7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Lahan Kering Lahan kering didefinisikan secara umum dalam hal iklim sebagai tanah dengan curah hujan terbatas. Ditandai dengan rendahnya curah hujan yang berkisar antara 100-600 mm/tahun, tidak menentu dan sangat tidak konsisten. Ciri utama dari kekeringan adalah rendahnya persediaan antara curah hujan tahunan dan evapotranspirasi. Curah hujan yang rendah, tidak dapat diandalkan dan terkonsentrasi selama musim hujan yang pendek, dengan waktu yang tersisa cenderung relatif kering. Suhu tinggi selama musim hujan menyebabkan sebagian besar curah hujan yang akan hilang dalam penguapan (IFAD 2000). Lahan kering mencakup sekitar 40% permukaan tanah di bumi. Lahan kering rentan terhadap degradasi penggurunan, tanah dan kekeringan. Populasi, pertanian dan ekosistem rentan terhadap perubahan iklim dan variabilitas (Kate et al., 2008). Lahan kering secara fisik tidak diairi atau tidak mendapatkan pelayanan irigasi sehingga sumber air utama adalah curah hujan dan sebagian kecil yang berasal dari air tanah atau pomponisasi (Muku, 2002). Lahan kering tergolong sub optimal karena tanahnya kurang subur, bereaksi masam, mengandung Al, Fe, dan atau Mn dalam jumlah tinggi sehingga dapat meracuni tanaman. Lahan masam pada umumnya miskin bahan organik dan hara makro N, P, K, Ca, dan Mg. 8 Pemberian bahan kapur, bahan organik, dan pemupukan N, P, dan K merupakan kunci untuk memperbaiki kesuburan lahan kering masam. Menurut Notohadiprawiro (2006) lahan kering masam didominasi oleh tanah Ultisol, yang dicirikan oleh kapasitas tukar kation (KTK) dan kemampuan memegang atau menyimpan air yang rendah, tetapi kadar Al dan Mn tinggi. Kesuburan tanah Ultisol sering kali hanya ditentukan oleh kadar bahan organik pada lapisan atas, dan bila lapisan ini tererosi maka tanah menjadi miskin hara dan bahan organik. Pentingnya pengelolaan lahan kering dapat diartikan sebagai segala upaya untuk memelihara dan meningkatkan kesuburan tanah pada lahan kering agar usaha pertanaian dapat secara berkelanjutan dilaksanakan tanpa merusak kelestarian lingkungan. Sementara Muku (2002) pada tingkat pengelolaan yang kurang memadai akan menimbulkan gangguan keseimbangan sumber daya alam sehingga degredasi lahan akan dipercepat. 2.2 Syarat Tumbuh Tanaman Jagung Pertumbuhan dan perkembangan tanaman sangat dipengaruhi oleh faktor genetis sebagai faktor lingkungan seperti tanah, air, udara, suhu dan sinar matahari. Selama pertumbuhannya jagung memerlukan periode basah dan kering dan paling baik diusahakan pada musim kemarau. Menurut Sumarsih (2008) berdasarkan bukti genetik, antropologi, dan arkeologi diketahui bahwa daerah asal jagung adalah Amerika Tengah (Meksiko bagian selatan). Budidaya jagung telah dilakukan di daerah ini 10.000 tahun yang lalu. Jagung dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik pada daerah tropis yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Jagung tidak menuntut 9 persyaratan lingkungan yang terlalu ketat, dapat tumbuh pada berbagai macam tanah bahkan pada kondisi tanah yang agak kering. Tetapi untuk pertumbuhan optimalnya, jagung menghendaki beberapa persyaratan. 2.2.1. Iklim Iklim yang dikehendaki oleh sebagian besar tanaman jagung adalah daerah beriklim sedang hingga daerah beriklim sub-tropis/tropis yang basah. Jagung dapat tumbuh di daerah yang terletak antara 0-50 derajat LU hingga 0-40 derajat LS. Pada lahan yang tidak beririgasi, pertumbuhan tanaman ini memerlukan curah hujan ideal sekitar 85-200 mm/bulan dan merata. Pada fase pembungaan dan pengisian biji tanaman jagung perlu mendapatkan cukup air. Sebaiknya jagung ditanam diawal musim hujan, dan menjelang musim kemarau. Pertumbuhan tanaman jagung sangat membutuhkan sinar matahari. Tanaman jagung yang ternaungi, pertumbuhannya akan terhambat, dan memberikan hasil biji yang kurang baik bahkan tidak dapat membentuk buah. Suhu yang dikehendaki tanaman jagung antara 21-34oC, akan tetapi bagi pertumbuhan tanaman yang ideal memerlukan suhu optimum antara 23-27oC. Pada proses perkecambahan benih jagung memerlukan suhu yang cocok sekitar 30oC. Saat panen jagung yang jatuh pada musim kemarau akan lebih baik dari pada musim hujan, karena berpengaruh terhadap waktu pemasakan biji dan pengeringan hasil. 2.2.2 Media Tanam Jagung tidak memerlukan persyaratan tanah yang khusus. Agar dapat tumbuh optimal tanah harus gembur, subur dan kaya humus. Jenis tanah yang 10 dapat ditanami jagung antara lain: andosol (berasal dari gunung berapi), latosol, grumosol, tanah berpasir. Pada tanah-tanah dengan tekstur berat (grumosol) masih dapat ditanami jagung dengan hasil yang baik dengan pengolahan tanah secara baik. Tanah dengan tekstur lempung/berdebu atau liat berdebu adalah yang terbaik untuk pertumbuhannya. Keasaman tanah erat hubungannya dengan ketersediaan unsur-unsur hara tanaman. Keasaman tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman jagung adalah pH antara 5,6-7,5. Tanaman jagung membutuhkan tanah dengan aerasi dan ketersediaan air dalam kondisi baik. Tanah dengan kemiringan kurang dari 8% dapat ditanami jagung, karena disana kemungkinan terjadinya erosi tanah sangat kecil. Daerah yang tingkat kemiringan lebih dari 8%, sebaiknya dilakukan pembentukan teras terlebih dahulu. 2.2.3 Ketinggian Tempat Jagung dapat ditanam mulai dari dataran rendah sampai di daerah pegunungan yang memiliki ketinggian antara 1000-1800 m dpl. Daerah dengan ketinggian optimum antara 0-600 m dpl merupakan ketinggian yang baik bagi pertumbuhan tanaman jagung. 2.3 Pemupukan Tanaman Jagung Menurut Setyamidjaja (1986) tanaman memerlukan paling sedikit 16 unsur hara penting atau unsur hara esensial untuk dapat tumbuh dan menghasilkan dengan baik. Unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah yang relatif besar, sepetti : N (nitrogen), P (fosfat) dan K (kalium). Unsur hara yang 11 dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah relatif cukup besar, seperti : Ca (kalsium), Mg (magnesium) dan S (belerang). Unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah yang relatif sangat kecil, seperti : Cl (khlor), Fe (besi), Mn (mangan), Cu (tembaga), Zn (seng), B (borium) dan Mo (molibdenium). Ketiga belas unsur hara tersebut di atas diambil tanaman dari dalam tanah. Tiga unsur hara lainnya yaitu C (karbon), H (hidrogen) dan O (oksigen) diambil dari udara dalam bentuk CO2 dan dari dalam tanah dalam bentuk H2O (air). Hasil penelitian Kementerian Pertanian (2010) menunjukkan bahwa takaran pupuk untuk tanaman jagung di Lampung berdasarkan target hasil adalah 350-400 kg urea/ha, 100-150 kg SP-36/ha dan 100-150 kg KC/ha. Sementara itu hasil penelitian Murni dan Arif (2008) takaran pupuk untuk tanaman jagung berkisar antara 300-350 kg urea/ha, 100-200 kg SP-36/ha, dan 100-200 kg KCl/ha. Menurut Sirappa (2002) nitrogen (N) merupakan salah satu hara makro yang menjadi pembatas utama produksi tanaman, baik di daerah tropis maupun di daerah-daerah beriklim sedang, sehingga pemberian hara N yang tidak seimbang dengan kebutuhan tanaman baik jumlah maupun waktu pemberian akan menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi tidak optimal dan akhirnya produksi menjadi rendah. Sementara Henry (1986) nitrogen diserap oleh tanaman sebagai NO3- dan NH4+, kemudian dimasukan ke dalam semua asam amino dan protein. Nitrogen merupakan unsur hara yang sangat sering membatasi hasil tanaman. 12 2.4. Manfaat Pupuk Organik Sapi dan Kascing pada Tanah dan Tanaman 2.4.1 Pupuk Organik Sapi Pupuk organik adalah bahan yang dihasilkan oleh ternak berupa kotoran berupa padatan baik yang belum dikomposkan maupun sudah dikomposkan sebagai sumber hara terutama N bagi tanaman dan dapat memperbaiki sifat kimia, biologi dan fisik tanah (Hartatik dan Widowati, 2006). Untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman jagung yang baik dan memperoleh hasil yang tinggi diperlukan kondisi tanah yang gembur dan subur karena tanaman ini memerlukan aerasi dan drainase yang baik serta ketersediaan unsur hara esensial yang dapat diserap tanaman dalam keadaan cukup (Mulyadi dkk., 2006). Pupuk organik dari kotoran sapi merupakan pupuk dingin artinya perubahan oleh jazad mikro terjadi secara perlahan-lahan, jadi kurang terbentuk panas sehingga zat makanan yang terlepas secara berangsur-angsur, sehingga kerjanya lambat. Pemberiannya harus mendahului beberapa hari dan dicampur dengan tanah. Pupuk organik akan bercampur dengan sisa-sisa makanan, pasir dan tanah sehingga akan memudahkan hancurnya pupuk organik yang akan berakibat perubahan akan lebih cepat terjadi. Pupuk organik mempunyai sifat yang lebih baik dibandingkan dengan pupuk buatan. Pupuk organik di dalam tanah mempunyai pengaruh yang baik terhadap sifat fisik tanah, menambah humus sangat berpengaruh positif terhadap sifat fisik tanah, mempertahankan struktur tanah, menjadikan tanah mudah diolah (ringan pengolahannya) dan terisi oksigen yang cukup. Pupuk organik selain mengadung unsur-unsur mikro (nitrogen, fosfor, kalium) juga mengandung unsur- 13 unsur makro (kalsium, magnesium, tembaga serta sejumlah kecil mangan, tembaga, borium) yang kesemuanya membentuk pupuk, menyediakan unsur-unsur atau zat-zat makanan bagi kepentingan pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Sutejo, 2002). Pupuk organik yang diberikan secara teratur ke dalam tanah, dapat meningkatkan daya penahanan air. Tanah akan lebih mampu menahan banyak air sehingga terbentuk air tanah yang bermanfaat, karena akan memudahkan akarakar tanaman menyerap zat-zat makanan bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Pemanfaatan pupuk organik sapi 10 ton/ha pada jagung manis meningkatkan berat segar tongkol/tanaman (8,9%), indeks panen (16,1%) dan kadar protein brangkasan (42,8%) dibandingkan dengan tanpa pupuk organik sudah dibuktikan keberhasilannya. 2.4.2 Pupuk Organik Bekas Kotoran Cacing (Kascing) Kascing adalah merupakan bahan organik hasil dari kotoran cacing yang bercampur dengan tanah atau bahan organik lainnya. Pupuk kascing merupakan bahan organik yang cukup baik karena selain dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah khususnya pada tanah yang kurang subur seperti tanah jenis ultisol, juga tidak mempunyai efek negatif terhadap lingkungan yang terdapat pada daerah sub tropis basah dimana proses pelapukan sudah lanjut. Kandungan hara dan sifat kimia kascing lebih beragam dibanding dengan kompos dan pupuk organik lainnya (Dahlia, 2004). Pupuk organik kascing merupakan salah satu jenis pupuk organik yaitu pupuk kompos yang dibuat dengan stimulator cacing tanah (Lumbricus rubellus). 14 Menurut Sahirsan (2012) kascing merupakan salah satu pupuk organik yang memiliki kelebihan dari pupuk organik lain sehingga sering disebut : “pupuk organik plus”. Kascing mempunyai C/N ratio yang rendah, sehingga sangat baik sebagai sumber energi bagi mikroorganisme dan dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme, juga berperan dalam menambah unsur hara, mempercepat ketersediaan unsur hara bagi tanaman melalui kotoran cacing tanah dan mampu memantapkan agregat tanah serta dapat meningkatkan bahan organik tanah. Kascing mempunyai unsur hara lengkap seperti unsur hara makro (N, P, K, Na, Cu, Ca, Mg), unsur hara mikro (Zn, Mn, Fe, B dan Mo), hormon tumbuh (giberilin, sitokinin dan auksin), dan asam humat (bagian humus tanah yang berwarna gelap). Menurut Gaddie dan Douglas (1977) dalam BOA (2008) menjelaskan bahwa kascing mengandung 0,5-2% N, 0,06-0,68% P2O5, 0,100,68% K2O, dan 0,5-3,50% Ca. Kotoran cacing (kascing) yang menjadi kompos merupakan pupuk organik yang sangat baik bagi tumbuhan karena mudah diserap dan mengandung unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Penggunaan kompos kascing merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi suatu tanaman (Awalita dkk., 2006). Sifat kimia tanah akan meningkat terhadap pemberian kascing terutama terhadap kandungan unsur N, P, dan K serta unsur hara mikro, menambah kelarutan fosfat karena humus menghasilkan asam humat dan asam lainnya yang dapat melarutkan Fe dan Al sehingga P menjadi bebas. Bahan organik juga berpengaruh dalam meningkatkan daya jerap dan kapasitas tukar kation, menambah unsur-unsur hara tanah sehingga terhindar dari pencucian (Nurhayati 15 dkk., 1986). Peningkatan P pada kascing dapat terjadi karena adanya aktivitas actinomicetes yang menggunakan fosfolipid sebagai sumber energi dan menghasilkan fosformonoester (R-H2PO4). Menurut Kartini (1997) actinomicetes menghasilkan enzim fosfatase yang dapat mempercepat proses meneralisasi P-organik menjadi P-anroganik, adanya aktivitas enzim nitrogenase pada kotoran cacing Lumbricus rubellus lebih tinggi dibandingkan dengan tanah tanpa cacing, disebabkan adanya bakteri fiksasi N pada saluran pencernaan cacing tanah dari jenis Clostridium sp., sehingga kadar N dalam kascing meningkat. Tanah yang teksturnya pasir berlempung daya pegang air dan unsur hara terutama N sangat rendah. Adanya bahan organik sangat penting untuk meningkatkan potensi dan kualitas tanah (Buckman dan Brady, 1964). Kascing kaya hara makro dan mikro, mampu menggemburkan tanah-tanah marginal (kering dan miskin hara). 2.5 Pemanfaatan Biourin Sapi bagi Tanaman Limbah ternak berupa urin (air kencing) dijumpai dalam jumlah yang besar selain kotoran (fases) dari ternak. Urin dihasilkan oleh ginjal yang merupakan sisa hasil perombakan nitrogen dan sisa-sisa bahan dari tubuh yaitu urea, asam uric dan creatinine hasil metabolism protein. Urin juga berasal dari perombakan senyawa-senyawa sulfur dan fosfat dalam tubuh (Hartatik dan Widowati, 2006). Urin juga mengandung sejumlah unsur-unsur mineral (S P, K, Cl dan Na) dalam jumlah bervariasi tergantung dan makan ternak, keadaan fisiologis dan 16 iklim. Hara tersebut dibutuhkan oleh mikroba dan pertumbuhan tanaman. Urea dalam urin adalah bahan padat utama yang umumnya lebih besar dari 70% nitrogen dalam urin. Menurut Hartatik dan Widowati (2006) urin ternak terdiri dari 90-95% air. Urin sapi mengandung nitrogen yang tinggi sekitar 15-20%. sangat berpotensi untuk digunakan sebagai pupuk cair. Urin dapat dijadikan sebagai sumber hara bagi tanaman. Urin sapi mengandung unsur N, P, dan K yang cukup tinggi dan mengandung Ca yang dapat meningkatkan ketahanan terhadap serangan hama dan penyakit. Hasil Penelitian Adijaya (2009) pemanfaatan 7.500 liter/ha biourin sapi yang dikombinasikan pupuk organik sapi 5 ton/ha mampu meningkatkan hasil bawang merah sebasar 60,77%, sedangkan pemberian biourin sapi 15.000 liter/ha meningkat sebesar 31,72% dibandingkan tanpa pemupukan pada bawang merah sebanyak 6,45 ton/ha. Lebih lanjut Adijaya (2010) menjelaskan bahwa pemberian biourin sapi mampu memberikan lingkungan di bawah tanah lebih baik dengan meningkatnya aktivitas mikroorganisme tanah, karena biourin difermentasi dengan Azotobacter dan Rumino Bacillus yang didalamnya terkandung bakteri Rumino Cocus dan Bacillus sp. Terbatasnya penelitian tentang penggunaan urin ternak untuk pemupukan tanaman menyebabkan urin ternak tidak banyak dimanfaatkan di tingkat petani, berbeda dengan kotoran padat (pupuk organik) yang sudah umum pemanfaatannya. Adijaya dkk., (2006) menjelaskan bahwa potensi urin ternak sapi jantan dengan berat + 300 kg rata-rata menghasilkan 8-12 liter urin/hari, sapi induk dengan berat + 250 kg menghasilkan 7,5-9 liter urin/hari, sehingga per 17 bulan satu ekor sapi jantan dengan berat + 300 kg akan menghasilkan 240-360 liter urin dan satu ekor sapi induk dengan berat + 250 kg menghasilkan 225-270 liter urin. Parwati dkk., (2008) menjelaskan bahwa seekor sapi jantan dengan berat di atas 300 kg di daerah Kintamani rata-rata menghasilkan urin 19,7 liter/hari. Penggunaan urin sapi sebagai pupuk organik cair pada perlakuan 200 cc dengan pengenceran air 2 liter mampu mempertahankan hasil jagung varietas Arjuna dengan nilai produksi pipilan kering adalah 58,73 kuintal/ha dibandingkan dengan hasil jagung vatietas Arjuna menggunakan pupuk anorganik dengan hasil pipilan kering berkisar antara 50 kuintal/ha - 60 kuintal/ha (Adijaya dkk., 2006). Pemberian pupuk kimia yang dikombinasikan dengan urin kambing dosis 4.000 liter/ha mampu memberikan hasil bawang merah 20,56 ton/ha tidak berbeda dengan kombinasi pupuk kimia dengan pupuk organik sapi dosis 10 ton/ha yang menghasilkan 18,88 ton/ha (Adijaya dkk., 2006). 2.6 Analisis Pendapatan Kotor (Gross Margin) Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan dengan semua biaya yang dikeluarkan (Soekartawi., 1984 dalam Christanto, 2013). Analisis margin kotor (Gross Margin) merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui apakah usahatani jagung menguntungkan atau tidak. Analisis gross margin merupakan selisih antara total penerimaan usahatani dengan total biaya variabel (Ringwood, 1988 dalam Christanto, 2013). Ini menunjukkan bahwa 18 semakin besar nilai gross margin, maka usahatani tersebut dikatakan semakin menguntungkan. Menurut Christanto (2013) analisis gross margin di pilih karena bersifat jangka pendek (hanya 4 bulan), sehingga lebih sederhana bila dibandingkan dengan cara analisis keuntungan ekonomi lainnya. Analisis gross margin hanya menghitung biaya variabel (variable cost) seperti biaya produksi (pupuk, benih, pestisida, pengairan) dan biaya tenaga kerja/unit produksi (ha). Biaya tetap (fixed cost) tidak dihitung seperti biaya penyusutan alat, pajak, sewa tanah.