Untitled - Bank Indonesia

advertisement
ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2007
SUSUNAN PENGURUS
BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN
Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter
Bank Indonesia
Pelindung
Dewan Gubernur Bank Indonesia
Dewan Editor
Prof. Dr. Anwar Nasution
Prof. Dr. Miranda S. Goeltom
Prof. Dr. Insukindro
Prof. Dr. Iwan Jaya Azis
Prof. Iftekhar Hasan
Dr. M. Syamsuddin
Dr. Perry Warjiyo
Dr. Halim Alamsyah
Dr. Iskandar Simorangkir
Dr. Solikin M. Juhro
Dr. Haris Munandar
Dr. Andi M. Alfian Parewangi
Pimpinan Editorial
Dr. Perry Warjiyo
Dr. Iskandar Simorangkir
Direktur Eksekutif
Dr. Andi M. Alfian Parewangi
Sekretariat
Toto Zurianto, MBA
MS. Artiningsih, MBA
Buletin ini diterbitkan oleh Bank Indonesia, Direktorat Riset Ekonomi
dan Kebijakan Moneter. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan
dibuletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan
merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.
Kami mengundang semua pihak untuk menulis pada buletin ini
paper dikirimkan dalam bentuk file ke Direktorat Riset Ekonomi dan
Kebijakan Moneter, Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 20;
Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat, email : [email protected]
Buletin ini diterbitkan secara triwulan pada bulan April, Juli, Oktober dan
Januari, bagi yang ingin memperoleh terbitan ini dapat menghubungi
Seksi Publikasi - Bagian Administrasi, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter,
Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 2; Jl. M.H. Thamrin No. 2,
Jakarta Pusat, telp. (021) 381-8206. Untuk permohonan berlangganan:
telp. (021) 3818202, fax. (021) 3802283, email: [email protected].
1
BULETIN EKONOMI MONETER
DAN PERBANKAN
Volume 13, Nomor 1, Juli 2010
Analisis Triwulanan: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran
Triwulan II - 2010
Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia
1
Perdagangan Bebas Regional Dan Daya Saing Ekspor: Kasus Indonesia
Amalia Adininggar Widyasanti
5
Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia
Ibrahim, Meily Ika Permata, Wahyu Ari Wibowo
23
Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang
Berkesinambungan?: Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan
Bagus Arya Wirapati, Niken Astria Sakina Kusumawardhani
75
Making East Asian Regionalism Works
Fithra Faisal Hastiadi
109
ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2010
1
ANALISIS TRIWULANAN:
Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran,
Triwulan II - 2010
Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia
Perekonomian Indonesia pada triwulan II-2010 menunjukkan penguatan ekonomi yang
terus berlanjut. Optimisme tersebut didukung oleh kinerja investasi dan ekspor yang tumbuh
lebih tinggi, seiring dengan perbaikan ekonomi global. Kondisi perekonomian yang semakin
menunjukkan suasana optimis tersebut mendukung prospek ekonomi lebih baik dari perkiraan
semula. Perekonomian Indonesia di tahun 2010 diperkirakan tumbuh menuju batas atas kisaran
5,5%-6,0% dan pada tahun 2011 mencapai 6,0%-6,5%. Dari sisi harga, tekanan inflasi
sepanjang triwulan II-2010 menunjukkan peningkatan yang disebabkan oleh kelompok volatile
food, yaitu dari aneka bumbu dan beras. Sementara itu, kelompok administered prices dan
inflasi inti memberi kontribusi yang menimal terhadap perkembangan harga sepanjang triwulan
II-2010. Dengan demikian, secara keseluruhan tahun, inflasi IHK tahun 2010 akan tetap berada
pada kisaran sasaran inflasi sebesar 5%±1%.
Pemulihan ekonomi global masih terus berlanjut, meskipun diwarnai tekanan di pasar
keuangan global dan kekhawatiran terhadap sustainabilitas pemulihan ekonomi Eropa. Laju
pemulihan ekonomi global pada triwulan II-2010 diperkirakan moderat dibandingkan dengan
triwulan I-2010. Meskipun demikian, perkembangan tersebut tetap menimbulkan optimisme
yang positif terhadap proses pemulihan global. Kondisi tersebut didukung oleh membaiknya
kondisi di negara maju, terutama Amerika Serikat (AS) dan Jepang, serta sejumlah negara di
Asia. Di kawasan Asia, pertumbuhan ekonomi menunjukkan peningkatan kecuali China yang
sedikit melambat, terkait kebijakan yang ditempuh pemerintah China untuk mengatasi gejala
overheating. Krisis Eropa memicu tekanan di pasar keuangan global sepanjang triwulan II2010, tercermin dari anjloknya bursa saham global dan melonjaknya Credit Default Swap (CDS)
serta yield spread PIIGS (Portugal, Italy, Ireland, Greece, and Spain). Di Asia, flight to quality
terindikasi dari posisi jual neto investor asing di bursa saham, pelemahan mata uang regional,
serta meningkatnya CDS sovereign. Sejauh ini dampak krisis di Eropa lebih banyak terasa pada
tekanan di pasar keuangan global dan belum berpengaruh signifikan terhadap prospek
pemulihan ekonomi global secara keseluruhan. Berbagai upaya yang ditempuh negara yang
2
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
mengalami krisis di Eropa seperti austerity program, bantuan European Union (EU) dan
International Monetary Fund (IMF) sejauh ini mampu meredam gejolak pasar keuangan global
yang terjadi sepanjang triwulan II-2010.
Kinerja ekonomi domestik triwulan II-2010 diperkirakan lebih baik dari proyeksi
sebelumnya. Pada triwulan II-2010, ekonomi domestik diperkirakan tumbuh 6,0%, lebih tinggi
dari proyeksi sebelumnya sebesar 5,7%. Optimisme tersebut didukung oleh kinerja investasi
yang tumbuh lebih tinggi. Pertumbuhan investasi diperkirakan mencapai 10% (yoy) pada triwulan
II-2010, sebagai respons dari permintaan domestik dan eksternal yang semakin kuat. Iklim
investasi yang lebih baik juga didukung oleh sovereign credit rating Indonesia yang terus
meningkat sejalan dengan semakin membaiknya fundamental ekonomi. Secara sektoral, kinerja
ekonomi tahun 2010 terutama didukung oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran serta
sektor pengangkutan dan komunikasi. Akselerasi perekonomian domestik yang lebih tinggi
membutuhkan dukungan terutama terkait implementasi percepatan program-program
infrastruktur.
Pertumbuhan ekonomi yang terus membaik, tercermin pula pada pertumbuhan ekonomi
daerah yang terus menguat. Kinerja perekonomian daerah terutama ditopang oleh
perekonomian di Jakarta, Jawa Bagian Barat, Jawa Bagian Timur serta Sulawesi, Maluku dan
Papua. Kinerja perkembangan ekonomi daerah yang membaik tersebut terutama didukung
oleh membaiknya kinerja konsumsi, investasi dan ekspor. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga
di daerah yang tetap kuat ditunjukkan oleh pertumbuhan kredit konsumsi yang meningkat,
pertumbuhan penjualan eceran yang tetap tinggi, dan stabilnya nilai tukar petani di berbagai
wilayah. Selain itu, penyelenggaraan Pilkada, yang terkonsentrasi di triwulan II-2010, berperan
pula dalam meningkatkan konsumsi daerah. Dari sisi investasi, peningkatan terutama terjadi
pada investasi bangunan. Kegiatan investasi bangunan yang tumbuh cukup tinggi terjadi di
Sumatera, Jakarta serta Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Kegiatan investasi bangunan di daerahdaerah tersebut terutama pada sektor properti untuk komersial dan residensial. Dari sisi ekspor,
pertumbuhan yang tetap tinggi terjadi di Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua dan Sumatera
untuk komoditas hasil tambang dan Jakarta serta Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara untuk produk
manufaktur.
Dari sisi harga, tekanan inflasi sepanjang triwulan II-2010 menunjukkan peningkatan
yang bersumber dari faktor nonfundamental. Kenaikan harga komoditas bumbu-bumbuan
dan beras sepanjang triwulan II-2010 memberi tekanan pada inflasi IHK cukup signifikan. Inflasi
IHK pada Juni 2010 tercatat sebesar 0,97 (mtm), lebih tinggi dari bulan-bulan sebelumnya
yaitu 0,15% di Mei dan -0,14% di April 2010. Dengan perkembangan tersebut, selama triwulan
II-2010 inflasi IHK tercatat sebesar 1,41 (qtq) atau mencapai 5,05% (yoy), meningkat signifikan
ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2010
3
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai 0,99% (qtq) atau 3,43% (yoy).
Tingginya inflasi komoditas bahan makanan terjadi karena kendala pasokan yang dipicu oleh
gangguan produksi dan distribusi akibat tingginya curah hujan di beberapa daerah. Sementara
itu, perkembangan harga kelompok administered prices berdampak relatif kecil pada inflasi
IHK. Dari sisi faktor fundamental, tekanan inflasi inti masih relatif rendah, ditopang oleh
terkendalinya ekspektasi inflasi, minimalnya tekanan eksternal dan masih memadainya respons
penawaran terhadap kenaikan permintaan. Meskipun tekanan inflasi pada triwulan II-2010
meningkat, secara keseluruhan tahun inflasi IHK diperkirakan akan tetap berada pada kisaran
sasaran inflasi 5%±1%.
Kondisi ekonomi global yang semakin kondusif dan fundamental ekonomi domestik yang
cukup kuat mendukung neraca pembayaran Indonesia (NPI) triwulan II-2010 tetap solid. Transaksi
berjalan diperkirakan mencatat surplus, terutama disebabkan oleh perbaikan ekonomi global
yang terus berlanjut dan tren kenaikan harga komoditas global. Dari sisi neraca transaksi modal
dan finansial (TMF) triwulan II-2010 diperkirakan juga mencatat surplus. Surplus neraca TMF
didukung oleh kembali masuknya arus modal asing sejalan dengan gejolak pasar keuangan
global yang mereda dan perbaikan outlook credit rating Indonesia. Dengan perkembangan
tersebut cadangan devisa pada akhir Juni 2010 mencapai 76,3 miliar dolar AS, atau setara
dengan 5,9 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah.
Sejalan dengan kinerja NPI yang solid dan faktor risiko yang terjaga, nilai tukar rupiah
berada pada tren menguat. Jika dibandingkan dengan triwulan I-2010, secara rata-rata rupiah
menguat sebesar 1,58% (qtq), mencapai Rp9.110 per dolar AS. Penguatan rupiah pada triwulan
II-tersebut diikuti oleh volatilitas yang turun dari 0,57% pada triwulan I-2010 menjadi 0,47%
pada triwulan II-2010. Pada akhir triwulan II-2010 rupiah ditutup pada level Rp9.060 per dolar
AS, atau menguat 0,33% (ptp) dibandingkan dengan triwulan I-2010. Paket kebijakan yang
dikeluarkan Bank Indonesia pada tanggal 15 Juni 2010 secara umum direspons positif oleh
pelaku pasar baik domestik maupun internasional sehingga tekanan terhadap nilai tukar rupiah
mereda, dan semakin memperkuat manajemen moneter dan pendalaman pasar keuangan.
Kinerja pasar keuangan secara keseluruhan pada triwulan II-2010 membaik, meski sempat
tertekan pada Mei 2010. Kondisi pasar SUN dan pasar modal berangsur membaik, setelah
sempat tertekan sentimen negatif krisis utang di Eropa pada Mei 2010. Membaiknya pasar
modal dan SUN pada triwulan II-2010 ditopang oleh kembali masuknya dana investor asing
dan meredanya tekanan bubble di pasar saham. Di pasar uang antarbank, kondisi likuiditas
selama triwulan II-2010 cukup baik. Pelebaran koridor suku bunga PUAB O/N per 17 Juni 2010
berdampak pada penurunan suku bunga PUAB O/N. Sejalan dengan perbaikan kondisi global
dan fundamental domestik, transmisi kebijakan moneter terus membaik. Hal tersebut tercermin
4
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
dari penurunan suku bunga deposito dan kredit, serta pertumbuhan kredit yang meningkat
diperkirakan mencapai 18,6% pada Juni 2010.
Di sisi mikro perbankan, kondisi perbankan nasional tetap stabil. Hal itu tercermin dari
masih terjaganya rasio kecukupan modal (CAR) per Mei 2010 sebesar 17,8%. Sementara itu,
rasio gross non-performing loan (NPL) tetap terkendali pada 3,6% dengan rasio neto sebesar
1%. Selain itu likuiditas perbankan, termasuk likuiditas di pasar uang antar bank kian membaik
dan dana pihak ketiga (DPK) yang masih meningkat.
Dengan mempertimbangkan bahwa tingkat BI Rate 6,5% masih konsisten dengan sasaran
inflasi tahun 2010 sebesar 5%±1% dan arah kebijakan moneter saat ini juga dipandang masih
kondusif bagi proses pemulihan perekonomian di tengah masih tingginya risiko global yang
bersumber dari krisis utang di sejumlah negara Eropa, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia
pada 5 Juli 2010 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada level 6,5% dengan koridor
suku bunga PUAB O/N sebagai sasaran operasional kebijakan moneter sebesar ±100 bps.
Perdagangan Bebas Regional Dan Daya Saing Ekspor: Kasus Indonesia
5
PERDAGANGAN BEBAS REGIONAL DAN DAYA SAING EKSPOR:
KASUS INDONESIA
Amalia Adininggar Widyasanti
1
Abstract
Indonesia has involved in quite many regional trade agreements, since more than a decade ago.
Theoritically, Free Trade Agreements (FTAs) are very beneficial to the countries, as resources are more
efficiently allocated due to production specialization. However, presence of asymmetric information, market
inefficiency, and economic distortion in the real world have led to a deviation of FTAs benefits from its
theoritical framework. This paper studies whether Indonesian export competitiveness is improving after
Indonesia involves in ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) and ASEAN-Cina Free Trade Agreement (ACFTA).
Export competitiveness are measured by some trade indicators, such as: trade intensity index, market
share, export product dynamics, and RCA, for some Indonesian main export products. The indices are
compared across ASEAN countries and Cina to reveal: (i) which products are gaining or losing
competitiveness in ASEAN and Cina markets; and (ii) which countries are becoming Indonesian main
competitors in ASEAN and Cina markets. Additionally, this paper ends up with some policy
recommendations that Indonesia should undertake to improve competitiveness of its products in ASEAN
and Cina markets.
JEL Classification
Classification: R11, F16
Keywords: FTA, export competitiveness, Indonesia.
1 Amalia Adininggar Widyasanti merupakan Wakil Direktur Perdagangan di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Ia
meraih gelar PhD di bidang Ekonomi dari University of Melbourne, Australia. Semua pendapat dan opini yang tercantum dalam
makalah ini merupakan pandangan pribadi dan tidak merepresentasikan kebijakan dari Kemeneg PPN.
6
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
I. PENDAHULUAN
Menurut teori dagang internasional, FTA diterima karena keuntungan yang diperoleh
oleh negara-negara yang terlibat dari perdagangan ini, yang berasal dari konsep keuntungan
komparatif. Sebuah negara akan mengkhususkan diri dalam menghasilkan suatu produk jika
memiliki keuntungan komparatif. Dengan pengkhususan macam ini, secara umum dunia dapat
mengembangkan keluaran dunia total (total world output) dengan jumlah sumber daya yang
sama, dan pada saat yang sama efisiensi ekonomi akan terus meningkat. Hasilnya, secara
teoritis, sebuah FTA dapat menjamin bahwa negara-negara yang terlibat dalam kesepakatan
ini, akan memperoleh keuntungan dari hasil terbentuknya perdagangan (trade creation) dan
pengalihan dagang (trade diversion).
Tren terbaru dari FTA menunjukkan bahwa banyak negara-negara di dunia telah terlibat
di berbagai perjanjian dagang, baik perjanjian dagang bilateral maupun regional. Grafik II.1
menunjukkan adanya peningkatan jumlah FTA secara signifikan sejak tahun 2002
Jumlah FTA
250
210
221
195
200
134
150
94
100
69
50
8
0
«91 «92 «93 «94 «95 «96 «97 «98 «99 «00 «01 «02 «03 «04 «05 «06 «07 «08 «09 «10
Sumber: Database Pusat Integrasi Regional Asia , ADB (telah dimodifikasi)
Grafik II.1:
Perkembangan FTA di Dunia (1991-2010)
Data di atas juga menunjukkan bahwa hingga saat ini FTA di dunia berjumlah 221, naik
sebanyak 152 perjanjian dari tahun 2002, yang hanya berjumlah 69 perjanjian. Jumlah perjanjian
bilateral dan regional meningkat dikarenakan keduanya merupakan opsi terbaik kedua bagi
FTA setelah perjanjian multilateral. Namun karena implementasi dari perjanjian multilateral
sulit untuk sepenuhnya diterapkan, banyak negara lebih memilih perjanjian bilateral dan regional
untuk memperluas perdagangan dan memperkuat hubungan ekonomi dengan negara lain
Gambar kedua menunjukkan klasifikasi FTA kedalam perjanjian bilateral dan plurilateral.
Perjanjian bilateral mengacu pada preferential trading arrangement (perjanjian dagang pilihan)
Perdagangan Bebas Regional Dan Daya Saing Ekspor: Kasus Indonesia
7
yang melibatkan dua pihak. Sebaliknya perjanjian plurilateral merupakan preferential trading
arrangement yang melibatkan lebih dari dua pihak. Berdasarkan gambar di bawah, bisa dilihat
bahwa perjanjian bilateral lebih mendominasi dibandingkan perjanjian multilateral, yang meliputi
77% dari total 221 perjanjian di tahun 2009. Hanya 23% dari seluruh perjanjian ini yang
bersifat plurilateral.
51
(23%)
170
(77%)
BILATERAL
PLURILATERAL
Sumber: Database Pusat Integrasi Regional Asia , ADB (telah dimodifikasi)
Grafik II.2:
Klasifikasi Perjanjian Dagang
Indonesia telah banyak terlibat dalam berbagai perjanjian dagang. Hingga saat ini,
Indonesia telah memiliki 7 perjanjian yang sudah berjalan, dan 8 perjanjian yang masih dalam
tahap negosiasi atau studi lanjut. Tabel II.2 memperlihatkan FTA yang melibatkan Indonesia
Makalah ini akan fokus dalam menganalisis daya saing dari produk ekspor Indonesia
setelah diterapkannya ASEAN Free Trade Area (AFTA) and ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA).
Alasan mengapa kedua FTA ini dipilih karena: (i) ASEAN dan Cina adalah pasar ekspor utama
Indonesia; dan (ii) Negara-negara ASEAN merupakan pesaing utama Indonesia dalam pasar ini.
8
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
Tabel II.1
Daftar FTA yang Melibatkan Indonesia
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Nama Perjanjian
ASEAN Free Trade Area
ASEAN-Australia and New Zealand Free Trade Agreement
ASEAN-India Regional Trade and Investment Area
ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership
ASEAN-Korea Comprehensive Economic Cooperation Agreement
Japan-Indonesia Economic Partnership Agreement
ASEAN - China Comprehensive Economic Cooperation Agreement
ASEAN-EU Free Trade Agreement
Comprehensive Economic Partnership for East Asia (CEPEA/ASEAN+6)
East Asia Free Trade Area (ASEAN+3)
India-Indonesia Comprehensive Economic Cooperation Arrangement
Indonesia-Australia Free Trade Agreement
Indonesia-European Free Trade Agreement
Pakistan-Indonesia Free Trade Agreement
United States-Indonesia Free Trade Agreement
Status
Telah berjalan
Telah berjalan
Telah berjalan
Telah berjalan
Telah berjalan
Telah berjalan
Telah berjalan
Dalam tahapan negosiasi
Telah diajukan/dalam tahapan konsultasi dan studi lanjut
Telah diajukan/dalam tahapan konsultasi dan studi lanjut
Telah diajukan/dalam tahapan konsultasi dan studi lanjut
Telah diajukan/dalam tahapan konsultasi dan studi lanjut
Telah diajukan/dalam tahapan konsultasi dan studi lanjut
Dalam tahapan negosiasi
Telah diajukan/dalam tahapan konsultasi dan studi lanjut
Sumber: Database Pusat Integrasi Regional Asia , ADB (telah dimodifikasi)
II. INDONESIA DIANTARA AFTA DAN ACFTA
II.1. ASEAN Free Trade Area (AFTA)
Para kepala negara dan pemerintahan ASEAN telah setuju untuk membentuk ASEAN
Free Trade Area atau AFTA pada bulan Januari 1992. Tujuan dari AFTA adalah menghilangkan
batasan tarif diantara negara-negara Asia Tenggara dengan visi mengintegrasikan ekonomi
ASEAN ke dalam satu dasar produksi dan menciptakan pasar regional, yang akan ditempuh
melalui penghapusan tarif intra-regional dan batasan non-tarif. ASEAN Free Trade Area atau
AFTA dianggap sebagai wujud integrasi ekonomi ASEAN. AFTA mulai diimplementasikan sejak
Januari 1993. Daftar pengurangan tarif untuk AFTA dibuat dibawah skema CEPT (Common
Effective Preferential Tariff/ Tarif Umum Efektif Yang Dipilih) dan daftar penurunan tarif untuk
ASEAN-6 lebih maju dibandingkan negara-negara CMLV (Kamboja, Myanmar, Laos, dan
Vietnam). Dibawah skema CEPT, semua produk dikategorikan dalam 5 kelompok: Produk Inklusif/
Inclusion List (IL), Produk Sensitif/Sensitive List (SL), Produk Sangat Sensitif/Highly Sensitive List
(HSL), Produk Eksklusif Sementara/Temporary Exclusion List (TEL), and Daftar Pengecualian
Umum/General Exception List (GEL)
Untuk Indonesia, jumlah batasan tarif yang dimasukkan dalam skema CEPT sebanyak
11.153 buah dimana 98.9%-nya atau 11.028 batasan tarif dimasukkan ke dalam Inclusion
Perdagangan Bebas Regional Dan Daya Saing Ekspor: Kasus Indonesia
9
List. Sisanya termasuk dalam General Exclusion List dan Sensitive List. Struktur dari tarif Indonesia
yang masuk dalam skema CEPT dapat dilihat pada gambar berikut
100
25
11.028
0
IL
TEL
GEL
SL/HSL
Sumber: Kementerian Keuangan
Grafik II.3: Struktur dari Tarif Indonesia
yang masuk dalam skema CEPT
Impor (Juta $ )
180.000
Tarif, %(Rata-rata tertimbang)
Tarif (Rata-rata tertimbang)
160.000
Import (Juta $)
18
16
140.000
14
120.000
12
100.000
10
80.000
8
60.000
6
40.000
4
20.000
2
0
0
«93 «94 «95 «96 «97 «98 «99 «00 «01 «02 «03 «04 «05 «06 «07
Sumber: Database Perdagangan UNCTAD (sudah dimodifikasi)
Grafik II.4: Pertumbuhan Impor dan Tarif
di ASEAN-6
Negara-negara anggota ASEAN telah membuat kemajuan yang signifikan dalam
menurunkan tarif intra-regional melalu skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT) untuk
AFTA. Lebih dari 99 persen dari produk-produk yang tergolong dalam CEPT Inclusion List (IL)
dari ASEAN-6, yang meliputi Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filippina, Singapura dan
Thailand, telah mengalami penurunan tarif diantara 0-5 persen. Gambar 4 menunjukkan bahwa
impor dari negara-negara ASEAN-6 dari wilayah ini telah meningkat seiring dengan
diturunkannya tarif impor di ASEAN-6.
10
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
II.1.1 ASEAN-Cina FTA
Dibulan November 2004, dalam acara 10th ASEAN Summit di Vientiane, Laos, para menteri
perekonomian negara-negara ASEAN dan Cina menandatangani Perjanjian Perdagangan Barang/
Agreement on Trade in Goods (TIG) dari Kerangka Perjanjian Kerjasama Ekonomi Komprehensif
(Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation) antara Cina dan ASEAN.
Perjanjian ini dikenal sebagai ASEAN-Cina Free Trade Agreement (ACFTA) yang telah diterapkan
efektif mulai 1 Juli 2005. Dalam perjanjian ini, batasan tarif dibawah modalitas penurunan tarif
diklasifikasikan dalam 3 kelompok: early harvest program, normal track, dan sensitive track.
Tarif yang termasuk dalam Normal Track telah diturunkan secara bertahap dan dieliminasi
berdasarkan daftar berikut (ASEAN-6 dan Cina).
Tabel II.2
Modalitas dari Penurunan Tarif Normal-Track untuk ASEAN-6
ACFTA Preferential Tariff Rate
(Not Later than 1 Januari)
X = Applied MFN
Tariff Rate
2005*
2007*
2009
2010
X > 20%
20
12
5
0
15% < x < 20%
15
8
5
0
10% < x < 15%
10
8
5
0
5% < x < 10%
5
5
0
0
0
0
x < 5%
Standsill
* The first date of implementation shall be 1 Jully 2005
Tarif (Rata-rata Tertimbang), %
16
14
Tariff Applied to ASEAN-6 in China Market
2008
Tariff Applied to China in ASEAN-6 Market
2007
12
2006
10
2005
8
2004
6
2003
2002
4
2
0
2000
2001
2002
2003
2004
Sumber: UNComtrade dan Database Perdagangan UNCTAD
2005
2006
2007
-15000
Trade Balance of Indonesia With China
2001
Trade Balance of ASEAN-6 With China
2000
-10000
-5000
Neraca Perdagangan (Juta $)
Grafik II.5:
Tarif Impor dan Neraca Dagang ASEAN-6 dan Cina (2000-2007)
0
5000
Perdagangan Bebas Regional Dan Daya Saing Ekspor: Kasus Indonesia
11
2008
2007
2006
2005
2004
-8.000.000
Trade Balance Indonesia with China
2003
Trend of Trade Balance
2002
-6.000.000
-4.000.000
-2.000.000
0
2.000.000
Sumber: Departemen Perdagangan (telah mengalami modifikasi)
Grafik II.6: Neraca Perdagangan Non-Migas
antara Indonesia dan Cina (2004-2010)
Namun penurunan tarif dari kelompok Sensitive Tracks akan mulai diimplementasikan
pada tahun 2012, dan akan mengalami penurunan sebesar 0-5% tidak lewat dari tanggal 1
Januari 2018. Selanjutnya tarif dari produk dibawah High Sensitive List tidak akan melebihi
50% dimulai pada tahun 2015.
Grafik diatas memperlihatkan bahwa weighted-average tariff telah mengalami penurunan
baik di pasar ASEAN-6 dan Cina. Tampak defisit pada neraca perdagangan dari ASEAN-6 dengan
Cina cenderung meningkat, yang mengindikasikan bahwa impor dari ASEAN-6 naik secara
cepat dibandingkan volume ekspor ke pasar Cina. Disisi lain, neraca perdagangan total antara
Indonesia cenderung surplus. Namun hal ini tidak berlaku bagi neraca perdagangan non-migas
antara Indonesia dengan Cina dimana neraca perdagangan ini mulai mengalami defisit sejak
tahun 2005. Sehingga dapat dikatakan perdagangan Indonesia dengan Cina mengalami surplus
dikarenakan adanya surplus dalam jumlah besar dalam perdagangan minyak dan gas dari
Indonesia ke Cina.
III. COMPETITIVENESS INDICATORS
Sejumlah literature (Ng, 2002; Mikic, 2005; ITC Market Analysis Section, 2000; World
Bank Institute, 2010) telah menyediakan beberapa indikator dan petunjuk yang umum digunakan
dalam analisis perdagangan internasional. Namun paper ini menggunakan indikator kemampuan
kompetisi yang dianggap praktis dalam menganalisis apakah produk Indonesia semakin
kompetitif, atau sebaliknya, setelah AFTA dan ACFTA diterapkan. Indikator yang digunakan
12
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
adalah indeks intensitas ekspor (export intensity index), pangsa pasar (market share), dan RCA
dinamis (dynamic RCA)
Indeks intensitas ekspor adalah ukuran penentu apakah satu negara mengekspor ke satu
negara tujuan lain lebih banyak atau lebih sedikit dibandingkan negara-negara lain di dunia.
Persamaannya dapat dirumuskan sebagai berikut:
EII ij =
xij
xwj
X iw
X ww
dimana xij merupakan nilai dolar dari ekspor negara/region i ke negara/region j, Xim adalah
nilai dollar dari ekspor negara/region i ke penjuru dunia, xmj adalah nilai dollar dari ekspor dunia
ke negara/region j, dan Xmm adalah nilai dollar dari ekspor pasar. Nilai indeks jika lebih besar dari
1 (>1) mengindikasikan bahwa laju perdagangan antar negara/region lebih besar dibandingkan
perkiraan, melihat melihat posisi mereka dalam perdagangan dunia.
Pangsa pasar diukur berdasarkan persamaan berikut
MS ij =
X ij
Mj
× 100%
Dimana
MSij = Pangsa Pasar negara i di pasar j.
Xij
= Ekspor negara i ke pasar j.
Mj
= Impor pasar j.
RCA Dinamis merupakan modifikasi dari RCA Statis, dan belum banyak digunakan
sebagaimana RCA Statis. RCA Dinamis telah digunakan oleh Edwards dan Schoer (2001) untuk
menganalisis struktur dan daya saing dari perdagangan Afrika Selatan.
Keuntungan menggunakan RCA dinamis adalah: (i) mampu mendeskripsikan RCA seiring
waktu; dan (ii) dapat menentukan kedudukan produk dalam negara-negara tujuan ekspor,
dimana indikator ini mengelompokkan produk berdasarkan posisi mereka dalam pasar sehingga
RCA dinamis lebih bermanfaat dibandingkan RCA tradisional. Terutama bilamana studi ini
digunakan untuk mengidentifikasi produk mana yang pasarnya makin luas atau semakin sempit
dan untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan berdasarkan posisi pasar dari produk ekspor.
Selain itu, RCA dinamis lebih informatif dibandingkan RCA statis dalam menjelaskan daya
saing suatu produk ekspor.
Perdagangan Bebas Regional Dan Daya Saing Ekspor: Kasus Indonesia
13
Dalam paper ini, rumus dari RCA dinamis yang mengacu pada Edwards dan Schoee
(2001), dihitung menggunakan formula dibawah ini dan sedikit dimodifikasi agar sesuai dengan
pasar ASEAN dan Cina, sebagai berikut:

 X
i, j
∆
 ∑ X i, j
∆RCA j
 j
=
DRCA j =
X i, j
RCA j
∑ X i, j






 X
m, j
∆
 ∑ X m, j
 j
−
X m, j





∑ X m, j
j
j
Dimana:
DRCAj = Indicator RCA dinamis
Xi, j
= Ekspor komoditas j negara i ke pasar tujuan (ASEAN atau Cina)
Xm, j
= Ekspor komoditas j negara ASEAN ke pasar tujuan (ASEAN atau Cina)
Bagian pertama dari sisi sebelah kanan persamaan mengacu pada bagian ekspor dari
komoditas j dalam laporan ekspor total suatu negara ke pasar tujuan. Bagian kedua mengacu
pada bagian ekspor dari negara ASEAN atas komoditas j terhadap ekspor total ASEAN yang
diarahkan kepada pasar tujuan.
Edwards dan Schoer (2001) memberikan matriks penempatan yang sangat berguna
untuk menganalisis daya saing dari produk dalam proses evaluasi. Matriks ini ditunjukkan
pada Tabel II.3.
Tabel II.3
Matriks Penempatan dari Daya Saing Ekspor
Pangsa j pada
ekspor negara
RCA Naik
RCA Turun
Diadaptasi dari Edwards and Shoer (2001)
pangsa j pada
ekspor pasar
Posisi
>
Rising stars
>
Falling stars
>
Lagging retreat
<
Lost opportunity
<
Leading retreat
<
Lagging opportunity
14
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
IV. DATA DAN METODOLOGI
Data yang digunakan dalam makalah ini secara garis besar diperoleh dari Database
UNCOMTRADE yang didapatkan menggunakan aplikasi World Integrated Trade Solution (WITS).
Data ekspor diambil dari data tahun 1996-2008 untuk negara ASEAN dan Cina. Data untuk
negara ASEAN hanya meliputi Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina dan Brunei,
dikarenakan negara anggota ASEAN lainnya tidak memiliki set data lengkap di WITS. Analisis
produk ini merujuk kepada klasifikasi HS 2 digit tahun 1996.
Penghitungan Indeks Intensitas Ekspor secara khusus diperoleh dari Asia Regional
Integration Center Database in Integration Indicator Database yang dapat diunduh dari http://
aric.adb.org/indicator.php.
Klasifikasi lebih lanjut dari HS-1996 juga digunakan dalam makalah ini untuk memudahkan
proses analisis. Klasifikasi dari Tabel 4 mengacu kepada Klasifikasi HS-1996 dengan bagianbagian yang telah dimodifikasi untuk mempersempit kategori.
Tabel II.4
Klasifikasi Produk dibawah Kode HS-1996
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Klasifikasi Produk
Hewan hidup dan produk hewani
Produk nabati
Lemak dan Minyak Hewani dan Nabati
Produk Makanan
Produk Mineral
Bahan Kimia
Plastik dan Karet
Bahan Kulit
Kayu dan Produk Kayu
Tekstil
Alas Kaki
Batu dan Gelas
Logam
Mesin dan alat-alat elektronik
Transportasi
Lainnya
Sumber: UNComtrade, http://comtrade.un.org/kb/article.aspx?id=10253 (sudah dimodifikasi oleh penulis)
Kode HS
01-05
06-14
15
16-24
25-27
28-38
39-40
41-43
44-49
50-63
64-67
69-71
72-83
84-85
86-89
90-97
Perdagangan Bebas Regional Dan Daya Saing Ekspor: Kasus Indonesia
15
V. HASIL DAN ANALISIS
V.1. AFTA
Sebelum implementasi AFTA di tahun 1992, kontribusi Indonesia pada ekspor ASEAN-6
ke ASEAN-6 berkisar pada angka 12.7%. Kemudian angka ini berkurang di tahun 1995 namun
kembali naik hingga saat ini. Saat ini hampir seluruh komoditas dan produk ekspor Indonesia
mengalami kenaikan atau stabil di pangsa pasar. Ini menunjukkan bahwa produk Indonesia
cukup kompetitif di pasar ASEAN.
Namun ada beberapa produk yang mengalami lonjakan turun di pasar, yakni bahan
kimia, tekstil, bahan kulit, mesin dan alat-alat elektronik. Kompetitor utama dari produk-produk
tersebut adalah Malaysia untuk bahan kimia, Singapura untuk mesin/alat elektronik, Thailand
untuk tekstil dan Vietnam untuk tekstil dan produk kulit.
Tabel II.5
Pangsa Pasar dari Produk Ekspor Indonesia di ASEAN
Produk
Pangsa
Pasar
Yang
Meningkat
Pangsa
Pasar
Yang
Stabil
Pangsa
Pasar
Yang
Turun
Total
Minyak hewani/nabati
Produk makanan
Alas kaki
Logam
Transportasi
Plastik dan karet
Produk kayu
Sayuran
Produk mineral
Lain-lain
Produk hewani
Batu/kaca
Bahan kimia
Mesin/elektrik
Produk kulit
Tekstil
Pangsa Pasar
1992
1995
2005
2006
2007
2008
12,7%
30,5%
15,0%
15,9%
2,8%
7,0%
6,5%
20,1%
17,3%
19,5%
6,9%
18,4%
20,1%
13,2%
14,2%
20,2%
55,7%
8,8%
24,2%
13,2%
11,5%
3,3%
14,4%
8,1%
19,1%
15,0%
13,4%
21,0%
18,7%
20,1%
9,7%
8,8%
9,2%
21,3%
10,1%
48,9%
16,8%
28,0%
24,3%
12,4%
9,2%
23,6%
13,4%
9,8%
6,7%
18,3%
16,4%
9,5%
6,8%
10,7%
25,2%
10,1%
51,1%
18,4%
28,3%
23,6%
15,6%
9,6%
24,3%
12,1%
10,5%
9,0%
17,5%
22,6%
9,3%
5,7%
16,0%
22,7%
10,8%
53,7%
18,2%
24,6%
23,4%
14,0%
10,3%
23,1%
10,4%
12,1%
9,8%
19,0%
20,9%
13,8%
5,5%
13,3%
22,1%
11,6%
57,5%
20,2%
21,5%
25,3%
17,1%
10,8%
22,7%
8,1%
12,1%
8,4%
22,3%
19,1%
9,9%
6,0%
8,7%
19,9%
Sumber: Database UNCOMTRADE (dihitung oleh penulis)
Di Tabel II.6 dapat dilihat bahwa indeks intensitas ekspor negara-negara ASEAN meningkat
terutama di tahun 2000-an dengan sedikit penurunan di tahun 1995. Indeks Intensitas Ekspor
Indonesia telah mengalami peningkatan dimana ini berarti AFTA telah membantu Indonesia
untuk mengekspor lebih banyak ke negara-negara ASEAN, sehingga intensitas ekspor Indonesia
16
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
terus menerus meningkat. Negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Singapura dan Thailand
juga terus mengalami peningkatan indeks intensitas ekspor. Sehingga dapat dikatakan bahwa
AFTA telah memperbaiki laju perdagangan antar negara di region ini.
Tabel II.6
Indeks Intensitas Ekspor dari negara-negara ASEAN di Pasar ASEAN
Reporter
1992
1995
2005
2006
2007
2008
ASEAN
4,05
3,67
4,66
4,63
4,67
4,56
Indonesia
2,71
2,14
3,40
3,40
3,62
3,54
Malaysia
6,02
4,14
4,80
4,84
4,76
4,61
Singapura
4,53
4,55
5,77
5,72
5,87
5,71
Thailand
2,73
2,97
4,05
3,87
3,95
4,04
Vietnam
3,98
2,97
3,26
3,09
3,09
2,91
Hasil lainnya yang menarik di makalah ini diperlihatkan pada Grafik II.7 yang melihat
posisi Daya Saing Ekspor Indonesia di pasar ASEAN berdasarkan kelompok produknya. Yang
cukup menggembirakan adalah hanya ada satu kelompok produk (dari 16 kelompok produk)
yang telah kehilangan daya saingnya di pasar ASEAN, sekaligus telah kehilangan kesempatannya
untuk kembali bersaing, yakni produk sayuran. Banyak produk yang termasuk dalam kelompok
yang sedang menjulang (rising star), yang amat menjanjikan bagi masa depan perdagangan
Indonesia dengan ASEAN. Namun Indonesia telah memberikan perhatian khusus pada beberapa
produk yang memiliki lagging opportunity, yakni produk metal dan mineral. Berdasarkan hasil
tersebut, pertumbuhan pangsa pasar Indonesia untuk produk ini masih dibawah pertumbuhan
permintaan ASEAN akan produk-produk ini. Ini berarti bahwa Indonesia masih memiliki banyak
kesempatan untuk meningkatan pangsa dari produk-produk ini di pasar ASEAN. Secara umum,
Indonesia telah merambah pasar yang tepat di ASEAN.
Perdagangan Bebas Regional Dan Daya Saing Ekspor: Kasus Indonesia
17
Pertumbuhan pangsa j
di pasar ekspor
Lost Opportunity
Lagging Opportunity
5
2
13
8
Rising Star
7
15
4
3
6
1
Leading
Retreat
10
14
12
11
9
Lagging Retreat
Pertumbuhan pangsa j
di ekspor negara
16
Falling Star
Catatan:
= RCA Naik
= RCA Turun
Grafik II.7.
Posisi Daya Saing Produk Indonesia di Cina Menggunakan RCA Dinamis
1 = Hewan hidup dan produk hewani, 2 = Produk sayuran, 3 = Lemak dan minyak hewani/nabati, 4 = Produk makanan,
5 = Produk mineral, 6 = Bahan kimia, 7 = Plastik dan karet, 8 = Produk kulit, 9 = Kayu dan produk kayu, 10 = Tekstil,
11 = Alas kaki, 12 = Batu dan kaca, 13 = Logam, 14 = Mesin/elektrik, 15 = Transportasi, 16 = Lain-lain
V.2 ASEAN-Cina FTA
Setelah berlakunya FTA ASEAN-Cina, struktur ekspor Indonesia ke Cina sedikit mengalami
perubahan. Sebelum ACFTA, kayu dan produk kayu (HS-44) merupakan salah satu 10 besar
komoditas ekspor Indonesia ke Cina, dimana pangsanya mencakup 7.2% dari total ekspor ke
Cina. Namun setelah ACFTA, komoditas ini digantikan posisinya oleh bijih, terak dan abu (HS26). Selain itu, pangsa dari bahan bakar mineral, minyak dan produknya (HS-27) dan lemak
dan minyak hewani dan nabati (HS-15) juga meningkat dari 26.1% dan 12.8% di tahun 2004
menjadi 39.2% dan 18.2%.
Alasan utamanya adalah karena beberapa tahun kebelakang Cina mengimpor lebih banyak
bahan mentah industri akibat meningkatnya aktivitas industri dan produksi. Alasan ini juga
diperkuat dengan kebijakan Cina yang meningkatkan volume impor bijih,terak dan abu dan
juga barang-barang besi dan logam. Sehingga Indonesia, sebagai salah satu pemasok utama
produk-produk tambang, juga mengalami peningkatan volume ekspor untuk produk ini.
18
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
Tabel II.7
10 Besar Komoditas Ekspor Indonesia ke Cina (2004 and 2008)
2004
27
15
29
44
46
40
47
84
83
73
Pangsa
Bahan bakar mineral, minyak dan produk turunannya
Minyak/lemak hewani/nabati
Kimia organik
Kayu dan produk kayu
Jerami
Karet dan produk karet
Bubur kayu dan produk serat
Reaktor nuklir, boiler, mesin lain
Produk logam lainnya
Produk besi/baja,
Pangsa Total Ekspor to Cina
26,1%
12,8%
12,3%
7,2%
5,7%
5,5%
4,3%
4,2%
2,7%
2,6%
83,4%
2008
27
15
40
46
26
29
73
84
83
47
Pangsa
Bahan bakar mineral, minyak dan produk turunannya 39,2%
Minyak/lemak hewani/nabati
18,2%
Karet dan produk karet
7,7%
Jerami
6,4%
Bijih, terak dan abu,
5,6%
Kimia organic
2,9%
Produk besi/baja,
2,7%
Reaktor nuklir, boiler, mesin lain
2,4%
Produk logam lainnya
2,2%
Bubur kayu dan produk serat
1,7%
89,01%
Pangsa Total Ekspor ke China
Sumber: Database UNCOMTRADE (dihitung oleh penulis)
Tabel II.8 menunjukkan pangsa pasar Indonesia di Cina berdasarkan kategori produk.
Pembagi pada pangsa ini adalah total ekspor ASEAN-6+Vietnam ke pasar Cina. Dari data diatas
dapat dilihat bahwa pangsa ekspor Indonesia ke Cina cenderung stabil dengan sedikit
peningkatan di tahun 2008. Beberapa produk Indonesia mampu membuka pasar di Cina setelah
berlakunya ACFTA di tahun 2005. Produk-produk tersebut adalah minyak dan lemak hewani/
Tabel II.8
Pangsa Pasar Ekspor Indonesia ke Cina (2005-2008)
Produk
Total
Minyak hewani/nabati
Produk makanan
Pangsa
Alas kaki
Pasar
Yang
Logam
Meningkat Produk Mineral
Plastik dan karet
Produk Kulit
Lainnya
Pangsa Pasar Sayuran
Yang Stabil Transportasi
Produk hewani
Bahan kimia
Pangsa
Mesin/elektrik
Pasar
Batuk/kaca
Yang
Turun
Produk kayu
Tekstil
Pangsa Pasar
2003
2004
2005
2006
2007
2008
22,2%
24,7%
5,4%
20,5%
16,9%
22,9%
6,3%
4,1%
1,5%
4,4%
4,3%
25,5%
18,2%
1,6%
15,2%
59,1%
31,7%
20,4%
29,6%
5,2%
21,7%
14,3%
21,1%
8,1%
6,5%
2,2%
4,9%
6,6%
26,8%
19,3%
1,7%
20,7%
53,2%
25,2%
20,8%
36,4%
7,7%
24,3%
21,4%
38,5%
8,1%
14,3%
2,3%
4,5%
8,2%
21,5%
19,1%
1,2%
14,8%
49,6%
20,9%
19,8%
39,6%
5,5%
21,0%
22,4%
39,7%
9,9%
20,7%
2,8%
3,5%
8,8%
17,5%
16,5%
1,2%
10,7%
50,4%
22,6%
19,6%
34,1%
7,1%
29,4%
14,7%
40,9%
10,0%
17,3%
3,3%
4,5%
7,2%
9,0%
16,1%
1,3%
8,3%
46,4%
22,7%
22,4%
34,7%
6,9%
31,4%
16,4%
38,1%
10,1%
17,9%
3,0%
6,7%
2,5%
18,1%
14,3%
1,5%
4,9%
53,0%
22,6%
Perdagangan Bebas Regional Dan Daya Saing Ekspor: Kasus Indonesia
19
nabati, produk makanan, alas kaki, logam, produk mineral, plastik dan karet, dan juga produk
kulit.
Dapat disimak pula bahwa produk yang mengalami kenaikan pangsa pasar pada umumnya
adalah produk berbasis sumber daya alam, yang diklasifikasikan sebagai produk pertanian dan
pertambangan, kecuali alas kaki. Produk manufaktur seperti: kayu, tekstil, dan mesin/alat-alat
elektronik mengalami penurunan pangsa pasar. Hal ini disebabkan karena produk-produk ini
tidak dapat bersaing dengan produk-produk lokal Cina atau negara ASEAN lainnya.
Pesaing utama Indonesia untuk produk bahan kimia, mesin/elektronik, produk kayu dan
tekstil di pasar Cina adalah Thailand yang pangsa pasarnya juga mengalami kenaikan setelah
diberlakukannya ACFTA. Dan juga Vietnam merupakan pemasok yang cukup kuat untuk produk
kayu dan tekstil ke pasar Cina, yang pangsa pasarnya juga melonjak naik dibawah kerangka
kerja ACFTA. Namun produk-produk mesin/elektronik dan kimia Vietnam tidak cukup mampu
bersaing di pasar Cina.
Index Intensitas Ekspor negara-negara ASEAN di pasar Cina cenderung meningkat
(Tabel II.9), dan disaat yang sama indeks intensitas ekspor Cina ke ASEAN juga turut meningkat.
Indeks Intensitas Ekspor untuk semua negara di semua tahun selalu lebih dari 1, yang
menujukkan bahwa laju perdagangan antara negara-negara ASEAN ke Cina, dan sebaliknya,
lebih besar dari perkiraan dengan memperhatikan tingkat kepentingan dari perdagangan
regional ini. Ini berarti bahwa implementasi ACFTA mampu meningkatkan intensitas
perdagangan antara negara-negara yang berpartisipasi dan secara umum memperbaiki laju
perdagangan antara negara-negara di region ini.
Tabel II.9
Indeks Intensitas Ekspor negara-negara ASEAN dan Cina
Reporter
Partner
2003
2004
2005
2006
2007
2008
ASEAN
Cina
1,31
1,35
1,42
1,46
1,49
1,45
Indonesia
Cina
1,24
1,20
1,38
1,39
1,38
1,37
Malaysia
Cina
1,30
1,24
1,17
1,22
1,42
1,54
Singapura
Cina
1,26
1,44
1,52
1,64
1,57
1,48
Thailand
Cina
1,42
1,37
1,46
1,52
1,58
1,48
Vietnam
Cina
1,87
2,04
1,76
1,37
1,22
1,16
Reporter
China
Partner
ASEAN
2003
1,31
2004
1,34
2005
1,34
2006
1,37
2007
1,43
2008
1,43
20
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
Hasil dari perhitungan RCA dinamis dirangkum pada gambar 8, yang menggambarkan
posisi daya saing produk ekspor Indonesia di pasar Cina. Produk-produknya diklasifikasikan
dalam beberapa kategori yang terdapat di Tabel II.4.
Dapat terlihat bahwa hanya 3 kelompok produk yang sedang ≈meroket∆ (rising star)
yakni produk mineral. Plastik dan karet, dan alas kaki. Product dengan lagging opportunity
yaitu minyak dan lemak hewani dan nabati dan produk makanan. Lagging opportunity berarti
permintaan untuk produk-produk ini di Cina cukup tinggi, namun tingkat pertumbuhan
ekspornya masih lebih rendah daripada permintaan yang ada.Kebanyakan produk ekspor
Indonesia di Cina dikategorikan sebagai leading retreat atau lagging retreat. Disisi lain, Indonesia
ke depannya sebaiknya tidak terlalu fokus pada ekspor bahan kulit karena permintaan pasar
Cina untuk produk ini sedang menurun.
Pertumbuhan pangsa j
di pasar ekspor
Lost Opportunity
Lagging Opportunity
15
4
3
5
7
12
Leading
Retreat
6
14
11
Rising Star
Pertumbuhan pangsa j
di ekspor negara
8
9
1
13
10
16
Lagging Retreat
2
Falling Star
Catatan:
= RCA Naik
= RCA Turun
Grafik II.8.
Posisi Daya Saing Produk Indonesia di Cina Menggunakan RCA Dinamis
1 = Hewan hidup dan produk hewani, 2 = Produk sayuran, 3 = Lemak dan minyak hewani/nabati, 4 = Produk makanan,
5 = Produk mineral, 6 = Bahan kimia, 7 = Plastik dan karet, 8 = Produk kulit, 9 = Kayu dan produk kayu, 10 = Tekstil,
11 = Alas kaki, 12 = Batu dan kaca, 13 = Logam, 14 = Mesin/elektrik, 15 = Transportasi, 16 = Lain-lain
Perdagangan Bebas Regional Dan Daya Saing Ekspor: Kasus Indonesia
21
VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
Makalah ini memberikan beberapa analisis mengenai daya saing produk ekspor Indonesia
di ASEAN dan Cina, setelah implementasi ASEAN FTA dan ASEAN-Cina FTA. Indikator daya
saing yang digunakan dalam paper ini adalah pangsa pasar, indeks intensitas ekspor dan RCA
dinamis. Hasilnya menunjukkan bahwa Indonesia dalam kondisi yang baik dan telah membuka
pangsa pasarnya sendiri untuk beberapa produk. Namun beberapa strategi kebijakan diperlukan
untuk produk-produk ini, terutama untuk produk sayuran yang telah kehilangan kesempatannya
di pasar ASEAN. Beberapa kebijakan yang dibutuhkan diantaranya adalah diversifikasi produk,
perbaikan kendali mutu dan masalah yang terkait dengan kesehatan.
Di pasar Cina, Indonesia berhasil merebut pasar hanya untuk produk plastik dan karet,
produk mineral dan alas kaki. Produk-produk yang berada dalam kondisi lagging opportunity,
adalah minyak dan lemak hewani dan nabati, dan produk makanan, yang berarti Indonesia
masih dapat melakukan perbaikan-perbaikan untuk mengoptimalkan kesempatan ini, dimana
tingkat pertumbuhan ekspor untuk produk ini, masih dibawah permintaan pasar. Kebanyakan
produk ekspor Indonesia di pasar Cina dikategorikan sebagai leading retreat dan lagging retreat.
Pada kasus ACFTA, Indonesia masih dapat meningkatkan performa ekspornya di pasaar Cina.
22
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
DAFTAR PUSTAKA
Edwards and Schoer (2001). The Structure and Competitiveness of South African Trade, Trade
and Industrial Policy Strategy √ Annual Forum, Muldersdrift.
Ng (2002). Trade Indicators and Indices, in Development, Trade, and WTO: A Handbook, edited
by Hoekman, Mattoo, and English, The World Bank, Washington DC.
Mikic (2005). Commonly Used Trade Indicators: A Note, dipresentasikan pada ARTNeT Capacity
Building Workshop on Trade Research, UNESCAP.
ITC Market Analysis Section (2000). The Trade Performance Index √ Background Paper, UNCTAD/
WTO.
Utkulu and Seymen (2004). Revealed Comparative Advantage and Competitiveness: Evidence
for Turkey vis-à-vis the EU/1, paper dipresentasikan pada European Trade Study Group 6th
Annual Conference, Nottingham.
World Bank Institute (2010). World Trade Indicators 2009/2010 √ User Guide to Trade Data,
The World Bank.
Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia
23
DAMPAK PELAKSANAAN ACFTA
TERHADAP PERDAGANGAN INTERNASIONAL INDONESIA
Ibrahim
Meily Ika Permata
Wahyu Ari Wibowo1
Abstract
This study analyze the impact of the implementation of trade agreements within the framework of
ACFTA on Indonesia»s export by using the GTAP model; a Multi Regional Computable General Equilibrium
Model. Results shows that ACFTA provide opportunities for increased export from Indonesia; Indonesia
obtained a net trade creation of international trade amounted to 2% and total exports growth increased
by 1.8. However, the export performance of Indonesia in the period showed a decrease of competitiveness,
as shown by the decline in share of Indonesian export commodities which are highly competitive and high
intra-industry linkage. This paper also find that because the commodity structure of China and the non
compeeting behavior of ASEAN countries including Indonesia (tends to complement), China is relatively
easier to penetrate export to the ASEAN market. The entering products from China should provide
opportunities for domestic producers to increase production capacity in ASEAN, due to wider choice of
relatively cheap capital goods imports.
JEL Classification
Classification: C67, F14, R12
Keywords: ACFTA, trade, export, GTAP, Revealed Comparative Advantage, CGE.
1 Penulis adalah para peneliti di BRE-DKM Bank Indonesia serta bertanggung jawab atas hasil riset dan segala opininya. Ucapan terima
kasih ditujukan kepada Pimpinan DKM Bp. Perry Warjiyo dan Bp. Iskandar Simorangkir, dan seluruh peneliti lainnya yang telah
mendukung penelitian ini.
24
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
I. PENDAHULUAN
Perkembangan perdagangan internasional mengarah pada bentuk perdagangan yang
lebih bebas yang disertai dengan berbagai bentuk kerjasama bilateral, regional dan multilateral.
Salah satu tujuan utama perjanjian perdagangan internasional adalah berupaya mengurangi
atau menghilangkan hambatan perdagangan. Liberalisasi perdagangan dunia dengan pola
kerjasama internasional memberikan implikasi yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi
dunia. Nilai perdagangan dunia tumbuh lebih dari dua kali lipat dari pertumbuhan produk
domestik bruto (PDB) riil dunia (Krueger, 1999).
Pada pertengahan 1980an, preferential trading arrangements (PTA) berkembang sebagai
pelengkap dari kerjasama internasional. Berbeda dengan kerjasama internasional, PTA
melibatkan dua atau beberapa negara. Berdasarkan teori PTA, sebagaimana dipaparkan oleh
Kemp (1964) and Vanek (1965), dampak dari dua atau beberapa negara yang membentuk
custom unions (common external tariff) adalah meningkatnya kesejahteraan dari negara-negara
yang tergabung dalam union tersebut dan tidak menyebabkan turunnya kesejahteraan negaranegara di luar union tersebut. Hal ini dibuktikan dalam studi yang dilakukan oleh Ohyama
(1972) dan Kemp dan Wan (1976). Ketimbang menetapkan common external tariff, pola PTA
yang lebih banyak berkembang adalah penghilangan hambatan dagang intra atau dikenal
sebagai Free Trade Agreement (FTA). Beberapa FTA yang telah berjalan yaitu North American
Free Trade Area (NAFTA), European Economic Area (EEA), African Free Trade Zone (AFTZ) dan
South Asia Free Trade Agreement (SAFTA).
Demikian juga dengan Indonesia yang telah melakukan kerjasama perdagangan baik
yang bersifat bilateral, regional maupun internasional. Meskipun keterlibatan Indonesia dalam
berbagai kerjasama perdagangan tersebut memberikan tantangan terhadap produk dalam
negeri, tujuan dari semua perjanjian tersebut adalah adanya dampak positif bagi perekonomian
negara-negara yang terlibat dan ekonomi Indonesia pada khususnya.
Terkait dengan kawasan regional, Indonesia tergabung dalam ASEAN Free Trade Area
(AFTA) yang ditandatangani pada tanggal 28 Januari 1992. Dalam perkembangannya, kerjasama
diperluas dengan melibatkan berbagai negara lainnya termasuk dengan Cina yang dikenal
sebagai ACFTA. Secara khusus, keterlibatan Indonesia dalam ACFTA perlu untuk dicermati
lebih lanjut. Hal ini terkait dengan banyak faktor seperti kesiapan produk dalam negeri
menghadapi serangan barang impor dari Cina, serta potensi pasar ASEAN yang menjadi
berkurang. Dari berbagai literatur studi yang ada, telah banyak diulas dampak ACFTA dari
berbagai dimensi dan alat analisis. Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu pelengkap studi
dampak ACFTA dengan nilai tambah baru. Dengan demikian, informasi yang terkait dengan
studi perdagangan pasar ACFTA semakin lengkap.
Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia
25
Tujuan dari paper ini adalah (i) Memberikan sumbangan bagi kajian sektor eksternal
khususnya perdagangan internasional Indonesia, (ii) Memberikan pemahaman terhadap struktur
perdagangan Indonesia khususnya dalam lingkup kawasan regional ASEAN Cina, (iii) Mengukur
dampak pelaksanaan perjanjian ACFTA terhadap perdagangan internasional negara anggota
pada umumnya, dan bagi Indonesia pada khususnya, dan (iv) Pemetaan peluang dan tantangan
yang ditunjukkan oleh karakteristik ekspor Indonesia. Peluang terkait dengan terbukanya pasar
Cina bagi komoditas ekspor Indonesia. Tantangan terkait dengan masuknya Cina dalam
persaingan di pasar ASEAN.
Dampak dari perdagangan ACFTA terhadap perekonomian Indonesia mencakup banyak
aspek yang dapat menjadi pengembangan analisis lebih lanjut seperti PDB, tenaga kerja, investasi,
inflasi dan perdagangan internasional. Untuk memberikan nilai tambah topik bahasan ACFTA
yang telah ada sebelumnya, penelitian ini lebih difokuskan dampak ACFTA terhadap ekspor
Indonesia. Analisis berbagai indikator kinerja dan karakteristik ekspor Indonesia secara khusus
diarahkan pada cakupan pasar ACFTA.
Dari sisi alat analisis, hasil model GTAP yang diulas hanya terkait dengan dampak
perdagangan khususnya ekspor Indonesia dengan partner dagang negara-negara kawasan
ACFTA. Atas dasar hasil model GTAP tersebut, dilakukan analisis lebih lanjut baik dengan
menggunakan alat analisis indikator perdagangan internasional seperti RCA, IIT, IES, IEO.
Bagian kedua dari paper ini mengulas tentang landasaan empiris dan studi literatur tentang
perdagangan dan keseimbangan perekonomian, bagian ketiga mengulas tentang metodologi
yang digunakan, bagian keempat membahas hasil dan analisis sementara kesimpulan dan
implikasi menjadi penutup.
II. LANDASAN EMPIRIS DAN STUDI LITERATUR
II.1. Model Dasar Perdagangan Internasional
Perekonomian suatu negara merupakan agregasi dari perilaku setiap individual.
Keseimbangan barang di suatu negara dapat dijelaskan berdasarkan interaksi dari perilaku
maksimisasi profit produsen dan maksimisasi utilitas konsumen. Dalam suatu perekonomian
yang tertutup (autarky), pada kondisi keseimbangan (titik A), komposisi jumlah barang dan
harga barang yang tercipta merupakan hasil mekanisme interaksi dari agregat demand dan
agregat supply dalam negeri (Grafik III.1).
26
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
Y
Y
A
Ua
p
a
X
X
Sumber : Markusen et al, International Trade and Evidence
Grafik III.1: Model Keseimbangan Perekonomian
Tertutup (Autarky)
Agregat supply sangat dipengaruhi oleh faktor produksi (endownment) yang tersedia
dan besarnya tingkat produksi yang diwakili oleh fungsi produksi dan teknologi. Sementara
agregat demand sangat dipengaruhi oleh tingkat kurva utilitas konsumen (U) dan keranjang
konsumsi yang tersedia. Tingkat produksi, konsumsi dan tingkat utilitas konsumen sangat
tergantung dengan endownment dan jenis produk yang tersedia di perekonomian tersebut.
Produsen hanya mempunyai pilihan untuk memproduksi kumpulan jenis produk tertentu dan
berusaha memaksimalkan profit berdasarkan endownment dan fungsi produksi yang dimilikinya.
Di lain pihak, konsumen hanya dapat memaksimasi utilitasnya dengan mengkonsumsi kombinasi
jenis produk yang diproduksi dalam negeri saja dan secara tidak langsung, tingkat utilitasnya
pun akan menjadi sangat terbatas.
Perbedaan endownment antar negara, serta perbedaan tingkat produksi dan teknologi
serta jenis produk yang dihasilkan menyebabkan besarnya variasi jenis produk yang dihasilkan
antar negara. Sementara perbedaan selera dan tingkat utilitas individu antar negara berimplikasi
pada tingginya variasi keranjang konsumsi yang diinginkan konsumen antar negara. Dalam
lingkup yang lebih luas dan sejalan dengan era globalisasi, perekonomian tidak lagi terbatas
hanya pada lingkup suatu negara namun telah berkembang dan melewati lintas batas negara.
Perilaku maksimisasi profit perusahaan dan maksimisasi utilitas konsumen pun tidak lagi terbatas
pada lingkup negara namun dapat bersifat antar batas.
Pada model keseimbangan perekonomian terbuka, terdapat peluang untuk memaksimisasi
profit dengan melebarkan pasar ke luar dan berproduksi melebihi demand dalam negeri. Di sisi
lain konsumen juga memiliki peluang untuk memaksimisasi utilitas dengan mengkonsumsi
Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia
27
Y
Y
Yp
Q
C
Yc
p*
Xp
X
X
Xc
Sumber : Markusen et al, International Trade and Evidence
Grafik III.2: Model Keseimbangan Perekonomian
Terbuka
suatu jenis produk tertentu melebihi supply dalam negeri ataupun mengkonsumsi jenis produk
yang lebih beragam, tidak hanya terbatas pada jenis produk dalam negeri. Kedua hal tersebut
di atas pada akhirnya akan mendorong terjadinya pertukaran barang antar negara.
Hasil dari interaksi individu di suatu negara dengan individu di negara lainnya tersebut
menyebabkan terjadinya pertukaran barang, jasa, dan faktor yang lazim disebut dengan
perdagangan internasional yang menyebabkan pergeseran keseimbangan awal (titik A) ke arah
keseimbangan berdasarkan perdagangan internasional (titik C) (Grafik III.2). Excess demand
produk x (xc-xp) dapat dipenuhi dengan melakukan impor dari negara lain sehingga konsumen
dapat memilih keranjang konsumsi yang menghasilkan tingkat utilitas yang lebih tinggi yaitu
titik C. Sementara produksi produk y yang melebihi demand dalam negeri dan mengekspor
kelebihan (excess supply) produk y tersebut (yc-yp) di pasar internasional. Dengan kata lain,
perdagangan internasional adalah pertukaran barang, jasa dan faktor yang terjadi antar negara
atau telah melewati batasan nasional/bersifat internasional.
Secara teoritis paling tidak terdapat 5 keuntungan dengan adanya perdagangan.
Keuntungan pertama yaitu keuntungan dari adanya pertukaran. Dengan adanya perdagangan,
suatu negara dapat memproduksi suatu produk melebihi demand dalam negerinya dan
mengekspor kelebihan (excess supply) tersebut di pasar internasional yang pada akhirnya akan
memperluas pasar dan meningkatkan tingkat keuntungan. Di sisi lainnya, excess demand
terhadap suatu produk dapat dipenuhi dengan melakukan impor dari negara lain sehingga
konsumen dapat memilih keranjang konsumsi yang menghasilkan tingkat utilitas yang lebih
tinggi.
28
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
Keuntungan kedua yaitu keuntungan yang didapat dari terjadinya spesialisasi. Dengan
adanya perdagangan, suatu negara dapat lebih fokus pada suatu jenis produk dimana mereka
dapat berproduksi dengan tingkat efisiensi yang relatif tinggi. Sementara kebutuhan akan produk
yang tidak dapat diproduksi dalam negeri secara efisien dapat dilakukan dengan melakukan
impor produk tersebut dari negara lainnya.
Keuntungan ketiga yang dapat diraih dari perdagangan terkait dengan keragaman
preferensi individu. Adanya perdagangan memberikan lebih banyak pilihan produk kepada
konsumen yang akan semakin membantu dalam pemenuhan dan bahkan dapat menaikkan
tingkat utilitas konsumen.
Keuntungan keempat terkait dengan keragaman endownment yang dimiliki oleh suatu
negara. Dengan adanya perdagangan suatu negara yang sebelumnya adanya perdagangan
tidak memiliki ataupun sangat terbatas akses terhadap suatu jenis produk, dengan adanya
perdagangan maka pemenuhan kebutuhan atas jenis produk tersebut akan dapat dipenuhi.
Keuntungan yang kelima yang mungkin diraih yaitu transfer teknologi modern. Dengan adanya
perdagangan internasional membuka peluang suatu negara untuk mempelajari suatu teknik
produksi yang lebih efisien dan modern.
Literatur menyebutkan bahwa suatu negara akan cenderung mengekspor suatu produk
yang ketersediaannya berlimpah di negara tersebut atau dengan kata lain akan cenderung
mengekspor produk yang bersifat excess supply. Sementara model Ricardian memprediksi bahwa
suatu negara akan fokus berproduksi pada jenis produk yang memiliki keunggulan komparatif
tertinggi.
Teorema Heckscher-Ohlin menyebutkan bahwa suatu negara akan cenderung mengekspor
komoditas yang secara intensif memanfaatkan faktor produksinya yang berlimpah. Sebagai
contoh, suatu negara dengan tingkat labor yang berlimpah namun dengan tingkat kapital
yang terbatas akan cenderung mengekspor produk yang bersifat labor intensif dan akan
cenderung mengimpor produk yang bersifat kapital intensif. Perbedaan fungsi produksi di
suatu negara juga akan turut menentukan arah perdagangan negara tersebut. Suatu negara
yang dapat berproduksi secara relatif lebih efisien di suatu jenis produk akan cenderung menjadi
pengekspor produk tersebut.
Dalam kenyataannya, perdagangan bebas berlangsung tidak secara bebas. Hambatan
pedagangan dapat berbentuk tarif dan non-tarif. Penetapan besaran tarif mempunyai pengaruh
terhadap keseimbangan output dan harga. Hambatan tersebut mengakibatkan harga yang
lebih tinggi yang mengakibatkan menurunnya permintaan terhadap barang dari luar negeri;
sesuai mekanisme permintaan-penawaran.
Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia
29
Sebagai ilustrasi, peningkatan tarif impor mengakibatkan harga barang impor menjadi
relatif lebih mahal dan menurunkan permintaan terhadap barang tersebut. Hal ini memberikan
insentif terhadap barang produksi dalam negeri. Di sisi lain, subsidi ekspor mengakibatkan
harga barang produksi dalam negeri menjadi relatif lebih murah dan meningkatkan permintaan
dari pasar luar negeri.
II.2. Teori Kerjasama Perdagangan Internasional
Dengan liberalisasi perdagangan baik yang bersifat internasional maupun regional,
hambatan-hambatan perdagangan dapat kurangi dan bahkan dihilangkan. Integrasi ekonomi
regional adalah suatu proses dimana beberapa ekonomi dalam suatu wilayah bersepakat untuk
menghapus hambatan dan mempermudah arus lalu lintas barang, jasa, kapital dan tenaga
kerja. Pengurangan bahkan penghapusan tarif dan hambatan non tarif akan mempercepat
terjadinya integrasi ekonomi regional seiring lancarnya lalu lintas barang, jasa, kapital dan
tenaga kerja tersebut.
Perdagangan bebas ataupun kerjasama regional diharapkan dapat menimbulkan efisiensi
dan meningkatkan kesejahteraan. Tak dapat dipungkiri bahwa kerjasama perdagangan juga
akan meningkatkan kompetisi antar anggota. Namun apabila hal tersebut disikapi dengan
bijak maka manfaat yang dapat dipetik antara lain adalah peningkatan spesialisasi dan
peningkatan perdagangan itu sendiri. Dengan keunggulan komparatif dari masing-masing
negara, setiap negara dapat berfokus pada produksi barang yang mempunyai keunggulan
komparatif sehingga akan terjadi realokasi faktor produksi. Pada akhirnya akan tercipta
keseimbangan harga yang lebih murah dan output yang lebih banyak sehingga memberikan
kesejahteraan lebih besar terhadap negara-negara yang terlibat.
Banyak studi yang berkesimpulan bahwa perdagangan bebas berimplikasi positif bagi
negara-negara yang terlibat. Disamping meningkatkan kesejahteraan (Kindleberger dan Lindert,
1978), juga meningkatkan kuantitas perdagangan dunia dan efisiensi (Hadi, 2003; Stephenson,
1994). Urata dan Kiyota (2003) menemukan bahwa FTA di Asia Timur memberi pengaruh
positif pada ekonomi. Ekspor dengan dengan daya saing tinggi akan meningkat. Studi Saktyanu
et al. (2007) menunjukkan penurunan subsidi ekspor di negara maju berdampak pada
peningkatan produksi pertanian Indonesia. Berbeda dengan hasil studi yang secara umum
memberikan dampak positif, Haryadi et al. (2008) memperlihatkan bahwa liberalisasi
perdagangan dengan cara menghapus semua hambatan perdagangan berdampak pada
penurunan PDB Indonesia dan Australia-Selandia Baru.
30
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
Salah satu indikator untuk mengukur dampak kerjasama perdagangan internasional adalah
dengan melihat terjadinya trade diversion dan trade creation (Vinerian, 1950; Krueger, 1990).
Efek positif yaitu trade creation adalah terjadinya perdagangan akibat beralihnya konsumsi
dari produk domestik yang bersifat high-cost ke produk impor dari luar negeri yang bersifat
low-cost (Vinerian, 1950); dengan kata lain terjadi perdagangan yang mengikat intra negara
partner. Namun demikian, perbedaan tarif yang diberlakukan untuk partner dan non-partner,
merubah arah kecenderungan perdagangan sehingga menimbulkan efek negatif yaitu trade
diversion, yang merujuk kepada perpindahan dari produk impor yang bersifat low-cost dari
negara non anggota dengan produk impor yang bersifat high-cost dari negara partner (Vinerian,
1950); dengan kata lain terjadi perdagangan yang menurun dengan negara non-partner. Trade
diversion akan menurunkan efek kesejahteraan sehubungan dengan terjadinya perubahan
orientasi suplai ke sumber yang relatif lebih mahal.
Manfaat perdagangan bebas atau kerjasama regional sangat ditentukan oleh salah satu
efek yang lebih dominan. Efek secara keseluruhan dapat bersifat positif, negatif ataupun netral,
tergantung dari besarnya magnitude dari trade creation dan trade diversion. Perdagangan
bebas ataupun PTA akan sangat menguntungkan apabila dampaknya terhadap trade creation
lebih besar dibandingkan dampaknya terhadap trade diversion. Studi yang dilakukan Lee and
Shin (2006) mengkonfirmasi bahwa RTA akan meningkatkan perdagangan antar anggota.
Namun demikian, tidak ditemukan penurunan perdagangan antara anggota RTA dengan nonanggota yang bersifat signifikan. Bahkan pada beberapa RTA, perdagangan antara negara
anggota dan non-anggota justru mengalami peningkatan. Meskipun terjadi trade creation dan
trade diversion, secara keseluruhan RTA memberikan dampak perdagangan yang positif.
II.3. Kerjasama ASEAN Cina Free Trade Area (ACFTA)
Perdagangan antara negara-negara ASEAN dengan Cina terus menunjukkan peningkatan
dari tahun ketahun. Dari sisi ASEAN, Cina termasuk mitra dagang penting sebagai negara
tujuan ekspor. Rata-rata pangsa ekspor ke Cina oleh negara ASEAN dari 2001-2008 bervariasi
namun secara umum cukup tinggi. Vietnam sebagai negara yang menempatkan Cina sebagai
mitra dagang utama dengan pangsa tertinggi mencapai 9%, sementara bagi Indonesia pangsa
ekspor ke Cina mencatat 7% (Grafik III.3). Dari sisi Cina, negara ASEAN menjadi mitra dagang
penting terutama untuk pasokan bahan baku. Pangsa impor Cina dari Singapura mencatat
35% dari total impor dari ASEAN atau merupakan pangsa tertinggi di antara negara ASEAN
lainnya (Grafik III.4). Sementara pangsa impor barang dari Indonesia sebesar 13% dari total
impor dari ASEAN. Perdagangan antara ASEAN dan Cina mempunyai kecenderungan untuk
Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia
31
terus meningkat yang semakin menunjukkan relatif pentingnya perdagangan ASEAN-Cina bagi
keduanya. Dengan demikian, potensi keuntungan dari penghapusan hambatan perdagangan
kawasan ASEAN-Cina akan menjadi relatif besar.
Kesadaran atas pentingnya peranan masing-masing pihak menumbuhkan kesadaran untuk
merintis kesepakatan kerjasama ekonomi. Pada tanggal 4 November 2002, terjadi kesepakatan
kerangka kerjasama yang sering disebut dengan ≈Framework Agreement on Comprehensive
Economic Cooperation∆. Didalam framework tersebut disepakati pentahapan pembentukan
perdagangan bebas untuk barang pada tahun 2004, sektor jasa tahun 2007, dan investasi
tahun 2009. Sementara dari sisi kesiapan perdagangan bebas bagi ASEAN juga berlaku bertahap.
Perdagangan bebas mulai berlaku tahun 2010 antara Cina dengan ASEAN-6 yaitu untuk
Indonesia, Singapura, Thailand, Malaysia, Philipina, dan Brunei . Sementara tahun 2015 berlaku
bagi Cina dengan ASEAN-4 yaitu Kamboja, Vietnam, Laos, dan Myanmar. Beberapa isu yang
terkait perkembangan ACFTA, khususnya di Indonesia seperti terlihat dalam Diagram III.1.
Dari studi literatur antara lain oleh Park et al (2008) menganalisa keunggulan dan prospek
ACFTA dan mengungkapkan bahwa ACFTA, yang terdiri dari 11 ekonomi dengan total populasi
dan GDP yang cukup besar, sangat memungkinkan untuk menjadi suatu kawasan kerjasama
ekonomi yang efektif. Relatif besarnya level tarif intra wilayah juga merupakan potensi yang
dapat meningkatkan trade creation. Meskipun Cina dan ASEAN telah berupaya meliberasikan
perdagangannya, pada kenyataannya tingkat tarif dan hambatan antara keduanya ternyata
masih cukup tinggi, sehingga memungkinkan untuk terciptanya trade creation. Cina
memberlakukan tarif rata-rata sebesar 9,4% untuk barang dari ASEAN. Sebaliknya, tarif yang
diberlakukan negara ASEAN terhadap barang dari Cina secara rata-rata hanya sebesar 2,3%.
Namun tak dapat dipungkiri bahwa selain peluang terdapat pula tantangan dengan
berlakunya ACFTA. Tantangan terbesar yaitu peningkatan kompetisi produk. Ketakutan akan
ketidakmampuan untuk bersaing produk dalam negeri menghadapi serangan produk impor
dari Cina maupun ketakutan akan ketidakmampuan produk ekspor untuk masuk ke potensi
pasar Cina yang terbuka lebar merupakan tantangan yang apabila dikelola dengan bijaksana
maka dapat menjadi peluang yang cukup potensial. Yue (2004) mencontohkan peningkatan
perdagangan intra industri pada produk mesin dan perlengkapan elektrik sebagai contoh dari
dampak ACFTA terhadap peningkatan perdagangan yang cukup berhasil. Terdapat berbagai
penelitian yang telah membahas dampak perdagangan ACFTA, antara lain seperti terlihat dalam
Tabel III.1.
32
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
Cambodia
China Sbg Tujuan Ekspor Utama
1%
Lao
4%
Brunei
4%
Myanmar
6%
Indonesia
7%
Malaysia
7%
Cambodia
0%
Lao
0%
Myanmar
1%
Brunei
1%
Vietnam
6%
Philipina
7%
Thailand
8%
Indonesia
Philipina
8%
Thailand
Singapura
8%
Malaysia
Vietnam
2
4
6
8
4 November
Kepala negara
ASEAN dan
Cina
menandatangani
kerangka
persetujuan
Comprehensive
Economic
di
Cooperation
Pnom Penh
2003
2004
6 Oktober
Menteri
Ekonomi
ASEAN dan
Cina
menandatanga
ni protokol
perubahan
kerangka
persetujuan di
Bali
15 Juni
Indonesia
meratifikasi
kerangka
-persetujuan AC
FTA melalui
Kepres
No.48/2004
21 Juli
Terbit:
- SK Menkeu
No.355/KMK/01/2
004 tentang
Penetapan Tarif
BM atas impor
barang dalam
Kerangka Early
Harvest Package
(EHP) AC-FTA.
- SK Menkeu
No.356/KMK/01/2
004 tentang
Penetapan Tarif
BM atas Impor
Barang dl
Kerangka EHP
Bilateral
Indonesia-China
FTA
18%
21%
35%
0
10
%
Grafik III.3:
Pangsa Ekspor ke Cina
2002
13%
Singapura
9%
0
Pangsa Impor China
dari negara Asean
10
20
30
%
Grafik III.4: Sumber Impor Cina dari
Negara-Negara ASEAN
2005
7 Juli
Terbit:
Permenkeu
No.56/PMK.010/2
005 tentang
Penurunan /
Penghapusan
Tarif BM dl
Rangka Normal
Track ASEANChina
40
2006
15 Maret
Terbit:
Permenkeu
No.21/PMK.010/
2006 tentang
Penetapan Tarif
BM dlm Rangka
Normal Track
ACFTA thn 2006
2007
6 Feb
Terbit:
- Permenkeu
No.
07/KMK.04/20
07 tentang
perpanjangan
SK Menkeu
No.355/2004
- Permenkeu
No.
08/PMK.04/20
07 tentang
perpanjangan
SK Menkeu
No.356/KMK.
01/2004
Diagram III.1:
Road Map Perjanjian ACFTA
2008
2009
23 Des
Terbit:
Permenkeu No.
235/PMK.011/200
8 tentang
Penetapan Tarif
BM dalam rangka
ACFTA
29 Jan
Depperin meminta
penundaan ACFTA
dari 2010 hingga
2012 akibat krisis
2 Des
10 Asosiasi industri
meminta
penundaan ACFTA
ke DPR.
25 Des
Dibentuk tim
bersama unt.
ACFTA yang
dipimpin Menko, dg
melibatkan Apindo,
Kadin, dan Depdag.
Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia
33
Table III.1
Penelitian-Penelitian Terdahulu Terkait dengan ACFTA
Peneliti
Park et al
Tahun
2008
Metode Analisis
Indikator Perdagangan
dan GTAP
Temuan
- Secara keseluruhan akan meningkatkan net trade, output dan welfare
regional
- Dampak masing-masing negara sangat beragam
- Keuntungan yang besar untuk negara seperti Singapura, Malaysia, Indonesia
dan Thailand dibandingkan negara anggota yang relatif lebih miskin seperti
Kamboja, Laos dan Myanmar.
- Optimis mengenai prospek penerapan ACFTA.
Park
2007
Kulaitatif
- ASEAN merupakan potensi pasar yang besar bagi ekspor China sekaligus
alternatif sumber impor
- China merupakan pasar potensial bagi produk ekspor ASEAN terutama
barang intermediate dan kapital
- ACFTA akan memberikan keuntungan ekonomi yang signifikan terhadap
perekonomian ASEAN dan China
- Tekanan kompetisi dari China akan membawa dampak negatif dalam jangka
pendek namun akan berdampak positif berupa peningkatan produktivitas
dan efisiensi di jangka panjang
Jiang &
McKibbin
2008
GTAP
Tambunan
2005
Indikator Perdagangan
Studi ini membandingkan dampak dari berbagai kerjasama perdagangan
yang diikuti oleh China. Hasil temuan untuk kasus ACFTA menyatakan bahwa
China akan mendapatkan keuntungan dari keikutsertaannya dalam ACFTA
- Peningkatan ekspor ASEAN ke China
- Kompetisi terhadap produk impor dari China
- Terjadi trade creation dari ASEAN-China yang cenderung lebih tinggi
dibandingkan pertumbuhan intra trade antar negara ASEAN
Okamoto
2005
Universal
Acces to
Compititiveness
and Trade
(UACT)
Indikator Perdagangan
GTAP
- Singapura dan Malaysia memperoleh keunggulan dari spesialisasi inter dan
intra industri sementara Thailand memperoleh keunggulan dari spesialisasi
intra industri. Namun Indonesia dan Filipina tidak banyak memperoleh
keuntungan
- Peningkatan Ekspor ASEAN ke China dan sebaliknya
- Manfaat terbesar dari sisi ekspor dirasakan Indonesia, Malaysia, Singapura
dan Thailand
- Komoditi ekspor andalan ASEAN merupakan barang intermediate China
sehingga peningkatan ekspor China akan mendorong peningkatan ekspor
ASEAN
- PDB ASEAN meningkat 0,9% sementara PDB China meningkat 0,3%
Yue
2004
GTAP
- Manfaat ekonomi : peningkatan speasialisasi dan perdagangan. Namun
demikian, juga akan terjadi trade diversion dengan non member yang
signifikan.
- Dampak perdagangan : peningkatan eskpor ASEAN ke China dan sebaliknya.
Peningkatan ekspor terbesar akan dialami oleh Indonesia, Malaysia,
Singapura dan Thailand. Secara sektoral, keuntungan terbesar akan dinikmati
oleh produk tekstil dan pakaian, mesin dan perlengkapan elektrik, serta
industri lainnya. Terdapat peningkatan yang signifikan untuk perdagangan
intra industri.
- Dampak terhadap PDB : PDB ASEAN akan meningkat 0,9% dan China 0,3%.
Vietnam akan mengalami peningkatan terbesar. Sementara Indonesia akan
mengalami penurunan PDB.
- Keuntungan non-ekonomi : peningkatan hubungan poilitik dan sosial.
34
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
III. METODE PENELITIAN
III.1. Model Computable General Equilibrium
Terdapat beberapa pendekatan dalam studi perdagangan dunia, salah satu jenis
pengelompokannya yaitu pendekatan model keseimbangan umum dan parsial. Teori
keseimbangan umum menjelaskan adanya mekanisme keterkaitan antara seluruh pasar sebagai
suatu sistem yang saling berinteraksi secara simultan. Apabila pasar dalam kondisi keseimbangan
mengalami perubahan atau terdapat gangguan pada suatu pasar secara parsial, maka akan
ada penyesuaian pada pasar yang bersangkutan dan di pasar lainnya. Salah satu model yang
sering digunakan pada berbagai studi adalah General Trade Analysis Project (GTAP); sebuah
model computable general equlibrium (CGE) yang dikembangkan oleh Purdue University.
Model CGE seringkali digunakan untuk sektoral industri, perdagangan dan fiskal2 . Dalam
model ini, kondisi pasar faktor produksi dan pasar hasil produksi berada pada kondisi
keseimbangan. Dasar utama dari model CGE adalah pemahaman bagaimana ekonomi bekerja
dan selanjutnya menggunakan data sesuai dengan model yang dikembangkan.
Dalam model GTAP ini, perekonomian dunia diasumsikan telah berada pada kondisi
keseimbangan umum, dimana seluruh agen dalam perekonomian tidak memiliki kemampuan
untuk mempengaruhi harga atau bertindak sebagai price taker sehingga harga yang terbentuk
sepenuhnya merupakan interaksi antara permintaan dan penawaran. Secara implisit, ini
mengasumsikan bahwa setiap pasar berada dalam kondisi pasar persaingan sempurna
(competitive) dan pendekatan ini seringkali dikenali sebagai konsep Walrasian General
Equilibrium.
Keseimbangan umum dalam model CGE dicerminkan dalam bentuk nominal (kuantitas
dikalikan dengan harga) yang mewakili aliran dana, baik disertai dengan aliran barang
(transaksi) maupun tidak (transfer). Model CGE terdiri dari persamaan-persamaan yang
mewakili keseimbangan seluruh pasar mulai dari pasar input sampai pasar output untuk
keseluruhan sektor yang dianalisis. Selain itu, model CGE ini secara eksplisit memodelkan
perilaku rasional agen-agen perekonomian baik produsen yang memaksimalkan keuntungan,
rumah tangga yang memaksimalkan kepuasan (utility), dan agen lain dalam perekonomian.
Termasuk dalam model CGE ini adalah spesifikasi persamaan menyangkut arus dana antar
agen, serta persamaan-persamaan lain yang mendefinisikan pembentukan harga dan
kuantitas. Secara keseluruhan, model CGE merupakan sekumpulan persamaan matematis
yang simultan dapat diselesaikan.
2 Working Paper 2009, Semar 2009: Suatu Model Financial Computable General Equilibrium, BRE DKM.
Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia
35
Model GTAP merupakan model CGE multi sector dan multi region. Standar model GTAP
terdiri dari rumah tangga, pemerintah, dan perusahaan di masing-masing ekonomi3 (Diagram
III.2). Social welfare function diasumsikan terdiri dari belanja swasta, national savings, dan
belanja pemerintah. Tabungan (Savings) dianggap sebagai proksi dari konsumsi yang ditunda.
Dengan kendala pendapatan pada masing-masing region (regional income constraint), maka
setiap principal agents memaksimalkan welfarenya.
Sebagaimana model CGE lainnya, model standar GTAP memberikan spesifikasi dari
berbagai teori dan perilaku agen secara eksplisit dalam bentuk persamaan matematis. Pemilihan
bentuk fungsi mengacu pada 2 hal utama, (i) kesesuaian teori, dan (ii) kenyataan empiris, serta
(iii) kebutuhan penelitian. Salah satu bentuk fungsi (untuk selanjutnya kita sebut nesting) yang
sering digunakan adalah bentuk fungsi Cob-Douglas dimana parameter yang menunjukkan
proporsi dari komponen pementuknya diasumsikan tetap. Jika harga relatif dari suatu komoditas
berubah, maka penggunaannya ƒkatakan untuk konsumsiƒ juga akan mengalami perubahan
untuk mempertahankan proporsi nominalnya sesuai dengan besaran parameter yang telah
ditentukan sebelumnya (relative share).
Rumah Tangga
Regional
TAXES
TAXES
SAVE
PRIVEXP
Rumah Tangga
Swasta
TAXES
XTAX
GOVEXP
Global Saving
MTAX
VOA
NET
INV
VDPA
Pemerintah
VDGA
Produsen
VIPA
VIGA
VDFA
VIFA
VXMD
Dunia / ROW
Sumber: A Graphical Exposition of GTAP Model, Brockmeier, 1996
Diagram III.2: Blok-Blok Agen Dalam Model GTAP
Pengeluaran konsumsi terdiri dari berbagai macam komoditas tradable dalam model.
Rumah tangga menentukan permintaannya untuk masing-masing komoditas berdasarkan tiga
faktor, yaitu: harga relatif , konsumsi minimum, dan tingkat pendapatan . Sistem permintaan
ini disebut sebagai Constant Difference Elasticity (CDE). Sementara itu, pengeluaran pemerintah
untuk individual komoditas tetap berdasarkan fungsi Cob-Douglas.
3 TSQ Discussion Paper, How Will the Regional FTAs Shape the Indonesian Economy? Evaluation by the Computable General Equilibrium
Model, Masahiko Tsutsumi, August 2001.
36
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
Komoditas diproduksi baik oleh produsen dalam negeri dan luar negeri. Keduanya
selanjutnya dikombinasikan dalam bundel komoditas yang merupakan komposit dari produk
domestik dan impor. Dalam model GTAP, komposisi kedua asal produk ini mengikuti fungsi
Constant Elasticity Substitute (CES). Sistem import-domestic demand ini dikemukakan oleh
Armington (1969) memungkinkan modeler untuk merubah elastisitas substitusi antara produk
domestik dan imnpor bergantung dari eksperimennya.
Perusahaan diasumsikan akan memaksimalkan keuntungannya. Dalam proses produksi,
tenaga kerja, kapital, dan tanah membentuk komposit input primer mengikuti bentuk nesting
CES, sehingga memungkinan terjadinya substitusi antara ketiga input primer tersebut. Hal ini
sesuai dengan teori dan kenyataan empiris dimana suatu sektor dapat beralih dari padat karya
ke padat modal atau sebaliknya.
Komposit input primer ini kemudian digabungkan dengan input antara dalam nesting
yang berbentuk fungsi Leontief. Spesifikasi ini jelas diharuskan untuk mempertahankan
komplementaritas antara input primer dengan input antara sebab sulit untuk membayangkan
jika tenaga kerja dapat digantikan oleh katakan minyak goreng dalam proses produksi sektor
hotel dan restoran misalnya.
Tanah bersifat immobile sementara itu labor dan modal bersifat mobile dalam industri.
Dalam model GTAP standar ini, pergerakan endowment lintas negara (international mobility)
tidak diperbolehkan.
Tabungan di masing-masing negara dilakukan (dikumpulkan) oleh suatu lembaga fiksi,
yaitu global bank dan dialokasikan sebagai sumber pembiayaan bagi investasi. Bagaimana
menghubungkan savings dengan investasi tergantung kepada teori dan kenyataan empiris
yang dapat diubah sesuai dengan tujuan penelitian.
Secara umum, setiap pertanyaan penelitian yang diajukan harus diterjemahkan kedalam
bentuk simulasi model. Setting simulasi ini sangat menentukan dan salah satu komponen yang
penting adalah closure; yakni pembagian variabel untuk ditempatkan sebagai variabel endogen
atau eksogen. Implikasi dari closure ini sangat besar terhadap kepentingan dan hasil simulasi,
salah satunya dalam merestriksi apakah simulasi berdimensi jangka pendek (salah satunya
ditandai dengan fixed sectoral capital) atau berjangka panjang.
III.2. Alur Analisis
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dampak ACFTA bagi perdagangan internasional
Indonesia serta bagaimana dampaknya terhadap komoditas ekspor Indonesia. Terkait dengan
Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia
37
hal tersebut, dalam bagian ini diuraikan mengenai alur analisis yang dilakukan sebagaimana
ditunjukkan dalam Diagram III.3.
Proses agregasi dan
di sagregasi negara & sektor
Run GTAP (CGE Model)
Shock Tarif
0%
Eksekusi
Indikator
RCA
Hasil
Simulasi
Peluang
Indikator
IIT
Tantangan
Indikator
Overlap
Indikator
Similarity
Peta daya saing
komoditas RI
Pasar China
Peluang
Tantangan
Pasar ASEAN
Indikator
Spearman RC
Indonesia
vs
Negara ASEAN
Indonesia
vs
China
Diagram III.3:
Diagram Alur Analisis
Tahapan pertama adalah melakukan proses agregasi dan disagregasi negara dan komoditas
dari masing-masing sektor. Selanjutnya melakukan running model CGE, dengan menggunakan
model GTAP yang merupakan model CGE untuk melakukan simulasi terkait dengan perdagangan
internasional. Setelah memberikan shock, dalam hal ini terhadap tarif, maka dilakukan running
model. Adapun data yang digunakan adalah data perdagangan negara-negara dunia tahun
2004 yang merupakan data standar dalam model GTAP versi 7 tahun 2008.
Hasil simulasi berdasarkan model CGE selanjutnya dianalisis untuk melihat peluang dan
tantangan yang dihadapi secara riil dalam perekonomian sebagaimana yang disimulasikan.
Lebih rinci, hasil simulasi model GTAP ini akan dikonfrontasikan dengan analisis indikatorindikator perdagangan internasional atas data ekspor dan impor dari UNCOMTRADE periode
2001-2008.
38
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
Untuk periode 2001-2008, analisis dibagi menjadi dua periode yaitu Periode I tahun
2001-2004 yang bisa dipandang sebagai periode sebelum implementasi ACFTA. Yang berikutnya
adalah Periode II tahun 2005-2008 yang dianggap sebagai periode implementasi ACFTA. Data
yang dipergunakan ini merupakan data SITC-3 digit (ver.3) yang diagregatkan menjadi 2 digit.
Sementara itu, untuk mengekuivalenkan kode komoditas antara versi GTAP dengan versi SITC
maka dilakukan re-grouping untuk memperoleh kompatibilitas diantara keduanya.. Konversi
kelompok komoditas dari SITC ke GTAP menggunakan referensi utama yang disajikan dalam
website GTAP.
III.3. Setting Simulasi Model GTAP
Secara umum, closure yang digunakan dalam simulasi mengikuti closure standar GTAP
yakni: 4
1. Variabel harga dan kuantitas dari komoditas yang dapat diperdagangkan lintas negara dan
tidak termasuk dalam kategori endowment commodities, ditempatkan sebagai variabel
endogen.
2. Pendapatan setiap region adalah endogen.
3. Seluruh variabel kebijakan, produktivitas (technical changes) dan populasi ditempatkan
sebagai variabel eksogen.
Dalam melakukan simulasi untuk melihat dampak implementasi ACFTA terhadap
perdagangan internasional terhadap ASEAN secara umum dan Indonesia secara khusus, terutama
terkait dengan ekspor, shock yang diterapkan adalah:
1. Tarif yang berlaku antara negara-negara ASEAN dengan Cina menjadi 0% (tidak berlaku),
2. Anggota ACFTA tetap mengenakan tarif kepada negara non ACFTA (rest of the world,
ROW).
3. Begitu pula sebaliknya, ROW mengenakan tarif terhadap negara-negara anggota ACFTA.
III.4. Pengujian Korelasi Indikator Perdagangan Internasional
Berangkat dari hasil simulasi model GTAP sebelumnya, untuk melihat peta daya saing
komoditas Indonesia serta tantangan dan peluang yang dihadapi sebagai dampak terbentuknya
forum ACFTA bagi perdagangan internasional Indonesia, maka analisis dilanjutkan dengan
menggunakan beberapa indikator perdagangan yakni (i) Revealed Comparative Advantage
4 Setting simulasi secara lengkap tersedia pada penulis.
Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia
39
(RCA), (ii) Intra Industry Trade (IIT), (iii) Index of Export Overlap (IEO), dan (iv) Index of Export
Similarities (IES).
Indikator perdagangan internasional digunakan untuk memberikan klarifikasi dan
tambahan informasi hasil temuan hitungan dengan menggunakan GTAP. Indikator perdagangan
juga menjadi pelengkap hasil riset karena dapat memberikan informasi kinerja komoditas ekspor
Indonesia secara lebih rinci.
Terhadap indikator RCA tersebut, dilakukan Spearman»s rank correlation coefficient (SRC)
yang merupakan ukuran statistik non-parametrik dan dapat dihitung dengan formula berikut:
ρ =
Σi (x i x ) ( yi y)
Σi (x i x ) 2 Σi ( y i y) 2
(III.1)
Pengujian ini diperlukan untuk melihat apakah terdapat persamaan peringkat daya saing
komoditas pada dua negara secara berpasangan yang diamati. Tanda dari SRC menunjukkan
arah hubungan antara variabel independen X dan variabel dependen Y. Besaran SRC ini terletak
antara 0 dan 1 dimana ketika X dan Y perfectly monotonically related, maka SRC menjadi 1.
III.4.1. Revealed Comparative Advantage (RCA)
Untuk melihat daya saing produk ekspor, indikator yang digunakan adalah indikator
revealed comparative advantage (RCA); dimana untuk RCA > 1 menunjukkan adanya keunggulan
komparatif.
RCA = (Xij / Xj) / (Xiw / Xw)
di mana:
Xij = ekspor komoditas i negara j
Xj = total ekspor negara j
Xiw = ekspor komoditas i dunia
Xw = total ekspor dunia
III.4.2. Intra Industry Trade (IIT)
Untuk melihat alur perdagangan internasional digunakan indikator Intra-Industry Trade
atau seringkali juga disebut Grubel-Lloyd index (IIT). Berdasarkan formula, indikator tersebut
berada pada ukuran nilai antara 0 dan 1. IIT yang mendekati 0 mencerminkan alur perdagangan
40
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
yang bersifat inter-industri, sedangkan IIT yang mendekati 1 mencerminkan alur perdagangan
yang bersifat intra-industri.
Secara umum, indikator tersebut menjelaskan bahwa, suatu komoditas dari suatu negara
cenderung mempunyai ikatan mata rantai dalam suatu perdagangan internasional apabila
memiliki nilai yang mendekati 1. Hal ini dapat digambarkan dengan perdagangan ekspor dan
impor suatu negara untuk jenis industri manufaktur dalam kelompok barang yang sama (biasanya
mengacu pada kelompok barang menurut SITC). Suatu negara dapat melakukan ekspor
komponen elektronik dan pada saat yang sama melakukan impor barang elektronik. Di sisi
lain, perdagangan untuk jenis komoditas tertentu misalnya komoditas berbasis SDA seperti
minyak dan gas, suatu negara cenderung bertindak sebagai eksportir dan sedikit atau bahkan
tidak melakukan impor. Apabila ini terjadi maka, nilai IIT komoditas minyak dan gas tersebut
mendekati 0, atau perdagangan yang bersifat inter-industry.
Untuk mengukur tingkat IIT maka digunakan indeks Grubel dan Lloyd sebagai berikut:
GLI ( j,t ) =
Σi ( X ( i, j, t ) + M ( i, j, t ) − X ( i, j, t ) − M ( i, j, t )
Σi ( X ( i, j, t ) − M ( i, j, t ) )
(III.2)
Di mana: X(i,j,t) adalah nilai dari komoditas ekspor i oleh negara j pada tahun t
M(i,j,t) adalah nilai komoditas impor i oleh negara j pada tahun t
Perhitungan di sini menggunakan klasifikasi data SITC-3 digit komoditas i yang kemudian
diagregatkan menjadi 2 digit. Dalam perhitungan GLI terdapat kecenderungan semakin detail
data komoditas maka nilai GLI semakin kecil. Mengacu kepada penelitian-penelitian sebelumnya
penelitian ini juga digunakan 2 digit dengan pertimbangan sudah mencukupi untuk
mengidentifikasi proses IIT dalam negara-negara ACFTA.
III.4.3. Index of Export Overlap (IEO)
Untuk mengukur tingkat kompetisi masing-masing negara ASEAN dengan Cina dalam
perdagangan ACFTA dan juga tingkat kompetisi antar negara-negara ASEAN dalam
memanfaatkan peluang ekspor ke Cina, dipergunakan ukuran Index of Export Overlap (IEO).
Persamaan overlapping index dinyatakan oleh persamaan:
IEO ( j1, j2, t ) = 100 x
Σt min (X (i, j , t), X (i, j , t) / Σt X ( i, j , t )
1
2
1
Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia
41
Ukuran IEO dipergunakan untuk mengukur tingkat kompetisi yang diindikasikan dengan
share ekspor yang overlap antara total ekspor dua perekonomian . Semakin besar area yang
overlap (daerah b), maka semakin besar tingkat kompetisi antar kedua negara tersebut.. Indeks
Nilai Ekspor
tersebut berada diantara nilai 100 yang berarti full overlap dan 0 berarti tidak overlap.
IEO untuk ekonomi A = b/(a+b)
IEO untuk ekonomi B = b/(c+b)
Ekonomi A
Ekonomi B
a
c
b
Higher value
added
Komoditas (i)
Lower value
added
Sumber : Regional Economic Outlook: Asia and Pasific, Oct 2007
Diagram III.4:
Kompetisi Antara Ekonomi A dan B Dengan Ukuran Ekspor Overlap
III.4.4. Index of Export Similarity (IES)
Index of Export Similarity digunakan untuk mengukur sejauh mana tingkat kemiripan
komposisi produk ekspor dari dua perekonomian. Persamaan similarity index dinyatakan oleh
persamaan berikut:
IES ( j1, j2, t ) = 100 x
Σi s (i, j , t) s (i, j , t) / Σi s ( i, j , t )
1
2
2
1
Σi s ( i, j , t )
2
2
di mana: s(i,j,t) adalah share komoditas ekspor i terhadap total ekspor ekonomi j tahun t
Nilai indeks IES berkisar antara 0 sd. 100 di mana nilai 100 menunjukkan bahwa komposisi
ekspor dari dua perekonomian tersebut identik, sedangkan 0 jika share komposisi produk ekspor
dari dua perekonomian tersebut sangat berbeda. Oleh karena IES mengabaikan efek ukuran
ekspornya, analisis IES selalu disandingkan dengan indikator IEO.
III.5. Data
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, data yang dipergunakan untuk model GTAP
bersumber dari data GTAP versi 7.0 dengan benchmark data tahun 2004. Cakupan negara
42
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
dalam database GTAP mencapai 113 negara dengan 57 rincian sektor komoditas. Sementara
itu, untuk analisis dengan indikator perdagangan internasional menggunakan sumber data
UNCOMTRADE terutama meliputi data ekspor impor untuk negara-negara dalam lingkup
pengamatan yaitu ACFTA. Periode data yang diolah adalah mulai tahun 2001-2008.
IV. HASIL DAN ANALISIS
Hasil simulasi yang dihasilkan dari model GTAP mencakup berbagai indikator yang
dimungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Meski demikian analisis penelitian lebih
difokuskan kepada analisis komoditas ekspor negara anggota ACFTA, khususnya Indonesia.
Secara umum terdapat dua bagian fokus analisis, pertama adalah melihat efek shock yang
diberikan terhadap perdagangan negara-negara anggota ACFTA, sementara bagian kedua
mengarah pada hasil kuantitatif dampak perdagangan menurut rincian komoditas. Hasil analisis
bagian pertama dilakukan untuk melihat bagaimana perimbangan dampak trade diversion
dan trade creation sebagai akibat dari implementasi FTA.
IV.1. Hasil Perhitungan dengan Model GTAP
Dari berbagai studi literatur, diperoleh gambaran umum bahwa dampak perdagangan
antara negara dalam anggota blok perdagangan akan meningkat. Namun perdagangan dengan
negara dengan bukan anggota akan menurun. Analisis dampak perdagangan dalam suatu
blok suatu perdagangan sering dikenal dengan analisis trade divertion dan trade creation.
Untuk melihat dampak keseluruhannya, dengan membandingkan besaran masing-masing dari
kedua efek perdagangan tersebut. Apabila dampak trade creation yang lebih besar, maka
secara umum perjanjian perdagangan membawa keuntungan secara keseluruhan. Demikian
sebaliknya apabila dampak trade creation yang lebih rendah, maka dampak perjanjian
perdagangan tidak membawa keuntungan secara keseluruhan.
Meskipun ditemukan dampak trade creation yang lebih menonjol dari trade divertion,
perlu pengamatan lebih lanjut apakah hasil positif secara umum tersebut dinikmati secara
merata oleh negara anggota atau tidak. Demikian juga dengan rincian komoditas ekspor yang
mengalami peningkatan perlu pendalaman lebih lanjut apakah merupakan komoditas generik
secara umum negara anggota atau cenderung dikuasai oleh beberapa negara.
Kenaikan volume perdagangan diantara anggota ACFTA terutama disebabkan oleh
bergabungnya pasar Cina dan berlakunya tarif yang lebih rendah. Dengan demikian, proses
terjadinya trade diversion merupakan proses pengalihan perdagangan yang semula dilakukan
Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia
43
dengan partner dagang negara bukan anggota ACFTA bergeser menuju kepada sesama anggota
ACFTA. Proses perubahan tersebut dapat dianalogikan dengan adanya sejumlah nominal dana
yang dimiliki oleh agen ekonomi (negara) menjadi dapat dibelanjakan dengan barang yang
lebih banyak sebagai akibat turunnya harga barang. Preferensi importir juga mengalami
perubahan menghadapi dinamika perubahan harga impor sebagai akibat penurunan tarif.
Apabila penurunan tarif impor menyebabkan harga menjadi lebih murah dibandingkan dengan
harga barang yang bersumber dari negara non member (asumsi kualitas barang sama), maka
terjadi penurunan perdagangan dengan negera non member atau terjadi trade divertion.
Hasil simulasi GTAP untuk mengukur dampak perdagangan (trade effect) secara
keseluruhan (net effect) untuk negara anggota ACFTA tercermin dalam Grafik III.5 dan Grafik
III.6. Total net trade creation di kawasan ACFTA adalah sebesar 2,1% yang bersumber dari
adanya trade creation diantara negara anggota ACFTA sebesar 18,4% dan penurunan trade
diversion berupa penurunan perdagangan dengan negera bukan anggota (rest of the world)
sebesar 1,8% 5 .
Trade Diversion
Persen (%)
0,0
10,0
OTHERS ASEAN
SIN
Net Trade
8,0
-1,0
Vietnam,
9.1
PHI
ACFTA
IND
6,0
CHI
ASEAN
-2,0
MAL
Thailand,
2.5 China,
2.3
Other
ACFTA,
Malaysia,
ASEAN, 2.2
2.1
1.9 Filipina,
ASEAN,
Indonesia,
1.32
2.02
2.0
Singapura,
0.4
4,0
-3,0
VIE
2,0
THA
-4,0
0,0
0
5
10
15
20
25
Trade Creation
30
35
40
Grafik III.5 Dampak Perdagangan di
ASEAN Atas Kebijakan ACFTA (%)
1
Grafik III.6. Net Trade creation Dampak
ACFTA
Dari individu negara anggota ACFTA, Vietnam dan Thailand mempunyai trade creation
terbesar, masing-masing sebesar 9,1% dan 2,5%, sedangkan Singapura memperoleh hasil
yang minimal yaitu 0,4% (Grafik III.5). Tinggi rendahnya net trade creation tersebut dipengaruhi
oleh besaran tarif impor saat simulasi dilakukan. Rata-rata tarif impor dinegara Vietnam dan
Thailand masih relatif tinggi sedangkan di Singapura telah mencatat 0%. Berdasarkan data
awal GTAP yang digunakan, tarif impor komposit barang dari Cina di Vietnam dan Thailand
5 Hasil lengkap perhitungan dampak perdagangan disajikan dalam lampiran 1.
44
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
masing-masing 18,0 dan 11,3%. Untuk negara lainnya berturut-turut Indonesia (11,3%),
Malaysia (7,5%), Philipina (5,3%), serta other ASEAN (7,8%). Tinggi rendahnya tarif masuk
barang tersebut secara umum sejalan dengan tarif masuk yang dikenakan oleh Cina atas barang
yang bersumber dari negara-negara tersebut. Kecuali barang dari Singapura dimana Cina masih
mengenakan tarif komposit 4,2%.
Dengan berlakunya kesepakatan perdagangan ACFTA, perkembangan ekspor impor
antara negara ASEAN dengan Cina mengalami perubahan. Impor barang Vietnam dan Thailand
yang bersumber dari Cina mengalami lonjakan masing-masing sebesar 147% dan 101%,
sedangkan Singapura justru mencatat penurunan impor sebesar 1,2% (Grafik III.7). Hal ini
sejalan dengan penjelasan sebelumnya bahwa sensitifitas perubahan impor sejalan dengan
kondisi tarif impor yang sebelumnya tinggi dan di-shock menjadi 0% pasca ACFTA. Dengan
dinamika perubahan ekspor dan impor sebagai akibat dari perubahan tarif dalam lingkup ACFTA
tercermin dalam Grafik III.8.
Pasangan bilateral Vietnam dan Cina sebelum penerapan ACFTA juga menerapkan struktur
tarif yang tinggi secara timbal balik. Pasca penerapan ACFTA, hasil simulasi menunjukkan
perubahan total ekspor dan impor yang besar masing-masing 6,4% dan 11,5%.6
Import from China, growth (%)
Import from World, growth (%)
6,0
VIE
140
11.5
THA
THA
110
6.4
4,0
others ASEAN
ASEAN
ACFTA
80
MAL
others ASEAN
50
ASEAN
20
2,0
IND
PIL
SIN
SIN
-10
0
10
20
CHI
MAL
IND
PIL
VIE
30
40
Export to China, growth (%)
Grafik III.7. Dampak Perubahan
Ekspor dan Impor dengan China (%)
50
0,0
0
1
2
3
Export to world, growth (%)
Grafik III.8. Dampak Perubahan Total
Ekspor dan Impor (%)
Bagi Indonesia, dampak net creation adalah sebesar 2,0% yang bersumber dari trade
creation 10,3% dan trade diversion -1,5% (Grafik III.5 dan III.6). Perhitungan trade creation
dan trade diversion tersebut diatas berdasarkan total perdagangan internasional yaitu
6 Nilai pertumbuhan ekspor dan impor hasil dari model GTAP tersebut dicatat sebagai perubahan dari nilai dasar (base value) yang
dipakai dalam data base model GTAP.
Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia
45
penjumlahan total nilai ekspor dan impor Indonesia dengan seluruh negara partner dagangnya.
Sementara itu, apabila perhitungan net creation dengan pendekatan total nilai ekspor dikurangi
dengan total impor (net ekspor) dihitung untuk melihat dampaknya pada neraca pembayaran.
Dari simulasi dampak ke neraca pembayaran Indonesia, terdapat kenaikan total impor sebesar
2,3% atau lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan ekspor 1,8%. Dengan demikian, secara
keseluruhan surplus neraca perdagangan Indonesia turun 2,3% atau sebesar USD247 juta
(Grafik III.9 dan lihat lampiran 1 untuk hasil lengkap net creation dengan perhitungan total
ekspor impor dan net ekspor).
Juta USD
growth %
600
10,0
8,3
8,0
6,5
400
268
6,0
253
4,0
200
0
2,0
-15
0,0
-2,0
-2,3
-200
-3,5
-2,3
-247
-400
Mutasi Trade Balance (%)
-499
China Asean ACFTA WOR
ACFTA
26%
ASEAN
16%
CHINA
10%
-4,0
-6,0
Mutasi Trade Balance (USD)
-600
ROW
74%
-8,0
-10,0
Total
China Asean ACFTA WOR
Total
Grafik III.9. Dampak Net Ekspor
Indonesia Pemberlakuan ACFTA (%)
Grafik III.10. Pangsa Ekspor Indonesia √
Data GTAP (%)
Meskipun surplus neraca perdagangan Indonesia negara di kawasan ACFTA mencatat
peningkatan, dampak keseluruhan terhadap total neraca perdagangan masih mencatat
penurunan surplus. Hal ini disebabkan oleh pangsa perdagangan Indonesia dengan ROW yg
lebih dominan dbandingkan dengan kawasan ACFTA. Sebagai gambaran, ekspor Indonesia
(data base level-GTAP) dengan partner dagang ROW mencapai 74%, atau jauh lebih besar
dibandingkan dengan partner dari sesama anggota ACFTA sebesar 26% (Grafik III.10).
Dari hasil simulasi diperoleh hasil perubahan ekspor impor Indonesia dengan keseluruhan
mitra dagang sesama anggota ACFTA masing-masing tumbuh 11,7% dan 9,1%. Dengan
hasil peningkatan ekspor yang lebih besar dari impor, dampak terhadap surplus neraca
perdagangan Indonesia mencatat kenaikan 6,5% atau USD253 (Grafik III.9). Sementara itu,
transaksi ekspor dan impor Indonesia dengan partner dagang dari ROW mencatat penurunan
masing-masing sebesar -1,7% dan -1,3%, sehingga neraca perdagangan turun 3,5% atau
USD499 juta.
46
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
Import growth (%)
%
50
12
INDONESIA 'S TRADE
9,5
8,3
CHINA
40
8
57 Sektor Komodiitas
42 Sektor komoditas
8,3
6,5
30
4
ACFTA
20
0,5
0
TOTAL
10
-0,6
ROW
0
-10
-10
-4
ASEAN
-8
-5
0
5
10
15
20
25
Export growth (%)
30
35
40
Grafik III.11. Dampak Perubahan Ekspor
Impor Indonesia atas Kebijakan ACFTA
45
-2,3
-3,5
-2,3
-6,2
China
ACFTA
ASEAN
ROW
Dunia
Grafik III.12. Dampak ACFTA terhadap
Net Eskpor Sektoral Komoditas (%)
Berdasarkan Grafik III.9 di atas, telah ditunjukkan bahwa hasil simulasi pada pertumbuhan
neraca perdagangan turun 2,3%. Simulasi dalam model GTAP atas ekspor dan impor tersebut
dihasilkan dari rincian 57 komoditas yang terdiri dari 42 komoditas ekspor dan impor (tradable),
sementara 15 komoditas lainnya berupa komoditas jasa atau non-tradable (services) (Tabel
Pengelompokkan 42 sektor tradable dan tabel konversi terdapat di lampiran 2 s/d 5). Pemisahan
kelompok barang tersebut diperlukan untuk memudahkan dalam analisis selanjutnya yang
menggunakan data ekspor impor yang bersumber dari UNCOMTRADE. Sebagaimana diketahui,
statistik ekspor impor dalam perdagangan internasional pada berbagai publikasi termasuk
UNCOMTRADE, merupakan komoditas yang dapat diperdagangkan (tradable). Sementara itu,
dalam analisis sektor riil dalam konteks PDB, pembahasan komoditas terdiri dari komoditas
tradable dan non-tradable. Oleh karena itu, hasil simulasi ekspor impor yang bersumber dari
GTAP dapat kita rinci lebih lanjut untuk kepentingan analisis yang lebih detil, salah satunya
dengan menganalisis komoditas tradable.
Terdapat perbedaan hasil simulasi apabila kita bandingkan hasil simulasi total 57 komoditas
dan 42 komoditas yang bersifat tradable. Secara keseluruhan perubahan dampak net ekspor
Indonesia terhadap 42 komoditas disajikan dalam lampiran 2. Namun untuk memudahkan
tabulasi, terhadap 42 komoditas tradable tersebut dapat di agregasi lebih lanjut menjadi 6
jenis komoditas utama tradable seperti pada terlihat pada tabel III.2 dan III.3 (Tabel konversi
menjadi 6 jenis komoditas utama tradable dan 1 komoditas jasa terdapat di lampiran 5). Dari
grafik III.12 dan tabel 4.2 terlihat bahwa hasil simulasi total net ekspor pada 42 komoditas
(tradable) berubah menjadi tumbuh 0,5%. Hasil simulasi komoditas tradable lainnya adalah
ekspor Indonesia ke Cina meningkat cukup besar 41,4% sehingga secara keseluruhan ekspor
Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia
47
ke ACFTA naik 11,9% (Tabel III.2.). Sementara itu, dampak net ekspor (neraca perdagangan)
yang negatif terjadi dengan mitra dagang Cina dan ROW (Tabel III.3).
Tabel III.2 Dampak Pertumbuhan Ekspor
Komoditas Indonesia pasca Kebijakan
ACFTA (Dalam %)
Sektor Komoditas
ASEAN ACFTA China ROW Dunia
Produk Pertanian
-10,9
Produk Makanan
-4,7
Industri Ekstraktif
-0,3
Industri Ringan
-21,3
Industri Berat
-3,2
Industri Teknologi intensive -3,11
Total
-4,4
-5,3
4,7
2,2
17,6
18,2
2,3
11,9
33,9
16,5
5,2
60,4
48,7
63,1
41,4
-0,5
-1,8
-0,6
-1,7
-3,0
-1,8
-1,7
-2,0
-0,1
-0,1
0,5
4,7
3,9
2,1
Tabel III.3 Dampak Pertumbuhan Net Ekspor
Komoditas Indonesia pasca Kebijakan ACFTA
(Dalam %) 7
Sektor Komoditas
ASEAN ACFTA China ROW Dunia
Produk Pertanian
-14,3
Produk Makanan
-37,8
Industri Ekstraktif
2,5
Industri Ringan
-32,2
Industri Berat
27,7
Industri Teknologi intensive 27,7
Total
9,5
-49,2
-7,8 1,2
4,9
9,3 -3,1
-0,5 -30,2 -1,1
-90,2 -256,2 0,3
79,3 70,7 -20,9
-9,2 -43,3 15,9
8,3
-6,2 -0,6
-3,8
-1,9
-1,7
-1,7
20,6
1,3
0,5
IV.2. Hasil Analisis Indikator Perdagangan Internasional
Berdasarkan output yang dihasilkan dari model GTAP, pengembangan analisis diarahkan
kepada arah adanya peluang dan tantangan pengembangan produk ekspor Indonesia.
Pengembangan analisis dilakukan dengan mendasarkan hasil simulasi model GTAP yang
dikombinasikan dengan analisis indikator perdagangan. Berdasarkan hasil temuan model pada
bagian sebelumnya, telah dihasilkan rincian komoditas yang memiliki peluang dengan adanya
sumbangan positif pada neraca perdagangan pada sejumlah 42 komoditas dalam kelompok
barang perdagangan (tradable). Dari sejumlah komoditas ekspor yang meningkat tersebut,
kemudiaan dipetakan lebih lanjut dengan melihat daya saing komoditas tersebut dalam pasar
ACFTA.
Pada tahap pemrosesan data, terdapat dua sumber utama rincian komoditas berdasarkan
GTAP dan SITC 3-digit (ver.3). Oleh karena itu perlu dilakukan konversi dari rincian komoditas
SITC yang berjumlah 261 menjadi rincian komoditas sesuai dengan GTAP sejumlah 42 komoditas.
Sumber utama penyusunan konversi bersumber dari forum diskusi dalam diskusi model GTAP
di website Universitas Purdue. 8
Sementara itu, untuk memberikan hasil analisis yang lebih baik, dilakukan pembagian
periode pengamatan atas indikator yang disusun. Pemisahan perrode tersebut yang disebut
sebagai periode I dan II juga dimaksudkan untuk melihat dampak perdagangan internasional
sebelum dan setelah penerapan kebijakan ACFTA. Cakupan data yang masuk dalam periode I
7 Pertumbuhan negatif berarti memberikan sumbangan penurunan neraca perdagangan, sementara positif berarti memberikan kenaikan
neraca perdagangan.
8 Tabel lengkap konversi ini tersedia dan dapat diminta pada penulis atau redaksi BEMP.
48
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
adalah data dari tahun 2001-2004, sementara data periode II untuk tahun 2005-2008. Dasar
pemilahan menjadi dua periode tersebut, adalah saat implementasi kebijakan ACFTA tahun
20049 . Berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan RI, implementasi ACFTA dengan
pemberlakuan tarif impor secara bertahap telah berjalan adanya 25,6% atau sebanyak 2.857
pos tarif tercatat 0% pada tahun 2005 (Tabel III.4). Perkembangan tarif 0% terus bertambah
menjadi 83,6% atau sebanyak 7.306 pos tarif di tahun 2010. Pencapaian tarif menuju 0%
bagi anggota ACFTA, sejalan dengan pentahapan yang telah diatur dalam skema pentahapan
early harvest program, normal track dan sensitive/highly sensitive list.
Table III.4
Perkembangan Penurunan Tarif Bea Masuk
TAHUN
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Jumlah
Jumlah
Jumlah
Jumlah
Jumlah
Jumlah
Jumlah
Jumlah
Persentase
Persentase
Persentase
Persentase
Persentase
Persentase
Persentase
Persentase
Pos Tarif
Pos Tarif
Pos Tarif
Pos Tarif
Pos Tarif
Pos Tarif
Pos Tarif
Pos Tarif
Tarif Bea
Masuk
0%
5%
8%
8%
10%
12%
13%
15%
20%
25%
30%
>30% :
TOTAL
BEA MASUK
RATA-RATA
2,857
3,893
25.6%
34.8%
2,864
3,888
25.6%
34.8%
1,702
15.2%
1,702
15.2%
18
1,537
269
318
39
538
11,171
0.2%
13.8%
2.4%
2.8%
0.3%
4.8%
100.0%
18
1,537
269
318
39
538
11,173
0.2%
13.8%
2.4%
2.8%
0.3%
4.8%
100.0%
9.57%
9.49%
2,639
3,218
86
1,850
131
90
48
315
126
20
39
170
8,732
30.2%
36.9%
1.0%
21.2%
1.5%
1.0%
0.5%
3.6%
1.4%
0.2%
0.4%
1.9%
100.0%
6.38%
2,639
3,219
85
1,866
131
90
48
304
123
20
39
173
8,737
30.2%
36.8%
1.0%
21.4%
1.5%
1.0%
0.5%
3.5%
1.4%
0.2%
0.4%
2.0%
100.0%
6.38%
5,709
2,219
33
3
95
48
278
123
19
39
172
8,738
65.3%
25.4%
0.4%
0.0%
1.1%
0.0%
0.5%
3.2%
1.4%
0.2%
0.4%
2.0%
100.0%
3.83%
7,306
622
33
3
95
48
278
123
19
39
172
8,738
83.6%
7.1%
0.4%
0.0%
1.1%
0.0%
0.5%
3.2%
1.4%
0.2%
0.4%
2.0%
100.0%
2.92%
7,306
622
33
3
95
48
278
123
19
39
172
8,738
2.92%
83.6%
7.1%
0.4%
0.0%
1.1%
0.0%
0.5%
3.2%
1.4%
0.2%
0.4%
2.0%
100.0%
7,778
150
33
3
95
48
278
123
19
39
172
8,738
89.0%
1.7%
0.4%
0.0%
1.1%
0.0%
0.5%
3.2%
1.4%
0.2%
0.4%
2.0%
100.0%
2.65%
IV.2.1. Pendekatan Analisis Daya Saing RCA dan Keterkaitan Produk IIT
Terdapat dua indikator utama dalam penyusunan analisis di bagian berikut ini. Penggunaan
indikator RCA dan IIT secara bersama-sama antara lain terdapat dalam paper Yumiko (2005).
Kesamaan daya saing komoditas dari pengukuran yang dihasilkan oleh indikator RCA kemudian
di uji lebih lanjut dengan menggunakan spearman rank correlation (SRC). Pengujian SRC ini
antara lain pernah digunakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Shafaeddin (2002).
RCA dalam penghitungan analisis dibagian ini menggunakan data mitra dagang pasar di
kawasan ACFTA sebagai total ekspor Indonesia. Lingkup cakupan tersebut untuk memberikan
gambaran kekuatan daya saing RCA komoditas Indonesia dalam pasar ACFTA. Demikian juga
untuk pendekatan indikator pengukuran IIT digunakan data ekspor impor dengan cakupan
mitra dagang di kawasan ACFTA. Dengan menggunakan kombinasi dua indikator tersebut,
9 Ratifikasi kerangka persetujuan ACFTA melalui Keppres No.48/2004
49
Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia
langkah pertama yang dilakukan adalah identifikasi sebaran komoditas ekspor Indonesia
berdasarkan keunggulan komparatif dan indikator IIT.
Dari hasil pengolahan data dilakukan pemetakan berdasarkan batasan tertentu. Untuk
RCA, batasan komoditas berdaya saing tinggi dan rendah ditentukan dengan pembagian nilai
RCA dibawah dan diatas 1. Sementara itu, batasan tengah indikator IIT adalah 0,5. Berdasarkan
hasil peta kuadran seperti tercermin pada Grafik III.13 - III.14. Kuadran I disebut juga sebagai
kuadran utama dimana komoditas mempunyai RCA di atas 1 serta mempunyai keterkaitan
tinggi dalam mata rantai perdagangan dengan mitra negara-negara dari kawasan ACFTA
berdasarkan indikator IIT. Secara umum, komoditas dengan IIT tinggi dan RCA tinggi berpotensi
mempunyai peluang yang lebih besar bertahan dan melakukan penetrasi dalam persaingan
pasar yang kompetitif. Indikator IIT yang tinggi memberikan tingkat keyakinan daya saing ekspor
yang ditunjukkan dari RCA mempunyai peluang yang lebih meyakinkan. Kuadran II dan IV
menjadi kuadran potensial karena salah satu indikator baik RCA atau IIT mempunyai kelebihan
yaitu berupa RCA atau IIT yang tinggi. Sementara kuadran III merupakan kuadran pengembangan
karena mempunyai indikator RCA dan IIT yang rendah.
Dalam dua periode pengamatan yaitu periode I dan II, terhadap Grafik III.13 √ III.16
diperoleh gambaran umum bahwa terjadi kecenderungan penurunan kualitas daya saing
komoditas ekspor Indonesia dikawasan ACFTA. Berdasarkan pola sebaran komoditas dalam
dua periode yang digambarkan dalam Grafik III.13 dan III.14, diperoleh gambaran perkembangan
pergeseran pangsa ekspor per kuadran. Pangsa nilai ekspor dikuadran I mengalami penurunan
dari 33% menjadi 19% dengan jumlah komoditas yang masih tetap sama yaitu 9 (dengan
komposisi atau jenis berbeda). Beberapa komoditas utama Indonesia yang bertahan dalam
1,0
Kwadran II
1,0
IIT
Kwadran I
0,8
Kwadran II
IIT
Kwadran I
0,8
0,6
RCA
0,4
0,6
RCA
0,4
Kwadran III
0,2
Kwadran III
0,2
Kwadran IV
-0,5
0,5
1,5
2,5
3,5
Grafik III.13.
Kwadran RCA dan IIT Periode I
4,5
Kwadran IV
-0,5
0,5
1,5
2,5
3,5
Grafik III.14.
Kwadran RCA dan IIT Periode II
4,5
50
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
kuadran utama adalah minyak, kendaraan bermotor, tekstil, dan minuman. Kondisi yang relatif
ideal terjadi apabila perkembangan menunjukkan peningkatan pangsa ekspor yang lebih besar
di kuadran I. Untuk hasil lengkap berupa komposisi dan cakupan komoditas per kuadran yang
diukur dalam matrik RCA dan IIT disajikan dalam lampiran 6. Untuk menyederhanakan tabel
matrik pada lampiran 6 tersebut, di sajikan dalam bentuk grafik 4.9 dan 4.10 untuk 42 jenis
komoditas tradable.
Sementara itu, hasil yang lebih pesimis ditunjukkan apabila komoditas minyak dan gas
dikeluarkan dalam perhitungan indikator RCA dan IIT. Dengan menggunakan data pada periode
II, pangsa komoditas ekspor dalam kuadran I semakin berkurang dari 19% menjadi 12%.
Perkembangan tersebut menjadi penting untuk dicermati mengingat peranan komoditas migas
semakin berkurang, sementara tantangan pengembangan komoditas nonmigas masih
dihadapkan pada berbagai kendala. Hasil lengkap untuk analisis bagian ini disajikan dalam
lampiran 7, termasuk didalamnya komoditas pada tiap-tiap kwadran.
Kwadran II, Kwadran I,
19%
37%
Kwadran II, Kwadran I,
43%
12%
18%
19%
33%
37%
19%
3%
Kwadran III,
3%
41%
31%
Kwadran IV,
41%
Grafik III.15. Perkembangan Pangsa Ekspor
per Kuadran dari Periode I ke II
Kwadran III, Kwadran IV,
41%
4%
Grafik III.16. Pangsa Ekspor Kuadran
Periode II dengan dan tanpa Migas
IV.2.2. Pendekatan Analisis Intensitas Kompetisi
Untuk memberikan hasil yang lebih lengkap, penelitian ini juga memberikan gambaran
tantangan dan peluang terhadap komoditas ekspor Indonesia di era pasar ACFTA. Analisis
dilakukan dengan menggunakan indikator index of export similarity (IES) dan index of export
overlap (IEO). Teknis analisis dilakukan dengan membandingkan karakteristik ekspor masingmasing negara di ASEAN secara bilateral dengan Cina. Setelah dihasilkan indikator IES dan IEO
masing-masing negara, tahap selanjutnya adalah membandingkan hasil yang diperoleh antara
dua periode pengamatan yaitu periode I (2001-2004) dan periode II (2005-2008). Dengan
Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia
51
pengamatan dua periode tersebut dinamika yang terjadi dapat lebih menarik untuk di ulas
lebih lanjut.
Dengan bergabungnya negara Cina kedalam pasar ASEAN, terdapat ancaman terjadinya
penurunan ekspor Indonesia dengan partner dagang sesama anggota ASEAN yang telah terjalin
selama ini. Dari hasil pengukuran intensitas kompetisi produk ekspor masing-masing negara di
ASEAN dengan Cina diperoleh gambaran umum perkembangan intensitas kompetisi yang
cenderung menurun dalam dua periode pengamatan (Grafik III.17)10 . Intensitas kompetisi yang
cenderung meningkat apabila kedua indikator tersebut menunjukkan kenaikan. Dari dua periode
pengamatan kedua indikator tersebut diperoleh petunjuk perkembangan produk Indonesia
yang cenderung berkurang intensitas kompetisi dengan produk ekspor Cina. Menurunnya
intensitas kompetisi produk Indonesia dengan Cina sejalan dengan kenaikan pangsa ekspor
produk ekspor dari Indonesia yang berbasis sumber daya alam seperti hasil pertambangan dan
produk alam lainnya seperti migas, CPO, dan karet sejalan dengan kenaikan harga dan
permintaan dunia. Disisi lain, komposisi ekspor Cina yang cenderung mengarah produk industri
(Grafik III.18)11 . Berdasarkan pengamatan indikator IEO, negara dengan skala ekonomi relatif
kecil memiliki nilai indeks yang relatif tinggi seperti Brunei, Philipina, Chambodia, dan Vietnam.
Sementara dari sisi IES, negara yang relatif maju seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand
memiliki indeks yang relatif tinggi. Tingginya indeks IES beberapa negara yang relatif maju di
negara ASEAN dengan Cina sejalan juga dengan perkembangan proporsi ekspor Cina yang
relatif tinggi pada produk industri.
%
100
100
IES
90
MAL
SIN
80
80
PIL
Periode I (2001-2004)
Periode II (2005-2008)
THA
70
60
60
IND
50
BRN
40
40
VIE
30
20
20
CAM
10
IEO
0
40
50
60
70
80
90
Grafik III.17. Perkembangan
Intensitas Kompetisi dengan China
dalam 2 Periode Pengamatan
100
0
Indonesia Singapura Thailand Philipin Malaysia Vietnam Cambodia Brunei
China
Grafik III.18. Perkembangan
Pangsa Ekspor Komoditas Industri
10 Periode pertama digambarkan dengan warna biru dan periode kedua dengan warna merah
11 Pangsa ekspor komoditas industri diturunkan dari penjumlahan nilai ekspor dalam SITC dengan kode digit awal dari 5 s/d 9, sedangkan
untuk kode digit 0 s/d 4 merupakan bukan industri.
52
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
Untuk memberikan dukungan kesimpulan analisis tersebut diatas, dimana intensitas
kompetisi komoditas ekspor, khususnya Indonesia dengan Cina yang semakin menurun,
dilakukan uji dengan alat analisis tambahan. Pengujian dilakukan dengan melakukan uji
spearman rank correlation (SRC) atas indikator RCA. Uji SRC atas RCA Indonesia dan Cina
menghasilkan kesimpulan hubungan negatif dengan level signifikan 1% untuk kriteria 50
komoditas dan RCA > 1 (Tabel III.5). Dengan kategori pengujian pada 50 komoditas terbesar
diperoleh koefisien -0,3 dengan level signifikan 5%
12
. Demikian juga untuk pengujian atas
komoditas yang mempunyai daya saing tinggi atau RCA > 1 menghasilkan koefisien -0,54
level signifikan 1%. Sedangkan untuk pengujian keseluruhan komoditas berdasarkan SITC 2digit sejumlah 69 komoditas menghasilkan hubungan negatif namun tidak signifikan. Koefisien
spearmans»s rho yang bernilai negatif dapat diartikan adanya struktur daya saing yang berbeda
pada komoditas ekspor Indonesia dengan Cina. Hasil ini dapat juga diartikan bahwa komoditas
ekspor unggulan Indonesia bukan merupakan ekspor unggulan Cina. Pengujian terhadap dua
periode pengamatan menunjukkan hasil yang konsisten untuk Indonesia yaitu tetap dengan
koefisien negatif dan signifikan.
Table III.5
Uji Spearman Rank Correlation RCA
Periode I (2001 - 2004)
Cina
IND
SING
THAI
Semua Komoditas
(69 Komoditas)
Spearman»s rho:
degrees of freedom:
P-value:
-0,04
67
0,71
0,03
67
0,82
50 Komoditas
Spearman»s rho:
degrees of freedom:
P-value:
RCA >1
Spearman»s rho:
degrees of freedom:
P-value:
Periode II (2005 - 2008)
Periode I (2001 - 2004)
PHI
MAL
VIET
CAMB BRU
IND
SING
THAI
PHI
MAL
VIET
0,03
67
0,79
0,08
67
0,52
-0,31
67
0,01
0,34
67
0,00
0,08
67
0,53
-0,30 -0,25
48
48
0,03 0,08
-0,14
48
0,34
0,00
48
1,00
-0,57
48
0,00
0,19
48
0,20
-0,54 -0,10
31
18
0,00 0,67
-0,07
30
0,69
-0,28
7
0,46
-0,59
18
0,01
-0,23
21
0,29
CAMB BRU
0,34
67
0,00
-0,20
67
0,10
0,04
67
0,75
0,02
67
0,90
-0,02
67
0,86
-0,18
67
0,13
0,21
67
0,09
0,16
67
0,18
0,31
67
0,01
0,02
48
0,90
0,28
48
0,05
-0,47
48
0,00
-0,28
48
0,05
-0,28
48
0,05
-0,14
48
0,32
-0,53 -0,07
48
48
0,00 0,62
-0,19
48
0,20
0,16
48
0,26
-0,7
17
0,00
10,00
2
1,00
-0,51
28
0,00
-0,61
19
0,00
-0,37
29
0,04
-0,69
11
0,01
-0,56 -0,36
23
24
0,00 0,07
-0,28
7
0,46
Hasil yang sama dan mirip dengan Indonesia juga ditemukan di negara ASEAN lainnya.
Secara umum, dengan pengujian terhadap 50 komoditas dan komoditas dengan RCA tinggi
menunjukkan hubungan negatif dan siginifikan. Dengan demikian diperoleh gambaran bahwa
komoditas ekspor Cina ke ASEAN bukan merupakan komoditas unggulan dari negara ASEAN
lainnya.
12 Pengujian berdasarkan 50 komoditas terbesar berdasarkan pangsa yang berkisar 90 persen.
53
Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia
Dengan indikator intensitas kompetisi dan pengujian SRC untuk indikator RCA diperoleh
penguatan kesimpulan bahwa penurunan intensitas kompetisi antara Cina dengan Indonesia
disertai dengan struktur komoditas ekspor yang tidak saling bersaing. Demikian juga terhadap
komoditas ekspor anggota ASEAN lainnya. Hasil ini memberikan gambaran adanya hubungan
yang lebih bersifat komplementer sehingga ekspor Cina ke ASEAN menjadi relatif mudah. Dari
hasil kuantitatif model GTAP juga ditunjukkan peningkatan ekspor Cina ke ASEAN mencapai
50,5% (Lampiran 1).
Analisis peluang terbukanya pasar Cina dapat juga dilakukan dengan indikator IES dan
IEO. Berbeda dengan pengukuran indikator IES dan IEO pada bagian sebelumnya, dimana Cina
menjadi titik pusat perhatian, kita dapat menggunakan Indonesia sebagai titik pusat perhatian.
Secara bilateral antara Indonesia dengan masing-masing negara ASEAN, terdapat pola hubungan
kompetisi yang semakin menurun, yang didukung oleh indikator IES dan IEO yang turun (Grafik
4.19). Hal ini mengindikasikan tingkat persaingan produk antara negara ASEAN ke Cina relatif
berkurang. Dari hasil simulasi GTAP ditunjukkan juga bahwa keseluruhan ekspor dari Asean ke
Cina meningkat 31,1% dengan kisaran terendah oleh ekspor Philipina 16,1% dan tertinggi
adalah ekspor Thailand 43,3% (Lampiran 1). Berbeda halnya apabila dengan komoditas ekspor
yang dipakai adalah total ekspor masing-masing negara. Dari Grafik 4.20, mencerminkan adanya
derajat homogenitas antara produk ekspor Indonesia dengan masing-masing negara ASEAN di
pasaran dunia yang lebih tinggi dibandingkan ekspor untuk pasaran ACFTA13 . Diantara negara
ASEAN, produk ekspor negara Vietnam relatif mempunyai indeks IES yang paling tinggi.
100
100
IES
90
80
VIE
70
60
THA
60
50
THA
50
40
MAL
40
MAL
CAM
30
20
SIN
PIL
20
SIN
PIL
10
VIE
70
BRN
30
IES
90
80
10
IEO
0
IEO
0
0
20
40
60
80
Grafik III.19. Perkembangan Intensitas
Kompetisi Indonesia dg ASEAN
ke Pasar Cina
100
0
20
40
60
80
100
Grafik III.20. Perbandingan Perkembangan
Intensitas dipasar Dunia dan ACFTA
13 Bidang warna biru merupakan ukuran indeks untuk tujuan ekspor pasar dunia, dan bidang warna merah untuk pasar ACFTA.
54
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
V. KESIMPULAN DAN SARAN
V.1. Kesimpulan
Kerjasama perdagangan dalam kerangka ACFTA memberikan peluang bagi peningkatan
ekspor Indonesia. Dari hasil model GTAP, secara keseluruhan Indonesia mempunyai net trade
creation sebesar 2% yang bersumber dari dampak trade creation dari anggota ACFTA 10,3%
dan trade diversion dengan mitra dagang ROW sebesar -1,5%. Meskipun perjanjian kerjasama
ACFTA berdampak negatif terhadap penurunan neraca perdagangan Indonesia secara
keseluruhan sebesar 2,3%, hasil analisis lebih lanjut terhadap komoditas ekspor internasional
(tradable) menunjukkan dampak positif sebesar 0,5%.
Dari sisi ekspor, komoditas dari Indonesia berpeluang meningkat 2,1% terutama
bersumber dari peningkatan ekspor ke Cina. Peluang perluasan pasar ke Cina didukung oleh
karakteristik komoditas ekspor Indonesia dan negara ASEAN lainnya yang mempunyai derajat
persaingan yang relatif rendah. Dengan demikian, barang-barang ekspor dari Indonesia dan
ASEAN pada umumnya lebih mudah dapat melakukan ekspansi. Hasil analisis indikator IES dan
IEO dalam dua periode pengamatan menghasilkan kesimpulan bahwa, derajat intensitas
kompestisi barang ekspor Indonesia ke kawasan ACFTA secara bilateral dengan masing-masing
negara ASEAN menurun. Kesimpulan tersebut di dukung juga dengan derajat homogenitas
komoditas ekspor ke ACFTA yang lebih rendah dibandingkan ekspor keseluruhan ke pasar
dunia. Dengan tingkat homogenitas barang ekspor yang lebih rendah, tingkat persaingan dengan
sesama negara ASEAN ke pasar Cina relatif berkurang.
Namun demikian, ekspor Indonesia menghadapi tantangan baru dengan masuknya
barang-barang impor Cina dikawasan ASEAN. Mitra dagang Indonesia dari kawasan ASEAN
yang selama ini terjalin berpotensi mengalami penurunan. Dari hasil model GTAP, diperoleh
perkiraan ekspor negara ASEAN ke kawasan ASEAN mengalami penurunan 4,9%, termasuk
penuruan ekspor indonesia sebesar 4,4%. Disisi lain ekspor Cina ke ASEAN mengalami
peningkatan 50,5%. Hasil penelitian paper ini menunjukkan bahwa komoditas barang ekspor
Cina dan negara ASEAN cenderung menunjukkan arah yang berkurang tingkat persamaan
komoditasnya. Hal ini sejalan dengan perkembangan ekspor barang dari Cina yang bergerak
ke arah ekspor barang industri. Dari hasil pengujian sprearman rank correlation atas indikator
RCA secara umum menunjukkan hubungan yang lebih bersifat komplementer antara barang
ekspor Cina dengan negara ASEAN.
Tantangan peningkatan ekspor Indonesia di era ACFTA semakin bertambah dengan
menurunnya daya saing ekspor Indonesia. Berdasarkan data historis yang dibagi dalam dua
periode, diperoleh penurunan kelompok komoditas utama dari yang semula mempunyai pangsa
Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia
55
33% menjadi 19% terhadap total ekspor Indonesia. Tantangan tersebut semakin besar
mengingat salah satu komponen ekspor dalam pembentukan pangsa tersebut bersumber dari
sektor migas. Apabila kita keluarkan komoditas ekspor migas dalam perhitungan, pangsa ekspor
komoditas utama yang semula mencapai 19% tersebut turun menjadi 12%.
V.2. Saran
Untuk dapat memanfaatkan peluang pengembangan ekspor dari kesepakatan ACFTA,
perlu strategi untuk menggerakkan basket komoditas khususnya ekspor nonmigas dari kuadran
II dan IV menuju kuadran I. Pengembangan komoditas ekspor yang mempunyai daya saing
tinggi perlu memperhatikan juga karakteristik komoditas yang mempunyai keterkaitan tinggi
dalam mata rantai perdagangan internasional. Dari hasil penelitian ini komoditas potensial
dengan indikator IIT tinggi dan perlu penguatan daya saing adalah mesin & peralatan, industri
kimia, peralatan elektronik, dan industri logam & besi. Sementara untuk komoditas potensial
dengan RCA tinggi namun perlu nilai tambah tinggi pada umumnya adalah komoditas berbasis
sumber daya alam namun belum banyak diolah lebih lanjut dalam bentuk diversifikasi produk
maupun produk bernilai tinggi.
Sementara itu, saran terkait dengan tantangan yang dihadapi dengan maraknya produk
Cina adalah dengan memanfaatkan impor barang dari Cina dengan teknologi menengah dan
tinggi yang selama ini bersumber dari negara diluar kawasan. Dengan demikian, terbuka pilihan
yang lebih besar bagi produsen untuk melakukan investasi mesin-mesin dan peralatan dengan
pilihan barang dari Cina dengan harga yang lebih kompetitif. Dengan demikian, arah kerjasama
ACFTA yang kita harapkan dapat meningkatkan kesejahteraan di kawasan dan khususnya bagi
Indonesia dapat kita optimalkan.
56
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
DAFTAR PUSTAKA
Deardorff, V. A. (1995). ≈Determinants of Bilateral Trade: Does Gravity Work in a Neoclassic
World?∆ NBER Working Paper No. 5377.
Endy Tjahjono, M. Barik Bathaluddin, dan Justina Adamanti (2009): ≈ Semar 2009: Suatu Model
Financial Computable General Equilibrium∆. WP/ / 2009 (Desember 2009).
Frankel, Jeffrey (1997): ≈Regional Trading Blocs in The World Economic System,∆ NBER Working
Paper Series 4050.
Haryadi, Rina Oktaviani, Mangara Tambunan dan Noer Azam Achsani. ≈Dampak Penghapusan
Hambatan Perdagangan Sektor Pertanian Terhadap Kinerja Ekonomi Negara Maju dan
Berkembang∆. April 2008.
IMF (2007): World Economic Financial Surveys: Regional Economic Outlook Asia and Pacific.
Oct 2007.
Joseph F. Francois, Luis Rivera dan Hugo Rojas-Romagosa. ≈Economic perspectives for Central
America after CAFTA. A GTAP-based analysis∆, February 2008.
Kemp, Murray C., and Henry Y.Jr.Wan. (1976). ≈An Elementary Proposition Concerning the
Formation of Customs Unions.∆Journal of International Economics 6 (1976): 95-97.
Kemp, Murray, C. (1964): The Pure Theory of International Trade. Prentice-Hall, Englewood
Cliffs, N.J., 176-177.
Krueger, Anne O (1999). ≈Trade creation and Trade Diversion under NAFTA∆. National Bureau
of Economic Research, WP 7429.
Ohyama, M. (1972). ≈Trade and Welfare in General Equilibrium∆. Keio Economic Studies 9, 3773.
Okamoto, Yumiko (2005). ≈ASEAN, China, and India: Are they more competitive or
complementary to each other?∆.
Saktyanu K. Dermoredjo, Wahida, dan Budiman Hutabarat; Analisis Dampak Penurunan Subsidi
Ekspor Negara Maju terhadap Produksi Pertanian Indonesia. Desember 2007.
Sanchez, Manuel dan Karp, Nathaniel (2000). ≈NAFTA»s Economic Effects on Mexico∆. NBER.
Shujiro Urata dan Kozo Kiyota; The impacts of an East Asia FTA on Foreign Trade in East Asia.
Desember 2003.
Thomas W. Hertel, Global Trade Analysis, Modeling dan Applications, Cambridge University
Press 1997.
Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia
57
Tsutsumi, Masahiko (2001): ≈How Will the Regional FTAs Shape the Indonesian Economy?
Evaluation by the Computable General Equilibrium Model∆. TSQ Discussion Paper 2001/02No. 2. (August 2001).
Tubagus Feridhanusetyawan, Yose Rizal Damuri; Economic Crisis and Trade Liberalization: A
CGE Analysis On The Forestry Sector. February 2004.
Vanek, Jaroslav (1965). General Equilibrium of International Discrimination: The Case of Customs
Unions. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Viner, Jacob (1950). The Customs Union Issue, Carnegie Endowment for International Peace,
New York.
58
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
Lampiran 1
Hasil Running Model GTAP
EKSPOR
Total Trade dengan dunia
Sebelum
Sesudah
Trade Antar Anggota
Sebelum
Sesudah
Trade dengan Cina
Sebelum
Sesudah
Trade dengan ASEAN
Sebelum
Sesudah
Trade dengan non Anggota (ROW)
Sebelum
Sesudah
ekspor ke Dunia
Value
%
ekspor ke ACFTA
Value
%
ekspor ke Cina
Value
%
ekspor ke Asean
Value
%
ekspor ke ROW
Value
%
Indonesia Malaysia Singapura Thailand
Filipina
Vietnam
Other
ASEAN
ASEAN
China
ACFTA
87.511,4 152.058,6 150.571,0 119.465,2
89.068,8 154.265,3 151.110,7 119.834,8
50.743,5 32.196,5
51.305,8 34.243,0
12.418,0 604.964,2 680.765,6 1.285.729,8
12.601,5 612.429,9 694.627,9 1.307.057,8
22.913,2
25.597,1
50.074,3
55.134,6
51.485,6 33.341,4
54.122,1 38.146,3
13.183,3
13.915,4
6.680,2
7.263,7
8.194,3
11.521,6
22.580,3
28.812,4
16.600,2 14.436,8
21.022,3 20.682,0
5.495,9
6.415,2
2.988,6
3.767,2
14.718,9
14.075,5
27.494,0
26.322,2
34.885,4 18.904,6
33.099,8 17.464,3
7.687,4
7.500,2
3.691,6
3.496,5
2.696,5 110.078,4 50.581,0 160.659,4
2.672,9 104.631,4 76.135,7 180.767,1
64.598,3 101.984,5
63.471,8 99.130,6
99.085,4 86.123,9
96.988,6 81.688,8
37.560,3 25.516,5
37.390,4 26.979,3
9.281,5 424.150,4 630.184,7 1.054.335,1
9.437,2 415.086,7 618.492,3 1.033.579,0
3.136,4 180.814,4 50.581,0 231.395,4
3.164,2 197.343,4 76.135,7 273.479,1
439,9
491,3
70.736,0
92.712,0
0,0
0,0
70.736,0
92.712,0
1.557,4
1,8
2.206,7
1,5
539,7
0,4
369,6
0,3
562,3
1,1
2.046,5
6,4
183,5
1,5
7.465,7 13.862,3
1,2
2,0
21.328,0
1,7
2.683,9
11,7
5.060,3
10,1
2.636,5
5,1
4.804,9
14,4
732,1
5,6
583,5
8,7
27,8
0,9
16.529,0 25.554,7
9,1
50,5
42.083,7
18,2
3.327,3
40,6
6.232,1
27,6
4.422,1
26,6
6.245,2
43,3
919,3
16,7
778,6
26,1
51,4
11,7
21.976,0
31,1
0,0
0,0
21.976,0
31,1
-643,4
-4,4
-1.171,8
-4,3
-1.785,6
-5,1
-1.440,3
-7,6
-187,2
-2,4
-195,1
-5,3
-23,6
-0,9
-5.447,0 25.554,7
-4,9
50,5
20.107,7
12,5
-1.126,5
-1,7
-2.853,9
-2,8
-2.096,8
-2,1
-4.435,1
-5,1
-169,9
-0,5
1.462,8
5,7
155,7
1,7
-9.063,7 -11.692,4
-2,1
-1,9
-20.756,1
-2,0
Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia
59
Lampiran 1
Hasil Running Model GTAP Lanjutan 1
IMPOR
Total Trade dengan Dunia
Sebelum
Sesudah
Trade Antar Anggota
Sebelum
Sesudah
Trade dengan Cina
Sebelum
Sesudah
Trade dengan ASEAN
Sebelum
Sesudah
Trade dengan non Anggota (ROW)
Sebelum
Sesudah
Impor dari Dunia
Value
%
Impor dari ACFTA
Value
%
Impor dari Cina
Value
%
Impor dari Asean
Value
%
Impor dari ROW
Value
%
Indonesia Malaysia Singapura Thailand
Filipina
Vietnam
Other
ASEAN
ASEAN
China
ACFTA
76.947,2 106.330,1 160.658,5 102.806,7
78.751,1 109.023,8 161.353,0 108.042,8
48.824,9 36.636,9
49.580,5 40.841,0
9.142,6 541.346,9 599.116,4 1.140.463,3
9.438,2 557.030,4 614.267,2 1.171.297,6
26.780,3
29.211,4
37.141,4
40.947,6
47.641,5 25.166,2
46.777,7 32.180,0
14.151,3 13.068,8
15.585,8 20.307,6
5.771,6 169.721,1 74.668,3 244.389,4
6.235,2 191.245,3 98.412,1 289.657,4
8.828,6
12.170,8
10.088,2
15.346,2
13.723,0 7.946,1
13.562,8 15.956,9
5.708,3 5.624,5
7.567,9 13.890,7
1.616,2
2.378,8
17.951,7
17.040,6
27.053,2
25.601,4
33.918,5 17.220,1
33.214,9 16.223,1
8.443,0
8.017,9
7.444,3
6.416,9
4.155,4 116.186,2 74.668,3 190.854,5
3.856,4 110.371,2 98.412,1 208.783,3
50.167,0
49.539,7
69.188,7 113.017,2 77.640,5
68.076,2 114.575,2 75.862,9
34.673,7 23.568,3
33.994,6 20.533,5
3.371,0 371.626,4 524.448,1 896.074,5
3.202,8 365.784,9 515.855,0 881.639,9
53.534,9
80.874,1
0,0
0,0
53.534,9
80.874,1
1.803,9
2,3
2.693,7
2,5
694,5
0,4
5.236,1
5,1
755,6
1,5
4.204,1
11,5
295,6
3,2
15.683,5 15.150,8
2,9
2,5
30.834,3
2,7
2.431,1
9,1
3.806,2
10,2
-863,8
-1,8
7.013,8
27,9
1.434,5
10,1
7.238,8
55,4
463,6
8,0
21.524,2 23.743,8
12,7
31,8
45.268,0
18,5
3.342,2
37,9
5.258,0
52,1
-160,2
-1,2
8.010,8
100,8
1.859,6
32,6
8.266,2
147,0
762,6
47,2
27.339,2
51,1
0,0
0,0
27.339,2
51,1
-911,1
-5,1
-1.451,8
-5,4
-703,6
-2,1
-997,0
-5,8
-425,1
-5,0
-1.027,4
-13,8
-299,0
-7,2
-5.815,0 23.743,8
-5,0
31,8
17.928,8
9,4
-627,3
-1,3
-1.112,5
-1,6
1.558,0
1,4
-1.777,6
-2,3
-679,1
-2,0
-3.034,8
-12,9
-168,2
-5,0
-5.841,5
-1,6
-14.434,6
-1,6
-8.593,1
-1,6
60
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
Lampiran 1
Hasil Running Model GTAP Lanjutan 2
TOTAL TRADE
(EKSPOR + IMPOR)
Total Trade dengan dunia
Sebelum
Sesudah
Trade Antar Anggota
Sebelum
Sesudah
Trade dengan Cina
Sebelum
Sesudah
Trade dengan ASEAN
Sebelum
Sesudah
Trade dengan non Anggota (ROW)
Sebelum
Sesudah
Total Net Trade Creation
Value
%
Trade Creation Antar Anggota
Value
%
Trade Creation dengan Cina
Value
%
Trade Creation dengan ASEAN
Value
%
Trade Diversion
Value
%
Indonesia Malaysia Singapura Thailand
164.458,6 258.388,7
167.819,9 263.289,1
311.229,5 222.271,9
312.463,7 227.877,6
Filipina
Vietnam
99.568,4
100.886,3
68.833,4
75.084,0
Other
ASEAN
ASEAN
Cina
ACFTA
21.560,6 1.146.311,1 1.279.882,0 2.426.193,1
22.039,7 1.169.460,3 1.308.895,1 2.478.355,4
49.693,5
54.808,5
87.215,7
96.082,2
99.127,1
100.899,8
58.507,6
70.326,3
27.334,6
29.501,2
19.749,0
27.571,3
8.908,0 350.535,5
9.399,4 388.588,7
125.249,3
174.547,8
475.784,8
563.136,5
17.022,9
23.692,4
32.668,5
44.158,6
30.323,2
34.585,1
22.382,9
36.638,9
11.204,2
13.983,1
8.613,1
17.657,9
2.056,1 124.270,9
2.870,1 173.586,1
0,0
0,0
124.270,9
173.586,1
32.670,6
31.116,1
54.547,2
51.923,6
68.803,9
66.314,7
36.124,7
33.687,4
16.130,4
15.518,1
11.135,9
9.913,4
6.851,9
6.529,3
125.249,3
174.547,8
351.513,9
389.550,4
212.102,6 163.764,4
211.563,8 157.551,7
72.234,0
71.385,0
49.084,8
47.512,8
114.765,3 171.173,2
113.011,5 167.206,8
226.264,6
215.002,6
12.652,5 795.776,8 1.154.632,8 1.950.409,6
12.640,0 780.871,6 1.134.347,3 1.915.218,9
3.361,3
2,0
4.900,4
1,9
1.234,2
0,4
5.605,7
2,5
1.317,9
1,3
6.250,6
9,1
479,1
2,2
23.149,2
2,0
29.013,1
2,3
52.162,3
2,1
5.115,0
10,3
8.866,5
10,2
1.772,7
1,8
11.818,7
20,2
2.166,6
7,9
7.822,3
39,6
491,4
5,5
38.053,2
10,9
49.298,5
39,4
87.351,7
18,4
6.669,5
39,2
11.490,1
35,2
4.261,9
14,1
14.256,0
63,7
2.778,9
24,8
9.044,8
105,0
814,0
39,6
49.315,2
39,7
0,0
0,0
49.315,2
39,7
-1.554,5
-4,8
-2.623,6
-4,8
-2.489,2
-3,6
-2.437,3
-6,7
-612,3
-3,8
-1.222,5
-11,0
-322,6
-4,7
-11.262,0
-5,0
49.298,5
39,4
38.036,5
10,8
-1.753,8
-1,5
-3.966,4
-2,3
-538,8
-0,3
-6.212,7
-3,8
-849,0
-1,2
-1.572,0
-3,2
-12,5
-0,1
-14.905,2
-1,9
-20.285,5
-1,8
-35.190,7
-1,8
Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia
61
Lampiran 1
Hasil Running Model GTAP Lanjutan 3
NET EKSPOR
Total Trade
Sebelum
Sesudah
Trade Antar Anggota
Sebelum
Sesudah
Trade dengan Cina
Sebelum
Sesudah
Trade dengan ASEAN
Sebelum
Sesudah
Trade dengan non Anggota (ROW)
Sebelum
Sesudah
Total Net Trade Creation
Value
%
Trade Creation Antar Anggota
Value
%
Trade creation Trade Cina
Value
%
Trade Creation ASEAN
Value
%
Trade Diversion
Value
%
Indonesia Malaysia Singapura Thailand
Filipina
Vietnam
Other
ASEAN
1.918,6
1.725,3
-4.440,4
-6.598,0
3.275,4
3.163,3
ASEAN
Cina
ACFTA
63.617,3
55.399,5
81.649,2
80.360,7
145.266,5
135.760,2
10.564,2
10.317,7
45.728,5
45.241,5
-10.087,5
-10.242,3
16.658,5
11.792,0
-3.867,1
-3.614,3
12.932,9
14.187,0
3.844,1
7.344,4
8.175,2
5.966,3
-968,0 -6.388,6
-1.670,4 -13.043,9
-2.635,2
-3.071,0
11.093,3
6.098,1
-24.087,3
-22.276,4
-12.994,0
-16.178,3
-634,3
-649,2
12.492,1
13.466,2
2.877,2
7.459,5
6.490,7
4.725,1
-212,4 -2.635,9
-1.152,7 -10.123,5
-1.176,3
-1.887,5
17.201,1
11.837,9
0,0
0,0
17.201,1
11.837,9
-3.232,8
-2.965,1
440,8
720,8
966,9
-115,1
1.684,5
1.241,2
-755,6
-517,7
-3.752,7
-2.920,4
-1.458,9
-1.183,5
-6.107,8
-5.739,8
-24.087,3
-22.276,4
-30.195,1
-28.016,2
14.431,3
13.932,1
32.795,8
31.054,4
-13.931,8
-17.586,6
8.483,4
5.825,9
2.886,6
3.395,8
1.948,2
6.445,8
5.910,5
6.234,4
52.524,0
49.301,8
105.736,6
102.637,3
158.260,6
151.939,1
-246,5
-2,3
-487,0
-1,1
-154,8
-1,5
-4.866,5
-29,2
-193,3
-10,1
-2.157,6
-48,6
-112,1
-3,4
-8.217,8
-12,9
-1.288,5
-1,6
-9.506,3
-6,5
252,8
6,5
1.254,1
9,7
3.500,3
91,1
-2.208,9
-27,0
-702,4
-72,6
-6.655,3
-104,2
-435,8
-16,5
-4.995,2
-45,0
1.810,9
7,5
-3.184,3
-24,5
-14,9
-2,3
974,1
7,8
4.582,3
159,3
-1.765,6
-27,2
-940,3
-442,7
-7.487,6
-284,1
-711,2
-60,5
-5.363,2
-31,2
0,0
-5.363,2
-31,2
267,7
8,3
280,0
63,5
-1.082,0
-111,9
-443,3
-26,3
237,9
31,5
832,3
22,2
275,4
18,9
368,0
6,0
1.810,9
7,5
2.178,9
7,2
-499,2
-3,5
-1.741,4
-5,3
-3.654,8
-26,2
-2.657,5
-31,3
509,2
17,6
4.497,6
230,9
323,9
5,5
-3.222,2
-6,1
-3.099,3
-2,9
-6.321,5
-4,0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
chg
0,0
0,0
-0,2
-2,7
-0,3
0,0
0,1
-44,1
0,0
13,0
0,0
0,1
10,9
8,4
3,8
1,9
0,0
9,5
0,1
0,2
101,4
-0,4
-0,2
0,4
20,7
-29,9
193,1
-12,0
46,3
104,0
VIMS
Beras
0,0
0,0
Wheat
2,7
2,7
CerealGrain
10,2 10,0
Sayuran
89,9 87,2
OilSeeds
20,7 20,4
SugarCane
0,0
0,0
Fiber
2,9
3,0
CropsNec
408,1 364,0
HewanTernak
1,0
1,0
ProdukHewan
106,5 119,5
SusuMurni
0,0
0,0
Wol
0,1
0,2
Kehutanan
46,9 57,8
Perikanan
135,5 143,9
Batubara
547,5 551,3
Minyak
1.668,5 1.670,4
Gas
0,6
0,6
MineralNec
604,4 613,9
Daging
0,7
0,8
ProdukDaging
3,0
3,2
MinyakSayur
1.377,6 1.479,0
DairyProduk
28,2 27,8
BerasOlahan
2,4
2,2
Gula
3,4
3,8
ProdukMakan
408,1 428,8
Minuman
158,7 128,8
Tekstil
839,1 1.032,2
PakaianJadi
120,2 108,2
ProdukKulit
131,2 177,5
ProdukKayu
790,2 894,2
pre
0,0
0,0
-2,0
-3,0
-1,4
0,0
3,4
-10,8
0,0
12,2
0,0
100,0
23,2
6,2
0,7
0,1
0,0
1,6
14,3
6,7
7,4
-1,4
-8,3
11,8
5,1
-18,8
23,0
-10,0
35,3
13,2
%
Ekspor ke ACFTA
post
42
Komoditas
0,00
0,00
0,00
-0,01
0,00
0,00
0,00
-0,20
0,00
0,06
0,00
0,00
0,05
0,04
0,02
0,01
0,00
0,04
0,00
0,00
0,45
0,00
0,00
0,00
0,09
-0,13
0,85
-0,05
0,20
0,46
share
%
0,0
2,7
10,1
66,9
20,3
0,0
2,5
394,5
1,0
64,4
0,0
0,1
12,4
115,5
470,6
593,0
0,6
467,5
0,6
2,6
584,7
28,0
1,3
2,8
326,7
157,2
519,4
116,0
90,1
258,7
pre
0,0
2,7
9,9
59,7
19,9
0,0
2,5
340,8
1,0
64,8
0,0
0,1
12,1
116,3
454,0
596,8
0,6
475,7
0,6
2,3
582,3
27,6
1,3
2,9
308,3
126,4
384,1
92,7
68,4
228,9
post
0,0
0,0
-0,2
-7,2
-0,4
0,0
0,0
-53,7
0,0
0,4
0,0
0,0
-0,3
0,8
-16,6
3,8
0,0
8,2
0,0
-0,3
-2,4
-0,4
0,0
0,1
-18,4
-30,8
-135,3
-23,3
-21,7
-29,8
chg
0,0
0,0
-2,0
-10,8
-2,0
0,0
0,0
-13,6
0,0
0,6
0,0
0,0
-2,4
0,7
-3,5
0,6
0,0
1,8
0,0
-11,5
-0,4
-1,4
0,0
3,6
-5,6
-19,6
-26,0
-20,1
-24,1
-11,5
%
Ekspor ke ASEAN
pre
post
0,00
0,0
0,0
0,00
0,0
0,0
0,00
0,1
0,1
-0,05
23,0 27,5
0,00
0,4
0,5
0,00
0,0
0,0
0,00
0,4
0,5
-0,37
13,6 23,2
0,00
0,0
0,0
0,00
42,1 54,7
0,00
0,0
0,0
0,00
0,0
0,1
0,00
34,5 45,7
0,01
20,0 27,6
-0,11
76,9 97,3
0,03 1.075,5 1.073,6
0,00
0,0
0,0
0,06 136,9 138,2
0,00
0,1
0,2
0,00
0,4
0,9
-0,02 792,9 896,7
0,00
0,2
0,2
0,00
1,1
0,9
0,00
0,6
0,9
-0,13
81,4 120,5
-0,21
1,5
2,4
-0,93 319,7 648,1
-0,16
4,2 15,5
-0,15
41,1 109,1
-0,20 531,5 665,3
share
%
0,0
0,0
0,0
4,5
0,1
0,0
0,1
9,6
0,0
12,6
0,0
0,1
11,2
7,6
20,4
-1,9
0,0
1,3
0,1
0,5
103,8
0,0
-0,2
0,3
39,1
0,9
328,4
11,3
68,0
133,8
chg
0,0
0,0
0,0
19,6
25,0
0,0
25,0
70,6
0,0
29,9
0,0
0,0
32,5
38,0
26,5
-0,2
0,0
0,9
100,0
125,0
13,1
0,0
-18,2
50,0
48,0
60,0
102,7
269,0
165,5
25,2
%
Ekspor ke CINA
Lampiran 2
Perbandingan Dampak ACFTA Ke Indonesia (Komoditas)
0,00
0,00
0,00
0,06
0,00
0,00
0,00
0,12
0,00
0,16
0,00
0,00
0,14
0,09
0,25
-0,02
0,00
0,02
0,00
0,01
1,29
0,00
0,00
0,00
0,49
0,01
4,08
0,14
0,85
1,66
share
%
0,2
3,0
16,4
257,4
37,3
0,0
7,2
1.381,3
4,6
295,4
0,2
1,7
94,6
447,1
4.024,0
4.107,6
4.810,9
2.140,0
4,4
32,8
4.433,7
76,5
33,5
20,1
2.867,5
229,5
4.844,5
4.025,4
2.202,6
5.766,2
pre
chg
0,1 -0,1
3,0
0,0
16,2 -0,2
253,4 -4,0
36,8 -0,5
0,0
0,0
7,2
0,0
1.333,7 -47,6
4,5 -0,1
307,2 11,8
0,2
0,0
1,7
0,0
104,3
9,7
453,3
6,2
4.019,6 -4,4
4.074,7 -32,9
4.784,6 -26,3
2.146,0
6,0
4,4
0,0
31,4 -1,4
4.476,0 42,3
74,4 -2,1
33,3 -0,2
20,4
0,3
2.848,0 -19,5
199,1 -30,4
5.079,8 235,3
3.931,4 -94,0
2.180,5 -22,1
5.725,6 -40,6
post
-50,0
0,0
-1,2
-1,6
-1,3
0,0
0,0
-3,4
-2,2
4,0
0,0
0,0
10,3
1,4
-0,1
-0,8
-0,5
0,3
0,0
-4,3
1,0
-2,7
-0,6
1,5
-0,7
-13,2
4,9
-2,3
-1,0
-0,7
%
Ekspor ke DUNIA
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
-0,06
0,00
0,01
0,00
0,00
0,01
0,01
-0,01
-0,04
-0,03
0,01
0,00
0,00
0,05
0,00
0,00
0,00
-0,02
-0,04
0,29
-0,12
-0,03
-0,05
share
%
0,2
0,3
6,2
167,5
16,6
0,0
4,3
973,2
3,6
188,9
0,2
1,6
47,7
311,6
3.476,5
2.439,1
4.810,3
1.535,6
3,7
29,8
3.056,1
48,3
31,1
16,7
2.459,4
70,8
4,.005,4
3.905,2
2.071,4
4.976,0
pre
0,1
0,3
6,2
166,2
16,4
0,0
4,2
969,7
3,5
187,7
0,2
1,5
46,5
309,4
3.468,3
2.404,3
4.784,0
1.532,1
3,6
28,2
2.997,0
46,6
31,1
16,6
2.419,2
70,3
4.047,6
3.823,2
2.003,0
4.831,4
post
-0,1
0,0
0,0
-1,3
-0,2
0,0
-0,1
-3,5
-0,1
-1,2
0,0
-0,1
-1,2
-2,2
-8,2
-34,8
-26,3
-3,5
-0,1
-1,6
-59,1
-1,7
0,0
-0,1
-40,2
-0,5
42,2
-82,0
-68,4
-144,6
chg
-50,0
0,0
0,0
-0,8
-1,2
0,0
-2,3
-0,4
-2,8
-0,6
0,0
-6,2
-2,5
-0,7
-0,2
-1,4
-0,5
-0,2
-2,7
-5,4
-1,9
-3,5
0,0
-0,6
-1,6
-0,7
1,1
-2,1
-3,3
-2,9
%
Ekspor ke ROW
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
-0,01
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
-0,01
-0,06
-0,04
-0,01
0,00
0,00
-0,10
0,00
0,00
0,00
-0,07
0,00
0,07
-0,14
-0,12
-0,24
share
%
62
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
31 ProdukKertas
32 Petroleum
33 Kimia
34 ProdTambang
35 LogamBesi
36 LogamNec
37 ProdukMetal
38 KendBermotor
39 PerTransport
40 Elektronik
41 MesinPerl
42 IndustriNec
Total
42
Komoditas
1.550,6
317,0
3.373,3
272,1
209,5
1.491,3
176,1
423,0
230,5
4.722,9
1.983,0
332,5
22.590,1
pre
1.667,6
355,5
4.463,7
305,8
210,7
1.505,4
175,3
444,8
211,1
5.374,5
2.265,0
363,4
25.275,2
post
117,0
38,5
1.090,4
33,7
1,2
14,1
-0,8
21,8
-19,4
651,6
282,0
30,9
2.685,1
chg
7,5
12,1
32,3
12,4
0,6
0,9
-0,5
5,2
-8,4
13,8
14,2
9,3
11,9
%
Ekspor ke ACFTA
0,52
0,17
4,83
0,15
0,01
0,06
0,00
0,10
-0,09
2,88
1,25
0,14
11,9
share
%
578,3
145,5
1.795,6
206,9
185,6
1.280,3
166,3
388,3
226,6
3.307,0
1.645,1
310,9
14.546,6
pre
chg
557,5 -20,8
144,1
-1,4
1.766,8 -28,8
179,1 -27,8
179,2
-6,4
1.233,7 -46,6
153,9 -12,4
371,5 -16,8
202,3 -24,3
3.219,2 -87,8
1.612,6 -32,5
300,3 -10,6
13.902,9 -643,7
post
-3,6
-1,0
-1,6
-13,4
-3,4
-3,6
-7,5
-4,3
-10,7
-2,7
-2,0
-3,4
-4,4
%
Ekspor ke ASEAN
pre
chg
14,2
23,3
70,9
94,3
31,8
28,8
118,4
111,2
125,6
52,2
93,1
192,1
41,4
%
Ekspor ke CINA
post
-0,14 972,3 1.110,1 137,8
-0,01 171,5 211,4 39,9
-0,20 1.577,7 2.696,9 1.119,2
-0,19
65,2 126,7 61,5
-0,04
23,9
31,5
7,6
-0,32 211,0 271,7 60,7
-0,09
9,8
21,4 11,6
-0,12
34,7
73,3 38,6
-0,17
3,9
8,8
4,9
-0,60 1.415,9 2.155,3 739,4
-0,22 337,9 652,4 314,5
-0,07
21,6
63,1 41,5
-4,4 8.043,5 11.372,3 3.328,8
share
%
1,71
0,50
13,91
0,76
0,09
0,75
0,14
0,48
0,06
9,19
3,91
0,52
41,4
share
%
3.949,4
1.159,1
9.386,0
1.175,2
623,1
3.814,1
591,2
913,7
586,1
10.789,6
5.019,1
1.509,8
81.682,0
pre
Lampiran 2
Perbandingan Dampak ACFTA Ke Indonesia (Komoditas) Lanjutan 1
4.005,8
1.191,7
10.293,5
1.186,6
613,4
3.743,6
581,5
926,3
555,1
11.348,7
5.242,3
1.517,5
83.356,8
56,4
32,6
907,5
11,4
-9,7
-70,5
-9,7
12,6
-31,0
559,1
223,2
7,7
1.674,8
chg
1,4
2,8
9,7
1,0
-1,6
-1,8
-1,6
1,4
-5,3
5,2
4,4
0,5
2,1
%
Ekspor ke DUNIA
post
0,07
0,04
1,11
0,01
-0,01
-0,09
-0,01
0,02
-0,04
0,68
0,27
0,01
2,1
share
%
2.398,8
842,1
6.012,7
903,1
413,6
2.322,8
415,1
490,7
355,6
6.066,7
3.036,1
1.177,3
59.091,9
pre
2.338,2 -60,6
836,2 -5,9
5.829,8 -182,9
880,8 -22,3
402,7 -10,9
2.238,2 -84,6
406,2 -8,9
481,5 -9,2
344,0 -11,6
5.974,2 -92,5
2.977,3 -58,8
1.154,1 -23,2
58.081,6 -1.010,3
chg
-2,5
-0,7
-3,0
-2,5
-2,6
-3,6
-2,1
-1,9
-3,3
-1,5
-1,9
-2,0
-1,7
%
Ekspor ke ROW
post
-0,10
-0,01
-0,31
-0,04
-0,02
-0,14
-0,02
-0,02
-0,02
-0,16
-0,10
-0,04
-1,7
share
%
Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia
63
chg
0,3
1,3
-0,4
25,1
0,6
0,0
-0,2
9,9
0,0
1,0
0,0
0,0
0,7
0,0
0,0
-17,1
0,0
1,6
-0,1
3,0
-1,5
-0,3
0,2
9,8
46,4
2,3
442,3
70,4
54,7
18,9
VIMS
1 Beras
3,2
3,5
2 Wheat
15,3 16,6
3 CerealGrain
37,4 37,0
4 Sayuran
302,8 327,9
5 OilSeeds
19,9 20,5
6 SugarCane
0,1
0,1
7 Fiber
3,8
3,6
8 CropsNec
97,3 107,2
9 HewanTernak
0,0
0,0
10 ProdukHewan
16,5 17,5
11 SusuMurni
0,0
0,0
12 Wol
0,1
0,1
13 Kehutanan
11,6 12,3
14 Perikanan
8,8
8,8
15 Batubara
0,4
0,4
16 Minyak
1.144,8 1.127,7
17 Gas
0,0
0,0
18 MineralNec
107,8 109,4
19 Daging
6,9
6,8
20 ProdukDaging
10,4 13,4
21 MinyakSayur
55,6 54,1
22 DairyProduk
85,4 85,1
23 BerasOlahan
106,3 106,5
24 Gula
291,7 301,5
25 ProdukMakan
592,2 638,6
26 Minuman
163,9 166,2
27 Tekstil
1.071,8 1.514,1
28 PakaianJadi
204,8 275,2
29 ProdukKulit
199,6 254,3
30 ProdukKayu
121,9 140,8
pre
9,4
8,5
-1,1
8,3
3,0
0,0
-5,3
10,2
0,0
6,1
0,0
0,0
6,0
0,0
0,0
-1,5
0,0
1,5
-1,4
28,8
-2,7
-0,4
0,2
3,4
7,8
1,4
41,3
34,4
27,4
15,5
%
Ekspor ke ACFTA
post
42
Komoditas
0,00
0,01
0,00
0,10
0,00
0,00
0,00
0,04
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
-0,07
0,00
0,01
0,00
0,01
-0,01
0,00
0,00
0,04
0,18
0,01
1,73
0,28
0,21
0,07
share
%
3,1
0,1
32,9
82,2
14,1
0,1
0,7
47,8
0,0
6,3
0,0
0,0
8,1
7,5
0,2
920,9
0,0
62,0
6,8
3,8
52,8
84,5
105,4
285,7
344,3
157,9
369,5
96,3
98,9
80,1
pre
2,9
0,1
32,6
77,2
13,3
0,1
0,7
46,8
0,0
6,2
0,0
0,0
7,9
7,4
0,1
905,9
0,0
61,6
6,7
3,8
51,2
84,1
104,2
271,2
335,3
156,2
312,0
70,0
87,5
74,6
post
-0,2
0,0
-0,3
-5,0
-0,8
0,0
0,0
-1,0
0,0
-0,1
0,0
0,0
-0,2
-0,1
-0,1
-15,0
0,0
-0,4
-0,1
0,0
-1,6
-0,4
-1,2
-14,5
-9,0
-1,7
-57,5
-26,3
-11,4
-5,5
chg
-6,5
0,0
-0,9
-6,1
-5,7
0,0
0,0
-2,1
0,0
-1,6
0,0
0,0
-2,5
-1,3
-50,0
-1,6
0,0
-0,6
-1,5
0,0
-3,0
-0,5
-1,1
-5,1
-2,6
-1,1
-15,6
-27,3
-11,5
-6,9
%
Ekspor ke ASEAN
0,00
0,00
0,00
-0,03
0,00
0,00
0,00
-0,01
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
-0,09
0,00
0,00
0,00
0,00
-0,01
0,00
-0,01
-0,08
-0,05
-0,01
-0,33
-0,15
-0,07
-0,03
share
%
post
0,1
0,6
15,2 16,5
4,5
4,4
220,6 250,7
5,8
7,2
0,0
0,0
3,1
2,9
49,5 60,4
0,0
0,0
10,2 11,3
0,0
0,0
0,1
0,1
3,5
4,4
1,3
1,4
0,2
0,3
223,9 221,8
0,0
0,0
45,8 47,8
0,1
0,1
6,6
9,6
2,8
2,9
0,9
1,0
0,9
2,3
6,0 30,3
247,9 303,3
6,0 10,0
702,3 1.202,1
108,5 205,2
100,7 166,8
41,8 66,2
pre
0,5
1,3
-0,1
30,1
1,4
0,0
-0,2
10,9
0,0
1,1
0,0
0,0
0,9
0,1
0,1
-2,1
0,0
2,0
0,0
3,0
0,1
0,1
1,4
24,3
55,4
4,0
499,8
96,7
66,1
24,4
chg
500,0
8,6
-2,2
13,6
24,1
0,0
-6,5
22,0
0,0
10,8
0,0
0,0
25,7
7,7
50,0
-0,9
0,0
4,4
0,0
45,5
3,6
11,1
155,6
405,0
22,3
66,7
71,2
89,1
65,6
58,4
%
Ekspor ke CINA
pre
post
0,4
-3,1
0,4
20,7
4,6
0,0
-17,1
5,7
0,5
0,9
0,0
0,0
0,8
0,2
0,0
10,5
0,0
2,9
1,5
5,5
9,4
7,0
0,7
11,0
41,0
0,6
209,1
38,3
31,2
15,3
chg
4,1
-0,4
0,4
4,6
0,9
0,0
-1,9
1,8
0,3
1,3
0,0
0,0
1,4
1,1
0,0
0,3
0,0
0,5
1,4
4,5
1,8
1,4
0,6
2,9
3,5
0,3
7,5
11,7
7,1
4,8
%
Ekspor ke DUNIA
0,01
9,8
10,2
0,02 847,3 844,2
0,00 112,8 113,2
0,36 445,3 466,0
0,02 535,0 539,6
0,00
0,3
0,3
0,00 912,1 895,0
0,13 324,7 330,4
0,00 159,9 160,4
0,01
70,3
71,2
0,00
1,8
1,8
0,00
2,4
2,4
0,01
59,1
59,9
0,00
18,8
19,0
0,00
0,4
0,4
-0,03 3.760,4 3.770,9
0,00
0,1
0,1
0,02 546,6 549,5
0,00 105,6 107,1
0,04 121,0 126,5
0,00 527,3 536,7
0,00 486,1 493,1
0,02 126,0 126,7
0,29 376,2 387,2
0,67 1.186,6 1.227,6
0,05 208,7 209,3
6,04 2.788,4 2.997,5
1,17 326,6 364,9
0,80 441,3 472,5
0,29 318,4 333,7
share
%
Lampiran 2
Perbandingan Dampak ACFTA Ke Indonesia (Komoditas) Lanjutan 2
pre
post
chg
0,00
6,6
6,7
0,1
-0,01 832,0 827,6 -4,4
0,00
75,4
76,2
0,8
0,03 142,5 138,1 -4,4
0,01 515,1 519,1
4,0
0,00
0,2
0,2
0,0
-0,03 908,3 891,4 -16,9
0,01 227,4 223,2 -4,2
0,00 159,9 160,4
0,5
0,00
53,8
53,7 -0,1
0,00
1,8
1,8
0,0
0,00
2,3
2,3
0,0
0,00
47,5
47,6
0,1
0,00
10,0
10,2
0,2
0,00
0,0
0,0
0,0
0,02 2.615,6 2.643,2 27,6
0,00
0,1
0,1
0,0
0,00 438,8 440,1
1,3
0,00
98,7 100,3
1,6
0,01 110,6 113,1
2,5
0,02 471,7 482,6 10,9
0,01 400,7 408,0
7,3
0,00
19,7
20,2
0,5
0,02
84,5
85,7
1,2
0,07 594,4 589,0 -5,4
0,00
44,8
43,1 -1,7
0,34 1.716,6 1.483,4 -233,2
0,06 121,8
89,7 -32,1
0,05 241,7 218,2 -23,5
0,02 196,5 192,9 -3,6
share
%
1,5
-0,5
1,1
-3,1
0,8
0,0
-1,9
-1,8
0,3
-0,2
0,0
0,0
0,2
2,0
0,0
1,1
0,0
0,3
1,6
2,3
2,3
1,8
2,5
1,4
-0,9
-3,8
-13,6
-26,4
-9,7
-1,8
%
Ekspor ke ROW
0,00
-0,01
0,00
-0,01
0,01
0,00
-0,05
-0,01
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,08
0,00
0,00
0,00
0,01
0,03
0,02
0,00
0,00
-0,01
0,00
-0,64
-0,09
-0,06
-0,01
share
%
64
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
31 ProdukKertas
32 Petroleum
33 Kimia
34 ProdTambang
35 LogamBesi
36 LogamNec
37 ProdukMetal
38 KendBermotor
39 PerTransport
40 Elektronik
41 MesinPerl
42 IndustriNec
Total
42
Komoditas
287,8
4.318,9
4.128,1
326,5
835,0
301,4
627,9
982,2
870,0
3.905,8
3.873,8
393,1
25.530,8
pre
chg
299,2 11,4
4.418,3 99,4
4.414,5 286,4
365,9 39,4
911,4 76,4
337,2 35,8
866,2 238,3
1.045,5 63,3
1.083,5 213,5
4.103,2 197,4
4.265,1 391,3
512,9 119,8
27.972,1 2.441,3
post
4,0
2,3
6,9
12,1
9,1
11,9
38,0
6,4
24,5
5,1
10,1
30,5
9,6
%
Ekspor ke ACFTA
0,04
0,39
1,12
0,15
0,30
0,14
0,93
0,25
0,84
0,77
1,53
0,47
9,6
share
%
227,4
2.871,8
3.203,5
163,9
383,8
157,0
291,7
844,0
512,3
2.983,6
2.530,7
217,4
17.259,1
pre
221,0
2.831,4
3.095,2
154,1
362,5
147,8
252,2
806,2
383,8
2.844,0
2.366,1
173,6
16.357,5
post
-6,4
-40,4
108,3
-9,8
-21,3
-9,2
-39,5
-37,8
-128,5
-139,6
-164,6
-43,8
-901,6
chg
-2,8
-1,4
-3,4
-6,0
-5,5
-5,9
-13,5
-4,5
-25,1
-4,7
-6,5
-20,1
-5,2
%
Ekspor ke ASEAN
pre
chg
29,5
9,7
42,7
30,3
21,7
31,2
82,6
73,2
95,6
36,5
41,4
93,1
40,4
%
Ekspor ke CINA
post
-0,04
60,4 78,2
17,8
-0,23 1.447,1 1.586,9 139,8
-0,63 924,6 1,319,3 394,7
-0,06 162,6 211,8
49,2
-0,12 451,2 548,9
97,7
-0,05 144,4 189,4
45,0
-0,23 336,2 614,0 277,8
-0,22 138,2 239,3 101,1
-0,74 357,7 699,7 342,0
-0,81 922,2 1.259,2 337,0
-0,95 1.343,1 1.899,0 555,9
-0,25 175,7 339,3 163,6
-5,2 8.271,7 11.614,6 3.342,9
share
%
0,22
1,69
4,77
0,59
1,18
0,54
3,36
1,22
4,13
4,07
6,72
1,98
40,4
share
%
1.634,1
6.192,6
9.888,4
646,3
2.955,0
1.370,2
1.345,6
3.423,9
1.536,2
6.639,7
10.595,4
667,7
61.714,4
pre
Lampiran 2
Perbandingan Dampak ACFTA Ke Indonesia (Komoditas) Lanjutan 3
1.655,6
21,5
6.272,5
79,9
10.207,8 319,4
679,8
33,5
2.958,4
3,4
1.381,3
11,1
1.512,5 166,9
3.470,6
46,7
1.609,7
73,5
6.788,7 149,0
10.786,6 191,2
739,9
72,2
63.280,7 1.566,3
chg
1,3
1,3
3,2
5,2
0,1
0,8
12,4
1,4
4,8
2,2
1,8
10,8
2,5
%
Ekspor ke DUNIA
post
0,03
0,13
0,52
0,05
0,01
0,02
0,27
0,08
0,12
0,24
0,31
0,12
2,5
share
%
1.346,3
1.873,7
5.760,3
319,8
2.120,0
1.068,8
717,7
2.441,7
666,2
2.733,9
6.721,6
274,6
36.183,6
pre
1.356,4
1.854,2
5.793,3
313,9
2.047,0
1.044,1
646,3
2.425,1
526,2
2.685,5
6.521,5
227,0
35.308,6
10,1
-19,5
33,0
-5,9
-73,0
-24,7
-71,4
-16,6
-140,0
-48,4
-200,1
-47,6
-875,0
chg
0,8
-1,0
0,6
-1,8
-3,4
-2,3
-9,9
-0,7
-21,0
-1,8
-3,0
-17,3
-2,4
%
Ekspor ke ROW
post
0,03
-0,05
0,09
-0,02
-0,20
-0,07
-0,20
-0,05
-0,39
-0,13
-0,55
-0,13
-2,4
share
%
Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia
65
66
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
Lampiran 3
Tabel Agregasi Data 14 Region Dan 42 Sektor
I. Region Aggregation
No.
Regional Aggregation
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Japan
Korea
Cina
India
Indonesia
Malaysia
Singapore
Thailand
Philippines
Vietnam
Other ASEAN
USA
EU 25
14
Rest of The World
Member
Japan
Korea
Cina
India
Indonesia
Malaysia
Singapore
Thailand
Philippines
Vietnam
Cambodia, Lao PDR, Myanmar, Brunei Darussalam
USA
Austria, Belgium, Cyprus, Czech Republic, Denmark, Estonia, Finland,
France, Germany, Greece, Hungary, Ireland, Italy, Latvia, Lithuania,
Luxemborg, Malta, Netherlands, Poland, Portugal, Slovakia, Slovenia,
Spain, Sweden, UK
Australia, New Zealand, Rest of Oceania, Hongkong, Taiwan, Rest of
East Asia, Bangladesh, Pakistan, Sri Lanka, Rest of South Asia, Canada,
Mexico, Rest of North America, Argentina, Bolivia, Brazil, Chile,
Colombia, Ecuador, Paraguay, Peru, Uruguay, Venezuela, Rest of
South America, Costa Rica, Guatemala, Nicaragua, Panama, Rest of
Central America, Caribbean, Switzerland, Norway, Rest of EFTA,
Albania, Bulgaria, Belarus, Croatia, Romania, Russian Federation,
Ukraine, Rest of Eastern Europe, Rest of Europe, Kazakhstan,
Kyrgyztan, Rest of Former Soviet Union, Armenia, Azerbaijan, Georgia,
Iran, Turkey, Rest of Western Asia, Egypt, Morocco, Tunisia, Rest of
North Africa, Nigeria, Senegal, Rest of Western Africa, Central Africa,
South Central Africa, Ethiopia, Madagascar, Malawi, Mauritius,
Mozambique, Tanzania, Uganda, Zambia, Zimbabwe, Rest of Eastern
Africa, Bostwana, South Africa, Rest of South African Customs
Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia
I. Region Aggregation
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
Sectoral Aggregation
PDR
WHT
GRO
V_F
OSD
C_B
PFB
OCR
CTL
OAP
RMK
WOL
FRS
FSH
COA
OIL
GAS
OMN
CMT
OMT
VOL
MIL
PCR
SGR
OFD
B_T
TEX
WAP
LEA
LUM
PPP
P_C
CRP
NMM
I_S
NFM
FMP
MVH
OTN
ELE
OME
OMF
OTHERS
Member
Paddy rice
Wheat
Cereal grains nec
Vegetables, fruit, nuts
Oil seeds
Sugar cane, sugar beet
Plant-based fibers
Crops nec
Cattle, sheep, goats, horses
Animal products nec
Raw milk
Wool, silk-worm cocoons
Forestry
Fishing
Coal
Oil
Gas
Minerals nec
Meat: cattle, sheep, goats, horse
Meat products nec
Vegetable oils and fats
Dairy products
Processed rice
Sugar
Food products nec
Beverages and tobacco products
Textiles
Wearing apparel
Leather products
Wood products
Paper products, publishing
Petroleum, coal products
Chemical,rubber,plastic prods
Mineral products nec
Ferrous metals
Metals nec
Metal products
Motor vehicles and parts
Transport equipment nec
Electronic equipment
Machinery and equipment nec
Manufactures nec
Electricity; Gas manufacture, distribution; Water; Construction; Trade;
Transport nec; Sea transport; Air transport; Communication; Financial
services nec; Insurance; Business services nec; Recreation and other
services; Public Administration/Defence/Health/Education; Dwellings
67
68
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
Lampiran 4
Tabel Konversi 7 Sektor Komoditas
Sector
Agricultural Product
Food Product
Extractive Industry
Light Manufacturing
Heavy
Manufacturing
Technology-intensive
Manufacturing
Services
Source : ADB, WP No 130, 2008
nec : not elsewhere classified
Commodities
Paddy rice, wheat, cereal grains nec, vegetable, fruit, nuts, oil seeds, sugar cane, sugar
beet, plant-based, crops nec, bovine cattle, sheep and goats, horse, animal product,
raw milk, wool silk-worm cocoons, bovine cattle, sheep and goats, horse meat product
Meat product nec, vegetable oil and fats, dairy products, processed rice, sugar, food
products nec, beverages and tobacco products
Forestry, fishing, coal, oil, gas, minerals nec, petroleum, coal products
Textiles, wearing apparel, leather product, wood products
Paper products, publishing, chemical, rubber, plastic products, mineral products nec,
ferrous metals, metals
nec
Metal products, motor vehicle and parts, transport equipment nec,
electronic, machinery and equipment nec, manufacturing nec
Electronic, gas manufacturing, distribustion, water, construction trade, transport,
financial, business, recreational services, public administrayion and defense, education,
health, dwellings and services
Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia
69
Lampiran 5
Tabel Peta Kwadran Rca Dan Iit (Total)
Periode I (Rata-rata 2001-2004)
Kuadran Jumlah
I
9
Kode
33
16
27
38
35
34
26
11
22
Klasifikasi Komoditas Utama
Kimia
Minyak
Tekstil
Kend Bermotor
Logam Besi
Prod Tambang
Minuman
Susu Murni
Dairy Produk
RCA
IIT
1,11
2,26
1,62
1,12
1,04
1,48
1,30
1,11
1,09
0,85
0,82
0,64
0,85
0,88
0,69
0,82
0,73
0,52
Total
Nilai Ekspor
Share Ekspor
1.644.317.782
1.382.885.185
588.106.204
332.659.537
251.830.711
196.203.561
177.537.037
30.045.361
534.984
11,62%
9,77%
4,16%
2,35%
1,78%
1,39%
1,25%
0,21%
0,00%
4.604.120.362
32,54%
Periode I (Rata-rata 2001-2004)
Kuadran Jumlah
II
8
Kode
41
37
4
25
29
20
5
19
Klasifikasi Komoditas Utama
Mesin Perl
Produk Metal
Sayuran
Produk Makan
Produk Kulit
Produk Daging
Oil Seeds
Daging
RCA
IIT
0,42
0,77
0,87
0,98
0,89
0,68
0,94
0,20
0,83
0,87
0,77
0,89
0,88
0,60
0,51
0,68
Total
Nilai Ekspor
Share Ekspor
1.986.833.043
163.943.461
119.663.788
111.614.849
71.961.181
36.946.777
11.503.016
80.856
14,04%
1,16%
0,85%
0,79%
0,51%
0,26%
0,08%
0,00%
2.502.546.970
17,69%
Periode I (Rata-rata 2001-2004)
Kuadran Jumlah
III
14
Kode
40
32
42
28
39
3
24
2
10
23
1
6
7
12
Klasifikasi Komoditas Utama
Elektronik
Petro leum
Industri Nec
Pakaian Jadi
Per Transport
Cereal Grain
Gula
Wheat
Produk Hewan
Beras Olahan
Beras
Sugar Cane
Fiber
Wol
Total
RCA
IIT
0,73
0,49
0,64
0,79
0,56
0,22
0,05
0,78
0,18
0,01
0,00
0,00
0,00
0,00
0,30
0,31
0,48
0,22
0,34
0,09
0,03
0,45
0,39
0,01
0,00
0,00
0,00
0,00
Nilai Ekspor
Share Ekspor
1.840.619.562
414.346.141
228.466.798
125.014.619
56.274.523
3.990.231
2.398.110
2.288.071
1.437.850
503.919
0
0
0
0
13,01%
2,93%
1,61%
0,88%
0,40%
0,03%
0,02%
0,02%
0,01%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
2.675.339.823
18,91%
70
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
Periode I (Rata-rata 2001-2004)
Kuadran Jumlah
IV
11
Kode
8
9
13
14
15
17
18
21
30
31
36
Klasifikasi Komoditas Utama
Crops Nec
Hewan Ternak
Kehutanan
Perikanan
Batu bara
Gas
Mineral Nec
Minyak Sayur
Produk Kayu
Produk Kertas
Logam Nec
RCA
IIT
2,60
2,15
4,10
1,98
7,00
1,57
5,59
3,82
3,19
4,57
2,79
0,15
0,14
0,04
0,24
0,07
0,14
0,34
0,06
0,12
0,27
0,33
Total
Nilai Ekspor
Share Ekspor
510.303.657
29.072.147
3.619.860
179.706.122
344.450.420
148.201.956
360.869.596
683.396.677
493.267.281
916.030.861
697.866.399
3,61%
0,21%
0,03%
1,27%
2,43%
1,05%
2,55%
4,83%
3,49%
6,47%
4,93%
4.366.784.974
30,86%
Catatan : Perhitungan berdasarkan konversi data SITC dari UNCOMTRADE menjadi 42 komoditas tradable dalam GTAP.
Periode II (Rata-rata 2005-2008)
Kuadran Jumlah
I
9
Kode
16
38
27
30
26
25
29
5
22
Klasifikasi Komoditas Utama
Minyak
Kend Bermotor
Tekstil
Produk Kayu
Minuman
Produk Makan
Produk Kulit
Oil Seeds
Dairy Produk
RCA
IIT
2,45
1,23
1,01
1,68
1,31
1,05
1,16
2,36
1,47
0,82
0,74
0,74
0,64
0,79
0,96
0,82
0,62
0,83
Total
Nilai Ekspor
Share Ekspor
2.716.031.454
859.808.533
684.776.101
410.094.630
261.927.830
224.759.805
179.757.549
27.301.185
1.913.165
9,51%
3,01%
2,40%
1,44%
0,92%
0,79%
0,63%
0,10%
0,01%
5.366.370.249
18,78%
Periode II (Rata-rata 2005-2008)
Kuadran Jumlah
II
11
Kode
41
33
40
35
42
39
37
4
34
28
10
Klasifikasi Komoditas Utama
Mesin Perl
Kimia
Elektronik
Logam Besi
Industri Nec
Per Transport
Produk Metal
Sayuran
Prod Tambang
Pakaian Jadi
Produk Hewan
Total
RCA
IIT
0,42
0,87
0,48
0,69
0,47
0,81
0,55
0,82
0,90
0,46
0,28
0,82
0,71
0,61
0,58
0,56
0,71
0,66
0,64
0,86
0,67
0,58
Nilai Ekspor
Share Ekspor
3.459.339.492
2.554.706.472
2.072.101.828
685.974.318
427.122.284
379.215.365
285.388.289
214.127.650
207.486.926
151.515.810
2.958.244
12,11%
8,94%
7,25%
2,40%
1,49%
1,33%
1,00%
0,75%
0,73%
0,53%
0,01%
10.439.936.678
36,54%
Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia
71
Periode II (Rata-rata 2005-2008)
Kuadran Jumlah
III
10
Kode
32
11
24
3
23
19
1
6
7
12
Klasifikasi Komoditas Utama
Petro leum
Susu Murni
Gula
Cereal Grain
Beras Olahan
Daging
Beras
Sugar Cane
Fiber
Wol
RCA
IIT
0,38
0,67
0,27
0,55
0,00
0,01
0,00
0,00
0,00
0,00
0,19
0,33
0,11
0,40
0,01
0,20
0,00
0,00
0,00
0,00
Total
Nilai Ekspor
Share Ekspor
935.618.846
25.279.380
17.854.983
8.389.705
330.037
7.325
0
0
0
0
3,27%
0,09%
0,06%
0,03%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
987.480.275
3,46%
Periode II (Rata-rata 2005-2008)
Kuadran Jumlah
IV
12
Kode
36
21
17
8
31
15
18
14
20
9
2
13
Klasifikasi Komoditas Utama
Logam Nec
Minyak Sayur
Gas
Crops Nec
Produk Kertas
Batu bara
Mineral Nec5,39
Perikanan
Produk Daging
Hewan Ternak
Wheat
Kehutanan
Total
RCA
IIT
3,77
0,29
5,11
0,03
6,78
0,05
2,91
0,13
4,39
0,37
7,08
0,05
0,35 709.176.692
1,89
0,25
2,12
0,37
1,63
0,06
1,45
0,32
5,36
0,12
Nilai Ekspor
Share Ekspor
2.482.296.551
2.156.452.594
1.846.798.666
1.498.317.400
1.442.952.860
1.170.145.644
2,48%
229.429.381
203.014.679
27.159.304
6.619.736
5.956.443
8,69%
7,55%
6,46%
5,24%
5,05%
4,10%
11.778.319.950
41,22%
Catatan : Perhitungan berdasarkan konversi data SITC dari UNCOMTRADE menjadi 42 komoditas tradable dalam GTAP.
0,80%
0,71%
0,10%
0,02%
0,02%
72
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
Lampiran 6
Tabel Peta Kwadran Rca Dan Iit (Non Migas)
Periode I (Rata-rata 2001-2004)
Kuadran Jumlah
I
10
Kode
33
27
38
35
34
26
25
11
5
22
Klasifikasi Komoditas Utama
Kimia
Tekstil
Kend Bermotor
Logam Besi
Prod Tambang
Minuman
Produk Makan
Susu Murni
Oil Seeds
Dairy Produk
RCA
IIT
1,18
1,72
1,19
1,11
1,57
1,39
1,04
1,18
1,00
1,16
0,85
0,64
0,85
0,88
0,69
0,82
0,89
0,73
0,51
0,52
Total
Nilai Ekspor
Share Ekspor
1.644.317.782
588.106.204
332.659.537
251.830.711
196.203.561
177.537.037
111.614.849
30.045.361
11.503.016
534.984
13,03%
4,66%
2,64%
2,00%
1,55%
1,41%
0,88%
0,24%
0,09%
0,00%
3.343.818.057
26,50%
Periode I (Rata-rata 2001-2004)
Kuadran Jumlah
II
6
Kode
41
37
4
29
20
19
Klasifikasi Komoditas Utama
Mesin Perl
Produk Metal
Sayuran
Produk Kulit
Produk Daging
Daging
RCA
IIT
0,45
0,82
0,93
0,95
0,73
0,21
0,83
0,87
0,77
0,88
0,60
0,68
Total
Nilai Ekspor
Share Ekspor
1.986.833.043
163.943.461
119.663.788
71.961.181
36.946.777
80.856
15,75%
1,30%
0,95%
0,57%
0,29%
0,00%
2.379.429.106
18,86%
Periode I (Rata-rata 2001-2004)
Kuadran Jumlah
III
14
Kode
40
32
42
28
39
3
24
2
10
23
1
6
7
12
Klasifikasi Komoditas Utama
Elektronik
Petro leum
Industri Nec
Pakaian Jadi
Per Transport
Cereal Grain
Gula
Wheat
Produk Hewan
Beras Olahan
Beras
Sugar Cane
Fiber
Wol
Total
RCA
IIT
0,77
0,52
0,69
0,85
0,59
0,24
0,05
0,83
0,19
0,01
0,00
0,00
0,00
0,00
0,30
0,31
0,48
0,22
0,34
0,09
0,03
0,45
0,39
0,01
0,00
0,00
0,00
0,00
Nilai Ekspor
Share Ekspor
1.840.619.562
414.346.141
228.466.798
125.014.619
56.274.523
3.990.231
2.398.110
2.288.071
1.437.850
503.919
0
0
0
0
14,59%
3,28%
1,81%
0,99%
0,45%
0,03%
0,02%
0,02%
0,01%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
2.675.339.823
21,20%
Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia
73
Periode I (Rata-rata 2001-2004)
Kuadran Jumlah
IV
10
Kode
31
36
21
8
30
18
15
14
9
13
Klasifikasi Komoditas Utama
Produk Kertas
Logam Nec
Minyak Sayur
Crops Nec
Produk Kayu
Mineral Nec5,96
Batu bara
Perikanan
Hewan Ternak
Kehutanan
RCA
IIT
4,87
0,27
2,98
0,33
4,07
0,06
2,77
0,15
3,39
0,12
0,34 360.869.596
7,45
0,07
2,11
0,24
2,29
0,14
4,37
0,04
Total
Nilai Ekspor
Share Ekspor
916.030.861
697.866.399
683.396.677
510.303.657
493.267.281
2,86%
344.450.420
179.706.122
29.072.147
3.619.860
7,26%
5,53%
5,42%
4,04%
3,91%
2,73%
1,42%
0,23%
0,03%
4.218.583.018
33,43%
Catatan : Perhitungan berdasarkan konversi data SITC (non-migas) dari UNCOMTRADE menjadi 42 komoditas tradable dalam GTAP.
Periode II (Rata-rata 2005-2008)
Kuadran Jumlah
I
9
Kode
38
27
30
26
25
34
29
5
22
Klasifikasi Komoditas Utama
Kend Bermotor
Tekstil
Produk Kayu
Minuman
Produk Makan
Prod Tambang
Produk Kulit
Oil Seeds
Dairy Produk
RCA
IIT
1,39
1,14
1,89
1,49
1,18
1,02
1,31
2,65
1,67
0,74
0,74
0,64
0,79
0,96
0,86
0,82
0,62
0,83
Total
Nilai Ekspor
Share Ekspor
859.808.533
684.776.101
410.094.630
261.927.830
224.759.805
207.486.926
179.757.549
27.301.185
1.913.165
3,58%
2,85%
1,71%
1,09%
0,94%
0,86%
0,75%
0,11%
0,01%
2.857.825.721
11,90%
Periode II (Rata-rata 2005-2008)
Kuadran Jumlah
II
10
Kode
41
33
40
35
42
39
37
4
28
10
Klasifikasi Komoditas Utama
Mesin Perl
Kimia
Elektronik
Logam Besi
Industri Nec
Per Transport
Produk Metal
Sayuran
Pakaian Jadi
Produk Hewan
Total
RCA
IIT
0,47
0,98
0,54
0,78
0,53
0,92
0,62
0,92
0,52
0,32
0,82
0,71
0,61
0,58
0,56
0,71
0,66
0,64
0,67
0,58
Nilai Ekspor
Share Ekspor
3.459.339.492
2.554.706.472
2.072.101.828
685.974.318
427.122.284
379.215.365
285.388.289
214.127.650
151.515.810
2.958.244
14,41%
10,64%
8,63%
2,86%
1,78%
1,58%
1,19%
0,89%
0,63%
0,01%
10.232.449.752
42,62%
74
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
Periode II (Rata-rata 2005-2008)
Kuadran Jumlah
III
10
Kode
32
11
24
3
23
19
1
6
7
12
Klasifikasi Komoditas Utama
Petro leum
Susu Murni
Gula
Cereal Grain
Beras Olahan
Daging
Beras
Sugar Cane
Fiber
Wol
RCA
IIT
0,43
0,76
0,31
0,62
0,00
0,01
0,00
0,00
0,00
0,00
0,19
0,33
0,11
0,40
0,01
0,20
0,00
0,00
0,00
0,00
Total
Nilai Ekspor
Share Ekspor
935.618.846
25.279.380
17.854.983
8.389.705
330.037
7.325
0
0
0
0
3,90%
0,11%
0,07%
0,03%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
0,00%
987.480.275
4,11%
Periode II (Rata-rata 2005-2008)
Kuadran Jumlah
IV
11
Kode
36
21
8
31
15
18
14
20
9
2
13
Klasifikasi Komoditas Utama
Logam Nec
Minyak Sayur
Crops Nec
Produk Kertas
Batu bara
Mineral Nec6,09
Perikanan
Produk Daging
Hewan Ternak
Wheat
Kehutanan
Total
RCA
IIT
4,26
0,29
5,78
0,03
3,29
0,13
4,96
0,37
8,01
0,05
0,35 709.176.692
2,14
0,25
2,40
0,37
1,84
0,06
1,66
0,32
6,07
0,12
Nilai Ekspor
Share Ekspor
2.482.296.551
2.156.452.594
1.498.317.400
1.442.952.860
1.170.145.644
2,95%
229.429.381
203.014.679
27.159.304
6.619.736
5.956.443
10,34%
8,98%
6,24%
6,01%
4,87%
9.931.521.284
41,37%
Catatan : Perhitungan berdasarkan konversi data SITC (non-migas) dari UNCOMTRADE menjadi 42 komoditas tradable dalam GTAP
0,96%
0,85%
0,11%
0,03%
0,02%
Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?:
Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan
75
APAKAH ACFTA MERUPAKAN STRATEGI YANG TEPAT UNTUK
PENUNTASAN KEMISKINAN YANG BERKESINAMBUNGAN?:
BUKTI DARI PENURUNAN TINGKAT SIMPANAN
Bagus Arya Wirapati dan
Niken Astria Sakina Kusumawardhani
*
Abstract
The outcome of Regional Free Trade Area (R-FTA) still remains a conundrum. Regional free trade
area (R-FTA) is one of the manifestations of the economy integration phenomenon. R-FTA brings many
pros and cons to the economists. It allows better allocation of resources especially by eliminating tariffs,
thus making people have higher purchasing power for goods. While the increase of purchasing power is
good for growth engine and poverty alleviation progress, this paper proves that there is potency for the
agreement to be detrimental in the long run.
The main focus in this paper is the potential impact of ACFTA to the saving rate as the shock buffer
for the poor in time of recessions and crises, where purchasing power decreases significantly. We view
the ACFTA impact through the series of net import, defined as the difference between imports from
export. We use Dynamic Panel Data (DPD) to estimate the impact of net import to the saving rate, assuming
that there is a dynamic relationship between saving rate and its lagged value. The estimation result proves
that there is a negative relationship between import and the saving per capita, which indicates the
consumptive behavior of ASEAN people under high import. Moreover, the dynamic relationship shows
that saving per capita is not persistent, meaning that the saving rate will be decreased gradually.
Therefore, we can expect that in the long rung, the savings will be depleted into nothing if we
keep letting the import flooded domestic market without imposing any pre-emptive and reactive policies.
This paper provides a set of historical estimation of the potential impact of ACFTA on saving rate and its
policy implication to endure the impact.
JEL Classification Code
Code: E38, F15
Keywords: Free Trade, Poverty Alleviation, Saving Behavior
* Graduated from Economic Department, University of Indonesia and research assistant on Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan
(PPSK) √ Bank Indonesia. [email protected]; [email protected]
76
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
I. LATAR BELAKANG
Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010-2014, pemerintah
Indonesia telah menargetkan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 5.5% di tahun 2010, 7%
di tahun 2010 dan diatas 7% di tahun 2014. Sedangkan di Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJP) 2005-2025, pemerintah telah menargetkan pencapaian kesejahteraan nasional
yang setara dengan negara-negara berpendapatan menengah dan mempertahankan tingkat
pengangguran dan angka kemiskinan dibawah 5%.
Target dan rencana di atas dibuat untuk menghadapi perjanjian perdagangan bebas
antara Indonesia dengan negara lainnya. Indonesia telah menandatangani banyak perjanjian
dagang bebas bilateral maupun multilateral, termasuk dengan Korea Selatan (2007), Jepang
(2007), Australia dan Selandia Baru (2009), India (2009), dan Cina (2010). Semua perjanjian
perdagangan bebas ini dapat membawa baik kesempatan dan ancaman pada ekonomi
nasional.
Perjanjian ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA) menurunkan tarif pajak dari 90% untuk
barang impor menjadi nol. Negara ASEAN, terutama yang sedang berkembang (Singapura
dianggap sebagai negara maju), akan dibanjiri dengan laju barang dibawah ACFTA. Peningkatan
akses terhadap barang murah, dalam konteks pengeluaran, akan sangat menguntungkan bagi
masyarakat miskin. Todaro dan Smith (2008,[59])) membantah bahwa meningkatnya akses
masyarakat miskin pada barang dan jasa merupakan salah satu bukti berhasilnya usaha
pengurangan kemiskinan. Hal ini meningkatkan pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder
dari masyarakat miskin. Sehingga dari sudut pandang pengeluaran, jumlah penduduk miskin
akan menurun dikarenakan meningkatnya kemampuan masyarakat miskin untuk mengakses
barang dibawah perjanjian perdagangan bebas macam ini.
Sekilas tampak ada penurunan tingkat kemiskinan, namun kesinambungan dari usaha
penuntasan kemiskinan ini masih menjadi pertanyaan. Masyarakat miskin memiliki
kecenderungan marjinal yang lebih besar untuk menjadi konsumtif dibandingkan anggota
masyarakat yang berpunya, sehingga mereka akan cenderung untuk mengkonsumsi lebih
banyak, dan akibatnya akan mengurangi proporsi tabungan dari pendapatan mereka. Mereka
cenderung untuk meningkatkan konsumsi dibandingkan menabung sebagai penyangga ke
depan disaat terjadi ketidakstabilan atau guncangan ekonomi. Perilaku ini akan mendorong
mereka pada tingkat ketahanan yang lebih rendah bilamana terjadi krisis ekonomi. Sehingga,
memperkenalkan Regional Free Trade Area, dikasus ini ACFTA, untuk meningkatkan
ketersediaan barang murah dipercaya sebagai langkah tidak tepat untuk penuntasan kemiskinan
yang berkelanjutan, terutama dalam jangka panjang.
Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?:
Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan
77
Makalah ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan utama: apakah ACFTA merupakan
langkah tepat bagi penuntasan kemiskinan yang berkesinambungan. Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, paper ini memiliki tujuan utama untuk mendapatkan hasil empiris dari
hubungan impor bersih dan tingkat simpanan yang mewakili tingkat kemiskinan suatu negara.
Bagian selanjutnya dari paper ini mendeskripsikan ACTFA dan bab III menyajikan tinjauan literatur
dan konsep kerangka kerja dari model yang digunakan dalam riset ini. Bab IV menjelaskan
metodologi riset, sedangkan bab V menyertakan analisis dan diskusi dari hasil empiris.
Rangkuman dan rekomendasi kebijakan akan dipresentasikan di bab VI.
II. ASEAN-CINA FREE TRADE AGREEMENT (ACFTA)
Zona Perdagangan Bebas/Regional Free Trade Area (R-FTA) merupakan perwujudan dari
fenomena integrasi ekonomi. R-FTA memunculkan banyak pro dan kontra diantara para ahli
ekonomi. R-FTA memungkinkan alokasi sumber daya yang lebih baik dengan mengeliminasi
tarif, sehingga masyarakat memiliki daya beli barang yang lebih tinggi. ASEAN-Cina Free Trade
Area (ACFTA) diimplementasikan dengan menghapus dan mereduksi segala penghalang dalam
proses perdagangan barang (baik tarif maupun non-tarif), memperbaiki akses ke pasar jasa,
peraturan dan regulasi investasi dan juga perbaikan kerja sama ekonomi untuk meningkatkan
kesejahteraan komunitas ASEAN dan Cina. ACFTA membawa banyak keuntungan, dan juga
kerugian bagi negara-negara ASEAN. Pemerintah Indonesia berharap bahwa ACFTA akan
membawa hasil yang menggembirakan kedepannya, seperti kesempatan yang lebih luas bagi
Indonesia untuk memasuki pasar Cina dengan mendayagunakan tarif yang relatif rendah dan
populasi yang besar; meningkatkan kerja sama antar pengusaha di kedua negara melalui
pembentukan aliansi strategis; meningkatkan daya beli atas barang-barang Cina dengan
penurunan tarif dan biaya; dan meningkatkan kemungkinan transfer teknologi antar pengusaha
kedua negara. Semua ekspektasi diatas, lepas dari tercapai atau tidaknya, akan butuh bertahuntahun untuk melihat dampak nyata dari ACFTA.
Perdana Menteri Cina, Zhu Rongji adalah orang yang menelurkan ide zona perdagangan
bebas antara Cina dan ASEAN pada Cina-ASEAN Summit, November 2000. Di bulan Oktober
2001, sebuah kelompok ahli ekonomi dari Cina dan ASEAN mengeluarkan sebuah rekomendasi
pembentukan ASEAN-Cina dalam waktu 10 tahun kedepan. Satu bulan kemudian di bulan
November 2001, pada Cina-ASEAN Summit lainnya, para pemimpin dari negara-negara tersebut
memulai negosiasi atas kemungkinan diwujudkannya ide tersebut. Satu tahun kemudian, para
pemimpin negara-negara ASEAN dan perdana menteri Cina, Zhu Rongji, menandatangani
78
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
Perjanjian Kerangka Kerja ACFTA. Perjanjian ini berfungsi sebagai roadmap pembentukan zona
perdagangan bebas antara Cina dan ASEAN. Perjanjian ini merumuskan bahwa zona
perdagangan bebas harus diselesaikan pada tahun 2015. Perjanjian Kerangka Kerja ACFTA
merupakan dokumen yang inovatif bagi negara ASEAN, karena ASEAN sebagai sebuah
organisasi, meski telah menjalin perjanjian perdagangan bebas antar anggotanya, belum pernah
membuat perjanjian semacam ini dengan negara non-anggota. Selain itu, Perjanjian Kerangka
Kerja ACFTA merupakan perjanjian perdagangan bebas pertama Cina dengan negara asing.
Sejak hadirnya Perjanjian Kerangka Kerja ACFTA, baik Cina dan ASEAN telah memasuki tahap
negosiasi perjanjian perdagangan bebas lainnya dengan negara-negara lain.
Berdasarkan perjanjian ACFTA, penghapusan tarif harus dilakukan secara bertahap.
Tahapannya adalah Early Harvest Program (EHP), Normal Track I dan II, dan Sensitive/Highly
Sensitive List. Tiap tahapan dijadwalkan sendiri antara tiap-tiap negara ASEAN dengan Cina
secara bilateral, dimana tiap negara memutuskan sendiri rencana penurunan atau penghapusan
tarif untuk tiap kategori produk. Sejak November 2002, ASEAN 6 (Indonesia, Singapura, Thailand,
Malaysia, Filipina, Brunei) dan Cina telah setuju untuk menandatangani ACFTA, untuk tarif
masuk 0% per Januari 2004 khusus untuk produk yang masuk kategori EHP. Sepanjang tahun
2004-2009, sekitar 65% produk Cina telah diidentifikasi sebagai produk bebas masuk oleh
Dirjen Bea Cukai, Departemen Keuangan Indonesia. Pada bulan Januari 2010, sekitar 1598
atau 18% produk dari Cina telah menerima pengurangan tarif sebesarr 5%, sedangkan 82%
dari total 8783 produk impor Cina telah sepenuhnya bebas dari tarikan tarif. Sebaliknya
sepanjang tahun 2004-2009, neraca perdagangan antara Indonesia dan Cina menunjukkan
bahwa Indonesia lebih banyak mengimpor barang dari Cina ketimbang mengekspor. Akibatnya,
sepanjang tahun 2003-2009, Indonesia telah mengakumulasi defisit perdagangan (untuk
perdagangan non-minyak) dengan Cina sebesar USD 12.6 juta (atau Rp.120 trilyun).
Dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, Singapura merupakan pengekspor terbesar ke
Cina, sementara Indonesia menempati posisi 5 setelah Thailand. Defisit perdagangan terbesar
antara Indonesia dan Cina sebesar USD 7.2 juta di tahun 2008.
Partisipasi Indonesia di berbagai perjanjian perdagangan bebas tidak dapat dihindari
ataupun dibatalkan, meskipun sektor manufaktur telah menyatakan kekhawatiran mereka atas
kompetisi perdagangan bebas ini. Namun sebagaimana perjanjian perdagangan bebas secara
umum, ada klausa yang memungkinkan pihak-pihak yang terlibat untuk memodifikasi perjanjian
dan menghentikan sementara konsesi ini untuk memperbaiki daya saing dan kekuatan sektor
dagang. Untuk melindungi sektor manufaktur dari invasi produk-produk impor, pemerintah
harus memfungsikan koordinasi lintas-departemen yang juga melibatkan sektor riil dan pihak
terkait lainnya.
Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?:
Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan
79
Sejak pembentukan ACFTA Januari 2010, banyak reaksi negatif diterima dari para pemain
di sektor riil dan bidang terkait lainnya. Kebanyakan dari mereka menyatakan bahwa pihaknya
belum siap berkompetisi dengan Cina dan mereka meminta pemerintah untuk menunda
implementasi dari perjanjian ACFTA. Terutama untuk kasus ACFTA and Common Effective
Preferential Tariff-ASEAN Free Trade Agreement (CEPT-AFTA), Indonesia masih menyetujui
penurunan tarif sesuai daftar, dimana produk-produk yang termasuk dalam Normal Track (NT1)
ACFTA dan Inclusion List (IL) CEPT-AFTA untuk ASEAN, direncanakan akan diberikan tarif masuk
0% mulai 1 Januari 2010. Menteri Perdagangan telah menunda penghapusan tarif masuk
untuk beberapa produk karena ketidaksiapan dari beberapa sektor domestik. Pada saat ini,
Indonesia sedang dalam posisi menunda pemotongan tarif 227 kategori produk.
III. TINJAUAN LITERATUR
III.1 Peran Simpanan Bagi Perekonomian
Simpanan memiliki peran penting bagi perekonomian dan tiap jenis simpanan memainkan
fungsi penting yang berbeda. Simpanan dihasilkan dari 3 entitas ekonomi: rumah tangga,
perusahaan dan pemerintah. Rumah tangga menabung untuk menutupi pengeluaran anak
dan sebagai jaminan kedepan di masa pensiun. Perusahaan menyimpan sebagian dari
keuntungan yang diperoleh untuk investasi dimasa depan untuk memperluas bisnis perusahaan.
Di sisi lain, pemerintah memiliki simpanan bilamana penerimaan pajak melebihi pengeluaran
pemerintah. Pemerintah melakukan penyimpanan untuk membangun fasilitas publik dan
infrastruktur seperti rumah sakit, jembatan dan pelabuhan. Kurangnya simpanan oleh tiap
entitas rumah tangga akan menimbulkan dampak tertentu. Rumah tangga mungkin harus
berjuang keras untuk membiayai pengeluaran mereka yang besar, sehingga mereka harus
mencari pinjaman dalam jumlah besar untuk pengeluaran pendidikan. Jika perusahaan tidak
memiliki cukup simpanan, misalnya bilamana seluruh pemasukan dibagikan kepada para pemilik
saham dalam bentuk deviden, perusahaan akan kesulitan mengembangkan cabangnya di lokasi
lain. Akibatnya perusahaan kehilangan potensi untuk berkembang. Pemerintah yang tidak
memiliki cukup simpanan tidak akan mampu melakukan pembangunan infrastruktur fisik, yang
akan mempengaruhi perekonomian negara secara keseluruhan. Investor asing tidak akan
memilih negara yang infrastukturnya belum berkembang dan secara domestik, tingkat
pembangunan yang rendah oleh pemerintah menandakan tingkat pengangguran yang tinggi
dan pertumbuhan ekonomi yang tidak optimal.
Untuk mencapai tingkat kesejahteraan dan pendapatan nasional yang tinggi, sebuah
negara pertama kali harus mencapai tingkat produktivitas yang tinggi. Penentu produktivitas
80
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
adalah modal kerja seperti modal fisik, modal SDM, SDA dan teknologi. Semakin banyak modal
kerja yang dimiliki, semakin cepat suatu negara berkembang dibandingkan negara lainnya.
Teori pertumbuhan endogen sejak pertengahan 1980 oleh Romer (1986, 1990), Lucas (1988),
dan Barro (1990) pada Mikesell dan Zinser (1973, [41]) telah memastikan pandangan bahwa
akumulasi modal fisik merupakan pendorong yang penting bagi pertumbuhan ekonomi jangka
panjang. Investasi di modal kerja seharusnya dilihat sebagai tingkat simpanan yang meningkat
dari negara itu sendiri. Ini dikarenakan penggunaan sumber daya yang meningkat saat ini
untuk memproduksi modal kerja berarti mengurangi sumber daya yang tersedia untuk
dikonsumsi pada saat ini. Pengurangan konsumsi berarti peningkatan simpanan. Sehingga
bisa disimpulkan bahwa simpanan yang lebih banyak memungkinkan investasi yang lebih baik
pada modal kerja dan produktivitas, yang kedepannya akan menghasilkan tingkat pendapatan
nasional yang lebih tinggi. Para ahli ekonomi pembangunan menganggap tingkat simpanan
sebagi indikator performa kunci dan dijadikan sebagai syarat utama untuk mencapai tingkat
pertumbuhan ekonomi yang baik (Mikesell and Zinser, 1973, [41]).
Pandangan klasik dinamika makro-ekonomi dari proses pertumbuhan yaitu peningkatan
simpanan jika ditransformasikan menjadi investasi produktif akan membantu pencapaian
pertumbuhan ekonomi (Harrod, 1939; Domar, 1946; Lewis, 1954; Solow, 1956 in AlFoul (2010,
[1])). Studi-studi tersebut menyediakan bukti empiris untuk hipotesis bahwa pertumbuhan
simpanan akan memicu pertumbuhan ekonomi. Persepsi umum yang ada yakni simpanan
berkontribusi pada investasi dan pertumbuhan PDB yang lebih tinggi dalam jangka pendek
(Japelli and Pagano, 1994, [32]). Dan terakhir studi oleh AlFoul (2010, [1]) mengkonfirmasi
bahwa selama periode 1965-2007 di Maroko, hubungan dua arah jangka panjang antara PDB
riil dan simpanan domestic bruto/gross domestic saving (GDS) riil terbukti ada; sedangkan di
Konsumsi
Konsumsi = Pendapatan Disposable
Tabungan Positif
Tabungan Negatif
Fungsi Konsumsi
C = a + c (Y-T)
a
45o
Pendapatan Disposable
Sumber: Azzopardi (2004, [4])
Grafik IV.1.
Fungsi Konsumsi
Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?:
Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan
81
Tunisia pada periode waktu yang sama, hasil studi menunjukkan bahwa simpanan menstimulasi
pertumbuhan, bukan sebaliknya.
Didukung oleh studi sebelumnya, kita meyakini bahwa simpanan yang lebih tinggi akan
membawa tingkat pertumbuhan yang tinggi pula. Simpanan didefiniskan sebagai hasil
pendapatan yang dikurangi konsumsi, atau dapat dinyatakan dalam persamaan S = Y √ T √ C,
dimana S = simpanan, Y = pendapatan, T = pajak, and C = konsumsi.
Fungsi konsumsi di grafik 1 di atas menyatakan bahwa konsumsi sama dengan jumlah
tetap dari «a» ditambah bagian «c» dari disposable income (Y-T). Rumah tangga memiliki simpanan
positif bilamana disposable income melebihi konsumsi, dan bernilai negatif bilamana konsumsi
melebihi disposable income -nya. Prioritas konsumsi dari tiap rumah tangga bisa berbeda satu
sama lain, namun secara umum kebutuhan dasar selalu menjadi prioritas utama di daftar
pengeluaran. Sebagai contoh, saat terjadi krisis ekonomi dan pemasukan menurun drastis,
rumah tangga menggunakan uang simpanan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Keynes menyimpulkan dalam bukunya ≈The General Theory of Employment, Interest, and
Money∆, bahwa besar simpanan bergantung pada disposable income. Pendapat umum yang
berlaku di masyarakat adalah masyarakat berpendapatan tinggi menyimpan lebih banyak bagian
penghasilan mereka dibandingkan masyarakat berpenghasilan rendah. Masyarakat
berpenghasilan rendah memiliki lebih sedikit disposable income dan secara umum mereka
menghabiskan seluruh penghasilan mereka untuk kebutuhan umum, karenanya mereka tidak
memiliki kesempatan untuk menabung. Sehingga kita mengasumsikan bahwa masyarakat
berpenghasilan rendah memiliki kecenderungan marjinal lebih rendah untuk menabung. Saat
masyarakt berpenghasilan rendah mulai menabung atau menyimpan lebih banyak uang
dibanding biasanya, ini merupakan pertanda bahwa kesejahteraan mereka mulai membaik.
II.3 Penentu Tingkat Simpanan
Simpanan telah dianggap sebagai variable makro-ekonomi yang penting dengan fondasi
mikro-ekonomi untuk mencapai kestabilan harga dan mendorong kesempatan kerja, yang
akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan (Mishra et al., 2010,
[42]). Sebagaimana yang dikatakan Keynes bahwa besaran simpanan bergantung pada
disposable income, kita harus kritis melihat apakah terdapat hubungan dinamis antara tingkat
simpanan dengan nilai periode-periode sebelumnya (lagged). Seseorang tidak bisa mendapatkan
disposable income yang lebih tinggi dalam seketika. Ada proses yang menyertai meningkatnya
disposable income seseorang. Karena pada umumnya disposable income periode sebelumnya
berkaitan dengan disposable income periode selanjutnya, hal yang sama juga berlaku pada
82
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
tingkat pemasukan. Higgins and Williamson (1996, [23]) memperkirakan hubungan untuk 16
negara Asia dari tahun 1950 hingga 1993, menggunakan data IMF pada tingkat simpanan,
dan data Penn World Table (PWT) pada pemasukan dan harga, dan data demografik dari
database PBB. Higgins and Williamson (1996, [23]) menggunakan disposable income dari
simpanan, rasio dependensi, pertumbuhan pertahun dari PDB riil, dan harga relatif dari barang
investasi yang mendorong simpanan sebagai variabel penjelas untuk simpanan (Schultz, 2004,
[54]). Persamaan ini menjadi unik karena mengasumsikan adanya hubungan dinamis antara
tingkat simpanan (Sti) dan lagged value-nya (St-1). Schultz (2004, [54]) berpendapat bahwa
tingkat simpanan diperkirakan berubah secara berangsur-angsur sampai ke titik baru dan satu
tahun tidaklah cukup bagi tingkat simpanan untuk mencapai kondisi baru tersebut. Tingkat
simpanan akan beradaptasi dalam waktu lebih dari satu tahun, mengikuti level disposable
income individual. Karena kita mengasumsikan bahwa tingkat simpanan dari periode t memiliki
kaitan dengan tingkat simpanan pada periode t-1, maka semua error yang muncul pada
persamaan simpanan dalam satu tahun tidak independen dari error pada simpanan tahuntahun sebelum atau sesudahnya (Schultz, 2004, [54]). Hubungan dinamis ini antara simpanan
dan lagged value dari simpanan sepatutnya dimasukkan sebagai salah satu faktor penentu dari
tingkat simpanan dari variable dependen.
Pemerintah melakukan simpanan jika pemasukan dari pajak melebihi pengeluaran
pemerintah. Rangkuman aktivitas belanja pemerintah dan penerimaan dari pajak dapat dilihat
di neraca anggaran. Berdasarkan model ekonomi terbuka Keynesian, terdapat kaitan positif
antara neraca anggaran dengan neraca dagang. Dalam model ekonomi terbuka Keynesian,
defisit anggaran dapat mengakibatkan defisit perdagangan. Defisit anggaran yang semakin
tinggi akan menekan suku bunga, dimana suku bunga yang tinggi akan menaikkan nilai tukar
asing dari mata uang dan mata uang yang menguat pada akhirnya akan menurunkan ekspor
bersih, dengan kata lain terjadi defisit perdagangan. Namun pendapat konvensional mengenai
defisit kembar ini belum mendapatkan banyak bukti pendukung empiris. Evans (1985, 1986)
di Darrat (1988, [12]) telah menemukan tidak ada hubungan yang bisa dipercaya bagi Amerika
Serikat (AS) antara defisit anggaran di satu sisi dan suku bunga atau nilai kurs di sisi lainnya.
Bukti empiris yang ada tidak ambigu dan membuktikan bahwa defisit perdagangan di AS
berhubungan terbalik dengan nilai kurs dollar, meskipun responnya kecil dan lamban. Pendukung
dari pendapat konvensional ini menemukan adanya hubungan parsial antara defisit anggaraan
yang lebih tinggi dan suku bunga yang lebih tinggi (Plosser (1982, [46]), Hoelscher (1983,
[25]), Cebula (1987, [10]), serta Wachtel dan Young (1987, [60]). Pendukung lainnya seperti
Feldstein (1982) di Islam (1998, [30]) menyimpulkan bahwa defisit anggaran yang lebih besar
menghasilkan suku bunga yang lebih tinggi, yang selanjutnya menyebabkan apresiasi dari nilai
kurs, yang berakibat memperburuk ketidakseimbangan neraca perdagangan.
Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?:
Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan
83
Hasil impiris yang berbeda untuk hubungan antara kedua defisit menarik lebih banyak
riset di topik ini. Beberapa hipotesis yang telah dikembangkan adalah (1) Defisit perdagangan
menyebabkan defisit neraca, (2) Kedua defisit saling independen kasual, dan (3) Kedua defisit
memiliki kasualitas dua arah. Dari ketiga hipotesis ini, hipotesis hubungan dua arah antara
defisit anggaran dan defisit perdagangan yang mendapatkan dukungan empiris cukup banyak.
Islam (1998, [30]) memeriksa arah kasualitas daripada defisit anggaran dan defisit perdagangan
berdasarkan tes Granger untuk Brazil dari 1973:Kuartal 1 sampai 1991:Kuartal 4. Berdasarkan
tes kasualitas Granger, Islam (1998, [30]) menarik kesimpulan bahwa ada kasualitas dua arah
antara ketidakseimbangan perdagangan dan anggaran. Hasil empiris lainnya dipresentasikan
oleh Darrat (1988, [12]) yang juga menyimpulkan bahwa terdapat hubungan kasualitas timbal
balik antara defisit perdagangan dan anggaran. Hipotesis Darrat (1988, [12]) mengatakan bahwa
tak hanya defisit anggaran dapat menyebabkan defisit perdagangan, namun juga sebaliknya.
Berdasarkan Darrat (1988, [12]), ketika level ekspor bersih suatu negara jatuh (yang disebabkan
oleh faktor lain selain defisit anggaran), tekanan pada pemerintah juga akan meningkat.
Turunnya level ekspor bersih akan mengganggu industri domestik, yang akan menyebabkan
tingginyanya tingkat pengangguran dan hilangnya pangsa pasar di luar negeri. Keadaan ini
pada akhirnya akan menurunkan tingkat pemasukan pemerintah dari pajak, karena aktivitas
bisnis di sektor ekspor mengalami tekanan. Pemerintah juga akan mengeluarkan lebih banyak
dana untuk mensimulasi sektor yang tertekan atau memberi bantuan kepada industri domestik
yang merugi. Hasil empiris dari Darrat (1988, [12]) hanya secara parsial mendukung pandangan
konvensial yang menyatakan bahwa defisit anggaran akan menyebabkan defisit perdagangan,
namun juga membenarkan kasualitas antara defisit perdagangan ke defisit anggaran. Hasil
empiris dari Darrat (1988, [12]) dan Islam (1998, [30]) membenarkan pandangan bahwa defisit
perdagangan memiliki kasualitas dua arah dengan defisit anggaran.
Revolusi Keynesian didasarkan pada keseimbangan bawah kerja, menjadikan simpanan
sebagai fungsi dari pemasukan, dan pemasukan sebagai fungsi dari investasi, sebagaimana
yang dibantah okeh pandangan Neoclassical bahwa simpanan merupakan faktor penentu
investasi (Mikesell and Zinser, 1973, [41]). Tes empiris dari hubungan simpanan-pemasukan
telah dicoba pada dua kelompok besar: hipotesis Keynesian dan non-Keynesian. Kuznets (1960,
[25]) di Mikesell and Zinser, (1973, [41]) adalah salah satu studi lintas-area antara pendapatan
perkapita dan simpanan. Kuznets (1960, [25]) mencapai suatu kesimpulan bahwa ada tendensi
bagi negara-negara dengan pemasukan kapita yang tinggi untuk memiliki rasio simpanan yang
lebih tinggi, namun tendensi ini tidak selalu konsisten. Singh (1971) di Mikesell and Zinser
(1973, [41]) sebagai pendukung Keynesian juga berpendapat bahwa ketika PNB perkapita naik
dari $100 menjadi $1000 rasio simpanan kotornya akan naik 8%. Singh (1971) juga menemukan
bahwa jika tingkat pertumbuhan PNB perkapita berada pada angka 2%, diperlukan 50 tahun
84
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
untuk meningkatkan rasio simpanan menjadi 3%. Disisi lain, pendukung hipotesis Keynesian
datang dengan sebuah teori mengenai perilaku menabung. Dusenberry (1949, [15]), Friedman
(1957, [17]), Modigliani et al. (1954, [43]) menyatakan bahwa kenaikan pendapatan perkapita
tak serta merta menuntun kenaikan rasio simpanan yang lebih tinggi. Salah satu studi yang
dilakukan okeh Friedman (1957, [17]) menghasilkan suatu hipotesis yang disebut ≈Permanent
Income Hypothesis (PIH)∆. Hipotesis ini menyatakan bahwa masyarakat mengkonsumsi
pendapatan permanen, dan semua pendapatan sementara (perbedaan antara pendapatan asli
dan pendapatan permanen) akan dialokasilan ke tabungan. Hal ini mengimplikasikan
ketergantungan yang besar pada perilaku di masa lalu sebagai faktor penentu dari pengeluaran
konsumsi; namun perubahan di pendapatan sementara akan langsung mempengaruhi
perubahan di tingkat simpanan.
Analisis klasik akan simpanan dan pertumbuhan telah berfokus ke dua isu utama: (1)
efek simpanan yang lebih tinggi dalam jangka panjang dan (2) dampak dari simpanan yang
lebih tinggi pada investasi. Model neoklasik diinspirasi oleh Solow (1956, [57]) menyatakan
bahwa peningkatan rasio simpanan akan menghasilkan pertumbuhan yang lebih tinggi hanya
untuk jangka pendek, selama transisi antar dua kondisi tunak (Edwards, 1995, [16]). Studi
terbaru dari Romer (1986, [50]) memperkirakan bahwa simpanan yang lebih tinggi (dan semua
peningkatan yang terkait pada akumulasi modal) dapat membawa peningkatan permanen di
tingkat pertumbuhan. Pendukung dari pandangan konvensional ini menyatakan bahwa
simpanan berkontribusi pada investasi yang lebih besar dan pertumbugan GDP yang lebih
tinggi pada jangka pendek (perlu dicatat bahwa catching-up effect dan law of diminishing
return dianggap berlaku). Inilah alasan mengapa Quah (1993) pada Edward (1995,[16]) negaranegara dengan pendapatan menengah lambat laun menghilang.
Saat negara-negara berasal dalam transisi untuk mencapai kondisi steady state yang
sama dengan negara berpendapatan tinggi, asumsi ini memberikan dasar bagi para peneliti
untuk mempelajari arah kausalitas antara tingkat pertumbuhan dengan tingkat simpanan.
Mohan (2006, [45]) mempelajari arah kausalitas antara tingkat pertumbuhan dan tingkat
simpanan menggunakan konsep kausalitas Granger. Studinya didukung oleh beberapa studi
sebelumnya yang mengungkapkan bahwa tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi menuntun
pada tingkat simpanan yang lebih tinggi pula. (Caroll dan Weil (1994, [9]), Sinha (1996, [55]),
Saltz (1999, [52], dan Anoruo dan Ahmad (2001, [2]). Caroll dan Weil (1994, [9]) menguji
hubungan antara pertumbuhan pendapatan dan simpanan menggunakan data antar-negara
dan data rumah tangga. Pada level agregat, mereka menemukan bahwa pertumbuhan
mendorong besar simpanan, dan rumah tangga dengan pertumbuhan pendapatan yang lebih
tinggi akan menabung lebih banyak dibandingkan rumah tangga dengan tingkat pertumbuhan
Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?:
Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan
85
yang rendah. Caroll dan Weil (1994, [9]) menjelaskan fenomena ini menggunakan teori habit
stock effect. Mereka berpendapat bahwa awalnya sebuah negara memiliki kebiasaan
menabungnya sendiri. Ketika tingkat pertumbuhan meningkat pada periode pertama dalam
perjalanannya, pendapatan negara tersebut akan meningkat melebihi belanjanya, sehingga
menaikkan tingkat simpanan pada periode pertama. Tingkat simpanan rata-rata dari sebuah
perekonomian yang berkembang cepat akan lebih tinggi dibandingkann perekonomian yang
berkembang lebih lambat. (Modigliani, 1970, [44]). N Yang menjadikan hasil pekerjaan Mohan
(2006, [45]) menjadi menarik adalah ia membagi negara-negara yang menjadi sampelnya
kedalam beberapa level pendapatan (LIC/LMC/UMC/HIC). Hipotesis primer Mohan (2006, [45])
adalah bilamana level pendapatan ekonomi mempengaruhi arah kausalitas antara tingkat
pertumbuhan dan simpanan, tes kausalitas Granger dilaksanakan dengan menggunakan data
seri tahunan. Mohan (2006, [45]) berpendapat bahwa hasil studinya lebih condong pada
hipotesis yang menyatakan bahwa kausalitas berasal dari tingkat pertumbuhan ekonomi ke
tingkat pertumbuhan simpanan. Mohan (2006, [45]) juga berpendapat bahwa tingkat
pendapatan memainkan peran penting dalam menentukan arah kausalitas. Dia memperlihatkan
bahwa penjelasan dari kausalitas positif antara tingkat pertumbuhan perekonomian dan tingkat
simpanan dapat dijelaskan oleh teori human wealth effect.
Hubungan antara suku bunga dan simpanan agregat melibatkan sejumlah teori kompleks
dan masalah ekonometrik, yang paling penting adalah memisahkan pendapatan dan efek
substitusi dari perubahan bunga, mengkuantifikasi peranan ekspektasi dan planning horizon
dalam keputusan mengenai simpanan, dan memecahkan masalah identifikasi ekonometrik
yang rumit. Williamson (1968 in Balassa (1989, [5]) dalam studi empiris mengenai 6 negara
menemukan bahwa dengan pengecualian Burma, suku bunga riil berkorelasi negatif dengan
simpanan nasional. Selanjutnya, Gupta (1970, [19]) menemukan bahwa elastisitas bunga dari
simpanan bersifat positif dan signifikan secara statistik pada level 1% di India, sementara
disposable income perkapita digunakan sebagai variabel penjelas. Sebuah studi oleh Yusuf dan
Peter (1984, [61]) menyatakan bahwa satu persen kenaikan pada suku bunga dibarengi dengan
kurang lebih satu persen peningkatan di simpanan nasional kotor (gross national saving); yakni
elastisitas bunga pada simpanan pada angka 1 (Balassa, 1989, [5]). Beberapa studi lainnya
berkonsentrasi terutama pada efek reformasi suku bunga di Korea, Taiwan dan Indonesia dimana
kenaikan pada suku deposit tabungan (bersamaan dengan peningkatan tingkat beban) telah
dibarengi dengan kenaikan tajam pada deposit tabungan tanpa menekan permintaan bisnis
untuk pinjaman. Namun ini hanya memerlukan pengarahan ulang atas simpanan dan perubahan
di pola investasi guna menuju bentuk yang lebih produktif dibandingkan kenaikan pada
kecenderungan menabung.
86
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
Inflasi merupakan proxy makroekonomi untuk stabilitas. Beberapa studi membuktikan
beberapa hasil berbeda mengenai hubungan antara inflasi dan tingkat tabungan. Beberapa
studi menganalisis efek dari inflasi dan simpanan yang menunjukkan efek negatif (Heer dan
Suessmuth (2006, [22])). Haan (1990) di Heer dan Suessmuth (2006, [22]) menemukan bahwa
kenaikan tingkat inflasi antara 0-5% akan menurunkan angka simpanan hingga 10%. Namun
kecenderungan pada hubungan positif antara tingkat simpanan dan inflasi masih lebih umum.
Berdasarkan teori precautionary saving, rumah tangga meningkatkan simpanan mereka bilamana
mereka merasa terancam oleh ketidakstabilan ekonomi negara. Sebagaimana disampaikan
sebelumnya, inflasi sering digunakan sebagi proxy untuk stabilitas ekonomi. Dan oleh karena
itu, simpanan akan mengalami kenaikan jika inflasi diset pada level yang lebih tinggi. Deaton
(1977, [14]) mengemukakan bahwa inflasi yang tak terduga akan menimbulkan simpanan
paksa dikarenakan individu konsumen tidak cukup mampu membedakan antara perubahan
harga relatif dengan perubahan harga absolut. Kurangnya fasilitas yang dapat dipakai oleh
konsumen individu untuk membandingkan perubahan harga relatif dan absolut pada akhirnya
akan membuat mereka berpikir bahwa semua barang menjadi relatif lebih mahal. Dana mereka
akan memutuskan untuk belanja lebih sedikit dan menabung lebih banyak (dengan asumsi
pendapatan riil dijaga pada angka yang sama). Menurut Deaton (1977, [14]), seiring peningkatan
inflasi yang tidak diduga, rasio simpanan juga akan meningkat. Sementara Howard (1978,
[27]) menyatakan bahwa inflasi mempengaruhi simpanan dalam dua asumsi berbeda. Selama
inflasi tidak diperkirakan, maka tingkat simpanan juga akan naik, karena inflasi menimbulkan
pesimisme mengenai stabilitas ekonomi, sehingga orang-orang akan merasa perlu untuk
menabung lebih banyak. Namun selama inflasi sudah diperkirakan sebelumnya (diberitahukan
diawal), maka masyarakat akan meningkatkan pembelian barang-barang yang tahan lama,
sehingga menurunkan jumlah tabungan mereka selama periode inflasi.
Teori konsumsi modern dimulai dengan asumsi awal bahwa konsumen senang dan
berusaha membuat konsumsinya merata dan tidak fluktuatif sepanjang hidupnya (consumption
smoothing) (Modigliani and Brumberg, 1954, [43]), termasuk saat terjadi fluktuasi sesaat pada
pendapatan (hipotesis pendapatan dari Friedman (1957, [17])). Teori life cycle saving dari
Modigliani dan Brumberg (1954, [43]) menyatakan bahwa simpanan akan tinggi ketika
pendapatan tinggi (selama usia kerja produktif) dan masyarakat akan menghabiskan simpanan
mereka saat masa pensiun. Teori life-cycle saving memprediksikan kenaikan simpanan seiring
penurunan rasio youth-dependency di tahapan akhir dari transisi demografis. Rasio youth-
dependency dianggap sebagai batasan menabung karena anak menjadi sumber pengeluaran
terbesar bagi populasi yang bekerja. Anak berkontribusi pada konsumsi, namun tidak pada
produksi. Inilah mengapa rasio youth-dependency yang tinggi diekspektasi untuk menghadirkan
batasan dalam menabung (Leff, 1969, [37]). Leff (1969, [37]) menemukan bahwa rasio
Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?:
Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan
87
dependensi secara signifikan mempengaruhi simpanan agregat. Rasio dependensi yang tinggi
juga digunakan untuk mengevaluasi perbedaan antara negara berkembang dengan negara
maju. Rasio old-dependency juga dianggap sebagai batasan lain untuk menabung di negaranegara yang tidak memiliki program pensiun. Para usia lanjut akan menjadi beban bagi generasi
muda yang bekerja karena mereka tidak lagi menghasilkan atau jika para pensiunan ini masih
harus mengeluarkan uang untuk anak-anak mereka yang masih muda. Kedua kasus tersebut
merupakan batasan menabung. Biasanya masyarakat dengan anak yang lebih sedikit memiliki
lebih banyak sumber dana sepanjang hidupnya, dan sumber dana ini dikonsumsi oleh mereka
sendiri (bukannya digunakan untuk misalnya biaya pendidikan anak), maka consumption
smoothing akan mengimplikasikan bahwa konsumsi akan menjadi lebih tinggi pula setelah
masa pensiun, dan karenanya tabungan para pensiunan ini juga akan lebih tinggi (Attanasio et
al., (1999, [3]); Scholz et al. (2006, [53]); Skinner (2004, [56])). Banyak studi yang menemukan
bukti pengaruh dari rasio youth-old-age dependency. Untuk rasio youth-dependency, Rijckeghem
and Üçer (2009, [48]) memperkirakan bahwa reduksi 1% poin pada rasio ini diasosiasikan
dengan kenaikan 0.3% poin tingkat simpanan dalam jangka pendek (0.5% dalam jangka
panjang). Dan untuk rasio old-dependency kenaikannya adalah 1.4% dan 2.8%.
IV. METODOLOGI ESTIMASI DAN HASIL
IV.1 Metode dan Model Estimasi
Kami akan menggunakan model Dynamic Panel Data (DPD) untuk metode estimasi. Kami
berasumsi bahwa ada hubungan yang dinamis antara simpanan dengan lagged value-nya.
Kami mendefinisikan hubungan lagged value pada simpanan saat ini sebagai bentuk ketahanan
simpanan dari waktu ke waktu. Simpanan dianggap persisten jika koefisien lagged value-nya
mendekati 1 dimana karena dengan kondisi lainnya dianggap tetap, simpanan cenderung
konstan dari waktu ke waktu. Namun, jika koefisien secara signifikan jauh dari angka 1, simpanan
dianggap tidak persisten, karena nilai akan berubah dari waktu ke waktu, bisa meningkat atau
menurun, dengan sisanya tetap konstan. Simpanan meningkat bilamana koefisien lebih besar
dari 1, dan sebaliknya akan berkurang dengan koefisien lebih kecil dari 1. Untuk estimasi ini,
kami menggunakan simpanan domestik bruto per kapita untuk menunjukkan simpanan individu,
menggantikan simpanan rumah tangga yang tidak dapat digunakan karena tidak tersedianya
data untuk semua negara ASEAN.
Fokus utama pada model ini adalah impor dari negara-negara ASEAN dan Cina sebagai
variabel utama. Kami menggunakan rasio impor bersih dari negara-negara ASEAN dan Cina
terhadap total PDB untuk estimasi. Mengapa impor bersih digunakan sementara yang lainnya
88
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
memakai ekspor bersih? Alasannya adalah untuk menyederhanakan interpretasi sehingga kita
menempatkan impor sebagai fokus utama dalam perdagangan, dan bukan sebaliknya. Variabel
ini dapat dijelaskan sebagai kontribusi ACFTA pada total PDB negara-negara ASEAN. Hipotesis
utama adalah bahwa impor dari negara-negara ASEAN dan Cina memiliki dampak negatif
terhadap simpanan, yang membuktikan bahwa peningkatan impor masing-masing akan
mengurangi tabungan, karena adanya peningkatan konsumsi. Kami juga akan membandingkan
elastisitas impor terhadap persistensi simpanan untuk melihat apakah di bawah ACFTA, simpanan
akan habis dari waktu ke waktu, yang menunjukkan peningkatan kerentanan masyarakat miskin
Untuk memperoleh koefisien yang lebih akurat dan tepat untuk perbandingan, kami
akan memasukkan lebih banyak regresor sebagai variabel kontrol. Peran regresor hanya sebagai
penjelas yang menspesifikasikan model agar mendapatkan koefisien yang lebih akurat, dan
juga untuk memperjelas arah penerapannya dalam implikasi kebijakan. Variabel kontrol dalam
model adalah sebagai berikut:
1. Pendapatan masyarakat, diwakili oleh PDB per kapita. Peningkatan pendapatan dalam
masyarakat menyediakan mereka dengan dana yang lebih banyak untuk disimpan. Oleh
karena itu, hubungan tersebut diperkirakan akan positif.
2. Pertumbuhan ekonomi, didefinisikan sebagai persentase perubahan dari PDB saat ini dari
tahun sebelumnya. Peningkatan pertumbuhan ekonomi, yang memperluas perekonomian;
peningkatan potensi kegiatan ekonomi dan kenaikan pendapatan per kapita yang memiliki
hubungan positif dengan simpanan.
3. Tingkat bunga deposito. Ini adalah salah satu faktor penarik bagi masyarakat untuk
menabung lebih banyak karena suku bunga mencerminkan tingkat keuntungan yang bisa
diperoleh dari tidak menyimpan uang tunai dalam beberapa periode waktu. Meskipun
masyarakat biasanya tidak terlalu peduli akan suku bunga deposito, tetapi dampaknya harus
positif karena secara logika masyarakat akan mengincar bunga kembali yang lebih tinggi.
Namun, pada akhirnya, hal ini bergantung pada opportunity cost.
4. Perubahan harga atau inflasi. Faktor ini memiliki efek berkebalikan dari tingkat suku bunga,
atau kita bisa menyebutnya sebagai opportunity cost yang telah kami sebut sebelumnya.
Kenaikan harga mengharuskan orang untuk memegang lebih banyak uang tunai untuk
bisa mengkonsumsi dalam volume yang sama. Jika tingkat inflasi lebih tinggi dari suku
bunga, opportunity cost dari tabungan akan meningkat dan memotivasi orang untuk lebih
memilih memegang uang tunai, dan berlaku pula sebaliknya. Kita bisa membandingkan
elastisitas variabel ini dengan elastisitas suku bunga untuk mendapatkan sebuah kesimpulan:
mana yang lebih penting antara suku bunga atau tingkat inflasi. Kita bisa mengembangkan
hasilnya menjadi implikasi kebijakan, terutama untuk kebijakan moneter pada suku bunga
dan inflasi.
Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?:
Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan
89
5. Rasio Dependensi. Ini adalah satu-satunya indikator demografi diantara semua indikator
makroekonomi diatas. Dampak dari variabel ini bisa menjadi dua kali lipat. Ini tergantung
apakah peningkatan rasio dependensi akan meningkatkan atau menurunkan simpanan.
Umumnya, kita memperkirakan dampak negatif karena peningkatan rasio dependensi akan
meningkatkan pengeluaran saat ini, yang membuat simpanan terkuras saat ini. Namun,
paradigma ke depan mungkin hadir di mana peningkatan rasio dependensi akan memotivasi
masyarakat untuk mempersiapkan kebutuhan populasi yang memiliki ketergantungan ini
ke depannya, seperti untuk biaya sekolah atau kesehatan.
SAVINGS = α SAVINGS i ,t −1 + β 1 IMPORTi , t + β 2 INCOME i ,t + β 3GROWTH i , t
+ β 4 INTRi , t + β 5 INFLi , t + β 6 DEPENDi ,t + ε it
dimana,
SAVING adalah simpanan per kapita
IMPORT adalah rasio impor bersih dari ASEAN-Cina dari total GDP
INTR
adalah suku bunga deposito
INFL
adalah tingkat inflasi (berdasarkan CPI)
DEPEND adalah rasio dependensi
i
adalah individu, terdiri dari negara-negara ASEAN1
t
adalah dimensi waktu tahunan
Kami melakukan estimasi menggunakan data panel dari semua negara ASEAN untuk
periode 2000-2008. Karena pemberlakuan ACFTA masih relatif baru, kami menggunakan data
historis untuk memprediksi dampak ACFTA saat ini dan kedepannya. Kami menerima data
untuk simpanan per kapita dan impor dari UNSTATS dan UNCOMTRADE PBB. Untuk suku
bunga dan inflasi, kami menggunakan data dari International Financial Statistics (IFS) IMF dan
untuk rasio dependensi kami menggunakan data dari CEIC.
Metodologi DPD yang kami gunakan untuk model ini adalah Arellano-Bond 1st Difference
GMM karena alasan berikut:
1. Hubungan berada pada simpanan dan lagged value-nya
2. Kami berasumsi bahwa ada hubungan dinamis dalam simpanan dan pertumbuhan ekonomi,
seperti yang dijelaskan Mohan (2006, [45]), juga dengan tingkat bunga dan inflasi
3. Unobserved country-specific error term (wi ) dalam konteks indikator demografis, berkorelasi
dengan rasio dependensi.
1 Perlu dicatat bahwa kami tidak menyertakan China dalam panel estimasi dengan asumsi bahwa Cina mendapat lebih banyak
keuntungan dari ACFTA, sedangkan negara-negara ASEAN sebaliknya menanggung lebih banyak resiko kerugian.
90
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
4. Jumlah negara sebagai data cross-section (N = 10) relatif lebih tinggi dibandingkan jumlah
deret waktu. (T = 7) 2
Beberapa masalah yang timbul dapat dipecahkan menggunakan Arellano-Bond GMM.
Arellano-Bond GMM sendiri adalah sebuah teknik estimasi untuk mengamati pengaruh
hubungan dinamis antara variabel dependen dan lagged value-nya. Adapun masalah
endogenitas, kami memberlakukan variabel instrumental pada GMM. Untuk variabel
instrumental yang dikenakan dalam model ini, kami menempatkan lagged value dari regresor
endogen (pertumbuhan, suku bunga dan inflasi).
Masalah ketiga yakni korelasi dari unobserved country-specific error term, dieliminasi
menggunakan first difference di Arellano-Bond GMM mengikuti rumus berikut ini:
∆yi,t = α1∆yi,t-1 + α2∆Xi,t + ∆
i,t
yi,t − yi,t-1 = α1 (yi,t-1 − yi,t-2) + α2 (Xi,t − Xi,t-1) + (
i,t
−
)
i,t-1
dimana,
i,t
= wi + ui,t
i,t
−
i,t-1
= (wi − wi,t) + (ui,t − ui,t-1) = ui,t − ui,t-1 = ∆ui,t
sehingga,
wi adalah unobserved country-specific error term. Seperti yang bisa kita lihat dari persamaan di
atas, kami telah menghilangkan unobserved country-specific error term menggunakan first
difference . Oleh karena itu, error term tetaplah vi,t yang merupakan error term data panel dari
estimasi. Oleh karena itu, kita tidak lagi perlu khawatir tentang korelasi antara error variabel
independen karena unobserved country-specific error term yang problematik telah dihapus
dari estimasi.
IV.2 Hasil Estimasi
Menggunakan Arellano-Bond GMM dalam estimasi dua langkah dari Stata 11, kita
memperoleh hasil sebagai berikut:
2 Karena Arellano Bond GMM menggunakan first difference dan kami menggunakan first lag of savings pada model, estimator akan
secara otomatis akan menghilangkan dua observasi pertama, sehingga waktu observasi yang tersisa adalah 7.
Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?:
Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan
Koef. (Std. Error) [Prob.]
VARIABEL
FE
Simpanan (-1)
0.1439227*
(0.0605343)
[0.022]
-5.13867
(5.173365)
[0.326]
0.6441702***
(0.0509349)
[0.000]
1.540742
(3.339246)
[0.647]
2.08293
(10.82252)
[0.848]
-1.352008
(2.637306)
[0.611]
4.962723
(5.290578)
[0.354]
Impor
Pendapatan
Pertumbuhan
Intr
Infl
Depend
91
GMM
OLS
0.149482**
(0.0697293)
[0.032]
-6.781835***
(1.697932)
[0.000]
0.6125879***
(.0662613)
[0.000]
10.84045
(19.5483)
[0.579]
40.2688
(41.9624)
[0.337]
-6.455056
(8.411291)
[0.443]
12.66345*
(7.258577)
[0.081]
0.5340291***
(0.0995964)
[0.000]
-3.844283
(5.063839)
[0.448]
0.2395092***
(0.0486907)
[0.000]
12.7541**
(6.328766)
[0.044]
14.3462
(12.91631)
[0.267]
3.970357
(4.28696)
[0.354]
4.704166
(3.515673)
[0.181]
*** (**) [*] signifkan dibawah 1% (5%) [10%] nilai kritis
Ω
ESTIMASI PASKA-GMM
Kontinuum
FE
GMM
OLS
0.1439227
0.149482
0.5340291
TIDAK BIAS
Sargan
1.000000
VALID
Validitas
Konsistensi
M1
M2
0.4301
0.4489
TIDAK KONSISTEN
Pertama, kita akan melihat pasca-estimasi. Kontinum menunjukkan bahwa koefisien
lagged value di GMM (Arellano-Bond First Difference) sedikit lebih tinggi daripada estimasi
Fixed Effect, sedangkan koefisien OLS secara signifikan lebih tinggi dari GMM, yang masuk
akal karena OLS biasanya memberikan hasil koefisien yang agak terlalu tinggi. Oleh karena itu,
kami menerima estimator yang tidak bias dalam model ini karena kondisi kontinuum.
Tes Sargan menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara residu dan over-identifying
restrictions dari variabel instrumental jika mereka benar-benar eksogen. Dalam kasus ini, hal ini
mungkin terjadi karena kami tidak menempatkan variabel instrumental apapun dalam estimasi
kami. Oleh karena itu, tidak perlu mengkhawatirkan tentang validitas model kami, karena Tes
Sargan telah menunjukkan hasil yang baik.
92
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
Namun, tes Arellano-Bond menunjukkan bahwa tidak ada autokorelasi dalam M1 yang
membuat estimator tidak konsisten, tapi sisi baiknya adalah bahwa tidak ada autokorelasi di
M2, karena jika sebaliknya ada, estimasi akan benar-benar menjadi tidak konsisten. Kami telah
melakukan banyak rekayasa statistik pada variabel dan juga menambah dan mengurangi variabel
atau mengubah definisi variabel, namun ini merupakan hasil terbaik yang dapat diperoleh dari
nilai-p dari M1. Selain itu, karena ini adalah model dasar kami, kami memutuskan untuk
menggunakan model ini sebagai estimasi kami.
Sekarang, kita akan membandingkan hasil antara tiga metodologi sebelum kita
menekankan pada keseluruhan hasil Arellano-Bond GMM. Variabel kunci, Impor, memiliki
dampak negatif pada ketiganya, yang berarti bahwa korelasi negatif ini bukan karena
pemanfaatan DPD pada estimasi kami. Perbedaan antara metodologi terletak di perbedaan
pengukuran koefisien. Ini terjadi tidak hanya di variabel kunci, tetapi juga di variabel kontrol.
Regresor memang memiliki hubungan yang sama di semua metodologi, kecuali satu untuk
inflasi pada OLS. Meski perbedaan metodologi mungkin memberikan hubungan yang berbeda
secara signifikan, model kami di sini memberikan hasil yang sama. Oleh karena itu, seperti
yang kami katakan sebelumnya, tidak perlu mengkhawatirkan distorsi hasil estimasi akibat
perbedaan metodologi dan keberadaan variabel kontrol.
Langkah berikutnya adalah untuk menekankan hasil dari Arellano-Bond. Impor memiliki
hubungan negatif terhadap simpanan sebagaimana disebutkan dalam hipotesis kami. Ini berarti
bahwa simpanan akan berkurang di bawah peningkatan impor. Sementara impor memiliki
hubungan negatif, hasil estimasi menunjukkan bahwa simpanan tidak cukup tahan dari waktu
ke waktu untuk menahan laju impor yang akan menggerus simpanan dalam prosesnya dari
waktu ke waktu. Simpanan ini dianggap sebagai tidak persisten karena nilai koefisien dependent
lagged value secara signifikan lebih rendah dari 0, tepatnya 0,1779878. Ini berarti dengan
kondisi lain tetap konstan, simpanan akan terkuras terus-menerus, bahkan tanpa adanya
peningkatan impor. Dependent lagged value dan impor akan menjadi signifikan di bawah nilai
kritis 5% yang berarti bahwa dampak mereka bersifat konsisten dari waktu ke waktu.
Sekarang untuk variabel kontrol, hanya pendapatan per kapita dan rasio dependensi yang
signifikan di bawah nilai kritis 5%, sedangkan sisanya tidak signifikan. Pendapatan per kapita
memiliki hubungan positif dengan simpanan yang berarti bahwa peningkatan pendapatan per
kapita akan meningkatkan angka simpanan. Pertumbuhan ekonomi juga mendorong masyarakat
untuk menabung karena memiliki hubungan positif dengan simpanan. Begitu juga dengan
tingkat suku bunga. Kenaikan suku bunga deposito membawa dampak positif pada motivasi
masyarakat untuk menabung. Sedangkan terakhir, seperti yang diharapkan, inflasi memiliki
dampak negatif terhadap simpanan karena orang harus memegang lebih banyak uang tunai.
Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?:
Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan
93
V. HASIL DAN ANALISIS
Estimasi ini telah memberikan kita dengan informasi yang diperlukan tentang bagaimana
impor mempengaruhi tingkat simpanan bersamaan dengan penjelasan istilah makroekonomi
dan demografis. Kita akan lebih fokus pada bagaimana regresor mempengaruhi variabel
dependen. Baik variabel yang signifikan maupun tidak signifikan, keduanya akan dianalisis,
untuk melihat dampak regressor sejak kita masih dapat mempertimbangkan koefisien seiring
kecenderungan variabel mempengaruhi variabel dependen.
V.1. Perilaku Menabung di ASEAN
Kami menganggap hasil estimasi sebagai model perilaku menabung di wilayah tertentu
yaitu ASEAN, di bawah laju perdagangan barang antara ASEAN dan Cina. Mari kita mengingat
kembali hasil estimasi Arellano-Bond GMM untuk tujuan analisis.
Koefisien variabel lagged dependent menunjukkan kepada kita persistensi simpanan per
kapita dari waktu ke waktu, ceteris paribus. Hal ini menunjukkan perilaku masyarakat untuk
mempertahankan simpanan mereka dari waktu ke waktu dalam kondisi dimana yang lain
tetap konstan. Nilai koefisien dari variabel lagged dependent secara signifikan berada di bawah
1,00, tepatnya 0,15, yang berarti simpanan per kapita akan turun sebesar 85% dari waktu ke
waktu. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat akan menarik simpanan mereka dalam
jumlah yang besar untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka. Jika ingin diperhitungkan,
karena kebutuhan barang-barang dasar tidak dapat dihilangkan dari belanja rutin, kita bisa
memperkirakan masyarakat untuk cenderung menjadi konsumtif karena mereka mengkonsumsi
barang diluar kebutuhan dasar bersamaan dengan konsumsi kebutuhan dasar, yang
menghabiskan simpanan per kapita sebesar 85%. Perlu diingat bahwa kita mengasumsikan
faktor lainnya tetap konstan, sehingga berarti tidak ada penyesuaian konsumsi di bawah
perubahan harga, sehingga koefisien hanya menampilkan rentetan berkurangnya tingkat
simpanan. Berdasarkan estimasi ini, kami mengambil kesimpulan cepat dan sederhana bahwa
masyarakat ASEAN lebih condong pada perilaku konsumtif, yang merupakan perilaku yang
dapat ditemukan di negara-negara berkembang, mengingat bahwa sebagian besar negaranegara ASEAN masih merupakan negara berkembang.
Impor bersih memiliki dampak negatif terhadap tingkat simpanan. Ini berarti bahwa
peningkatan impor di atas tingkat ekspor akan mengurangi konsumsi. Ini seperti hipotesis
yang dinyatakan sebelumnya dalam makalah ini. Peningkatan tingkat impor, dengan ekspor
yang tetap konstan, akan mengurangi simpanan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh
peningkatan konsumsi di bawah peningkatan ketersediaan barang ekonomi. Seperti diestimasi
94
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
sebelumnya pada lagged value dari simpanan, orang-orang ASEAN cenderung untuk
mengkonsumsi lebih banyak dari waktu ke waktu dalam proporsi yang tinggi yakni 85%.
Perkiraan data ini diperoleh sebelum ACFTA diimplementasikan di ASEAN (ACFTA dimulai pada
bulan Januari, 2010). Oleh karena itu, kita bisa mengekspektasikan bahwa di bawah ACFTA,
arus barang pasti akan menjadi tinggi karena volume impor meningkat di negara-negara ASEAN;
dan pola konsumsi masyarakat ASEAN akan meningkat. Jika variabel lain diasumsikan konstan,
angka simpanan akan habis dalam waktu singkat. Tapi, ini bukannya tanpa solusi. Jawabannya
terletak pada salah satu sisi lain dari impor bersih, yakni sisi ekspor. Ekspor di sini bertindak
sebagai efek balas impor yang sebaliknya akan meningkatkan tingkat simpanan. Logikanya
berasal dari rumus Impor bersih yang merupakan pengurangan impor dengan ekspor.
Peningkatan ekspor akan mengurangi impor bersih. Oleh karenanya, ekspor memiliki efek
berkebalikan dari impor. Peningkatan ekspor akan memungkinkan masyarakat untuk
menghasilkan produk lebih banyak, yang memungkinkan mereka untuk memperoleh
pendapatan lebih dari aktivitas perekonomian. Penjelasan sederhana lainnya yakni ekspor
merupakan komponen tambahan dari PDB, sehingga peningkatan ekspor akan meningkatkan
PDB dan membawa potensi peningkatan pendapatan per kapita.
Berbicara mengenai pendapatan per kapita, estimasi menunjukkan bahwa pendapatan
per kapita berpengaruh positif terhadap simpanan dan lebih jauh lagi memiliki dampak positif.
Koefisien variabel ini sebesar 0.61. Implikasi dari koefisien ini bahwa masyarakat ASEAN akan
menyisihkan 61% dari perubahan pendapatan mereka untuk disimpan dan menggunakan
hingga 39% dari sisanya untuk dikonsumsi. Hal ini juga dapat berlaku kebalikannya, saat
pendapatan per kapita berkurang, masyarakat akan menarik tabungan mereka sebesar 69%
dari perubahan pendapatan mereka, karena mereka perlu likuiditas lebih banyak untuk
memenuhi kebutuhan mereka saat terjadi penurunan pendapatan, di bawah resesi atau krisis.
Ini juga menjadi salah satu jawaban untuk menanggung dampak ACFTA yang sejalan dengan
solusi ekspor. Pendapatan tentunya merupakan komponen yang esensial untuk perbaikan jika
kita bertujuan meningkatkan atau menjaga simpanan masyarakat. Sebagaimana dibahas
sebelumnya, ekspor merupakan salah satu komponen dari PDB dan pendapatan, yang berarti
ekspor perlu menjadi satu solusi penting untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.
Kita mungkin berpikir bahwa terdapat inkonsistensi didalam analisis estimasi. Pada
awalnya, kami berpikir bahwa masyarakat cenderung menjadi konsumtif karena ketahanan
simpanan yang sangat rendah. Tetapi sebaliknya, koefisien pendapatan per kapita menunjukkan
bahwa masyarakat mendistribusikan lebih banyak perubahan pendapatan mereka untuk
simpanan, bukan untuk dikonsumsi. Satu hal yang perlu kita lihat adalah bahwa perilaku
konsumtif yang kita analisis diawal didasarkan pada asumsi dimana angka pendapatan konstan.
Dengan pendapatan konstan dari waktu ke waktu, orang cenderung untuk menguras simpanan
Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?:
Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan
95
mereka untuk mengonsumsi lebih banyak dan hal ini mungkin dikarenakan oleh ketidakcukupan
penghasilan masyarakat ASEAN, terutama bagi yang tinggal di negara berkembang, untuk
memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka. Karenanya masyarakat terus menarik simpanan
mereka untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka.
Untuk perubahan pendapatan yang dialokasikan lebih banyak ke simpanan, penjelasannya
mungkin terletak dalam estimasi parameter rasio dependensi. Rasio dependensi memberi
dampak positif yang signifikan terhadap tingkat simpanan. Hal ini dapat dijelaskan melalui
teori precautionary saving behavior, tapi kali ini kita mengaitkan ketidakstabilan yang dibahas
dalam teori dengan biaya tinggi yang ditanggung oleh kelompok produktif. Lebih banyak
anggota masyarakat bergantung pada usia produktif, sehingga dana lebih akan diperlukan
untuk mempersiapkan untuk konsumsi masa depan. Salah satu contoh sederhana adalah anakanak usia sekolah. Orang tua yang termasuk populasi produktif harus mengalokasikan lebih
banyak pendapatan mereka untuk rencana pendidikan anak-anak mereka. Hal ini juga
menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat ASEAN adalah tipe orang yang enggan
menempuh risiko ketika mereka memiliki lebih banyak orang di bawah tanggungan mereka.
Namun, hal ini tidak bisa dibanggakan, karena variabel ini hanya menjelaskan mengapa
masyarakat mengalokasikan lebih dari perubahan pendapatan mereka untuk simpanan. Kita
tidak dapat menggunakan variabel ini sebagai harapan untuk meningkatkan simpanan.
Meningkatkan rasio dependensi jelas bukan jawaban untuk mempertahankan tingkat simpanan,
melainkan hanyalah sebuah penjelas.
Variabel yang tersisa tidak cukup signifikan, namun kami masih akan menganalisis dampak
yang tidak signifikan ini untuk melihat potensi dampak variabel-variabel tersebut terhadap
tingkat simpanan. Pertumbuhan memiliki dampak positif pada ekspansi ekonomi yang bisa
memberikan masyarakat peluang untuk meningkatkan pendapatan dan selanjutnya
meningkatkan simpanan mereka. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang cepat
yang biasanya terjadi di ASEAN sebagai wilayah negara-negara berkembang. Peningkatan
pertumbuhan itu sendiri mungkin tidak akan mempengaruhi tingkat simpanan karena tidak
bisa secara langsung meningkatkan pendapatan individu masyarakat. Jika pertumbuhan ekonomi
tidak secepat pertumbuhan penduduk, maka pada dasarnya pendapatan per kapita, salah satu
variabel yang signifikan, akan berkurang. Itulah mengapa pertumbuhan tidak signifikan dalam
mempengaruhi tingkat simpanan.
Suku bunga deposito akan meningkatkan tingkat simpanan, karena merupakan proxy
dari besarnya bunga kembali jika nasabah menyimpan dana mereka di bank. Peningkatan
bunga akan mendorong orang untuk menabung lebih banyak, dengan harapan untuk
mendapatkan lebih banyak bunga. Tingkat bunga tidak signifikan karena tingkat pengembalian
96
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
bunga tabungan tidak cukup menggembirakan bagi kebanyakan orang. Hal ini karena
kebanyakan orang yang hanya memiliki penghasilan tetap tidak akan menabungkan sejumlah
besar uang mereka, dalam rentang miliar rupiah. Tingkat suku bunga ini tidak akan memberikan
mereka bunga yang signifikan jika tidak berinvestasi pada angka lebih dari seratus milyar rupiah.
Karena kebanyakan orang hanya menyimpan hingga jutaan rupiah, potensi bunga tidak akan
yang mendorong mereka untuk menabung lebih banyak.
Sebaliknya, inflasi memiliki dampak negatif terhadap simpanan, karena dengan lonjakan
harga masyarakat harus mengkonsumsi lebih banyak dari segi nilai, bukannya kuantitas. Oleh
karenanya itu, mereka harus mengambil dari simpanan untuk menyesuaikan alokasi uang mereka
pada harga yang meningkat untuk mengkonsumsi kebutuhan dalam jumlah yang sama. Alasan
mengapa variabel ini tidak signifikan karena masyarakat mungkin memiliki kecenderungan
pada konsumsi yang lebih daripada sekedar kebutuhan dasar, namun juga konsumsi untuk
memenuhi «keinginan». Jika masyarakat mengkonsumsi lebih banyak kebutuhan dasar, mereka
akan menyesuaikan simpanan mereka agar mereka bisa mengkonsumsi ini kebutuhan dasar.
Tapi, bila masyarakat melakukan pengeluaran untuk hal yang mereka inginkan dalam proporsi
tinggi, saat terjadi kenaikan harga, mereka akan membatasi pengeluaran macam ini agar mereka
tetap dapat mengakses kebutuhan dasar. Hal ini karena «keinginan» merupakan komoditas
normal yang permintaannya akan menurun bila terjadi kenaikan harga, sementara kebutuhan
pokok adalah barang inferior yang kuantitas permintaannya hanya akan disesuaikan berdasarkan
perubahan pendapatan (harga tidak menjadi masalah). Oleh karena itu, di bawah proporsi
tinggi dari konsumsi «keinginan», inflasi yang tinggi masih bisa memungkinkan masyarakat
untuk mengurangi konsumsi barang-barang normal mereka sehingga mereka bisa tetap
menyimpan lebih banyak dari simpanan mereka.
Biasanya kita akan membandingkan koefisien dari kedua variabel ini untuk melihat mana
yang memiliki dampak yang lebih pada tingkat simpanan, namun sayangnya kedua variabel ini
tidak signifikan. Kita tidak bisa membandingkan parameter yang diestimasi dalam model ini
karena koefisien mungkin tidak bekerja seperti yang dinyatakan dalam estimasi. Oleh karena
itu, kami tidak akan menempatkan variabel-variabel ini pada fokus kami pada rekomendasi
kebijakan kami. Tapi, kita harus ingat bahwa variabel-variabel ini mungkin memiliki dampak di
masa mendatang yang dapat menjadi alat potensial ke depannya.
V.2 Rekomendasi Kebijakan
Estimasi kami pada impor menyimpulkan bahwa impor bukanlah jawaban yang tepat
bagi pengentasan kemiskinan yang berkelanjutan. Sementara kita mungkin berpikir bahwa
Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?:
Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan
97
keterbukaan perdagangan ini dapat meningkatkan akses masyarakat kepada lebih banyak
barang dan jasa, dimana dalam istilah Expenditure Poverty tingkat kemiskinan akan berkurang
meskipun pendapatan masyarakat tidak berubah, kita kehilangan satu titik di mana pengeluaran
tersebut bisa sangat menyulitkan kedepannya. Hal ini disebabkan perilaku mengurangi tabungan
dalam kondisi peningkatan impor. Oleh karena itu, penurunan tingkat kemiskinan mungkin
bersifat sementara saja karena tergantung pada ketersediaan barang dari luar negeri. Kita
dapat memperkirakan bahwa jika suatu ketika guncangan akan terjadi, dan aliran perdagangan
harus dihentikan, ketersediaan barang akan menipis dan oleh karena itu tingkat kemiskinan
akan kembali naik. Selain itu, di bawah kondisi simpanan yang tergerus, masyarakat (terutama
masyarakat miskin) tidak akan siap untuk menyesuaikan penghasilan mereka untuk mengatasi
kenaikan harga karena menurunnya kuantitas barang yang tersedia. Disinilah variabel kunci,
simpanan masuk menjadi buffer bagi masyarakat untuk persiapan risiko macam ini di masa
depan. Potensi tergerusnya simpanan adalah alasan mengapa kita menyimpulkan bahwa ACFTA
bukanlah jawaban, atau strategi yang tepat untuk pengentasan kemiskinan, meskipun di sisi
lain bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.
Estimasi menunjukkan bahwa ACFTA mungkin merupakan kerugian besar terhadap
strategi pengentasan kemiskinan yang berkelanjutan. Namun, ACFTA telah diimplementasikan
dan sudah berjalan beberapa bulan hingga saat ini. Tidak mungkin secara tiba-tiba untuk
membatalkan perjanjian pada saat ini dan, mungkin, untuk jangka waktu yang lama ke depan.
Selain itu, ACFTA tidaklah sepenuhnya merupakan hal yang buruk bagi negara-negara ASEAN
karena pada kenyataannya ACFTA membuka berbagai peluang, bahkan untuk pengentasan
kemiskinan. Yang paling penting adalah bagaimana menggunakan kesempatan ini untuk
mendapatkan cukup simpanan agar pengentasan kemiskinan yang berkelanjutan dapat dicapai.
Berdasarkan estimasi kami, variabel yang paling penting untuk memperbaiki tingkat
simpanan adalah pendapatan per kapita. Ini berarti bahwa kunci meningkatkan simpanan
masyarakat terletak pada bagaimana cara kita memanfaatkan potensi keterbukaan perdagangan
ACFTA untuk meningkatkan pendapatan per kapita. Ditariknya batasan tarif di ASEAN dan
Cina untuk perdagangan tidak boleh digunakan untuk meningkatkan ketersediaan barang
dalam negeri, sehingga masyarakat bisa dengan mudah mengakses barang karena hal ini justru
merugikan dari sisi tingkat simpanan masyarakat. Kita harus mengambil keuntungan dari
perjanjian ini untuk meningkatkan sisi ekspor sehingga kita dapat meningkatkan pendapatan
per kapita. Estimasi menunjukkan bahwa berkebalikan dengan dampak negatif dari impor
pada tingkat simpanan, ekspor justru memberi dampak positif, karena impor bersih adalah
pengurangan impor oleh ekspor. Peningkatan ekspor berarti bahwa sisi ekonomi produktif
mengalami kemajuan karena kenaikan PDB juga merupakan hasil dari produksi, tidak semata-
98
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
mata konsumsi. Selain itu, peningkatan ekspor mempekerjakan lebih banyak orang untuk
meningkatkan output, sehingga pendapatan rakyat dapat ditingkatkan karena peningkatan
kesempatan kerja atau potensi peningkatan upah karena peningkatan pada pertumbuhan output.
Oleh karena itu, pemerintah harus mendukung sisi ekspor untuk mengatasi tantangan
ACFTA. Hal ini dapat dilakukan dengan menyediakan fasilitas bagi produsen, terutama yang
berorientasi ekspor, untuk menghasilkan lebih banyak barang yang memiliki potensi beredar di
ASEAN dan Cina. Subsidi ekspor dapat menjadi salah satu solusi mempromosikan ekspor namun
itu bisa menimbulkan distorsi pada harga internasional, yang dihindari dalam perjanjian
perdagangan bebas.
Kontrol komoditas impor mungkin menjadi opsi yang lebih baik dibandingkan kontrol
komoditas ekspor. Namun, kontrol komoditas impor yang kami bicarakan di sini bukanlah
bagaimana kita membatasi barang impor ke dalam negeri melainkan tentang bagaimana kita
mengimbangi arus barang konsumsi dengan impor bahan baku yang diperlukan bagi industri
berorientasi ekspor. Seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya, berdasarkan perjanjian
perdagangan bebas kita bisa mengharapkan harga murah bahkan untuk bahan baku impor.
Kita harus melihat ini sebagai kesempatan untuk mengakses bahan baku lebih murah dalam
rangka meningkatkan produktivitas dan mengenakan harga yang lebih kompetitif untuk
komoditas ekspor kita. Dengan cara ini, kita dapat meningkatkan sisi ekspor tanpa
mengorbankan sisi impor yang dibutuhkan untuk menjaga ketersediaan barang. Solusi ini
membantu kita di sisi pendapatan dan sisi pengeluaran dari pengentasan kemiskinan.
Stabilisasi harga juga diperlukan untuk meningkatkan simpanan masyarakat. Harga harus
stabil dalam kondisi rendah. Ini merupakan masalah bagi bank sentral untuk mencapai kondisi
tersebut. Mengapa stabilisasi harga menjadi penting? Ada dua alasan. Pertama bahwa harga
dalam negeri yang tinggi adalah salah satu faktor yang menentukan motivasi untuk
perdagangan. Semua teorema dasar perdagangan seperti yang dijelaskan dalam buku teks,
seperti Markusen, et al (1994, [40]) dan Krugman dan Obstfeld (2006, [35]) menekankan peran
relativitas harga dalam menciptakan perdagangan. Eksportir ingin mengekspor barang-barang
mereka jika harga barang di negara mitra lebih tinggi dari harga di negara mereka sendiri,
dengan asumsi bahwa tidak ada kebijakan dumping, sehingga mereka bisa meraup lebih banyak
keuntungan dari perdagangan karena mereka dapat menjual barang dengan harga yang lebih
tinggi. Kenaikan harga dalam negeri berakibat pada banjirnya pasar dalam negeri dengan
barang impor yang akan dijual dengan harga lebih tinggi. Ini akan berakibat pada peningkatan
konsumsi yang ingin kita hindari dari ACFTA. Selain itu, harga itu sendiri juga merupakan
penentu nilai tukar karena keduanya terkait dengan daya beli dari mata uang. Harga tinggi
berarti nilai tukar lemah dan sebaliknya. Dengan mempertahankan harga pada tingkat rendah,
Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?:
Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan
99
nilai tukar bisa bertahan pada level yang kuat yang akan mendorong eksportir untuk mengekspor
lebih banyak lagi.
Kedua, tingkat harga juga menjadi motivasi bagi masyarakat untuk memegang uang
tunai daripada dimasukkan ke dalam simpanan. Hal ini karena kenaikan harga berarti bahwa
orang-orang harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk konsumsi dalam jumlah yang sama.
Harga tinggi akan merugikan posisi simpanan. Selain itu, fluktuasi harga akan menjadi lebih
buruk lagi. Hal ini disebabkan ketidakpastian yang dihadapi masyarakat sehingga mereka akan
lebih fokus pada kondisi perekonomian. Dalam kondisi ini, tak peduli apakah harga tinggi atau
rendah, orang tidak akan termotivasi untuk menyimpan uangnya.
Oleh karenanya, tingkat harga yang rendah saja tidak cukup untuk menarik orang untuk
menabung, bukan hanya karena fluktuasi akan meningkatkan ketidakpastian, tetapi juga harga
rendah dan mata uang yang kuat dapat menurunkan kuantitas permintaan komoditas ekspor
kita dari negara-negara mitra, yang akan merugikan kita jika ingin meningkatkan potensi
simpanan melalui promosi ekspor. Harga yang stabil di tingkat yang relatif rendah menjadi
lebih tepat dibandingkan dengan kondisi harga yang rendah saja. Hal ini mungkin juga menjadi
alasan mengapa pada estimasi sebelumnya, tingkat inflasi terbukti tidak signifikan. Ini mungkin
disebabkan karena komponen ketidakpastian yang menentukan simpanan bersamaan dengan
inflasi.
Terakhir, kesempatan lain yang perlu dimanfaatkan pemerintah adalah kemungkinan
lebih banyak investasi langsung yang bisa diberikan ACFTA. Kita tidak boleh lupa bahwa ACFTA
bukan semata-mata merupakan perjanjian untuk perdagangan barang dan jasa, tetapi juga
untuk meningkatkan kesempatan bagi untuk lebih banyak investasi asing langsung/foreign
direct investment (FDI). Pertanyaan yang mungkin muncul dari rekomendasi ini mungkin
bagaimana agar FDI bisa meningkatkan tingkat simpanan karena mekanisme transmisinya yang
mungkin cukup lama, namun ada kemungkinan untuk memanfaatkan mekanisme tersebut.
FDI dapat membuka kesempatan kerja lebih besar untuk mempekerjakan lebih banyak pekerja
lokal. Ini akan meningkatkan sisi lapangan kerja sehingga pendapatan masyarakat dapat
ditingkatkan. Apalagi jika FDI ini lebih diberlakukan pada industri yang berorientasi ekspor,
akan dapat meningkatkan produktivitas industri, yang memungkinkan mereka untuk
mengekspor lebih banyak untuk meningkatkan penghasilan masyarakat per kapita. Pada
akhirnya, lagi, FDI menjadi mekanisme untuk memperluas ekspor dan pendapatan per kapita
karenanya dianggap sebagai variabel kunci di sini untuk meningkatkan tingkat simpanan.
Kita mungkin menganggap dengan meningkatkan produktivitas produk berorientasi
ekspor secara berlebihan, mungkin akan beresiko jika terjadi krisis dan resesi di wilayah ini.
Dalam krisis dan resesi, daya beli negara-negara mitra mungkin akan berkurang dan aktivitas
100 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
perdagangan akan dibekukan sementara. Hal ini akan membuat guncangan besar bagi
perekonomian lokal karena sisi ekspor kami akan hilang oleh penurunan permintaan impor ke
negara-negara mitra. Ini sepatutnya menjadi perhatian, tapi pada saat yang sama, ini adalah
saat dimana keuntungan demografis perlu diperhitungkan.
Sebagian besar negara-negara ASEAN memiliki populasi yang besar, khususnya Indonesia
yang memiliki penduduk sekitar dua ratus jutaan orang. Ini adalah keuntungan demografis
untuk ASEAN, karena mereka memiliki pasar domestik yang berlimpah untuk kali saat permintaan
pasar luar negeri melemah. Selain itu, dengan meningkatkan tingkat simpanan, masyarakat
sudah dipersenjatai dengan daya beli yang cukup untuk saat-saat seperti ini, yang pada dasarnya,
merupakan fungsi awal dari tingkat simpanan. Jadi, negara-negara seperti Singapura yang begitu
mengandalkan sektor perdagangan, sementara pada saat yang sama tidak memiliki keuntungan
populasi yang besar, masih bisa bertahan dari resesi karena besarnya simpanan mereka telah
disiapkan di tempat pertama untuk mengatasi ACFTA. Hal ini tidak hanya bisa efektif untuk
negara-negara dengan populasi kecil, tapi juga pada negara-negara ASEAN lainnya. Sehingga
kita tidak akan menanggung naiknya angka kemiskinan, seperti yang kita khawatirkan di awal.
Kebijakan yang dinyatakan di atas memerlukan koordinasi dan kerjasama yang baik antara
pemerintah dan bank sentral. Bank sentral bertanggung jawab atas stabilitas harga, sedangkan
pemerintah bertanggung jawab atas kebijakan sektor riil untuk meningkatkan ekspor langsung.
Ini tidak dapat diselesaikan dengan baik tanpa kerjasama dari kedua belah pihak. Dengan cara
ini, tingkat simpanan dapat dipertahankan sebagai penyangga masyarakat disaat goncangan
ekonomi di masa depan yang bisa mendorong lebih banyak anggota masyarakat jatuh ke
lubang kemiskinan, dan membuat angka kemiskinan meroket. Perlu digarisbawahi, bahwa
kami tidak menolak ACFTA melalui penelitian ini. Sebaliknya, kami melihat ini sebagai
kesempatan untuk mendukung strategi pengentasan kemiskinan. Namun, ACFTA sendiri
bukanlah strategi pengentasan kemiskinan yang berkelanjutan yang tepat karena dampaknya
hanya terasa dalam jangka pendek. Meskipun demikian, ACFTA menyediakan kita dengan
kesempatan untuk memperluas strategi pengentasan kemiskinan yang berkelanjutan. Bukti
otentik dari hal ini adalah bagaimana ACFTA dapat menggunakan kelebihan lokal sebagai
rekomendasi kebijakan yang kami tekankan di atas. ACFTA bukanlah sesuatu yang kita harus
takuti. Ini adalah kesempatan bahwa kita harus amati sisi baiknya.
VI. KESIMPULAN PENUTUP
Makalah ini telah membuktikan bahwa, meskipun menjadi mesin pertumbuhan yang
efektif sebagaimana ditekankan para praktisi, ada potensi bahwa perdagangan bebas regional
Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?:
Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan
101
seperti ACFTA merugikan, dalam beberapa hal, bagi pertumbuhan negara-negara di ASEAN,
terutama untuk strategi pengentasan kemiskinan yang berkelanjutan.
Penurunan tingkat simpanan adalah fokus yang diajukan dalam makalah ini. Tingkat
simpanan, sebagai penyangga saat krisis ekonomi atau resesi bagi masyarakat miskin, merupakan
bagian penting dari pengentasan kemiskinan yang berkelanjutan. Estimasi ini telah membuktikan
bahwa impor dari ASEAN dan Cina berdampak pada menurunnya simpanan negara-negara
ASEAN. Hal ini disebabkan meningkatnya sirkulasi barang di wilayah yang memungkinkan
orang untuk mengakses barang dengan mudah dan mengakomodasi perilaku konsumtif pada
populasi negara-negara berkembang. Selain itu, tingkat simpanan di ASEAN sendiri tidak
persisten dari awal karena faktor lainnya selalu konstan; tingkat simpanan akan secara bertahap
berkurang oleh konsumsi yang berkelanjutan.
Mengembangkan pendapatan per kapita masyarakat adalah solusi kunci untuk berhasil
mengatasi tantangan ini. Estimasi membuktikan bahwa masyarakat masih cenderung untuk
menabung saat mereka mendapatkan penghasilan tambahan. Ini adalah suatu sisi positif yang
harus diperhitungkan. Dalam keadaan ini, karena mustahil memutus ikatan ACFTA tanpa peduli
seberapa merugikannya bagi masyarakat, pemerintah negara-negara ASEAN harus
meningkatkan pendapatan per kapita masyarakatnya menggunakan kesempatan bahwa dibawa
oleh ACFTA.
Ada empat kebijakan rekomendasi yang kami ditekankan dalam makalah ini, yaitu: (1)
penyeimbangan laju impor yang dibawa ACFTA dengan mempromosikan ekspor dalam rangka
meningkatkan pendapatan per kapita, dimana hambatan dagang telah secara bertahap
dihilangkan di ASEAN dan Cina, (2) Mengontrol komoditi impor ke pasar domestik, lebih berfokus
pada impor bahan baku untuk menghindari perilaku over-consumptive atas barang konsumtif
dan meningkatkan produktivitas industri dalam negeri, khususnya industri yang berorientasi
ekspor; (3) Menstabilkan fluktuasi harga untuk mendorong masyarakat untuk menabung lebih
banyak dan memperkuat daya beli mata uang agar eksportir didorong untuk melakukan ekspor
dan laju impor dapat tertekan, dan (4) Mempromosikan investasi asing langsung untuk
meningkatkan lapangan kerja dan meningkatkan produktivitas industri berorientasi ekspor.
Kebijakan ini harus dilakukan dengan kerjasama dan koordinasi yang baik oleh pemerintah
dan Bank Sentral.
Kami tidak menolak ACFTA dalam makalah ini; kami lebih melihat ACFTA sebagai
kesempatan untuk mengembangkan ASEAN lebih lanjut. Hal ini tercermin dari rekomendasi
kami. Meskipun kami beberapa kali menyatakan bahwa ACFTA merugikan dalam beberapa
hal, kami menggunakan ACFTA sebagai wadah untuk meningkatkan tingkat simpanan untuk
102 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
mengimbangi dampak merosotnya tingkat simpanan tabungan. Kesimpulannya, ACFTA sendiri
bukanlah strategi yang tepat untuk pengentasan kemiskinan jika kita menjalankannya begitu
saja, tapi masih bisa digunakan untuk mendukung strategi pengentasan kemiskinan yang
berkelanjutan dengan kesempatan otentik yang dibawa oleh perjanjian ini. ACFTA bukanlah
sesuatu yang kita harus takuti. Ini merupakan kesempatan yang kita harus lihat dari sisi positifnya.
Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?:
Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan
103
DAFTAR PUSTAKA
AlFoul, Bassam Abu, 2010, ≈The Causal Relation between Savings dan Economic Growth:
Some Evidence from MENA Countries∆.<http://econpapers.repec.org>, diakses pada 13 Juli
2010.
Anoruo, E. dan Ahmad, Y., 2001, ≈Causal Relationship Between Domestic Savings and Economic
Growth: Evidence from Seven African Countries∆. African Development Bank, Vol. 13, Issue
2, pp. 238-249.
Attanasio, Orazio, James Banks, Costas Meghir, Guglielmo Weber, 1999, ≈Humps and Bumps
in Lifetime Consumption∆. Journal of Business & Economic Statistics, Vol. 17, hal. 22-35.
∆, <http://www.ssrn.com>,
Azzopardi, Franco, 2004, ≈The Propensity to Save and Interest Rates∆
diakses pada 16 Juni 2010.
Balassa, Bela. ≈The Effects of Interest Rates on Savings in Developing Countries∆. World Bank
Working Paper Series, Vol. 55. 1989.
Bérubé, Gilles dan Denise Côté. ≈Long-Term Determinants of the Personal Savings Rate: Literature
Review and Some Empirical Results for Canada∆. Working Paper √ Bank of Canada. 2000.
Birdsall, Nancy. ≈Why Low Inequality Spurs Growth: Savings And Investment By The Poor∆.
Inter-American Development Bank Working Paper, No. 327, 1996.
Brumberg, Richard E. ≈An Approximation to the Aggregate Saving Function∆. Economic Journal,
Vol. 66, hal. 66-72. 1956.
Carroll, Christopher D. and David N. Weil. ≈Saving and Growth: A Reinterpretation∆. Working
Paper Series, No. 4470. 1993.
Cebula, R. J. ≈Federal Government Budget Deficit and Interest Rates: A Note∆. Public Choice.
1987.
Darrat, Ali F., 1988, ≈Have Large Budget Deficits Caused Rising Trade Deficits?∆. Southern
Economic Journal, Vol. 54, No. 4, hal. 879-887.
Davidson, Russell and James G. MacKinnon, 1982, ≈Inflation and the Savings Rate∆. Queen»s
Economics Department Working Paper, No. 493.
Deaton, Angus, 1977, ≈Involuntary Saving Through Unanticipated Inflation∆. The American
Economic Review, Vol. 67, No. 5, hal. 899-910.
Dusenberry, J.S., 1949, ≈Income, Saving, and the Theory of Consumer Behavior∆. Cambridge,
Mass.: Harvard University Press.
104 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
Edwards, Sebastian, 1995, ≈Why Are Savings Rate So Different Across Countries?: An
International Comparative Analysis∆. NBER Working Paper Series, No. 5097.
Friedman, Milton. 1957. ≈405.html∆The Permanent Income Hypothesis∆. NBER Chapters.
Gourinchas, Pierre-Olivier and Jonathan A. Parker, 2001, ≈The Empirical Importance on
Precautionary Savings∆. NBER Working Paper Series, No. 8017.
Gupta, Kanhaya L., 1971, ≈Dependency Rates and Savings Rates: Comment∆. American Eco-
nomic Review, Vol. 61, hal. 469-71.
Gylfason, Thorvaldur., 1993, ≈Optimal Saving, Interest Rates, and Endogenous Growth∆. Journal
of Economics, Vol. 95, hal. 517-533.
Harvey, Ross, 2004, ≈Comparison of Household Saving Ratios: Euro Area/United States/ Japan∆.
Paper of Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), No. 8, 2004.
Heer, B. and Suessmuth, B., 2006, ≈The Savings-Inflation Puzzle∆. Cesifo Working Paper, No.
1645.
Higgins, Mathew and Jeffrey G. Williamson, 1996, ≈Asian Demography and Foreign Capital
Dependence,∆ NBER Working Paper Series, No. 5097.
Higgins, Matthew, 1999, ≈Demography, National Saving, and International Capital Flows∆,
International Economic Review, Vol. V/39, hal. 343-69.
Hoelscher, G. P., 1983, ≈Federal Borrowing and Short-Term Interest Rates∆. Southern Economic
Journal, Vol. 50, hal. 319-33.
Horioka, Charles Yuji dan Junmin Wan., 2006, ≈The Determinants of Household Saving In
China: A Dynamic Panel Analysis of Provincial Data∆. NBER Working Paper Series, No. 12723.
Howard, David H., 1978, ≈Personal Saving Behavior and the Rate of Inflation∆. The Review of
Economics and Statistics, Vol. 60, No. 4, hal. 547-554.
Hufbauer, Gary Clade dan Yee Wong., 2005, ≈Prospects for Regional Free Trade in Asia∆.
Working Paper Series of Institute for International Economics, No. 05-12.
Huggett, Mark and Gustavo Ventura, 1995, ≈Understanding Why High Income Households
Save More Than Low Income Households∆. Discussion Paper Federal Reserve Bank of
Minneapolis, No. 106.
Islam, M. Faizul, 1998, ≈Brazil»s Twin Deficits: An Empirical Examination∆. Atlantic Economic
Journal.
Japelli, T., dan Pagano, 1994, M. ≈Savings, Growth and Liquidity Constraints∆. Quarterly Journal
of Economics, Vol. 109, hal. 83-109.
Kendall, Patrick, 2000, ≈Interest Rates, Savings, and Growth in Guyana∆. Paper of Caribbean
Development Bank.
Kuznets, S., 1960, ≈Quantitative Aspects of the Economic Growth of Nations: Capital Formation
Proportions∆. Economic Development Cultural Change, Vol. 8, No. 4, Part II.
Apakah ACFTA Merupakan Strategi Yang Tepat Untuk Penuntasan Kemiskinan Yang Berkesinambungan?:
Bukti Dari Penurunan Tingkat Simpanan
105
Krugman, Paul and Maurice Obstfeld, 2006, ≈International Economics: Theory and Policy∆. 7th
ed. Addison Wesley - Prentice Hall.
Labonte, Marc, 2003, ≈The Budget Deficit and the Trade Deficit: What Is Their Relationship?∆.
Congressional Report Service Report For Congress.
Leff, Nathaniel H., 1969, ≈Dependency Rates and Savings Rates∆. The American Economic
Review, Vol. 59, No. 5, hal. 886-896.
Lindh, Thomas., 1999, ≈Age Structure and Economic Policy: The Case of Saving and Growth∆.
Population Research and Policy Review, Vol. 18,, hal. 261√277.
Mankiw, N. Gregory, 2001, ≈Pengantar Ekonomi∆. 2nd ed. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Markusen, James R., James R. Melvin, William M. Kaempfer, and Keith Maskus, 1994,
≈International Trade: Theory and Evidence∆. McGraw Hill.
Mikesell, Raymond F. and James E. Zinser, 1973, ≈The Nature of The Savings Function in
Developing Countries: A Survey of the Theoretical and Empirical Literature∆. Journal of
Economic Literature, Vol. 11, No. 1, hal. 1-26.
Mishra, P.K, S. K. Mishra, and J. R. Das., 2010, ≈The Dynamics of Savings and Investment
Relationship in India∆. European Journal of Economics, Finance and Administrative Sciences,
ISSN 1450-2887 Issue 18.
Modigliani, F. and Brumberg, R., 1954, ≈Utility Analysis and the Consumption Function: An
Interpretation of Cross Section Data∆ in Kurihara K., ed. Post-Keynesian Economics. New
Brunswick: Rutgers University Press.
Modigliani, Franco, 1970, ≈The Life Cycle Hypothesis of Saving and Intercountry Differences in
the Saving Ratio,∆ in W. A. Eltis et al., eds., Induction, Growth and Trade, Oxford, hal. 197225.
Mohan, Ramesh, 2006,≈Causal Relationship Between Savings and Economic Growth in Countries
With Different Income Levels∆. Economics Bulletin, Vol. 5, No. 3 hal. 1_12.
Plosser, C. I., 1982, ≈Government Financing Decisions and Asset Returns∆. Journal of Monetary
Economics, Vol. 9, hal. 325-52.
Ram, Rati, 1983, ≈Dependency Rates and Aggregate Savings: A New International CrossSection Study∆. The American Economic Review, Vol. 72, No. 3, hal. 537-544.
Rijckeghem, Caroline Van and Murat Üçer, 2009, ≈The Evolution and Determinants of The
Turkish Private Saving Rate: What Lessons for Policy?∆. ERF Research Report Series, No. 0901. 2009.
Romer, David, 2001, ≈Advanced Macroeconomics∆. 2nd ed. McGraw Hill, New York.
Romer, Paul M., 1986, ≈Increasing Returns and Long Run Growth∆. Journal of Political Economy,
Vol. 94, hal.1002-1037.
106 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
Rossi, Nicola, 1988, ≈Government Spending, the Real Interest Rate, and the Behavior of LiquidityConstrained Consumers in Developing Countries∆. Staff Papers - International Monetary
Fund, Vol. 35, No. 1, hal. 104-140.
Saltz, I.S., 1999, ≈An Examination of the Causal Relationship between Savings and Growth in
the Third World,∆ Journal of Economics and Finance, Vol. 23, hal. 90-98.
Scholz, John Karl, Ananth Seshadri, and Surachai Khitatrakun, 2006, ≈Are Americans Saving
«Optimally» for Retirement∆. Journal of Political Economy, Vol. 114(4), hal. 607-643.
Schultz, T. Paul., 2004, ∆Demographic Determinants of Savings: Estimating and Interpreting
the Aggregate Association in Asia∆. Paper Series of Economic Growth Centre √ Yale University,
No. 901.
Sinha, Dipendra, 1996, ≈Saving and Economic Growth In India∆. MPRA Paper, No.18283,
University Library of Munich, Germany.
Skinner, Jonathan, 2004, ≈Comment on «Aging and Housing Equity: Another Look in Perspectives
on the Economics of Aging∆. Chicago: The University of Chicago Press.
Solow,Robert M., 1956, ≈/viewitem.fcg/00335533/di951743/95p0039f/0?config = jstor&frame
= frame&userID = [email protected]/018dd5254c00502d8f04&dpi = 5∆A Contribution
to the Theory of Economic Growth.∆ Quarterly Journal of Economics, Vol. 70, hal. 65-94.Ω
Song, Byung-Nak, 1981, ≈Empirical Research on Consumption Behavior: Evidence from Rich
and Poor LDCs∆. Economic Development and Cultural Change, Vol. 29, No. 3, hal. 597611.
Todaro, Michael P. and Stephen C. Smith., 2008, ≈Economic Development∆. Pearson Education
Limited.
Wachtel, P. and J. Young., 1987, ≈Deficit Announcements and Interest Rates∆. American
Economic Review, Vol. 77, hal. 1007-12.
Yusuf, S. and R. Kyle Peters., 1984, ≈Savings Behavior and its Implications for Domestic Resource
Mobilization: The Case of the Republic of Korea∆. World Bank Staff Working Paper, No.
628.
Making East Asian Regionalism Works
107
MAKING EAST ASIAN REGIONALISM WORKS1
Fithra Faisal Hastiadi 2
Abstrac t
For the past few years, regionalism has been progressing in East Asia with the likes of Cina, Japan,
and Korea (CJK) as the most prominent actors. Unfortunately, with the absence of trade arrangement
amongst the CJK, the present regional trade scheme is not sufficient to reach sustainability. This paper
uncovers the inefficient scheme through Engle-Granger Cointegration and Error Correction Mechanism.
Moreover, the paper underlines the importance of triangular trade agreement for accelerating the phase
of growth in CJK which eventually create a spillover effect to East Asia as a whole. Employing Two Stage
Least Squares in a static panel fixed effect model, the paper argues that the spillover effect will function
as an impetus for creating region-wide FTA. Furthermore, the paper also identifies a number of economic
and political factors that can support the formation of East Asian Regionalism.
JEL Classification
Classification: F15, C13, C22, C33
Keywords: Regionalism, Engle-Granger Cointegration, Error Correction Mechanism, Fixed Effect, Two
Stage Least Squares
1 Versi awal makalah ini telah dipresentasikan di Thessaloniki, Yunani (Mei 2010).
2 Graduate School of Asia-Pacific Studies (GSAPS), Waseda University 1-21-1 Nishi-Waseda, Shinjuku-ku, Tokyo 169-0051, JAPAN Email: [email protected]
108 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
I. PENDAHULUAN
Di milenium baru ini, regionalisme telah mulai hadir di Asia Timur. Negara-negara Asia
Timur telah berfokus pada cara-cara untuk memperluas perdagangan antar daerah yang meliputi:
pembentukan Perjanjian Perdagangan Regional/Regional Trade Agreements (RTA) dalam bentuk
Perjanjian Perdagangan Bebas/Free Trade Agreements (FTA) dan Perjanjian Kemitraan Ekonomi/
Economic Partnership Agreements (EPA). Kecenderungan regionalisme telah menciptakan artian
regional yang mendalam dan artian global yang signifikan (Harvey dan Lee, 2002). Jepang,
Korea dan Cina dianggap sebagai aktor kunci dalam mewujudkan hal ini di Asia Timur.
Diakui sebagai para pelaku utama ekonomi dunia, Jepang, Cina dan Korea diasumsikan
memiliki tanggung jawab yang berat bagi kesejahteraan ekonomi di kawasan Asia Timur. Hal
ini sangat jelas bahwa regionalisme Asia Timur tidak dapat dipraktikkan tanpa dukungan dari
negara-negara ekonomi kuat ini. Sayangnya, kurangnya pengaturan kelembagaan di antara
negara-negara raksasa ini telah menghambat efek kesejahteraan secara keseluruhan bagi
masyarakat Asia Timur. Pendorong dibentuknya hubungan Cina-Jepang-Korea (CJK) saat ini
adalah pasar yang dalam artian tertentu tidak lagi cukup; yang harus didampingi dengan
regionalisme. Fokus utama dari regionalisme ini adalah untuk membuat negara-negara ini
tumbuh bersama sehingga dapat menyebar eksternalitas positif di seluruh wilayah Asia Timur.
Dalam jangka panjang diharapkan CJK akan memimpin regionalisme di Asia Timur.
Makalah ini telah disusun sebagai berikut. Bagian kedua mempelajari struktur ekonomi
dan pola perdagangan di CJK. Bagian ketiga menguji pengaruh keterbukaan dalam CJK terhadap
pertumbuhan ekonomi di negara-negara tertentu. Bagian keempat menganalisis prospek
peningkatan kesejahteraan CJK dalam menciptakan efek spillover ke ASEAN-4, yang dalam
tulisan ini berfungsi sebagai proxy bagi negara-negara ASEAN. Bagian kelima menyajikan tren
masa depan dan jalan menuju Regionalisme Asia Timur, dan sebagai penutup, bagian terakhir
menyajikan beberapa kesimpulan.
II. TINJAUAN EMPIRIS HUBUNGAN ANTAR NEGARA HUBUNGAN EKONOMI
JEPANG, CINA DAN KOREA
Menelusuri kembali hubungan tiga negara pasca perang dunia, antara Jepang, Korea
dan Cina telah berkembang secara bertahap. Evolusi kegiatan perdagangan muncul dari orangorang Cina, yang memiliki transformasi substansial akan struktur perdagangan. Pada awal 90an, komoditas utama menyumbang lebih dari sepertiga dari total ekspor Cina ke Jepang dan
Korea. Di milenium baru ini, komoditas utama masih memuncaki ekspor Cina ke Jepang dan
Korea, yang secara meyakinkan diikuti oleh pertumbuhan yang cepat dari produk mesin dan
Making East Asian Regionalism Works
109
transportasi (Chan dan Chin Kuo, 2005). Dari sudut pandang ini, perdagangan di kawasan Asia
Timur Utara dianggap sebagai sebuah gerakan substansial sebagai akibat dari pergeseran
perdagangan menuju struktur yang lebih maju. Munculnya Cina sebagai pusat manufaktur
regional merupakan faktor dominan yang memberikan kontribusi pergeseran perdagangan.
Gambaran keseluruhan dari perdagangan antara negara-negara tersebut dapat dijelaskan
seperti pada Diagram V.1. Jelas bahwa kegiatan perdagangan yang sangat intens menjadi
kontributor utama bagi pertumbuhan ekonomi di wilayah ini. Jumlah perdagangan yang sangat
Japan
118,5
27,3
50,3
92,9
44,5
China
Korea
87,7
Sumber: Watanabe (2008)
Diagram V.1. Perdagangan di antara Jepang, Cina dan Korea
(2006, milyar dollar)
Japan
0,012
0,18
1,74
6,57
China
2,61
Korea
0,013
Sumber: Watanabe (2008)
Gambar 2. Investasi di antara Jepang, Cina dan Korea
(2005, milyar dollar)
110 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
besar kemungkinan besar dikemudikan oleh laju FDI di antara mereka dengan Jepang sebagai
pemimpin utama di wilayah ini (Diagram V.2). Dengan kata lain, hadirnya transformasi ekonomi
di Cina dan Korea yang memutar perdagangan di wilayah ini diawali oleh peran Jepang dalam
melakukan investasi di kedua negara tersebut.
II.1. Mengukur keseimbangan jangka pendek dan jangka panjang dari
ekspor terhadap PDB
Dapat dikatakan perdagangan merupakan sinonim untuk kesejahteraan suatu negara.
Lebih khusus lagi, penelitian menunjukkan ekspor sebagai mesin pertumbuhan ekonomi. Dari
sudut pandang ini, penting untuk mengukur keberlanjutan ekspor terhadap perekonomian,
yang dalam bagian ini ekspor antara CJK menjadi fokus utama.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, Jepang, Cina dan Korea mengalami masa emas
dalam melakukan ekspor satu sama lain. Kesejahteraan ekonomi adalah tujuan yang paling
penting dalam menghubungkan kegiatan ini, tetapi apakah itu cukup untuk meningkatkan
perekonomian dalam jangka panjang. Suatu kegiatan yang murni didorong oleh pasar tanpa
perjanjian perdagangan khusus daerah kadang-kadang bisa menciptakan bias. Jelas bahwa
Jepang, Korea dan Cina kurang memiliki perjanjian semacam ini antara mereka (Urata dan
Kiyota, 2003) seperti yang dijelaskan pada Tabel V.1.
Untuk membentuk sebuah regionalisme yang efektif, Jepang, Cina dan Korea harus saling
mendukung satu sama lain. Karenanya, kerja sama regional intra dalam CJK harus dilakukan
untuk menciptakan pertumbuhan yang berkesinambungan di kawasan Asia Timur. Bagian
Tabel V.1
FTA/EPA dari Jepang, China dan Korea
Negara
China
Korea
Kondisi
Negara
Telah difinalisasi
Masih dinegosiasi
Masih dipertimbangkan
Telah difinalisasi
Masih dinegosiasi
Masih dipertimbangkan
Chili, ASEAN, Hong Kong, Macao
Selandia Baru, Australia, Pakistan, Singpura, GCC, SACU
Islandia, India, Jepang-Korea-China, FTAAP, Swiss
Chili, Singapore, EFTA, ASEAN, USA
India, Meksiko, Kanada, UE
FTAAP, China, Mercosur, Selandia Baru, Afrika Selatan, JepangKorea-China, Australia, GCC
Singapura, Meksiko, Malaysia, Filipina, Chili, Thailand, Brunei,
Indonesia
India, Vietnam, Australia, Swiss, Korea, GCC, ASEAN
FTAAP, Jepang-Korea-China, Afrika Selatan
Telah difinalisasi
Jepang
Masih dinegosiasi
Masih dipertimbangkan
Sumber: Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang, 2007
Making East Asian Regionalism Works
111
berikut berfungsi untuk membuktikan keberlanjutan ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi,
tanpa adanya pengaturan perdagangan, untuk jangka pendek dan jangka panjang. Tes
Kointegrasi Engle-Granger (Engle-Granger Cointegration) dan Mekanisme Koreksi Error (Error
Correction Mechanism) kemudian untuk alasan ini. Tes ini menggunakan data triwulanan dari
GDP Jepang, Cina dan Korea mulai dari 1985 hingga 2004. Data diambil dari database CEIC.
II.1.1. Mendefinisikan Keseimbangan Jangka Panjang: Tes Kointegrasi Engle
Granger
Dalam melakukan pengujian Kointegrasi Engle Granger, makalah ini membagi hubungan
ekspor dalam tiga bagian yang dijelaskan dalam persamaan berikut:
i. Hubungan Ekspor Cina dan Jepang
JPGDP
= βo + β1 .ExportCH + µt
(V.1)
CHGDP
= βo + β1 .ExportJP + µt
(V.2)
ii. Hubungan Ekspor Korea dan Jepang
KRGDP
= βo + β1 .ExportJP + µt
(V.3)
JPGDP
= βo + β1 .ExportKR + µt
(V.4)
iii. Hubungan Ekspor Cina dan Korea
CHGDP
= βo + β1 .ExportKR + µt
(V.5)
KRGDP
= βo + β1 .ExportCH + µt
(V.6)
Dalam persamaan tersebut diatas, JPGDP, CHGDP dan KRGDP masing- masing adalah
PDB Jepang, PDB Cina, dan PDB Korea, sementara Export JP, Export CH dan Export KR adalah
variabel tujuan ekspor ke Jepang, Cina dan Korea. Ekspor dan PDB dapat terkointegrasi karena
tren ekspor dan PDB akan mengimbangi satu sama lain, menciptakan residu stasioner. Residu
ini disebut parameter kointegrasi. Dalam data, jika kita menemukan bahwa regresi awal dari
residu (ut) memberikan stasioneritas, berarti ut bersifat stasioner pada level (orde 0) dan akan
dinotasikan sebagai I(0). Tetapi jika ut stasioner dalam beda pertama, maka variabel Ekspor dan
PDB akan dikointegrasikan dalam first difference tersebut I(1).
Dari Tabel V.2 kita dapat melihat bahwa, hubungan PDB dan ekspor dalam CJK
menghasilkan stabilitas hasil dalam jangka panjang. Hal ini dibuktikan dengan stasioneritas
112 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
Tabel V.2
Parameter Kointegerasi
Variabel Dependen
PDB (Jepang)
PDB (China)
PDB (Korea)
Variabel Independen
Ekspor ke Jepang
na
Ekspor ke China
Ekspor ke Korea
Stationer
Stationer
Stationer
na
Stationer
Stationer
Stationer
na
error term di masing-masing kasus. Uji kointegrasi yang membuktikan ekuilibrium jangka panjang
menjelaskan bahwa model tersebut tidak spurious. Ekspor terbukti menjadi mesin kemajuan
ekonomi di ketiga negara ini. Hasil tes ini membenarkan beberapa penelitian sebelumnya seperti
Dorasami (1996), dan Ekanayake (1999) mengenai hubungan ekspor dan pertumbuhan
ekonomi.
II.1.2 Mendefinisilan Keseimbangan Jangka Pendek: Error Correction Model
Kita telah melihat hubungan jangka panjang antara Ekspor dan PDB. Namun, untuk
membuat lebih obyektif, kita juga harus melihat hubungan jangka pendek karena masih mungkin
untuk menerima ketidakseimbangan. Jadi, bisa dicatat sebagai equilibrium error. Error ini
kemudian dapat digunakan untuk menggambarkan perilaku jangka pendek dari PDB Jepang.
Teknik untuk mengoreksi ketidakseimbangan jangka pendek untuk ekuilibrium jangka panjang
disebut Mekanisme Koreksi Error/Error Correction Mechanism (ECM). Model ECM adalah sebagai
berikut:
∆GDP_X
(V.7)
= βo + β1 .∆Export_Y + β2.µt-1 + et
µt-1 adalah cointegrated error lag 1. Dalam persamaan ini, ∆GDPCountry X adalah perbedaan
dalam PDB untuk Jepang, Korea dan Cina, sementara ∆ExportCountry Y adalah perbedaan
ekspor dari pasangan 2. Berikut adalah output untuk regresi masing-masing negara:
Tabel V.3
Equilibrium Error
Variabel Dependen
Variabel Independen
PDB (Jepang)
Equilibrium error untuk Ekspor ke Jepang
na
Equilibrium error untuk Ekspor ke China
Equilibrium error untuk Ekspor ke Korea
PDB (China)
PDB (Korea)
-1.0 9 ***
-0.23 *
-0.18 ***
na
-0.48 ***
0.017773
-1.33 ***
na
Catatan: Signifikansi secara statistik diindikasikan oleh *(10%), **(5%), dan***(1%)
Making East Asian Regionalism Works
113
Dalam jangka pendek, ada error keseimbangan (equilibrium error) untuk Ekspor Jepang
ke Cina dalam hubungannya dengan PDB Jepang. Koefisien residu memberikan angka negatif
(-0,18), yang berarti bahwa ekspor Jepang ke Cina di bawah ekuilibrium jangka panjang. Ini
hanya akan menyebabkan kenaikan ekspor pada periode selanjutnya. Tetapi penting untuk
dicatat bahwa nilai absolut dari koefisien (tingkat penyesuaian) sangatlah kecil (0,18). Hal ini
menunjukkan bahwa ekspor Jepang ke Cina bergerak dengan fase yang lambat untuk mencapai
ekuilibrium jangka panjang.
Adapun dalam hubungan antara Jepang dan Korea, error keseimbangan dari tren ekspor
tidaklah signifikan. Ini menunjukkan bahwa PDB Jepang berubah menyesuaikan diri dengan
perubahan ekspor Jepang ke Korea pada periode waktu yang sama. Dengan kata lain, hubungan
Jepang dan Korea dalam hal ekspor telah mencapai steady state.
Residu hubungan antara PDB Cina dengan Ekspor Cina ke Jepang dan Korea cukup
signifikan. Ini menunjukkan bahwa ada equilibrium error dalam jangka pendek. Tanda negatif
menunjukkan Ekspor mengalami kenaikan konstan untuk mencapai keseimbangan jangka
panjang. Dalam kasus Cina, tingkat penyesuaian atau fase percepatan untuk keseimbangan
jangka panjang bergerak sangat cepat. Hal ini dapat dilihat dari nilai absolut koefisien equilibrium
error yakni 1,09 dan 1,33 masing-masing untuk hubungan Cina ke Korea dan ke Jepang.
Kasus Korea agak mirip seperti Cina. Residu hubungan antara PDB Korea dengan Ekspor
Korea ke Jepang dan Cina cukup signifikan. Sehingga penjelasannya kurang lebih sama dengan
kasus Cina. Namun, tingkat penyesuaian untuk Korea lebih lambat dibandingkan Cina namun
masih lebih cepat dari Jepang, dengan nilai absolut 0.23 dan 0.48 masing-masing untuk
hubungan perdagangan Korea ke Jepang dan ke Cina.
Dari ECM, kita dapat menyimpulkan bahwa wilayah Asia Timur Utara tidak bergerak
dalam fase yang sama untuk mencapai keseimbangan jangka panjang, dimana Jepang bergerak
dengan fase yang paling lambat. Nilai yang tidak signifikan untuk laju percepatan dalam kasus
hubungan perdagangan Jepang dengan Korea juga penting untuk dilihat karena dapat diartikan
bahwa pasar Korea sudah mengalami kejenuhan untuk produk Jepang (steady state). Faktafakta ini sangat penting karena berarti mengurangi peran Jepang sebagai pemimpin utama di
Asia Timur Utara. Meskipun siapa yang memimpin bukanlah hal yang penting, namun efek
terhentinya pertumbuhan ekonomi suatu negara di wilayah ini hanya akan berfungsi sebagai
batu sandungan dalam menciptakan kesejahteraan umum di Asia Timur. Pertumbuhan dari
Cina dan Korea juga akan segera berakhir, seperti Jepang, bilamana tidak ada tindakan serius
diambil. Oleh karenanya, dalam rangka memperkuat kesejahteraan regional dan mempercepat
tahapan penyesuaian, integrasi ekonomi harus dilakukan.
114 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
III. KETERBUKAAN DALAM PERDAGANGAN
Ketergantungan ekonomi yang besar antara Jepang, Cina dan Korea dapat menjadi dasar
yang baik dalam menciptakan regionalisme. Perjanjian perdagangan segitiga untuk
menghilangkan hambatan perdagangan ini, akan memperlancar pertumbuhan arus
perdagangan antara negara-negara ini melalui akses pasar yang lebih besar. Tapi sayangnya,
fakta-fakta pendukung ini hanya sebatas di atas kertas. Proses regionalisme di kawasan ini
terbukti sulit.
Negara-negara ini mungkin telah secara agresif berkomunikasi satu sama lain dalam
rangka pembuatan FTA dan EPA, namun tidak ada satupun yang telah mengalami kemajuan
berarti (lihat Tabel V.1). Alasan atas hal ini bisa menjadi subyek untuk penelitian tersendiri,
sedangkan bagian ini mencoba untuk berfokus pada pengaruh perjanjian tersebut terhadap
perekonomian. Kurangnya pengaturan perdagangan tercatat sebagai faktor utama yang
memberikan kontribusi ketidakefektifan perdagangan intra regional di wilayah Asia Timur Utara.
Hipotesis ini akan coba dibuktikan dalam bagian selanjutnya.
III.1 Openness with customized RPL index
Pendekatan pertumbuhan yang dipicu oleh ekspor yang telah dilakukan pada bagian
sebelumnya dengan kointegrasi dan model koreksi error sebenarnya telah memberikan dasar
untuk mengukur keterbukaan suatu negara, namun dalam beberapa hal itu saja tidak cukup.
Data tersebut hanya bekerja untuk menetapkan paradigma perdagangan sebagai mesin
pertumbuhan tetapi tidak cukup untuk mengukur pola yang lebih kuat akan keterbukaan.
Karenanya, kita mungkin menggunakan Tingkat Harga Relatif Dollar/Dollar»s Relative Price Level
(indeks RPL).
Indeks ini merupakan ukuran dari orientasi ke luar dari sebuah ekonomi yang diteliti oleh
Summers dan Heston (1988). Menggunakan AS sebagai patokan, indeks tingkat harga relatif
(RPL) negara i adalah:
RPLi = 100 . Pi /Pus . 1/e
(V.8)
Dimana e adalah nilai tukar dan Pi adalah indeks harga konsumsi untuk negara i dan Pus
adalah indeks harga konsumsi di AS. Oleh karena itu, kita dapat menggunakan rumus ini
untuk mengukur orientasi ke dalam atau ke luar dari suatu kebijakan perdagangan. Dengan
menggunakan analogi yang sama, makalah ini memodifikasi indeks RPL ke dalam rumus
berikut:
Making East Asian Regionalism Works
RPLi
115
(V.9)
= 100 . Pi /Ptp . 1/e
Dimana Ptp adalah indeks harga konsumsi untuk mitra dagang dan e adalah nilai tukar (jumlah
unit mata uang domestik per unit mata uang mitra dagang). RPL yang sudah disesuaikan ini
kemudian menjadi alat yang ampuh untuk menganalisis keterbukaan perdagangan antara negara
mitra dagang.
III.2. Error Correction Mechanism (ECM) dari Indeks RPL dan PDB
Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, ECM memberikan mengenai gambaran
goncangan dalam jangka pendek. Dalam kasus ini, kita meneliti keterbukaan tren liberalisasi
perdagangan vis a vis di kawasan Asia Timur Utara. Tes ini menggunakan data triwulanan nilai
tukar, CPI, ekspor untuk CJK mulai dari tahun 2001 hingga 2005. Data diambil dari data base
CEIC. Berikut ini adalah persamaannya:
∆GDP_X
(V.10)
= βo + β1 .∆RPL_Y + β2.µt-1 + et
Persamaan ini meniru persamaan V.7, tetapi variabel dependen sebelumnya diganti dari
ekspor menjadi RPL untuk menyesuaikan dengan tujuan yaitu untuk mengukur keterbukaan.
adalah perbedaan PDB dari 2 negara, sementara adalah perbedaan RPL yang mengukur
keterbukaan perdagangan dari negara X terhadap negara Y. Berikut adalah output untuk masingmasing negara:
Tabel V.4
Parameter Kointegrasi
Variabel Dependen
Variabel Independen
PDB (Jepang)
Equilibrium error untuk Keterbukaan ke Jepang
na
Equilibrium error untuk Keterbukaan ke China
Equilibrium error untuk Keterbukaan ke Korea
PDB (China)
PDB (Korea)
-1.23 ***
-1.31 ***
-1.15 ***
na
-0.97 ***
-0.72 **
-1.24 ***
na
Catatan: Signifikansi secara statistik diindikasikan oleh *(10%), **(5%), dan ***(1%
Dari pengujian ini kita dapat melihat bahwa pada umumnya keterbukaan perdagangan
mempengaruhi PDB suatu negara dengan cara yang positif. Tetapi dalam jangka pendek,
perdagangan keterbukaan dalam CJK masih berada di bawah keseimbangan. Hal ini
menunjukkan bahwa keterbukaan perdagangan masih mencari bentuknya di kawasan ini.
Meskipun kita mungkin tidak melihat regionalisme yang dapat meliberalisasi perdagangan dalam
116 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
jangka pendek, tetapi untuk kecenderungan keterbukaan dalam perdagangan vis a vis,
regionalisme berkembang dengan baik. Kita bisa melihanya dari tingkat penyesuaian untuk
keseimbangan jangka panjang (koefisien residu) yang menunjukkan angka rata-rata 1.1,
sehingga kita mungkin akan melihat munculnya regionalisme di Utara Asia Timur di masa
depan.
IV. SPILLOVER EFFECT DARI PERDAGANGAN TRIANGULAR JEPANG-KOREACINA TERHADAP ASEAN 4
Sebagai raksasa Asia, pertumbuhan Jepang, Korea dan Cina kemungkinan besar akan
menciptakan efek positif terhadap negara-negara tetangganya. Secara regional, pertumbuhan
Asia Timur Utara akan mendorong pertumbuhan Asia Timur secara keseluruhan, dan dalam
pengertian ini, kita mungkin ingin membawa pengaruhnya terhadap negara-negara ASEAN.
Makalah ini akan membatasi efek regionalisme pada ASEAN-4 karena negara-negara ini memiliki
karakteristik ekonomi yang sama. Makalah ini menggunakan model data panel statis untuk
tujuan ini. Panel Data dianalisis setiap tahun dari tahun 1989 hingga 2007 yang terdiri dari
Ekspor, Impor, Konsumsi, Investasi, PDB dan Pengeluaran Pemerintah dari negara-negara ASEAN
4, serta PDB dari Jepang, Cina dan Korea. Data diambil dari database WDI online. Bagian
selanjutnya akan membahas analisisnya.
IV.1 Menguji Spillover Effect Melalui Model Data Panel
Sebuah model panel data statis dapat dirumuskan sebagai berikut:
Yit = X it β + λt + ηi + ε it ,
t ∈ [1, T ] , i ∈ [1, N ]
(V.11)
Dimana: λt dan ηt masing-masing adalah efek spesifik waktu dan individu, Xit adalah vektor
dari variabel penjelas, (i) merupakan komponen waktu dari panel, (N) adalah dimensi crosssection (atau jumlah pengamatan cross section), dan N x T adalah jumlah observasi. Idenya
adalah untuk menjalankan model untuk mendapatkan estimator yang konsisten untuk koefisien
_, dan pilihan model (tetap atau acak) tergantung pada hipotesis yang diasumsikan untuk
hubungan antara error-term (εit ) dan regressor (Xit ). Analisis data panel statis dikembangkan
di bagian empiris makalah ini yang didasarkan pada dua model panel dasar, yaitu model efek
tetap (FE) dan efek acak (RE). Karena periode waktu (1989-2007) sudah melewati periode
pengamatan individu (Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina), FE dianggap sebagai metode
yang paling tepat (Nachrowi dan Usman, 2008). Model ini dirumuskan sebagai berikut:
117
Making East Asian Regionalism Works
Yit = α + β1.X it + γ 1W1t + +γ 2W2t + ... + +γ N WNt + δ1Z i1 + δ 2 Z i 2 + ... + δ T Z iT + eit (V.12)
Dimana:
Yit = Pertumbuhan PDB dari ASEAN 4 untuk waktu t dan negara i
Xit = Variabel Independen (pertumbuhan konsumsi, pertumbuhan investasi, pertumbuhan
pengeluaran pemerintah, pertumbuhan ekspor-impor dari ASEAN 4 dan pertumbuhan
PDB Jepang-Cina-Korea dalam waktu t)
Wit dan Zit adalah variabel dummy dimana Wit = 1 untuk i = negara Indonesia, Malaysia,
Filipina, Thailand, sementara Zit akan bernilai 1 untuk Periode t = 1989, 1990 ..., 2007.
Persamaan struktural di atas sebenarnya merupakan persamaan simultan yang
menggunakan hubungan kausalitas. Untuk melihat simultanitas model di atas, maka modelnya
dapat diuraikan menjadi empat bagian:
Yt = β1 + β 2 .Ct + β 3 .I t + β 4 .Gt + β 5 . X t + β 6 .JGDPt + β 7 .CGDPt + β 8 .KGDPt
(V.13)
Ct = β1 + β 2 .Ct −1 + β 3 .Yt
(V.14)
I t = β1 + β 2 .rt + β 3 .Yt
(V.15)
X t = β1 + β 2 .EX t + β 3 .Ct + β 4 .JGDPt + β 5 .CGDPt + β 6 .KGDPt
(V.16)
Persamaan V.13 menggambarkan efek dari konsumsi (Ct), investasi (It), pengeluaran
pemerintah (Gt), pertumbuhan ekspor (Xt) negara-negara ASEAN 4 dan pertumbuhan PDB
negara-negara Asia Timur Utara (JGDPt, CGDPt, KGDPt) terhadap pertumbuhan PDB ASEAN-4
(Yt). Dari model ini, jelas bahwa pertumbuhan konsumsi, pertumbuhan investasi dan
pertumbuhan ekspor memiliki faktor penentu sendiri yang secara bersamaan membentuk
persamaan struktural. Pertumbuhan konsumsi (Ct) dibentuk oleh pertumbuhan konsumsi tahun
lalu (Ct-1), dan di sisi lain pertumbuhan PDB sekarang (Yt), Investasi (It) dipengaruhi oleh tingkat
bunga (rt) dan pertumbuhan PDB (Ct). Diperkirakan juga nilai tukar (EXt), pertumbuhan konsumsi
(Ct) dan pertumbuhan ekonomi mitra dagang (JGDPt, CGDPt, KGDPt) memiliki pengaruh pada
pertumbuhan ekspor (Xt) bagi negara-negara ASEAN 4.
Dari persamaan struktural diatas, kita dapat membagi variabel menjadi dua, endogen
dan predetermined (eksogen). Untuk melihat model simultan mana yang sesuai kebutuhan,
kita harus fokus di proses identifikasi. Jika K merupakan jumlah variabel eksogen dalam model,
k adalah jumlah variabel eksogen dalam persamaan dan M adalah jumlah variabel endogen
118 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
dalam model, sehingga kriteria untuk menyatakan apakah satu persamaan under identified
(K-k <M-1), just identified (K-k = M-1) atau over identified (K-k> M-1). Berdasarkan kriteria
ini, identifikasi keempat persamaan struktural tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel V.5
Kondisi Urut (Order Condition)
No
Persamaan
Kriteria
Konklusi
1
Yt
6>2
over identified
2
Ct
9>1
over identified
3
It
9>1
over identified
4
Xt
6>1
over identified
Untuk kasus yang over identified, kita mungkin ingin menggunakan dua pendekatan
tahap kuadrat terkecil (2SLS) sebagai cara yang elegan untuk mengatasi masalah ini. Analisis
regresi 2SLS, seperti digunakan oleh Angrist dan Imbens (1995), memiliki 2 tahap, pertama,
regresi kuadrat terkecil pada persamaan yang sudah direduksi harus dapat menghasilkan Ct-1,
Yt-1, rt, Gt, EXt, JGDPt, CGDPt, KGDPt sebagai variabel instrumental, sehingga seluruh persamaan
dari persamaan V.13 sampai V.16 harus diubah menjadi persamaan tereduksi. Dari tahap pertama
kita mendapatkan Yˆt , Cˆ t , Iˆt , dan X̂ t sebagai fitted values yang dapat kita dapat digunakan
untuk menjalankan tahap kedua. Pada tahap kedua, nilai-nilai ini kemudian dimasukkan ke
persamaan utama. Langkah terakhir adalah menjalankan kuadrat terkecil pada setiap persamaan
di atas untuk mendapatkan estimasi 2SLS seperti yang dijelaskan di bawah ini dalam Tabel V.6.
Tabel V.6 Output Regresi Two Stage Least Squares
Variabel Dependen
Variabel Independen
Y
C
I
X
Variabel Instrumental
Y
C
I
X
na
0.470 ***
0.025
0.072*
0.776 ***
na
na
na
-0.087
Na
Na
Na
Na
-0.64 **
Na
Na
Y (Japan)
Y (China)
0.546 **
na
Na
2.949***
0.311 **
na
Na
1.112 ***
Y (Korea)
0.250 **
na
Na
-3.760
C (-1)
R
na
0.01
Na
Na
na
na
0.137
Na
Y (-1)
na
na
Na
Na
EX
G
na
na
Na
0
0.122**
na
Na
Na
Catatan: Signifikansi secara statistic diindikasikan oleh *(10%), **(5%), dan ***(1%)
Making East Asian Regionalism Works
119
Dari hasil di atas kita dapat menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi Asia Timur
Utara (Jepang, Korea dan Cina) mendorong pertumbuhan ekonomi ASEAN-4, yang menegaskan
proposisi dari makalah ini. Laju investasi dalam bentuk FDI, juga merupakan satu elemen
pengintegrasi yang dominan di Asia Timur secara keseluruhan. Meskipun kita tidak dapat
menemukan faktor penentu yang pasti untuk FDI pada output, namun jelas bahwa FDI secara
alami terkait erat dengan perdagangan. Dengan perekonomian yang pada dasarnya terbuka
dan berwawasan ke luar, wilayah ini sangat bergantung pada investasi asing untuk pertumbuhan
ekonominya. Tapi tetap saja, daya dorong ini tidak sebanding dengan besarnya efek spillover
dari negara-negara raksasa ini: Jepang, Korea dan Cina. Jepang, dalam hal pertumbuhan PDB,
memiliki pengaruh terbesar terhadap ASEAN-4 diikuti oleh Cina dan Korea di tempat kedua
dan ketiga. Fakta ini dijelaskan oleh parameter koefisien yang bernilai 0.546, 0.311 dan 0.250
masing-masing untuk Jepang, Cina dan Korea.
Urutan besarnya pengaruh dari ketiga negara ini mungkin disebabkan oleh jumlah arus
masuk FDI ke ASEAN seperti dijelaskan di tabel 7 ini. Bias hanya ada di Cina dan Korea, meskipun
FDI kumulatif dari Korea untuk ASEAN-4 lebih besar dari Cina, namun tampaknya tidak tercermin
pada tingkat besarnya pengaruh. Diasumsikan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi yang
tinggi di Cina telah menjadi faktor utama (Urata, 2008) yang melampaui pengaruh aliran
kumulatif FDI dari Korea untuk ASEAN-4. Namun faktor tersebut tidak cukup untuk melampaui
pengaruh Jepang pada pertumbuhan ekonomi ASEAN-4 karena kontribusi FDI Jepang untuk
ASEAN-4 ratusan kali lebih besar efeknya dibandingkan Cina.
Tabel V.7
Laju FDI ke ASEAN 4 (Juta $)
Host Country
Indonesia
Thailand
Malaysia
Filipina
Total Kumulatif
1995-2003
Negara Asal
Jepang
288,06
8.096,02
4.761,11
3.055,68
Korea
331,88
China
-36,78
16.200,87
235,58
98,51
238,13
904,1
50,16
120,72
4,07
138,17
Sumber: Sekretariat ASEAN
Fakta ini sejalan dengan hipotesis angsa terbang (flying geese) yang dikembangkan oleh
ekonom Jepang, Kaname Akamatsu (1935). Model ini telah sering diusulkan untuk menguji
pola-pola dan karakteristik integrasi ekonomi Asia Timur. ≈Dasar pemikiran pola-angsa terbang
menggambarkan sekelompok negara-negara di wilayah ini terbang bersama dalam lapisanlapisan dengan Jepang pada lapisan di depan. Lapisan menandakan berbagai tahap
perkembangan ekonomi yang dicapai di berbagai negara ≈(Xing, 2007). Dalam model terbang-
120 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
angsa pembangunan ekonomi regional, Jepang sebagai angsa pemimpin menuntun angsa lapis
kedua (Cina, Korea) yang pada gilirannya mereka diikuti oleh angsa lapis ketiga (ASEAN-4).
Hal lain yang penting untuk dicatat adalah nilai signifikan ekspor yang rendah di ASEAN4 dalam hal menciptakan pertumbuhan PDB. Ini adalah fakta menarik karena ekspor dianggap
sebagai penentu utama bagi pertumbuhan PDB. Diduga hal ini disebabkan efek dari persaingan
antara anggota ASEAN-4 dan Cina yang menjadi faktor utama nilai ekspor yang tidak signifikan.
Faktor ini didukung oleh Holst dan Weiss (2004) yang menunjuk pada kebangkitan Cina sebagai
alasan munculnya kompetisi jangka pendek dan menengah langsung dan jangka panjang tidak
langsung antara ASEAN dan Cina. Mereka berpendapat bahwa ASEAN dan Cina mengalami
persaingan ekspor yang intensif di pasar pihak ketiga yang potensial. Hal ini dapat mengakibatkan
penyesuaian struktural domestik yang cukup parah bagi ASEAN dalam jangka pendek. Namun
ini kembali lagi pada lagi pola pikir dalam melihat ini sebagai peluang ekonomi atau ancaman
yang tergantung pada apakah ekonomi Cina dianggap sebagai pelengkap atau kompetitif visà-vis dengan perekonomian individu ASEAN dan pada apakah masyarakat perekonomian
kedepannya dapat memanfaatkan peluang yang saling melengkapi untuk mengatasi ancaman
dan kompetisi.
Chia (2006) berpendapat bahwa ∫perbedaan dalam anugerah faktor dan sumber daya,
struktur produksi, dan produktivitas menyebabkan hubungan yang komplementer, sedangkan
kesamaan di tiga hal ini justru menyebabkan hubungan yang kompetitif.ª Dalam jangka panjang,
regionalisme diharapkan dapat mengakomodasi kesejahteraan bagi Asia Timur. Pertumbuhan
pasar Cina yang signifikan bagi ASEAN akan menjadi dasar regionalisme. Dengan demikian,
Asia Timur bersatu bisa mempercepat momentum liberalisasi perdagangan secara keseluruhan
dan mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah
V. TREN KEDEPAN DARI EAST ASIAN REGIONALISM (EAR)
Pekerjaan berikutnya adalah untuk membentuk masa depan dari EAR, pertanyaannya
mungkinkah ini dilakukan? Dalam bagian C dari makalah ini, kita mengukur tren regionalisme
keterbukaan vis a vis dengan menggunakan ECM untuk indeks RPL di Asia Timur Utara (CJK).
Karena kita akan menguji dua sub wilayah, cara terbaik untuk mengukur adalah dengan
menggunakan uji konvergensi perdagangan untuk CJK dan ASEAN-4. Gagasan konvergensi
menunjukkan bahwa perbedaan antara rangkaian ini harus mengikuti proses stasioner (Bernard
& Durlauf, 1996; Oxley & Greasley, 1995). Dengan demikian, konvergensi stokastik
mengindikasikan bahwa selisih pendapatan antara negara-negara tidak bisa mengandung
unit root.
121
Making East Asian Regionalism Works
Berdasarkan Bernard dan Durlauf (1995), konvergensi stokastik terjadi jika sistem
perdagangan log diferensial, yt, mengikuti sebuah proses stasioner, dimana yt = ASEAN4tott-
CJKtott , di mana ASEAN4tott adalah istilah logaritma dari perdagangan ASEAN-4, dan
CJKtott adalah logaritma jangka perdagangan CJK, dan kedua rangkaian ini berada dalam first
difference (I(1)). Konvergensi Stokastik diuji dengan menggunakan regresi konvensional
tambahan Dickey-Fuller (ADF) yang memperlihatkan hasil yang penting dalam membuktikan
stasioneritas untuk XXX (lihat Tabel V.8). Hal ini menunjukkan konvergensi jangka panjang
antara kedua sistem perdagangan.
Tabel V.8
Tes ADF untuk Perdagangan
Tes Statistik ADF
-3.519465
1% Nilai Kritis*
-3.7204
5% Nilai Kritis
-2.9850
10% Nilai Kritis
-2.6318
*Nilai Kritis MacKinnon untuk penolakan hipotesis unit root.
Halangan utama dari prosedur uji unit root ADF standar adalah bahwa daya dari tes ini
adalah cukup rendah. Untuk mengatasi masalah ini, makalah ini menggunakan uji kointegrasi
seperti yang disarankan oleh Baharumshah et al. (2007). Berikut ini adalah Kointegrasi Engle
Granger:
Ut = ASEANtott − βο − β1CJKtott
(V.17)
Tabel V.9
Tes ADF untuk Residu Kointegrasi
Tes Statistik ADF
-5.623714
1% Nilai Kritis *
-3.7204
5% Nilai Kritis
-2.9850
10% Nilai Kritis
-2.6318
*Nilai Kritis MacKinnon untuk penolakan hipotesis unit root.
The residu (Ut) memberikan hasil yang stasioner (lihat Tabel V.9) yang berarti bahwa
kedua wilayah memiliki hubungan jangka panjang (konvergensi). Bisa dikatakan melalui uji
konvergensi ini, bahwa EAR akan bertahan dalam jangka panjang. Temuan kuat ini pasti
menciptakan pandangan optimis terhadap EAR. Tapi mengetahui masa depan saja tidak cukup,
kita masih perlu mencari tahu jalan yang jelas untuk mencapai masa depan. Bagian berikutnya
akan berusaha untuk mencari jawabannya.
122 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
VI. FAKTOR-FAKTOR YANG BERKONTRIBUSI PADA EAR
Feng dan Genna (2003) menyatakan bahwa homogenitas institusi domestik dibutuhkan
untuk berjalan beriringan dengan proses integrasi regional. Lebih lanjut keduanya menunjuk
pada inflasi, perpajakan dan peraturan pemerintah sebagai faktor yang mewakili lembagalembaga ekonomi. Variabel lain yang mungkin dapat meningkatkan proses integrasi adalah
jumlah penduduk sebagaimana yang diidentifikasi oleh Tamura (1995). Dia berargumen bahwa
populasi yang besar merupakan katalis untuk integrasi karena aglomerasi ekonomi. Para peneliti
seperti Milner dan Kubota (2005) bahkan menunjukkan demokrasi sebagai faktor penting yang
dapat mendorong regionalisme. Penelitian empiris mereka di negara-negara berkembang dari
1970-1999 menunjukkan bahwa perubahan rezim menuju demokrasi dikaitkan dengan
liberalisasi perdagangan, dan regionalisasi.
Merunut kepada penelitan-penelitian diatas, makalah ini mencoba untuk menggabungkan
semua variabel menjadi satu model yang lengkap yang dapat menentukan pembentukan EAR.
Rumusnya sebagai berikut:
Open = α + βXit + γ1W1t + γ2W2t + γ3W3t + ... + γNWN + δ1Zi1 + δ2Zi2 + δ3Zi3 + ... + δtZiT
+ eit
(V.18)
Dimana:
Openit = Regionalisme untuk waktu t dan negara i
Xit
= Variabel Independen (jalur kereta, pajak, demokrasi, pemerintahan, industri, angka
partisipasi sekolah dasar, inflasi dan jumlah penduduk dari ASEAN-4 + CJK)
Wit dan Zit adalah variabel dummy yang didefinisikan sebagai berikut:
Wit
= 1
1 untuk i negara, dimana i = Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Cina,
Jepang, Korea. Lainnya dinyatakan 0.
Zit
= 1
untuk t Periode dimana t = 1998, 2000 ..., 2007. Jika tidak dinyatakan 0.
Makalah ini menggunakan model efek tetap untuk memperkirakan variabel. Berikut adalah
penjelasan untuk variabel-variabel yang digunakan:
i) Makalah ini menggunakan proxy keterbukaan perdagangan (ekspor bersih per PDB) untuk
regionalisme. Variabel keterbukaan digunakan untuk mewakili regionalisme karena
regionalisme menciptakan keterbukaan terhadap beberapa sektor ekonomi. Keterbukaan
di sini berfungsi sebagai variabel dependen yang ditentukan oleh beberapa variabel
independen.
ii) Jalur kereta mewakili barang yang diangkut (juta ton-km) digunakan untuk menjelaskan
kesiapan infrastruktur fisik. Memasangkannya dengan variabel ini adalah angka partisipasi
Making East Asian Regionalism Works
123
sekolah dasar akan berfungsi sebagai dasar untuk infrastruktur sumber daya manusia.
Infrastruktur yang layak (baik fisik dan manusia) akan memberikan kemantapan dan
keyakinan bagi investor untuk berinvestasi antar sesama anggota. Dengan kata lain,
infrastruktur yang baik akan pasti membawa perdagangan intra yang berkelanjutan dan
investasi yang merupakan dasar EAR.
iii) Untuk mengukur demokrasi, digunakan data yang dihasilkan oleh Freedom House (2000)
yakni indeks demokrasi yang disebut POLITY. Demokratisasi diharapkan dapat membuka
jalan baru bagi dukungan untuk perdagangan bebas regionalisme vis-à-vis.
iv) Variabel selanjutnya yaitu kebijakan perpajakan. Semakin tinggi nilainya maka akan semakin
mengurangi prospek EAR.
v) Variabel lain yang juga penting adalah pemerintahan yang diukur oleh enam indikator
pemerintahan yang diestimasi oleh Kaufmann (2003). Indeks ini menjelaskan berbagai aspek
struktur cross section yang luas dari pemerintahan suatu negara, termasuk pengukuran
Suara dan Akuntabilitas, Stabilitas Politik, Efektivitas Pemerintah, Kualitas Regulasi, Aturan
Hukum, dan Pengendalian Korupsi. Secara umum, indeks Pemerintahan memberikan
kekuatan penjelas untuk menjabarkan kemampuan dan kualitas tata pemerintahan dari
setiap negara anggota. Negara dengan indikator yang baik memiliki semakin banyak
kesempatan untuk mendayagunakan regionalisme.
vi) Variabel makroekonomi diwakili oleh inflasi yang menciptakan ekspektasi yang ambigu.
Tingkat inflasi yang tinggi akan menghambat pembentukan EAR sejak awal, tetapi beberapa
peneliti justru mengatakan hal yang berbeda. Salah satu argumen yang mendukung proposisi
ini dinyatakan oleh Cohen (1997) yang berpendapat bahwa kebijakan inflasi (inflasi tinggi)
yang berasal dari tindakan pemerintah, cenderung menambah hambatan untuk investor
swasta yang pada gilirannya akan menaikkan permintaan akan integrasi yang lebih besar.
Dihilangkannya kebijakan macam ini dalam bidang fiskal dan moneter akan mengurangi
risiko ketidakpastian kedepannya.
vii) Pasar besar bersama-sama dengan proses industrialisasi yang sedang berlangsung merupakan
aspek terakhir dari pembentukan EAR. Ukuran populasi dari negara Asia Timur tidak hanya
menciptakan permintaan potensial untuk barang yang diperdagangkan di wilayah tersebut
tetapi juga penyediaan tenaga kerja dan tingkat absolut upah rendah. Dengan kata lain,
persediaan tenaga kerja terbatas Lewis akan bertahan lebih lama di Asia Timur. Proses ini
akan mengarah pada tren menuju industrialisasi (nilai tambah sebagai persentase dari PDB)
di wilayah tersebut. Tren ini sangat penting karena homogenitas dalam industrialisasi antar
negara di wilayah ini akan memperlancar kemajuan EAR.
124 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
Tabel V.10.
Faktor Yang Mempengaruhi Keterbukaan
Variabel Dependen: KETERBUKAAN
Variabel Independen
LOG (JALUR KERETA)
PAJAK
DEMOKRASI
TATA PEMERINTAHAN
INDUSTRI
LOG (POPULASI)
ANGKA PENDIDIKAN KASAR
INFLASI
R-squared
Adjusted R-squared
Koefisien
0.115860
-0.029831
-0.004282
0.257508
0.049930
0.863634
0.011445
-0.001545
0.99251
0.98975
t-Statistic
2.059379**
-3.530943***
-2.051852**
3.860438***
4.861010***
2.154852**
2.217493**
-0.441719
Catatan: Signifikansi secara statistic diindikasikan oleh *(10%), **(5%), dan ***(1%)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor ekonomi dan politik seperti infrastruktur
(kereta api dan angka pendidikan dasar), pemerintahan, kebijakan pajak, industrialisasi dan
Demokrasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Regionalisme (Keterbukaan) di Asia
Timur sementara Inflasi memberikan peran yang tidak signifikan.
Tanda-tanda koefisien untuk rel kereta api, angka pendidikan dasar, pemerintahan, dan
industrialisasi yang positif menandakan semakin besar variabel tersebut, makin besar
Keterbukaan yang dihasilkan. Tanda negatif dari koefisien pajak menggambarkan hubungan
berlawanan antara tarif pajak perusahaan dan prospek masa depan EAR, semakin tinggi tingkat
pajak akan semakin berdampak negative bagi EAR. Tanda negatif demokrasi agak berbeda dari
perkiraan tetapi masih dipandang rasional karena demokrasi masih dalam proses menemukan
bentuknya di Asia Timur. Kita harus mendefinisikan arti demokrasi untuk benar-benar
membuatnya bekerja. Peran yang tidak signifikan dari inflasi bagi EAR diperkirakan karena
ambiguitas yang diberikannya.
VII. KESIMPULAN
Kami telah membuat kesimpulan sementara bahwa ekspor memimpin pertumbuhan
secara keseluruhan di Asia Timur Utara. Namun, penting untuk dicatat bahwa fase penyesuaian
Jepang terhadap keseimbangan jangka panjang cukup lambat dibandingkan Korea dan Cina.
Hal ini bisa menjadi batu sandungan dalam membentuk regionalisme di Asia Timur. Salah satu
tugas tersulit adalah tentang membuat negara-negara ini bergerak bersama dalam fase yang
sama, yang merupakan alasan perlunya keberlangsungan regionalisme.
Making East Asian Regionalism Works
125
Karena regionalisme merupakan istilah yang masih abstrak, penggunaan indeks RPL
menjadi sangat penting. Indeks RPL adalah proxy dari orientasi keluar dari suatu negara atau
dengan kata lain merupakan representasi dari regionalisme. Regionalisme dalam hal ini sejalan
dengan keterbukaan di mana regionalisme menciptakan pengaturan perdagangan yang
meliberalisasikan beberapa sektor dalam perekonomian. Simulasi ECM memberikan gambaran
yang jelas tentang bentuk keterbukaan saat ini berada dibawah keseimbangan. Hal ini
menunjukkan bahwa tren regionalisme masih jauh tertinggal. Ini agak menegaskan
ketidakefektifan dari perdagangan segitiga saat ini di Asia Timur Utara. Diharapkan bahwa
regionalisme dapat menghilangkan bias tersebut dalam perdagangan.
Lebih jauh lagi, karena negara-negara Asia Utara Timur memiliki perekonomian dalam
skala besar, pembangunan ekonomi secara substansial akan mempengaruhi negara-negara
tetangga di Asia Timur khususnya ASEAN-4. Hal ini ditunjukkan oleh sebagian besar
pertumbuhan Cina-Jepang-Korea yang mempengaruhi PDB ASEAN-4.
Dalam jangka pendek, terjadi sebuah kompetisi persaingan antara Cina dan ASEAN.
Namun, dalam jangka panjang regionalisme diharapkan akan mengakomodasi pertumbuhan
ekspor untuk Asia Timur secara keseluruhan. Dalam artian menciptakan integrasi di Asia Timur,
ada kebutuhan untuk mengatur mekanisme kelembagaan yang lebih formal untuk perdagangan.
Hal ini menjadi masuk akal bagi negara-negara saling bergantung tersebut di wilayah untuk
melembagakan proses integrasi ini secara de facto melalui pembentukan pengaturan regional
(Kawai, 2005). Pertumbuhan yang signifikan dari pasar Cina, Jepang dan Korea bagi ASEAN-4
akan kemudian berfungsi sebagai dasar bagi Single Wide FTA di Asia Timur. Pekerjaan rumah
berikutnya adalah untuk membentuk EAR kedepannya, tetapi apakah mungkin? Menggunakan
uji konvergensi, ditemukan bahwa ada masa depan bagi EAR. Temuan kuat seperti ini akan
menciptakan pandangan optimis bagi EAR. Namun mengetahui masa depan saja tidak cukup,
kita masih perlu mencari tahu jalan yang jelas untuk mencapai masa depan tersebut. Dan apakah
jalan itu? Dari simulasi data panel statis ditemukan bahwa infrastruktur fisik yang baik, tata
pemerintahan, inflasi, kebijakan perpajakan yang kompetitif, ukuran pasar yang cukup dan
trend industrialisasi merupakan faktor utama yang menjadi dasar fondasi pembangun EAR.
Sebagai penutup, EAR akan memungkinkan wilayah ini untuk menghadapi tantangan
globalisasi di masa depan dan tetap kompetitif di kancah internasional. Sebuah Asia Timur
yang terintegrasi akan menuntun pada kemajuan skala perekonomian dan pengembangan
jaringan produksi yang lebih lengkap. Lebih jauh lagi, Chia (2007) menyatakan bahwa EAR
bisa membantu perekonomian yang kurang berkembang dari Asia Timur yang jika sebaliknya
terjadi, perekonomian di wilayah ini diperkirakan akan semakin terpinggirkan karena mereka
tidak memiliki daya tarik pasar yang cukup besar dan kurangnya sumber daya negosiasi.
126 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
DAFTAR PUSTAKA
Akamatsu, Kaname. (1935) «Wagakuni yomo kogyohin no susei [Trend of Japanese Trade in
Woolen Goods], Shogyo Keizai Ronso», Journal of Nagoya Higher Commercial School, Vol.
13, hal. 129-212.
Angrist, J. D, & Imbens, G. W. (1995) «Two-stage least squares estimation of average causal
effects in models with variable treatment intensity», Journal of the American Statistical
Association, Vol. 90, hal. 431-442.
Arellano, M. (1995) «On the testing of correlated effects with panel data», Journal of Econometrics,
Vol. 59, hal. 87--97.
Bernard, A. 2., & Durlauf, S. N. (1995) «Convergence in international output». Journal of Applied
Econometrics, Vol. 10, hal. 97√108.
Chan, Sarah and Chun-Chien Kuo. (2005) «Trilateral Trade Relations among China, Japan and
South Korea:Challenges and Prospects of Regional Economic Integration», Journal of East
Asia, Vol. 22, hal. 33-50.
Chia, Siow Yue. (2006) «ASEAN-China Economic Competition and Free Trade Area», Asian
Economic Papers, Vol. 4, hal. 109-147
ƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒ. (2007) ,Challenges and Configurations of a Region-wide FTA in East
Asia», FONDAD Conference.
Cohen, Benjamin J (1997) «The Political Economy of Currency Regions», in Helen Milner and
Edward Mansfield (eds) The Political Economy of Regionalism, New York: Columbia University
Press..
Dollar, Davi4. (1992) «Outward Oriented Developing Economies Really Do Grow More Rapidly:
Evidence From 95 LDCs, 1976-85», Journal of Economic Development and Cultural Change,
Vol. 4, hal. 523-544.
Doraisami, Anita. (1996) Export Growth and Economic Growth: A Reexamination of Some
Time-Series Evidence of the Malaysian Experience «, Journal of Developing Areas, Vol. 30,
hal. 223-230.
Ekanayake, E.M. (1999) «Export and Economic Growth in Asian Developing Countries:
Cointegration and Error-Correction Models», Journal of Economic Development, Vol. 24,
hal. 43-56.
Engle, R.F. and 3.W.J. Granger. (1987) «Cointegration and Error Correction: Representation,
Making East Asian Regionalism Works
127
Estimation and Testing», Econometrica, Vol. 55, pp. 251-76.
Feng, Yi and Gaspare M. Genna. (2003) Regional integration and domestic institutional
homogeneity: a comparative analysis of regional integration in the Americas, Pacific Asia
and Western Europe», Review of International Political Economy, Vol. 10, hal. 223-230.
Frankel, Jeffrey A. and David Romer. (1999) «Does Trade Cause Growth?, The American Economic
Review, Vol. 89, hal. 379-399.
Harrison, Ann. (1996) «Openness and Growth: A Time Series, Cross Country Analysis for
Developing Countries», Journal of Development Economics, Vol.48, hal. 419-447.
Harvie, Charles and Hyun Hoon Lee. (2002) «New Regionalism in East Asia: How Does It Relate
to the East Asian Economic Development Model», University of Wollongong Department of
Economics, Working Paper Series.
Holst, David Roland and John Weiss. (2004) «ASEAN and China: Export Rival or Partners in
Regional Growth?», Blackwell Publishing Lt4.
Kaufmann, Daniel, Aart Kraay and Massimo Mastruzzi. (2003) «Governance Matters III:
Governance Indicators for 1996-2002», World Bank Policy Research Department Working
Paper.
Kawai, Masahiro, (2005) East Asian Economic Regionalism: Progress and Challenges, Asian
Economics, Vol. 16, hal. 29-55.
Kawai, Masahiro and Ganeshan Wignaraja. (2007) «Regionalism as an Engine of Multilateralism:
A Case for a Single East Asian FTA», ADB Working Paper series on Regional Economic
Integration no.14.
Love, Jim and Ramesh Chandra. (2004) «An Index of Openness and its Relationship with Growth
in India», The Journal of Developing Areas, Vol. 38, hal. 37-54
Milner Helen V and Keiko Kubota. (2005) «Why the Move to Free Trade? Democracy and Trade
Policy in the Developing Countries,» International Organization, Vol. 59, hal. 107-143.
Nachrowi,Djalal. (2007) «Ekonometrika Untuk Analisa Ekonomi dan Keuangan [Econometrics
for Economic and financial analysis]», Faculty of Economics University of Indonesia.
Oxley, L., & Greasley, 4. (1995) «A time-series perspective on convergence: Australia, UK and
USA since 1870». The Economic Record, Vol. 71, hal. 259√270.
Summers, R. and A. Heston. (1988) «A New Set of International Comparisons of Real Product
and Price Levels: Estimates for 130 Countries, 1950-1985», Review of Income and Wealth,
Vol. 34, hal. 1-25.
Stubbs, Richar4. (2002) «ASEAN PlusThree: emerging East Asian Regionalism?», Asian Survey,
Vol. 42, hal. 440-455.
Tamura, Robert. (1995) «Regional economies and market integration», Journal of Economic
Dynamics and Control, Vol. 20, hal. 825-845.
128 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010
Urata, Shujiro and Kozo Kiyota. (2003) «The Impacts of an East Asia Free Trade Agreement on
Foreign Trade in East Asia», NBER Working Paper Series 10173, National Bureau of Economic
Research, Cambridge.
Yoshida, Tadahiro. (2004) «East Asian Regionalism and Japan», IDE APEC STUDY CENTER Working
Paper Series.
Watanabe, Yorizumi. (2008) «Economic Partnership Agreement (EPA) of Japan and Economic
Integration in Northeast Asia», Academic presentation, Graduate School of Media and
Governance, Keio University.
Xing, LI. (2007) «East Asian Regional Integration: From Japan-led ≈Flying-geese∆ to China∆», CCIS Research Series Working Paper No.3.
centred ≈Bamboo Capitalism∆»,
PETUNJUK PENULISAN
1. Naskah harus merupakan karya asli penulis (perorangan, kelompok atau institusi) yang tidak
melanggar hak cipta. Naskah yang dikirimkan, belum pernah diterbitkan dan tidak sedang
dikirimkan ke penerbit lain pada waktu yang bersamaan. Hak cipta atas naskah yang diterima,
TETAP menjadi hak penulis.
2. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan, akan mendapatkan kompensasi finansial
sebesar Rp 2.500.000,-.
3. Naskah dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy (file). Sangat disarankan untuk mengirimkan
softcopy anda ke:
[email protected] (Cc. to: [email protected].)
Jika tidak memungkinkan, file tersebut dapat disimpan dalam disket atau CD dan dikirimkan
melalui pos ke alamat redaksi berikut:
BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN
Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia
Gedung B, Lt. 20, JI. M. H. Thamrin No.2
Jakarta Pusat, INDONESIA Telpon: 62-21-3818202, Fax: 62-21-3800394
4. Naskah dibatasi.+ 25 halaman berukuran A4, spasi satu (1), font Times New Roman dengan
ukuran font 12.
5. Persamaan matematis dan simbol harap ditulis dengan mempergunakan Microsoft Equation.
6. Setiap naskah harus disertai abstraksi, maksimal satu (1) halaman ukuran A4. Untuk naskah
yang ditulis dalam bahasa Indonesia, abstraksi-nya ditulis dalam Bahasa Inggris, dan
sebaliknya.
7. Naskah harus disertai dengan kata kunci (Keyword) dan dua digit nomor Klasifikasi Journal
of Economic Literature (JEL). Lihat klasifikasi JEL pada, http:// www.aeaweb.org/journal/
jel_class_system.html.
8. Naskah ditulis dengan penyusunan BAB secara konsisten sebagai berikut,
130 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Juli 2010
I. JUDUL BAB
I.1. Sub Bab
I.1.1. Sub Sub Bab
9. Rujukan dibuat dalam footnote (catatan kaki) dan bukan endnote.
10.Sistem referensi dibuat mengikuti aturan berikut,
a. Publikasi buku:
John E. Hanke dan Arthur G. Reitsch
Reitsch, (1940), Business Forecasting, PrenticeHall, New
Jersey.
b. Artikel dalam jurnal:
Rangazas, Peter. ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with
Human Capital∆, Journal of Monetary Economics, Oktober 2000,46(2), hal. 397-416.
c. Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Frankel, Jeffrey A. dan Rose, Andrew K.
≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth
Rogoff, eds., Handbook of International Economics. Amsterdam: North-Holland, 1995,
hal. 397-416.
d. Kertas kerja (working papers):
Kremer, Michael dan Chen, Daniel
Daniel. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous
Fertility∆. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working Paper
No.7530, 2000.
John. ≈Can Parental Decision Explain
e. Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Knowles, John
U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999.
f. Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Summers, Robert dan Heston
Heston, Alan
W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆ http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997.
g. Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Begley, Sharon. ≈Killed by Kindness∆,
Newsweek, April 12, 1993, hal. 50-56.
11.Naskah harus disertai dengan biodata penulis, lengkap dengan alamat, telepon, rekening
Bank dan e-mail yang dapat dihubungi. Disarankan untuk menulis biodata dalam bentuk
CV (curriculum vitae) lengkap.
Download