5 REKONSTRUKSI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM : PERSPEKTIF POLITIK Oleh : M. Sidi Ritaudin*) Abstrak Masyarakat Islam adalah sebuah komunitas yang hidup berdasarkan syariat Islam. Konsep pengembangannya pun tidak bisa terlepas dari nilai-nilai syariat Islam, terutama dalam hubungannya dengan pembangunan politik negara, khususnya di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya adalah Muslim. Secara historis, Islam menunjukkan bahwa tidak ada satu masa pun dalam sejarah yang luput dari pembaharuan, pembangunan, perjuangan, kemajuan dan kekuatan, kesemuanya itu terlihat sangat tergantung pada “iradah politik” seseorang atau beberapa orang tokoh yang memiliki pandangan yang lebih jauh, bertanggung jawab terhadap agama dan bangsanya secara penuh keadilan dan kejujuran serata ke’arifan (mau’izhah hasanah), dan pada umumnya mereka bertekad untuk mencurahkan banyak perhatian dan berbuat dengan baik. Dengan kata lain, sikap politiknya dipandu oleh ajaran agama, berupa syariat yang tetap. Oleh karena itu rekonstruksi pengembangan masyarakat Islam dalam perspektif politik tidak bisa lepas dari konsepsi politik Islam yang di bangun di atas nilai-niali ajaran Islam yang ideal. Kata Kunci : Rekonstruksi Pengembangan Politik PENDAHULUAN Konsep Islam tentang masyarakat adalah membangun sebuah komunitas Islam. Secara etimologis, kata masyarakat berasal dari kata Arab, syarikat. Dalam kata ini terkandung makna yang berhubungan dan pembentukan suatu kelompok atau golongan atau kumpulan, yang mengartikulasikan syariat Islam dalam pergaulan hidup(Sidi Gazalba, 1976 : 12). Masyarakat Muslim Indonesia, pada level sosiostruktural, mayoritas adalah merupakan kelompok Ahlus Sunah wa al-Jama’ah dan pengikut madzhab Syafi’i dalam fikih ibadahnya(lihat Atho Mudzar, 2003:34) 2 yang ditengarai sangat konservatif dalam menerima suatu perubahan. Namun demikian, faktanya berbicara lain, ternyata konsep *Dosen Etika Politik Islam dan Ketua Program Studi Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin, menulis disertasi Posisi Syariat Islam dalam Negara Menurut Sayyid Quthub di UIN Jakarta Volume 4, Nomor 1, Juni 2008 6 M. SIDI RITAUDIN pembaharuan dan perubahan dalam Islam sudah menjadi wacana publik di negeri ini, terlihat dari peningkatan kualitas pemahaman mereka terhadap agama semakin meningkat dari tahun ke tahun, tidak terkecuali dalam kelompok Sunni dan Syafi’iyah tersebut. Pada tataran ide dan wacana, konsep perubahan dan pembaharuan senantiasa berkembang, terutama di kampus-kampus. Gasan pembaharuan yang dikembangkan oleh Harun Nasution (1996) misalnya, ternyata mendapat sambutan hangat di kalangan mahasiswa. Ada lagi seorang tokoh yang diidentifikasi sebagai tokoh pembaharu modern sebagaimana Harun Nasution, yaitu Fazlur rahman. Ide-ide dan gagasan tentang kebangkitan dan pembaharuan bahkan menjadi tema sentral dalam skema pemikirannya. Kategori-kategori tajdîd (pembaharuan) dan ijtihâd menjadi unsur utama kajian pengembangan masyarakat Islam yang merupakan sebuah keniscayaan, sebagai kelanjutan dari tradisi intelektual yang sophisticated yang diwariskan ulama(Rahman, 2000 : 9). Gairah kaum intelektual muslim di Indonesia untuk melakukan pengkajian dan pembaharuan pemahaman terhadap Islam semakin menampakkan hasilnya, sehingga pada akhir abad ini bermunculan asumsi yang mengatakan bahwa kebangkitan Islam dimulai dari Indonesia(Deliar Noor, 1996 : 330). Motivasi pembaharuan pada periode modern diakrenakan adanya ancaman terhadap eksistensi umat Islam dari bangsa-bangsa Barat yang telah berobah menjadi bangsa-bangsa yang amat maju dan kuat, ditantang untuk segera melakukan pembaharuan sedemikian rupa, agar berubah pula menjadi maju dan kuat seperti Barat, tetapi tetap berada dalam ajaran Islam. Tujuan pembaharuan di masa modern ini tidak lain dari tercapainya umat Islam yang maju dan kuat (kalau bisa paling maju dan paling kuat di dunia) tanpa melanggar ajaran al-Qur’ân dan al-Sunnah(Nasution, 1992 : 760-761). Dari tujuan yang jelas ini dapat diketahui bahwa masyarakat Islam yang dikehendaki adalah masyarakat yang maju dan kuat yang berdasarkan syariat Islam. Bertolak dari pembaharuan pada dataran ide dan gagasan ini, kemudian diharapkan ditindaklanjuti dalam dataran aksi politik, negara dan pemerintahan. REKONSTRUKSI SEBUAH TAWARAN INTELEKTUAL MENUJU MASYARAKAT IDEAL Partisipasi kaum intelektual dalam membangun bangsanya di antaranya adalam memberikan kontribusi pemikiran. Mohamad Hatta, Salah seorang Proklamator Dwitunggal Republik Indonesia, mengatakan “Kaum intelegensia tidak bisa bersikap pasif, menyerahkan segala-galanya kepada mereka yang kebetulan menduduki jabatan yang memimpin dalam Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam REKONSTRUKSI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM : PERSPEKTIF POLITIK 7 negara dan masyarakat. Kaum intelegensia dalah bagian daripada rakyat, warga negara yang sama-sama mempunyai hak dan kewajiban”(Effendi, 1999 : xxiv). Atas dasar ini, maka curah pendapat kaum intelektual merupakan suatu keniscayaan dalam merekonstruksi masyarakatnya di mana ia berinteraksi, baik dalam masalah sosial, politik maupun agama. Rekonstruksi yang secara harfiah berarti membangun kembali setelah terjadi kebinasaan atau kerusakan(Procter, 1984 : 922) dimaksudkan di sini adalah adanya asumsi bahwa pemahaman terhadap Islam yang keliru, sehingga Islam gagal dalam fungsinya sebagai rahmat dan pembawa pencerahan bagi kehidupan umat manusia, khususnya umat Islam yang tertindas, tertinggal, miskin dan bodoh. Oleh karena itu, harus ada rekonstruksi terhadap pemahaman Islam, sehingga secara fungsional Islam dapat membawa perubahan dan kemajuan. Dalam konsepsi Islam, terdapat tiga buah kata yang berpengaruh besar dalam kehidupan umat dan mempertahankan kemurniannya. Tiga kata tersebut adalah : jihâd, ijtihâd, dan tajdîd. Jihâd, memiliki konotasi mempertahankan Islam dengan ketajaman senjata dari serangan kuffâr. Ijtihâd mempertahankan ajaran-ajaran syariat Islam dengan ketajaman akal pikiran, sedangkan tajdîd mempertahankan Islam baik dengan ketajaman pedang maupun akal pikiran agar ajaran Islam tetap eksis dan mampu menjawab tantangan zaman. Jika rekonstruksi masyarakat Islam mengandung makna pembaruan atau tajdîd, maka sudah barang tentu rekonstruksi yang dilakukan adalah melalui dua jalan sekaligus, yaitu tindakan dan pemikiran. Fungsinya adalah memlihara inti ajaran Islam, tatanilai yang telah digariskan; memperbaiki hal-hal yang telah runtuh dan menguatkan kembali sendi-sendi yang dianggap lemah; dan memasukkan beberapa pembaruan tanpa merubah sifat dan watak aslinya(Qardhawi, 1986 : 28). Masyarakat ideal yang menjadi dasar romantisisme Islam adalah masyarakat Islam pada zaman Nabi SAW dan masa Khulafa’ alRasyidin 11 , serta masa Umar bin Abdul Aziz. Pada masa Umar ini merupakan sebuah preseden rekonstruksi pengembangan masyarakat Islam yang patut dicermati dan dijadikan sebagai bahan solusi dewasa ini untuk keluar dari berbagai kemelut multi krisis, yang dapat dilihat dari sudut tindakan politik Islam. Adapun beberapa perbaikan yang telah dilakukannya secara politik oleh Umar bin Abdil Aziz adalah sebagai berikut : 1. Adanya iradah poltik untuk hidup sederhana, dan mengembalikan semua fasilitas negara ke kas negara (bait al-mâl), dan memecat para pejabat yang korup dengan menggantikannya dengan orang-orang yang telah terbukti kesalehannya. Untuk kasus “kubaro, umaro dan Volume 4, Nomor 1, Juni 2008 8 M. SIDI RITAUDIN zu’ama’” Indonesia, yang nota bene menurut pengakuannya adalah Muslim, ternyata iardah politik untuk hidup sedrhana agaknya masih sulit ditemukan, bahkan sebaliknya sikap dan gaya hidup mewah malah lebih ditonjolkan, jika tidak tercapai dengan gaji yang diterima dari kas negara, mereka melakukan korupsi. Hal inilah yang harus segera di konstruksi ulang alias direformasi. 2. Perbaikan di bidang pengelolaan harta negara secara efektif dan efesiensi dengan prinsip bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal yang kedua ini pun, hampir sama dengan kasus pertama, agaknya justru semakin menjadi-jadi dan sulit diberantas. Menurut hemat penulis hal ini karena tidak adanya keberanian dari elite politik untuk melakukan tindakan yang tegas dengan mengeksekusi para kuroptor. Senantiasa terjadi kebocoran aggaran belanja negara, mark up belanja, sogok menyogok dan berbagai jenis penyimpangan lainnya. Dengan demikian, jika ingin merekonstruksi masyarakat Islam menjadi sebuah masyarakat yang adil. Makmur dan sejahtera, maka harus ada keberanian menegakkan keadilan, supremasi hukum dalam memberantas KKN di Indonesia. 3. Membasmi segala macam penyakit sosial, seperti mo-limo (main, minum, mabok, madat, madon) dengan menuntun rakyatnya ke jalan syariat Islam.Penyakit sosial ini, jika ditelusuri dalam sejarah umat manusia, hampir tidak pernah ada yang bebas daripadanya. Namun demikian, untuk mewujudkan masyarakt Islam yang ideal, tidak ada cara lain, selain memberantas tuntas segala macam bentuk maksiat yang ditengarai sebagai penyakit sosial. Setidak-tidaknya membatasi ruang geraknya, membasmi segala macam fasilitas yang mengarah ke dekadensi sosial tersebut. Caranya adalah dengan menerapkan sangsi hukum yang ketat. REKONSTRUKSI : REFORMASI DAN PENGEMBANGAN Terma reformasi sangat dekat dengan wacana politik, bahkan merupakan bagian dari implementasi titik kulminasi intelektual politik suatu bangsa yang ingin mencapai kemajuan melalui pembaharuan. Dengan kata lain, reformasi adalah merupakan suatu keniscayaan yang harus dilakukan dalam diskursus politik, baik dalam pandangan politik klasik maupun kontemporer, untuk mewujudkan suatu cita-cita menuju suatu kejayaan politik. Asumsi ini menjadi signifikan setelah melihat fakta bahwa masyarakat Islam dewasa ini kurang mempunyai kekuatan politis(Deliar Noor, 1996:28). Ini terditeksi dari lemahnya realisasi apa yang dalam politik Islam disebut ummah. Tatanan masyarakat (ummat) mempunyai kekuatan politis dan mengakar yang fondasi bangunannya Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam REKONSTRUKSI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM : PERSPEKTIF POLITIK 9 diletakkan di atas konsep hijrah.Menurut Juhaya S. Praja(1994 : 103), “Hijrah adalah evaluasi cemerlang tentang struktur sosial yang mengawali suatu migrasi untuk memperoleh social setting yang menjamin seseorang memperoleh kebebasan yang diperlukannya untuk membangun suatu gerakan Islam yang halus; suatu gerakan untuk menciptakan kondisi-kondisi yang meyakinkan tercapainya kebebasan positif untuk semua orang” . Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa pengertian hijrah secara lebih luas mengandung makna rekonstruksi dan reformasi, di mana dengan hijrah berarti melakukan setting sosial berupa gerakan-gerakan dan manover politik untuk menciptakan suasana kondusif bagi tatanan masyarakat baru. Bila ditilik kebelakang tentang peristiwa hijrah tersebut, bahwa kondisi objektif kota Mekkah kala itu adalah dalam suasana “jahiliyah”, yaitu masyarakat yang fiodalistik, dekaden dan destruktif. Pada masyarakat hijrah di Madinah, dilakukan strukturisasi masyarakat baru, yaitu masyarakat madani yang berpradaban tinggi yang dijiwai oleh wahyu Ilahi (al-Qur’an) dan Sunnah Nabi. Kedua sumber ajaran inilah yang menjadi dasar pembangunan masyarakat baru (ummah). Oleh karena itu, rekonstruksi masyarakat Islam dipahami sebagai upaya menata ulang masyarakat Islam dewasa ini, yang telah terkontaminasi oleh peradaban jahili, dengan nilai-nilai atau norma-norma syariat Islam, yaitu derdasarkan nilai-nilai al-Qur’an dan al-Sunnah. Dengan kata lain, memetijk pelajaran dari konsep hijrah ini, rekonstruksi masyarakat Islam sekarang adalah dengan melakukan penataan masyarakat dengan nilainiali Islami dan menyingkirkan nilai-nialai jahili yang sekuler. Suatu perubahan dalam masyarakat akan terjadi sangat bergantung pada pandangan dan kemauan politik suatu masyarakat. Keinginan dan cita-cita masyarakat yang menginginkan perubahan dapat diidentifikasi melalui gagasan pemikiran yang muncul dari para pengamat dan pakar dalam bidangnya, terutama kalangan intelektual akademik yang biasanya sanagt concern terhadap masalah-masalah sosial dan politik yang berkembang. Oleh karena itu, sebelum masyarakat mengorganisasikan dirinya sebagai negara, kegiatan politik sebetulnya sudah ada. Sebab hakekat politik ialah penjelmaan kegiatan pikiran untuk membentuk kekuasaan, yang dimaksudkan untuk menyusun struktur ekonomi dan sosial sebaik mungkin menurut cita atau pandangan (filsafat) tertentu, dalam konteks ini tentu saja yang menjadi cita dan idealitas adalah konsepsi syariat Islam. Untuk mencapai tujuan sosial dan ekonomi itu terbentuklah kekuasaan, organisasi, lembaga dan badan yang menyusun, mengatur, memimpin kegiatan usaha-usaha ke arah apa yang dicita-citakan, yaitu baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr. Volume 4, Nomor 1, Juni 2008 10 M. SIDI RITAUDIN Masyarakat Islam akan berkembang dan selalu berkembang terus jika penataannya dilakukan secara evaluatif, kemudian direformasi sedemikian rupa, dengan meninggalkan hal-hal yang buruk dan menerapkan hal-hal yang baik. Perspektif politik Islam tentang persoalan ini adalah menghendaki penataan kemabali masyarakat yang sudah terkontaminasi dengan niali dan budaya Barat, yang bersifat sekuler, liberal, kapitalistik dan materialistik menuju sebuah masyarakat yang religious, memiliki tata nilai, spiritualistik yang sosio-humanistik. Hal ini cukup jelas dan konkret sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’ân surat al-Ahzâb ayat 35. Jalaluddin Rachmat (1999 : 103) mengatakan bahwa proses perubahan sosial, paling tidak menyangkut tiga hal pokok, yaitu pertama, bagaimana ideas (gagasan-gagasan) mempengaruhi perubahanperubahan sosial. Kedua, bagaimana tokoh-tokoh besar dalam sejarah menimbulkan perubahan besar di tengah-tengah masyarakat. Ketiga, sejauh mana peran gerakan-gerakan sosial dan revolusi menimbulkan perubahan struktur sosial dan norma-norma sosial. Senada dengan pandangan Jalaluddin Rachat tersebut, adalah M. Quraish Shihab (1997 : 245) yang menegaskan bahwa perubahan sosial dapat terlaksana bila dipenuhi dua syarat pokok; yaitu adanya nilai atau ide; dan adanya pelaku-pelaku yang menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut. Dari uraian di atas terlihat bahwa manusia merupakan faktor utama perubahan sosial, manusia adalah pelaku-pelaku yang menciptakan sejarah. Gerak sejarah itu adalah gerak menuju suatu tujuan, sedang tujuan itu berada di hadapan manusia atau berada pada masa depan, sedang masa depan yang diidam-idamkan harus tergambar dalam benak manusia, yaitu dalam ide-ide atau gagasan-gagasan. Dengan demikian, ide-ide manusia merupakan langkah pertama dari gerak sejarah atau terjadinya perubahan dalam masyarakat . Al-Qur’ân menempatkan dirinya sebagai pendorong dan pemandu, demi berperannya manusia secara positif dalam bidang-bidang kehidupan. Iradah politik manusialah yang menjadi penentu perubahan. KONSTRUKSI MASYARAKAT ISLAM Sejarah mencatat bahwa masyarakat Islam, yang tumbuh dan berkembang sejak berdirinya Daulah Islamiyah di Yatsrib (kini bernama al-Madûnah al-Munawwarah lazim disebut kota Madinah), yang bersatu padu dengan jalinan persaudaraan, dan terikat dengan tali cinta yang mendalam dan kasih sayang yang sangat mesra meskipun mereka berada di berbagai negeri yang berjauhan benar-benar ada dan disaksikan oleh sejarah. Pada waktu itu, masyarakat Islam betul-betul menjadi contoh di Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam REKONSTRUKSI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM : PERSPEKTIF POLITIK 11 mana-mana. Dengan sistem Islam umat manusia dalam beberapa generasi dan disusul beberapa generasi berikutnya, benar-benar mengalami kebahagiaan. Di antara indikatornya yang paling menonjol(asy-Saal : 1987 :13-14) adalah terdapatnya keamanan yang merata, tegaknya keadilan, terkendalinya selera manusia terhadap harta, di samping memenuhi segala faktor-faktor perkembangan. Indikator-indikator tesebut harus terjalin dalam sistem-sistem hubungan sesama manusia secara bersih dan murni, yang dapat tercermin dalam pergaulan hidup antar sesama makhluk. Krusial dikedepankan di sini bahwa sebab-sebab sistem Islam tersebut tepat dan ideal dalam membangun masyarakat yang diidamidamkan oleh semua kaum pembaharu, baik mereka itu pemimpin maupun para filosof, dikarenakan tonggak-tonggak dari sistem ini dipancangkan langsung oleh Allah SWT Sang Pencipta umat manusia. Allah menyuruh manusia menggunakan sistem itu sebagai jalan hidup (way of life) mereka. Islam merupakan sumber peradaban manusia yang sejati dalam arti yang sebenarnya. Kaum muslimin sendiri adalah umat yang pernah mengemban peradaban Islam berabad-abad lamanya, yaitu ketika mereka benar-benar melaksanakan prinsip-prinsip Islam. Fakta yang tidak dapat dibantah seperti inilah yang menjadikan sistem Islam tu ideal dan selalu siap diterapkan secara nyata, mudah dan aman dalam sebuah komunitas muslim yang disebut ummah. Wacana politik Islam menengarai bahwa sistem syariat yang mendasar dalam membangun masyarakat Islam adalah keadilan. Dalam konteks ini Aristotles mengatakan bahwa keadilan adalah keutamaan yang sempurna dan tidak bersifat pribadi, karena ia berkaitan dengan orang banyak. Karenanya, keadilan merupakan nilai keutamaan yang paling penting. Hal ini menunjukkan bahwa nilai keadilan merupakan nilai utama untuk membangun negara utama, dan sudah menjadi wacana dunia yang sudah muncul pada zaman Yunani, jauh sebelum kemunculan Islam. Goldziher (1946:92) melihat bahwa persoalan keadilan merupakan sifat Tuhan yang harus disucikan. Pandangan ini agaknya sejalan pengertian yang diberikan oleh Ibn Manzhûr yang mengatakan bahwa keadilan adalah sesuatu yang terpatri di dalam jiwa yang lurus. ‘Adl juga merupakan sifat Allah yang berarti Allah tidak cenderung kepada hawa nafsu yang berakibat keputusan-keputusan-Nya berkesan curang. Oleh karena itu sistem syariat Islam dalam pengembangan masyarakat meletakkan asas keadilan sebagai landasan etika politik. Dalam hal ini pula, hampir semua ahli pikir politik Islam, maupun praktisinya menempatkan aspek kedalilan ini pada urutan pertama. Volume 4, Nomor 1, Juni 2008 12 M. SIDI RITAUDIN Di samping sistem keadilan, ada beberapa hal lagi yang menjadi tiang penyanggah masyarakat Islam, terutama yang berkaitan dengan sistem politik Islam. Dalam hal ini Abu’l Hasan Ali Al-Nadwi(1988:169170) mengatakan, paling tidak, ada empat ciri masyarakat Islam, yaitu : 1. Mereka mempunyai pedoman kitab suci dan hukum Tuhan, sehingga mereka tidak mengada-adakan hukum sesuka hati, karena hal itu adalah sumber kejahilan, kesalahan dan penganiayaan. 2. Mereka menegakkan kekuasaan dan kepemimpinan bukannya tanpa pendidikan moral dan pendidikan mental, sebagaimana kebanyakan tokoh-tokoh zaman lampau maupun zaman sekarang, tetapi mereka telah menjalani masa panjang di bawah pendidikan Nabi Muhammad SAW yang mengutamakan dan menanamkan sikap jujur, amanah, adil, cerdas, transfaran dan demokratis. 3. Mereka tidak berjuang untuk menegakkan kekuasaan dan kesejahteraan suatu ras, bangsa atau negara tertentu saja, dan tidak pula bermaksud membangun imperium Arab dan bernaung di bawah panji kebesarannya. Tetapi berjuang untuk menegakkan syariat Allah dan mengusung misis kemanusiaan. Mereka juga tak segan-segan menyebarkan kemajuan mereka ke bangsa lain, baik berupa agama, ilmu pengetahuan, maupun pendidikan, dan tidak menempuh politik diskriminatif berdasarkan warna kulit, keturunan maupun kebangsaan. 4. Mereka menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan, mereka beranggapan bahwa manusia itu terdiri dari tubuh dan jiwa, meliputi hati, akal budi, perasaan, dan badan jasmani. Kesemua unsur tersebut mesti dikembangkan, dan mendapat perlindungan. Keempat ciri pengembangan masyarakat Islam tersebut, jika dicermati secara seksama, terlihat sangat realistis dan rasional jika menjadi pemicu semangat kebangkitan bagi kaum muslimin. Karena agama Islam senantiasa hidup, senantiasa menarik kembali umatnya dari jalan yang sesat kepada jalan aslinya yang benar dengan mersusuarnya yang tinggi menjulang dan cahayanya yang gemilang. Al-Qur’an al-sunnah tiada henti-hentinya membangkitkan semangat revolusi dalam jiwa pembacanya melawan syirik, bid’ah, kebodohan dan kesesatan; juga revolusi membongkar moralitas jahiliyah sampai ke akar-akarnya, revolusi melawan kemewahan kaum borjuis, revolusi melawan tirani penguasa. Untuk itu, maka metode rekonstruksi masyarakat Islam dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu jihad dan ijtihad. Sesungguhnya, menurut Al-Nadwi, secara politis kepemimpinan Islam membutuhkan sifat-sifat yang rumit dan luas sekali, namun bisa disimpulkan dalam dua kata yang sudah mencakup banyak makna, yaitu jihad dan ijtihad Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam REKONSTRUKSI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM : PERSPEKTIF POLITIK 13 tersebut. Jihad berarti perjuangan, yaitu mengerahkan segala usaha dan daya untuk memperoleh tujuan maksimal. Tujuan utama muslim ialah taat kepada Allah, mencari ridha-Nya, tunduk pada hukum-Nya, dan berserah diri pada segala perintah-Nya. Hal ini menuntut perjuangan yang berat dan panjang melawan segala akidah, pendidikan, moral, citacita aspirasi yang menyimpang serta segala yang mengancam pelaksanaan hukum Allah dan ibadah kepada-Nya. Ijtihad berarti kesungguhan menegakkan hukum. Barang siapa memimpin kaum muslimin harus mampu melaksanakan hukum secara benar yang menyangkut segala aspek kehidupan kaum muslimin, kehidupan bangsa-bangsa di dunia dan bangsa-bangsa di bawah kekuasaannya dalam berbagai problema yang timbul, yang tak dapat dipecahkan dengan peraturan ilmu fikih atau fatwa-fatwa yang ada. Dalam hal demikian, seorang pemimpin harus menggali semangat Islam dan memahami rahasia syariat serta berpijak pada dasar ajaran Islam. PENUTUP Sejak berdirinya Daulah Islamiyah dan sejak masyarakat Islam muncul dalam kenyataan, sejak itu Islam telah menetapkan ideologi yang orisinil, yang unsur-unsurnya ditopang dengan sendi-sendi yang paling kokoh dan suci dengan landasan nash-ansh dari kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, maupun kaidah-kaidah ushuliyyah yang mendasari Fikih Islam. Gagasan rekonstruksi masyarakat Islam muncul dan menggairahkan kaum muslimin, karena adanya perasaan terancam oleh pemikiran sekuler dan pengaruh Barat yang kuat terhadap dunia Islam dari aspek ekonomi, teknologi dan persenjataan. Untuk itu metode yang paling simpel untuk melakuan rekonstruksi adalah dengan jihâd dan ijtihâd. Dengan jihâd diharapkan nafsu ankara murka dapat ditundukkan, sehingga paham materialisme dan kapitalisme Barat yang memiskinkan orang miskin dapat ditaklukkan. Berjuang untuk kembali kepada tatanilai ekonomi Islam, pemerintahan Islam, dan ajaran yang murni serta konsekuen. Dengan ijtihâd, masyarakt Islam hendaknya senantiasa memperbaharui pemehaman terhadap ajaran Islam yang sudah digaransi, bahwa Islam itu sesuai di segala zaman dan keadaan dan Islam senantiasa ya’lû walâ yu’lâ ‘alih. Namun kenyataan umat Islam dewasa ini tertinggal dan tertindas, sedangkan praksis masyarakat Islam yang kaya dan bahgia pernah eksis. Islam pernah melahirkan peradaban teladan yang sesuai dengan tuntunan Islam. Untuk itu masyarakat Islam yang terpuruk sekarang ini perlu dan harus direkonstruksi dengan mereferensi ide-ide (ijtihâd) yang membentuk suatu ideologi yang bersumber dari syariat Islam. Volume 4, Nomor 1, Juni 2008 14 M. SIDI RITAUDIN DAFTAR RUJUKAN AN, Firdaus,tt., Kepemimpinan Khalifah Umar bin ‘Abd. Al-Aziz, Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya. Arsitotles, 1954, The Ethics, trans, by J.A., K. Thomson, Penguin Classics. Azra, Azyumardi, 1995, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Melack Akar-Akar pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung : Mizan. Bek, Muhammad Khudhori, 1969, Târîkh al-Umam al-Islâmiyah, al-Daulah al-Umawiyyah, Mesir : Maktabah al-Tijâriyah al-Kubra. Effendy, Edy A., (Ed), 1999, Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat, Bandung : Zaman Wacana Mulia. Gazalba, Sidi, 1976 , Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, Jakarta : Bulan Bintang. Goldziher, Ignas, 1946, al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah fî al-Islâm, terj dan kom, Muhammad Yûsuf Mûsâ, Kairo : Dâr al-Kitâb al-‘Arabî. Hakam, Abu Muhammad Abdullah ibn Abd., t.t., Sirah Umar ibn Abd. Aziz ‘ala ma Rawahu al-Imam Malik ibn Anas wa Ashhabuhu, Kairo : Wahbah. Jurnal Kajian Islam Ma’rifah, Jakarta : LP2SI, Vol.2, Th. 1995. Khalil, Imaduddin, 1981, Malâmîh al-Inqilâb al-Islâmî, fî al-Khilâah Umar bin Abd. Al-aziz, Beirut : Muassasah al-Risâlah. Manzhûr, Jamâluddin Muhammad, Ibn, t.t., Lisân al-‘Arab, XLVI, Kairo : Dâr al-Mishriyah. Mudzhar, Muhamad Atho, 2003, Islam and Islamic Law in Indonesia A Socio-Historical Approach, Jakarta : Religious Research and Development, and Training. Nadwi, Abu’l Hasan Ali Al-, 1988, Ma dza Khasira al-‘Alam bi Inkhithath al-Muslimin, terj. M. Ruslan Shiddieq, Jakarta : Pustaka Jaya dan Djambatan. Nasution, Harun, 1996, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Bandung : Mizan. —————, 1992, Pembaharuan dalam Islam Sejarah pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang. —————, (Ketua), 1992, Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta : Djambatan. Noer, Deliar, 1996, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta : LP3ES. Praja, Juhaya S., 1994, “Membangun di Negeri Sekuler Perkembangan Islam di Amerika Serikat” dalam Jurnal Ilmu Kebudayaan Ulumul Qur’an, Jakarta : No. 2, Vol. V Th. 1994. Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam REKONSTRUKSI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM : PERSPEKTIF POLITIK 15 Procter, Paul , (Ed), 1984, Longman Dictionary of Contemporary English, England : The Pitman Press. Qardhawî, Yusuf al-, 1986, al-Fiqh al-Islâmî bain al-Ashâlâti wa Tajdîd, cet. I, Kairo : Dâr al-Shahwah. Quthub, Muhammad, 1988, al-Siyâsah al-Mâliyah li Umar ibn Abdil Aziz , Kairo : al-Hai´ah al-Mishriyah al-Âmmah li al-Kitâb. Quthub, Sayyid , 1981, al-‘Adâlah al-Ijtimâ’iyyah fî al-Islâm, Kairo : Dâr al-Kitâb al-‘Arabi. Rachmat, Jalaluddin, 1999, Rekayasa Sosial Reformasi atau Revolusi ?, Bandung : Rosdakarya. Rahman, Fazlur, 2000, Gelombang Perubahan dalam Islam Studi tentang Fundamentalisme Islam, disunting oleh Ebrahim Moosa, Jakarta : Rajawali Pers. —————, 1979, Islam, Chicago : University of Chicago Press. —————, 1982, Islam and Modernity : Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago : University of Chicago Press. —————, 1980, Major Themes of the Qur’an, Chicago : Bibliotheca Islamica. Shâdr, al-Imâm Baqr al-, 1980, al-Madrasah al-Qur’âniyah al-Sunah alTârîkhiyah fî al-Qur’ân al-Karîm, Beirut : Dâr al-Ta’aruf. Shihab, M. Quraish, 1997, “Membumikan” al-Qur’ân Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung : Mizan. Syâl, Yûsuf Abdul Hâdî Asy-, 1987, al-Islâm wa binâ’u al-Mujtama’ al-Fâdhil, terj. Anshori Umar Sitanggal, Jakartra : Pustaka Dian dan Antar Kota. . Volume 4, Nomor 1, Juni 2008