(Hibiscus sabdariffa L) TERHADAP DUODENUM

advertisement
STUDI HISTOPATOLOGI POTENSI RADIOPROTEKTIF
EKSTRAK KELOPAK ROSELA (Hibiscus sabdariffa L)
TERHADAP DUODENUM MENCIT (Mus musculus) DENGAN
RADIASI IONISASI RADIODIAGNOSTIK BERULANG
ENDAH MULIA NINGSIH
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
ABSTRAK
ENDAH MULIA NINGSIH. Studi Histopatologi Potensi Radioprotektif
Ekstrak Kelopak Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap Duodenum Mencit
(Mus musculus) dengan Radiasi Ionisasi Radiodiagnostik Berulang.
Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH dan DENI NOVIANA.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi radioprotektif ekstrak
kelopak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dalam radiasi ionisasi radiodiagnostik
berulang terhadap duodenum mencit (Mus musculus). Mencit yang digunakan
pada penelitian ini berjumlah 24 ekor yang dibagi ke dalam 4 kelompok, yaitu;
kelompok kontrol (K), kelompok perlakuan primer (P), kelompok perlakuan
rosela (R), dan kelompok perlakuan radiasi rosela (RP). Pemberian NaCl
fisiologis 0.9 untuk kelompok kontrol (K), NaCl fisiologis 0.9 untuk kelompok
primer (P), ekstrak kelopak rosela untuk kelompok rosela (R), dan ekstrak
kelopak rosela untuk kelompok radiasi-rosela (RP). NaCl fisiologis dan ekstrak
kelopak rosela diberikan per oral setiap 2 hari sekali selama 8 minggu. Paparan
radiasi diberikan khusus pada kelompok primer (P) dan kelompok radiasi rosela
(RP). Pada kesemua kelompok diberi 4 minggu masa pemulihan setelah 8 minggu
perlakuan. Gambaran histologi duodenum mencit dilihat pada preparat yang
diwarnai dengan hematoksilin-eosin, sedangkan jumlah sel goblet dilihat pada
preparat duodenum yang diwarnai dengan periodic acid Schiff. Hasilnya
menunjukkan bahwa rosela memiliki keutuhan vili yang lebih tinggi dan jumlah
sel goblet yang lebih rendah dibandingkan mencit kelompok perlakuan kontrol.
Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) menunjukkan adanya potensi radioprotektif
terhadap radiasi ionisasi radiodiagnostik berulang terhadap duodenum mencit
(Mus musculus).
Kata kunci: mencit, rosela, duodenum, histopatologi, radioprotektif
ABSTRACT
ENDAH MULIA NINGSIH. Histopathology Study of Radioprotective
Roselle Calyx Extract (Hibiscus sabdariffa L) Potency Against Recurrent
Effect of Radiodiagnostic Radiation on Duodenum of Mice (Mus musculus).
Under direction of SRI ESTUNINGSIH and DENI NOVIANA.
This study was conducted to find out the potency of Roselle (Hibiscus
sabdariffa L.) as radioprotective against recurrent effect of radiodiagnostic
radiation on duodenum of mice (Mus musculus). This research was to
observed histophatological changes on duodenum of mice treated with roselle
calyx extracts and radiation. Twenty four male mice were used in this study.
They were divided into 4 groups namely control group (K) treated with 0.2 ml
of NaCl 0.9 % (saline); primary radiation group (P) treated with 0.2 ml of
NaCl 0.9 % (saline) and radiation 0.2 mSv; roselle group (R) treated with
0.2 ml roselle calyx extract; and primary radiation-roselle group (RP) treated
with 0.2 ml roselle calyx extract and radiation 0.2 mSv. All treatments were
done orally every two days for 8 weeks. Afterwards, 3 mice from each group
were euthanized for organ sampling. The rest of mice were took 4 weeks of
recovery. Afterwards, all mice were euthanized for organ sampling.
Duodenum were fixed in Buffered Neutral Formaline (BNF) 10%, embedded in
paraffin, then stained with hematoxyline and eosin (HE) and periodic-acid
schiff (PAS). The result showed that RP group had lower demage of intestinal
villi and numbers of goblet cell than P group. Lieberkühn crypt number of P
group was increased, whereas intestinal villi height was decreased compared
to R and RP groups. Roselle calyx extract (Hibiscus sabdariffa L.) showed
radioprotective potency after radiation treatment on duodenum of mice.
Keywords: mice, roselle, duodenum, hsitopathology, radioprotective
STUDI HISTOPATOLOGI POTENSI RADIOPROTEKTIF
EKSTRAK KELOPAK ROSELA (Hibiscus sabdariffa L)
TERHADAP DUODENUM MENCIT (Mus musculus) DENGAN
RADIASI IONISASI RADIODIAGNOSTIK BERULANG
ENDAH MULIA NINGSIH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Studi
Histopatologi Potensi Radioprotektif Tanaman Rosela (Hibiscus sabdariffa L)
terhadap Duodenum Mencit (Mus musculus) dengan Radiasi Ionisasi
Radiodiagnostik Berulang adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2012
Endah Mulia Ningsih
B04070064
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah: dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
LEMBAR PENGESAHAN
Judul skripsi
:
Nama
:
Studi Histopatologi Potensi Radioprotektif Ekstrak
Kelopak Rosela (Hibiscus sabdariffa L) terhadap
Duodenum Mencit (Mus musculus) dengan Radiasi
Ionisasi Radiodiagnostik Berulang
Endah Mulia Ningsih
NIM
:
B04070064
Disetujui
Komisi Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. drh. Sri Estuningsih, M.Si, AP Vet
NIP : 19600629 199002 2 001
drh. Deni Noviana, PhD
NIP : 19721116 199512 2 003
Diketahui :
a.n Dekan
Wakil Dekan FKH IPB
Drh. Agus Setiyono, Msi, PhD APVet
NIP : 19630810 198803 1 004
Tanggal lulus::
PRAKATA
Segala puji dan syukur sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Allah
SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya berupa kekuatan lahir dan batin
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Judul skripsi ini ialah Studi Histopatologi
pada Duodenum Mencit (Mus musculus) terhadap Potensi Radioprotektif Ekstrak
Kelopak Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dalam Radiasi Radiodiagnostik Berulang
yang dilaksanakan di Bagian Patologi dan Bagian Klinik Bedah FKH IPB pada
bulan juni sampai mei 2011.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr.drh. Sri Estuningsih, M.Si dan
drh.Deni Noviana, PhD selaku dosen pembimbing atas waktu, arahan, kritik dan
saran yang mendukung terselesaikannya skripsi ini dengan baik. Terima kasih
kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan Nasional RI, yang telah memberikan
dana penelitian melalui Hibah Kompetensi, atas nama Dr .drh. Sri Estuningsih,
MSi, drh. Deni Noviana, PhD dan drh. M. Fakhrul Ulum MSi. Penulis juga
menyampaikan terima kasih kepada drh. Vetnizah Juniantito PhD, dan drh.
Mawar Subangkit atas saran dalam penulisan skripsi ini. Bapak Endang, Bapak
Kasnadi, Bapak Sholeh dan Bapak Katim serta teman-teman satu penelitian (Griv,
Bambang, Windy, dan Abas) yang telah banyak membantu penelitian ini.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Mom, Kakak, Ayu’,
dan keponakan (H. Patar, Hj. Partini, Wahyudi, Elina Malau, Evi Dwi Yanti, ST,
A. Snurin, SPt, Bayu Triono, ST, Putra, Raisha, Fairuz, & Aisyah), serta keluarga
besar atas doa, semangat, cinta, dan kesabaran yang telah diberikan. Selanjutnya
terima kasih penulis ucapkan kepada drh. Supratikno, MSi, keluarga Al-Iffah, Alafkar circle, drh Devi Paramitha, dan angkatan 44 Gianuzzi FKH IPB.
Penulis menyadari penulisan skripsi ini tidak luput dari kekurangan, untuk
itu penulis sangat berterima kasih atas kritik dan saran-saran yang membangun
dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat.
Bogor, Agustus 2012
Endah Mulia Ningsih
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palembang – Sumatera Selatan, 18 Maret 1990, dari
pasangan H. Patar dan Hj. Partini. Penulis merupakan bungsu dari empat
bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikannya di SMAN 4 Palembang pada
tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis diterima di IPB melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan tercatat sebagai mahasiswa
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam FORCES IPB sebagai staf
club study (2007-2009), BEM FKH IPB sebagai sekertaris Departemen Kebijakan
Publik (2008-2009), menjadi anggota Departemen Keputrian DKM An-Nahl FKH
IPB (2008-2009), anggota biasa HIMPRO HKSA FKH IPB (2008-2010) dan
sebagai tim Program & Fund Raising Program Kakak Asuh (Pro KA) (2010sekarang). Menjadi delegasi Indonesia dalam ajang IVSA South Korea 2011,
partisipan dalam acara seminar Internasional “Aceh Develomental International
Conference” 2011 dan poster ilmiah dalam ajang ” South east Asia Veterinary
School Association” 2011.
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................
i
DAFTAR TABEL ........................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR. ...................................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
vi
1. PENDAHULUAN ....................................................................................
1
1.1 Latar Belakang .................................................................................
1
1.2 Tujuan. .............................................................................................
2
1.3 Manfaat ............................................................................................
3
2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
4
2.1 Radiasi .............................................................................................
4
2.1.1 Sinar- X ....................................................................................
4
2.1.2 Pemanfaatan Sinar-X Dalam Dunia Medis ................................
5
2.1.3 Efek Radiasi Ionisasi.................................................................
6
2.2 Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) ........................................................
7
2.2.1 Karakteristik Rosela ..................................................................
7
2.2.2 Pemanfaatan Rosela di Masyarakat ...........................................
8
2.2.3 Komposisi Kimia Rosela...........................................................
9
2.3 Mencit (Mus musculus) ....................................................................
11
2.4 Duodenum........................................................................................
13
2.4.1 Anatomi Dan Histologi Duodenum ...........................................
13
2.5 Kondisi Patologis Pada Sel Usus ......................................................
18
2.5.1 Apoptosis Epitel Usus ...............................................................
18
2.5.2 Degenerasi Epitel Dan Atrofi Vili Usus ....................................
21
3. METODE PENELITIAN ..........................................................................
24
3.1 Waktu Dan Tempat Penelitian ..........................................................
24
3.2 Materi ..............................................................................................
24
3.2.1 Hewan Percobaan .....................................................................
24
3.2.2 Ekstrak Kelopak Bunga Rosela .................................................
24
ii
3.2.3 Bahan Dan Alat ........................................................................
25
3.3 Prosedur Penelitian ...........................................................................
26
3.3.1 Aklimatisasi dan pre- treatment Mencit ....................................
26
3.3.2 Perlakuan Terhadap Hewan Percobaan .....................................
27
3.3.3 Pemberian Radiasi ....................................................................
28
3.3.4 Pemberian Ekstrak Rosela ........................................................
28
3.3.5 Nekropsi ...................................................................................
28
3.3.6 Pembuatan Sediaan Histopatologi .............................................
29
3.3.7 Pengamatan Histopatologi ........................................................
30
3.3.8 Analisis Data ............................................................................
31
4. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
33
4.1 Kerusakan Vili Duodenum ...............................................................
34
4.2 Rataan Jumlah Kripta Duodenum .....................................................
40
4.3 Rataan Jumlah Sel Goblet Duodenum...............................................
45
4.4 Rataan Jumlah Sel Radang ...............................................................
49
4.5 Rataan Tinggi Vili Duodenum ..........................................................
54
4.6 Gambaran Umum Pengamatan Histopatologi Duodenum Mencit .....
58
5. SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................
61
5.1 Simpulan ..........................................................................................
61
5.2 Saran ................................................................................................
61
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
62
LAMPIRAN ................................................................................................
71
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
1.
Kandungan gizi dalam 100 g kelopak segar bunga rosela .......................
9
2.
Hasil uji fisikokimia dalam 100 g kelopak segar bunga rosela ................
9
3.
Hasil uji fitokimia ekstrak kelopak bunga rosela ....................................
10
4.
Kelompok mencit perlakuan ...................................................................
27
5.
Rataan persentase kerusakan vili duodenum(%) .....................................
34
6.
Rataan jumlah kripta pada duodenum (sel) .............................................
40
7.
Rataan jumlah sel goblet pada duodenum (sel) .......................................
45
8.
Rataan jumlah sel radang pada duodenum (sel) ......................................
49
9.
Rataan tinggi vili duodenum (µm2 ) .............................................
55
10.Aktifitas antioksidan rosela (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap kerusakan
sel akibat radiasi dengan media ekstraksi berbeda...................................
60
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
Daya tembus radiasi ionisasi .........................................................
4
2.
Tanaman rosela .............................................................................
7
3.
Mencit ..........................................................................................
11
4.
Struktur mikroskopis usus mencit .................................................
13
5.
Struktur histologi duodenum .........................................................
14
6.
Gambaran mikroskopis vili duodenum ..........................................
16
7.
Histologi submukosa usus .............................................................
17
8.
Gambaran sel apoptosis pada kripta duodenum .............................
20
9.
Mekanisme apoptosis sel ..............................................................
21
10.
Diagram alur kemungkinan paparan sinar-X seluler pada sel
normal ..........................................................................................
21
11.
Gambaran vili usus halus yang mengalami degenerasi ...................
22
12.
Gambaran histologi vili duodenum mencit yang atrofi ..................
23
13.
Kandang mencit dengan alas kandang berupa serbuk gergaji .........
26
14.
Pencekokan bahan perlakuan (NaCl dan ekstrak kelopak
bunga rosela) pada mencit .............................................................
28
15. Alur penelitian ...............................................................................
32
16.
Mekanisme kerusakan sel akibat radiasi ........................................
35
17.
Fotografi mikro kerusakan vili duodenum mencit setelah 8
minggu radiasi (5.3 mSv) ..............................................................
18.
Fotografi mikro kerusakan vili duodenum mencit setelah 4
minggu pemulihan dari radiasi ......................................................
19.
44
Fotografi mikro sel goblet pada duodenum mencit setelah 8
minggu radiasi (5.3 mSv) ..............................................................
22.
42
Fotografi mikro kripta Lieberkuhn pada duodenum
mencit setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi ............................
21.
38
Fotografi mikro kripta Lieberkuhn pada duodenum mencit
setelah 8 minggu radiasi (5.3 mSv) ...............................................
20.
37
46
Fotografi mikro sel goblet pada duodenum mencit setelah 4
minggu .........................................................................................
47
vv
23.
Mekanisme akibat yang terjadi karena hadirnya ROS (Reactive
Oxygen Species) pada sel ..............................................................
24.
Fotografi mikro sel radang di submukosa duodenum mencit
setelah 8 minggu radiasi (5.3 mSv) ...............................................
25.
28.
53
Fotografi mikro tinggi vili duodenum mencit setelah 8 minggu
radiasi(5.3 mSv)............................................................................
27.
52
Fotografi mikro sel radang pada submukosa duodenum setelah
4 minggu pemulihan dari radiasi ...................................................
26.
51
55
Fotografi mikro tinggi vili pada duodenum setelah 4 minggu
pemulihan dari radiasi ...................................................................
56
Mekanisme pemutusan efek radiasi ionisasi oleh antioksidan ........
58
vi
LAMPIRAN
Halaman
1.
Diagram alir pembuatan sediaan (preparat) histopatologi organ
usus halsus mencit percobaan .................................................................
70
2. Diagram alir pewarnaan Hematoksilin-eosin (HE) pada sediaan
(preparat) duodenum mencit percobaan ...................................................
71
3. Diagram alir pewarnaan Periodic acid Schiff (PAS) pada sediaan
(preparat) duodenum mencit percobaan ...................................................
72
4. Uji statistik(ANOVA) dengan SAS 9.1 terhadap % kerusakan vili
duodenum pada kelompok mencit yang diberi total radiasi 5.3 mSv
dan masa pemulihan ................................................................................
73
5. Uji statistik (ANOVA) dengan SAS 9.1 terhadap jumlah sel goblet
di duodenum pada kelompok mencit yang diberi total radiasi 5.3 mSv
dan masa pemulihan ................................................................................
75
6. Uji statistik (ANOVA) dengan SAS 9.1 terhadap jumlah kripta di
duodenum pada kelompok mencit yang diberi total radiasi 5.3 mSv
dan masa pemulihan ................................................................................
77
7. Uji statistik (ANOVA) dengan SAS 9.1 terhadap jumlah sel radang
di duodenum pada kelompok mencit yang diberi total radiasi 5.3 mSv
dan masa pemulihan ................................................................................
79
8. Uji statistik (ANOVA) dengan SAS 9.1 terhadap tinggi vili di duodenum pada kelompok mencit yang diberi total radiasi 5.3 mSv
dan masa pemulihan ................................................................................
80
9. Uji fitokimia ekstrak kelopak rosela (Hibiscus sabdariffa L).................................
81
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Radiasi sinar-X pertama kali ditemukan oleh Wilhelm Conrad Roentgen di
Jerman pada November 1895 (Turner 2007). Menurut Thrall (2002), energi yang
dihasilkan oleh sinar-X merupakan energi radiasi ionisasi yang berbahaya bagi
kesehatan jika penggunaanya tidak memenuhi aturan baik secara prosedur
maupun besaran dosis. Kerusakan yang disebabkan oleh energi radiasi sinar-X
dapat berupa kerusakan langsung terjadi yang disebut dengan deterministic effect
dan kerusakan tertunda untuk kurun waktu tertentu berupa stockastick effect
(Little 2003). Kerusakan oleh radiasi ionisasi akan menyebabkan terjadinya
apoptosis pada sel (Wahl dan Carr 2001; Bratton dan Cohen 2001).
Menurut Thrall (2002), apoptosis pada sel disebabkan oleh terbentuknya
pasangan elektron bebas dengan sel tubuh berupa radikal bebas sehingga terjadi
efek ionisasi pada jaringan. Penyebab lainnya ialah adanya reaksi antara sinar-X
dengan DNA dalam sel yang mengakibatkan kerusakan basa nukleotida dan DNA
cross linkage. Jika efek tersebut tidak dapat diminimalisir dan diperbaiki secara
enzimatis, maka akan mengakibatkan kematian sel atau apoptosis. Beberapa organ
yang peka terhadap sinar-X diantaranya organ hematopoiesis, gastrointestinal,
limfoid atau imun dan testis atau sel spermatozoa (Smirnova 2011; Brooks 2005).
Radiasi sinar-X pada beberapa dekade terakhir digunakan sebagai sarana
penunjang radiodiagnostik dan radioterapi baik di dunia kedokteran manusia pun
kedokteran hewan (Smirnova 2011). Penunjang radiodiagnostik yang sering
diaplikasikan dalam bidang medis ialah roentgen. Roentgen sangat menunjang
dalam penegakkan diagnosa, treatment yang akan dilakukan terhadap pasien dan
sebagai health record atau catatan perkembangan kesehatan pasien. Menurut
Tjokronagoro (2001) dalam Riyatun et al. (2011), radioterapi ialah pemanfaatan
sinar-X untuk memberikan efek terapi terhadap sel-sel yang mengalami mitosis
berlebihan atau sel kanker. Radiasi akan merusak sel-sel kanker sehingga proses
multiplikasi atau pembelahan sel-sel kanker akan terhambat. Sebagian besar selsel sehat akan bisa pulih kembali dari pengaruh radiasi, namun kerusakan yang
terjadi pada sel-sel yang sehat merupakan penyebab terjadinya efek buruk radiasi.
2
Radiodiagnostik maupun radioterapi tidak selalu memberi efek baik akan
tetapi juga terdapat efek buruk pada sel atau jaringan. Jaringan yang terpapar
sinar-X akan mengalami efek langsung berupa kerusakan DNA dalam sel maupun
efek tidak langsung berupa dekomposisi radiolisis pada sel. Efek yang terjadi pada
sel atau jaringan akan berbeda-beda sesuai dengan sensitivitasnya terhadap radiasi
sinar-X. Organ gastrointestinal atau usus merupakan salah satu organ yang sangat
sensitif terhadap paparan radiasi sinar-X (USNRC 2000). Menurut Thrall (2002),
organ gastrointestinal atau usus yang tersusun atas sel-sel yang aktif membelah,
seperti epitel silindris selapis yang terdapat pada permukaan mukosa organ. Efek
sinar-X terhadap sel-sel yang aktif membelah memiliki probabilitas kerusakan
yang lebih besar dari pada sel-sel yang tidak aktif membelah.
Dengan adanya efek buruk dari paparan radiasi sinar-X tersebut maka
dibutuhkan
adanya
senyawa
radioprotektif
berupa
antioksidan
untuk
mengoptimalkan manfaat pengaplikasian sinar-X di dunia kedokteran. Kini
pemanfaatan antioksidan dari tanaman tradisional atau herbal banyak diminati
masyarakat. Salah satunya ialah rosela (Hibiscus sabdariffa L.). Rosela
merupakan tanaman tropis yang banyak ditemukan di Indonesia. Penelitian
tentang rosela sebagai tanaman obat tradisional dalam bentuk sediaan teh merah
untuk pengobatan berbagai jenis penyakit sudah dilaporkan oleh Khosravi et al.
(2009). Namun penelitian mengenai potensi tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa
L.) dalam radiasi ionisasi diagnostik dosis rendah secara berulang belum pernah
dilaporkan.
1.2 Tujuan Penelitian
Mengetahui potensi radioprotektif ekstrak kelopak rosela (Hibiscus
sabdariffa L.) terhadap duodenum mencit (Mus musculus) dengan radiasi ionisasi
radiodiagnostik berulang.
1.3 Manfaat
Memberikan informasi potensi radioprotektif ekstrak kelopak rosela
(Hibiscus sabdariffa L.) dalam mengurangi kerusakan akibat radiasi ionisasi
3
radiodiagnostik berulang terhadap organ viseral, khususnya duodenum mencit
(Mus musculus).
4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Radiasi
Radiasi adalah pemancaran atau pengeluaran dan perambatan energi
menembus ruang atau sebuah substansi dalam gelombang atau partikel. Partikel
radiasi terdiri dari atom atau sub-atom yang mempunyai massa dan bergerak,
menyebar dengan kecepatan tinggi menggunakan energi kinetik (Anonimous
2011). Berdasarkan kemampuan dalam ionisasi, radiasi terbagi dalam dua jenis
yaitu radiasi ionisasi dan radiasi non-ionisasi.
Radiasi ionisasi didefinisikan sebagai suatu radiasi yang memiliki energi
yang cukup untuk memindahkan elektron dari molekulnya serta mampu merusak
ikatan kimia. Radiasi ionisasi merupakan radiasi elektromagnetik berupa sinar-x
dan sinar-ɤ atau partikel sub-atom berupa proton, neutron, dan partikel-α dan β
(NCR 2006) (Gambar 1). Menurut Fajardo et al. (2001), radiasi ionisasi dapat
merusak keutuhan ikatan molekul dan perubahan partikel atau ion. Konsekuensi
proses ini pada tubuh meliputi perubahan kimiawi sel berupa inisiasi kematian sel
dan potensi berbahaya lainnya.
Gambar 1 Daya tembus radiasi ionisasi (partikel radiasi alpha, beta, gamma, xray, dan neutron) (Anonimous 2012).
2.1.1 Sinar- X
Radiasi ionisasi sinar-X termasuk dalam golongan radiasi elektromagnetik.
Panjang sinar-X 10-0.01 nanometer, frekuensi 30 petahertz–30 exahertz (30 x 1015
Hz sampai 30 x 1018 Hz) dan memiliki energi 120 elektron Volt–120 Kiloelektron
5
Volt. Gelombang ini lebih pendek dari panjang gelombang sinar ultra violet
(Thrall 2002).
2.1.2 Pemanfaatan Sinar-X dalam Dunia Medis
Sejak pertama kali sinar-X ditemukan sudah berkembang sangat pesat
sebagai sarana radiodiagnostik untuk menghasilkan gambaran medis. Dunia
kedokteran hewan memanfaatkan sinar-X sejak tahun 1970 di Eropa. Ilmu yang
mempelajari berbagai hal yang berkaitan dengan pemanfaatan energi radiasi
disebut dengan radiologi. Pemanfaatan energi radiasi ini dapat dimanfaatkan
sebagai sarana radiodiagnostik dan radioterapi. Radiografer memanfaatkan sinarX untuk menghasilkan gambaran diagnostik yang dapat membantu mendeteksi
berbagai kelainan baik pada jaringan lunak maupun jaringan keras seperti tulang
(Thrall 2002; McCurnin dan Bassert 2006).
RÖntgen merupakan sarana radiodiagnostik yang sudah berkembang
dengan pesat dalam menunjang diagnosa. RÖntgen atau sinar-X menghasilkan
energi radiasi ionisasi yang berbahaya bagi kesehatan. Sejak tahun 2005
pemerintah Amerika Serikat memasukan sinar-X dalam daftar penyebab
terjadinya kanker. Penggunaan sarana radiodiagnostik sinar-X di Indonesia
diawasi oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) (Ulum dan Noviana
2008).
Menurut Nicholas dan Robert (2007) radioterapi ialah pemanfaatan radiasi
sinar-X atau sinar-Gamma yang dipajankan terhadap sel-sel malignan. Pada
masing-masing penyakit malignan digunakan dosis dan frekuensi paparan yang
berbeda. Menurut Tjokronagoro (2001) dalam Riyatun (2011), radioterapi
didefinisikan sebagai pemanfaatan sinar-X untuk memberikan efek terapi terhadap
sel-sel yang mengalami mitosis berlebihan atau sel kanker. Radiasi akan merusak
sel-sel kanker sehingga proses multiplikasi atau pembelahan sel-sel kanker akan
terhambat.
2.1.3 Efek Radiasi Ionisasi
Sinar-X merupakan bentuk radiasi ionisasi yang sangat berbahaya bagi
kesehatan. Disamping memiliki nilai positif sebagai sarana radiodiagnostik,
6
radiasi ionisasi sinar-X dapat menyebabkan kerusakan luar biasa pada jaringan
tubuh yang terpapar. Jumlah radiasi ionisasi terendah yang mampu menginisiasi
terbentuknya kanker adalah 50 mSv. Badan pengawas Nuklir Amerika Serikat
atau disebut NCR (Nuclear Regulatory Commision) membatasi jumlah dosis
okupasional pada orang dewasa tidak boleh melebihi 0.05 Sv (5 rem/tahun)
(Thrall 2002).
BAPETEN sebagai badan pengawas tenaga nuklir nasional di Indonesia
mengatur bahwa dosis maksimum pekerja radiasi adalah 20 mSv rata-rata dalam 5
tahun (Ulum dan Noviana 2008). Dosis 50 mSv/tahun yang diterima dari radiasi
alam di berbagai bagian bumi tidak berbahaya bagi penduduk setempat. Akan
tetapi pada dosis 100 mSv/tahun memacu terjadinya kanker dengan semakin
meningkatnya dosis yang diterima. Kejadian kanker terjadi pada 5 dari 100 orang
atau sekitar 5% dengan dosis 1000 mSv. Kejadian umum berupa kanker pada
dosis tersebut sekitar 25% dan mampu meningkat menjadi 30%.
Semua jaringan baik hewan maupun manusia sangat sensitif terhadap
radiasi. Penyerapan radiasi dosis rendah dari sinar RÖntgen oleh jaringan akan
mengakibatkan perubahan dan kerusakan pada sel (McCurnin dan Bassert 2006).
Sinar-X membentuk radikal bebas yang berakibat kerusakan atau hilangnya
elektron atom dari jaringan yang terpapar. Tubuh sebagian besar terdiri atas
komponen air sekitar 70% sehingga radiasi ionisasi akan mengubah susunan
molekul air membentuk radikal bebas secara aktif. Jumlah radikal bebas yang
terbentuk akan merusak jaringan. Daya sensitifitas dan regenerasi tiap jaringan
berbeda-beda sehingga efek yang ditimbulkan akan berbeda sesuai dengan jenis
jaringan dan dosis radiasi yang diterima. Efek yang ditimbulkan berupa
abnormalitas jaringan hingga kematian. Jaringan yang sangat aktif membelah
seperti usus dan sumsum tulang akan memperlihatkan efek yang sangat besar.
Sebaliknya pada jaringan yang tidak aktif membelah seperti otot dan tulang akan
menimbulkan sedikit efek (Thrall 2002).
7
2.2 Rosela (Hibiscus sabdariffa L.)
2.2.1 Karakteristik Rosela (Hibiscus sabdariffa L.)
Tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L.) merupakan tanaman dari genus
hibiscus yang banyak ditemukan di wilayah tropis. Rosela termasuk ke dalam
anggota famili Malvaceae yang dapat tumbuh baik di daerah beriklim tropis dan
subtropis. Habitat asli rosela terbentang dari India hingga Malaysia (Maryani dan
Kristiana 2005). Gambar 2 dapat dilihat gambar rosela yang tumbuh di Indonesia.
Gambar 2 Tanaman rosela (Maryani dan Kristiana 2005).
Klasifikasi ilmiah rosela (Hibiscus sabdariffa L.) menurut Widyanto dan
Nelistya 2009:
kelas : Plantae
ordo : Malvales
famili : Malvaceae
genus : Hibiscus
spesies : H. sabdariffa L.
Tanaman rosela berbentuk semak yang berdiri tegak dengan tinggi 3-5 m.
Ketika masih muda, batang dan daunnya berwarna hijau. Ketika beranjak dewasa
dan masih berbunga, batangnya berwarna cokelat kemerahan. Batang berbentuk
silindris dan berkayu, serta memiliki banyak percabangan. Batang terdapat daundaun yang tersusun berseling, berwarna hijau, berbentuk bulat telur dengan
pertulangan menjari dan tepi meringgit. Ujung daun ada yang runcing atau
menguncup. Tulang daunnya berwarna merah. Panjang daun dapat mencapai 6-15
8
cm dan lebar 5-8 cm. Akar yang menopang batangnya berupa akar tunggang
(Widyanto dan Nelistya 2009).
2.2.2 Pemanfaatan Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dalam Masyarakat
Penelitian tentang rosela sebagai tanaman obat tradisional dalam bentuk
sediaan teh merah untuk pengobatan berbagai jenis penyakit sudah dilaporkan
oleh Khosravi et al. (2009). Sedangkan efek rosela dalam melawan tetra-butyl
hydroperoxide yang memiliki toksisitas pada hati juga sudah dilaporkan
sebelumnya oleh Wang et al. (2000).
Tanaman Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dimanfaatkan sebagai bahan
obat tradisional untuk mengobati berbagai kasus penyakit seperti hipertensi,
infeksi saluran perkemihan, dan kardioprotektif (Wang et al. 2000; Odigie et al.
2003; Olaleye 2007), sebagai antioksidan dan memiliki efek hepatoprotektif pada
berbagai hewan (Amin dan Hamza 2005). Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Rostinawati (2008), ekstrak etanol rosela mempunyai aktivitas terhadap
Mycobacterium tuberculosis galur H37Rv dan Mycobacterium tuberculosis galur
Labkes-026 (multi-drug resisten).
Rosela masih belum banyak dimanfaatkan di bidang kedokteran Indonesia.
Minuman berbahan rosela beberapa tahun terakhir mulai banyak dikenal sebagai
minuman kesehatan. Bahan minuman dari rosela seperti sirup dan teh juga sudah
dapat diperoleh di pasar swalayan. Pemanfaatan dan khasiat rosela dalam dunia
pengobatan sudah tidak asing lagi di negara-negara lain (Maryani dan Kristiana
2005). Penduduk di Meksiko termasuk juga Afrika dan Asia, telah memanfaatkan
tanaman ini untuk berbagai keperluan pengobatan herbal dengan memanfaatkan
berbagai bagian dari tanaman ini (Khosravi et al. 2009).
2.2.3 Komposisi Kimia Rosela (Hibiscus sabdariffa L.)
Tanaman
Rosela
(Hibiscus
sabdariffa
L.)
banyak
mengandung
anthocyanin dan vitamin C. Sediaan kering dari ekstrak bunga rosela mengandung
flavonoid seperti gesypetin, hibiscetine, dan sabdaretine. Pigmen dari bunga
sebagian
besar
daphniphylline.
terdiri atas
Delphinidin
hibiscin
yang
3-monoglucoside,
telah diidentifikasi
cyanidin
sebagai
3-monoglucoside
9
(chrysanthenin) dan delphnidin juga teridentifikasi dalam jumlah kecil (Wang et
al. 2000). Menurut Maryani dan Kristiana (2005), secara umum komposisi
kelopak bunga rosela dapat dilihat pada Tabel 1 yang disajikan sebagai berikut.
Tabel 1 Kandungan gizi dalam 100 g kelopak segar bunga rosela
Zat
Jumlah
Kalori
44 kal
Air
86.2 %
Protein
1.6 g
Lemak
0.1 g
Karbohidrat
1.1 g
Serat
2.5 g
Abu
1.0 g
Kalsium
160 mg
Fosfor
60 mg
Sumber: Maryani dan Kristiana (2005)
Zat
Jumlah
Besi
Betakaroten
Asam askorbat
Tiamin
Riboflavin
Niasin
Sufida
Nitrogen
3.8 mg
285 mg
14 mg
0.04 mg
0.6 mg
0.5 mg
-
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa rosela memiliki kadar air yang
tinggi dan 2.5 % kandungannya ialah serat yang sangat dibutuhkan tubuh dalam
proses pencernaan. Sedangkan hasil pengujian fisikokimia kelopak bunga rosela
dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2 Hasil uji fisikokimia dalam 100 g kelopak segar bunga rosela
Nama Senyawa
Jumlah
Campuran asam sitrat dan asam malat
13%
Antosianin yaitu gossypetin dan hisbiscin
2%
Vitamin C
0.004-0.005%
Protein
14.6%
Sumber: Maryani dan Kristiana (2005)
Tabel 2 menunjukkan bahwa bunga rosela memiliki kandungan asam sitrat
yang cukup tinggi. Menurut Fasoyiro et al (2005), asam sitrat diketahui memiliki
kemampuan mengikat logam dan membentuk komplek dengan protein.
Kandungan vitamin C atau asam askorbat pada rosela lebih tinggi dari pada jeruk
dan mangga. Sedangkan pengujian terhadap kadar senyawa aktif yang terkandung
dalam kelopak bunga rosela dapat diperoleh dari hasil uji fitokimia yang
tersajikan pada Tabel 3 berikut.
10
Tabel 3 Hasil uji fitokimia ekstrak kelopak bunga rosela
Nama sampel
Parameter uji
Hasil
Satuan
Teknik analisa
Wagner
Meyer
positif
positif
-
kualitatif
kualitatif
Dragendorf
positif
negatif
-
kualitatif
kualitatif
Fitokimia
Alkaloid
Ekstrak kelopak bunga
Rosela
Hidroquinon
Tanin
positif
kualitatif
Flavonoid
positif
kualitatif
Saponin
positif
kualitatif
Steroid
negatif
kualitatif
Triterpenoid
negatif
kualitatif
Ket: Hasil pengujian fitokimia ekstrak kelopak bunga Rosela, Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB
No. sertifikat 008/I3.11.8/LUB-CA/XI/2010 [18 November 2010].
Berdasarkan Tabel 3 yang disajikan di atas dapat diketahui senyawa aktif
yang paling berpengaruh dalam penelitian. Fitokonstituen yang ditemukan dalam
ekstrak bunga rosela berupa flavonoid, polisakarida, dan asam organik,
berpengaruh terhadap aktivitas farmakologinya (Husaini et al. 2004). Bunga
rosela diketahui memiliki asam sitrat, tanin, dan glukosida seperti delfinidin-3monoglukosida dan delfinidin yang pada konsentrasi tinggi bersifat toksik bagi
jaringan hewan dan manusia (Ojokoh 2002). Tanin merupakan senyawa fenol
dimana derajat hidroksilasi dan ukuran molekulnya dapat membentuk komplek
dengan protein (Ojokoh 2006). Menurut Aletor (1993), asam sitrat memiliki
kemampuan mengikat logam, membentuk komplek dengan protein. Penelitian
sebelumnya dilaporkan bahwa glukosida sianogenik secara umum bersifat
menghambat proses katalisis enzim.
2.3 Mencit (Mus musculus)
Mencit (Mus musculus) merupakan hewan rodensia yang cepat
berkembangbiak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetiknya
cukup besar, serta sifat anatomis dan fisiologis terkarakterisasi dengan baik
(Malole dan Pramono 1989). Mencit telah digunakan sebagai subyek penelitian
sejak abad ke-19. Hingga kini, mencit menjadi hewan penelitian yang paling
banyak dipakai untuk mempelajari teratologi, genetik, gerontologi, toksikologi,
dan karsinogenitas. Alasan penggunaan mencit sebagai hewan coba yaitu
11
memiliki potensial reproduksi yang tinggi, masa kebuntingan yang singkat, jangka
hidup yang pendek, berukuran kecil, dan harga relatif murah (Sirois 2005).
Gambar mencit disajikan pada Gambar 2.
Gambar 3 Mencit strain DDY (Laboratorium Patologi FKH IPB).
Mencit di atas memiliki sistem taksonomi sebagai berikut (Besselsen
2004) :
kingdom
: Animalia
filum
: Chordata
subfilum
: Vertebrata
kelas
: Mamalia
subkelas
: Theria
ordo
: Rodensia
famili
: Muridae
genus
: Mus
spesies
: Mus musculus
Mus musculus sering dijadikan sebagai hewan percobaan. Berbagai
macam strain mencit yang dapat digunakan inbred maupun outbred dengan
karyotipnya yang telah diketahui. Pada kenyataannya, susunan genom mencit
telah banyak diketahui dari pada spesies lain. Oleh karena itu mencit banyak
digunakan sebagai hewan coba mengenai genom mencit (Wolfensohn dan Lloyd
1998).
Menurut Malole dan Pramono (1989), pemilihan hewan percobaan untuk
kepentingan
diagnosis
harus
mempertimbangkan
spesies
dan
kondisi
12
fisiologisnya. Diagnosis penyakit yang disebabkan oleh antraks dan rabies
sebaiknya menggunakan hewan coba mencit, sedangkan diagnosis penyakit akibat
enterobaktericeae dapat menggunakan hewan coba mencit maupun tikus. Hewan
percobaan kelinci baik digunakan pada penelitian mengenai hiperkolesterolemia
karena peka terhadap kolesterol dan dapat menyimpan lemak tubuh dalam jumlah
yang besar. Berbeda dengan anjing, kucing, dan tikus yang resisten terhadap
pakan yang mengandung kolesterol (Sirois 2005).
Mus musculus memiliki ciri ukuran tubuh yang kecil sehingga mudah
ditangani dan dikembangbiakkan. Ekor mencit hanya ditutupi oleh rambut-rambut
halus. Berbeda dengan tikus dan mamalia lain, sumsum dari tulang panjang
mencit selalu aktif seumur hidupnya. Sama halnya dengan tikus, mencit memiliki
beberapa kelenjar diantaranya, saliva, paratoid (serous), submaxillary, dan
sublingual. Ditemukan pula kelenjar Harderian. Mencit memiliki sinus orbitalis
sedangkan tikus memiliki plexus orbitalis. Rata-rata umur Mus musculus 1 sampai
3 tahun dengan berat badan umum mencit jantan dewasa berkisar 20 sampai 40
gram dan betina 22 sampai 63 gram. Mencit memasuki usia dewasa pada umur 6
minggu, masa bunting selama 19 sampai 21 hari (Sirois 2005).
Penelitian ini menggunakan Mus musculus dengan strain DDY (Deutch
Democratic Yokohama) yang sering digunakan dalam banyak penelitian tentang
malformasi dan imunologi. Strain ini sangat baik untuk penelitian mengenai
malformasi hewan yakni sensitifitas terhadap efek letal radiasi embrio mencit
pada tahap preimplantasi, sehingga dapat mempengaruhi hereditas. Sedangkan
dalam penelitian imunologi, timbulnya penyakit pada strain ini tidak tinggi,
kemungkinan disebabkan oleh latar belakang genetik yang heterogen. Selain itu
strain DDY juga dilaporkan mempunyai perkembangan yang cepat, berumur
panjang, dan memproduksi immunoglobulin A (Ig A) yang mirip dengan manusia
(Gu et al. 2002; Miyawaki et al. 1997).
Pada bidang kedokteran, hewan percobaan banyak digunakan untuk
keperluan diagnosis. Penelitian-penelitian medis untuk kepentingan manusia
sering dilakukan menggunakan hewan percobaan. Menurut Wolfenshon dan
Lloyd (1998), hewan percobaan terbagi atas 5 kelompok, yaitu (1) hewan
laboratorium berukuran kecil, seperti mencit, tikus, dan kelinci, (2) karnivora,
13
seperti kucing dan anjing; (3) primata, seperti Macaca dan babon, (4) hewan
domestik besar, seperti domba, sapi, dan (5) kelompok hewan lainnya, seperti
unggas.
2.4 Duodenum
2.4.1 Anatomi dan Histologi Duodenum
Duodenum merupakan bagian dari usus halus yang berperan dalam sistem
pencernaan. Fungsi utama saluran pencernaan yaitu mencerna dan memecah
makanan di dalam lumennya menjadi molekul yang lebih kecil dan sederhana
yang bisa diserap oleh sirkulasi tubuh untuk menunjang kehidupan organisme
(Frappier 2006). Duodenum merupakan organ tubular yang terbentang dari pilorus
ke usus besar (Genesser 1994). Panjang usus halus mulai pilorus sampai ileum
mencit dewasa kira-kira 35 cm, sedangkan panjang usus besar mulai kolon sampai
sekum mencit dewasa kira-kira 14 cm (Shackelford dan Elwell 1999). Secara
makroskopis, lapisan-lapisan penyusun dinding duodenum mulai dari dalam ke
luar lumen usus terdiri atas tunika mukosa, tunika submukosa, tunika muskularis,
dan tunika serosa (Shackelford dan Elwell 1999; Frappier 2006).
Gambar 4 Struktur mikroskopis usus mencit (SAHB 2009).
14
Secara mikroskopis, lapisan-lapisan penyusun dinding duodenum (usus
halus) mulai dari dalam ke luar terdiri atas tunika mukosa, tunika submukosa,
tunika muskularis, dan tunika serosa (Gambar 4) (Shackelford dan Elwell 1999;
Frappier 2006). Dinding duodenum kaya
akan pembuluh
darah yang
mengangkut zat-zat nutrisi menuju hati melalui vena porta. Di dinding
duodenum melepaskan lendir, air dan sejumlah kecil enzim. Lendir yang
dihasilkan b e r f u ng s i
u nt u k
m e lumasi isi usus, air untuk membantu
melarutkan molekul-molekul makanan yang dicerna, dan sejumlah kecil enzim
yang membantu proses pencernaan (Guyton dan Hall 1997). Struktur histologi
duodenum disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Struktur histologi duodenum. (S) serosa, (ME) muskularis eksterna, (L)
longitudinal, (C) sirkular, (SubM) submukosa, (BGI) kelenjar Brunner,
(D) duktus kelenjar Burner, (MM) muskularis mukosa, (Muc) mukosa,
dan (V) vili (Ross et al. 2002).
Tunika mukosa terdiri atas epitel, kelenjar intestinal, dan lamina propria.
Bagian tunika submukosa dapat dilihat adanya kelenjar Brunner atau elenjar
submukosa yang hanya terdapat pada bagian pangkal duodenum (Frappier 2006).
Epitel usus halus berbentuk epitel kolumnar selapis yang terdiri atas sel absortif,
sel goblet, sel endokrin dan sel peaneth (Genesser 1994). Lamina propria terdiri
atas jaringan ikat retikuler dan fibroplastik yang longgar dan kaya pembuluh
darah, buluh khil (lacteal), saraf maupun otot licin (Shackelford dan Elwell 1999).
Menurut Dellmann dan Brown (1992) menyatakan bahwa pencernaan di
usus halus ditunjang oleh bentuk khusus pada tunika mukosa, yakni vili (Gambar
5 (V). Vili merupakan penjuluran mukosa yang berbentuk jari dan merupakan ciri
15
khas usus halus. Vili tersusun atas kumpulan sel epitel silindris sebaris yang
berjejer dan jaringan ikat longgar lamina propria (Junqueira dan Carneiro 2005).
Tinggi vili ini bervariasi bergantung pada daerah dan jenis hewannya.
Pada karnivora, vili langsing dan panjang, sedangkan pada sapi vili pendek dan
lebar. Panjang vili usus halus pada mencit dewasa lebih panjang dari pada mencit
neonatus (Shackelford dan Elwell 1999). Sehingga luas permukaan ditingkatkan
oleh mikrovili. Mikrovili merupakan penjuluran sitoplasma pada permukaan
bebas epitel vili. Vili dan mikrovili berfungsi memperluas permukaan usus halus
sehingga penyerapan lebih efisien (Dellmann dan Brown 1992). Kerusakan
mikrovili dan atrofi vili usus halus dapat mengganggu penyerapan nutrisi
(malabsorbtion syndrome) (Junqueira dan Carneiro 2005).
Secara histologis, duodenum pada manusia maupun hewan memiliki
jumlah vili yang banyak, tinggi, dan berbentuk seperti lembaran daun. Duodenum
juga memiliki kripta dan kelenjar Lieberkühn dengan jumlah dan keadaan yang
paling baik. Selain itu, terdapat kelenjar submukosa (Brunner). Jejenum hampir
mirip dengan duodenum tetapi vilinya lebih kecil dan lebih banyak. Jejenum tidak
terlalu tampak adanya kelenjar submukosa (Brunner) namun jejenum memiliki
banyak sel goblet pada permukaan vilinya. Ileum adalah bagian akhir dari usus
halus, bentuk vilinya seperti ibu jari dengan jumlah kelenjar Liberkhün yang
sedikit. Ileum memiliki lebih sedikit sel goblet namun dilengkapi dengan jaringan
limfatik yang lebih besar yaitu daun Peyer (Junqueira dan Carneiro 2005;
Samuelson 2007).
Selain struktur lapis penutupnya, vili memiliki struktur jaringan lunak pada
bagian dalam yakni lamina propria. Menurut Ross et al. (2002), lamina propria
dilengkapi dengan jaringan limfatikus yang berfungsi sebagai pertahanan
imunologis terintegrasi yang mampu mencegah patogen maupun substansi antigen
lainnya yang berpotensi masuk ke dalam mukosa dari lumen saluran cerna (usus).
Jaringan limfatikus terdiri dari oleh jaringan limfatikus yang menyebar (limfosit
dan sel plasma) di dalam lamina propria, transient limfosit yang terdapat pada
ruang antar epitel, nodul limfatik, eosinofil, makrofag dan terkadang neutrofil.
Gambaran mikroskopis vili duodenum disajikan pada Gambar 6.
16
Epitel silindris sebaris
Sel Goblet
Sel otot
fibroblas
halus/
lakteal
lacteal
Gambar 6 Gambaran mikroskopis vili duodenum (Ross et al. 2002).
Daerah mukosa (Gambar 5), diantara dasar-dasar vili terdapat kelenjarkelenjar yang meluas ke bagian bawah mukosa yang disebut kripta Lieberkühn.
Kripta Lieberkühn memiliki struktur tubular sederhana yang meluas dari daerah
muskularis mukosa menuju ke lamina propria. Sel-sel kripta menyediakan sel-sel
baru untuk menggantikan sel-sel permukaan vili yang terbuang ke dalam lumen
usus (Bevelender dan Ramaley 1988). Menurut Samuelson (2007), di bagian
bawah vili baik pada manusia maupun hewan (mamalia dan unggas) terdapat
kripta dan kelenjar Lieberkühn yang terdiri atas stem sel atau sel punca, sel
goblet, sel Panet dan sel enteroendokrin. Pada mencit dewasa, sel kripta epitel
usus bermitosis setiap 10-14 jam dan waktu transit sel dari kripta ke ujung vili
terjadi selama 48 jam (Shackelford dan Elwell 1999).
17
B
C
A
Muskularis mukosa
Gambar 7 Histologi submukosa usus A) kripta Lieberkühn, B) sel Paneth usus dan
C) limfosit (Ross et al. 2002).
Epitel usus halus berbentuk epitel silindris selapis (Gambar 6) yang terdiri
atas sel absortif, sel goblet, sel endokrin dan sel paneth (Genesser 1994). Lamina
propria terdiri atas jaringan ikat retikuler dan fibroplastik yang longgar dan kaya
pembuluh darah, buluh khil (lacteal), saraf maupun otot licin (Shackelford dan
Elwell 1999). Tunika submukosa (Gambar 5 (SubM)) terdiri atas jaringan ikat
longgar, pembuluh darah dan pembuluh limfe yang lebih besar. Duodenum
memiliki kelenjar Brunner (Genesser 1994). Pada hewan dewasa lapisan ini
ditemukan banyak limfosit, sel plasma, makrofag, eosinofil, dan sel mast
(Schackelford dan Elwell 1999).
Tunika muskularis terdiri atas lapisan eksterna yang mempunyai serabut
otot longitudinal dan lapisan interna yang mempunyai serabut otot halus
berbentuk sirkuler (Schackelford dan Elwell 1999). Kedua lapisan ini dipisahkan
oleh suatu jaringan ikat berisi pleksus saraf parasimpatis yang disebut pleksus
Mesenterikus atau Auerbach’s (Genesser 1994). Suplai darah untuk usus halus
diberikan melalui cabang-cabang dari arteri mesenterica celiaca dan cranialis
yang menembus tunika muskularis kemudian tunika submukosa (Frappier 2006).
Lapisan terluar usus halus atau tunika serosa (Gambar 5 (S)) terdiri atas lapisan
mesotel dengan jaringan ikat subserosa di bawahnya (Genesser 1994; Frappier
2006).
18
2.5 Kondisi Patologis Pada Sel Usus
2.5.1 Apoptosis Epitel Usus
Apoptosis adalah suatu proses kematian sel terprogram, diatur secara
genetik, bersifat aktif, ditandai dengan adanya kondensasi kromatin, fragmentasi
sel dan fagositosis sel tersebut oleh sel tetangganya (Cotran et al. 1999; D’amico
dan McKenna 1994). Menurut Kresno (2001), apoptosis merupakan proses
penting dalam pengaturan homeostasis normal, proses ini menghasilkan
keseimbangan dalam jumlah sel jaringan tertentu melalui eliminasi sel yang rusak
dan proliferasi fisiologis sehingga mampu memelihara agar fungsi jaringan
normal. Kejadian apoptosis memiliki tujuan untuk menjaga homeostasis sel di
jaringan selain itu pula sebagai suatu mekanisme pertahanan seperti reaksi imun.
Deregulasi apoptosis mengakibatkan keadaan patologis, termasuk proliferasi sel
secara tidak terkontrol seperti dijumpai pada kanker (Cotran et al. 1999).
Mekanisme apoptosis sel dapat dilihat pada Gambar 8.
Kematian sel terprogram
3. Membran sel rusak
1. Sel normal
2. Penyusutan sel dan
kondensasi kromatin
6. Lisis badan
apoptosis
5. Pembentukan
badan apoptosis
4. Nukleus kolaps sebagai
lanjutan kerusakan membran
Gambar 8 Mekanisme apoptosis sel (Cotran et al. 1999).
Mekanisme apoptosis seperti Gambar 8 dapat dipicu oleh adanya
rangsangan eksogen dan endogen seperti radiasi ultraviolet, stres oksidatif, dan
bahan kimia genotoksik. Diawali dengan adanya penyusutan sel dan kondensasi
kromatin yang pada akhirnya dapat mengakibatkan kerusakan membran plasma
dan nukleus yang kolaps sehingga pada akhirnya dapat mengakibatkan sel lisis
(apoptosis) (Cotran et al. 1999).
19
Menurut Brooks (2005), terdapat tiga prosedur pengaturan sel sebagai
respon sel terhadap paparan sinar-X dosis adaptasi (akut). Tiga prosedur tersebut
yakni perbaikan DNA, kematian sel melalui mekanisme apoptosis sehingga dapat
menurunkan jumlah sel abnormal dan peningkatan fungsi imun, dimana ketiganya
berperan potensial untuk mereduksi kejadian kanker pada organisme.
Apoptosis adalah fenomena penting dalam sistem biologi (Rajesh et al.
2009). Paparan radiasi ionisasi menghasilkan efek yang cepat, terjadi kematian sel
secara apoptosis (Gambar 9) dari stem cell atau sel punca (Potten 1977). Stem cell
usus bertanggung jawab terhadap repopulasi epitel permukaan pada usus. Jika ada
gangguan pada stem sel usus maka akan terjadi perubahan bentuk kripta pada
usus. Dosis yang besar dapat menyebabkan kerusakan kripta disertai dengan
adanya gangguan fungsional usus terlihat secara klinis sebagai gangguan akut.
Apoptosis dapat terjadi akibat dari adanya induksi iradiasi terhadap usus (Mann
1991; Potten et al. 1994). Apoptosis pada stem sel pada bagian kripta kolon tikus
dapat dilihat pada Gambar 9.
Menurut Cotran et al. (1999), gambaran morfologi sel apoptosis ialah
adanya pengerutan sel, kondensasi kromatin (piknotik), pembentukan tonjolan
sitoplasma dan pada akhirnya terjadi fagositosis badan apoptosis (apoptosis
bodies). Karakteristik apoptosis ialah melibatkan sel tunggal dan kelompok sel
kecil, bentuknya sebagai masa eosinofilik bulat atau oval yang terlihat dengan
fragmen kromatin inti yang padat. Salah satu faktor yang bertanggungjawab dari
serangkaian peristiwa apoptosis baik fisiologis, adaptif maupun patologis adalah
delesi sel atau penghilangan sel. Rangkaian proses tersebut mengakibatkan deplesi
sel pada populasi sel yang berproliferasi seperti epitel kripta intestinum.
Apoptosis pada bagian basal kripta duodenum mencit dapat dilihat pada Gambar
9.
20
Gambar 9 Gambaran sel apoptosis (tanda panah) pada bagian basal kripta
duodenum mencit dengan pewarnaan hematoksilin-eosin (HE)
perbesaran 900x (Merritt et al. 1994).
Organ usus dan organ yang memproduksi darah merah sangat sensitif
dengan adanya paparan sinar-X dan dapat menimbulkan efek biologis. Efek
biologi yang terjadi pada tubuh individu dibagi menjadi dua golongan utama
yakni efek biologis yang terjadi secara akut dengan paparan sinar-X dengan dosis
tinggi dengan lama paparan yang pendek atau sebentar dan efek biologis yang
terjadi secara kronis dengan paparan sinar-X dengan dosis rendah namun lama
paparan yang panjang. Paparan sinar-X dengan dosis yang tinggi dapat
mengakibatkan kematian sel sedangkan dengan dosis yang rendah dapat
mengakibatkan kerusakan sel sehingga banyak jaringan bahkan organ menjadi
rusak. Hal ini dapat mempengaruhi respon keseluruhan tubuh secara cepat dan
sering dikaitkan dengan Acute Radiation Syndrome (ARS) (USNRC 2000).
Efek biologis yang dihasilkan karena paparan dosis rendah dapat terjadi
pada tingkat sel dan hasilnya tidak dapat langsung teramati selama beberapa
tahun. Diagram alur efek radiasi pada sel tubuh dapat dilihat pada Gambar 10.
21
radiasi
Sel normal
Tidak ada kesalahan
dalam perbaikan
Kerusakan DNA
Kematian sel/ apoptosis
Kesalahan dalam
perbaikan
kanker
Gambar 10 Diagram alur kemungkinan paparan sinar-X seluler pada sel normal
(Mitchel 2003 ).
Efek biologis (Gambar 10) yang dihasilkan dari adanya paparan radiasi
sinar-X banyak ditemukan. Faktor-faktor yang mempengaruhi sensitivitas
jaringan terhadap radiasi ionisasi sinar-X yaitu total dosis paparan, tipe sel, umur
individu, pembelahan sel, bagian tubuh yang terkena paparan sinar-X, kesehatan
individu, jumlah jaringan yang terpapar sinar-X, dan interval paparan sinar-X
yang diterima (USNRC 1999).
2.5.2 Degenerasi Epitel dan Atrofi Vili Usus
Degenerasi diartikan sebagai perubahan-perbahan morfologik akibat
kerusakan-kerusakan yang bersifat non fatal. Perubahan-perubahan tersebut masih
dapat
pulih
kembali
(reversible).
Perubahan-perubahan
tersebut
hanya
mencerminkan adanya lesio biomolekuler yang telah berjalan lama dan baru
kemudian dapat dilihat. Setiap sel memiliki resiko mengalami kerusakan baik dari
faktor internal atau eksternal setiap saat. Oleh karena itu sel memiliki kemampuan
untuk menanggulangi tingkat perbaikan tergantung pada besar kecilnya pengaruh
lesio yang terjadi serta kemampuan sel akan mengakibatkan sel menjadi sakit atau
tetap normal. Lesio-lesio yang terjadi mengakibatkan gangguan metabolisme
karbohidrat, protein, dan lemak pada sel. (Himawan 1990). Gambaran vili usus
halus yang mengalami degenerasi disajikan pada Gambar 12.
22
Gambar 11 Gambaran histologi duodenum mencit yang mengalami atrofi (tanda
panah tipis) dan degenerasi (tanda panah tebal) dengan pewarnaan
hematoksilin-eosin (HE) perbesaran 400x (Hummdi LA dan Habash
SH 2012).
Kejadian degenerasi pada jaringan dapat diawali oleh terjadinya respon
adaptif terhadap stimulasi perlukaan atau trauma dan kerusakan seperti halnya
atrofi (Cheville 2006). Atrofi ialah suatu kondisi dimana penurunan ukuran sel-sel
yang sebelumnya telah mengalami perkembangan organ yang menyeluruh. Atrofi
menggambarkan adanya adaptasi terhadap perubahan seluler dari lingkungan
(Cheville 2006). Ciri-ciri seluler sel atrofi adalah mitokondria yang mengecil
karena energi yang dibutuhkan lebih sedikit. Pengurangan dalam transkripsi,
translasi dan konjugasi dari sekresi protein sebagai hasil dari menghilangnya
ribosom dan retikulum endoplasma dengan menghilangnya granul skretori.
Gambar histologi vili duodenum yang mengalami atrofi disajikan pada Gambar 13
(B dan D).
23
C
D
Gambar 12 Gambaran histologi vili duodenum mencit (A dan C) vili duodenum
mencit normal dan (B dan D) vili duodenum yang mengalami atrofi
dan dilatasi lumen usus yang ditunjukan dengan tanda panah hitam.
Pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) perbesaran 200x (Uzal et al.
2009).
3. METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Bedah dan Radiologi serta Bagian
Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor (IPB) pada bulan Maret 2010 sampai September
2011.
3.2 Materi
3.2.1 Hewan Coba
Penelitian ini bersifat eksperimental menggunakan hewan coba sebagai
model. Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 24 ekor mencit
jantan (Mus musculus) dengan rata-rata umur 4 minggu dengan bobot awal 18-20
gram. Mencit yang digunakan merupakan mencit strain ddy dan diberi pretreatment sebelum dikawinkan. Mencit jantan tersebut diperoleh dari pembiakan
di Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
3.2.2 Ekstrak kelopak bunga Rosela
Penelitian ini menggunakan ekstrak kelopak bunga rosela dari petani
rosela di Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Ekstraksi kelopak bunga rosela dilakukan
di Balitro (Balai Penelitian Tanaman Obat) Cimanggu, Bogor. Bunga dikeringkan
di bawah sinar matahari dan dihaluskan. Tahapan selanjutnya, sebanyak 200 gram
serbuk bunga diekstrak dengan etanol 96% pada suhu 40°C.
Pembuatan ekstrak tanaman rosela meliputi proses maserasi dan evaporasi.
Maserasi adalah proses perendaman simplisia menggunakan pelarut untuk
memperoleh zat aktif dari simplisia tersebut. Proses maserasi dilakukan
menggunakan pelarut etanol. Maserat yang telah diperoleh dipisahkan kemudian
dievaporasi. Evaporasi merupakan proses pemekatan dengan cara menguapkan
pelarut tanpa menjadi kering.
Simplisia yang telah kering dihaluskan, lalu dilakukan maserasi dengan
menambahkan etanol 70% hingga seluruh simplisia terendam oleh etanol dalam
maserator. Maserasi dilakukan selama tiga hari dan tiap 24 jam ekstrak ditampung
25
dan pelarut diganti dengan yang baru. Setelah tiga hari, ekstrak yang telah
diproses kemudian dipekatkan sehingga diperoleh ekstrak kental dengan bobot
tetap. Kemudian diuapkan dengan rotary evaporator hingga didapat ekstrak
kental seberat 125.51 gram dengan rendemen 37.84%. Ekstraksi yang dilakukan
dengan maserasi yang merupakan ekstraksi dengan cara dingin. Proses ekstraksi
dengan cara dingin relatif lebih aman terhadap zat -zat yang terkandung di dalam
simplisia jika dibandingkan dengan penggunaan ekstraksi cara panas karena
kemungkinan zat yang terkandung dalam simplisia tersebut bersifat termolabil.
Kemudian dilanjutkan dengan freeze drier agar hasil yang didapat konstan sesuai
dengan hasil yang diinginkan (Rostinawati 2009). Maserasi dilakukan oleh Balai
Penelitian Tanaman Obat Bogor dan evaporasi dilakukan oleh Laboratorium
Bioteknologi di Fakultas Perikanan IPB.
3.2.3 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam pemeliharaan mencit pada penelitian ini
yaitu pelet (pakan mencit komersial), air mineral untuk minum mencit, NaCl
fisiologis, anthelmentik (Albendazol®), antibiotik (Clavamox®), antifungal
(Metronidazol®), dan akuades. Bahan-bahan yang digunakan untuk pewarnaaan
histopatologis yaitu sebagai berikut: Larutan Mayers Hematoksilin, Larutan
Eosin, alkohol dengan konsentrasi bertingkat (70%, 80%, 90%, 96%), xylol, eter,
Buffered Neutral Formalin (BNF) 10%, parafin cair, albumin, metanol dan
permount.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu adalah kandang mencit
yang dimodifikasi yang dapat dilihat pada Gambar 13 (Box plastik dengan ukuran
panjang 30 cm, lebar 20 cm, dan tinggi 15 cm dengan tutup yang terbuat dari
anyaman kawat untuk tempat pemeliharaan mencit selama penelitian berlangsung;
botol yang dilengkapi dengan saluran air sebagai tempat minum mencit), kertas
label, sekam kering, timbangan digital, kapas, syringe, sonde lambung, kulkas,
steroform, jarum pentul, cawan petri, peralatan bedah (pinset, skalpel dan
gunting), pesawat Roentgen, dan apron. Peralatan untuk pembuatan dan
pengamatan sediaan histopatologi terdiri atas tissue casset, automatic tissue
26
percessor, mikrotom, pencetak parafin, gelas objek, gelas penutup, mikroskop
cahaya, dan alat fotografi mikro.
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Aklimatisasi dan Pre- treatment Mencit
Sebelum perlakuan semua mencit diaklimasi untuk menyesuaikan kondisi
laboratorium penelitian selama 2 minggu. Mencit tersebut dikelompokkan
menjadi 4 kelompok, setiap kelompok terdiri atas 6 ekor mencit. Setiap kelompok
mencit dikandangkan dalam kandang yang dimodifikasi (Box plastik dengan
ukuran panjang 30 cm, lebar 20 cm, dan tinggi 15 cm dengan tutup yang terbuat
dari anyaman kawat untuk tempat pemeliharaan mencit selama penelitian
berlangsung; botol yang dilengkapi dengan saluran air sebagai tempat minum
mencit). Bentuk dan kondisi kandang dapat dilihat pada Gambar 13 berikut.
Gambar 13 Kandang mencit dengan alas kandang berupa serbuk gergaji.
Mencit jantan diberi pakan komersial dan minum secara ad libitum. Pakan
komersial yang diberikan berbentuk pelet yang dibeli dari tempat penjualan pakan
terdekat. Untuk menjaga kebersihan dan kesehatan mencit maka kandang dan alas
sekam dibersihkan dan diganti setiap tiga hari sekali.
Pre-treatment
yang
diberikan
pada
mencit
berupa
pencekokan
anthelmentik (Albendazol®) 5% dengan dosis 10 mg/Kg BB dengan dua kali
pemberian, dengan selang dua minggu antara pemberian pertama dan kedua,
antifungal (Metronidazol®) 50 mg/kg BB selama lima hari berturut-turut,
antibiotik (Clavamox®) 125 mg/kg BB selama lima hari berturut-turut
(Hrapkiewiez dan Mediana 2007).
27
3.3.2 Perlakuan Terhadap Hewan Percobaan
Mencit dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan, yaitu, 1) kelompok kontrol
(NaCl fisiologis 0.9 % atau saline) (K), 2) kelompok perlakuan primer (P), 3)
kelompok perlakuan rosela (R), dan 4) kelompok perlakuan rosela primer (RP).
Di bawah ini disajikan Tabel 4, pembagian kelompok mencit perlakuan.
Tabel 4 Kelompok mencit perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini
Kelompok
mencit
K
P
R
RP
Perlakuan
Mencit kontrol yakni mencit yang tidak diberi radiasi dan NaCl
fisiologis 0.9 % (saline) (n=6)
Mencit primer yakni mencit yang diberi radiasi dan NaCl
fisiologis 0.9 % (saline) (n=6)
Mencit Rosela yakni mencit yang tidak diberi radiasi tetapi
diberi ekstrak kelopak rosela (n=6)
Mencit rosela primer yakni mencit yang diberi radiasi dan
ekstrak kelopak rosela (n=6)
Ket: cekok NaCl fisiologis 0.9 % (saline) pada kelompok kontrol dan ekstrak kelopak rosela
dengan dosis 0.2 ml/ekor/ 2 hari. NaCl fisiologis 0.9 % (saline) dan ekstrak kelopak rosela
diberikan secara per oral menggunakan sonde lambung.
Semua kelompok diberi perlakuan berdasarkan pembagian kelompok di
atas. Masa perlakuan berupa pencekokan rosela dan pemberian paparan radiasi
selama 8 minggu. Setelah 8 minggu dilakukan nekropsi pada 3 ekor mencit dari
masing-masing kelompok. Tiga ekor sisanya kemudian diberi masa pemulihan
tanpa radiasi dan rosella selama 30 hari untuk kemudian dinekropsi. Hasil
nekropsi dari masing-masing masa perlakuan akan dibandingkan secara
histopatologinya.
3.3.3 Paparan Radiasi
Kelompok mencit yang mendapat radiasi sinar-X primer dari mesin sinarX VR-1020 Medical Corp. Japan, dengan jarak sumber radiasi terhadap mencit
dalam kandang 100 cm pada berkas sinar utama. Pemaparan radiasi dilakukan 2
hari sekali dengan dosis perlakuan 0.2 mSv/paparan, waktu paparan per detik
selama delapan minggu dengan besar total paparan diukur dengan menggunakan
pen dose MyDrseTM ALOKA CO. LTD Tokyo Japan.
Setelah 8 minggu keseluruhan data besar dosis paparan radiasi sinar-X
pada masing-masing kelompok dijumlahkan. Setelah 30 hari masa pemulihan dari
28
minggu ke-9 sampai minggu ke-12 kelompok mencit perlakuan tidak diberi
paparan radiasi dan tanpa pencekokan.
3.3.4 Pemberian Ekstrak Rosela
Mencit yang diterapi dengan ekstrak rosela adalah mencit kelompok R dan
RP. Sebelum pemberian ekstrak rosela, mencit direstrain terlebih dahulu secara
manual mulai dari belakang telinga sampai dengan dorsal punggung. Ekstrak
rosela diencerkan dengan akuadest dengan komposisi 1.5 gram ekstrak dalam 200
ml aquadest, sehingga konsentrasi adalah 7.5 g/ml. Dosis yang digunakan adalah
50 mg/ml/berat badan atau 0.2 ml/ekor/dua hari dengan menggunakan sonde
lambung (Akindahunsi dan Olelaye 2003; Ali et al. 2005). Sonde lambung
digunakan secara hati-hati sehingga larutan ekstrak rosela tidak masuk ke dalam
saluran pernapasan. Pemberian ekstrak rosela dilakukan setiap dua hari sebelum
diradiasi dengan sinar-X. Cara pencekokan ekstrak kelopak bunga rosela dapat
dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14 Pencekokan bahan perlakuan (NaCl dan ekstrak kelopak bunga
rosela) pada mencit.
3.3.5 Nekropsi
Setelah mencit kelompok perlakuan 8 minggu dan 12 minggu diberi
perlakuan kemudian dilakukan nekropsi pada mencit. Pertama dilakukan
penimbangan mencit lalu dianastesi dengan menggunakan kombinasi Ketamin 30
mg/Kg dan Xylazine 5 mg/Kg BB intra peritoneal. Mencit diberi anastesi dengan
dosis over dosis (OD) hingga mati. Lalu mencit dinekropsi untuk kemudian
diambil sampel usus yang telah ditentukan bagiannya. Kemudian bagian-bagian
29
usus yang telah diambil dibuka lumennya, setelah itu bagian ujung-ujung usus
tersebut disteples pada kertas karton dengan pemukaan dalam dibagian atasnya.
Fiksasi kesemua bagian usus yang telah diambil ke dalam larutan Buffer Neutral
Formalin atau BNF 10% selama dua hari.
3.3.6 Pembuatan Sediaan Histopatologi
Pembuatan sediaan histopatologi diawali dengan pemotongan tipis pada
bagian usus yang telah diawetkan dalam larutan Buffer Neutral Formalin atau
BNF 10% selama dua hari. Bagian usus dipotong dengan lebar 0.5 cm sehingga
dapat
dimasukkan
kedalam
Tissue
Casset
dan
dikelompokkan
sesuai
kelompoknya. Dehidrasi dilakukan dengan cara merendam sediaan tersebut secara
berturut-turut kedalam alkohol 70%, 80%, 90%, alkohol absolut II, xylol I, xylol
II, parafin I dan parafin II. Proses perendaman pada setiap bahan dilakukan
selama 2 jam dan berjalan secara otomatis dalam alat automatic tissue processor.
Proses dilanjutkan dengan pencetakkan sampel organ dalam paraffin agar
membentuk blok jaringan sehingga dapat dipotong menggunakan mikrotom
setebal 5 µm. Potongan blok paraffin berbentuk pita (ribbon), diletakan di atas
permukaan air hangat 45°C dengan tujuan untuk menghilangkan lipatan akibat
pemotongan. Sediaan diangkat dari permukaan air dengan gelas objek yang telah
diulasi larutan albumin yang berfungsi sebagai perekat. Sediaan selanjutnya
dikeringkan dalam inkubator suhu 60°C selama 24 jam.
Proses pewarnaan diawali dengan deparafinisasi ke dalam xylol sebanyak
dua kali, masing-masing selama dua menit. Sediaan selanjutnya melalui proses
rehidrasi. Proses rehidrasi dimulai dari alkohol absolut sampai ke alkohol 80%,
yang masing-masing lamanya 2 menit. Sediaan selanjutnya dicuci dengan air
mengalir dan dikeringkan. Sediaan yang telah kering diwarnai dengan pewarnaan
Mayer’s Hemaktosilin selama 8 menit, dibilas dengan air mengalir, dicuci dengan
pewarna Eosin selama dua menit. Sediaan kemudian dicuci dengan air mengalir
untuk menghilangkan warna Eosin yang berlebih sebelum akhirnya dikeringkan.
Sediaan kemudian dicelupkan kedalam alkohol 90 % sebanyak 10 kali
celupan, alkohol absolut I sebanyak 10 kali celupan, alkohol absolut II selama 2
menit, xylol I selama 1 menit dan xylol II selama 2 menit. Sediaan ditetesi perekat
30
permount, ditutup dengan gelas penutup, dan dibiarkan kering sesuai dengan
metode Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Sediaan siap dilihat
dan setelah perekat kering diamati menggunakan mikroskop cahaya.
Selain pewarnaan Hematoksilin-eosin (HE) seperti yang dijelaskan di atas,
dilakukan pula pewarnaan Periodic Acid Schiff (PAS) untuk melihat sel goblet
lebih jelas. Pewarnaan Periodic Acid Schiff (PAS) diawali dengan deparafinisasi,
kemudian preparat dibilas dengan akuades lalu direndam kedalam larutan asam
asetat 1% selama 5 menit dan dibilas kembali dengan akuades. Preparat
selanjutnya dioksidasi dalam periodc acid 1% selama 5-10 menit, lalu bilas
dengan akuades tiga kali masing-masing 5 menit. Preparat dimasukkan kedalam
schiff reagent selama 15-30 menit, dibilas lagi dengan air sulfit (10 % sodium
bisulfat (NaHSO3) 10 ml, 1 N HCl 10 ml dan akuadesilata 200 ml) dengan
masing-masing 2 menit selama bilasan pada masing-masing larutan. Setelah itu
preparat dibilas dengan air kran mengalir selama 10-15 menit lalu dibilas dengan
akuades. Terakhir dilakukan dehidrasi dengan xylol kemudian ditetesi perekat
permount, ditutup dengan gelas penutup, dan dibiarkan kering sesuai dengan
metode Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Sediaan siap dilihat
dan setelah perekat kering diamati menggunakan mikroskop cahaya.
3.3.7 Pengamatan Histopatologi
Pengamatan histopatologi dilakukan secara deskriptif maupun kuantitatif
menggunakan mikroskop dengan perbesaran 200 kali (20x objektif dan 10x
okuler) dan 400 kali (40x objektif dan 10x okuler) serta dibuat foto menggunakan
digital eyepiece camera. Pengambilan foto dilakukan sebanyak 10 lapangan
pandang pada masing-masing kelompok dengan tiga kali perulangan. Rata-rata
luas lapang pandang pada foto dengan perbesaran 200 kali ialah 58 987 µm2
sedangkan pada foto dengan perbesaran 400 kali ialah 243 044 µm2. Pengamatan
pada bagian usus tersebut ialah untuk melihat a) persentase kerusakan vili usus b)
jumlah kripta usus c) jumlah sel goblet, dan d) tinggi vili usus. Untuk perhitungan
jumlah sel goblet maka preparat histopatologi usus diberi pewarnaan khusus yakni
Periodic Acid Schiff (PAS). Perhitungan menggunakan software Image J
Launcher.
31
3.3.8 Analisis Data
Dalam penelitian ini akan diperoleh data dalam bentuk foto, nilai hasil
perhitungan kuantitatif perubahan histopatologi dari bagian usus. Nilai data
kuantitatif, yang terdiri atas persentase kerusakan vili usus, jumlah kripta usus,
jumlah sel goblet dan tinggi vili usus pada mukosa usus halus sebanyak 10
lapangan pandang, yang ditampilkan dalam bentuk Mean +/- Standar Deviation
dan dilanjutkan dengan Ducan test untuk membandingkan antara kelompok.
Kesimpulan dalam perbedaan hasil didapatkan dengan metode one-way ANOVA
untuk menilai multi kelompok. Nilai P<0.05, ditetapkan hasilnya bermakna atau
signifikan berbeda nyata.
Secara singkat metode penelitian ini dapat digambarkan seperti diagram
alur pada Gambar 15.
Ekstraksi kelopak
bunga rosela
Persiapan dan
aklimatisasi hewan coba
Pengelompokan hewan
coba
Kelompok K (Kontrol), n=6
Kelompok P (Primer), n=6
Kelompok R (Rosela), n=6
Kelompok RP (Radiasi rosela), n=6
Pretreatment
selama 2 minggu
Perlakuan; pencekokan
dan radiasi
Albendazole® 10 mg/kg
Clavamox® 125 mg/kg
Metronidazole®50 mg/kg
NaCl fisiologis, sinar- X
dan ekstrak kelopak
bunga rosela
Kontinyu
32
Kontinyu
Delapan minggu
perlakuan
Nekropsi
@ kelompok n=3
Alat bedah minor,
Ketamin 30 mg/Kg dan
Xylazine 5 mg/Kg BB
intra peritoneal dan
Buffered Neutral
Formalin (BNF) 10%
Pemulihan selama empat
minggu tanpa perlakuan
Nekropsi
@ kelompok n=3
Pembuatan dan pembacaan
preparat histopat
Analisis statistik
Alat bedah minor,
Ketamin 30 mg/Kg dan
Xylazine 5 mg/Kg BB
intra peritoneal dan
Buffered Neutral
Formalin (BNF) 10%
Perangkat lunak
Image J Launcher
SAS 9.1 dan ANOVA
Gambar 15 Alur penelitian yang telah dilaksanankan secara umum.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Radiasi ionisasi memiliki efek yang dikumulasikan dari setiap paparan yang
diterima sehingga diperoleh besar dosis total dan hubunganya dengan efek yang
terjadi (Hall 2000). Menurut Gorbunov et al. (2010), radiasi ionisasi dapat
menyebabkan kerusakan baik fungsi maupun struktur dari suatu sistem tubuh
yang peka terhadap radiasi. Sistem tubuh yang peka adalah sistem pencernaan
atau gastrointestinal salah satunya usus halus (duodenum). Usus halus merupakan
pusat pencernaan makanan, penyerapan nutrisi, dan sekresi endokrin. Menurut
Hall (2000), efek akut radiasi terhadap usus halus dapat menimbulkan kerusakan
permukaan epitel mukosa usus serta gangguan pencernaan (Gutfeld et al. 2007).
Pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap duodenum usus halus.
Parameter yang diamati diantaranya: kerusakan vili, jumlah kripta, jumlah sel
goblet, jumlah sel radang, dan tinggi vili.
4.1
Kerusakan Vili Duodenum
Proses pencernaan terjadi pada usus halus yakni berupa penyerapan nutrisi
atau produk dari pencernaan yang dilakukan oleh sel-sel epitel atau sel absorptif
pada vili (Mescher 2010). Menurut Schiller dan Sellin (2006), keberadaan vili
berpengaruh terhadap penyerapan makanan dan kondisi kesehatan saluran
pencernaan. Vili yang rusak tidak bisa menyerap makanan secara baik, sehingga
asupan nutrisi bagi individu akan berkurang dan kondisi kesehatan menurun.
Rataan persentase kerusakan vili usus duodenum dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Hasil analisis rataan persentase kerusakan vili duodenum (%) dihitung
dalam luas lapang pandang 243 044 µm2
Kelompok
Kontrol (K)
Primer (P)*
Rosela (R)
Radiasi-Rosela(RP)*
Persentase kerusakan vili duodenum (Mean± SD)
Setelah 4 minggu pemulihan
Setelah 8 minggu radiasi
dari radiasi
(5.3 mSv)*
(tanpa perlakuan)
10.00 ± 0.07b
3.00 ± 0.02c
22.67 ± 0.12a
9.67 ± 0.07b
a
18.33 ± 0.11
11.67 ± 0.09b
19.00 ± 0.10a
9.00 ± 0.09b
Ket:1. angka yang diikuti dengan huruf superskrip yang sama pada satu kolom pada masing-masing minggu menunjukkan
tidak berbeda nyata pada taraf 5%
2.
kelompok yang disertai (*) merupakan kelompok yang diberi paparan radiasi selama 8 minggu
34
Analisis statistik rataan persentase kerusakan vili duodenum setelah 8
minggu radiasi menunjukkan hasil berbeda nyata (p<0.05) terhadap kelompok (K)
pada seluruh kelompok perlakuan. Namun demikian secara umum rataan
persentase kerusakan epitel vili duodenum menunjukkan trend yang meningkat
dimulai pada kelompok (K), (R), (RP), dan (P). Rataan persentase kerusakan vili
duodenum pada kelompok (P) dan (RP) lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok (K). Hal ini diduga karena pemberian radiasi dapat menimbulkan
kerusakan pada sel-sel epitel vili. Menurut Somosy Z (2000), sinar radiasi dapat
berpenetrasi ke dalam jaringan atau sel tubuh dan mengakibatkan adanya transfer
energi radiasi
menjadi
material
biologis.
Energi tersebut
yang dapat
mengakibatkan putusnya ikatan kimia dan menyebabkan proses ionisasi pada
atom berbeda pada molekul, termasuk air dan makromolekul biologis essensial
seperti DNA, membran lipid, dan protein (Schulte-Forhlinde dan Bothe 1991; Lett
1992). Ini yang mendasari tingginya rataan persentase kerusakan vili pada
duodenum mencit pada kelompok perlakuan Primer (P).
Menurut Durovic, Selakovic, dan Spasic-Jokic (2004), pemberian radiasi
kronis dosis rendah lebih berbahaya karena dapat menginisiasi peroksidasi lipid
dan menghancurkan lapis luar sel. Pemberian radiasi dosis rendah akan
menginduksi pembentukan reactive oxygen species (ROS) dan stres oksidatif.
Membran sel dan organel-organel sel merupakan target utama yang dapat rusak
akibat radikal bebas. Peroksidasi membran sel akan meningkat sejalan dengan
penuruan dose rate (efek Petkau). Berdasarkan penelitian Petkau (1999),
peroksidasi lipid diproduksi baik karena efek radiasi lingkungan dengan dosis
0.18 μGy/h atau 1.8 x 10 -3 mSv hingga dosis total 19 μGy. Petkau berkesimpulan
bahwa pemberian radiasi dapat mengganggu mekanisme perbaikan DNA sehingga
menyebabkan kerusakan membran sel.
Mekanisme kerusakan sel diawali dari sinar-X yang berpenetrasi ke
dalam sel sehingga terjadi reaksi pembentukan radikal bebas dan ROS
(reactive oxygen species) di dalam sel. ROS (reactive oxygen species) kemudian
menginduksi terbentuknya singlet oksigen (O2), hidrogen peroksida (H2O2),
radikal peroksil (OOH), dan radikal hidroksil (OH). Terbentunya komponen
radikal bebas tersebut selanjutnya menginisiasi terbentuknya superdioksida (O2-
35
) bersama dengan radikal hidroksil (OH) akan mengakibatkan peroksidasi
lipid dan kerusakan DNA sehingga sel menjadi rusak (Wood, Gibson, dan Garg
2003). Mekanisme kerusakan sel dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16 Mekanisme kerusakan sel akibat radiasi (www.vetmed.vt.edu [8 Mei
2012]).
Kelompok (K) tidak memiliki persentase keutuhan vili 100%, diduga
disebabkan oleh faktor fisiologis saluran pencernaan. Faktor tersebut yakni
adanya makanan (chyme) dari lambung (kondisi asam) yang melewati lumen usus
dan enzim pencernaan atau enterokinase (Dellmann dan Brown 1992).
Terlepasnya epitel vili usus halus diartikan sebagai proses deskuamasi epitel vili.
Deskuamasi epitel vili usus merupakan kondisi fisiologis dimana epitel vili yang
deskuamasi akan digantikan oleh sel-sel epitel dari bagian basal kripta dengan
periode 5-7 hari. Kondisi akan berubah patologis apabila ditemukan banyaknya
infestasi sel-sel radang pada bagian mukosa vili (Price dan Wilson 1995).
Menurut Yang et al. (2006), hasil penelitian beberapa tahun terakhir
menyebutkan bahwa stres beranggung jawab terhadap kondisi patofisiologi organ
gastrointestinal seperti kerusakan epitel vili usus yang mengawali infeksi usus,
sindrom iritasi usus (IBS), dan alergi pakan. Sejalan dengan pendapat Yang,
kehadiran pakan yang dimungkinkan membawa antigen menambah tinggi resiko
terjadinya kerusakan epitel vili dan proses infeksi. Pada infeksi usus dan mungkin
36
IBS, jaringan usus akan menjadi lebih sensitif terhadap antigen yang berada pada
lumen usus dan selanjutnya hadirnya antigen ini akan mengakibatkan respon
inflamasi yang berkembang sejalan dengan patofisiologi penyakit. Deskuamisi sel
epitel vili menjadi salah satu resiko kondisi sensitifitas ini. Faktor genetik pula
memainkan peran dalam proses peradangan namun dapat pula proses sensitifitas
ini terjadi tanpa adanya latar belakang keluarga sehingga dapat terjadi atrofi pada
organ intestinal.
Menurut Alatas (2002), radiasi sinar-X menginduksi pembentukan radikal
bebas yang dapat merusak sel tubuh. Pembentukan radikal bebas terjadi melalui
mekanisme pengambilan satu elektron terluar dari sel tubuh sehat sehingga sel
tubuh menjadi tidak stabil. Pada membran lipid hadirnya radikal bebas dapat
merusak ikatan lipid bilayer. Ikatan membran lipid bilayer yang rusak akan
menyebabkan epitel vili duodenum tidak dapat mempertahankan keutuhan
membrannya sehingga terjadi kerusakan epitel vili.
Kelompok perlakuan (RP) memiliki rataan persentase kerusakan vili lebih
rendah dibandingkan kelompok perlakuan kelompok (P). Hal ini diduga karena
rosela memiliki kemampuan menjaga dan meregenerasi epitel-epitel vili yang
rusak akibat radiasi. Rosela diketahui memiliki kadar antosianin dan vitamin C
yang tinggi yang berperan sebagai antioksidan (Maryani dan Kristiana 2005).
Menurut Winarsih (2007), antioksidan bekerja dengan mendonorkan satu
elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa
oksidan dihambat. Keseimbangan antara oksidan dan antioksidan sangat penting
berkaitan dengan sistem imunitas tubuh. Senyawa asam lemak tak jenuh yang
menjadi komponen terbesar dalam penyusun membran sel sangat sensitif dengan
keseimbangan antara oksidan dan antioksidan dalam tubuh. Apabila kondisi
keseimbangan tersebut tercapai membran sel sebagai barrier sel mampu menjaga
kondisi keutuhanan sel terhadap adanya serangan antigen (Meydani et al.1995).
Kelompok perlakuan (R) memiliki rataan persentase kerusakan vili tidak
jauh berbeda dari kelompok (RP). Hal ini diduga karena rosela memiliki senyawa
antioksidan yang mampu menjaga keutuhan vili usus. Menurut Winarsih (2007),
antosianin merupakan salah satu turunan flavonoid yang bersifat antioksidan.
Antioksidan golongan flavonoid ini dapat menggumpalkan keping-keping sel
37
darah, merangsang produksi nitrit oksida yang dapat mendilatasikan pembuluh
darah dan juga menghambat pertumbuhan sel kanker. Menurut Robak dan
Gryglewski (1996) di dalam Winarsih (2007), selain berpotensi sebagai
antioksidan dan penangkap radikal bebas flavonoid juga memiliki beberapa sifat
seperti hepatoprotektif, antimikrobiotik, antiinflamasi dan antivirus. Sifat
antiradikal flavonoid terutama terhadap radikal hidroksil (-OH), anion
superoksida (-O2), radikal peroksil (-ROO), dan alkolsil (-RO).
Gambar fotografi mikro kerusakan vili duodenum pada keempat kelompok
perlakuan setelah 8 minggu radiasi disajikan pada Gambar 17.
A
C
B
D
Gambar 17 Fotografi mikro kerusakan vili duodenum mencit setelah 8 minggu
radiasi (5.3 mSv). Kerusakan vili ditandai dengan panah hitam.
Dapat dilihat bahwa kerusakan vili yang lebih sedikit terdapat pada
kelompok (K). Kelompok perlakuan (P), (R) dan (RP) memiliki
tingkat kerusakan yang hampir sama. A: kelompok (K), B:
kelompok (P), C: kelompok (R), dan D: kelompok (RP).
Pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) dengan perbesaran 400x.
38
Setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi, hasil analisis statistik
terhadap rataan persentase kerusakan vili usus dari keseluruhan kelompok
perlakuan menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0.05). Sama halnya dengan nilai
persentase kerusakan epitel vili pada duodenum di kelompok 8 minggu radiasi
yang secara umum menunjukkan trend menurun hingga kelompok (K).
Kelompok (K) memiliki rataan persentase kerusakan vili paling kecil
dibandingkan dengan tiga kelompok perlakuan lainnya. Kelompok (P), (R), dan
(RP) memiliki rataan persentase kerusakan vili pada selang yang sama. Pada
semua kelompok mencit mengalami penurunan persentase kerusakan vili. Hal
ini diduga karena keempat kelompok tidak diberi perlakuan atau pemicu stres
atau radiasi dan pencekokan. Sel-sel tubuh kembali bersiklus dan beregenerasi
kembali untuk mengadakan pemulihan sel sehingga sel kembali normal.
Gambar fotografi mikro kerusakan vili duodenum pada keempat kelompok
perlakuan setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi disajikan pada Gambar 18.
A
B
C
D
Gambar 18 Fotografi mikro kerusakan vili duodenum mencit setelah 4 minggu
pemulihan dari radiasi. Kerusakan vili ditandai dengan panah hitam.
Dapat dilihat bahwa kerusakan vili pada masing-masing kelompok
39
mengalami penurunan dibandingkan dengan radiasi 8 minggu. A:
kelompok (K), B: kelompok (P), C: kelompok (R), dan D: kelompok
(RP). Pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) dengan perbesaran 400x.
4.2
Rataan Jumlah Kripta Duodenum
Basal kripta usus tersusun atas stem sel yang bertanggung jawab atas
regenerasi epitel vili (Wong 2004). Menurut Radtke dan Clevers (2005), usus
halus tersusun atas epitel selapis yang dibentuk di bagian kripta usus. Rataan
jumlah kripta duodenum pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Hasil analisis rataan jumlah kripta pada duodenum (sel) dihitung dalam
luas lapang pandang 58 987 µm2
Kelompok
Kontrol (K)
Primer (P)*
Rosela (R)
Radiasi-Rosela (RP)*
Jumlah kripta pada Duodenum (Mean± SD)
Setelah 8 minggu radiasi
Setelah 4 minggu pemulihan
(5.3 mSv)*
dari radiasi
(tanpa perlakuan)
7.93 ± 1.34ba
9.38 ± 2.84ba
a
12.26 ± 2.13
9.40 ± 2.72ba
7.97 ± 2.38ba
8.88 ± 2.07ba
ba
6.20 ± 1.13
9.25 ± 2.27ba
Ket:1. angka yang diikuti dengan huruf superskrip yang sama pada satu kolom pada masing-masing minggu menunjukkan
tidak berbeda nyata pada taraf 5%
2.
kelompok yang disertai (*) merupakan kelompok yang diberi paparan radiasi selama 8 minggu
Analisis statistik terhadap rataan jumlah kripta duodenum pada minggu
ke-8 setelah diberi radiasi menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0.05)
antar kelompok perlakuannya. Kelompok perlakuan (P) menggambarkan
peningkatan jumlah kipta usus yang signifikan jika dibandingkan dengan
kelompok (K), (R), dan (RP). Hal ini diduga karena adanya inisiasi kerusakan dari
radiasi sinar-X. Kerusakan akibat radiasi dengan dosis rendah per dua hari sekali
mengakibatkan kripta berproliferasi untuk meregenerasi epitel vili pada bagian
puncak. Selain itu dapat pula dihubungkan dengan adanya respon inflamasi pada
usus maupun sebagai bentuk kompensasi usus terhadap paparan radiasi yang
diterima.
Menurut Macfarlane (2000), paparan radiasi sebagai agen fisik dapat
menyebabkan kerusakan sel. Berdasarkan penelitian Potten dan Hendry (1995) di
dalam Martin et al. (1998), pemberian radiasi ionisasi dosis tinggi yakni 14 Gy
(140 mSv) selama 4 hari pada mencit perlakuan akan memberikan efek kematian
40
yang cepat pada sel yang berada pada basal kripta melalui mekanisme apoptosis
atau penghentian proses pembelahan sel baik sementara atau selamanya. Nilai
depopulasi jumlah kripta dan efisiensi jumlah sel klonogenik pada kripta menjadi
parameter apakah hewan tersebut dikatakan bertahan terhadap respon radiasi dosis
tinggi.
Menurut Li et al. (1994), setiap kripta memiliki beberapa stem sel,
regenerasi kripta dapat mengakibatkan beberapa stem sel yang ada steril secara
reproduktif. Pemberian agen sitotoksik dosis tinggi seperti radiasi dapat
mengakibatkan beberapa sel klonogenik kripta mati, dan diantara stem sel yang
mampu bertahan akan melakukan repopulasi kripta dan epitel dengan pembelahan
sel dan pembelahan kripta. Berdasarkan penelitian Potten dan Hendry (1985),
terjadi peningkatan jumlah kripta yang berasal dari regenerasi stem sel yang
mampu bertahan saat diberi radiasi dosis tinggi. Hal ini dievaluasi setelah 14 hari
perlakuan dengan teknik pengukuran mikrokoloni kripta atau the crypt
microcolony assay technique. Fokus regenerasi dimana jumlah kripta meningkat
diduga berasal dari pembelahan biner dan pembelahan ganda kripta.
Menurut
Somosy
Z
(2000),
tingkat
dan
pemulihan
perubahan
mikromorfologi sel yang diinduksi radiasi bergantung pada tipe sel dan dosis
radiasi yang diberikan. Pemberian radiasi pada kelompok (P) sangat nyata
berpengaruh terhadap persentase kerusakan epitel vili duodenum namun
cenderung tidak begitu berpengaruh terhadap kripta Lieberkühn pada bagian basal
duodenum. Diperlukan pengamatan lebih lanjut untuk mengetahui penyebab
peningkatan jumlah kripta kelompok (P). Menurut Martin et al. (1998), pada
mencit dewasa sifat klonogenik sel-sel kripta Lieberkühn cenderung akan
mengadakan regenerasi sebagai akibat respon regenerasi daripada pengaruh
pertumbuhan sel secara fisiologis.
Selain itu menurut Hauchen, George, Sturmoski, dan Cohn (1999),
restorasi struktur bangun epitel normal usus pada tikus yang mengalami
kerusakan akibat beberapa agen berbahaya seperti bahan kimiawi, infeksi,
radiasi, dan peradangan memiliki berbagai tahap yang dapat mengubah
dinamika polpulasi stem sel epitelial. Stem sel akan berproliferasi untuk
meningkatkan jumlahnya dan untuk memenuhi populasi sel transit (enterosit, sel
41
goblet, dan sel enteroendokrin) yang dibutuhkan secara cepat. Sel transit yang
berada di dalam kripta akan berhenti bereplikasi setelah pemberian radiasi
ionisasi. Namun sel-sel tersebut tetap bermigrasi keluar dari kripta menuju
apikal vili. Sejalan dengan itu apabila tidak ada stem sel kripta yang bertahan
hidup maka kripta akan menghilang. Jika satu atau lebih stem sel klonogenik
bertahan hidup dari radiasi maka kripta akan berproliferasi dan dengan cepat
meningkat untuk menjadi kripta regeneratif.
Setelah pemberian radiasi maka akan ada dua mekanisme untuk
perbaikan usus halus yang rusak. Pertama, perbaikan pada sel rusak yang nonletal. Kedua, melakukan proliferasi terhadap sisa stem sel yang ada pada
kripta. Mekanisme kedua merupakan tahap yang sangat
penting dalam
perbaikan kondisi saluran pencernaan setelah pemberian radiasi. Stem sel mulai
berproliferasi segera setelah 24-48 jam pemberian radiasi. Pemberian radiasi
menyebabakan peningkatan jumlah stem sel kripta yang mengalami apoptosis
sehingga sebagai kompensasinya dilakukan hiperproliferasi (Li et al. 2005).
Kelompok (K), (R), dan (RP) memiliki jumlah kripta yang tidak jauh
berbeda. Jumlah kripta pada kelompok (R) dan (RP) yang tidak jauh berbeda
diduga karena rosela membantu menjaga regenerasi kripta dengan baik sehingga
jumlah kripta tidak berbeda dengan kelompok (K). Selain itu pengaruh radiasi
pada kelompok (RP) diduga cenderung tidak berpengaruh besar pada jumlah
kripta Lieberkühn. Sel-sel pada bagian kripta Lieberkühn secara fisiologis akan
beregenerasi kembali 3 hingga 8 hari untuk selanjutnya bermigrasi ke bagian
apikal (vili).
Gambar fotografi mikro kripta Lieberkühn pada keempat kelompok
perlakuan setelah 8 minggu radiasi disajikan pada Gambar 19.
42
A
B
C
D
Gambar 19 Fotografi mikro kripta Lieberkühn pada duodenum mencit setelah 8
minggu radiasi (5.3 mSv). Lumen kripta ditunjukkan dengan tanda
panah hitam. Dapat dilihat bahwa jumlah kripta pada kelompok (P)
lebih banyak dibandingkan dengan kelompok (K) dan kelompok
perlakuan yang lain. A: kelompok (K), B: kelompok (P), C: kelompok
(R), dan D: kelompok (RP). Pewarnaan hematoksilin-eosin (HE)
dengan perbesaran 400x.
Regenerasi epitel vili dapat memperbaiki sel-sel permukaan vili secara
cepat sebagai respon kerusakan akibat proses radiasi (Ross 2004). Menurut
Fajardo et al. (2001), kripta Lieberkühn berfungsi mensekresikan ion-ion dan air,
serta menghantarkan immunoglobulin A (IgA) dan peptide antimikrobial ke
lumen usus. Peranan kripta tersebut bertujuan untuk menjaga permukaan epitel
dan peningkatan lapisan penyerapan nutrisi di usus. Saat permukaan vili atau
bagian apikal vili rusak maka kripta usus melakukan kompensasi dengan
meningkatkan jumlah sehingga perannya dalam penyerapan nutrisi dapat tetap
terjaga.
43
Menurut Cosentino L, Shaver-Walker P, dan Heddle JA (1998),
perbandingan jumlah kripta Lieberkühn pada mencit BALB/c lebih banyak
daripada jumlah vilinya. Perbandingan atau rasio jumlah kripta terhadap vili usus
pada duodenum sebesar 14:1, akan menurun menjadi 6:1 pada bagian ileum. Hal
ini juga di laporkan oleh Li et al. (1994), bahwa setiap vili tersusun oleh 6-14
kripta yang tersebar pada bagian basalnya. Jumlah kripta yang ditemukan pada
bagian basal vili akan bervariasi berdasarkan letaknya sepanjang usus halus dan
setiap kripta biasanya mendistribusikan sel-sel proliferasinya untuk dua vili.
Sementara analisis statistik terhadap jumlah kripta Lieberkühn kelompok
perlakuan 4 minggu masa pemulihan menunjukkan nilai tidak berbeda nyata
(p>0.05). Rataan jumlah kripta pada ketiga kelompok perlakuan mendekati
jumlah rataan kripta pada kelompok (K). Hal ini diduga karena adanya regenerasi
sel dari derivat stem sel pada bagian basal kripta. Stem sel yang menyusun kripta
Lieberkühn akan berdeferensiasi menjadi epitel vili, sel enteroendokrin, dan sel
paneth. Sel-sel tersebut akan diregenerasi dalam waktu 4 minggu dan akan
digantikan oleh deferensiasi sel di sebelahnya (Ross et al. 2002). Sel
enteroendokrin akan bermigrasi bersamaan dengan sel absorptif dan sel goblet.
Berbeda dengan sel paneth yang tidak mengalami migrasi menuju ke apikal vili
akan tetapi akan tetap berada pada bagian basal kripta. Menurut Fajardo et al.
(2001), sel paneth memiliki peran sebagai inisiator imunitas mukosa untuk
melawan infeksi bakterial dengan produksi protein antimikrobial.
Setelah 8 minggu perlakuan jumlah rataan kripta duodenum tertinggi
terjadi pada kelompok primer. Namun peningkatan jumlah kripta tidak disertai
kualitas sel-sel kripta yang baik. Pada pengamatan fotogarafi mikro dengan
perbesaran 400 kali dapat dilihat sel-sel kripta mengalami apoptosis yang
ditunjukan dengan adanya badan apoptosis pada sel kripta. Empat minggu
pemulihan setelah 8 minggu perlakuan rataan jumlah kripta mengalami
peningkatan jumlah dan kualitas sel-sel kripta. Pada kelompok primer jumlah
kripta telah sama seperti kelompok kontrol.
Gambar fotografi mikro kripta Lieberkühn pada keempat kelompok
perlakuan setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi disajikan pada Gambar 20.
44
A
B
C
D
Gambar 20 Fotografi mikro kripta Lieberkühn pada duodenum mencit setelah 4
minggu pemulihan dari radiasi. Lumen kripta ditunjukkan dengan
panah hitam. Dapat dilihat bahwa jumlah kripta pada semua kelompok
(K), (P), (R) dan (RP) hampir sama. A: kelompok (K), B: kelompok
(P), C: kelompok (R), dan D: kelompok (RP). Pewarnaan
hematoksilin-eosin (HE) dengan perbesaran 400x.
4.3
Rataan Jumlah Sel Goblet Duodenum
Sel goblet merupakan derivat stem sel yang mengalami deferensiasi dari
basal kripta usus. Sel goblet memiliki fungsi sebagai barrier atau pelindung
mukosa usus yang langsung berhadapan dengan lumen usus. Mukus yang
disekresikan sel goblet mengandung senyawa antimikrobial. Peningkatan jumlah
sel goblet dapat menjadi indikator adanya proses inflamasi pada suatu jaringan
(Price et al. 1995). Rataan jumlah sel goblet usus halus di duodenum mencit
percobaan dapat dilihat pada Tabel 7.
45
Tabel 7 Hasil analisis rataan jumlah sel goblet pada duodenum (sel) dihitung
dalam luas lapang pandang 58 987 µm2
Kelompok
Kontrol (K)
Primer (P)*
Rosela (R)
Radiasi-Rosela (RP)*
Ket:
Jumlah sel goblet pada duodenum (Mean± SD)
Setelah 8 minggu radiasi
Setelah 4 minggu pemulihan
(5.3 mSv)*
dari radiasi
(tanpa perlakuan)
26.61±10.45b
17.78± 6.65b
ba
37.90± 9.56
28.72± 13.47b
27.78±10.57b
51.61± 10.57a
b
30.22± 5.17
22.22± 5.95b
1
.angka yang diikuti dengan huruf superskrip yang sama pada satu kolom pada masing-masing minggu menunjukkan
tidak berbeda nyata pada taraf 5%
2.
kelompok yang disertai (*) merupakan kelompok yang diberi paparan radiasi selama 8 minggu
Analisis statistik terhadap rataan jumlah sel goblet pada duodenum setelah
8 minggu radiasi menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05) antar kelompok
perlakuan. Namun demikian rataan jumlah sel goblet menunjukkan trend yang
meningkat dari kelompok (K), (R), (RP), dan (P). Rataan jumlah sel goblet pada
ketiga kelompok perlakuan (P), (R), dan (RP) lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok (K). Hal ini diduga karena proses absorbsi yang terganggu akibat
kerusakan epitel vili sehingga jumlah sel goblet perlu ditingkatkan sebagai bentuk
kompensasi. Selain itu peningkatan jumlah sel goblet dapat diartikan adanya
kondisi patologis seperti adanya peradangan pada bagian usus. Menurut Cotran et
al. (1999), sel goblet memiliki fungsi untuk mensekresikan mukus yang berfungsi
terhadap peningkatan pergerakan dan penyebaran bahan makanan atau nutrisi
yang ada pada lumen secara efektif.
Selain itu radiasi ionisasi diduga sebagai penyebab proliferasi sel goblet.
Menurut Wood, Gibson, dan Garg (2003), peroksidasi lipid yang terjadi pada
membran sel epitel akan menimbulkan efek patofisiologi berupa peningkatan
sekresi mucus dan kematian sel. Sedangkan pada kelompok perlakuan (R)
peningkatan rataan jumlah sel goblet diduga akibat adanya pemberian rosela
yang diketahui memiliki kadar asam askorbat yang tinggi. Kondisi lumen yang
asam diduga dapat menginisiasi hadirnya sel goblet pada epitel vili yang akan
mensekresikan mukus untuk melapisi sel-sel epitel vili sehingga tidak
mengakibatkan kerusakan. Menurut Roitt (1988), dalam respon imun akan
dihasilkan sel-sel atau molekul-molekul yang bertugas mempertahankan
kesehatan tubuh dari serangan patogen maupun sel kanker.
46
Respon umum yang akan terjadi adalah adanya perlindungan pertama dari
sistem imum non-spesifik. Respon imun fisik non-spesifik akan diperankan oleh
sel goblet penghasil mukus (lendir) sebagai langkah pertama terhadap kehadiran
agen patogen. Selain pertahanan fisik mukosa usus juga dilengkapai dengan
adanya asam peptida yang dipecah di lumen usus. Senyawa asam tersebut pula
berfungsi sebagai sistem pertahanan imun biokimia non-spesifik.
Gambar fotografi mikro sel goblet pada keempat kelompok perlakuan
setelah 8 minggu radiasi disajikan pada Gambar 21.
A
B
C
D
Gambar 21 Fotografi mikro sel goblet pada duodenum mencit setelah 8 minggu
radiasi (5.3 mSv). Sel goblet ditunjukkan dengan panah hitam. Dapat
dilihat bahwa jumlah sel goblet meningkat pada kelompok (P)
disusul kelompok (RP). A: kelompok (K), B: kelompok (P), C:
47
kelompok (R), dan D: kelompok (RP). Pewarnaan periodic acid
schiff (PAS), dengan perbesaran 400x.
Berikut fotogarfi mikro sel goblet pada keempat kelompok perlakuan
setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi (Gambar 22).
A
B
C
D
Gambar 22 Fotografi mikro sel goblet pada duodenum mencit setelah 4 minggu.
Sel goblet ditunjukkan dengan panah hitam. Dapat dilihat bahwa
jumlah sel goblet meningkat pada kelompok (R) sedangkan kelompok
(P) dan (RP) menunjukkan jumlah sel goblet pada kisaran normal (K).
A: kelompok (K), B: kelompok (P), C: kelompok (R), dan D:
kelompok (RP). Pewarnaan periodic acid schiff (PAS), dengan
perbesaran 400x.
Analisis statistik terhadap rataan jumlah sel goblet pada duodenum
setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi dengan tanpa pencekokan menunjukkan
nilai berbeda nyata (p<0.05) pada kelompok perlakuan (R). Namun demikian
48
rataan jumlah sel goblet menunjukkan trend yang menurun dibandingkan nilai
pada 8 minggu radiasi. Peningkatan rataan jumlah sel goblet yang signifikan
terlihat pada kelompok (R). Hal ini diduga karena hewan coba yang digunakan
non-SPF atau non Spesific Pathogen Free. Kelompok ( P ) , d a n ( R P )
menunjukkan rataan jumlah sel goblet tidak jauh berbeda dengan kelompok (K).
4.4
Rataan Jumlah Sel Radang
Sel radang atau leukosit merupakan sel darah putih yang berperan dalam
proses imunitas atau respon pertahanan tubuh terhadap kehadiran antigen
(Macfarlane 2000). Pada penelitian ini, rataan jumlah sel radang pada duodenum
mencit percobaan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Hasil analisis rataan jumlah sel radang pada duodenum (sel) dihitung
dalam luas lapang pandang 58 987 µm2
Kelompok
Kontrol (K)
Primer (P)*
Rosela (R)
Radiasi-Rosela (RP)*
Ket:
Jumlah sel radang pada duodenum (Mean± SD)
Setelah 8 minggu
Setelah 4 minggu
radiasi
pemulihan dari radiasi
(5.3 mSv)*
(tanpa perlakuan)
9.78 ± 4.44c
13.08 ±4.11ba
13.45 ±5.59ba
16.10 ± 3.49a
9.68 ± 2.19c
9.69 ± 3.14c
9.33 ± 1.84c
10.65±2.40bc
1
.angka yang diikuti dengan huruf superskrip yang sama pada satu kolom pada masing-masing minggu menunjukkan
tidak berbeda nyata pada taraf 5%
2.
kelompok yang disertai (*) merupakan kelompok yang diberi paparan radiasi selama 8 minggu
Analisis statistik terhadap rataan jumlah sel radang setelah 8 minggu
radiasi menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0.05) pada kelompok perlakuan (K).
Namun demikian rataan jumlah sel radang menunjukkan trend yang meningkat
dimulai deri kelompok (K), (P), (R), dan (RP). Kelompok perlakuan (RP)
memiliki rataan jumlah sel radang yang tinggi dibandingkan dengan ketiga
kelompok perlakuan yang lain. Hal ini diduga dipengaruhi radiasi ionisasi dan
aktivitas prooksidan dari sen yawa antioksidan dan fitofenol rosela. Radiasi
ionisasi dan aktivitas prooksidan akan menginduksi ROS (Reactive Oxygen
Spesies) dalam bentuk radikal hidroksil, superoksida, hidrogen peroksida dan
singlet oksigen aktif. Aktivitas prooksidan tersebut dapat dipicu dan dimediasi
oleh reaksi antara senyawa antioksidan dan fitofenol dengan logam transisi
49
seluler. Logam transisi seluler d a p a t d i t e m u k a n p a d a s i t o p l a s m a
se l.
Fe2+ atau besi (II) dilaporkan dapat menjadi mediator aktivitas
prooksidan pada sel (Jagetia CG 2007; Uttara, Singh, Zamboni, dan Mahajan
2009; Sakihama, Cohen, Grace, dan Yamasaki 2002).
Mekanisme peroksidasi lipid akan mengawali produksi isoprostane
yang baru-baru ini diketahui menyerupai senyawa bioaktif prostaglandin (PG)F2.
Isoprostane merupakan produk dari enzim asam arachidonat yang dikatalisis
oleh radikal bebas. Prostaglandin merupakan salah satu mediator peradangan
yang kemudian akan mengundang hadirnya sel radang (Wood, Gibson, dan
Garg 2008). Mekanisme lain yang dapat meningkatkan sel radang diduga
karena kerja sistem imun, dimana sel yang rusak akan dikenali oleh natural
killer cells yang diperankan oleh limfosit. Limfosit akan mengenali sel yang
rusak melalui dua cara yakni dengan mengenali reseptor imunoglobulin (FcR atau
Fc-receptors) dan mengikat antibodi target yang selanjutnya hal ini akan
mengawali proses sitotoksis seluler bergantung antibodi. Cara kedua yakni
reseptor permukaan untuk MHC at au maj or hi st ocompat i bi l i t y compl ex
kelas 1. Jika selama interaksi dengan sel reseptor tidak berikatan maka NKC
atau natural killer cell akan terprogram untuk melisiskan sel target dengan
bantuan perforin untuk melubangi dinding membran sel dan selanjutnya hal ini
akan menginduksi apoptosis (Parkin dan Cohen 2001).
Selain itu pemberian radiasi pada sel akan direspon dengan reaksi
imunitas seluler berupa peningkatan jumlah sel radang atau leukosit. Kondisi
sel yang rusak akibat paparan radiasi dapat mengundang kehadiaran sel T
sitotoksik untuk melisiskan sel tersebut. Mekanisme seperti ini disebut
mekanisme imun spesifik seluler (Abbas 1991). Faktor stres akibat pencekokan
pun menjadi pemicu terjadinya peningkatan sel radang. Menurut Yang et al.
(2006), tikus atau hewan rodensia lain yang mengalami stres akan menghasilkan
antobodi Ig-E, antigen yang menginduksi sekresi intestinal, dan peningkatan
jumlah sel radang pada mukosa usus. Berdasarkan penelitian Sulistiawati (2009)
peningkatan jumlah leukosit yang terjadi pada tikus putih yang diberi ekstrak
kelopak rosela dapat disebabkan oleh kandungan asam folat yang terdapat pada
kelopak rosela. Asam folat dikenal sebagai folasin yang turut serta dalam
50
pembentukan beberapa asam amino dan pembentukan beberapa komponen
penting termasuk pembentukan sel darah dengan cara membantu proses sintesis
DNA. Menurut Subowo (1993), vitamin C dapat membantu konversi asam folat
menjadi bentuk aktif serta berfungsi dalam pemeliharaan imun seluler dan
terbukti dapat melindungi fungsi sel-sel neutrofil.
Pada kondisi normal di bagian lamina propria vili atau mukosa dan
submukosa usus mencit terdapat jaringan ikat lunak dan terdapat beberapa selsel radang seperti limfosit, sel plasma, pada kondisi tertentu juga terdapat
eosinofil, makrofag, sel mast, dan neutrofil akan tetapi berjumlah tidak begitu
banyak. Sel radang yang terdapat pada bagian usus tersebut berfungsi untuk
merespon adanya antigen dari lumen usus.
Peningkatan rataan jumlah sel radang pada kelompok Primer (P)
setelah diberi paparan radiasi selama 8 minggu diduga sebagai respon terhadap
adanya peradangan dan injury pada bagian usus. Terutama pada kelompok ini
deskuamasi epitel vili dapat mengakibatkan masuknya antigen dari lumen usus
ke dalam bagian mukosa maupun submukosa usus. Radiai ionisasi dapat pula
mengakibatkan terbentuknya radikal bebas berupa senyawa ROS (reactive
oxygen species). Menurut Wood, Gibson, dan Garg (2008), hadirnya ROS
(reactive oxygen species) dapat mengaktifasi sel radang berupa sel mast,
eosinofil ,neutrofil, limfosit, makrofag, dan trombosit .Respon sel radang yang
aktif akan bersamaan dengan proses respiratory burst yang melibatkan
pengambilan oksigen dan kemudian melepaskan ROS (reactive oxygen species)
keseluruh bagian sel.
Hadirnya ROS (reactive oxygen species) sebagai akibat pemberian radiasi
pada sel menimbulkan berbagai efek seluler berantai. Berikut gambar skematis
akibat yang ditimbulkan dari kehadiran ROS (reactive oxygen species) (Gambar
23).
51
Gambar 23 Skematisasi mekanisme akibat yang terjadi dari hadirnya ROS
(reative oxygen species) pada sel (Kregel dan Zhang 2007).
Gambar skematis mekanisme hadirnya ROS (reactive oxygen species)
seluler dapat distimulasi oleh berbagai faktor eksogen maupun endogen. Hadirnya
ROS (reactive oxygen species) dapat mengakibatkan kerusakan DNA, protein,
dan lipid. Kerusakan DNA dapat memicu perubahan ekspresi gen yang
memodulasi berbagai respon yang berpengaruh pada fungsi dan kebertahanan sel.
Selain DNA, protein, dan lipid beberapa organel sel juga dapat mengalami
kerusakan sebagai respon kerusakan pada bagian terluar sel. Kedua kerusakan
yang telah disebutkan di atas dapat memacu respon seluler baik respon
peradangan, survival, proliferasi, dan kematian sel (Kregel dan Zhang 2007).
Fotografi mikro dari sel radang pada keempat kelompok setelah 8
minggu radiasi dapat dilihat pada Gambar 24.
52
A
B
C
D
Gambar 24 Fotografi mikro sel radang di submukosa duodenum mencit setelah 8
minggu radiasi (5.3 mSv). Sel radang ditunjukkan oleh lingkaran
hitam. Dapat dilihat bahwa jumlah sel radang lebih banyak pada
kelompok (RP) disusul kemudian kelompok (R) dan (P). A: kelompok
(K), B: kelompok (P), C: kelompok (R), dan D: kelompok (RP).
Pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) dengan perbesaran 400x.
Analisis statistik terhadap rataan jumlah sel radang pada 4 minggu
pemulihan dari radasi menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0.05) pada
semua kelompok perlakuan. Namun demikian rataan jumlah sel radang
menunjukkan trend yang menurun dan hampir mendekati jumlah sel radang
kelompok (K).
Penurunan rataan jumlah sel radang setelah 4 minggu pemulihan diduga
karena pemberian radiasi yang dihentikan dan secara fiosiologis terjadi
pergantian sel-sel yang mati dengan sel epitel baru yang berasal dari kripta usus.
Sel-sel epitel baru pada vili duodenum menyebabkan menurunnya jumlah sel
radang dalam vili duodenum sehingga tidak ada respon imun pada kondisi ini
(Roitt 1988).
53
Berikut gambar fotografi mikro sel radang pada 4 minggu pemulihan dari
radiasi (Gambar 25).
A
B
C
D
Gambar 25 Fotografi mikro sel radang pada submukosa duodenum setelah 4
minggu pemulihan dari radiasi. Sel radang ditunjukkan oleh
lingkaran hitam. Dapat dilihat bahwa jumlah sel radang menurun
pada masing-masing kelompok. A: kelompok (K), B: kelompok (P),
C: kelompok (R), dan D: kelompok (RP). Pewarnaan hematoksilineosin (HE) dengan perbesaran 400x.
4.5
Rataan Tinggi Vili Duodenum
Vili merupakan struktur anatomis khas pada mukosa usus yang bertujuan
untuk memperluas bidang penyerapan nutrisi (McCurnin dan Bassert 2006).
Menurut Price et al. (2000), vili ialah tonjolan mukosa seperti jari-jari yang
jumlahnya empat atau lima juta terdapat sepanjang usus halus. Pada manusia
tinggi vili mencapai 0.5 mm hingga 1.5 mm atau 15 x 103 µm. Menurut Inamoto
et al. (2008), mengatakan tinggi vili usus halus menurun dari duodenum sampai
54
ke distal ileum. Pada penelitian ini, rataan tinggi vili duodenum mencit percobaan
dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Hasil analisis rataan tinggi vili duodenum (μm) dihitung dalam luas
lapang pandang 243 044 μm2
Kelompok
Kontrol (K)
Primer (P)*
Rosela (R)
Radiasi-Rosela (RP)*
Rataan tinggi vili duodenum μm (Mean± SD)
Setelah 8 minggu
Setelah 4 minggu
radiasi
pemulihan dari radiasi
(5.3 mSv)*
(tanpa perlakuan)
294.24 ±
288.70 ±
310.23 ±
292.59 ±
43.64a
84.70a
43.36a
35.25a
335.62 ± 67.69a
313.23 ± 64.3a
323.87 ± 38.67a
325.41 ± 67.39a
Ket:1. angka yang diikuti dengan huruf superskrip yang sama pada satu kolom pada masing-masing minggu menunjukkan
tidak berbeda nyata pada taraf 5%
2.
kelompok yang disertai (*) merupakan kelompok yang diberi paparan radiasi selama 8 minggu
Analisis statistik terhadap rataan tinggi vili duodenum pada 8 minggu
setelah radiasi menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0.05). Kelompok
perlakuan (R) memiliki nilai rataan tinggi vili yang lebih besar dibandingkan
kelompok lain termasuk kelompok Kontrol (K). Namun demikian secara umum
rataan tinggi vili menunjukkan trend yang menurun dimana rataan tinggi vili
kelompok (P) paling rendah disusul kemudian (RP), (K), dan (R). Hal ini diduga
karena rosela memiliki kandungan senyawa kimia yang baik terhadap tubuh.
Menurut Sediaotama (2004), hasil analisis dari 10 g serbuk kelopak rosela
memiliki kandungan asam amino diantaranya prolin, valin, asam glutamat, glisin,
isoleusin, leusin, dan lisin yang memiliki peranan penting dalam kehidupan sel,
pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan dan penggantian sel-sel yang mati. Asam
amino sebagai monomer dari protein memiliki peran yang sangat penting dalam
pertumbuhan dan regenerasi sel tubuh.
Selain itu kandungan antioksidan dari antosianin (Falvonoid) dan vitamin
C pada rosela dapat mengikat radikal bebas dan menghambat peroksidase lipid
yang dapat merusak sel. Oleh karena itu kondisi sel terhindar dari radikal bebas.
Kandungan flavonoid, alkaloid, tanin, saponin, dan vitamin C pada ekstrak
kelopak rosela dapat menjaga dan meningkatkan tinggi vili usus. Peningkatan vili
menyebabkan semakin luas permukaan vili untuk absorbsi nutrien masuk ke
dalam aliran darah (Mile et al. 2006; Winarsih 2007; Rostinawati 2009). Fungsi
utama duodenum merupakan tempat katabolisme makanan menjadi partikel-
55
partikel kecil berupa lemak, protein atau bentuk lainnya. Proses ini dibantu oleh
sekresi dari kantong empedu di hati dan sekresi dari pankreas. Hasil katabolisme
di duodenum selanjutnya akan diserap di jejenum (Guyton dan Hall 1997).
Berikut fotografi mikro dari tinggi vili setelah 8 minggu radiasi (Gambar
26).
A
B
C
D
Gambar 26 Fotografi mikro tinggi vili duodenum mencit setelah 8 minggu radiasi
(5.3 mSv). Tinggi vili diukur berdasarkan panah hitam. Dapat dilihat
bahwa kelompok (R) memiliki vili lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok (K) dan (RP). A: kelompok (K), B: kelompok (P), C:
56
kelompok (R), dan D: kelompok (RP). Pewarnaan hematoksilin-eosin
(HE) dengan perbesaran 200x.
Semua kelompok perlakuan setelah diberi 4 minggu pemulihan terjadi
peningkatan tinggi vili yang mendekati rataan tinggi vili pada kelompok (K).
Terlihat adanya usaha pemulihan sel-sel vili sehingga terjadi penambahan tinggi
vili sehingga penyerapan nutrisi dapat optimal. Berikut fotografi mikro dari tinggi
vili setelah 4 minggu pemulihan dari radiasi (Gambar 27).
A
B
C
D
Gambar 27 Fotografi mikro tinggi vili pada duodenum setelah 4 minggu
pemulihan dari radiasi. Tinggi vili diukur berdasarkan tanda panah
57
hitam. Dapat dilihat bahwa tinggi vili pada semua kelompok
hampir sama. A: kelompok (K), B: kelompok (P), C: kelompok
(R), dan D: kelompok (RP). Pewarnaan hematoksilin-eosin(HE)
dengan perbesaran 200x.
4.6
Gambaran Umum Pengamatan Hiastopatologi Duodenum Mencit
Perubahan patologis yang teramati dari gambaran histopatologi usus halus
mencit yang diberi radiasi (P) selama 8 minggu mengalami peningkatan
persentase kerusakan epitel vili, jumlah kripta, sel radang dan sel goblet. Tinggi
vili yang paling rendah dibandingkan kelompok (K), (R), dan (RP). Menurut
McCurnin Bassert (2006), semua jaringan baik hewan maupun manusia sangat
sensitif terhadap radiasi. Penyerapan radiasi dosis rendah oleh jaringan akan
mengakibatkan perubahan atau kerusakan. Radiasi ionisasi akan merubah susunan
molekul air sel dalam tubuh sehingga terbentuk radikal bebas secara aktif.
Menurut Thrall (2002), radikal bebas yang terbentuk dari radiasi ionisasi
secara tidak langsung akan menghilangkan elektron atom dari jaringan yang
terpapar. Jumlah radikal bebas yang terbentuk akan merusak jaringan. Radikal
bebas merupakan struktur atom yang tidak stabil karena mengalami kerusakan
elektron pada kulit luarnya. Kerusakan atau hilangnya elektron menyebabkan
atom menjadi tidak stabil dan sangat reaktif dalam reaksi kimia berupa oksidasi.
Radikal bebas merusak tubuh dengan mengambil elektron dari atom lain yang
berakibat pada terjadinya kerusakan sel, protein, dan struktur DNA.
Kerusakan sel epitel vili yang teramati dapat memperbesar peluang
kematian sel. Kematian sel epitel vili dapat menyebabkan deskuamasi epitel vili
(Cheville 1999). Selain itu ditemukan pula udema pada lamina propria pada
bagian mukosa vili. Menurut Shackelford dan Elwell (1999), pada inflamasi akut
di usus terjadi udema di lamina propria. Usus yang mengalami deskuamasi epitel
dan udema lamina propria akan menjadi rapuh. Apabila telah terjadi deskuamasi
epitel maka usus akan mudah terinfeksi mikroorganisme dari lumen usus.
Tingginya jumlah sel radang dan sel goblet pada mukosa maupun
submukosa usus halus pada kelompok (P) diduga karena inisiasi radiasi. Menurut
Weill et al. (2011), efek radiasi ionisasi dapat menyebabkan peradangan pada
jaringan, oksidasi pada lemak dan protein, kerusakan DNA, dan penekanan fungsi
imunitas. Secara keseluruhan maka lesio yang teramati pada kelompok (P) berupa
58
deskuamasi epitel, udema lamina propria, dan infiltrasi sel radang pada duodenum
mencit akan menyebabkan gangguan absorbsi nutrisi di usus sehingga mencit
mengalami malnutrisi.
Sedangkan pada kelompok (RP) memiliki persentase kerusakan yang lebih
rendah serta tinggi vili yang lebih baik dari kelompok (P). Hal ini diduga karena
adanya kandungan vitamin C yang tinggi pada tanaman rosela. Menurut Jagetia
CG (2004), vitamin C memiliki kemampuan menghambat tingginya peroksidasi
lipid dan kadar enzim antioksidan yang diinduksi oleh radiasi.
Jumlah kripta, sel goblet, dan sel radang yang teramati tidak jauh berbeda
dari kelompok (K). Hal ini diduga karena pemberian rosela yang berpotensi
radioprotektif sebab adanya kandungan antioksidan falvonoid. Menurut RiceEvans et al. (1995), antioksidan golongan senyawa fenol atau flavonoid
berpotensi sebagai antioksidan yang dapat menetralkan radikal bebas secara
langsung. Antioksidan melindungi perubahan onkogenik akibat induksi radiasi
(Borek 2004). Menurut Hari-Kumar et al.(2004), kehadiaran antioksidan mampu
memutuskan rantai efek radiasi (Gambar 28).
Gambar 28
Mekanisme pemutusan efek radiasi ionisasi oleh antioksidan
(Hari-Kumar et al. 2004).
Menurut Mulyani et al. (2011), rosela memiliki aktivitas antioksidan
(IC50) yang tinggi. Media ekstraksi yang bebeda terhadap rosela menunjukkan
aktivitas antioksidan yang berbeda pula. Aktifitas antioksidan rosela pada media
ekstraksi yang berbeda disajikan pada Tabel 10.
59
Tabel 10 Aktifitas antioksidant rosela (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap kerusakan
sel akibat radiasi dengan media ekstraksi berbeda
No
Sampel
1
Vitamin C
2
Ekstrak dalam air panas
3
Ektrak methanol
4
Ekstrak etanol
5
Ekstrak butanol
6
Ekstrak air
Konsentrasi
(µg/mL)
40
30
20
10
200
100
50
10
200
100
50
10
200
100
50
10
200
100
50
10
200
100
50
10
% penghambatan IC50 (µg/mL)
kerusakan sel
96.209
96.156
96.103
74.406
89.921
87.976
82.392
26.351
87.310
20.012
5.760
4.250
60.777
37.401
17.122
1.682
63.267
36.794
21.130
0.508
15.961
11.906
1.457
1.275
2.061
21.2
121.03
144.03
137.14
9675.09
Sumber: Mulyani et al. (2011)
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa ekstrak kelopak rosela yang
menggunakan media etanol memiliki aktivitas antioksidan 144.03 µg/mL serta
persentase penghambatan kerusakan sel pada dosis 50 µg/mL sebesar 17.122 %.
Hal diatas menunjukkan ekstrak kelopak rosela dapat berpotensi sebagai
radioprotektor terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh radiasi terhadap
duodenum mencit.
5. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 SIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak kelopak rosela (Hibiscus
sabdariffa L.) menunjukkan adanya potensi radioprotektif terhadap radiasi
ionisasi radiodiagnostik berulang terhadap usus halus mencit (Mus musculus).
5.2 SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap dosis efektif ekstrak
kelopak rosela dan penambahan masa perlakuan radiasi untuk mengetahui
pengaruhnya sebagai senyawa radioprotektif. Selain itu perlu penelitian mengenai
formulasi sedian ekstrak kelopak rosela agar dapat menetralisir asam.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas AK. 1991. Maturation of B lymphocytes and expression of
immunoglobulin genes. Di dalam Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS.
Cellular and molecular immunology. Philadelphia: Saunders. Hlm 70-96.
Akindahunsi AA, Olaleye MT. 2003. Toxicological investigation of aqueous
methanolic extract Hibiscus sabdariffa L. J Ethnopharmacol (89) : 161-164.
Alatas Z. 2002. Indikator biologis dari kerusakan pada tubuh akibat paparan
radiasi. Bull ALARA. Agustus 2002.(4): 37-43.
Aletor VA. 1993. Cyanide in garri 1: Distribution of total. bond and free
hydrocyanide acid in commercial garri. and the effect of fermentation time
on residual cyanide content. Int J Food Sci Nutr (44) : 281-287.
Ali BH, Al Wabel N, Blunden G. 2005. Pathological, pharmacological, and
toxicological effect of Hibiscus sabdariffa L.: a review. J Phytother Res 19
(5): 369-375.
Amin A, Hamza AA. 2005. Hepatoprotective effect of Hibiscus rosmarinus and
salvia on azathioprine-induced toxicity in rats. Life Sci 77 (3): 266-78.
Anonimous. 2011. Electromagnetic radiation. Precision Graphics. [terhubung
berkala].http://www.studentarena.in/2011/03/electromagnetic-radiation.html
[20 Mar 2012].
Anonimous. 2012. Pathology interactive case study: Free radicals and
“reperfusion
injury”.
[terhubung
berkala].
http://www.vetmed.vt.edu/education/.html [7 Mei 2012].
Barker IK, Van Dreumel AA, Palmer N. 1993. The Alimentary System. Di dalam
Jub KVF. Kennedy PC. Palmer N, editor. Pathology of Domestic Animals
Volume 2. Ed ke-4. California: Academic Press. Hlm 125-133. 200-254.
Besselsen DG. 2004. Biology of laboratory rodent. [terhubung berkala].
http://www.ahsc.arizona.edu/ [22 Desember 2006].
Bevelender G, Remaley JA. 1998. Dasar-dasar Histologi. Ed ke-8. Gunarso I,.
penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari Essentials of Histology. Ed
ke-8. Hlm 252-267. 422-423.
Borek C. 2004. Antioxidants and radiation therapy. J Nutr (134): 3207S-3209.
Bratton, Cohen. 2001. Caspase cascades in chemically-induced apoptosis. Adv
Exp Med Biol (500): 407-420.
62
Cheville N. 2006. Introduction To Veterinary Pathology. Ed. Ke-6. Blackwell
Publishing USA.Hlm 9-17.
Cosentino L, Shaver-Walker P, Heddle JA.1998. The relationships among stem
cells, crypts, and villi in the small intestine of mice as determined by
mutation tagging. Develop Dyn (20): E420-428.
Cotran RS, Kumar, Collins. 1999. Robbins Patologic Basis of Disease. Ed. Ke-6.
Tokyo- London- Sydne: WB Saundres Company. Hlm 46-50.
D’amico AV, McKenna WG. 1994. Apoptosis and re-investigation of biologic
basis of cancer therapy. Radiother Oncol (33) : 3-10.
Dellmann HD, Brown EM. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner Jilid 2. Ed ke-3.
Hartono R, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari Textbook of
Veterinary Histology. Hlm 375-390.
Durovic B, Selakovic V, Spasic-Jokic V. 2004. Does occupational exposure to
low-dose ionizing radiation induce cell membrane damage? Arch Oncol 12
(4): 197-199.
Fajardo LF, Berthrong M, Anderson RE. 2001. Radiation Pathology. New York:
Oxford University Press. Hlm 288-290.
Fasoyiro SB, Ashaye OA, Adeola A, Samuel FO. 2005. Chemical storability of
fruit-Flavoured (Hibiscus sabdariffa L.) drinks. World J Agric Sci 1(2)
:165-168.
Frappier BL. 2006. Digestive System. Di dalam: JA Eurell dan BL Frappier,
editor. Dellmann’s Textbook of Veterinary Histology. Ed ke-6. Oxford:
Blackwell Publishing. Hlm 170-211.
Gartner LP, Hiatt JL. 2001. Color textbook of histology. Ed ke-8. Philadelphia:
W.B Saundres bomtpny. Hlm 398-406.
Geneser F. 1994. Buku Teks Histologi Jilid 2. Gunawijaya AF, penerjemah.
Jakartaa: Binarupa Aksara. Terjemahan dari Textbook of Histology. Hlm
108.
Gorbunov NV, Garrison BR, Kiang JG. 2010. Response of crypt paneth cells in
the small intestine following total-body gamma-irradiation. Int J
Immunopathol Pharmacol 23(4): 1111-1123.
Gu Y, Suzuki I, Hazegawa T, Park S. 2002. Malformation effects in DDY mice
irradiated at two stages in the preimplantation period. J Nipp Acta Radiol
(62) : 92-97.
Gutfeld O, Wygoda M, Shavit L, Grenader T. 2007. Fertility after adjuvant
external beam radiotherapy for stage i seminoma. [terhubung berkala].
http://www.ispub.com/journal/the-internet-journal-of-oncology/volume-4-
63
number-2/fertility-after-adjuvant-external-beam-radiotherapy-for-stage-iseminoma.html [13 November 2011].
Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed. Ke-9. Irawati
Setiawan, penerjemah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemah
dari Textbook of Medical Physiology. Ed. Ke-9. Hlm: 996-997.
Hall EJ. 2000. Radiobiology for The Radiologist. Philadelphia: Lippincott
Williams Wilkins. Hlm 351.
Harri-Kumar KB, Kuttan R. 2004. Protective effect on an extract of Phyllantus
amarus against radiation-induced damage in mice. Short Communication. J
Radiat Res (45) : 133-139.
Hauchen CW, George RJ, Strumoski MA, Chon SM. 1999. PGF-2 enhance
intestinal stem cell survival and its expression is induced after radiation
injury. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol (276): G249-G258.
Himawan S. 1990. Patologi. Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta: UI Press. Hlm. 5.
Hrapkiewiez K, Mediana. 2007. Clinical Laboratory Animal Medcine. Ed. Ke-3.
US of America: Blackwell Pub. Hlm 39-72.
Hummdi LA, Habashi SH. 2012. Histopathological and ultrastructural changes in
the duodenal tissue of female mice treated with lornoxicam. Mid-East J Sci
Res 11 (6): 765-776.
Husaini DC. 2004. Subchronic administration of nigerian species of aqueos
extract of Hibiscuss Sabdariffa calyx in rats did not produce cardiotoxicity.
Europ Bull Drug Res (12) : 1-5.
Inamoto T. 2008. An immunohistochemical detection of actin and myosin in the
indigenous bacteria-adhering sites of microvillous columnar ephitelial cels
in Payer’s patches and intestinal villi in the at jejunoileum. J Vet Med Sci 70
(11) :1153-1158.
Jagetia GC. 2004. Ascorbic acid treatment reduces the radiation-induced delay in
the skin exicion wound of Swiss albino mice. Indian J Radiat Res (19) : 7.
Junqueira LC, Carneiro 2005. Basic Histology. Text and Atlas. USA: McGrawHill Comp.Hlm 56.
Khosravi HM, Khanabali BAJ, Ardekano MA, Fathehi F, Shadkam MN. 2009.
The effects of sour tea (Hibiscus sabdariffa) on hypertension in patients
with type II diabetes. J Hum Hypertens (23) : 48-54
Kregel KC, Zhang HJ. 2007. An integrated view of oxidative stress in aging: basic
mechanisms, functional effects, and pathological consideration. Am J
Physiol Regul Integr Comp Physiol (292): R18-R36.
64
Kresno SB. 2001. Ilmu Onkologi Dasar. Bagian Patologi Klinik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta:UI Press. Hlm 13-15.
Lett JT. 1992. Demage to cellular DNA from particulate radiation, the efficacy of
its processing and the radiosensitivity of mammalian cells. Emphasis on
DNA stand breaks and chromatin break. J Radiat Res (70) : 575-584.
Little MP. 2003. Risks associated with ionizing radiation. Br Med Bull (68): 259275.
Li J, Hassan GS, William TM, Minetti C, Pestell RG, Tanowitz HB, Frank PG,
Sotgia F, Lisanti MP. 2005. Loss of caveolin-1 causes the
hyperprolofereation of intestinal crypt stem cells with increased sensitivity
to whole body gamma-radiation. Cells Cycle (12): 1817-1825.
Li YQ, Roberts SA, Paulus U, Loeffler M, Potten CS. 1994. The crypt cycle in
mouse small intestinal epithelium. J Cell Sci (107): 3271-3279.
Mahmoud S, Nessim NG. 2008. Morbid parasitological & histopathological
events in hamster infected with intestinal amoebiasis given artesunate.
Articel research, Scholarly research exchange. Halm 1-3.
Macfarlane P, Rreid R, Callander R. 2000. Pathology Illustrated. Ed. Ke-5.
United Kingdom: Brithis Library Press. Churchill Livingstone. Hlm 32-33.
Malole FB, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di
Laboratorium. Bogor: PAU IPB. Hlm. 28-45.
Mann WJ. 1991. Surgical management of radiation enteropathy. J Surg Clin
North Am (71) : 977-990.
Martin K, Potten CS, Roberts SA, Kirkwood TB. 1998. Altered stem cell
regeneration in irradiated intestinal crypts of senescent mice. Great Britain:
J Cell Sci (111): 2297-2303
Maryani H, L Kristiana. 2005. Khasiat dan Manfaat Rosela. Jakarta: Agromedia
Pustaka. Hlm. 28-29.
McCurnin DM, Bassert JM. 2006. Clinical Textbook for Veterinary Technicians.
Ed. Ke-6. USA Elsevier Saunders. Hlm 28-30.
McEwen BS, Seeman T. 1999. Protective and demaging effects of mediators of
stress: Elaborating and testing the conceopts of allostasis and allostastic
load. Ann Ny Acad Sci. 896:30-47
Merritt AJ, Potten CS, Kemp CJ, Hickman JA, Balmain A, Lane DP, Hall PA.
1994. The role of p53 in spontaneous and radiation-induced apoptosis in the
gastrointestinal tract of normal and p53-deficient mice. Cancer Res (54) :
614-617.
65
Mescher AL. 2010. Junqueira’s Basic Histology Text & Atlas. Ed. Ke-12. USA
McGraw-Hill Lange. Hlm (15) 25-35.
Meydani SN, Wu D, Santos MS, Hayek MG. 1995. Antioxidants and immune
response in aged persons: overview of present evidance. Am J Clin Nutr
(62): 1462S-1476S.
Mile RD, Butcher GD, Henry PR, Littlel RC. 2006. Effect of antibiotic growth
promotors on broiler performance, intestinal growth parameters, and
quantitative morphology. J Poultry Sci 85: 476-485.
Mitchel REJ. 2003. Low Doses of Radiation Reduce Risk in-vivo. Radiation
Biology and Health Physics Branch. [AECL] Atomic Energy of Canada
Limited. Radiation Biology and Health Physics Branch. Chalk River
Laboratories. Canada. Hlm 2.
Miyawaki S. 1997. Selective breeding for high serum IgA levels from noninbred
DDY mice: Isolation of a strain with an early onset of glomelular IgA
deposition. Nephron 76 (2) : 201-207.
[NRC] National Research Council. 2006. Health risks from exposure to low levels
of ionizing radiation: BEIR-VII Phase 2. Washington, DC: National
Academy Press.
Nicholas VA, Robert H. 2007. Cancer-related Bone Pain, editor Andrew Davies.
Oxford Pain Management Library. Hlm 75-85
Novriantika L. 2009. Uji toksisitas akut ekstrak valerian (Valeriana officinalis)
terhadap gastrointestinal mencit BALB/C [skripsi]. Semarang: Fakultas
Kedokteran. Universitas Diponegoro. Hlm 40-46.
Odigie IP, Ettarh RR, Adigun SA. 2003. Chronic administration of aquous
Hibiscus sabdariffa L. attenuates hypertension outer serves cardiac
hyperthropy in 2k-1c hypertensive rats. J Ethnopharmacol 86 (2-3): 181185.
Ojokoh OA. 2006. Roselle (Hibiscuss sabdariffa) calyx diet and hispatological
changes in liver albino rats. J Food Technol 5(2): 110-113.
Olaleye MT 2007. Cytotoxicity and antibacterial activity of methanolic extract of
Hibiscus sabdariffa. J Med Plant Res 1(1): 009-013.
Petkau A. 1972. Effects of 22 Na+ on a phospholipid membrane. J Health Physiol
(22): 239-244.
Potten CS. 1977. Extreame sensivity of some intestinal crypt cells to x and
gamma irradiation. Nature (269): 518-521.
66
Potten CS, Hendry JH. 1985. The microcolony assay in mouse small intestine. Di
dalam CS Potten, editor. Cell Clone: Manual Of Mammalian Cell
Techniques. New York: Churchill Livingstone. Hlm 50-59.
Potten CS, Merritt A, Hickman J, Hall P, Faranda A. 1994. Characterization of
radiation-induce apoptosis in the small intestine and its biological
implications. Int J Radiat Biol (65): 71-78.
Price SA, Wilson LM. 1995. Patofisologi Konsep Klinis Proses Kejadian
Penyakit. Anugrah P, penerjemah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Terjemah dari: Pathophysiology Clinical Concepts of Disease Processes.
Hlm 110-119, 461-464, 1006-1044.
Radtke F, Clevers H. 2005. Self-renewal and cancer of the gut: Two side of a
coin. Sci (307) : 1904-1909.
Rajesh PR, Richa, Rajeshwar PS. 2009. Apoptosis: Molecular mechanisms and
patogenicity. J Exceli 8: 155-181.
Rice-Evans CA, Miller NJ, Bolwell PG, Bramley PM, Pridham JB. 1995. The
relative antioxidant activities of plant-derived polyphenolic flavonoids. J
Rad Res. 22(4):375-383.
Robak J, Gryglewski. 1996. Bioactivity of flavonoids. Pol J Pharmacol (48): 555564.
Roitt IM. 1988. The basic of immunology. Specific acquired immunity. Essential
immunology. Ed. Ke-6. London: Blackwell. Hlm 15-30.
Ross M, Kaye G, Pawlina W. 2002. Histology. A Text And Atlas.Ed. ke-4.
Blackwell. Hlm 256-265.
Rostinawati T. 2008. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Dan Ekstrak Air
Kelopak Bunga Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) Terhadap Mycobacterium
Tuberculosis galur Labkes-026 (Multi Drug Resisten) dan L.) dan
Mycobacterium tuberculosis galur H37Rv Secara In Vitro [tesis]. Bandung:
Fakultas Farmasi. Universitas Padjadjaran. Hlm 24-31.
Sakihama Y, Cohen MF, Grace SC, Yamasaki H. 2002. Plant phenolic antioxidant
and prooxidant activities: phenolic-induced oxidative damage medicated by
metals in plant. Toxicol: 67-80.
Samuelson DA. 2007. Textbook of Veterinary Histology. China: Saunder Elsevier.
Shackelford CC, Elwell MR. 1999. Small and large intestine. and mesentary. Di
dalam: RR Maronpot. GA Boorman. BW Gaul, editor. Pathology of the
Mouse Reference and Atlas. Vienna: Cache River Press. Hlm 81-115.
67
Schiller LR, Sellin JH. 2006. Diarrhea. Di dalam: Feldman M. Friedman LS.
Brandt LJ, editor. Gastrointestinal and Liver Disease: Pathophysiology.
Diagnosis and Management. Philadelphia: Saunders Elsevier. Hlm 32-37.
Schulte-Forhlinde, Bothe E. 1991. The development of chemical demage of DNA
in aqueous solution. Cell Biology 54. Berlin: Springer. Hlm 317-332.
[SAHB] School of anatomy and human biology. 2009. Blue histologyGastrointestinal. The University of Western Australia. [terhubung berkala].
http://www.lab.anhb.uwa.edu.au [12 Desember 2011].
Sirois M. 2005. Laboratory Animal Medicine. United of State America: Mosby.
Inc. Hlm 87-115.
Smirnova OA. 2011. Environmental Radiation Effects on Mammals. A Dynamical
Modeling Approach. USA: Springer. Hlm 1-3.
Somosoy Z. 1999. Radiation response of cell organelles. Budapest, Hungary:
Elsevier Science. Hlm 165-181.
Subowo. 1993. Imunologik Klinik. Bandung: Angkasa. Hlm 67.
Sulistiawati. 2009. Pengaruh ekstrak kelopak Rosela (Hibiscus sabdariffa linn)
terhadap kuantitas leukosit dan persentase limfosit tikus putih (Rattus
novergicus) anemia [skripsi]. Malang: Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim. Hlm 38-46.
Thrall DE. 2002. Textbook of Veterinary Diagnostic Radiology. Ed ke-4. London:
W. B. Saunders. Hlm 7-10.
Tjokronagoro M. 2001. Biologi Sel Tumor Maligna. Fakultas Kedokteran
Universitas Gajah Mada UGM. Yogyakarta. Di dalam Riyatun. Adisti G.
Suharyana. 2011. Simulasi penentuan dosis serapan radiasi-γ 103pd pada
brachytherapy payudara teknik PBSI menggunakan software MCNP5.
Prosiding Seminar Nasional ke-17 Teknologi dan Keselamatan PLTN Serta
Fasilitas Nuklir 2011; Yogyakarta. 01 Okt 2011.
Turner JE. 2007. Atoms Radiation and Radiation Protection. The Federal
Republic of Germany: WILEY-VCH Verlag GmbH & Co KGaA.
Weinheim. Hlm 20-21.
Ulum MF, Noviana D. 2008. Safety utilization of radiography as a diagnostic
tools in veterinary medcine field. Proceedings of KIVNAS 2008; IPB
International Convention Center Bogor. 19–22 Aug 2008.
[UNSCR] United Nations Sientific Committee of The Effects of Atomic
Radiation. 1999. Health Effects of Exposure to Radiation. National
Academy Press. Washington. DC. Hlm 2-23.
68
[UNSCR] United Nations Sientific Committee of The Effects of Atomic
Radiation. 2000. Report to the General Assembly. Source and Effect of
Ionizing Radiation (2) United Nation. New York. Hlm 9.1-9.10.
Uttara B, Singh AV, Zamboni P, Mahajan RT. 2009. Oxidative stress and
neurodegenerative disease: a review of upstream and downstream
antioxidant therapeutic options. Current Neuropharmacol (&): 65-74.
Uzul FA, Saputo J, Sayeed S, Vidal JE, Fisher DJ, Poon R, Adams V, FernandezMiyakawa ME, Rood JI, McClane BA. 2009. Development and applicationn
of new mouse models to study the pathogenesis of Clostridium perfringens
type C enterotoxemias. Infec Immun. 77 (12): 5291.
Wahl, Carr. 2001. The evolution of diverse biological responses to DNA demage:
Insight from yeast and p53. Nat Cell Biol (3): E277-E286.
Wang CJ, Wang JM, Lin WL, Chu CY, Chou FP, Tseng TH. 2000. Protective
effect of Hibiscus sabdariffa anthocyanins agaisnt tert-butyl hydroperoxideinduced hepatic toxicity in rats. J Food Cheml Toxicol 38: 411-416.
Weill FS, Cela EM, Ferrari A, Paz ML, Leoni J, Gonzalez Maglio DH. 2011. Skin
exposure to chronic but not acute UV radiation affects peripheral T-cell
function. J Toxicol Environ Health A. 74(13): 838-847.
Widyanto PS, Nelista A. 2009. Rosela Aneka Olahan: Kahasiat dan Ramuan.
Jakarta: Penebar Swadaya. Hlm 1-35.
Winarsih H. 2007. Antioksidan Alami & Radikal Bebas; Potensi dan Aplikasinya
dalam Kesehatan. Yogyakarta. Kanisius. Hlm 137-146.177-190.
Wolfensohn, Lloyd. 1998. Handbook of Laboratory Animal Management and
Welfare. Second Edition. USA: Blackwel Sci Oxford.
Wong MH. 2004. Regulation of intestinal stem cells. Oregon Health And Science
University, Oregon USA. J Investing Dermatol Symp proc (9): 224-228.
Wood LG, Gibson PG, Garg ML. 2008. Biomarkers of lipid peroxidation, airway
inflammation and atsma. Eur Respair J (21): 177-186.
Yang PC, Jury J, Soderholm JD, Sherman PM, McKay DM, Perdue MH. 2006.
Chronic physchological stress in rats induce intestinal sensitization to
luminal antigens. Am J Pathol 1(168) : 104-114.
69
LAMPIRAN
70
Lampiran 1 Diagram alir pembuatan sediaan (preparat) histopatologi organ
usus halus mencit percobaan
Organ usus halus
Dicuci dengan NaCl fisiologis 0.9%
Difiksasi 24 jam
Larutan Bovin
Didehidrasi
Alkohol 70%, 80%, 90%, dan
95% (@24 jam)
Didehidrasi
Alkohol absolut I, II, dan III
(@ 1 jam)
Clearing
Clearing
Xylol I, II, dan III
(@ 1 jam)
Infiltrasi parafin
Paraffin cair I, II, dan III
(@ 1 jam)
Dicetak (embedding) dalam parafin
Dipotong dengan mikrotom
Deletakkan pada gelas objek
71
Lampiran 2 Diagram alir pewarnaan Hematoksilin-eosin (HE) pada sediaan
(preparat) histopatologi usus halus mencit percobaan
Dideparafinisasi
Xylol III, II, dan I
(@ 5 menit)
Dirhidrasi
Alkohol absolut III, II,
dan I (@ 5 menit)
Dicuci dengan air kran (5 menit) dan akuades
(3 menit)
Diberi/ ditetesi dengan hematoksilin (3 menit)
Direndam dalam air kran (10 menit) dan akuades (5 menit)
Diberi/ ditetesi dengan eosin (2 menit)
Dehidrasi
Alkohol 70%, 80%, 90%,
absolut I, II, dan III
Clearing
Xylol I, II, dan III
Di-mounting
Perekat permount
Diamati di bawah mikroskop
Difoto dengan mikroskofoto digital eyepiece camera
72
Lampiran 3 Diagram alir pewarnaan Periodic Acid Schiff
sediaan (preparat) usus halus mencit percobaan
(PAS) pada
Deparafinisasi
Dicuci dengan akuades
Direndam dalam larutan asam asetat 1% (5 menit)
Dicuci dengan akuades
Dioksidasi dalam periodc acid 1% (5-10 menit)
Dicuci dengan aquades 3x (@5 menit)
Direndam schiff reagent (15-30 menit)
Dicuci dengan
air sulfit
10 % sodium bisulfat (NaHSO3)
10 ml, 1 N asam klorida (HCl) 10
ml dan akuadesilata 200 ml
(@ 2 menit)
Dicuci dengan air kran (10-15 menit) dan akuades (3
menit)
Clearing
Xylol I, II, dan III
Di-mounting
Perekat permount
Diamati di bawah mikroskop
73
Lampiran 4 Uji statistik (ANOVA) dengan SAS 9.1 terhadap % kerusakan
vili duodenum pada kelompok mencit yang diberi total radiasi
5.3 mSv dan masa pemulihan
Dependent Variable: kerusakan epitel vili
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
7
0.08871667
0.01267381
4.50
0.0061
Error
16
0.04506667
0.00281667
Corrected Total
23
0.13378333
R-Square
Coeff Var
Root MSE
vili Mean
0.663137
41.08822
0.053072
0.129167
Source
perlakuan
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
7
0.08871667
0.01267381
4.50
0.0061
0.05
Alpha
16
Error Degrees of Freedom
Error Mean Square
0.002817
Harmonic Mean of Cell Sizes
2.823529
Means with the same letter
are not significantly different.
Duncan Grouping
Mean
N
perlakuan
a
0.22667
3
p1
a
0.19000
3
rp1
b
a
0.18333
3
r1
b
c
0.11667
3
rp
b
a
0.10000
3
k1
b
c
0.09667
3
pp
b
c
0.09000
3
rpp
c
0.03000
3
kp
74
Menurut ketentuan uji Duncan nilai coeff var dari data yang diuji harus
bernilai ≤ 25 sehingga dilakukan transformasi data menggunakan Ln. Diperoleh
hasil uji yang berbeda nyata (p > 0.05).
Dependent Variable: kerusakan epitel vili
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
7
9.09882917
1.29983274
10.85
<.0001
Error
16
1.91693333
0.11980833
Corrected Total
23
11.01576250
R-Square
Coeff Var
Root MSE
respon1 Mean
0.825983
15.15636
0.346133
2.283750
Source
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
perlakuan
7
9.09882917
1.29983274
10.85
<.0001
0.05
Alpha
16
Error Degrees of Freedom
Error Mean Square
0.119808
Means with the same letter
are not significantly different.
Duncan Grouping
Mean
N
perlakuan
a
3.0200
3
p1
a
2.9433
3
rp1
a
2.9033
3
r1
b
2.1933
3
rp2
b
2.1533
3
k1
b
2.1500
3
r2
b
1.8067
3
p2
c
1.1000
3
k2
75
Lampiran 5 Uji statistik (ANOVA) dengan SAS 9.1 terhadap jumlah sel
goblet di duodenum pada kelompok mencit yang diberi total
radiasi 5.3 mSv dan masa pemulihan.
Dependent Variable: goblet
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
7
2268.759296
324.108471
2.64
0.0510
Error
16
1962.920867
122.682554
Corrected Total
23
4231.680163
R-Square
Coeff Var
Root MSE
goblet Mean
0.536137
36.49044
11.07622
30.35375
Source
perlakuan
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
7
2268.759296
324.108471
2.64
0.0510
0.05
Alpha
16
Error Degrees of Freedom
Error Mean Square
122.6826
Means with the same letter
are not significantly different.
Duncan Grouping
Mean
N
perlakuan
a
51.610
3
rp
a
37.890
3
p1
b
30.223
3
rp
b
28.720
3
pp
b
27.777
3
r1
b
26.610
3
k1
b
22.223
3
rpp
b
17.777
3
kp
b
76
Menurut ketentuan uji Duncan nilai coeff var dari data yang diuji harus
bernilai ≤ 25 sehingga dilakukan transformasi data menggunakan Ln. Diperoleh
hasil uji yang tidak berbeda nyata (p > 0.05).
Dependent Variable: jumlah sel goblet
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
7
2.07473333
0.29639048
1.79
0.1590
Error
16
2.65300000
0.16581250
Corrected Total
23
4.72773333
R-Square
Coeff Var
Root MSE
respon1 Mean
0.438843
12.27124
0.407201
3.318333
Source
perlakuan
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
7
2.07473333
0.29639048
1.79
0.1590
0.05
Alpha
16
Error Degrees of Freedom
0.165813
Error Mean Square
Means with the same letter
are not significantly different.
Duncan Grouping
Mean
N
perlakuan
a
3.9267
3
r2
b
a
3.4200
3
p1
b
a
3.4100
3
rp1
b
a
3.3233
3
r1
b
a
3.2933
3
p2
b
a
3.2533
3
k1
b
3.1033
3
rp2
b
2.8167
3
k2
77
Lampiran 6 Uji statistik (ANOVA) dengan SAS 9.1 terhadap jumlah kripta
di duodenum pada kelompok mencit yang diberi total radiasi
5.3 mSv dan masa pemulihan
Dependent Variable: kripta
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
7
63.0098500
9.0014071
1.53
0.2255
Error
16
93.8579333
5.8661208
Corrected Total
23
156.8677833
R-Square
Coeff Var
Root MSE
kripta Mean
0.401675
27.18557
2.422008
8.909167
Source
perlakuan
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
7
63.00985000
9.00140714
1.53
0.2255
0.05
Alpha
16
Error Degrees of Freedom
5.866121
Error Mean Square
Means with the same letter
are not significantly different.
Duncan Grouping
Mean
N
perlakuan
a
12.263
3
P1
b
a
9.400
3
PP
b
a
9.377
3
KP
b
a
9.253
3
RPP
b
a
8.877
3
RP
b
a
7.970
3
R1
b
a
7.933
3
K1
6.200
3
RP1
b
78
Menurut ketentuan uji Duncan nilai coeff var dari data yang diuji harus
bernilai ≤ 25 sehingga dilakukan transformasi data menggunakan Ln. Diperoleh
hasil uji yang tidak berbeda nyata (p > 0.05).
Dependent Variable: jumlah kripta
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
7
0.81042917
0.11577560
1.58
0.2116
Error
16
1.17213333
0.07325833
Corrected Total
23
1.98256250
R-Square
Coeff Var
Root MSE
respon1 Mean
0.408779
12.61096
0.270663
2.146250
Source
perlakuan
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
7
0.81042917
0.11577560
1.58
0.2116
0.05
Alpha
16
Error Degrees of Freedom
0.073258
Error Mean Square
Means with the same letter
are not significantly different.
Duncan Grouping
Mean
N
perlakuan
a
2.4733
3
p1
b
a
2.2233
3
rp2
b
a
2.2200
3
k2
b
a
2.2067
3
p2
b
a
2.1500
3
r2
b
a
2.0700
3
k1
b
a
2.0433
3
r1
1.7833
3
rp1
b
79
Lampiran 7 Uji statistik (ANOVA) dengan SAS 9.1 terhadap jumlah sel
radang di duodenum pada keompok mencit yang diberi total
radiasi 5.3 mSv dan masa pemuliahan
Dependent Variable: jumlah sel radang
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
7
101.3957864
14.4851123
5.88
0.0024
Error
14
34.4694000
2.4621000
Corrected Total
21
135.8651864
R-Square
Coeff Var
Root MSE
radang Mean
0.746297
14.02526
1.569108
11.18773
Source
perlakuan
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
7
101.3957864
14.4851123
5.88
0.0024
0.05
Alpha
14
Error Degrees of Freedom
2.4621
Error Mean Square
2.666667
Harmonic Mean of Cell Sizes
Means with the same letter
are not significantly different.
Duncan grouping
Mean
n
Perlakuan
a
16.10
3
rp1
b
a
13.45
3
r1
b
a
13.08
3
p1
b
c
10.65
3
rpp
c
9.78
3
k1
c
9.69
3
pp
c
9.68
3
kp
9.33
3
c rp
80
Lampiran 8 Uji statistik (ANOVA) dengan SAS 9.1 terhadap tinggi vili di
deuodenum pada kelompok mencit yang diberi total radiasi 5.3
mSv dan masa pemuliahan
Dependent Variable: tinggi vili
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
7
22919.93560
3274.27651
0.82
0.5816
Error
16
63552.07320
3972.00458
Corrected Total
23
86472.00880
R-Square
Coeff Var
Root MSE
tinggi Mean
0.265056
20.47661
63.02384
307.7846
Source
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
perlakuan
7
22919.93560
3274.27651
0.82
0.5816
Duncan's Multiple Range Test for tinggi vili
0.05
Alpha
16
Error Degrees of Freedom
5069.098
Error Mean Square
Means with the same letter
are not significantly different.
Duncan Grouping
Mean
N
perlakuan
A
335.62
3
kp
A
325.41
3
rpp
A
323.87
3
rp
A
313.05
3
pp
A
310.23
3
r1
A
294.24
3
k1
A
292.59
3
rp1
A
288.70
3
p1
81
Lampiran 9 Uji fitokimia ekstrak kelopak rosela (Hibiscus sabdariffa L.)
82
Download