Sosialisai Pengelolaan Hutan Mangrove… SOSIALISASI PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KESADARAN SISWA DAN MASYARAKAT AKAN DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN MANGROVE (Studi Kasus Di Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan) Astuti Muh.Amin1, Mimien Henie Irawati2, Fatchur Rohman2, Istamar Syamsuri2 1 Universitas Pejuang Republik Indonesia, 2 Universitas Negeri Malang [email protected] ABSTRAK Luas hutan mangrove di Provinsi Sulawesi Selatan terus berkurang, terutama tergusur oleh areal tambak. Permasalahan utama yang ditemukan yaitu adanya penebangan mangrove yang dilakukan dalam rangka pembukaan lahan tambak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) Kondisi latar belakang pendidikan, pengetahuan ekosistem mangrove, sikap, perilaku masyarakat pesisir di kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan; (2) Faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan ekosistem mangrove di Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan; (3) Upaya penanganan kerusakan hutan mangrove di Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan. Metode pengumpulan data antara lain: teknik wawancara; angket; sosialisasi di sekolah dan masyarakat. Berdasarkan hasil angket pada 77 responden masyarakat di Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto diperoleh data latar belakang pendidikan yakni 3,90% responden tidak tamat SD; 10,39% tamat SD; 5,19% tidak tamat SMP; 10,39% tamat SMP; 27,27% tidak tamat SMA; 33,77% tamat SMA dan 9,09% tamat perguruan tinggi. Rekapitulasi data untuk pengetahuan dasar masyarakat mengenai ekosistem mangrove diperoleh fakta bahwa 40,26% sangat rendah, 37,66% rendah, 18,18% cukup, 3,90% tinggi. Sedangkan sikap masyarakat terhadap ekosistem mangrove yakni 7,79% sangat rendah; 11,69% rendah; 44,16% cukup; 36,36% tinggi. Perilaku/kebiasaan masyarakat terhadap ekosistem mangrove yakni 11,69% sangat rendah; 11,69% rendah; 36,36% cukup; 36,36% tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya masyarakat terhadap pelestarian ekosistem mangrove yakni 15,58% sangat rendah; 9,09% rendah; 49,35% cukup; 25,97% tinggi. Kerusakan hutan mangrove di pesisir pantai Kabupaten Jeneponto dipengaruhi oleh alih fungsi lahan tambak, (3) Pentingnya sosialisasi pelestarian dan pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan baik di lingkungan sekolah dan masyarakat. Kata kunci: sosialisasi, mangrove, Jeneponto, fungsi, lahan PENDAHULUAN Wilayah pesisir umumnya memiliki kompleksitas yang tinggi, baik secara ekonomi maupun secara ekologi (Bengen, 2004). Berbagai ragam bentuk aktivitas masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam pesisir di bidang perekonomian seperti kegiatan budidaya ikan dan udang di tambak, budidaya rumput laut, budidaya kepiting, tambak garam, pariwisata, industri, pemukiman dan berbagai aktivitas lainnya. Pola pemanfaatan yang bersifat tidak ramah lingkungan akan mengancam keberadaan ekosistem mangrove. Demikian pula pola pembangunan suatu daerah akan mempengaruhi kelestarian sumberdaya hutan mangrove (Gumilar, 2012). Aktivitas di wilayah pesisir ini berpotensi menimbulkan dampak yang kurang baik terhadap keberlanjutan ekologi di wilayah pesisir terutama ekosistem mangrove. Data Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) pada 2008 dari Direktoral Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (Ditjen RLPS), Dephut pada 2000 luas potensial hutan mangrove Indonesia adalah 9,20 juta hektar, berkondisi baik 2,54 juta hektar, Prosiding Seminar Nasional Biologi 2016_ ISBN: 978‐602‐0951‐11‐9 kondisi rusak sedang 4,51 juta hektar dan kondisi rusak 2,14 juta hektar (Tribun timur, 2015) . Kondisi hutan mangrove di Sulawesi Selatan saat ini secara keseluruhan sudah cukup parah, meskipun belum separah kondisi hutan mangrove di Jakarta. Luas hutan mangrove di Provinsi Sulawesi Selatan terus berkurang, terutama tergusur oleh areal tambak dan pemukiman. Dengan panjang pantai lebih kurang 1.000 km dari barat ke timur, luas hutan mangrove di Sulawesi Selatan hanya sekitar 30.000 ha. Untuk mencapai luas hutan mangrove yang ideal, wilayah Sulawesi Selatan memerlukan luas 50.000 ha hutan mangrove (Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan, 2006). Kabupaten Jeneponto terletek di ujung bagian barat dari wilayah Propinsi Sulawesi selatan dan merupakan daerah pesisir pantai yang terbentang sepanjang ± 95 di bagian selatan. Secara geografis terletek diantara 50 16’ 13” – 50 39’ 35” Lintang Selatan dan 120 40’ 19” – 120 7’ 51” Bujur Timur. Ditinjau dari batas-batasnya maka pada sebelah Utara berbatasan dengan Gowa, sebelah selatan berbatasan dengan Laut 330 Sosialisai Pengelolaan Hutan Mangrove… Flores, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Takalar dan sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bantaeng. (http://jenepontokab.go.id, 2015). Wilayah Kabupaten Jeneponto relatif tidak memiliki kesamaan umum dengan karakter topografis kabupaten lain di Propinsi Sulawesi Selatan. Pada umumnya wilayah Sulawesi Selatan mengalami musim barat berlangsung dalam bulan September sampai dengan Februari, sedangkan Kabupaten Jeneponto mengalami musim barat antara bulan Desember sampai Maret, sehingga musim hujan relatif cukup pendek. Oleh karena itu wilayah ini dikenal pula sebagai daerah kering, terutama di wilayah selatan. Pengaruh musim tersebut cukup berpengaruh pada seluruh aktivitas wilayah pertanian dan wilayah pesisir serta taraf kesejahteraan masyarakat. Wilayah selatan jeneponto ini dikenal cukup tandus apalagi saat musim kemarau tiba untuk kondisi di daerah pesisir pantai. Oleh sebab itu, sebagian besar mata pencaharian masyarakat Jeneponto adalah nelayan dan petani garam. Permasalahan utama yang ditemukan yaitu adanya penebangan mangrove yang dilakukan oleh para petani garam dalam rangka pembukaan lahan tambak garam. Meningkatnya permintaan terhadap produksi garam pada musim kemarau merupakan alasan bagi para petani untuk membuka lahan tambak yang luas. Dalam situasi seperti ini, habitat dasar dan fungsi hutan mangrove menjadi hilang dan kehilangan ini jauh lebih besar dari nilai penggantinya (Supriharyono, 2002). Secara turuntemurun masyarakat menganggap bahwa hutan mangrove sebagai lahan kosong (lahan tidak bermanfaat) sehingga seringkali dengan sengaja dialih fungsikan menjadi peruntukan lain yang dianggap lebih menguntungkan, misalnya untuk daerah pertanian, atau untuk aquakultur (Franks and Falcover, 1999). Tingkat pengetahuan dan sikap sangat mempengaruhi perilaku dan peran serta masyarakat terhadap kelestarian sumber daya alam. Abdurrajak (1983) berpendapat, pengetahuan berhubungan dengan perilaku, hubungan keduanya diperoleh melalui hubungan antara komponen kognitif dengan tingkah laku, karena pada dasarnya perilaku merupakan salah satu bentuk kebiasaan, yaitu perbuatan yang berulangkali dikerjakan. Sikap merupakan aspek penting dalam menentukan tindakan seseorang karena sikap seseorang akan membentuk arah perilaku dan tindakannya. Untuk mencapai tindakan masyarakat atau individu kearah kondisi sikap yang diharapkan perlu adanya pembinaan. Sikap merupakan suatu hasil dan proses individualisasi dan sosialisasi, perubahan sikap ini sangat dipengaruhi oleh faktor internal berupa unsur biologis dan psikologis, dan kondisi eksternal seperti kondisi lingkungan sosial. Prosiding Seminar Nasional Biologi 2016_ ISBN: 978‐602‐0951‐11‐9 Sikap adalah sebagai salah satu fungsi instrumental atau fungsi manfaat, akan positif bila ada manfaatnya. Terkait dengan upaya pengelolaan mangrove, sikap, perilaku dan peran serta seseorang dipengaruhi oleh keyakinan terhadap manfaat dan akibat-akibat yang akan menimpanya apabila hutan mangrove menjadi rusak akibat perbuatan mereka. Notoatmojo (1997) menyatakan salah satu yang menentukan perilaku masyarakat adalah pengetahuan. Tanpa latar belakang pengetahuan yang memadai untuk dapat berpikir secara rasional, bersikap dan berperilaku baik terhadap pentingnya pengelolaan mangrove, tidak akan menunjukkan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Kondisi demikian didukung hasil penelitian Kaunang (1999) yang menunjukkan adanya hubungan antara pengetahuan, sikap, motivasi dan peran serta masyarakat dalam upaya pelestarian mangrove, semakin tinggi pengetahuan, sikap dan motivasi, semakin tinggi pula peran sertanya dalam upaya pelestarian mangrove. Sementara itu hasil penelitian Sari, 1999; Syaban, 2007; Hardianti, 2014 menemukan faktor pengetahuan sangat dominan dalam mempengaruhi sikap dan partisipasi masyarakat dalam suatu kegiatan pelestarian ekosistem mangrove. Pemikiran strategis dalam pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir memiliki kebijakan pembangunan yang berorientasikan pada Ideologi Produktivitas yang berkiblat pada paradigma pertumbuhan ekonomi serta cenderung over eksploitas harus dihentikan dan di redefinisi. Masalah pengelolaan yang memperhatikan aspek konservasi lingkungan sumberdaya laut dan pesisir lebih dikedepankan dan disosialisasikan secara luas kepada penentu kebijakan dan masyarakat pesisir sehingga mereka memiliki persepsi yang sama dalam melihat permasalahan yang ada di daerah pesisir. Berbagai pihak harus memiliki komitmen yang tinggi dan konsisten dalam menegakkan peraturan hukum yang berlaku, seperti mengamankan pelaksanaan Undang-undang No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Undang-undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil. Tanpa Penegakan hukum yang tegas, khususnya oleh Aparatur Negara, sangat sulit dihindari terjadinya persoalan sosial ekonomi dan kekerasan masal dari kelompok masyarakat yang merasa dirugikan oleh praktik-praktik pelanggaran hukum tersebut. Masalah pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove merupakan tanggungjawab seluruh elemen, baik itu pemerintah maupun masyarakat. Salahsatu upaya yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan di Kabupaten Jeneponto adalah melakukan sosialisasi mengenai fungsi, dampak dan pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan. Kegiatan tersebut juga disertai dengan pembagian brosur, handout materi ekosistem 331 Sosialisai Pengelolaan Hutan Mangrove… mangrove, dan booklet teknik merehabilitasi hutan mangrove. Dengan memperhatikan paparan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana kondisi latar belakang pendidikan, pengetahuan ekosistem mangrove, sikap, perilaku masyarakat pesisir di kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan? (2) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kerusakan ekosistem mangrove di Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan? (3) Bagaimana upaya penanganan kerusakan hutan mangrove di Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan? METODE PENELITIAN Lokasi penelitian adalah Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan dengan waktu empat belas hari (2 minggu) efektif di lapangan pada tanggal 7 November 2015 sampai 21 November 2015. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini antara lain: (1) Teknik wawancara langsung dibantu alat kuesioner untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kerusakan ekosistem mangrove; (2) angket untuk mengetahui kondisi latar belakang pendidikan, pengetahuan ekosistem mangrove, sikap, perilaku masyarakat, persepsi masyarakat terhadap ekosistem mangrove; (3) sosialisasi di sekolah dan masyarakat tentang pentingnya pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove berkelanjutan. Pengambilan responden dilakukan secara purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Penentuan jumlah responden meenggunakan rumus Slovin (Kusmayadi dan Endar, 2000). HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Latar Belakang Pendidikan, Pengetahuan Ekosistem Mangrove, Sikap, Perilaku Masyarakat Pesisir di Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan. 1. Latar Belakang Pendidikan Data latar belakang pendidikan responden dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini: Tabel 1. Latar Belakang Pendidikan Responden No 1 2 3 4 5 6 7 Tingkat Pendidikan Frekuensi Tidak sekolah/ Tidak tamat SD 3 Sekolah Dasar 8 Tidak Tamat SMP 4 Sekolah Menengah Pertama 8 Tidak Tamat SMA 21 Sekolah Menengah Atas 26 Perguruan Tinggi 7 % 3,90 10,39 5,19 10,39 27,27 33,77 9,09 Prosiding Seminar Nasional Biologi 2016_ ISBN: 978‐602‐0951‐11‐9 2. Pengetahuan Ekosistem Mangrove Rekapitulasi data pengetahuan ekosistem mangrove pada masyarakat di Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan. Tabel 2. Rekapitulasi Data Pengetahuan Ekosistem Mangrove Responden No Interval 1 0-49 2 50-54 3 55-69 4 70-84 5 85-100 Kategori Sangat Rendah Rendah Cukup Tinggi Sangat Tinggi Frekuensi % 31 40,26 29 37,66 14 18,18 3 3,90 0 0 3. Sikap Berikut ini disajikan rekapitulasi data sikap masyarakat di Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan. Tabel 3. Rekapitulasi Data Sikap Masyarakat terhadap Ekosistem Mangrove No Interval 1 2 3 4 <40 40-55 56-75 76-100 Kategori Sangat Rendah Rendah Cukup Tinggi Frekue nsi 6 9 34 28 % 7,79 11,69 44,16 36,36 4. Perilaku Berikut ini disajikan rekapitulasi data perilaku masyarakat di Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan. Tabel 4. Rekapitulasi Data Perilaku Masyarakat terhadap Ekosistem Mangrove No Interval 1 <40 2 40-55 3 56-75 4 76-100 Kategori Sangat Rendah Rendah Cukup Tinggi Frekuensi 9 9 28 28 % 11,69 11,69 36,36 36,36 5. Upaya pelestarian mangrove Berikut ini disajikan rekapitulasi data upaya pelestarian mangrove masyarakat di Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan. Tabel 5. Rekapitulasi Data Upaya Pelestarian Mangrove No Interval 1 <40 2 40-55 3 56-75 4 76-100 Kategori Sangat Rendah Rendah Cukup Tinggi Frekuensi 12 7 38 20 % 15,58 9,09 49,35 25,97 Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kerusakan hutan mangrove di Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan. 1. Alih Fungsi Hutan Mangrove Sebagai Tambak Garam Secara administratif, Kabupaten Jeneponto memiliki 11 wilayah kecamatan dengan luas wilayah 74.979 ha atau 749,79 Km2. Usaha tambak garam 332 Sosialisai Pengelolaan Hutan Mangrove… terkonsentrasi pada 4 kecamatan di Kabupaten Jeneponto yaitu Kecamatan Bangkala Barat, Kecamatan Bangkala, Kecamatan Tamalatea dan Kecamatan Arungkeke. Luas Areal Penggaraman dan Rata-rata Produksi Garam di Kabupaten Jeneponto Tahun 2010 – 2013 dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 6. Luas Areal Penggaraman dan Rata-rata Produksi Garam di Kabupaten Jeneponto Tahun 2010 - 2013. No Uraian 1 Luas Areal Penggaraman (ha) 2 Unit Usaha garam 3 Tenaga Kerja (orang) 4 Produksi Garam (ton) Sumber: 2010 556,5 5 861 2.162 2011 591,5 6 820 2.278 2012 591,5 6 820 2.278 2013 622,6 6 850 2.345 29.64 7,50 41.30 4,50 37.87 7,90 15.20 2,50 Dinas petindustrian, Pertambangan & Energi Jeneponto, 2013. Perdagangan, Daerah Kab. 2. Persepsi Masyarakat Terhadap Kondisi Hutan Magrove Persepsi merupakan suatu proses pengenalan maupun proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh individual. Berikut ini disajikan tabel persepsi masyarakat terhadap kondisi hutan mangrove. Tabel 7. Tanggapan masyarakat terhadap kondisi sumberdaya hutan mangrove di kecamatan Binamu kabupaten Jeneponto Aspek penilaian Luas mangrove Perkembangan mangove Penyebab kerusakan mangrove a. b. c. a. b. c. a. b. c. d. Dampak kerusakan mangrove a. b. c. Rehabilitasi mangrove a. b. c. Tanggapan masyarakat Berkurang Tetap Bertambah Lebih buruk Tetap Lebih baik Hama penyakit Ombak, angin Pembukaan lahan tambak garam Pembukaan lahan tambak ikan Abrasi Tergenang Pendapatan berkurang Gagal Kurang berhasil Berhasil Respond en 74 1 2 63 10 4 1 21 45 10 Persentase 56 6 15 72,73 % 7,79 % 19,48 % 27 42 8 96,10 % 1,30 % 2,60 % 81,82 % 12,99 % 5,19 % 1,30 % 27,27 % 58,44 % 12,99 % 35,06 % 54,55 % 10,39 % Prosiding Seminar Nasional Biologi 2016_ ISBN: 978‐602‐0951‐11‐9 Upaya Penanganan Kerusakan Hutan Mangrove Di Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan. Sosialisasi konservasi mangrove, dilakukan dengan mengikutsertakan mahasiswa, guru dan tokoh masyarakat setempat. Keikutsertaan mereka, akan memberikan dampak positif secara langsung sehingga bisa terus menerus terlibat dalam pemeliharaan mangrove secara berkelanjutan. Setiap anggota masyarakat yang hadir diberikan beberapa buah fasilitas seperti brosur ajakan untuk mengenal mangrove, stiker, booklet tentang rehabilitasi mangrove. Sosialisasi ini dihadiri oleh masyarakat pesisir di Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto yang dominan bermata pencaharian petani tambak garam dan nelayan. Selain itu juga dilakukan sosialisasi di Sekolah Menengah Atas Kabupaten Jeneponto yang melibatkan dosen dan mahasiswa. Berdasarkan hasil angket pada 77 responden masyarakat di Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto diperoleh data latar belakang pendidikan yakni 3,90% responden tidak tamat SD; 10,39% tamat SD; 5,19% tidak tamat SMP; 10,39% tamat SMP; 27,27% tidak tamat SMA; 33,77% tamat SMA dan 9,09% tamat perguruan tinggi. Tingkat pendidikan sangat menentukan pengetahuan dasar masyarakat mengenai ekosistem mangrove. Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dan tingkat kosmopolitan dengan persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan mangrove (Kadhapi dkk, 2015). Berdasarkan hasil penelitian terhadap pengetahuan dasar masyarakat mengenai ekosistem mangrove diperoleh fakta bahwa 40,26% sangat rendah, 37,66% rendah, 18,18% cukup, 3,90% tinggi. Responden yang memiliki persepsi sedang ialah responden yang mengetahui keberadaan kawasan hutan mangrove dan merasakan adanya manfaat dari keberadaan kawasan hutan mangrove namun tidak sepenuhnya memahami dan mengetahui tujuan dan fungsi adanya kawasan hutan mangrove tersebut. Tanggapan terhadap sesuatu atau proses menyadari adanya hal-hal baru dan memberikan tanggapan atas hal tersebut. Tetapi juga rangsangan persepsi tidak hanya tergantung pada rangsangan fisik tatapi berhubungan dengan lingkungan sekitar dan keadaan individu yang bersangkutan. Persepsi seseorang muncul terhadap suatu objek bersifat spontan sesuai dengan apa yang ada di dalam pikirannya yang didasari keyakinan kuat (Barkah,2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap masyarakat terhadap ekosistem mangrove yakni 7,79% sangat rendah; 11,69% rendah; 44,16% cukup; 36,36% tinggi. Pendidikan dapat merubah sikap seseorang, seperti sikap mudah menerima, berorientasi ke masa depan dan sikap yang selalu berusaha mencapai sasaran 333 Sosialisai Pengelolaan Hutan Mangrove… yang lebih baik. Disamping itu pendidikan dapat meningkatkan keahlian dan keterampilan dan keterampilan baru, baik di bidang professional maupun keahlian berorganisasi, selanjutnya secara individu pendidikan mempunyai dua pengaruh utama, yaitu pertama memberikan pengetahuan tertentu dan keahlian berfikir umum, dan kedua mendorong perubahan nilainilai, keyakinan serta sikap seseorang terhadap pekerjaan dan tanggungjawab sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku/kebiasaan masyarakat terhadap ekosistem mangrove yakni 11,69% sangat rendah; 11,69% rendah; 36,36% cukup; 36,36% tinggi. Selain pendidikan dan pengetahuan, sikap juga merupakan salahsatu predisposisi dari perilaku. Bila sikapnya positif tentu akan menimbulkan perilaku positif terhadap hutan mangrove. Setelah timbulnya berbagai masalah akibat eksploitasi sumberdaya alam (SDA) pada kawasan pantai seperti rusaknya hutan mangrovedi masa lalu, barulah disadari bahwa diperlukan upaya-upaya pengenalan, pemahaman, kesadaran dan kecintaan masyarakat pada lingkungan pantai dan ekosistem mangrove, sehingga keinginan untuk mendayakan kawasan pantai dapat semakin tumbuh dan berkembang dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan SDA-nya serta kelestarian lingkungan. Sikap individu ikut memegang peranan dalam menentukan bagaimanakah perilaku seseorang di lingkungannya. Pada gilirannya, lingkungan secara timbal balik akan mempengaruhi sikap dan perilaku. Interaksi antara situasi lingkungan dengan sikap, dengan berbagai faktor di dalam maupun di luar diri individu akan membentuk suatu proses kompleks yang akhirnya menentukan bentuk perilaku seseorang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya masyarakat terhadap pelestarian ekosistem mangrove yakni 15,58% sangat rendah; 9,09% rendah; 49,35% cukup; 25,97% tinggi. Melalui sosialisasi/penyuluhan, dan pembinaan yang berkesinambungan dapat menjadikan orang yang berpengetahuan dapat memahami pentingnya melestarikan mangrove, mereka aktif berperan dalam program penanaman mangrove serta menjaganya secara bersama-sama. Dengan demikian dapat menjadi pribadi yang baik. Pengembangan pengetahuan masyarakat merupakan harkat dan martabat pendidikan, mempunyai potensi yang cukup besar dalam mentransmisi pengetahuan guna memanfaatkan dan melestarikan lingkungan alam. Berdasarkan hasil analisis terhadap data kualitatif yang diperoleh dari tanggapan masyarakat responden yang bermukim dan beraktivitas di lokasi penelitian diketahui sebanyak 96,10% mengatakan luas mangrove berkurang; 1,30% tetap; dan 2,60% mengatakan bertambah bertambah. Prosiding Seminar Nasional Biologi 2016_ ISBN: 978‐602‐0951‐11‐9 Tanaman mangrove mempunyai fungsi yang sangat penting secara ekologi dan ekonomi, baik untuk masyarakat lokal, regional, nasional maupun global. Dengan demikian, keberadaan sumber daya mangrove perlu diatur dan ditata pemanfaatannya secara bertanggung jawab sehingga kelestariannya dapat dipertahankan. Inoue et al. (1999) melaporkan bahwa di Indonesia terdapat sekitar 75 spesies vegetasi mangrove yang tersebar di 27 propinsi. Selanjutnya Suryati et al. (2001) melaporkan, beberapa vegetasi mangrove seperti Osbornia octodonta, Exoecaria agalocha, Acanthus ilicifolius, Avicenniaalba, Euphatorium inulifolium, Carberamanghas, dan Soneratia caseolaris mengandung zat bioaktif yang dapat dijadikan bahan untuk penanggulangan penyakit bakteri pada budi daya udang windu. Mangrove dapat berfungsi sebagai biofilter serta agen pengikat dan perangkap polusi. Mangrove juga merupakan tempat hidup berbagai jenis gastropoda, ikan, kepiting pemakan detritus dan bivalvia juga ikan pemakan plankton sehingga mangrove berfungsi sebagai biofilter alami (Gunarto, 2004). Menurut hasil penelitian diperoleh informasi bahwa 58,44% penyebab kerusakan mangrove adalah pembukaan lahan tambak garam. Hasil wawancara pada salahsatu petani garam menyatakan bahwa mereka menebang mangrove agar dapat membuat tambak garam sehingga nantinya menghasilkan uang. Kondisi daerah mereka yang kering sehingga tidak cocok untuk mengandalkan sektor pertanian sebagai mata pencaharian. Dampak negatif yang ditimbulkan akibat kerusakan hutan mangrove yang diketahui dan pernah dialami serta dirasakan oleh masyarakat responden berdasarkan hasil angket dan wawancara yaitu sebanyak 72,73%% menjawab kehilangan beberapa meter areal perkampungan sekitar pesisir pantai dan tambak akibat abrasi, 7,79% menjawab terjadi genangan pasang air laut di sekitar tempat tinggal (ditelan rob), dan sebanyak 19,48% menjawab akan mengurangi pendapatan mereka. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut jelas bahwa dengan rusak dan berkurangnya tegakan hutan mangrove akan mengakibatkan kehilangan manfaat fungsi fisik, fungsi ekologi, dan fungsi ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan mangrove. Wilayah pesisir merupakan pertemuan antara wilayah laut dan wilayah darat, dimana daerah ini merupakan daerah interaksi antara ekosistem darat dan ekosistem laut yang sangat dinamis dan saling mempengaruhi, wilayah ini sangat intensif dimanfaatkan untuk kegiatan manusia seperti: pusat pemerintahan, permukiman, industri, pelabuhan, pertambakan, pertanian dan pariwisata. Sebetulnya pantai mempunyai 334 Sosialisai Pengelolaan Hutan Mangrove… keseimbangan dinamis yaitu cenderung menyesuaikan bentuk profilnya sedemikian sehingga mampu menghancurkan energi gelombang yang datang. Gelombang normal yang datang akan mudah dihancurkan oleh mekanisme pantai, sedang gelombang besar/badai yang mempunyai energi besar walaupun terjadi dalam waktu singkat akan menimbulkan erosi. Kondisi berikutnya akan terjadi dua kemungkinan yaitu pantai kembali seperti semula oleh gelombang normal atau material terangkut ketempat lain dan tidak kembali lagi sehingga disatu tempat timbul erosi dan di tempat lain akan menyebabkan sedimentasi (Pranoto, 2007). Perubahan iklim global memainkan peran penting dalam moderator kapasitas mangrove untuk jasa ekosistem. Mangrove merespon dan menyesuaikan diri dengan kenaikan permukaan laut melalui produksi akar yang dapat dipengaruhi oleh ketersediaan hara (McKee et al., 2007). Sementara mangrove umumnya mampu mengimbangi peningkatan genangan (Alongi, 2009). Kenaikan permukaan laut secara signifikan dapat mengurangi kawasan mangrove dunia (Heatherington & Bishop, 2012). Intrusi mangrove ke area tambak garam terjadi di mana habitat ini hidup bersama; yang terakhir mungkin akan hilang karena terus-menerus terjadi pembangunan infrastruktur di wilayah pesisir (Lee, 2014). Proyeksi luasan abrasi di pesisir pantai kabupaten Jeneponto pada tahun 2013 diperkiran seluas 116.307 m2, Mangrove banyak terdapat di kabupaten Jeneponto, tepatnya di bagian selatan dengan kondisi geografis yang cukup kritis karena curah hujan rendah dan panas yang terik. Karena kondisi lingkungan ini, maka sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani garam dan sebagian lagi sebagai wiraswasta dan pekerja kantoran. Masyarakat yang kesehariannya bekerja sebagai petani garam mengolah tambak dengan cara mengairi air laut dan dibiarkan mengering sampai terbentuk kristal garam. Selain melakukan aktivitas bertani garam, ternyata dari hasil observasi dan wawancara dengan petani dan tokoh masyarakat Jeneponto, menunjukkan bahwa mereka membuka tambak dengan cara menebang mangrove, dan tidak hanya itu mereka juga membabat hutan mangrove sampai habis sehingga daerah laut dan darat tidak memiliki pemisah (mangrove). Pembukaan tambak garam dengan melakukan penebangan mangrove dilakukan oleh masyarakat karena kekurangtahuan mereka akan pentingnya mangrove bagi lingkungan, dan mereka sadar akan pentingnya mangrove setelah terjadi abrasi dan berdampak naiknya air laut kepemukiman warga (Bachtiar, 2014). Pengetahuan konservasi dengan persepsi masyarakat tentang kegiatan penanaman mangrove Prosiding Seminar Nasional Biologi 2016_ ISBN: 978‐602‐0951‐11‐9 menunjukkan kekuatan hubungan yang sangat rendah karena persepsi dapat dibentuk dari berbagai faktor, bukan hanya pengetahuan. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal diantaranya kebutuhan psikologis, latar belakang, kepribadian, sikap dan kepercayaan diri, serta penerimaan diri. Sedangkan faktor eksternal diantaranya intensitas, ukuran, kontras, gerakan, ulangan, dan keakraban serta sesuatu yang baru. Faktor-faktor tersebut juga dapat membentuk persepsi nelayan tentang kegiatan penanaman mangrove (Hardianti, dkk, 2014). Dampak dari penebangan mangrove yang dilakukan oleh para petani garam, menyebabkan terjadinya abrasi pantai. Abrasi pantai adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak (Setiyono, 1996). Yuwono (2005) membedakan antara erosi pantai dengan abrasi pantai. Erosi pantai diartikannya sebagai proses mundurnya garis pantai dari kedudukan semula yang disebabkan oleh tidak adanya keseimbangan antara pasokan dan kapasitas angkutan sedimen. Terdapat perbedaan yang signifikan antara keragaman jenis tangkapan nelayan antara sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan mangrove, dimana berbagai jenis biota laut tangkapan nelayan yang menjadi hilang dan/atau menjadi semakin langka setelah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau (Balitbang, 2005). Keberadaan mangrove sangat penting maka pemanfaatan mangrove untuk budi daya tambak harus rasional. Ahmad dan Mangampa (2000) menyarankan hanya 20% saja dari lahan mangrove yang dikonversi menjadi pertambakan. Menurut Husein (2006) luas hutan mangrove di Delta Mahakam Kalimantan Timur mencapai 1.000 km2 dan sekitar 80% telah musnah dibabat. Pengaruh pembabatan hutan mangrove tersebut meningkatkan laju abrasi di Delta Mahakam semenjak tahun 1996 mencapai 1,4 km2 per tahun yang sebelumnya hanya sekitar 0,13 km2/tahun. Hasil simulasi pemodelan dengan studi kasus di Pulau Muaraulu Delta Mahakam dilaporkan bahwa kenaikan muka laut dapat menimbulkan dampak fisik, ekologi, dan ekonomi. Setiap satu cm kenaikan muka laut rata-rata berdampak pada pengurangan garis pantai sebesar 1,23-4,84 m, hilangnya tambak udang seluas 0,71-5,07 ha, dan kerugian ekonomi dari tambak udang se-besar Rp 80.000,- - Rp 9.420.000,- /ha/ta-hun dan pada hutan mangrove kenaikan muka laut ini ternyata berdampak tidak nyata (Sutrisno et al., 2005). Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai ekonomi ekonomi total mangrove di Desa Pales sebesar Rp. 10.888.218.123 per tahun yang dihitung dari manfaat langsung, manfaat tidak langsung, dan manfaat pilihan. Sementara itu jika potensi kayu dieksploitasi dapat 335 Sosialisai Pengelolaan Hutan Mangrove… diperoleh keuntungan sebesar Rp. 273.617.273 per tahun. Dapat disimpulkan bahwa jika hutan mangrove dipertahankan, maka keuntungan akan 39,8 kali lebih besar dibandingkan dengan mengeksplotasi sumber daya alam hutan mangrove Desa Pales Kabupaten Minahasa Utara (Suzana, dkk, 2011). Untuk mengembalikan manfaat fungsi hutan mangrove, diperlukan suatu kegiatan rehabilitasi hutan melalui penanaman jenis-jenis tanaman mangrove yang sesuai dengan ekologi tempat tumbuhnya. Pemilihan jenis dan mutu tanaman mangrove yang baik dan tepat, musim tanam yang tepat. Menurut Wibowo (2013) yang menjelaskan bahwa kelestarian hutan bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah, namun kesadaran atau peran partisipasi aktif masyarakat juga penting dalam kelestarian hutan, karena masyarakat sekitar hutan berhubungan langsung dengan keberadaan hutannya. Penanaman tumbuh-tumbuhan di hutan mangrove ini membutuhkan medium dengan ciri-ciri fisik yang khusus sehingga dapat tumbuh secara optimal. Mengacu pada hal tersebut, dan keanekaragaman jenis tumbuhtumbuhan mangrove maka perlu dilakukan analisa kesesuaian antara jenis tumbuhan mangrove dengan karakteristik hutan mangrove yang akan diperbaiki. Berdasarkan hal-hal tersebut maka proses analisa kesesuaian tersebut dilakukan berdasarkan sejumlah kriteria dan sejumlah alternative sehingga dapat diambil keputusan mengenai jenis tumbuhan mangrove yang paling sesuai untuk suatu area hutan mangrove (Kusumaningrum dan Endah, 2010). Kesadaran akan perlunya dilakukan usaha rehabilitasi hutan mangrove ini terjadi karena adanya kesadaran mengenai pentingnya hutan mangrove dilihat dari fungsi ekologis, ekonomis, maupun fungsi fisik yakni sebagai pelingdung pantai. Tentu kesadaran seperti ini perlu dijaga dan peluru secara terus-menerus dilakukan pembinaan dan pendampingan (Ambriyanto, 2010). Saenger (1999) menyatakan bahwa terdapat mata rantai antara kondisi lingkungan, kondisi ekonomi dan kondisi masyarakat yang merupakan faktor utama yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Menurut Dahuri et al. (1996), pada dasarnya pembangunan berkelanjutan merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan semacam ambang batas pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumber daya alam yang ada di dalamnya. Ambang batas yang dimaksud tidaknya bersifat mutlak, melainkan merupakan batasan yang luwes yang tergantung pada kondisi teknologi dan social ekonomi tentang pemanfaatan sumber daya alam serta kemampuan biosfer untuk menerima dampak kegiatan manusia. Secara garis Prosiding Seminar Nasional Biologi 2016_ ISBN: 978‐602‐0951‐11‐9 besar konsep pembangunan berkelanjutan memiliki empat dimensi yaitu ekologis, social budaya, sosial politik, serta hukum dan kelembagaan. KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini antara lain (1) Latar belakang pendidikan masyarakat di kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto 33,77% tamat SMA; 40,26% memiliki pengetahuan ekosistem dalam kategori sangat rendah; 44,6% sikap masyarakat terhadap ekosistem dalam kategori cukup; 36,36% perilaku masyarakat dalam kategori cukup dan tinggi; 49,35% upaya pelestarian mangrove dalam kategori cukup. (2) Kerusakan hutan mangrove di pesisir pantai kabupaten Jeneponto dipengaruhi oleh alih fungsi lahan tambak, (3) Pentingnya sosialisasi pelestarian dan pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan baik di lingkungan sekolah dan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Abdurrajak, Y. 1983. Hubungan Antara Latar Belakang Pendidikan Formal, Pengetahuan, Sikap dan Kebiasaan Ibu dengan Kematian Anak Usia Di Bawah Lima Tahun. Disertasi tidak Diterbitkan. Malang: IKIP Malang. Ahmad, T. and M. Mangampa. 2000. The use of mangrove stands for bioremediation in a close shrimp culture system. Proceeding of International Symposium on Marine Biotechnology. Bogor Agricultural University, Bogor. p. 114−122. Alongi, D.M. 2009. Paradigm shifts in mangrove biology. Coastal wetlands: an integrated ecosystem approach (ed. By G.M.E. Perillo, E.Wolanski,D.R. Cahoon and M.M. Brinson), pp. 615–640. Elsevier, Amsterdam. Ambriyanto. 2010. Pendampingan dan Pengembangan Greenbelt dengan Mangrove pada Pantai Desa Lawangrejo Kabupaten Pemalang. Jurnal: Mitra Bahari Vol.4 No.2 22-28. Bachtiar S. 2014. Pengetahuan dan Pendidikan kepada Masyarakat tentang Hutan Mangrove. Jurnal Pendidikan Biologi Vol 2 No.2. Balibang. 2005. Penurunan Kualitas Ekosistem Mangrove Hubungannya dengan Pendapatan Masyarakat Nelayan Sumatera Utara. Medan: balitbang Provinsi Sumatera Utara. Barkah.2008. Pengaruh Persepsi dan Lingkungan Individu Pengunjung Terhadap Kepuasan Belanja di Mal. Penelitian Universitas Tanjungpura Edisi Ekonomi dan Sosial. Pontianak. Bengen, D. G. dan Adrianto. 2001. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian 336 Sosialisai Pengelolaan Hutan Mangrove… Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dahuri R, J. Rais, SP Ginting dan M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita. Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan. 2006. Rencana Penanaman Mangrove di Sulawesi Selatan. Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan. Makassar. (Tidak dipublikasikan). Dinas Tata Ruang Kota. Kab.Jeneponto. 2013. Profil Kabupaten Jeneponto. Jeneponto Franks T. and Falcover R. 1999. Developing Procedure for The Sustainable Useof Mangrove System. Elsevier: Agricultural Water Management (40): 59 – 64. Gumilar Iwang. 2012. Partisipasi Masyarakat Pesisir Dalam Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove Berkelanjutan Di Kabupaten Indramayu. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Padjadjaran. Jawa Barat. Jurnal Akuatika.Vol.3.No.2. Gunarto.2004. Konservasi Mangrove sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan Pantai. Jurnal Litbang Pertanian, 23(1). Hardianti S, Eka P, Paskal S. 2014. Hubungan Pengetahuan Konservasi dengan Persepsi Nelayan tenang Kegiatan Penanaman Mangrove di Kampung Garapan Desa Tanjung Pasir Tangerang. Jurnal: Biosfer Vol VI No.2: 10-14. Heatherington, C. & Bishop, M.J. (2012) Spatial variation in the structure of mangrove forests with respect to seawalls.Marine and Freshwater Research, 63, 926–933. Husein, S. 2006. Memahami Proses Alamiah Degradasi Lingkungan Delta Maha-kam. (online), http://io.ppijepang.org/download.php?file=files/in ovasi_Vol.7_pdf. Diakses pada tanggal 14 November 2015. Inoue, Y., O. Hadiyati, H.M. Afwan Affendi, K. R. Sudarma, and I.N. Budiana. 1999. Sustainable management models for mangrove forest. Japan International Cooperation Agency, hlm. 46. Kadhapi M, Gusti H, Sofyan Z. 2015. Persepsi Masyarakat Desa Sungai Awan Kanan terhadap Keberadaan Hutan Mangrove di Kawasan Pantai Air Permai Kabupaten Katapang. Jurnal Hutan Lestari Vol.3 (1): 108-116. Kaunang, E. 1999. Studi Tentang Pengetahuan Ekosistem, Motivasi, dan Sikap Terhadap Pelestarian Hutan Mangrove di Sulut. Tesis tidak dipublikasikan. Malang: IKIP Malang. Kusumaningrum, R dan Endah, N, R. 2010.Sistem Pendukung Keputusan untuk Menganalisa Prosiding Seminar Nasional Biologi 2016_ ISBN: 978‐602‐0951‐11‐9 Kesesuaian Jenis Vegetasi Mangrove Menggunakan Analytic Hierarchy Process (AHP). Semarang: Prosiding Seminar Nasional Ilmu Komputer Universitas Diponegoro. Lee S. 2014. Ecological role and services of tropical mangrove ecosystems: a reassessment. Global Ecology and Biogeography, (Global Ecol. Biogeogr.) (2014) 23, 726–743. McKee, K.L., Cahoon, D.R. & Feller, I.C. (2007) Caribbean mangroves adjust to rising sea level through biotic controls on change in soil elevation. Global Ecology and Biogeography, 16, 545–556. Notoatmodjo S. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta. Pranoto, Sumbogo. 2007. Prediksi Perubahan Garis Pantai Menggunakan Model Genesis dalam Jurnal: Berkala Ilmiah. Saenger P. 1999. Sustainable Management of Mangroves. Proc. Of International Symposium Integrated Coastal and Marine Resource Management.National Institute of Technology (ITN) Malang in Association with BAKOSURTANAL and Proyek Pesisir. Sari, S A. 1999. Pengetahuan, Sikap, dan Partisipasi Masyarakat dalam Pembuatan Sumur Resapan Air Hujan. Jurnal Teknologi, 12 (1) 53-75. Setiyono. 1996. Kamus Oseanografi. Universitas Gajah Mada Yogyakarta.Yogyakarta. Supriharyono. 2002. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Wilayah Pesisir Tropis. Gramedia Pustaka Utama. Suryati, E., Gunarto, Rosmiati, A. Panrerengi, dan A. Tenriulo. 2001. Pemanfaatan bioaktif tanaman mangrove untuk mereduksi penyakit pada budi daya udang windu. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2001. Balai Penelitian Perikanan Pantai, Maros. Suzanna B, Jean T, Rine K, Fandi A. 2011. Valuasi Ekonomi Sumber Daya Hutan Mangrove di Desa Pales Kecamatan Likupang Barat kabupaten Minahasa Utara. Jurnal: ASE Volume 7 No. 2: 29-38. Syaban R A. 2007. Kajian tentang Keterkaitan Latar Belakang Pendidikan, Pengetahuan Ekosistem Mangrove, Status Ekonomi Keluarga, Sikap dan Perilaku Nelayan dengan Upaya Pelestarian Hutan Mangrove di Kabupaten Pasuruan. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang. Wibowo. 2009. Motivasi Dan Partisipasi Masyarakat Desa Buluh Cina Dalam Upaya Melestarikan Hutan Adat Buluh Cina Kec Siak Hulu Kab. Kampar Provinsi Riau. Jurnal Lingkungan Hidup. Vol.1. 337 Sosialisai Pengelolaan Hutan Mangrove… Yuwono N. 2005.Pedoman Teknis Perencanaan Tanggul dan Tembok Laut (Sea Dikes and Sea Wall). Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum. Prosiding Seminar Nasional Biologi 2016_ ISBN: 978‐602‐0951‐11‐9 338