BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan Rumput laut atau Algae termasuk tumbuhan bertalus karena mempunyai struktur kerangka tubuh (morfologi) yang tidak berdaun, berbatang, dan berakar semuanya terdiri dari talus saja. Rumput laut umumnya terdapat di daerah tertentu dengan persyaratan khusus, kebanyakan tumbuh di daerah pasang surut (intertidal) atau pada daerah yang selalu terendam air (subtidal) melekat pada substrat didasar perairan yang berupa karang batu mati, karang batu hidup, batu gamping atau cangkang moluska. Umumnya tumbuh dengan baik di daerah pantai terumbu, karena di tempat inilah beberapa persyaratan untuk pertumbuhannya banyak terpenuhi, diantaranya factor kedalaman perairan, cahaya, substrat, dan gerakan air. Habitat khas adalah daerah yang memperoleh aliran air laut yang tetap, lebih menyukai variasi suhu harian yang rendah dan substrat batu karang mati. Rumput laut tumbuh berkelompok dengan jenis rumput laut lainnya (Aslan, 1998). Algae atau ganggang terdiri dari empat kelas, yaitu Rhodophyceae (ganggang merah), Phaeophyceae (ganggang coklat), Chlorophyceae (ganggang hijau), dan Cyanophyceae (ganggang hijau-biru). Rumput laut Kappaphycus alvarezii merupakan jenis ganggang yang bersifat makroskopik dan tergolong dalam kelas Rhodophyceae (Indriani, 1991). 2.1.1 Sistematika Tumbuhan Berdasarkan hasil identifikasi LIPI, taksonomi rumput laut Kappaphycus alvarezii diklasifikasikan sebagai berikut: 7 Universitas Sumatera Utara Filum/Divisio : Rhodophyta Kelas/Class : Rhodophyceae Bangsa/Ordo : Gigartinales Suku/Famili : Areschougiaceae Marga/Genus : Kappaphycus Jenis/Spesies : Kappaphycus alvarezii 2.1.2 Nama Daerah Nama daerah (dagang) yang lebih dikenal untuk Kappaphycus alvarezii yaitu Eucheuma cottonii dan Eucheuma alvarezii (Anggadiredja, dkk., 2010). 2.1.3 Morfologi Tumbuhan Ciri-ciri Kappaphycus alvarezii yaitu memiliki talus bentuk silindris, permukaan licin, berwarna cokelat kemerahan karena bersifat adaptasi kromatik, yaitu memiliki penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan dan dapat menimbulkan berbagai warna pada talus seperti: merah tua, merah muda, pirang, coklat, kuning dan hijau. Keadaan warna tidak selalu dapat digunakan dalam menentukan kelasnya. Perubahan warna sering terjadi hanya karena faktor lingkungan yang berubah. Kejadian ini merupakan proses modifikasi yaitu perubahan bentuk dan sifat luar (fenotipe) yang tidak kekal sebagai pengaruh lingkungan antara lain iklim dan oseanografi yang relatif cukup besar (Aslan, 1998). Percabangan talus berujung runcing atau tumpul, ditumbuhi nodulus (tonjolan-tonjolan) dan duri untuk melindungi gametangia. Percabangan bersifat alternates (berseling), tidak teratur serta dapat bersifat dichotomus (percabangan dua-dua) atau trichotomus (sistem percabangan tiga-tiga) (Anggadiredja, dkk., 2010). 8 Universitas Sumatera Utara 2.1.4 Kandungan Kimia Jenis rumput laut yang termasuk dalam kelas Rhodophyceae (alga merah) mengandung pigmen antara lain klorofil a, klorofil d, α dan β karoten, lutein, zeaxanthin, fikosianin dan fikoeritrin. Fikoeritrin merupakan suatu pigmen dominan yang menyebabkan warna merah pada alga merah. Selain itu, zat yang utama dihasilkan Kappaphycus alvarezii adalah karagenan (Winarno, 1996). 2.1.5 Khasiat Tumbuhan Zat yang utama dihasilkan Kappaphycus alvarezii adalah karagenan (Winarno, 1996). Karagenan merupakan senyawa polisakarida yang dihasilkan dari alga merah memiliki sifat antidiabetes, antikolesterol, antimikroba dan aktivitas biologis lainnya. Selain karagenan yang merupakan metabolit primer rumput laut Kappaphycus alvarezii diperkirakan senyawa metabolit sekundernya juga dapat menghasilkan aktivitas antidiabetes. Senyawa metabolit sekunder tersebut adalah senyawa steroid. Beberapa turunan steroid yang penting ialah steroid alkohol atau sterol. Steroid yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan disebut fitosterol. Beberapa senyawa ini jika terdapat dalam tumbuhan akan dapat berperan menjadi pelindung (Sharo., dkk, 2013). Sterol juga berfungsi sebagai antioksidan yang mampu menahan laju absorbsi glukosa darah dari saluran cerna menuju pembuluh darah sehingga mampu menahan laju peningkatan kadar glukosa darah. Dengan mencegah peningkatan kadar glukosa darah juga dapat mencegah peningkatan radikal bebas (Suhartono., dkk, 2005). 9 Universitas Sumatera Utara 2.2 Ekstraksi dan Metode Ekstraksi 2.2.1 Ekstraksi Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan kandungan senyawa kimia dari jaringan tumbuhan maupun hewan. Sebelum ekstraksi dilakukan biasanya bahan dikeringkan terlebih dahulu kemudian dihaluskan pada derajat kehalusan tertentu (Harborne, 1987). 2.2.2 Metode Ekstraksi 1. Cara Dingin a. Maserasi Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang terpekat di desak ke luar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Keuntungan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan (Depkes RI, 1986). b. Perkolasi Perkolasi adalah cara penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Alat yang digunakan untuk perkolasi disebut perkolator, cairan yang digunakan untuk menyari disebut cairan penyari atau menstrum, larutan zat aktif yang keluar dari perkolator disebut sari atau perkolat, sedang sisa setelah dilakukannya penyarian disebut ampas atau 10 Universitas Sumatera Utara sisa perkolasi. Cara perkolasi lebih baik dibandingkan dengan cara maserasi karena: 1) Aliran cairan penyari menyebabkan adanya pergantian larutan yang terjadi dengan larutan yang konsentrasinya lebih rendah, sehingga meningkatkan derajat perbedaan konsentrasi. 2) Ruangan di antara butir-butir serbuk simplisia membentuk saluran tempat mengalir cairan penyari. Karena kecilnya saluran kapiler tersebut, maka kecepatan pelarut cukup untuk mengurangi lapisan batas, sehingga dapat meningkatkan konsentrasi (Depkes RI, 1986). 2. Cara Panas a. Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna. b. Soxhletasi Soxhletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat soxhlet yang sampelnya dibungkus dengan kertas saring sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 1986). c. Digesti Digesti adalah cara maserasi dengan menggunakan pemanasan lemah, yaitu pada suhu 400 – 500 C. Cara maserasi ini hanya dapat dilakukan untuk simplisia yang zat aktifnya tahan terhadap pemanasan (Depkes RI, 1986). 11 Universitas Sumatera Utara d. Infundasi Infundasi adalah proses penyarian yang umumnya digunakan untuk menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia dengan air pada suhu 900 C selama 15 menit (Depkes RI, 1986). e. Dekoktasi Dekoktasi adalah infundasi pada waktu yang lebih lama (≥ 30 menit) dan temperatur sampai titik didih air (Depkes RI, 1986). 2.3 Pengaturan Kadar Glukosa Dalam Darah Kadar glukosa darah sangat dipengaruhi fungsi hepar, pankreas, adenohipofisis, dan adrenal. Kecuali itu, faktor imunologik dan genetik dapat berpengaruh pada kadar glukosa darah. a. Hepar Glukosa yang berasal dari absorpsi makanan di intestin dialirkan ke hepar melalui vena porta, sebagian glukosa akan disimpan sebagai glikogen. Pada saat ini kadar glukosa di vena porta lebih tinggi daripada di vena hepatika. Setelah absorpsi selesai glikogen hepar dipecah lagi menjadi glukosa, sehingga kadar glukosa di vena hepatika lebih tinggi daripada di vena porta. Jadi, hepar berperan sebagai glukostat. Pada keadaan normal glikogen di hepar cukup untuk mempertahankan kadar glukosa dalam beberapa hari, tetapi bila fungsi hepar terganggu akan mudah terjadi hipoglikemia atau hiperglikemia. 12 Universitas Sumatera Utara b. Pankreas Peran insulin dan glukagon penting pada metabolisme karbohidrat. Glukagon menyebabkan glikogenolisis dengan merangsang adenilsiklase, enzim yang dibutuhkan untuk mengaktifkan fosforilase. Enzim fosforilase penting untuk glikogenolisis. Bila cadangan glikogen di hepar menurun maka glukoneogenesis akan lebih aktif (Suherman dan Nafrialdi, 2012). 2.4 Diabetes Mellitus (DM) 2.4.1 Definisi Diabetes Mellitus Diabetes mellitus adalah suatu sindroma klinik yang ditandai oleh poliuria, polidipsia dan polifagia, disertai peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia (glukosa puasa ≥ 126 mg/dL atau postprandial ≥ 200 mg/dL atau glukosa sewaktu ≥ 200 mg/dL) (Suherman dan Nafrialdi, 2012). Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu penyakit yang melibatkan hormon endokrin pankreas, antara lain insulin dan glukagon. Manifestasi utamanya mencakup gangguan metabolisme lipid, karbohidrat, dan protein yang pada gilirannya merangsang kondisi hiperglikemia. Kondisi hiperglikemia tersebut akan berkembang menjadi diabetes mellitus dengan berbagai macam bentuk manifestasi komplikasi (Nugroho, 2006). Diabetes mellitus dibagi menjadi 2 kategori utama berdasarkan sekresi insulin endogen untuk mencegah munculnya ketoasidosis, yaitu (1) diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM = insulin dependent diabetes mellitus) atau tipe I, dan (2) diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM = non-insulin dependent diabetes mellitus) atau tipe II (Nugroho, 2006). 13 Universitas Sumatera Utara Diabetes mellitus (DM) tipe I diperantarai oleh degenerasi sel β Langerhans pankreas akibat inveksi virus, pemberian senyawa toksin, diabetogenik (streptozotosin, aloksan), atau secara genetik (wolfram sindrome) yang mengakibatkan produksi insulin sangat rendah atau berhenti sama sekali. Diabetes mellitus (DM) tipe II disebabkan karena dua hal yaitu (1) penurunan respon jaringan perifer terhadap insulin, peristiwa tersebut dinamakan resistensi insulin, dan (2) penurunan kemampuan sel β pankreas untuk mensekresi insulin sebagai respon terhadap beban glukosa (Nugroho, 2006). 2.4.2 Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Penatalaksanaan Diabetes Mellitus terdiri dari terapi nonfarmakologis dan terapi farmakologis. 1. Terapi Nonfarmakologis a. Diet Terapi diet direkomendasikan untuk semua orang DM. Guna pencapaian hasil metabolisme yang optimal dan pencegahan serta pengobatan komplikasi. Untuk DM tipe 1, fokusnya pada mengatur pemberian insulin dengan diet seimbang untuk mencapai dan mempertahankan berat badan yang sehat. Diet karbohidrat dan rendah lemak jenuh (<7% dari total kalori), dengan fokus pada makanan seimbang yang dianjurkan. Sangat penting untuk pasien memahami hubungan antara asupan karbohidrat dan kontrol glukosa. Selain itu, pasien dengan DM tipe 2 memerlukan pembatasan kalori untuk penurunan berat badan. Seperti kebanyakan pasien dengan DM tipe 2 kelebihan berat badan atau obesitas, tidur dan antara-makan makanan ringan tidak diperlukan jika manajemen farmakologis sesuai (Triplitt, dkk., 2008). 14 Universitas Sumatera Utara b. Aktivitas Fisik Latihan aerobik meningkatkan resistensi insulin dan dapat mengontrol gula darah pada sebagian besar individu, dan mengurangi faktor risiko kardiovaskular, berkontribusi untuk penurunan berat badan atau pemeliharaan, dan meningkatkan kesejahteraan. dinilai dengan pencitraan, sebelum mulai moderat untuk intens latihan (Triplitt, dkk., 2008). Kontraksi otot dapat menyebabkan glukosa lebih banyak masuk ke dalam sel. Karenanya pasien DM sangat dianjurkan untuk melakukan olahraga secara teratur (Suherman dan Nafrialdi, 2012). 2. Terapi Farmakologis a. Obat Antidiabetik Oral (ADO) 1). Golongan Sulfonilurea Dikenal 2 generasi sulfonilurea, generasi 1 terdiri dari tolbutamid, tolazamid, asetoheksimid dan klorpropamid, generasi 2 yang potensi hipoglikemik lebih besar adalah gliburid (=glibenklamid), glipizid, gliklazid dan glimepirid. Mekanisme kerjanya merangsang sekresi insulin dari granul sel-sel β Langerhans pankreas (Suherman dan Nafrialdi, 2012).. 2). Meglitinid Golongan meglitinid terdiri dari repaglinid dan nateglinid yang mekanisme kerjanya sama dengan sulfonilurea tetapi struktur kimianya sangat berbeda (Suherman dan Nafrialdi, 2012). 3). Biguanida Sebenarnya dikenal 3 jenis ADO dari golongan biguanida : fenformin, buformin, dan metformin, tetapi fenformin telah ditarik dari peredaran karena 15 Universitas Sumatera Utara sering menyebabkan asidosis laktat. Sekarang yang banyak digunakan adalah metformin. Mekanisme kerja biguanida sebenarnya bukan obat hipoglikemik tetapi suatu antihiperglikemik, tidak menyebabkan rangsangan sekresi insulin dan umumnya tidak menyebabkan hipoglikemia. Metformin menurunkan produksi glukosa di hepar dan meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan adiposa terhadap insulin. Meski masih kontroversial, adanya penurunan produksi glukosa hepar, banyak data yang menunjukkan bahwa efeknya terjadi akibat penurunan glukoneogenesis (Suherman dan Nafrialdi, 2012). 4). Tiazolidinedion Tiazolidinedion merupakan agonist potent dan selektif PPARγ, mengaktifkan PPARγ membetuk kompleks PPARγ-RXR dan terbentuklah GLUT baru. Di jaringan adiposa PPARγ mengurangi keluarnya asam lemak menuju ke otot, dan karenanya dapat mengurangi resistensi insulin. Pendapat lain, aktivasi hormon adiposit dan adipokin, yang nampaknya adalah adiponektin. Senyawa ini dapat meningkatkan sensitivitas insulin melalui peningkatan AMP kinase yang merangsang transport glukosa ke sel dan meningkatkan oksidasi asam lemak (Suherman dan Nafrialdi, 2012). 5). Penghambat enzim α-glikosidase Penghambat enzim α-glikosidase dapat memperlambat absorpsi polisakarida (starch), dekstrin, dan disakarida di intestin. Dengan menghambat kerja enzim αglikosidase di intestin, dapat mencegah peningkatan glukosa plasma pada orang normal dan pasien DM. Karena kerjanya tidak mempengaruhi sekresi insulin, maka tidak akan menyebabkan efek samping hipoglikemia (Suherman dan Nafrialdi, 2012). 16 Universitas Sumatera Utara b. Insulin Insulin masih merupakan obat utama untuk DM tipe I dan beberapa jenis DM tipe II. Suntikan insulin dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti intravena, intramuskular, dan umumnya pada penggunaan jangka panjang lebih disukai pemberian subkutan (SK). Preparat insulin dapat dibedakan berdasarkan lama kerjanya (kerja cepat, sedang, dan panjang), dan berdasarkan spesiesnya (human dan porcine). Human insulin merupakan hasil teknologi rekombinan DNA, dalam larutan yang cair lebih larut dari porcine insulin, karena adanya treonin (di tempat alanin) dan mempunyai ekstra gugus hidroksil. Sekarang ini sebagian besar preparat insulin berada pada pH netral sehingga lebih stabil dan dapat disimpan untuk beberapa hari pada suhu ruangan (Suherman dan Nafrialdi, 2012). Dosis dan konsentrasi insulin dinyatakan dengan unit (U). Satu unit insulin kira-kira sama dengan insulin yang dibutuhkan untuk menurunkan glukosa puasa 45 mg/dL (2,5 mM) pada kelinci. Produksi insulin pada orang normal, sehat yang kurus, antara 18-40 U per hari atau 0,2-0,5 U/kg bb per hari; dan hampir 50% disekresi pada keadaan basal, 50% yang lain karena adanya asupan makanan. Sekresi basal insulin sekitar 0,5-1 U/jam; setelah asupan glukosa oral dalam jumlah besar, sekresi meningkat menjadi 6 U/jam. Pada orang non diabetik dengan obesitas dan resisten insulin, sekresi meningkat 4x lipat atau lebih tinggi. Pada berbagai populasi pasien DM tipe I, rata-rata dosis insulin yang dibutuhkan berkisar antara 0,6-0,7 U/kg bb per hari, sedangkan pasien obesitas membutuhkan dosis lebih tinggi (2U/kg bb per hari) karena adanya resistensi jaringan perifer terhadap insulin (Suherman dan Nafrialdi, 2012). 17 Universitas Sumatera Utara 2.5 Aloksan Aloksan merupakan senyawa hidrofilik dan tidak stabil, waktu paruh pada suhu 370C dan pH netral adalah 1,5 menit dan bisa lebih lama pada suhu yang lebih rendah. Sebagai diabetogenik, aloksan dapat digunakan secara intravena, intraperitoneal, dan subkutan. Dosis intravena biasanya 65 mg/kg bb, sedangkan intraperitoneal dan subkutan adalah 2-3 kalinya (Szkudelski, 2001). Aloksan secara cepat dapat mencapai pankreas, aksinya diawali dengan pengambilan yang cepat oleh sel β Langerhans. Pembentukan oksigen reaktif merupakan faktor utama pada kerusakan sel tersebut. Pembentukan oksigen reaktif diawali dengan proses reduksi aloksan dalam sel β Langerhans. Aloksan mempunyai aktivitas tinggi terhadap senyawa seluler yang mengandung gugus SH, glutation tereduksi (GSH), sistein dan senyawa sulfhidril terikat protein (misalnya SH-Containing enzyme). Hasil dari proses reduksi aloksan adalah asam dialurat, yang kemudian mengalami reoksidasi menjadi aloksan untuk membangkitkan radikal superoksida. Reaksi antara aloksan dengan asam dialurat merupakan proses yang diperantarai oleh radikal aloksan intermediet. Radikal superoksida dapat membebaskan ion ferri dari ferinitin, dan tereduksi menjadi ion ferro. Selain itu, ion ferri juga dapat direduksi oleh radikal aloksan. Radikal superoksida mengalami dismutasi menjadi hidrogen peroksida, berjalan secara spontan dan kemungkinan dikatalisis oleh superoksida dismutase (SOD). Salah satu target dari oksigen reaktif adalah DNA pulau Langerhans pankreas, adanya ion ferro dan hidrogen peroksida membentuk radikal hidroksi yang sangat reaktif melalui reaksi fenton (Szkudelski, 2001). 18 Universitas Sumatera Utara