POLANTAS PROFESIONAL DI BENAK MASYARAKAT - E

advertisement
POLANTAS PROFESIONAL DI BENAK MASYARAKAT:
Sebuah Intipan dari Lensa Sosiologi Hukum
Peribadi*
La Patuju**
(Dosen Sosiologi Fisip Universitas Haluoleo Kendari)
* E-mail: [email protected]
** E-mail: [email protected]
ABSTRAK. Tulisan ini merupakan telah kritis reflektif atas keberadaan transportasi jalan raya
yang setiap saat diatur oleh Polisi Lalu Lintas dengan penuh semangat pengabdian kepada
masyarakat, bangsa dan negara tercinta ini. Betapa acapkali mengemuka pertontonan realitas
dalam berbagai aksi dan reaksi yang berlangsung secara timbal balik, baik saling
menguntungkan dan maupun saling merugikan. Sungguh kerapkali kita diperdengarkan sebuah
anekdotisme jalanan yang menggelikan, meskipun ikhwal itu belum pasti kebenarannya. Hanya
saja, ketika dikritisi dari sudut pandang Sosiologi Hukum, maka proses interaksi sosial yang
berlangsung di jalan raya, kerapkali agak sulit dibedakan dengan transaksi sosial ekonomi yang
bersifat terselubung. Akan tetapi, keberadaan Polantas yang sangat vital dalam menjamin
keamanan, kedamaian dan kenyamanan berlalu lintas melalui “Quick Wins” sebagai Grand
Strategy Polri untuk membangkitkan trust building dan partnership building. Maka semuanya
akan berlangsung lancar, aman dan terkendali dalam suasana yang menggembirakan.
Kata Kunci: Polisi, Polantas, Profesional dan Masyarakat
ABSTRACT. This paper was reflectif critis analysis for the existence of road transportation
which everytime set by traffic police with high dedication to the society, nation and lovely
country. Unfortunately, there was reality performance in every action and reaction that happen
reciprocal which has advantages and disadvantages. Often, we always listened by a
aneckdotism of street that funny, although that issue not constan yet. However, when analysed
and critic from laws Sociology’s point of view, then the social interaction process that happen
in the street often too hard differ from economic social transaction that shrouded. Meanwhile,
the existence of the traffic police that really vital in guarantee safety, peace and comfortable in
trafficking through quick wins as grand strategy of Indonesian Republic Police to grow up the
trust and partnership building. Therefore, all of will be running well, safe and handled in happy
situation.
Keywords: Police, Traffic Police, Proffesional and Society
PENDAHULUAN
seorang aparat kepolisian ketika sedang
Mungkin memang banyak hal positif
memakai seragam lengkap. Tak pelak lagi
yang membuat warga masyarakat terkagum-
ketika melaksanakan tugas dengan penuh
kagum mendengar dan melihat life style
kedisiplinan. Mungkin saja ikhwal ini pula
Jurnal Penelitian Humano Vol. 7 No. 1 Edisi Juni 2016
37
yang menjadi motivasi bagi kebanyakan
penyimpangan? Mengapa mereka terasa
orang tua, sehingga berupaya maksimal
sulit ditauladani sebagai komponen terdepan
mendaftarkan
menjadi
dalam menghayati dan mengamalkan nilai
anggota kepolisian, sekalipun terpaksa harus
dan norma hukum kita? Mengapa perilaku
mengorbankan sesuatu yang selama ini
Polisi Lalu Lintas dalam menjalankan
sangat vital bagi sumber penghidupan sosial
tugasnya, seringkali menjadi buah bibir bagi
ekonomi rumah tangganya.
pengendara dan warga masyarakat pada
anak-anaknya
Sebaliknya, juga tidak bisa dipungkiri
umumnya? Tentu saja pertanyaan dan
ketika ada orang yang berceloteh atau
gugatan tersebut tidak mengemuka begitu
terkesan kecewa atas ulah oknum aparat
saja, tanpa pertunjukan perilaku aparat
Polantas yang dianggap menyimpang karena
sehari-hari
membuat
keganjilan.
gebrakan
yang
keluar
dari
yang
seringkali
menuai
Peraturan Kepala Korps Lalu Lintas Nomor:
2 Tahun 2011 tentang Etika Profesi Polisi
Studi Fenomenologis
Lalu Lintas yang mungkin saja ada oknum
tertentu
yang
memperoleh
dalam ilmu sosial dan salah satu di antaranya
seonggok insentif material. Akan tetapi, kita
adalah fenomenologi yang dipergunakan
tetap yakin dan percaya bahwa masih
untuk memahami berbagai fenomena sosial
sebagian besar petugas lalu lintas yang
yang menggeliat di tengah masyarakat.
berkepribadian, berintegritas, konsisten dan
Menurut Nindito (2005) bahwa ide dasar
disiplin dalam menjalankan tugas-tugasnya.
fenomenologi Schutz bukan sebagai suatu
Memang
kepingin
Berbagai pendekatan yang terdapat
dan
teori atau pendekatan, melainkan lebih
problematik dipersoalkan dan bahkan sangat
merupakan gerakan filosofis pada abad 20-
menarik dikaji secara kontekstual melalui
an yang menjadi perhatian dari ilmu sosial
sebuah penelitian mendalam. Mengapa
sebagai ilmu humaniora. Dalam konteks ini,
sebetulnya
yang
penempatan responden sebagai aktor sosial
diamanahi tugas dan tanggung jawab,
yang menjalankan peran simultan sebagai
terutama bagi mereka selaku aparat institusi
pengobservasi untuk membangun makna
hukum yang demikian terhormat dan vital
dan
eksistensinya
dalam menata kehidupan
emansipatoris untuk memberikan nilai lebih
masyarakat, bangsa dan negara tercinta ini,
pada setiap interaksi dalam proses penelitian
justru cenderung menunjukkan perilaku
sosial. Karena itu, kondisi obyektif anak
38
menjadi
anak-anak
aktual
bangsa
sekaligus
memiliki
agenda
Jurnal Penelitian Humano Vol. 7 No. 1 Edisi Juni 2016
manusia yang terus melintasi perjalanan di
membanggakan.
bawah kendali Polisi Lalu Lintas dengan
dimaksudkan oleh Pilang (1998) sebagai
berbagai problematikanya, dikaji dari sudut
“titik
pandang
menggeliat
Sosiologi
pendekatan
studi
Hukum
melalui
Fenomenologi
untuk
mendeskripsikan secara kritis reflektif.
balik
Demikianlah
realitas”
hingga
mungkin
yang
demikian
sukses
gemilang
mengaburkan batas-batas antara spiritual
dan pseudo spiritual. Ketika para sosiolog
Substansi kajian yang terpancar dalam
menyoal lenyapnya batas-batas sosial secara
tulisan ini adalah bukan merupakan hasil
umum di tengah masyarakat kontemporer,
penelitian yang mendalam. Akan tetapi,
sehingga
telaah-telaah skeptisisme dan kritisisme
sekonyong-konyong
yang terungkap di dalamnya merupakan
“halal dikit”. Tak pelak lagi, gejolak “inflasi
deskripsi fenomenologis yang terekam dan
moral” yang pada umumnya melanda kaum
terbaca melalui inspirasi dan imajinasi serta
elite (baca: pejabat) tampak begitu terkesan
peristiwa sosial sehari-hari yang semuanya
amat cerdas memainkan uang rakyat, sehingga
berkaitan dengan keganjilan berlalulintas
bangsa
sehari-hari. Hal itu terungkap dari cerita-
menyandang predikat sebagai negara terkorup.
cerita langsung dan tidak langsung bagi
pengendara
pernah
dan
“nyata-nyata
haram”
menjelma
menjadi
negara
tercinta
ini
tampil
Implikasi fenomenal atas penipisan
berhubungan
lapisan nurani dan kelumpuhan akal sehat
dengan aparat hukum, terutama dengan
pun seringkali terdengar menimpa petugas
Polisi
menangani
Polantas sebagai Pegawai Negeri pada
pelanggaran dalam berkendaraan di jalan
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
raya.
fenomenal
bertugas pada fungsi Lalu Lintas Polri.
tersebut, kemudian didekati dan diintip dari
Betapa tidak, azas legalitas, opportunitas,
lensa pandang Sosiologi Hukum.
keseimbangan dan berorientasi pada tujuan
Lalu
yang
yang
Lintas
Beberapa
ketika
peristiwa
keamanan, keselamatan, ketertiban, dan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Titik Balik Realitas
kelancaran
berlalu
tergadaikan
di
lintas
pinggir
seringkali
jalan
sebagai
Betapa mencemaskan ketika perilaku
implikasi dari sebuah bangunan sosial yang
keganjilan telah menjadi tontonan realitas
mulai menipiskan batas wilayah kebenaran
dan hiperealitas yang pada masa lalu
dan kesalahan dalam menjalankan tugas dan
dianggap terhina, tiba-tiba kini terpelanting
tanggung jawabnya sesuai dengan azas-azas
menjadi sebuah kebenaran semu dan seolah
dimaksud.
Jurnal Penelitian Humano Vol. 7 No. 1 Edisi Juni 2016
Mungkin
saja
kita
pernah
39
menguping dan menyimak ocehan dari para
Adalah
sebuah
ironi
kontemporer
kehidupan
pengguna jalanan yang belum memilik SIM
masyarakat
khususnya, terkesan demikian ironis dengan
ditandaskan
aneka lelucon suka dukanya.
lenyapnya rasa malu di dalam diri kita, di
Piliang
sebagaimana
(1998)
bahwa
Fenomena melunturnya daya spiritual
dalam masyarakat kita, di dalam media, di
dalam ruang sosial modernisasi yang sejak
dalam televisi, di dalam politik, dan di dalam
awal disinyalir oleh Durkheim (1954) akan
ekonomi. Tubuh-tubuh yang tanpa bungkus
menipisnya homogenitas sosial
hingga
di dalam media dan televisi, para penegak
solidaritas
kemanan yang menjajakan keamanan di
organik, sesungguhnya merupakan refleksi
jalanan, para penegak hukum yang menjual
dari menipisnya lapisan ozon yang serentak
keadilan di dalam sebuah sidang pengadilan,
dengan menipisnya lapisan nurani pejabat,
para politisi yang mengobral kepalsuan di
politisi dan aparat hukum. Kini, bagi mereka
dalam kampanye politik, para konglomerat
yang dimanahi tugas dan tanggung jawab
yang berpacu di dalam perkembang-biakan
masa depan bangsa dan negara tercinta ini,
usaha dan kekayaan di atas pemiskinan
tampak menggeliat dan bahkan cenderung
orang lain. Semuanya tampak menjual rasa
gegap
malu
menggebrak
ke
gelanggang
gempita
penampilan
mengutamakan
yang
sekali
pun
aksi
harus
demi
material/kapital.
memperoleh
akumulasi
Ironisnya,
masyarakat
melanggar aturan demi memenuhi nafsu
kontemporer kita seakan mulai “malu
angkara
kebenaran,
memiliki rasa malu”. Mereka menjual rasa
makna keadilan dan makna kejujuran seolah
malu tersebut dengan harga yang murah
jatuh dan runtuh berkeping-keping di kursi
(korupsi, kolusi), dan membeli rasa tak
panas dan di pinggir jalan. Dalam rubrik
bermalu dengan harga yang mahal. Ikhwal
Editorial Media Indonesia, 23 Juli 2015
inilah dimaksud Tago (2014) sebagai sebuah
ditandaskan bahwa “Sudah terlalu lama
pergeseran rasionalitas tindakan sosial yang
sebagian besar institusi dan penegak hukum
menyebabkan
di negeri ini berwajah suram di mata rakyat.
menggadaikan idealisme dan bahkan tidak
Mereka
merasa takut memperalat agama.
murkanya.
yang
Makna
seharusnya
menegakkan
kaum
elite
cenderung
hukum tak jarang justru meruntuhkan
Sebaiknya tidak perlu diperdebatkan
hukum dan menjadikan hukum sebagai
dan apalagi terkesan ingin membela diri,
ajang mengeruk untung.”
karena kita tetap haqqul yaqin bahwa bangsa
kita adalah “bangsa super”. Ada baiknya kita
40
Jurnal Penelitian Humano Vol. 7 No. 1 Edisi Juni 2016
tetap optimis, karena ikhwal tersebut
disiplin,
merupakan suatu bahan yang amat patut
emosional; keadaan infrastruktur jalanan
direnungi dan tentu saja merupakan bahan
yang mungkin belum proporsional dengan
introspeksi yang amat sangat berharga bagi
keberadaan kendaraan dan pejalan kaki;
instutusi, lembaga dan kementrian yang
kondisi kendaraan yang selama ini terkesan
bersangkutan. Siapapun dia, tanpa kecuali,
tidak seimbang antara kendaraan pribadi
semuanya
merenungi
dengan angkutan umum; dan akhirnya dalam
keberadaan bangsa dan negara kita tercinta
konteks lingkungan yang tampak belum
ini, karena telah tertuding oleh lembaga
serius memperhatikan penataan arus lalu
Research
negara
lintas jalan. Perihal tersebut tentu saja agak
terkorup, meskipun memang masih terasa
sulit terbantahkan, tetapi juga terkesan
kesulitan menangkap koruptornya.
cukup logis dan argumentatif jika memang
memang
harus
Internasional
sebagai
tidak
tertib
dan
cenderung
kesemrawutan tersebut dicitrakan kepada
Kasus Fenomenal Keganjilan Polantas
Implikasi
dari
fenomena
makro
penipisan nurani anak-anak bangsa kini
petugas Polantas karena disinyalir beberapa
keganjilan yang acapkali mengemuka di
lapangan.
sebagaimana terungkap di atas. Maka
mungkin saja tidak dapat dipungkiri bahwa
ikhwal kesemrawutan berlalu lintas yang
pada umumnya terjadi di kota-kota selama
ini,
adalah
disebabkan
oleh
tingkat
kesadaran dan ketertiban warga masyarakat
dalam berlalu lintas yang masih tampak
mamprihatinkan. Akan tetapi, boleh jadi
juga lebih tidak bisa terbantahkan jika
fenomena dan realitas kesemrawutan itu
ditimpakan kepada Polantas sebagai bagian
integral
dari
degradasi
moral
yang
mengemuka
Tentu saja dapat ditemukan berbagai
faktor yang berpengaruh serta berkelindan di
dalamnya. Betapa tidak, dalam konteks
Pertama, pihak petugas lalulintas
belum bertindak edukatif dan mungkin dapat
diklaim kurang transparan menjelaskan
pasal pelanggaran dan sanksinya ketika
mereka
menahan
seorang
pengendara,
sehingga pihak pengendara tidak memahami
jenis
pasal
apa
dan
berapa
yang
dilanggarnya. Hal ini tentu saja sangat
penting, agar selain pihak pengguna jalan
dapat
memahami
makna
sebuah
pelanggaran, juga pihak masyarakat agar
supaya tercerdaskan dan tercerahkan dalam
konteks pemahaman hukum.
Kedua,
betapa
ironisnya
ketika
seorang pengendara yang ditahan karena
ditenggarai melakukan pelanggaran, tetapi
perilaku manusia yang boleh jadi belum
Jurnal Penelitian Humano Vol. 7 No. 1 Edisi Juni 2016
41
mereka digiring ke pos jaga polisi dalam
artian,
waktu yang cukup lama menunggu karena
dibebankan kepada sang pengendara yang
dipertanyakan
yang
telah berulangkali melakukan pelanggaran
cenderung
atau melakukan pelanggaran yang amat
terkesan
kepadanya
mengada-ada
perihal
dan
kurang masuk akal, dan atau boleh jadi
dimintai
sesuatu
yuridis
hanya
pantas
mencelakakan keamanan berlalulintas.
persyaratan
Keempat, kerapkali pihak petugas
praktikal untuk membebaskannya. Padahal,
lalulintas melakukan swiping di posisi
seharusnya di tempat dimana pengendara
tikungan dan tidak meletakkan papan
ketika didatangi oleh petugas lalu lintas,
peringatan swiping jalanan yang seharusnya
maka di tempat itulah kaum pengguna jalan
berjarak cukup jauh dari tempat pelaksanaan
tersebut harus diperiksa dan dijelaskan pasal
swiping. Meskipun ikhwal seperti ini tidak
berapa
harus
berarti salah atau benar, karena boleh jadi
diterimanya. Sebaliknya, tidak perlu di
ada kendaraan curian yang harus ditemukan,
giring ke pos jaga karena bisa jadi
sehingga sangat tepat jika dilakukan pada
menimbulkan persepsi dan prasangka yang
posisi yang tidak kelihatan dari arah depan.
negatif dan irrasional.
Namun
dan
sebagai
tindakan
sanksi
apa
yang
sebaliknya,
boleh
jadi
juga
Ketiga, sebaiknya tindakan yuridis
berdampak negatif karena bisa jadi membuat
dari pihak petugas polisi lalu lintas terhadap
celaka bagi pengendara ketika dalam posisi
pengendara roda dua dan roda empat yang
kendaraan tengah melaju dengan cepat,
melanggar itu, merupakan tindakan terakhir
sehingga
yang seyogyanya harus dilakukan dan
petugas lalulintas yang tengah melakukan
dijatuhkan kepadanya. Pasalnya, mungkin
pemeriksaan SIM dan surat-surat kendaraan
saja pengendara yang bersangkutan adalah
yang tiba-tiba ada di depannya.
pertamakali baginya melanggar atau merasa
tidak
melanggar
terkagetkan
oleh
Kelima, mungkin saja ikhwal yang
faktor
terakhir ini signifikan dengan budaya bangsa
ketidaktahuannya atas lingkungan jalanan di
kita yang cenderung hipokrit, bermental
sekitarnya. Dalam artian, bagi pelanggar
menerabas, enggan bertanggung jawab dan
yang pertama kali dengan alasan apapun,
beretos kerja lemah sebagaimana disinyalir
maka ada baiknya diawali dengan tindakan
oleh
edukatif
sugesti
antropolog dan Muhtar Lubis sang sastrawan
tidak
senior kita. Betapa tidak, tampak menjadi
Dalam
sebuah pemandangan yang menyayat hati
yang
peringatan
mengulangi
42
dan
lagi
karena
spontanitas
mencerahkan,
motivasi
untuk
perbuatannya.
Koentjaraningrat
sang
bengawan
Jurnal Penelitian Humano Vol. 7 No. 1 Edisi Juni 2016
bagi pengguna jalan ketika kendaraan tengah
Profetik sebagaimana dimaksud Absori
bergerombol saling memperebutkan jalanan,
(2015)?
terutama pada saat jam sibuk. Akan tetapi,
Padahal semua profesi telah didasari
pihak petugas lalu lintas pun tampak sibuk
oleh etika profesinya masing-masing dan
memainkan ponselnya
bahkan
sembari
duduk-
aneka
profesi
tergeletak
masalah yang mengancam di depannya.
profesionalisme. Sejak awal Weber (1930)
Meskipun ikhwal ini bisa dimaklumi karena
telah mentesiskan “The Protestan Ethic ang
faktor manusiawi bagi seorang petugas yang
the Spirit of capitalims” yang mensinyalir
apalagi bertugas sendirian di pos jaga itu,
ikhwal kebangkitan kapitalisme di Eropa
dan mungkin saja telah lama berdiri
dan AS yang terisnpirasi atau termotivasi
mengatur lalu lintas jalanan. Mungkin saja
oleh etika calvisnis. Demikian pula Bellah
pada saat itu, baru saja masuk ke pos jaga
(2000) yang melihat kebangkitan Bangsa
untuk beristrahat sejenak. Namun tidak
Jepang karena faktor etika shinto serta
dapat
orang
kebangkitan Cina karena faktor etika
mengklaim pejabat dan aparat kita memang
khonfuchu. Tak pelak lagi, Geertz (1992)
cenderung kurang amanah, kurang jujur,
yang menandaskan kebangkitan Serikat
kurang kepusingan sosial dan enggan serta
Islam (SI) dan Serikat Dagang Islam (SDI)
malas bertanggung jawab.
di Indonesia karena dobrakan dari etika
juga
ketika
berbagai
tersebut
duduk santai di pos jaga seolah tanpa ada
dipungkiri
di
etika
panggung
santri di Jawa dan sekitarnya.
Implementasi Etika Profesi Kepolisian
Selain
dilegitimasi
oleh
kaum
Dalam konteks ini, lagi-lagi kita
ilmuwan akan betapa urgensinya dan betapa
kembali menukik kepada sebuah pertanyaan
signikansinya antara sebuah nilai etos
yang
yakni
dengan sikap dan perilaku anak manusia,
mengapa para pejabat, dan khususnya aparat
juga berbagai profesi telah dibekali dengan
hukum kita belum bisa tampil prima dalam
etika profesinya masing-masing. Bagi sang
menghayati dan mengamalkan nilai dan
birokrat misalnya telah dilandasi oleh etika
norma hukum? Mengapa mereka masih
birokrasi, sang akademis dengan etika
terasa amat sulit tampil di front terdepan
akademisinya, sang pengusaha dengan etika
sebagai aparat hukum yang patut ditauladani
bisnisnya, kaum politikus dengan etika
oleh warga masyarakat? Apakah benar kita
politisinya dan lain sebagainya. Tak pelak
memerlukan
lagi, bagi Polantas dengan etika profesi
terasa
amat
menggelitik,
konsep-konsep
Hukum
Jurnal Penelitian Humano Vol. 7 No. 1 Edisi Juni 2016
43
polisi lalu lintas yang secara faktual tertuang
melayani masyarakat, sehingga pasti akan
dalam Peraturan Kepala Korps Lalu Lintas
mendapatkan
Kepolisian Negara Republik Indonesia
masyarakat. Tentu saja hal ini menjadi
Nomor: 2 Tahun 2011. Dengan demikian,
momentum strategis untuk memperbaiki
tampak tidak ada yang kurang secuil pun,
citra
tetapi mengapa kemudian rentetan etika
mengembalikan kepercayaan masyarakat
tersebut berseliwerang tak ubahnya sebagai
pada sisi lain melalui “Quick Wins” sebagai
sebuah universum simbolik yang tidak
Grand
bermakna
dicanangkan dalam konteks trust building
serta
tidak
mampu
terimplementasikan oleh pemiliknya itu?
Etika Profesi Polantas dalam Bab II
pasal 3 disebutkan bahwa ruang lingkup
apresiasi
kepolisian
Strategy
di
positif
satu
Polri
sisi,
yang
dari
serta
sudah
dan partnership building serta membangun
keunggulan
kesempurnaan
pelayanan
kepada masyarakat.
pengaturan etika profesi Polantas mencakup:
(a) etika kepribadian; (b) etika kenegaraan;
PENUTUP
(c) etika kelembagaan; dan (d) etika dalam
Akhirnya, dalam rangka memproses
hubungan dengan masyarakat. Lebih lanjut,
kebangkitan kepercayaan masyarakat, maka
keempat jenis etika Polantas tersebut
langkah
dijelaskan secara lebih terperinci dalam
ditumbuhkembangkan
pasal 4 tentang etika kepribadian, pasal 5
Polantas. Pertama, harus dimulai dengan
tentang etika kenegaraan, dan pasal 6
memahami seutuhnya dan setulusnya atas
tentang etika kelembagaan. Sementara di
eksistensi dan identitasnya sebagai petugas
pasal 7 ditandaskan bahwa setiap anggota
lalu lintas yang sangat vital dalam menjamin
Polantas dalam melaksanakan kewenangan
keamanan, kedamaian dan kenyamanan
wajib
berlalu lintas. Kedua, harus ada upaya untuk
Sungguh tidak ada alasan yang patut
diargumentasikan
yang
oleh
patut
petugas
memahami lingkungan, terutama di tempat
tidak
mereka tengah menjalankan tugas, sehingga
mengimplementasikan semua tugas, peran
dapat mengetahui tugas pokok dan tugas
dan tanggung jawab sebagai amanah yang
utama yang harus dilakukan ketika mereka
ada di pundak kita masing-masing. Tak
misalnya bertugas di depan pelaksanaan
pelak lagi, bagi Polantas yang sejak tahun
sebuah pesta pernikahan. Demikian pula
2000 hingga kini telah direkonstruksi
tentunya di tempat lainnya pun harus
menjadi
terlebih dahulu dikenali dengan baik,
44
“Polantas
untuk
sederhana
Profesional”
dalam
Jurnal Penelitian Humano Vol. 7 No. 1 Edisi Juni 2016
sehingga dapat menjalankan tugas secara
profesional. Ketiga, petugas lalulintas juga
harus memahami identitasnya bahwa selain
sebagai petugas lalu lintas, juga mereka
merupakan
polisi
umum
yang
Geertz, Clifford, 1992, Kebudayaan dan
Agama, Yogyakarta: Kanisius,
Media Indonesia, “Revolusi Diri Penegak
Hukum”, Rubrik Editorial, Kamis
23 Juli 2015.
harus
melayani dan mengayomi warga masyarakat
yang membutuhkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Absori, 2015. Hukum Profetik: Kritik
terhadap Paradigma Hukum NonSistematik, Yogyakarta: Genta
Publishing.
Bellah, N. Robert, 2000, Beyond Belief:
Menemukan Kembali Agama,
Essai-Essai tentang Agama di
Dunia Modern, diterjemahkan dari
buku “Beyond Belief, Essays On
Religion In a Post-Tradisionalist
World”, oleh Rudy Harisyah Alam,
Jakarta: Paramadina bekerjasama
dengan Yayasan Adikarya dan The
Ford Foundation
Durkheim, Emile, 1954, The Elementary
Forms of The Relegious Life,
London: Allen dan Unwin.
Jurnal Penelitian Humano Vol. 7 No. 1 Edisi Juni 2016
Nindito, Stefanus, 2005. “Fenomenologi
Alfred Schutz:
Studi tentang
Konstruksi Makna dan Realitas
dalam Ilmu Sosial,” Jurnal Ilmu
Komunikasi, Volume 2, Nomor 1,
Juni 2005.
Peraturan Kepala Korps Lalu Lintas
Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia, Nomor: 2 Tahun 2011
Tentang Etika Profesi Polisi Lalu
Lintas.
Piliang, Amir, Yasraf, 1998, Sebuah Dunia
Yang Dilipat, Realitas Kebudayaan
Menjelang Milenium Ketiga dan
Matinya Posmodernisme. Bandung:
Mizan
Tago, Zainuddin, Mahli, 2014, Memperalat
Agama, Pergeseran Rasionalitas
Tindakan Sosial.
Yogyakarta:
Samudera Biru
Weber, Max, 1930, The Protestant Ethic and
the Spirit of Capitalism, New York:
The Guernsey Press
45
Download