PAPER JURNAL ONLINE “MISI SUCI” GREBEG SUDIRO (Studi Eksploratif Pesan Ritual Budaya Grebeg Sudiro dalam rangka Persatuan Masyarakat di Kota Surakarta) Disusun Oleh : RAFFA WIDYANINGSIH D0211082 JURNAL Diajukan Guna Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret Surakarta PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2015 “MISI SUCI” GREBEG SUDIRO (Studi Eksploratif Pesan Ritual Budaya Grebeg Sudiro dalam rangka Persatuan Masyarakat di Kota Surakarta) Raffa Widyaningsih Andrik Purwasito Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract The purpose of this study were to identified the messages that communicated by Grebeg Sudiro in order to unity at Surakarta in terms of communication perspective. The method that used in this study is an exploratory method, which is the researcher exploring Grebeg Sudiro celebration and did an observation at the time of the celebration to look the communication symbols of the celebration. Then to complete the data were not able to be obtained through observation, the researcher make some interview with several informant who appropriate to answer the research question. Data analysis technique that used in this study is interaction between three components of data analysis with categorization and analysis using communication theories and intercultural communication theories. This research is closely related in Communication Science, especially Intercultural Communication. Intercultural communication is now an important case to realize a peaceful life in this world. Grebeg Sudiro is a celebration to welcoming Chinese New Year therein contained messages from Sudiroprajan society for Surakarta people. Based on these results it can be concluded that Grebeg Sudiro is a media to communicate messages from communicator (Sudiroprajan society) to communicant (Surakarta people). The messages of Grebeg Sudiro communicated by forth symbols of communication, such gunungan, jodang karya seni or jodang of artwork, parade of art, and themes of Grebeg Sudiro. Gunungan communicate expression of thanks be to God, jodang karya seni communicate harmonious of inter-religion, parade of art communicate racial unity, and themes of Grebeg Sudiro communicate diversity. That forth symbols of communication made in order to Surakarta’s people unity. *Key words: Exploratory Study, Message, Grebeg Sudiro, Intercultural Communication. 1 Pendahuluan Masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat yang multietnis dan multikultur sangat rentan terhadap adanya isu-isu sentimentil antaretnis. Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soeharto mengatur dengan tegas kehidupan etnis tentang agama, kepercayaan, dan adat-istiadat, akibatnya setiap warga etnis Tionghoa harus masuk dalam agama-agama yang resmi diakui pemerintah dan dilarang menunjukkan kegiatan agama, budaya, dan identitas sosial mereka sebagai etnis Tionghoa. Belum selesai terbelenggunya kebebasan orang Tionghoa, pada tahun 1998 saat Indonesia mengalami krisis moneter dan demo besar-besaran yang dilakukan di banyak daerah, turut terjadi kerusuhan pada bulan Mei 1998 yang sampai saat ini menjadi momen paling kelam dalam kehidupan etnis Tionghoa, termasuk di Kota Surakarta. Pada saat itu, terjadi penjarahan besar-besaran toko milik Tionghoa dan berujung pada kerusuhan antaretnis di Surakarta yang menimbulkan trauma yang luarbiasa pada etnis Tionghoa saat itu. Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, tradisi etnis Tionghoa dimerdekakan di seluruh tanah air Indonesia. Orang-orang Tionghoa mulai berani tampil menunjukkan eksistensinya dan belajar di sekolah-sekolah. Hingga keberadaan budaya Tionghoa diakui di Indonesia dengan ditetapkannya perayaan tahun baru Imlek sebagai hari libur nasional. Kebebasan yang telah diperoleh warga Tionghoa Indonesia tersebut merupakan kesempatan untuk mereka menunjukkan eksistensi sebagai Warga Negara Indonesia. Keputusan dari Pemerintah pada masa itu membebaskan etnis Tionghoa dimanapun berada, termasuk di Surakarta. Terbentuknya kebudayaan di Surakarta tidak lepas dari adanya berbagai etnis yang ada di dalam masyarakat Surakarta. Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, dikenal sebagai salah satu daerah pemukiman etnis Tionghoa yang besar di Kota Surakarta, maka dari itu disebut sebagai kawasan Pecinan. Bahkan, perkembangan 2 masa ke masa menjadikan salah satu kampung di Sudiroprajan, yaitu Kampung Balong, sebagai daerah pembauran antara etnis Jawa dan Tionghoa. Kehidupan antara etnis Jawa dan Tionghoa yang rukun di Sudiroprajan membawa dampak bagi Kota Surakarta. Untuk memaknai kerukunan antara etnis Jawa dan Tionghoa di Sudiroprajan, kemudian muncullah ide untuk membuat suatu perayaan yang mencerminkan nuansa pembauran, yaitu Grebeg Sudiro. Grebeg Sudiro lahir sebagai bentuk pelestarian kerukunan antaretnis yang terjadi di Sudirorajan. Perpaduan tradisi dan kesenian yang ada pada Grebeg Sudiro menjadikan gelaran budaya ini menjadi unik dan diterima masyarakat luas. Grebeg Sudiro juga dijadikan momentum bersatunya etnis Jawa dan Tionghoa di Surakarta. Grebeg Sudiro membawa misi khusus bagi masyarakat Kota Surakarta. Misi tersebut merupakan pesan-pesan yang dikomunikasikan melalui simbol-simbol yang ada dalam gelaran budaya Grebeg Sudiro. Aspek pesan yang ingin disampaikan oleh Grebeg Sudiro ini menjadi salah satu fenomena yang menarik untuk diteliti karena belum pernah ada penelitian sebelumnya terkait aspek pesan Grebeg Sudiro. Kehidupan antaretnis masyarakat Sudiroprajan yang unik menjadi daya tarik bagi ke’khas’an Kota Surakarta. Grebeg Sudiro menunjukkan bahwa jalinan kerukunan dan persatuan ditengah masyarakat bukanlah sebatas semboyan Indonesia, “Bhinneka Tunggal Ika”, tetapi semboyan tersebut benar-benar bisa hidup dan mempunyai wujud nyata di tengah masyarakat yang plural, sehingga menghilangkan prasangka antaretnis. Grebeg Sudiro lahir semata-mata tidak hanya sebagai event tahunan kota dari Kelurahan Sudiroprajan. Akan tetapi, Grebeg Sudiro membawa pesan-pesan khusus didalamnya. Pesan dalam Grebeg Sudiro itulah yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Melalui misi yang diemban oleh Grebeg Sudiro, kita akan mampu mengkaji adanya komunikasi antarbudaya yang terjalin dengan baik di masyarakat Sudiroprajan. Ketika budaya Jawa dan Tionghoa membaur dan lahir sebagai budaya 3 baru bagi Kota Surakarta melalui Grebeg Sudiro mengkomunikasikan pesan-pesan dan makna persatuan dalam setiap tampilan dan rangkaian acara Grebeg Sudiro. Rumusan Masalah Penelitian ini dilakukan dengan rumusan masalah sebagai berikut: Apa pesan yang dikomunikasikan melalui Grebeg Sudiro dalam rangka persatuan masyarakat di Kota Surakarta ditinjau dari perspektif komunikasi? Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: Pesan yang dikomunikasikan melalui Grebeg Sudiro dalam rangka persatuan masyarakat di Kota Surakarta ditinjau dari perspektif komunikasi. Telaah Pustaka a. Komunikasi dan Komunikasi Antarbudaya Laswell (dalam Effendy 1984: 13), cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan berikut: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect? Dari paradigma inilah kemudian muncul bahwa komunikasi meliputi lima unsur, yaitu: - Who : komunikator, adalah pengirim pesan. - Says What : pesan (message). - In With Channel : media, adalah saluran atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan. - To Whom : komunikan, adalah penerima pesan. - With What Effect : efek, dampak, merupakan efek yang ditimbulkan oleh pesan pada komunikan. Sehingga berdasarkan paradigma tersebut, pengertian komunikasi menurut Laswell adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu (Effendy 1984: 13). 4 Sedangkan ilmu komunikasi adalah upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegar asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap (Hovland dalam Effendy 1984: 12). Menurut Hovland, komunikasi adalah proses merubah perilaku orang lain. Akan tetapi, seseorang akan dapat merubah sikap, pendapat, atau perilaku orang lain, apabila komunikasinya itu komunikatif. Andrik Purwasito dalam buku Message Studies (2003), menjelaskan bahwa pesan merupakan penggerak kebudayaan. Pesan menggambarkan tentang realitas sosial yang obyektif, mendistribusikan gagasan individual, kelompok dan institusional serta menjadi sarana pertukaran. Komunikasi membantu manusia mewujudkan tujuan tersebut karena peranannya dalam membangun hidup berdampingan secara damai. Komunikasi mampu menumbuhkan kesadaran multikultural untuk hidup bersama dalam perbedaan. Tahap komunikasi yang berhasil terletak pada upaya rekayasa pesan atau message engineering (Purwasito 2003: 9-11). Simbol budaya dapat dalam bentuk, gerakan, pakaian, objek, bendera, ikon keagamaan, dan sebagainya. Budaya tersebut dinamis dan selalu berkembang menyesuaikan perkembangan jaman (Samovar et al 2010: 31-47). Y. Hu dan W. Fan dalam International Journal of Intercultural Relations 35 (2011: 564-565) dengan judul “An Exploratory Study on Intercultural Communication Research Contents and Methods: A Survey Based on The International and Domestic Journal Papers Published from 2001 to 2005” menjelaskan bahwa komunikasi antarbudaya yang baik semakin diperlukan dewasa ini agar terhindar dari konflik. Karena masalah apapun yang menyangkut suku, agama, ras, dan adat istiadat masih sangat memicu terjadinya konflik. Oleh sebab itu, komunikasi antarbudaya hadir dengan tujuan untuk memahami pengaruh budaya pada sikap, keyakinan, dan perilaku kita untuk mengurangi kesalahpahaman. Pentingnya peranan manusia antarbudaya dewasa ini adalah untuk menjadi penengah guna mengurangi kesalahpahaman antara orang-orang yang berbeda budaya. Posisi dan kemampuannya sebagai manusia antarbudaya memungkinkannya berkomunikasi 5 secara luwes, efektif, dan memuaskan dengan orang-orang dari budaya lain yang ia hadapi. b. Persatuan Dasar Negara Republik Indonesia adalah Pancasila. Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa mengandung persatuan dan kesatuan. Persatuan menurut WJS. Poerwadarminta (1987) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia memiliki arti gabungan dari beberapa bagian yang sudah bersatu. Nilai persatuan yang terkandung dalam Pancasila sila ke-3 yang berbunyi “Persatuan Indonesia” menunjukkan bahwa falsafah hidup Negara Indonesia adalah bersatu untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tugas utama sebagai rakyat Indonesia adalah untuk menjaga kesatuan Indonesia, termasuk budaya yang hidup dalam masyarakat. Budaya dan masyarakat merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena budaya dibentuk oleh masyarakat dan masyarakat merupakan pendukung kebudayaan, maka tidak ada budaya tanpa masyarakat dan tidak ada masyarakat tanpa budaya (Saptono vol. 8, 2010: 1). Rakyat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa tidak terelakkan dari perbedaan-perbedaan budaya. Oleh karena keberagaman tersebut, bukanlah hal yang perlu dijadikan masalah, namun perbedaan tersebut mampu dijadikan kekuatan untuk persatuan dan kesatuan bangsa (Kaelan dalam Saptono vol. 8, 2010: 2). c. “Misi Suci” Misi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti tugas yang harus dilakukan sebagai suatu kewajiban demi suatu hal yang khusus. Misi dikerjakan untuk bisa mencapai visi atau harapan. Misi bersifat nyata, yang bisa dilakukan. Sedangkan visi bersifat abstrak karena merupakan suatu hal yang belum terlihat, belum tercapai, masih menjadi “sesuatu yang diharapkan bisa tercapai”. Berdasarkan penjelasan tersebut, “misi suci” Grebeg Sudiro diartikan sebagai pesan. Pesan disampaikan oleh komunikator pada komunikan melalui Grebeg Sudiro 6 sebagai medianya. Pesan-pesan tersebut nyata dan mampu dilihat dalam Grebeg Sudiro melalui simbol-simbol komunikasi yang tampak selama proses ritual budaya berlangsung. Pesan-pesan tersebut sengaja dibuat oleh komunikator untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu dalam rangka persatuan masyarakat di Kota Surakarta. Pesan yang disampaikan akan diterima dengan baik jika pesan tersebut mampu dikomunikasikan dengan baik, dengan cara yang benar, dan membawa dampak yang baik pula. Persatuan akan tercapai apabila pesan-pesan tersebut berhasil dikomunikasikan melalui simbol-simbol komunikasi yang mudah diinterpretasikan oleh komunikan. Metodologi Penelitian “Misi Suci” Grebeg Sudiro menggunakan paradigma penelitian eksploratif. Penelitian eksploratif ini dilakukan karena pengetahuan tentang gejala yang diteliti masih sangat kurang atau tidak ada sama sekali, bahkan teori-teorinya belum ada (Koentjaraningrat 1977: 19). Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori-teori dalam bidang kajian studi Ilmu Komunikasi dan studi pesan. Tahap penelitian menjelajah merupakan tahap pertama dari suatu penelitian yang lebih luas. Untuk itu, penelitian ini dilakukan sebagai suatu feasibility study, artinya untuk meneliti apakah penelitian itu dapat dilakukan dilihat dari segi adanya atau dapat diperolehnya data yang diperlukan. Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah berupa catatan pengamatan lapangan yang dilakukan secara partisipatoris atau wawancara mendalam (Purwasito 2015: 359). Penelitian menjelajah dilakukan dimana gejala dari masalah yang diteliti masih sangat minim informasi. Dalam kajian penelitian ini, perspektif individual, yaitu kemampuan peneliti terhadap masalah yang ingin diteliti, terutama referensi terhadap fenomena yang relevan dengan subjek penelitian menjadi hal yang penting (Purwasito 2015: 359). 7 Sajian dan Analisis Data Perkawinan campuran kedua orangtua yang berbeda etnis; antaretnis Jawa dan Tionghoa di Sudiroprajan, menghasilkan keturunan campuran yang disebut “Ampyang”. Sebutan ampyang diambil dari salah satu jenis kue yang terbuat dari kacang dan gula. Kacang untuk kacang China (melambangkan etnis Tionghoa) dan gula untuk gula Jawa (melambangkan etnis Jawa – Pribumi). Perkawinan campuran bisa terjadi dengan mudah karena masyarakat yang tinggal di Sudiroprajan kebanyakan adalah dari kalangan dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Dengan kondisi ekonomi yang minim, memungkinkan interaksi sosial antarindividu menjadi lebih mudah. Namun, faktor ekonomi yang tergolong rendah tidak lantas memudahkan proses komunikasi dan interaksi sosial diantara masyarakat Sudiroprajan. Tidak hanya karena faktor ekonomi, namun juga karena terbukanya sekat antaretnis memungkinkan orang Tionghoa Sudiroprajan bisa mengenal tradisi Jawa Sudiroprajan lebih dalam, dan orang Jawa Sudiroprajan bisa mengenal tradisi Tionghoa Sudiroprajan dengan pikiran terbuka. Kunci kerukunan masyarakat Sudiroprajan adalah saling menerima dan saling menjaga. Ketika ada masalah, masyarakat Sudiroprajan memilih untuk menyelesaikan secara langsung dengan terbuka dan kekeluargaan. Hal ini dibuktikan dengan kutipan wawancara dengan sebagai berikut: “Bisa menerima kebudayaan China. Seakan-akan udah biasa lah. Karena, pertama, itu masyarakat warga Pribumi mau menerima, istilahnya, sayuk rukun saling menjaga, itu kuncinya. Mereka saling menerima. Dari dulu itu. Memang kehidupan di Kampung Balong, Kepanjen, memang gitu. Jadi, seakan-akan tidak ada batas. Misal etnis Jawa punya gawe, etnis Tionghoa itu tidak segansegan membantu. Sudah biasa. Kawin antaretnis di Balong itu banyak banget. Salah dua contohnya, kakak saya dan adik saya, mereka dapat Pribumi.” (Wawancara dengan Bapak Haryanto, 27 Maret 2015) “Antara orang-orang Tionghoa dengan yang lainnya itu mereka semakin sadar bahwa pertentangan semacam ini merugikan mereka semua. Sehingga misalnya ada kecelakaan, paling maaf-maafan, kecuali sampai parah. Tapi kalau secara umum kita tidak ada masalah.” (Wawancara dengan Bapak Roni, Sekretaris Klenteng Tien Kok Sie, 27 Maret 2015) 8 Persatuan etnis Jawa dan Tionghoa yang terjadi di Sudiroprajan ini kemudian dibingkai melalui Grebeg Sudiro untuk menandai bersatunya masyarakat Sudiroprajan. Grebeg Sudiro pada awalnya dibentuk hanya semacam festival yang diadakan tujuh hari sebelum Imlek (Tahun Baru China) dalam versi pembauran, dari kampung ke kampung. Grebeg Sudiro biasanya dijatuhkan pada hari Minggu. Grebeg Sudiro pertama kali diadakan pada tahun 2007. Ada beberapa tokoh yang ikut memiliki gagasan untuk membentuk Grebeg Sudiro, seperti Bapak Sarjono Lelono Putro (Jawul) dari seniman Sudiroprajan, Bapak Henry Susanto (Ketua Klenteng Tien Kok Sie), Bapak Wiharto dari Kompak Pasar Gede, bersama Bapak Sri Harjo dari sesepuh Kampung Balong, Bapak Haryanto (Kho Hok Sing) dari perwakilan warga, dan dengan Lurah Sudiroprajan yang saat itu menjabat, Bapak Sigit. Visi yang ingin dicapai melalui Grebeg Sudiro yaitu supaya melalui Grebeg Sudiro ini bisa menyebar ke seluruh Surakarta dan bisa menjadi percontohan di Kota Surakarta sebagai festival pembauran. Sedangkan misi yang diemban oleh Grebeg Sudiro adalah warga Sudiroprajan ingin menunjukkan pada dunia, atau mungkin kampung lain, bahwa di Sudiroprajan etnis Jawa dan etnis Tionghoa itu benar-benar bisa bersatu. Etnis Tionghoa bisa menerima etnis Jawa, etnis Jawa juga bisa menerima etnis Tionghoa. Terbentuknya Grebeg Sudiro ternyata menjadi sarana untuk merekatkan hubungan intern antaretnis Tionghoa di Surakarta. Grebeg Sudiro mulai tahun 2012 didukung sepenuhnya oleh enam perkumpulan Tionghoa di Surakarta, antara lain Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS), Perhimpunan Hakka Surakarta (Perhakkas), Himpunan FuQing, Hoohap, Majelis Agama Kong Hu Chu Indonesia (Makin), dan baru saja bergabung di tahun 2014 Perhimpunan Warga Guangzhou Surakarta (Perwagas). Persatuan perkumpulan antaretnis ini menguatkan jalinan persatuan antaretnis di Kota Surakarta. Pesan-pesan yang disampaikan oleh komunikator (masyarakat Sudiroprajan) kepada komunikan (masyarakat Kota Surakarta) melalui media (Grebeg Sudiro) 9 dikomunikasikan dalam empat simbol komunikasi berikut, yaitu gunungan, jodang karya seni, pawai kesenian, dan tematik tahunan. 1. Gunungan mengkomunikasikan ucapan syukur. Acara Grebeg selalu identik dengan gunungan. Seperti pada acara Grebeg Maulud yang diadakan oleh Keraton Kasunanan Surakarta, gunungan selalu disiapkan sebagai simbol perayaan. Badan Perpustakaan Daerah dan Arsip Daerah Istimewa Yogyakarta (BPAD Jogja) melalui artikel milik Theresiana A. Larasati (2014) yang dilansir dari http://bpadjogja.info/article, menjelaskan bahwa gunungan merupakan sebutan untuk kumpulan makanan yang disusun sedemikian rupa hingga menyerupai gunung, dan pada akhir acara akan diperebutkan oleh masyarakat; gunungan ini merupakan simbol kemakmuran mewakili keberadaan manusia, lakilaki dan perempuan. Masyarakat Sudiroprajan (komunikator) mengkomunikasikan bentuk ucapan syukur mereka dalam bentuk bermacam gunungan melalui Grebeg Sudiro. Sebagai hasil proses adopsi budaya, isi gunungan dimodifikasi menyesuaikan dengan hasilhasil bumi (makanan) yang dihasilkan oleh masyarakat Sudiroprajan. Gunungan pada Grebeg Maulud dari Keraton Surakarta dan Yogyakarta biasanya dibagi menjadi enam jenis, yaitu Gunungan Jaler, Gunungan Estri, Gunungan Darat, Gunungan Gepak, Gunungan Pawuhan, dan Gunungan Picisan. a. Gunungan Jaler (laki-laki) dan Gunungan Estri (perempuan). Gunungan Jaler dan Gunungan Estri dalam Grebeg Sudiro diisi dengan kue keranjang sebagai simbol komunikasi yang utama mengkomunikasikan pesan persatuan antara etnis Jawa dan Tionghoa Sudiroprajan. Gunungan kue keranjang merupakan hasil dari proses adopsi budaya. Gunungan diambil dari tradisi Keraton (Jawa) dan kue keranjang yang merupakan kue khas Imlek yang diambil dari tradisi Tionghoa. Sehingga, gunungan kue keranjang ini dianggap representatif untuk menggambarkan bersatunya etnis Jawa dan Tionghoa di 10 Sudiroprajan. Di sisi religiusitas, bentuk gunungan mengkomunikasikan ucapan syukur atas berkat Tuhan atas masyarakat Sudiroprajan. Gunungan kue keranjang disiapkan oleh Klenteng Tien Kok Sie yang disusun dari kurang lebih 4.000 buah kue keranjang. Sebelum diarak, gunungan kue keranjang akan didoakan dan diberkati terlebih dahulu di Klenteng Tien Kok Sie. Didoakan terlebih dahulu dengan harapan apa yang akan dibagikan dalam Grebeg Sudiro sudah diberkati oleh Tuhan terlebih dahulu. Makanan menjadi unsur simbolis yang sama besarnya dengan nilainya sebagai unsur untuk bertahan hidup, oleh sebab itu makanan menjadi hal yang sangat perlu diperhatikan dalam setiap perayaan (Danesi 2010: 290). Humas Grebeg Sudiro, Bapak Haryanto menyatakan bahwa gunungan kue keranjang ini hanya ada satu yaitu di Kota Surakarta, jadi ini merupakan ciri khas atau simbol dari Grebeg Sudiro. Ciri khas itulah yang membuat Grebeg Sudiro menjadi berbeda dari festival atau gelaran budaya lainnya. “Kalau ikon Grebeg Sudiro itu gunungan kue keranjang. Kalau di Indonesia itu cuma ada satu, di Solo tok, gunungan kue keranjang,” tandasnya (Wawancara dengan Bapak Haryanto, 27 Maret 2015). b. Gunungan Darat. Gunungan Darat pada umumnya tidak diletakkan di jodang. Warnanya berwarna-warni, seperti hitam, putih, merah, kuning, dan hijau. Gunungan ini dalam tradisi Keraton (Jawa) melambangkan para pangeran dan putra raja. Gunungan ini diberikan oleh Panitia Imlek Bersama Kota Surakarta sebagai simbol komunikasi bersatunya enam persatuan etnis di Kota Surakarta. Gunungan Darat berisi jajanan pasar yang khas di Surakarta dan berwarna-warni, meliputi warna hitam, putih, merah, kuning, dan hijau. Makanan khas Tionghoa, seperti wajik (warna hijau), kue ku (warna merah), kue moho (warna merah muda), bakpao (warna putih), dan janggelut (warna kuning), digunakan untuk mengisi 11 gunungan ini. Makanan-makanan jajan khas Surakarta tersebut disusun menggunung mengkomunikasikan ucapan syukur pada Tuhan. c. Gunungan Gepak. Gunungan Gepak biasanya berwujud seperti jodang yang terbuat dari kayu jati dicat merah tua dengan dua batang kayu cukup besar dan panjang untuk memikul; gunungan gepak melambangkan para putri raja. Persatuan dikomunikasikan dari isian dan ornamen penghias jodang kue keranjang RW 8. Jodang berisi kue keranjang dan dihias lampion (khas Tionghoa), mengingat warga RW 8 adalah penghasil kue keranjang. Ornamen hiasan berupa bungkus ketupat dan bentuk gunungan wayang mewakili tradisi Jawa. Kue keranjang disusun menggunung mengkomunikasikan ucapan syukur dalam tradisi Jawa. d. Gunungan Pawuhan. Gunungan Pawuhan berbentuk menyerupai Gunungan Estri dan Gunungan Darat, namun ukurannya lebih kecil; di bagian puncaknya diletakkan bendera merah putih kecil sebagai mustaka atau mahkota; melambangkan para cucu raja. Gunungan Pawuhan dalam Grebeg Sudiro tahun 2015 berisi makanan jajan pasar yang diletakkan dalam jodang. Makanan pengisi jodang dalam gunungan ini berasal dari warga RW 7 Sudiroprajan, yang merupakan sentra penghasil jajan pasar di Kota Surakarta. Pada puncak jodang RW 7 diberi bendera merah putih sesuai dengan bentuk Gunungan Pawuhan. Bendera merah putih melambangkan sila ketiga Pancasila yaitu “Persatuan Indonesia”. Pesan persatuan tergambar jelas dari tampilan jodang RW 7, sebagai bagian dari Bangsa Indonesia, masyarakat Sudiroprajan (komunikator) ingin mengajak masyarakat Surakarta (komunikan) untuk bersatu dan membangkitkan jiwa nasionalisme. e. Gunungan Picisan. Gunungan Picisan tidak terdapat makanan yang menghiasi. Gunungan Picisan Grebeg Sudiro tahun 2015 dibuat dari jodang yang berisi jamu dari produksi warga RW 1 Sudiroprajan yang merupakan penghasil jamu. Jodang 12 jamu RW 1 berisi jamu mulai dari jamu dalam kemasan untuk anak sampai orang dewasa disusun menggunung sebagai wujud bentuk gunungan. Gunungan jamu yang diletakkan dalam jodang mengkomunikasikan ucapan syukur pada Tuhan. Apa saja yang dipakai, dimakan, dan dikerjakan, benda apa saja yang diciptakan, merupakan simbol komunikasi (Purwasito 2015: 293). Simbol komunikasi berupa gunungan berdasarkan uraian diatas menunjukkan sisi religiusitas masyarakat Sudiroprajan, yaitu sebagai bentuk ucapan syukur pada Tuhan. Unsur paling utama dalam setiap religiusitas, termasuk religiusitas Jawa adalah kepercayaan terhadap adanya Tuhan (Astiyanto 2006: 114). Melalui gunungan Grebeg Sudiro, komunikator menyadarkan komunikan untuk mengucap syukur pada Tuhan. Selain itu, simbol komunikasi berupa gunungan pada Grebeg Sudiro juga mengkomunikasikan pesan persatuan. Pesan tersebut tergambar jelas melalui isi gunungan yang terdiri makanan-makanan khas etnis Tionghoa, sedangkan bentuk gunungan merupakan tradisi Jawa. Gunungan Grebeg Sudiro berusaha untuk menyatukan dua etnis besar yang ada di Sudiroprajan, yaitu Jawa dan Tionghoa. Komunikator Grebeg Sudiro (masyarakat Sudiroprajan) mengkomunikasikan pesan tersebut melalui gunungan-gunungan yang disiapkan, sebagai bukti bahwa persatuan etnis nyata dan bisa diwujudkan. Dengan adanya simbol ini, maka Grebeg Sudiro mampu menjadi pembawa pesan persatuan masyarakat di Kota Surakarta. 2. Jodang karya seni mengkomunikasikan kerukunan beragama. Grebeg Sudiro tidak hanya menampilkan jodang-jodang yang berisi makanan dalam bentuk gunungan saja, tetapi masyarakat Sudiroprajan juga membuat sebuah jodang berisi karya seni. Jodang karya seni ditampilkan oleh RW 2 karena mayoritas warganya adalah seniman, sehingga Grebeg Sudiro ini mampu menjadi media promosi untuk produk-produk Sudiroprajan sekaligus menjadi media untuk mengkomunikasikan pesan-pesan pada masyarakat Surakarta dalam rangka persatuan. 13 Jodang karya seni dari RW 2 Sudiroprajan adalah berupa miniatur tempat ibadah dari enam agama yang ada di Indonesia, yaitu Islam, Katholik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Khong Hu Chu. Pemikul jodang terdiri dari sembilan pemuda yang memakai pakaian pemuka dari setiap agama tersebut. Jodang ini mengkomunikasikan tentang kerukunan antar umat beragama. Grebeg Sudiro berusaha merangkul setiap umat dari setiap agama. Melalui jodang karya seni, komunikator mengkomunikasikan bahwa kerukunan agama perlu dilakukan. Sikap saling toleransi dan saling menghargai setiap agama dan pemeluknya sangat diperlukan di Surakarta yang multiagama. Perbedaan tidak akan menghalangi masyarakat untuk hidup rukun ketika ada sikap toleransi dan sikap saling menghargai terhadap kepercayaan seseorang. Dengan menyadari adanya hambatan budaya, bukan berarti upaya hidup bersama tidak bisa diwujudkan (Purwasito 2015: 218). Dengan adanya perbedaan agama, bukan berarti hidup rukun tidak bisa diwujudkan. Pesan inilah yang ingin dikomunikasikan melalui simbol jodang miniatur tempat ibadah. Untuk itulah, Grebeg Sudiro mampu menjadi saluran yang tepat dari masyarakat Sudiroprajan membina pendidikan komunikasi multikultural yang baik pada masyarakat Surakarta. Komunikasi multikultural diarahkan untuk mencapai tingkat pemahaman antarrasial, antaretnik, antaragama, antargolongan, dan kelas dalam masyarakat, agar tercipta harmonitas kehidupan dalam kerangka hidup berdampingan secara damai (Purwasito 2015: 64). Dengan demikian, ketika tercipta kerukunan beragama, kehidupan beragama masyarakat Surakarta akan harmonis. Konflik antaragama mampu diminimalisir, ketika masyarakat Surakarta menerima pesan melalui jodang miniatur tempat ibadah yang bahwasannya mengkomunikasikan kerukunan antaragama. 3. Pawai kesenian mengkomunikasikan persatuan rasial. Indonesia merupakan negara dengan beragam suku, etnis, dan budaya, karena keberagaman inilah maka Indonesia memiliki masyarakat yang majemuk. Namun dibalik kemajemukan masyarakat tersebut, sangat mudah dipicu konflik. Maka 14 diperlukan adanya persatuan atas keberagaman etnis dan budaya di Indonesia, termasuk di Surakarta, supaya ikatan kebangsaan Indonesia semakin kuat. Pawai kesenian tidak hanya diikuti oleh warga Sudiroprajan (etnis Jawa dan Tionghoa), tetapi juga diikuti oleh beberapa daerah lain di Surakarta. Bahkan, ada beberapa kelompok budaya dari luar Pulau Jawa karena pawai kesenian ini dikemas dengan menyatukan budaya-budaya dan kesenian-kesenian yang ada Indonesia. Hal ini menjadikan Grebeg Sudiro sebagai ajang bertemunya berbagai kebudayaan dari setiap daerah yang ada di Indonesia. Grebeg Sudiro mewakili Indonesia, bahwa setiap budaya yang ada di Indonesia memiliki keindahannya masing-masing. Pesan yang ingin dikomunikasikan melalui Grebeg Sudiro adalah perbedaan bukanlah suatu potensi konflik, dari perbedaan itulah kita harusnya bisa bersatu dan saling menghargai. Menurut Lurah Sudiroprajan, Bapak Dalima, melalui Grebeg Sudiro, prasangka antaretnis seolah diruntuhkan. Etnis Jawa dan Tionghoa bersatu dalam tampilan budaya yang indah dan persatuan masyarakat Sudiroprajan diharapkan dapat ditularkan pada masyarakat luas melalui keberhasilan Grebeg Sudiro menyatukan budaya dari etnis Jawa dan Tionghoa Sudiroprajan. “Keinginannya itu, ya, memang ingin menanamkan kesan-kesan WNA (Warga Negara Asing) itu tidak ada. Semua sudah WNI. Jadi, walaupun kulitnya Cina tapi tetap membela Indonesia.” (Wawancara dengan Bapak Dalima, 2 April 2015) Melalui Grebeg Sudiro, etnis Tionghoa juga ingin menghapus stereotip terhadap diri mereka selama ini. Orang Tionghoa yang ada di Indonesia yang sudah ditetapkan dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang sah, termasuk dalam suku bangsa Indonesia. Hal ini secara jelas sudah diatur dalam Undang-Undang, sehingga pemikiran dan stereotip atau prasangka buruk pada kaum minoritas Tionghoa perlu dihilangkan. Hadirnya berbagai kesenian nasional di Grebeg Sudiro mengkomunikasikan bahwa ada pengakuan Sudiroprajan terhadap budaya orang lain. Kesenian-kesenian daerah bisa disatukan dan dikenalkan pada masyarakat Surakarta, supaya tidak hanya menganggap baik budaya sendiri, tetapi juga bisa menghargai budaya orang lain yang 15 juga indah dan unik. Pawai kesenian mengkomunikasikan adanya persatuan rasial melalui Grebeg Sudiro. Warga Sudiroprajan sebagai komunikator telah membuktikan bahwa persatuan rasial itu nyata dan diwujudkan melalui Grebeg Sudiro. Melalui pawai kesenian ini, dapat dilihat bahwa etnis Tionghoa kini semakin berani menunjukkan eksistensinya dengan ikut bergabung menjadi peserta Grebeg Sudiro. Pertemuan antarrasial terjadi di Grebeg Sudiro, berbagai kebudayaan disatukan menjadi pawai kesenian yang apik bagi masyarakat Surakarta. Proses integrasi inilah yang nantinya bisa menepis adanya prasangka. Bersatunya budaya-budaya di Grebeg Sudiro menunjukkan adanya kesederajatan budaya; tidak ada budaya yang lebih baik atau kurang baik, tidak ada etnis yang lebih baik atau kurang baik, dan tidak ada ras yang lebih baik atau kurang baik. Kita tidak boleh menilai budaya yang lain berdasarkan budaya kita yang terbatas, tetapi harus selalu berusaha mencari suatu jembatan yang menghubungkan suatu peristiwa dalam budaya yang satu dengan budaya yang lain (Schramm dalam Mulyana 2006: 7). 4. Tematik tahunan mengkomunikasikan kebhinekaan. Tema tahunan Grebeg Sudiro mulai dibuat pada tahun 2010 dan hingga saat ini tema yang diusung selalu berbeda. Seluruh harapan dan tujuan yang ingin dicapai melalui Grebeg Sudiro mampu dituangkan dalam tema. Berikut tema-tema Grebeg Sudiro dari tahun ke tahun: 1) Grebeg Sudiro 2010 : Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh. 2) Grebeg Sudiro 2011 : Kebhinekaan dalam Kebersamaan. 3) Grebeg Sudiro 2012 : Guyub Rukun Agawe Santoso, Sudiro Kampung Kebhinekaan, Bersatu dalam Keberagaman. 4) Grebeg Sudiro 2013 : Merangkai Kebhinekaan, Perkokoh Kesatuan. 5) Grebeg Sudiro 2014 : Melukis Indonesia Bernafas Bhinneka Tunggal Ika. 6) Grebeg Sudiro 2015 : Manunggaling Budhaya Nguri-uri Luhuring Bangsa. 16 Berdasarkan tema Grebeg Sudiro tahunan diatas mampu disimpulkan bahwa makna kebhinekaan selalu dikomunikasikan dari tahun ke tahun. “Bhinneka Tunggal Ika” adalah semboyan Bangsa Indonesia yang memiliki arti walaupun berbeda suku, etnis, agama, dan bahasa, tetapi tetap menjalin persatuan dalam Indonesia. Semboyan kebhinekaan erat hubungannya dengan persatuan; tanpa ada persatuan, kebhinekaan tidak bisa tercipta. Pesan kebhinekaan bisa dipandang sebagai suatu cara untuk menjalin persatuan diantara banyaknya perbedaan budaya yang ada di Surakarta supaya tercapai kondisi Surakarta yang nyaman dan tenteram. Tema Grebeg Sudiro tahun 2015 “Manunggaling Budhaya Nguri-uri Luhuring Bangsa”, memiliki arti kesadaran mempersatukan budaya untuk melestarikan keluhuran budaya bangsa. Masyarakat Kota Surakarta sebagai bagian dari Bangsa Indonesia harus mempunyai kesadaran untuk memelihara budaya supaya budaya tersebut tetap lestari karena terlebih mampu menunjukkan jati diri Bangsa Indonesia. Dengan adanya persatuan, kita akan mampu melestarikan keberagaman kebudayaan Indonesia karena adanya toleransi antarbudaya. Pada dasarnya, manusia ingin hidup berdampingan dengan damai dan sejahtera (Purwasito 2003: 9). Kebhinekaan yang ada di berbagai komunitas mampu mengikatkan diri sebagai bangsa karena faktor kebersamaan dan keinginan sukarela untuk hidup bersama (Purwasito 2015: 218). Seperti halnya yang terjadi di Sudiroprajan, kehidupan etnis Jawa dan Tionghoa yang masing-masing mempunyai budaya dan tradisi yang berbeda bisa disatukan dalam Grebeg Sudiro. Maka, Grebeg Sudiro sejatinya mampu menjadi contoh potret kecil kebhinekaan yang bisa membina persatuan masyarakat Kota Surakarta dan mampu menepis prasangka antaretnis; karena hidup bersama dalam sebuah masyarakat merupakan bukti bahwa manusia adalah makhluk sosial yang memerlukan orang lain. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa Grebeg Sudiro pada hakekatnya adalah hasil eksplorasi potensi 17 yang dimiliki masyarakat Sudiroprajan. Komunikasi yang terjalin baik di Sudiroprajan meminimalisir terjadinya konflik. Realitas-realitas inilah yang dikemas indah menjadi suatu wujud ritual budaya Grebeg Sudiro yang dikomunikasikan melalui simbol-simbol komunikasi dalam rangka persatuan bagi masyarakat Kota Surakarta. Pesan-pesan Grebeg Sudiro dikomunikasikan melalui empat simbol, yaitu gunungan, jodang karya seni, pawai kesenian, dan tematik tahunan Grebeg Sudiro. Simbol atau ikon Grebeg Sudiro adalah gunungan kue keranjang. Gunungan mengkomunikasikan ucapan syukur pada Tuhan. Jodang karya seni berupa miniatur tempat ibadah mengkomunikasikan kerukunan antaragama. Pawai kesenian dalam Grebeg Sudiro mengkomunikasikan persatuan rasial; dimana budaya-budaya baik dari etnis Jawa dan Tionghoa maupun dari daerah lain bersatu membentuk suatu iring-iringan yang indah. Tematik tahunan Grebeg Sudiro mengkomunikasikan kebhinekaan. Perbedaan-perbedaan suku, agama, dan ras, di Kota Surakarta membuat masyarakat Surakarta menjadi masyarakat yang plural. Ditengah pluralitas masyarakat tersebut, persatuan dan kesatuan di Kota Surakarta sangat penting diwujudkan untuk mencapai kehidupan masyarakat Surakarta yang tenteram. Semangat “Bhinneka Tunggal Ika” mampu dibingkai dalam pawai kesenian Grebeg Sudiro. Setiap budaya memiliki keunikannya masing-masing, yang perlu kita lakukan hanyalah sikap terbuka dan saling menghargai. Kebhinekaan bisa dimaknai bahwa keberagaman merupakan ciri khas masyarakat Surakarta, oleh sebab itu perbedaan bukanlah sumber konflik melainkan sebuah harmoni untuk mewujudkan semboyan Indonesia. Grebeg Sudiro lahir sebagai jembatan pemersatu masyarakat Surakarta. Keterbukaan sekat komunikasi antarbudaya masyarakat Sudiroprajan dan persatuan perkumpulan etnisitas di Surakarta menjadi salah satu faktor berhasilnya Grebeg Sudiro. Pesan-pesan yang syarat akan persatuan dalam Grebeg Sudiro mengedukasi 18 masyarakat Surakarta untuk bisa menjadikan perbedaan sebagai kekuatan untuk membangun masyarakat menuju kehidupan yang lebih damai. Menutup diri terhadap budaya lain bukanlah ciri manusia-manusia antarbudaya. Kita tidak bisa hidup tanpa orang lain, maka dari itu dengan bersama-sama menepis prasangka, kehidupan yang damai akan terwujud di Surakarta. Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti memberi sumbang saran sebagai berikut: 1. Warga etnis Jawa, secara khusus di Kota Surakarta, sebaiknya menghilangkan prasangka atas etnis Tionghoa. Komunikasi yang baik yang terjalin antara etnis Jawa dan Tionghoa di Sudiroprajan adalah contoh yang baik bagi persatuan antaretnis di Kota Surakarta. 2. Warga etnis Tionghoa di Kota Surakarta sebaiknya lebih terbuka dan bersedia turut serta pada acara-acara kewargaan, seperti gotong royong kebersihan, lebih dalam lagi. Selain itu, melalui Grebeg Sudiro kini kebudayaan etnis Tionghoa semakin dikenal masyarakat luas, oleh sebab itu etnis Tionghoa di Surakarta perlu membuka diri untuk bisa menyesuaikan diri terhadap kebudayaan lain pula. DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku Astiyanto, Heniy. 2006. Filsafat Jawa: Menggali Butir-Butir Kearifan Lokal. Yogyakarta: Shaida. Christovani, E. 2005. Tahun Baru Imlek: The New Year Festival. Surabaya: Gracia. Coppel, Charles A. 1994. Tionghoa Indonesia dalam Krisis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra. Effendy, Onong Uchjana. 1984. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 19 Koentjaraningrat. 1971. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. _______. 1977. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia. Mulyana, Deddy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy. & Jalaluddin Rakhmat. 2006. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Negoro, Suryo S. 2001. Upacara Tradisional dan Ritual Jawa. Surakarta: CV Buana Raya. Purwasito, Andrik. 2003. Message Studies: Pesan Penggerak Kebudayaan. Surakarta: Ndalem Poerwahadiningratan Press. _______. 2015. Komunikasi Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rakhmat, Jalaluddin. 1991. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Salim, Agus MS. 2006. Stratifikasi Etnik: Kajian Mikro Sosiologi Interaksi Etnis Jawa dan Cina. Yogyakarta: Tiara Wacana. Samovar, Larry A., et al. 2010. Komunikasi Lintas Budaya. (Edisi 7). Jakarta: Salemba Humanika. Suhandinata, Justian. 2009. WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sutopo, H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press. Sumber Website http://bpadjogja.info/article/site/view/id/555/+/berbagai-macam-gunungan-dalamupacara-garebeg-grebeg-kerato (diakses 25 Juni 2015) Jurnal Internasional Yanhong, Hu. & Fan, Weiwei. 2011. An Exploratory Study on Intercultural Communication Research Contents and Methods: A Survey Based on The International and Domestic Journal Papers Published from 2001 to 2005. International Journal of Intercultural Relations: 554– 566. Artikel Nasional Saptono. 2010. Jiwa Persatuan dan Kesatuan dalam Perspektif Budaya Masyarakat yang Pluralistik: Agustus, Vol. 8. 20