Menyambut Implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional

advertisement
Menyambut Implementasi Program Jaminan Kesehatan
Nasional
Ronald Yusuf1 dan Hidayat Amir2
Reformasi jaminan sosial nasional ternyata memakan waktu yang cukup lama. Semenjak
diundangkannya UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Nasional Nasional (SJSN),
pemerintah baru berhasil menyelesaikan UU No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) pada akhir tahun 2011. Proses yang lama tidak hanya menunjukkan
alotnya proses politik yang terjadi, tetapi juga kompleksitas permasalahan yang ada. Saat ini
pemerintah sedang bekerja keras menyelesaikan proses transformasi program dan
kelembagaan menuju jaminan sosial yang lebih komprehensif dan berkualitas.
Kedua undang-undang tersebut pada dasarnya merupakan amanah konstitusi untuk
memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial pada seluruh rakyat Indonesia.
Seluruh program yang tercakup dalam SJSN diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar
hidup yang layak bagi pesertanya khususnya ketika terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan
hilang atau berkurangnya pendapatan baik yang disebabkan karena menderita suatu penyakit
atau karena sebab lainnya.
Salah satu program SJSN adalah program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang akan
menjamin pesertanya memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Program ini akan dimulai pada 1 Januari 2014 dan
akan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang merupakan hasil transformasi PT Askes
(Persero). Sebagaimana yang diamanahkan oleh UU SJSN, seluruh rakyat Indonesia wajib
menjadi peserta program ini dan juga wajib membayar iurannya. Khusus iuran bagi fakir
miskin dan orang tidak mampu, UU ini mengamanahkan kepada Pemerintah untuk
membayarnya. Peserta yang termasuk dalam kategori ini disebut sebagai Penerima Bantuan
Iuran (PBI).
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)
Program jaminan kesehatan untuk fakir miskin dan tidak mampu sesungguhnya sudah
menjadi perhatian dan sudah dilaksanakan Pemerintah sejak lama. Sebelumnya dikenal
dengan nama Askeskin (2005-2007) kemudian berlanjut dengan nama program Jaminan
Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) hingga kini. Program ini memberikan jaminan
pemeliharaan kesehatan secara komprehensif bagi pesertanya atau dengan kata lain menjamin
seluruh jenis penyakit selama terindikasi medis. Pada tahun 2007 s.d. 2012, peserta program
ini adalah sebanyak 76,4 juta jiwa dan dengan rerata besar anggaran yang dibutuhkan adalah
1
2
Kasubid Analisis Risiko Ekonomi, Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian
Keuangan. Email: [email protected]
Peneliti Madya pada Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, email:
[email protected]
Rp6.000 per orang per bulan (POPB). Pada tahun 2013, dengan pertimbangan semakin
tingginya biaya kesehatan yang dapat mempengaruhi kemampuan keuangan orang yang
hampir miskin, Pemerintah memandang perlu untuk menaikkan jumlah peserta program
menjadi 86,4 juta jiwa. Selain itu, Pemerintah juga menaikkan rerata biaya POPB untuk
Jamkesmas sebesar 33% yaitu menjadi Rp8.000.
Dalam realisasinya, masih banyak fakir miskin dan orang tidak mampu yang mengeluhkan
manfaat program Jamkesmas. Banyak yang menilai bahwa salah satu penyebab utamanya
adalah rendahnya anggaran untuk program ini yang baik langsung maupun tidak langsung
membuat produk program ini menjadi inferior. Tidak sedikit penyedia fasilitas kesehatan
termasuk tenaga medis yang menilai bahwa jasa yang mereka berikan tidak dihargai secara
layak. Imbasnya adalah persepsi masyarakat bahwa kualitas layanan program Jamkesmas
relatif buruk termasuk didalamnya isu penolakan pasien Jamkesmas di Rumah Sakit dan
prasyarat administrasi yang ketat.
Selain keluhan tersebut, masih banyak juga fakir miskin dan orang tidak mampu yang bahkan
belum merasakan manfaat program ini. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya tingkat utilisasi
program. Sebagai gambaran, utilisasi Jamkesmas untuk Rawat Jalan Tingkat Lanjut (RJTL)
di rumah sakit pada tahun 2010 adalah 4,61 per 1.000 orang per bulan (data Kementerian
Kesehatan 2011) jauh di bawah tingkat utilisasi peserta PT Askes untuk jaminan yang sejenis
yakni sebesar 52,57 (data PT Askes 2011). Persepsi masyarakat tentang kualitas layanan yang
relatif buruk termasuk salah satu penyebab rendahnya utilisasi Jamkesmas. Penyebab lainnya
diyakini antara lain adalah sosialisasi yang relatif rendah, tidak terbaginya semua kartu
Jamkesmas yang dicetak, sulitnya akses dari/ke fasilitas kesehatan yang ada, dan adanya
program jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh beberapa Pemerintah Daerah. Untuk
sebab yang terakhir ini, sebagian besar peserta lebih suka menggunakannya dikarenakan
prosedur yang relatif lebih mudah dibanding Jamkesmas.
Berbagai permasalahan tersebut, tentu memerlukan langkah-langkah kongkrit untuk
mengatasinya. Hasrat kuat untuk mereferomasi dan melakukan perbaikan itulah yang muncul
sebagai motivasi besar dalam melahirkan program JKN. Walau pun barang tentu ini
memerlukan proses dan keseriusan yang sangat besar dari keseluruhan pemangku
kepentingan. Semua pihak harus menjaga semangat ini dengan siasat nafas panjang, karena
permasalahan yang besar dan kompleks tidak mungkin diselesaikan dalam satu malam. Rome
wasn't built in a day. Namun kita harus memulai.
Belanja untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) dalam APBN
Program JKN diharapkan dapat meningkatkan kualitas layanan kesehatan rakyat Indonesia
khususnya untuk fakir miskin dan tidak mampu. Para pemangku kepentingan, termasuk
Pemerintah, memiliki keinginan dan tekad yang kuat untuk meningkatkan kualitas layanan
untuk kelompok ini. Sebagai salah satu pemangku kepentingan, Kementerian Keuangan
(Kemenkeu) terlibat aktif dalam setiap pembahasan untuk mewujudkan cita-cita luhur
tersebut. Sebagai bukti dukungan tersebut, sejak diundangkannya UU BPJS, Kemenkeu telah
mengalokasikan tambahan dana yang signifikan guna meningkatkan infrastruktur fasilitas
kesehatan dan persiapan operasional awal BPJS Kesehatan. Selain itu, Kemenkeu juga telah
memahami dan bersedia bahwa biaya POPB Jaminan Kesehatan untuk fakir miskin dan orang
tidak mampu perlu ditingkatkan ke besaran yang sesuai dengan kualitas layanan yang
diinginkan.
Sebagai pengelola keuangan negara, Kemenkeu semakin dituntut untuk dapat meningkatkan
kualitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Setiap Rupiah yang dibelanjakan
Pemerintah harus sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat Indonesia. Peran Kemenkeu
sangatlah vital dalam hal mencermati kualitas dan efektivitas belanja Pemerintah. Beberapa
jenis belanja disadari masih sering dipertanyakan ketepatan pencapaian sasarannya. Sebagai
contoh belanja subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Belanja jenis ini, yang tiap tahunnya
mencapai ratusan triliun rupiah, diyakini lebih banyak dinikmati oleh kalangan menengah
atas dibanding fakir miskin dan tidak mampu atau kalangan menengah bawah yang
sesungguhnya lebih membutuhkan dana tersebut. Dalam hal ini, fungsi APBN, khususnya
fungsi distribusi sumber daya untuk memberdayakan kelompok masyarakat berpenghasilan
rendah, belum optimal.
Kemenkeu bertekad untuk sedapat mungkin menghindari terjadinya kembali hal tersebut.
Bantuan iuran untuk kelompok PBI dalam program JKN diyakini sebagai belanja tepat
sasaran yang akan dinikmati oleh mereka yang memang membutuhkan. Selain itu, Kemenkeu
juga memandang belanja iuran untuk kelompok ini bukan sebagai beban melainkan sebagai
investasi. Banyak kajian ilmiah menunjukkan bahwa tingkat kesehatan masyarakat memiliki
korelasi yang positif dengan produktivitas negaranya. Dengan demikian, target Pemerintah
untuk terus meningkatkan selama mungkin pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB)
Indonesia akan lebih mudah dicapai.
Pada satu sisi, Kemenkeu menyadari diperlukannya anggaran yang relatif besar untuk
menghasilkan kualitas layanan kesehatan yang baik bagi fakir miskin dan orang tidak
mampu. Pada sisi lain, Kemenkeu juga dituntut untuk dapat cermat dan bijak mengalokasikan
keterbatasan anggaran yang ada untuk kepentingan belanja lain yang tidak kalah pentingnya.
Beberapa jenis belanja yang bersifat mandatory membuat ruang fiskal (fiscal space) semakin
sempit. Salah satu jenis belanja tersebut adalah belanja sektor pendidikan yang diwajibkan
oleh konstitusi sebesar 20% dari APBN. Selain itu ada juga belanja transfer ke daerah dengan
jumlah minimal sebesar 26% dari Penerimaan Dalam Negeri. Belanja lain yang juga tidak
kalah pentingnya adalah pembangunan infrastruktur. Dalam Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), Pemerintah telah mencanangkan
proyek-proyek infrastruktur yang bersifat prioritas untuk periode tahun 2010-2014 dengan
perkiraan kebutuhan pendanaan sekitar Rp2.000 triliun atau sekitar Rp400 triliun per tahun.
Jumlah ini masih lebih besar dari kemampuan belanja modal APBN tahun 2012 yang hanya
sebesar Rp169 triliun.
Salah satu hal lain yang menuntut untuk cermat dan bijak dalam menentukan besar anggaran
PBI adalah fakta bahwa program JKN tidak diselenggarakan dengan skema belanja bantuan
sosial melainkan dengan skema asuransi sosial. Dari aspek keuangan, perbedaan yang paling
mendasar dari kedua skema tersebut adalah bahwa dalam skema asuransi sosial, pengelolaan
dan pengendalian keuangan sepenuhnya ditangani oleh badan penyelenggara, dalam hal ini
BPJS Kesehatan. Konsekuensinya adalah segala kelebihan dana iuran PBI, apabila ada, tidak
dapat digunakan oleh Pemerintah.
Catatan Akhir
Sehubungan dengan pelaksanaan program JKN, Pemerintah memiliki kewajiban bukan hanya
untuk membayar iuran PBI tapi juga sebagian iuran para aparatur negara baik yang aktif
maupun pensiun. Selain itu, untuk menunjang keberhasilan program ini, Pemerintah juga
diminta untuk memberikan anggaran tambahan khusus untuk menambah fasilitas kesehatan
yang dibutuhkan. Sebagaimana yang sudah dibahas sebelumnya, salah satu penyebab
rendahnya utilisasi Jamkesmas adalah kesulitan dalam mengakses fasilitas kesehatan.
Fasilitas kesehatan yang dimaksud dapat berupa bangunan (seperti rumah sakit atau
puskesmas), tenaga medis, alat kesehatan, atau obat-obatan.
Terkait iuran PBI program JKN, dalam Medium Term Budget Framework (MTBF),
Pemerintah telah mengalokasikan peningkatan anggaran yang signifikan dan telah
memperhitungkan kualitas serta kesinambungan fiskal. Apabila dalam realisasinya terdapat
kekurangan dana, terdapat beberapa alternatif cara untuk mendanainya. Penghematan belanja
Kementerian/Lembaga tentunya akan dilakukan. Selain itu, realokasi belanja antar sektor,
seperti mengurangi besaran subsidi BBM, dapat juga dilakukan.
Keberhasilan program JKN bukan hanya ditentukan dari bertambahnya anggaran belanja
Pemerintah. Tata kelola yang baik dalam sistem layanan kesehatan juga memegang peranan
yang vital. Segala permasalahan dalam pelaksanaan program Jamkesmas dapat dibenahi oleh
Pemerintah melalui tata kelola yang baik. Satu hal penting yang wajib dilakukan Pemerintah
adalah perbaikan sistim pendataan penduduk khususnya penduduk miskin. Pemerintah harus
bekerja keras bersama dengan BPJS Kesehatan guna memastikan mereka yang miskin dan
tidak mampu dapat mendapatkan layanan kesehatan program JKN.
Hal penting lainnya adalah integrasi jaminan kesehatan daerah dengan program JKN. Di era
otonomi daerah, Pemerintah Daerah (Pemda) memang memiliki kewenangan dalam
melaksanakan berbagai kebijakan di daerah termasuk penggunaan dana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Meski demikian, sangat diharapkan agar Pemda
bijak dalam menggunakan APBD-nya. Dana yang ada sebaiknya tidak diberikan untuk
sesuatu hal yang sesungguhnya sudah diberikan oleh Pemerintah Pusat. Akan lebih baik dan
lebih bermanfaat apabila dana lebih tersebut digunakan untuk menunjang program JKN
seperti tambahan fasilitas kesehatan atau membantu iuran program JKN bagi mereka yang
membutuhkan tetapi belum/tidak ada dalam daftar PBI. #
Download