fmea - Repository UIN Jakarta

advertisement
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PENERAPAN FAILURE MODE AND EFFECT ANALYSIS
(FMEA) UNTUK MENDETEKSI PRESCRIPTION ERROR
PADA RESEP POLI JANTUNG DI INSTALASI RAWAT
JALAN RSUP FATMAWATI
SKRIPSI
AYU DIAH GUNARDI
NIM: 1111102000081
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
OKTOBER 2015
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PENERAPAN FAILURE MODE AND EFFECT ANALYSIS
(FMEA) UNTUK MENDETEKSI PRESCRIPTION ERROR
PADA RESEP POLI JANTUNG DI INSTALASI RAWAT
JALAN RSUP FATMAWATI
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi
AYU DIAH GUNARDI
NIM: 1111102000081
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA OKTOBER 2015
ii
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
HALAMAN PERYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya sendiri, dan semua
sumber yang dikutip maupun dirujuk telah saya
nyatakan dengan benar
Nama
: Ayu Diah Gunardi
NIM
: 111110200081
Tanda Tangan
:
Tanggal
: 20 Oktober 2015
iii
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
Nama
:
Ayu Diah Gunardi
NIM
:
1111102000081
Program Study
:
Farmasi
Judul Skripsi
:
Penerapan Failure Mode and effect Analysis
(FMEA) Untuk Mendeteksi Prescription Error pada Resep
Poli Jantung di Instalasi rawat Jalan RSUP Fatmawati
Disetujui Oleh :
Pembimbing 1
Pembimbing II
Dr. Delina Hasan, M.Kes.,Apt.
Ahmad Subhan, M.Si.,Apt
NIP 195602101987032003
NIP 19790472010121001
Mengetahui,
Kepala Progrsm Studi Farmasi
FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Yardi, PhD., Apt
NIP 197411232008011014
iv
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
v
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ABSTRAK
Nama
:
Ayu Diah Gunardi
NIM
:
1111102000081
Program Studi
:
Strara-1 Farmasi
Judul Skripsi :
Penerapan Failure Mode and Effect Analysis
(FMEA) untuk mendeteksi Prescription Error
pada resep poli jantung di Instalasi Rawat jalan
RSUP Fatmawati.
Prescription error atau kesalahan administrasi dan ketidakjelasan
penulisan dalam bagian resep dapat menyebabkan kegagalan.6 kegagalan sangat
sering terjadi di rumah sakit termasuk pelayanan farmasi yang merupakan wilayah
berisiko tinggi untuk mengakibatkan kegagalan. Perlu diterapkan suatu metode
untuk mengidentifikasi kegagalan dan metode Failure Mode and Effect Analysis
(FMEA) dianggap mampu untuk mengidentifikasi kegagalan prescription error
pada resep. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan pendekatan
retrospektif terhadap data-data resep poli jantung IRJ RSUP Fatmawati bulan
januari 2015. Hasil prescribing mengenai kelengkapan tahapan pengisian resep
didapatkan; tidak ada nomor rekam medis 15.64%, tidak ada nama pasien 0.08%,
tidak ada tanggal lahir pasien 29.89%, tidak ada jenis kelamin pasien 92.21%,
tidak ada tinggi badan pasien 99.89%, tidak ada berat badan pasien 99.89%, tidak
ada riwayat alergi pasien 65.19%, tidak ada tanggal resep 25.84%, tidak ada nama
dokter 0.43%, tidak ada NIP dokter 1.47%, tidak ada status dokter 100%, tidak
ada nama obat 0%, tidak ada dosis sediaan 0%, tidak ada jumlah obat 0%, tidak
ada rute sediaan 100%, tidak ada aturan pakai 7.91%, tidak ada paraf dokter
100%, tidak terisi pengkajian dan klarifikai petugas 8.27%, tidak terisi kolom
penyiapan oleh petugas 7.50%, tidak terisi kolom dispensing oleh petugas
42.88%, tidak terisi kolom penyerahan dan informasi petugas 9.75%, tidak terisi
form pengkajian resep oleh petugas 0.98%, dan tidak terisi klarufikasi dan
informasi oleh petugas 100%. Hasil penelitian dengan menerapkan hasil
prescription dengan menggunakan metode FMEA untuk mendapatkan kegagalan
vi
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
dengan risiko tertinggi dan diperlukan perbaikan segera menunjukkan bahwa
bahwa nilai RPN teringgi yaitu pada kegagalan membaca riwayat alergi dan
kegagalan membaca rute obat dengan score RPN (Risk Priority Number) masingmasing 120. Dengan nilai SEV (Severity) 6, OCC (Occurance) 5, dan DET
(Detection) 4.
Kata kunci : Prescription Error, Prescribing, dan Failure Mode and Effect
Analysis.
vii
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ABSTRACT
Name
: Ayu Diah Gunardi
NIM
: 111110200081
Study Program
: 1- Strate Pharmacy
Title
: Application of Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)
to Detect Prescription Error in Recipe Outpatient
Installation of poly Cardiac RSUP Fatmawati.
Prescription Error or administration error and obscurity prescription may
occursfailure.6 Failure very often occurs in hospitals including the pharmacy
services that are high-risked areas to leadthe failure. This condition requires a
methode for failure detection. Aplication of Failure Mode and Effect Analysis
(FMEA) can used to identify failure of prescription error in prescription. This
study used cross sectional design with retrospectivetowards data collectionsat
Instalation of poly cardiac RSUP Fatmawati in January 2015. The results showed
about the completeness of the stages of filling a prescriptions; no numbers of
medical records 15.64%, no name of patients 0.08%, no date of birth of patients
29.89%, no gender of patients 92.21%, no height of patients 99.89%, no weight of
patients 99.89%, no allergic history of patients 65.19%, nodate of prescription
25.84%, no name of doctors 0.43%, no NLP (Number Licences to Practice) of
doctors 1.47%, nostatus of doctors 100%, no name of drugs 100%, no dose
preparations 0%, no drugs amount 0%, no preparations route 100%, no rules of
used drug 7.91%, no doctors sign 100%, unallocated assessment and
clarificationof officers 8:27%, unallocated column preparation by officers 7,50%,
unallocated column dispensing by officers 42.88 %, unallocated column
submission and information by officers 9.75%, no prescription assessment form
filled by officers 0.98%, and unallocated clarification and information by officers
100%. The results by applying prescription result through methode of FMEA to
obtain high-risk failure and needed remedy immediatly identify that with the
highest RPN (Risk Priorty of Number) score was failure to read a history of
allergies and failure to read route of drugs (RPN/Risk priority Number score of
viii
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
120) With each value SEV (severity) 6, OCC (Occurance)5, and DET (Detection)
4.
Keyword : Prescription Error, Prescribing, and Failure mode and effect anlaysis
ix
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa mencurahkan segala
rahmat-Nya kepada kita semua, khususnya penulis sehingga dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Penerapan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)
Untuk Mendeteksi Prescription Error Pada Resep Poli Jantung Di Instalasi
Rawat Jalan RSUP Fatmawati” ini. Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan
kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW, yang merupakan suri tauladan bagi
kita semua.
Skripsi ini disusun dari hasil penelitian di Depo Farmasi IRJ RSUP
Fatmawati, IFRS Fatmawati. Dalam proses penyususnan skripsi dan dalam
menyelesaikan masa perkuliahan tentu banyak berbagai halangan serta kesulitan
yang menyertai, sehingga penulis tidak terlepas dari doa, dorongan, bantuan dan
bimbingan dari banyak pihak. Oleh karena itu, izinkan penulis untuk
menghaturkan capkan terimakasih yang mendalam kepada :
1. Ibu Dr. Delina Hasan, M.Kes, Apt sebagai Pembimbing I dan bapak
Ahmad Subhan, M.Si,Apt sebagai Pembimbing II, yang telah
memberikan ilmu, waktu, tenaga, nasihat, serta arahan selama
penelitian dan penulisan skripsi ini.
2. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM., M.Kes., selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Yardi,PhD., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi dan Ibu
Nelly Suryani, PhD., M.Si., Apt selaku Sekretaris Program Studi
Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Dr. Delina Hasan, M.Kes, Apt selaku Penasehat Akademik yang
Selalu Membimbing Penulis.
5. Bapak dan ibu staf pengajar, serta karyawan yang telah memberikan
bimbingan dan bantuan selama menempuh pendidikan di Program
Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
x
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
.
6. Ibu Etin, Dr. Danik, Ibu Suli serta seluruh pegawai RSUP Fatmawati
yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama penelitian.
7. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Sunarto dan Ibunda Sutiah yang
selalu iklas tanpa pamrih membeikan kasih sayang, dukungan moral,
material, nasihat-nasihat, serta lantunan doa disetiap waktu.
8. Keluargaku Johan Gunardi, Ade Gunardi, Karuniawati Gunardi, Lia
Dewi Indrianti, Diah Kusuma Astuti yang senantiasa memberi
semangat, motivasi, nasihat dan kasih sayang pada penulis.
9. Agung Prakoso Trisa untuk semangat, bantuan, dan doa untuk penulis.
10. Sahabat tersayang Akas, Nicky, Henny, Icop, Wina, Meri, Arum, Ali,
Reni dan Ami, yang selalu membantu penulis dimasa perkuliahan.
11. Teman-teman program studi Farmasi khususnya Farmasi 2011.
12. Semua pihak yang telah membantu penulis selama melakukan
penelitian dan penulisan yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga semua bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari
Allah SWT. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penulisan ini, oleh karena itu keritik dan saran sangat diharpkan demi
perbaikan skripsi ini. Dan semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan.
Jakarta, 20 Oktober 2015
Penulis
xi
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK
Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama
: Ayu Diah Gunardi
NIM
: 1111102000081
Program Studi
: Starata-1 Farmasi
Fakultas
: Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Jenis Karya
: Skripsi
Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya
dengan judul
PENERAPAN FAILURE MODE AND EFFECT ANALYSIS (FMEA)
UNTUK MENDETEKSI PRESCRIPTION ERROR PADA RESEP POLI
JATUNG DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUP FATMAWATI
untuk dipublikasi atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta
Dengan demikian persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan
sebenarnya.
Dibuat di
Pada Tanggal
: Ciputat
: 20 Oktober 2015
Yang menyatakan,
(Ayu Diah Gunardi)
xii
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORSINILITAS ........................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN .........................................................................v
ABSTRAK ..................................................................................................... vi
ABSTRACT .................................................................................................. viii
KATA PENGANTAR .....................................................................................x
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ............. xii
DAFTAR ISI ................................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xvii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xix
DAFTAR SINGKATAN ...............................................................................xx
BAB 1 PENDAHULUAN ...............................................................................1
1.1 Latar Belakang ................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ...........................................................................2
1.3 Pertanyaan Penelitian ......................................................................2
1.4 Tujuan Penelituan ............................................................................3
1.4.1 Tujuan Umum .......................................................................3
1.4.2 Tujuan Khusus.......................................................................3
1.5 Manfaat Penelitian...........................................................................3
1.5.1 Teoritis ..................................................................................3
1.5.2 Metodologi ............................................................................3
1.5.3 Aplikatif ................................................................................4
1.6 Ruang Lingkup ................................................................................4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................5
2.1 Failure Mode and Effect Analysis ...................................................5
2.1.1 Sejarah ...................................................................................5
2.2.2 Pengertian FMEA ..................................................................5
2.1.3 Langkah Dasar FMEA ..........................................................6
2.1.4Fungsi FMEA Di Rumah Sakit ..............................................7
2.1.5 Identifikasi element-element FMEA .....................................7
2.1.6 Analisa Sistem Pengukuran ..................................................9
2.1.6.1 Cause and Effect Diagram ........................................9
2.1.6.2 Pareto Diagram .......................................................11
2.1.7 Penggunaan Failure Mode and Effect Analysis ..................11
2.1.8 Penelitian Sebelumnya ........................................................11
2.2 Medication Error .............................................................................5
2.2.1 Penggolongan Medication Error ...........................................5
2.2.2 Faktor-Faktor Penyebab Medication Error ..........................5
2.2.3 Medication Error Pada Prescribing .......................................6
2.3 Resep .............................................................................................16
2.3.1 Definisi Resep .....................................................................16
2.3.2 Jenis-Jenis Resep .................................................................17
2.3.3 Penulisan Resep...................................................................17
xiii
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2.3.4 Penulis Resep ......................................................................17
2.3.5 Tujun Penulisan Resep .......................................................18
2.3.6 Format Penulisan Resep ......................................................18
2.3.7 Kerahasiaan dalam Penulisan Resep ...................................19
2.3.8 Pengkajian Resep ................................................................19
2.3.8.1 Kajian Administrasi ................................................19
2.3.8.2 Kajian Kesesuaian Farmasetik ................................20
2.3.8.3 Pertimbanagn Klinis ...............................................20
2.3.8.4 Dispensing ..............................................................21
2.3.9 Tanda-Tanda pada Resep ....................................................21
2.3.10 Persyaratan Menulis Resep dan Kaidahnya ......................22
2.3.11 Menulis Resep ...................................................................23
2.3.12 Skrining Resep ..................................................................25
2.3.13 Permasalahn Dalam Menulis Resep ..................................27
2.4 Instalasi Farmasi Rumah Sakit .....................................................28
2.4.1 Rumah Sakit ........................................................................28
2.4.1.1 Definisi Rumah Sakit ..............................................28
2.4.1.2 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit ..............................28
2.4.1.3 Klasifikasi Rumah sakit ..........................................29
2.4.2 Depo Farmasi Rumah Sakit.................................................28
2.4.3 Standar Pelayanan Farmasi Rumah sakit ............................28
2.4.3.1 Tugas Tim Farmasi Terapi......................................28
2.4.3.2 Instalasi Farmasi Rumah Sakit ...............................29
2.4.3.3 Struktur Organisasi Instalasi Farmasi RS ...............28
2.4.4Standar Pelayanan Kefarmasian Di RS ................................28
2.4.4.1 Pengelolaan Sediaan Farmasia, Alkes dan
Bahan Medic Habis Pakai .......................................28
2.4.4.2 Pemusnahan dan Penarikan Sediaan Farmasi,
Alkes dan Bahan Medis Habis pakai ......................29
2.5 Jantung .........................................................................................28
2.5.1 Anatomi Jantung .................................................................28
2.5.2 Siklus Jantung .....................................................................28
2.5.3 Curah Jantung......................................................................28
2.5.4 Denyut Jantung dan Daya Pompa Jantung ..........................28
2.5.5 Definisi Gagal Jantung ........................................................28
2.5.6 Patofisiologi Gagal Jantung ................................................28
2.5.8 Anatomi Jantung .................................................................28
2.5. Siklus Jantung .......................................................................28
2.5.3 Curah Jantung......................................................................28
2.5.4 Denyut Jantung dan Daya Pompa Jantung ..........................28
2.5.5 Definisi Gagal Jantung ........................................................28
2.5.6 Patofisiologi Gagal Jantung ................................................28
2.5.7Pengobatan Gagal Jantung ...................................................28
2.5.8 Obat-Obatan Gagal Jantung ................................................28
2.5.8.1 Penghambat ACE....................................................28
2.5.8.2 Antagonis Angiotensin II ........................................29
2.5.8.3 Diuretik ...................................................................28
2.5.8.4Antagonis Aldosteron ..............................................28
xiv
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2.5.8.5Beta Bloker ..............................................................29
2.5.8.6Vasodilator Lain ......................................................28
2.5.8.7Glikosida Jantung ....................................................28
2.5.8.8 Inotropik Lain .........................................................29
2.5.8.9Antitrombotik ..........................................................28
2.5.8.10Antiaritmia .............................................................28
BAB 3 KERANGKA KONSEP DEFINISI OPERASIONAL ..................35
3.1 Kerangka Konsep ........................................................................35
3.2 Definisi Operasional ...................................................................36
BAB 4 METODE PENELITIAN .................................................................36
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................40
4.1.1 Lokasi Penelitian .................................................................40
4.1.2 Waktu Penelitian .................................................................40
4.2 Rancangan Desain Penelitian ......................................................40
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ..................................................40
4.3.1 Populasi ...............................................................................40
4.3.2 Sampel .................................................................................40
4.4 Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi .........................................41
4.4.1 Kriteria Inklusi ....................................................................41
4.4.2 Kriteria Eksklusi ..................................................................41
4.5 Pengumpulan Data ......................................................................41
4.6 Cara Kerja ...................................................................................43
4.7 Rencana Teknik Analisa Data .....................................................43
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN .........................................................45
5.1 Hasil Penelitian ...........................................................................45
5.1.1 Pengumpulan Data Kelengkapan Resep .............................45
5.1.2 Tahap FMEA .......................................................................47
5.1.2.1 Mengidentifikasi Failure Mode ..............................47
5.1.2.2 Mengidetifikasi Tingkat keparahan, Frekuensi
dan kemungkinan deteksi. ......................................47
5.1.2.3 Perhitungan RPN ....................................................55
5.2 Pembahasan .....................................................................................65
5.2.1 Keterbatasan Penelitian .......................................................65
5.2.2 Tahap Diagnosa ...................................................................65
5.2.3.1 Analisa Kelengkapan Data pasien ..........................66
5.2.3.2 Identifikasi Medication Error akibat
ketidaklengkapan penulis resep ..............................67
5.2.3.3 Identifikasi Medication Error akibat
ketidaklengkapan data perbekalan farmasi .............68
5.2.3.4 Identifikasi Medication Error akibat
ketidaklengkapan data pelayanan resep yang diisi
farmasi
69
5.2.4 Analisa Hasil FMEA ...........................................................70
5.2.4.1 Analisa mengenai FMEA .......................................70
5.2.4.2 Analisa Severity FMEA ..........................................70
5.2.4.3 Analisa Occurance FMEA ......................................71
5.2.4.4 Analisa Detection FMEA .......................................71
xv
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
5.3 Diagram Ischikawa ........................................................................71
5.3.1 Diagram Ishikawa untuk kegagalan membaca riwayat
alergi...................................................................................72
5.3.2 Diagram Ishikawa untuk kegagalan membaca rute
sediaan.............................................................................. .74
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN .........................................................77
6.1 Kesimpulan .................................................................................77
6.2 Saran ...........................................................................................77
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................78
LAMPIRAN ...................................................................................................79
xvi
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
Gambar 2.1 Diagram ishikawa ........................................................................10
Gambar 2.1 Jantung Manusia..........................................................................18
Gambar 2.3 Patofisologi Jantung sistolok dan tempat kerja obatnya .............10
Gambar 2.4 Mekanisme kerja penghambat ACE dan Antagonis All .............18
Gambar 2.5 Mekanisme Kerja Beta Bloker ....................................................10
Gambar 2.6 Mekanisme Kerja PDE3 ..............................................................10
Gambar 5.1 Diagram ishikawa untuk kegagalan riwayat alergi .....................73
Gambar 5.2 Diagram ishikawa untuk kegagalan membaca rute sedian..........75
xvii
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
DAFTARTABEL
Tabel
Halaman
Tabel 2.1 Menetapkan Prioritas berdasarkan RPN .......................................13
Tabel 2.2Tipe Medication error secara umum ...............................................13
Tabel 2.3Menetapkan Prioritas berdasarkan RPN .........................................13
Tabel 2.4Dosis Penghambat ACE ..................................................................13
Tabel 2.5AT1 –Bloker dan Dosisnya ..............................................................13
Tabel 2.6Diuretik dan Dosisnya .....................................................................13
Tabel 2.7Beta Bloker dan Dosisnya ...............................................................13
Tabel 3.1 Definisi Operasional .....................................................................13
Tabel 4.1 Severity atau tingkat keparahan ....................................................13
Tabel 4.2Ocurrance atau frekuensi kejadian ..................................................13
Tabel 4.3Detection atau kemudahan deteksi ..................................................13
Tabel 5.1 Distribusi penilaian ketidaklengkapan resep pada tahap
prescribing di poli jantung IRJ RSUP Fatmawati ........................45
Tabel 5.2 Analisa FMEA untuk sebab dan akibat dari kegagalan pada
resep yang tidak lengkap di IRJ poli jantung RSUP Fatmawati ..49
Tabel 5.3Menetapkan kemungkinan tingkat keparahan dan efek kegagalan
prescribing error untuk metide FMEA .........................................59
Tabel 5.4 OCC: Occuring atau Frekuensi .......................................................59
Tabel 5.5 SEV: Severiy atau tingkatan keparahan ........................................60
Tabel 5.6DET: Detetability atau kemudahan deteksi .....................................60
Tabel 5.7Nilai RPN berdasarkan Prioritas ......................................................61
xviii
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
DAFTARLAMPIRAN
Lampiran
Halaman
Lampiran 1 .....................................................................................................80
Lampiran 2 .....................................................................................................82
Lampiran 3 ......................................................................................................87
Lampiran 4 ......................................................................................................90
Lampiran 5 .....................................................................................................91
xix
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
DAFTARSINGKATAN
DET
:
Detection
FMEA :
Failure Mode And Effect Analysis
ME
Medication Error
:
OCC :
Occurrence
IFRS :
Instalasi Farmasi Rumah Sakit
IRJ
Instalasi Rawat Jalan
:
KTD :
Kejadian Tidak Diharapkan
RSUP :
Rumah Sakit Umum Pusat
RPN
:
Risk Priority Number
SEV
:
Severity
xx
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pelayanan rumah sakit termasuk di dalamnya pelayanan farmasi,
merupakan
wilayah
berisiko
tinggi
dalam
mengakibatkan
medication
error.Medication error adalah kejadian yang merugikan pasien, akibat pemakaian
obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah.
Medication error yang terjadi tentunya merugikan pasien dan dapat menyebabkan
kegagalan terapi, bahkan dapat menimbulkan efek obat yang tidak diharapkan5 .
Salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah medication error adalah dengan
memenuhi Kelengkapan administratif resep atau prescription.
Prescription error atau ketidaklengkapan administrasi dan ketidakjelasan
penulisan dalam bagian resep yang meliputi inscriptio, invocatio, prescriptio,
signatura, subscriptio, dan pro dapat menyebabkan kegagalan6Salah satu cara
untuk mencegah medication error pada tahap prescribingadalah mengidentifikasi
kelengkapan resep dengan menggunakan Failure Mode And Effect Analysis atau
FMEA .
FMEA merupakan suatu metode yang telah dikembangkan untuk
mengidentifikasi, mengukur dan mencegah terjadinya medication erorr1, The
Institute of Health Care Improvement mendefinisikan FMEA sebagai metode
sistematis dan proaktif untuk mengevaluasi suatu proses dan mengidentifikasi di
mana dan bagaimana suatu proses dapat gagal dan memperkirakan faktor
kegagalan yang lain, sehingga diketahui bagian mana dari suatu proses itu yang
paling memerlukan pengembangan2
Penelitian yang pernah dilakukan dengan menggunakan metode FMEA
pada pelayanan farmasi rumah sakit mengenai “Redesign Pelayanan Farmasi
Dengan Metode Failure Mode and Effect Analysis” menemukan bahwa kegagalan
Risk Priority Number (RPN) tertinggi adalah keggalan dalam konfirmasi petugas
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2
apoteker ke dokter dan diikuti kegagalan dalam mendeteksi nama obat dalam
proses prescribing resep3.
FMEA pada awalnya dikembangkan oleh militer Amerika Serikat melalui
prosedur militer dengan judul “Procedures for Performing a Failure Mode, Effect
and Criticality Analysis’’ selanjutnya perkembangan penggunaan metode FMEA
digunakan untuk sistem menilai quality management yang di fokuskan pada
kebutuhan
dan
harapan
pelanggan
dengan
di
keluarkan
International
Organization for Standarization (ISO) 9000 mengenai standar menegement
bisnis. Seiring dengan perkembangan nya metode FMEA di Indonesia telah mulai
digunakan semenjak di kelurkan ISO 9000 pada tahun 1988 dan di terapkan
diberbagai bidang yang berhubungan dengan kepuasan pelayanan seperti industry,
management perusahaan, dan termasuk didalam nya management pelayanan
rumah sakit. Penelitian di rumah sakit yang menggunakan metode FMEA
biasanya mengenai peningkatan mutu dan pelayanan program pasien safety
Penerapan FMEA di rumah sakit digunakan untuk mengidentifikasi
potensi terjadinya masalah atau error dalam suatu pelayanan kesehatan. Dengan
memfokuskan pencegahan kesalahan atau malpraktek dalam proses pelayanan
kesehatan dan penanganan pasien.
Penyakit jantung (Kardiovaskular) merupakan penyakit yang bayak
diderita oleh masyarakat dan merupakan permasalahan global, dimana angka
morbiditas dan mortalititasnya tinggi. Prevalensi di Amerika diperkirakan 82.6
juta orang mengalami penyakit kardiovaskular26. Tiap tahunya penduduk dunia
meninggal akibat penyakit kardiovaskular, melebihi berbagai macam penyebab
kematian lainya. Diperkirakan 17.3 juta penduduk dunia meninggal akibat
penyakit kardiovaskular pada tahun 2008 (mewakili 30% kematian di dunia),
terdiri dari 7.3 juta akibat penyakit jantung koroner (PJK) dan 6,2 juta akibat
stroke. Sebanyak 80% terjadi di negara dengan penghasilan rendahmenengah.
Dan diperkirakan 23.6 juta penduduk dunia akan meninggal akibat penyakit
kardiovaskular pada tahun 203027. Oleh karena itu dibutuhkan perhatian lebih
dalam pelayanan pasien kardiovaskular dan dibutuhkan suatu metode untuk
mengevaluasi kinerja pelayanan pasien kardiovaskular di rumah sakit.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
3
Penerapan metode FMEA pada proses identifikasi medication error tahap
prescribing di IRJ Poli Jantung RSUP Fatmawati dapat memberikan hasil yang
lebih baik dari metode yang biasa digunakan , karena metode FMEA dapat
digunakan selain untuk mengidentifikasi, mengukur dan mencegah terjadinya
medication error yang disebabkan ketidaklengkapan resep (prescription error)
metode FMEA ini dapat mengidentifikasi di mana dan bagaimana suatu proses
dapat gagal dan memperkirakan faktor kegagalan yang lain, sehingga dapat
diketahui
bagian
mana
dari
suatu
proses
yang
paling
memerlukan
pengembangan3.
Dengan melihat hal tersebut maka metode FMEA dibutuhkan sebagai
metode yang sistematis dan proaktif untuk mencegah terjadinya medication error
yang disebabkan oleh prescription error dengan memeriksa kelengkapan resep .
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan masalah penelitian
sebagai berikut :
1. Medication error sering terjadi di rumah sakit.
2. Salah satu penyebab terjadinya medication error di rumah sakit adalah
prescription error.
3. Untuk mendeteksi adanya medication errorpada tahap prescribing yang
dapat dilakukan dengan menggunakan metode FMEA.
1.3
Pertanyaan Penelitian
1. Apakah metode FMEA dapat digunakan untuk mendeteksi medication
errorpada tahap prescribing di instalasi rawat jalan RSUP Fatmawati .
2. Faktor apa yang mempengaruhi Medication error pada tahap prescribing
dalam pelayanan resep poli jantung di instalasi rawat jalan RSUP
Fatmawati?
3. Apa dampak yang terjadi pada pasien akibat dari medication error tahap
prescribing pada resep poli jantung di instalasi rawat jalan RSUP
Fatmawati ?
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
4
1.4
Tujuan Penelitian
1.4.1
Tujuan Umum
Untuk mengetahui medication error yang terjadi pada tahap prescribing
dan faktor yang mempengaruhi nya serta dampak yang dirasakan oleh pasien
dengan menggunkan metode FMEA.
1.4.2
Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui bahwa metode FMEA dapat mendeteksi medication
errorpada tahapprescribingmelalui analisa resep poli jantung di RSUP
fatmawati.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi medication error
tahap prescribing padaresep poli jantung di IRJ RSUP Fatmawati.
3. Untuk mengetahui kemungkinan dampak yang timbul akibat medication
error tahap prescribing pada resep poli jantung di IRJ RSUP Fatmawati.
1.5
1.5.1
Manfaat Penelitian
Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu
pengetahuan bagaimana cara mendeteksi medication error dengan metode failure
mode and effect analysis di rumah sakit.
1.5.2
Metodologi
Metode dalam penelitian ini dapat digunakan untuk mendeteksi
medication error pada tahap lainnya yaitu transcribing dan dispensing.
1.5.3
Aplikatif
Secara aplikatif hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan suatu bahan
pertimbangan ataupun informasi dalam peningkatan mutu pelayanan farmasi serta
dalam membuat kebijakan di rumah sakit
1.6
Ruang Lingkup
Penelitian yang berjudul “Penerapan Failure Mode And Effect Analysis
(FMEA) untuk Mengidentifikasi Prescription Error Pada Resep Poli Jantung Di
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
5
Instalasi Rawat Jalan RSUP Fatmawati” hanya dibatasi pada medication error
pada tahap prescribing, penelitian ini dilakukan di Instalsi rawat jalan RSUP
Fatmawati, besar sampel dalam penelitian ini adalah jumlah resep pada poli
jantung IRJ RSUP Fatmawati bulan januari 2015 yaitu 3649 lembar resep, desain
penelitian ini adalah cross sectional dengan pendekatan retrospektif, waktu
penelitian dilaksanakan pada bulan agustus sampai bulan september 2015.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
2.1.1
Failure Mode Effect Analysis (FMEA)
Sejarah
Prosedur untuk melakukan FMEA digambarkan di United State (US)
angkatan bersenjata dengan prosedur militer dikumen MIL-P-1629 pada tahun
1949; direvisi pada tahun 1980 sebagai MIL-STD-1629A. Pada awal 1960 ,
kontraktor untuk US National Aeronautics and space administration (NASA) yang
menggunakan varian FMEA. Program NASA menggunakan varian FMEA
termasuk Apollo, Viking, Volyager, Magellan, Galileo, dan Skylab. Industri
penerbangan sipil adalah adopter awal FMEA, dengan Society for Automotive
Enginers (SAE) penerbitan ARP926 pada tahun 1967. Setelah dua revisi, ARP926
dengan digantikan oleh ARP4761, yang sekarang secara luas digunakan dalam
penerbangan sipil. Industri otomotif mulai menggunakan FMEA pada
pertengahan 1970. The Ford Motor Company memperkenalkan FMEA untuk
industry otomotif untuk keselamatan dan pertimbangan peraturan. Ford
menerapkan
pendekatan
yang
sama
untuk
proses
PFMEA
untuk
mempertimbangkan proses potensial yang disebabkan kegagalan sebelum
meluncurkan produksi. The SAE J1739 pertamakali diterbitkan standar terkait
pada tahun 1994. Standar ini juga sekarang dalam edisi keempat. Meskipun
awalnya dikembangkan oleh militer, metodelogi FMEA sekarang banyak
digunakan dalam berbagai industry termasuk pengolahan semikonduktor,
pelayanan makanan, plastic, perangkat lunak, dan kesehatan.
Dalam Penelitian di rumah sakit FMEA atau lebih sering disebut HMEA
(Hospitel Mode and Effect Analysis) mulai diterapkan sebagai salah satu syarat
perbaiakn mutu rumah sakit yang diterima untuk mendapatkan akreditasi
international JCI (Joint Commution International)
2.1.2
Pengertian FMEA
FMEA adalah suatu prosedur terstruktur untuk mengidentifikasi dan
mencegah sebanyak mungkin
mode kegagalan. FMEAdigunakan untuk
mengidentifikasi sumber-sumber dan akar penyebab dari suatu masalah. Terdapat
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
7
dua penggunaan FMEA yaitu dalam bidang desain (FMEA Desain) dan dalam
proses (FMEA Proses). 8
Para ahli memiliki beberapa definisi mengenai FMEA, definisi tersebut memiliki
arti yang cukup luas dan apabila dievaluasi lebih dalam memiliki arti yang
serupa.7FMEA di rumah sakit atau disebut juga HFMEA (Heathcare Failure
Mode and Effect Analysis) di definisikan sebagai berikut ;
1. Merupakan program penilaian yang berfungsi untuk mengidentifikasi dan
memperbaiki langkah-langkah dalam proses di rumah sakit yang akan
menunjang keselamatan dan kepuasan pasien secara klinis.
2. Pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi dan mencegah masalah
dalam produk dan proses pelayanan pasien atau pengobatan
2.1.3 Langkah Dasar FMEA
Aktifitas utama dalam melakukan FMEA di rumah sakit antara lain
1. Analisa Failure mode
failure mode adalah proses atau subproses yang melalui berbagai cara
dapat gagal memberikan hasil yang diharpkan.
2. Analisa masalah (hazard analysis)
adalah proses mengumpulkan dan mengevaluasi informasi mengenai
masalah yang berkaitan dengan proses yang dipilih (area menjadi focus
FMEA) dengan tujuan memperoleh daftar masalah atau kesalahan yang
significant, yang paling sering menyebabkan cidera atau sakit.
3. Menetapkan control yang efektif
adalah menentukan langkah pencegahan (barrier) untuk menhilangkan
atau mengurangi secara significant semua kemungkinan terjadinya
masalah atau problem dalam aktifitas sehari-hari
langkah-langkah FMEA (Join Comission Resource)
1. Menetukan proses yang mempunyai risiko tinggi dan membentuk tum
(Select a high risk process and assemble a team)
2. Menyususn diagram proses (Diagram the process)
3. Brainstorming potential failure modes and akibat-akibat yang ditimbulkan
( Brainstorm potential failure modes and determine their effect)
4. Menentukan prioritas failure modes (Prioritize failure modes)
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
8
5. Identifikasi akar penyebab masalah dari failure mode (identify root causes
of failure modes)
6. Menetukan rancangan ulang proses
7. Analisa dan pengujian proses baru (Analyze and test the new process)
8. Implementasi dan monitoring rancangan ulang proses (Implement and
monitor the new process)
Langkah-langkah penetapan prioritas berdasarkan Risk Priority Number
(RPN)
Tabel 2.1 Penetapan prioritas berdasarkan RPN
No
Tahapan kegagalan OCC
SEV
DET
RPN
Prioritas
Proses
1
2
2.1.4
Fungsi FMEA di rumah sakit dan lembaga kesehatan lainnya
FMEA di rumah sakit dan lembaga kesehatan lainnya berfungsi untuk
mencegah kesalahan dengan cara menganalisa factor-faktor penyebab
kesalahan tersebut (potensi terjadinya kesalahan dalam operasional seharihari), sehingga kita bisa dapat ditentukan langkah atau modifikasi sistem
untuk mencegah kesalahan tersebut terjadi. Selain itu FMEA juga berfungsi
untuk :
1. mencegah masalah dalam penanganan kesehatan
2. mencegah terjadinya malpraktek dan meningkatkan keselamatan pasien
3. membuat sistem pelayanan kesehatan menjadi semakin efisien
4. mencegah terjadinya kecelakaan karena kelalaian
5. meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan secara keseluruhan
Terdapat langkah dasar dalam proses FMEA yang dilakukan oleh tim
2.1.5
Identifikasi Element-Element FMEA Proses
Element FMEA dibangun berdasarkan informasi yang mendukung analisa.
Beberapa element-elemant FMEA adalah sebagai berikut8 :
1.
Nomer FMEA (FMEA Number)
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
9
Berisi nomer dokumentasi FMEA yang berguna untuk identifikasi
dokumen.
2.
Jenis (item)
Berisi nama dan kode nomer sistem, subsistem atau komponen dimana
akan dilakukan analisa FMEA.
3.
Penanggung Jawab Proses (Process Responsibility)
Adalah nama departemen/bagian yang bertanggung jawab terhadap
berlangsungnya proses.
4.
Fungsi Proses (Process Fungtion)
Adalah deskripsi singkat mengenai proses pembuatan item dimana sistem
akan dianalisa.
5.
Bentuk Kegagalan Potensial (Pontential Failure Mode)
Merupakan suatu kejadian dimana proses dapat dikatakan secara potential
gagal untuk memenuhi kebutuhan proses atau tujuan akhir produk.
6.
Effek Potensial dari kegagalan (potential Effect of Failure)
Merupakan suatu efek dari bentuk kegagalan terhadap pelanggan. Dimana
setiap perubahan dalam variable dipengaruhi proses akan menyebabkan
proses itu menghasilkan produk diluar batas-batas spesifikasi.
7.
Tingkat Keparahan (Severity)
Penilaian keseriusan efek dari bentuk kegagalan potensial.
8.
Klasifikasi (Classification)
Merupakan dokumentasi terhadap klasifikasi karakter khusus dari
subproses untuk menghasilkan komponen, sistem atau subsistem tersebut.
9.
Effect Potensial dari kegagalan (Potential Failure Mode)
Merupakan suatu kejadian dimana proses dapat dikatakan secara potensial
gagal untuk memenuhi kebutuhan proses atau tujuan akhir produk.
10. Keterjadian (Occurrance )
Adalah sesring apa penyebab kegagalan spesifik terjadi.
11. Pengendalian Proses saat ini (Current Process Control)
Merupakan penilaian deskripsi dari alat pengendali yang dapat mencegah
atau memperbesar kemungkinan bentuk kegagalan terjadi atau mendeteksi
terjadinya bentuk kegagalan tersebut.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
10
12. Deteksi (Detection)
Merupakan penilaian dari kemungkinan alat tersebut dapat mendeteksi
penyebab potensial terjadinya suatu bentuk kegagalan
13. Nomer Prioritas Resiko (Risk Priority Number)
Merupakan angka prioritas resiko yang didapatkan dari perbaikan Severity,
Occurrence, dan Detection.
RPN = S * O * D
14. Tindakan yang direkomendasikan (Recommended Action)
Setelah bentuk kegagalan diatur sesuai peringkat RPN nya , maka tindakan
perbaikan harus segera dilakukan terhadap bentuk kegagalan dengan nilai
RPN tinggi.
15. Tindakan Yang diambil (Action Taken)
Setelah tindakan diiplementasikan, dokumentasikan secara singkat uraian
tindakan tersebut serta tanggal effektifnya.
16. Hasil RPN (Resulting RPN)
Setelah tindakan
perbaiakan diidentifikasi,
perkiraan dan
rekam
Occurrence, Severity, dan Detection baru yang dihasilkan serta hitung
RPN yang baru. Jika tidak ada tindakan lebih lanjut diambil maka beri
catatan.
17. Tindakan Lanjut (Follow Up)
Dokumentasi proses FMEA akan menjadi dokumen hidup dimana akan
dilakukan perbaikan terus menerus sesuai kebutuhan.
2.1.6
Analisa Sistem Pengukuran (Measurement System analysis)
Analisa ini dilakukan untuk mengetahui kemapuan alat ukur yang dipakai
untuk mendeteksi terjadinya suatu kegagalan dalam proses. Dari perhitungan akan
didapatkan Gage repeatability, reproducibility, dan nilai number of distinct
category7.
2.1.6.1 Cause and Effect Diagram
Diagram ini disebut juga dengan diagram tulang ikan karena bentuknya
seperti ikan. Selain itu disebut juga dengan diagram Ishikawa karena yang
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
11
menemukan adalah Prof. Ishikawa yang berasal dari jepang. Diagram ini
digunakan untuk menganalisa dan menemukan faktor-faktor yang berpengaruh
secara signifikan dalam menentukan karakteristik kualitas output kerja, mencari
penyebab-penyebab yang sesungguhnya dari suatu masalah.
SDM
METODE
MUTU
ALAT
LINGKUNGAN
Gambar 1 Diagram Ishikawa (Fajar, 2006)
Cause and Effect Diagram ini mempunyai keuntungan :
1. SDM (Sumber Daya Manusia)
Sumber daya manusia berperan penting dalam proses penanganan masalah
yang meliputi;
a. Dokter
b. Farmasist
c. Perawat dan petugas lain
2. Alat
a. Tempat Kerja
b. Alat pendukung lainnya
3. Metode
Merupakan suatu tata cara kerja atau prosedur yang mempelancar jalannya
suatu proses dalam pelayanan
4. Manajemen (Sistem kerja)
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
12
Komunikasi yang baik antara tenaga kesehatan untuk menunjang
pelayanan.
5. Lingkungan
Kondisi yang mempengaruhi proses pelayanan
2.1.5.2 Pareto Diagram
Untuk mengidentifikasi penyebab terbesar yang terjadi dapat digunakan
pareto diagram. Pareto digunakan untuk menstrafikasi data ke dalam kelompokkelompok dari yang terbesar sampai terkecil. Dengan bentuknya berupa diagram
batang, pareto berguna untuk mengidentifikasi kejadian-kejadian atau penyebab
masalah yang paling umum. Analisa paretro didsarkan pada hokum 80/20 yang
berarti bahwa 80% kerugian hanya disebabkan oleh hanya 20% masalah tersebar7.
2.1.6
Penggunaan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)
Penggunaan FMEA awalnya pada desain proses yang memungkinkan
teknisi untuk mengetahui kegagalan dan menghasilkan keandalan, keamanan dan
produk yang sesuai keinginan konsumen.
Tipe-Tipe FMEA sebagai berikut 20:
1. Sistem yang berfokus pada fungsi sistem secara global
2. Desain, yang berfokus pada kompenen dan dan subsistem
3. Proses, yang berfokus pada manufaktur dan perakitan
4. Service, yang berfokuspada fungsi pelayanan
5. Software, yang berfokus pada fungsi Software
FMEA
adalah
suatu
dokumen
hidup
sepanjang
siklus
hidup
pengembangan produk selalu berubah dan diperbarui. Perubahan ini dapat sering
juga memperkenalkan gaya kegagalan baru. Oleh karena itu perlu untuk meninjau
ulang dan memperbarui FMEA kedtika :
1. Suatu produksi baru atau proses sedang diaktifkan
2. Perubahan dibuat kepada kondisi operasi proses atau produk diharapakn
untuk berfungsi
3. Suatu perubahan dibuat baik untuk produk maupun proses mendesain
4. Peraturan baru dibuat
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
13
5. Umpan balik pelanggan menandai permasalahn dalam produk dan proses.
2.1.7
Penelitian sebelumnya
Penelitian – penelitian sebelumnya yang digunakan sebagai referensi
penelitian ini adalah yaitu jurnal yang disusun oleh Supriyanti, Eri et all. (2011).
Dalam penelitian ini , FMEA digunakan untuk menganalysis desain pelayanan
farmasi di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Pada penelitian ini
diharapkan metode FMEA dapat meminimalkan kesalahan dalam sistem
penggunaan obat dalam pelayanan farmasi rawat jalan RS PKU Muhammadiyah
Yogyakarta. Hasil penelitian ini nilai RPN tertinggi terjadi pada kegagagalan
dalam konfirmasi kedokter sebesar 294 dilanjutkan kegagalan mendeteksi nama
obat sebesar 216. Penelitian ini memberikan masukan untuk perubahan layout
stiker warna penandaan obat sesuai kelas terapi SOP komunikasi kedokter penulis
resep, komfirmasi kedokter untuk resep non cito dan prosedur pelaksanaan
supervisi pelayanan farmasi rawat jalan.
Jurnal yang disusun oleh Lago P, Bizari G, Scalzotto F, et al (2012) dalam
penelitian ini metode FMEA digunakan untuk menganalysis untuk mengurangi
risiko prescribing error dan administari obat pada pasien pediatric.
Dalam
penelitian ini diharapkan metode FMEA dapat menganalisis kegagalan sebab
FMEA dikenal sebagai metode proaktif untuk menganalisa risiko, identifikasi
kegagalan sebelum terjadi. Hasil penelitian ini dari 37 prioritas potensial
penyebab kegagalan dan 71 penyebab kegagalan dan efek yang dapat di
identifikasi dengan nilai RPN >48 adalah kesalahan dalam perhitungan dosis obat
dan konsentrasi obat.
Skripsi yang disusun oleh Kustiyaningsih, Febri (2011) dalam penelitian
nya yang berjudul; Penentuan prioritas penanganan kecelakaan kerja di PT GE
Lightening Indinesia dengan metode Failure Mode and Effect Analysis. Hasil
penelitian bahwa nilai RPN tertinggi adalah kategori; terpleset, tersandung, dan
terjatuh pada lantai datar dengan penyebab utama control manajemen yang tidak
maksimal, dengan nilai RPN 540.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
14
2.2
Medication Error
Medicatin error dapat terjadi dimana saja dalam rantai pelayanan obat
pasien, mulai dari peresepan, pembacaan resep, peracikan, penyerahan dan
monitoring pasien. Di dalam setiap mata rantai ada beberapa tindakan, setiap
tindakan mempunyai potensi sebagai sumber kesalahan. Setiap tenaga kesehatan
dalam mata rantai ini mmberikan kontribusi terhadap kesalahan (Cochen,1999)
Medication error adalah sesuatu yang tidak benar, dilakukan melalui
ketidaktahuan atau ketidaksengajaan, kesalahan, misalnya dalam perhitungan,
penghakiman,
berbicara,
menulis
tindakan,
dll
atau
kegagalan
untuk
menyelesaikan tindakan yang direncanakan sebagaimana dimaksud, atau
penggunaan yang tidak benar rencana tindakan untuk mencapai tujuan tertentu
(Aronson, 2009)
2.2.1
Penggolongan Medication Error
Berdasarkan tahap kejadiannya, medication error dibagi menjadi
prescribing error (kesalahan peresepan), dispensing error (kesalahan penyebaran/
distribusi), dispensing error (kesalahan pemberian obat), administration error
(kesalahan pemberian obat),
dan compience error (kesalahan kepatuhan
penggunaan obat oleh pasien) (widiarti, 2008)
Medication error digolongkan menjadi beberapa jenis berdasarkan tempat
kejadiannya23
Tabel2.2Tipe Medication error secara umum
Tipe
Keterangan
Prescribing error
Kesalahan pemilihan obat (berdasarkan indikasi, kontra
(kesalahan dalam
indikasi, alergi yang tidak diketahui, terapi obat yang
penulisan)
sedang berlangsung, dan factor lainnya) dosis, bentuk
sediaan
obat,
kuantitas,
rute
konsentrasi,
kecepatan
pemberian, atau intruksi untuk penggunaan obat, penulisan
resep yang tidak jelas, dan lain-lain yang menyebabkan
terjadinya kesalahan pemberian obat kepada pasien.
Omission error
Kegagalan memberikan dosis obat kepada pasien sampai
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
15
(kesalahan karena
pada jadwal berikutnya.
kurang stok obat)
Wrong time error
Memberikan obat diluar waktu, dari interval waktu yang
(salah waktu
ditentukan.
pemberian)
Unauthorized drug
Memberikan obat yang tidak diresepkan oleh dokter.
error (kesalahan
pemberian obat
diluar kuasa)
Wrong patient
Memberikan obat kepada pasien yang salah
(salah pasien)
Improper dose
Memberikan dosis obat kepada pasien lebih besar atau lebih
error (kesalahan
kecil dari dosis yang diinstruksikan oleh dokter, atau
karena dosis yang
memberikan dosis duplikasi.
tidak tepat)
Wrong dosage
Memberikan obat dengan bentuk sediaan yang tidak sesuai.
from error
(kesalahan dari
dosis yang salah)
Wrong drug
Mempersipkan obat dengan bentuk sediaan yan tidak sesuai.
preparation error
(kesalahan dari
persiapan obat)
Wrong
Prosedur atau tehnik yang tidak layak atau tidak benar saat
administration
pemberiaan obat.
thecnequi error
(kesalahan dari
tehnik administrasi
yang salah)
Deterioted drug
Memberikan obat yang telah kadaluarsa atau telah
error (kesalahan
mengalami penurunan aktifitas
pemberian obat
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
16
yang aktifitasnya
menurun)
Monitoring error
Kegagalan untuk memnatau kelayakan dan deteksi problem
(kesalahan dalam
dari regimen yang diresepkan, atau kegagalan untuk
pemantauan)
menggunakan data klinis atau laboratorium untuk asesmen
respon pasien terhadap terapi obat yang diresepkan.
Complience error
sikap
pasien yang tidak layak terkait dengan ketaatan
(kesalahan
penggunaan obat yang diresepkan.
kepatuhan
penggunaan obat
oleh pasien)
2.2.2
Faktor - Faktor Penyebab Medication Error
Penelitian di Amerika yang memperhitungkan kematian akibat kesalahan
obat, kebnayakan terjadi pada saat fase prescribing atau peresepan yang
diakibatkan dari kurangnya dalam pengetahuan, komunikasi yang buruk, dan
kurangnya mempertimbangkan informasi penting pasien. Pada tingkat dispensing
kesalahan mungkin timbul karena nama obat-obatan yang serupa, dan penampilan
bahan kemasan, pemberian obat tidak teratur, karena beban kerja yang lebih.
Dispensing dosis obat tinggi, dan bentuk sediaan yang tidak benar dapat
menyebabkan kondisi mengancam jiwa (muhtar, 2003)
2.2.3
Medication Error pada prescribing
Kesalahan meresepkan dan kesalahan resep merupakan masalah utama di
antara kealahan pengobatan. Prescribing terjadi baik dirumah sakit umum maupun
dirumah sakit khusus, meskipun kesalahan jarang terjadi hingga fatal namun dapat
mempengaruhi keselamatan pasien dan kualitas kesehatan (Giampaolo, 2009).
Penggunaan singkatan istilah dan satuan ukuran sering terdapat dalam
resep dan order obat. Beberapa istilah diambildari bahasa latin karena sejarah
penggunaannya dalam obat-obatan dan farmasi sementara istilah lain berkembang
melalui penyingkatan penulisan oleh pembuat
resep. Sayangnya, kesalahan
pengobatan dapat terjadi akibat kesalahan pemakaian. Kealahan penafsiran,
penulisan singkatan tidak terbaca, sebab penggunaan singkatan khusus atau
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
17
buatan. Kesalahan pengobatan dapat dihindari melalui penggunaan kosakata yang
terkendali, pengurangan pemakaian singkatan, berhati-hati dalam menulis angka
decimal, dan penulisan angka nol diawal dan di akhir secara tepat (Ansel, 2006)
Kesalahan resep mencakup segala hal yang terkait dengan tindakan
menulis resep, sedangkan kesalahan peresepan meliputi peresepan irrasional,
peresepan obat berlebih, peresepan obat yang kurang dan peresepan dan
peresepan yang tidak efektif, yang timbul dari penilaian medis atau keputusan
mengenai perawatan atau pengobatan dan pemantauan yang keliru (Giampaolo,
2009).
Apoteker hanya mencatat kesalahan resep dengan dampak klinis
potensional atau yang terlihat dirumah sakit. Untuk kesalahan peresepan
administrasi misalnya, tempat peresepan itu tidak sempurna tapi pada dasar nya
tidak berarti dengan perawatan yang berkaitan pasien, seperti kesalahan ejaan atau
kegagalan untuk menunjukkan rute tempat pemberian ini tidak dicatat. Tempat
risiko potensial berpotensi serius klinis ini diidentifikasi, diklasifikasikan kedalam
kategori berpotensi serius, sangat serius, hanya signifikansi klinis relative kecil
(Dobrzanski, 2002)
2.3
2.3.1
Resep
Definisi Resep
Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada
Apoteker, baik dalam bentuk paper maupun electronic untuk menyediakan dan
menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku (Peraturan Menteri
Kesehatan No. 35 tahun 2014). Resep ditulis diatas kertas dengan ukuran 10-12
cm dan panjang 15-18 cm, hal tersebut digunakan karena resep merupakan
dokumen pemberian/penyerahan obat kepada pasien, dan diharapkan tidak
menerima permintaan resep melalui telepon
Demi keamanan penggunaan, obat dibagi dalam beberapa golongan.
Secara garis besar dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu obat bebas (OTC =
Other of the counter) dan Ethical (obat narkotika, psikotropika, dan keras), harus
dilayani dengan resep dokter. Jadi sebagian obat tidak bisa diserahkan langsung
pada pasien atau masyarakat tetapi harus melalui resep dokter (on medical
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
18
prescription only). Dalam sistem distribusi obat nasional, peran dokter sebagai
“medical care” dan alat kesehatan ikut mengawasi penggunaan obat oleh
masyarakat, apotek sebagai organ distributor terdepan berhadapan langsung
dengan masyarakat atau pasien, dan apoteker berperan sebagai “pharmaceutical
care” dan informan obat, serta melakukan pekerjaankefarmasian di apotek. Di
dalam sistem pelayanan kesehatanmasyarakat, kedua profesi ini harus berada
dalam satu tim yang solid dengan tujuan yang sama yaitu melayani kesehatan dan
menyembuhkan pasien 8
2.3.2
Jenis-jenis Resep
Disebutkan jenis-jenis resep terdiri dari 9:
1. Resep standar (R/. Officinalis), yaitu resep yang obatnya/komposisi telah
tercantum dalam buku farmakope atau buku lainnya dan merupakan
standar.
2. Resep magistrales (R/. Polifarmasi), yaitu resep formula obatrnya disusun
sendiri oleh dokter penulis resep dan menentukan dosis serta bentuk
sediaan obat sendiri sesuai penderita yang dihadapi.
Jenis-jenis renis-jenis resep yaitu8:
1. Resep medicinal, yaitu resep obat jadi, bisa berupa obat paten, merek
dagang maupun generik, dalam pelayanannya tidak mangalami peracikan.
2. Resep obat generik, yaitu penulisan resep obat dengan nama generik
dalam bentuk sediaan dan jumlah tertentu. Dalam pelayanannya bisa atau
tidak mengalami peracikan.
2.3.3
Penulisan Resep
Disebutkan bahwa penulisan resep artinya pemberian obat secara tidak
langsung, ditulis jelas dengan tinta, tulisan tangan pada kop resmi kepada pasien,
format dan kaidah penulisan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang mana permintaan tersebut disampaikan kepada farmasi atau apoteker
di apotek agar diberikan obat dalam bentuk sediaan dan jumlah tertentu sesuai
permintaan kepada pasien yang berhak. 8.9
2.3.4
Penulis Resep
Yang berhak menulis resep adalah11 :
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
19
1. Dokter Umum.
2
Dokter gigi, terbatas pada pengobatan gigi dan mulut.
3
Dokter hewan, terbatas pada pengobatan pada hewan/pasien hanya hewan.
2.3.5
Tujuan Penulisan Resep
Tujuan dari penulisan resep adalah sebagai berikut9
1. Memudahkan dokter dalam pelayanan kesehatan di bidang farmasi /
obatMeminimalkan kesalahan dalam pemberian obat.
2. Terjadi kontrol silang (cross check) dalam pelayanan kesehatan dibidang
farmasi / obat.
3. Instalasi farmasi / apotek waktu bukanya lebih panjang dalam pelayanan
dibandingkan praktik dokter.
4. Dituntut peran dan tanggung jawab dokter dalam pengawasan distribusi obat
kepada masyarakat.
5. Pemberian obat lebih rasional dibandingkan dispensing.Pelayanan lebih
berorientasi kepada pasien (patient oriented) dan menghindarkan material
oriented.
2.3.6
Format Penulisan Resep
Resep terdiri dari 6 bagian 8,10
1. Inscriptio: Nama dokter, no. SIP, alamat/telepon/HP/kota/tempat, tanggal
penulisan resep. Untuk obat narkotika hanya berlaku untuk satu kota
provinsi. Sebagai identitas dokter penulis resep, format inscription suatu
resep dari rumah sakit sedikit berbeda dengan resep pada praktik pribadi.
2. Invocatio : permintaan tertulis dokter dalam singkatan latin “R/ = resipe”
artinya ambilah atau berikanlah, sebagai kata pembuka komunikasi dengan
apoteker di apotek.
3. Prescriptio atau Ordonatio : nama obat dan jumlah serta bentuk sediaan
yang diinginkan.
4. Signatura : yaitu tanda cara pakai, regimen dosis pemberian, rute dan
interval waktu pemberian harus jelas untuk keamanan penggunaan obatdan
keberhasilan terapi.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
20
5. Subscrioptio : yaitu tanda tangan/ paraf dokter penulis resep berguna
sebagai legalitas dan keabsahan resep tersebut.
6. Pro (diperuntukkan) : dicantumkan nama dan tanggal lahir pasien.
Teristimewa untuk obat narkotika juga hatus dicantumkan alamat pasien
(untuk pelaporan ke Dinkes setempat).
2.3.7
Kerahasiaan dalam Penulisan Resep
Resep merupakan sarana komunikasi professional antara dokter (penulis
resep), APA (penyedia/pembuat obat) dan penderita (yang menggunakan obat)
(Lestari, 2002). Oleh karena itu, resep tidak boleh diberikan atau diperlihatkan
kepada yang tidak berhak karena resep bersifat rahasia. Rahasia dokter dengan
apoteker menyangkut penyakit penderita, khusus beberapa penyakit, dimana
penderita tidak ingin orang lain mengetahuinya. Oleh karena itu kerahasiaannya
dijaga, kode etik dan tata cara (kaidah) penulisan resep (Jas, 2009).
Resep asli harus disimpan di apotek dan tidak boleh diperlihatkan kecuali
oleh yang berhak, yaitu
8,10,11
:
1. Dokter yang menulis atau merawatnya.
2. Pasien atau keluarga pasien yang bersangkutan.
3. Paramedis yang merawat pasien.
4. Apoteker yang mengelola apotek bersangkutan.
5. Aparat pemerintah serta pegawai (kepolisian, kehakiman, kesehatan) yang
ditugaskan untuk memeriksa.
6. Petugas asuransi untuk kepentingan klem pembayaran.
2.3.8
Pengkajian Resep
Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik
dan perumbangan klinik. Jika ditemukan ketidaksesuaian dari hasil pengkajian
maka apoteker harus menghubungi dokter penulis resep
2.3.8.1 Kajian administrasi
Kajian administrasi meliputi :
a. Nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan;
b. Nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telpon
dan paraf; dan
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
21
c. Tanggal penulisan resep
2.3.8.2 Kajian kesesuaian farmasetik
Kajian kesesuaian farmasetik meliputi
1. Bentuk dan kekuatan sediaan;
2. Satbilitas; dan
3. Kompatibilitas (ketercampuran obat)
2.3.8.3 Pertimbangan klinis
Pertimbangan klinis meliputi
1.
Ketepatan indikasi dan dosis obat;
2.
Aturan, cara dan lama penggunaan obat;
3.
Duplikasi dan/ atau polifarmasi
4.
Reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping, obat,
menifestasi klinis lain);
5.
Kontraindikasi; dan
6.
Interaksi.
2.3.8.4 Dispensing
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi
obat.Setelah melakukan pengkajian resep dilakuakn berbagaihal seperti berikut:
a.
Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep
b.
Menghitung kebutuha jumlah Obat sesuai dengan Resep;
c.
Mengambil Obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan
memperhatikan nama obat, tanggal kadaluarsa dan keadaan fisik obat.
d.
Melakukan peracikan obat bila diperlukan
e.
Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi :
1. Warna putih untuk obat dalam/oral
2. Warna biru untuk Obat luar dan suntik
3. Menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan bentuk suspense
atau emulsi.
f.
Memasukkan obat kedalam wadah yang tepat dan terpisah untuk obat
yang berbeda untuk menjaga mutu obat dan menghindari penggunaan
yang salah.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
22
Setelah penyiapan obat dilakukan hal sebagai berikut :
a.
Sebelum obat diserahkan kepada pasien harus melakukan pemeriksaan
kembali mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara
penggunaan serta jenis dan jumlah obat (kesesuaian antara penulisan
etiket dengan resep)
b.
Memanggil nama dan nomor tunggu pasien
c.
Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien
d.
Menyerahkan obat yang disertai dengan pemberian informasi obat;
e.
Memberikan informasi cara penggunaan obat dan hal-hal yang terkait
dengan obat antara lain manfaat obat, makanan dan minuman yang
harus dihindari , kemungkinan efek samping, cara penyimpanan obat
dan lain-lain;
f.
Penyerahan obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara
yang baik, mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin
emosinya tidak stabil;
g.
Memastikan bahwa yang menerima obat adalah pasien atau
keluarganya;
h.
Membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan di paraf oleh
apoteker (apabila diperlukan);
2.3.9
i.
Menyimpan resep pada tempatnya ;
j.
Apoteker membuat catatan pengobatan pasien
Tanda-tanda pada resep
Tanda- tanda pada resepadalah sebagai betikut 8,10
1.
Tanda Segera, diberikan untuk pasien yang harus segera memerlukan
obat, tanda segera atau peringatan dapat ditulis sebelah kanan atas
atau bawah blanko resep, yaitu: Cito!
= segera, Urgent = penting,
Statim = penting sekali dan PIM (Periculum in mora) = berbahaya
bila ditunda. Urutan yang didahulukan adalah PIM, Statim, dan Cito!.
2.
Tanda tidak dapat diulang, Ne iteratie (N.I). Apabila dokter tidak
ingin resepnya diulang, maka tanda N.I ditulis di sebelah atas blanko
resep. Resep yang tidak boleh diulang adalah resep yang
mengandung obat-obatan narkotik, psikotropik dan obat keras yang
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
23
telah ditetapkan oleh pemerintah atau Menteri kesehatan Republik
Indonesia.
3.
Tanda
resep
dapat
diulang,
Iteratie
(Iter).Apabila
dokter
menginginkan agar resepnya dapat diulang, dapat ditulis dalam resep
di sebelah kanan atas dengan tulisan iter (Iteratie) dan berapa kali
boleh diulang. Misal, iter 3x, artinya resep dapat dilayani 4x (1 + 3x
ulangan). Untuk resep yang mengandung narkotika, tidak dapat
diulang (N.I) tetapi harus dengan resep baru.
4.
Tanda dosis sengaja dilampaui.Tanda seru dan paraf dokter diberi di
belakang nama obatnya jika dokter sengaja member obat dosis
maksimum dilampaui.
5.
Resep yang mengandung narkotik, tidak boleh ada iterasi yang
artinya dapat diulang, aturan pakai jelas yaitu tidak boleh ada tulisan
u.c. (usus cognitus) yang berarti pemakaiannya diketahui, tidak boleh
ada m.i. (mihipsi) yang berarti untuk dipakai sendiri tetapi obat
narkotik di dalam resep diberi garis bawah tinta merah. Selain itu,
resep yang mengandung narkotik harus disimpan terpisah dengan
resep obatlainnya.
2.3.10
Persyaratan Menulis Resep dan Kaidahnya
Disebutkan bahwa syarat-syarat dalam penulisan resep mencakup8,10:
1. Resep ditulis jelas dengan tinta dan lengkap di kop resep, tidak ada
keraguan dalam pelayanannya dan pemberian obat kepada pasien.
2. Satu lembar kop resep hanya untuk satu pasien.
3. Signatura ditulis dalam singkatan latin dengan jelas, jumlah takaran
sendok dengan signa bila genap ditulis angka romawi, tetapi angka
pecahan ditulis arabik.
4. Menulis jumlah wadah atau numero (No.) selalu genap, walaupun kita
butuh satu setengah botol, harus digenapkan menjadi Fls. II saja.
5. Setelah signatura harus diparaf atau ditandatangani oleh dokter
bersangkutan, menunjukkan keabsahan atau legalitas dari resep
tersebut terjamin.
6. Jumlah obat yang dibutuhkan ditulis dalam angka romawi.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
24
7. Nama pasien dan umur harus jelas.
8. Khusus untuk peresepan obat narkotika, harus ditandatangani oleh
dokter bersangkutan dan dicantumkan alamat pasien dan resep tidak
boleh diulangi tanpa resep dokter.
9. Tidak menyingkat nama obat dengan singkatan yang tidak umum
(singkatan sendiri), karena menghindari material oriented.
10. Hindari tulisan sulit dibaca hal ini dapat mempersulit pelayanan.
11. Resep merupakan medical record dokter dalam praktik dan bukti
pemberian obat kepada pasien yang diketahui oleh farmasi di apotek,
kerahasiaannya dijaga.
2.3.11
Menulis Resep
Pedoman cara penulisan resep dokter harus menepati ciri-ciri :
a. Ukuran blanko resep (ukuran lebar 10-12 cm, panjang 15-18 cm)
b. Penulisan nama obat (Bagian Inscriptio):
1. Dimulai dengan huruf besar
2. Ditulis secara lengkap atau dengan singkatan resmi (dalam farmakope
Indonesia atau nomenklatur internasional) misal: ac. Salic; acetosal
3. Tidak ditulis dengan nama kimia (missal: kali chloride dengan KCl)
atau singkatan lain dengan huruf capital (missal clorpromazin dengan
CPZ)
c. Penulisan jumlah obat
-
Satuan berat: mg (milligram), g, G (gram)
-
Sataun volume: ml (mililiter), l (liter)
-
Satuan unit: IU/IU (Internasional Unit)
-
Penulisan jumlah obat dengan satuan biji menggunakan angka
Romawi. Misal:
- Tab Novalgin no. XII
- Tab Stesolid 5 mg no. X (decem)
- m.fl.a.pulv. dt.d.no. X
-
Penulisan alat penakar, dalam singkatan bahasa latin dikenal:
- C. = sendok makan (volume 15 ml)
- Cth. = sendok teh (volume 5 ml)
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
25
- Gtt. = guttae (1 tetes = 0,05 ml)
Catatan: Hindari penggunaan sendok teh dan senok makan rumah
tangga karena volumenya tidak selalu 15 ml untuk sendok makan dan
5 ml untuk sendok teh. Gunakan sendok plastik (5 ml) atau alat lain
(volume 5, 10, 15 ml) yang disertakan dalam sediaaan cair paten.
-
Arti presentase (%)
- 0,5% (b/b) →0,5 gram dalam 100 gram sediaan
- 0,5% (b/v) →0,5 gram dalam 100 ml sediaan
- 0,5% (v/v) →0,5 ml dalam 100 ml sediaan
d.
Hindari penulisan dengan angka desimal (misal: 0,...; 0,0....; 0,00..)
Penulisan kekuatan obat dalam sediaan obat jadi (generik/paten) yang
beredar di pasaran dengan beberapa kekuatan, maka kekuatan yang
diminta harus ditulis, misalkan Tab. Primperan 5 mg atau Tab. Primperan
10 mg. Penulisan volume obat minum dan berat sediaan topikal dalam
tube dari sediaan jadi/paten yang tersedia beberapa kemasan, maka harus
ditulis, misal:
- Allerin exp. Yang volume 60 ml atau 120 ml
- Garamycin cream yang 5 mg/tube atau 15mg/tube
e.
Penulisan bentuk sediaan obat (merupakan bagian subscriptio) dituliskan
tidak hanya untuk formula magistralis, tetapi juga untuk formula officialis
dan spesialistis. Misal:
a. m.f.l.a.pulv. No. X
b. Tab Antangin mg 250 X
c. Tab Novalgin mg 250 X
f.
Penulisan jadwal dosis/aturan pemakaian (bagian signatura)
a. Harus ditulis dengan benar. Misal: s.t.d.d. pulv. I.p.c atau
s.p.r.n.t.d.d.tab.I
b. Untuk pemakaian yang rumit seperti pemakaian ”tapering up/down”
gunakan tanda s.u.c(usus cognitus = pemakaian sudah tahu).
Penjelasan kepada pasien ditulis pada kertasdengan bahasa yang
dipahami.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
26
g.
Setiap selesai menuliskan resep diberi tanda penutup berupa garis penutup
(untuk 1 R/) atautanda pemisah di antara R/ (untuk > 2R/) dan paraf/tanda
tangan pada setiap R/.
h.
Resep ditulis sekali jadi, tidak boleh ragu-ragu, hindari coretan, hapusan
dan tindasan.
i.
Penulisan tanda Iter (Itteretur/ harap diulang) dan N.I. (Ne Iterretur/tidak
boleh diulang).
j.
Resep yang memerlukan pengulanagan dapat diberi tanda: Iter (n)X di
sebelah kanan atasdari resep untuk seluruh resep yang diulang. Bila tidak
semua resep, maka ditulis di bawah setiapresep yang diulang.
k.
Resep yang tidak boleh diulang, dapat diberi tanda: N.I di sebelah kanan
atas dari resep untukseluruh resep yang tidak boleh diulang. Bila tidak
semua resep, maka ditulis di bawah setiapresep yang diulang.
l.
Penulisan tanda Cito atau PIM. Apabila diperlukan agar resep segera
dilayani karena obat sangat diperlukan bagi penderita,maka resep dapat
diberi tanda Cito atauPIMdan harus ditulis di sebelah kanan atas resep.
2.3.12
Skrining Resep
Resep obat adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada
Apoteker, baik dalam bentuk paper maupun electronic untuk menyediakan dan
menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku (PerMenKes No. 35
tahun 2014). Apotek wajib melayani resep dokter dan dokter gigi karena
pelayanan resep sepenuhnya atas tanggung jawab apoteker pengelola apotek16
Apoteker wajib memberi informasi yang berkaitan dengan penggunaan
obat yang diserahkan kepada pasien. Informasi meliputi cara penggunaan obat,
dosis dan frekuensi pemakaian, lamanya obat digunakan indikasi, kontra indikasi,
kemungkinan efek samping dan hal-hal lain yang diperhatikan pasien. Apabila
apoteker menganggap dalam resep terdapat kekeliruan atau penulisan resep yang
tidak tepat, harus diberitahukan kepada dokter penulis resep. Bila karena
pertimbangannya dokter tetap pada pendiriannya, dokter wajib membubuhkan
tanda tangan atas resep. Salinan resep harus ditanda tangani oleh apoteker 16
Pelayanan resep didahului dengan proses skrining resep yang dapat
ditinjau dari 3 aspek kelengkapan resep yang mencakup persyaratan administrasi
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
27
(nama pasien, nama dokter, alamat, paraf dokter, umur, berat badan, jenis
kelamin), persyaratan farmasetik (bentuk sediaan, kekuatan sediaan, stabilitas dan
kompatibilitas) dan persyaratan klinis (ketepatan indikasi dan dosis obat, aturan,
cara dan lama penggunaan obat, duplikasi dan/atau polifarmasi, reaksi obat yang
tidak diinginkan (alergi,
efek samping obat,
manifestasi
klinis lain),
kontraindikasi dan interaksi obat). (Peraturan Menteri Kesehatan No. 35 tahun
2014).
Resep yang lengkap harus ada nama, alamat dan nomor ijin praktek
dokter, tempat dan tanggal resep, tanda R pada bagian kiri untuk tiap penulisan
resep, nama obat dan jumlahnya, kadang-kadang cara pembuatan atau keterangan
lain yang dibutuhkan, aturan pakai, nama pasien, serta tanda tangan atau paraf
dokter (Syamsuri, 2006)
Menurut Lestari (2002) tinjauan kelengkapan obat meliputi :
a. Pemeriksaan dosis
b. Frekuensi pemberian
c. Adanya polifarmasi
d. Interaksi obat yaitu reaksi yang terjadi antara obat dengan senyawa kimia
(obat lain, makanan) di dalam tubuh maupun pada permukaan tubuh yang
dapat
mempengaruhi
kerja
obat
sehingga
dapat
terjadi
peningkatan/pengurangan kerja obat atau bahkan obat sama sekali tidak
menimbulkan efek
e. Karakteristik penderita atau kondisi penyakit yang menyebabkan pasien
menjadi kontra indikasi dengan obat yang diberikan.
Peracikan merupakan kegiatan menyiapkan, mencampur, mengemas dan
memberi etiket pada wadah. Pada waktu menyiapkan obat harus melakukan
perhitungan dosis, jumlah obat dan penulisan etiket yang benar. Sebelum obat
diserahkan kepada penderita perlu dilakukan pemeriksaan akhir dari resep
meliputi tanggal, kebenaran jumlah obat dan cara pemakaian. Penyerahan obat
disertai pemberian informasi dan konseling untuk penderita beberapa penyakit
tertentu (Lestari, 2002).
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
28
2.3.13
Permasalahan Dalam Menulis Resep
Banyak permasalahan yang timbul dalam penulisan resep, karena hal ini
menyangkut dengan pelayanan kesehatan yang bersifat holistik. Kesalahan yang
dapat timbul berupa :
Kesalahan
dalam
penulisan
resep,
dimana
dokter
gagal
untuk
mengkomunikasikan info yang penting, seperti :
a. Meresepkan obat, dosis atau rute bukan yang sebenarnya dimaksudkan.
b. Menulis resep dengan tidak jelas atau tidak terbaca
c. Menulis nama obat dengan menggunakan singkatan atau nomenklatur
yang tidak terstandarisasi
d. Menulis instruksi obat yang ambigu
e. Meresepkan satu tablet yang tersedia lebih dari satu kekuatan obat tersebut
f. Tidak menuliskan rute pemberian untuk obat yang dapat diberikan lebih
dari satu rute.
g. Meresepka obat untuk diberikan melalui infus intavena intermitten tanpa
menspesifikasi durasi penginfusan.
h. Tidak mencantumkan tanda tangan penulis resep.
i. Kesalahan dalam transkripsi
j. Saat datang ke rumah sakit, secara tidak sengaja tidak meresepkan obat
yang digunakan pasien sebelum ke rumah sakit.
k. Meneruskan kesalahan penulisan resep dari dokter yang sebelumnya
ketika menuliskan resep obat untuk pasien saat datang ke rumah sakit.
l. Menyalin instruksi obat dengan tidak benar ketika menulis ulang di daftar
obat pasien.
m. Untuk resep yang dibawa pulang tanpa sengaja berbeda dengan daftar
obatyang diresepkan untuk pasien rawat inap 17
2.4 Instalasi Farmasi Rumah Sakit
2.4.1
Rumah Sakit
2.4.1.1
Definisi Rumah Sakit
Rumah
sakit
adalah
Institusi
pelayanan
kesehatan
yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
29
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
Pelayanan kesehatan paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. (Undang-Undang RI Nomor 44
tahun 2009)
Rumah sakit merupakan suatu bagian integral dari organisasi sosial
dan medis yang fungsinya adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan
menyeluruh pada masyarakat baik pencegahan maupun penyembuhan dan
pelayanan pada pasien yang jauh dari keluarga dan lingkungan tempat
tinggalnya, serta sebagai tempat pendidikan bagi tenaga kesehatan dan
tempat penelitian biososial (Adisasmito, 2009)
2.4.1.2
Tugas dan Fungsi Rumah Sakit
Berdasarkan Undang-Undang RI No 44 tahun 2009 tentang rumah
sakit disebutkan bahwa rumah sakit mempunyai fungsi sebagai:
1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit.
2. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
3. Kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan
medis.
4. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
5. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
6. Bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan
2.4.1.3 Klasifikasi Rumah Sakit
Menurut
Siregar
dan
Amalia
(2004),
rumah
sakit
dapat
diklasifikasikan berdasarkan kriteria sebagai berikut:
1.
Klasifikasi berdasarkan kepemilikan, terdiri dari:
a. Rumah sakit pemerintah, terdiri dari:
-
Rumah sakit yang langsung dikelola oleh Departemen
Kesehatan.
-
Rumah sakit pemerintah daerah.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
30
-
Rumah sakit militer.
-
Rumah sakit Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
b. Rumah sakit yang dikelola oleh masyarakat (swasta).
2.
klasifikasi berdasarkan jenis pelayanan, terdiri dari 2 jenis:
a.
Rumah sakit umum, memberi pelayanan kepada berbagai
penderita dengan berbagai penyakit.
b.
Rumah sakit khusus, memberi pelayanan diagnosa dan
pengobatan untuk
c.
Penderita dengan kondisi medik tertentu baik bedah maupun
non bedah, contoh: rumah sakit kanker maupun rumah sakit
jantung.
3.
Klasifikasi berdasarkan afiliasi pendidikan, terdiri dari 2 jenis:
a.
Rumah
sakit
pendidikan,
yaitu
rumah
sakit
yang
menyelenggarakan program latihan untuk berbagai profesi.
b.
Rumah sakit nonpendidikan, yaitu rumah sakit yang tidak
memiliki program
c.
Pelatihan profesi dan tidak ada kerjasama rumah sakit dengan
universitas.
Rumah sakit umum pemerintah pusat dan daerah diklasifikasikan
menjadi rumah sakit kelas A, B, C, dan D. Klasifikasi tersebut didasarkan
pada unsur pelayanan, ketenagaan, fisik dan peralatan (Siregar dan Amalia,
2004).
1
Rumah sakit umum kelas A adalah rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat)
spesialis dasar, 5 (lima) spesialis penunjang medik, 12 (dua belas)
spesialis lain dan 13 (tiga belas) subspesialis.
2
Rumah sakit umum kelas B adalah rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat)
spesialis dasar, 4 (empat) spesialis penunjang medik, 8 (delapan) spesialis
lain dan 2 (dua) subspesialis dasar.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
31
3
Rumah sakit umum kelas C adalah rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat)
spesialis dasar dan 4 (empat) spesialis penunjang medik.
4
Rumah sakit umum kelas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik sedikitnya 2 (dua) spesialis
dasar.
2.4.2
Depo Farmasi Rumah Sakit
Tugas utama IFRS adalah pengelolaan mulai dari perencanaan, peracikan,
pelayanan langsung kepada penderita sampai dengan pengendalian semua
perbekalan kesehatan yang beredar dan digunakan dalam rumah sakit baik untuk
penderita rawat tinggal, rawat jalan maupun untuk semua unit poliklinik rumah
sakit. Fungsi instalasi farmasi rumah sakit adalah:
Fungsi nonklinik adalah fungsi yang tidak memerlukan interaksi dengan
professional kesehatan lain, sekalipun semua pelayanan farmasi harus disetujui
oleh staf medic melalui panitia farmasi dan terapi (PFT). Lingkup fungsi farmasi
nonklinik adalah perencanaan, penetapan spesifikasi produk dan pemasok,
pengadaan, pembelian, produksi, penyimpanan, pengemasan dan pengemasan
kembali, distribusi, dan pengendalian semua perbekalan kesehatan yang beredar
dan digunakan di rumah sakit secara keseluruhan.
Fungsi klinik adalah fungsi yang secara langsung dilakukan sebagai bagian
terpadu dari perawatan penderita atau memerlukan interaksi dengan profesional
kesehatan lain yang secara langsung terlibat dalam pelayanan penderita.
Panitia farmasi dan terapi adalah sekelompok penasehat dari staf medik dan
bertindak sebagai garis komunikasi organisasi antara staf medik dan IFRS. Panitia
ini mengevaluasi secara klinik penggunaan obat dan pemberian obat serta
mengelola sistem formularium. Panitia ini difungsikan rumah sakit untuk
mencapai terapi obat yang rasional. (Lia, 2007)
Panitia farmasi dan terapi mempunyai kegunaan, di antaranya adalah
sebagai berikut :
1.
Perumus kebijakan-prosedur
Panitia farmasi dan terapi memformulasi kebijakan berkenaan dengan
evaluasi, seleksi, dan penggunaan terapi obat, serta alat yang berkaitan di
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
32
rumah sakit.
2.
Edukasi
Panitia farmasi dan terapi ini memberi rekomendasi atau membantu
memformulasi program yang didesain untuk memenuhi kebutunan staf
professional (dokter, perawat, apoteker, dan praktisi pelayanan kesehatan
lainnya) untuk melengkapi pengetahuan mutakhir tentang obat dan
penggunaan obat. Panitia farmasi dan terapi ini meningkatkan penggunaan
obat secara rasional melalui pengembangan kebijakan dan prosedur yang
relevan untuk seleksi obat, pengadaan, penggunaan, dan melalui edukasi
tentang obat bagi penderita dan staf profesional. (Lia, 2007)
Organisasi dasar tiap rumah sakit dan staf mediknya dapat
berpengaruh pada fungsi dan lingkup PFT. Berikut ini tertera beberapa
fungsi suatu PFT yang disajikan sebagai pedoman :
1.
Berfungsi dalam suatu kapasitas evaluatif, edukasi, dan penasehat bagi staf
medik dan pimpinan rumah sakit, dalam semua hal yang berkaitan dengan
penggunaan obat.
2.
Mengembangkan dan menetapkan formularium obat yang diterima untuk
digunakan dalam rumah sakit dan mengadakan revisi tetap.
3.
Menetapkan program dan prosedur yang membantu memastikan terapi obat
yang aman dan bermanfaat.
4.
Menetapkan program dan prosedur yang membantu memastikan manfaat
biaya terapi obat.
5.
Menetapkan dan merencanakan program edukasi yang sesuai bagi staf
profesional rumah sakit tentang berbagai hal yang berkaitan dengan
penggunaan obat.
6.
Berpartisipasi dalam kegiatan jaminan mutu yang berkaitan dengan
distribusi, pemberian, dan penggunaan obat.
7.
Memantau dan mengevaluasi reaksi obat merugikan dalam rumah sakit dan
membuat rekomendasi yang tepat untuk mencegah berulangnya kembali.
8.
Memprakarsai atau memimpin program dan hasil studi evaluasi penggunaan
obat, pengkajian hasil dari kegiatan tersebut dan membuat rekomendasi
yang tepat untuk mengoptimalkan penggunaan obat.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
33
9.
Bersama IFRS merencanakan dan menetapkan suatu sistem distribusi obat
dan prosedur pengendalian yang efektif.
10. PFT mempunyai tanggung jawab pada pengadaan edukasi bagi staf
profesional rumah sakit.
11. Membantu IFRS dalam pengembangan dan pengkajian kebijkan, ketetapan
dan peraturan berkaitan dengan penggunaan obat dalam rumah sakit sesuai
dengan perundangundangan lokal dan nasional.
12. Mengevaluasi, menyetujui, atau menolak obat yang diusulkan untuk
dimasukkan kedalam atau dikeluarkan dari formularium rumah sakit.
13. Menetapkan kategori obat yang digunakan dalam rumah sakit dan
menempatkan tiap obat pada suatu kategori tertentu.
14. Mengkaji penggunaan obat dalam rumah sakit dan meningkatkan standar
optimal untuk terapi obat rasional.
15. Membuat rekomendasi tentang obat yang disediakan dalam daerah
perawatan penderita.
(Lia, 2007)
Sistem formularium adalah suatu metode yang digunakan staf medik dari
suatu rumah sakit yang bekerja melalui PFT, mengevaluasi, menilai, dan memilih
dari berbagai zat aktif obat dan produk obat yang tersedia, yang dianggap paling
berguna dalam perawatan penderita. Jadi, sistem formularium adalah sarana
penting dalam memastikan mutu penggunaan obat dan pengendalian harganya.
Sistem formularium menetapkan pengadaan, penulisan, dispensing, dan
pemberian suatu obat dengan nama dagang atau obat dengan nama generik
apabila obat itu tersedia dalam dua nama tersebut. Formularium adalah dokumen
berisi kumpulan produk obat yang dipilih PFT disertai informasi tambahan
penting tentang penggunaan obat tersebut, serta kebijakan dan prosedur berkaitan
obat yang relevan untuk rumah sakit tersebut, yang terus menerus direvisi agar
selalu akomodatif bagi kepentingan penderita dan staf profesional pelayan
kesehatan, berdasarkan data konsumtif dan data morbiditas serta pertimbangan
klinik staf medik rumah sakit. (Lia, 2007)
Pemantauan terapi obat adalah suatu proses yang mencakup semua fungsi,
diperlukan untuk memastikan terapi obat secara tepat, aman, mujarab, dan
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
34
ekonomis bagi penderita. Fungsi-fungsi tersebut mencakup mengkaji pilihan obat
oleh dokter untuk kondisi yang di diagnosis; mengkaji pemberian obat;
memastikan dosis yang benar; mengetahui adanya atau memadainya respon
terapi;
mengkaji
kemungkinan
untuk
dan
terjadinya
ROM;
serta
merekomendasikan perubahan atau alternatif dalam terapi jika situasi tertentu
memerlukannya.
Untuk memantau terapi obat secara tepat, apoteker harus mampu
melakukan fungsi berikut yang benar-benar merupakan dasar dari pemantauan
terapi obat. Proses pemantauan terapi obat adalah :
Pengumpulan data penderita dan mengatur data kedalam suatu format masalah
1.
Hubungkan terapi obat masalah tertentu atau status penyakit untuk
menetapkan ketepatan terapi tertentu
2.
Mengembangkan sasaran terapi tertentu.
3.
Mendesain rencana pemantauan terapi obat.
4.
Pengembangan parameter pematauan tertentu
5.
Penetapan titik akhir Farmakoterapi
6.
Penetapan frekuensi pemantauan
7.
Identifikasi masalah dan/ atau kemungkinan ROM.
8.
Pengembangan alternatif atau solusi masalah.
9.
Proses pengambilan keputusan
10. Pendekatan intervensi dan tindak lanjut.
11. Mengkomunikasikan temuan dan rekomedasi, jika perlu kepada dokter atau
professional pelayan kesehatan lain, setiap temuan dan rekomendasi untuk
solusi atau alternative terhadap masalah yang diidentifikasi.
(Lia, 2007)
Kesalahan obat adalah pemberian suatu obat yang menyimpang dari resep
atau order dokter yang tertulis dalam kartu pengobatan penderita atau
menyimpang dari kebijakan, prosedur, dan standar rumah sakit. Kecuali kesalahan
karena kelalaian memberikan dosis obat kepada penderita, yang dimaksud
kesalahan obat adalah jika dosis obat telah benarbenar sampai pada penderita.
Misalnya, suatu kesalahan dosis yang terdeteksi dan diperbaiki sebelum
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
35
pemberian kepada penderita, bukan suatu kesalahan obat.
Secara umum kesalahan pengobatan penyebabnya adalah kekuatan obat
pada etiket atau dalam kemasan membingungkan; nomenklatur sediaan obat
(nama obat kelihatan mirip atau bunyi nama obat mirip); kegagalan atau gagal
fungsi peralatan; tulisan tangan tidak terbaca; penulisan kembali resep /
orderdokter yang tidak tepat; perhitungan dosis yang tidak teliti; personel terlatih
tidak mencukupi; menggunakan singkatan yang tidak tepat dalam penulisan resep;
kesalahan etiket; beban kerja berlebihan; konsentrasi hilang dalam unjuk kerja
individu; serta obat-obatan yang tidak tersedia.
Kesalahan pengobatan mencakup kesalahan administratif yang disebabkan
ketidakjelasan tulisan, ketidaklengkapan resep, keaslian resep, ketidakjelasan
instruksi. Kesalahan farmasetik seperti dosis, bentuk sediaan, stabilitas,
inkompatibilitas, dan lama pemberian. Serta kesalahan klinis seperti alergi, reaksi
obat yang tidak sesuai, interaksi yang meliputi obat dengan penyakit, obat dengan
obat lain dalam hal lama terapi, dosis, cara pemberian dan jumlah obat. (Pane A
Hamzah, 2000)
2.4.3 Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit
Berdasarkan Peraturan Mentri Kesehatan RI No 58 tahun 2014 tentang
standar Pelayanan Farmasi di rumah sakit23. Dalam pengorganisasian Rumah
Sakit dibentuk Tim Farmasi dan Terapi (TFT) yang merupakan unit kerja dalam
memberikan rekomendasi kepada pimpinan Rumah sakit mengenai kebijakan
penggunaan Obat di Rumah Sakit yang anggotanya terdiri dari dokter yang
mewakili semua spesialisasi yang ada di rumah sakit, apoteker Instalasi Farmasi,
serta tenaga kesehatan lainnya apabila diperlukan. TFT harus dapat membina
hubungan kerja dengan komite atau berkaitan dengan penggunaan obat.
Ketua TFT dapat diketahui oleh seorang dokter atau seorang apoteker,
apabila diketuai oleh dokter maka sekretarisnya adalah aopteker, namun apabila
diketuai oleh apoteker, maka sekretarisnya adalah dokter. TFT harus mengadakan
rapat secara teratur, sedikitnya 2 (dua) bulan sekali dan untuk rumah sakit besar
rapat diadakan sekali dalam dalam satu bulan. Rapat TFT dapat mengundang
pakar dari dalam maupun dari luar Rumah Sakit yang dapat memberikan masukan
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
36
bagi pengelolahan TFT, memiliki pengetahuan khusus, keahlian-keahlian atau
pendapat tertentu yang bermanfaat bagi TFT.
2.4.3.1 Tugas Tim Farmasi dan Terapi
Berdasarkan Peraturan Mentri Kesehatan RI Nomer 58 tahun 2014 tentang
standar pelayanan farmasi di rumah sakit17, tugas panitia farmasi dan terapi taitu:
1. mengembangkan kebijakan tentang penggunaan Obat di rumah sakit.
2. Melakukan seleksi dan evaluasi Obat yang akan masuk formularium
rumah sakit.
3. Mengembangkan standar terapi
4. Mengidentifikasi permasalahan dalam penggunaan obat
5. Melakukan intervensi dalam meningkatkan penggunaan Obat yang
rasional
6. Mengkoordinir penatalaksanaan reaksi obat yang tidak dikehendaki
7. Mengkoordinir penatalaksanaan medication error.
8. Menyebarluaskan informasi terkait kebijakan penggunaan obat di rumah
sakit.
2.4.3.2 Instalasi Farmasi Rumah sakit
Instalasi farmasi di rumah sakit adalah instalasi di rumah sakit yang
dipimpin oleh seorang apoteker dan dibantu oleh bebrapa orang apoteker, tenaga
ahli madya farmasi (D-3) dan tega menengah farmasi (AA) yang memenuhi
persyaratan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan merupakan tempat
atau fasilitas penyelenggaraan yang bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan
serta pelayanan kefarmasian yang terdiri atas pelayanan paripurna, mencakup
perencanaan, pengadaan, produksi, penyimpanan dan perbekalan kesehatan,
dispensing obat, pengendalian mutu dan pengendalian distribusi dan penggunaan
seluruh perbekalan kesehatan di rumah sakit serta pelayanan farmasi klinik.17
Instalasi farmasi RSUP Fatmawati merupakan satuan kerja satu-satunya
dirumah sakit yang menjalankan fungsi manejemen pengelolaan perbekalan
farmasi dengan sitem satu pintu, sebagaimana yang diamanatkan dalam undangundang.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
37
1. Menjamin ketersediaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang bermutu,
bermanfaat, aman dan terjangkau.
2. Pelayanan sediaaan farmasi di rumah sakit di rumah sakit harus mengikuti
standar pelayanan kefarmasian.
3. Pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan habis pakai di
rumah sakit harus dilakukan oleh instalasi farmasi sistem satu pintu.
4. Besaran harga perbekalan farmasi pada instalasi farmasi rumah sakit harus
wajar dan berpatokan kepada harga patokan yang ditetapkan pemerintah.
Instalasi Farmasi berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab langsung
kepada Direktur Medik dan Keperawatan RSUP Fatmawati. Instalasi Farmasi
dipimpin oleh seorang Apoteker yang berkedudukan sebagai Kepala dengan
sebutan Kepala Instalasi Farmasi dan membawahi Wakil Kepala Instalasi Farmasi
dan Penyelia Instalasi Farmasi serta seluruh Tenaga Pelaksana di Instalasi
Farmasi
Bentuk kegiatan Instalasi Farmasi RSUP Fatmawati meliputi:
1.
Pemilihan: bekerja sama dengan Komite Farmasi dan Terapi dalan
memilih perbekalan farmasi yang akan ditetapkan untuk digunakan di
RSUP Fatmawati pada periode tertentu.
2.
Perencanaan: membuat rencana untuk mengadakan perbekalan farmasi
yang persediaan stoknya sedang menipis atau habis.
3.
Pengadaan: bekerjasama dengan Unit Layanan Pengadaan (ULP) untuk
mendatangkan perbekalan farmasi yang telah direncanakan.
4.
Penerimaan: bekerjasama dengan Tim Penerima Barang Medik untuk
menentukan perbekalan farmasi yang dapat diterima dari proses
pengadaan yang telah dilakukan.
5.
Penyimpanan: melakukan penyimpanan perbekalan farmasi baik di gudang
farmasi maupun di depo farmasi sesuai dengan standar penyimpanan obat
yang baik.
6.
Pendistribusian: melakukan pelayanan penyaluran perbekalan farmasi
kepada satker di RSUP Fatmawati
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
38
7.
Penyerahan: melakukan pelayanan pemberian perbekalan farmasi pada
pasien rawat jalan maupun pada pasien rawat inap, yang dilakukan
berdasarkan atas resep dokter.
8.
Melaksanakan pelayanan farmasi klinik sesuai prosedur kefarmasian dan
etik profesi
9.
Produksi obat berdasarkan standar Cara Pembuatan Obat yang Baik
(CPOB)
10. Monitoring: melakukan pemantauan terhadap seluruh proses yang ada
dalam rangka mencapai efisiensi dan efektifitas pekerjaan kefarmasian
yang telah dilakukan.
11. Evaluasi: melakukan kajian dan evaluasi terhadap pencapaian target kerja
yang telah ditetapkan dari seluruh proses yang ada.
2.4.3.3 Struktur Organisasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Standar pelayanan farmasi klinik di rumah sakit, pengorganisasian
instalasi farmasi di rumah sakit
harus mencakup penyelenggaraan
pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai,
pelayanan farmasi klinik dan manajemen mutu dan bersifat dinamis dapat
direvisi sesuai kebutuhan dengan tetap menjaga mutu.17
Tugas an Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Standar pelayanan kefarmasian dirumah sakit tentang tugas instalasi
farmasi rumah sakit17
1. menyelenggarakan, mengkoordinasi, mengatur dan mengawasi seluruh
kegiatan pelayanan farmasi klinis yang optimal dan propesional serta
sesuai prosedur dan etik profesi.
2. Melaksanakan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai yang efektif, aman, bermutu dan efisien.
3. Melaksankan pengkajian dan pemantauan penggunaan sediaan farmasi,
alat kesehatan dan bahan medis habis pakai guna memaksimalkan efek
terapi dan keamanan serta meminimlkan risiko.
4. Melaksanakan komunikasi, edukasi dan informasi (KIE) serta memberikan
rekomendasi kepada dokter , perawat dan pasien.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
39
5. Berperan aktif dalam tim farmasi dan terapi
6. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta mengembangkan pelayanan
farmasi klinis.
7. Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan
formularium rumah sakit.
2.4.4 Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit
2.4.4.1 Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai.
Apoteker bertanggung jawab terhadap pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan ketentuan yang berlaku
serta memastikan kualitas, manfaat, dan keamanannya. Pengelolaan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai merupakan suatu siklus
kegiatan,
dimuali
penerimaan,
dari
pemilihan,
penyimpanan,
perencanaan
pendistribuisan,
kebutuhan,
pemusnahan
dan
pengadaan,
penarikan,
pengendalian, dan administrasi yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan
kefarmasian.
Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
harus dilaksanakan secara multi disiplin, terkoordinir dan menggunakan proses
yang efektif untuk menjamin kendali mutu dan kendali biaya. Dalam ketentuan
Pengelolaan Alat Kesehatan, Sediaan Farmasi, dan Bahan Medis Habis Pakai di
Rumah Sakit harus dilakukan oleh Instalasi Farmasi sistem satu pintu. Alat
Kesehatan yang dikelola oleh Instalasi Farmasi sistem satu pintu berupa alat
medis habis pakai/peralatan non elektromedik, antara lain alat kontrasepsi (IUD),
alat pacu jantung, implan, dan stent.25
Dengan kebijakan pengelolaan sistem satu pintu, Instalasi Farmasi sebagai satusatunya penyelenggara Pelayanan Kefarmasian, sehingga Rumah Sakit akan
mendapatkan manfaat dalam hal :
1. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian penggunaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
2. Standarisasi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
40
3. Penjaminan mutu Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai.
4. Pengendalian harga Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai
5.
pemantauan terapi Obat;
6. penurunan risiko kesalahan terkait penggunaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai (keselamatan pasien)
7.
kemudahan akses data Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai yang akurat;
8. peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit dan citra Rumah Sakit; dan
9. peningkatan pendapatan Rumah Sakit dan peningkatan kesejahteraan
pegawai.
Berikut merupakan tugas dari Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan,
dan bahan medis habis pakai yang diatur oleh Negara;
1
Pemilihan
Pemilihan adalah kegiatan untuk mendapatkan jenis sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan.
2
Perencanaan
Perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan untuk menetukan jumlah dan
priode pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhnya
kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu efisien.
Perencanaan dilakukan untuk menghindari kekosongan obat dengan
menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasr-dasar
perencanaan yang telah ditentukan antara lainkonsumsi, epidemiologi,
kombinasi metode konsumsi dan metode epidemologi dan disesuaikan
dengan anggaran yang tersedia.
3
Pengadaan
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
41
Untuk memastikan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis
pakaisesuai dengan mutudan spesifikasi yang dipersyaratkan maka jika
proses pengadaan dilaksanakan oleh bagian lain di luar instalasi farmasi
harus melibatkan tenaga kefarmasian.
4
Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis,
spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam
kontrak atau surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima. Semua
dokumen terkait penerimaan barang harus disimpan dengan baik.
5
Penyimpanan
Setelah barang diterima di IFRS perlu dilakukan penyimpanan sebelum
dilakukan pendistribusian. Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas
dan keamanan sediaaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai sesuai dengan persyaratan kefarmasian. Persyaratan kefarmasian
yang dimaksud meliputi persyaratan persyaratan stabilitas dan keamanan,
sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan penggolongan jenis Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
yang harus disimpan terpisah yaitu:
a. Bahan yang mudah terbakar, disimpan dalam ruang tahan api
dandiberi tanda khusus bahan berbahaya
b. Gas
medis
disimpan
dengan
posisi
berdiri,
terikat,
dan
diberipenandaaan untuk menghindari kesalahan pengambilan jenis
gasmedis. Penyimpanan tabung gas medis kosong terpisah dari
tabunggas medis yang ada isinya. Penyimpanan tabung gas medis
diruangan harus menggunakan tutup demi keselamatan.
Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas terapi,
bentuksediaan, dan jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis HabisPakai dan disusun secara alfabetis dengan menerapkan prinsip
First Expired First Out (FEFO) dan First In First Out (FIFO) disertai
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
42
sistem informasi
manajemen.Penyimpanan Sediaan
Farmasi,
Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakaiyang penampilan dan penamaan
yang mirip (LASA, Look Alike Sound Alike)tidak ditempatkan berdekatan
dan harus diberi penandaan khusus untuk mencegahterjadinya kesalahan
pengambilan Obat.
Rumah Sakit harus dapat menyediakan lokasi penyimpanan Obat
emergensi untuk kondisi kegawatdaruratan. Tempat penyimpanan harus
mudahdiakses dan terhindar dari penyalahgunaan dan pencurian.
6
Pendisribusian
Distribusi
merupakan
suatu
rangkaian
kegiatan
dalam
rangkamenyalurkan/menyerahkan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan MedisHabis Pakai dari tempat penyimpanan sampai kepada unit
pelayanan/pasiendengan tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah,
dan ketepatan waktu.Rumah Sakit harus menentukan sistem distribusi
yang dapat menjaminterlaksananya pengawasan dan pengendalian Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan,dan Bahan Medis Habis Pakai di unit pelayanan.
7
Pemusnahan san Penarikan Sediaan Farmasi, alat kesehatan dan
bahan medis habis pakai.
Pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan
cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pemusnahan dilakukan untuk Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai bila:
a. Produk tidak memenuhi persyaratan mutu.
b. Telah kadaluwarsa.
c. Tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan
kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan.
d.
8
Dicabut izin edarnya
Pengendalian
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
43
Pengendalian dilakukan terhadap jenis dan jumlah persediaan dan
penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai. Pengendalian penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai dapat dilakukan oleh Instalasi Farmasi harus
bersama dengan Tim Farmasi dan Terapi (TFT) di Rumah Sakit. Cara
untuk mengendalikan persediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai adalah:
a. Melakukan evaluasi persediaan yang jarang digunakan (slow moving).
b. Melakukan evaluasi persediaan yang tidak digunakan dalam waktu tiga
bulan berturut-turut (death stock).
c. Stok opname yang dilakukan secara periodik dan berkala.
9
Administrasi
Administrasi harus dilakukan secara tertib dan berkesinambungan untuk
memudahkan penelusuran kegiatan yang sudah berlalu. Kegiatan
administrasi terdiri dari : pencatatan dan pelaporan, administrasi keuangan,
dan administrasi penghapusan
2.4.4.2 Pelayanan Farmasi Klinik
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit bahwa Pelayanan farmasi klinik
merupakan pelayanan langsung yang diberikan Apoteker kepada pasien dalam
rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek
samping karena Obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga
kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin.17
1.
Pengkajian dan Pelayanan Resep
Pelayanan Resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan,
pengkajian Resep, penyiapan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai termasuk peracikan Obat, pemeriksaan, penyerahan disertai
pemberian informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan Resep dilakukan upaya
pencegahan terjadinya kesalahan pemberian Obat (medication error). Kegiatan ini
untuk menganalisa adanya masalah terkait Obat, bila ditemukan masalah terkait
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
44
Obat harus dikonsultasikan kepada dokter penulis Resep. Apoteker harus
melakukan pengkajian Resep sesuai persyaratan administrasi, persyaratan
farmasetik, dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat
jalan
Persyaratan administrasi meliputi:
a. Nama, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien.
b.
Nama, nomor izin, alamat dan paraf dokter.
c. Tanggal resep.
d. Ruangan/unit asal resep.
Persyaratan klinis meliputi:
a. Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat.
b. Duplikasi pengobatan.
c. Alergi, interaksi dan efek samping obat.
d.
Kontraindikasi.
e. Efek adiktif
2.
Penyelusuran Riwayat Penggunaan Obat
Penelusuran
riwayat
penggunaan
Obat
merupakan
proses
untuk
mendapatkan informasi mengenai seluruh Obat/Sediaan Farmasi lain yang pernah
dan sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau
data rekam medik/pencatatan penggunaan Obat pasien. Tahapan penelusuran
riwayat penggunaan Obat:
a. Membandingkan
riwayat
penggunaan
Obat
dengan
data
rekam
medik/pencatatan penggunaan Obat untuk mengetahui perbedaan informasi
penggunaan Obat.
b. Melakukan verifikasi riwayat penggunaan Obat yang diberikan oleh tenaga
kesehatan lain dan memberikan informasi tambahan jika diperlukan.
c. Mendokumentasikan
adanya
alergi
dan
Reaksi
Obat
yang Tidak
Dikehendaki (ROTD).
d. Mengidentifikasi potensi terjadinya interaksi Obat.
e. Melakukan penilaian terhadap kepatuhan pasien dalam menggunakan Obat.
f.
Melakukan penilaian rasionalitas Obat yang diresepkan.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
45
g. Melakukan penilaian terhadap pemahaman pasien terhadap Obat yang
digunakan.
h. Melakukan penilaian adanya bukti penyalahgunaan Obat.
i. Melakukan penilaian terhadap teknik penggunaan Obat.
j. Memeriksa adanya kebutuhan pasien terhadap Obat dan alat bantu kepatuhan
minum Obat (concordance aids).
k. Mendokumentasikan
Obat
yang
digunakan
pasien
sendiri
tanpasepengetahuan dokter.
l. Mengidentifikasi
terapi
lain,
misalnya
suplemen
dan
pengobatan
alternatifyang mungkin digunakan oleh pasien.
3.
Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan
danpemberian informasi, rekomendasi Obat yang independen, akurat, tidak bias,
terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh Apoteker kepada dokter,
Apoteker,perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar
RumahSakit.
Tujuan PIO adalah untuk :
a.
Menyediakan informasi mengenai Obat kepada pasien dan tenaga kesehatan
di lingkungan Rumah Sakit dan pihak lain di luar Rumah Sakit.
b.
Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan
dengan Obat/Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai, terutama bagi Tim Farmasi dan Terapi.
c.
4.
Menunjang penggunaan Obat yang rasional.
Konseling
Konseling Obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait
terapi Obat dari Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya.
Konseling untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap di semua fasilitas
kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif Apoteker, rujukan dokter, keinginan
pasien atau keluarganya. Pemberian konseling yang efektif memerlukan
kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap Apoteker. Pemberian konseling
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
46
Obat bertujuan untuk mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan risiko reaksi
Obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan meningkatkan cost-effectiveness yang
pada akhirnya meningkatkan keamanan penggunaan Obat bagi pasien (patient
safety).
5.
Visite
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang
dilakukanApoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk
mengamat kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait
Obat,memantau terapi Obat dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki,
meningkatkan terapi Obat yang rasional, dan menyajikan informasi Obat kepada
dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya. Visite juga dapat dilakukan
pada pasien yang sudah keluar Rumah Sakit baik atas permintaan pasien maupun
sesuai dengan program Rumah Sakit yang biasa disebut dengan Pelayanan
Kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care). Sebelum melakukan kegiatan
visite Apoteker harus mempersiapkan diri dengan mengumpulkan informasi
mengenai kondisi pasien dan memeriksa terapi Obat dari rekam medik atau
sumber lain
6.
Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup
kegiatan untuk memastikan terapi Obat yang aman, efektif dan rasional bagi
pasien. Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi danmeminimalkan
risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD).
7.
Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan
setiap respon terhadap Obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim
yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek
Samping Obat adalah reaksi Obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan
kerja farmakologi. Tujuan MESO adalah :
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
47
a. Menemukan Efek Samping Obat (ESO) sedini mungkin terutama yang
berat, tidak dikenal, frekuensinya jarang.
b. Menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal dan yang
baru saja ditemukan.
c. Mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/mempengaruhi
angka kejadian dan hebatnya ESO.
d.
Meminimalkan risiko kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki.
e. Mencegah terulangnya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki.
8.
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
Evaluasi
Penggunaan
Obat
(EPO)
merupakan
program
evluasi
penggunaan Obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif dan
kuantitatif. Tujuan EPO yaitu:
a. Mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan Obat.
b. Membandingkan pola penggunaan Obat pada periode waktu tertentu.
c. Memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan Obat.
d. Menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan Obat.
9.
Dispensing Sediaan Steril
Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi Rumah
Sakit dengan teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan
melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya
kesalahan pemberian Obat. Dispensing sediaan steril bertujuan:
a. Menjamin agar pasien menerima Obat sesuai dengan dosis yang
dibutuhkan.
b. Menjamin sterilitas dan stabilitas produk.
c. Melindungi petugas dari paparan zat berbahaya.
d. Menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat.
10.
Pemantau Obat di dalam darah
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi
hasil pemeriksaan kadar Obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
48
karena indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari Apoteker kepada dokter.
Tujuan PKOD adalah mengetahui Kadar Obat dalam Darah dan memberikan
rekomendasi kepada dokter yang merawat.
11.
Rekonsilasi Obat
Rekonsiliasi
Obat
merupakan
proses
membandingkan
instruksi
pengobatan dengan Obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk
mencegah terjadinya kesalahan Obat (medication error) seperti Obat tidak
diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi Obat. Kesalahan Obat
(medication error) rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu Rumah Sakit
ke Rumah Sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari
Rumah Sakit ke layanan kesehatan primer dan sebaliknya.
2.5 Jantung
2.5.1 Anatomi Jantung
Jantung adalah sebuah organ berotot dengan empat ruang yang terletak di
rongga dada dibawah perlindungan tulang iga, sedikit ke sebelah kiri sternum.
Ukuran jantung lebih kurang sebesar genggaman tangan kanan dan beratnya kirakira 250-300 gram.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
49
Gambar.2.2 Anatomi Jantung Manusia
[sumber : Sasori.com]
Jantung mempunyai empat ruang yaitu atrium kanan, atrium kiri, ventrikel kanan,
dan ventrikel kiri. Atrium adalah ruangan sebelah atas jantung dan berdinding
tipis, sedangkan ventrikel adalah ruangan sebelah bawah jantung. dan mempunyai
dinding lebih tebal karena harus memompa darah ke seluruh tubuh. Atrium kanan
berfungsi sebagai penampung darah rendah oksigen dari seluruh tubuh. Atrium
kiri berfungsi menerima darah yang kaya oksigen dari paru-paru dan mengalirkan
darah tersebut ke paru-paru. Ventrikel kanan berfungsi menerima darah dari
atrium kanan dan memompakannya ke paru-paru.ventrikel kiri berfungsi untuk
memompakan darah yang kaya oksigen keseluruh tubuh. Jantung juga terdiri dari
tiga lapisan yaitu lapisan terluar yang merupakan selaput pembungkus disebut
epikardium, lapisan tengah merupakan lapisan inti dari jantung terdiri dari otototot jantung disebut miokardium dan lapisan terluar yang terdiri jaringan endotel
disebut endokardium
2.5.2 Siklus Jantung
Siklus jantung merupakan kejadian yang terjadi dalam jantung selama
peredaran darah. Gerakan jantung terdiri dari 2 jenis yaitu kontraksi (sistolik) dan
relaksasi (diastolik). Sistolik merupakan sepertiga dari siklus jantung. Kontraksi
dari ke-2 atrium terjadi secara serentak yang disebut sistolik atrial dan
relaksasinya disebut diastolik atrial. Lama kontraksi ventrikel ±0,3 detik dan tahap
relaksasinya selama 0,5 detik. Kontraksi kedua atrium pendek,sedangkan
kontraksi ventrikel lebih lama dan lebih kuat. Daya dorong ventrikel kiri harus
lebih kuat karena harus mendorong darah keseluruh tubuh untuk mempertahankan
tekanan darah sistemik.Meskipun ventrikel kanan juga memompakan darah yang
sama tapi tugasnya hanya mengalirkan darah ke sekitar paru-paru ketika
tekanannya lebih rendah.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
50
2.5.3 Curah jantung
Curah jantung merupakan volume darah yang di pompa tiap ventrikel per
menit. Pada keadaan normal (fisiologis) jumlah darah yang dipompakan oleh
ventrikel kanan dan ventrikel kiri sama besarnya. Bila tidak demikian akan terjadi
penimbunan darah di tempat tertentu. Jumlah darah yang dipompakan pada setiap
kali sistolik disebut volume sekuncup. Dengan demikian curah jantung = volume
sekuncup x frekuensi denyut jantung per menit. Umumnya pada tiap sistolik
ventrikel tidak terjadi pengosongan total ventrikel, hanya sebagian dari isi
ventrikel yang dikeluarkan. Jumlah darah yang tertinggal ini dinamakan volume
residu. Besar curah jantung seseorang tidak selalu sama, bergantung pada
keaktifan tubuhnya. Curah jantung orang dewasa pada keadaan istirahat lebih
kurang 5 liter dan dapat meningkat atau menurun dalam berbagai keadaan.
2.5.4Denyut Jantung dan Daya pompa Jantung
Pada saat jantung normal dalam keadaan istirahat, maka pengaruh
sistemparasimpatis dominan dalam mempertahankan kecepatan denyut jantung
sekitar 60hingga 80 denyut per menit. Kecepatan denyut jantung dalam keadaan
sehatdipengaruhi oleh pekerjaan, tekanan darah, emosi, cara hidup dan umur.
Pada waktubanyak pergerakan, kebutuhan oksigen (O2) meningkat dan
pengeluarankarbondioksida (CO2) juga meningkat sehingga kecepatan jantung
bisa mencapai150 x/ menit dengan daya pompa 20-25 liter/menit.16 Pada keadaan
normal jumlahdarah yang dipompakan oleh ventrikel kanan dan ventrikel kiri
sama sehingga tidak teradi penimbunan. Apabila pengembalian dari vena tidak
seimbang dan ventrikel gagal mengimbanginya dengan daya pompa jantung maka
vena-vena dekat jantung jadi membengkak berisi darah sehingga tekanan dalam
vena naik dalam jangka waktu lama, bisa menjadi edema.
2.5.5Definisi Gagal Jantung
Gagal jantung adalah keadaan fatofisiologi dimana jantung sebagai pompa
tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Gangguan
fungsi jantung ditinjau dari efek-efeknya terhadap perubahan 3 penentu utama
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
51
dari fungsi miokardium yaitu freeload (beban awal) yaitu derajat peregangan
serabut miokardium pada akhir pengisian ventrikel atau diastolik. Afterload
(beban akhir) yaitu besarnya tegangan dinding ventrikel yag harus dicapai selama
sistol untuk memompa darah. Kontraktilitas miokardium yaitu perubahan
kekuatan kontraksi.
2.5.6Patofisiologi gagal jantung
Bila jantung tidak adekuat dalam memenuhi kebutuhan metabolik
tubuh,maka jantung gagal untuk melakukan tugasnya sebagai pompa yang
mengakibatkanterjadinya gagal jantung. Pada kebanyakan penderita gagal jantung
disfungsi sistolikdan disfungsi diastolik ditemukan bersama. Pada disfungsi
sistolik kekuatankontraksi ventrikel kiri terganggu sehingga ejeksi darah
berkurang, menyebabkancurah jantung berkurang. Pada disfungsi diastolik
relaksasi dinding ventrikelterganggu sehingga pengisian darah berkurang
menyebabkan curah jantung berkurang. Gangguan kemampuan jantung sebagai
pompa tergantung padabermacam-macam faktor yang saling terkait. Menurunnya
kontraktilitas miokard memegang peran utama pada gagal jantung. Bila terjadi
gangguan kontraktilitas miokard atau beban hemodinamik berlebih diberikan pada
ventrikel normal, maka jantung akan mengadakan sejumlah mekanisme untuk
meningkatkan kemampuan kerjannya sehingga curah jantung dan tekanan darah
dapat dipertahankan. Menurut buku pedoman Depkes RI (2007), penyakit jantung
dan pembuluh darah merupakan suatu kelainan yang terjadi pada organ jantung
dengan
akibat
terjadinya
gangguan
fungsional,
anatomis
serta
sistem
hemodinamis.
Dalam arti luas yang dimaksud penyakit jantung adlah penyakit yang
terdiri dari berbagai macam keadaan sakit jantung. Kejadian penyakit jantung
yang paling sering adalah penyakit jantung koroner, serangan jantung dan kondisi
sakit jantung lainnya (The State Gooverment of Victoria, 2004). Gejalanya bisa
berupa nyeri atau perasaan tidak enak di dada seperti terbakar, tertekan, diperasperas, atau di cekik. Rasa tersebut sering menjalar ke lengan, dagu, leher,
punggung atau perut yang menjadi kembung, mual dan muntah. Gejala tersebut
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
52
berlangsung cukup lama (lebih dari beberapa menit) dan tidak berkurang/ hilang
dengan istirahat.
Jenis penyakit yang dapat digolongkan kedalam penyakit Jantung dan
pembuluh darah :
1. Penyakit jantung koroner (PJK, penyakit jantung Iskemik, serangan
jantung, infark miokard, angina pektoris).
2. Penyakit pembuluh darah otak (Stroke, TIA (transient ischemic
attact).
3. Penyakit jantunghipertensi
4. Penyakit pembuluh darah perifer
5. Penyakit gagal jantung
6. Penyakit jantung rematik
7. Penyakit jantung bawaan
8. Penyakit jantung kardiomiopathy
9. Penyakit jantung kutub
Gagal jantung terjadi jika curah jantung tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan tubuh akan O2. Kondisi ini sangat letal, dengan mortalitas berkisar
antara 15-50% per tahun, bergantung kepada keparahan penyakitnya. Mortalitas
meningkat sebanding dengan usia, dan resiko pada laki-laki lebih besar dari pada
perempuan.
Gagal jantung adalah suatu sindroma klinik yang kompleks akibat
kelainan structural dan fungsional jantung yang mengganggu kemapuan ventrikel
untuk diisi dengan darah atau untuk mengeluarkan darah. Manisfestasi gagal
jantung yang utama adalah (1) sesak nafas dan rasa lelah, yang membatasi
kemampuan melakukan kegiatan fisik ; dan (2) retensi cairan, yang menyebabkan
kongesti paru dan edema perifer. Kedua abnormalitas tersebut mengganggu
kapasitas fungsional dan kualitas hidup pasien., tetapi tidak selalu ditemukan
bersama pada seorang pasien. Ada pasien dengan aktifitas fisik terbatas tanpa
retensi cairan, tetapi ada pasien dengan edema tanpa sesak nafas atau rasa lelah.
Tidak semua pasien disertai edema pada awal diagnosis ataupun selanjutnya,
karena itu istilah “gagal jantung” lebih tepat dari pada “gagal jantung kongestif”
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
53
Pada kebanyakan pasien dengan gagal jantung, disfungsi sistolik dan
disfungsi diastolic ditemukan bersama. Pada disfungsi sistolik, kekuatan kontraksi
vertikel kiri terganggu sehingga ejeksi darah berkurang, menyebabkan curah
jantung berkurang. Pada disfungsi diastolic, relaksasi dinding vertikel terganggu
sehingga pengisian darah berkurang, menyebabkan curah jantung berkurang.
Berkurangnya curah jantung inilah yang menimbulkan gejala-gejala gagal
jantung, sebagai akibat langsung dan/atau kompensasinya. Disfungsi sistolik
biasanya terjadi akibat akibat infark miokard yang menyebabkan kematian
sebagian sel otot jantung, sedangkan disfungsi diastolic biasanya terjadi akibat
hipertensi yang menyebabkan kompensasi iokard berupa hipertrofi dan kekakuan
dinding vertikel. Sel miokard yang mati pada infark miokard diganti dengan
jaringan ikat, dan pada sel miokard yang tinggal (jumlahnya telah berkurang)
terjadi hipertrofi sebagai mekanisme kompensasi.
Kompensasi pada gagal jantung sistolik terjadi melalui 2 mekanisme
utama, yaitu sistem simpatis dan sistem renin-angiostensin-aldosteron (RAA),
aktivitasi sistem simpatis terjadi sebagai reaksi terhadap penurunan curah jantung
yang dipersepsi oleh baroreseptor. Peningkatan aktivitas simpatis menyebabkan
peningkatan kontraksi otot jantung dan frekuensi denyut jantung melalui stimulasi
reseptor adrenergic 1 di jantung. Akibatnya terjadi peningkatan curah jantung
sebagai kompensasi terhadap penurunan curah jantung pada gagal jantung
sistolik. Aktivasi sistem RAA dimulai dengan sekresi renin oleh sel
jukstagolomerular di ginjal melalui stimulasi reseptor adrenergic 1 dan sebagai
reaksi terhadap berkurangnya perfusi ke ginjal. Sekresi renin akan akan
menghasilkan angiotensin II (Ang II), yang memiliki dua efek utama yaitu sebagai
vasokonstriktor kuat dan sebagai perangsang produksi aldosterone di korteks
adrenal. Efek vasokonstriksi oleh aktivitas simpatik dan Ang II akan
meningkatkan beban hulu (preload) dan beban hilir (afterload) jantung, sedangkan
aldosterone menyebabkan retensi air dan natrium ang akan menambah
peningkatan preload jantung. Tekanan pengisian ventrikel (preload) yang
meningkat akan meningkatkan curah jantung (menurut hubungan Frank-Starling)
sebagai mekanisme kompensasi.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
54
Akan tetapi mekanisme kompensasi ini tidak berjalan lama, karena dengan
berjalannya waktu, mekanisme kompensasi tersebut justru memperburuk
disfungsi miokard. Dengan tujuan untuk tetap meningkatkan curah jantung yang
kurang, terjadilah perubahan-perubahan maladaptive berupa hipertrofi dinding
vertikel (untuk meningkatkan kontraktilitas miokard) dan ekspensi volume
ventrikel (untuk meningkatkan tekanan dinding ventrikel sehingga meningkatkan
kontraktilitas miokard). Akan teatapi perubahan-perubahan maladaptive tersebut
terutama peningkatan tekan dinding ventrikel yang berlebihan, akan menyebabkan
apoptosis sel jantung dan poliferasi jaringan ikat (fibrosis), sehingga kontraktilitas
miokard akan menurun. Proses yang menghasilkan perubahan-perubahan
maladaptive dalam struktur dan fungsi jantung ini disebut proses remodeling
jantung. Selain melalui peningkatan stress hemodinamik pada ventrikel
(peningkaytan preload dan afterload jantung), aktivasi sistem neurohormonal
endogen tersebut di atas (peningkatan preload dan afterload jantung), aktivasi
sistem neuro hormonal ebdogen tersebut di atas (peningkatan kadar norepinerfin,
epinerfrin, angiostensin II, aldosterone, dan lain-lain), sendiri maupun bersama,
juga
mempunyai efek toksik langsung pada sel jantung untuk terjadinya
remodeling jantung (dengan menstimulasi terjadinya apoptosis dan fibrosis
miokard)
Proses remodeling jantung ini merupakan proses yang progresif, sehingga
akan berjalan terus tanpa perlu adanya kerusakan baru/ berulang pada jantung.
Proses remodeling jantung yang progresif ini menyebabkan kontraktilitas miokard
akan makin menurun. Di samping itu peningkatan afterload jantung juga
menurunkan curah jantung. Akibatnya terjadi dekomposisi jantung. Oleh karena
itu pengobatan gagal jantung kronik ditunjukkan untuk mencegah atau
memperlambat progresi remodeling miokard tersebut, sedangkan pada gagal
jantung akut, pengobatan ditujukan untuk mengurangi overload cairan,
menurunkan resistensi perifer, dan memperkuat kontraktilitas miokard.
Disamping gagal jantung yang low output tersebut di atas, ada gagal
jantung yang high output, artinya curah jantung meningkat diatas normal tetapi
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan O2 yang meningkat tinggi,
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
55
misalnya pada hipertiroidisme, anemia, shut atrio ventikular. Pengobatan gagal
jantung jenis ini diarahkan pada penyebabkan.
New York Heart Association (NYHA) membuat gradasi keparahan gagal
jantung dalam 4 kelas fungsional berdasarkan jumlah aktivitas fisik yang
diperlukan untuk menimbulkan gejala-gejalanya.
Kelas I : Tidak ada limitasi aktivitas fisik. Tidak timbul sesak nafas, rasa lelah,
atau palpitasi dengan aktifitas fisik biasa.
Kelas II : Sedikit limitasi aktifitas fisik. Timbul rasa lelah, palpitasi, dan sesak
nafas dengan aktifitas fisik biasa, tetapi nyaman sewaktu istirahat.
Kelas III : Aktivitas fisik sangat terbatas. Aktifitas fisik kurang dari biasa sudah
menimbulkan gejala, tetapi nyaman waktu istirahat.
Kelas IV : Gejala-gejala sudah ada waktu istirahat, dan aktivitas fisik sedikit saja
akan memperberat gejala.
2.5.9 Pengobatan Gagal Jantung
Tujuan primer pengobatan adalah mencegah terjadinya gagal jantung
dengan cara mengobati kondisi-kondisi yang menuju terjadinya gagal jantug,
terutama hipertensi dan/ atau penyakit ateri coroner. Jika disfungsi miokard sudah
terjadi, tujuan pertama adalah mengobati/ menghilangkan penyebab dasarnya, jika
mungkin (misalnya iskemia, penyakit tiroid, alcohol, obat). Jika penyebab dasar
tidak dapat dikoreksi, pengobatan ditujukan untuk (1) mencegah memburuknya
fungsi jantung, dengan perkataan lain memperlambat progresi remodeling
miokard, sehingga dapat mengurangi mortalitas; dan (2) mengurangi gejala-gejala
jantung sehingga memperbaiki kualitas hidup.
a. Untuk tujuan (1)
Diberikan penghambat ACE dan -Blocker, di samping mengurangi beban
kerja jantung. (gagal jantung kronik)
b. Untuk tujuan (2)
Diperlukan pengurangan overload cairan dengan diuretic, penurunan
resistensi perifer dengan vasodilator, dan peningkatan kontraktilitas
miokard dengan obat inotropic. (gagal jantung akut)
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
56
Terapi gagal jantung dibagi atas terapi non farmakologi dan terapi
farmakologi. Terapi non farmakologi terdiri atas:
1. Diet : Pasien gagal jantung dengan diabetes dislipedemia atau obesitas
harus diberi diet yang sesuai dengan menurukan gula darah, lipid darah
atau berat badannya.asupan NaCl harus dibatasi menjadi 2-3 g Na/hari,
atau < 2 g/hari untuk gagal jantung sedang sampai berat. Restriksi cairan
menjadi 1.5-2 L/hari hanya untuk gagal jantung berat.
2. Merokok : Harus dihentikan
3. Aktifitas Fisik: Olah raga teratur seperti berjalan atau bersepeda
dianjurkan untuk pasien gagal jantung yang stabil (NYHA I-III) dengan
intensitas yang nyaman bagi pasien
4. Istirahat : Dianjurkan untuk gagal jantung akut atau tidak stabil
5. Berpergian : Hindari tempat-tempat tinggi dan tempat yang sngat panas
atau lembab, dan gunakan penerbangan-penerbangan pendek.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
57
Disamping itu ada obat-obat yang harus dihindari atau digunakan dengan hatihati, yaitu Anti Inflamasi Non Steroid (AINS) dan cobix; antiaritmia kelas I:
antagonis kalsium (non- dihidropiridin dan dihidropridin kerja singkat);
antidepresi trisiklik; kortikosteroid; dan litium.
Obat Inotropik
Gagal Jantung
Sistolik
B Bloker
Penghmabat ACE
AT1 Bloker
Spironolaktone
Vasodilator
Gambar2.3Patofisologi gagal jantung sistolik dan tempatkerjanya
[Sumber: Farmakologi dan Terapi UI]
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
58
2.5.8Obat-Obatan Gagal Jantung
Terapi farmakologik terdiri atas;
(1) penghambat Ace; (2) Antagonis
angiostensin II; (3) Diuretik; (4) Antagonis aldosterone; (5) -blocker;
Vasodilator lain (7) Digoksin; (8) Obat inotropic lain; (9) Anti tromboltik; (10)
Antriaritmia.
2.5.8.1Penghambat ACE
Penggunaan penghambat ACE untuk terapi gagal jantung didukung oleh
berbagai uji klinik yang mengikutsertakan lebih dari lebih dari 100.000 pasien.
Penghambat ACE terbukti dapat mengurangi morbiditas pada semua pasien gagal
jantung sistolik (semua drajat keparahan, termasuk yang asimtomik)
Penghambat ACE menghabat konversi angiostensin I (Ang I) menjadi
angiostensin II (Ang II)tetapi angi II juga dibentuk oleh enzim-enzim non ACE,
misalnya kimase yang banyak terdapat di jantung. Kebanyakan efek biologic ang
II diperantarai oleh reseptor angiostensin tipe I (AT1). Stimulasi reseptor AT1
menyebabkan vasokontriksi, stimulasi dan pengelepasan aldosterone, peningkatan
aktivitas simpatis dan hipertropi miokard. Aldostron menyebabkan vasokontriksi,
stimulasi dan pengelepasan aldosterone, peningkatan aktivitas simpatik dan
hipoertropi miokard. Aldosterone menyebabkan reabsorpsi Na dan air di tubulus
ginjal, sedangkan aktivitas simpatik menyebabkan sekresi renin dari sel
jukstaglomerular di ginjal. Reseptor AT2 memperantarai stimulasi apoptosis dan
antiproliferasi. Penghambatan ACE dengan mengurangi pembentukan Ang II
akan menghambat aktivitas Ang II di reseptor AT1 maupun AT2
Penghambat ACE merupakan terapi lini pertama untuk pasien dengan
fungus sistolik ventrikel kiri yang menurun, yakni dengan fraksi ejeksi dibawah
normal (<40-45%), dengan atau tanpa gejala, obat ini diberiakn untuk mencegah
atau menunda terjadinya gagal jantung, dan juga untuk mengurangi resiko infark
miokard dan kematian mendadak. Pada pasien dengan gejala gagal jantung tanpa
retensi cairan, penghambat ACE harus diberikan sebagai terapi awal; pada pasien
dengan retensi cairan, obat ini harus diberikan bersama diuretic. Penghambat ACE
harus dimulai setelah fase akut infrak miokard, meskipun gejala transien, untuk
mengurangi mortalitas dan infrak ulang serta hospitalisasi karena gagal jantung.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
59
Pada pasien gagal jantung sedang dan berat dengan disfungsi sitolik ventrikel kiri
penghambat ACE mengurangi mortalitas dan gejala-gejala gagal jantung,
meningkatkan kapasitas fungsional, dan mengurangi hospitalisasi.
Gambar2.4 Mekanisme kerja penghambat ACE
dan antagonis All
[Sumber: Farmakologi dan Terapi UI]
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
60
Efek samping yang penting adalah batuk, hipotensi, gangguan fungsi
ginjal, hyperkalemia dan angioederma. Pasien yang tidak dapat mentoleransi obat
ini karena batuk dapat menggunakan AT1 –bloker sebagai alternative yang efektif.
Penghambat ACE dikontraindikasikan pada wanita hamil dan menyesui, pasien
dengan stenosis arteri ginjal bilateral atau angioedema pada terapi dengan
penghambat ACE sebelumnya.
Penghambat ACE harus selalu dimulai dengan dosis rendah atau dititrasi
sampai dosis target. Dosis target adalah dosis pemeliharaan yang telah terbukti
efektif untuk mengurangi mortalitas/ hospitalisasi dalam uji klinik yang besar.
Table.2.3 Dosis Penghambat ACE Untuk Pengobatan Gagal Jantung
Obat
Dosis Awal
Dosis Pemeliharaan
Kaptropil
6.25 mg tid
25-50 mg tid
Enalapril
2.5 mg od
10-20 mg bid
Lisinopril
2.5 mg od
5-20 mg od
Ramipril
1.25 mg od/bid
2.5-5 mg bid
Trandolapril
1 mg od
4 mg od
Kuinapril
2.5 mg od
5-10 mg bid
Fosinopril
5-10 mg od
20-40 mg od
Peridopril
2 mg od
4 mg od
Keterangan : od= Sekali sehari; bid= dua kali sehari; tid= tiga kali sehari
Untuk memulai pengobatan gagal jantung dengan penghambat ACE atau
AT1 –bloke, di anjurkan prosedur berikut; (a) jika pasien telah menggunakan
diuretic, turunkan dosis nya atau hentikan selama 24 jam; (b) pengobatan dimulai
dipetang hari, sewaktu berbaring, untuk mengurangi terjadinya hipotensi; (c)
pengobatan dimulai dari dengan dosis rendah dan titrasi sampai dosis target,
biasanya dengan peningkatan 2 kali lipat setiap kalinya; (d) jika fungsi ginjal
memburuk bermakna, hentikan pengobatan; (e) diuretic hemat kalium harus
dihindari selama awal terapi; (F) penggunaan AINS dan cobix harus dihindari.;
dan (g) tekanan darah, fungsi ginjal dan kadar K harus dipriksa 1-2 minggu stelah
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
61
pengobatan dimulai dan tiap peningkatan dosis, pada 3 bulan, dan selanjtnya pada
tiap 6 bulan.
2.5.8.2 Antagonis Angiotensin II (AT1- bloker)
Antagonis angiotensin II (Ang II) menghambat Ang II hanyadi reseotor
AT1 dan tidah di reseptor AT2 maka disebut AT1- bloker. Karena terjadi terjadi
reaksi silang antra penghambat ACE dan AT1- bloker , maka sebaiknya tidak
diberi AT1- bloker bila telah menggunakan penghambat ACE.
Untuk pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri :
a) AT1- bloker dapat digunakan sebgaialternatif penghambat ACE pada
pasien gagal jantung yang tidak mentoleransi penghambat ACE.
b) AT1- bloker dan penghambat ACE mempunyai efikasi yang sebanding
pada gagal jantung sistolik yang sebanding 40 %terhadap mortalitas dan
morbiditas.
c) AT1- bloker dapat dipertimbangkan dalam kombinasi dengan penghambat
ACE pada pasien yang masih simtomatik.
Pada pasien NYHA kelas III yang masih simtomatik meski telah mendapat
diuretic, penghambat ACE, dan -blocker, belum ada bukti pasti untuk
merekomendasikan penambahan berikutnya.
Prosedur untuk memulai pemberian AT1- bloker sama dengan untuk
penhambat ACE dan AT1- bloker yang telah terbukti efektif untuk pengobatan
gagal jantung serta dosis nya dapat dilihat pada table dibawah oni :
Tabel.2.4AT1- bloker dan dosisnya untuk pengobatan Gagal jantung
Obat
Dosis Awal
Dosis Maksimal
Kandesartan
4-8 mg od
32 mg od
Losartan
24-50 mg od
50-100 mg od
Valsartan
20-40 mg od
160 mg bid
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
62
2.5.8.3 Diuretik
Diuretik merupakan obat utama untuk mengatasi gagal jantung akut ang
selalu disertai dengan kelebihan (overload) cairan yang bermanifestasi sebagai
kongesti paru atau edema perifer. Penggunaan diuretic dengan cepat
menghilangkan sesak nafas dan meningkatkan kemampuan melakukan aktivitas
fisik. Diuretic mengurangi retensi air dan garam sehingga mengurangi volume
cairan ekstra sel, alir balik vena, dan tekanan pengisian ventrikel(preload)
Diuretik kuat, misalnya furosemide dengan dosis awal 40 mg od atau bid,
dan dosis ditingkatkan sampai diperoleh diuresis yang cukup. Dosis awal yang
lebih tinggi mungkin diperlukan pada gagal jantung lanjut atau yang disertai
dengan gagal ginjal. Elektrolit serum dan fungsi ginjal harus sering dimonitor.
Diuretic tidak mengurangi mortalitas pada gagal jantung (kecuali spironolakton),
maka diuretic harus diberikan dalam kombinasi dengan penghambat ACE.
Diuretik Tiazid pada pengobatan gagal jantung tidak diberikan sebagai
obat tunggal (karena efek diuresis lemah), tetapi dalam kombinasi dengan diuretic
kuat akan menunjukkan efek sinergis.
Diuretik hemat kalium: triamterene, amilorid. Diuretic hemat kalium
adalah diuretic lemah adalah diuretic lemah, karena itu tidak efektif untuk
mengurangi volume. Obat-obat ini digunakan untuk mengurangi pengeluaran K
atau Mg oleh ginjal dan/atau memperkuat respon diuresis oleh obat lain
Tabel.2.5Diuretik oral dan dosisnya untuk pengobatan retensi cairan pada gagal
ginjal.
Diuretik kuat
 Furosemid
 Bumetanid
 Toresemid
Tiazid
 HCT
 Klortalidon
 Indapamid
Diuretik
Kalium
Dosis Awal
Dosis maksimal
sehari
Lama kerja
20-40 mg od/bid
0.5-1 mg od/bid
10-20 mg od
600 mg
10 mg
200 mg
6-8 jam
4-6 jam
12-16 jam
25 mg od/bid
12.5-25 mg od
2.5 mg od
200 mg
100 mg
5 mg
6-12 jam
24-72 jam
36 jam
Hemat
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
63


Amilorid
Triamteren
2.5 mg od
25 mg od
20 mg
100 mg
24 jam
7-9 jam
2.5.8.4 Antagonis Aldosteron
Pada pasien gagal jantung, kadar plasma aldosterone meningkat (akibat
aktivasi sistem renin angiostensin-aldosteron), bisa sampai 20x kadar normal.
Aldosterone menyebabkan retensi Na dan air serta ekskresi K dan Mg. Antagonis
aldosterone direkomendasikan untuk ditambahkan pada:
a) Penghambat ACE dan diuretic kuat pada gagal jantung lanjut.
b) Penghambat ACE dan -blocker pada gagal jantung setelah infrak
miokard dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri.
2.5.8.5 -blocker
kerja
-blocker terutama dengan menghambat efek merugikan dari
aktivasi simpatis pada pasien gagal jantung, dan efek ini lebih menguntungkan
dibandingkan dengan efek inotropic negatifnya. Stimulasi adrenergic pada jantung
memang pada awalnya meningkatkan kerja jantung, akan tetapi aktivasi simpatis
yang berkepanjangan pada jantung yang telah mengalami disfungsi akan merusak
jantung dan hal ini dapat dicegah oleh -blocker
Tabel.2.6 Beta Bloker dan dosisnya
Beta Bloker
Dosis Awal
Peningkatan
Dosis Target
Piode Titrasi
10 mg od
Minggu-bulan
200 mg od
Idem
25 mg bid
idem
Dosis
Bisoprolol
1.25 mg od
2.5; 3.75; 5;
7.5;10
Metoprolol
12.5/25 mg od 25; 50; 100;
sukinat CR
Karvedilol
200
3.125 mg od
6.25; 12.5;
25; 50
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
64
B Bloker
B Bloker
B Bloker
(Aritmia)
Gambar2.5 Mekanisme kerja Beta Bloker pada gagal jantung Sistolik
[Sumber: Farmakologi dan Terapi UI]
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
65
2.5.5.6 Vasodilator Lain
Vasodilator lain dari penghambat ACE dan antagonis All yang digunakan
untuk pengobatan gagal jantung adalah:
1. Hidralazin Isosorbid Dinitrat
Merupakan vasodilator ateri sehingga menurunkan afterload, sedangkan
isosorbid dinitrat merupakan venodilator sehingga mennurunkan preload
jantung.
2. Na Nitroprusid
Merupakan prodrug NO (Nitric oxide), suatu vasodilator kuat, kerjanya di
arteri maupun vena, sehingga menurunkan afterload maupun preload
jantung. Masa kerjanya cepat (2-5 menit) obat ini biasa dipake untuk
mengatasi gagal jantung akut di IGD
3. Nitrogliserin
Hanya menurunkan preload jantung. Pada gagal jantung obat ini
digunakan untuk pengobatan agal jantung kiri akibat iskemia miokard
akut, gagal jantung non iskemik yang memerlukan penurunan preload
cepat
4. Nesiritid Intravena
Diindikasikan untuk gagal jantung akut dengan sesak nafas saat istirahat
atau dengan aktivitas minimal.
2.5.8.7 Glikosida Jantung
Saat ini hanya digoksin yang digunakan untuk terapi gagal jantung; (a)
inotropic positif, (b) kronotropok negative, (c) mengurangi aktivasi saraf simpatis.
Mekanisme (a) inotropic positif; digoksin penghambat pompa Na-KATPase pada membrane sel otot jantung sehingga meningkatkan kada Na+
intrasel, dan menyebabkan berkurangnya pertukaran Na+ dan Ca++ selama
repolarisasi dan relaksai otot jantung sehingga Ca2+ tertahan dalam sel kadar Ca2+
intrasel meningkat, dan ambilan Ca2+ kedalam reticulum sarkoplasmik meningkat.
Mekanisme (b) dan (c): pada kadar terapi (1-2 ng/mL), digoksin
meningktakan tonus vegal dan mengurangi aktivitas simpatik di nodus SA maupu
AV.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
66
2.5.8.8 Inotropik Lain
Inotropik lain yang digunakan untuk pengobatan gagal jantung adalah
:Dopamin dan Dobutamin intravena yang merupakan obat inotropic yang paling
sering digunakan untuk menunjang sirkulasi dalam jangka pendek pada gagal
jantung yang parah. Kerjanya melalui stimulasi reseptor dopamine D1 dan reseptor
 adrenergic di sel otot jantung.
a. Dopamin mempunyai penggunaan yang terbatas pada pengobatan pasien
pasien dengan kegagalan sirkulasi kardiogenik. Dobutamin merupakan 
agonis yang terpilih untuk pasie gagal jantung dengan disfungsi sistolik.
Dobutamin merupakan campuran rasemik yang menstimulasi 1 dan 2.
Efek 1 di miokard dominan, dan menghasilkan peningkatan curah jantung
dengan hanya sedikit peningkatan denyut jantung.
b. Pemghambat Fosfodiestrerase intravena
Inamrinon dan milrinon merupakan penghambat fosfodiesterase kelas III
(PDE3) yang digunakan sebagai penunjang sirkulasi jangka pendek pada
gagal jantung yang parah. Akan tetapi pada penggunaan yang panjang
obat-obat ini meningkatkan mortalitas (mempercepat kematian). Karena
itu indikasinya hanya untuk penggunaan penggunaan jangka pendek pada
gagal jantung tahap akhir dengan gejala-gejala yang refrakter terhadap
obat-obat lain.
2.5.8.9 Antitrombotik
Wafarin (Antikoagulan oral) diindikasikan pada gagal jantung dengan
fibrilaasi atrial, riwayat kejadian romboembolik sebelumnya, atau adanya
thrombus di ventrikal kiri, untuk mencegah stroke atau tromboembolisme.
Setelah infark miokard, aspirin atau warfarin direkomendasikan sebagai
profilaksis skunder.
2.5.10.10 Antiaritmia
Antiaritmia yang digunakan pada gagal jantung hanyalah -bloker dan
amiodaron. -bloker mengurangi kematian mendadak pada gagal jantung.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
67
Amiodaron digunakan pada gagal jantung hanya jika disertai dengan
fibrilisasi atrial dan dikehendaki ritme sinus. Amiodaron adalah satu-satunta obat
aritmia yang tidak disertai dengan efek inotropic negative.
Gambar2.6 Mekanisme Kerja penghambat PDE3
[Sumber: Farmakologi dan Terapi UI]
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
68
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka konsep
Depo Farmasi di IRJ
RSUP Fatmawati
Resep poli jantung
Kriteria inklusi
dan ekslusi
Medication Error
Prescribing
Transcribing
Tidak
Lengkap
Lengkap
Dispensing
1. Failure mode
2. Cause
3. Effect Failure
4.Risk grading
/severity
5.Frekuensi
Risk Priority
Risk Priority
Risk Priority
Number (RPN)
Number (RPN)
Number (RPN)
(Occurance /OCC)
Tinggi /Parah
Sedang/ Sedang
Rendah/ Tidak
6. Dettection/ DET
Kejadian
parah
Keterangan :
Tidak dilakukan analisa
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
69
3.2 Definisi Operasional:
Tabel3.1 Definisi Operasional
NO Variabel
Definisi
Operasional
1
Adalah pelayanan
resep pasien rawat
jalan RSUP Fatmawati
Adalah resep yang
berasal dari poli
jantung IRJ RSUP
Fatmawati
- Adalah Kesalahan
dalam pelayanan
resep yang dinilai
pada tahap
prescribing.
2
Depo Farmasi
IRJ RSUP
Fatmawati
Resep Poli
Jantung
3
Medication
Error
4
Prescribing
-
-
Adalah tahapan
penulisan resep
obat. Yang akan
dinilai pada tahap
administresi
Kesalahan terjadi
karena tidak terisi
23 item pada
lembar resep yaitu;
nama dokter
penulis resep. Surat
Izin Praktek (SIP)
dokter, status
dokter , tidak ada
berat badan pasien,
tinggi badan dan
usia pasien, tidak
ada jenis kelamin
pasien, tidak ada
bentuk sediaan,
tidak ada rute
pemberian, tidak
ada paraf dokter,
tidak ada dosis
sediaan, tidak ada
satuan dosis, tidak
ada aturan pakai,
tidak ada jumlah
pemberian, tidak
ada tanggal
permintaan resep,
nama obat tidak
Cara Ukur
-
-
Mengamati dan
mencatat
tingkat
kesalahan yang
terjadi pada
tahap
prescribing
lembar resep
IRJ poli jantung
di RSUP
Fatmawati
Mengamati dan
mencatat
tingkat
kesalahan yang
terjadi pada
tahap
prescribing
lembar resep
IRJ poli jantung
di RSUP
Fatmawati
Ukurann
Alat
Ukur
Skala
- Potensi ME;
bila resep
tidak terisi
dengan
lengkap
- Tidak potensi
ME; bila
resep terisi
dengan
lengkap.
Resep
Nominal
1. Lengkap:
tahapan
penulisan
resep (23
item) resep
terisi penuh
2. Tidak
lengkap;tahap
an penulisan
resep (23
item) pada
lembar resep
ada yang tidak
terisi.
Resep
Nominal
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
70
jelas atau berupa
singkatan, resep
tidak terbaca
dengan jelas.
- Adalah resep yang
memenuhi tahapan
penulisan resep
7
Lengkap
8
Tidak
Lengkap
-
Adalah resep yang
tidak memenuhi
tahapan penulisan
resep
9
Failure Mode
-
Adalah model
kegagalan yang
terjadi pada
tahapan
kelengpana
penulisan resep
10
Cause
-
Adalah
kemungkinan
penyebab dari
kegagalan
kegagalan tahapan
penulisan resep
11
Effect Failure
-
Adalah efek yang
mungkin terjadi
akibat dari
kegagalan tahapan
penulisan resep
12
Risk Grading/
severity
-
Adalah tingkatan
resiko atau
tingkatan
keparahan dari
model kegagalan
tahapan penulisan
-
Mengamati dan 3. Lengkap;
mencatat
tahapan
tingkat
penulisan (23
kesalahan yang
item) pada
terjadi pada
lembar resep
tahap
terisi penuh
prescribing
lembar resep
IRJ poli
jantung di
RSUP
Fatmawati
Resep
Nominal
Mengamati dan - Tidak lengkap;
mencatat
tahapan
tingkat
penulisan (23
kesalahan yang
item) pada
terjadi pada
lembar resep
tahap
ada bagian
prescribing
tidak terisi
lembar resep
IRJ poli jantung
di RSUP
Fatmawati
- Menilai/
melihat data
resep IRJ poli
jantung di
RSUP
Fatmawati
menggunakan
metode FMEA
- Menilai/
melihat data
resep IRJ poli
jantung di
RSUP
Fatmawati
menggunakan
metode FMEA
- Menilai/
melihat data
resep IRJ poli
jantung di
RSUP
Fatmawati
menggunakan
metode FMEA
- Menilai/
1. kegagalan
melihat data
administrasi
resep IRJ poli
yang
jantung di
berdampak
RSUP
pada rumah
Fatmawati
sakit
Resep
Nomilnal
Resep
Ordinal
-
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
71
resep
13
Frekuensi
Adalah banyaknya
lembar resep
ditemukan model
kegagalan.
menggunakan
metode FMEA
2. kegagalan
administrasi
yang
berdampak
pada pasien
tetapi tidak
menimbulkan
cidera
3. kegagalan
administrasi
yang dapat
menimbulkan
cidera tetapi
belum terjadi
insiden
4. potensi cidera
tetapi belum
terjadi insiden
5. insiden yang
berpotensi
menimbulkan
cidera tetapi
belum
terpapar ke
pasien
6. insiden yang
sudah
terpapar ke
pasien tetapi
tidak
menimbulkan
cidera atau
KTD dan
menyebabkan
kematian.
1. Menilai/ melihat
2 Remote/sangat
data resep IRJ
jarang terjadi
poli jantung di
adalah
RSUP
frekuensi
Fatmawati
terjadi 1
menggunakan
dalam 1000
metode FMEA
kejadian
3 Low/ jarang
terjadi adalah
frekuensi
terjadi dalam
100 kejadian
4 Moderate/
sedang terjadi
adalah
frekuensi
terjadi1 dalam
50 kejadian
5 High/ sering
terjadi adalah
frekuensi
terjadi 1
dalam 10
Resep
Ordinal
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
72
14
Detection
Adalah kemudahan
untuk mendeteksi
model kegagalan
15
RPN Tinggi
/Parah
16
RPN Sedang
Adalah kemungkinan
terjadinya insiden yang
sudah terpapar ke
pasien tetapi tidak
menimbulkan cidera
atau suatu kejadian
yang tidak diharapakan
yang dapat
menimbulkan kematian
Adalah kemungkinan
terjadinya insiden yang
berpotensi
menimbulkan cidera
tetapi belum terpapar
ke pasien.
17
RPN Rendah/
tidak parah
Adalah kondisi yang
kemungkinan sangat
berpotensi
menimbulkan cidera
tetapi belum terjadi
insiden.
kejadian
6 Very high/
sangat sering
terjadi adalah
frekuensi
terjadi 1
dalam 2
kajadian
Menilai/
1. Remote
melihat data
/sedikit adalah
resep IRJ poli
terdeteksi
jantung di
0/10 kali
RSUP
2. Low/ rendah
Fatmawati
adalah
menggunakan
terdeteksi
metode FMEA
2/10 kali
3. Medium/
sedang adalah
terdetksi 5/10
kali
4. High/ tinggi
adalah
terdeteksi
7/10 kali
Menilai/
Tinggi; bila
melihat data
hasil
resep IRJ poli
perhitungan
jantung di
nilai RPN yang
RSUP
didapatkan 120
Fatmawati
menggunakan
metode FMEA
Menilai/
melihat data
resep IRJ poli
jantung di
RSUP
Fatmawati
menggunakan
metode FMEA
Menilai/
melihat data
resep IRJ poli
jantung di
RSUP
Fatmawati
menggunakan
metode FMEA
Resep
Ordinal
Nilai
RPN
Ordinal
Sedang : bila
hasil
perhitungan
nilai RPN yang
didapatkan 3680
Nilai
RPN
Ordinal
Tidak parah :
bila nilai RPN
yang didapatkan
1-30
Nilai
RPN
Ordinal
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
73
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1
Lokasi dan Waktu Penelitian
4.1.1 Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di gudang penyipanan resep instalasi farmasi
rumah sakit Depo Farmasi Instalasi Rawat jalan (IRJ) RSUP Fatmawati
4.1.2
Waktu penelitian
Waktu penelitian dilaksanakan dari mulai tanggal 3 agustus - 4
september 2015.
4.2
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental dilakukan
dengan desain cross sectional dan pengambilan data dilakukan secara
retrospektif. Diharapkan dengan metode ini, tujuan penelitian akan
tercapai
4.3
Populasi dan Sample Penelitian
4.3.1 Populasi
Populasi adalah seluruh resep yang masuk di Instalasi Rawat jalan poli
jantung RSUP Fatmawati pada priode januari 2015 yaitu sebanyak 3649
lembar resep.
4.3.2 Sample
Sampel dalam penelitian ini adalah resep yang masuk di instalasi rawat
jalan poli jantung RSUP Fatmawati pada priode januari 2015. Dengan
pengambilan sampel secara total populasi yatu sebanyak 3649 lembar resep.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
74
4.4
Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi
4.4.1 Kriteria Inklusi
1.
Resep yang berasal dari instalasi rawat jalan poli jantung IRJ RSUP Fatmawati
2.
Resep pada bulan januari 2015
4.4.2 Kriteria Eklusi
1.
Resep yang berasal dari Ruang Rawat Inap Penyakit Jantung.
4.5 Pengumpulan data
1
Data yang dikumpulkan di dapat dari; Ruang penyimpanan resep IRJ
RSUP Fatmawati pada bulan januari 2015. Data dikumpulkan dan dicatat
dengan dilakukan pengamatan mengenai kelengkapan tahapan tulisan
yang tertulis di dalam lembar resep pada fase prescribing ; nama dokter,
SIP dokter, status dokter, berat badan pasien, tinggi badan pasien, usia
pasien, jenis kelamin pasien, bentuk sediaan, rute pemberian, paraf dokter,
dosis sediaan, satuan dosis, aturan pakai, jumlah pemberian, tanggal
permintaan resep, nama obat, pengkajian dan klarifikasi, penyiapan,
dispensing, penyerahan dan informasi, form pengkajian resep dan
klarifikasi informasi resep.
2
Selanjutnya data di olah untuk mendapatkan;
1. Severity,
Severity adalah tingkatan keparahan dimana dalam penelitian ini
tingkatan keparahan diukur dari tingkat keseriusan akibat atau efek
yang muncul dengan score dibawah ini :
Tabel4.1 Severity (tingkat kegagalan)
Score Deskripsi kegagalan
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
75
1
2
3
4
5
6
Adalah untuk menilai potensi tingkat keparahan kemungkinan
kegagalan administrasi yang berdampak pada rumah sakit
Adalah untuk menilai potensi tingkat keparahan kemungkinan
kegagalan administrasi yang berdampak pada pasien tetapi tidak
berpotensi menimbulkan cidera
Adalah untuk menilai potensi tingkat keparahan kemungkinan
kegagalan administrasi yang berdampak pada pasien dan dapat
menimbulkan cidera tetapi belum terjadi insiden
Adalah untuk menilai potensi tingkat keparahan kemungkinan sangat
berpotensi menimbulkan cidera tetapi belum terjadi insiden
Adalah untuk menilai potensi tingkat keparahan kemungkinan
terjadinya insiden yang berpotensi menimbulkan cidera tetapi belum
terpapar kepasien
Adalah untuk menilai potensi tingkat keparahan kemungkinan
terjadinya insiden yang sudah terpapar ke pasien tetapi tidak
menimbulkan cidera atau suatu kejadian yang tidak diharapkan dan
menyebabkan kematian
2. Occurrence, adalah frekuensi atau penilaian seringnya terjadi
kegagalan, dengan score yang di tetapkan seperti dibawah ini :
Tablel4.2 Occrance (Frekuensi Kejadian)
Score Banyaknya kejadian
1
Sangat jarang terjadi (Remote): adalah untuk frekuensi sangat jarang
terjadi
(angka kejadian 1 dalam 1000 kejadian)
2
Jarang terjadi (Low): adalah untuk frekuensi rendah terjadi
(angka kejadian 1 dalam 100 kejadian)
3
Sedang terjadi (moderate): adalah untuk frekuensi sedang terjadi
(angka kejadian 1 dalam 50 kejadian)
4
Sering terjadi (High): adalah untuk frekunsi tinggi terjadi
(angka kejadian 1 dalam 10 kejadian)
5
Sangat sering terjadi (Very High) ; adalah untuk frekuensi sangat
tinggi terjadi
(angka kejadian 1 dalam 2 kejadian)
3. Detection , adalah kemungkinan kegagalan dapat dideteksi. Dengan
score dibawah ini :
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
76
Tabel4.3Detection (kemungkinan dapat dideteksi)
Score Kemungkinan deteksi
1
Sedikit (Remote) terdeteksi 0/10 kali
2
Rendah (Low) terdektesi 2/10 kali
3
Sedang (medium) terdteksi 5/10 kali
4
Tinggi (High) terdeteksi 7/10 kali
4. RPN adalah nilai yang tertinggi sebagai urutan prioritas untuk
dilakukan segera perbaikan, nilai RPN yang didapatkan dari :
RPN = S*F*D
S= Severity
F= Frekuensi
D= Detection
4.6 Cara Kerja
1. Mengamati dan mencatat resep dengan mengidentifikasi kelengkapan
tahapan tulisan yang tertulis di dalam lembar resep kemudian dinilai
kelengkapan resep pada fase prescribing.
2. Kemudian dianalisa menggunakan metode FMEA yaitu mendapatkan
score peneilaian severity, Frekuensi, dan Detection untuk mendapatkan
RPN tertinggi.
3. Menggunakan
diagram
ischikawa
(metode
fish
bone)
untuk
Mengidentifikasi masalah dari kegagalan.
4.7 Rencana Analisis Data
a. Analisa data menggunakan Microsoft excel
Data didapat dari resep yang dikumpulkan dan disimpulkan
berdasarkan persentase kemudian di analisis untuk melihat data
kelengkapan resep. Analisis data dilakukanuntuk memperoleh gambaran
distribusi setiap variabel penelitian. Variabel yang diteliti meliputi
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
77
kelengkapan dalam penulisan resep no rekam medis, nama pasien, tanggal
lahir, jenis kelamin, tinggi badan, riwayat alergi, tanggal resep, nama
dokter, no izin praktik, status dokter, nama obat, dosis sediaan, jumlah,
rute, aturan pakai, paraf , pengkajian dan klasifikasi, penyiapan,
dispensing, penyerahan dan informasi, form pengkajian resep dan
klasifikasi informasi resep
b.
Analisa data dengan menerapkan metode FMEA
Peneliti melakukan pengukuran dengan menggunakan langkahlangkah FMEA
1. Tahap diagnosing
a. Mengkaji
data
resep
untuk
melihat
variable
tahapan
kelengkapan resep
b. Dengan membuat form skoring untuk setiap jenis medication
error, dengan Menetapkan tingkat keparahan dan efek
kegagalan
pada
pasien
(severity),
(Occurrence), dan kemudahan deteksi
frekuensi
kejadian
(Detection),untuk
menetapkan prescribtion error.
c. Data yang diperoleh dengan nilai RPN (Risk Priority Number)
tertinggi menjadi focus penelitian.
2. Tahap identifikasi
Mengidentifikasi masalah dari kegagalan dengan metode
fish bone ( diagram ischikawa)
3. Tahap Planing
Merencanakan
rancangan
ulang
yang
tepat
untuk
memperbaiki kegagalan atau sebagai saran untuk perbaikan di
rumah sakit.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
78
5.1 HASIL PENELITIAN
Penelitian retrospektif ini dilakukan terhadap 3649 lembar resep pasien
rawat jalan penyakit jantung di depo IRJ Fatmawati pada bulan januari 2015.
Penelitian ini dilakukan pada tahap prescribing dengan mengamati kelengkapan
resep untuk mengetahui mode kegagalan dan factor penyebab prescribtion
errordengan menggunakan metode FMEA untuk memperkirakan potensi dampak
yang akan terjadi sehingga dapat mencari jalan keluar dari kegagalan. Melalui
hasil pengamatan dari 3649 resep IRJ poli jantung RSUP Fatmawati diketahui
masih banyak terdapat ketidaklengkapan penulisan resep setiap harinya.
5.1.1 Pengumpulan Data Kelengkapan Resep
Pada penelitian ini peneliti mengamati kelengkapan resep yang meliputi
kelengkapan data pasien, kelengkapan data penulis resep, kelengkapan data
perbekalan farmasi, dan kelengkapan pelayanan resep . Data kelengkapan resep
dapat dilihat pada table 1.
Tabel 5.1 Distribusi penilaian medication error terhadap ketidaklengkapan resep
tahap prescribing di poli jantung IRJ RSUP Fatmawati.
No
Jenis Penilaian
Jumlah
Persen
Kejadian
(%)
571
15.64
3
0.08
1
Tidak ada no rekam medis
2
Tidak ada nama pasien
3
Tidak ada tanggal lahir pasien
1091
29.89
4
Tidak ada jenis kelamin pasien
3365
92.21
5
Tidak ada tinggi badan pasien
3645
99.89
6
Tidak ada berat badan pasien
3645
99.89
7
Tidak ada riwayat alergi pasien
2379
65.19
8
Tidak ada tanggal resep
943
25.84
9
Tidak ada nama dokter
16
0.43
10
Tidak ada NIP dokter
54
1.47
11
Tidak ada status dokter
3649
100
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
79
12
Tidak ada nama obat
0
0
13
Tidak ada dosis sediaan
0
0
14
Tidak ada jumlah
0
0
15
Tidak ada rute
3649
100
16
Tidak ada aturan pakai
289
7.91
17
Tidak ada paraf dokter
3649
100
18
Tidak
dan
302
8.27
Tidak terisi kolom penyiapan oleh
274
7.50
1565
42.88
356
9.75
36
0.98
3649
100
terisi
pengkajian
klarifikasi petugas
19
petugas
20
Tidak terisi kolom dispensing oleh
petugas
21
Tidak terisi kolom penyerahan dan
informasi oleh petugas
22
Tidak terisi form pengkajian resep
oleh petugas
23
Tidak
terisi
klarifikasi
dan
informasi oleh petugas
Keterangan : 0 tidak ditemukan kesalahan
Berdasarkan table diatas menunjukkan bahwa pada tahap prescribing yang
berpotensi menimbulkan medication error yang sangat berbahaya terjadi karena ;
potensi kesalahan terbanyak terjadi pada;
1. Tidak ada status dokter 100%
2. Tidak ada paraf dokter 100%
3.
Tidak terisi lembar klarifikasi dan informasi oleh petugas 100%
4. Tidak ada rute pemberian 100 %
5. Tidak ada riwayat alergi pasien 65%
6. Tidak ada aturan pakai 7.91%
5.1.2 Tahap Failure Mode and effect Analysis
5.1.2.1 Mengidentifikasi failure mode
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
80
Failure Mode yang didapatkan dari ketidaklengkapantahapan penulisan
resep adalah sebagai berikut ;
Tidak ada no rekam medis, tidak ada nama pasien, tanggal lahir, tidak ada jenis
kelamin, tidak ada tinggi badan, tidak ada riwayat alergi, tidak ada tanggal resep,
tidak ada nama dokter, tidak ada no izin praktik, tidak ada status dokter, tidak ada
nama obat, tidak ada dosis sediaan, jumlah, rute, tidak ada aturan pakai, tidak ada
paraf , tidak ada pengkajian dan klasifikasi, tidak ada penyiapan, tidak ada
dispensing, tidak ada penyerahan dan informasi, tidak ada form pengkajian resep
dan klasifikasi informasi resep.
5.1.2.2 Menentukan penyebab, akibat dan rencana tindakan lanjut dari
ketidaklengkapan tahapan penulisan resep IRJ Polijantung RSUP
Fatmawati.
Dalam pengaplikasian FMEA dibutuhkan penetapan penyebab, akibat dan
rencana tindak lanjut dari mode kegagalan. Failure mode yang didapatkan dari
analisa ketidaklengkapan resep kemudian ditetapkan penyebab, efek dan rencana
tindak lanjut. Penetapan ini didasarkan pada keputusan bersama yang diambil dari
hasil sidang peneliti dan komite etik dan hukum RSUP Fatmawati, Komite
Farmasi terapi RSUP Fatmawati, Instalasi Farmasi RSUP Fatmawati, IRMPDI
Farmasi RSUP Fatmawati, SMF jantung Farmasi RSUP Fatmawati, bapak
ahmad Subhan sebagai pembimbing penelitian
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
81
Tabel.5.2 Analisis FMEA untuk Kemungkinan penyebab dan efek kegagalan pada resep yang tidak
lengkap di Instalasi Rawat Jalan Poli Jantung RSUP Fatmawati3
Proses (langkah)
Failure Mode
Cause
Effect Failure
Rencana
Tindak
Lanjut
Data Pasien

No Rekam
Medis
(RM)
Kegagalan
Penulisan
No
dalam membaca
RM tidak jelas
No RM pasien
Tertukar data pasien,
Menyediakan alat
sulitnya penelusuran
tulis , computer
riwayat medis pasien
yang berfungsi
baik.

Nama
Pasien
Kegagalan
Penulisan nama
Tertukarnya obat
Menyediakan alat
dalam membaca
pasien tidak
pasien
tulis , edukasi
nama pasien
jelas, nama
petugas.
ditulis
menggunakan
singkatan.nama
tidak
dicantumkan

Tanggal
Lahir
Kegagalan
Tanggal lahir
Berpengaruh dalam
Menyediakan alat
dalam membaca
tidak
perencanaan dosis
tulis , edukasi
tanggal lahir
dicantumkan,
obat pasien.
petugas
pasien
tanggal lahir
tidak ditulis
dengan jelas.

Jenis
Kelamin
(JK)
Kegagalan
Jenis Kelamin
Berpengaruh dalam
Menyediakan alat
dalam membaca
pasien tidak
penentuan dosis obat
tulis, edukasi
Jenis
dicantumkan.
pasien
petugas.
Kegagalan
TB pasien tidak
Berepengaruh dalam
Menyediakan
dalam membaca
di cantumkan.
perhitungan dosis
fasilitas
pasien
tinggi badan di poli
kelamin
pasien

Tinggi
Badan
(TB)
TB pasien


Berat
Badan
(BB)
Riwayat
Alergi
pengukur
Kegagalan
BB pasien tidak
Berpengaruh dalam
Menyediakan
dalam membaca
tidak
perhitungan dosis
fasilitas timbangan
BB Pasien
dicantumkan.
pasien
berat badan di poli
Kegagalan
Riwayat alergi
Pasien mendapatkan
Edukasi petugas
dalam Membaca
pasien tidak di
obat yang dapat
Riwayat Alergi
cantumkan.
menyebabkan alergi
pasien
Kurang telitinya
atau tidak sesuai
petugas.
dengan kondisi
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
82
pasien.
Data Penulis
Resep


Tanggal
Resep
Nama
Dokter
Kegagalan
Kurang telitinya
Pengimputan data
Menyediakan
dalam membaca
petugas, tidak
pasien bermasalah,
kalender dengan
tanggal resep
tercantum
hilangnya data
ukuran yang besar
tanggal resep
catatan pengobatan
di ruang praktek
pasien.
dokter
Kegagalan
Penulisan nama
Keamanan pasien
Memberikan
dalam membaca
dokter tidak
tidak terjamin,
fasilitas cap dan
nama dokter
jelas, nama
kenyamanan pasien
stempel
dokter ditulis
terganggu.
menggunakan
singkatan.

Nomer
Izin
Praktek
(NIP)
Kegagalan
NIP dokter
Keamanan
dalam membaca
tidak
tidak terjamin
NIP doketr
dicantumkan ,
pasien
Memberikan
fasilitas
cap
dan
stampel
kurang telitinya
petugas

Data
Status
Dokter
Kegagalan
Status dokter
Status dokter tidak
Meningkatkan
dalam membaca
tidak
dapat ditentukan.
SDM
status dokter
dicantumkan.
Kegagalan
Obat-obatan
Resep
Pencahayaan
membaca nama
LASA, nama
dilayani dengan baik,
ruangan
obat
obat tidak
obat salah diberikan
meningkatkan
Perbekalan
Farmasi

Nama
Perbekala
n Farmasi
(Nama
Obat)
tidak
dapat
,
tertulis dengan
SDM,
konfirmasi
jelas, petugas
kedokter,
kurang
menyediakan telfon
berkompetensi.

Dosis
Sediaan
Kegagalan
Petugas yang
Kesalahan
Meningkatkan
membaca dosis
kurang
penggunaan dosis,
SDM, konfirmasi
sediaan.
berpengalaman
terapi tidak sempurna
ke dokter,
atau kurang
menyediakan telfon
berkompetensi

Jumlah
Kegagalan
Petugas kurang
Kesalahan pemberian
Meningkatkan
membaca
teliti , petugas
jumlah obat,
SDM, konfirmasi
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
83
jumlah sediaan
lupa.
kegagalan terapi
yang diresepkan

Rute
Kegagalan
ke dokter,
menyediakan telfon
Tidak
Kegagalan dalam
Meningkatkan
dicantumkan
penyembuhan,
SDM, konfirmasi
sesuai yang di
rute
penyembuhan tidak
ke dokter,
esepkan
penggunaan
berhasil
menyediakan telfon
membaca
rute
obat,

Aturan
Pakai
Kegagalan
Kurang telitinya
Tidak maksimalnya
Meningkatkan
membaca aturan
petugas,
terapi, kemungkinan
SDM, konfirmasi
pakai yang
petugas buru-
bisa over dosis atau
ke dokter,
ditulis pada
buru karena
dosis kurang
menyediakan telfon
resep.
banyaknya
Resep tidak valid
Memberikan kolom
pasien.

Paraf
Tidak ada paraf
Paraf
tidak
dicantumkan
paraf dokter sedikit
lebih luas
Tahapan Pelayanan
Resep


Pengkajia
n dan
klasifikasi
Penyiapan
Kegagalan
Kurang telitinya
Kesalahan resep tidak
meningkatkan SDM
mendeteksi
petugas,
terdeteksi, konfirmasi
kesalahan
petugas di
kepada dokter bila
penulisan resep
apotek buru-
terjadi kesalahan
buru.
tidak terjadi.
Kegagalan
Petugas salah
Kegagalan terapi,
Meletakkan obat
dalam
mengartikan
penyembuhan yang
dengan penanda
menyiapkan
resep, petugas
tidak berhasil, adanya
yang jelas
permintaan
kurang
efek samping
resep
berpengalaman
, letak obat
yang
berdekatan,
tidak ada
penanda nama
obat yang mirip

Dispensin
g
Keggalan dalam
Ruangan di
Dapat terjadi salah
Memberikan
mencocokkan
apotek terlalu
pasien dan
penerangan yang
obat dan etiket
gelap. Tulisan
tertukarnya obat
cukup
terlalu kecil,
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
84
petugas kurang
teliti

Penyeraha
n dan
informasi
Kegagalan
Kelalaian
Kegagalan dalam
Meningkatkan
dalam
petugas,
rencana terapi
SDM dengan
penyerahan
informasi tidak
pengobatan pasien
memberikan
resep, kegagalan
diberikan
dalam
karena petugas
memberikan
kelelahan,
obat
beban kerja
pelatihan.
yang terlalu
tinggi
Form Pengkajian
Kegagalan
Tidak teliti nya
Resep
dalam mengisi
petugas
Resep tidak lengkap
Meningkatkan
SDM
form
Klasifikasi dan
Kegagalan
Tidak telitinya
informasi
dalam mengisi
petugas
Resep tidak lengkap
Meningkatkan
SDM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
85
5.1.2.3 Mengidentifikasi tingkat keparahan (severity), Frekuensi kejadian
(Occurrence), dan kemungkinan untuk dapat dideteksi (Dettection).
1. Tingkatan Keparahan (Severity)
Hasil penelitian menunjukkan tingkat keseriusan akibat atau efek yang
muncul dengan score SEV failure mode tertinggi adalah;

Kegagalan membaca nama obat (score severity 6)

Kegagalan membaca dosis sediaan (score severity 6)

Kegagalan membaca jumlah sediaan yang diresepkan (score
severty 6)

Kegagalan membaca rute sediaan sesuai yang diresepkan (score
severity 6)

Kegagalan membaca aturan pakai yang ditulis pada resep (score
severity 6)

Kegagalan dalam mengisi penyiapan permintaan resep (score
severity 6)

Kegagalan dalam mencocokkan obat dengan etiket (score severity
6)
2. Frekuensi Kejadian (Occurrence)
Hasil penelitian menunjukkan frekuensi terjadinya kegagalan dengan nilai
OCC tertinggi adalah;

Kegagalan dalam membaca jenis kelamin (score OCC 5)

Kegagalan dalam membaca tinggi badan pasien (score OCC 5)

Kegagalan dalam membaca berat badan pasien (score OCC 5)

Kegagalan dalam membaca riwayat alergi pasien (score OCC 5)

Kegagalan dalam membaca status dokter (score OCC 5)

Kegagalan membaca rute yang diresepkan (score OCC 5)

Tidak ada paraf (score OCC 5)

Kegagalan dalam mengisi Form klarifikasi dan informasi (score
OCC 5)
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
86
3. Kemungkinan Deteksi (Dettection)
Hasil penelitian menunjukkan kemungkinan failure mode untuk dideteksi
dengan nilai tertinggi adalah;

Kegagalan dalam membaca jenis kelamin pasien (score DET 4)

Kegagalan dalam membaca tinggi badan pasien (score DET 4)

Kegagalan dalam membaca berat badan pasien (score DET 4)

Kegagalan dalam membaca riwayat alergi (score DET 4)

Kegagalan dalam membaca status dokter (score DET 4)

Kegagalan dalam membaca rute yang diberikan (score DET 4)

Tidak ada paraf (score DET 4)

Kegagalan dalam mengisi form klarifikasi dan informasi (score DET 4)
Hasil penilaian untuk Tingkat Keparahan (Severity), Frekuensi Kejadian
(Occurrence), dan Kemungkinan Deteksi (Dettection) dapat dilihat pada table 5.2
untuk melihat kemungkinan penyebab kegagalan pada resep yang tidak lengkap di
Instalasi Rawat Jalan RSUP Fatmawati.
5.1.2.3 Perhitungan Risk Priority Number
Hasil perhitungannilai RPN (Risk Priory Number) diperoleh dari perkalian
niali S*O*D (Severity, Occurrence, Dettection). Dimana tujuan dilakukan
perhitungan nilai RPN adalah untuk mengetahui tingkat kegagalan pada penulisan
lembar resep untuk dapat dilakukan perbaikan. Hasil perhitungan RPN dapat
dilihat pada Tabel 5.3 sebagai berikut.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
87
Tabel 5.3 Metode FMEA untuk menghitung nilai RPN dari setiap kegagalan padaa prescribtion error (critical index).3 untuk metode
Failure Mode And Effect Analysis
Tahapan Proses
1. No Rekam
Medis
2. Nama
Pasien
3. Tanggal
Lahir
4. Jenis
Kelamin
5. Tinggi
badan
6. Berat
Badan
7. Riwayat
Alergi
8. Tanggal
Resep
9. Nama
Dokter
10. NIP Dokter
Kegagalan
Jumlah
Kejadian
(n)
OCC/
Occuring/
Frekuensi
571
DET/
Detection
3
SEV
Severity/
Tingkatan
keparahan
5
P/
Priority
2
RPN/
Risk
Priority
Number
30
Kegagalan dalam membaca No RM
pasien
Kegagalan dalam membaca nama
pasien
Kegagalan dalam membaca tanggal
lahir pasien
Kegagalan dalam membaca Jenis
kelamin pasien
Kegagalan dalam membaca TB pasien
3
1
5
1
10
10
1091
4
3
2
24
8
3365
5
3
4
60
3
3645
5
4
4
80
2
Kegagalan dalam membaca BB Pasien
3645
5
4
4
80
2
Kegagalan dalam Membaca Riwayat
Alergi pasien
Kegagalan dalam membaca tanggal
resep
Kegagalan dalam membaca nama
dokter
Kegagalan dalam membaca NIP doketr
2379
5
6
4
120
1
943
4
1
2
8
11
16
1
1
1
1
15
54
2
2
1
4
13
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
7
88
11. Status
Dokter
12. Nama Obat
13. Dosis
Sediaan
14. Jumlah
15. Rute
16. Aturan
Pakai
17. Paraf
18. Pengkajian
dan
klarifikasi
19. Penyiapan
20. Dispensing
21. Penyerahan
dan
informasi
22. Form
Pengkajian
resep
23. Klarifikasi
Kegagalan dalam membaca status
dokter
Kegagalan membaca nama obat
Kegagalan membaca dosis sediaan.
3649
5
1
4
20
9
0
0
1
1
6
6
1
1
6
6
12
12
0
1
6
1
6
12
3649
5
6
4
120
1
289
3
6
2
36
5
3649
302
5
3
1
5
4
2
20
30
9
7
274
3
6
2
36
5
1565
3
6
3
54
4
356
3
5
2
30
7
Kegagalan dalam mengisi form
36
1
2
1
2
14
Kegagalan dalam mengisi form
3649
5
2
4
20
9
Kegagalan membaca jumlah sediaan
yang diresepkan
Kegagalan membaca rute sesuai yang di
esepkan
Kegagalan membaca aturan pakai yang
ditulis pada resep.
Tidak ada paraf
Kegagalan mendeteksi kesalahan
penulisan resep
Kegagalan dalam menyiapkan
permintaan resep
Keggalan dalam mencocokkan obat dan
etiket
Kegagalan dalam penyerahan resep,
kegagalan dalam memberikan obat
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
89
dan
informasi
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
90
Keterangan Tabel
Table 5.4 OCC: Occuring atau Frekuensi (O)
Score
1
2
3
4
5
Banyaknya kejadian
Sangat jarang terjadi (Remote): adalah untuk frekuensi sangat jarang
terjadi
(angka kejadian 1 dalam 1000 kejadian)
Jarang terjadi (Low): adalah untuk frekuensi rendah terjadi
(angka kejadian 1 dalam 100 kejadian)
Sedang terjadi (moderate): adalah untuk frekuensi sedang terjadi
(angka kejadian 1 dalam 50 kejadian)
Sering terjadi (High): adalah untuk frekunsi tinggi terjadi
(angka kejadian 1 dalam 10 kejadian)
Sangat sering terjadi (Very High) ; adalah untuk frekuensi sangat tinggi
terjadi
(angka kejadian 1 dalam 2 kejadian)
Tabel 5.5 SEV : Severity adalah tingkat keparahan (S)
Score
1
2
3
4
5
6
Deskripsi kegagalan
Adalah untuk menilai potensi tingkat keparahan kemungkinan kegagalan
administrasi yang berdampak pada rumah sakit
Adalah untuk menilai potensi tingkat keparahan kemungkinan kegagalan
administrasi yang berdampak pada pasien tetapi tidak berpotensi menimbulkan
cidera
Adalah untuk menilai potensi tingkat keparahan kemungkinan kegagalan
administrasi yang berdampak pada pasien dan dapat menimbulkan cidera tetapi
belum terjadi insiden
Adalah untuk menilai potensi tingkat keparahan kemungkinan sangat berpotensi
menimbulkan cidera tetapi belum terjadi insiden
Adalah untuk menilai potensi tingkat keparahan kemungkinan terjadinya
insiden yang berpotensi menimbulkan cidera tetapi belum terpapar kepasien
Adalah untuk menilai potensi tingkat keparahan kemungkinan terjadinya
insiden yang sudah terpapar ke pasien tetapi tidak menimbulkan cidera atau
suatu kejadian yang tidak diharapkan dan menyebabkan kematian
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
91
Tabel 5.6DET : Detetability adalah kemudahan untuk deteksi
Score
Kemungkinan deteksi
1
Sedikit (Remote) terdeteksi 0/10 kali
2
Rendah (Low) terdektesi 2/10 kali
3
Sedang (medium) terdteksi 5/10 kali
4
Tinggi (High) terdeteksi 7/10 kali
5.1.2.4 Hasil Urutan Risk Priority Number (RPN)berdasarkan Prioritas.
Tujuan akhir dari FMEA ini adalah untuk mendapatkan urutan prioritas
sehingga dapat ditentukan bagian dari proses yang membutuhkan perbaikan, dari
pengamatan resep update RSUP Fatmawati. Tabel berikut menunjukkan bahwa
nilai RPN (Risk Priority Number) tertinggi berdasarkan prioritas adalah :
Tabel 5.7Nilai RPN (Risk Priority Number) berdasarkan urutan Prioritas
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
92
Tabel 5.7 Nilai RPN (Risk Priority Number) berdasarkan urutan Prioritas
Tahapan Proses
Kegagalan
1. Riwayat
Alergi
Kegagalan dalam Membaca
2. Rute
Kegagalan
Jumlah Kejadian
OCC/Occuri
SEV/
DET /
RPN /
P/
(n)
ng/ Frekuensi
Severity/
Detection
Risk
Priority
Tingkatan
Priority
keparahan
Number
2379
5
6
4
120
1
rute
3649
5
6
4
120
1
Kegagalan dalam membaca TB
3645
5
4
4
80
2
3645
5
4
4
80
2
membaca
3365
5
3
4
60
3
Keggalan dalam mencocokkan
1565
3
6
3
54
4
289
3
6
2
36
5
Riwayat Alergi pasien
membaca
sesuai yang di esepkan
3
Tinggi badan
pasien
4
Berat Badan
Kegagalan dalam membaca BB
Pasien
5
Jenis Kelamin
Kegagalan
dalam
Jenis kelamin pasien
6
Dispensing
obat dan etiket
7
Aturan Pakai
Kegagalan
membaca
aturan
pakai yang ditulis pada resep.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
93
8
Penyiapan
Kegagalan
dalam
menulis
274
3
6
2
36
5
571
3
2
4
30
6
302
3
5
2
30
6
356
3
5
2
30
6
membaca
1091
4
3
2
24
7
membaca
3649
5
1
4
20
8
3649
5
1
4
20
8
3649
5
2
4
20
8
3
1
5
1
10
9
943
4
1
2
8
10
penyiapkan permintaan resep
9
No Rekam
medis
Kegagalan dalam membaca No
rekam medis
10 Pengkajian
dan klarifikasi
Kegagalan
11 Penyerahan
dan informasi
Kegagalan dalam penyerahan
mendeteksi
kesalahan penulisan resep
resep,
kegagalan
dalam
memberikan obat.
12.
Tanggal
Lahir
Kegagalan
13. Status Dokter
Kegagalan
dalam
tanggal lahir pasien
dalam
status dokter
14. Paraf
Tidak ada paraf
15. Klarifikasi dan Kegagalan dalam mengisi form
informasi
16. Nama pasien
Kegagalan
dalam
membaca
nama pasien
17. Tanggal Resep Kegagalan membaca tanggal
resep
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
94
18. Nama Obat
Kegagalan
membaca
nama
0
1
6
1
6
11
membaca
dosis
0
1
6
1
6
11
Kegagalan membaca jumlah
0
1
6
1
6
11
membaca
54
2
2
1
4
12
Kegagalan dalam mengisi form
36
1
2
1
2
13
Kegagalan
16
1
1
1
1
14
obat
19. Dosis Sediaan
Kegagalan
sediaan
20. Jumlah
sediaan yang diresepkan
21. NIP Dokter
Kegagalan
dalam
NIP dokter
22. Form
Pengkajian
resep
23. Nama Dokter
dalam
membaca
nama dokter
Dari table diatas dapat dilihat bahwa nilai RPN tertinggi adalah ;

Tidak ada riwayat alergi pasien (RPN 120)

Tidak ada rute pemberian obat (RPN 120)
Sehingga Focus penelitian di focus kan terhadap sebab dan akibat dari tidak ada riwayat alergi, dan tidak ada rute pemberian.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
95
5. 2 PEMBAHASAN
5.2.1 Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti hanya menggunakan metode FMEA pada
tahap prescribing dan masih banyak variable lain yang belum terukur. Hal ini
karena adanya keterbatasan waktu penelitian, dan keterbatasan pengetahuan
peneliti.
5.2.2 Tahap Diagnosing
Pada penelitian ini diawali dengan tahap diagnosing untuk menetukan
wilayah yang paling berpotensi gagal dalam pengisisan lembar resep. Menurut
cambell disebut sebagi tahap untuk memahami perspektif dari para stakeholder
dan merupakan tahap untuk menilai baseline situation. Wilayah pelayanan
farmasi Instalasi Rawat Jalan RSUP fatmawati merupakan factor yang beresiko
tinggi untuk melakukan kegagalan dikarenakan jumlah pasien yang banyak dan
menuntut kinerja petugas farmasi di depo untuk berkerja cepat, tepat dan effisien .
Jumlah resep yang diperoleh dari IRJ RSUP Fatmawati poli Jantung
selama penelitian adalah 3645 lembar resep. Lembar resep yang digunakan pasien
untuk mengambil obat di apotek di fatmawati telah memenuhi standar form resep
menurut Joint Commission International (JCI) ataupun standar permenkes RI,
namun akibat dari banyaknya pasien yang berobat di IRJ RSUP Fatmawati setiap
harinya terutama pasien poli jantung yang merupakan poli dengan jumlah pasien
terbanyak setiap harinya membuat form resep tidak terisi sempurna baik oleh
petugas administrasi, dokter maupun petugas farmasi di depo farmasi IRJ RSUP
Fatmawati.Kemudian lembar resep yang tidak terisi sempurna tersebut dianggap
dapat menyebabkan kegagalan yang dapat merugikan pasien dan merupakan
penilaian pada penelitian ini. Dengan memanfaatkan metode FMEA untuk
mendeteksi medication error.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
96
5.2.3 Analiasa Kelengkapan Resep
Pengamatan kelengkapan resep yang meliputi; kelengkapan data pasien,
kelengkapan data penulis resep, kelengkapan data perbekalan farmasi,
ketidaklengkapan data pelayanan resep yang diisi oleh farmasi, dan kelengkapan
administrasi resep.
5.2.3.1 Identifikasi medication error akibat ketidaklengkapan data pasien
Terdapat tujuh komponen penilaian pada tahap ini. Berdasarkan hasil
penelitian peneliti menemukan kesalahan yang berpotensi menimbulkan
medication error tersebut terjadi atas ketidaklengkapan; No rekam medis pasien,
nama pasien, tanggal lahir pasien, jenis kelamin, tinggi badan pasien dan riwayat
alergi.
Kegagalan akibat tidak ada Nomer Rekam Medik yang mencapai angka
15% ini dapat berakibat fatal dan diperkirakan memiliki potensi risiko tinggi
mengakibatkan kegagalan pengobatan karena dapat bertukarnya data pasien,
dokumentasi pengobatan pasien tidak jelas sehingga pertimbangan pengambilan
keputusan untuk pengobatan pasien dapat tidak akurat dan pengobatan pasien juga
terganggu.
Kegagalan akibat tidak ada nama pasien yang mencapai angka 0.3 % ini
merupakan kelompok potensi risiko tinggi yang dapat menyebabkan kegagalan
pengobatan karena dapat mengakibatkan bertukarnya obat dan tidak dilayaninya
permintaan obat pada saat pelayanan di depo farmasi. Nama yang ditulis harus
lebih dari satu kata untuk mengurangi resiko kegagalan yang dapat menggangu
pengobatan.
Kegagalan akibat tidak ada tanggal lahir pasien yang mencapai angka
29.9% ini merupakan kelompok potensi risiko sedang yang dapat menyebabkan
kegagalan pengobatan. Tanggal lahir diperlukan
untuk melihat umur pasien
sehingga dapat diperkirakan rejimen dosis obat yang tepat untuk pasien.
Kegagalan akibat tidak ada jenis kelamin pasien yang mencapai angka
92.21% ini merupakan kelompok potensi risiko sedang yang dapat menyebabkan
kegagalan terapi, dari hasil penelitian hanya 8.79% atau sekitar 284 resep dari
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
97
3649 lembar resep yang terisi jenis kelamin pasien. Jenis kelamin pasien
diperlukan untuk mendapatkan perhitungan dosis yang teapat.
Kegagalan akibat tidak ada tinggi badan dan berat badan pasien yang
mencapai angka 99.89% ini merupakan kelompok potensi risiko sedang yang
dapat menyebabkan kegagalan terapi. Dari hasil penelitian hanya sekitar 0.11%
atau sekitar empat lembar resep saja dari 3649 lembar resep yang berisi tinggi
badan dan berat badan. Tinggi badan diperlukan untuk mendapatkan perhitungan
dosis yang tepat. Berat badan diperlukan untuk mendapatkan perhitungan dosis
yang tepat.
Kegagalan akibat tidak ada riwayat alergi pasien yang mencapai angka
65.19% ini merupakan kelompok potensi risiko tinggi yang dapat menyebabakan
kegagalan terapi. Dari hasil penelitian sekitar 34.81% atau sekitar 1.270 lembar
resep yang berisi riwayat alergi.
5.2.3.2 Identifikasi medication error akibat ketidaklengkapan data penulis
resep
Terdapat empat komponen penilaian pada tahap ini. Berdasarkan hasil
penelitian peneliti menemukan kesalahan yang berpotensi menimbulkan
medication error tersebut terjadi atas ketidaklengkapan; Tidak ada nama dokter,
tidak ada NIP dokter, tidak ada status dokter dan tidak ada paraf dokter
Kegagalan akibat tidak ada nama dokter mencapai angka 0.43% atau
sekitar 16 lembar resep yang tidak berisi nama dokter dari 3649 lembar resep. Ini
merupakan kelompok berisiko rendah untuk menyebabkan medication error.
Nama dokter diperlukan untuk menjamin keaslian resep nama dokter juga sangat
penting dalam penulisan resep agar ketika Apoteker Pengelola Apotek melakukan
skrining resep kemudian terjadi kesalahan mengenai kesesuaian farmasetik yang
meliputi bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama
pemberian, dokter penulis resep tersebut bisa dapat langsung dihubungi untuk
melalukan pemeriksaan kembali.diperlukan oleh petugas. Untuk mencegah
kegagalan konfirmasi ini olehnya nama dokter wajib di cantumkan.
Kegagalan akibat tidak ada NIP dokter mencapai angaka 1.47% atau
sekitar 54 lembar resep yang tidak berisi NIP dokter. Ini merupakan kelompok
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
98
risiko rendah untuk menyebabkan kegagalan terapi. NIP dokter diperlukan untuk
memberikan kenyamanan dan kepercayaan pada pasien bahwa dokter yang dipilih
telah mendapatkan izin praktik, NIP juga dibutuhkan sebagai legalitas resep.
Kegagalan akibat tidak ada status dokter mencapai angka 100% atau 3649
lembar resep tidak ada yang tercantum status dokter. Ini merupakan kelompok
risiko rendah untuk menyebabkan kegagalan terapi. Status dokter diantaranya;
DPJP, konsulen dan tim. Diperlukan agar pasien mengetahui status dari dokter
yang menanganinya.
Kegagalan akibat tidak ada paraf dokter mencapai angka 100% atau
sekitar 3649 lembar resep tidak ada yang tercantum paraf dokter. Ini merupakan
kelompok risiko rendah untuk menyebabkan kegagalan terapi Paraf dokter
diperlukan sebagai keaslian, legalitas dan keabsahan resep.
5.2.3.3
Identifikasi
medication
error
akibat
ketidaklengkapan
data
perbekalan farmasi
Terdapat lima komponen penilaian pada tahap ini. Berdasarkan hasil
penelitian peneliti menemukan kesalahan yang berpotensi menimbulkan
medication error tersebut terjadi atas ketidaklengkapan; tidak ada nama obat,
tidak ada dosis sediaan, tidak ada jumlah obat, tidak ada rute dan tidak ada aturan
pakai.
Kegagalan akibat tidak ada nama obat merupakan kelompok risiko tinggi
untuk menyebabkan kegagalan terapi. Pada penelitian ini tidak ada resep yang
tidak mencantumkan nama obat atau 100% terisi nama perbekalan farmasi.
Kegagalan akibat tidak ada dosis sediaan merupakan kelompok risiko
tinggi untuk menyebabkan kegagalan terapi. Pada penelitian ini tidak ada resep
yang tidak mencantumkan dosis sediaan atau 100% terisi dosis sediaan.
Kegagalan akibat tidak ada jumlah obat merupakan kelompok risiko tinggi
untuk menyebabkan kegagalan terapi. Pada penelitian ini tidak ada resep yang
tidak mencantumkan jumlah obat atau 100% terisi jumlah obat.
Kegagalan akibat tidak ada rute obat ini merupakan kelompok risiko tinggi
untuk menyebabkan kegagalan terapi. Pada penelitian ini mencapai angka 100%
atau sekitar 3649 lembar resep tidak mencantumkan rute obat.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
99
Kegagalan akibat tidak ada aturan pakai merupakan kelompok risiko
tinggi untuk menyebabkan kegagalan terapi. Pada penelitain ini mencapai angka
7.91% atau sekitar 289 lemabar resep yang tidak mencantumkan aturan pakai
obat.
5.2.3.4
Identifikasi
medication
error
akibat
ketidaklengkapan
data
pelayanan resep yang diisi oleh farmasi.
Terdapat tujuh komponen penilaian pada tahap ini. Berdasarkan hasil
penelitian peneliti menemukan kesalahan yang berpotensi menimbulkan
medication error tersebut terjadi atas ketidaklengkapan; tanggal resep, pengkajian
dan klarifikasi , penyiapan, dispensing, penyerahan dan informasi, pengkajian
resep, dan klarifikasi dan informasi (Situation(S). Backround(B), Assesment(A),
Recommendation(R)).
Kegagalan akibat tidak adanya tanggal resep, ini merupakan kelompok
risiko sedang untuk menyebabkan kegagalan terapi. pada penelitain ini mencapai
angka 25.84% atau sekitar 943 lembar resep yang tidak dicantumkan tanggal
resep.
Kegagalan akibat tidak terisi pengkajian dan klarifikasi oleh petugas, ini
merupakan kelompok risiko tinggi untuk menyebabkan kegagalan terapi. Pada
penelitian ini mencapai angka 8.27% atau sekitar 302 lembar resep yang tidak
diisi pengkajian dan klarifikasi oleh petugas.
Kegagalan akibat tidak terisi kolom dispensing oleh petugas. Ini
merupakan kelompok risiko tinggi untuk menyebabkan kegagalan terapi. Pada
penelitian ini mencapai angka 42.88% atau sekitar 1.565 lembar resep yang tidak
terisi kolom dispensingoleh petugas
Kegagalan akibat tidak terisi penyerahan dan informasi oleh petugas, ini
merupakan kelompok risiko tinggi untuk menyebabkan kegagalan terapi. Pada
penelitian ini mencapai angka 9.75% atau sekitar 365 lembar resep yang tidak
terisi penyerahan dan informasi oleh petugas.
Kegagalan akibat tidak terisi form pengkajian resep oleh petugas, ini
merupakan kelompok risiko rendah untuk menyebabkan kegagalan terapi. Pada
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
100
penelitian ini mencapai angka 0.98% atau sekitar 36 lembar resep yang tidak terisi
form pengkajian resep oleh petugas.
Kegagalan akibat tidak terisi klarifikasi dan informasi oleh petugas, ini
merupakan kelompok risiko rendah untuk menyebabkan kegagalan terapi. Pada
penelitian ini mencapai angka 100% atau sekitar 3649 lembar resep tidak terisi
klarifikasi dan informasi oleh petugas.
5.2.4 Analisa Hasil Failure Mode and Effect Analysis
5.2.4.1 Analisis mengenai Failure Mode And Effect Analysis
Stamatis (2003) dalam bukunya Failure Mode and Effect Analysis: FMEA
from Theory to Executionmenyatakan bahwa secara umum ada empat tipe
dariFMEA, yaitu System FMEA, Design FMEA, ProcessFMEA, dan Machinery
FMEA. Dalam penelitian inimenggunakan tipe Desain. DesainFMEA digunakan
untuk menganalisis desain lembar resep yang digunakan di RSUP Fatmawati,
untuk memastikan bahwa potensial modus kegagalan, sebab dan akibatnya terkait
dengan desain lembar resep yang tidak terisi lengkap tahapan penulisan resep
yang benar.
5.2.4.2 Analisis Severity Failure Mode and Effect Analysis
Severityatau tingkat keparahan dalam penelitian ini adalah dengan score 6
untuk kemungkinan terjadinya insiden yang sudah terpapar kepasien tatapi tidak
menimbulkan cidera atau kejadian yang tidak diharapkan dan menyebabkan
kematian. Hal ini seperti; tidak adanya riwayat alergi, kegagalan membaca nama
obat kegagalan dalam membaca dosis sediaan, kegagalan membaca jumlah
sediaan, kegagalan membaca rute sediaan, kegagalan dalam membaca aturan
pakai, kegagalan dalam mengisi form penyiapan, kegagalan dalam mencocokkan
dan etiket dianggap dapat mengakibatkan kegagalan dan berpotensi menyebabkan
kegagalan KTD (kejadian tidak diinginkan) dan senitel (menyebabkan kematian)
Sedangkan untuk failure mode kegagalan dalam membaca tanggal resep,
kegagalan dalam membaca nama dokter, kegagalan dalam membaca status dokter,
tidak ada paraf dokter memiliki score severity rendah yaitu 1, untuk kemungkinan
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
101
kegagalan administrasi yang berdampak pada rumah sakit. Skala yang digunakan
pada penelitain ini mnegacu pada program pasien safety.
5.2.4.3 Analisis Occurance Failure Mode and Effect Analysis
Berdasarkan hasil penentuan ranking occurrence dari penyebab kegagalan
, frekuensi kejadian sangat tinggi yaitu kemungkinan terjadi sekali dari 2 kejadian
dengan score occurrence 5 adalah; jenis kelamin, tinggi badan, berat badan,
riwayat alergi, status dokter, rute pemberian paraf dokterdan kegagalan dalam
mengisi form klarifikasi dan informasi.
Sedangkan untuk penyebab kegagalan dengan frekuensi terendah memiliki
score 1 yaitu; nama pasien, nama dokter, nama obat, dosis sediaan, jumlah obat,
dan kegagalan dalam megisi form pengkajian resep resep. Frekuensi kejadian
sangat rendah yaitu kemungkinan terjadi satu kali dalam 1000 kejadian.
5.2.4.4 Analysis Detection Failure Mode and Effect Analysis
Berdasarkan hasil detection failure dari penyebab kegagalan , kemudahan
untuk dapat dideteksi dengan score tertinggi yaitu 4 yaitu dapat dideteksi 7 dalam
10 kemungkinan adalah; jenis kelamin, tinggi badan, berat badan,riwayat alergi,
status doketr, rute pemberian, paraf dokter, dan form klarifikasi dan informasi.
Sedangkan nilai detection paling rendah adalah 1 yaitu untuk kemungkina
dapat di deteksi 0 dalam 10 kemungkinan adalah; nama pasien, nama dokter, nip
dokter, nama obat, dosis sediaan, jumlah obat, dan form pengkajian resep.
5.2.5 Diagram Ischikawa
Diagram ischikawa atau diagram sebab akibat digunakan dalam penelitian
ini sebagai alat untuk menggambarkan hubungan antara sebab dari sebuah
masalah dengan garis dan symbol . diagram ini diguanakan untuk membantu
menggabungkan penyebab potensial dari suatu masalah. Diagram ischikawa juga
sering disebut sebagai diagram fishbone karena bentuknya seperti tulang ikan.
Dengan mengganggap masalah yang terjadi sebagai kepala ikan sedangkan
penyebab masalah digambarkan sebagai tulang-tulang ikan yang dihubungkan
menuju kepala ikan. Tulang yang paling kecil menggambarkan masalah yang
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
102
paling spesifik yang membangun masalah yang lebih besar (tulang yang lebih
besar)
Dalam penelitain ini kepala ikan atau masalah adalah variable penelitian
dengan nilai RPN (Risk Priority Number) tertinggi sebagai prioritas utama untuk
diselesaikan dalam penelitian ini. Pada penelitian ini mode kegagalan dengan nilai
RPN tertinggi adalah kegagalan membaca riwayat alergi dan kegagalan dalam
membaca rute sediaan. Adapun identifikasi masalah dengan menggunakan metode
fish Bone setiap mode kegagalan dapat dilihat pada gambar 5.1 untuk kegagalan
riwayat alergi dan gambar 5.2 untuk kegagalan membaca rute sediaan.
5.2.5.1 Diagram Ischikawa Untuk Kegagalan Membaca Riwayat Alergi
Berdasarkan
hasil
penelitian
kegagalan
membaca
riwayat
alergi
merupakan RPN dengan nilai tertinggi yaitu 120 dengan nilai SEV 6 , OCC 5, dan
DET 4. Riwayat alergi dianggap memiliki tingkatan berpotensi berbahaya karena
dapat menyebabkan KPC (Kejadian Potensial Cidera) yaitu kondisi yang sangat
berpotensi untuk mrnimbulkan cidera tetapi belum terjadi insiden dan kegagalan
dalam membaca riwayat alergi juga dianggap dapat mennyebabkan sentinel yaitu
suatu KTD (Kejadian yang Tidak Diharapakan) yang dapat mengakibatkan
kematian. Laporan mengenai KTD yang diakibatkan oleh alergi pasien terhadap
pengobatan, Angka kejadian alergi obat diperkirakan 1:1 000 sampai 1:10 000
orang yang terpapar obat antikejang atau antibiotik golongan sulfonamida. Angka
kematian berkisar 10% kasus, yang diakibatkan oleh gangguan organ sistemik
yang terlibat. Obat-obatan yang sering dikaitkan dengan alergi obat adalah obat
anti kejang, sufonamid, dapson, minosiklin, serta alupurinol.22 Berdasarkan Aiken
dan Clarke (2002) menyatakan bahwa kesalahan pengobatan dan efek samping
obat terjadi pada rata-rata 6,7% pasien yang masuk ke rumah sakit.2
Dibawah ini merupakan gambar diagram ischikawa untuk mengidentifikasi mode
kegagalan riwatal alergi.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
103
SDM
Petugas poli
 Karakter yang
tergesa-gesa
 Tuntutan pekerjaan
yang tinggi
 Kurangnya
pemahaman bahaya
alergi
PASIEN
LEMBAR RESEP
 Karakter pasien
yang terburu-buru
 Ketidaktahuan
pasien tentang
alerginya
 Kolom lembar
resep yang tidak
jelas
 Kolom lembar
resep yang
membingungkan
Kegagalan
 Tidak ada mekanisme
komunikasi yang jelas
antar dokter, peetugas
poli dan petugas
farmasi
 SOP tidak dijalankan
dengan baik
METODE
 Alat tulis
 Buku informasi obat
obat yang memadai
 Tidak adanya
pelatihan
SARANA
DAN
 Suasana ramai
membaca Riwayat
Alergi pasien
LINGKUNGAN
PRASARANA
Gambar 5.1 Diagram Ishikawa untuk kegagalan membaca riwayat aler
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
104
Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa kepala ikan yang merupakan masalah
yang harus diselesaikan yaitu kegagalan membaca riwayat alergi. Masalah yang
besar disusun atau disebabkan oleh tulang-tulang kecil seperti kegagalan metode,
sarana dan prasarana, lingkungan, SDM (Sumber Daya Manusia), Pasien dan
Lembar resep. Tulang-tulang lebih kecil menyusun tulang-tulang yang lebih besar
seperti ;
1. Kegagalan Metode
Riwayat alergi yang tidak tertulis dengan jelas atau tidak tercantum
harus dikomunikasikan petugas farmasi kepada dokter yang bersangkutan,
untuk melakukan komunikasi ini diperlukan prosedur SOP yang jelas.
2. Kegagalan Sarana dan Prasarana
Agar riwayat alergi dicantumkan atau ditulis dengan jelas , sarana
dan prasarana harus memadai, tersedianya alat tulis, buku-buku informasi
mengenai obat-obatan yang dapat menyebabkan alergi pasien yang
memadai, dan sarana dilakukan pelatihan atau seminar mengenai bahaya
dari alergi obat pada pasien.
3. Kegagalan Lingkungan
Lingkungan IRJ Poli jantung RSUP Fatmawati yang sangat ramai
dengan melayani ratusan hingga ribuan pasien setiap harinya .
4. Kegagalan SDM
Sumberdaya manusia dalam hal ini adalah petugas poli dan dokter
praktik, petugas poli berperan di pencatatan awal untuk mennyakan
langsung kepada pasien mengenai alergi obat yang dimiliki pasien
sedangkan dokter berperan untuk memberi tanda pada resep rawat jalan
mengenai riwayat alergi pasien. Karakter petugas yang terburu-buru,
tuntutan pekerjaan yang tinggi dan kurangnya pengetahuan petugas
tentang bahaya alergi obat dapat menyebabkan riwayat alergi tidak
dicantumkan pada resep.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
105
5. Kegagalan pada pasien
Pasien poli jantung merupakan pasien dengan karakter usia , dan
keadaan penyakit yang membutuhkan perhatian lebih dari tenaga medis
dan dukukungan keluarga, sehingga apabila tanpa pendamping pasien sulit
untuk ikut berperan aktif dalam pengobatan. Ketidaktahuan pasien
mengenai riwayat alerginya sendiri dapat membuat missing information
yang dapat membuat kegagalan pengobatan.
6. Kegagalan lembar Resep
Lembar resep yang digunakan di IRJ RSUP fatmawati telah
mengikuti standar JCI. Kolom untuk riwayat alergi terlalu kecil, sehingga
dokter tidak leluasa
untuk
menulis
kolom
riwayat
alergi
dan
penyalahgunaan kolom riwayat alergi dengan beralih fungsi untuk menulis
tanggal resep dan no resep.
5.2.5.2 Diagram Ischikawa Untuk kegagalan Membaca Rute Sediaan
Berdasarkan hasil penelitian selain kegagalan membaca riwayat alergi ,
kegagalan membaca rute sediaan juga memndapatkan nilai RPN yang teringgi
yaitu dengan angka 120 dengan nilai SEV 6, OCC 5, dan DET 4. Kegagalan
membaca rute sediaan dianggap memiliki potensi resiko yang besar terhadap
kegagalan pengobatan karena dapat menyebabkan KPC (Kejadian Potensial
Cidera) yaitu kondisi yang sangat berpotensi untuk mrnimbulkan cidera tetapi
belum terjadi insiden dan kegagalan dalam membaca riwayat alergi juga dianggap
dapat mennyebabkan sentinel yaitu suatu KTD (Kejadian yang Tidak
Diharapakan) yang dapat mengakibatkan kematian. Laporan mengenai KTD yang
diakibatkan oleh kegagalan membaca rute sediaan Studi yang dilakukan Bagian
Farmakologi Universitas Gajah Mada antara 2001- 2003 menunjukkan bahwa
medication error terjadi pada 97 % pasien Intensive Care Unit (ICU) antara lain
dalam bentuk dosis berlebihan atau kurang, frekuensi pemberian keliru dan cara
pemberian yang tidak tepat23.
Dibawah ini merupakan gambar diagram iscikawa untuk mndeteksi mode
kegagalan akibat tidak tercantumnya rute pemberian obat pada lembar resep
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
106
SDM
Petugas Farmasi
PASIEN
LEMBAR RESEP
 Karakter pasien
yang terburu-buru
 Tulisan dokter tidak
terbaca
 Kurangnya
pemahaman tentang
obat
Dokter
 Kolom lembar resep
yang tidak jelas
 Kolom lembar resep
yang membingungkan
 Kolom lemar resep
yang terbatas
1.
Karakter yang
tergesa-gesa
 Tidak ada mekanisme
komunikasi yang jelas
antar dokter, peetugas
poli dan petugas
farmasi
 SOP tidak dijalankan
dengan baik
METODE
Kegagalan
 Alat tulis
 Kurang nyaman nya
suasan ruang kerja
dokter
SARANA
DAN
 Suasana ramai
membaca Rute
Obat
LINGKUNGAN
PRASARANA
Gambar 5.2 Diagram Ishikawa untuk kegagalan membaca rute obat
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
107
Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa kepala ikan yang merupakan masalah
yang harus diselesaikan yaitu kegagalan membaca rute obat. Masalah yang besar
disusun atau disebabkan oleh tulang-tulang kecil seperti kegagalan metode, sarana
dan prasarana, lingkungan, SDM (Sumber Daya Manusia), Pasien dan Lembar
resep. Tulang-tulang lebih kecil menyusun tulang-tulang yang lebih besar seperti ;
1. Kegagalan Metode
Rute obat yang tidak tertulis dengan jelas atau tidak tercantum
harus dikomunikasikan petugas farmasi kepada dokter yang bersangkutan,
untuk melakukan komunikasi ini diperlukan prosedur SOP yang jelas.
2. Kegagalan Sarana dan Prasarana
Agar rute sediaan dicantumkan atau ditulis dengan jelas , sarana
dan prasarana harus
memadai, tersedianya alat tulis dan ruang kerja
dokter dibuat nyaman agar dokter dan pasien nyaman.
3. Lingkungan
Lingkungan IRJ Poli jantung RSUP Fatmawati yang sangat ramai
dengan melayani ratusan hingga ribuan pasien setiap harinya .
4. Kegagalan SDM
Sumberdaya manusia dalam hal ini adalah petugas farmasi dan
dokter praktik. Petugas farmasi bereperan dalam membaca tulisan dokter,
tulisan yang tidak terbaca oleh petugas farmasi dan kurangnya
pengetahuan tentang obat dapat menyebabkan kesalahan pemberian rute
obat. Dokter praktik dengan karakter yang tergesa-gesa juga dapat
menyebabkan rute pemberian obat tidak ditulis.
5. Kegagalan pada pasien
Pasien poli jantung dengan karakter yang tergesa-gesa dan proses
menggambil obat di pelayanan Farmasi IRJ RSUP fatmawati yang cukup
panjang.
6. Kegagalan lembar Resep
Lembar resep yang digunakan di IRJ RSUP fatmawati telah mengikuti
standar JCI. Kolom untuk riwayat alergi terlalu kecil, sehingga dokter tidak
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
108
leluasa untuk menulis kolom rute obat dan penyalah gunaan kolom rute obat
dengan beralih fungsi untuk menulis dosis sediaan, jumlah dan aturan pakai.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
109
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan, pengolahan data dan analisa, dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
a. Penyebab Medication error tahap prescribing pada resep poli jantung
di IRJ RSUP Fatmawati yaitu dengan perolehan Risk Priority
Numbertertinggiadalah kegagalan membaca riwayat alergi dan
kegagalan membaca rute sediaan.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi medication error tahap prescribing
pada resep poli jantung di IRJ RSUP Fatmawatiyaitu SDM, Metode,
Pasien, Lembar resep, Sarana prasarana, dan Lingkungan.
c. Dampak yang timbul dari Medication error tahap prescribing pada
resep poli jantung di IRJ RSUP Fatmawati dengan nilai Risk Priority
Number Tertinggi adalah :
-
Untuk kegagalan resep yang tidak ditulis riwayat alergi pasien;
pasien mendapatkan obat yang dapat menyebabkan alergi atau
tidak sesuai dengan kondisi pasien.
-
untuk kegagalan resep yang tidak ditulis rute sediaan;
Absorbsi obat kedalam darah terganggu, pengobatan pasien tidak
maksimal,
dapat
mengganggu
keberhasilan
terapi,
dan
menyebabkan toksisitas pada pasien.
6.2 Saran
1. Kepada dokter, Farmasi dan petugas administrasi diharapkan untuk lebih
memperhatikan hal-hal
yang berpotensi
menimbulkan
medication
errorkhususnya dalam kelengkapan tahapan penulisan resep.
2. Kepada Peneniti selanjutnya agar dilakukan penelitian lebih lanjut
mengenai nilai RPN setelah dilakukan perbaikan mode dalam penulisan
resep.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
110
DAFTAR PUSTAKA
1. Sharon, Cornrow, Comden, Carley MM, Marx D, Young J. Risk Models
to Improve Long-Term Care Medication Safety, ASQ, World Conference
on Quality Improvem
2. Institute for Healtcare Improvement (IHI) Intensive Safety Effort Cuts
Falls, Ulcers, and Drug Errors at Once Disgraced FL Hospital. Clinical
Resource Management. 2000; Oct 1(10):148-51
3. Eri Supriyati dkk. 2011. Redesign Pelayanan Farmasi Dengan Metode
Failure Mode Effect Analysis. Volume 14 no 22 juni hal 68:77 FK UGM
Yogyakarta.
4. Anief.Moh. 2003. Ilmu Meracik Obat teori dan praktik. Yogjakarta.
Gadjah Mada University Press.
5. Piliarta, I Nyoman Gede. 2009. Kajian Kelengkapan Resep Pediatri Rawat
Jalan Yang berpotensi menimbilkan medication error di Rumah sakit
Kabupaten Gianyar. Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam universitas Udayana.
6. Rahatnawati, Tantri. 2010. Tinjauan Aspek Legalitas Dan Kelengkapan
Resep Di Lima Apotek Kota Surakarta.
http://etd.eprints.ums.ac.id/9433/2/K 100040196.pdf [diakses 29 April
2012]
7. Fajar Hariadi P, Muhammad. “Upaya Menurunkan Jumlah Cacat pada
Mesin Dual D3E Dengan Menggunkan Metode FMEA (Study kasus: PT.
Filtrona Indonesia, Sidoarjo)
8. Jas, A., 2009. Perihal Resep & Dosis serta Latihan Menulis Resep Edisi 2.
Medan: Universitas Sumatera Utara Press
9. Wibowo, A. 2010. Skripsi: Analisis Kelengkapan Resep di Apotek
Wilayah Lamongan Bulan Februari2010. Surabaya
10. Amira, A. 2011. Skripsi: Penulisan Resep Askes di Apotek RSUP Haji
Adam Malik Periode Mei 2011. Medan
11. Syamsuni, H.A. 2006. Ilmu Resep. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
111
12. Dhilton,
B.S.
1992.
System
Relibiability,
Maintainability
and
Management. Departement of Mechanical Engineering University Of
Ottawa.
13. Amira, A. 2011. Skripsi: Penulisan Resep Askes di Apotek RSUP Haji
Adam Malik Periode Mei 2011. Medan
14. Lestari, A. 2010. Skripsi: Hubungan Karakteristik dengan Pengetahuan
Ibu Hamil tentang Preeklampsia di RSUD Kota Semarang Tahun 2010.
Semarang
15. Lia, Amalia. 2007. Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC
16. Cahyono, J.B.S.B, 2008. Membangun Budaya Keselamatan Pasien dalam
Praktik Kedokteran. Yogyakarta: Kanisius
17. Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia No 35 Tahun 2014
18. Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia No 1691 tahun 2011
19. Panduan Nasioanal Keselamatan Pasien Rumah sakit, 2006Departemen
Kesehatan RI
20. Febri, Kustiyaningsih . 2011. Skripsi: Penentuan Prioritas Penanganan
Kecelakaan kerja di PT GE Lightning Indonesia dengan metode Failure
Mode and Effect Analysis (FMEA). Surakarta
21. Campbell SM, Brasbenning I, Hutchinson A, Marshall M. Research
Methods Used in developing and applaying quality in indicators in
primary care, qual. Saf. Health care. 2002;11:358-64
22. Cahyanur, Rahmat dkk. Syndrom Hipersensitifitas Obat. J Indon Med
Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011
23. Bayang, Andi Thenry dkk. 2013. Skripsi :Faktor Penyebab Medication
Error di RSUP Anwar Makkatutu Kabupaten Banteng. Makasar.
24. Undang-undang No 44 tahun 2009
25. Islamee, Ayu Ummu.2008. Skripsi : Faktor-faktor risiko penyakit jantung.
FKM Universitas Indonesia; Jakarta
26. Bahri, Anwar johan.2004.Skripsi Penyakit Jantung. Universutas Sumatra
Utara
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
112
27. Poppy S. Roebiono. Bagian Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FKUI
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta
28. Departemen Farmakologi dan Terapi FK UI. 2007. Farmakologi dan
terapi edisi 5 . Jakarta; FK UI Press
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
113
Lampiran.1 Lembar Kerja Pengamatan
Tanggal :
Nama dokter :
No
Parameter Penilaian
Terjadi /
Tidak terjadi
1
Tidak ada no rekam medis
2
Tidak ada nama pasien
3
Tidak ada tanggal lahir pasien
4
Tidak ada jenis kelamin pasien
5
Tidak ada tinggi badan pasien
6
Tidak ada berat badan pasien
7
Tidak ada riwayat alergi pasien
8
Tidak ada tanggal resep
9
Tidak ada nama dokter
10
Tidak ada NIP dokter
11
Tidak ada status dokter
12
Tidak ada nama obat
13
Tidak ada dosis sediaan
14
Tidak ada jumlah
15
Tidak ada rute
16
Tidak ada aturan pakai
17
Tidak ada paraf dokter
18
Tidak terisi pengkajian dan klarifikasi
petugas
19
Tidak terisi kolom penyiapan oleh petugas
20
Tidak terisi kolom dispensing oleh petugas
21
Tidak
terisi
kolom
penyerahan
dan
informasi oleh petugas
22
Tidak terisi form pengkajian resep oleh
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
114
petugas
23
Tidak terisi klarifikasi dan informasi oleh
petugas
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
115
Lampiran.2 Tabel FMEA untuk penyebab dan efek kegagalan pada resep yang tidak lengkap
Fatmawati
di IRJ poli jantung RSUP
3
Proses (Langkah)
Failure Mode
Cause
Effect Failure
Risk Grading
Frekuensi
Kemungkinan
Rencana Tindak
Kejadian
Deteksi
Lanjut
Data Pasien

No Rekam
Medis
(RM)
Kegagalan dalam
Penulisan No RM tidak
Tertukar data pasien,
membaca No RM
jelas
sulitnya penelusuran
pasien

Nama
Pasien
riwayat medis pasien
Kegagalan dalam
Penulisan nama pasien
Tertukarnya obat
membaca nama
tidak jelas, nama ditulis
pasien
pasien
menggunakan
singkatan.

Tanggal
Lahir
Kegagalan
dalam
membaca
tanggal
lahir pasien
Tanggal lahir tidak
Berpengaruh dalam
dicantumkan, tanggal
perencanaan dosis
lahir tidak ditulis
obat pasien.
dengan jelas.

Jenis
Kelamin
(JK)
Kegagalan dalam
Jenis Kelamin pasien
Berpengaruh dalam
membaca Jenis
tidak dicantumkan.
penentuan dosis obat
kelamin pasien

Tinggi
Badan
(TB)
pasien
Kegagalan dalam
TB pasien tidak di
Berepengaruh dalam
membaca TB pasien
cantumkan.
perhitungan dosis
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
116
pasien

Berat
Badan
(BB)
Kegagalan dalam
BB pasien tidak tidak
Berpengaruh dalam
membaca BB Pasien
dicantumkan.
perhitungan dosis
pasien

Riwayat
Alergi
Kegagalan dalam
Riwayat alergi pasien
Pasien mendapatkan
Membaca Riwayat
tidak di cantumkan.
obat yang dapat
Alergi pasien
Kurang telitinya
menyebabkan alergi
petugas.
atau tidak sesuai
dengan kondisi
pasien.
Data Penulis
Resep

Tanggal
Resep
Kegagalan dalam
Kurang telitinya
Pengimputan data
membaca tanggal
petugas, tidak
pasien bermasalah,
resep
tercantum tanggal resep
hilangnya data
catatan pengobatan
pasien.


Nama
Dokter
Nomer
Izin
Praktek
(NIP)
Kegagalan dalam
Penulisan nama dokter
Keamanan pasien
membaca nama
tidak jelas, nama dokter
tidak terjamin,
dokter
ditulis menggunakan
kenyamanan pasien
singkatan.
terganggu.
Kegagalan dalam
NIP dokter tidak
Keamanan pasien
membaca NIP doketr
dicantumkan , kurang
tidak terjamin
telitinya petugas
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
117

Status
Dokter
Kegagalan dalam
Status dokter tidak
Status dokter tidak
membaca status
dicantumkan.
dapat ditentukan.
dokter
Data
Perbekalan
Farmasi



Nama
Perbekalan
Farmasi
(Nama
Obat)
Kegagalan membaca
Obat-obatan
nama obat
nama obat tidak tertulis
dilayani dengan baik,
dengan jelas, petugas
obat salah diberikan
Dosis
Sediaan
Kegagalan membaca
Petugas yang kurang
Kesalahan
dosis sediaan.
berpengalaman
penggunaan
Jumlah
LASA,
Rute
tidak
dapat
kurang berkompetensi.
atau
dosis,
kurang berkompetensi
terapi tidak sempurna
Kegagalan membaca
Petugas kurang teliti ,
Kesalahan pemberian
jumlah sediaan yang
petugas lupa.
jumlah
diresepkan

Resep
obat,
kegagalan terapi
Kegagalan membaca
Tidak dicantumkan rute
Kegagalan
rute sesuai yang di
penggunaan obat,
penyembuhan,
esepkan
penyembuhan
dalam
tidak
berhasil


Aturan
Pakai
Paraf
Kegagalan membaca
Kurang telitinya
Tidak maksimalnya
aturan pakai yang
petugas, petugas buru-
terapi, kemungkinan
ditulis pada resep.
buru karena banyaknya
bisa over dosis atau
pasien.
dosis kurang
Paraf tidak
Resep tidak valid
Tidak ada paraf
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
118
dicantumkan
Tahapan Pelayanan
Resep

Pengkajian
dan
klasifikasi
Kegagalan
Kurang telitinya
Kesalahan resep tidak
mendeteksi kesalahan
petugas, petugas di
terdeteksi, konfirmasi
penulisan resep
apotek buru-buru.
kepada dokter bila
terjadi kesalahan
tidak terjadi.

Penyiapan
Kegagalan dalam
Petugas salah
Kegagalan terapi,
menyiapkan
mengartikan resep,
penyembuhan yang
permintaan resep
petugas kurang
tidak berhasil, adanya
berpengalaman , letak
efek samping
obat yang berdekatan,
tidak ada penanda
nama obat yang mirip

Dispensing
Keggalan dalam
Ruangan di apotek
Dapat terjadi salah
mencocokkan obat
terlalu gelap. Tulisan
pasien dan
dan etiket
terlalu kecil, petugas
tertukarnya obat
kurang teliti

Penyeraha
n dan
informasi
Kegagalan dalam
Kelalaian petugas,
Kegagalan dalam
penyerahan resep,
informasi tidak
rencana terapi
kegagalan dalam
diberikan karena
pengobatan pasien
memberikan obat
petugas kelelahan,
beban kerja yang
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
119
terlalu tinggi
Form
Pengkajian
Resep
Klasifikasi
informasi
Kegagalan dalam
Tidak teliti nya petugas
Resep tidak lengkap
Tidak telitinya petugas
Resep tidak lengkap
mengisi form
dan
Kegagalan dalam
mengisi
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
120
Lampiran.3 Tabel FMEA untuk menetapkan kemungkinan tingkat keparahan dan efek kegagalan resep tidak lengkap di IRJ poli
jantung RSUP Fatmawati
Tahapan Proses
1. No Rekam
Medis
2. Nama
Pasien
3. Tanggal
Lahir
4. Jenis
Kelamin
5. Tinggi
badan
6. Berat
Badan
7. Riwayat
Alergi
8. Tanggal
Resep
9. Nama
Kegagalan
Jumlah
kejadian (n)
OCC/
Occuring/
Frekuensi
SEV/
Severity/
tingkatan
keparahan
DET/
Detection/
RPN
(Risk
Priority
Number)
P
Priority
Kegagalan dalam membaca No RM
pasien
Kegagalan dalam membaca nama
pasien
Kegagalan dalam membaca tanggal
lahir pasien
Kegagalan dalam membaca Jenis
kelamin pasien
Kegagalan dalam membaca TB pasien
Kegagalan dalam membaca BB Pasien
Kegagalan dalam Membaca Riwayat
Alergi pasien
Kegagalan dalam membaca tanggal
resep
Kegagalan dalam membaca nama
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
121
Dokter
10. NIP Dokter
11. Status
Dokter
12. Nama Obat
13. Dosis
Sediaan
14. Jumlah
15. Rute
16. Aturan
Pakai
17. Paraf
18. Pengkajian
dan
klarifikasi
19. Penyiapan
20. Dispensing
21. Penyerahan
dan
informasi
22. Form
Pengkajian
dokter
Kegagalan dalam membaca NIP doketr
Kegagalan dalam membaca status
dokter
Kegagalan membaca nama obat
Kegagalan membaca dosis sediaan.
Kegagalan membaca jumlah sediaan
yang diresepkan
Kegagalan membaca rute sesuai yang di
esepkan
Kegagalan membaca aturan pakai yang
ditulis pada resep.
Tidak ada paraf
Kegagalan mendeteksi kesalahan
penulisan resep
Kegagalan dalam menyiapkan
permintaan resep
Keggalan dalam mencocokkan obat dan
etiket
Kegagalan dalam penyerahan resep,
kegagalan dalam memberikan obat
Kegagalan dalam mengisi form
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
122
resep
23. Klarifikasi
dan
informasi
Kegagalan dalam mengisi form
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
123
Lampiran.4 Contoh Resep
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
124
Lampiran.5 Alur Penelitian
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
125
Lampiran.6 Surat Izin Penelitian
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
126
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Download