Umi Chotimah**) alternatives of active learning

advertisement
ACTIVE LEARNING –BASED CIVICS LEARNING MODEL :
SOME ALTERNATIVES
By :
Umi Chotimah**)
In Indonesia, the subject Civics is a compulsory subject to take for all
students from elementary to higher education. Since 1957, Civics curriculum
has been changed for seven times, but its implementation is still not fully
based on the demands of the curriculum. The research results, showed that
many teachers only taught knowledge and not provide enough opportunities
for students to do active learning. Therefore the author offered somes
alternatives of active learning: based PKn learning model : VCT,
Reflective Inquiry, PKKBI, Inquiry Social.
Keywords : Civics, active learning, VCT, Reflective Inquiry, PKKBI, Inquiry Social
1.
Pendahuluan
Saat ini kurikulum yang berlaku untuk jenjang Pendidikan Dasar dan
Menengah adalah Kurikulum tahun 2006 atau dikenal dengan nama Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Salah satu mata pelajaran wajib yang yang
ada di dalam KTSP adalah mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).
Peraturan Menteri No 22 Tahun 2006, menyebutkan bahwa :
mata pelajaran PKn bertujuan untuk para siswa memiliki kemampuan
berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu
kewarganegaraan; bergabung secara aktif dan bertanggung jawab;
bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, dan anti-korupsi; berkembang secara positif dan demokratis
untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia
agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain; berinteraksi dengan
bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak
langsung; dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Memiliki kemampuan berpikir kritis rasional dan kreatif dalam
menanggapi isu kewarganegraaan dan seterusnya sebagai tujuan matapelajaran
PKn,
mengisyaratkan akan perlunya suatu proses pembelajaran yang
memungkinkan siswa untuk mencapai tujuan tersebut, yang apabila kita kaji lebih
lanjut sesungguhnya kemampuan tersebut akan sulit dicapai apabila tidak
dilaksanakan melalui suatu proses pembelajaran aktif (active learning).
1
*)
Makalah Disampaikan Dalam Kegiatan “International Seminar – Educational Comparative In Curriculum For Active
Learning Between Indonesia And Malaysia”, Bandung June 9th-10th 2011
**) Lecture of Sriwijaya University, Study Program PPKn
Sebelum kurikulum 2006 yang saat ini sedang berlaku, mata pelajaran
yang serupa dengan PKn sudah ada, bahkan sudah mengalami perubahan
sebanyak beberapa kali (dari tahun 1957 hingga tahun 2006), mulai dari sudut
label maupun isinya. Pada kurikulum 1957 dengan label Tatanegara (untuk SMA),
yang bertujuan untuk membentuk nation and character building "yaitu sekolah
dianggap sebagai sociopolitical Institution. Selanjutnya tahun 1962 berlaku
kurikulum Civic (untuk SMP dan SMA), yang materinya digali dari sejarah,
geografi, ilmu ekomomi, ilmu politik, pidato-pidato kenegaraan Presiden,
deklarasi HAM, dan pengetahuan tentang PBB, Sejarah, Ilmu Bumi Indonesia dan
Civic. Tahun 1968 diberlakukan kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan (PKN)
bagi SD, SMP dan SMA. Khusus untuk SMP dan SMA materinya berisikan
tentang Sejarah Indonesia, konstitusi UUD 1945. Setelah itu diberlakukan
kurikulum 1994, dengan label mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKN), materinya disusun secara spiral atas dasar keterangan
nilai yang secara konseptual terkandung dalam Pancasila. Pada tahun 2004,
kurikulum PPKN diganti dengan kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan (PKn),
yang materinya pada pendidikan nilai-moral dan norma Pancasila, dengan tujuan
untuk membangun dan mengembangkan daya nalar, sikap dan perilaku siswa
yang bertanggung jawab berdasarkan nilai-nilai moral Pancasila, serta
mengembang-kan pengetahuan, sikap dan keterampilan belajar untuk mengikuti
pendidikan lebih lanjut dan untuk hidup dalam masyarakat, pembentukan warga
negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya
untuk menjadi warganegara. Kemudian pada tahun 2006, diterapkan kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dengan nama yang sama yaitu PKn.
Berdasarkan perkembangan kurikulum PKn di Indonesia sejak tahun 1957
sampai dengan sekarang sudah mengalami perubahan sebanyak tujuh kali. Namun
demikian, ternyata masih saja dijumpai pelbagai kelemahan, khususnya dari segi
implementasinya. Artinya masih terdapat ketidakselarasan antara kurikulum PKn
secara dokumen dengan kurikulum PKn dengan implementasinya. Hal tersebut
didukung dari berbagai hasil penelitian, diantaranya Kadarusmadi (1987)
menunjukkan bahwa :
2
*)
Makalah Disampaikan Dalam Kegiatan “International Seminar – Educational Comparative In Curriculum For Active
Learning Between Indonesia And Malaysia”, Bandung June 9th-10th 2011
**) Lecture of Sriwijaya University, Study Program PPKn
“tujuan PMP belum dapat mencapai keputusan yang memuaskan,
karena hanya 2.85% jawaban siswa yang mempunyai
kecenderungan perilaku yang positif, yaitu kecenderungan untuk
berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moral Pancasila. Sebanyak
1.78% pula mempunyai kecenderungan yang negatif, yaitu
kecenderungan untuk berperilaku menyimpang daripada tuntutan
nilai-nilai moral Pancasila.
Hasil yang kurang memuaskan ini didukung oleh hasil penelitian Sunarno (1992)
menyatakan bahwa :
proses belajar mengajar belum mencapai tujuan PMP yang
diharapkan. Guru-guru sekadar memberi pengetahuan dan
pemahaman tentang nilai-nilai Pancasila kepada pelajar. Guru
belum lagi membina dan memandu pelajar untuk menghayati dan
mengamalkan nilai-nilai Pancasila itu dalam kehidupan hariannya.
Guru yang membina PMP masih banyak menekankan aspek
pengetahuan pelajar tentang nilai-nilai Pancasila. Guru belum lagi
membina sikap dan tingkah laku pelajar secara nyata sehingga
siswa belum terbuka hati nuraninya untuk mengamalkan nilai-nilai
Pancasila.
Selain itu hasil penelitian Djuwita (1993), bahwa :
pola mengajar yang dilakukan guru lebih bersifat pemberian
pengetahuan tentang Pancasila dan lebih berorientasikan
pencapaian hasil berupa angka daripada pembinaan moral, di
samping suasana dan situasi pengajaran kurang mengarah pada
pembentukan sikap pelajar. Sehubungan itu tujuan Pendidikan
Moral Pancasila belum sepenuhnya tercapai.
Selanjutnya hasil penelitian Anwar (1994) tentang pembelajaran segi
kewarganegaraan dalam PPKn, menunjukan bahwa :
pola mengajar yang dilakukan guru lebih bersifat pemberian
pengetahuan, disamping suasana dan situasi pengajaran kurang
mengarah pada pembentukan sikap siswa. Guru belum membina
sikap dan perilaku siswa secara nyata. Pada kenyataan akhir-akhir
ini diberitakan sering terjadinya perkelahian (tawuran) antar
pelajar yang membawa korban jiwa, dan kurangnya disiplin
terhadap peraturan berlalu lintas, walaupun pada hakekatnya
banyak faktor yang mempengaruhi perilaku siswa (keluarga,
masyarakat, maupun sekolah), oleh karena itu paling tidak PPKN
dituntut untuk lebih berperan dalam membentuk perilaku siswa.
3
*)
Makalah Disampaikan Dalam Kegiatan “International Seminar – Educational Comparative In Curriculum For Active
Learning Between Indonesia And Malaysia”, Bandung June 9th-10th 2011
**) Lecture of Sriwijaya University, Study Program PPKn
Jika dirangkum beberapa hasil penelitian di atas maka ada beberapa hal
yang dapat kita ketahui, yaitu :











tujuan PMP belum dapat mencapai keputusan yang memuaskan, proses
belajar mengajar belum mencapai tujuan PMP yang diharapkan,
guru-guru sekadar memberi pengetahuan dan pemahaman tentang nilainilai Pancasila kepada pelajar.
guru belum lagi membina dan memandu pelajar untuk menghayati dan
guru belum membina sikap dan perilaku siswa secara nyata,
guru yang membina PMP masih banyak menekankan aspek pengetahuan
pelajar tentang nilai-nilai Pancasila.
guru belum lagi membina sikap dan tingkah laku pelajar secara nyata
sehingga siswa belum terbuka hati nuraninya untuk mengamalkan nilainilai Pancasila,
pola mengajar yang dilakukan guru lebih bersifat pemberian pengetahuan
tentang Pancasila dan lebih berorientasikan pencapaian hasil berupa
angka daripada pembinaan moral,
suasana dan situasi pengajaran kurang mengarah pada pembentukan
sikap siswa.
tujuan PMP belum sepenuhnya tercapai,
pembelajaran segi kewarganegaraan dalam Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan,
situasi pengajaran kurang mengarah pada pembentukan sikap siswa,
tujuan kurikulum PKn belum tercapai.
Dari rangkuman di atas, dapat dikatakan bahwa tujuan kurikulum PKn
(baik kurikulum 1984, 1994, 2004) masih belum tercapai secara optimal, sebab
masih banyak kelemahan dari implementasinya. Sejalan dengan pendapat di atas,
Malik Fajar (2004:4) mengatakan bahwa :
“sejak tahun 1994, pembelajaran PKn menghadapi berbagai
kendala dan keterbatasan. Kendala dan keterbatasan tersebut
adalah: (1) masukan instrumental (instrumental input) terutama
yang berkaitan dengan kualitas guru serta keterbatasan fasilitas dan
sumber belajar, dan (2) masukan lingkungan (instrumental input)
terutama yang berkaitan dengan kondisi dan situasi kehidupan
politik negara yang kurang demokratis”
Beberapa petunjuk empiris menyangkut permasalahan tersebut antara lain
sebagai berikut : Pertama, proses pembelajaran dan penilaian dalam PKn lebih
menekankan pada aspek instruksional yang sangat terbatas, yaitu pada penguasaan
materi (content mastery). Dengan kata lain lebih menekankan pada dimensi
kognitifnya sehingga telah mengabaikan sisi lain yang penting, yaitu
4
*)
Makalah Disampaikan Dalam Kegiatan “International Seminar – Educational Comparative In Curriculum For Active
Learning Between Indonesia And Malaysia”, Bandung June 9th-10th 2011
**) Lecture of Sriwijaya University, Study Program PPKn
pembentukan watak dan karakter yang sesungguhnya menjadi fungsi dan tujuan
utama PKn. Kedua, pengelolaan kelas belum mampu menciptakan suasana yang
kondusif untuk berkembangnya pengalaman belajar siswa yang dapat menjadi
landasan untuk berkembangnya kemampuan intelektual siswa (state of mind ).
Proses pembelajaran yang bersifat “satu arah” dan pasif baik di dalam maupun di
luar kelas telah berakibat pada miskinnya pengalaman belajar yang bermakna
(meaningful learning) dalam proses pembentukan watak dan perilaku siswa.
Untuk itu sangat penting bagi kita untuk membangun model-model pembelajaran
khususnya dalam PKn dalam rangka, menciptakan proses belajar yang
menyenangkan, mengasyikkan, sekaligus mencerdaskan.etiga, pelaksanaan
kegiatan ektra-kurikuler sebagai wahana sosio-pedagogis melalui pemanfaatan “
hands-on experience” juga belum berkembang sehingga belum memberikan
kontribusi yang berarti dalam menyeimbangkan antara
penguasaan teori dan
pembinaan perilaku, khususnya yang berkaitan dengan
pembiasaan hidup yang terampil dalam suasana yang demokratis dan sadar
hukum.
Sehubungan dengan hal di atas, dapat dikatakan bahwa pelaksanaan
pembelajaran PKn selama ini lebih menekankan pada penguasaan materi dan
lebih cenderung bersifat “teacher-centered” akibatnya, siswa menjadi pasif atau
kurang memberikan kesempatan kepada siswa belajar secara aktif (active
learning). Oleh karenanya, makalah ini mencoba menawarkan beberapa alternatif
model pembelajaran PKn yang dapat mengaktifkan siswa.
2.
Pembelajaran Aktif (Active Learning)
Pembelajaran dapat diartikan juga sebagai suatu usaha yang sengaja
melibatkan dan menggunakan pengetahuan profesional yang dimiliki guru untuk
mencapai tujuan kurikulum. Jadi pembelajaran adalah suatu aktivitas yang dengan
sengaja untuk memodifikasi berbagai kondisi yang diarahkan untuk tercapainya
suatu tujuan yaitu tercapainya tujuan kurikulum. Gagne dan Briggs (1979:3)
mengartikan pembelajaran ini adalah suatu sistem yang bertujuan untuk
membantu proses belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang,
disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses
5
*)
Makalah Disampaikan Dalam Kegiatan “International Seminar – Educational Comparative In Curriculum For Active
Learning Between Indonesia And Malaysia”, Bandung June 9th-10th 2011
**) Lecture of Sriwijaya University, Study Program PPKn
belajar siswa yang bersifat internal. Dalam pembelajaran kondisi atau situasi yang
memungkinkan terjadinya proses belajar harus dirancang dan dipertimbangkan
terlebih dahulu oleh guru.
Pembelajaran aktif (active learning) adalah segala bentuk pembelajaran
yang memungkinkan siswa berperan secara aktif dalam proses pembelajaran itu
sendiri baik dalam bentuk interaksi antar siswa maupun siswa dengan pengajar
dalam proses pembelajaran tersebut. Menurut Bonwell (1995), pembelajaran aktif
memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut:
 Penekanan proses pembelajaran bukan pada penyampaian informasi oleh
guru melainkan pada pengembangan ketrampilan pemikiran analitis dan
kritis terhadap topik atau permasalahan yang dibahas,
 Siswa tidak hanya mendengarkan penjelasan guru secara pasif tetapi
mengerjakan sesuatu yang berkaitan dengan materi pelajaran,
 Penekanan pada eksplorasi nilai-nilai dan sikap-sikap berkenaan dengan
materi pelajaran,
 Siswa lebih banyak dituntut untuk berpikir kritis, menganalisa dan
melakukan evaluasi,
 Umpan-balik yang lebih cepat akan terjadi pada proses pembelajaran.
Di samping karakteristik tersebut di atas, secara umum suatu proses
pembelajaran aktif memungkinkan diperolehnya beberapa hal. Pertama, interaksi
yang timbul selama proses pembelajaran akan menimbulkan positive interdependence dimana konsolidasi pengetahuan yang dipelajari hanya dapat
diperoleh secara bersama-sama melalui eksplorasi aktif dalam belajar. Kedua,
setiap individu harus terlibat aktif dalam proses pembelajaran dan pengajar harus
dapat mendapatkan penilaian untuk setiap mahasiswa sehingga terdapat individual
accountability. Ketiga, proses pembelajaran aktif ini agar dapat berjalan dengan
efektif diperlukan tingkat kerjasama yang tinggi sehingga akan memupuk social
skills.
Figure 1
Simple tasks ------------------------------------------------------------ Complex tasks
The Active Learning Continuum
Bagaimana gambaran antara pembelajaran pasif dengan pembelajaran aktif, Edgar
Dale (1969) menggambarkan sebagaimana piramida di bawah ini.
6
*)
Makalah Disampaikan Dalam Kegiatan “International Seminar – Educational Comparative In Curriculum For Active
Learning Between Indonesia And Malaysia”, Bandung June 9th-10th 2011
**) Lecture of Sriwijaya University, Study Program PPKn
Tend to Rem em ber about:
Level of Involvem ent
Reading
20%
Hearing W ords
30%
Looking at Pictures
Verbal Receiving
W atching a Video
Looking at an Exhibit
50%
Visual Receiving
W atching a Dem onstration
PASSIVE LEARNING 10%
Seeing it Done on Location
Participating
Giving a Talk
Doing a Dram atic Presentation
90%
Sim ulating the Real Experience
Doing
ACTIVE LEARNING
Participating in a Discussion
70%
Doing the Real Thing
Bagan di atas memperlihatkan dua kelompok model pembelajaran yaitu
Pembelajaran
Pasif
dan
Pembelajaran
Aktif.
Gambaran
tersebut
juga
menunjukkan bahwa kelompok pembelajaran aktif cenderung membuat siswa
lebih mengingat (retention rate of knowledge) materi pelajaran. Penggunaan caracara pembelajaran aktif baik sepenuhnya atau sebagai pelengkap cara-cara belajar
tradisional akan meningkatkan kualitas pembelajaran.
3.
Model Pembelajaran PKn yang Berbasis Active Learning
Berdasarkan pada konsep active learning di atas, berikut ini akan disajikan
beberapa diantara sejumlah alternatif model pembelajaran yang berbasis active
learning
yang dapat digunakan oleh guru PKn, dalam rangka mengaktifkan
siswa, yang pada akhirnya diharapkan dapat mencapai tujuan sebagaimana
terdapat di dalam kurikulum PKn (kurikulum sebagai dokumen) diantaranya: a)
VCT, b) Model Reflective Inquiry, c) PKKBI, d) Model Inquiry Sosial, dan lainlain.
3.1 Value Clarification Techniques (VCT)
VCT atau Teknik Klarifikasi Nilai, yaitu suatu teknik belajar-mengajar
yang membina sikap atau nilai moral (aspek afektif). VCT dianggap cocok
digunakan dalam pembelajaran PKn yang mengutamakan pembinaan aspek
afektif, disamping itu menuntut keaktifan belajar siswa. Pola pembelajaran VCT
7
*)
Makalah Disampaikan Dalam Kegiatan “International Seminar – Educational Comparative In Curriculum For Active
Learning Between Indonesia And Malaysia”, Bandung June 9th-10th 2011
**) Lecture of Sriwijaya University, Study Program PPKn
dianggap unggul untuk pembelajaran afektif karena pertama, mampu membina
dan mempribadikan (personalisasi) nilai-moral. Kedua, mampu mengklarifikasi
dan mengungkapkan isi pesan nilai-moral yang disampaikan. Ketiga, mampu
mengklarifikasi dan menilai kualitas nilai-moral diri siswa dalam kehidupan
nyata. Keempat, mampu mengundang, melibatkan, membina dan mengembangkan potensi diri siswa terutama potensi afektualnya. Kelima, mampu memberikan
pengalaman
belajar
berbagai
kehidupan.
Keenam,
mampu
menangkal,
meniadakan, mengintervensi dan menyubversi berbagai nilai-moral naif yang ada
dalam sistem nilai dan moral yang ada dalam diri seseorang. Ketujuh, menuntun
dan memotivasi hidup layak dan bermoral tinggi.
Menurut A. Kosasih Djahiri (1985) model pembelajaran VCT meliputi;
metode percontohan; analisis nilai; daftar/matriks; kartu keyakinan; wawancara,
yurisprudensi dan teknik inkuiri nilai. Selain itu dikenal juga dengan metode
bermain peran. Metode dan model di atas dianggap sangat cocok diterapkan
dalam pembelajaran PKn, karena PKn mengemban misi untuk membina nilai,
moral, sikap dan prilaku siswa, disamping membina kecerdasan (knowledge)
siswa.
John Jarolimek (1974) dalam menjelaskan langkah pembelajaran dengan
VCT dalam tujuh tahap yang dibagi ke dalam 3 tingkat, setiap tahapan dijelaskan
sebagai berikut:
a) Kebebasan Memilih. Pada tingkat ini terdapat 3 tahap, yaitu: (1) Memilih
secara bebas, artinya kesempatan untuk menentukan pilihan yang menurutnya
baik. Nilai yang dipaksakan tidak akan menjadi miliknya secara penuh; (2)
Memilih dari beberapa alternatif. Artinya, untuk menentukan pilihan dari
beberapa alternatif pilihan secara bebas; (3) Memilih, setelah dilakukan
analisis pertimbangan konsekuensi yang akan timbul sebagai akibat
pilihannya.
b) Menghargai, terdiri atas 2 tahap pembelajaran, yaitu; (1) Adanya perasaan
senang dan bangga dengan nilai yang menjadi pilihannya, sehingga nilai
tersebut akan menjadi bagian dari dirinya; (2) Menegaskan nilai yang sudah
menjadi bagian integral dalam dirinya di depan umum. Artinya, bila kita
menggagap nilai itu suatu pilihan, maka kita akan berani dengan penuh
kesadaran untuk menunjukkannya di depan orang lain.
c) Berbuat, pada bagian ini terdiri atas dua tahap, yaitu; (1) Kemauan dan
kemampuan untuk mencoba melaksanakannya (2) Mengulangi perilaku
8
*)
Makalah Disampaikan Dalam Kegiatan “International Seminar – Educational Comparative In Curriculum For Active
Learning Between Indonesia And Malaysia”, Bandung June 9th-10th 2011
**) Lecture of Sriwijaya University, Study Program PPKn
sesuai dengan nilai pilihannya. Artinya, nilai yang menjadi pilihan itu harus
tercermin dalam kehidupannya sehari-hari.
Kelemahan yang sering terjadi dalam proses pembelajaran nilai atau sikap
adalah proses pembelajaran dilakukan secara langsung oleh guru, artinya guru
menanamkan nilai-nilai yang dianggapnya baik tanpa memerhatikan nilai yang
sudah tertanam dalam diri siswa. Akibatnya, sering terjadi benturan atau konflik
dalam diri siswa karena ketidakcocokan antara nilai lama yang sudah terbentuk
dengan nilai baru yang ditanamkan oleh guru. Siswa sering mengalami kesulitan
dalam menyelaraskan nilai lama dan nilai baru.
3.2 Reflective Inquiry
Sebenarnya model ini merupakan basis model program “We The
People...Project Citizen and the Constitution” yang dikembangkan atas dasar
merupakan suatu program pembelajaran tentang sejarah dan prinsip-prinsip
demokrasi di Amerika, dimana reflective inquiry menjadi dasar dari program
tersebut. Reflective inquiry berkenaan dengan kemampuan individu dalam
mengkonstruksi suatu makna. Inkuiri itu sendiri menyatu dengan reflektif dan
kolaboratif sebagai aspek dari berpikir dan belajar. Dewey (1938) mengatakan,
bahwa reflektif inkuiri dibuat penting, sebagaimana sebuah pengetahuan, ia
bukanlah pada posisi yang tetap, untuk itu siswa harus aktif dan menjadi peserta
yang bertanggung jawab. Winataputra dan Budimansyah (2007:241) mengatakan
bahwa secara generik reflective inquiry memiliki langkah-langkah belajar sebagai
berikut :
a)
b)
c)
d)
e)
f)
Identifikasi masalah kebijakan publik yang ada dalam masyarakat
Pemilihan masalah sebagai fokus kajian kelas
Pengumpulan informasi terkait masalah yang menjadi fokus kajian kelas
Pengembangan suatu portofolio kelas, dan
Menyajikan portofolio kelas dalam suatu simulasi dengar pendapat.
Melakukan kajian pengendapan atas pengalaman belajar yang dilakukan.
Pada langkah terakhir, kembali ke kelas untuk melakukan refleksi atau
pengendapan dan perenungan mengenai hasil belajar yang dicapai melalui
seluruh kegiatan tersebut.
Kemudian dijelaskan bahwa titik berat paket pembelajaran ini adalah peserta didik
dalam keseluruhan proses, dan dengan proses itu peserta didik difasilitasi untuk
9
*)
Makalah Disampaikan Dalam Kegiatan “International Seminar – Educational Comparative In Curriculum For Active
Learning Between Indonesia And Malaysia”, Bandung June 9th-10th 2011
**) Lecture of Sriwijaya University, Study Program PPKn
mendapatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan” Selanjutnya Winataputra dan
Budimansyah (2007:249), untuk model pembelajaran demokrasi dan HAM di
sekolah-sekolah rintisan Ditjen Dikdasmen dan Center for Civic Education
Indonesia (CCEI) adalah Model Praktik-Belajar Kewarganegaraan...Kami Bangsa
Indonesia” (PKKBI).
3.3 Model Praktik-Belajar Kewarganegaraan....Kami Bangsa Indonesia” (PKKBI)
Model ini lebih sesuai jika digunakan pada pembahasan tentang tatanegara
Republik Indonesia, demokrasi, partisipasi dalam pemerintahan, hak dan
kewajiban warganegara. Secara pedagogik model ini dirancang untuk memberikan
pengalaman belajar kepada peserta didik mengenai langkah-langkah dan metode
yang digunakan di dalam proses politik. Winataputra dan Budimansyah
(2007:250) menyebutkan bahwa : secara khusus kegiatan ini bertujuan untuk
mengembangkan komitmen peserta didik terhadap kewarganegaraan dan
pemerintahan dengan cara :




Memfasilitasi peserta didik untuk mendapatkan pengetahuan dan
keterampilan yang diperlukan agar dapat berpartisipasi secra efektif dan
bermakna
Memberikan pengalaman praktis yang dirancang untuk mengembangkan
kompetensi kewarganegaraan yang demokratis
Mengembangkan pemahaman tentang pentingnya partisipasi warganegara
secara demokratis
Program belajar ini diyakini akan menambah pengetahuan peserta didik,
meningkatkan keterampilan dan memperdalam pengertian dan hakekat
“rakyat” sehingga dapat bekerja bersama-sama menciptakan masyarakat
Indonesia yang lebih baik.
3.4 Pembelajaran Inquiry Sosial
Pada awalnya pembelajaran inkuiri banyak diterapkan dalam ilmu-ilmu
alam (natural science), kemudian para ahli pendidikan ilmu sosial berusaha
mengadopsinya sehingga muncullah pembelajaran inkuiri sosial. Model
pembelajaran Inquiry Sosial merupakan salah satu model yang juga termasuk
model pembelajaran yang menekan-kan kepada aktivitas siswa secara maksimal
untuk mencari, menemukan artinya model ini menempatkan siswa sebagai subjek
belajar, dengan demikian beraarti model ini menjadikan siswa belajar aktif (active
10
*)
Makalah Disampaikan Dalam Kegiatan “International Seminar – Educational Comparative In Curriculum For Active
Learning Between Indonesia And Malaysia”, Bandung June 9th-10th 2011
**) Lecture of Sriwijaya University, Study Program PPKn
learning). Dalam proses pembelajarannya siswa tidak hanya berperan sebagi
penerima pelajaran melalui penjelasan guru secara verbal, tetapi merka berperan
untuk menemukan sendiri inti dari materi pelajaran itu sendiri.
Ada enam tahapan proses pembelajaran inkuiri sosial menurut Sanjaya
(2007), adalah sebagai berikut yaitu :
a) Tahap orientasi. Pada tahap guru merangsang dan mengajak siswa untuk
berpikir memecahkan masalah. Keberhasilan pembelajaran inkuiri sosial
sangat tergantung pada kamauan siswa untuk beraktivitas menggunakan
kemampuannya dalam memecahkan masalah; tanpa kemauan dan
kemampuan itu tak mungkin proses pembelajaran akan berjalan dengan
lancar.
b) Tahap merumuskan masalah. Langkah ini membawa siswa pada suatu
persoalan yang mengandung teka-teki. Persoalan yang disajikan adalah
persoalan yang menantang siswa untuk berpikir memecahkan teka-teki itu.
c) Tahap merumuskan hipotesis, dimana setiap siswa membuat hipotesis dari
suatu permasalahan.secara rasional dan logis.
d) Tahap mengumpulkan data, tahap ini merupakan proses mental yang sangat
penting dalam pengembangan intelektual siswa. Proses pengumpulan data
bukan hanya memerlukan motivasi yang kuat dalam belajar, akan tetapi juga
membutuhkan ketekunan dan kemampuan menggunakan potensi berpikirnya.
e) Tahap menguji hipotesis, pada tahap ini siswa mencari tingkat keyakinan atas
jawaban yang diberikan, dan mengembangkan kemampuan berpikir rasional.
f) Tahap merumuskan kesimpulan, tahap ini siswa menyimpulkan/
mendeskripsikan temuan yang diperoleh berdasarkan hasil pengujian
hipotesis.
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa betapapun kurikulum PKn
telah mengalami beberapa kali penyempurnaan, namun tujuan kurikulum PKn
(sebagai dokumen) masih belum tercapai secara optimal. Hal tersebut diantaranya
disebabkan belum sinkronnya antara kurikulum PKn (sebagai dokumen) dengan
implementasi kurikulum PKn (sebagai proses). Dari beberapa hasil penelitian
menunjukkan, pola mengajar guru lebih banyak memberi pengetahuan, ini
bermakna bahwa pembelajaran PKn lebih didominasi oleh aktivitas guru, bukan
siswa aktif (active learning). Oleh karenanya penulis menawarkan beberapa
model pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru PKn sebagai alternatif
diantara model pembelajaran berbasis active learning yang ada, diantaranya VCT,
Reflective Inquiry, PKKBI, Inquiry Sosial, dan lain-lain.
11
*)
Makalah Disampaikan Dalam Kegiatan “International Seminar – Educational Comparative In Curriculum For Active
Learning Between Indonesia And Malaysia”, Bandung June 9th-10th 2011
**) Lecture of Sriwijaya University, Study Program PPKn
DAFTAR RUJUKAN
Anwar, 1997. Pembelajaran Kewarganegaraan Dalam PPKn Di SD : Suatu Studi
Naturalistik Pada SD Negeri Di Kotamadya Bandung. Tesis
Edgar Dale. 1969. Audio-Visual Methods in Teaching (3 rd edition) Holt, Tinehart
and Winston, 1969
Djahiri, Kosasih. A. 1985. Strategi Pengajaran Afektif-Nilai-Moral, VCT dan
Games dalam VCT. Bandung : Jurusan Pendidikan Moral Pancasila dan
Kewarganegaraan FPIPS IKIP Bandung.
..............
2006. Pendidikan Nilai Moral dalam Dimensi
Kewarganegaraan. Bandung : Laboratorium PKn.
Pendidikan
Gagne, R., Briggs, L., & Wagner, W. (1992). Principles of Instructional Design.
Fort Worth: Harcourt Brace Javanovich
Kadarusmadi, 1996. Disertasi : Upaya Orang-Tua Dalam Menata Situasi
Pendidikan Di Dalam Keluargastudi Tentang Nilai-Nilai Yang Mendasari
Dan Mengarahkan Upaya Orang-Tua Yang Diserap Anak Dalam Situasi
Pendidikan Di Keluarga Masyarakat Banda Aceh. Bandung : IKIP
Malik, Fajar. 2004. Pendidikan Kewarganegaraan menuju Nation and Character
Building. Makalah, pada Seminar dan Lokakarya Nasional Tentang
Revitalisasi Nasionalisme Indonesia menuju Character and Nation
Building di Jakarta, Lemhanas UNJ
Sanjaya, Wina.2009. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Pendidikan.
Jakarta : Prenada Media Grup.
Sunarno. 1992. Keragaman Proses Belajar Mengajar di Sekolah Dasar (Studi
Deskriptif Analitis Terhadap Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar PMP
pada 3 Sekolah Dasar di Kabupaten Klaten). Tesis Magister PPS IKIP
Bandung: Tidak diterbitkan.
Winataputra, Udin dan Budimansyah, Dasim. 2007, Civic Education : Konteks,
Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas. Bandung : Jurusan Pendidikan
Kewarganegaraaan, Sekolah Pasca Sarjana UPI Bandung.
http://sekolah-dasar.blogspot.com/2011/04/langkah-langkah-pembelajaran-dalamvct.html
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/ReflectiveInquiry,
http://legowo.staff.uns.ac.id/2010/11/Budilegowo
12
*)
Makalah Disampaikan Dalam Kegiatan “International Seminar – Educational Comparative In Curriculum For Active
Learning Between Indonesia And Malaysia”, Bandung June 9th-10th 2011
**) Lecture of Sriwijaya University, Study Program PPKn
Download