BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka
1. Tinjauan Tentang Tunanetra
a. Pengertian Tunanetra
Secara harafiah tunanetra berasal dari dua kata, yaitu : (a). Tuna
(tuno : Jawa) yang berarti rugi yang kemudian diidentikkan dengan
rusak, hilang, terhambat, terganggu, tidak memiliki dan (b). Netra
(netro:Jawa) yang berarti mata. Jika diartikan, kata tunanetra adalah
satu kesatuan yang tidak terpisahkan yang berarti adanya kerugian
yang disebabkan oleh kerusakan atau terganggunya organ mata, baik
anatomis dan atau fisiologis (Hadi, 2007:8).
Pengertian Tunanetra ditinjau secara anatomis-fisiologis adalah
rusaknya organ anatomi mata yang menyebabkan terganggunya fungsi
penglihatan. Secara medis, tunanetra adalah kerusakan mata yang
disebabkan oleh penyakit dan kelainan anatomi dan atau kelainan
fungsi penglihatan, sehingga tunanetra perlu mendapatkan pengobatan
pada mata dan atau diberikan koreksi pada fungsi penglihatannya
(Hadi, 2007:11).
Secara teknis, tunanetra adalah seseorang yang mempunyai
ketajaman penglihatan 20/200 atau lebih kecil pada mata yang terbaik
setelah dikoreksi dengan mempergunakan kacamata, atau ketajaman
penglihatannya lebih baik dari 20/200 tetapi lantang pandangnya
menyempit sedemikian rupa sehingga membentuk sudut pandang tidak
lebih besar dari 20 derajat (Somantri, 2007:24). Tunanetra tidak hanya
ditujukan kepada orang buta, tetapi juga mencakup mereka yang hanya
mampu melihat secara terbatas sehingga cukup menghambat
kepentingan hidup sehari-hari, terutama dalam belajar. Jadi, anak-anak
dengan kondisi setengah melihat, low vision, atau rabun juga termasuk
bagian dari kelompok anak tunanetra (Somantri, 2007 : 25).
9
10
Dari segi pendidikan, oleh Barraga dalam Hadi (2007 : 11)
tunanetra diartikan sebagai suatu cacat penglihatan sehingga
mengganggu proses belajar dan pencapaian belajar secara optimal
sehingga diperlukan metode pengajaran, pembelajaran, penyesuaian
bahan pelajaran, dan lingkungan belajar. Pendapat lain juga
menyebutkan bahwa anak dalam proses belajar akan bergantung pada
indera pendengaran (auditif), perabaan (tactual), dan indera lain yang
masih berfungsi. Sedangkan menurut Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (2013:6) dalam Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Tunanetra menyebutkan bahwa :
Anak tunanetra secara umum diartikan adalah anak yang tidak
dapat melihat (buta) atau anak yang tidak cukup jelas
penglihatannya, sehingga walaupun telah dibantu dengan
kacamata ia tidak dapat mengikuti pendidikan dengan
menggunakan fasilitas yang umum dipakai anak awas.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan
bahwa tunanetra adalah seseorang yang mengalami kerusakan atau
terganggunya daya penglihatan yang dapat mengganggu proses
belajar, sehingga diperlukan metode pengajaran, pembelajaran
diantaranya
termasuk
penggunaan
media,
penyesuaian
bahan
pelajaran dan lingkungan belajar yang mendukung sesuai dengan
kebutuhan dan karakteristik anak.
b. Penyebab Ketunanetraan
Secara ilmiah ketunanetraan anak dapat disebabkan oleh
beberapa faktor. Baik faktor dari dalam diri (internal) anak, maupun
faktor dari luar anak (eksternal). Menurut Kosasih (2012:182)
ketunanetraan dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal :
1) Faktor Internal, yaitu faktor-faktor yang erat hubungannya
dengan kondisi bayi selama dalam kandungan. Kemungkinan
ketunanetraan seorang anak bisa disebabkan oleh faktor gen (sifat
11
pembawa keturunan), kondisi psikis ibu, kekurangan gizi,
keracunan obat, virus, dan sebagainya.
2) Faktor eksternal, adalah faktor-faktor yang terjadi saat atau
sesudah bayi dilahirkan. Misalnya, berupa kecelakaan, pengaruh
alat bantu medis saat melahirkan sehingga sistem persyarafannya
rusak, panas badan yang terlalu tinggi, kekurangan vitamin,
bakteri dan virus trachoma.
Menurut Mason yang dikutip dari Hadi (2007 : 12-13)
menyebutkan bahwa penyebab ketunanetraan adalah :
1) Faktor genetik atau herediter : beberapa kelainan penglihatan bisa
di dapat akibat diturunkan dari orang tua misalnya buta warna,
albinism,retinitis pigmentosa.
2) Perkawinan sedarah : banyak ditemukan ketunanetraan pada anak
hasil perkawinan dekat
3) Proses kelahiran : mengalami trauman pada saat proses kelahiran,
lahir prematur, berat lahir kurang dari 1.300 gram, kekurangan
oksigen, anak dilahirkan menggunakan alat bantu
4) Penyakit anak-anak yang akut sehingga berkomplikasi pada organ
mata, infeksi virus yang menyerang syaraf dan anatomi mata,
tumor otak yang menyerang pusat saraf organ penglihatan.
5) Kecelakaan tabrakan yang mengenai organ mata, benturan,
terjatuh, dan trauma lain yang secara langsung atau tidak
langsung mengenai organ mata; tersetrum aliran listrik, terkena
zat kimia, terkena cahaya tajam.
6) Perlakuan kontinyu dengan obat-obatan : beberapa obat untuk
penyembuhan suatu penyakit tertentu ada yang berefek negatif
terhadap kesehatan mata, demikian juga penggunaan obat yang
over dosis sangat berbahaya terhadap organ-organ lunak seperti
mata.
12
7) Infeksi oleh binatang juga dapat merusak organ-organ selaput
mata yang tipis, infeksi selaput mata akhirnya berkembang ke
mata bagian dalam
8) Beberapa kondisi kota dengan suhu yang panas, menyebabkan
udara mudah bergerak dan membawa bibit penyakit kering yang
masuk ke mata, pada daerah kering bisa ditemukan penyakit mata
jenis trachoma.
Sedangkan menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa Jendral
Pendidikan Dasar Menengah Departemen Pendidikan Nasional (2008
: 3) faktor penyebab ketunanetraan dilihat dari waktu terjadinya antara
lain :
1) Pre Natal
Faktor penyebab ketunanetraan pada masa pre natal sangat erat
hubungannya dengan masalah keturunan dan perubahan anak
dalam kandungan.
a) Keturunan
Keturunan yang disebabkan oleh faktor keturunan terjadi dari
hasil
perkawinan
bersaudara,
sesama
tunanetra
atau
mempunyai orang tua yang tunanetra. Ketunanetraan akibat
faktor keturunan antara lain Retinitis Pigmenlosa, penyakit
pada retina yang umumnya merupakan keturunan. Penyakit
ini
sedikit
demi
sedikit
menyebabkan
mundur
atau
memburuk retina.
b) Pertumbuhan seorang anak dalam kandungan
Ketunanetraan yang disebabkan karena proses pertumbuhan
dalam kandungan dapat disebakan oleh :
(1) Gangguan waktu ibu hamil
(2) Penyakit menahun seperti TBC sehingga merusak sel-sel
darah
tertentu
kandungan
selama
pertumbuhan
janin
dalam
13
(3) Infeksi yang dialami ibu hamil akibat terkena rubella
dapat menyebabkan kerusakan pada mata, telinga,
jantung dan sistim susunan saraf pusat pada janin yang
sedang berkembang
(4) Kurangnya
gangguan
vitamin
pada
mata
tertentu
dapat
sehingga
menyebabkan
hilangnya
fungsi
penglihatan
2) Post Natal
Penyebab ketunanetraan yang terjadi pada masa post natal dapat
terjadi sejak atau setelah bayi lahir antara lain :
a) Kerusakan pada mata atau syaraf mata pada waktu persalinan
akibat benturan alat-alat atau benda keras
b) Pada waktu persalinan
c) Mengalami penyakit mata yang menyebabkan ketunanetraan,
misalnya : xerapthalmia, trachoma, catarac, glaucoma, dll.
d) Kerusakan mata yang disebabkan terjadinya kecelakan.
Dari pendapat tentang penyebab ketunanetraan di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab ketunanetraan yaitu pre
natal seperti keturunan, dan gangguan pertumbuhan anak saat masih
dalam kandungan, faktor natal pada saat bayi dilahirkan mengalami
trauma, lahir prematur, dan post natal yaitu mengalami kerusakan
pada mata atau syaraf mata, mengalami penyakit mata yang
disebabkan karena kecelakaan, terkena cairan bahan kimia dan
sebagainya.
c.
Karakteristik Tunanetra
Perilaku tunanetra pada mulanya merupakan ciri khas secara
individu namun pada perkembangannya menunjukkan hampir semua
tunanetra memiliki karakteristik yang hampir sama. Karakteristik anak
tunanetra menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa Direktoral
14
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan
Nasional (2008 : 5) ditinjau dari fisik, perilaku dan psikis, yaitu :
1) Fisik
Keadaan fisik anak tunanetra tidak berbeda dengan anak sebaya
lainnya. Perbedaan nyata diantara mereka hanya terdapat pada
organ penglihatannya. Gejala tunanetra yang dapat diamati dari
segi fisik diantaranya :
a)
Mata juling
b)
Sering berkedip
c)
Menyipitkan mata
d)
Kelopak mata merah
e)
Mata infeksi
f)
Gerakan mata tidak beraturan dan cepat
g)
Mata selalu berair
h)
Pembengkakan pada kulit tempat tumbuh bulu mata
2) Perilaku
Ada beberapa gejala tingkah laku yang tampak sebagai petunjuk
dalam mengenal anak yang mengalami gangguan penglihatan
secara dini, yaitu :
a) Menutup dan melindungi mata sebelah, memiringkan kepala
atau mencondongkan kepala ke depan
b) Sukar membaca atau dalam mengerjakan pekerjaan lain yang
membutuhkan indera penglihatan
c) Berkedip lebih banyak dari biasanya atau cepat marah apabila
mengerjakan suatu pekerjaan
d) Membawa bukunya ke dekat mata
e) Tidak dapat melihat benda-benda yang agak jauh
f)
Menyipitkan mata atau mengernyitkan dahi
g) Tidak tertarik perhatiannya pada objek penglihatan atau tugas
yang memerlukan penglihatan
15
h) Janggal dalam bermain yang memerlukan kerjasama tangan
dan mata
i)
Menghindar dari tugas-tugas yang memerlukan penglihatan
3) Psikis
Secara psikis anak tunanetra dapat dijelaskan sebagai berikut :
a) Mental/ Intelektual
Intelektual atau kecerdasan anak tunanetra pada umumnya
tidak berbeda jauh dengan anak normal/ awas. Intelegensi
mereka lengkap yakni memiliki kemampuan dedikasi,
analogi, asosiasi, dan sebagainya. Mereka juga mempunyai
emosi negatif dan positif, seperti sedih, gembira, punya rasa
benci, kecewa, gelisah, dan sebagainya.
b) Sosial
(1) Hubungan sosial pertama terjadi dengan anak adalah
hubungan dengan ibu, ayah, dan anggota keluarga lain
(2) Tunanetra
mengalami
perkembangan
kepribadian
hambatan
dengan
dalam
timbulnya
masalah, antara lain :
(a) Curiga terhadap orang lain
(b) Perasaan mudah tersinggung
(c) Ketergantungan yang berlebihan
Sedangkan karakteristik menurut Hadi (2007 : 23-25) ditinjau
dari segi fisik dan psikis :
1) Karakteristik Fisik
Ciri khas ketunanetraan dapat dilihat langsung dari keadaan organ
mata secara anatomi, fisiologi maupun keadaan postur tubuhnya.
a) Ciri khas fisik tunanetra buta
Mereka yang tergolong buta, organ matanya biasanya tidak
memiliki kemampuan normal, misalnya bola mata tidak
pernah bergerak, tidak berkedip, tidak bereaksi.
16
b) Ciri khas tunanetra kurang penglihatan
Tunanetra kurang lihat biasanya berusaha mencari rangsang,
kadang perilaku tidak terkontrol, misalnya tangan selalu
terayun, mengkedip-kedipkan mata, melihat benda terlalu
dekat.
2) Karakteristik Psikis
Ketidakmampuan yang berbeda antara tunanetra buta dengan
tunanetra kurang lihat berpengaruh pada karakteristik psikisnya
a) Ciri khas tunanetra buta
Tunanetra buta tidak memiliki kemampuan menguasai
lingkungan jarak jauh dan berssifat meluas pada waktu yang
singkat. Ketidakmampuan ini mengakibatkan rasa khawatir,
ketakutan dan kecemasan, kurang percaya diri, rasa curiga,
tidak mandiri.
b) Ciri khas Psikis tunanetra kurang lihat
Tunanetra kurang lihat jika berada di kelompok tunanetra
buta, dia akan mendominasi karena memiliki kemampuan
lebih, namun bila berada diantara orang awas maka akan
timbul perasaan renah diri.
Dari uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
karakteristik anak tunanetra dapat dibedakan secara fisik dan psikis.
Secara fisik dapat dilihat organ matanya dan secara psikis dapat dilihat
dari kecemasan, ketakutan, kekhawatiran, kurangnya kepercayaan diri,
dan kurangnya kemandirian.
d.
Dampak Ketunanetraan
Ketunanetraan memiliki dampak baik secara langsung maupun
tidak langsung terhadap penyandangnya. Dampak secara langsung
menyebabkan penyandang tunanetra tidak dapat menggunakan
penglihatan dalam kegiatan sehari-hari. Sedangkan dampak secara
tidak langsung sangat bergantung pada beberapa faktor, misalnya
17
seberapa berat ketunanetraan yang dialami, kapan ketunanetraan
terjadi, serta bagaimana sikap keluarga dan masyarakat terhadap
penyandang tunanetra tersebut. Dampak tidak langsung tersebut yang
justru seringkali menimbulkan dampak negatif.
Hilangnya indera penglihatan menurut Lowenfield dalam Hadi
(2007:27) menimbulkan tiga keterbatasan, yaitu keterbatasan dalam
hal luas dan variasi pengalaman, keterbatasan dalam hal bergerak, dan
keterbatasan dalam hal interkasi dengan lingkungan. Disamping itu,
dampak ketunanetraan dapat terjadi pada beberapa aspek, seperti
aspek psikologis, aspek fisik atau aspek emosi dan sosial.
1) Dampak terhadap perkembangan motorik
School
dalam
Hadi
(2007:28)
mengungkapkan
bahwa
perkembangan motorik anak tunanetra pada bulan-bulan awal tidak
berbeda dengan anak awas. Tetapi perkembangan selanjutnya
perkembangan motorik anak tunanetra tampak berbeda. Hal ini
dipengaruhi oleh kurangnya stimulasi visual, ketidakmampuan
menirukan orang lain, dan faktor lingkungan. Akibatnya, anak
tunanetra kehilangan motivasi bergerak dan sering kali mengalami
hambatan keterampilan fisik khususnya dalam menggunakan
tubuhnya seperti koordinasi tangan dan motorik halus untuk
mengenal lingkungan.
2) Dampak terhadap Perkembangan Kognitif
Informasi yang diperoleh anak tunanetra tidak dapat diproses
secara efisien, sehingga mengalami gangguan dalam kognitifnya
(Jan
dalam Hadi, 2007:30). Banyak masalah yang berkaitan
dengan kurang atau lemahnya kognitif sehingga anak tunanetra
harus menggantikan fungsi indera penglihatan dengan inderaindera lainnya untuk mempersepsi lingkungan. Perkembangan
psikomotor menentukan perkembangan kognitif dan memperluas
mental anak. Ekplorasi dengan kegiatan motorik terhadap benda-
18
benda di sekitar anak sangat merangsang perkembangan persepsi
yang dapat membantu membentuk konsep.
3) Dampak terhadap Perkembangan Bahasa
Pada umumnya hambatan penglihatan tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap kemampuan memahami dan menggunakan
bahasa, dan secara umum tidak ada hambatan dalam bahasa anak
tunanetra. Sebagaimana anak awas, anak tunanetra belajar katakata yang didengarnya meskipun kata-kata itu tidak terkait dengan
pengalaman nyata dan tak bermakna baginya. Kalaupun anak
tunanetra mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya,
hal itu bukan semata-mata akibat langsung dari ketunanetraannya
melainkan terkait dengan cara orang lain memperlakukan anak
tunanetra tersebut.
4) Dampak terhadap Keterampilan Sosial
Orang tua mempunyai peran penting dalam perkembangan sosial
anak. Perlakuan orang tua teradap anaknya yang tunanetra sangat
ditentukan oleh sikapnya terhadap ketunanetraan tersebut, dan
emosi merupakan salah satu komponen dari sikap di samping dua
komponen lainnya yaitu kognisi dan kecenderungan tindakan.
Sikap orang tua tersebut akan berpengaruh terhadap hubungan
antara orang tua dan anak tersebut, hubungan ini pada gilirannya
akan mempengaruhi perkembangan emosi dan sosial anak,
sehingga anak menjadi rendah diri, murung, putus asa, tertekan,
atau justru akan memunculkan rekasi yang positif.
5) Dampak terhadap Mobilitas
Seseorang yang mengalami ketunanetraan berat dengan berbagai
akan tidak memperoleh kesempatan yang baik untuk belajar
keterampilan bergerak, sehingga tunanetra sering mengalami
perkembangan gerak motoriknya terlambat. Best dalam Hadi
(2007: 32) menggambarkan bahwa anak tunanetra tidak dapat
dengan mudah memonitoring gerakannya dan juga kesulitan
19
memahami apa yang terjadi ketika mereka bergerak atau
mengulurkan lengan/anggota badan, menekuk pinggang, atau
berguling. Ketunanetraan menyebabkan kesulitan memperoleh
pengalaman untuk membuat peta mental tentang lingkungannya.
Motivasinya untuk menjelajah suatu lingkungan juga lemah karena
tunanetra kebanyakan kesulitan dalam menyusun informasi
kedalam peta mentalnya.
Berdasarkan pendapat diatas, ketunanetraan dapat berdampak
secara langsung dan tidak langsung. Dampak langsung yaitu tidak
dapat
menggunakan
daya
penglihatannya
dalam
beraktivitas,
sedangkan dampak secara tidak langsung yaitu dapat mengganggu
aspek-aspek motorik, kognitif, bahasa, sosial, dan mobilitas.
e. Pendidikan Anak Tunanetra
Anak tunanetra adalah anak yang memiliki hambatan pada indera
penglihatannya. Hal tersebut menyebabkan anak tunanetra mengalami
kesulitan dalam mengakses informasi sehingga mengalami hambatan
pula dalam proses pembelajaran.
Tujuan Program Intervensi Pendidikan bagi anak Tunanetra
yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1991 Bab 2
Pasal 2 yaitu :
Pendidikan luar biasa bertujuan untuk membantu peserta didik
yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental agar mampu
mengembangkan sikap, pengatahuan, dan keterampilan
sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam
mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial,
budaya, dan alam sekitar serta dapat mengembangkan
kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan
lanjut.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut, diharapkan peserta
didik dapat mengembangkan kemampuan serta mengikuti pendidikan
lanjut yang diperuntukkan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
salah satunya adalah anak tunanetra.
20
Anak yang mengalami gangguan daya penglihatan juga berhak
memperoleh pendidikan. Sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945,
Pasal 31 bahwa “Setiap warga negara berhak memperoleh
pendidikan”. Oleh karena itu, Pemerintah harus bisa memfasilitasi
pembelajaran terhadap ABK salah satunya anak tunanetra. Fasilitas
pembelajaran tersebut diharapkan dapat membantu pembelajaran anak
tunanetra dan melatih kemandirian.
Dalam
pengembangan
pengalaman
anak
tunanetra,
Meimulyani (dalam Media Pembelajaran Adapatif bagi Anak
Berkebutuhan Khusus, 2013: 12) menyarankan tiga hal pengajaran
bagi anak tunanetra, yaitu :
1) Kebutuhan akan pengalaman konkrit
Kebutuhan
ini
nampak
karena
anak
tunanetra
harus
mengembangkan pengalaman yang sempit akibat kehilangan
fungsi penglihatannya. Konsep apapun bagi tunanetra harus
dikembangkan dengan spekulatif
dan keberanian. Pengalaman apapun sangat penting untuk
mengurangi khayalan verbal berlebih-lebih pada khayalan suasana
alam dan suasana sosial.
2) Kebutuhan akan pengalaman terpadu
Tanpa penglihatan kesan-kesan yang diperoleh lewat indera-indera
lain tidak dapat diintegrasikan secara wajar, tetapi harus dengan
cara khusus. Oleh karena itu memberikan pengalaman yang
sistematis, bertahap, berulang-ulang sehingga terbentuk suatu
kebiasaan untuk menangkap kesan terpadu itu.
3) Kebutuhan akan berbuat dan bekerja dalam belajar
Dalam proses pembelajaran anak tunanetra memerlukan perolehan
pengalaman secara langsung sehingga kebutuhan berbuat dan
bekerja dalam belajar diperlukan untuk memperoleh informasi
secara lebih lengkap.
21
Hal tersebut juga didukung oleh Hildayani (2006 : 8.9) bahwa
“Anak-anak
yang mengalami gangguan penglihatan memiliki
kebutuhan mengalami sesuatu secara kongkrit dan mempraktekkan
secara langsung apa yang dipelajari (learning by doing)”. Anak
tunanetra membutuhkan praktik pembelajaran secara langsung untuk
dapat mengakses informasi melalui hal-hal yang bersifat kongkrit.
Dari beberapa penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa
pendidikan bagi anak tunanetra membutuhkan pengalaman konkrit
dan mempraktekkan secara langsung dan berulang-ulang sehingga
terbentuk suatu kebiasaan untuk menangkap kesan yang terpadu.
f. Model Layanan Pendidikan Anak Tunanetra
Model layanan pendidikan anak tunanetra menurut Direktorat
Jenderal Pendidikan Luar Biasa Direktorat Pendidikan Dasar dan
Menengah Departemen Pendidikan Nasional (2004, 10) adalah
pendidikan khusus dan terpadu, guru kunjung, pendidikan inklusif.
1) Pendidikan Khusus
Sekolah
Luar
Biasa
adalah
lembaga
pendidikan
yang
menyelenggarakan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
a) Sekolah Luar Biasa (SLB) Tunanetra, yaitu sekolah yang
memberikan pelayanan pendidikan kepada anak tunanetra
b) Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), yaitu sekolah yang
menyelenggarakan pendidikan khusus dengan bermacammacam jenis kelamin seperti tunanetra, tunarungu, tunadaksa.
2) Pendidikan Terpadu
Pendidikan terpadu adalah model penyelenggaraan pendidikan bagi
anak berkebutuhan khusus yang diselenggarakan bersama-sama
dengan anak normal dalam satuan pendidikan yang bersangkutan
di sekolah regular (SD, SMP, SMA, SMK) dengan menggunakan
kurikulum yang berlaku di lembaga pendidikan yang bersangkutan
22
(Kep Mendikbud No. 002/U/1986). Dalam pendidikan terpadu
harus dipersiapkan :
a) Seorang guru pembimbing khusus (Guru SLB)
b) Sebuah ruang khusus yang dilengkapi dengan alat pendidikan
bagi anak berkebutuhan khusus yang mengalami kesulitan di
dalam kelas, maka ia dibawa ke ruang khusus untuk diberi
pelayanan dan bimbingan oleh guru pembimbing khusus
yang berupa :
(1) Bantuan untuk memahami dan menguasai materi
pelajaran dengan menggunakan alat bantu atau alat
peraga
(2) Pengayaan, agar ketika anak belajar di kelas bersamasama anak lainnya, anak tunanetra sudh siap menerima
materi pelajaran
(3) Rehabilitasi sosial bagi anak berkebutuhan khusus yang
mengalami kesulitan dalam bergaul dengan teman
sebayanya.
3) Guru Kunjung
Dalam sistim Pendidikan Luar Biasa terdapat sebuah
pelayanan pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus yaitu
dengan model guru kunjung. Model guru kunjung ini adalah
dilakukan dalam upaya pemerataan pendidikan bagi anak yang
berkebutuhan khusus usia sekolah. Oleh karena sesuatu hal, anak
tidak dapat belajar di sekolah khusus atau sekolah lainnya, seperti:
a) Tempat tinggal yang sulit dijangkau akibat dari kemampuan
mobilitas yang terbatas.
b) Jarak rumah dari sekolah terlalu jauh
c) Kondisi anak tunanetra yang tidak memungkinkan untuk
berjalan
d) Menderita penyakit yang berkepanjangan
23
Kurikulum yang digunakan pada model guru kunjung
adalah Kurikulum Pendidikan Luar Biasa kemudian dikembangkan
kepada program pendidikan individual yang disesuaikan dengan
kemampuan dan kebutuhan masing-masing anak.
4) Pendidikan Inklusif
Pendidikan Inklusif adalah pendidikan regular yang
disesuaikan dengan kebutuhan siswa memerlukan pendidikan
khusus pada sekolah reguler dalam satu kesatuan yang sistematis.
Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan No. 0491/U/1993
anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus seperti tunanetra dapat
belajar secara terpadu dengan anak sebaya lainnya dalam satu
sisim pendidikan yang sama.
Layanan pendidikan dalam
pendidikan inklusif memperhatikan :
a) Kebutuhan dan kemampuan siswa
b) Tempat pembelajaran yang sama bagi semua siswa
c) Pembelajaran didasarkan pada hasil asesmen
d) Tersedianya aksesibilitas yang sesuai dengan kebutuhan
siswa sehingga siswa merasa aman dan nyaman
e) Lingkungan kelas yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa
f)
Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum yang fleksibel
yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan siswa.
Berdasarkan pendapat tersebut, model layanan pendidikan bagi
anak tunanetra yaitu Pendidikan Khusus yang mencakup SLB untuk
anak yang mengalami gangguan tertentu, dan SDLB-SMALB yang
mencakup seluruh anak berkebutuhan khusus, Pendidikan Terpadu,
Guru Kunjung serta Pendidikan Inklusif. Anak tunanetra dapat
menempuh pendidikan berdasarkan model layanan pendidikan
tersebut,
anak.
berdasarkan kebutuhan dan kemampuan masing-masing
24
2. Kajian Tentang Hasil Belajar Matematika
a. Pengertian Hasil Belajar
Ada
beberapa
pendapat
yang
mengemukakan
tentang
pengertian hasil belajar. Beberapa pendapat tersebut antara lain :
Pengertian hasil belajar menurut Sudjana (2011 : 3) adalah
suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil
pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Belajar
dilakukan untuk mengusahakan adanya perubahan pada individu yang
belajar. Perubahan itu merupakan perolehan yang menjadi hasil
belajar.
Menurut Jihad dan Haris (2013:15) hasil belajar adalah
kemampuan yang dimiliki siswa setelah menjalani proses belajar.
Menurut Purwanto (2014:38), hasil belajar merupakan perolehan dari
proses belajar siswa sesuai dengan tujuan pengajaran (ends are being
attained). Hasil belajar sering digunakan sebagai ukuran untuk
mengetahui seberapa jauh siswa menguasai bahan yang sudah
diajarkan melalui proses belajar mengajar.
Sedangkan Tirtonegoro (2001 : 43) mengemukakan bahwa
hasil belajar adalah penilaian usaha kegiatan belajar yang dinyatakan
dalam
bentuk
simbol,
angka,
huruf
maupun
kalimat
yang
mencerminkan hasil yang sudah dicapai oleh setiap siswa dalam
periode tertentu. Sejalan dengan pendapat tersebut, Widyoko (2009 :
25) mengemukakan bahwa hasil dari kegiatan pembelajaran adalah
perubahan yang terjadi pada diri siswa bersifat non fisik seperti
perubahan sikap, pengetahuan, maupun kecakapan. Perubahan yang
terjadi pada diri siswa dibedakan menjadi dua yaitu output dan
outcome. Perubahan tersebut dinilai dari bentuk angka dan kalimat.
Menurut Wingkel dalam Purwanto (2010 : 45) hasil belajar
adalah perubahan yang mengakibatkan manusia berubah dalam sikap
dan tingkah lakunya. Aaspek perubahan itu mengacu pada taksonomi
25
tujuan pengajaran yang dikembangkan oleh Bloom, Simpson, dan
Harrow mencakup aspek kognitif, afektif dann psikomotor.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa
hasil belajar adalah perubahan perilaku siswa akibat dari proses belajar
sesuai dengan tujuan pembelajaran yang dinyatakan dalam belum skor.
b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi hasil belajar
seseorang. Menurut teori Gestalt dalam Susanto (2013 : 12),
mengungkapkan
bahwa
belajar
merupakan
suatu
proses
perkembangan. Artinya bahwa secara kodrati jiwa raga anak
mengalami perkembangan. Perkembangan sendiri memerlukan sesuatu
baik yang berasal dari diri siswa sendiri maupun pengaruh dari
lingkungan. Berdasarkan teori ini hasil belajar siswa dipengaruhi oleh
dua hal, yaitu siswa sendiri dan lingkungannya. Pertama, siswa; dalam
arti kemampuan berpikir atau tingkah laku intelektual, motivasi, minat,
dan kesiapan siswa baik jasmani maupun rohani. Kedua, lingkungan;
myaitu sarana dan prasarana, kompetensi guru, kreativitas guru,
sumber-sumber belajar, metode serta dukungan lingkungan, dan
keluarga.
Sedangkan menurut Wasliman dalam Susanto (2013 : 12) hasil
belajar yang dicapai oleh peserta didik merupakan hasil interkasi
antara berbagai faktor yang mempengaruhi, baik faktor internal
maupun eksternal.
1) Faktor Internal; faktor internal merupakan faktor yang bersumber
dari dalam diri peserta didik, yang mempengaruhi kemampuan
belajarnya. Faktor internal meliputi : kecerdasan, minat dan
perhatian, motivasi belajar, ketekunan, sikap, kebiasaan belajar,
serta kondisi fisik dan kesehatan.
26
2) Faktor eksternal; faktor eksternal merupakan faktor yang berasal
dari luar diri peserta didik yang mempengaruhi hasil belajar yaitu
keluarga, sekolah dan masyarakat.
Hasil belajar sebagai salah satu indikator pencapaian tujuan
pembelajaran di kelas tidak terlepas dari faktor-faktor yang
mempengaruhi hasil belajar itu sendiri.
Sugihartono, dkk (2007 : 76-77) menyebutkan faktor-faktor yang
mempengaruhi hasil belajar, sebagai berikut :
1) Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu yang
sedang belajar. faktor internal meliputi : faktor jasmaniah dan
faktor psikologis.
2) Faktor eksternal adalah faktor yang ada di luar individu. Faktor
eksternal meliputi faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktor
masyarakat.
Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil belajar ada dua, yaitu faktor internal yang
berasal dari dalam diri siswa (kecerdasan, motivasi, minat, dan lainlain) dan faktor eksternal yang berasal dari luar (keluarga, sekolah dan
masyarakat).
c. Pengertian Matematika
Kata matematika berasal dari bahasa Latin, manthanein atau
mathema yang berarti “belajar atau hal yang dipelajari”, sedangkan
dalam bahasa Belanda, matematika disebut wiskunde atau ilmu pasti,
yang kesemuanya berkaitan dengan penalaran (Depdiknas, dalam
Susanto 2013:184). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
(2005 : 723) matematika adalah ilmu bilangan, hubungan antara
bilangan,
dan
prosedur
operasional
yang
digunakan
dalam
penyelesaian masalah mengenai bilangan.
Menurut Ruseffendi dalam (Heruman, 2007 : 1) Matematika
adalah bahasa simbol, ilmu deduktif yang tidak menerima pembuktian
27
secara induktif, ilmu tentang pola keteraturan, dan struktur yang
terorganisasi, mulai dari unsur yang tidak didefinisikan, ke unsur yang
didefinisikan, ke aksioma atau postulat, dan akhirnya ke dalil.
Soedjadi dalam Heruman (2007:1) hakikat matematika yaitu memiliki
objek tujuan abstrak, bertumpu pada kesepakatan, dan pola pikir yang
deduktif.
Sedangkan James dan James dalam Ruseffendi (2005:42)
mengatakan bahwa matematika adalah ilmu tentang logika mengenai
bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang saling berhubungan
satu sama lainnya yang terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar,
analisis dan geometri.
Berdasarkan pendapat diatas, maka matematika merupakan
ilmu bilangan yang teridir dari berbagai konsep-konsep yang saling
berhubungan serta terbagi ke dalam bidang aljabar, analisis dan
geometri.
d. Tujuan Pembelajaran Matematika
Tujuan pembelajaran matematika yang tercantum dalam
pedoman penyusunan KTSP di SD/ MI (Depdiknas, 2008 : 44-45)
adalah agar peserta didik mempunyai kemampuan sebagai berikut :
1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar
konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes,
akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.
2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika
3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami
masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan
menafsirkan solusi yang diperoleh
4) Mengkomunikasikan gagasan dengan symbol, tabel, diagram, atau
media lain yang diperoleh
28
5) Memiliki
sikap
menghargai
kegunaan
matematika
dalam
kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, dan minat dalam
mempelajari matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan
pembelajaran matematika adalah agar siswa terampil menggunakan
matematika untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dalam
pemecahan masalah yang runtut dan logis.
e. Ruang Lingkup Matematika
Ruang lingkup matematika menurut Ebbut dan Straker dalam
Marsigit (2006:8-9) materi pelajaran matematika untuk semua jenjang
pendidikan meliputi :
1) Fakta (facts)
2) Pengertian (concepts)
3) Keterampilan penalaran
4) Keterampilan algoritmik
5) Keterampilan menyelesaikan masalah matematika
Sedangkan mata pelajaran matematika pada satuan pendidikan
Sekolah Dasar Luar Biasa tunanetra (SDLB-A) meliputi aspek-aspek
sebagai berikut:
1) Bilangan
2) Geometri dan pengukuran
3) Pengolahan Data
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Matematika bagi
anak tunanetra kelas IV semester 2 yaitu :
29
Tabel 2.1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Matematika
Standar Kompetensi
Bilangan
5. Menjumlahkan dan
mengurang-kan bilangan
bulat
Kompetensi Dasar
5.1
5.2
5.3
5.4
Mengurutkan bilangan bulat
Menjumlahkan bilangan bulat
Mengurangkan bilangan bulat
Melakukan operasi hitung campuran
6. Menggunakan pecahan
6.1 Menjelaskan arti pecahan dan urutannya
dalam pemecahan masalah 6.2 Menyederhanakan
berbagai
bentuk
pecahan
6.3 Menjumlahkan pecahan
6.4 Mengurangkan pecahan
6.5 Menyelesaikan masalah yang berkaitan
dengan pecahan
7. Menggunakan lambang
7.1 Mengenal lambang bilangan Romawi
7.2 Menyatakan bilangan cacah sebagai
bilangan Romawi
bilangan Romawi dan sebaliknya
Geometri dan Pengukuran
8. Memahami sifat bangun 8.1 Menentukan sifat-sifat bangun ruang
ruang
sederhana
dan
sederhana
hubungan antar bangun datar 8.2 Menentukan jaring-jaring balok dan kubus
8.3 Mengidentifikasi benda-benda dan bangun
datar simetris
8.4 Menentukan hasil pencerminan suatu
bangun datar
Berdasarkan ruang lingkup matematika tersebut, maka penting bagi
siswa khususnya tunanetra untuk mempelajari materi penjumlahan
pecahan, selain untuk menguasai materi tersebut juga akan bermanfaat
dalam kehidupan sehari-hari.
f. Pengertian Pecahan
Ada beberapa pengertian tentang pecahan. Menurut Muhsetyo
(2007 : 4) menyatakan bahwa pecahan pada prinsipnya menyatakan
beberapa bagian dari sejumlah bagian yang sama. Seluruh jumlah
bagian yang sama tersebut sama-sama membentuk satuan (unit).
Sejalan dengan pendapat tersebut, Sulardi (2008: 141) menyatakan
30
bahwa pecahan adalah bagian dari sesuatu yang utuh. Pecahan
ditunjukkan dengan daerah yang diarsir.
Osman (2007: 110) mengemukakan bahwa bilangan yang
menyatakan bagian sesuatu yang utuh atau satu kelompok disebut
pecahan. Pembilang menunjukkan bilangan yang utuh yang dibagi,
sedangkan penyebut menunjukkan banyak pembagian pecahan
tersebut.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan
bahwa pecahan adalah suatu bagian yang utuh yang sama banyak yang
terdiri dari pembilang dan penyebut. Dimana pembilang menunjukkan
sebagai bilangan utuh yang dibagi dan penyebut menunjukkan
pembagian pecahan tersebut.
g. Jenis-jenis Bilangan Pecahan
Bilangan pecahan terdapat beberapa jenisnya, yaitu :
1) Pecahan Biasa
3 5 10
Pecahan biasa terdiri dari pembilang dan penyebut. Contoh : 4, 7, 19
2) Pecahan Campuran
Pecahan campuran adalah bilangan pecahan yang terdiri dari
2
7
1
bilangan bulat, pembilang, dan penyebut. Contoh :1 3, 239, 312 4
3) Pecahan Desimal
Pecahan desimal adalah bilangan yang didapat dari hasil
pembagian. Contoh :
Pecahan biasa
3
4
diubah menjadi pecahan desimal menjadi 3 : 4 =
0,75
4) Pecahan Persen
Pecahan persen adalah bilangan yang habis dibagi 100 (seratus).
Lambangnya adalah %.
8
Contoh: 8% artinya 100 ; 12,5% artinnya
12,5
100
31
h. Pembelajaran Matematika Materi Pecahan bagi Anak Tunanetra
Pembelajaran Matematika menurut James dan James dalam
Widiharto (2003: 3) menyatakan bahwa “Matematika adalah ilmu
tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep
yang saling berhubungan satu sama lain”. Dari pengertian tersebut
dapat dikatakan pembelajaran Matematika adalah suatu aktivitas yang
disengaja untuk memodifikasi berbagai kondisi yang diarahkan untuk
mencapai tujuan melalui kegiatan penalaran.
Pembelajaran matematika anak tunanetra merupakan proses
penciptaan sistem lingkungan yang merupakan seperangkat peristiwa
yang diciptakan dan rancang untuk mendorong, menggiatkan,
mendukung, dan memungkinkan terjadinya anak tunanetra belajar
matematika, sehingga terjadi perubahan perilaku atau keterampilan
matematika ke arah yang lebih baik.
Pada prinsipnya pembelajaran matematika anak tunanetra sama
dengan pembelajaran matematika pada sekolah formal biasa. Hanya
saja pada pembelajaran matematika anak tunanetra dibutuhkan
beberapa pra syarat, yaitu:
1) Penggunaan huruf Braille ataupun gambar timbul untuk anak
tunanetra dengan kategori buta
2) Pembesaran huruf atau tulisan untuk anak tunanetra dengan
kategori low vision.
3) Penggunaan alat peraga atau media yang disesuaikan dengan
kebutuhan anak.
Memahami konsep seperempat, setengah, dan lain sebagainya
merupakan salah satu contoh penggunaan pecahan dalam kehidupan
sehari-hari. Sehingga konsep pecahan sangat penting untuk dipelajari
baik dari sisi ilmu matematika itu sendiri maupun dalam kehidupan
sehari-hari. Namun membangun pemahaman konsep pecahan tidaklah
mudah khususnya bagi siswa tunanetra karena pecahan bukan
merupakan bilangan yang utuh. Oleh karena itu, pembelajaran
32
matematika materi pecahan bagi siswa tunanetra memerlukan alat
peraga atau media yang konkret atau nyat, agar mereka mengetahui
dengan sebenar-benarnya dan untuk memperkecil kemungkinan salah
persepsi dalam melakukan penjumlahan pecahan.
3. Kajian Tentang Media Pembelajaran
a. Pengertian Media Pembelajaran
Kata media berasal dari bahasa Latin medius yang secara harfiah
berarti “tengah”, “perantara”, atau “pengantar”. Dalam bahasa Arab,
media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim kepada
penerima pesan (Arsyad : 2007)
Kustadi (dalam Media pembelajaran manual dan digital, 2011:
9) mengungkapkan bahwa media pembelajaran adalah alat yang dapat
membantu proses belajar mengajar dan berfungsi untuk memperjelas
makna pesan yang disampaikan, sehingga dapat mencapai tujuan
pembelajaran dengan lebih baik dan sempurna. Media pembelajaran
adalah sarana untuk meningkatkan kegiatan proes belajar mengajar.
Mengingat banyaknya bentuk-bentuk media tersebt, maka guru harus
dapat memilihnya dengan cermaht, sehingga dapat digunakan dengan
tepat. Dalam kegiatan belajar mengajar, sering pula pemakaian kata
media pembelajaran digantikam dengan istilah-istilah seperti bahan
pembelajaran (instructional material), komunikasi pandang-dengar
(audio-visual communication), alat peraga pandang (visual education),
alat peraga dan media penjelas.
Briggs dalam Susilana (2008 : 5) berpendapat bahwa media
merupakan alat untuk memberikan perangsang bagi siswa supaya
terjadi proses belajar. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Miarso
dalam Susilana (2008 : 6) yang menyatakan bahwa media merupakan
segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan yang
dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa
untuk belajar.
33
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa media
pembelajaran merupakan alat yang digunakan sebagai perantara untuk
menyampaikan informasi sehingga lebih jelas dan konkret.
b. Manfaat Media Pembelajaran
Media pembelajaran memiliki beberepa manfaat untuk
meningkatkan hasil belajar siswa. Manfaat media pembelajaran
menurut Rosyada (2012 : 37) antara lain :
1) Sebagai Sumber Belajar
Sumber belajar dapat dipahami sebagai segala macam sumber yang
ada di luar diri seseorang (peserta didik) dan memungkinkan
terjadinya proses belajar
2) Fungsi Semantik
Yaitu kemampuan media dalam menambah perbendaharaan kata
(simbol verbal) yang maksudnya benar-benar dipahami anak didik
(tidak verbalistik)
3) Fungsi Manipulatif
Media memiliki dua kemampuan yaitu mengatasi batas-batas ruang
dan waktu dan mengatasi keterbatasan inderawi.
4) Fungsi Psikologis
Berupa fungsi atensi, fungsi afektif, fungsi kognitif, fungsi
imajinatif, dan fungsi motivasi
5) Fungsi Sosio-Kultural
Yaitu mengatasi hambatan sosio kultural antar peserta komunikasi
pembelajaran
Sadiman dalam Meimulyani (2013: 35) mengemukakan
bahwa secara umum media pembelajaran memiliki manfaat sebagai
berikut :
1) Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat
verbalistik (dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan belaka)
2) Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera seperti:
34
a) Obyek terlalu besar bisa digantikan dengan realitas gambar,
film bingkai, film, dan model
b) Obyek yang kecil dibantu dengan proyektor mikro, film
bingkai, film dan gambar
c) Gerak yang terlalu lambat atau terlalu cepat dapat dibantu
high speed photography atau low speed photography.
3) Dengan menggunakan media pendidikan secara tepat dan
bervariasi dapat diatasi sikap pasif anak didik sehingga dalam hal
ini media berguna untuk :
a) Menimbulkan kegairahan belajar
b) Memungkinkan interkasi yang lebih langsung antara anak
didik dengan lingkungan
c) Memungkinkan anak didik belajar sendiri-sendiri menurut
kemampuan dan minatnya
d) Dengan sifat yang unik pada setiap siswa ditambah lagi
dengan lingkungan dan pengalaman yang berbeda, sedangkan
kurikulum, dan materi pendidikan ditentukan sama untuk
setiap siswa, maka guru akan banyak mengalami kesulitan
dengan latar belakang guru dan siswa yang berbeda. Masalah
ini dapat diatasi dengan media pembelajaran.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa manfaat
media pembelajaran yaitu membantu mengatasi berbagai macam
hambatan diantaranya mengurangi sifat verbalisme, mengatasi
keterbatasan ruang, waktu dan tipe belajar siswa, mengatasi siswa
pasif menjadi aktif, membantu mengatasi guru dalam memberikan
pelayanan belajar kepada siswa, serta mempermudah siswa dalam
belajar.
35
c. Mancam-macam Media Pembelajaran
Menurut Suherman, dalam Strategi Pembelajaran Matematika
Kontemporer (2003 : 242) menjelaskan bahwa ada beberapa media
yang dikenal dalam pembelajaran, antara lain :
1) Media non projected seperti : fotografi, diagram, sajian (display),
dan model-model
2) Media projected seperti : slide, filmstrip, transparansi, dan
komputer proyektor
3) Media dengar seperti : kaset, compact disk
4) Media gerak seperti : video, dan film
5) Komputer, multimedia
6) Media yang digunakan untuk belajar jarak jauh seperti radio dan
televisi, serta internet (komputer)
Lebih lanjut, Suherman mengelompokkan media ke dalam dua
bagian, yaitu media sebagai pembawa informasi (ilmu pengetahuan)
dan media yang sekaligus merupakan alat untuk menanamkan konsep
seperti alat-alat peraga pendidikan matematika.
Menurut Meimulyani dalam Media Pembelajaran Adapatif
bagi Anak Berkebutuhan Khusus (2013 : 39) macam-macam media
pembelajaran yaitu:
1) Dilihat dari Jenisnya
a) Media auditif, yaitu media yang mengandalkan kemampuan
suara saja, seperti radio, cassette recorder, dan piringan hitam
b) Media visual, yaitu media yang mengandalkan indera
penglihatan saja. Misalnya, film strip, slides, foto atau gambar.
c) Media audiovisual, yaitu media yang mempunyai unsur suara
dan unsur gambar.
2) Dilihat dari Daya Liputnya
a) Media dengan gaya liput luas dan serentak, contoh : radio dan
televisi
36
b) Media dengan gaya liput yang terbatas oleh ruang dan tempat,
contoh : film
c) Media untuk pengajaran individual, contoh : modul berprogram
melalui komputer
3) Dilihat dari Bahan Pembuatannya
a) Media Sederhana, yaitu media yang mudah diperoleh dan
harganya murah, serta cara pembuatannya mudah.
b) Media Kompleks,
yaitu
media
yang bahan dan alat
pembuatannya sulit diperoleh serta mahal harganya, sulit
membuatnya dan penggunaannya memerlukan keterampilan
yang memadai.
Berdasarkan pendapat tersebut, media blok pecahan termasuk
dalam media non-projected dalam bentuk alat peraga pendidikan
sedangkan dilihat dari bahan pembuatannya termasuk media sederhana
yang mudah diperoleh, murah, serta mudah dibuat. Media blok pecahan
ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan anak khususnya anak tunanetra.
d. Pengertian dan Fungsi Media Blok Pecahan
Pengertian media blok pecahan menurut Sukayati dan Suharjana
(2009:30-31) adalah media yang berbentuk dasar lingkaran, bisa dibagi
sesuai dengan pecahan yang diinginkan.
Adapun fungsi media blok pecahan adalah untuk menanamkan
konsep (1) menyatakan pecahan ke bentuk lain yang ekuivalen; (2)
menyederhanakana pecahan; (3) membandingkan dua pecahan; (4)
melakukan operasi hitung pecahan.
Terkait dengan fungsi media blok pecahan, lebih lanjut Sukayati
dan Suharjana (2009 : 30-31) mengatakan bahwa alat peraga blok
pecahan dapat digunakan untuk pembelajaran pecahan di kelas III, IV,
V, VI SD dalam konsep materi pecahan, membandingkan pecahan
senilai, penjumlahan, dan pengurangan pecahan. Media blok pecahan
dapat mengkonstruksikan pecahan yang bersifat abstrak. Bahan yang
37
digunkan untuk membuat blok pecahan cukup terjangkau oleh
karakteristik lingkungan sekitar.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa media
blok pecahan merupakan media yang terbuat dari kardus atau kertas
yang dapat dibentuk lingkaran. Bentuk lingkaran tersebut dapat dibagi
menjadi beberapa bagian. Untuk menunjukkan adanya pecahan bentuk
lingkaran tersebut dapat diberi warna yang berbeda, diarsir. Bagian
yang diberi warna yang berbeda atau diarsir merupakan bagian yang
dijadikan pembilang sedangkan bagian utuh keseluruhan merupakan
penyebutnya. Media blok pecahan bagi tunanetra dalam hal ini akan
dibedakan dalam bentuk permukaannya yaitu halus dan kasar.
e. Tujuan Penggunaan Media Blok Pecahan
Menurut Fatmawati (2011:20) ada beberapa tujuan penggunaan
media blok pecahan, yaitu sebagai berikut :
1) Agar proses pembelajaran lebih efektif dengan jalan meningkatkan
semangat belajar siswa
2) Media blok pecahan memungkinkan lebih sesuai diterapkan secara
perorangan, sehingga para siswa dalam proses belajar berlangsung
dengan menyenangkan
3) Media blok pecahan dimaksudkan agar komunikasi lebih mudah
dipahami antara guru dan siswa, sebab siswa memahami dan
mengerti tentang konsep abstrak matematika melalui media yang
konkret.
Berdasarkan pendapat diatas, diharapkan media blok pecahan
dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa tunanetra materi
penjumlahan pecahan melalui proses pembelajaran yang lebih aktif,
disesuaikan dengan kebutuhan anak, dan memudahkan komunikasi
antara guru dengan siswa.
38
f. Cara Membuat Media Blok Pecahan
Blok pecahan yang digunakan dibuat dengan semenarik
mungkin agar peserta didik tertarik menggunakan media tersebut dan
tertarik untuk mempelajari materi pecahan. Adapun cara pembuatan
blok pecahan ada 2 cara menurut Fatmawati (2011 : 24) yaitu :
1) Dengan menggunakan triplek berwarna
Triplek berwarna digunakan agar semua siswa dapat
memperhatikannya dengan jelas. Selain itu guru harus
menggunakan triplek yang dicat dengan warna yang berbeda
agar blok berwarna yang dijadikan media pembelejaran dapat
menarik perhatian siswa.
2) Dengan menggunakan karton berwarna
Karton berwarna digunakan agar mudah digunting dan
ditempelkan. Selain itu guru juga harus menggunakan karton
dengan warna yang berbeda agar siswa dapat tertarik untuk
belajar pecahan. Cara penerapannya sama dseperti triplek
berwarna akan tetapi jika menggunakan kertas berwarna
siswa dapat menggunting dan menempelkan kertas tersebut.
Dalam penerapannya untuk siswa tunanetra dalam penelitian
ini menggunakan kertas karton tebal. Namun, akan ada sedikit
modifikasi, jika pada anak awas masing-masing pecahan dibedakan
dengan warna, maka bagi anak tunanetra dibedakan melalui
permukaan blok pecahan yaitu halus dan kasar menggunakan pasir/
manik-manik.
39
g. Langkah-langkah Menggunakan Blok Pecahan
Menurut Amalia (2007:1) dalam memberikan penanaman
konsep pecahan, langkah-langkah menggunakan blok pecahan dengan
memodifikasi warna menjadi kasar dan halus, yaitu sebagai berikut :
1) Konsep Pecahan
a) Lingkaran utuh digunakan untuk memperagakan bilangan 1
Gambar 2.1 Blok Pecahan Utuh
b) Lingkaran yang dipotong menjadi 2 bagian sama digunakan
untuk
memperagakan
konsep
½
an.
Masing-masing
melambangkan ½ dan dibaca setengah/ satu perdua/ seperdua.
“1” disebut pembilang (merupakan 1 bagian potongan yang
diperhatikan/ diambil). “2” disebut penyebut (merupakan
banyaknya potongan yang sama dari yang utuh).
Gambar 2.2 Blok Pecahan
1
2
c) Lingkaran yang dipotong menjadi 4 bagian sama digunakan
untuk memeragakan konsep pecahan 1/4 an. Bila mengambil
2 potong maka disebut 2/4 (dua per empat) dan bila
mengambil 3 potong maka disebut ¾ (tiga per empat)
1 2 3
Gambar 2.3 Blok Pecahan 4; 4; 4
40
d) Peragaan dapat dilanjutkan untuk 1/3 an, 1/5an, 1/6 an, 1/7 an,
1/8 an, 1/9 an, 1/10 an.
Gambar 2.4. Blok Pecahan Berbagai Bagian
2) Memperagakan penjumlahan pecahan
a) Penjumlahan pecahan yang penyebutnya sama. Contohnya ¼ +
¼ = 2/4
+
=
Gambar 2.5. Blok Pecahan Penjumlahan Pecahan Penyebut Sama
b) Penjumlahan pecahan yang berpenyebut tidak sama. Contohnya
¼ + ½ = ¼ + 2/4 = ¾
+
=
Gambar 2.6 Blok Pecahan Penjumlahan Pecahan Penyebut Beda
41
h. Keunggulan Media Blok Pecahan
Blok pecahan dipilih oleh sebagian orang sebagai media
pembelajaran matematika khususnya materi pecahan, karena blok
pecahan memenuhi syarat alat peraga yang diungkapkan oleh
Ruseffendi, dkk (2005 : 230-231) yaitu ada beberapa persyaratan yang
harus dimiliki alat peraga agar fungsi atau manfaat dari alat peraga
tersebut sesuai dengan yang diharapkan dalam pembelajaran:
1) Sesuai dengan konsep matematika
2) Dapat memperjelas konsep matematika, baik dalam bentuk real
(nyata), gambar atau diagram dan bukan sebaliknya (mempersulit
pemahaman konsep matematika)
3) Tahan lama (dibuat dari bahan-bahan yang cukup kuat)
4) Bentuk dan warnanya menarik
5) Dari bahan yang aman bagi kesehatan siswa
6) Sederhana dan mudah dikelola
7) Ukurannya sesuai atau seimbang dengan ukuran fisik dari siswa
8) Peragaan diharapkan menjadi dasar bagi tumbuhnya konsep
berpikir abstrak
9) Bagi siswa karena alat peraga tersebut dapat dimanipulasi (dapat
diraba, dipegang, dipindahkan, dipasangkan, dan sebagainya) agar
siswa dapat belajar secara aktif baik secara individual maupun
kelompok
10) Bila mungkin alat peraga tersebut dapat bermanfaat banyak.
Berdasarkan kriteria tersebut, maka media blok pecahan
merupakan salah satu media pembelajaran yang dapat dimanfaatkan
untuk mengajarkan materi pecahan kepada siswa tingkat dasar yang
dalam penelitian ini adalah anak tunanetra untuk mempelajari
matematika materi penjumlahan pecahan.
42
B. Kerangka Berpikir
Dalam penelitian ini peneliti mengemukakan kerangka berpikir sebagai
berikut :
Pembelajaran matematika
materi penjumlahan pecahan
Anak tunanetra
Mengerjakan soal matematika
materi penjumlahan pecahan belum
menggunakan media blok pecahan
Pembelajaran matematika materi
penjumlahan
pecahan
menggunakan media blok pacahan
Hasil belajarnya rendah
Mengerjakan soal matematika
materi penjumlahan pecahan
Hasil belajarnya meningkat
Gambar 2.7 Diagram Kerangka Berpikir
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dan desain penelitian
Single Subject Research (SSR) dalam rangka mengetahui efektivitas
penggunaan media blok pecahan untuk meningkatkan hasil belajar matematika
materi penjumlahan pecahan siswa tunantera kelas IV di SLB A YKAB
Surakarta.
C. Hipotesis
Margono (2004:125) menjelaskan bahwa hipotesis berasal dari kata
“hypo” dan “thesis”. Hipo berarti kurang dari, sedangkan tesis berarti
pendapat. Jadi hipotesis merupakan suatu pendapat atau kesimpulan yang
sifatnya masih sementara. Hipotesis merupakan suatu kemungkinan jawaban
dari masalah yang diajukan.
Pengertian hipotesis menurut Sugiyono (2009 : 109) yaitu jawaban
sementara terhadap rumusan masalah, dimana rumusan masalah penelitian
43
telah dinyatakan dalam bentuk pertanyaan. Hipotesis dikatakan sementara
karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori. Sementara Sudjana
(2005 : 95) mengemukakan bahwa hipotesis merupakan asumsi atau dugaan
sementara mengenai suatu hal yang dibuat untuk menjelaskan suatu hal yang
sering dituntut untuk melakukan pengecekan.
Berdasarkan uraian di atas, hipotesis dalam penelitian ini sebagai
berikut : media blok pecahan efektif meningkatkan hasil belajar matematika
materi penjumlahan pecahan pada anak tunanetra kelas IV di SLB A YKAB
Surakarta Tahun ajaran 2015/2016.
Download