BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Landasan Teori dan Konsep 2.1.1. Theory of Planned Behavior (TPB) Asal usul TPB dapat ditelusuri kembali ke Theory of Reasoned Action (TRA) (Fishbein, 1967; Fishbein dan Ajzen, 1975). TRA menekankan pada meramalkan perilaku manusia dengan mengusulkan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh niat perilaku, yang terutama dipengaruhi oleh sikap terhadap tindakan dan oleh norma-norma subjektif. Dengan demikian, TRA memiliki dua komponen; pertama, sikap terhadap tindakan yang merupakan fungsi dari konsekuensi yang dirasakan, konsumen dapat menghubungkan dengan perilaku. Kedua, norma subjektif adalah fungsi dari keyakinan tentang pentingnya referen dan motivasi untuk bertindak sesuai dengan referen tersebut. Asosiasi ini didukung oleh banyak artikel yang berkaitan dengan perilaku konsumen dan psikologi sosial (Ryan, 1982; Sheppard et al., 1988). Keyakinan Perilaku Sikap terhadap Perilaku Keyakinan Norma Normatif Subjektif Niat untuk berperilaku Gambar 2.1. Theory of Reasoned Action (TRA) Sumber: Fishbein dan Ajzen (1975). 12 Perilaku Theory of Planned Behavior (TPB) yang merupakan bentuk pengembangan model Theory of Reasoned Action (TRA), diusulkan oleh Ajzen (1991). TPB memerlukan tiga konsep seperti pembentukan sikap, persepsi kontrol perilaku dan norma subjektif. Teori ini mendalilkan bahwa niat individu untuk melakukan perilaku tertentu yang dipengaruhi oleh sikap individu (yaitu sikap terhadap membeli produk organik dalam konteks penelitian ini), persepsi kontrol perilaku (yaitu sejauh mana konsumen merasa bahwa mereka dapat mengendalikan perilaku mereka arah tindakan tertentu) dan norma subjektif (yaitu pentingnya pendapat orang lain). Sikap Perilaku Norma Subjektif Niat Perilaku Kontrol Perilaku Persepsian Gambar 2.2. Theory of Planned Behavior (TPB) Sumber: Ajzen (2002). 2.1.2. Kesadaran Kesehatan Kesadaran kesehatan menilai kesiapan untuk melakukan tindakan kesehatan (Becker et al. dalam Michaelidou dan Hassan, 2008). Konsumen yang 13 sadar kesehatan peduli tentang kesehatannya dan termotivasi untuk menjaga kesehatan dan kualitas hidup untuk mencegah sakit dengan terlibat dalam perilaku sehat dan menjadi individu yang sadar tentang kesehatan (Newsom et al. dalam Michaelidou dan Hassan, 2008). 2.1.3. Kesadaran Lingkungan Kesadaran lingkungan konsumen menurut Webster dalam Chen (2009) adalah konsumen yang mengingat akibat dari konsumsi pribadi atau usaha memanfaatkan daya beli dalam masalah lingkungan dalam keputusan pembelian dengan mengevaluasi dampak dari konsumsi dalam masalah lingkungan. 2.1.4. Kesadaran Penampilan Kesadaran penampilan adalah penilaian konsumen tentang penampilan dengan menjaga dan peduli pada penampilan yang dimiliki oleh individu (Kim dan Chung, 2011). Kesadaran penampilan menyebabkan orang untuk menjadi tertarik pada kosmetik dan pakaian yang mengungkapkan atau mengubah pribadi mereka (Lee dalam Kim dan Chung, 2011). Konsumsi produk kosmetik merupakan perilaku pembelian yang memuaskan kebutuhan kecantikan dan perawatan penampilan seseorang (Todd, 2004). 2.1.5. Sikap Konsumen Sikap (attitude) seseorang merupakan keadaan mudah terpengaruh (predisposisi) untuk memberikan tanggapan terhadap rangsangan lingkungan yang dapat memulai atau membimbing tingkah laku orang tersebut (Basu, 2002). Sikap dapat diterjemahkan dengan sikap terhadap objek tertentu yang dapat berupa sikap pandangan atau sikap perasaan tetapi, sikap tersebut disertai 14 dengan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap objek itu (Gerungan, 2004:160). Semakin positif keyakinan individu akan akibat dari suatu objek sikap, maka akan semakin positif pula sikap individu terhadap objek sikap tersebut, demikian pula sebaliknya (Wijaya, 2008). Sikap sebagai perasaan positif atau negatif individu tentang melakukan suatu perilaku (Dash et al., 2011). Sikap adalah salah satu faktor penentu yang memengaruhi perilaku individu (Gibler dan Nelson, 1998); hal itu memengaruhi niat konsumen untuk membeli barang-barang (Chung dan Pysarchik, 2000; Summers et al., 2001). Sikap (attitude) memiliki peran utama dalam pembentukan perilaku konsumen, seperti memutuskan merek yang dibeli dan toko yang dijadikan tempat belanja (Idaman dkk., 2012). Menurut Huang et al. (2004), sikap adalah kecenderungan belajar untuk menanggapi situasi dengan cara menguntungkan atau tidak menguntungkan. Faktor sikap sering digunakan sebagai prediktor niat konsumen dan perilaku. Seperti sikap tidak dapat diamati secara langsung, peneliti harus bergantung pada penentuan sikap konsumen melalui pengukuran (Huang et al., 2004). 2.1.6. Norma Subjektif Norma subjektif adalah tekanan sosial yang dirasakan untuk terlibat atau tidak terlibat dalam perilaku, itu hasil dari bagaimana seseorang merasakan tekanan yang ditempatkan pada dia untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku (Ajzen, 1991; Tonglet et al., 2004; Al-Nahdi et al, 2008;. Al-Nahdi et al., 2009, 2014, 2015; Han dan Kim, 2010; Kim dan Han, 2010). 15 Tekanan ini dapat diberikan oleh teman-teman, orang tua, partai politik dan agen (Kalafatis et al., 1999). Menurut Eagly et al. (1993) norma subjektif menunjukkan perilaku dengan motivasi konsumen untuk membentuk momen pertama dari orang penting seperti keluarga, teman dan orang lain yang signifikan (Yangui, Font, dan Gil, 2013). Jogiyanto (2007:14) mendefinisikan norma subjektif sebagai tekanan sosial yang didasari dari kepercayaan orang lain yang dapat memengaruhi minat sehingga yang bersangkutan mempertimbangkan kembali apakah akan melakukan atau tidak melakukan melakukan perilaku tersebut. Menurut Baron dan Byrne (2003), norma subjektif adalah persepsi individu tentang apakah orang lain akan mendukung atau tidak terwujudnya tindakan tersebut. Hogg dan Vaughan (2005) memaparkan penjelasan bahwa norma subjektif adalah produkdari persepsi individu tentang kepercayaan yang dimiliki orang lain. 2.1.7. Pengalaman Masa Lalu Istilah “pengalaman” telah digunakan dalam berbagai cara. Berbagai definisi dapat ditempatkan ke dalam dua kategori: beberapa dari mereka merujuk kepada masa lalu (mengacu pada pengetahuan dan akumulasi pengalaman dari waktu ke waktu) dan lain-lain merujuk berkelanjutan persepsi dan perasaan dan pengamatan langsung (Gove, 1976:800). Filsuf dan psikolog dalam tradisi fenomenologis, misalnya, Husserl (1931) dan Brentano (1973), berpendapat bahwa pengalaman “dari” atau “tentang” sesuatu; mereka memiliki referensi dan intensionalitas. 16 Akhirnya, filsuf Amerika John Dewey (Dewey, 1925), milik filosofis tradisi pragmatisme, berpendapat bahwa pengetahuan (mengklasifikasikan, menganalisis, dan penalaran) adalah hanya satu bagian dari pengalaman individu dengan dunia. Salah satu artikel akademis pertama yang dibahas dan dikonseptualisasikan pengalaman secara rinci dalam pemasaran adalah Holbrook dan Hirschman (1982) “Aspek pengalaman konsumsi: konsumen fantasi, perasaan, dan menyenangkan.” Mengikuti wawasan filosofis yang telah dijelaskan sebelumnya, Holbrook dan Hirschman (1982) berpendapat bahwa pandangan ini merupakan pengalaman fenomenologis Roh dan menganggap konsumsi sebagai subjektif keadaan kesadaran. Schmitt (1999) menyatakan pemasaran tradisional yang berorientasi produk fokus pada fitur fungsional dan manfaat dengan pengalaman pemasaran pelanggan. Berdasarkan review-review literatur pengalaman pemasaran, Gentile et al. (2007:397) memberikan definisi “Pengalaman pelanggan berasal dari aset interaksi antara pelanggan dan produk, perusahaan, atau bagian dari organisasi, yang memicu reaksi. Pengalaman ini sangat pribadi dan menyiratkan keterlibatan pelanggan pada tingkat yang berbeda (rasional, emosi, indera, fisik dan spiritual). Evaluasi yang tergantung pada perbandingan antara harapan pelanggan dan rangsangan yang berasal dari interaksi dengan perusahaan dan penawaran dalam korespondensi dari momen yang berbeda dari kontak atau titik sentuhan.” 17 2.1.8. Kontrol Perilaku Persepsian Theory of Planned Behavior (TPB) yang merupakan bentuk pengembangan model Theory of Reasoned Action (TRA) telah terbukti berhasil dalam memprediksi dan menjelaskan perilaku individu di berbagai penerapan teknologi informasi (Ajzen, 1991). Theory of Planned Behavior (TPB) ditambah sebuah konstruk yang belum ada pada Theory of Reasoned Action (TRA), yaitu kontrol perilaku persepsian (perceived behavioral control). Konstruk ini merefleksikan pengaruh perasaan individu terhadap performance dan non performance dari suatu perilaku apakah di bawah kontrol volitional. Kontrol perilaku persepsian merefleksikan juga pengalaman lampau seseorang termasuk di dalamnya rintangan dan halangan untuk berperilaku. Menurut Ajzen dalam Jogiyanto (2007) sebagai kemudahan atau kesulitan persepsian untuk melakukan perilaku “the perceived ease or difficulty of performing the behavior.” Perlu diperhatikan bahwa teori perilaku perencanaan (Theory of Planned Behavior) tidak secara langsung berhubungan dengan jumlah dari kontrol yang sebenarnya dimiliki oleh seseorang, tetapi teori ini lebih mempertimbangkan pengaruh-pengaruh yang mungkin dari kontrol perilaku yang dipersepsikan dalam pencapaian tujuan-tujuan perilaku. Jikalau minat-minat menunjukkan keinginan seseorang untuk mencoba perilaku tertentu, kontrol persepsian lebih kepada mempertimbangkan beberapa konstrain-konstrain yang realistik yang mungkin terjadi. Menurut Jogiyanto (2007), kontrol perilaku persepsian (perceived behavioral control) ini merefleksikan pengalaman masa lalu dan juga 18 mengantisipasi halangan-halangan yang ada. Kontrol perilaku persepsian (perceived behavioral control) ini diasumsikan direfleksikan oleh pengalaman masa lalu dan juga kepemilikan sumber-sumber daya (misalnya uang, keahlian, waktu, kerjasama dengan lainnya) dan kesempatan-kesempatan (Ajzen, 1991). 2.1.9. Niat Beli Konsumen Menurut Theory of Planned Behavior (TPB), perilaku aktual seseorang dalam melakukan suatu tindakan tertentu secara langsung dipengaruhi oleh niat perilakunya, yang secara bersama-sama ditentukan pula oleh sikap (attitude), norma subjektif (subjective norm), dan kontrol perilaku persepsian (perceived behavioral control) terhadap perilaku tersebut. Oleh karena itu, niat pembelian adalah penentu baik bagi perilaku pembelian, di mana niat beli pada gilirannya ditentukan oleh sikap (Phau dan Teah, 2009). Niat beli menunjukkan reaksi emosional yang dihasilkan dari evaluasi keseluruhan konsumen terhadap suatu produk, dan juga menunjukkan kemungkinan bahwa konsumen ingin membeli produk (Grewal, Monroe, dan Krishnan, 1998). Menurut Lestari dan Suryawardhana (2012), niat beli merupakan suatu motivasi atau dorongan dari dalam diri individu yang memaksa mereka untuk melakukan tindakan yang memungkinkan orang tersebut berminat untuk membeli produk atau merek yang ditawarkan atau tidak. Niat beli adalah tahap kecenderungan responden untuk bertindak sebelum benar-benar melakukan pembelian (Kinnear, 1995). Niat beli dapat diartikan sebagai suatu sikap senang terhadap suatu objek yang membuat individu berusaha 19 untuk mendapatkan objek tersebut dengan cara membayarnya dengan uang atau dengan pengorbanan (Schiffman dan Kanuk, 2010). Kotler (2005:174) menjelaskan bahwa niat beli mengarah kepada tujuan atau niat dan kecenderungan konsumen untuk membeli merek yang paling disukainya. Menurut Ali dan Ahmad (2012), niat beli produk ramah lingkungan dikonseptualisasikan sebagai probabilitas dan kesediaan seseorang untuk memberikan preferensi untuk produk yang memiliki fitur ramah lingkungan lebih dari produk tradisional lainnya dalam pertimbangan pembelian mereka. Chan dalam Mei et al. (2012) mendefinisikan pembelian produk ramah lingkungan merupakan perilaku konsumen untuk mengungkapkan keprihatinan mereka terhadap lingkungan. 2.2. Hipotesis Penelitian 2.2.1. Pengaruh Kesadaran Kesehatan terhadap Sikap Konsumen Kesadaran kesehatan membimbing orang untuk terlibat dalam perilaku sehat (Becker et al., 1977). Konsumen yang sadar kesehatan peduli tentang keadaan yang diinginkan dari kesejahteraan dan mengajukan upaya untuk mempertahankan hidup sehat (Newsom et al., 2005). Dalam konteks pembelian produk perawatan kulit/rambut, konsumen dengan kesadaran kesehatan yang tinggi dapat mempertimbangkan apakah suatu produk aman untuk kulit dan tubuh; Oleh karena itu, mereka mungkin lebih serius berkaitan dengan jenis bahan yang digunakan untuk membuat produk daripada konsumen dengan kesadaran kesehatan rendah (Johri dan Sahasakmontri, 1998). 20 H1: Kesadaran Kesehatan berpengaruh positif dan signifikan terhadap Sikap Konsumen 2.2.2. Pengaruh Kesadaran Lingkungan terhadap Sikap Konsumen Kesadaran lingkungan membimbing orang untuk membuat keputusan pembelian yang lebih hijau (Peattie, 2001; Schlegelmilch et al., 1996). Orang yang sadar lingkungan tepat untuk mengubah perilaku pembelian mereka untuk memperbaiki lingkungan (Chase, 1991). Menghadapi isu seputar lingkungan dari zat-zat berbahaya dan bahan hewan pengujian dan/atau produk jadi, industri perawatan pribadi telah mengembangkan produk-produk organik yang diproduksi tanpa menggunakan pestisida, bahan kimia sintetis dan hewan pengujian (Prothero dan McDonagh, 1992). Bersama dengan temuan bahwa kesadaran lingkungan konsumen yang dipandang sebagai pra-syarat untuk konsumsi hijau (Dembkowski, 1998; Polonsky dan Mintu-Wimsatt, 1995), kepedulian lingkungan adalah determinan penting dari perilaku konsumen terhadap produk-produk organik (Paladino, 2005). H2: Kesadaran Lingkungan berpengaruh positif dan signifikan terhadap Sikap Konsumen 2.2.3. Pengaruh Kesadaran Penampilan terhadap Sikap Konsumen Kesadaran penampilan membawa orang-orang menjadi tertarik dalam kosmetik dan pakaian yang mengungkapkan atau mengubah gambar mereka (Lee dan Lee, 1997). Konsumsi produk-produk perawatan pribadi adalah perilaku pembelian yang memenuhi kebutuhan untuk kecantikan dan perawatan umum penampilan seseorang (Todd, 2004). Beberapa orang yang memiliki keinginan 21 kuat untuk meremajakan kulit dan meningkatkan penampilan mereka telah mencari produk perawatan pribadi yang bebas kimia (Tirone, 2007). Karena produk perawatan kulit/rambut organik yang dibuat dengan bahan kimia minimum dan mungkin menyediakan produk kurang keras daripada rekan-rekan konvensional, diasumsikan bahwa kesadaran penampilan konsumen berhubungan positif dengan sikap membeli produk perawatan kulit/rambut organik. Dengan demikian, hipotesis berikut yang diajukan: H3: Kesadaran Penampilan berpengaruh positif dan signifikan terhadap Sikap Konsumen 2.2.4. Pengaruh Sikap Konsumen terhadap Niat Beli Konsumen Para peneliti menyimpulkan bahwa individu yang mempunyai sikap positif dengan lingkungan akan lebih berpartisipasi dalam membeli serta mengkonsumsi produk hijau (Kinnear et al., 1974; Amyx et al., 1994; McCarty dan Shrum, 1994; dalam Cheah dan Phau, 2011). Hal ini mengindikasikan, semakin tinggi individu atau konsumen terlibat dengan lingkungan, semakin tinggi pula mereka akan membeli produk hijau. Sejumlah penelitian mendukung hubungan positif antara sikap konsumen dan perilaku niat untuk pembelian hijau dalam budaya yang berbeda, seperti Asia, Amerika Serikat, dan Eropa, dan dalam kategori produk yang berbeda, seperti makanan organik dan produk berbasis kayu (Chan dan Lau, 2001; Kalafatis et al., 1999; Tarkiainen dan Sundqvist, 2005). Konsep ini juga didukung dari hasil penelitian Cheah dan Phau (2011), bahwa konsumen yang mempunyai sikap positif terhadap produk hijau, akan mempunyai keinginan untuk membeli produk hijau. Dengan demikian, dapat diasumsikan: 22 H4: Sikap Konsumen berpengaruh positif dan signifikan terhadap Niat Beli Konsumen 2.2.5. Pengaruh Norma Subjektif terhadap Niat Beli Konsumen Fishbein dan Ajzen (1975) mengemukakan bahwa norma subjektif sebagai berikut: ”The subjective norm is the person’s perception that most people who are important to him, think he should or should not perform the behavior in question.” (hal 302). Ajzen dan Fishbein (1980) mengusulkan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh niatnya untuk melakukan perilaku dan bahwa niat ini, pada gilirannya, fungsi dari sikapnya terhadap perilaku dan norma subjektifnya. Ada beberapa penelitian yang menunjukkan hubungan yang signifikan antara norma subjektif dan niat (Taylor dan Todd, 1995; Venkatesh dan Davis, 2000; Ramayah et al., 2003, 2004; Chan dan Lu, 2004; Baker et al., 2007; Teo dan Lee, 2010). Selain itu, studi terbaru telah menemukan bahwa norma subjektif adalah prediktor niat di daerah yang berbeda (Alam dan Sayuti, 2011; Gupta dan Ogden, 2009; Han dan Kim, 2010; Iakovleva et al., 2011;. Kim dan Han, 2010; Wu et al., 2011; Koklič dan Vida, 2009). Norma subjektif memiliki dampak signifikan pada perilaku niat dalam konteks perilaku yang berkaitan dengan pengelolaan kulit (Hillhouse et al., 2000), dan hubungan yang kuat antara norma subjektif dan niat telah terbukti di penelitian pada perilaku konsumen hijau (Bamberg, 2003; Kalafatis et al., 1999), sehingga hipotesis 5 diusulkan sebagai berikut: 23 H5: Norma Subjektif berpengaruh positif dan signifikan terhadap Niat Beli Konsumen 2.2.6. Pengaruh Pengalaman Masa Lalu terhadap Niat Beli Konsumen Banyak peneliti berpendapat bahwa pertimbangan perilaku masa lalu konsumen dapat memberikan prediksi yang lebih baik dari perilaku niat (Conner dan Armitage, 1998) didasarkan pada asumsi bahwa perilaku konsumen hasil dari belajar (Bentler dan Speckart, 1979). Berkaitan dengan penelitian pada perilaku pembelian hijau, pengalaman masa lalu konsumen dengan produk-produk hijau mungkin “penting dalam membentuk persepsi khusus produk yang akan memimpin niat pembelian”; pada gilirannya, pengalaman masa lalu konsumen memengaruhi pembelian atau penggunaan produk-produk hijau mereka (D'Souza et al., 2006:150). Oleh karena itu, hipotesis 6 diusulkan sebagai berikut: H6: Pengalaman Masa Lalu berpengaruh positif dan signifikan terhadap Niat Beli Konsumen 2.2.7. Pengaruh Sikap Konsumen terhadap Niat Beli Konsumen melalui Kontrol Perilaku Persepsian Meskipun banyak penelitian telah menunjukkan bahwa seseorang mungkin memiliki sikap yang baik terhadap perilaku tertentu, ia mungkin tidak memiliki niat untuk mencapai perilaku ketika memahami kesulitan melakukan begitu (Chen, 2007). Vermeir dan Verbeke (2006) mengklaim bahwa hubungan antara konsumen sikap dan niat tidak konsisten karena pembelian niat untuk makanan organik dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti harga. 24 Dalam resesi ekonomi saat ini, karena harga yang lebih tinggi produk hijau dibandingkan dengan produk-produk konvensional, konsumen menjadi lebih sensitif terhadap harga ketika membeli produk-produk hijau (Mandese, 1991). Jika konsumen merasa bahwa mereka tidak mampu membayar produk perawatan pribadi organik dengan harga lebih tinggi, mereka dapat memilih untuk tidak membeli meskipun mereka memiliki sikap positif terhadap membeli produk. Artinya, sikap positif terhadap membeli produk perawatan kulit dan rambut organik mungkin tidak selalu menyebabkan niat untuk membeli produk. Dengan demikian, diharapkan bahwa hubungan positif antara sikap dan niat dapat dimoderasi oleh tingkat kontrol perilaku yang dirasakan dan oleh karena itu, hipotesis 7 diusulkan sebagai berikut: H7: Sikap Konsumen berpengaruh positif dan signifikan terhadap Niat Beli Konsumen melalui Kontrol Perilaku Persepsian 2.2.8. Model Konseptual Kerangka konsep dari penelitian ini disajikan pada Gambar 2.3. Kontrol Kesadaran Kesehatan Kesadaran Perilaku H1 H7 H2 Lingkungan Persepsian Sikap Niat Beli Konsumen Konsumen H3 Kesadaran Norma Penampilan Subjektif H4 H5 H6 Pengalaman Masa Lalu Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian Sumber: Kim dan Chung (2011). 25