Politik Internasional Analisis Inkonsistensi China dalam Masalah Lingkungan Brilian Akbar Suriadjati Willarda Lucky Dwi Ananda Mahendra Ramdhani Muadh Bharayudha El Borneo Gebyar Lintang Ndadari Firdi Alfarizi Dimas Fauzi 08/267749/SP/23052 09/281999/SP/23363 09/280708/SP/23243 09/282686/SP/23545 09/288871/SP/23790 10/297021/SP/23913 10/299695/SP/24197 Pendahuluan Masalah lingkungan menjadi salah satu isu utama setiap negara, seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran manusia atas masalah lingkungan yang melanda dunia. Upaya-upaya pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat dan industrialisasi turut menjadi penyebab permasalahan tersebut. Kesadaran manusia secara global tersebut terutama muncul ketika isu perubahan iklim mulai berkembang, yaitu pada akhir tahun 1970-an.1 Masalah tersebut telah memberikan pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan politik dan sosial di dunia. Oleh sebab itu, kerjasama antarnegara dan juga masyarakat internasional menjadi penting untuk dilakukan guna merespon masalah lingkungan tersebut. Beberapa pertemuan dan konferensi yang bertujuan untuk membahas masalah lingkungan telah dilakukan, di antaranya ialah Pertemuan Stockholm 1972, Konvensi Wina 1985, Protokol Montreal 1987, Pertemuan Rio 1992, dan juga pertemuan penting pada tahun 1997, yaitu Pertemuan Kyoto. Pertemuan di Kyoto tersebut menghasilkan suatu protokol persetujuan yang dikenal dengan Protokol Kyoto yang berisi mengenai langkah-langkah komprehensif yang perlu dilakukan negara-negara dalam mengatasi masalah lingkungan untuk mencegahnya terulang kembali. Terhitung telah terdapat 192 pihak (191 negara anggota PBB dan 1 regionalisme) yang telah menandatangani dan meratifikasi Protokol ini hingga saat ini.2 Hal yang sangat disayangkan adalah negara-negara maju seperti Amerika Serikat yang telah menandatangani 1 J. Vogler, 2001, Environment, dalam B.White, R. Little dan M. Smith, Issues in World Politics, New York: Palgrave, p.192. 2 United Nations Framework Convention on Climate Change, Status of Ratification of the Kyoto Protocol (online), <http://unfccc.int/kyoto_protocol/status_of_ratification/items/2613.php>, diakses 19 April 2012. 1 Protokol ini pada tahun 1998 namun kemudian menyatakan menolak untuk meratifikasinya dan Kanada yang telah meratifikasi protokol ini pada tahun 2002 dan justru kemudian secara resmi menyatakan diri menarik diri dari protokol ini pada tahun 2011.3 Padahal, untuk meningkatkan komitmen dunia dalam mengatasi masalah lingkungan tersebut, setidaknya negara-negara yang turut berkontribusi dalam kerusakan lingkungan dan atau negara-negara besar tersebut seharusnya memberikan contoh dan menunjukkan kontribusi yang konstruktif dalam menghadapi masalah tersebut. China, sebagai negara berkembang dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat, menjadi salah sorotan dunia dalam masalah lingkungan tersebut. Dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya yang berjumlah besar dan pesatnya pertumbuhan industri, China memberikan kontribusi yang cukup besar dalam perusakan lingkungan. Hal tersebut kemudian menjadikan China memiliki signifikansi yang besar dan posisi yang penting dalam penyelesaian permasalahan lingkungan hidup. Pada kenyataannya, China sendiri banyak menunjukan inkonsistensi dalam tindakannya menanggapi isu lingkungan, baik di negaranya, maupun di tingkatan global. Dalam tulisan ini, kami akan memaparkan mengenai posisi China dalam masalah lingkungan, serta faktor-faktor yang menyebabkan inkonsistensi China dalam isu tersebut, dan proyeksi mengenai kebijakan lingkungan yang akan dimiliki China di masa mendatang. Konsep Moral Responsibilty dan Rational Model Actor Dalam melakukan analisis mengenai kasus mengenai yang kami angkat dalam tulisan ini, akan digunakan dua konsep utama, yaitu konsep moral responsibility dan juga rational actor model. Moral responsibility digunakan untuk menjelaskan bahwa setiap aktor memiliki tanggung jawab masing-masing dalam menjalankan perannya. Konsep tersebut juga menjelaskan bahwa apabila kontribusi aktor tersebut besar, maka semakin besar pula tanggung jawab yang harus diembannya.4 Satu elemen yang terdapat dalam konsep tersebut ialah perilaku reaktif masalah 3 BBC, Canada to Withdraw from Kyoto Protocol, <http://www.bbc.co.uk/news/world-us-canada-16151310>, diakses 19 April 2012. 4 A. Eshleman, Stanford Encyclopedia of Philosophy: Moral Responsibility. 18 November 2009. <http://www.plato.stanford.edu/entries/moral-responsibility>, diakses 18 April 2012. 2 utama yang dimiliki oleh aktor dalam komunitas,5 dalam kasus ini ialah China sebagai bagian dari komunitas internasional. Sementara itu, konsep rational actor model merupakan teori yang digunakan untuk menjelaskan sebuah peristiwa internasional berdasarkan tujuan dan kalkulasi rasional yang dilakukan oleh sebuah negara berdasarkan tujuan dan kepentingan nasionalnya. Di dalam konsep rational actor model ini, terdapat beberapa fungsi utama, antara lain: (1) Fungsi eksplanasi, mengapa suatu negara memilih untuk mengambil suatu kebijakan, atau untuk melakukan sebuah tindakan khusus. Dalam hal ini, China dihadapkan untuk memilih antara kepentingan pembangunan ekonomi dengan kepentingan penyelamatan lingkungan; (2) Fungsi problem solving, apakah solusi terbaik untuk mencapai sebuah tujuan, bagaimana cara mengatasi munculnya berbagai kepentingan yang berbeda-beda. Signifikansi China dalam Masalah Lingkungan Sebagai negara dengan luas wilayah yang luas (sekitar 9,5 juta km2), jumlah penduduk terbesar di dunia (1,338,299,512 orang pada tahun 2010)6, ekonomi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia, di mana tingkat pertumbuhan ekonominya pada kwartal terakhir tahun 2009 mencapai 10,7%,7 dan negara dengan ekonomi terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan Jepang dengan jumlah GDP yang diterima adalah sebesar $4.814 triliun pada tahun 2009,8 China telah bertransformasi menjadi salah satu negara raksasa ekonomi dunia. Meskipun begitu, di sisi lain, China sendiri telah melampaui Amerika Serikat sebagai negara dengan tingkat emisi CO2 tertinggi di dunia. Pada tahun 2010, tingkat emisi China naik sebesar 10,4% dibandingkan dengan tahun sebelumnya sementara tingkat emisi global mencapai kecepatan tertingginya selama lebih dari empat dekade ini.9 5 JN. Fahlquist, 3 November 2008, Moral Responsibility for Environmental Problems—Individual or Institutional?, Springerlink, p. 6. 6 The Worldbank, Population, Total (online), <http://data.worldbank.org/indicator/SP.POP.TOTL>, diakses 16 Maret 2012. 7 Radio Netherlands Worldwide, Pertumbuhan Ekonomi Cina Tertinggi di Dunia (online). <http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/pertumbuhan-ekonomi-cina-tertinggi-di-dunia>, diakses 14 April 2012. 8 CIA The World Factbook, China (online), <https://www.cia.gov/library/publications/the-worldfactbook//geos/ch.html> diakses 14 April 2012. 9 Reuters. China’s CO2 Emissions Rose 10 Percent in 2010: BP Data (online). <http://www.reuters.com/article/2011/06/08/us-energy-bp-emissions-idUSTRE75728120110608>, diakses 19 Maret 2012. 3 Tabel 1: Besaran Emisi CO2 (dalam juta ton) dan CO2 perkapita Tahun 1990-2010 Negara Emisi Perkapita Emisi 2010 1990 2000 2010 Perubahan Perubahan Perubahan Perubahan CO2 populasi 1990-2010 dalam % dalam % dalam % AS 5250 19,7 20,8 16,9 -2,8 -14% 5% 23% India 1.840 0,8 1,0 1,5 0,8 100% 180% 40% China 8,950 2,2 2,9 6,8 4,6 205% 257% 17% Sumber: Long-Term Trend in Global CO2 Emissions: 2011 Report, PBL Netherlands Environmental Assesment Agency, The Hague, 2011 and European Union,10 (dikutip dengan penyesuaian tanpa mengubah isi) Kami menggunakan tiga contoh negara besar yang memiliki kontribusi besar dalam emisi CO2 di dunia. Melalui tabel tersebut di atas, China memiliki presentasi pertumbuhan emisi CO2 yang besar, dan sekaligus menjadi yang terbesar di dunia. Hal tersebut tentu juga dipengaruhi oleh tingginya jumlah penduduk di China. Pada tahun 2002 sendiri, terdapat percepatan pertumbuhan emisi CO2 tahunan yang dikatakan sebagai akibat dari industrialisasi yang dilakukan China. Pertumbuhan ekonomi China menjadi yang tertinggi dengan tingkat kebutuhan batu bara yang meningkat dari 26% hingga 30%. Sedangkan pada tahun 2010, kebutuhan batu bara dunia meningkat sebanyak 7%, dan dua-pertiga di antaranya ialah konsumsi China, dan diperkirakan akan terus mengalami peningkatan.11 Selain peningkatan dalam segi konsumsi, industri produksi batu bara juga merupakan industri multi-miliar dolar yang dimiliki oleh China. Posisi China dalam Isu Lingkungan Dalam menanggapi permasalahan lingkungan yang muncul, China terhitung telah melakukan tindakan-tindakan yang berkenaan dengan usaha-usaha perlindungan lingkungan hidup, baik dalam tingkat domestik maupun internasional. Pada tingkat domestik berdasarkan data tahun 2010, China telah menggandakan peningkatan kapasitas pembangkit listrik tenaga surya dan juga tenaga angin selama enam tahun berturut-turut.12 Kemudian pada tahun 1998, China mendirikan Kantor Komite Koordinasi Nasional Perubahan Iklim untuk menangani koordinasi kegiatan perubahan iklim. Komite tersebut merupakan badan lintas departemen yang 10 JGJ Olivier et.al, 2011, Long-Term Trend in Global CO2 Emissions: 2011 Report, PBL Netherlands Environmental Assesment Agency, The Hague, 2011 and European Union, p.14. 11 JGJ Olivier et.al, 2011, Long-Term Trend in Global CO2 Emissions: 2011 Report, p.10. 12 JGJ Olivier et.al, 2011, Long-Term Trend in Global CO2 Emissions: 2011 Report, p.11. 4 bertanggung jawab atas musyawarah dan koordinasi pada isu-isu kebijakan iklim terkait dan kegiatan, dan negosiasi dengan pihak asing. Koordinasi juga dilakukan oleh Komisi Nasional Pembangunan dan Reformasi China (China’s National Development and Reform Commission) yang menghasilkan erangka Program Nasional Perubahan Iklim (National Program for Climate Change/NPCC) pada tahun 2007. Sementara itu, di tingkat internasional, China sendiri sejak tahun 1970-an telah mulai secara bertahap terlibat aktif dalam proses-proses negosiasi maupun kesepakatan internasional dalam upaya penyelamatan lingkungan. Hal ini dibuktikannya dengan telah bergabungnya China kepada lebih dari 50 perjanjian-perjanjian perlindungan lingkungan internasional, di antaranya United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Protokol Montreal, Protokol Kyoto, Convention on Biological Diversity, dan UN Convention to Combat Desertification.13 Di dalam (UNFCCC) pertama tahun 1992 sendiri, China merupakan negara pertama yang meratifikasi UNFCCC. Sementara itu, dalam Protokol Kyoto tahun 1997, China juga merupakan salah satu negara yang menandatanganinya pada tahun 1998 dan kemudian meratifikasinya pada tahun 2002.14 China masuk dalam kategori negara NonAnnex 1 berdasarkan kesepakatan dari UNFCCC karena meskipun mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup besar, namun masih banyak dari penduduk China yang hidup dengan penghasilan dibawah 1,25 dollar per hari sehingga di masukkan kedalam kategori negara berkembang. Status China sebagai negara berkembang ini kemudian menjadikan usaha pengentasan kemiskinan di China masih menjadi prioritas utama, dengan solusi utama yang ditawarkan adalah semakin digiatkannya industrialisasi dengan batu bara sebagai solusi utama masalah kebutuhan energi. Hal tersebut membuat China menjadi negara nomor 1 sebagai penghasil green house gasses (GHG) terbesar dan diproyeksikan akan terus ada peningkatan jika tidak ada tindakan yang akan berdampak buruk bagi keadaan alam di China sendiri maupun belahan dunia lain secara keseluruhan.15 Gambar 1 akan menjelaskan tingkat penggunaan energi yang dibuthkan China, berdasarkan data tahun 2008. Sedangkan gambar 2 menunjukkan bahwa peningkatan gas emisi 13 G. Chen, 2009, Politics of China’s Environmental Protection: Problems and Progress, World Scientific, p. 60. United Nation Framework Convention on Climate Change, Status of Ratification of the Kyoto Protocol. 15 Action for Our Planet, Top 10 Polutting Countries (online), <http://www.actionforourplanet.com/#/top-10polluting-countries/4541684868>, diakses 18 April 2012 14 5 China menunjukkan peningkatan yang signifikan terutama sekitar tahun 2000-an, saat di mana perekonomian dan industri China mengalami perkembangan pesat. Gambar 1. Total Konsumsi Energi China Berdasarkan Jenis Sumber Energi, 2008 Sumber: International Energy Agency16 Gambar 2. Emisi CO2 antara China dan Beberapa Negara Sumber: Mother Nature Network17 16 EIA, China Energy Data: Statistic and Analysis (online), <http://www.eia.gov/cabs/china/Full.html>, diakses 18 April 2012. 17 MNN, Which Countries Produce The Most CO2? (online), <http://www.mnn.com/earth-matters/translating-unclesam/stories/which-countries-produce-the-most-co2>, diakses 18 April 2012. 6 Dalam perjalanannya di berbagai perundingan dalam UNFCC, di satu sisi, China telah cukup banyak memberikan kontribusi. Sebagai negara berkembang yang tidak memiliki batasan emisi mengikat dalam periode komitmen pertama (2008-2012) dari Protokol Kyoto, melakukan pelaporan mengenai proposal GHG tahunan kepada conference of parties (COP) meskipun sebenarnya negara non-Annex 1 tidak diharuskan melakukannya, China menyampaikan proposal tersebut pada COP Februari 2007. China juga merupakan peserta aktif dalam Clean Development Mechanism (CDM) yang didirikan berdasarkan Protokol Kyoto. CDM merupakan kredit emisi hibah untuk pengurangan karbon di negara berkembang, yang dapat digunakan oleh negara maju dalam memenuhi target pengurangan emisi mereka. Hal ini memberikan pengurangan emisi dengan biaya yang lebih rendah bagi negara maju dan menghasilkan investasi dalam pembangunan bersih di negara berkembang. Antusiasme China untuk berperan aktif dalam CDM ini bahkan sudah ditunjukkan sejak tahun 2002, di mana struktur regulasi dan kerangka implemetasi CDM telah siap untuk disetujui, di saat negara-negara seperti Australia dan Rusia bahkan belum meratifikasi Protokol Kyoto.18 Sejauh ini, China merupakan sumber terbesar dari kredit CDM, terhitung lebih dari 40% dari yang dihasilkan sampai saat ini. Selain itu, peran China dalam proses-proses bilateral maupun multilateral dalam usahausaha untuk menanggulangi masalah lingkungan hidup ini juga banyak ditunjukkan, misalnya melalui Kemitraan Asia-Pasifik untuk Pembangunan Bersih dan Iklim, Kemitraan Teknologi Iklim, Strategi untuk Air Bersih dan Kerjasama Energi, Minyak AS-China dan Forum Gas Industri, Kemitraan Internasional untuk Ekonomi Hidrogen, International Thermonuclear Experimental Reactor (ITER), dan sejumlah program tambahan sebagian besar disponsori oleh pemerintah federal AS. Dalam perundingan di UNFCCC, China membangun aliansi bersama negara-negara berkembang lain, G77 yang biasa disebut “G77+China”. Kelompok G77 + China ini menuntut PBB dan negara-negara maju untuk menyusun sebuah skema penyelesaian masalah lingkungan hidup yang disesuaikan dengan konteks pembangunan dan dalam basis ‘Common but Differentiated Resposibility’ yang akan dibahas lebih lanjut kemudian. Hal tersebut dilakukan untuk menyelaraskan posisi negara-negara berkembang sebelum dan selama negosiasi termasuk kewajiban dan tanggung jawab yang dimiliki oleh masing-masing pihak dalam penyelesaian 18 W.Lin, G. Heggelund, & K. Tangen, Efficient Implementation <http://www.fni.no/doc&pdf/FNI-R0104.pdf>, diakses 19 April 2012. of CDM in China, 7 masalah lingkungan hidup ini. China yang menjadi salah satu kekuatan besar dalam perpolitikan dunia mampu memperkuat posisi tawar menawar negara-negara berkembang yang termausk ke dalam kelompok ini, untuk membawa kepentingan-kepentingan dari negara berkembang menjadi isu penting yang perlu dibahas dalam perundingan. Selain itu, meskipun China telah dikenal luas sebagai negara yang menentang dengan keras adanya sebuah kerangka kerja sama yang bersifat legally binding yang terlihat selama proses negosiasi UNFCCC selama ini, namun China mulai menyetujui dibentuknya sebuah perjanjian yang bersifat legally binding dalam pengimplementasian pengurangan emisi karbon setelah tahun 2020.19 Hal tersebut kemudian diwujudkan dalam pertemuan dan perundingan UNFCCC di Durban. Pertemuan tersebut mendorong negara-negara seperti China sendiri dan India yang menjadi emmiter besar untuk berkomitmen mengurangi emisi dan juga Amerika Serikat yang menolak meratifikasi Protokol Kyoto dapat melaksanakan tanggung jawabnya untuk mengurangi gas karbon yang dihasilkannya.20 Analisis Inkonsistensi China dalam Isu Lingkungan Hidup Pemaparan-pemaparan sebelumnya menunjukkan adanya inkonsistensi antara melakukan tuntutan internasional untuk menyelesaikan permasalahan internasional dan juga berlaku defektif didalamnya, baik dari tindakan yang dilakukan di dalam maupun luar negeri. Mengapa inkonsistensi tersebut dapat terjadi? Faktor yang pertama adalah bahwa bagi China, masalah lingkungan hidup di tingkat internasional dari awalnya bukan hanya merupakan masalah lingkungan hidup. Keterlibatan aktif China dalam kerangka-kerangka lingkungan hidup internasional pada awalnya ditujukan untuk memperkuat kedudukan China di dalam masyarakat internasional, dan PBB khususnya, dengan kaitannya dengan konflik politik China dengan Taiwan. Pada masa ini, komitmen China masih sangat politis, karena pada masa ini sebenarnya China masih menyimpan kecurigaan bahwa semua pembicaraan lingkungan hidup merupakan alat bagi negara-negara Barat untuk menghalangi pembangunan ekonomi yang sedang dalam laju yang pesat sejak tahun 1980-an, kecurigaan yang bahkan masih ada hingga sekarang. Selain itu, China merupakan negara yang 19 Soceity of Indonesian Environmental Journalist, China Usulkan Legally Binding Agreement (online), 2011, <http://www.siej.or.id/?w=article&nid=332>, diakses 13 April 2012. 20 Koran Jakarta, Disepakati Perjanjian yang Mengikat Semua Anggota (online), 2011, <http://koranjakarta.com/index.php/detail/view01/78195>, diakses 13 April 2012. 8 sangat menjaga dan menghargai kedaulatan negerinya. Usaha-usaha penyelamatan lingkungan hidup akan membutuhkan interferensi dari institusi-institusi atau regionalisme yang dibangun oleh China, misalnya mengenai kebijakan energi domestik, sehingga akan lebih sulit bagi China untuk membangun komitmen-komitmen mengenai lingkungan hidup di level internasional. Kedua, faktor domestik menjadi faktor yang sangat mempengaruhi kebijakan luar negeri China yang menentukan posisi China dalam proses negosiasi mengenai lingkungan hidup di level internasional. Plano dan Olton (1969) menyebutkan bahwa foreign policy is a continuation of domestic policy because it serves and reflects national interests.21 Pada kasus China, kondisi domestik tersebut turut memberikan pengaruh dalam penentuan sikap China di negosiasi maupun kesepakatan internasional yang diikutinya, termasuk dalam menyikapi negosiasi UNFCCC. Sehingga kemudian kita dapat menyatakan bahwa ada hal-hal lain yang ingin diperoleh China melalui keikutsertaanya dalam kesepakatan internasional tersebut. Di satu sisi, kebutuhan domestik China untuk tetap mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas ekonomi nasional akan membawa China untuk menjadi kurang kooperatif terhadap komitmen-komitmen. Tabel 2: Lima Produsen dan Konsumen Batu Bara Terbesar di Dunia Tahun 2010 Produsen Jumlah Konsumen Jumlah China 3162 Mt China 2516 Mtce AS 932 Mt AS 733 Mtce India 538 Mt India 434 Mtce Australia 353 Mt Rusia 177 Mtce Sumber: World Coal Association22 Berdasarkan tabel tersebut di atas, dapat kita pahami bahwa China memiliki kepentingan yang besar dalam melindungi industri batu baranya, baik bagi konsumsi negaranya maupun bagi memasok kebutuhan dunia, dan tentunya membantu melindungi perekonomiannya. Kebijakan lingkungan di China terkesan masih pilih kasih karena tidak menyentuh langsung faktor-faktor utama penyebab pencemaran udara seperti industri batubara atau pabrik-pabrik China lainnya. Ketidaktegasan China terhadap pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh industri-industrinya 21 JC. Plano & R. Olton, 1969, International Relations Dictionary. New York: Holt, Rinehart & Winston. hal. 127 World Coal Association, Coal statistics (online), <http://www.worldcoal.org/resources/coal-statistics/>, diakses 18 April 2012. 22 9 sebenarnya merupakan gambaran bahwa China tidak ingin membebankan sector industri dengan menetapkan aturan-aturan lingkungan yang ketat karena hal tersebut hanya akan memberikan dampak negatif bagi industri dalam negeri disebabkan biaya produksi yang meningkat. Peningkatan biaya pada akhirnya juga akan menghambat pertumbuhan ekonomi China. Di sisi lain, partisipasi China dalam proses-proses negosiasi ini bagaimanapun juga tidak menyurut, dikarenakan kesadaran China yang mulai tumbuh akan dampak negatif yang dapat ditimbulkan degradasi kualitas lingkungan hidup kepada kualitas masyarakat China sendiri. Kebutuhan pangan yang sangat besar bagi China misalnya dalam produksi biji-bijian tidak sebanding dengan tingkat kebutuhan masyarakat atas produk tersebut. Terlebih lagi, lahan pertanian yang ada di China menjadi semakin berkurang. Berkurangnya lahan pertanian terutama terjadi akibat meningkatnya pembangunan di China, kerusakan alam, dan berbagai masalah lainnya.23 Dengan meningkatnya kebutuhan akan pangan dan keinginan pemerintah untuk meningkatkan produksi pangan domestik, maka lahan pertanian yang dibutuhkan akan semakin banyak pula. Hal tersebut tentu meningkatkan pembukaan hutan untuk dijadikan lahan pertanian yang menyebabkan kecepatan perubahan lahan menjadi gurun menjadi sangat besar. Data tahun 2005 bahkan menyebutkan bahwa wilayah gurun di Utara China akan mengubur wilayah sebesar New Jersey (8,722 mil2) setiap lima tahunnya.24 Selain itu, kegiatan industri di China yang meningkat, adanya peningkatan pertumbuhan daerah urban maupun suburban, dan adanya peningkatan pertanian modern, turut berpengaruh terhadap ketersediaan air bersih di negara tersebut. Hal itu diakibatkan semakin banyak pabrik maupun industri rumah tangga yang membuang limbah ke wilayah perairan dan semakin banyak penggunaan pupuk yang tidak ramah lingkungan maupun pestisida pada pertanian modern. Diperkirakan pada tahun 2000 lalu, jumlah dari limbah yang dihasilkan ialah dua kali lipat lebih besar dari tahun 1990, atau sekitar 78 milyar ton.25 Antara tahun 1981 dan 1995, volume dari limbah meningkat 27,8 persen dengan rata-rata peningkatan sebesar 1,65 persen per tahun. Di mana kegiatan pertanian menyumbang limbah paling besar di China. Kemudian, dari 27 Kota 23 J. Shen, China’s Future Population and Development Challenges, The Geographical Journal, Vol. 164, No. 164, Maret 1998, hlm. 36. 24 The New York Times, China’s Environmental Crisis, 26 Agustus 2007, <http://www.nytimes.com/interactive/2007/08/26/world/asia/20070826_CHINA_GRAPHIC.html>, diakses 18 April 2012. 25 C. Wu et. al., ‘Water Polution and Human Health in China’, Environmental Health Perspectives, Vol. 107, No. 4, April 1999, p. 251 10 besar di China, hanya 6 kota yang memenuhi standar air layak minum yang dikeluarkan pemerintah.26 Dengan adanya pemaparan ini, terlihat bahwa China memiliki dorongan dari ranah domestik yang besar untuk segera melakukan usaha-usaha yang kongkrit dalam mengatasi masalah-masalah lingkungan hidup yang ada. Ketiga, adanya kebutuhan bagi China untuk menunjukkan sikap sebagai masyarakat internasional yang baik sebagai bentuk moral responsibility-nya terhadap permasalahan lingkungan yang melanda, terutama dengan adanya tekanan-tekanan dari dunia internasional. China sebagai anggota masyarakat internasional dihadapkan pada tekanan-tekanan dari dunia internasional untuk semakin meningkatkan kontribusinya dan mengambil komitmen yang lebih kuat terhadap usaha-usaha penyelesaian masalah lingkungan hidup. Contoh yang tampak adalah pada Konferensi Perubahan iklim Internasional COP-17 di Durban, Afrika Selatan. Pada konferensi ini, China menyatakan diri bersedia untuk menerima sebuah komitmen mengenai reduksi emisi yang mengikat meskipun dengan mengajukan beberapa prasyarat tertentu. Padahal sebelumnya China tetap bertahan di posisi bahwa negara berkembang tidak seharusnya mematuhi komitmen yang mengikat pada reduksi emisi karbon tersebut. China berpendapat bahwa Protokol Kyoto seharusnya dibentuk untuk mengikat komitmen negara-negara maju, tetapi menurut China ketiadaan sangsi atas pelanggaran komitmen membuat perjanjian tersebut membuat Protokol Kyoto seperti kehilangan taring dalam pengimplementasiannya sehingga proses mengikat negara-negara maju menjadi mudah terbantahkan. Pendapat tersebut dikemukakan China karena didasarkan pada prinsip Common But Differentiated Responsibilities (CBDR) yang pada konferensi sebelumnya telah disepakati. Prinsip tersebut mempunyai arti sebagai wacana bahwa negara berkembang harus menurunkan emisinya, namun secara sukarela bukan menjadi sebuah kewajiban yang mengikat. Namun dalam COP 17 tersebut, China melalui negosiatornya Xie Zhenhua akhirnya menerima kesepakatan dengan beberapa syarat, dimana prinsip persamaan harus dijunjing tinggi (berarti negara berkembang memiliki hak untuk memperoleh kompensasi atas polusi dari negara maju). Salah satu alasan yang dikemukakan Xie terkait syarat demikian karena China ingin dikenang sebagai negara berkembang yang mampu berada di garda terdepan dalam memerangi perubahan iklim. Dibalik pernyataan persetujuan tersebut, ternyata faktor yang paling mencolok adalah tekanan dari faktor internasional yang membuat China akhirnya mau menyetujui keputusan 26 C. Wu et. al., ‘Water Polution and Human Health in China’, p. 253. 11 tersebut. Tekanan pertama datang dari Sekretaris Jendral PBB, Ban Ki Moon. Sekjen PBB tersebut secara terbuka menyatakan bahwa rencana kerja baru global untuk meneruskan Protokol Kyoto yang habis masanya pada 2012 tidak akan dapat tercapai bila tidak terdapat partisipasi aktif dari China.27 Ban menyatakan bahwa didalam perundingan perubahan iklim tersebut China diharuskan : 1. Menurunkan tingkat emisi karbon per unit dari GDP sebesar 40-45 persen antara 2005 hingga 2020. 2. Meningkatkan penggunaan bahan bakar non-fosil dalam konsumsi energi primer pada kisaran 15 persen pada 2020. 3. Meningkatkan penghijauan hutan seluas 40 juta hektar dan meningkatkan volume cadangan hutan sebanyak 1,3 miliar meter kubik pada 2020.28 Pernyataan Ban Ki Moon tersebut setidaknya menunjukkan bahwa PBB sangat mendorong China untuk terlibat aktif dan bersedia menyetujui berbagai peraturan dalam UNFCCC karena PBB mencatat bahwa China adalah negara terbesar di dunia dalam penghasil gas rumah kaca dan sebagai konsekuensinya China harus menjadi motor utama dalam perundingan mengenai perubahan iklim tersebut. Tekanan internasional kedua datang dari negara-negara Uni Eropa, yang secara terangterangan mendesak China pada perundingan perubahan iklim di Durban COP 17 untuk menerima peraturan yang mengikat secara hukum. Hal tersebut makin dipertegas oleh Komisaris Uni Eropa untuk perubahan iklim yaitu Connie Hadegaard yang menyatakan bahwa China seharusnya selalu mendukung kesepakatan-kesepakatan yang mengikat karena hal itulah yang sangat penting bagi China. Namun yang menjadi penekanan Connie adalah konsistensi China setelah menyetujui kesepakatan-kesepakatan di Durban apakah akan dapat membuat China terikat secara hukum.29 Uni Eropa bersikap tegas kepada China karena menurut mereka tingkat emisi karbon di China telah berada dalam tahap yang mengkhawatirkan dan diperlukan tanggung jawab yang besar oleh China (terlepas statusnya sebagai negara berkembang). 27 A. Maruli, Kepemimpinan Cina Penting dalam Perangi Perubahan Iklim (online), <http://www.antaranews.com/berita/163822/kepemimpinan-china-penting-dalam-perangi-perubahan-iklim>, diakses 11 April 2012. 28 F. Gao, China’s view on future climate change negotiation and measures to address climate change (online), <http://unfccc.int/files/meetings/seminar/application/pdf/sem_pre_china.pdf>, diakses 11 April 2012. 29 WB. Joshua, China and Climate Change : A Strategy fo U.S. Engagement (online), < http://www.rff.org/RFF/Documents/RFF-Rpt-Busby-ChinaClimateChangeFinal.pdf>, diakses 11 April 2012. 12 Tekanan ketiga datang dari Amerika Serikat, di mana dapat dikatakan bahwa aktor utama yang bertentangan dalam konferensi perubahan iklim tersebut adalah antara Amerika Serikat dan China. Keputusan China menyepakati keputusan-keputusan dalam konferensi COP 17 di Durban diprotes keras oleh Amerika Serikat. Proposal China yang menyepakati keputusan dengan syaratsyarat tertentu dianggap Amerika Serikat tidak terlalu memberikan perubahan yang berarti bagi perjalanan perundingan untuk ke depannya. Amerika Serikat menganggap bahwa syarat yang dikemukakan China cenderung tidak sepadan dengan kontribusi China sebagai penyumbang emiter karbon terbanyak di dunia.30 Direktur eksekutif LSM Greenpeace Internasional menyatakan bahwa dalam kasus perdebatan antara China dan Amerika Serikat mengenai emisi karbon, seharusnya pembicaraan yang terjadi bukanlah melalui antar perunding namun antar pemimpin China Hu Jintao dan presiden Barack Obama, karena perdebatan tersebut sebenarnya berakar dari kepentingan negara masing-masing. Kebijakan Lingkungan Hidup Cina di Masa Datang Dari kebijakan 12th Five Year Plan yang telah dicetuskan, China menjadikannya sebagai basis perencanaan ekonomi serta menjadikan perubahan iklim sebagai prioritas utama China dengan cara mekanisme pasar yang menenkankan pada kontrol konsumsi energi dan polusi karbon. Diharapkan pada 5 tahun mendatang perencanaan tersebut dapat mendorong China untuk lebih meningkatkan proporsi penggunaan energi yang terbaharukan, menurunkan penggunaan energi per unit dari GDP sebanyak 16%, menurunkan emisi karbon per unit dari GDP sebanyak 17% serta meningkatkan area hutan China seluas 40 juta hektar pada 2020.31 Pencetusan kebijakan tersebut dikarenakan secara mendasar China sebenarnya menolak target-target yang harus dicapai dalam perundingan sebelumnya yaitu perundingan Copenhagen namun karena besarnya tekan dari ranah internasional membuat China harus mau mengimplementasikan kebijakan tersebut. Kebijakan tersebut makin kuat setelah mendapatkan persetujuan National People’s Conggress of China. Persetujuan tersebut seolah dilakukan untuk mematahkan keraguan Amerika Serikat tentang konsistensi China dalam mengimplementasikan kesepakatan 30 J. Booth, Climate Change Threates to Destroy China’s Rural Communities (online), <http://www.policymic.com/articles/2485/climate-change-threatens-to-destroy-china-s-rural-communities>, diakses 11 Januari 2012. 31 BBC, China Vows Climate Change Action (online), < http://news.bbc.co.uk/2/hi/8268077.stm>, diakses 11 April 2012. 13 Durban dalam ranah hukum domestik. Adanya dukungan dari ranah domestik setidaknya membuat peraturan mengenai emisi karbon mempunyai tingkat legalitas yang cukup bagi China untuk menegakkan prioritas pertumbuhan ekonominya pada ketahanan lingkungan. Setelah keputusan dilakukan oleh China dalam Konferensi Durban, setidaknya dapat diprediksi bahwa untuk jangka waktu setelah 2020 atau setelah selesainya masa kebijakan 12th Five Years Plan, China dipastikan hanya akan menolak berbagai keputusan yang dihasilkan oleh COP. Hal ini dikarenakan bila China benar-benar terbuka terhadap sesuatu yang baru, seharusnya mereka akan meminta kredit untuk menyetujui suatu kesepakatan internasional dan mendapatkan komando arah negosiasi selanjutnya hanya dengan klarifikasi apa yang telah dilakuukan oleh China sebagai negara emiter terbesar dan sebagai negara garda terdepan. Namun di saat yang sama, beberapa tahun ke depan China masih akan lambat dalam merespon berbagai tuntutan baru dalam perkembangan konferensi COP dan akan tetap mendapatkan tekanan-tekanan internasional karena posisi emiter China yang diprediksikan masih akan berada pada grup atas dalam penghasil emisi karbon. Secara domestik pertumbuhan ekonomi China yang tinggi akan tetap berlangsung dalam beberapa tahun mendatang, dan penggunaan bahan bakar fosil akan tetap dilakukan dalam intensitas yang tinggi. Hal ini dikarenakan sistem Research and Development China dalam hal sumber energi yang terbaharukan masih sangat jauh tertinggal dari negara-negara barat, sehingga bila China memaksa untuk menggantikan motor penggerak pabrik-pabrik mereka dengan sumber daya yang terbaharukan maka hasil produksi yang dihasilkan pun akan jauh menurun. Sehingga posisi China pada COP 18 akan tetap pada keputusannya di COP sebelumnya dimana China hanya akan menyetujui keputusan-keputusan yang dihasilkan dengan prasyarat tertentu karena klaim mereka telah menjalankan 12th Five Years Plan-nya. Dalam skala internasional, tekanan-tekanan akan tetap terus bermunculan. Amerika Serikat dan Uni Eropa akan menjadi dua aktor utama yang akan sangat menekan China untuk mau meratifikasi peraturan COP yang mengikat, dan tidak lagi menggolongkan China sebagai negara berkembang, tapi digolongkan pada negara dengan emiter terbesar di dunia. Kesimpulan Sikap inkonsistensi yang ditunjukkan China merupakan bentuk rasionalitas aktor-aktor dalam negara tersebut yang dipengaruhi faktor internal dan eksternal negara tersebut. Dari faktor 14 internal, faktor domestik seperti kepentingan untuk melindungi industri dan perekonomian menjadi faktor yang dominan muncul. Sedangkan dari faktor eksternal, tuntutan dari dunia internasional seperti tuntutan Amerika Serikat, Uni Eropa, dan juga PBB. China juga didorong untuk menunjukkan moral responsibility terhadap masalah linkungan karena kontribusinya yang besar dalam kerusakan lingkungan. Oleh sebab itu, maka tindakan yang ditunjukkan China dalam menanggapi masalah lingkungan menjadi terlihat inkonsisten. Namun setidaknya telah muncul itikad baik dan peranan yang cukup aktif dari negara tersebut untuk ikut serta dalam penyelesaian masalah lingkungan. Meskipun demikian, China harus menujukkan bentuk keaktifan yang lebih dan tidak hanya menunjukkan sikap yang normatif semata. Posisi dan sikap China sendiri di masa mendatang masih memiliki kecenderungan yang sama seperti yang dimilikinya saat ini, yaitu masih aktif terlibat dalam kegiatan internasional tentang lingkungan dan sekaligus menjadi emitter yang besar. Sehingga dalam masalah lingkungan ini, peran masyarakat internasional menjadi semakin krusial untuk menjalankan kontrol sosialnya terhadap negara-negara yang memiliki potensi untuk berkontribusi besar dalam kerusakan lingkungan yang mengancam dunia, seperti China. Referensi Action for Our Planet, Top 10 Polutting Countries (online), <http://www.actionforourplanet.com/#/top-10-polluting-countries/4541684868>, diakses 18 April 2012. BBC, Canada to Withdraw from Kyoto Protocol, <http://www.bbc.co.uk/news/world-us-canada16151310>, diakses 19 April 2012. BBC, China Vows Climate Change Action (online), < http://news.bbc.co.uk/2/hi/8268077.stm>, diakses 11 April 2012. Booth, J., Climate Change Threates to Destroy China’s Rural Communities (online), <http://www.policymic.com/articles/2485/climate-change-threatens-to-destroy-china-srural-communities>, diakses 11 Januari 2012. Chen, G., 2009, Politics of China’s Environmental Protection: Problems and Progress, World Scientific. 15 CIA The World Factbook, China (online), <https://www.cia.gov/library/publications/the-worldfactbook//geos/ch.html>, diakses 14 April 2012. EIA, China Energy Data: Statistic and Analysis (online), <http://www.eia.gov/cabs/china/Full.html>, diakses 18 April 2012. Eshleman, A. Stanford Encyclopedia of Philosophy: Moral Responsibility. 18 November 2009. <http://www.plato.stanford.edu/entries/moral-responsibility>. Fahlquist, JN., 3 November 2008, Moral Responsibility for Environmental Problems—Individual or Institutional?, Springerlink. Gao, F., China’s view on future climate change negotiation and measures to address climate change (online), <http://unfccc.int/files/meetings/seminar/application/pdf/sem_pre_china.pdf>, diakses 11 April 2012. Joshua, WB., China and Climate Change : A Strategy fo U.S. Engagement (online), <http://www.rff.org/RFF/Documents/RFF-Rpt-Busby-ChinaClimateChangeFinal.pdf>, diakses 11 April 2012. Koran Jakarta, Disepakati Perjanjian yang Mengikat Semua Anggota (online), 2011, <http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/78195>, diakses 13 April 2012. Lin, W., G. Heggelund, & K. Tangen, Efficient Implementation of CDM in China, <http://www.fni.no/doc&pdf/FNI-R0104.pdf>, diakses 19 April 2012. Maruli, A., Kepemimpinan Cina Penting dalam Perangi Perubahan Iklim (online), <http://www.antaranews.com/berita/163822/kepemimpinan-china-penting-dalamperangi-perubahan-iklim>, diakses 11 April 2012. MNN, Which Countries Produce The Most CO2? (online), <http://www.mnn.com/earthmatters/translating-uncle-sam/stories/which-countries-produce-the-most-co2>, diakses 18 April 2012. Olivier, JGJ et.al, 2011, Long-Term Trend in Global CO2 Emissions: 2011 Report, PBL Netherlands Environmental Assesment Agency, The Hague, 2011 and European Union. Plano, JC. & R. Olton, 1969, International Relations Dictionary. New York: Holt, Rinehart & Winston. 16 Radio Netherlands Worldwide, Pertumbuhan Ekonomi Cina Tertinggi di Dunia (online), <http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/pertumbuhan-ekonomi-cina-tertinggi-didunia>, diakses 14 April 2012. Reuters, China’s CO2 Emissions Rose 10 Percent in 2010: BP Data (online). <http://www.reuters.com/article/2011/06/08/us-energy-bp-emissionsidUSTRE75728120110608>, diakses 19 Maret 2012. Shen, J., China’s Future Population and Development Challenges, The Geographical Journal, Vol. 164, No. 164, Maret 1998. Soceity of Indonesian Environmental Journalist, China Usulkan Legally Binding Agreement (online), 2011, <http://www.siej.or.id/?w=article&nid=332>, diakses 13 April 2012. The New York Times, China’s Environmental Crisis, 26 Agustus 2007, <http://www.nytimes.com/interactive/2007/08/26/world/asia/20070826_CHINA_GRAP HIC.html>, diakses 18 April 2012. The Worldbank, Population, Total (online), <http://data.worldbank.org/indicator/SP.POP.TOTL>, diakses 16 Maret 2012. United Nations Framework Convention on Climate Change, Status of Ratification of the Kyoto Protocol (online), <http://unfccc.int/kyoto_protocol/status_of_ratification/items/2613.php>, diakses 19 April 2012. Vogler, J., 2001, Environment, dalam B.White, R. Little dan M. Smith, Issues in World Politics, New York: Palgrave. World Coal Association, Coal statistics (online), <http://www.worldcoal.org/resources/coalstatistics/>, diakses 18 April 2012. Wu, C. et. al., ‘Water Polution and Human Health in China’, Environmental Health Perspectives, Vol. 107, No. 4, April 1999. 17