i BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Pada akhir

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Pada akhir Januari 2016, Menteri Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi RI
dalam akun twitternya menyatakan bahwa Lesbian, Gay, Biseksual dan
Transgender (LGBT) dilarang masuk ke Perguruan Tinggi, karena dianggap
merusak moral bangsa. Pernyataan ini dinilai sangat diskriminatif yang kemudian
menimbulkan polemik di masyarakat sehingga muncul petisi online meminta
Menristek mencabut pernyataan dikriminatif tersebut.
Diskriminasi terhadap kelompok homoseksual telah menjadi isu global, PBB
bahkan telah menyerukan penghapusan diskriminasi terhadap kelompok
homoseksual sejak tahun 2007.1 Perjuangan kelompok homoseksual untuk
memperoleh kesetaraan hak dimulai sejak revolusi sosial di Inggris tahun 1897
oleh sebuah komunitas homoseksual bernama Order of Cheronea,2 dan secara
internasional perjuangan kelompok homoseksual menjadi semakin besar setelah
homoseksual tidak lagi dkategorikan sebagai penyakit atau gangguan kejiwaan
oleh WHO sejak 1993. Di Indonesia, para pria homoseksual mendirikan Lambda
Indonesia pada tahun 1982, dan pada tahun 1986 para lesbian mendirikan
Persatuan Lesbian Indonesia (Perlesin). Saat ini tercatat ada 119 organisasi
1
2
Hendri Yulius, 2015, Coming Out, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta, h. 50.
Sinyo, 2014, Anakku Bertanya tentang LGBT, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, h. 49.
i
homoseksual di seluruh Indonesia, organisasi ini selain menampung kelompok
homoseksual, biasanya juga menampung kelompok biseksual dan transgender.3
Organisasi-organisasi tersebut didirikan sebagai wadah bagi kelompok
homoseksual untuk memperjuangkan pengakuan eksistensi mereka guna
mendapatkan kesetaraan hak dengan kelompok lain serta menghapus diskriminasi
yang selama ini mereka alami. Diskriminasi yang dialami kelompok homoseksual
diantaranya4:
1. Diskriminasi sosial, seperti stigmatisasi, cemoohan, pelecehan, dan
pengucilan;
2. Diskriminasi hukum, berupa perlakuan hukum yang berbeda bagi
homoseksual;
3. Diskriminasi ekonomi, yakni pelanggaran hak atas pekerjaan;
4. Diskriminasi kebudayaan, contohnya adalah upaya penghilangan nilai-nilai
budaya yang ramah terhadap kelompok homoseksual.
Diskriminasi terhadap homoseksual tidak hanya dilakukan oleh masyarakat,
negara juga turut mengembangkan diskriminasi ini, baik dalam kebijakan maupun
aturan hukumnya, misalnya dalam acara-acara yang diselenggarakan oleh
kelompok homoseksual, baik berupa konferensi, pendidikan, ataupun hiburan
hampir selalu mendapat paksaan penghentian dari kelompok-kelompok yang
memusuhi, dan dalam hampir semua kasus, kepolisian sebagai organ negara,
bukannya melindungi kelompok homoseksual yang terancam, malah lebih
memilih untuk tidak menjamin keamanan peserta, atau bahkan memerintahkan
agar acara dihentikan.5
3
LGBT Nasional Indonesia, 2014, Hidup sebagai LGBT di Asia: Laporan nasional Indonesia, Tinjauan dan
Analisa Partisipatif tentang Lingkungan Hukum dan Sosial bagi Orang dan Masyarakat Madani, Lesbian, Gay, Biseksual
dan Transgender (LGBT), USAID dan UNDP, Jakarta, h. 57.
4
Ariyanto dan Rido Triawan, 2008, Diskriminasi terhadap LGBT, Citra Grafika, Jakarta, h. 28.
5
LGBT Indonesia, Op.Cit, h. 31.
ii
Keberadaan homoseksual juga seolah ditutupi oleh pemerintah, misalnya
penarikan komik “Why Puberty” atas usul Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) akibat salah satu dialognya yang berbunyi “setiap orang punya hak untuk
mencintai dan dicintai, dan bila mereka mencintai sesama jenis, itu adalah pilihan.
Jika boleh memilih, tentu saja mereka ingin memilih mencintai lawan jenisnya”.6
Undang-Undang Perkawinan Indonesia secara tegas menyatakan bahwa
perkawinan hanya bisa dilakukan oleh pasangan beda jenis kelamin, yakni antara
seorang pria dengan seorang wanita, sehingga seringkali pasangan sejenis
melakukan pemalsuan identitas agar dapat melangsungkan perkawinan, contohnya
ialah pada tahun 2011 di Jawa Tengah, seorang transgender pria (priawan)
bernama Rega dijebloskan ke penjara atas laporan keluarga pasangannya dengan
tuduhan melakukan penipuan karena Rega diketahui berjenis kelamin perempuan.
Dia hendak menikahi pasangannya yang juga berkelamin perempuan.7
Hal tersebut menunjukkan bahwa negara membiarkan bahkan melegalkan
diskriminasi terhadap homoseksual. Padahal salah satu fungsi negara ialah
memenuhi kepentingan warga negara sekaligus melindungi kepentingan warga
negara yang lain.8 Disini terlihat negara hanya memenuhi kepentingan kelompok
yang anti homoseksual yang kemudian dilegitimasi menjadi aturan hukum dan
sama sekali tidak mencerminkan kepentingan dan bahkan mendiskriminasi
homoseksual, padahal kelompok homoseksual juga merupakan warga negara yang
wajib dilindungi.
6
7
Hendri, Op.Cit, h. 146.
LGBT Indonesia, Op.Cit, h. 24-25.
Hesti A. Sochmawardiah, 2013, Diskriminasi Rasial dalam Hukum HAM, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 6.
8
iii
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis tertarik untuk mengkaji
permasalahan dalam usulan penelitian dengan judul “HUKUM YANG
DISKRIMINATIF TERHADAP HOMOSEKSUAL”.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah kedudukan homoseksual dalam perspektif HAM?
2. Apakah ada aturan hukum yang diskrimitif terhadap homoseksual?
1.3.Ruang Lingkup Masalah
Agar uraian sistematis dan tidak menyimpang dari permasalahan yang akan
dibahas, maka diadakan pembatasan ruang lingkup masalah, yang mencakup:
1. Untuk pemasalahan pertama akan dibahas mengenai bagaimana homoseksual
di Indonesia serta bagaimana kedudukan mereka dalam perspektif HAM.
2. Untuk permasalahan kedua akan dibahas mengenai aturan-aturan hukum yang
dianggap diskriminatif terhadap kelompok homoseksual.
1.4.Orisinalitas Penelitian
Penulis menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penelitian dengan judul
“Hukum Yang Diskriminatif Terhadap Homoseksual” adalah hasil penelitian,
pemikiran dan pemaparan asli penulis. Jika terdapat referensi karya orang lain,
maka ditulis sumber dengan jelas. Beberapa penelitian dengan jenis yang sama
yang ada dalam internet atau perpustakaan skripsi diantaranya “Negara dan Hak
Asasi Kelompok Minoritas Seksual Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender/
Transeksual, Interseks dan Queer” dan “Homoseksual dalam Perspektif Hukum
Pidana dan Hukum Islam. Suatu Studi Komparatif Normatif”. Kedua penelitian
tersebut terdapat perbedaan dengan penelitian ini karena penelitian ini berfokus
iv
pada aturan-aturan hukum yang diskriminatif terhadap homoseksual. Berikut
terlampir matrik perbedaan penelitian yang telah ada dengan penelitian ini:
TABEL I
Nomor
Peneliti
Judul
Rumusan Masalah
1
Windy
0705160628
Warna
Fakultas Ilmu
Irawan
Pengetahuan Budaya,
Program Studi Ilmu
Filsafat, Universitas
1. Bagaimana Kelompok
Seksual LGBTIQ dapat
dikenali sebagai subjek Hak?
2. Bagaimana keragaman
seksualitas dapat mengubah
Indonesia Tahun 2010,
konsep HAM secara
judul “Negara dan Hak
mendasar?
Asasi Kelompok
Minoritas Seksual
3. Bagaimana sistem negara
demokrasi dapat menjamin
Lesbian, Gay, Biseksual,
hak kelompok minoritas
Transgender/transeksual,
seksual LGBTIQ sebagai
Interseks dan Queer”
warga negara dan
menghomati meka sebagai
subjek hak serta memberikan
perlindungan dan pemenuhan
terhadap kepentingankepentingan mereka?
2
Abd.
111 O5 734
Aziz
Fakultas Hukum
Ramad
hani
1. Bagaimanakah perbedaan
pandangan terhadap
Universitas Hasanuddin
homoseksual antara Hukum
Tahun 2012, judul
Islam dan Hukum Pidana?
“Homoseksual dalam
2. Bagaimanakah bentuk sanksi
Perspektif Hukum Pidana
yang diberikan terhadap
dan Hukum Islam. Suatu
pelaku homoseksual menurut
Studi Komparatif
v
Hukum Islam dan Hukum
Normatif”
Pidana?
1.5. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Tujuan penulisan usulan penelitian ini secara umum adalah untuk
melaksanakan Tri Dharma perguruan Tinggi, serta memberikan sumbangan
ilmu pengetahuan hukum terutama yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
b. Tujuan Khusus
1) untuk mengetahui kedudukan homoseksual dalam perspektif HAM;
2) untuk mengungkap aturan-aturan hukum yang dianggap diskriminatif
terhadap kelompok homoseksual.
1.6.Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
dan masukan terhadap perkembangan Ilmu Pengetahuan Hukum, terutama
berkaitan dengan perlindungan dan penegakkan Hak Asasi Manusia.
vi
b. Manfaat Praktis
1) penelitian ini diaharapkan bisa menjadi masukan atau bahan pertimbangan
bagi pemerintah, khususnya dalam upaya penegakkan dan perlindungan
HAM di Indonesia, terutama bagi kelompok homoseksual.
2) penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan atau memberikan
informasi yang konstruktif kepada masyarakat yang diharapkan turut serta
berperan dalam upaya penegakkan dan perlindungan HAM di Indonesia.
1.7.Landasan Teoritis
a. Teori Negara Hukum
Indonesia merupakan negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat
(3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa “Indonesia adalah
negara hukum”. Konsep negara hukum ini terkait dengan konsep
perlindungan hukum, sebab konsep ini tidak lepas dari gagasan untuk
memberi pengakuan dan perlindungan HAM bagi warga negara.9
Negara hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Rechtstaat yang
bertumpu pada civil law dengan mengutamakan prinsip wetmatigheid dan The
Rule of Law yang dikembangkan di negara-negara tradisi Anglo Saxon
dengan mengutamakan prinsip equality before the law, keduanya memang
memiliki latar belakang dan pelembagaan yang berbeda, namun pada intinya
sama-sama menginginkan perlindungan HAM melalui pelembagaan peradilan
yang bebas dan tidak memihak.10
9
Mahfud MD, 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, h.126.
vii
F.J. Stahl mengungkapkan terdapat empat unsur pokok negara hukum
Rechtstaat yakni11:
1)
2)
3)
4)
Perlindungan Hak Asasi Manusia;
Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;
Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan;
Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Sedangkan dalam negara The Rule of Law, menurut A.C. Dicey terdapat tiga
unsur fundamental pada konsep ini, yakni12:
1) Supremasi aturan hukum;
2) Kedudukan yang sama dalam hukum;
3) Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang maupun
keputusan-keputusan pengadilan.
Dengan demikian, setiap negara hukum baik yang berbentuk Rechtstaat
maupun The Rule of Law, keduanya menempatkan HAM sebagai salah satu
unsur fundamentalnya dan adanya hukum serta pemisahan atau pembagian
kekuasaan adalah untuk menjamin hak-hak tersebut.
b. Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia
Dalam UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan:
“Hak asasi manusia merupakan seperangkat hak yang melekat pada
hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Menurut N. Flowers, terdapat 7 Prinsip utama hak asasi manusia, meliputi13:
1) prinsip universalitas;
2) pemartabatan terhadap manusia (human dignity);
10
Ibid h.126-127.
Majda El-Muhtaj, 2012, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: dari UUD 1945 sampai dengan
Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Cet. IV, Kencana, Jakarta, h. 28.
12
Ibid, h.7.
11
13
Ibid.
viii
3) nondiskriminasi;
4) persamaan;
5) indivisibility, maksudnya suatu hak tidak bisa dipisah-pisahkan antara
yang satu dengan yang lainnya;
6) interdependency (saling ketergantungan);
7) inalienability. Pemahaman prinsip atas hak yang tidak bisa
dipindahkan, tidak bisa dirampas atau dipertukarkan dengan hal
tertentu;
8) responsibilitas atau pertanggungjawaban.
Dari sekian prinsip-prinsip utama HAM tersebut, yang berkaitan erat
dengan penelitian ini adalah prinsip nondiskriminasi, prinsip ini merupakan
salah satu prinsip utama HAM, karena seluruh instrumen HAM mengandung
klausul nondiskriminasi, misalnya Pasal 2 DUHAM menyatakan bahwa
setiap individu berhak untuk menikmati seluruh hak dan kebebasan yang
diatur dalam DUHAM tanpa adanya pembedaan apapun. Begitu pula Pasal 2
(1) ICCPR dan Pasal 2 (2) ICESR. Namun demikian, sampai saat ini hanya
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskrimiasi terhadap
Perempuan (CEDAW) yang secara internasional memberikan definisi yang
spesifik mengenai pengertian diskriminasi.
Dalam CEDAW, diskriminasi terhadap perempuan diartikan sebagai
setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis
kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau
menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia
dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya,
sipil atau apapun lainnya bagi kaum perempuan terlepas dari status
pekawinan mereka atas dasar persamaan laki-laki dan perempuan.
ix
Jika mengacu pada definisi diskriminasi dalam CEDAW, maka yang
dimaksud diskriminasi adalah pembedaan, pengucilan atau pembatasan
terhadap orang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk mengurangi atau
menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia
yang didasarkan pada suatu hal dalam diri seseorang, dan diskriminasi yang
dialami oleh homoseksual adalah karena orientasi seksual mereka.
Dengan adanya prinsip nondiskriminasi, maka negara dalam segala aturan
hukumnya wajib menghormati, menjunjung tinggi dan melindungi HAM
terhadap semua orang tanpa terkecuali termasuk bagi kelompok homoseksual.
c. Teori Penafsiran Hukum
Dalam beberapa hal, undang-undang tidak menjelaskan secara rinci
mengenai suatu permasalahan. Untuk itu perlu dilakukan penafsiran hukum.
Penafsiran hukum memiliki beberapa jenis, yaitu14:
1) Penafsiran tata bahasa (gramatikal), artinya ketentuan yang terdapat pada
peraturan perundang-undangan ditafsirkan dengan berpedoman pada arti
perkataan menurut tata bahasa atau menurut kebiasaan.
2) Penafsiran
sahih
(autentik/resmi),
yakni
penafsiran
yang dilakukan
berdasarkan pengertian yang ditentukan oleh pembentuk undnag-undang.
3) Penafsiran historis, penafsiran dilakukan berdasarkan:
a. Sejarah hukum, yaitu berdasarkan sejarah terjadinya hukum tersebut.
b. Sejarah undang-undang, yaitu dengan maksud pembentuk undang-undang
pada saat membentuk undang-undang tersebut.
14
CST. Kansil, 2002, Pengantar Ilmu Hukum, Balai Pustaka, Jakarta, h. 36-41.
x
4) Penafsiran sistematis, dilakukan dengan meninjau susunan yang berhubungan
dengan pasal-pasal lainnya, baik dalam undang-undang yang sama maupun
dengan undang-undang yang lain.
5) Penafsiran nasional, merupakan penafsiran yang didasarkan pada kesesuaian
dengan sistem hukum yang berlaku.
6) Penafsiran teologis (sosiologis), penafsiran ini dilakukan karena terdapat
perubahan di masyarakat, sedangkan bunyi undang-undang tidak berubah.
7) Penafsiran ekstensif, penafsiran ini dilakukan dengan memperluas arti katakata yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan.
8) Penafsiran restrikstif, penafsiran ini dilakukan dengan mempersempit arti
kata-kata yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan.
9) penafsiran analogis, penafsiran analogis dilakukan dengan memberikan suatu
kiasan ibarat pada kata-kata sesuai dengan asas hukumnya.
10) Penafsiran a contrario, adalah penafsiran yang didasarkan pada perlawanan
antara masalah yang dihadapi dengan masalah yang diatur dalam undangundang.
Dalam penilitian ini akan digunakan penafsiran gramatikal, sejarah hukum,
penafsiran sistematis, penafsiran nasional, penafsiran teologis, dan penafsiran
ekstensif. Metode-metode penafsiran hukum tersebut dipakai untuk
membahas mengenai aturan hukum yang berkaitan dengan HAM maupun
aturan hukum yang diskriminatif terhadap homoseksual.
1.8. Metode Penelitian
a. Jenis Penelitian
xi
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah penelitian
hukum normatif dengan menguraikan permasalah-permasalahan mengenai
kedudukan homoseksual dalam perspektif HAM serta aturan-aturan
hukum
yang
diskriminatif
terhadap
homoseksual.
Permasalahan-
permasalahan tersebut dibahas dengan kajian yang berdasarkan pada teoriteori hukum yang kemudian dikaitkan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.15
b. Jenis Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum ini meliputi:
1) Pendekatan Perundang-undangan. yakni dengan menelaah aturanaturan yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang
ditangani,16 yakni yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan
homoseksual, pendekatan ini diperlukan untuk membahas kedua
rumusan masalah, baik aturan-aturan hukum mengenai kedudukan
maupun hak-hak homoseksual, serta aturan-aturan hukum yang
diskriminatif terhadap homoseksual.
2) Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.17 Pendekatan
ini dipakai untuk membahas mengenai konsep hukum dan konsep hak
asasi manusia terutama kedudukan homoseksual dalam HAM.
15
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penulisan Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Grafindo
Persada, Jakarta, h.13.
16
17
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 93.
Ibid.
xii
3) Pendekatan
perbandingan,
yakni
dengan
membandingkan
satu
instrumen hukum dengan instrumen hukum lain terkait aturan-aturan
hukum terhadap homoseksual di Indonesia maupun aturan negara lain,
yakni Belanda, Afrika Selatan, Israel, dan Australia. Hal ini untuk
membahas kedudukan homoseksual dalam perspektif HAM serta
aturan-aturan hukum yang diskriminatif terhadap homoseksual.
c. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang dipakai dalam penelitian ini dapat
diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis meliputi :
a) Bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
Sumber bahan hukum primer yang dipakai dalam penetian ini antara
lain:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Tahun 1949;
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
- Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi
Penghapusan Segala Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention
on The Elimination of all Forms of Discrimination Against Women);
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
xiii
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi
International Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International
Convention on Economic, Cultural and Social Rights);
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi
International Hak-Hak Sipil dan Politik (International Convention on
Civil and Political Rights);
- Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi;
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
- Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak;
- Peraturan Daerah Kabupaten Banjar Nomor 10 Tahun 2007 tentang
Ketertiban Masyarakat;
- Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2012
tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan
Sosial;
- Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi
Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
- Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: Per-048/A/J.A/12/2011 tentang
Pengadaan Pegawai Negeri Sipil Kejaksaan Republik Indonesia;
xiv
- Surat Edaran Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor
SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech);
- Peraturan
Komisi
Penyiaran
Indonesia
(KPI)
Nomor
01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran; dan
- Resolusi Dewan HAM PBB Nomor 17/19 Hak Asasi Manusia,
Orientasi Seksual dan Identitas Gender (17/19 Human Rights, Sexual
Orientation and Gender Identity) Tahun 2011.
b) Bahan hukum sekunder, berupa bahan-bahan yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer yang terdiri dari buku-buku
dan artikel-artikel hasil penelitian atau pendapat pakar.
c) Bahan hukum tersier, berupa bahan-bahan hukum yang dapat
memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer
maupun bahan hukum sekunder seperti kamus hukum.18
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pada penelitian ini, teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan
adalah teknik studi dokumen, yaitu dengan mencari bahan-bahan dalam
buku-buku terkait permasalah mengenai kedudukan homoseksual dalam
aturan hukum dan HAM untuk kemudian dikutip bagian-bagian penting
dan selanjutnya disusun secara sistematis sesuai dengan pembahasan
dalam penelitian ini.19
e. Teknik Analisis
18
19
Ibid.
M. Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT RajagrafindoPersada, Jakarta, h. 101.
xv
Bahan-bahan hukum yang sudah terkumpul kemudian dianalisis dengan
teknik deskriptif analisis dengan menggunakan metode interprestatif dan
metode argumentatif. Teknik deskriptif analisis adalah penjabaran data
yang diperoleh dalam bentuk uraian yang nantinya akan menjawab
permasalahan. Metode interpretatif adalah metode yang menafsirkan
peraturan perundang-undangan dihubungkan dengan peraturan hukum lain
atau dengan keseluruhan sistem hukum.20 Sedangkan Metode argumentatif
adalah alasan berupa penjelasan yang diuraikan secara jelas, berupa
serangkaian pernyataan secara logis untuk memperkuat atau menolak
suatu pendapat, pendirian atau gagasan, berkaitan dengan asas hukum,
norma hukum dan peraturan hukum konkret, serta sistem hukum dan
penemuan hukum, yang berkaitan kedudukan homoseksual dalam hukum
dan hak asasi manusia serta aturan-aturan hukum yang diskriminatif
terhadap kelompok homoseksual.
20
H. Zainuddin Ali, 2009, Metode Penulisan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.111.
xvi
Download