BAB II PERJANJIAN MENURUT HUKUM PERDATA INDONESIA A

advertisement
BAB II
PERJANJIAN MENURUT HUKUM PERDATA INDONESIA
A. Pengertian Perjanjian
Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian: Suatu hubungan
hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan
hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada
pihak lain untuk menunaikan prestasi. Perjanjian merupakan sumber terpenting
yang melahirkan perikatan. Perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki
oleh dua orang atau satu pihak yang membuat perjanjian, sedangakan perikatan
yang lahir dari undang-undang di buat atas dasar kehendak yang saling
berhubungan dengan perbuatan manusia yang terdiri dari dua pihak. 9 Dalam
bahasa Belanda perjanjian disebut juga overeenkomstenrecht. 10
Dari pengertian singkat diatas dijumpai didalamnya beberapa unsur yang
memberi
wujud
pengertian
perjanjian,
antara
lain,
hubungan
hukum
(rechtsbetreking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon)
atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain
tentang suatu prestasi. Kalau demikian, perjanjian/verbintenis adalah hubungan
hukum rechtsbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara
perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum
antara perorangan/persoon adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam
9
Suharnoko, Hukum Perjanjian, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal 117.
C.s.t. Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, Pradnya
Paramita, Jakarta, 2006, hal 10.
10
Universitas Sumatera Utara
lingkungan hukum . Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan
suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang kita jumpai
dalam harta benda kekeluargaan. 11
Perjanjian adalah sumber perikatan, disampingnya sumber-sumber lain.
Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk
melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan
persetujuan) itu adalah sama artinya. 12
Buku III KUHPerdata berjudul “Perihal Perikatan” Perkataan Perikatan
(verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “Perjanjian” sebab
dalam buku III itu, diatur juga prihal hubungan hukum yang sama sekali tidak
bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu prihal perikatan yang
timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perikatan
yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan
persetujuan (zaakwaarneming). Tetapi sebagian besar dari buku III ditujukan pada
perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian. Jadi berisikan
hukum perjanjian. Adapun yang dimaksud dengan “perikatan” oleh buku III
KUHPerdata ialah: Suatu Hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda)
antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang
sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan
memenuhi tuntutan itu. 13
Dalam undang-undang perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata
yang mengatur tentang perikatan. Hal ini karena perjanjian merupakan salah satu
11
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal 6-7.
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Bandung, 2002, hal 1.
13
Subekti, (1) Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Bandung,1982, hal 122-123.
12
Universitas Sumatera Utara
peristiwa yang melahirkan hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan
antara dua pihak yang disatu pihak ada hak dan dilain pihak ada kewajiban
(perikatan).
Definisi perjanjian telah diatur dalam KUHPerdata Pasal 1313
KUHPerdata dinyatakan bahwa “Perjanjian atau persetujuan
adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih.”
Dengan pertimbangan agar perbuatan-perbuatan yang tidak mengandung
unsur kehendak atas akibatnya tidak masuk dalam cakupan perumusan, seperti
perbuatan
melawan
hukum
(onrechtmatige
daad),
perwakilan
sukarela
(zaakwarneming) dan agar perjanjian timbal balik bisa tercakup dalam perumusan
trsebut, J. Satrio mengatakan perjanjian adalah perbuatan hukum dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih atau
dimana satu orang lain atau lebih saling mengikatkan dirinya.” 14
Menurut Subekti yang dimaksud dengan perjanjian adalah sebagai suatu
peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu
saling berjanji kepada orang lain untuk melaksanakan sesuatu hal. 15
Menurut M. Yahya Harahap mengemukakan Perjanjian atau verbintenis
mengandung suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang
atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh
prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi. 16
Menurut Wirjono Prodjodikoro, yang dimaksud dengan perjanjian adalah
sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam
14
J. Satrio, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996, hal 12.
Subekti, Op.cit., hal 9.
16
M. Yahya Harahap, Op. cit., hal 6.
15
Universitas Sumatera Utara
mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau
tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan
janji itu. 17
Suatu perjanjian tidak terjadi seketika atau serta merta dan perjanjian
dibuat untuk dilaksanakan, oleh karena itu dalam suatu perjanjian yang dibuat
selalu terdapat tahapan yaitu:
1. Pracontractual,
yaitu perbuatan-perbuatan yang
mencakup
dalam
negosiasi dengan kajian tentang penawaran dan penerimaan;
2. Contractual, yaitu tentang bertemunya dua pernyataan kehendak yang
saling mengikat kedua belah pihak;
3. Post-contractual, yaitu tahap pada pelaksanaan hak-hak dan kewajibankewajiban yang hendak diwujudkan melalui perjanjian tersebut. 18
Didalam Perjanjian terdapat unsur janji, janji yang diberikan oleh pihak
yang satu kepada pihak yang lain. Kalau orang terikat pada suatu kewajiban, yang
diletakkan pada dirinya atas dasar, bahwa undang-undang menentukan demikian
seperti onrechtmatigedaad tidak dapat dikatakan, bahwa ia menjanjikan hal
seperti itu dan karenanya tak mungkin didasarkan atas suatu perjanjian. Dalam
perjanjian orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya
sendiri. 19
17
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1981, hal 9.
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta,2003, Hal. 16.
19
Ibid. hal 11
18
Universitas Sumatera Utara
B. Asas-asas Perjanjian
Didalam kamus ilmiah asas diterjemahkan sebagai pokok, dasar, dan
pundamen. 20 Sedangkan Solly Lubis menyatakan asas adalah dasar kehidupan
yang merupakan pengembangan nilai-nilai yang disyaratkan menjadi landasan
antara hubungan sesama anggota masyarakat. 21 Adapun Paul Scholten
memberikan definisi mengenai asas ialah pikiran-pikiran dasar yang terdapat
didalam dan belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan kedalam aturanaturan perundang-undangan dan putusan-putusan hukum yang berkenaan dengan
ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai
penjabarannya. 22 Dengan demikian maka, setiap peraturan perundang-undangan
diperlukan adanya suatu asas, karena asas ini yang melandasi atau menjiwai
ataupun menghidupi peraturan perundang-undangan dan dengan asas tersebut
dimaksud dan tujuan peraturan menjadi jelas. 23 Selanjutnya Sri Sumantri
Martosuwigjo berpendapat bahwa asas mempunyai padanan kata dengan
“beginsel” (Belanda) atau “principle” (Inggris) sebagai suatu kebenaran yang
menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir. 24 Asas hukum adalah dasar normatif
untuk membedakan daya ikat normatif dan memaksa. Dengan demikian dalam
melakukan perjanjian selain memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada juga
harus memperhatikan asas-asas terdapat pada hukum perjanjian pada umumnya.
20
Pius A Partono dan M Dahlan, Al-Berr, Kamus Ilmiah Favorit, Anka, Surabaya, 1994,
hal 48.
21
Solly Lubis, Perumusan dan Pembinaan Cita Hukum dan Penerapan Asas-Asas
Hukum Nasional, BPHN, Depkeh, 1995, hal 29.
22
Paul Scholten di dalam JJ. H Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, (alih bahasa oleh
Arief Sidharta) Cipta Aditya Bhakti, Bandung, 1996, hal 119-120.
23
Rooseno Harjowidigji, Presfektif Peraturan Franchise, BPHN, Jakarta, 1993, hal 12.
24
Sri Sumantri, Perbandingan Antar Hukum Tata Negara. Alumni, Bandung, 1971, hal
20.
Universitas Sumatera Utara
KUHPerdata menentukan dengan jelas mengenai beberapa asas-asas
perjanjian, diantaranya dalam Pasal 1315 menentukan asas personalia perjanjian;
Pasal 1337 menntukan asas kesusilaan dan ketertiban umum; Pasal 1338 ayat (1)
menentukan asas mengikatnya perjanjian; Pasal 1338 ayat (3) menentukan asas
itikad baik; Pasal 1339 menentukan asas kepatutan dan kebiasaan. Namun
menurut Rutten hanya ada tiga asas yang sangat pokok dalam hukum perjanjian,
yaitu asas konsensualisme, asas kekuatan mengikatnya perjanjian, dan asas
kebebasan berkontrak. 25
Adapun asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum perjanjian adalah:
1. Asas Konsensualisme
Asas konsesualisme adalah asas yang menyatakan bahwa perjanjian telah
terjadi atau lahir sejak terciptanya sepakat para pihak, artinya suatu perjanjian
telah ada dan mempunyai akibat hukum dengan terciptanya kata sepakat dari para
pihak mengenai hal-hal pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas. 26 Asas
kesepakatan ini disimpulkan dari Pasal 1320 KUH Perdata dinyatakan bahwa,
untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat yaitu: sepakat mereka yang
mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, suatu hal tertentu
dan suatu sebab yang halal. Pada saat ini ada kecendrungan mewujudkan
perjanjian konsensuil dalam bentuk perjanjian tertulis baik di bawah tangan
maupun dengan akta autentik. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah
pembuktian jika dalam pelaksanaannya nanti salah satu pihak melakukan
pelanggaran. Menurut asas ini perjanjian sudah lahir atau terbentuk ketika para
25
Purwahid Patrik, Asas Itikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang, 1962, Hal 3.
26
Subekti, Op.cit., hal 15.
Universitas Sumatera Utara
pihak mencapai kata sepakat mengenai pokok perjanjian. Walaupun undangundang telah menetapkan bahwa sahnya suatau perjanjian harus dilakukan secara
tertulis (seperti perjanjian perdamaian) atau dibuat dengan akta oleh pejabat
berwenang seperti akta jual beli tanah) semua ini merupakan pengecualian.
Bentuk konsensualisme adalah suatu yang dibuat secara tertulis, salah
satunya dengan adanya pembubuhan tanda tangan dari para pihak yang
melakukan perjanjian tersebut. Tanda tangan berfungsi sebagai bentuk
kesepakatan dan bentuk persetujuan atas tempat, waktu dan isi perjanjian yang
dibuat. Tanda tangan juga berkaitan dengan kesengajaan para pihak untuk
membuat suatu perjanjian sebagai bukti atas suatu peristiwa. 27 Adapun menurut
A. Qirom Syamsudin, Asas konsensualisme mengandung arti bahwa dalam satu
perjanjian cukup ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian itu, tanpa
diikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali perjanjian yang bersifat formal. 28
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, perjanjian itu sudah mengikat
sejak tercapainya kata sepakat mengenai pokok perjanjian. Dalam Pasal 1320
KUHPerdata ditentukan bahwa perjanjian tidaklah sah tanpa adanya kesepakatan
dari para pihak.
2. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak
menurut KUHPerdata, menurut ketentuan
Pasal 1338 ayat 1 KUHPerata dinyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
27
http://www.dheanbj.com/2012/09/asas-asas-hukum-perjanjian.html?m=1 ,DheanBJ,
terakhir di akses 9 maret 2014, 14.01 WIB
28
A Qirom Syamsuddin M, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya,
Liberty, Yogyakarta, 1985, hal 20.
Universitas Sumatera Utara
Sumber dari asas kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang
merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan
untuk berkontrak.
Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjanjian Indonesia
menetapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu
pihak yang membuat perjanjian, tanpa sepakat perjanjian yang dibuat dapat
dibatalkan. Menurut hukum perjanjian di Indonesia seseorang bebas untuk
membuat perjanjian dengan pihak yang di kehendaki nya. Undang-undang yang
mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian,
pengaturan hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1330 KUHPerdata. Dari ketentuan
ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas untuk memilih pihak yang ia
inginkan untuk membuat perjanjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang
tidak cakap. Bahkan lebih lanjut dalam Pasal 1331 KUHPerdata tersebut, Maka
perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang
tidak cakap. 29
Asas kebebasan berkontrak ini mempunyai hubungan yang erat dengan
asas konsensualisme dan asas kekuatan mengikat yang terdapat dalam Pasal 1338
Ayat 1 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Semua persetujuan yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. “Semua”
mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal ataupun
yang
tidak
dikenal
oleh
undang-undang.
asas
kebebasan
berkontrak
29
http://m.kompasiana.com/post/read/238895/3/asas-kebebasan-berkontrak-dalamhukum-perjanjian-di-indonesia , terakhir diakses 9 maret 2014, 14.20 Wib.
Universitas Sumatera Utara
(contractvrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian yaitu kebebasan menentukan
“apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang yang dibuat
sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata mempunyai kekuatan mengikat. Dengan
demikian maka asas kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat
penting didalam hukum perjanjian. Kebebasan berkontrak ini adalah perwujudan
kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia. 30
Asas kebebasan berkontrak (contracts vrijheid atau partijautonomie)
adalah suatu asas yang menetapkan bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan
perjanjian apa saja, bebas untuk menentukan isi, luas dan bentuk perjanjian. Asas
ini disimpulkan juga dari Pasal 1338 aayat (1) KUHPerdata dinyatakan bahwa
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.”Subekti mengatakan, bahwa dengan menekankan kata
“semua”, maka ketentuan tersebut seolah-olah berisikan pernyataan pada
masyarakat bahwa, setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa
dan berisi apa saja baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur dalam
undang-undang. 31
Hukum benda menganut sistem tertutup, sedangkan hukum perjanjian
menganut sistem terbuka. Artinya macam- macam hak atas benda terbatas dan
peraturan mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan hukum
perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban
30
Mariam Darus Badrulzaman dkk, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1993,
31
Subekti, Loc.cit.
Hal 84.
Universitas Sumatera Utara
umum dan kesusilaan. 32 Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan hukum
pelengkap (optimal law), yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan
manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka
di perbolehkan membuat ketentuan - ketentuan mereka sendiri yang menyimpang
dari pasal-pasal hukum perjanjian. Mereka diperbolehkan mengatur sendiri
kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Asas ini
dalam hukum perjanjian di kenal dengan asas kebebasan berkontrak.
3.
Asas Mengikatnya Perjanjian (Pacta Sunt Servanda)
Asas mengikatnya perjanjian adalah asas yang menyatakan bahwa
perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat mereka yang membuat sebagai
undang-undang. Dengan demikian para pihak terikat dan harus melaksanakan
perjanjian yang telah disepakati bersama, seperti hal keharusan untuk mentaati
undang-undang. 33 Asas kekuatan mengikatnya perjanjian ini disimpulkan dari
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dinyatakan bahwa “Semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.” Dijelaskan oleh Soedikno Mertokusumo, bahwa bunyi lengkap
adagium tersebut adalah Pacta sunt servanda , yang mempunyai arti bahwa kata
sepakat tidak perlu dirumuskan dalam bentuk sumpah, perbuatan atau formalitas
tertentu agar menjadi kewajiban yang mengikat. 34
32
Ibid, hal 13.
J. Satrio, (1) Hukum Perikatan yang Lahir dari Perjanjian Buku I, Citra Aditya Bhakti,
Bandung,1995, hal 142.
34
Soedikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1984, hal
36.
33
Universitas Sumatera Utara
4.
Asas Itikad Baik
Asas itikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Asas
itikad baik ini sangat mendasar dan penting untuk diperhatikan terutama dalam
membuat perjanjian, maksud itikad baik disini adalah bertindak sebagai pribadi
yang baik. Itikad baik dalam pengertian yang sangat subyektif dapat diartikan
sebagai kejujuran seseorang, yaitu apa yang terletak pada seseorang pada waktu
diadakan perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik dalam perjanjian itu harus
didasarkan pada norma kepaturan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan patut
dalam masyarakat. 35
Kemudian menurut Munir Fuady, rumusan dari Pasal 1338
KUHPerdata tersebut mengidentifikasi bahwa sebenarnya itikad
ayat (3)
baik hanya
disyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada “pembuatan”
suatu kontrak. Sebab unsur itikad baik dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah
dapat dicakup oleh unsur “ causa yang legal” dari Pasal 1320 tersebut. 36
5.
Asas Kepercayaan
Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, membutuhkan
kepercayaan diantara kedua belah pihak bahwa satu sama lain akan memegang
janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa
adanya kepercayaan. Kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya
perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang. 37
35
A. Qiroom Syamsudin, Op.cit., hal 13.
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya
Bakti, Bandung 2001, hal 81.
37
Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit., hal 187.
36
Universitas Sumatera Utara
6. Asas Kesetaraan
Asas ini merupakan bahwa para pihak didalam persamaan derajat, tidak
ada perbedaan walaupun ada perbedaan warna kulit, bangsa, kekayaan,
kekuasaan, jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya
persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain
sebagai manusia ciptaan Tuhan. 38
Asas ini dimaksudkan agar program kemitraan dapat memberikan
hubungan yang asli bagi semua pihak. Karena kemitraan pada hakikatnya adalah
sebuah kerjasama bisnis untuk mendapatkan tujuan tertentu dan antara pihak yang
bermitra harus memiliki kepentingan dan posisi yang sejajar dengan ketentuan ini
maka antara pembuat perjanjian atau para pihak ditekankan pada adanya
kesetaraan dalam posisi tawar atau posisi tawar menawar yang seimbang. 39
7. Asas Unconcionability
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, unconcinability artinya bertentangan
dengan hati nurani. Perjanjian-perjanjian unconscionable seringkali digambarkan
sebagai perjanjian-perjanjian yang sedemikian tidak adil (unfair) sehingga dapat
mengguncangakan hati nurani Pengadilan (Hakim) atau shock the conscience the
court. Sebenarnya terhadap asas ini tidak mungkin diberikan arti yang tepat, yang
diketahui hanyalah tujuannya yaitu untuk mencegah penindasan dan kejutan yang
tidak adil. 40
38
39
Ibid, hal 88.
http://www.damandiri.or.id/file/arirahmathakimundipbab2c.pdf , 9 Maret 2014, 17.00
Wib.
40
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Pembangunan Seimbang bagi Para
Pihak Dalam Perjanjian Kredit BANK di Indonesia, Institut Bankir, Jakarta, 1993, hal 105.
Universitas Sumatera Utara
Adapun menurut Mariam Darus Badrulzaman, unconcionalbility atau
doktrin ketidakadilan adalah suatu doktrin dalam ilmu hukum kontrak yang
mengajarkan bahwa suatu kontrak batal atau dapat dibatalkan oleh pihak yang
dirugikan manakala dalam kontrak tersebut terdapat klausula yang tidak adil dan
sangat memberatkan salah satu pihak, sungguhpun kedua belah pihak telah
menandatangani kontrak yang bersangkutan. Biasanya doktrin ketidakadilan ini
mengacu pada posisi tawar menawar dalam kontrak yang sangat berat sebelah
karena tidak terdapat pilihan dari para pihak yang dirugikan disertai dengan
klausula dalam kontrak yang sangat tidak adil sehingga memberikan keuntungan
yang tidak wajar bagi pihak yang lain. 41
8.
Asas Subsidaritas
Asas subsidaritas mengandung pengertian bahwa pengusaha menengah
atau pengusaha besar merupakan salah satu faktor dalam rangka memberdayakan
usaha kecil tentunya sesuai dengan ketentuan kopetensi yang dimiliki dalam
mendukung mitra usahanya sehingga mampu dan dapat mengembangkan diri
menuju kemandirian. 42
C. Jenis Perjajian
Dalam hukum perjanjian dibedakan dalam beberapa bagian kelompok
perbedaan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, beberapa perbedaan pembedaan
dimaksud akan diuraikan dalam uraian berikut.
1.
Perjanjian Konsensuil dan Riil
41
Meriam Barus Bahrulzaman, Op.Cit., hal 52-53.
http://www.damandiri.or.id/file/arirahmathakimundipbab2c.pdf , terakhir diakses 9
maret 2014, 17.21 Wib.
42
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan cara lahirnya perjanjian akan di bedakan atas perjanjian
konsensuil dan perjanjian riil. Perjanjian konsensuil adalah perjanjian dimana
adanya kata sepakat antara para pihak saja sudah cukup untuk timbulnya
perjanjian yang bersangkutan, dan timbulnya perjanjian tersebut ditentukan sejak
detik tercapainya kesepakatan. 43 Akibat hukum dan timbulnya perjanjian adalah
lahirnya kewajiban bagi salah satu atau kedua belah pihak, oleh karena itu
perjanjian yang bersifat konsensuil juga merupakan perjanjian “obligatoir” (baru
melahirkan kewajiban), sehingga sering dikenal dengan perjanjian konsensuil
obligatoir. Perjanjian riil adalah perjanjian yang baru lahir kalau barang yang
menjadi pokok prestasi telah diserahkan, 44 artinya dengan tercapainya
kesepakatan para pihak saja belum cukup untuk melahirkan perjanjian riil,
sehingga untuk adanya perjanjian riil harus terpenuhi adanya dua unsur yaitu
sepakat dan penyerahan benda pokok perjanjian. Contohnya pinjam meminjam,
pinjam pakai dan penitipan barang. Pada umumnya, perjanjian-perjanjian khusus
yang diatur dalam Buku III KUHPerdata bersifat konsensuil obligatoir, kecuali
berapa perjanjian tertentu yang bersifat riil.
2.
Perjanjian Sepihak dan Timbal Balik
Berdasarkan perikatan yang timbul dari suatu perjanjian, mengikat satu
pihak saja ataukah mengikat kedua belah pihak, perjanjian dapat dibedakan atas
perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik , yakni perjanjian sepihak adalah
perjanjian yang menimbulkan kewajiban pada salah satu pihak saja sedangkan
pada pihak lain hanya ada hak saja, seperti: hibah, pinjam pakai, perjanjian pinjam
43
44
Subekti, Op cit., hal 48.
Ibid. hal. 49
Universitas Sumatera Utara
mengganti, penitipan barang cuma-cuma. Sedangkan perjanjian timbal balik
adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban terhadap kedua belah
pihak, dengan mana hak dan kewajiban itu mempunyai hubungan satu sama
lainnya, seperti: perjanjian jual beli, sewa menyewa, tukar menukar dan lainlain. 45 Bentuk perikatan yang paling sederhana, ialah suatu perikatan yang
masing-masing pihak hanya ada satu orang dan satu prestasi yang seketika jua
dapat ditagih pembayarannya. Disamping bentuk yang paling sederhana itu
terdapat berbagai macam perikatan lain yang akan diuraikan satu persatu dibawah
ini. 46
a.
Perikatan Bersyarat (Voorwaardelijk)
Perikatan bersyarat adalah perikatan yang digantungkan pada suatu
kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi.
Pertama mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah akan lahir,
apabila kejadian yang belum tentu itu akan timbul. 47 Suatu perjanjian yang
demikian akan menggantungkan suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda
atau menangguhkan (opschortende voorwaarde). Suatu contoh, apabila saya
berjanji pada seseorang akan membeli mobilnya kalau saya lulus dari ujian, disini
dapat dikatakan bahwa jual beli itu hanya dapat terjadi, kalau saya lulus dari ujian.
Kedua mungkin untuk memperjanjikan, bahwa suatu perikatan yang sudah akan
berlaku, akan dibatalkan apabila kejadian yang belum tentu itu timbul. Disini
45
Ibid, hal. 42.
Subekti, (1), Op.cit., hal 128.
47
Subekti, Loc.cit.
46
Universitas Sumatera Utara
dikatakan bahwa perikatan itu digantungkan pada suatu syarat pembatalan
(ontbidende voorwaarde). 48
b.
Perikatan
yang
Digantungkan
pada
Suatu
Ketetapan
Waktu
(Tijdsbepaling)
Pasal 1268 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Suatu ketetapan waktu tidak
menangguhkan
perikatan,
melainkan
hanya
menangguhkan
pelaksanaan
nya.”Suatu perikatan dikatakan sebagai perikatan dengan ketetapan waktu jika
perikatan tersebut menetapkan suatu waktu dalam pelaksanaanny, tetapi
penetapan waktu tersebut tidaklah menunda eksistensi perikatan itu sendiri hingga
waktu yang telah ditentukan tersebut. Perikatan dengan ketetapan waktu adalah
perikatan sederhana yang berlaku seketika pada saat perikatan dibentuk, dengan
pengertian bahwa kewajiban debitor sudah ada semenjak perikatan dibuat, hanya
saja pelaksanaan kewajiban atau prestasi tersebut baru dilakukan pada suatu
waktu yang ditentukan dimasa yang akan datang. 49
c.
Perikatan yang Membolehkan Memilih (Alternatief)
Ini adalah suatu perikatan, dimana terdapat dua atau lebih macam prestasi,
sedangkan kepada siberhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya,
ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau uang satu
juta rupiah. 50
d.
Perikatan Tanggung Menanggung (Hoofdelijk atau Solidair)
48
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung,
2000, hal 52.
49
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2003, hal 145.
50
Subekti, (1) Op.cit. hal 129.
Universitas Sumatera Utara
Suatu perikatan dimana beberapa orang sama-sama sebagai pihak yang
berhutang berhadapan dengan satu orang yang menguntungkan, atau seebaliknya.
Beberapa orang berhak sama-sama menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi
perikatan yang semacam ini belakangan sedikit sekali terdapat dalam peraktek. 51
e.
Perikatan yang Dapat Dibagi atau yang Tidak Dapat Dibagi
Perikatan yang dapat dibagi-bagi terdapat lebih dari satu kali pelaksanaan
pokok perikatan dengan rumusan Pasal 1296 KUHPerdata dinyatakan bahwa “
Suatu perikatan dapat dibagi-bagi atau tak dapat dibagi-bagi sekedar perikatan
tersebut mengenai suatu barang yang penyerahannya atau suatu perbuatan yang
pelaksanaannya dapat dibagi-bagi atau tak dapat dibagi-bagi, baik secara nyatanyata maupun secara perhitungan.” Perikatan dapat dibagi atau tidak, tergantung
pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula
dari kehendak atau dimaksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian. 52
f.
Perikatan Dengan Penetapan Hukuman (Strafbeding)
Untuk mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudah saja
melalaikan kewajibannya, dalam peraktek banyak dipakai perjanjian dimana si
berhutang dikenakan suatu hukuman, apabila ia tidak menjalani kewajibannya.
Hukumhan ini ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya
merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan
sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu. 53
51
Subekti, Op.cit. hal 6.
Kartini Muljadi, Op.cit. hal 177.
53
Subekti, Op.cit.,hal 43-46.
52
Universitas Sumatera Utara
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata perikatan dapat dibedakan
atas beberapa macam, yaitu : 54
1) Menurut isi dari pada prestasinya:
a) Perikatan positif dan negatif;
b) Perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan;
c) Perikatan alternatif;
d) Perikatan fakultatif;
e) Perikatan generik dan spesifik;
f) Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi;
2) Menurut subyeknya:
a) Perikatan tanggung menanggung;
b) Perikatan pokok dan tambahan
3) Menurut mulai berlakunya dan mulai berakhirnya:
a) Perikatan bersyarat;
b) Perikatan dengan ketetapan waktu;
c) Perikatan dengan ancaman hukuman;
Kalau dibandingkan anatara macam-macam perikatan menurut ilmu pengetahuan
dan menurut undang-undang, terdapat adanya beberapa perbedaan dimana
ternyata macam-macam perikatan menurut ilmu pengetahuan hukum perdata lebih
banyak jumlahnya daripada macam perikatan menurut undang-undang. Berikut ini
akan dijelaskan secara singkat tentang macam-macam perikatan menurut ilmu
pengetahuan, yaitu: 55
(1) Perikatan Positif dan Negatif
Perikatan positif adalah perikatan dimna prestasinya berupa perbuatan
positif, dimana memberi sesuatu dan berbuat sesuatu. Sedangkan perikatan
54
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung,
Jakarta, 2006, hal 213.
55
Ibid, hal 214.
Universitas Sumatera Utara
negatif adalah perikatan yang prestasinya berupa suatu perbuatan yang
negatif yaitu tidak berbuat sesuatu. 56
(2) Perikatan Sepintas lalu dan Berkelanjutan
Perikatan sepintas lalu adalah perikatan yang perbuatan prestasinya cukup
hanya dilakukan dengan satu perbuatan saja dan dalam waktu yang singkat
tujuan perikatan telah tercapai. Sedangkat perikatan berkelanjutan adalah
perikatan yang prestasinya berkelanjutan untuk beberapa waktu, misalnya
perikatan-perikatan yang timbul dari perjanjian sewa menyewa dan
perburuhan (perjanjian kerja). 57
(3) Perikatan Alternatif
Perikatan alternatif adalah perikatan dimana debitur dibebaskan untuk
memenuhi satu dari dua atau lebih prestasi yang disebutkan dalam
perjanjian. Namun debitur tidak boleh memaksakan kreditur untuk
menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian dari barang lain.
Bahwa dengan pemenuhan salah satu prestasi tersebut perikatan
berakhir. 58
(4) Perikatan Fakultatif
Perikatan fakultatif adalah perikatan yang mempunyai satu objek prestasi.
Dimana debitur mempunyai hak untuk mengganti dengan prestasi yang
lain, Bilamana debitur tidak mungkin memenuhi prestasi yang telah
ditentukan semula.
Misalnya debitur diwajibkan untuk menyerahkan
sejumlah beras, bilamana tidak mungkin menyerahkan sejumlah beras
56
Ibid, hal 215.
Subekti, (1) Op.cit. hal 136.
58
Subekti, Op.cit. hal 7.
57
Universitas Sumatera Utara
maka diganti dengan sejumlah uang. Dengan demikian penyerahan uang
merupakan pengganti dari sejumlah beras, berarti debitur telah memenuhi
prestasi dengan sempurna. 59
(5) Perikatan Generik dan Spesifik
Perikatan generik adalah dimana obyeknya hanya ditentukan jenis dan
jumlah barang yang harus diserahkan debitur kepada kreditur, misalnya
penyerahan beras sebanyak 10 ton ( bagaimana kualitas tidak disebutkan).
Sedangkan perikatan spesifik merupakan perikatan dimana obyeknya
ditentukan secara terinci sehingga tampak ciri khususnya. Misalnya
debitur diwajibkan menyerahkan beras sebanyak 10 ton dari cianjur
kualitas ekspor nomor satu. 60
(6) Perikatan yang Dapat Dibagi danTtidak Dapat Dibagi
Perikatan yang dapat dibagi adalah perikatan dimana prestasinya dapat
dibagi, pembagian nama tidak boleh mengurangi hakikat prestasi itu.
Sedangkan perikatan yang tidak dapat dibagi adalah perikatan dimana
prestasinya tidak dapat dibagi. Soal dapat atau tidak dapat dibagi
tergantung dari jenis barang yang tersangkut jenis barang didalamnya dan
dapat pula disimpulkan dari maksudnya perikatan untuk menyerahkan 10
ton beras. Karena sifat beras menjadi obyek perikatan yang dapat dibagi. 61
(7) Perikatan Tanggung Renteng
Perikatan tanggung menanggung dimana debitur dan/atau kreditur terdiri
beberapa orang. Jika debiturnya yang beberapa orang (dan ini yang paling
59
J.Satrio, (1) Op.cit. hal 132.
Subekti, (2) Op.cit. hal 152.
61
Subekti, Op.cit. hal 216.
60
Universitas Sumatera Utara
lazim), tiap-tiap debitur dapat dituntut untuk memenuhi seluruh prestasi.
Sedangkan jika kredirurnya yang beberapa orang, tiap-tiap kreditur berhak
menuntut pemenuhan seluruh prestasi. Dengan dipenuhinya
seluruh
prestasi oleh salah seorang debitur kepada kreditur. Perikatan menjadi
hapus. 62
(8) Perikatan Pokok dan Tambahan
Perikatan pokok dan tambahan adalah perikatan antara kreditur dan debitur
yang berdiri sendiri tanpa bergantung kepada adanya perikatan yang lain,
misalnya perjanjian peminjaman uang. Sedangkan perikatan tambahan
adalah peikatan antara debitur dan kreditur yang diadakan sebagai
perikatan tambahan daripada perikatan pokok, misalnya perjanjian gadai
dan hipotik. Perikatan tambahan ini tidak berdiri sendiri melainkan
bergantung kepaa perjanjian pokok. Sehingga apabila perikatan pokok
berakhir, maka perikatan tambahan juga berakhir. 63
(9) Perikatan Bersyarat
Perikatan bersyarat adalah perikatan yang lahirnya maupun berakhirnya
digantungkan pada suatu peristiwa yang belum tentu akan terjadi. Apabi;la
suatu perikatan yang lahirnya digantungkan kepada peristiwa itu
dinamakan perikatan dengan syarat tangguh. Misalnya, A berjanjia akan
memberikan buku-bukunya kepada B apabila ia lulus ujian. Sedangkan
62
63
Abdulkadir Muhammad, Op.cit. hal 166.
Ibid, hal 157.
Universitas Sumatera Utara
apabila suatu perikatan yang sudah ada yang berakhirnya digantungkan
kepada peristiwa itu dinamakan perikatan dengan syarat batal. 64
(10) Perikatan Dengan Ketetapan Waktu
Perikatan denga ketetapan waktu adalah perikatan yang pelaksanaannya
ditangguhkan sampai pada suatu waktu ditentukan yang pelaksanaannya
pasti akan tiba, meskipun mungkin belum dapat dipastikan kapan waktu
yang dimaksudkan akan tiba. Misalnya A berjanji akan memberikan semua
buku-bukunya kepada B pada tanggal 1 januari tahun depan (waktunya
ditentukan). Perikatan dengan ketentuan waktu yang tidak dapat
ditentukan waktunya
misalnya dalam perjanjian asuransi kematian
(matinya orang pasti tapi tidak dapat dipastikan kapan waktu nya). 65
(11) Perikatan dengan Ancaman Hukuman
Pasal 1304 KUHPerdata member definisi perikatan dengan ancaman
hukuman sebagai suatu perikatan yang menempatkan seseorang, sebagai
jaminan pelaksanaan suatu perikatan yang menempatkan seseorang,
sebagai jaminan pelaksanaan suatu perikatan, diwajibkan untuk melakukan
sesuatu, manakala perikatan tersebut tidak dipenuhi olehnya. Dengan
rumusan tersebut, KUHPerdata tidak membatasi jenis hukuman yang dapat
dikenakan, melainkan hanya dengan menyatakan bahwa debitor yang lalai
64
65
Subekti, Op.cit. hal 45.
Ibid, hal 46.
Universitas Sumatera Utara
dapat dikenakan, melainkan hanya dengan menyatakan bahwa debitor
yang lalai dapat dikenakan kewajiban untuk melakukan sesuatu. 66
D. Syarat Sahnya Perjanjian
Setiap orang yang melakukan perjanjian selalu dimaksudkan untuk
menimbulkan akibat hukum yang dikehendaki atau yang dianggap dikehendaki.
Agar maksud itu tercapai bila perlu pelaksanaanya dapat di laksanakan melalui
pengadilan, maka perjanjian harus dibuat perjanjian yang memenuhi syarat sahnya
perjanjian. Melalui pasal 1320 KUHPerdata, pembuat undang-undang telah
menetapkan syarat-syarat pokok yang harus dipenuhi agar perjanjian perjanjian
yang mereka adakan menjadi perjanjian yang sah, yakni: 67
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan diri,
2.
Kecakapan untuk membuat perjanjian,
3.
Suatu hal tertentu,
4.
Suatu sebab yang halal,
Ad.1. Kata sepakat merupakan dasar lahirnya suatu perjanjian. Suatu
perjanjian dianggap lahir atau terjadi pada saat dicapainya kata sepakat antara para
pihak yang mengadakan perjanjian. Sepakat atau consensus mengandung
pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing untuk
menutup sebuah perjanjian dan kehendak pihak yang satu sesuai secara timbal
balik dengan pihak yang lainnya. Pernyataan kehendak tersebut tidak harus
66
67
Kartini Muljadi, Op.cit. hal183.
Riduan Syahrani, Op.cit. hal 205.
Universitas Sumatera Utara
dinyatakan secara tegas dengan kata-kata, tetapi dapat juga dilakukan dengan
perbuatan atau sikap yang mencerminkan adanya kehendak untuk mengadakan
perjanjian. Pertanyaannya kehendak yang menghasilkan kesepakatan dapat
dibedakan antara pernyataan kehendak untuk menawarkan dan pernyataan
kehendak untuk melakukan penerimaan. 68 Sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah
sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendang masingmasing, yang di lahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan, kekeliruan
dan penipuan persetujuan mana dapat dinyatakan secara tegas maupun secara
diam-diam. 69
Ad.2. Syarat kedua untuk sah perjanjian adalah cakap (bekwaam)
merupakan syarat umum untuk melakukan perbuatan hukum secara sah, yaitu
harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu perundangundangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. 70
KUHPerdata dinyatakan
Menurut Pasal 1329
bahwa “Setiap orang adalah cakap untuk membuat
perikatan-perikatan, jika isi undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”. Dan
ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa menurut undang-undang pada asasnya
setiap orang adalah cakap untuk membuat perjnjian. Dengan kata lain orang yang
tidak cakap, tidak memenuhi syarat untuk membuat suatu perjanjian.Adapun
orang yang tidak cakap menurut Pasal 1330 KUHPerdata dinyatakan bahwa
adapun orang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:
68
Ratih Kusuma Wardani, Tinjauan Yuridis Persetujuan Tindakan Medis (Informend
Consent) di RSUP. Dr. Kariadi Semarang, Tesis Mkn, Universitas Diponegoro, Semarang, 2009,
hal 37.
69
Riduan Syahrani, Op.cit., hal 206.
70
Ibid, hal 217.
Universitas Sumatera Utara
a. Orang-orang belum dewasa,
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan,
c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang –
undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang
telah melarang membuat perjanjian tertentu. Peraturan ini telah dicabut
dengan terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963
dan Undang-undang Nomor.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Ad.3. Syarat ketiga untuk sahnya perjanjian adalah adanya suatu hal
tertentu. Suatu hal tertentu harus ditafsirkan bahwa obyek perjanjian harus
“tertentu”. Sekalipun masing-masing obyek tidak harus individual tertentu,
menurut Pasal 1333 ayat (2) KUHPerdata dinyatakan bahwa semua jumlahnya
boleh tertentu asal kemudian hari dapat ditentukan. Tetapi jika pada saat
perjanjian ditutup obyek sama sekali tidak tertentu atau tidak ada adalah tidak
boleh. Jadi dimaksud dengan “suatu sebab tertentu” adalah paling tidak macam
atau jenis benda dalam perjanjian sudah ditentukan pada saat lahirnya
perjanjian. 71
Ad.4. Syarat keempat untuk sahnya perjanjian adalah adanya suatu “sebab
(latin: causa) yang halal (geoorloofde arzaak). KUHPerdata tidak memberikan
rumusan mengenai apa yang dimaksud “suatu sebab yang halal”. Hanya dalam
Pasal 1337 KUH Perdata
dinyatakan bahwa “Suatu sebab adalah terlarang
apabila, dilarang oleh undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan atau
ketertiban umum.”. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
71
J. Satrio, (2) Hukum Perikatan Buku II, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1998, hal 31.
Universitas Sumatera Utara
untuk sahnya suatu perjanjian causa nya harus diperbolehkan, dan sebaliknya
causa yang tidak diperbolehkan adalah apabila dilarang oleh undang-undang atau
bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Menurut pendapat Hamaker dan Hotman serta Hoge Raad dalam
Arrestnya tanggal 17 November 1922, yang dimaksud dengan causa perjanjian
adalah tujuan perjanjian, yakni apa yang menjadi tujuan bersama para pihak
dalam membuat perjanjian. Dengan demikian maka yang dimaksud dengan sebab
atau causa yang halal adalah bahwa tujuan perjanjian tidak bertentangan dengan
undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum. 72
Dikatakan bertentangan dengan undanng-undang apabila tujuan para pihak
mengadakan perjanjian secara jelas melanggar ketentuan undang-undang, dan
dikatakan bertentangan dengan kesusilaan adalah apabila tujuan para pihak
mengadakan perjanjian bertentangan dengan nilai-nilai positif yang hidup dalam
masyarakat. Sedangkan yang dikatakan melawan ketertiban umum adalah apabila
tujuan dari para pihak mengadakan perjanjian bertentangan dengan hal-hal yang
berkaitan dengan masalah kepentingan umum yakni kedamaian, ketentraman dan
keamanan hidup bemasyarakat. 73
Dua syarat yang pertama dinamakan syarat subyektif, karena mengenai
orang-oarang nya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian., sedangkan dua
syarat yang terakhir, dinamakan syarat-syarat obyektif, karena mengenai obyek
dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Tidak terpenuhinya syarat-syarat
tersebut atau salah satu syarat dari syarat tersebut adalah perjanjian tidak sah atau
72
73
Ibid, hal. 60-72.
Ibid. hal. 98-127.
Universitas Sumatera Utara
batal. Dalam hal syarat obyektif tidak terpenuhi, perjanjian adalah batal demi
hukum: artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan dari suatu perjanjian dan
tidak pernah ada perikatan,. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian
tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Sedangkan dalam
hal syarat subyektif tidak terpenuhi dalam Pasal 1446 KUHPerdata dinyatakan
bahwa “Semua perikatan yang dibuat oleh anak yang belum dewasa, atau orangorang yang berada dibawah pengampuan adalah batal demi hukum dan atas
tuntutan yang diajukan oleh atau dan pihak mereka, harus dinyatakan batal,
semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya.” Perjanjian tidak
batal demi hukum, tetapi dapat dibatalkan, artinya perjanjian itu oleh hukum
dianggap ada sampai salah satu pihak yang tidak cakap atau yang memberikan
sepakat secara tidak bebas meminta pembatalan. 74
Perjanjian dapat dibatalkan jika terjadi karena hal-hal sebagai berikut:
1) Kelalaian
Dikatakan lalai melaksanakan kewajibannya dalam sebuah perjanjian,
apabila debitur tersebut dinyatakan lalai dengan suatu surat perintah atau akta.
Dalam Pasal 1238 KUHPerdata dinyatakan bahwa “ Si berhutang adalah lalai,
apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah
dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa
si berhutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”
74
Subekti, Op.cit., hal 20.
Universitas Sumatera Utara
Surat perintah atau akta tersebut menyatakan secara tegas, bahwa debitur telah
lalai melaksanakan kewajibannya. Selain dengan surat perintah atau akta, lalainya
debitur melaksanakan kewajiban perjanjian juga dapat terjadi secara hukum
dengan lewatnya waktu, yaitu sampai batas waktu yang ditentukan dalam
perjanjian ternyata debitur tidak juga melaksanakan kewajibannya, maka ia
dinyatakan lalai. 75
2) Adanya Paksaan
Dalam sebuah perjanjian dikatakan dapat dibatalkan apabila dalam
pembuatan perjanjian tersebut terdapat ancaman, hal tersebut terkait dengan syarat
pertama yaitu sepakat dari para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian
tersebut. Dalam Pasal 1321 KUHPerdata dinyatakan bahwa “ Tiada sepakat yang
sah jika sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan
atau karena penipuan.” Mengenai apa yang dimaksud dengan paksaan itu sendiri
dapat dilihat dalam Pasal 1324 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Paksaan terjadi,
bila tindakan itu sedemikian rupa sehingga member kesan dan dapat menimbulkan
ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya, atau
kekayaannya, terancam rugi besar pada waktu dekat. Dalam mempertimbangkan
hal tersebut harus diperhatikan usia, jenis kelamin dan kedudukan orang yang
bersangkutan.” Dan dalam Pasal 1325 KUHPerdata dinyatakan bahwa Paksaan
menjadikan suatu perjanjian batal, bukan hanya dilakukan pada salah satu pihak
yang membuat perjanjian, melainkan juga dilakukan terhadap suami atau istri atau
75
Mariam Darus Badrulzaman, (1) Kompilasi Hukum Perikatan,Citra Aditya Bhakti,
Bandung, 2001, hal 63.
Universitas Sumatera Utara
keluarganya dalam garis keatas maupun kebawah. (KUHPerdata Pasal 290 dst,
Pasal 1323, Pasal 1449).
Menurut Elly Erawati dan Herlieno Budino, paksaan dalam KuhPerdata
adalah paksaan secara kejiwaan atau rohani, atau suatu situasi dan kondisi dimana
seseorang secara melawan hukum mengancam orang lain dengan ancaman yang
terlarang menurut hukum sehingga orang yang berada dibawah ancaman tersebut
berada dibawah ketakutan dan akhirnya memberikan persetujuannya dengan tidak
secara bebas. 76 Maka jika terdapat unsur paksaan dalam kesepakatan perjanjian
maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
3) Adanya Penipuan
Suatu perjanjian harus disertai dengan itikad baik goodfaith, (vide Pasal
1338 ayat (3) KUHPerdata). Apabila salah satu pihak mempunyai niat buruk atau
salah satu pihak mempunyai itikad buruk, maka pihak yang bersangkutan sejak
awal ada niat buruk untuk melakukan penipuan dalam suatu perjanjian, sehingga
tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian . Artinya perjanjian yang mengandung
unsur penipuan yang dilakukan dan diniatkan oleh salah satu pihak, atau mungkin
kedua belah pihak dalam konteks sebaliknya, tentu tidak memenuhi syarat sah
perjanjian. Namun penipuan tersebut harus dapat dibuktikan unsur penipuannya
dan dapat dibuktikan secara jelas bentuk penipuannya.. Dengan kata lain bilamana
secara umum sepakat tersebut tidak terpenuhi dengan adanya penipuan, maka
perjanjian tersebut dapat dibatalkan (voidable). Namun karena syarat yang
diabaikan adalah syarat subyektif yakni unsur sepakat, maka apabila salah satu
76
Elly Erawati dan Herlien Budiono, Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian,
Alumni Bandung, 2001, hal 56.
Universitas Sumatera Utara
pihak tidak berkenaan dengan perjanjian yang mengandung unsur penipuan
dimaksud, pihak lainnya dapat membatalkan. Maksudnya pihak yang merasa
dirinya dirugikan atas penipuan tersebut dapat melakukan upaya pembatalan, dan
tidak batal dengan sendirinya (null and void). 77
Perjanjian tersebut dikatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat yang
termuat
dalam
pasal
1320
KUHPerdata
dan
dalam
pelaksanaannya
memperhatikan pasal 1338 KUHPerdata yag mengandung asas pokok hukum
perjanjian.
E. Saat Lahirnya Perjanjian
Menurut ajaran yang paling tua, haruslah dipegang teguh tentang adanya
suatu persesuaian kehendak antara kedua belah pihak. Apabila kedua kehendak itu
berselisih tak dapatlah lahirnya suatu perjanjian.
Menurut asas konsensualisme, suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya
kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang
pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian
paham dan kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak
yang satu, adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lain, meskipun tidak
sejurusan tetapi secara timbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain. 78
Terdapat beberapa teori mengenai waktu kapan terjadinya kesepakatan: 79
1. Teori pernyataan (Uitingstheorie)
77
Abdulkadir Muhammad, Op.cit. hal 102.
Subekti, Op.cit., hal 26.
79
J. Satrio, Op.cit., hal 180.
78
Universitas Sumatera Utara
Menurut teori ini, perjanjian telah ada pada saat telah ditulis surat jawaban
penerimaan/akseptasi. Pasa saat ini kehendak dari orang yang menawarkan
dengan akseptor saling bertemu.
2. Teori Pengiriman (Verzendtheorie)
Teori ini menyatakan bahwa saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat
lahirnya perjanjian. Tanggal cap pos dapat digunakan sebagai dasar, sebab
sejak saat surat tersebut dikirimkan, akseptor tidak mempunyai kekuasaan lagi
atas surat tersebut.
3. Teori Pengetahuan (Vememingsthorie)
Dalam teori ini disebutkan bahwa perjanjian timbul pasa saat jawaban
akseptasi diketahui oleh orang yang menawarkan.
4. Teori Penerimaan (Ontavangstheorie)
Saat diterimanya jawaban menjadi patokan saat lahirnya kesepakatan Teori ini
tidak mempersalahkan apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak
dibuka, namun yang terpenting adalah surat tersebut sampai pada alamat si
penerima surat. Selanjutnya oleh Pitlo ditambahkan lagi teori yang lain yakni: 80
5. Teori Pengetahuan yang Obyektif (Geobjectiveer Devemrmingsteorie)
Kesepakatan lahir saat yang menawarkan secara obyektif mengetahuai atau
menurut akal sehat dapat menganggap bahwa akseptor telah mengetahui atau
telah membaca surat penawaran.
6. Teori Kepercayaan (Vertrouwenstheorie)
Kesepakatan dianggap telah terjadi pada saat akseptor percaya bahwa
tawarannya itu betul yang dimaksud.Apabila disimpulkan dari pasal 1320
KUHPerdata, yaitu pasal yang mengatur tentang syarat sahnya suatu
perjanjian, maka dapat diketahui bahwa hukum perjanjian yang dianut dari BW
adalah asas konsensualisme. Artinya bahwa untuk melahirkan suatu perjanjian
cukup dengan kata sepakat saja, dan bahwa perjanjian itu sudah dilahirkan
pada saat atau detik tercapainya consensus dimaksud. Pada detik tersebut sudah
jadi dan mengikat, dan bukan pada detik-detik sesudah atau sebelum
tercapainya consensus. Kehendak ini haruslah dinyatakan. Kehendak atau
keinginan yang disimpan didalam hati tidak mungkin diketahui oleh pihak lain
dank arena nya tidak mungkin melahirkan perjanjian.
80
Purwahid Patrik, (1) Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 1994,
hal. 57.
Universitas Sumatera Utara
Faktor atau unsur manakah dari suatu perjanjian yang menjadikan para
pihak terikat, apakah kehendak atau pernyataannya? Bila ditinjau dari sudut
pandang ini , beberapa teori yang berkaitan, yaitu: 81
a. Teori Kehendak (Wilstheorie)
Menurut teori ini perjanjian mengikat apabila kedua belah pihak telah
saling bertemu dan perjanjian mengikat atas dasar bahwa kehendak
para pihak patut untuk dihormati. Sehingga pada prinsipnya suatu
persetujuan yang tidak didasarkan atas suatu kehendak yang benar
adalah tidak sah.
b. Teori Pernyataan
Dalam teori ini yang menjadi patokan adaah apa yang ditanyakan oleh
seseorang. Bila pernyataan kedua belah pihak sudah saling bertemu,
maka perjanjian sudah terjadi dan karenanya mengikat para pihak.
c. Teori Kepercayaan
Teori ini merupakan perbaikan dari teori kehendak dan teori
kepercayaan. Dalam teori ini dinyatakan bahwa sepakat terjadi kalau
pernyataan kedua belah pihak menurut ukuran normal saling
membangkitkan kepercayaan bahwa antara mereka telah terjadi
sepakat yang sesuai dengan kehendak para pihak. Pada prinsipnya
yang menjadi patokan adalah kepercayaan yang dibangkitkan karena
kepercayaan pihak lainnya.
Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap
lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran (offerte) menerima jawaban
yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah yang dapat dianggap
sebagai detik lahirnya kesepakatan. Bahwasanya ia tidak membaca isi surat
tersebut maka itu adalah tanggungannya sendiri. 82
Menurut Wirjono Prodjodikoro Ontvangs theorie dan vernentings theorie
dapat dikawinkan demikian rupa, yaitu dalam keadaan biasa perjanjian harus
dianggap terjadi pada saat surat penerimaan sampai pada alamat penawar
81
82
J. Satrio. (2) Op.cit., hal 139.
Subekti, Op.cit., hal 28.
Universitas Sumatera Utara
(Ontvangs theorie), tetapi pada keadaan luar biasa kepada sipenawar mungkin
dapat mengetahui bentuk isi surat penerimaan pada sampai surat itu sampai pada
alamatnya, melainkan pada waktu beberapa hari kemudian, misalnya karena
berpergian atau karena sakit keras. 83
F. Akibat Perjanjian
Semua perjanjian yang dibuat secara sah adalah mengikat para pihak yang
membuat kesepakatan. Hal ini merupakan inti dari Pasal 1338 KUHPerdata
dinyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Kata ‘berlaku sebagai UndangUndang’ disini berarti mengikat para pihak yang menutup perjanjian;
sebagaimana halnya dengan Undang-Undang juga mengikat orang terhadap siapa
Undang-Undang berlaku. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan membuat
perjanjian maka para pihak seakan-akan menetapkan Undang-Undang bagi
mereka sendiri. 84
Salah satu aspek yang sangat penting dalam perjanjian adalah pelaksanaan
perjanjian sebagai salah satu akibat dari perjanjian. Dalam Pasal 1234
KUHPerdata dinyatakan bahwa “Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu,
untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.” Bahkan dapat dikatakan
justru pelaksanaan perjanjian inilah yang menjadi tujuan orang-orang yang
83
84
Wirjono Prodjodikoro, Op.cit., hal 40.
Ratih Kusuma Wardani, Op.cit., hal 43.
Universitas Sumatera Utara
mengadakan perjanjian, karena justru dengan pelaksanaan perjanjian itu, pihakpihak yang membuatnya akan dapat memenuhi kebutuhannya, kepentingannya
serta mengembangkan bakatnya. 85
Perjanjian kalau dilihat dari wujudnya adalah merupakan rangkaian katakata yang mengandung janji-janji atau kesanggupan-kesanggupan yang diucapkan
atau dituangkan dalam bentuk tulisan oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian.
Dalam perjanjian tercantum hak-hak dan kewajiban para pihak yang
membuatnya. 86
Melaksanakan perjanjian berarti melaksanakan sebagaimana mestinya apa
yang merupakan kewajiban terhadap suatu perjanjian itu di buat itu adalah bagian
dari akibat yang diterima dari pembuat perjanjian. Oleh karena itu, melaksanakan
perjanjian adala berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu untuk kepentingan
orang lain yakni pihak yang berhak atas pelaksanaan perjanjian tersebut. 87
G. Saat Berakhirnya Perjanjian
Mengenai hapusnya perjanjian atau berakhirnya perjanjian di atur pada
Titel ke 4 Buku III KUHPerdata. Masalah ”hapusnya perjanjian” (tenietgaan van
verbintenis) bisa juga disebut “hapusnya persetujuan” (tenietgaan van
overeenkomst). Berarti, menghapuskan semua pernyataan kehendak yang telah
dituangkan dalam persetujuan bersama antara pihak kreditur dan debitur.
Sehubungan dengan hal ini perlu kiranya mendapat perhatian ditinjau dari segi
teoritis, hapusnya persetujuan sebagai hubungan hukum antara kreditur dan
85
Mariam Darus Badrulzaman, (1) Op.cit., hal 102.
Riduan Syahrani, Op.cit., hal 244.
87
Purwahid Patrik, (1) Op.cit., hal 45.
86
Universitas Sumatera Utara
debitur dengan sendirinya akan menghapuskan seluruh perjanjian. Akan tetapi
sebaliknya dengan hapusnya perjanjian belum tentu dengan sendirinya
mengakibatkan
hapusnya
persetujuan.
Hanya
saja
dengan
hapusnya
perjanjian,persetujuan yang bersangkutan tidak lagi mempunyai kekuatan
pelaksanaan. Sebab dengan hapusnya perjanjian berarti pelaksanaan persetujuan
telah dipenuhi debitur. 88
Dinyatakan dalam Pasal 1381 KUHPerdata, suatu perjanjian berakhir
dikarenakan:
1. Adanya pembayaran;
2. Penawaran pembayaran dikuti dengan penitipan atau penyimpanan;
3. Pembaharuan utang (novasi);
4. Perjumpaan utang (kompensasi);
5. Pencampuran utang;
6. Pembebasan utang;
7. Musnahnya barang yang terutang;
8. Batal/Pembatalan;
9. Berlakunya suatu syarat batal;
10. Lewatnya waktu;
Perincian dalam Pasal 1381 KUHPerdata itu tidak lengkap, karena telah
dilupakan hapusnya suatu perikatan karena lewatnya suatu ketetapan waktu yang
dicantumkan dalam suatu perjanjian. Selanjutnya dapat di peringatkan dalam
beberapa cara yang khusus ditetapkan terhadap perikatan, misalnya ketentuan
88
M. Yahya Harahap, Op.cit., hal 106.
Universitas Sumatera Utara
bahwa suatu perjanjian “maatschap” atau perjanjian “lastgeving” hapus dengan
meninggalnya seorang anggota maatschap itu atau meninggalnya orang yang
memberikan perintah dan karena curatele pernyataan pailit mengakibatkan juga
hapusnya perjanjian maatschap itu. 89
a. Pembayaran
Yang dimaksud dengan undang-undang dengan kata pembayaran ialah
pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian secara suka rela, artinya tidak dengan
paksaan atau eksekusi. Jadi perkataan itu oleh undang-undang tidak melulu
ditujukan pada penyerahan uang saja, tetapi penyerahan tiap barang menurut
perjanjian,
dinamakan
pembayaran,
bahkan
sipekerja
yang
melakukan
pekerjaannya untuk majikannya dikatakan “membayar”. Pada asasnya hanya
orang yang berkepentingan saja yang dapat melakukan pembayaran secara sah,
seperti orang yang turut berhutang atau si penanggung (borg). Barang yang
dibayarkan haruslah milik orang yang melakukan pembayaran dan orang itu juga
harus berhak untuk memindahkan barang-barang itu ketangan orang lain.
Pembayaran itu harus dibayarkan kepada si berpiutang atau seorang yang telah
dikuasakan olehnya atau undang-undang, misalnya seorang juru kuasa atau
seorang wali. 90
Mengenai pembayaran sebagai salah satu alasan yang menyebabkan
hapusnya perikatan dapat diketahui dalam Bagian I Bab IV Buku III KUHPerdata,
mulai dari pasal 1328 KUHPedata hingga pasal 1403 KUHPerdata. Diawali
dengan ketentuan Pasal 1382 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Tiap-tiap perikatan
89
90
Subekti, (1) Op.cit., hal 152.
Ibid, hal 152-153.
Universitas Sumatera Utara
dapat dipenuhi oleh siapa saja yangberkrpentingan, seperti orang yang berpiutang
atau orang yang turut menanggung hutang.
Suatu perikatan bahkan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga
yang tidak mempunyai kepentingan, asal saja pihak orang ketiga itu bertindak atas
nama dan untuk melunasi utang debitor, atau jika ia bertindak atas namanya
sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak kreditor”. Dengan demikian yang
dimaksud dengan pembayaran adalah pemenuhan perikatan, kewajiban atau utang
debitor kepada kreditor. 91
b. Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti oleh Penyimpanan
Ini, suatu cara untuk menolong si berhutang dalam hal si berpiutang tidak
suka menerima pembayaran. Barang yang hendak dibayarkan itu diantarkan pada
si berpiutang atau ia diperingatkan untuk mengambil barang itu dari suatu tempat.
Jikalau ia tetap menolaknya, maka barang itu disimpan disuatu tempat atas
tanggungan si berpiutang. Penawaran dan peringatan tersebut harus dilakukan
secara resmi, misalnya oleh seorang jurusita yang membuat proses verbal dari
perbuatannya itu sedangkan penyimpanan dapat dilakukan di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri, dengan diberitahukan kepada si berpiutang. Jika cara-cara
yang ditetapkan oleh undang-undang dipenuhi, dengan disimpannya barang
tersebut, si berhutang telah dibebaskan dari hutangnya. Artinya ia dianggap telah
membayar secara sah. 92
c.
Pembaruan Hutang
91
92
Gunawan Widjaja, Hapusnya Perikatan, Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal 13.
Abdulkadir Muhammad, Op.cit. hal 176.
Universitas Sumatera Utara
Suatu pembuatan baru yang menghapuskan suatu perikatan lama, sambil
sambil meletakkan suatu perikatan baru. Menurut Pasal 1415 KUHPerdata
dinyatakan bahwa, kehendak untuk melakukan suatu pembarun hutang itu,
harus ternyata secara jelas dari pembuatan para pihak (dalam Pasal ini
perikatan akte berarti pembuatan). Suatu pembaharuan hutang misalnya, akan
terjadi jika seseorang penjual barang membebaskan si pembeli dari
pembayaran harga barang, tetapi si pembeli itu disuruh menandatangani suatu
perjanjian pinjaman uang yang jumlahnya sama dengan harga barang itu,
pembaharuan hutang dapat juga terjadi, jika si berhutang dengan persetujuan
si berpiutang diganti oleh seorang lain yang menyyanggupi akan membayar
hutang itu. Disini juga ada perjanjian baru yang membebaskan si berpiutang
yang lama dengan timbulnya perikatan baru antara si berpiutang dengan
orang yang baru itu. 93
d.
Kompensasi atau Perhitungan Hutang Timbal Balik
Jika seorang yang berhutang, mempunyai suatu piutang pada si berpiutang,
sehingga dua orang itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu kepada
si berpiutang yang lainnya, maka hutang piutang antara kedua orang itu dapat
di perhitungkan untuk suatu jumlah yang sama. Menurut Pasal 1426
KUHPerdata perhitungan itu terjadi dengan sendirinya. Artinya tidak perlu
para pihak menuntut diadakannya perhitungan itu. Untuk perhitungan itu
tidak diperlukan bantuan dari siapapun. Untuk dapat diperhitungkan satu
93
Gunawan Widjaja, Op.cit. hal 80.
Universitas Sumatera Utara
sama lain, kedua berpiutang itu harus mengenai uang atau mengenai sejumlah
uang yang semacam, misalnya beras atau hasil bumi lainnya dari satu
kwalitet. Lagi pula kedua piutang harus dapat dengan seketika ditetapkan
jumlahnya dan seketika dapat ditagih. 94
e.
Pencampuran Hutang
Ini, terjadi jika si berhutang kawin dalam pencampuran harta kekayaan
dengan si berpiutang atau dengan si berhutang menggantikan hak-hak si
berpiutang karena menjadi warisnya ataupun sebaliknya. 95
f.
Pembebasan Hutang
Suatu perjanjian baru dimana si berpiutang dengan sukarela membebaskan si
berhutang dari segala kewajibannya. Pembebasan itu diterima baik oleh si
berhutang. Sebab ada juga kemungkinan seseorang yang berhutang tidak suka
dibebaskan dari hutangnya. Dalam Pasal 1439 KUHPerdata dihnyatakan
bahwa jika si berpiutang dengan sukarela memberikan surat perjanjian hutang
dengan si berhutang, itu dapat dianggap suatu pembuktian tentang adanya
suatu pembebasan hutang. Dalam Pasal 1441 KUHPerdata dinyatakan bahwa
Jika
suatu
barang
tanggungan
dikembalikan,
itu
belum
dianggap
menimbulkan persangkaan tentang adanya pembebasan hutang. 96
g.
Hapusnya Barang yang Dimaksudkan dalam Perjanjian
94
Ibid, hal 81.
J.Satrio, (1) Op.cit.hal 146.
96
Ibid, hal 147.
95
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pasal 1444 KUHPerdatadinyatakan bahwa, Jika suatu barang tertentu
yang dimaksudkan dalam perjanjian hapus atau karena suatu larangan yang
dikeluarkan oleh pemerintah, tidak boleh di perdagangkan atau hilang sampai
tidak terang keadaannya, maka perikatan menjadi hapus, asal saja hapus atau
hilangnya barang tersebut sama sekali di luar kesalahan si berhutang dan
sebelumnya ia lalai menyerahkannya. Bahkan meskipun ia lalai menyerahkan
barang itu, ia pun akan bebas dari perikaan apabila ia dapat membuktikan
bahwa hapusnya barang itu disebabkan karena suatu kejadian diluar
kekuasaannya. 97
h.
Pembatalan Perjanjian
Kalau yang dimaksudkan oleh undang-undang itu untuk melindungi suatu
pihak yang membuat perjanjian sebagaimana halnya dengan orang-orang
yang masih dibawah umur atau dalam hal terjadi suatu paksaan, kekhilafan
atau penipuan, maka pembatalan itu hanya dpat dituntut oleh orang yang
hendak dilindungi oleh undang-undang itu. Akan tetapi dalam hal yang
dimaksudkan oleh undang-undang itu untuk menjaga ketertiban umum,
sebagaimana hal nya dengan perjanjian-perjanjian yang mempunyai sebab
yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum,
maka pembatalan itu dapat dimintakan oleh siapa saja asal mempunyai
kepentingan. Penuntutan pembatalan yang dapat diajukan oleh salah satu
pihak yang merasa dirugikan, karena perjanjian itu harus dilakukan dalam
97
Gunawan Widjaja, Op.cit. hal 127.
Universitas Sumatera Utara
waktu lima tahun, waktu mana yang diperoleh seseorang dalam membuat
perjanjian yang dibuat oleh seorang yang belum dewasa dihitung dari orang
itu menjadi dewasa dan dalam hal suatu perjanjian yang dibuat karena
kekhilafan ataupun penipuan ini diketahui nya. Penuntutan pembatalan akan
tidak diterima oleh hakim, jika ternyata sudah ada penerimaan baik dari pihak
yang dirugikan. Karena orang yang telah menerima baik sutu kekurangan atau
suatu perbuatan yang merugikan padanya, dapat dianggap telah melepaskan
haknya untuk meminta pembatalan. 98
Selain cara-cara diatas, ada cara-cara lain yang tidak disebutkan, misalnya:
berakhirnya suatu ketetapan waktu dalam suatu perjanjian atau meninggalnya
salah satu pihak dalam beberapa macam perjanjian, seperti meninggalnya seorang
persero dalam suatu perjanjian firma dan pada umumnya dalam perjanjian dimana
prestasi hanya dapat dilaksanakan oleh si debitur sendiri dan tidak oleh seorang
lain. 99
98
99
Subekti, (1) Op.cit., hal 161.
Purwahid Patrik, (1) Op.cit. hal 205.
Universitas Sumatera Utara
Download