54 Penyakit bawaan makanan: fokus pendidikan kesehatan BAB 2 Mengapa pendidikan kesehatan diperlukan dalam keamanan makanan? Langkah-langkah pencegahan penyakit bawaan makanan (foodborne disease) memerlukan upaya gabungan antara pengaturan dan pendidikan. Bab ini menjelaskan mengapa pendidikan bagi penjamah dan konsumen makanan merupakan upaya yang penting. Penyiapan makanan: suatu tahap kritis dalam rantai makanan Rantai makanan memiliki panjang dan kompleksitas yang bervariasi menurut derajat urbanisasi atau industrialisasinya. Rantai tersebut dapat meliputi tahap-tahap berikut (Gambar 8). – produksi primer (pertanian, peternakan dan perikanan yang melibatkan petani dan nelayan); – pengolahan dan pembuatan oleh industri besar atau kecil (industri rumah-tangga); – transportasi, penyimpanan dan distribusi yang melibatkan pengecer, pasar swalayan dan toko; – penyiapan makanan untuk konsumsi yang dilakukan oleh tempat pengelolaan makanan (TPM) atau katering, penjaja makanan kakilima dan jurumasak di rumah yang menyiapkan makanan bagi keluarga. Di daerah pedesaan, sebagian atau semua tahap dalam rantai makanan dapat berlangsung di rumah atau di tingkat industri rumah-tangga (mis., orang yang bermata pencaharian sebagai petani mungkin mengonsumsi makanan yang dihasilkan, diolah, dan disiapkan di rumahnya sendiri). Pencegahan penyakit bawaan makanan mensyaratkan dilakukannya pencegahan atau pengendalian terhadap kontaminasi pada segala tahap dalam rantai makanan, mulai dari tahap produksi sampai konsumsi. Walaupun demikian, berbagai tindakan yang diterapkan pada tahap dini dalam rantai makanan hanya akan efektif jika tindakan tersebut juga diterapkan pada tahap lanjut, khususnya jika makanan yang disiapkan ditujukan untuk konsumsi. 54 Mengapa pendidikan kesehatan diperlukan dalam keamanan makanan? 55 Gambar 8. Model rantai makanan Strategi dalam pencegahan penyakit bawaan makanan dapat dijelaskan dalam pengertian tiga garis pertahanan—perbaikan mutu bahan pangan mentah dalam pertanian dan akuakultur, penerapan teknologi pengolahan pangan yang dapat mengendalikan kontaminan, dan pendidikan bagi konsumen serta penjamah makanan. Pengalaman memperlihatkan bahwa kendati segala upaya sudah dilakukan dalam bidang pertanian, produksi pangan yang berasal dari hewan belum juga bebas dari patogen (garis pertahanan pertama) dan sebagian besar bahan pangan yang mencapai konsumen kemungkinan terkontaminasi (1,2). Kadang-kadang kontaminasi bahan pangan tidak dapat dihindari mengingat beberapa organisme merupakan flora alami yang hidup di lingkungan manusia. Toksin juga dapat terbentuk secara alami di dalam makanan. Kadang-kadang komponen alami makanan memiliki konsekuensi anti-gizi dan harus menjalani denaturasi atau dihambat kerjanya selama proses penyiapan makanan (inhibitor tripsin, lektin). Pada keadaan semacam itu, bahaya (hazard) mungkin terkandung dalam makanan, apapun praktik pertanian atau akuakulturnya. 56 Penyakit bawaan makanan: fokus pendidikan kesehatan Garis pertahanan yang kedua (yaitu, penerapan teknologi pengolahan pangan untuk menghilangkan atau mengurangi patogen atau kontaminan) dengan sendirinya belum cukup untuk menjamin keamanan makanan. Karena alasan ekonomi atau alasan lainnya, teknologi pengolahan tersebut belum tersedia untuk mengolah segala macam makanan atau memusnahkan semua patogen. Makanan dapat terkontaminasi kembali sesudah diolah, khususnya selama penyiapannya, oleh penjamah makanan yang dirinya kemungkinan menjadi carrier patogen penyakit. Dengan demikian, garis pertahanan yang ketiga—pendidikan bagi penjamah makanan dan konsumen mengenai cara-cara penanganan makanan yang higienis—merupakan unsur yang sangat menentukan di dalam mencegah penyakit bawaan makanan dan dapat memberikan hasil sekalipun kedua baris pertahanan yang lain mengalami kegagalan. Karena penyiapan makanan untuk konsumsi berada di tahap akhir rantai makanan, maka proses ini sangat menentukan. Setiap kontaminasi, baik yang terjadi di awal maupun akibat penanganan selama penyiapannya, bila tidak dikendalikan pada tahap ini akan memberikan dampak negatif secara langsung bagi kesehatan konsumennya. Pendidikan bagi masyarakat dan penjamah makanan baik yang domestik maupun profesional mengenai cara-cara menyiapkan makanan yang aman sangat penting untuk menjamin agar: – makanan tidak terkontaminasi oleh mereka sendiri; – kontaminan yang mungkin ada dalam bahan pangan dapat dihilangkan atau dikurangi sampai ke tingkat yang aman; – pertumbuhan mikroorganisme sampai mencapai tingkat yang menimbulkan penyakit, ataupun menghasilkan toksin, dapat dicegah; – makanan terkontaminasi yang tidak bisa dianggap aman dapat dihindari. Pengolahan makanan yang rutin Sebagian besar praktik penanganan dan pengolahan makanan berlangsung di rumah, di tempat pengelolaan makanan dan katering, atau di TPM kakilima. Di daerah pedesaan dan negara berkembang, dimana makanan hasil olahan industri belum ada atau tidak terjangkau, sebagian besar makanan diolah di tingkat rumah tangga. Terkadang keseluruhan rantai makanan mulai dari proses pertanian sampai konsumsinya berlangsung di rumah. Berbagai upaya yang dilakukan oleh gerakan lingkungan hidup di negara industri menyebabkan beberapa konsumen semakin tertarik pada makanan olahan rumah. Kapan pun makanan diolah dalam industri, pihak berwenang di bidang kesehatan dapat menerapkan kontrol terhadap mutu dan keamanan produk melalui pembuatan peraturan dan inspeksi. Selain itu, reputasi dan kepentingan komersial perusahaan kerapkali cukup menjadi pendorong diberlaku- Mengapa pendidikan kesehatan diperlukan dalam keamanan makanan? 57 kannya kontrol oleh perusahaan itu sendiri. Banyak perusahaan makanan berskala besar yang memiliki ilmuwan bermutu dan laboratorium sendiri untuk menjamin keamanan makanan yang diproduksinya. Akan tetapi, kontrol yang resmi (inspeksi dan analisis sampel makanan) tidak mungkin diterapkan di tingkat rumah tangga dan tindakan tersebut juga memiliki keterbatasan pada TPM dan katering atau pada penjaja makanan kakilima. Walau begitu, jenis pengolahan dan pembuatan makanan yang dilaksanakan di tingkat industri juga dapat berlangsung di tingkat rumah-tangga atau di TPM dan katering. Dengan demikian, cara utama untuk mengendalikan keamanan makanan yang dibuat di rumah atau di tempat pelayanan makan adalah dengan memberikan pendidikan bagi penjamah dan konsumen makanan mengenai cara-cara penanganan makanan yang aman. Dengan kata lain, pengendalian atau kontrol harus dilakukan oleh penjamah makanan itu sendiri dan; untuk memenuhi tujuan ini, mereka harus diberitahu, dididik dan, bagi tenaga yang profesional, harus dilatih dengan benar. Perlu diingat bahwa banyak teknologi pangan dikembangkan berdasarkan cara ‘uji dan ralat’ di rumah atau industri kecil. Para ilmuwan memahami cara kerja teknologi pangan dan faktor-faktor apa saja yang dapat menentukan keamanan suatu produk pangan. Akan tetapi, karena kurangnya komunikasi, pengetahuan ini hanya berada di kalangan ilmuwan sendiri dan tidak selalu dapat disampaikan dengan baik ke masyarakat luas. Banyak konsumen dan penjamah makanan menyiapkan makanan menurut pengetahuan yang mereka peroleh dari generasi sebelumnya atau berdasarkan pengalaman empiris mereka sendiri. Tanpa adanya pemahaman yang benar mengenai akibat yang ditimbulkan oleh tindakan mereka, pengetahuan semacam itu tidak selalu menjamin keamanan makanan dalam segala situasi. Kapan pun terjadi perubahan kondisi pada pengolahan makanan (mis., kuantitas dan jumlah piring yang disiapkan bertambah, suhu sekitar meningkat, atau patogen baru ditemukan dalam bahan pangan mentah), perubahan itu merupakan suatu awal yang memicu terjadinya kejadian luar biasa (KLB). KLB penyakit bawaan makanan ternyata sering terjadi dalam musim liburan atau pesta dimana makanan disiapkan dalam jumlah besar dan kerapkali jauh lebih awal. Selama musim panas terjadi peningkatan insidensi penyakit bawaan makanan yang sebagian disebabkan oleh kenaikan suhu sekitar yang mendukung pertumbuhan bakteri. Masalah penyakit konzo di Afrika, misalnya, merupakan contoh bagaimana perubahan status sosioekonomi dapat menimbulkan masalah dalam keamanan makanan. Pada kasus ini, masalah timbul akibat kurangnya pemahaman penjamah makanan akan pentingnya tindakan yang mereka lakukan dalam mengolah singkong. Epidemi penyakit konzo, suatu bentuk mielopati yang ditandai dengan paraparesis spastik yang awitannya mendadak, diketahui berjangkit di kawasan sub-Sahara Afrika. Penelitian terhadap KLB penyakit tersebut di kawasan Bandundu Republik Demokratik Kongo telah mengaitkan KLB ini dengan pajanan sianida akibat konsumsi singkong yang Fermentasi yang menyimpang Penyiapan makanan dalam jumlah sangat besar Proses pelelehan yang kurang tepat Penyimpanan pada keadaan hangat yang kurang tepat Makanan didinginkan dalam panci besar Makanan disimpan pada suhu kamar Penyiapan makanan yang terlalu dini Faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan patogen Faktor-Faktor 1 –c 14 29 47 – 3 11 2 18 49 21b – 18 78 47 – 2 8 41 56 E/W (133) AS (214) AS (238) E/W (396) Enterotoksikosis stafilokokal Salmonelosis – 46 76 63 – 4 6 11 61 54 92 – 15 30 60 94 Shigelo- Desis mam tifoid Gastroenteritis Vibrio parahaemolyticus 9 2 13 56 26 7 7 67 AS (85) AS (27) AS (14) AS (12) E/W (53) AS (93) E/W (387) GasBotutroen- lisme teritis Bacillus cereus Gastroenteritis Clostridium perfringens (a) Persentase faktor-faktor yang turut berkontribusi pada KLB ledakan penyakit bawaan makanan di England dan Wales (E/W) dan ASa Tabel 12. Persentase faktor-faktor yang turut berkontribusi pada KLB penyakit bawaan makanan (a) berdasarkan penyakit bawaan makanan tertentu dan (b) berdasarkan berbagai lokasi tempat makanan disiapkan (Sumber: 4) 58 Penyakit bawaan makanan: fokus pendidikan kesehatan 12 13 Pemanasan ulang yang tidak adekuat Air (laut) yang terkontaminasi – – – 9 3 – – – 1 56 16d – 2 1 45 9d – – 2 33 3e 7e 53 1 3 – – – 2 55 2 2 80 89 7 14 79 8 33 42 Pemanasan ulang tidak mungkin menghancurkan enterotoksin. e Spora C. perfringens tidak selalu mati dengan pemasakan. =data tidak dirangkum. d c Mencakup penyiapan makanan 1 atau beberapa hari sebelumnya (AS); setengah hari sebelumnya (E/W); dan penggunaan makanan sisa. b Jumlah KLB yang dianalisis dalam tanda kurung. Ada lebih dari satu faktor yang biasanya dianggap bertanggung jawab terhadap terjadinya KLB. a 15 Pembersihan peralatan yang tidak adekuat 1 21 Kontaminasi silang Sumber yang tidak aman 2 13 Orang yang terinfeksi 14 9 32 Ingredien atau bahan pangan mentah yang terkontaminasi Faktor-faktor yang memengaruhi kontaminasi 23 21 Pengolahan termal atau pemasakan yang tidak adekuat Faktor-faktor yang memengaruhi bertahan hidupnya patogen Mengapa pendidikan kesehatan diperlukan dalam keamanan makanan? 59 Pemanasan ulang yang tidak adekuat Pengolahan termal atau pemasakan yang tidak adekuat Faktor-faktor yang memengaruhi bertahan hidupnya patogen 25 5 5 21 – Penyiapan makanan dalam jumlah sangat besar – 0 6 30 11 c 26 63 36 Rumah (122 KLB) 1 TPM (235 KLB) AS, 1973-76 Proses pelelehan yang kurang tepat Penyimpanan pada keadaan hangat yang kurang tepat Makanan didinginkan dalam panci besar Makanan disimpan pada suhu kamar Penyiapan makanan yang terlalu dini Faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan patogen Faktor-Faktor 0 25 – 0 0 16 100b 15 12 16 – <1 16 31 21b Tempat AS, 1961-76 pengolahan (1.152 KLB) makanan (32 KLB) 29 15 3 6 6 32 40 66 England dan Wales, 1970-79 (1.044 KLB) – 24 – – 3 26 8 Kanada, 1973—77 (805 KLB) (b) Persentase faktor-faktor yang turut berkontribusi dalam KLB penyakit bawaan makanan di Kanada, England dan Wales (E/W), dan ASa Tabel 12. (lanjutan) 60 Penyakit bawaan makanan: fokus pendidikan kesehatan 9 1 0 0 4 Pembersihan alat masak yang tidak adekuat Makanan dari sumber yang tidak aman Makanan kaleng yang terkontaminasi Makanan olahan yang terkontaminasi (bukan makanan kaleng) Wadah beracun 0 – – 1 – – Bahan aditif sengaja dimasukkan Sanitasi yang tidak memadai Praktik pengolahan makanan yang buruk Bahan aditif tidak sengaja dimasukkan 13 0 1 6 1 11 1 2 0 2 Tanaman beracun yang keliru dianggap dapat dimakan 6 8 22 – – 3 0 6 0 22 – 0 6 0 9 25 – – 2 – <1 2 – – 5 7 7 20 11 – – – – – – 19 4 – – 6 5 4 3 3 3 – 7 6 3 c Semua makanan disiapkan sehari sebelum dikonsumsi =data tidak dirangkum. b Dalam laporan dari AS dan England serta Wales terdapat lebih dari satu faktor yang biasanya dianggap bertanggung jawab sebagai penyebab KLB itu. Di Kanada, hanya faktor yang dianggap sebagai penyebab paling penting pada setiap KLB yang dicatat; 14% KLB disebabkan oleh faktor-faktor yang tidak tercantum di sini. a 2 26 Kontaminasi silang Orang yang terinfeksi Ingredien pangan mentah yang terkontaminasi Faktor-faktor yang memengaruhi kontaminasi Mengapa pendidikan kesehatan diperlukan dalam keamanan makanan? 61 62 Penyakit bawaan makanan: fokus pendidikan kesehatan pengolahannya tidak adekuat. Singkong mengandung sianogen alami, dan pengolahan tradisional yang dilakukan di Afrika juga mencakup perendaman singkong untuk menghilangkan sianogen tersebut. Pada pertengahan tahun 1970-an dibangun sebuah jalan baru yang menuju ibu kota. Keadaan ini memperbesar kebutuhan akan hasil bumi untuk perdagangan. Untuk memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat itu, para ibu pengolah singkong mengurangi waktu rendaman dari tiga hari menjadi satu hari. Tindakan mereka mengakibatkan kandungan sianogen pada singkong menjadi lebih tinggi sehingga menimbulkan KLB penyakit konzo di musim kemarau karena selama musim tersebut, makanan penduduk kurang mengandung zat tambahan yang di dalamnya terdapat asam-asam amino yang mengandung sulfur; asam amino yang mengandung sulfur ini sangat penting untuk detoksifikasi sianida (3). Manajer TPM dan juga penjaja makanan kakilima sering kali merupakan orang yang tidak memiliki pengetahuan khusus tentang keamanan makanan. Mereka menyiapkan makanan berdasarkan pengetahuan yang diperolehnya ketika menyiapkan makanan di rumah dan tidak menyadari bahwa aturan dalam penyiapan makanan yang aman dengan jumlah besar ternyata berbeda dengan aturan dalam penyiapan makanan untuk keluarga sendiri. Contoh, makanan dalam jumlah besar memerlukan waktu yang lebih lama untuk didinginkan sampai mencapai suhu yang aman, kecuali jika makanan tersebut secara hati-hati dibagi menjadi beberapa bagian yang lebih kecil atau jika dapurnya dilengkapi lemari es dengan sistem sirkulasi udara (konveksi) yang dapat meningkatkan kecepatan pemindahan panas. Selain itu, risiko terjadinya kontaminasi silang jauh lebih besar pada TPM karena banyaknya hidangan yang harus dimasak atau disiapkan secara bersamaan dan kerapkali penyiapan ini dilakukan di ruang yang sempit. Dalam lemari es yang diisi terlalu penuh diperlukan waktu yang lebih lama untuk mendinginkan makanan sampai mencapai suhu yang aman. Risiko yang sama juga muncul pada makanan yang disiapkan untuk pesta atau pemberian makanan massal dalam kamp pengungsi. Pada semua keadaan ini, hanya penjamah makanan yang terdidik atau terlatih dengan baik yang dapat menjamin bahwa tindakan pencegahan yang tepat untuk keamanan makanan memang dilakukan pada saat makanan disiapkan. Penelitian epidemiologi di seluruh dunia memperlihatkan bahwa pada mayoritas kasus, KLB penyakit bawaan makanan terjadi akibat penanganan makanan yang salah oleh penjamah makanan di rumah, TPM dan katering atau oleh penjaja makanan kakilima—yaitu kesalahan yang dilakukan dalam tahap terakhir penyiapan makanan (Tabel 12). Pengalaman di negara industri dan negara berkembang Banyak negara, khususnya negara industri, memiliki infrastruktur pengontrol makanan yang besar termasuk perundangan tentang makanan yang Mengapa pendidikan kesehatan diperlukan dalam keamanan makanan? 63 secara teratur diperbarui dan mekanisme yang efektif untuk penegakan aturan tersebut. Pengalaman dari negara industri ini menunjukkan bahwa sistem pengaturan terpadu dengan dana yang cukup saja tidak dapat mencegah terjadinya penyakit bawaan makanan. Insidensi penyakit bawaan makanan yang tinggi dan terus meningkat di negara industri merupakan buktinya. Di sisi lain, jika upaya pengaturan dan pendidikan dipadukan, keduanya terbukti sangat efektif untuk mengurangi insidensi penyakit bawaan makanan. Satu contoh yang baik diperlihatkan dalam tindakan yang dilakukan negara Inggris dan AS untuk mencegah penyakit listeriosis. Upaya pengaturan yang dipadukan dengan pendidikan berhasil memberikan penurunan yang bermakna dalam insidensi penyakit ini (lihat halaman 73) (5, 6). Sayangnya, contoh upaya gabungan pengaturan dan pendidikan masih sangat sedikit. Banyak negara yang masih mengandalkan upaya pengaturan untuk pencegahan penyakit bawaan makanan saja. Dalam masyarakat dimana kebanyakan makanan diolah dan disiapkan di rumah, seperti di beberapa negara berkembang atau pada masyarakat yang bermata pencaharian bertani, pendekatan perundangan untuk menjaga keamanan makanan tidak terlalu membawa manfaat. Dengan demikian, pendidikan masyarakat, khususnya bagi penjamah makanan, membawa manfaat yang lebih besar untuk pencegahan penyakit bawaan makanan. Di negara berkembang, sebagian besar upaya untuk mencegah penyakit diare difokuskan pada perbaikan sanitasi dan persediaan air bersih. Sayangnya, dalam banyak hal, kegiatan untuk menyediakan air yang aman dan sanitasi justru mencapai titik buntu dan tidak dipadukan dengan program pendidikan yang efektif tentang cara-cara higienis penanganan makanan, termasuk air. Satu pengkajian kritis mengenai dampak perbaikan fasilitas persediaan air bersih dan pembuangan tinja terhadap pengendalian diare di antara anak kecil menunjukkan bahwa sekalipun dalam kondisi yang paling menguntungkan, angka morbiditas penyakit diare hanya berkurang sebesar 27% (7). Meskipun tindakan tersebut jelas sangat penting bagi keamanan makanan dan kesehatan penduduk, efisiensinya dalam mengurangi insidensi penyakit diare masih dapat lebih ditingkatkan jika dipadukan dengan program pendidikan higiene makanan yang mencakup pendidikan mengenai cara pemakaian serta penyimpanan air yang aman dan kebiasaan membasuh tangan secara efisien sebelum menjamah makanan. Memang, pengalaman dari negara industri yang memiliki fasilitas penyediaan air bersih dan pembuangan tinja yang aman menunjukkan bahwa penyediaan air bersih dan sanitasi yang aman saja tidak cukup untuk mencegah penyakit diare karena insidensi dari sebagian besar penyakit seperti itu terus meningkat (8). Di banyak negara berkembang program pengadaan air bersih maju dengan pesat dan saat ini persentase penduduk yang menikmati manfaat dari program tersebut cukup tinggi. Walaupun begitu, penyakit diare pada bayi dan anak-anak tetap menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas di negara berkembang. 64 Penyakit bawaan makanan: fokus pendidikan kesehatan Secara keseluruhan, angka kematian bayi akibat penyakit diare di negara berkembang tampak menurun. Akan tetapi, penurunan ini lebih disebabkan oleh perbaikan manajemen kasus secara klinis bukan keefektifan tindakan pencegahan yang dilakukan. Anak-anak yang selamat akibat pemberian oralit (ORS; oral rehydration salts) mungkin masih akan mengalami diare dan malnutrisi yang menyertainya; anak-anak kemudian menjadi semakin lemah dan akhirnya meninggal akibat penyakit infeksi lain. Berkaitan dengan negara industri, perlu kita sadari bahwa bersamaan dengan meningkatnya perdagangan dan perjalanan antarnegara, langkahlangkah pengaturan di tingkat nasional saja tidak akan cukup untuk melindungi penduduk terhadap penyakit bawaan makanan. Di Swedia yang sekalipun sudah menerapkan program terpadu untuk memusnahkan unggas yang terkontaminasi salmonela, insidensi salmonelosis masih menunjukkan angka yang sangat tinggi dan sebanding dengan angka insidensi di negara Eropa lainnya. Salah satu alasan mengapa hal ini terjadi adalah bahwa 80— 90% kasus salmonelosis di Swedia berkaitan dengan perjalanan dan wisata. Dengan demikian, peningkatan pendidikan bagi pelancong dapat menurunkan insidensi salmonelosis. Tanggung jawab bersama Keamanan makanan berarti bahwa pada saat dikonsumsi, makanan tidak mengandung kontaminan dalam kadar yang dapat membahayakan kesehatan. Semua orang, baik yang menyiapkan atau yang hanya memakannya, merupakan bagian dari rantai makanan. Sebagai bagian dari rantai tersebut, mereka berarti ikut bertanggung jawab bersama pemerintah dan industri makanan dalam menjamin keamanan makanan. Konsep tanggung jawab bersama ini dilukiskan dalam Gambar 9. Masyarakat ikut memikul tanggung jawab untuk keamanan makanan hanya jika mereka memperoleh saran yang profesional tentang risiko yang ditimbulkan makanan atau praktik tertentu terhadap kesehatan mereka. Mereka juga perlu dibimbing dalam memilih makanannya. Contoh, konsumen harus mendapatkan informasi—dan terus-menerus diingatkan— tentang risiko bahan pangan mentah tertentu, khususnya yang berasal dari hewan. Insidensi penyakit bawaan makanan terjadi berulang kali karena konsumsi daging mentah, susu mentah dan makanan laut yang mentah. Banyak kasus penyakit bawaan susu (milkborne) terjadi akibat susu mentah yang dikonsumsi anak-anak sekolah ketika berkunjung ke peternakan. Sayangnya, di beberapa negara industri, tren untuk mengonsumsi “makanan sehat” mendorong semakin banyak orang untuk mengonsumsi susu mentah tanpa menyadari risiko yang akan mereka hadapi. Pada kasus munculnya patogen yang baru atau patogen yang sudah ada menunjukkan sifat-sifat epidemiologis yang baru (mis., Salmonella enteritidis yang mengontaminasi isi telur), masyarakat luas perlu mendapatkan infor- Mengapa pendidikan kesehatan diperlukan dalam keamanan makanan? 65 Gambar 9. Konsep tanggung jawab bersama masi tentang patogen baru ini, cara penularannya serta tindakan pengendalian yang diperlukan agar mereka dapat mengambil tindakan untuk melindungi diri mereka. Perdagangan makanan berskala internasional dipermudah oleh perkembangan teknologi dan transportasi pangan serta oleh migrasi dan perjalanan antarnegara. Namun, akibat perdagangan internasional ini, makanan penduduk mungkin berubah. Orang mungkin mengonsumsi bahan pangan yang asing bagi mereka atau dapat saja menerapkan cara baru dalam 66 Penyakit bawaan makanan: fokus pendidikan kesehatan Kotak 4. Hak konsumen di AS Empat hak utama yang dimiliki oleh konsumen di AS yang ditegaskan oleh mantan presiden AS J. F. Kennedy dalam pidatonya mengenai hak-hak konsumen pada bulan Maret 1962, yaitu (9): – hak atas keamanan – hak untuk mendapatkan informasi – hak untuk memilih – hak untuk didengar. menyiapkan makanan. Mengingat setiap makanan dan praktik penyiapannya memiliki karakteristik dan potensi bahayanya sendiri, maka sangat penting kiranya jika konsumen diberi tahu tentang bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh makanan baru atau metode penyiapan yang baru. Contoh, diperkenalkannya tradisi Jepang, mengonsumsi ikan mentah, ke Amerika Utara menyebabkan banyak kasus anisakiasis yang terjadi di kalangan penduduk di Amerika Utara. Masyarakat berhak diberi tahu tentang bahaya yang ditimbulkan makanan jenis baru dan praktik atau teknologi baru dalam penyiapan makanan. Mereka memerlukan pendidikan tentang cara menjaga keamanan makanan. Demikian pula, pelancong harus diberi tahu tentang risiko yang ada di tempat yang akan mereka kunjungi. Hanya konsumen yang terdidik dan berpengetahuan yang dapat ikut memikul tanggung jawab dalam pemeliharaan keamanan makanan bersama pemerintah dan industri makanan (lihat juga Kotak 4). Kelompok berisiko tinggi Orang tertentu merupakan subjek yang lebih berisiko untuk terjangkit infeksi dan intoksikasi bawaan makanan. Ada dua kelompok berisiko tinggi yang dapat dibedakan—pelancong karena memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mengonsumsi makanan yang terkontaminasi, dan orang yang rentan karena mereka lebih mudah sakit. Pelancong menghadapi risiko yang lebih tinggi karena kurang memiliki imunitas terhadap flora mikrobiologis di negara yang mereka kunjungi, dan mereka juga menghadapi derajat pajanan yang lebih tinggi terhadap patogen karena biasanya mereka terpaksa makan di TPM atau membeli makanan dari penjaja kakilima. Orang yang rentan merupakan masyarakat yang karena alasan fisiologis atau alasan lainnya lebih mudah terkena infeksi bawaan makanan. Kelompok tersebut mencakup bayi dan anak-anak, lansia, ibu hamil, pasien malnutrisi, pasien dengan penyakit utama (mis., penyakit hati, diabetes), dan pasien gangguan kekebalan akibat mengalami infeksi (mis., AIDS) atau menjalani pengobatan (mis., pasien kanker). Kelompok yang rentan merupakan segmen populasi yang Mengapa pendidikan kesehatan diperlukan dalam keamanan makanan? 67 penting. Di AS, kelompok tersebut diperkirakan mencapai 20% penduduk dan persentase ini diperkirakan akan menunjukkan peningkatan yang bermakna menjelang abad mendatang karena memanjangnya usia harapan hidup dan semakin banyaknya jumlah pasien yang menderita gangguan imunitas (10). Orang yang rentan bukan hanya berisiko tinggi untuk terjangkit penyakit bawaan makanan tetapi juga dapat menderita sakit yang lebih berat. Contoh, angka fatalitas kasus pada lansia yang menderita salmonelosis 10 kali lebih tinggi daripada angka fatalitas pada kelompok populasi lain (11). Pasien penyakit hati menghadapi risiko terjangkit infeksi Vibrio vulnificus 80 kali lebih tinggi daripada kelompok lain, dan risiko kematian pada kelompok pasien tersebut juga menjadi 200 kali lebih tinggi (12). Di negara berkembang, lebih dari separuh kasus kematian yang tercatat akibat gastroenteritis dan hepatitis A terjadi di kalangan lansia (10). Berdasarkan hasil beberapa penelitian, mereka (termasuk bayi) yang terkena infeksi HIV lebih berpeluang mengalami diare dibandingkan mereka yang tidak terinfeksi. Diare juga menyebabkan progresivitas HIV yang lebih cepat. Diare akibat infeksi usus terlihat pada 30—60% kasus HIV dan bahkan dianggap sebagai salah satu manifestasi HIV (13, 14). Mengingat efek yang ditimbulkan patogen bawaan makanan terhadap kesehatan kelompok tersebut, maka sangat penting kiranya untuk memberi tahu mereka tentang peningkatan risiko yang akan dihadapi bila mengonsumsi makanan yang terkontaminasi dan untuk memberikan saran agar mereka melakukan tindakan pencegahan guna melindungi diri sendiri. Perlu diingat bahwa keamanan yang mutlak tidak mungkin dapat dicapai. Makanan yang dianggap aman bagi masyarakat luas mungkin tidak aman bagi seseorang yang menderita intoleransi makanan atau alergi makanan, gangguan imunitas, atau memiliki kondisi kesehatan yang membuatnya rentan (lihat Kotak 5). Orang-orang ini harus diberi tahu tentang peningkatan risiko yang mungkin ditimbulkan oleh makanan tertentu terhadap diri mereka. Pentingnya nasihat seperti ini diakui betul dalam kaitannya dengan alergi; badan perundangan di banyak negara mensyaratkan dilakukan pelabelan untuk zat atau bahan aditif yang dapat menimbulkan alergi bagi sebagian orang. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah memberikan saran kepada kelompok berisiko tinggi berkaitan dengan masalah kesehatan makanan yang penting bagi kesehatan kelompok tersebut. Manajer TPM juga harus dianjurkan untuk tidak merekomendasikan makanan yang dapat menimbulkan risiko kesehatan bagi kelompok tertentu (mis., telur mentah atau telur setengah matang, makanan yang mengandung telur mentah atau daging mentah). Teknologi pangan baru Ilmu pengetahuan dan teknologi pangan terus berkembang dengan cepat. Konsumen dihadapkan dengan berbagai produk hasil teknologi pangan yang 68 Penyakit bawaan makanan: fokus pendidikan kesehatan Kotak 5. Alergi makanan (15—18) Selain penyakit bawaan makanan, makanan juga dapat menimbulkan berbagai jenis reaksi merugikan nontoksik, misalnya alergi makanan. Alergi makanan merupakan reaksi merugikan terhadap makanan atau komponen makanan yang sebenarnya tidak berbahaya; reaksi alergi ini melibatkan sistem imun tubuh dalam memproduksi imunoglobulin E spesifik-antigen terhadap zat-zat tertentu dalam makanan. Sejumlah survei menunjukkan bahwa sepertiga dari seluruh orang dewasa merasa yakin bahwa mereka pada suatu waktu pernah mengalami alergi makanan. Padahal alergi makanan yang sesungguhnya diperkirakan hanya mengenai kurang dari 1—2% populasi. Anak-anak menghadapi risiko yang lebih tinggi dimana terdapat sekitar 5% bayi yang mengalami alergi walaupun kerapkali akan hilang dengan sendirinya. Reaksi alergi pada hakekatnya dapat disebabkan oleh makanan apa pun kendati sebagian besar reaksi disebabkan oleh beberapa jenis makanan tertentu. Beberapa jenis makanan yang paling sering menimbulkan alergi (makanan alergenik) adalah telur, susu, ikan, udang, kacang, kedelai, gandum, dan kelapa. Pada kebanyakan kasus, alergi merupakan keadaan yang tidak menyenangkan dengan gejala yang sangat mengganggu. Namun, bagi sebagian orang yang sangat sensitif terhadap makanan tertentu (mis., kacang), akibatnya dapat menyebabkan kematian. Reaksi alergi biasanya dimulai dalam beberapa menit sampai beberapa jam sesudah mengonsumsi makanan alergenik. Orang yang sangat sensitif dapat mengalami reaksi alergi walaupun jumlah makanan penyebab yang dikonsumsi sangat sedikit. Gejalanya meliputi anafilaksis dan gejala pada kulit (mis., angioedema, urtikaria, eksim, eritema), organ pernapasan (rhinitis, bersin-bersin, asma) dan saluran gastrointestinal (mual, muntah, diare, kolik, nyeri abdomen). Penjamah makanan yang bekerja di TPM, termasuk jurumasak dan pramusaji, harus menyadari sepenuhnya akan pentingnya persoalan alergi makanan bagi sebagian orang kendati persoalan ini hanya dialami oleh sejumlah kecil populasi. Penjamah makanan harus membaca dengan teliti catatan tentang produk pangan olahan atau semi-olahan yang mereka gunakan, dan setiap saat mereka harus mengetahui kandungan unsur-unsur dalam makanan yang mereka hidangkan kepada pelanggan. Orang yang alergi terhadap makanan tertentu harus menghindari makanan tersebut. Sebaiknya label makanan dibaca dengan teliti. baru (mis., produk pangan hasil radiasi dan produk dengan kemasan vakum) atau mereka menggunakan teknologi yang baru di rumah (mis., pembekudinginan, dan penghangatan dengan mikrowave). Pada kedua kondisi tersebut, konsumen harus diberi tahu tentang masalah keamanan pangan yang berkaitan dengan teknologi baru. Kurangnya pemahaman tentang teknologi baru itu dapat menimbulkan penolakan atau penggunaan yang keliru. Contoh, kurangnya pemahaman dan kekeliruan dalam penghangatan dengan mikrowave menimbulkan berbagai jenis masalah kesehatan. Sejumlah kecelakaan pernah dilaporkan seperti telur yang meledak pada saat dimasak dengan mikrowave dan menimbulkan cedera pada mata, atau luka Mengapa pendidikan kesehatan diperlukan dalam keamanan makanan? 69 Pakar 1. Keamanan mikrobial 2. Over/undernutrisi 3. Keamanan nonmikrobial a. kontaminan b. toksin alami c. zat kimia pertanian Masyarakat 1. Pestisida 2. Zat kimia pangan yang baru 3. Zat aditif 4. Lemak dan kolesterol 5. Pencemaran mikrobial 6. Makanan “sampah” (junk foods) WHO 98343 Gambar 10. Bagaimana perbedaan kekhawatiran antara pakar dan masyarakat tentang keamanan pangan (Sumber: Direproduksi atas izin dari 29). bakar dan kulit melepuh pada anak akibat memasak makanan dengan mikrowave (19—21). Pemasakan makanan tidak sampai matang dan bertahan hidupnya patogen akibat distribusi panas yang tidak merata dalam makanan (“cold spots”) juga pernah dilaporkan (22—25). KLB penyakit bawaan makanan yang berkaitan dengan pemasakan dengan mikrowave pun pernah dilaporkan (26, 27). Selain itu, terdapat beberapa kasus bayi yang melepuh akibat terkena botol susu yang dipanaskan dengan oven mikrowave sedemikian rupa dimana isinya mendidih tetapi botolnya tetap dingin. Hasil lain dari teknologi yang baru ini adalah produksi makanan konvensional dengan kalori yang lebih sedikit—makanan seperti ini disebut “makanan ringan (light foods)”. Konsumen tidak selalu menyadari bahwa makanan tersebut mungkin memerlukan penyimpanan atau penanganan yang berbeda. Penggunaan kemasan yang vakum dan manfaatnya untuk mengawetkan makanan juga masih belum dipahami dengan baik sehingga terdapat risiko kekeliruan dalam penanganan produk tersebut di rumah (28). Ketakutan masyarakat terhadap teknologi pangan yang tidak lazim juga dapat membuat mereka menolak teknologi yang mungkin bermanfaat bagi kesehatan mereka. Salah satu contohnya adalah iradiasi pangan yang ternyata merupakan sarana ampuh untuk menghilangkan banyak patogen dalam makanan. Kesadaran dan persepsi risiko Para pakar dan masyarakat umum acapkali memiliki persepsi yang berbeda tentang risiko. Meskipun para pakar menentukan bahaya berdasarkan proses ilmiah dalam pengkajian risiko, masyarakat luas justru melakukan penilaian berdasarkan kriteria yang dipengaruhi oleh berbagai faktor selain faktor ilmiah (seperti keyakinan tradisional, budaya, media massa, pengalaman pribadi) (29). Gambar 10 menyajikan perbedaan antara persepsi pakar dan masyarakat mengenai bahaya makanan di AS beberapa tahun lalu. Gambar 70 Penyakit bawaan makanan: fokus pendidikan kesehatan tersebut masih representatif untuk situasi yang terjadi di banyak negara saat ini (30). Anggota masyarakat dan terkadang pembuat kebijakan serta pihak berwenang kesehatan masyarakat memiliki persepsi yang subjektif atau tidak akurat mengenai risiko yang berkaitan dengan makanan. Tidak jarang mereka mengabaikan masalah yang ada pada keamanan pangan. Di negara industri, kendati sebagian besar penyakit bawaan makanan disebabkan oleh mikroba dan dapat terjadi akibat penanganan yang keliru saat menyiapkannya, perhatian konsumen lebih berpusat pada zat kimia seperti pestisida dan zat aditif makanan. Banyak konsumen beralih ke makanan yang biasa disebut sebagai “makanan sehat (health foods)” agar dapat menghindari zat kimia. Mereka mengabaikan fakta bahwa makanan itu sendiri merupakan campuran senyawa kimia dan bahwa banyak senyawa atau substansi yang mereka takuti itu terbentuk secara alami dalam makanan. Dalam hal ini, jika kita tidak menimbang dengan benar risiko dan manfaat dari “health foods,” kita mungkin akan memajankan diri kita sendiri pada bahaya kesehatan yang justru jauh lebih besar. Persepsi bahwa makanan yang tidak diolah memiliki nilai gizi yang lebih baik mendorong sebagian konsumen meminum susu mentah sehingga memajankan dirinya sendiri pada patogen bawaan susu seperti Campylobacter, Salmonella, E. coli O157, dan Cryptosporidium. Beberapa ahli gizi menjadikan diri mereka sebagai sarana untuk mempromosikan tren tersebut dengan merekomendasikan praktik diet tertentu tanpa menimbang konsekuensinya pada keamanan makanan. Contoh, untuk menghindari pembentukan senyawa yang mutagenik selama pengolahan makanan (mis., saat memanggang dan menggoreng makanan kaya protein), masyarakat dianjurkan untuk tidak memanaskan makanan dalam waktu lama. Ketakutan akan senyawa yang potensial mutagenik mengakibatkan beberapa konsumen memasak daging tidak sampai matang, yang berarti mengabaikan fakta bahwa daging yang kurang matang menimbulkan risiko yang lebih cepat atau jauh lebih besar bagi kesehatan. Madu dikenal sebagai makanan yang kaya gizi sehingga banyak orang tua, dengan keyakinan bahwa mereka memberikan makanan yang bergizi untuk bayinya, tidak menyadari bahwa pemberian madu membuat bayi mereka berisiko untuk terpajan penyakit botulisme bayi. Madu mungkin mengandung Clostridium botulinum. Meskipun mikroorganisme ini jika termakan tidak membawa risiko kesehatan bagi orang dewasa, sebaliknya pada anak-anak dapat menyebabkan botulisme infantilis. Di negara berkembang, persepsi keliru lain yang lazim terjadi justru berkaitan dengan permasalahan penyakit diare. Menurut keyakinan kebanyakan orang di negara berkembang, diare bukanlah gejala penyakit dengan konsekuensi yang berat bagi kesehatan melainkan masalah kesehatan yang terjadi secara “alami” (lihat Kotak 6). Masyarakat mungkin juga mengabaikan peran makanan dan penanganan makanan dalam penularan penyakit diare, khususnya diare pada bayi, dan banyak di antara mereka Mengapa pendidikan kesehatan diperlukan dalam keamanan makanan? 71 Kotak 6. Penyebab diare menurut persepsi berbagai budaya (32) 1. Makanan berlemak, tidak dimasak sampai matang atau dengan bumbu yang kental. 2. Ketidakseimbangan panas dan dingin dikaitkan dengan makanan, pajanan terhadap musim kemarau atau perubahan musim. 3. Mutu ASI yang buruk atau biasa. 4. Faktor-faktor fisik seperti anak yang terjatuh atau yang perawatannya tidak baik. 5. Penyebab supernatural, termasuk kesurupan, terkena “santet” atau “pelet”. 6. Polusi akibat terkena atau kontak dengan orang atau benda yang dianggap najis. 7. Penyimpangan perilaku moral, termasuk perbuatan pasien sendiri atau orang tua pasien, khususnya jika melakukan hubungan seks terlarang atau mengalami kehamilan pada saat masih menyusui anaknya. 8. Konsekuensi alami peristiwa penting dalam proses tumbuh-kembang, khususnya peristiwa tumbuh gigi, bayi mulai merangkak dan mulai berjalan. 9. Infeksi yang mungkin berkaitan dengan higiene dan sanitasi (tetapi yang dianggap terjadi akibat polusi). mengaitkan penyakit tersebut dengan faktor lain seperti salah cerna, tumbuh gigi, makan “makanan pedas”, mutu ASI, atau “terkena santet”. Pada penelitian berbasis komunitas tentang etiologi penyakit diare di Papua New Guinea, anak-anak yang ibunya tidak menganggap kotoran bayi sebagai kontaminan dan sebagai faktor yang penting pada kejadian diare akan menghadapi risiko diare yang 7,4 kali lebih besar daripada anak-anak yang ibunya menyadari akan bahaya tersebut. Risiko terjadinya kontaminasi makanan adalah 6,8 kali lebih besar pada anak-anak yang ibunya tidak menyadari pentingnya jalur penularan ini (33). Sebuah survei terhadap pengetahuan ibu dalam masyarakat pedesaan yang hidup dalam dua desa di Sudan (87 ibu “melek huruf” dan 152 ibu “buta huruf”) menunjukkan bahwa tumbuhnya gigi merupakan faktor yang paling banyak dikaitkan dengan penyakit diare pada anak mereka (34). Bahkan di negara industri sekalipun, masih banyak penduduk yang tidak memahami hubungan antara bakteri dan tubuh manusia serta hewan, dan tidak menyadari kalau tubuh merupakan pejamu bagi banyak bakteri patogen maupun nonpatogen yang dapat disebarkan ke dalam makanan (35). Kebanyakan budaya memandang tinja sebagai sesuatu yang kotor dan tidak selalu dianggap sebagai penyebab penyakit. Ada keyakinan yang tersebar luas bahwa tinja bayi dan anak kecil tidak berbahaya. Keyakinan ini juga dianut di negara industri. Sebagian ibu di Amerika Serikat ternyata tidak mencuci tangan mereka setelah mengganti popok bayi (36). Umumnya, per- 72 Penyakit bawaan makanan: fokus pendidikan kesehatan sepsi kebersihan tidak selalu dilandaskan pada teori kuman. Di Bangladesh, misalnya, kebersihan dalam pengertian higiene perorangan dipandang dalam konteks sosioreligius yang lebih luas sebagai kesucian dan ketidaksucian. Membasuh tubuh sendiri berarti memenuhi kebutuhan fisik maupun spiritual dan dilaksanakan menurut pola yang sudah ditentukan yang mungkin tidak efektif untuk mencegah kontaminasi makanan oleh penjamahnya. Sabun hanya dianggap sebagai alat kosmetik dan bukan sebagai sarana untuk menghilangkan mikroorganisme (37). Kalaupun masyarakat sudah mendapatkan informasi, mereka mungkin masih bersikap subjektif atau tidak realistik tentang hal ini (38). Mungkin mereka terlalu yakin bahwa diri mereka tidak akan sakit. Meskipun sudah mengetahui risiko yang dapat ditimbulkan oleh konsumsi makanan dari hewan atau makanan laut yang mentah, masih sering terlihat masyarakat yang tidak menghiraukannya; ini mungkin karena kebiasaan kultural yang sudah tertanam atau karena keengganan mereka untuk meninggalkan kebiasaan yang menyenangkan bagi mereka. Konsumen sering menentukan keamanan makanan berdasarkan penampakan dan aromanya saja. Mereka menganggap makanan yang mutu organoleptiknya bisa diterima merupakan makanan yang aman. Mereka mengabaikan kenyataan bahwa banyak patogen yang mungkin masih ada dapat tumbuh dan menghasilkan toksin tanpa mengubah mutu organoleptik makanan itu. Di antara berbagai program kesehatan masyarakat, penyakit bawaan makanan dianggap sebagai penyakit yang ringan dan akan sembuh sendiri. Akibatnya, penyakit ini hanya menempati prioritas yang rendah dalam program kesehatan dan tidak ada upaya yang dilakukan untuk memantau insidensi serta konsekuensinya terhadap kesehatan. Kurangnya informasi tentang besaran dan konsekuensi penyakit ini pada akhirnya akan mengakibatkan kurangnya pemahaman tentang kepentingan yang sebenarnya di bidang kesehatan dan ekonomi. Informasi yang terlalu berlebihan atau yang tidak seimbang dapat memengaruhi persepsi masyarakat tentang risiko. Dalam konteks ini, media massa memainkan peranan yang penting. Publikasi secara berlebihan tentang efek yang mungkin ditimbulkan oleh bahaya yang berisiko rendah dapat memengaruhi persepsi konsumen tentang risiko dan mengalihkan perhatian mereka dari bahaya yang berisiko tinggi. Karena pembuat kebijakan wajib menanggapi keprihatinan konsumen, maka persepsi konsumen tentang risiko secara tidak langsung dapat berpengaruh pada program keamanan makanan dan kebijakan pemerintah. Ketidakberhasilan untuk mengomunikasikan secara ilmiah berbagai risiko yang sudah teridentifikasi dan untuk menawarkan pilihan guna mengendalikan risiko tersebut menyebabkan ketidakpedulian, tabu, dan keyakinan tradisional menjadi penentu perilaku dan perbuatan masyarakat. Kotak 7 menyajikan elemen yang ada pada komunikasi risiko di dalam konteks pendidikan kesehatan tentang keamanan makanan. Mengapa pendidikan kesehatan diperlukan dalam keamanan makanan? 73 Kotak 7. Komunikasi risiko dalam kaitannya dengan pendidikan kesehatan tentang keamanan makanan Manajemen keamanan makanan mengalami perkembangan yang pesat dalam tahun-tahun terakhir ini. Pendekatan mutakhir yang direkomendasikan melibatkan analisis risiko yang mencakup pengkajian risiko, manajemen risiko dan komunikasi risiko (27). Pengkajian risiko merupakan evaluasi ilmiah terhadap berbagai efek yang diketahui atau berpotensi merugikan kesehatan akibat terpajannya manusia pada bahaya bawaan makanan. Upaya ini melibatkan identifikasi serta penentuan sifat bahaya dan pengkajian terhadap kemungkinan munculnya efek yang memengaruhi kesehatan. Manajemen risiko merupakan proses menimbang berbagai alternatif kebijakan untuk menerima, meminimalkan atau mengurangi risiko, dan memilih serta menerapkan pilihan yang tepat. Komunikasi risiko adalah pertukaran informasi dan pandangan yang berkaitan dengan risiko dan faktor-faktor yang terkait di antara para pengkaji risiko, manajer risiko, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Persepsi tentang apa yang menyebabkan risiko bergantung pada budaya seseorang, pendidikan dan pengalamannya. Namun, walau apa yang dianggap risiko itu bisa saja berbeda, prinsip ilmiah dasar untuk mengatasi risiko tetap sama. Komunikasi risiko, sebagai komponen dalam pendidikan kesehatan untuk keamanan makanan, terdiri atas pemahaman terhadap persepsi konsumen tentang risiko keamanan makanan dan penyebarluasan hasil-hasil pengkajian risiko serta keputusan yang berkaitan dengan manajemen risiko. Penyebarluasan hasil pengkajian itu dapat mencakup tindakan yang harus diterapkan atau dipraktikkan pihak industri dan pemerintah yang harus terlihat oleh masyarakat sebagai konsumen atau penjamah makanan. Keefektifan pendidikan Sampai saat ini belum ada vaksin yang mampu memberikan perlindungan menyeluruh terhadap penyakit bawaan makanan, dan kemungkinan besar vaksin semacam itu tidak akan pernah ada. Vaksin yang tersedia hanya untuk penyakit hepatitis A, poliomielitis dan demam tifoid. Apabila secara ekonomi biayanya dapat ditanggung, pemilik TPM dan katering harus didorong untuk melakukan vaksinasi hepatitis A pada pekerjanya (pengolah/penjamah makanan) (39). Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengembangkan vaksin penyakit bawaan makanan yang spesifik lainnya seperti shigelosis, rotavirus dan E. coli enterogenik. Namun, semua upaya ini masih berada dalam tahap riset. Ada dua macam vaksin kolera oral yang tersedia di beberapa negara, tetapi vaksin tersebut direkomendasikan terutama bagi pelancong. Praktik pertanian dan peternakan yang ada saat ini tidak menjamin bahwa bahan pangan yang dihasilkan bebas dari kontaminasi. Dekontaminasi melalui pengolahan hanya terjadi pada jenis makanan tertentu ser- 74 Penyakit bawaan makanan: fokus pendidikan kesehatan ta jenis patogen tertentu, dan tidak akan mencegah terjadinya rekontaminasi selama penyiapan makanan. Selain itu, banyak patogen ditularkan melalui makanan oleh penjamah makanan yang terinfeksi. Untuk mencegah penularan patogen dari penjamah ke dalam makanan, kode etik kesehatan masyarakat di beberapa negara industri sudah mensyaratkan pemeriksaan medis atau bentuk skrining kesehatan tertentu bagi calon karyawan yang akan bekerja di tempat pengelolaan makanan atau sebagai penjaja makanan sebelum mereka diterima bekerja di tempat tersebut. Pemeriksaan berkala terhadap pengelola makanan juga sering dijadikan syarat. Namun, analisis terhadap biaya-manfaat menunjukkan bahwa tindakan tersebut tidak terlalu berarti. WHO telah merekomendasikan agar sumber daya yang ada lebih baik dimanfaatkan untuk pendidikan dan pelatihan penjamah makanan (40). Pihak berwenang pengontrol makanan tidak dapat mengintervensi setiap rumah tangga. Demikian pula, inspeksi yang dilakukan pada TPM tidak cukup sering dilakukan untuk memastikan keamanan makanan yang konsisten. Oleh karena itu, pendidikan dan pelatihan tentang keamanan makanan tetap menjadi pilihan yang paling penting dan paling efektif untuk mencegah penyakit bawaan makanan. Pengalaman yang diperoleh dari pelaksanaan program pendidikan untuk masalah kesehatan lain seperti gizi dan kebersihan gigi memperlihatkan bahwa jika dirancang dan dijalankan dengan baik, pendidikan merupakan sarana yang terjangkau dan hemat biaya dalam memperbaiki status kesehatan masyarakat. Jika dibandingkan dengan bentuk intervensi yang lain, pendidikan kesehatan relatif murah tetapi menghasilkan perubahan yang berlangsung lama pada perilaku kesehatan kelompok sasaran (41). Penelitian tentang keefektifan pendidikan keamanan makanan masih jarang dilakukan. Mungkin salah satu contoh yang paling penting adalah penurunan insidensi listeriosis di beberapa negara industri setelah dilakukannya program pendidikan bagi ibu hamil. Contoh, badan-badan pengaturan dan industri di AS yang menerapkan tindakan terkoordinasi dengan komponen utama pendidikan bagi ibu hamil berhasil menurunkan jumlah kasus listeriosis serta angka kematian yang diakibatkannya hingga mencapai masing-masing 44% dan 48% antara tahun 1989 dan 1993 (5). Penurunan yang sama sebagai hasil upaya gabungan dari pihak industri dan pemerintah juga terlihat di Inggris dan beberapa negara lain (6). Penurunan insidensi penyakit bawaan makanan yang terlihat pada beberapa negara Latin sesudah KLB kolera epidemik di awal tahun 1990-an sebagian juga dapat dikaitkan dengan aktivitas pendidikan intensif yang dilaksanakan akibat epidemi tersebut (lihat Gambar 3). Setelah dilakukannya pendidikan yang intensif pada penjamah makanan, pihak berwenang di Tunisia berhasil menurunkan insidensi penyakit diare di kalangan wisatawan dari 40—54% pada tahun 1980-an menjadi 27—37% pada tahun 1992 (42, 43). Salah satu contoh penting keberhasilan pendidikan kesehatan tentang keamanan makanan adalah pada world fair “EXPO 92” yang diselenggarakan Mengapa pendidikan kesehatan diperlukan dalam keamanan makanan? 75 di Seville, Spanyol pada tahun 1992. Mengingat besarnya peristiwa tersebut, organisasi penyelenggaranya yang sangat kompleks, dan kenyataan bahwa peristiwa ini berlangsung di musim panas dengan suhu sekitar mencapai 40ºC, layanan kesehatan masyarakat di kota itu menghadapi tantangan yang luar biasa. Namun, pendidikan dan pelatihan bagi para penjamah makanan di TPM ternyata efektif dalam mencegah penyakit bawaan makanan. Selama enam bulan penyelenggaraan EXPO 92, tidak terdapat laporan yang signifikan tentang kejadian penyakit bawaan makanan kendati puluhan juta jenis hidangan dikonsumsi pengunjung (lihat Kotak 18, halaman 121) (44). Beberapa hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa pelatihan dan pendidikan bagi manajer TPM serta penjamah makanan menyebabkan membaiknya kondisi sanitasi di TPM itu dan pada saat inspeksi dilakukan diperoleh skor yang lebih baik (45, 46). Demikian pula, pelatihan dan pendidikan bagi penjamah makanan tentang berbagai teknik untuk menjamin keamanan makanan pasca-KLB salmonelosis yang terjadi akibat jasa katering penerbangan di Yunani telah menunjukkan perningkatan yang cukup besar dalam mutu higiene makanan jasa katering itu (lihat pula halaman 57). Di Jamaika, pendidikan kesehatan yang diberikan melalui media massa berhasil mencegah penyakit penyumbatan vena pada hati yang terjadi akibat keracunan minuman herbal (bush tea and ackee) karena buah ackee yang masih mentah (47). Kondisi di negara berkembang Lingkungan yang tercemar, kurangnya persediaan air bersih yang aman dan sanitasi yang buruk memperbesar kemungkinan terjadinya kontaminasi makanan. Kondisi semacam ini umumnya dijumpai di lingkungan masyarakat yang tingkat sosioekonominya rendah kendati juga dapat terjadi karena bencana alam atau akibat ulah manusia sendiri (seperti perang). Jika kondisi lingkungan tercemar dan makanan kemungkinan juga terkontaminasi, maka pendidikan bagi konsumen dan penjamah makanan agar mereka dapat mengambil langkah-langkah khusus untuk mempertahankan keamanan makanan (termasuk air minum) menjadi semakin penting. Di negara yang kontrol makanannya tidak kokoh karena kurangnya sumber daya, pendidikan keamanan makanan bagi konsumen akan membekali mereka dengan pengetahuan tentang cara memilih dan menolak makanan yang mutu higienisnya diragukan. Sikap konsumen yang pilih-pilih ini cukup efektif untuk memaksa industri makanan melaksanakan praktik yang baik dalam produksi makanan sekaligus memainkan peranan yang penting dalam meningkatkan standar keamanan makanan. Penyakit bawaan makanan: penyakit yang dapat dicegah Kebanyakan penyakit bawaan makanan dapat dicegah. Upaya pengendalian sebagian besar bahaya ini sudah diketahui. Upaya tersebut sederhana dan 76 Penyakit bawaan makanan: fokus pendidikan kesehatan dapat diterapkan oleh konsumen atau penjamah makanan itu sendiri. Untuk sebagian besar penyakit bawaan makanan, pendidikan kesehatan tentang keamanan makanan merupakan pilihan yang paling penting untuk mencegah penyakit tersebut. Meskipun pendidikan kesehatan memainkan peranan yang sangat penting dalam mencegah penyakit bawaan makanan, metode ini harus terlihat sebagai bagian dalam upaya promosi kesehatan yang lebih luas. Upaya pendidikan kesehatan memerlukan partisipasi banyak sektor yang terlibat dalam rantai makanan serta pembuatan kebijakan umum yang sehat, lingkungan yang mendukung dan komunitas yang memahami pentingnya pendidikan tersebut. Sangat disesalkan dan bahkan bisa dianggap tidak punya rasa tanggung jawab jika hidup manusia terancam akibat mereka yang berada dalam posisi untuk mengubah atau memengaruhi situasi tersebut belum melaksanakan upaya yang memadai guna memberi tahu dan mendidik konsumen serta melatih penjamah makanan. Referensi 1. Jacob M. Salmonella in poultry: is there a solution? Environmental policy and practice, 1995, 5(2):75—80. 2. Roberts D. Sources of infection: food. Lancet, 1990, 336:859—861. 3. Tylleskär TM et al. Cassava cyanogens and konzo, an upper motoneurone disease found in Africa. Lancet, 1992, 339:208—211. 4. The role of food in health and development. Report of a Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Safety. Geneva, World Health Organization, 1984 (WHO Technical Report Series, No. 705). 5. Tappero JW et al. Reduction in the incidence of human listeriosis in the United States: effectiveness of prevention effort? Journal of the American Medical Association, 1995, 273(14):1118—1122. 6. McLauchlin J. The role of the Public Health Laboratory Service in England and Wales in the investigation of human listeriosis during the 1980s and 1990s. Food control, 1996, 7(4/5):235—239. 7. Esrey SA. Interventions for the control of diarrhoeal diseases among young children: improving water supplies and excreta disposal facilities. Bulletin of the World Health Organization, 1985, 63(4):757—772. 8. Bern C et al. The magnitude of the global problem of diarrhoeal disease: a ten year update. Bulletin of the World Health Organization, 1992, 70(6):705—714. 9. Guilford CT. Integration of consumer interest in food control in developing countries. FAO Expert Consultation on Integration of Consumer Interests in Food Control, Rome, 14—18 June 1993. Rome, Food and Agriculture Organization of the United Nations, 1993. 10. Gerba CP et al. Sensitive populations: who is at the greatest risk? International journal of food microbiology, 1996, 30:113—123. Mengapa pendidikan kesehatan diperlukan dalam keamanan makanan? 77 11. Levine WC et al. Foodborne disease outbreaks in nursing homes, 1975 through 1987. Journal of the American Medical Association, 1991, 266(15):2105—2109. 12. Hlady WG, Mullen RC, Hopkin RS. Vibrio vulnificus from raw oysters. Leading cause of the reported deaths from foodborne illness in Florida. Journal of the Florida Medical Association, 1993, 80(8):536—538. 13. Kotloff KL et al. Diarrhoeal morbidity during the first two years of life among HIV infected infants. Journal of the American Medical Association, 1994, 271(6):448—452. 14. Pavia AT et al. Diarrhoea among African children born to human immunodeficiency virus 1-infected mothers: clinical, microbiologic, and epidemiologic features. Pediatric infectious disease journal, 1992, 11(12):996—1003. 15. Food allergy and other adverse reactions to food. Brussels, International Life Sciences Institute Europe, 1994. 16. Anderson JA. Allergic reactions to foods. Critical reviews in food science and nutrition, 1996, 36(S):S19—S38. 17. Biotechnology and food safety. Report of a joint FAO/WHO consultation. Rome, Food and Agriculture Organization of the United Nations, 1996 (Food and Agriculture Nutrition Paper 61). 18. Report of the FAO Technical Consultation on Food Allergies. Rome, Food and Agriculture Organization of the United Nations, 1995. 19. Ford GR, Horrocks CL. Hazards of microwave cooking: direct thermal damage to the pharynx and larynx. Journal of laryngology and otology, 1994, 108(6):509— 510. 20. Budd R. Burns associated with the use of microwave ovens. Journal of microwave power and electromagnetic energy, 1992, 27(3):160—163. 21. Shukla PC. Ocular burn from microwaved egg. Pediatric emergency care, 1994, 10(4):229—231. 22. Lunden A, Uggla A. Infectivity of Toxoplasma gondii in mutton following curing, smoking, freezing or microwave cooking. International journal of food microbiology, 1992, 15:357—363. 23. Coote PJ, Holyoak CD, Cole MB. Thermal inactivation of Listeria monocytogenes during a process of stimulating temperatures achieved during microwave heating. Journal of applied bacteriology, 1991, 70(6):489—494. 24. Bates CJ, Spencer RC. Survival of Salmonella species in eggs poached using a microwave oven. Journal of hospital infection, 1995, 29(2):121—127. 25. Heddleson RA, Doores S. Injury of Salmonella species heated by microwave energy. Journal of food protection, 1994, 57(12):1068—1073. 26. Gessner BD, Beller M. Protective effect of conventional cooking versus use of microwave ovens in an outbreak of salmonellosis. American journal of epidemiology, 1994, 139(9):903—909. 27. Evans MR, Parry SM, Ribeiro CD. Salmonella outbreak from microwave cooked food. Epidemiology and infection, 1995, 115(2):227—230. 78 Penyakit bawaan makanan: fokus pendidikan kesehatan 28. Blundell JE et al. Light foods. Brussels, International Life Sciences Institute Europe, 1995. 29. Lee K. Food neophobia: major causes and treatments. Food technology, 1989, December, 62—73. 30. Oltersdorf U. Differences in German consumer concerns over suggested health and food hazards. Dalam: Feichtinger E, Köhler BM, eds. Currents research into eating practices. Contribution of social sciences. 16th Annual Scientific Meeting of AGEV, Postdam, Germany, 14—16 October 1993. Supplement to Ernährungs-Umschau (Nutrition Survey), 1995, 42:171—173. 31. Application of risk analysis to food standards issue. Report of the Joint FAO/WHO Expert Consultation, Geneva, Switzerland, 13—17 March 1995. Geneva, World Health Organization, 1995 (unpublished document WHO/FNU/FOS/95.3; dapat diperoleh dari Food Safety, World Health Organization, 1211 Geneva 27, Switzerland). 32. Weiss MG. Cultural models of diarrhoeal illness: conceptual framework and review. Social science and medicine, 1988, 27:5—16. 33. Bukenya GB et al. The relationship of mothers’ perception of babies’ faeces and other factors to childhood diarrhoea in an urban settlement of Papua New Guinea. Annals of tropical paediatrics, 1990, 10:185—189. 34. Ahmed IS et al. Knowledge, attitudes and practices of mothers regarding diarrhoea among children in a Sudanese rural community. East African medical journal, 1994, 71(11):716—719. 35. Mortimore SE. How effective are the current sources of food hygiene and education and training in shaping behaviour? [Thesis]. Leicester, University of Leicester Centre for Labour Market Studies, 1993. 36. Pelto GH. The role of behavioral research in the prevention and management of invansive diarrhoeas. Review of infectious diseases, 1991, 13(Suppl. 4):S255— S258. 37. Zeitlyn S, Islam F. The use of soap and water in two Bangladeshi communities: implications for transmission of diarrhoea. Reviews of infectious diseases, 1991, 13(Suppl. 4):S259—264. 38. Weinstein ND. Unrealistic optimism about susceptibility to health problems. Journal of behaviour medicine, 1982, 5(4):441—460. 39. Prevention of foodborne hepatitis A. Weekly epidemiological record, 1993, 68(5):25—26. 40. Health Surveillance and management procedures for food-handling personnel. Report of a WHO consultation. Geneva, World Health Organization, 1989 (WHO Technical Report Series, No. 785). 41. Ashworth A, Feachem RG. Interventions for the control of diarrhoeal diseases among young children: weaning education. Bulletin of the World Health Organization, 1985, 63:1115—1127. 42. Steffen R. Anfallsrate der Reisediarrhoe bei Schweizer Touristen in Tunesien, 1992. [Rates of travellers’ diarrhoea among Swiss tourist in Tunisia, 1992.] [Thesis]. Zurich, University of Zurich. 1994. Mengapa pendidikan kesehatan diperlukan dalam keamanan makanan? 79 43. Cartwright RY, Chahed M. Foodborne diseases in travellers. World health statistics quarterly, 50(1/2):102—110. 44. Duran-Moreno A, Moreno-Duran A, Toledano-Hidalgo P. El control de la higiene alimentaria durante la Exposicion Universal de Sevilla (EXPO ’92). [Control of food hygiene during the world’s fair in Seville, EXPO ’92.] Gaceta sanitaria, 1993, 7(38):249—258. 45. Penninger HK, Rodman VA. Food Service managerial certification: how effective has it been? Dairy and food sanitation, 1984, 4(7):260—264. 46. Mathias RG et al. The effects of inspection frequency and food handler education on restaurant inspection violations. Canadian journal of public health, 1995, 86(1):46—50. 47. Health education in food safety. Report of a WHO consultation (unpublished document WHO/EHE/FOS/88.7; dapat diperoleh dari Food Safety, World Health Organization, 1211 Geneva 27, Switzerland).