6 PEMBAHASAN Gen pemendar yang sering digunakan dalam kajian ilmiah ada beberapa jenis, diantaranya red fluorescent protein (RFP), green fluorescent protein (GFP), dan yellow fluorescent protein (YFP). Pada penelitian ini dipilih RFP dengan harapan dapat meningkatkan performa warna merah pada B. imbellis. Penyisipan fluorescent protein seperti RFP diharapkan dapat menghasilkan individu transgenik dengan mutu warna yang lebih baik seperti yang dilakukan oleh Gong et al (2003) dalam Parenrengi (2010). Penggunaan tiga metode transfer gen yakni mikroinjeksi, elektroporasi, dan transfeksi telah dilakukan oleh Sun et al. (2005) pada udang vaname (Litopenaeus vannamei). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa metode transfeksi merupakan metode yang paling sesuai berdasarkan alasan ukuran telur yang relatif kecil, daya tetas yang tinggi, dan dapat diaplikasikan dalam jumlah yang banyak. Telur ikan cupang memiliki karakteristik yang hampir sama dengan telur udang vaname, sehingga metode transfeksi dipilih untuk transgenesis pada ikan cupang alam. Penelitian pendahuluan dengan menggunakan metode transfeksi dan elektroporasi menunjukkan bahwa metode transfeksi lebih efektif digunakan pada transgenesis ikan cupang alam dilihat dari hasil PCR. Konsentrasi DNA plasmid dan reagen transfeksi merupakan salah satu faktor utama yang menentukan optimalisasi prosedur transfeksi (Sakurai et al. 2000 dalam Calderon 2004). Konsentrasi DNA yang terlalu tinggi dapat bersifat toksik pada embrio target (Tseng et al. 2000 dalam Calderon 2004). Selain itu, rasio reagen dan DNA plasmid harus dioptimasi sesuai dengan tipe individu target. Pada penelitian ini, rasio reagen transfeksi dan DNA yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam derajat penetasan telur. Artinya konsentrasi DNA plasmid dan reagen transfeksi yang digunakan dalam penelitian ini tidak berdampak buruk bagi individu target. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata derajat penetasan telur dari perlakuan RFP 1:1, RFP 3:1, dan kelompok kontrol yang tidak menunjukkan perbedaan signifikan. Reagen transfeksi memiliki mekanisme kerja yang unik dalam mengintegrasikan DNA asing ke organism target dengan risiko kerusakan fisik yang kecil. Sebelumnya, beberapa reagen telah dipelajari potensinya dalam transgenesis, misalnya calcium phosphate dan DEAE-dextran (Calderon 2004). Meskipun kedua reagen tersebut memungkinkan terjadinya interaksi antara DNA dan membran sel, namun sifat kimianya dapat bersifat toksik bagi sel. Felgner (1987) mengembangkan prosedur transfeksi menggunakan lipid yang lebih efisien dan toksisitasnya rendah. Saat ini, reagen transfeksi yang berbasis lipid ini telah dikembangkan secara luas. Sun et al. (2005) dan Sucipto (2009) menyebutkan bahwa penggunaan reagen transfeksi JetPEI (Qbiogene) tidak bersifat toksik terhadap organisme uji. Pada penelitian ini dapat dilaporkan bahwa reagen yang digunakan, yaitu X-tremeGENE HP DNA transfection reagents (Roche) juga tidak bersifat toksik sehingga berpotensi untuk dikembangkan dalam transgensis. Jumlah telur yang menetas pada kelompok kontrol lebih tinggi dibanding kelompok perlakuan. Jumlah ikan yang hidup dari hasil perlakuan yang berbeda tidak memiliki pola yang jelas. Hal ini menunjukkan bahwa derajat penetasan telur bukan semata-mata pengaruh dari perlakuan, tetapi ada faktor lain selama embriogenesis maupun setelah ikan menetas. Faktor lain tersebut diduga disebabkan oleh faktor lingkungan yang ekstrim dan tidak stabil. Selain itu dapat pula disebabkan karena penanganan embrio pascaperlakuan yang belum tepat. Telur dan larva perlakuan diduga rentan terhadap fluktuasi suhu dan pH pada lingkungan. Dugaan lain adalah kualitas telur yang tidak seragam. Pada umumnya rata-rata derajat penetasan telur ikan cupang tanpa perlakuan dapat mencapai 90-100%, sedangkan pada penelitian ini berkisar antara 70-80%. Oleh karena itu penggunaan telur dari induk yang sama perlu dilakukan untuk mendapatkan keseragaman kualitas. Deteksi keberhasilan transfer gen dilakukan dengan polymerase chain reaction (PCR). PCR dilakukan pada fase embrio akhir dan larva untuk melihat kestabilan ekspresi gen asing pada setiap fase perkembangan. Hasil PCR telur dan larva menunjukkan bahwa pita DNA yang teramplifikasi sesuai dengan ukuran primer yang digunakan, yaitu sekitar 0.6 kb. Pada perlakuan RFP 1:1 ada pita DNA yang muncul (1A, 4A, dan 6A) dan ada yang tidak muncul (5A). Penyebab tidak munculnya pita diduga disebabkan karena proses ekstraksi yang tidak tepat atau konsentrasi DNA yang terlalu tinggi sehingga sulit annealing pada 7 saat proses PCR. Perlakuan dengan rasio 3:1 menunjukkan hasil PCR yang positif, baik pada sampel telur maupun larva. Secara keseluruhan, hasil PCR pada telur dan larva dari kedua perlakuan menunjukkan hasil yang positif. PCR pada kelompok kontrol non transgenik dilakukan untuk memastikan keberhasilan penyisipan gen melalui transfeksi. PCR pada kontrol seharusnya menunjukkan hasil yang negatif, akan tetapi kontrol pun ternyata dapat teramplifikasi dengan ukuran DNA yang sama. Hasil yang positif tersebut terjadi pada sampel telur maupun larva kontrol. Menurut Sambrook & Russel (2001), munculnya pita DNA pada kontrol non transgenik diduga disebabkan oleh kontaminasi larutan PCR atau peralatan yang digunakan dengan template DNA. Kontaminasi dapat terjadi saat ekstraksi DNA maupun saat PCR. Selain itu, positifnya hasil PCR pada kelompok non transgenik juga dapat terjadi karena primer PCR yang digunakan kurang spesifik. Untuk melihat spesifik atau tidaknya primer yang digunakan, dilakukan PCR pada sirip induk B. Imbellis dan pada sirip ikan mas (Cyprinus carpio). Pembanding pada konfirmasi PCR ini dapat dilakukan dengan sampel apa saja asalkan berbeda spesies dengan organisme uji, dalam hal ini dipilih genom C. carpio koleksi BPPI Sukamandi. Konfirmasi PCR menunjukkan bahwa pita DNA hanya muncul pada kontrol positif dan sampel sirip B. imbellis. Dalam hal ini, hasil PCR yang belum konsisten dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Diduga terdapat kontaminan pada sampel kontrol non transgenik sehingga pita DNA muncul dengan ukuran yang sama. Kondisi PCR yang belum optimal juga dapat menyebabkan hal tersebut terjadi. Proses ekstraksi DNA atau pengambilan supernatan yang kurang tepat juag dapat menjadi penyebabnya. Kespesifikan primer PCR juga harus dicobakan terlebih dahulu sebelum digunakan karena pada penelitian ini primer PCR tidak dapat mengamplifikasi genom ikan mas. Untuk mendapatkan hasil yang spesifik, seharusnya konstruksi plasmid didesain dari ikan cupang alam sendiri (allfish gene construct) seperti yang dilakukan oleh Parenrengi (2010) yang menggunakan all-shrimp gene construct untuk transgenesis pada udang windu. Hal tersebut membutuhkan waktu dan proses yang sangat panjang sehingga belum mungkin dilakukan pada penelitian ini. Secara umum, hasil penyisipan RFP pada zigot B. imbellis melalui metode transfeksi memberikan hasil yang positif baik pada rasio 1:1 maupun 3:1 walaupun tidak dibuktikan dengan PCR pada seluruh perlakuan. Namun demikian hasil PCR terhadap telur yang ditransfeksi mewakili untuk melihat efektivitas metode ini dalam teknologi transgenesis ikan hias, khususnya ikan cupang alam. Proses embriogenesis pada B. imbellis belum dipublikasi secara ilmiah. Pada penelitian ini embriogenesis B. imbellis telah berhasil diamati. Telur B. imbellis berwarna putih keruh jika diamati tanpa menggunakan mikroskop. Di bawah mikroskop akan terlihat chorion yang bening dengan kuning telur yang berwarna keruh dan tidak tembus cahaya. Perkembangan embrio dibagi menjadi beberapa tahap, tahap pertama adalah pembelahan atau cleavage dari 2 (dua) sampai menjadi 64 sel lalu dilanjutkan dengan tahap kedua, pembelahan 128 sampai dengan kurang lebih 1000 sel. Tahap ketiga adalah perisai embrio, keempat gastrula, kelima segmentasi dan tahap terakhir adalah tahap embrio dan menetas menjadi larva (Kimmel et al. 1995 dalam Cindelaras 2005). Fase pembelahan dimulai sesaat setelah blastodisk terbentuk dan akan membelah menjadi dua sampai sekitar 32 sel (Kimmel et al. 1995 dalam Cindelaras 2005). Pada fase pembelahan, blastodisk akan membelah sesuai bidang pembelahan menjadi dua dengan bentuk yang sama. Pembelahan pertama pada B. imbellis terjadi dua menit setelah fertilisasi. Sebagai perbandingan, pembelahan pertama pada ikan Neon Tetra terjadi pada waktu 50 menit setelah pembuahan (Hartono 2002) dan 70 menit pada ikan Redfin Shark (Sedjati 2002). Perbedaan ini terutama disebabkan oleh perbedaan spesies. Setelah melewati fase pembelahan 128 sampai dengan 1000 sel atau blastula, pembelahan sudah mulai terlihat tidak jelas dengan sel yang saling bertumpuk. Tahap pembelahan sampai dengan 32 sel berlangsung selama 32 menit. Setelah fase blastula berakhir, dilanjutkan dengan fase gastrula dimana blastomer akan melakukan gerakan invaginasi dan membentuk rongga yang dinamakan gastrocoel. Blastomer kemudian menutupi 50% dari kuning telur yang menunjukkan berlangsungnya pembentukan perisai embrio (Gambar 7a). Fase ini berlangsung pada 404 menit atau lebih kurang 7 jam setelah terbentuknya blastodisk.