rekonstruksi pengembangan masyarakat islam perspektif politik

advertisement
5
REKONSTRUKSI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM :
PERSPEKTIF POLITIK
Oleh : M. Sidi Ritaudin*)
Abstrak
Masyarakat Islam adalah sebuah komunitas yang hidup berdasarkan
syariat Islam. Konsep pengembangannya pun tidak bisa terlepas dari nilai-nilai
syariat Islam, terutama dalam hubungannya dengan pembangunan politik
negara, khususnya di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya adalah Muslim. Secara historis, Islam menunjukkan bahwa tidak ada satu masa pun dalam
sejarah yang luput dari pembaharuan, pembangunan, perjuangan, kemajuan
dan kekuatan, kesemuanya itu terlihat sangat tergantung pada “iradah politik”
seseorang atau beberapa orang tokoh yang memiliki pandangan yang lebih jauh,
bertanggung jawab terhadap agama dan bangsanya secara penuh keadilan dan
kejujuran serata ke’arifan (mau’izhah hasanah), dan pada umumnya mereka
bertekad untuk mencurahkan banyak perhatian dan berbuat dengan baik. Dengan
kata lain, sikap politiknya dipandu oleh ajaran agama, berupa syariat yang
tetap. Oleh karena itu rekonstruksi pengembangan masyarakat Islam dalam
perspektif politik tidak bisa lepas dari konsepsi politik Islam yang di bangun di
atas nilai-niali ajaran Islam yang ideal.
Kata Kunci : Rekonstruksi Pengembangan Politik
PENDAHULUAN
Konsep Islam tentang masyarakat adalah membangun sebuah
komunitas Islam. Secara etimologis, kata masyarakat berasal dari kata
Arab, syarikat. Dalam kata ini terkandung makna yang berhubungan dan
pembentukan suatu kelompok atau golongan atau kumpulan, yang
mengartikulasikan syariat Islam dalam pergaulan hidup(Sidi Gazalba,
1976 : 12). Masyarakat Muslim Indonesia, pada level sosiostruktural,
mayoritas adalah merupakan kelompok Ahlus Sunah wa al-Jama’ah dan
pengikut madzhab Syafi’i dalam fikih ibadahnya(lihat Atho Mudzar,
2003:34) 2 yang ditengarai sangat konservatif dalam menerima suatu
perubahan. Namun demikian, faktanya berbicara lain, ternyata konsep
*Dosen Etika Politik Islam dan Ketua Program Studi Pemikiran Politik Islam Fakultas
Ushuluddin, menulis disertasi Posisi Syariat Islam dalam Negara Menurut Sayyid
Quthub di UIN Jakarta
Volume 4, Nomor 1, Juni 2008
6
M. SIDI RITAUDIN
pembaharuan dan perubahan dalam Islam sudah menjadi wacana publik
di negeri ini, terlihat dari peningkatan kualitas pemahaman mereka
terhadap agama semakin meningkat dari tahun ke tahun, tidak terkecuali
dalam kelompok Sunni dan Syafi’iyah tersebut.
Pada tataran ide dan wacana, konsep perubahan dan
pembaharuan senantiasa berkembang, terutama di kampus-kampus.
Gasan pembaharuan yang dikembangkan oleh Harun Nasution (1996)
misalnya, ternyata mendapat sambutan hangat di kalangan mahasiswa.
Ada lagi seorang tokoh yang diidentifikasi sebagai tokoh pembaharu
modern sebagaimana Harun Nasution, yaitu Fazlur rahman. Ide-ide dan
gagasan tentang kebangkitan dan pembaharuan bahkan menjadi tema
sentral dalam skema pemikirannya. Kategori-kategori tajdîd
(pembaharuan) dan ijtihâd menjadi unsur utama kajian pengembangan
masyarakat Islam yang merupakan sebuah keniscayaan, sebagai
kelanjutan dari tradisi intelektual yang sophisticated yang diwariskan
ulama(Rahman, 2000 : 9).
Gairah kaum intelektual muslim di Indonesia untuk melakukan
pengkajian dan pembaharuan pemahaman terhadap Islam semakin
menampakkan hasilnya, sehingga pada akhir abad ini bermunculan
asumsi yang mengatakan bahwa kebangkitan Islam dimulai dari
Indonesia(Deliar Noor, 1996 : 330). Motivasi pembaharuan pada periode
modern diakrenakan adanya ancaman terhadap eksistensi umat Islam
dari bangsa-bangsa Barat yang telah berobah menjadi bangsa-bangsa yang
amat maju dan kuat, ditantang untuk segera melakukan pembaharuan
sedemikian rupa, agar berubah pula menjadi maju dan kuat seperti Barat,
tetapi tetap berada dalam ajaran Islam. Tujuan pembaharuan di masa
modern ini tidak lain dari tercapainya umat Islam yang maju dan kuat
(kalau bisa paling maju dan paling kuat di dunia) tanpa melanggar ajaran
al-Qur’ân dan al-Sunnah(Nasution, 1992 : 760-761). Dari tujuan yang
jelas ini dapat diketahui bahwa masyarakat Islam yang dikehendaki
adalah masyarakat yang maju dan kuat yang berdasarkan syariat Islam.
Bertolak dari pembaharuan pada dataran ide dan gagasan ini, kemudian
diharapkan ditindaklanjuti dalam dataran aksi politik, negara dan
pemerintahan.
REKONSTRUKSI SEBUAH TAWARAN INTELEKTUAL MENUJU MASYARAKAT IDEAL
Partisipasi kaum intelektual dalam membangun bangsanya di
antaranya adalam memberikan kontribusi pemikiran. Mohamad Hatta,
Salah seorang Proklamator Dwitunggal Republik Indonesia, mengatakan
“Kaum intelegensia tidak bisa bersikap pasif, menyerahkan segala-galanya
kepada mereka yang kebetulan menduduki jabatan yang memimpin dalam
Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
REKONSTRUKSI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM : PERSPEKTIF POLITIK
7
negara dan masyarakat. Kaum intelegensia dalah bagian daripada rakyat,
warga negara yang sama-sama mempunyai hak dan kewajiban”(Effendi,
1999 : xxiv). Atas dasar ini, maka curah pendapat kaum intelektual
merupakan suatu keniscayaan dalam merekonstruksi masyarakatnya di
mana ia berinteraksi, baik dalam masalah sosial, politik maupun agama.
Rekonstruksi yang secara harfiah berarti membangun kembali
setelah terjadi kebinasaan atau kerusakan(Procter, 1984 : 922)
dimaksudkan di sini adalah adanya asumsi bahwa pemahaman terhadap
Islam yang keliru, sehingga Islam gagal dalam fungsinya sebagai rahmat
dan pembawa pencerahan bagi kehidupan umat manusia, khususnya
umat Islam yang tertindas, tertinggal, miskin dan bodoh. Oleh karena
itu, harus ada rekonstruksi terhadap pemahaman Islam, sehingga secara
fungsional Islam dapat membawa perubahan dan kemajuan.
Dalam konsepsi Islam, terdapat tiga buah kata yang berpengaruh
besar dalam kehidupan umat dan mempertahankan kemurniannya. Tiga
kata tersebut adalah : jihâd, ijtihâd, dan tajdîd. Jihâd, memiliki konotasi
mempertahankan Islam dengan ketajaman senjata dari serangan kuffâr.
Ijtihâd mempertahankan ajaran-ajaran syariat Islam dengan ketajaman
akal pikiran, sedangkan tajdîd mempertahankan Islam baik dengan
ketajaman pedang maupun akal pikiran agar ajaran Islam tetap eksis
dan mampu menjawab tantangan zaman. Jika rekonstruksi masyarakat
Islam mengandung makna pembaruan atau tajdîd, maka sudah barang
tentu rekonstruksi yang dilakukan adalah melalui dua jalan sekaligus,
yaitu tindakan dan pemikiran. Fungsinya adalah memlihara inti ajaran
Islam, tatanilai yang telah digariskan; memperbaiki hal-hal yang telah
runtuh dan menguatkan kembali sendi-sendi yang dianggap lemah; dan
memasukkan beberapa pembaruan tanpa merubah sifat dan watak
aslinya(Qardhawi, 1986 : 28).
Masyarakat ideal yang menjadi dasar romantisisme Islam adalah
masyarakat Islam pada zaman Nabi SAW dan masa Khulafa’ alRasyidin 11 , serta masa Umar bin Abdul Aziz. Pada masa Umar ini
merupakan sebuah preseden rekonstruksi pengembangan masyarakat
Islam yang patut dicermati dan dijadikan sebagai bahan solusi dewasa
ini untuk keluar dari berbagai kemelut multi krisis, yang dapat dilihat
dari sudut tindakan politik Islam. Adapun beberapa perbaikan yang telah
dilakukannya secara politik oleh Umar bin Abdil Aziz adalah sebagai
berikut :
1. Adanya iradah poltik untuk hidup sederhana, dan mengembalikan
semua fasilitas negara ke kas negara (bait al-mâl), dan memecat para
pejabat yang korup dengan menggantikannya dengan orang-orang
yang telah terbukti kesalehannya. Untuk kasus “kubaro, umaro dan
Volume 4, Nomor 1, Juni 2008
8
M. SIDI RITAUDIN
zu’ama’” Indonesia, yang nota bene menurut pengakuannya adalah
Muslim, ternyata iardah politik untuk hidup sedrhana agaknya
masih sulit ditemukan, bahkan sebaliknya sikap dan gaya hidup
mewah malah lebih ditonjolkan, jika tidak tercapai dengan gaji yang
diterima dari kas negara, mereka melakukan korupsi. Hal inilah
yang harus segera di konstruksi ulang alias direformasi.
2. Perbaikan di bidang pengelolaan harta negara secara efektif dan
efesiensi dengan prinsip bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Hal yang kedua ini pun, hampir sama dengan kasus pertama,
agaknya justru semakin menjadi-jadi dan sulit diberantas. Menurut
hemat penulis hal ini karena tidak adanya keberanian dari elite
politik untuk melakukan tindakan yang tegas dengan mengeksekusi
para kuroptor. Senantiasa terjadi kebocoran aggaran belanja negara,
mark up belanja, sogok menyogok dan berbagai jenis penyimpangan
lainnya. Dengan demikian, jika ingin merekonstruksi masyarakat
Islam menjadi sebuah masyarakat yang adil. Makmur dan sejahtera,
maka harus ada keberanian menegakkan keadilan, supremasi
hukum dalam memberantas KKN di Indonesia.
3. Membasmi segala macam penyakit sosial, seperti mo-limo (main,
minum, mabok, madat, madon) dengan menuntun rakyatnya ke
jalan syariat Islam.Penyakit sosial ini, jika ditelusuri dalam sejarah
umat manusia, hampir tidak pernah ada yang bebas daripadanya.
Namun demikian, untuk mewujudkan masyarakt Islam yang ideal,
tidak ada cara lain, selain memberantas tuntas segala macam bentuk
maksiat yang ditengarai sebagai penyakit sosial. Setidak-tidaknya
membatasi ruang geraknya, membasmi segala macam fasilitas yang
mengarah ke dekadensi sosial tersebut. Caranya adalah dengan
menerapkan sangsi hukum yang ketat.
REKONSTRUKSI : REFORMASI DAN PENGEMBANGAN
Terma reformasi sangat dekat dengan wacana politik, bahkan
merupakan bagian dari implementasi titik kulminasi intelektual politik
suatu bangsa yang ingin mencapai kemajuan melalui pembaharuan.
Dengan kata lain, reformasi adalah merupakan suatu keniscayaan yang
harus dilakukan dalam diskursus politik, baik dalam pandangan politik
klasik maupun kontemporer, untuk mewujudkan suatu cita-cita menuju
suatu kejayaan politik. Asumsi ini menjadi signifikan setelah melihat fakta
bahwa masyarakat Islam dewasa ini kurang mempunyai kekuatan
politis(Deliar Noor, 1996:28). Ini terditeksi dari lemahnya realisasi apa
yang dalam politik Islam disebut ummah. Tatanan masyarakat (ummat)
mempunyai kekuatan politis dan mengakar yang fondasi bangunannya
Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
REKONSTRUKSI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM : PERSPEKTIF POLITIK
9
diletakkan di atas konsep hijrah.Menurut Juhaya S. Praja(1994 : 103),
“Hijrah adalah evaluasi cemerlang tentang struktur sosial yang
mengawali suatu migrasi untuk memperoleh social setting yang
menjamin seseorang memperoleh kebebasan yang diperlukannya untuk
membangun suatu gerakan Islam yang halus; suatu gerakan untuk
menciptakan kondisi-kondisi yang meyakinkan tercapainya kebebasan
positif untuk semua orang” .
Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa pengertian hijrah
secara lebih luas mengandung makna rekonstruksi dan reformasi, di mana
dengan hijrah berarti melakukan setting sosial berupa gerakan-gerakan
dan manover politik untuk menciptakan suasana kondusif bagi tatanan
masyarakat baru. Bila ditilik kebelakang tentang peristiwa hijrah tersebut,
bahwa kondisi objektif kota Mekkah kala itu adalah dalam suasana
“jahiliyah”, yaitu masyarakat yang fiodalistik, dekaden dan destruktif.
Pada masyarakat hijrah di Madinah, dilakukan strukturisasi masyarakat
baru, yaitu masyarakat madani yang berpradaban tinggi yang dijiwai
oleh wahyu Ilahi (al-Qur’an) dan Sunnah Nabi. Kedua sumber ajaran
inilah yang menjadi dasar pembangunan masyarakat baru (ummah). Oleh
karena itu, rekonstruksi masyarakat Islam dipahami sebagai upaya menata
ulang masyarakat Islam dewasa ini, yang telah terkontaminasi oleh
peradaban jahili, dengan nilai-nilai atau norma-norma syariat Islam, yaitu
derdasarkan nilai-nilai al-Qur’an dan al-Sunnah. Dengan kata lain,
memetijk pelajaran dari konsep hijrah ini, rekonstruksi masyarakat Islam
sekarang adalah dengan melakukan penataan masyarakat dengan nilainiali Islami dan menyingkirkan nilai-nialai jahili yang sekuler.
Suatu perubahan dalam masyarakat akan terjadi sangat
bergantung pada pandangan dan kemauan politik suatu masyarakat.
Keinginan dan cita-cita masyarakat yang menginginkan perubahan dapat
diidentifikasi melalui gagasan pemikiran yang muncul dari para
pengamat dan pakar dalam bidangnya, terutama kalangan intelektual
akademik yang biasanya sanagt concern terhadap masalah-masalah sosial
dan politik yang berkembang. Oleh karena itu, sebelum masyarakat
mengorganisasikan dirinya sebagai negara, kegiatan politik sebetulnya
sudah ada. Sebab hakekat politik ialah penjelmaan kegiatan pikiran untuk
membentuk kekuasaan, yang dimaksudkan untuk menyusun struktur
ekonomi dan sosial sebaik mungkin menurut cita atau pandangan (filsafat)
tertentu, dalam konteks ini tentu saja yang menjadi cita dan idealitas
adalah konsepsi syariat Islam. Untuk mencapai tujuan sosial dan ekonomi
itu terbentuklah kekuasaan, organisasi, lembaga dan badan yang
menyusun, mengatur, memimpin kegiatan usaha-usaha ke arah apa yang
dicita-citakan, yaitu baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr.
Volume 4, Nomor 1, Juni 2008
10
M. SIDI RITAUDIN
Masyarakat Islam akan berkembang dan selalu berkembang terus
jika penataannya dilakukan secara evaluatif, kemudian direformasi
sedemikian rupa, dengan meninggalkan hal-hal yang buruk dan
menerapkan hal-hal yang baik. Perspektif politik Islam tentang persoalan
ini adalah menghendaki penataan kemabali masyarakat yang sudah
terkontaminasi dengan niali dan budaya Barat, yang bersifat sekuler,
liberal, kapitalistik dan materialistik menuju sebuah masyarakat yang
religious, memiliki tata nilai, spiritualistik yang sosio-humanistik. Hal ini
cukup jelas dan konkret sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’ân surat
al-Ahzâb ayat 35.
Jalaluddin Rachmat (1999 : 103) mengatakan bahwa proses
perubahan sosial, paling tidak menyangkut tiga hal pokok, yaitu pertama,
bagaimana ideas (gagasan-gagasan) mempengaruhi perubahanperubahan sosial. Kedua, bagaimana tokoh-tokoh besar dalam sejarah
menimbulkan perubahan besar di tengah-tengah masyarakat. Ketiga,
sejauh mana peran gerakan-gerakan sosial dan revolusi menimbulkan
perubahan struktur sosial dan norma-norma sosial. Senada dengan
pandangan Jalaluddin Rachat tersebut, adalah M. Quraish Shihab (1997
: 245) yang menegaskan bahwa perubahan sosial dapat terlaksana bila
dipenuhi dua syarat pokok; yaitu adanya nilai atau ide; dan adanya
pelaku-pelaku yang menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut.
Dari uraian di atas terlihat bahwa manusia merupakan faktor
utama perubahan sosial, manusia adalah pelaku-pelaku yang
menciptakan sejarah. Gerak sejarah itu adalah gerak menuju suatu tujuan,
sedang tujuan itu berada di hadapan manusia atau berada pada masa
depan, sedang masa depan yang diidam-idamkan harus tergambar dalam
benak manusia, yaitu dalam ide-ide atau gagasan-gagasan. Dengan
demikian, ide-ide manusia merupakan langkah pertama dari gerak
sejarah atau terjadinya perubahan dalam masyarakat . Al-Qur’ân
menempatkan dirinya sebagai pendorong dan pemandu, demi
berperannya manusia secara positif dalam bidang-bidang kehidupan.
Iradah politik manusialah yang menjadi penentu perubahan.
KONSTRUKSI MASYARAKAT ISLAM
Sejarah mencatat bahwa masyarakat Islam, yang tumbuh dan
berkembang sejak berdirinya Daulah Islamiyah di Yatsrib (kini bernama
al-Madûnah al-Munawwarah lazim disebut kota Madinah), yang bersatu
padu dengan jalinan persaudaraan, dan terikat dengan tali cinta yang
mendalam dan kasih sayang yang sangat mesra meskipun mereka berada
di berbagai negeri yang berjauhan benar-benar ada dan disaksikan oleh
sejarah. Pada waktu itu, masyarakat Islam betul-betul menjadi contoh di
Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
REKONSTRUKSI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM : PERSPEKTIF POLITIK
11
mana-mana. Dengan sistem Islam umat manusia dalam beberapa generasi
dan disusul beberapa generasi berikutnya, benar-benar mengalami
kebahagiaan. Di antara indikatornya yang paling menonjol(asy-Saal : 1987
:13-14) adalah terdapatnya keamanan yang merata, tegaknya keadilan,
terkendalinya selera manusia terhadap harta, di samping memenuhi
segala faktor-faktor perkembangan. Indikator-indikator tesebut harus
terjalin dalam sistem-sistem hubungan sesama manusia secara bersih dan
murni, yang dapat tercermin dalam pergaulan hidup antar sesama
makhluk.
Krusial dikedepankan di sini bahwa sebab-sebab sistem Islam
tersebut tepat dan ideal dalam membangun masyarakat yang diidamidamkan oleh semua kaum pembaharu, baik mereka itu pemimpin
maupun para filosof, dikarenakan tonggak-tonggak dari sistem ini
dipancangkan langsung oleh Allah SWT Sang Pencipta umat manusia.
Allah menyuruh manusia menggunakan sistem itu sebagai jalan hidup
(way of life) mereka. Islam merupakan sumber peradaban manusia yang
sejati dalam arti yang sebenarnya. Kaum muslimin sendiri adalah umat
yang pernah mengemban peradaban Islam berabad-abad lamanya, yaitu
ketika mereka benar-benar melaksanakan prinsip-prinsip Islam. Fakta
yang tidak dapat dibantah seperti inilah yang menjadikan sistem Islam
tu ideal dan selalu siap diterapkan secara nyata, mudah dan aman dalam
sebuah komunitas muslim yang disebut ummah.
Wacana politik Islam menengarai bahwa sistem syariat yang
mendasar dalam membangun masyarakat Islam adalah keadilan. Dalam
konteks ini Aristotles mengatakan bahwa keadilan adalah keutamaan
yang sempurna dan tidak bersifat pribadi, karena ia berkaitan dengan
orang banyak. Karenanya, keadilan merupakan nilai keutamaan yang
paling penting. Hal ini menunjukkan bahwa nilai keadilan merupakan
nilai utama untuk membangun negara utama, dan sudah menjadi
wacana dunia yang sudah muncul pada zaman Yunani, jauh sebelum
kemunculan Islam.
Goldziher (1946:92) melihat bahwa persoalan keadilan merupakan
sifat Tuhan yang harus disucikan. Pandangan ini agaknya sejalan
pengertian yang diberikan oleh Ibn Manzhûr yang mengatakan bahwa
keadilan adalah sesuatu yang terpatri di dalam jiwa yang lurus. ‘Adl
juga merupakan sifat Allah yang berarti Allah tidak cenderung kepada
hawa nafsu yang berakibat keputusan-keputusan-Nya berkesan curang.
Oleh karena itu sistem syariat Islam dalam pengembangan masyarakat
meletakkan asas keadilan sebagai landasan etika politik. Dalam hal ini
pula, hampir semua ahli pikir politik Islam, maupun praktisinya
menempatkan aspek kedalilan ini pada urutan pertama.
Volume 4, Nomor 1, Juni 2008
12
M. SIDI RITAUDIN
Di samping sistem keadilan, ada beberapa hal lagi yang menjadi
tiang penyanggah masyarakat Islam, terutama yang berkaitan dengan
sistem politik Islam. Dalam hal ini Abu’l Hasan Ali Al-Nadwi(1988:169170) mengatakan, paling tidak, ada empat ciri masyarakat Islam, yaitu :
1. Mereka mempunyai pedoman kitab suci dan hukum Tuhan, sehingga
mereka tidak mengada-adakan hukum sesuka hati, karena hal itu
adalah sumber kejahilan, kesalahan dan penganiayaan.
2. Mereka menegakkan kekuasaan dan kepemimpinan bukannya tanpa
pendidikan moral dan pendidikan mental, sebagaimana kebanyakan
tokoh-tokoh zaman lampau maupun zaman sekarang, tetapi mereka
telah menjalani masa panjang di bawah pendidikan Nabi Muhammad
SAW yang mengutamakan dan menanamkan sikap jujur, amanah,
adil, cerdas, transfaran dan demokratis.
3. Mereka tidak berjuang untuk menegakkan kekuasaan dan
kesejahteraan suatu ras, bangsa atau negara tertentu saja, dan tidak
pula bermaksud membangun imperium Arab dan bernaung di bawah
panji kebesarannya. Tetapi berjuang untuk menegakkan syariat Allah
dan mengusung misis kemanusiaan. Mereka juga tak segan-segan
menyebarkan kemajuan mereka ke bangsa lain, baik berupa agama,
ilmu pengetahuan, maupun pendidikan, dan tidak menempuh politik
diskriminatif berdasarkan warna kulit, keturunan maupun
kebangsaan.
4. Mereka menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan, mereka
beranggapan bahwa manusia itu terdiri dari tubuh dan jiwa, meliputi
hati, akal budi, perasaan, dan badan jasmani. Kesemua unsur tersebut
mesti dikembangkan, dan mendapat perlindungan.
Keempat ciri pengembangan masyarakat Islam tersebut, jika
dicermati secara seksama, terlihat sangat realistis dan rasional jika menjadi
pemicu semangat kebangkitan bagi kaum muslimin. Karena agama Islam
senantiasa hidup, senantiasa menarik kembali umatnya dari jalan yang
sesat kepada jalan aslinya yang benar dengan mersusuarnya yang tinggi
menjulang dan cahayanya yang gemilang. Al-Qur’an al-sunnah tiada
henti-hentinya membangkitkan semangat revolusi dalam jiwa
pembacanya melawan syirik, bid’ah, kebodohan dan kesesatan; juga
revolusi membongkar moralitas jahiliyah sampai ke akar-akarnya, revolusi
melawan kemewahan kaum borjuis, revolusi melawan tirani penguasa.
Untuk itu, maka metode rekonstruksi masyarakat Islam dapat
ditempuh melalui dua cara, yaitu jihad dan ijtihad. Sesungguhnya,
menurut Al-Nadwi, secara politis kepemimpinan Islam membutuhkan
sifat-sifat yang rumit dan luas sekali, namun bisa disimpulkan dalam
dua kata yang sudah mencakup banyak makna, yaitu jihad dan ijtihad
Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
REKONSTRUKSI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM : PERSPEKTIF POLITIK
13
tersebut. Jihad berarti perjuangan, yaitu mengerahkan segala usaha dan
daya untuk memperoleh tujuan maksimal. Tujuan utama muslim ialah
taat kepada Allah, mencari ridha-Nya, tunduk pada hukum-Nya, dan
berserah diri pada segala perintah-Nya. Hal ini menuntut perjuangan
yang berat dan panjang melawan segala akidah, pendidikan, moral, citacita aspirasi yang menyimpang serta segala yang mengancam
pelaksanaan hukum Allah dan ibadah kepada-Nya.
Ijtihad berarti kesungguhan menegakkan hukum. Barang siapa
memimpin kaum muslimin harus mampu melaksanakan hukum secara
benar yang menyangkut segala aspek kehidupan kaum muslimin,
kehidupan bangsa-bangsa di dunia dan bangsa-bangsa di bawah
kekuasaannya dalam berbagai problema yang timbul, yang tak dapat
dipecahkan dengan peraturan ilmu fikih atau fatwa-fatwa yang ada.
Dalam hal demikian, seorang pemimpin harus menggali semangat Islam
dan memahami rahasia syariat serta berpijak pada dasar ajaran Islam.
PENUTUP
Sejak berdirinya Daulah Islamiyah dan sejak masyarakat Islam
muncul dalam kenyataan, sejak itu Islam telah menetapkan ideologi yang
orisinil, yang unsur-unsurnya ditopang dengan sendi-sendi yang paling
kokoh dan suci dengan landasan nash-ansh dari kitab Allah dan Sunnah
Rasul-Nya, maupun kaidah-kaidah ushuliyyah yang mendasari Fikih Islam. Gagasan rekonstruksi masyarakat Islam muncul dan menggairahkan
kaum muslimin, karena adanya perasaan terancam oleh pemikiran
sekuler dan pengaruh Barat yang kuat terhadap dunia Islam dari aspek
ekonomi, teknologi dan persenjataan. Untuk itu metode yang paling simpel
untuk melakuan rekonstruksi adalah dengan jihâd dan ijtihâd.
Dengan jihâd diharapkan nafsu ankara murka dapat ditundukkan,
sehingga paham materialisme dan kapitalisme Barat yang memiskinkan
orang miskin dapat ditaklukkan. Berjuang untuk kembali kepada tatanilai
ekonomi Islam, pemerintahan Islam, dan ajaran yang murni serta
konsekuen. Dengan ijtihâd, masyarakt Islam hendaknya senantiasa
memperbaharui pemehaman terhadap ajaran Islam yang sudah digaransi,
bahwa Islam itu sesuai di segala zaman dan keadaan dan Islam senantiasa
ya’lû walâ yu’lâ ‘alih. Namun kenyataan umat Islam dewasa ini tertinggal
dan tertindas, sedangkan praksis masyarakat Islam yang kaya dan bahgia
pernah eksis. Islam pernah melahirkan peradaban teladan yang sesuai
dengan tuntunan Islam. Untuk itu masyarakat Islam yang terpuruk
sekarang ini perlu dan harus direkonstruksi dengan mereferensi ide-ide
(ijtihâd) yang membentuk suatu ideologi yang bersumber dari syariat Islam.
Volume 4, Nomor 1, Juni 2008
14
M. SIDI RITAUDIN
DAFTAR RUJUKAN
AN, Firdaus,tt., Kepemimpinan Khalifah Umar bin ‘Abd. Al-Aziz, Jakarta :
Pedoman Ilmu Jaya.
Arsitotles, 1954, The Ethics, trans, by J.A., K. Thomson, Penguin Classics.
Azra, Azyumardi, 1995, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII, Melack Akar-Akar pembaruan
Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung : Mizan.
Bek, Muhammad Khudhori, 1969, Târîkh al-Umam al-Islâmiyah, al-Daulah
al-Umawiyyah, Mesir : Maktabah al-Tijâriyah al-Kubra.
Effendy, Edy A., (Ed), 1999, Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat, Bandung
: Zaman Wacana Mulia.
Gazalba, Sidi, 1976 , Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi dan Sosiografi,
Jakarta : Bulan Bintang.
Goldziher, Ignas, 1946, al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah fî al-Islâm, terj dan kom,
Muhammad Yûsuf Mûsâ, Kairo : Dâr al-Kitâb al-‘Arabî.
Hakam, Abu Muhammad Abdullah ibn Abd., t.t., Sirah Umar ibn Abd.
Aziz ‘ala ma Rawahu al-Imam Malik ibn Anas wa Ashhabuhu,
Kairo : Wahbah.
Jurnal Kajian Islam Ma’rifah, Jakarta : LP2SI, Vol.2, Th. 1995.
Khalil, Imaduddin, 1981, Malâmîh al-Inqilâb al-Islâmî, fî al-Khilâah Umar
bin Abd. Al-aziz, Beirut : Muassasah al-Risâlah.
Manzhûr, Jamâluddin Muhammad, Ibn, t.t., Lisân al-‘Arab, XLVI, Kairo
: Dâr al-Mishriyah.
Mudzhar, Muhamad Atho, 2003, Islam and Islamic Law in Indonesia A
Socio-Historical Approach, Jakarta : Religious Research and
Development, and Training.
Nadwi, Abu’l Hasan Ali Al-, 1988, Ma dza Khasira al-‘Alam bi Inkhithath
al-Muslimin, terj. M. Ruslan Shiddieq, Jakarta : Pustaka Jaya
dan Djambatan.
Nasution, Harun, 1996, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Bandung :
Mizan.
—————, 1992, Pembaharuan dalam Islam Sejarah pemikiran dan Gerakan,
Jakarta : Bulan Bintang.
—————, (Ketua), 1992, Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah,
Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta : Djambatan.
Noer, Deliar, 1996, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta
: LP3ES.
Praja, Juhaya S., 1994, “Membangun di Negeri Sekuler Perkembangan
Islam di Amerika Serikat” dalam Jurnal Ilmu Kebudayaan
Ulumul Qur’an, Jakarta : No. 2, Vol. V Th. 1994.
Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam
REKONSTRUKSI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM : PERSPEKTIF POLITIK
15
Procter, Paul , (Ed), 1984, Longman Dictionary of Contemporary English,
England : The Pitman Press.
Qardhawî, Yusuf al-, 1986, al-Fiqh al-Islâmî bain al-Ashâlâti wa Tajdîd, cet.
I, Kairo : Dâr al-Shahwah.
Quthub, Muhammad, 1988, al-Siyâsah al-Mâliyah li Umar ibn Abdil Aziz
, Kairo : al-Hai´ah al-Mishriyah al-Âmmah li al-Kitâb.
Quthub, Sayyid , 1981, al-‘Adâlah al-Ijtimâ’iyyah fî al-Islâm, Kairo : Dâr
al-Kitâb al-‘Arabi.
Rachmat, Jalaluddin, 1999, Rekayasa Sosial Reformasi atau Revolusi ?,
Bandung : Rosdakarya.
Rahman, Fazlur, 2000, Gelombang Perubahan dalam Islam Studi tentang
Fundamentalisme Islam, disunting oleh Ebrahim Moosa, Jakarta
: Rajawali Pers.
—————, 1979, Islam, Chicago : University of Chicago Press.
—————, 1982, Islam and Modernity : Transformation of an Intellectual
Tradition, Chicago : University of Chicago Press.
—————, 1980, Major Themes of the Qur’an, Chicago : Bibliotheca
Islamica.
Shâdr, al-Imâm Baqr al-, 1980, al-Madrasah al-Qur’âniyah al-Sunah alTârîkhiyah fî al-Qur’ân al-Karîm, Beirut : Dâr al-Ta’aruf.
Shihab, M. Quraish, 1997, “Membumikan” al-Qur’ân Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung : Mizan.
Syâl, Yûsuf Abdul Hâdî Asy-, 1987, al-Islâm wa binâ’u al-Mujtama’ al-Fâdhil,
terj. Anshori Umar Sitanggal, Jakartra : Pustaka Dian dan Antar
Kota.
.
Volume 4, Nomor 1, Juni 2008
Download