebijakan, pemerintah telah memberikan berbagai
kemudahan dalam rangka penempatan dan perlindungan TKI, yaitu :
2 - 183
(a) pemberian akses pelayanan yang cepat untuk penyelesaian
permasalahan baik pada saat calon TKI masih di dalam maupun TKI
di luar negeri, pemerintah membangun pusat layanan 24 jam (hotline
service/crisis center) sebagai pusat penerimaan pengaduan dan
fasilitasi penyelesaian masalah TKI. Pusat Pelayanan Pengaduan
(Crisis Center), telah diresmikan pada tanggal 26 Juni 2011, di
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI); dan
(b) pembangunan sistem informasi manajemen (SIM) TKI yang
aplikasinya dirintis oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.
SIM TKI akan diintegrasikan dengan data base yang sudah dimiliki
oleh kementerian/lembaga yang menangani TKI, sehingga data dan
informasi TKI serta informasi Job-Order di luar negeri menjadi lebih
transparan dan dapat diakses oleh masyarakat luas.
Pelayanan penempatan yang difasilitasi pemerintah pada tahun
2010 sebanyak 860.086 orang. Penempatan di kawasan Timur
Tengah dan Afrika 60,0 persen, kawasan Asia Pasifik 40,0 persen.
Dari jumlah tersebut yang bekerja di sektor formal 30,14 persen dan
di sektor informal 69,86 persen. Sampai dengan pertengahan tahun
2011, pemerintah telah memulangkan warga negara Indonesia
termasuk TKI over-stayer dari negara penempatan di kawasan Timur
Tengah sekitar 7.000 orang.
2.13.3. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN
Klaster Industri Hilir CPO
Untuk lebih menggalakkan penumbuhan usaha industri hilir
kelapa sawit akan dikaji restrukturisasi Bea Keluar terhadap CPO
dan turunannya sehingga mampu mendorong peningkatan nilai
tambah dan menjamin pasokan bahan baku bagi hilirisasi industri
CPO di dalam negeri, serta menarik investor untuk mengembangkan
industri turunan CPO. Di samping itu, akan dikaji pemberian
insentif berupa tax allowance, dan tax holiday untuk industri di luar
Pulau Jawa.
2 - 184
Perdagangan Internasional
Beberapa upaya tindak lanjut yang diperlukan untuk
mengoptimalkan diplomasi perdagangan internasional adalah: (1)
meningkatkan peran aktif berbagai pemangku kepentingan pada saat
proses persiapan diplomasi perdagangan; (2) meningkatkan peran
diplomasi perdagangan dalam menyelesaikan permasalahan dan
sengketa perdagangan internasional, serta dalam meningkatkan akses
pasar internasional; dan (3) meningkatkan upaya sosialisasi hasilhasil kesepakatan kerjasama perdagangan yang telah dilakukan oleh
Indonesia, sehingga para pelaku usaha dapat lebih memanfaatkannya
secara optimal.
Pelayanan dan Perlindungan TKI
Untuk memfasilitasi TKI bekerja di luar negeri dan
mengurangi permasalahan TKI, diperlukan: (a) percepatan
implementasi SIM-TKI dengan kementerian/lembaga terkait; (b)
sosialisasi komprehensif tentang prosedur dan persyaratan bekerja ke
luar negeri secara terus menerus di kantong-kantong TKI; (c)
pelayanan dokumen, kesehatan, keimigrasian, termasuk pemberian
kartu tenaga kerja luar negeri (KTKLN); (d) pendidikan dan
pelatihan serta pembekalan sesuai kebutuhan TKI, (e) system dan
prosedur pengamanan TKI, dan peningkatan akses layanan bantuan
hukum di perwakilan RI; (f) pelaksanaan perundingan dengan negara
penempatan dalam bentuk pembuatan MOU; (g) peningkatan
kerjasama pada forum-forum bilateral, regional, dan multilateral; (h)
memaksimalkan fungsi “shelter” di perwakilan negara dan
memperkuat citizen services; (i) mempercepat penyempurnaan UU
No. 39/2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja
Indonesia. di luar negeri, dan meratifikasi konvensi buruh migran
dan keluarganya.
2 - 185
2.14
PRIORITAS
NASIONAL
LAINNYA:
KESEJAHTERAAN RAKYAT
BIDANG
Di samping sebelas prioritas nasional, upaya untuk
mewujudkan visi dan misi pembangunan nasional juga dilakukan
melalui prioritas nasional lainnya di bidang kesejahteraan rakyat
yang mencakup (a) pelaksanaan ibadah haji yang tertib dan lancar
paling lambat pada 2010; (b) peningkatan kerukunan umat beragama
melalui pembentukan dan peningkatan efektivitas Forum Kerukunan
Umat Beragama (FKUB); (c) peningkatan jumlah wisatawan
mancanegara dan wisatawan nusantara sebesar 20% secara bertahap
dalam 5 tahun; (d) promosi 10 tujuan pariwisata Indonesia melalui
saluran pemasaran dan pengiklanan yang kreatif dan efektif; (e)
perbaikan dan peningkatan kualitas jaringan prasarana dan sarana
pendukung pariwisata; (f) peningkatan kapasitas pemerintah dan
pemangku kepentingan pariwisata lokal untuk mencapai tingkat
mutu pelayanan dan hospitality management yang kompetitif di
kawasan Asia; (g) perumusan kebijakan dan pedoman bagi
penerapan pengarusutamaan (mainstreaming) Gender dan Anak
(PUG & A) oleh Kementerian Negara dan Lembaga Pemerintah
Nonkementerian lainnya; (h) pencapaian posisi papan atas pada
South East Asia (SEA) Games pada tahun 2011, peningkatan
perolehan medali di Asian Games tahun 2010 dan Olimpiade tahun
2012; (i) peningkatan character building melalui gerakan, revitalisasi
dan konsolidasi gerakan kepemudaan; serta (j) revitalisasi gerakan
pramuka.
2.14.1. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Pelaksanaan ibadah haji yang tertib dan lancar. Berbagai
kemajuan telah berhasil dicapai dalam upaya penyelenggaraan
ibadah haji, namun pada pelaksanaannya masih terdapat
permasalahan antara lain: (1) belum optimalnya pelaksanaan teknis
di lapangan dalam penerapan manajemen penyelenggaraan haji yang
telah mendapatkan sertifikat manajemen mutu ISO 9001:2008; dan
2 - 186
(2) belum optimalnya pelayanan ibadah haji, terutama selama di
Arab Saudi, seperti masih terdapatnya masalah konsumsi, kondisi
pemondokan, jarak pemondokan yang masih jauh dari Masjidil
Haram, dan pelayanan transportasi.
Peningkatan
kerukunan
umat
beragama.
Beberapa
permasalahan yang masih dihadapi antara lain: masih adanya
tindakan dan gerakan yang mengganggu keharmonisan baik internal
maupun antarumat beragama. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa
kasus yang masih terjadi saat ini seperti adanya kekerasan atas nama
agama, upaya penodaan agama dan munculnya aliran sektarian
agama yang memancing konflik sosial.
Peningkatan kepariwisataan. Beberapa permasalahan yang
masih dihadapi antara lain: (1) belum optimalnya pengelolaan
destinasi pariwisata, terbatasnya sarana dan prasarana pendukung
pariwisata, dan belum optimalnya kemitraan dan kerja sama antara
pemerintah dan swasta termasuk masyarakat; (2) terbatasnya
informasi dan belum memadainya promosi destinasi pariwisata di
dalam dan luar negeri, belum optimalnya kemitraan antar pemangku
kepentingan dalam melakukan pemasaran dan promosi, belum
optimalnya pemanfaatan media massa, elektronik, dan media cetak
serta teknologi informasi dan komunikasi sebagai sarana promosi,
dan terbatasnya dukungan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota
dalam mendukung promosi pariwisata daerah; dan (3) terbatasnya
jumlah, jenis, dan kualitas SDM pariwisata, dan belum optimalnya
kapasitas dan kualitas penelitian dan pengembangan di bidang
pariwisata.
Peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
serta perlindungan anak. Beberapa permasalahan yang masih
dihadapi antara lain: (1) rendahnya kualitas hidup dan peran
perempuan, yang antara lain disebabkan oleh: (a) terjadinya
kesenjangan gender dalam hal akses, manfaat, dan partisipasi dalam
pembangunan, serta penguasaan terhadap sumber daya, terutama di
2 - 187
tatanan antarprovinsi dan antarkabupaten/kota; (b) rendahnya peran
dan partisipasi perempuan di bidang politik, jabatan-jabatan publik,
dan di bidang ekonomi; dan (c) rendahnya kesiapan perempuan
dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim, krisis energi, krisis
ekonomi, bencana alam dan konflik sosial, serta terjadinya penyakit.
Hal ini, antara lain, ditunjukkan dengan rendahnya peningkatan nilai
Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) setiap tahunnya yang
mengindikasikan bahwa peningkatan kesetaraan gender di bidang
ekonomi dan ketenagakerjaan, politik, serta pengambilan keputusan
belum signifikan; (2) rendahnya perlindungan terhadap perempuan
dan anak dari tindak kekerasan. Maraknya kasus-kasus kekerasan
terhadap perempuan dan anak belum diiringi dengan peningkatan
kuantitas dan kualitas layanan terhadap mereka yang menjadi korban
tindak kekerasan. Di samping itu, masih terdapat ketidaksesuaian
antarproduk hukum yang dihasilkan, termasuk antara produk hukum
yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dengan daerah, sehingga
perlindungan terhadap perempuan dan anak belum dapat
dilaksanakan secara komprehensif; dan (3) lemahnya kelembagaan
pengarusutamaan gender dan anak, yang antara lain disebabkan oleh:
(a) belum optimalnya penerapan piranti hukum, piranti analisis, dan
dukungan politik terhadap kesetaraan gender dan peduli anak sebagai
prioritas pembangunan; (b) belum memadainya kapasitas
kelembagaan dalam pelaksanaan PUG dan anak, yang ditandai
dengan masih rendahnya kapasitas SDM, termasuk kemampuan
dalam memberikan bantuan teknis pelaksanaan PUG, minimnya
ketersediaan data terpilah menurut jenis kelamin dan penggunaannya
dalam siklus pembangunan, belum tersedianya indeks komposit anak
sebagai alat untuk mengukur perkembangan pembangunan anak; dan
(c) masih rendahnya pemahaman tentang konsep dan isu gender,
nilai-nilai kesetaraan gender, manfaat PUG dalam pembangunan, dan
pemenuhan hak-hak anak, baik di pusat maupun di daerah.
Pembangunan pemuda dan olahraga. Beberapa permasalahan
yang masih dihadapi antara lain: (1) belum optimalnya partisipasi
2 - 188
dan peran aktif pemuda dalam berbagai bidang pembangunan, yang
disebabkan antara lain oleh terbatasnya peran serta pemuda sebagai
kekuatan moral, kontrol sosial, dan agen perubahan, masih
rendahnya tingkat partisipasi pemuda dalam organisasi kepemudaan;
belum optimalnya pengembangan potensi pemuda dalam
kepemimpinan, kepeloporan, dan kewirausahaan; dan (2) belum
optimalnya pengembangan cabang olahraga unggulan di daerah dan
terbatasnya upaya pembibitan atlet andalan; terbatasnya sarana dan
prasarana olahraga di daerah; serta masih terbatasnya apresiasi dan
penghargaan bagi olahragawan dan tenaga keolahragaan yang
berprestasi.
2.14.2. LANGKAH LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASILHASIL YANG DICAPAI
Pada program penyelenggaraan ibadah haji dan umrah,
sejumlah langkah perbaikan pelayanan haji yang telah ditempuh
antara lain: (1) perbaikan sistem pendaftaran dengan prinsip first
come first served. Sistem ini telah dapat memberikan kepastian
keberangkatan pada calon jemaah dan terpenuhinya rasa keadilan.
Untuk terlaksananya prinsip first come first served, salah satu
kegiatannya ialah pengembangan Sistem Komputerisasi Haji
(Siskohat) yang dilaksanakan sejak tahun 1425H/2004 M. Di
samping itu, sistem ini juga dapat melindungi jemaah dengan
menghilangkan praktek percaloan jual beli kuota oleh oknum yang
tidak bertanggung jawab; (2) peningkatan bimbingan jemaah haji
melalui penambahan frekuensi bimbingan dari semula sebanyak tiga
kali di tingkat kabupaten/kota menjadi empat belas kali, yaitu
sebanyak sepuluh kali di KUA kecamatan, dan empat kali di tingkat
kabupaten/kota. Demikian juga perubahan struktur komponen Biaya
Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) menjadi biaya langsung (direct
cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost). Dengan sistem ini,
jemaah haji hanya membayar komponen biaya langsung, sedangkan
komponen biaya tidak langsung dibebankan pada APBN dan hasil
2 - 189
atau manfaat dari dana setoran awal jemaah haji. Laporan BPIH
disusun tepat waktu dan neraca keuangannya disampaikan kepada
masyarakat luas melalui media massa nasional; (3) peningkatan
layanan embarkasi, yaitu dengan menambah embarkasi baru di
Palembang dan Padang, serta satu embarkasi transit di Gorontalo.
Peningkatan layanan embarkasi juga dilakukan dalam bentuk
peningkatan kualitas pelayanan katering, akomodasi, dokumen
perjalanan, dan dukungan operasional PPIH embarkasi. Pada tahun
2011 dialokasikan anggaran bagi Pengembangan dan Rehabilitasi
Asrama Haji Transit dan Embarkasi pada 15 lokasi. Selain itu juga
disediakan anggaran untuk pembangunan dan rehabilitasi gedung
asrama haji dan pembangunan Siskohat pada tingkat
Kabupaten/Kota. Beberapa dampak positif dari langkah-langkah
pembenahan tersebut di atas antara lain pembinaan yang makin
meningkat, pelayanan yang semakin baik, adanya perlindungan dan
rasa adil bagi jemaah, serta peningkatan manajemen
penyelenggaraan haji khususnya di bidang organisasi, tata-laksana,
SDM dan pengelolaan BPIH yang lebih transparan dan akuntabel;
dan (4) peningkatan penyelenggaraan kesehatan jamaah haji, melalui
pembinaan dan pelayanan kesehatan sebelum, saat pelaksanaan, dan
pasca haji. Hasil capaian utama antara lain: meningkatnya
kabupaten/kota yang melaksanakan pemeriksaan dan pembinaan
kesehatan jamaah haji sesuai standar.
Dalam upaya peningkatan kualitas kerukunan umat beragama,
perkembangan penting adalah terlaksananya upaya-upaya
reharmonisasi kehidupan sosial keagamaan daerah pascakonflik;
optimalisasi antisipasi disharmoni sosial daerah rawan konflik;
peningkatan kemampuan penanganan trauma pascakonflik; upaya
membangkitkan motivasi dan gairah hidup; penguatan sistem
antisipasi terhadap kemungkinan munculnya konflik baru; penguatan
peran dan pemberdayaan nilai-nilai kearifan lokal; peningkatan
pemahaman agama berwawasan multikultural; pengembangan
budaya damai; participatory action research (PAR) untuk
2 - 190
pengembangan model kerukunan; pemberdayaan organisasi
keagamaan; serta penguatan peran tokoh dan pemuka agama. Pada
tahun 2011 dialokasikan anggaran untuk kegiatan pemulihan pasca
konflik untuk 9 lokasi. Dalam rangka meningkatkan kerukunan umat
beragama, sampai tahun 2010 telah berdiri sebanyak 33 Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi, 421 FKUB
Kabupaten/Kota, 17 gedung sekretariat FKUB provinsi dan 11
gedung sekretariat FKUB kabupaten/kota. Pada tahun 2011
dialokasikan dana pembangunan Sekretariat Bersama FKUB
kabupaten/kota sebanyak 15 lokasi. Untuk menangani masalah aliran
sempalan keagamaan yang muncul ke permukaan selama tahun
2010, telah dilakukan berbagai langkah, baik berupa kebijakan dan
pembinaan, maupun penyelesaian konkrit di lapangan. Khusus untuk
menangani kasus Ahmadiyah, gerakan Islam radikal, terorisme, dan
paham liberal, telah dilakukan upaya melalui diskusi, orientasi dan
pertemuan tokoh/pemuka agama Islam serta sosialisasi peraturan
perundang-undangan tentang keormasan. Sementara itu, dalam
menangani kontroversi yang berkepanjangan menyangkut Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI), pemerintah juga telah menerbitkan SKB
Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 3
Tahun 2008, No. KEP-033/A/JA/6/2008, dan Nomor 199 Tahun
2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota,
dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan
Warga Masyarakat.
Dalam bidang pariwisata, pencapaian prioritas nasional
didukung dengan kebijakan peningkatan jumlah wisatawan
mancanegara dan wisatawan nusantara sebesar 20% secara bertahap
dalam 5 tahun; promosi 10 tujuan pariwisata Indonesia melalui
saluran pemasaran dan pengiklanan yang kreatif dan efektif;
perbaikan dan peningkatan kualitas jaringan prasarana dan sarana
pendukung pariwisata; dan peningkatan kapasitas pemerintah dan
pemangku kepentingan pariwisata lokal untuk mencapai tingkat
2 - 191
mutu pelayanan dan hospitality management yang kompetitif di
kawasan Asia.
Hasil-hasil yang dicapai dalam pembangunan kepariwisataan
pada kurun waktu tahun 2010 sampai dengan Juni 2011, antara lain
meningkatnya kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) pada
tahun 2010, yang mencapai 7,00 juta orang dari 6,32 juta orang pada
tahun 2009, atau mengalami peningkatan sebesar 10,74 persen. Pada
periode Januari-Juni 2011, jumlah kunjungan wisman mencapai 3,60
juta orang, atau mengalami pertumbuhan sebesar 6,42 persen
dibandingkan periode yang sama pada tahun 2010 yang sebanyak
3,38 juta orang. Dari kunjungan wisman, devisa yang dihasilkan
pada tahun 2010 adalah sebesar USD 7,60 miliar, meningkat 20,70
persen dari tahun 2009 yang sebesar USD 6,30 miliar.
Perkembangan
kepariwisataan
ditunjukkan
pula
dengan
meningkatnya pergerakan wisnus menjadi 234,38 juta perjalanan
pada tahun 2010, dari 229,73 juta perjalanan pada tahun 2009, serta
total pengeluaran wisnus meningkat menjadi Rp.150.49 triliun pada
tahun 2010, dari Rp. 137,91 triliun pada tahun 2009.
Keberhasilan pembangunan pariwisata tidak terlepas dari (1)
pengelolaan destinasi pariwisata, dalam kurun waktu tahun 2010
sampai dengan Juni 2011 telah dilaksanakan antara lain: (a)
pengembangan daya tarik pariwisata yang meliputi pengembangan
geopark nasional dan internasional yang telah diusulkan kepada
UNESCO sebanyak 2 lokasi, penyusunan data base situs selam yang
mencakup 10 dive sites, dan dukungan pengembangan daya tarik
wisata di 20 provinsi; (b) pengembangan standardisasi pariwisata
yang terdiri dari penyusunan 12 standar kompetensi dan 19 standar
usaha, pelatihan 310 orang master asesor dan asesor, fasilitasi
sertifikasi kompetensi pada 8.000 orang, pengembangan 2 lembaga
sertifikasi profesi pariwisata; (c) pengembangan industri pariwisata
berupa penyusunan 2 pola perjalanan/travel pattern (trail of
civilization dan wisata kesehatan), fasilitasi investasi pariwisata dan
2 - 192
penyusunan 3 profil investasi di bidang pariwisata; (d)
penyelenggaraan PNPM Mandiri Bidang Pariwisata di 200 desa
wisata, yang mencakup 75 daya tarik wisata di desa, 25 usaha
masyarakat desa berbasis industri kreatif di bidang pariwisata, dan
100 desa yang mendukung usaha pariwisata; (e) dukungan
pengembangan tata kelola destinasi pariwisata (destination
management organisation/ DMO) di 15 destinasi yaitu Toba,
Pangandaran, Flores, Bali, Borobudur, Kota Tua Jakarta, Wakatobi,
Derawan, Raja Ampat, Tanjung Puting, Bromo Tengger Semeru,
Rinjani, Sabang, Tana Toraja dan Bunaken; dan (f) dukungan
amenitas pariwisata di 23 provinsi pada 2010 dan 8 provinsi pada
tahun 2011; (2) promosi dan pemasaran pariwisata, dalam kurun
waktu tahun 2010 sampai dengan Juni 2011 telah dilaksanakan
antara lain: (a) promosi pariwisata di luar negeri yang meliputi
partisipasi pada bursa pariwisata internasional sebanyak 74 event,
pelaksanaan misi penjualan (sales mision) di fokus pasar wisatawan
sebanyak 24 event, penyelenggaraan festival Indonesia di luar negeri
sebanyak 13 event, dan penyelenggaraan Indonesia tourism
promotion representative officers di 12 negara; (b) promosi
pariwisata di dalam negeri yang meliputi penyelenggaraan promosi
langsung (direct promotion) sebanyak 27 kali, dan penyelenggaraan
event pariwisata berskala nasional dan internasional sebanyak 26
event; (c) pengembangan sarana dan prasarana promosi pariwisata
berupa destinasi yang memiliki data dan informasi lengkap sebanyak
10 daerah, bahan promosi yang telah dicetak sebanyak 1 juta
eksemplar, pembuatan bahan promosi elektronik sebanyak 76.620
keping, publikasi melalui 78 media dalam dan luar negeri, promosi
cetak yang telah terdiseminasi sekitar 600 ribu eksemplar, dan bahan
promosi elektronik seluruhnya terdiseminasi ke fokus pasar dan
berbagai daerah di tanah air; (d) pengembangan informasi pasar
pariwisata dengan tersusunnya 23 naskah hasil analisis pasar dalam
dan luar negeri, penyebaran 640 eksemplar informasi produk
pariwisata Indonesia ke fokus pasar, penyelenggaraan famillirization
2 - 193
trip/fam trip yang melibatkan 795 orang peserta, penerbitan 6.000
eksemplar Newsletter Pariwisata Indonesia; dan (e) penyelenggaraan
pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran (meeting,
incentive travel, conference, and exhibition/MICE) di Indonesia
sebanyak 57 event; dan (3) pengembangan sumber daya pariwisata,
dalam kurun waktu tahun 2010 sampai dengan Juni 2011 telah
dilaksanakan antara lain: (a) pelatihan peningkatan kapasitas pelaku
industri pariwisata dan masyarakat sebanyak 1.902 orang, dan
pelatihan aparatur pemerintah daerah sebanyak 1453 orang; (b)
penelitian dan pengembangan bidang pariwisata sebanyak 16 buah;
dan
(c) pendidikan
tinggi bidang
pariwisata dengan
dikembangkannya 34 program studi.
Langkah kebijakan dalam upaya peningkatan kesetaraan
gender, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak dilakukan
melalui: (1) peningkatan kapasitas kelembagaan PUG dan
pemberdayaan perempuan melalui penerapan strategi PUG, termasuk
mengintegrasikan perspektif gender ke dalam siklus perencanaan dan
penganggaran di seluruh kementerian dan lembaga; dan (2)
peningkatan kapasitas kelembagaan perlindungan anak, melalui: (a)
penyusunan dan harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait
perlindungan anak, (b) peningkatan kapasitas pelaksana
perlindungan anak, (c) peningkatan penyediaan data dan informasi
perlindungan anak, dan (d) peningkatan koordinasi dan kemitraan
antarpemangku kepentingan terkait pemenuhan hak-hak anak.
Hasil-hasil yang telah dicapai dalam rangka peningkatan
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, antara lain adalah
sebagai berikut. Di bidang pendidikan, berbagai upaya telah
dilakukan untuk mengintegrasikan perspektif gender ke dalam
pendidikan agama, antara lain adalah ditetapkannya Peraturan
Menteri Negara PP dan PA Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Pelaksanaan PUG di Madrasah pada Kementerian Agama RI dan
Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 12 Tahun 2010
2 - 194
Tentang Pedoman Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif
Gender pada Pendidikan Islam. Di bidang kesehatan, kemajuan yang
telah dicapai adalah ditetapkannya Peraturan Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 3 Tahun
2010 Tentang Penerapan Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan
Menyusui, Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 9 Tahun
2010 Tentang Perencanaan dan Penganggaran dalam Pencegahan
dan Penanggulangan HIV-AIDS yang Responsif Gender, Peraturan
Menteri Negara PP dan PA Nomor 10 Tahun 2010 Tentang
Perencanaan dan Penganggaran Keluarga Berencana yang Responsif
Gender, dan dikeluarkannya Panduan Perencanaan dan
Penganggaran yang Responsif Gender Bidang Kesehatan, yang
ditindaklanjuti dengan terbitnya Keputusan Menteri Kesehatan RI
Nomor 1459/MENKES/SK/X/2010 tentang Panduan Perencanaan
dan Anggaran Responsif Gender. Di bidang politik dan pengambilan
keputusan, telah ditetapkan Peraturan Menteri Negara PP dan PA
Nomor 25 Tahun 2010 tentang Pedoman Perencanaan dan
Penganggaran yang Responsif Gender di Kementerian PAN dan RB;
dan Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 27 Tahun 2010
tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG dalam Pendidikan Politik
pada Pemilihan Umum. Di bidang ekonomi dan ketenagakerjaan,
kemajuan yang telah dicapai antara lain adalah ditetapkannya
Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
Pedoman Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG)
di Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian; Peraturan Menteri
Negara PP dan PA Nomor 16 Tahun 2010 Tentang Panduan
Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) di Bidang
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah; Peraturan Menteri Negara
PP dan PA Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Panduan Perencanaan
dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) di Bidang
Perdagangan; Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 18 Tahun
2010 Tentang Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif
Gender (PPRG) di Bidang Perindustrian; dan Peraturan Menteri
2 - 195
Negara PP dan PA Nomor 19 Tahun 2010 Tentang Model Panduan
Perencanaan dan Penganggaran Yang Responsif Gender (PPRG)
bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah Bidang Koperasi, Usaha Mikro
Kecil dan Menengah. Dalam rangka perlindungan perempuan dari
berbagai tindak kekerasan, kemajuan yang dicapai adalah dengan
ditetapkannya Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 1 Tahun
2010 Tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Layanan
Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan dan Peraturan
Menteri Negara PP dan PA Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Panduan
Umum Bina Keluarga Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Dalam hal
perencanaan dan penganggaran yang responsif gender, sebagai
kelanjutan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
119/PMK.02/2009 Tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan
Rencana Kerja dan Anggaran K/L dan Penyusunan, Penelaahan,
Pengesahan dan Pelaksanaan DIPA Tahun Anggaran 2010, yang
merupakan dasar penerapan Anggaran Responsif Gender (ARG)
tahun 2010, telah ditetapkan pula PMK Nomor 104/PMK.02/2010
Tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelahaan Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian Negara/Lembaga Tahun Anggaran 2011,
sebagai dasar pelaksanaan ARG tahun 2011. Lebih lanjut, telah
ditetapkan pula PMK Nomor 93/PMK.02/2011 Tentang Petunjuk
Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian Negara/Lembaga, sebagai dasar pelaksanaan ARG
tahun 2012 dan tahun-tahun selanjutnya.
Sementara itu, hasil yang dicapai dalam penghapusan
kekerasan pada anak antara lain sebagai berikut. Pertama, dalam
rangka meningkatkan kapasitas para pelaksana Program
Perlindungan Anak, telah dilaksanakan pelatihan secara berjenjang
tentang pembangunan berbasis sistem (system building approach)
dalam Program Perlindungan Anak bagi para pengambil kebijakan
dan staf teknis perlindungan anak dari kementerian/lembaga terkait
di tingkat pusat dan SKPD terkait dari 7 propinsi, yaitu Aceh, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Nusa
2 - 196
Tenggara Timur, dan Papua. Kedua, dari segi penyediaan data dan
informasi perlindungan anak, telah dilaksanakan kajian untuk
menilai kondisi sistem informasi perlindungan anak di Indonesia dan
penyusunan indikator komposit perlindungan anak. Selain itu, telah
dikembangkan pula database pencatatan dan pelaporan perempuan
dan anak korban kekerasan. Selanjutnya, sedang direncanakan
pelaksanaan survey prevalensi kekerasan terhadap anak. Ketiga,
untuk penguatan dasar hukum dan kebijakan yang mendukung
peningkatan perlindungan anak, telah ditetapkan: (1) Peraturan
Menteri Negara PP dan PA No. 02 Tahun 2010 tentang Rencana
Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap
Anak (PPKTA) 2010-2014; (2) Peraturan Menteri Negara PP dan PA
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Panduan Pencegahan Kekerasan
Terhadap Anak di Lingkungan Keluarga, Masyarakat dan Lembaga
Pendidikan; dan (3) Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 6
Tahun 2011 tentang Pedoman Penanganan Anak Korban Kekerasan.
Langkah kebijakan dalam pembangunan kepemudaan
dilaksanakan dalam bentuk pelayanan kepemudaan yang ditujukan
untuk meningkatkan partisipasi dan peran aktif pemuda dalam
berbagai bidang pembangunan. Sedangkan kebijakan pembangunan
keolahragaan ditujukan untuk meningkatkan budaya dan prestasi
olahraga di tingkat regional dan internasional melalui pembinaan dan
pengembangan olahraga yang didukung oleh prasarana dan sarana
olahraga, serta penerapan teknologi dan kesehatan olahraga.
Peningkatan partisipasi dan peran aktif pemuda serta budaya dan
prestasi olahraga dilakukan melalui beberapa kegiatan, antara lain:
(1) pelatihan kepemimpinan, kepeloporan, dan kewirausahaan
pemuda; (2) pemberian penghargaan kepada atlet internasional,
regional, nasional, serta pelatih dan mantan atlet yang berprestasi; (3)
pelaksanaan berbagai event olahraga untuk menggairahkan semangat
dan budaya olahraga di masyarakat; dan (4) keikutsertaan dalam
berbagai event olahraga internasional dan regional. Melalui kegiatan
tersebut, pembangunan pemuda dan olahraga selama tahun 2010
2 - 197
sampai pertengahan tahun 2011 telah menunjukkan hasil yang
menggembirakan, yang ditunjukkan antara lain: (1) penyelenggaraan
fasilitasi pelatihan kepemimpinan, manajemen, dan perencanaan
program bagi 9.825 pengelola organisasi kepemudaan; (2)
penyelenggaraan fasilitasi peningkatan wawasan kebangsaan,
perdamaian, dan lingkungan hidup bagi 7.456 orang; (3) pelatihan
pemuda kader kepemimpinan bagi 4.500 orang; (4) penyelenggaraan
fasilitasi pengembangan kewirausahaan bagi 3.175 orang; (5)
penyelenggaraan fasilitasi pendidikan kepramukaaan bagi 1.000
orang; (6) penyelenggaraan fasilitasi penyediaan prasarana olahraga
sebanyak 4 prasarana, (7) penyediaan sarana olahraga sebanyak 44
sarana; (8) peningkatan perolehan medali di Asian Games XVII
tahun 2010 di Guangzhou China dengan perolehan 4 medali emas, 9
medali perak dan 13 medali perunggu sehingga peringkat Indonesia
pada kejuaraaan Asian Games naik menjadi peringkat 15 dibanding
Asian Games XVI di Doha tahun 2006 yang menduduki peringkat
22.
2.14.3. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN
Berdasarkan perkembangan dan permasalahan serta tantangan
yang dihadapi, tindak lanjut yang diperlukan untuk meningkatkan
pelaksanaan ibadah haji yang tertib dan lancar adalah: (a)
peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji sesuai standar
pelayanan minimal; (b) pemantapan penerapan dan pemanfaatan
sistem informasi haji terpadu (Siskohat); (c) penyediaan jaringan
Siskohat di seluruh kabupaten/kota; (d) peningkatan efisiensi,
transparansi, dan akuntabilitas penyelenggaraan ibadah haji; (e)
pemantapan landasan peraturan perundang-undangan tentang
profesionalisme penyelenggaraan ibadah haji; dan (f) penyiapan
rancangan undang-undang tentang pengelolaan dana haji.
Tindak lanjut yang diperlukan untuk peningkatan kualitas
kerukunan umat beragama adalah melalui: (a) pembentukan dan
peningkatan efektivitas forum kerukunan umat beragama; (b)
2 - 198
pengembangan sikap dan perilaku keberagamaan yang inklusif dan
toleran; (c) penguatan kapasitas masyarakat dalam menyampaikan
dan mengartikulasikan aspirasi-aspirasi keagamaan melalui cara-cara
damai; (d) peningkatan dialog dan kerja sama intern dan antarumat
beragama, dan pemerintah dalam pembinaan kerukunan umat
beragama; (e) peningkatan koordinasi antarinstansi/lembaga
pemerintah dalam upaya penanganan konflik terkait isu-isu
keagamaan; (f) pengembangan wawasan multikultur bagi guru-guru
agama, penyuluh agama, siswa, mahasiswa dan para pemuda calon
pemimpin agama; (g) peningkatan peran Indonesia dalam dialog
lintas agama di dunia internasional; dan (h) penguatan peraturan
perundang-undangan terkait kehidupan keagamaan, seperti perlunya
penyusunan undang-undang tentang perlindungan dan kebebasan
beragama.
Tindak lanjut yang diperlukan dalam pengembangan
kepariwisataan adalah melalui: (1) peningkatan daya saing destinasi
pariwisata nasional melalui penataan dan penguatan manajemen
destinasi pariwisata, peningkatan daya tarik wisata bahari dan
budaya; mendorong dan memfasilitasi perbaikan dan peningkatan
kualitas jaringan prasarana dan sarana pendukung pariwisata;
melakukan konsolidasi akses transportasi mancanegara dalam dan
luar negeri; meningkatkan daya tarik pariwisata di pulau-pulau
terdepan dan wilayah perbatasan yang mempunyai potensi
pariwisata; dan mengembangkan desa wisata melalui PNPM
Mandiri; (2) pengembangan usaha, industri dan investasi pariwisata,
terutama yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, pengentasan
kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja antara lain melalui
penciptaan iklim yang kondusif dengan penataan kebijakan usaha
pariwisata; penyusunan dan penerapan pedoman sertifikasi usaha,
pengaturan usaha dan kompetensi tenaga kerja di bidang
kepariwisataan; (3) pengembangan pemasaran dan promosi
pariwisata di dalam dan di luar negeri melalui peningkatan efektifitas
pemasaran dan promosi pariwisata terpadu berbasis teknologi
2 - 199
informasi dan komunikasi, dan responsif terhadap pasar;
pengembangan analisa dan informasi pasar; dan memfasilitasi
pembentukan Badan Promosi Pariwisata Indonesia; (4)
pengembangan sumber daya pariwisata melalui penguatan sumber
daya pariwisata dengan mendorong peningkatan kapasitas
pemerintah dan pemangku kepentingan pariwisata lokal untuk
mencapai tingkat mutu pelayanan dan hospitality management yang
kompetitif di kawasan Asia; pengembangan dan penguatan
kelembagaan kepariwisataan, dan mendorong peningkatan kualitas
penelitian dan pengembangan kepariwisataan; dan (5) peningkatan
koordinasi lintas sektor pada tataran kebijakan, program, dan
kegiatan kepariwisataan, terutama di bidang (a) pelayanan
kepabeanan keimigrasian, dan karantina; (b) keamanan dan
ketertiban; (c) prasarana umum yang mencakup jalan, air bersih,
listrik, telekomunikasi, dan kesehatan lingkungan; (d) transportasi
darat, laut, dan udara; dan (e) bidang promosi dan kerjasama luar
negeri; serta koordinasi dan kerjasama dengan pemerintah daerah,
swasta, dan masyarakat.
Tindak lanjut yang akan dilaksanakan dalam perumusan
kebijakan kesetaraan gender dan perlindungan anak adalah: (1)
penyusunan dan pengharmonisasian kebijakan yang responsif gender
di bidang: (a) pendidikan, (b) kesehatan, (c) politik dan pengambilan
keputusan, dan (d) ketenagakerjaan; dan (2) penyusunan dan
pengharmonisasian kebijakan perlindungan bagi perempuan dan
anak terhadap berbagai tindak kekerasan antara lain melalui: (a)
perlindungan perempuan dari tindak kekerasan, (b) penyusunan data
gender, (c) perlindungan tenaga kerja perempuan, (d) perlindungan
korban perdagangan orang, dan (e) penghapusan kekerasan pada
anak.
Tindak lanjut yang diperlukan dalam pembangunan pemuda
dan olahraga, antara lain sebagai berikut: (1) peningkatan character
building melalui gerakan, revitalisasi dan konsolidasi gerakan
2 - 200
kepemudaan dilakukan melalui: a) peningkatan jumlah pemuda yang
difasilitasi dalam peningkatan wawasan kebangsaan, perdamaian,
dan lingkungan hidup, b) peningkatan jumlah pengelola organisasi
kepemudaan yang difasilitasi dalam pelatihan kepemimpinan,
manajemen, dan perencanaan program, c) peningkatan jumlah
organisasi kepemudaan yang difasilitasi dalam memenuhi kualifikasi
berdasarkan standar organisasi kepemudaan, d) peningkatan jumlah
pemuda kader kepemimpinan; e) peningkatan jumlah pemuda yang
difasilitasi sebagai kader kewirausahaan; (2) revitalisasi Gerakan
Pramuka dilakukan melalui peningkatan jumlah pemuda yang
difasilitasi dalam pendidikan kepramukaan; dan (3) peningkatan
pencapaian posisi papan atas pada South East Asia (SEA) Games
pada tahun 2011 dan Olimpiade tahun 2012 dilakukan melalui
peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana dan sarana olahraga
serta peningkatan pembinaan olahraga prestasi.
C.
PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN
PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN
Perkembangan ekonomi makro tahun 2010 sampai dengan
bulan Juli 2011 dapat diringkas sebagai berikut. Pertama, stabilitas
ekonomi sepanjang tahun 2010 terjaga di dalam proses pemulihan
ekonomi dunia. Dalam tahun 2010, rata-rata harian nilai tukar rupiah
mencapai Rp9.087 per dolar AS atau menguat 12,6 persen
dibandingkan rata-rata tahun sebelumnya serta cadangan devisa
mencapai USD 96,2 miliar, naik USD 30,1 miliar dibandingkan
tahun 2009. Laju inflasi pada tahun 2010 terjaga sebesar 7,0 persen
dengan harga-harga komoditi dunia yang meningkat tajam dan cuaca
ekstrem di berbagai wilayah. Hingga akhir bulan Juli tahun 2011,
stabilitas ekonomi tetap terjaga dengan resiko eksternal terutama dari
2 - 201
potensi krisis utang Eropa dan AS, tingginya harga komoditi dunia
termasuk minyak mentah, serta resiko terkait dengan perubahan
iklim global. Rata-rata nilai tukar rupiah dalam tujuh bulan pertama
tahun 2011 mencapai Rp8.716 per dolar AS, menguat 4,1 persen
dibandingkan keseluruhan tahun 2010; cadangan devisa yang
mencapai USD 122,7 miliar pada akhir bulan Juli 2011; serta laju
inflasi pada bulan Juli 2011 mencapai 4,6 persen (y-o-y).
Kedua, tingkat kepercayaan (confidence level) terhadap
perekonomian yang terjaga dan dorongan sisi eksternal yang kuat,
mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Pada tahun 2010,
pertumbuhan ekonomi mencapai 6,1 persen, lebih tinggi dari tahun
2009 (4,6 persen). Dalam semesteri I 2011, momentum pertumbuhan
ekonomi tetap terjaga dengan pertumbuhan sebesar 6,5 persen (y-oy).
Ketiga, kualitas pertumbuhan ekonomi membaik dengan
terjaganya stabilitas ekonomi dan momentum pertumbuhan. Pada
tahun 2010, pengangguran terbuka menurun menjadi 8,32 juta orang
(7,14 persen) dan terus menurun menjadi hingga mencapai 8,12 juta
orang (6,80 persen) pada bulan Februari 2011. Pada bulan Maret
2011, jumlah penduduk miskin berkurang menjadi 30,02 juta orang
(12,49 persen), turun 1,0 juta orang dibandingkan dengan bulan
Maret 2010.
2.15. PERKEMBANGAN EKONOMI DUNIA
Proses pemulihan ekonomi dunia yang berlangsung sejak
tahun 2009 masih terus berlanjut. Di dalam ketidakpastian yang
tinggi akibat tingginya harga komoditi, berlarutnya penyelesaian
krisis utang di beberapa negara maju, serta meluasnya krisis politik
negara-negara di kawasan Timur Tengah, ekonomi dunia pada tahun
2010 mampu tumbuh sebesar 5,0 persen, setelah mengalami resesi
global pada tahun 2009 (tumbuh negatif 0,5 persen). Terjaganya
momentum pemulihan ekonomi dunia pada tahun 2010 terutama
2 - 202
didorong oleh pertumbuhan ekonomi negara-negara di kawasan Asia
seperti Cina dan India yang masing-masing tumbuh 10,3 persen (y-oy) dan 8,7 persen (y-o-y).
Terjaganya pertumbuhan ekonomi meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap sistem keuangan global. Indeks harga saham di
berbagai pasar bursa dunia meningkat. Indeks saham Dow Jones di
Amerika Serikat mencapai 11.578 pada akhir bulan Desember 2010,
meningkat 11,0 persen dibandingkan akhir tahun 2009. Demikian
pula indeks bursa FTSE 100 di London, Hang Seng di Hongkong
serta STI di Singapura yang masing-masing mencapai 5.900, 23.035
dan 3.190 pada akhir bulan Desember 2010, naik sebesar 9,0 persen,
5,3 persen, dan 10,1 persen dibandingkan akhir tahun sebelumnya.
Memasuki tahun 2011 hingga akhir bulan Juli tahun 2011,
proses pemulihan ekonomi masih berlanjut dengan perlambatan
terutama pada negara-negara maju. Pada triwulan II tahun 2011,
pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat melambat menjadi 1,6
persen (y-o-y) setelah tumbuh 3,0 persen dalam keseluruhan tahun
2010. Ekonomi Jepang dalam triwulan I 2011 turun 1,0 persen (y-oy) antara lain akibat tsunami yang melanda Jepang. Dalam triwulan I
2011, ekonomi Kawasan Eropa (16) tumbuh 2,5 persen (y-o-y)
dengan beberapa negara yang mengalami krisis utang masih
mengalami resesi atau tumbuh lambat. Sementara itu ekonomi Cina
dalam triwulan I dan II 2011 tetap tumbuh relatif tinggi yaitu 9,7
persen dan 9,5 persen (y-o-y).
Terjaganya momentum pemulihan ekonomi dalam semester I
2011 mendorong kinerja bursa saham dunia. Indeks Dow Jones pada
akhir bulan Juli 2011 mencapai 12.143,2, atau naik 4,9 persen
dibandingkan akhir tahun 2010. Dalam bulan Juni dan Juli 2011,
proses pemulihan ekonomi dunia dihadapkan kekhawatiran terhadap
kemungkinan gagal bayar (default) di Yunani dan Amerika.
Kekhawatiran tersebut tercermin dari melemahnya nilai tukar mata
uang, menurunnya indeks saham dan melemahnya harga komoditi.
2 - 203
Langkah-langkah yang ditempuh oleh Uni Eropa, Bank Sentral
Eropa, dan IMF mampu meredakan kekhawatiran terhadap gagal
bayar di Yunani yang dikhawatirkan berpotensi menjalar ke negaranegara lain di Eropa.
Pada tanggal 2 Agustus 2011, konggres Amerika Serikat
menyetujui kenaikan pagu utang sebesar USD 2,1 triliun diatas pagu
utang lama sebesar USD 14,3 triliun dengan komitmen pengurangan
anggaran pengeluaran pemerintah sebesar USD 2,5 triliun selama 10
tahun. Dengan adanya kesepakatan tersebut diharapkan ekonomi
Amerika Serikat terhindar dari kegagalan bayar utang (default) yang
dapat berpengaruh pada pemulihan ekonomi AS dan sistem
keuangan global.
2.16. MONETER, PERBANKAN DAN PASAR MODAL
Dalam proses pemulihan ekonomi dunia dengan berbagai
resiko (downside risks) yang dihadapi, stabilitas ekonomi nasional
tetap terjaga dengan baik tercermin antara lain dari menguatnya nilai
tukar rupiah dan terjaganya stabilitas harga. Rata-rata nilai tukar
Rupiah pada bulan Juli 2011 mencapai Rp8533 per USD, menguat
4,5 persen dibandingkan bulan Desember 2010.
Pada bulan Juli tahun 2011, laju inflasi mencapai 0,67 persen
(m-t-m) lebih rendah dibandingkan bulan Juli tahun 2010 (1,57
persen). Laju inflasi pada bulan Juli 2011 terutama didorong oleh
kenaikan harga kelompok bahan makanan dan kelompok makanan
jadi, minuman, rokok dan tembakau 0,41 persen dan 0,08 persen.
Sedangkan bila dilihat dari unsur-unsur pembentuknya, laju inflasi
pada bulan Juli 2011, disumbangkan oleh komponen bergejolak
sebesar 0,38 persen dan komponen inti sebesar 0,25 persen.
Secara keseluruhan dalam tujuh bulan pertama tahun 2011,
laju inflasi mencapai 1,74 persen, lebih rendah dibandingkan periode
yang sama tahun sebelumnya (4,02 persen) dan secara tahunan, laju
inflasi pada bulan Juli tahun 2011 mencapai 4,61 persen (y-o-y),
2 - 204
lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya
(6,22 persen, y-o-y).
Terjaganya nilai tukar dan laju inflasi memberi ruang bagi
Bank Sentral untuk menjaga tingkat bunga. Sejak bulan Februari
tahun 2011 hingga akhir bulan Juli tahun 2011, tingkat suku bunga
BI rate dijaga pada tingkat 6,75 persen.
Dengan terjaganya stabilitas moneter, fungsi intermediasi
perbankan terus meningkat dalam membiayai kegiatan ekonomi.
Dalam bulan Juni 2011, posisi kredit perbankan mencapai Rp1.973,3
triliun atau naik sebesar 22,9 persen (y-o-y). Berdasarkan
penggunaannya, peningkatan kredit didorong oleh kredit investasi,
kredit modal kerja, dan kredit konsumsi yang meningkat masingmasing sebesar 20,9 persen; 23,2 persen, dan 23,9 persen.
Berdasarkan sektor ekonomi, peningkatan kredit perbankan terutama
didorong oleh sektor listrik, gas, dan air bersih; keuangan, real estat,
dan jasa usaha; pertambangan; jasa-jasa; dan perdagangan, hotel, dan
restoran bangunan. Pertumbuhan kredit tersebut diimbangi oleh
kualitas kredit yang cenderung membaik dengan rasio kredit
bermasalah (non-performing loan/NPL) sebesar 2,8 persen pada
bulan Juni 2011.
Kepercayaan masyarakat terhadap perbankan tetap terjaga.
Dalam bulan Juni 2011, dana masyarakat yang dihimpun perbankan
mencapai Rp2.408,0 triliun atau naik 17,4 persen (y-o-y). Dalam
bulan Mei 2011, rasio kecukupan modal (capital adequacy
ratio/CAR) mencapai 17,4 persen, di atas persyaratan minimum BI
sebesar 8 persen.
Dengan membaiknya kinerja pasar uang dan perbankan serta
terjaganya stabilitas ekonomi, kinerja pasar modal dalam negeri
meningkat. Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia
pada tanggal 8 Agustus 2011 mencapai 3.850,27 meningkat 3,3
2 - 205
persen dibandingkan akhir tahun 2010 dengan nilai kapitalisasi pasar
yang mencapai Rp3.619,9 triliun.
2.17. NERACA PEMBAYARAN
Neraca pembayaran hingga semester I tahun 2011 dipengaruhi
oleh berbagai faktor eksternal antara lain pertumbuhan ekonomi
dunia dan tingginya harga-harga komoditi dunia yang pada
gilirannya mendorong penerimaan ekspor. Hingga semester I tahun
2011, total penerimaan ekspor mencapai USD 97,3 miliar, naik
dibandingkan periode yang sama tahun 2010 yang mencapai USD
72,5 miliar. Kenaikan tersebut didorong oleh ekspor migas dan
nonmigas yang masing-masing mencapai USD 18,2 miliar dan USD
79,1 miliar persen.
Terjaganya
momentum
pertumbuhan
ekonomi
dan
membaiknya pendapatan masyarakat meningkatkan kebutuhan
impor. Dalam semester I tahun 2011, pengeluaran impor meningkat
menjadi USD 78,9 miliar, atau naik dibandingkan periode yang sama
tahun sebelumnya yang mencapai USD 47,1 miliar didorong oleh
impor migas dan nonmigas yang masing-masing mencapai USD 19,0
miliar dan USD 59,9 miliar. Dengan defisit jasa-jasa (termasuk
pendapatan dan transfer berjalan) yang mencapai USD 20,1 miliar,
surplus neraca transaksi berjalan pada semester I tahun 2011
mencapai sekitar USD 2,3 miliar.
Pada periode yang sama, arus masuk modal asing dalam
bentuk investasi langsung asing (neto) mencapai USD 5,7 miliar,
sedangkan investasi berupa portfolio mencapai USD 9,5 miliar.
Dengan investasi lainnya yang mencapai surplus USD 3,7 miliar,
neraca transaksi modal dan finansial mencapai surplus USD 19,0
miliar.
Secara keseluruhan, Neraca Pembayaran Indonesia pada
semester I tahun 2011 mencapai surplus USD 19,5 miliar, lebih
tinggi dibandingkan dengan semester I tahun 2010 yang mencapai
2 - 206
USD 12,0 miliar. Cadangan devisa hingga akhir bulan Juni 2011
mencapai USD 119,7 miliar dan terus meningkat hingga mencapai
USD 122,7 miliar pada akhir bulan Juli 2011.
2.18. KEUANGAN NEGARA
Membaiknya perekonomian Indonesia dan terjaganya
stabilitas ekonomi mendorong kinerja dan memperkuat ketahanan
keuangan negara. Dalam tahun 2010, realisasi pendapatan negara dan
hibah meningkat menjadi Rp995,3 triliun atau naik 17,3 persen
dibandingkan tahun 2009. Selanjutnya dengan membaiknya kinerja
perekonomian serta didukung oleh langkah-langkah pembaharuan
kebijakan, penyempurnaan sistem, dan administrasi perpajakan,
realisasi pendapatan negara dan hibah dalam semester I 2011
mencapai Rp497,0 triliun (44,98 persen dari pagu). Realisasi tersebut
utamanya didukung oleh penerimaan perpajakan yang mencapai
Rp387,6 triliun.
Dengan prospek ekonomi yang lebih baik serta pelaksanaan
kebijakan yang lebih efektif, pendapatan negara dan hibah dalam
keseluruhan tahun 2011 diperkirakan mencapai Rp1.169,9 triliun
atau meningkat 17,5 persen dibandingkan dengan tahun 2010.
Peningkatan ini akan didorong oleh kenaikan penerimaan perpajakan
yang diperkirakan mencapai Rp878,7 triliun atau meningkat sekitar
Rp28,4 triliun dibandingkan target APBN.
Di sisi belanja, dalam tahun 2010 realisasi belanja negara
mencapai Rp1.042,1 triliun atau meningkat sebesar 11,2 persen
dibandingkan tahun 2009. Meskipun demikian, realisasi belanja
tahun 2010 lebih rendah dari APBN-P yaitu sebesar Rp1.126,1
triliun. Kurang terserapnya alokasi belanja tersebut terutama berasal
dari pemerintah pusat. Dalam tahun 2010, realisasi belanja
pemerintah pusat hanya mencapai Rp697,4 triliun atau 89,2 persen
dari alokasi APBN-P. Adapun realisasi transfer ke daerah mencapai
Rp344,7 triliun, relatif sama dengan rencana dalam APBN-P.
2 - 207
Dalam semester I tahun 2011, realisasi belanja negara
mencapai Rp442,3 triliun (35,97 persen dari pagu), terdiri dari
Rp259,8 triliun belanja pemerintah pusat dan Rp182,5 triliun transfer
ke daerah. Selain oleh penyerapan yang belum optimal, realisasi
belanja negara dalam semester I 2011 juga didorong oleh
meningkatnya kebutuhan subsidi energi dengan tingginya harga
minyak mentah di pasar internasional.
Dalam semester I tahun 2011, sebagian besar belanja
pemerintah pusat digunakan untuk belanja pegawai, subsidi, dan
pembayaran bunga utang, yakni sekitar 72,8 persen (Rp189,2 triliun),
sedangkan sekitar 27,2 persen (Rp70,6 triliun) untuk belanja barang,
bantuan sosial, belanja modal, belanja hibah, dan belanja lain-lain.
Secara keseluruhan realisasi anggaran belanja pemerintah pusat
dalam semester I 2011 meningkat dibandingkan periode yang sama
di tahun 2010. Faktor-faktor yang mempengaruhi realisasi belanja
pemerintah pusat dari sisi kebijakan antara lain: (a) pencairan
anggaran remunerasi pada sejumlah K/L; (b) penerapan kebijakan
efisiensi belanja Negara (Instruksi Presiden No. 7 Tahun 2011
tentang Penghematan Belanja K/L Tahun 2011); (c) implementasi
Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah, yang memperlancar penyerapan belanja
modal; serta (d) realokasi bantuan operasional sekolah (BOS) ke pos
transfer ke daerah.
Sementara itu subsidi energi dalam semester I 2011
mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Tingginya realisasi subsidi
energi disebabkan oleh meningkatnya harga minyak mentah
Indonesia yang mencapai USD111,0/barel, lebih tinggi
USD31,0/barel dibandingkan asumsi yang digunakan dalam APBN.
Selain itu oleh harga, meningkatnya subsidi energi juga didorong
oleh konsumsi BBM bersubsidi yang mencapai 20 juta kilo liter
dalam semester I 2011.
2 - 208
Dengan
mempertimbangkan
berbagai
faktor
yang
mempengaruhi belanja pemerintah pusat serta upaya-upaya untuk
meningkatkan kemampuan penyerapannya, realisasi belanja
pemerintah pusat dalam tahun 2011 diperkirakan mencapai Rp908,2
triliun atau 108,6 persen dari pagu APBN.
Sementara itu transfer ke daerah dalam semester I tahun 2011
mencapai Rp182,5 triliun. Realisasi tersebut terutama bersumber dari
dana perimbangan yang mencapai Rp164,5 triliun dengan sekitar
79,9 persen berupa berupa Dana Alokasi Umum (DAU), 15,7 persen
berupa Dana Bagi Hasil (DBH), dan 4,4 persen berupa Dana Alokasi
Khusus (DAK). Adapun realisasi Dana Otonomi Khusus (Otsus) dan
Penyesuaian mencapai Rp18,0 triliun.
Dalam keseluruhan tahun 2011, transfer ke daerah
diperkirakan mencapai Rp412,3 triliun atau lebih tinggi 5,0 persen
dibandingkan dengan pagu APBN 2011 dengan dana perimbangan
diperkirakan mencapai Rp347,5 triliun dan Dana Otsus dan
Penyesuaian sebesar Rp65,0 triliun.
Dengan perkembangan pendapatan negara dan hibah serta
belanja negara tersebut, defisit anggaran pada tahun 2010 berkurang
menjadi Rp46,8 triliun (0,7 persen PDB) dan stok utang pemerintah
yang turun menjadi 26,1 persen PDB.
Selanjutnya dengan meningkatnya kebutuhan subsidi energi
serta pembiayaan bagi pembangunan, dalam keseluruhan tahun 2011
defisit anggaran diperkirakan mencapai Rp150,8 triliun (2,1 persen
PDB). Defisit tersebut dibiayai terutama dari dalam negeri melalui
penerbitan surat berharga negara (SBN). Dalam keseluruhan tahun
2011, rasio stok utang pemerintah terhadap PDB diperkirakan turun
menjadi 25,7 persen.
2.19. PERTUMBUHAN EKONOMI
2 - 209
Dalam situasi ketidakpastian eksternal yang meningkat,
momentum pertumbuhan ekonomi nasional tetap terjaga. Dalam
semester I tahun 2011, perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 6,5
persen (y-o-y). Dari sisi penggunaan, pertumbuhan ekonomi
terutama didorong oleh ekspor barang dan jasa dan investasi berupa
pembentukan modal tetap bruto (PMTB) masing-masing tumbuh
sebesar 14,9 persen dan 8,3 persen (y-o-y). Dengan terjaganya
stabilitas ekonomi, konsumsi masyarakat dan konsumsi pemerintah
meningkat masing-masing sebesar 4,5 persen dan 3,7 persen (y-o-y).
Sejalan dengan peningkatan investasi, impor barang dan jasa pada
semester I tahun 2011 tumbuh sebesar 15,8 persen.
Dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi pada semester I
tahun 2011 terutama didukung oleh pertumbuhan sektor tersier pada
sektor pengangkutan dan komunikasi serta perdagangan, hotel, dan
restauran masing-masing sebesar 12,1 persen dan 8,7 persen (y-o-y).
Sektor sekunder terutama didorong oleh pertumbuhan sektor
konstruksi dan industri pengolahan yang tumbuh masing-masing
sebesar 6,4 persen dan 5,6 persen (y-o-y). Sedangkan sektor primer
didukung oleh sektor pertanian yang tumbuh sebesar 3,7 persen (y-oy).
2.20. PENGANGGURAN DAN KEMISKINAN
Meningkatnya pertumbuhan ekonomi memberi dampak pada
penciptaan lapangan kerja. Dalam tahun 2010, jumlah pengangguran
terbuka menurun menjadi 8,32 juta orang (7,14 persen) dan terus
menurun hingga mencapai 8,12 juta orang (6,80 persen) pada bulan
Februari 2011. Seiring dengan menurunnya jumlah penganggur
terbuka, jumlah penduduk miskin juga berkurang. Pada bulan Maret
2011, jumlah penduduk miskin berkurang menjadi 30,02 juta orang
(12,49 persen), turun 1,0 juta orang dibandingkan dengan bulan
Maret 2010.
2 - 210
Download