POLANTAS PROFESIONAL DI BENAK MASYARAKAT: Sebuah Intipan dari Lensa Sosiologi Hukum Peribadi* La Patuju** (Dosen Sosiologi Fisip Universitas Haluoleo Kendari) * E-mail: [email protected] ** E-mail: [email protected] ABSTRAK. Tulisan ini merupakan telah kritis reflektif atas keberadaan transportasi jalan raya yang setiap saat diatur oleh Polisi Lalu Lintas dengan penuh semangat pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan negara tercinta ini. Betapa acapkali mengemuka pertontonan realitas dalam berbagai aksi dan reaksi yang berlangsung secara timbal balik, baik saling menguntungkan dan maupun saling merugikan. Sungguh kerapkali kita diperdengarkan sebuah anekdotisme jalanan yang menggelikan, meskipun ikhwal itu belum pasti kebenarannya. Hanya saja, ketika dikritisi dari sudut pandang Sosiologi Hukum, maka proses interaksi sosial yang berlangsung di jalan raya, kerapkali agak sulit dibedakan dengan transaksi sosial ekonomi yang bersifat terselubung. Akan tetapi, keberadaan Polantas yang sangat vital dalam menjamin keamanan, kedamaian dan kenyamanan berlalu lintas melalui “Quick Wins” sebagai Grand Strategy Polri untuk membangkitkan trust building dan partnership building. Maka semuanya akan berlangsung lancar, aman dan terkendali dalam suasana yang menggembirakan. Kata Kunci: Polisi, Polantas, Profesional dan Masyarakat ABSTRACT. This paper was reflectif critis analysis for the existence of road transportation which everytime set by traffic police with high dedication to the society, nation and lovely country. Unfortunately, there was reality performance in every action and reaction that happen reciprocal which has advantages and disadvantages. Often, we always listened by a aneckdotism of street that funny, although that issue not constan yet. However, when analysed and critic from laws Sociology’s point of view, then the social interaction process that happen in the street often too hard differ from economic social transaction that shrouded. Meanwhile, the existence of the traffic police that really vital in guarantee safety, peace and comfortable in trafficking through quick wins as grand strategy of Indonesian Republic Police to grow up the trust and partnership building. Therefore, all of will be running well, safe and handled in happy situation. Keywords: Police, Traffic Police, Proffesional and Society PENDAHULUAN seorang aparat kepolisian ketika sedang Mungkin memang banyak hal positif memakai seragam lengkap. Tak pelak lagi yang membuat warga masyarakat terkagum- ketika melaksanakan tugas dengan penuh kagum mendengar dan melihat life style kedisiplinan. Mungkin saja ikhwal ini pula Jurnal Penelitian Humano Vol. 7 No. 1 Edisi Juni 2016 37 yang menjadi motivasi bagi kebanyakan penyimpangan? Mengapa mereka terasa orang tua, sehingga berupaya maksimal sulit ditauladani sebagai komponen terdepan mendaftarkan menjadi dalam menghayati dan mengamalkan nilai anggota kepolisian, sekalipun terpaksa harus dan norma hukum kita? Mengapa perilaku mengorbankan sesuatu yang selama ini Polisi Lalu Lintas dalam menjalankan sangat vital bagi sumber penghidupan sosial tugasnya, seringkali menjadi buah bibir bagi ekonomi rumah tangganya. pengendara dan warga masyarakat pada anak-anaknya Sebaliknya, juga tidak bisa dipungkiri umumnya? Tentu saja pertanyaan dan ketika ada orang yang berceloteh atau gugatan tersebut tidak mengemuka begitu terkesan kecewa atas ulah oknum aparat saja, tanpa pertunjukan perilaku aparat Polantas yang dianggap menyimpang karena sehari-hari membuat keganjilan. gebrakan yang keluar dari yang seringkali menuai Peraturan Kepala Korps Lalu Lintas Nomor: 2 Tahun 2011 tentang Etika Profesi Polisi Studi Fenomenologis Lalu Lintas yang mungkin saja ada oknum tertentu yang memperoleh dalam ilmu sosial dan salah satu di antaranya seonggok insentif material. Akan tetapi, kita adalah fenomenologi yang dipergunakan tetap yakin dan percaya bahwa masih untuk memahami berbagai fenomena sosial sebagian besar petugas lalu lintas yang yang menggeliat di tengah masyarakat. berkepribadian, berintegritas, konsisten dan Menurut Nindito (2005) bahwa ide dasar disiplin dalam menjalankan tugas-tugasnya. fenomenologi Schutz bukan sebagai suatu Memang kepingin Berbagai pendekatan yang terdapat dan teori atau pendekatan, melainkan lebih problematik dipersoalkan dan bahkan sangat merupakan gerakan filosofis pada abad 20- menarik dikaji secara kontekstual melalui an yang menjadi perhatian dari ilmu sosial sebuah penelitian mendalam. Mengapa sebagai ilmu humaniora. Dalam konteks ini, sebetulnya yang penempatan responden sebagai aktor sosial diamanahi tugas dan tanggung jawab, yang menjalankan peran simultan sebagai terutama bagi mereka selaku aparat institusi pengobservasi untuk membangun makna hukum yang demikian terhormat dan vital dan eksistensinya dalam menata kehidupan emansipatoris untuk memberikan nilai lebih masyarakat, bangsa dan negara tercinta ini, pada setiap interaksi dalam proses penelitian justru cenderung menunjukkan perilaku sosial. Karena itu, kondisi obyektif anak 38 menjadi anak-anak aktual bangsa sekaligus memiliki agenda Jurnal Penelitian Humano Vol. 7 No. 1 Edisi Juni 2016 manusia yang terus melintasi perjalanan di membanggakan. bawah kendali Polisi Lalu Lintas dengan dimaksudkan oleh Pilang (1998) sebagai berbagai problematikanya, dikaji dari sudut “titik pandang menggeliat Sosiologi pendekatan studi Hukum melalui Fenomenologi untuk mendeskripsikan secara kritis reflektif. balik Demikianlah realitas” hingga mungkin yang demikian sukses gemilang mengaburkan batas-batas antara spiritual dan pseudo spiritual. Ketika para sosiolog Substansi kajian yang terpancar dalam menyoal lenyapnya batas-batas sosial secara tulisan ini adalah bukan merupakan hasil umum di tengah masyarakat kontemporer, penelitian yang mendalam. Akan tetapi, sehingga telaah-telaah skeptisisme dan kritisisme sekonyong-konyong yang terungkap di dalamnya merupakan “halal dikit”. Tak pelak lagi, gejolak “inflasi deskripsi fenomenologis yang terekam dan moral” yang pada umumnya melanda kaum terbaca melalui inspirasi dan imajinasi serta elite (baca: pejabat) tampak begitu terkesan peristiwa sosial sehari-hari yang semuanya amat cerdas memainkan uang rakyat, sehingga berkaitan dengan keganjilan berlalulintas bangsa sehari-hari. Hal itu terungkap dari cerita- menyandang predikat sebagai negara terkorup. cerita langsung dan tidak langsung bagi pengendara pernah dan “nyata-nyata haram” menjelma menjadi negara tercinta ini tampil Implikasi fenomenal atas penipisan berhubungan lapisan nurani dan kelumpuhan akal sehat dengan aparat hukum, terutama dengan pun seringkali terdengar menimpa petugas Polisi menangani Polantas sebagai Pegawai Negeri pada pelanggaran dalam berkendaraan di jalan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang raya. fenomenal bertugas pada fungsi Lalu Lintas Polri. tersebut, kemudian didekati dan diintip dari Betapa tidak, azas legalitas, opportunitas, lensa pandang Sosiologi Hukum. keseimbangan dan berorientasi pada tujuan Lalu yang yang Lintas Beberapa ketika peristiwa keamanan, keselamatan, ketertiban, dan HASIL DAN PEMBAHASAN Titik Balik Realitas kelancaran berlalu tergadaikan di lintas pinggir seringkali jalan sebagai Betapa mencemaskan ketika perilaku implikasi dari sebuah bangunan sosial yang keganjilan telah menjadi tontonan realitas mulai menipiskan batas wilayah kebenaran dan hiperealitas yang pada masa lalu dan kesalahan dalam menjalankan tugas dan dianggap terhina, tiba-tiba kini terpelanting tanggung jawabnya sesuai dengan azas-azas menjadi sebuah kebenaran semu dan seolah dimaksud. Jurnal Penelitian Humano Vol. 7 No. 1 Edisi Juni 2016 Mungkin saja kita pernah 39 menguping dan menyimak ocehan dari para Adalah sebuah ironi kontemporer kehidupan pengguna jalanan yang belum memilik SIM masyarakat khususnya, terkesan demikian ironis dengan ditandaskan aneka lelucon suka dukanya. lenyapnya rasa malu di dalam diri kita, di Piliang sebagaimana (1998) bahwa Fenomena melunturnya daya spiritual dalam masyarakat kita, di dalam media, di dalam ruang sosial modernisasi yang sejak dalam televisi, di dalam politik, dan di dalam awal disinyalir oleh Durkheim (1954) akan ekonomi. Tubuh-tubuh yang tanpa bungkus menipisnya homogenitas sosial hingga di dalam media dan televisi, para penegak solidaritas kemanan yang menjajakan keamanan di organik, sesungguhnya merupakan refleksi jalanan, para penegak hukum yang menjual dari menipisnya lapisan ozon yang serentak keadilan di dalam sebuah sidang pengadilan, dengan menipisnya lapisan nurani pejabat, para politisi yang mengobral kepalsuan di politisi dan aparat hukum. Kini, bagi mereka dalam kampanye politik, para konglomerat yang dimanahi tugas dan tanggung jawab yang berpacu di dalam perkembang-biakan masa depan bangsa dan negara tercinta ini, usaha dan kekayaan di atas pemiskinan tampak menggeliat dan bahkan cenderung orang lain. Semuanya tampak menjual rasa gegap malu menggebrak ke gelanggang gempita penampilan mengutamakan yang sekali pun aksi harus demi material/kapital. memperoleh akumulasi Ironisnya, masyarakat melanggar aturan demi memenuhi nafsu kontemporer kita seakan mulai “malu angkara kebenaran, memiliki rasa malu”. Mereka menjual rasa makna keadilan dan makna kejujuran seolah malu tersebut dengan harga yang murah jatuh dan runtuh berkeping-keping di kursi (korupsi, kolusi), dan membeli rasa tak panas dan di pinggir jalan. Dalam rubrik bermalu dengan harga yang mahal. Ikhwal Editorial Media Indonesia, 23 Juli 2015 inilah dimaksud Tago (2014) sebagai sebuah ditandaskan bahwa “Sudah terlalu lama pergeseran rasionalitas tindakan sosial yang sebagian besar institusi dan penegak hukum menyebabkan di negeri ini berwajah suram di mata rakyat. menggadaikan idealisme dan bahkan tidak Mereka merasa takut memperalat agama. murkanya. yang Makna seharusnya menegakkan kaum elite cenderung hukum tak jarang justru meruntuhkan Sebaiknya tidak perlu diperdebatkan hukum dan menjadikan hukum sebagai dan apalagi terkesan ingin membela diri, ajang mengeruk untung.” karena kita tetap haqqul yaqin bahwa bangsa kita adalah “bangsa super”. Ada baiknya kita 40 Jurnal Penelitian Humano Vol. 7 No. 1 Edisi Juni 2016 tetap optimis, karena ikhwal tersebut disiplin, merupakan suatu bahan yang amat patut emosional; keadaan infrastruktur jalanan direnungi dan tentu saja merupakan bahan yang mungkin belum proporsional dengan introspeksi yang amat sangat berharga bagi keberadaan kendaraan dan pejalan kaki; instutusi, lembaga dan kementrian yang kondisi kendaraan yang selama ini terkesan bersangkutan. Siapapun dia, tanpa kecuali, tidak seimbang antara kendaraan pribadi semuanya merenungi dengan angkutan umum; dan akhirnya dalam keberadaan bangsa dan negara kita tercinta konteks lingkungan yang tampak belum ini, karena telah tertuding oleh lembaga serius memperhatikan penataan arus lalu Research negara lintas jalan. Perihal tersebut tentu saja agak terkorup, meskipun memang masih terasa sulit terbantahkan, tetapi juga terkesan kesulitan menangkap koruptornya. cukup logis dan argumentatif jika memang memang harus Internasional sebagai tidak tertib dan cenderung kesemrawutan tersebut dicitrakan kepada Kasus Fenomenal Keganjilan Polantas Implikasi dari fenomena makro penipisan nurani anak-anak bangsa kini petugas Polantas karena disinyalir beberapa keganjilan yang acapkali mengemuka di lapangan. sebagaimana terungkap di atas. Maka mungkin saja tidak dapat dipungkiri bahwa ikhwal kesemrawutan berlalu lintas yang pada umumnya terjadi di kota-kota selama ini, adalah disebabkan oleh tingkat kesadaran dan ketertiban warga masyarakat dalam berlalu lintas yang masih tampak mamprihatinkan. Akan tetapi, boleh jadi juga lebih tidak bisa terbantahkan jika fenomena dan realitas kesemrawutan itu ditimpakan kepada Polantas sebagai bagian integral dari degradasi moral yang mengemuka Tentu saja dapat ditemukan berbagai faktor yang berpengaruh serta berkelindan di dalamnya. Betapa tidak, dalam konteks Pertama, pihak petugas lalulintas belum bertindak edukatif dan mungkin dapat diklaim kurang transparan menjelaskan pasal pelanggaran dan sanksinya ketika mereka menahan seorang pengendara, sehingga pihak pengendara tidak memahami jenis pasal apa dan berapa yang dilanggarnya. Hal ini tentu saja sangat penting, agar selain pihak pengguna jalan dapat memahami makna sebuah pelanggaran, juga pihak masyarakat agar supaya tercerdaskan dan tercerahkan dalam konteks pemahaman hukum. Kedua, betapa ironisnya ketika seorang pengendara yang ditahan karena ditenggarai melakukan pelanggaran, tetapi perilaku manusia yang boleh jadi belum Jurnal Penelitian Humano Vol. 7 No. 1 Edisi Juni 2016 41 mereka digiring ke pos jaga polisi dalam artian, waktu yang cukup lama menunggu karena dibebankan kepada sang pengendara yang dipertanyakan yang telah berulangkali melakukan pelanggaran cenderung atau melakukan pelanggaran yang amat terkesan kepadanya mengada-ada perihal dan kurang masuk akal, dan atau boleh jadi dimintai sesuatu yuridis hanya pantas mencelakakan keamanan berlalulintas. persyaratan Keempat, kerapkali pihak petugas praktikal untuk membebaskannya. Padahal, lalulintas melakukan swiping di posisi seharusnya di tempat dimana pengendara tikungan dan tidak meletakkan papan ketika didatangi oleh petugas lalu lintas, peringatan swiping jalanan yang seharusnya maka di tempat itulah kaum pengguna jalan berjarak cukup jauh dari tempat pelaksanaan tersebut harus diperiksa dan dijelaskan pasal swiping. Meskipun ikhwal seperti ini tidak berapa harus berarti salah atau benar, karena boleh jadi diterimanya. Sebaliknya, tidak perlu di ada kendaraan curian yang harus ditemukan, giring ke pos jaga karena bisa jadi sehingga sangat tepat jika dilakukan pada menimbulkan persepsi dan prasangka yang posisi yang tidak kelihatan dari arah depan. negatif dan irrasional. Namun dan sebagai tindakan sanksi apa yang sebaliknya, boleh jadi juga Ketiga, sebaiknya tindakan yuridis berdampak negatif karena bisa jadi membuat dari pihak petugas polisi lalu lintas terhadap celaka bagi pengendara ketika dalam posisi pengendara roda dua dan roda empat yang kendaraan tengah melaju dengan cepat, melanggar itu, merupakan tindakan terakhir sehingga yang seyogyanya harus dilakukan dan petugas lalulintas yang tengah melakukan dijatuhkan kepadanya. Pasalnya, mungkin pemeriksaan SIM dan surat-surat kendaraan saja pengendara yang bersangkutan adalah yang tiba-tiba ada di depannya. pertamakali baginya melanggar atau merasa tidak melanggar terkagetkan oleh Kelima, mungkin saja ikhwal yang faktor terakhir ini signifikan dengan budaya bangsa ketidaktahuannya atas lingkungan jalanan di kita yang cenderung hipokrit, bermental sekitarnya. Dalam artian, bagi pelanggar menerabas, enggan bertanggung jawab dan yang pertama kali dengan alasan apapun, beretos kerja lemah sebagaimana disinyalir maka ada baiknya diawali dengan tindakan oleh edukatif sugesti antropolog dan Muhtar Lubis sang sastrawan tidak senior kita. Betapa tidak, tampak menjadi Dalam sebuah pemandangan yang menyayat hati yang peringatan mengulangi 42 dan lagi karena spontanitas mencerahkan, motivasi untuk perbuatannya. Koentjaraningrat sang bengawan Jurnal Penelitian Humano Vol. 7 No. 1 Edisi Juni 2016 bagi pengguna jalan ketika kendaraan tengah Profetik sebagaimana dimaksud Absori bergerombol saling memperebutkan jalanan, (2015)? terutama pada saat jam sibuk. Akan tetapi, Padahal semua profesi telah didasari pihak petugas lalu lintas pun tampak sibuk oleh etika profesinya masing-masing dan memainkan ponselnya bahkan sembari duduk- aneka profesi tergeletak masalah yang mengancam di depannya. profesionalisme. Sejak awal Weber (1930) Meskipun ikhwal ini bisa dimaklumi karena telah mentesiskan “The Protestan Ethic ang faktor manusiawi bagi seorang petugas yang the Spirit of capitalims” yang mensinyalir apalagi bertugas sendirian di pos jaga itu, ikhwal kebangkitan kapitalisme di Eropa dan mungkin saja telah lama berdiri dan AS yang terisnpirasi atau termotivasi mengatur lalu lintas jalanan. Mungkin saja oleh etika calvisnis. Demikian pula Bellah pada saat itu, baru saja masuk ke pos jaga (2000) yang melihat kebangkitan Bangsa untuk beristrahat sejenak. Namun tidak Jepang karena faktor etika shinto serta dapat orang kebangkitan Cina karena faktor etika mengklaim pejabat dan aparat kita memang khonfuchu. Tak pelak lagi, Geertz (1992) cenderung kurang amanah, kurang jujur, yang menandaskan kebangkitan Serikat kurang kepusingan sosial dan enggan serta Islam (SI) dan Serikat Dagang Islam (SDI) malas bertanggung jawab. di Indonesia karena dobrakan dari etika juga ketika berbagai tersebut duduk santai di pos jaga seolah tanpa ada dipungkiri di etika panggung santri di Jawa dan sekitarnya. Implementasi Etika Profesi Kepolisian Selain dilegitimasi oleh kaum Dalam konteks ini, lagi-lagi kita ilmuwan akan betapa urgensinya dan betapa kembali menukik kepada sebuah pertanyaan signikansinya antara sebuah nilai etos yang yakni dengan sikap dan perilaku anak manusia, mengapa para pejabat, dan khususnya aparat juga berbagai profesi telah dibekali dengan hukum kita belum bisa tampil prima dalam etika profesinya masing-masing. Bagi sang menghayati dan mengamalkan nilai dan birokrat misalnya telah dilandasi oleh etika norma hukum? Mengapa mereka masih birokrasi, sang akademis dengan etika terasa amat sulit tampil di front terdepan akademisinya, sang pengusaha dengan etika sebagai aparat hukum yang patut ditauladani bisnisnya, kaum politikus dengan etika oleh warga masyarakat? Apakah benar kita politisinya dan lain sebagainya. Tak pelak memerlukan lagi, bagi Polantas dengan etika profesi terasa amat menggelitik, konsep-konsep Hukum Jurnal Penelitian Humano Vol. 7 No. 1 Edisi Juni 2016 43 polisi lalu lintas yang secara faktual tertuang melayani masyarakat, sehingga pasti akan dalam Peraturan Kepala Korps Lalu Lintas mendapatkan Kepolisian Negara Republik Indonesia masyarakat. Tentu saja hal ini menjadi Nomor: 2 Tahun 2011. Dengan demikian, momentum strategis untuk memperbaiki tampak tidak ada yang kurang secuil pun, citra tetapi mengapa kemudian rentetan etika mengembalikan kepercayaan masyarakat tersebut berseliwerang tak ubahnya sebagai pada sisi lain melalui “Quick Wins” sebagai sebuah universum simbolik yang tidak Grand bermakna dicanangkan dalam konteks trust building serta tidak mampu terimplementasikan oleh pemiliknya itu? Etika Profesi Polantas dalam Bab II pasal 3 disebutkan bahwa ruang lingkup apresiasi kepolisian Strategy di positif satu Polri sisi, yang dari serta sudah dan partnership building serta membangun keunggulan kesempurnaan pelayanan kepada masyarakat. pengaturan etika profesi Polantas mencakup: (a) etika kepribadian; (b) etika kenegaraan; PENUTUP (c) etika kelembagaan; dan (d) etika dalam Akhirnya, dalam rangka memproses hubungan dengan masyarakat. Lebih lanjut, kebangkitan kepercayaan masyarakat, maka keempat jenis etika Polantas tersebut langkah dijelaskan secara lebih terperinci dalam ditumbuhkembangkan pasal 4 tentang etika kepribadian, pasal 5 Polantas. Pertama, harus dimulai dengan tentang etika kenegaraan, dan pasal 6 memahami seutuhnya dan setulusnya atas tentang etika kelembagaan. Sementara di eksistensi dan identitasnya sebagai petugas pasal 7 ditandaskan bahwa setiap anggota lalu lintas yang sangat vital dalam menjamin Polantas dalam melaksanakan kewenangan keamanan, kedamaian dan kenyamanan wajib berlalu lintas. Kedua, harus ada upaya untuk Sungguh tidak ada alasan yang patut diargumentasikan yang oleh patut petugas memahami lingkungan, terutama di tempat tidak mereka tengah menjalankan tugas, sehingga mengimplementasikan semua tugas, peran dapat mengetahui tugas pokok dan tugas dan tanggung jawab sebagai amanah yang utama yang harus dilakukan ketika mereka ada di pundak kita masing-masing. Tak misalnya bertugas di depan pelaksanaan pelak lagi, bagi Polantas yang sejak tahun sebuah pesta pernikahan. Demikian pula 2000 hingga kini telah direkonstruksi tentunya di tempat lainnya pun harus menjadi terlebih dahulu dikenali dengan baik, 44 “Polantas untuk sederhana Profesional” dalam Jurnal Penelitian Humano Vol. 7 No. 1 Edisi Juni 2016 sehingga dapat menjalankan tugas secara profesional. Ketiga, petugas lalulintas juga harus memahami identitasnya bahwa selain sebagai petugas lalu lintas, juga mereka merupakan polisi umum yang Geertz, Clifford, 1992, Kebudayaan dan Agama, Yogyakarta: Kanisius, Media Indonesia, “Revolusi Diri Penegak Hukum”, Rubrik Editorial, Kamis 23 Juli 2015. harus melayani dan mengayomi warga masyarakat yang membutuhkannya. DAFTAR PUSTAKA Absori, 2015. Hukum Profetik: Kritik terhadap Paradigma Hukum NonSistematik, Yogyakarta: Genta Publishing. Bellah, N. Robert, 2000, Beyond Belief: Menemukan Kembali Agama, Essai-Essai tentang Agama di Dunia Modern, diterjemahkan dari buku “Beyond Belief, Essays On Religion In a Post-Tradisionalist World”, oleh Rudy Harisyah Alam, Jakarta: Paramadina bekerjasama dengan Yayasan Adikarya dan The Ford Foundation Durkheim, Emile, 1954, The Elementary Forms of The Relegious Life, London: Allen dan Unwin. Jurnal Penelitian Humano Vol. 7 No. 1 Edisi Juni 2016 Nindito, Stefanus, 2005. “Fenomenologi Alfred Schutz: Studi tentang Konstruksi Makna dan Realitas dalam Ilmu Sosial,” Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 2, Nomor 1, Juni 2005. Peraturan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia, Nomor: 2 Tahun 2011 Tentang Etika Profesi Polisi Lalu Lintas. Piliang, Amir, Yasraf, 1998, Sebuah Dunia Yang Dilipat, Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme. Bandung: Mizan Tago, Zainuddin, Mahli, 2014, Memperalat Agama, Pergeseran Rasionalitas Tindakan Sosial. Yogyakarta: Samudera Biru Weber, Max, 1930, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, New York: The Guernsey Press 45