ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2007 SUSUNAN PENGURUS BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Pelindung Dewan Gubernur Bank Indonesia Dewan Editor Prof. Dr. Anwar Nasution Prof. Dr. Miranda S. Goeltom Prof. Dr. Insukindro Prof. Dr. Iwan Jaya Azis Prof. Iftekhar Hasan Dr. M. Syamsuddin Dr. Perry Warjiyo Dr. Halim Alamsyah Dr. Iskandar Simorangkir Dr. Solikin M. Juhro Dr. Haris Munandar Dr. Andi M. Alfian Parewangi Pimpinan Editorial Dr. Perry Warjiyo Dr. Iskandar Simorangkir Direktur Eksekutif Dr. Andi M. Alfian Parewangi Sekretariat Toto Zurianto, MBA MS. Artiningsih, MBA Buletin ini diterbitkan oleh Bank Indonesia, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan dibuletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Kami mengundang semua pihak untuk menulis pada buletin ini paper dikirimkan dalam bentuk file ke Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 20; Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat, email : [email protected] Buletin ini diterbitkan secara triwulan pada bulan April, Juli, Oktober dan Januari, bagi yang ingin memperoleh terbitan ini dapat menghubungi Seksi Publikasi - Bagian Administrasi, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 2; Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat, telp. (021) 381-8206. Untuk permohonan berlangganan: telp. (021) 3818202, fax. (021) 3802283, email: [email protected]. 1 BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN Volume 13, Nomor 1, Juli 2010 Analisis Triwulanan: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan II - 2010 Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia 1 Perdagangan Bebas Regional Dan Daya Saing Ekspor: Kasus Indonesia Amalia Adininggar Widyasanti 5 Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia Ibrahim, Meily Ika Permata, Wahyu Ari Wibowo 23 Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?: Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan Bagus Arya Wirapati, Niken Astria Sakina Kusumawardhani 75 Making East Asian Regionalism Works Fithra Faisal Hastiadi 109 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2010 1 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2010 Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia Perekonomian Indonesia pada triwulan II-2010 menunjukkan penguatan ekonomi yang terus berlanjut. Optimisme tersebut didukung oleh kinerja investasi dan ekspor yang tumbuh lebih tinggi, seiring dengan perbaikan ekonomi global. Kondisi perekonomian yang semakin menunjukkan suasana optimis tersebut mendukung prospek ekonomi lebih baik dari perkiraan semula. Perekonomian Indonesia di tahun 2010 diperkirakan tumbuh menuju batas atas kisaran 5,5%-6,0% dan pada tahun 2011 mencapai 6,0%-6,5%. Dari sisi harga, tekanan inflasi sepanjang triwulan II-2010 menunjukkan peningkatan yang disebabkan oleh kelompok volatile food, yaitu dari aneka bumbu dan beras. Sementara itu, kelompok administered prices dan inflasi inti memberi kontribusi yang menimal terhadap perkembangan harga sepanjang triwulan II-2010. Dengan demikian, secara keseluruhan tahun, inflasi IHK tahun 2010 akan tetap berada pada kisaran sasaran inflasi sebesar 5%±1%. Pemulihan ekonomi global masih terus berlanjut, meskipun diwarnai tekanan di pasar keuangan global dan kekhawatiran terhadap sustainabilitas pemulihan ekonomi Eropa. Laju pemulihan ekonomi global pada triwulan II-2010 diperkirakan moderat dibandingkan dengan triwulan I-2010. Meskipun demikian, perkembangan tersebut tetap menimbulkan optimisme yang positif terhadap proses pemulihan global. Kondisi tersebut didukung oleh membaiknya kondisi di negara maju, terutama Amerika Serikat (AS) dan Jepang, serta sejumlah negara di Asia. Di kawasan Asia, pertumbuhan ekonomi menunjukkan peningkatan kecuali China yang sedikit melambat, terkait kebijakan yang ditempuh pemerintah China untuk mengatasi gejala overheating. Krisis Eropa memicu tekanan di pasar keuangan global sepanjang triwulan II2010, tercermin dari anjloknya bursa saham global dan melonjaknya Credit Default Swap (CDS) serta yield spread PIIGS (Portugal, Italy, Ireland, Greece, and Spain). Di Asia, flight to quality terindikasi dari posisi jual neto investor asing di bursa saham, pelemahan mata uang regional, serta meningkatnya CDS sovereign. Sejauh ini dampak krisis di Eropa lebih banyak terasa pada tekanan di pasar keuangan global dan belum berpengaruh signifikan terhadap prospek pemulihan ekonomi global secara keseluruhan. Berbagai upaya yang ditempuh negara yang 2 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 mengalami krisis di Eropa seperti austerity program, bantuan European Union (EU) dan International Monetary Fund (IMF) sejauh ini mampu meredam gejolak pasar keuangan global yang terjadi sepanjang triwulan II-2010. Kinerja ekonomi domestik triwulan II-2010 diperkirakan lebih baik dari proyeksi sebelumnya. Pada triwulan II-2010, ekonomi domestik diperkirakan tumbuh 6,0%, lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya sebesar 5,7%. Optimisme tersebut didukung oleh kinerja investasi yang tumbuh lebih tinggi. Pertumbuhan investasi diperkirakan mencapai 10% (yoy) pada triwulan II-2010, sebagai respons dari permintaan domestik dan eksternal yang semakin kuat. Iklim investasi yang lebih baik juga didukung oleh sovereign credit rating Indonesia yang terus meningkat sejalan dengan semakin membaiknya fundamental ekonomi. Secara sektoral, kinerja ekonomi tahun 2010 terutama didukung oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Akselerasi perekonomian domestik yang lebih tinggi membutuhkan dukungan terutama terkait implementasi percepatan program-program infrastruktur. Pertumbuhan ekonomi yang terus membaik, tercermin pula pada pertumbuhan ekonomi daerah yang terus menguat. Kinerja perekonomian daerah terutama ditopang oleh perekonomian di Jakarta, Jawa Bagian Barat, Jawa Bagian Timur serta Sulawesi, Maluku dan Papua. Kinerja perkembangan ekonomi daerah yang membaik tersebut terutama didukung oleh membaiknya kinerja konsumsi, investasi dan ekspor. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga di daerah yang tetap kuat ditunjukkan oleh pertumbuhan kredit konsumsi yang meningkat, pertumbuhan penjualan eceran yang tetap tinggi, dan stabilnya nilai tukar petani di berbagai wilayah. Selain itu, penyelenggaraan Pilkada, yang terkonsentrasi di triwulan II-2010, berperan pula dalam meningkatkan konsumsi daerah. Dari sisi investasi, peningkatan terutama terjadi pada investasi bangunan. Kegiatan investasi bangunan yang tumbuh cukup tinggi terjadi di Sumatera, Jakarta serta Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Kegiatan investasi bangunan di daerahdaerah tersebut terutama pada sektor properti untuk komersial dan residensial. Dari sisi ekspor, pertumbuhan yang tetap tinggi terjadi di Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua dan Sumatera untuk komoditas hasil tambang dan Jakarta serta Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara untuk produk manufaktur. Dari sisi harga, tekanan inflasi sepanjang triwulan II-2010 menunjukkan peningkatan yang bersumber dari faktor nonfundamental. Kenaikan harga komoditas bumbu-bumbuan dan beras sepanjang triwulan II-2010 memberi tekanan pada inflasi IHK cukup signifikan. Inflasi IHK pada Juni 2010 tercatat sebesar 0,97 (mtm), lebih tinggi dari bulan-bulan sebelumnya yaitu 0,15% di Mei dan -0,14% di April 2010. Dengan perkembangan tersebut, selama triwulan II-2010 inflasi IHK tercatat sebesar 1,41 (qtq) atau mencapai 5,05% (yoy), meningkat signifikan ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2010 3 dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai 0,99% (qtq) atau 3,43% (yoy). Tingginya inflasi komoditas bahan makanan terjadi karena kendala pasokan yang dipicu oleh gangguan produksi dan distribusi akibat tingginya curah hujan di beberapa daerah. Sementara itu, perkembangan harga kelompok administered prices berdampak relatif kecil pada inflasi IHK. Dari sisi faktor fundamental, tekanan inflasi inti masih relatif rendah, ditopang oleh terkendalinya ekspektasi inflasi, minimalnya tekanan eksternal dan masih memadainya respons penawaran terhadap kenaikan permintaan. Meskipun tekanan inflasi pada triwulan II-2010 meningkat, secara keseluruhan tahun inflasi IHK diperkirakan akan tetap berada pada kisaran sasaran inflasi 5%±1%. Kondisi ekonomi global yang semakin kondusif dan fundamental ekonomi domestik yang cukup kuat mendukung neraca pembayaran Indonesia (NPI) triwulan II-2010 tetap solid. Transaksi berjalan diperkirakan mencatat surplus, terutama disebabkan oleh perbaikan ekonomi global yang terus berlanjut dan tren kenaikan harga komoditas global. Dari sisi neraca transaksi modal dan finansial (TMF) triwulan II-2010 diperkirakan juga mencatat surplus. Surplus neraca TMF didukung oleh kembali masuknya arus modal asing sejalan dengan gejolak pasar keuangan global yang mereda dan perbaikan outlook credit rating Indonesia. Dengan perkembangan tersebut cadangan devisa pada akhir Juni 2010 mencapai 76,3 miliar dolar AS, atau setara dengan 5,9 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah. Sejalan dengan kinerja NPI yang solid dan faktor risiko yang terjaga, nilai tukar rupiah berada pada tren menguat. Jika dibandingkan dengan triwulan I-2010, secara rata-rata rupiah menguat sebesar 1,58% (qtq), mencapai Rp9.110 per dolar AS. Penguatan rupiah pada triwulan II-tersebut diikuti oleh volatilitas yang turun dari 0,57% pada triwulan I-2010 menjadi 0,47% pada triwulan II-2010. Pada akhir triwulan II-2010 rupiah ditutup pada level Rp9.060 per dolar AS, atau menguat 0,33% (ptp) dibandingkan dengan triwulan I-2010. Paket kebijakan yang dikeluarkan Bank Indonesia pada tanggal 15 Juni 2010 secara umum direspons positif oleh pelaku pasar baik domestik maupun internasional sehingga tekanan terhadap nilai tukar rupiah mereda, dan semakin memperkuat manajemen moneter dan pendalaman pasar keuangan. Kinerja pasar keuangan secara keseluruhan pada triwulan II-2010 membaik, meski sempat tertekan pada Mei 2010. Kondisi pasar SUN dan pasar modal berangsur membaik, setelah sempat tertekan sentimen negatif krisis utang di Eropa pada Mei 2010. Membaiknya pasar modal dan SUN pada triwulan II-2010 ditopang oleh kembali masuknya dana investor asing dan meredanya tekanan bubble di pasar saham. Di pasar uang antarbank, kondisi likuiditas selama triwulan II-2010 cukup baik. Pelebaran koridor suku bunga PUAB O/N per 17 Juni 2010 berdampak pada penurunan suku bunga PUAB O/N. Sejalan dengan perbaikan kondisi global dan fundamental domestik, transmisi kebijakan moneter terus membaik. Hal tersebut tercermin 4 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 dari penurunan suku bunga deposito dan kredit, serta pertumbuhan kredit yang meningkat diperkirakan mencapai 18,6% pada Juni 2010. Di sisi mikro perbankan, kondisi perbankan nasional tetap stabil. Hal itu tercermin dari masih terjaganya rasio kecukupan modal (CAR) per Mei 2010 sebesar 17,8%. Sementara itu, rasio gross non-performing loan (NPL) tetap terkendali pada 3,6% dengan rasio neto sebesar 1%. Selain itu likuiditas perbankan, termasuk likuiditas di pasar uang antar bank kian membaik dan dana pihak ketiga (DPK) yang masih meningkat. Dengan mempertimbangkan bahwa tingkat BI Rate 6,5% masih konsisten dengan sasaran inflasi tahun 2010 sebesar 5%±1% dan arah kebijakan moneter saat ini juga dipandang masih kondusif bagi proses pemulihan perekonomian di tengah masih tingginya risiko global yang bersumber dari krisis utang di sejumlah negara Eropa, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 5 Juli 2010 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada level 6,5% dengan koridor suku bunga PUAB O/N sebagai sasaran operasional kebijakan moneter sebesar ±100 bps. Perdagangan Bebas Regional Dan Daya Saing Ekspor: Kasus Indonesia 5 PERDAGANGAN BEBAS REGIONAL DAN DAYA SAING EKSPOR: KASUS INDONESIA Amalia Adininggar Widyasanti 1 Abstract Indonesia has involved in quite many regional trade agreements, since more than a decade ago. Theoritically, Free Trade Agreements (FTAs) are very beneficial to the countries, as resources are more efficiently allocated due to production specialization. However, presence of asymmetric information, market inefficiency, and economic distortion in the real world have led to a deviation of FTAs benefits from its theoritical framework. This paper studies whether Indonesian export competitiveness is improving after Indonesia involves in ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) and ASEAN-Cina Free Trade Agreement (ACFTA). Export competitiveness are measured by some trade indicators, such as: trade intensity index, market share, export product dynamics, and RCA, for some Indonesian main export products. The indices are compared across ASEAN countries and Cina to reveal: (i) which products are gaining or losing competitiveness in ASEAN and Cina markets; and (ii) which countries are becoming Indonesian main competitors in ASEAN and Cina markets. Additionally, this paper ends up with some policy recommendations that Indonesia should undertake to improve competitiveness of its products in ASEAN and Cina markets. JEL Classification Classification: R11, F16 Keywords: FTA, export competitiveness, Indonesia. 1 Amalia Adininggar Widyasanti merupakan Wakil Direktur Perdagangan di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Ia meraih gelar PhD di bidang Ekonomi dari University of Melbourne, Australia. Semua pendapat dan opini yang tercantum dalam makalah ini merupakan pandangan pribadi dan tidak merepresentasikan kebijakan dari Kemeneg PPN. 6 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 I. PENDAHULUAN Menurut teori dagang internasional, FTA diterima karena keuntungan yang diperoleh oleh negara-negara yang terlibat dari perdagangan ini, yang berasal dari konsep keuntungan komparatif. Sebuah negara akan mengkhususkan diri dalam menghasilkan suatu produk jika memiliki keuntungan komparatif. Dengan pengkhususan macam ini, secara umum dunia dapat mengembangkan keluaran dunia total (total world output) dengan jumlah sumber daya yang sama, dan pada saat yang sama efisiensi ekonomi akan terus meningkat. Hasilnya, secara teoritis, sebuah FTA dapat menjamin bahwa negara-negara yang terlibat dalam kesepakatan ini, akan memperoleh keuntungan dari hasil terbentuknya perdagangan (trade creation) dan pengalihan dagang (trade diversion). Tren terbaru dari FTA menunjukkan bahwa banyak negara-negara di dunia telah terlibat di berbagai perjanjian dagang, baik perjanjian dagang bilateral maupun regional. Grafik II.1 menunjukkan adanya peningkatan jumlah FTA secara signifikan sejak tahun 2002 Jumlah FTA 250 210 221 195 200 134 150 94 100 69 50 8 0 «91 «92 «93 «94 «95 «96 «97 «98 «99 «00 «01 «02 «03 «04 «05 «06 «07 «08 «09 «10 Sumber: Database Pusat Integrasi Regional Asia , ADB (telah dimodifikasi) Grafik II.1: Perkembangan FTA di Dunia (1991-2010) Data di atas juga menunjukkan bahwa hingga saat ini FTA di dunia berjumlah 221, naik sebanyak 152 perjanjian dari tahun 2002, yang hanya berjumlah 69 perjanjian. Jumlah perjanjian bilateral dan regional meningkat dikarenakan keduanya merupakan opsi terbaik kedua bagi FTA setelah perjanjian multilateral. Namun karena implementasi dari perjanjian multilateral sulit untuk sepenuhnya diterapkan, banyak negara lebih memilih perjanjian bilateral dan regional untuk memperluas perdagangan dan memperkuat hubungan ekonomi dengan negara lain Gambar kedua menunjukkan klasifikasi FTA kedalam perjanjian bilateral dan plurilateral. Perjanjian bilateral mengacu pada preferential trading arrangement (perjanjian dagang pilihan) Perdagangan Bebas Regional Dan Daya Saing Ekspor: Kasus Indonesia 7 yang melibatkan dua pihak. Sebaliknya perjanjian plurilateral merupakan preferential trading arrangement yang melibatkan lebih dari dua pihak. Berdasarkan gambar di bawah, bisa dilihat bahwa perjanjian bilateral lebih mendominasi dibandingkan perjanjian multilateral, yang meliputi 77% dari total 221 perjanjian di tahun 2009. Hanya 23% dari seluruh perjanjian ini yang bersifat plurilateral. 51 (23%) 170 (77%) BILATERAL PLURILATERAL Sumber: Database Pusat Integrasi Regional Asia , ADB (telah dimodifikasi) Grafik II.2: Klasifikasi Perjanjian Dagang Indonesia telah banyak terlibat dalam berbagai perjanjian dagang. Hingga saat ini, Indonesia telah memiliki 7 perjanjian yang sudah berjalan, dan 8 perjanjian yang masih dalam tahap negosiasi atau studi lanjut. Tabel II.2 memperlihatkan FTA yang melibatkan Indonesia Makalah ini akan fokus dalam menganalisis daya saing dari produk ekspor Indonesia setelah diterapkannya ASEAN Free Trade Area (AFTA) and ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA). Alasan mengapa kedua FTA ini dipilih karena: (i) ASEAN dan Cina adalah pasar ekspor utama Indonesia; dan (ii) Negara-negara ASEAN merupakan pesaing utama Indonesia dalam pasar ini. 8 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 Tabel II.1 Daftar FTA yang Melibatkan Indonesia No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Nama Perjanjian ASEAN Free Trade Area ASEAN-Australia and New Zealand Free Trade Agreement ASEAN-India Regional Trade and Investment Area ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership ASEAN-Korea Comprehensive Economic Cooperation Agreement Japan-Indonesia Economic Partnership Agreement ASEAN - China Comprehensive Economic Cooperation Agreement ASEAN-EU Free Trade Agreement Comprehensive Economic Partnership for East Asia (CEPEA/ASEAN+6) East Asia Free Trade Area (ASEAN+3) India-Indonesia Comprehensive Economic Cooperation Arrangement Indonesia-Australia Free Trade Agreement Indonesia-European Free Trade Agreement Pakistan-Indonesia Free Trade Agreement United States-Indonesia Free Trade Agreement Status Telah berjalan Telah berjalan Telah berjalan Telah berjalan Telah berjalan Telah berjalan Telah berjalan Dalam tahapan negosiasi Telah diajukan/dalam tahapan konsultasi dan studi lanjut Telah diajukan/dalam tahapan konsultasi dan studi lanjut Telah diajukan/dalam tahapan konsultasi dan studi lanjut Telah diajukan/dalam tahapan konsultasi dan studi lanjut Telah diajukan/dalam tahapan konsultasi dan studi lanjut Dalam tahapan negosiasi Telah diajukan/dalam tahapan konsultasi dan studi lanjut Sumber: Database Pusat Integrasi Regional Asia , ADB (telah dimodifikasi) II. INDONESIA DIANTARA AFTA DAN ACFTA II.1. ASEAN Free Trade Area (AFTA) Para kepala negara dan pemerintahan ASEAN telah setuju untuk membentuk ASEAN Free Trade Area atau AFTA pada bulan Januari 1992. Tujuan dari AFTA adalah menghilangkan batasan tarif diantara negara-negara Asia Tenggara dengan visi mengintegrasikan ekonomi ASEAN ke dalam satu dasar produksi dan menciptakan pasar regional, yang akan ditempuh melalui penghapusan tarif intra-regional dan batasan non-tarif. ASEAN Free Trade Area atau AFTA dianggap sebagai wujud integrasi ekonomi ASEAN. AFTA mulai diimplementasikan sejak Januari 1993. Daftar pengurangan tarif untuk AFTA dibuat dibawah skema CEPT (Common Effective Preferential Tariff/ Tarif Umum Efektif Yang Dipilih) dan daftar penurunan tarif untuk ASEAN-6 lebih maju dibandingkan negara-negara CMLV (Kamboja, Myanmar, Laos, dan Vietnam). Dibawah skema CEPT, semua produk dikategorikan dalam 5 kelompok: Produk Inklusif/ Inclusion List (IL), Produk Sensitif/Sensitive List (SL), Produk Sangat Sensitif/Highly Sensitive List (HSL), Produk Eksklusif Sementara/Temporary Exclusion List (TEL), and Daftar Pengecualian Umum/General Exception List (GEL) Untuk Indonesia, jumlah batasan tarif yang dimasukkan dalam skema CEPT sebanyak 11.153 buah dimana 98.9%-nya atau 11.028 batasan tarif dimasukkan ke dalam Inclusion Perdagangan Bebas Regional Dan Daya Saing Ekspor: Kasus Indonesia 9 List. Sisanya termasuk dalam General Exclusion List dan Sensitive List. Struktur dari tarif Indonesia yang masuk dalam skema CEPT dapat dilihat pada gambar berikut 100 25 11.028 0 IL TEL GEL SL/HSL Sumber: Kementerian Keuangan Grafik II.3: Struktur dari Tarif Indonesia yang masuk dalam skema CEPT Impor (Juta $ ) 180.000 Tarif, %(Rata-rata tertimbang) Tarif (Rata-rata tertimbang) 160.000 Import (Juta $) 18 16 140.000 14 120.000 12 100.000 10 80.000 8 60.000 6 40.000 4 20.000 2 0 0 «93 «94 «95 «96 «97 «98 «99 «00 «01 «02 «03 «04 «05 «06 «07 Sumber: Database Perdagangan UNCTAD (sudah dimodifikasi) Grafik II.4: Pertumbuhan Impor dan Tarif di ASEAN-6 Negara-negara anggota ASEAN telah membuat kemajuan yang signifikan dalam menurunkan tarif intra-regional melalu skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT) untuk AFTA. Lebih dari 99 persen dari produk-produk yang tergolong dalam CEPT Inclusion List (IL) dari ASEAN-6, yang meliputi Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filippina, Singapura dan Thailand, telah mengalami penurunan tarif diantara 0-5 persen. Gambar 4 menunjukkan bahwa impor dari negara-negara ASEAN-6 dari wilayah ini telah meningkat seiring dengan diturunkannya tarif impor di ASEAN-6. 10 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 II.1.1 ASEAN-Cina FTA Dibulan November 2004, dalam acara 10th ASEAN Summit di Vientiane, Laos, para menteri perekonomian negara-negara ASEAN dan Cina menandatangani Perjanjian Perdagangan Barang/ Agreement on Trade in Goods (TIG) dari Kerangka Perjanjian Kerjasama Ekonomi Komprehensif (Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation) antara Cina dan ASEAN. Perjanjian ini dikenal sebagai ASEAN-Cina Free Trade Agreement (ACFTA) yang telah diterapkan efektif mulai 1 Juli 2005. Dalam perjanjian ini, batasan tarif dibawah modalitas penurunan tarif diklasifikasikan dalam 3 kelompok: early harvest program, normal track, dan sensitive track. Tarif yang termasuk dalam Normal Track telah diturunkan secara bertahap dan dieliminasi berdasarkan daftar berikut (ASEAN-6 dan Cina). Tabel II.2 Modalitas dari Penurunan Tarif Normal-Track untuk ASEAN-6 ACFTA Preferential Tariff Rate (Not Later than 1 Januari) X = Applied MFN Tariff Rate 2005* 2007* 2009 2010 X > 20% 20 12 5 0 15% < x < 20% 15 8 5 0 10% < x < 15% 10 8 5 0 5% < x < 10% 5 5 0 0 0 0 x < 5% Standsill * The first date of implementation shall be 1 Jully 2005 Tarif (Rata-rata Tertimbang), % 16 14 Tariff Applied to ASEAN-6 in China Market 2008 Tariff Applied to China in ASEAN-6 Market 2007 12 2006 10 2005 8 2004 6 2003 2002 4 2 0 2000 2001 2002 2003 2004 Sumber: UNComtrade dan Database Perdagangan UNCTAD 2005 2006 2007 -15000 Trade Balance of Indonesia With China 2001 Trade Balance of ASEAN-6 With China 2000 -10000 -5000 Neraca Perdagangan (Juta $) Grafik II.5: Tarif Impor dan Neraca Dagang ASEAN-6 dan Cina (2000-2007) 0 5000 Perdagangan Bebas Regional Dan Daya Saing Ekspor: Kasus Indonesia 11 2008 2007 2006 2005 2004 -8.000.000 Trade Balance Indonesia with China 2003 Trend of Trade Balance 2002 -6.000.000 -4.000.000 -2.000.000 0 2.000.000 Sumber: Departemen Perdagangan (telah mengalami modifikasi) Grafik II.6: Neraca Perdagangan Non-Migas antara Indonesia dan Cina (2004-2010) Namun penurunan tarif dari kelompok Sensitive Tracks akan mulai diimplementasikan pada tahun 2012, dan akan mengalami penurunan sebesar 0-5% tidak lewat dari tanggal 1 Januari 2018. Selanjutnya tarif dari produk dibawah High Sensitive List tidak akan melebihi 50% dimulai pada tahun 2015. Grafik diatas memperlihatkan bahwa weighted-average tariff telah mengalami penurunan baik di pasar ASEAN-6 dan Cina. Tampak defisit pada neraca perdagangan dari ASEAN-6 dengan Cina cenderung meningkat, yang mengindikasikan bahwa impor dari ASEAN-6 naik secara cepat dibandingkan volume ekspor ke pasar Cina. Disisi lain, neraca perdagangan total antara Indonesia cenderung surplus. Namun hal ini tidak berlaku bagi neraca perdagangan non-migas antara Indonesia dengan Cina dimana neraca perdagangan ini mulai mengalami defisit sejak tahun 2005. Sehingga dapat dikatakan perdagangan Indonesia dengan Cina mengalami surplus dikarenakan adanya surplus dalam jumlah besar dalam perdagangan minyak dan gas dari Indonesia ke Cina. III. COMPETITIVENESS INDICATORS Sejumlah literature (Ng, 2002; Mikic, 2005; ITC Market Analysis Section, 2000; World Bank Institute, 2010) telah menyediakan beberapa indikator dan petunjuk yang umum digunakan dalam analisis perdagangan internasional. Namun paper ini menggunakan indikator kemampuan kompetisi yang dianggap praktis dalam menganalisis apakah produk Indonesia semakin kompetitif, atau sebaliknya, setelah AFTA dan ACFTA diterapkan. Indikator yang digunakan 12 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 adalah indeks intensitas ekspor (export intensity index), pangsa pasar (market share), dan RCA dinamis (dynamic RCA) Indeks intensitas ekspor adalah ukuran penentu apakah satu negara mengekspor ke satu negara tujuan lain lebih banyak atau lebih sedikit dibandingkan negara-negara lain di dunia. Persamaannya dapat dirumuskan sebagai berikut: EII ij = xij xwj X iw X ww dimana xij merupakan nilai dolar dari ekspor negara/region i ke negara/region j, Xim adalah nilai dollar dari ekspor negara/region i ke penjuru dunia, xmj adalah nilai dollar dari ekspor dunia ke negara/region j, dan Xmm adalah nilai dollar dari ekspor pasar. Nilai indeks jika lebih besar dari 1 (>1) mengindikasikan bahwa laju perdagangan antar negara/region lebih besar dibandingkan perkiraan, melihat melihat posisi mereka dalam perdagangan dunia. Pangsa pasar diukur berdasarkan persamaan berikut MS ij = X ij Mj × 100% Dimana MSij = Pangsa Pasar negara i di pasar j. Xij = Ekspor negara i ke pasar j. Mj = Impor pasar j. RCA Dinamis merupakan modifikasi dari RCA Statis, dan belum banyak digunakan sebagaimana RCA Statis. RCA Dinamis telah digunakan oleh Edwards dan Schoer (2001) untuk menganalisis struktur dan daya saing dari perdagangan Afrika Selatan. Keuntungan menggunakan RCA dinamis adalah: (i) mampu mendeskripsikan RCA seiring waktu; dan (ii) dapat menentukan kedudukan produk dalam negara-negara tujuan ekspor, dimana indikator ini mengelompokkan produk berdasarkan posisi mereka dalam pasar sehingga RCA dinamis lebih bermanfaat dibandingkan RCA tradisional. Terutama bilamana studi ini digunakan untuk mengidentifikasi produk mana yang pasarnya makin luas atau semakin sempit dan untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan berdasarkan posisi pasar dari produk ekspor. Selain itu, RCA dinamis lebih informatif dibandingkan RCA statis dalam menjelaskan daya saing suatu produk ekspor. Perdagangan Bebas Regional Dan Daya Saing Ekspor: Kasus Indonesia 13 Dalam paper ini, rumus dari RCA dinamis yang mengacu pada Edwards dan Schoee (2001), dihitung menggunakan formula dibawah ini dan sedikit dimodifikasi agar sesuai dengan pasar ASEAN dan Cina, sebagai berikut: X i, j ∆ ∑ X i, j ∆RCA j j = DRCA j = X i, j RCA j ∑ X i, j X m, j ∆ ∑ X m, j j − X m, j ∑ X m, j j j Dimana: DRCAj = Indicator RCA dinamis Xi, j = Ekspor komoditas j negara i ke pasar tujuan (ASEAN atau Cina) Xm, j = Ekspor komoditas j negara ASEAN ke pasar tujuan (ASEAN atau Cina) Bagian pertama dari sisi sebelah kanan persamaan mengacu pada bagian ekspor dari komoditas j dalam laporan ekspor total suatu negara ke pasar tujuan. Bagian kedua mengacu pada bagian ekspor dari negara ASEAN atas komoditas j terhadap ekspor total ASEAN yang diarahkan kepada pasar tujuan. Edwards dan Schoer (2001) memberikan matriks penempatan yang sangat berguna untuk menganalisis daya saing dari produk dalam proses evaluasi. Matriks ini ditunjukkan pada Tabel II.3. Tabel II.3 Matriks Penempatan dari Daya Saing Ekspor Pangsa j pada ekspor negara RCA Naik RCA Turun Diadaptasi dari Edwards and Shoer (2001) pangsa j pada ekspor pasar Posisi > Rising stars > Falling stars > Lagging retreat < Lost opportunity < Leading retreat < Lagging opportunity 14 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 IV. DATA DAN METODOLOGI Data yang digunakan dalam makalah ini secara garis besar diperoleh dari Database UNCOMTRADE yang didapatkan menggunakan aplikasi World Integrated Trade Solution (WITS). Data ekspor diambil dari data tahun 1996-2008 untuk negara ASEAN dan Cina. Data untuk negara ASEAN hanya meliputi Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina dan Brunei, dikarenakan negara anggota ASEAN lainnya tidak memiliki set data lengkap di WITS. Analisis produk ini merujuk kepada klasifikasi HS 2 digit tahun 1996. Penghitungan Indeks Intensitas Ekspor secara khusus diperoleh dari Asia Regional Integration Center Database in Integration Indicator Database yang dapat diunduh dari http:// aric.adb.org/indicator.php. Klasifikasi lebih lanjut dari HS-1996 juga digunakan dalam makalah ini untuk memudahkan proses analisis. Klasifikasi dari Tabel 4 mengacu kepada Klasifikasi HS-1996 dengan bagianbagian yang telah dimodifikasi untuk mempersempit kategori. Tabel II.4 Klasifikasi Produk dibawah Kode HS-1996 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Klasifikasi Produk Hewan hidup dan produk hewani Produk nabati Lemak dan Minyak Hewani dan Nabati Produk Makanan Produk Mineral Bahan Kimia Plastik dan Karet Bahan Kulit Kayu dan Produk Kayu Tekstil Alas Kaki Batu dan Gelas Logam Mesin dan alat-alat elektronik Transportasi Lainnya Sumber: UNComtrade, http://comtrade.un.org/kb/article.aspx?id=10253 (sudah dimodifikasi oleh penulis) Kode HS 01-05 06-14 15 16-24 25-27 28-38 39-40 41-43 44-49 50-63 64-67 69-71 72-83 84-85 86-89 90-97 Perdagangan Bebas Regional Dan Daya Saing Ekspor: Kasus Indonesia 15 V. HASIL DAN ANALISIS V.1. AFTA Sebelum implementasi AFTA di tahun 1992, kontribusi Indonesia pada ekspor ASEAN-6 ke ASEAN-6 berkisar pada angka 12.7%. Kemudian angka ini berkurang di tahun 1995 namun kembali naik hingga saat ini. Saat ini hampir seluruh komoditas dan produk ekspor Indonesia mengalami kenaikan atau stabil di pangsa pasar. Ini menunjukkan bahwa produk Indonesia cukup kompetitif di pasar ASEAN. Namun ada beberapa produk yang mengalami lonjakan turun di pasar, yakni bahan kimia, tekstil, bahan kulit, mesin dan alat-alat elektronik. Kompetitor utama dari produk-produk tersebut adalah Malaysia untuk bahan kimia, Singapura untuk mesin/alat elektronik, Thailand untuk tekstil dan Vietnam untuk tekstil dan produk kulit. Tabel II.5 Pangsa Pasar dari Produk Ekspor Indonesia di ASEAN Produk Pangsa Pasar Yang Meningkat Pangsa Pasar Yang Stabil Pangsa Pasar Yang Turun Total Minyak hewani/nabati Produk makanan Alas kaki Logam Transportasi Plastik dan karet Produk kayu Sayuran Produk mineral Lain-lain Produk hewani Batu/kaca Bahan kimia Mesin/elektrik Produk kulit Tekstil Pangsa Pasar 1992 1995 2005 2006 2007 2008 12,7% 30,5% 15,0% 15,9% 2,8% 7,0% 6,5% 20,1% 17,3% 19,5% 6,9% 18,4% 20,1% 13,2% 14,2% 20,2% 55,7% 8,8% 24,2% 13,2% 11,5% 3,3% 14,4% 8,1% 19,1% 15,0% 13,4% 21,0% 18,7% 20,1% 9,7% 8,8% 9,2% 21,3% 10,1% 48,9% 16,8% 28,0% 24,3% 12,4% 9,2% 23,6% 13,4% 9,8% 6,7% 18,3% 16,4% 9,5% 6,8% 10,7% 25,2% 10,1% 51,1% 18,4% 28,3% 23,6% 15,6% 9,6% 24,3% 12,1% 10,5% 9,0% 17,5% 22,6% 9,3% 5,7% 16,0% 22,7% 10,8% 53,7% 18,2% 24,6% 23,4% 14,0% 10,3% 23,1% 10,4% 12,1% 9,8% 19,0% 20,9% 13,8% 5,5% 13,3% 22,1% 11,6% 57,5% 20,2% 21,5% 25,3% 17,1% 10,8% 22,7% 8,1% 12,1% 8,4% 22,3% 19,1% 9,9% 6,0% 8,7% 19,9% Sumber: Database UNCOMTRADE (dihitung oleh penulis) Di Tabel II.6 dapat dilihat bahwa indeks intensitas ekspor negara-negara ASEAN meningkat terutama di tahun 2000-an dengan sedikit penurunan di tahun 1995. Indeks Intensitas Ekspor Indonesia telah mengalami peningkatan dimana ini berarti AFTA telah membantu Indonesia untuk mengekspor lebih banyak ke negara-negara ASEAN, sehingga intensitas ekspor Indonesia 16 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 terus menerus meningkat. Negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Singapura dan Thailand juga terus mengalami peningkatan indeks intensitas ekspor. Sehingga dapat dikatakan bahwa AFTA telah memperbaiki laju perdagangan antar negara di region ini. Tabel II.6 Indeks Intensitas Ekspor dari negara-negara ASEAN di Pasar ASEAN Reporter 1992 1995 2005 2006 2007 2008 ASEAN 4,05 3,67 4,66 4,63 4,67 4,56 Indonesia 2,71 2,14 3,40 3,40 3,62 3,54 Malaysia 6,02 4,14 4,80 4,84 4,76 4,61 Singapura 4,53 4,55 5,77 5,72 5,87 5,71 Thailand 2,73 2,97 4,05 3,87 3,95 4,04 Vietnam 3,98 2,97 3,26 3,09 3,09 2,91 Hasil lainnya yang menarik di makalah ini diperlihatkan pada Grafik II.7 yang melihat posisi Daya Saing Ekspor Indonesia di pasar ASEAN berdasarkan kelompok produknya. Yang cukup menggembirakan adalah hanya ada satu kelompok produk (dari 16 kelompok produk) yang telah kehilangan daya saingnya di pasar ASEAN, sekaligus telah kehilangan kesempatannya untuk kembali bersaing, yakni produk sayuran. Banyak produk yang termasuk dalam kelompok yang sedang menjulang (rising star), yang amat menjanjikan bagi masa depan perdagangan Indonesia dengan ASEAN. Namun Indonesia telah memberikan perhatian khusus pada beberapa produk yang memiliki lagging opportunity, yakni produk metal dan mineral. Berdasarkan hasil tersebut, pertumbuhan pangsa pasar Indonesia untuk produk ini masih dibawah pertumbuhan permintaan ASEAN akan produk-produk ini. Ini berarti bahwa Indonesia masih memiliki banyak kesempatan untuk meningkatan pangsa dari produk-produk ini di pasar ASEAN. Secara umum, Indonesia telah merambah pasar yang tepat di ASEAN. Perdagangan Bebas Regional Dan Daya Saing Ekspor: Kasus Indonesia 17 Pertumbuhan pangsa j di pasar ekspor Lost Opportunity Lagging Opportunity 5 2 13 8 Rising Star 7 15 4 3 6 1 Leading Retreat 10 14 12 11 9 Lagging Retreat Pertumbuhan pangsa j di ekspor negara 16 Falling Star Catatan: = RCA Naik = RCA Turun Grafik II.7. Posisi Daya Saing Produk Indonesia di Cina Menggunakan RCA Dinamis 1 = Hewan hidup dan produk hewani, 2 = Produk sayuran, 3 = Lemak dan minyak hewani/nabati, 4 = Produk makanan, 5 = Produk mineral, 6 = Bahan kimia, 7 = Plastik dan karet, 8 = Produk kulit, 9 = Kayu dan produk kayu, 10 = Tekstil, 11 = Alas kaki, 12 = Batu dan kaca, 13 = Logam, 14 = Mesin/elektrik, 15 = Transportasi, 16 = Lain-lain V.2 ASEAN-Cina FTA Setelah berlakunya FTA ASEAN-Cina, struktur ekspor Indonesia ke Cina sedikit mengalami perubahan. Sebelum ACFTA, kayu dan produk kayu (HS-44) merupakan salah satu 10 besar komoditas ekspor Indonesia ke Cina, dimana pangsanya mencakup 7.2% dari total ekspor ke Cina. Namun setelah ACFTA, komoditas ini digantikan posisinya oleh bijih, terak dan abu (HS26). Selain itu, pangsa dari bahan bakar mineral, minyak dan produknya (HS-27) dan lemak dan minyak hewani dan nabati (HS-15) juga meningkat dari 26.1% dan 12.8% di tahun 2004 menjadi 39.2% dan 18.2%. Alasan utamanya adalah karena beberapa tahun kebelakang Cina mengimpor lebih banyak bahan mentah industri akibat meningkatnya aktivitas industri dan produksi. Alasan ini juga diperkuat dengan kebijakan Cina yang meningkatkan volume impor bijih,terak dan abu dan juga barang-barang besi dan logam. Sehingga Indonesia, sebagai salah satu pemasok utama produk-produk tambang, juga mengalami peningkatan volume ekspor untuk produk ini. 18 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 Tabel II.7 10 Besar Komoditas Ekspor Indonesia ke Cina (2004 and 2008) 2004 27 15 29 44 46 40 47 84 83 73 Pangsa Bahan bakar mineral, minyak dan produk turunannya Minyak/lemak hewani/nabati Kimia organik Kayu dan produk kayu Jerami Karet dan produk karet Bubur kayu dan produk serat Reaktor nuklir, boiler, mesin lain Produk logam lainnya Produk besi/baja, Pangsa Total Ekspor to Cina 26,1% 12,8% 12,3% 7,2% 5,7% 5,5% 4,3% 4,2% 2,7% 2,6% 83,4% 2008 27 15 40 46 26 29 73 84 83 47 Pangsa Bahan bakar mineral, minyak dan produk turunannya 39,2% Minyak/lemak hewani/nabati 18,2% Karet dan produk karet 7,7% Jerami 6,4% Bijih, terak dan abu, 5,6% Kimia organic 2,9% Produk besi/baja, 2,7% Reaktor nuklir, boiler, mesin lain 2,4% Produk logam lainnya 2,2% Bubur kayu dan produk serat 1,7% 89,01% Pangsa Total Ekspor ke China Sumber: Database UNCOMTRADE (dihitung oleh penulis) Tabel II.8 menunjukkan pangsa pasar Indonesia di Cina berdasarkan kategori produk. Pembagi pada pangsa ini adalah total ekspor ASEAN-6+Vietnam ke pasar Cina. Dari data diatas dapat dilihat bahwa pangsa ekspor Indonesia ke Cina cenderung stabil dengan sedikit peningkatan di tahun 2008. Beberapa produk Indonesia mampu membuka pasar di Cina setelah berlakunya ACFTA di tahun 2005. Produk-produk tersebut adalah minyak dan lemak hewani/ Tabel II.8 Pangsa Pasar Ekspor Indonesia ke Cina (2005-2008) Produk Total Minyak hewani/nabati Produk makanan Pangsa Alas kaki Pasar Yang Logam Meningkat Produk Mineral Plastik dan karet Produk Kulit Lainnya Pangsa Pasar Sayuran Yang Stabil Transportasi Produk hewani Bahan kimia Pangsa Mesin/elektrik Pasar Batuk/kaca Yang Turun Produk kayu Tekstil Pangsa Pasar 2003 2004 2005 2006 2007 2008 22,2% 24,7% 5,4% 20,5% 16,9% 22,9% 6,3% 4,1% 1,5% 4,4% 4,3% 25,5% 18,2% 1,6% 15,2% 59,1% 31,7% 20,4% 29,6% 5,2% 21,7% 14,3% 21,1% 8,1% 6,5% 2,2% 4,9% 6,6% 26,8% 19,3% 1,7% 20,7% 53,2% 25,2% 20,8% 36,4% 7,7% 24,3% 21,4% 38,5% 8,1% 14,3% 2,3% 4,5% 8,2% 21,5% 19,1% 1,2% 14,8% 49,6% 20,9% 19,8% 39,6% 5,5% 21,0% 22,4% 39,7% 9,9% 20,7% 2,8% 3,5% 8,8% 17,5% 16,5% 1,2% 10,7% 50,4% 22,6% 19,6% 34,1% 7,1% 29,4% 14,7% 40,9% 10,0% 17,3% 3,3% 4,5% 7,2% 9,0% 16,1% 1,3% 8,3% 46,4% 22,7% 22,4% 34,7% 6,9% 31,4% 16,4% 38,1% 10,1% 17,9% 3,0% 6,7% 2,5% 18,1% 14,3% 1,5% 4,9% 53,0% 22,6% Perdagangan Bebas Regional Dan Daya Saing Ekspor: Kasus Indonesia 19 nabati, produk makanan, alas kaki, logam, produk mineral, plastik dan karet, dan juga produk kulit. Dapat disimak pula bahwa produk yang mengalami kenaikan pangsa pasar pada umumnya adalah produk berbasis sumber daya alam, yang diklasifikasikan sebagai produk pertanian dan pertambangan, kecuali alas kaki. Produk manufaktur seperti: kayu, tekstil, dan mesin/alat-alat elektronik mengalami penurunan pangsa pasar. Hal ini disebabkan karena produk-produk ini tidak dapat bersaing dengan produk-produk lokal Cina atau negara ASEAN lainnya. Pesaing utama Indonesia untuk produk bahan kimia, mesin/elektronik, produk kayu dan tekstil di pasar Cina adalah Thailand yang pangsa pasarnya juga mengalami kenaikan setelah diberlakukannya ACFTA. Dan juga Vietnam merupakan pemasok yang cukup kuat untuk produk kayu dan tekstil ke pasar Cina, yang pangsa pasarnya juga melonjak naik dibawah kerangka kerja ACFTA. Namun produk-produk mesin/elektronik dan kimia Vietnam tidak cukup mampu bersaing di pasar Cina. Index Intensitas Ekspor negara-negara ASEAN di pasar Cina cenderung meningkat (Tabel II.9), dan disaat yang sama indeks intensitas ekspor Cina ke ASEAN juga turut meningkat. Indeks Intensitas Ekspor untuk semua negara di semua tahun selalu lebih dari 1, yang menujukkan bahwa laju perdagangan antara negara-negara ASEAN ke Cina, dan sebaliknya, lebih besar dari perkiraan dengan memperhatikan tingkat kepentingan dari perdagangan regional ini. Ini berarti bahwa implementasi ACFTA mampu meningkatkan intensitas perdagangan antara negara-negara yang berpartisipasi dan secara umum memperbaiki laju perdagangan antara negara-negara di region ini. Tabel II.9 Indeks Intensitas Ekspor negara-negara ASEAN dan Cina Reporter Partner 2003 2004 2005 2006 2007 2008 ASEAN Cina 1,31 1,35 1,42 1,46 1,49 1,45 Indonesia Cina 1,24 1,20 1,38 1,39 1,38 1,37 Malaysia Cina 1,30 1,24 1,17 1,22 1,42 1,54 Singapura Cina 1,26 1,44 1,52 1,64 1,57 1,48 Thailand Cina 1,42 1,37 1,46 1,52 1,58 1,48 Vietnam Cina 1,87 2,04 1,76 1,37 1,22 1,16 Reporter China Partner ASEAN 2003 1,31 2004 1,34 2005 1,34 2006 1,37 2007 1,43 2008 1,43 20 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 Hasil dari perhitungan RCA dinamis dirangkum pada gambar 8, yang menggambarkan posisi daya saing produk ekspor Indonesia di pasar Cina. Produk-produknya diklasifikasikan dalam beberapa kategori yang terdapat di Tabel II.4. Dapat terlihat bahwa hanya 3 kelompok produk yang sedang ≈meroket∆ (rising star) yakni produk mineral. Plastik dan karet, dan alas kaki. Product dengan lagging opportunity yaitu minyak dan lemak hewani dan nabati dan produk makanan. Lagging opportunity berarti permintaan untuk produk-produk ini di Cina cukup tinggi, namun tingkat pertumbuhan ekspornya masih lebih rendah daripada permintaan yang ada.Kebanyakan produk ekspor Indonesia di Cina dikategorikan sebagai leading retreat atau lagging retreat. Disisi lain, Indonesia ke depannya sebaiknya tidak terlalu fokus pada ekspor bahan kulit karena permintaan pasar Cina untuk produk ini sedang menurun. Pertumbuhan pangsa j di pasar ekspor Lost Opportunity Lagging Opportunity 15 4 3 5 7 12 Leading Retreat 6 14 11 Rising Star Pertumbuhan pangsa j di ekspor negara 8 9 1 13 10 16 Lagging Retreat 2 Falling Star Catatan: = RCA Naik = RCA Turun Grafik II.8. Posisi Daya Saing Produk Indonesia di Cina Menggunakan RCA Dinamis 1 = Hewan hidup dan produk hewani, 2 = Produk sayuran, 3 = Lemak dan minyak hewani/nabati, 4 = Produk makanan, 5 = Produk mineral, 6 = Bahan kimia, 7 = Plastik dan karet, 8 = Produk kulit, 9 = Kayu dan produk kayu, 10 = Tekstil, 11 = Alas kaki, 12 = Batu dan kaca, 13 = Logam, 14 = Mesin/elektrik, 15 = Transportasi, 16 = Lain-lain Perdagangan Bebas Regional Dan Daya Saing Ekspor: Kasus Indonesia 21 VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN Makalah ini memberikan beberapa analisis mengenai daya saing produk ekspor Indonesia di ASEAN dan Cina, setelah implementasi ASEAN FTA dan ASEAN-Cina FTA. Indikator daya saing yang digunakan dalam paper ini adalah pangsa pasar, indeks intensitas ekspor dan RCA dinamis. Hasilnya menunjukkan bahwa Indonesia dalam kondisi yang baik dan telah membuka pangsa pasarnya sendiri untuk beberapa produk. Namun beberapa strategi kebijakan diperlukan untuk produk-produk ini, terutama untuk produk sayuran yang telah kehilangan kesempatannya di pasar ASEAN. Beberapa kebijakan yang dibutuhkan diantaranya adalah diversifikasi produk, perbaikan kendali mutu dan masalah yang terkait dengan kesehatan. Di pasar Cina, Indonesia berhasil merebut pasar hanya untuk produk plastik dan karet, produk mineral dan alas kaki. Produk-produk yang berada dalam kondisi lagging opportunity, adalah minyak dan lemak hewani dan nabati, dan produk makanan, yang berarti Indonesia masih dapat melakukan perbaikan-perbaikan untuk mengoptimalkan kesempatan ini, dimana tingkat pertumbuhan ekspor untuk produk ini, masih dibawah permintaan pasar. Kebanyakan produk ekspor Indonesia di pasar Cina dikategorikan sebagai leading retreat dan lagging retreat. Pada kasus ACFTA, Indonesia masih dapat meningkatkan performa ekspornya di pasaar Cina. 22 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 DAFTAR PUSTAKA Edwards and Schoer (2001). The Structure and Competitiveness of South African Trade, Trade and Industrial Policy Strategy √ Annual Forum, Muldersdrift. Ng (2002). Trade Indicators and Indices, in Development, Trade, and WTO: A Handbook, edited by Hoekman, Mattoo, and English, The World Bank, Washington DC. Mikic (2005). Commonly Used Trade Indicators: A Note, dipresentasikan pada ARTNeT Capacity Building Workshop on Trade Research, UNESCAP. ITC Market Analysis Section (2000). The Trade Performance Index √ Background Paper, UNCTAD/ WTO. Utkulu and Seymen (2004). Revealed Comparative Advantage and Competitiveness: Evidence for Turkey vis-à-vis the EU/1, paper dipresentasikan pada European Trade Study Group 6th Annual Conference, Nottingham. World Bank Institute (2010). World Trade Indicators 2009/2010 √ User Guide to Trade Data, The World Bank. Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia 23 DAMPAK PELAKSANAAN ACFTA TERHADAP PERDAGANGAN INTERNASIONAL INDONESIA Ibrahim Meily Ika Permata Wahyu Ari Wibowo1 Abstract This study analyze the impact of the implementation of trade agreements within the framework of ACFTA on Indonesia»s export by using the GTAP model; a Multi Regional Computable General Equilibrium Model. Results shows that ACFTA provide opportunities for increased export from Indonesia; Indonesia obtained a net trade creation of international trade amounted to 2% and total exports growth increased by 1.8. However, the export performance of Indonesia in the period showed a decrease of competitiveness, as shown by the decline in share of Indonesian export commodities which are highly competitive and high intra-industry linkage. This paper also find that because the commodity structure of China and the non compeeting behavior of ASEAN countries including Indonesia (tends to complement), China is relatively easier to penetrate export to the ASEAN market. The entering products from China should provide opportunities for domestic producers to increase production capacity in ASEAN, due to wider choice of relatively cheap capital goods imports. JEL Classification Classification: C67, F14, R12 Keywords: ACFTA, trade, export, GTAP, Revealed Comparative Advantage, CGE. 1 Penulis adalah para peneliti di BRE-DKM Bank Indonesia serta bertanggung jawab atas hasil riset dan segala opininya. Ucapan terima kasih ditujukan kepada Pimpinan DKM Bp. Perry Warjiyo dan Bp. Iskandar Simorangkir, dan seluruh peneliti lainnya yang telah mendukung penelitian ini. 24 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 I. PENDAHULUAN Perkembangan perdagangan internasional mengarah pada bentuk perdagangan yang lebih bebas yang disertai dengan berbagai bentuk kerjasama bilateral, regional dan multilateral. Salah satu tujuan utama perjanjian perdagangan internasional adalah berupaya mengurangi atau menghilangkan hambatan perdagangan. Liberalisasi perdagangan dunia dengan pola kerjasama internasional memberikan implikasi yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi dunia. Nilai perdagangan dunia tumbuh lebih dari dua kali lipat dari pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) riil dunia (Krueger, 1999). Pada pertengahan 1980an, preferential trading arrangements (PTA) berkembang sebagai pelengkap dari kerjasama internasional. Berbeda dengan kerjasama internasional, PTA melibatkan dua atau beberapa negara. Berdasarkan teori PTA, sebagaimana dipaparkan oleh Kemp (1964) and Vanek (1965), dampak dari dua atau beberapa negara yang membentuk custom unions (common external tariff) adalah meningkatnya kesejahteraan dari negara-negara yang tergabung dalam union tersebut dan tidak menyebabkan turunnya kesejahteraan negaranegara di luar union tersebut. Hal ini dibuktikan dalam studi yang dilakukan oleh Ohyama (1972) dan Kemp dan Wan (1976). Ketimbang menetapkan common external tariff, pola PTA yang lebih banyak berkembang adalah penghilangan hambatan dagang intra atau dikenal sebagai Free Trade Agreement (FTA). Beberapa FTA yang telah berjalan yaitu North American Free Trade Area (NAFTA), European Economic Area (EEA), African Free Trade Zone (AFTZ) dan South Asia Free Trade Agreement (SAFTA). Demikian juga dengan Indonesia yang telah melakukan kerjasama perdagangan baik yang bersifat bilateral, regional maupun internasional. Meskipun keterlibatan Indonesia dalam berbagai kerjasama perdagangan tersebut memberikan tantangan terhadap produk dalam negeri, tujuan dari semua perjanjian tersebut adalah adanya dampak positif bagi perekonomian negara-negara yang terlibat dan ekonomi Indonesia pada khususnya. Terkait dengan kawasan regional, Indonesia tergabung dalam ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang ditandatangani pada tanggal 28 Januari 1992. Dalam perkembangannya, kerjasama diperluas dengan melibatkan berbagai negara lainnya termasuk dengan Cina yang dikenal sebagai ACFTA. Secara khusus, keterlibatan Indonesia dalam ACFTA perlu untuk dicermati lebih lanjut. Hal ini terkait dengan banyak faktor seperti kesiapan produk dalam negeri menghadapi serangan barang impor dari Cina, serta potensi pasar ASEAN yang menjadi berkurang. Dari berbagai literatur studi yang ada, telah banyak diulas dampak ACFTA dari berbagai dimensi dan alat analisis. Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu pelengkap studi dampak ACFTA dengan nilai tambah baru. Dengan demikian, informasi yang terkait dengan studi perdagangan pasar ACFTA semakin lengkap. Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia 25 Tujuan dari paper ini adalah (i) Memberikan sumbangan bagi kajian sektor eksternal khususnya perdagangan internasional Indonesia, (ii) Memberikan pemahaman terhadap struktur perdagangan Indonesia khususnya dalam lingkup kawasan regional ASEAN Cina, (iii) Mengukur dampak pelaksanaan perjanjian ACFTA terhadap perdagangan internasional negara anggota pada umumnya, dan bagi Indonesia pada khususnya, dan (iv) Pemetaan peluang dan tantangan yang ditunjukkan oleh karakteristik ekspor Indonesia. Peluang terkait dengan terbukanya pasar Cina bagi komoditas ekspor Indonesia. Tantangan terkait dengan masuknya Cina dalam persaingan di pasar ASEAN. Dampak dari perdagangan ACFTA terhadap perekonomian Indonesia mencakup banyak aspek yang dapat menjadi pengembangan analisis lebih lanjut seperti PDB, tenaga kerja, investasi, inflasi dan perdagangan internasional. Untuk memberikan nilai tambah topik bahasan ACFTA yang telah ada sebelumnya, penelitian ini lebih difokuskan dampak ACFTA terhadap ekspor Indonesia. Analisis berbagai indikator kinerja dan karakteristik ekspor Indonesia secara khusus diarahkan pada cakupan pasar ACFTA. Dari sisi alat analisis, hasil model GTAP yang diulas hanya terkait dengan dampak perdagangan khususnya ekspor Indonesia dengan partner dagang negara-negara kawasan ACFTA. Atas dasar hasil model GTAP tersebut, dilakukan analisis lebih lanjut baik dengan menggunakan alat analisis indikator perdagangan internasional seperti RCA, IIT, IES, IEO. Bagian kedua dari paper ini mengulas tentang landasaan empiris dan studi literatur tentang perdagangan dan keseimbangan perekonomian, bagian ketiga mengulas tentang metodologi yang digunakan, bagian keempat membahas hasil dan analisis sementara kesimpulan dan implikasi menjadi penutup. II. LANDASAN EMPIRIS DAN STUDI LITERATUR II.1. Model Dasar Perdagangan Internasional Perekonomian suatu negara merupakan agregasi dari perilaku setiap individual. Keseimbangan barang di suatu negara dapat dijelaskan berdasarkan interaksi dari perilaku maksimisasi profit produsen dan maksimisasi utilitas konsumen. Dalam suatu perekonomian yang tertutup (autarky), pada kondisi keseimbangan (titik A), komposisi jumlah barang dan harga barang yang tercipta merupakan hasil mekanisme interaksi dari agregat demand dan agregat supply dalam negeri (Grafik III.1). 26 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 Y Y A Ua p a X X Sumber : Markusen et al, International Trade and Evidence Grafik III.1: Model Keseimbangan Perekonomian Tertutup (Autarky) Agregat supply sangat dipengaruhi oleh faktor produksi (endownment) yang tersedia dan besarnya tingkat produksi yang diwakili oleh fungsi produksi dan teknologi. Sementara agregat demand sangat dipengaruhi oleh tingkat kurva utilitas konsumen (U) dan keranjang konsumsi yang tersedia. Tingkat produksi, konsumsi dan tingkat utilitas konsumen sangat tergantung dengan endownment dan jenis produk yang tersedia di perekonomian tersebut. Produsen hanya mempunyai pilihan untuk memproduksi kumpulan jenis produk tertentu dan berusaha memaksimalkan profit berdasarkan endownment dan fungsi produksi yang dimilikinya. Di lain pihak, konsumen hanya dapat memaksimasi utilitasnya dengan mengkonsumsi kombinasi jenis produk yang diproduksi dalam negeri saja dan secara tidak langsung, tingkat utilitasnya pun akan menjadi sangat terbatas. Perbedaan endownment antar negara, serta perbedaan tingkat produksi dan teknologi serta jenis produk yang dihasilkan menyebabkan besarnya variasi jenis produk yang dihasilkan antar negara. Sementara perbedaan selera dan tingkat utilitas individu antar negara berimplikasi pada tingginya variasi keranjang konsumsi yang diinginkan konsumen antar negara. Dalam lingkup yang lebih luas dan sejalan dengan era globalisasi, perekonomian tidak lagi terbatas hanya pada lingkup suatu negara namun telah berkembang dan melewati lintas batas negara. Perilaku maksimisasi profit perusahaan dan maksimisasi utilitas konsumen pun tidak lagi terbatas pada lingkup negara namun dapat bersifat antar batas. Pada model keseimbangan perekonomian terbuka, terdapat peluang untuk memaksimisasi profit dengan melebarkan pasar ke luar dan berproduksi melebihi demand dalam negeri. Di sisi lain konsumen juga memiliki peluang untuk memaksimisasi utilitas dengan mengkonsumsi Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia 27 Y Y Yp Q C Yc p* Xp X X Xc Sumber : Markusen et al, International Trade and Evidence Grafik III.2: Model Keseimbangan Perekonomian Terbuka suatu jenis produk tertentu melebihi supply dalam negeri ataupun mengkonsumsi jenis produk yang lebih beragam, tidak hanya terbatas pada jenis produk dalam negeri. Kedua hal tersebut di atas pada akhirnya akan mendorong terjadinya pertukaran barang antar negara. Hasil dari interaksi individu di suatu negara dengan individu di negara lainnya tersebut menyebabkan terjadinya pertukaran barang, jasa, dan faktor yang lazim disebut dengan perdagangan internasional yang menyebabkan pergeseran keseimbangan awal (titik A) ke arah keseimbangan berdasarkan perdagangan internasional (titik C) (Grafik III.2). Excess demand produk x (xc-xp) dapat dipenuhi dengan melakukan impor dari negara lain sehingga konsumen dapat memilih keranjang konsumsi yang menghasilkan tingkat utilitas yang lebih tinggi yaitu titik C. Sementara produksi produk y yang melebihi demand dalam negeri dan mengekspor kelebihan (excess supply) produk y tersebut (yc-yp) di pasar internasional. Dengan kata lain, perdagangan internasional adalah pertukaran barang, jasa dan faktor yang terjadi antar negara atau telah melewati batasan nasional/bersifat internasional. Secara teoritis paling tidak terdapat 5 keuntungan dengan adanya perdagangan. Keuntungan pertama yaitu keuntungan dari adanya pertukaran. Dengan adanya perdagangan, suatu negara dapat memproduksi suatu produk melebihi demand dalam negerinya dan mengekspor kelebihan (excess supply) tersebut di pasar internasional yang pada akhirnya akan memperluas pasar dan meningkatkan tingkat keuntungan. Di sisi lainnya, excess demand terhadap suatu produk dapat dipenuhi dengan melakukan impor dari negara lain sehingga konsumen dapat memilih keranjang konsumsi yang menghasilkan tingkat utilitas yang lebih tinggi. 28 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 Keuntungan kedua yaitu keuntungan yang didapat dari terjadinya spesialisasi. Dengan adanya perdagangan, suatu negara dapat lebih fokus pada suatu jenis produk dimana mereka dapat berproduksi dengan tingkat efisiensi yang relatif tinggi. Sementara kebutuhan akan produk yang tidak dapat diproduksi dalam negeri secara efisien dapat dilakukan dengan melakukan impor produk tersebut dari negara lainnya. Keuntungan ketiga yang dapat diraih dari perdagangan terkait dengan keragaman preferensi individu. Adanya perdagangan memberikan lebih banyak pilihan produk kepada konsumen yang akan semakin membantu dalam pemenuhan dan bahkan dapat menaikkan tingkat utilitas konsumen. Keuntungan keempat terkait dengan keragaman endownment yang dimiliki oleh suatu negara. Dengan adanya perdagangan suatu negara yang sebelumnya adanya perdagangan tidak memiliki ataupun sangat terbatas akses terhadap suatu jenis produk, dengan adanya perdagangan maka pemenuhan kebutuhan atas jenis produk tersebut akan dapat dipenuhi. Keuntungan yang kelima yang mungkin diraih yaitu transfer teknologi modern. Dengan adanya perdagangan internasional membuka peluang suatu negara untuk mempelajari suatu teknik produksi yang lebih efisien dan modern. Literatur menyebutkan bahwa suatu negara akan cenderung mengekspor suatu produk yang ketersediaannya berlimpah di negara tersebut atau dengan kata lain akan cenderung mengekspor produk yang bersifat excess supply. Sementara model Ricardian memprediksi bahwa suatu negara akan fokus berproduksi pada jenis produk yang memiliki keunggulan komparatif tertinggi. Teorema Heckscher-Ohlin menyebutkan bahwa suatu negara akan cenderung mengekspor komoditas yang secara intensif memanfaatkan faktor produksinya yang berlimpah. Sebagai contoh, suatu negara dengan tingkat labor yang berlimpah namun dengan tingkat kapital yang terbatas akan cenderung mengekspor produk yang bersifat labor intensif dan akan cenderung mengimpor produk yang bersifat kapital intensif. Perbedaan fungsi produksi di suatu negara juga akan turut menentukan arah perdagangan negara tersebut. Suatu negara yang dapat berproduksi secara relatif lebih efisien di suatu jenis produk akan cenderung menjadi pengekspor produk tersebut. Dalam kenyataannya, perdagangan bebas berlangsung tidak secara bebas. Hambatan pedagangan dapat berbentuk tarif dan non-tarif. Penetapan besaran tarif mempunyai pengaruh terhadap keseimbangan output dan harga. Hambatan tersebut mengakibatkan harga yang lebih tinggi yang mengakibatkan menurunnya permintaan terhadap barang dari luar negeri; sesuai mekanisme permintaan-penawaran. Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia 29 Sebagai ilustrasi, peningkatan tarif impor mengakibatkan harga barang impor menjadi relatif lebih mahal dan menurunkan permintaan terhadap barang tersebut. Hal ini memberikan insentif terhadap barang produksi dalam negeri. Di sisi lain, subsidi ekspor mengakibatkan harga barang produksi dalam negeri menjadi relatif lebih murah dan meningkatkan permintaan dari pasar luar negeri. II.2. Teori Kerjasama Perdagangan Internasional Dengan liberalisasi perdagangan baik yang bersifat internasional maupun regional, hambatan-hambatan perdagangan dapat kurangi dan bahkan dihilangkan. Integrasi ekonomi regional adalah suatu proses dimana beberapa ekonomi dalam suatu wilayah bersepakat untuk menghapus hambatan dan mempermudah arus lalu lintas barang, jasa, kapital dan tenaga kerja. Pengurangan bahkan penghapusan tarif dan hambatan non tarif akan mempercepat terjadinya integrasi ekonomi regional seiring lancarnya lalu lintas barang, jasa, kapital dan tenaga kerja tersebut. Perdagangan bebas ataupun kerjasama regional diharapkan dapat menimbulkan efisiensi dan meningkatkan kesejahteraan. Tak dapat dipungkiri bahwa kerjasama perdagangan juga akan meningkatkan kompetisi antar anggota. Namun apabila hal tersebut disikapi dengan bijak maka manfaat yang dapat dipetik antara lain adalah peningkatan spesialisasi dan peningkatan perdagangan itu sendiri. Dengan keunggulan komparatif dari masing-masing negara, setiap negara dapat berfokus pada produksi barang yang mempunyai keunggulan komparatif sehingga akan terjadi realokasi faktor produksi. Pada akhirnya akan tercipta keseimbangan harga yang lebih murah dan output yang lebih banyak sehingga memberikan kesejahteraan lebih besar terhadap negara-negara yang terlibat. Banyak studi yang berkesimpulan bahwa perdagangan bebas berimplikasi positif bagi negara-negara yang terlibat. Disamping meningkatkan kesejahteraan (Kindleberger dan Lindert, 1978), juga meningkatkan kuantitas perdagangan dunia dan efisiensi (Hadi, 2003; Stephenson, 1994). Urata dan Kiyota (2003) menemukan bahwa FTA di Asia Timur memberi pengaruh positif pada ekonomi. Ekspor dengan dengan daya saing tinggi akan meningkat. Studi Saktyanu et al. (2007) menunjukkan penurunan subsidi ekspor di negara maju berdampak pada peningkatan produksi pertanian Indonesia. Berbeda dengan hasil studi yang secara umum memberikan dampak positif, Haryadi et al. (2008) memperlihatkan bahwa liberalisasi perdagangan dengan cara menghapus semua hambatan perdagangan berdampak pada penurunan PDB Indonesia dan Australia-Selandia Baru. 30 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 Salah satu indikator untuk mengukur dampak kerjasama perdagangan internasional adalah dengan melihat terjadinya trade diversion dan trade creation (Vinerian, 1950; Krueger, 1990). Efek positif yaitu trade creation adalah terjadinya perdagangan akibat beralihnya konsumsi dari produk domestik yang bersifat high-cost ke produk impor dari luar negeri yang bersifat low-cost (Vinerian, 1950); dengan kata lain terjadi perdagangan yang mengikat intra negara partner. Namun demikian, perbedaan tarif yang diberlakukan untuk partner dan non-partner, merubah arah kecenderungan perdagangan sehingga menimbulkan efek negatif yaitu trade diversion, yang merujuk kepada perpindahan dari produk impor yang bersifat low-cost dari negara non anggota dengan produk impor yang bersifat high-cost dari negara partner (Vinerian, 1950); dengan kata lain terjadi perdagangan yang menurun dengan negara non-partner. Trade diversion akan menurunkan efek kesejahteraan sehubungan dengan terjadinya perubahan orientasi suplai ke sumber yang relatif lebih mahal. Manfaat perdagangan bebas atau kerjasama regional sangat ditentukan oleh salah satu efek yang lebih dominan. Efek secara keseluruhan dapat bersifat positif, negatif ataupun netral, tergantung dari besarnya magnitude dari trade creation dan trade diversion. Perdagangan bebas ataupun PTA akan sangat menguntungkan apabila dampaknya terhadap trade creation lebih besar dibandingkan dampaknya terhadap trade diversion. Studi yang dilakukan Lee and Shin (2006) mengkonfirmasi bahwa RTA akan meningkatkan perdagangan antar anggota. Namun demikian, tidak ditemukan penurunan perdagangan antara anggota RTA dengan nonanggota yang bersifat signifikan. Bahkan pada beberapa RTA, perdagangan antara negara anggota dan non-anggota justru mengalami peningkatan. Meskipun terjadi trade creation dan trade diversion, secara keseluruhan RTA memberikan dampak perdagangan yang positif. II.3. Kerjasama ASEAN Cina Free Trade Area (ACFTA) Perdagangan antara negara-negara ASEAN dengan Cina terus menunjukkan peningkatan dari tahun ketahun. Dari sisi ASEAN, Cina termasuk mitra dagang penting sebagai negara tujuan ekspor. Rata-rata pangsa ekspor ke Cina oleh negara ASEAN dari 2001-2008 bervariasi namun secara umum cukup tinggi. Vietnam sebagai negara yang menempatkan Cina sebagai mitra dagang utama dengan pangsa tertinggi mencapai 9%, sementara bagi Indonesia pangsa ekspor ke Cina mencatat 7% (Grafik III.3). Dari sisi Cina, negara ASEAN menjadi mitra dagang penting terutama untuk pasokan bahan baku. Pangsa impor Cina dari Singapura mencatat 35% dari total impor dari ASEAN atau merupakan pangsa tertinggi di antara negara ASEAN lainnya (Grafik III.4). Sementara pangsa impor barang dari Indonesia sebesar 13% dari total impor dari ASEAN. Perdagangan antara ASEAN dan Cina mempunyai kecenderungan untuk Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia 31 terus meningkat yang semakin menunjukkan relatif pentingnya perdagangan ASEAN-Cina bagi keduanya. Dengan demikian, potensi keuntungan dari penghapusan hambatan perdagangan kawasan ASEAN-Cina akan menjadi relatif besar. Kesadaran atas pentingnya peranan masing-masing pihak menumbuhkan kesadaran untuk merintis kesepakatan kerjasama ekonomi. Pada tanggal 4 November 2002, terjadi kesepakatan kerangka kerjasama yang sering disebut dengan ≈Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation∆. Didalam framework tersebut disepakati pentahapan pembentukan perdagangan bebas untuk barang pada tahun 2004, sektor jasa tahun 2007, dan investasi tahun 2009. Sementara dari sisi kesiapan perdagangan bebas bagi ASEAN juga berlaku bertahap. Perdagangan bebas mulai berlaku tahun 2010 antara Cina dengan ASEAN-6 yaitu untuk Indonesia, Singapura, Thailand, Malaysia, Philipina, dan Brunei . Sementara tahun 2015 berlaku bagi Cina dengan ASEAN-4 yaitu Kamboja, Vietnam, Laos, dan Myanmar. Beberapa isu yang terkait perkembangan ACFTA, khususnya di Indonesia seperti terlihat dalam Diagram III.1. Dari studi literatur antara lain oleh Park et al (2008) menganalisa keunggulan dan prospek ACFTA dan mengungkapkan bahwa ACFTA, yang terdiri dari 11 ekonomi dengan total populasi dan GDP yang cukup besar, sangat memungkinkan untuk menjadi suatu kawasan kerjasama ekonomi yang efektif. Relatif besarnya level tarif intra wilayah juga merupakan potensi yang dapat meningkatkan trade creation. Meskipun Cina dan ASEAN telah berupaya meliberasikan perdagangannya, pada kenyataannya tingkat tarif dan hambatan antara keduanya ternyata masih cukup tinggi, sehingga memungkinkan untuk terciptanya trade creation. Cina memberlakukan tarif rata-rata sebesar 9,4% untuk barang dari ASEAN. Sebaliknya, tarif yang diberlakukan negara ASEAN terhadap barang dari Cina secara rata-rata hanya sebesar 2,3%. Namun tak dapat dipungkiri bahwa selain peluang terdapat pula tantangan dengan berlakunya ACFTA. Tantangan terbesar yaitu peningkatan kompetisi produk. Ketakutan akan ketidakmampuan untuk bersaing produk dalam negeri menghadapi serangan produk impor dari Cina maupun ketakutan akan ketidakmampuan produk ekspor untuk masuk ke potensi pasar Cina yang terbuka lebar merupakan tantangan yang apabila dikelola dengan bijaksana maka dapat menjadi peluang yang cukup potensial. Yue (2004) mencontohkan peningkatan perdagangan intra industri pada produk mesin dan perlengkapan elektrik sebagai contoh dari dampak ACFTA terhadap peningkatan perdagangan yang cukup berhasil. Terdapat berbagai penelitian yang telah membahas dampak perdagangan ACFTA, antara lain seperti terlihat dalam Tabel III.1. 32 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 Cambodia China Sbg Tujuan Ekspor Utama 1% Lao 4% Brunei 4% Myanmar 6% Indonesia 7% Malaysia 7% Cambodia 0% Lao 0% Myanmar 1% Brunei 1% Vietnam 6% Philipina 7% Thailand 8% Indonesia Philipina 8% Thailand Singapura 8% Malaysia Vietnam 2 4 6 8 4 November Kepala negara ASEAN dan Cina menandatangani kerangka persetujuan Comprehensive Economic di Cooperation Pnom Penh 2003 2004 6 Oktober Menteri Ekonomi ASEAN dan Cina menandatanga ni protokol perubahan kerangka persetujuan di Bali 15 Juni Indonesia meratifikasi kerangka -persetujuan AC FTA melalui Kepres No.48/2004 21 Juli Terbit: - SK Menkeu No.355/KMK/01/2 004 tentang Penetapan Tarif BM atas impor barang dalam Kerangka Early Harvest Package (EHP) AC-FTA. - SK Menkeu No.356/KMK/01/2 004 tentang Penetapan Tarif BM atas Impor Barang dl Kerangka EHP Bilateral Indonesia-China FTA 18% 21% 35% 0 10 % Grafik III.3: Pangsa Ekspor ke Cina 2002 13% Singapura 9% 0 Pangsa Impor China dari negara Asean 10 20 30 % Grafik III.4: Sumber Impor Cina dari Negara-Negara ASEAN 2005 7 Juli Terbit: Permenkeu No.56/PMK.010/2 005 tentang Penurunan / Penghapusan Tarif BM dl Rangka Normal Track ASEANChina 40 2006 15 Maret Terbit: Permenkeu No.21/PMK.010/ 2006 tentang Penetapan Tarif BM dlm Rangka Normal Track ACFTA thn 2006 2007 6 Feb Terbit: - Permenkeu No. 07/KMK.04/20 07 tentang perpanjangan SK Menkeu No.355/2004 - Permenkeu No. 08/PMK.04/20 07 tentang perpanjangan SK Menkeu No.356/KMK. 01/2004 Diagram III.1: Road Map Perjanjian ACFTA 2008 2009 23 Des Terbit: Permenkeu No. 235/PMK.011/200 8 tentang Penetapan Tarif BM dalam rangka ACFTA 29 Jan Depperin meminta penundaan ACFTA dari 2010 hingga 2012 akibat krisis 2 Des 10 Asosiasi industri meminta penundaan ACFTA ke DPR. 25 Des Dibentuk tim bersama unt. ACFTA yang dipimpin Menko, dg melibatkan Apindo, Kadin, dan Depdag. Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia 33 Table III.1 Penelitian-Penelitian Terdahulu Terkait dengan ACFTA Peneliti Park et al Tahun 2008 Metode Analisis Indikator Perdagangan dan GTAP Temuan - Secara keseluruhan akan meningkatkan net trade, output dan welfare regional - Dampak masing-masing negara sangat beragam - Keuntungan yang besar untuk negara seperti Singapura, Malaysia, Indonesia dan Thailand dibandingkan negara anggota yang relatif lebih miskin seperti Kamboja, Laos dan Myanmar. - Optimis mengenai prospek penerapan ACFTA. Park 2007 Kulaitatif - ASEAN merupakan potensi pasar yang besar bagi ekspor China sekaligus alternatif sumber impor - China merupakan pasar potensial bagi produk ekspor ASEAN terutama barang intermediate dan kapital - ACFTA akan memberikan keuntungan ekonomi yang signifikan terhadap perekonomian ASEAN dan China - Tekanan kompetisi dari China akan membawa dampak negatif dalam jangka pendek namun akan berdampak positif berupa peningkatan produktivitas dan efisiensi di jangka panjang Jiang & McKibbin 2008 GTAP Tambunan 2005 Indikator Perdagangan Studi ini membandingkan dampak dari berbagai kerjasama perdagangan yang diikuti oleh China. Hasil temuan untuk kasus ACFTA menyatakan bahwa China akan mendapatkan keuntungan dari keikutsertaannya dalam ACFTA - Peningkatan ekspor ASEAN ke China - Kompetisi terhadap produk impor dari China - Terjadi trade creation dari ASEAN-China yang cenderung lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan intra trade antar negara ASEAN Okamoto 2005 Universal Acces to Compititiveness and Trade (UACT) Indikator Perdagangan GTAP - Singapura dan Malaysia memperoleh keunggulan dari spesialisasi inter dan intra industri sementara Thailand memperoleh keunggulan dari spesialisasi intra industri. Namun Indonesia dan Filipina tidak banyak memperoleh keuntungan - Peningkatan Ekspor ASEAN ke China dan sebaliknya - Manfaat terbesar dari sisi ekspor dirasakan Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand - Komoditi ekspor andalan ASEAN merupakan barang intermediate China sehingga peningkatan ekspor China akan mendorong peningkatan ekspor ASEAN - PDB ASEAN meningkat 0,9% sementara PDB China meningkat 0,3% Yue 2004 GTAP - Manfaat ekonomi : peningkatan speasialisasi dan perdagangan. Namun demikian, juga akan terjadi trade diversion dengan non member yang signifikan. - Dampak perdagangan : peningkatan eskpor ASEAN ke China dan sebaliknya. Peningkatan ekspor terbesar akan dialami oleh Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand. Secara sektoral, keuntungan terbesar akan dinikmati oleh produk tekstil dan pakaian, mesin dan perlengkapan elektrik, serta industri lainnya. Terdapat peningkatan yang signifikan untuk perdagangan intra industri. - Dampak terhadap PDB : PDB ASEAN akan meningkat 0,9% dan China 0,3%. Vietnam akan mengalami peningkatan terbesar. Sementara Indonesia akan mengalami penurunan PDB. - Keuntungan non-ekonomi : peningkatan hubungan poilitik dan sosial. 34 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 III. METODE PENELITIAN III.1. Model Computable General Equilibrium Terdapat beberapa pendekatan dalam studi perdagangan dunia, salah satu jenis pengelompokannya yaitu pendekatan model keseimbangan umum dan parsial. Teori keseimbangan umum menjelaskan adanya mekanisme keterkaitan antara seluruh pasar sebagai suatu sistem yang saling berinteraksi secara simultan. Apabila pasar dalam kondisi keseimbangan mengalami perubahan atau terdapat gangguan pada suatu pasar secara parsial, maka akan ada penyesuaian pada pasar yang bersangkutan dan di pasar lainnya. Salah satu model yang sering digunakan pada berbagai studi adalah General Trade Analysis Project (GTAP); sebuah model computable general equlibrium (CGE) yang dikembangkan oleh Purdue University. Model CGE seringkali digunakan untuk sektoral industri, perdagangan dan fiskal2 . Dalam model ini, kondisi pasar faktor produksi dan pasar hasil produksi berada pada kondisi keseimbangan. Dasar utama dari model CGE adalah pemahaman bagaimana ekonomi bekerja dan selanjutnya menggunakan data sesuai dengan model yang dikembangkan. Dalam model GTAP ini, perekonomian dunia diasumsikan telah berada pada kondisi keseimbangan umum, dimana seluruh agen dalam perekonomian tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi harga atau bertindak sebagai price taker sehingga harga yang terbentuk sepenuhnya merupakan interaksi antara permintaan dan penawaran. Secara implisit, ini mengasumsikan bahwa setiap pasar berada dalam kondisi pasar persaingan sempurna (competitive) dan pendekatan ini seringkali dikenali sebagai konsep Walrasian General Equilibrium. Keseimbangan umum dalam model CGE dicerminkan dalam bentuk nominal (kuantitas dikalikan dengan harga) yang mewakili aliran dana, baik disertai dengan aliran barang (transaksi) maupun tidak (transfer). Model CGE terdiri dari persamaan-persamaan yang mewakili keseimbangan seluruh pasar mulai dari pasar input sampai pasar output untuk keseluruhan sektor yang dianalisis. Selain itu, model CGE ini secara eksplisit memodelkan perilaku rasional agen-agen perekonomian baik produsen yang memaksimalkan keuntungan, rumah tangga yang memaksimalkan kepuasan (utility), dan agen lain dalam perekonomian. Termasuk dalam model CGE ini adalah spesifikasi persamaan menyangkut arus dana antar agen, serta persamaan-persamaan lain yang mendefinisikan pembentukan harga dan kuantitas. Secara keseluruhan, model CGE merupakan sekumpulan persamaan matematis yang simultan dapat diselesaikan. 2 Working Paper 2009, Semar 2009: Suatu Model Financial Computable General Equilibrium, BRE DKM. Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia 35 Model GTAP merupakan model CGE multi sector dan multi region. Standar model GTAP terdiri dari rumah tangga, pemerintah, dan perusahaan di masing-masing ekonomi3 (Diagram III.2). Social welfare function diasumsikan terdiri dari belanja swasta, national savings, dan belanja pemerintah. Tabungan (Savings) dianggap sebagai proksi dari konsumsi yang ditunda. Dengan kendala pendapatan pada masing-masing region (regional income constraint), maka setiap principal agents memaksimalkan welfarenya. Sebagaimana model CGE lainnya, model standar GTAP memberikan spesifikasi dari berbagai teori dan perilaku agen secara eksplisit dalam bentuk persamaan matematis. Pemilihan bentuk fungsi mengacu pada 2 hal utama, (i) kesesuaian teori, dan (ii) kenyataan empiris, serta (iii) kebutuhan penelitian. Salah satu bentuk fungsi (untuk selanjutnya kita sebut nesting) yang sering digunakan adalah bentuk fungsi Cob-Douglas dimana parameter yang menunjukkan proporsi dari komponen pementuknya diasumsikan tetap. Jika harga relatif dari suatu komoditas berubah, maka penggunaannya ƒkatakan untuk konsumsiƒ juga akan mengalami perubahan untuk mempertahankan proporsi nominalnya sesuai dengan besaran parameter yang telah ditentukan sebelumnya (relative share). Rumah Tangga Regional TAXES TAXES SAVE PRIVEXP Rumah Tangga Swasta TAXES XTAX GOVEXP Global Saving MTAX VOA NET INV VDPA Pemerintah VDGA Produsen VIPA VIGA VDFA VIFA VXMD Dunia / ROW Sumber: A Graphical Exposition of GTAP Model, Brockmeier, 1996 Diagram III.2: Blok-Blok Agen Dalam Model GTAP Pengeluaran konsumsi terdiri dari berbagai macam komoditas tradable dalam model. Rumah tangga menentukan permintaannya untuk masing-masing komoditas berdasarkan tiga faktor, yaitu: harga relatif , konsumsi minimum, dan tingkat pendapatan . Sistem permintaan ini disebut sebagai Constant Difference Elasticity (CDE). Sementara itu, pengeluaran pemerintah untuk individual komoditas tetap berdasarkan fungsi Cob-Douglas. 3 TSQ Discussion Paper, How Will the Regional FTAs Shape the Indonesian Economy? Evaluation by the Computable General Equilibrium Model, Masahiko Tsutsumi, August 2001. 36 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 Komoditas diproduksi baik oleh produsen dalam negeri dan luar negeri. Keduanya selanjutnya dikombinasikan dalam bundel komoditas yang merupakan komposit dari produk domestik dan impor. Dalam model GTAP, komposisi kedua asal produk ini mengikuti fungsi Constant Elasticity Substitute (CES). Sistem import-domestic demand ini dikemukakan oleh Armington (1969) memungkinkan modeler untuk merubah elastisitas substitusi antara produk domestik dan imnpor bergantung dari eksperimennya. Perusahaan diasumsikan akan memaksimalkan keuntungannya. Dalam proses produksi, tenaga kerja, kapital, dan tanah membentuk komposit input primer mengikuti bentuk nesting CES, sehingga memungkinan terjadinya substitusi antara ketiga input primer tersebut. Hal ini sesuai dengan teori dan kenyataan empiris dimana suatu sektor dapat beralih dari padat karya ke padat modal atau sebaliknya. Komposit input primer ini kemudian digabungkan dengan input antara dalam nesting yang berbentuk fungsi Leontief. Spesifikasi ini jelas diharuskan untuk mempertahankan komplementaritas antara input primer dengan input antara sebab sulit untuk membayangkan jika tenaga kerja dapat digantikan oleh katakan minyak goreng dalam proses produksi sektor hotel dan restoran misalnya. Tanah bersifat immobile sementara itu labor dan modal bersifat mobile dalam industri. Dalam model GTAP standar ini, pergerakan endowment lintas negara (international mobility) tidak diperbolehkan. Tabungan di masing-masing negara dilakukan (dikumpulkan) oleh suatu lembaga fiksi, yaitu global bank dan dialokasikan sebagai sumber pembiayaan bagi investasi. Bagaimana menghubungkan savings dengan investasi tergantung kepada teori dan kenyataan empiris yang dapat diubah sesuai dengan tujuan penelitian. Secara umum, setiap pertanyaan penelitian yang diajukan harus diterjemahkan kedalam bentuk simulasi model. Setting simulasi ini sangat menentukan dan salah satu komponen yang penting adalah closure; yakni pembagian variabel untuk ditempatkan sebagai variabel endogen atau eksogen. Implikasi dari closure ini sangat besar terhadap kepentingan dan hasil simulasi, salah satunya dalam merestriksi apakah simulasi berdimensi jangka pendek (salah satunya ditandai dengan fixed sectoral capital) atau berjangka panjang. III.2. Alur Analisis Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dampak ACFTA bagi perdagangan internasional Indonesia serta bagaimana dampaknya terhadap komoditas ekspor Indonesia. Terkait dengan Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia 37 hal tersebut, dalam bagian ini diuraikan mengenai alur analisis yang dilakukan sebagaimana ditunjukkan dalam Diagram III.3. Proses agregasi dan di sagregasi negara & sektor Run GTAP (CGE Model) Shock Tarif 0% Eksekusi Indikator RCA Hasil Simulasi Peluang Indikator IIT Tantangan Indikator Overlap Indikator Similarity Peta daya saing komoditas RI Pasar China Peluang Tantangan Pasar ASEAN Indikator Spearman RC Indonesia vs Negara ASEAN Indonesia vs China Diagram III.3: Diagram Alur Analisis Tahapan pertama adalah melakukan proses agregasi dan disagregasi negara dan komoditas dari masing-masing sektor. Selanjutnya melakukan running model CGE, dengan menggunakan model GTAP yang merupakan model CGE untuk melakukan simulasi terkait dengan perdagangan internasional. Setelah memberikan shock, dalam hal ini terhadap tarif, maka dilakukan running model. Adapun data yang digunakan adalah data perdagangan negara-negara dunia tahun 2004 yang merupakan data standar dalam model GTAP versi 7 tahun 2008. Hasil simulasi berdasarkan model CGE selanjutnya dianalisis untuk melihat peluang dan tantangan yang dihadapi secara riil dalam perekonomian sebagaimana yang disimulasikan. Lebih rinci, hasil simulasi model GTAP ini akan dikonfrontasikan dengan analisis indikatorindikator perdagangan internasional atas data ekspor dan impor dari UNCOMTRADE periode 2001-2008. 38 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 Untuk periode 2001-2008, analisis dibagi menjadi dua periode yaitu Periode I tahun 2001-2004 yang bisa dipandang sebagai periode sebelum implementasi ACFTA. Yang berikutnya adalah Periode II tahun 2005-2008 yang dianggap sebagai periode implementasi ACFTA. Data yang dipergunakan ini merupakan data SITC-3 digit (ver.3) yang diagregatkan menjadi 2 digit. Sementara itu, untuk mengekuivalenkan kode komoditas antara versi GTAP dengan versi SITC maka dilakukan re-grouping untuk memperoleh kompatibilitas diantara keduanya.. Konversi kelompok komoditas dari SITC ke GTAP menggunakan referensi utama yang disajikan dalam website GTAP. III.3. Setting Simulasi Model GTAP Secara umum, closure yang digunakan dalam simulasi mengikuti closure standar GTAP yakni: 4 1. Variabel harga dan kuantitas dari komoditas yang dapat diperdagangkan lintas negara dan tidak termasuk dalam kategori endowment commodities, ditempatkan sebagai variabel endogen. 2. Pendapatan setiap region adalah endogen. 3. Seluruh variabel kebijakan, produktivitas (technical changes) dan populasi ditempatkan sebagai variabel eksogen. Dalam melakukan simulasi untuk melihat dampak implementasi ACFTA terhadap perdagangan internasional terhadap ASEAN secara umum dan Indonesia secara khusus, terutama terkait dengan ekspor, shock yang diterapkan adalah: 1. Tarif yang berlaku antara negara-negara ASEAN dengan Cina menjadi 0% (tidak berlaku), 2. Anggota ACFTA tetap mengenakan tarif kepada negara non ACFTA (rest of the world, ROW). 3. Begitu pula sebaliknya, ROW mengenakan tarif terhadap negara-negara anggota ACFTA. III.4. Pengujian Korelasi Indikator Perdagangan Internasional Berangkat dari hasil simulasi model GTAP sebelumnya, untuk melihat peta daya saing komoditas Indonesia serta tantangan dan peluang yang dihadapi sebagai dampak terbentuknya forum ACFTA bagi perdagangan internasional Indonesia, maka analisis dilanjutkan dengan menggunakan beberapa indikator perdagangan yakni (i) Revealed Comparative Advantage 4 Setting simulasi secara lengkap tersedia pada penulis. Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia 39 (RCA), (ii) Intra Industry Trade (IIT), (iii) Index of Export Overlap (IEO), dan (iv) Index of Export Similarities (IES). Indikator perdagangan internasional digunakan untuk memberikan klarifikasi dan tambahan informasi hasil temuan hitungan dengan menggunakan GTAP. Indikator perdagangan juga menjadi pelengkap hasil riset karena dapat memberikan informasi kinerja komoditas ekspor Indonesia secara lebih rinci. Terhadap indikator RCA tersebut, dilakukan Spearman»s rank correlation coefficient (SRC) yang merupakan ukuran statistik non-parametrik dan dapat dihitung dengan formula berikut: ρ = Σi (x i x ) ( yi y) Σi (x i x ) 2 Σi ( y i y) 2 (III.1) Pengujian ini diperlukan untuk melihat apakah terdapat persamaan peringkat daya saing komoditas pada dua negara secara berpasangan yang diamati. Tanda dari SRC menunjukkan arah hubungan antara variabel independen X dan variabel dependen Y. Besaran SRC ini terletak antara 0 dan 1 dimana ketika X dan Y perfectly monotonically related, maka SRC menjadi 1. III.4.1. Revealed Comparative Advantage (RCA) Untuk melihat daya saing produk ekspor, indikator yang digunakan adalah indikator revealed comparative advantage (RCA); dimana untuk RCA > 1 menunjukkan adanya keunggulan komparatif. RCA = (Xij / Xj) / (Xiw / Xw) di mana: Xij = ekspor komoditas i negara j Xj = total ekspor negara j Xiw = ekspor komoditas i dunia Xw = total ekspor dunia III.4.2. Intra Industry Trade (IIT) Untuk melihat alur perdagangan internasional digunakan indikator Intra-Industry Trade atau seringkali juga disebut Grubel-Lloyd index (IIT). Berdasarkan formula, indikator tersebut berada pada ukuran nilai antara 0 dan 1. IIT yang mendekati 0 mencerminkan alur perdagangan 40 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 yang bersifat inter-industri, sedangkan IIT yang mendekati 1 mencerminkan alur perdagangan yang bersifat intra-industri. Secara umum, indikator tersebut menjelaskan bahwa, suatu komoditas dari suatu negara cenderung mempunyai ikatan mata rantai dalam suatu perdagangan internasional apabila memiliki nilai yang mendekati 1. Hal ini dapat digambarkan dengan perdagangan ekspor dan impor suatu negara untuk jenis industri manufaktur dalam kelompok barang yang sama (biasanya mengacu pada kelompok barang menurut SITC). Suatu negara dapat melakukan ekspor komponen elektronik dan pada saat yang sama melakukan impor barang elektronik. Di sisi lain, perdagangan untuk jenis komoditas tertentu misalnya komoditas berbasis SDA seperti minyak dan gas, suatu negara cenderung bertindak sebagai eksportir dan sedikit atau bahkan tidak melakukan impor. Apabila ini terjadi maka, nilai IIT komoditas minyak dan gas tersebut mendekati 0, atau perdagangan yang bersifat inter-industry. Untuk mengukur tingkat IIT maka digunakan indeks Grubel dan Lloyd sebagai berikut: GLI ( j,t ) = Σi ( X ( i, j, t ) + M ( i, j, t ) − X ( i, j, t ) − M ( i, j, t ) Σi ( X ( i, j, t ) − M ( i, j, t ) ) (III.2) Di mana: X(i,j,t) adalah nilai dari komoditas ekspor i oleh negara j pada tahun t M(i,j,t) adalah nilai komoditas impor i oleh negara j pada tahun t Perhitungan di sini menggunakan klasifikasi data SITC-3 digit komoditas i yang kemudian diagregatkan menjadi 2 digit. Dalam perhitungan GLI terdapat kecenderungan semakin detail data komoditas maka nilai GLI semakin kecil. Mengacu kepada penelitian-penelitian sebelumnya penelitian ini juga digunakan 2 digit dengan pertimbangan sudah mencukupi untuk mengidentifikasi proses IIT dalam negara-negara ACFTA. III.4.3. Index of Export Overlap (IEO) Untuk mengukur tingkat kompetisi masing-masing negara ASEAN dengan Cina dalam perdagangan ACFTA dan juga tingkat kompetisi antar negara-negara ASEAN dalam memanfaatkan peluang ekspor ke Cina, dipergunakan ukuran Index of Export Overlap (IEO). Persamaan overlapping index dinyatakan oleh persamaan: IEO ( j1, j2, t ) = 100 x Σt min (X (i, j , t), X (i, j , t) / Σt X ( i, j , t ) 1 2 1 Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia 41 Ukuran IEO dipergunakan untuk mengukur tingkat kompetisi yang diindikasikan dengan share ekspor yang overlap antara total ekspor dua perekonomian . Semakin besar area yang overlap (daerah b), maka semakin besar tingkat kompetisi antar kedua negara tersebut.. Indeks Nilai Ekspor tersebut berada diantara nilai 100 yang berarti full overlap dan 0 berarti tidak overlap. IEO untuk ekonomi A = b/(a+b) IEO untuk ekonomi B = b/(c+b) Ekonomi A Ekonomi B a c b Higher value added Komoditas (i) Lower value added Sumber : Regional Economic Outlook: Asia and Pasific, Oct 2007 Diagram III.4: Kompetisi Antara Ekonomi A dan B Dengan Ukuran Ekspor Overlap III.4.4. Index of Export Similarity (IES) Index of Export Similarity digunakan untuk mengukur sejauh mana tingkat kemiripan komposisi produk ekspor dari dua perekonomian. Persamaan similarity index dinyatakan oleh persamaan berikut: IES ( j1, j2, t ) = 100 x Σi s (i, j , t) s (i, j , t) / Σi s ( i, j , t ) 1 2 2 1 Σi s ( i, j , t ) 2 2 di mana: s(i,j,t) adalah share komoditas ekspor i terhadap total ekspor ekonomi j tahun t Nilai indeks IES berkisar antara 0 sd. 100 di mana nilai 100 menunjukkan bahwa komposisi ekspor dari dua perekonomian tersebut identik, sedangkan 0 jika share komposisi produk ekspor dari dua perekonomian tersebut sangat berbeda. Oleh karena IES mengabaikan efek ukuran ekspornya, analisis IES selalu disandingkan dengan indikator IEO. III.5. Data Sebagaimana disebutkan sebelumnya, data yang dipergunakan untuk model GTAP bersumber dari data GTAP versi 7.0 dengan benchmark data tahun 2004. Cakupan negara 42 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 dalam database GTAP mencapai 113 negara dengan 57 rincian sektor komoditas. Sementara itu, untuk analisis dengan indikator perdagangan internasional menggunakan sumber data UNCOMTRADE terutama meliputi data ekspor impor untuk negara-negara dalam lingkup pengamatan yaitu ACFTA. Periode data yang diolah adalah mulai tahun 2001-2008. IV. HASIL DAN ANALISIS Hasil simulasi yang dihasilkan dari model GTAP mencakup berbagai indikator yang dimungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Meski demikian analisis penelitian lebih difokuskan kepada analisis komoditas ekspor negara anggota ACFTA, khususnya Indonesia. Secara umum terdapat dua bagian fokus analisis, pertama adalah melihat efek shock yang diberikan terhadap perdagangan negara-negara anggota ACFTA, sementara bagian kedua mengarah pada hasil kuantitatif dampak perdagangan menurut rincian komoditas. Hasil analisis bagian pertama dilakukan untuk melihat bagaimana perimbangan dampak trade diversion dan trade creation sebagai akibat dari implementasi FTA. IV.1. Hasil Perhitungan dengan Model GTAP Dari berbagai studi literatur, diperoleh gambaran umum bahwa dampak perdagangan antara negara dalam anggota blok perdagangan akan meningkat. Namun perdagangan dengan negara dengan bukan anggota akan menurun. Analisis dampak perdagangan dalam suatu blok suatu perdagangan sering dikenal dengan analisis trade divertion dan trade creation. Untuk melihat dampak keseluruhannya, dengan membandingkan besaran masing-masing dari kedua efek perdagangan tersebut. Apabila dampak trade creation yang lebih besar, maka secara umum perjanjian perdagangan membawa keuntungan secara keseluruhan. Demikian sebaliknya apabila dampak trade creation yang lebih rendah, maka dampak perjanjian perdagangan tidak membawa keuntungan secara keseluruhan. Meskipun ditemukan dampak trade creation yang lebih menonjol dari trade divertion, perlu pengamatan lebih lanjut apakah hasil positif secara umum tersebut dinikmati secara merata oleh negara anggota atau tidak. Demikian juga dengan rincian komoditas ekspor yang mengalami peningkatan perlu pendalaman lebih lanjut apakah merupakan komoditas generik secara umum negara anggota atau cenderung dikuasai oleh beberapa negara. Kenaikan volume perdagangan diantara anggota ACFTA terutama disebabkan oleh bergabungnya pasar Cina dan berlakunya tarif yang lebih rendah. Dengan demikian, proses terjadinya trade diversion merupakan proses pengalihan perdagangan yang semula dilakukan Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia 43 dengan partner dagang negara bukan anggota ACFTA bergeser menuju kepada sesama anggota ACFTA. Proses perubahan tersebut dapat dianalogikan dengan adanya sejumlah nominal dana yang dimiliki oleh agen ekonomi (negara) menjadi dapat dibelanjakan dengan barang yang lebih banyak sebagai akibat turunnya harga barang. Preferensi importir juga mengalami perubahan menghadapi dinamika perubahan harga impor sebagai akibat penurunan tarif. Apabila penurunan tarif impor menyebabkan harga menjadi lebih murah dibandingkan dengan harga barang yang bersumber dari negara non member (asumsi kualitas barang sama), maka terjadi penurunan perdagangan dengan negera non member atau terjadi trade divertion. Hasil simulasi GTAP untuk mengukur dampak perdagangan (trade effect) secara keseluruhan (net effect) untuk negara anggota ACFTA tercermin dalam Grafik III.5 dan Grafik III.6. Total net trade creation di kawasan ACFTA adalah sebesar 2,1% yang bersumber dari adanya trade creation diantara negara anggota ACFTA sebesar 18,4% dan penurunan trade diversion berupa penurunan perdagangan dengan negera bukan anggota (rest of the world) sebesar 1,8% 5 . Trade Diversion Persen (%) 0,0 10,0 OTHERS ASEAN SIN Net Trade 8,0 -1,0 Vietnam, 9.1 PHI ACFTA IND 6,0 CHI ASEAN -2,0 MAL Thailand, 2.5 China, 2.3 Other ACFTA, Malaysia, ASEAN, 2.2 2.1 1.9 Filipina, ASEAN, Indonesia, 1.32 2.02 2.0 Singapura, 0.4 4,0 -3,0 VIE 2,0 THA -4,0 0,0 0 5 10 15 20 25 Trade Creation 30 35 40 Grafik III.5 Dampak Perdagangan di ASEAN Atas Kebijakan ACFTA (%) 1 Grafik III.6. Net Trade creation Dampak ACFTA Dari individu negara anggota ACFTA, Vietnam dan Thailand mempunyai trade creation terbesar, masing-masing sebesar 9,1% dan 2,5%, sedangkan Singapura memperoleh hasil yang minimal yaitu 0,4% (Grafik III.5). Tinggi rendahnya net trade creation tersebut dipengaruhi oleh besaran tarif impor saat simulasi dilakukan. Rata-rata tarif impor dinegara Vietnam dan Thailand masih relatif tinggi sedangkan di Singapura telah mencatat 0%. Berdasarkan data awal GTAP yang digunakan, tarif impor komposit barang dari Cina di Vietnam dan Thailand 5 Hasil lengkap perhitungan dampak perdagangan disajikan dalam lampiran 1. 44 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 masing-masing 18,0 dan 11,3%. Untuk negara lainnya berturut-turut Indonesia (11,3%), Malaysia (7,5%), Philipina (5,3%), serta other ASEAN (7,8%). Tinggi rendahnya tarif masuk barang tersebut secara umum sejalan dengan tarif masuk yang dikenakan oleh Cina atas barang yang bersumber dari negara-negara tersebut. Kecuali barang dari Singapura dimana Cina masih mengenakan tarif komposit 4,2%. Dengan berlakunya kesepakatan perdagangan ACFTA, perkembangan ekspor impor antara negara ASEAN dengan Cina mengalami perubahan. Impor barang Vietnam dan Thailand yang bersumber dari Cina mengalami lonjakan masing-masing sebesar 147% dan 101%, sedangkan Singapura justru mencatat penurunan impor sebesar 1,2% (Grafik III.7). Hal ini sejalan dengan penjelasan sebelumnya bahwa sensitifitas perubahan impor sejalan dengan kondisi tarif impor yang sebelumnya tinggi dan di-shock menjadi 0% pasca ACFTA. Dengan dinamika perubahan ekspor dan impor sebagai akibat dari perubahan tarif dalam lingkup ACFTA tercermin dalam Grafik III.8. Pasangan bilateral Vietnam dan Cina sebelum penerapan ACFTA juga menerapkan struktur tarif yang tinggi secara timbal balik. Pasca penerapan ACFTA, hasil simulasi menunjukkan perubahan total ekspor dan impor yang besar masing-masing 6,4% dan 11,5%.6 Import from China, growth (%) Import from World, growth (%) 6,0 VIE 140 11.5 THA THA 110 6.4 4,0 others ASEAN ASEAN ACFTA 80 MAL others ASEAN 50 ASEAN 20 2,0 IND PIL SIN SIN -10 0 10 20 CHI MAL IND PIL VIE 30 40 Export to China, growth (%) Grafik III.7. Dampak Perubahan Ekspor dan Impor dengan China (%) 50 0,0 0 1 2 3 Export to world, growth (%) Grafik III.8. Dampak Perubahan Total Ekspor dan Impor (%) Bagi Indonesia, dampak net creation adalah sebesar 2,0% yang bersumber dari trade creation 10,3% dan trade diversion -1,5% (Grafik III.5 dan III.6). Perhitungan trade creation dan trade diversion tersebut diatas berdasarkan total perdagangan internasional yaitu 6 Nilai pertumbuhan ekspor dan impor hasil dari model GTAP tersebut dicatat sebagai perubahan dari nilai dasar (base value) yang dipakai dalam data base model GTAP. Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia 45 penjumlahan total nilai ekspor dan impor Indonesia dengan seluruh negara partner dagangnya. Sementara itu, apabila perhitungan net creation dengan pendekatan total nilai ekspor dikurangi dengan total impor (net ekspor) dihitung untuk melihat dampaknya pada neraca pembayaran. Dari simulasi dampak ke neraca pembayaran Indonesia, terdapat kenaikan total impor sebesar 2,3% atau lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan ekspor 1,8%. Dengan demikian, secara keseluruhan surplus neraca perdagangan Indonesia turun 2,3% atau sebesar USD247 juta (Grafik III.9 dan lihat lampiran 1 untuk hasil lengkap net creation dengan perhitungan total ekspor impor dan net ekspor). Juta USD growth % 600 10,0 8,3 8,0 6,5 400 268 6,0 253 4,0 200 0 2,0 -15 0,0 -2,0 -2,3 -200 -3,5 -2,3 -247 -400 Mutasi Trade Balance (%) -499 China Asean ACFTA WOR ACFTA 26% ASEAN 16% CHINA 10% -4,0 -6,0 Mutasi Trade Balance (USD) -600 ROW 74% -8,0 -10,0 Total China Asean ACFTA WOR Total Grafik III.9. Dampak Net Ekspor Indonesia Pemberlakuan ACFTA (%) Grafik III.10. Pangsa Ekspor Indonesia √ Data GTAP (%) Meskipun surplus neraca perdagangan Indonesia negara di kawasan ACFTA mencatat peningkatan, dampak keseluruhan terhadap total neraca perdagangan masih mencatat penurunan surplus. Hal ini disebabkan oleh pangsa perdagangan Indonesia dengan ROW yg lebih dominan dbandingkan dengan kawasan ACFTA. Sebagai gambaran, ekspor Indonesia (data base level-GTAP) dengan partner dagang ROW mencapai 74%, atau jauh lebih besar dibandingkan dengan partner dari sesama anggota ACFTA sebesar 26% (Grafik III.10). Dari hasil simulasi diperoleh hasil perubahan ekspor impor Indonesia dengan keseluruhan mitra dagang sesama anggota ACFTA masing-masing tumbuh 11,7% dan 9,1%. Dengan hasil peningkatan ekspor yang lebih besar dari impor, dampak terhadap surplus neraca perdagangan Indonesia mencatat kenaikan 6,5% atau USD253 (Grafik III.9). Sementara itu, transaksi ekspor dan impor Indonesia dengan partner dagang dari ROW mencatat penurunan masing-masing sebesar -1,7% dan -1,3%, sehingga neraca perdagangan turun 3,5% atau USD499 juta. 46 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 Import growth (%) % 50 12 INDONESIA 'S TRADE 9,5 8,3 CHINA 40 8 57 Sektor Komodiitas 42 Sektor komoditas 8,3 6,5 30 4 ACFTA 20 0,5 0 TOTAL 10 -0,6 ROW 0 -10 -10 -4 ASEAN -8 -5 0 5 10 15 20 25 Export growth (%) 30 35 40 Grafik III.11. Dampak Perubahan Ekspor Impor Indonesia atas Kebijakan ACFTA 45 -2,3 -3,5 -2,3 -6,2 China ACFTA ASEAN ROW Dunia Grafik III.12. Dampak ACFTA terhadap Net Eskpor Sektoral Komoditas (%) Berdasarkan Grafik III.9 di atas, telah ditunjukkan bahwa hasil simulasi pada pertumbuhan neraca perdagangan turun 2,3%. Simulasi dalam model GTAP atas ekspor dan impor tersebut dihasilkan dari rincian 57 komoditas yang terdiri dari 42 komoditas ekspor dan impor (tradable), sementara 15 komoditas lainnya berupa komoditas jasa atau non-tradable (services) (Tabel Pengelompokkan 42 sektor tradable dan tabel konversi terdapat di lampiran 2 s/d 5). Pemisahan kelompok barang tersebut diperlukan untuk memudahkan dalam analisis selanjutnya yang menggunakan data ekspor impor yang bersumber dari UNCOMTRADE. Sebagaimana diketahui, statistik ekspor impor dalam perdagangan internasional pada berbagai publikasi termasuk UNCOMTRADE, merupakan komoditas yang dapat diperdagangkan (tradable). Sementara itu, dalam analisis sektor riil dalam konteks PDB, pembahasan komoditas terdiri dari komoditas tradable dan non-tradable. Oleh karena itu, hasil simulasi ekspor impor yang bersumber dari GTAP dapat kita rinci lebih lanjut untuk kepentingan analisis yang lebih detil, salah satunya dengan menganalisis komoditas tradable. Terdapat perbedaan hasil simulasi apabila kita bandingkan hasil simulasi total 57 komoditas dan 42 komoditas yang bersifat tradable. Secara keseluruhan perubahan dampak net ekspor Indonesia terhadap 42 komoditas disajikan dalam lampiran 2. Namun untuk memudahkan tabulasi, terhadap 42 komoditas tradable tersebut dapat di agregasi lebih lanjut menjadi 6 jenis komoditas utama tradable seperti pada terlihat pada tabel III.2 dan III.3 (Tabel konversi menjadi 6 jenis komoditas utama tradable dan 1 komoditas jasa terdapat di lampiran 5). Dari grafik III.12 dan tabel 4.2 terlihat bahwa hasil simulasi total net ekspor pada 42 komoditas (tradable) berubah menjadi tumbuh 0,5%. Hasil simulasi komoditas tradable lainnya adalah ekspor Indonesia ke Cina meningkat cukup besar 41,4% sehingga secara keseluruhan ekspor Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia 47 ke ACFTA naik 11,9% (Tabel III.2.). Sementara itu, dampak net ekspor (neraca perdagangan) yang negatif terjadi dengan mitra dagang Cina dan ROW (Tabel III.3). Tabel III.2 Dampak Pertumbuhan Ekspor Komoditas Indonesia pasca Kebijakan ACFTA (Dalam %) Sektor Komoditas ASEAN ACFTA China ROW Dunia Produk Pertanian -10,9 Produk Makanan -4,7 Industri Ekstraktif -0,3 Industri Ringan -21,3 Industri Berat -3,2 Industri Teknologi intensive -3,11 Total -4,4 -5,3 4,7 2,2 17,6 18,2 2,3 11,9 33,9 16,5 5,2 60,4 48,7 63,1 41,4 -0,5 -1,8 -0,6 -1,7 -3,0 -1,8 -1,7 -2,0 -0,1 -0,1 0,5 4,7 3,9 2,1 Tabel III.3 Dampak Pertumbuhan Net Ekspor Komoditas Indonesia pasca Kebijakan ACFTA (Dalam %) 7 Sektor Komoditas ASEAN ACFTA China ROW Dunia Produk Pertanian -14,3 Produk Makanan -37,8 Industri Ekstraktif 2,5 Industri Ringan -32,2 Industri Berat 27,7 Industri Teknologi intensive 27,7 Total 9,5 -49,2 -7,8 1,2 4,9 9,3 -3,1 -0,5 -30,2 -1,1 -90,2 -256,2 0,3 79,3 70,7 -20,9 -9,2 -43,3 15,9 8,3 -6,2 -0,6 -3,8 -1,9 -1,7 -1,7 20,6 1,3 0,5 IV.2. Hasil Analisis Indikator Perdagangan Internasional Berdasarkan output yang dihasilkan dari model GTAP, pengembangan analisis diarahkan kepada arah adanya peluang dan tantangan pengembangan produk ekspor Indonesia. Pengembangan analisis dilakukan dengan mendasarkan hasil simulasi model GTAP yang dikombinasikan dengan analisis indikator perdagangan. Berdasarkan hasil temuan model pada bagian sebelumnya, telah dihasilkan rincian komoditas yang memiliki peluang dengan adanya sumbangan positif pada neraca perdagangan pada sejumlah 42 komoditas dalam kelompok barang perdagangan (tradable). Dari sejumlah komoditas ekspor yang meningkat tersebut, kemudiaan dipetakan lebih lanjut dengan melihat daya saing komoditas tersebut dalam pasar ACFTA. Pada tahap pemrosesan data, terdapat dua sumber utama rincian komoditas berdasarkan GTAP dan SITC 3-digit (ver.3). Oleh karena itu perlu dilakukan konversi dari rincian komoditas SITC yang berjumlah 261 menjadi rincian komoditas sesuai dengan GTAP sejumlah 42 komoditas. Sumber utama penyusunan konversi bersumber dari forum diskusi dalam diskusi model GTAP di website Universitas Purdue. 8 Sementara itu, untuk memberikan hasil analisis yang lebih baik, dilakukan pembagian periode pengamatan atas indikator yang disusun. Pemisahan perrode tersebut yang disebut sebagai periode I dan II juga dimaksudkan untuk melihat dampak perdagangan internasional sebelum dan setelah penerapan kebijakan ACFTA. Cakupan data yang masuk dalam periode I 7 Pertumbuhan negatif berarti memberikan sumbangan penurunan neraca perdagangan, sementara positif berarti memberikan kenaikan neraca perdagangan. 8 Tabel lengkap konversi ini tersedia dan dapat diminta pada penulis atau redaksi BEMP. 48 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 adalah data dari tahun 2001-2004, sementara data periode II untuk tahun 2005-2008. Dasar pemilahan menjadi dua periode tersebut, adalah saat implementasi kebijakan ACFTA tahun 20049 . Berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan RI, implementasi ACFTA dengan pemberlakuan tarif impor secara bertahap telah berjalan adanya 25,6% atau sebanyak 2.857 pos tarif tercatat 0% pada tahun 2005 (Tabel III.4). Perkembangan tarif 0% terus bertambah menjadi 83,6% atau sebanyak 7.306 pos tarif di tahun 2010. Pencapaian tarif menuju 0% bagi anggota ACFTA, sejalan dengan pentahapan yang telah diatur dalam skema pentahapan early harvest program, normal track dan sensitive/highly sensitive list. Table III.4 Perkembangan Penurunan Tarif Bea Masuk TAHUN 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Persentase Persentase Persentase Persentase Persentase Persentase Persentase Persentase Pos Tarif Pos Tarif Pos Tarif Pos Tarif Pos Tarif Pos Tarif Pos Tarif Pos Tarif Tarif Bea Masuk 0% 5% 8% 8% 10% 12% 13% 15% 20% 25% 30% >30% : TOTAL BEA MASUK RATA-RATA 2,857 3,893 25.6% 34.8% 2,864 3,888 25.6% 34.8% 1,702 15.2% 1,702 15.2% 18 1,537 269 318 39 538 11,171 0.2% 13.8% 2.4% 2.8% 0.3% 4.8% 100.0% 18 1,537 269 318 39 538 11,173 0.2% 13.8% 2.4% 2.8% 0.3% 4.8% 100.0% 9.57% 9.49% 2,639 3,218 86 1,850 131 90 48 315 126 20 39 170 8,732 30.2% 36.9% 1.0% 21.2% 1.5% 1.0% 0.5% 3.6% 1.4% 0.2% 0.4% 1.9% 100.0% 6.38% 2,639 3,219 85 1,866 131 90 48 304 123 20 39 173 8,737 30.2% 36.8% 1.0% 21.4% 1.5% 1.0% 0.5% 3.5% 1.4% 0.2% 0.4% 2.0% 100.0% 6.38% 5,709 2,219 33 3 95 48 278 123 19 39 172 8,738 65.3% 25.4% 0.4% 0.0% 1.1% 0.0% 0.5% 3.2% 1.4% 0.2% 0.4% 2.0% 100.0% 3.83% 7,306 622 33 3 95 48 278 123 19 39 172 8,738 83.6% 7.1% 0.4% 0.0% 1.1% 0.0% 0.5% 3.2% 1.4% 0.2% 0.4% 2.0% 100.0% 2.92% 7,306 622 33 3 95 48 278 123 19 39 172 8,738 2.92% 83.6% 7.1% 0.4% 0.0% 1.1% 0.0% 0.5% 3.2% 1.4% 0.2% 0.4% 2.0% 100.0% 7,778 150 33 3 95 48 278 123 19 39 172 8,738 89.0% 1.7% 0.4% 0.0% 1.1% 0.0% 0.5% 3.2% 1.4% 0.2% 0.4% 2.0% 100.0% 2.65% IV.2.1. Pendekatan Analisis Daya Saing RCA dan Keterkaitan Produk IIT Terdapat dua indikator utama dalam penyusunan analisis di bagian berikut ini. Penggunaan indikator RCA dan IIT secara bersama-sama antara lain terdapat dalam paper Yumiko (2005). Kesamaan daya saing komoditas dari pengukuran yang dihasilkan oleh indikator RCA kemudian di uji lebih lanjut dengan menggunakan spearman rank correlation (SRC). Pengujian SRC ini antara lain pernah digunakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Shafaeddin (2002). RCA dalam penghitungan analisis dibagian ini menggunakan data mitra dagang pasar di kawasan ACFTA sebagai total ekspor Indonesia. Lingkup cakupan tersebut untuk memberikan gambaran kekuatan daya saing RCA komoditas Indonesia dalam pasar ACFTA. Demikian juga untuk pendekatan indikator pengukuran IIT digunakan data ekspor impor dengan cakupan mitra dagang di kawasan ACFTA. Dengan menggunakan kombinasi dua indikator tersebut, 9 Ratifikasi kerangka persetujuan ACFTA melalui Keppres No.48/2004 49 Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia langkah pertama yang dilakukan adalah identifikasi sebaran komoditas ekspor Indonesia berdasarkan keunggulan komparatif dan indikator IIT. Dari hasil pengolahan data dilakukan pemetakan berdasarkan batasan tertentu. Untuk RCA, batasan komoditas berdaya saing tinggi dan rendah ditentukan dengan pembagian nilai RCA dibawah dan diatas 1. Sementara itu, batasan tengah indikator IIT adalah 0,5. Berdasarkan hasil peta kuadran seperti tercermin pada Grafik III.13 - III.14. Kuadran I disebut juga sebagai kuadran utama dimana komoditas mempunyai RCA di atas 1 serta mempunyai keterkaitan tinggi dalam mata rantai perdagangan dengan mitra negara-negara dari kawasan ACFTA berdasarkan indikator IIT. Secara umum, komoditas dengan IIT tinggi dan RCA tinggi berpotensi mempunyai peluang yang lebih besar bertahan dan melakukan penetrasi dalam persaingan pasar yang kompetitif. Indikator IIT yang tinggi memberikan tingkat keyakinan daya saing ekspor yang ditunjukkan dari RCA mempunyai peluang yang lebih meyakinkan. Kuadran II dan IV menjadi kuadran potensial karena salah satu indikator baik RCA atau IIT mempunyai kelebihan yaitu berupa RCA atau IIT yang tinggi. Sementara kuadran III merupakan kuadran pengembangan karena mempunyai indikator RCA dan IIT yang rendah. Dalam dua periode pengamatan yaitu periode I dan II, terhadap Grafik III.13 √ III.16 diperoleh gambaran umum bahwa terjadi kecenderungan penurunan kualitas daya saing komoditas ekspor Indonesia dikawasan ACFTA. Berdasarkan pola sebaran komoditas dalam dua periode yang digambarkan dalam Grafik III.13 dan III.14, diperoleh gambaran perkembangan pergeseran pangsa ekspor per kuadran. Pangsa nilai ekspor dikuadran I mengalami penurunan dari 33% menjadi 19% dengan jumlah komoditas yang masih tetap sama yaitu 9 (dengan komposisi atau jenis berbeda). Beberapa komoditas utama Indonesia yang bertahan dalam 1,0 Kwadran II 1,0 IIT Kwadran I 0,8 Kwadran II IIT Kwadran I 0,8 0,6 RCA 0,4 0,6 RCA 0,4 Kwadran III 0,2 Kwadran III 0,2 Kwadran IV -0,5 0,5 1,5 2,5 3,5 Grafik III.13. Kwadran RCA dan IIT Periode I 4,5 Kwadran IV -0,5 0,5 1,5 2,5 3,5 Grafik III.14. Kwadran RCA dan IIT Periode II 4,5 50 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 kuadran utama adalah minyak, kendaraan bermotor, tekstil, dan minuman. Kondisi yang relatif ideal terjadi apabila perkembangan menunjukkan peningkatan pangsa ekspor yang lebih besar di kuadran I. Untuk hasil lengkap berupa komposisi dan cakupan komoditas per kuadran yang diukur dalam matrik RCA dan IIT disajikan dalam lampiran 6. Untuk menyederhanakan tabel matrik pada lampiran 6 tersebut, di sajikan dalam bentuk grafik 4.9 dan 4.10 untuk 42 jenis komoditas tradable. Sementara itu, hasil yang lebih pesimis ditunjukkan apabila komoditas minyak dan gas dikeluarkan dalam perhitungan indikator RCA dan IIT. Dengan menggunakan data pada periode II, pangsa komoditas ekspor dalam kuadran I semakin berkurang dari 19% menjadi 12%. Perkembangan tersebut menjadi penting untuk dicermati mengingat peranan komoditas migas semakin berkurang, sementara tantangan pengembangan komoditas nonmigas masih dihadapkan pada berbagai kendala. Hasil lengkap untuk analisis bagian ini disajikan dalam lampiran 7, termasuk didalamnya komoditas pada tiap-tiap kwadran. Kwadran II, Kwadran I, 19% 37% Kwadran II, Kwadran I, 43% 12% 18% 19% 33% 37% 19% 3% Kwadran III, 3% 41% 31% Kwadran IV, 41% Grafik III.15. Perkembangan Pangsa Ekspor per Kuadran dari Periode I ke II Kwadran III, Kwadran IV, 41% 4% Grafik III.16. Pangsa Ekspor Kuadran Periode II dengan dan tanpa Migas IV.2.2. Pendekatan Analisis Intensitas Kompetisi Untuk memberikan hasil yang lebih lengkap, penelitian ini juga memberikan gambaran tantangan dan peluang terhadap komoditas ekspor Indonesia di era pasar ACFTA. Analisis dilakukan dengan menggunakan indikator index of export similarity (IES) dan index of export overlap (IEO). Teknis analisis dilakukan dengan membandingkan karakteristik ekspor masingmasing negara di ASEAN secara bilateral dengan Cina. Setelah dihasilkan indikator IES dan IEO masing-masing negara, tahap selanjutnya adalah membandingkan hasil yang diperoleh antara dua periode pengamatan yaitu periode I (2001-2004) dan periode II (2005-2008). Dengan Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia 51 pengamatan dua periode tersebut dinamika yang terjadi dapat lebih menarik untuk di ulas lebih lanjut. Dengan bergabungnya negara Cina kedalam pasar ASEAN, terdapat ancaman terjadinya penurunan ekspor Indonesia dengan partner dagang sesama anggota ASEAN yang telah terjalin selama ini. Dari hasil pengukuran intensitas kompetisi produk ekspor masing-masing negara di ASEAN dengan Cina diperoleh gambaran umum perkembangan intensitas kompetisi yang cenderung menurun dalam dua periode pengamatan (Grafik III.17)10 . Intensitas kompetisi yang cenderung meningkat apabila kedua indikator tersebut menunjukkan kenaikan. Dari dua periode pengamatan kedua indikator tersebut diperoleh petunjuk perkembangan produk Indonesia yang cenderung berkurang intensitas kompetisi dengan produk ekspor Cina. Menurunnya intensitas kompetisi produk Indonesia dengan Cina sejalan dengan kenaikan pangsa ekspor produk ekspor dari Indonesia yang berbasis sumber daya alam seperti hasil pertambangan dan produk alam lainnya seperti migas, CPO, dan karet sejalan dengan kenaikan harga dan permintaan dunia. Disisi lain, komposisi ekspor Cina yang cenderung mengarah produk industri (Grafik III.18)11 . Berdasarkan pengamatan indikator IEO, negara dengan skala ekonomi relatif kecil memiliki nilai indeks yang relatif tinggi seperti Brunei, Philipina, Chambodia, dan Vietnam. Sementara dari sisi IES, negara yang relatif maju seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand memiliki indeks yang relatif tinggi. Tingginya indeks IES beberapa negara yang relatif maju di negara ASEAN dengan Cina sejalan juga dengan perkembangan proporsi ekspor Cina yang relatif tinggi pada produk industri. % 100 100 IES 90 MAL SIN 80 80 PIL Periode I (2001-2004) Periode II (2005-2008) THA 70 60 60 IND 50 BRN 40 40 VIE 30 20 20 CAM 10 IEO 0 40 50 60 70 80 90 Grafik III.17. Perkembangan Intensitas Kompetisi dengan China dalam 2 Periode Pengamatan 100 0 Indonesia Singapura Thailand Philipin Malaysia Vietnam Cambodia Brunei China Grafik III.18. Perkembangan Pangsa Ekspor Komoditas Industri 10 Periode pertama digambarkan dengan warna biru dan periode kedua dengan warna merah 11 Pangsa ekspor komoditas industri diturunkan dari penjumlahan nilai ekspor dalam SITC dengan kode digit awal dari 5 s/d 9, sedangkan untuk kode digit 0 s/d 4 merupakan bukan industri. 52 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 Untuk memberikan dukungan kesimpulan analisis tersebut diatas, dimana intensitas kompetisi komoditas ekspor, khususnya Indonesia dengan Cina yang semakin menurun, dilakukan uji dengan alat analisis tambahan. Pengujian dilakukan dengan melakukan uji spearman rank correlation (SRC) atas indikator RCA. Uji SRC atas RCA Indonesia dan Cina menghasilkan kesimpulan hubungan negatif dengan level signifikan 1% untuk kriteria 50 komoditas dan RCA > 1 (Tabel III.5). Dengan kategori pengujian pada 50 komoditas terbesar diperoleh koefisien -0,3 dengan level signifikan 5% 12 . Demikian juga untuk pengujian atas komoditas yang mempunyai daya saing tinggi atau RCA > 1 menghasilkan koefisien -0,54 level signifikan 1%. Sedangkan untuk pengujian keseluruhan komoditas berdasarkan SITC 2digit sejumlah 69 komoditas menghasilkan hubungan negatif namun tidak signifikan. Koefisien spearmans»s rho yang bernilai negatif dapat diartikan adanya struktur daya saing yang berbeda pada komoditas ekspor Indonesia dengan Cina. Hasil ini dapat juga diartikan bahwa komoditas ekspor unggulan Indonesia bukan merupakan ekspor unggulan Cina. Pengujian terhadap dua periode pengamatan menunjukkan hasil yang konsisten untuk Indonesia yaitu tetap dengan koefisien negatif dan signifikan. Table III.5 Uji Spearman Rank Correlation RCA Periode I (2001 - 2004) Cina IND SING THAI Semua Komoditas (69 Komoditas) Spearman»s rho: degrees of freedom: P-value: -0,04 67 0,71 0,03 67 0,82 50 Komoditas Spearman»s rho: degrees of freedom: P-value: RCA >1 Spearman»s rho: degrees of freedom: P-value: Periode II (2005 - 2008) Periode I (2001 - 2004) PHI MAL VIET CAMB BRU IND SING THAI PHI MAL VIET 0,03 67 0,79 0,08 67 0,52 -0,31 67 0,01 0,34 67 0,00 0,08 67 0,53 -0,30 -0,25 48 48 0,03 0,08 -0,14 48 0,34 0,00 48 1,00 -0,57 48 0,00 0,19 48 0,20 -0,54 -0,10 31 18 0,00 0,67 -0,07 30 0,69 -0,28 7 0,46 -0,59 18 0,01 -0,23 21 0,29 CAMB BRU 0,34 67 0,00 -0,20 67 0,10 0,04 67 0,75 0,02 67 0,90 -0,02 67 0,86 -0,18 67 0,13 0,21 67 0,09 0,16 67 0,18 0,31 67 0,01 0,02 48 0,90 0,28 48 0,05 -0,47 48 0,00 -0,28 48 0,05 -0,28 48 0,05 -0,14 48 0,32 -0,53 -0,07 48 48 0,00 0,62 -0,19 48 0,20 0,16 48 0,26 -0,7 17 0,00 10,00 2 1,00 -0,51 28 0,00 -0,61 19 0,00 -0,37 29 0,04 -0,69 11 0,01 -0,56 -0,36 23 24 0,00 0,07 -0,28 7 0,46 Hasil yang sama dan mirip dengan Indonesia juga ditemukan di negara ASEAN lainnya. Secara umum, dengan pengujian terhadap 50 komoditas dan komoditas dengan RCA tinggi menunjukkan hubungan negatif dan siginifikan. Dengan demikian diperoleh gambaran bahwa komoditas ekspor Cina ke ASEAN bukan merupakan komoditas unggulan dari negara ASEAN lainnya. 12 Pengujian berdasarkan 50 komoditas terbesar berdasarkan pangsa yang berkisar 90 persen. 53 Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia Dengan indikator intensitas kompetisi dan pengujian SRC untuk indikator RCA diperoleh penguatan kesimpulan bahwa penurunan intensitas kompetisi antara Cina dengan Indonesia disertai dengan struktur komoditas ekspor yang tidak saling bersaing. Demikian juga terhadap komoditas ekspor anggota ASEAN lainnya. Hasil ini memberikan gambaran adanya hubungan yang lebih bersifat komplementer sehingga ekspor Cina ke ASEAN menjadi relatif mudah. Dari hasil kuantitatif model GTAP juga ditunjukkan peningkatan ekspor Cina ke ASEAN mencapai 50,5% (Lampiran 1). Analisis peluang terbukanya pasar Cina dapat juga dilakukan dengan indikator IES dan IEO. Berbeda dengan pengukuran indikator IES dan IEO pada bagian sebelumnya, dimana Cina menjadi titik pusat perhatian, kita dapat menggunakan Indonesia sebagai titik pusat perhatian. Secara bilateral antara Indonesia dengan masing-masing negara ASEAN, terdapat pola hubungan kompetisi yang semakin menurun, yang didukung oleh indikator IES dan IEO yang turun (Grafik 4.19). Hal ini mengindikasikan tingkat persaingan produk antara negara ASEAN ke Cina relatif berkurang. Dari hasil simulasi GTAP ditunjukkan juga bahwa keseluruhan ekspor dari Asean ke Cina meningkat 31,1% dengan kisaran terendah oleh ekspor Philipina 16,1% dan tertinggi adalah ekspor Thailand 43,3% (Lampiran 1). Berbeda halnya apabila dengan komoditas ekspor yang dipakai adalah total ekspor masing-masing negara. Dari Grafik 4.20, mencerminkan adanya derajat homogenitas antara produk ekspor Indonesia dengan masing-masing negara ASEAN di pasaran dunia yang lebih tinggi dibandingkan ekspor untuk pasaran ACFTA13 . Diantara negara ASEAN, produk ekspor negara Vietnam relatif mempunyai indeks IES yang paling tinggi. 100 100 IES 90 80 VIE 70 60 THA 60 50 THA 50 40 MAL 40 MAL CAM 30 20 SIN PIL 20 SIN PIL 10 VIE 70 BRN 30 IES 90 80 10 IEO 0 IEO 0 0 20 40 60 80 Grafik III.19. Perkembangan Intensitas Kompetisi Indonesia dg ASEAN ke Pasar Cina 100 0 20 40 60 80 100 Grafik III.20. Perbandingan Perkembangan Intensitas dipasar Dunia dan ACFTA 13 Bidang warna biru merupakan ukuran indeks untuk tujuan ekspor pasar dunia, dan bidang warna merah untuk pasar ACFTA. 54 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 V. KESIMPULAN DAN SARAN V.1. Kesimpulan Kerjasama perdagangan dalam kerangka ACFTA memberikan peluang bagi peningkatan ekspor Indonesia. Dari hasil model GTAP, secara keseluruhan Indonesia mempunyai net trade creation sebesar 2% yang bersumber dari dampak trade creation dari anggota ACFTA 10,3% dan trade diversion dengan mitra dagang ROW sebesar -1,5%. Meskipun perjanjian kerjasama ACFTA berdampak negatif terhadap penurunan neraca perdagangan Indonesia secara keseluruhan sebesar 2,3%, hasil analisis lebih lanjut terhadap komoditas ekspor internasional (tradable) menunjukkan dampak positif sebesar 0,5%. Dari sisi ekspor, komoditas dari Indonesia berpeluang meningkat 2,1% terutama bersumber dari peningkatan ekspor ke Cina. Peluang perluasan pasar ke Cina didukung oleh karakteristik komoditas ekspor Indonesia dan negara ASEAN lainnya yang mempunyai derajat persaingan yang relatif rendah. Dengan demikian, barang-barang ekspor dari Indonesia dan ASEAN pada umumnya lebih mudah dapat melakukan ekspansi. Hasil analisis indikator IES dan IEO dalam dua periode pengamatan menghasilkan kesimpulan bahwa, derajat intensitas kompestisi barang ekspor Indonesia ke kawasan ACFTA secara bilateral dengan masing-masing negara ASEAN menurun. Kesimpulan tersebut di dukung juga dengan derajat homogenitas komoditas ekspor ke ACFTA yang lebih rendah dibandingkan ekspor keseluruhan ke pasar dunia. Dengan tingkat homogenitas barang ekspor yang lebih rendah, tingkat persaingan dengan sesama negara ASEAN ke pasar Cina relatif berkurang. Namun demikian, ekspor Indonesia menghadapi tantangan baru dengan masuknya barang-barang impor Cina dikawasan ASEAN. Mitra dagang Indonesia dari kawasan ASEAN yang selama ini terjalin berpotensi mengalami penurunan. Dari hasil model GTAP, diperoleh perkiraan ekspor negara ASEAN ke kawasan ASEAN mengalami penurunan 4,9%, termasuk penuruan ekspor indonesia sebesar 4,4%. Disisi lain ekspor Cina ke ASEAN mengalami peningkatan 50,5%. Hasil penelitian paper ini menunjukkan bahwa komoditas barang ekspor Cina dan negara ASEAN cenderung menunjukkan arah yang berkurang tingkat persamaan komoditasnya. Hal ini sejalan dengan perkembangan ekspor barang dari Cina yang bergerak ke arah ekspor barang industri. Dari hasil pengujian sprearman rank correlation atas indikator RCA secara umum menunjukkan hubungan yang lebih bersifat komplementer antara barang ekspor Cina dengan negara ASEAN. Tantangan peningkatan ekspor Indonesia di era ACFTA semakin bertambah dengan menurunnya daya saing ekspor Indonesia. Berdasarkan data historis yang dibagi dalam dua periode, diperoleh penurunan kelompok komoditas utama dari yang semula mempunyai pangsa Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia 55 33% menjadi 19% terhadap total ekspor Indonesia. Tantangan tersebut semakin besar mengingat salah satu komponen ekspor dalam pembentukan pangsa tersebut bersumber dari sektor migas. Apabila kita keluarkan komoditas ekspor migas dalam perhitungan, pangsa ekspor komoditas utama yang semula mencapai 19% tersebut turun menjadi 12%. V.2. Saran Untuk dapat memanfaatkan peluang pengembangan ekspor dari kesepakatan ACFTA, perlu strategi untuk menggerakkan basket komoditas khususnya ekspor nonmigas dari kuadran II dan IV menuju kuadran I. Pengembangan komoditas ekspor yang mempunyai daya saing tinggi perlu memperhatikan juga karakteristik komoditas yang mempunyai keterkaitan tinggi dalam mata rantai perdagangan internasional. Dari hasil penelitian ini komoditas potensial dengan indikator IIT tinggi dan perlu penguatan daya saing adalah mesin & peralatan, industri kimia, peralatan elektronik, dan industri logam & besi. Sementara untuk komoditas potensial dengan RCA tinggi namun perlu nilai tambah tinggi pada umumnya adalah komoditas berbasis sumber daya alam namun belum banyak diolah lebih lanjut dalam bentuk diversifikasi produk maupun produk bernilai tinggi. Sementara itu, saran terkait dengan tantangan yang dihadapi dengan maraknya produk Cina adalah dengan memanfaatkan impor barang dari Cina dengan teknologi menengah dan tinggi yang selama ini bersumber dari negara diluar kawasan. Dengan demikian, terbuka pilihan yang lebih besar bagi produsen untuk melakukan investasi mesin-mesin dan peralatan dengan pilihan barang dari Cina dengan harga yang lebih kompetitif. Dengan demikian, arah kerjasama ACFTA yang kita harapkan dapat meningkatkan kesejahteraan di kawasan dan khususnya bagi Indonesia dapat kita optimalkan. 56 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 DAFTAR PUSTAKA Deardorff, V. A. (1995). ≈Determinants of Bilateral Trade: Does Gravity Work in a Neoclassic World?∆ NBER Working Paper No. 5377. Endy Tjahjono, M. Barik Bathaluddin, dan Justina Adamanti (2009): ≈ Semar 2009: Suatu Model Financial Computable General Equilibrium∆. WP/ / 2009 (Desember 2009). Frankel, Jeffrey (1997): ≈Regional Trading Blocs in The World Economic System,∆ NBER Working Paper Series 4050. Haryadi, Rina Oktaviani, Mangara Tambunan dan Noer Azam Achsani. ≈Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan Sektor Pertanian Terhadap Kinerja Ekonomi Negara Maju dan Berkembang∆. April 2008. IMF (2007): World Economic Financial Surveys: Regional Economic Outlook Asia and Pacific. Oct 2007. Joseph F. Francois, Luis Rivera dan Hugo Rojas-Romagosa. ≈Economic perspectives for Central America after CAFTA. A GTAP-based analysis∆, February 2008. Kemp, Murray C., and Henry Y.Jr.Wan. (1976). ≈An Elementary Proposition Concerning the Formation of Customs Unions.∆Journal of International Economics 6 (1976): 95-97. Kemp, Murray, C. (1964): The Pure Theory of International Trade. Prentice-Hall, Englewood Cliffs, N.J., 176-177. Krueger, Anne O (1999). ≈Trade creation and Trade Diversion under NAFTA∆. National Bureau of Economic Research, WP 7429. Ohyama, M. (1972). ≈Trade and Welfare in General Equilibrium∆. Keio Economic Studies 9, 3773. Okamoto, Yumiko (2005). ≈ASEAN, China, and India: Are they more competitive or complementary to each other?∆. Saktyanu K. Dermoredjo, Wahida, dan Budiman Hutabarat; Analisis Dampak Penurunan Subsidi Ekspor Negara Maju terhadap Produksi Pertanian Indonesia. Desember 2007. Sanchez, Manuel dan Karp, Nathaniel (2000). ≈NAFTA»s Economic Effects on Mexico∆. NBER. Shujiro Urata dan Kozo Kiyota; The impacts of an East Asia FTA on Foreign Trade in East Asia. Desember 2003. Thomas W. Hertel, Global Trade Analysis, Modeling dan Applications, Cambridge University Press 1997. Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia 57 Tsutsumi, Masahiko (2001): ≈How Will the Regional FTAs Shape the Indonesian Economy? Evaluation by the Computable General Equilibrium Model∆. TSQ Discussion Paper 2001/02No. 2. (August 2001). Tubagus Feridhanusetyawan, Yose Rizal Damuri; Economic Crisis and Trade Liberalization: A CGE Analysis On The Forestry Sector. February 2004. Vanek, Jaroslav (1965). General Equilibrium of International Discrimination: The Case of Customs Unions. Cambridge, MA: Harvard University Press. Viner, Jacob (1950). The Customs Union Issue, Carnegie Endowment for International Peace, New York. 58 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 Lampiran 1 Hasil Running Model GTAP EKSPOR Total Trade dengan dunia Sebelum Sesudah Trade Antar Anggota Sebelum Sesudah Trade dengan Cina Sebelum Sesudah Trade dengan ASEAN Sebelum Sesudah Trade dengan non Anggota (ROW) Sebelum Sesudah ekspor ke Dunia Value % ekspor ke ACFTA Value % ekspor ke Cina Value % ekspor ke Asean Value % ekspor ke ROW Value % Indonesia Malaysia Singapura Thailand Filipina Vietnam Other ASEAN ASEAN China ACFTA 87.511,4 152.058,6 150.571,0 119.465,2 89.068,8 154.265,3 151.110,7 119.834,8 50.743,5 32.196,5 51.305,8 34.243,0 12.418,0 604.964,2 680.765,6 1.285.729,8 12.601,5 612.429,9 694.627,9 1.307.057,8 22.913,2 25.597,1 50.074,3 55.134,6 51.485,6 33.341,4 54.122,1 38.146,3 13.183,3 13.915,4 6.680,2 7.263,7 8.194,3 11.521,6 22.580,3 28.812,4 16.600,2 14.436,8 21.022,3 20.682,0 5.495,9 6.415,2 2.988,6 3.767,2 14.718,9 14.075,5 27.494,0 26.322,2 34.885,4 18.904,6 33.099,8 17.464,3 7.687,4 7.500,2 3.691,6 3.496,5 2.696,5 110.078,4 50.581,0 160.659,4 2.672,9 104.631,4 76.135,7 180.767,1 64.598,3 101.984,5 63.471,8 99.130,6 99.085,4 86.123,9 96.988,6 81.688,8 37.560,3 25.516,5 37.390,4 26.979,3 9.281,5 424.150,4 630.184,7 1.054.335,1 9.437,2 415.086,7 618.492,3 1.033.579,0 3.136,4 180.814,4 50.581,0 231.395,4 3.164,2 197.343,4 76.135,7 273.479,1 439,9 491,3 70.736,0 92.712,0 0,0 0,0 70.736,0 92.712,0 1.557,4 1,8 2.206,7 1,5 539,7 0,4 369,6 0,3 562,3 1,1 2.046,5 6,4 183,5 1,5 7.465,7 13.862,3 1,2 2,0 21.328,0 1,7 2.683,9 11,7 5.060,3 10,1 2.636,5 5,1 4.804,9 14,4 732,1 5,6 583,5 8,7 27,8 0,9 16.529,0 25.554,7 9,1 50,5 42.083,7 18,2 3.327,3 40,6 6.232,1 27,6 4.422,1 26,6 6.245,2 43,3 919,3 16,7 778,6 26,1 51,4 11,7 21.976,0 31,1 0,0 0,0 21.976,0 31,1 -643,4 -4,4 -1.171,8 -4,3 -1.785,6 -5,1 -1.440,3 -7,6 -187,2 -2,4 -195,1 -5,3 -23,6 -0,9 -5.447,0 25.554,7 -4,9 50,5 20.107,7 12,5 -1.126,5 -1,7 -2.853,9 -2,8 -2.096,8 -2,1 -4.435,1 -5,1 -169,9 -0,5 1.462,8 5,7 155,7 1,7 -9.063,7 -11.692,4 -2,1 -1,9 -20.756,1 -2,0 Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia 59 Lampiran 1 Hasil Running Model GTAP Lanjutan 1 IMPOR Total Trade dengan Dunia Sebelum Sesudah Trade Antar Anggota Sebelum Sesudah Trade dengan Cina Sebelum Sesudah Trade dengan ASEAN Sebelum Sesudah Trade dengan non Anggota (ROW) Sebelum Sesudah Impor dari Dunia Value % Impor dari ACFTA Value % Impor dari Cina Value % Impor dari Asean Value % Impor dari ROW Value % Indonesia Malaysia Singapura Thailand Filipina Vietnam Other ASEAN ASEAN China ACFTA 76.947,2 106.330,1 160.658,5 102.806,7 78.751,1 109.023,8 161.353,0 108.042,8 48.824,9 36.636,9 49.580,5 40.841,0 9.142,6 541.346,9 599.116,4 1.140.463,3 9.438,2 557.030,4 614.267,2 1.171.297,6 26.780,3 29.211,4 37.141,4 40.947,6 47.641,5 25.166,2 46.777,7 32.180,0 14.151,3 13.068,8 15.585,8 20.307,6 5.771,6 169.721,1 74.668,3 244.389,4 6.235,2 191.245,3 98.412,1 289.657,4 8.828,6 12.170,8 10.088,2 15.346,2 13.723,0 7.946,1 13.562,8 15.956,9 5.708,3 5.624,5 7.567,9 13.890,7 1.616,2 2.378,8 17.951,7 17.040,6 27.053,2 25.601,4 33.918,5 17.220,1 33.214,9 16.223,1 8.443,0 8.017,9 7.444,3 6.416,9 4.155,4 116.186,2 74.668,3 190.854,5 3.856,4 110.371,2 98.412,1 208.783,3 50.167,0 49.539,7 69.188,7 113.017,2 77.640,5 68.076,2 114.575,2 75.862,9 34.673,7 23.568,3 33.994,6 20.533,5 3.371,0 371.626,4 524.448,1 896.074,5 3.202,8 365.784,9 515.855,0 881.639,9 53.534,9 80.874,1 0,0 0,0 53.534,9 80.874,1 1.803,9 2,3 2.693,7 2,5 694,5 0,4 5.236,1 5,1 755,6 1,5 4.204,1 11,5 295,6 3,2 15.683,5 15.150,8 2,9 2,5 30.834,3 2,7 2.431,1 9,1 3.806,2 10,2 -863,8 -1,8 7.013,8 27,9 1.434,5 10,1 7.238,8 55,4 463,6 8,0 21.524,2 23.743,8 12,7 31,8 45.268,0 18,5 3.342,2 37,9 5.258,0 52,1 -160,2 -1,2 8.010,8 100,8 1.859,6 32,6 8.266,2 147,0 762,6 47,2 27.339,2 51,1 0,0 0,0 27.339,2 51,1 -911,1 -5,1 -1.451,8 -5,4 -703,6 -2,1 -997,0 -5,8 -425,1 -5,0 -1.027,4 -13,8 -299,0 -7,2 -5.815,0 23.743,8 -5,0 31,8 17.928,8 9,4 -627,3 -1,3 -1.112,5 -1,6 1.558,0 1,4 -1.777,6 -2,3 -679,1 -2,0 -3.034,8 -12,9 -168,2 -5,0 -5.841,5 -1,6 -14.434,6 -1,6 -8.593,1 -1,6 60 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 Lampiran 1 Hasil Running Model GTAP Lanjutan 2 TOTAL TRADE (EKSPOR + IMPOR) Total Trade dengan dunia Sebelum Sesudah Trade Antar Anggota Sebelum Sesudah Trade dengan Cina Sebelum Sesudah Trade dengan ASEAN Sebelum Sesudah Trade dengan non Anggota (ROW) Sebelum Sesudah Total Net Trade Creation Value % Trade Creation Antar Anggota Value % Trade Creation dengan Cina Value % Trade Creation dengan ASEAN Value % Trade Diversion Value % Indonesia Malaysia Singapura Thailand 164.458,6 258.388,7 167.819,9 263.289,1 311.229,5 222.271,9 312.463,7 227.877,6 Filipina Vietnam 99.568,4 100.886,3 68.833,4 75.084,0 Other ASEAN ASEAN Cina ACFTA 21.560,6 1.146.311,1 1.279.882,0 2.426.193,1 22.039,7 1.169.460,3 1.308.895,1 2.478.355,4 49.693,5 54.808,5 87.215,7 96.082,2 99.127,1 100.899,8 58.507,6 70.326,3 27.334,6 29.501,2 19.749,0 27.571,3 8.908,0 350.535,5 9.399,4 388.588,7 125.249,3 174.547,8 475.784,8 563.136,5 17.022,9 23.692,4 32.668,5 44.158,6 30.323,2 34.585,1 22.382,9 36.638,9 11.204,2 13.983,1 8.613,1 17.657,9 2.056,1 124.270,9 2.870,1 173.586,1 0,0 0,0 124.270,9 173.586,1 32.670,6 31.116,1 54.547,2 51.923,6 68.803,9 66.314,7 36.124,7 33.687,4 16.130,4 15.518,1 11.135,9 9.913,4 6.851,9 6.529,3 125.249,3 174.547,8 351.513,9 389.550,4 212.102,6 163.764,4 211.563,8 157.551,7 72.234,0 71.385,0 49.084,8 47.512,8 114.765,3 171.173,2 113.011,5 167.206,8 226.264,6 215.002,6 12.652,5 795.776,8 1.154.632,8 1.950.409,6 12.640,0 780.871,6 1.134.347,3 1.915.218,9 3.361,3 2,0 4.900,4 1,9 1.234,2 0,4 5.605,7 2,5 1.317,9 1,3 6.250,6 9,1 479,1 2,2 23.149,2 2,0 29.013,1 2,3 52.162,3 2,1 5.115,0 10,3 8.866,5 10,2 1.772,7 1,8 11.818,7 20,2 2.166,6 7,9 7.822,3 39,6 491,4 5,5 38.053,2 10,9 49.298,5 39,4 87.351,7 18,4 6.669,5 39,2 11.490,1 35,2 4.261,9 14,1 14.256,0 63,7 2.778,9 24,8 9.044,8 105,0 814,0 39,6 49.315,2 39,7 0,0 0,0 49.315,2 39,7 -1.554,5 -4,8 -2.623,6 -4,8 -2.489,2 -3,6 -2.437,3 -6,7 -612,3 -3,8 -1.222,5 -11,0 -322,6 -4,7 -11.262,0 -5,0 49.298,5 39,4 38.036,5 10,8 -1.753,8 -1,5 -3.966,4 -2,3 -538,8 -0,3 -6.212,7 -3,8 -849,0 -1,2 -1.572,0 -3,2 -12,5 -0,1 -14.905,2 -1,9 -20.285,5 -1,8 -35.190,7 -1,8 Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia 61 Lampiran 1 Hasil Running Model GTAP Lanjutan 3 NET EKSPOR Total Trade Sebelum Sesudah Trade Antar Anggota Sebelum Sesudah Trade dengan Cina Sebelum Sesudah Trade dengan ASEAN Sebelum Sesudah Trade dengan non Anggota (ROW) Sebelum Sesudah Total Net Trade Creation Value % Trade Creation Antar Anggota Value % Trade creation Trade Cina Value % Trade Creation ASEAN Value % Trade Diversion Value % Indonesia Malaysia Singapura Thailand Filipina Vietnam Other ASEAN 1.918,6 1.725,3 -4.440,4 -6.598,0 3.275,4 3.163,3 ASEAN Cina ACFTA 63.617,3 55.399,5 81.649,2 80.360,7 145.266,5 135.760,2 10.564,2 10.317,7 45.728,5 45.241,5 -10.087,5 -10.242,3 16.658,5 11.792,0 -3.867,1 -3.614,3 12.932,9 14.187,0 3.844,1 7.344,4 8.175,2 5.966,3 -968,0 -6.388,6 -1.670,4 -13.043,9 -2.635,2 -3.071,0 11.093,3 6.098,1 -24.087,3 -22.276,4 -12.994,0 -16.178,3 -634,3 -649,2 12.492,1 13.466,2 2.877,2 7.459,5 6.490,7 4.725,1 -212,4 -2.635,9 -1.152,7 -10.123,5 -1.176,3 -1.887,5 17.201,1 11.837,9 0,0 0,0 17.201,1 11.837,9 -3.232,8 -2.965,1 440,8 720,8 966,9 -115,1 1.684,5 1.241,2 -755,6 -517,7 -3.752,7 -2.920,4 -1.458,9 -1.183,5 -6.107,8 -5.739,8 -24.087,3 -22.276,4 -30.195,1 -28.016,2 14.431,3 13.932,1 32.795,8 31.054,4 -13.931,8 -17.586,6 8.483,4 5.825,9 2.886,6 3.395,8 1.948,2 6.445,8 5.910,5 6.234,4 52.524,0 49.301,8 105.736,6 102.637,3 158.260,6 151.939,1 -246,5 -2,3 -487,0 -1,1 -154,8 -1,5 -4.866,5 -29,2 -193,3 -10,1 -2.157,6 -48,6 -112,1 -3,4 -8.217,8 -12,9 -1.288,5 -1,6 -9.506,3 -6,5 252,8 6,5 1.254,1 9,7 3.500,3 91,1 -2.208,9 -27,0 -702,4 -72,6 -6.655,3 -104,2 -435,8 -16,5 -4.995,2 -45,0 1.810,9 7,5 -3.184,3 -24,5 -14,9 -2,3 974,1 7,8 4.582,3 159,3 -1.765,6 -27,2 -940,3 -442,7 -7.487,6 -284,1 -711,2 -60,5 -5.363,2 -31,2 0,0 -5.363,2 -31,2 267,7 8,3 280,0 63,5 -1.082,0 -111,9 -443,3 -26,3 237,9 31,5 832,3 22,2 275,4 18,9 368,0 6,0 1.810,9 7,5 2.178,9 7,2 -499,2 -3,5 -1.741,4 -5,3 -3.654,8 -26,2 -2.657,5 -31,3 509,2 17,6 4.497,6 230,9 323,9 5,5 -3.222,2 -6,1 -3.099,3 -2,9 -6.321,5 -4,0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 chg 0,0 0,0 -0,2 -2,7 -0,3 0,0 0,1 -44,1 0,0 13,0 0,0 0,1 10,9 8,4 3,8 1,9 0,0 9,5 0,1 0,2 101,4 -0,4 -0,2 0,4 20,7 -29,9 193,1 -12,0 46,3 104,0 VIMS Beras 0,0 0,0 Wheat 2,7 2,7 CerealGrain 10,2 10,0 Sayuran 89,9 87,2 OilSeeds 20,7 20,4 SugarCane 0,0 0,0 Fiber 2,9 3,0 CropsNec 408,1 364,0 HewanTernak 1,0 1,0 ProdukHewan 106,5 119,5 SusuMurni 0,0 0,0 Wol 0,1 0,2 Kehutanan 46,9 57,8 Perikanan 135,5 143,9 Batubara 547,5 551,3 Minyak 1.668,5 1.670,4 Gas 0,6 0,6 MineralNec 604,4 613,9 Daging 0,7 0,8 ProdukDaging 3,0 3,2 MinyakSayur 1.377,6 1.479,0 DairyProduk 28,2 27,8 BerasOlahan 2,4 2,2 Gula 3,4 3,8 ProdukMakan 408,1 428,8 Minuman 158,7 128,8 Tekstil 839,1 1.032,2 PakaianJadi 120,2 108,2 ProdukKulit 131,2 177,5 ProdukKayu 790,2 894,2 pre 0,0 0,0 -2,0 -3,0 -1,4 0,0 3,4 -10,8 0,0 12,2 0,0 100,0 23,2 6,2 0,7 0,1 0,0 1,6 14,3 6,7 7,4 -1,4 -8,3 11,8 5,1 -18,8 23,0 -10,0 35,3 13,2 % Ekspor ke ACFTA post 42 Komoditas 0,00 0,00 0,00 -0,01 0,00 0,00 0,00 -0,20 0,00 0,06 0,00 0,00 0,05 0,04 0,02 0,01 0,00 0,04 0,00 0,00 0,45 0,00 0,00 0,00 0,09 -0,13 0,85 -0,05 0,20 0,46 share % 0,0 2,7 10,1 66,9 20,3 0,0 2,5 394,5 1,0 64,4 0,0 0,1 12,4 115,5 470,6 593,0 0,6 467,5 0,6 2,6 584,7 28,0 1,3 2,8 326,7 157,2 519,4 116,0 90,1 258,7 pre 0,0 2,7 9,9 59,7 19,9 0,0 2,5 340,8 1,0 64,8 0,0 0,1 12,1 116,3 454,0 596,8 0,6 475,7 0,6 2,3 582,3 27,6 1,3 2,9 308,3 126,4 384,1 92,7 68,4 228,9 post 0,0 0,0 -0,2 -7,2 -0,4 0,0 0,0 -53,7 0,0 0,4 0,0 0,0 -0,3 0,8 -16,6 3,8 0,0 8,2 0,0 -0,3 -2,4 -0,4 0,0 0,1 -18,4 -30,8 -135,3 -23,3 -21,7 -29,8 chg 0,0 0,0 -2,0 -10,8 -2,0 0,0 0,0 -13,6 0,0 0,6 0,0 0,0 -2,4 0,7 -3,5 0,6 0,0 1,8 0,0 -11,5 -0,4 -1,4 0,0 3,6 -5,6 -19,6 -26,0 -20,1 -24,1 -11,5 % Ekspor ke ASEAN pre post 0,00 0,0 0,0 0,00 0,0 0,0 0,00 0,1 0,1 -0,05 23,0 27,5 0,00 0,4 0,5 0,00 0,0 0,0 0,00 0,4 0,5 -0,37 13,6 23,2 0,00 0,0 0,0 0,00 42,1 54,7 0,00 0,0 0,0 0,00 0,0 0,1 0,00 34,5 45,7 0,01 20,0 27,6 -0,11 76,9 97,3 0,03 1.075,5 1.073,6 0,00 0,0 0,0 0,06 136,9 138,2 0,00 0,1 0,2 0,00 0,4 0,9 -0,02 792,9 896,7 0,00 0,2 0,2 0,00 1,1 0,9 0,00 0,6 0,9 -0,13 81,4 120,5 -0,21 1,5 2,4 -0,93 319,7 648,1 -0,16 4,2 15,5 -0,15 41,1 109,1 -0,20 531,5 665,3 share % 0,0 0,0 0,0 4,5 0,1 0,0 0,1 9,6 0,0 12,6 0,0 0,1 11,2 7,6 20,4 -1,9 0,0 1,3 0,1 0,5 103,8 0,0 -0,2 0,3 39,1 0,9 328,4 11,3 68,0 133,8 chg 0,0 0,0 0,0 19,6 25,0 0,0 25,0 70,6 0,0 29,9 0,0 0,0 32,5 38,0 26,5 -0,2 0,0 0,9 100,0 125,0 13,1 0,0 -18,2 50,0 48,0 60,0 102,7 269,0 165,5 25,2 % Ekspor ke CINA Lampiran 2 Perbandingan Dampak ACFTA Ke Indonesia (Komoditas) 0,00 0,00 0,00 0,06 0,00 0,00 0,00 0,12 0,00 0,16 0,00 0,00 0,14 0,09 0,25 -0,02 0,00 0,02 0,00 0,01 1,29 0,00 0,00 0,00 0,49 0,01 4,08 0,14 0,85 1,66 share % 0,2 3,0 16,4 257,4 37,3 0,0 7,2 1.381,3 4,6 295,4 0,2 1,7 94,6 447,1 4.024,0 4.107,6 4.810,9 2.140,0 4,4 32,8 4.433,7 76,5 33,5 20,1 2.867,5 229,5 4.844,5 4.025,4 2.202,6 5.766,2 pre chg 0,1 -0,1 3,0 0,0 16,2 -0,2 253,4 -4,0 36,8 -0,5 0,0 0,0 7,2 0,0 1.333,7 -47,6 4,5 -0,1 307,2 11,8 0,2 0,0 1,7 0,0 104,3 9,7 453,3 6,2 4.019,6 -4,4 4.074,7 -32,9 4.784,6 -26,3 2.146,0 6,0 4,4 0,0 31,4 -1,4 4.476,0 42,3 74,4 -2,1 33,3 -0,2 20,4 0,3 2.848,0 -19,5 199,1 -30,4 5.079,8 235,3 3.931,4 -94,0 2.180,5 -22,1 5.725,6 -40,6 post -50,0 0,0 -1,2 -1,6 -1,3 0,0 0,0 -3,4 -2,2 4,0 0,0 0,0 10,3 1,4 -0,1 -0,8 -0,5 0,3 0,0 -4,3 1,0 -2,7 -0,6 1,5 -0,7 -13,2 4,9 -2,3 -1,0 -0,7 % Ekspor ke DUNIA 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,06 0,00 0,01 0,00 0,00 0,01 0,01 -0,01 -0,04 -0,03 0,01 0,00 0,00 0,05 0,00 0,00 0,00 -0,02 -0,04 0,29 -0,12 -0,03 -0,05 share % 0,2 0,3 6,2 167,5 16,6 0,0 4,3 973,2 3,6 188,9 0,2 1,6 47,7 311,6 3.476,5 2.439,1 4.810,3 1.535,6 3,7 29,8 3.056,1 48,3 31,1 16,7 2.459,4 70,8 4,.005,4 3.905,2 2.071,4 4.976,0 pre 0,1 0,3 6,2 166,2 16,4 0,0 4,2 969,7 3,5 187,7 0,2 1,5 46,5 309,4 3.468,3 2.404,3 4.784,0 1.532,1 3,6 28,2 2.997,0 46,6 31,1 16,6 2.419,2 70,3 4.047,6 3.823,2 2.003,0 4.831,4 post -0,1 0,0 0,0 -1,3 -0,2 0,0 -0,1 -3,5 -0,1 -1,2 0,0 -0,1 -1,2 -2,2 -8,2 -34,8 -26,3 -3,5 -0,1 -1,6 -59,1 -1,7 0,0 -0,1 -40,2 -0,5 42,2 -82,0 -68,4 -144,6 chg -50,0 0,0 0,0 -0,8 -1,2 0,0 -2,3 -0,4 -2,8 -0,6 0,0 -6,2 -2,5 -0,7 -0,2 -1,4 -0,5 -0,2 -2,7 -5,4 -1,9 -3,5 0,0 -0,6 -1,6 -0,7 1,1 -2,1 -3,3 -2,9 % Ekspor ke ROW 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,01 -0,06 -0,04 -0,01 0,00 0,00 -0,10 0,00 0,00 0,00 -0,07 0,00 0,07 -0,14 -0,12 -0,24 share % 62 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 31 ProdukKertas 32 Petroleum 33 Kimia 34 ProdTambang 35 LogamBesi 36 LogamNec 37 ProdukMetal 38 KendBermotor 39 PerTransport 40 Elektronik 41 MesinPerl 42 IndustriNec Total 42 Komoditas 1.550,6 317,0 3.373,3 272,1 209,5 1.491,3 176,1 423,0 230,5 4.722,9 1.983,0 332,5 22.590,1 pre 1.667,6 355,5 4.463,7 305,8 210,7 1.505,4 175,3 444,8 211,1 5.374,5 2.265,0 363,4 25.275,2 post 117,0 38,5 1.090,4 33,7 1,2 14,1 -0,8 21,8 -19,4 651,6 282,0 30,9 2.685,1 chg 7,5 12,1 32,3 12,4 0,6 0,9 -0,5 5,2 -8,4 13,8 14,2 9,3 11,9 % Ekspor ke ACFTA 0,52 0,17 4,83 0,15 0,01 0,06 0,00 0,10 -0,09 2,88 1,25 0,14 11,9 share % 578,3 145,5 1.795,6 206,9 185,6 1.280,3 166,3 388,3 226,6 3.307,0 1.645,1 310,9 14.546,6 pre chg 557,5 -20,8 144,1 -1,4 1.766,8 -28,8 179,1 -27,8 179,2 -6,4 1.233,7 -46,6 153,9 -12,4 371,5 -16,8 202,3 -24,3 3.219,2 -87,8 1.612,6 -32,5 300,3 -10,6 13.902,9 -643,7 post -3,6 -1,0 -1,6 -13,4 -3,4 -3,6 -7,5 -4,3 -10,7 -2,7 -2,0 -3,4 -4,4 % Ekspor ke ASEAN pre chg 14,2 23,3 70,9 94,3 31,8 28,8 118,4 111,2 125,6 52,2 93,1 192,1 41,4 % Ekspor ke CINA post -0,14 972,3 1.110,1 137,8 -0,01 171,5 211,4 39,9 -0,20 1.577,7 2.696,9 1.119,2 -0,19 65,2 126,7 61,5 -0,04 23,9 31,5 7,6 -0,32 211,0 271,7 60,7 -0,09 9,8 21,4 11,6 -0,12 34,7 73,3 38,6 -0,17 3,9 8,8 4,9 -0,60 1.415,9 2.155,3 739,4 -0,22 337,9 652,4 314,5 -0,07 21,6 63,1 41,5 -4,4 8.043,5 11.372,3 3.328,8 share % 1,71 0,50 13,91 0,76 0,09 0,75 0,14 0,48 0,06 9,19 3,91 0,52 41,4 share % 3.949,4 1.159,1 9.386,0 1.175,2 623,1 3.814,1 591,2 913,7 586,1 10.789,6 5.019,1 1.509,8 81.682,0 pre Lampiran 2 Perbandingan Dampak ACFTA Ke Indonesia (Komoditas) Lanjutan 1 4.005,8 1.191,7 10.293,5 1.186,6 613,4 3.743,6 581,5 926,3 555,1 11.348,7 5.242,3 1.517,5 83.356,8 56,4 32,6 907,5 11,4 -9,7 -70,5 -9,7 12,6 -31,0 559,1 223,2 7,7 1.674,8 chg 1,4 2,8 9,7 1,0 -1,6 -1,8 -1,6 1,4 -5,3 5,2 4,4 0,5 2,1 % Ekspor ke DUNIA post 0,07 0,04 1,11 0,01 -0,01 -0,09 -0,01 0,02 -0,04 0,68 0,27 0,01 2,1 share % 2.398,8 842,1 6.012,7 903,1 413,6 2.322,8 415,1 490,7 355,6 6.066,7 3.036,1 1.177,3 59.091,9 pre 2.338,2 -60,6 836,2 -5,9 5.829,8 -182,9 880,8 -22,3 402,7 -10,9 2.238,2 -84,6 406,2 -8,9 481,5 -9,2 344,0 -11,6 5.974,2 -92,5 2.977,3 -58,8 1.154,1 -23,2 58.081,6 -1.010,3 chg -2,5 -0,7 -3,0 -2,5 -2,6 -3,6 -2,1 -1,9 -3,3 -1,5 -1,9 -2,0 -1,7 % Ekspor ke ROW post -0,10 -0,01 -0,31 -0,04 -0,02 -0,14 -0,02 -0,02 -0,02 -0,16 -0,10 -0,04 -1,7 share % Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia 63 chg 0,3 1,3 -0,4 25,1 0,6 0,0 -0,2 9,9 0,0 1,0 0,0 0,0 0,7 0,0 0,0 -17,1 0,0 1,6 -0,1 3,0 -1,5 -0,3 0,2 9,8 46,4 2,3 442,3 70,4 54,7 18,9 VIMS 1 Beras 3,2 3,5 2 Wheat 15,3 16,6 3 CerealGrain 37,4 37,0 4 Sayuran 302,8 327,9 5 OilSeeds 19,9 20,5 6 SugarCane 0,1 0,1 7 Fiber 3,8 3,6 8 CropsNec 97,3 107,2 9 HewanTernak 0,0 0,0 10 ProdukHewan 16,5 17,5 11 SusuMurni 0,0 0,0 12 Wol 0,1 0,1 13 Kehutanan 11,6 12,3 14 Perikanan 8,8 8,8 15 Batubara 0,4 0,4 16 Minyak 1.144,8 1.127,7 17 Gas 0,0 0,0 18 MineralNec 107,8 109,4 19 Daging 6,9 6,8 20 ProdukDaging 10,4 13,4 21 MinyakSayur 55,6 54,1 22 DairyProduk 85,4 85,1 23 BerasOlahan 106,3 106,5 24 Gula 291,7 301,5 25 ProdukMakan 592,2 638,6 26 Minuman 163,9 166,2 27 Tekstil 1.071,8 1.514,1 28 PakaianJadi 204,8 275,2 29 ProdukKulit 199,6 254,3 30 ProdukKayu 121,9 140,8 pre 9,4 8,5 -1,1 8,3 3,0 0,0 -5,3 10,2 0,0 6,1 0,0 0,0 6,0 0,0 0,0 -1,5 0,0 1,5 -1,4 28,8 -2,7 -0,4 0,2 3,4 7,8 1,4 41,3 34,4 27,4 15,5 % Ekspor ke ACFTA post 42 Komoditas 0,00 0,01 0,00 0,10 0,00 0,00 0,00 0,04 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,07 0,00 0,01 0,00 0,01 -0,01 0,00 0,00 0,04 0,18 0,01 1,73 0,28 0,21 0,07 share % 3,1 0,1 32,9 82,2 14,1 0,1 0,7 47,8 0,0 6,3 0,0 0,0 8,1 7,5 0,2 920,9 0,0 62,0 6,8 3,8 52,8 84,5 105,4 285,7 344,3 157,9 369,5 96,3 98,9 80,1 pre 2,9 0,1 32,6 77,2 13,3 0,1 0,7 46,8 0,0 6,2 0,0 0,0 7,9 7,4 0,1 905,9 0,0 61,6 6,7 3,8 51,2 84,1 104,2 271,2 335,3 156,2 312,0 70,0 87,5 74,6 post -0,2 0,0 -0,3 -5,0 -0,8 0,0 0,0 -1,0 0,0 -0,1 0,0 0,0 -0,2 -0,1 -0,1 -15,0 0,0 -0,4 -0,1 0,0 -1,6 -0,4 -1,2 -14,5 -9,0 -1,7 -57,5 -26,3 -11,4 -5,5 chg -6,5 0,0 -0,9 -6,1 -5,7 0,0 0,0 -2,1 0,0 -1,6 0,0 0,0 -2,5 -1,3 -50,0 -1,6 0,0 -0,6 -1,5 0,0 -3,0 -0,5 -1,1 -5,1 -2,6 -1,1 -15,6 -27,3 -11,5 -6,9 % Ekspor ke ASEAN 0,00 0,00 0,00 -0,03 0,00 0,00 0,00 -0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,09 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,01 0,00 -0,01 -0,08 -0,05 -0,01 -0,33 -0,15 -0,07 -0,03 share % post 0,1 0,6 15,2 16,5 4,5 4,4 220,6 250,7 5,8 7,2 0,0 0,0 3,1 2,9 49,5 60,4 0,0 0,0 10,2 11,3 0,0 0,0 0,1 0,1 3,5 4,4 1,3 1,4 0,2 0,3 223,9 221,8 0,0 0,0 45,8 47,8 0,1 0,1 6,6 9,6 2,8 2,9 0,9 1,0 0,9 2,3 6,0 30,3 247,9 303,3 6,0 10,0 702,3 1.202,1 108,5 205,2 100,7 166,8 41,8 66,2 pre 0,5 1,3 -0,1 30,1 1,4 0,0 -0,2 10,9 0,0 1,1 0,0 0,0 0,9 0,1 0,1 -2,1 0,0 2,0 0,0 3,0 0,1 0,1 1,4 24,3 55,4 4,0 499,8 96,7 66,1 24,4 chg 500,0 8,6 -2,2 13,6 24,1 0,0 -6,5 22,0 0,0 10,8 0,0 0,0 25,7 7,7 50,0 -0,9 0,0 4,4 0,0 45,5 3,6 11,1 155,6 405,0 22,3 66,7 71,2 89,1 65,6 58,4 % Ekspor ke CINA pre post 0,4 -3,1 0,4 20,7 4,6 0,0 -17,1 5,7 0,5 0,9 0,0 0,0 0,8 0,2 0,0 10,5 0,0 2,9 1,5 5,5 9,4 7,0 0,7 11,0 41,0 0,6 209,1 38,3 31,2 15,3 chg 4,1 -0,4 0,4 4,6 0,9 0,0 -1,9 1,8 0,3 1,3 0,0 0,0 1,4 1,1 0,0 0,3 0,0 0,5 1,4 4,5 1,8 1,4 0,6 2,9 3,5 0,3 7,5 11,7 7,1 4,8 % Ekspor ke DUNIA 0,01 9,8 10,2 0,02 847,3 844,2 0,00 112,8 113,2 0,36 445,3 466,0 0,02 535,0 539,6 0,00 0,3 0,3 0,00 912,1 895,0 0,13 324,7 330,4 0,00 159,9 160,4 0,01 70,3 71,2 0,00 1,8 1,8 0,00 2,4 2,4 0,01 59,1 59,9 0,00 18,8 19,0 0,00 0,4 0,4 -0,03 3.760,4 3.770,9 0,00 0,1 0,1 0,02 546,6 549,5 0,00 105,6 107,1 0,04 121,0 126,5 0,00 527,3 536,7 0,00 486,1 493,1 0,02 126,0 126,7 0,29 376,2 387,2 0,67 1.186,6 1.227,6 0,05 208,7 209,3 6,04 2.788,4 2.997,5 1,17 326,6 364,9 0,80 441,3 472,5 0,29 318,4 333,7 share % Lampiran 2 Perbandingan Dampak ACFTA Ke Indonesia (Komoditas) Lanjutan 2 pre post chg 0,00 6,6 6,7 0,1 -0,01 832,0 827,6 -4,4 0,00 75,4 76,2 0,8 0,03 142,5 138,1 -4,4 0,01 515,1 519,1 4,0 0,00 0,2 0,2 0,0 -0,03 908,3 891,4 -16,9 0,01 227,4 223,2 -4,2 0,00 159,9 160,4 0,5 0,00 53,8 53,7 -0,1 0,00 1,8 1,8 0,0 0,00 2,3 2,3 0,0 0,00 47,5 47,6 0,1 0,00 10,0 10,2 0,2 0,00 0,0 0,0 0,0 0,02 2.615,6 2.643,2 27,6 0,00 0,1 0,1 0,0 0,00 438,8 440,1 1,3 0,00 98,7 100,3 1,6 0,01 110,6 113,1 2,5 0,02 471,7 482,6 10,9 0,01 400,7 408,0 7,3 0,00 19,7 20,2 0,5 0,02 84,5 85,7 1,2 0,07 594,4 589,0 -5,4 0,00 44,8 43,1 -1,7 0,34 1.716,6 1.483,4 -233,2 0,06 121,8 89,7 -32,1 0,05 241,7 218,2 -23,5 0,02 196,5 192,9 -3,6 share % 1,5 -0,5 1,1 -3,1 0,8 0,0 -1,9 -1,8 0,3 -0,2 0,0 0,0 0,2 2,0 0,0 1,1 0,0 0,3 1,6 2,3 2,3 1,8 2,5 1,4 -0,9 -3,8 -13,6 -26,4 -9,7 -1,8 % Ekspor ke ROW 0,00 -0,01 0,00 -0,01 0,01 0,00 -0,05 -0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,08 0,00 0,00 0,00 0,01 0,03 0,02 0,00 0,00 -0,01 0,00 -0,64 -0,09 -0,06 -0,01 share % 64 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 31 ProdukKertas 32 Petroleum 33 Kimia 34 ProdTambang 35 LogamBesi 36 LogamNec 37 ProdukMetal 38 KendBermotor 39 PerTransport 40 Elektronik 41 MesinPerl 42 IndustriNec Total 42 Komoditas 287,8 4.318,9 4.128,1 326,5 835,0 301,4 627,9 982,2 870,0 3.905,8 3.873,8 393,1 25.530,8 pre chg 299,2 11,4 4.418,3 99,4 4.414,5 286,4 365,9 39,4 911,4 76,4 337,2 35,8 866,2 238,3 1.045,5 63,3 1.083,5 213,5 4.103,2 197,4 4.265,1 391,3 512,9 119,8 27.972,1 2.441,3 post 4,0 2,3 6,9 12,1 9,1 11,9 38,0 6,4 24,5 5,1 10,1 30,5 9,6 % Ekspor ke ACFTA 0,04 0,39 1,12 0,15 0,30 0,14 0,93 0,25 0,84 0,77 1,53 0,47 9,6 share % 227,4 2.871,8 3.203,5 163,9 383,8 157,0 291,7 844,0 512,3 2.983,6 2.530,7 217,4 17.259,1 pre 221,0 2.831,4 3.095,2 154,1 362,5 147,8 252,2 806,2 383,8 2.844,0 2.366,1 173,6 16.357,5 post -6,4 -40,4 108,3 -9,8 -21,3 -9,2 -39,5 -37,8 -128,5 -139,6 -164,6 -43,8 -901,6 chg -2,8 -1,4 -3,4 -6,0 -5,5 -5,9 -13,5 -4,5 -25,1 -4,7 -6,5 -20,1 -5,2 % Ekspor ke ASEAN pre chg 29,5 9,7 42,7 30,3 21,7 31,2 82,6 73,2 95,6 36,5 41,4 93,1 40,4 % Ekspor ke CINA post -0,04 60,4 78,2 17,8 -0,23 1.447,1 1.586,9 139,8 -0,63 924,6 1,319,3 394,7 -0,06 162,6 211,8 49,2 -0,12 451,2 548,9 97,7 -0,05 144,4 189,4 45,0 -0,23 336,2 614,0 277,8 -0,22 138,2 239,3 101,1 -0,74 357,7 699,7 342,0 -0,81 922,2 1.259,2 337,0 -0,95 1.343,1 1.899,0 555,9 -0,25 175,7 339,3 163,6 -5,2 8.271,7 11.614,6 3.342,9 share % 0,22 1,69 4,77 0,59 1,18 0,54 3,36 1,22 4,13 4,07 6,72 1,98 40,4 share % 1.634,1 6.192,6 9.888,4 646,3 2.955,0 1.370,2 1.345,6 3.423,9 1.536,2 6.639,7 10.595,4 667,7 61.714,4 pre Lampiran 2 Perbandingan Dampak ACFTA Ke Indonesia (Komoditas) Lanjutan 3 1.655,6 21,5 6.272,5 79,9 10.207,8 319,4 679,8 33,5 2.958,4 3,4 1.381,3 11,1 1.512,5 166,9 3.470,6 46,7 1.609,7 73,5 6.788,7 149,0 10.786,6 191,2 739,9 72,2 63.280,7 1.566,3 chg 1,3 1,3 3,2 5,2 0,1 0,8 12,4 1,4 4,8 2,2 1,8 10,8 2,5 % Ekspor ke DUNIA post 0,03 0,13 0,52 0,05 0,01 0,02 0,27 0,08 0,12 0,24 0,31 0,12 2,5 share % 1.346,3 1.873,7 5.760,3 319,8 2.120,0 1.068,8 717,7 2.441,7 666,2 2.733,9 6.721,6 274,6 36.183,6 pre 1.356,4 1.854,2 5.793,3 313,9 2.047,0 1.044,1 646,3 2.425,1 526,2 2.685,5 6.521,5 227,0 35.308,6 10,1 -19,5 33,0 -5,9 -73,0 -24,7 -71,4 -16,6 -140,0 -48,4 -200,1 -47,6 -875,0 chg 0,8 -1,0 0,6 -1,8 -3,4 -2,3 -9,9 -0,7 -21,0 -1,8 -3,0 -17,3 -2,4 % Ekspor ke ROW post 0,03 -0,05 0,09 -0,02 -0,20 -0,07 -0,20 -0,05 -0,39 -0,13 -0,55 -0,13 -2,4 share % Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia 65 66 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 Lampiran 3 Tabel Agregasi Data 14 Region Dan 42 Sektor I. Region Aggregation No. Regional Aggregation 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Japan Korea Cina India Indonesia Malaysia Singapore Thailand Philippines Vietnam Other ASEAN USA EU 25 14 Rest of The World Member Japan Korea Cina India Indonesia Malaysia Singapore Thailand Philippines Vietnam Cambodia, Lao PDR, Myanmar, Brunei Darussalam USA Austria, Belgium, Cyprus, Czech Republic, Denmark, Estonia, Finland, France, Germany, Greece, Hungary, Ireland, Italy, Latvia, Lithuania, Luxemborg, Malta, Netherlands, Poland, Portugal, Slovakia, Slovenia, Spain, Sweden, UK Australia, New Zealand, Rest of Oceania, Hongkong, Taiwan, Rest of East Asia, Bangladesh, Pakistan, Sri Lanka, Rest of South Asia, Canada, Mexico, Rest of North America, Argentina, Bolivia, Brazil, Chile, Colombia, Ecuador, Paraguay, Peru, Uruguay, Venezuela, Rest of South America, Costa Rica, Guatemala, Nicaragua, Panama, Rest of Central America, Caribbean, Switzerland, Norway, Rest of EFTA, Albania, Bulgaria, Belarus, Croatia, Romania, Russian Federation, Ukraine, Rest of Eastern Europe, Rest of Europe, Kazakhstan, Kyrgyztan, Rest of Former Soviet Union, Armenia, Azerbaijan, Georgia, Iran, Turkey, Rest of Western Asia, Egypt, Morocco, Tunisia, Rest of North Africa, Nigeria, Senegal, Rest of Western Africa, Central Africa, South Central Africa, Ethiopia, Madagascar, Malawi, Mauritius, Mozambique, Tanzania, Uganda, Zambia, Zimbabwe, Rest of Eastern Africa, Bostwana, South Africa, Rest of South African Customs Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia I. Region Aggregation No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 Sectoral Aggregation PDR WHT GRO V_F OSD C_B PFB OCR CTL OAP RMK WOL FRS FSH COA OIL GAS OMN CMT OMT VOL MIL PCR SGR OFD B_T TEX WAP LEA LUM PPP P_C CRP NMM I_S NFM FMP MVH OTN ELE OME OMF OTHERS Member Paddy rice Wheat Cereal grains nec Vegetables, fruit, nuts Oil seeds Sugar cane, sugar beet Plant-based fibers Crops nec Cattle, sheep, goats, horses Animal products nec Raw milk Wool, silk-worm cocoons Forestry Fishing Coal Oil Gas Minerals nec Meat: cattle, sheep, goats, horse Meat products nec Vegetable oils and fats Dairy products Processed rice Sugar Food products nec Beverages and tobacco products Textiles Wearing apparel Leather products Wood products Paper products, publishing Petroleum, coal products Chemical,rubber,plastic prods Mineral products nec Ferrous metals Metals nec Metal products Motor vehicles and parts Transport equipment nec Electronic equipment Machinery and equipment nec Manufactures nec Electricity; Gas manufacture, distribution; Water; Construction; Trade; Transport nec; Sea transport; Air transport; Communication; Financial services nec; Insurance; Business services nec; Recreation and other services; Public Administration/Defence/Health/Education; Dwellings 67 68 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 Lampiran 4 Tabel Konversi 7 Sektor Komoditas Sector Agricultural Product Food Product Extractive Industry Light Manufacturing Heavy Manufacturing Technology-intensive Manufacturing Services Source : ADB, WP No 130, 2008 nec : not elsewhere classified Commodities Paddy rice, wheat, cereal grains nec, vegetable, fruit, nuts, oil seeds, sugar cane, sugar beet, plant-based, crops nec, bovine cattle, sheep and goats, horse, animal product, raw milk, wool silk-worm cocoons, bovine cattle, sheep and goats, horse meat product Meat product nec, vegetable oil and fats, dairy products, processed rice, sugar, food products nec, beverages and tobacco products Forestry, fishing, coal, oil, gas, minerals nec, petroleum, coal products Textiles, wearing apparel, leather product, wood products Paper products, publishing, chemical, rubber, plastic products, mineral products nec, ferrous metals, metals nec Metal products, motor vehicle and parts, transport equipment nec, electronic, machinery and equipment nec, manufacturing nec Electronic, gas manufacturing, distribustion, water, construction trade, transport, financial, business, recreational services, public administrayion and defense, education, health, dwellings and services Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia 69 Lampiran 5 Tabel Peta Kwadran Rca Dan Iit (Total) Periode I (Rata-rata 2001-2004) Kuadran Jumlah I 9 Kode 33 16 27 38 35 34 26 11 22 Klasifikasi Komoditas Utama Kimia Minyak Tekstil Kend Bermotor Logam Besi Prod Tambang Minuman Susu Murni Dairy Produk RCA IIT 1,11 2,26 1,62 1,12 1,04 1,48 1,30 1,11 1,09 0,85 0,82 0,64 0,85 0,88 0,69 0,82 0,73 0,52 Total Nilai Ekspor Share Ekspor 1.644.317.782 1.382.885.185 588.106.204 332.659.537 251.830.711 196.203.561 177.537.037 30.045.361 534.984 11,62% 9,77% 4,16% 2,35% 1,78% 1,39% 1,25% 0,21% 0,00% 4.604.120.362 32,54% Periode I (Rata-rata 2001-2004) Kuadran Jumlah II 8 Kode 41 37 4 25 29 20 5 19 Klasifikasi Komoditas Utama Mesin Perl Produk Metal Sayuran Produk Makan Produk Kulit Produk Daging Oil Seeds Daging RCA IIT 0,42 0,77 0,87 0,98 0,89 0,68 0,94 0,20 0,83 0,87 0,77 0,89 0,88 0,60 0,51 0,68 Total Nilai Ekspor Share Ekspor 1.986.833.043 163.943.461 119.663.788 111.614.849 71.961.181 36.946.777 11.503.016 80.856 14,04% 1,16% 0,85% 0,79% 0,51% 0,26% 0,08% 0,00% 2.502.546.970 17,69% Periode I (Rata-rata 2001-2004) Kuadran Jumlah III 14 Kode 40 32 42 28 39 3 24 2 10 23 1 6 7 12 Klasifikasi Komoditas Utama Elektronik Petro leum Industri Nec Pakaian Jadi Per Transport Cereal Grain Gula Wheat Produk Hewan Beras Olahan Beras Sugar Cane Fiber Wol Total RCA IIT 0,73 0,49 0,64 0,79 0,56 0,22 0,05 0,78 0,18 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,30 0,31 0,48 0,22 0,34 0,09 0,03 0,45 0,39 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 Nilai Ekspor Share Ekspor 1.840.619.562 414.346.141 228.466.798 125.014.619 56.274.523 3.990.231 2.398.110 2.288.071 1.437.850 503.919 0 0 0 0 13,01% 2,93% 1,61% 0,88% 0,40% 0,03% 0,02% 0,02% 0,01% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 2.675.339.823 18,91% 70 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 Periode I (Rata-rata 2001-2004) Kuadran Jumlah IV 11 Kode 8 9 13 14 15 17 18 21 30 31 36 Klasifikasi Komoditas Utama Crops Nec Hewan Ternak Kehutanan Perikanan Batu bara Gas Mineral Nec Minyak Sayur Produk Kayu Produk Kertas Logam Nec RCA IIT 2,60 2,15 4,10 1,98 7,00 1,57 5,59 3,82 3,19 4,57 2,79 0,15 0,14 0,04 0,24 0,07 0,14 0,34 0,06 0,12 0,27 0,33 Total Nilai Ekspor Share Ekspor 510.303.657 29.072.147 3.619.860 179.706.122 344.450.420 148.201.956 360.869.596 683.396.677 493.267.281 916.030.861 697.866.399 3,61% 0,21% 0,03% 1,27% 2,43% 1,05% 2,55% 4,83% 3,49% 6,47% 4,93% 4.366.784.974 30,86% Catatan : Perhitungan berdasarkan konversi data SITC dari UNCOMTRADE menjadi 42 komoditas tradable dalam GTAP. Periode II (Rata-rata 2005-2008) Kuadran Jumlah I 9 Kode 16 38 27 30 26 25 29 5 22 Klasifikasi Komoditas Utama Minyak Kend Bermotor Tekstil Produk Kayu Minuman Produk Makan Produk Kulit Oil Seeds Dairy Produk RCA IIT 2,45 1,23 1,01 1,68 1,31 1,05 1,16 2,36 1,47 0,82 0,74 0,74 0,64 0,79 0,96 0,82 0,62 0,83 Total Nilai Ekspor Share Ekspor 2.716.031.454 859.808.533 684.776.101 410.094.630 261.927.830 224.759.805 179.757.549 27.301.185 1.913.165 9,51% 3,01% 2,40% 1,44% 0,92% 0,79% 0,63% 0,10% 0,01% 5.366.370.249 18,78% Periode II (Rata-rata 2005-2008) Kuadran Jumlah II 11 Kode 41 33 40 35 42 39 37 4 34 28 10 Klasifikasi Komoditas Utama Mesin Perl Kimia Elektronik Logam Besi Industri Nec Per Transport Produk Metal Sayuran Prod Tambang Pakaian Jadi Produk Hewan Total RCA IIT 0,42 0,87 0,48 0,69 0,47 0,81 0,55 0,82 0,90 0,46 0,28 0,82 0,71 0,61 0,58 0,56 0,71 0,66 0,64 0,86 0,67 0,58 Nilai Ekspor Share Ekspor 3.459.339.492 2.554.706.472 2.072.101.828 685.974.318 427.122.284 379.215.365 285.388.289 214.127.650 207.486.926 151.515.810 2.958.244 12,11% 8,94% 7,25% 2,40% 1,49% 1,33% 1,00% 0,75% 0,73% 0,53% 0,01% 10.439.936.678 36,54% Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia 71 Periode II (Rata-rata 2005-2008) Kuadran Jumlah III 10 Kode 32 11 24 3 23 19 1 6 7 12 Klasifikasi Komoditas Utama Petro leum Susu Murni Gula Cereal Grain Beras Olahan Daging Beras Sugar Cane Fiber Wol RCA IIT 0,38 0,67 0,27 0,55 0,00 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,19 0,33 0,11 0,40 0,01 0,20 0,00 0,00 0,00 0,00 Total Nilai Ekspor Share Ekspor 935.618.846 25.279.380 17.854.983 8.389.705 330.037 7.325 0 0 0 0 3,27% 0,09% 0,06% 0,03% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 987.480.275 3,46% Periode II (Rata-rata 2005-2008) Kuadran Jumlah IV 12 Kode 36 21 17 8 31 15 18 14 20 9 2 13 Klasifikasi Komoditas Utama Logam Nec Minyak Sayur Gas Crops Nec Produk Kertas Batu bara Mineral Nec5,39 Perikanan Produk Daging Hewan Ternak Wheat Kehutanan Total RCA IIT 3,77 0,29 5,11 0,03 6,78 0,05 2,91 0,13 4,39 0,37 7,08 0,05 0,35 709.176.692 1,89 0,25 2,12 0,37 1,63 0,06 1,45 0,32 5,36 0,12 Nilai Ekspor Share Ekspor 2.482.296.551 2.156.452.594 1.846.798.666 1.498.317.400 1.442.952.860 1.170.145.644 2,48% 229.429.381 203.014.679 27.159.304 6.619.736 5.956.443 8,69% 7,55% 6,46% 5,24% 5,05% 4,10% 11.778.319.950 41,22% Catatan : Perhitungan berdasarkan konversi data SITC dari UNCOMTRADE menjadi 42 komoditas tradable dalam GTAP. 0,80% 0,71% 0,10% 0,02% 0,02% 72 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 Lampiran 6 Tabel Peta Kwadran Rca Dan Iit (Non Migas) Periode I (Rata-rata 2001-2004) Kuadran Jumlah I 10 Kode 33 27 38 35 34 26 25 11 5 22 Klasifikasi Komoditas Utama Kimia Tekstil Kend Bermotor Logam Besi Prod Tambang Minuman Produk Makan Susu Murni Oil Seeds Dairy Produk RCA IIT 1,18 1,72 1,19 1,11 1,57 1,39 1,04 1,18 1,00 1,16 0,85 0,64 0,85 0,88 0,69 0,82 0,89 0,73 0,51 0,52 Total Nilai Ekspor Share Ekspor 1.644.317.782 588.106.204 332.659.537 251.830.711 196.203.561 177.537.037 111.614.849 30.045.361 11.503.016 534.984 13,03% 4,66% 2,64% 2,00% 1,55% 1,41% 0,88% 0,24% 0,09% 0,00% 3.343.818.057 26,50% Periode I (Rata-rata 2001-2004) Kuadran Jumlah II 6 Kode 41 37 4 29 20 19 Klasifikasi Komoditas Utama Mesin Perl Produk Metal Sayuran Produk Kulit Produk Daging Daging RCA IIT 0,45 0,82 0,93 0,95 0,73 0,21 0,83 0,87 0,77 0,88 0,60 0,68 Total Nilai Ekspor Share Ekspor 1.986.833.043 163.943.461 119.663.788 71.961.181 36.946.777 80.856 15,75% 1,30% 0,95% 0,57% 0,29% 0,00% 2.379.429.106 18,86% Periode I (Rata-rata 2001-2004) Kuadran Jumlah III 14 Kode 40 32 42 28 39 3 24 2 10 23 1 6 7 12 Klasifikasi Komoditas Utama Elektronik Petro leum Industri Nec Pakaian Jadi Per Transport Cereal Grain Gula Wheat Produk Hewan Beras Olahan Beras Sugar Cane Fiber Wol Total RCA IIT 0,77 0,52 0,69 0,85 0,59 0,24 0,05 0,83 0,19 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,30 0,31 0,48 0,22 0,34 0,09 0,03 0,45 0,39 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 Nilai Ekspor Share Ekspor 1.840.619.562 414.346.141 228.466.798 125.014.619 56.274.523 3.990.231 2.398.110 2.288.071 1.437.850 503.919 0 0 0 0 14,59% 3,28% 1,81% 0,99% 0,45% 0,03% 0,02% 0,02% 0,01% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 2.675.339.823 21,20% Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia 73 Periode I (Rata-rata 2001-2004) Kuadran Jumlah IV 10 Kode 31 36 21 8 30 18 15 14 9 13 Klasifikasi Komoditas Utama Produk Kertas Logam Nec Minyak Sayur Crops Nec Produk Kayu Mineral Nec5,96 Batu bara Perikanan Hewan Ternak Kehutanan RCA IIT 4,87 0,27 2,98 0,33 4,07 0,06 2,77 0,15 3,39 0,12 0,34 360.869.596 7,45 0,07 2,11 0,24 2,29 0,14 4,37 0,04 Total Nilai Ekspor Share Ekspor 916.030.861 697.866.399 683.396.677 510.303.657 493.267.281 2,86% 344.450.420 179.706.122 29.072.147 3.619.860 7,26% 5,53% 5,42% 4,04% 3,91% 2,73% 1,42% 0,23% 0,03% 4.218.583.018 33,43% Catatan : Perhitungan berdasarkan konversi data SITC (non-migas) dari UNCOMTRADE menjadi 42 komoditas tradable dalam GTAP. Periode II (Rata-rata 2005-2008) Kuadran Jumlah I 9 Kode 38 27 30 26 25 34 29 5 22 Klasifikasi Komoditas Utama Kend Bermotor Tekstil Produk Kayu Minuman Produk Makan Prod Tambang Produk Kulit Oil Seeds Dairy Produk RCA IIT 1,39 1,14 1,89 1,49 1,18 1,02 1,31 2,65 1,67 0,74 0,74 0,64 0,79 0,96 0,86 0,82 0,62 0,83 Total Nilai Ekspor Share Ekspor 859.808.533 684.776.101 410.094.630 261.927.830 224.759.805 207.486.926 179.757.549 27.301.185 1.913.165 3,58% 2,85% 1,71% 1,09% 0,94% 0,86% 0,75% 0,11% 0,01% 2.857.825.721 11,90% Periode II (Rata-rata 2005-2008) Kuadran Jumlah II 10 Kode 41 33 40 35 42 39 37 4 28 10 Klasifikasi Komoditas Utama Mesin Perl Kimia Elektronik Logam Besi Industri Nec Per Transport Produk Metal Sayuran Pakaian Jadi Produk Hewan Total RCA IIT 0,47 0,98 0,54 0,78 0,53 0,92 0,62 0,92 0,52 0,32 0,82 0,71 0,61 0,58 0,56 0,71 0,66 0,64 0,67 0,58 Nilai Ekspor Share Ekspor 3.459.339.492 2.554.706.472 2.072.101.828 685.974.318 427.122.284 379.215.365 285.388.289 214.127.650 151.515.810 2.958.244 14,41% 10,64% 8,63% 2,86% 1,78% 1,58% 1,19% 0,89% 0,63% 0,01% 10.232.449.752 42,62% 74 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 Periode II (Rata-rata 2005-2008) Kuadran Jumlah III 10 Kode 32 11 24 3 23 19 1 6 7 12 Klasifikasi Komoditas Utama Petro leum Susu Murni Gula Cereal Grain Beras Olahan Daging Beras Sugar Cane Fiber Wol RCA IIT 0,43 0,76 0,31 0,62 0,00 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 0,19 0,33 0,11 0,40 0,01 0,20 0,00 0,00 0,00 0,00 Total Nilai Ekspor Share Ekspor 935.618.846 25.279.380 17.854.983 8.389.705 330.037 7.325 0 0 0 0 3,90% 0,11% 0,07% 0,03% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 987.480.275 4,11% Periode II (Rata-rata 2005-2008) Kuadran Jumlah IV 11 Kode 36 21 8 31 15 18 14 20 9 2 13 Klasifikasi Komoditas Utama Logam Nec Minyak Sayur Crops Nec Produk Kertas Batu bara Mineral Nec6,09 Perikanan Produk Daging Hewan Ternak Wheat Kehutanan Total RCA IIT 4,26 0,29 5,78 0,03 3,29 0,13 4,96 0,37 8,01 0,05 0,35 709.176.692 2,14 0,25 2,40 0,37 1,84 0,06 1,66 0,32 6,07 0,12 Nilai Ekspor Share Ekspor 2.482.296.551 2.156.452.594 1.498.317.400 1.442.952.860 1.170.145.644 2,95% 229.429.381 203.014.679 27.159.304 6.619.736 5.956.443 10,34% 8,98% 6,24% 6,01% 4,87% 9.931.521.284 41,37% Catatan : Perhitungan berdasarkan konversi data SITC (non-migas) dari UNCOMTRADE menjadi 42 komoditas tradable dalam GTAP 0,96% 0,85% 0,11% 0,03% 0,02% Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?: Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan 75 APAKAH ACFTA MERUPAKAN STRATEGI YANG TEPAT UNTUK PENUNTASAN KEMISKINAN YANG BERKESINAMBUNGAN?: BUKTI DARI PENURUNAN TINGKAT SIMPANAN Bagus Arya Wirapati dan Niken Astria Sakina Kusumawardhani * Abstract The outcome of Regional Free Trade Area (R-FTA) still remains a conundrum. Regional free trade area (R-FTA) is one of the manifestations of the economy integration phenomenon. R-FTA brings many pros and cons to the economists. It allows better allocation of resources especially by eliminating tariffs, thus making people have higher purchasing power for goods. While the increase of purchasing power is good for growth engine and poverty alleviation progress, this paper proves that there is potency for the agreement to be detrimental in the long run. The main focus in this paper is the potential impact of ACFTA to the saving rate as the shock buffer for the poor in time of recessions and crises, where purchasing power decreases significantly. We view the ACFTA impact through the series of net import, defined as the difference between imports from export. We use Dynamic Panel Data (DPD) to estimate the impact of net import to the saving rate, assuming that there is a dynamic relationship between saving rate and its lagged value. The estimation result proves that there is a negative relationship between import and the saving per capita, which indicates the consumptive behavior of ASEAN people under high import. Moreover, the dynamic relationship shows that saving per capita is not persistent, meaning that the saving rate will be decreased gradually. Therefore, we can expect that in the long rung, the savings will be depleted into nothing if we keep letting the import flooded domestic market without imposing any pre-emptive and reactive policies. This paper provides a set of historical estimation of the potential impact of ACFTA on saving rate and its policy implication to endure the impact. JEL Classification Code Code: E38, F15 Keywords: Free Trade, Poverty Alleviation, Saving Behavior * Graduated from Economic Department, University of Indonesia and research assistant on Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) √ Bank Indonesia. [email protected]; [email protected] 76 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 I. LATAR BELAKANG Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010-2014, pemerintah Indonesia telah menargetkan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 5.5% di tahun 2010, 7% di tahun 2010 dan diatas 7% di tahun 2014. Sedangkan di Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025, pemerintah telah menargetkan pencapaian kesejahteraan nasional yang setara dengan negara-negara berpendapatan menengah dan mempertahankan tingkat pengangguran dan angka kemiskinan dibawah 5%. Target dan rencana di atas dibuat untuk menghadapi perjanjian perdagangan bebas antara Indonesia dengan negara lainnya. Indonesia telah menandatangani banyak perjanjian dagang bebas bilateral maupun multilateral, termasuk dengan Korea Selatan (2007), Jepang (2007), Australia dan Selandia Baru (2009), India (2009), dan Cina (2010). Semua perjanjian perdagangan bebas ini dapat membawa baik kesempatan dan ancaman pada ekonomi nasional. Perjanjian ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA) menurunkan tarif pajak dari 90% untuk barang impor menjadi nol. Negara ASEAN, terutama yang sedang berkembang (Singapura dianggap sebagai negara maju), akan dibanjiri dengan laju barang dibawah ACFTA. Peningkatan akses terhadap barang murah, dalam konteks pengeluaran, akan sangat menguntungkan bagi masyarakat miskin. Todaro dan Smith (2008,[59])) membantah bahwa meningkatnya akses masyarakat miskin pada barang dan jasa merupakan salah satu bukti berhasilnya usaha pengurangan kemiskinan. Hal ini meningkatkan pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder dari masyarakat miskin. Sehingga dari sudut pandang pengeluaran, jumlah penduduk miskin akan menurun dikarenakan meningkatnya kemampuan masyarakat miskin untuk mengakses barang dibawah perjanjian perdagangan bebas macam ini. Sekilas tampak ada penurunan tingkat kemiskinan, namun kesinambungan dari usaha penuntasan kemiskinan ini masih menjadi pertanyaan. Masyarakat miskin memiliki kecenderungan marjinal yang lebih besar untuk menjadi konsumtif dibandingkan anggota masyarakat yang berpunya, sehingga mereka akan cenderung untuk mengkonsumsi lebih banyak, dan akibatnya akan mengurangi proporsi tabungan dari pendapatan mereka. Mereka cenderung untuk meningkatkan konsumsi dibandingkan menabung sebagai penyangga ke depan disaat terjadi ketidakstabilan atau guncangan ekonomi. Perilaku ini akan mendorong mereka pada tingkat ketahanan yang lebih rendah bilamana terjadi krisis ekonomi. Sehingga, memperkenalkan Regional Free Trade Area, dikasus ini ACFTA, untuk meningkatkan ketersediaan barang murah dipercaya sebagai langkah tidak tepat untuk penuntasan kemiskinan yang berkelanjutan, terutama dalam jangka panjang. Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?: Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan 77 Makalah ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan utama: apakah ACFTA merupakan langkah tepat bagi penuntasan kemiskinan yang berkesinambungan. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, paper ini memiliki tujuan utama untuk mendapatkan hasil empiris dari hubungan impor bersih dan tingkat simpanan yang mewakili tingkat kemiskinan suatu negara. Bagian selanjutnya dari paper ini mendeskripsikan ACTFA dan bab III menyajikan tinjauan literatur dan konsep kerangka kerja dari model yang digunakan dalam riset ini. Bab IV menjelaskan metodologi riset, sedangkan bab V menyertakan analisis dan diskusi dari hasil empiris. Rangkuman dan rekomendasi kebijakan akan dipresentasikan di bab VI. II. ASEAN-CINA FREE TRADE AGREEMENT (ACFTA) Zona Perdagangan Bebas/Regional Free Trade Area (R-FTA) merupakan perwujudan dari fenomena integrasi ekonomi. R-FTA memunculkan banyak pro dan kontra diantara para ahli ekonomi. R-FTA memungkinkan alokasi sumber daya yang lebih baik dengan mengeliminasi tarif, sehingga masyarakat memiliki daya beli barang yang lebih tinggi. ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA) diimplementasikan dengan menghapus dan mereduksi segala penghalang dalam proses perdagangan barang (baik tarif maupun non-tarif), memperbaiki akses ke pasar jasa, peraturan dan regulasi investasi dan juga perbaikan kerja sama ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan komunitas ASEAN dan Cina. ACFTA membawa banyak keuntungan, dan juga kerugian bagi negara-negara ASEAN. Pemerintah Indonesia berharap bahwa ACFTA akan membawa hasil yang menggembirakan kedepannya, seperti kesempatan yang lebih luas bagi Indonesia untuk memasuki pasar Cina dengan mendayagunakan tarif yang relatif rendah dan populasi yang besar; meningkatkan kerja sama antar pengusaha di kedua negara melalui pembentukan aliansi strategis; meningkatkan daya beli atas barang-barang Cina dengan penurunan tarif dan biaya; dan meningkatkan kemungkinan transfer teknologi antar pengusaha kedua negara. Semua ekspektasi diatas, lepas dari tercapai atau tidaknya, akan butuh bertahuntahun untuk melihat dampak nyata dari ACFTA. Perdana Menteri Cina, Zhu Rongji adalah orang yang menelurkan ide zona perdagangan bebas antara Cina dan ASEAN pada Cina-ASEAN Summit, November 2000. Di bulan Oktober 2001, sebuah kelompok ahli ekonomi dari Cina dan ASEAN mengeluarkan sebuah rekomendasi pembentukan ASEAN-Cina dalam waktu 10 tahun kedepan. Satu bulan kemudian di bulan November 2001, pada Cina-ASEAN Summit lainnya, para pemimpin dari negara-negara tersebut memulai negosiasi atas kemungkinan diwujudkannya ide tersebut. Satu tahun kemudian, para pemimpin negara-negara ASEAN dan perdana menteri Cina, Zhu Rongji, menandatangani 78 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 Perjanjian Kerangka Kerja ACFTA. Perjanjian ini berfungsi sebagai roadmap pembentukan zona perdagangan bebas antara Cina dan ASEAN. Perjanjian ini merumuskan bahwa zona perdagangan bebas harus diselesaikan pada tahun 2015. Perjanjian Kerangka Kerja ACFTA merupakan dokumen yang inovatif bagi negara ASEAN, karena ASEAN sebagai sebuah organisasi, meski telah menjalin perjanjian perdagangan bebas antar anggotanya, belum pernah membuat perjanjian semacam ini dengan negara non-anggota. Selain itu, Perjanjian Kerangka Kerja ACFTA merupakan perjanjian perdagangan bebas pertama Cina dengan negara asing. Sejak hadirnya Perjanjian Kerangka Kerja ACFTA, baik Cina dan ASEAN telah memasuki tahap negosiasi perjanjian perdagangan bebas lainnya dengan negara-negara lain. Berdasarkan perjanjian ACFTA, penghapusan tarif harus dilakukan secara bertahap. Tahapannya adalah Early Harvest Program (EHP), Normal Track I dan II, dan Sensitive/Highly Sensitive List. Tiap tahapan dijadwalkan sendiri antara tiap-tiap negara ASEAN dengan Cina secara bilateral, dimana tiap negara memutuskan sendiri rencana penurunan atau penghapusan tarif untuk tiap kategori produk. Sejak November 2002, ASEAN 6 (Indonesia, Singapura, Thailand, Malaysia, Filipina, Brunei) dan Cina telah setuju untuk menandatangani ACFTA, untuk tarif masuk 0% per Januari 2004 khusus untuk produk yang masuk kategori EHP. Sepanjang tahun 2004-2009, sekitar 65% produk Cina telah diidentifikasi sebagai produk bebas masuk oleh Dirjen Bea Cukai, Departemen Keuangan Indonesia. Pada bulan Januari 2010, sekitar 1598 atau 18% produk dari Cina telah menerima pengurangan tarif sebesarr 5%, sedangkan 82% dari total 8783 produk impor Cina telah sepenuhnya bebas dari tarikan tarif. Sebaliknya sepanjang tahun 2004-2009, neraca perdagangan antara Indonesia dan Cina menunjukkan bahwa Indonesia lebih banyak mengimpor barang dari Cina ketimbang mengekspor. Akibatnya, sepanjang tahun 2003-2009, Indonesia telah mengakumulasi defisit perdagangan (untuk perdagangan non-minyak) dengan Cina sebesar USD 12.6 juta (atau Rp.120 trilyun). Dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, Singapura merupakan pengekspor terbesar ke Cina, sementara Indonesia menempati posisi 5 setelah Thailand. Defisit perdagangan terbesar antara Indonesia dan Cina sebesar USD 7.2 juta di tahun 2008. Partisipasi Indonesia di berbagai perjanjian perdagangan bebas tidak dapat dihindari ataupun dibatalkan, meskipun sektor manufaktur telah menyatakan kekhawatiran mereka atas kompetisi perdagangan bebas ini. Namun sebagaimana perjanjian perdagangan bebas secara umum, ada klausa yang memungkinkan pihak-pihak yang terlibat untuk memodifikasi perjanjian dan menghentikan sementara konsesi ini untuk memperbaiki daya saing dan kekuatan sektor dagang. Untuk melindungi sektor manufaktur dari invasi produk-produk impor, pemerintah harus memfungsikan koordinasi lintas-departemen yang juga melibatkan sektor riil dan pihak terkait lainnya. Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?: Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan 79 Sejak pembentukan ACFTA Januari 2010, banyak reaksi negatif diterima dari para pemain di sektor riil dan bidang terkait lainnya. Kebanyakan dari mereka menyatakan bahwa pihaknya belum siap berkompetisi dengan Cina dan mereka meminta pemerintah untuk menunda implementasi dari perjanjian ACFTA. Terutama untuk kasus ACFTA and Common Effective Preferential Tariff-ASEAN Free Trade Agreement (CEPT-AFTA), Indonesia masih menyetujui penurunan tarif sesuai daftar, dimana produk-produk yang termasuk dalam Normal Track (NT1) ACFTA dan Inclusion List (IL) CEPT-AFTA untuk ASEAN, direncanakan akan diberikan tarif masuk 0% mulai 1 Januari 2010. Menteri Perdagangan telah menunda penghapusan tarif masuk untuk beberapa produk karena ketidaksiapan dari beberapa sektor domestik. Pada saat ini, Indonesia sedang dalam posisi menunda pemotongan tarif 227 kategori produk. III. TINJAUAN LITERATUR III.1 Peran Simpanan Bagi Perekonomian Simpanan memiliki peran penting bagi perekonomian dan tiap jenis simpanan memainkan fungsi penting yang berbeda. Simpanan dihasilkan dari 3 entitas ekonomi: rumah tangga, perusahaan dan pemerintah. Rumah tangga menabung untuk menutupi pengeluaran anak dan sebagai jaminan kedepan di masa pensiun. Perusahaan menyimpan sebagian dari keuntungan yang diperoleh untuk investasi dimasa depan untuk memperluas bisnis perusahaan. Di sisi lain, pemerintah memiliki simpanan bilamana penerimaan pajak melebihi pengeluaran pemerintah. Pemerintah melakukan penyimpanan untuk membangun fasilitas publik dan infrastruktur seperti rumah sakit, jembatan dan pelabuhan. Kurangnya simpanan oleh tiap entitas rumah tangga akan menimbulkan dampak tertentu. Rumah tangga mungkin harus berjuang keras untuk membiayai pengeluaran mereka yang besar, sehingga mereka harus mencari pinjaman dalam jumlah besar untuk pengeluaran pendidikan. Jika perusahaan tidak memiliki cukup simpanan, misalnya bilamana seluruh pemasukan dibagikan kepada para pemilik saham dalam bentuk deviden, perusahaan akan kesulitan mengembangkan cabangnya di lokasi lain. Akibatnya perusahaan kehilangan potensi untuk berkembang. Pemerintah yang tidak memiliki cukup simpanan tidak akan mampu melakukan pembangunan infrastruktur fisik, yang akan mempengaruhi perekonomian negara secara keseluruhan. Investor asing tidak akan memilih negara yang infrastukturnya belum berkembang dan secara domestik, tingkat pembangunan yang rendah oleh pemerintah menandakan tingkat pengangguran yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang tidak optimal. Untuk mencapai tingkat kesejahteraan dan pendapatan nasional yang tinggi, sebuah negara pertama kali harus mencapai tingkat produktivitas yang tinggi. Penentu produktivitas 80 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 adalah modal kerja seperti modal fisik, modal SDM, SDA dan teknologi. Semakin banyak modal kerja yang dimiliki, semakin cepat suatu negara berkembang dibandingkan negara lainnya. Teori pertumbuhan endogen sejak pertengahan 1980 oleh Romer (1986, 1990), Lucas (1988), dan Barro (1990) pada Mikesell dan Zinser (1973, [41]) telah memastikan pandangan bahwa akumulasi modal fisik merupakan pendorong yang penting bagi pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Investasi di modal kerja seharusnya dilihat sebagai tingkat simpanan yang meningkat dari negara itu sendiri. Ini dikarenakan penggunaan sumber daya yang meningkat saat ini untuk memproduksi modal kerja berarti mengurangi sumber daya yang tersedia untuk dikonsumsi pada saat ini. Pengurangan konsumsi berarti peningkatan simpanan. Sehingga bisa disimpulkan bahwa simpanan yang lebih banyak memungkinkan investasi yang lebih baik pada modal kerja dan produktivitas, yang kedepannya akan menghasilkan tingkat pendapatan nasional yang lebih tinggi. Para ahli ekonomi pembangunan menganggap tingkat simpanan sebagi indikator performa kunci dan dijadikan sebagai syarat utama untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang baik (Mikesell and Zinser, 1973, [41]). Pandangan klasik dinamika makro-ekonomi dari proses pertumbuhan yaitu peningkatan simpanan jika ditransformasikan menjadi investasi produktif akan membantu pencapaian pertumbuhan ekonomi (Harrod, 1939; Domar, 1946; Lewis, 1954; Solow, 1956 in AlFoul (2010, [1])). Studi-studi tersebut menyediakan bukti empiris untuk hipotesis bahwa pertumbuhan simpanan akan memicu pertumbuhan ekonomi. Persepsi umum yang ada yakni simpanan berkontribusi pada investasi dan pertumbuhan PDB yang lebih tinggi dalam jangka pendek (Japelli and Pagano, 1994, [32]). Dan terakhir studi oleh AlFoul (2010, [1]) mengkonfirmasi bahwa selama periode 1965-2007 di Maroko, hubungan dua arah jangka panjang antara PDB riil dan simpanan domestic bruto/gross domestic saving (GDS) riil terbukti ada; sedangkan di Konsumsi Konsumsi = Pendapatan Disposable Tabungan Positif Tabungan Negatif Fungsi Konsumsi C = a + c (Y-T) a 45o Pendapatan Disposable Sumber: Azzopardi (2004, [4]) Grafik IV.1. Fungsi Konsumsi Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?: Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan 81 Tunisia pada periode waktu yang sama, hasil studi menunjukkan bahwa simpanan menstimulasi pertumbuhan, bukan sebaliknya. Didukung oleh studi sebelumnya, kita meyakini bahwa simpanan yang lebih tinggi akan membawa tingkat pertumbuhan yang tinggi pula. Simpanan didefiniskan sebagai hasil pendapatan yang dikurangi konsumsi, atau dapat dinyatakan dalam persamaan S = Y √ T √ C, dimana S = simpanan, Y = pendapatan, T = pajak, and C = konsumsi. Fungsi konsumsi di grafik 1 di atas menyatakan bahwa konsumsi sama dengan jumlah tetap dari «a» ditambah bagian «c» dari disposable income (Y-T). Rumah tangga memiliki simpanan positif bilamana disposable income melebihi konsumsi, dan bernilai negatif bilamana konsumsi melebihi disposable income -nya. Prioritas konsumsi dari tiap rumah tangga bisa berbeda satu sama lain, namun secara umum kebutuhan dasar selalu menjadi prioritas utama di daftar pengeluaran. Sebagai contoh, saat terjadi krisis ekonomi dan pemasukan menurun drastis, rumah tangga menggunakan uang simpanan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Keynes menyimpulkan dalam bukunya ≈The General Theory of Employment, Interest, and Money∆, bahwa besar simpanan bergantung pada disposable income. Pendapat umum yang berlaku di masyarakat adalah masyarakat berpendapatan tinggi menyimpan lebih banyak bagian penghasilan mereka dibandingkan masyarakat berpenghasilan rendah. Masyarakat berpenghasilan rendah memiliki lebih sedikit disposable income dan secara umum mereka menghabiskan seluruh penghasilan mereka untuk kebutuhan umum, karenanya mereka tidak memiliki kesempatan untuk menabung. Sehingga kita mengasumsikan bahwa masyarakat berpenghasilan rendah memiliki kecenderungan marjinal lebih rendah untuk menabung. Saat masyarakt berpenghasilan rendah mulai menabung atau menyimpan lebih banyak uang dibanding biasanya, ini merupakan pertanda bahwa kesejahteraan mereka mulai membaik. II.3 Penentu Tingkat Simpanan Simpanan telah dianggap sebagai variable makro-ekonomi yang penting dengan fondasi mikro-ekonomi untuk mencapai kestabilan harga dan mendorong kesempatan kerja, yang akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan (Mishra et al., 2010, [42]). Sebagaimana yang dikatakan Keynes bahwa besaran simpanan bergantung pada disposable income, kita harus kritis melihat apakah terdapat hubungan dinamis antara tingkat simpanan dengan nilai periode-periode sebelumnya (lagged). Seseorang tidak bisa mendapatkan disposable income yang lebih tinggi dalam seketika. Ada proses yang menyertai meningkatnya disposable income seseorang. Karena pada umumnya disposable income periode sebelumnya berkaitan dengan disposable income periode selanjutnya, hal yang sama juga berlaku pada 82 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 tingkat pemasukan. Higgins and Williamson (1996, [23]) memperkirakan hubungan untuk 16 negara Asia dari tahun 1950 hingga 1993, menggunakan data IMF pada tingkat simpanan, dan data Penn World Table (PWT) pada pemasukan dan harga, dan data demografik dari database PBB. Higgins and Williamson (1996, [23]) menggunakan disposable income dari simpanan, rasio dependensi, pertumbuhan pertahun dari PDB riil, dan harga relatif dari barang investasi yang mendorong simpanan sebagai variabel penjelas untuk simpanan (Schultz, 2004, [54]). Persamaan ini menjadi unik karena mengasumsikan adanya hubungan dinamis antara tingkat simpanan (Sti) dan lagged value-nya (St-1). Schultz (2004, [54]) berpendapat bahwa tingkat simpanan diperkirakan berubah secara berangsur-angsur sampai ke titik baru dan satu tahun tidaklah cukup bagi tingkat simpanan untuk mencapai kondisi baru tersebut. Tingkat simpanan akan beradaptasi dalam waktu lebih dari satu tahun, mengikuti level disposable income individual. Karena kita mengasumsikan bahwa tingkat simpanan dari periode t memiliki kaitan dengan tingkat simpanan pada periode t-1, maka semua error yang muncul pada persamaan simpanan dalam satu tahun tidak independen dari error pada simpanan tahuntahun sebelum atau sesudahnya (Schultz, 2004, [54]). Hubungan dinamis ini antara simpanan dan lagged value dari simpanan sepatutnya dimasukkan sebagai salah satu faktor penentu dari tingkat simpanan dari variable dependen. Pemerintah melakukan simpanan jika pemasukan dari pajak melebihi pengeluaran pemerintah. Rangkuman aktivitas belanja pemerintah dan penerimaan dari pajak dapat dilihat di neraca anggaran. Berdasarkan model ekonomi terbuka Keynesian, terdapat kaitan positif antara neraca anggaran dengan neraca dagang. Dalam model ekonomi terbuka Keynesian, defisit anggaran dapat mengakibatkan defisit perdagangan. Defisit anggaran yang semakin tinggi akan menekan suku bunga, dimana suku bunga yang tinggi akan menaikkan nilai tukar asing dari mata uang dan mata uang yang menguat pada akhirnya akan menurunkan ekspor bersih, dengan kata lain terjadi defisit perdagangan. Namun pendapat konvensional mengenai defisit kembar ini belum mendapatkan banyak bukti pendukung empiris. Evans (1985, 1986) di Darrat (1988, [12]) telah menemukan tidak ada hubungan yang bisa dipercaya bagi Amerika Serikat (AS) antara defisit anggaran di satu sisi dan suku bunga atau nilai kurs di sisi lainnya. Bukti empiris yang ada tidak ambigu dan membuktikan bahwa defisit perdagangan di AS berhubungan terbalik dengan nilai kurs dollar, meskipun responnya kecil dan lamban. Pendukung dari pendapat konvensional ini menemukan adanya hubungan parsial antara defisit anggaraan yang lebih tinggi dan suku bunga yang lebih tinggi (Plosser (1982, [46]), Hoelscher (1983, [25]), Cebula (1987, [10]), serta Wachtel dan Young (1987, [60]). Pendukung lainnya seperti Feldstein (1982) di Islam (1998, [30]) menyimpulkan bahwa defisit anggaran yang lebih besar menghasilkan suku bunga yang lebih tinggi, yang selanjutnya menyebabkan apresiasi dari nilai kurs, yang berakibat memperburuk ketidakseimbangan neraca perdagangan. Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?: Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan 83 Hasil impiris yang berbeda untuk hubungan antara kedua defisit menarik lebih banyak riset di topik ini. Beberapa hipotesis yang telah dikembangkan adalah (1) Defisit perdagangan menyebabkan defisit neraca, (2) Kedua defisit saling independen kasual, dan (3) Kedua defisit memiliki kasualitas dua arah. Dari ketiga hipotesis ini, hipotesis hubungan dua arah antara defisit anggaran dan defisit perdagangan yang mendapatkan dukungan empiris cukup banyak. Islam (1998, [30]) memeriksa arah kasualitas daripada defisit anggaran dan defisit perdagangan berdasarkan tes Granger untuk Brazil dari 1973:Kuartal 1 sampai 1991:Kuartal 4. Berdasarkan tes kasualitas Granger, Islam (1998, [30]) menarik kesimpulan bahwa ada kasualitas dua arah antara ketidakseimbangan perdagangan dan anggaran. Hasil empiris lainnya dipresentasikan oleh Darrat (1988, [12]) yang juga menyimpulkan bahwa terdapat hubungan kasualitas timbal balik antara defisit perdagangan dan anggaran. Hipotesis Darrat (1988, [12]) mengatakan bahwa tak hanya defisit anggaran dapat menyebabkan defisit perdagangan, namun juga sebaliknya. Berdasarkan Darrat (1988, [12]), ketika level ekspor bersih suatu negara jatuh (yang disebabkan oleh faktor lain selain defisit anggaran), tekanan pada pemerintah juga akan meningkat. Turunnya level ekspor bersih akan mengganggu industri domestik, yang akan menyebabkan tingginyanya tingkat pengangguran dan hilangnya pangsa pasar di luar negeri. Keadaan ini pada akhirnya akan menurunkan tingkat pemasukan pemerintah dari pajak, karena aktivitas bisnis di sektor ekspor mengalami tekanan. Pemerintah juga akan mengeluarkan lebih banyak dana untuk mensimulasi sektor yang tertekan atau memberi bantuan kepada industri domestik yang merugi. Hasil empiris dari Darrat (1988, [12]) hanya secara parsial mendukung pandangan konvensial yang menyatakan bahwa defisit anggaran akan menyebabkan defisit perdagangan, namun juga membenarkan kasualitas antara defisit perdagangan ke defisit anggaran. Hasil empiris dari Darrat (1988, [12]) dan Islam (1998, [30]) membenarkan pandangan bahwa defisit perdagangan memiliki kasualitas dua arah dengan defisit anggaran. Revolusi Keynesian didasarkan pada keseimbangan bawah kerja, menjadikan simpanan sebagai fungsi dari pemasukan, dan pemasukan sebagai fungsi dari investasi, sebagaimana yang dibantah okeh pandangan Neoclassical bahwa simpanan merupakan faktor penentu investasi (Mikesell and Zinser, 1973, [41]). Tes empiris dari hubungan simpanan-pemasukan telah dicoba pada dua kelompok besar: hipotesis Keynesian dan non-Keynesian. Kuznets (1960, [25]) di Mikesell and Zinser, (1973, [41]) adalah salah satu studi lintas-area antara pendapatan perkapita dan simpanan. Kuznets (1960, [25]) mencapai suatu kesimpulan bahwa ada tendensi bagi negara-negara dengan pemasukan kapita yang tinggi untuk memiliki rasio simpanan yang lebih tinggi, namun tendensi ini tidak selalu konsisten. Singh (1971) di Mikesell and Zinser (1973, [41]) sebagai pendukung Keynesian juga berpendapat bahwa ketika PNB perkapita naik dari $100 menjadi $1000 rasio simpanan kotornya akan naik 8%. Singh (1971) juga menemukan bahwa jika tingkat pertumbuhan PNB perkapita berada pada angka 2%, diperlukan 50 tahun 84 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 untuk meningkatkan rasio simpanan menjadi 3%. Disisi lain, pendukung hipotesis Keynesian datang dengan sebuah teori mengenai perilaku menabung. Dusenberry (1949, [15]), Friedman (1957, [17]), Modigliani et al. (1954, [43]) menyatakan bahwa kenaikan pendapatan perkapita tak serta merta menuntun kenaikan rasio simpanan yang lebih tinggi. Salah satu studi yang dilakukan okeh Friedman (1957, [17]) menghasilkan suatu hipotesis yang disebut ≈Permanent Income Hypothesis (PIH)∆. Hipotesis ini menyatakan bahwa masyarakat mengkonsumsi pendapatan permanen, dan semua pendapatan sementara (perbedaan antara pendapatan asli dan pendapatan permanen) akan dialokasilan ke tabungan. Hal ini mengimplikasikan ketergantungan yang besar pada perilaku di masa lalu sebagai faktor penentu dari pengeluaran konsumsi; namun perubahan di pendapatan sementara akan langsung mempengaruhi perubahan di tingkat simpanan. Analisis klasik akan simpanan dan pertumbuhan telah berfokus ke dua isu utama: (1) efek simpanan yang lebih tinggi dalam jangka panjang dan (2) dampak dari simpanan yang lebih tinggi pada investasi. Model neoklasik diinspirasi oleh Solow (1956, [57]) menyatakan bahwa peningkatan rasio simpanan akan menghasilkan pertumbuhan yang lebih tinggi hanya untuk jangka pendek, selama transisi antar dua kondisi tunak (Edwards, 1995, [16]). Studi terbaru dari Romer (1986, [50]) memperkirakan bahwa simpanan yang lebih tinggi (dan semua peningkatan yang terkait pada akumulasi modal) dapat membawa peningkatan permanen di tingkat pertumbuhan. Pendukung dari pandangan konvensional ini menyatakan bahwa simpanan berkontribusi pada investasi yang lebih besar dan pertumbugan GDP yang lebih tinggi pada jangka pendek (perlu dicatat bahwa catching-up effect dan law of diminishing return dianggap berlaku). Inilah alasan mengapa Quah (1993) pada Edward (1995,[16]) negaranegara dengan pendapatan menengah lambat laun menghilang. Saat negara-negara berasal dalam transisi untuk mencapai kondisi steady state yang sama dengan negara berpendapatan tinggi, asumsi ini memberikan dasar bagi para peneliti untuk mempelajari arah kausalitas antara tingkat pertumbuhan dengan tingkat simpanan. Mohan (2006, [45]) mempelajari arah kausalitas antara tingkat pertumbuhan dan tingkat simpanan menggunakan konsep kausalitas Granger. Studinya didukung oleh beberapa studi sebelumnya yang mengungkapkan bahwa tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi menuntun pada tingkat simpanan yang lebih tinggi pula. (Caroll dan Weil (1994, [9]), Sinha (1996, [55]), Saltz (1999, [52], dan Anoruo dan Ahmad (2001, [2]). Caroll dan Weil (1994, [9]) menguji hubungan antara pertumbuhan pendapatan dan simpanan menggunakan data antar-negara dan data rumah tangga. Pada level agregat, mereka menemukan bahwa pertumbuhan mendorong besar simpanan, dan rumah tangga dengan pertumbuhan pendapatan yang lebih tinggi akan menabung lebih banyak dibandingkan rumah tangga dengan tingkat pertumbuhan Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?: Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan 85 yang rendah. Caroll dan Weil (1994, [9]) menjelaskan fenomena ini menggunakan teori habit stock effect. Mereka berpendapat bahwa awalnya sebuah negara memiliki kebiasaan menabungnya sendiri. Ketika tingkat pertumbuhan meningkat pada periode pertama dalam perjalanannya, pendapatan negara tersebut akan meningkat melebihi belanjanya, sehingga menaikkan tingkat simpanan pada periode pertama. Tingkat simpanan rata-rata dari sebuah perekonomian yang berkembang cepat akan lebih tinggi dibandingkann perekonomian yang berkembang lebih lambat. (Modigliani, 1970, [44]). N Yang menjadikan hasil pekerjaan Mohan (2006, [45]) menjadi menarik adalah ia membagi negara-negara yang menjadi sampelnya kedalam beberapa level pendapatan (LIC/LMC/UMC/HIC). Hipotesis primer Mohan (2006, [45]) adalah bilamana level pendapatan ekonomi mempengaruhi arah kausalitas antara tingkat pertumbuhan dan simpanan, tes kausalitas Granger dilaksanakan dengan menggunakan data seri tahunan. Mohan (2006, [45]) berpendapat bahwa hasil studinya lebih condong pada hipotesis yang menyatakan bahwa kausalitas berasal dari tingkat pertumbuhan ekonomi ke tingkat pertumbuhan simpanan. Mohan (2006, [45]) juga berpendapat bahwa tingkat pendapatan memainkan peran penting dalam menentukan arah kausalitas. Dia memperlihatkan bahwa penjelasan dari kausalitas positif antara tingkat pertumbuhan perekonomian dan tingkat simpanan dapat dijelaskan oleh teori human wealth effect. Hubungan antara suku bunga dan simpanan agregat melibatkan sejumlah teori kompleks dan masalah ekonometrik, yang paling penting adalah memisahkan pendapatan dan efek substitusi dari perubahan bunga, mengkuantifikasi peranan ekspektasi dan planning horizon dalam keputusan mengenai simpanan, dan memecahkan masalah identifikasi ekonometrik yang rumit. Williamson (1968 in Balassa (1989, [5]) dalam studi empiris mengenai 6 negara menemukan bahwa dengan pengecualian Burma, suku bunga riil berkorelasi negatif dengan simpanan nasional. Selanjutnya, Gupta (1970, [19]) menemukan bahwa elastisitas bunga dari simpanan bersifat positif dan signifikan secara statistik pada level 1% di India, sementara disposable income perkapita digunakan sebagai variabel penjelas. Sebuah studi oleh Yusuf dan Peter (1984, [61]) menyatakan bahwa satu persen kenaikan pada suku bunga dibarengi dengan kurang lebih satu persen peningkatan di simpanan nasional kotor (gross national saving); yakni elastisitas bunga pada simpanan pada angka 1 (Balassa, 1989, [5]). Beberapa studi lainnya berkonsentrasi terutama pada efek reformasi suku bunga di Korea, Taiwan dan Indonesia dimana kenaikan pada suku deposit tabungan (bersamaan dengan peningkatan tingkat beban) telah dibarengi dengan kenaikan tajam pada deposit tabungan tanpa menekan permintaan bisnis untuk pinjaman. Namun ini hanya memerlukan pengarahan ulang atas simpanan dan perubahan di pola investasi guna menuju bentuk yang lebih produktif dibandingkan kenaikan pada kecenderungan menabung. 86 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 Inflasi merupakan proxy makroekonomi untuk stabilitas. Beberapa studi membuktikan beberapa hasil berbeda mengenai hubungan antara inflasi dan tingkat tabungan. Beberapa studi menganalisis efek dari inflasi dan simpanan yang menunjukkan efek negatif (Heer dan Suessmuth (2006, [22])). Haan (1990) di Heer dan Suessmuth (2006, [22]) menemukan bahwa kenaikan tingkat inflasi antara 0-5% akan menurunkan angka simpanan hingga 10%. Namun kecenderungan pada hubungan positif antara tingkat simpanan dan inflasi masih lebih umum. Berdasarkan teori precautionary saving, rumah tangga meningkatkan simpanan mereka bilamana mereka merasa terancam oleh ketidakstabilan ekonomi negara. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, inflasi sering digunakan sebagi proxy untuk stabilitas ekonomi. Dan oleh karena itu, simpanan akan mengalami kenaikan jika inflasi diset pada level yang lebih tinggi. Deaton (1977, [14]) mengemukakan bahwa inflasi yang tak terduga akan menimbulkan simpanan paksa dikarenakan individu konsumen tidak cukup mampu membedakan antara perubahan harga relatif dengan perubahan harga absolut. Kurangnya fasilitas yang dapat dipakai oleh konsumen individu untuk membandingkan perubahan harga relatif dan absolut pada akhirnya akan membuat mereka berpikir bahwa semua barang menjadi relatif lebih mahal. Dana mereka akan memutuskan untuk belanja lebih sedikit dan menabung lebih banyak (dengan asumsi pendapatan riil dijaga pada angka yang sama). Menurut Deaton (1977, [14]), seiring peningkatan inflasi yang tidak diduga, rasio simpanan juga akan meningkat. Sementara Howard (1978, [27]) menyatakan bahwa inflasi mempengaruhi simpanan dalam dua asumsi berbeda. Selama inflasi tidak diperkirakan, maka tingkat simpanan juga akan naik, karena inflasi menimbulkan pesimisme mengenai stabilitas ekonomi, sehingga orang-orang akan merasa perlu untuk menabung lebih banyak. Namun selama inflasi sudah diperkirakan sebelumnya (diberitahukan diawal), maka masyarakat akan meningkatkan pembelian barang-barang yang tahan lama, sehingga menurunkan jumlah tabungan mereka selama periode inflasi. Teori konsumsi modern dimulai dengan asumsi awal bahwa konsumen senang dan berusaha membuat konsumsinya merata dan tidak fluktuatif sepanjang hidupnya (consumption smoothing) (Modigliani and Brumberg, 1954, [43]), termasuk saat terjadi fluktuasi sesaat pada pendapatan (hipotesis pendapatan dari Friedman (1957, [17])). Teori life cycle saving dari Modigliani dan Brumberg (1954, [43]) menyatakan bahwa simpanan akan tinggi ketika pendapatan tinggi (selama usia kerja produktif) dan masyarakat akan menghabiskan simpanan mereka saat masa pensiun. Teori life-cycle saving memprediksikan kenaikan simpanan seiring penurunan rasio youth-dependency di tahapan akhir dari transisi demografis. Rasio youth- dependency dianggap sebagai batasan menabung karena anak menjadi sumber pengeluaran terbesar bagi populasi yang bekerja. Anak berkontribusi pada konsumsi, namun tidak pada produksi. Inilah mengapa rasio youth-dependency yang tinggi diekspektasi untuk menghadirkan batasan dalam menabung (Leff, 1969, [37]). Leff (1969, [37]) menemukan bahwa rasio Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?: Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan 87 dependensi secara signifikan mempengaruhi simpanan agregat. Rasio dependensi yang tinggi juga digunakan untuk mengevaluasi perbedaan antara negara berkembang dengan negara maju. Rasio old-dependency juga dianggap sebagai batasan lain untuk menabung di negaranegara yang tidak memiliki program pensiun. Para usia lanjut akan menjadi beban bagi generasi muda yang bekerja karena mereka tidak lagi menghasilkan atau jika para pensiunan ini masih harus mengeluarkan uang untuk anak-anak mereka yang masih muda. Kedua kasus tersebut merupakan batasan menabung. Biasanya masyarakat dengan anak yang lebih sedikit memiliki lebih banyak sumber dana sepanjang hidupnya, dan sumber dana ini dikonsumsi oleh mereka sendiri (bukannya digunakan untuk misalnya biaya pendidikan anak), maka consumption smoothing akan mengimplikasikan bahwa konsumsi akan menjadi lebih tinggi pula setelah masa pensiun, dan karenanya tabungan para pensiunan ini juga akan lebih tinggi (Attanasio et al., (1999, [3]); Scholz et al. (2006, [53]); Skinner (2004, [56])). Banyak studi yang menemukan bukti pengaruh dari rasio youth-old-age dependency. Untuk rasio youth-dependency, Rijckeghem and Üçer (2009, [48]) memperkirakan bahwa reduksi 1% poin pada rasio ini diasosiasikan dengan kenaikan 0.3% poin tingkat simpanan dalam jangka pendek (0.5% dalam jangka panjang). Dan untuk rasio old-dependency kenaikannya adalah 1.4% dan 2.8%. IV. METODOLOGI ESTIMASI DAN HASIL IV.1 Metode dan Model Estimasi Kami akan menggunakan model Dynamic Panel Data (DPD) untuk metode estimasi. Kami berasumsi bahwa ada hubungan yang dinamis antara simpanan dengan lagged value-nya. Kami mendefinisikan hubungan lagged value pada simpanan saat ini sebagai bentuk ketahanan simpanan dari waktu ke waktu. Simpanan dianggap persisten jika koefisien lagged value-nya mendekati 1 dimana karena dengan kondisi lainnya dianggap tetap, simpanan cenderung konstan dari waktu ke waktu. Namun, jika koefisien secara signifikan jauh dari angka 1, simpanan dianggap tidak persisten, karena nilai akan berubah dari waktu ke waktu, bisa meningkat atau menurun, dengan sisanya tetap konstan. Simpanan meningkat bilamana koefisien lebih besar dari 1, dan sebaliknya akan berkurang dengan koefisien lebih kecil dari 1. Untuk estimasi ini, kami menggunakan simpanan domestik bruto per kapita untuk menunjukkan simpanan individu, menggantikan simpanan rumah tangga yang tidak dapat digunakan karena tidak tersedianya data untuk semua negara ASEAN. Fokus utama pada model ini adalah impor dari negara-negara ASEAN dan Cina sebagai variabel utama. Kami menggunakan rasio impor bersih dari negara-negara ASEAN dan Cina terhadap total PDB untuk estimasi. Mengapa impor bersih digunakan sementara yang lainnya 88 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 memakai ekspor bersih? Alasannya adalah untuk menyederhanakan interpretasi sehingga kita menempatkan impor sebagai fokus utama dalam perdagangan, dan bukan sebaliknya. Variabel ini dapat dijelaskan sebagai kontribusi ACFTA pada total PDB negara-negara ASEAN. Hipotesis utama adalah bahwa impor dari negara-negara ASEAN dan Cina memiliki dampak negatif terhadap simpanan, yang membuktikan bahwa peningkatan impor masing-masing akan mengurangi tabungan, karena adanya peningkatan konsumsi. Kami juga akan membandingkan elastisitas impor terhadap persistensi simpanan untuk melihat apakah di bawah ACFTA, simpanan akan habis dari waktu ke waktu, yang menunjukkan peningkatan kerentanan masyarakat miskin Untuk memperoleh koefisien yang lebih akurat dan tepat untuk perbandingan, kami akan memasukkan lebih banyak regresor sebagai variabel kontrol. Peran regresor hanya sebagai penjelas yang menspesifikasikan model agar mendapatkan koefisien yang lebih akurat, dan juga untuk memperjelas arah penerapannya dalam implikasi kebijakan. Variabel kontrol dalam model adalah sebagai berikut: 1. Pendapatan masyarakat, diwakili oleh PDB per kapita. Peningkatan pendapatan dalam masyarakat menyediakan mereka dengan dana yang lebih banyak untuk disimpan. Oleh karena itu, hubungan tersebut diperkirakan akan positif. 2. Pertumbuhan ekonomi, didefinisikan sebagai persentase perubahan dari PDB saat ini dari tahun sebelumnya. Peningkatan pertumbuhan ekonomi, yang memperluas perekonomian; peningkatan potensi kegiatan ekonomi dan kenaikan pendapatan per kapita yang memiliki hubungan positif dengan simpanan. 3. Tingkat bunga deposito. Ini adalah salah satu faktor penarik bagi masyarakat untuk menabung lebih banyak karena suku bunga mencerminkan tingkat keuntungan yang bisa diperoleh dari tidak menyimpan uang tunai dalam beberapa periode waktu. Meskipun masyarakat biasanya tidak terlalu peduli akan suku bunga deposito, tetapi dampaknya harus positif karena secara logika masyarakat akan mengincar bunga kembali yang lebih tinggi. Namun, pada akhirnya, hal ini bergantung pada opportunity cost. 4. Perubahan harga atau inflasi. Faktor ini memiliki efek berkebalikan dari tingkat suku bunga, atau kita bisa menyebutnya sebagai opportunity cost yang telah kami sebut sebelumnya. Kenaikan harga mengharuskan orang untuk memegang lebih banyak uang tunai untuk bisa mengkonsumsi dalam volume yang sama. Jika tingkat inflasi lebih tinggi dari suku bunga, opportunity cost dari tabungan akan meningkat dan memotivasi orang untuk lebih memilih memegang uang tunai, dan berlaku pula sebaliknya. Kita bisa membandingkan elastisitas variabel ini dengan elastisitas suku bunga untuk mendapatkan sebuah kesimpulan: mana yang lebih penting antara suku bunga atau tingkat inflasi. Kita bisa mengembangkan hasilnya menjadi implikasi kebijakan, terutama untuk kebijakan moneter pada suku bunga dan inflasi. Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?: Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan 89 5. Rasio Dependensi. Ini adalah satu-satunya indikator demografi diantara semua indikator makroekonomi diatas. Dampak dari variabel ini bisa menjadi dua kali lipat. Ini tergantung apakah peningkatan rasio dependensi akan meningkatkan atau menurunkan simpanan. Umumnya, kita memperkirakan dampak negatif karena peningkatan rasio dependensi akan meningkatkan pengeluaran saat ini, yang membuat simpanan terkuras saat ini. Namun, paradigma ke depan mungkin hadir di mana peningkatan rasio dependensi akan memotivasi masyarakat untuk mempersiapkan kebutuhan populasi yang memiliki ketergantungan ini ke depannya, seperti untuk biaya sekolah atau kesehatan. SAVINGS = α SAVINGS i ,t −1 + β 1 IMPORTi , t + β 2 INCOME i ,t + β 3GROWTH i , t + β 4 INTRi , t + β 5 INFLi , t + β 6 DEPENDi ,t + ε it dimana, SAVING adalah simpanan per kapita IMPORT adalah rasio impor bersih dari ASEAN-Cina dari total GDP INTR adalah suku bunga deposito INFL adalah tingkat inflasi (berdasarkan CPI) DEPEND adalah rasio dependensi i adalah individu, terdiri dari negara-negara ASEAN1 t adalah dimensi waktu tahunan Kami melakukan estimasi menggunakan data panel dari semua negara ASEAN untuk periode 2000-2008. Karena pemberlakuan ACFTA masih relatif baru, kami menggunakan data historis untuk memprediksi dampak ACFTA saat ini dan kedepannya. Kami menerima data untuk simpanan per kapita dan impor dari UNSTATS dan UNCOMTRADE PBB. Untuk suku bunga dan inflasi, kami menggunakan data dari International Financial Statistics (IFS) IMF dan untuk rasio dependensi kami menggunakan data dari CEIC. Metodologi DPD yang kami gunakan untuk model ini adalah Arellano-Bond 1st Difference GMM karena alasan berikut: 1. Hubungan berada pada simpanan dan lagged value-nya 2. Kami berasumsi bahwa ada hubungan dinamis dalam simpanan dan pertumbuhan ekonomi, seperti yang dijelaskan Mohan (2006, [45]), juga dengan tingkat bunga dan inflasi 3. Unobserved country-specific error term (wi ) dalam konteks indikator demografis, berkorelasi dengan rasio dependensi. 1 Perlu dicatat bahwa kami tidak menyertakan China dalam panel estimasi dengan asumsi bahwa Cina mendapat lebih banyak keuntungan dari ACFTA, sedangkan negara-negara ASEAN sebaliknya menanggung lebih banyak resiko kerugian. 90 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 4. Jumlah negara sebagai data cross-section (N = 10) relatif lebih tinggi dibandingkan jumlah deret waktu. (T = 7) 2 Beberapa masalah yang timbul dapat dipecahkan menggunakan Arellano-Bond GMM. Arellano-Bond GMM sendiri adalah sebuah teknik estimasi untuk mengamati pengaruh hubungan dinamis antara variabel dependen dan lagged value-nya. Adapun masalah endogenitas, kami memberlakukan variabel instrumental pada GMM. Untuk variabel instrumental yang dikenakan dalam model ini, kami menempatkan lagged value dari regresor endogen (pertumbuhan, suku bunga dan inflasi). Masalah ketiga yakni korelasi dari unobserved country-specific error term, dieliminasi menggunakan first difference di Arellano-Bond GMM mengikuti rumus berikut ini: ∆yi,t = α1∆yi,t-1 + α2∆Xi,t + ∆ i,t yi,t − yi,t-1 = α1 (yi,t-1 − yi,t-2) + α2 (Xi,t − Xi,t-1) + ( i,t − ) i,t-1 dimana, i,t = wi + ui,t i,t − i,t-1 = (wi − wi,t) + (ui,t − ui,t-1) = ui,t − ui,t-1 = ∆ui,t sehingga, wi adalah unobserved country-specific error term. Seperti yang bisa kita lihat dari persamaan di atas, kami telah menghilangkan unobserved country-specific error term menggunakan first difference . Oleh karena itu, error term tetaplah vi,t yang merupakan error term data panel dari estimasi. Oleh karena itu, kita tidak lagi perlu khawatir tentang korelasi antara error variabel independen karena unobserved country-specific error term yang problematik telah dihapus dari estimasi. IV.2 Hasil Estimasi Menggunakan Arellano-Bond GMM dalam estimasi dua langkah dari Stata 11, kita memperoleh hasil sebagai berikut: 2 Karena Arellano Bond GMM menggunakan first difference dan kami menggunakan first lag of savings pada model, estimator akan secara otomatis akan menghilangkan dua observasi pertama, sehingga waktu observasi yang tersisa adalah 7. Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?: Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan Koef. (Std. Error) [Prob.] VARIABEL FE Simpanan (-1) 0.1439227* (0.0605343) [0.022] -5.13867 (5.173365) [0.326] 0.6441702*** (0.0509349) [0.000] 1.540742 (3.339246) [0.647] 2.08293 (10.82252) [0.848] -1.352008 (2.637306) [0.611] 4.962723 (5.290578) [0.354] Impor Pendapatan Pertumbuhan Intr Infl Depend 91 GMM OLS 0.149482** (0.0697293) [0.032] -6.781835*** (1.697932) [0.000] 0.6125879*** (.0662613) [0.000] 10.84045 (19.5483) [0.579] 40.2688 (41.9624) [0.337] -6.455056 (8.411291) [0.443] 12.66345* (7.258577) [0.081] 0.5340291*** (0.0995964) [0.000] -3.844283 (5.063839) [0.448] 0.2395092*** (0.0486907) [0.000] 12.7541** (6.328766) [0.044] 14.3462 (12.91631) [0.267] 3.970357 (4.28696) [0.354] 4.704166 (3.515673) [0.181] *** (**) [*] signifkan dibawah 1% (5%) [10%] nilai kritis Ω ESTIMASI PASKA-GMM Kontinuum FE GMM OLS 0.1439227 0.149482 0.5340291 TIDAK BIAS Sargan 1.000000 VALID Validitas Konsistensi M1 M2 0.4301 0.4489 TIDAK KONSISTEN Pertama, kita akan melihat pasca-estimasi. Kontinum menunjukkan bahwa koefisien lagged value di GMM (Arellano-Bond First Difference) sedikit lebih tinggi daripada estimasi Fixed Effect, sedangkan koefisien OLS secara signifikan lebih tinggi dari GMM, yang masuk akal karena OLS biasanya memberikan hasil koefisien yang agak terlalu tinggi. Oleh karena itu, kami menerima estimator yang tidak bias dalam model ini karena kondisi kontinuum. Tes Sargan menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara residu dan over-identifying restrictions dari variabel instrumental jika mereka benar-benar eksogen. Dalam kasus ini, hal ini mungkin terjadi karena kami tidak menempatkan variabel instrumental apapun dalam estimasi kami. Oleh karena itu, tidak perlu mengkhawatirkan tentang validitas model kami, karena Tes Sargan telah menunjukkan hasil yang baik. 92 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 Namun, tes Arellano-Bond menunjukkan bahwa tidak ada autokorelasi dalam M1 yang membuat estimator tidak konsisten, tapi sisi baiknya adalah bahwa tidak ada autokorelasi di M2, karena jika sebaliknya ada, estimasi akan benar-benar menjadi tidak konsisten. Kami telah melakukan banyak rekayasa statistik pada variabel dan juga menambah dan mengurangi variabel atau mengubah definisi variabel, namun ini merupakan hasil terbaik yang dapat diperoleh dari nilai-p dari M1. Selain itu, karena ini adalah model dasar kami, kami memutuskan untuk menggunakan model ini sebagai estimasi kami. Sekarang, kita akan membandingkan hasil antara tiga metodologi sebelum kita menekankan pada keseluruhan hasil Arellano-Bond GMM. Variabel kunci, Impor, memiliki dampak negatif pada ketiganya, yang berarti bahwa korelasi negatif ini bukan karena pemanfaatan DPD pada estimasi kami. Perbedaan antara metodologi terletak di perbedaan pengukuran koefisien. Ini terjadi tidak hanya di variabel kunci, tetapi juga di variabel kontrol. Regresor memang memiliki hubungan yang sama di semua metodologi, kecuali satu untuk inflasi pada OLS. Meski perbedaan metodologi mungkin memberikan hubungan yang berbeda secara signifikan, model kami di sini memberikan hasil yang sama. Oleh karena itu, seperti yang kami katakan sebelumnya, tidak perlu mengkhawatirkan distorsi hasil estimasi akibat perbedaan metodologi dan keberadaan variabel kontrol. Langkah berikutnya adalah untuk menekankan hasil dari Arellano-Bond. Impor memiliki hubungan negatif terhadap simpanan sebagaimana disebutkan dalam hipotesis kami. Ini berarti bahwa simpanan akan berkurang di bawah peningkatan impor. Sementara impor memiliki hubungan negatif, hasil estimasi menunjukkan bahwa simpanan tidak cukup tahan dari waktu ke waktu untuk menahan laju impor yang akan menggerus simpanan dalam prosesnya dari waktu ke waktu. Simpanan ini dianggap sebagai tidak persisten karena nilai koefisien dependent lagged value secara signifikan lebih rendah dari 0, tepatnya 0,1779878. Ini berarti dengan kondisi lain tetap konstan, simpanan akan terkuras terus-menerus, bahkan tanpa adanya peningkatan impor. Dependent lagged value dan impor akan menjadi signifikan di bawah nilai kritis 5% yang berarti bahwa dampak mereka bersifat konsisten dari waktu ke waktu. Sekarang untuk variabel kontrol, hanya pendapatan per kapita dan rasio dependensi yang signifikan di bawah nilai kritis 5%, sedangkan sisanya tidak signifikan. Pendapatan per kapita memiliki hubungan positif dengan simpanan yang berarti bahwa peningkatan pendapatan per kapita akan meningkatkan angka simpanan. Pertumbuhan ekonomi juga mendorong masyarakat untuk menabung karena memiliki hubungan positif dengan simpanan. Begitu juga dengan tingkat suku bunga. Kenaikan suku bunga deposito membawa dampak positif pada motivasi masyarakat untuk menabung. Sedangkan terakhir, seperti yang diharapkan, inflasi memiliki dampak negatif terhadap simpanan karena orang harus memegang lebih banyak uang tunai. Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?: Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan 93 V. HASIL DAN ANALISIS Estimasi ini telah memberikan kita dengan informasi yang diperlukan tentang bagaimana impor mempengaruhi tingkat simpanan bersamaan dengan penjelasan istilah makroekonomi dan demografis. Kita akan lebih fokus pada bagaimana regresor mempengaruhi variabel dependen. Baik variabel yang signifikan maupun tidak signifikan, keduanya akan dianalisis, untuk melihat dampak regressor sejak kita masih dapat mempertimbangkan koefisien seiring kecenderungan variabel mempengaruhi variabel dependen. V.1. Perilaku Menabung di ASEAN Kami menganggap hasil estimasi sebagai model perilaku menabung di wilayah tertentu yaitu ASEAN, di bawah laju perdagangan barang antara ASEAN dan Cina. Mari kita mengingat kembali hasil estimasi Arellano-Bond GMM untuk tujuan analisis. Koefisien variabel lagged dependent menunjukkan kepada kita persistensi simpanan per kapita dari waktu ke waktu, ceteris paribus. Hal ini menunjukkan perilaku masyarakat untuk mempertahankan simpanan mereka dari waktu ke waktu dalam kondisi dimana yang lain tetap konstan. Nilai koefisien dari variabel lagged dependent secara signifikan berada di bawah 1,00, tepatnya 0,15, yang berarti simpanan per kapita akan turun sebesar 85% dari waktu ke waktu. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat akan menarik simpanan mereka dalam jumlah yang besar untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka. Jika ingin diperhitungkan, karena kebutuhan barang-barang dasar tidak dapat dihilangkan dari belanja rutin, kita bisa memperkirakan masyarakat untuk cenderung menjadi konsumtif karena mereka mengkonsumsi barang diluar kebutuhan dasar bersamaan dengan konsumsi kebutuhan dasar, yang menghabiskan simpanan per kapita sebesar 85%. Perlu diingat bahwa kita mengasumsikan faktor lainnya tetap konstan, sehingga berarti tidak ada penyesuaian konsumsi di bawah perubahan harga, sehingga koefisien hanya menampilkan rentetan berkurangnya tingkat simpanan. Berdasarkan estimasi ini, kami mengambil kesimpulan cepat dan sederhana bahwa masyarakat ASEAN lebih condong pada perilaku konsumtif, yang merupakan perilaku yang dapat ditemukan di negara-negara berkembang, mengingat bahwa sebagian besar negaranegara ASEAN masih merupakan negara berkembang. Impor bersih memiliki dampak negatif terhadap tingkat simpanan. Ini berarti bahwa peningkatan impor di atas tingkat ekspor akan mengurangi konsumsi. Ini seperti hipotesis yang dinyatakan sebelumnya dalam makalah ini. Peningkatan tingkat impor, dengan ekspor yang tetap konstan, akan mengurangi simpanan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh peningkatan konsumsi di bawah peningkatan ketersediaan barang ekonomi. Seperti diestimasi 94 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 sebelumnya pada lagged value dari simpanan, orang-orang ASEAN cenderung untuk mengkonsumsi lebih banyak dari waktu ke waktu dalam proporsi yang tinggi yakni 85%. Perkiraan data ini diperoleh sebelum ACFTA diimplementasikan di ASEAN (ACFTA dimulai pada bulan Januari, 2010). Oleh karena itu, kita bisa mengekspektasikan bahwa di bawah ACFTA, arus barang pasti akan menjadi tinggi karena volume impor meningkat di negara-negara ASEAN; dan pola konsumsi masyarakat ASEAN akan meningkat. Jika variabel lain diasumsikan konstan, angka simpanan akan habis dalam waktu singkat. Tapi, ini bukannya tanpa solusi. Jawabannya terletak pada salah satu sisi lain dari impor bersih, yakni sisi ekspor. Ekspor di sini bertindak sebagai efek balas impor yang sebaliknya akan meningkatkan tingkat simpanan. Logikanya berasal dari rumus Impor bersih yang merupakan pengurangan impor dengan ekspor. Peningkatan ekspor akan mengurangi impor bersih. Oleh karenanya, ekspor memiliki efek berkebalikan dari impor. Peningkatan ekspor akan memungkinkan masyarakat untuk menghasilkan produk lebih banyak, yang memungkinkan mereka untuk memperoleh pendapatan lebih dari aktivitas perekonomian. Penjelasan sederhana lainnya yakni ekspor merupakan komponen tambahan dari PDB, sehingga peningkatan ekspor akan meningkatkan PDB dan membawa potensi peningkatan pendapatan per kapita. Berbicara mengenai pendapatan per kapita, estimasi menunjukkan bahwa pendapatan per kapita berpengaruh positif terhadap simpanan dan lebih jauh lagi memiliki dampak positif. Koefisien variabel ini sebesar 0.61. Implikasi dari koefisien ini bahwa masyarakat ASEAN akan menyisihkan 61% dari perubahan pendapatan mereka untuk disimpan dan menggunakan hingga 39% dari sisanya untuk dikonsumsi. Hal ini juga dapat berlaku kebalikannya, saat pendapatan per kapita berkurang, masyarakat akan menarik tabungan mereka sebesar 69% dari perubahan pendapatan mereka, karena mereka perlu likuiditas lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan mereka saat terjadi penurunan pendapatan, di bawah resesi atau krisis. Ini juga menjadi salah satu jawaban untuk menanggung dampak ACFTA yang sejalan dengan solusi ekspor. Pendapatan tentunya merupakan komponen yang esensial untuk perbaikan jika kita bertujuan meningkatkan atau menjaga simpanan masyarakat. Sebagaimana dibahas sebelumnya, ekspor merupakan salah satu komponen dari PDB dan pendapatan, yang berarti ekspor perlu menjadi satu solusi penting untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Kita mungkin berpikir bahwa terdapat inkonsistensi didalam analisis estimasi. Pada awalnya, kami berpikir bahwa masyarakat cenderung menjadi konsumtif karena ketahanan simpanan yang sangat rendah. Tetapi sebaliknya, koefisien pendapatan per kapita menunjukkan bahwa masyarakat mendistribusikan lebih banyak perubahan pendapatan mereka untuk simpanan, bukan untuk dikonsumsi. Satu hal yang perlu kita lihat adalah bahwa perilaku konsumtif yang kita analisis diawal didasarkan pada asumsi dimana angka pendapatan konstan. Dengan pendapatan konstan dari waktu ke waktu, orang cenderung untuk menguras simpanan Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?: Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan 95 mereka untuk mengonsumsi lebih banyak dan hal ini mungkin dikarenakan oleh ketidakcukupan penghasilan masyarakat ASEAN, terutama bagi yang tinggal di negara berkembang, untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka. Karenanya masyarakat terus menarik simpanan mereka untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka. Untuk perubahan pendapatan yang dialokasikan lebih banyak ke simpanan, penjelasannya mungkin terletak dalam estimasi parameter rasio dependensi. Rasio dependensi memberi dampak positif yang signifikan terhadap tingkat simpanan. Hal ini dapat dijelaskan melalui teori precautionary saving behavior, tapi kali ini kita mengaitkan ketidakstabilan yang dibahas dalam teori dengan biaya tinggi yang ditanggung oleh kelompok produktif. Lebih banyak anggota masyarakat bergantung pada usia produktif, sehingga dana lebih akan diperlukan untuk mempersiapkan untuk konsumsi masa depan. Salah satu contoh sederhana adalah anakanak usia sekolah. Orang tua yang termasuk populasi produktif harus mengalokasikan lebih banyak pendapatan mereka untuk rencana pendidikan anak-anak mereka. Hal ini juga menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat ASEAN adalah tipe orang yang enggan menempuh risiko ketika mereka memiliki lebih banyak orang di bawah tanggungan mereka. Namun, hal ini tidak bisa dibanggakan, karena variabel ini hanya menjelaskan mengapa masyarakat mengalokasikan lebih dari perubahan pendapatan mereka untuk simpanan. Kita tidak dapat menggunakan variabel ini sebagai harapan untuk meningkatkan simpanan. Meningkatkan rasio dependensi jelas bukan jawaban untuk mempertahankan tingkat simpanan, melainkan hanyalah sebuah penjelas. Variabel yang tersisa tidak cukup signifikan, namun kami masih akan menganalisis dampak yang tidak signifikan ini untuk melihat potensi dampak variabel-variabel tersebut terhadap tingkat simpanan. Pertumbuhan memiliki dampak positif pada ekspansi ekonomi yang bisa memberikan masyarakat peluang untuk meningkatkan pendapatan dan selanjutnya meningkatkan simpanan mereka. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang cepat yang biasanya terjadi di ASEAN sebagai wilayah negara-negara berkembang. Peningkatan pertumbuhan itu sendiri mungkin tidak akan mempengaruhi tingkat simpanan karena tidak bisa secara langsung meningkatkan pendapatan individu masyarakat. Jika pertumbuhan ekonomi tidak secepat pertumbuhan penduduk, maka pada dasarnya pendapatan per kapita, salah satu variabel yang signifikan, akan berkurang. Itulah mengapa pertumbuhan tidak signifikan dalam mempengaruhi tingkat simpanan. Suku bunga deposito akan meningkatkan tingkat simpanan, karena merupakan proxy dari besarnya bunga kembali jika nasabah menyimpan dana mereka di bank. Peningkatan bunga akan mendorong orang untuk menabung lebih banyak, dengan harapan untuk mendapatkan lebih banyak bunga. Tingkat bunga tidak signifikan karena tingkat pengembalian 96 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 bunga tabungan tidak cukup menggembirakan bagi kebanyakan orang. Hal ini karena kebanyakan orang yang hanya memiliki penghasilan tetap tidak akan menabungkan sejumlah besar uang mereka, dalam rentang miliar rupiah. Tingkat suku bunga ini tidak akan memberikan mereka bunga yang signifikan jika tidak berinvestasi pada angka lebih dari seratus milyar rupiah. Karena kebanyakan orang hanya menyimpan hingga jutaan rupiah, potensi bunga tidak akan yang mendorong mereka untuk menabung lebih banyak. Sebaliknya, inflasi memiliki dampak negatif terhadap simpanan, karena dengan lonjakan harga masyarakat harus mengkonsumsi lebih banyak dari segi nilai, bukannya kuantitas. Oleh karenanya itu, mereka harus mengambil dari simpanan untuk menyesuaikan alokasi uang mereka pada harga yang meningkat untuk mengkonsumsi kebutuhan dalam jumlah yang sama. Alasan mengapa variabel ini tidak signifikan karena masyarakat mungkin memiliki kecenderungan pada konsumsi yang lebih daripada sekedar kebutuhan dasar, namun juga konsumsi untuk memenuhi «keinginan». Jika masyarakat mengkonsumsi lebih banyak kebutuhan dasar, mereka akan menyesuaikan simpanan mereka agar mereka bisa mengkonsumsi ini kebutuhan dasar. Tapi, bila masyarakat melakukan pengeluaran untuk hal yang mereka inginkan dalam proporsi tinggi, saat terjadi kenaikan harga, mereka akan membatasi pengeluaran macam ini agar mereka tetap dapat mengakses kebutuhan dasar. Hal ini karena «keinginan» merupakan komoditas normal yang permintaannya akan menurun bila terjadi kenaikan harga, sementara kebutuhan pokok adalah barang inferior yang kuantitas permintaannya hanya akan disesuaikan berdasarkan perubahan pendapatan (harga tidak menjadi masalah). Oleh karena itu, di bawah proporsi tinggi dari konsumsi «keinginan», inflasi yang tinggi masih bisa memungkinkan masyarakat untuk mengurangi konsumsi barang-barang normal mereka sehingga mereka bisa tetap menyimpan lebih banyak dari simpanan mereka. Biasanya kita akan membandingkan koefisien dari kedua variabel ini untuk melihat mana yang memiliki dampak yang lebih pada tingkat simpanan, namun sayangnya kedua variabel ini tidak signifikan. Kita tidak bisa membandingkan parameter yang diestimasi dalam model ini karena koefisien mungkin tidak bekerja seperti yang dinyatakan dalam estimasi. Oleh karena itu, kami tidak akan menempatkan variabel-variabel ini pada fokus kami pada rekomendasi kebijakan kami. Tapi, kita harus ingat bahwa variabel-variabel ini mungkin memiliki dampak di masa mendatang yang dapat menjadi alat potensial ke depannya. V.2 Rekomendasi Kebijakan Estimasi kami pada impor menyimpulkan bahwa impor bukanlah jawaban yang tepat bagi pengentasan kemiskinan yang berkelanjutan. Sementara kita mungkin berpikir bahwa Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?: Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan 97 keterbukaan perdagangan ini dapat meningkatkan akses masyarakat kepada lebih banyak barang dan jasa, dimana dalam istilah Expenditure Poverty tingkat kemiskinan akan berkurang meskipun pendapatan masyarakat tidak berubah, kita kehilangan satu titik di mana pengeluaran tersebut bisa sangat menyulitkan kedepannya. Hal ini disebabkan perilaku mengurangi tabungan dalam kondisi peningkatan impor. Oleh karena itu, penurunan tingkat kemiskinan mungkin bersifat sementara saja karena tergantung pada ketersediaan barang dari luar negeri. Kita dapat memperkirakan bahwa jika suatu ketika guncangan akan terjadi, dan aliran perdagangan harus dihentikan, ketersediaan barang akan menipis dan oleh karena itu tingkat kemiskinan akan kembali naik. Selain itu, di bawah kondisi simpanan yang tergerus, masyarakat (terutama masyarakat miskin) tidak akan siap untuk menyesuaikan penghasilan mereka untuk mengatasi kenaikan harga karena menurunnya kuantitas barang yang tersedia. Disinilah variabel kunci, simpanan masuk menjadi buffer bagi masyarakat untuk persiapan risiko macam ini di masa depan. Potensi tergerusnya simpanan adalah alasan mengapa kita menyimpulkan bahwa ACFTA bukanlah jawaban, atau strategi yang tepat untuk pengentasan kemiskinan, meskipun di sisi lain bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. Estimasi menunjukkan bahwa ACFTA mungkin merupakan kerugian besar terhadap strategi pengentasan kemiskinan yang berkelanjutan. Namun, ACFTA telah diimplementasikan dan sudah berjalan beberapa bulan hingga saat ini. Tidak mungkin secara tiba-tiba untuk membatalkan perjanjian pada saat ini dan, mungkin, untuk jangka waktu yang lama ke depan. Selain itu, ACFTA tidaklah sepenuhnya merupakan hal yang buruk bagi negara-negara ASEAN karena pada kenyataannya ACFTA membuka berbagai peluang, bahkan untuk pengentasan kemiskinan. Yang paling penting adalah bagaimana menggunakan kesempatan ini untuk mendapatkan cukup simpanan agar pengentasan kemiskinan yang berkelanjutan dapat dicapai. Berdasarkan estimasi kami, variabel yang paling penting untuk memperbaiki tingkat simpanan adalah pendapatan per kapita. Ini berarti bahwa kunci meningkatkan simpanan masyarakat terletak pada bagaimana cara kita memanfaatkan potensi keterbukaan perdagangan ACFTA untuk meningkatkan pendapatan per kapita. Ditariknya batasan tarif di ASEAN dan Cina untuk perdagangan tidak boleh digunakan untuk meningkatkan ketersediaan barang dalam negeri, sehingga masyarakat bisa dengan mudah mengakses barang karena hal ini justru merugikan dari sisi tingkat simpanan masyarakat. Kita harus mengambil keuntungan dari perjanjian ini untuk meningkatkan sisi ekspor sehingga kita dapat meningkatkan pendapatan per kapita. Estimasi menunjukkan bahwa berkebalikan dengan dampak negatif dari impor pada tingkat simpanan, ekspor justru memberi dampak positif, karena impor bersih adalah pengurangan impor oleh ekspor. Peningkatan ekspor berarti bahwa sisi ekonomi produktif mengalami kemajuan karena kenaikan PDB juga merupakan hasil dari produksi, tidak semata- 98 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 mata konsumsi. Selain itu, peningkatan ekspor mempekerjakan lebih banyak orang untuk meningkatkan output, sehingga pendapatan rakyat dapat ditingkatkan karena peningkatan kesempatan kerja atau potensi peningkatan upah karena peningkatan pada pertumbuhan output. Oleh karena itu, pemerintah harus mendukung sisi ekspor untuk mengatasi tantangan ACFTA. Hal ini dapat dilakukan dengan menyediakan fasilitas bagi produsen, terutama yang berorientasi ekspor, untuk menghasilkan lebih banyak barang yang memiliki potensi beredar di ASEAN dan Cina. Subsidi ekspor dapat menjadi salah satu solusi mempromosikan ekspor namun itu bisa menimbulkan distorsi pada harga internasional, yang dihindari dalam perjanjian perdagangan bebas. Kontrol komoditas impor mungkin menjadi opsi yang lebih baik dibandingkan kontrol komoditas ekspor. Namun, kontrol komoditas impor yang kami bicarakan di sini bukanlah bagaimana kita membatasi barang impor ke dalam negeri melainkan tentang bagaimana kita mengimbangi arus barang konsumsi dengan impor bahan baku yang diperlukan bagi industri berorientasi ekspor. Seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya, berdasarkan perjanjian perdagangan bebas kita bisa mengharapkan harga murah bahkan untuk bahan baku impor. Kita harus melihat ini sebagai kesempatan untuk mengakses bahan baku lebih murah dalam rangka meningkatkan produktivitas dan mengenakan harga yang lebih kompetitif untuk komoditas ekspor kita. Dengan cara ini, kita dapat meningkatkan sisi ekspor tanpa mengorbankan sisi impor yang dibutuhkan untuk menjaga ketersediaan barang. Solusi ini membantu kita di sisi pendapatan dan sisi pengeluaran dari pengentasan kemiskinan. Stabilisasi harga juga diperlukan untuk meningkatkan simpanan masyarakat. Harga harus stabil dalam kondisi rendah. Ini merupakan masalah bagi bank sentral untuk mencapai kondisi tersebut. Mengapa stabilisasi harga menjadi penting? Ada dua alasan. Pertama bahwa harga dalam negeri yang tinggi adalah salah satu faktor yang menentukan motivasi untuk perdagangan. Semua teorema dasar perdagangan seperti yang dijelaskan dalam buku teks, seperti Markusen, et al (1994, [40]) dan Krugman dan Obstfeld (2006, [35]) menekankan peran relativitas harga dalam menciptakan perdagangan. Eksportir ingin mengekspor barang-barang mereka jika harga barang di negara mitra lebih tinggi dari harga di negara mereka sendiri, dengan asumsi bahwa tidak ada kebijakan dumping, sehingga mereka bisa meraup lebih banyak keuntungan dari perdagangan karena mereka dapat menjual barang dengan harga yang lebih tinggi. Kenaikan harga dalam negeri berakibat pada banjirnya pasar dalam negeri dengan barang impor yang akan dijual dengan harga lebih tinggi. Ini akan berakibat pada peningkatan konsumsi yang ingin kita hindari dari ACFTA. Selain itu, harga itu sendiri juga merupakan penentu nilai tukar karena keduanya terkait dengan daya beli dari mata uang. Harga tinggi berarti nilai tukar lemah dan sebaliknya. Dengan mempertahankan harga pada tingkat rendah, Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?: Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan 99 nilai tukar bisa bertahan pada level yang kuat yang akan mendorong eksportir untuk mengekspor lebih banyak lagi. Kedua, tingkat harga juga menjadi motivasi bagi masyarakat untuk memegang uang tunai daripada dimasukkan ke dalam simpanan. Hal ini karena kenaikan harga berarti bahwa orang-orang harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk konsumsi dalam jumlah yang sama. Harga tinggi akan merugikan posisi simpanan. Selain itu, fluktuasi harga akan menjadi lebih buruk lagi. Hal ini disebabkan ketidakpastian yang dihadapi masyarakat sehingga mereka akan lebih fokus pada kondisi perekonomian. Dalam kondisi ini, tak peduli apakah harga tinggi atau rendah, orang tidak akan termotivasi untuk menyimpan uangnya. Oleh karenanya, tingkat harga yang rendah saja tidak cukup untuk menarik orang untuk menabung, bukan hanya karena fluktuasi akan meningkatkan ketidakpastian, tetapi juga harga rendah dan mata uang yang kuat dapat menurunkan kuantitas permintaan komoditas ekspor kita dari negara-negara mitra, yang akan merugikan kita jika ingin meningkatkan potensi simpanan melalui promosi ekspor. Harga yang stabil di tingkat yang relatif rendah menjadi lebih tepat dibandingkan dengan kondisi harga yang rendah saja. Hal ini mungkin juga menjadi alasan mengapa pada estimasi sebelumnya, tingkat inflasi terbukti tidak signifikan. Ini mungkin disebabkan karena komponen ketidakpastian yang menentukan simpanan bersamaan dengan inflasi. Terakhir, kesempatan lain yang perlu dimanfaatkan pemerintah adalah kemungkinan lebih banyak investasi langsung yang bisa diberikan ACFTA. Kita tidak boleh lupa bahwa ACFTA bukan semata-mata merupakan perjanjian untuk perdagangan barang dan jasa, tetapi juga untuk meningkatkan kesempatan bagi untuk lebih banyak investasi asing langsung/foreign direct investment (FDI). Pertanyaan yang mungkin muncul dari rekomendasi ini mungkin bagaimana agar FDI bisa meningkatkan tingkat simpanan karena mekanisme transmisinya yang mungkin cukup lama, namun ada kemungkinan untuk memanfaatkan mekanisme tersebut. FDI dapat membuka kesempatan kerja lebih besar untuk mempekerjakan lebih banyak pekerja lokal. Ini akan meningkatkan sisi lapangan kerja sehingga pendapatan masyarakat dapat ditingkatkan. Apalagi jika FDI ini lebih diberlakukan pada industri yang berorientasi ekspor, akan dapat meningkatkan produktivitas industri, yang memungkinkan mereka untuk mengekspor lebih banyak untuk meningkatkan penghasilan masyarakat per kapita. Pada akhirnya, lagi, FDI menjadi mekanisme untuk memperluas ekspor dan pendapatan per kapita karenanya dianggap sebagai variabel kunci di sini untuk meningkatkan tingkat simpanan. Kita mungkin menganggap dengan meningkatkan produktivitas produk berorientasi ekspor secara berlebihan, mungkin akan beresiko jika terjadi krisis dan resesi di wilayah ini. Dalam krisis dan resesi, daya beli negara-negara mitra mungkin akan berkurang dan aktivitas 100 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 perdagangan akan dibekukan sementara. Hal ini akan membuat guncangan besar bagi perekonomian lokal karena sisi ekspor kami akan hilang oleh penurunan permintaan impor ke negara-negara mitra. Ini sepatutnya menjadi perhatian, tapi pada saat yang sama, ini adalah saat dimana keuntungan demografis perlu diperhitungkan. Sebagian besar negara-negara ASEAN memiliki populasi yang besar, khususnya Indonesia yang memiliki penduduk sekitar dua ratus jutaan orang. Ini adalah keuntungan demografis untuk ASEAN, karena mereka memiliki pasar domestik yang berlimpah untuk kali saat permintaan pasar luar negeri melemah. Selain itu, dengan meningkatkan tingkat simpanan, masyarakat sudah dipersenjatai dengan daya beli yang cukup untuk saat-saat seperti ini, yang pada dasarnya, merupakan fungsi awal dari tingkat simpanan. Jadi, negara-negara seperti Singapura yang begitu mengandalkan sektor perdagangan, sementara pada saat yang sama tidak memiliki keuntungan populasi yang besar, masih bisa bertahan dari resesi karena besarnya simpanan mereka telah disiapkan di tempat pertama untuk mengatasi ACFTA. Hal ini tidak hanya bisa efektif untuk negara-negara dengan populasi kecil, tapi juga pada negara-negara ASEAN lainnya. Sehingga kita tidak akan menanggung naiknya angka kemiskinan, seperti yang kita khawatirkan di awal. Kebijakan yang dinyatakan di atas memerlukan koordinasi dan kerjasama yang baik antara pemerintah dan bank sentral. Bank sentral bertanggung jawab atas stabilitas harga, sedangkan pemerintah bertanggung jawab atas kebijakan sektor riil untuk meningkatkan ekspor langsung. Ini tidak dapat diselesaikan dengan baik tanpa kerjasama dari kedua belah pihak. Dengan cara ini, tingkat simpanan dapat dipertahankan sebagai penyangga masyarakat disaat goncangan ekonomi di masa depan yang bisa mendorong lebih banyak anggota masyarakat jatuh ke lubang kemiskinan, dan membuat angka kemiskinan meroket. Perlu digarisbawahi, bahwa kami tidak menolak ACFTA melalui penelitian ini. Sebaliknya, kami melihat ini sebagai kesempatan untuk mendukung strategi pengentasan kemiskinan. Namun, ACFTA sendiri bukanlah strategi pengentasan kemiskinan yang berkelanjutan yang tepat karena dampaknya hanya terasa dalam jangka pendek. Meskipun demikian, ACFTA menyediakan kita dengan kesempatan untuk memperluas strategi pengentasan kemiskinan yang berkelanjutan. Bukti otentik dari hal ini adalah bagaimana ACFTA dapat menggunakan kelebihan lokal sebagai rekomendasi kebijakan yang kami tekankan di atas. ACFTA bukanlah sesuatu yang kita harus takuti. Ini adalah kesempatan bahwa kita harus amati sisi baiknya. VI. KESIMPULAN PENUTUP Makalah ini telah membuktikan bahwa, meskipun menjadi mesin pertumbuhan yang efektif sebagaimana ditekankan para praktisi, ada potensi bahwa perdagangan bebas regional Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?: Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan 101 seperti ACFTA merugikan, dalam beberapa hal, bagi pertumbuhan negara-negara di ASEAN, terutama untuk strategi pengentasan kemiskinan yang berkelanjutan. Penurunan tingkat simpanan adalah fokus yang diajukan dalam makalah ini. Tingkat simpanan, sebagai penyangga saat krisis ekonomi atau resesi bagi masyarakat miskin, merupakan bagian penting dari pengentasan kemiskinan yang berkelanjutan. Estimasi ini telah membuktikan bahwa impor dari ASEAN dan Cina berdampak pada menurunnya simpanan negara-negara ASEAN. Hal ini disebabkan meningkatnya sirkulasi barang di wilayah yang memungkinkan orang untuk mengakses barang dengan mudah dan mengakomodasi perilaku konsumtif pada populasi negara-negara berkembang. Selain itu, tingkat simpanan di ASEAN sendiri tidak persisten dari awal karena faktor lainnya selalu konstan; tingkat simpanan akan secara bertahap berkurang oleh konsumsi yang berkelanjutan. Mengembangkan pendapatan per kapita masyarakat adalah solusi kunci untuk berhasil mengatasi tantangan ini. Estimasi membuktikan bahwa masyarakat masih cenderung untuk menabung saat mereka mendapatkan penghasilan tambahan. Ini adalah suatu sisi positif yang harus diperhitungkan. Dalam keadaan ini, karena mustahil memutus ikatan ACFTA tanpa peduli seberapa merugikannya bagi masyarakat, pemerintah negara-negara ASEAN harus meningkatkan pendapatan per kapita masyarakatnya menggunakan kesempatan bahwa dibawa oleh ACFTA. Ada empat kebijakan rekomendasi yang kami ditekankan dalam makalah ini, yaitu: (1) penyeimbangan laju impor yang dibawa ACFTA dengan mempromosikan ekspor dalam rangka meningkatkan pendapatan per kapita, dimana hambatan dagang telah secara bertahap dihilangkan di ASEAN dan Cina, (2) Mengontrol komoditi impor ke pasar domestik, lebih berfokus pada impor bahan baku untuk menghindari perilaku over-consumptive atas barang konsumtif dan meningkatkan produktivitas industri dalam negeri, khususnya industri yang berorientasi ekspor; (3) Menstabilkan fluktuasi harga untuk mendorong masyarakat untuk menabung lebih banyak dan memperkuat daya beli mata uang agar eksportir didorong untuk melakukan ekspor dan laju impor dapat tertekan, dan (4) Mempromosikan investasi asing langsung untuk meningkatkan lapangan kerja dan meningkatkan produktivitas industri berorientasi ekspor. Kebijakan ini harus dilakukan dengan kerjasama dan koordinasi yang baik oleh pemerintah dan Bank Sentral. Kami tidak menolak ACFTA dalam makalah ini; kami lebih melihat ACFTA sebagai kesempatan untuk mengembangkan ASEAN lebih lanjut. Hal ini tercermin dari rekomendasi kami. Meskipun kami beberapa kali menyatakan bahwa ACFTA merugikan dalam beberapa hal, kami menggunakan ACFTA sebagai wadah untuk meningkatkan tingkat simpanan untuk 102 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 mengimbangi dampak merosotnya tingkat simpanan tabungan. Kesimpulannya, ACFTA sendiri bukanlah strategi yang tepat untuk pengentasan kemiskinan jika kita menjalankannya begitu saja, tapi masih bisa digunakan untuk mendukung strategi pengentasan kemiskinan yang berkelanjutan dengan kesempatan otentik yang dibawa oleh perjanjian ini. ACFTA bukanlah sesuatu yang kita harus takuti. Ini merupakan kesempatan yang kita harus lihat dari sisi positifnya. Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?: Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan 103 DAFTAR PUSTAKA AlFoul, Bassam Abu, 2010, ≈The Causal Relation between Savings dan Economic Growth: Some Evidence from MENA Countries∆.<http://econpapers.repec.org>, diakses pada 13 Juli 2010. Anoruo, E. dan Ahmad, Y., 2001, ≈Causal Relationship Between Domestic Savings and Economic Growth: Evidence from Seven African Countries∆. African Development Bank, Vol. 13, Issue 2, pp. 238-249. Attanasio, Orazio, James Banks, Costas Meghir, Guglielmo Weber, 1999, ≈Humps and Bumps in Lifetime Consumption∆. Journal of Business & Economic Statistics, Vol. 17, hal. 22-35. ∆, <http://www.ssrn.com>, Azzopardi, Franco, 2004, ≈The Propensity to Save and Interest Rates∆ diakses pada 16 Juni 2010. Balassa, Bela. ≈The Effects of Interest Rates on Savings in Developing Countries∆. World Bank Working Paper Series, Vol. 55. 1989. Bérubé, Gilles dan Denise Côté. ≈Long-Term Determinants of the Personal Savings Rate: Literature Review and Some Empirical Results for Canada∆. Working Paper √ Bank of Canada. 2000. Birdsall, Nancy. ≈Why Low Inequality Spurs Growth: Savings And Investment By The Poor∆. Inter-American Development Bank Working Paper, No. 327, 1996. Brumberg, Richard E. ≈An Approximation to the Aggregate Saving Function∆. Economic Journal, Vol. 66, hal. 66-72. 1956. Carroll, Christopher D. and David N. Weil. ≈Saving and Growth: A Reinterpretation∆. Working Paper Series, No. 4470. 1993. Cebula, R. J. ≈Federal Government Budget Deficit and Interest Rates: A Note∆. Public Choice. 1987. Darrat, Ali F., 1988, ≈Have Large Budget Deficits Caused Rising Trade Deficits?∆. Southern Economic Journal, Vol. 54, No. 4, hal. 879-887. Davidson, Russell and James G. MacKinnon, 1982, ≈Inflation and the Savings Rate∆. Queen»s Economics Department Working Paper, No. 493. Deaton, Angus, 1977, ≈Involuntary Saving Through Unanticipated Inflation∆. The American Economic Review, Vol. 67, No. 5, hal. 899-910. Dusenberry, J.S., 1949, ≈Income, Saving, and the Theory of Consumer Behavior∆. Cambridge, Mass.: Harvard University Press. 104 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 Edwards, Sebastian, 1995, ≈Why Are Savings Rate So Different Across Countries?: An International Comparative Analysis∆. NBER Working Paper Series, No. 5097. Friedman, Milton. 1957. ≈405.html∆The Permanent Income Hypothesis∆. NBER Chapters. Gourinchas, Pierre-Olivier and Jonathan A. Parker, 2001, ≈The Empirical Importance on Precautionary Savings∆. NBER Working Paper Series, No. 8017. Gupta, Kanhaya L., 1971, ≈Dependency Rates and Savings Rates: Comment∆. American Eco- nomic Review, Vol. 61, hal. 469-71. Gylfason, Thorvaldur., 1993, ≈Optimal Saving, Interest Rates, and Endogenous Growth∆. Journal of Economics, Vol. 95, hal. 517-533. Harvey, Ross, 2004, ≈Comparison of Household Saving Ratios: Euro Area/United States/ Japan∆. Paper of Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), No. 8, 2004. Heer, B. and Suessmuth, B., 2006, ≈The Savings-Inflation Puzzle∆. Cesifo Working Paper, No. 1645. Higgins, Mathew and Jeffrey G. Williamson, 1996, ≈Asian Demography and Foreign Capital Dependence,∆ NBER Working Paper Series, No. 5097. Higgins, Matthew, 1999, ≈Demography, National Saving, and International Capital Flows∆, International Economic Review, Vol. V/39, hal. 343-69. Hoelscher, G. P., 1983, ≈Federal Borrowing and Short-Term Interest Rates∆. Southern Economic Journal, Vol. 50, hal. 319-33. Horioka, Charles Yuji dan Junmin Wan., 2006, ≈The Determinants of Household Saving In China: A Dynamic Panel Analysis of Provincial Data∆. NBER Working Paper Series, No. 12723. Howard, David H., 1978, ≈Personal Saving Behavior and the Rate of Inflation∆. The Review of Economics and Statistics, Vol. 60, No. 4, hal. 547-554. Hufbauer, Gary Clade dan Yee Wong., 2005, ≈Prospects for Regional Free Trade in Asia∆. Working Paper Series of Institute for International Economics, No. 05-12. Huggett, Mark and Gustavo Ventura, 1995, ≈Understanding Why High Income Households Save More Than Low Income Households∆. Discussion Paper Federal Reserve Bank of Minneapolis, No. 106. Islam, M. Faizul, 1998, ≈Brazil»s Twin Deficits: An Empirical Examination∆. Atlantic Economic Journal. Japelli, T., dan Pagano, 1994, M. ≈Savings, Growth and Liquidity Constraints∆. Quarterly Journal of Economics, Vol. 109, hal. 83-109. Kendall, Patrick, 2000, ≈Interest Rates, Savings, and Growth in Guyana∆. Paper of Caribbean Development Bank. Kuznets, S., 1960, ≈Quantitative Aspects of the Economic Growth of Nations: Capital Formation Proportions∆. Economic Development Cultural Change, Vol. 8, No. 4, Part II. Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?: Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan 105 Krugman, Paul and Maurice Obstfeld, 2006, ≈International Economics: Theory and Policy∆. 7th ed. Addison Wesley - Prentice Hall. Labonte, Marc, 2003, ≈The Budget Deficit and the Trade Deficit: What Is Their Relationship?∆. Congressional Report Service Report For Congress. Leff, Nathaniel H., 1969, ≈Dependency Rates and Savings Rates∆. The American Economic Review, Vol. 59, No. 5, hal. 886-896. Lindh, Thomas., 1999, ≈Age Structure and Economic Policy: The Case of Saving and Growth∆. Population Research and Policy Review, Vol. 18,, hal. 261√277. Mankiw, N. Gregory, 2001, ≈Pengantar Ekonomi∆. 2nd ed. Jakarta: Penerbit Erlangga. Markusen, James R., James R. Melvin, William M. Kaempfer, and Keith Maskus, 1994, ≈International Trade: Theory and Evidence∆. McGraw Hill. Mikesell, Raymond F. and James E. Zinser, 1973, ≈The Nature of The Savings Function in Developing Countries: A Survey of the Theoretical and Empirical Literature∆. Journal of Economic Literature, Vol. 11, No. 1, hal. 1-26. Mishra, P.K, S. K. Mishra, and J. R. Das., 2010, ≈The Dynamics of Savings and Investment Relationship in India∆. European Journal of Economics, Finance and Administrative Sciences, ISSN 1450-2887 Issue 18. Modigliani, F. and Brumberg, R., 1954, ≈Utility Analysis and the Consumption Function: An Interpretation of Cross Section Data∆ in Kurihara K., ed. Post-Keynesian Economics. New Brunswick: Rutgers University Press. Modigliani, Franco, 1970, ≈The Life Cycle Hypothesis of Saving and Intercountry Differences in the Saving Ratio,∆ in W. A. Eltis et al., eds., Induction, Growth and Trade, Oxford, hal. 197225. Mohan, Ramesh, 2006,≈Causal Relationship Between Savings and Economic Growth in Countries With Different Income Levels∆. Economics Bulletin, Vol. 5, No. 3 hal. 1_12. Plosser, C. I., 1982, ≈Government Financing Decisions and Asset Returns∆. Journal of Monetary Economics, Vol. 9, hal. 325-52. Ram, Rati, 1983, ≈Dependency Rates and Aggregate Savings: A New International CrossSection Study∆. The American Economic Review, Vol. 72, No. 3, hal. 537-544. Rijckeghem, Caroline Van and Murat Üçer, 2009, ≈The Evolution and Determinants of The Turkish Private Saving Rate: What Lessons for Policy?∆. ERF Research Report Series, No. 0901. 2009. Romer, David, 2001, ≈Advanced Macroeconomics∆. 2nd ed. McGraw Hill, New York. Romer, Paul M., 1986, ≈Increasing Returns and Long Run Growth∆. Journal of Political Economy, Vol. 94, hal.1002-1037. 106 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 Rossi, Nicola, 1988, ≈Government Spending, the Real Interest Rate, and the Behavior of LiquidityConstrained Consumers in Developing Countries∆. Staff Papers - International Monetary Fund, Vol. 35, No. 1, hal. 104-140. Saltz, I.S., 1999, ≈An Examination of the Causal Relationship between Savings and Growth in the Third World,∆ Journal of Economics and Finance, Vol. 23, hal. 90-98. Scholz, John Karl, Ananth Seshadri, and Surachai Khitatrakun, 2006, ≈Are Americans Saving «Optimally» for Retirement∆. Journal of Political Economy, Vol. 114(4), hal. 607-643. Schultz, T. Paul., 2004, ∆Demographic Determinants of Savings: Estimating and Interpreting the Aggregate Association in Asia∆. Paper Series of Economic Growth Centre √ Yale University, No. 901. Sinha, Dipendra, 1996, ≈Saving and Economic Growth In India∆. MPRA Paper, No.18283, University Library of Munich, Germany. Skinner, Jonathan, 2004, ≈Comment on «Aging and Housing Equity: Another Look in Perspectives on the Economics of Aging∆. Chicago: The University of Chicago Press. Solow,Robert M., 1956, ≈/viewitem.fcg/00335533/di951743/95p0039f/0?config = jstor&frame = frame&userID = [email protected]/018dd5254c00502d8f04&dpi = 5∆A Contribution to the Theory of Economic Growth.∆ Quarterly Journal of Economics, Vol. 70, hal. 65-94.Ω Song, Byung-Nak, 1981, ≈Empirical Research on Consumption Behavior: Evidence from Rich and Poor LDCs∆. Economic Development and Cultural Change, Vol. 29, No. 3, hal. 597611. Todaro, Michael P. and Stephen C. Smith., 2008, ≈Economic Development∆. Pearson Education Limited. Wachtel, P. and J. Young., 1987, ≈Deficit Announcements and Interest Rates∆. American Economic Review, Vol. 77, hal. 1007-12. Yusuf, S. and R. Kyle Peters., 1984, ≈Savings Behavior and its Implications for Domestic Resource Mobilization: The Case of the Republic of Korea∆. World Bank Staff Working Paper, No. 628. Making East Asian Regionalism Works 107 MAKING EAST ASIAN REGIONALISM WORKS1 Fithra Faisal Hastiadi 2 Abstrac t For the past few years, regionalism has been progressing in East Asia with the likes of Cina, Japan, and Korea (CJK) as the most prominent actors. Unfortunately, with the absence of trade arrangement amongst the CJK, the present regional trade scheme is not sufficient to reach sustainability. This paper uncovers the inefficient scheme through Engle-Granger Cointegration and Error Correction Mechanism. Moreover, the paper underlines the importance of triangular trade agreement for accelerating the phase of growth in CJK which eventually create a spillover effect to East Asia as a whole. Employing Two Stage Least Squares in a static panel fixed effect model, the paper argues that the spillover effect will function as an impetus for creating region-wide FTA. Furthermore, the paper also identifies a number of economic and political factors that can support the formation of East Asian Regionalism. JEL Classification Classification: F15, C13, C22, C33 Keywords: Regionalism, Engle-Granger Cointegration, Error Correction Mechanism, Fixed Effect, Two Stage Least Squares 1 Versi awal makalah ini telah dipresentasikan di Thessaloniki, Yunani (Mei 2010). 2 Graduate School of Asia-Pacific Studies (GSAPS), Waseda University 1-21-1 Nishi-Waseda, Shinjuku-ku, Tokyo 169-0051, JAPAN Email: [email protected] 108 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 I. PENDAHULUAN Di milenium baru ini, regionalisme telah mulai hadir di Asia Timur. Negara-negara Asia Timur telah berfokus pada cara-cara untuk memperluas perdagangan antar daerah yang meliputi: pembentukan Perjanjian Perdagangan Regional/Regional Trade Agreements (RTA) dalam bentuk Perjanjian Perdagangan Bebas/Free Trade Agreements (FTA) dan Perjanjian Kemitraan Ekonomi/ Economic Partnership Agreements (EPA). Kecenderungan regionalisme telah menciptakan artian regional yang mendalam dan artian global yang signifikan (Harvey dan Lee, 2002). Jepang, Korea dan Cina dianggap sebagai aktor kunci dalam mewujudkan hal ini di Asia Timur. Diakui sebagai para pelaku utama ekonomi dunia, Jepang, Cina dan Korea diasumsikan memiliki tanggung jawab yang berat bagi kesejahteraan ekonomi di kawasan Asia Timur. Hal ini sangat jelas bahwa regionalisme Asia Timur tidak dapat dipraktikkan tanpa dukungan dari negara-negara ekonomi kuat ini. Sayangnya, kurangnya pengaturan kelembagaan di antara negara-negara raksasa ini telah menghambat efek kesejahteraan secara keseluruhan bagi masyarakat Asia Timur. Pendorong dibentuknya hubungan Cina-Jepang-Korea (CJK) saat ini adalah pasar yang dalam artian tertentu tidak lagi cukup; yang harus didampingi dengan regionalisme. Fokus utama dari regionalisme ini adalah untuk membuat negara-negara ini tumbuh bersama sehingga dapat menyebar eksternalitas positif di seluruh wilayah Asia Timur. Dalam jangka panjang diharapkan CJK akan memimpin regionalisme di Asia Timur. Makalah ini telah disusun sebagai berikut. Bagian kedua mempelajari struktur ekonomi dan pola perdagangan di CJK. Bagian ketiga menguji pengaruh keterbukaan dalam CJK terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara tertentu. Bagian keempat menganalisis prospek peningkatan kesejahteraan CJK dalam menciptakan efek spillover ke ASEAN-4, yang dalam tulisan ini berfungsi sebagai proxy bagi negara-negara ASEAN. Bagian kelima menyajikan tren masa depan dan jalan menuju Regionalisme Asia Timur, dan sebagai penutup, bagian terakhir menyajikan beberapa kesimpulan. II. TINJAUAN EMPIRIS HUBUNGAN ANTAR NEGARA HUBUNGAN EKONOMI JEPANG, CINA DAN KOREA Menelusuri kembali hubungan tiga negara pasca perang dunia, antara Jepang, Korea dan Cina telah berkembang secara bertahap. Evolusi kegiatan perdagangan muncul dari orangorang Cina, yang memiliki transformasi substansial akan struktur perdagangan. Pada awal 90an, komoditas utama menyumbang lebih dari sepertiga dari total ekspor Cina ke Jepang dan Korea. Di milenium baru ini, komoditas utama masih memuncaki ekspor Cina ke Jepang dan Korea, yang secara meyakinkan diikuti oleh pertumbuhan yang cepat dari produk mesin dan Making East Asian Regionalism Works 109 transportasi (Chan dan Chin Kuo, 2005). Dari sudut pandang ini, perdagangan di kawasan Asia Timur Utara dianggap sebagai sebuah gerakan substansial sebagai akibat dari pergeseran perdagangan menuju struktur yang lebih maju. Munculnya Cina sebagai pusat manufaktur regional merupakan faktor dominan yang memberikan kontribusi pergeseran perdagangan. Gambaran keseluruhan dari perdagangan antara negara-negara tersebut dapat dijelaskan seperti pada Diagram V.1. Jelas bahwa kegiatan perdagangan yang sangat intens menjadi kontributor utama bagi pertumbuhan ekonomi di wilayah ini. Jumlah perdagangan yang sangat Japan 118,5 27,3 50,3 92,9 44,5 China Korea 87,7 Sumber: Watanabe (2008) Diagram V.1. Perdagangan di antara Jepang, Cina dan Korea (2006, milyar dollar) Japan 0,012 0,18 1,74 6,57 China 2,61 Korea 0,013 Sumber: Watanabe (2008) Gambar 2. Investasi di antara Jepang, Cina dan Korea (2005, milyar dollar) 110 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 besar kemungkinan besar dikemudikan oleh laju FDI di antara mereka dengan Jepang sebagai pemimpin utama di wilayah ini (Diagram V.2). Dengan kata lain, hadirnya transformasi ekonomi di Cina dan Korea yang memutar perdagangan di wilayah ini diawali oleh peran Jepang dalam melakukan investasi di kedua negara tersebut. II.1. Mengukur keseimbangan jangka pendek dan jangka panjang dari ekspor terhadap PDB Dapat dikatakan perdagangan merupakan sinonim untuk kesejahteraan suatu negara. Lebih khusus lagi, penelitian menunjukkan ekspor sebagai mesin pertumbuhan ekonomi. Dari sudut pandang ini, penting untuk mengukur keberlanjutan ekspor terhadap perekonomian, yang dalam bagian ini ekspor antara CJK menjadi fokus utama. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, Jepang, Cina dan Korea mengalami masa emas dalam melakukan ekspor satu sama lain. Kesejahteraan ekonomi adalah tujuan yang paling penting dalam menghubungkan kegiatan ini, tetapi apakah itu cukup untuk meningkatkan perekonomian dalam jangka panjang. Suatu kegiatan yang murni didorong oleh pasar tanpa perjanjian perdagangan khusus daerah kadang-kadang bisa menciptakan bias. Jelas bahwa Jepang, Korea dan Cina kurang memiliki perjanjian semacam ini antara mereka (Urata dan Kiyota, 2003) seperti yang dijelaskan pada Tabel V.1. Untuk membentuk sebuah regionalisme yang efektif, Jepang, Cina dan Korea harus saling mendukung satu sama lain. Karenanya, kerja sama regional intra dalam CJK harus dilakukan untuk menciptakan pertumbuhan yang berkesinambungan di kawasan Asia Timur. Bagian Tabel V.1 FTA/EPA dari Jepang, China dan Korea Negara China Korea Kondisi Negara Telah difinalisasi Masih dinegosiasi Masih dipertimbangkan Telah difinalisasi Masih dinegosiasi Masih dipertimbangkan Chili, ASEAN, Hong Kong, Macao Selandia Baru, Australia, Pakistan, Singpura, GCC, SACU Islandia, India, Jepang-Korea-China, FTAAP, Swiss Chili, Singapore, EFTA, ASEAN, USA India, Meksiko, Kanada, UE FTAAP, China, Mercosur, Selandia Baru, Afrika Selatan, JepangKorea-China, Australia, GCC Singapura, Meksiko, Malaysia, Filipina, Chili, Thailand, Brunei, Indonesia India, Vietnam, Australia, Swiss, Korea, GCC, ASEAN FTAAP, Jepang-Korea-China, Afrika Selatan Telah difinalisasi Jepang Masih dinegosiasi Masih dipertimbangkan Sumber: Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang, 2007 Making East Asian Regionalism Works 111 berikut berfungsi untuk membuktikan keberlanjutan ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi, tanpa adanya pengaturan perdagangan, untuk jangka pendek dan jangka panjang. Tes Kointegrasi Engle-Granger (Engle-Granger Cointegration) dan Mekanisme Koreksi Error (Error Correction Mechanism) kemudian untuk alasan ini. Tes ini menggunakan data triwulanan dari GDP Jepang, Cina dan Korea mulai dari 1985 hingga 2004. Data diambil dari database CEIC. II.1.1. Mendefinisikan Keseimbangan Jangka Panjang: Tes Kointegrasi Engle Granger Dalam melakukan pengujian Kointegrasi Engle Granger, makalah ini membagi hubungan ekspor dalam tiga bagian yang dijelaskan dalam persamaan berikut: i. Hubungan Ekspor Cina dan Jepang JPGDP = βo + β1 .ExportCH + µt (V.1) CHGDP = βo + β1 .ExportJP + µt (V.2) ii. Hubungan Ekspor Korea dan Jepang KRGDP = βo + β1 .ExportJP + µt (V.3) JPGDP = βo + β1 .ExportKR + µt (V.4) iii. Hubungan Ekspor Cina dan Korea CHGDP = βo + β1 .ExportKR + µt (V.5) KRGDP = βo + β1 .ExportCH + µt (V.6) Dalam persamaan tersebut diatas, JPGDP, CHGDP dan KRGDP masing- masing adalah PDB Jepang, PDB Cina, dan PDB Korea, sementara Export JP, Export CH dan Export KR adalah variabel tujuan ekspor ke Jepang, Cina dan Korea. Ekspor dan PDB dapat terkointegrasi karena tren ekspor dan PDB akan mengimbangi satu sama lain, menciptakan residu stasioner. Residu ini disebut parameter kointegrasi. Dalam data, jika kita menemukan bahwa regresi awal dari residu (ut) memberikan stasioneritas, berarti ut bersifat stasioner pada level (orde 0) dan akan dinotasikan sebagai I(0). Tetapi jika ut stasioner dalam beda pertama, maka variabel Ekspor dan PDB akan dikointegrasikan dalam first difference tersebut I(1). Dari Tabel V.2 kita dapat melihat bahwa, hubungan PDB dan ekspor dalam CJK menghasilkan stabilitas hasil dalam jangka panjang. Hal ini dibuktikan dengan stasioneritas 112 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 Tabel V.2 Parameter Kointegerasi Variabel Dependen PDB (Jepang) PDB (China) PDB (Korea) Variabel Independen Ekspor ke Jepang na Ekspor ke China Ekspor ke Korea Stationer Stationer Stationer na Stationer Stationer Stationer na error term di masing-masing kasus. Uji kointegrasi yang membuktikan ekuilibrium jangka panjang menjelaskan bahwa model tersebut tidak spurious. Ekspor terbukti menjadi mesin kemajuan ekonomi di ketiga negara ini. Hasil tes ini membenarkan beberapa penelitian sebelumnya seperti Dorasami (1996), dan Ekanayake (1999) mengenai hubungan ekspor dan pertumbuhan ekonomi. II.1.2 Mendefinisilan Keseimbangan Jangka Pendek: Error Correction Model Kita telah melihat hubungan jangka panjang antara Ekspor dan PDB. Namun, untuk membuat lebih obyektif, kita juga harus melihat hubungan jangka pendek karena masih mungkin untuk menerima ketidakseimbangan. Jadi, bisa dicatat sebagai equilibrium error. Error ini kemudian dapat digunakan untuk menggambarkan perilaku jangka pendek dari PDB Jepang. Teknik untuk mengoreksi ketidakseimbangan jangka pendek untuk ekuilibrium jangka panjang disebut Mekanisme Koreksi Error/Error Correction Mechanism (ECM). Model ECM adalah sebagai berikut: ∆GDP_X (V.7) = βo + β1 .∆Export_Y + β2.µt-1 + et µt-1 adalah cointegrated error lag 1. Dalam persamaan ini, ∆GDPCountry X adalah perbedaan dalam PDB untuk Jepang, Korea dan Cina, sementara ∆ExportCountry Y adalah perbedaan ekspor dari pasangan 2. Berikut adalah output untuk regresi masing-masing negara: Tabel V.3 Equilibrium Error Variabel Dependen Variabel Independen PDB (Jepang) Equilibrium error untuk Ekspor ke Jepang na Equilibrium error untuk Ekspor ke China Equilibrium error untuk Ekspor ke Korea PDB (China) PDB (Korea) -1.0 9 *** -0.23 * -0.18 *** na -0.48 *** 0.017773 -1.33 *** na Catatan: Signifikansi secara statistik diindikasikan oleh *(10%), **(5%), dan***(1%) Making East Asian Regionalism Works 113 Dalam jangka pendek, ada error keseimbangan (equilibrium error) untuk Ekspor Jepang ke Cina dalam hubungannya dengan PDB Jepang. Koefisien residu memberikan angka negatif (-0,18), yang berarti bahwa ekspor Jepang ke Cina di bawah ekuilibrium jangka panjang. Ini hanya akan menyebabkan kenaikan ekspor pada periode selanjutnya. Tetapi penting untuk dicatat bahwa nilai absolut dari koefisien (tingkat penyesuaian) sangatlah kecil (0,18). Hal ini menunjukkan bahwa ekspor Jepang ke Cina bergerak dengan fase yang lambat untuk mencapai ekuilibrium jangka panjang. Adapun dalam hubungan antara Jepang dan Korea, error keseimbangan dari tren ekspor tidaklah signifikan. Ini menunjukkan bahwa PDB Jepang berubah menyesuaikan diri dengan perubahan ekspor Jepang ke Korea pada periode waktu yang sama. Dengan kata lain, hubungan Jepang dan Korea dalam hal ekspor telah mencapai steady state. Residu hubungan antara PDB Cina dengan Ekspor Cina ke Jepang dan Korea cukup signifikan. Ini menunjukkan bahwa ada equilibrium error dalam jangka pendek. Tanda negatif menunjukkan Ekspor mengalami kenaikan konstan untuk mencapai keseimbangan jangka panjang. Dalam kasus Cina, tingkat penyesuaian atau fase percepatan untuk keseimbangan jangka panjang bergerak sangat cepat. Hal ini dapat dilihat dari nilai absolut koefisien equilibrium error yakni 1,09 dan 1,33 masing-masing untuk hubungan Cina ke Korea dan ke Jepang. Kasus Korea agak mirip seperti Cina. Residu hubungan antara PDB Korea dengan Ekspor Korea ke Jepang dan Cina cukup signifikan. Sehingga penjelasannya kurang lebih sama dengan kasus Cina. Namun, tingkat penyesuaian untuk Korea lebih lambat dibandingkan Cina namun masih lebih cepat dari Jepang, dengan nilai absolut 0.23 dan 0.48 masing-masing untuk hubungan perdagangan Korea ke Jepang dan ke Cina. Dari ECM, kita dapat menyimpulkan bahwa wilayah Asia Timur Utara tidak bergerak dalam fase yang sama untuk mencapai keseimbangan jangka panjang, dimana Jepang bergerak dengan fase yang paling lambat. Nilai yang tidak signifikan untuk laju percepatan dalam kasus hubungan perdagangan Jepang dengan Korea juga penting untuk dilihat karena dapat diartikan bahwa pasar Korea sudah mengalami kejenuhan untuk produk Jepang (steady state). Faktafakta ini sangat penting karena berarti mengurangi peran Jepang sebagai pemimpin utama di Asia Timur Utara. Meskipun siapa yang memimpin bukanlah hal yang penting, namun efek terhentinya pertumbuhan ekonomi suatu negara di wilayah ini hanya akan berfungsi sebagai batu sandungan dalam menciptakan kesejahteraan umum di Asia Timur. Pertumbuhan dari Cina dan Korea juga akan segera berakhir, seperti Jepang, bilamana tidak ada tindakan serius diambil. Oleh karenanya, dalam rangka memperkuat kesejahteraan regional dan mempercepat tahapan penyesuaian, integrasi ekonomi harus dilakukan. 114 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 III. KETERBUKAAN DALAM PERDAGANGAN Ketergantungan ekonomi yang besar antara Jepang, Cina dan Korea dapat menjadi dasar yang baik dalam menciptakan regionalisme. Perjanjian perdagangan segitiga untuk menghilangkan hambatan perdagangan ini, akan memperlancar pertumbuhan arus perdagangan antara negara-negara ini melalui akses pasar yang lebih besar. Tapi sayangnya, fakta-fakta pendukung ini hanya sebatas di atas kertas. Proses regionalisme di kawasan ini terbukti sulit. Negara-negara ini mungkin telah secara agresif berkomunikasi satu sama lain dalam rangka pembuatan FTA dan EPA, namun tidak ada satupun yang telah mengalami kemajuan berarti (lihat Tabel V.1). Alasan atas hal ini bisa menjadi subyek untuk penelitian tersendiri, sedangkan bagian ini mencoba untuk berfokus pada pengaruh perjanjian tersebut terhadap perekonomian. Kurangnya pengaturan perdagangan tercatat sebagai faktor utama yang memberikan kontribusi ketidakefektifan perdagangan intra regional di wilayah Asia Timur Utara. Hipotesis ini akan coba dibuktikan dalam bagian selanjutnya. III.1 Openness with customized RPL index Pendekatan pertumbuhan yang dipicu oleh ekspor yang telah dilakukan pada bagian sebelumnya dengan kointegrasi dan model koreksi error sebenarnya telah memberikan dasar untuk mengukur keterbukaan suatu negara, namun dalam beberapa hal itu saja tidak cukup. Data tersebut hanya bekerja untuk menetapkan paradigma perdagangan sebagai mesin pertumbuhan tetapi tidak cukup untuk mengukur pola yang lebih kuat akan keterbukaan. Karenanya, kita mungkin menggunakan Tingkat Harga Relatif Dollar/Dollar»s Relative Price Level (indeks RPL). Indeks ini merupakan ukuran dari orientasi ke luar dari sebuah ekonomi yang diteliti oleh Summers dan Heston (1988). Menggunakan AS sebagai patokan, indeks tingkat harga relatif (RPL) negara i adalah: RPLi = 100 . Pi /Pus . 1/e (V.8) Dimana e adalah nilai tukar dan Pi adalah indeks harga konsumsi untuk negara i dan Pus adalah indeks harga konsumsi di AS. Oleh karena itu, kita dapat menggunakan rumus ini untuk mengukur orientasi ke dalam atau ke luar dari suatu kebijakan perdagangan. Dengan menggunakan analogi yang sama, makalah ini memodifikasi indeks RPL ke dalam rumus berikut: Making East Asian Regionalism Works RPLi 115 (V.9) = 100 . Pi /Ptp . 1/e Dimana Ptp adalah indeks harga konsumsi untuk mitra dagang dan e adalah nilai tukar (jumlah unit mata uang domestik per unit mata uang mitra dagang). RPL yang sudah disesuaikan ini kemudian menjadi alat yang ampuh untuk menganalisis keterbukaan perdagangan antara negara mitra dagang. III.2. Error Correction Mechanism (ECM) dari Indeks RPL dan PDB Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, ECM memberikan mengenai gambaran goncangan dalam jangka pendek. Dalam kasus ini, kita meneliti keterbukaan tren liberalisasi perdagangan vis a vis di kawasan Asia Timur Utara. Tes ini menggunakan data triwulanan nilai tukar, CPI, ekspor untuk CJK mulai dari tahun 2001 hingga 2005. Data diambil dari data base CEIC. Berikut ini adalah persamaannya: ∆GDP_X (V.10) = βo + β1 .∆RPL_Y + β2.µt-1 + et Persamaan ini meniru persamaan V.7, tetapi variabel dependen sebelumnya diganti dari ekspor menjadi RPL untuk menyesuaikan dengan tujuan yaitu untuk mengukur keterbukaan. adalah perbedaan PDB dari 2 negara, sementara adalah perbedaan RPL yang mengukur keterbukaan perdagangan dari negara X terhadap negara Y. Berikut adalah output untuk masingmasing negara: Tabel V.4 Parameter Kointegrasi Variabel Dependen Variabel Independen PDB (Jepang) Equilibrium error untuk Keterbukaan ke Jepang na Equilibrium error untuk Keterbukaan ke China Equilibrium error untuk Keterbukaan ke Korea PDB (China) PDB (Korea) -1.23 *** -1.31 *** -1.15 *** na -0.97 *** -0.72 ** -1.24 *** na Catatan: Signifikansi secara statistik diindikasikan oleh *(10%), **(5%), dan ***(1% Dari pengujian ini kita dapat melihat bahwa pada umumnya keterbukaan perdagangan mempengaruhi PDB suatu negara dengan cara yang positif. Tetapi dalam jangka pendek, perdagangan keterbukaan dalam CJK masih berada di bawah keseimbangan. Hal ini menunjukkan bahwa keterbukaan perdagangan masih mencari bentuknya di kawasan ini. Meskipun kita mungkin tidak melihat regionalisme yang dapat meliberalisasi perdagangan dalam 116 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 jangka pendek, tetapi untuk kecenderungan keterbukaan dalam perdagangan vis a vis, regionalisme berkembang dengan baik. Kita bisa melihanya dari tingkat penyesuaian untuk keseimbangan jangka panjang (koefisien residu) yang menunjukkan angka rata-rata 1.1, sehingga kita mungkin akan melihat munculnya regionalisme di Utara Asia Timur di masa depan. IV. SPILLOVER EFFECT DARI PERDAGANGAN TRIANGULAR JEPANG-KOREACINA TERHADAP ASEAN 4 Sebagai raksasa Asia, pertumbuhan Jepang, Korea dan Cina kemungkinan besar akan menciptakan efek positif terhadap negara-negara tetangganya. Secara regional, pertumbuhan Asia Timur Utara akan mendorong pertumbuhan Asia Timur secara keseluruhan, dan dalam pengertian ini, kita mungkin ingin membawa pengaruhnya terhadap negara-negara ASEAN. Makalah ini akan membatasi efek regionalisme pada ASEAN-4 karena negara-negara ini memiliki karakteristik ekonomi yang sama. Makalah ini menggunakan model data panel statis untuk tujuan ini. Panel Data dianalisis setiap tahun dari tahun 1989 hingga 2007 yang terdiri dari Ekspor, Impor, Konsumsi, Investasi, PDB dan Pengeluaran Pemerintah dari negara-negara ASEAN 4, serta PDB dari Jepang, Cina dan Korea. Data diambil dari database WDI online. Bagian selanjutnya akan membahas analisisnya. IV.1 Menguji Spillover Effect Melalui Model Data Panel Sebuah model panel data statis dapat dirumuskan sebagai berikut: Yit = X it β + λt + ηi + ε it , t ∈ [1, T ] , i ∈ [1, N ] (V.11) Dimana: λt dan ηt masing-masing adalah efek spesifik waktu dan individu, Xit adalah vektor dari variabel penjelas, (i) merupakan komponen waktu dari panel, (N) adalah dimensi crosssection (atau jumlah pengamatan cross section), dan N x T adalah jumlah observasi. Idenya adalah untuk menjalankan model untuk mendapatkan estimator yang konsisten untuk koefisien _, dan pilihan model (tetap atau acak) tergantung pada hipotesis yang diasumsikan untuk hubungan antara error-term (εit ) dan regressor (Xit ). Analisis data panel statis dikembangkan di bagian empiris makalah ini yang didasarkan pada dua model panel dasar, yaitu model efek tetap (FE) dan efek acak (RE). Karena periode waktu (1989-2007) sudah melewati periode pengamatan individu (Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina), FE dianggap sebagai metode yang paling tepat (Nachrowi dan Usman, 2008). Model ini dirumuskan sebagai berikut: 117 Making East Asian Regionalism Works Yit = α + β1.X it + γ 1W1t + +γ 2W2t + ... + +γ N WNt + δ1Z i1 + δ 2 Z i 2 + ... + δ T Z iT + eit (V.12) Dimana: Yit = Pertumbuhan PDB dari ASEAN 4 untuk waktu t dan negara i Xit = Variabel Independen (pertumbuhan konsumsi, pertumbuhan investasi, pertumbuhan pengeluaran pemerintah, pertumbuhan ekspor-impor dari ASEAN 4 dan pertumbuhan PDB Jepang-Cina-Korea dalam waktu t) Wit dan Zit adalah variabel dummy dimana Wit = 1 untuk i = negara Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, sementara Zit akan bernilai 1 untuk Periode t = 1989, 1990 ..., 2007. Persamaan struktural di atas sebenarnya merupakan persamaan simultan yang menggunakan hubungan kausalitas. Untuk melihat simultanitas model di atas, maka modelnya dapat diuraikan menjadi empat bagian: Yt = β1 + β 2 .Ct + β 3 .I t + β 4 .Gt + β 5 . X t + β 6 .JGDPt + β 7 .CGDPt + β 8 .KGDPt (V.13) Ct = β1 + β 2 .Ct −1 + β 3 .Yt (V.14) I t = β1 + β 2 .rt + β 3 .Yt (V.15) X t = β1 + β 2 .EX t + β 3 .Ct + β 4 .JGDPt + β 5 .CGDPt + β 6 .KGDPt (V.16) Persamaan V.13 menggambarkan efek dari konsumsi (Ct), investasi (It), pengeluaran pemerintah (Gt), pertumbuhan ekspor (Xt) negara-negara ASEAN 4 dan pertumbuhan PDB negara-negara Asia Timur Utara (JGDPt, CGDPt, KGDPt) terhadap pertumbuhan PDB ASEAN-4 (Yt). Dari model ini, jelas bahwa pertumbuhan konsumsi, pertumbuhan investasi dan pertumbuhan ekspor memiliki faktor penentu sendiri yang secara bersamaan membentuk persamaan struktural. Pertumbuhan konsumsi (Ct) dibentuk oleh pertumbuhan konsumsi tahun lalu (Ct-1), dan di sisi lain pertumbuhan PDB sekarang (Yt), Investasi (It) dipengaruhi oleh tingkat bunga (rt) dan pertumbuhan PDB (Ct). Diperkirakan juga nilai tukar (EXt), pertumbuhan konsumsi (Ct) dan pertumbuhan ekonomi mitra dagang (JGDPt, CGDPt, KGDPt) memiliki pengaruh pada pertumbuhan ekspor (Xt) bagi negara-negara ASEAN 4. Dari persamaan struktural diatas, kita dapat membagi variabel menjadi dua, endogen dan predetermined (eksogen). Untuk melihat model simultan mana yang sesuai kebutuhan, kita harus fokus di proses identifikasi. Jika K merupakan jumlah variabel eksogen dalam model, k adalah jumlah variabel eksogen dalam persamaan dan M adalah jumlah variabel endogen 118 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 dalam model, sehingga kriteria untuk menyatakan apakah satu persamaan under identified (K-k <M-1), just identified (K-k = M-1) atau over identified (K-k> M-1). Berdasarkan kriteria ini, identifikasi keempat persamaan struktural tersebut adalah sebagai berikut: Tabel V.5 Kondisi Urut (Order Condition) No Persamaan Kriteria Konklusi 1 Yt 6>2 over identified 2 Ct 9>1 over identified 3 It 9>1 over identified 4 Xt 6>1 over identified Untuk kasus yang over identified, kita mungkin ingin menggunakan dua pendekatan tahap kuadrat terkecil (2SLS) sebagai cara yang elegan untuk mengatasi masalah ini. Analisis regresi 2SLS, seperti digunakan oleh Angrist dan Imbens (1995), memiliki 2 tahap, pertama, regresi kuadrat terkecil pada persamaan yang sudah direduksi harus dapat menghasilkan Ct-1, Yt-1, rt, Gt, EXt, JGDPt, CGDPt, KGDPt sebagai variabel instrumental, sehingga seluruh persamaan dari persamaan V.13 sampai V.16 harus diubah menjadi persamaan tereduksi. Dari tahap pertama kita mendapatkan Yˆt , Cˆ t , Iˆt , dan X̂ t sebagai fitted values yang dapat kita dapat digunakan untuk menjalankan tahap kedua. Pada tahap kedua, nilai-nilai ini kemudian dimasukkan ke persamaan utama. Langkah terakhir adalah menjalankan kuadrat terkecil pada setiap persamaan di atas untuk mendapatkan estimasi 2SLS seperti yang dijelaskan di bawah ini dalam Tabel V.6. Tabel V.6 Output Regresi Two Stage Least Squares Variabel Dependen Variabel Independen Y C I X Variabel Instrumental Y C I X na 0.470 *** 0.025 0.072* 0.776 *** na na na -0.087 Na Na Na Na -0.64 ** Na Na Y (Japan) Y (China) 0.546 ** na Na 2.949*** 0.311 ** na Na 1.112 *** Y (Korea) 0.250 ** na Na -3.760 C (-1) R na 0.01 Na Na na na 0.137 Na Y (-1) na na Na Na EX G na na Na 0 0.122** na Na Na Catatan: Signifikansi secara statistic diindikasikan oleh *(10%), **(5%), dan ***(1%) Making East Asian Regionalism Works 119 Dari hasil di atas kita dapat menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi Asia Timur Utara (Jepang, Korea dan Cina) mendorong pertumbuhan ekonomi ASEAN-4, yang menegaskan proposisi dari makalah ini. Laju investasi dalam bentuk FDI, juga merupakan satu elemen pengintegrasi yang dominan di Asia Timur secara keseluruhan. Meskipun kita tidak dapat menemukan faktor penentu yang pasti untuk FDI pada output, namun jelas bahwa FDI secara alami terkait erat dengan perdagangan. Dengan perekonomian yang pada dasarnya terbuka dan berwawasan ke luar, wilayah ini sangat bergantung pada investasi asing untuk pertumbuhan ekonominya. Tapi tetap saja, daya dorong ini tidak sebanding dengan besarnya efek spillover dari negara-negara raksasa ini: Jepang, Korea dan Cina. Jepang, dalam hal pertumbuhan PDB, memiliki pengaruh terbesar terhadap ASEAN-4 diikuti oleh Cina dan Korea di tempat kedua dan ketiga. Fakta ini dijelaskan oleh parameter koefisien yang bernilai 0.546, 0.311 dan 0.250 masing-masing untuk Jepang, Cina dan Korea. Urutan besarnya pengaruh dari ketiga negara ini mungkin disebabkan oleh jumlah arus masuk FDI ke ASEAN seperti dijelaskan di tabel 7 ini. Bias hanya ada di Cina dan Korea, meskipun FDI kumulatif dari Korea untuk ASEAN-4 lebih besar dari Cina, namun tampaknya tidak tercermin pada tingkat besarnya pengaruh. Diasumsikan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Cina telah menjadi faktor utama (Urata, 2008) yang melampaui pengaruh aliran kumulatif FDI dari Korea untuk ASEAN-4. Namun faktor tersebut tidak cukup untuk melampaui pengaruh Jepang pada pertumbuhan ekonomi ASEAN-4 karena kontribusi FDI Jepang untuk ASEAN-4 ratusan kali lebih besar efeknya dibandingkan Cina. Tabel V.7 Laju FDI ke ASEAN 4 (Juta $) Host Country Indonesia Thailand Malaysia Filipina Total Kumulatif 1995-2003 Negara Asal Jepang 288,06 8.096,02 4.761,11 3.055,68 Korea 331,88 China -36,78 16.200,87 235,58 98,51 238,13 904,1 50,16 120,72 4,07 138,17 Sumber: Sekretariat ASEAN Fakta ini sejalan dengan hipotesis angsa terbang (flying geese) yang dikembangkan oleh ekonom Jepang, Kaname Akamatsu (1935). Model ini telah sering diusulkan untuk menguji pola-pola dan karakteristik integrasi ekonomi Asia Timur. ≈Dasar pemikiran pola-angsa terbang menggambarkan sekelompok negara-negara di wilayah ini terbang bersama dalam lapisanlapisan dengan Jepang pada lapisan di depan. Lapisan menandakan berbagai tahap perkembangan ekonomi yang dicapai di berbagai negara ≈(Xing, 2007). Dalam model terbang- 120 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 angsa pembangunan ekonomi regional, Jepang sebagai angsa pemimpin menuntun angsa lapis kedua (Cina, Korea) yang pada gilirannya mereka diikuti oleh angsa lapis ketiga (ASEAN-4). Hal lain yang penting untuk dicatat adalah nilai signifikan ekspor yang rendah di ASEAN4 dalam hal menciptakan pertumbuhan PDB. Ini adalah fakta menarik karena ekspor dianggap sebagai penentu utama bagi pertumbuhan PDB. Diduga hal ini disebabkan efek dari persaingan antara anggota ASEAN-4 dan Cina yang menjadi faktor utama nilai ekspor yang tidak signifikan. Faktor ini didukung oleh Holst dan Weiss (2004) yang menunjuk pada kebangkitan Cina sebagai alasan munculnya kompetisi jangka pendek dan menengah langsung dan jangka panjang tidak langsung antara ASEAN dan Cina. Mereka berpendapat bahwa ASEAN dan Cina mengalami persaingan ekspor yang intensif di pasar pihak ketiga yang potensial. Hal ini dapat mengakibatkan penyesuaian struktural domestik yang cukup parah bagi ASEAN dalam jangka pendek. Namun ini kembali lagi pada lagi pola pikir dalam melihat ini sebagai peluang ekonomi atau ancaman yang tergantung pada apakah ekonomi Cina dianggap sebagai pelengkap atau kompetitif visà-vis dengan perekonomian individu ASEAN dan pada apakah masyarakat perekonomian kedepannya dapat memanfaatkan peluang yang saling melengkapi untuk mengatasi ancaman dan kompetisi. Chia (2006) berpendapat bahwa ∫perbedaan dalam anugerah faktor dan sumber daya, struktur produksi, dan produktivitas menyebabkan hubungan yang komplementer, sedangkan kesamaan di tiga hal ini justru menyebabkan hubungan yang kompetitif.ª Dalam jangka panjang, regionalisme diharapkan dapat mengakomodasi kesejahteraan bagi Asia Timur. Pertumbuhan pasar Cina yang signifikan bagi ASEAN akan menjadi dasar regionalisme. Dengan demikian, Asia Timur bersatu bisa mempercepat momentum liberalisasi perdagangan secara keseluruhan dan mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah V. TREN KEDEPAN DARI EAST ASIAN REGIONALISM (EAR) Pekerjaan berikutnya adalah untuk membentuk masa depan dari EAR, pertanyaannya mungkinkah ini dilakukan? Dalam bagian C dari makalah ini, kita mengukur tren regionalisme keterbukaan vis a vis dengan menggunakan ECM untuk indeks RPL di Asia Timur Utara (CJK). Karena kita akan menguji dua sub wilayah, cara terbaik untuk mengukur adalah dengan menggunakan uji konvergensi perdagangan untuk CJK dan ASEAN-4. Gagasan konvergensi menunjukkan bahwa perbedaan antara rangkaian ini harus mengikuti proses stasioner (Bernard & Durlauf, 1996; Oxley & Greasley, 1995). Dengan demikian, konvergensi stokastik mengindikasikan bahwa selisih pendapatan antara negara-negara tidak bisa mengandung unit root. 121 Making East Asian Regionalism Works Berdasarkan Bernard dan Durlauf (1995), konvergensi stokastik terjadi jika sistem perdagangan log diferensial, yt, mengikuti sebuah proses stasioner, dimana yt = ASEAN4tott- CJKtott , di mana ASEAN4tott adalah istilah logaritma dari perdagangan ASEAN-4, dan CJKtott adalah logaritma jangka perdagangan CJK, dan kedua rangkaian ini berada dalam first difference (I(1)). Konvergensi Stokastik diuji dengan menggunakan regresi konvensional tambahan Dickey-Fuller (ADF) yang memperlihatkan hasil yang penting dalam membuktikan stasioneritas untuk XXX (lihat Tabel V.8). Hal ini menunjukkan konvergensi jangka panjang antara kedua sistem perdagangan. Tabel V.8 Tes ADF untuk Perdagangan Tes Statistik ADF -3.519465 1% Nilai Kritis* -3.7204 5% Nilai Kritis -2.9850 10% Nilai Kritis -2.6318 *Nilai Kritis MacKinnon untuk penolakan hipotesis unit root. Halangan utama dari prosedur uji unit root ADF standar adalah bahwa daya dari tes ini adalah cukup rendah. Untuk mengatasi masalah ini, makalah ini menggunakan uji kointegrasi seperti yang disarankan oleh Baharumshah et al. (2007). Berikut ini adalah Kointegrasi Engle Granger: Ut = ASEANtott − βο − β1CJKtott (V.17) Tabel V.9 Tes ADF untuk Residu Kointegrasi Tes Statistik ADF -5.623714 1% Nilai Kritis * -3.7204 5% Nilai Kritis -2.9850 10% Nilai Kritis -2.6318 *Nilai Kritis MacKinnon untuk penolakan hipotesis unit root. The residu (Ut) memberikan hasil yang stasioner (lihat Tabel V.9) yang berarti bahwa kedua wilayah memiliki hubungan jangka panjang (konvergensi). Bisa dikatakan melalui uji konvergensi ini, bahwa EAR akan bertahan dalam jangka panjang. Temuan kuat ini pasti menciptakan pandangan optimis terhadap EAR. Tapi mengetahui masa depan saja tidak cukup, kita masih perlu mencari tahu jalan yang jelas untuk mencapai masa depan. Bagian berikutnya akan berusaha untuk mencari jawabannya. 122 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 VI. FAKTOR-FAKTOR YANG BERKONTRIBUSI PADA EAR Feng dan Genna (2003) menyatakan bahwa homogenitas institusi domestik dibutuhkan untuk berjalan beriringan dengan proses integrasi regional. Lebih lanjut keduanya menunjuk pada inflasi, perpajakan dan peraturan pemerintah sebagai faktor yang mewakili lembagalembaga ekonomi. Variabel lain yang mungkin dapat meningkatkan proses integrasi adalah jumlah penduduk sebagaimana yang diidentifikasi oleh Tamura (1995). Dia berargumen bahwa populasi yang besar merupakan katalis untuk integrasi karena aglomerasi ekonomi. Para peneliti seperti Milner dan Kubota (2005) bahkan menunjukkan demokrasi sebagai faktor penting yang dapat mendorong regionalisme. Penelitian empiris mereka di negara-negara berkembang dari 1970-1999 menunjukkan bahwa perubahan rezim menuju demokrasi dikaitkan dengan liberalisasi perdagangan, dan regionalisasi. Merunut kepada penelitan-penelitian diatas, makalah ini mencoba untuk menggabungkan semua variabel menjadi satu model yang lengkap yang dapat menentukan pembentukan EAR. Rumusnya sebagai berikut: Open = α + βXit + γ1W1t + γ2W2t + γ3W3t + ... + γNWN + δ1Zi1 + δ2Zi2 + δ3Zi3 + ... + δtZiT + eit (V.18) Dimana: Openit = Regionalisme untuk waktu t dan negara i Xit = Variabel Independen (jalur kereta, pajak, demokrasi, pemerintahan, industri, angka partisipasi sekolah dasar, inflasi dan jumlah penduduk dari ASEAN-4 + CJK) Wit dan Zit adalah variabel dummy yang didefinisikan sebagai berikut: Wit = 1 1 untuk i negara, dimana i = Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Cina, Jepang, Korea. Lainnya dinyatakan 0. Zit = 1 untuk t Periode dimana t = 1998, 2000 ..., 2007. Jika tidak dinyatakan 0. Makalah ini menggunakan model efek tetap untuk memperkirakan variabel. Berikut adalah penjelasan untuk variabel-variabel yang digunakan: i) Makalah ini menggunakan proxy keterbukaan perdagangan (ekspor bersih per PDB) untuk regionalisme. Variabel keterbukaan digunakan untuk mewakili regionalisme karena regionalisme menciptakan keterbukaan terhadap beberapa sektor ekonomi. Keterbukaan di sini berfungsi sebagai variabel dependen yang ditentukan oleh beberapa variabel independen. ii) Jalur kereta mewakili barang yang diangkut (juta ton-km) digunakan untuk menjelaskan kesiapan infrastruktur fisik. Memasangkannya dengan variabel ini adalah angka partisipasi Making East Asian Regionalism Works 123 sekolah dasar akan berfungsi sebagai dasar untuk infrastruktur sumber daya manusia. Infrastruktur yang layak (baik fisik dan manusia) akan memberikan kemantapan dan keyakinan bagi investor untuk berinvestasi antar sesama anggota. Dengan kata lain, infrastruktur yang baik akan pasti membawa perdagangan intra yang berkelanjutan dan investasi yang merupakan dasar EAR. iii) Untuk mengukur demokrasi, digunakan data yang dihasilkan oleh Freedom House (2000) yakni indeks demokrasi yang disebut POLITY. Demokratisasi diharapkan dapat membuka jalan baru bagi dukungan untuk perdagangan bebas regionalisme vis-à-vis. iv) Variabel selanjutnya yaitu kebijakan perpajakan. Semakin tinggi nilainya maka akan semakin mengurangi prospek EAR. v) Variabel lain yang juga penting adalah pemerintahan yang diukur oleh enam indikator pemerintahan yang diestimasi oleh Kaufmann (2003). Indeks ini menjelaskan berbagai aspek struktur cross section yang luas dari pemerintahan suatu negara, termasuk pengukuran Suara dan Akuntabilitas, Stabilitas Politik, Efektivitas Pemerintah, Kualitas Regulasi, Aturan Hukum, dan Pengendalian Korupsi. Secara umum, indeks Pemerintahan memberikan kekuatan penjelas untuk menjabarkan kemampuan dan kualitas tata pemerintahan dari setiap negara anggota. Negara dengan indikator yang baik memiliki semakin banyak kesempatan untuk mendayagunakan regionalisme. vi) Variabel makroekonomi diwakili oleh inflasi yang menciptakan ekspektasi yang ambigu. Tingkat inflasi yang tinggi akan menghambat pembentukan EAR sejak awal, tetapi beberapa peneliti justru mengatakan hal yang berbeda. Salah satu argumen yang mendukung proposisi ini dinyatakan oleh Cohen (1997) yang berpendapat bahwa kebijakan inflasi (inflasi tinggi) yang berasal dari tindakan pemerintah, cenderung menambah hambatan untuk investor swasta yang pada gilirannya akan menaikkan permintaan akan integrasi yang lebih besar. Dihilangkannya kebijakan macam ini dalam bidang fiskal dan moneter akan mengurangi risiko ketidakpastian kedepannya. vii) Pasar besar bersama-sama dengan proses industrialisasi yang sedang berlangsung merupakan aspek terakhir dari pembentukan EAR. Ukuran populasi dari negara Asia Timur tidak hanya menciptakan permintaan potensial untuk barang yang diperdagangkan di wilayah tersebut tetapi juga penyediaan tenaga kerja dan tingkat absolut upah rendah. Dengan kata lain, persediaan tenaga kerja terbatas Lewis akan bertahan lebih lama di Asia Timur. Proses ini akan mengarah pada tren menuju industrialisasi (nilai tambah sebagai persentase dari PDB) di wilayah tersebut. Tren ini sangat penting karena homogenitas dalam industrialisasi antar negara di wilayah ini akan memperlancar kemajuan EAR. 124 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 Tabel V.10. Faktor Yang Mempengaruhi Keterbukaan Variabel Dependen: KETERBUKAAN Variabel Independen LOG (JALUR KERETA) PAJAK DEMOKRASI TATA PEMERINTAHAN INDUSTRI LOG (POPULASI) ANGKA PENDIDIKAN KASAR INFLASI R-squared Adjusted R-squared Koefisien 0.115860 -0.029831 -0.004282 0.257508 0.049930 0.863634 0.011445 -0.001545 0.99251 0.98975 t-Statistic 2.059379** -3.530943*** -2.051852** 3.860438*** 4.861010*** 2.154852** 2.217493** -0.441719 Catatan: Signifikansi secara statistic diindikasikan oleh *(10%), **(5%), dan ***(1%) Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor ekonomi dan politik seperti infrastruktur (kereta api dan angka pendidikan dasar), pemerintahan, kebijakan pajak, industrialisasi dan Demokrasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Regionalisme (Keterbukaan) di Asia Timur sementara Inflasi memberikan peran yang tidak signifikan. Tanda-tanda koefisien untuk rel kereta api, angka pendidikan dasar, pemerintahan, dan industrialisasi yang positif menandakan semakin besar variabel tersebut, makin besar Keterbukaan yang dihasilkan. Tanda negatif dari koefisien pajak menggambarkan hubungan berlawanan antara tarif pajak perusahaan dan prospek masa depan EAR, semakin tinggi tingkat pajak akan semakin berdampak negative bagi EAR. Tanda negatif demokrasi agak berbeda dari perkiraan tetapi masih dipandang rasional karena demokrasi masih dalam proses menemukan bentuknya di Asia Timur. Kita harus mendefinisikan arti demokrasi untuk benar-benar membuatnya bekerja. Peran yang tidak signifikan dari inflasi bagi EAR diperkirakan karena ambiguitas yang diberikannya. VII. KESIMPULAN Kami telah membuat kesimpulan sementara bahwa ekspor memimpin pertumbuhan secara keseluruhan di Asia Timur Utara. Namun, penting untuk dicatat bahwa fase penyesuaian Jepang terhadap keseimbangan jangka panjang cukup lambat dibandingkan Korea dan Cina. Hal ini bisa menjadi batu sandungan dalam membentuk regionalisme di Asia Timur. Salah satu tugas tersulit adalah tentang membuat negara-negara ini bergerak bersama dalam fase yang sama, yang merupakan alasan perlunya keberlangsungan regionalisme. Making East Asian Regionalism Works 125 Karena regionalisme merupakan istilah yang masih abstrak, penggunaan indeks RPL menjadi sangat penting. Indeks RPL adalah proxy dari orientasi keluar dari suatu negara atau dengan kata lain merupakan representasi dari regionalisme. Regionalisme dalam hal ini sejalan dengan keterbukaan di mana regionalisme menciptakan pengaturan perdagangan yang meliberalisasikan beberapa sektor dalam perekonomian. Simulasi ECM memberikan gambaran yang jelas tentang bentuk keterbukaan saat ini berada dibawah keseimbangan. Hal ini menunjukkan bahwa tren regionalisme masih jauh tertinggal. Ini agak menegaskan ketidakefektifan dari perdagangan segitiga saat ini di Asia Timur Utara. Diharapkan bahwa regionalisme dapat menghilangkan bias tersebut dalam perdagangan. Lebih jauh lagi, karena negara-negara Asia Utara Timur memiliki perekonomian dalam skala besar, pembangunan ekonomi secara substansial akan mempengaruhi negara-negara tetangga di Asia Timur khususnya ASEAN-4. Hal ini ditunjukkan oleh sebagian besar pertumbuhan Cina-Jepang-Korea yang mempengaruhi PDB ASEAN-4. Dalam jangka pendek, terjadi sebuah kompetisi persaingan antara Cina dan ASEAN. Namun, dalam jangka panjang regionalisme diharapkan akan mengakomodasi pertumbuhan ekspor untuk Asia Timur secara keseluruhan. Dalam artian menciptakan integrasi di Asia Timur, ada kebutuhan untuk mengatur mekanisme kelembagaan yang lebih formal untuk perdagangan. Hal ini menjadi masuk akal bagi negara-negara saling bergantung tersebut di wilayah untuk melembagakan proses integrasi ini secara de facto melalui pembentukan pengaturan regional (Kawai, 2005). Pertumbuhan yang signifikan dari pasar Cina, Jepang dan Korea bagi ASEAN-4 akan kemudian berfungsi sebagai dasar bagi Single Wide FTA di Asia Timur. Pekerjaan rumah berikutnya adalah untuk membentuk EAR kedepannya, tetapi apakah mungkin? Menggunakan uji konvergensi, ditemukan bahwa ada masa depan bagi EAR. Temuan kuat seperti ini akan menciptakan pandangan optimis bagi EAR. Namun mengetahui masa depan saja tidak cukup, kita masih perlu mencari tahu jalan yang jelas untuk mencapai masa depan tersebut. Dan apakah jalan itu? Dari simulasi data panel statis ditemukan bahwa infrastruktur fisik yang baik, tata pemerintahan, inflasi, kebijakan perpajakan yang kompetitif, ukuran pasar yang cukup dan trend industrialisasi merupakan faktor utama yang menjadi dasar fondasi pembangun EAR. Sebagai penutup, EAR akan memungkinkan wilayah ini untuk menghadapi tantangan globalisasi di masa depan dan tetap kompetitif di kancah internasional. Sebuah Asia Timur yang terintegrasi akan menuntun pada kemajuan skala perekonomian dan pengembangan jaringan produksi yang lebih lengkap. Lebih jauh lagi, Chia (2007) menyatakan bahwa EAR bisa membantu perekonomian yang kurang berkembang dari Asia Timur yang jika sebaliknya terjadi, perekonomian di wilayah ini diperkirakan akan semakin terpinggirkan karena mereka tidak memiliki daya tarik pasar yang cukup besar dan kurangnya sumber daya negosiasi. 126 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 DAFTAR PUSTAKA Akamatsu, Kaname. (1935) «Wagakuni yomo kogyohin no susei [Trend of Japanese Trade in Woolen Goods], Shogyo Keizai Ronso», Journal of Nagoya Higher Commercial School, Vol. 13, hal. 129-212. Angrist, J. D, & Imbens, G. W. (1995) «Two-stage least squares estimation of average causal effects in models with variable treatment intensity», Journal of the American Statistical Association, Vol. 90, hal. 431-442. Arellano, M. (1995) «On the testing of correlated effects with panel data», Journal of Econometrics, Vol. 59, hal. 87--97. Bernard, A. 2., & Durlauf, S. N. (1995) «Convergence in international output». Journal of Applied Econometrics, Vol. 10, hal. 97√108. Chan, Sarah and Chun-Chien Kuo. (2005) «Trilateral Trade Relations among China, Japan and South Korea:Challenges and Prospects of Regional Economic Integration», Journal of East Asia, Vol. 22, hal. 33-50. Chia, Siow Yue. (2006) «ASEAN-China Economic Competition and Free Trade Area», Asian Economic Papers, Vol. 4, hal. 109-147 ƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒ. (2007) ,Challenges and Configurations of a Region-wide FTA in East Asia», FONDAD Conference. Cohen, Benjamin J (1997) «The Political Economy of Currency Regions», in Helen Milner and Edward Mansfield (eds) The Political Economy of Regionalism, New York: Columbia University Press.. Dollar, Davi4. (1992) «Outward Oriented Developing Economies Really Do Grow More Rapidly: Evidence From 95 LDCs, 1976-85», Journal of Economic Development and Cultural Change, Vol. 4, hal. 523-544. Doraisami, Anita. (1996) Export Growth and Economic Growth: A Reexamination of Some Time-Series Evidence of the Malaysian Experience «, Journal of Developing Areas, Vol. 30, hal. 223-230. Ekanayake, E.M. (1999) «Export and Economic Growth in Asian Developing Countries: Cointegration and Error-Correction Models», Journal of Economic Development, Vol. 24, hal. 43-56. Engle, R.F. and 3.W.J. Granger. (1987) «Cointegration and Error Correction: Representation, Making East Asian Regionalism Works 127 Estimation and Testing», Econometrica, Vol. 55, pp. 251-76. Feng, Yi and Gaspare M. Genna. (2003) Regional integration and domestic institutional homogeneity: a comparative analysis of regional integration in the Americas, Pacific Asia and Western Europe», Review of International Political Economy, Vol. 10, hal. 223-230. Frankel, Jeffrey A. and David Romer. (1999) «Does Trade Cause Growth?, The American Economic Review, Vol. 89, hal. 379-399. Harrison, Ann. (1996) «Openness and Growth: A Time Series, Cross Country Analysis for Developing Countries», Journal of Development Economics, Vol.48, hal. 419-447. Harvie, Charles and Hyun Hoon Lee. (2002) «New Regionalism in East Asia: How Does It Relate to the East Asian Economic Development Model», University of Wollongong Department of Economics, Working Paper Series. Holst, David Roland and John Weiss. (2004) «ASEAN and China: Export Rival or Partners in Regional Growth?», Blackwell Publishing Lt4. Kaufmann, Daniel, Aart Kraay and Massimo Mastruzzi. (2003) «Governance Matters III: Governance Indicators for 1996-2002», World Bank Policy Research Department Working Paper. Kawai, Masahiro, (2005) East Asian Economic Regionalism: Progress and Challenges, Asian Economics, Vol. 16, hal. 29-55. Kawai, Masahiro and Ganeshan Wignaraja. (2007) «Regionalism as an Engine of Multilateralism: A Case for a Single East Asian FTA», ADB Working Paper series on Regional Economic Integration no.14. Love, Jim and Ramesh Chandra. (2004) «An Index of Openness and its Relationship with Growth in India», The Journal of Developing Areas, Vol. 38, hal. 37-54 Milner Helen V and Keiko Kubota. (2005) «Why the Move to Free Trade? Democracy and Trade Policy in the Developing Countries,» International Organization, Vol. 59, hal. 107-143. Nachrowi,Djalal. (2007) «Ekonometrika Untuk Analisa Ekonomi dan Keuangan [Econometrics for Economic and financial analysis]», Faculty of Economics University of Indonesia. Oxley, L., & Greasley, 4. (1995) «A time-series perspective on convergence: Australia, UK and USA since 1870». The Economic Record, Vol. 71, hal. 259√270. Summers, R. and A. Heston. (1988) «A New Set of International Comparisons of Real Product and Price Levels: Estimates for 130 Countries, 1950-1985», Review of Income and Wealth, Vol. 34, hal. 1-25. Stubbs, Richar4. (2002) «ASEAN PlusThree: emerging East Asian Regionalism?», Asian Survey, Vol. 42, hal. 440-455. Tamura, Robert. (1995) «Regional economies and market integration», Journal of Economic Dynamics and Control, Vol. 20, hal. 825-845. 128 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010 Urata, Shujiro and Kozo Kiyota. (2003) «The Impacts of an East Asia Free Trade Agreement on Foreign Trade in East Asia», NBER Working Paper Series 10173, National Bureau of Economic Research, Cambridge. Yoshida, Tadahiro. (2004) «East Asian Regionalism and Japan», IDE APEC STUDY CENTER Working Paper Series. Watanabe, Yorizumi. (2008) «Economic Partnership Agreement (EPA) of Japan and Economic Integration in Northeast Asia», Academic presentation, Graduate School of Media and Governance, Keio University. Xing, LI. (2007) «East Asian Regional Integration: From Japan-led ≈Flying-geese∆ to China∆», CCIS Research Series Working Paper No.3. centred ≈Bamboo Capitalism∆», PETUNJUK PENULISAN 1. Naskah harus merupakan karya asli penulis (perorangan, kelompok atau institusi) yang tidak melanggar hak cipta. Naskah yang dikirimkan, belum pernah diterbitkan dan tidak sedang dikirimkan ke penerbit lain pada waktu yang bersamaan. Hak cipta atas naskah yang diterima, TETAP menjadi hak penulis. 2. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan, akan mendapatkan kompensasi finansial sebesar Rp 2.500.000,-. 3. Naskah dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy (file). Sangat disarankan untuk mengirimkan softcopy anda ke: [email protected] (Cc. to: [email protected].) Jika tidak memungkinkan, file tersebut dapat disimpan dalam disket atau CD dan dikirimkan melalui pos ke alamat redaksi berikut: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia Gedung B, Lt. 20, JI. M. H. Thamrin No.2 Jakarta Pusat, INDONESIA Telpon: 62-21-3818202, Fax: 62-21-3800394 4. Naskah dibatasi.+ 25 halaman berukuran A4, spasi satu (1), font Times New Roman dengan ukuran font 12. 5. Persamaan matematis dan simbol harap ditulis dengan mempergunakan Microsoft Equation. 6. Setiap naskah harus disertai abstraksi, maksimal satu (1) halaman ukuran A4. Untuk naskah yang ditulis dalam bahasa Indonesia, abstraksi-nya ditulis dalam Bahasa Inggris, dan sebaliknya. 7. Naskah harus disertai dengan kata kunci (Keyword) dan dua digit nomor Klasifikasi Journal of Economic Literature (JEL). Lihat klasifikasi JEL pada, http:// www.aeaweb.org/journal/ jel_class_system.html. 8. Naskah ditulis dengan penyusunan BAB secara konsisten sebagai berikut, 130 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Juli 2010 I. JUDUL BAB I.1. Sub Bab I.1.1. Sub Sub Bab 9. Rujukan dibuat dalam footnote (catatan kaki) dan bukan endnote. 10.Sistem referensi dibuat mengikuti aturan berikut, a. Publikasi buku: John E. Hanke dan Arthur G. Reitsch Reitsch, (1940), Business Forecasting, PrenticeHall, New Jersey. b. Artikel dalam jurnal: Rangazas, Peter. ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with Human Capital∆, Journal of Monetary Economics, Oktober 2000,46(2), hal. 397-416. c. Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Frankel, Jeffrey A. dan Rose, Andrew K. ≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth Rogoff, eds., Handbook of International Economics. Amsterdam: North-Holland, 1995, hal. 397-416. d. Kertas kerja (working papers): Kremer, Michael dan Chen, Daniel Daniel. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous Fertility∆. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working Paper No.7530, 2000. John. ≈Can Parental Decision Explain e. Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Knowles, John U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999. f. Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Summers, Robert dan Heston Heston, Alan W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆ http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997. g. Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Begley, Sharon. ≈Killed by Kindness∆, Newsweek, April 12, 1993, hal. 50-56. 11.Naskah harus disertai dengan biodata penulis, lengkap dengan alamat, telepon, rekening Bank dan e-mail yang dapat dihubungi. Disarankan untuk menulis biodata dalam bentuk CV (curriculum vitae) lengkap.