Implikasi Setelah Mengundangkan 2 Protokol Opsional KHA

advertisement
Mata Anak
Serial Edisi Nomor: 01/VIII/2012
Implikasi Lebih Lanjut Setelah
Mengundangkan 2 Protokol Opsional KHA
A. Pengantar
P
olitik HAM, khususnya dalam pemajuan dan perlindungan hak anak, saat ini kembali
memperoleh jalan terang ketika DPR dan Pemerintah bersepakat untuk mengesahkan 2
Protokol Opsional Konvensi Hak Anak (KHA) yaitu Protokol Opsional KHA mengenai
Keterlibatan Anak dalam Situasi Konflik Bersenjata dan Protokol Opsional KHA mengenai
Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak, menjadi undang-undang. Namun
pengesahan ini baru menjadi komitmen politik awal karena manakala suatu konvensi telah
diratifikasi maka rangkaian kewajiban harus dilaksanakan oleh negara yang bersangkutan
berdasarkan prinsip pacta sunt servanda dan good faith.
Seringkali suatu negara terlambat melaksanakan komitmen internasionalnya untuk mengesahkan
suatu konvensi mengenai HAM, padahal sudah lama konvensi tersebut ditandatangani. Sebagai
contoh, untuk membuat undang-undang ratifikasi kedua protokol opsional KHA, Indonesia
membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun sejak pemerintah menandatanganinya pada 24
September 2001. Komitmen untuk meratifikasi Kedua Protokol Opsional KHA telah dituangkan
dalam agenda Rencana Aksi Nasional Hak Azasi Manusia (Ranham) yang telah dibuat pada tahun
2004 yang lalu. Dalam Ranham tersebut dinyatakan bahwa ratifikasi kedua konvensi itu
dijadwalkan pada tahun 2005 dan 2006.
Pada saat RDPU antara Pemerintah dengan Komisi III DPR, Menteri Luar Negeri Marty
Natalegawa menyatakan bahwa penundaan ini terkait dengan permasalahan koordinasi antara
para pemangku kepentingan, meskipun tidak dijelaskan lebih detail permasalahan tersebut.
Padahal beberapa prasyarat untuk mengimplementasikan kedua Protokol Opsional sudah
tersedia karena perangkat perundang-undangan yang mendukung dilaksanakannya kedua
protokol tersebut sudah terbentuk, seperti UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Terhadap Orang, dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia.
Setiap ratifikasi suatu instrumen Hukum HAM internasional, terdapat manfaat yang akan
diterima oleh negara yang meratifikasi instrumen tersebut. Pandangan Richard Nielsen (2012)
yang mempergunakan teori penghargaan (rewards theory) dari untuk melihat keuntungan apa
yang bakal diterima oleh negara pihak. Motivasi negara dalam meratifikasi seringkali menurut
Hathaway dilatarbelakangi kehendak mendapatkan penghargaan, bukan untuk mengharapkan
efek.
Dalam konteks ini, Nielsen menyatakan bahwa ratifikasi yang dilakukan oleh suatu negara
membawa 2 (dua) manfaat bagi negara pihak, yaitu kemanfaatan yang berwujud secara
ekonomik (tangible economic benefits) dan kemanfaatan
yang tidak berwujud karena
menyangkut dimensi legitimasi sosial (legitimate social benefit). Setelah meratifikasi suatu
konvensi mengenai HAM, negara tersebut berharap dapat menarik lebih banyak investasi asing,
sumbangan bantuan, akses yang lebih luas dalam perdagangan internasional, dan manfaat nyata
lainnya. Di sisi yang lain, negara tersebut juga mengharapkan performanya dianggap lebih baik
dalam pandangan masyarakat internasional.
Yayasan Pemantau Hak Anak
Hal. | 1
Mata Anak
Serial Edisi Nomor: 01/VIII/2012
Motivasi untuk mendapatkan manfaat mungkin yang melatarbelakangi Pemerintah Republik
Indonesia mengesahkan kedua Protokol Opsional KHA. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah
yang tengah membangun citra politik melalui berbagai fora hubungan internasional. Selain itu,
langkah pengesahan ini sudah dipastikan akan dipergunakan sebagai substansi laporan periodik
kepada Komite Hak Anak bahwa pemerintah telah melaksanakan komitmennya menjamin
perlindungan anak. Sebelumnya pemerintah juga telah mengesahkan Konvensi Perlindungan
Buruh Migran dan Keluarganya. Apalagi Indonesia terpilih kembali menjadi anggota Dewan HAM
PBB untuk periode 2011 – 2014. Dengan demikian citra Indonesia sebagai negara yang
menghormati HAM di mata masyarakat internasional harus tetap terlihat baik. Hal ini diakui oleh
salah satu diplomat Republik Indonesia, Darmansjah Djumala bahwa (2010), etelah pulih dari krisis
pada 1998, diplomasi Indonesia difokuskan pada upaya pencitraan di luar negeri. Diplomasi
pencitraan bagi sebuah negara mutlak perlu sebagai upaya untuk memperoleh kepercayaan
dunia.
Diplomasi pencitraan yang kini tengah dibangun oleh diplomat kita tidak terlepas dari situasi
politik dalam negeri yang dibangun melalui politik pencitraan. Situasi diplomasi pencitraan
sesuai dengan pandangan Simon Anholt (2010) yang menyatakan bahwa saat ini dalam menjalin
hubungan internasional, setiap negara membutuhkan “nation brand” melalui pembentukan
citra dan identitas untuk meningkatkan reputasi negara di mata masyarakat internasional.
B. Kewajiban Pasca Ratifikasi
Langkah awal yang harus dilaksanakan oleh negara, pasca ratifikasi adalah melakukan
harmonisasi hukum. Harmonisasi hukum dapat didefinisikan sebagai aktivitas yang dilakukan
oleh pemerintah untuk memastikan bahwa hukum nasional dan regulasi administrasi yang terkait
sesuai dengan instrumen Hukum HAM internasional yang telah diratifikasi. Hal ini membutuhkan
pengembangan dan implementasi perencanaan nasional atau kebijakan untuk
mengharmonisasikan hukum nasional dengan instrumen Hukum HAM Internasional (Jaap E.
Doek, 2007).
Menurut Jaap E. Doek, terdapat 2 langkah dalam mengharmonisasikan hukum yang harus
dilakukan secara paralel, yaitu harmoni eksternal dan harmoni internal Harmoni eksternal
dilakukan melalui penyesuaian hukum nasional dengan prinsip dan norma universal HAM.
Harmonisasi internal dilakukan melalui upaya harmonisasi antarperaturan perundang-undangan
yang berlaku untuk menghilangkan kontradiksi norma antar antarperaturan perundangundangan tersebut.
Hendardi (2007) mengacu pada pendapat Hikmahanto Juwana, menjelaskan terdapat kewajiban
umum yang dibebankan kepada negara setelah meratifikasi konvensi mengenai HAM, yaitu:
1. Memberikan laporan secara periodik mengenai pelaksanaan suatu konvensi kepada
Komisi yang membidangi sesuai dengan ruang lingkup substansi HAM yang diatur dalam
konvensi tersebut;
2. Mengambil langkah-langkah
mereformasi
kebijakan agar substansi peraturan
perundang-undangan yang ada sesuai dengan norma yang diatur dalam konvensi HAM.
Reformasi legislasi ini dilakukan melalui amandemen peraturan perundang-undangan
yang ada atau membuat peraturan perundang-undangan yang baru guna mengadopsi
norma-norma hukum yang diatur dalam suatu konvensi;
Yayasan Pemantau Hak Anak
Hal. | 2
Mata Anak
Serial Edisi Nomor: 01/VIII/2012
3. Melaksanakan 4 (empat) kewajiban pokok negara yang berbeda derajat keterlibatan dan
metode intervensinya, yakni memajukan, menghargai, melindungi, dan memenuhi HAM
setiap warga negara yang berada dalam yurisdiksi negara tersebut.
Dari ketiga kewajiban tersebut, kewajiban untuk melakukan tranformasi norma-norma universal
HAM ke dalam hukum nasional merupakan kewajiban paling penting. Hukum Internasional agar
dapat mempunyai daya laku yang efektif membutuhkan peran hukum nasional. Artinya harus ada
persinggungan dua sistem hukum yakni sistem hukum internasional dan sistem hukum nasional.
Persinggungan ini merupakan prasyarat mutlak (conditio sine quanon) dalam menegakkan
norma-norma hukum HAM internasional.
Dalam kaitan ini, G.J.H. Van Hoof (2000) mengutip H.L. A Hart menyatakan bahwa oleh karena
ketentuan hukum internasional bersifat open texture maka hukum nasional harus
mengimplementasikan hukum internasional melalui pengadilan atau pejabat-pejabat resmi
negara. Dengan kata lain, hukum internasional harus didesentralisasi kepada suatu negara.
Menurut Eddy Pratomo (2011) dengan mengutip pendapat Soemaryo Suryokusumo
persinggungan antara hukum nasional dengan hukum internasional dengan cara sebagai berikut:
1) Teori Monisme
Teori ini berpandangan bahwa kewajiban internasional dan aturan-aturan negara
merupakan dua fenomena yang sama, yang keduanya berasal dari norma dasar dan
berasal dari tatanan kesatuan konsepsi hukum;
2) Teori Dualisme
Teori ini menganggap bahwa aturan-aturan dalam sistem hukum internasional dan hukum
nasional dibedakan satu sama lain dan tidak dapat berarti bahwa yang satu dapat
mempengaruhi atau mengesampingkan yang lain. Hukum internasional dan hukum
nasional keduanya berbeda secara esensial karena masing-masing sistem mengatur
masalah;
3) Teori Specific Adoption Theory
Teori ini berpandangan bahwa hukum internasional dapat diterapkan dalam bidang
hukum nasional suatu negara hanya jika hukum nasional mengizinkan atau
mengesahkannya secara khusus seperti halnya dengan perjanjian-perjanjian internasional;
4) Teori Transformasi
Teori ini berpandangan bahwa baik hukum internasional maupun hukum nasional
merupakan dua sistem hukum yang berbeda dan bekerja secara terpisah. Oleh karena itu,
sebelum suatu aturan atau prinsip internasional bisa berpengaruh terhadap yurisdiksi
nasional maka hal itu harus ditransformasikan secara jelas dan khusus dalam peraturan
perundang-undangan nasional. Hal ini dilakukan melalui mekanisme konstitusional yang
layak seperti proses ratifikasi atau aksesi oleh parlemen (DPR);
5) Delegation theory
Teori ini berpendapat bahwa aturan hukum internasional dalam Undang-Undang Dasar
suatu negara yang memperbolehkan untuk menetapkan bahwa perjanjian-perjanjian
internasional dapat diterapkan dalam bidang hukum nasional. Dengan demikian, tidak
diperlukan lagi baik pengesahan secara khusus maupun transformasi terhadap aturan
hukum internasional dalam setiap kasus. Aturan hukum internasional dapat diterapkan
dalam bidang hukum nasional sesuai dengan prosedur dan sistem yang ada dalam setiap
negara menurut Undang-Undang Dasarnya;
Yayasan Pemantau Hak Anak
Hal. | 3
Mata Anak
Serial Edisi Nomor: 01/VIII/2012
6) Teori Inkorporasi
Teori ini menganggap bahwa hukum internasional secara otomatis merupakan bagian
dari hukum nasional tanpa memerlukan prosedur ratifikasi oleh parlemen. Teori ini
sebenarnya mengacu pada hukum kebiasaan internasional dan aturan-aturan yang
berbeda yang diterapkan pada perjanjian-perjanjian internasional.
Dalam konteks Indonesia, oleh karena UUD 1945 tidak memuat ketentuan mengenai kedudukan
hukum internasional dalam sistem hukum nasional. Meskipun demikian
Indonesia tidak
menganut aliran dualisme, tetapi sepertinya halnya negara Eropa, Indonesia menganggap dirinya
terikat untuk
melaksanakan ketentuan perjanjian internasional yang disahkan, tanpa
memerlukan pengaturan perundang-undangan pelaksanaannya (implementing legislation).
Setiap perjanjian internasional yang ditandatangani oleh Indonesia akan meminta persetujuan
DPR untuk diratifikasi dalam bentuk undang-undang atau dalam bentuk keputusan
presiden/peraturan presiden. Dalam praktik Indonesia juga membedakan antara perjanjian
internasional yang memerlukan persetujuan DPR dengan perjanjian yang hanya memerlukan
persetujuan pemerintah (eksekutif) dengan memberitahukan kepada DPR. Dengan demikian,
setiap perjanjian yang memerlukan ratifikasi dari DPR, baru dapat dilaksanakan jika telah keluar
undang-undang pengesahannya. Setelah itu dapat langsung diterapkan dalam sistem hukum
nasional dan pengadilan nasional tanpa harus memerlukan suatu undang-undang pelaksanaan
tersendiri (Melda Kamil Aridno, 2007).
Kemudian, pengesahan atas UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional mendorong
secara signifikan proses integrasi perjanjian internasional ke dalam hukum nasional. Pada
dimensi praktik, proses integrasi perjanjian internasional ke dalam hukum nasional yang tata
caranya diatur dalam UU No. 24 tahun 2000 sebenarnya hanya mengangkat praktik
ketatanegaraan yang telah berlangsung dari semenjak merdeka hingga saat ini. Secara konsisten
integrasi perjanjian internasional ke dalam hukum nasional selalu menggunakan 2 (dua)
instrumen peraturan perundang-undangan, yaitu undang-undang dan peraturan
presiden/keputusan presiden. Hal ini direfleksikan melalui ketentuan Pasal 9, 10, dan 11 UU No. 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Eddy Pratomo, 2011).
Lebih jauh menurut (Eddy Pratomo, 2011) pembedaan bentuk hukum integrasi tersebut bukan
dimaksudkan untuk menyusun hierarki atas bawah dari perjanjian internasional. Pembedaan
tersebut hanya untuk membedakan mana perjanjian yang lebih penting dan mana yang kurang
penting dari perspektif pembentukan norma hukum di Indonesia. Tujuan lain dari pembedaan
tersebut terkait dengan segi kepraktisan mengingat tata cara pembuatan peraturan perundangundangan melalui bentuk undang-undang memerlukanproses birokrasi yang cukup lama
ketimbang membentuk peraturan presiden/keputusan presiden.
Dalam konteks, pelaksanaan KHA dan kedua Protokol Opsional KHA, negara pihak diwajibkan
untuk meluruskan hukum nasional yang merefleksikan komitmen negara tersebut terhadap
perjanjian internasional yang diratifikasi. Hal ini seringkali dihubungkan dengan domestifikasi
atau harmonisasi. Domestifikasi salah satunya dilakukan mengatur dalam konstitusi suatu
negara dan atau mengundangkan legislasi baru untuk memberikan status hukum internasional
sebagai hukum domestik. Langkah legislasi, administrasi, dan langkah lain tersebut bertujuan
untuk mengurangi ketidaksesuaian antara sistem hukum nasional dan prosedurnya dalam
kaitannya dengan KHA. Dengan kata lain, upaya domestifikasi ini bertujuan untuk memberikan
efek hukum KHA (Nancy Kanyago, et.al., 2007).
Yayasan Pemantau Hak Anak
Hal. | 4
Mata Anak
Serial Edisi Nomor: 01/VIII/2012
Kewajiban negara untuk melakukan reformasi legislasi (reformasi hukum) merupakan salah satu
aspek penting untuk menciptakan suatu lingkungan untuk mewujudkan jaminan pemajuan dan
perlindungan hak anak. Reformasi legislatif merupakan upaya menciptakan kerangka kerja
legislatif untuk mengabadikan hak-hak anak. Namun demikian, membangun kerangka hukum
tersebut belum cukup menjamin hak-hak anak karena langkah ini mensyaratkan tersedianya:
1) Mekanisme dan institusi, termasuk pemberian otoritas penuh terhadap insitusi tersebut,
yang dibangun secara khusus untuk menegakkan hak-hak anak secara efektif
2) Penganggaran yang layak untuk mendukung mekanisme dan institusi dapat bekerja
secara optimal;
3) Aparat pemerintah (birokrasi) yang mendukung pelaksanaan jaminan hak-hak anak
melalui upaya administrasi, regulasi, perencanaan, dan program;
4) Aparat penegak hukum yang memahami hak-hak anak dan sistem peradilan yang
dibentuk sesuai dengan prinsip-prinsip hak anak (sistem peradilan yang responsif
terhadap anak).
5) Masyarakat yang menghidupkan sistem nilai yang menghargai anak sehingga tercipta
tatanan lingkungan yang protektif terhadap anak-anak
Dengan kata lain, kelima langkah pelaksanaan prinsip dan norma KHA tersebut, apabila merujuk
pada pendapat Erica Hall (2007), merupakan upaya membangun perspektif hak anak melalui
hukum, kebijakan, penganggaran dan reformasi institusional dalam ranah nasional.
Ketentuan KHA dan Kedua Protokol Opsional yang memandatkan negara untuk membangun
perspektif hak anak melalui hukum, kebijakan, penganggaran dan reformasi institusi dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
KHA
Pasal 4
Negara-negara Pihak akan melakukan
semua tindakan legislatif, administratif,
dan lainnya yang tepat untuk
pelaksanaan hak yang diakui dalam
Konvensi ini. Berkenaan dengan hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya, Negaranegara Pihak harus mengambil
langkah-langkah maksimal dari
sumberdaya yang tersedia dan apabila
dibutuhkan dalam kerangka kerjasama
internasional.
Protokol Opsional KHA mengenai
Keterlibatan Anak dalam Situasi
Konflik Bersenjata
Pasal 6 Ayat (1)
Protokol Opsional KHA mengenai
Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan
Pornografi Anak
Pasal 9 Ayat (1)
Setiap negara pihak harus menerapkan
langkah-langkah hukum, administrasi
dan langkah-langkah lainnya yang
menjamin pelaksanaan secara efektif
dan penegakan ketentuan-ketentuan
Protokol ini di dalam wilayah
yuridiksinya.
Negara-negara pihak harus
memberlakukan, memperkuat,
melaksanakan dan menyebarluaskan
hukum, tindakan administratif, kebijakan
dan program sosial, untuk mencegah
terhadinya tindak kejahatan yang
tercantum dalam protokol ini
Menurut Nadine Perrault (2008), Pasal 4 KHA seluruh kewajiban tersebut mensyaratkan
langkah legislatif yang tepat, administrasi, dan tindakan yang lain untuk mengimplementasikan
hak-hak anak yang telah dijamin dalam KHA. Ketentuan ini memiliki implikasi yuridis bagi negara
pihak untuk melakukan reformasi legisaltif sebagai salah satu titik masuk dan strategi yang
efektif untuk memajukan hak-hak anak.
Yayasan Pemantau Hak Anak
Hal. | 5
Mata Anak
Serial Edisi Nomor: 01/VIII/2012
Dengan kata lain, reformasi legislasi merupakan elemen utama kewajiban yang dimandatkan
oleh Pasal 4 KHA untuk memastikan bahwa seluruh legislasi domestik secara penuh
berkesesuaian dengan KHA dan prinsip-prinsip dan ketentuan yang ada dalam KHA secara
efektif dapat ditegakkan. Meskipun program dan institusi sosial untuk mengimplementasikan
KHA juga penting, namun reformasi hukum merupakan langkah pertama ke arah implementasi
yang efektif dan berkelanjutan hak-hak anak (Ann Skelton, 2007).
Menurut Nancy Kanyago, et.al., (2007), terdapat 2 perbedaan tingkat untuk mencapai
harmonisasi, yaitu:
1) Meninjau secara menyeluruh legislasi dan kebijakan yang masing berlaku (existing policies
and legislation) dan melakukan konsolidasi hukum yang memiliki keterkaitan erat dengan
anak menjadi legislasi pokok (utama);
2) Amandemen ad hoc dan/atau membentuk (formulasi) hukum terkait dengan anak yang
ditujukan terhadap legislasi yang masih berlaku atau sebagai isu baru dan penting untuk
melakukan amandemen secara spesifik atau membentuk undang-undang baru sebagai isu
khusus.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, reformasi legislatif, langkah-langkah yang
direkomendasikan oleh Jaap Doek (tanpa tahun), meliputi:
1) Meninjau hukum yang masih ada dan yang berlaku saat ini (hukum positif);
2) Melakukan peninjauan secara sistematik terhadap rancangan peraturan perundangundangan;
3) Mengembangkan format dan stuktur tindakan legislasi;
4) Konsultasi dan perancangan;
5) Implementasi.
C. Titik Kritis Upaya Reformasi Legislasi
Titik kritis upaya reformasi legislasi untuk menjamin pemenuhan dan perlindungan hak-hak dan
kebebasan dasar anak justru terletak pada bentuk hukum yang melandasi ratifikasi KHA dengan
Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990. Pemberian landasan hukum ratifikasi menurut perspektif
hukum internasional memang diserahkan kepada negara pihak karena masuk ranah hukum tata
negara suatu negara. Namun demikian, hukum HAM Internasional memberikan limitasi bahwa
upaya domestik tersebut tidak boleh menurunkan derajat perlindungan dan pemenuhan suatu
hak.
Pasal 5 ayat (2) Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik menegaskan hal tersebut yang menyatakan
bahwa:
Tidak diperkenankan adanya suatu pembatasan atau pengurangan hak-hak asasi manusia yang
mendasar diakui atau yang ada di suatu Negara yang menjadi pihak dalam Kovenan ini menurut
hukum, konvensi, peraturan atau kebiasaan, dengan alasan bahwa Kovenan ini tidak mengakui
hak-hak tersebut, atau mengakuinya sebagai hak yang lebih rendah sifatnya.
Pemberian bentuk Keputusan Presiden dalam meratifikasi KHA dapat dikualifikasikan sebagai
pelanggaran hak anak karena hal ini bertentangan dengan Pasal 5 ayat (2) kovenan tersebut
karena Keputusan Presiden tidak dapat diletakkan sebagai konsideran yuridis dalam penyusunan
Yayasan Pemantau Hak Anak
Hal. | 6
Mata Anak
Serial Edisi Nomor: 01/VIII/2012
suatu undang-undang. Situasi ini merupakan upaya menghambat pemenuhan dan perlindungan
hak anak sebagai hak hukum secara struktural.
KHA karena menyangkut perlindungan HAM, khususnya hak anak maka pemuatan perjanjian
internasional ke dalam hukum nasional melalui Keputusan Presiden dapat ditafsirkan melanggar
undang-undang. Permasalahan ini juga dinyatakan oleh Eddy Pratomo (2011) ketika menyoroti
pemuatan perjanjian ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) melalui Keputusan Presiden No. 48
Tahun 2004 tentang Pengesahan Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation
between ASEAN and the People’s Republic of China. Lebih jauh dikatakannya apabila melihat
dampak perjanjian terhadap nasib rakyat banyak, sesuai dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945,
perjanjian tersebut harus dengan persetujuan DPR. Dalam konstruksi negara demokratis
keterlibatan DPR merupakan representasi suara rakyat sehingga setiap tindakan pemerintah
dalam mengikatkan diri dalam suatu perjanjian internasional seharusnya ditujukan bagi
kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
Ketika ratifikasi KHA pada tahun 1990 dengan merujuk pada pembabakan praktik penerapan
hukum perjanjian internasional yang diinisiasi oleh Eddy Pratomo (2011) maka berada pada
periode 1960-1999, periode berlakunya Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960. Meskipun surat ini
tidak dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan yang mengikat, namun
dipatuhinya substansi surat tersebut membuat kedudukan surat tersebut memiliki kekuatan
hukum yang setara dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini dalam konteks hukum tata
negara, menurut Eddy Pratomo (2011) dengan merujuk pandangan Bagir Manan dapat
dikualifikasikan sebagai kapasitas membangun suatu kebiasaan ketatanegaraan (constitutional
convenstion).
Butir ke-4 Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960 memerinci materi apa saja yang merupakan
perjanjian internasional yang diwujudkan dalam bentuk traktat dan kemudian haris disahkan
dalam bentuk undang-undang. Butir ke-4 menyatakan bahwa:
Perjanjian-perjanjian yang harus disampaikan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan
sebelum disahkan oleh Presiden, ialah perjanjian yang lazim berbentuk Treaty yang
mengandung materi sebagai berikut:
1) Soal-soal politik atau soal-soal yang dapat memengaruhi perjanjian-perjanjian
persahabatan, perjanjian persekutuan (aliansi), perjanjian-perjanjian tentang perubahan
wilayah atau penetapan batas;
2) Ikatan-ikatan yang sedimikian rupa sifatnya sehingga mempengaruhi haluan politik luar
negeri dapat terjadi bahwa ikatan-ikatan sedemikian dicantumkan di dalam perjanjian
kerja sama ekonomi dan teknis atau pinjaman uang;
3) Soal-soal yang menurut UUD atau menurut perundang-undangan kita harus diatur
dengan undang-undang seperi soal-soal kehakiman;
4) Perjanjian-perjanjian yang mengandung materi yang lazimnya berbentuk agreement akan
disampaikan kepada DPR hanya untuk diketahui setelah disahkan oleh Presiden.
Dalam praktik, terjadi penyimpangan terhadap surat presiden tersebut terbukti dalam
meratifikasi KHA bentuk hukum yang diberikan berupa keputusan presiden, padahal materi yang
diatur menyangkut soal politik, mempengaruhi haluan politik, dan permasalahan yang diatur oleh
UUD. Permasalahan hak-hak anak berdimensi secara politik, mempengaruhi haluan politik, dan
telah menjadi hak konstitusi warga negara. Hal ini berbeda dengan instrumen hukum HAM
Internasional yang lain karena ratifikasi terhadap instrumen hukum internasional tersebut
Yayasan Pemantau Hak Anak
Hal. | 7
Mata Anak
Serial Edisi Nomor: 01/VIII/2012
dilakukan dengan undang-undang. Tabel berikut memperlihatkan instrumen hukum HAM
Internasional yang yang diratifikasi dengan undang-undang pada periode berlakunya Surat
Presiden Nomor 2826/HK/1960 sebagai berikut.
Nama Instrumen Hukum HAM Internasional
Bentuk Hukum Ratifikasi
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1984
Konvensi Internasional terhadap Anti Apartheid dalam Olahraga
Undang Undang Nomor 48 tahun 1993
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain
yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan, atau merendahkan
martabat Manusia
Undang Undang Nomor 5 tahun 1998
Konvensi Orgnisasi Buruh Internasional No. 87, 1998 mengenai
Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi
Undang-Undang Nomor 83 tahun 1998
Konvensi Internasional tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi
Rasial
(Convention on the Elemination of Racial Discrimination)
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999
(Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against
Women/CEDAW)
(International Convention Againts Apartheid in Sports)
(Convention Against Torture)
(International Labour Organisation on Convention No. 87, 1998
Concerning Freedom Association and Protection on the Rights to
Organise)
Tabel tersebut memperlihatkan bahwa ratifikasi KHA dengan Keputusan Presiden menunjukkan
ketidakkonsistensian pemerintah dalam memberikan bentuk hukum terkait dengan perjanjian
internasional yang diratifikasi. Artinya pemerintah dapat dikualifikasikan melanggar kebiasaan
ketatanegaraan yang dicoba dibangun dengan Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960. Pelanggaran
ini bisa diinterpretasikan secara ekstensif bahwa pemerintah telah melanggar norma konstitusi
khusus Pasal 11 UUD 1945 yang menyatakan bahwa:
Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian, dan
perjanjian dengan negara lain.
Dalam konteks reformasi legislasi guna memberikan perlindungan terhadap anak maka
pembedaan pemberian bentuk hukum peraturan perundang-undangan terkait dengan ratifikasi
KHA berpotensi mengandung konflik. Hal ini disebabkan ratifikasi terhadap 2 (dua) protokol
opsional KHA yakni Protokol Opsional KHA mengenai Keterlibatan Anak dalam Situasi Konflik
Bersenjata dan Protokol Opsional KHA mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan
Pornografi Anak yang berfungsi mengelaborasi atau melengkapi terhadap KHA, diratifikasi
dengan undang-undang. Sementara, KHA sebagai umbrella rule yang normanya diatur lebih lanjut
oleh kedua Protokol tersebut, diratifikasi dengan keputusan presiden. Akibatnya upaya
hormonisasi peraturan perundang-undangan secara internal akan sulit dilakukan karena
Keputusan Presiden tidak dapat dijadikan sebagal landasan yuridis dalam membentuk undangundang. Dengan demikian apabila suatu saat kelak disusun undang-undang yang menempatkan
anak sebagai subyek yang diatur atau terkait dengan kepentingan anak maka dapat dipastikan
ratifikasi KHA yang diberi bentuk hukum Keputusan Presiden tidak dicantumkan, sementara
kedua protokol KHA dicantumkan dalam konsideran yuridis undang-undang yang akan disusun
tersebut.
Yayasan Pemantau Hak Anak
Hal. | 8
Mata Anak
Serial Edisi Nomor: 01/VIII/2012
Hal ini juga dipermasalahkan oleh Eddy Pratomo (2011) yang menyatakan bahwa pembedaan
tersebut berptensi konflik dengan keberadaan dan teori hierarki yang dianut UU Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan. Aspek hierarki struktural yang
tercermin dalam undang-undang tersebut menciptakan persepsi bahwa perjanjian internasional
yang satu lebih tinggi kedudukannya dari perjanjian internasional lainnya. Kesan ini tercermin
dari instrumen hukum nasional yang menjadi bentuk hukum perjanjian internasional tersebut.
Sistem hierarki struktural dalam peraturan perundang-undangan dapat menimbulkan persepsi
tinggi rendah hukum nasional terhadap hukum internasional. Lebh jauh menurut Eddy Pratomo
persepsi yang telah terbentuk ini dapat membuat suatu perjanjian internasional yang diberi
bentuk hukum keputusan presiden/peraturan presiden diposisikan berada di bawah undangundang. Apabila kemudian terdapat pengaturan yang berbeda terhadap suatu hal yang sama
antara undang-undang dengan perjanjian internasional yang diberi bentuk hukum peraturan
presiden/Keputusan Presiden maka situasi ini memunculkan kemungkinan potensi konflik hukum.
Dengan kata lain, hal ini sesuai dengan asas hukum yang berlaku bahwa undang-undang yang
diposisikan lebih tinggi dari peraturan presiden/Keputusan Presiden akan mengesampingkan
perjanjian internasional yang diberi bentuk peraturan presiden/keputusan presiden.
Gambaran yang disampaikan di atas sesuai dengan situasi KHA yang diratifikasi dengan diberi
bentuk hukum Keputusan Presiden yang dipastikan akan terus dikesampingkan dalam proses
reformasi legislasi karena bentuk hukum ratifikasi KHA tidak akan pernah dijadikan sebagai
sandaran yuridis. Dengan kondisi demikian, maka besar kemungkinan substansi yang diatur
dalam KHA tidak terintegrasikan dalam norma-norma hukum yang akan dibentuk oleh lembaga
legislatif dan eksekutif.
Dalam konteks ini perlu diungkapkan keprihatinan PBB yang direpresentasikan oleh Komite Hak
Anak ketika memberikan Kesimpulan Pengamatan (Concluding Observation) terhadap Laporan
Periodik yang disampaikan oleh Pemerintah Indonesia pada 26 Februari 2004 yang lalu. Terkait
dengan tema legislasi pada butir ke-14 Komite menyatakan :
Mendorong Indonesia untuk mempertimbangkan kemungkinan dukungan terhadap
ratifikasi konvensi melalui undang-undang dari parlemen.
Keprihatinan serupa juga diungkapkan oleh Katarina Tomaševski Pelapor Khusus Hak atas
Pendidikan (Special Rapporteur on the Right to Education) dalam menjalankan misi kunjungannya
di Indonesia. Paragraf 10 laporannya menyatakan bahwa:
Sebuah perjanjian yang telah diratifikasi menjadi bagian dari hukum positif di Indonesia
dilakukan dengan melibatkan parlemen melalui undang-undang. Namun, KHA
diratifikasidengan Keppres (Presidential Decree) yang memiliki status terendah dalam
hierarki sumberhukum di Indonesia.
Meskipun Keputusan Presiden yang meratifikasi KHA substansinya bersifat reguling (mengatur)
dan pada masa itu termasuk sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan namun
dalam perspektif hukum administrasi negara Keputusan Presiden merupakan tindakan dan
penetapan sepihak presiden selaku kepala pemerintahan. Keputusan Presiden menjadi
instrumenteel recht untuk memberlakukan KHA bagi penduduk Indonesia khususnya dalam
memberikan perlindungan anak-anak.
A. Hamid S. Attamimi mengkategorikan Keputusan Presiden ini sebagai Keputusan Presiden yang
mengandung norma hukum yang berupa keputusan administratif yang berentang umum atau
Yayasan Pemantau Hak Anak
Hal. | 9
Mata Anak
Serial Edisi Nomor: 01/VIII/2012
besluiten van algemene strekking (Jimly Asshiddiqie, 2006). Dalam konteks ini, Jimly Asshiddiqie
(2006) mengemukakan bahwa di masa Orde Baru pemerintahan dijalankan hanya dengan
Keputusan Presiden sehingga gejala tersebut disebut sebagai gejala “Government by Keppres”.
Keputusan Presiden ditetapkan baik untuk mengatur norma-norma hukum yang bersifat dan
abstrak maupun untuk menetapkan keputusan-keputusan administratif yang menyangkut norma
hukum yang bersifat individual-konkrit.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan bentuk hukum ratifikasi KHA dari Keputusan Presiden
menjadi undang-undang maka Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 harus dicabut terlebih
dahulu bersamaan dengan pencabutan tersebut undang-undang ratifikasi KHA diundangkan
sehingga tidak ada kekosongan hukum. Dengan kata lain peraturan yang menjadi payung
eksistensi ratifikasi KHA harus dicabut terlebih dahulu dengan Keputusan Presiden, kemudian baru
diikuti dengan pengesahan undang-undang ratifikasi KHA.
Peningkatan hierarki bentuk hukum ratifikasi KHA menjadi Undang-Undang merupakan conditio
sine qua non dan menjadi titik awal untuk membangun sistem hukum nasional ke depan (ius
constituendum) dalam rangka memberikan perlindungan anak dan pemenuhan terhadap hak
dan kebebasan anak.
Sejalan dengan hal tersebut, Eddy Eddy Pratomo (2011) mengutip pandangan Sunaryati Hartono
yang menyatakan bahwa pembangunan hukum akan meliputi:
1) Menyempurnakan (membuat sesuatu yang lebih baik);
2) Mengubah agar menjadi lebih baik dan modern;
3) Mengadakan sesuatu yang sebelumnya belum ada; atau
4) Meniadakan sesuatu yang terdapat dalam sistem lama karena tidak diperlukan dan tidak
cocok dengan sistem baru.
D. Reformasi Legislasi: Transformasi dan Meninjau Kesesuaian Substansi Undang-Undang
yang ada
D.1. Reformasi Legislasi terhadap Undang-Undang yang Relevan dengan Protokol Opsional
KHA mengenai Keterlibatan Anak dalam Situasi Konflik Bersenjata
Uraian di atas telah menyebutkan bahwa Protokol Opsional KHA mengenai Keterlibatan Anak
dalam Situasi Konflik Bersenjata, seperti halnya KHA dan instrumen Hukum HAM Internasional
lainnya, mewajibkan negara untuk mengambil langkah legislasi, yudikasi, dan administrasi untuk
memberikan dampak hukum (legal effect) bagi setiap warga negara. Kewajiban ini juga terbaca
pada pasal 6 Ayat (1) yang mengatur:
Setiap negara pihak harus menerapkan langkah-langkah hukum, administrasi dan langkahlangkah lainnya yang menjamin pelaksanaan secara efektif dan penegakan ketentuanketentuan Protokol ini di dalam wilayah yuridiksinya.
Kewajiban ini dapat dilakukan dilakukan dengan melakukan transformasi norma Protokol
Opsional KHA mengenai Keterlibatan Anak dalam Situasi Konflik Bersenjata ke dalam perundangundangan. Apalagi substansi Protokol Opsional KHA ini menyangkut HAM khususnya hak-hak
anak maka pengundangan mutlak diperlukan. Dalam kaitan ini Eddy Pratomo (2011) mengutip
pandangan Mochtar Kusumaatmadja yang menyatakan:
Yayasan Pemantau Hak Anak
Hal. | 10
Mata Anak
Serial Edisi Nomor: 01/VIII/2012
Dalam beberapa hal pengundangan dalam undang-undang nasional adalah mutlak
diperlukan. Hal-hal tertentu yang dimaksud adalah apabila perjanjian internasional yang
telah disahkan memuat ketentuan diperlukannya perubahan dalam undang-undang nasional
yang lansung menyangkut hak warga negara sebagai orang perorang.
Transformasi ini menurut Endang Saefullah bertujuan mengikat warga negara secara internal
terhadap suatu perjanjian internasional (Eddy Pratomo, 2011). Pandangan yang senada juga
dinyatakan oleh Hikmahanto Juwana (Eddy Pratomo, 2011) bahwa:
Setiap perjanjian internasional yang telah diikuti oleh Indonesia yang memaut kewajiban
untuk dilaksanakan ditingkat nasional (baik yang diratifikasi atau tidak) perlu untuk
diterjemahkan atau ditransformasikan ke dalam hukum nasional. Sehingga perjanjian
internasional yang telah diikuti tidak berhenti sampai di situ. Pemerintah Indonesia
mempunyai kewajiban untuk menyitir berbagai peraturan perundang-undangan dan
menentukan mana yang bertentangan dan mana yang belum diatur dan perlu dibuat
aturannya.
Selain melakukan transformasi, kewajiban untuk melakukan reformasi legislasi dilakukan dengan
cara meninjau seluruh substansi peraturan perundang-undangan yang ada untuk disesuaikan
dengan norma yang terkandung dalam Protokol Opsional KHA.
Dalam konteks ini, peraturan perundang-undangaan yang mengatur sektor pertahanan dan
keamanan penting ditinjau untuk melihat kesesuaiannya (compatibility) dengan Protokol
Opsional KHA, khususnya mengenai rekrutmen anggota TNI. UU No. 34 Tahun 2004 tentang
Tentara Nasional Indonesia memang sudah menetapkan batasan minimal 18 tahun, namun
batasan minimal tersebut bukan pada saat melakukan rekrutmen, namun batasan tersebut
dimaksudkan pada saat pelantikan menjadi prajurit (tentara). Rumusan Pasal 28 ayat (1) UU No.
34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menetapan bahwa :
(1) Persyaratan umum untuk menjadi prajurit adalah:
a. warga negara Indonesia;
b. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. pada saat dilantik menjadi prajurit berumur paling rendah 18 tahun;
e. tidak memiliki catatan kriminalitas yang dikeluarkan secara tertulis oleh Kepolisian
Negara Republik Indonesia;
Frasa kalimat Pasal 28 ayat (1) huruf p yang menyatakan “pada saat dilantik menjadi prajurit
berumur paling rendah 18 tahun” menunjukkan negara melegallkan anak di bawah 18 tahun untuk
mengikuti rekrutmen menjadi tentara. Legalitas ini tentu membuka kemunginan pada saat
rekrutmen dapat terjadi anak-anak yang yang masih berusia di bawah 18 tahun berpartisipasi
dalam proses rekrutmen dan mengikuti pendidikan militer.
Pasal 2 Protokol Opsional KHA menetapkan kewajiban bahwa negara pihak harus menjamin
bahwa orang-orang yang belum mencapai usia 18 tahun tidak diwajibkan untuk direkrut sebagai
angkatan bersenjata. Selanjutnya terkait rekrutmen suka rela Pasal 3 ayat (1) menyatakan :
Negara-negara Pihak harus menaikan usia minimal untuk penerimaan sukarela bagi
angkatan bersenjatanya sebagaimana diatur dalam pasal 38 ayat (3) Konvensi tentang Hak
Anak, dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang terdapat dalam Pasal tersebut dan
Yayasan Pemantau Hak Anak
Hal. | 11
Mata Anak
Serial Edisi Nomor: 01/VIII/2012
mengakui bahwa berdasarkan Konvensi orang-orang yang berusia di bawah 18 tahun berhak
atas perlindungan khusus
Selanjutnya Pasal 3 ayat (3) menetapkan bahwa negara-negara pihak yang mengizinkan
penerimaan sukarela untuk angkatan bersenjatanya di bawah 18 tahun harus memiliki kebijakankebijakan yang menjamin setidaknya:
a. Penerimaan tersebut adalah benar-benar sukarela;
b. Penerimaan tersebut dilakukan dengan persetujuan orang tua atau wali orang yang
direkrut;
c. Orang yang direkrut tersebut benar-benar mengetahui akan tugas-tugasnya dalam
keanggotaan militernya;
d. Orang-orang tersebut harus dapat membuktikan bahwa dia telah cukup umur sebelum
dapat diterima dalam angkatan bersenjata nasionalnya.
Dalam praktik pembedaan rekrutmen wajib (compulsory) dan rekrutmen sukarela (voluntary) sulit
untuk diterapkan. Sebagai contoh anak yang direkrut secara suka rela sebenarnya menghadapi
suatu situasi yang sulit sehingga terpaksa mendaftarkan diri dalam suatu angkatan bersenjata.
Situasi yang sulit itu bisa dikarenakan oleh kekurangan makanan, kebutuhan mendapatkan
perlindungan fisik, kemiskinan atau dendam. Rekrutmen sukarela dipahami bahwa anak tidak di
bawah tekanan untuk bergabung dengan angkatan bersenjata. Selain itu, harus dipastikan
terdapat pengaman yang memastikan bahwa rekrutmen sukarela benar-benar dilakukan secara
suka rela (genuinely voluntary). Permasalahan lain adalah verifikasi umur sulit dilakukan apabila
sistem administraspencatatan dan pendaftaran kelahiran tidak dapat diandalkan (Coalition to
Stop the Use of Child Soldiers & UNICEF, 2003).
Berdasarkan norma yang diatur dalam Protokol Opsional KHA maka sudah semestinya UU No. UU
No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia diubah untuk menyesuaikan dengan
ketentuan Protokol Opsional KHA. Rekomendasi Coalition to Stop the Use of Child Soldiers &
UNICEF ( 2003) terkait dengan reformasi legislasi dapat dijadikan sebagai salah satu acuan untuk
mengembangkan reformasi legislasi. Rekomendasi yang disampaikan oleh Coalition to Stop the
Use of Child Soldiers & UNICEF , antara lain:
1. Menyusun rancangan undang-undang yang melarang partisipasi langsung mereka yang
berusia di bawah 18 di dalam permusuhan dan secara legal mendefinisikan partisipasi
langsung;
2. Menyusun rancangan undang-undang untuk mengatur usia minimal di mana pemerintah
akan mengizinkan perekrutan sukarela ke dalam pasukan bersenjata nasional dan adanya
lembaga yang menjaga untuk memastikan bahwa perekrutan tersebut benar-benar
sukarela;
3. Menyusun rancangan undang-undangan yang mengkriminalisasi rekrutmen sukarela dan
wajib dan mempergunakan dalam permusuhan mereka yang berusia di bawah 18 tahun
oleh kelompok bersenjata non negara;
4. Isu peraturan militer yang melarang perekrutan wajib mereka yang di bawah usia 18
tahun dan menyatakan usia di mana perekrutan sukarela diijinkan, bersama dengan
perlindungan yang diperlukan untuk memastikan bahwa itu adalah benar-benar sukarela
Reformasi legislasi yang wajib dilakukan semestinya harus lebih kuat menjamin perlindungan
anak di bawah 18 tahun dari rekrutmen wajib atau sukarela. Pasal 5 Protokol Opsional KHA
menyatakan:
Yayasan Pemantau Hak Anak
Hal. | 12
Mata Anak
Serial Edisi Nomor: 01/VIII/2012
Tidak satu ketentuan pun dalam Protokol ini yang dianggap menghambat ketentuanketentuan dalam hukum suatu negara pihak atau dalam instrumen internasional dan dalam
hukum humaniter internasional yang lebih baik dalam mewujudkan hak anak.
Membaca rumusan pasal ini maka langkah transformasi atau mengamandemen suatu undangundang tidak boleh mereduksi jaminan minimal yang sudah ditetapkan oleh Protokol Opsional.
Lebih jauh, pasca ratifikasi Protokol Opsional KHA mengenai Keterlibatan Anak dalam Situasi
Konflik Bersenjata, Indonesia segera meratifikasi
Statuta Roma 1998 yang melandasi
pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court). Ratifikasi Statuta
Roma 1998 penting bagi pemajuan dan perlindungan anak di Indonesia karena akan memperkuat
perlindungan anak dari tindakan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan
perang. Menurut The American Non Governmental Organizations Coalition for the International
Criminal Court, persinggungan antara Statuta Roma dengan hak anak sehingga memberikan
pendasaran yuridis untuk meratifikasi Statuta Roma 1998, sebagai berikut:
1. Statuta Roma mengkriminalisasi wajib militer, pendaftaran atau penggunaan tentara
anak di bawah usia lima belas tahun dalam permusuhan aktif, baik dalam konflik
bersenjata internasional dan non-internasional (Pasal 8 ayat (2) (b) (xxvi), (e) (vii));
2. Statuta Roma mengkriminalisasi perkosaan, perbudakan seksual, prostitusi paksa,
kehamilan paksa, sterilisasi paksa dan bentuk-bentuk kekerasan seksual baik sebagai
kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7 ayat (1) (g), Pasal 8 ayat
(2) (b) (xxii), (e) (vi));
3. Statuta Roma mengkriminalisasi perbudakan yang luas atau sistematis, termasuk
perdagangan anak (Pasal 7 ayat (1) (c), ayat (2) (c));
4. Statuta Roma mengkriminalisasi sebagai genosida pemindahan paksa anak-anak dari
kelompok yang lain dengan maksud untuk menghancurkan, seluruh atau sebagian
kelompok, nasional etnis, atau ras seperti itu (Pasal 6 (e))
5. Statuta Roma mengatur bahwa individu di bawah usia 18 tahun pada saat kejahatan yang
dituduhkan mereka tidak dapat diadili oleh Mahkamah Pidana Internasional (Pasal 26).
Rekomendasi agar Indonesia segera meratifikasi Statuta Roma 1998 juga dinyatakan oleh Komite
Hak Anak dalam Kesimpulan Pengamatan (Concluding Observation) pada paragraf 15:
Komite juga mendorong pertimbangan lebih lanjut atas ratifikasi ... Statuta Roma 1998
tentang Pengadilan Internasional dan untuk melaksanakannya dengan dukungan UU dari
Parlemen.
D.2. Reformasi Legislasi terhadap Undang-Undang yang Relevan dengan Protokol Opsional
KHA mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak
Seperti halnya KHA dan Protokol Opsional KHA mengenai Keterlibatan Anak dalam Situasi
Konflik Bersenjata, reformasi legislasi juga dimandatkan oleh Protokol Opsional KHA mengenai
Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak. Artinya setelah suatu Negara meratifikasi
perjanjian, negara tersebut mmengembangkan proses reformasi legislatif, termasuk alokasi
sumber daya yang cukup dan pengembangan rencana aksi dan mekanisme koordinasi untuk
menghapus penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak. Pasal 9 Ayat (1) mengatur
bahwa:
Negara-negara pihak harus memberlakukan, memperkuat, melaksanakan dan
menyebarluaskan hukum, tindakan administratif, kebijakan dan program sosial, untuk
mencegah terhadinya tindak kejahatan yang tercantum dalam protokol ini
Yayasan Pemantau Hak Anak
Hal. | 13
Mata Anak
Serial Edisi Nomor: 01/VIII/2012
Langkah awal melakukan reformasi legislasi adalah melakukan harmonisasi substansi antara
substansi peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan substansi norma Protokol
Opsional KHA mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak. Artinya seluruh
produk peraturan perundang-undangan yang relevan, baik di tingkat nasional maupun tingkat
daerah perlu ditinjau untuk melihat kesesuaiannya dengan norma Protokol Opsional KHA
mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak.
Beberapa undang-undang yang terkait dengan permasalahan penjualan anak, prostitusi anak,
dan pornografi anak dan titik kritis dari undang-undang tersebut karena tidak sesuai dengan
norma Opsional KHA mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak, antara
lain:
Undang-Undang
UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Perdagangan Orang
UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan
Pornoaksi
Yayasan Pemantau Hak Anak
Titik-Titik Kritis
 Menetapkan usia perkawinan bagi perempuan yakni minimal 16
tahun bertentangan dengan standar universal yang menetapkan
batas minimal usia anak di atas 18 tahun.
 Melegalkan pernikahan di bawah umur
 Menempatkan anak perempuan menjadi korban potensial
eksploitasi seksual
 Definisi perdagangan anak belum diakomodasi, elemen
perdagangan anak berbeda dengan perdagangan orang karena
elemen cara tidak termasuk elemen yang diperhitungkan ;
 Prinsip-prinsip KHA belum menjadi prinsip (asas) yang menjadi
spirit beroperasinya undang-undang;
 Hak-hak anak sebagai korban perdagangan orang belum diatur
padahal anak membutuhkan perlindungan khusus yang berbeda
sesuai dengan kerentanan dan karakteristik anak;
 Mekanisme perlindungan saksi dan korban khusus bagi anak
belum diatur
 Perlakuan bagi anak sebagai pelaku tindak pidana perdagangan
orang belum diatur secara khusus mengingat tindak pidana
perdagangan orang merupakan kejahatan terorganisasi;
 Mekanisme peradilan yang khusus bagi anak belum diatur secara
khusus, padahal anak berhak untuk berpartisipasi dalam setiap
proses peradilan;
 Perdangangan anak melalui adopsi yang bertentangan dengan
hukum belum diatur secara khusus, perdangan anak melalui
adopsi tidak terbatas untuk tujuan yang eksploitasi. Elemen
tujuan dalam adopsi semestinya tidak diperhitungkan.
 Definisi pornografi anak belum diatur dalam undang-undang ini ,
 Prinsip-prinsip KHA belum menjadi prinsip (asas) yang menjadi
spirit beroperasinya undang-undang
 Hak-hak anak sebagai korban pornografi belum diatur padahal
anak membutuhkan perlindungan khusus yang berbeda sesuai
dengan kerentanan dan karakteristik anak;
 Mekanisme perlindungan saksi dan korban khusus bagi anak
belum diatur
 Perlakuan bagi anak sebagai pelaku tindak pidana pornografi anak
Hal. | 14
Mata Anak
Serial Edisi Nomor: 01/VIII/2012
belum diatur secara khusus mengingat tindak pidana pornografi
anak merupakan kejahatan terorganisasi;
 Mekanisme peradilan yang khusus bagi anak belum diatur secara
khusus, padahal anak berhak untuk berpartisipasi dalam setiap
proses peradilan.
Menurut Najat Maalla M’jid (2012), Pelapor Khusus Perdagangan Anak, Prostitusi Anak, dan
Pornografi Anak, menyatakan setelah suatu negara meratifikasi Protokol Opsional KHA ini
mewajibkan negara pihak untuk melarang penjualan anak, pelacuran anak dan pornografi anak,
melakukan adaptasi sebuah prosedur hukum dan investigasi sesuai dengan kebutuhan khusus
korban anak, termasuk sebagai saksi, memberikan dukungan layanan, menginformasikan anak
hak-hak mereka, peran mereka dan ruang lingkup, waktu dan kemajuan proses hukum,
menghindari penundaan yang tidak perlu, memberikan kesempatan anak menyampaikan
pandangan, kebutuhan, dan keprihatinan anak-anak yang akan dijadikan sebagai bahan
dipertimbangkan, menegakkan hak mereka atas privasi dan melindungi mereka dari intimidasi
dan pembalasan. Selain itu, Protokol Opsional menyaratkan kepentingan terbaik anak menjadi
pertimbangan utama dalam memperlakukan korban dalam sistem peradilan pidana, dan untuk
orang yang bekerja dengan korban harus menerima pelatihan yang sesuai.
Lebih jauh, Najat Maalla M’jid (2012), mengelaborasi kewajiban negara dalam mengembangkan
kerangka hukum yang komprehensif dalam pencegahan perdagangan anak, prostitusi anak, dan
pornografi anak sebagai berikut:
1. Menetapkan, melarang, dan mengkriminalkan, sesuai dengan yang ada standar
internasional hak asasi manusia, semua tindak pidana yang tercakup dalam Protokol
Opsional (termasuk bentuk-bentuk baru dari eksploitasi seksual yang dilakukan melalui
penggunaan teknologi informasi dan jaringan sosial0 dan mengatur hukuman minimal
yang mencerminkan beratnya kejahatan;
2. Menetapkan batas usia 18 tahun untuk mendefinisikan seseorang sebagai anak dalam
kaitannya dengan tindak pidana yang tercakup dalam Protokol Opsional, mencegah
kriminalisasi terhadap seseorang di bawah batas usia ini untuk tindak pidana yang
tercakup dalam Protokol Opsional dan mengakui bahwa persetujuan dari seorang anak
tidak relevan, bahkan dalam kasus-kasus ketika orang dewasa tersebut tidak menyadari
usia anak;
3. Menetapkan 18 tahun sebagai usia minimal pernikahan bagi anak perempuan dan anak
laki-laki, dan melarang
pelaksanaan, menawarkan, melakukan atau memaksa anak
dalam sebuah pernikahan di bawah umur;
4. Menetapkan yurisdiksi ekstrateritorial, menghapuskan persyaratan kriminalitas ganda
untuk pelanggaran-pelanggaran dan memfasilitasi bantuan hukum timbal balik dalam
rangka untuk mengamankan penuntutan efektif dari pelaku dan pelaksanaan sanksi yang
sesuai, sementara membuat semua tindakan yang terkait dengan penjualan dan
eksploitasi seksual terhadap anak-anak merupaka kejahatan yang dapat diekstradisi baik
pada perjanjian yang telah ada atau baru dibentuk perjanjian ekstradisi;
5. Menghapus tindak korupsi dalam penegakan hukum dan peradilan, serta otoritas lainnya,
dengan maksud untuk memberikan layanan secara penuh terhadap anak dan mengakui
bahwa korupsi adalah hambatan besar bagi penegakan hukum yang efektif dan upaya
perlindungan anak;
Yayasan Pemantau Hak Anak
Hal. | 15
Mata Anak
Serial Edisi Nomor: 01/VIII/2012
Di samping itu, Najat Maalla M’jid (2012) mengidentifikasi kewajiban negara pihak untuk
mengembankan kerangka hukum yang komprehensif terkait pelaporan, yang meliputi:
1. Memastikan para profesional yang bekerja dengan anak-anak berkewajiban untuk
melaporkan kejadian di mana ada kecurigaan (indikasi) atau risiko anak-anak dijual atau
dieksploitasi secara seksual. Kewajiban untuk melaporkan harus dimasukkan dalam kode
etik dan peraturan asosiasi profesional dan di semua lembaga dan badan-badan yang
secara teratur bekerja dengan anak-anak berisiko, termasuk sekolah, fasilitas dan
kelembagaan sosial, pelayanan medis dan badan-badan penegak hukum;
2. Memastikan bahwa penyedia layanan Internet, perusahaan telepon seluler, mesin
pencari, warung internet dan lain-lain secara hukum diharuskan untuk melaporkan setiap
kasus pornografi anak ke pada polisi, memblokir website pelaku dan menyimpan
catatan, sesuai standar yang ditetapkan, untuk tujuan penyidikan dan penuntutan.
Demikian pula, lembaga keuangan harus secara hukum diharuskan untuk melaporkan,
memblokir dan menghambat fungsi mekanisme keuangan yang mungkin membuat situs
pornografi anak;
3. Mengembangkan mekanisme keluhan, konseling, dan pelaporan yang sensitif terhadap
anak;
Dalam laporannya Najat Maalla M’jid (2012) memberikan rekomendasi kepada negara pihak
kewajiban untuk mengembangkan kerangka hukum terkait dengan mekanisme perlindungan,
perawatan dan prosedur yang ramah anak, melalui:
1. Memberdayakan pihak yang berwenang yang memiliki tugas untuk menangani situasi
darurat dan jika perlu memindahkan anak dari situasi seperti itu;
2. Menyediakan anak-anak yang menjadi korban dan saksi termasuk keluarga mereka
dengan perawatan yang memadai, bantuan, dan dukungan psikososial (termasuk
dukungan keluarga jika diperlukan) untuk memastikan pemulihan penuh dan reintegrasi
sosial bagi korban anak;
3. Memastikan anak korban memiliki akses terhadap informasi yang sensitif anak tentang
hak dan prosedur yang relevan, termasuk untuk mencari kompensasi atas kerugian, dan
anak dapat menggunakan hak mereka untuk didengar dan mendengarkan;
4. Melindungi privasi dan kesejahteraan anak yang menjadi korban dan saksi pada semua
tahap dan proses peradilan pidana (yaitu selama identifikasi, investigasi, penuntutan,
hukuman dan proses ekstradisi), termasuk memastikan bahwa anak-anak tidak
dikenakan denda, penjara atau hukuman tindakan lain;
5. Memastikan anak-anak tidak mengalami kesulitan dan reviktimatisasi sebagai akibat anak
berpartisipasi dalam proses pidana, dengan cara membatasi mereka terlibat dalam
sejumlah wawancara, dengan menggunakan rekaman video dan kamar (ruangan) yang
aman, dan menyediakan bantuan hukum atau perwakilan khusus;
6. Menjamin akses gratis dan mudah untuk pemulihan hukum;
7. Memastikan respon yang cepat dalam penanganan kasus;
8. Memberikan kompensasi kepada korban anak dan menegakkan pembayaran kompensasi;
Adapun pengembangan kerangka hukum yang komprehensif dalam pencegahan Najat Maalla
M’jid (2012) terdiri dari:
1. Memastikan kelahiran anak-anak terdaftar. Catatan kelahiran dapat menunjukkan usia
seorang anak, memungkinkan langkah-langkah hukum yang tepat yang harus diambil
untuk menjamin perlindungan anak dan memberikan hukuman bagi pelaku. Anak-anak
Yayasan Pemantau Hak Anak
Hal. | 16
Mata Anak
Serial Edisi Nomor: 01/VIII/2012
yang lahir dan telah terdaftar lebih kecil kemungkinannya untuk dijual atau diadopsi
secara ilegal, karena mereka memiliki bukti siapa orang tua orang tua mereka;
2. Mengembangkan dan menerapkan hukum yang ketat mengenai adopsi internasional dan
nasional dengan ketentuan: (i) adopsi sebagai pilihan terakhir, (ii) identifikasi langkah
yang tepat, yang meliputi penempatan anak-anak dengan keluarga biologis atau keluarga
lain yang sedarah, (iii) preferensi untuk adopsi nasional lebih diutamakan ketimbang
adopsi internasional, dan (iv) kewajiban untuk melakukan studi kompatibilitas antara
keluarga angkat dan seorang anak yang akan diberikan untuk diadopsi, dengan tetap
memperhatikan dengan kepentingan terbaik anak, dengan tujuan untuk menghindari
penjualan anak-anak untuk diadopsi ilegal;
3. Memastikan anak-anak yang rentan memiliki standar hidup yang layak, akses gratis ke
jasa perawatan dan kesehatan, pendidikan dan jaminan sosial, serta orang tua mereka
menerima dukungan yang diperlukan;
4. Membangun mekanisme hukum dan program tertentu untuk mencegah residivisme
pelaku kejahatan seks dan melarang pelaku kejahatan seks melakukan kegiatan dengan
anak-anak dan berbagi praktik-praktik yang baik pembentukan mekanisme register
pelanggar seks.
E. Rekomendasi-Rekomendasi
Berdasarkan uraian di atas, rekomendasi-rekomendasi yang disampaikan terkait dengan langkah
reformasi legislasi setelah Indonesia meratifikasi ke-2 Protokol Opsional KHA, sebagai berikut:
1. Menaikkan bentuk hukum ratifikasi KHA dari bentuk hukum Keputusan Presiden menjadi
Undang-Undang agar dalam melakukan upaya reformasi legislasi di masa mendatang
KHA dijadikan sebagai rujukan dalam konsideran yuridis. Dengan kata lain, pemuatan
KHA dalam konsideran yuridis suatu undang-undang maka prinsip dan norma yang
termaktub dalam KHA dijadikan sebagai norma hukum;
2. Meninjau seluruh produk perundang-undangan yang ada baik di tingkat nasional maupun
daerah untuk menyesuaikan dengan standar universal KHA dan instrumen Hukum HAM
Internasional lainnya;
3. Mentransformasikan kedua protokol opsional KHA ke dalam hukum nasional
penyusunan undang-undang baru atau melakukan perubahan (amandemen) terhadap
undang-undang yang ada untuk menyesuaikan dengan norma-norma yang diatur dala
kedua protokol opsional KHA tersebut;
Yayasan Pemantau Hak Anak
Hal. | 17
Download