TINJAUAN PUSTAKA Meranti Meranti adalah pohon berkayu yang berharga karena kualitas kayunya yang baik untuk dipergunakan sebagai bahan bangunan. Selain kayunya, getah (damar) dan buahnya (tengkawang) juga memiliki nilai ekonomi. Damar merupakan salah satu hasil metabolit sekunder dari pohon-pohon yang termasuk Dipterocarpaceae dan beberapa famili pohon hutan lainnya (Soekotjo 2007). Ada dua jenis damar yang dikenal berdasarkan kualitasnya. Pertama, damar batu sebagai damar yang bermutu rendah, berwarna coklat kehitaman yang keluar dengan sendirinya dari pohon yang terluka. Kedua, damar mata kucing yang bening atau kekuningan sebagai damar bermutu tinggi. Damar ini dipanen dengan cara melukai kulit pohon. Secara tradisional, damar digunakan sebagai bahan penerangan dan pendempul perahu, pembuatan dupa, bahan pewarna, perekat, bahan baku cat, industri batik tulis dan obat (Michon et al. 2000). Damar mata kucing sudah dibudidayakan oleh masyarakat Krui, yaitu wilayah yang terletak antara Lampung dan Bengkulu Selatan (Soekotjo 2007). Buah (tengkawang) mengandung lemak dapat dipergunakan sebagai bahan kosmetik, minyak makanan dan bahan baku obat-obatan (Sumadiwangsa 2001). Meranti tergolong pohon yang lambat beregenerasi dan memerlukan waktu yang cukup lama untuk sampai tahap siap disadap. Pohon ini belum dapat dimanfaatkan sebelum diameternya mencapai sekitar 25 cm. Regenerasi spontan sulit terjadi karena masa berbunganya jarang dan tidak teratur, dan bijinya tidak mengalami dormansi (Michon et al. 2000). Saat ini jumlah pohon meranti mulai berkurang sehingga ketersediaannya tidak sebanding dengan permintaan pasokan kayu untuk industri. Hal ini sesuai dengan laporan Kemenhut RI (2006) tentang adanya kesenjangan antara permintaan pasokan bahan baku dengan ketersediaan kayu untuk industri pengelolahan kayu berdiameter besar di Indonesia. Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi masalah ketersediaan kayu di Indonesia seperti silvikultur intensif dan soft landing. Siran (2007) menyatakan bahwa penerapan teknik silvikultur intensif pada sistem tebang pilih Indonesia atau tebang pilih tanam Indonesia diharapkan dapat menjamin kelestarian fungsi hutan secara ekonomis, sosial dan lingkungan. Cara lain yaitu soft landing yang 4 artinya mengurangi luas areal penebangan hutan secara bertahap. Di samping pengelolaan penebangan pohon, upaya melestarikan hutan adalah dengan penanaman. Sejak tahun 2005 pohon meranti ditanam dengan menerapkan teknik silvikultur intensif pada pengelolaan hutan alam dengan sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (Soekotjo 2007). Di Indonesia, terdapat tujuh jenis meranti (Shorea leprosula, S. parvifolia, S. johoriensis, S. platyclados, S. macrophylla, S. ovalis dan S. smithiana) yang dianggap memiliki prospek masa depan untuk membangun hutan tanaman komersial (Soekotjo 2007). Shorea leprosula (meranti tembaga) merupakan pohon meranti memiliki tajuk berwarna tembaga dengan tinggi pohon dapat mencapai 60 m dengan tinggi banir 1.5 m, diameter 100 cm dan tinggi batang bebas cabang 35 m, daun lonjong sampai bulat telur dengan panjang 8-14 cm serta lebar 3.5-4.5 cm. Musim berbuahnya hanya 3 sampai 5 tahun sekali (Joker 2002). Salah satu hasil penelitian yang telah dimanfaatkan secara luas khususnya yang berkaitan dengan penanaman meranti adalah pengadaan bibit melalui stek pucuk. Subiakto dan Sakai (2007) menyatakan bahwa stek pucuk merupakan teknik sederhana dalam perbanyakan tumbuhan secara vegetatif. Teknik ini memanfaatkan juvenilitas pucuk dari tumbuhan induk. Salah satu komponen silvikultur yang sedang dikembangkan adalah manipulasi mikroba tanah diantaranya kapang untuk menunjang kebugaran bibit. Dekomposisi Selulosa adalah komponen utama daun dan merupakan polimer yang tersusun atas unit-unit glukosa melalui ikatan α-1,4–glikosida. Kandungan selulosa di dalam dinding sel tanaman tingkat tinggi sekitar 35-50% dari berat kering tanaman. Selulosa berikatan dengan bahan lain yaitu lignin dan hemiselulosa membentuk lignoselulosa (Lynd et al. 2002). Mekanisme penguraian selulosa dapat ditunjukkan melalui proses yang melibatkan enzim selulase dan berlangsung dalam beberapa tahap. Pertama tahap menguraikan polimer selulosa secara random, kedua tahap penguraian selulosa 5 dari ujung pereduksi dan nonpereduksi, dan tahap terakhir adalah mengurai seloboisa menjadi glukosa (Lynd et al. 2002). Enzim selulase merupakan enzim kompleks yang terdiri dari tiga komponen. Endoglukanase atau dikenal 1,4-α–D-glukan-4-glucanohydrolase (EC 3.2.1.4), mengurai polimer selulosa secara random pada ikatan internal α-1,4glikosida untuk menghasilkan oligodekstrin dengan panjang rantai yang bervariasi sebagai tahap pertama. Eksoglukanase, termasuk 1,4-α–D-glukan-4- glucanohydrolase (EC 3.2.1.74) atau selodekstrinase dan 1,4-α–D-glukan-4glucanohydrolase (EC 3.2.1.91) atau selobiohidrolase, mengurai selulosa dari ujung pereduksi dan nonpereduksi untuk menghasilkan selobiosa dan glukosa sebagai tahap kedua. Enzim α-glukosidase (EC 3.2.1.21) atau α glukosida glukohidrolase mengurai selobiosa untuk menghasilkan glukosa sebagai tahap yang ketiga atau terakhir (Lynd et al. 2002). Komponen lain yaitu lignin juga diketahui berikatan dengan selulosa pada tanaman. Lignin menjadi salah satu dari polimer organik yang sangat lambat untuk didekomposisi dalam lingkungan karena struktur kimianya yang sangat kompleks (Erden et al. 2009). Kompleksitas struktur, bobot molekul yang tinggi dan sifat ketidaklarutan lignin dalam air membuat degradasi lignin sangat sulit. Degradasi lignin merupakan tahapan pembatas bagi kecepatan dan efisiensi yang berhubungan dengan selulosa (Simanungkalit et al. 2006). Tingkat degradasi lignin tergantung pada kondisi lingkungan dan jenis kapang yang terlibat (Mansur et al. 2003). Kapang memiliki kemampuan mendegradasi lignin karena kapang ini dapat menghasilkan enzim-enzim pendegradasi lignin. Mtui dan Nakamura (2007) menyatakan bahwa terdapat 3 kelompok utama enzim ekstraseluler yaitu manganase peroksidase, lignin peroksidase dan lakase. Kelompok enzim tersebut diyakini berperan penting pada kapang dalam mendegradasi lignin. Enzim lignolitik lainnya adalah fenoloksidase yang mengoksidasi gugus δ dan p-fenol serta gugus amina menjadi kuinon. Pada kelompok fenoloksidase terdapat enzim lakase dan tirosinase yang memberikan reaksi perubahan warna terhadap substansi fenolik 1-naftol dan p-kresol (Hutchinson 1990). 6 Proses dekomposisi terdiri dari tiga tahapan yang diikuti oleh perubahan distribusi populasi mikroba, yaitu tahap mesofilik (20-40oC), tahap termofilik (4080oC) dan tahap stabilisasi atau pendinginan (Silvia et al. 2005). Dekomposisi yang dilakukan koloni kapang pada tanaman hutan secara alami membutuhkan waktu yang cukup lama. Di alam proses dekomposisi oleh kapang dilakukan secara konsorsium. Osono et al. (2009) meneliti proses dekomposisi serasah di sekitar pohon meranti yang hidup di dalam hutan tropik musiman di Thailand. Kolonisasi kapang hanya meningkat 30% pada serasah daun selama proses dekomposisi yang berlangsung 9 bulan. Kapang Tanah Sebagai Dekomposer Sebagian besar kapang yang berasal dari serasah hutan adalah kapang penghuni tanah pengurai sisa-sisa organik makhluk hidup terutama tanaman menjadi unsur yang dapat digunakan kembali oleh tanaman. Lynd et al. (2002) menyatakan bahwa kapang diketahui melakukan dekomposisi selulosa secara aktif di alam dengan menghasilkan enzim selulose ekstraseluler. Kapang Aspergillus, Bulgaria, Chaethomium, Clodosporium, Coriolus, Fusarium, Geotrichum, Helotium, Myrothecium, Paecilomyces, Penicillium, Phanaerochaeta, Poria, Schizophyllium, Serpula, dan Trichoderma diketahui memiliki kemampuan mendekomposisi kayu. Keberadaan kapang dan mikroorganisme perombak bahan organik di dalam hutan sangat penting karena berperan dalam daur hara dari bahan organik yang telah mati untuk dikembalikan ke dalam tanah dan atmosfir. Mikroorganisme di dalam tumpukan bahan organik tidak dapat langsung menggunakan partikel organik tidak larut. Mikroorganisme memproduksi dua sistem enzim ekstraseluler yaitu sistem hidrolitik dan oksidatif. Sistem hidrolitik menghasilkan hidrolase dan berfungsi untuk degradasi selulosa dan hemiselulosa. Sistem oksidatif yang bersifat lignolitik berfungsi mendepolimerisasi lignin (Simanungkalit et al. 2006). Unsur-unsur N, P, K, Ca, Mg, dan lain-lain akan masuk kembali ke dalam tanah. Senyawa CH4 dan CO2 akan dilepaskan ke atmosfer. Unsur N, P, K, Ca dan Mg dalam tanah merupakan hara tanaman, sehingga siklus hara berjalan dan proses kehidupan di muka bumi ini dapat 7 berlangsung (Simanungkalit et al. 2006). Penicillium sp. dan Trichoderma sp. mampu menurunkan rasio C/N serasah meranti sebesar 66.61% dan 67% selama 3 minggu pengomposan (Imaningsih 2010). Kapang Tanah Sebagai Penghasil ZPT Mikroba yang menempati ekosistem rhizosfer diketahui memiliki peranan sebagai agen pemacu pertumbuhan tanaman dengan cara menghasilkan berbagai hormon, vitamin dan berbagai asam-asam organik dengan memanfaatkan substrat organik dan bahan organik atau eksudat tanaman sebagai sumber energi dan nutrisinya (Hindersah dan Simarmarta 2004). Hormon pertumbuhan adalah senyawa-senyawa organik tumbuhan yang dalam konsentrasi yang rendah mempengaruhi proses-proses fisiologis. Prosesproses fisiologis ini terutama proses pertumbuhan, diferensiasi dan perkembangan tanaman (Davies 2004). Hormon pertumbuhan yang telah dikenal diantaranya auksin, giberelin, sitokinin, asam absisat dan gas etilen (Taiz & Zeiger 2002; Davies 2004). Perkembangan pengetahuan biokimia dan dengan majunya industri kimia, banyak senyawa-senyawa yang mempunyai pengaruh fisiologis yang serupa dengan hormon tanaman ditemukan. Senyawa-senyawa sintetik ini pada umumnya dikenal dengan nama Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) tanaman (Widyastuti & Tjokrokusumo 2001) Auksin berfungsi dalam: (1) inisiasi pembentukan akar lateral dan adventif; (2) perpanjangan sel dan pelenturan dinding sel; (3) diferensiasi sel, misalnya merangsang diferensiasi pada pada jaringan berkas pengangkut; (4) mempengaruhi dominasi apikal; dan (5) pada kondisi tertentu merangsang pembentukan gas etilen (Taiz & Zeiger 2002; Davies 2004). Salah satu peranan penting auksin adalah berhubungan dengan proses memacu perkembangan meristem akar adventif. Auksin secara alami dihasilkan oleh tumbuhan, seperti AIA (Indole-acetic acid), PAA (Phenyl-acetic acid), 4chloroAIA (4-chloro-indole acetic acid) dan IBA (Indolebutyric acid) (Stern et al. 2003). Reagen Salkowski dapat digunakan untuk mendeteksi dihasilkannya AIA, karena reagen ini umum digunakan untuk mendeteksi komponen indolik (Glickmann & Dessaux 1995). 8 Pembentukan AIA melalui dua jalur (Taiz & Zeiger 2002; Davies 2004; Woodward & Bartel 2005) yaitu lintasan bergantung triptofan dan lintasan tidak bergantung triptofan (Gambar 1) Antranilat sintase Khorismat Antranilat PRtransferase Antranilat PR antranilat isomerase 5-fosforibosilantranilat 1-(o-karboksifenilamino) deoksiribosa 5-P Indol gliserol fosfat sintase Triptofan sintase α Serin + Indol Triptofan sintase β 3-indol asetaldoksim Triptofan dekarboksilase 3-Indol gliserol fosfat Indol sintase Triptofan monooksigenase Indol Triptofan Triptofan transaminase 3-indol asetamat Triptamin Asam 3-indol piruvat Amin oksidase Asam 3-indol piruvat dekarboksilase 3-indol asetamat hidrolase Asam 3-indol asetaldehid 3-indol asetonitril Nitrilase (a) Asam 3-indol asetaldehid dehidrogenase (a) (a) (b) Asam 3-indol asetat (AIA) Gambar 1 Skema lintasan pembentukan AIA (a) lintasan bergantung triptofan (b) lintasan tidak bergantung triptofan (Taiz & Zeiger 2002; Davies 2004; Woodward & Bartel 2005). Mikroorganisme juga diketahui mampu menghasilkan AIA selain oleh tumbuhan (Sridevi & Mallaiah 2007). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kapang asal serasah hutan mampu menghasilkan ZPT terutama hormon auksin yaitu AIA seperti Sclerotium (Sarma et al. 2003), Fusarium (Hasan 2002) dan T. virens serta T. atroviridae (Cornejo et al. 2009). 9 Kompos Kompos diperoleh dari proses dekomposisi bahan organik. Pengomposan didefinisikan sebagai proses biokimiawi yang melibatkan jasad renik sebagai agen yang merombak bahan organik menjadi bahan yang mirip humus. Kompos yang dimanfaatkan sebagai pupuk dan pembenah tanah. Kompos memiliki keunggulankeunggulan yang tidak dapat digantikan oleh pupuk kimiawi, yaitu mampu mengurangi kepadatan tanah, meningkatkan penyerapan hara dan kemampuan mengikat air sehingga tanah menjadi gembur dapat menyimpan air lebih lama, menahan erosi tanah, mengurangi pencucian hara serta menciptakan kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan jasad penghuni tanah seperti cacing dan mikroba tanah yang sangat berguna bagi kesuburan tanah (Aminah et al. 2003). Proses pengomposan berlangsung pada kondisi aerob dan anaerob. Pengomposan aerob merupakan pengomposan bahan organik dengan menggunakan O2. Hasil akhir pengomposan anaerob terutama berupa CH4 dan CO2 serta sejumlah senyawa hasil antara yang menimbulkan bau busuk karena adanya H2S dan sulfur organik seperti merkaptan (Simanungkalit et al. 2006). Silvia et al. (2005) menambahkan bahwa proses pengomposan melibatkan bahan organik yang tidak stabil, udara dan air. Akhir pengomposan akan menghasilkan bahan organik yang stabil (seperti humus), adanya panas, gas-gas seperti CO2 dan NH3 serta biomasa dari mikroba. Keuntungan utama dari pengomposan adalah adanya proses sanitasi. Hal ini dapat berhubungan dengan penghilangan patogen, larva serangga, parasit, bibit rumput liar dan kompos menjadi berisi bioenergi tersedia dari sampah yang tereduksi (Silvia et al. 2005). Metode pengomposan bahan organik meliputi metode indore (indore heap method dan indore pit method), metode Barkeley (untuk bahan-bahan yang berselulosa tinggi atau C/N rasio tinggi) dan metode Jepang (Aminah et al. 2003). Metode pengomposan secara indore sesuai untuk diterapkan di daerah yang bercurah hujan tinggi dengan proses pengomposan berlangsung selama lebih kurang 3 bulan. Indore heap method (bahan kompos di atas tanah) dilakukan dengan cara penimbunan bahan–bahan kompos secara berlapis-lapis setebal 10-25 10 cm dan bagian atasnya ditutupi kotoran ternak untuk mengaktifkan proses, kemudian timbunan disiram dengan campuran pupuk kandang dan abu, serta dibiarkan selama 3 bulan. Pembalikan pada hari ke 15, 30 dan 60 agar laju pengomposan lebih cepat. Indore pit method (bahan dipendam di dalam tanah) dilakukan dengan cara pemendaman bahan kompos pada lubang galian di tempat yang relatif tinggi. Bahan dasar kompos yang mudah terdekomposisi disebar secara merata di dalam lubang, diikuti kotoran ternak, tanah dan kompos matang, kemudian bahan kompos dibasahi secukupnya. Pembalikan dilakukan pada hari ke 15, 30 dan 60 disertai pembasahan agar kelembaban bahan terjaga. Pada metode Barkeley, bahan kompos ditimbun secara berlapis-lapis dengan lapisan bawah adalah kompos yang ber C/N rendah diikuti bahan yang ber C/N tinggi. Pada hari kedua atau ketiga akan terjadi peningkatan suhu, kemudian timbunan dibalik. Pembalikan selanjutnya dilakukan pada hari ketujuh dan kesepuluh, dan dalam tiga minggu kompos telah masak. Pada metode Jepang, bahan kompos ditumpuk di dalam bak penampung yang terbuat dari kawat, atau bambu atau kayu yang disusun secara bertingkat. Bagian dasar bak dilapisi bahan kedap air agar terhindar dari pencucian unsur hara ke dalam tanah di bawahnya. Bahan dasar kompos terdiri dari kotoran ternak, rumput atau limbah rumah tangga. Proses dekomposisi bahan organik sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan diantaranya suhu, pH dan substrat dan nisbah C/N. Kompos sebagai bentuk akhir bahan-bahan organik setelah mengalami dekomposisi untuk dapat digunakan oleh masyarakat harus memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). Kompos yang memenuhi SNI memiliki kriteria sebagai berikut: rasio C/N mempunyai nilai (10-20):1, suhu harus sesuai dengan suhu air tanah, berwarna kehitaman dengan tekstur seperti tanah, berbau tanah, tidak mengandung semua bahan pengotor organik dan anorganik (logam, gelas, plastik dan karet). Karakteristik lainnya dari kompos adalah kandungan bahan organik dalam kompos minimal 27%. Kadar air yang diperbolehkan dalam kompos maksimal 50% (Standar Nasional Indonesia 2004).