Dalam mesdiskusikan local wisdom, tentu kita tidak berhenti pada

advertisement
ade saptomo
BUDAYA HUKUM
& Kearifan lokal
Sebuah Perspektif
Perbandingan
Jakarta, 2014
i
Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT)
Budaya Hukum
vii, 207 halaman
budaya, hukum, budaya hukum,
perbandingan, sengketa, kearifan lokal
ISBN: 978-602-19984-0-3
diterbitkan FHUP Press dicetak & lay out Lintangades
email: [email protected]
Jakarta, 2014
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Dilarang mengutip atau
memperbanyak dengan cara apapun seluruh atau sebagian
dari isi buku ini tanpa seizin penulis dan penerbit.
ade saptomo
ii
KATA PENGANTAR
Buku yang diberi judul Budaya Hukum & Kearifan
Lokal Sebuah Perspektif Perbandingan ini ditujukan untuk
mengisi kekurangan literatur dan buku-buku terkait budaya
hukum, sekaligus untuk mengantarkan pembaca dalam
memahami Budaya Hukum Indonesia. Budaya hukum
dimaksud berisikan keseluruhan kekuatan budaya, social,
dan hukum (social forces dan legal forces) dalam
menjadikan serta menghasilkan hukum itu sendiri. Lantas,
apakah pengertian budaya hukum itu adalah budaya
ditambah hukum?
Untuk menjelaskan bahwa budaya hukum itu bukan
budaya ditambah hukum, dalam tulisan ini dikemukakan
lebih dahulu tentang pengertian budaya dan hukum pada
umumnya. Penjelasan mengenai hal itu perlu dengan
tujuan agar peminat budaya hukum dapat membedakan
tidak saja antara budaya dan hukum tetapi juga dimana
letak budaya hukum diantara pengertian budaya dan
hukum tersebut. Untuk itu, keseluruhan penjelasan yang
ada dalam buku ini diurai menjadi serangkaian bab.
Diawali Bab I tentang Budaya dan Hukum, diikuti dengan
varian pendefinisiannya aspek-aspek budaya, dan definisi
hukum, seperti definisi Idealis, definisi Positivistis, definisi
Sosiologis.
Bab II tentang Budaya Hukum. Dalam bab ini upaya
memahami pengertian Budaya Hukum diawali dengan
iii
pertanyaan: selain apa budaya dan hukum itu sebagaimana
dijelaskan pada Bab I, juga dibicarakan apa perbedaan
antara Budaya Hukum (legal culture) dengan Kesadaran
Hukum (legal consciousness). Pertanyaan tersebut
sebenarnya dimaksudkan untuk menekankan bahwa
budaya hukum itu bukan budaya ditambah hukum. Untuk
mempermudah dua hal itu, penjelasannya diawali dengan
pertanyaan apakah tertib hukum merupakan hasil budaya
hukum atau kesadaran hukum.
Kemudian disusul Bab III tentang Budaya Hukum
Perspektif Perbandingan. Uraian dalam Bab III ini
ditujukan untuk menjelaskan bahwa Budaya Hukum yang
mencakup kebiasaan-kebiasaan, kearifan-kearifan lokal
perlu diisikan pada proses membuat dan memproduksi
hukum sehingga isi dan kualitas hukum sesuai dengan
harapan masyarakat, kebutuhan masyarakat, dan rasa
keadilan masyarakat luas. Selain itu, dalam bab ini secara
perbandingan pula diperlihatkan isi Budaya Hukum
Indonesia, Budaya Hukum Asian, Budaya Hukum Modern,
Budaya Hukum Individual dan Komunal.
Setelah itu, dilanjutkan pada Bab IV tentang Resepsi
Budaya Hukum Barat Perspektif Sejarah. Resepsi budaya
hukum demikian dimaksudkan agar dipahami bahwa
seperangkat struktur hukum, kultur hukum, substansi
hukum sebagaimana diperkenalkan sarjana Lawrence M.
Friedman dapat juga dikemas kedalam suatu sistem hukum
Indonesia meskipun dalam perspektif sejarah sebenarnya
Indonesia mengadopsi negeri Kontinental, terutama negeri
iv
Belanda. Uraian resepsi dalam bab ini diharapkan dapat
digunakan untuk memetakan hukum manakah yang sesuai
dengan kondisi budaya, sosial dan politik negeri Indonesia.
Untuk itu, dalam bab ini berturut-turut diuraikan Awal
Resepsi Budaya Hukum Barat, Resepsi Budaya Hukum
Barat kedalam Masyarakat Indonesia (Nusantara), Resepsi
Budaya Hukum Barat Pra-Kemerdekaan, dan Resepsi
Budaya Hukum Barat Pasca Kemerdekaan.
Bab V Sengketa dan Budaya Hukum. Dalam Bab V ini
dikemukakan konsep konflik atau sengketa berikut tahaptahapannya. Kemudian dilanjutkan dengan konsep Budaya
Penyelesaian Sengketa dan Perdamaian sebagai ujung
tujuan penyelesaian setiap konflik atau sengketa. Sejumlah
kearifan-kearifan lokal, kebiasaan-kebiasaan lama yang
telah mapan dan dijadikan isi sebuah proses membuat dan
menghasilkan hukum setempat untuk menyelesaikan
sengketa.
Kemudian disusul Bab VI dengan tema Penegakan
Hukum Dengan Kearifan Lokal. Disampaikan pula bahwa
konstitusionalitas Indonesia sebenarnya telah memberi
ruang gerak bagi hakim untuk menyelesaikan sengketa
dengan menggali nilai budaya hukum dimana peristiwa
hukum konkrit terjadi agar putusan yang dibangun sesuai
dengan kebutuhan sosial budaya hukum masyarakat
setempat. Selain itu, institusi kepolisian sebagai penegak
hukum dan sebagai penjaga ketertiban masyarakat
memiliki kewenangan memberdayakan potensi masyarakat
untuk membantu tugas-tugas polisionil secara terbatas.
v
Untuk itu, kearifan-kearifan lokal dalam hukum positif
sengaja diangkat untuk memperkaya kembali pengetahuan.
Last but not least, keseluruhan isi yang terkandung
dalam buku ini dikemas dari gagasan, pikiran, pandangan,
dan pengalaman intelektual penulis, di satu sisi, serta hasil
penelusuran literatur terkait. Melalui buku ini, penulis
mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Umar Kayam,
Prof. Dr. PM. Laksono, Prof. Dr. Shri Heddy Ahimsa
Putra, dan Prof. Dr. Amri Marzali yang telah banyak
membuka dan mempengaruhi pikiran penulis tentang
bagaimana mengerti, mengetahui, dan memahami
budaya.Terima kasih juga disampaikan kepada teman
sejawat diskusi penulis Prof. Dr. Herman Slaats dari
Universiteit te Nijmegen Nederland.
Selain itu, diucapkan terima kasih kepada Gubernur
Lemhannas Republik Indonesia Prof. Dr. Budi Susilo
Soepandji yang mempercayakan kepada penulis menjadi
penyanggah utama dalam Seminar PPRA XLVI bertema
Budaya Hukum 7 Desember 2011. Kepercayaan dimaksud
dirasakan melegitimasi intelektual penulis untuk segera
menyelesaikan buku ini. Penulis buku yang dirujuk namun
namanya belum sempat disebut dalam buku ini semata
disebabkan kekurangtelitian, penulis memohon maaf.
Terakhir, saran konstruktif pembaca amat diharapkan demi
kesempurnaan buku ini. Semoga buku ini bermanfaat.
Jakarta, 2014
ade saptomo
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................ i
DAFTAR ISI...................................................................... v
BAB I BUDAYA DAN HUKUM ................................... 1
I.1 Pengertian Budaya ................................................ 1
I.2 Jenis Budaya ......................................................... 5
I.3 Aspek-Aspek Budaya ........................................... 8
I.4 Pengertian Hukum .............................................. 11
I.5 Definisi Hukum .................................................. 18
I.5.a Definisi Idealis ................................................. 19
I.5.b Definisi Positivistis .......................................... 25
I.5.c Definisi Sosiologis ........................................... 29
BAB II BUDAYA HUKUM ........................................... 33
II.1 Pengertian ......................................................... 33
II.2 Budaya Hukum .................................................. 36
II.3 Kesadaran Hukum ............................................. 44
II.4 Perilaku Hukum................................................ 52
II.5 Penyuluhan Hukum .......................................... 55
BAB III BUDAYA DAN SISTEM HUKUM
PERSPEKTIF PERBANDINGAN ....................... 61
III.1 Budaya Hukum Indonesia ............................... 61
III.2 Budaya Hukum Asian ...................................... 65
III.3 Budaya Hukum Modern ................................... 68
III.4 Budaya Hukum Individual dan Komunal ........ 69
III.4.a Budaya Hukum Individual ............................ 69
III.4.b Budaya Hukum Komunal ............................. 74
1
III.5 Sistem Hukum .................................................. 76
III.5.a Sistem Peradilan Common Law .................... 79
III.5.b Sistem Peradilan Eropa Kontinental ............. 83
III.5.c Sistem Peradilan di Indonesia ....................... 88
BAB IV RESEPSI BUDAYA HUKUM BARAT. ......... 96
IV.1 Awal Resepsi Budaya Hukum Barat ................ 96
IV.2 Resepsi Budaya Hukum kedalam
Masyarakat Indonesia .................................... 101
IV.3 Resepsi Budaya Hukum Pra-Kemerdekaan .. 105
IV.4 Resepsi Budaya Hukum Pasca Kemerdekaan 111
IV.5 Resepsi Budaya Hukum Pertanahan .............. 119
BAB V SENGKETA DAN BUDAYA HUKUM ......... 135
V.1 Pengertian Sengketa ........................................ 135
V.2 Budaya Penyelesaian Sengketa ....................... 138
V.3 Penyelesaian Sengketa Dalam Budaya
Indonesia ......................................................... 143
V.4 Perdamaian Dalam Penyelesaian Sengketa ..... 150
BAB VI PENEGAKAN HUKUM DENGAN
KEARIFAN LOKAL .......................................... 154
VI.1 Penegakan Hukum ........................................ 154
VI.2 Menggali Nilai dan Budaya Hukum ............. 160
VI.3 Penegakan Hukum Polisi Sipil ..................... 167
VI.4 Penegakan Hukum Commuity Policing ........ 169
VI.5 Penegakan Hukum Polisi Budaya................. 171
VI.6 Penegakan Hukum Kearifan Lokal............... 175
VI.7 Konstitusionalitas Kearifan Lokal ................ 192
DAFTAR PUSTAKA .................................................... 201
2
BAB I
BUDAYA DAN HUKUM
I.1. Pengertian Budaya
Setidak-tidaknya ada dua kelompok pandangan utama yang
membahas makna kata budaya. Kelompok pertama,
misalnya M.M. Djojodigoeno (1958) dalam bukunya AzasAzas Sosiologi sebagaimana dikutip Koentjaraningrat1,
yang membedakan antara budaya dan kebudayaan.
Alasannya, kata kebudayaan berasal dari kata Sanskerta
buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti
budi atau akal. Dengan demikian, ke-budaya-an dapat
diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal.
Kelompok kedua, misalnya saja P.J. Zoetmulder
(1951) dalam bukunya Cultuur, Oost en West mengupas
kata budaya sebagai perkembangan dari kata majemuk
budi-daya, yang berarti daya dari budi. Dengan demikian,
budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, rasa, dan
karsa. Sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa,
karsa itu sendiri. Namun ada juga sarjana yang tidak
membedakan antara makna kebudayaan dan budaya,
terutama sarjana Antropologi, dengan alasan bahwa budaya
merupakan kata dasar dari kebudayaan. Sementara
kebudayaan yang hal-hal yang terkait dengan budaya.
11
Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:
Aksara Baru, hal. 181.
3
Dalam perspektif “Indonesia” kata budaya sendiri
berasal dari dua suku kata budhi dan daya. Budhi diartikan
sebagai akal baik, halus, indah, edi, halus, dan santun.
Sementara daya diartikan sebagai kuat, kekuatan. Dengan
demikian, budaya dimaknai sebagai kekuatan berakal baik,
halus, indah, santun atau positif. Pada titik ini, budaya
dapat diartikan sebagai pemikiran, gagasan, seperangkat
gagasan, ide baik. Dalam konteks kemasyarakatan atau
secara sosiologis, budaya diartikan sebagai seperangkat
nilai, kaidah, norma masyarakat yang menjadi pedoman
berfikir, berperilaku, bertindak dalam kehidupan seharihari. Pertanyaannya, kapan hal itu dimulai. Orang berfikir,
menggagas, dan sejenisnya diawali ketika ia berkontak dan
berkelanjutan dengan segala sesuatu yang berada di luar
dirinya.
Segala sesuatu yang berada di luar dirinya dimaksud
dapat berupa benda bergerak atau tidak bergerak, manusia
atau bukan manusia, singkatnya apa saja yang dapat
tertangkap oleh panca indera manusia. Berfikir atau
menggagas dimaksud dapat digambarkan ketika dalam satu
wilayah kosong, misalnya yang datang kemudian adalah
seorang manusia dan manusia pertama dimaksud
memandang segala sesuatu yang berada di luar dirinya.
Misalnya saja yang berada di luar dirinya adalah sosok
manusia, maka pada saat memandang, melihat manusia lain
tersebut, mulailah akal masing-masing manusia tergerak
untuk berpikir (ngulir budhi).
4
Jika yang ada di luar dirinya adalah manusia, dan
manusia selain dirinya itu juga merespon, maka pada saat
itu yang terjadi adalah saling kontak. Dalam saling kontak
tersebut masing-masing manusia dimaksud menggerakkan
fikiran untuk mengidentifikasi apa saja yang ada dan
melekat pada manusia di luar dirinya sesuai dengan
pengetahuan yang dimiliki sebelumnya.
Dalam proses pengidentifikasian, akan menghasilkan
pengetahuan yang kemungkinan berbeda antara dirinya
dengan yang lain, apa yang ada dalam dirinya dan apa yang
tidak ada dalam diri yang lain, apa yang dimiliki dan apa
yang tidak dimiliki yang lain. Ketika mereka memahami
bahwa masing-masing memiliki sesuatu dan sesuatu
tersebut tidak dimiliki yang lain atau ada kelebihan dalam
dirinya di satu pihak sementara yang disebut kelebihan itu
merupakan kekurangan bagi yang lain, maka pada saat
itulah mereka mulai muncul keinginan untuk tahu satu
sama lain dan bahkan tergerak untuk saling memenuhi
kekurangan yang ada dalam dirinya dan memberikan
kelebihan yang ada dalam dirinya masing-masing kepada
pihak lain.
Gerakan saling mengisi dan memenuhi masingmasing pihak tersebut disebut interaksi. Interaksi yang
semakin meluas dalam arti jumlah orang yang terlibat
banyak, maka pada titik itu disebut sebagai interaksi sosial.
Interaksi sosial meluas dan dalam jangka waktu lama
lambat laun menghasilkan kesepakatan-kesepakatan mapan
dan tidak tertulis yang akhirnya menjadi pedoman berfikir,
5
bertindak, berbicara, bertingkah laku, dan bahkan hasil
berfikir, bertindak tersebut telah menghasilkan suatu karya
atau benda-benda tertentu. Keseluruhannya itu dipandang
oleh sebagian sarjana sebagai budaya, sebuah budaya yang
mencakup budaya immaterial dan materiil.
Bertitik tolak dari uraian sederhana tersebut, secara
konsepsi menjadi mudah memaknai apa yang disebut
budaya. Misalnya menurut Clifford Geertz budaya itu
hanya berhenti pada tataran idea atau gagasan, demikian
pula pandangan Roger Keesing.2 Ini berarti budaya
diartikan sebagai fikiran, olah fikir (ngulir budhi). Namun
tidak demikian menurut pandangan Koentjaraningrat,
budaya atau kebudayaan diartikan sebagai sebuah sistem
yang mencakup gagasan, ide; tindakan; dan hasil tindakan.
Satu kesatuan dari ketiganya saling terkait dan tidak
terpisahkan satu sama lain itu merupakan kebudayaan.
Pandangan yang memberi makna hampir sama
dikemukakan oleh kalangan sosiolog, misalnya Kathy S.
Stolley seperti yang disebutkan oleh Seta bahwa budaya
merupakan sebuah konsep yang luas, budaya terbangun
dari seluruh gagasan (ide), keyakinan, perilaku, tindakan,
dan produk-produk yang dihasilkan secara bersama, dan
menentukan cara hidup suatu kelompok.3 Artinya, budaya
2
Lihat Ade Saptomo, 1995. Berjenjang Naik Bertangga Turun: Sebuah
Proses Penyelesaian Sengketa. Jakarta: PPS UI
3
http://setabasri01.blogspot.com/2009/05/teori-budaya.html
6
meliputi semua yang dikreasi dan dimiliki manusia tatkala
mereka saling berinteraksi, kemudian hal itu membentuk
cara bagaimana orang melihat dunia sehingga berpengaruh
atas bagaimana manusia berpikir, berbicara, berperilaku,
dan bertindak. Tentu, hasil berfikir dan bertindak dimaksud
menghasilkan sesuatu karya yang nyata. Sesuatu karya
yang nyata dimaksud juga merupakan dan bagian dari hasil
atau perwujudan dari kebudayaan.
I.2 Jenis Budaya
Konsep budaya sebagai sebuah konsep kehidupan sosial
telah diupayakan dengan sejumlah cara untuk memberikan
makna yang tepat. Terutama jika merujuk pada perilaku
yang dipelajari sebagai hal yang berbeda dengan yang
diberikan oleh alam, atau biologi. Budaya telah digunakan
untuk mendesain setiap hal yang dihasilkan (kebiasaan,
keyakinan, seni, dan artefak) dan melalui penurunan dari
generasi satu ke generasi berikutnya. Dalam formulasi
demikian ini, budaya dapat dibedakan dari alam, dan
budaya dimaksud berbeda antara masyarakat satu dengan
masyarakat lainnya.
Dalam konteks ruang lingkup, definisi pertama lebih
luas, yang mencakup semua kehidupan sosial manusia,
sementara yang kedua lebih spesifik yaitu mencakup
makna-makna yang dihasilkan. Artinya, ada sebuah konsep
budaya dalam pengertian yang lebih sempit dari yang
disebut di atas, yaitu pemahaman budaya merujuk pada
seperangkat pranata sosial tertentu, terutama pada produksi
tanda dan makna. Dalam pemahaman demikian ini, pranata
7
budaya mencakup, misalnya, seni, musik, teater, mode,
sastra, agama, media dan pendidikan.
Dengan memperhatikan pemahaman terhadap makna
kata budaya tersebut di atas berarti budaya dapat mewujud
kedalam bentuk nyata, kasad inderawi yang satu sama lain
berbeda. Pemahaman demikian ini, oleh sebagian sarjana
menyebutnya sebagai budaya material. Dengan demikian,
dalam konteks abstrak atau tidak abstrak, kebudayaan
dapat dikategorikan kedalam dua jenis budaya, yaitu
budaya material (nyata, kasad inderawi) dan budaya
immaterial sebagaimana disebut di atas.
Yang termasuk kedalam kategori komponen material
adalah seluruh produk nyata, riil, kasad inderawi yang
terbentuk lewat serangkaian tindakan. Produk nyata
dimaksud, seperti yang disebut Seta, termasuk pakaian,
buku, seni, bangunan, software komputer, penemuan,
makanan, kendaraan bermotor, alat kerja, dan sejenisnya.
Sementara itu, yang termasuk ke dalam kategori komponen
immaterial adalah semua kreasi manusia yang tidak kasat
mata, seperti bahasa, nilai-nilai, keyakinan, perilaku,
ataupun lembaga sosial.
Penggunaan kata budaya dalam percakapan seharihari memang masih membingungkan dan tumpang tindih.
Misalnya saja, seseorang dapat dikatakan “berbudaya” jika
gagasan, tindakan, atau hasil tindakan dipandang sesuai
dengan nilai-nilai mapan yang diyakini benar oleh sebagian
besar warga masyarakat sebagai pendukungnya atau “tak
berbudaya” jika sebaliknya. Namun, dalam kehidupan
8
sehari-hari pemakaian kata “budaya” juga kerap dirujukan
pada apa yang dinamakan budaya tinggi (high culture).
Budaya tinggi sendiri biasanya terdiri atas hal-hal
yang seringkali dihubungkan dengan kelas sosial ekonomi,
bahkan kelompok penghuni wilayah tertentu, misalnya saja
kaum elit tertentu di Jakarta. Lebih-lebih kaum elit sosial
ekonomi masyarakat ini menonton pameran mobil terbaru,
menonton opera asal luar negeri, melihat galeri lukisan
abstrak, menonton konser musik klasik, mengunjungi
counter butik mahal, dan sejenisnya yang tidak dapat atau
tidak biasa dilakukan rakyat umumnya. Apa yang difikir
dan dilakukan oleh kelompok sosial ekonomi tersebut
dapat dianggap sebagai budaya tinggi.
Hal ini berbeda dengan budaya rakyat atau budaya
popular (popular culture). Budaya populer memiliki daya
tarik bagi aneka manusia dari beragam kelas sosial
ekonomi. Misalnya saja dalam masyarakat Jawa, ada
pagelaran seni wayang kulit. Di mana saja ada hal.laran
seni wayang kulit, di situ ratusan hingga ribuan orang dari
berbagai kelas sosial dan ekonomi berbondong-bondong,
berkumpul, dan menonton hal.laran wayang kulit. Bahkan
tidak saja penonton pagelaran seni wayang kulit mampu
menggugah, menghidupkan, dan meningkatkan peredaran
ekonomi mikro rakyat bawah. Dalam konteks nasional,
masyarakat Nusantara dari Sabang sampai Merauke juga
telah memiliki budaya membatik kain dengan corak
masyarakat yang berbeda-beda sehingga kain batik juga
merupakan sebuah budaya populer.
9
I.3 Aspek-Aspek Budaya
Dalam kalangan sarjana budaya, kajian seputar budaya
biasanya lebih difokus pada beberapa aspek budaya
immaterial, seperti nilai-nilai, norma-norma, simbol, dan
bahasa. Sebab itu, tinjauan atas tiap aspek ini lebih
membuat orang lebih dapat memahmi soal apa itu budaya.
Bagaimana budaya itu terbentuk dan diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya, dan seberapa penting
budaya yang pernah ada dan dipedomani itu. Berikut
penjelasan dari aspek-aspek budaya tersebut4:
1. Nilai (Values)
Nilai diartikan sebagai apa yang dipandang baik oleh
sebagian besar warga masyarakat untuk dilakukan. Nilai
dimaksud
terbangun
oleh
serangkaian
interaksi
antarmanusia dalam jangka waktu lama dan melalui proses
panjang sampai pada “kesepakatan” bahwa itulah yang
seharusnya (sollen). Itulah yang seharusnya atau yang
seharusnya dilakukan dimaksud merupakan suatu hal yang
bermanfaat, menentukan, amat berarti. Dengan demikian,
nilai sebenarnya menggambarkan pengetahuan yang sudah
ada, mapan, diyakini, dimiliki sebagian besar warga
masyarakat yang seharusnya dipilih, dilakukan sebagai
pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, yang
seharusnya dilakukan dalam dunia kerja adalah disiplin,
tepat waktu, kerja keras, tertib kerja, tertib hukum, dan
seterusnya.
4
Seta Basri, 2009. Op Cit.
10
Meskipun nilai telah diketahui, dimengerti, dan
dipahami oleh sebagian besar warga masyarakat bahwa
yang seharusnya tersebut amat bermanfaat, amat
menentukan, dan amat berarti, namun adakalanya nilai baik
dimaksud tidak menjadi pilihan utama sebagai rujukan
bertindak. Justru yang terjadi malah memilih nilai yang
lain. Praktik demikian ini dalam wacana disebutkan bahwa
ada nilai ideal dan tidak ideal, atau dipandang sementara
sebagai nilai masa lampau atau masa silam yang telah
usang dan pada saat bersamaan lebih memilih nilai yang
dipandang sesuai dengan kepentingannya dan kondisikondisi kekinian. Dengan demikian, selalu ada pemahaman
yang disandingkan antara budaya ideal dan budaya riil.
Budaya disebut pertama masih bebas ruang dan waktu,
sementara yang kedua tidak bebas ruang waktu.
2. Norma
Norma merupakan turunan dari nilai dan lebih mudah
ditangkap karena norma merupakan harapan warga
masyarakat yang seharusnya dilakukan. Harapan dimaksud
diwujudkan kedalam suatu pedoman tidak tertulis bagi
warga untuk bertindak ketika menghadapi situasi tertentu.
Norma dibutuhkan untuk menjamin keteraturan sosial.
Norma sekaligus menginstruksikan ataupun melarang suatu
perilaku.
Norma memberitahu apa yang seharusnya dilakukan
(menunggu giliran, hadir tepat waktu, menghormati yang
tua, dan sejenisnya). Norma juga memberi tahu apa yang
seharusnya dilakukan dan tidak lakukan (berteriak di dalam
11
ruangan, berpakaian tidak sopan, berhenti tatkala lampu
lalu-lintas berwarna hijau, dan sejenisnya). Norma
dimaksud ditanamkan melalui proses internalisasi melalui
agen-agen sosial seperti keluarga, sekolah, ataupun
pemerintah. Setelah terinternalisasi, norma kemudian
menjadi bagian dari sisi kehidupan diri si individu dan
sebagai sebuah bagian dari budaya masyarakatnya.
3. Mores
Mores juga merupakan turunan norma karena dalam
mores dimaksud mencakup penilian baik-buruk, benarsalah sehingga apa yang baik merupakan norma yang
ditegakkan. Mores biasanya diwujudkan secara kategoris
kedalam standar baku tentang apa yang boleh dan tidak
boleh, apa yang dilarang dan tidak dilarang, apa yang benar
dan tidak benar. Larangan-larangan membunuh,
merampok, memperkosa, merupakan contoh-contoh mores
yang diterapkan di aneka negara.
Mores dianggap signifikan secara moral dan kerap
diformalisasi menjadi pernyataan-pernyataan formal seperti
hukum. Karena signifikansi ini, hukuman bagi pelanggaran
mores kerapkali diterapkan. Ini juga melibatkan pemberian
sanksi berupa penangkapan dan pemenjaraan. Bahkan di
beberapa negara, diterapkan hukuman mati bagi
pelanggaran mores.
4. Simbol
Simbol adalah sesuatu yang melambangkan,
mewakili atau menyatakan hal yang lain. Simbol dapat
mewakili gagasan, emosi, nilai, keyakinan, sikap, atau
12
peristiwa. Simbol itu pula dapat berupa apa saja, misalnya
saja berupa gerakan tubuh, kata-kata, obyek atau bahkan
peristiwa. Simbol memiliki makna berbeda tergantung pada
budaya yang dianut individu yang menafsirkannya. Kini,
meskipun tidak seluruhnya, simbol-simbol dimaksud mulai
kehilangan makna. Namun, ada kalanya simbol tidak akan
kehilangan makna, tetapi justru memperoleh makna baru.
5. Bahasa
Bahasa adalah sistem simbol yang memungkinkan
terjadi proses komunikasi antaranggota penganut suatu
budaya. Simbol dimaksud dapat berupa lisan maupun
tulisan. Dengan demikian, bahasa merupakan aspek sentral
seputar cara orang memahami dunia dan bahasa juga
menyatakan apa yang dipikir mengenai dunia dan
bagaimana orang bertindak.
I.4 Pengertian Hukum
Tampaknya, menjelaskan tentang sesuatu lebih mudah
daripada memberi definisi tentang sesuatu dimaksud.
Namun, tidak lazim untuk menjelaskan sesuatu atau
mengkaji sesuatu subyek tertentu jika definisinya tentang
sesuatu dimaksud itu sendiri belum jelas. Ini berarti bahwa
pada awal mengkaji sesuatu subyek dengan tanpa
pembatasan (definisi) akan beresiko belakangan karena
diskusinyapun tidak akan terarah dengan baik.
Untuk itu, definisi tentang sesuatu yang menjadi
subyek kajian menjadi sangat perlu mengingat selain
sebagai pembatasan, pengarahan, juga sebagai awal dan
akhir dari kajian sebuah subyek. Dengan demikian, definisi
13
tetap perlu dan penting untuk dirumuskan. Namun, dalam
konteks hukum, untuk memberikan definisi hukum secara
pasti memang sulit karena banyak alasan.
Pertama, dalam semua jenjang/tataran perkembangan
masyarakat baik dari masyarakat dengan peradaban rendah
hingga peradaban tinggi, masing-masing masyarakat
dimaksud memiliki hukum. Perbedaan terletak antara
hukum dari dua masyarakat tidak hanya dalam satu bentuk
saja tetapi ada tahapan perkembangan yang masing-masing
memiliki karekteristik berbeda sehingga terminologi
hukum memiliki arti dan mencakup hal-hal yang berbeda
dalam setiap masyarakat.
Law merupakan kosa kata dalam bahasa Inggris,
dalam sistem Hindu disebut dharma, dalam sistem Islam
disebut hukum, dalam bahasa Romawi disebut Jus, dalam
bahasa Perancis disebut Droit, dan dalam bahasa Jerman
disebut Richt. Makna dan gagasan yang ada dalam katakata tersebut berbeda satu sama lain sehingga suatu definisi
hukum yang gagal mencakup semua makna dimaksud tidak
akan menjadi definisi baik.
Kedua, defnisi berbeda padahal yang didefinisikan
dari hal yang sama mungkin ini terjadi karena definisi
diberikan dari sudut pandang berbeda dan satu sudut tidak
mengambil pertimbangan dari sudut pandang yang lain.
Dengan demikian definisi yang diberikan oleh advokat,
filosof, dan theologian semakin menjadi besar perbedaan.
Aliran beragam yang dianut penekun hukum juga
14
mempengaruhi alam fikirannya sehingga mereka telah
mendefinisikan hukum dari sudut berbeda-beda pula.
Beberapa ahli hukum telah mendefinisikan dengan
mendasarkan pada siapa, dan beberapa ahli hukum juga ada
yang menekankan pada sumbernya, sementara beberapa
ahli hukum yang lain berkenaan dengan pengaruh
masyarakat, atau berkaitan dengan akhir atau tujuan.
Sehubungan dengan itu, seolah ada tuntutan bahwa sebuah
definisi yang tidak mencakup semua unsur tersebut akan
menjadi definisi yang tidak sempurna.
Ketiga, demikian juga dalam tataran ilmu
pengetahuan, terutama dalam ilmu sosial. Ilmu sosial yang
dimaksud adalah sebuah ilmu yang tumbuh dan
berkembang bersama dinamika masyarakat. Perkembangan
masyarakat dimaksud dimulai dari masyarakat sederhana
hingga modern, terutama era modern yang penuh kemajuan
ilmu dan teknologi tinggi, telah menciptakan problem baru
tentang definisi hukum. Hukum dituntut mencakup bidangbidang baru dan bergerak ke arah baru agar mampu
menjaga ruangan, fungsi, dan lingkup hukum yang selalu
berubah.
Oleh sebab itu, sulit untuk memberikan sebuah
definisi hukum dalam pengertian tertentu untuk tetap
berlaku untuk sepanjang waktu. Sebuah definisi yang tetap
dan baku tampaknya sudah tidak memungkinkan lagi
mengingat definisi yang paling memuaskan saat ini bisa
mempersempit dan tidak lengkap untuk masa yang akan
datang. Oleh karena kesulitan itu, Hart pernah mengatakan
15
bahwa sejak zaman kuno kebutuhan akan definisi apa
hukum itu telah dibuat dan jawaban berbeda antara satu
dan yang lain telah diberikan, diantaranya
“Few questions concerning human society have been
asked with such persistence and answered by serious
thinkers in so many diverse, strange, and even
paradoxical ways as the question What Law is.5
Artinya, jawaban atas pertanyaan “apa hukum itu”
tidak gampang sehingga jawaban sementara yang paling
memungkinkan mendekati persoalan itu adalah sebatas
upaya mengemukakan sejumlah ciri dan sifat dari hukum
secara singkat dan mencoba menjelaskan sampai pada
suatu pengertian utuh dari hukum itu sendiri.
Ketidakgampangan dimaksud karena suatu analisis hingga
pada perumusan jawaban tidak bebas nilai dan netral, tetapi
ia terkait pada orientasi kefilsafatan hukum yang
melandasi.
Pada umumnya, setiap kali “hukum” dibicarakan,
yang dimaksud adalah hukum yang berlaku atau biasa
disebut hukum positif. Jadi, hukum yang berlaku diartikan
sebagai undang-undang atau keputusan-keputusan hakim
dan tidak tentang salah satu hukum kodrat atau sistemsistem hukum ideal lain yang memang juga berlaku.
Hukum yang dibicarakan di sini adalah hukum pada
umumnya yang setiap hari banyak orang berurusan
5
Hart, H.L.A.,1961. The Concept of Law. Oxford: Clarendom Press..
16
dengannya. Ada beberapa ciri objektif untuk sampai pada
apa yang disebut hukum:6
a. Hukum itu, pada umumnya, ditetapkan oleh
kekuasaan atau kewibawaan yang berwenang. Ini
hampir selalu berupa perlengkapan penguasa
(overheads-orgaan) dari suatu tatanan hukum dan
tatanan negara yang konkret.
b. Hukum memiliki suatu sifat lugas dan objektif. Itu
berarti bahwa ia secara jelas dapat dikenali dan
tidak tergantung pada kehendak bebas yang
subjektif. Selain itu, juga dapat dikatakan bahwa
hukum positif modern itu rasional. Dengan itu
hukum tidak timbul dari pewartaan religius
(wahyu), juga tidak lagi memiliki suatu bobot
mistik atau yang irasional, tetapi ia hampir selalu
merupakan ujung dari suatu prosedur yang diatur
secara cermat.
Bila suatu undang-undang dibentuk atau apabila
suatu proses hukum di hadapan hakim dijalankan,
maka berbagai argumentasi yang satu dihadapkan
pada argumen yang lain dan pada saat sama
dipertimbangkan dengan cara membandingbandingkan yang satu terhadap yang lain.
“Rasionalitas dari hukum” terutama mengandung
arti bahwa antarorang saling meyakinkan
6
Meuwissen, D.H.M., 1982. Recht en Vrijheid. Utrecht: Aula.
17
berdasarkan argumentasi-argumentasi yang masuk
akal. Selain itu, dalam menetapkan hukum adalah
bukan suatu keputusan dari otoritas yang lahir
begitu saja, tetapi membutuhkan suatu motivasi
jauh ke depan.
c. Hukum itu berkaitan dengan tindakan-tindakan dan
perilaku manusia yang dapat diamati. Dalam segi
ini, hukum itu dibedakan dari etika. Untuk etika,
suatu pertimbangan pribadi yang murni dan intensi
(niat) atau sikap memang menjadi unsur penting.
Untuk hukum hal ini menjadi penting, apabila
disposisi yang demikian itu diwujudkan kedalam
suatu perilaku (pola perilaku) konkrit. Jadi hukum
itu mengatur hubungan-hubungan konkrit dan
lahiriyah antarmanusia. Ia tidak berkaitan dengan
hubungan-hubungan atau kontak-kontak pribadi
yang murni.
d. Hukum itu memiliki suatu keberadaan dalam masa
tertentu, yang biasa disebut keberlakuan (berlaku,
gelding). Keberlakuan ini memiliki tiga aspek,
yakni aspek moral, sosial, dan yuridik.
e. Hukum itu memiliki suatu bentuk tertentu, suatu
struktur formal. Ada pembedaan kaidah-kaidah
hukum, figure-figur hukum, dan lembaga-lembaga
hukum (pranata hukum). Termasuk ke dalam
kaidah-kaidah hukum dimaksud adalah aturanaturan
umum
(misalnya
undang-undang)
keputusan-keputusan konkret (misalnya vonis18
vonis, keputusan-keputusan pemerintah atau
ketetapan) dan asas-asas hukum (misalnya itikad
baik, tuntutan kecermatan, pasca sunt servanda,
asas persamaan).
Sementara itu, perbedaan asasi antara aturan-aturan
hukum dan asas-asas hukum tidak ada. Asas itu
seperti aturan memiliki suatu sifat umum, dengan
catatan bahwa isinya kadang-kadang dirumuskan
kurang tajam ketimbang yang terjadi pada aturan.
Selanjutnya misalnya dalam pengertian “aturan”
masih dapat dibedakan berbagai struktur, misal
keharusan-keharusan (perintah-perintah), laranglarangan, pemberian kewenangan-kewenangan.
Struktur-struktur demikian oleh banyak filsuf
hukum analitik dijadikan objek penelitian.
Figur-figur hukum memiliki suatu sifat yang lebih
majemuk. Mereka merupakan perangkat-perangkat
aturan dan keputusan-keputusan atas dasar suatu
substrat ideal atau kemasyarakatan spesifik
(misalnya hak milik, kontrak, perbuatan melanggar
hukum, hak-hak dasar). Lembaga hukum jauh lebih
majemuk lagi dan dalam banyak hal ia mengenal
suatu pengaturan kewenangan-kewenangan yang
terjabar dengan organ-organ. Misal saja,
perkumpulan, perusahaan, perseroan, dan lembaga
hukum yang terpenting adalah negara.
f. Ciri yang terakhir dan terpenting dari hukum
menyangkut objek dan isi hukum. Hukum itu
19
memiliki pretensi untuk mewujudkan atau
mengabdi pada tujuan tertentu. Dalam arti yang
sangat formal, menunjuk tujuan ini sebagai ideahukum (cita-hukum). Tentang isi dari idea hukum
itu di dalam filsafat hukum terdapat perbedaan
pemahaman yang besar. Tujuan dari hukum sering
disampaikan, misalnya tujuan hukum adalah
terciptanya ketertiban, perdamaian, harmoni,
keteraturan, keajegan, sesuatu yang dapat
diperhitungkan secara pasti, kepastian hukum.
Setelah masuk pada kajian ciri-ciri hukum, kembali
ke belakang sejenak untuk mengingatkan betapa penting
definisi hukum yang telah berkembang hingga saat ini.
Definisi hukum dimaksud dapat ditemui dalam beberapa
literatur yang terkait dengan Ilmu Hukum, di sana akan
ditemukan beberapa definisi tentang “hukum”. Definisi
hukum dapat pula ditemukan dalam kamus, ensiklopedi
ataupun dari suatu aturan perundang-undangan.
Untuk melihat apa yang dimaksud dengan hukum,
berikut akan diurai definisi “hukum” dari beberapa aliran
pemikiran dalam ilmu hukum. Timbulnya perbedaan
tentang definisi hukum di bawah ini akibat dari sudut
pandang orang tentang apa itu “hukum”. Hal ini terjadi
salah satunya sangat dipengaruhi oleh aliran yang
melatarbelakangi pemikiran pemberi definisi.
I.5 Definisi Hukum
Mengerti definisi menjadi penting dan perlu karena
mengawali dan mengakhiri kajian suatu bidang ilmu lazim
20
dengan pengertian definisi bidang ilmu dimaksud.
Memberikan definisi hukum secara perbandingan memang
merupakan perkerjaan sulit karena banyak alasan, pertama,
dalam semua masyarakat dari bentuk sederhana hingga
masyarakat yang telah memiliki peradaban tinggi, maju,
dan modern masing-masing memiliki apa yang disebut
hukum.
Itu satu hal, hal lain hampir setiap penekun hukum
baik itu akademisi, praktisi, dan pengamat hukum
sekalipun telah berusaha untuk mendefinisikan hukum
dengan sudut pandang berbeda. Bahkan telah banyak
definisi dengan beragam sudut telah mereka berikan
sehingga banyak pilihan definisi untuk didiskusikan. Oleh
karena terdapat banyak definisi, maka dengan tujuan
mengklarifikasi definisi-definisi hukum tersebut, di bawah
ini diklasifikasikan definisi-definisi dimaksud kedalam tiga
kelompok definisi, yaitu definisi idealis (idealisitic
definition), definisi positivistis (positivistical definition),
dan juga definisi sosiologis (sociological definition). Sudut
pandang inilah yang membedakan pandangan satu dengan
yang lain.
I.5.a Definisi Idealis
Definisi idiealis dimaksud pada umumnya diberikan pada
zaman Romawi dan ahli-ahli hukum masa silam.
Diantaranya definisi yang diberikan oleh Justinian’s Digest
bahwa hukum didefinisikan sebagai the standard of what is
just and unjust. Ulpian mendefinisikan hukum sebagai the
art or science of what is equitable and good.
21
Cicero mengatakan bahwa law I the highest reason
implanted in nature. Pendek kata keadilan sebagai elemen
utama hukum, merupakan satu hal yang harus ditekankan
dalam semua upaya pengungkapan semua definisi hukum.
Namun demikian, satu hal yang perlu dicatat bahwa apa
saja pandangan teoretis ahli hukum Romawi yang saat itu
mereka miliki, dalam praktik tidak pernah kebingungan
dalam memisahkan antara hukum dan keadilan.
Pada era Hindu Kuno juga memiliki pandangan
bahwa hukum adalah perintah Tuhan dan bukan perintah
dari kekuatan politik. Pembuatan peraturan itu sendiri juga
terikat dan patuh pada hukum, bahkan memiliki kewajiban
untuk melaksanakan hukum tersebut. Jadi hukum
dipandang sebagai dharma. Ini merupakan pandangan
tentang hukum bahwa didalam hukum itu ditemukan
moral, bahkan perintah agama, diadonkan dengan ajaranajaran hukum. Artinya, ide keadilan selalu dihadirkan
dalam konsep hukum dalam masyarakat Hindu.
Hukum alam (natural law atau lex naturalis) pun
merupakan idealis karena pada dasarnya merupakan hukum
yang tidak dibuat oleh manusia dan oleh karenanya berlaku
universal (International Encyclopedia of the Sosial
Sciences). Pemahaman hukum alam ini sering
diasosiasikan bertentangan atau merupakan lawan dari
pemahaman hukum positif, masyarakat, dan pemerintahan
negara.
Pemahaman tentang teori hukum alam tidak terlepas
dari pemikiran Aristotle (384 sM-322 sM) yang menggali
22
filsafat Yunani dengan membedakan antara “hukum” dan
“alam.” Hukum bisa berbeda dari satu tempat dengan
lainnya, sedangkan alam bersifat universal yang tidak
terbatas oleh ruang dan waktu. Kebutuhan, perilaku, dan
hak-hak manusia, pada prinsipnya bersifat alami atau
sesuai dengan hukum alam.
Oleh karena itu, Aristoteles mengemukakan faktor
terpenting, yaitu aspek keadilan yang bersifat alami atau
universal (ius naturalis). Atas dasar pemikiran dan
kontribusinya dalam perkembangan ilmu hukum, Aristotle
dinobatkan sebagai “bapak hukum alam.” Pandangan
Aristoteles tersebut sering dikaitkan dengan sebuah
ungkapan “an unjust law is not a true law” (hukum yang
tidak berkeadilan bukan hukum sebenarnya). Prinsipprinsip dari pemikiran Aristoteles tersebut kemudian
dielaborasi lebih lanjut dalam pengembangan ilmu hukum
oleh Thomas Aquinas (1225-1274) dalam bukunya
Treaties on law7, sehingga menjadi dasar-dasar
pengembangan ilmu hukum pada abad-abad berikutnya.
Menurut pandangan Thomas Aquinas, dalam konteks
hukum, aturan-aturan moralitas pada hakikatnya bersifat
alami dan mengikat bagi seluruh umat manusia. Oleh
karena sifatnya yang universal, pemikiran Thomas Aquinas
banyak mempengaruhi pengembangan sistem hukum di
dunia, terutama di Inggris dan negara-negara Anglo-Saxon
7
Lihat McInerny, R., 1996. Thomas Aquinas: Treatise on law (Summa
Theologica, Quesions 90-97). Washington, D.C. Regnery Publishing
Inc.
23
yang menganut sistem Common Law. Untuk itu, Thomas
Aquinas mengembangkan teori hukum alam yang didasari
oleh 3 doktrin yaitu:8
(1) Semua hukum yang berkeadilan dapat ditemukan
secara alami;
(2) Aturan-aturan yang bersifat aturan dasar harus
dijadikan pedoman untuk menyelesaikan berbagai
konflik; dan
(3) Hukum hanya dapat difahami dan dimengerti apabila
didasari oleh prinsip-prinsip moralitas yang telah ada
dan bersifat alami.
Definisi tersebut diatas diberikan pada saat ketika
belum ada pembedaan secara jelas antara hukum, moral,
dan agama sehingga seolah ketiganya menyatu kedalam
satu definisi. Sementara pada saat zaman sudah modern
seperti sekarang, hukum berkembang dan pada umumnya
telah disekulerisasi dan telah tumbuh kedalam satu cabang
yang independen dalam ilmu sosial. Untuk itu, definisi
hukum yang diberikan dari sudut teologis tidak dapat
dipertahankan dalam waktu lama.
Namun unsur keadilan masih menjadi elemen penting
dalam beberapa definisi yang diberikan oleh ahli-ahli
hukum modern. Mereka telah mendefinisikan hukum
berkaitan dengan keadilan tetapi konsep keadilan tidak
sama persis seperti keadilan pada zaman kuno. Keadilan,
8
Ibid
24
dalam definisi modern berarti keadilan hukum dan bukan
sebuah keadilan abstrak. Keadilan dapat diperoleh melalui
proses hukum formal, yatu melalui praktik peradilan.
Pandangan demikian telah diklasifikasikan oleh ahli hukum
masih sebagai idealistis meskipun mereka sebenarnya
positivistik.
Definisi yang demikian ini adalah definisi yang
dikemukakan oleh Salmond, bahwa hukum merupakan
prinsip-prinsip yang diakui dan diterapkan oleh negara
sebagaimana tampak dalam administrasi peradilan. Dengan
kata lain, hukum terdiri dari aturan-aturan yang diakui,
dijalankan oleh pengadilan. Ada dua implikasi penting
berkenaan dengan definisi yang demikian ini. Pertama,
bahwa untuk memahami hukum orang harus mengetahui
tujuannya; kedua, bahwa untuk mengetahui ciri utama
hukum orang harus masuk ke pengadilan dan tidak ke
lembaga legislasi. Definisi Salmond demikian ini menuai
kritik dari ahli hukum lain. Diantaranya, Vinogradoff
menyampaikan kritik terhadap definisi Salmond, bahwa
definisi tersebut didasarkan pada sebuah pemahaman
bahwa hukum berlangsung dari tindakan hakim.
Kritik utama terhadap definisi Salmond adalah bahwa
ia merancukan antara keadilan dengan hukum sementara
hukum dan keadilan bukan satu hal sama karena hukum
diterapkan hingga memperoleh kesimpulan apakah baik
atau buruk. Sementara, keadilan merupakan idealisme yang
ditemukan dalam moral manusia. Salmond itu sebenarnya
dianggap tidak pernah membicarakan keadilan, tetapi ia
25
mengatakan bahwa dengan hukum keadilan itu dapat
diperoleh. Dengan demikian, hukum telah didefinisikan
oleh Salmond berkenaan dengan tujuan.
Memang mendefinisikan hukum yang dikaitkan
dengan tujuan mungkin membantu namun ketika hukum
dimaknai untuk melayani banyak tujuan, tentu definisi
demikian itu akan memperoleh kesulitan sendiri. Misalnya
saja, jika tujuan hukum adalah keadilan maka Salmond
dianggap telah mempersempit wilayah kajian hukum.
Konsekuensi logisnya, untuk mengerti hukum orang harus
pergi ke pengadilan dan bukan ke lembaga legislasi.
Pandangan demikian ini telah dikritik dengan alasanalasan sebagai berikut: Pertama, menurut definisi ini
berarti konvensi-konvensi sudah seharusnya dikeluarkan
dari hukum karena konvensi tidak dijalankan pengadilan.
Kedua, definisi Salmond demikian itu telah memunculkan
kontroversi tentang makna pengadilan. Misalnya, apakah
peradilan administrasi yang dalam beberapa kasus telah
menetapkan hak dan kewajiban serta tanggungjawab
hendak dipertimbangkan sebagai pengadilan atau bukan.
Pada titik ini, jelas definisi Salmond dipandang
kurang memadai sehingga hal itu merupakan kesulitan
tersendiri bagi Salmond untuk menjawabnya. Ketiga,
pranata-pranata hukum tidak dipertimbangkan sebagai
hukum menurut definisi Salmond karena pranata-pranata
itu tidak lahir di depan pangadilan. Demikian pula hukum
internasional, hukum adat, hukum tata negara dan
seterusnya yang kesemuanya tidak lahir dan tidak
26
dijalankan oleh pengadilan adalah bukan hukum, padahal
keseluruhannya menjadi rujukan bertindak dalam
kehidupan sehari-hari.
Dalam aliran Sejarah, Frederich Karl von Savigny
mengatakan bahwa: All law is originally formed by custom
and popular feeling, that is, by silently operating forces.
Law is rooted in a people’s history: the roots are fed by the
consciousness, the faith and the customs of the people
(Keseluruhan hukum sesungguhnya terbentuk melalui
kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui
pengoperasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum
berakar kedalam sejarah manusia, dimana akarnya
dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan, dan kebiasaan
warga negara.
Selain itu, masih terdapat lagi aliran hukum lain,
yaitu aliran hukum alam yang diteorikan oleh Aristoteles.
Menurut aliran hukum alam, hukum didefinisikan sebagai
sesuatu yang berbeda daripada sekedar mengatur dan
mengekspressikan bentuk dari konstitusi; hukum berfungsi
untuk mengatur tingkah laku para hakim dan putusannya di
pengadilan dan untuk menjatuhkan hukuman terhadap
pelanggar. Selain Aristoteles, Jhon Locke juga berpendapat
bahwa hukum adalah sesuatu yang ditentukan oleh warga
masyarakat pada umumnya tentang tindakan-tindakan
mereka, untuk menilai/mengadili mana yang merupakan
perbuatan jujur dan mana yang merupakan perbuatan
curang.
27
I.5.b Definisi Positivistis
Selain itu, masih ada di dalam hukum terdapat pandangan
dari aliran Positivistis. Definisi positivistis sebenarnya juga
telah lama muncul, misalnya saja ahli filsafat hukum yang
mengembangkan teori positivisme hukum (legal positivist
theory),9 terutama Jeremy Bentham, John Austin, Hans
Kelsen, H.L.A. Hart, dan Joseph Raz. Teori ini didasari
oleh 3 prinsip pokok yaitu:
(1) Tidak ada kaitan langsung antara hukum dan etika atau
moralitas;
(2) Hukum adalah aturan yang dibuat oleh manusia,
disengaja atau tidak;
(3) Hukum
harus
memberikan
kepastian
dan
menggunakan ukuran-ukuran pasti, yaitu sangat
ditentukan oleh aturan-aturan dan praktik dalam
kehidupan sosial masyarakat yang memberlakukan
norma sebagai hukum.
Perdebatan antara penganut faham hukum alam
(natural-made) dan positivisme hukum (man-made) selalu
menarik perhatian diantara para ahli filsafat hukum. Para
penganut faham positivisme berpendapat bahwa hukum
didasarkan oleh suatu tindakan, praktik, atau permasalahan
yang di masa lampau tidak bisa dipecahkan; masa yang
9
Jeremy Bentham (1748-1832) dikenal sebagai tokoh individualis,
utilitarian, John Austin (1790-1859) dikenal sebagai tokoh aliran
analistis dan bapak Jurisprudence Inggris, Hans Kelsen (1881-1973)
dikenal sebagai tokoh positivis, Demikian pula H.L.A. Hart (19071992), dan Joseph Raz (1939-sekarang).
28
akan datang ditentukan oleh suatu tindakan dan keputusan
masa lampau dan masa kini. Teori Bentham yang
dielaborasi lebih tegas oleh salah seorang muridnya yakni
John Austin dalam bukunya The province of jurisprudence
determined yang terbit tahun 1832, mengemukakan bahwa
hukum merupakan perintah penguasa (kedaulatan) yang
dilengkapi dengan ancaman dan harus dipatuhi oleh banyak
orang atau masyarakat umum.
Menurut John Austin bahwa hukum adalah
seperangkat perintah, baik langsung ataupun tidak
langsung, dari pihak yang berkuasa kepada warga
masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik yang
independen, dimana otoritasnya merupakan otoritas
tertinggi. Dengan kata lain, hukum merupakan komando,
perintah dari yang berdaulat. Hukum mewajibkan
serangkaian tindakan atau mendorong suatu kewajiban dan
diikuti sebuah sanksi. Dengan demikian, perintah,
kewajiban, dan sanksi merupaka tiga unsur penting dalam
mendefinisikan hukum. Artinya, hukum yang mencirikan
atau meliputi tiga elemen penting ini disebut hukum positif.
Sehubungan dengan itu, definisi John Austin setidaknya
menggambarkan faham positivisme dimaksud.
John Austin membedakan antara hukum positif,
moralitas positif dan jenis-jenis lain aturan yang disebut
hukum. Memang definisi Austin demikian juga tidak luput
dari kritikan dengan alasan-alasan sebagai berikut:
pertama, tidak semua hukum adalah perintah; kedua,
kebanyakan hukum memberikan kesempatan daripada
29
pembatasan (ini berarti bukan sebuah kewajiban); ketiga,
hukum bukan sanksi semata yang membuat patuh hukum
tetapi juga ada faktor lain. Kelemahan lainnya bahwa
definisi John Austin demikian ini tidak mencakup
kebiasaan dan hukum internasional karena keduanya ini
tidak mempunyai esensi hukum sebagaimana dimaksud
definisi John Austin. Secara lengkap, Austin mengabaikan
aspek sosial dan faktor psikologis yang memang menjamin
ketaatan seseorang terhadap hukum.
Kemudian sarjana Hans Kelsen yang menggunakan
pendekatan the pure theory of law, dapat juga
dikategorikan sebagai positivis. Meskipun ia menganut
aliran positivisme hukum yang demikian ini, namun agak
berbeda pendapat dengan sarjana sebelumnya karena ingin
memberikan jalan tengah antara hukum alam dan
positivisme hukum. Menurut Hans Kelsen, hukum tidak
dibatasi oleh pertimbangan moral seperti yang dianut
dalam mazhab hukum alam.10
Menurut A.P. d’Entreves,11 teori positivisme hukum
dapat dikelompokkan ke dalam 3 jenis, yaitu: (i)
imperativisme yaitu hukum merupakan perintah kekuasaan
yang didukung oleh suatu kebiasaan; (ii) normativisme
yaitu hukum merupakan kumpulan norma-norma; dan (iii)
10
Asshiddiqie, J. Dan Safa’at, 2006. Teori Hans Kelsen Tentang
Hukum: Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan, Mahkamah
Konstitusi Ri, Jakarta
11
A.P. d’Entreves, 1951. Natural law: An introduction of Legal
Philosophy.
30
realisme (realism) yaitu hukum merupakan produk
manusia yang selalu berkaitan dengan dunia nyata. Dari
ketiga jenis teori tersebut, yang paling mendapat perhatian
besar adalah realisme hukum. Jika dalam teori hukum
positif, pengertian positif bersifat “tekstual,” maka dalam
teori realisme hukum, pengertian positif bersifat
“kontekstual.” Lain lagi menurut Oliver Wendell Holmes,
Jr. (1881) yang dalam bukunya The common law,
dikatakan hukum bukan semata teks dan kontekstual tetapi
lebih hukum mudah dimengerti dalam praktik sebagaimana
yang dijalankan oleh institusi peradilan, kantor pengacara,
dan kantor polisi daripada mempelajari rangkaian aturan
yang tertera dalam dokumen.
I.5.c Definisi Sosiologis
Sarjana yang pandangannya dapat diklasifikasikan kedalam
definisi sosiologis adalah Nathan Roscoe Pound (18701964). Ia berpandangan bahwa hukum berasal dari negara
atau pemerintah sebagai penguasa mengingat negara atau
pemerintah perlu mengatur berbagai kepentingan, baik
kepentingan publik maupun kepentingan privat.
Meskipun demikian, Pound (sebutan Nathan Roscoe
Pound) yang merupakan pioner dalam gerakan
pembangunan hukum untuk tujuan-tujuan sosial
(sociological jurisprudence), mengemukakan teorinya
bahwa hukum mencerminkan kemauan negara dan/atau
pemerintah untuk mengatur masyarakat dalam rangka
melakukan perubahan sosial (social engineering) dan
pengendalian sosial (social control). Lebih jauh dikatakan
31
Pound bahwa berbagai perubahan sosial masyarakat harus
dikendalikan agar perubahan tersebut membawa manfaat
yang lebih baik.
Dikaitkan dengan perkembangan hukum, pemikiran
Pound mempengaruhi praktik ketatanegaraan, misalnya
saja dalam pembuatan peraturan perundang-undangan yang
tidak mengakomodasi hukum asli masyarakat setempat
atau biasa dikenal dengan terminologi adat. Selain itu,
dalam praktik ketatanegaraan, pemikiran Pound juga
berpengaruh kuat mengingat hanya sedikit saja inisiatif
pembentukan rancangan undang-undang yang berasal dari
lembaga legislatif.
Pandangan Pound tersebut dapat dikategorikan juga
sebagai penganut faham realisme hukum. Faham demikian
ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan sistem
hukum dan sistem peradilan di berbagai negara, bahkan
termasuk di Indonesia. Salah satu bentuk penerapan dari
pemikiran Pound di Amerika Serikat, misalnya, muncul
pengembangan Criminal Justice System (CJS) yang mutlak
berasal dari keinginan pemerintah untuk menciptakan
keadilan dengan mengintegrasikan sistem peradilan.
Menurut aliran sosiologis, Nathan Roscoe Pound,
memaknai hukum dari dua sudut pandang, yakni:12
1. Hukum dalam arti sebagai tata hukum (hubungan
antara manusia dengan individu lainnya, dan tingkah
12
Ilmu hukum76.wordpress.com/2008/04/14/beberapa-definisi-hukum/
32
laku para individu yang mempengaruhi individu
lainnya, atau tata sosial, atau tata ekonomi).
2. Hukum dalam arti kumpulan dasar-dasar kewenangan
dari putusan-putusan pengadilan dan tindakan
administratif (harapan-harapan atau tuntutan-tuntutan
oleh manusia sebagai individu ataupun kelompokkelompok manusia yang mempengaruhi hubungan
mereka atau menentukan tingkah laku mereka).
Hukum bagi Rouscoe Pound adalah “Realitas Sosial”
dan negara didirikan demi kepentingan umum dan hukum
sebagai sarana utamanya. Sedangkan menurut Jhering: Law
is the sum of the condition of sosial life in the widest sense
of the term, as secured by the power of the states through
the means of external compulsion (Hukum adalah sejumlah
kondisi kehidupan sosial dalam arti luas, yang dijamin oleh
kekuasaan negara melalui sarana paksaan yang bersifat
eksternal). Sedangkan Bellefroid berpendapat bahwa:
“Hukum yang berlaku di suatu masyarakat mengatur tata
tertib masyarakat dan didasarkan atas kekuasaan yang ada
di dalam masyarakat itu”.
Dalam aliran Realis, Holmes berpendapat bahwa the
prophecies of what the court will do are what I mean by the
law (apa yang diramalkan akan diputuskan oleh
pengadilan, itulah yang penulis artikan sebagai hukum).
Sedangkan menurut Salmond: Hukum dimungkinkan untuk
didefinisikan sebagai kumpulan asas-asas yang diakui dan
diterapkan oleh negara di dalam peradilan. Dengan
33
perkataan lain, hukum terdiri dari aturan-aturan yang
diakui dan dilaksanakan pada pengadilan.
Selain aliran sosiologis dan Realis, dari segi
Antropologis, melalui Schapera: Law is any rule of conduct
likely to be enforced by the courts (hukum adalah setiap
aturan tingkah laku yang mungkin diselenggarakan oleh
pengadilan). Sedangkan menurut Gluckman: Law is the
whole reservoir of rules on which judges draw for their
decisions (hukum adalah keseluruhan gudang-aturan
dimana para hakim mendasarkan putusannya).
Setelah mengurai pengertian dan mencoba untuk
memahami konsep budaya di satu pihak dan hukum di
pihak lain, maka dalam bab ini dapat disimpulkan bahwa
budaya itu bukan hukum, baik hukum secara idealis,
sosiologis, maupun positivistis. Selanjutnya, dalam bab
berikut ini akan diurai konsep budaya hukum dan sekaligus
menegaskan bahwa budaya hukum itu bukan budaya
ditambah hukum.
34
BAB II
BUDAYA HUKUM
II.1 Pengertian
Dalam upaya memahami pengertian Budaya Hukum, akan
lebih mudah jika upaya memahami itu diawali dengan
pertanyaan: selain apa budaya dan hukum itu sebagaimana
dijelaskan pada bab I, juga pertanyaan apa perbedaan
antara Budaya Hukum dengan Kesadaran Hukum.
Pertanyaan tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk
menekankan sebuah awal model penjelasan bahwa budaya
hukum itu bukan budaya ditambah hukum, dan berbeda
pula dengan kesadaran hukum.
Untuk itu, penjelasannya dapat diawali dengan,
misalnya, apakah tujuan hukum itu? Misalnya saja tujuan
hukum dimaksud adalah tertib hukum, apakah tertib hukum
dimaksud merupakan hasil budaya hukum atau kesadaran
hukum. Jawabannya, membutuhkan perenungan bahkan
beberapa sarjana yang membedakan antara budaya hukum
dengan kesadaran hukum, hampir selalu saja jawaban yang
dikemukakan tidak jelas pilahannya.
Hal ini diduga karena penjelasan kedua konsep
tersebut masih tumpang tindih sehingga, kadangkala,
terkesan membingungkan. Kebingungan itu mungkin
terletak pada tidak terpilahnya antara gagasan hukum,
perilaku atau tindakan hukum, dan tertib hukum sebagai
hasilnya, yang keseluruhannya merupakan budaya hukum
atau kesadaran hukum. Jika tertib hukum merupakan
35
produk dari kesadaran hukum, maka apakah secara
otomatis tertib hukum itu juga dapat dikatakan sebagai
produk budaya hukum. Oleh sebab itu, pertanyaan
mendasarnya, apa perbedaan antara budaya hukum dengan
kesadaran hukum tersebut di atas menjadi penting
dikemukakan.
Budaya hukum dan kesadaran hukum sebenarnya
merepresentasikan dua pendekatan metodologi yang
berbeda terhadap kajian realitas hukum. Semula, kedua
konsep tersebut mampu memberikan kesan bahwa
keduanya sejajar namun analisis yang lebih rinci
mengungkapkan bahwa masing-masing konsep memiliki
disiplin yang berbeda, yaitu sosiologi hukum dan
antropologi hukum. Kesadaran hukum yang disebut
terakhir merepresentasikan pendekatan antropologi hukum
dibanding konsep sosiologi budaya hukum yang disebut
pertama.
Perbedaannya muncul tidak hanya dalam tataran
disiplin teori tetapi juga dalam perspektif metodologi.
Bahkan, dapat diasumsikan bahwa kedua konsep
merepresentasikan pengkayaan metodologis dimana
sosiologi hukum telah meneliti untuk mencapai
pemahaman komprehensif apa yang dimaksud hukum,
apabila fokus penelitian utamanya adalah reprentasi sosial
tentang hukum. Ada suatu studi berpretensi bahwa untuk
memahami representasi sosial hukum yang dikemukakan
sosiologi hukum, maka langkah pertama yang dilakukan
adalah harus dimulai dari perpektif etnografi sosial (socio36
ethnograpy perspektif) sebagaimana yang biasa dilakukan
dalam kajian antropologi hukum..
Secara sederhana, dapat dijelaskan bahwa kesadaran
hukum itu lebih menekankan respon seseorang atau
kelompok orang yang tampak dari serangkaian perilaku
atau tindakan hukum setelah dihadapkan pada faktor
ekternal, misal aturan hukum. Respon tersebut bisa saja
menolak, menyimpang, berlawanan atau menerima, atau
sesuai. Respon positif menghasilkan harapan diberlakukan
hukum itu sendiri tercapai, yaitu tertib hukum (order),
tentu sebaliknya (disorder). Lantas, bagaimana dengan
Budaya Hukum ?
Kemudian, untuk mengawali pengertian secara
spesifik tentang Budaya Hukum, terlebih dahulu dijelaskan
terminologi Budaya Hukum. Budaya Hukum terdiri atas
dua kata Budaya dan Hukum, namun bukan berarti
pengertiannya budaya ditambah hukum. Budaya sendiri
berasal dari dua suku kata budhi dan daya, dimana budhi
diartikan sebagai akal baik dan daya diartikan kekuatan
positif. Dengan demikian, budaya dimaknai sebagai
kekuatan fikiran berakal baik atau positif.
Kemudian, hukum umumnya dipahami sebagai
seperangkat aturan atau norma, tertulis maupun tidak
tertulis, yang mengkategorikan tentang perilaku benar atau
salah, kewajiban dan hak. Namun bukan berarti jika
budaya dikaitkan dengan hukum, lantas otomatis
pemahaman terhadap budaya hukum menjadi gagasan
untuk bertindak berdasarkan hukum yang berisikan bobot
37
kategoristik seperti benar - salah, baik - buruk, hak kewajiban.
II.2 Budaya Hukum
Di berbagai tempat dan kesempatan penulis sering ditanya
mahasiswa program doktor ilmu hukum terutama yang
berkenaan dengan pengertian konsep budaya hukum.
Penulis katakan secara sederhana bahwa sejak awal
Lawrence M Friedman (1975) memperkenalkan konsep
legal culture dalam buku The Legal System: A Sosial
Sciences Perspective, konsep itu sering menjadi perdebatan
antara penekun hukum tradisi Americanis dengan Europis,
terutama negeri Jerman.
Sarjana Lawrence M. Friedman memperkenalkan
konsep budaya hukum yang diartikan sebagai sebuah alat
untuk mempertegas fakta bahwa hukum paling baik
dipahami dan digambarkan sebagai sebuah sistem yang
terdiri dari unsur struktur, substansi, dan budaya hukum.
Artinya, hukum (misalnya putusan hakim) dipahami
sebagai sebuah hasil dari proses menyatunya antara unsur
kekuatan-kekuatan sosial (social forces) dan kekuatankekuatan hukum (legal forces) sebagai input, yang
kemudian menghasilkan hukum. Dengan sendirinya produk
hukum yang disebut terakhir merupakan saluran dari
kekuatan-kekuatan sosial dan kekuatan-kekuatan hukum
dimaksud yang akan memiliki dampak ketertiban hukum
masyarakat sebagai outcome.
Umumnya, hukum dipahami sebagai seperangkat
aturan atau norma, tertulis maupun tidak tertulis yang
38
mengkategorikan suatu perilaku benar atau salah,
kewajiban dan hak, namun menurut Friedman pemahaman
demikian ini merupakan gagasan konvensional yang
memberikan atribusi-atribusi terlalu jauh pada tidak ada
keterkaitannya antara hukum dalam buku dengan hukum
dalam praktik. Dalam kajian sosial, sebuah hukum dalam
praktik, Friedman mengadopsi model sebuah sistem,
dimana didalam sistem itu terdapat seperangkat struktur
yang memproses input yang berasal dari sebuah
lingkungan, masuk kedalam proses dan sampai kemana
proses itu mengirimkan input menjadi output. Artinya, ada
input, process, output, yang kemudian akan membentuk
dan mewujudukan tujuan hukum itu sendiri.
Friedman mengidenfikasi tiga sentral komponen
sistem hukum, pertama, kekuatan-kekuatan sosial dan
hukum yang ada sebagai input, dalam beberapa cara,
menekan dan membuat hukum; kedua, hukum itu sendiri,
yaitu struktur dan aturan-aturan sebagai output; dan ketiga,
pengaruh dari hukum pada perilaku di dunia luar
(outcome). Dengan kata lain, dari mana hukum berasal dan
apa saja yang menyertai merupakan kajian sosial terhadap
hukum. Artinya, istilah pertama dan ketiga merupakan
komponen penting dalam kajian sosial tentang hukum.
Pandangan Friedman demikian dijadikan diskusi
panjang mengingat kajian-kajian sosial terhadap hukum di
negeri Amerika Serikat memang kurang mendapat
perhatian cukup dan bahkan terpinggirkan di beberapa
sekolah tinggi hukum dan universitas. Hal ini terjadi karena
39
Friedman telah melakukan kajian dalam sebuah tradisi
yang berakar kuat di negeri-negeri Kontinental Eropa
terutama Jerman. Misalnya saja, Friederich Karl von
Savigny (1831), pada abad ke-19 telah menggambarkan
bahwa hukum dipahami sebagai salah satu perwujudan
suatu jiwa rakyat (volksgeist) yang paling penting dan ia
bergulir terus bersama dalam sebuah budaya rakyat.
Pandangan von Savigny demikian ini merupakan
pandangan yang dianggap menentang adanya kodifikasi
hukum Jerman saat itu. Menurutnya, kodifikasi bukan
merupakan sebuah instrumen yang cocok untuk
pembangunan hukum Jerman pada saat itu mengingat
hukum merupakan produk dari kehidupan rakyat dan
hukum merupakan manifestasi jiwa rakyat. Artinya, hukum
memiliki sumber yang berasal dari kesadaran umum rakyat
masyarakat setempat.
Dengan makna yang sama namun dengan cara yang
berbeda Oliver Wendell Holmes, sebagai seorang juris dan
hakim, pun memiliki pandangan tidak jauh berbeda.
Menurutnya, hukum paling baik dipahami sebagai
dokumen antropologis. Artinya, hukum itu lahir, tumbuh,
dan berkembang melekat pada komunitas-komunitas
masyarakat setempat. Bahkan, dalam karya-karya klasik
sosiologi, seperti Emile Durkheim dan Max Weber juga
menempatkan hukum pada pusat kehidupan sosial daripada
menempatkan ke pinggiran sebagaimana umum terjadi di
Amerika.
40
Kedua sarjana tersebut menganalisa hukum sebagai
sebuah ekspresi kekuatan sosial dalam transformasi
masyarakat modern dan sebagai perangkat saluran untuk
mengembangkan kepekaan sosial. Tentu, gagasan-gagasan
tersebut mendapat tentangan kuat dari kaum positivis yang
memiliki pandangan bahwa hukum paling baik dipahami
sebagai sistem yang otonom, yang secara resmi diberi
sanksi dan secara logika terdiri dari aturan dan prosedur.
Dalam konteks budaya, pengertian budaya hukum
dimaksud dapat diperhalus menjadi seperangkat gagasan,
norma yang menjadi pedoman berucap, berperilaku,
bertindak sesuai dengan yang diharapkan oleh sebagian
besar warga masyarakat setempat. Dengan demikian, bisa
saja gagasan yang diharapkan masyarakat dimaksud berupa
norma yang terkandung dalam hukum adat, hukum agama,
dan hukum negara.
Itu berarti budaya hukum masyarakat merupakan
seperangkat nilai, norma yang terbangun oleh budhi dan
daya warga masyarakat setempat dan telah terinternalisasi
kedalam alam kesadaran (mindset) secara turun temurun
dan berfungsi sebagai pedoman yang menghubungkan
antara peraturan-peraturan hukum pada tataran teori di satu
pihak dan perilaku, tindakan nyata pada tataran praksis di
lain pihak yang diharapkan warga masyarakat. Dengan
demikian, pada titik ini, kesadaran pada tataran individu,
kelompok, bahkan masyarakat, atau biasa disebut
kesadaran hukum masyarakat dapat dibedakan dengan
Budaya Hukum.
41
Pemahaman konsep disebut terakhir lebih berakar
kedalam nilai-nilai normatif bersama yang terlahir dan
terbangun selama proses masyarakat itu sendiri terbentuk
dan terinternalisasi kedalam kehidupan masyarakat
sepanjang perkembangan masyarakat itu sendiri
berlangsung. Artinya, kelahiran suatu budaya hukum
dimaksud berasal dari proses internal selama
perkembangan masyarakat berlangsung, dan selama itu
pula interaksi baik antarwarga maupun antara warga
dengan warga dari luar berlangsung membentuk perilaku
yang semakin mempola dan akhirnya pola tindakan
dimaksud dianggap sebagai yang benar dan dijadikan
pedoman bertindak oleh sebagian besar warga masyarakat.
Dengan demikian, budaya hukum dapat dimaknai sebagai
nilai bersama.
Di Indonesia, budaya hukum dimaksud adalah nilai
normatif bersama yang diperoleh dari keseluruhan budaya
lokal nusantara yang kini disebut bangsa Indonesia.
Budaya bangsa Indonesia dimaksud oleh Soekarno disebut
Pancasila dan diakui sebagai puncak budaya bangsa
Indonesia. Konsekuensi yuridis-logisnya, keseluruhan
produk hukum yang mengatur dinamika kehidupan bangsa
Indonesia seharusnya merupakan aktualisasi prinsip-prinsip
Pancasila. Tentu tidak saja aktualisasi prinsip-prinsip
Pancasila berhenti pada konstitusi dalam pengertian sempit
seperti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
(UUD NRI) 1945, tetapi seperangkat peraturan perundangundangan yang berada di bawahnya mulai dari undang42
undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden,
keputusan presiden hingga peraturan yang paling bawah di
tingkat desa.
Kesemuanya, baik secara vertikal maupun horisontal
merupakan norma yang menindaklanjuti pasal-pasal
konstitusi dan terkontrol oleh nilai Pancasila atau budaya
bangsa sehingga nilai itu dapat kembali atau dikembalikan
ke masing-masing budaya masyarakat Indonesia itu sendiri.
Untuk itu, ketika produk hukum itu diberlakukan akan
diterima seluruh warga nusantara, dan jika tidak diterima
berarti ada kemungkinan ada garis yang terpotong
(disconnection). Oleh sebab itu, dalam konteks politik
hukum, jika ada seperangkat peraturan perundangundangan asal negara kolonial atau dari negara lain akan
diberlakukan, maka paling tidak harus disesuaikan dengan
prinsip-prinsip Pancasila. Demikian pula, aktivitas sosial,
budaya, politik, ekonomi, dan hukum senantiasa dirujukkan
pada prinsip-prinsip Pancasila.
Lebih-lebih era globalisasi dewasa ini yang membuka
ruang terbuka untuk berinteraksi dengan negara lain,
diskusi budaya hukum Asian, terutama Indonesia dewasa
menjadi penting. Pembahasan hal ini amat relevan dengan
gerakan globalisasi mengingat di negara-negara kulturalis
seperti Jepang sendiri yang mendasarkan nilai-nilai
harmonipun tidak sedikit persoalan-persoalan hukum justru
diarahkan ke proses penyelesaian formal yang menghujung
pada hasil kalah dan menang. Pada saat bersamaan, muncul
diskusi lain yang menyatakan bahwa praktik Hukum Barat
43
dikatakan sebagai tak berakar budaya (acultural), “tak asli”
(unnative).
Kemunculan pandangan tak berbudaya atau tak asli
tersebut sebenarnya semakin menampak ketika globalisasi
itu sendiri mulai merambah ke negeri-negeri sedang
berkembang. Bahkan, sejumlah praktisi di negeri
berkembang juga sering mengatakan bahwa menggunakan
budayanya sendiri akan lebih baik dan pas (match)
daripada yang lain untuk menyelesaikan suatu persoalan
karena hukumnya original. Landasan berfikir mereka
adalah lebih baik mendasarkan pada budaya daerah
tempatan dimana persoalan hukum itu terjadi daripada
budaya negara masing-masing individu yang terlibat.
Artinya, Eropa itu bukan Asian, dan sebaliknya Asian
bukan Eropa karena memang ada batas-batas norma jelas.
Friedman menyebutkan bahwa ada tiga unsur yang
mempengaruhi bekerjanya hukum, pertama, struktur;
kedua, substansi; dan ketiga, kultur (budaya). Pertama,
struktur dimaksud adalah seperangkat kelembagaan yang
diciptakan untuk mendorong bekerjanya sistem hukum itu
sendiri. Kedua, substansi dimaksud adalah produk (output)
dari bekerja struktur hukum tadi, dan ketiga, kultur
(budaya) dimaksud adalah seperangkat nilai-nilai yang
terdiri dari kekuatan sosial dan hukum yang dijadikan
sebagai pengikat bekerjanya struktur.
Bekerjanya ketiga unsur tadi merupakan sistem
hukum sebagaimana dimaksud Friedman. Dalam konteks
Indonesia, Pancasila lah yang dimaksud oleh Lawrence M.
44
Friedman13 sebagai inti legal cultural (budaya hukum).
Berdasarkan teori ini, maka Pancasila merupakan nilai-nilai
ke-Indonesia-an yang harus dijadikan input pada
bekerjanya struktur hukum di Indonesia.
Lebih-lebih ketika atribut globalisasi seperti
individualistik, kapitalistik, dan hedonistik semakin
menjalar ke tengah masyarakat Indonesia, maka kita
sebagai bagian masyarakat Indonesia semakin menjadi
sadar bahwa betapa pentingnya budaya lokal, baik lokal
kita maupun lokal mereka. Kemunculan keinginan kuat
kembali ke budaya lokal tidak mungkin dihindari sebagai
paradoksiasi dari globalisasi yang kita terima sendiri, lebihlebih secara politik hukum, nuansa otonomi daerah
semakin bergerak merambah ke lapisan masyarakat bawah.
Tentu, di bawah sana, yaitu masyarakat lokal sebenarnya
telah penuh dengan budaya lokal (micro cultural)
mendesak untuk digunakan sebagai pedoman bertindak.
Misalnya, dalam Budaya Jawa, semangat kebersamaan
(holo bis kuntul baris, gotong royong), budaya
penyelesaian sengketa/konflik (menang tanpa ngasorake),
dan konsensus (berembug).
Kemudian pertanyaannya, apakah isi budaya lokal
itu. Ada tiga tingkatan budaya untuk menjawab isi budaya
lokal dimaksud, yaitu tingkat budaya individual, komunal,
13
Lawrence M. Friedman, 1975. The Legal System. New York: Russell
Sage. Lihat juga Lawrence M. Friedman, 1986. “Legal Culture and
Welfare State”, dalam Gunther Teubner (Ed), Dilemas of Law in the
Welfare State. New York: Walter de Gruyter, hal. 13-27.
45
dan budaya bangsa. Pada tataran pertama, budaya diartikan
sebagai keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai individu dalam
masyarakat. Pada tataran kedua, biasa dijumpai di Negara
Asia, termasuk Indonesia, di mana dalam negara-negara di
lingkungan Asia merupakan negara yang memiliki
masyarakat pluralistik, multikultural yang biasanya
mengakui nilai-nilai mayoritas dan nilai-nilai minoritas
serta seringkali yang terakhir justru diterima sebagai
budaya ideal nasional.
Contoh, selain Indonesia juga negeri Jepang yang
menekankan harmoni dalam hubungan interpersonal,
Ahimsa (anti kekerasan) dalam masyarakat Hindia, dan
konsensus di Indonesia. Pada tataran ketiga, hukum sebagai
budaya suatu bangsa. Pada tingkat ini budaya bangsa lebih
disukai secara resmi dalam bentuk kelembagaan. Namun
dalam praktik politik hukum Indonesia, ada “keterpaksaan
sementara” untuk menggunakan atau meminjam budaya
hukum negeri lain karena negeri itu sendiri belum
membangun hukumnya secara formal. Dalam keadaan
kekosongan hukum demikian itu, dijembatani secara politis
dengan dasar asas hukum bahwa hukum yang lama masih
berlaku sepanjang belum diatur oleh yang baru. Dengan
demikian, kekosongan tidak terjadi.
II.3 Kesadaran Hukum
Konsep lain yang amat berdekatan dengan budaya hukum
adalah kesadaran hukum. Kedua konsep ini digunakan
untuk mengidentifikasi pemahaman dan makna hukum
yang menyelimuti dalam hubungan sosial. Prefix legal
46
dalam legal culture dan legal consciouness mencirikan
suatu aspek yang diasosisiasikan dengan hukum, lembagalembaga hukum, pelaku-pelaku hukum, dan perilaku
hukum.
Perbedaannya, budaya hukum merujuk pada suatu
fenomena derajad besaran (makro atau group) sementara
kesadaran hukum biasanya merujuk pada hubungan sosial
dalam derajad mikro, terutama cara-cara individu
menginterpretasi dan memobolisasi makna hukum dan
tanda-tanda hukum. Dengan kata lain, konsep kesadaran
hukum ini digunakan untuk menyebut secara analitis
terhadap pemahaman dan makna hukum dalam hubungan
sosial. Kesadaran hukum mengacu pada apa yang
dilakukan orang tentang hukum.
Hal ini dipahami sebagai bagian dari proses timbal
balik dimana makna yang diberikan oleh individu untuk
dunia mereka menjadi bermotif, stabil, dan ada unsur
objektifikasi. Makna-makna dimaksud sekali dilembagakan
menjadi bagian dari sistem wacana yang membatasi dan
sekaligus akan dapat menghambat makna-makna yang ada
berikutnya. Kesadaran bukanlah semata-mata sifat tunggal
atau ideasional; kesadaran hukum merupakan jenis praktik
sosial yang mencerminkan dan membentuk struktur sosial.
Ada pemahaman terhadap pengertian kesadaran
hukum. Pertama, kesadaran hukum sebagai sikap, dan
kedua, sebagai epiphenomena sebagaimana disebutkan
Silbey (2001). Pertama, kesadaran sebagai sikap. Sejumlah
akademisi memang mengkonseptualisasikan kesadaran
47
sebagai gagasan dan sikap individu yang menentukan
tentang bentuk dan tekstur kehidupan sosial.
Sebagai ekspresi dari sebuah tradisi liberal dalam
teori hukum dan politik, konsepsi kesadaran menghendaki
bahwa semua kelompok sosial dari berbagai ukuran dan
tipe (keluarga, sejawat, korporasi, komunitas, masyarakat,
dan bangsa) memunculkan kesadaran pada rangkaian
tindakan-tindakan individu. Dalam konsepsi individualis,
kesadaran itu sendiri terdiri dari baik kesadaran yang
dibangun atas dasar alasan maupun keinginan. Menurut
ideologi liberal, variasi manusia yang tak tampak akan
selalu menjamin bahwa manusia akan selalu berkeinginan
terhadap hal-hal berbeda, sekalipun mereka beralasan
sama.
Beberapa sarjana yang meletakkan konsepsi
kesadaran hukum sebagai suatu sikap dimaksud,
diantaranya beberapa peneliti yang berupaya untuk
mendokumentasikan variasi-variasi tersebut kedalam
keyakinan, sikap, dan tindakan-tindakan individu sebagai
alat untuk menjelaskan bentuk pranata hukum dan
serangkaian praktiknya. Beberapa peneliti memang menilai
derajad suatu aturan hukum merupakan bagian dari
sosialisasi dan kebiasaan penduduk. Misalnya saja,
penelitian yang pernah dilakukan oleh Stalans dan Kinsey
(1994). Lainnya, misalnya saja penelitian yang dilakukan
Lind dan Tyler (1998) yang hasilnya menggambarkan
sebuah konsensus normatif mendalam tentang apa yang
48
mereka sebut sebagai keadilan prosedural (procedural
justice).
Kedua, kesadaran hukum sebagai Epiphenomena.
Dalam formulasi lain, sejumlah akademisi menganggap
kesadaran sebagai sebuah produk bekerjanya sebuah
struktur sosial daripada agen-agen formatif dalam
membentuk pranata-pranata. Dalam kajian antropologi
struktural misalnya, menggambarkan pelaku-pelaku sosial
ditempatkan pada jaringan hubungan sosial yang kompleks
yang menentukan persepsi dan tindakan mereka. Senada
dengan hal itu juga, Strukturalis Marxist mengungkapkan
bahwa ide, gagasan, yang mencakup simbol-simbol budaya
dan beragam narasinya itu dipandang sebagai residu
suprastruktural terhadap kondisi-kondisi material yang
melayani kepentingan para elit.
Jika mengikuti perspektif demikian ini, kesadaran
hukum merupakan sebuah epiphenomena mengingat
struktur sosial dan ekonomi tertentu dipahami sebagai
instrumen untuk memproduksi tatanan hukum yang saling
merespon dengan membentuk subyek hukum. Kesadaran
hukum
dalam tradisi
demikian ini seringkali
menggambarkan bagaimana suatu keutuhan produksi
kapitalis dan memproduksi kembali perilaku dan kesadaran
hukum. Kajian-kajian paham strukturalis demikian ini
menekankan pada produksi dan praktik hukum, dan
mengakomodasi kepentingan kelas.
Penelitian-penelitian yang menggunakan perspektif
strukturalis demikian ini umumnya melengkapi dengan
49
tema hubungan antara hukum dan struktur kelembagaan
dengan memberikan rekomendasi bahwa tatanan hukum
yang ada sebenarnya untuk merespon konflik-konflik dan
ketidakkonsistensian yang dilakukan oleh kapitalis dengan
mode of production daripada sebagai instrumen
kepentingan langsung kelas tertentu.
“To legitimize the inconsistencies and irrationalities
born of the contradicitions of the economy. The legal
order constitutes myths, creates institutions of
repression, and tries to harmonize exploitation with
freedom, expropriation with choize, inherently
unequal contractual agreements with an ideology of
free will”14
Artinya, paham di atas menunjukkan perhatiannya
dengan memfokuskan pada legitimasi fungsi hukum.
Penelitiannya menguraikan cara-cara hukum membantu
orang dalam melihat dunianya, urusan pribadi dan
publiknya baik sebagai hak maupun sebagai sifatnya.
Memang ada penganut paham strukturalis dan Marxist
yang berbeda dibanding pengertian terdahulu, misalnya
saja pandangan yang mengatakan bahwa budaya dan
kesadaran merupakan dua unsur yang saling berpatisipasi
aktif dalam memproduksi praktik-praktik material dan
realitas sosial.
14
Chambliss W and Seidman R, 1982. Law, Order, and Power.
Addison-Wesley: Reading Mass, hal. 70.
50
Ada cara lain untuk memahami pengertian kesadaran
hukum, misalnya saja pandangan sarjana bernama van
Schmid yang membedakan pengertian antara “perasaan
hukum” dan “kesadaran hukum”15. Untuk menunjukkan
letak perbedaan antara kedua istilah itu, Sunaryati Hartono
mencoba menjelaskan dengan menggunakan contoh
berikut. Di Sulawesi Selatan misalnya, kasus pembunuhan
akibat pemutusan pertunangan yang menimbulkan malu
keluarga bakal pengantin wanita. Demikian pula di Bali,
seorang ahli waris membunuh orang yang membagibagikan warisan karena ia tidak diberi bagian warisan.
Tindakan membunuh tersebut merupakan reaksi spontan
dan dianggap sebagai instrumen untuk mengembalikan
keseimbangan. Tindakan demikian ini merupakan
representasi “perasaan hukum”.
Namun, apabila hal tersebut dirumuskan dalam
pengertian-pengertian hukum, maka rumusannya menjadi
“penghinaan berat harus ditebus dengan nyawa”. Secara
lebih abstrak lagi dapat dirumuskan, bahwa kesalahan dan
hukuman harus seimbang”16. Menurutnya, kesadaran
hukum merupakan abstraksi yang lebih rasional daripada
perasaan hukum yang hidup di dalam masyarakat.
15
Sunaryati Hartono, 1975. “Peranan Kesadaran Hukum Rakyat Dalam
Pembaharuan Hukum” Kertas kerja pada Symposium Kesadaran
Hukum Masyarakat Dalam Masa Transisi. Jakarta: BPHN – Bina
Cipta, hal. 89-90.
16
Ibid.
51
Dengan kata lain, kesadaran hukum merupakan suatu
pengertian atau konsep sebagai hasil dari cipta para sarjana
hukum. Konsep itu disimpulkan dari pengalaman hidup
sosial atau dikonsepsikan dengan cara penafsiran tertentu17.
Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa kesadaran
hukum itu bukanlah semata-mata sesuatu yang tumbuh
secara spontan dalam hati sanubari masyarakat tetapi ia
juga merupakan sesuatu yang harus dipupuk, disuluh
secara sadar agar dapat tumbuh dalam hati sanubari
masyarakat.18
Serangkaian uraian di atas telah menjelaskan tentang
berbagai pendapat tentang terminologi kesadaran hukum.
Dari uraian itu pula dapat dipahami bahwa konsep
kesadaran hukum itu sendiri juga mengandung unsur nilai
yang sudah dihayati oleh warga masyarakat semenjak lama
dan sudah melembaga. Produk dari proses pelembagaan ini
akhirnya menjadi pedoman yang dipertahankan oleh
masyarakat dan ditanamkan kembali melalui proses
sosialisasi dalam masa-masa berikutnya.
Apa yang dihayati dan dilembagakan itu diwujudkan
dalam bentuk norma, yaitu norma-norma yang menjadi
patokan bagi warga masyarakatnya dalam bertingkah laku.
Jadi, sebenarnya tingkah laku warga masyarakat
mengandung unsur nilai yang sudah lama dihayatinya, dan
17
Ibid.
Von Savigny menjelaskan hal ini dengan mengatakan, ist und wird
dem volke. Uraian yang relatif lengkap tentang pendapat Von Savigny
ini dapat ditemukan dalam Lawrence M. Friedman, Op Cit
52
18
ini pulalah yang mempengaruhi bekerjanya hukum negara
di dalam masyarakat.
Jadi, jelas bahwa kesadaran hukum ini timbul apabila
apa yang akan diwujudkan dalam peraturan hukum itu
sama dengan nilai-nilai yang yang telah tertanam lama
kedalam alam pikiran warga masyarakat. Tentu sebaliknya,
tidak sadar hukum atau tidak patuh terhadap aturan formal
dari Negara amat mungkin disebabkan hukum negara
(modern) tidak merekam kembali norma tingkah laku yang
sudah ada di dalam masyarakat. Pada titik ini, ia justru
menjadi sarana penyalur kebijakan-kebijakan pemerintah
atau kelompok-kelompok kepentingan sehingga terbuka
kemungkinan akan muncul keadaan-keadaan baru untuk
merubah sesuatu yang sudah ada sehingga muncul
ketidakpatuhan tersebut19.
Dalam konteks keilmuan, budaya hukum dan
kesadaran hukum sebenarnya merepresentasikan dua
pendekatan metodologi yang berbeda terhadap kajian
realitas hukum. Semula, kedua konsep tersebut
memunculkan kesan kuat bahwa keduanya sejajar namun
hasil analisis yang lebih rinci mengungkapkan bahwa
masing-masing konsep memiliki disipilin ilmu yang
berbeda, yaitu sosiologi hukum dan antropologi hukum.
Kesadaran hukum yang disebut terakhir merepresentasikan
19
Satjipto Rahardjo, 1979. Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung:
Alumni, hal. 144.
53
pendekatan antropologi hukum dibanding konsep budaya
hukum yang disebut pertama.
Perbedaannya terletak tidak hanya dalam tataran teori
tetapi juga dalam perspektif metodologi. Bahkan, dapat
diasumsikan bahwa kedua konsep merepresentasikan
pengkayaan metodologis dimana sosiologi hukum telah
meneliti untuk mencapai pemahaman komprehensif apa
yang dimaksud hukum, apabila fokus penelitian utamanya
adalah reprentasi sosial tentang hukum. Di sisi lain, ada
suatu studi yang berpretensi bahwa untuk memahami
representasi sosial
tentang hukum sebagaimana
dikemukakan sosiologi hukum, maka langkah pertama
yang dilakukan adalah harus dimulai dari perpektif
etnografi
sosial
(socio-ethnograpy
perspective)
sebagaimana yang biasa dilakukan dalam kajian
antropologi hukum. Selain itu, jika fokus penekanan
penelitian budaya hukum adalah pada cara-cara bagaimana
hukum eksis dalam masyarakat pada umumnya, sementara
kajian kesadaran hukum penekanannya untuk mengungkap
cara-cara dimana hukum dialami dan diinterpretasikan oleh
individu-individu.
II.4 Perilaku Hukum
Penulis menjelaskan dari sudut (angle) lain, yaitu teori
Perilaku Hukum. Perilaku hukum dimaksud ini adalah
tindakan-tindakan warga masyarakat yang sesuai dengan
harapan aturan hukum. Asumsinya, jika tindakan yang
sesuai dengan apa yang dikehendaki aturan hukum, maka
baru disebut ada kesadaran hukum. Artinya, apakah
54
perilaku dan seterusnya itu memang merupakan kesadaran
hukum yang lahir dari materi penyuluhan hukum atau
kemauan warga sendiri dalam menterjemahkan hukum?
Nah, disini yang membedakan kesadaran hukum dan
budaya hukum dimana dalam konteks ini, kesadaran
hukum diartikan sebagai bagaimana harapan hukum itu
menjadi bagian cara hidup (perilaku) masyarakat.
Pada kesempatan ini, untuk memperjelas perbedaan
antara budaya hukum, kesadaran hukum, dan perilaku
hukum, penulis memberi contoh apa yang dilakukan oleh
warga
masyarakat.
Misalnya
saja,
masyarakat
Minangkabau dalam memilih dua hukum yang hidup dalam
masyarakat setempat, hukum Islam dan Hukum Adat. Jika
mereka melakukan niat hajad perkawinan, maka
perkawinan dimaksud merujuk pada hukum Islam, tetapi
jika menyangkut warisan maka mereka akan merujuk pada
Hukum Adat secara otomatis, meskipun dalam Hukum
Islam sendiri mengenal warisan. Ini artinya, dalam konteks
warisan, tindakan (kesadaran hukum)nya merujuk pada
Hukum Adat.
Dalam Hukum Adat dimaksud terdapat pedomanpedoman pembagian warisan yang diyakini benar dan
dipedomani oleh warga masyarakat sebagai hal yang benar
yang merujuk misalnya saja pada pepatah-pepatah.
Sementara dalam kesadaran hukum tidak ditemukan
pepatah-pepatah dimaksud tetapi suatu respon berupa
tindakan-tindakan yang dilakukan secara sadar. Artinya,
penyebutan kesadaran hukum itu, setelah secara kasad
55
inderawi apa yang dilakukan, diucapkan, tindakan atau
perilaku yang ditunjukkan warga sesuai harapan hukum
(Hukum Adat, Hukum Islam, Hukum Negara).
Contoh lain, seorang warga
masyarakat akan
melangsungkan akad pernikahan. Tentu, ia diharapkan
memenuhi ketentuan-ketentuan tertentu, antara lain berupa
persyaratan umur sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Demikian pula, seorang warga
masyarakat yang akan membeli tanah, ia pun diharapkan
memenuhi tindakan-tindakan (baca: ketentuan-ketentuan)
administratif dan yuridis tertentu sebagaimana tercantum
dalam peraturan-teraturan hukum dalam bidang agraria.
Sementara dalam merespon Hukum Negara tersebut,
apakah seseorang akan bertindak sesuai dengan ketentuan
hukum atau tidak, sangat tergantung pada tiga variabel
utama. Variabel-variabel itu antara lain20 (1) apakah
normanya telah disampaikan; (2) apakah normanya serasi
dengan tujuan-tujuan yang diterapkan bagi masyarakat; (3)
apakah warga masyarakat digerakkan oleh motivasi. Suatu
aturan hukum memuat pasal-pasal yang tidak
mengakomodasi ketiga hal tersebut di atas kadangkala
menimbulkan kesulitan sendiri bagi warga masyarakat
yang akan dijadikan sasaran.
Memang yang baik, aturan hukum itu sendiri selain
jelas maknanya, juga susunan kalimat harus jelas. Tentu
20
William J Chambliss & Robert B. Seidman, Op Cit., 1982. Lihat
juga Robert B Seidman, “Law and Development, A. General Model”,
dalam Law and Society Review, Edisi VI Tahun 1972.
56
ketidakjelasan keduanya sering menyebabkan kesulitan
tersendiri bagi petugas penyuluh untuk menterjemahkan ke
bahasa masyarakat. Namun hal ini berbeda jika aturan
hukum itu sendiri lahir dari kehendak hukum masyarakat
atau biasa disebut kebutuhan hukum (legal needs) yang
datang dari masyarakat. Artinya, aturan hukum itu
sebenarnya berisikan harapan hukum sosial (socio-legal
needs). Dengan telah ditangkapnya harapan hukum sosial
itu oleh tenaga penyuluh, maka tiba gilirannya bagi
penyuluh untuk memahami dan menstranfer kedalam
bahasa masyarakat. Ini menjadi penting, karena bahasa
masyarakat akan memudahkan pula kelompok sasaran
mudah memahami dan menerima.
II.5 Penyuluhan Hukum
Teori penyimpangan mengajarkan bahwa para pemegang
peran (warga masyarakat) itu dapat mempunyai motivasi,
baik yang berkehendak untuk menyesuaikan diri dengan
keharusan norma maupun yang berkehendak untuk tidak
menyesuaikan diri dengan keharusan norma. Sementara itu
pemegang peran itu dapat juga mempunyai tingkah laku
yang mungkin sesuai dan mungkin pula tidak sesuai.
Artinya, sebelumnya telah ada upaya-upaya tertentu seperti
sosialisasi peraturan perundang-undangan ke tengah
masyarakat. Misalnya saja dalam bentuk penyuluhan
undang-undang perkawinan dengan tatap muka bersama
warga masyarakat, siaran program-program kebijakan
pemerintah melalui dialog interaktif di stasiun radio atau
televisi.
57
Sosialisasi terus menerus dan berjalan dalam masa
yang lama menjadikan apa yang dikehendaki hukum
semakin terinternalisasi kedalam alam pikir warga
masyarakat. Jika telah mengendap, maka apa yang terendap
itu akan muncul sendiri dikemudian waktu sebagai alat
merespon terhadap apa yang ada di luar dirinya. Dengan
demikian, dilihat dari subyek, predikat dan obyeknya,
maka pembahasan kesadaran hukum sebenarnya juga
cukup kompleks mengingat isinya menyangkut beberapa
komponen penting, yaitu tidak saja siapa penyuluh atau
sumber daya manusia yang akan melakukan penyuluhan,
isi materi aturan hukum, tetapi juga pilihan sasaran
kelompok sosial yang dijadikan sasaran penyuluhan, dan
adanya indikasi kesiapan budaya masyarakat yang akan
menerima isi hukum.
Satu hal yang akan membedakan dengan budaya
hukum adalah satuan kesadarannya yang ada dalam orang
perorang, kelompok orang, dan mungkin masyarakat.
Tentu yang disebut terakhir ini harus dapat diukur dengan
pendekatan kuantitatif. Di dalam Undang-Undang Pokok
Perkawinan misalnya, berusaha merubah tingkah laku
masyarakat dengan memasukkan unsur-unsur baru seperti
melarang perkawinan di bawah umur dan penerapan asas
poligami. Norma yang terkandung dalam alam pikiran
orang dimaksud terakhir ini bukan norma hukum negara
tetapi norma hukum agama yang ia anut dan diyakini
bahwa poligami dan perkawinan di bawah umur
dibenarkan.
58
Penulis lebih condong menggunakan konsep
kepatuhan hukum secara otomatis (legal obedience
automatically) dari pada konsep kesadaran hukum
mengingat sebenarnya dalam proses bekerjanya hukum,
setiap warga masyarakat dipandang sebagai agregat
hukum dan diharapkan mampu bertindak sebagai
“pemegang peran” (role occupant). 21 Sebagai pemegang
peran ia diharapkan oleh hukum untuk memenuhi harapanharapan tertentu sebagaimana dicantumkan di dalam
peraturan-peraturan. Dengan demikian, warga masyarakat
diharapkan untuk memenuhi peran yang tertulis dalam
serangkaian pasal-pasal (role expectation).
Penyuluh (role enforcer). Ketrampilan penyampaian
makna hukum sebenarnya tidak jauh berbeda dengan peran
yang dimainkan oleh seorang komunikator kepada
komunikan sebagaimana yang ada dalam kajian ilmu
komunikasi. Untuk itu, penyuluh hukum itu adalah seorang
komunikator yang bertugas menyampaikan pesan atau
harapan hukum kepada komunikan atau kelompok sasaran.
Kelompok sasaran ini adalah kelompok-kelompok
masyarakat yang diduga belum kuat kesadaran hukumnya
sehingga yang penting dalam penyuluhan adalah ketepatan
memilih kelompok-kelompok sasaran itu.
Penyuluh itu tidak lain adalah tenaga-tenaga manusia
sehingga peningkatan kemampuan sumber daya manusia
21
Chambliss dan Seidman, 1971. Law, Order and Power. Adison
Wesly: Reading Mass.
59
itu sendiri agar professional menjadi penting diperhatikan.
Satu hal penting lagi, penyuluh professional harus lahir
melalui proses pelatihan sehingga ia disebut sebagai
trained legal enforcer. Dengan demikian, syarat kedua ini
ada menyusul setelah dipahami dengan jelas harapan peran
yang ada dalam aturan hukum itu sendiri. Tentu setelah
itu, satu hal yang penting berikutnya adalah kelompokkelompok masyarakat yang akan dijadikan sasaran
penyuluhan.
Kelompok Sasaran (role occupant). Dalam tindakan
penyuluhan hukum, tentu langkahnya harus bertahap dari
mana dan kelompok mana yang harus dipilih untuk lebih
didahulukan. Ini berkaitan dengan langkah sistematis
dimana kelompok sasaran itu akan dijadikan pilot proyek
selain untuk bertugas melakukan penyuluhan berikutnya
baik formal maupun informal melalui contoh-contoh
ucapan dan perilaku mereka yang sesuai dengan harapan
aturan hukum.
Dalam konteks masyarakat Minangkabau misalnya
agak mudah memilih kelompok sasaran yang akan
dijadikan role occupant mengingat disana ada kelompok
tokoh adat, tokoh cerdik pandai, dan tokoh agama. Tentu
kelompok inilah yang didahulukan mengingat mereka lebih
dipercaya akan mampu menyuluh kepada warga
masyarakat luas lewat perilaku dan ucapan yang konsisten.
Satu hal yang penulis pikirkan adalah sasaran ini
sebenarnya bukan hanya masyarakat bawah saja, tetapi
60
juga para pemegang otoritas karena kadangkala justru yang
lapisan atas lupa diperhatikan.
Oleh karena pengaruh berbagai faktor yang bekerja
atas diri orang tersebut sebagai pemegang peran, maka
dapat saja terjadi suatu penyimpangan antara peran yang
diharapkan dan peran yang dilakukan. Itu artinya telah
terjadi ketidaksesuaian antara isi peraturan dan tingkah
laku warga masyarakat. Di sini, ada kemungkinan besar
bahwa warga masyarakat tersebut tetap bertingkah laku
sesuai dengan nilai budaya yang telah lama dikenal dan
dihayatinya.22
Lain halnya, warga masyarakat berpola tingkah laku
yang sesuai dengan kesadaran hukumnya sendiri dan
hukum Negara. Jika hal demikian yang terjadi, maka
peraturan hukum seperti itu jelas tidak akan menimbulkan
masalah
kesadaran
hukum
masyarakat,
karena
sesungguhnya aspek ini sudah sejak semula menyatu
dengan peraturan-peraturan hukum itu sendiri sehingga
sifatnya memperkukuh saja. Ini berarti peraturan hukum
22
Dalam konteks sosiologi modern yang berorientasi empirisme
cenderung berpendapat bahwa kekuatan pokok kontrol sosial itu
terletak pada adanya kaidah-kaidah kelompok yang telah diresapi
masyarakat. Kekuatan kontrol sosial juga terletak pada adanya tekanantekanan psikologis antarsesama warga masyarakat. Itu berarti, kekuatan
utama kontrol sosial bukan terletak pada adanya pasal-pasal peraturan
hukum yang dibuat secara formal dan tertulis. Walaupun, tidak dapat
dipungkiri bahwa bagaimanapun juga peraturan-peraturan hukum
formal dan tertulis itu masih bisa memberikan pengarahan, pengaruh
dan efek-efek kekuatan pada pelaksanaannya
61
itu hanya bersifat memperkokoh nilai-nilai yang telah ada
dan sudah diresapi oleh warga masyarakatnya.23
Uraian di atas menggambarkan bahwa Budaya hukum
merupakan seprangkat nilai normatif yang lahir, tumbuh,
dan berkembang dari hasil interaksi warga masyarakat itu
sendiri, dianggap sebagai yang benar, dan dijadikan
pedoman bertindak sebagian besar warga masyarakat.
Sementara kesadaran hukum lebih merupakan sikap moral
warga masyarakat dalam merespon hukum. Dalam konteks
peningkatan kesadaran hukum, secara teoretik, kegiatan
penyuluhan akan efektif, jika (1) rumusan aturan hukum
mudah dipahami, (2) isi aturan hukum diketahui
masyarakat luas, (3) mobilisasi aturan hukum, (4)
pengakuan masyarakat luas atas aturan hukum, (5) contohcontoh mekanisme dan ketuntasan penyelesaian sengketa
hukum.
23
. Perilaku yang bertentangan dengan hukum itu lebih disebabkan oleh
sikap moral (mores) masyarakat yang tidak sejalan dengan isi peraturan
hukum tersebut. Sikap moral masyarakat itu selalu berada dalam posisi
mendahului dan menjadi penentu bekerjanya hukum. Pendapat
Seidman tersebut menunjukkan bahwa selain sosialisasi dan
sinkronisasi produk hukum, faktor motivasi juga ikut menentukan
tingkah laku seseorang pemegang peran dalam mentaati isi produk
hukum tersebut. Seidman membuat suatu model yang berkamar empat
untuk menunjukkan hubungan antara bentuk tingkah laku dengan
motivasi para memegang peran. Selanjutnya, lihat Robert B Seidman,
“Law and Development, A. General Model”, dalam Law and Society
Review, Edisi VI tahun 1972.
62
BAB III
BUDAYA HUKUM DAN SISTEM HUKUM
PERSPEKTIF PERBANDINGAN
III.1 Budaya Hukum Indonesia
Banyak negara yang sekarang ini diposisikan sebagai
negara berkembang oleh peta kekuatan ekonomi dunia,
misalnya, negara-negara di sepanjang Amerika Latin,
Afrika, Asia, dan Asian sendiri. Negara yang termasuk di
negara-negara Asian itu, misalnya, Malaysia, Thailand,
Brunei, Philipina, Vietnam, Kamboja, dan Indonesia
sendiri.
Negara-negara tersebut merupakan Negara Kolonisasi
negara Eropa yang telah lama mencengkeramkan koloninya
termasuk memaksakan hukumnya kedalam masyarakat
yang kemudian ketika mencapai kemerdekaan belum
mampu bangkit membentuk sistem hukumnya sendiri,
bahkan hingga sekarang. Tentu, yang terjadi ketika warga
masyarakat mulai bergerak membentuk negara sendiri yang
dibutuhkan seperangat hukum yang digunakan sebagai
perangkat hukum dan politik agar roda pemerintahan
berjalan dengan baik sesuai dengan harapan hukum
masyarakat itu sendiri.
Setidak-tidaknya kitab undang-undang Hukum dari
negera kolonial yang dipakai dengan cara meminjam, suatu
peminjaman yang dilindungi oleh asas hukum bahwa
selama hukum baru belum terbentuk hukum lama
63
digunakan. Peminjaman hukum asing ini secara akademis
menjadi masalah mengingat hukum yang dipinjam itu lahir
dari budaya masyarakat berbeda dan berbeda pula sejarah
kelahirannya. Misalnya, masyarakat Prancis, Belanda yang
kapitalis tentu yang dibutuhkan adalah hukum kapitalis,
ekonomi kapitalis yang dibutuhkan hukum kapitalis,
ekonomi sosialis yang dibutuhkan hukum sosialis,
masyarakat modern yang dibutuhkan hukum modern.
Untuk mengatasi hal ini memang cara yang paling mudah
adalah meminjam dari negara yang pernah mengkolonisasi.
Di Indonesia, seperangkat peraturan perundangundangan asal negara kolonial disesuaikan dengan prinsipprinsip Pancasila, diharapkan aktivitas sosial, budaya,
politik, ekonomi, dan hukumnya dirujukkan pada prinsipprinsip Pancasila yang diakui sebagai budaya bangsa dan
merupakan kristalisasi dari keseluruhan budaya lokal dari
seluruh nusantara yang kini disebut bangsa Indonesia.
Dengan Pancasila itu, keseluruhan produk hukum
merupakan turunan dari prinsip-prinsip Pancasila, tentu
tidak saja berhenti pada konstitusi seperti Undang-Undang
Dasar 1945, tetapi seperangkat peraturan perundangundangan mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah,
peraturan presiden, keputusan presiden hingga peraturan
yang paling bawah di tingkat desa.
Semua itu merupakan norma yang menindaklanjuti
pasal-pasal konstitusi dan terkontrol oleh nilai Pancasila
atau budaya bangsa sehingga nilai itu dapat kembali atau
dikembalikan ke masing-masing budaya masyarakat
64
Indonesia itu sendiri dan diterima seluruh warga Nusantara.
Dengan cara demikian, bentuk budaya hukum yang lebih
disukai secara resmi adalah dalam bentuk kelembagaan dan
memang selalu menunjukkan bahwa budaya bergerak
antara dua tataran sedang dibentuk dan dibentuk kembali
oleh individual maupun oleh negara.
Satu hal yang perlu dicermati adalah tidak semua
produk hukum negara yang disusun berdasarkan prosedur
baku dapat dilaksanakan atau dapat diterapkan pada satu
persoalan hukum kongkrit yang terjadi di daerah-daerah
yang memang karakter budaya hukum lokalnya amat
kental, seperti konflik sumber daya alam dan sengketa
tanah yang sering terjadi di dalam Masyarakat
Minangkabau, Sumatera Barat.
Demikian pula, produk hukum yang sumbernya dari
negeri Eropa seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD) yang sebenarnya di negeri Belanda sendiri juga
telah mengalami perubahan-perubahan sedemikian rupa
untuk menyesuaikan perkembangan dan kebutuhan hukum
masyarakat setempat.
Hal lain yang juga lebih menggelikan lagi ketika
kasus-kasus hukum kongkrit yang dilakukan oleh orang
Indonesia, lokasi kejadiannya juga di wilayah Indonesia,
namun prosedur penyelesaiannya dan dasar-dasar hukum
yang digunakan sebagai pertimbangan untuk menghukum
atas dasar hukum yang bersumber dari negeri Kontinental.
65
Oleh sebab itu, beberapa kasus hukum kongkrit, misalnya
penghinaan terhadap Presiden sudah tidak tepat lagi jika
digunakan pasal-pasal KUHP yang sebenarnya substansi
pasal-pasal dimaksud memiliki akar budaya yang sejak
semula ditujukan untuk melindungi Sang Ratu dalam suatu
kerajaan. Makna demikian dapat ditangkap dari asal usul
KUHP sebagai terjemahan Strafsrecht itu berlaku berasal
dari negeri Belanda.
Artinya, Ratu berbeda dengan Presiden, negerinya
pun berbeda di mana yang satu berupa Kerajaan-Monarchi
dan yang lain Negara Kesatuan Republik. Demikian pula,
pola pemilihan hingga yang dimaksud menjadi pucuk
pimpinan, yang satu atas dasar keturunan menurut tatanan
budaya, sementara yang lain menurut dasar-dasar
demokratis menurut tatanan politis.
Jika dalam kasus penghinaan termasuk misalnya,
hakim berketetapan menerapkan pasal-pasal KUHP maka
sebenarnya secara akademis hal itu tidak logis. Tentu, yang
logis adalah sejumlah pasal-pasal dalam kitab-kitab tersebut
diatas isinya disesuaikan dengan kondisi budaya bangsa
Indonesia sehingga substansinya dapat diharapkan
menyentuh dan akhirnya mendekati keadilan masyarakat
Indonesia. Tentu sebaliknya, jika tidak dilakukan akan
menambah deretan daftar panjang perkara hukum yang
antri untuk diselesaikan baik dalam proses peradilan umum
maupun diajukannya ke Mahkamah Konstitusi Indonesia
untuk dilakukan judicial review.
66
III.2 Budaya Hukum Asian
Mengapa diskusi budaya hukum Asian dewasa ini menjadi
penting. Ini merupakan pertanyaan yang amat relevan
dengan gerakan globalisasi sekarang mengingat di negaranegara kulturalis seperti Jepang sendiri yang mendasarkan
nilai harmoni namun tidak sedikit persoalan-persoalan
hukum justru diarahkan ke proses penyelesaian formal.
Sementara pada saat bersamaan, muncul diskusi lain yang
menyatakan bahwa praktik hukum barat seperti dikatakan
sebagai tak berakar budaya (acultural), “takasli” (unnative).
Ketika atribut globalisasi seperti individualistik,
kapitalistik, dan hedonistik semakin menjalar dan sebagian
mengalami kegagalan, maka kita semakin menjadi sadar
bahwa betapa pentingnya budaya lokal baik lokal kita
maupun lokal mereka. Kemunculan keinginan kuat kembali
ke budaya lokal tersebut tidak mungkin dihindari sebagai
paradoksi dari globalisasi yang diterima sendiri, lebih-lebih
secara politik hukum, nuansa otonomi daerah semakin
bergerak merambah ke bawah, dimana di bawah sana, yaitu
masyarakat lokal sebenarnya telah hidup dan penuh dengan
budaya lokal (micro cultural).
Kemudian pertanyaannya adalah apakah isi budaya
lokal itu. Ada tiga tataran budaya untuk menjawabnya,
yaitu tataran budaya individual, komunal, dan budaya
bangsa. Pada tataran pertama, budaya diartikan sebagai
keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai individu dalam
masyarakat. Ini seringkali amat kontras dengan nilai-nilai
Asia yang bermasyarakat multikulural seperti Brunei,
67
Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Indonesia sendiri.
Tentu, budaya individual ini tidak sertamerta cocok ketika
membicarakan penyelesaian konflik atau sengketa dengan
budaya-budaya negara lain tersebut. Oleh sebab itu,
hubungan dengan suatu negara yang memiliki budaya
berbeda perlu pemahaman perbedaan budaya bangsa yang
menjadi tuan rumah budaya (host cultural).
Pada tataran kedua, biasa dijumpai di Negara Asia di
mana dalam negara-negara di lingkungan Asia merupakan
negara yang memiliki masyarakat pluralistik, multikultural
yang biasanya mengakui nilai-nilai mayoritas di atas nilainilai minoritas dan seringkali diterima sebagai budaya ideal
nasional, misalnya seperti disebut di atas, Jepang
menekankan hubungan interpersonal yang harmoni,
Konfusian di Korea, nilai Budhis di Thailand, dan
konsensus di Indonesia.
Seperti diatas, pertanyaannya adalah apakah
pentingnya membicarakan budaya suatu bangsa, terutama
budaya hukum Asian. Kemunculannya sebenarnya semakin
menampak ketika globalisasi itu sendiri mulai merambah
ke negeri-negeri sedang berkembang sehingga sejumlah
praktisi sering mengatakan bahwa menggunakan
budayanya sendiri akan lebih baik dan pas daripada yang
lain untuk menyelesaikan suatu persoalan karena hukumnya
original. Landasan berfikir mereka adalah lebih baik
mendasarkan pada budaya daerah tempatan daripada
budaya negara masing-masing individu yang terlibat.
68
Artinya, Eropa itu bukan Asian, dan sebaliknya Asian
bukan Eropa karena memang ada batas-batas norma jelas.
Sumber Budaya Hukum
3.
No
1.
Budaya Hukum
Sistem Civil Law
2.
Sistem Common
Law
Negara
Indonesia
Taiwan
Korea
Japan
Pilipina
Warisan Hukum
Belanda
Jepang
Jerman
Jerman
Perancis
Amerika Serikat
Inggris
India
Pakistan
Malaysia
Brunei
Singapura
Pilipina
Hongkong
Australia
New Zealand
Pengaruh Hukum Pakistan
Timur Tengah
Islam
Malaysia
Indonesia
Brunei
4.
Sistem Hukum
RR Cina
Perancis
Sosialis
Vietnam
Perancis
Laos
Perancis
Cambojia
Mongolia
Sumber: Veronica Taylor and Michael Pryles, 1997
69
Namun dalam praktik politik hukum, ada
keterpaksaan penggunaan atau peminjaman budaya hukum
negeri lain sebagai akibat dari riwayat kolonialisasi negaranegara lain di negeri Asian, sementara negeri itu sendiri
belum membangun hukumnya secara formal. Dalam
keadaan kekosongan hukum demikian, dijembatani dengan
dasar asas hukum bahwa hukum yang lama masih berlaku
sepanjang belum diatur oleh yang baru.
III.3 Budaya Hukum Modern
Perubahan-perubahan dalam teori dasar tentang legitimasi
ternyata telah memiliki akibat luas dalam masyarakat.
Sikap-sikap dan gagasan baru merupakan hal penting ketika
mereka mengarah pada perilaku berbeda. Teori-teori
legitimasi ternyata telah merubah pola-pola kepatuhan dan
ketidakpatuhan. Dalam masyarakat tradisional misalnya,
orang mengikuti aturan biasa disebabkan karena kebiasaan
atau kepercayaan, sementara dalam masyarakat modern
memunculkan budaya hukum modern pula, dimana
kepercayaan dimaksud semakin menipis dan sanksi-sanksi
diterapkan untuk menjamin telah dipenuhi suatu tuntutan.
Pertanyaannya hampir sama dengan apa isi budaya
lokal itu atau apa isi budaya hukum itu. Dengan demikian,
jika kerangka pemikiran ini digunakan untuk menganalisis
fenomena hukum seperti korupsi misalnya, maka
sebenarnya perilaku korupsi amat berkaitan dengan budaya
masyarakat di mana korupsi itu terjadi atau amat berkaitan
dengan budaya hukum dari mana pelaku korupsi itu
dilahirkan, tentu demikian pula penyelesaiannya. Korupsi
70
itu amat beragam cara penyelesainnya sesuai budaya dari
masyarakat satu ke masyarakat lain, korupsi yang terjadi di
Amerika berbeda dengan Indonesia.
Dalam negeri Amerika sendiri korupsi yang terjadi
antara Negara Bagian satu berbeda dengan Negara Bagian
lain. Korupsi yang terjadi di Inggris juga di Negara Eropa
lainnya namun amat sedikit jumlahnya dibanding di
Amerika. Tentu ini berbeda pula dengan di negara-negara
berkembang seperti Indonesia, kondisi negara-negara
berkembang umumnya amat berbeda meskipun demikian
ada kecenderungan sama, yaitu setidak-tidaknya pada saat
ini masih cukup terbuka akan terjadi praktik-praktik kolusi,
korupsi, dan nepotisme.
III.4. Budaya Hukum Individual dan Komunal
III.4.a Budaya Hukum Individual
Untuk menjelaskan kelahiran budaya individualisme
dimaksud, salah satu diantaranya adalah dapat dimulai dari
sebuah asumsi hedonisme3, yang diartikan sebagai faham
untuk mencapai kekayaan, kekuatan, ketenaran, dan
kekuasaan. Tentu, gambaran paling nyata yang perlu
dikaitkan dengan itu adalah apa yang telah dilakukan oleh
3
Ini merupakan salah satu filasafat hidup yang dianut dalam kekuatan
global dari 4 (empat) kekuatan lainnya, yaitu individualisme,
sekularisme, dan tentu hedonisme itu sendiri. Filosofi pelaksanaannya
pun berlainan, yatu rasional ekonomis (tepat guna), rasional teknis
(terukur), sportif, bersaing, perhitungan logis kausal dalam menghadapi
persoalan nyata. Selanjutnya lihat Koesnoe,1997, hal. 137-138
71
orang Barat yang memang selama ini membuktikan dan
sejarah yang mereka bangun menampilkan fakta bahwa
sejumlah negara di luar kawasan mereka dijadikan daerah
koloni mereka.
Keberadaan mereka di negeri luar itu dan kedatangan
orang berbeda asal kelahiran, bahasa, dan seterusnya di
daerah sama menjadikan diantara mereka dengan tidak
disadari membentuk budaya kompetisi dengan tujuan untuk
menyelamatkan pribadi orang masing-masing sehingga
melahirkan karakter keindividualan. Sehubungan itu,
pengertian individualsime dapat ditelusuri ke belakang
dengan merujuk pada perspektif perantauan orang Barat.
Sejarah perantauan orang Barat telah menjelaskan
bahwa menyusul benua Amerika ditemukan oleh Columbus
pada abad ke XV, orang Eropa Barat datang ke benua baru
tersebut. Dengan temuan historis seperti itu, dapat
dibayangkan surut ke belakang pada abad tersebut bahwa
kedatangan mereka, orang Barat, sudah tentu dengan tanpa
diiringi jiwa nekad untuk berpetualang dan keberanian
untuk menanggung resiko tinggi dalam diri masing-masing,
tentu tidak mungkin dan mustahil berhasil mengingat
serangkaian resiko mengancam berada di depan mereka.
Kemustahilan inilah menjadikan resiko tinggi ada di
depan mata dan di pundak mereka yang saat itu tidak akan
mudah berbagi resiko sepenuhnya dengan orang lain. Latar
belakang petualangan beresiko tinggi yang ditanggung
orang perseorangan ini melahirkan apa yang biasa disebut
orang sebagai faham individual, atau individualisme
72
(individualism).4 Di sana, pengertiannya dikembalikan ke
belakang bahwa individualisme memandang manusia
sebagai individu bebas untuk hidup dan bertanggung jawab
atas kehidupannya sehingga penekanannya adalah
pemenuhan kebebasan individu ketimbang kebebasan sosial
Saat itu, dengan faham demikian mereka berpetualang
mengarungi laut dan menerabas batas-batas geografis benua
dan negara seraya disertai harapan akan muncul perbaikan
kehidupan mereka di dunia lain. Artinya, petualangan itu
dilakukan secara sangat sengaja dengan tujuan menjadikan
hidup mereka serba bergelimang atau setidak-tidaknya
berkecukupan materi.
Fanatisme perjuangan demikian melahirkan sebuah
pandangan penting berikutnya, bahwa tujuan hidup di dunia
tidak lain adalah mencari kehidupan bergelimang materi,
kenikmatan, serta kebahagiaan. Faham yang menekankan
pada bergelimang materi, kenikmatan, dan kebahagiaan ini
biasa disebut materialisme (materialism). Faham ini
memacu mereka untuk melakukan tindakan strategis dan
langkah-langkah nyata dengan perjuangan keras dan matimatian untuk memperoleh harta kekayaan dalam jumlah
sebanyak-banyaknya.
Di Dunia Barat, alat untuk merealisasi isme-isme tadi
adalah penguasaan teknologi desain (engineering) di
4
Pengertian yang memperlihatkan bahwa orang atau sekelompok orang
ingin memperbaiki kehidupan di dunia dengan keberanian menanggung
resiko ini berbeda dengan apa yang disebutkan oleh Rafael Maran,
2001. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Rineka Cipta, hal. 2-3
73
berbagai bidang. Apa yang kita lihat, ternyata penguasaan
itu telah mewujud menjadi kenyataan, sebagaimana tampak
pada bangsa Amerika dan Eropa saat ini. Dalam suasana
keindividualismean ini, persaingan ketat menjadi unsur
penentu dalam hedonisme sehingga siapa saja yang berhasil
dalam persaingan baik secara orang perseorangan maupun
kolektif, ia menjadi kaya, kekayaan menjadikan kuat,
kekuatan membawa kekuasaan. Inilah sebagian yang
dikehendaki hedonisme ala orang Barat.
Namun, dibalik kesuksesan itu, ada suatu hal yang
perlu dicatat bahwa itu semua telah memunculkan rasa
khawatir, was-was, cemas, dan gelisah terhadap kekayaan
materiil, kejayaan, kekuatan, kekuasaan, dan ketenaran
yang telah diperoleh akan terancam berkurang, hilang,
bahkan punah baik pada masa kini maupun pada masa
mendatang. Kerasaan was, khawatir menjadikan mereka
tidak mudah begitu saja untk percaya orang lain meskipun
orang lain dimaksud telah mempunyai sejarah panjang
tentang bagaimana meyakinkan orang lain berdasarkan
budayanya.
Mereka amat berkeinginan untuk memastikan apa
yang dikatakan dan apa yang orang lain katakana benar,
ditaati, dipatuhi dengan disilin sehingga kepastian
menjadikan unsur penting dalam berinteraksi, untuk
mencapai kepastian sudah tentu bukti tertulis sehingga
hukum tertulis (ipso jure), terkodifiksasi, dan seterusnya
menjadi unsur penting berikutnya.
74
Berkaitan dengan ini, tampaknya tidak cukup sekedar
invidual, kepastian, tertulis, masih ada keunggulan yang
dikejar yaitu bagaimana mengamankan apa yang telah
mereka peroleh. Untuk itu bagi orang Barat pilihan
keamanan berteknologi tinggi (high-techno security)
menjadi faktor penentu dalam upaya menjaga keutuhan apa
yang telah diperoleh dan mengamankan praktik realisasi
faham-faham yang dimaksud di kemudian hari.
Artinya, faktor keamanan berteknologi tinggi menjadi
fokus berikutnya. Untuk itu, upaya penciptaan alat mesin
berteknologi canggih, modern, efektif, dan efisien untuk
menjaga serta mengamankan apa yang telah digapai segera
diwujudkan. Semua ini telah dihasilkan dan kini terus
menerus dikembangmajukan, yang intinya untuk
menggapai dan mengamankan kemakmuran ekonomi,
kesejahteraan, dan kebahagiaan secara berkesinambungan.
Prinsip yang dibawa serta dalam filsafat yang
dimaksud adalah menggerakkan masyarakat di seluruh
dunia untuk menerima sebuah proses menuju kearah
kemajuan materiil yang luar biasa. Ke seluruh dunia,
memang, kita lihat saja sejarah globalisasi itu sendiri.
Secara substansial, ada kekuatan yang mengglobalkan suatu
ide beserta hasil-hasilnya dalam kehidupan materi untuk
umat manusia yang hidup di muka bumi ini, yang pada
dasarnya adalah ide materi tersebut harus ada dimanamana.
Hanya saja dalam pelaksanaannya memang awalnya
tidak begitu gigih. Pelaksanaan semakin gigih terjadi ketika
75
para petualang Eropa Barat berupaya mencari dan
menemukan negeri-negeri di luar Eropa untuk dikuasi dan
diambil kekayaannya. Petualangan itu sendiri diawali sejak
abad Ke XIV dan di dalam perjalanan abad tersebut hingga
sekarang, dan era kini mengalami bentuk-bentuk non fisik.
Dengan demikian, petualangan awal yang sangat
berkesan adalah ketika seorang Columbus abab Ke XV,
tentu ia tidak sendirian, menemukan benua Amerika.
Penemuan Benua Amerika oleh orang-orang Eropa
pimpinan Columbus ini membawa gerakan besar orang
Eropa ke Amerika. Amerika menjadi sesuatu yang sangat
menarik mengingat pada saat itu hasil petualanagn di
Amerika itu sendiri benar-benar dapat memenuhi harapan
yang didambakan oleh orang banyak, terutama dari
kalangan mereka sendiri.
Para petualang dari Eropa yang berdatangan ke benua
Amerika saat itu, bukan sembarang petualangan karena
petualangannya itu keberanian dan tekad bulat. Tentu, jika
tidak disertai keberanian total atau tekad yang bulat tentu
tidak akan berhasil. Mereka berani menanggung resiko
tinggi dan karena resiko terlalu tinggi itulah tidak mudah
berbagi resiko dimaksud dengan orang lain. Inilah diduga
awal mula lahir kejiwaan perseorangan sehingga seseorang
menganut faham individualisme.
III.4.b Budaya Hukum Komunal
Budaya hukum individual tentu berbeda dengan
budaya hukum komunal. Budaya yang disebut pertama
memandang manusia sebagai individu bebas untuk hidup
76
dan bertanggung jawab atas kehidupan orang perorangan
sehingga penekanannya adalah pemenuhan kebebasan
individu, namun budaya yang disebut kedua menekankan
sebaliknya pada kebersamaan. Kebersamaan dimaksud
hidup dalam masyarakat komunal dan dalam masyarakat
komunal, sebenarnya, sudah memiliki suatu tata kelola
sosial atau masyarakat yang mampu merumuskan jalan
keluar dari persoalan-persoalan yang mereka hadapi
bersama dan sekaligus mampu mencari jalan keluar secara
bersama pula.
Dalam konteks Indonesia, budaya hukum komunal,
misalnya budaya menjunjung tinggi kebersamaan, itu lahir,
hidup, dan berkembang dalam masyarakat yang memiliki
struktur komunal sebagaimana tampak pada praktik gotongroyong yang masih hidup di seluruh pelosok pedesaan
nusantara. Artinya, kebersamaan itu sejatinya merupakan
kepribadian bangsa Indonesia. Berdasarkan kepribadian
bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai
gotong-royong, kebersamaan, dan kekeluargaan, maka
dibentuk negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Secara sosiologis, inti dari kebersamaan itu adalah
partisipasi sosial. Namun partisipasi sosial tersebut tidak
hanya dimaknai sebagai partisipasi aktif dalam pemilihan
wakil rakyat atau sekedar partisipasi prosedural seperti
dalam praktik politik, tetapi partisipasi sosial yang memiliki
budaya atau kebersamaan berdasarkan kearifan-kearifan
lokal masyarakat setempat sebagaimana yang akan diurai
dalam Bab VI di bawah ini.
77
III.5 Sistem Hukum
Dalam pengertian umum, kata "sistem" berarti suatu
kesatuan yang terdiri atas bagian-bagian atau unsur-unsur,
dimana unsur satu dengan unsur lain saling berhubungan
secara fungsional. Secara teoretik, masing-masing unsur itu
terdiri dari subsistem-subsistem yang masing-masing
subsistem terdiri dari unsur-unsur yang satu sama lain juga
berhubungan secara fungsional. Dalam konteks hukum,
Lawrence M. Friedman menyebutkan bahwa hukum paling
baik dipahami sebagai suatu sistem hukum, yaitu sebuah
sistem yang terdiri dari tiga unsur, yaitu struktur, substansi,
dan budaya24.
Pertama, struktur dimaksud adalah seperangkat
kelembagaan yang diciptakan dalam kerangka sistem yang
ada untuk mendorong bekerjanya sistem hukum itu sendiri.
Kedua, substansi dimaksud adalah produk (output) dari
bekerjanya sistem hukum dimaksud tadi, yaitu hukum itu
sendiri; dan ketiga, budaya dimaksud adalah nilai-nilai,
yang oleh Friedman disebut sebagai keseluruhan kekuatan
sosial (social forces) dan keseluruhan kekuatan hukum
(legal forces) yang dijadikan bahan masukan (input) ke
sebuah proses bekerjanya struktur dan sebagai pengikat
bekerjanya struktur itu sekaligus dapat digunakan sebagai
pemetaan budaya hukum satu di antara budaya hukumbudaya hukum lain. Friedman sendiri menganggap bahwa
24
Friedman, M. Lawrence., 1975. The Legal System. New York:
Russell Sage Foundation.
78
unsur-unsur dari suatu sistem hukum tersebut pada
dasarnya menentukan bagaimana hukum dibentuk,
dilaksanakan, dan difungsikan untuk mencapai tujuannya.
Dalam konteks hukum yang berlaku di seluruh dunia,
ada dua sistem hukum utama. Secara umum, berbagai
referensi menunjukkan bahwa sistem hukum utama
(mainstream) yang ada di dunia ada dua jenis:25 (1) Sistem
hukum Common Law atau Common Law System yang
dianut oleh negara-negara Anglosakson, seperti Amerika
Serikat, Inggris, Australia, dan sebagian besar negara
negara persemakmuran. (2) Sistem hukum Eropa
Kontinental atau Civil Law System yang dianut oleh negaranegara Eropa Daratan, seperti Belanda, Prancis. termasuk
Indonesia.
Keberlakuan sistem hukum Eropa Kontinental di
Indonesia karena ketergantungan pada Asas Konkordansi,
dimana Indonesia pernah dijajah oleh Belanda sehingga
sistem hukum Belanda berdasarkan asas konkordansi
tersebut dianut oleh Indonesia setelah merdeka. Namun
demikian, menyusul dinamika kehidupan sosial, budaya,
dan politik ketatanegaraan dan ketatapemerintahan
Indonesia berkembang sedemikian rupa sehingga sistem
hukum Indonesia mengalami perkembangan yang tidak
sepenuhnya terikat pada Sistem Eropa Kontinental,
sebagaimana telah dijelaskan pada bab Resepsi Budaya
25
Bogdan, Michael., 2010. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum
(terjemahan Derta Srie Widowatie). Bandung: Nusa Media.
79
Hukum Barat. Bahkan, beberapa komponen sistem hukum
Common Law diresepsi ke dalam sistem hukum Indonesia,
baik pada sub-sistem peraturan maupun pada sub-sistem
peradilannya.
Kedua sistem hukum dan sistem peradilan di atas,
meskipun memiliki perbedaan-perbedaan, tetapi secara
umum ada persamaannya, antara lain keduanya tetap
mengenal adanya pemisahan kekuasaan dari semua
lembaga-lembaga negara, sebagaimana dimaksud dalam
teori pemisahan kekuasaan. Demikian pula, ada pemisahan
kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan tersendiri di luar
kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Namun
demikian, ada pula perbedaannya terutama pada sub-sistem
peraturan sebagai berikut:
(1) Pada sistem hukum Common Law, pada umumnya
didominasi oleh hukum tidak tertulis (asas stare
decisis) melalui putusan hakim, sedangkan pada
sistem hukum Eropa Kontinental didominasi oleh
hukum tertulis (kodifikasi).
(2) Pada sistem hukum Common Law, tidak ada
pemisahan yang jelas dan tegas antara hukum
publik dengan hukum privat, sedangkan pada sistem
hukum Eropa Kontinental, ada pemisahan yang
jelas dan tegas antara hukum publik dengan hukum
privat.
Perbedaan sistem hukum dan peraturannya tersebut
merupakan konsekuensi logis dari keberadaan sistem
hukum itu sendiri. Oleh karena sistem hukum sebagai
80
rangkaian peraturan-peraturan hukum yang disusun secara
sistemik berdasarkan asas-asas hukum terkait, memiliki
perbedaan-perbedaan yang muncul akibat dari pemahaman
hukum yang didasarkan pada budaya hukum bangsa
dimana hukum itu dijalankan. Friedman sendiri seperti
dikemukakan di atas mengemukakan salah satu unsur dari
suatu sistem hukum, yaitu the legal culture atau budaya
hukum sebagai salah satu penggerak bagaimana sistem
hukum berfungsi. Budaya hukum dimaksud berupa
seperangkat nilai-nilai yang ada hubungannya dengan
hukum dan yang memberikan isi sekaligus pengikat
bekerjanya struktur.
Berdasarkan pada dua jenis sistem hukum yang
dominan di dunia seperti dikemukakan di atas, sistem
peradilanpun terdiri pula atas dua jenis yang mengikuti
sistem hukumnya, sebagai berikut:
III.5a Sistem Peradilan Common Law
Sistem peradilan Common Law menganut sistem
peradilan juri, di mana hakim bertindak sebagai pejabat
yang memeriksa dan memutuskan apa hukumnya,
sementara juri memeriksa peristiwa atau kasusnya
kemudian menentukan bersalah-tidaknya terdakwa atau
pihak yang berperkara. Di sini hakim diikat oleh suatu asas
stare decisis atau the binding force of precedent. Artinya,
putusan hakim terdahulu mengikat hakim-hakim lain untuk
mengikutinya pada perkara yang sejenis. Sistem peradilan
juri ini sebagai manifestasi dari pemikiran bahwa peradilan
merupakan tugas dan tanggung jawab rakyat.
81
Hakim pada negara yang menganut sistem hukum
Anglo Sakson atau Common Law menggunakan metode
berpikir metode induktif, yaitu proses berpikir dari yang
khusus berupa kasus-kasus riil ke yang tataran umum.
Mereka mendasarkan putusannya pada kasus in-konkreto
(kasus-kasus nyata, riil) yang berlaku khusus kemudian
diangkat menjadi aturan umum yang akan berlaku sebagai
preseden bagi hakim lain pada perkara sejenis berikutnya.
Esensi dari asas the binding of precedent bagi hakim
adalah kecermatan, ketelitian, kecepatan, ketepatan, dan
ketrampilan hakim dalam mengambil suatu putusan dan
menerapkan suatu aturan hukum atas kasus kongkrit. Asas
ini merupakan kewajiban utama bagi seorang hakim, yaitu
kewajiban tradisional hakim untuk memberikan keadilan
bagi pihak-pihak yang berperkara dengan mencarikan
aturan hukum yang relevan melalui Binding Precedent.
Kelihatan sekali bagaimana maksud penggunaan asas
preseden, yaitu untuk mempercepat putusan hakim sebab
dasar untuk memutus pada perkara yang sama telah ada
sebelumnya. Metode yang digunakan dalam menilai fakta
kasus, adalah analogi
yang membandingkan antara
peristiwa-peristiwa yang sejenis, atau mempersamakan
suatu peristiwa yang sejenis. Preseden ini berbentuk
sebagai suatu lembaga, yaitu terdiri atas sebagian besar
hukum yang tidak tertulis (ius non scriptum) melalui
putusan-putusan hakim. Namun, putusan ini hanya diakui
apabila dihasilkan dari suatu proses peradilan. Artinya,
hanya putusan pengadilan yang diakui sebagai hukum.
82
Kadangkala putusan hakim sudah disampaikan,
namun masih ada pernyataan hakim yang disampaikan di
luar putusan dimaksud. Pernyataan hakim yang tertuang di
dalam putusannya biasa disebut ratio decidendi dan di luar
putusan biasa disebut obiter dictum. Ratio decidendi adalah
aturan hukum yang dipakai pengadilan dalam memutuskan
kasus hukum kongkrit. sementara obiter dictum adalah
keputusan ”in passing” yang tidak dibutuhkan dalam
pengambilan keputusan sehingga tidak mengikat untuk
kasus-kasus sejenis yang kemungkinan dapat terjadi di
masa mendatang.
Yang pertama aturan hukum mengikat karena telah
teruji dengan bukti dalam serangkaian persidangan,
sementara obiter dictum tidak mengikat karena fakta obiter
dictum dibuat tanpa hakim harus mengujinya lebih
terdahulu dan tanpa mempertimbangkan masing-masing
konsekuensi aktualnya. Dengan demikian jelas, Michael
Bogdan menganalogkan dengan contoh fiktif. Misalnya,
ada tetangga memelihara anjing jenis tertentu untuk
menjaga rumah pemiliknya. Suatu ketika, anjing lepas dari
tali pengikat lehernya sehingga anjing tersebut dapat
meloncat pagar mengejar dan menggigit seseorang yang
kebetulan sedang lewat depan rumah yang dijaganya.
Akibat bagian tubuhnya digigit anjing itu sehingga terluka
dan berdarah, pengadilan memerintahkan pemilik anjing
tersebut untuk memberi kompensasi sebagai akibat dari
kelalaian merantai anjing yang menjadi tanggungjawabnya
menyebabkan orang lain terluka.
83
Namun dalam menjelaskan putusannya itu, hakim
membangun pernyataan obiter di luar argumentasi hukum
yang digunakan, misalnya hakim menjelaskan penalarannya
dengan menambahkan jika ada kasus-kasus sejenis dapat
diputus serupa. Pernyataan itu dimaksudkan untuk memberi
penjelasan kepada publik agar tidak terjadi kasus sejenis,
namun ketika terjadi hal yang mirip misalnya yang melukai
bukan anjing tetapi binatang jenis lain, tentu ini menjadi
masalah analog. Memang hakim pengadilan yang disebut
pertama tidak menyebut binatang lain selain anjing tetapi
makna pernyataan hakim dimaksud tidak dapat dihindarkan
dari binatang-binatang lain sejenis sebagai akibat kelalaian
dan menjadi tanggung jawab pemiliknya.
Keterikatan hakim pada putusan hakim sebelumnya
dalam perkara sejenis, hanya pada bagian ratio decidendi,
yaitu aturan hukum yan menjadi alasan penentu dalam
memutus suatu kasus hukum kongkrit. Memang obiter
dicta tidak berkaitan langsung berhubungan dengan kasus
hukum kongkrit yang pertama tetapi menjadi problem
kepastian hukum ketika terjadi kasus hukum sejenis. Di
sinilah letak pentingnya kehadiran juri di dalam sistem
peradilan Common Law untuk memberi pertimbangan
putusan hakim. Juri-juri dimaksud dipilih dari komunitas
warga masyarakat (tokoh-tokoh masyarakat yang dituakan,
cerdik pandai dan tokoh keagamaan setempat) dimana
kasus hukum kongkrit terjadi, bukan ahli hukum atau
sarjana hukum.
84
Sebagai prinsip penafsiran keputusan pengadilan,
penafsiran atas preseden menjadi penting baik dalam
Sistem Hukum Common Law maupun Sistem Hukum
Kontinental. Kesamaan itu amat masuk di akal mengingat
tujuan yang utama pelaksanaan asas preseden pada sistem
peradilan dengan asas the binding force of precedent pada
negara Anglo Sakson yang menggunakan juri ini maupun
kontinental dengan tanpa juri adalah untuk mewujudkan
asas kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum
selain asas manfaat dan asas keadilan. Keterikatan hakim
lain pada putusan hakim sebelumnya dalam perkara sejenis,
hanya terbatas pada aturan hukum yang menjadi dasar
putusan yang disebut ratio decidendi sebagaimana
dijelaskan di atas.
III.5.b Sistem Peradilan Eropa Kontinental
Sistem peradilan Eropa Kontinental atau biasa juga disebut
Civil Law System, dimana hakim diikat oleh undangundang (hukum tertulis). Dalam sistem peradilan Eropa
Kontinental, kepastian hukumnya dijamin melalui bentuk
dan sifat tertulisnya undang-undang. Hakim tidak terikat
pada putusan hakim sebelumnya, seperti yang berlaku pada
sistem peradilan Common Law dengan asas preseden.
Artinya, hakim-hakim lain boleh mengikuti putusan hakim
sebelumnya pada perkara yang sejenis, tetapi bukan suatu
keharusan yang mengikat. Di Indonesia, hal ini dapat
dilihat dalam Pasal 1917 KUHPerdata bahwa putusan
pengadilan hanya mengikat para pihak, dan tidak mengikat
hakim lain.
85
Sistem peradilan Eropa Kontinental tidak mengenal
Sistem Juri. Tugas dan tanggung jawab hakim di sini,
adalah memeriksa langsung materi perkaranya, menentukan
bersalah tidaknya terdakwa atau pihak yang berperkara,
kemudian sekaligus menerapkan hukumnya. Metode
berpikir hakim dilakukan "secara deduktif", yaitu berpikir
dari yang umum kepada yang khusus. Hakim berpikir dari
ketentuan yang umum untuk diterapkan pada kasus inkonkreto yang sedang diadili. Contoh ketentuan umum
dalam peraturan Indonesia adalah kata “barang siapa”, yang
berarti siapa saja dan tentu saja berlaku secara umum bagi
setiap subjek hukum.
Dalam sistem peradilan Eropa Kontinental,
menggunakan pula metode subsumptie dan metode
sillogisme. Sumsumptie adalah suatu upaya memasukkan
peristiwa ke dalam peraturannya yang banyak dilakukan
dalam perkara pidana. Suatu peristiwa hukum dicarikan
rumusan peraturan perundang-undangan yang dilanggar,
laksana mencocokkan sepatu dengan kaki pemakainya.
Namun, metode sumsumptie agak sulit diterapkan oleh
hakim di Indonesia pada perkara perdata, akibat masih
banyak peraturan hukum perdata yang tidak tertulis.
Melihat bagaimana sistem peradilan Eropa
Kontinental seperti penulis uraikan di atas, terlihat jelas
adanya perbedaan-perbedaan yang cukup prinsipil dengan
sistem peradilan Common Law. Namun, melihat kenyataan
kehidupan sosial masyarakat saat ini, terutama pengaruh
globalisasi dunia serta kemajuan ilmu pengetahuan dan
86
teknologi di pelbagai bidang kehidupan masyarakat,
sehingga setidaknya juga mempengaruhi kedua keberadaan
sistem peradilan. Hal ini yang menjadikan hakim-hakim
Indonesia yang sebetulnya berpedoman pada sistem
peradilan Eropa Kontinental, sering mengikatkan diri pada
asas preseden seperti pada sistem peradilan Common Law
dengan menggunakan yurisprudensi. Sebaliknya, hakim di
Inggris yang menganut sistem peradilan Common Law
sering pula melepaskan diri dari keterikatan terhadap asas
preseden pada perkara tertentu, jika kebutuhan masyarakat
menghendaki lain.
Menyimak uraian Sistem Hukum dan Sistem
Peradilan Eropa Kontinental dengan Common Law (Anglo
Sakson) di atas, maka untuk lebih memahami eksistensi
kedua sistem peradilan tersebut, ada baiknya melihat
perbedaan-perbedaan yang cukup prinsipil antara keduanya,
yaitu:
a. Perbedaan pada Sistem Peraturannya:
Pada sistem hukum Common Law didominasi oleh
hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan melalui
putusan hakim, sedangkan pada sistem hukum Eropa
Kontinental didominasi oleh hukum tertulis (kodifikasi).
Pada sistem hukum Common Law tidak ada pemisahan
yang tegas dan jelas antara hukum publik dengan hukum
privat, sedangkan pada sistem hukum Eropa Kontinental
ada pemisahan secara tegas dan jelas antara hukum
publik dengan hukum privat.
b. Perbedaan pada Sistem Peradilannya:
87
Pada sistem peradilan Common Law menggunakan Juri
yang memeriksa fakta kasusnya kemudian menetapkan
kesalahan dan hakim hanya menerapkan hukum dan
menjatuhkan putusan, sedangkan pada sistem peradilan
Eropa Kontinental tidak menggunakan juri sehingga
tanggung jawab hakim adalah memeriksa fakta kasus,
menentukan kesalahan, serta menerapkan hukumnya
sekaligus menjatuhkan putusan.
Pada sistem peradilan Common Law hakim terikat
pada putusan hakim sebelumnya dalam perkara sejenis
melalui asas the binding force of precedent, sedangkan
pada sistem peradilan Eropa Kontinental hakim tidak
terikat atau tidak wajib mengikuti putusan hakim
sebelumnya, meskipun perkara hukumnya sejenis. Pada
sistem peradilan Common Law menganut pula asas
"adversary system" yaitu pandangan bahwa di dalam
pemeriksaan peradilan selalu ada dua pihak yang saling
bertentangan, baik dalam perkara perdata maupun perkara
pidana, sedangkan pada sistem peradilan Eropa Kontinental
hanya dalam perkara perdata yang melihat adanya dua
pihak yang bertentangan (penggugat dan tergugat) dan pada
perkara pidana keberadaan terdakwa bukan sebagai pihak
penentang.
Selain ketiga perbedaan prinsipil yang penulis
kemukakan di atas, masih ada perbedaan lainnya yaitu pada
hukum acaranya (hukum formil) yang berbeda antara
perkara perdata dengan perkara pidana. Ada tiga macam
perbedaan dalam hukum acara pidana dengan hukum acara
88
perdata yang dapat dikaji pada sistem peradilan Eropa
Kontinental, sebagai berikut:
Perbedaan dari segi inisiatif penuntutan. Inisiatif
penuntutan dalam hukum acara pidana ada pada Jaksa
selaku penuntut umum yang mewakili kepentingan publik,
sedangkan dalam hukum acara perdata inisiatif terletak
pada pihak penggugat yang mewakili kepentingan dirinya
sendiri atau perseorangan. Termasuk dalam hal pembuktian, yaitu pada perkara pidana yang membuktikan
kesalahan terdakwa penuntut umum, sedangkan pada
perkara perdata kedua pihak yang membuktikan kebenaran
dalil atau bantahannya terhadap dalil lawannya
Perbedaan dari segi keterikatan hakim pada alat bukti
yaitu pada hukum acara pidana, hakim selain terikat pada
alat-alat bukti yang sah, juga harus yakin akan kesalahan
terdakwa, atau dikenal dengan istilah "beyond reasonable
doubt" yang berarti "alasan yang tidak diragukan lagi".
Pada hukum acara perdata, hakim hanya terikat pada alatalat bukti sah yang biasa disebut dengan istilah
preponderance of evidence yang berarti "pengaruh yang
lebih besar dari alat bukti".
Perbedaan dari segi kebenaran yang ingin dicapai,
pada hukum acara pidana ingin mencapai "kebenaran
meteriil" yaitu kebenaran yang nyata atau betul-betul
kebenaran dalam perbuatan pidana yang dilakukan oleh
terdakwa, atau hubungan antara pihak yang terkait dalam
perbuatan pidana tersebut. Pada hukum acara perdata,
semata-mata ingin mencari "kebenaran formil", yaitu
89
kebenaran yang dinyatakan oleh para pihak di dalam
pemeriksaan sidang pengadilan dan bukti surat, kendati
belum tentu secara nyata demikian.
III.5.c Sistem Peradilan di Indonesia
Mendiskusikan sistem hukum tidak dapat lepas dari diskusi
sistem peradilan di Indonesia. Sistem Peradilan Indonesia
(baca: peradilan litigasi) tentu diawali dengan UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.26 Undang-undang
dimaksud merupakan koreksi atas dan mengganti UndangUndang Nomor 19 Tahun 1964 tentang hal yang sama.
Dalam undang-undang dimaksud ditentukan bahwa
kekuasaan kehakiman dilakukan pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara, yang semuanya
diatur dengan undang-undang.
Ketika era reformasi bergulir sejak 1998, berbagai
tuntutan reformasi hukum menjadi Condio Sine Quanon.
Salah satu reformasinya adalah Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 tersebut diubah dengan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 1999. Selanjutnya Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 diganti dengan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam lingkup
26
Sebagian isi disarikan dari Ahmad Fauzan , 2005. “Kata Pengantar”
dalam Peradilan Umum, Peradilan Khusus dan Mahkamah Konstitusi.
Jakarta: Prenada Media, vii-xii
90
peradilan umum, pengadilan negeri dapat menangani
perkara-perkara khusus misalnya pengadilan ekonomi,
pengadilan anak, yang semuanya diatur dengan undangundang.
Peradilan umum berwenang memeriksa atau
menyidangkan baik kasus pidana maupun kasus perdata
termasuk kasus yang menyangkut masalah hubungan
keluarga, yaitu perceraian, kecuali para pihak yang akan
bercerai itu beragama Islam sehingga harus disidangkan
oleh peradilan agama. Peradilan anak yang merupakan anak
peradilan dari peradilan umum bukan sebuah pengadilan
yang menyidangkan semua persoalan yang berkaitan
dengan anak tetapi hanya berwenang memeriksa dan
mengadili masalah tindak pidana yang dilakukan oleh anak.
Tindak pidana dimaksud adalah tindak pidana yang
dilakukan oleh mereka yang berusia 8 tahun, namun belum
berumur 18 tahun dan belum kawin.
Berbeda dengan pengadilan negeri pada umumnya
ketika lembaga ini menyidangkan perkara tindak pidana
yang dilakukan oleh orang dewasa, maka persidangan di
pengadilan anak dilakukan secara tertutup, kecuali saat
pembacaan putusan karena pembacaan harus digelar
dengan sidang terbuka untuk umum. Di samping itu, para
penegak hukum yang terlibat dalam kasus yang
disidangkan tidak boleh mengenakan pakaian kebesaran
toga atau pakaian dinas. Hal ini disesuakan dengan kondisi
kejiwaan anak yang tidak sama dengan kondisi kejiwaan
orang dewasa.
91
Pada saat pemeriksaan di persidangan, si anak sebagai
terdakwa selain didampingi oleh penasehat hukum, juga
didampingi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuh.
Sedangkan pada pemeriksaan saksi, terdakwa dibawa
keluar sidang. Hal ini berbeda dengan pemeriksaan saksi
yang terdakwanya orang dewasa,. Begitu pula saat ditahan
dan/atau dalam masa hukuman, anak ditempatkan dalam
lembaga pemasyarakatan yang terpisah dari tempat orang
dewasa.
Sebagai pengejawantahan ajaran legisme, semua
peradilan dibentuk dengan undang-undang, tetapi tidak
semua peradilan dibentuk dengan nama-nama undangundang khusus tentang peradilan yang dimaksud. Misalnya,
Pengadilan Niaga yang dibawah undang-undang kepailitan,
pengadilan tindak pidana korupsi di bawah undang-undang
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Mahkamah Syari’ah di bawah undang-Undang Otonomi
Khusus Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam.
Mahkamah Pelayaran di bawah Peraturan Pemerintah
tentang Pemeriksaan Kapal. Pengadilan Niaga tidak diatur
dalam undang-undang tersendiri seperti pengadilan anak
atau pengadilan hak asasi menusia tetapi dalam Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1
Tahun 1998 tentang Kepailitan dan Penundaan
Pembayaran. Perpu ini selanjutnya ditetapkan menjadi
undang-undang dengan lahirnya undang-undang Nomor 4
Tahun 1998.
92
Pengadilan Niaga merupakan pengadilan khusus atau
deferensiasi yang berbeda dalam lingkungan peradilan
umum (pengadilan negeri). Dalam konteks putusan,
putusan peradilan niaga berbeda dari putusan peradilan
umum, putusan peradilan khusus pengadilan niaga ini
merupakan putusan pada tingkat pertama dan terakhir
artinya, terhadap putusan pengadilan niaga ini tidak dapat
diajukan banding. Jika ada pihak yang tidak puas dengan
putusan pengadilan niaga, maka ia dapat langsung
mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Berkaitan dengan
hakim Ad Hoc pada pengadilan niaga ini Mahkamah Agung
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2000
tentang Penyempurnaan Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 3 Tahun 1999 tentang Hakim Ad Hoc pada
Pengadilan Niaga.
Oleh karena pengadilan niaga tidak diatur dalam
undang-undang tersendiri maka tidak semua ketentuan
dalam semua pasal tertuang dalam himpunan undangundang ini. Yang tercantum dalam buku ini hanya pasalpasal secara langsung mengatur tentang pengadilan niaga.
Badan peradilan khusus lain yang bernasib sama seperti
pangadilan niaga adalah pengadilan pidana korupsi dan
pengadilan perburuhan atau perselisihan industri.
Pengadilan tindak pidana korupsi diatur dalam UndangUndang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Begitu juga dengan pengadilan perselisihan industrial
hanya merupakan bagian dari Undang-Undang Nomor 2
93
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Industrial.
Badan peradilan khusus lain adalah Mahkamah Syari’ah.
Mahkamah Syari’ah hanya berlaku di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam dan hanya berlaku khusus bagi mereka
yang beragama Islam. Undang-undang yang dimaksud
adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Daerah Aceh sebagai Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam.
Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), inilah badan
peradilan khusus yang ditunggu-tunggu oleh pendamba
kebenaran dan keadilan terutama yang berkaitan dengan
pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dengan terbentuknya
pengadilan HAM, korban dan atau keluarga korban Hak
Asasi Manusia sekarang mempunyai akses untuk
melaporkan mereka yang diduga sebagai pelanggar ke
pihak yang berkompeten seperti Komnas HAM agar pelaku
pelanggaran HAM dapat diadili di pengadilan HAM yang
berada dalam lingkup Peradilan Umum. Untuk kasus
pelanggaran hak asasi yang bertindak sebagai penyelidik
adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, sedangkan
sebagai pihak penyidik adalah Jaksa Agung yang sekaligus
juga berfungsi sebagai Jaksa Penuntut Umum. Adapun
selaku (Majelis) Hakim, berbeda dalam majelis Haklim
Peradilan Umum, Hakim pengadilan HAM berjumlah 5
(lima) orang dan 2 di antaranya adalah hakim Ad Hoc.
Perbedaannya dengan pengadilan negeri adalah
bahwa pengadilan HAM ini berwenang untuk memeriksa
atau menyidangkan kasus pelanggaran HAM yang terjadi
94
sebelum dikeluarkannya Undang-undang yang mengatur
tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM dan Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000. Jika demikian halnya, maka pelaku
pelanggaran HAM pada kasus Aceh, Timtim, dan Tanjung
Priok akan dapat disidangkan. Saat ini sudah keluar
Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2001 tentang
Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat untuk kasus Tanjung Priok dan Timor
Timur.
Pengadilan khusus lain adalah Pengadilan Pajak,
sebagaimana diatur dengan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2002. Pengadilan ini melaksanakan kekuasaan
kehakiman dibidang sengketa pajak. Dalam undang-undang
tentang pengadilan pajak tidak terdapat ketentuan yang
jelas mengenai apakah pengadilan pajak berada dalam
lingkup peradilan yang sama atau tidak. Namun pada
penjelasan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa
pengadilan pajak adalah “cabang” dari Pengadilan Tata
Usaha Negara. Begitu juga penjelasan Pasal 9A. UndangUndang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara menyatakan bahwa pengadilan pajak
adalah bawahan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Putusan pengadilan pajak merupakan putusan
pengadilan tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat
diajukan banding. Namun berbeda dari putusan pengadilan
95
niaga yang dapat diajukan kasasi oleh pihak yang tidak
puas terhadap putusan pengadilan niaga, pihak yang
keberatan terhadap putusan pengadilan pajak dapat
mengajukan permohonan peninjauan kembali dengan tata
cara yang diatur PERMA Nomor 3 Tahun 2002.
Mahkamah Pelayaran, tidak seperti peradilan khusus
lain yang diatur dengan undang-undang atau peraturan
pemerintah pengganti undang-undang, diatur dalam
peraturan pemerintah dan itupun tidak secara khusus
mengatur tentang mahkamah ini. Peraturan pemerintah
dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun
1998 tentang Pemeriksaan Kapal. Mahkamah Pelayaran
sebagaimana halnya pengadilan pajak berkedudukan di Ibu
Kota Negara, yaitu Jakarta. Hanya saja ia tidak seperti
badan peradilan lain, misalnya Mahkamah Pelayaran tidak
berada dalam lingkup pengadilan negeri mengingat
Mahkamah Pelayaran merupakan instansi pemerintah yang
bertanggungjawab langsung kepada menteri perhubungan.
Pertanyaannya, apakah Mahkamah Pelayaran ini di
bawah lingkungan Peradilan Umum atau yang lain.
Walaupun Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa semua
peradilan khusus harus berada dibawah salah satu di antara
4 lingkungan peradilan, memang undang-undang ini tidak
menentukan secara spesifik apakah mahkamah pelayaran
dimaksud berada dibawah peradilan tertentu.
Namun mesti maklum bahwa mahkamah pelayaran
ini bukan suatu peradilan khusus seperti yang dimaksudkan
96
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 sebab badan ini
dibentuk dengan peraturan pemerintah, bukan dengan
undang-undang sebagaimana diisyaratkan oleh UndangUndang Nomor 4 tahun 2004. Jika Mahkamah Pelayaran
dikategorikan sebagai badan peradilan khusus, maka badan
ini diatur dengan undang-undang.
Kewenangan mahkamah pelayaran adalah memeriksa
adanya kesengajaan atau kelalaian yang berhubungan
dengan standar profesi kepelautan yang dilakukan oleh
mualim, atau perwira/pemimpin kapal. Sedangkan
keputusan yang dijatuhkan adalah berupa sangsi
administrasi. Keputusan mahkamah pelayaran, seperti
halnya pengadilan pajak atau pengadilan niaga, adalah
bersifat final.
Mahkamah konstitusi merupakan lembaga baru di
bidang kekuasaan kehakiman yang lahir berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 24C ayat (1) dan (2).
Wewenang mahkamah ini adalah: Menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar; memutuskan sengketa
lembaga Negara; yang wewenangnya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar; memutuskan pembubaran partai
politik; memutus perselisihan hasil pemilihan umum; dan
memberikan putusan atas dugaan bahwa presiden atau
wakil presiden telah melakukan pelanggaran.
97
BAB IV
RESEPSI BUDAYA HUKUM BARAT
IV.1 Awal Resepsi Budaya Hukum Barat
Dakam konteks sejarah, pada awalnya Hukum Barat
merupakan hukum yang diambil dari hukum Romawi.
Negeri Belanda sebagai salah satu negeri daratan Eropa
memiliki hukum yang asalnya juga merupakan hasil resepsi
budaya hukum dari luar Belanda. Meskipun demikian,
resepsi Budaya Hukum Romawi oleh masyarakat Belanda
tidak berlaku sekaligus akan tetapi mulai tahap-tahapan.
Menurut seseorang Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Djokosoetono, resepsi Budaya
Hukum Romawi oleh masyarakat daratan Eropa Barat,
dilakukan secara bertahap, tahap-tahapnya adalah sebagai
berikut.27
Tahap pertama, suatu tahap di mana orang-orang
terpelajar di Daratan Eropa Barat yang berminat
memperlajari hukum pergi ke Romawi untuk belajar
Hukum Romawi. Hal itu terjadi pada masa daratan Eropa
Barat dikuasai oleh Kerajaan Romawi. Sebagai daerah
kekuasaan Kerajaan Romawi, penguasa-penguasa Romawi
tentu memperlakukan Hukum Romawi di Negeri Belanda.
Pada masa itu, kalangan orang-orang terpelajar dari Eropa
Barat yang berminat ilmu hukum mempelajari seluk beluk
27
Sebagian uraian ini dikutip dari Mochammad Koesnoe, 1989. Dasar
dan Metode Ilmu Hukum Positip. Surabaya: Ubhara
98
dari Hukum Romawi, yaitu hukum Itali. Tahap resepsi
budaya ini merupakan tahap resepsi Budaya Hukum
Romawi yang disebut resepsi teoritis.
Tahap kedua, suatu tahap di mana para yuris yang
telah terdidik dalam teori tentang Hukum Romawi
melaklukan praktik Hukum Romawi atas dasar kemampuan
yuris yang bersangkutan dalam menyerap dan memahami
asas-asas dan ketentuan-ketentuan, lembaga serta sistem
Hukum Romawi dengan latar belakang budaya masingmasing, yaitu nilai-nilai dan pandangan-pandangan yang
hidup dan dihayati masyarakat dari mana yuris dimaksud
berasal. Tahap resepsi ini merupakan tahap yang disebut
sebagai tahap resepsi praktis Hukum Romawi yang
dilakukan oleh masing-masing negeri yang ada di dataran
Eropa Barat.
Berikutnya, tahap ketiga, dalam tahap ketiga ini
segala hasil praktik para yuris di daratan Eropa Barat
tentang Hukum Romawi dipelajari dengan cara
membandingkan secara ilmiah. Hasilnya menunjukkan
bahwa Hukum Romawi di dalam praktik di daratan Eropa
Barat tidak sepenuhnya sama dengan aslinya Hukum
Romawi yang dipraktikkan oleh para yuris Romawi di
negerinya sendiri. Hasil dari upaya mempelajari Hukum
Romawi dalam praktik demikian ini merupakan suatu
bahan yang sangat berguna untuk menentukan Hukum
Romawi yang bagaimanakah yang seharusnya diberlakukan
untuk masing-masing negeri yang ada di daratan Eropa
Barat.
99
Hasil kajian Hukum Romawi Barat yang dipraktikkan
di Daratan Eropa Barat secara kritis menunjukkan bahwa
Hukum Romawi yang diberlakukan di negeri-negeri yang
bersangkutan tidak sepenuhnya sesuai dengan apa yang
diberlakukan di Romawi. Hal itu disebabkan karena nilainilai, pandangan-pandangan, dan persamaan-persamaan
hukum dan keadilan masyarakat yang bersangkutan
ternyata dan terbukti ikut menentukan isi hukum. Tahap
resepsi Budaya Hukum Romawi ini adalah suatu tahap
yang disebut sebagai tahap resepsi Ilmu Hukum Romawi.
Tahap keempat. Di dalam tahap keempat ini terlihat
bahwa masyarakat di daratan Eropa Barat berusaha
menuangkan hasil-hasil studi ilmiah resepsi Budaya Hukum
Romawi kedalam bentuk hukum positif masyarakatnya
masing-masing. Yang dimaksud Hukum Romawi yang
diresepsi tersebut bukan Hukum Romawi Kuno yang benarbenar khas Romawi, akan tetapi Hukum Romawi
sebagaimana telah disesuaikan dengan pikiran dan perasaan
hukum masing-masing budaya masyarakat negeri daratan
Eropa Barat.
Tahap-tahapan resepsi Budaya Hukum Romawi oleh
negeri-negeri yang ada di daratan Eropa Barat tersebut
memunculkan suatu pikiran bahwa Hukum Romawi adalah
hukum yang dapat diberlakukan di luar Romawi. Hal itu
dapat terjadi karena Hukum Romawi adalah hukum yang
mempunyai sifat universal. Mengapa demikian, menurut
kalangan pemikir ini Hukum Romawi adalah ratio manusia
yang ditulis (ratio scripta). Sebagai ratio scripta, Hukum
100
Romawi itu universal dan ada pada setiap manusia di manamana dan kapan saja manusia dimaksud ada di dunia ini.
Pandangan yang berpendapat demikian terhadap
Hukum Romawi menimbulkan pandangan berikutnya
bahwa Hukum Romawi sebagai ratio manusia, maka ia
dapat ditemukan dalam suatu Undang-Undang yang
lengkap. Pandangan semacam ini akhirnya membawa
paham kodifikasi, yaitu menulis sesuatu bidang hukum
tertentu secara lengkap, tuntas, dan bersifat sistematis
dalam bentuk rumusan pasal demi pasal kedalam suatu
kitab Undang-Undang merupakan tuntutan.
Resepsi Budaya Hukum Romawi yang melahirkan
pikiran bahwa kodifikasi merupakan sebuah tuntutan
menjadikan dasar yang diikuti oleh kalangan penguasa
Perancis pada waktu diperintah oleh Napoleon Bona Parte.
Pada waktu itu Napoleon memerintahkan untuk menyususn
kodifikasi hukum Perancis dengan contoh dan model
Hukum Romawi dengan memperhatikan hasil-hasil resepsi
ilmiah Hukum Romawi. Hasilnya, dalam masa itu
terbentuk kodifikasi dalam bidang Hukum Pidana,
kodifikasi hukum sipil, serta kodifikasi hukum dagang
masing-masing kedalam kitab-kitab Undang-Undang yang
tersendiri. Kodifikasi hukum tersebut di daratan Eropa
Barat terkenal dengan sebutan Kode Napoleon.
Pada waktu pemerintah Perancis di bawah kaisar
Napoleon, negeri Belanda berada pada pendudukan negara
tentara Perancis. Selama pendudukan tersebut diberlakukan
di negeri Belanda kode Napoleon tersebut. Setelah negeri
101
Belanda terlepas dari pendudukan tentara Perancis, kode
Napoleon ternyata sangat mempengaruhi kehidupan
Hukum Positif di negeri Belanda. Kode Napoleon tetap
dipertahankan oleh pemerintah negeri Belanda sekalipun
diadakan perubahan dan penyesuaian disana-sini atas dasar
perasaan dan pikiran hukum yang bersumber pada apa yang
di negeri Belanda disebut Oud vaderlandch recht.
Kodifikasi negeri Belanda ini kemuduan, atas dasar
asas konkordansi, diberlakukan pula oleh pemerintah
kolonial Belanda di Indonesia sebagai daerah jajahannya.
Sebagaimana disebutkan di atas, selain memberlakukan
melalui tahap-tahapan, yang menjadi tugas mempraktikkan
kode-kode Napoleon, demikian juga Hukum Belanda di
Indonesia, ditentukan secara bertahap dan berkembang
terus disesuaikan dengan perasaan budaya masyarakat
setempat dimana kode itu diberlakukan.
Dalam hubungannya dengan resepsi Budaya Hukum
Romawi oleh masyarakat di daratan Eropa Barat, tidak
semua pemikir hukum di sana pada abad ke XIX
menyetujui aliran pemikiran tentang Hukum Romawi.
Aliran lain ini disebut sebagai Mazhab Historis. Di antara
tokoh yang sangat terkenal dalam mazhab ini bernama Von
Savigny. Aliran ini menentang pikiran yang melihat Hukum
Romawi sebagai ratio cripta yang berlaku universal. Aliran
ini berpendirian bahwa hukum tidak dibuat dengan sengaja.
Hukum itu ada dan berkembang sesuai dengan irama yang
kehidupan rakyat dari masyarakat yang bersangkutan.
102
Aliran sejarah sebenarnya tidak menentang kodifikasi,
akan tetapi persoalan utamanya yang ditentukan adalah soal
memberlakukan hukum asing bagi masyarakat yang tidak
menganut dan menghayati hukum yang bukan cita rasa
budaya hukumnya sendiri. Untuk kodifikasi dikemukakan
oleh aliran ini bahwa pertama-tama ilmu pengetahuan
hukum dari masyarakat bersangkutan harus dikembangkan
dan ditingkatkan terlebih dahulu. Dalam konteks Indonesia,
Hukum Barat yang dengan lahap diresepsi pada waktu
sekarang ini ternyata Hukum Romawi yang diresepsi oleh
negara Belanda pada abad XIX melalui penyaringan,
rekayasa, dan terus menerus berkesinambungan.
Hukum Belanda yang kini diterima dan geluti dengan
begitu akrab, di negeri Belanda sendiri dewasa ini sudah
banyak dirubah sesuai dengan panggilan jiwa dan
kebutuhan hukum dari rakyat negeri tersebut. Dengan lain
perkataan resepsi Budaya Hukum Romawi sebagaimana
direkayasa pada abad yang lalu, oleh masyarakat Belanda
sendiri dewasa ini telah ditinggalkan, sementara yang
tinggal tersisa hanya sekelumit dari ilmu maupun
sistemnya. Sedangkan hal-hal yang menyangkut ketentuanketentuan substansi telah banyak dirubah.
IV.2 Resepsi Budaya Hukum Barat kedalam
Masyarakat Indonesia
Secara umum, Hukum Positif di Indonesia pada waktu ini
masih dapat dibedakan dalam dua golongan hukum,
golongan Hukum Barat dan golongan Hukum Adat.
Golongan Hukum Adat atas dasar tradisi yang diikuti dari
103
masa lalu dan menurut kalangan hukum Nusantara
termasuk di dalamnya hukum yang berasal dari agamaagama besar seperti Hukum Hindu, Budha, Fiqih. Dengan
dimasukkannya hukum-hukum yang dibawa oleh agamaagama besar kedalam Hukum Adat tersebut maka dalam
wacana Hukum Adat pribumi, sebenarnya substansi Hukum
Adat sudah termasuk hukum-hukum yang berasal dari
agama-agama besar tersebut.
Tentu pertanyaannya, sejak kapan kira-kira Hukum
Barat diresepsi oleh masyarakat pribumi yang kini disebut
masyarakat Indonesia. Semula Hukum Barat diperkenalkan
kedalam masyarakat Indonesia sejak orang-orang Barat
mulai bertempat tinggal di kota-kota tertentu di Indonesia.
Berdasarkan penelusuran bahan-bahan hukum sejarah
Indonesia, yang dengan jelas dapat dikemukakan bahwa
Hukum Belanda diperkenalkan terutama di tempat-tempat
konsentrasi kediaman orang-orang Barat, terutama orang
Belanda, misalnya di Kota Batavia yang kini disebut
Jakarta, diresepsi telah dimulai sejak zaman Verenigde Oost
Indische Compagnie (VOC).
Tentang bentuk Hukum Barat yang pada awalnya
diperkenalkan di Kota Batavia tersebut, ternyata Hukum
Barat yang diberlakukan adalah Hukum Belanda Kuno.
Hukum Belanda Kuno lain adalah Burgerlijk Wetboek
(BW) yang hinggi kini masih digunakan. Di Kota Batavia
tersebut Hukum Belanda Kuno itu tidak berlaku bagi orangorang pribumi sehingga tidak ada suatu peristiwa resepsi
Budaya Hukum Belanda Kuno tersebut oleh orang-orang
104
pribumi yang kini disebut orang Indonesia. Masing-masing
golongan penduduk yang ada di Kota Batavia tersebut pada
prinsipnya hidup di bawah hukumnya sendiri-sendiri.
Peristiwa resepsi Budaya Hukum Barat oleh
masyarakat Indonesia dalam arti yang sesungguhnya baru
dapat dicatat sekitar 1847 dan seterusnya. Sejak tahuntahun itu dapat dicatat adanya peristiwa Hukum Barat
dipaksakan (enforced) berlaku untuk masyarakat adat.
Tahap pertama, perlakuan secara paksa Hukum Barat di
dalam masyarakat adat dalam bidang tertentu saja, yaitu
bidang Hukum Pidana sebagaimana diatur dalam
Strafsrecht Wetboek. Diberlakukannya Hukum Pidana
dengan paksa oleh pemerintah kolonial atas dasar
kekuasaan. Hukum Pidana yang dipaksakan pemerintah
kolonial Belanda diterima begitu saja oleh masyarakat adat
dengan menyerah untuk menerimanya tanpa pengertian.
Dengan perlakuan paksa tersebut tampak bahwa
banyak ketentuan-ketentuan dari Hukum Pidana Barat yang
dirasakan sebagai hukum ganjil terutama jika diterapkan
terhadap peristiwa-peristiwa yang sudah diatur Hukum
Adat pribumi. Ada perbuatan yang menurut hukum adat
sudah sesuai dengan budaya pribumi namun apabila diikuti
ketentuan Hukum Pidana Barat perbuatan itu ada yang
dapat dinyatakan sebagai perbuatan yang dapat dikenakan
sanksi hukum.
Dengan keadaan yang demikian, banyak diantara
petugas hukum kolonial lambat laun menyadari tentang
tidak adilnya ketentuan Hukum Pidana Barat tersebut
105
apabila diterapkan begitu saja terhadap orang-orang
Indonesia. Memperlakukan dengan paksa akhirnya
membawa tuntutan untuk memberlakukan dengan
bijaksana. Memberlakukan Hukum Barat dengan bijaksana
demikian ini merupakan permulaan adanya resepsi Budaya
Hukum Barat oleh masyarakat adat. Ada satu resepsi
Budaya Hukum Barat yang sampai pada waktu ini
berlangsung tanpa paksaan, yaitu resepsi Budaya Hukum
Perdata Barat sebagaimana termuat di dalam Burgerlijk
Wetboek.
Hukum Perdata Barat yang tercantum di dalam
Burgelijk Wetboek (BW) adalah suatu Wetboek atau kitab
Undang-Undang yang dibuat oleh badan legislatif negeri
Belanda pada pertengahan abad XIX. Undang-Undang ini
dimaksudkan untuk berlaku bagi orang-orang Belanda di
negeri Belanda. Pada 1847 dengan mempergunakan asas
konkordansi, BW negeri Belanda tersebut oleh Pemerintah
Kolonial diberlakukan bagi orang Indonesia.
Pada awalnya, undang-undang tersebut khusus bagi
orang-orang Eropa termasuk golongan orang-orang Cina,
yaitu hanya bagian-bagian tertentu saja dari ketentuan kitab
undang-undang tersebut. Namun dalam perjalanan, lambat
laun keberlakuan undang-undang tersebut diperluas dengan
pengurangan dan penambahan pasal-pasalnya. Penambahan
artinya ada tambahan sesuai keadaan dan pengurangan
artinya adanya pasal-pasal yang tidak berlaku karena tidak
sesuai lagi budaya masyarakat pribumi
106
Selanjutnya di dalam tahun-tahun berikutnya bagianbagian tertentu dari BW diberlakukan pula dengan paksa
untuk golongan orang-orang timur asing bukan golongan
Cina yang bertempat tinggal di Indonesia. Perkembangan
berikutnya, diberlakukan BW (Bugerlijk Wetboek) dan WK
(Wetboek Koophandel) untuk masyarakat Indonesia yang
tunduk kepada Hukum Adat. Ini adalah tahap dimana
masyarakat Indonesia yaitu golongan Bumi Putra mulai
benar-benar melakukan resepsi Budaya Hukum Barat.
IV.3 Budaya Hukum Barat Pra-Kemerdekaan
Berbeda antara berlakunya Hukum Pidana Barat bagi
orang-orang Indonesia dengan berlakunya Hukum Perdata
Barat untuk orang-orang Indonesia yang tunduk kepada
Hukum Adat. Pada mulanya tidak terjadi paksaan
Pemerintah Kolonial terhadap orang-orang Indonesia
golongan Bumi Putra agar tunduk pada Hukum Perdata
Barat. Hal ini sesuai dengan ketentuan dari dasar
perundang-undangan yang menyatakan di dalam Pasal 11
Algemeene Bepalingen (AB) bahwa orang-orang Indonesia
tunduk kapada Hukum Adatnya sendiri.
Hubungan sosial antara orang-orang Indonesia dengan
orang-orang Barat, khususnya dengan orang Belanda yang
tinggal di Indonesia, membawa kebutuhan-kebutuhan
hukum baru di dalam memenuhi tuntutan hubungan sosial
kemasyarakatan antarmereka. Ada diantara orang-orang
Indonesia yang karena hubungan tersebut berpindah agama,
yaitu dari agama yang dianut semula menjadi beragama
Kristen. Kemudian, ada yang karena perubahan itu, mereka
107
memiliki jenis kedudukan dan pangkat yang sama dan
sederajat dengan orang-orang Belanda sebagai koleganya
yang sama-sama tunduk kepada Hukum Barat.
Selain itu, adalagi di antara mereka yang mempunyai
hubungan erat dalam bidang Hukum Perdagangan menuntut
diberlakukannya hukum yang dapat diterima oleh kedua
pihak. Semua perubahan tersebut menimbulkan kebutuhankebutuhan hukum baru yang belum diatur atau diatur tetapi
tidak sesuai dengan kebutuhan hubungan antara kedua
golongan penduduk yang berbeda budaya hukumnya.
Kebutuhan-kebutuhan hukum baru tersebut, yang
dialami oleh kalangan orang-orang Indonesia yang tunduk
kepada Hukum Adat, mendapat perhatian pula di dalam
perundang-undangan pemerintah kolonial. Atas dasar
ketentuan Undang-Undang yang demikian itu, maka orangorang Indonesia diberikan berbagai macam kesempatan
dengan ruang lingkup pilihan yang bermacam-macam
untuk menikmati Hukum Perdata Barat.
Sehubungan dengan itu, menikmati Hukum Perdata
Barat dapat dilakukan untuk keseluruhan yang meliputi
perubahan statusnya sebagai orang adat. Bilamana ini
terjadi, orang adat yang tunduk pada Hukum Adat berubah
statusnya menjadi orang Eropa yang tunduk pada Hukum
Barat. Jika demikian hanya yang terjadi, maka orang adat
tersebut telah ’dipersamakan’ (Gelijkgesteld) dengan orang
Eropa.
Dengan dipersamakan sebagai orang Eropa, maka
mereka tunduk pada Hukum Barat, baik Hukum Perdata
108
BW maupun WK. Segala macam bentuk-bentuk Hukum
Perdata Barat yang diberlakukan bagi orang adat itu, yang
penting untuk diperhatikan dalam sejarah hukum Indonesia
adalah bentuk peraturan ke-empat yang biasa disebut
Onderweping voor een bepaalde rechtsandeling.
Bentuk yang ke-empat tersenut ialah bentuk yang
sampai sekarang masih penting. Banyak orang-orang adat
yang dalam usaha dagangnya memilih bentuk usaha dagang
beserta lembaga-lembaga dari Hukum Barat. Misalnya,
penggunaan CV, Perseroan Terbatas, Yayasan, pemakaian
giro, chek, dan penggunaan jasa notaris dan sebagainya.
Keseluruhannya tersebut merupakan gejala-gejala tentang
bagaimana ketentuan-ketentuan Hukum Perdata Barat
tersebut digunakan, dmanfaatkan, dan dinikmati oleh
orang-orang adat Indonesia.
Sekalipun terjadi perkembangan resepsi Budaya
Hukum Perdata Barat begitu pesat oleh masyarakat adat,
namun yang perlu diperhatikan adalah penerimaan dan
penggunaan ketentuan-ketentuan Hukum Perdata Barat
tersebut oleh masyarakat adat. Penerimaan dan penggunaan
Hukum Barat dimaksud menunjukkan bahwa adanya
perkembangan menuju kepada pemahaman yang tidak lagi
murni Barat. Apa yang tampak adalah adanya pemahaman
Hukum Barat yang dijiwai oleh Budaya dan Hukum Adat
orang Indonesia. Jadi, terjadi semacam meng-adat-kan
Hukum Perdata Barat.
Hukum Barat yang dimaksud disini dibatasi dalam
arti Hukum Barat yang dikodifikasi kedalam ketiga
109
Wetboek di atas. Pada awalnya, ketiga Hukum Barat
tersebut dikenal di Indonesia karena pemerintah kolonial
memberlakukannya untuk orang-orang Eropa yang menjadi
penduduk Indonesia. Kemudian ada kebijakan yang isinya
mempersilahkan orang-orang Indonesia dari golongan
Bumi Putra menundukkan diri untuk menikmati Hukum
Barat secara sukarela.
Dalam rangka resepsi Budaya Hukum Barat oleh
masyarakat Indonesia peran petugas sebagai pelaksana
Hukum Barat sangat menentukan. Di dalam tahap pertama,
para pelaksana yang ditugaskan ialah orang-orang yang
menguasai pengetahuan Hukum Belanda dan bahasa
Belanda. Bidang hukum yang dipercayakan kepada orangorang di Indonesia saat itu masih terbatas pada bidang
hukum pidana. Perkembangan selanjutnya mengenai soal
tenaga petugas untuk melaksanakan Hukum Barat tersebut,
secara bertahap diupayakan diambil dari kalangan putra
Indonesia yang termasuk golongan Bumi Putra.
Untuk dapat melaksanakan tugasnya, golongan ini
mula-mula diberikan latihan teoretis tentang bagaimana
penerapan Hukum Barat, terutama Hukum Pidana Barat.
Latihan ini diberikan di dalam suatu lembaga pendidikan
hukum yang khusus diadakan untuk orang-orang Bumi
Putra dengan instrukturnya yuris-yuris Belanda. Lembaga
itu adalah sekolah hukum yang dinamakan Rechtschool.
Sekolah hukum ini bertujuan membentuk tenaga terampil di
dalam menerapkan Hukum Barat secara praktis, terutama
dalam bidang Hukum Pidana Barat. Pendidikan ini
110
melahirkan ’Penerap Undang-Undang’ yang dalam bahasa
Belanda disebut Wetstoepasser. Tahap pertama resepsi
Budaya Hukum Barat oleh masyarakat Indonesia ini oleh
Koesnoe disebut sebagai ’Resepsi Teoritis dari babak
permulaan’.
Dengan adanya tenaga Penerap Undang-Undang yang
terdiri dari orang-orang dari golongan Bumi Putra tersebut,
terbentuklah sejumlah kelompok ahli penerap undangundang (Hukum Barat) dari kalangan putra-putera
Indonesia golongan Bumi Putra. Dengan ini masyarakat
Indonnesia mulai memasuki tahap Resepsi Praktis terhadap
Hukum Barat yang tertuang di dalam kitab UndangUndang.
Di dalam tahap kedua resepsi ini baik teoretis maupun
praktisnya, penguasaan pengetahuan tentang Hukum Barat
oleh yuris Indonesia golongan Bumi Putra itu mencakup
selain mengenai kualitas juga mengenai lingkup bidangnya
yaitu hanya bidang Hukum Pidana Barat. Dalam bidang
hukum perdata belum tampak ada kelompok yuris
Indonesia golongan Bumi Putra yang dipercaya untuk
menangani persoalan hukum itu.
Perkembangan selanjutnya, ada desakan kuat untuk
memenuhi kebutuhan tenaga yang lebih banyak dan lebih
murah untuk dapat memimpin bidang-bidang kegiatan
pemerintah kolonial yang berhubungan atau yang ada
hubungan dengan hukum. Selain itu, juga dirasakan oleh
pemerintah kolonial adanya kebutuhan mendidik tenagatenaga yuris Indonesia dari kalangan Bumi Putra agar dapat
111
menguasai lebih dalam dan lebih luas pengetahuan teoritis
yang bertarap akademis mengenai Hukum Barat.
Dengan kebutuhan ini tahun 1924 dibentuk Sekolah
Tinggi Hukum atau Rechtshogeschool di Batavia yang kini
bernama Jakarta. Dari lembaga pendidikan hukum ini
kemudian lahirlah yuris-yuris putera Indonesia yang
menguasai ilmu pengetahuan tentang Hukum Barat secara
lebih dalam dan lebih luas. Mereka diajarkan hukumhukum sebagaimana yang diajarkan di negeri Belanda
sehingga pengetahuan mereka tidak saja mencakup Hukum
Pidana Barat akan tetapi juga meliputi bidang Hukum
Perdata dan Hukum Tata Negara. Dengan demikian,
kualitas para yuris putera Indonesia saat itu ibaratnya
sebagai agen yang siap melanjutkan proses resepsi teoritis
hukum Barat ke agen-agen lain berikutnya.
Sebagai yuris Indonesia yang menguasai dengan baik
bahasa undang-undang barat beserta jiwa bangsa (volkgeist)
yang melatar belakangi undang-undang Hukum Barat
menjadikan mereka semakin handal. Melalui pendidikan
tinggi hukum menjadikan mereka lebih mengerti dibanding
dari pada hasil pendidikan Rechtsschool. Kemampuan
memahami Hukum Barat mereka adalah mendekati
pemahaman Hukum Barat seperti halnya oleh para yuris
Barat. Dengan begitu konkordansi hukum tersebut menjadi
tidak hanya meliputi berlakunya kitab Undang-Undang
hukum di Indonesia, akan tetapi juga meliputi cara
pemahamannya terhadap jiwa dan budaya yang terkandung
dalam Hukum Barat.
112
Mereka mampu berperan yuris sebagaimana layaknya
yuris Barat karena para yuris putra Indonesia tersebut dapat
mengupayakan dirinya untuk hidup mengikuti, menghayati,
dan menjalani semangat dan Budaya Barat dalam
kehidupan sehari-hari, terutama dalam menjalankan tugastugasnya sebagai petugas Hukum Barat. Memang sebagian
dari kalangan ini, ada yang benar-benar menjadi
sekelompok putra Indonesia yang asing dari cita-cita dan
penghayatan budaya hukum adatnya, terutama di dalam
perasaan dan pikiran hukum dari golongan Bumi Putra.
Dalam keadaan masyarakat golongan Bumi Putra
mempunyai yuris-yuris Hukum Barat itu, saat itu pula
mulai diperluas pula bidang-bidang berlakunya Hukum
Barat yang tertuang di dalam kitab kodifikasi tersebut.
Dalam keadaan demikian itu tampak sebagian golongan
Bumi Putra sedikit demi sedikit ada yang menikmati
Hukum Barat baik secara penuh maupun sebagian dengan
secara sukarela, bahkan hingga berlangsung terus sampai
hingga kini.
IV.4 Resepsi Budaya Hukum Barat Pasca
Kemerdekaan
Tahun 1945, tepatnya sejak 17 agustus 1945, Indonesia
secara politik mempunyai kedudukan yang lain daripada
sebelumnya karena sejak itu Negara Republik Indonesia
berdiri sebagai negara kesatuan. Sebagai negara baru yang
saja dideklarasikan berdiri belum mungkin untuk menyusun
hukum nasionalnya sendiri secara lengkap sesuai dengan
yang dikehendaki oleh Undang-Undang Dasarnya. Bertitik
113
tolak dari itu, Pasal Peralihan Undang-Undang Dasar
menetapkan bahwa hukum dan perundang-undangan yang
lama tetap masih berlaku. Dengan catatan bahwa nyatanyata tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
tersebut.
Dalam perkembangannya, terutama antara tahun 1945
sampai 1949 negara muda ini ternyata mengalami
perkembangan dinamis. Sebagai negara Indonesia yang
wilayahnya meliputi kepulauan seluruh Nusantara tidak
sepenuhnya dapat terlaksana. Hal ini terjadi mengingat
sebagian besar daerah kepulauan Indonesia, bahkan pulau
Jawa dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda pasca
Perang Dunia ke II yang disebut pemerintahan NICA
(Nederlandsch Indië Civil Administratie).28
Daerah Indonesia yang dikuasai NICA, tata hukum
yang diberlakukan berbeda dengan tata hukum yang
ditetapkan di dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945, tetapi satu hal yang sama yaitu
tentang Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Dagang.
Di daerah pendudukan NICA, ketiga kitab undang-undang
tersebut dipertahankan oleh pemerintah pendudukan NICA
dengan mengikuti ketentuan-ketentuan undang-undang
yang berlaku pada masa Pemerintah Kolonial sebelum
Perang Dunia ke II.
28
NICA adalah tentara sekutu yang ditugasi untuk mengkontrol daerah
yang sekarang disebut Indonesia setelah Jepang menyerah kalah Perang
Dunia II pada pertengahan 14 Agustus 1945
114
Dalam konteks keberlakuan hukum di wilayah
Indonesia antara 1945 sampai 1949, keberlakuan hukum
dapat dibedakan menjadi dua macam wilayah dimana sifat
berlakunya Hukum Barat berbeda. Pertama, di daerah yang
dikuasai Republik Indonesia. Kedua, daerah yang dikuasai
oleh pemerintah NICA. Di daerah yang dikuasai Republik
Indonesia, ketiga kitab undang-undang tersebut sebagai
Hukum Barat diberlakukan untuk sementara. Selain itu,
memberlakukan bahasa Indonesia dan harus disesuaikan
dengan jiwa hukum yang baru, yaitu disesuaikan dengan
semangat dan prinsip Undang-Undang Dasar 1945.
Di daerah pendudukan NICA berlakunya ketiga kitab
undang-undang tersebut sebagai Hukum Barat tetap penuh.
Kedaan yang demikian membawa pengaruh kepada teori
dan praktik tentang ketiga kitab Undang-Undang tersebut di
Indonesia. Di daerah yang dikuasai Republik Indonesia,
teori dan praktik ketiga kitab Undang-Undang tersebut
dilakukan dalam bahasa Indonesia. Di daerah pendudukan
NICA dalam bahasa Belanda yang sesuai dengan bahasa
ketiga kitab undang-undang itu.
Pada mulanya perbedaan itu tidak terlalu dirasakan
dalam arti dan konsekuensinya. Hal itu dikarenakan para
petugas hukum di kedua bagian daerah Indonesia tersebut
umumnya mempunyai kualitas sama dalam penguasaan
bahasa dari ketiga kitab undang-undang itu. Selain itu para
teorotis dan para petugas hukum yang menerapkan ketiga
kitab undang-undang tersebut kemampuan memahami dan
menyerapkan nilai Budaya Barat satu sama lain tidak jauh
115
berbeda. Hal ini karena pendidikan yang mereka peroleh
tentang Budaya Barat dan ilmu hukumnya pada dasarnya
adalah sama.
Perbedaan pemberlakuan ketiga kitab undang-undang
sebagai Hukum Barat di Indonesia baru mulai dirasakan arti
dan konsekuensinya ketika 1950. Pada waktu itu Indonesia
yang dikuasai oleh kedua kekuasaan sebagaimana tersebut
di atas, yang membawa terbaginya daerah Indonesia
kedalam dua daerah yang berbeda dalam menghadapi
Hukum Barat, menjadi berubah. Perubahan dimaksud
ketika Indonesia menjadi di bawah satu kekuasaan yaitu
kekuasaan dari Republik Indonesia Serikat.
Tidak lama kemudian, di dalam tahun itu juga,
berubah lagi di bawah kekuasaan Negara Republik
Indonesia dengan Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Tahun 1959 kemudian berubah lagi di bawah kekuasaan
Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan UndangUndang Dasar 1945. Selama kurang lebih sembilan Tahun
Indonesia secara silih berganti mengalami perubahan
bentuk negara dan Undang-Undang Dasarnya.
Hal itu ternyata sangat berpengaruh kepada arti ketiga
kitab undang-undang sebagai Hukum Barat yang masih
ditolerir untuk diberlakukan. Selama Indonesia berada di
bawah Pemerintah Republik Indonesia Serikat 1950 dan
kemudian di bawah Pemerintah Republik Indonesia
kesatuan di bawah Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia sementara 1950, sikap terhadap ketiga kitab
undang-undang dari masa kolonial tersebut masih kuat
116
dalam mengikuti, mempelajari, dan mempraktikannya
seperti pada masa kolonial.
Pada waktu itu, kitab undang-undang tersebut masih
tetap berada di dalam keadaannya yang asli, yaitu sebagai
Wet, dengan bahasa Belanda. Pemahamannya masih banyak
tergantung pada dan masih memakai sumber-sumber bahan
pengetahuan dan budaya tentang itu dari negeri Belanda.
Keputusan-keputusan dari Hoogeraad Negeri Belanda dan
sumber-sumber ilmu pengetahuan positif tulisan para pakar
hukum di negeri Belanda masih sangat berpengaruh.
Sehubungan dengan itu, bagi seorang sarjana hukum
yang ingin melakukan praktik dalam bidang Hukum Barat
tersebut dituntut harus dengan baik menguasai bahasa dan
Budaya Belanda. Dari itu pada waktu itu tentang resepsi
Budaya Hukum Barat, berlangsung sebagaimana masa
kolonial. Satu catatan dalam hal ini yaitu bahwa hasil
pemahamannya baik teoritis maupun praktis dituangkan
kedalam bahasa Indonesia dan bukan dalam bahasa
undang-undang itu.
Dengan begitu sekalipun upaya memberlakukan
Hukum Barat pada masa itu berlangsung sedikit banyak
serupa dengan pada masa kolonial, tetapi dalam jiwa dan
budayanya mulai ada hal-hal yang tidak sama. Perbedaan
itu adalah kalau dahulu resepsi Budaya Hukum Barat
berlangsung dalam bahasa dan dengan memperhatikan
nilai-nilai Budaya Belanda namun kemudian dinyatakan
hasilnya kedalam bahasa Indonesia. Hal semacam ini
117
terjadi tidak hanya di dalam kalangan praktik akan tetapi
juga di dalam kalangan teori dan pendidikan hukum.
Sehubungan itu, lanjut Koesnoe, bagi orang-orang
yang telah menyelesaikan pendidikan hukumnya di Jakarta
maupun di Yogyakarta sampai 1959, mereka masih tetap
diberikan Meester in de Rechten. Dalam hal ini Rechten
yang dimaksud adalah Hukum Belanda.
Tahun 1959, Indonesia berada di bawah Pemerintahan
Republik Indonesia yang melepaskan diri dari Undangundang Dasar Sementara 1945 karena jiwa Undang-Undang
Dasar 1945 pada prinsipnya berbeda sama sekali dengan
kedua Undang-Undang Dasar yang dibentuk 1950.
Undang-Undang Dasar Sementara 1950 jiwa dan
budayanya adalah Budaya liberal demokratis. UndangUndang Dasar 1945 jiwa dan budayanya adalah
kebersamaan dan bersumber kepada semangat Budaya
Indonesia sendiri, yaitu Pancasila.
Hal yang demikian mempengaruhi penerimaan ketiga
kitab Undang-Undang di atas, baik di dalam praktik, teori
maupun di dalam bidang pendidikan hukum. Pengaruh itu
diutamakan dalam pemahaman dan dalam memberlakukan
ketiga kitab Undang-Undang tersebut sesuai dengan jiwa
dasar Undang-Undang Dasar 1945. Dengan lain perkataan,
praktik, teori maupun pendidikan hukum yang menyangkut
ketiga kitab Undang-Undang tersebut di atas adalah benarbenar
sementara
dan
harus
disesuaikan
serta
pemahamannya didasarkan pada semangat dan filsafat
118
bangsa Indonesia sendiri seperti tertera di dalam UndangUndang Dasar 1945.
Dalam tahap permulaan, hal tersebut memang
dilakukan dengan masih sedikit banyak meneruskan tradisi
dari waktu sebelumnya. Pemahaman atas ketiga undangundang tersebut sedapat mungkin dilakukan menurut
paham dan Budaya Barat, tetapi penyampaian hasilnya
dilakukan dalam bahasa Indonesia.
Lambat laun keadaan demikian ini menjadi berubah.
Semakin lama semakin tampak perubahan dan perubahan
itu semakin mendasar karena kurang atau tidak dikuasainya
lagi bahasa dan Budaya Belanda oleh kalangan yuris
generasi baru Indonesia. Dengan itu semakin berkurang
ketergantungan kalangan yuris muda pada sumber-sumber
pengetahuan dan budaya dari Belanda. Selanjutnya ketiga
kitab undang-undang tersebut akhirnya sebagai Wet
menjadikan semakin menjadi benar-benar asing dan
pendekatannya dilakukan menurut kemampuan yang ada
pada kalangan generasi yuris Indonesia. Dalam tahap itu,
pada umumnya ketiga kitab undang-undang tersebut
didasarkan pada terjemahan-terjemahan orang-perorangan
sebagaimana yang dilakukan oleh penulis-penulis
Indonesia.
Hal ini berarti bahwa dalam soal mengetahui dan
memahami isi ketiga kitab undang-undang tersebut, oleh
generasi yuris muda tersebut dilakukan dengan perantaraan
karya pribadi orang yang menterjemahkannya. Dari hasil
pemahaman secara orang-perorangan demikian ini
119
kemudian penyajiannya dilakukan kedalam bahasa
Indonesia. Dengan begitu tahap resepsi Budaya Hukum
Barat mengalami titik peralihan yang prinsipil. Artinya,
ketiga kitab undang-undang dari Barat tersebut sebagai Wet
secara praktis tidak banyak lagi artinya.
Dalam keadaan demikian ini apa yang dilakukan
untuk meresepsi Budaya Hukum Barat adalah tentu
menginterpretasikan lebih lanjut terhadap interpretasi
pribadi pandapat penulis Indonesia tentang Hukum Barat.
Dengan lain perkataan pemahaman Hukum Barat yang kini
telah dikenal umum dan dan diresapi kalangan hukum
dewasa ini pada dasarnya bukan lagi Hukum Barat murni,
akan tetapi merupakan pemahaman dan penerapan pikiran
prinadi penterjemah perorangan tentang apa yang disebut
Hukum Barat.
Tahun 1960 hal semacam ini dirasakan oleh kalangan
pemerintah sebagai hal yang tidak tepat lagi kalau para
lulusan fakultas hukum diberi gelar Meester in de Rechten
sebagai mana dahulu. Pendidikan hukum di Indonesia pada
waktu itu dianggap tidak lagi menghasilkan Meester in de
Rechten dalam arti bahwa yang dihasilkan itu adalah
sarjana tentang hukum Indonesia. Memang dari dulu
pemerintah menghimbau agar lulusan fakultas hukum
Indonesia tidak lagi menggunakan gelar Meester in de
Rechten atau Mr, tetapi gelar sarjana hukum, disingkat S.H.
Bagi lulusan sebelum perang dan dekat setelah itu
diserahkan kepada pribadi masing-masing apabila ingin
memanfaatkan gelar baru tersebut.
120
Tahap-tahap berikutnya dalam meresepsi Budaya
Hukum Barat berlangsung sebagai berikut. Pertama,
Hukum Barat dinikmati secara sukarela dan murni yang
meliputi keseluruhan, atau sebagian, atau suatu pasal atau
lembaga tertentu. Kedua, Hukum Barat dinikmati secara
sukarela dan tidak begitu murni meliputi sebagian, atau
suatu pasal atau lembaga tertentu saja. Ketiga, Hukum
Barat dinikmati secara sukarela dan tidak murni meliputi
sebagian atau sesuatu pasal atau lembaga saja. Keempat,
Hukum Barat yang semu dinikmati secara sukarela menurut
selera rakyat Indonesia sendiri.
IV.5 Resepsi Budaya Hukum Pertanahan
Mendiskusikan persoalan tanah dan sertifikat hak atas tanah
(agrarian aspect), tentu, satu hal yang harus dicoba untuk
dibayangkan surut ke belakang adalah tentang keadaan
alam pertanahan jauh sebelum Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdiri. Imajinasi ke belakang yang tertangkap
menggambarkan bahwa kala itu alam pertanahan, apakah
lahan tanah itu sendiri, apa yang ada di atasnya seperti
hutan, sungai, dan apa yang ada di dalamnya seperti
tambang, apa yang ada disampingnya seperti laut, dan ikan,
tidak atau belum diatur oleh manusia mengingat jumlah
manusia masih amat terbatas sementara kekayaan alam
melimpah ruah.
Ketika manusia lahir, tumbuh, dan beranak pinak
yang semakin banyak jumlahnya, maka mulai tumbuh
hubungan erat antara manusia dengan alam sekitarnya,
misalnya tanah untuk dimiliki baik secara perseorangan
121
maupun kelompok. Ini ditandai dengan upaya membuka
lahan, hutan, dan menentukan luas-sempit tanah yang
dikuasai dengan memberi tanda-tanda batas alam atau tanda
buatan lainnya.
Fenomena demikian memperlihatkan bahwa manusia
mulai mengatur tanah dan kebiasaan manusia mengatur
tanah semakin mapan, bahkan sering diikuti oleh yang lain.
Kemapanan aturan satu dan yang lain menjadikan aturan
yang diikuti, dan melembaga sehingga akhirnya menjadi
hukum adat. Oleh sebab itu, zaman nenek moyang
hubungan antarorang, antara orang dan alam, tanah, lahan
serba diatur oleh apa yang disebut sebagai hukum adat.
Pada masa kerajaanpun sedemikian rupa keadaannya
sehingga hukum adat mewarnai semua arena bidang
kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik lokal
masyarakat tempatan atau kerajaan dimaksud. Dengan
demikian, posisi hukum adat saat itu sangat kuat dan
berakar tunjang jauh ke dalam budaya masyarakat
tempatan, sehingga dapat dibayangkan lebih lanjut tentang
suasana adat yang seolah tak bakal tersentuh oleh tangantangan administrasi kekuasaan dan kekuatan luar yang
datang dari manapun asalnya.
Ketidaktersentuhan demikian itu menjadikan lahan
pertanahan terbentang luas, sekaligus merupakan aset tak
bersubyek hukum sehingga siapapun yang berada di atas
tanah dan lahan itu dianggap sebagai subyek hukum secara
mutlak (common property). Anggapan demikian muncul
menyusul sebuah pandangan religius bahwa tanah adalah
122
bagian dari alam semesta ciptaan Illahi untuk kepentingan
makhluknya. Manusia sebagai salah satu dari makhluk lain
berupaya mencari dan menggali terus sumber daya alam
yang lebih baru dibanding kehidupan masa sebelumnya.
Tanah, tentu dipandang sebagai salah satu sumber
daya alam, namun mengingat lahan pertanahan saat itu tak
terukur luasnya maka tanah hanya dapat dikuasai secara
ipso facto.29 Artinya, tanah dipandang dikuasi apabila
secara nyata dan kasad inderawi dimana tanah dimaksud
ditempati, dimanfaatkan, diusahakan, dan dirawat oleh
pemukim dan penggarapnya untuk kesejahteraan manusia.
Semakin lahan pertanahan dimaksud ditempati, diolah dan
dimanfaatkan secara nyata dan kasad inderawi, maka hak
penguasaan atas tanah akan semakin menguat. Sebaliknya,
semakin diterlantarkan, maka hak penguasaan dimaksud
akan semakin mengabur. Jika demikian halnya, hak atas
tanah berupa hak individual itu kembali tertransformasi
menjadi tanah bebas.
Jika imajinasi logis dilanjutkan ke arah zaman rajaraja pribumi beberapa abad lalu. Maka pada saat itu,
konsep-konsep yang lahir, hidup, tumbuh, dan berkembang
berada dalam suasana peradatan atau adat kerajaan. Para
raja pribumi berikut kelengkapan perangkatnya bukan
penggarap-penggarap tanah sehingga tidak perlu secara
ipso facto menjadi penguasa atas lahan pertanahan. Para
29
Dipinjam dari istilah yang biasa digunakan Wignyosoebroto, 1996.
Tanah Negara: Tanah Adat yang dinasionalisasi. Jakarta: Elsam.
123
penguasa pribumi hanyalah penguasa atas suatu kawasan
yuridiksi tertentu berikut penduduk yang berada dan
bermukim di dalam lingkungan kawasan dimaksud. Dengan
demikian, pada masa raja-raja pribumi tidak ada perubahan
konsep penguasaan hak atas tanah. Keadaan ini dapat
dirasakan keberadaannya, terutama di Jawa, sementara di
luar Jawa tentu suasana hukum adat masih menyelimuti
secara utuh.
Pada masa pemerintahan kolonial, kedatangan
pemerintah kolonial di Bumi Nusantara ini menjadikan
suasana hukum adat mengalami perubahan. Perubahanperubahan tak mungkin terhindarkan lagi mengingat terjadi
intensitas hubungan sosial antara masyarakat tempatan dan
pemerintah kolonial. Perubahan dimaksud terjadi menyusul
praktik-praktik hubungan sosial, politik, ekonomi, dan
hukum di bawah konsepsi-konsepsi Budaya Negeri Barat.
Konsekuensinya, tentu, ia akan menafikkan konsep-konsep
hukum adat yang dalam hal pertanahan telah dinyatakan
secara ipso facto, sementara konsep Barat mendalilkan ipso
jure.
Sehubungan dengan itu, Pemerintah Hindia Belanda
yang memang sejak awal berkonsep Barat, hak gubernur
(gubernemen) atas tanah pun didalilkan secara ipso jure
dari penguasa pribumi lewat kontrak panjang (lange
contracten) atau pernyataan pendek (korte verklaringen).30
30
Ini merupakan perjanjian-perjanjian politik antara raja-raja pribumi
dengan Pemerintah Hindia Belanda, seperti (1) kontrak panjang
Kesunanan Solo, Kesultanan Jogjakarta dan Deli, (2) pernyataan
124
Bertitik tolak dari premis tersebut, praktik-praktik
penguasaan ipso jure dicarikan alat pembenar yuridis
berupa Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria) pada
tahun 1870 (Ind. Stb. 1870 No. 55). Undang-Undang
Agraria dimaksud berisi suatu keputusan bahwa tanahtanah di Jawa dan Madura, yang di atasnya tidak dapat
dibuktikan adanya hak eigendom merupakan domein
negara.
Pada perkembangan waktu kemudian, sebuah
ordonansi yang dikenal dengan sebutan Algemene
Domeinverklaring, yang dimuat dalam Agrarische Wet
1875 (Ind. Stb. 1875 No. 1991) diterbitkan. Di sana,
dinyatakan undang-undang agraria sebelumnya berlaku
untuk daerah-daerah di luar Jawa dan Madura. Faktor
yuridis ini menjadi faktor penentu peniadaan kemutlakan
hak-hak adat masyarakat adat dan warganya atas tanahtanah lahan warisan nenek moyangnya secara ipso facto.
Namun demikian, aspek penggabungan antara dua
konsep di atas, juga dapat dibaca ketika hak-hak rakyat
masih memperoleh pengakuan de facto sebagai bezitrech
yang dapat dimohonkan pengakuan de jure sebagai
eigendom. Namun warga masyarakat tempatan tetap saja
beranggapan bahwa apabila keberadaannya di atas tanahtanah lahan yang mereka tempati telah berlangsung lama,
pendek Kesultanan Goa, Bone, dan sebagainya. Selanjutnya lihat
Muslimin, 1984. Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah. Bandung:
Alumni, hal. 14
125
turun-temurun, sudah cukup kuat untuk membuktikan
haknya atas tanah yang telah ditempati dan dimanfaatkan
secara nyata itu.
Kebijakan kolonial mengenai pengakuan hak atas
rakyat yang dikonsepkan sebagai bezitrecht kian lama kian
sulit diteruskan. Terutama, pada era pascakolonial tatkala
pembangunan nasional menuntut pemanfaatan tanah-tanah
lahan secara nasional untuk tujuan produktif. Sementara itu
keberadaan lahan pertanahan kian langka dan tidak
sebanding dengan akselerasi tingkat kepadatan penduduk.
Perebutan tanah menjadi tak terelakkan lagi dan dalam
proses perebutan itu pembenaran-pembenaran hak
berdasarkan hukum sangat menentukan. Satu hal yang
menjadi persoalan kemudian, menurut Wignyosoebroto,
adalah hukum manakah yang harus dijadikan dasar?
Hukum nasional (state law) baik yang dibangun
berdasarkan atas sumber-sumber formil dan materiil
nusantara tetap saja dipahami oleh jutaan orang yang
bermukim di pedalaman sebagai hukum asing, yang tak
mudah dikenali, dimengerti, dan dipahami, apalagi dihayati
oleh warga masyarakat tempatan untuk dijadikan pedoman
dalam pengelolaan tanah. Dalam persoalan hak atas tanah
misalnya, saat itu sertifikat hak atas tanah tidak mudah
dimengerti karena fakta penguasaan atas tanah yang telah
berlangsung turun-temurun dari generasi satu ke generasi
berikutnya tiba-tiba dikesampingkan begitu saja oleh titeltitel yang termuat dalam dokumen berupa sertifikat hak atas
tanah.
126
Hasil penelitian tentang eksistensi dan pola
penguasaan tanah adat di Sumatera Barat, Kalimantan
Barat, dan di Nusa Tenggara Barat menunjukkan bahwa
tanah adat masyarakat tempatan masih ada dikuasai secara
ipso facto, sekaligus menunjukkan dinamika penguasaan
hak atas tanah beragam.31
Dua hal menarik yang perlu dikemukakan dalam
tulisan ini adalah fenomena model sertifikasi hak atas
tanah. Di Sumatera Barat misalnya, terdapat dua jenis
model sertifikat, pertama, sertifikat hak atas tanah dengan
model kepemilikan bersama. Model dimaksud berupa
selembar sertifikat hak atas tanah dimana di atas lembaran
dimaksud tertulis nama seorang kepala kaum atau suku
sebagai penanggung jawab komunitasnya dan di balik
lembaran sertifikat dimaksud tertulis sejumlah nama
anggota kaum suku dimaksud. Kedua, terdapat pandangan
bahwa setiap bidang tanah yang disertifikatkan dianggap
sebagai sebagai tanah “liar”.32 Alasannya, tanah yang sudah
disertifikatkan akan menjadi bebas bagi pemiliknya untuk
dijual, disewa, digadai, dan sejenisnya, yang akhirnya tidak
diketahui oleh kepala nagari, suku, bahkan kepala kaum
sekalipun.
31
Hal ini dapat dilihat dalam Buku Laporan Hasil Penelitian Tanah
Adat yang dilakukan oleh Puslitbang Unika Atmajaya, Jakarta
bekerjasama dengan BPN Pusat.
32
“Liar” merupakan pandangan pimpinan masyakarat bahwa setiap
bidang tanah yang disertifikatkan diartikan sebagai dapat diberlakukan
sesuai kehendak penuh seseorang yang namanya tertera di atas
lembaran sertifikat dimaksud.
127
Dalam konsep lokal, memang hubungan antara warga
masyarakat tempatan dengan tanah tidak diukur dengan
selembar kertas yang disebut sertifikat, tetapi riwayat
penggarapan tanah secara turun temurun, pengakuan tokohtokoh adat, dan kesaksian orang lain menjadi faktor
penentu. Oleh sebab itu, jumlah warga masyarakat yang
tidak mengerti dan memahami fungsi sertifikat hak atas
tanah mungkin tak terhitung jumlahnya mengingat
pembuktian dan bukti ada ditangan yang secara budaya
memang telah berjalan secara turun temurun. Apalagi bagi
mereka yang tak pernah merasa berkepentingan untuk
membebaskan diri dari alam pemikiran hukum adat, tentu
dalam peta kognisinya akan berkukuh bulat untuk tetap
merujuk kepada struktur normatif lama.
Kini, permasalahannya adalah sebagian tanah ulayat
telah menjadi tanah negara dan sebagian lain telah mejadi
tanah perorangan. Ini berarti terjadi transformasi tanah
ulayat menjadi tanah negara melalui interaksi antara hukum
negara (Agrarian Law) dan hukum lokal (Adat Law) yang
hubungannya dibuktikan dengan selembar sertifikat mulai
dari sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan tanah
perorangan atau individual dengan sertifikat Hak Milik
(HM). Sertifikat-sertifikat tersebut telah menjadi dokumen
penting dalam realitas sosial sehari-hari yang dapat
digunakan untuk kepentingan ekonomi. Ini berarti ada
kecenderungan kuat sebagian orang tidak mempercayai
128
kepemilikan hak atas suatu tanah tanpa dibuktikan dengan
selembar dokumen tertulis.33
Dalam konteks tanah kepemilikan atas sebidang tanah
dengan dokumen selembar sertifikat hak atas tanah. Jika
sertifikat hak atas tanah tersebut dianggap sebagai bukan
produk sosial budaya lokal dan dipandang sebagai liar atau
asing sebagaimana pandangan di atas, maka kini muncul
pertanyaan penting, mengapa harus sertifikat dan apa
makna di balik sertifikasi hak atas tanah.
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut di atas, di
bawah ini disampaikan lebih dahulu konsep-konsep
filosofis34 yang digunakan sebagai alat untuk menjelaskan
makna apa yang terdapat di balik sertifikasi hak atas tanah.
Pertama, globalisme. Globalisme sebagai suatu konsep
filosofis dapat menunjuk kepada suatu proses penyebaran
sesuatu ke seluruh penjuru dunia yang dikerjakan oleh
suatu kekuatan tertentu. Kekuatan dimaksud mengerjakan
suatu proses yang membawa serta warga masyarakat di
seluruh penjuru dunia untuk menerima peradaban baru,
tidak saja dalam bidang teknologi, tetapi juga bidang
ekonomi, sosial, budaya, dan hukum. Dengan begitu ia
33
Sejajar dengan hal itu dalam kehidupan sehari-hari dapat dijumpai,
misalnya, kepemilikan sepeda motor, mobil dengan dokumen Bukti
Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB); ilmu pengetahuan dan
ketrampilan dibuktikan dengan selembar ijazah.
34
Konsep-konsep filosofis lebih ditekankan ketimbang konsep-konsep
teknis atau operasional. Jika hal terakhir yang digunakan, tentu ketiga
veriabel tersebut tidak akan memperlihatkan kesamaan, tetapi yang
terlihat justru perbedaan-perbedaan teknis.
129
berisi suatu proses penggantian filsafat yang telah dianut
oleh masyarakat tempatan dengan filsafat luar yang terbawa
serta dalam arus globalisasi.
Kedua, individualisme. Individualisme sebagai
konsep filosofis menggerakkan masyarakat di seluruh dunia
untuk menerima sebuah proses menuju kemajuan materiil
dengan sebuah taruhan beresiko tinggi yang tak dapat
terbagi kepada orang lain. Artinya, secara substansial, ada
kekuatan yang mengglobalkan suatu ide beserta hasilhasilnya ke dalam kehidupan materi semua umat manusia.35
Ketiga, hedonisme36. Hedonisme dimaksud diartikan
sebagai faham pencapaian kekayaan, kekuatan, ketenaran,
dan kekuasaan. Artinya, petualangan kearah perbaikan
kehidupan manusia dilakukan dengan tujuan menjadikan
hidup mereka serba berkecukupan materi. Fanatisme
perjuangan demikian melahirkan sebuah pandangan bahwa
tujuan hidup di dunia tidak lain adalah mencari kehidupan
35
Pada dasarnya, ide materi sudah ada di mana-mana. Hanya
pelaksanaannya tampak semakin menguat ketika para petualang Eropa
Barat berupaya mencari dan menemukan negeri-negeri di luar Eropa
dengan maksud menguasai dan mengambil kekayaannya. Petualangan
itu sendiri, secara historis, diawali sejak abad Ke XIV dan di dalam
perjalanan petualangan ke benua Afrika, Asia, Australia, hingga
ditemukannya benua Amerika oleh Columbus pada abad XV.
36
Ini merupakan salah satu filasafat hidup yang dianut dalam kekuatan
global dari 4 (empat) kekuatan
lainnya, yaitu individualisme,
sekularisme, dan hedonisme itu sendiri. Filsafat pelaksanaanyapun
berlainan, yatu rasional ekonomis (tepa guna), rasional teknis
(engineering), sportif, bersaing, perhitungan logis kausal dalam
menghadapi persoalan nyata. Selanjutnya lihat Koesnoe, 1997. Hukum
Adat. Surabaya: Ubhara Press, hal. 137-138.
130
bergelimang materi. Faham yang menekankan materi
demikian ini biasa disebut materialisme (materialism),
suatu faham yang memacu mereka untuk berjuang keras
untuk memperoleh harta kekayaan dalam jumlah sebanyakbanyaknya.37
Keempat, konsep interaksi antarhukum. Menurut
pandangan Moores (1987), jika hukum negara dan hukum
lokal berinteraksi di dalam lokal sosial sama (one sosial
field) diduga akan melahirkan empat kemungkinan.
Kemungkinan dimaksud diasumsikan sebagai integrasi
(integrate) yaitu penggabungan sebagian hukum negara dan
hukum
lokal,
inkoorporasi
(incoorporate)
yaitu
penggabungan sebagian hukum negara ke dalam hukum
adat atau sebaliknya, konflik (conflict) yang tidak terjadi
penggabungan sama sekali mengingat hukum negara dan
hukum lokal dimaksud saling bertentangan, dan
menghindar (avoidance) yaitu salah satu hukum
menghindari kebelakukan hukum yang lain. Dengan
konsep-konsep filosofis dan perspektif pluralisme hukum
tersebut diharapkan dapat menjelaskan apa makna yang ada
di balik sertifikasi hak atas tanah.
Ketika orang mencari kehidupan dunia lebih baik dari
sebelumnya, upaya itu dibenarkan oleh sebuah faham
hedonisme. Pemahaman ini dapat ditelusuri ke belakang
dengan merujuk pada perspektif filosofi orang Barat yang
37
Istilah yang biasa digunakan Wignyosoebroto, 1996. Tanah Negara:
Tanah Adat yang dinasionalisasi. Jakarta: Elsam.
131
menjelaskan bahwa menyusul benua Amerika ditemukan
oleh Columbus pada abad ke XV, orang Eropa Barat datang
ke benua baru tersebut untuk memperbaiki kehidupan
sebelumnya. Di dunia Barat, alat untuk mencapai maksud
tersebut dengan rekayasa
(engineering), penguasaan
teknologi desain di berbagai bidang dan lini menjadi
impian. Apa yang terlihat, ternyata sebagian impian
mewujud menjadi kenyataan, sebagaimana tampak pada
bangsa Amerika dan Eropa saat ini.
Dalam pencapaian (achievement) impian-impian tadi
memunculkan suasana keindividualismean, dalam suasana
seperti ini persaingan ketat menjadi unsur penentu sehingga
siapa saja yang berhasil dalam persaingan baik secara orang
perseorangan maupun kolektif, ia menjadi kaya, kekayaan
menjadikan kuat, kekuatan membawa kekuasaan. Inilah
sebagian yang dikehendaki hedonisme ala orang Barat.
Namun dibalik kesuksesan itu, ada suatu hal yang perlu
dicatat bahwa itu semua telah memunculkan rasa khawatir,
was-was, cemas, dan gelisah terhadap kekayaan materiil,
kejayaan, kekuatan, kekuasaan, dan ketenaran yang telah
diperoleh akan terancam berkurang, hilang, bahkan punah
baik pada masa kini maupun pada masa mendatang.
Berkaitan dengan ini, dalam hedonisme ala orang
Barat, pilihan keamanan (security) menjadi faktor penentu
dalam upaya menjaga keutuhan apa yang telah diperoleh
dan mengamankan praktik realisasi faham-faham yang
dimaksud di kemudian hari. Artinya, faktor keamanan
menjadi fokus berikutnya, upaya penciptaan alat mesin
132
berteknologi canggih, modern, efektif, dan efisien untuk
menjaga, mengamankan apa yang telah digapai segera
diwujudkan. Semua ini telah dihasilkan dan kini terus
menerus dikembangmajukan, yang intinya adalah untuk
menggapai dan mengamankan kemakmuran ekonomi,
kesejahteraan, dan kebahagiaan yang telah diperoleh secara
berkesinambungan.
Hedonisme telah merembes, menerabas, dan merebak
ke seluruh bagian negara dan masyarakat di dunia, kecuali
sebagian masyarakat lokal pedalaman, sehingga rasa
khawatir tidak kaya, tidak tenar, tidak berkuasa semakin
terasa di benak sebagian warga masyarakat luas, baik
kalangan profesi, pejabat negara, pegawai negara maupun
yang bukan ketiganya, hampir di semua lapisan dan lini
kehidupan sosial. Hal ini semakin berlebihan ketika sumber
daya yang selama ini dinikmati semakin terbatas, masa
depan tidak begitu jelas, serta persaingan untuk
memperoleh hal sama semakin ketat.
Dengan kata lain, rasa kekhawatiran terhadap apa
yang telah diperoleh dengan bekerja keras akan tidak diakui
merupakan ancaman kerangkeng ketidaknyamanan,
ketidakamanan. Jika demikian halnya, tentu, hal ini
merupakan kekhawatiran umum yang melanda di setiap
kognisi orang dan sekaligus mencari jalan keluarnya.
Hanya persoalannya adalah bagaimana mengatasi rasa
kekhawatiran terhadap ancaman kerangkeng-kerangkeng
ketidakamanan dan ketidaknyamanan itu seharusnya
dilakukan.
133
Tindakan mengamankan terhadap apa yang telah
diperoleh yang sesuai dengan pilar keadilan hukum, pilar
keadilan sosiologis, dan filosofis, tentu ke depan menjadi
aman adalah sertifikasi hak atas tanah. Sertifikat hak atas
tanah demikian ini dapat diinterpretasi sebagai bukti upaya
seseorang atau sekelompok orang yang mengamankan
terhadap apa telah diperoleh dengan cara-cara yang sesuai
undang-undang tertulis sehingga apa yang dilakukan
dengan pensertifikatan lambat laun akan menjadi
“kebudayaan”.38
Jika demikian halnya, maka sertifikasi dapat
diinterpretasi sebagai sebuah fenomena hedonism. Artinya,
ada tesis bahwa (1) di balik sertifikasi hak atas tanah
terdapat individualisme dan hedonisme yang dibawa oleh
globalisme. (2) Sertifikasi dipandang sebagai tindakan
pengaman terhadap apa yang diperoleh dengan kerja keras
di masa kini dan masa berikutnya. Kemudian, asumsi kedua
dan ketiga, tentu tidak dapat dijelaskan mengingat sebagian
warga yang tidak bersedia atau menolak (conflict) dan
sebagian lain menghindar (avoid) dari kemungkinan
interaksi hukum lokal berinteraksi dengan hukum negara.
38
Kebudayaan diartikan sebagai seperangkat pengetahuan yang
diyakini benar oleh sebagian besar warga masyarakat dan dijadikan
pedoman bertingkah laku. Selanjutnya, lihat juga Spradley, 1972 dalam
Culture and Cognition: Rules, Map, and Plans. San Fransisco:
Chandler Publishing Company dan Suparlan, 1999 “Konflik Sosial dan
Alternatif Pemecahannya” dalam Antropologi. Thn. XXIII. No. 59: 8-9
134
Hal ini juga dapat dibaca ketika sebagian warga
masyarakat tetap bersikukuh mempertahankan tanah ulayat
dari upaya “pentransformasian” status hukum tanah ulayat
menjadi tanah negara. Dengan munculnya fenomena
integrasi dan inkoorporasi39di daerah-daerah lainya di
seluruh nusantara, tentu, akan berimplikasi pada
pembangunan hukum nasional, dimana hukum nasional
yang dihasilkan merupakan produk dialogis vertikal antara
hukum lokal dan hukum negara, dan sekaligus dialogis
horisontal antar-hukum lokal sehingga lewat proses seperti
ini akan ikut serta mendorong penguatan persatuan dan
kesatuan bangsa dan negara Indonesia ke depan.
Di balik sertifikat itu juga lahir asumsi inkoorporasi
yaitu hukum adat menerima sebagian unsur hukum negara
dan hukum negara menerima sebagian hukum lokal (adat).
Artinya, sebagian warga masyarakat tempatan bersedia
menerima unsur hukum negara dan hukum negara pun
“tidak keberatan” untuk mengakomodasi keinginan warga.
Hal ini dapat ditafsir pada sebuah fenomena sertifikasi hak
39
Bandingkan dengan konsep neo-tradisionalism norm. Konsep ini
menjelaskan bahwa di satu pihak dapat terjadi hukum yang diterapkan
dan digunakan dipandang sebagai hukum negara, namun secara materiil
hukum tersebut terdapat unsur hukum adat, agama maupun daerah. Di
pihak lain, hukum yang dimaksud terdapat pula hukum yang diterapkan
dan digunakan oleh warga masyarakat dipandang sebagai hukum adat,
hukum agama ataupun hukum daerah, namun secara materiil
terkandung pula unsur hukum negara. Selanjutnya lihat Saptomo (1995)
dalam Berjenjang Naik Bertangga Turun: Proses Penyelesaian
Sengketa Tanah Adat Dalam Masyarakat Minangkabau. Tesis 2
.Jakarta: PPs UI
135
atas tanah ulayat di mana di halaman depan sertifikat
tertulis satu nama penghulu suku atau mamak kaum atas
sebidang tanah, sementara di balik sertifikat dimaksud
tertuang sejumlah nama-nama kemenakan penghulu suku
sebagai pemilik bersama.
Praktik pentransformasian status sebagian tanah adat
menjadi tanah negara, misal ekstremnya, berlangsung pada
bidang tanah yang kini dimiliki orang Jawa di lokasi
transmigrasi sebelum menjadi milik perorangan. Tentu,
sebelumnya tanah dimaksud berstatus tanah ulayat,
kemudian dinegarakan menjadi tanah negara. Akhirnya, ia
menjadi tanah milik perorangan dengan bukti selembar
sertifikat hak atas tanah.
136
BAB V
SENGKETA DAN BUDAYA HUKUM
V.1 Pegertian Sengketa
Untuk mengawali tulisan tentang sengketa ini, lebih dahulu
ditampilkan konsep konflik atau sengketa yang sering
digunakan dalam literatur ilmu-ilmu sosial. Dikalangan ahli
sosiologi lebih terfokus pada konsep konflik. Sementara
dikalangan penekun antropologi hukum cenderung
memfokuskan pada konsep sengketa.40 Berkaitan dengan
kedua konsep ini, penulis mengacu kepada pengertian
konsep sengketa yang dikemukakan oleh Nader dan Todd.
Dalam menguraikan pengertian tentang proses bersengketa
(disputing process), mereka membagi tahap-tahapan
bergulirnya suatu perselisihan dalam arena penyelesaian
sengketa. Tahapan tersebut meliputi: tahap pra–konflik
(pre-conflict) atau tahap keluhan, tahap konflik (conflict)
dan akhirnya tahap sengketa (dispute).
Pemilahan secara konseptual tersebut di atas
mempunyai tujuan untuk mempermudah dalam melakukan
pengklasifikasian terhadap sejumlah aktivitas pihak-pihak
yang terlibat sengketa. Mereka itu adalah yang terlibat
langsung sebagai aktor sengketa maupun pihak ke-tiga
40
Nader and Todd, 1978. The Disputing Process: Law in Ten Societies.
New: Colombia Press, hal. 4
137
sebagai mediator sengketa, sehingga mempermudah pula
untuk mengelaborasikan tahapan bersengketa.
Tahap Pra–Konflik. Pengertian tahapan ini adalah
suatu keadaan atau kondisi di mana seseorang atau
kelompok orang merasakan bahwa haknya dilanggar atau
diberlakukan tidak adil. Pelanggaran terhadap suatu hak
tersebut mengakibatkan perasaan tidak adil sehingga lahir
keluhan, yang mengandung suatu potensi untuk
konfrontasi. Jika perasaan demikian tidak dikonfrontasikan
kepada pihak yang dianggap memperlakukan tidak adil atau
telah dikonfrontasikan, namun pihak lain tidak menanggapi
atau menghindari atau tidak mereaksi terhadap keluhan,
tantangan, yang diajukan kepadanya, maka tahapan ini juga
disebut tahapan monadic. 41
Tahap Konflik. Tahapan ini pada umumnya
merupakan kelanjutan dari tahap pre-konflik. Tahapan ini
terjadi apabila pihak yang merasa haknya dilanggar
memilih jalan konfrontasi, melemparkan tuduhan kepada
pihak pelanggar haknya, atau memberitahukan kepada
pihak lawannya tentang keluhannya, dan memperoleh
tanggapan dari pihak lawan. Dengan ditanggapinya keluhan
tersebut menjadikan kedua pihak sadar mengenai adanya
suatu perselisihan diantara mereka, karena ada perbedaan
intepretasi atau persepsi mengenai sesuatu hal. Ciri tahapan
41
Nader dan Todd, 1978. Op Cit. hal. 14
138
konflik ini, sebagaimana dikutip oleh Ihromi, adalah diadik
atau kedua belah pihak telah saling berhadapan.42
Tahap Sengketa. Dalam tulisan ini penulis
menggunakan pengertian konsep sengketa yang berasal dari
rumusan Gulliver, sebagaimana dikutip oleh Nader dan
Todd, bahwa sengketa hanya terjadi jika pihak yang
mempunyai keluhan atau seseorang atas namanya telah
meningkatkan peselisihan dari tingkat perdebatan ke tingkat
arena publik. Dengan bergeraknya suatu peristiwa dari
tahap para-konflik atau tahap konflik ke arah sengketa yang
melibatkan pihak ke tiga, baik atas kemauannya sendiri
atau tidak atas kemauannya, maka keterlibatan pihak ketiga
ini pada jenjang tertentu bertindak sebagai pihak yang
netral. Namun pada jenjang-jenjang tertentu ikut pula
mewarnai tuntutan pihak-pihak yang bersengketa.
Berkaitan dengan keterlibatan pihak ketiga dalam
proses penyelesaian sengketa tanah, ada baiknya diacu pada
studi Comaroff dan Robert43 yang membahas mengenai
penyelesaian sengketa pada masyarakat Tsawana di Afrika.
Comaroff dan Roberts menyebutkan bahwa klasifikasi
keterlibatan pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa tidak
selalu sama.
Penulis mengutip upaya pengklasifikasian tentang
keterlibatan pihak ketiga sebagaimana telah dilakukan oleh
Comaroff: Pihak ketiga yang berkedudukan sebagai orang
42
43
Ihromi, 1993, Op.Cit. hal. 209
Lihat Comaroff dan Robert, Op.Cit., hal. 1981.
139
yang dipercaya (confidant) untuk memberikan penjelasanpenjelasan yang berkaitan dengan obyek yang
disengketakan (perceptual clarification). Pihak ketiga
berkedudukan sebagai orang yang berperan aktif memberi
suatu penyelesaian sengketa (to seek a settlement) dan
selama itu bertindak netral. Ketiga, keterlibatan pihak
ketiga sebagai orang yang diminta untuk mendukung dalam
menyusun strategi (strategy purpose) bagi kemenangan
pihak tertentu.
V.2 Budaya Penyelesaian Sengketa
Hingga kini mungkin tidak sedikit orang kurang
mengetahui jawaban atas pertanyaan, mengapa dalam
kehidupan bermasyarakat selalu ada perselisihan, konflik,
sengketa, dan perbuatan-perbuatan lain yang dapat
dikategorikan sebagai perbuatan melanggar tatanan susila,
tatanan sosial, dan tatanan-tatanan sejenis lainnya, bahkan
perbuatan sejenis lainnya yang dapat dikategorikan sebagai
tindak kejahatan.
Kualitas perselisihan hampir selalu menyesuaikan
perkembangan
masyarakat
itu
sendiri,
sebuah
perkembangan yang dapat digolongkan ke dalam tiga
tahapan; pertama, tahapan masyarakat sederhana; kedua,
masyarakat
kompleks,
dan
ketiga,
masyarakat
multikompleks. Dalam kehidupan sosial sehari-hari,
masyarakat satu dengan yang lain dimaksud tidak lepas dari
persoalan-persoalan
perselisihan,
baik
perselisihan
berbentuk keluhan, konflik maupun sengketa, yang
140
diakibatkan oleh serangkaian interaksi sosial antarwarga
masyarakat itu sendiri.
Namun, pengelolaan persoalan perselisihan yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat satu dengan yang lain
berbeda tingkat dan corak cara penyelesaiannya.
Pengamatan terhadap masyarakat sangat sederhana, seperti
masyarakat pedesaan umumnya, di mana hubungan sosial
antarorang perseorangan atau antar kelompok orang tidak
begitu kompleks menunjukkan bahwa dalam hubungan
sosial antara orang satu dengan yang lain jarang sekali ada
perselisihan, meskipun terjadi perselisihan penyelesaianpun
sederhana, seperti mengusir, menjauhi, sindiran, semonan,
dan menghindar. Mekanisme penyelesaian sengketa dalam
masyarakat sederhana demikian ini tidak serta merta
dilakukan secara formal dan melibatkan aturan-aturan
tertulis.
Ini berbeda dengan kehidupan masyarakat sangat
kompleks, di mana perselisihan semakin rumit, bahkan
secara statistik angka tindak kejahatan cenderung
bertambah, kualitas meningkat sebagai akibat logis dari
kondisi seperti ini pengelolaan penyelesaiannya menjadi
rumit. Dalam masyarakat yang disebut terakhir ini,
meskipun infrastruktur ditingkatkan, bahkan suprastruktur
seperti lembaga ekstra yudisial diterbitkan, persoalanpersoalan hukumpun tetap bermunculan. Dalam kasuskasus sengketa yang diselesaikan melalui peradilan formal,
ternyata perkara semakin hari semakin menumpuk di atas
meja pengadilan, penyelesaiannya pun membutuhkan
141
waktu lama, birokrasi berkepanjangan dan sebagian
keputusan akhir tidak memuaskan banyak pihak.
Orang tidak mudah menghapus citra bahwa dalam
proses peradilan formal umumnya memiliki kelemahan44.
Kelemahan yang dimaksud adalah (1) proses peradilan
berlangsung atas dasar permusuhan atau pertikaian
antarpihak yang bersengketa mengingat pihak satu
diposisikan secara berseberangan dengan pihak lain. Proses
peradilan
demikian
tentu
menghasilkan
bentuk
penyelesaian yang menempatkan antarpihak secara
tersubordinasi, dimana pihak satu sebagai pemenang dan
sebaliknya pihak lain sebagai pihak yang kalah. (2) Proses
peradilan berjalan atas dasar rel hukum formal, statis, kaku
dan baku.
Akibat keformalan demikian ini menjadikan para
pihak yang bersengketa, biasanya lewat pengacara sering
mempersoalkan jenjang-jenjang hukum prosedural hingga
memakan waktu panjang. Kondisi demikian menyebabkan
persoalan inti menjadi terabaikan atau setidak-tidaknya
tertunda akibat melarutkan diri dalam persoalan prosedural
formal. (3) Proses peradilan sering tidak mampu
menangkap nilai-nilai sosial budaya yang muncul dalam
44
Di Indonesia, ada empat bentuk badan peradilan sebagaimana disebut
dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1974 yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Terakhir ini telah diganti
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dan terakhir Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.
142
kasus sengketa akibat para hakim merujuk pada aturanaturan baku. (4) Proses peradilan berjenjang-jenjang dari
institusi pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan institusi
kasasi. Jika yang terakhir inipun putusan hukum dirasakan
tidak puas, maka yang bersangkutan dapat mengajukan
peninjauan kembali dengan catatan ditemukan bukti baru
(novum).
Sebagai alternatif pemecahannya, penyelesaian
konflik atau sengketa yang melibatkan pihak-pihak yang
terlibat langsung untuk mengatur proses dan menemukan
keputusannya sendiri dengan atau tanpa melibatkan pihak
ketiga. Ini merupakan penyelesaian perselisihan yang dapat
dikategorikan sebagai salah satu bentuk Pilihan
Penyelesaian Sengketa-PPS (Alternatif Dispute ResolutianADR). Penyelesaian demikian ini dapat ditemukan dalam
(1) masyarakat guyub (gemeinschaft) serta belum
mempunyai peradilan negara yang merata dan melembaga.
Dalam masyarakat guyub dimaksud, PPS dipandang
sebagai kelanjutan dari praktik kebiasaan atau adat. (2)
Masyarakat Gessellschaft, PPS banyak digunakan karena
dipandang efisien, cukup memuaskan pihak-pihak yang
berselisih.45
Para pihak, umumnya merasa puas terhadap
keputusan yang dihasilkan dengan cara ini karena
perselisihan tidak menjadi konflik terbuka. Dalam hal ini,
45
Hal ini pernah disinggung pula oleh Falakh dalam Desentralisasi
Penyelesaian Sengketa Hukum” dalam KOMPAS. Jakarta. 1995.
143
para pihak disarankan untuk lebih menekankan pada
musyawarah, konsensus menuju keharmonisan sehingga
cara-cara demikian dapat mempersingkat durasi waktu,
menekan jumlah biaya serta dapat langsung dilaksanakan.
Latar belakang ini mungkin untuk mendasari banyak orang
mengharapkan agar pihak-pihak yang sedang berselisih
menyelesaikan sengketa kembali ke jalur budaya
masyarakat setempat. Apakah itu perselisihan yang
diakibatkan oleh adanya perikatan utang-piutang, warisan,
perceraian, pencemaran lingkungan, dan perselisihanperselisihan sumber daya alam sejenis. Budaya yang
dimaksud adalah cara pengelolaan perselisihan yang lahir,
tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat dan yang telah
menjadi kebiasaan atau adat.
Dalam konteks masyarakat guyub, biasanya orang
menggunakan pola penyelesaian perselisihan dengan
berembug, mediasi, negosiasi, musyawarah–mufakat
menuju perdamaian. Perdamaian dalam praktik peradilan
formal biasa disebut dengan terminologi dading. Artinya,
lembaga dading dalam peradilan formal masih diberi ruang
untuk dipratikkan pada kasus-kasus perdata dan selalu
dianjurkan oleh hakim, bahkan telah menjadi langkah
pertama yang ditempuh oleh seorang hakim apabila
menyelesaikan suatu perselisihan perdata kepada pihakpihak yang bersengketa.
Namun praktik dading dalam peradilan formal seperti
ini dirasakan kurang berjalan efektif karena umumnya
seorang hakim tidak berperan langsung untuk membimbing
144
persengketaan untuk menemukan proses penyelesaian dan
vonisnya sendiri, sebagaimana kebiasaan yang terjadi di
negara Singapura. Di negara disebut terakhir ini seorang
hakim biasa menjadi mediator, negosiator, arbitrator yang
secara aktif membimbing proses penyelesaian perselisihan
dan mereka sekaligus menemukan vonisnya.
Jadi, institusi pilihan penyelesaian sengketa
sebenarnya telah terjadi di negara-negara maju, di Amerika
Serikat misalnya, disebut Alternatif Dispute Resolution, di
Singapura disebut Court Dispute Resolution, di Cina
disebut People’s Mediation and Administration Mediation.
Dalam konteks Indonesia, Undang-undang Nomor 22
Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
menghendaki perselisihan diselesaikan lewat mediasi atau
negosiasi sebelum dibawa ke Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) atau Pusat (P4P).
Lebih-lebih masyarakat Indonesia yang umumnya masih
bersifat guyub, maka tulisan tentang Pilihan Penyelesaian
Sengketa sesuai dengan budaya Indonesia menjadi penting
diruai kembali.
V.3 Penyelesaian Sengketa Dalam Budaya Indonesia
Substansi Pilihan Penyelesaian Sengketa adalah upaya
kongkrit para pihak yang berselisih untuk menemukan
hukumnya sendiri, maka upaya penyelesaian perselisihan
atau sengketa yang mengujung pada perdamaian telah lama
dikenal bengsa indonesia, bahkan upaya–upaya tersebut
telah melembaga kedalam apa yang disebut peradilan desa
(doorpsjustice). Pada masa silam peradilan desa ini ada di
145
seluruh wilayah Indonesia, dan pada dasarnya menjalankan
kewenangan selain sebagai pengadilan pidana, juga hukum
perdata.
Apabila proses penyelesaian sengketa diukur dengan
praktik penyelesaian sengketa pada masa yang ada
sekarang, maka proses penyelesaian sengketa dimasa silam
tampak sederhana. Sebagaimana dijelaskan di depan,
bahwa bentuk masyarakat saat itu merupakan masyarakat
sederhana. Kesederhanaan proses penyelesaian sengketa
dimaksud berhubungan dengan tingkat pengetahuan warga
desa pada umumnya, sehingga bentuk dan cara
menjalankan proses tampak sederhana pula.
Namun demikian penyelesaian sengketa pada
peradilan desa tersebut pada azasnya menjalankan
pendidikan hukum yang didasarkan kepada suatu prinsip,
bahwa hukum diciptakan tidak untuk dilanggar, akan tetapi
untuk dihormati dan ditaati, agar tercapai perdamaian
(dading). Pada saat itu, orang yang melanggar hukum
dipandang sebagai melanggar ketertiban umum. Peradilan
desa sebagai Disciplinaire Rechtspraak (Pengadilan
Ketertiban), yang diselenggarakan bukan untuk membalas
dendam atau membalas kesalahan tetapi untuk membangun
perdamaian.
Namun dalam perkembangannya, di mana kebijakankebijakan Pemerintah Kolonial mulai mempengaruhi
kebijakan–kebijakan pemerintah desa. Akibatnya, mutu dan
nilai pengadilan desa mulai mengalami perubahan, ini
tampak ketika pada 1925–1927 diadakan penyelidikan
146
tentang perlu tidaknya dihidupkan kembali pengadilan
ketertiban desa. Pada saat itu pamong praja terpaksa
menyatakan kesangsiannya atas kemurnian jiwa
pengadilan. Meskipun ada sarjana lain yang berpendapat
bahwa pengadilan desa perlu dihidupkan kembali, namun
harus didasarkan pada undang–undang yang sekaligus
mengatur bidang–bidang pidana, perdata, bentuk materinya
dan batas–batas kekuasaan pengadilan desa.
Pada saat itu, dasar hukum yang melandasi
berlakunya pengadilan desa adalah Pasal 25 ayat Reglement
yang menyatakan bahwa jika ada perselisihan antara
penduduk desa di lapangan hukum perdata, hukum
keluarga, hukum waris, maka kepala desa dengan bantuan
dewan panitia mengadili perselisihan itu dengan jalan
mendamaikan. Pada umumnya, orang-orang yang berselisih
menyetujui usulan kepala desanya. Dan sudah tentu pada
kasus dan orang tertentu ada pengecualiannya, misalnya
jika ada orang tidak setuju usulan kepala desanya maka
perkara dimajukan kepada wedana. Pejabat ini sekali lagi
akan mencoba untuk mendamaikan pihak–pihak yang
berselisihan. Bilamana pada tahap ini tidak ada
penyelesaian, maka wedana juga berkewajiban memajukan
perkara ini kepada pengadilan yang mempunyai
kewenangan untuk itu sekaligus memberi petunjuk tentang
tata cara pengajuannya.
Apa yang dilakukan pengadilan desa pada saat itu
adalah hukum dimaknai sebagai alat pendidikan dan
pengadilan ketertiban yang diletakan diatas tangan warga
147
masyarakat bersangkutan sendiri. Pengadilan ketertiban itu
mempunyai nilai tinggi dalam kenegaraan dan
kemasyarakatan. Kondisi seperti ini ditanggapi positif oleh
pemerintah kolonial. Bahkan, pemerintah kolonial pada
waktu itu memberi dasar hukum sebagaimana tertuang
dalam Bijblaad 1246. Ini dilakukan karena substansi
penyelesaian sengketa lewat pengadilan desa telah lahir,
tumbuh, dan berkembang di berbagai daerah.
Di setiap daerah ini memiliki tema–tema budaya yang
pada dasarnya antara satu sama lain substansinya sama
yaitu menjunjung tinggi budaya musyawarah. Sebagaimana
yang disebut di depan bahwa pengadilan desa itu tidak ada
di Jawa dan Madura saja, melainkan di kepulauan
Indonesia hampir ada pengadilan desa. Misalnya, di Aceh.
Di sana ada pengadilan yang sifatnya sebagai dewan
pemisah, kekuasaan itu diberikan kepada kepala desa. Jika
ada pihak yang berselisihan maka kepala desa bertindak
dengan cara mendamaikan pihak–pihak yang berselisih. Di
tanah Gayo, pangadilan desa ditaruh di atas tanggung jawab
Raja-Raja. Pengadilan desa ditaruh di tanah Batak
kekuasaan itu ada ditangan kepala pusat kota atau Raja
padusunan. Di Tapanuli Selatan, kekuasaan itu diberikan
kepada oleh Kepala Kuria, tetapi sejak tahun 1916 oleh
Kepala Distrik.
Dalam masyarakat Minangkabau misalnya, di sana
ada lembaga Kerapatan Adat Nagari. Bekerjanya lembaga
perdamaian desa ini disemangati oleh budaya musyawarah
mufakat. Dalam musyawarah tersebut pihak-pihak yang
148
berselisih dengan suka rela melunakkan sikap dan pendapat
kakunya dan pada saat yang sama ia sekaligus menerima
dan memahami pendapat pihak lain. Di Sumatera Selatan,
pengadilan itu dipegang oleh kepala suku dengan bantuan
pinitua. Dalam masyarakat kepulauan Ambon dan Banda
yang yang memegang kekuasaan pengadilan adalah kepala
negeri. Dalam masyarakat pulau Kei pengadilan di rumah
kepala negeri.
Sebagaimana pernah disebut di depan, secara
substansial budaya Indonesia mengandung tema–tema
budaya. Untuk menyebut beberapa di antaranya adalah
bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek musyawarah
dalam masyarakat Minangkabau, nglurug tanpa bala,
menang tanpo ngasorake (win–win solution) dalam
masyarakat Jawa, harmoni jagad gede dan jagad cilik
dalam masyarakat Bali untuk penyelesaian sengketa di luar
peradilan formal.
Tema-tema budaya demikian itu sebenarnya ada dan
seringkali digunakan dalam penyelesaian sengketa yang
terjadi di daerah-daerah di seluruh Nusantara Indonesia,
khususnya dalam lingkup yang kecil, dimana dalam lingkup
kecil tersebut identitas tatap muka lebih menonjol
dibanding masyakarat kompleks. Meskipun demikian,
karakter masyarakat satu dengan yang lain berbeda
sehingga intensitas penggunaan juga berbeda. Misalnya,
tema-tema budaya, sangat menonjol dalam masyarakat
Jawa, Bali, dan masyarakat Indonesia Bagian Timur
dibanding di daerah-daerah lain.
149
Di dalam dua masyarakat pertama, pada dasarnya
sengketa yang terjadi diselesaikan dengan penghindaran.
Ini ditujukan untuk menjaga serta memelihara ketertiban
dan memperkecil sifat emosional, sekaligus memperkecil
setiap permusuhan, yang semuanya dipandang akan dapat
mengganggu praktik-praktik hubungan sosial di masa
mendatang.
Pada masyarakat Jawa umumnya, ada kebiasaan
dalam membuat keputusan yang dilakukan dalam rapat
desa atau dahulu disebut sebagai dewan perapat atau prapat.
Di dalam dewan yang warganya terdiri dari orang-orang
perwakilan dari dukuh-dukuh, mereka berembug untuk
menyelesaikan perkara-perkara yang terjadi. Pertemuanpertemuan dalam prapat untuk memutuskan usulan-usulan
yang muncul dalam setiap prapat. Prapat memutuskan
bukan berdasarkan suara mayoritas, tetapi keseluruhan
usulan-usulan yang muncul dalam setiap rapat ditampung,
dan pada prapat yang sekian kalinya akan diputuskan
berdasarkan musyawarah mufakat.46
Dalam masyarakat pedesaan hingga kini semangat
musyawarah seperti ini masih hidup dan dalam pengamatan
menunjukkan bahwa musyawarah memang dipandang lebih
nalar dan para pihak tidak bertahan pada pendapatnya
sendiri. Dalam konteks penyelesaian sengketa, win-win
46
Koentjaraningrat, 1990. Sejarah Antropologi II. Jakarta: UI Press
150
solution dalam musyawarah tidak ada pihak yang menjadi
pihak yang dikalahkan atau dimenangkan.
Di berbagai daerah lain masih ada lembaga
perdamaian yang memiliki kewenangan berbagai bidang,
seperti perdata, pidana, pelanggaran ketertiban sosial dan
umum. Sudah tentu, dalam konteks sekarang bidang-bidang
ini menjadi kewenangan lembaga sepanjang warga yang
berkepentingan langsung mengadukannya kepada lembaga
perdamaian ini. Dalam kegiatannya, di lembaga ini ada
kepala adat atau kepala suku ikut bersama warganya serta
akif memelihara, menjaga, menjalankan hukum adat
berdasarkan niali-nilai masyarakat setempat di mana
mereka menjadi pimpinan informalnya.
Dalam menjalankan tugasnya, ia tidak menjadikan
kewenangan dimaksud dijalankan sendirian, tetapi sebagai
satu kesatuan dewan warga yang bekerja secara fungsional
seperti dewan sedemikian rupa sehingga kepala adat dalam
menjalankan tugasnya selalu bermusyawarah dengan
warga-warga lain dalam dewan itu. Satu hal yang amat
penting dalam penyelesaian sengketa, yaitu kepala adat
berupaya mendamaikan pihak-pihak yang berselisih.
Apabila terjadi perselisihan diantara warga dalam satu
kelompok atau antarkelompok, maka kepala adat
berkedudukan
sebagai
hakim
perdamaian,
yang
menjalankan tugasnya berdasarkan hukum adat dan aktif
menghimbau agar mereka bersedia memilih pilihan
penyelesaian alternatif untuk memulihkan keadaan seperti
sebelumnya.
151
Semua itu dilakukan untuk mencapai rasa keadilan.
Penyelesaian sengketa di atas menunjukkan bahwa jika
terjadi sengketa diantara warga
masyarakat, mereka
cenderung menyerahkan kapada pihak adat untuk
menyelesaikan
berdasarkan
hukum
adat
secara
kekeluargaan, musyawarah mufakat. Ini sekaligus
menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa di luar forum
peradilan formal telah lama ada dan hingga kini masih
hidup dalam budaya masyarakat Indonesia.
V.4 Perdamaian Dalam Penyelesaian Sengketa
Perdamaian, dalam lingkungan penstudi hukum perdata
biasa disebut dading. Dalam salah satu kamus hukum yang
disusun oleh Puspa.47 Dading diartikan sebagai perdamaian
di sidang pengadilan atau perdamaian di hadapan sidang
pengadilan. Upaya itu ditunjukkan oleh isi perjanjian yang
dibuat dan disetujui oleh kedua belah pihak tergugat dan
penggugat/tertuduh dan penuduh di mana kedua belah
pihak melepaskan hak sementara untuk menghindari suatu
perkara dihadapan sidang pengadilan.
Dading biasanya dilakukan dalam penyelesaian
kasus-kasus perdata. Ini tampak dalam pasal 1888 KUH
Perdata. Perdamaian dalam praktik peradilan formal biasa
disebut dengan terminologi dading itu dipratikkan dan
selalu dianjurkan oleh hakim, bahkan telah menjadi langkah
pertama yang ditempuh seorang hakim apabila
47
Lihat Puspa, Y.P., 1987. Kamus Hukum. Semarang: Aneka Ilmu
152
menyelesaikan suatu perselisihan perdata kepada pihakpihak yang bersengketa.
Namun praktik dading dalam peradilan formal seperti
ini dirasakan kurang berjalan efektif karena umumnya
seorang hakim tidak berperan langsung untuk membimbing
persengketaan untuk menemukan proses penyelesaian dan
vonisnya sendiri. Namun demikian, ke depan diharapkan
dengan dasar Perma 2 Tahun 2003 yang mengatur tentang
peran hakim sebagai mediator akan lahir perdamaian baik
kuantitas maupun kualitasnya.
Meskipun demikian pengaturan lembaga dading
dalam KUH Perdata (Burgelijk Wetboek) yang berasal dari
negeri Belanda ini menjadi dasar-dasar yuridis dalam
penyelesaian sengketa dengan tujuan perdamaian. Apabiladasar-dasar yuridis tersebut diamati, maka dading akan
terjadi apabila beberapa unsur penting dipenuhi; pertama,
unsur kecenderungan perkara yang melibatkan dua belah
pihak yang sedang berselisih dapat diteruskan menjadi
perkara di pengadilan. Kedua, kedua belah pihak
menghendaki agar perkara yang sedang berjalan segera
diakhiri secara musyawarah mufakat.
Untuk mencapai tujuan yang disebut terakhir itu
kedua belah pihak sepakat untuk membuat perjanjianperjanjian tertulis. Setelah perjanjian dimengerti dan
dipahami, kemudian ditandatangani oleh kedua belah pihak
dan diketahui pihak ketiga. Dengan cara seperti ini, isi
perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak dan tidak
dapat ditarik kembali. Artinya, kedua belah pihak harus
153
aktif menemukan hukumnya sendiri, memutuskan sendiri
dan mengikatkan dirinya sendiri terhadap isi perjanjian.
Perjanjian yang mengikat kedua belah pihak-pihak
yang membuat seperti ini sebenarnya telah dikenal di
negara di mana KUH Perdata berasal, yaitu negeri Belanda.
Di negeri Belanda sana dikenal lembaga advis yang
mengikat (binded advise). Sementara Indonesia sebagai
negara koloni negeri Belanda telah pula mengadopsi KUH
Perdata tersebut, sebuah kitab hukum yang beberapa
pasalnya mengatur tentang lembaga dading.
Dalam perkembangannya, lembaga dading terkesan
kurang dikembangkan, meskipun telah tercantum dalam
pasal 1831 sampai dengan 1864 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Buku III. Oleh sebab itu, sebenarnya
penyelesaian sengketa dengan cara musyawarah dengan
tujuan damai telah ada dan diatur lengkap, namun dalam
praktik-praktik proses peradilan di Indonesia terkesan
kurang dikembangkan. Bahkan, dalam pasal 1858 KUH
Perdata misalnya, disebutkan bahwa antara pihak-pihak
dading mempunyai kekuatan tertinggi dan terakhir (Kracht
van gewijste in het hooghste ressort).
Secara yuridis formal, uraian di atas menunjukkan
bahwa KUH Perdata masih berlaku sebagai hukum positif
dan dipakai sebagai pedoman oleh praktisi hukum dalam
menangani perkara yang diserahkan kepadanya. Oleh sebab
itu, sekali lagi lembaga dading yang telah ada dan diatur
dalam KUH Perdata sebagaimana disebut di atas bahwa hal
itu dapat dipandang sebagai landasan
hukum
154
diselenggarakannya upaya pengembangan lembaga dading
lebih lanjut sebagai salah satu penyelesaian sengketa di luar
forum pengadilan. Dengan demikian, dalam konteks
“peradilan yang lebih luas, dading bukan saja berarti upaya
perdamaian di sidang pengadilan, tetapi telah mempunyai
masa sosio-yuridis, bahwa penyelesaian sengketa secara
musyawarah dengan tujuan perdamaian yang dilakukan di
luar pengadilan.
155
BAB VI
PENEGAKAN HUKUM
DENGAN KEARIFAN LOKAL
VI.1 Penegakan Hukum
Sebelum dijelaskan lebih jauh mengenai apa yang
dimaksud Penegakan Hukum dengan Kearifan Lokal, perlu
dikemukakan paradigma konstitusional Negara Kesatuan
Republik Indonesia, bahwa dalam membangun tatanan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
Indonesia harus didasarkan pada hukum. Makna ini telah
tersirat secara eksplisit dalam Undang Undang Dasar 1945
bahwa Negara Indonesia berdasarkan Hukum. Namun
hukum yang berupa peraturan perundang-undangan itu
sendiri tidak bermakna apa-apa jika tidak dapat diwujudkan
oleh institusi pelaksananya. Pada konteks ini pula, institusi
pelaksananya adalah Kepolisian, Kejaksaaan, Kehakiman,
dan terakhir Lembaga Pemasyarakatan sebagai wadah
pembinaan narapidana.
Dalam praktik penegakan hukum, keseluruhan
pelaksana hukum itu telah mengalami perjalanan panjang
yang pada setiap era pemerintahan diwarnai pendekatan
yang berbeda sehingga efektivitas pelaksanaan hukum itu
sendiri juga berbeda. Salah satu pendekatan yang menonjol
adalah pendekatan formal dari atas ke bawah (topdown
approach). Dalam konteks penegakan hukum oleh Institusi
Kepolisian pada era militeristik, ternyata, digunakan
pendekatan yang sering diikuti kepentingan penguasa.
156
Selain itu, perilaku militeristik yang diperlihatkan Polisi
cukup menonjol sehingga hasilnya sebuah ketidakefektifan
dalam penegakan hukum. Pendekatan formal, rigid, dan
kaku demikian ini menjadikan masyarakat sebagai obyek,
bukan sebagai subyek aktif yang berpotensi ikut serta
dalam proses penegakan hukum secara dini (preventive).
Tentu, kondisi demikian ini semakin menjauhkan
masyarakat dari peran pembantu tugas-tugas kepolisian
yang semestinya. Padahal sebagaimana terjadi di negaranegara maju seperti Inggris, peran polisi tidak saja sebagai
penegak hokum, tetapi juga pemberdaya masyarakat.
Mereka mengetahui bahwa masyarakat sebenarnya telah
mengetahui mengapa terjadi kejahatan atau pelanggaran
hukum, juga tahu apa yang seharusnya dilakukan agar tidak
terjadi kejahatan dan pelanggaran hukum. Demikian pula
masyarakat Indonesia yang merupakan masyarakat
komunal seperti Indonesia amat berpotensi untuk
mendukung kinerja Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kearifan lokal dimaksud merupakan kekuatankekuatan sosial yang lahir, tumbuh, dan berkembang
menjadi pranata masyarakat setempat. Dengan pengertian
demikian ini, penegakan hukum, misalnya penegakan
hukum oleh polisi, maka akan mengenal beberapa
pendekatan yang melibatkan kekuatan atau potensi
masyarakat setempat dimana hukum ditegakkan. Namun
potensi-potensi masyarakat dimaksud belum ditangkap
sepenuhnya oleh Kepolisian Negara Indonesia. Sehubungan
dengan itu, politik hukum yang menyusul Gerakan
157
Reformasi yang terjadi dan dimulai tahun 1998 merupakan
momentum besar bagi keseluruhan institusi hukum
Indonesia untuk merubah paradigma penegakan hukum dari
atas ke bawah (top down) menjadi bawah ke atas (buttom
up).
Hingga sekarang, pendekatan yang disebut pertama
masih belum berubah secara signifikan, memang dalam
beberapa hal bergeser ke pendekatan buttom up dan namun
belum maksimal menggunakan potensi-potensi masyarakat
untuk diikutsertakan dalam proses penegakan hukum.
Penegakan hukum masih dipandang sebagai tanggung
jawab negara, sebagaimana disebutkan dalam UndangUndang Dasar 1945 bahwa negara berkewajiban
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia. Untuk itu, mestinya selain pemerintah,
peran masyarakat juga diikutsertakan dalam perlindungan
terhadap pelanggaran-pelanggaran atau kejahatan lainnya,
di bawah ini dikemukakan empat pendekatan kepolisian
yang digunakan dalam rangka penegakan hukum.
Secara konstitusional, perjalanan ketatanegaraan dan
ketatapemerintahan negara Indonesia didasarkan pada
hukum. Sebagaimana disebutkan pada Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 1 Ayat 3 bahwa
negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) bukan
negara kekuasaan (machtstaat). Salah satu konsekuensi
yuridis logis dari negara hukum dimaksud adalah supremasi
158
hukum. Artinya, penegakan hukum harus dilaksanakan.48
Dalam praktik pelaksanaan penegakan hukum dimaksud, di
satu sisi, dapat berlangsung sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku, namun di sisi lain, dapat juga
terjadi tidak sesuai dengan peraturan perundangan, bahkan
terjadi penyimpangan hukum. Jika terjadi yang terakhir,
maka pilihan utamanya adalah penegakan hukum harus
menjadi kenyataan.
Satu hal amat penting berkenaan dengan wacana
penegakan hukum ini adalah ketika tujuan hukum dibentuk
untuk melindungi kepentingan masyarakat dan peran
hukum itu dimainkan oleh penegak hukum. Dalam arti
demikian ini, peran penegak hukum menjadi penting untuk
dianalisis terutama penegakan hukum dalam arena
peradilan yang dilakukan oleh hakim, jaksa, polisi,
pengacara yang lazim disebut Catur Wangsa.49 Dengan kata
lain, dalam konteks penegakan hukum oleh kepolisian
misalnya, tentu penegakan hukum dikaitkan dengan
48
Ciri-ciri negara hukum ada pembagian kekuasaan dalam negara, hak
azasi manusia diakui dalam konstitusi dan peraturan perundangundangan, dasar hukum bagi kekuasaan pemerintahan, peradilan bebas,
merdeka tidak memihak, kedudukan hukum sama bagi semua warga.
Lihat UUD 45, P4, GBHN dan Tap MPR 1993
49
Istilah ini dapat diartikan sebagai empat pilar penegak hukum yang
akan bekerjasama menciptakan citra peradilan yang berwibawa, bebas,
jujur, terbuka, cepat, dan murah.
159
perspektif kemasyarakatan, mengingat hukum tidak dapat
dipisahkan dari masyarakat dan sebaliknya.50
Dalam konteks kemasyarakatan, ketika fakta
menunjukkan bahwa Polisi tidak dapat bekerja maksimal
tanpa masyarakat maka asumsinya Polisi Sipil merupakan
pilihan. Polisi Indonesia sendiri terdiri atas empat jenis,
yaitu Polisi Sipil (Civilian Police), Polisi Militer (Military
Police), Polisi Rahasia (Secret Service), dan Polisi Tidur
(Ramp) sebagaimana dikemukakan oleh Chaeruddin
Ismail.51 Salah satu jenis polisi yang diharapkan untuk
diterapkan kedalam masyarakat Indonesia terutama dalam
Era Reformasi dewasa ini adalah Polisi Sipil. Dalam
perkembangannya, selain Polisi Sipil juga ada pendekatan
lain yaitu Polisi Budaya. Peluang keberadaan Polisi Budaya
ini dapat diinterpretasi pada pasal sebagaimana yang
dikehendaki oleh Pasal 57 Undang Undang Nomor 22
Tahun 1997 tentang Narkotika bahwa
(1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang
seluas-luasnya untuk berperan serta dalam
membantu upaya pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
(2) Masyarakat wajib melaporkan kepada pejabat
yang berwenang apabila mengetahui adanya
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
50
Bertitik tolak dari pengertian ini, timbul kajian perubahan hukum dan
perubahan sosial, sekaligus hubungan antarkeduanya.
51
Lihat pada Pudi Rahardi, 2007. Hukum Kepolisian. Surabaya:
laksbang Mediatama, hal. 273
160
(3) Pemerintah wajib memberikan jamin keamanan
dan perlindungan kepada pelapor sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2).
Point pertama dan kedua menjadi penting dalam era
sekarang ini. Sehubungan dengan kedua hal tersebut,
tertarik untuk menjawab pertanyaan konsep penegakan
hukum apakah yang harus dilakukan oleh Kepolisian
Republik Indonesia untuk mewujudkan agar masyarakat
mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
berperan serta dalam membantu upaya penegakan hukum.
Dalam upaya menjawab masalah utama tersebut ada
beberapa konsep tentang apa yang seharusnya dilakukan
institusi kepolisian telah diajukan oleh beberapa sarjana,
namun konsep dimaksud masih digerakkan oleh suatu
paradigma topdown meskipun substansi konsep sudah
diwarnai nilai-nilai kemasyarakatan, seperti Polisi Sipil,
Community Policing atau biasa disebut Polisi Masyarakat
(Polmas).
Ada pendekatan yang dipandang betul-betul buttom
up. Artinya, ’polisi’ yang lahir dalam budaya masyarakat
Indonesia sendiri, bahkan kelahirannya sebelum Negara
Republik Indonesia sendiri berdiri sehingga Polisi
dimaksud pada setiap satuan masyarakat Indonesia
berbeda-beda sebutannya. Untuk itu, dalam kesempatan ini
diperkenalkan Polisi Budaya yang berasal dari masyarakat
Indonesia, seperti Polisi Budaya Masyarakat Minangkabau,
Bali, dan Madura. Keberadaan Polisi Budaya itu amat perlu
diperdayakan untuk membantu tugas Kepolisian Negara
161
Indonesia. Namun untuk memperjelas perbedaannya,
dikemukakan pendekatan penegakan hukum oleh hakim
dengan konsep menggali nilai hukum yang hidup dan oleh
Polisi dengan konsep-konsep Polisi Sipil, Community
Policing, dan baru Polisi Budaya yang dimaksud.
VI.2 Menggali Nilai dan Budaya Hukum
Subjudul ini terinspirasi secara normatif oleh makna
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang PokokPokok Kekuasaan Kehakiman Pasal (27) sebagaimana
diperbaiki Pasal 28 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999
dan selanjutnya diganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 dan terakhir Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 5 (1), bahwa "Hakim
dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat.”52 Oleh sebab itu, tulisan ini akan lebih
menitikberatkan tugas-tugas hakim sebagai salah satu unsur
penegak hukum dibanding penegak hukum lainnya. Kini
pertanyaannya, mengapa hakim mempunyai kewajiban
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat.
Secara normatif jawabannya merujuk pada pengertian
Pasal 22 Algemeene Bepalingen (AB) disebutkan :
“Hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu
perkara dengan alasan bahwa peraturan perundang52
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 157.
162
undangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, idak
jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat ituntut untuk
dihukum karena menolak mengadili.”
Maknanya adalah hakim memang wajib memeriksa
dan mengadili perkara perdata/perdata adat yang diajukan
kepadanya. Prinsip demikian ini yang dipegang teguh oleh
hakim sehingga hakim dianggap tahu hukumnya atas kasus
hukum kongkrit yang diajukan kepadanya. Prinsip ini di
dalam ajaran asas biasa dikenal dengan asas Ius Curia
Novit yang biasa diartikan hakim diangap tahu hukum.
Namun dalam kenyataannya, amat dimungkinkan bahwa
hukum yang terdiri seperangkat aturan normatif itu tidak
lengkap atau bahwa hukum belum mengatur. Jika hal ini
yang terjadi, maka apa yang harus dilakukan hakim dalam
mengadili kasus hukum kongkrit. Dalam mengadili
perkara-perkara hukum kongkrit dimaksud, maka hakim
akan melakukan tiga langkah alternatif pendekatan, sebagai
berikut:
1. Pendekatan legalistik, jika dalam kasus hukum kongkrit
yang dihadapi hukumnya atau undang-undangnya sudah
ada dan jelas, maka hakim secara preskriptif tinggal
menerapkan saja hukum yang dimaksud;
2. Dalam kasus hukum kongkrit yang hukumnya tidak atau
kurang jelas, maka hakim harus menemukan hukumnya
dengan cara menafsirkan hukum atau undang-undang
yang masih samar-samar dimaksud melalui metode
penafsiran yang sudah lazim dalam kajian ilmu hukum;
163
3. Dalam kasus hukum kongkrit yang hukumnya belum ada
atau undang-undang belum mengatur, maka hakim harus
menemukan hukum dengan cara menggali, mengikuti,
dan menghayati nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat.
Nomor dua dan tiga diatas, dilandasai asumsi bahwa
dalam kenyataan yang ada Undang-Undang tidak ada yang
sempurna dan lengkap untuk mengatur segala kegiatan
kehidupan manusia secara tuntas. Dalam upaya
menegakkan keadilan dan kebenaran hakim harus dapat
melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).53 Dengan
demikian, hakim mempunyai kewenangan untuk
menemukan hukum dan bahkan menciptakan hukum (judge
made law), terutama terhadap kasus-kasus hukum kongkrit
yang hukumnya masih samar-samar atau bahkan yang sama
sekali belum ada hukumnnya, tetapi telah masuk ke
pengadilan.
Jika nilai hukum yang dimaksud telah ditemukan dan
dirumuskan sedemikian rupa maka selanjutnya dituangkan
sebagai dasar pertimbangan dalam proses pengambilan
putusan untuk menyelesaikan perkara yang sedang
diadilinya. Nilai hukum itu diposisikan sebagai sebagai
hukum (premis mayor) untuk menyelesaikan suatu kasus
53 Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan
hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi
tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang konkrit.
Lihat Sudikno Martokusumo, Op.Cit., hal. 32
164
hukum kongkrit atau pokok perkara (premis minor) dan
dituangkan dalam amar putusan sebagai konklusi.54
Dalam memeriksa dan mengadili kasus-kasus hukum
kongkrit yang belum ada aturan hukumnya, hakim wajib
menggali nilai-nilai hukum yang hidup dan dipelihara baik
di tengah-tengah masyarakat dan dijadikan pedoman bagi
sebagian besar warga masyarakat. Nilai-nilai hukum yang
hidup itu antara lain: nilai-nilai ajaran agama, nilai-nilai
adat istiadat yang masih terpelihara baik, budaya dan
tingkat kecerdasan masyarakat, keadan sosial dan ekonomi
masyarakat.
Hakim juga mempunyai kewenangan untuk
menyimpang selain dari hukum yang hidup dan ketentuan
hukum tertulis. Untuk melakukan hal itu, tentu jika aturan
hukum yang tertulis telah usang dan ketinggalan zaman
sehingga tidak lagi mampu memenuhi rasa keadilan
masyarakat. Cara ini disebut Contra Legem. Hakim dalam
menggunakan lembaga Contra Legem, harus mencukupi
pertimbangan-pertimbangan hukumnya secara jelas dan
tajam dengan mempertimbangkan berbagai aspek
kehidupan hukum.
Keputusan hakim yang berisikan suatu pertimbanganpertimbangan sendiri berdasarkan kewenangan yang
diberikan oleh pasal 22 AB, yang kemudian menjadi dasar
putusan hakim lainnya di kemudian hari untuk mengadili
54
Sudikno Mertokusumo, 2003. Mengenal Hukum Suatu Pengantar.
Yogyakarta: Liberty, hal. 62
165
perkara yang memiliki unsur-unsur yang sama dan
selanjutnya putusan hakim tersebut menjadi sumber hukum
di pengadilan. Putusan hakim demikian disebut "Hukum
Yurisprudensi". Tujuannya adalah untuk menghindari
"Disparitas" putusan hakim dalam perkara yang sama.55
Persoalan yang dihadapi berkaitan dengan Pasal 28
ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman adalah dimana hakim diwajibkan
untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Nilai-nilai hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat
bersifat lokal, berbeda daerah atau masyarakat yang satu
dengan lainnya. Pepatah mengatakan “lain lubuk lain
ikannya, lain ladang lain belalang”. Ada sifat-sifat spesifik
dari nilai-nilai yang dianut dan hidup di tengah masyarakat.
Sebagian hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri
datang dari berbagai budaya yang melatar belakangi
kehidupannya, kemudian bertugas selaku hakim di daerah
yang sebelumnya hukum adatnya belum mereka kenal
secara mendalam, mereka harus memutus perkara
berdasarkan perintah Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Nomo 48 Tahun 2009.
Mencermati pandangan yang ada di tengah-tengah
masyarakat, misalnya yang menyatakan bahwa putusan
hakim kurang atau tidak mencerminkan rasa keadilan
55
Ahmad Kamil dkk, 2004. Kaedah-Kaedah Hukum Yurisprudensi.
Jakarta: Prenada Media, hal. 8-9
166
masyarakat. Pandangan demikian ini memang masih sering
terdengar, bahkan pendapat sejenis tidak dapat diabaikan
mengingat yang menjadi salah satu sasaran dari putusan
hakim secara umum adalah masyarakat, terutama pencari
keadilan. Memang persoalan keadilan masyarakat seperti
yang diuraikan di atas merupakan permasalahan signifikan
mengingat ada ekspetasi masyarakat luas terpenuhinya rasa
keadilan bahwa pengadilan sebagai benteng terakhir
pencari keadilan (the last fortress) yang seharusnya
memiliki wibawa namun putusan yang dijatuhkan dirasakan
oleh masyarakat justru tidak mencerminkan rasa keadilan
masyarakat.
Menggali nilai hukum yang hidup dalam masyarakat
demikian itu juga sesuai dengan teori-teori hukum yang
baik sebagaimana yang dikembangkan oleh Jeremy
Bentham, Frederick Karl von Savigny, Sir Henry Maine,
Nathan Roscoe Pound, Leopold Pospisil. Di bawah ini
dikemukakan kriteria hukum yang baik menurut pandangan
sarjana-sarjana tersebut sebagai berikut. Misalnya, Leopold
Pospisil (1971) dalam bukunya The Anthropological of
Law, mengemukakan bahwa hukum yang baik, materinya
harus mencerminkan perilaku pengguna hukum dan
memiliki empat elemen yaitu: adanya wewenang, ciri
universalitas, kewajiban, dan pemberlakuan sanksi. Dengan
demikian, sumber hukum yang paling utama bukan berasal
dari negara melainkan dari perilaku masyarakat dan hukum
harus mampu mewadahi pluralisme masyarakat.
167
Demikian pula Frederick Karl von Savigny bahwa
hukum yang baik harus bersumber dari adat-istiadat,
kebiasaan, dan kemauan masyarakat yang diwujudkan
melalui lembaga perwakilan sehingga hukum yang
dihasilkan dapat memenuhi kehendak masyarakat dalam
rangka memenuhi kehidupan sosialnya. Sejalan dengan itu,
Sir Henry Maine mengemukakan bahwa hukum senantiasa
mengikuti perkembangan kehidupan sosial masyarakat.
Jeremy Bentham pun mengatakan bahwa negara yang
menggunakan banyak aturan yang dijalankan oleh
pemerintahan konstitusional (polity), hukum yang dibangun
harus mampu mewujudkan sistem aturan yang memiliki
resiko paling sedikit terhadap kehidupan masyarakat.56
John Rawls yang mengembangkan pemikiran Jeremy
Bentham tersebut, lebih jauh mengemukakan teori keadilan
(theory of justice) bahwa tujuan hukum yang paling penting
adalah mewujudkan dan menjamin keadilan bagi
masyarakat. Sementara sarjana lain, M. Scheltema sebagai
disebutkan Azhary misalnya mengemukakan pandangannya
bahwa hukum yang baik harus memenuhi empat unsur
yaitu: kepastian hukum, persamaan, demokrasi, dan
pemerintahan untuk rakyat. Dengan kata lain, bahwa
hukum harus mampu memenuhi tuntutan kesejahteraan
sosial dan keadilan sosial masyarakat. 57
56
Barnes, J. 1984. The Complete Works of Aristotle. Princeton, NY.:
Princeton University Press.
57
Azhari, 1995. Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif
Tentang Unsur-Unsurnya. Jakarta: UI-Press.
168
Hal ini sejalan pula dengan konsep negara
kesejahteraan modern (modern welfare state) bahwa hukum
harus mencerminkan kesejahteraan yang menjadi “hak”
bagi setiap warga negara untuk memperolehnya dan
negara/pemerintah harus menjamin hak tersebut. Tugas dan
kewajiban negara/pemerintah tersebut tercermin dalam
setiap pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya. Dengan demikian, kriteria hukum yang baik
menurut Jeremy Bentham adalah: (i) harus mencerminkan
filsafat hidup bangsa; (ii) harus mencerminkan kesadaran
hukum masyarakat; (iii) mengandung kepastian hukum.
VI.3 Penegakan Hukum Polisi Sipil
Setelah Reformasi Tahun 1998, gerakan Polisi Indonesia
sudah berada pada garis yang benar, misalnya kebijakan
memisahkan posisinya dari militer. Pemisahan polisi dari
militer tentu bukan sekedar pisah secara struktural, tetapi
juga harus secara budaya. Mungkin perubahan budaya akan
membutuhkan waktu panjang sehingga sebelum sampai
pada pemisahan sebagaimana yang diangan-angankan
masyarakat masih terdapat praktik-praktik militeristik.
Kesan ini bukan mengada-ada begitu saja mengingat
polisi yang sekarang masih memegang posisi strategis tidak
lain merupakan produk pendidikan militeristik. Namun
setidak-tidaknya, secara konseptual telah ada kebijakan
pemisahan polisi dari militer perlu disambut secara posistif.
Untuk itu, makna pemisahan polisi dari militer tidak
berhenti pada tataran struktural, tetapi mensipilkan watak
Polisi menjadi agenda utama di masa-masa mendatang.
169
Namun Pensipilan Polisi sebagai pendekatan
penegakan hukum yang dimaksud Satjipto Rahardjo (2007)
adalah bagaimana Polisi berwatak sipil. Satjipto Rahardjo
mengajukan setidaknya empat (4) langkah yang harus
dilakukan Polisi. Empat langkah dimaksud adalah (1)
mendekatkan pada masyarakat; (2) menjadikan akuntabel
terhadap masyarakat; (3) menggantikan dari mengandalkan
pada penghancuran dengan melayani dan menolong (4)
peka dan melibatkan kepada urusan sipil dari warga negara,
seperti membantu orang lemah, tidak tahu dan
kebingungan, frustasi, pengangguran, sakit, lapar, dan putus
asa. Kesemua ini merupakan upaya yang disajikan oleh
Satjipto Rahardjo yang menurutnya merupakan pekerjaan
besar dan berat. Meskipun sedemikian besar dan berat,
kebijakan yang harus diterbitkan oleh segenap pimpinan di
tingkat markas Besar tetap merupakan pilihan penting dan
perlu dan ditunggu di masa mendatang.
Menurut pandangan penulis, konsep Polisi Sipil
memang ditujukan agar dalam penegakan hukum, tidak
mengalami resistensi dari masyarakat dan masyarakat tidak
menganggap bahwa Polisi itu bagian dari militer. Untuk itu,
sebenarnya ada konsep lain lebih tajam dan kongkrit, selain
aparat kepolisian merubah pada tataran perilaku dan juga
pada tataran budaya atau ideologis, tetapi juga pada
pembagian peran kepolisian secara rapih kepada institusi
kemasyarakatan yang secara budaya telah lahir, hidup, dan
berkembang dalam masyarkat lokal setempat. Tentu, tidak
pada semua tugas kepolisian yang berkenaan kejahatan dan
170
pelanggaran hukum, tetapi tugas-tugas terbatas kepolisian
yang menyangkut kasus hukum tertentu dan pada saat
bersamaan polisi berada di garis kedua (second line) Polisi
Budaya.
VI.4 Penegakan Hukum Community Policing.
Ada konsep yang berasal dari negeri Inggris, yang biasa
disebut Community Policing (CP). Konsep CP ini tergolong
konsep modern yang menekankan bagaimana Polisi itu
bergerak manjalankan tugas-tugasnya yang harus
dipertanggungjawabkan. Konsep dimaksud menekankan
pada pemecahan persoalan hukum yang muncul (problem
oriented). Maksudnya, Polisi dalam menjalankan tugasnya
menekankan lebih dahulu persoalan-persoalan yang
mendasari polisi untuk bertindak, bukan berorientasi pada
sifat menunggu (waiting oriented), yaitu polisi menunggu
adanya laporan atau permintaan masyarakat bahwa ada
sesuatu yang harus ditangani polisi. Pendekatan demikian,
menjadikan Polisi tidak aktif tetapi menunggu adanya
pelaporan masyarakat yang masuk ke redaksi polisi, baru
kemudian dilakukan tindakan kepolisian.
Berdasarkan atas kondisi demikian, maka konsep CP
merupakan pendekatan kepolisian yang mendekatkan diri
pada masyarakat dan warganya (the police to society). Di
sini polisi dipandang lebih penting untuk memberikan
pertanggungjawaban kepada masyarakat berdasarkan
adanya kebutuhan masyarakat ketimbang kepada atasan
berdasarkan permintaan target-target jumlah yang harus
diselesaikan polisi dalam waktu tertentu. Dalam pengertian
171
demikian ini, kembali pada tugas utama kepolisian, yaitu,
pertama, polisi sebagai institusi yang bertugas menjaga dan
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (sosial
orde) dengan tujuan agar tercapai suasana kehidupan aman,
tenteram, dan damai. Kedua, polisi sebagai institusi yang
berperan dalam penegakan hukum dan norma yang hidup
dalam masyarakat.
Konsep ini berbeda dengan Polisi Sipil yang dibahas
oleh Satjipto Rahardjo di atas karena konsep Polisi Sipil itu
lebih pada perubahan simbol-simbol yang dipakai polisi
dan dengan simbol itu diharapkan dapat merubah perilaku
polisi dalam menghadapi pelaku kejahatan dan pelanggaran
hukum. Sementara itu, konsep Community Policing atau
biasa diartikan Pemolisian Masyarakat menekankan pada
pertanggungjawaban kepada masyarakat dibanding kepada
atasan sebagai korpsnya. Ini memang penting karena
keterlibatan masyarakat untuk berani segera melaporkan
warga masyarakatnya yang telah melakukan tindak
kejahatan atau pelanggaran hukum lainnya. Namun inti dari
konsep ini juga efektifitas tugas kepolisian dalam
penegakan hukum tidak jauh berbeda dengan apa yang
dimaksud dalam konsep Polisi Sipil.
Secara formal, memang institusi Kepolisian Republik
Indonesia melalui Surat Keputusan Kapolri Nomor Pol.:
Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang
Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian
Masyarakat
dalam
penyelenggaraan
tugas
Polri
menerapkan model Community Policing. Konsep ini
172
memang lebih menekankan pemberdayaan masyarakat agar
ikut serta menjadikan dirinya sebagai polisi masyarakat
dalam pengertian bahwa partisipasi masyarakat untuk ikut
melakukan pencegahan terjadinya tindak kejahatan dan
pelanggaran hukum lainnya dengan melaporkan. Namun di
sisi lain, masyarakat hanya ditekankan untuk ikut aktif
melaporkan saja, bukan ikut serta mencegah langsung suatu
tindakan kejahatan yang dilakukan warganya.
Untuk itu, penulis mengajukan konsep berikutnya
yang dipandang lebih dalam, yaitu pemberdayaan polisi
budaya dimana masyarakat tidak saja berhenti pada
melaporkan, tetapi juga ikut serta mengatasi langsung
kepada sebagaian warganya yang melakukan kejahatan atau
pelanggaran hukum tertentu karena masyarakat sebagai
tempat kelahiran warga, tempat hidup warga, dan tempat
berkembangnya warga lebih mengetahaui daripada polisi
itu sendiri. Artinya, masyarakat melalui tua-tua
masyarakatnya atau tua-tua adatnya akan lebih mengetahui
jawaban mengapa ada kejahatan, mengapa warganya
melakukan kejahatan, sekaligus bagaimana melakukan
tindakan pencegahannya.
VI.5 Penegakan Hukum Polisi Budaya
Penulis pada berbagai tempat dan kesempatan pernah
menyampaikan penegakan hukum dengan konsep Polisi
Budaya. Memang dalam rangka penegakan hukum baik
sebagai penerap hukum maupun sebagai pelayan
masyarakat telah ada pendekatan yang pernah dilakukan
oleh kepolisian Republik Indonesia dalam era reformasi.
173
Misalnya saja, perubahan paradigma topdown ke bottom
up, dari dilayani menjadi melayani, dari gaya militeristik ke
sipil. Namun tampaknya, masyarakat luas menghendaki
tidak saja berhenti upaya perubahan perilaku militeristik
menjadi sipil sebagaimana dikenal dengan Polisi Sipil.
Konsep Polisi Sipil ini lebih menekankan pada
perubahan simbol-simbol yang dipakai polisi dan dengan
simbol itu diharapkan dapat merubah perilaku polisi dalam
melayani masyarakat, demikian pula dalam menghadapi
pelaku kejahatan dan pelanggaran hukum. Bukan pula
berhenti pada Community Policing (CP) yang sekarang
digalakkan. CP lebih menekankan pemberdayaan
masyarakat agar ikut serta menjadikan dirinya sebagai
polisi masyarakat dalam pengertian bahwa partisipasi
masyarakat untuk ikut melakukan pencegahan terjadinya
tindak kejahatan dan pelanggaran hukum lainnya dengan
cara melaporkan.
Konsep yang disebut terakhir membawa konsekuensi
bahwa masyarakat hanya ditekankan untuk ikut aktif
melaporkan saja, bukan ikut mencegah langsung suatu
tindakan kejahatan yang dilakukan warganya. Sehubungan
dengan itu, menurut pandangan penulis, pendekatan
penegakan hukum oleh kepolisian dalam era reformasi kali
ini dan sesuai dengan kondisi plural dan multikultural
bangsa Indonesia tidak sekedar pendekatan kepolisian
berupa Polisi Sipil dengan menampilkan polisi berdasi,
tidak cukup polisi bersopan santun dengan menyampaikan
salam hormat kepada warga, tetapi lebih mendasar lagi dari
174
itu, yaitu berperan sebagai pemberdaya potensi kepolisian
yang secara sosial dan budaya memang telah lahir, hidup,
dan berkembang dalam masyarakat setempat.
Masyarakat seluruh Nusantara ini sebenarnya telah
memiliki institusi informal yang menjalankan tugas-tugas
terbatas kepolisian Republik Indonesia. Ubi Societas Ubi
Ius, dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Makna
dibalik ungkapan itu adalah sebagian peran institusi
kepolisian formal yang dibentuk melalui peraturan
perundang-undangan dapat dimainkan oleh warga
masyarakat itu sendiri. Warga terpilih dengan atribut adat
atau simbol-simbol masyarakat setempat tersebut disebut
sebagai Polisi Budaya.
Dengan demikian, Polisi Budaya yang penulis
maksud dalam tulisan ini adalah subsistem dari sistem
pengamanan yang lahir, tumbuh, berkembang dan
terinternalisasi kedalam masyarakat Indonesia umumnya
dan khususnya Masyarakat Adat Nusantara. Misalnya
dalam konteks masyarakat Bali, polisi budaya dimaksud
dimainkan oleh Pecalang (aktif), dan masih banyak bentuk
lain dalam masyarakat nusantara Indonesia ini. Itulah yang
penulis maksud sebagai polisi budaya yang keberadaannya
memang jauh lebih akrab dengan warga masyarakat dan
jauh lebih mengendap kedalam Masyarakat Adat Nusantara
mengingat ia lahir, hidup, tumbuh, dan berkembang dalam
masyarakat dimana mereka berada.
Dengan demikian, Polisi Budaya merupakan salah
satu solusi alternatif strategis bagi kebijakan Kepolisian
175
Republik Indonesia ke depan, sementara konsep
Community Policing lebih pas diterapkan pada masyarakat
perkotaan yang melibatkan peran Ketua RT (Rukun
Tetangga) dan RW (Rukun Warga), dan RK (Rukun
Kampung). Dengan model polisi budaya demikian ini pula,
alasan rasio jumlah personil polisi kurang memadai yang
selama disampaikan untuk membangun argumentasi bahwa
polisi kurang efektif menjadi kurang relevan karena yang
dibutuhkan sebenarnya adalah kewibawaan (gezag).
Sebaliknya dengan Polisi Budaya kewibawaan polisi
dalam masyarakat akan meningkat karena masyarakat
terlibat secara sosial dan cultural. Implikasinya, pemerintah
pada tataran tertentu tidak perlu buru-buru menambah
jumlah personil polisi, tetapi konsep dan strategi jitu yang
membumi akan meningkatkan kualitas dan citra kepolisian
Republik Indonesia.
Kesimpulannya, bahwa dengan kebijakan Polisi
Budaya, masyarakat tidak saja berhenti pada melaporkan,
tetapi juga diberi ruang gerak untuk ikut melayani
kebutuhan hukum serta mengatasi langsung secara budaya
kepada sebagian warganya yang melakukan kejahatan atau
pelanggaran hukum. Selain itu, Polisi budaya dipandang
lebih mengerti, mengetahui, dan lebih memahami daripada
polisi formal negara itu sendiri dalam hal tempat kelahiran
warga, tempat hidup warga, dan tempat berkembangnya
warga, sekaligus jawaban tepat atas pertanyaan mengapa
melakukan kejahatan, untuk apa hasil kejahatan dan
bagaimana mencegah dan mengatasinya.
176
Tentu, terhadap masyarakat modern atau metropolitan
dapat memanfaatkan ketua RT, RW, dan RK atau dalam
masyarakat tradisional dapat memanfaatkan tua-tua
masyarakatnya atau tua-tua adatnya karena mereka akan
lebih mengetahui jawaban mengapa ada kejahatan, siapa
melakukan kejahatan, sekaligus bagaimana melakukan
tindakan pencegahannya. Sementara pada saat bersamaan,
posisi Kepolisian Negara Republik Indonesia atau
Kepolisian Formal lebih berperan sebagai pendamping
Polisi Budaya yang akan bekerja bilamana polisi yang
disebut pertama tidak mampu menghadapi kebutuhan
hukum atau tindak kejahatan ringan atau pelanggaran
hukum lainnya.
VI.6 Penegakan Hukum Kearifan Lokal
Nilai hukum yang hidup dalam masyarakat yang dapat
dijadikan isi hukum biasanya berupa kearifan-kearifan lokal
masyarakat setempat.58 Menurut Assoc. Prof. Chatcharee
Naritoom dari Kasetsart University, Thailand, Kearifan
Lokal yang dalam bahasa Inggrisnya disebut sebagai Local
Wisdom, mempunyai pengertian sebagai berikut:59
Local wisdom is the knowledge that discovered or
acquired by local people through the accumulation of
experiences in trials and integrated with the
58
Lihat juga Ade Saptomo, 2010. Hukum dan Kearifan Lokal. Jakarta:
Grasindo Press.
59
(pimd.iwmi.org/Library/pdf/PPT%20-%206%20Indigeneous%
20Knowledge%20Systems.ppt )
177
understanding of surrounding nature and culture.
Local wisdom is dynamic by function of created local
wisdom and connected to the global situation.
(Kearifan Lokal adalah pengetahuan yang ditemukan
atau diperoleh dari masyarakat lokal melalui
akumulasi dari berbagai pengalaman dalam
serangkaian praktik dan terintegrasi dengan
pemahaman terhadap sekitar alam dan budaya.
Kearifan Lokal selalu dinamis sesuai dengan
fungsinya yang dibentuk oleh kearifan lokal dan
terkait dengan situasi global).
Indonesia juga mempunyai banyak kearifan lokal
yang sampai saat ini masih tumbuh subur di beberapa
wilayah di Indonesia. Kearifan lokal tersebut telah lahir dan
berkembang dari generasi ke generasi seolah-olah bertahan
dan berkembang dengan sendirinya. Kearifan tersebut telah
terpelihara dan tumbuh dalam masyarakat itu sendiri dari
mata hati manusia atau nurani orang yang tergabung dalam
satuan sosial yang disebut masyarakat itu sendiri.
Sebagai tempat kelahiran kearifan lokal yang semula
jangkauan keberlakuannya adalah diantara mereka sendiri,
namun sebagai nilai jangkauannya selain memenuhi
kebutuhan mereka dan kebutuhan masyarakat setempat,
namun juga meluas ke desa-desa tetangga bahkan dunia
luas mengingat isinya bebas ruang dan waktu. Dengan
demikian, kearifan lokal yang sekarang ini dimengerti
telah dapat menjangkau dan menjadi nasional bahkan
menjadi bagian pedoman internasional (ius societas ius
ubi).
178
Kearifan lokal seperti nilai-nilai kemanusiaan,
kebersamaan, persaudaraan dan sikap ketauladanan lainnya
mulai banyak terkikis di dalam lingkungan budaya
masyarakat. Visi dan ideologi pembangunan yang lebih
mendepankan pertumbuhan ekonomi, perkembangan fisik,
dan material dibandingkan dengan nilai spritualitas dan
kearifan lokal disana-sini dipropagandakan oleh mesinmesin negara sehingga dalam banyak hal mempengaruhi
cara berfikir dan bertindak sebagian besar warga
masyarakat.
Akibatnya, kini keberhasilan dan kesuksesan seorang
tokoh masyarakat (elite) tidak lagi diukur sejauhmana peran
sosialnya dan pengabdiannya di tengah masyarakat, tetapi
kekayaan yang dimilikinya yang menjadi ukuran.
Masyarakat pada saat ini sudah teracuni oleh modernisme
budaya konsumtif, egois dan praktik menghalalkan segala
cara. Nilai-nilai kemodernan itu menggeser kearifan budaya
lokal komunitas. Benturan nilai itu tidak jarang membuat
masyarakat pun mulai mengalami krisis identitas.
Untuk itu, kearifan lokal merupakan sebuah tema
yang diajukan untuk memulihkan peradaban dari krisis
modernitas. Ia diunggulkan sebagai pengetahuan yang
benar berhadapan dengan standar saintisme modern, yaitu
semua pengetahuan yang diperoleh dengan pendekatan
positivisme (suatu cara penyusunan pengetahuan melalui
observasi gejala untuk mencari hukum-hukumnya). Sains
modern dianggap memanipulasi alam dan kebudayaan
dengan mengobyektifkan semua segi kehidupan alamiah
179
dan batiniah dengan akibat hilangnya unsur nilai dan
moralitas masyarakat.
Sains modern menganggap unsur nilai dan moralitas
sebagai unsur yang tidak relevan untuk memahami ilmu
pengetahuan. Bagi sains, hanya fakta-fakta yang dapat
diukur boleh dijadikan dasar penyusunan pengetahuan.
Dalam keadaan demikian, kearifan lokal adalah suatu
pandangan untuk mengembalikan nilai dan moralitas
sebagai pokok pengetahuan. Yang khas dari pandangan
kearifan lokal adalah nilai dan moralitas itu tidak dicari
melalui logika deduksi etika (misalnya dengan memeriksa
asumsi suatu ajaran tentang “yang baik” dan “yang buruk”,
“larangan” dan “suruhan”), atau dengan mencarinya dalam
realitas peristiwa yang sedang dihadapinya (misalnya,
mengekstrak prinsip-prinsip moral suatu peristiwa)60.
Kearifan Lokal Reba. Kata Reba merupakan sebuah
kata bahasa daerah yang lahir dari kelompok masyarakat
adat Ngadha yang berarti Pesta. Upacara reba biasanya
dilakukan setahun sekali (biasanya dimulai akhir tahun
sampai dengan awal tahun baru), bertepatan dengan waktu
bagi masyarakat Ngadha untuk memulai bercocok tanam.
Mengapa Reba, hanya ada satu jawaban atas pertanyaan
diatas yakni, karena Reba memiliki nilai, dan nilai tersebut
tidak bisa dihargakan dengan uang. Nilai-nilai yang ada
dalam Reba dimaksud sebagai berikut:
60
http://www.ireyogya.org
180
1. Nilai Ketuhanan. Nilai ketuhanan tampak dari aktifitas
masyarakat Ngadha dalam upacara Reba khususnya
pada bagian tarian O Uwi, dimana dengan uwi kayu
(singkong/ubi kayu yang dibawah dan sekali-sekali
diangkat ke arah langit sedang menunjukan bahwa
orang Ngadha percaya akan sesuatu yang Lebih Tinggi.
Mensyukuri hasil usaha pertanian mereka dan
mempersembahkan hasil terbaik mereka pada yang
Lebih Tinggi. Uwi tersebut tidak dipersembahkan
secara pribadi ke Bhaga (rumah kecil) masing-masing
suku, tapi ketengah kampung secara bersama-sama. Hal
ini sedang menceriterakan kepercayaan orang Ngadha
terhadap satu Tuhan yang sama buat semua suku dan
kuasa Tuhan tersebut berada di ketinggian yang hanya
bisa dipuji dan dimohonkan melalui tarian dan
nyanyian.
2. Nilai Penghormatan terhadap Leluhur. Nilai ini selain
mengajarkan kepada masyarakat Ngadha sendiri
tentang bagaimana harus menghormati leluhurnya, nilai
ini bisa diasumsikan untuk mengajak semua agar
menghormati orang tua atau menghormati orang yang
lebih tua. Selain itu semua orang diajarkan untuk
mendoakan mereka semua baik yang masih hidup
maupun yang sudah meninggal dunia.
3. Nilai Kekeluargaan dan Fraternitas. Nilai ini paling
sering muncul dalam Reba. Nilai ini nampak jelas dari
kebersamaan, canda tawa dan gandengan tangan (dalam
tarian O Uwi) yang selalu muncul dalam setiap tahapan
181
upacara Reba. Reba menghadirkan seluruh keluarga dan
mengingatkan mereka untuk selalu dan senantiasa
makan dan berkumpul bersama. Reba pulalah yang
mempertemukan dan memperkenalkan keluarga yang
satu dengan keluarga yang lain serta dengan para tamu
yang hadir.
4. Nilai Penghormatan terhadap Tamu. Ketika siapa saja
yang lewat di jalan diundang dan diajak untuk makan
dan menjadikan makanan sebagai milik bersama,
sebenarnya masyarakat Ngadha sedang menunjukan
bahwa tamu adalah raja dan mereka harus dijadikan
sebagai bagian dari diri kita.
5. Nilai keteraturan hidup. Mencermati tulisan-tulisan
yang ada dalam papan yang memagari Bhaga,
sebenarnya terdapat kalender hidup bagi masyarakat
Ngadha. Bahwa sudah diatur apa yang harus dilakukan
oleh masyarakat Ngadha di tiap-tiap hari hidupnya.
Aturan tersebut harus ditaati karena akan berpengaruh
pada terpenuhnya atau tidak terpenuhnya kebutuhan
hidup manusia.
Beberapa nilai yang coba penulis temukan dalam pesta adat
orang Ngadha (Reba) seyogyanya dicermati oleh
Pemerintah Daerah ataupun pengambil kebijakan lainnya
agar dalam membuat suatu peraturan daerah ataupun dalam
bentuk hukum yang lain yang membutuhkan peran serta
masyarakat hendaknya senantiasa memperhatikan nilainilai tersebut. Upaya penggalian nilai-nilai yang lahir dari
kearifan lokal masyarakat akan berdampak pada efektifitas
182
dan efisiensi pelayanan publik serta percepatan peningkatan
kesejahteraan masyarakat Ngada.
Dengan menginternalisasi nilai-nilai kearifan lokal
tersebut diatas kedalam hukum akan dapat meningkatkan
peran budaya hukum masyarakat Ngada. Dengan demikian
tujuan hukum yakni, keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum bisa tercapai. Langkah yang tidak sulit lagi untuk
dilalui adalah terwujudnya tujuan negara sebagaimana telah
tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
Kearifan Lokal Sasi. Sasi, menurut Kreikhof,
sebagaimana ditulis dalam Buletin Triwulan Mariayo
terbitan Yayasan Hualopu, Maluku tahun 1993, adalah
pranata tradisional yang mengandung ketentuan, penataan,
dan larangan masyarakat dalam kaitan pengelolaan sumber
daya alam. Dalam kata lain Sasi adalah ketentuan hukum
adat untuk memuliakan alam, sehingga alam lingkungan
tidak rusak. Ada sanksi dalam hukum adat ini, di samping
sanksi moral atau lebih tepat dikatakan kutukan, ada sanksi
material.61
Sedangkan Elissya Kiesya, mengatakan bahwa Sasi
dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil
sumberdaya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi
menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati (hewani
maupun nabati) alam tersebut. Karena peraturan-peraturan
dalam pelaksanaan larangan ini juga menyangkut
61
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&jd=LOMBA+TUL
IS+YPHL+%3A+DARI+SEBUAH+SASI%2C
183
pengaturan hubungan manusia dengan alam dan antar
manusia dalam wilayah yang dikenakan larangan tersebut,
maka sasi, pada hakekatnya, juga merupakan suatu upaya
untuk memelihara tata-krama hidup bermasyarakat,
termasuk upaya ke arah pemerataan pembagian atau
pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada
seluruh warga/penduduk setempat.62
Sasi dilambangkan dengan Janur kuning yang
dianyam dan dililitkan ke dalam sebuah tonggak kayu,
ataupun janur kuning yang dililitkan di pohon apabila sasi
itu bertujuan untuk memelihara pohon. Penerapan Sasi di
Maluku ini sebagai salah satu pranata adat seharusnya
dilestarikan keberadaannya dikarenakan mengandung
muatan kearifan lokal dimana masyarakat berusaha
menjaga ekosistem sumber alam dan pranata sosialnya dari
aksi anarkis dan perusakan yang akhirnya akan
mengakibatkan kerugian bagi masyarakat sendiri.
Makna Sasi yang terkandung di dalamnya. Menurut
Eliza Kisya yang pernah menjadi Polisi Adat atau disebut
Kewang, pelaksanaan penerapan Sasi ini menyangkut
hubungan manusia dengan alam yang selaras dan harmonis.
Selain itu Sasi juga merupakan pranata sosial dimana
mengatur pula tata karma berkehidupan di masyarakat. 63
Keluhuran budaya Sasi ini tidak saja memiliki kekuatan
religious magis, tetapi juga memiliki fungsi sosial yang
62
http://www.kewang-haruku.org/sasi.htm
http://www2.kompas.com/kompascetak/0310/20/teropong/628812.htm
184
63
tinggi. Artinya, hukum Sasi ini berada di dalam aura yang
sangat humanis, mengangkat harkat dan martabat hidup
manusia di dalam sinerginya dengan lingkungan sekitar dan
juga dengan alam.
Saat ini, Sasi dimaknai juga sebagai salah satu bentuk
konservasi terhadap sumber daya alam sehingga tidak
terjadi perusakan yang sewenang-wenang dan anarkis dari
masyarakat terhadap alam dan menjaga keseimbangan alam
sehingga kelangsungan sumber alam akan dapat
dipertahankan yang akhirnya pula akan menguntungkan
manusia itu sendiri dikarenakan tetap akan mendapat
pasokan sumber alam yang tersedia dan terkelola dengan
baik.
Kearifan Lokal Mapalus. Mapalus adalah suatu
bentuk kerja bersama (korporasi) dan bentuk kerja sama ini
bukan hanya dari sejarah orang tua terdahulu akan tetapi
sampai saat ini pun masih dipertahankan kebersamaan
untuk suatu usaha atau patungan di bidang usaha, lazimnya
disebut Mapalus. Dikota kota besar di Indonesia masih
sangat kental Mapalus ini diselenggarakan oleh kaum atau
etnis-etnis Minahasa seperti, kumpulan kawanua Paston,
Tumtons, Kaston, Kaymston, Langowan dan lain-lain yang
jumlahnya diperkirakan ada 54 organisasi yang berbentuk
mapalus.
Dengan adanya perkembangan kumpulan-kumpulan
atau Mapalus tadi bisa diambil kesimpulan bahwa Etnis
Minahasa tidak bisa lepas atau telah mendarah daging dari
keberadaan kerja bersama tersebut. Dengan kesimpulan di
185
atas tadi bisa dilihat satu modal bagi Masyarakat Etnis
Minahasa (kawanua) bahwa sebenarnya mereka
mempunyai suatu potensi untuk dikembangkan bukan
sebatas mapalus hanya berupa pertemuan dan
mengumpulkan uang seadanya, tetapi dapat ditingkatkan
pada usaha bersama (kooperasi). Namun demikian, untuk
mengganti usaha-usaha yang dimodali dari daerah lain
untuk mengolah Sumber Daya Alam yang berlimpah di
Minahasa. Potensi kearifan ini sebenarnya positif
mengingat masyarakat Minahasa tampaknya tidak bisa
lepas dari kebersamaan atau Mapalus64.
Dalam Mapalus, prinsip yang kebersamaan juga
kelihatan ketika para wanita memikul cangkul, sekop dll.
Apa yang dilakukan kaum wanita ini bukan berarti wanita
mempunyai kedudukan lebih rendah akan tetapi kaum pria
justru mempunyai kewajiban untuk menjaga keamanan
rombongan Mapalus itu. Bahkan, mereka diharuskan
membawa parang, tombak dan alat perang lainnya.
Ketentuan organisasi Mapalus ini di jalankan dengan ketat
sama dengan ketentuan adat lainnya.
Pada waktu pembentukan pimpinan (dalam bahasa
Tontemboan Kumeter), sesudah terpilih, pemimpin harus
dicambuk oleh salah satu pimpinan di kampung dengan
rotan, sambil mengucapkan "sebagaimana kerasnya aku
mencambukmu begitu juga kerasnya kau harus mencambuk
anggota yang malas dan pelanggar peraturan". Dan
64
http://www.kawanuausa.org.
186
ketentuan ini masih berlangsung sampai sekarang di
beberapa daerah di Minahasa65.
Arti Mapalus telah mengalami perubahan seiring
dengan perkembangan masyarakat dan kebudayaan. Pada
mulanya dalam masyarakat kuno, Mapalus masih
mempunyai arti yang sama dengan gotong royong karena
tanah pertanian masih milik bersama. Akan tetapi karena
perkembangan masyarakat, dimana milik perorangan telah
tercipta dan menonjol, maka arti Mapalus berubah menjadi
tolong menolong. Seperti sekarang setiap anggota Mapalus
berhak untuk mendapat bantuan dari anggota anggota lain
sebagai jasa karena dia sudah membantu anggota lain
dalam melakukan pekerjaan baik di sawah, ladang, rumah
dan lain-lain66.
Nilai-Nilai Kearifan Lokal Mapalus merupakan salah
satu kegiatan masyarakat Minahasa sejak tahun 670,
eksistensi kegiatan tersebut hingga sampai sekarang tetap
berjalan seiring dengan perubahan zaman dan
perkembangan masyarakat adat Minahasa. Pada masyarakat
kuno, Mapalus diartikan sebagai gotong royong karena
tanah pertanian masih milik bersama. Setiap desa yang ada
mempunyai organisasi Mapalus yang beranggotakan lebih
dari 5 orang, dan organisasi Mapalus yang ada di setiap
desa lebih dari 3 organisasi. Secara bergiliran melakukan
65
66
http://www.bode-talumewo.blogspot.com.
http://www.kawanuausa.org.
187
pekerjaan menggarap sawah, mendirikan rumah para
keluarga baru, dan lain-lain.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa nilai
kearifan di dalam masyarakat adat Minahasa yang
melakukan kegiatan Mapalus, adalah nilai kebersamaan,
ketertiban, taat akan hukum, dan saling tolong menolong
antar kerabat atau masyarakat adat Minahasa dalam
melakukan pekerjaan. Meskipun dalam kutipan di atas,
masih adanya kekerasan fisik dalam pemilihan pemimpin
Mapalus, akan tetapi tidak mengurungkan tekad/dan niat
masyarakat adat Minahasa untuk mengikuti kegiatan
Mapalus. Meskipun dalam perkembangan masyarakat telah
terjadi perubahan, akan tetapi sanksi tersebut sudah diganti
berupa denda administrasi.
Kearifan Lokal maja labo dahu. Kearifan lokal
masyarakat Bima Nusa Tenggara Barat berupa ungkapanungkapan yang terpampang di berbagai ruas jalan utama
menggambarkan bahwa masyarakat Bima memiliki ajaran
hidup masyarakat seperti ajaran kerukunan, keamanan,
persatuan, kerja keras, dan beribadah kepada Tuhan.
Contoh ungkapan maja labo dahu (malu sama takut).
Artinya, warga masyarakat Bima malu kepada sesame dan
takut kepada Tuhan. Ungkapan itu masih terpampang
dalam tulisan besar yang melintang di jalan Sultan
Salahuddin, Bima.
Selain itu, ungkapan lain terpajang di sekitar Kantor
Wali Kota Bima yaitu Katuda pu rawi ma tedi, katedi pu
rawi ma tada yang berarti tunjukkan kerja yang giat dan
188
jangan mengambil hak orang lain. Ungkapan-ungkapan itu
sebenarnya telah ada dan menjadi pedoman hidup rakyat
Bima sejak zaman kerajaan Sultan Muhammad Salahuddin.
Bahkan pada zaman kemerdekaan Republik Indonesiapun
masih menjadi pedoman masyarakat Bima dalam
kehidupan sosial sehari-hari sehingga warga masyarakat
Bima dikenal sebagai masyarakat sopan, tenang, hormat
kepada pimpinan baik itu kepada camat, kepala kepolisian,
komandan koramil. Selain itu, rakyat menjadi bagian
keamanan yang menjaga kantor-kantor milik pemerintah.
Namun, nilai-nilai itu menjadi kurang bermakna dan
sedikit tergerus ketika kerusuhan demi kerusuhan terjadi,
misalnya saja kerusuhan berupa pembakaran rumah jabatan
Bupati Bima tahun 2006, pelemparan bom Molotov
terhahap kantor KPU (komisi Pemilihan Umum) dan
pembakaran Kantor DPD (Dewan Perwakilan Daerah)
salah satu partai besar tahun 2010, pembakaran Kantor
Camat Lambu tahun 2011, dan Januari 2012 terjadi lagi
pembakaran Kantor Bupati Bima dan Kantor KPU Bima.67
Untuk itu, revitalisasi nilai-nilai yang terkandung
dalam ungkapan-ungkapan kearifan lokal menjadi sebuah
kebutuhan. Untuk merevitalisasi nilai-nilai yang terkandung
dalam ajaran nenek moyang masyarakat Bima dalam
hukum positif Negara Repblik Indonesia akan bekerja
maksimal jika mendapat legitimasi peraturan perundang67
KOMPAS, Ketika Kearifan Lokal Tergerus Kepentingan, 30 Januari
2012, hal. 1, 15.
189
undangan, setidak-tidaknya dituangkan kedalam bentuk
peraturan daerah.
Tentu upaya demikian itu, dapat dimulai dari
kerjasama antara Dewan Adat Masyarakat setempat dengan
lembaga masyarakat adat bentukan pemerintah di desa
desa. Selanjtunya, butir-butir kearifan lokal dimaksud
diangkat dan dikuatkan pada tataran yang lebih tinggi
semisal peraturan daerah setempat. Dengan demikian,
mengisi setiap peraturan atau kebijakan pemerintah daerah
dapat dimaksimalkan dengan mengisi kearifan-kearifan
lokal dimaksud.
Kearifan Lokal Sasi Nggama.68 Tradisi sasi nggama
begitu lekat pada masyarakat nelayan di Kabupaten
Kalimana,Papua Barat. Berakar dari kearifan lokal, tradisi
ini terus berkembang. Kini,larangan mengambil hasil laut
menjadi “benteng” yang menjaga eksploitasi Laut
Kaimana. Meskipun pemegang hak ulayat laut di pesisir
Kaimana bisa membuka sasi (larangan) pengambilan hasil
laut atau kebun (sanggama) “kepemilikan” lautnya kapan
pun,umumnya para tetua adat membuka sasi hanya pada
Februari–April. Awal Maret lalu, di sebuah teluk di
kawasan Desa Kayu Merah,pembukaan sasi diawali dengan
ritual melepas sepiring pinang, sirih dan kapur ke laut.
Warga berbondong-bondong berdatangan dari Desa Kayu
68
Irene Saswindaningrum, 2014. “Ketika Sasi Nggama Menjaga
Kaimana” dalam KOMPAS, 5 April 2014, hal.1, 15.
190
Merah yang letaknya di pulau kecil sekitar 30 menit dengan
kapal cepat dari teluk itu.
Dipimpin tokoh adat setempat,ritual digelar sebagai
simbol syukur. Suasana berlangsung khidmat. Setelah ritual
kecil usai,suasana berubah menjadi meriah. Warga
beramai-ramai terjun ke laut. Tua, muda, pria, wanita,
bahkan anak-anak belasan tahun ikut menyelam tanpa alat
bantuan sama sekali.Membuka sasi ibarat panen raya untuk
lola (kerang), batu laga, dan teripang. Sebab saat itu lah
warga merayakan kekayaan lautnya, memanen beragam
biaota laut yang sebelumnya pantang diambil. “Bukan sasi
banyak dinanti warga karena hasinya bisa besar.
Padahal,satu laut hanya buka sasi 1-2 kali setahun,” kata
Kepala Desa Kayu Merah Mohammad Jen Karafey (38)
yang disapa om Jen. Kabupaten Kaimana merupakan
kabupaten kepulauan di bagian kepala burung palau Papua.
Dari sekitar 330 pulau, hanya 8 pulau besar yang
berpengaruhi. Pulau-pulau kecil yang terbesar di antara
bukti-bukti kasrt itu menjadi benteng alam Kaimana. Dari
keganasan gelombang laut Arafuru dan tempat berlindung
beragam satwa.
Laut dengan sebaran pulau-pulau kecil itu begitu kaya
akan keanekaragaman hayati dan biota laut. Di sinilah
disebutkan juga “kerajaan ikan” yang terpemdam pada
pesisir Kalimana. Berdasarkan data Pemerintah tahun 2009,
laut Kaimana memiliki 995 spesies ikan, 486 jenis terumbu
karang yang 16 diantaranya merupakan jenis baru, dan 28
jenis udang mantis. Udang dan kakap merah menjadi
191
komoditas andalan nelayan setempat, selain lola dan
teripang.
Ulayat laut dan Ketergantungan pada laut Buka sasi
merupakan puncak ritual sasi nggama yang artinya
larangan mengambil hasil laut atau kebun . Biota laut yang
dikenali larangan untuk diambil adalah jenis-jenis yang
berharga tinggi, termaksuk tanaman kebun dan hutan.
Dengan buka sasi, artinya laut dibuka untuk diambil
hasilnya. Tentu hanya lola dan teripang dewasa yang boleh
diambil. Untuk bermacam jenis ikan,warga tak dilarang
menangkap atau memancingnya. Mereka boleh kapan pun
mengambilnya. Sasi berlangsung 1-2 pekan saja. Mariam
Waria (36), warga Kayu Merah, mengaku dapat
mengumpulkan Rp 5 juta-Rp 6 juta setiap kali buka sasi.
Hasilnya dibagi dengan pemegang hak sasi atau “pemilik”
laut ulayat tempat sasi itu diberlakukan “Orang yang punya
sasi bisa dapat Rp 20 juta dari bagian hasil semua orang
yang ikut buka sasi,” ujarnya.
Bagi warga di pesisir Kaimana, sasi nggama
sebenarnya bentuk kesadaran yang tinggi untuk ikut
menjaga kelestarian laut. Ketergantungan pada kekayaan
laut begitu erat karena 80 persen penduduk adalah nelayan.
Om Jen mengutarakan, sasi nggama berlaku sebagai upaya
mencegah biota-biota yang termasuk langkah dan mahal
dieskplorasi berlebihan. Larangan selama beberapa bulan
dimaksudkan untuk memberikan waktu biota berkembang
biak. Dengan demikian, ketersediaannya cukup terjaga.
“kalau ikan, teripang dan lola habis di laut, kami sendiri
192
yang akan susuah. Tak ada uang dan tak ada makanan,”
ucap Om Jen. Sasi nggama juga dimaknai sebagai sumber
pendapatan di masa penceklik, seperti saat ikan sulit
didapatkan atau musim badai dan gelombang tinggi,
terutama pada Februari-April ini.
Pada Mei-November, nelayan biasanya mendapat
tangkapan ikan cakalang, tenggiri, dan bubara. Adapun
Januari saatnya musim kakap merah. Namun, diluar bulanbulan itu, bukan sasi menjadi andalan menangkap lola dan
teripang. Untuk menjaga kelestarian laut, warga pesisir
Kaimana yang tinggal di pulau-pulau kecil juga melarang
pengambilan ikan dangan cara menggunakan pukat
harimau, potas, dan bom ikan. Hala ini demi melindungi
terumbu karang yang vital.
Pada perkembangan sasi manggama mengikuti
zaman. Dulu, pelanggar sasi didenda membayar dengan
piring keramik atau barang berharga lainnya.Karena itu,
warga takut melanggar karena sulit mendapatkan piring
keramik. Selain itu, mereka juga meyakini bakal bernasib
buruk. Saat ini sistem denda berubah dengan uang dalam
jumlah besar. “Ada yang menerapkan denda Rp 10 juta
sampai Rp 100 juta untuk satu lola yang diambil,” kata
Tajudin (26), petugas penyuluh lapangan dari Dinas
Kelautan dan perikanan Kaimana. Perubahan sistem denda
dilakukan karena semakin banyak kapal dari luar Kaimana
masuk ke laut ulayat dan melanggar sasi. Sekretaris Desa
Adi Jaya Hussein Sanggei (37) menuturkan, beberapa kapal
besar itu pernah ditangkap dan digiring ke desa karena
193
melanggar sasi. “Mereka ketahuan melanggar sasi. Denda
besar dikenakan agar mereka tak melanggar lagi ,” ujar dia
Kesadaran warga untuk tak merusak laut juga
diterapkan pada larangan menggunakan pukat harimau dan
potas. Sayangnya, aturan-aturan yang dipegang masyarakat
Kaimana justru dilarang kapal-kapal asing. Bahkan,
berkali-kali warga konflik dengan kru kapal-kapal
perusahaan penengkapan ikan karena mereka beroprasi
dikawasan sasi.” Itu merugikan nelayan karena tangkapan
jadi berkurang. Apalagi pukat hari mau, semua isi laut
hancur terkena. Ikan kecil dan terumbu karang juga rusak,”
ujar Tajudin. Agar siapa pun bisa menysuri pesisir Kaimana
seraya menikmati kekayaan hati dan biota lautnya,
selayaknya sasi nggama terus diterapkan.
VI.7 Konstitusionalitas Kearifan Lokal
Konstitusionalitas Kearifan Lokal yang berisikan nilai-nilai
yang ada dibalik ungkapan dimaksud perlu diperjelas
mengingat Negara Indonesia menganut selain paham
Hukum Positivisme juga terdapat pengakuan dalam
konstitusi, di bawah ini penjelasan berbagai tatarannya.
VI.7.1 Tataran Filosofis
Ungkapan filosofis yang cukup familiar dalam pendengaran
masyarakat Indonesia, satu diantaranya adalah Semboyan
Bhineka Tunggal Ika. Ungkapan tersebut terpampang
melengkung pada sehelai "pita" yang dicengkram erat oleh
kedua kaki Burung Garuda sebagai lambang Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Ia juga mudah dijumpai
mengingat ia tidak saja terpampang di ruangan-ruangan
194
kantor lembaga Negara tetapi juga kantor-kantor resmi
pemerintah di berbagai tingkatan. Maknanya pun mudah
dicernak mengingat ia merupakan gambaran langsung
keberagaman Nusantara yang kasad inderawi, yaitu meski
kita secara identitas amat beragam namun karena kita hidup
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka
tuntutannya adalah kemampuan kita semua untuk
mengabstraksi identitas-identitas keragaman tersebut
menjadi satu kesamaan.
Jika sudah berada pada tataran demikian ini, secara
ideologis memunculkan keberagaman budaya hukum
Nusantara itu dapat menjadi tunggal Budaya Hukum
Nasional, yaitu Pancasila. Tuntutan filosofis dimaksud
Bhineka Tunggal Ika tergambarkan dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud UU
Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Dalam perspektif perundang-undangan, maksudnya
berbeda-beda identitas tetapi tetap satu itu dapat dibaca
pada pengertian demokratis dalam UUD NRI 1945 sampai
saat ini diartikan tunggal sebagai dipilih langsung oleh
rakyat. Padahal sejatinya, konstitusi tersebut membuka
kepada kita semua bahwa ada keragaman budaya memilih
yang telah lama ada dan hidup di Nusantara ini. Artinya,
demokrasi tersebut merupakan abstraksi dari beragamnya
budaya memilih pimpinan. Dengan demikian, keragaman
budaya hukum telah tersurat dan tersirat dalam ungkapan
Bhineka Tunggal Ika.
195
VI.7.2 Tataran Konstitusi
Jikalau konstitusi diartikan sebagai Undang-Undang Dasar
Negara suatu negara, maka Negara Republik Indonesia
telah memilik Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945. Dalam konteks konstitusi tersebut
keberagaman budaya hukum telah tersurat dan tersirat
dengan jelas pada Pasal 18B ayat (1) bahwa Negara
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang
diatur dengan undang-undang”. Kemudian, Pasal (2) bahwa
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Pasal-pasal tersebut menggambarkan bahwa Negara
Indonesia merupakan negara pluralistis secara sosial dan
setiap satuan sosial yang ada dalam daerah tersebut diyakini
memiliki hukum tersendiri yang hidup, dipelihara,
berkembang dan dijadikan pedoman berkehidupan oleh
satuan-satuan sosial tersebut dan telah menjadi pedoman
yang sudah membudaya (budaya hukum) bangsa Indonesia.
Kondisi satuan-satuan sosial demikian inilah sebenarnya
yang dimaksud von Savigny sebagai Volksgeist dan sudah
seharusnya diakomodasi kedalam pembentukan pasal-pasal
peraturan perundang-undangan.
Kalau merujuk aturan lama yang berlaku dan
diberlakukan saat itu adalah UUDS 1950, maka dapat
196
dijumpai bahwa pada Pasal 104 Ayat (1) disebutkan bahwa
“segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasan dan
dalam perkara hukuman menyebut perkara undang-undang
dan aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar
hukuman itu”69.
Pada umumnya, Kearifan Lokal sebagaimana terurai
di atas tersimpan dan diterapkan dalam praktik hukum adat
di seluruh Nusantara. Negara Indonesia dalam konstitusi
sangat menghargai adanya hukum adat dan masyarakat adat
seperti yang tertuang pada pasal 18B ayat 2 UndangUndang Dasar NRI 1945 hasil amandemen yang berbunyi
sebagai berikut:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur
didalam Undang-Undang”
Apabila melihat rumusan pasal 18B ayat 2 tersebut,
Negara menghormati adanya hukum adat, budaya hukum
berupa kearifan-kearifan lokal seperti Reba, Sasi, Mapalus,
dan kearifan lokal lainnya yang masih ada hidup di negeri
Nusantara Bangsa Indonesia ini. Misalnya dalam konteks
lingkungan hidup, Sasi, sebagai sebuah pranata adat yang
bertujuan untuk konservasi lingkungan hidup, merupakan
69
Dominikus Rato, 2009. Pengantar Hukum Adat, Edisi Pertama.
Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, hal. 146.
197
kekayaan isi hukum positif sesuai dengan tujuan dari
ditetapkannya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dalam konteks hukum publik seperti dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sebenarnya
juga telah mengakui adanya hakim adat selaku pemimpin
hukum adat. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dimaksud, khususnya pasal 76 ayat (1) misalnya,
disebutkan bahwa
“kecuali dalam putusan hakim dapat dirubah, maka
orang tidak dapat dituntut sekali lagi sebab perbuatan
yang baginya telah diputuskan oleh hakim Indonesia
dengan keputusan yang telah tetap. Yang dimaksud
dengan hakim Indonesia di sini, termasuk juga hakim
swapraja dan hakim adat, di tempat-tempat yang
mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut70.
Dalam konteks Hukum Pidana Adat Indonesia,
keberlakuan asas dan praktik hukum pidana adat didasarkan
atas ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang
Darurat Nomor 1 yang menyebutkan bahwa:
“Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktupun
hukum materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku
untuk kaula-kaula daerah Swapraja dan orang-orang
yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap
berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu dengan
pengertian bahwa suatu perbuatan yang menurut
70
R. Sugandhi, 1981. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cetakan
Pertama. Surabaya: Usaha Nasional, hal. 94.
198
hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana,
akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum
Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan
hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara
dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai
hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang
dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan
penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh
Hakim dengan besar kesalahan terhukum, bahwa
bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut
pikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman
kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka
atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman
pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan
pengertian bahwa hukuman adat yang menurut paham
hakim tidak selaras lagi dengan jaman senantiasa
diganti seperti tersebut di atas, bahwa suatu perbuatan
yang menurut hukum yang hidup harus dianggap
perbuatan pidana yang ada bandingnya dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Sipil, maka dianggap
diancam dengan hukuman sama dengan hukuman
bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan
pidana tersebut”.
Dalam konteks hukum yang hidup sebagaimana
ketentuan tersebut di atas dan kondisi sosial masyarakat
Indonesia yang memiliki struktur sosial khas komunal,
pemerintah, dalam hal ini kementerian dalam negeri
membentuk peradilan desa dan putusannya diakui. Tentu,
struktur peradilannya tidak persis seperti struktur peradilan
negara tetapi disesuaikan dengan kondisi sosial budaya
masyarakat dimana peradilan desa itu akan dibentuk
199
sehingga substansi peradilan desa Indonesia sebagai
warisan budaya tidak hilang. Sementara ruang lingkup
yuridisnya sebatas tindakan-tindakan yang dapat merusak
pergaulan sosial, tatanan sosial masyarakat setempat.
Untuk membentuk peradilan desa, yang sebenarnya
pada zaman sebelum Indonesia merdeka telah ada, dan
ruang lingkupnya, perlu dilakukan kajian perbandingan ke
negeri-negeri Afrika, misalnya saja Negeri Sinegal. Di
negeri itu, ada sejenis peradilan desa yang dimasukkan
kedalam sruktur peradilan negara sebagai satuan peradilan
paling terdepan. Keberadaan peradilan desa tersebut dapat
mengurangi lajunya jumlah perkara ke jenjang peradilan
yang lebih tinggi berikutnya.
Oleh karena itu, dalam konteks Indonesia semakin
menumpuknya jumlah perkara ke tingkat yang lebih tinggi
mungkin saja disebabkan peradilan tingkat pertama
kesulitan menemukan keadilan substansial mengingat
peradilan tingkat pertama tidak menggunakan pendekatan
induktif dan emik masyarakat dimana perbuatan yang
diduga melanggar hukum itu terjadi. Dengan demikian, ada
pandangan bahwa semakin ke atas jenjang suatu perbuatan
melanggar hukum itu diselesaikan diduga semakin jauh
pula keadilan substansial tersebut diperoleh.
VI.7.3 Tataran Yuridis
Keragaman budaya hukum juga tersurat dalam sejumlah
undang-undang. Untuk itu, dasar-dasar yuridis dimaksud
setidak-tidaknya tampak pada tataran peraturan perundangundangan, diantaranya pada Undang-Undang Nomor 32
200
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Misalnya saja
Pasal 18 (4) UUD NRI 1945 bahwa Gubernur, Bupati, dan
Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah
provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman, misalnya Pasal 5 Ayat (1) bahwa
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat”.
Selain itu, juga tersurat pada Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Pasal 6 Ayat (1) disebutkn bahwa
Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan asas: a. pengayoman; b. kemanusiaan; c.
kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka
tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam
hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian
hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan.
VI.7.4 Tataran Sosiologis
Secara sosiologis, rentangan Nusantara ini tergelar selain
ragam suku, agama, keyakinan, dan sebagainya juga ada
satuan-satuan sosial yang disebut desa dengan beragam
sifatnya, misalnya dalam masyarakat Aceh dinamakan
Gampong, dalam masyarakat Batak disebut Kuria, dalam
masyarakat Minangkabau dinamakan Nagari, dalam
masyarakat Palembang dinamakan Marga, di Ambon
Negory, dan seterusnya. Kebhinekaan sosial tersebut di atas
201
merupakan fakta sosial budaya bangsa Indonesia sehingga
negara pun menghormati keberagaman itu dan sekaligus
keragaman norma sosial Nusantara.
Dalam konteks demikian ini, setiap entitas sosial
memiliki budaya hukum yang terekspresi pada keseluruhan
produk hukum merupakan turunan dari Prinsip-Prinsip
Pancasila. Tentu tidak saja berhenti pada konstitusi seperti
Undang-Undang Dasar 1945, tetapi seperangkat peraturan
perundang-undangan mulai dari undang-undang, peraturan
pemerintah, peraturan presiden, keputusan presiden hingga
peraturan yang paling bawah di tingkat desa.
Bahkan, setiap putusan hukum hakim dalam proses
peradilan, serangkaian surat keputusan dalam lingkungan
birokrasi pun juga memuat budaya hukum dimaksud.
Semua itu merupakan norma yang menindaklanjuti pasalpasal konstitusi dan terkontrol oleh nilai Pancasila atau
budaya bangsa sehingga nilai itu dapat kembali atau
dikembalikan ke masing-masing budaya masyarakat
Indonesia itu sendiri dan diterima seluruh warga Nusantara.
202
DAFTAR PUSTAKA
Ade Saptomo, 2012 “Budaya Hukum dalam Masyarakat
Plural dan Problem Implementasi” dalam Dialektika
Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia. Sekretariat
Jenderal Komisi Yudisial RI, 2012.
--------,2010. Hukum
Grassindo.
dan
Kearifan
Lokal.
Jakarta:
---------,2009, Pokok-Pokok Metodologi Penelitian Hukum
Empiris Murni: sebuah alternatif. Jakarta:
Universitas Trisakti Press.
-------, 2004 “Pengelolaan Konflik Sumber Daya Alam
Antar Pemerintah Daerah dan Implikasi Hukumnya”
dalam Membangun Paradigma Baru Pembangunan
Hukum Nasional”, Komisi Hukum Nasional (KHN),
Jakarta, Indonesia, 6-7 Desember 2004.
-------, 2004, “Local Potential in Land Tenure and Other
Natural Resources” in International Conference on
Land and Resource Tenure in Changing Indonesia,
Questioning The Answer, Jakarta, Kemala
Foundation, October 11-13, 2004.
--------, 2006, “Menyelamatkan Hukum Dari Ambang
Kematian” dalam Revitalisasi Hak Ulayat:
Tantangan Atau Peluang. Pekanbaru: Yayasan
Pusaka Riau.
203
--------, 1995. Berjenjang Naik Bertangga Turun: Proses
Penyelesaian Sengketa Tanah Adat Dalam
Masyarakat Minangkabau. Tesis 2. Jakarta: PPs UI.
A.P. d’Entreves, 1951. Natural law: An introduction of
legal philosophy.
Ahmad Fauzan, 2005. “Kata Pengantar” dalam Peradilan
Umum, Peradilan Khusus dan Mahkamah Konstitusi.
Jakarta: Prenada Media.
Ahmad Kamil dkk,, 2004. Kaedah-Kaedah Hukum
Yurisprudensi. Jakarta: Prenada Media.
Ali, Ahmad, 1998. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap
Hukum. Jakarta: PT. Yarsif Watampoe.
Asshiddiqie, J dan Safa’at, a., 2006. Teori Hans Kelsen
Tentang Hukum. Jakarta: Sekretariat Jenderal &
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia.
Azhari, 1995. Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis
Normatif Tentang Unsur-Unsurnya. Jakarta: UI-Press.
Barnes, J., 1984. The Complete Works of Aristotle.
Princeton, NY.: Princeton University Press.
Bogdan, Michael, 2010. Pengantar Perbandingan Sistem
Hukum (terjemahan Derta Srie Widowatie). Bandung:
Nusa Media.
Budiardjo, Miriam (penyunting), 1984. Kapitalisme,
Sosialisme, Demokrasi. Jakarta: Gramedia.
204
Chambliss, William J & Robert B. Seidman, 1971. Law,
Order and Power. Adison Wesly: Reading Mass.
Daniel S. Lev, “Peradilan dan Kultur Hukum Indonesia”
dalam PRISMA, Nomor 6 Tahun II, Desember 1973.
Dominikus Rato, 2009. Pengantar Hukum Adat, Edisi
Pertama. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo.
Ehrlich, Eugeun, 1936. Fundamental Principles of the
Sociology of Law (translated by W.L. Moll). New
York: Harvard University Press.
Evan, Willian M (ed.), 1980. The sociology of Law: A
Sosial-Structural Perspective. London: The Free
Press.
Falakh, Fajrul, 1995. “Desentralisasi Penyelesaian Sengketa
Hukum”, dalam KOMPAS, Jakarta.
Friedman Lawrence M. , 1986. “Legal Culture and Welfare
State”, dalam Gunther Teubner (Ed), Dilemas of Law
in the Welfere State. New York: Walter de Gruyter.
-------, 1975. The Legal System: A Sosial Science
Perspective. New York: Russell Sage Foundation.
Griffiths, J., 1986. “What is Legal Pluralism” in Journal of
Legal Pluralism and Unofficial Law. No. 24/1986.
Hal. 1-55.
Hart, H.L.A.,1961, The Concept of Law. Oxford: Clarendon
Press.
205
Ihromi,T.O., 1993 Antropologi Hukum, Sebuah Bunga
Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
--------, 1984. Pokok-pokok Antropologi Budaya.
Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
Ilmu hukum76.wordpress.com/2008/04/14/ beberapadefinisi-hukum/
Kelsen, Hans., 2008. Dasar-Dasar Hukum Normatif.
Bandung: Nusa Media.
Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta: Aksara Baru.
Koesnoe, Mochammad, 1997. Hukum Adat: Dalam alam
Kemerdekaan
Nasional
dan
Persoalannya
Menghadapi Era Globalisasi. Surabaya: Ubhara
Press.
-------, 1989. Dasar Dan Metode Ilmu Hukum Positip.
Surabaya: Universitas Bhayangkara
Kriekhoff, Valerine J.L., 1990. Mediasi, Tinjauan dari Segi
Antropologi Hukum, Ceramah Ilmiah Antropologi
Hukum, 19 Agustus 1991. Depok: FHUI.
M. Solly Lubis, 1995. Landasan dan Teknik Perundang
Undangan. Bandung: Mandar Maju.
McInerny, R., 1996. Thomas Aquinas: Treatise on law
(Summa Theologica, Quesions 90-97). Washington
DC.: Regnery Publishing Inc.
206
Meuwissen, D.H.M., 1982. Recht en Vrijheid. Utrecht:
Aula.
Milosovic, Dragen, 1994. A Primer in The Sociology of
Law. New York: Harrow and Newton.
Moores, Stradford W dan Gordon R. Woodman, 1987.
Indigeneous Law and State. Dordrecht Holland: Foris
Publications.
Nader, Laura and Harry F. Todd, Jr. 1978. The Disputing
Process: Law in Ten Societies. New: Colombia Press.
Prill-Brett, June., 2002, “The Interaction of National Law
and Customary Law in Natural Resource
Management in the Northern Philippines”. dalam
Legal Pluralism and Unofficial Law in Sosial,
Economic and Political Development. Papers of the
XIIIth International Congress, 7-10 April, Chiang
Mai, Thailand.
Rafael Maran, 2001. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta
Rineka Cipta.
Rahardjo, Satjipto, 1988. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni.
-------, 2002. Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan
Pilihan Masalah. Surakarta: UMS Press.
-------, 2002. Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya. Jakarta: Elsam dan Huma.
-------, 1979. Hukum dan Perubahan Sosia. Bandung:
Alumni.
207
Robert B Seidman, 1972. “Law and Development, A.
General Model”, dalam Law and Society Review,
Edisi VI.
Silbey, S.S., 2001. “Legal Culture and Legal
Consciousness” dalam International Encyclopedia of
Sosial and Behavioral Sciences. New York: Elsevier,
Pergamon Press, hal. 8623-8629.
Soenarko, 1950.
Djambatan.
Susunan
Negara
Kita.
Malang:
Spradley, 1972. Culture and Cognition: Rules, Map, and
Plans. San Fransisco: Chandler Publishing Company.
Stratford W Moores dan Gordon R Woodman, 1987,
Indigeneous Law and State. Dordrecht Holland: Foris
Publications.
Sudikno Mertokusumo, 2003. Mengenal Hukum Suatu
Pengantar.Yogyakarta: Liberty.
Sugandhi, R., 1981. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
Cetakan Pertama. Surabaya: Usaha Nasional.
Sunaryati Hartono, 1975. “Peranan Kesadaran Hukum
Rakyat Dalam Pembaharuan Hukum” Kertas kerja
pada symposium Kesadaran Hukum masyarakat
dalam Masa Transisi. Jakarta: BPHN – Bina Cipta.
208
Suparlan, Parsudi, 1999. “Konflik Sosial dan Alternatif
Pemecahannya” dalam Antropologi. Thn. XXIII. No.
59: 8-9.
Undang-Undang Nomor 32
Pemerintahan Daerah.
Tahun
2004
tentang
Undang-Undang Nomor 48
Kekuasaan Kehakiman.
Tahun
2009
Tentang
Wignjosoebroto, Soetandya., 1996. Tanah Negara: Tanah
Adat Yang Dinasionalisasi (paper tidak terbit).
Jakarta: Elsam.
209
Penulis lahir di Klaten, 02/12/1957, Pendidikan
Sarjana Hukum 1984 dari Universitas Gadjah Mada,
Magister legal Anthropology 1995 Sandwich Program
Universiteit te Leiden dan Universitas Indonesia, Doktor
Ilmu Budaya 2002 diperoleh dari Fakultas Budaya
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Guru Besar Ilmu
Hukum diperoleh dari Fakultas Hukum Universitas Andalas
1 Maret 2006, sejak 2012 sebagai Staf Ahli Hukum Dewan
Pendidikan Tinggi (DPT) Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta
Tim Ahli Hukum Kemendikbud, selain itu sebagai Dekan
Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta.
Dengan bekal pengalaman transendensialisasi ilmu
dan pengetahuan secara lintas bidang ilmu menjadikan
penulis amat mengetahui, mengerti, dan memahami dan
menghayati secara mendalam tentang hukum baik dari
sudut ilmu sosial, budaya, filsafat maupun ilmu hukum
sendiri. Oleh sebab ini pula, penulis dipercaya memegang
mata kuliah Perbandingan Budaya Hukum, Filsafat Hukum,
Metodologi Penelitian Hukum, Hukum dan Kearifan Lokal
oleh Fakultas Hukum dan Pascasarjana Universitas Gadjah
Mada, Universitas Pancasila Jakarta, Universitas Andalas
Padang, dan Program Pascasarjana Universitas ternama
lainnya. Penulis juga menulis buku: Hukum dan Kearifan
Lokal (2010), Metodologi Penelitian Hukum Empiris
Murni (2009). Selain itu, penulis juga aktif sebagai nara
sumber seminar nasional dan internasional, sebagai nara
sumber dialog-dialog aktual stasiun televisi nasional.
210
Download