BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Pada akhir Januari 2016, Menteri Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi RI dalam akun twitternya menyatakan bahwa Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) dilarang masuk ke Perguruan Tinggi, karena dianggap merusak moral bangsa. Pernyataan ini dinilai sangat diskriminatif yang kemudian menimbulkan polemik di masyarakat sehingga muncul petisi online meminta Menristek mencabut pernyataan dikriminatif tersebut. Diskriminasi terhadap kelompok homoseksual telah menjadi isu global, PBB bahkan telah menyerukan penghapusan diskriminasi terhadap kelompok homoseksual sejak tahun 2007.1 Perjuangan kelompok homoseksual untuk memperoleh kesetaraan hak dimulai sejak revolusi sosial di Inggris tahun 1897 oleh sebuah komunitas homoseksual bernama Order of Cheronea,2 dan secara internasional perjuangan kelompok homoseksual menjadi semakin besar setelah homoseksual tidak lagi dkategorikan sebagai penyakit atau gangguan kejiwaan oleh WHO sejak 1993. Di Indonesia, para pria homoseksual mendirikan Lambda Indonesia pada tahun 1982, dan pada tahun 1986 para lesbian mendirikan Persatuan Lesbian Indonesia (Perlesin). Saat ini tercatat ada 119 organisasi 1 2 Hendri Yulius, 2015, Coming Out, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta, h. 50. Sinyo, 2014, Anakku Bertanya tentang LGBT, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, h. 49. i homoseksual di seluruh Indonesia, organisasi ini selain menampung kelompok homoseksual, biasanya juga menampung kelompok biseksual dan transgender.3 Organisasi-organisasi tersebut didirikan sebagai wadah bagi kelompok homoseksual untuk memperjuangkan pengakuan eksistensi mereka guna mendapatkan kesetaraan hak dengan kelompok lain serta menghapus diskriminasi yang selama ini mereka alami. Diskriminasi yang dialami kelompok homoseksual diantaranya4: 1. Diskriminasi sosial, seperti stigmatisasi, cemoohan, pelecehan, dan pengucilan; 2. Diskriminasi hukum, berupa perlakuan hukum yang berbeda bagi homoseksual; 3. Diskriminasi ekonomi, yakni pelanggaran hak atas pekerjaan; 4. Diskriminasi kebudayaan, contohnya adalah upaya penghilangan nilai-nilai budaya yang ramah terhadap kelompok homoseksual. Diskriminasi terhadap homoseksual tidak hanya dilakukan oleh masyarakat, negara juga turut mengembangkan diskriminasi ini, baik dalam kebijakan maupun aturan hukumnya, misalnya dalam acara-acara yang diselenggarakan oleh kelompok homoseksual, baik berupa konferensi, pendidikan, ataupun hiburan hampir selalu mendapat paksaan penghentian dari kelompok-kelompok yang memusuhi, dan dalam hampir semua kasus, kepolisian sebagai organ negara, bukannya melindungi kelompok homoseksual yang terancam, malah lebih memilih untuk tidak menjamin keamanan peserta, atau bahkan memerintahkan agar acara dihentikan.5 3 LGBT Nasional Indonesia, 2014, Hidup sebagai LGBT di Asia: Laporan nasional Indonesia, Tinjauan dan Analisa Partisipatif tentang Lingkungan Hukum dan Sosial bagi Orang dan Masyarakat Madani, Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT), USAID dan UNDP, Jakarta, h. 57. 4 Ariyanto dan Rido Triawan, 2008, Diskriminasi terhadap LGBT, Citra Grafika, Jakarta, h. 28. 5 LGBT Indonesia, Op.Cit, h. 31. ii Keberadaan homoseksual juga seolah ditutupi oleh pemerintah, misalnya penarikan komik “Why Puberty” atas usul Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) akibat salah satu dialognya yang berbunyi “setiap orang punya hak untuk mencintai dan dicintai, dan bila mereka mencintai sesama jenis, itu adalah pilihan. Jika boleh memilih, tentu saja mereka ingin memilih mencintai lawan jenisnya”.6 Undang-Undang Perkawinan Indonesia secara tegas menyatakan bahwa perkawinan hanya bisa dilakukan oleh pasangan beda jenis kelamin, yakni antara seorang pria dengan seorang wanita, sehingga seringkali pasangan sejenis melakukan pemalsuan identitas agar dapat melangsungkan perkawinan, contohnya ialah pada tahun 2011 di Jawa Tengah, seorang transgender pria (priawan) bernama Rega dijebloskan ke penjara atas laporan keluarga pasangannya dengan tuduhan melakukan penipuan karena Rega diketahui berjenis kelamin perempuan. Dia hendak menikahi pasangannya yang juga berkelamin perempuan.7 Hal tersebut menunjukkan bahwa negara membiarkan bahkan melegalkan diskriminasi terhadap homoseksual. Padahal salah satu fungsi negara ialah memenuhi kepentingan warga negara sekaligus melindungi kepentingan warga negara yang lain.8 Disini terlihat negara hanya memenuhi kepentingan kelompok yang anti homoseksual yang kemudian dilegitimasi menjadi aturan hukum dan sama sekali tidak mencerminkan kepentingan dan bahkan mendiskriminasi homoseksual, padahal kelompok homoseksual juga merupakan warga negara yang wajib dilindungi. 6 7 Hendri, Op.Cit, h. 146. LGBT Indonesia, Op.Cit, h. 24-25. Hesti A. Sochmawardiah, 2013, Diskriminasi Rasial dalam Hukum HAM, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 6. 8 iii Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan dalam usulan penelitian dengan judul “HUKUM YANG DISKRIMINATIF TERHADAP HOMOSEKSUAL”. 1.2. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah kedudukan homoseksual dalam perspektif HAM? 2. Apakah ada aturan hukum yang diskrimitif terhadap homoseksual? 1.3.Ruang Lingkup Masalah Agar uraian sistematis dan tidak menyimpang dari permasalahan yang akan dibahas, maka diadakan pembatasan ruang lingkup masalah, yang mencakup: 1. Untuk pemasalahan pertama akan dibahas mengenai bagaimana homoseksual di Indonesia serta bagaimana kedudukan mereka dalam perspektif HAM. 2. Untuk permasalahan kedua akan dibahas mengenai aturan-aturan hukum yang dianggap diskriminatif terhadap kelompok homoseksual. 1.4.Orisinalitas Penelitian Penulis menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penelitian dengan judul “Hukum Yang Diskriminatif Terhadap Homoseksual” adalah hasil penelitian, pemikiran dan pemaparan asli penulis. Jika terdapat referensi karya orang lain, maka ditulis sumber dengan jelas. Beberapa penelitian dengan jenis yang sama yang ada dalam internet atau perpustakaan skripsi diantaranya “Negara dan Hak Asasi Kelompok Minoritas Seksual Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender/ Transeksual, Interseks dan Queer” dan “Homoseksual dalam Perspektif Hukum Pidana dan Hukum Islam. Suatu Studi Komparatif Normatif”. Kedua penelitian tersebut terdapat perbedaan dengan penelitian ini karena penelitian ini berfokus iv pada aturan-aturan hukum yang diskriminatif terhadap homoseksual. Berikut terlampir matrik perbedaan penelitian yang telah ada dengan penelitian ini: TABEL I Nomor Peneliti Judul Rumusan Masalah 1 Windy 0705160628 Warna Fakultas Ilmu Irawan Pengetahuan Budaya, Program Studi Ilmu Filsafat, Universitas 1. Bagaimana Kelompok Seksual LGBTIQ dapat dikenali sebagai subjek Hak? 2. Bagaimana keragaman seksualitas dapat mengubah Indonesia Tahun 2010, konsep HAM secara judul “Negara dan Hak mendasar? Asasi Kelompok Minoritas Seksual 3. Bagaimana sistem negara demokrasi dapat menjamin Lesbian, Gay, Biseksual, hak kelompok minoritas Transgender/transeksual, seksual LGBTIQ sebagai Interseks dan Queer” warga negara dan menghomati meka sebagai subjek hak serta memberikan perlindungan dan pemenuhan terhadap kepentingankepentingan mereka? 2 Abd. 111 O5 734 Aziz Fakultas Hukum Ramad hani 1. Bagaimanakah perbedaan pandangan terhadap Universitas Hasanuddin homoseksual antara Hukum Tahun 2012, judul Islam dan Hukum Pidana? “Homoseksual dalam 2. Bagaimanakah bentuk sanksi Perspektif Hukum Pidana yang diberikan terhadap dan Hukum Islam. Suatu pelaku homoseksual menurut Studi Komparatif v Hukum Islam dan Hukum Normatif” Pidana? 1.5. Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum Tujuan penulisan usulan penelitian ini secara umum adalah untuk melaksanakan Tri Dharma perguruan Tinggi, serta memberikan sumbangan ilmu pengetahuan hukum terutama yang berkaitan dengan hak asasi manusia. b. Tujuan Khusus 1) untuk mengetahui kedudukan homoseksual dalam perspektif HAM; 2) untuk mengungkap aturan-aturan hukum yang dianggap diskriminatif terhadap kelompok homoseksual. 1.6.Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan masukan terhadap perkembangan Ilmu Pengetahuan Hukum, terutama berkaitan dengan perlindungan dan penegakkan Hak Asasi Manusia. vi b. Manfaat Praktis 1) penelitian ini diaharapkan bisa menjadi masukan atau bahan pertimbangan bagi pemerintah, khususnya dalam upaya penegakkan dan perlindungan HAM di Indonesia, terutama bagi kelompok homoseksual. 2) penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan atau memberikan informasi yang konstruktif kepada masyarakat yang diharapkan turut serta berperan dalam upaya penegakkan dan perlindungan HAM di Indonesia. 1.7.Landasan Teoritis a. Teori Negara Hukum Indonesia merupakan negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa “Indonesia adalah negara hukum”. Konsep negara hukum ini terkait dengan konsep perlindungan hukum, sebab konsep ini tidak lepas dari gagasan untuk memberi pengakuan dan perlindungan HAM bagi warga negara.9 Negara hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Rechtstaat yang bertumpu pada civil law dengan mengutamakan prinsip wetmatigheid dan The Rule of Law yang dikembangkan di negara-negara tradisi Anglo Saxon dengan mengutamakan prinsip equality before the law, keduanya memang memiliki latar belakang dan pelembagaan yang berbeda, namun pada intinya sama-sama menginginkan perlindungan HAM melalui pelembagaan peradilan yang bebas dan tidak memihak.10 9 Mahfud MD, 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, h.126. vii F.J. Stahl mengungkapkan terdapat empat unsur pokok negara hukum Rechtstaat yakni11: 1) 2) 3) 4) Perlindungan Hak Asasi Manusia; Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan; Peradilan administrasi dalam perselisihan. Sedangkan dalam negara The Rule of Law, menurut A.C. Dicey terdapat tiga unsur fundamental pada konsep ini, yakni12: 1) Supremasi aturan hukum; 2) Kedudukan yang sama dalam hukum; 3) Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang maupun keputusan-keputusan pengadilan. Dengan demikian, setiap negara hukum baik yang berbentuk Rechtstaat maupun The Rule of Law, keduanya menempatkan HAM sebagai salah satu unsur fundamentalnya dan adanya hukum serta pemisahan atau pembagian kekuasaan adalah untuk menjamin hak-hak tersebut. b. Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia Dalam UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan: “Hak asasi manusia merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.” Menurut N. Flowers, terdapat 7 Prinsip utama hak asasi manusia, meliputi13: 1) prinsip universalitas; 2) pemartabatan terhadap manusia (human dignity); 10 Ibid h.126-127. Majda El-Muhtaj, 2012, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Cet. IV, Kencana, Jakarta, h. 28. 12 Ibid, h.7. 11 13 Ibid. viii 3) nondiskriminasi; 4) persamaan; 5) indivisibility, maksudnya suatu hak tidak bisa dipisah-pisahkan antara yang satu dengan yang lainnya; 6) interdependency (saling ketergantungan); 7) inalienability. Pemahaman prinsip atas hak yang tidak bisa dipindahkan, tidak bisa dirampas atau dipertukarkan dengan hal tertentu; 8) responsibilitas atau pertanggungjawaban. Dari sekian prinsip-prinsip utama HAM tersebut, yang berkaitan erat dengan penelitian ini adalah prinsip nondiskriminasi, prinsip ini merupakan salah satu prinsip utama HAM, karena seluruh instrumen HAM mengandung klausul nondiskriminasi, misalnya Pasal 2 DUHAM menyatakan bahwa setiap individu berhak untuk menikmati seluruh hak dan kebebasan yang diatur dalam DUHAM tanpa adanya pembedaan apapun. Begitu pula Pasal 2 (1) ICCPR dan Pasal 2 (2) ICESR. Namun demikian, sampai saat ini hanya Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskrimiasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang secara internasional memberikan definisi yang spesifik mengenai pengertian diskriminasi. Dalam CEDAW, diskriminasi terhadap perempuan diartikan sebagai setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya bagi kaum perempuan terlepas dari status pekawinan mereka atas dasar persamaan laki-laki dan perempuan. ix Jika mengacu pada definisi diskriminasi dalam CEDAW, maka yang dimaksud diskriminasi adalah pembedaan, pengucilan atau pembatasan terhadap orang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia yang didasarkan pada suatu hal dalam diri seseorang, dan diskriminasi yang dialami oleh homoseksual adalah karena orientasi seksual mereka. Dengan adanya prinsip nondiskriminasi, maka negara dalam segala aturan hukumnya wajib menghormati, menjunjung tinggi dan melindungi HAM terhadap semua orang tanpa terkecuali termasuk bagi kelompok homoseksual. c. Teori Penafsiran Hukum Dalam beberapa hal, undang-undang tidak menjelaskan secara rinci mengenai suatu permasalahan. Untuk itu perlu dilakukan penafsiran hukum. Penafsiran hukum memiliki beberapa jenis, yaitu14: 1) Penafsiran tata bahasa (gramatikal), artinya ketentuan yang terdapat pada peraturan perundang-undangan ditafsirkan dengan berpedoman pada arti perkataan menurut tata bahasa atau menurut kebiasaan. 2) Penafsiran sahih (autentik/resmi), yakni penafsiran yang dilakukan berdasarkan pengertian yang ditentukan oleh pembentuk undnag-undang. 3) Penafsiran historis, penafsiran dilakukan berdasarkan: a. Sejarah hukum, yaitu berdasarkan sejarah terjadinya hukum tersebut. b. Sejarah undang-undang, yaitu dengan maksud pembentuk undang-undang pada saat membentuk undang-undang tersebut. 14 CST. Kansil, 2002, Pengantar Ilmu Hukum, Balai Pustaka, Jakarta, h. 36-41. x 4) Penafsiran sistematis, dilakukan dengan meninjau susunan yang berhubungan dengan pasal-pasal lainnya, baik dalam undang-undang yang sama maupun dengan undang-undang yang lain. 5) Penafsiran nasional, merupakan penafsiran yang didasarkan pada kesesuaian dengan sistem hukum yang berlaku. 6) Penafsiran teologis (sosiologis), penafsiran ini dilakukan karena terdapat perubahan di masyarakat, sedangkan bunyi undang-undang tidak berubah. 7) Penafsiran ekstensif, penafsiran ini dilakukan dengan memperluas arti katakata yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan. 8) Penafsiran restrikstif, penafsiran ini dilakukan dengan mempersempit arti kata-kata yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan. 9) penafsiran analogis, penafsiran analogis dilakukan dengan memberikan suatu kiasan ibarat pada kata-kata sesuai dengan asas hukumnya. 10) Penafsiran a contrario, adalah penafsiran yang didasarkan pada perlawanan antara masalah yang dihadapi dengan masalah yang diatur dalam undangundang. Dalam penilitian ini akan digunakan penafsiran gramatikal, sejarah hukum, penafsiran sistematis, penafsiran nasional, penafsiran teologis, dan penafsiran ekstensif. Metode-metode penafsiran hukum tersebut dipakai untuk membahas mengenai aturan hukum yang berkaitan dengan HAM maupun aturan hukum yang diskriminatif terhadap homoseksual. 1.8. Metode Penelitian a. Jenis Penelitian xi Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah penelitian hukum normatif dengan menguraikan permasalah-permasalahan mengenai kedudukan homoseksual dalam perspektif HAM serta aturan-aturan hukum yang diskriminatif terhadap homoseksual. Permasalahan- permasalahan tersebut dibahas dengan kajian yang berdasarkan pada teoriteori hukum yang kemudian dikaitkan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.15 b. Jenis Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum ini meliputi: 1) Pendekatan Perundang-undangan. yakni dengan menelaah aturanaturan yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani,16 yakni yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan homoseksual, pendekatan ini diperlukan untuk membahas kedua rumusan masalah, baik aturan-aturan hukum mengenai kedudukan maupun hak-hak homoseksual, serta aturan-aturan hukum yang diskriminatif terhadap homoseksual. 2) Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.17 Pendekatan ini dipakai untuk membahas mengenai konsep hukum dan konsep hak asasi manusia terutama kedudukan homoseksual dalam HAM. 15 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penulisan Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Grafindo Persada, Jakarta, h.13. 16 17 Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 93. Ibid. xii 3) Pendekatan perbandingan, yakni dengan membandingkan satu instrumen hukum dengan instrumen hukum lain terkait aturan-aturan hukum terhadap homoseksual di Indonesia maupun aturan negara lain, yakni Belanda, Afrika Selatan, Israel, dan Australia. Hal ini untuk membahas kedudukan homoseksual dalam perspektif HAM serta aturan-aturan hukum yang diskriminatif terhadap homoseksual. c. Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang dipakai dalam penelitian ini dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis meliputi : a) Bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Sumber bahan hukum primer yang dipakai dalam penetian ini antara lain: - Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; - Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Tahun 1949; - Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; - Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; - Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of Discrimination Against Women); - Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; xiii - Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi International Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Convention on Economic, Cultural and Social Rights); - Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi International Hak-Hak Sipil dan Politik (International Convention on Civil and Political Rights); - Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi; - Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; - Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak; - Peraturan Daerah Kabupaten Banjar Nomor 10 Tahun 2007 tentang Ketertiban Masyarakat; - Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial; - Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia; - Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: Per-048/A/J.A/12/2011 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil Kejaksaan Republik Indonesia; xiv - Surat Edaran Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech); - Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran; dan - Resolusi Dewan HAM PBB Nomor 17/19 Hak Asasi Manusia, Orientasi Seksual dan Identitas Gender (17/19 Human Rights, Sexual Orientation and Gender Identity) Tahun 2011. b) Bahan hukum sekunder, berupa bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yang terdiri dari buku-buku dan artikel-artikel hasil penelitian atau pendapat pakar. c) Bahan hukum tersier, berupa bahan-bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder seperti kamus hukum.18 d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pada penelitian ini, teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah teknik studi dokumen, yaitu dengan mencari bahan-bahan dalam buku-buku terkait permasalah mengenai kedudukan homoseksual dalam aturan hukum dan HAM untuk kemudian dikutip bagian-bagian penting dan selanjutnya disusun secara sistematis sesuai dengan pembahasan dalam penelitian ini.19 e. Teknik Analisis 18 19 Ibid. M. Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT RajagrafindoPersada, Jakarta, h. 101. xv Bahan-bahan hukum yang sudah terkumpul kemudian dianalisis dengan teknik deskriptif analisis dengan menggunakan metode interprestatif dan metode argumentatif. Teknik deskriptif analisis adalah penjabaran data yang diperoleh dalam bentuk uraian yang nantinya akan menjawab permasalahan. Metode interpretatif adalah metode yang menafsirkan peraturan perundang-undangan dihubungkan dengan peraturan hukum lain atau dengan keseluruhan sistem hukum.20 Sedangkan Metode argumentatif adalah alasan berupa penjelasan yang diuraikan secara jelas, berupa serangkaian pernyataan secara logis untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan, berkaitan dengan asas hukum, norma hukum dan peraturan hukum konkret, serta sistem hukum dan penemuan hukum, yang berkaitan kedudukan homoseksual dalam hukum dan hak asasi manusia serta aturan-aturan hukum yang diskriminatif terhadap kelompok homoseksual. 20 H. Zainuddin Ali, 2009, Metode Penulisan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.111. xvi