PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM MENURUT UNDANG - UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK JURNAL Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : ERIKSON P SIBARANI NIM : 090200165 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM MENURUT UNDANG - UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK JURNAL Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat - Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH: ERIKSON P SIBARANI 090200165 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Mengetahui: Ketua Departemen Hukum Pidana Dr. M. Hamdan, SH, MH NIP: 195703261986011001 Editor Jurnal Rafiqoh Lubis, SH.,M.Hum NIP : 197407252002122002 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013 ABSTRAKSI Erikson P Sibarani * Dr. Madiasa Ablisar S.H., M.S.** Dr. Marlina S.H.,M.Hum.*** Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa yang akan datang, yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara seimbang. Dewasa ini kejahatan yang dilakukan oleh anak mengalami perkembangan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Oleh karena itu banyak anak yang akhirnya harus memasuki proses peradilan pidana untuk menyelesaikan tindak pidana yang dilakukannya. Anak pelaku tindak pidana yang memasuki sistem peradilan pidana anak harus diperlakukan secara khusus mengingat sifat anak yang belum mampu untuk dimintai pertanggungjawaban sehingga perlu adanya perlindungan hukum istimewa terhadap setiap anak yang mengalami pemeriksaan di peradilan pidana anak. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah peraturan yang secara khusus mengatur hukum acara peradilan anak di Indonesia sebagai bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh Negara dalam melindungi hak-hak anak. Berdasarkan pokok pemikiran diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak serta apakah yang menjadi kelemahan dari Undang-undang ini dalam memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yang menitikberatkan pada data sekunder dengan spesifikasi deskriptif analitis, yaitu memaparkan tentang peraturan yang berlaku dalam memberikan perlindungan bagi anak yang berkonflik dengan hukum. Analisis data yang digunakan adalah metode analisis kualitatif. Bentuk perlindungan hukum yang diberikan terhadap anak mulai dari tahap penyidikan hingga tahap pelaksanaan putusan di Lembaga Pemasyarakatan tetap menjamin hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum. Penjatuhan hukuman terhadap anak hanya merupakan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium), apabila tidak ada kesepakatan terhadap diversi yang diupayakan. Undang-undang ini merupakan suatu kemajuan dalam pembaharuan hukum terhadap anak, namun tidak dapat dipungkiri bahwa undang-undang ini masih banyak memiliki titik kelemahan dalam memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. *Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan **Dosen Pembimbing I ***Dosen Pembimbing II A. PENDAHULUAN Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa yang akan datang, yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara seimbang. Anak adalah masa depan suatu bangsa, oleh karena itu perlu dibina dan dilindungi agar kelak anak-anak tersebut tumbuh menjadi manusia pembangunan yang berkualitas tinggi. Salah satu cara pembinaan dan perlindungan adalah dengan adanya hukum1. Peraturan yang telah ada yang diharapkan mampu memberikan perlindungan terhadap anak pada kenyataannya masih belum menggembirakan. Nasib anak yang berkonflik dengan hukum belum seindah ungkapan verbal yang seringkali kerap kita dengar memposisikan anak bernilai, penting, penerus masa depan bangsa dan sejumlah simbolik lainnya. Hak-hak anak sebagaimana dimaksud dalam dokumen hukum mengenai perlindungan hak-hak anak masih belum cukup ampuh bisa menyingkirkan keadaan yang buruk bagi anak. Penegakan hak-hak anak sebagai manusia dan anak sebagai anak ternyata masih memprihatinkan. problematika anak sampai saat ini belum menarik banyak pihak untuk membelanya. Kenyataannya, tatanan dunia dan perilaku kehidupan masyarakat masih menyimpan masalah anak. 2 Dewasa ini kenakalan dan kejahatan yang dilakukan anak terus mengalami peningkatan seperti penyalahgunaan narkotika, perampokan, pencurian dan pemerkosaan, perusakan barang dan sebagainya. Fakta-fakta sosial yang belakangan ini terjadi dalam kehidupan bermasyarakat adalah permasalahan yang terkait anak, dimana dalam kehidupan sosial yang sangat dipengaruhi oleh 1 Syafruddin Hasibuan (ed), Penerapan Hukum Pidana Formal Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Oleh Marlina dalam Bunga Rampai Hukum Pidana Dan Kriminologi Serta Kesan Pesan Sahabat Menyambut 70 Tahun Muhammad Daud, Medan, Pustaka Bangsa Press, hlm. 78. 2 Muhammad Joni dan zulchaina Z Tanamas, 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi hak Anak, Bandung , PT Citra Aditya Bakti, hlm. 1. berbagai faktor tersebut, kita dihadapkan lagi dengan permasalahan penanganan anak yang diduga melakukan tindak pidana. Anak-anak nakal perlu ditangani melalui suatu lembaga peradilan khusus karena anak tidak mungkin diperlakukan sama sebagaimana orang dewasa. Pasal 25 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa : “Di lingkungan Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan undang-undang”. Peradilan Anak merupakan salah satu Peradilan Khusus yang menangani perkara pidana anak, disamping adanya beberapa Peradilan Khusus lain yang berlaku di Indonesia, yaitu Peradilan Lalu Lintas Jalan dan Peradilan Ekonomi (sesuai dengan yang tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986. Perhatian terhadap anakpun dari hari ke hari semakin serius dimana untuk menjamin perlindungan terhadap hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum, perlu adanya pengaturan hukum yang lebih pasti. Adapun Peraturan Perundangundangan yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan hak terhadap anak antara lain : Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dimana secara substansinya Undang-Undang tersebut mengatur hak-hak anak yang berupa, hak hidup, hak atas nama, hak pendidikan, hak kesehatan dasar, hak untuk beribadah menurut agamanya, hak berekspresi, berpikir, bermain, berkreasi, beristirahat, bergaul dan hak jaminan sosial. Peraturan perlindungan hukum terhadap anak dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia sudah sangat banyak mengatur hak-hak anak dalam memberikan perlindungan hukum bagi anak yang berkonflik dengan hukum atau dengan kata lain anak pelaku tindak pidana. Secara khusus yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mampu memberikan perlindungan hukum bagi anak yang berkonflik sehingga anak sebagai generasi dan harapan penerus bangsa tetap terjamin hak-haknya sebagai anak yang sepantasnya mendapatkan perlindungan dari Negara. Menghadapi dan menangani proses peradilan anak yang terlibat tindak pidana, maka hal yang pertama yang tidak boleh dilupakan adalah melihat kedudukannya sebagai anak dengan semua sifat dan ciri-cirinya yang khusus, dengan demikian orientasinya adalah bertolak dari konsep perlindungan terhadap anak dalam proses penangannya sehingga hal ini akan berpijak pada konsep kejahteraan anak dan kepentingan anak tersebut. Penanganan anak dalam proses hukumnya memerlukan pendekatan, pelayanan, perlakuan, perawatan serta perlindungan yang khusus bagi anak dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Alasan lain bahwa Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak Anak yang mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat, karena belum secara komprehensif memberikan perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru.3 Pemerintah berupaya untuk memperbaiki sistem perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia dengan mengeluarkan Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang kemudian disingkat dengan SPPA yang disahkan pada tanggal 3 Juli tahun 2012. Pertanyaan yang timbul saat ini sehubungan dengan dikeluarkannya Undang-Undang yang baru tentang SPPA ini apakah benar akan lebih efektif dalam menangani anak yang berkonflik dengan hukum di Peradilan Anak? dan apakah undang-undang ini telah sesuai dengan bentuk perlindungan hukum yang seharusnya diberikan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum? apakah 3 http://www.google.com/undang-undang-sistem-peradilan-pidana-anak-perundangundangan. Diakses pada tanggal 14 Januari 2013. Pkl: 11.45 WIB. peraturan perundang-undangan yang baru disosialisakan selama kurung waktu 2 (dua) tahun sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak sudah yang berkonflik dengan hukum? Berdasarkan uraian diatas, maka saya mengangkat judul “ANALISIS UNDANG-UNDANG PERADILAN NO. PIDANA 11 TAHUN ANAK 2012 TENTANG DALAM SISTEM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM” dan akan membahasnya lebih lanjut pada bab-bab selanjutnya dalam skripsi ini. B. PERMASALAHAN Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, adapun permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini antara lain: 1. Bagaimanakah Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak? 2. Apakah Kelemahan - Kelemahan Yang Terdapat dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Berkonflik dengan Hukum? C. METODE PENELITIAN Metode penelitian diperlukan agar tujuan tujuan penelitian dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Ada 2 (dua) macam tipologi penelitian hukum yang lazim digunakan yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Dalam penulisan skripsi ini, metode penelitian yang dipakai adalah sebagai berikut: 1. Pendekatan Penelitian Penelitian menggunakan metode pendekatan yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan atau penelitian hukum doktrinal yang dapat diartikan sebagai penelitian hukum dengan cara meneliti bahan pustaka dan bahan sekunder.4 Metode penelitian hukum normatif pada penulisan skripsi ini menggunakan beberapa penelitian hukum yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum, dan penelitian untuk menemukan hukum in concreto. Penelitian hukum in concreto yang dilakukan adalah untuk menemukan hukum yang sesuai untuk diterapkan in concreto guna menyelesaikan suatu permasalahan5 yaitu hukum yang sesuai dalam memberikan perlindungan hukum bagi anak yang berkonflik dengan hukum. 2. Jenis Data dan Sumber Data Penelitian Yuridis Normatif menggunakan jenis data sekunder sebagai data utama. Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek penelitian. Data sekunder yang dipakai penulis adalah sebagai berikut : a) Bahan-bahan hukum primer Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, antara lain : a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana); c) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) d) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) e) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak f) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak b) Bahan-bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder maksudnya adalah bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer seperti berupa buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi, artikel-artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan dan sebagainya yang diperoleh baik melalui media cetak maupun media elektronik. c) Bahan-bahan hukum tersier 4 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif – Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, Rajawali Press, hlm. 13-14. 5 Ibid, hlm, 22. Bahan hukum tersier lebih dikenal dengan bahan acuan di bidang hukum atau bahan rujukan di bidang hukum, misalnya abstrak perundangundangan, biografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, kamus hukum, indeks kumulatif dan lain-lain. 3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dari penulisan skripsi ini dilakukan melalui teknik studi pustaka (literature research). 4. Analisis Data Metode analisis data yang dilakukan adalah analisa kualitatif, yaitu dengan : a. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini. b. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas. c. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan. d. Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan. D. HASIL PENELITIAN 1. BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM MENURUT UNDANG- UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK a. Proses Penyidikan Perlindungan hukum dalam proses penyidikan kepada anak terhadap tindak pidana yang dilakukannya adalah sebagai bentuk perhatian dan perlakuan khusus untuk melindungi kepentingan anak. Perhatian dan perlakuan khusus tersebut berupa perlindungan hukum agar anak tidak menjadi korban dari penerapan hukum yang salah yang dapat menyebabkan penderitaan mental, fisik dan sosialnya. Adapun bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada anak yang berkonflik dengan hukum antara lain: a. Penyidik Khusus Anak Pasal 1 butir 8 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menegaskan bahwa pejabat Penyidik adalah Penyidik Anak. Penyidik, yang dapat melakukan penyelidikan terhadap anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu adalah penyidik yang secara khusus hanya dapat dilakukan oleh Penyidik Anak. Penyidik Anak dalam hal ini adalah penyidik yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Adapun syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik Anak sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah sebagai berikut :6 a. Telah berpengalaman sebagai penyidik; b. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan c. Memahami masalah Anak; dan d. Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak. b. Penyidikan dengan Suasana Kekeluargaan Pasal 18 Undang- Undang No. 11 Tahun 2012 menyatakan bahwa proses penyidikan yang dilakukan terhadap anak pelaku tindak pidana wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan susasana kekeluargaan tetap terpelihara. Ketentuan ini menghendaki bahwa pemeriksaan dilakukan dengan pendekatan secara efektif dan simpatik. Efektif dapat diartikan bahwa pemeriksaannya tidak memakan waktu lama, dengan menggunakan bahwa yang mudah dimengerti, dan dapat mengajak tersangka memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya. Simpatik maksudnya pada waktu pemeriksaan, penyidik bersifat sopan dan ramah serta tidak menakut-nakuti tersangka. Tujuannya ialah agar pemeriksaan berjalan dengan lancar, karena seorang anak yang merasa takut 6 Undang-Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sewaktu menghadapi Penyidik, akan mengalami kesulitan untuk mengungkapkan keterangan yang benar dan sejelas-jelasnya. c. Penyidik Tidak Menggunakan Atribut Kedinasan Saat penyidikan Berlangsung Pasal 22 Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa Penyidik pada saat melakukan penyidikan terhadap anak yang diduga pelaku tindak pidana, tidak memakai toga atau atribut kedinasan. Penyidik Anak dapat disimpulkan melakukan pendekatan secara simpatik, serta tidak melakukan pemaksaan, intimidasi, yang dapat menimbulkan ketakutan dan trauma pada anak.7 d. Kewajiban Pelaksanaan Diversi Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 11 tahun 2012 menyatakan bahwa hal yang pertama sekali dilakukan dalam proses penyidikan terhadap Anak Nakal yang dilaporkan atau diadukan melakukan suatu tindak pidana yaitu Penyidik wajib mengupayakan diversi8 terlebih dahulu dengan ketentuan bahwa tindak pidana yang dilakukan : a. Diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun, dan b. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana Pengalihan proses peradilan anak atau yang disebut dengan diversi (bentuk pelaksanaan diskresi di dalam penyidikan) berguna untuk menghindari efek negatif dari proses-proses peradilan selanjutnya dalam administrasi peradilan anak, misalnya labelisasi akibat pernyataan bersalah maupun vonis hukuman. e. Kewajiban Meminta Laporan Penelitian Kemasyarakatan Pasal 27 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 menyatakan bahwa Penyidik dalam hal melakukan penyidikan terhadap anak yang dilaporkan atau diadukan melakukan tindak pidana harus meminta pertimbangan atau saran dari 7 Maidin Gultom, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung , PT. Refika Aditama, hlm. 101 8 Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. Dengan tujuan antara lain untuk : (a) mencapai perdamaian antara korban dan Anak; (b) menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan; (c) menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; (d) mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan (e) menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak. Pembimbing Kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama, Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan tenaga ahli lainnya.9Bila penyidikan dilakukan tanpa melibatkan Pembimbing Kemasyarakatan maka, penyidikan batal demi hukum.10 Penelitian kemasyarakatan terhadap anak perlu dilakukan, sehingga keputusan yang dihasilkan mempunyai dampak positif bagi Anak Nakal maupun terhadap pihak yang dirugikan, serta untuk menegakkan hukum dan keadilan. Penelitian Kemasyarakatan terhadap Anak Nakal, bertujuan agar hasil pemeriksaan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Berdasarkan hasil Penelitian Kemasyarakatan, Penyidik Anak dapat mempertimbangkan berkas perkara/Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dapat diteruskan kepada pihak kejaksaan atau tidak. 11 Penyidikan yang tidak dilakukan dengan meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan akan dikenakan sanksi administratif berdasarkan ketentuan pasal 95 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. f. Kerahasiaan Identitas Anak Identitas anak yang dilaporkan melakukan tindak pidana wajib dirahasiakan baik dari pemberitaan di media cetak maupun di media elektronik. Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 sebagai bentuk perlindungan lainnya yang juga wajib diberikan terhadap anak pelaku tindak pidana. Hal ini juga berkaitan dengan asas praduga tidak bersalah (percumption of innocent). Asas ini menyiratkan bahwa anak yang melakukan kenakalan belum dapat dianggap bersalah apabila belum ada keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Kerahasiaan identitas tersangka ini sangat mendukung hak-hak anak yang harus ditegakkan dalam Sistem Peradilan Anak yang berkonflik dengan hukum. 9 Pasal 27 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 10 Maidin Gultom, Op.Cit., hlm. 102 11 Ibid b. Penangkapan Adapun bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada anak yang berkonflik dengan hukum pada saat penangkapan antara lain: a. Penangkapan Sebagai Upaya Terakhir Pasal 3 huruf g Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa seorang anak berhak untuk tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat. Ketentuan pasal ini jelas menunjukkan bahwa perlindungan hukum yang diberikan terhadap seorang anak yang melakukan tindak pidana tidak wajib untuk ditahan dalam proses peradilan pidana dan walaupun dilakukan penahanan untuk kepentingan penyidikan terhadap anak tersebut, hal tersebut hanyalah sebagai upaya terakhir atau tindakan terakhir (ultimum remedium) dan dalam waktu yang sangat singkat yaitu paling lama 24 (dua puluh empat) jam. b. Penempatan Pada Lembaga Khusus Anak Pasal 30 ayat (4) Undang-Undang No.11 tahun 2012 menyatakan bahwa anak yang ditangkap harus ditempatkan dalam ruang pelayanan Khusus Anak dan harus diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya. Penangkapan terhadap anak untuk kepentingan penyidikan harus tetap melindungi anak dari hak-hak nya dalam proses peradilan pidana dan berusaha untuk menghindarkan anak mendapat perlakuan yang kasar terhadap anak selama penahanan berlangsung. c. Penahanan Penahanan anak merupakan pengekangan fisik sementara terhadap seorang anak berdasarkan putusan pengadilan atau selama anak dalam proses peradilan pidana. a. Penahanan Tidak Dilakukan Dalam Hal Adanya Jaminan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menentukan bahwa penahanan terhadap anak tidak boleh dilakukan apabila anak tersebut memperoleh jaminan dari orang tua/wali dan /atau lembaga bahwa anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan atau tidak akan mengulangi tindak pidana. b. Syarat Penahanan Anak Ketentuan tentang keringanan untuk tidak dilakukan penahanan terhadap anak pelaku tindak pidana tidak selamanya berlaku, dengan kata lain bahwa anak yang melakukan tindak pidana tertentu dapat ditahan dengan syarat bahwa: a) Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan b) Diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih c. Lamanya Waktu Penahanan Tabel 1 Jangka waktu penahan terhadap anak dalam SPPA No Tingkat Pemeriksaan Waktu Penahanan 1. 2. 3. Penyidikan12 Penuntutan13 Pengadilan14 7 hari (oleh Penyidik) 5 hari (oleh JPU) 10 hari (oleh Hakim) Perpanjangan Penahanan 8 hari (oleh JPU) 5 hari (oleh Hakim PN) 15 hari (oleh ketua PN) d. Penuntutan Bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada anak yang berkonflik dengan hukum pada saat penangkapan antara lain: a. Penuntut Umum Anak Penuntutan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum hanya dapat dilakukan oleh Penuntut Umum Anak atau Jaksa Penuntut Umum Anak. Kedudukan jaksa dalam menjalankan tugas dalam penuntutan anak, diartikan oleh Undang-Undang No. 11 tahun 2012 dengan mengelompokkan secara umum, bahwa penuntutan yang dilakukan jaksa hanya dilakukan kepada anak nakal. b. Kewajiban Pelaksanaan Diversi Bentuk perlindungan hukum yang juga jelas terlihat dalam ketentuan Undang-Undang No. 11 tahun 2012 ini pada tahap penuntutan adalah bahwa 12 Pasal 33 Undang-Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 34 Undang-Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 14 Pasal 35 Undang-Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 13 dalam setiap tahap pemeriksaan anak dalam sistem peradilan pidana anak diwajibkan untuk melakukan diversi. Ketentuan ini diatur secara tegas dalam Pasal 42 ayat (1). e. Pemeriksaan di Pengadilan Keistimewaan peradilan anak ini terlihat dari bentuk perlindungan hukum yang diberikan terhadapa anak antara lain yaitu : a. Pemeriksaan Dengan Hakim Tunggal Pemeriksaan sidang anak dilakukan dengan Hakim Tunggal. Ketentuan ini terdapat pada Pasal 44 ayat (1) Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pemeriksaan dengan Hakim Tunggal tujuannya agar sidang perkara anak dapat diselesaikan dengan cepat. b. Kewajiban Mendampingi Anak Keadaan persidangan berbeda dengan terdakwa yang sudah dewasa, untuk perkara anak selama persidangan digelar Pasal 55 ayat (1) Undang–Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menghendaki terdakwa didampingi oleh penasehat hukum, orang tua, wali atau orang tua asuh, dan pembimbing kemasyarakatan. c. Peranan Pembimbing Kemasyarakatan Pasal 58 ayat (1) menyatakan bahwa setelah dakwaan dibacakan, maka Hakim memerintahkan agar pembimbing kemasyarakatan menyampaikan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan yang dapat digunakan hakim dalam mempertimbangkan putusan yang akan dijatuhkan. d. Putusan Penjatuhan Pidana terhadap anak terdapat pada Pasal 71 UU No. 11 tahun 2012 antara lain yaitu : (1) Pidana pokok bagi Anak terdiri atas: 1. pidana peringatan; 2. pidana dengan syarat: a. pembinaan di luar lembaga; b. pelayanan masyarakat; atau c. pengawasan. 3. pelatihan kerja; 4. pembinaan dalam lembaga; dan 5. penjara. (2) Pidana tambahan terdiri atas: 1. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau 2. pemenuhan kewajiban adat. Pasal 82 Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tindakan yang dijatuhkan kepada anak nakal, dapat berupa yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. pengembalian kepada orang tua/Wali; penyerahan kepada seseorang; perawatan di rumah sakit jiwa; perawatan di LPKS; kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; 6. pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau 7. perbaikan akibat tindak pidana. f. Pemasyarakatan Pada akhirnya, setelah semua putusan tingkat pengadilan dilalui dan setelah segala upaya hukum biasa dan luar biasa ditempuh, dan lalu putusan hukuman telah menjadi berkekuatan tetap (inkracht), maka tibalah tahap eksekusi untuk melaksanakan putusan pengadilan. Pelaksanaan putusan bisa dikatakan menjadi titik akhir perjalanan panjang rangkaian hukum acara pidana yang telah ditempuh.15 Adapun bentuk perlindungan hukum yang diberikan terhadapa anak yang berkonflik dengan hukum pada tahap pemasyarakatan antara lain : a. Penempatan Pada Lembaga Pemasyarakatan Anak Anak yang dijatuhi pidana penjara ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang selanjutnya disingkat dengan LPKA. LPKA adalah lembaga atau tempat anak menjalani masa pidanaya. Lembaga lain yang juga serupa tugas dan fungsinya dalam melakukan pembinanaan terhadap narapidana anak yaitu Lembaga Pemasyarakatan Anak (LAPAS Anak). Berdasarkan pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyebutkan 15 Nikolas Simanjuntak, 2009, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm. 314 bahwa pemasyarakatan berarti suatu kegiatan untuk melakukan pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Pelaksanan hukuman dengan menempatkan anak di lembaga pembinaan khusus anak dimaksudkan untuk menjadikan manusia yang seutuhnya yaitu upaya untuk memulihkan narapidana dan anak didik pemasyarakatan kepada fitrahnya dalam hubungan manusia dengan Tuhannya dan manusia dengan pribadinya, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan lingkungannya. 16 Hal ini sesuai dengan pasal 84 ayat 3 Undang-Undang No. 11 tahun 2012 yang menyatakan LPAS wajib menyelenggarakan pendidikan, pelatihan keterampilan, dan pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. b. Hak-Hak Anak Narapidana Selama anak dalam proses pembinaan di LPKA maka anak narapidana berhak memperoleh pembinaan, pembimbingan, pengawasan, pendampingan, pendidikan dan pelatihan serta hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 17 Pembinaan yang dilakukan oleh lembaga pembinaan ini tidak diatur secara jelas dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak ini, sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pembinaan yang dilakukan sama dengan pembinaan terhadap orang dewasa. Aturan hukum yang dipergunakan dalam pembinaan anak adalah sama dengan ketentuan Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.18 LPKA wajib menyelenggarakan pendidikan, pelatihan keterampilan, pembinaan dan pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan kegiatan tersebut dilakukan terhadap anak narapidana berdasarkan penelitian pembimbing kemasyarakatan untuk menentukan penyelenggaraan program pendidikan dan pembinaan yang sesuai 16 Darwan Prints, 2003, Hukum Anak Indonesia, Bandung, Penerbit Citra Aditya Bakti, hlm. 58. 17 Pasal 85 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Marlina, Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Medan, PT Refika Aditama, hlm. 157. 18 dan dalam pengawasan Bapas. Ketentuan perlindungan hukum yang diberikan oleh undang-undang sistem peradilan pidana anak ini yaitu dengan melibatkan lembaga pembimbing masyarakat dapat mendidik anak selama dalam proses pelaksanaaan masa pidananya dengan menentukan program-program yang sesuai dengan kebutuhan anak. Pembimbing Kemasyarakatan juga harus melakukan pengawasan terhadap anak yang menjalani hukumannya serta memperhatikan pertumbuhan dan kepentingan anak selama dalam menjalani masa pidana nya. Pembimbing kemasyarakatan juga bertugas mendampingi, melakukan pengawasan terhadap anak yang memperoleh asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat.19 2. KELEMAHAN PENGATURAN YANG TERDAPAT DALAM UNDANG - UNDANG NO. 11 TAHUN MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP 2012 DALAM ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM Adapun yang menjadi kelemahan dari Undang-undang No. 11 tahun 2012 antara lain yaitu: a. Sanksi Administratif Ketentuan dalam pasal 18 (delapan belas) Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menghendaki agar penyidikan dilakukan dalam suasana kekeluargaan. Penyidikan dengan suasana kekeluargaan mencerminkan perlindungam hukum terhadap anak apabila dilakukan oleh penyidik sebagaimana mestinya, namun dalam hal Penyidik tidak melakukan pemeriksaan dalam suasana kekeluargaan, sanksi hukum yang dapat dikenakan kepada Pejabat tersebut hanyalah sanksi administratif. Sanksi administratif yang diberikan kepada pejabat Penyidik ketika penyidik melalaikan kewajiban memeriksa tersangka tidak dalam suasana kekeluargaan biasanya terlalu mudah untuk diabaikan. 19 Pasal 65 huruf e Undang-Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak c. Pejabat Khusus Anak Memperlengkapi keberadaan pejabat khusus diseluruh wilayah Indonesia masih dalam proses persiapan yang panjang untuk dilaksanakan. Perintah undangundang ini sangat jelas namun sumberdaya aparat penegak hukum seringkali sangat kurang, sehingga timbul kekuatiran ketika undang-undang ini dilaksanakan belum dapat memberikan perlindungan hukum yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditentukan. c. Bantuan Hukum Pasal 55 ayat 1 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak ini menegaskan bahwa pada setiap tingkat pemeriksaan, anak yang berkonflik dengan hukum wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Keberadaan pengaturan pemberian Bantuan Hukum dari Advokat harus diperluas, dengan alasan antara lain, yaitu: a) Advokat harus juga advokat yang memiliki kualifikasi (misalnya mempunyai pengalaman menangani masalah-masalah anak, mempunyai minat dan dedikasi yang tinggi kepada anak, mengikuti pelatihan-pelatihan teknis). Persyaratan untuk dapat dijadikan Penasihat Hukum seharusnya sama seperti persyaratan untuk penyidik anak, Penuntut Umum Anak dan Hakim Anak, sehingga dalam memberikan bantuan hukum lebih efektif; b) Tidak banyak advokat yang tertarik memberikan bantuan hukum kepada anak, dan juga apabila melihat status anak yang diduga berhadapan dengan hukum tidak memiki status sosial yang jelas, (saat ini banyak anak yang tidak jelas tempat tinggalnya, orang tuanya di mana). Ketentuan siapa yang harus menyediakan advokat tidak dijelaskan dalam undang-undang ini. Pasal 55 ayat (2) undang-undang ini hanya mewajibkan setiap anak dalam tingkat pemeriksaan harus didampingi oleh advokat, karena ini menyangkut masalah biaya dan ketersediaan advokat yang belum ada pada setiap tingkat polsek yang terpencil di pulau-pulau. Jumlah advokat tidak tersebar di seluruh kabupaten/kota diseluruh Indonesia dan hanya terkonsentrasi di beberapa kota- kota besar yang merupakan pusat - pusat bisnis saja.20 d. Ketentuan Sanksi Terhadap Hakim Keberadaan ketentuan Pasal 96, Pasal 100 dan Pasal 101 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 yang memberikan adanya kentuan sanksi terhadap Hakim pada Khususnya dianggap bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945.21 Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, akan tetapi seorang Hakim pun sebagai manusia, untuk memenuhi tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan UUD 1945, memerlukan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Hak Asasi yang dimaksud dalam ketentuan ini harus dimaknai “hak asasi seorang Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara secara imparsial dan bebas dari intervensi atau pengaruh siapapun atau dalam keadaan apapun”. Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Anak dengan mengkriminalisasi suatu pelanggaran kewajiban hakim melalui proses hukum acara pidana merupakan penyimpangan kerangka konsepsi konstitusional atas independensi hakim yang harus dilindungi berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.22 Penempatan ancaman sanksi pidana terhadap pelanggaran atas suatu kewajiban yang diperintahkan suatu Undang-Undang bukan hanya dapat dipandang sebagai “overcriminalization” atau “overpenalization” melainkan juga mencerminkan bentuk intervensi atau mempengaruhi integritas dan kredibilitas serta kapabiltas kekuasaan kehakiman yang merdeka. 20 http//:www.google.com. Beberapa Catatan Tentang UU Sistem Peradilan Pidana Anak diakses pada tanggal 28 Januari 2012 pkl. 13.00 wib 21 Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 berbunyi: “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuet atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” 22 http//: www.google.com/ Maruarar Siahaan, Uji Materi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Independensi Hakim Sebagai Prinsip Konstitusi. (9 Januari 2013) E. PENUTUP 1. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : a) Bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terhadap anak yang berkonflik dengan hukum mulai dari tahap penyelidikan hingga akhirnya pelaksanaan putusan di lembaga pemasyarakatan anak telah menunjukkan adanya perlindungan yang khusus terhadap hak-hak anak. Hal ini terlihat dengan diwajibkannya Pejabat Khusus Anak untuk menangani perkara anak dalam setiap tahap pemeriksaan dan juga penahanan terhadap anak hanya akan dilakukan sebagai ultimum remedium serta selama penahanan kebutuhan anak harus tetap dipenuhi. Pemeriksaaan juga harus dilakukan dalam suasana kekeluargaan sehingga anak tidak terganggu kejiwaan atau psikologisnya karena merasa tertekan dan frustasi dengan kasus yang sedang dialaminya. Semua proses pemeriksaan pada sistem peradilan anak harus dilakukan dengan pendekatan restoratif justice dengan mengupayakan proses diversi, sehingga pemidanaan terhadap anak hanyalah sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) apabila tidak terdapat kesepakatan diversi diantara para pihak yang berkonflik. b) Kelemahan Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum terlihat baik secara substansi maupun dalam pelaksanaannya ke depan masih menimbulkan kekuatiran apakah undangundang ini akan mampu memberikan perlindungan hukum secara komprehensif kepada anak atau masih harus menunggu hingga terlengkapinya sarana dan prasarana yang ditentukan dalam pasal-pasal undang-undang ini. Misalnya dalam memperlengkapi pejabat khusus, lembaga khusus anak, bantuan hukum di setiap daerah dan juga pelaksanaan diversi yang merupakan hal yang baru diberlakukan dalam hukum pidana anak. Hal ini mengingat bahwa undang-undang ini menentukan adanya masa transisi selama 5 (lima) tahun. 2. SARAN Berdasarkan kesimpulan diatas, maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut : a) Peraturan ini diharapkan mampu untuk memberikan perlindungan hukum yang konkrit terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, tidak hanya sebatas ketentuan pasal – pasal yang sedemikan rupa keliatan mampu memberikan keadilan bagi anak sehingga masyarakat dapat merasakan dampak dari digantinya Undang- Undang No. 3 tahun 1997 yang masih belum mampu untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak pelaku tindak pidana b) Pemerintah perlu meninjau kembali terkait dengan ketentuan sanksi pidana yang ditetapkan kepada Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim yang apabila tidak melakukan kewajibannya sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang ini apakah efisien untuk tetap didakan atau tidak. Hal ini mengingat bahwa pasal terkait di judicial review kan ke Mahkamah Konstitusi oleh pihak-pihak yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar dengan adanya ketentuan pasal tersebut. c) Segala ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal undang-undang ini yang masih membutuhkan pembenahan dalam peraturan pelaksananya semoga dapat dipersiapkan lebih awal sehingga ketika undang-undang sistem peradilan pidana anak ini berlaku maka akan memudahkan pelaksaanan perlindungan hukum yang telah ditentukan. DAFTAR PUSTAKA BUKU Darwan Prints, 2003, Hukum Anak Indonesia, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung. Gultom, Maidin, 2008, Perlindungan Hukum terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung. Hasibuan, Syafruddin (ed), Penerapan Hukum Pidana Formal Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Oleh Marlina dalam Bunga Rampai Hukum Pidana Dan Kriminologi Serta Kesan Pesan Sahabat Menyambut 70 Tahun Muhammad Daud, Pustaka Bangsa Press, Medan. Joni, Muhammad., dan zulchaina Z Tanamas, 1999. Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi hak Anak, Bandung Prinst, Darwin S.H., 1997, Hukum Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice, Refika Aditama, Medan. Simanjuntak, Nikolas, 2009, Acara Pidana Indonesia Dalam sirkus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif – Suatu Tinjauan Singkat,, Rajawali Press, Jakarta. _________, 1994, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Depok A. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan Anak Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan B. WEBSITE http://www.google.com/undang-undang-sistem-peradilan-pidana-anak-perundangundangan. http//:www.google.com. Beberapa Catatan Tentang UU Sistem Peradilan Pidana Anak http//: www.google.com/ Maruarar Siahaan/ Uji Materi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Independensi Hakim Sebagai Prinsip Konstitusi.