RESPONS KELOMPOK MUSLIM TERHADAP

advertisement
RESPONS KELOMPOK MUSLIM TERHADAP
KEPEMIMPINAN NON-MUSLIM
(Studi Kasus di Kelurahan Lenteng Agung
Periode 2013-2014)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)
Oleh
ILHAM
NIM: 1110032100033
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H./2015 M.
ABSTRAK
Ilham
Respons Kelompok Muslim Terhadap Kepemimpinan Non-Muslim (Studi
Kasus di Kelurahan Lenteng Agung Periode 2013-2014)
Indonesia merupakan negara multikultural, baik suku, bahasa dan agama.
Hal ini memungkinkan adanya kepemimpinan dengan pemimpin yang memiliki
keyakinan berbeda dengan mayorits warganya. Salah satunya adalah Kebijakan
pemerintah DKI Jakarta yang mengeluarkan sistem lelang pada tahun 2013,
menempatkan non-Muslim sebagai pemimpin di Kelurahan Lenteng Agung yang
memiliki penduduk mayoritas Muslim dengan persentase ± 96%.
Kepemimpinan yang dihasilkan sistem lelang tersebut disambut negatif
oleh masyarakat Kelurahan Lenteng Agung. Pada tanggal 25 september 2013,
untuk yang kedua kalinya, mereka melakukan aksi damai menolak kepemimpinan
Lurah Susan. Dalam sebuah kepemimpinan respons masyarakat merupakan kunci
keberhasilan, karena kepemimpinan adalah proses mempengaruhi masyarakat
untuk mencapai tujuan bersama.
Penelitian ini ingin mengetahui respons kelompok Muslim di Kelurahan
Lenteng Agung periode 2013-2014 terhadap kepemimpinan non-Muslim.
kemudian melalui studi kepustakaan, wawancara dan pengamatan lapangan
penulis mendeskripsikan dan menganalisa landasan respons Kelompok Muslim di
Kelurahan Lenteng Agung periode 2013-2014 terhadap kepemimpinan NonMuslim.
Subyek yang diteliti memiliki pola kehidupan diantara masyarakat
tradisional dan masyarakat modern. Tradisi keislaman masih di pegang kuat
dalam kehidupan sehari-hari sehingga Kelurahan Lenteng Agung disebut sebagai
“Kota Santri” Jakarta Selatan. Dari ajaran keagamaan serta sejarah kepemimpinan
mereka sejak zaman dahulu, menunjukkan pemimpin Lenteng Agung adalah
seorang Muslim. Oleh karena itu, kepemimpinan non-Muslim bagi mereka sangat
dilarang atau sesuatu yang taboo.
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabi al-‘alamin, puja serta puji syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT., atas segala rahmat, karunia dan ridho-Nya, skripsi dengan
judul “Respons Kelompok Muslim Terhadap Kepemimpinan Non-Muslim: Studi
Kasus di Kelurahan Lenteng Agung Periode 2013-2014” ini dapat diselesaikan.
Shalawat serta salam penulis curahkan kepada panutan hidup, pencerah
kehidupan, Nabi Muhammad saw., melaluinya mukjizat terbesar dari Allah SWT.,
Tuhan seluruh manusia, yakni al-Qur’an al-Karim dapat tersampaikan kepada
umat manusia.
Selanjutnya, penulis menyadari banyak pihak yang telah membantu
penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada:
1.
Kedua orang tua penulis. Ketulusan, kesabaran serta dukungan keduanya baik
moril maupun materil memberikan semangat dan kemudahan bagi penulis
untuk segera bergerak menyelesaikan setiap tugas pendidikan.
2.
Bapak Dr. M. Amin Nurdin, M.A. yang telah membimbing dan meluangkan
waktunya untuk penulis. Memberikan saran serta masukan dalam penyusunan
skripsi. Mencurahkan pemikiran dan pengetahuan dalam penelitian. Setiap
bantuan beliau adalah hal paling berharga dalam penyelesaian skripsi ini.
3.
Ketua Jurusan Ibu Dra. Halimah, M.Ag serta sekretaris Jurusan Ibu Rosmaria
Syafariah W, S M.Si.
4.
Bapak K.H. Mujiburrahman pimpinan Pondok Pesantren Modern Assa’adah
Serang-Banten yang membimbing penulis dari dunia pendidikan SMP hingga
SMA serta mengarahkan penulis kedalam dunia pendidikan Tinggi.
5.
Seluruh Dosen yang mengajar di Jurusan Perbandingan Agama.
6.
Bapak Naseri Nasrullah selaku ketua RW. 003 Lenteng Agung sekaligus
ketua penolakan Lurah Susan Jamine Zulkifli yang telah mengarahkan
penulis kepada para informan. Ustad M. H. Thamrin selaku tokoh Agama
sekaligus jubir penolakan Lurah Susan. Bapak H. Ya’qub Shabirin selaku
ii
tokoh masyarakat. Bapak Adhi Suryo selaku sekretaris Kelurahan yang telah
memberikan informasi untuk skripsi ini.
7.
Someone special, yang selalu menemani dalam setiap langkah penelitian
penulis dan orang yang selalu dapat me-recargh semangat penulis.
8.
Adik-adik kandung penulis tersayang yang selalu memberikan warna
keceriaan dan arti dalam setiap aktifitas penulis. Mereka yang selalu
memberikan tekanan yang menyadarkan penulis sebagai seorang kakak untuk
selalu dapat menjadi panutan terbaik.
9.
Untuk teman-teman satu perjuangan terkhusus teman-teman dari jurusan
Perbandingan Agama periode 2010-2011.
10. Semua pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini tanpa mengurangi
rasa terima kasih yang tidak dapat penulis cantumkan satu persatu secara
keseluruhan.
Akhirnya, penulis selalu meyakini sebagai makhluk tiada kata sempurna,
begitu pun dengan skripsi ini. Saran dan kritik konstruktif selalu diharapkan guna
penyempurnaan selanjutnya. Penulis berharap skripsi ini dapat berguna secara
umum bagi para pembaca dan secara khusus bagi penulis.
Ciputat, 15 Januari 2015
Penulis,
Ilham
NIM 1110032100033
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ....................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iv
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...........................................................
B. Rumusan Masalah ....................................................................
C. Tujuan Penelitian ......................................................................
D. Kegunaan Penelitian .................................................................
E. Tinjauan Pustaka .......................................................................
F. Definisi Konseptual ..................................................................
G. Metodologi Penelitian ...............................................................
H. Sistematika Penulisan ...............................................................
1
8
9
9
10
12
13
14
DISKURSUS KEPEMIMPINAN NON-MUSLIM
A. Jabatan Dalam Islam .................................................................
B. Kriteria Pemimpin Menurut Ulama Klasik dan Kontemporer
1. Farabi ...................................................................................
2. Mawardi ...............................................................................
3. Ghazali .................................................................................
4. Ibnu Taimiyah ......................................................................
5. M. Quraish Shihab ...............................................................
C. Warga Non-Muslim Dalam Kepemimpinan menurut Islam ....
16
19
19
20
22
23
25
27
GAMBARAN UMUM KELURAHAN LENTENG AGUNG
A. Sejarah Kelurahan Lenteng Agung ...........................................
B. Letak Geografis Kelurahan Lenteng Agung .............................
C. Sistem Pengangkatan Lurah dan Struktur Organisasi
Kelurahan Lenteng Agung ........................................................
D. Keadaan Sosial dan Kebudayaan Kelurahan Lenteng Agung
1. Keadaan Sosial Kelurahan Lenteng Agung..........................
2. Kebudayaan Kelurahan Lenteng Agung ..............................
RESPONS
KELOMPOK
ISLAM
TERHADAP
KEPEMIMPINAN NON-MUSLIM DI KELURAHAN
LENTENG AGUNG
A. Masyarakat Tradisional dan Masyarakat Modern ....................
1. Masyarakat Tradisional ........................................................
2. Masyarakat Modern .............................................................
3. Masyarakat Kelurahan Lenteng Agung ...............................
B. Pluralisme dan Toleransi Kelompok Islam Lenteng Agung
Terhadap Kepemimpinan Non-Muslim ....................................
1. Pluralisme dan Kebebasan Beragama ..................................
2. Toleransi Terhadap Kepemimpinan non-Muslim dan
iv
39
41
43
45
46
50
51
52
54
55
55
Kebebasan Berprofesi .......................................................... 63
3. Kepemimpinan non-Muslim Menurut Kelompok Islam di
Lenteng Agung ..................................................................... 68
4. Keadilan dan Kesetaraan ...................................................... 75
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan ...................................................................................
B. Saran .........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
LAMPIRAN
v
81
82
84
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terpadat ke-4 di
dunia. Sekitar lebih dari 248,8 juta jiwa1 penduduk Indonesia memadati
sekitar 17.504 pulau2 yang tersebar di Indonesia. Jumlah penduduk dan pulau
yang ada di Indonesia menjadikannya sebagai negara yang Multikultural;
terdiri dari berbagai etnis, bahasa, hingga keyakinan dalam beragama.
Tingkat pluralitas keberagamaan yang tinggi di Indonesia memungkinkan
adanya pemerintahan yang dipimpin oleh seseorang yang memiliki keyakinan
berbeda dengan mayoritas masyarakat. Seperti yang terdapat di DKI Jakarta,
dengan jumlah penduduk yang mencapai 9.607.787 jiwa3, menjadikan ibu
kota Negara Indonesia ini memiiki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi.
Kepadatan penduduk ini tentu tidak terlepas dengan pluralitas keyakinan yang
dianut warganya, mengingat banyaknya masyarakat Indonesia yang ikut
berperan dalam berbagai kegiatan di Jakarta dengan merantau dari berbagai
daerah. Sehingga di tengah pluralitas yang ada baik itu ras, suku, maupun
agama, pemprov DKI Jakarta dituntut untuk dapat memajukan setiap wilayah
yang berada dalam kekuasaannya. Tentunya kemajuan suatu wilayah tidak
akan lepas dari peran seorang pemimpin. Dalam keadaan seperti ini,
1
Http://www.bps.go.id, diakses pada tanggal: 05-01-2015, pada pukul: 12.10 WIB.
http://www.dkn.go.id/site/index.php/ruang-opini/126-jumlah-pulau-di-indonesia, diakses
pada 05 Januari 2015, pukul: 12.15 WIB.
3
www.dephut.go.id, diunduh pada 21 Juli 2014, pukul: 14.00 WIB.
2
1
2
terkadang pemerintah harus menempatkan seorang pemimpin daerah yang
dianggap kompeten untuk mengurus daerah tersebut, meskipun ia memiliki
keyakinan yang berbeda dengan mayoritas warganya. Salah satu contoh
adalah yang terjadi di Kelurahan Lenteng Agung.
Kelurahan Lenteng Agung memiliki luas wilayah 227,74 ha4 dan jumlah
penduduk pada tahun 2010 sekitar 59.735 jiwa5 menjadikannya sebagai
kelurahan dengan mayoritas umat Islam, yakni sekitar 50.215 orang
beragama Islam pada tahun 20086. Pada tahun 2013 masyarakat Muslim
menjadi sekitar 53.732 jiwa7 dari total keseluruhan masyarakat 55.902 jiwa.8
Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, merupakan
salah satu dari sekian contoh kepemimpinan yang dijalankan oleh pemimpin
berbeda keyakinan dengan mayoritas masyarakatnya. Kepemimpinan tersebut
merupakan hasil kebijakan pemerintah yang merubah sistem pengangkatan
Lurah dari jenjang jabatan menjadi sistem lelang jabatan.
Sistem lelang jabatan yang dilakukan oleh pemerintah pusat DKI Jakarta,
menempatkan Susan Jasmine Zulkifli yang beragama Kristen sebagai Lurah
ditengah warganya yang mayoritas beragama Islam. Keputusan yang diambil
pemerintah ini tidak disambut positif oleh warga Lenteng Agung. Sehingga
pada hari rabu (25/9/2013) siang, sejumlah warga Lenteng Agung kembali
4
Http://Akumassa.Org/Program/Lenteng-Agung-Jakarta-Selatan/Monografi-KelurahanLenteng-Agung/, diakses pada 08 Mei 2014, pukul: 08:20 WIB.
5
Http://Jakarta.Bps.Go.Id/Index.Php?Bwvudt0xnszwywdlpwrhdgemc3vipszpzd0xmszpzh
dpbd0zmtcxmdew, diakses pada 08 Mei 2014, pukul: 09:14 WIB.
6
Http://Akumassa.Org/Program/Lenteng-Agung-Jakarta-Selatan/Monografi-KelurahanLenteng-Agung/, diakses pada 08 Mei 2014, pukul: 08:20 WIB.
7
Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Laporan Tahunan tahun 2013,
kelurahan Lenteng Agung, Jagakarsa Jakarta Selatan, h. 7
8
ibid, h. 5
3
(sebelumnya juga sempat mengadakan demo hari rabu 28 agustus 2013)
melakukan aksi damai menolak Lurah Lenteng Agung Susan Jasmine
Zulkifli. Demo ini sebagai bentuk penolakan mereka pada sosok Lurah
Lenteng Agung, Susan, lantaran keyakinan yang dianut Susan tidak sama
dengan mayoritas warga di wilayah binaannya.9
Meski demikian, salah satu kelurahan yang berlokasi tidak jauh dari
Lenteng Agung, yakni kelurahan Pejaten Timur, juga mengalami kebijakan
pemerintah serupa. Namun, hal tersebut memunculkan efek yang berbeda dari
apa yang dilakukan oleh sebagian warga kelurahan Lenteng Agung. Mereka
(warga Pejanten Timur) menerima kehadiran lurah baru yang telah dipilih
oleh pemerintah DKI Jakarta. Kebijakan tersebut menempatkan Grace
Tiaramudi, 45 tahun, sebagai lurah di Pejaten Timur yang memiliki penduduk
dengan mayoritas beragama Islam. Grace Tiaramudi terpilih dalam lelang
jabatan akhir Juni lalu.10
Oleh karena itu, penelitian ini secara umum mengkaji pandangan dan
respons kelompok Muslim di Kelurahan Lenteng Agung terhadap
penempatan kepemimpin Non-Muslim periode 2013-2014. Saat penelitian ini
berlangsung mulai dari tanggal 21 Mei 2014, kepemimpinan non-Muslim di
Kelurahan Lenteng Agung masih berjalan. Namun, mulai hari Jumat, 02
januari 2015, Lurah Susan digeser menjadi Lurah di Gondangdia.11 Meskipun
9
Http://www.merdeka.com/Peristiwa/Demo-Warga-Lenteng-Agung-Tolak-Lurah-SusanCederai-Pancasila.Html, diakses pada 08 Mei 2014, pukul: 08:45 WIB.
10
Http://Www.Tempo.Co/Read/News/2013/09/25/083516430/Lurah-Susan-DidemoGrace-Tiaramudi-Dipuji-Warga, diakses pada 08 Mei 2014, pukul: 08:55 WIB.
11
http://news.detik.com/read/2015/01/02/134233/2792496/10/ahok-mutasi-lurah-susanke-gondangdia?n991104466, diakses pada diakses pada 05 Januari 2015, pukul: 13:05 WIB.
4
saat penelitian ini hampir selesai, lurah di Lenteng Agung sudah berganti,
penelitian ini dianggap tetap dapat diteruskan, karena fokus penelitian adalah
respons masyarakat bukan Lurah yang non-Muslim. Dengan demikian,
penambahan
periode
kepemimpinan
tersebut
dianggap
perlu
untuk
memberikan batasan sekaligus keterangan waktu dalam penelitian ini
dikarenakan pemutasian yang dilakukan Pemerintah DKI Jakarta yang saat ini
dipimpin Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Kepemimpinan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti perihal
pemimpin atau cara memimpin. Sedangkan menurut Rauch dan Behling
(1984, 46) “Leadership is the process of influencing the activities of an
organized
group
toward
goal
achievement”.12
Dengan
kata
lain,
kepemimpinan di sini adalah suatu proses mempengaruhi masyarakat untuk
mencapai tujuan bersama.
Penentuan seorang pemimpin dalan suatu kepemimpinan tidak dapat
memperhatikan kepentingan maupun keunggulan sebelah pihak saja, sebab
dalam sebagian masyarakat struktur kekuasaan berkaitan erat dengan sistem
kepercayaan, sebab nilai-nilai yang berfungsi untuk mempertahankan
masyarakat itu bersumber pada sistem tersebut. Dalam sebuah kata pengantar,
Sartono
Kartodirdjo,
mengungkapkan
bahwa
secara
terperinci
lagi
kepemimpinan adalah pertemuan antara berbagai faktor: sifat golongannya,
kepribadian dan situsi atau kejadian. Ketiga faktor itu menunjukkan sifat
12
Andrew K. Leigh, Leadership and Aboriginal Reconciliation, h. 5. Diakses pada 05
Januari 2015, pukul: 11:05 WIB, dari http://andrewleigh.org//pdf/Leadership%20&%20
Reconciliation%20text%20only.pdf
5
multidimensional gejala kepemimpinan, yaitu aspek sosial-psikologis, sosialantropologis dan sosial-historis.13
Dengan demikian, untuk menghasilkan seorang pemimpin membutuhkan
interaksi antara orang dengan kepribadian yang kuat dengan faktor situasi
agar tercipta suasana harmonis antara pemimpin dengan masyarakat yang
merespons positif setiap kegiatan.
Dalam dunia Islam, proses penentuan seorang pemimpin yang dapat
mengarahkan warganya merupakan suatu wacana yang sering menjadi
pembicaraan. Salah satunya ialah menurut Dr. Anis Malik Thoha, bahwa
dalam Islam, pemerintahan atau khilafah mencakup kepemimpinan agama
dan dunia yang menggantikan Nabi saw., sebagaimana yang dinyatakan para
ulama. Maka dalam hal kepemimpinan ini tidak boleh menggantikan Nabi
saw. kecuali seorang Muslim. Adapun jabatan-jabatan selain pos-pos yang
kental dengan warna agama (selain pemimpin tentara dan peradilan) boleh
dipercayakan kepada non-Muslim yang memang berkompeten. Bahkan para
fuqoha sekaliber al-Mawardi menjelaskan bahwa Dhimmi dibolehkan
memegang jabatan eksekutif. Dan pada masa kekhalifahan Abbasyiyyah
beberapa orang Nashrani memegang jabatan setingkat menteri, seperti Nasr
ibn Harun (369 H.) dan Isa ibn Nasturus (380 H.).14
Begitu pula yang tertera pada hasil muktamar yang terdiri dari para
ulama dari bermacam aliran untuk membicarakan soal Negara Islam.
13
Sartono Kartodirdjo. Kepemimpinan Dalam Dimensi Sosial (Jakarta: LP3ES, 1984), h.
vii.
14
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis (Jakarta: Perspektif, 2005),
h. 260.
6
Muktamar ini dipimpin oleh Syeikh Suleiman el-Nadawi (alm.) dilaksanakan
di Karachi – Pakistan pada tanggal 12 – 15 Rabi’ul akhir 1370 / 21 – 24
Januari tahun 1951. Pada poin ke-12 menyatakan bahwa kepala negara harus
seorang pria beragama Islam, kepadanya masyarakat atau wakil-wakil mereka
yang terpilih meletakkan kepercayaan berdasarkan keagamaan, kecakapan
dan kecerdasan pikirannya.15 Dengan kata lain, mereka yang menghendaki
seorang pemimpin hanya dari golongan Muslim saja adalah bagian dari
dambaan sistem Negara Islam atau sering disebut dengan istilah Khilafah.
Sedangkan di Indonesia, wacana tentang “masyarakat Islam”, yang
menarik perhatian pada tahun tujuh puluhan, tidak mendapat persetujuan.
Oleh karena itu, sekelompok cendekiawan yang belajar di IAIN Yogyakarta,
di bawah A. Mukti Ali – yang kemudian menjadi menteri agama –
menghimbau dengan tegas kaum intelektual Muslim untuk mengemansipasi
diri – lebih daripada yang dimaksudkan di Jakarta – dari elit politik umma
yang lama. Mereka dihimbau untuk menjadi kekuatan dinamis dan
partisipatoris dalam seluruh bangsa. Salah seorang juru bicara mereka,
Ahmad Wahib, malah mengatakan bahwa ia akan berpihak pada kaum non
Muslim, jika ternyata nilai-nilai keadilan dan tanggung jawab sosial yang
dipentingkan Islam diwakili dengan lebih baik oleh mereka dari pada oleh
kaum.16
15
Fuad Mohd. Fachruddin, Pemikiran Politik Islam (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1988),
h. 267.
16
Olaf H. Schumann, Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan (Jakarta:
Gunung mulia, 2009), h. 243.
7
Kaum cendekiawan Islam moderat – seperti tampak di atas – berusaha
menyosialisasikan semangat demokrasi dan konsep masyarakat madani (civil
society) dalam kesadaran umum. Dengan demikian, mereka juga ingin –
dalam perspektif Islam – menyiapkan jalan bagi suatu konsep masyarakat
yang memenuhi tuntutan masyarakat modern serta memajukan kerukunan dan
kerja sama.
Apabila demokrasi diartikan sebagai apa yang didefinisikan bahwa
sistemnya, diikuti dengan realisasi asas pemisahan antara kekuasaankekuasaan. Ini juga ada dalam sistem Islam. Dalam kekuasaan legislatif yang merupakan kekuasaan terpenting dalam sistem demokrasi – apapun
diberikan penuh kepada rakyat sebagai satu kesatuan, dan terpisah dari
kekuasaan imam atau presiden. Pembuatan undang-undang atau hukum
didasarkan pada Al-Quran dan hadis atau ijma’ atau ijtihad. Oleh sebab itu,
pembuatan undang-undang atau hukum tersebut terpisah dari imam, bahkan
dia berkedudukan lebih tinggi dari pada imam (pemimpin). Sedangkan imam
harus menaatinya dan terikat olehnya.17
Dengan demikian, perhatian masyarakat Indonesia yang telah memilih
demokrasi dalam bernegara adalah mereka (pemimpin) yang mampu dan
bertanggung jawab untuk menegakkan setiap hukum yang telah disepakati
bersama dengan tetap menjaga nilai-nilai yang ada di masyarakat. Meski
demikian, pemerintah juga perlu untuk memperhatikan respons ataupun
penerimaan dari warga sebelum menentukan kebijakan. Selain sistem
17
Fahmi Huwaydi, Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat Madani: Isu-isu Besar Politik
Islam (T.tp.: Mizan, t.t.), h. 197.
8
demokrasi yang digunakan di Indonesia, dalam kepemimpinan tidak hanya
kemampuan saja yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan bersama, tapi juga
penerimaan dari masyarakat akan kehadiran pemimpin tersebut. Karena
pemimpin yang ideal itu, paling tidak, harus memenuhi beberapa persyaratan.
Pertama, ia harus memiliki penerimaan (acceptability) di kalangan umat
(masyarakat) itu sendiri, baik pada tingkat lokal maupun pada tingkat
nasional. Kedua, ia harus memiliki penghargaan di kalangan umat itu
(accountability), baik karena kemampuannya atas ilmu-ilmu keagamaan
maupun karena kemampuannya menjalankan roda organisasi. Dan ketiga, ia
perlu memiliki kredibilitas di kalangan pemerintah dan umat lain sehingga
dapat menghadirkan agama sebagai rahmatan lil’alamin dalam konteks
kekuasaan dan kemajemukan masyarakat di Indonesia.18
B. Rumusan Masalah
Penolakan yang dilakukan oleh sebagian kelompok Muslim di Kelurahan
Lenteng Agung tanpa melihat kapabilitas dan pengalaman Lurah yang
sesungguhnya telah menjadi perhatian pemerintah DKI Jakarta dalam upaya
peningkatan kualitas pemerintahan yang lebih efektif, menunjukkan sikap
intoleransi kelompok Muslim yang menjadi warga kelurahan Lenteng Agung
terhadap kepemimpinan Non-Muslim masih tinggi. Dengan memperhatikan
respons negatif yang muncul maka hipotesis dari penelitian ini adalah
kelompok
18
Muslim
kelurahan
Lenteng
Agung
intoleran
terhadap
H.M. Hasbi Umar, Islam dan Kepemimpinan Nasional: Pemaknaan dan
Mengkulturasikan Model Kepemimpinan Masa Kini, ebook, h. 326, diakses pada 05 Januari 2015,
pukul: 14.56, dari http://blog.ub.ac.id/senyumu/files/2013/11/Islam-dan-Kepemimpinan-NasionalHM-Hasbi-Umar. pdf.
9
kepemimpinan non-Muslim. Oleh karena itu, yang akan dilihat dalam
penelitian ini adalah sejauhmana pandangan kelompok Muslim kelurahan
Lenteng Agung terhadap kegiatan kepemimpinan yang dilakukan oleh nonMuslim periode 2013-2014 untuk mencapai tujuan bersama.
Berdasarkan hipotesis di atas maka perumusan masalah dalam penelitian
ini adalah respons kelompok Muslim terhadap kepemimpinan non-Muslim.
Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah: Bagaimana respons kelompok
Muslim
kelurahan
Lenteng
Agung
periode
2013-2014
terhadap
kepemimpinan non-Muslim?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan peneltian ini adalah:
Untuk mengetahui, menganalisa dan mendeskripsikan respons kelompok
Muslim di Kelurahan Lenteng Agung periode 2013-2014 terhadap
kepemimpinan non-Muslim.
D. Kegunaan Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis berharap hasil yang didapat memiliki
kegunaan sebagai berikut:
a.
Kegunaan Akademis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi
dan dokumentasi ilmiah untuk perkembangan ilmu pengetahuan
terutama dalam bidang ilmu sosial-keagamaan. Selain itu, Penelitian
ini juga dapat menambah khazanah keilmuan serta wawasan baru,
bagi peneliti secara khusus dan masyarakat pada umumnya
10
b.
Kegunaan Pragmatis
Penelitian ini ditujukan untuk memenuhi tugas akademik yang
merupakan syarat dan kewajiban bagi setiap mahasiswa dalam
rangka menyelesaikan studi tingkat Sarjana Program Strata 1 (S1).
Penelitian ini juga dapat memberikan kontribusi yang nyata berupa
aspirasi dan informasi kepada pihak-pihak tertentu, seperti
mahasiswa, aktivis, cendekiawan serta pengambil kebijakan di
Indonesia.
E. Tinjauan Pustaka
Orisinalitas,
autentisitas,
dan
kontekstualitas
dalam
penelitian
merupakan asas yang harus dipegang teguh dalam setiap penelitian. Oleh
karena itu, agar penilitian yang dilakukan mendapatkan pengakuan atau
validitas yang utuh, maka penulis melakukan kajian kepustakaan supaya
penelitian yang dilakukan mendapatkan posisi yang lebih jelas.
Dari hasil penelusuran penulis ditemukan beberapa hasil penelitian
yang terkait dengan tema yang akan diteliti, di antaranya sebagai berikut:
Pertama: sebuah karya tulis Herly Janet Lesilolo yang dimuat dalam
sebuah Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi berjudul
“Kepemimpinan Transformasional dalam Rekonstruksi Peran Agama di
Indonesia”.
Dalam
tulisan
tersebut
ia
menganggap
Kepemimpinan
transformasional, dengan ciri utama perubahan diri diharapkan dapat
merekonstruksi peran agama di Indonesia dengan: Pertama, menginternalisasi
hak, kesamaan dan kesetaraan dalam lingkung kehidupan beragama. Kedua,
11
membumikan makna martabat manusia. Ketiga, menerapkan apresiasi
toleransi keragaman. Keempat, memobilisasi kolektif dengan adaptif sebagai
upaya penghilangan diskriminasi, stereotipe dan prasangka, dan Kelima,
membangun demokrasi dalam dialog. Disini terlihat jelas bahwa Herly
menghendaki adanya peningkatan peran agama di masyarakat dengan peran
serta seorang pemimpin, sedangkan penulis bertujuan untuk mengetahui
respons yang terjadi dalam sebuah masyarakat dengan seorang pemimpin
yang memiliki keyakinan yang berbeda.
Kedua, sebuah buku berjudul “Presiden Non Muslim Di Negara
Muslim: Tinjauan Dari Perspektif Politik Islam Dan Relevansinya Dalam
Konteks Indonesia”. Buku ini adalah sebuah karya Dr. Mujar Ibnu Syarif,
M.Ag. Buku tersebut memuat berbagai pandangan dari beberapa ulama dari
ulama klasik hingga kontemporer mengenai kepemimpinan non-Muslim. Di
dalamnya dibahas pula dalil-dalil naqli maupun aqli yang dijadikan landasan
untuk menentukan sebuah kepemimpinan baik dari kalangan yang pro
maupun kontra terhadap kepemimpinan non-Muslim. Polemik penetapan
syarat seorang pemimpin di Indonesia juga menjadi pembahasan pada bab
akhir buku ini. Dalam buku ini muatan pembahasan seputar kepemimpinan
non-Muslim dalam pandangan para ulama sangat detil dan menyeluruh,
berbeda dengan penulis yang hanya mencantumkan beberapa tokoh dan
argumentasi terhadap kepemimpinan non-Muslim. Perbedaan tersebut
dilandaskan pada fokus penelitian yang akan dilakukan penulis. Penulis tidak
terfokus pada pembahasan konsep kepemimpinan non-Muslim dan kemudian
12
dijadikan landasan untuk menentukan hukum maupun sikap bagi para
pembacanya seperti yang terkandung dalam buku ini. Namun, penulis hendak
meneliti respons masyarakat terhadap kepemimpinan non-Muslim itu sendiri.
Sehingga pembahasan selanjutnya yakni BAB III dan BAB IV dalam
penelitian ini tidak dibahas dalam buku tersebut.
F. Definisi Konseptual
Dalam pembahasan ini dibatasi pada pengertian respons, oleh karena
itu, pemahaman mengenai istilah “respons masyarakat” perlu disatukan agar
hal yang dikaji dalam penelitian ini dapat dipahami bersama.
Istilah respons dalam bahasa Indonesia merupakan bahasa serapan yang
diambil dari bahasa Inggris yaitu “response”. Dalam kamus terjemahan
bahasa Inggris ke Indonesia, kata response berarti: jawaban, balasan,
tanggapan, dan reaksi.19 Arti kata serupa juga didapatkan dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia, yang mengartikan kata respons adalah jawaban dan
tanggapan.20 Dengan demikian, istilah respons dalam perbendaharaan Bahasa
Indonesia maupun bahasa asing memiliki arti yang sama.
Lain halnya jika kita menilik dalam perbendaharaan bahasa sosial. Kata
respons memiliki arti yang lebih jelas. Terdapat beberapa pengertian dalam
kamus sosiologi mengenai respons, namun penulis hanya mencantumkan
yang penulis anggap berkaitan dengan penelitian ini. Meski demikian, secara
keseluruhan respons berarti perilaku yang merupakan konsekuensi dari
19
John M. Echols dan Hassan Shadily. Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia,
t.t.), h. 481.
20
Badudu-Zain. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. I (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1994), h. 1163.
13
perilaku sebelumnya (tanggapan). Dalam keadaan kolektif, respons berarti
tanggapan (dalam kamus tertulis tanggalan) suatu kolektiva di mana setiap
orang berperan serta, atau tanggapan suatu kolektiva yang mengalami
pengaruh emosional yang sama (tanggapan kolektif). Sedangkan dalam
keadaan protektif, respons berarti gerak protektif yang bersifat serta merta
(tanggapan).21 Berbagai pengertian tersebut membuktikan bahwa respons
masyarakat dapat menentukan baik buruknya suatu kepemimpinan tertentu.
Dengan memahami pengertian respons di atas maka kata “respons”
memiliki arti yang netral, dapat berarti menerima ataupun menolak. Namun,
di Latar Belakang Masalah tergambar bahwa kelompok Muslim di Kelurahan
Lenteng Agung menolak kepemimpinan non-Muslim periode 2013-2014.
Oleh karena itu, penulis merasa perlu untuk meluruskan bahwa kata
“respons” dalam penelitian ini berarti penolakan.
G. Metodologi Penelitian
Dalam penulisan ini, metodologi penelitian yang digunakan adalah
metode kualitatif. Penelitian dengan metodologi kualitatif berusaha
menggambarkan fenomena sosial secara holistik tanpa perlakuan manipulatif.
Instrumen kunci dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri. Karena
apa yang dilakukan mulai dari desain, data yang dikumpulkan dan fokus
penelitian bisa berubah sesuai kondisi alamiah yang ada.
Logika teoritis (pendekatan) yang penulis gunakan dalam penelitian ini
adalah sosiologi fungsional. Menurut Robert K. Merton, bila masyarakat
21
Soerjono Soekanto. Kamus Sosiologi, Cet. III (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1993), h. 382.
14
merasa puas dengan nilai-nilai yang ada, maka masyarakat akan
menghargainya. Nilai yang menjadi patokan bersama merupakan faktor yang
dapat mendorong integrasi sosial.22 Oleh karena itu hal yang sangat penting
untuk ditekankan menurut Merton adalah nilai dan norma.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan penelitian
ini adalah secara trianggulasi, yaitu gabungan dokumentasi kepustakaan
(Library Research), wawancara (Interview), dan penelitian lapangan (Field
Research). Wawancara yang akan penulis lakukan adalah kepada pihak yang
bersangkutan, seperti: Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama dan instansi
pemerintahan maupun keagamaan. Beberapa cara tersebut penulis gunakan,
agar data yang diperoleh dapat saling menguatkan satu dengan yang lainnya.
Sehingga penelitian ini dapat berguna sesuai dengan kegunaan penelitian
diatas.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada ketentuan dan
petunjuk buku “Pedoman Akademik Program Strata 1 Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2013-2014” yang dikeluarkan oleh
UIN Jakarta.
H. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi pembahasan menjadi
lima bab yang masing-masing memiliki spesifikasi pembahasan mengenai
topik-topik tertentu. Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
22
M. Sayuthi Ali, Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Teori dan Praktek, h. 102.
15
Bab I
: Pendahuluan, menguraikan Latar Belakang Masalah, Rumusan
Masalah,
Tujuan Penulisan, Kegunaan Penelitian, Tinjauan
Pustaka,
Deskripsi
Konseptual,
Metodologi
Penelitian,
Sistematik Penulisan
Bab II
: Diskursus Kepemimpinan Non-Muslim, menjelaskan tentang
Jabatan Dalam Islam, Kriteria Pemimpin Menurut Ulama Klasik
dan
Kontemporer,
dan
Warga
Non-Muslim
Dalam
Kepemimpinan Menurut Islam.
Bab III
: Gambaran Umum Kelurahan Lenteng Agung, mencakup Sejarah
Kelurahan Lenteng Agung, Letak Geografis Kelurahan Lenteng
Agung, Sistem Pengangkatan Lurah dan Struktur Organisasi
Kelurahan Lenteng Agung, Keadaan Sosial dan Kebudayaan
Kelurahan Lenteng Agung.
Bab IV
: Respons Kelompok Muslim terhadap Kepemimpinan NonMuslim di Kelurahan Lenteng Agung, membahas Masyarakat
Tradisional dan Masyarakat Modern, Pluralisme dan Toleransi
Kelompok Muslim Lenteng Agung terhadap Kepemimpinan
Non-Muslim.
Bab V
: Penutup, meliputi Simpulan dan Saran.
BAB II
DISKURSUS KEPEMIMPINAN NON-MUSLIM
A. Jabatan Dalam Islam
Umat manusia sejatinya memerlukan pedoman untuk dapat melalui
berbagai rintangan dan tipuan kehidupan agar tak masuk kedalam jurang
kenistaan. Oleh karena itu, Allah menurunkan Al-Quran untuk dijadikan acuan
berfikir manusia, sehingga ia mampu untuk menentukan baik atau buruk dan
mana yang patut atau tidak patut untuk dilakukan dalam kehidupan yang selalu
berkaitan erat dengan hubungan kepada Tuhan dan Manusia. Oleh karena itu,
dalam Islam, wajib hukumnya untuk mengembalikan setiap persoalan
kehidupan kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan demikian manusia dapat
terhindar dari jurang kehinaan dan kegelapan, sesuai dengan yang diamanatkan
oleh Rasulullah saw.:
"Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalian tidak akan
tersesat selamanya selama berpegang teguh dengan keduanya, Kitabullah dan
Sunnah nabi-Nya" (HR. Malik)
Seorang pemimpin tak terlepas dari kekuasaan untuk mengurusi
masyarakatnya. Dalam Islam kekuasaan merupakan amanah yang dapat
memberikan kehinaan dan penyesalan maupun sebaliknya, ia akan menjadi
salah satu pengantar seorang pemangku jabatan menuju surga. Kekuasaan
haruslah diserahkan kepada orang yang tepat, agar setiap tugas dan kewajiban
didalamnya dapat diaksanakan dengan benar. Seperti sabda Nabi saw. kepada
Abu Dzarr mengenai kekuasaan, yang artinya:
16
17
“Hai Abu Zarr sesugguhnya engkau itu lemah dan sesungguhnya jabatan
itu amanah, dan jabatan itu kelak di hari kiamat menjadi (sebab) kehinaan dan
penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil jabatan itu dengan haknya dan
menunaikan apa yang menjadi kewajibannya dalam jabatan itu.” (Riwayat
Muslim dari Abu Zarr)1
Dalam Musnad al-Imam Ahmad diriwayatkan dari Nabi saw bahwa
beliau bersabda:
“Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah pemimpin yang adil,
sedangkan mereka yang dibenci-Nya adalah pemimpin yang zhalim”(HR.
Ahmad)2
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. dalam kitab
shahihnya bahwa Nabi saw. bersabda:
“Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah saat kehancuran.”
Rasulullah ditanya, “Apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanah itu?”
Rasululah menjawab: “Apabila urusan diserahkan bukan kepada ahlinya maka
tunggulah terjadinya kiamat.”(HR. Bukharidari Abu Hurairah)3
Dengan demikian, Pengangkatan seseorang untuk mengemban amanah
haruslah sesuai dengan keahliannya agar tugas dalam bidang tersebut dapat
dikelola dengan baik dan benar. Pengangkatan seseorang untuk mengemban
suatu jabatan yang tidak sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya akan
memberikan dampak buruk bagi pemerintahan itu sendiri.
Dalam Islam, seseorang tidak dibenarkan untuk meminta suatu jabatan
dan tidak juga dibenarkan seorang pemimpin menugaskan seseorang sebagai
pemangku jabatan tertentu atas dasar permintaan. Nabi saw pernah bersabda
kepada Abdurrahman bin Samurah:
1
Muchlis M. Hanafi, et. al, Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia: Tafsir Qur’an
Tematik (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, 2010), h. 256.
2
Muhammad bin Shalih al-„Utsaimin, Politik Islam: Ta’liq Siyasah Syar’iyah Ibnu
Taimiyah (Jakarta: PT Griya Ilmu Mandiri Sejahtera, Cet. II, 2014), h. 72.
3
Muchlis M. Hanafi, et. al, Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia: Tafsir Qur’an
Tematik, h. 262.
18
“Wahai Abdurrahman, janganlah engkau meminta jabatan, karena jika
jabatan itu diberikan kepadamu tanpa memintanya, niscaya engkau diberi
pertolongan dalam menjalankannya. Tetapi jika jabatan itu diberikan
kepadamu karena permintaan, niscaya engkau ditinggalkan sendirian dalam
mengurusnya (tanpa pertolongan dari Allah).” (HR. Bukhari dan Muslim)4
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan bahwa suatu kaum
menemui Nabi saw. Kemudian meminta jabatan kepada beliau, mendengar
permintaan mereka, beliau bersabda:
“Sesungguhnya kami tidak memberikan kewenangan atas urusan kami
ini kepada orang yang memintanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)5
Dengan demikian, keadilan dalam memilih pengemban jabatan tidak
dapat ditawar lagi, karena pada hakikatnya pemilihan bukan atas dasar
kemampuan dalam bidangnya merupakan pengkhianatan kepada Allah, RasulNya dan orang-orang beriman. Sesuai dengan sabda Nabi saw.:
“Barang siapa mengangkat seseorang dari sekelompok orang padahal
dalam kelompok itu ada orang yang lebih Allah ridhai maka ia telah
mengkhianati Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman.” (Riwayat alHakim dari Husain bin Qais ar-Rahbi, Ikrimah dan Ibnu „Abbas)6
Lebih lanjut, Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa berpalingnya
seseorang dari merekrut orang yang paling berkompeten kepada orang lain
yang kurang kompeten bisa jadi diakibatkan oleh adanya hubungan
kekerabatan, primordial (kedaerahan), mazhab, etnis, dan semacamnya. Suap
yang diberikan oleh orang yang tidak berkompeten itu juga memainkan peran
yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Faktor kebencian dan permusuhan
kepada orang yang paling berkompeten juga tidak jarang memotivasi seseorang
4
Muhammad bin Shalih al-„Utsaimin, Politik Islam: Ta’liq Siyasah Syar’iyah Ibnu
Taimiyah, h. 33.
5
Ibid, h. 33.
6
Muchlis M. Hanafi, et. al, Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia: Tafsir Qur’an
Tematik, h. 263.
19
untuk tidak merekrutnya sebagai pejabat. Sikap seperti ini, menurut Ibnu
Taimiyyah, termasuk dalam keumuman pengertian khianat yang dilarang Allah
dalam firman-Nya7:
“Hai orang-orang yang beriman! janganlah kamu mengkhianati Allah
dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan
kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Anfal: 27)
Abdullah bin Qatadah ra. memaparkan, bahwa ayat ini diturunkan
berkenaan dengan Abu Lubabah bin „Abdul Mundzir. Kala terjadi Perang
Quraizhah, ia diutus Rasulullah saw. sebagai mata-mata Bani Quraizhah.
Namun setelah tiba di tempat Bani Quraizhah, ia membocorkan semua rencana
Rasul saw., yaitu semua orang Bani Quraizhah akan diserang setelah dikepung
selama 21 malam. (HR. Said bin Manshur)8
B. Kriteria Pemimpin menurut Ulama Klasik dan Kontemporer
I.
Farabi
Farabi dilahirkan tahun 257 H atau 870 M, disebuah kawasan
bernama Wasij, wilayah Farab. Ia terlahir dari pasangan berkebangsaan
Persia (ayah) dan berkebangsaan Turki (Ibu). Ia memiliki nama lengkap
Abu Nashar bin Mohammad bin Mohammad bin Tharkhan bin Unzalagh.
Menurut Farabi, kepala negara yang utama itu haruslah seorang
pemimpin yang arif dan bijaksana, yang memiliki dua belas kualitas luhur.
Adapun dua belas kualitas luhur itu adalah: lengkap anggota badannya;
baik
daya
pemahamannya;
tinggi
intelektualitasnya;
pandai
mengemukakan pendapatnya dan mudah dimengerti uraiannya; pencinta
7
Ibid, h. 263.
Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an Perkata: Dilengkapi Dengan Asbabun Nuzul & Terjemah,
(Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2010), h. 180 (a).
8
20
pendidikan dan gemar mengajar; tidak loba atau rakus dalam hal makanan,
minuman dan wanita; pencinta kejujuran dan pembenci kebohongan;
berjiwa besar dan berbudi luhur; tidak memandang penting kekayaan dan
kesenangan – kesenangan duniawi yang lain; pencinta keadilan dan
pembenci perbuatan zalim; tanggap dan tidak sukar diajak menegakkan
keadilan dan sebaliknya sulit untuk melakukan atau menyetujui tindakan
keji dan kotor; kuat pendirian terhadap hal – hal yang menurutnya harus
dikerjakan, penuh keberanian, tinggi antusiasme, bukan penakut dan tidak
berjiwa lemah atau kerdil.9
Dalam pemikirannya, Farabi tidak menyinggung kriteria keharusan
memiliki keyakinan tertentu. Namun, melihat dari pendapatnya mengenai
tujuan bermasyarakat tidaklah hanya untuk mencapai tujuan yang bersifat
duniawi atau materi tetapi juga tujuan Ukhrawi atau spiritual. Dapatlah
dipahami bahwa beberapa kriteria yang harus dimiliki seorang pemimpin
tersebut diatas agar seorang pemimpin dapat mengajak warganya untuk
dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
II. Mawardi
Nama lengkap tokoh terkemuka Madzhab Syafi‟i ini adalah Abu
Hasan Ali bin Habib al-Mawardi al-Bashri. Ia dilahirkan pada tahun 975
M yang bertepatan pada tahun 364 H dan meninggal pada tahun 1059 M
atau 450 H.
9
H. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press), 1993), h. 56.
21
Dengan sistem pemerintahan yang diusungnya adalah kekhilafahan
atau kerajaan, Mawardi berpendapat bahwa seorang imam adalah orang
yang diangkat oleh Allah sebagai pengganti Nabi untuk mengamankan
agama. Dengan demikian, baginya seorang imam tidaklah hanya menjabat
dalam dunia politik namun juga menjabat dalam dunia agama. Sehingga ia
menyebutkan seorang pemimpin harus memiliki tujuh syarat: sikap adil
dengan segala persyaratannya; ilmu pengetahuan yang memadai untuk
ijtihad; sehat pendengaran, penglihatan dan lisannya; utuh anggotaanggota tubuhnya; wawasan yang memadai untuk mengatur kehidupan
rakyat dan mengelola kepentingan umum; keberania yang memadai untuk
melindungi rakyat dan mengenyahkan musuh; keturunan Quraisy.10
Meskipun kaum non-muslim tidak diperbolehkan memegang jabatan
kepemimpinan, namun mereka (non-muslim) memiliki hak untuk
menduduki jabatan-jabatan dalam pemerintahan seperti halnya kaum
muslim, selain jabatan-jabatan yang memiliki warna keagamaan, seperti
menjadi imam, pemimpin tertinggi negara, paglima militer, dan hakim
untuk kaum muslim serta penanggung jawab urusan zakat dan shadaqah.11
Dengan melontarkan pendapat yang cukup kontroversial tersebut, alMawardi kemudian tercatat sebagai pemikir politik Muslim pertama yang
10
Ibid, h. 63.
Adian Husaini, Solusi Damai Islam Kristen di Indonesia, (T.tp.: Pustaka Da‟i, 2003), h.
11
76.
22
berani memberikan legitimasi bagi non-Muslim untuk duduk dalam sistem
pemerintahan Islam12
III. Ghazali
Abu Hamid Al-Ghazali atau Imam Al-Ghazali merupakan seorang
teolog terkemuka, ahli hukum, pemikir yang orijinal, ahli tasawwuf
terkenal dan yang mendapat julukan hujjah al-Islam. Ia dilahirkan di kota
Thus, yang termasuk wilayah khurasan pada tahun 450 H atau 1058 M,
dan wafat juga di Thus pada tahun 505 H atau 1111 M.13
Dalam pada itu, menurut Ghazali terdapat sepuluh syarat yang harus
dipenuhi oleh seseorang untuk dapat diangkat sebagai kepala negara,
sultan atau raja: 14 dewasa atau aqil baligh; otak yang sehat; merdeka dan
bukan budak; laki-laki; keturunan Quraisy; pendengaran dan penglihatan
yang sehat; kekuasaan yang nyata; hidayah15; ilmu pengetahuan; dan
wara’16.
Tidak disebutkan Islam menjadi syarat untuk menjadi seorang
pemimpin. Namun dengan sistem pemerintahan yang dianut oleh Ghazali
adalah teokrasi17, kemudian melihat sistem politik yang berkembang pada
12
Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim: Tinjauan Dari Perspektif
Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006),
h. 129
13
H. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 70.
14
Ibid, h. 78
15
Merupakan daya pikir dan daya rancang yang kuat dan diunjang oleh kesediaan
bermusyawarah, mendengarkan pendapat serta nasihat orang lain.
16
Kehidupan yang bersih dengan kemampuan mengendalikan diri, tidak berbuat hal-hal
yang terlarang dan tercela.
17
yakni kekuasaan seorang pemimpin bukan datang dari rakyat, tetapi dari Allah maka
kekuasaan kepala negara adalah muqaddas atau suci. Juga kepala negara sebagai bayangan Allah
di bumi, hukumnya wajib bagi rakyat dari tingkat mana pun untuk taat mutlak kepadanya, dan
melaksanakan semua perintahnya.
23
masa hidupnya adalah kekhalifahan maka menurut penulis kepemimpinan
menurut imam Ghazali haruslah diserahkan kepada seorang Muslim.
Menurut al-Rayis, meskipun Ibn Abi Rabi, al-Farabi, al-Mawardi, alGhazali, Ibnu Taimiyah dan Ibn Khaldun tidak menyebutkan syarat
seorang kepala negara harus beragama Islam, namun keharusan mengenai
adanya persyaratan tersebut merupakan sesuatu yang telah dimaklumi.18
IV. Ibnu Taimiyah
Nama lengkap Ibnu Taimiyah adalah Abu Abbas Ahmad bin Abd alHalim bin Abd al-Salam Abdullah bin Mohammad bin Taimiyah. Dia lahir
di Harn dekat Damaskus, Suria, pada tahun 661 H atau 1263 M. Sebagai
ilmuwan, Ibnu Taimiyah mendapatkan reputasi sebagai seorang yang
berwawasan luas, pendukung kebebasan berpikir, tajam perasaan, teguh
pendirian dan pemberani, serta mengusai banyak cabang ilmu pengetahuan
agama. Dia seorang ahli dalam bidang Tafir, Hadits, teologi dan fiqh,
khususnya fiqh Hambali.19
Ada dua kriteria yang wajib dipenuhi oleh orang yang akan direkrut
sebagai pejabat atau aparat, yaitu kemampuan (al-quwwah) dan
kepercayaan (al-amanah). Dua kriteria ini disimpulkan oleh ibnu
Taimiyah dari tiga firman Allah SWT.20
Pertama, firman Allah ketika mengisahkan ucapan salah satu putri
Syuaib:
18
Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim: Tinjauan Dari Perspektif
Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia, h. 127
19
H. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 80.
20
Muchlis M. Hanafi, et. al, Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia: Tafsir Qur’an
Tematik, h. 269.
24
Salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata: "Wahai ayahku!
jadikanlah dia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang
paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang
yang kuat dan dapat dipercaya". (Q.S. Al-Qasas: 26)
Kedua, firman Allah ketika mengisahkan ucapan raja Mesir kepada
Yusuf:
Dan raja berkata: "Bawalah dia (Yusuf) kepadaku, agar aku memilih
dia (sebagai orang yang dekat) kepadaku". Ketika dia (raja) telah
bercakap-cakap dengan dia, dia (raja) berkata: "Sesungguhnya kamu
(mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi di lingkungan
kami dan dipercaya." (Q.S. Yusuf: 54)
Ketiga, firman Allah tentang sifat Jibril:
“Sesungguhnya (al-Qur'an) itu benar-benar firman (Allah yang
dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), Yang memiliki kekuatan, yang
memiliki kedudukan Tinggi di sisi (Allah) yang mempunyai 'Arsy, Yang
di sana (di alam malaikat) ditaati dan dipercaya.” (At-Takwir: 19-21)
Ketika realitas bahwa kedua sifat itu sulit berpadu pada diri
seseorang, berhadapan vis a vis dengan kewajiban mendahulukan orang
yang paling kompeten dalam proses rekrutmen aparat, maka menurut Ibnu
Taimiyah, kriteria paling kompeten itu harus disesuaikan dengan
kebutuhan masing-masing bidang. Jika dua orang nominee; satunya
menonjol dalam segi integritas dan kepercayaan, dan satunya lagi
menonjol dalam segi kapabilitas, kemampuan dan kekuatan maka yang
harus dipilih adalah dia yang paling berguna dan sedikit mudharatnya.21
Pelanggaran atas prinsip keadilan dalam rekrutmen aparat akan
berdampak buruk bagi kelangsungan dan stabilitas hidup suatu
masyarakat. Sebaliknya, sikap konsisten dalam hal ini akan berdampak
21
Ibid, h. 270.
25
positif bagi stabilitas dan kelangsungan hidup suatu masyarakat, bangsa
dan negara. Dalam sebuah kata mutiara disebutkan22:
“Negara yang adil akan leastari, meski itu negara kafir. Sebaliknya,
negara yang dzalim (tidak berkeadilan) akan hancur, walaupun itu adalah
negara Islam.”
Terdapat pula versi lain yang menyebutkan:23
“Sesungguhnya Allah mendukung negara yang adil kendatipun
negara itu negara Kafir, dan (Allah) tidak mendukung (negara) yang zalim
sekalipun negara itu negara Muslim.”
Berbeda dengan pendapat al-Rayis yang menyatakan syarat seorang
pemimpin harus beragama Islam menurut Ibn Taimiyah, menurut Munawir
Sjadzali, pernyataan Ibn Taimiyah tersebut dapat ditafsirkan bahwa kepala
negara yang adil meskipun tidak beragama Islam itu lebih baik dari pada
kepala negara yang tidak adil meskipun beragama Islam.24
V. M. Quraish Shihab
Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah, M.
Quraish Shihab berpendapat bahwa dari celah ayat-ayat Al-Quran
ditemukan paling sedikit dua sifat pokok yang harus disandang oleh
seseorang yang memikul suatu jabatan yang berkaitan dengan hak-hak
masyarakat, kedua hal itu hendaknya diperhatikan dalam menentukan
pilihan.25
22
Ibid, h. 273.
Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim: Tinjauan Dari Perspektif
Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia, h. 53
24
Ibid, h. 53
25
M. Quraish Shihab, Lentera Al-Quran: Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: PT
Mizan Pustaka, 2008), h. 318.
23
26
Dalam pendapatnya M. Quraish Shihab bersandar pada beberapa
ayat dan hadits. Dalil yang digunakan pun tak jauh berbeda dengan yang
digunakan oleh Ibnu Taimiyah, diantaranya tiga dalil yang diambil dari
Al-Quran yakni Q.S. 28: 26, Q.S. 12: 54, dan Q.S. 81: 19-21. Ia juga
menambahkan beberapa hadits yang telah dikemukakan di atas, seperti
sabda Nabi yang ditujukan kepada Abu Dzar dan hadits dari Abu Hurairah
r.a. yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari.
Namun demikian terdapat beberapa pertimbangan yang dicantumkan
olehnya, yakni dari sahabat nabi, Abu Bakar r.a., Ketika Abu Bakar r.a.
menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai ketua panitia pengumpulan mushaf
alasannya pun tidak jauh berbeda dengan beberapa dalil diatas:
“Engkau seorang pemuda (kuat lagi bersemangat) dan telah
dipercaya oleh Rasul menulis wahyu.”
Dan ketika Imam Ahmad Ibnu Hanbal ditanya tentang dua orang
yang dicalonkan untuk memimpin satu pasukan – yang pertama kuat tetapi
bergelimang dalam dosa dan yang kedua baik keberagamaannya namun
lemah – beliau menjawab:
”Orang pertama, dosanya dipikul sendiri sedangkan kekuatannya
mendukung kepentingan umat, dan orang kedua keberagamaannya untuk
dirinya, sedangkan kelemahannya menjadi petaka bagi yang dipimpin.”
Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya Allah mengokohkan agama ini dengan orang yang
berperangai buruk.” (HR. Al-Bukhari kitab al-jihad was Siyar dan Muslim
kitab al-Imam)26
26
Muhammad bin Shalih al-„Utsaimin, Politik Islam: Ta’liq Siyasah Syar’iyah Ibnu
Taimiyah, (Jakarta: PT Griya Ilmu Mandiri Sejahtera, Cet. II, 2014), h. 52.
27
C. Warga Non-Muslim Dalam Kepemimpinan Menurut Islam
Islam bukanlah agama yang statis yang tidak dapat mengikuti perubahan
kehidupan. Memang dalam islam terdapat beberapa ajaran agama yang tetap
atau tidak dapat diubah-ubah. Ajaran agama yang tetap adalah: Akidah, ibadah,
nilai-nilai, keutamaan-keutamaan, serta hukum-hukum yang qath’i yang sudah
menjadi konsesus umat Islam. Namun terdapat juga beberapa yang bersifat
Dzanni, hukum-hukum tersebut diperluka ijtihad, tajdid (pembaharuan) dan
membolehkan adanya perbedaan pendapat. Sesuai dengan hasil ijtihad, hukumhukum tersebut bisa berubah-ubah, karena itu fatwa yang keluar pun berubahubah, tergantung masa, tempat, adat dan kondisi saat itu.27
Islam mengajak umatnya untuk melakukan ijtihad dan pembaharuan
dalam agama, bahkan para ulama memasukkan ijtihad dalam agama sebagai
salah satu Fardhu Kifayah bagi umat Islam28. Umat juga diwajibkan memenuhi
seluruh perlengkapan, sarana dan prasarana baik dalam bidang keilmuan dan
pendidikan, tenaga maupun administrasi yang diperlukan guna membantu para
ulama yang memiliki ilmu syariat memadai sekaligus mengetahui situasi dan
kondisi saat itu agar proses ijtihad berhasil dengan baik. Dan segala hal yang
harus ada untuk memenuhi satu kewajiban, hukumnya wajib dipenuhi.29
Rasulullah saw. bersabda, “sesungguhnya setiap seratus tahun, Allah
akan mengutus seorang pembaharu agama bagi umat Islam.” (HR. Abu Dawud
dan Ath-Thabrani)
27
Yusuf Al-Qaradhawi, Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik: Bantahan Tuntas
Terhadap Sekularisme dan Liberalisme, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), h. 134.
28
Kewajiban yang apabila dilakukan oleh sebagian, maka kewajiban yang lain sudah
gugur.
29
Yusuf Al-Qaradhawi, Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik: Bantahan Tuntas
Terhadap Sekularisme dan Liberalisme, h. 127.
28
Dalam website alquranalhadi.com dapat ditemukan beberapa ayat yang
melarang seorang Muslim untuk memilih pemimpin dari kalangan nonMuslim, beberapa ayat itu adalah:
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi
wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat
demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat)
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah
kembali(mu).” (QS. Ali-Imran: 28)
Dalam surat al-Maidah ayat 57 juga dinyatakan:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi “wali”
kalian, orang-orang yang membuat agamamu jadi bahan ejekan dan permainan,
(yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orangorang yang kafir. Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orangorang yang beriman.” (Q.S. al-Maidah: 57)
Kemudian dalam QS. An-Nisa': 144, Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu
mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS. AnNisa': 144)
Dalam beberapa buku pun ditemukan beberapa ayat Al-Quran yang
digunakan untuk menolak kepemimpinan yang diemban oleh seorang nonMuslim. Dalam beberapa ayat tersebut kata yang digunakan untuk
menunjukkan makna pemimpin adalah wali. Diantaranya adalah:
Firman Allah Swt. yang tercantum dalam surat al-Anfal ayat 72
disebutkan, bahwa:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad
dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan
tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu
satu sama lain lindung-melindungi. dan (terhadap) orang-orang yang beriman,
tetapi belum berhijrah, Maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu
melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka
29
meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, Maka kamu
wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada
Perjanjian antara kamu dengan mereka. dan Allah Maha melihat apa yang
kamu kerjakan.”
Sedangkan ayat 73 surat al-Anfal menyebutkan:
“Ada pun orang-orang yang kafir sebagian mereka menjadi wali bagi
sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa
yang telah diperintahkan Allah itu (keharusan adanya persaudaraan yang teguh
antara kaum muslimin), niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan
kerusakan yang besar.
Dalam penjelasannya, Hamka menyebutkan bahwa kata “wali” dapat
bermakna pemimpin, pengurus, teman karib, sahabat atau pelindung. Dalam
surat Al-Baqarah ayat 256 disebutkan, bahwa Allah adalah wali sejati dari
orang-orang beriman. Artinya, bahwa Allah-lah pemimpin, pelindung dan
pengurus orang-orang mukmin.
Menurut Thabathaba‟i, kata “áwliya” yang merupakan bentuk jamak dari
kata “wali” pada mulanya berarti orang yang memiliki kewenangan mengatur
sesuatu, seperti wali seorang anak dan atau orang gila. Namun dalam
perkembangannya, kata “wali” lebih banyak dipakai untuk seseorang yang
memiliki hubungan cinta kasih. Dua orang yang saling mencinta pasti akan
memungkinkan mereka saling menceritakan rahasia masing-masing. Dengan
demikian, boleh jadi rahasia-rahasia internal umat Islam akan diketahui oleh
musuh sehingga bisa merugikan umat Islam.30
Kemudian dalam ayat lain yang berkenaan dengan kasus sahabat besar
yang terlibat dalam Perang Badar, Hathib bin Abi Thalhah, secara diam-diam
30
Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis
al-Qur’an, cet.II (Depok: Katakita, 2009), h. 312.
30
menyuruh seorang wanita untuk membawa surat kepada sejumlah orang
Musyrik Mekah, yang berisi pemberitahuan penyerangan Mekah untuk
bersiap-siap. Dengan turunnya ayat ini Allah memberitahukan tindakan Hathib,
sehingga wanita tersebut berhasil dicegat. Yaitu Surat al-Mumtahanah ayat 1.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku
dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada
mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; Padahal
Sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu,
mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada
Allah, Tuhanmu.”
Melalui ayat tersebut Allah mengingatkan agar hubungan pribadi tidak
boleh mengalahkan hubungan iman, apalagi sampai merugikan perjuangan
kaum Muslim. “Dengan sebab mengambil wali kepada kafir, baik pimpinan
atau persahabatan, niscaya lepaslah dari perwalian Allah, putuslah dari
pimpinan Tuhan.” Tulis Hamka.31
Mengenai ayat ayat 28 Ali Imran, al-Jashshash memberikan catatan
sebagai berikut:
“Dalam ayat ini dan ayat-ayat lain yang yang isinya senada dengannya
ada petunjuk bahwa dalam hal apa pun orang kafir tidak boleh berkuasa atas
(umat) Islam”.32
Dari beberapa ayat di atas maksud yang terkandung di dalamnya nampak
bahwa seseorang yang harus mengemban amanat kepemimpinan atas orang
mukmin tidak boleh diserahkan kepada kaum “kafir”. Namun dalam Islam
mengambil ayat secara parsial untuk menentukan suatu hukum tidak dapat
31
Adian Husaini, Solusi Damai Islam Kristen di Indonesia, h. 80.
Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim: Tinjauan Dari Perspektif
Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia, h. 80
32
31
dibenarkan. Satu ayat dengan ayat yang lain bisa saja dapat memiliki hubungan
yang dapat saling menjelaskan atau mungkin bahkan saling menguatkan.
Jika kembali dilihat dengan teliti dan kritis, beberapa ayat di atas selalu
menyinggung tentang kelompok non-Muslim secara keseluruhan. Sedangkan di
kalangan para ahli fikih, dikenal beberapa macam jenis kafir.33 Pertama, kafir
dzimmi yaitu orang-orang kafir yang masih tetap dengan agama lamanya akan
tetapi ia tunduk dan patuh pada ketentuan agama Islam dengan tidak
memerangi umat Islam. Kedua, kafir mu’ahad adalah orang-orang kafir yang
melakukan kontrak kesepakatan dengan umat Islam untuk tidak saling
menyerang satu sama lain, mereka membuat kesepakatan perihal gencatan
senjata dalam waktu tertentu. Ketiga, kafir musta’min, yaitu orang kafir yang
minta jaminan keamanan kepada orang-orang Islam dalam waktu tertentu. Dan
yang keempat, kafir harbi, yaitu orang kafir yang selalu memusuhi Islam
dengan berbagai cara. Mungkin dengan jalan menghasut, memfitnah, bahkan
dengan peperangan fisik berupa penumpasan.
Dari beberapa jenis kafir di atas, jenis kafir yang pertama, kedua, dan
ketiga ini terlarang untuk diperangi. Sedangkan jenis kafir yang keempat
dipandang sebagai orang-orang yang membahayakan eksistensi Islam. Allah
berfirman dalam al-Qur‟an,
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di
sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu.”
(Q.S. al-Tawbah: 123). “Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir
dan munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka.” (Q.S. al-Tawbah:
73).
33
Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis
al-Qur’an, h. 307.
32
Muhammad Rasyid Ridla mengartikan kata “kuffar” dalam ayat ini
sebagai orang-orang kafir harbi. Muhammad Nawawi al-Jawi mengartikan
kata “kuffar” di situ sebagai orang-orang yang secara terang-terangan
mengangkat pedang untuk memerangi umat Islam.34
Melihat dari beberapa jenis orang kafir di atas lantas apakah yang
dimaksud dalam ayat-ayat tersebut? Apakah benar kursi kepemimpinan dalam
sebuah negara tidak dapat dipercayakan kepada seorang non-Muslim tanpa
terkecuali?
Jika ditinjau dari sebab turunnya ayat (asbab an-nuzul) larangan memilih
pemimpin dari kalangan non-Muslim, seperti yang telah dicantumkan di atas,
nampaknya akan semakin jelas orang non-Muslim seperti apa umat Islam harus
melarang untuk menjadi seorang pemimpin.
Mengenai surat Ali „Imran ayat 28, al-Dlahhak meriwayatkan dari Ibn
„Abbas, ayat ini turun dalam kasus „Ubadah ibn al-Shamit, salah seorang
sahabat Nabi yang ikut dalam Perang Badar. Ia memiliki sejumlah kawan dari
kalangan Yahudi. Ketika Nabi hendak berangkat menuju Perang Ahzab,
„Ubadah berkata:“Wahai Nabi Allah, saya sedang bersama dengan 500 lakilaki
Yahudi
yang
siap
memerangi
Nabi.
Mereka
menampakkan
permusuhannya dengan umat Islam”. Dengan latar itu, turunlah ayat yang
melarang berteman dengan orang kafir harbi tersebut.35
Dalam riwayat lain Ibn „Abbas ra. Berkata:
34
Ibid, h. 308.
Ibid, h. 311.
35
33
“Hajjaj bin „Amr, sekutu para tokoh Yahudi (Ka‟ab bin Asyraf, Ibnu Abi
Huqaiq, dan Qais bin Zaid), telah berhasil menghasut segolongan kaum Anshar
agar Murtad dari Islam. Mengetahui hal itu, Rifa‟ah ra., „Abdullah bin Zubair
ra., dan Sa‟id bin Hatsmah ra. mengingatkan segolongan kaum Anshar itu,
„jauhilah orang-orang Yahudi itu dan jangan tinggal bersama mereka.‟ Namun,
orang-orang Anshar itu menolak peringatan tersebut. Lalu, Allah menurunkan
ayat ini.” (HR. Ibnu Jarir)36
Seakan mengukuhkan surat Ali „Imran ayat 28 di atas, firman Allah
dalam surat al-Maidah ayat 57 menerangkan bahwa tidak baik bagi umat Islam
berteman dengan orang-orang yang merendahkan dan menghinakan agama
Islam, seperti yang ditunjukkan sebagian Ahli Kitab dan orang-orang kafir.
Menurut Ibn Katsir, berteman dengan orang kafir harbi dibolehkan sekiranya
seorang Muslim dalam keadaan terancam. Itu pun harus dilakukan secara
taqiyyat; secara lahir ia menunjukkan sikap baik, sementara dalam hatinya
mengingkari orang-orang kafir harbi tersebut.37
Ibnu „Abbas ra. memaparkan, bahwa kedua ayat ini (57-58 surat alMaidah) diturunkan berkenaan dengan Rifa‟ah bin Zaid bin Tabut dan Suwaid
bin Harits. Mereka masuk Islam, tetapi kemudian mereka menjadi orang
Munafik. Beberapa orang dari kaum Muslim bersahabat dan sangat
menyayangi mereka berdua. (HR. Abu Syaikh dan Ibnu Hibban).38
36
Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an Perkata: Dilengkapi Dengan Asbabun Nuzul & Terjemah,
h. 53 (b).
37
Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis
al-Qur’an, h. 312.
38
Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an Perkata: Dilengkapi Dengan Asbabun Nuzul & Terjemah,
h. 118 (a).
34
Sedangkan mengenai surat al-Nisa ayat 144, menurut al-Qurthubi, ayat
ini menjelaskan tentang larangan bagi umat Islam menjadikan orang-orang
kafir sebagai sahabat dekat (bithanat).39
Mengenai ini perlu dilihat apa yang terkandung dalam surat AlMumtahinah ayat 8-9:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang Berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan
sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan
mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu.
dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah
orang-orang yang zalim.”(QS. Al-Mumtahinah: 8-9)
Prof. Dr. H. Mahmud Yunus mengatakan bahwa dengan jelas ayat-ayat
ini menerangkan, bahwa orang-orang Islam boleh berbuat baik dan berlaku adil
kepada orang-orang kafir, yang tidak memerangi mereka, lantaran agama
mereka dan tidak pula mengusir mereka dari tanah airnya. Hanya yang dilarang
Allah mengangkat pemimpin dari orang-orang kafir yang memerangi mereka
dan mengusir mereka dari tanah airnya. Sebab itu nyatalah salah tuduhan orang
yang mengatakan bahwa Islam menyuruh memerangi tiap-tiap orang kafir dan
merampas hartanya. Sebagian ulama tafsir mengatakan ayat-ayat ini mansukh,
tetapi Allah atau Nabi tidak mengatakan demikian, padahal kita hanya wajib
mengikuti perkataan keduanya. Firman Allah: 40
“Quran itu (ayat-ayatnya) tidak ada yang membatalkannya (merusaknya,
menyalahkannya), baik yang dahulunya ataupun yang kemudiannya” (QS. AsSajdah: 42).
39
Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis
al-Qur’an, h. 310.
40
Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004, cet. VII),
h. 823.
35
Ia juga menambahkan surat Al-Baqarah ayat 190 untuk keterangannya:
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu,
(tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah: 190)
Menurut Mahmud Yunus, maksud “melampaui batas” dalam ayat
tersebut adalah memerangi orang-orang yang tidak memerangi kamu.
Hak memilih dan dipilih dalam kepemimpinan merupakan hak setiap
warga negara tanpa mengharuskan untuk memiliki terhadap keyakinan tertentu.
Karena kedua hak ini bukanlah sifat keagamaan yang mendasari seseorang
untuk membedakan antar warga negara. Hal ini juga telah disimpulkan oleh
beberapa peneliti kontemporer.
Tidak hanya di Indonesia yang menganut sistem demokrasi dan tidak
mendeklarasikan sebagai negara Islam di tengah penduduknya yang mayoritas
Muslim, bahkan di negara Islam pun keterlibatan seorang warga non-muslim
dalam pemerintahan termasuk di dalamnya amanat kepemimpinan pun di
bolehkan. Dengan syarat, non-Muslim tersebut tidak sedang memerangi atau
mengusir warga muslim dari tanah kelahiran seperti yang termaktub dalam ayat
di atas.
Dr. Abdul Karim Zidan41 berkata dalam masalah yang berhubungan
dengan hak memilih dan dipilih, serta hak partisipasi dalam memilih pesiden di
negara Islam:
“Menurut kami, hukum yang paling jelas adalah boleh, sebab jabatan
presiden di masa sekarang tidak mempunyai bentuk kata keagamaan
sebagaimana dahulu. Oleh karena itu, ia bukanlah kekhalifahan yang banyak
dibicarakan oleh para fukaha sekalipun masih ada sedikit makna yang sama.
41
Merupakan seorang guru besar syariat Islam di Universitas Baghdad.
36
Jabatan presiden adalah jabatan kepemimpinan di dunia dan bukan
kekhalifahan yang diberikan oleh Rasulullah saw. dalam memelihara agama
dan politik dunia.”42
Berdasarkan hal ini, orang-orang kafir dzimmi boleh berpartisipasi dalam
pemilihan umum sebab mereka tidak dilarang untuk ikut serta dalam urusanurusan duniawi. Sedangkan untuk memilih wakil-wakil mereka dalam majelis
permusyawaratan rakyat dan pencalonan dirinya sebagai anggota dewan, kami
juga berpendapat boleh, sebab keanggotaan dalam majelis permusyawaratan
rakyat artinya memberikan usulan juga memberikan nasihat kepada pemerintah
dan seumpamanya, dan ini adalah perkara-perkara yang tidak ada larangan bagi
orang-orang kafir dzimmi untuk melakukannya dan ikut serta didalamnya.43
Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah ayat-ayat yang melarang
umat Islam memilih pemimpin non-Muslim, tegas Abduh,
turun sebelum
Futuh Mekkah (pembebasan Mekkah). Saat itu, menurut dia, kaum Musyrik
memang berada pada puncak kebencian dan permusuhannya terhadap umat
Islam. Sungguhpun demikian, sewaktu Futuh Mekkah, Nabi suci melupakan
segala kejahatan dan kekejaman tiada tara yang pernah dideritanya di kota itu.
Beliau tidak melakukan balas dendam, tapi yang dilakukan Nabi suci justru
memberikan amnesti umum kepada semua orang yang begitu jahat kepadanya,
seraya bersabda, “antum al-thulaqa”, “kalian bebas”. Berbuat baiklah terhadap
orang Mukmin, orang Kafir, orang taat, maupun orang durjana (fajir).44
42
Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam (Jakarta: Amzah, 2005), h. 178.
Ibid, h. 179.
44
Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim: Tinjauan Dari Perspektif
Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia, h. 162
43
37
Perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai boleh atau
tidaknya seorang non-Muslim untuk menjadi pemimpin merupakan hal yang
wajar. Penentuan seorang pemimpin dalam Islam termasuk hukum Islam
mengenai muammalah. Menurut Thariq al-Bishri, teoritisi politik liberal asal
Mesir setuju bahwa hukum Islam mengenai muammalah, bersifat fleksibel dan
dapat beradaptasi dengan dinamika dan perkembangan zaman, terlebih
mengenai politik ketatanegaraan. Dengan selogannya yang terkenal, “agama
untuk Tuhan, namun tanah air untuk kita semua”, Al-Bishri terus
memperjuangkan pentingnya mewujudkan kesetaraan hak politik sepenuhnya
bagi non-Muslim, tak terkecuali Kaum Nashrani Kaptia di negerinya, mesir.45
Penjelasan tersebut menegaskan satu hal. Bahwa larangan menjadikan
orang-orang kafir harbi sebagai teman, sahabat atau wali orang Islam tersebut
kiranya turun dalam kondisi peperangan sehingga menjadikan orang kafir
sebagai teman karib akan membahayakan umat Islam. Karena itu, orang-prang
Islam yang mengangkat orang-orang kafir sebagai teman disebut sebagai
orang-orang munafik.46
Dapat disimpulkan, dengan memperhatikan ayat-ayat al-Qur‟an dan
penafsiran para ulama tersebut, perlakuan umat Islam terhadap non-Muslim
sangat tergantung pada keadaan dan sikap non-Muslim terhadap umat Islam.
Jika non-Muslim (kafir harbi) mau bekerja sama, taat pada kesepakatan
bersama dan tidak memerangi serta tidak mengusir umat Islam dari tanah
kelahiran maka umat Islam dilarang untuk memusuhi atau pun menyakiti
45
Ibid, h. 150
Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis
al-Qur’an, h. 313.
46
38
mereka. Tapi jika sebaliknya maka umat Islam dapat memberikan balasan yang
setimpal dan tidak berlebihan.
Dengan demikian, umat Islam tidak dibenarkan untuk terus menurus
memusuhi orang-orang non-Muslim, jika mereka menginginkan adanya
perdamaian kehidupan saling menjauhkan diri dari peperangan dan saling
bahu-membahu dalam kebaikan maka kaum Muslim harus mendukung hal
tersebut. Dan jika mereka, orang-orang non-Muslim, mencoba untuk
mengelabui atau menipu maka umat Islam haruslah yakin bahwa cukuplah
Allah yang akan melindungi mereka, kaum Muslim, dengan pertolongan-Nya
dan kekuatan Kaum Muslimin. Hal ini sesuai dengan Firman Allah swt. dalam
al-Qur‟an al-Karim:
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah
kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang
Maha mendengar lagi Maha mengetahui. Dan jika mereka bermaksud
menipumu, Maka Sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindungmu).
Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan Para
Mukmin.” (Q.S. al-Anfal: 61-62).
BAB III
GAMBARAN UMUM KELURAHAN LENTENG AGUNG
A. Sejarah Kelurahan Lenteng Agung
Menurut sejarawan Betawi, Alwi Shahab, nama daerah Lenteng Agung
berasal dari Klenteng yang diagungkan oleh etnis Tionghoa yang tinggal tidak
jauh dari daerah tersebut, yaitu Pondok Cina. Awalnya, Belanda yang dulu
sering mempekerjakan etnis Tionghoa untuk mendirikan bangunan dan
membuat jalan di pinggiran kota Jakarta. Namun, etnis Tionghoa tidak
diperbolehkan untuk tinggal di daerah Depok sehingga mereka lebih memilih
untuk membuat tenda-tenda dan pondokan untuk tempat tinggal. Kemudian,
bangsa China membuat tempat peribadatan atau Klenteng di sekitar daerah
tersebut dan tidak jauh dari Pondok Cina. Klenteng itu besar dan diagungkan
oleh etnis China pada saat itu jadi dinamakan Klenteng Agung.
Alwi menegaskan jarak antara Pondok Cina dan Lenteng Agung tidak
begitu jauh sehingga memudahkan untuk para etnis Cina beribadah di sekitar
daerah tersebut. Apalagi, dahulu daerah tersebut didominasi oleh etnis China
sebelum akhirnya menikah dengan warga asli Lenteng Agung. Itu sejarah nama
daerah Lenteng Agung sendiri. Dia menambahkan Pondok Cina dan Lenteng
Agung sangat berhubungan erat sehingga dua daerah ini tidak dapat
dipisahkan. Kemudian, di daerah Depok lebih banyak penduduk yang
berbangsa Belanda sehingga etnis China tidak diperbolehkan berada dan masuk
39
40
ke daerah Depok. Jarak dua daerah itu kan juga tidak terlalu jauh sekitar 3
kilometer (km) sehingga dua daerah itu berhubungan erat.1
Berbeda dengan apa yang telah dikemukakan oleh sejarawan dari betawi
Alwi Shahab, H. Ya‘qub, tokoh masyarakat setempat, mengemukakan bahwa
sejarah Lenteng Agung tidak ada yang tertulis. Beliau menegaskan dengan
jelas bahwa ―tidak ada orang Cina dulunya, jadi Lenteng Agung tidak berasal
dari Klenteng‖. Menurutnya, Lenteng Agung dalam bahasa Yogyakarta
memiliki arti ‗tanah yang bertebing-tebing‘. Arti tersebut dianggap lebih tepat,
karena sesuai dengan kondisi alam Lenteng Agung yang berbukit-bukit.
Beliau meyatakan kebenaran mengenai keberadaan Klenteng Agung
tersebut, namun bukan berada di wilayah Negeri (sebutan orang dulu) Lenteng
Agung tapi pada perbatasan. ―Klenteng ada hanya di perbatasan antara babakan
dengan srengseng tapi stasiunnya Lenteng Agung, pasarnya bukan pasar
Lenteng Agung.‖2
Dengan demikian untuk pemberian makna atau sejarah yang terkandung
dari Kelurahan Lenteng Agung saat ini dapat – paling tidak – disandarkan pada
sejarah Klenteng Agung seperti yang dikemukakan oleh Alwi. Meskipun pada
hakikatnya jika sejarah dikembalikan pada awal mula melekatnya nama
Lenteng Agung dengan luas wilayah yang berbeda jauh dengan saat ini, tidak
sesuai dengan fakta sejarah yang dirasakan oleh warga Lenteng Agung dalam
hal ini yang lebih sepuh atau lebih berumur.
1
http://www.merdeka.com/peristiwa/asal-usul-lenteng-agung-bermula-dari-klentengagung.html. Diakses pada tanggal: 10-11-2014, Pukul: 20.00 WIB
2
Wawancara Pribadi dengan Ya‘qub Shobirin, Lenteng Agung, 22 Desember 2014.
41
Jika ditinjau dari bahasa Hok Kian, Lenteng Agung memiliki kedekatan
kata dengan Klenteng Agung seperti yang disinggung oleh Alwi Shahab.
Meski demikian, menurut penulis bukan berarti Lenteng Agung diambil dari
nama Klenteng yang diagungkan oleh etnis China seperti dimaksud Alwi.
Klenteng berasal dari kata kaw lang teng. Menurut Js. Hendra kaw berarti
belajar, lang berarti orang, sedangkan teng berarti ruangan. Klenteng berarti
ruangan untuk orang belajar. Lenteng Agung pada zaman dahulu memang
merupakan tempat umat Islam dari beberapa daerah untuk mempelajari ilmu
agama Islam. Dengan demikian, Lenteng Agung berarti tempat yang besar
untuk orang belajar agama Islam. Meskipun memiliki kedekatan kata dan
kemiripan fungsi sebagai tempat belajar, namun penulis belum dapat
membuktikan kebenaran makna tersebut jika dilihat dari siapa dan mengapa
dinamakan Lenteng Agung.
B. Letak Geografis Kelurahan Lenteng Agung
Sebagaimana yang dijelaskan Undang-Undang Nomor 32 Tahun2004
tentang Pemerintah Daerah bahwa kelurahan merupakan wilayah kerja Lurah
sebagai Perangkat Daerah Kabupaten dan Kotamadya dalam melaksanakan
Pelayanan Masyarakat di wilayahnya.
Pengertian di atas berarti bahwa kelurahan tidak lagi merupakan wilayah
administrasi pemerintahan tetapi sudah menjadi perangkat daerah yang tugas
dan fungsinya memberikan pelayanan kepada masyarakat di wilayahnya
dengan diberikan kewenangan yang diatur dengan peraturan perundangan.
42
Untuk kelurahan di Provinsi DKI Jakarta telah diberikan kewenangan
yang diatur dalam Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 40 Tahun
2002 tentang Organisasi dan Tata Kelola Pemerintahan Kelurahan di Provinsi
DKI Jakarta.
Kelurahan Lenteng Agung merupakan salah satu kelurahan dari enam
kelurahan yang terdapat di Kecamatan Jagakarsa termasuk dalam wilayah Kota
Administrasi Jakarta Selatan. Pada mulanya luas Lenteng Agung adalah +/- 96
hektar yang terbagi menjadi 4 blok (sekarang Rukun Warga). Adapun
perbatasannya adalah sebagai berikut:3
Sebelah utara
: Jalan Jambu.
Sebelah barat
: Kali Bata.
Sebelah timur : Kali Ciliwung.
Sebelah selatan : Gang Jalan Haji Nase.
Namun saat ini, berdasarkan keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor:
1251 Tahun 1986 tanggal 03 Juni 1986 dan SK Gubernur KDKI Jakarta
Nomor: 1815 Tahun 1988 Wilayah Kelurahan Lenteng Agung dengan batasbatas:
Sebelah Utara : Kelurahan Kebagusan dan Tanjung Barat.
Sebelas Timur : Kali Ciliwung dan Kelurahan Tanjung Barat.
Sebelah Selatan : Kelurahan Srengseng Sawah.
Sebelah Barat : Kelurahan Jagakarsa, Kelurahan Srengseng Sawah dan
Kelurahan Kebagusan.
3
Wawancara Pribadi dengan Ya‘qub Shobirin.
43
Jauh melewati luas Lenteng Agung sebelumnya, luas wilayah Kelurahan
Lenteng Agung saat ini adalah 227,74 Ha yang terbagi ke dalam 10 Rukun
Warga (RW) dan 114 Rukun Tetangga (RT), dengan jumlah Kepala Keluarga
11.358 KK, adapun penduduk sampai dengan akhir tahun 2012 tercatat
sebanyak 55.095 jiwa terdiri dari Warga Negara Indonesia (WNI) sebanyak
29.625 jiwa laki-laki dan sebanyak 25.470 jiwa perempuan.4
C. Sistem Pengangkatan Lurah dan Struktur Organisasi Kelurahan Lenteng Agung
Sistem pengangkatan lurah yang dilaksanakan di kelurahan Lenteng
Agung saat ini telah mengalami perubahan. Sebelum Gubernur DKI Jakarta
saat itu, Joko Widodo, menerapkan sistem lelang jabatan, pengangkatan
seorang lurah di Kelurahan Lenteng Agung berdasarkan jenjang karir.
Sehingga tidak hanya pengalaman dan lamanya dalam kepengurusan untuk
mendapatkan amanat menjadi Lurah, tapi lebih dari itu berbagai persyaratan
wajib dipenuhi oleh para ―peserta‖ untuk menempati jabatan sebagai Lurah.
Menurut Sekretaris Kelurahan Lenteng Agung, Adhi Suryo, tidak mudah untuk
dapat mengikuti proses lelang jabatan. Ia menilai sistem lelang jabatan yang di
mulai tahun 2013 ini merupakan sebuah kebijakan reformasi birokrasi.
Meskipun untuk dapat mengikuti sistem lelang ini dapat dilakukan melalui
internet, namun terdapat persyaratan yang harus dimiliki terlebih dahulu bagi
orang yang berminat. Syarat-syarat tersebut diantaranya: mulai dari staff yang
bekerja di pemda DKI (Yang berkerja di kecamatan dan kelurahan min
golongan 3C.) Kecuali guru, militer dan kementrian tidak dibolehkan. Tidak
4
Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Laporan Tahunan tahun 2013,
kelurahan Lenteng Agung, Jagakarsa Jakarta Selatan, h. 2.
44
ada batasan bagi lurah sebelumya maupun yang ―baru‖, selama ia memenuhi
syarat tersebut di perbolehkan mengikuti proses lelang jabatan ini. Setelah
lolos persyaratan kemudian tes tulis dan wawancara, maka orang tersebut dapat
menempati jabatan sebagai lurah di dalam keorganisasian Kelurahan Lenteng
Agung.
Kelurahan Lenteng Agung yang merupakan sistem pemerintahan ini
memiliki tujuan yang ingin dicapainya, oleh karena itu dalam menunjang
tercapainya tujuan, perlu adanya koordinasi yang baik dan terkontrol dengan
dibentuknya suatu kepengurusan. Adapun Struktur Organisasi Kelurahan
Lenteng Agung sampai dengan bulan Desember 2013, sebagai berikut:
Lurah
: Susan Jasmine Zulkifli, S.Sos
Wakil lurah
: Moh. Napis, S.Sos
Sekretaris Kelurahan : Adhi Suryo, S.Sos
Seksi-seksi :
Pemerintahan Ketentraman dan ketertiban : Asmat, SE
Perekonomian
: Eti Sumiati, Amd
Sarana dan Prasana
: Abdurro‘uf
Kesejahteraan Masyarakat
: Mustofa
Kebersihan dan Lingkungan Hidup
: Rosmiati
Pelayanan Umum
: Indriana
45
D. Keadaan Sosial dan Kebudayaan Kelurahan Lenteng Agung
1. Keadaan Sosial Kelurahan Lenteng Agung
Masyarakat Lenteng Agung terdiri dari masyarakat yang beragama
Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha. Jumlah penduduk menurut
agama yakni:
a. Islam
: 53.732
b. Kristen
: 1.355
c. Katholik : 688
d. Hindu
: 57
e. Budha
: 70
Jika data di atas di persentasekan maka warga Kelurahan Lenteng
Agung yang beragama Islam sekitar 96,12%, Kristen 2,42%, Katholik
1,23%, Hindu 0,1% dan Buddha 0,12%. Tampak jelas bahwa masyarakat di
Lenteng Agung mayoritas beragama Islam.
Dari beberapa agama yang dianut oleh masyarakat Kelurahan Lenteng
Agung, mereka memiliki mata pencaharian yang berbeda-beda, meskipun
pada awalnya penduduk Lenteng Agung memiliki mata pencaharian dalam
bidang agraris khususnya sebagai petani seperti yang diungkapkan oleh H.
Ya‘qub, ―Kehidupan Lenteng Agung (dahulu) dengan Bertani dan
berternak‖, namun saat ini nampaknya telah bergeser sangat jauh, seperti
yang ditampilkan data di bawah ini:
1. Swasta
: 9.877
2. Buruh
: 7.390
46
3. Pedagang
: 9.995
4. PNS (Pegawai Negeri Sipil)
: 5.011
5. Pensiunan
: 1.495
6. ABRI/POLRI
: 2.012
7. Petani
: —
8. Lain-lain
: 20.122
Dalam segi pendidikan, Lenteng Agung telah memiliki sarana untuk
menunjang masyaratnya terutama untuk para generasi selanjutnya agar
mendapatkan pendidikan yang layak dengan melakukan pembangunan
sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta. Adapun data sarana pendidikan
yang tedapat di Lenteng Agung, sebagai berikut:
Status
No
Tingkat
1
Negeri
Swasta
TK
—
8
2
SD
13
4
3
MI
—
2
4
SLTP
2
4
5
MTs
—
4
6
SLTA
2
3
7
ALIYAH
1
—
8
UNIVERSITAS
1
—
19
27
JUMLAH
2. Kebudayaan Kelurahan Lenteng Agung
Terdapat beberapa definisi dari para ahli atas kebudayaan. Merujuk
pada asal kata yang dipakai di Indonesia, kebudayaan berasal dari kata
47
buddayah yang berarti akal, maka tentunya budaya hanya dicapai dengan
kemampuan akal yang tinggi tingkatannya yang dalam hal ini dimiliki oleh
manusia. Sementara dari asal kata Yunani, culture berasal dari kata colere
yang berarti mengolah atau mengerjakan.5
Koentjaraningrat menyebut kebudayaan sebagai seluruh sistem
gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat, dan dijadikan milik bersama melalui proses belajar.6 Sedangkan
menurut Clifford Geertz kebudayaan merupakan sistem mengenai konsepsikonsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolik, yang dengan cara ini
manusia
dapat
berkomunikasi,
melestarikan,
dan
mengembangkan
pengetahuan dan sikapnya tentang kehidupan.7
Kebudayaan bukanlah milik seorang saja. Ia mendapatkannya justru
karena ia adalah anggota dari suatu kelompok. Dalam suatu kelompok,
disitulah kemudian seseorang mendapatkan konsep-konsep, misalnya belief
(keyakinan), nilai-nilai, dan cerita-cerita (ingatan bersama). Oleh karena itu,
satu individu dalam masyarakat terbuka kemungkinan untuk memiliki
pengalaman yang relatif sama dengan individu lainnya.8
Kebudayaan yang ada di Lenteng Agung sangat kental dengan nilainilai keislaman, terlebih, dahulu Lenteng Agung merupakan destinasi
5
Eko A. Meinarno, DKK, Manusia Dalam Kebudayaan dan Masyarakat: Pandangan
Antropologi dan Sosiologi, Edisi 2 (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), h. 90.
6
Bambang Widiarto dan Iwan Media (peny.), Perspektif Budaya: Kumpulan Tulisan
Koentjaraningrat Memorial Lectures i-v/2014-2008, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h. xi.
7
M. Ridwan Lubis, Melacak Akar Paham Teologi di Indonesia, makalah studium general
fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu, 10 Desember 2014, h. 1.
8
Eko A. Meinarno, DKK, Manusia Dalam Kebudayaan dan Masyarakat: Pandangan
Antropologi dan Sosiologi, Edisi 2, h. 91.
48
seorang
Muslim
dari
daerah
lain
untuk
memperdalam
wawasan
keislamannya, baik dari pendidikan maupun kebudayaan. Tidak ada pondok
pesantren di Lenteng Agung, namun hampir setiap rumah mengajarkan Ilmu
Agama Islam seperti Nahwu, Sharaf, Tauhid, dsb. Bahkan Akal (sebutan
Bela Diri zaman dulu di Lenteng Agung) pun banyak yang mempelajarinya
di Lenteng Agung.
Nilai-nilai tradisional Islam masih tetap dipegang kuat di sini mulai
dari Rebana yang sering di pakai dalam acara besaran seperti perkawinan
sampai pengajian rutin malam jum‘at terus berjalan di Kelurahan Lenteng
Agung. Bahkan mengembalikan setiap persoalan hidup kepada agama terus
ditekankan dan diamalkan. Sehingga Kelurahan Lenteng Agung dikenal
dengan julukan ―Kota Santrinya Jakarta Selatan‖.
Julukan tersebut dibenarkan baik dari tokoh masyarakat maupun dari
pihak pemerintahan. Seperti yang diungkapkan oleh H. Ya‘qub Shabirin
yang menyatakan, ―Lenteng agung memang kota santri, hampir setiap
rumah ngajar agama.‖9 Hal senada juga disampaikan oleh Sekretaris
Kelurahan Lenteng Agung, Adhi Suryo, ―Menurut saya itu benar, karena
sebagian besar pendidikannya dari sekolah Islam. Memang disini
keagamaannya sangat kuat.‖10
Konstruk budaya yang terdapat di Kelurahan Lenteng Agung dapat
dikatakan merupakan sebuah keberhasilan penyiaran agama Islam (Dakwah)
pada zaman dahulu yang telah mengadaptasi bahkan mengakomodasi nilai9
Wawancara Pribadi dengan Ya‘qub Shabirin.
Wawancara Pribadi dengan Adhi Suryo, Lenteng Agung, 22 Desember 2014.
10
49
nilai dan ajaran-ajaran Islam. Adaptasi adalah upaya melakukan
penyesuaian internalisasi ajaran Islam sesuai dengan tingkat kepahaman
masyarakat. Akomodasi adalah upaya mengutip tradisi lokal yang sudah
akrab di dalam peta budaya masyarakat sebagai sarana mengantarkan
kepada proses terjadinya pemahaman, penghayatan dan pengalaman Islam.11
Namun demikian, saat ini, kebudayaan Kelurahan Lenteng Agung
sudah mulai ada yang berubah, seperti hari libur zaman dahulu adalah hari
Jum‘at, sekarang karena berbagai faktor terutama ekonomi dan tuntutan
zaman, hari libur sudah berganti dengan hari minggu.
Hal seperti ini lah yang dikhawatirkan para tokoh masyarakat maupun
pemuka agama khusunya Islam di Lenteng Agung. Sehingga mereka terus
melakukan upaya protektif terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang
sudah ada di masyarakat Lenteng Agung. Karena kebudayaan bukanlah
sekumpulan hal yang terpisah-pisah satu sama lainnya. Sebaliknya,
kebudayaan merupakan satu kesatuan dari banyak hal, termasuk sistem
masyarakat (terintegrasi). Misalnya, jika salah satu sistem masyarakat, yakni
ekonominya berubah, maka banyak hal yang akan mengikuti perubahan
ekonomi tersebut.
11
M. Ridwan Lubis, Melacak Akar Paham Teologi di Indonesia, h. 3.
BAB IV
RESPONS KELOMPOK MUSLIM TERHADAP KEPEMIMPINAN
NON-MUSLIM DI KELURAHAN LENTENG AGUNG
Pembahasan pada bab IV ini, penulis hendak mendeskripsikan bagaimana
respons masyarakat Lenteng Agung terhadap kepemimpinan non-Muslim. untuk
dapat memahami pola pikir serta sikap yang ditunjukkan oleh masyarakat Lenteng
Agung, menurut penulis dibutuhkan terlebih dahulu pemetaan cara hidup
masyarakat Lenteng Agung, agar pembaca dapat memahami hasil penelitian
dalam skripsi ini dengan baik.
A. Masyarakat Tradisional dan Masyarakat Modern
Untuk membahas lebih lanjut diperlukan pemahaman terhadap apa
yang dimaksud dengan masyarakat. Terdapat beberapa definisi mengenai
masyarakat dari para sarjana, diantaranya:1
a. R. Linton: seorang ahli antropologi mengemukakan, bahwa masyarakat
adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja
sama, sehingga mereka ini dapat mengorganisasikan dirinya berpikir
tentang dirinya dalam satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu.
b. M.J. Herskovits: mengatakan bahwa masyarakat adalah kelompok individu
yang diorganisasikan dan mengikuti satu cara hidup tertentu.
c. Hasan Shadily: mendefinisikan masyarakat adalah golongan besar atau
kecil dari beberapa manusia, yang dengan atau sendirinya bertalian secara
golongan dan mempunyai pengaruh kebatinan satu sama lain.
1
Abu Ahmadi, dkk., Ilmu Sosial Dasar (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991), h. 225-226
50
51
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa yang disebut
masyarakat adalah perkumpulan manusia yang telah cukup lama hidup dan
bekerjasama yang diorganisasikan dan mengikuti satu cara hidup tertentu
serta memiliki pengaruh kebatinan satu sama lain.
1. Masyarakat Tradisional
Masyarakat tradisional ialah sekelompok masyarakat bina yang
secara geografis dan teritorial umumnya berada di wilayah pedesaan.
Wilayah pedesaan yang dimaksud dalam konteks ini bukan pedesaan
dalam arti administratif pemerintahan, melainkan mengacu pada kondisi
masyarakat.2 Menurut Sutardjo kartohadikusuma, desa adalah suatu
kesatuan hukum di mana bertempat tinggal suatu masyarakat yang
berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri.3 Sedangkan menurut Bintarto
desa merupakan perwujudan atau kesatuan geografi, sosial, ekonomi,
politik dan kultural yang terdapat disitu (suatu daerah) dalam hubungannya
dan pengaruhnya secara timbal-balik dengan daerah lain.4 Beberapa ciri
masyarakat pedesaan, diantaranya:5
a. Homogenitas Sosial, bahwa masyarakat pada umumnya terdiri dari satu
atau beberapa kekerabatan saja, sehingga pola hidup tingkah laku
maupun kebudayaan sama/homogen.
2
Rasyidul Bashri, Kajian Diklat Terhadap Strategi dan Metode Penyuluhan Agama
Islam, diakses pada 09-01-2015, pukul 18.20 WIB, dari http://sumbar.kemenag.go.id/file/file/
ArtikelWidyaiswara/qgdj1384839462.pdf
3
Hartomo dan Arnicun Aziz, MKDU Ilmu Sosial Dasar, Cet. II (Jakarta: Bumi Aksara,
1992), h. 240.
4
Abu Ahmadi, dkk., Ilmu Sosial Dasar, h. 241-242.
5
Hartomo dan Arnicun Aziz, MKDU Ilmu Sosial Dasar, h. 246.
52
b. Hubungan Primer, pada masyarakat desa hubungan kekeluargaan
dilakukan secara akrab, semua kegiatan dilakukan secara musyawarah.
c. Kontrol Sosial yang Ketat, kekurangan dari salah satu anggota
masyarakat adalah merupakan kewajiban anggota yang lain untuk
menyoroti dan membenahi.
d. Gotong Royong, semua masalah kehidupan dilaksanakan secara gotong
royong, baik dalam arti gotong royong murni (misal: melayat,
mendirikan rumah dan sebagainya) maupun gotong royong timbal balik
(misal: mengerjakan sawah, nyumbang dalam hajat tertentu, dsb.).
e. Ikatan Sosial, setiap anggota masyarakat desa diikat dengan nilai-nilai
adat dan kebudayaan secara ketat.
f. Magis Religius, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi
masyarakat desa sangat mendalam. Bahkan setiap kegiatan kehidupan
sehari-hari dijiwai bahkan diarahkan kepadanya.
g. Pola Kehidupan, masyarakat desa bermata pencaharian di bidang
agraris, baik pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan.
2. Masyarakat Modern
Adalah masyarakat yang sebagian besar warganya mempunyai
orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban dunia
masa kini. Masyarakat modern identik dengan masyarakat kota.6
Masyarakat perkotaan sering disebut juga urban community. Pengertian
masyarakat kota lebih ditekankan pada sifat-sifat kehidupannya serta ciri6
T.pn., Ringkasan Materi Sosiologi, diakses pada 09 Januari 2015, pukul 17.30 WIB, dari
http://history1978.files.wordpress.com/2008/08/ringkasan-materi-sosio-antro-smt-genap.pdf
53
ciri kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Perhatian
khusus masyarakat kota tidak terbatas pada aspek-aspek seperti pakaian,
makanan, dan perumahan, tetapi mempunyai perhatian yang luas lagi. 7
Adapun ciri-ciri masyarakat kota adalah sebagai berikut:8
a. Heteregonitais Sosial, kota merupakan melting pot bagi aneka suku
maupun ras, sehingga masing-masing kelompok berusaha di atas
kelompok yang lain. Maka dari itu sering terjadi usaha untuk
memperkuat kelompoknya untuk melebihi kelompok yang lain.
b. Hubungan Sekunder, dalam masyarakat kota pergaulan dengan sesama
anggota (orang lain) serba terbatas pada bidang hidup tertetu. Misal:
temen kerja, temen seagama, atau seorganisasi yang lain.
c. Toleransi Sosial, pada masyarakat kota orang tidak memperdulikan
tingkah laku sesamanya secara mendasar dan pribadi, sebab masingmasing anggota mempunyai kesibukan sendiri. Sehingga kontrol sosial
pada masyarakat kota dapat dikatakan lemah sekali.
d. Kontrol Sekunder, anggota masyarakat kota secara fisik tinggal
berdekatan, tetapi secara pribadi atau sosial berjauhan. Dimana bila ada
anggota masyarakat yang susah, senang, jahat, dan lain sebagianya,
anggota masyarakat yang lain tidak mengerti.
e. Mobilitas Sosial, di kota sangat mudah sekali terjadi perubahan maupun
perpindahan status, tugas, maupun tempat tinggal.
7
Abu Ahmadi, dkk., Ilmu Sosial Dasar, h. 228.
Hartomo dan Arnicun Aziz, MKDU Ilmu Sosial Dasar, h. 233-235.
8
54
f. Individul, akibat hubungan sekunder, maupun kontrol sekunder, maka
kehidupan masyarakat di kota menjadi individul.
g. Ikatan Sukarela, walaupun hubungan sosial bersifat sekunder, tetapi
dalam organisasi tertentu yang mereka sukai (kesenian, olah raga,
politik), secara sukarela ia menggabungkan diri dan bekorban.
h. Segredasi Ruangan, akibat dari heterogenitas sosial dan kompertisi
ruang, terjadi pola sosial yang berdasarkan pada sosial ekonomi, ras,
agama, suku bangsa, dan sebagainya.
3. Masyarakat Kelurahan Lenteng Agung
Dengan melihat pada ciri-ciri yang terdapat di atas kemudian
disesuaikan dengan keadaan serta kondisi sosial warga kelurahan Lenteng
Agung, nampaknya Kelurahan Lenteng Agung khususnya wilayah
Lenteng Agung yang masih dalam cakupan +/- 96 hektar, lebih condong
pada karakter masyarakat pedesaan.
Beberapa ciri masyarakat pedesaan, seperti Hubungan Primer,
Kontrol Sosial yang Ketat, Gotong Royong, Ikatan Sosial, Magis Religius,
masih terlihat di Lenteng Agung. Namun seiring meluasnya cakupan
Kelurahan Lenteng Agung saat ini serta kepadatan penduduk yang terjadi
membuat wilayah Lenteng Agung yang dahulu masih dipenuhi dengan
persawahan sudah berubah menjadi kepadatan rumah. Sehingga tidak ada
lagi penduduk Lenteng Agung yang berprofesi menjadi petani atau
peternak seperti dahulu. Hal ini sesuai dengan data yang ditampilkan pada
bab III.
55
Dengan demikian, saat ini homogenitas sosial telah berubah menjadi
heterogenitas, pola kehidupan tidak lagi sebagai petani atau peternak yang
menjadi ciri khusus masyarakat pedesaan, bahkan Ikatan sosial di
Kelurahan Lenteng Agung saat ini tidak lagi sekuat dahulu. Hal ini terlihat
dari sekian puluh ribu total keseluruhan warga Lenteng Agung, hanya
sekitar 1500 warga yang memberikan dukungan nyata terhadap penolakan
Lurah Susan. Sesuai dengan apa yang diucapkan oleh H. Ya‟qub: 9
“Sampai di ajukan 1500 tanda tangan dan terdiri dari beberapa
mushalla dan masjid itu langsung satu bundel diserahkan kepada Jokowi
tapi Jokowi ya iya nanti diurus, tapi sampe sekarang (tidak pernah
dipenuhi)”.
Dari penjelasan di atas, masyarakat Kelurahan Lenteng Agung tidak
dapat disebut masyarakat tradisional, namun mereka juga belum termasuk
dalam kategori masyarakat modern meskipun mereka berada di wilayah
perkotaan, keadaan seperti ini dikenal dengan istilah masyarakat transisi.
Masyarakat transisi merupakan masyarakat yang berada di antara
masyarakat tradisional dengan masyarakat modern, atau masyarakat
peralihan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern.10
B. Pluralisme dan Toleransi Kelompok Muslim Lenteng Agung terhadap
Kepemimpinan Non-Muslim
1. Pluralisme dan Kebebasan Beragama
Pluralisme merupakan salah satu tema yang paling hangat
diperdebatkan saat ini, terutama di kalangan Muslim. KTT Organisasi
9
Wawancara Pribadi dengan Ya‟qub Shabirin pada 22 Desember 2014.
T.pn, Bagian 4:Perkembangan Kehidupan Masyarakat Indonesia, h. 96, diakses pada
09 Januari 2015, pukul 17.54 WIB, dari http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/UR._PEND.
GEOGRAFI/196103231986031-R._GURNIWAN_KAMIL_PASYA/SMI-4.pdf
10
56
Konferensi Islam (OKI), di Dakar, Senegal, 13-14 Maret 2008 juga
menjadikan pluralisme sebagai topik utama. Organisasi beranggotakan 57
negara Islam ini sengaja menggelar tema tersebut sebagai upaya
menghapus fobia terhadap Islam yang dalam beberapa tahun ini mendapat
stereotipe amat buruk akibat aksi-aksi intoleransi dan kekerasan oleh
sebagian kaum Muslimin atas nama agama. Ini menunjukkan bahwa
pluralisme,
termasuk
di
dalamnya
kebebasan
beragama,
tengah
menghadapi problem serius di dunia Islam.11
Kata “pluralisme” berasal dari bahasa inggris, pluralism. Kata ini
diduga berasal dari bahasa Latin, plures, yang berarti “beberapa dengan
implikasi perbedaan”. Bila ditinjau dari asal-usul kata ini, jelas bahwa
pluralisme agama tidak menghendaki keseragaman bentuk agama. Sebab,
ketika keseragaman sudah terjadi, maka tidak ada lagi pluralitas agama
(religious plurality). Keseragaman itu sesuatu yang mustahil. Allah
menjelaskan bahwa sekiranya Tuhanmu berkehendak, niscaya kalian akan
dijadikan dalam satu umat.12
Pluralisme
merupakan
keyakinan
seseorang
atau
kelompok
keagamaan bahwa segenap agama-agama dan keyakinan adalah jalan-jalan
keselamatan (menuju Tuhan) yang sama-sama absah. Kelompok ini
memandang bahwa secara teologis, kemajemukan agama adalah kehendak
Tuhan yang mutlak; kebhinekaan dipandang sebagai suatu realitas niscaya
11
KH. Husein Muhammad, prolog dalam buku: Abd. Moqsith Ghazali, Argumen
Pluralisme Agama:Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an, (Depok: Katakita, cet.II, 2009), h.
xi.
12
Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama:Membangun Toleransi Berbasis alQur’an, Cet. II (Depok: Katakita, 2009), h. 66
57
yang masing-masing berdiri sejajar. Karena itu satu agama tertentu tidak
berhak memvonis benar tidaknya agama lain, karena pada dasarnya
keselamatan dapat dicapai melalui aneka agama (jalan).13
Dalam
konteks
Indonesia,
pluralisme
dimaknai
sebagai
kemajemukan, keberagaman, atau kebinekaan. Keberagaman bukan hanya
sebagai realitas sosial (pluralitas), melainkan juga sebagai gagasangagasan, paham-paham, dan pikiran-pikirannya. Kebinekaan sudah
berlangsung berabad-abad, jauh sebelum negara ini terbentuk.14
MUI atau Majelis Ulama Indonesia merupakan institusi keagamaan
di Indonesia - negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia – yang
dianggap memiliki otoritas dalam bidang agama, beberapa tahun lalu,
tapatnya dalam MUNAS ke-7, yang berlangsung pada tanggal 26-29 Juli
2005,
mengeluarkan
fatwa
agama
pada
tanggal
29
Juli
yang
mengharamkan gagasan itu. MUI juga mengharamkan liberalisme
pemikiran dan sekularisme.Dalam pandangan MUI, pluralisme agama
adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama
dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap
pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang
benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan
13
Media Zainul Bahri, Satu Tuhan Banyak Agama: pandangan sufistik Ibn ‘Arabi, Rumi
dan Al-Jili (Jakarta: PT. Mizan Publika, 2011, cet. I), h. 370.
14
KH. Husein Muhammad, prolog dalam buku: Abd. Moqsith Ghazali, Argumen
Pluralisme Agama:Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an, h. xiii.
58
bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di
surga.15
Bagi MUI, paham pluralisme agama bertentangan dengan ajaran
Islam. Fatwa MUI didasarkan kepada ayat-ayat al-Qur‟an, di antaranya;
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat
Termasuk orang-orang yang rugi.” (Q.S. Ali Imran: 85), “Sesungguhnya
agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.”(Q.S. Ali Imran: 19),
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (Q.S. al-Kafirun: 6)
Selain itu, MUI juga mendasarkan kepada beberapa hadith di
antaranya: hadith yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (w. 262 H) dalam
kitab shahih Muslim, meriwayatkan Muhammad Rasulullah saw.,
bersabda16:
“Ðemi zat yang mengusai jiwa Muhammad. Tidak ada seorang pun
baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari umat
Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku
bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni neraka.”
Selain ayat-ayat Qur‟an dan hadith di atas, Nabi juga pernah
mengajak beberapa raja yang tidak beragama Islam melalui surat-surat
dakwah yang dikirimnya agar mereka masuk Islam, di antaranya: Kaisar
Heraklius, Raja Romawi yang beragama Nasrani, al-Najsyi raja Abesenia
yang beragama Nasrani, dan Kisra Persia yang beragama Majusi.
Pluralisme agama sangat berkaitan erat dengan wacana kebebasan
beragama dan berkeyakinan. Di Indonesia, tuntutan untuk menjamin
kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) sesungguhnya sudah tertera
15
Adnin Armas, Pluralisme agama dalam sorotan, dalam buku, pluralisme agama: telaah
kritis cendekiawan Muslim (Jakarta: INSISTS, 1434 H), h. xii.
16
Ibid, h. xiii.
59
dalam konstitusi negara seperti UUD 1945 pasal 29 (2), yaitu: “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya
itu”, dan pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945:17
a) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
b) Setiap orang berhak menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati
nuraninya.
Jaminan KBB tersebut ditegaskan kembali dalam pasal 22 UU No.
39 tentang HAM:18
a) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
b) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya
masing-masing
dan
untuk
beribadah
menurut
agamanya
dan
kepercayaannya itu.
Oleh karena itu, dengan adanya undang-undang ini, negara tidak
dibolehkan melakukan diskriminasi terhadap seluruh warga negara,
dengan beragam identitas suku, kultur, agama, jenis kelamin, ras dan lain
sebagainya dengan alasan apapun untuk mandapatkan jaminan itu.Tidak
hanya pemerintah, seluruh warga negara Indonesia berkewajiban
menegakkan konstitusi tersebut.
17
Sri hidayati, kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) dalam perspektif HAM,
dalam Center for study of religion and culture (CSRC). Modul Kebebasan Beragama & Integrasi
Sosial. (Jakarta: CSRC Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, t.t.), h. 29.
18
Ibid, h. 30.
60
Secara normatif memang pengakuan terhadap pluralisme agama bisa
ditemukan di dalam UUD tersebut. Namun dalam prakteknya, tentu ada
kalanya politik pengakuan pluralisme itu kehilangan pengaruhnya ketika
kelompok mayoritas terus menurus berusaha untuk menjadikan nilai-nilai
mereka sebagai nilai yang diterapkan dalam kehidupan bernegara; seperti
penerapan syariah Islam dalam peraturan daerah. Dalam kaitan ini adalah
penting pula untuk menegaskan bahwa regulasi yang hegemonik seperti itu
tentu saja bukan saja mengancam pluralisme agama, tetapi pada prinsipnya
memiliki potensi mengancam kebebasan beragama.19
Terlepas dari pro-konta di atas, melihat dari tujuan pluralisme
tersebut dalam membangun dan membina kebebasan beragama di
Indonesia adalah hal yang baik. Pluralisme hendak menyadarkan manusia
bahwa kemajemukan merupakan hal yang pasti dan tidak terhindari
terlebih di Indonesia. Gagasan pluralisme agama meniscayakan bukan
hanya pengakuan terhadap eksistensi dan hak agama-agama lain, tetapi
juga keterlibatan dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna
tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan.20 Oleh karena itu, bangsa
Indonesia harus menyikapinya dengan bijak. Sehingga bangsa Indonesia
dapat menghindar dari perpecahan yang menuju kehancuran.
Pluralisme agama memiliki beberapa kemungkinan pengertian yang
berbeda. Pertama, pluralisme diartikan sebagai pandangan atas agama
19
M. Amin Nurdin-Ismatu Ropi, Laporan Akhir Penelitian Kompetitif: Respon Kelompok
Non-Muslim Terhadap Perkembangan Sosial Keagamaan Islam Di Indonesia Paska Reformasi,
(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h. 68.
20
Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama:Membangun Toleransi Berbasis alQur’an, Cet. II (Depok: Katakita, 2009), h. 23.
61
sebagai satu hakikat namun dengan berbagai rupa dan bentuk. Kedua,
pluralisme diartikan sebagai esensi hakikat memiliki berbagai bentuk yang
terjelma dalam berbagai agama. Ketiga, pluralisme diartikan bahwa
hakikat terdiri dari berbagai unsur yang masing-masing dari unsur yang
ada tersimpan dalam sebuah agama. Dan keempat, pluralisme diartikan
sebagai saling menghormati antar pengikut umat beragama, toleransi sosial
antar umat beragama.21
Warga Kelurahan Lenteng agung tidak menafikan adanya Pluralisme
Agama di dalam kehidupan, hanya saja penempatannya yang perlu
disesuaikan. Ust. Thamrin yang merupakan tokoh agama menyatakan,
“Nonsenlah. Pluralisme ada dalam konteks yang berbeda. Kalau
untuk kerja bakti oke saya akui, Tapi kalau untuk dibenturkan dengan
agama, hanya Islam saja yang paling benar.”22
Oleh karena itu, makna pluralisme agama yang dikehendaki sebagian
kolempok Muslim Kelurahan Lenteng Agung adalah makna yang
keempat; pluralisme diartikan sebagai saling menghormati antar pengikut
umat beragama, toleransi sosial antar umat beragama. Berbeda dengan
paradigma yang dimiliki oleh para pluralis.
Paradigma pluralis berpendirian bahwa setiap agama memang punya
jalan sendiri-sendiri. Jalan-jalan menuju Tuhan beragam, banyak, dan tak
tunggal. Semuanya bergerak menuju yang satu, Tuhan. Tuhan yang Satu
memang tak mungkin dipahami secara tunggal oleh seluruh umat
21
Gunawan Adnan, Pluralisme Agama: Sebuah Tantangan Global, dalam buku: Refleksi:
Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Vol. XII (Jakarta: Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah,
No.1, 2010), h. 39.
22
Wawancara Pribadi dengan M. H. Tamrin pada 22 Desember 2014.
62
beragama. Karena itu, paradigma pluralis menegaskan bahwa yang lain itu
harus dipahami sebagai yang lain. Paradigma pluralis tak menilai agama
lain. Semua agama memiliki hak yang sama untuk tumbuh dan
berkembang, termasuk hak pemeluk agama untuk menjalankan agamanya
secara bebas. Yang lain tidak perlu dipaksa pindah agama sebagaimana
dikehendaki paradigma eksklusif, atau diakui sebagai orang terselamatkan
sekalipun berada di luar agama dirinya sebagaimana dinyatakan paradigma
inklusif. Dengan cara ini akan tercipta sikap saling mengakui dan saling
memercayai, tanpa ada kekhawatiran untuk dikonversikan kedalam agama
tertentu, baik secara halus maupun terang-terangan. Dengan ini terang
bahwa kaum pluralis tidak hendak menyatakan bahwa semua agama
adalah sama belaka.23
Menurut Cak Nur (panggilan akrab bagi Nurcholish Madjid), dalam
al-Qur‟an terdapat petunjuk yang dengan tegas menekankan bahwa
kemajemukan adalah suatu kepastian Allah (taqdir). Karena itu yang
diharapkan dari setiap umat beragama: menerima kemajemukan itu
sebagaimana adanya, kemudian menumbuhkan sikap bersama yang sehat,
menggunakan segi-segi kelebihan masing-masing, untuk secara maksimal
saling mendorong usaha mewujudkan berbagai kebaikan (al-khayrat)
dalam masyarakat. Sementara segala persoalan perbedaan, kata Cak Nur –
23
Gunawan Adnan, Pluralisme Agama: Sebuah Tantangan Global, dalam buku: Refleksi:
Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, h. 60.
63
misalnya perbedaan intraagama, apalagi yang menyangkut hakikat
perbedaan antaragama – diserahkan saja kepada Tuhan semata.24
Dengan demikian, pluralisme agama merupakan sistem nilai yang
memandang keberagamaan atau kemajemukan agama secara positif
sekaligus optimis dengan menerimanya sebagai kenyataan (sunnatullah)
dan berupaya agar berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu.
Dikatakan secara positif karena mengandung pengertian agar umat
beragama tidak memandang pluralitas agama sebagai kemungkaran yang
harus dibasmi. Dinyatakan secara optimis karena kemajemukan agama itu
sesungguhnya
sebuah
potensi
agar
setiap
umat terus
berlomba
menciptakan kebaikan di bumi.25
2. Toleransi terhadap kepemimpinan non-Muslim dan kebebasan berprofesi
Toleransi yang dalam bahasa Arab disebut al-tasamuh merupakan
salah satu ajaran inti Islam yang sejajar dengan ajaran lain, seperti kasih
(rahmat), kebijaksanaan (hikmat), kemaslahatan universal (mashlahat
‘ammat), keadilan („adl). Beberapa ajaran inti Islam tersebut merupakan
sesuatu yang – meminjam istilah ushul fiqh – qath’iyyat, yakni tak bisa
dibatalkan dengan nalar apa pun, dan kuliyyat, yaitu bersifat universal,
melintasi ruang dan waktu (shalih li kulli zaman wa makan).26
Kata al-tasamuh menjadi istilah mutakhir bagi toleransi. Bentuk akar
dari kata ini mempunyai dua macam konotasi: “kemurahan hati” (jud wa
24
Budhy Munawar-Rachman, Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid, Cet. I (Jakarta:
Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, 2007), h. 157.
25
Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama:Membangun Toleransi Berbasis alQur’an, h. 68.
26
Ibid, h. 215.
64
karam) dan kemudahan (tasahul). Karena itu, kaum Muslim di tanah Arab
berbicara tentang tasamuh al-Islam dan al-tasamuh al-din, dengan cara
yang sangat berbeda dari penggunaanya dalam bahasa Inggris. Sementara
kata “toleransi” menunjukkan adanya sebuah otoritas berkuasa, yang
dengan enggan “bersikap sabar” atau “membiarkan” orang lain yang
berbeda, istilah Arab justru menunjukkan kemurahan hati dan kemudahan
dari kedua belah pihak atas dasar saling pengertian. Istilah itu selalu
digunakan dalam bentuk resiprokal (hubungan timbal balik).27
Toleransi dapat dipahami sebagai sikap dan perilaku untuk
menerima sebagian atau seluruhnya atas perbedaan, baik yang berkaitan
dengan suku, ras, atau agama.28 Ketidak percayaan yang terus mengalir
kepada pemeluk agama lain akan terus menimbulkan intoleransi dalam
kehidupan bermasyarakat. Sedangkan di Indonesia dengan tingkat
pluralitas yang tinggi menuntut tingkat toleransi yang tinggi pula agar
tercipta kerjasama antar umat beragama yang harmonis.
Menurut Said Aqil Siraj, semangat pluralis, semangat toleransi atau
saling menghargai antar umat beragama harus terus diperjuangkan dan
dipupuk. Bukan hanya bersikap toleran, tapi juga harus memahami betul
budaya mereka. Dalam kitab Fath al-Mu’in, dalam Fashl fi al-Jihad, jihad
adalah fardu kifayah, ada empat macam: mengajak manusia berjuang agar
semua beriman kepada Allah; menjalankan syariat Islam; siap berkorban
27
Muhammad Abdul Halim, Menafsirkan Al-Quran dengan Metode: Menafsirkan AlQuran dengan Al-Quran, Cet. III (Bandung: Marja, 2012), h. 104.
28
M. Amin Nurdin-Ismatu Ropi, Laporan Akhir Penelitian Kompetitif: Respon Kelompok
Non-Muslim Terhadap Perkembangan Sosial Keagamaan Islam Di Indonesia Paska Reformasi, h.
48.
65
demi kebenaran; kemudian memberi perlindungan kepada orang yang
baik-baik. Baik dia Muslim atau non-Muslim29
Bagi Nurcholish madjid sebagai misal sikap toleransi Islam memang
berpijak pada semangat humanitas dan universalitas Islam sendiri. Islam
merupakan agama kemanusiaan (fitrah), dan cita-cita Islam sejalan dengan
cita-cita kemanusiaan pula. Menurut Nurcholish, secara etimologi istilah
“Islam” sendiri berarti sebuah kepasrahan kepada Tuhan yang karena itu ia
percaya bahwa setiap agama pasti mengajarkan kepasrahan kepada Tuhan.
Sikap ini pada ujungnya akan mengantarkan pada penghargan terhadap
kelompok dan agama lain karena setiap kelompok itu memiliki kesamaan
sikap kepasrahan kepada Tuhan.30
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Abdurrahman Wahid yang
melihat bahwa Universalisme dan Kosmopolitanisme ajaran Islam
memang memberikan kesejatian kepada semua kelompok yang ada.
Menurutnya, inilah cita-cita toleransi Islam yang memberikan jaminan
kepada semua kelompok dan warga berdasarkan lima dasar jaminan utama
yakni pertama, jaminan keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan
badani di luar ketentuan hukum; kedua, jaminan keselamatan keyakinan
agama masing-masing tanpa ada paksaan untuk berpindah agama; ketiga,
jaminan keselamatan atas keluarga dan keturunan; keempat, jaminan
29
Said Aqiel Siradj, dalam buku: Budi Munawar-Rahman(ed), membela kebebasan
beragama: buku 4, Cet. 1 (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), t.t.), h. 1415.
30
M. Amin Nurdin-Ismatu Ropi, Laporan Akhir Penelitian Kompetitif: Respon Kelompok
Non-Muslim Terhadap Perkembangan Sosial Keagamaan Islam Di Indonesia Paska Reformasi, h.
57.
66
keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum; dan
kelima, bagi keselamatan untuk memilih profesi pekerjaan.31
Lima jaminan tersebut merupakan landasan utama bagaimana umat
Islam di Indonesia dapat bersikap toleran terhadap keberadaan nonMuslim. Khusus dalam penelitian ini, jaminan yang ke-5 adalah sesuatu
yang harus dipahami seluruh umat Islam, khususnya bagi masyarakat
Indonesia yang heterogen.
Kebebasan seseorang dalam memilih profesi apapun termasuk
menjadi seorang pemimpin atau presiden di Indonesia telah disahkan
dalam pasal 6 ayat (1) UUD 1945 yang hanya mencantumkan tiga syarat
untuk menjadi calon presiden RI, yaitu:32
1) Harus warga negara RI sejak kelahirannya dan tidak pernah
menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri,
2) Tidak pernah menghianati negara, dan
3) Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban sebagai presiden.
Berdasarkan UUD tersebut jelas sudah bahwa hak untuk menjadi
seorang pemimpin – jangankan sebagai pimpinan daerah, menteri bahkan
menjadi seorang pemimpin setingkat presiden pun di benarkan– di
Indonesia tidak hanya menjadi hak seorang Muslim semata. Oleh karena
31
Ibid, h. 58.
KH.Salahuddin Wahid, Prolog: Presiden Non-Muslim di Indonesia, Mungkinkah?,
dalambuku: Dr. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag, Presiden Non Muslim di Negara Muslim: Tinjauan
Dari Perspektif Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2006), h. viii.
32
67
itu, toleransi di Indonesia amat dibutuhkan untuk dapat menerapkan
kesepakatan bersama yang tercantum dalam undang-undang.
Nampaknya pandangan toleransi yang demikian tidak berlaku bagi
sebagian kelompok Muslim Lenteng Agung yang memberikan syarat
utama bagi seorang pemimpin adalah harus seorang Muslim. Menurut
mereka toleransi hanya bergerak di bidang muamallat; seperti berdagang,
bertetangga, dsb. Namun jika sudah masuk keranah akidah tidak ada kata
toleransi. Ust. Thamrin mengatakan: 33
“Dalam urusan akidah tidak bisa (tidak ada toleransi), tapi dalam
urusan interaksi sosial (bisa). Disini juga ada non muslim kita berlakukan.
Islam tidak masuk dalam muamallat. Ucapan salam itu tidak boleh,
termasuk ucapan selamat natal, saya yang termasuk tidak membolehkan.”
Oleh karena itu, toleransi menurut sebagian kelompok Muslim di
kelurahan Lenteng Agung harus memiliki batasan. Hal tersebut bukan
berarti menghendaki permusuhan di antara setiap pemeluk agama yang
berbeda, namun lebih untuk menjaga kemurnian identitas mereka sebagai
Muslim. Mereka menghargai setiap hak yang dimiliki oleh masyarakat lain
yang berbeda keyakinan, bahkan kewajiban mereka sebagai tetangga pun
tetap dilakukan meskipun antar pemeluk agama; seperti takziyah kepada
orang yang salah satu keluarganya terkena mushibah, terlebih khusus
kematian atau biasa disebut dengan istilah nyelawat. Sebagaimana yang
dikatanya:
“Jual-beli, muammalat, berinteraksi sosial, bertetangga, non-Muslim
mempunyai hak itu. Jadi dia berikan selamat kalo dia senang, dan berikan
ucapan belasungkawa kalo dia (terkena) musibah. Jadi kalo ada orang non33
Wawancara Pribadi dengan M. H. Thamrin.
68
Muslim meninggal ya nyelawat, bahasa kita, kalo bahasa dia kan bukan
itu. Takziah kan al-amru bi shobri, memberikan kata sabar ya neng,
meskipun dia non-Muslim”.34
3. Kepemimpinan non-Muslim Menurut Kelompok Muslim di Lenteng
Agung
Supaya hubungan antar manusia di dalam suatu masyarakat
terlaksana sebagaimana diharapkan maka dirumuskanlah norma-norma
masyarakat. Norma adalah aturan bersama tentang perilaku sosial yang
boleh dan tidak boleh.35 Norma juga dapat diartikan sebagai standarstandar yang diakui bersama oleh anggota sebuah kelompok, dan norma
suatu kelompok memiliki suatu karakteristik yang dianggap penting bagi
anggota-anggotanya. norma dapat saja berbentuk tertulis, tapi seringkali
dapat dikomunikasikan secara lisan kepada anggota-anggota lainnya.36
Mula-mula norma-norma tersebut terbentuk secara tidak disengaja.
Namun lama-kelamaan norma-norma tersebut dibuat secara sadar. Normanorma yang ada di dalam masyarakat, mempunyai kekuatan mengikat
yang berbeda-beda. Ada norma yang lemah, yang sedang sampai yang
kuat daya ikatnya. Pada yang terakhir, umumnya anggota-anggota
masyarakat tidak berani melanggarnya. Untuk dapat membedakan
34
Wawancara Pribadi dengan M. H. Thamrin.
M. Amin Nurdin, Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi: Pengantar Memahami KonsepKonsep Sosiologi, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 64.
36
John M. Ivancevich, DKK, Perilaku Dan Manajemen Organisasi Edisi Ketujuh Jilid 2
(Jakarta: Erlangga, 2012), h. 12.
35
69
kekuatan mengikat norma-norma tersebut, secara sosiologis, dikenal
adanya empat pengertian, yaitu:37
a. Cara (usage)
Cara (usage) lebih menonjol di dalam hubungan antar individu
dalam masyarakat. Suatu penyimpangan terhadapnya tidak akan
mengakibatkan hukuman yang berat, akan tetapi hanya sekedar celaan
dari individu yang dihubunginya. Misal cara minum dan makan.
b. Kebiasaan (folkways)
Kebiasaan (folkways) mempunyai kekuatan mengikat yang lebih
besar dari pada cara (usage). Kebiasaan diartikan sebagai perbuatan
yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama, merupakan bukti bahwa
orang banyak menyukai perbuatan tersebut. Misal kebiasaan memberi
hormat kepada yang lebih tua.
c. Tata kelakuan (mores)
Tata kelakuan (mores) merupakan kelanjutan dari kebiasaan yang
tidak semata-mata dianggap sebagai cara perilaku saja, akan tetapi
bahkan diterima sebagai norma-norma pengatur. Tata kelakuan
dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar maupun tidak sadar,
oleh masyarakat terhadap anggota-anggotaya. Tata kelakuan, di satu
pihak memaksakan suatu perbuatan dan di lain pihak melarangnya,
sehingga secara langsung merupakan alat agar anggota masyarakat
menyesuaikan perbuatan-perbuatannya dengan tata kelakuan tersebut.
37
Soerjono Sukanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1998, cet. xxv), h. 220.
70
d. Adat-istiadat (custom)
Tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan polapola prilaku masyarakat, dapat meningkat kekuatan mengikatnya
menjadi custom atau adat-istiadat.
Anggota masyarakat yang
melanggar adat-istiadat, akan menderita sanksi yang keras yang
kadang-kadang secara tidak langsung diperlakukan. Misal: Perceraian
di daerah Lampung.
Kepemimpinan adalah masalah relasi dan pengaruh antara pemimpin
dan yang dipimpin. Kepemimpinan tersebut muncul dan berkembang
sebagai hasil dari interaksi otomatis di antara pemimpin dan individuindividu yang dipimpin (ada relasi interpersonal).38 Kepemimpinan adalah
proses di mana individu memengaruhi sekelompok individu untuk
mencapai tujuan bersama.39
Keharusan seorang Muslim dalam menanggung kepemimpinan di
Kelurahan Lenteng Agung bagi sebagian kelompok Muslim di Kelurahan
Lenteng Agung bukanlah sesuatu yang muncul tanpa proses sejarah yang
panjang. Sejak dahulu sebelum istilah Lurah muncul yang saat itu disebut
sebagai Bek seluruhnya beragama Islam, bahkan zaman pemerintahan
kolonial Belanda pun tidak berani menempatkan seorang pemimpin nonMuslim di Lenteng Agung. Hingga kemudian Lurah Susan muncul sebagai
38
Kartini kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Pemimpin Abnormal itu?,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001, cet. IX), h. 5.
39
Peter G. Northouse, Kepemimpinan: Teori dan Praktek, (Jakarta: PT Indeks, 2013, ed.
VI), h. 5.
71
Lurah di Kelurahan Lenteng Agung merupakan sesuatu yang berbenturan
dengan kebiasaan yang ada. H. Ya‟qub menyatakan:40
“Mulai dari Bek (sebelum penyebutan lurah) sampe lurah sebelum
Lurah Susan, Lurah di Lenteng Agung semua beragama Islam.”
Begitu pula yang disampaikan oleh Ustad Thamrin:41
“Pemimpin non-Muslim saja sudah melanggar norma Lenteng
Agung. Dari zaman penjajah saja tidak berani meletakkan pemimpin nonMuslim di Lenteng Agung.”
Faktor sejarah tersebut saat ini sudah menjadi acuan bersama untuk
menentukan seorang pemimpin bagi mereka. Jika ditinjau dari sudut
pandang kekuatan ikatan norma yang berlaku di sebagian kelompok
Muslim di Kelurahan Lenteng Agung, norma tersebut telah menjadi
pengatur sosial atau dapat disebut sebagai tata kelakuan (mores).
Merupakan hal yang alami jika terjadi penolakan terhadap kepemimpinan
non-Muslim, karena norma tersebut telah menjadi alat agar anggota
masyarakat dapat menentukan siapa yang sesuai untuk menjadi pemimpin
di Kelurahan Lenteng Agung.
Sehingga meskipun kompetensi kepemimpinan merupakan harapan
bagi sebagian kelompok Muslim di Kelurahan Lenteng Agung, namun
syarat sebagai Muslim adalah prinsip yang tidak dapat dihilangkan. Seperti
yang disampaikan oleh Ustad Thamrin yang mengatakan nilai-nilai
kepemimpinan tentu harus ada seperti integritas, amanat, tabligh dalam arti
menyampaikan yang benar dan adil. Namun ketika ditanya mengenai
40
41
Wawancara Pribadi dengan Ya‟qub Shabirin.
Wawancara Pribadi dengan M. H. Thamrin.
72
kriteria utama untuk menjadi seorang Lurah di Lenteng Agung, beliau
menjawab:42
“Orang Muslim lah.”
Ketegasan tersebut tidak hanya bersandar pada faktor sejarah, namun
juga diperkuat dengan adanya ajaran yang menolak kepemimpinan nonMuslim dalam Al-Quran, meskipun mereka menyadari terdapat perbedaan
penafsiran, namun tetap menjadikan Muslim sebagai kriteria utama untuk
menjadi seorang Lurah. Sesuai dengan ungkapan Ustad Thamrin:43
“Itu sudah menjadi prinsip. Respons kelompok lenteng agung tidak
terima karena sudah prinsip bahkan dogma agama berbicara itu. Ketika
interpretasi berbeda-beda urusan dua belas. Landasan penolakan Lenteng
Agung pertama, dogma agama. Kedua, adat istiadat/budaya. Di sini
masyarakat religius bahkan naik jabatan saja tasyakuran. Di sini disebut
kota santri. Berkenaan dengan legowo tentunya pergerakan kita juga
dibatasi oleh data yang lain, terdapat hadits man roa minkum munkaron ila
anqol wakadzalika adh’aful iman. Jadi dari sekian rangkaian berarti kita
udah ikhtiar. Ketika kita melihat kemungkaran, kemungkaran apa, nonMuslim, ini merupakan kemungkaran masa kita ridho. Saya demo saya
bawa anak istri saya biar dia menyaksikan kalau kita sudah berusaha
meskipun tidak berhasil, Allah tidak tuli untuk membalas.”
Keadaan seperti ini memberikan kesan bahwa penempatan Lurah
susan merupakan bukti bahwa pemerintah bermain pada wilayah
keyakinan. Hal ini terlihat dari ungkapan Ustad Thamrin:44
“Pemerintah bermain-main diranah kepercayaan. Seharusnya
pemimpin (Jokowi-Ahok) melihat (nilai yang terkandung dalam) proses
pembuatan pancasila oleh para founding fathers, khususnya dalam sila
pertama; dimana mereka (founding fathers) mengubah sila pertama karena
melihat adanya non-Muslim di Indonesia. Hukum di Indonesia ada dua,
Yuridis formal dan yuridis normatif. Ketika (yuridis formal) dibenturkan
dengan yuridis normatif harus nyerah. Contoh: UU pornografi dan
42
Wawancara Pribadi dengan M. H. Thamrin.
Wawancara Pribadi dengan M. H. Thamrin.
44
Wawancara Pribadi dengan M. H. Thamrin.
43
73
pornoaksi yang tidak berlaku di daerah yang adat istiadatnya mandi di
kali.”
Selain dibagi berdasarkan kekuatan ikatan, ada 4 macam norma yang
dibagi tergantung pada tingkat kompromi yang diperlukan: 45
a. Laws
Laws adalah norma yang dijalankan oleh lembaga hukum.
Perbedaan mencolok dengan ketiga norma lainnya adalah laws itu
merupakan norma formal, yakni tertulis secara eksplisit dalam
sebuah aturan atau undang-undang dan dilaksanakan oleh
lembaga kepolisian, militer dan kehakiman.
b. Mores
Mores (baca: morays) adalah adat istiadat, yakni bentuk
norma yang jika dilanggar akan melahirkan sanksi negatif yang
kuat. Pelanggaran terhadapnya akan menimbulkan kejahatan
moral, seperti mencuri, berbohong, membunuh dan sejenisnya.
c. Folkways
Folkways adalah kebiasaan, yakni bentuk norma yang tingkat
komprominya lemah. Folkways itu merupakan kebiasaan umum
yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari tanpa ada tekanan
untuk melakukannya. Misalnya, memakai sandal hendaknya
sepasang, makanlah apa yang didekat kita saat makan bersama,
dan lain sebagainya.
45
M. Amin Nurdin, Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi: Pengantar Memahami KonsepKonsep Sosiologi, h. 64.
74
d. Taboo
Taboo adalah praktik sosial yang sangat dilarang. Ia adalah
bentuk norma sosial yang paling kuat. Misal incest taboo, yakni
melakukan seks antara bapak dengan anak perempuan, ibu
dengan anak laki-lakinya, saudara laki-laki dengan saudara
perempuannya, serta bentuk hubungan yang sejenis.
Dari keempat kriteria tersebut, maka kepemimpinan non-Muslim
bagi sebagian kelompok Muslim di Kelurahan Lenteng Agung merupakan
praktik sosial yang sangat dilarang (taboo). Praktik sosial tersebut menjadi
sangat dilarang karena telah mengusik beberapa kebutuhan hidup
kelompok Muslim di Kelurahan Lenteng Agung, baik sengaja maupun
tidak. Yakni Kebutuhan transmisi budaya dan kebutuhan perlindungan.
Karena untuk bisa bertahan hidup, semua masyarakat harus bisa
memenuhi
kebutuhan-kebutuhan
dasar
tertentu,
yang
kalangan
fungsionalis menyebutnya dengan istilah prasayarat fungsional (functional
prerequisites). Kebutuhan-kebutuhan itu diantaranya:46
1) Kebutuhan subsistens; kebutuhan jasmaniyah: makan, minum,
dsb.
2) Kebutuhan
distribusi;
pendistribusian
subsistens
keseluruh
anggota masyarakat (bayi dan anak kecil membutuhkan orang lain
untuk menyuplai makanan mereka)
46
Ibid, h. 35-36.
75
3) Kebutuhan reproduksi biologis; agar masyarakat tetap eksis dan
survive: melalui pernikahan
4) Kebutuhan transmisi budaya; kebiasaan, nilai-nilai, ide-ide agar
terus bertahan atau berlanjut
5) Kebutuhan perlindungan; menghindari tindakan yang merusak
dan perlindungan dari ancaman luar
6) Kebutuhan untuk komunikasi; untuk memenuhi semua kebutuhan
di atas, anggota masyarakat perlu mengomunikasikannya dengan
sesama anggota lainnya.
Tidak terpenuhinya kebutuhan transmisi budaya dalam konteks
penelitian ini, yakni norma mengenai kepemimpinan dan kebutuhan
perlindungan akan tindakan yang merusak norma yang berlaku maka tentu
sebagian kelompok Muslim di Kelurahan Lenteng Agung butuh untuk
mengomunikasikannya dengan pemerintah sebagai sesama anggota
masyarakat DKI Jakarta dengan melakukan demo yang selama ini tetap
dalam keadaan kondusif. Meskipun pada akhirnya tetap tidak dihiraukan,
karena sikap legowo yang dimiliki, menuntun mereka untuk tidak
melakukan tindakan anarkhis.
4. Keadilan dan Kesetaraan
Telah dibahas pada bab sebelumnya, bab II, bagaimana sebenarnya
Islam memandang keterlibatan warga non-Muslim dalam kepemimpinan.
Selain terdapat surat mumtahinah ayat 8-9 yang menjelaskan beberapa
ayat yang melarang kepemimpinan non-Muslim, terdapat pula ayat-ayat
76
yang menjelaskan bagaimana seharusnya seorang Muslim memperlakukan
manusia lainnya.
Islam bukanlah agama yang hanya memperhatikan nilai-nilai
ketauhidan yang merupakan kewajiban penganutnya dalam hubungan
vertikal, namun juga, Islam mengajarkan penganutnya dalam menjalani
hubungan horizontal (sesama makhluk / manusia). Salah satu sikap yang
harus di miliki oleh seorang Muslim adalah perlakuan adil atau
memberikan perlakuan yang sama bahkan terhadap musuh atau orang yang
dibenci sekali pun. Hal ini tergambar dalam beberapa firman Allah swt.:
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benarbenar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap
dirimu sendiri, ibu-bapak dan kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, maka
Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu yang kamu
kerjakan.” (Q.S. An-Nisa: 135)
Terdapat pula ayat lain yang menjelaskan pentingnya keadilan dan
persamaan dengan ketakwaan seorang Muslim, yakni surat Al-Maidah
ayat 8:
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu Jadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan
adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu
lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Maidah: 8)
Dalam ayat lain juga terdapat perintah Allah untuk berlaku adil dan
melarang permusuhan.
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
77
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (Q.S. An-Nahl: 90)
Dalam ayat lain juga dijelaskan:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan
membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama
mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat
melaksanakan keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat
kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka
mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang
menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak dilihatnya.
Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Q.S. Al-Hadid: 25)
Perkataan “adil” berasal dari kata Arab yang berarti seimbang dan
proporsional. Kata tersebut ada hubungannya dengan kata Arab lainnya al‘idl, yang artinya salah satu bakul gandaran yang dipikul oleh petani atau
yang dibawa di atas punggung unta. Kalau orang memikul dua buah bakul
dengan sebuah gandar (kayu pemikul) di mana salah satu bakul diletakkan
di muka dan yang lainnya diletakkan di belakang, maka berat kedua bakul
itu harus seimbang agar ia dapat dipikul; jika tidak orang tersebut tidak
dapat memikulnya. Bakul tersebut disebut al-‘idl karena ia seimbang satu
sama lain sehingga dapat dipikul atau diletakkan di atas punggung unta.
Jadi keadilan itu secara harfiah menggambarkan adanya perimbangan yang
proporsional.47
Perintah berbuat adil dalam ayat-ayat di atas sangat umum,
karenanya berlaku juga dalam hubungan antar umat beragama. Al-Ustadz
Muhammad Abu Zahrah menyatakan bahwa semua hubungan antar
manusia dalam Islam berasaskan keadilan, bahkan keadilan terhadap
47
Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
Tafsir Tematik Al-Qur’an Tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama,(Yogyakarta: Pustaka
SM, 2000), h. 55.
78
musuh sekalipun. Lawan dari keadilan adalah ketidakadilan (kezaliman),
dan nabi Muhammad dalam sebuah hadits Qudsi menyatakan bahwa Allah
berfirman: 48
“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan
ketidakadilan (kezaliman) atas diri-Ku dan Aku telah menjadikannya
haram di antara sesamamu. Oleh karena itu janganlah kamu saling
manzalimi (berlaku tidak adil). (H.R. Muslim dan Ahmad)
Cabang dari asas keadilan adalah prinsip perlakuan yang sama (almu’amalah bi al-mitsl). Perlakuan yang sama itu adalah bagian dari
prinsip keadilan yang berlaku dalam hubungan dan pergaulan antar
manusia baik pada level individual maupun pada level kelompok.
Menegaskan asas ini Nabi meriwayatkan yang terjemahannya49:
“Perlakukanlah manusia
diperlakukan.” (H.R. Hakim)
dengan
cara
yang
kamu
ingin
Beberapa ayat dan hadits di atas telah menjelaskan kepada seluruh
Muslim bagaimana seharusnya berinteraksi dengan sesama manusia, tidak
hanya sesama Muslim, namun juga kepada non-Muslim.
Dari sudut pandang al-Qur‟an, setiap orang yang tidak adil kepada
dirinya sendiri atau kepada orang lain adalah zalim. Dalam bahasa seharisehari, orang yang zalim hanyalah orang yang menyimpangkan hak-hak
orang lain. Tetapi menurut terminologi Qur‟ani, orang yang zalim adalah
orang yang tidak adil terhadap diri sendiri.50
48
Ibid, h. 56.
Ibid, h. 57.
50
M. Sidi Ritaudin, Agama dalam Negara: Politik Islam Indonesia Kontemporer, dalam
buku: Refleksi: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, (Jakarta: Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah, Vol. XI, No. 2, 2009), h. 160.
49
79
Selain ayat-ayat Qur‟an di atas, sebagai negara religius yang
bertumpu pada Pancasila dan UUD-1945 maka gaya kehidupan
bermasyarakat tidak boleh bersikap zalim dan tidak adil dalam
melaksanakannya. Maka Pancasila dijadikan sebagai moral bangsa.
Terdapat dua sila dalam Pancasila yang menyangkut tentang adil; sila kedua dan sila ke-lima. Sila ke-dua menyatakan, kemanusiaan yang adil dan
beradab. Ini berarti, tidak sewenang-wenang, dan bisa tepa selira,
mencintai sesama manusia. Tanpa ada diskriminasi; dan sama hak serta
kewajiban asasi selaku manusia. Toleran terhadap sesama, saling
menghormati; mampu melakukan kegiatan-kegiatan manusiawi dan
kerjasama dengan bangsa-bangsa lain. Sedangkan sila ke-lima, Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini berarti hidup sederhana,
mengamalkan kelebihan untuk menolong orang lain, menghargai kerja
yang bermanfaat; dan ada keadilan yang lebih merata di segala bidang
kehidupan.51
Kelompok Muslim di Lenteng Agung pun meyakini nilai tersebut
dan menerapkannya dalam kehidupan. Ia mengartikan adil dengan definisi
wadh’usy syai fi mahallihi, yakni menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Hal ini menjelaskan mengapa mereka selalu memberikan batasan dalam
segala urusan terlebih dalam akidah. Pandangan ini dapat terlihat juga dari
pendapat mereka mengenai pluralisme agama dan toleransi di atas. Dengan
demikian nilai keadilan bagi mereka sama pentingnya bagi umat islam
51
Ibid, h. 162
80
bahkan umat agama yang lain, hanya saja definisi keadilan yang berbeda.
Sehingga bagi mereka penempatan pemimpin non-Muslim di Kelurahan
Lenteng Agung dinilai sudah tidak memiliki nilai keadilan bagi mereka
yang memiliki nilai dan norma keagamaan Islam yang sangat kental dan
menyatu dalam kehidupan sehari-hari.
“Tetap sesuai dengan definisi wadh’ussyai fi mahallihi. Dalam
penempatan kepemimpinan non-muslim di Lenteng Agung sudah tidak
adil”.52
52
Wawancara Pribadi dengan M. H. Thamrin.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian maka penulis menyimpulkan bahwa
respons kelompok Muslim di Kelurahan Lenteng Agung adalah melarang dan
antipati terhadap kepemimpinan non-Muslim.
Respons tersebut muncul karena di Indonesia tidak hanya norma yang
berbentuk aturan hukum (Law) yang berlaku. Sejarah dan kekuatan nilai-nilai
serta ajaran agama yang kuat dijalankan dalam kehidupan sehari-hari juga
dapat menjadi semacam norma pengatur tata kelakuan (mores). Seperti yang
terjadi di Kelurahan Lenteng Agung. Menurut kelompok Muslim di Kelurahan
Lenteng Agung, kepemimpinan non-Muslim periode 2013-2014 adalah sesuatu
yang sangat dilarang atau disebut dengan istilah taboo.
Norma tersebut muncul karena semenjak zaman dahulu pemimpin
mereka adalah Muslim, ajaran agama yang mereka pahami juga melarang hal
tersebut. Selain itu, di Kelurahan Lenteng Agung, tradisi-tradisi keislaman
masih dipegang kuat serta agama masih menjadi pegangan utama sehingga
Kelurahan Lenteng Agung disebut sebagai “Kota Santri Jakarta Selatan”
Meskipun beberapa corak masyarakat tradisional – seperti mata pencaharian,
serta ikatan sosial yang mulai mengendur, namun mereka tidak dapat disebut
sebagai masyarakat modern. Keadaan masyarakat yang demikian dalam
sosiologi disebut sebagai masyarakat transisi.
81
82
Ada pun aksi damai menolak kepemimpinan non-Muslim adalah suatu
bentuk kebutuhan untuk komunikasi kepada pemerintah bahwa kebutuhan
transmisi budaya dan kebutuhan perlindungan atas rusaknya norma yang
berlaku di masyarakat.
B. Saran
Keadaan Indonesia sebagai negara yang multikultural seharusnya
menjadi salah satu pertimbangan kelompok Islam dalam menafsirkan dalil-dalil
agama untuk dijadikan aturan hidup. Sehingga hukum yang digunakan dapat
menyatukan setiap elemen masyarakat Indonesia baik tingkat nasional maupun
regional. Namun melihat keadaan kelompok Islam di Kelurahan Lenteng
Agung yang berada dalam tahap transisi dan dikenal sebagai “Kota Santri
Jakarta Selatan” seharusnya pemerintah lebih arif dalam menentukan
kebijakan.
Melalui penelitian ini penulis mengkritisi kebijakan sistem lelang yang
dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta periode Joko Widodo sebagai
Gubernur. Menurut penulis sistem lelang telah yang mengesampingkan nilainilai serta norma-norma yang terdapat di masyarakat. padahal sesungguhnya
kepuasan masyarakat terhadap norma yang ada dapat dijadikan salah satu
faktor integrasi sosial.
Sebaliknya, penulis secara khusus mengapresiasi kebijakan pemerintah
DKI Jakarta yang dipimpin Basuki Tjahaja Purnama yang menggeser Lurah
Susan Jasmine Zulkifli ke Gondangdia. Karena dalam kepemimpinan tidak
hanya kompeten seorang pemimpin yang menentukan, namun harmonisasi
83
antara pemimpin dan warganya, menurut penulis, adalah sesuatu yang lebih
urgen untuk mencapai tujuan bersama.
Diperlukan sosialisasi yang holistik untuk dapat merubah norma dalam
masyarakat menjadi sesuatu yang dapat mendukung setiap pergerakan
pemerintah untuk dapat mencapai kepentingan bersama. Pemanfaatan FKUB
seharusnya dapat menjadi jembatan pemerintah untuk dapat bersosialisasi
dengan masyarakat. Sehingga wawasan masyarakat dapat meningkat sesuai
dengan kepentingan bersama.
Secara akademis, penulis menyarankan agar pembaca dapat melanjutkan
penelitian dalam skripsi ini. Tidak hanya muatan diskursus kepemipinan di
Indonesia yang masih panjang untuk dijabarkan, namun pembuktian Kelurahan
Lenteng Agung sebagai Kota Santri Jakarta Selatan juga perlu dibuktikan
secara luas. Begitupun peran FKUB dalam peningkatan wawasan masyarakat
beragama.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, Gunawan. Pluralisme Agama: Sebuah Tantangan Global dalam Refleksi:
Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Vol. XII, No.1. Jakarta: Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah, 2010.
Ahmadi, Abu. dkk. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991.
Ali, H.M. Sayuthi. “Metodologi Penelitian Agama”. Jakarta: PT Raja Grafindo,
2002.
Armas, Adnin (Peny). Pluralisme Agama: Telaah Kritis Cendekiawan Muslim.
Jakarta: INSISTS, 1434 H.
Badudu, J.S. dan Zain, Sotan Muhammad. Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet.
I. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1994.
Bagian 4:Perkembangan Kehidupan Masyarakat Indonesia. Diakses pada 09
Januari
2015
dari
http://file.upi.edu/Direktori/
FPIPS/UR._PEND.GEOGRAFI /19610323198603 1R._GURNIWAN_
KAMIL_PASYA/SMI-4.pdf.
Bahri, Media Zainul. Satu Tuhan Banyak Agama: pandangan sufistik Ibn „Arabi,
Rumi dan Al-Jili, cet. I. Jakarta: PT. Mizan Publika, 2011.
Bashri, Rasyidul, Kajian Diklat Terhadap Strategi dan Metode Penyuluhan
Agama Islam, diakses pada 09-01-2015, pukul 18.20 WIB, dari
http://sumbar.kemenag.go.id/file/file/ArtikelWidyaiswara/qgdj1384839462.
pdf.
Hidayati, Sri. kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) dalam perspektif
HAM dalam Center for study of religion and culture (CSRC). Modul
Kebebasan Beragama & Integrasi Sosial. Jakarta: CSRC Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, t.t.
Echols, John M. dan Shadily, Hassan. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT.
Gramedia.
Fachruddin, Fuad Mohd. Pemikiran Politik Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1988.
Ghazali, Abd. Moqsith. Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi
Berbasis al-Qur‟an, cet. II. Depok: Katakita, 2009.
Halim, Muhammad Abdul. Menafsirkan Al-Quran dengan Metode: Menafsirkan
Al-Quran dengan Al-Quran, cet. III. Bandung: Marja, 2012.
Hanafi, Muchlis M., et.al. Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia: Tafsir
Qur‟an Tematik, cet. V. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an,
2010.
Hartomo dan Aziz, Arnicun. MKDU Ilmu Sosial Dasar, cet. II. Jakarta: Bumi
Aksara, 1992.
Hatta, Ahmad. Tafsir Qur‟an Perkata: Dilengkapi Dengan Asbabun Nuzul &
Terjemah. Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2010.
84
85
Husaini, Adian. Solusi Damai Islam Kristen di Indonesia. T.tp: Pustaka Da’i,
2003.
Huwaydi, Fahmi. Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat Madani: Isu-isu Besar
Politik Islam. T.tp: Mizan, 1993.
Ivancevich, John M. dkk. Perilaku Dan Manajemen Organisasi Edisi Ketujuh
Jilid 2. Jakarta: Erlangga, 2012.
Kartodirdjo, Sartono. Kepemimpinan Dalam Dimensi Sosial. Jakarta: LP3ES.
1984.
Kartono, Kartini, Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Pemimpin Abnormal
itu?, cet. IX. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.
Khaliq, Farid Abdul. Fikih Politik Islam. Jakarta: Amzah, 2005.
Leigh, Andrew K. Leadership and Aboriginal Reconciliation. Diakses pada 05
Januari 2015, dari http://andrewleigh.org//pdf/Leadership%20&%20
Reconciliation%20text% 20only.pdf.
Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF). Membela Kebebasan Beragama:
buku 4, cet. I. Jakarta: LSAF, t.t.
Lubis, M. Ridwan. Melacak Akar Paham Teologi di Indonesia, makalah studium
general fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu, 10
Desember 2014.
Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat
Muhammadiyah. Tafsir Tematik Al-Qur‟an Tentang Hubungan Sosial
Antarumat Beragama. Yogyakarta: Pustaka SM, 2000.
Meinarno, Eko A. dkk. Manusia Dalam Kebudayaan dan Masyarakat:
Pandangan Antropologi dan Sosiologi, Edisi 2. Jakarta: Salemba Humanika,
2011.
Munawar, Budi dan Rahman. ed. Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid, cet. I.
Jakarta: Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, 2007.
Northouse, Peter G. Kepemimpinan: Teori dan Praktek, ed. VI. Jakarta: PT
Indeks, 2013.
Nurdin, M. Amin dan Ropi, Ismatu. Laporan Akhir Penelitian Kompetitif: Respon
Kelompok Non-Muslim Terhadap Perkembangan Sosial Keagamaan Islam
Di Indonesia Paska Reformasi, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah, 2010.
Nurdin, M. Amin dan Abrori, Ahmad. Mengerti Sosiologi: Pengantar Memahami
Konsep-Konsep Sosiologi. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.
Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Laporan Tahunan tahun
2013, kelurahan Lenteng Agung, Jagakarsa Jakarta Selatan.
Qaradhawi, Yusuf Al-, Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik: Bantahan
Tuntas Terhadap Sekularisme dan Liberalisme, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2008.
86
Ringkasan Materi Sosiologi. Diakses pada 09 Januari 2015 dari http://history
1978.files.wordpress.com/2008/08/ringkasan-materi-sosio-antro-smtgenap.Pd f.
Ritaudin, M. Sidi. Agama dalam Negara: Politik Islam Indonesia Kontemporer dalam
Refleksi: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Vol. XI, No. 2. Jakarta: Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, 2009.
Schumann, Olaf H. Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan.
Jakarta: Gunung mulia, 2009.
Shihab, M. Quraish. Lentera Al-Quran: Kisah dan Hikmah Kehidupan. Bandung:
PT Mizan Pustaka, 2008.
Soekanto, Soerjono. Kamus Sosiologi, Cet. III. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. 1993.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar, cet. XV. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1998.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia (UI-Press), 1993.
Syarif, Mujar Ibnu. Presiden Non Muslim di Negara Muslim: Tinjauan Dari
Perspektif Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006.
Thoha, Anis Malik. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Jakarta: Perspektif,
2005.
Umar, H.M. Hasbi. Islam dan Kepemimpinan Nasional: Pemaknaan dan
Mengkulturasikan Model Kepemimpinan Masa Kini. ebook: Innovation,
Vol. 5, No. 10, Edisi Juli-Desember 2006. Diunduh pada tanggal: 01-052014.
Utsaimin, Muhammad bin Shalih Al-. Politik Islam: Ta‟liq Siyasah Syar‟iyah
Ibnu Taimiyah, cet. II. Jakarta: PT Griya Ilmu Mandiri Sejahtera, 2014.
Widiarto, Bambang dan Media, Iwan. peny. Perspektif Budaya: Kumpulan
Tulisan Koentjaraningrat Memorial Lectures i-v/2014-2008. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2009.
Yunus, Mahmud. Tafsir Quran Karim, cet. VII. Jakarta: PT. Hidakarya Agung,
2004.
Http://Www.Akumassa.Org/
Http://www.bps.go.id/
Http://Www.Dephut.Go.Id/
Http://Www.Detik.Com/
Http://Www.Jakarta.Bps.Go.Id/
Http://Www.Merdeka.Com/
Http://Www.News.Detik.Com/
Http://Www.Tempo.Co/
HASIL WAWANCARA
Adhi Suryo
NO
1.
2.
3.
4.
5.
PERTANYAAN
Bagaimana kronologis
sistem lelang yang
mengantarkan
anda
menjadi lurah?
JAWABAN
Itu adalah kebijakan reformasi birokrasi. Lahir pada
tahun 2013 dengan syarat mulai dari staff yang
bekerja di pemda DKI klo yang lain belum. Yang
berkerja di kecamatan dan kelurahan min gol. 3C.
Kecuali guru, militer dan kementrian tidak
dibolehkan. Pendaftaran melalui internet dimulai
bulan juni yang diuji bulan juli. Jika tidak
memenuhi syarat sistem internet tersebut akan
menyaring sendiri. Lurah sebelumnya dan calon
Lurah semuanya sama boleh ikut. Sebelumnya
melalui sistem jenjang jabatan. Sekarang meskipun
masih staff bisa juga menjadi lurah. Termasuk yang
lama juga masih jadi Lurah tapi ditempatkan di
kelurahan yang lain.
Untuk menjadi seorang Yang pertama harus mengutamakan pelayanan
pemimpin apakah yang publik, yang kedua harus menguasai wilayah.
harus diperhatikan?
Menurut
bapak/ibu Tidak melihat perbedaan agama tapi harus melihat
sikap toleransi seperti pelayanan publik.
apa yang pantas untuk
diterapkan
di
Indonesia,
guna
mewujudkan nilai-nilai
yang terkandung dalam
pancasila di kehidupan
sehari-hari?
Menurut ibu, Apakah Menurut saya sudah tepat, tinggal kita harus mampu
keputusan pemerintah berkompetisi dengan terbuka dan bersih sehingga
mengadakan
lelang menghasilkan para pejabat yang bersih, mau bekerja
tersebut sudah tepat? dan jujur.
Mengapa?
Dari pengakuan warga Menurut saya itu benar, karena sebagian besar
setempat,
lenteng pendidikannya dari sekolah Islam. Memang disini
agung merupakan kota keagamaannya sangat kuat.
santri JakSel. Apakah
bapak/ibu mengetahui
dan membenarkan hal
tersebut?
Mengapa
demikian?
HASIL WAWANCARA
Naseri Nasrullah
NO
PERTANYAAN
1. Apa yang menjadi
kriteria utama untuk
menjadi seorang
pemimpin? Mengapa
demikian?
2. Apakah bapak/ ibu
mengetahui paham
pluralisme agama? Apa
yang bapak/ ibu ketahui?
Dan bagaimana
tanggapannya?
3. Menurut bapak/ibu sikap
toleransi seperti apa
yang pantas untuk
diterapkan di Indonesia,
guna mewujudkan nilainilai yang terkandung
dalam pancasila di
kehidupan sehari-hari?
4. Dapatkah agama atau
keyakinan membatasi
cita-cita warga Indonesia
dalam berprofesi?
5. Apakah terdapat nilai
atau norma masyarakat
yang terancam
terlanggar jika pemimpin
merupakan seorang nonMuslim? Jika iya, apa
saja?
JAWABAN
Data hilang
Data hilang
Data hilang
Data hilang
Nilai-nilai sosial di sini tidak ada yang terlanggar.
Yang terganggu di sini seperti dia mengucapkan
salam itukan terganggu kita. Istilah terganggu
tidak hanya berupa fisik, tapi juga psikis. NonMuslim mengucapkan salam itu kan tidak boleh,
karena itu bukan hak dia. Jilbab juga merupakan
pakaian islam, jika itu juga dipakai maka itu juga
mengganggu.
HASIL WAWANCARA
Ustad M. H. Thamrin
NO
1.
PERTANYAAN
Bagaimana tanggapan
bapak
terhadap
kepemimpinan nonMuslim di Kelurahan
Lenteng Agung?
2.
Apa yang menjadi
kriteria utama untuk
menjadi
seorang
pemimpin? Mengapa
demikian?
JAWABAN
Ketika isu itu digelontorkan langsung saja ingin
bergerak, tapi karena memang didampingi oleh
yang lebih tua, maka menjadi prosedural.
Tentu anti pati, jika terdapat pemimpin nonMuslim. Berbeda dengan Pejaten timur yang
jumlah Muslimnya lebih sedikit, muslim Lenteng
Agung berani untuk melakukan demo. Selain
mayoritas penolakan ini juga bersandar pada
sejarah pada zaman Belanda pun tidak berani
menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin disini.
Pemerintah bermain-main diranah kepercayaan.
Seharusnya pemimpin (Jokowi-Ahok) melihat
(nilai yang terkandung dalam) proses pembuatan
pancasila oleh para founding fathers, khususnya
dalam sila pertama; dimana mereka (founding
fathers) mengubah sila pertama karena melihat
adanya non-Muslim di Indonesia. Hukum di
Indonesia ada dua, Yuridis formal dan yuridis
normatif. Ketika dibenturkan dengan yuridis
normatif harus menyerah. Contoh: UU pornografi
dan pornoaksi yang tidak berlaku di daerah yang
adat istiadatnya mandi di kali.
Orang Muslim lah, Itu sudah menjadi prinsip.
Respon kelompok lenteng agung tidak terima
karena sudah prinsip bahkan dogma agama
berbicara itu. Ketika interpretasi berbeda-beda
urusan dua belas. Landasan penolakan LA pertama
dogma Agama, kedua adat istiadat/budaya. Disini
masyarakat religius bahkan naik jabatan saja
tasyakuran. Di sini disebut kota santri. Berkenaan
dengan legowo tentunya pergerakan kita juga
dibatasi oleh data yang lain, terdapat hadits man
roa minkum munkaron ila anqol wakadzalika
adh’aful iman. Jadi dari sekian rangkaian berarti
kita sudah ikhtiar. Ketika kita melihat
kemungkaran, kemungkaran apa, non-Muslim ini
merupakan kemungkaran masa kita ridho. Saya
demo saya bawa anak istri saya biar dia
menyaksikan kalau kita sudah berusaha meskipun
tidak berhasil, Allah tidak tuli untuk membalas.
Saya tidak turun lagi karena duit sudah
berselebaran.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Apakah
bapak/ibu
mengetahui
paham
pluralisme
agama?
Apa yang bapak/ibu
ketahui?
Dan
bagaimana
tanggapannya?
Menurut
bapak/ibu
sikap toleransi seperti
apa yang pantas untuk
diterapkan
di
Indonesia,
guna
mewujudkan
nilainilai yang terkandung
dalam pancasila di
kehidupan
seharihari?
Nonsenlah. Pluralisme ada dalam konteks yang
berbeda. Kalau untuk kerja bakti oke saya akui,
Tapi kalau untuk dibenturkan dengan agama,
hanya Islam saja yang paling benar.
Toleransi yang meletakkan pada tempatnya.
Toleransi bisa berlaku ketika melihat faktor
sejarah. Dalam urusan akidah tidak bisa tapi dalam
urusan interaksi sosial. Disini juga ada non muslim
kita berlakukan. Islam tidak masuk dalam
muamallat. Ucapan salam itu tidak boleh, termasuk
ucapan selamat natal, saya yang termasuk tidak
membolehkan. Jual-beli, muammalat, berinteraksi
sosial, bertetangga, non-Muslim mempunyai hak
itu. Jadi dia berikan selamat kalo dia senang, dan
berikan ucapan belasungkawa kalo dia (terkena)
musibah. Jadi kalo ada orang non-Muslim
meninggal ya nyelawat, bahasa kita, kalo bahasa
dia kan bukan itu. Takziah kan al-amru bi shobri,
memberikan kata sabar ya neng, meskipun dia
non-Muslim.
Untuk cita-cita sah saja bagi dia, kita giana? Untuk
saat ini, karena emang pemikiran itu fluktuatif,
saat ini ya kita cegah itu. Tapi klo ntr dia tetep jadi
juga ya sikap legowo itu ada.
Dapatkah agama atau
keyakinan membatasi
cita-cita
warga
Indonesia
dalam
berprofesi?
Apa yang diharapkan Nilai-nilai kepemimpinan tentu harus ada seperti
dari
seorang integritas,
amanat,
tabligh
dalam
arti
pemimpin?
menyampaikan yang benar, adil tetep kita ingin
seperti itu.
Apakah terdapat nilai Pemimpin non-Muslim saja sudah melanggar
atau
norma norma Lenteng Agung. Dari zaman penjajah saja
masyarakat
yang tidak berani meletakkan pemimpin non-Muslim di
terancam terlanggar Lenteng Agung.
jika
pemimpin
merupakan seorang
non-Muslim?
Jika
iya, apa saja?
Menurut
bapak/ibu Tetap sesuai dengan definisi wadh’ussyai fi
adil itu apa, seperti mahallihi. Dalam penempatan kepemimpinan nonapa dan bagaimana muslim di Lenteng Agung sudah tidak adil.
untuk
menegakkannya?
HASIL WAWANCARA
H. Ya’qub Shobirin
No.
PERTANYAAN
1. Apakah bapak
mengetahui sejarah
Lenteng Agung?
2.
Seperti apa keadaan
sosial dan kebudayaan
warga lenteng agung?
3.
Bagaimana sejarah
kehidupan (intra dan
antar) umat beragama
di lenteng agung?
JAWABAN
Tidak ada sejarah tertulis lenteng agung. Lenteng agung itu
luasnya kira-kira 96 hektar yang terbagi kepada 4 blok. 4
blok sama dengan 4 RW, sebelah timur kali Ciliwung,
sebelah barat Kali Bata, sebelah selatan gang Jalan Haji
Nase, dan sebelah utara Jalan Jambu. Itu aslinya Lenteng
Agung. Dan tidak ada orang Cina dulunya. Jadi bukan tuh
(berasal dari) Klenteng. Lenteng Agung itu tanah yang
bertebing-tebing dalam bahasa Jogja. Kalo tanah yang
bertebing-tebing yang saya alami memang seperti itu. Dan
penduduknya mulanya Muslim. Jadi Lenteng Agung itu
masih ada tali persaudaraan antara Banten, Cirebon,
Jatinegara Kaum dan Sukaraja, Lenteng Agung ada di
tengah. Klenteng ada hanya di perbatasan antara babakan
dengan serengseng tapi stasiunnya Lenteng Agung,
pasarnya bukan pasar Lenteng Agung.
Kehidupan Lenteng Agung dengan bertani dan berternak
sehingga orang dulu tidak seperti model orang-orang
sekarang. Karena Lenteng Agung dulu semuanya hampir
satu keturunan. Waktu itu, apa yang dikatakan oleh agama
silaturahim itu berjalan. Di sini dalam menjalani hidup itu,
Al-Quran yang paling depan.
Kebudayaannya adalah Betawi Muslim. dulu di Lenteng
banyak orang belajar agama (Islam). Belajar budaya seperti
Silat, rebana dsb. Rebana dibuat besaran seperti saat
kawinan. Sekarang ya sudah jarang, sedikit-sedikit mulai
terkikis. Dulu hari libur di Lenteng Agung adalah hari
Jum’at, artinya meskipun orang mau keladang kalau hari
Jum’at libur. Sekarang hampir setiap RT malam jumaat ada
pengajian-pengajian di mushalla. Di sini tidak ada sarjana
cuma memang fokusnya ke pendidikan Islam.
(data yang terdapat di kelurahan) Setelah terjadi
pemekaran. Jangankan orang Nashrani, orang China pun
tidak ada kecuali di perbatasan, tapi hubungan dengan
masyarakat non-Muslim tidak ada permusuhan. Namun
sempat di tahun sekitar 70-an dan 80-an, beberapa kali
sering terjadi, terutama orang-orang Nashrani yang berasal
dari Medan yang ingin mendirikan rumah ibadah sempat
tidak disetujui oleh warga sekitar.
4.
5.
Dari pengakuan warga
setempat, lenteng
agung merupakan kota
santri JakSel. Apakah
bapak/ibu mengetahui
dan membenarkan hal
tersebut? Mengapa
demikian?
Apakah terdapat nilai
atau norma masyarakat
yang
terancam
terlanggar
jika
pemimpin merupakan
seorang non-Muslim?
Jika iya, apa saja?
Lenteng Agung memang Kota Santri. Hampir setiap rumah
mengajar agama. Sekarang yang belajar Ilmu agama sudah
agak anu (berkurang).
Justru itu, justru adanya kebudayaan kita memang selama
ini Muslim (pemimpinnya). Sampe di ajukan 1500 tanda
tangan dan terdiri dari beberapa mushalla dan masjid itu
langsung satu bundel itu diserahkan kepada Jokowi tapi
Jokowi ya iya nanti diurus, tapi sampe sekarang (tidak
pernah dipenuhi), makanya Jokowi itu banyak bohongnya.
Mulai dari Bek (sebelum penyebutan lurah) sampe Lurah
sebelum Lurah Susan, Lurah di Lenteng Agung semua
beragama Islam.
Download