IDENTIFIKASI LUTUNG JAWA (Trachypithecus auratus) DI JAVAN LANGUR CENTER (JLC) COBAN TALUN-BATU BERDASARKAN SEKUEN GEN D-LOOP Anisa Rizkyani, Dwi Listyorini, dan Abdul Gofur Universitas Negeri Malang Email: [email protected]; [email protected]; [email protected] ABSTRAK: Lutung Jawa dibedakan menjadi 2 subspesies yaitu T.a. auratus dan T.a.mauritius. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi Lutung Jawa berdasarkan sekuen gen D-loop. Jenis penelitian yang dilakukan adalah deskriptif eksploratif. Isolasi DNA diperoleh dari darah Lutung Jawa betina dewasa bernama Embun dan Ijem yang memiliki perbedaan morfologi. Gen Dloop diamplifikasi dengan teknik PCR menggunakan primer D-loopRs forward 5’- GTA CTT AAC TCC ACC ACC AA -3’ dan reverse 5’- GTT GAG TTG GGT ATG CTC GA-3’. Rekonstruksi pohon filogenetik menunjukkan sampel Ijem dan Embun membentuk clade sendiri. Jarak genetik dari kedua sampel menunjukkan kedua sampel tersebut berbeda subspesies. Sampel Ijem merupakan Trachypithecus auratus mauritius dan sampel Embun merupakan Trachypithecus auratus auratus. Kata kunci: Identifikasi, Lutung Jawa (Trachypithecus auratus), gen D-loop, Javan Langur Center Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki ragam jenis primata terkaya di dunia (Alamendah, 2010). Salah satu jenis satwa endemik yang hidup di Indonesia adalah Lutung Jawa (Trachypithecus auratus) (Supriyatna & Wahono, 2000). Perbedaan morfologi dan sebaran geografis inilah yang membuat Lutung Jawa saat ini dipisahkan menjadi 2 subspesies yang berbeda (Kurniawan: Hasil Wawancara, 2013). Rosenblum et al, (1997) dan Brandon-Jones et al, (2004) membagi Trachypithecus auratus menjadi 2 subspesies yaitu T. a. mauritius dari Jawa Barat dan T. a. auratus dari Bali, Lombok, dan Jawa Timur. Perbedaan Trachypithecus auratus auratus dan Trachypithecus auratus mauritius yaitu warna rambut, alat genital jantan, dan bentuk wajah. International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List versi 2009.2 tahun 2009 memasukkan Lutung Jawa pada kategori Vulnerable (Rentan) (IUCN, 2009). Javan Langur Center ini merupakan tempat rehabilitasi Lutung Jawa yang ada di Jawa Timur. Pentingnya membedakan antara Trachypithecus auratus auratus dan Trachypithecus auratus mauritius berkaitan dengan pengelompokan perkawinan, pemetaan kelompok, dan penentuan lokasi pelepasan. JLC dalam membedakan antara Trachypithecus auratus auratus dan Trachypithecus auratus hanya berdasarkan ciri morfologi saja, sehingga perlu adanya penelitian di tingkat genetik untuk melengkapi dan menguatkan data morfologi. Identifikasi pada level genetis menggunakan gen D-loop, karena merupakan gen pada DNA mitokondria (Statham et al., 2011), memiliki laju mutasi 4-5 kali lebih cepat dibandingkan sekuen gen pada DNA mitokondria lainnya (Horai et al, 1993), panjang gen Dloop sekitar 1 kb, dan merupakan daerah non-coding (Arif & Khan, 2009). Penelitian mengenai gen D-loop untuk penetuan taksonomi Trachypithecus auratus auratus dan Trachypithecus auratus mauritius belum pernah dilakukan, dengan demikian untuk memperoleh kejelasan kedudukan taksonomi Lutung Jawa (Trachypitecus auratus) di Javan Langur Center dilakukan kajian di tingkat genetik yang menggunakan gen D-loop. METODE Penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi Lutung Jawa (Trachypithecus auratus) di Javan Langur Center Coban Talun – Batu berdasarkan sekuen gen Dloop. Objek dalam penelitian ini adalah sampel darah Lutung Jawa yang berasal dari Javan Jangur Center. Sampel darah Lutung Jawa yang digunakan adalah sampel darah Lutung Jawa dewasa betina yang bernama Embun dan Ijem. Kedua sampel tersebut digunakan dengan alasan berdasarkan pengamatan morfologi Lutung Jawa yang bernama Embun diduga Trachypithecus auratus auratus, sedangkan Ijem diduga Trachypithecus auratus mauritius. Analisis genetik dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Hewan dan Laboratorium Biologi Molekuler FMIPA Universitas Negeri Malang. Sekuensing DNA dilakukan di Eijkman Institute for Molecular Biology, Jakarta. Pengambilan darah Sampel darah dalam venojack tersebut disimpan pada suhu -20°C sebelum digunakan. Prosedur isolasi whole blood yang dilakukan mengikuti prosedur kerja dari Roche Isolation DNA Mini Kit dengam sedikit modifikasi. Hasil isolasi disimpan pada suhu -20˚C. Pengecekan konsentrasi DNA dilakukan dengan menggunakan NanoDrop ND-2000 Spectrophotometer. Polymerase Chain Reaction bertujuan untuk mengamplifikasi atau memperbanyak gen target dengan menggunakan gen D-loop yaitu primer D-loopRs forward 5’- GTA CTT AAC TCC ACC ACC AA -3’ dan primer D-loopRs reverse 5’- GTT GAG TTG GGT ATG CT GA-3’dengan siklus yang telah ditentukan. Siklus yang digunakan yaitu denaturasi awal 94°C selama 5 menit, denaturasi 94°C selama 1 menit, annealing 52°C selama 1 menit, extention 72°C selama 2 menit, extention akhir 72°C selama 4 menit. PCR yang dilakukan menggunakan 30 siklus. Pengecekan hasil PCR dengan elektroforesis pada gel agarose 1,5% dan divisualisasi dengan menggunakan UV Transilluminator. Hasil amplifikasi gen D-loop disekuensing dengan menggunakan mesin sekuensing DNA untuk mengetahui urutan basanya. Sekuensing DNA dilakukan di Eijkman Institute for Molecular Biology, Jakarta. Tahapan dari analisis data dalam penelitian ini yaitu optimasi pembacaan kromatogram hasil sekuensing dilakukan dengan menggunakan software Peak Trace. Mencari consensus forward dan reverse dari hasil sekuensing menggunakan software DNA baser. Menganalisis sekuen yang diperoleh dengan menggunakan software BLAST (Basic Local Alignment Search Tool), Clustal X, dan Mega 5. Pembuatan pohon filogenetik menggunakan metode Maximum Likehood (ML), analisis pairwise distance menggunakan model Kimura-2 parameter. Standar Pairwise Distance untuk gen D-loop yaitu sebesar 1,9 % (Warren et al., 2001), jika pairwise distance < 1,9 %, maka termasuk intraspesies, dan pairwise distance > 1,9 %, maka termasuk interspesies. Nilai similaritas = (1 – distance) x 100%. HASIL DAN PEMBAHASAN Konsentrasi DNA sampel Embun sebesar 107,9 ng/µl dengan nilai kemurnian 1,91 dan dari sampel Ijem sebesar 75,6 ng/µl dengan nilai kemurnian 1,82. Konsentrasi DNA yang diperoleh cukup tinggi dan murni tanpa kontaminasi protein maupun RNA, karena nilai kemurnian DNA berkisar antara 1,8 – 2,0 (Fatchiyah, 2011). Amplifikasi gen D-loop dengan PCR menggunakan primer forward D-loopRs 5’- GTA CTT AAC TCC ACC ACC AA -3’ dan primer reverse D-loopRs 5’- GTT GAG TTG GGT ATG CTC GA-3’. Hasil PCR diketahui dengan melakukan elektroforesis dengan Agarose 1,5% sehingga menghasilkan sekuen DNA dengan panjang sekitar 350 bp pada kedua sampel. Hasil PCR selanjutnya dilakukan sekuensing dan menghasilkan sekuen sampel Ijem sepanjang 377 bp dan Embun 370 bp. Hasil analisis BLAST (Gambar 1) menunjukkan bahwa sekuen gen D-loop dari kedua sampel merupakan sampel D-loop yang diinginkan. Hal ini terlihat pada sampel Ijem memiliki nilai query coverage 98-100% dengan nilai maximum identity 83-92%, sampel Embun memiliki nilai query coverage 90-100% dengan nilai maximum identity 82-90% dibandingkan dengan gen D-loop di spesies referensi. Nilai query coverage dan maximum identity pada kedua sampel hampir mencapai 100%, hal ini menunjukkan gen D-loop yang diperoleh dari kedua sampel memang gen D-loop spesies yang ada pada referensi (Golding et al., 2012). A B Gambar 1 Analisis BLAST pada Sampel Ijem Dan Embun. A. Gambar Alignment pada BLAST Sampel Ijem. B. Gambar Alignment Pada BLAST Sampel Embun. Hasil analisis Clustal X menunjukkan bahwa gen D-loop pada kedua sampel tidak dapat dibandingkan dengan sekuen gen Trachypithecus auratus karena data pada NCBI mengenai gen D-loop belum tersedia, sehingga hanya dapat dibandingkan dengan sekuen gen D-loop yang tersedia di NCBI. Dalam hal ini spesies referensi yang dipakai adalah Trachypithecus cristatus, Trachypithecus poliocephalus, Trachypithecus poliocephalus leucocephalus, Trachypithecus laotum, dan Trachypithecus francoisi dengan alasan spesies tersebut berada dalam satu genus dengan sampel. Hasil analisis dengan menggunakan Clustal X menunjukkan sekuen gen yang diperoleh dari sampel Ijem dan Embun menunjukkan adanya perbedaan, karena ditemukan basa nukleotida yang mengalami substitusi yaitu transisi, pergantian basa purin purin (G A atau A G) atau pirimidin primidin (C T atau T C) dan transversi, pergantian basa purin pirimidin (A T, A C, G T, atau G T) atau pirimidin purin (T G, T A, C G, atau C A). Basa nukleotida yang mengalami transisi sebanyak 25 basa nukleotida, sedangkan yang mengalami transversi sebanyak 6 basa nukleotida. Jumlah kejadian transisi lebih banyak dibandingkan dengan transversi, hal ini sesuai dengan Kocher et al. (1989) yang menyatakan bahwa substitusi di dalam spesies sebagian besar adalah transisi. Topologi pohon filogenetik dengan metode Maximum Likelihood (Gambar 2) yang merekontruksi filogeni dengan model evolusi (Golding et al., 2012) menunjukkan bahwa sampel Ijem dan Embun terpisah membentuk clade tersendiri (Gambar 3.5) jika dibandingkan dengan Trachypithecus cristatus, Trachypithecus poliocephalus, Trachypithecus poliocephalus leucocephalus, Trachypithecus laotum, dan Trachypithecus francoisi. Hal ini menunjukkan bahwa sampel Ijem dan Embun tidak satu spesies dengan spesies yang ada pada referensi (Aggarwal et al., 2006). T. francoisi x poliocephalus T. francoisi T. laotum T. poliocephalus l H7 T. poliocephalus l H1 26 T. poliocephalus l H6 T. poliocephalus l H4 51 51 99 T. poliocephalus l H5 T. poliocephalus l H8 T. poliocephalus l H2 67 51 T. poliocephalus l H3 T. poliocephalus 99 T. poliocephalus l H10 T. poliocephalus l H9 T. cristatus T. poliocephalus l H11 56 Ijem Embun 0.02 Gambar 2 Pohon Filogenetik dengan Menggunakan Metode Maximum Likelihood, Analisis Pairwise Distance dengan Model Kimura-2 Parameter Penghitungan jarak genetik menunjukkan gen D-loop memiliki jarak genetik sebesar 1,9 % (Warren et al., 2001), jika kurang dari 1,9% sampel tersebut termasuk intraspesies sedangkan jika lebih dari 1,9% sampel tersebut termasuk interspesies. Jarak genetik antara Ijem dan Embun adalah 11,4% (Tabel 1), sehingga Ijem dan Embun diduga merupakan subspesies yang berbeda. Tabel 3.1 Tabel Jarak Genetik dari Sampel yang Digunakan Berdasarkan data morfologi dan analisis genetik, pengelompokan Lutung Jawa yang dapat dibuat yaitu Ijem tidak boleh sekelompok dengan Embun, karena bukan dalam subspesies yang sama. Apabila dijadikan satu kelompok dapat terjadi perkawinan antar subspesies akibatnya akan menurunkan kemurnian genetisnya atau menghilangkan alel murni pada kedua spesies tersebut (Sakti, 2011) dan berpotensi memperbanyak variasi genetisnya. Contohnya pada Simpai/sejenis lutung dari Sumatera (Presbitys melalophos), mempunyai sedikitnya 7 subspesies, padahal awalnya hanya 4 subspesies. Aturan hukum di Indonesia juga melarang hal tersebut untuk semua spesies baik flora maupun fauna (Kurniawan: Hasil Wawancara, 2013). Perkawinan beda subspesies atau spesies boleh dilakukan apabila subspesies atau spesies tersebut berada pada status terancam atau hampir punah. Penggabungan subspesies maupun spesies bertujuan untuk merestorasi genetik satwa yang hampir punah (genetic restoration) (Sakti, 2011). PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan gen D-loop sampel Ijem dan Embun diduga berbeda subspesies. Hasil penelitian ini mendukung data morfologi dan penelitian Sakti (2011) yang menunjukkan kedua sampel tersebut berbeda subspesies. Sampel Ijem merupakan Trachypithecus auratus mauritius dan sampel Embun merupakan Trachypithecus auratus auratus. Saran Diperlukan penelitian lanjutan untuk memastikan sampel Ijem dan Embun berbeda subspesies dengan menggunakan sekuen gen COI dan 16S. DAFTAR RUJUKAN Aggarwal, R. K., Kivisild, T., Ramadevi, J., & Singh, L. 2007. Mitochondrial DNA Coding Region Sequences Support The Phylogenetic Distinction of Two Indian Wolf Species. J. Zool. Syst. Evol. Res. 45(2): 163 – 172. Alamendah. 2010. Lutung Jawa (Trachypithecus auratus), (Online), (http://alamendah.wordpress.com/2010/07/13/lutung-jawaTrachypithecus-auratus/, diakses tanggal 1 Juni 2011). Arif, I. A. & Khan, H. A. 2009. Molecular Marker for Biodiversity Analysis of Wildlife Animal: a brief review. Animal Biodiversity and Conservation, 32(1): 9 – 17. Brandon-Jones, Douglas. 2004. A taxonomic Revision of the Langur and Leaf Monkeys (Primates: Colobinae) of South Asia. Zoos’ Print Journal 19(8): 1552-1594. Fatchiyah, Arumingtyas, E. L., Widyarti, S., Rahayu, S. 2011. Biologi Molekular. Malang: Penerbit Erlangga. Golding, B., Morton, D., & Haerty, W. 2012. Elementary Sequence Analysis. Ontario: Department of Biology McMaster University Hamilton. Horai S., Kondo, R., Nakagawa-Hattori Y., Hayashi, S., Sonada, S., & K. Tajimaas. 1993. Peopling of the Americas, founded by four mayor lineages of Mitochondrial DNA. Mol. Biol. Evol. 10: 23 – 47. IUCN. 2009. Javan Langur (Trachypithecus auratus). (online),(http://www.iucnredlist.org/, diakses pada tanggal 3 Juni 2011). Kocher, T. D., Thomas, W. K., Meyer, A., Edwards, S. V., Paabo, S., Villablanca, F, X., & Wilson, A. C. 1989. Dinamics of Mitochondria DNA Evolution in Animals: Amplification and Sequencing with Conserve Primers. Proceeding of the National Academy of Science of the United States of america. 86 : 6196-6200. Kurniawan, I. 2013. Komunikasi Pribadi. Rosenblum, L. L., Supriatna, J., Hasan, M. N., & Melnick, D. J. 1997. High Mitochondrial DNA Diversity with Little Structure Within and Among Leaf Monkey Population (Trachypithecus cristatus and Trachypithecus auratus). International Journal of Primatology. 18 (6) : 1005-1028. Sakti, M. A. E. 2011. Keragaman Genetik Lutung Jawa (Trachypithecus auratus Geoffroy 1812) di Pusat Rehabilitasi Javan Langur Conservation Program Berdasarkan Gen Cyt B. Tesis tidak diterbitkan: Malang : Program Pascasarjana Universitas Brawijaya. Statham, M. J., Lyudmila, N. T., Sacks, B. N., Kharlamova, A. V., Oskina, I. N., Gulevic,h R. G., Johnson, J. L., Temnykh, S. V., Acland, G. M., & Kukekova A. V. 2011. On the Origin of a Domesticated Species: Identifying the Parent Population of Russian Silver Foxes (Vulpes vulpes). Biological Journal of the Linnean Society 2: 1 – 8. Supriatna, J. dan Wahono, E, H. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Warren, S. K., Versscoor, J. E., Langenhuijzen, S., Heriyanto, Swan, A. R., Vigilant, L., & Heeney, L. J. 2001. Speciation and Intrasubspecific Variation of Bornean Orangutans, Pongo pygmaeus pygmaeus. Mol. Biol. Evol. 18(4): 472-480.