Mam MAKALAH ISLAM Kongres Umat Islam Indonesia (Refleksi Antar-Generasi) 10 Februari 2015 Makalah Islam Kongres Umat Islam Indonesia (Refleksi Antar-Generasi) M. Fuad Nasar (Pemerhati Sejarah, Wakil Sekretaris BAZNAS) Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI berlangsung di Daerah Istimewa Yogyakarta dari tanggal 8 sampai 11 Februari 2015. Pertemuan berbagai elemen umat Islam yang diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dihadiri para pengurus MUI dari seluruh Indonesia, utusan ormas-ormas Islam, perguruan tinggi, ulama, kalangan profesional dan cendekiawan muslim. Semenjak reformasi KUII diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Pelaksanaan KUII VI mengingatkan kembali padaKongres Umat Islam Indonesia yang pertama setelah kemerdekaan tanggal 7 - 8 November 1945di Yogyakarta dan suasana batin yang meliputinya, seperti akan diuraikan di bawah ini. Mohammad Natsir, pemimpin Islam dan mantan Perdana Menteri RI semasa hidupnya menggambarkan peristiwa bersejarah Kongres Umat Islam di awal kemerdekaan sebagai berikut, “Di saat-saat genting umat Islam menyingsingkan lengan baju mempertahankan kemerdekaan. Umat Islam membentuk pasukan bersenjata: Sabilillah dan Hizbullah. Umat Islam turut menulis sejarah. Para pemimpin Islam yang terdiri dari para ulama dan para pejuang bersenjata berkumpul di Gedung Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta untuk membicarakan nasib umat. Mereka datang dari berbagai front perjuangan dengan seragam perang, lengkap dengan senjatanya. Bahkan ada yang datang dengan membawa dua pistol sekaligus. Para pemimpin umat Islam itu berkumpul untuk membicarakan nasib umat secara keseluruhan, meskipun mereka sendiri punya kesibukanmasing-masing.Ada yang dari Muhammadiyah, dari Nahdlatul Ulama (NU), dari Persatuan Islam (Persis), dari Persatuan Umat Islam (PUI), dan lain sebagainya. Mereka berkumpul guna menyatukan langkah menentang kembalinya penjajahan di tanah air, dan menyatukan pendapat tentang apa yang harus dilakukan untuk mengisi kemerdekaan.” Umat Islam yang didorong oleh kewajiban menegakkan Kalimatullah, atau mengutip ungkapan Hadlratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1946, “berjuang mengejar cita-cita kemuliaan Islam, kehormatan kaum muslimin dan hidupnya syariat Islam”, berada di barisan terdepan, baik di medan pertempuran bersenjata maupun di medan diplomasi dalam membela Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perlawanan terhadap penjajahan (kolonialisme dan imperialisme) di hampir semua daerah di Nusantara dipelopori oleh para ulamadan kaum santri karena digerakkan oleh jiwa Tauhid. Puluhan ulama besar tercatat namanya dalam sejarah sebagai patriot tanah air yang menanamkan benih Kesadaran Nasional dan membentuk Nasionalisme Indonesia. Dalam masa revolusi kemerdekaan, umat Islam bangkit serentak membela kemerdekaan dan mengikhlaskan nyawa mereka karena perjuangan mulia membela tanah air. Hadlratusy Syaikh Hasyim Asy’ariyang memimpin Majelis Syura Partai Masyumi tanggal 22 Oktober 1945 di Surabaya mengeluarkan fatwa yang terkenal sebagai Resolusi Jihad NU, yaitu; “fardhu ‘ain” bagi setiap muslim untuk mempertahankan kemerdekaan. Sebelumnya Teungku Muhammad Daud Beureueh bersama tiga ulama besar Aceh pada 15 Oktober 1945 mengeluarkan pernyataan politik bahwa bagi umat Islam mempertahankan Republik Indonesia wajib hukumnya dan gugur dalam perjuangan mendapat pahala syahid. Umat Islam yang digerakkan oleh para ulama dan zu’ama yang mengakar di masyarakat merupakan kekuatan riil di medan perjuangan fisik membela NKRI yang diproklamirkan 17 Agustus 1945. Dalam menuntaskan masalah ideologi kebangsaan, Letjen TNI Alamsjah Ratu Perwiranegara sewaktu menjabat Menteri Agama tahun 1978 menegaskan, Pancasila merupakan hadiah dan pengorbanan terbesar umat Islam untuk persatuan dan kesatuan bangsa dalam negara Republik Indonesia. Umat Islam memainkan peranan dalam sejarah karena adanya persatuan dan kesatuan di kalangan intern kaum musliminsendiri. Sebagaimana ditulis dalam sejarah, Kongres Umat Islam Indonesia yang pertama tahun 1945 di Yogyakarta melahirkan keputusan pembentukan partai politik Islam Masyumi sebagai satu-satunya wadah perjuangan politik umat Islam Indonesia, dan beberapa keputusan penting lainnya dalam suasana revolusi kemerdekaan masa itu. Semangat yang menjiwai Kongres Umat Islam Indonesia yang pertama, seperti diungkapkan tokoh Masyumi Dr. H. Anwar Harjono, “bukan saja semangat persatuan tetapi juga semangat kesatuan.” Dalam memoar Berangkat Dari Pesantren, K.H. Saifuddin Zuhri menulis ulasan seputar kelahiran partai Masyumi, “Bagi umat Islam, mendirikan partai politik itu memang sesuai dengan aspirasi mengenai cita-cita politik yang harus diperjuangkan terus menerus selama situasi dan kondisi zamannya memungkinkan. Bahwa cita-cita umat Islam mengenai perkembangan dakwah, amar makruf nahi munkar dan kehidupan sosial mereka ada yang bisa dilakukan secara perorangan, nafsi-nafsi, tetapi juga harus dilaksanakan secara kolektif dan terorganisasi.” Sementara itu Abikusno Tjokrosujoso dalam rapat penutupan Kongres Umat Islam di Yogyakarta tanggal 8 November 1945 menyatakan, “Hendaklah mulai dari sekarang umat Islam berjuanglah secara teratur, janganlah lepas dari ikatan yang sempurna.” Seiring dengan gelombang perubahan zamanyang sedang berjalan, tantangan yang dihadapi umat Islam semakin kompleksdan bervariasi. Umat Islam dewasa ini dituntut agar mampu mentransformasikan nilai-nilai Islam ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam rangka memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat, bangsa dan negara secara lebih terarah. Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI bertujuan untuk mengkonsolidasikan agenda keislaman dan kebangsaan melalui penguatan persatuan umat Islam di sektor ekonomi dan politik untuk memperkuat identitas peradaban Islam nusantara. Kongres mengambil tema “Penguatan Peran Politik, Ekonomi, dan Sosial Budaya Umat Islam untuk Indonesia yang Berkeadilan dan Berperadaban”. Berkaca dari pengalaman sejarah, yang bisa mempersatukan umat Islam ini bukan badan atau lembaganya, tetapi masalah yang dihadapi bersama. Sesepuh bangsa, mantan Menteri Agama dan Wakil Ketua MPR/DPR-RI K.H. Masjkur menulis beberapa pokok pikiran dalam rangka Tasyakkur 80 Tahun Mohammad Natsir tahun 1988 yang perlu kita simak dan renungkan , “Bagaimanapun umat Islam itu adalah satu umat (ummatan wahidah), dan apa pun perbedaan yang ada, umat Islam tetap terikat oleh persaudaraan keislaman (ukhuwah islamiyah). Untuk lebih memantapkan Ukhuwah Islamiyah, kita perlu lebih memahami dan mengamalkan pesan-pesan Rasulullah Saw, antara lain: meningkatkan solidaritas sesama umat Islam. Memadukan semua potensi dan kekuatan yang kita miliki, agar kekuatan yang satu dapat ditutup atau dicukupi oleh kelebihan yang lain. Mengurangi prasangka buruk (su’udh-dhan) terhadap sesama muslim. Sebab, setiap berkembang su’udh-dhan di tengah kehidupan umat Islam, yang mengambil keuntungan ialah orang lain. Merekalah yang suka memanas-manasi, dan kita yang terbakar.” Kita merasa prihatin belakangan ini, nilai-nilai dan etika Islam kian menjauh dari praktik penyelenggaraan negaradan pemerintahan. Dekadensi demokrasi terjadi begitu rupa dan korupsi merajalela. Krisis “penegakan hukum” dan krisis “penegak hukum” terjadi dalam waktu bersamaan. Dalam bidang ekonomi, kaum pedagang dan usahawan muslim yang berjaya di masa lalu, kini mengalami fenomena “robohnya kedai kami” di tengah arus ekonomi neo-liberal dan ekonomi pasar yang dikuasai para pemodal besar. Kemiskinan dan pengangguran masih tinggi, yang mana sebagian besar mereka yang miskin dan menganggur adalah orang Islam. Dalam bidang sosial dan budaya, tanpa disadari sebagian anak bangsa sudah kehilangan rasa malu dan sopan-santun, serta berperilaku individualisme dan narsisme. Saling hujat-menghujat dan membeberkan aib orang lain dianggap biasa. Kehidupan kebangsaan kita diwarnai gejala krisis kepemimpinan, hampa ideologi, miskin keteladanan dan defisit kenegarawanan. Dalam bidang keagamaan, di antara tantangan yang dihadapi umat Islam dewasa ini ialah menjamurnya paham dan aliran yang menyimpang, menodai ajaran Islam atau bahkan menyesatkan akidah umat Islam. Indonesia menjadi sasaran penyebaran gerakan transnasional yang berkedok Islam, tapi menghalalkan kekerasan dan pembunuhan. Namun demikian, kita tidak boleh pessimis dan kehilangan asa. Harapan dan jalan terang bagi umat Islam Indonesia untuk bangkit sebagai kiblat peradaban tetap terhampar di depan kita. Sebagai bangsa muslim terbesar di dunia, umat Islam Indonesia memiliki kekayaan kultural dan kekuatan yang tidak semua bangsa memilikinya. Oleh karena itu umat Islam harus mewaspadai adanya tangan-tangan tersembunyi yang menginginkan pengkotak-kotakan dan timbulnya pertentangan di kalangan intern umat Islam sehingga meskipun jumlah kita mayoritas, tapi tidak menjadi kekuatan yang disegani. Salah satu agenda yang dibahas dalam KUII VI adalah penguatan peran ekonomi umat Islam. Pembahasan mengenai peran ekonomi umat bukan wacana yang baru, tapi selalu kontekstual. Penguatan peran ekonomi umat Islam mengandung relevansi dengan pemberdayaan zakat dan wakaf sebagai instrumen sosial dan instrumen ekonomi masyarakat. Kemiskinan dan kemunduran umat Islam di bidang ekonomi merupakan tantangan yang harus dijawab dengan langkah konkrit. Pekan lalu saya menghadiri sidang ujian terbuka promosi doktor bidang ekonomi Dr. Zainulbahar Noor (Dirut Bank Muamalat yang pertama dan mantan Duta Besar RI untuk Yordania) di Universitas Trisakti Jakarta. Zainulbahar menulis disertasi Pemberdayaan Sumber Dana Wakaf Uang Melalui Pendirian Bank Wakaf. Saya menilai konsep Bank Wakaf adalah sebuah gagasan yang visioner dan solusi alternatif pemberdayaan ekonomi umat melalui sektor perwakafan, terutama untuk usaha menengah, kecil dan mikro atau UMKM dalam rangka pertumbuhan ekonomi nasional. UMKM adalah benteng terakhir ekonomi umat yang perlu diselamatkan dan dikembangkan. Semoga Bank Wakaf terwujud menjadi kenyataan. Saya ingin menggarisbawahi pesan perjuangan pahlawan nasional Mohammad Natsir, “Umat Islam jangan menjadi tamu di negeri sendiri. Jangan berhenti tangan mendayung, nanti arus membawa hanyut.” Salah satu upaya yang perlu dilakukan secara terus menerus ialah meningkatkan kualitas sumber daya manusia umat Islam di segala bidang sehingga mampu menjadi penentu kebijakan. Jika umat Islam memiliki kualitas dan kedudukan yang baik dalam kehidupan politik dan kenegaraan serta menyadari misi Islam yang diembannya, maka tidak akan ada kebijakan yang bertentangan dengan ajaran agama atau merugikan kepentingan Islam dan umatnya. Peranan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin selamanya akan mengakar di Nusantara jika umat Islam – seperti digambarkan oleh Buya Prof. Dr. Hamka, Ketua Umum MUI Pertama– menjadikandiri sebagai muslim yang menjadi “khadam” (pelayan) dari Islam, bukan Islam dijadikan khadam bagi kepentingan diri sendiri atau golongan. Wasiat Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum Muhammadiyah (1942 – 1953) dan tokoh yang memiliki peran kunci dalam perumusan Pembukaan UUD 1945 dan dasar negara Pancasila khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa patut direnungkan, “Carilah keridhaan Allah yang Satu, agar dapat kita bersatu. Jangan cari bendabenda yang bertebaran, nanti kita akan bertebaran lantarannya.” Selamat dan sukses Kongres Umat Islam Indonesia. Semoga KUII VI semakin memperkuat ikatan persatuan umat Islam (ukhuwah islamiyah) dan membawa keberkahan bagi bangsa dan negarakita. Wallahu a'lam Sumber: bimasislam.kemenag.gi.id-informasi-opini