POLITIK Jurnal Enam Bulanan VOL. 10 No. 01. 2014 Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Kekuasaan dan Dinamika Politik PEMILU Perubahan Pemilih pada PILKADA DKI Jakarta Putaran Kedua Boy Ricardo The Effectivenes of Democratic System’s Embodiment in a Direct Regional Election in Aceh Effendi Hasan , Fadhil Ilhamsyah , Ahmad Nidzammuddin Sulaiman Artikulasi Kekuasaan dalam Masyarakat Nelayan: Potret Patronase Kontemporer di Kota Makassar Sudarmono, Junaenah Sulehan dan Noor Rahamah Hj. Abu Bakar Dinamika Politik Pemilihan Umum 2014 Leo Agustino Masalah Efektivitas Badan Kehormatan DPR RI Mohammad Hasyim Jurnal Enam Bulanan Partai Aceh dalam Transisi Demokrasi di Aceh Sahruddin Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah Sektor Telekomunikasi di Cilegon WH. Hardiwinata VOL. 10 No. 01. 2014 ISSN : 1978-063X POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan POLITIK adalah jurnal kajian politik dan masalah pembangunan, yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Politik dan Pembangunan Masyarakat (P4M) pada Program Magister Ilmu Politik Universitas Nasional. Jurnal ini merupakan media untuk mengkaji dan mengembangkan ilmu pengetahuan di kalangan akademisi, peneliti dan masyarakat umum. Jurnal POLITIK mempublikasikan hasil-hasil penelitian, baik penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan dalam ilmu hubungan internasional, ilmu administrasi negara dan masalahmasalah pembangunan. P4M JURNAL POLITIK VOL. 10/NO. 01/2014 ISSN : 1978-063X Pimpinan Umum Dr. TB. Massa Djafar Pemimpin Redaksi Dr. Diana Fawzia Redaktur Pelaksana Dedi Irawan, M.Si Sekretaris Redaksi Nurhasanah, M.Kom Dewan Redaksi Truly Wangsalegawa, Ph.D Dr. Mohammad Noer Aris Munandar, M.Si Khairul Fuad, MA Lilik Sofyan Ahmad, MA Sirkulasi dan Distribusi Drs. Rochendi Alamat Redaksi Jurnal POLITIK Jl. Bambu Kuning No.1 Jati Padang, Pasar Minggu Jakarta Selatan 12520 Telp/Fax. 021-78837623 www.unas.ac.id email : [email protected] JURNAL POLITIK i VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Pedoman Penulisan Naskah Untuk Jurnal POLITIK 1. Naskah asli dan belum pernah dipublikasikan 2. Naskah adalah hasil penelitian dan studi kepustakaan yang obyektif, sistematis, analistis dan deskriptif 3. Naskah diketik rapi dengan hurup Times News Roman, 12 pt, berukuran 1,5 spasi, diserahkan berupa print-out dan disimpan dalam disket atau flash disk, sudah termasuk tabel dan gambar yang disimpan pada folder tersendiri 4. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia, Bahasa Melayu atau Bahasa Inggris 5. Judul naskah singkat sesuai isi. Abstraksi beserta kata kunci menggunakan Bahasa Inggris. Naskah artikel ilmiah hasil penelitian ditulis dengan rfincian, yaitu (1) Pendahuluan, mencakup latar belakang, masalah dan metode penulisan secara tersirat, (2) Teori dan (3) Pembahasan dan temuan hasil penelitian, dan (4) Simpulan. Kutipan dalam bentuk body note. 6. Pengiriman naskah disertai biodata penulis, termasuk juga dengan alamat email 7. Naskah yang tidak layak terbit tidak dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis dengan menyerahkan perangko secukupnya 8. Naskah yang telah dimuat dilarang dipublikasikan pada majalah atau jurnal lain tanpa seizin redaksi 9. Naskah dikirimkan ke redaksi jurnal POLITIK Jl. Bambu Kuning No. 1 Jati Padang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520, Telp/Fax. 021-78837623, atau melalui email : [email protected] JURNAL POLITIK ii VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK K Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Kata Pengantar ebijakan pemerintah, demokrasi, dan kemasyarakatan masih menjadi isu sentral dalam perpolitikan di Indonesia. Misalnya masalah sistem pemerintahan, pemilihan umum, DPR RI, dan kehidupan demurasi di masyarakat, serta isu-isu lain yang sangat mengemuka untuk dijadikan sebagai objek penelitian di negeri ini. Berkait dengan permasalahan Pemilihan Umum yang mencari calon anggota legesilatif atau DPR RI, Muhammad Hasyim mengkaji bagaimana DEwan Kehormatan DPR RI bekerja dalam mengawasi anggota dewan. Menakar efektivitas Dewan Kehormatan DPR RI tersebut, Muhammad Hasyim melihat sejauh mana efektifnya badan tersebut. Dalam kaitan itu, jurnal Politik kali ini mencoba mengetengahkan isu politik negara dan masalah kebijakan pemerintah. Di mulai dari tulisan Boy Ricardo yang membahas tentang Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta putaran kedua, khususnya pemilih pada saat itu. Kembali ke Nagroe Aceh Darussalam, Sahrudin menulis tentang Partai Aceh dalam kaitannya dengan transisi demokarsi di provinsi tersebut. Sahrudi melihat pada masa transisi tersebut banyak hal yang mempengaruihi situasi demokari dan politik di daerah tersebut, termasuk terkait dengan partai-partai yang ada di Aceh. Dalam kajiannya tersebut Boy Ricardo mengungkapkan bahwa telah terjadi perubahan pemilih pada PILKADA putaran kedua tersebut. Hubungan antara mesin partai dalam mengusung pasangan Jokowi dan Ahok dengan pencitraan pasangan tersebut sangat mempengaeruhi pemilih dalam PILKADA DKI Jakarta putaran kedua. Pada bagian akhir tulisan jurnal ini mengetengahkan kajian tentang pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah di Cilegon, khususnya pada sektor teleokomunikasi. Hardiwinata pada akhirntya melihat masih banyak usaha kecil dan menengah di Kota Cilegon masih belum tertangani dengan baik. Selanjutnya, isu lain yang terkait dengan masalah efektivitas demokrasi di Provinsi Aceh. Effendi Hasan dan kawan-kawan mengkaji seperti apa efektivitas demokrasi di Aceh dan bagaimana mengimplementasikannya. Demikian beberapa isu demokrasi dan kemasyarakatan yang diketengahkan dalam Jurnal Politik volume 10 no. 1 ini. Semoga bermanfaat. Masih soal demokrasi dan bermasyarakat, terlihat kekuasaan masih berperan dalam mempengaruhi masyarakat dalam hubungan dengan patronase di Kota Makasar. Dalam artikel tersebut, Junaenah dan kawan-kawan mengulas bagaimana aartikulasi kekuasaan mempengaruhi patronase kontemporere Kota Makasar, khususnya pada masyarakat nelayan di sana. Salam Redaksi Kembali ke permasalahan Pemilihan Umum, Leo Agustino mengungkapkan bagaimana dinamika Pemilihan Umum 2014 di Indonesia. Hingar bingar politik ketika PEMILU saat itu banyak mempengaruhi suhu demokrasi di negeri ini. Bahkan hingga kini dampak pemilihan umum terasa dalam kehidupan politik dan demokarasi di Indonesia. JURNAL POLITIK iii VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan JURNAL POLITIK iv VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Daftar Isi No Hal I. Kata Pengantar iii II. Perubahan Pemilih pada PILKADA DKI Jakarta Putaran Kedua Boy Ricardo 1381 III. The Effectivenes of Democratic System’s Embodiment in a Direct Regional Election in Aceh Effendi Hasan , Fadhil Ilhamsyah , Ahmad Nidzammuddin Sulaiman 1395 Artikulasi Kekuasaan dalam Masyarakat Nelayan: Potret Patronase Kontemporer di Kota Makassar Sudarmono, Junaenah Sulehan dan Noor Rahamah Hj. Abu Bakar 1403 V. Dinamika Politik Pemilihan Umum 2014 Leo Agustino 1413 VI. Menakar Efektivitas Badan Kehormatan DPR RI Mohammad Hasyim 1427 IV. VII. Partai Aceh dalam Transisi Demokrasi di Aceh Sahruddin 1441 VIII. Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah Sektor Telekomunikasi di Cilegon WH. Hardiwinata 1457 JURNAL POLITIK v VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Perubahan Pemilih pada PILKADA DKI Jakarta Putaran Kedua The Changing of Voter in Second Round PILKADA Jakarta Boy Richardo Abstrak Kemenangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama pada putaran kedua PILKADA DKI Jakarta merupakam sebuah kejutan yang sangat menarik untuk dikaji. Dengan metode deskriptif kualitatif dan pendekatan pencitraan calon gubernur dan wakil gubernur, maka menarik melihat bagaimana para pemilih di DKI Jakarta menentukan pilihan mereka. Perubahan pemilih inilah yang mengubah hasil PEMILUKADA DKI Jakarta. Kata Kunci: Perubahan Pemilih, PEMILUKADA, DKI Jakarta Abstract The winning of Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama in second round of DKI Jakarta PILKADA is such an interesting surprise to analyze. By using qualitative descriptive methods and candidate and vice governor image approaches, therefore it is interesting to find out how voters in Jakarta decide to choose. It is the changing of voters that changed over the result of PEMILUKADA. Keywords: The changing of Voter, PEMILUKADA, DKI Jakarta Pendahuluan Berdasarkan hasil rekapitulasi perolehan suara Pilkada DKI Jakarta 2012 putaran pertama dari Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta, pasangan Joko Widodo-Basuki menguasai lebih dari separuh wilayah DKI Jakarta. Dari 44 kecamatan di enam wilayah Jakarta, Joko Widodo hanya kalah di 13 kecamatan. Kekalahan paling telak terjadi di dua kecamatan di Kabupaten Kepulauan Seribu. Akan tetapi, Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli pun tidak dapat menyaingi Joko Widodo-Basuki di wilayah Jakarta Barat. Dari delapan kecamatan di wilayah itu, Fauzi Bowo sama sekali tidak pernah menyalip dukungan warga kepada Joko Widodo. Maka, Jakarta Barat dapat dikatakan merupakan basis kekuatan Joko Widodo-Basuki karena pasangan itu menang di semua kecamatan di tempat tersebut. Kecamatan Cengkareng di Jakarta Barat merupakan lumbung suara terbesar bagi Joko Widodo-Basuki. Di sini, mereka meraih 101.023 suara. Namun, jika dibandingkan dengan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli, kekuatan terbesar Joko Widodo-Basuki justru tampak di Kecamatan Grogol Petamburan. Di kecamatan tersebut, Joko Widodo-Basuki meraih lebih dari 60 persen suara, sedangkan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli hampir 25 persen. Beralih ke Jakarta Timur, Fauzi BowoNachrowi Ramli nyaris kalah di semua kecamatan. Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli lebih kuat di Kecamatan Cipayung dengan selisih suara sekitar 1.200 dan menang sangat tipis di Kramat Jati. Perolehan suara terbesar Fauzi Bowo di putaran pertama sebetulnya ada di Cakung (76.986 suara), tetapi jumlahnya sedikit di bawah Joko Widodo (78.842 suara). Persaingan paling ketat terjadi di Jatinegara. Selebihnya dimenangi oleh Joko Widodo-Basuki dengan selisih suara cukup Universitas Nasional Jakarta, [email protected] JURNAL POLITIK 1381 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan signifikan, terutama di Pasar Rebo. Pemilukada DKI Jakarta putaran kedua Jakarta Pusat merupakan medan dilaksanakan pada 20 September 2012 dengan persaingan paling sengit bagi kedua kandidat. mempunyai dua kandidat yang bersaing, yaitu Dari delapan kecamatan di lokasi tersebut, peta pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama kekuatan Fauzi Bowo tampak di tiga kecamatan. dan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli. Hasil Quick Fauzi Bowo tak tertandingi oleh Joko Widodo Count Pemilukada DKI Jakarta putaran kedua di Menteng, di mana Fauzi Bowo menjadi tuan selanjutnya akan dijelaskan melalui tabel berikut. rumah di lokasi tersebut. Fauzi Bowo juga unggul Joko Widodo - Basuki Fauzi BowoNo. Lembaga Nachrowi Ramli di Johar Baru serta unggul tipis di Tanah Abang. Tjahaja Purnama Jakarta Utara juga merupakan lumbung No. INES 57,39% 42,61% Indo Barometer-Metro TV 54,11% 45,89% terbesar bagi Joko Widodo-Basuki, setelah LSI-SCTV 53,81% 46,19% LSI-TV One 68% 46,32% Jakarta Barat. Dari enam kecamatan di wilayah LSI 53,68% 46,32% ini, pasangan ini hanya menyerah di Kecamatan Jaringan Suara Indonesia 53,28% 46,72% Litbang Kompas 52,97% 47,03% Cilincing. Persaingan tidak imbang terjadi di MNC Media-SMRC 52’63% 47,37% Kelapa Gading di mana selisih persentase Joko Sumber: www.kompas.com Widodo dan Fauzi Bowo hampir mencapai 37 Berdasarkan tabel di atas, maka, dapat persen. Namun, jarak paling besar terjadi di terlihat bahwa pasangan Joko Widodo-Basuki Penjaringan, di mana Joko Widodo unggul 40.990 Tjahaja Purnama merajai hasil quick count pilkada suara dibanding pesaingnya. putaran kedua DKI Jakarta yang dilakukan oleh Perlawanan Fauzi Bowo-Nachrowi sejumlah lembaga survei. Keunggulan yang Ramli juga tampak sengit di Jakarta Selatan. Di signifikan ini mengulang kemenangan Joko sini mereka meraih kemenangan di Kecamatan Widodo-Basuki Tjahaja Purnama pada Pilgub Jagakarsa, Tebet, Pancoran, Mampang Prapatan, putaran pertama, 11 Juli 2012 lalu. Kemenangan dan Setiabudi. Meski demikian, kemenangan itu Joko Widodo tidak hanya dihitung cepat oleh maksimal berselisih 5.000 suara di masing-masing lembaga survei, pasangan calon gubernur dalam kecamatan, tak cukup besar untuk menandingi pilkada DKI Jakarta 2012 ini juga unggul dalam kekalahan di kecamatan lain. real count yang dilakukan oleh Cyrus Network. Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli berkuasa atas Kepulauan Seribu. Mereka mendapatkan Hasil Real Count Cyrus Network suara lebih dari 50 persen di dua Pilkada Putaran II DKI Jakarta 2011 Fauzi Bowo Joko Widodo kecamatan di wilayah tersebut. Adapun Catatan Nachrowi Ramli Basuki T Purnama Foke menang 4 kecamatan: Tanah abang, MenJoko Widodo-Basuki secara total hanya Jakarta teng, Senen, Johar Baru. Jokowi menang 4 ke49,34% 50,66% camatan: Cempaka Putih, Kemayoran, Sawah Pusat mendapat 1.300-an suara di tempat ini. Besar, Gambir. Persaingan ketat diantara dua Foke menang 2 kecamatan: Kebon Jeruk. Jakarta Jokowi menang 6 kecamatan: Kembangan, Gro55,39% 44,61% kandidat ini, yaitu Joko Widodo-Basuki Barat gol Petamburan, Tambora, Taman Sari, Cengkareng, Kalideres. Tjahaja Purnama dan Fauzi BowoFoke menang 5 kecamatan: Jagakarsa, MamJakarta pang Prapatan, Pancoran, Tebet, Setiabudi. Nachrowi Ramli berlanjut di dalam 47,9% Selatan Jokowi menang 5 kecamatan: Pasar Minggu, Cilandak, Pesanggarahan, Kebayoran Lama, Pemilukada DKI Jakarta Putaran Kedua. 52,1% Baru. Kebayoran Foke menang 1 kecamatan: Cilincing. Jokowi Jakarta 5 kecamatan: Penjaringan, Kelapa GadUtara 59,24% menang 40,76% Sistem Pencitraan yang Sukses ing, Pandemangan, Tanjung Priok, Koja. Foke menang 2 kecamatan: Kramat Jati, CipaBerdasarkan paparan di atas, Jakarta yung. Jokowi menang 8 kecamatan: Pasar 46,54% 53,46% Rebo, Ciracas, Makasar, Jatinegara, Duren Timur walau jelas terlihat bahwa pasangan Sawit, Cakung, Pulogadung, Matraman. Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama Total 45,71% 54,29% Data masuk 89,4% mengungguli pasangan Fauzi BowoNachrowi Ramli di dalam putaran pertama, namun, Dari perbandingan data hasil perolehan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama suara pertama dan kedua, di daerah Jakarta tidak mendapatkan perolehan suara di atas 50%. Barat, pada putaran pertama, Joko Widodo Oleh karena itu, diadakanlah Pemilukada DKI memenangkan seluruh kecamatan (delapan Jakarta putaran kedua. JURNAL POLITIK 1382 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan kecamatan), tetapi pada putaran kedua, Fauzi Bowo memenangkan dua kecamatan yaitu Kebon Jeruk dan Palmerah. Hasil yang relatif sama (tidak ada perubahan yang signifikan) terjadi di daerah Jakarta Timur, Fauzi Bowo tetap memenangkan perolehan suara di Kramat Jati dan Cipayung, baik pada pemilihan suara pertama, maupun pemilihan suara yang kedua, dan Joko Widodo tetap mendapatkan perolehan suara yang terbesar (delapan kecamatan). Hal yang berbeda terjadi di daerah Jakarta Pusat yang pada putaran pertama, di daerah Senen, Joko Widodo menang tipis dari Fauzi Bowo, tetapi pada putaran kedua, Fauzi Bowo memenangkan pemilihan suara di daerah tersebut. Di Jakarta Utara, Fauzi Bowo hanya memenangkan satu kecamatan, yaitu Cilincing, baik pada putaran pertama maupun putaran kedua. Jakarta Selatan, tetap mendapatkan perolehan suara yang sama, Joko Widodo tetap memenangkan lima kecamatan (Pasar Minggu, Cilandak, Pesanggrahan, Kebayoran Lama, Kebayoran Baru) dan Fauzi Bowo juga tetap memenangkan lima kecamatan (Jagakarsa, Mampang Prapatan, Pancoran, Tebet, Setiabudi). Dengan demikian, dari pemaparan di atas, terlihat bahwa pada putaran pertama Fauzi Bowo masih dapat menyamai perolehan suara dengan Joko Widodo terutama di daerah Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Akan tetapi pada putaran kedua, Joko Widodo memenangkan perolehan suara yang lebih unggul di lima wilayah Jakarta dibandingkan dengan Fauzi Bowo. Hal yang menjadi pusat perhatian adalah Jakarta Utara tetap menjadi basis dari pendukung Joko Widodo, yang dapat dikatakan bahwa hal tersebut juga didukung oleh banyaknya penduduk dari etnis Cina-Indonesia yang bermukim di daerah tersebut. Sedangkan Jakarta Selatan, yang umumnya merupakan basis dari Fauzi Bowo, mempunyai perolehan suara yang seimbang bagi kedua kandidat tersebut. Pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama telah memenangkan Pemilukada DKI Jakarta 2012. Pencitraan, merupakan salah satu penyebab yang berpengaruh pada kemenangan pasangan tersebut. Pencitraan mereka sukses diraih sebelum mencalonkan diri di dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta, yang baik secara langsung atau tidak, menaikkan jumlah JURNAL POLITIK dukungan terhadap mereka, seperti pertama, pemberitaan tentang Esemka. Joko Widodo muncul dengan mobil karya anak bangsa, yaitu Esemka. Pemberitaan mengenai Esemka mengakibatkan Joko Widodo sering terlihat hampir disemua stasiun televisi baik dalam pemberitaan maupun dalam wawancara eksklusif tentang kendaraan dinasnya tersebut. Aktivitas Joko Widodo saat berangkat dan pulang ke kantor seringkali mewarnai berita di televisi beberapa bulan sebelum pilkada DKI. Diakui atau tidak, Esemka adalah sebuah keberhasilan. Adanya produk mobil dalam negeri merupakan simbol kemajuan bangsa. Maka, wajar apabila sebagian masyarakat ibukota mempercayakan kemajuan wilayah mereka kepada tokoh yang telah dianggap membawa kemajuan di wilayah lain itu. Kedua, dukungan dari para pendatang Jawa. Joko Widodo, nama tersebut membuat semua orang pasti sudah dapat menebak jika Joko Widodo berasal dari suku Jawa. Ditambah dengan logatnya bicaranya yang khas, tanpa tahu namanya pun, sudah dapat disimpulkan bahwa beliau adalah orang Jawa. Jumlah pendatang di kota Jakarta lebih banyak dari pada penduduk asli, dan sebagian besar pendatang di Jakarta merupakan masyakat suku Jawa. Dari hasil sensus pada rentang 2000, diketahui bahwa etnis Jawa yang berada di Jakarta 35% dari seluruh warga Jakarta. Sehingga tidak dapat dipungkiri, hal tersebut menjadi faktor bertambahnya jumlah dukungan terhadap pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama. Ketiga, dukungan dari kalangan nonmuslim dan etnis keturunan. Selama Orde Baru hingga Reformasi, Jakarta selalu ‘dikuasai’ oleh partaipartai Islam. Barulah pada pemilu 2009 Partai Demokrat memenangi pemilu legislatif. Latar belakang sejarah itulah yang memompa semangat masyarakat non muslim untuk bersatu pada pemilu gubernur kali ini. Majunya Basuki Tjahaja Purnama (A Hok) menjadi calon wakil gubernur merupakan kesempatan emas bagi masyarakat non muslim untuk memiliki seorang pemimpin yang mewakili kaum mereka. Jumlah warga non muslim di DKI Jakarta tentu tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan muslim, hanya sekitar 14 % dari seluruh populasi di Jakarta (data 2005). Etnis Tionghoa pun hanya berjumlah sekitar 5,5% 1383 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan (data 2000). Meski demikian, kekuatan finansial dan jaringan media yang dikuasai oleh non muslim pendukung Joko Widodo sepertinya berperan besar dalam kesuksesan pasangan tersebut. Selain ketiga hal yang telah dimiliki oleh pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, sebelumnya, terdapat pula strategi pemasaran yang baik yang dilakukan oleh pasangan tersebut. Baju kotak-kotak yang menjadi ciri khas pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama bukan lahir secara kebetulan. Seperti yang dituturkan di dalam harian Kompas, 19 September 2012, Joko Widodo mempunyai pengalaman di pemasaran internasional selama dua puluh tiga tahun, sehingga Joko Widodo mengenal baik mengenai brand personalitation. Baju kotak-kotak tersebut itu awalnya dibeli Joko Widodo di Pasar Tanah Abang. Setelah berbagai pertimbangan, ternyata baju tersebut mampu memberi ciri khas tersendiri. Baju tersebut pun diproduksi secara massal, dan menjadi tren di dalam masyarakat. Pemilukada erat kaitannya dengan kampanye yang dilakukan oleh masing-masing kandidat. Pemilukada DKI Jakarta 2012 ini juga mempunyai sebuah fakta, yaitu adanya black campaign. Riset media yang dilakukan Indonesia Media Monitoring Center (IMMC) menunjukkan bahwa isu black campaign pada Pemilukada Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta 2012 sangat tinggi, berbeda jauh dengan ajang Pemilukada DKI periode sebelumnya. Fauzi Bowo, sebagai kandidat yang mengusungkan nama besar etnis Betawi, didukung oleh Bamus Betawi yang merupakan perkumpulan organisasi Betawi, dan juga didukung oleh Forum Betawi Rempug (FBR), yang mempunyai 350 basis di Jakarta yang diperkirakan merupakan organsisasi terbesar di Jakarta. Organisasi kecil yang berbasis Betawi antara lain Komando Betawi Raya (Kobra) dan Komunitas Betawi (Kombet). Fauzi Bowo secara terang-terangan menyatakan bahwa etnis Betawi sebaiknya tidak mendukung kandidat yang tidak berasal dari Betawi (http:// www.metrotvnews.com, diakses Januari 2013). Pernyataan tersebut Fauzi Bowo kemukakan untuk menyerang Joko Widodo. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa manipulasi politik dengan membawa etnis Betawi muncul di dalam pemilukada DKI Jakarta. Satu JURNAL POLITIK kejadian dapat menjelaskan keuntungan dari membawa-bawa etnis di dalam pemilukada, sebagai contoh, di dalam perkumpulan Betawi, Nahrowi berkata: “Saya mengingatkan kepada kalian semua untuk membuat Jakarta bersatu. Silahkan tinggalkan Batavia (Jakarta) jika kalian tidak memilih Betawi” (Jakarta Post, 15 September 2012). Etnis Betawi merupakan grup etnis Jakarta yang berkembang dari percampuran etnis grup dan secara berkala membentuk suatu identitas baru, yang berbeda dari lainnya. Secara singkat, etnis Betawi dapat dikatakan adalah suatu identitas yang ditemukan (Kanumoyoso, 2011) dan mempunyai banyak akar etnis (Castles, 1967). Batavia, nama awal dari Jakarta, merupakan kota pelabuhan yang menggambarkan populasi penduduk mereka yang berasal dari berbagai agama, termasuk dari Eropa dan Cina. Pada 1935, penjajah, membagi Batavia ke dalam beberapa daerah yang dikenal dengan Meester Cornelis. Hal tersebut terjadi dengan munculnya kampongs atau wijken (Castles, 1967). Asal mula kampongs adalah perkumpulan etnis yang bergabung dalam VOC yang bekerja sebagai pasukan (Raben 2000, 95). Mereka di arahkan untuk bertempat tinggal di daerah yang telah ditentukan oleh VOC. Etnis-etnis grup tersebut hidup dengan pemimpin mereka yang disebut dengan Mayor atau Kapten (Castles, 1967). Meski terdapat peraturan yang menyatakan bahwa etnisetnis yang berbeda ini harus hidup secara terpisah, namun pada kenyataannya, etnis tersebut berbaur di dalam kehidupan sehari-hari (Raben, 2000). Dan meskipun di bawah penjajahan Belanda yang memisahkan daerah berdasaran etnis, pada kenyataannya, Batavia menjadi kota dengan multi etnis. Maka, dapat dikatakan, bahwa telah terjadi pernikahan di antara etnis Jawa, Bali, Madura dengan agama yang sama atau berbeda. Identitas dari etnis Betawi hanya dapat diidentifikasikan setelah terjadinya percampuran grup etnis yang mampu utnuk memunculkan simbol dan identitas baru. Selain itu terdapat juga bahasa baru yang berasal dari Malay, perkenalan salam dari Arab, dan percampuran budaya yang terlihat dari seni, teater, baju upacara adat pernikahan, dan bentuk rumah (Tjahjono, 2003). Oleh karena itu, berdasarkan tempat tinggal mereka Betawi dapat dikelompokkan menjadi tiga 1384 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan kelompok, yaitu urban, central, dan rural. Betawi urban hidup di sekitar Jakarta Barat dan Lapangan Banteng di Jakarta Pusat. Betawi rural adalah mereka yang hidup di Tangerang dan Bekasi, dan secara kuat terpengaruh pada budaya Cina. Betawi central adalah penduduk yang sebagian besar terpengaruh oleh kebudayaan Arab. Perubahan kota (Batavia atau Jakarta) juga mempengaruhi keberadaan Betawi. Batavia berubah dari kota perdagangan, terlihat dari adanya toko-toko dan pasar, menjadi kota modern dengan membangun pusat pemerintahan dan juga pemukiman penduduk. Gedung pemerintahan dibangun untuk perkembangan daerah. Meski demikian, Batavia adalah kota yang terdiri dari berbagai etnis (Silver, 2008). Masih berdasarkan pengaruh dari kolonial Belanda, Jakarta mengembangakan daerah satelit baru yang dinamakan Kebayoran Baru. Sekitar 1950, Soekarno memperbesar Jakarta dengan membentuk area yang dinamakan dengan Jakarta Raya. Dan Soekarno kemudian menerapkan Jakarta sebagai Ibukota negara. Di bawah kepemimpinan Soeharto, Orde Baru membuat Jakarta sebagai kota komersial dengan bantuan perminyakan dan perusahaanperusahaan swasta.. Hal tersebut ditandai dengan adanya pembangunan gedung-gedung tinggi di sepanjangan Jalan Thamrin, Sudirman, dan Rasuna Said, yang terkenal dengan nama Segitiga Emas. Pembangunan terbesar Jakarta sebagai pusat komersial terlihat dengan adanya Bursa Efek Jakarta dan Jalan Sudirman sebagai pusat bisnis. Kepentingan dari keberadaan sektor swasta juga terlihat dari adanya daerah baru, seperti Pondok Indah, Pluit, dan daerah-daerah lainnya. Proses pengembangan daerah pada rentang 1970 sampai 1990 memerlukan banyak lahan. Pemerintahan daerah dan pemilihan lahan swasta secara langsung memindahkan Betawi dari pusat kota, seperti contoh di daerah Kuningan yang terdapat pembangunan gedung-gedung tinggi. Betawi menggunakan kompensasi uang yang mereka dapatkan untuk membangun pemukiman baru di pinggir Jakarta. Pengalaman tersebut memunculkan persepsi kuat bahwa Betawi hilang dari pengembangan daerah yang membuat etnis non-Betawi berperan di Jakarta. Fauzi Bowo mencoba memanipulasi JURNAL POLITIK kesenjangan sosial yang dialami oleh etnis Betawi di dalam proses untuk memperoleh dukungan dari etnis Betawi. Dengan skema ini, tidak mengejutkan jika Fauzi Bowo mendapatkan dukungan dari FBR. Mereka berbagi perasaan tentang perasaan tersisihkan. Bagi FBR, Betawi telah dipaksa untuk meninggalkan kampung halaman mereka, dan telah gagal untuk memperjuangkan ekonomi mereka di bawah era Orde Baru (Brown dan Wilson, 2007). FBR didirikan pada 2001 ketika terjadi konflik antara Betawi dan Madura di Jakarta Timur. FBR menyatakan bahwa mereka mewakili rakyat Betawi di Jakarta, anggota mereka terutama berasal dari kaum bawah dan tidak bekerja, serta jumlah anggota mereka sekitar 80-100.000 orang (Brown dan Wilson 2007, 10). FBR mendukung Fauzi, dan pemimpin mereka menyatakan untuk menggunakan 500.000 anggota untuk memilih Fauzi. Fajri Husein, juru bicara dari Garda FBR mengemukakan bahwa FBR mempunyai hubungan batin dengan FauziNachrowi berdasarkan kesamaan etnis mereka sebagai Betawi (http://www.fauzibowo.com, diunduh Januari 2013). Isu SARA yang merupakan bagian dari black campaign juga terdapat di pemilukada DKI Jakarta. Seperti moto dari tim Fauzi Bowo yang mengemukakan “Orang Cerdas pilih yang jelas!” yang dapat dikatakan berhubungan dengan agama yang dianut oleh Joko Widodo yang dianggap oleh mereka “tidak jelas”. Permasalahan agama menjadi kampanye vokal yang dikemukakan secara terang-terangan, sebagai bentuk dari kompetisi yang semakin tajam. Tidak hanya untuk menyatakan bahwa Basuki Tjahaja Purnama adalah seorang yang berasal dari etnis Cina dan memeluk agama Kristen, isu bahwa ibu Joko Widodo adalah seorang non-muslim, dinyatakan sebagai kampanye negatif. Isu agama menjadi pusat perhatian terutama ketika pedangdut Rhoma Irama mengatakan di dalam perkumpulan masjid, bahwa rakyat harus memilih “seorang pemimpin yang memiliki keyakinan yang sama”. Rhoma Irama mendukung Fauzi Bowo dan bahkan muncul di dalam kampanye TV komersial. Perkataan kontroversial Rhoma Irama direkam dan di posting di dalam YouTube dan menyebar di berbagai media massa. Panitia Pengawasan Pemilu (Panwaslu) kemudian 1385 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan memanggilnya untuk diinvestigasi sebagai terduga pendatang daripada etnis asli, dan etnis Jawa tetap menjadi etnis yang paling banyak di DKI Jakarta, dalam memprovokasi diskriminasi agama. Dalam menanggapi hal tersebut, Joko sebagaimana yang dijelaskan dalam tabel berikut. Widodo juga menggunakan simbol agama, tetapi Etnis 1961 2000 dengan jalan yang lebih aman. Joko Widodo sering Jawa 35,16 25,4 (termasuk Madura) mengunjungi pasar rakyat, tidak ke masjid, tetapi ia Betawi 27,65 22,9 membuat simbol dengan menunjukkan foto saat ia Sunda 15,27 32,85 umroh, tepat setelah pemilukada putaran pertama. Cina 5,53 10,1 Joko Widodo juga mengunjungi beberapa habib Batak 3,61 1 pemimpin agama demi menangkis adanya kesan Minangkabau 3,18 2,1 Malay 1,62 2,8 sekulerisme di dalam dirinya. Joko Widodo dan Bugis 0,59 0,6 Fauzi Bowo mengunjungi Habib Munzir, habib Madura 0,57 Na zikir yang sangat terkenal yang sedang dirawat di Banten 0,25 Na rumah sakit, di hari yang sama. Banjar 0,1 0,2 Berkaitan dengan black campaign yang Minahasa Na 0,7 terjadi di Pemilukada DKI Jakarta, riset IMMC Lainnya 6,47 1,35 menjaring berbagai isu yang muncul dalam Sumber: 1961: Lance Castle: Indonesia 1967, 2000: sensus 2000 pemberitaan Pemilukada DKI 2012 putaran kedua Kandidat Pemilukada DKI Jakarta tahun ini. Hasilnya, ada tiga isu besar yang muncul, yaitu: kegiatan masing-masing pasangan cagub, 2012, dapat dibagi berdasarkan etnis yang diwakilinya, seperti yang terlihat pada tabel berikut. dinamika di sosial media, dan black campaign. Dari ketiga Putaran I Putaran II Kandidat Partai isu itu, black campaign yang No Etnis (%) (%) paling dominan, yaitu 48%. 1. 34,05 46,18 Betawi Fauzi Bowo- PD, PAN, PKB, Sementara kegiatan kedua Nachrowi Ramli Hanura, PBB, cagub 43% dan sosial media PMB, dan PKNU 8%. Riset IMMC menunjukkan ada tiga pola black campaign, 42,06 53,87 Jawa dan PDIP dan Joko Widodoyaitu isu SARA, isu 2. Cina Gerindra Basuki Tjahaja tentang prestasi-prestasi Purnama kepemimpinan yang dituduh tidak valid dan isu tentang 3. Hendardji Soe1,98 Jawa Independen pandji-Ahmad orientasi politik tersembunyi Riza Patria yang ingin dicapai seorang kandidat. 4. 4,98 Jawa dan PKS Hidayat NurSeperti yang telah Madura wahid-Didik dijelaskan sebelumnya, Rachbini Fauzi Bowo menggunakan 4,98 Batak dan isu etnis sebagai cara untuk 5. Faisal Batubara- Independen Betawi Biem Benjamin memperoleh pendukungnya. Fauzi Bowo menitikberatkan 6. 4,67 Palembang Golkar, PPP, Alex Noerdinkepada etnis Betawi untuk dan Jawa PDS, PPKB, Nono Sampono mendukungnya. Meskipun PKDI demikian, ketika ditelaah lebih Sumber: 1961: Lance Castle: Indonesia 1967, 2000: sensus 2000 lanjut, DKI Jakarta merupakan sebuah kota metropolitan dengan berbagai macam Dari tabel di atas terlihat bahwa terdapat etnis di dalamnya. Ditambah dengan kuatnya dua putaran di dalam pemilihan Kepala Daerah arus urbanisasi, menjadikan DKI Jakarta sebagai 2012. Pada putaran pertama lima kandidat saling sebuah kota yang mempunya lebih banyak etnis berkompetisi, sedangkan pada putaran kedua, JURNAL POLITIK 1386 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan hanya dua kandidat yang bersaing. Penelitian di dalam tulisan ini hanya menitik beratkan pada putaran kedua. Dapat dilihat dari kolom etnis masing-masing kandidat, terlihat bahwa di dalam putaran kedua, terdapat kompetisi di antara etnis. Joko Widodo-Basuki merepresentasikan etnis Jawa dan Cina-Indonesia, sedangkan FauziNachrowi merepresentasikan Betawi. Maka dapat juga dikatakan bahwa pemilihan tersebut adalah pemilihan di antara etnis Betawi dengan Jawa dan Cina-Indonesia. Dengan menghitung etnis pendukung, dapat dikemukakan bahwa Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama didukung oleh 40% dari populasi penduduk. Fauzi-Nachrowi merepresentasikan Betawi seutuhnya, karena mereka dua-duanya berasal dari Betawi. Secara statistik, etnis Betawi merepresentasikan 27% dari populasi. Dari contoh ini, dapat disimpulkan jumlah pendukung Joko Widodo melebihi Fauzi. berasal dari bahasa Romania “Populis” yang artinya adalah Rakyat, serta Bahasa Latin “Popus” yang sama artinya dengan populis. Populisme dalam praktiknya adalah segala upaya untuk meyakinkan rakyat entah itu mengenai pemerintahan berjalan yang kotor atau kurang dapat mewakili rakyat, menghilangkan jurang perbedaan antara si kaya dan si miskin, serta populisme juga sering dikaitkan dengan penyelamat negara. Sementara itu, dalam kamus sosiologi, populisme diartikan sebagai “suatu bentuk khas retorika politik, yang menganggap keutamaan dan keabsahan politik terletak pada rakyat, memandang kelompok elit yang dominan sebagai korup, dan bahwa sasaran-sasaran politik akan dicapai paling baik melalui cara hubungan langsung antara pemerintah dan rakyat, tanpa perantaraan lembaga-lembaga politik yang ada” (Abercombrie, 1998). Populisme di dalam tulisan ini mengacu kepada pendapat Canovan yang menyatakan Kandi- Jawa Betawi Sunda Cina Batak Minang Lainnya bahwa di dalam demokrasi modern, dat populisme dapat dilihat sebagai keinginan Fauzi 0,7 0,35 0,23 0,04 0,03 0,12 0,95 penduduk untuk melawan struktur kekuatan, Bowo dominasi ide, dan nilai nilai komunitas Joko 0,34 0,13 0,27 0,49 0,49 0,39 2,11 penduduk. Di era demokrasi, mereka Widodo mengakui diri, mereka berbicara untuk Sumber: SMRC-MNC dan LSI-Tempo (diolah) mayoritas penduduk biasa atau masyarakat Berdasarkan tabel di atas terlihat jelas awam, yang memiliki ketertarikan dan opini bahwa etnis Jawa mendukung Joko Widodo, mereka terbentuk dari elit-elit arogan, tokoh meskipun terdapat beberapa etnis Jawa yang politik yang korupsi, dan kaum minoritas yang mendukung Fauzi Bowo, tetapi tetap sebagian tertekan (Margaret Canovan, 1999). besar dari mereka, mendukung Joko Widodo. Terdapat beberapa hal yang dapat Sebaliknya, hal yang terjadi dalam pola yang sama memunculkan populisme di dalam pemilihan adalah etnis Betawi mendukung Betawi. Meskipun kepala daerah DKI Jakarta. Pertama, kerusuhan demikian, pola yang sangat kuat terlihat pada etnis dan ketidakpercayan kepada sistem politik di Cina Indonesia yang sebagian besar mendukung Indonesia. Jakarta, sebagai pusat dari berbaurnya Joko Widodo. Dengan melihat dari tiga grup etnis etnis atau keturunan, hubungan antara etnis tidak tersebut, dapat terlihat jelas bahwa masyarakat, selamanya harmonis. Beberapa etnis membuat dalam hal ini pemilih pilkada, lebih cenderung organisasi dan bisnis baik legal maupun ilegal. memilih berdasarkan etnis darimana mereka Terdapat berbagai organisasi atau organisasi berasal. Maka dapat dikatakan bahwa kemenangan muda yang berdasarkan etnis atau keturunan, Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama diperoleh seperti Forum Betawi Rempug (FBR), Forum dari dukungan etnis Jawa dan Cina, yang Anak Betawi (FORKABI), Badan Pembina merupakan etnis pendatang dan mempunyai Potensi Keluarga Besar Banten (BPPKB), Grup jumlah yang lebih banyak dibandingkan etnis asli. Ambon, Grup Timor atau Grup Flores Ende. Selain hal tersebut, kemenangan Joko- Perkelahian antar sesama grup etnis pun sering Widodo-Basuki Tjaha Purnama juga disebabkan terjadi di Jakarta demi mempertahankan urusan oleh adanya fenomena populisme. Populisme dan aktivitas mereka. JURNAL POLITIK 1387 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Perkelahian atau tawuran kemudian menjadi hal yang rutin bagi beberapa siswa pelajar di Jakarta. Kerusuhan di sekitar kota merupakan salah satu ciri khas kejadian yang terjadi Jakarta. Selain itu, juga terdapat banyak penduduk yang membuang sampah ke sungai, penumpang duduk di atas kereta api, sepeda motor berjalan di trotoar untuk pejalan kaki; semua hal tersebut menjadi pemandangan sehari-hari di Jakarta. Banjir dan kemacetan juga merupakan masalah utama di Jakarta, yang menyebabkan Fauzi Bowo sebagai Gubernur DKI Jakarta saat itu dianggap gagal untuk menyelesaikan masalah yang ada di Jakarta, tidak hanya karena anggapan ketidakmampuannya untuk menyelesaikan masalah, tetapi juga menurunnya kepercayaan rakyat terhadap kepemimpinannya. Seperti yang dikemukakan oleh survei yang dilakukan untuk mengevaluasi kinerja pemerintahan Jakarta, di dalam koran Kompas, sebanyak 23,9% responden pada 2010 dan 35,9% responden pada 2011, yang puas dengan kinerja pemerintah Jakarta untuk mengatasi masalah yang ada di Jakarta. Kinerja yang paling buruk adalah dalam hal mengatasi banjir dan kemacetan (Kompas, 2011). Fauzi Bowo, sebagai Gubernur yang saat itu mengaku sebagai pakar untuk menyelesaikan masalah di Jakarta, menemukan kesulitan menjawab kenyataan bahwa tidak ada perubahan yang signifikan di dalam kepemimpinannya. Masalah klasik yang ada di Jakarta menjadi sebuah rutinitas yang berjalan tanpa adanya solusi. Kedua, kelelahan akan tradisi politik dan kemunduran partai politik. Kepercayaan masyarakat terhadap partai politik sangat rendah. Berdasarkan survei di dalam koran Kompas Maret 2012, 80,4% responden menyatakan bahwa partai politik mempunyai image yang buruk; meningkat dari 80,1% di 2011 dan 61,13% pada 2010. Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan responden yang menyatakan bahwa partai politik mempunyai image yang bagus, sebanyak 14,7% pada 2012; menurun dari 15,3% pada 2011 dan 30,4% pada 2010. Kemudian juga terdapat sebanyak 90,2% responden yang kecewa terhadap kinerja partai politik; meningkat dari 88,9% pada 2011 dan 81,5% di 2010 (Kompas, 2012). Dalam dua tahun terakhir, sulit untuk JURNAL POLITIK menemukan hari tidak ada berita mengenai kasus korupsi di dalam lingkungan partai politik. Terdapat beberapa skandal besar yang melibatkan partai politik, seperti Century, Wisma Atlet, Hambalang, dan lain sebagainya. Meski demikian, Sekretaris Kabinet menunjukkan data resmi pada 2004-2011 yang disetujui oleh Presiden untuk melakukan pemeriksaan kepada partai-partai politik terkait kasus korupsi. Golkar menduduki nomor pertama dengan 64 orang, PDIP 32 orang, dan Partai Demokrat 20 orang. Hasil tersebut membuat masyarakat mempunyai pandangan bahwa partai politik sejalan dengan korupsi. Hal ini juga yang membuat jumlah pendukung di dalam partai politik berbeda dengan hasil pemilih. Kemudian, pada akhirnya, masyarakat cenderung tidak memilih kandidat yang mempunyai hubungan yang kuat dengan partai politik, karena mereka mempunyai pikiran bahwa mungkin terdapat kesepakatan rahasia di antara kandidat dengan partai politik pengusungnya. Masyarakat cenderung untuk mencari figur kuat yang didukung oleh partai manapun. Joko Widodo mempunyai figur dan identitas yang kuat meskipun didukung oleh PDIP dan Gerindra. Adanya perpindahan pemilih dari kandidat yang tidak terpilih ikut di dalam putaran kedua, tidak mencerminkan komitmen dari partai politik. Meski Fauzi Bowo didukung oleh semua partai politik, kecuali PDIP dan Gerindra di putaran kedua, masyarakat tetap cenderung untuk memilih berdasarkan pilihan mereka. Pemilih Fauzi Bowo yang masih memilih Fauzi Bowo di putaran kedua adalah sebanyak 91,6%. Fauzi Bowo juga mendapat pemilih dari Hendardji (60%), Joko Widodo (7,3%), Hidayat (66,7%), Faisal (38,1%), dan Alex (43,1%). Pemilih Joko Widodo yang tetap memilih Joko Widodo sebanyak 92,7%. Joko Widodo juga mendapat pemilih dari Fauzi (8,4%), Hendardji (40%), Hidayat (33,3%), Faisal (61,9%) dan Alex (43,5%) (SMRC dan MNC Group, 2012). Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat mengkritisi partai politik dan kandidat melalui pemilihan yang otonom beradasarkan pilihan mereka sendiri. Ketiga, perubahan di bidang ekonomi, kultur, dan budaya, seperti proses urbanisasi, dan modernisasi politik. Meski Betawi adalah etnis 1388 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan yang cukup banyak ada di Jakarta, tetapi etnis Jawa jauh lebih banyak jumlahnya. Perpindahan etnis di Jakarta berdasarkan sensus nasional 2010 menunjukkan bahwa etnis jawa sebanyak 36,17%, Betawi 28,29%, Sunda 14,6%, Cina 6,62%, Batak 3,42%, dan Minangkabau 2.85%. Mayoritas dari pemilih yang ada di Jakarta adalah anak muda dan berpendidikan. Sebanyak 3,8 juta pemilih atau 54,98% pemilih berusia 17-35 tahun; 914.000 berusia 17-21 tahun yang memiliki pengalaman pertama untuk ikut berpartisipasi di dalam pemilihan. Sebanyak 21,08% pemilih berusia 36-45 tahun dan 23,94% pemilih berusia di atas 46 tahun. Mayoritas penduduk Jakarta (34,4%) berpendidikan SMA dan 12,8% berpendidikan sarjana (Kompas, 2012). Joko Widodo berusaha untuk meraih pemilih dari segmen di atas. Pada masa periode kampanye, Joko Widodo datang ke 77 kampung di Jakarta yang termasuk ke dalam kalangan menengah ke bawah dan mendapatkan pemilih yang besar. Di dalam kampanyenya, Joko Widodo berusaha untuk mendengarkan aspirasi rakyat ketimbang hanya berbicara lantang seperti yang dilakukan kandidat politik lainnya. Joko Widodo hanya menyebutkan dua hal dalam kampanyenya, yang pertama, Kartu Pintar Jakarta sebagai solusi dari masalah pendidikan dan Kartu Sehat Jakarta sebagai solusi di dalam masalah kesehatan. Keempat, kemunculan bentuk politik di luar dari institusi politik tradisional. Fenomena populisme selalu ditandai oleh kemunculan media massa yang mewakili aspirasi rakyat, baik secara alami maupun direncanakan oleh pemimpin populis. Gelombang pertama dari pemimpin populis di Amerika Latin didahului dengan adanya radio sebagai bentuk dari komunikasi massa (Panizza, 2005: 15). Pada pemilihan 2001 di Thailand, Thaksin juga menggunakan radio dan televisi untuk mendukung kampanyenya sebagai penyelamat Thailand. Televisi membuat drama mengenai kehidupan Thaksin yang memunculkan dirinya sebagai orang yang miskin menjadi pebisnis kaya raya. Media massa memberikan pesan singkat Thaksin, yaitu: “untuk membawa kebahagiaan kepada mayoritas warga negara” (Pongpaichit and Baker, 2009). Media Massa menjadi “institusi representatif” yang dapat secara efektif mengiJURNAL POLITIK rimkan pesan dari pemimpin populis kepada rakyat. Hal tersebut juga merupakan gambaran dari kegagalan pemerintahan, termasuk partai politik, baik di tingkat lokal maupun nasional, di dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Saat ini media online menjadi salah satu media terpenting dalam menjadi “institusi representatif”. Sebagian besar, terutama anak muda dan kalangan menengah, mampu untuk mengakses internet secarah muda melalui handphone maupun warung internet (warnet). Mereka menggunakan internet sebagai penduduk dari dunia facebook dan twitter. Oleh karena itu, mengirimkan pesan politik menggunakan media tersebut menjadi sangat efektif. Tim Joko Widodo memasukkan beberapa video di dalam YouTube, seperti profil Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, Jakarta Baru, dan Stand Up Comedy Joko Widodo. Video klip kampanye Joko Widodo, parody One Direction “What Make You Beautiful” mempunyai hit (rating) tertinggi di YouTube, ditonton oleh ratusan ribu penonton. Facebook dan twitter juga digunakan di dalam kampanye Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama. Hal yang mendapat perhatian lebih adalah ketika akun twitter @triomacan2000 yang mempunyai ratusan ribu followers secara penuh melawan Fauzi Bowo dan mendukung Joko Widodo serta Hidayat di putaran pertama. Di putaran kedua, @triomacan2000 tiba-tiba berubah untuk mendukung Fauzi Bowo, tetapi hal tersebut tidak mempengaruhi followersnya, karena mereka curiga akan perubahan drastis @triomacan2000. Joko Widodo juga merupakan sahabat media. Masyarakat secara antusias membaca berita tentang Joko Widodo, di dalam media konvensional dan juga di media sosial, membuat Joko Widodo sering diikuti oleh para jurnalis. Survei dari Penelitian Konsultan Saiful Mujani (2012), pada putaran kedua Joko Widodo lebih terdepan di seluruh media massa, kecuali radio. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin besar pemilih mengakses semua media massa, semakin besar kemungkinan Joko Widodo memenangkan pemilihan. Sejalan dengan Penelitian Asosiasi Jurnalis Indonesia (Aliansi Jurnalis Independen (AJI)) Jakarta, menujukkan bahwa pada 1 Juni13 September 2012, terdapat 810 berita baik dan 172 berita buruk mengenai Joko Widodo. Di sisi 1389 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan lain, terdapat 666 berita baik dan 260 berita buruk mengenai Fauzi Bowo (http://www.tempo.co.id diakses tanggal 16 maret 2013). Kemenangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama pada Pemilukada DKI Jakarta 2012, mengindikasikan adanya perubahan pemilih. Perubahan pemilih erat kaitannya dengan perilaku pemilih. Tindakan para pemilih dalam memberikan suaranya pada pemilu atau pada pilkada dalam studi-studi politik disebut sebagai studi perilaku memilih (Voting Behavior). Menurut Jack C. Plano (1985: 280), studi perilaku memilih dimaksudkan sebagai suatu studi yang memusatkan diri pada bidang yang menggeluti kebiasaan atau kecenderungan pilihan rakyat dalam pemilihan umum, serta latar belakang mengapa mereka melakukan pilihan itu. Pemberian suara pada pilkada secara langsung menurut Asfar (2005) adalah cara pemilihan Kepala Daerah dengan memilih “orang”, artinya menempatkan figur sebagai pertimbangan utama dalam menentukan pilihan Kepala Daerah. Dengan demikian, figur calon Kepala Daerah masih merupakan faktor yang mempengaruhi pemilih dalam menjatuhkan pilihan politiknya. Untuk lebih memahami mengenai kemenangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama dan adanya perubahan pemilih, diadakanlah studi kasus dengan menyebarkan kuesioner terhadap 120 responden di wilayah Jakarta Selatan, yang terbagi dalam 11 daerah, yaitu: Kebayoran Baru, Kebayoran Lama, Pesanggrahan, Cilandak, Pasar Minggu, Jagakarsa, Mampang Prapatan, Pancoran, Tebet, Setiabudi, dan Walikota Jakarta Selatan. Kuesioner dibagi menjadi 10 pertanyaan, yaitu. 1. Apakah Anda Memilih pada saat Pemilukada Jakarta 2012 putaran kedua berlangsung? (a) Iya; (b) Tidak 2. Apakah Anda Memilih Joko WidodoBasuki Tjahaja Purnama di dalam Pemilukada Jakarta 2012 putaran kedua? (a) Iya; (b)Tidak 3. Jika Iya, apakah yang menjadi dasar Anda Memilih Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama? (a) Etnis (suku bangsa); (b) Agama; (c) Pencitraan 4. Jika Tidak, apakah yang menjadi dasar Anda Memilih Fauzi Bowo-Nachrowi JURNAL POLITIK Ramli? (a) Etnis (suku bangsa); (b) Agama; (c) Pencitraan 5. Dari etnis manakah Anda berasal (tidak memunculkan issue SARA)? (a) Jawa; (b) Betawi; (c) Sunda; (d) Lainnya 6. Agama apa yang Anda Peluk (tidak memunculkan issue SARA)? (a) Islam; (b) Kristen; (c) Hindu; (d) Lainnya 7. Anda berada di usia berapa? (a) 17-25th; (b) 25-40th; (c) 40th 8. Menurut Anda, etnis (suku bangsa) dan agama, berpengaruh atau tidak di dalam menentukan calon pemenang di dalam Pemilukada? (a) Iya; (b) Tidak 9. Jika Iya, apakah yang menjadi dasar pendapat Anda? (a) Kriteria untuk memilih calon pemimpin yang tepat (b)Keinginan untuk mempunyai pemimpin yang berasal dari etnis (suku bangsa) dan agama yang sama (c) Kemampuan memimpin yang lebih bagus jika berasal dari etnis (suku bangsa) dan agama yang sama 10.Jika Tidak, apakah yang menjadi dasar pendapat Anda? (a) Pemimpin dilihat dari kemampuannya untuk memimpin bukan dari latar belakang etnis (suku bangsa) dan agama (b)Kampanye politik lebih berpengaruh daripada melihat etnis (suku bangsa) dan agama (c) Belum tentu pemimpin yang berasal dari etnis (suku bangsa) dan agama yang sama merupakan calon pemimpin yang tepat Dari hasil survei yang dilakukan, berdasarkan responden yang memilih, Pemilukada DKI Jakarta putaran kedua 2012 ini memiliki antusiasme yang tinggi, terbukti, di antara 120 responden, sebanyak 88 responden menyatakan memilih di dalam Pemilukada DKI Jakarta, sebanyak 29 responden menyatakan tidak memilih, dan hanya sebanyak 3 responden yang menyatakan abstain. 1390 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Kebayoran Kebayoran Pesang- Cilan- Pasar Jaga- Mampang Pan- Tebet Setia- Walikota JaBaru Lama grahan dak Minggu karsa Prapatan coran budi karta Selatan Abstein Iya Tidak 3 35 9 2 3 2 2 2 1 1 3 1 2 Hasil quisioner Abstein Iya Tidak Jumlah Responden 3 88 29 Presentase 2,50% 73,33% 24,17% Hasil quisioner Berdasarkan Agama dan Etnis latar belakang responden, agama Islam menjadi agama yang dianut terbesar dan etnis Jawa juga menjadi etnis dominan di antara para responden. Hal tersebut mendukung penjelasan sebelumnya yang menyatakan bahwa agama Islam menjadi agama yang dominan dianut oleh masyarakat Indonesia dan etnis Jawa merupakan etnis pendatang yang mempunyai jumlah yang lebih besar dibanding etnis yang lainnya. Dalam hal pemilihan calon pemimpin, berdasarkan survei yang dilakukan, berikut adalah tabel yang memilih dan tidak memilih Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama dalam Pemilukada Putaran Kedua 2012. Abstein Iya Tidak Jumlah Responden 22 34 64 3 28 4 6 4 7 2 Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa dari 120 responden, lebih banyak di antara mereka yang tidak memilih Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama. Pada survei yang telah dilakukan, responden Kebayoran Baru lebih banyak tidak memilih Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, yaitu sebanyak 31 responden, sedangkan yang memilih Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama sebanyak 11 responden, dan yang memilih untuk abstein sebanyak 5 orang. Hal ini berbeda dengan hasil quick count yang menyatakan bahwa Joko Widodo menang di Kabupaten Kebayoran Baru. Hal tersebut mengindikasikan adanya perubahan pemilih di daerah Kebayoran Baru yang cenderung memang berbasis pribumi, dan juga adanya perubahan cara pandang masyarakat dalam memilih calon pemimpin mereka Latar belakang dalam memilih juga menjadi perhatian di dalam memilih calon pemimpin. Berdasarakan survei yang telah dilakukan, sebanyak 66 responden menyatakan tidak melihat latar belakang etnis dan agama calon pemimpin dan sebanyak 54 responden menyatakan melihat latar belakang etnis dan agama calon pemimpin, yang selanjutnya dapat terlihat dari grafik dan tabel berikut. Presentase 18,33% 28,33% 53,33% Hasil quisioner Berdasarkan tabel di atas, sebanyak 22 orang menyatakan abstain (18,3%), menyatakan memilih Joko Widodo sebanyak 34 responden (28,3%), dan yang menyatakan tidak memilih Joko Widodo sebanyak 64 responden (53,3%). JURNAL POLITIK Abstein Iya Tidak Jumlah Responden 0 54 66 Hasil quisioner 1391 VOL. 10 No. 01. 2014 Presentase 0,00% 45,00% 55,00% POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Responden yang memilih calon pemimpin berdasarkan etnis dan agama calon pemimpin, di dalam survei ini memiliki dua alasan yang seimbang, yaitu: adanya keinginan untuk mempunyai pemimpin yang berasal dari etnis dan agama yang sama, yaitu sebanyak 20 responden (16,67%). Selain itu, juga sebanyak 20 responden (16,67%) melihat bahwa kemampuan memimpin calon pemimpin akan lebih bagus jika berasal dari etnis dan agama yang sama. Sementara itu, responden yang tidak memilih calon pemimpin berdasarkan etnis dan agama calon pemimpin, dapat dijelaskan dalam tabel berikut. Jumlah Responden Presentase Pemimpin dilihat dari ke43 35,83% mampuannya untuk memimpin bukan dari latar belakang etnis dan agama Kampanye politik lebih berpengaruh daripada melihat etnis dan agama 10 8,33% Belum tentu pemimpin yang berasal dari etnis dan agama yang sama merupakan calon pemimpin yang tepat 17 14,17% Hasil quisioner Sebanyak 43 responden (35,83%) menyetujui bahwa memimpin lebih dilihat dari kemampuan untuk memimpin bukan dari etnis dan agamanya. Hal ini memperlihatkan bahwa pemilih DKI Jakarta berpikir rasional dengan melihat sosok kepemimpinan dari kandidat Pemilukada DKI Jakarta. Dalam hal dua kandidat yang bersaing di dalam Pemilukada DKI Jakarta putaran kedua, responden yang memilih Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama memilih pencitraan dari kandidat tersebut sebagai dasar memilih yaitu sebanyak 24 responden (20%), agama 8 responden (6,67%) dan etnis 7 responden (5,83%). Hal tersebut berbeda dengan responden yang memilih Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli. Responden yang memilih kandidat tersebut lebih memilih berdasarkan agama yaitu sebanyak 34 responden (28,33%), pencitraan 23 responden (28,33%), dan etnis sebanyak 3% (2,50%). Fakta JURNAL POLITIK ini menjelaskan bahwa di satu sisi memang agama masih berperan dalam menentukan calon pemimpin, tetapi terdapat perubahan yang lebih signifikan, yaitu munculnya kriteria pencitraan kandidat yang lebih menonjol daripada hanya sekadar melihat faktor etnis dan agama calon pemimpin. Simpulan Pada Pemilukada DKI Jakarta 2012, penulis mengindikasikan adanya pola pikir masyarakat Indonesia, khususnya DKI Jakarta, yang telah berkembang. Dengan kata lain, warga DKI Jakarta tidak hanya terpaku pada unsur konvensional dalam menggunakan hak politiknya, seperti berpacu pada partai yang dipilih. Politik bagi warga DKI Jakarta berkembang menjadi lebih menyenangkan, tidak tabu, dan kaku lagi. Terbukti dari penggunaan media massa untuk berkampanye lebih meningkat (penggunaan youtube, facebook, twitter, dan sosial media lainnya). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada Pemilukada DKI Jakarta 2012, partisipasi politik menjadi lebih meningkat dan berhasil menyentuh semua kalangan. Kampanye politik yang buruk atau black campaign menjadi sorotan utama, dan semakin memperjelas bahwa pada kenyataannya, dengan adanya black campaign warga DKI Jakarta justru melihat orang yang dijadikan objek dalam kampanye tersebut jadi lebih meyakinkan untuk pemilih dalam Pemilukada DKI Jakarta untuk memilih Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama dengan dasar prinsip rasional yang tidak menyukai black campaign. Karakter dan kampanye yang dilakukan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, membuat banyak simpati masyarakat DKI Jakarta. Meski pada awalnya banyak yang meragukan kiprah mereka, karena bersaing dengan incumbent, dan calon wakil Gubernur (Basuki Tjahaja Purnama) yang berasal dari etnis non Betawi serta beragama non Muslim, tapi nyatanya, warga DKI Jakarta tidak melihat hanya dari etnis dan agama saja. Dapat dikatakan pula, ketidakpercayaan warga terhadap kepemimpinan sebelumnya membuat mereka beralih kepada sesuatu yang baru, dalam hal ini memilih Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama yang mengusung “Jakarta Baru”. Dalam studi kasus yang dilakukan di 1392 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan wilayah Jakarta Selatan terhadap 120 responden, dapat dikatakan bahwa etnis, agama, di beberapa wilayah memang berpengaruh, tetapi terdapat perubahan pemilih yang tidak hanya melihat dari unsur tersebut, tetapi juga melihat dari kemampuan calon pemimpin. Selain hal tersebut, etnis Betawi yang dikatakan etnis “asli” wilayah DKI Jakarta, pada kenyataannya lebih banyak jumlah pendatangnya dan didominasi oleh etnis Jawa. Terima kasih atas bimbingan dan arahan Prof. Syamsudin Haris pada tulisan ini. Kepustakaan Huntington, Samuel P dan Joan M Nelson. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang (trej. Sahat Simamora). Jakarta: Rineka Cipta. Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo. 2000. Metode Penelitian Bisnis. Yogyakarta: BPFE. Kanumoyoso, Bondan. 2011. Beyond The City Wall: Society and Economic Development in the Ommenlanden of Batavia, 18841740. Disertasi di Universitas Leiden. Black, James A and Dean J. Champion. 1991. Method and Issues in Social Research (trej. E. Koswara, dkk). Jakarta: Eresco. Kasali, Rhenald. 2000. Membidik Pasar Indonesia Target Positioning, Segmentas. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Bryant G. White. 1982. Manajemen Pembangunan Untuk Negara Berkembang.: Jakarta: LP3ES. Nasir, Mohamad. 2009. Metode Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara. Budiardjo, Miriam. 1996. Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ____________. 1999. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Cangara, Hafied. 2009. Komunikasi Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Clegg, K. 2008. The Politics of Redefining ethnic Identity in Indonesia: smothering the fires in Lombok with democracy” in The State Development and Identity in Multi-Ethnic Societies diedit oleh Nicholas Tarling dan Edmund Terence Gomez. Routledge: Oxon. Firmanzah. 2007. Marketing Politik. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta. JURNAL POLITIK Nurudin. 2009. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: Rajawali. Pito, Toni Adrianus dan kawan-kawan. 2006. Mengenal Teori-Teori Politik Dari Sistem Politik Sampai Korupsi. Bandung: Penerbit Nuansa. Plano, Jack. C., Robert E. Riggs dan Helenan, S. Robbin. 1985. Kamus Analisa Politik. Jakarta: Rajawali. Prasojo, Eko, Irfan Ridwan Maksum dan Teguh Kurniawan. 2006. Desentralisasi & Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural. Jakarta: DIA FISIP UI. Prihatmoko, Joko. 2005. Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Filosofi, Sistem dan Problema.Penerapan di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1393 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Raben, Remco. 2000. “Round About Batavia: Ethnicity and Authority in the Ommenlanden 1650-1800” di dalam Jakarta-Batavia: Socio Cultural Essays (edt. Kees Grijns dan Peter JM Nas). Leiden: KITLV. Rauf, Maswadi. 1991. “Ciri-ciri Teori Pembangunan Politik: Kasus Partisipasi Politik” dalam Jurnal Ilmu Politik, No 9. Jakarta: Gramedia. Reilly, Ben. 1999. Reformasi Pemilu di Indonesia: Sejumlah Pilihan, dalam Almanak Parpol Indonesia. Jakarta: Yayasan API. Silver, C. 2008. Planning the Megacity: Jakarta in the Twentieth Century. Routhledge: Oxfordshire. Svara, James H., et all. 1994. Facilitative Leadership in Local Government: Lessons from Succesful Mayor and Chairperson. San Francisco: Jossey-Bass Publishers. Venus, Antar. 2004. Manajemen Kampanye Panduan Teoritis dan Praktis Dalam Mengaktifkan Kampanye Komunikasi. Simbiosa Rekatama: Bandung Jurnal Politika, Jurnal Pencerahan Politik Untuk Demokrasi, Volume I No. 1 Mei 2005. Muhammad Asfar, Beberapa Pendekatan Dalam Memahami Perilaku Pemilih, Jurnal Ilmu Politik, Volume 16, Tahun 1996, Penerbit Kerja Sama Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Dengan PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES. Siraishi, Takashi. 1999. “The Indonesian Military in Politics” dalam The Politics of Post Suharto Indonesia, (pny. Adam Schwarz dan Jonathan Paris). New York: Council of Foreign Relation. Sudjana, Nana. 2006. Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Adminitrasi. Jakarta: Alfabeta. Surakhmat, Winarno. 1998. Dasar dan Teknik Research: Metode Pengantar Ilmiah. Bandung: Tarsito. Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. JURNAL POLITIK 1394 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan The Effectivenes of Democratic System’s Embodiment in a Direct Regional Election in Aceh Efektivitas Sebuah Perwujudan Sistem Demokrasi dalam PEMILUKADA Aceh 20122017 Effendi Hasan , Fadhil Ilhamsyah , Ahmad Nidzammuddin Sulaiman Abstract It employed descriptive-qualitative methods, which attempted to unfold the real condition comprehensively. The result illustrates that Regional Election for Governor and Vice Governor of Aceh in 2012 was merely succeeded in procedural context, yet not substantially. The inconsistency of legal basis for regional election, the repeated rescheduling of the election agenda, violence, intimidation, money politics and also lack of socialization about the Regional Election were contributing factors to the failure. Keywords: Effectiveness, Democratic System, Regional Election Abstrak Riset ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif, yang mana menekankan kepada perkembangan kondisi aslinya secara menyeluruh. Hasilnya menjelaskan bahwa PEMILUKADA untuk Gubernur dan Calon Gubernur di Aceh pada tahun 2012 hanyalah berhasil secara prosedur, namun tidak seluruhnya sempurna. Tidak konsistennya dasar hukum bagi PEMILUKADA, pengulangan dalam pembuatan agenda PEMILUKADA, kekerasan, intimidasi, politik uang, serta kurangnya sosialisi dalam PEMILUKADA menambah dampak akan kegagalan sistem tersebut. Kata Kunci: Efektivitas, Siste, Demokrasi, PEMILUKADA Introduction The direct regional election in Aceh is the embodiment of 1.2.1, 1.2.2 and 1.2.3 points of the reconciliation agreement stated in Memorandum of Understanding between Indonesia Government and Aceh Freedom Movement. Following the bill No. 11 year 2006 about Aceh Government, therefore, all election including Governor, vice governor, Mayor and vice mayor, regent and vice regent has been executed for two times already. In the first regional election in 2006, Drh. Irwandi Yusuf, M.Sc and Muhammad Nazar, S.Ag won the run attaining 768.745 votes (38,2%). The elected governor, Drh. Irwandi represented GAM elite while Muhammad Nazarwas a former Aceh Referendum prominent figure from SentralInformasi Referendum Aceh (Aceh Referendum Information Center) (RusdionoMukridanMujiyanto,2009:356). The second regional election first schedule was in the end of 2011. However, due to many occurring problems, Constitutional Court demanded Independent Election Commission (KIP) to reschedule the election date four times from December 24th 2011 to April 9th 2012 (Askalani dkk, 2012: 14). For this election, dr. Zaini Abdullah Syiah Kuala University, [email protected] Syiah Kuala University, [email protected] National University Of Malaysia, [email protected] / [email protected] JURNAL POLITIK 1395 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan and Muzakkir Manaf (ZIKIR) from Aceh Party won by gathering 1.327.695 voters (55,75%) (Askalani dkk, 2012) Regarding the 2012 election, there were many speculations that the 2012 election would run well with honesty, and justice. Nonetheless the reality spoke differently as there were many negative findings contributing to disabilities of democratic system in Aceh, one of them was money politic. Money politic may take form in distributing money for campaign participants during the mass campaign period, the tranquil week and also in the morning of the Election Day (Aceh PanWaslu data, 2012). In addition to that, a more concerning issue was intimidation and violence occurring from 2010 until 2013. According to SistemNasionalPemantauanKekerasan (National Violence Monitoring System), there were 200 violent cases, which related to Regional Election in Aceh. From the 200 cases, seven were dead, 103 people were injured, and 29 units of building were damaged (www.snpk-indonesia. com, accessed on July 16th 2013). The Election Monitoring Committee also claimed that 37 of it were administration infringement and crime, which was found during campaign period. While there were also 57 cases of violence and intimation occurred near to the voting day (Askhalani dkk, 2012). Additionally, the non-voter number in 2012 was increased comparing to 2006. There were only 2.380.386 voters out of 3.244.729 permanent voters list were licit, while 864.343 or 26.6 percent were counted as non-voters or broken vote. In 2006, the non-voter number was 528.196 (20,06%) from 2.632.935 permanent voters list (Data of KIP Aceh, 2012). Therefore, it is important to execute this research in order to find out the effectiveness of democratic system embodiment and its obstacles within the direct regional election for Governor and Vice Governor of Aceh in 2012. Theoretical Approach Democracy Theory as the Basis for Regional Election Etymologically, the word “democracy” was derived from Greek language namely “demos” which means people or citizen in an JURNAL POLITIK area, and “cratein” or “cratos” meaning “power” or “sovereign”. Consequently Demos Cratein or Demos Cratos is a condition in which state’s power relies on the people and the highest power is on people’s decision. People is the sovereign, ruled by people (Azyumardi Azra, 2000) Terminologically, Joseph A. suggests that democracy is an institutional action to reach political decision in which every individual has the right to decide a competitive methodology upon people’s voice. Sidney Hook asserts that democracy is state, which its important policy was derived directly or indirectly from majority covenant delivered freely.Phillippe C. Schmiller and Terry Linn Karl declares that democracy is governmental system, which government must presents its responsible for its action to public or citizen through cooperation or competition with people’s representative. (Azyumardi Azra, 2000). From the above opinion, it is possible to draw two concepts of democracy. First is decentralization. Etymologically decentralization is derived from “de” and “centerum”. “De” means to remove, move away from, or to let go as used in de-colonization, de-bureaucratization, etc. The word “Centerum” means central or to centralize power in the capital of a state, consequently decentralization is a action to move away or fade away, to let go from central (Koesoemahatmadja, 1979). This means that the power to rule is not only from the central government yet is also from lower institutional level either under the same territory or the same functional institution. The lower institutions are allowed to manage and arrange its own mandatory task as part of central government (Philipus M. Hadjon, 2008) Decentralization has two perspectives namely administration and also politic. Administratively, decentralization is defined as the transfer of administrative responsibility from central to local government. Politically, decentralization is a transfer of power, from to level to lower level, in a territorial hierarchy, which could be one of government within a state, or office within a large organization. (EkoPrasojo dkk, 2006) Political decentralization is commonly related to democratization, which means people are involved indirectly or directly in every state’s 1396 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan policy making through the House of Parliament. Basically democratization suggests the changing process to strengthen the sovereign of people as according to democratic value. Democratization also can be defined as a process to a more democratic action, signed by the ending of authoritarian realm, constructing a democratic realm and the occurrence democratic realm’s consolidation (TB. Massa Djafar, 2008). The second perspective is local democratization. This is an implication of decentralizationrun by local government as the epitome of democracy system in Indonesia. The main concept is to involve citizen through a consensus process to accomplish together objectives. In Indonesia, local democracy is a subsystem of democracy for local government to develop a mutual relationship with its subject within the territory. Consequently, the governor, the legislative representation and also the citizen will have opportunities to formulate and implement the fittest policies needed by the local citizen (Deden Faturohman, 2005). Through decentralization, the power of state does not rest only on the central government but also distributed to provinces. This allows local government to possess a stronger power to arrange and to decide its domestic policy as needed. Therefore, the local government has rights to regulate the implementation of regional election because central government bestows its province to select its own local leader directly (Abdul Muluk Lubis, 2009) In addition, this research employs descriptive qualitative approach, which tries to unfold the realities holistically. Qualitative research does not only illustrate the single variables but also to find the correlation among the variables. Besides revealing the facts, this research also analyzes the realities based on the democracy concept and regulation in order to have a comprehensive result. The expected research result would present an objective perspective regarding the realities. Thus, researcher interprets and analyses the gathered data, which later will be rationalized to extract the conclusion (Ali Sayuthi M, 2002). To gather the informant for this research, purposive sampling was used. The selected JURNAL POLITIK informants are those who were trusted and possessed deep knowledge regarding the matters. The total number of sample was 36 informants consisted of 15 people from two sub-districts and 1 city, which were West Aceh, Pidie Jaya, and Banda Aceh, 8 informants from regional election committee, three informants from the candidate of governor and vice governor, two person from Aceh Government and Parliament House of Aceh, three person from political parties joining regional election, and 5 person from Civil Service Organization and observer. The data used was gathered from both library and also field. The library data was derived from books, documents, articles and also relevant research result, while field data was gathered from in-depth interview and observation. Additionally, triangulation data was also used to ensure the reliability of the data. This was done by checking the data source, the research principles, the applied theory and concept, and also discussing it with research fellow(Strauss dan Cobin, 1990; dan Ahmadi, 2005). The Research Result and Analysis The Implementation of Regional Election of 2012 in Aceh. The Aceh Regional Election in 2012 was the second election event after Aceh Peace and Reconciliation. The event supposed to happen in 2011 Due to the occurrence of many concerning issues, however, the election committee delayed it until April 9th2012. There were five couples that run for the election. Three of the candidate came from independent candidacy.They are Tgk. H. Ahmad Tajuddin and Ir. H. Teuku Suriansyah, M.Si as the first candidate, drh. Irwandi Yusuf, M.Sc and Dr. Ir. Muhyan Yunan, M.Sc (Hw.Eng) as candidate number two, and Prof. Darni M. Daud, M.A and Dr. Ahmad Fauzi, M.Ag were chosen as candidate number three. Mean while, the other two candidates run as Parties’ representative, namely candidate number four; Muhammad Nazar, S.Ag, and Ir. Nova Iriansyah, MT from parties’ coalition including Democrat Party, Unity and Development Party (PPP) and SIRA Party and candidate number five; dr. H. Zaini Abdullah and Tgk. Muzakir Manaf from Aceh Party (KIP Aceh, 2012) From procedural point of view, the Regional 1397 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Election in 2012 was considered successful, because Independent Election Committee (KIP) of Aceh conducted the election phase correctly according to regulation (Kamaruddin Andalah, Chairman of Bureaucracy, interview¸ 22 November 2013 and Salamuddin, Citizen of West Aceh, interview, 30 October 2013). According to Abdullah Saleh, the 2012 Regional Election in Aceh was proceed democratically, because the election committee opened opportunities to various type of candidate including from Independent fraction. Moreover, the regional election became more democratic also because there was no candidatefrom the current ruling incumbent. Hence citizen’s decision to vote would not be influenced by the running program held by the incumbent (Abdullah Saleh, Chairman of Legislation Office and Member of Commission A of Aceh House of Parliament, interview, 18 November 2013). Consequently, the couple that won the election certainly was the citizen’s choice as according to democratic value. As compiled by KIP Aceh, following is the recapitulation of regional election result in 2012: The table shows that candidate number 5 dr. H. Zaini Abdullah and Tgk. Muzakir Manaf gained the most vote, which are 1.327.695 (55,78%). Consequently the Regional Election Committee declared the couple as the elected governor and vice governor through plenum and the Home Minister, Gunawan Fauzi, inaugurated them on 25th June 2012 in Special Plenary Session of the House of Representatives of Aceh for the term 2012-2017 (KIP Aceh, 2012) Moreover, Acehnese political participation in regional election in 2012 displayed higher number comparing to other provinces in Indonesia. Also, opportunities for Acehnese to involve directly as governor’s candidate in 2012 was opened wider than previous election in 2006, which the governor candidate was merely available for those who came from national political parties and independent candidacy. Meanwhile in 2012, the candidate was not only opened for national political parties and independent candidacy but also for local political parties. Nonetheless, unfortunately regional election in 2012 had concerning obstacles. The bill no. 11 year 2006 about Aceh Government collided with the bill no. 32 year 2004 about local government. This caused the endorsement of Aceh amercement regarding the regional election had to be postponed for 4 times by KIP (Independent Election Commission) as instructed by Constitutional Court. Besides, intimidation, kidnaping, fights and murder before and during the campaign season had destructed the democracy of Regional election (Regional Election Supervisor, Interview, 12 November 2013, Muhammad Alminto, Team Sucess Seuramoe IrwandiMuhyan, Interview via email, 28 November 2013 and Faisal Ridha, Team Success Muhammad Nazar-Nova Iriansyah, interview, 23 November 2013). Referring to the above explanation, this research has indicated that the implementation of regional election of 2012 had been success procedurally as according to democratic value Tabel 1 No Candidate’s name Poll 79.330 % Candidacy 3,33 Independent 1 Tgk Ahmad Tajuddin Ir. Suriansyah, M.Si 2 Drh. Irwandi Yusuf, M.Sc 694.515 Dr.MuhyanYunan,M.Sc (Hw-Eng) 3 Prof.Darni M Daud, MA Dr. Ahmad Fauzi, M.Ag 96.767 4,07 Independent 4 Muhammad Nazar, S.Ag Ir. Nova Iriansyah, MT 182.079 7,65 Demokrat Party, PPP, SIRA Party 5 dr. H. Zaini Abdullah Tgk Muzakir Manaf 1.327.695 55,78 Aceh Party 29,18 Independent and all the phase executed as stated in laws. Substantially, however, the election was not yet effective owing to many juristic violations, which potentially destroyed democratic values in Aceh. Democracy will only operate effectively when all democratic values in were applied comprehensively trough all the election process. Because it was not merely about procedural but also certainly was substantial that ensured the democracy developed well in Aceh. Source : KIP Aceh, 2012 JURNAL POLITIK 1398 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan The 2012 Regional Election in Aceh was not yet Operated as According to Democratic Values. There were still many shortcomings during the regional election in Aceh, such as the indifferent of legal basis and the rescheduling of regional election, intimidation, violence and money politic, which instigated the Aceh regional election substantially foiled according to democratic value. The flaws were: 1. The indifferent of Legal Basis and Rescheduling of Regional Election The article of 256 number 11 year 2006 stated that independent candidate was only allowed to join election after the law no. 11 year 2006 on Aceh Government was approved and only for regional election in 2006. This regulation was certainly absurd, because Aceh Government, which was the initiator of independent candidate’s policy in Indonesian democracy system, was allowed to have independent candidate only for one election. Meanwhile in national level, the independent candidate was legal to join in every regional election in Indonesia. This uncertainty about the regional election in 2012 was instigated by the Constitution Court’s decision no. 35/ PUU-VII/2010 dated December 30th 2010 about the revocation of Article 256 number 11 year 2006 about Aceh Government. The consequence was The Independent Election Commission (KIP) had to revoke the article 256 no. 11 year 2006 hence rescheduling regional election date and stages also must be done (Interview with Chairul Fahmi, Executive Director of The Aceh Institute, and Muhammmad, Komisioner KIP, Interview, 12 November 2013 and 31 October 2013). The KIP revocation, which was based on Aceh regulation no. 7 year 2006, was conducted because Aceh Government and Aceh House of Parliament did not discuss Aceh new regulation for regional election. However, Aceh Party and also Aceh House of Parliament rejected KIP Aceh’s action using the law no. 7 year 2006 as the legal basis. They believed JURNAL POLITIK that KIP Aceh’s action to accommodate Independent candidate was against with Aceh Government Bill. Constitutional Court’s decision to repeal article no. 256 of Aceh Government Law was the act of rifling through the rights of Acehnese which has been set in Aceh Law, hence KIP action to accommodate independent candidate was a mistake (Fachrul Razi, Aceh Party Speaker, interview via Email, 28 November 2013). The repeal made by Aceh Party and Aceh House of Parliament caused uncertainty on the law basis. Therefore, KIP Aceh had to reschedule the regional election for four times. The alteration, was not only instigated by arguments of legal basis or regional election’s regulation between KIP Aceh, Aceh Government and Aceh House of Parliament, but also because there was an agreement to “cooling down” (pause) instructed by Home Ministry. Additionally, Constitutional Court also demanded KIP to reopen candidate’s registration to accommodate all political element in Aceh and reschedule the election date (Munawarsyah, Chairman of KIP Banda Aceh, Interview, 18 November 2013, BahagiaIdris, Chairman of KIP Aceh Barat, Interview, 31 October 2013, dan Firmansyah, Commissioner of KIP Pidie Jaya, Interview, 29 November 2013), as explained below: 2. Intimidations and Violence Implementation of Aceh Election in 2012 was expected to be peaceful and executed without intimidation as a pledge of peace by 5 (five) pair Candidates for Governor and Deputy Governor on March 14, 2012 in the courtyard of the Grand Mosque Baiturrahman. The Election Pledge Peace announcement was witnessed also by a number of United Indonesia Cabinet Minister Volume II, Member of Parliament from Aceh and the Acehnese senator. The candidates agreed to create a peaceful Regional Election, free of intimidation and violence 1399 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan from the direction of the highway. Witnesses saw the culprit as many as KIP Aceh Decision Election Schedule Reason of Rescheduling four young men with faces covered No. 1 Year 2011 14 November 2011 This timetable was changed owing with black clothe that came from to a “cooling down” agreement fathe north by twomotorcycles. This cilitated by Home Minister. incident caused no casualties, police No. 17 year 2011 24 December 2011 This schedule change because of the found three bullet points of AK - 47 injunction of Constitutional Court and a pistol grain projectile (Chairul (MK) related to a petition of Khalid to sue KIP Aceh for not allowing Fahmi, Executive Director of The Aceh him to register as candidate due to Institute, Interview, 12 November the very short time of registration. 2013). Intimidation was also happened The injunction ordered KIP Aceh to in the implementation of the Regional reopen enrolment for a week. Election in 2012, such as intimidation No. 26 year 2011 16 February 2012 This schedule was changed again be- of the organizers, community and cause of the interim decision of the inters Success Team of Candidates for Constitutional Court (MK) related to lawsuit against Home Minister KIP Governor and Deputy Governor.Threat Aceh. Home Minister demanding occurred in the form of a direct threat or postponement of Aceh Election in threats by phone or through the sending respect of the political chaotic. The of short message service (SMS). The Constitutional Court (MK) rejected the claim and the interim decision threat was not only the case for the of the Constitutional Court (MK) individual organizers, community, and ordered KIP Aceh to reopen the reg- Success Team of Candidates but also to istration period for a week and to implement the Regional Election at the families concerned (Rosni Idham, Former Chairman of Panwaslu Aceh the latest on 9 April 2012 Barat, Interview, 4 November 2013). No. 31 year 2012 9 April 2012 Election Day Voting Likewise, the practice of Source: Report of the Aceh Monitoring in 2012 Regional Election intimidation and violence that occurred However the implementation of elections during the preparation, the campaign, and on in Aceh in 2012 had taken at least more or less were election dayof the Regional Election in 2012 108 cases of intimidation and violence. Of the 108 was more prominent to the existence of disputes cases of intimidation and violence, the majority of between supporters of Candidates of Irwandi cases were related to the election of Governor and Yusuf and MuhyanYunan advancing through Vice Governor of Aceh. The violence occurred independent candidates than supporters of dr. in various kinds ranging from small-scale things Zaini Abdullah and Muzakir Manaf from Aceh like the destruction of the props in the form of Party. This dispute aroused because of the conflict campaign billboards and posters, sending short between IrwandiYusuf associated with the elites messages (SMS) to any threatening actions such of Aceh Party regarding independent candidate as large-scale fights, shootings, kidnappings and existence and the candidacy of Irwandi Yusuf as car burning of certain campaign team. The security Governor of Aceh for period 2012-2017. or police had not disclosed most of the violence (Chairul Fahmi, Executive Director of The Aceh Money Politic Institute, Interview, 12 November 2013 and Implementation of Regional Election Asqalani, Chairman of Bawaslu Aceh, Interview, for Governor and Deputy Governor in 2012 in 16 November 2013). Aceh was still involving the practice of money Shooting incidents occurred against politic although the evidence was still difficult to Asnawi Abdul Rahman, member of Team Success reach.The practice of money politics was mostly ofpair candidates, Yusuf and MuhyanYunan in done by the incumbent couples (Governor and East Aceh. On February 5th, 2012 at 20:30 pm, his Deputy Governor are still serving). They used the house was shot several times by unknown person money politics indirectly.The practice of money Tabel 2 JURNAL POLITIK 1400 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan politics was conducted in the form of promises of social grants to the community. Based on the study findings, citizen wererequested to write proposal by the working group of Governor and vice governor then give it to them to attract funds and social assistance budget from Aceh government. This practice was not revealed directly by the Supervisory Committee and the Independent Election Commission (KIP), but what matters was the budget would be given when regional election was about to begun (Risman A Rahman’s perspective, Golkar Party’s Member of DPD I Aceh,Interview, 10 November 2013, a same perspective was also delivered by Naidi Faisal, Aceh Political Analyst, Interview, 7 November 2013). The practice of money politics was going on with various motifs, either cash or inkind of provision of groceries, which was not given directly by the candidates for governor and vice governor or a candidate’s campaign team but made ​​by public figures trusted by the candidate and their Success Team. Community leaders, who did the action, admitted that he was only giving alms to his brothers who were less capable and no relation to the Regional Election of Governor and Deputy Governor. Thereby such motif made the practice of money politics was difficult to unfold (TgkHelmi, Citizen of Aceh Barat, Interview, 1 November 2013 and Almufarid, citizen of Banda Aceh, interview, 23 November 2013). The practice of money politics was also happening at polling stations (TPS) conducted by the Team Success. They action was done by giving envelopes containing money to voters. Generally, the public knew such an event but people just let the action without reporting to the Supervisory Committee (Panswalu). The practice of money politics was also held in private asgiving cash or giving food for the recipient before the Election Day,so that this kind of practice was difficult to prove. Proof of this practice can only be known after the completion of the Regional Election took place. In addition, lack of awareness of the public to report the practice of money politics made it difficult for Supervisory Committee to trace evidence. However, the level of practice of money JURNAL POLITIK politics in the Regional Election of Governor and Vice Governor of Aceh in 2012 was still low, because the fraud occurred more prominent in the practice of intimidation and violence. The report about money politic to Supervisory Committee was still low. Therefore the practice of money politics can be said to be not significantly affect the implementation of the Regional Election of Governor and Vice Governor of Aceh in 2012. The practice frequently occurred during the campaign and at the dawn of voting day. Conclusion From the research, it can be concluded that the implementation of the General Election of Governor and Vice Governor of Aceh in 2012 was not fully been effective in accordance with democratic values. The implementation of regional election in 2012 was success only inprocedural perspective yet foiled substantially. This was due to the uncertainty about the legal basis of the Election, the repeated schedule shifts, many intimidation and violence, money politics and lack of socialization of the importance of the meaning of the Regional Election. Looking at the facts on the ground and based on the research results of this study, there are some recommendations as following: first, the need for synchronization of the legal basis of Aceh Election between general and specific rules the implementation of the General Election.Consequently, the Election schedule can run on time. Second, Electionorganizers such as Election Supervisory Committee (Panswaslu) and the Independent Election Commission (KIP) should tighten the rules in the Regional Election campaign and provide tough sanctions for violations occurred in every Regional Election. Third, the need for strict yet applicable regulations and as well as raising public awareness to reject the practice of money politics carried out by the candidate and Success Team.The public should not only think about short-term profit without realizing the impact of bad practice of money politics in the future. Fourth, it is essential to evaluate the weaknesses in the implementation of the Election’s system in Aceh and to find the best solution to these problems so that the Election 1401 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan in Aceh can be accomplished in accordance with democratic values. Bibliografi Agung, Tri Wibowo, et all. 2009. “Pilkada dan Demokratisasi Lokal, Studi Kasus Pemilihan Kepala Daerah di Jawa Timur Periode 2008-2013”. Paper. FISIP Universitas Indonesia. Ahmadi, Rulam. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Malang: UM Press. Ali, Sayuthi M. 2002.MetodologiPenelitian Agama Pendekatan Teori dan Praktek. Askhalani, et all. 2012. Rekam Jejak Demokrasi Aceh. Banda Aceh: GeRAK Aceh and Yayasan TIFA. Daerah Di Binacipta. Indonesia. Bandung: Lubis, Abdul Muluk. 2009. Calon Independen dalam Pemilihan Kepala Daerah Di Tinjau dari Undang-Undang Pemerintah Daerah. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Prasojo, Eko et al. 2006. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural. Depok: DIA FISIP UI. Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. 1990. Basic of Qualitative Research: Grounded Theory, Prosedures, and Techniques. New Delhi: Sage Publications, Inc. Jakarta: Raja GrafindoPersada. www.snpk-indonesia.comaccessed on 16 July 2013 at 20.40 WIB Azra, Azyumardi. 2000. Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media Data of Independent Election Commission (KIP) Aceh year 2012 Djafar, TB. Massa. 2008. “Pilkada dan Demokrasi Konsosional di Aceh” dalam Jurnal Poelitik.Vol. IV No.I. Faturohman, Deden. 2005. “Demokrasi Lokal Dalam Pemilihan Kepala Daerah Data of Election Supervisor Commission (PANWASLU) Aceh year 2012 Reports of Aceh Regional Election’s watch, The Aceh Institute, 2012 Langsung di Indonesia” Jurnal Ilmiah Hukum. Vol 13 No.3. Hadjon, Philipus M.. 2008.Pengantar Hukum Admistrasi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ikhsan, M. 1979. “Evaluasi Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung di Kabupaten/Kota” dalam http://www. scribd.com/doc/26366356/Artikelm-Ikhsan-Evaluasi-PelaksanaanPemilihan-Kepala-Daerah-KabupatenKota.Koesoemahatmadja. 1979. PengantarKeSistemPemerintah JURNAL POLITIK 1402 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Artikulasi Kekuasaan dalam Masyarakat Nelayan: Potret Patronase Kontemporer di Kota Makassar Articulation of Power in Fishermen: the Contemporary Patron Portrait in Makassar Sudarmono, Junaenah Sulehan dan Noor Rahamah Hj. Abu Bakar Abstrak Hubungan patron-klien ini sebagian besar tertanam dalam hubungan sosial produksi antara masyarakat nelayan Makassar. Artikel ini merupakan upaya untuk menjelaskan artikulasi hubungan patron-klien yang berimplikasi kehidupan masyarakat nelayan pesisir di Kota Makassar. Sebuah penelitian telah dilakukan untuk mengeksplorasi dan menyelidiki retlationship kompleks ini dan hasilnya secara eksplisit menunjukkan bahwa hubungan patron klien tidak hanya penting dalam meningkatkan kegiatan ekonomi tetapi juga terhadap keberlanjutan lembaga sosial nelayan. Isu-isu kontemporer yang menyangkut keterbelakangan masyarakat nelayan juga menunjukkan bahwa dinamika memiliki hubungan. Kata kunci: Patron klien, Makasar, Perikanan Komunitas Abstract The relationship of patron-client is mostly built in production social relationship among fishermen in Makasar. This article is such an effort to explain the articulation of power among fishermen implicated in the society life near the coast in Makasar. A research was done to explore and do investigation such complex relationship. The explicit result showed that the relationship between patron-client is not only to develop the economic matters yet to keep the social establishment. Those contemporary issues which are involved in the backwardness of fishermen are also showed off. Keywords: Patron client, Makasar, Fishery Affairs Pendahuluan Dinamika masyarakat nelayan tradisional di beberapa daerah pesisir di negara sedang berkembang, tidak dapat dilepaskan dari eksistensi satu bentuk hubungan yang populer disebut sebagai hubungan patron klien. Hubungan ini ditandai oleh ikatan emosional dan psikologis yang erat. Ikatan ini juga mengindikasikan perikatan yang lebih dari sekadar hubungan ekonomi, akan tetapi terartikulasi dengan jelas dalam dinamika sosial masyarakat. Biasanya, ikatan emosional tersebut juga melibatkan orang-orang terdekat dari salah satu pihak (bkeluarga klien) dan telah berlangsung dalam kurun waktu cukup lama (Eisenstadt dan Roniger, 1984). Hal yang demikian juga dijumpai di dalam masyarakat nelayan di kawasan pesisir Kota Makassar. Hubungan semacam ini seringkali dipandang sangat merugikan bagi nelayan yang diposisikan sebagai klien. Namun, sebahagian pihak justeru menganggap bahwa hubungan semacam ini adalah manifestasi dari jaringan sosial yang dapat membantu nelayan tradisional untuk bertahan hidup di tengah arus pembangunan Kota Makassar yang terbilang sangat pesat. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis dinamika dan artikulasi hubungan patronase di dalam masyarakat nelayan di Kota Makassar, dan disusun berdasarkan atas sebuah penelitian lapangan yang dilaksakan sejak minggu pertama Desember 2011 sampai dengan pertengahan UKM, [email protected] JURNAL POLITIK 1403 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Februari 2012. Pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan kualitatif, yaitu dengan melakukan wawancara mendalam (indepth interview) dengan beberapa orang informan kunci. Pemilihan informan tersebut didasarkan atas keterlibatan informan dalam struktur patron-klien serta dalam struktur sosial masyarakat di kawasan penelitian; yakni di Kelurahan Cambayya dan Kelurahan Tallo, Kota Makassar. Pemerhatian tidak hanya dibatasi pada dua kelurahan tersebut. Hal ini disebabkan oleh mobilitias yang tidak terbatas pada satu wilayah administratif. Pemerhatian lainnya kerap dilakukan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Paotere, Makassar. Kajian ini dibatasi hanya kepada jenis penangkapan pantai. Mekanisme panangkapan perikanan pantai tidak melibatkan organiasi penangkapan yang rumit, artinya tidak melibatkan banyak buruh. Selain itu, tulisan ini juga didukung oleh data sekunder yang diperoleh dari beberapa instansi pemerintah yang berkaitan dengan dinamika pembangunan kontemporer Kota Makassar. Tulisan ini menggunakan metode kualitatif dengan teori pendekatan sosial Molm dan Cook (1995). kekuasaan, penguatan status soial, penguatan status kepemimpinan serta kewenangan. Pandangan ini terus disempurnakan oleh Emerson. Analisis yang dilakukan oleh Emerson mulai melihat bahwa pertukaran ini tidak hanya berkaitan dengan pertukaran secara ekonomi dan sosial, namun lebih dari itu, pertukaran ini juga telah menciptakan ketidakseimbangan dan ketergantungan. Emerson juga melihat bahwa hubungan ini telah membentuk satu jaringan yang menghubungkan pihak-pihak yang melakukan pertukaran. Selain itu, pertukaran ini juga melahirkan kekuasaan yang bersumber dari kedudukan sosial yang lebih tinggi serta penguatan jaringan sosial yang mencakupi pihakpihak yang lebih rendah kedudukan dalam pranata sosialnya. Secara jelas, Emerson menyatakan bahwa hubungan antara kekuasaan dan struktur sosial adalah kerangka utama yang menyusun teori pertukaran sosial (Ritzer, 2004). Pada pertengahan dekade 1990-an, kerangka pemikiran teori pertukaran sosial semakin dipertajam oleh Molm dan Cook (1995) sebagaimana dikutip oleh Ritzer (2004). Menurut Molm dan Cook (1995), asumsi dasar dari teori ini adalah sebagaimana kutipan berikut. Teori Pertukaran Sosial Pada dasarnya, analisis atas hubungan patron-klien lebih sering dilakukan dengan menggunakan pendekatan teori pertukaran sosial. Teori ini secara fundamental berasal dari beberapa disiplin, di antaranya psikologi, antropologi, sosiologi dan mikroekonomi. Dari beberapa pemikir klasik yang secara rinci mengkaji teori pertukaran sosial, nampaknya pandangan Homans, Peter Blau dan Emerson terbilang cukup relevan untuk digunakan dalam menganalisis kajian ini. Blau melihat bahwa terbentuknya kerangka pikir pertukaran sosial didasari atas pertukaran resiprokatif secara ekonomi yang pada akhirnya membentuk interaksi sosial dalam konteks yang lebih mikro (Ritzer, 2004). Meskipun tidak sepenuhnya berbeda dengan apa yang diketengahkan oleh Blau, Homans lebih melihat interaksi sosial dapat terbentuk sebagai hasil dari simbiosis mutualisme antara dua pihak yang terlibat dalam sebuah pertukaran yang bersifat diadik. Pada akhirnya, pertukaran secara langsung ini berimplikasi terhadap distribusi “The key assumptions of exchange theory include the following: (1) Behavior is motivated by the desire to increase gain and to avoid loss (or to increase outcomes that are positively valued and to decrease outcomes that are negatively valued), (2) exchange relations develop in structures of mutual dependence (both parties have some reason to engage in exchange to obtain resources of value or there would be no need to form an exchange relation), (3) actors engage in recurrent, mutually contingent exchanges with specific partners over time (i.e., they are not engaged in simple one-shot transactions), and (4) valued outcomes obey the economic law of diminishing marginal utility (or the psychological principle of satiation).” JURNAL POLITIK Berdasarkan asumsi ini, pelbagai prediksi dapat dikemukakan berkaitan dengan aktor yang terlibat pertukaran serta dampak yang berbeda-beda sebagai akibat pertukaran tersebut. Pada akhirnya, prinsip-prinsip ketergantungan kekuasaan telah mendorong pihak-pihak yang 1404 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan memiliki kekuasaan untuk menarik surplus yang berasal dari sumber daya yang dipertukarkan, termasuk menjamin ketersediaan sumber-sumber daya dari beberapa sumber yang baru. Selain itu, hubungan patron-klien dapat digolongkan sebagai hubungan yang asimetris antara patron atau atasan dengan beberapa klien. Klien di sini dapat bermakna sebagai bawahan, pengikut ataupun pelayan. Pertukaran yang tidak sejajar ini memiliki makna yang sangat luas. Patron bergantung kepada para kliennya yang memberikan pelayanan cuma-cuma melebihi kewajiban ekonomisnya, tugas-tugas yang berupah maupun tidak berupah, menjadi prajurit perang, dukungan politik, dan pelayan lainnya. Sementara itu, patron juga berperan sebagai sosok pemimpin bagi kliennya, pemberi bantuan, termasuk pinjaman uang serta perlindungan sosial yang disediakan oleh sang patron (Pelras, 1981). Dalam konteks kekinian, hubungan yang tidak seimbang ini sangat dimungkinkan berkaitan erat dengan dimensi kapital, di mana salah satu pihak juga memerlukan akses modal yang disediakan oleh pihak lainnya. Lebih dari itu, hubungan ini juga masih berkaitan erat dengan konteks politik dan bahkan melembaga dalam institusi formal pemerintahan (Kausar, 2009). Pada gilirannya, isu patronase dapat pula dikaji dalam pandangan teori pembangunan. Menurut Tain (2010), pendekatan ketergantungan dalam teori pembangunan adalah kerangka teoretikal yang sangat relevan dalam melihat dan mengeksplorasi fenomena kemiskinan nelayan di Indonesia. Meskipun jargon bottom-up dalam memberdayakan masyarakat begitu dikedepankan sejak era desentralisasi, namun kenyataan atas dinamika pembangunan di Indonesia masih didominasi oleh pendekatan top-down. Pelbagai peraturan di daerah secara teknis masih dikawal oleh pusat melalui juklak-juklak dan peraturanperaturan menteri, seolah-olah pihak pusat enggan melepas kewenangan pembangunan kepada pemerintah daerah. Pemerintah pusat sepertinya enggan melihat konteks lapangan yang sangat beragam dan memerlukan penjabaran peraturan mengikut konteks lokal (Junaenah Sulehan, et. al, 2008). Walhasil, ambiguitas yang terjadi justru kian mengantar dinamika pembangunan saat JURNAL POLITIK ini menjadi salah satu tekanan struktural bagi nelayan kecil; sementara pada saat yang bersamaan elit-elit pada peringkat mikro berpeluang mengambil keuntungan lebih dengan mengatasnamakan “pemberdayaan masyarakat”. Keadaan ini mempertegas bahwa kemiskinan dan ketergantungan nelayan sesungguhnya didominasi oleh tekanan-tekanan yang bersifat struktural, baik melalui struktur formal yang memberikan peluang kepada elit lokal di daerah untuk mengeruk keuntungan melalui kebijakan pembangunan; maupun melalui struktur sosial yang menempatkan nelayan kecil sebagai pihak yang memerlukan modal dan bantuan dari patronnya. Perkembangan Hubungan Patron-Klien di Sulawesi Selatan: Sebuah Retrospektif Apabila membincangkan hal ihwal tentang patronase di masyarakat Bugis Makassar, selain yang pernah ditulis oleh Mattulada (1988), maka, apa yang pernah ditulis oleh Pelras (1981) masih menjadi salah satu rujukan yang dapat memberikan gambaran yang cukup utuh. Meskipun pendekatan antropologi lebih mendominasi tulisan mereka, namun pendekatan tersebut telah menjadi pintu masuk untuk melihat hubungan patronase secara mendalam dari beberapa dimensi yang berbeda, terutama dimensi politik dan ekonomi pembangunan. Dari semua tulisan mereka tentang patronase di Sulawesi Selatan, pencapaian strata sosial, gengsi dan pengaruh politik adalah faktor-faktor utama yang mendorong terbentuknya hubungan patron klien di dalam masyarakat. Hanya saja, hubungan tersebut berkembang dan mengalami konfigurasi yang berbeda-beda mengikut konteks ruang dan waktu. Dalam kajian ini, perkembangan patronase akan digambarkan dalam dua kurun sejarah, yaitu sebelum kemerdekaan (sebelum tahun 1945) dan setelah kemerdekaan (setelah tahun 1945). Jazirah Sulawesi Selatan menjadi begitu diminati oleh bangsa Eropa bukan hanya karena kekayaan alamnya, tetapi karena wilayah ini juga memiliki dinamika sosial yang sangat dinamis, melibatkan dua rumpun besar(Bugis dan Makassar), serta perilaku migrasi masyarakatnya yang semakin membentuk pluralisme dan keterbukaan di Sulawesi Selatan (Sutherland, 2009). Salah satu khazanah sosialnya adalah 1405 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan organisasi dan struktur sosial Bugis Makassar tradisional. Struktur sosial masyarakat Bugis Makassar mencakup stratifikasi sosial yang mengatur kedudukan dan status sosial di dalamnya; serta sistem pemerintahan yang membagi masyarakatnya dalam beberapa wilayah teritorial. Sementara itu, salah satu pranata sosial yang memungkinkan terjadinya mobilitas sosial adalah dengan adanya hubungan patron-klien. Melalui sistem tersebut, pengaruh kekuasaan dan pelapisan sosial sederhana menjadi sangat penting diperjelaskan (Pelras, 1981). Bagi kalangan aristokrasi di Sulawesi Selatan pada dekade pra kolonial, memiliki pengikut yang cukup banyak adalah perkara yang sangat penting. Pengikut dapat berarti prajurit atau pasukan dalam angkatan perang ataupun pelayan yang mengabdi kepada keluarga bangsawan. Dalam hal ini, hubungan patron klien lebih nampak sebagai hubungan kekuasaan secara politik berbanding hubungan ekonomi yang ditandai pertukaran barang dan jasa. Selain itu, indikator kekuasaan politik juga tampak pada sistem kontrol atas tanah-tanah yang berada dalam wilayah teritorial pemerintahannya. Sistem kontrol yang dimaksudkan di sini tidak selalu bermakna kepemilikan. Para bangsawan yang bertindak sebagai patron menguasai lahan yang sangat luas, sementara rakyat biasa yang tidak memiliki lahan biasanya bertindak sebagai petani penggarap atas tanah-tanah tersebut. Hasil dari garapan tanah tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga petani tersebut dan tentunya juga untuk membayar pajak atas pemanfaatan tanah tersebut kepada kalangan bangsawan. Di dalam masyarakat tradisional Sulawesi Selatan pada masa pra kolonial, status hukum pertanahan berdasarkan hukum adat terbilang sangat beragam. Keberagaman ini berdampak kepada pola penguasaan, sistem pajak dan sistem bagi hasil yang melibatkan keluarga bangsawan sebagai patron dan rakyat jelata sebagai kliennya. Keberagaman ini juga dengan sendirinya telah memberikan gambaran bahwa pihak raja beserta keluarganya memiliki sumber pendapatan yang cukup banyak dari rakyatnya dan pendapatan ini kemudian digunakan untuk membiayai semua aktivitas pemerintahan, termasuk untuk kebutuhan pangan, bahkan pakaian para pengikut-pengikut JURNAL POLITIK di istana, seperti pelayan, dayang-dayang serta keluarga prajurit. Selain itu, kerabat kerajaan yang berstatus bangsawan rendah juga biasanya mendapatkan sebahagian kecil dari pendapatan kerajaan. Bagi kalangan penguasa atau elit kerajaan, membiarkan orang-orang di sekitar kerajaan dalam kemiskinan adalah aib dan sangat memalukan. Dengan masuknya pihak kolonial Belanda di Sulawesi Selatan, kekuasaan atas sumbersumber daya alam perlahan-lahan diambil alih oleh kaum kolonial, dan dengan sendirinya telah menyebabkan pengaruh politik kaum bangsawan juga mengalami penurunan. Sebahagian besar pendapatan mereka yang bersumber dari fungsifungsi pemerintahan semakin berkurang, dan hal ini secara langsung berdampak terhadap kekuatan ekonomi kerajaan yang semakin menurun. Sistem penguasaan tanah yang tadinya memungkinkan pihak kerajaan menarik pajak dan pendapatan lainnya mengalami perubahan, kini, pajak dan pendapatan kerajaan lainnya diarahkan untuk mengisi kas pemerintah kolonial. Akan tetapi, perubahan ini tidak begitu berdampak kepada rakyat, mereka tetap bekerja menggarap lahan dan memenuhi kewajibannya membayar pajak kepada pihak pemerintah kolonial. Tidak hanya setelah masuknya bangsa kolonial, perubahan besar juga masih terus terjadi setelah periode sekitar kemerdekaan. Pemilikan dan penguasaan lahan oleh kaum bangsawan mengalami perubahan yang sangat signifikan. Patron dari kalangan bangsawan tidak lagi memiliki posisi untuk memberikan lahan kepada para pengikutnya, sebagaimana yang terjadi pada jaman dahulu. Kekayaan mereka pun semakin berkurang, terutama setelah kekayaan tersebut diwariskan kepada generasi penerusnya. Dalam kaitan hubungannya dengan para pengikut, bangsawan harus mengeluarkan banyak biaya untuk mempertahankan prestise selama mungkin. Jika masih tetap ingin bertindak sebagai patron, darah kebangsawanannya tidak cukup untuk membayar mahalnya gengsi aristokasi yang harus dipertahankan. Terlebih lagi, mereka diperhadapkan oleh kemunculan elit-elit baru dari kalangan masyarakat biasa yang umumnya berasal dari kalangan militer dan cendekiawan. Olehnya itu, kalangan aristokrasi terpaksa harus 1406 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan menerapkan strategi baru. Salah satu yang mereka lakukan adalah dengan menyekolahkan generasigenerasi aristokrasi baru pada institusi yang memungkinkan mereka tetap meregenarasi fungsi kendali teritorialnya. Pelras (1981) menyebutkan bahwa pada dekade 1970-an, kalangan generasi aristokrat muda umumnya menempuh pendidikan di Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) untuk tetap mempertahankan pengaruhnya pada pemerintahan tingkat kecamatan. Secara umum, uraian ini telah menggambarkan trajektori dan eksistensi patronase yang telah terbentuk sebelum kedatangan bangsa kolonial dan masih bertahan sampai beberapa dekade selepas kemerdekaan. Meskipun sistem dan pranata sosial masyarakat pasca kemerdekaan semakin terbuka, akan tetapi hubungan patronase masih dapat ditemukan, terutama berkaitan dengan aktivitas ekonomi dan pertanian masyarakat kelas non aristokrasi. Pembangunan dan Kemiskinan di Kota Makassar Sebagaimana yang dinyatakan oleh Todaro (1997), pembangunan tidak hanya berkaitan dengan pembangunan secara fisik, akan tetapi di dalamnya berkaitan erat dengan kesejahteraan sosial. Untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan dalam konteks sosial, maka Indeks Pembangunan Manusia (human development index) adalah salah satu indikator yang kerap digunakan bagi mengukur kemajuan pembangunan manusia dalam satu wilayah. Indeks maksimum yang harus ditempuh (shortfall) oleh satu kawasan memiliki nilai maksimum 100. Artinya, bahwa apabila indeks dalam satu kawasan dapat mendekati angka 100, maka pembangunan manusia di kawasan itu telah maju. Indeks pembangunan manusia di Kota Makassar pada tahun 2005 menunjukkan bahwa Kota Makassar masih berada pada angka 76,63. Angka ini mengalami peningkatan pada 2006, di mana indeks pembangunan manusia Kota Makassar berada pada angka 76,87. Pembangunan manusia di Kota Makassar senantiasa menunjukkan peningkatan yang berkelanjutan, di mana pada tahun 2009, indeks tersebut telah mencapai angka 78.24. Angka ini jauh di atas capaian Provinsi Sulawesi Selatan yang hanya mencapai 70.94 (Kota Makassar Dalam Angka, 2011). JURNAL POLITIK Indeks pembangunan manusia (IPM) senantiasa diukur dengan merujuk kepada indeks kesehatan, indeks pendidikan dan indeks daya beli. Indeks kesehatan di Kota Makassar mengalami peningkatan rata-rata sebesar 0,79 persen, yaitu dari 78,67 persen pada tahun 2006 menjadi 80,4 persen pada tahun 2009. Sedangkan indeks pendidikan di Kota Makassar mengalami peningkatan rata-rata sebesar 0,87 persen, yaitu dari 87,5 persen pada tahun 2006 menjadi 88,01 persen pada tahun 2009. Selain itu, indeks daya beli penduduk di Kota Makassar peningkatan ratarata sebesar 0,65 persen, yaitu dari 64,46 persen pada tahun 2006 menjadi 66,32 persen pada 2009. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa indeks pembangunan manusia di Kota Makassar sejak 2005 sehingga 2009 mengalami peningkatan rata-rata sebesar 0,77 peratus, yaitu dari 76,87 persen menjadi 78,24 persen (Kota Makassar Dalam Angka, 2011). Pembangunan Kota Makassar sebagaimana halnya kota-kota besar di negara- negara berkembang tidak pernah lepas dari fenomena kemiskinan perkotaan. Kemiskinan di Kota Makassar disebabkan oleh pelbagai faktor, terutamanya disebabkan oleh urbanisasi (Kota Makassar Dalam Angka, 2011). Arus urbanisasi semakin tidak dapat dikendalikan, masyarakat senantiasa melihat Kota Makassar sebagai satu kota yang memberikan harapan. Terlebih lagi jika mencermati pola koordinasi pembangunan yang sangat semrawut sehingga terkesan bahwa koordinasi pembangunan adalah ritual kantoran biasa, tidak lagi melihat kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan akhir dari pembangunan. Hal tersebut mengakibatkan penanganan masyarakat miskin semakin sukar dilaksanakan. Selain itu, kualitas lingkungan perkotaan yang terus menurun semakin memperparah keadaan yang dialami oleh warga miskin perkotaan. Model partisipasi dan pemberdayaan yang dijalankan selama ini tidak mampu mencakupi semua masyarakat miskin perkotaan, sehingga kebijakan pemberdayaan tidak meninggalkan kesan apa-apa. Berkurangnya jumlah masyarakat miskin sepertinya tidak lebih dari sekadar laporan angka-angka di atas kertas. Hasil Kajian dan Pembahasan Secara umum, realitas hubungan sosial 1407 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan dalam masyarakat nelayan dapat dianalisis melalui pendekatan moda produksi yang mereka geluti. Melalui pendekatan ini pulalah, hubungan patron klien tempat mereka memainkan peranan masing-masing dapat lebih ditemukenali. Moda produksi terdiri dari dua komponen dasar, yaitu variabel kekuatan produksi (force of production) dan hubungan sosial produksi (social relation of production) (Hindess dan Hirst, 1975). Meskipun dinamika sejarah yang telah diuraikan sebelumnya lebih menekankan pada hubungan kekuasaan, akan tetapi sesungguhnya, prinsip-prinsip kapitalisme dan pengumpulan modal juga menjadi pendorong utama artikulasi moda produksi tesebut. Pada akhirnya, penguatan kekuasaan dan kapitalisme Masyarakat (LPM) di Kelurahan Tallo. Dalam kasus ini, pola hubungan patronase memungkinkan pihak patron mendapatkan kekuatan secara politis demi mengukuhkan pengaruhnya di dalam masyarakat. Kedudukan LPM terbilang sangat strategis dalam masyarakat. LPM adalah bentuk mutakhir dari lembaga legislatif masyarakat desa atau kelurahan yang pada masa pemerintahan orde baru lebih dikenal sebagai LKMD. LPM beranggotakan sejumlah tokoh-tokoh masyarakat yang merepresentasikan unit-unit masyarakat yang lebih kecil (RT dan RW), ataupun kelompokkelompok tertentu dalam masyarakat, misalnya tokoh agama, tokoh pemuda dan tokoh perempuan. Kedudukan antara LPM dan pemerintah desa atau kelurahan adalah sejajar. Secara normatif, keduanya memainkan fungsi kemitraan, meskipun pada kenyataannya terkadang kewenangan LPM seringkali melampaui kewenangan pihak pemerintah desa atau kelurahan. Oleh sebab itu, konflik di antara mereka pun sangat mungkin terjadi. Oleh karena perannya yang sangat strategis ini, maka diperlukan sebuah dukungan yang kuat dari masyarakat untuk merebut kedudukan sebagai ketua LPM. Dan dengan tujuan ini pulalah, sering kali pertarungan antara elit dan unjuk kekuatan massa dalam masyarakat nelayan menjadi tidak dapat dielakkan. Meski tidak sampai saling mencederai, namun beberapa proses peralihan kepengurusan beberapa LPM di Kota Makassar diwarnai dengan pertikaian antar elit. Untuk memenangi pertarungan ini, para JURNAL POLITIK punggawa ataupun kalangan elit masyarakat akan mengerahkan segenap nelayan yang merupakan kliennya, termasuk keluarga nelayan klien untuk menyatukan kekuatan dan memenangkan punggawa-nya masing-masing. Jika pada masa orde baru, pembangunan lebih mengedepankan pendekatan top-down, maka sejak penerapan prinsip desentralisasi, paradigma pembangunan saat ini lebih mengedepankan pendekatan bottom-up. Meski begitu, penerapan kedua pendekatan ini malah menjadi semakin tidak jelas. Hal ini disebabkan kuatnya pengaruh strukturalis cenderung tidak melihat karakteristik masyarakat setempat yang menjadi objek pembangunan. Selain itu, bias- bias atas penerapan pendekatan bottom up justeru pada implementasi program pembangunan fisik, yaitu pemasangan paving blok di jalan-jalan desa. Beberapa kasus yang ditemukan di Kota Makassar menunjukkan bahwa pembangunan fisik dalam satu lingkungan RT seringkali menimbulkan permasalahan, baik dalam konteks kualitas hasil proyek maupun ekses-ekses sosial lainnya. Bagi kelompok-kelompok yang terlibat dalam pelaksanaan pembangunan fisik, semua tahapan-tahapan pembangunan telah dilaksanakan sesuai prosedur serta berlangsung dengan cukup transparan. Untuk menguatkan pandangan ini, pihak elit LPM seringkali memanfaatkan nelayan kliennya untuk menyebarkan opini bahwa pembangunan tersebut sudah sangat membantu masyarakat. Sememangnya diakui bahwa pembangunan tidak mungkin memberikan kepuasan bagi semua pihak, akan tetapi pandangan apriori masyarakat menunjukkan bahwa pembangunan cenderung lebih menguntungkan pihak pengambil keputusan dibandingkan masyarakat pada umumnya. Kapasitas sang patron (punggawa) sebagai pengambil keputusan tidak dapat dielakkan turut memuluskan penempatan lokasi proyek sesuai keinginannya. Meskipun begitu, sebahagian besar masyarakat cenderung menerima saja hasilnya. Fenomena Kompradorasi di Cambayya Jika kedua bentuk artikulasi tersebut lebih melihat hubungan antara punggawa sebagai elit yang berpengaruh dengan nelayan sebagai klien dan anggota masyarakat biasa, maka penjelasan 1408 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan berikut justeru mengetengahkan konfigurasi baru atas hubungan patron klien. Berdasarkan pengamatan di lapangan, dinamika patron klien dalam masyarakat nelayan di Makassar juga membentuk hubungan antara punggawa sebagai elit dalam masyarakat nelayan dengan kelompok pemodal yang berasal dari luar masyarakat nelayan Cambayya. Kelompok pemodal ini sangat berkepentingan untuk menjalankan investasinya, termasuk mengamankan posisi dan kepentingan bisnis kelompok pemodal yang mendapat ancaman dari pemodal yang lainnya. Sasono dan Sritua Arif (1984) menyebut kelas elit lokal dari kalangan nelayan seperti ini sebagai kelas komprador. Sementara itu, Satria (2001) menyebut bahwa fenomena kompradorasi ditandai dengan adanya perlindungan kepada pemodal yang dilakukan oleh elit lokal untuk melancarkan investasinya serta adanya tukar menukar kekuatan dan kekuasaan antara kelompok-kelompok yang terlibat. Perlindungan dan pengamanan dalam konteks ini sangat penting. Alasan utama yang kerap dikemukakan oleh masyarakat nelayan adalah bahwa pola penangkapan yang dijalankan oleh pemodal dari luar ini adalah lebih didominasi oleh cara-cara illegal fishing. Salah satu pola illegal fishing yang diungkap dalam tulisan ini adalah penggunaan bius ikan. Penggunaan bius ikan pertama kali di perairan Makassar dikenalkan oleh nelayannelayan dari Hongkong pada awal-awal dekade 1980-an. Nelayan-nelayan tersebut dibawa oleh pengusaha lokal yang memiliki afiliasi bisnis yang kuat dengan beberapa pebisnis di Hongkong. Mereka mengenalkan cara penangkapan dengan bius. Cara ini berlangsung cukup berhasil oleh karena (1) kontur geografis perairan Makassar yang terdiri atas gugusan pulau-pulau kecil sehingga di antaranya terdapat banyak terumbu karang; dan (2) keahlian menyelam yang dimiliki oleh pelautpelaut Makassar yang sangat ulung dan sudah terkenal sejak beberapa abad silam. Sutherland (2009) bahkan menyebutkan dalam jurnalnya bahwa kemunculan Makassar sebagai salah satu emporium ekonomi paling maju pada abad ke 17 tidak dapat lepas dari peranan pedagang Cina pendatang yang piawai berdagang dan bermukim di Makassar berasimilasi dengan kemampuan penyelam masyarakat Makassar untuk mengambil JURNAL POLITIK komoditi di laut, terutama Teripang. Proses pembiusan ikan dilakukan dengan menyemburkan zat-zat kimia ke dalam terumbu karang, tempat terdapat banyak ikan-ikan bernilai ekonomis sangat tinggi. Jika pembiusan ini berhasil, ikan-ikan yang terdapat dalam terumbu karang akan keluar dalam kondisi yang lemas (mulai terbius). Pada saat seperti ini, ikan-ikan tersebut akan ditangkap sedemikian rupa dan diangkat ke atas perahu nelayan. Proses ini tentunya memerlukan kemampuan penyelaman secara tradisional, sementara residu zat kimia yang disemburkan akan tetap bereaksi dan merusak sebahagian ekosistem dasar laut. Dinamika patronase tidak luput dari fenomena ini. Punggawa menjadi figur sentral dalam hubungan seperti ini. Peran utama punggawa adalah menyediakan nelayan penyelam yang bertugas menyemburkan zat kimia ke dalam terumbu karang. Mendapatkan nelayan penyelam yang dapat diajak bekerjasama bukan sebuah perkara yang sulit. Untuk mencari nelayan yang direkrut, pertimbangan utama tentunya masih seputar hubungan ekonomi yang menempatkan nelayan penyelam sebagai pencari kerja dan patron sebagai pihak yang menghubungkan dengan pemodal (baca:pengimpor) yang memiliki dana. Peran yang tak kalah pentingnya adalah ketika punggawa juga memberikan jaminan keamanan kepada pengimpor. Jamiman keamanan ini berkenaan dengan keberadaan kolam pencernihan ikan yang berfungsi untuk menetralisir sisa-sisa bius yang masih melekat dalam tubuh ikan, dan membiarkan ikan tersebut untuk dapat bergerak secara normal kembali. Kolam-kolam tersebut dibuat di dalam sebuah gedung yang juga berfungsi sebagai tempat packing ikan-ikan hidup untuk kemudian diekspor. Untuk menjamin keamanan gedung ini, punggawa melibatkan beberapa pihak lainnya, terutama pihak keamanan resmi. Selama penelitian dilaksanakan, tidak didapatkan bukti nyata mengenai keterlibatan pihak-pihak tertentu, selain hanya berupa ungkapan-ungkapan beberapa informan yang itupun tidak lebih dari sekadar informasi yang sulit mereka buktikan. Namun justeru dengan fenomena demikian ini, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa keberadaan mereka tidak diketahui oleh orang banyak dan tidak diketahui secara pasti siapa 1409 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan pemiliknya, kecuali sang patron yang mengontrol kegiatan itu. Jaminan keamanan dalam konteks ini dapat juga diartikan sebagai kemampuan pihak elit dalam masyarakat nelayan untuk meredam gejolak pihak-pihak yang tidak senang atas keberadaan pola ini. Tentu sesuatu yang ironis ketika di sekitar lokasi pengamatan terdapat beberapa kolam penjernihan, akan tetapi tidak semua masyarakat di situ mengetahui siapa pemilik pastinya. Terima kasih atas bimbingan dan arahan Prof. Maswadi Rauf pada tulisan ini. Simpulan Eksistensi hubungan patron klien dalam masyarakat nelayan di Kota Makassar saat ini adalah sebuah proses panjang yang telah bertahan selama puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Seiring dengan perkembangannya, patron klien telah menjadi bagian dari transformasi sosial ekonomi masyarakat nelayan. Analisis atas sejarah panjang hubungan patron klien di Sulawesi Selatan --- hubungan patron klien tidak terbatas hanya kepada hubungan ekonomi saja, melainkan juga telah menjadi bagian penting dalam konstalasi politik kontemporer. Kajian ini mendapati bahwa hubungan patron klien dalam masyarakat nelayan telah mengalami konfigurasi dan menemukan satu bentuk baru. Pada tataran mikro, hubungan patron klien berkaitan erat dengan tarik ulur pengaruh dan kekuasaan untuk merebut dan mempertahankan status sosial yang lebih tinggi. Transformasi penting yang melingkupi masyarakat nelayan berkaitan dengan eksistensi hubungan patron klien saat ini adalah bahwa artikulasi hubungan patron klien telah memetakan masyarakat nelayan ke dalam status-status sosial yang semakin jelas sekatnya. Pada awal kemunculannya, hubungan ini didominasi oleh kekentalan sifat tradisional masyarakat nelayan. Namun, dengan kehadiran teknologi dalam masyarakat nelayan, masyarakat tidak hanya terbentuk dalam gugusan strata sosial yang semakin jelas, akan tetapi juga telah membentuk kelas sosial yang baru. JURNAL POLITIK Kepustakaan Althusser, Louis dan Balibar, Etiene. 1970. Reading Capital. London: New Left Book Arief, S. & Sasono, A. 1981. Indonesia: Ketergantungan dan Keterbelakangan. Jakarta: Lembaga Studi Pembangunan. Biro Pusat Statistik Kota Makassar. 2011. Kota Makassar Dalam Angka Tahun 2008. Makassar: BPS. Christoper Louis Dyer. 1990. Sharing The Fishing: Resource Utilization and Kinship Cooperation in Three Mexican Artisanal Comunity. Ph.D Thesis. Arizona State University. Eisenstadt, S. N. Dan Roniger, L. 1984. The Study of Patron-Client Relation and Recent Development in Sociological Theory. dlm. Eisenstadt, S. N. Dan Roniger, L. 1981. Political Clientelism, Patronage and Development. London: Sage Publication. Hindess, Barry dan Hirst, Paul. 1975. PreCapitalist Mode of Production. London: Routledge & Keegan. Homans, G.C. 1961. Social Behaviour: Its Elementary Form. New York: St. Martin’s Press Ltd. Junaenah Sulehan, Ong Puay Liu, Yahaya Ibrahim, Noorahamah Hj. Abubakar, Abd. Hair Awang & Mohd. Yusof Hj. Abdullah. 2008. “Penyertaan dan Pemerkasaan Komuniti Desa dan Pembangunan di Malaysia-Indonesia” dalam Jurnal Kajian Politik dan Pembangunan 4(2): 281-300. Kausar. 2009. Sistem Birokrasi Pemerintahan di Daerah Dalam Bayang-Bayang Budaya Patron-Klien. Bandung: PT Alumni. 1410 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Mattulada. A. 1995. “Traditional Management among Bugis-Makassar Enterpreneurs in South Sulawesi” dalam Lontara. Journal of Hasanuddin University. Vol. 1. No. 2 hlm. 23-28. Relationship in Co-Management: An Interdiciplinary Analysis of Coastal Resource Management in South Sulawesi, Indonesia. Ph.D thesis.Faculty of Graduate Studies. Dalhousie University. Canada. Mulyadi. 2007. Ekonomi Kelautan. Jakarta. Raja Grafindo Persada. Pelras, C.1981. Hubungan Patron-Klien pada Masyarakat Bugis Makassar. Monograf. Ujung Pandang. Ritzer, George. 2004. Encyclopedia of Social Theory. London: Sage Publication. Satria, Arif. 2001. Dinamika Modernisasi Perikanan: Bentukan masyarakat dan Mobilitas Nelayan. Bandung: Humaniora Utama Press. Scott, James C. 2000. Senjatanya Orang-Orang yang Kalah: Bentuk Perlawanan Seharihari Kaum Tani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Siswanto, Budi. 2008. Kemiskinan dan Perlawanan Kaum Nelayan. Malang. Laksbang Mediatama. Sutherland, H. Teripang dan Perahu Wangkang Perdagangan Makassar dengan China pada Abad ke-18 (kl. 1720-an – 1840-an). Dlm. Roger Tol et al (editor). 2009. Kuasa dan Usaha di Masyarakat Sulawesi Selatan. Jakarta: KITLV. Suwarsono & So, A. Y. 2000. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta: LP3ES. Tain, A. 2010. Analisis kemiskinan dan adaptasi rumah tangga nelayan motor tempel di wilayah tangkap lebih Jawa Timur. Disertasi Doktor. Universitas Padjadjaran. Bandung. Yusran, Muhammad. 2002. Ponggawa-Sawi JURNAL POLITIK 1411 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan JURNAL POLITIK 1412 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Dinamika Politik Pemilihan Umum 2014 Political Dynamic in Election 2014 Leo Agustino Abstrak Artikel ini membahas 2014 itu pemilihan umum di Indonesia. Dalam pemilu legislatif, PDIP menempati urutan pertama, diikuti oleh Golkar dan Gerindra. PD yang pernah menjadi pemenang pemilu sebelumnya dilemparkan ke empat. Hal ini karena korupsi yang melanda partai. Meskipun PDIP menjadi pemenang dalam Pileg 2014, tetapi mereka belum tentu bisa mengajukan calon mereka dalam pemilihan presiden 2014 karena ambang batas presiden memerintah. Oleh karena itu, solusi yang diambil untuk membangun koalisi antara pihak-pihak yang berpartisipasi dalam pemilu. Melalui koalisi terbentuk, ada dua koalisi bersaing yang Gerindra, PAN, PPP, PKS, Golkar, dan PBB (Partai nonparliament) (Koalisi Merah Putih) berurusan dengan koalisi PDIP, Nasdem, PKB, Hanura, dan PKPI (Partai nonparliament). Hasil pemilihan presiden menunjukkan bahwa membawa koalisi JokowiJK (PDIP, Nasdem, PKB, Hanura, dan PKPI) memenangkan persaingan dengan rasio 53,15% suara: 46,85%. Kata kunci: pemilihan, partai politik, dinamika politik Abstract This article discussed about the Election 2014 in Indonesia. In regional election, PDIP ranks in the first place, followed by Golkar and Gerindra. PD, who has win in the previous election, now is in the fourth place. It is because of the party covered by the corruption. Though PDIP became the winner in Regional Election 2014, it didn’t mean they can put their own candidate in General election since the time limitation of the president. That is why; the solving solution is to build a coalition among the participants in election. By the formed coalition, there are two competing coalition; Gerindra, PAN, PPP, PKS, Golkar, and PBB (nonparliament party) (Koalisi Merah Putih) with the coalition from PDIP, Nasdem, PKB, Hanura, and PKPI (nonparliament party). The result of general election has shown if the coalition of koalisi Jokowi-JK (PDIP, Nasdem, PKB, Hanura, and PKPI) won the competition with ratio 53, 15% voting: 46, 85%. Keywords: election, political party, political dynamics Pendahuluan Pemilihan umum (Pemilu) 2014, baik pemilihan legislatif (Pileg) maupun pemilihan presiden (Pilpres), merupakan Pemilu yang tersengit dan tertegang selepas rezim Orde Baru. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya tidak ada lagi inkumben (incumbent atau petahan) yang turut bersaing, munculnya kasus-kasus rasuah sehingga membuat citra beberapa partai politik tidak lagi diminati pemilih, persaingan satu-lawan-satu (head to head) pada pemilihan umum presiden 9 Juli 2014, dan beberapa lagi lainnya. Oleh karena itu, untuk memahami dinamika politik pemilihan umum tersebut, artikel ini akan menitikberatkan pada beberapa pokok perbincangan. Pertama, menganalisis pemilihan umum legislatif di Indonesia dengan fokus perhatian pada naik ataupun turunnya suara-suara partai tertentu. Kedua, menelaah koalisi partai politik yang terbentuk karena tidak ada satu pun partai yang memenuhi syarat presidential threshold. Koalisi partai menarik dinilai sebab gabungan sejumlah partai akan menunjukkan arah dukungan rakyat. Ketiga, menilai pemilihan umum presiden pada 9 Juli 2014 dengan hanya dua pasangan kandidat yang bersaing, yaitu Prabowo Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Serang, Banten. [email protected] JURNAL POLITIK 1413 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Subianto-Hatta Rajasa (Prabowo-Hatta) dan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Impaknya, terjadi fragmentasi yang keras di level elit maupun ‘akar rumput’ sebab kontestasinya langsung berhadap-hadapan (head to head). Beberapa poin utama di atas, sebenarnya berusaha menjawab pertanyaan seperti bagaimanakah dinamika politik menjelang pemilihan umum legislatif 9 April 2014? Partai manakah yang mendapat suara terbanyak dalam Pileg tersebut? Impak apakah yang terjadi manakala partai-partai politik tersebut mendapat suara yang banyak? Seperti apakah koalisi yang dibentuk jelang Pilpres 9 Juli 2014? Apakah strategi yang dijalankan oleh masing-masing koalisi partai untuk mendapatkan dukungan rakyat pada saat Pilpres diselenggarakan? Pasangan (atau koalisi partai) manakah yang memenangkan Pilpres 2014? Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka, penulis banyak menggunakan data yang bersumber dari buku, jurnal, surat kabar, maupun laman web yang otoritatif. Dengan menggunakan sistematika dan metode pengumpulan data seperti tersebut di atas, maka penulis meyakini analisis dalam artikel ini menjadi jauh lebih valid dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Pemilihan Legislatif dan Pasang-Surut Suara Partai Pemilihan umum legislatif di Indonesia jatuh pada 9 April 2014. Merujuk data Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebanyak 186.569.233 jiwa terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu legislatif kala itu (Tempo 12-18 Mei 2014:49). Kendati begitu, hanya 67,99% atau 124.972.491 orang saja yang suaranya dianggap sah sedangkan 33,01% lainnya (61.596.742 jiwa) dianggap tidak sah. Angka di atas menunjukkan penurunan partisipasi dibandingkan pemilihan-pemilihan sebelumnya. Angka partisipasi rakyat dalam Pemilu semakin tahun menunjukkan penurunan berarti. Pada Pemilu 1999, persentase partisipasi rakyat dalam Pemilu adalah 90%. Angka partisipasi tersebut surut menjadi 80% pada 2004 dan semakin turun pada Pemilu 2009 menjadi 70%. Pada Pemilu legislatif 2014 lalu, persentase JURNAL POLITIK partisipasi rakyat malah semakin jatuh di angka 67,99%. Pada Pemilu 1999 misalnya, persentase partisipasi rakyat dalam Pemilu adalah 90%. Angka partisipasi tersebut menurun menjadi 80% pada tahun 2004 dan semakin turun pada Pemilu 2009 menjadi 70% (Suryadinata, 2002; Agustino, 2009). Salah satu sebab menurunnya tingkat partisipasi rakyat dalam pemilihan umum adalah terlalu seringnya pemilihan diselenggarakan, terutama setelah pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung. Selain itu, karena tidak adanya perubahan yang terjadi meskipun rakyat sudah turut serta dalam setiap pemilihan, sehingga muncul apatisme rakyat, memilih ataupun tidak memilih, kehidupan (warga masyarakat) akan sama saja. Setidaknya pada Pileg 2014 terdapat 12 partai politik yang bersaing. Keduabelas partai tersebut adalah Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangksa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Demokrat (Demokrat atau PD), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Dari keduabelas partai peserta Pemilu legislatif tahun 2014 hanya Partai Nasdem yang merupakan partai baru—awalnya Nasdem adalah sebuah organisasi masyarakat yang diprakarsai oleh Surya Paloh (pemilik MetroTV dan Media Grup). Secara keseluruhan, Pileg 2014 berjalan lancar. Kendati terdapat kritik atas masalah keterlambatan logistik, surat suara yang tertukar, dan lain sebagainya, namun mayoritas rakyat Indonesia menerima pelaksanaan pemilihan umum legislatif tersebut sebagai sebuah peesta demokrasi yang berhasil. Tepat sebulan kemudian, pada 9 Mei 2014, KPU mengumumkan hasil rekapitulasi resmi yang dituangkan dalam Surat Edaran No. 411/kpts/KPU/2014 tentang Penetapan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Tabel 1 (di bawah), menunjukkan partrai politik yang berkontestansi, perolehan suara, persentase, dan kursi parlemen 1414 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan yang diperoleh. Dari hasil rekapitulasi resmi KPU, terdapat dua partai yang tidak lolos parliament threshold. Kedua partai tersebut adalah Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI)—yang perolehan suaranya di bawah 3,5%. Akibatnya, PBB dan PKPI tidak mendapat kursi di parlemen dan harus mendaftar ulang lagi jika keduanya hendak mengikuti Pemilu tahun 2019. Tabel 1 Hasil Rekapitulasi Resmi KPU No P a r t a i P e ro l e h a n Persen- Kursi Suara Politik tase Parlemeen 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Nasdem PKB PKS PDIP Golkar Gerindra Demokrat PAN PPP Hanura PBB* PKPI* Resmi 8.402.812 11.298.957 8.480.204 23.681.471 18.432.312 14.760.371 12.728.913 9.481.621 8.157.488 6.579.498 1.825.750 1.143.094 6,72% 9,04% 6,79% 18,95% 14,75% 11,81% 10,19% 7,57% 6,53% 5,26% 1,46% 0,91% 35 47 40 109 91 73 61 49 39 16 0 0 Sumber: 1961: Lance Castle: Indonesia 1967, 2000: sensus 2000 Tabel 1 di atas menarik untuk dianalisis sebab politik Indonesia pasca Orde Baru selalu gagal memunculkan partai dominan. Ini karena sejak pemilihan umum pertama (era reformasi), tidak satu pun partai yang mendapatkan suara lebih dari 50%. Malah, perolehan suara partai yang memenangi Pemilu legislatif semakin hari semakin turun persentasenya. Pada Pemilu tahun 1999 misalnya, PDIP hanya memeroleh 33,73% suara saja (Leo Suryadinata 2002:103). Manakala pada Pemilu tahun 2004 dan 2009, persentase suara Partai Golkar dan Partai Demokrat hanya memeroleh 23,27% pada Pemilu 2004 dan 20,85% pada Pemilu 2009 (Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff 2009:574). Pada Pemilu legislatif tahun 2014, persentase yang diperoleh oleh PDIP selaku pemeringkat pertama dalam Pileg 2014 hanya mendapat 18,95% (lihat Tabel 1). Dilihat dari persentase yang diperoleh masing-masing partai, maka dapatlah dikembangkan beberapa analisis menarik. Pertama, Demokrat gagal mempertahankan perolehan suaranya berbanding perolehan mereka pada Pemilu JURNAL POLITIK 2009 (ketika itu PD memeroleh 20,81% suara). Tidak dapat dipungkiri bahwa PD adalah partai penuai banyak suara pada Pemilu 2009. Terjadi peningkatan drastis sebesar 13% berbanding Pemilu 2004, di mana pada pelibatan mereka yang pertama pada Pemilu, PD hanya memeroleh 7,45% (Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff 2009:575). Namun, pada Pemilu legislatif 2014, perolehan suara PD mengalami keterpurukan menjadi 10,19%. Ini artinya PD kehilangan hingga 10% lebih suara. Satu hal yang bisa menjawab penurunan drastis PD adalah kasus rasuah yang tengah menerpa partai berlambang berlian ini. Selain itu, penurun dukungan rakyat kepada PD mengindikasikan ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja kabinet yang dibentuk oleh PD selama ini. Dan sebaliknya, meningkatnya suara dukungan terhadap Gerindra dan PDIP mengindikasikan harapan baru terhadap dua partai tersebut. Sebab, Gerindra dan PDIP dianggap sebagai partai oposisi yang dianggap mampu memberikan solusi alternatif bagi perbaikan bangsa. Terkait dengan penurunan perolehan suara, ternyata bukan hanya PD saja yang ‘terjun bebas,’ PKS dan PBB juga mengalami penurunan suara. Kendati PKS dan PBB mengalami penurunan, namun turunnya suara mereka tidak lebih dari 1,5%. PKS misalnya, pada Pemilu 2009 mendapat 7,89% suara sedangkan pada Pemilu 2014 mendapat 6,79% (selisih atau turun 1,1%). Manakala PBB hanya turun 0,33%, dari 1,79% pada Pemilu 2009 menjadi 1,46% pada Pemilu 2014. Penurunan 1,1% bagi PKS boleh dikatakan akibat pemberitaan buruk yang tengah melanda partai ini, terutama terkait dengan kasus impor daging sapi. Kendati begitu, PKS kelihatannya akan stabil diangka angka 6-7% karena angka ini adalah captive voters partai berlambang bintang dan padi. Ini karena sepanjang pemilihan umum era Reformasi, PKS selalu bertahan di angka 6-7%. Pada Pemilu 2004 sebagai contohnya, PKS memeroleh 7,34%, lima tahun berikutnya memeroleh 7,89% dan hasil Pemilu 2014, PKS memeroleh 6,79%. Sementara itu, turunnya persentase PBB disebabkan oleh tidak ada lagi pemilih setia dan simpatisan partai berlambang bulan dan bintang selain pemilih yang ada pada 1415 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan saat ini. Sehingga perolehan suara mereka (jika ikut lagi pada kontestasi Pemilu tahun 2019) sepertinya PBB akan tetap bertahan di angka 1-1,5% saja. Kedua, terdapat banyak partai politik yang memerolehan suara lebih tinggi berbanding pemilihan umum lima tahun sebelumnya—di luar Nasdem tentunya. Mereka adalah Gerindra yang naik 7,35% dari 4,46% pada Pemilu 2009 ke 11,81% pada Pemilu 2014; PDIP naik 4,94% dari 14,01% ke 18,95%; PKB naik 4,09% dari 4,95% ke 9,04%; PAN naik 1,54% dari 6,03% ke 7,57%; PPP naik 1,2% dari 5,33% ke 6,53%; Hanura naik 1,49% dari 3,77% ke 5,26%; Golkar naik 0,30% dari 14,45% ke 14,75%; dan PKPI naik 0,01% dari 0,90% ke 0,91% (lihat Tabel 2). Jika melihat angka ini, maka kenaikan yang signifikan terjadi pada Gerindra, PDIP dan PKB --- di luar Nasdem. Tabel 2 Perbandingan Perolehan Suara Partai Pada Pemilu 2009 dan 2014 Perolehan Suara (%) Perubahan Partai No Politik Suara (%) 2009 2014 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Nasdem PKB PKS PDIP Golkar Gerindra Demokrat PAN PPP Hanura PBB PKPI 6,72 9,04 6,79 18,95 14,75 11,81 10,19 7,57 6,53 5,26 1,46 0,91 0 4,95 7,89 14,01 14,45 4,46 20,81 6,03 5,33 3,77 1,79 0,9 (+) 6,72 (+) 4,09 (-) 1,1 (+) 4,94 (+) 0,30 (+) 7,35 (-) 10,62 (+) 1,54 (+) 1,2 (+) 1,49 (-) 0,33 (+) 0,01 Sumber: Diolah dari pelbagai sumber. Meningkatnya suara Gerindra yang sangat besar dikarenakan sosok Prabowo Subianto. Mayoritas rakyat Indonesia semasa itu begitu merindukan sosok pemimpin yang tegas dan mampu menciptakan kestabilan ekonomi serta politik. Selain itu, ada tendensi untuk menciptakan kestabilan ekonomi dan politik terlihat pada platform partai Gerindra yang tertuangkan dalam Enam Program Aksi Transformasi Bangsa Partai Gerindra (2014-2019). Keenam program aksi tersebut, yaitu (1) membangun ekonomi yang kuat berdaulat, adil dan makmur, (2) melaksanakan ekonomi kerakyatan, (3) membangun kedaulatan pangan dan energi serta pengamanan sumber daya JURNAL POLITIK air, (4) meningkaykan kualitas pembangunan manusia Indonesia melalui program pendidikan, kesehatan, soaisla dan budaya serta olahraga, (5) membangun infrastruktur dan menjaga kelestarian alam serta lingkungan hidup, dan (6) membangun pemerintahan yang bebas korupsi, kuat, tegas dan efektif. Selain itu, derivasi kegiatan dari enam program aksi Partai Gerindra yang arahnya sesuai dengan kehendak rakyat (kembali ‘ke masa lalu’ menciptakan kehidupan yang lebih mudah dan stabil seperti era Orde Baru) menjadi pembeda Gerindra berbanding partai politik lain yang sepertinya tidak memiliki platform yang jelas. Rakyat awam pada umumnya menghendaki turunnya harga bahan pokok, naiknya subsidi bagi rakyat kecil termasuk petani dan nelayan, gelontoran yang deras dalam bentuk subsidi bagi bahan bakar minyak (BBM), dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, sosok Prabowo yang identik dengan ketegasan (berasal dari latar belakang militernya) dan selalu dikaitkan dengan dengan ‘keluarga Cendana’ (meskipun telah bercerai dengan Titiek Soeharto) menjadi daya tarik pemilih awam di Indonesia—nuansa ini kemudian dikenal dengan istilah ‘Prabowo efek.’ Sementara itu, meningkatnya suara PDIP sudah diprediksikan sebelumnya oleh beberapa lembaga survei. Ini juga disebabkan oleh karena partai berkuasa (Demokrat) menuai banyak masalah terutama atas kasus korupsi wisma atlet di Hambalang, Bogor. Kekecewaan rakyat begitu terasa ketika pemilih tidak lagi memilih PD sebagai pilihannya pada pemilihan umum legislatif April 2014. Akibatnya, perolehan suara PD menurun cukup drastis. Keterpurukan tersebut semakin menjadi-jadi sebab sosok SBY yang pernah mendongkrak suara PD tidak bisa lagi dimajukan sebagai calon presiden pada Pilpres 2014 karena terbentur syarat masa jabatan (beliau telah menjabat jabatan presiden selama dua periode yaitu pada 2004-2009 dan 2009-2014). Menariknya, limpahan suara PD nampaknya mengalir ke Gerindra, PDIP, dan Nasdem. Hal ini karena ketiga partai tersebut bercorak sama dengan PD yaitu partai nasionalis. Partai nasionalis yang dimaksud adalah partai politik yang tidak memiliki hubungan dengan organisasi Islam, memperjuangkan tegaknya negara dan pemerintahan yang netral dari pengaruh agama, 1416 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan dan menolak formalisasi syariah dalam hukum negara. Penjelasan lebih lanjut mengenai partai nasionalis, partai Islamis atau partai Islam-inklusif dan sebagainya (Assyaukanie, 2009). Manakala peningkatan perolehan suara PKB pada Pemilu 2014 tidak sepenuhnya dapat dibaca sebagai pulihnya kepercayaan rakyat terhadap partai yang diprakarsai oleh Abdurrahmad Wahid (Gus Dur) almarhum, tetapi juga ada faktor pendorong lain yaitu keberadaan Mahfud MD (mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK)) dan Rhoma Irama. Keduanya disebut-sebut sebagai calonkan presiden yang diusung oleh PKB pada masa kampanye Pileg lalu. Dan, keduanya pula memiliki ‘massa setia’ sehingga berhasil mendongkrak perolehan suara PKB. Akan tetapi, jika dilihat ke belakang, pada Pemilu 1999, suara PKB berada pada angka 12,66% dan mereka menduduki peringkat ketiga setelah PDIP dan Golkar. Sementara pada Pemilu 2004 dan 2009, suara PKB turun menjadi 10,57% dan 4,98% (Leo Suryadinata 2002:103; Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff 2009:574). Penyebab utama turunnya suara PKB pada pemilihan-pemilihan umum era Reformasi disebabkan oleh keterbelahan partai ini menjadi dua kubu (kubu Muhaimin Iskandar dan kubu Yeni Wahid). Akibatnya, suara mereka jatuh pada Pemilu 2009. Namun, setelah penamaan Mahfud MD dan Rhoma Irama sebagai calon presiden, maka suara partai berlambang NU ini meningkat cukup signifikan—selain karena konflik internal PKB sudah selesai. Ketiga, Nasdem yang diprediksi oleh banyak lembaga survei tidak mendapatkan suara banyak pada Pemilu 2014 ternyata memeroleh 6,72% suara. Kemunculan Nasdem lebih kurang sama persis dengan kehadiran PD pada Pemilu 2004. PD ketika itu langsung mendapatkan 7,45%, di mana perolehan tersebut merupakan limpahan suara dari ‘terjun bebasnya’ suara PDIP pada Pemilu 2004 (pada Pemilu 1999, PDIP memeroleh 33,73% suara sah nasional sedangkan pada Pemilu 2004 hanya memeroleh 18,53% suara). Semasa itu PD bukanlah partai yang diperhitungkan, tetapi dengan mengedepankan figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai calon presiden, maka partai ini pun mendapat suara yang cukup besar— sepertimana yang terjadi pada Nasdem sekarang JURNAL POLITIK ini. Perolehan PD juga didorong oleh sosok SBY yang menjadi lambang ‘penindasan oleh penguasa’ setelah beliau dikucilkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dari kabinet. Peminggiran SBY dari kabinet justru membuat SBY mendapat simpati yang luar biasa dari pemilih sehingga melonjakkan suara Demokrat ke angka 7,45%. Keadaan ini sebenarnya merupakan pengulangan sejarah di mana pada masa pemerintahan Soeharto, Megawati pernah juga mengalami peminggiran dan penindasan sehingga beliaupun menjadi simbol ‘penindasan oleh penguasa’ yang pada akhirnya membuatnya mendapat simpati dan dukungan rakyat setelah rejim Orde Baru Soeharto runtuh. Keadaan seperti inilah di kemudian hari yang mengantarkan Megawati menjadi presiden Indonesia pada tahun 2001. Kendati Surya Paloh tidak identik dengan ‘penindasan oleh penguasa,’ tetapi keadaan politik pada Pemilu 2014 relatif persis sama seperti pada Pemilu 2004 di mana PDIP tengah diadili oleh rakyat akibat kebijakan tidak popular yang diambil oleh Megawati. Kali ini Demokrat-lah yang menjadi bulan-bulanan rakyat akibat tindakan rasuah yang dilakukan oleh anggota-anggotanya. Impaknya suara Demokrat meluncur turun dari 20,81% pada Pemilu 2009 ke 10,19% pada Pemilu 2014 (lihat Tabel 3). Jika diperhatikan, maka sirkulasi aliran suara Demokrat sepertinya banyak mengalir ke Nasdem. Ini karena Nasdem adalah partai nasionalis yang sama seperti Demokrat dan dianggap sebagai partai baru yang belum terkontaminasi virus korupsi yang telah banyak menjalar pada partai-partai lama (Hasil wawancara penulis dengan beberapa pemilih pemula --terutama mahasiswa --- di Kota Bandung pada 9, 10, 11 dan 14 April 2014). Keempat, merujuk pada persyaratan ambang batas parlemen (parliament threshold), maka hanya 10 partai saja yang diijinkan aktif di Senayan untuk mewakili rakyat Indonesia hingga lima tahun mendatang. Mereka adalah PDI-P, Golkar, Gerindra, Demokrat, PKB, PAN, Nasdem, PKS, PPP, dan Hanura. Manakala PBB dan PKPI tidak lolos ambang batas tersebut. Kenyataan ini menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia masih terfragmentasi secara politik. Bertahannya fragmentasi politik sejak Pemilu pertama Reformasi berdampak negatif terhadap 1417 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Ini karena tidak adanya kekuatan politik mayoritas mutlak di legislatif. Akibatnya, tidak ada satupun partai yang ‘berani’ menjalankan pemerintahan tanpa berkoalisi dengan partai lain. Koalisi Partai Politik Jelang Pemilihan Presiden Rekapitulasi Pemilu legislatif menunjukkan tidak ada satu pun partai yang memenuhi syarat ambang batas minimum bagi mereka untuk mencalonkan kandidatnya maju dalam pemilihan presiden (presidential threshold). Sebab jika merujuk UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, perundangan tersebut mengamanatkan setiap partai yang hendak mengajukan wakilnya sebagai calon presiden, harus memperoleh minimal 25% suara nasional atau 20% jumlah kursi di parlemen. Implikasi dari hasil Pemilu legislatif yang tidak menghadirkan satu partai pun yang mendapat 25% suara sah nasional, maka mereka harus berkoalisi untuk memenuhi syarat yang disyaratkan oleh undangundang. Koalisi partai, secara teoretik, bukan saja sebagai jalan keluar atas minimnya suara partai untuk mengajukan kandidat mereka pada bursa calon pemilihan presiden, tetapi juga sebagai area bagi penciptaan kestabilan politik—terutama dalam pemerintahan (Elgie 2005:107). Mengapa demikian? Sejak Indonesia melaksanakan sistem presidensial yang dikombinasikan dengan sistem multipartai, sebenarnya negara kita masuk ke dalam arena yang bernama minority government. Yaitu sebuah mekanisme di mana pemerintah yang terbentuk tidak pernah mendapat suara mayoritas mutlak dalam setiap pemilihan umum sebab suara pemilih terfragmentasi atas banyaknya partai peserta Pemilu. Pemilihan umum di Indonesia tahun 1999 misalnya, menghasilkan pemenang yang hanya memeroleh 33,73% suara saja; demikian juga dengan Pemilu tahun 2004 dan 2009, di mana partai pemenang hanya mendapat 23,27% dan 20,85% suara sah nasional (Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff 2009:574, 575). Jika diasumsikan banyak partai tidak berniat bergabung dengan partai pemenang Pemilu, maka pemerintah berkuasa akan menjadi pemerintah yang minoritas (minority government) jika JURNAL POLITIK dilihat dari sisi suara dan jumlah pendukungnya di parlemen. Akibatnya, setiap kali pemerintah berinteraksi dengan oposisi di parlemen, maka akan selalu timbul prahara berupa political deadlock. Ini karena partai oposisi mendapat dukungan 70-80% suara parlemen sedangkan partai pemeirntah hanya 20-30% suara saja. Dampaknya jelas, setiap kebijakan yang diajukan oleh pemerintah bisa terjengkang karena ditolak oleh partai oposisi. Oleh sebab itu, jalan keluar agar tidak terjadinya goncangan atau ketidakpastian politik berupa political deadlock, maka partai politik pemenang pemilihan umum mesti melakukan kolaborasi dalam bentuk koalisi. Pada Pemilu 1999, kolaborasi itu wujud dalam bentuk ‘Poros Tengah.’ Pada Pemilu 2004 dan 2009, koalisi juga menjadi solusi bagi Partai Demokrat yang tergabung dengan PAN, PKB, PPP, PKS dan Golkar (lihat Ambardi, 2008, Hanta Yuda AR, 2010, dan Hanan, 2012). Sebelum koalisi pencalonan presiden tahun 2014 terbentuk, setidaknya ada tiga partai politik yang berusaha keras untuk mempertahankan jagojagonya menjadi presiden. Ini artinya, ketiga partai tersebut berencana membangun koalisinya masingmasing. Mereka adalah PDIP yang menjagokan Jokowi sebagai kandidat presiden dari partai berlambang banteng, Golkar memajukan Aburizal Bakrie (ARB), dan Gerindra memajukan Prabowo Subianto. Konstelasi penamaan calon presiden ini berbeda dengan masa kampanye. Sebab pada masa kampanye terdapat beberapa nama lain yang muncul ke permukaan dan telah dijagokan oleh partainya masing-masing untuk menjadi kandidat presiden Indonesia periode 2014-2019. Mereka ialah Hatta Rajasa (dari PAN), Wiranto (Hanura), Surya Paloh (Nasdem), Rhoma Irama dan Prof. Dr. Mahfud Mahmudin (atau lebih dikenal dengan nama Mahfud MD) (PKB), Anis Matta, Hidayat Nurwahid atau Ahmad Heryawan (PKS). Sementara itu, Jusuf Kalla dan Akbar Tandjung dari Golkar juga santer namanya disebut-sebut pantas untuk dimajukan sebagai calon presiden. Abraham Samad (ketua Komisi Pemberantasan Korupsi) pun turut mewarnai pencalonan presiden di masa kampanye sebelum Pileg. Tetapi semua itu hanyalah gimmick partai untuk mendapatkan suara dari pemilih yang bersimpati kepada masing- 1418 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan masing tokoh yang diajukan oleh partai politik— karena ditawarkan pada saat kampanye Pileg. Konfigurasi nama-nama calon presiden di atas berubah seiring dengan hasil rekapitulasi KPU pada 9 Mei 2014. Menariknya, kendati suara pemilih tersebar di beberapa partai politik, tetapi PDIP, Golkar dan Gerindra tetap ‘berani’ memajukan kandidatnya dalam bursa pemilihan presiden 9 Juli 2014. Untuk kepentingan itu, maka lobi-lobi intensif dilakukan oleh ketiganya. Tujuannya adalah menggenapi syarat 20% kursi parlemen atau 25% suara sah nasional. Sementara itu, sembilan partai politik lainnya (Nasdem, PKB, PKS, PD, PAN, PPP, Hanura, PBB, dan PKPI) mengurungkan niatnya untuk memajukan kandidat mereka dalam kompetisi pemilihan presiden. Paling tidak, seminggu setelah pemilihan legislatif, satu ide muncul ke permukaan di mana partai-partai Islam berencana untuk membangun koalisi Poros Islam. Tujuannya adalah mengajukan calon mereka tanpa harus berinduk kepada ketiga partai yang telah ‘berani’ memajukan calon-calonnya. Ini karena jika semua partai Islam (PKB, PKS, PPP, PBB dan PAN) bergabung dan membentuk koalisi, maka suara mereka akan mencapai 31,81%, dan angka tersebut telah memenuhi syarat untuk memajukan nama calon presiden koalisi mereka sendiri. Tetapi, kendala muncul ketika Suryadarma Ali menyatakan kecenderungannya untuk berkoalisi dengan Gerindra. Akibatnya, terjadi ketegangan dalam tubuh PPP yang berakhir dengan Islah pada 24 April 2014 (Kompas 25 April 2014:1). Ketegangan dalam tubuh PPP mencuat karena Suryadarma Ali hadir dalam kampanye Partai Gerindra di Gelora Bung Karno. Bagi sebagian besar elit PPP langkah Suryadarma hadir dalam kampanye partai lain telah merontokkan wibawa dan karisma parati berlambang Ka’bah ini. Oleh karena itu, ketika Suryadarma mengatasnamakan PPP akan berkoalisi dengan Gerindra, elit-elit PPP yang berseberangan dengannya menentang hal itu sebab dianggap inkonstitusional (merujuk AD/ART PPP). Akibat lanjutan pada 16 April 2014, Suryadarma Ali memecat beberapa elit PPP seperti Emron Palupi (Wakil Ketua Umum DPP PPP), Romahurmuziy (Sekjen PPP), Rahmat Yasin (Ketua DPW Jawa Barat), JURNAL POLITIK Amir Uskara (Ketua DPW Sulawesi Selatan), Fadli Nursal (Ketia DPW Sumatera Utara) dan lainnya yang beroposisi dengannya. Sebaliknya, elit PPP yang menentang Suryadarma Ali pun mencopot jabatan Suryadarma dari ketua umum PPP. Namun, kisruh itu menenang setelah pada Mukernas III PPP, Suryadarma Ali mengakui kesalahannya (Kompas 25 April 2014). Ayunan langkah Suryadarma Ali yang mendahului elit-elt partai Islam mengakibatkan koalisi ‘Poros Islam’ gagal terbentuk. Gagalnya ‘Poros Islam’ mengakibatkan elit politik melakukan lobi-lobi panjang dan intensif untuk membangun koalisi yang lebih realistik dalam menghadapi Pilpres 9 Juli. Ini terutama dilakukan oleh PDIP, Golkar, dan Nasdem. Namun, ‘jiwa zaman’ bergerak kepada dua calon saja yaitu Joko Widodo (kerap disebut Jokowi) dari PDIP dan Prabowo Subianto dari Gerindra. Konfigurasi ini merupakan dampak langsung dari ‘konstruksi’ lembaga-lembaga survei yang jauh-jauh hari sudah melabelkan bahwa hanya dua kandidat yang memiliki ‘daya magis’ dalam Pilpres 2014. Hal ini bertolak belakang dengan Golkar. Meskipun ARB telah ‘menjual’ Golkar sejak Rapimnas tahun 2012, namun greget partai berlambang beringin ini hilang oleh dua kandidat dari PDIP dan Gerindra di atas. Apalagi survei yang sama juga menunjukkan elektabilitas ARB tidak pernah meningkat bahkan cenderung stagnan jika dibanding dengan Jokowi dan Prabowo. Wal hasil ARB mengambil langkah untuk mundur setahap demi setahap dan coba menawarkan dirinya menjadi wakil presiden dari dua koalisi. Namun maksudnya kembali gagal sebab Prabowo dan Jokowi telah menetapkan pasangannya untuk dijadikan wakil presiden. Dalam pembentukan koalisi partai, paling tidak hingga 18 Mei 2014 (bersamaan dengan Rapat Pimpinan Partai Golkar 2014 yang ketika itu belum menentukan pilihan koalisinya), PDIP dan Gerindra telah mengantongi beberapa partai yang bersedia menjalin koalisi dengan mereka. PDIP (yang mengusung Jokowi) telah mengantongi dukungan dari Partai Nasdem (menguasai 35 kursi di DPR RI, setara dengan 6,3%), PKB (47 kursi atau 8,4%) dan Hanura (16 kursi atau 2,9%). Sementara Prabowo mendapatkan ‘tiket 1419 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan dukungan’ dari PAN (49 kursi atau sama dengan 8,8%), PKS (40 kursi atau 7,1%) dan PPP (39 kursi atau 7%). Jika diakumulasikan, maka koalisi PDIP menguasai 207 kursi atau setara dengan 37% kursi parlemen, sementara koalisi Gerindra menguasai 201 kursi atau 35,9%. Maknanya, kedua koalisi tersebut telah memenuhi syarat dasar UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden untuk mengajukan jago mereka dalam Pilpres 2014. Di lain kesempatan, hingga 18 Mei 2014 tengah hari, Golkar dan Demokrat belum menentukan sikapnya untuk memberikan dukungan kepada salah satu koalisi seperti tersebut di atas. Dalam konteks dukungan, Golkar terlihat paling sibuk mencari ‘kawan’ koalisi. Awalnya mereka mau berkoalisi dengan Gerindra, tetapi pada 6 Mei 2014, Gerindra dan PAN ternyata sudah bersepakat untuk memasangkan Probowo dan Hatta Rajasa sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden dari koalisi Gerindra. Kesepakatan tersebut tentu menutup jalan bagi ARB untuk mendapatkan kursi RI-2. Oleh karena itu, Golkar dan ARB bermanuver menuju PDIP yang pada saat bersamaan belum menentukan calon wakil presiden bagi Jokowi. Harapannya, Megawati bersedia menyandingkannya dengan Jokowi. Akan tetapi, kedua partai (PDIP-Golkar) tidak menemukan kata sepakat, bahkan hingga 18 Mei; padahal paling lambat pada 20 Mei, semua koalisi partai harus mendaftarkan caloncalon mereka ke KPU. Salah satu sebab gagalnya koalisi mereka adalah masalah bagi-bagi kursi kabinet yang tidak bisa diterima oleh PDIP dan Jokowi. Karenanya, dalam keadaan kalang kabut, Golkar akhirnya berlabuh ke koalisi Gerindra dengan biaya mahar sebesar Rp3 triliun. Di balik mahar tersebut, Gerindra akan menyediakan kursi Menteri Utama bagi ARB dan menyiapkan beberapa kursi lainnya di kabinet Prabowo-Hatta. Untuk perbincangan lebih lanjut, baca Tempo edisi 19-25 Mei 2014 dan 26 Mei-1 Juni 2014. Akibatnya, muncul spekulasi bahwa akan lahir poros ketiga yaitu koalisi antara Golkar dan Demokrat. Seandainya kedua partai ini bergabung, mereka akan memiliki dukungan sebanyak 152 anggota parlemen atau setara dengan 27,1%—yang juga memenuhi syarat UU No. 42 tahun 2008. Namun, spekulasi tersebut JURNAL POLITIK terbantah setelah Golkar bergabung dengan koalisi Gerindra, PAN, PKS, dan PPP serta PBB (satu partai nonparlemen)—yang kemudian menamakan koalisi mereka sebagai Koalisi Merah Putih. Jalan berliku menuju koalisi partai akhirnya berakhir pada 19 Mei, atau sehari sebelum ditutupnya pandaftaran pengajuan nama calon presiden dan wakil presiden di KPU. Hanya ada dua gabungan partai dalam menghadapi Pilpres tahun 2014. Pertama, koalisi yang terdiri dari gabungan Gerindra, PAN, PPP, PKS, Golkar, dan PBB, yang menguasai 292 kursi di DPR RI (52%), serta memiliki 48,93% suara sah nasional (sama dengan 61.137.746 suara). Menjelang Pilpres pada 9 Juli 2014, Partai Demokrat memberikan dukungan politiknya kepada pasangan PrabowoHatta. Namun hal ini tidaklah mengherankan. Pertama, adanya ikatan kekeluargaan antara Hatta Rajasa dengan SBY sehingga merekatkan kerjasama antara Partai Demokrat dengan Koalisi Merah Putih. Kedua, pasangan PrabowoHatta dalam setiap kesempatan kampanyenya selalu mengutarakan niatnya untuk melanjutkan program pemerintah SBY. Ketiga, sebagian besar partai kompone Koalisi Merah Putih adalah partai komponen pendukung pasangan SBY-Boediono, di luar PKB. Koalisi ini mengusung pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden. Manakala koalisi kedua, terdiri dari gabungan PDIP, Nasdem, PKB, Hanura, dan PKPI yang menjagokan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden. Koalisi ini menguasai 207 kursi DPR RI (37%), yang jika dikalkulasi mengikut dukungan suara sah nasional, maka mereka memeroleh 39,97% suara (atau sama dengan 49.962.738 suara) (lihat Tabel 3; bdk. Kompas 20 Mei 2014:1). Dengan demikian, hanya Demokrat sajalah yang sampai dengan tengat akhir pendaftaran pasangan calon masih bersikap netral, walau perolehan mereka suara mencapai 11% di parlemen (61 kursi). 1420 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Tabel 3 Koalisi Partai Politik Pada Pemilu 2014 No P a r t a i Perolehan Suara Politik Resmi Kursi Parlemen Total 1 Gerindra PAN PPP PKS Golkar 14.760.371 9.481.621 8.157.488 8.480.204 18.432.312 73 (13%) 292 (52%)** 49 (8,8%) 39 (7%) 40 (7,1%) 19 (16,3%) 2 PDIP Nasdem PKB Hanura 23.681.471 8.402.812 11.298.957 6.579.498 109 (19,5%) 207 (37%) 35 (6,3%) 47 (8,4%) 16 (2,9%) Demokrat* 12.728.913 61 (10,9%) 61 (11%)** Sumber: Diolah dari pelbagai sumber. Keterangan: Nomor urut disesuaikan dengan nomor yang ditetapkan KPU. * = Dalam data KPU, Partai Demokrat tidak termasuk ke dalam Koalisi Merah Putih karena partai ini baru bergabung menjelang Pilpres 9 Juli 2014. ** = Angka pembulatan. Jika melihat konfigurasi Koalisi Merah Putih, sepertinya gabungan politik ini tidak jauh berbeda dengan koalisi Partai Demokrat pada periode 2009-2014. Ini bisa dilihat dari partai komponen yang aktif di dalamnya. Pada periode 2009-2014, PD didukung oleh PAN, PKS, PPP, Golkar, dan PKB; sedangkan pada periode 2014-2019, Gerindra didukung juga oleh PAN, PKS, PPP, dan Golkar (relatif sama dengan koalisi PD lima tahun sebelumnya). Hanya PKB yang tidak bergabung karena mereka telah menentukan pilihannya untuk berkoalisi dengan PDIP. Menariknya, sejak awal, Jokowi selaku calon presiden dari PDIP telah membuat rambu penting dalam koalisi partai yang hendak dibangunnya. Beliau tidak berminat dengan koalisi yang dibangun dengan kesepakatan bagibagi kursi kabinet—seperti yang terjadi pada era sebelumnya. Sejak awal Koalisi Merah Putih telah terindikasi melakukan kolaborasi politik yang bercorakan bagi-bagi kursi kabinet. Bergabungnya Golkar sebagai partai pemeroleh suara terbesar kedua setelah PDIP akan mendapatkan jatah 8 kursi kabinet, plus 1 kursi ‘Menteri Utama.’ PKS diberi jatah 3-5 kursi menteri, begitu juga dengan PAN, manakala PPP mendapat jatah 2-3 kursi. Untuk uraian lebih lanjut, baca ‘Transaksi JURNAL POLITIK Kursi Pengikat Koalisi’ (Tempo 26 Mei-1 Juni:4244). Konsekuensinya tentu saja koalisi yang dikehendakinya lebih berdasarkan kesamaan platform. Terbentuknya dua koalisi yang bersaing pada Pilpres 2014 secara head to head, juga menimbulkan persaingan sengit antara kedunya untuk mendapatkan ‘tiket dukungan’ dari para vote getter (tokoh agama, elit karismatik, hingga artis yang dapat dijadikan pendulang suara bagi koalisi partai). Penulis menilai, koalisi PrabowoHatta nampak lebih lugas dalam menyambangi beberapa vote getter. Antaranya ialah Mahfud MD. (mantan Ketua MK dan calon presiden yang diajukan oleh PKB) yang didaulat sebagai Ketua Tim Kampanye Koalisi Merah Putih, Rhoma Irama (calon presiden yang diajukan oleh PKB dan seorang artis karismatik), Ahmad Dani (artis), dan masih banyak lagi lainnya. Elit lain yang dianggap memiliki banyak pendukung adalah Ali Masyukur Musa (Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)) yang juga menjabat Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama. Sementara pendulang suara bagi koalisi PDIP antaranya Anies Rasyid Baswedan, PhD (peserta konvensi Capres Partai Demokrat, Rektor Paramadina) yang kemudian diangkat menjadi juru bicara koalisi PDIP, Dahlan Iskan (pemenang konvensi Capres Partai Demokrat, Menteri BUMN, mantan Direktur Utama Jawa Pos Group), Prof. Dr. Syafii Maarif (mantan Ketua Umum Muhammdiyah), Soetrisno Bachir (mantan Ketua Umum PAN), grup musik Slank, dan lainnya. Tujuan utama mendapatkan dukungan dari para pendulang suara tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mendongkrak perolehan suara pada Pilpres 2014. Bukan hanya mencari dukungan dari tokoh dan artis berpengaruh, kedua koalisi partai peserta Pilpres juga melakukan pendekatan kepada petinggi Islam, terutama NU dan Muhammadiyah. Gerindra misalnya, mengangkat Mahfud MD. sebagai Ketua Tim Kampanye dan Ali Masyukur Musa sebagai Dewan Pakar Tim Prabowo-Hatta bukan tanpa alasan; selain Mahfud MD. memiliki jejak rekam yang tanpa cela dan Ali Masykur mempunyai pendukung setia, keduanya juga dikenal sebagai tokoh Islam yang sangat dekat dengan Nahdlatul Ulama— 1421 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan organisasi Islam terbesar di Indonesia. Langkah Gerindra ini sangat strategis khususnya dalam mendapatkan dukungan dari massa Nahdliyin. Ini mudah dimengerti karena PKB (partainya kaum Nahdliyin) telah berkoalisi dengan PDIP, padahal Gerindra menghendaki juga punya pijakan di organisasi Islam terbesar itu. Karenanya, Gerindra mengajak sekaligus mendaulat Mahfud sebagai ketua tim kampanye Koalisi Merah Putih dan Ali Masyukur Musa sebagai Dewan Pakar dengan harapan sebagian Nahdliyin memilih PrabowoHatta. Tidak berhenti di sana. Kepala daerah yang berasal dari partai pengusung Capres dan Cawapres juga mendapat tugas untuk memenangkan suara rakyat di daerahnya masingmasing. Misalnya, Ahmad Heryawan (Gubernur Jawa Barat), Alex Noerdin (Sumatera Selatan) dan Soekarwo (Jawa Timur) diarahkan oleh ketua partai mereka masing-masing untuk terlibat aktif dalam kampanye Pilpres. Bukan hanya di tiga provinsi tersebut, Koalisi Merah Putih juga meminta gubernur di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bangka Belitung, Lampung, Bengkulu, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Papua untuk menyukseskan pasangan calon Prabowo-Hatta. Ini karena partai pemenang Pilkada di daerah-daerah seperti tersebut di atas merupakan partai komponen Koalisi Merah Putih. Dukungan dari kepala daerah juga mengalir kepada pasangan Jokowi-JK dari Gubernur Jawa Tengah, Wali Kota Surabaya dan lainnya. Semua ini menunjukkan dinamika politik yang sangat fluaktuatif menjelang pemilihan presiden pada 9 Juli 2014. Kedinamikan Politik Pemilihan Presiden 9 Juli 2014 Dinamika politik pada pemilihan umum presiden berlangsung pada masa kampanye dan selepasnya. Masalah utama yang berlaku pada masa kampanye adalah maraknya kampanye hitam. Beberapa isu yang santer ketika itu adalah merebaknya isu agama dan isu HAM. Kampanye hitam yang berkait dengan isu agama banyak diarahkan kepada Jokowi karena beliau dianggap sebagai non-Muslim (Kristen), keturunan Cina, dan penghamba ajaran komunis. Kampanye JURNAL POLITIK hitam yang ditujukan kepada pasangan Jokowi-JK (terutama Jokowi) dilancarkan melalui pelbagai media, termasuk media online maupun offline. Melalui media online, penyebar kampanye hitam banyak terjadi pada jagad twitter (antaranya disebarluaskan oleh akun @TM2000back) dan facebook. Sedangkan pada jaringan offline dilancarkan melalui tabloid Obor Rakyat. Tabloid Obor Rakyat dipimpin oleh Setiyadri Budiono, seorang staf di kantor Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, yang dibantu oleh Darmawan Sepriyossa (redaktur situs Inilah.com) dalam penulisan artikelnya. Konten tabloid Obor Rakyat amat mirip dengan analisis yang dibuat oleh akun @TM2000back, sepertinya memang kampanye hitam terhadap pasangan JokowiJK sudah terencana dengan rapi. Dan, untuk mengkaunter black campaign yang disebarluaskan oleh tabloid Obor Rakyat, tabloid tandingan seperti Pelayan Rakyat diterbitkan Media Center Jokowi-JK, Rakmatanlilalamin (diterbitkan oleh relawan Jokowi-JK yang sebagian besarnya wartawan Grup Jawa Pos), Jokowi-JK adalah Kita (diterbitkan oleh Pusat Informasi Relawan) dan Tabayun Jokowi, yang isinya menangkal semua propaganda hitam terhadap pasangan Capres nomor urut 2. Untuk menangkal kampanye hitam tersebut, Khofihah Indar Parawansa (Ketua Tim Kampanye Jokowi-JK), misalnya, pada acara Muslimat Nahdlatul Ulama (organisasi yang dipimpinnya) yang diadakan di Asrama Haji Pondok Gede, pada 27 Mei 2014, menyematkan gelar baru bagi Jokowi, yaitu: ‘Kyai Haji.’ Ini dilakukannya agar semua orang tahu bahwa Jokowi adalah seorang Islam yang sudah haji. Kampanye hitam tersebut tidak berhenti di situ. Bahkan mereka yang berseberangan dengan Jokowi menyebut ‘H’ di depan nama Joko Widodo bukanlah ‘Haji’ seperti yang dimaksud oleh Khofifah, tapi ‘Hubertus’ atau ‘Heribertus’—nama seorang Santo bagi pemeluk agama Kristiani untuk pengakuan iman. Kelompok lain menyatakannya ‘H’ di depan nama Jokowi adalah nama baptisnya. Untuk mengatisipasi isu agama tersebut, tim Jokowi-JK melalui aktivis partainya yang juga tokoh muda Nahdliyin dan Muhammdiyah seperti Zuhairi Misrawi (Ketua Pengurus Pusat Baitul 1422 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Muslimin, sayap partai PDIP) dan Hanif Dhakiri melakukan pendampingan secara langsung dan intensif kepada Jokowi-JK, maupun terhadap tim kampanye pasangan tersebut. Kampanye hitam tidak hanya menerpa Jokowi. Kampanye serupa juga menerpa sosok Prabowo Subianto, terutama terkait kasus penculikan aktivis dan kerusuhan Mei 1998. Untuk menghadang dakwaan tersebut tim pemenangan Prabowo-Hatta merangkul beberapa orang penting salah seorang di antaranya ialah Marzuki Darusman. Beliau adalah bekas Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode 1998-2003 dan Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998. Katanya, “Walaupun Prabowo diduga memainkan peranan yang signifikan, rekomendasi tim kami tidak menyatakan Prabowo bersalah” (Tempo 2-8 Juni 2014:48). Pernyataan tersebut tentu saja mementahkan kampanye hitam yang dilontarkan oleh lawan Prabowo, sebab Marzuki Darusman pada masa itu adalah ketua lembaga yang sangat kompeten dan otoritatif untuk atau dalam menyelidiki kedua kasus yang menerpa Prabowo. Maka dari itu, melalui pernyataan Marzuki, seolah-olah Prabowo bersih dan tidak terlibat dalam kedua kasus yang didakwakan selama ini. Kendati begitu, suasana justru menjadi semakin tegang ketika Surat Keputusan Dewan Kehormatan Perwira No: KEP/03/VIII/1998/ DKP yang ditandatangani Jend. Subagyo Hadi Siswoyo (ketua), Let.Jend. Fachrul Razi (wakil ketua), Let.Jend. Djamari Chaniago (sekretaris), Let.Jend. Susilo Bambang Yudihoyono, Let.Jend. Yusuf Kartanegara, Let.Jend. Agus Gumelar dan Let.Jend. Arie J. Kumaat (anggota). Isi Skep tersebut menjelaskan bahwa Prabowo secara sengaja melakukan kesalahan analisa tugas sehinga berdampak pada pemberhentian dirinya dari dinas keprajuritan. Mengenai kesalahan Prabowo lihat butir ‘a’ sampai butir ‘h,’ sedangkan pemberhentiannya lihat bagian ‘Berpendapat’ pada Skep berkenaan.Meski begitu, merujuk Keputusan Presiden No 62 tahun 1998, Prabowo tidak dijatuhi pemberhentian ‘tidak terhormat,’ tetapi diberhentikan ‘dengan hormat,’ dengan alasan untuk menghormati Soeharto selaku mertuanya. Keadaan tersebut menyebabkan terjadi JURNAL POLITIK pembelahan dukungan yang dilakukan oleh pensiunan perwira tinggi. Ini berbeda dengan era Orde Baru, di mana dukungan pensiunan TNI selalu taat dan setia dan berada di belakang rejim berkuasa. Keterbelahan dukungan pada saat itu semakin akut setelah Surat Keputusan Dewan Kehormatan Perwira yang disebarluaskan untuk pertama kali oleh Ulin Yusron dalam kultwitnya (@ulinyuson) pada 7 Juni 2014. Pasangan Prabowo-Hatta misalnya, mendapat dikungan dari Moekhlas Sidik (mantan Wakil Kepala Staf TNI AL), Suryo Prabowo (mantan Kasum TNI), Kivlan Zein (mantan Kas Kostrad), Gleeny Kairupan (mantan Wakil Danrem), dan Chairawan Nusyirwan (mantan Komandan Grup 4 Sandi Yudha Kopassus). Sementara itu, kubu JokowiJK mendapat sokongan dari Wiranto (mantan Panglima TNI), Abdullah Mahmud Hendropriyono (mantan kepala BIN), Agum Gumelar (mantan Komandan Kopassus dan Menteri Perhubungan), Luhut Panjaitan (mantan Komandan Kodiklat), Subagyo H.S. (mantan Kepala Staf TNI AD), dan Ryamizard Ryacudu (mantan Kepala Staf AD), yang menyokong pasangan Jokowi-JK. Walau terjadi fragmentasi dukungan yang begitu tajam, tapi secara keseluruhan jalannya pemungutan suara 9 Juli 2014 berlangsung tertib dan aman. Meski ada sedikit masalah, namun hal tersebut tidak merusak keseluruhan hajat besar demokrasi Indonesia. Justru yang menarik dari Pilreps 2014 adalah hasil hitungan cepat yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei menunjukkan hasil yang berbeda secara diametral (lihat Tabel 4). Dalam arti kata lain, lembaga survei mencatat hasil yang berkebalikan satu dengan lainnya. Ada pollsters yang memrediksikan pasangan Prabowo-Hatta lebih unggul daripada pasangan Jokowi-JK dan begitu pula sebaliknya. Lembaga-lembaga survei yang mengunggulkan pasangan Prabowo-Hatta adalah (i) Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) dengan rasioa perbandingan 52,05%:47,95%, (ii) Jaringan Suara Indonesia (JSI) 50,14%:49,86%, (iii) Lembaga Survei Nasional (LSN) 50,56%:49,44%, dan (iv) Indonesia Research Center (IRC) 51,11%:48,89%. Sedangkan lembaga survei yang mengunggulkan pasangan Jokowi-JK adalah (i) Litbang Kompas 47,66%:52,34%, (ii) Radio Republik Indonesia 1423 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan (RRI) 27,29%, (iii) Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) 47,09%:52,91%, (iv) CSISCyrus Network 48,9%:52,1%, (v) Lingkaran Survei Indonesia (LSI) 46,43%:53,37%, (vi) Indikator Politik Indonesia (Indikator) 47,20%:52,47%, (vii) Poltracking Institute 46,63%:53,37%, dan (viii) Populi Center 49,05%:50,59%. Hanya dua lembaga survei yang mengumumkan hasil hitung cepat mereka dengan data masuk sebesar 100%, yakni IRC dan Litbang Kompas. Sementara lembaga survei lainnya, mengumumkan hasil hitungan cepat mereka dengan data masuk ratarata di atas 90%. Lihat juga Tabel 6. Akibat perbedaan hasil yang berkebalikan tersebut menyebabkan wibawa, integritas dan kredibilitasnya lembaga survei semakin dipertanyakan. Sudah bukan rahasia lagi bahwa ada beberapa lembaga survei yang dibayar untuk mempengaruhi persepsi masyarakat dan rejim Pemilu. Dalam konteks Pilpres ini, empat lembaga survei yang memprediksi pasangan PrabowoHatta mengungguli kandidat lainnya didakwa tidak independen. IRC misalnya, dianggap berafiliasi sangat kuat dengan pasangan PrabowoHatta melalui jaringan RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) sebuah anak perusahaan MNC yang dimiliki oleh Hary Tanoesoedibjo (Hary Tanoe)—pendukung pasangan Capres nomor urut 1. Secara kebetulan Direktur Eksekutif IRC adalah Pemimpin Redaksi RCTI, Arya Sinulingga. JURNAL POLITIK Tabel 4 Hasil hitungan cepat Pilpres 2014 Sumber: Kompas (10 Juli 2014:1). Merujuk Tabel 4 di atas, 4 lembaga survei mengunggulkan pasangan Prabowo-Hatta dan 8 lembaga survei lainnya mengunggulkan pasangan Jokowi-JK. Merespons hasil hitungan cepat delapan lembaga survei yang mengunggulkan pasangan nomor urut 2, maka pasangan JokowiJK langsung menggelar konferensi pers di rumah Ketua Umum PDIP, Megawati Sukarnoputri di Kebagusan, Jakarta. Atas dasar quick count empat lembaga survei lainnya juga, pasangan PrabowoHatta menyampaikan kemenanganannya di Bidakara, Jakarta. Intinya, setiap kubu mengklaim bahwa pasangan mereka memenangkan pemilihan umum presiden 9 Juli 2014. Impak sikap saling klaim itulah yang menyebabkan fragmentasi semakin dalam dan merisaukan. Padahal keterbelahan masyarakat sudah terjadi sejak masa kampanye Pilpres. Kerisauan bertambah suram apabila Prabowo menyatakan, “Dari hasil hitungan cepat sejumlah 1424 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan lembaga survei, ditambah laporan dari ketua-ketua tim pemenangan Prabowo-Hatta di daerah yang menghitung suara secara real count, kita unggul“ (Kompas 10 Juli 2014:15). Harapan banyak pihak punah sebab fragmentasi yang seharusnya cair selepas Pilpres justru tidak terjadi. Meski pada kesempatan yang sama, beliau meminta pendukungnya untuk bersabar menunggu hasil keputusan KPU pada 22 Juli, tapi klaim Prabowo bahwa dirinya unggul dalam Pilpres 2014 membuat suasana menjadi semakin tegang. Walau begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa dampak positif hadir juga dalam situasi sebegini. Antaranya, kedua kubu sama-sama mengawal penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU, mulai dari TPS hingga level nasional (C1, DA1, DB1, dan DC1). Jadwal rekapitulasi suara di pelbagai tingkatan dimulai pada level PPS (desa/kelurahan) mulai pada 10-12 Juli 2014, tingkat PPK (kecamatan) pada 13-15 Juli 2014, tingkat PPLN (luar negeri) pada 10-14 Juli 2014, tingkat KPU kabupaten/kota pada 16-17 Juli 2014, tingkat KPU provinsi pada 18-19 Juli 2014, dan tingkat KPU pusat pada 20-22 Juli 2014. Oleh karena partisipasi rakyat begitu besar terhadap penghitungan suara manual, maka beberapa keganjilan ataupun kecurangan dapat segera diketahui dan diselesaikan. Misalnya kasus di TPS 47, Kelapa Dua, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang, di mana perolehan suara pasangan Capres nomor urut 1 mencapai 814, dan pasangan nomor urut 2 memeroleh 366, padahal total suara hanya 380 (Kompas 14 Juli 2014:1). Setelah diseleidiki oleh KPU, ternyata angka 814 sebenarnya hanya 014. Kasus seperti ini didapati juga di tempat pemungutan suara lain. Sebab itulah, maka masing-masing tim sukses melakukan monitoring terhadap rejim Pemilu. Penghitungan suara manual yang dilakukan oleh KPU dilaksanakan berjenjang mulai dari tingkat TPS hingga level nasional. Di tingkat nasional, KPU melakukan penghitungan dengan sangat hati-hati mulai 20 hingga 22 Juli. Pada hari terakhir penghitungan, 22 Juli 2014, terjadi dua peristiwa politik yang dramatis dan penting. Pertama, Prabowo mengumumkan pengunduran diri darinya Pilpres 2014 dan menarik mundur semua saksinya dari KPU, pada pukul 15.30 WIB. Dalam konteks hukum, Prabowo JURNAL POLITIK sebenarrnya telah melanggar Pasal 246 Ayat 1 UU No 42 tahun 2008 (bandingkan juga dengan pasal 245). Dalam Pasal 246 dan Ayat 1 ditulis: “Setiap calon Presiden atau Wakil Presiden yang dengan sengaja mengundurkan diri setelah pemungutan suara putaran pertama sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran kedua, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (50 miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (100 miliar rupiah).” Hingga tulisan ini dibuat polemik ini masih terus berlanjut. Beliau menyampaikan lima keberatan, yang kemudian dibacakan oleh salah seorang anggota tim saksinya, Rambe Kamarul Zaman, dalam rapat pleno terbuka rekapitulasi nasional di gedung KPU pada siang itu. Keberatan pasangan Prabowo-Hatta yang pertama, proses pelaksanaan Pilpres 2014 yang diselenggarakan KPU dianggap bermasalah, tidak demokratis, dan bertentangan dengan UUD 1945. Sebagai pelaksana Pemilu, KPU didakwa tidak adil dan tidak terbuka. Banyak aturan yang dibuat justru dilanggar sendiri oleh KPU. Kedua, rekomendasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atas segala kelalaian dan penyimpangan di lapangan di berbagai wilayah diabaikan oleh KPU. Ketiga, ditemukanya tindakan pidana Pemilu dengan melibatkan pihak penyelenggara Pemilu dan asing dengan tujuan tertentu hingga Pemilu tidak jujur dan adil. Keempat, KPU selalu mengaitkan masalah ke MK seolah-olah setiap keberatan dari tim Prabowo-Hatta merupakan bagian dari sengketa yang hasrus diselesaikan melalui MK. Padahal, menurut Prabowo-Hatta, sumber masalah ada pada internal KPU. Kelima, terakhir, terjadinya kecurangan yang masif, terstruktur, dan sistematik pada pelaksanaan Pemilu. Peristiwa penting kedua, pada pukul 20.00 WIB lebih, KPU mengumumkan penghitungan suara manual (real count) yang menunjukkan bahwa pasangan nomor urut 1 (pasangan PrabowoHatta) memeroleh 62.576.4444 suara (atau setara dengan 46,85%) dan pasangan nomor urut 2 (pasangan Jokowi-JK) memeroleh 70.997.833 suara (53,15%). Ini maknanya pasangan JokowiJK memenangkan kontestasi Pilpres tahun 2014. Pada malam itu juga, komisioner KPU membuat 1425 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Surat KPU Nomor 535/KPP4/KPU/2014 tentang Penetapan Hasil Perolehan Suara dan Hasil Pilpres 2014 yang isinya menetapkan pasangan JokowiJK sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019. Penutup Artikel ini membahas hasil pemilihan umum legislatif 2014 yang berkenaan dengan turun-naiknya suara partai peserta pemilihan umum, menganalisis koalisi partai jelang pemilihan presiden, dan menilai dinamika politik saat pemilihan umum presiden 2014. Artikel ini menunjukkan bahwa Pileg 2014 telah melahirkan pemenang baru yaitu PDIP yang menggantikan posisi PD di puncak pemerolah suara terbanyak, disusul oleh Golkar dan Gerindra di urutan kedua dan ketiga. Walau PDIP menjadi pemenang Pileg 2014, tetapi Gerindra dan Nasdem-lah yang berhasil melonjakkan suaranya lebih dari 6% sedangkan PDIP hanya melompat 4,94%. Terkait dengan pasang-surut suara partai, PD mengalami erosi akut sebesar 10,62%. Akibat terfragmentasinya suara pada Pileg April 2014, maka tidak ada satupun partai yang memenuhi syarat presidential threshold. Sehingga jalan keluarnya harus dilakukan koalisi. Merujuk pada perbincangan artikel ini, hanya dua koalisi partai yang ada pada Pilpres 2014. Pertama, Koalisi Merah Putih yang terdiri dari Partai Gerindra, PAN, Golkar, PPP, PKS, dan PBB. Koalisi ini mengusung pasangan PrabowoHatta sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden. PD baru bergabung dengan Koalisi Merah Putih beberapa hari jelang pemungutan suara pada 9 Juli 2014. Koalisi kedua mengusung pasnagan Jokowi-JK yang terdiri dari PDIP, Nasdem, PKB, Hanura dan PKPI. Akhir sekali, artikel ini menjelaskan mengenai dinamika politik pada saat Pilpres berlangsung. Oleh karena hanya dua kandidat yang bersaing dalam Pemilu presiden, maka terjadi ketegangan dan persaingan yang sengit selama masa kampanye. Kampanye tidak selalu berjalan mulus, karena kampanye hitam yang terkadang bernuansa fitnah lebih sering muncul berbanding kampanye politik yang berwibawa dan bermartabat. Keterbelahan masyarakat menjadi dua kubu tidak dapat dihindarkan. Namun kendala JURNAL POLITIK itu semua, KPU berhasil menyelenggarakan pesta rakyat lima tahun yang menghadirkan presiden baru bagi Republik Indonesia. Mereka adalah pasangan Jokowi-JK yang memeroleh sokongan 70.997.833 suara (atau setara dengan 53,15%), berbanding 62.576.4444 suara (46,85%) (yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta). Terima kasih atas bimbingan dan arahan Prof. Syamsudin Haris pada tulisan ini. Kepustakaan: Agustino, Leo dan Mohammad Agus Yusoff. 2009. “Pemilihan umum dan perilaku pemilih: Analisis pemilihan presiden 2009 di Indonesia” dalam Poelitik 5(10): 555582. Jakarta: Universitas Nasional Ambardi, Kuskridho. 2008. “The making of the Indonesian multiparty system: A cartelized party system and its origin” dalam Disertasi PhD. Ohio State University. Assyaukanie, Luthfi. 2009. Islam and the secular state in Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Elgie, R. 2005. From Linz to Tsebelis: Three waves of presidential/parliemnetary studies. Democratization 32(2): 106-122. Hanan, Djayadi. 2012. Making presidentialism work: Legislative and executive interaction in Indonesia democracy. Disertasi PhD. Ohio State University. Suryadinata, Leo. 2002. Elections and politics in Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Yuda AR, Hanta. 2010. Presidensialisme setengah hati: Dari dilema ke kompromi. Jakarta: Gramedia. 1426 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Menakar Efektivitas Badan Kehormatan DPR RI Effectiveness Measurement of DPR RI Council of Honor Mohammad Hasyim Abstract Dalam pengawasan kinerja anggota DPR, Badan Kehormatan menjadi penting untuk mengawasi anggota DPR dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Akan tetapi, apakah badan tersebut cukup efektif. Oleh karena itu, isu tentang efetivitas Badan Kehormatan inimenjadi menarik jika dikaji secara kualitatif, sehingga kita mengetahu jika peran pengawasan bada tersebut perlu penguatan peran dan kewenangan Badan Kehormatan menjadi kebutuhan mendesak dalam rangka membangun fungsi kontrol bagi anggota Dewan. Kata kunci: Badan Kehormatan DPR, pengawasan, efektivitas Abstract In monitoring of DPR members’ performance, the honor council becomes important to monitor DPR members in running their duty and responsibility. Meanwhile, is the council of honor effective enough? Hence, the issue of the effectiveness of the council of honor becomes very interesting to analyze using qualitative methods. Therefore, we could find out if the role of monitoring people need the strength of role and the authority of the council of honor becomes demanding needs in making the function of control for legislatives. Keywords: DPR Council of Honor, Monitoring, Effectiveness Pendahuluan Potret terakhir sampai Rapat Paripurna DPR RI untuk penutupan masa sidang III Tahun Sidang 2012-2013 yang diselenggarakan pada hari Jumat 12 April 2013, ternyata juga molor satu jam akibat sulitnya mencapai kuorum dan 174 anggota dinyatakan bolos (http://www.metronews. com/metronews/read/2013/04/12/1/146079/174Anggota-DPR-Bolos-Paripurna-Penutupan diakses pada 13 April 2013). Bahkan yang lebih tragis lagi pada Rapat Paripurna DPR RI untuk pembukaan masa sidang IV Tahun Sidang 20122013 yang diselenggarakan hari Senin 13 Mei 2013, di mana 230 anggota DPR bolos dalam rapat paripurna tersebut (http://news.detik. com/read/2013/05/13/111000/2243944/10/230anggota-dpr-bolos-rapat-paripurna-pembukaan- masa-sidang diakses pada 14 Mei 2013). Menanggapi menurunnya aktivitas anggota DPR dalam rapat paripurna, Badan Kehormatan akhirnya membuka akses kepada publik untuk mengetahui hasil rekapitulasi absensi anggota dari setiap fraksi yang tingkat kehadirannya di bawah 50 persen, tercatat mulai Masa Sidang III Tahun Sidang 2011-2012 hingga Masa Sidang II Tahun Sidang 2012-2013. Rapat paripurna merupakan agenda tunggal di DPR. Ketika ada agenda paripurna maka rapatrapat atau sidang di komisi-komisi maupun alat kelengkapan lainnya ditiadakan. Tujuannya untuk dapat menghadirkan semua anggota DPR dalam rapat paripurna. Namun jika untuk paripurna saja banyak yang bolos bagaimana dengan rapat-rapat komisi atau alat kelengkapan lainnya. Universitas Padjadjaran, [email protected] JURNAL POLITIK 1427 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Wakil Ketua Badan Kehormatan Dr. (Hc). Ir. Siswono Yudhohusodo mengakui bahwa tingkat kehadiran anggota DPR dalam rapat paripurna masih rendah. Namun dia tidak ingin menutupnutupi fakta tersebut. Dia lantas mempersilakan masyarakat untuk melihat secara langsung data rekapitulasi kehadiran anggota DPR yang ada di Badan Kehormatan (http://news.detik.com/re ad/2013/05/14/100948/2245055/10/bk-pegangabsensi-anggota-dpr-persilakan-masyarakatambil diakses pada tanggal 15 Mei 2013). Namun langkah Badan Kehormatan yang membuka akses publik untuk mengetahui data rekapitulasi kehadiran anggota DPR dalam rapat paripurna itu mendapat penentangan yang keras dan fraksi-fraksi. Ketua Fraksi Partai Demokrat Nurhayati Ali Assegaf, misalnya, menyebut Badan Kehormatan seharusnya memiliki etika untuk mempublikasikan data tersebut (http:// news.okezone.com/read/2013/05/16/339/808078/ demokrat-sesalkan-sikap-bk-publikasikanabsensi diakses pada tanggal 16 Mei 2013). Bahkan anggota Fraksi Partai Demokrat Sutan Bhatoegana, yang dalam data rekapitulasi absensi itu tercatat memiliki tingkat kehadiran di bawah 25 persen, berang dengan mengecam dan mengancam akan membubarkan Badan Kehormatan (http://nasional.kompas.com/ read/2013/05/15/1500034/Berang.Absensi. Rendah.Sutan.Saya.Suruh.Bubar.BK.Catat. Catat. diakses pada tanggal 15 Mei 2013). Sebaliknya, pengamat politik Ray Rangkuti justru memuji Badan Kehormatan yang telah membuka akses publik untuk mengetahui data rekapitulasi kehadiran anggota DPR dalam rapat paripurna. Dia menilai langkah itu sebagai wujud transparansi dan akuntabilitas pejabat publik (http://news.liputan6.com/read/590019/publikasibk-absensi-dpr-dinilai-berdampak-positif diakses pada tanggal 15 Mei 2013). Apapun perdebatannya, data rekapitulasi mengenai kehadiran anggota DPR ini menunjukkan rendahnya kedisiplinan anggota DPR dalam mengikuti rapat. Data ini sekaligus merupakan tamparan bagi Badan Kehormatan yang tak mampu menegakkan Pasal 8 Ayat 2 Kode Etik DPR bahwa “Anggota DPR harus menghadiri secara fisik setiap rapat yang menjadi kewajibannya.” JURNAL POLITIK Dalam tulisan ini, penulis memakai pendekatan kekuasaannya Meriam Budiarjo (2008) dan teori efektivitasnya Gadeian (1991). Kedisiplinan dan Badan Kehormatan DPR Selama 1 Oktober 2009 hingga 31 Desember 2012, Badan Kehormatan telah memeriksa 68 perkara dan membuat 28 keputusan, meliputi sanksi teguran lisan, teguran tertulis; pemindahan keanggotaan pada alat kelengkapan; pemberhentian dari jabatan pimpinan DPR dan pimpinan alat kelengkapan; pemberhentian sementara; serta pemberhentian sebagai anggota DPR. Sanksi terbanyak yang dikeluarkan Badan Kehormatan adalah dari perkara korupsi, penyalahgunaan kewenangan untuk kepentingan pribadi atau melakukan hubungan yang tidak patut dengan mitra kerja (19 perkara), ingkar janji dan melampaui kewenangan (3 perkara), persoalan hubungan dalam keluarga (3 perkara), bolos sidang selama 2 tahun (1 perkara), tidak mengindahkan panggilan Badan Kehormatan (1 perkara) dan pemalsuan ijazah (1 perkara). Kasus-kasus yang berkaitan dengan korupsi dan penyalahgunaan kewenangan untuk kepentingan pribadi atau melakukan hubungan yang tidak patut dengan mitra kerja merupakan pelanggaran terbanyak yang ditangani oleh Badan Kehormatan. Sayangnya, kasus-kasus seperti ini lebih sering diungkap oleh KPK dibanding Badan Kehormatan. Selama ini, Badan Kehormatan cenderung menunggu KPK, misalnya terhadap sanksi untuk anggota DPR yang telah menyandang status tersangka, terdakwa hingga terpidana. Bahkan, Badan Kehormatan tidak berinisiatif untuk melaporkan anggota DPR yang diduga memperkaya diri untuk kepentingan pribadi atau sekadar bekerja sama dengan KPK untuk mengawasi anggota DPR agar tidak korupsi. Benar bahwa KPK merupakan lembaga yang bertugas untuk memberantas korupsi dengan kewenangan-kewenangan yang besar, seperti melakukan penyadapan, pemeriksaan hingga penangkapan terhadap siapapun tersangka pelaku tindak pidana korupsi, termasuk anggota DPR. Namun tentu tidak berarti bahwa Badan Kehormatan “berpangku tangan.” 1428 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Kasus suap dalam pemilihan Deputy Senior Gubernur Indonesia Miranda Goeltom misalnya, yang masih melibatkan anggota DPR Periode 2009-2014 Panda Nababan dan Suwarno dari Fraksi PDIP, baru diputus Badan Kehormatan untuk diberhentikan sementara pada 28 November 2011 setelah keduanya menyandang status terpidana (http://nasional.kompas.com/ read/2012/07/27/14142639/Panda.Nababan. Diberhentikan.Tetap.dari.DPR diakses pada tanggal 10 April 2013). Begitu juga keputusan Badan Kehormatan untuk memberhentikan anggota DPR yang lain, seperti As’ad Syam, Djufri, Amran Daulay, Muhammad Nazaruddin dan Angelina Sondakh (semuanya anggota Fraksi Partai Demokrat). Keputusan Badan Kehormatan berdasarkan pada proses hukum terhadap mereka yang sudah menyandang status sebagai terpidana. As’ad Syam divonis 4 tahun penjara dalam kasus korupsi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Muaro Jambi senilai Rp 4,5 miliar. Djufri divonis 4 tahun penjara dalam kasus korupsi pengadaan tanah senilai Rp 1,2 miliar. Daulay divonis 1,5 tahun dalam korupsi pengadaan mesin jahit dan sapi di Kementerian Sosial senilai Rp 15 miliar. Begitu pun dengan Muhammad Nazaruddin dan Angelina Sondakh yang telah divonis di pengadilan Tipikor dalam kasus korupsi Wisma Atlet Palembang (http://fokus.news.viva.co.id/ news/read/318491-korupsi--sejumlah-anggotadpr-diberhentikan diakses pada tanggal 10 April 2013). Artinya, Badan Kehormatan selama ini lebih banyak mendasarkan keputusannya pada apa yang sudah menjadi keputusan lembaga lain (baca: KPK), bukan berdasarkan penyelidikan atau verifikasi atas dugaan atau potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh anggota DPR. Ini yang kembali menguatkan asumsi bahwa Badan Kehormatan hanya melakukan pengawasan yang pasif, tidak proaktif. Asumsi ini diperkuat lagi dengan adanya pengaduan dari Menneg BUMN Dahlan Iskan tentang dua anggota DPR yang meminta “upeti” terhadap direksi BUMN (http://jaringnews.com/ politik-peristiwa/wakil-rakyat/26848/dahlaniskan-laporkan-dua-anggota-dpr-peminta-upetibumn diakses pada tanggal 10 April 2013). Dahlan JURNAL POLITIK bahkan menambahkan lagi 6 nama kepada Badan Kehormatan untuk ditindaklanjuti (http://news. detik.com/read/2012/11/07/155344/2084976/10/ dahlan-iskan-setor-6-nama-anggota-dpr-pemeraske-bk diakses pada tanggal 10 April 2013). Sekalipun Dahlan sempat mengoreksi dua nama yang sudah dilaporkan, kasus ini menunjukkan jika tidak diungkap oleh Dahlan maka tidak akan pernah diketahui ada empat anggota DPR yang melanggar etika (http://www.antaranews. com/berita/347183/empat-anggota-dpr-terbuktilanggar-etika diakses pada tanggal 11 April 2013). Benar bahwa tidak semua nama yang dilaporkan Dahlan terbukti bersalah atau melanggar Kode Etik (http://nasional.kontan.co.id/news/takterbukti-memeras-4-anggota-dpr-direhabilitasi diakses pada tanggal 11 April 2013), tetapi laporan Dahlan ini mengkonfirmasi bahwa anggota DPR sangat dekat dengan penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan dirinya, partainya atau kelompoknya. Anggota Fraksi Demokrat Achsanul Qosasi, misalnya, dikenai teguran lisan oleh Badan Kehormatan karena terbukti memanfaatkan jabatannya sebagai anggota Komisi XI untuk meminta dana sponsorship dari mitra kerjanya, yakni PT. Merpati Nusantara Airlines, guna mendanai PSSI—organisasi yang juga dipimpinnya—sebesar Rp 250 juta (http://www. jurnalparlemen.com/view/1013/achsanul-akuiterima-dana-dari-merpati-rp-250-juta.html diakses pada tanggal 11 April 2013). Ada juga anggota DPR yang meminta jatah 2.000 ton gula dari PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) melalui program CSR (corporate social responsibility) dengan dalih untuk membiayai konstituen di daerah pemilihannya. Anggota DPR itu, yang kepada media memberikan bantahan atas nama Idris Sugeng dari Fraksi Partai Demokrat (http://www.republika.co.id/ berita/nasional/politik/12/11/12/mddggt-idrissugeng-bantah-minta-jatah-gula-gratis diakses pada tanggal 11 April 2013), sudah dikenai sanksi teguran lisan oleh Badan Kehormatan. Penyalahgunaan Kekuasaan DPR sebagai lembaga tinggi negara yang menjalankan fungsi anggaran memang memiliki kekuasaan untuk “memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan 1429 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden.” DPR melalui alat kelengkapan yang bernama Badan Anggaran (Banggar) membahas APBN bersama wakil pemerintah cq Menteri Keuangan. Dalam konteks ini Badan Kehormatan harus dapat mengawasi bahwa penggunaan dana APBN yang pada tahun 2012 saja senilai Rp 1.500 triliun itu dapat dilakukan secara tepat guna, tepat sasaran dan terpenting akuntabel. Prioritas pembiayaan oleh APBN harus berdasarkan skala yang jelas, terukur dan berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Kenyataannya apa yang terjadi acap sebaliknya. Pembahasan APBN, khususnya untuk peruntukan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), seringkali menjadi mainan anggota DPR di Banggar. Dengan dalih memperjuangkan aspirasi konstituen, sejumlah anggota DPR memilih memanfaatkan DAK untuk kepentingan pribadi. Ambil contoh penggunaan DAK untuk program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID) Tahun 2010 senilai Rp 7,7 triliun. Dana yang diperuntukkan bagi pembangunan daerah ini menjadi arena “bancakan” pimpinan dan anggota Banggar. Mereka memainkan penggunaan dana ini dengan beramai-ramai mengajukan proposal pembangunan daerah untuk kemudian disetujui untuk daerah-daerah yang telah mereka tentukan (http://www.jpnn.com/ read/2012/03/28/122322/Banggar-DicurigaiMainkan-Dana-PPID-2010 diakses pada tanggal 11 April 2013). Ini yang terjadi pada kasus Waode Nurhayati. Anggota Banggar dari Fraksi PAN ini menyampaikan proposal percepatan pembangunan infrastruktur untuk tiga kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) karena Waode sudah mendapatkan fee miliaran rupiah. Kasus ini terkuak karena dana PPID yang dijanjikan tak kunjung cair. Padahal kalau dana PPID ini cair seperti anggota Banggar yang lain maka persoalannya mungkin tidak akan berujung ke KPK. Dari kasus ini dapat dijelaskan bahwa penyalahgunaan kekuasaan atau lebih tepatnya memanfaatkan kedudukan untuk mendapat keuntungan ekonomi sangat lazim terjadi JURNAL POLITIK di kalangan anggota Banggar, baik untuk kepentingan pribadi anggota Banggar sendiri maupun kepentingan fraksi, partai atau anggota DPR yang lain. Badan Kehormatan ditantang untuk lebih proaktif mengendus berbagai potensi penyalagunaan kekuasaan yang bermuara dari aliran dana yang disepakati di Banggar. Mampu atau tidak Badan Kehormatan mencegah kemungkinan terjadinya pelanggaran etika oleh anggota Banggar, tergantung pada sejauh mana upaya yang dilakukan Badan Kehormatan untuk mengantisipasi hal tersebut. Misalnya, adakah upaya Badan Kehormatan untuk meminta salinan risalah atau laporan singkat (lapsing) dalam rapat-rapat Banggar. Karena belajar dari kasus Waode, Banggar sebelumnya sudah menggelar rapat dan mengetuk palu untuk memutuskan bahwa semua anggota Banggar berhak mengajukan proposal guna mendapatkan dana PPID. Di sinilah pentingnya Badan Kehormatan untuk melakukan pengawasan jangan sampai anggota Banggar “menjual” kewenangannya atau melanggar etika demi keuntungan pribadi. Bagaimana pun perilaku seperti ini telah melanggar etika dan sumpah jabatan, yakni tidak menggunakan jabatan dan kedudukan untuk mendapatkan keuntungan pribadi, famili dan seterusnya. Modus memanfaatkan kedudukan sebagai anggota DPR dan memanfaatkan hubungan dengan mitra kerja untuk kepentingan pribadi, partai atau kelompoknya sebetulnya merupakan pola lama dalam teori kekuasaan. Kekuasaan dalam teori Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan merupakan kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku (Budiardjo, 2008). Dalam hubungan kekuasaan (power relationship) selalu ada satu pihak yang lebih kuat dari pihak lain. Jadi selalu ada hubungan tidak seimbang atau asimetris. Ketidakseimbangan ini sering menimbulkan ketergantungan (dependency); dan lebih timpang hubungan ini maka akan lebih besar pula sifat ketergantungannya. Dalam konteks ini, DPR Cq Badan Anggaran memiliki kekuasaan konstitusional 1430 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan untuk menyetujui atau tidak menyetujui APBN/ APBNP yang diajukan pemerintah. Dengan demikian ada ketergantungan pemerintah, baik Kementerian atau Lembaga maupun Pemerintah Daerah atau Pemda-pemda, terhadap persetujuan DPR atas APBN/APBNP. Ketergantungan ini melahirkan posisi tawar DPR menjadi lebih tinggi dibanding pemerintah. Posisi tawar yang tinggi inilah yang sering dimanfaatkan oleh anggota Banggar untuk menggunakan pengaruhnya dalam memberikan persetujuan anggaran. Dalam konsep Laswell dan Kaplan, kekuasaan untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan orang lain itu dijalankan dengan sanksi (yang dalam hal ini tidak disetujuinya anggaran oleh Banggar). Hal inilah yang terjadi dalam relasi kekuasaan DPR dengan pemangku kekuasaan lainnya yang bergantung pada kucuran dana APBN/APBNP. Kekuasaan DPR terhadap anggaran seringkali dimanfaatkan oleh anggota Banggar untuk mengancam tidak akan memberikan persetujuan jika mereka tidak mendapat fee atau komisi dari anggaran yang disetujui. Kekuasaan DPR yang besar juga tercermin dari relasi antara komisi-komisi dengan kementerian serta lembaga pemerintah lainnya. Di tengah atmosfer demokratisasi yang begitu terbuka, anggota DPR dapat menyuarakan apapun keinginannya sehingga rapat kerja dengan mitra kerja sering berlangsung sangat panas. Bahkan Menkes (Alm) Endang Sri Rahayu Sedyaningsih (http://www.tribunnews. com/2010/05/27/menkes-diusir-komisi-ixdpr-ri diakses pada tanggal 6 April 2013), Wamenkumham Denny Indrayana (http://www. tribunnews.com/2011/12/07/denny-indrayanajuga-dibentak-dan-diusir-di-rapat-komisi-iii diakses pada tanggal 6 April 2013) dan sejumlah Dirut BUMN seperti Dirut PT. Jasa Raharja Diding S Anwar, Dirut PT. Garam Yulian Lintang, Dirut PT. PLN Nur Pamudji, Dirut PT. Pertamina Karen Agustiawan dan Dirut PT. RNI Ismed Hasan Putro (http://finance.detik.com/read/2013/04/03/08290 6/2209966/68/1/formmegaciphp#bigpic diakses pada tanggal 6 April 2013) termasuk di antara mereka yang pernah diusir oleh anggota DPR dalam rapat kerja di Gedung DPR RI. Itulah sebabnya kenapa banyak menteri JURNAL POLITIK atau pejabat pemerintah yang enggan saat diundang oleh DPR karena acap menjadi “bulan-bulanan” kritik dari anggota Dewan. Kritik itu tidak hanya disampaikan atas dasar kebijakan yang diambil oleh lembaga, melainkan juga tak jarang dengan kasar mempersoalkan hal-hal yang bersifat pribadi dari pejabat yang bersangkutan. Tak heran jika Menneg BUMN Dahlan Iskan memilih untuk dua kali menolak panggilan Komisi VII DPR (http:// www.rimanews.com/read/20130206/90956/ dahlan-kembali-tolak-panggilan-dpr diakses pada tanggal 6 April 2013). Jika tidak berani seperti Dahlan, kebanyakan menteri atau pejabat pemerintah memilih untuk “menuruti” apa saja kemauan anggota DPR. Hal ini pula yang membuat posisi tawar anggota DPR semakin tinggi. Makanya dengan kekuasaan yang besar dan posisi tawar yang tinggi di depan pejabat-pejabat yang menjadi mitra kerjanya, anggota DPR mudah sekali tergoda untuk memanfaatkan jabatannya guna “menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain agar sesuai dengan tujuannya.” Kasus pemerasan yang dilakukan anggota DPR terhadap direksi BUMN, seperti dilaporkan Menneg BUMN Dahlan Iskan, juga menjadi indikasi bahwa persoalan memanfaatkan jabatan demi kepentingan pribadi yang merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja, baik di dalam maupun di luar gedung DPR. Dalam konteks pembagian kekuasaan, DPR juga tergolong surplus kekuasaan dibanding cabang kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Itu karena DPR ikut menentukan pejabat di eksekutif seperti Panglima TNI, Kapolri, Duta Besar dan sebagainya, serta memilih pejabat yudikatif seperti Hakim Agung, Hakim Konstitusi dan sebagainya. Padahal ECS Wade dan Godfrey Phililip menekankan tiga poin penting dalam konsep pembagian kekuasaan itu, yakni: • Bahwa pemegang salah satu dari ketiga lembaga kekuasaan tersebut tidak menjadi bagian dari satu atau lebih dari lembaga kekuasaan yang lainnya. • Bahwa suatu lembaga pemerintah tidak mempengaruhi terhadap tugas dan fungsi yang menjadi milik lembaga lain. • Bahwa satu lembaga pemerintah tidak 1431 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan menjalankan fungsi lembaga yang lain (Sayuti Una, 2004). Dengan demikian jelas bahwa dari konsep pembagian kekuasaan ini maka kekuasaan DPR telah menjadi bagian atau menjalankan fungsi kekuasaan yang lain, atau setidaknya mempengaruhi fungsi kekuasaan yang lain. Ini tercermin dari fungsi pengawasan DPR yang ikut serta dalam menentukan pejabat-pejabat eksekutif dan yudikatif. Sejatinya fungsi pengawasan DPR bertujuan untuk menciptakan mekanisme chekcs and balances (pengontrolan dan penyeimbangan) terhadap cabang kekuasaan yang lain, namun sistem ketatanegaraan yang dibangun saat ini lebih condong pada pengontrolan pihak legislatif terhadap eksekutif dan yudikatif tanpa ada penyeimbangan. Akibatnya DPR mengalami surplus kekuasaan dan menjadikan cabang kekuasaan yang lain bergantung pada kekuasaan parlemen. Ketika parlemen atau DPR tidak bersepakat dalam memberikan persetujuan kepada Panglima TNI yang diajukan Presiden misalnya (http:// www.suaramerdeka.com/harian/0410/28/nas01. htm diakses pada tanggal 7 April 2013), maka pergantian Panglima TNI menjadi terhambat dan bergantung pada lobi-lobi di DPR. Karena itu dalam konteks pembagian kekuasaan ini maka DPR bisa dikatakan dapat mempengaruhi—untuk tidak menentukan— kekuasaan lembaga lain (baca: Presiden). Presiden harus bolak-balik mengajukan surat mendapat persetujuan dari DPR. Begitu pula calon yang diajukan oleh Presiden harus berbaik-baik hati kepada DPR. Dengan demikian pantas jika banyak calon pejabat eksekutif maupun yudikatif yang memilih merapat ke anggota atau fraksi di DPR saat hendak menjalani seleksi (fit and proper test) di DPR. Akhirnya seleksi pejabat publik semacam ini menjadi tidak sehat dan yang paling mengkhawatirkan adalah rawan terhadap adanya “kongkalikong”, seperti dalam kasus suap Deputy Senior Gubernur BI Miranda Goeltom (http:// finance.detik.com/read/2010/03/08/141503/1313 623/5/miranda-dan-kemenangan-mutlak-sebagaideputi-gubernur-senior-bi diakses pada tanggal 7 April 2013). JURNAL POLITIK Selain itu, hasil pilihan DPR terhadap pejabat publik ini juga sering tidak sejalan dengan keinginan publik. Pada saat pemilihan pimpinan KPK di Komisi III DPR misalnya, banyak pihak menyesalkan kenapa Bambang Widjojanto yang terkenal galak itu tidak dipilih sebagai ketua KPK. Ternyata Komisi III takut jika Bambang menjadi ketua KPK. Karena jika Bambang terpilih sebagai ketua KPK maka dia tidak akan tedeng alingaling menyeret anggota DPR yang terlibat korupsi (http://politik.kompasiana.com/2011/12/02/ abraham-samad-dipilih-dpr-untuk-menghindariterpilihnya-bambang-widjojanto-418393.html diakses pada tanggal 7 April 2013). Selain rawan disalahgunakan, atau setidaknya rentan dijadikan alat kepentingan politik anggota DPR atau fraksi di DPR, pemilihan pejabat publik melalui DPR juga dipertanyakan konstitusionalitasnya, seperti dalam pemilihan Hakim Agung. Pemilihan Hakim Agung dinilai bukan domain DPR melainkan Komisi Yudisial (http://news.detik.com/read/2013/05/16/193612 /2248225/10/soal-pemilihan-hakim-agung-dprdinilai-salahi-konstitusi?9911012 diakses pada tanggal 8 April 2013). Maka, sekali lagi, di samping perlu kajian terhadap seleksi pejabat publik di DPR, terpenting yang harus dilakukan Badan Kehormatan adalah memperketat pengawasan di simpul-simpul kekuasaan DPR yang rawan terhadap potensi pelanggaran etika, khususnya di Badan Anggaran (Banggar) DPR. Alat kelengkapan DPR ini membahas APBN/APBNP yang tahun 2012 lalu saja mencapai Rp 1.500 triliun. Tak heran jika keberadaan Banggar ini digugat ke Mahkamah Konstitusi (http://m.merdeka.com/peristiwa/jadiajang-korupsi-keberadaan-banggar-dpr-digugatke-mk.html diakses pada tanggal 8 April 2013). Pengawasan Badan Kehormatan Ibarat fenomena gunung es, penanganan perkara etik oleh Badan Kehormatan DPR cenderung hanya menyelesaikan apa yang terjadi di atas permukaan saja. Itu pun karena adanya pengaduan atau ramai diberitakan di media massa. Padahal akar permasalahannya lebih luas lagi. Akar permasalahannya terletak pada potensipotensi pelanggaran etika yang dilakukan oleh anggota DPR akibat besarnya kekuasaan yang 1432 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan mereka miliki. Bagi anggota DPR yang sudah mapan secara ekonomi, pengusaha multinasional misalnya, gaji dan tunjangan yang diberikan negara kepadanya seringkali hanya dilihat sebelah mata. Anggota DPR semacam ini lebih fokus untuk mengamankan bisnis-bisnisnya—bahkan jika perlu menjadikan usahanya lebih ekspansif— dengan cara memanfaatkan kekuasaan yang demikian besar di DPR dibanding mengharapkan gaji yang tidak seberapa untuk ukuran mereka. Anggota DPR yang memiliki latar belakang profesi sebagai pengacara/advokat juga akan lebih tergiur untuk memanfaatkan jabatan dan kedudukannya di DPR guna memenangkan perkara dibandingkan dengan mengharapkan gaji. Meskipun Tata Tertib DPR melarang anggota DPR melakukan pekerjaan yang ada hubungannya dengan tugas dan wewenang DPR seperti pengacara atau advokat, tetapi apakah Badan Kehormatan bisa memastikan bahwa tidak ada anggota DPR yang memanfaatkan kedudukannya untuk mempengaruhi kasus yang sedang ditangani Mahkamah Agung? Karena ada sedikitnya empat anggota DPR yang diduga berpraktek sebagai konsultan hukum (http://www.tempo.co/read/ news/2012/03/08/063388859/Empat-AnggotaDPR-Praktek-Konsultasi-Hukum diakses pada tanggal 8 April 2013). Potensi-potensi pelanggaran etika seperti inilah yang senantiasa harus diawasi oleh Badan Kehormatan. Karena potensi pelanggaran semacam ini akan melahirkan keberanian kolektif apabila tidak dilakukan pengawasan secara intensif. Bahkan pengawasan yang lemah akan melahirkan pelanggaran kolektif oleh anggota DPR. Dalam teori pengawasan, tugas lembaga pengawas seperti Badan Kehormatan adalah memastikan bahwa kegiatan organisasi DPR berjalan sesuai dengan mandat, visi dan misi serta tujuan organisasi. Tujuan organisasi DPR, seperti yang dicantumkan dalam laporan tim kajian peningkatan kinerja DPR Tahun 2006, adalah meningkatkan fungsi DPR sejalan dengan semangat reformasi (http://www.parlemen.net/ privdocs/aeb45269cfbd8d7c573b958086507e07. pdf diakses pada tanggal 8 April 2013). Tentu jika tujuannya adalah menjalankan JURNAL POLITIK agenda reformasi maka sudah pasti bahwa upaya memberdayakan DPR dan membebaskannya dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) menjadi hal mutlak. Salah satu langkah penting untuk membebaskan DPR dari KKN adalah memberdayakan fungsi pengawasan oleh Badan Kehormatan. Dalam konteks pengawasan, Badan Kehormatan merupakan alat kelengkapan DPR yang berfungsi melakukan tugas pengawasan internal terhadap anggota DPR dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Pengawasan internal lebih dikenal dengan pengawasan fungsional. Pengawasan fungsional adalah pengawasan secara fungsional oleh lembaga yang dibentuk, yang kedudukannya merupakan bagian dari lembaga yang diawasi. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Kehormatan dengan memperhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang (Pasal 124 Ayat 1 UU No 27 Tahun 2009 tentang MD3). Anggota Badan Kehormatan berjumlah 11 (sebelas) orang dan ditetapkan dalam rapat paripurna pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang (Pasal 124 Ayat 1 UU No 27 Tahun 2009 tentang MD3). Namun justru karena diposisikan sebagai lembaga pengawas internal maka objektivitas Badan Kehormatan sering dipertanyakan. Selain bergantung pada kekuasaan fraksi --- yang notabene merupakan kepanjangan tangan dari partai politik—keanggotaan Badan Kehormatan yang berasal dari anggota DPR dinilai menyalahi prinsip independensi (http://id.wikipedia.org/ wiki/Independen diakses pada tanggal 8 April 2013) dan imparsialitas (http://en.wikipedia.org/ wiki/Impartiality diakses pada tanggal 8 April 2013) atau “prinsip kemandirian dan keadilan yang berdasarkan pada kriteria objektif, bukan atas dasar prasangka atau mengambil manfaat kepada satu orang atas orang lain untuk alasan yang tidak tepat.” Dengan komposisi keanggotaan seperti sekarang, maka tidak ada peluang untuk mengakomodasi anggota Badan Kehormatan dari luar DPR, seperti Majelis Kehormatan Hakim Agung, Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi, 1433 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Dewan Pers atau Komite Etik yang dibentuk oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hasil penyelidikan Komite Etik KPK yang diketuai oleh akademisi Anis Baswedan, misalnya, yang mempersalahkan Ketua KPK Abraham Samad atas kasus pembocoran sprindik atau surat perintah penyelidikan, dinilai sebagai keputusan yang memiliki kredibelitas dan tepat (http://nasional. k o mp a s . c o m /r ead/2013/04/04/08251620/ Keputusan.Komite.Etik.KPK.Sudah.Tepat diakses pada tanggal 8 April 2013). Oleh sebab itulah jika keputusan Badan Kehormatan ingin dinilai lebih kredibel maka perlu untuk mengakomodasi figur-figur di luar DPR dan dikombinasikan dengan keanggotaan Badan Kehormatan yang ada sekarang. Sama halnya dengan Komite Etik KPK yang diketuai Anis Baswedan, di mana di situ juga masih ada unsur pimpinan KPK yang direpresentasikan oleh Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dan penasihat KPK Abdullah Hehamahua. Sedangkan dari unsur eksternal, selain Anis Baswedan, juga ada mantan pimpinan KPK Tumpak Hatongaran Panggabean dan mantan Hakim Konstitusi Abdul Mukti Fadjar (http://nasional.kompas.com/ read/2013/02/25/17204867/Ini.Anggota.Komite. Etik.KPK diakses pada tanggal 8 April 2013) Efektivitas Badan Kehormatan Untuk membahas efektivitas peranan Badan Kehormatan DPR dalam konteks penegakan etika di kalangan anggota DPR maka harus dijelaskan terlebih dahulu apa itu efektivitas, peranan, Badan Kehormatan dan juga etika politik. Efektivitas (Gedeian dkk, 1991:61) berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sementara peranan berasal dari kata peran. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:845) menjelaskan bahwa peranan adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan. Kemudian Badan Kehormatan adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 123 UU No 27 Tahun 2009 tentang MD3. Tugasnya adalah melakukan penegakan Kode Etik di kalangan anggota DPR (http://www.parlemen.net/privdocs/502efa72626 2c314a459b81fab39c3ed.pdf diakses pada tanggal 25 Maret 2013). JURNAL POLITIK Sementara etika (Frans Magnis Suseno, 1997:1) adalah keseluruhan norma dan penilaian yang digunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana seharusnya manusia menjalankan kehidupannya. Dalam konteks pengawasan oleh Badan Kehormatan, etika yang dimaksud adalah Kode Etik DPR RI. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa efektivitas peranan Badan Kehormatan dalam menegakan etika di kalangan anggota DPR adalah seberapa jauh tugas utama yang dilakukan Badan Kehormatan dapat berhasil dalam rangka mencapai tujuannya yakni menegakkan Kode Etik DPR RI. Ukuran-ukuran efektivitas, seperti dijelaskan David Krech, Ricard S. Cruthfied dan Egerton L. Ballachey dalam bukunya Individual and Society yang dikutip Sudarwan Danim dalam bukunya Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok antara lain dengan menggunakan pendekatan kuantitatif (berdasarkan pada jumlah) dan kualitatif (berdasarkan pada mutu). Berdasarkan pendekatan kuantitatif, maka dapat diperoleh angka bahwa selama 1 Oktober 2009 hingga 31 Desember 2012 Badan Kehormatan telah menangani 68 perkara dan 28 perkara di antaranya sudah berhasil diputuskan (41 persen). Perkara yang telah diputus terdiri dari 19 perkara korupsi, penyalahgunaan kewenangan untuk kepentingan pribadi atau melakukan hubungan yang tidak patut dengan mitra kerja; 3 perkara ingkar janji dan melampaui kewenangan; 3 perkara persoalan hubungan dalam keluarga; satu perkara bolos sidang selama 2 tahun; satu perkara tidak mengindahkan panggilan Badan Kehormatan; dan satu perkara pemalsuan ijazah. Dari data ini dapat diungkapkan bahwa Badan Kehormatan hanya dapat menyelesaikan perkara yang ditangani sebesar 41 persen (28 perkara) atau masih menunggak penyelesaian perkara sebanyak 59 persen (40 perkara). Itu berarti secara kuantitatif Badan Kehormatan belum bekerja efektif dalam memutuskan perkaraperkara etik. Kemudian dengan menggunakan pendekatan kualitatif, dari 28 perkara etik yang diputuskan ternyata 8 perkara di antaranya merupakan kasus korupsi yang sedang ditangani oleh aparat 1434 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan penegak hukum dan/atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Perkara-perkara yang dimaksud adalah: satu perkara tindak pidana korupsi pembangunan jaringan pembangkit listrik tenaga diesel di Muaro Jambi; dua perkara dalam pemilihan Deputy Senior Gubernur Bank Indonesia; satu perkara korupsi dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID); satu perkara korupsi proyek pengadaan tanah; dua perkara korupsi dan pencucian uang; serta satu korupsi pengadaan alQur’an. Artinya secara kualitatif putusan-putusan itu tidak memiliki bobot apa-apa sebab keputusan memberhentikan delapan anggota DPR dimaksud bukan hasil penyelidikan Badan Kehormatan melainkan merupakan perintah Pasal 213 Ayat 2 UU No 27 Tahun 2009 tentang MD3 yang berbunyi: “Anggota DPR diberhentikan antarwaktu apabila dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.” Dari dua pendekatan ini maka dapat disimpulkan bahwa Badan Kehormatan belum bekerja efektif dalam memutuskan perkaraperkara yang ditangani, baik dari sisi jumlah maupun bobotnya. Dari sisi jumlah masih banyak perkara yang belum diputuskan, dan dari sisi mutu juga banyak perkara yang diputuskan bukan atas dasar hasil penyelidikan Badan Kehormatan melainkan atas dasar keputusan dari lembaga lain (baca: aparat penegak hukum). Belum lagi ketika berbicara mengenai tujuan organisasi Badan Kehormatan. Tujuan dibentuknya Badan Kehormatan adalah untuk menegakkan Kode Etik di kalangan anggota DPR (http://parlemen.net/site/ldetails. php?docid=kelengkapan diakses pada tanggal 25 Maret 2013). Artinya, jika masih ada sejumlah anggota DPR yang terlibat kasuskasus pelanggaran hukum atau korupsi, maka Badan Kehormatan dapat dikatakan belum efektif menegakan Kode Etik. Karena Pasal 12 Kode Etik DPR menjelaskan, “Pelangggaran peraturan perundang-undangan oleh anggota DPR merupakan pelanggaran Kode Etik.” Jika Badan Kehormatan sudah bekerja JURNAL POLITIK efektif menjadi menjaga etika anggota DPR sudah pasti tidak ada anggota DPR yang tersangkut kasus pidana. Asumsinya, pelanggaran pidana sudah pasti merupakan pelanggaran etika tetapi pelanggaran etika belum tentu merupakan pelanggaran pidana. Seorang anggota DPR yang melanggar etika belum tentu melanggar hukum tetapi anggota DPR yang melanggar hukum sudah pasti melanggar etika. Dari data-data di atas dapat juga dijelaskan bahwa Badan Kehormatan masih kesulitan untuk bekerja efektif menjadi penegak Kode Etik. Hal ini bisa jadi tidak terlepas dari kewenangan Badan Kehormatan yang terbatas, dibuktikan dengan format lembaga pengawasan yang bersifat pasif dan keanggotaan Badan Kehormatan yang menafikan unsur-unsur di luar DPR. Benar bahwa tugas Badan Kehormatan untuk menegakkan Kode Etik di kalangan anggota DPR merupakan tugas yang mahaberat. Selain dihadapkan pada banyaknya potensi pelanggaran etika akibat besarnya kekuasaan anggota DPR, Badan Kehormatan juga mengalami keterbatasan dalam hal kewenangan. Dalam hal kewenangan, Badan Kehormatan dibatasi hanya menjadi lembaga pengawasan yang bekerja atas dasar pengaduan atau berita di media massa. Dengan kata lain, jika tidak ada pengaduan atau tidak ada media massa yang mempersoalkan pelanggaran etika oleh anggota DPR, maka Badan Kehormatan dapat mengasumsikan semua anggota DPR baik-baik saja. Hal ini tertuang dalam Pasal 127 UU No 27 Tahun 2009 tentang MD3 bahwa “Badan Kehormatan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota..” Kemudian Pasal 3 Ayat 1 Peraturan DPR No 2 Tahun 2011 tentang Tata Beracara Badan Kehormatan juga menjelaskan bahwa “Pelanggaran yang tidak memerlukan pengaduan adalah: a) Ketidakhadiran dalam rapat DPR yang menjadi kewajibannya; b) Tertangkap tangan atas pelanggaran peraturan perundang-undangan; c) Dugaan pelanggaran Kode Etik dan Tata Tertib yang sudah tersiar di beberapa media cetak dan/ atau elektronik; dan d) Terbukti melakukan tindak pidana dengan ancaman lebih dari 5 (lima) tahun penjara dan telah mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewisjde/ 1435 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan final and binding).” Untuk pelanggaran ketidakhadiran Badan Kehormatan bisa meminta salinan absensi dari Sekretariat Jenderal DPR guna mengetahui apakah ada anggota DPR yang “tidak melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama tiga bulan berturutturut tanpa alasan yang sah; dan tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak enam kali berturut-turut tanpa alasan yang jelas.” Kemudian untuk jenis pelanggaran yang “tertangkap tangan atas pelanggaran peraturan perundang-undangan”, Badan Kehormatan juga tidak perlu repot sebab kasus seperti ini biasanya ditangani langsung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus-kasus suap atau gratifikasi yang diterima oleh anggota DPR. Namun untuk “dugaan pelanggaran Kode Etik dan Tata Tertib yang sudah tersiar di beberapa media cetak dan/atau elektronik”, hal ini menihilkan kewenangan Badan Kehormatan. Karena itu berarti bahwa Badan Kehormatan hanya melakukan penyelidikan (tanpa adanya pengaduan) apabila ada dugaan pelanggaran oleh anggota DPR yang sudah dimuat di media massa. Badan Kehormatan didesain menjadi lembaga pengawasan yang bersifat pasif, bukan lembaga yang senantiasa proaktif dalam mengawasi perilaku anggota DPR. Padahal pelanggaran etika itu bisa datang kapan saja dan di mana saja, tidak harus menunggu pengaduan ke Badan Kehormatan atau menjadi trending topic di media massa. Jelas ini memunculkan pertanyaan besar, bagaimana mungkin Badan Kehormatan mampu menjadi penegak etika anggota DPR apabila kewenangan penyelidikannya saja dibatasi hanya jika ada pengaduan atau dimuat di media massa. Badan Kehormatan seharusnya proaktif mengawasi perilaku seluruh anggota DPR, khususnya di simpul-simpul kekuasaan yang berpotensi melahirkan pelanggaran etika, tanpa perlu dibatasi oleh adanya pengaduan atau berita di media massa. Contohnya, belajar pada kasus suap dalam proses pemilihan Deputy Senior Gubernur Bank Indonesia Miranda Goeltom, sudahkah Badan JURNAL POLITIK Kehormatan memastikan bahwa proses seleksi yang melibatkan DPR, seperti pengangkatan Panglima TNI, Kapolri, Duta Besar, komisioner KPU, Bawaslu, Hakim Agung, Hakim Konstitusi, anggota Komisi Yudisial, anggota BPK maupun pemilihan Gubernur Bank Indonesia terbebas dari potensi-potensi pelanggaran etika oleh anggota DPR. Tanpa bermaksud menuduh, namun berkaca pada pemilihan Deputy Senior Gubernur Miranda Goeltom, maka jelas bahwa potensi pelanggaran etika sangat mungkin terjadi dalam proses seleksi di DPR. Bagaimanapun, antara pemilih (anggota DPR) dan yang dipilih (kandidat) terdapat hubungan kepentingan yang jika tidak diawasi dapat mengakibatkan pelanggaran etika. Karenanya sangat penting bagi Badan Kehormatan untuk bekerja proaktif dalam melakukan pengawasan preventif pada setiap proses fit and proper test agar dapat mencegah pelanggaran-pelanggaran etika oleh anggota DPR. Namun kewenangan Badan Kehormatan tidak hanya terbentur pada desain lembaga yang pasif melainkan keputusannya pun lebih bersifat rekomendatif. Selama ini Badan Kehormatan hanya menyampaikan secara langsung sanksi teguran lisan kepada teradu anggota DPR, tetapi untuk sanksi teguran tertulis; pemindahan keanggotaan pada alat kelengkapan; pemberhentian dari jabatan pimpinan DPR dan pimpinan alat kelengkapan; pemberhentian sementara; serta pemberhentian sebagai anggota DPR, Badan Kehormatan menyampaikan keputusannya kepada Pimpinan DPR dan pimpinan fraksi. Benar bahwa untuk pemberhentian sebagai anggota DPR, Badan Kehormatan melaporkannya dalam rapat paripura agar diteruskan kepada partai politik yang bersangkutan dan/atau Presiden. Namun keputusan ini juga diteruskan oleh pimpinan DPR dan pimpinan fraksi yang bersangkutan, bukan dilaksanakan oleh Badan Kehormatan. Penyampaian keputusan Badan Kehormatan kepada pimpinan DPR dan pimpinan fraksi memungkinkan terjadinya deviasi, distorsi atau juga intervensi terhadap keputusan tersebut. Selain itu, keputusan Badan Kehormatan itu juga baru berlaku efektif apabila sudah ditindaklanjuti oleh pimpinan DPR dan pimpinan 1436 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan fraksi (bersifat rekomendasi atau menganjurkan/ menguatkan) (http://www.artikata.com/arti347393-rekomendasi.html diakses pada tanggal 9 April 2013), tidak otomatis berlaku (eksekusi atau pelaksanaan putusan) (http://www.artikata.com/ arti-326015-eksekusi.html diakses pada tanggal 9 April 2013). Memang keputusan Badan Kehormatan itu dinyatakan final dan mengikat (final and binding) seperti dimuat dalam Pasal 37 tentang Tata Beracara Badan Kehormatan DPR, dengan diberikan tenggat waktu tertentu baik kepada pimpinan DPR maupun pimpinan fraksi untuk melaksanakan keputusan tersebut. Namun apakah Badan Kehormatan berani mendesak pimpinan DPR dan/atau pimpinan fraksi apabila keputusannya tidak ditindaklanjuti. Bagaimana pun pimpinan DPR dan/atau pimpinan fraksi adalah pimpinan para anggota Badan Kehormatan juga. Hal ini mengakibatkan anggota DPR lebih takut kepada fraksinya dibanding Badan Kehormatan. Fraksi memiliki kewenangan yang sangat besar dalam menjalankan atau tidak menjalankan keputusan Badan Kehormatan. Lebih dari itu, fraksi sebagai kepanjangan tangan partai politik di DPR juga memiliki hak untuk melakukan recall (Pasal 213 Ayat 2 butir h UU No 27 Tahun 2009 tentang MD3 bahwa “Anggota DPR diberhentikan antarwaktu apabila diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”) terhadap anggota DPR. Selain itu, hal lainnya yang menjadikan keputusan Badan Kehormatan kurang dihormati adalah tidak disebutkannya nama anggota DPR yang terbukti melanggar Kode Etik, berbeda dengan anggota yang tidak terbukti melanggar Kode Etik (Rehabilitasi) di mana nama dan nomor anggota mereka diumumkan dalam rapat paripurna DPR. Badan Kehormatan, di samping rapatrapatnya selalu berlangsung tertutup, selama ini tidak pernah berani memublikasikan keputusannya dengan menyebut nama-nama anggota DPR yang dinyatakan terbukti melanggar Kode Etik. Ini selain menunjukkan bahwa Badan Kehormatan cenderung menutupi kesalahan yang dilakukan oleh anggota DPR, juga tidak akan memberikan JURNAL POLITIK efek jera bagi anggota yang terbukti melanggar Kode Etik. Badan Kehormatan juga memiliki keterbatasan dalam hal keanggotaan. Badan Kehormatan merupakan alat kelengkapan yang memiliki anggota paling sedikit dibanding alat kelengkapan yang lain, yakni hanya memiliki 11 anggota—berbeda dengan alat kelengkapan lain yang rata-rata memiliki anggota 50 orang bahkan Badan Anggaran beranggotakan 80 orang. Dengan demikian maka tugas pengawasan yang dibebankan kepada 11 anggota Badan Kehormatan ini akan banyak menemui hambatan. Tanpa didukung dengan jumlah aparatur yang memadai, akan sangat sulit untuk mengharapkan 11 anggota Badan Kehormatan mampu mengawasi perilaku 560 anggota DPR di sedikitnya 20 alat kelengkapan (11 Komisi, Pimpinan, Badan Musyawarah, Badan Legislasi, Badan Anggaran, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara, Badan Kerja sama antarparlemen, Badan Urusan Rumah Tangga dan Panitia Khusus). Akhirnya yang dilakukan adalah menjadi “pemadam kebakaran” atau bertindak apabila ada anggota DPR yang diadukan ke Badan Kehormatan atau sudah ramai diberitakan media massa. Apalagi anggota Badan Kehormatan hanya diisi oleh anggota DPR. Ibarat pepatah “jeruk makan jeruk”, artinya sulit untuk meyakini bahwa Badan Kehormatan akan berani “memakan anggota DPR lainnya” karena sama-sama anggota DPR. Ini mencederai prinsip independensi dalam membuat keputusan dan juga melanggar prinsip imparsialitas atau “prinsip keadilan yang berdasarkan pada kriteria objektif, bukan atas dasar prasangka atau mengambil manfaat kepada satu orang atas orang lain untuk alasan yang tidak tepat (http://en.wikipedia.org/wiki/Impartiality diakses pada tanggal 9 April 2013). Prinsip ini diabaikan dalam pembentukan Badan Kehormatan DPR. Artinya, DPR memilih menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Kehormatan dengan memperhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan masa sidang (Pasal 124 Ayat 1 UU No 27 Tahun 2009 tentang MD3). Tidak ada peluang untuk mengakomodasi anggota Badan Kehormatan dari luar DPR, seperti Majelis 1437 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Kehormatan Hakim Agung, Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi, Dewan Pers dan Komite Etik KPK yang mengandung unsur masyarakat. Hal ini menguatkan skeptisme publik bahwa Badan Kehormatan tidak akan berani menindak temannya sendiri, apalagi yang satu fraksi. Ambil contoh pimpinan Badan Kehormatan yang selalu diketuai oleh anggota dari Fraksi PDIP. Ketika ada anggota Fraksi PDIP yang diadukan ke Badan Kehormatan karena diduga melanggar Kode Etik, menjadi pertanyaan besar bagi publik apakah ketua Badan Kehormatan ini berani secara objektif menindak kawannya sendiri. Ini terjadi dalam kasus video asusila yang diduga melibatkan anggota Fraksi PDIP, yang cenderung dilindungi oleh Badan Kehormatan (http://www.jpnn.com/ read/2013/04/11/166990/BK-Terkesan-LindungiPemeran-Video-Porno-DPR diakses pada tanggal 9 April 2013). Dari gambaran di atas dapat dikatakan bahwa Badan Kehormatan DPR tidak didesain untuk menjadi lembaga pengawasan yang berfungsi untuk mengontrol secara obyektif perilaku 560 anggota DPR. Keputusan-keputusan Badan Kehormatan terhadap anggota DPR yang diduga melanggar Kode Etik, apakah bisa diterapkan atau tidak, sangat bergantung kepada pimpinan DPR dan pimpinan fraksi. Contoh bahwa anggota DPR tidak peduli dengan keputusan Badan Kehormatan bisa dinukil dari kasus pengaduan terhadap anggota DPR yang tidak mengakui perkawinannya dan menikah dengan wanita lain. Sanksi teguran tertulis yang disampaikan Badan Kehormatan kepada pimpinan fraksi yang bersangkutan hanya dianggap sebagai angin lalu (http://www.tribunnews. com/2012/02/08/ruhut-sitompul-ngapain-rumahtangga-orang-diurusin diakses pada tanggal 9 April 2013) Maka sudah jelas bahwa fraksifraksi memiliki kekuasaan yang besar dalam mewujudkan Badan Kehormatan yang kuat, berani dan kredibel. Karena “nasib” anggotaanggota Badan Kehormatan sendiri tergantung pada fraksi-fraksi yang bersangkutan, apakah akan tetap meneruskan keanggotaan yang ada sekarang atau menggantinya. Keputusan Fraksi PDIP mengganti ketua Badan Kehormatan dari M Prakosa kepada JURNAL POLITIK Trimedia Pandjaitan pada awal Maret 2013 lalu (http://www.antaranews.com/print/362024/ketuabk-dpr-ri-diganti-trimedya-panjaitan diakses pada tanggal 9 April 2013), kembali menegaskan besarnya kekuasaan fraksi dalam mempengaruhi alat kelengkapan Dewan. Artinya Badan Kehormatan bisa bergonta-ganti personel bukan karena kebutuhan organisasi melainkan karena kepentingan fraksi. Apalagi pergantian personel Badan Kehormatan ini disebut-sebut karena Prakosa tidak menuruti instruksi pimpinan Fraksi PDIP untuk memperjuangkan anggota Fraksi PDIP yang diadukan ke Badan Kehormatan dengan tuduhan pelanggaran etika (http://id.berita. yahoo.com/prakosa-lengser-dari-ketua-bk-dprkarena-melawan-043736988.html diakses pada tanggal 9 April 2013). Jika ini benar, tentu sangat menyedihkan karena fungsi alat kelengkapan dijadikan mainan oleh pimpinan fraksi. Sebenarnya, keanggotaan Badan Kehormatan yang hanya mengakomodasi anggota DPR sudah pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi melalui judicial review terhadap Pasal 124 Ayat (1) UU No 27 Tahun 2009 tentang MD3. Para penggugat, seperti Judilherry Justam, Chris Siner Key Timu dan M Chozin Amirullah menghendaki agar keanggotaan Badan Kehormatan juga menyertakan unsur-unsur masyarakat seperti akademisi, LSM dan lain sebagainya untuk mencegah timbulnya konflik kepentingan (conflict of interest)—sebagaimana diusulkan oleh Sekretariat Bersama Pokja Petisi 50, Tewas Orba, Gerakan Rakyat Marhaen dan PB HMI (MPO) kepada Pansus RUU Susduk (Desmon J Mahesa, 2013). Dalam putusannya atas Perkara Nomor 59/PUU-IX/2011 yang dibacakan pada tanggal 8 Agustus 2012 Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan untuk membatalkan atau menetapkan beberapa pasal dalam UU MD3 terkait Badan Kehormatan DPR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menurut MK, komposisi keanggotaan Badan Kehormatan yang berasal dari utusan atau perwakilan dari berbagai Fraksi dan representasi kekuatan politik akan memiliki kepentingan dan pandangan yang berbeda-beda sehingga akan terjadi saling kontrol antara kekuatan yang ada. 1438 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Dengan kondisi seperti itu tidak heran jika tidak hanya anggota DPR tetapi juga anggota Badan Kehormatan sekalipun akan takut saat menghadapi pimpinan fraksi. Pimpinan fraksi dengan demikian menjadi sangat terbuka untuk tidak hanya melakukan intervensi terhadap keputusan Badan Kehormatan melainkan juga merombak keanggotaan Badan Kehormatan. Fraksi-fraksi di DPR akan sangat menentukan postur kelembagaan, termasuk juga peranan dan kewenangan Badan Kehormatan. Postur kelembagaan Badan Kehormatan tidak didesain untuk menjadi lembaga yang otonom dan bebas dari pengaruh, intervensi atau kepentingan pihak lain (baca: fraksi) tetapi tergantung pada keputusan pimpinan fraksi. Kondisi demikian akan menempatkan anggota Badan Kehormatan bukan untuk bertugas menjaga kehormatan DPR melainkan kehormatan fraksi atau partainya. Lebih jauh lagi, kewenangan Badan Kehormatan yang bertumpu pada pimpinan fraksi-fraksi juga dapat menjadikan Badan Kehormatan sebagai ajang untuk saling menyandera atau bertukar kepentingan di antara fraksi-fraksi. Simpulan Jadi kembali lagi bahwa Badan Kehormatan itu tergantung pada kekuasaan yang dimiliki fraksi-fraksi sebagai kepanjangan tangan partai politik di DPR. Pada saat fraksi-fraksi bersepakat untuk memberdayakan kewenangan Badan Kehormatan maka hal itu akan menjadi pertanda adanya keinginan untuk mengontrol kekuasaan di DPR. Namun jika yang terjadi sebaliknya, itulah yang tengah dihadapi Badan Kehormatan DPR saat ini. Badan Kehormatan memiliki banyak keterbatasan untuk benar-benar menjadi “Penjaga Etika” bagi anggota DPR. Oleh karena itu, penguatan peran dan kewenangan Badan Kehormatan menjadi kebutuhan mendesak dalam rangka membangun fungsi kontrol bagi anggota Dewan. Terima kasih atas bimbingan dan arahan Dr. Wahyu Wibowo pada tulisan ini. JURNAL POLITIK Kepustakaan Argama, Rizki. 2010. Berharap pada 560, Catatan Kinerja DPR 2009-2010. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Arinanto, Satya dan Fatmawati. 2009. Menjalin Hubungan Konstituen dan Keterwakilan. Jakarta: Sekjen DPR RI dan UNDP. Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gradia Pustaka Utama. Djamal, Faisal. 2009. Mekanisme Kerja Anggota dan Parlemen. Jakarta: Sekjen DPR RI dan UNDP. Febrian. 2009. Proses Legislasi. Jakarta: Sekjen DPR RI dan UNDP. Haryatmoko. 2003. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Kompas Media Nusantara Mahesa, Desmon J. 2013. DPR Offside, Otokritik Parlemen Indonesia. Jakarta: Semesta Rakyat Merdeka. Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Canadian International Development Agency (CIDA). 2000. Peran Parlemen dalam Memberantas Korupsi (Controlling Corruption: A Parliamentarian’s Handbook. Jakarta: Pustaka Pelajar Offset. Irianto, Sulistyowati dan Titik Kartika Hendrastiti. 2009. Gender di Parlemen. Jakarta: Sekjen DPR RI dan UNDP.Prasodjo, Eko. 2009. Transparansi dan Akuntabilitas Parlemen. Jakarta: Sekjen DPR RI dan UNDP. Salang, Sebastian. 2009. Menghindari Jeratan Hukum bagi Anggota Dewan. Jakarta: Penebar Swadaya. Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Suseno, Franz-Magnis. 1987. Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan. Jakarta: Gramedia. 1439 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Syafiie, Inu Kencana. 2012. Etika Politik. Jakarta: Pustaka Reka Cipta. Tweedie, Steven, Riris Katrina, dan Partogi Nainggolan. 2009. Penguatan Manajemen Fraksi, Meningkatkan Kinerja Fraksi dan Penyusunan Indikator Baseline Kinerja Fraksi DPR RI. Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI. Zaidun, Muchammad. 2009. Tata Tertib dan Etika Parlemen. Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI dan UNDP. JURNAL POLITIK 1440 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Partai Aceh dalam Transisi Demokrasi di Aceh Aceh Party in the Transition of Democracy in Aceh Sahruddin Abstrak Dalam tesis ini, ditemukan adanya transisi demokrasi di Aceh yang telah dijalankan dengan baik berdasarkan sudut pandang terwujudnya institusionalisasi politik. Kami dapat melihat kehadiran dari partai-partai politik, PEMILU, kehadiran para kandidat mandiri, Wali Nanggroe, partisipasi masyarakat, namun tidak sepenuhnya melambangkan bahwa kehadiran mereka mengikuti sebuah proses yang mempercayai banyak unsur demokrasi yang mewakili unsur-unsur yang ada di dalamnya, seperti legislatif dan pemilihan umum yang masih dipenuhi dengan kekerasan, pelaksana produktivitas dan badan legislatif dibawah pengawasan Partai Aceh masihlah lemah. Maka perkembangan di Aceh tidak seluruhnya membawa kesejahteran. Kata Kunci: Partai Aceh, Transisi Demokrasi, Aceh Abstract In this research, it found that the transition of democracy in Aceh has been able to run well from the point of fulfillment of political institutionalization. We can see the presence of political parties, the elections, the presence of an independent candidate, Wali Nanggroe, community participation, but not fully institutionalizing that it follows a process that ensures instruments of democracy presented in it, such as legislative and local elections were still violent, productivity executive and legislative institutions under the control of the PA is still low, so that development in Aceh has not fully brought prosperity. Keywords: Aceh Party, Transition of Democracy, Aceh Pendahuluan Sejalan dengan tuntutan masyarakat ketika memasuki era reformasi, maka, otonomi daerah merupakan salah satu instrumentasi dalam rangka memajukan daerah. Mekanisme kepemimpinan telah dipilih secara langsung oleh masyarakat. Akan tetapi, otonomi politik itu sesungguhnya belum terwujud, sebab masih terbuka kemungkinan campur tangan pemerintah pusat terhadap otonomi politik di daerah. Campur tangan itu hadir seiring dengan masih diterapkannya sistem kepartaian yang bersifat nasional. Akibatnya, partai politik di tingkat nasional sering mengintervensi partai-partai politik di daerah dalam mekanisme pemilihan pemilihan kepala daerah dan juga kebijakan partai politik di tingkat lokal. Hal tersebut tampak dengan jelas lewat sistem kepartaian dan pemilu yang terdapat dalam pasal 59 UU No.32 tahun 2004 yang menyatakan; Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Untuk lebih jelasnya, maka, lihat juga ketentuan pasal 52 UU No.2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik yang menyatakan; Dalam hal pengajuan calon anggota legislatif berlaku ketentuan sebagai berikut; (1) Bakal calon dalam pemilihan umum disusun dalam daftar bakal calon oleh partai politik masing-masing; (2) Daftar bakal calon untuk anggota DPR ditetapkan oleh pengurus Partai Politik di tingkat pusat; (3) Daftar bakal calon anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh pengurus Partai Politik di tingkat provinsi; (4) Daftar bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh pengurus Partai Politik di tingkat kabupaten/kota. Selain terdapat beberapa alasan lain yang relevan untuk dikemukakan dalam rangka mendukung gagasan pembentukan partai politik lokal, kemun- Universitas Nasional, [email protected] JURNAL POLITIK 1441 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan culan gagasan diperbolehkannya membentuk partai politik lokal di setiap daerah adalah pengalaman historis bangsa ini pada 1955. Waktu itu, partai politik lokal pernah diperkenankan dan mengikuti pemilihan umum (Fadjar, 2006). Sejalan dengan itu, kemunculan partai politik lokal di Aceh adalah merupakan konsesi yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia dalam rangka otonomi khusus (special autonomy policy) melalui MoU Helsinki yang merupakan kesepakatan antara Pemerintahan Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang memperbolehkan partai politik lokal berdiri di Aceh sebagai sarana pengganti perjuangan GAM, dari perjuangan bersenjata ke arena politik. Kemudian, melalui kesepakatan tersebut diatur lebih lanjut dalam suatu UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Lahirnya undang-undang ini merupakan upaya untuk menerjemahkan kesepakatankesepakatan yang ada dalam MoU Helsinki, termasuk di dalamnya keberadaan partai politik lokal. Pembangunan demokrasi dalam tingkatan lokal sejak diundangkannya undang-undang otonomi daerah, telah memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengelola pemerintahannya dengan baik. Kemandirian dan penghargaan terdapat local wisdom daerah menjadi lebih besar, tidak seperti di zaman Orde Baru --- melalui undang-undang no. 25 Tahun 1974 --- yang tidak memberikan kewenangan yang besar kepada daerah sehingga demokrasi lokal tidak terwujud. Selain itu, adanya upaya penyamaan antara desa dengan gampoeng, marga dan lain-lain di seluruh Indonesia, yang pada hakikatnya berbeda antara satu sama lain. Dalam konteks Demokrasi Aceh, semangat ini menjadi semakin terlihat setelah perjanjian damai MoU Helsinki antara GAM dan RI. Bencana tsunami yang begitu besar menjadi salah satu faktor yang berkontribusi atas penandatanganan MoU Helsinki atas pihak-pihak yang bertikai (Pieter Feith, 2007). Inti dari nota kesepahaman tersebut adalah bagaimana membangun demokrasi lokal di Aceh. Bagaimana menyelenggarakan pemerintahan di Aceh, bahkan Aceh berhak memiliki undang-undang pemerintahan tersendiri. Kemudian untuk menindaklanjuti hal tersebut, dibentuk Undang-undang Pemerintahan Aceh yang mengadopsi kesepakatan-kesepakatan Helsinki dan kehendak masyarakat selama ini untuk menjadi lebih mandiri dalam menjalankan pemerintahan yang boleh mengadopsi nilai-nilai lokal. Walaupun pada awalnya, dalam hal kemunculan partai politik lokal mengundang kontroversi dan penolakan dari berbagai elemen pada saat itu, termasuk Megawati Soekarno Putri yang tidak setuju dengan keberadaan partai politik lokal karena menurutnya merupakan ancaman bagi keutuhan Indonesia. Megawati mengatakan; di beberapa negara seperti Spanyol dan Kanada, partai politik lokal menjadi alat sparatist menuju kemerdekaan (Hilman, 2010). Dalam undang-undang tersebut (UUPA), JURNAL POLITIK Aceh disebutkan berhak memiliki partai politik lokal, menguasai sumber daya alam, dan mengatur sendiri prinsip-prinsip hukumnya. Di sinilah letak demokrasi lokal di Aceh yang berdampak positif. Namun demikian, dampak negatif bukan berarti tidak ada. Konflik berkepanjangan yang terjadi selama sekitar 40 tahun, bisa saja muncul kembali di tengah perkembangan demokrasi di Aceh. Hal ini bisa kita lihat dari berbagai kerasan dan konflik yang muncul sejak dimulainya pesta demokrasi pertama di Aceh pada 2006. Pemilihan kepala daerah langsung, yang kemudian memenangkan pasangan Irwandi Yusuf dan Nazaruddin tidak luput dari konflik dan kekerasan yang banyak menimbulkan korban. Begitu juga dengan Pemilu Legislatif 2009 yang dimenangkan oleh Partai Aceh, juga banyak diwarnai kekerasan dan pemaksaan kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu, yang terakhir adalah Pemilukada 2012 yang kembali dimenangkan oleh Partai Aceh dengan nominasi calonnya; Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf. Ironisnya, gaya militer di masa lalu muncul kembali di dalam iklim demokrasi yang pada satu sisi adalah merupakan proses pelembagaan politik, tetapi, di sisi lain, dalam mewujudkannya tetap muncul kekerasan dan partisipasi masyarakat yang tidak otonom. Sesungguhnya, pasca MoU Helsinki, kemunculan partai politik lokal di dalam sistem politik Indonesia bukan merupakan yang pertama di Aceh. Sebab, pada pemilu pertama Indonesia, sudah muncul partai politik lokal di berbagai daerah di Indonesia yang ikut serta pada pemilu saat itu. Berdasarkan Undang Undang No. 7 Tahun 1953, tidak kurang dari 36 partai politik ikut ambil bagian. Bahkan, di samping partai politik peserta pemilu juga ada yang berasal dari organisasi perseorangan (Djohan, 2002; lihat juga Karim, 1983). Hasilnya, walau pemilu kali ini juga diikuti oleh beberapa partai politik lokal, namun, ada 28 partai politik yang mendapat kursi di parlemen (DPR) pusat. Setelah Pemilu 1955, pemilu berikutnya baru diselenggarakan pada 1971 di era yang berbeda yang kepemimpinannya sudah berada pada rezim Soeharto. Pemilu ini diikuti oleh sepuluh peserta yang terdiri atas sembilan partai politik dan satu golongan; yakni Partai Katolik, Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia, Golongan Karya, Partai Kristen Indonesia, Partai Musyawarah Rakyat Banyak, Partai Nasional Indonesia, Partai Islam PERTI, Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia. Kemunculan partai politik lokal dalam sistem politik Indonesia haruslah dimaknai sebagai bagian dari upaya menuju demokrasi yang seutuhnya. Hadirnya partai politik lokal di Aceh, mestinya, tidak hanya karena adanya “paksaan” adanya Kesepakatan Helshinki semata. Mengingat, partai politik lokal merupakan hak masyarakat di daerah 1442 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan untuk mewujudkan demokrasi pada tingkatan lokal --- secara tegas dapat dikatakan; partai politik lokal adalah partai berbasis di daerah, untuk kepentingan daerah, dan terlibat dalam proses politik daerah. Kekuatan partai politik lokal adalah kedekatan dengan konstituen dan keberpihakannya kepada kepentingan seluruh masyarakat yang ada di daerahnya. Karena itu, di Amerika Serikat, menurut Joe Garecht (dalam Indrayana, 2008), partai politik lokal adalah backbone of the American political system. Karena partai politik lokal di Amerika Serikat menjadi pendorong dan pejuang aspirasi masyarakat di tingkat lokal. Partai menunjukkan komitmen dan berada di pihak masyarakat, sehingga, partai politik lokal j u g a bisa bersaing dengan partai politik nasional pada tingkat lokal. Sementara, di Indonesia, pemikiran tentang perlunya partai politik lokal karena didorong oleh beberapa hal. Di ranah nasional, d i s e b a b k a n rendahnya citra partai di mata publik, sedang secara lokal, karena diadopsinya sistem pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada). Dalam konteks transisi demokrasi di Aceh, sejatinya, tidak sepenuhnya dapat disamakan dengan konsep transisi demokrasi yang secara umum dikenal oleh masyarakat --- sebelum masuk ke transisi demokrasi ada suatu keadaan rezim yang otoriter, kemudian rezim tersebut terguling dan saat itulah disebut transisi --- yang kemudian bagian dari upaya menuju konsolidasi demokrasi atau set back kembali ke zaman otoriter. Melalui MoU Helsinki, maka, muncul babak baru demokrasi yang dibangun oleh elemenelemen masyarakat dan pemerintah di Aceh. Dalam perjalanannya, untuk mewujudkan semua kesepakatan ini, maka, proses pelembagaan demokrasi merupakan salah satu yang harus dilalui lewat pembangunan infrastruktur politik yang disepakati dalam MoU Helsinki dan pemenuhan kebutuhan masyarakat untuk menjadi lebih sejahtera. Transisi demokrasi dalam konteks yang banyak dipakai dalam literatur-literatur politik yang dimulai dari rezim otoriter, bisa dilihat dari perkembangan politik nasional Indonesia masa kepemimpinan Soeharto yang dianggap sebagai bagian dari rezim otoriter. Ketika mahasiswa berhasil menjatuhkan Soeharto, setelah itu, keadaan disebut dengan transisi demokrasi, sebagai upaya untuk menuju konsolidasi yang sampai sekarang belum ada yang mengklaim b a h w a Indonesia sudah berada di zaman konsolidasi demokrasi. Sepanjang terjadinya transisi demokrasi, terjadi juga dinamika politik di Aceh yang kemudian dalam konteks politik lokal menimbulkan terjadinya perubahan setelah melewati periode transisi. Dalam konteks Aceh dan perubahan politik secara nasional, sekarang, tercipta kebebasan berserikat dan berkumpul dan terbentuknya partai politik lokal. Bermula, transisi JURNAL POLITIK demokrasi di Aceh bisa dimaknai ketika adanya kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka, kemudian setelah itu, dilakukan dan dipandang perlu untuk mewujudkan sejumlah hal yang telah di sepakati dalam MoU, dan proses inilah yang disebut dengan transisi. Tetapi untuk hal itu perlu kajian yang lebih mendalam, seperti kata Samuel P. Huntington; semuanya bisa dilihat dari dua kali masa pemilu, s e b e r a p a j a u h instrumen-instrumen konsolidasi demokrasi sudah tercapai dan terlaksana (Huntington, 1995). Pasca reformasi, pemilu legislatif 2009 merupakan Pemilu pertama yang diikuti oleh partai politik lokal. Sebagai hasil Kesepakatan Helsinki, maka, keikutsertaan partai politik lokal hanya terbatas di Provinsi Aceh. Pemilu kali ini diikuti oleh enam partai politik dan dimenangkan oleh Partai Aceh yang awalnya bernama Partai GAM --- karena didirikan oleh mantan pejuang GAM ---dengan kemenangan hampir mencapai 47 persen. Pemilu legislatif 2009 di Aceh untuk Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dimenangkan oleh Partai Aceh dengan nomor urut 39 dan memperoleh suara paling banyak dibanding dengan partai lain. Partai Aceh mendapatkan suara 1.007.173 atau 46.91 persen dari total 2.266.713 yang menggunakan hak suara pada saat pemilihan. Suara Partai Aceh lebih tinggi dari Partai Demokrat yang memenangkan pemilihan secara nasional. Partai Demokrat berada pada urutan kedua dengan raihan suara 232.728 a t a u sekitar 10.84 persen. Suara yang didapatkan oleh Partai Aceh jauh meninggalkan partai lokal lainnya, tidak ada satu pun partai politik lokal yang dapat mencapai lebih dari 2 persen untuk tingkatan provinsi. Partai Aceh juga meraih suara yang signifikan untuk kabupaten/kota di Provinsi Aceh, sementara, partai politik lokal lainnya tetap mendapatkan kursi walau dalam jumlah yang kecil. Salah satu kemajuan penataan sistem kepartaian di Aceh dalam konteks penyederhanaan partai untuk d a p a t mengikuti pemilihan berikutnya adalah dengan diterapkannya ambang batas perolehan suara yang lebih besar dari persentase nasional. Oleh karena itu, karena Partai Aceh mendapatkan 33 kursi atau setengah dari jumlah kursi DPRA, 69 kursi, maka, hanya Partai Aceh yang lulus electoral threshold dan secara otomatis bisa mengikuti pemilu legislatif pada 2014. Sementara, partai politik lokal lainnya harus melakukan registrasi ulang dengan nama partai yang berbeda. Kemunculan Partai Aceh yang hanya beberapa tahun sebelum pemilu legislatif dan kemudian langsung menjadi pemenang, sungguh merupakan prestasi besar. Keberadaan Partai Aceh merupakan sesuatu yang menarik untuk diteliti dalam konteks perannya dalam transisi demokrasi Aceh, mengingat keberadaannya sebagai salah satu dari partai politik lokal yang mayoritas dalam parlemen, menguasai 1443 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan eksekutif dan memiliki kekuatan politik di Aceh. Sehingga peru penelitian yang lebih dalam tentang peran dari Partai Aceh dalam mengawal transisi menuju konsolidasi demokrasi sebagaimana butir-butir kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dan GAM pada 2005. Sejatinya, institusionalisasi demokrasi di Aceh mengalami masalah yang demikian pelik, khususnya yang terkait dengan peraturan perundang-undangan. Secara tegas dapat dikatakan, beberapa peraturan perundangan di Undang-Undang Pemerintahan Aceh bertentangan dengan perundangan nasional, begitu juga yang termaktub dalam MoU Helsinki belum dapat diwujudkan dalam aturan perundang-undangan. Padahal, semua itu merupakan bagian dari kesepakatan bersama antara pemerintah Indonesia dengan GAM. Pandangan yang mengatakan bahwa transisi demokrasi yang berlangsung di Aceh sebagai sesuatu yang ahistoris dan paradoks, adalah sesuatu yang patut untuk dicermati sambil membandingkan dengan keadaan negara-negara lain yang melalui proses transisi demokrasi menuju ke arah konsolidasi. Sebab, keadaan demokrasi di Aceh bukan merupakan antitesis atas sejarah adanya rezim otoriter yang dijatuhkan oleh kaum reformis. Proses pelembagaan politik di Aceh juga dilakukan dengan hadirnya partai politik lokal, serta dibukanya ruang calon independen dalam pemilukada yang secara langsung diatur di dalam Undangundang Pemerintah Aceh. Di samping calon yang diusung partai politik, tampilnya calon independen khusus untuk pemilihan kepala daerah di Aceh telah memperluas sumber pemegang kekuasaan eksekutif. Diharapkan, dengan melalui proses seleksi yang transparan dan demokratis, akan lahir calon kepala daerah yang memiliki integritas moral, kepemimpinan yang andal, visi dan misi yang aspiratif dan komitmen kuat untuk memperkokoh NKRI. Pengaturan calon independen bukan sekadar berkenaan dengan persyaratan dukungan dan soal-soal teknis lainnya, tetapi, hendaknya diletakkan sebagai bagian dari proses konsolidasi demokrasi dalam negara yang berkedaulatan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Aturan hukum harus mampu membangun koridor untuk mencegah konflik atau menyediakan mekanisme penyelesaian konflik yang adil dan efektif. Selain itu, tingkat kedewasaan para aktor politik j u g a merupakan faktor yang cukup penting dalam menciptakan iklim yang kondusif untuk perluasan partisipasi dan persaingan dalam proses demokrasi. Sehingga, walau KKR seperti yang di amanatkan dalam MoU dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari usaha untuk penyelesaian konflik dan kekerasan di masa lalu belum terwujud, namun, penerapan Qonun dengan mengadopsi nilai-nilai lokal yang islami, s e r t a adanya Wali Nangro yang JURNAL POLITIK merupakan sistem yang telah dikenal di Aceh sejak z a m a n dahulu merupakan upaya yang benar-benar tepat. Sebelum masuk ke proses transisi demokrasi, Aceh bukan tidak memiliki instrumen-instrumen demokrasi. Akan tetapi, dengan adanya kesepakatan damai, maka, institusionalisasi demokrasi akan lebih di maksimalkan. Terutama melalui UUPA; seperti adanya calon independen dalam Pemilukada, adanya penerapan Qonun untuk mengadopsi “demokrasi” islam yang ada di tengah masyarakat yang menginginkan diterapkannya syariat islam, dan juga diperbolehkannya partai politik lokal untuk mengadopsi kepentingan masyarakat lokal di Aceh. Selanjutnya, dalam perjalanannya, secara substantif, demokrasi di Aceh juga tidak melahirkan konsolidasi di tingkat elit. Dalam kasus Aceh, konflik di antara elit terutama yang dulu merupakan GAM dan sekarang menjadi penguasa, menjadi salah satu penyebab perjalanan demokrasi tidak berjalan dengan mulus. Hiruk-pikuk boleh tidaknya calon independen telah mengabaikan persoalan substansi demokrasi yang harus diperhatikan oleh rakyat. Rakyat kembali diajak untuk memaksakan demokrasi prosedural (Pilkada); yaitu siapa yang boleh mencalonkan diri dan siapa yang tidak boleh. Rakyat juga kerap kali terjebak dalam pusaran konflik elit, rakyat jarang berteriak ketika hak-hak mereka tidak dipenuhi oleh negara. Rakyat yang sejatinya pemilik sah Aceh, sering kali hanya digunakan untuk mengejar tujuan elit. Rakyat bahkan lupa karena terlalu banyak hal yang harus diperjuangkan sendiri. Tingkat kemiskinan yang tinggi, lapangan kerja yang terbatas, dan daya beli rendah, lupa diperjuangkan oleh rakyat --- rakyat bahkan asyik memperjuangkan demokrasi prosedural untuk elit yang terkadang tidak bermanfaat sama sekali baginya. Walau begitu, transisi demokrasi pascakonflik juga telah menghadirkan persoalan baru. Konsolidasi demokrasi belum benar-benar terwujud dalam supremasi masyarakat sipil dan alienasi pola militeristik. Komponen masyarakat sipil, seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), cendekiawan, ulama, dan mahasiswa, banyak yang tercerai-berai dalam alur-alur kepentingan politik. Hal ini terkait kapitalisasi ekonomi politik yang berkelindan pada elite politik. Di pihak lain, Partai Aceh yang merupakan representasi politik GAM sekaligus kekuatan politik yang paling dominan di Aceh pada era damai, justru belum sepenuhnya dapat menunjukkan jati diri demokratisnya. Bahkan, Partai Aceh kelihatan tidak memiliki visi yang jelas dalam membawa arah pembangunan politik, sosial dan ekonomi di Aceh. Partai ini mempertahankan garis komando militeristiknya. Paradigma konflik pun lebih mengemuka dalam pengambilan keputusan politik 1444 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan di partai ini daripada cara pandang politik positif sebagai basis perjuangan kesejahteraan rakyat. Banyak kader partai politik lokal yang belum dapat menerima perbedaan ini. Pendidikan dan pengalaman politik demokrasi yang minim pun menjadi kendala untuk mengartikulasikan kepentingan secara lebih demokratis. Sesungguhnya, dalam transisi demokrasi dituntut peran yang maksimal dari semua pihak, terutama Partai Aceh yang merupakan pemenang pemilu legislatif pada 2009, sekaligus pemilik kursi mayoritas dalam parlemen baik itu di DPRA maupun DPRK. Akan tetapi dalam perjalanannya, sejak 2009, kinerja partai lokal, terutama Partai Aceh, dipertanyakan perannya karena dianggap belum mampu memberikan perubahan yang berarti untuk merekonstruksi legislatif, bahkan dianggap kurang mendukung d a l a m m e w u j u d k a n konsolidasi demokrasi yang seutuhnya di Aceh. Dalam hal institusionalisasi demokrasi DPRA, politik legislasinya dianggap masih sangat lemah, sehingga produktivitas Qonun pun menjadi rendah dan secara tidak langsung menghambat pembangunan di Aceh. Hal ini menunjukkan, bahwa kapasitas legislasi DPRA dalam institusionalisasi demokrasi masih kurang, walau komposisi terbesar dari anggota DPRA adalah dari Partai Aceh. Seyogianya, partai lokal yang menguasai 33 kursi dari 69 kursi di Parlemen Aceh, mampu mendorong perubahan. Akhirnya, kurangnya kapasitas eks GAM dalam mengawal pemerintahan agar lebih produktif, menjadi persoalan yang tersendiri (Ratnawati, 2007). Masalah yang menjadi polemik berkepanjangan adalah Qanun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang terancam tidak kunjung selesai, karena anggota DPRA tidak mau memasukkan calon independen dalam Qanun tersebut kendati Judicial Review terhadap pasal 256 Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) telah dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Sejalan dengan itu, khususnya dalam perumusan Qanun, DPRA/DPRK seharusnya membuka ruang publik dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang dilakukan secara gradual dan menyeluruh. Dalam pembahasan di gedung parlemen, masyarakat yang terkait juga harus diundang untuk menyaksikan dan memastikan gagasannya dibahas di tingkat parlemen. Dengan cara-cara yang ditawarkan di atas, diharapkan, iklim berdemokrasi kita mampu menjawab segala persoalan yang ada. Sehingga semangat kolektivitas dan soliditas dapat melandasi proses demokrasi yang mengarah pada kemajuan. Partai Politik Lokal Kehadiran partai politik lokal masih sangat dibatasi mengingat hanya baru ada di Aceh yang lahir atas dasar Kesepakatan Helsinki yang dituntut oleh pihak GAM agar mereka diberikan wadah partai JURNAL POLITIK politik lokal sebagai bagian dari perjuangan setelah lepas dari perjuangan bersenjata. Menurut Sigit Pamungkas (2011), yang dimaksud dengan partai politik lokal adalah partai yang jaringannya terbatas pada suatu daerah tertentu dan tidak mencakup nasional, namun, dapat berkompetisi pada tingkat nasional. Lokalitas menjadi kata yang penting ketika mendefinisikan partai politik yang berbeda dengan partai nasional karena dibatasi oleh wilayah, dan hanya ada pada daerah-daerah tertentu. Keberadaan partai politik lokal diperkuat dan diatur lebih lanjut dalam UUPA dan diperkuat lagi dengan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2007, yang berbunyi: Partai politik lokal adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan citacita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)/ Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/ Kota (DPRK), Gubernur dan Wakil Gubernur, serta bupati dan wakil bupati/ walikota dan wakil walikota (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2007 Tentang Partai Politik, pasal 1 ayat 2). Selanjutnya, keikutsertaan partai politik lokal dalam pemilihan legislatif untuk mendudukkan anggotanya di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/ Kota (DPRK) kemudian diatur dalam suatu aturan yang lebih rinci dan detail dalam Qonun yang dikeluarkan oleh DPRA sebagai landasan hukum pemilihan legislatif Tahun 2009. Partai politik lokal merupakan sarana dalam menumbuhkan demokrasi lokal. Negaranegara yang selama membolehkan adanya partai politik lokal adalah negara negara federal, karena berkepentingan dengan isu-isu lokal, yang akan sulit membentuknya mengingat tak ada dalam ketentuan konstitusi, konsentrasi penuh sebaiknya mengarah kepada kapasitas politik lokal (Piliang, 2003). Politik lokal ini mengarah pada kedua hal: pertama, seberapa besar kepentingan masyarakat lokal, terutama kalangan masyarakat marjinal dan masyarakat adat indigenous people diperhatikan oleh lembaga-lembaga politik di tingkat lokal. Kedua, seberapa besar kepedulian lembaga-lembaga politik tingkat nasional terhadap aspek lokal. Dari sini, perlu dibangun semacam content dan platform politik yang semata-mata berkaitan dengan kepentingan 1445 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan masyarakat politik lokal, baik di tingkat daerah dan pusat (Piliang, 2003). Dalam kasus kemunculan partai politik lokal di Aceh, terutama PA, Gunner Stange dan Roman Patock dalam artikel yang ditulis pada Journal Of Current Southeast Asian Affairs, setelah tsunami, kemudian adanya kontestasi Pilkada 2006 dan Pemilu legislatif 2009 telah menggambarkan proses perdamaian tidak hanya tetap jalur, tetapi juga sebagai wujud dari partisipasi politik masyarakat melalui partai politik. Keikutsertaan GAM dan afiliasinya pada Pemilu 2009 dan juga peran serta Partai Aceh pada Pemilu legislatif 2009, adalah merupakan bagian dari integrasi GAM ke masyarakat p a d a transisi demokrasi di Aceh menuju terwujudnya cita-cita yang d i s epakati dalam MoU Helsinki. Jadi, bukan merupakan bagian dari upaya disintegrasi seperti yang terjadi di beberapa negara (Stange, 2010). Dalam sejarah kepartaian di Indonesia, kompetisi partai politik dalam pemilu yang pertama kali dilakukan adalah pada 1955. Ketika itu, ada empat kategori besar partai yang dikelompokkan oleh Herbert Feith; yaitu partai besar, menengah, kelompok kecil yang bercakupan nasional, dan kelompok kecil yang bercakupan daerah. Menurut Herbert Feith, kelompok terakhir ini bisa dikategorikan sebagai partai atau kelompok yang bersifat kedaerahan dan kesukuan; misalnya dengan munculnya Partai Rakyat Desa, Partai Rakyat Indonesia Merdeka, Gerakan Pilihan Sunda, Partai Tani Indonesia, dan Gerakan Banteng di Jawa Barat. Tidak hanya itu, di daerah lain juga ada Gerindra di Yogyakarta, dan Partai Persatuan Dayak di Kalimantan Barat. Kalau kita hubungkan dengan konteks politik saat ini, maka, partai dengan kelompok kecil dengan cakupan daerah sama dengan partai politik lokal. Perbedaannya adalah, pada 1955, cukup banyak daerah yang memiliki partai dari kelompok kecil, sedangkan pada saat ini, hanya ada di Provinsi Aceh (Herbert Feith, 1999). Tulisan ini menggunakan metode kualitatif dengan teori transisi demokrasi (Rustow, 1970). Teori Transisi Demokrasi Transisi menuju demokrasi adalah “proses politik yang melibatkan berbagai kelompok yang berjuang untuk memperoleh kekuasaan dan untuk mendukung atau menentang demokrasi serta tujuantujuan lainnya (?). Dalam sejarah perubahan rezim, hampir semua kasus transisi melibatkan sejumlah negosiasi yang dilakukan secara eksplisit atau implisit, secara terang-terangan atau terselubung antara pemerintah dan kelompok-kelompok oposisi. Arus utama teoritisasi transisi menuju demokrasi dimulai pada dekade 1980-an. Secara mencolok dibangun atas dasar runtuhnya rezim otoritarian-totalitarian yang tumbuh di kawasan Eropa Selatan dan Amerika Latin. Perpecahan elit dan munculnya kekuatan sipil JURNAL POLITIK baik oposisi maupun masyarakat menjadi pemicu runtuhnya rezim otoriter dan masuknya suatu negara ke era transisi. Transformasi dari atas atau lewat negosiasi (transplacement) antara kubu garis keras dan kubu garis lunak yang beraliansi dengan barisan oposisi dan masyarakat sipil. Permulaan jalur-jalur negosiasi itulah yang membuahkan transisi yang mulus dan sempurna dari rezim otorirer korporatif, sehingga sangat mempermudah tugas-tugas konsolidasi demokrasi berikutnya. Transisi demokrasi sebagai interval periode merupakan sesuatu yang kompleks, akan tetapi, konsolidasi sebagai tahapan setelah transisi juga merupakan sesuatu yang kompleks, sehingga, bisa saja terjadi proses arus balik d a n kembali ke zaman atau era yang sifatnya otoriter dan tidak demokratis. Di dalamnya selalu diwarnai dengan proses negosiasi. Pada fase ini, partai politik perlu melakukan pelatihan terhadap kader-kadernya; media massa, asosiasi-asosiasi perdagangan; lembagalembaga swadaya masyarakat serta mengembangkan kapasitasnya untuk bertindak secara mandiri dan terlepas dari pengaruh negara dan ‘payung’ negara. Fase ini sering juga disebut sebagai tahap kampanye yang digerakkan oleh dua kubu secara sekaligus. Di satu pihak adalah perjuangan melawan kekuatankekuatan anti-demokrasi yang mungkin tidak pernah mau mengalah, sedang di pihak lain adalah perjuangan untuk menampung unsur-unsur yang bersifat memecah belah dari sistem politik itu sendiri; misalnya persaingan memperebutkan jabatan di pemerintahan dan godaan untuk memperlakukan politik sebagai sebuah pertandingan, sehingga, hanya para pemenang yang menguasai semua hadiah. Menurut Beetham dan Boyle (1995), minimal ada empat komponen atau pilar utama dari demokrasi yang sedang berjalan; pemilihan umum yang bebas dan adil, pemerintahan yang bertanggung jawab, hak-hak politis dan sipil, dan suatu masyarakat yang demokratis atau masyarakat madani. Sementara, Tiga Tipe Proses Transisi Menuju Demokrasi menurut Samuel P. Huntington adalah; pertama, transformasi, terjadi ketika elit yang berkuasa memelopori proses perwujudan demokrasi; kedua, pergantian (replacement), terjadi ketika kelompok oposisi memelopori proses perwujudan demokrasi sehingga kemudian rezim otoriter tumbang atau digulingkan; ketiga, transplacement, terjadi jika demokratisasi merupakan hasil dari tindakan yang dilakukan secara bersama-sama oleh kelompok pemerintah dan kelompok oposisi. Konsistensinya kini mulai dipertanyakan seiring dengan berjalannya waktu, sebab, kekuasaan yang dipegang oleh Partai Aceh tidak membawa perubahan yang berarti, padahal, platform yang melekat di masa lalu a d a l a h melakukan perjuangan demi keadilan 1446 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan di Aceh. Begitu juga dengan konflik internal yang melanda Partai Aceh; contoh yang terakhir adalah antara Irwandi Yusuf dengan Partai Aceh, begitu juga ketergantungannya dengan figur-figur di masa lalu; seperti Hasan Tiro, Malik Mahmud dan Zaini Abdullah. Begitu juga dalam konteks suara, sebagai partai yang memiliki suara paling besar, seharusnya, Partai Aceh memiliki peluang untuk mewujudkan ide, program yang selama ini didengung-dengungkan yang bisa diperjuangkan di legislatif dan juga melalui pemerintahan. Dalam perkembangannya, suatu negara sering berjalan berlawanan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang tidak memberikan kesempatan kepada semua warga negara dan pemerintahan yang bertindak dengan secara otoriter. Menurut Dahl (1992), ada lima kriteria bagi proses demokrasi, di antaranya adalah hak suara yang merata, partisipasi yang efektif, pengertian berdasarkan informasi, kontrol akhir terhadap agenda rakyat dan keinklusifan. Dalam sejarahnya, semua kepemimpinan yang ada dalam negara otoriter selalu mendapatkan perlawanan dari masyarakat dan tantangan dari oposisi. Ketika kekuasaan suatu rezim berakhir, maka, negara itu masuk pada masa transisi atau periode antara (interval period) dari suatu orde otoriter ke orde yang tidak terlalu jelas sosoknya. Ketidakjelasan ini dipahami sebagai “rangkaian berbagai kemungkinan” dari suatu bentuk orde politik (O’Donnel, 1993). Transisi dapat mengarah pada penciptaan sejenis demokrasi, kembalinya jenis rezim otoriter yang lain, atau munculnya suatu alternatif yang lebih revolusioner. Menurut Rustow (1970), transisi biasanya melewati tiga tahapan: pertama, terjadinya polarisasi antar pemain-pemain politik baru; kedua, terjadinya kompromi dan negosiasi, karena sadar tidak bisa bermain secara mutlak-mutlakan; dan ketiga, habituasi (pembiasaan) terhadap aturan-aturan main demokratis (Rustow, 1970). Lahirnya berbagai konflik baru setelah memasuki masa transisi demokrasi adalah sesuatu yang biasa dalam momen-momen transisi yang dialami oleh suatu negara. Walau sudah masuk pada masa transisi selepas dari masa “otoriter”, namun, konflik bisa muncul karena pelembagaan politik yang belum sepenuhnya diadopsi dalam tata aturan main, sehingga konflik bisa saja terjadi di elit lama dengan elit baru, sesama elit baru atau konflik baru yang antara elit dengan masyarakat yang merasa terabaikan. Dalam kajian yang dilakukan oleh Ansori dalam melihat bagaimana konflik yang terjadi di Aceh setelah MoU Helsinki, lewat tulisan From Insurgency to Bureaucracy: Free Aceh Movement, Aceh Party and The Face of Conflict; konflik di Aceh ternyata tidak berakhir setelah penandatanganan MoU Helsinki, yang membedakan adalah; dahulu konflik antara Pemerintah Indonesia dengan GAM, sedang yang terjadi sekarang JURNAL POLITIK adalah konflik dalam bentuk yang lain. Dalam temuannya, pasca MoU Helsinki, Ansori melihat ada tiga pola konflik dengan penyebab dan aktor yang terlibat di dalamnya. Pertama, konflik di antara mantan elit GAM. Kedua, konflik antara mantan elit GAM dengan mantan kombatan yang derajatnya lebih rendah; dan yang ketiga adalah konflik antara etnik mayoritas Aceh dan etnis-etnis minoritas yang mukim di Aceh --- sementara, pola yang pertama dan kedua lebih mengedepankan kepentingan pribadi, sedang yang ketiga dipicu oleh diskriminasi sosial politik ( Ansori, 2012). Hal ini sesuai dengan pendapat Gunter (1992) yang mengatakan bahwa konflik elit merupakan hal yang paling krusial demi terciptanya consolidated democracy, dan pentingnya kesatuan konsensual di antara para elit Semakin gagal mereka menemukan kesepakatan-kesepakatan minimal tentang agendaagenda utama transisi, maka, semakin mungkin liberalisasi politik akan anjlok ke arah pembusukan politik (Huntington, 2003). Sesungguhnya, indikator bahwa proses transisi telah mencapai tahap konsolidasi demokrasi bisa diukur dengan beberapa parameter. Menurut Huntington (1995), perlu “two turn over test” atau percobaan dua putaran sebelum konsolidasi penuh tercapai, yakni terselenggaranya dua kali pergantian pemerintahan melalui dua kali Pemilu, sejak Pemilu pertama dalam fase awal konsolidasi. Sementara, pakar lain mengatakan, demokrasi dianggap matang jika prinsip “the only game in town” telah diterima secara luas; yakni tiadanya kelompok atau partai politik yang ingin berkuasa selain dengan cara memenangkan pemilu yang jujur dan bebas. Selanjutnya, pakar lain juga menandaskan, demokrasi dianggap matang jika beberapa indikator berikut telah terlembaga; yaitu politik yang dikompetisikan melalui pemilu reguler, partisipasi massa yang luas, pembatasan penggunaan kekuasaan eksekutif yang semena-mena, kebebasan bicara, dan penghormatan atas kebebasan sipil, termasuk hak-hak minoritas. Jika suatu negara berhasil meraih skor yang cukup tinggi di hampir semua unsurunsur tadi, maka ia bisa dikatakan sebagai negara demokratis yang telah terkonsolidasi (Snyder, 2000). Transisi Demokrasi Di Aceh Pasca MoU Helsinki Setelah hampir sepuluh tahun disepakatinya MoU Helsinki yang merupakan tonggak kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dan GAM, sampai sekarang, arah dari demokratisasi yang berlangsung di Aceh dapat dikatakan belum jelas. Perjuangan GAM di masa lalu di bawah komando Hasan Tiro, kemudian memasuki perdamaian dan transisi demokrasi, berlangsungnya pilkada dan pemilu legislatif 2009 yang dimenangkan oleh Partai Aceh --- dan janji-janji perubahan untuk Aceh ketika masa kampanye, sampai saat ini, cita-cita tentang Aceh baru yang lebih baik 1447 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan masih sebatas slogan (wawancara dengan Mochammad Nurhasim, peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI, pada 29 Januari 2013). Menurut Mochammad Nurhasim salah satu ketidakjelasan arah dari format politik GAM adalah karena minimnya pemikir di GAM/Partai Aceh. Hal ini relatif berbeda dengan Partai SIRA yang sebagian anggotanya berasal dari kalangan kampus. Hal itu karena, pada masa lalu, sebagian dari Partai Aceh merupakan kombatan yang hanya sibuk melakukan perang dengan TNI, mereka tidak terbiasa untuk memikirkan persoalan-persoalan pemerintahan, dan pembangunan yang lebih riil. Selain itu, Partai Aceh juga tidak mempunyai pembangunan Model Aceh sebagaimana yang dicita-citakan oleh GAM pada masa lalu yang kemudian diperjuangkannya pada lembaga politik formal. Boleh dikata, Partai Aceh tidak memiliki fotmat yang jelas, apakah pemerintahan berbasis syariah (Islam), padahal, basis ideologi Partai Aceh adalah nasionalis; apakah sekuler nasionalis, walau sementara ada tuntutan dari sebagian masyarakat akan syariat islam. Hal ini kemudian membuat arah politik dari Partai Aceh menjadi tidak jelas. Partai Aceh malahan sibuk dengan politik pragmatis; yakni pemenuhan kursi kekuasaan dan perebutan kekuasaan ekonomi di antara elit-elit Aceh, terutama para elit Partai Aceh (wawancara dengan Chairul Fahmi, Direktur Eksekutif The Aceh Institute, pada 21 Januari 2013). Perkembangan politik di antara elit penguasa masih terjebak pada perebutan kekuasaan. Sementara, dalam perjalanannya, transisi yang ada di Aceh dalam rangka menciptakan demokrasi yang seutuhnya menurut Beetham & Boyle setidaknya harus memenuhi empat komponen. Yaitu: pemilihan umum yang bebas dan adil, pemerintahan yang bertanggungjawab, hak-hak politis dan sipil dan masyarakat madani. Melihat kondisi perjalanan Aceh selama ini, secara kelembagaan; pemilihan umum sudah berjalan walau masih jauh dari bebas, intimidasi dan kekerasan begitu juga dengan aspek fairness. Pemerintahan yang berjalan belum sepenuhnya bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat, korupsi masih merajalela, pengangguran masih tinggi, pemerintah sibuk berkonflik. Selaras dengan itu, pemerintahan yang dikendalikan oleh Irwandi Yusuf pun malah terjebak konflik dengan kalangan legislatif yang mayoritas dari Partai Aceh, sehingga, pembangunan jadi terabaikan. Hak-hak politis dan sipil belum sepenuhnya terjamin, mengingat banyaknya kekerasan politik, penembakan terhadap lawan-lawan politik, yang disinyalir sebagian dilakukan oleh lawan- lawan Partai Aceh, atau rivalitas dalam internal partai itu sendiri. Masyarakat madani yang juga merupakan salah satu instrumen penting dalam demokrasi, dimulai dengan adanya kemandirian, kebebasan dan pertanggungjawaban terhadap masyarakat sipil --- di JURNAL POLITIK Aceh civil society belum sepenuhnya mandiri, karena ketakutan atas intimidasi dan pembunuhan. Walau begitu tidak ada yang bisa menepis, betapa. Sudah adanya peningkatan berupa kebebasan masyarakat sipil, ada ruang kebebasan berwacana, berdiskusi dan berkumpul yang berbeda ketika masa operasi militer. Masa Depan Politik di Tangan Partai Aceh Sejatinya, kemenangan Partai Aceh pada Pemilu Legislatif 2009 di Aceh sudah banyak diprediksi oleh berbagai kalangan (Modus Aceh No. 51/Thn VI/ Minggu II/April 2009), termasuk Pemilukada terakhir yang dimenangkan oleh Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf pada 2012. Apalagi, jauh sebelum itu, elemen GAM sudah berhasil merebut jabatan 16 Bupati/ Walikota (sebagian gabungan tokoh GAM). Capain awal dari elemen Gerakan Aceh Merdeka yang kemudian bermetamorfosa menjadi Partai Aceh adalah direbutnya posisi Gubernur pada pemilihan kepala daerah pada 2006, oleh gabungan GAM- SIRA, Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar. Keberhasilan pasangan membuktikan, walau dari calon perseorangan (independen), tetapi keduanya mendapatkan dukungan penuh dari para mantan anggota GAM yang kemudian beralih ke Komite Peralihan Aceh (KPA --- setelah perdamaian). Padahal, waktu itu, faktor logistik masih terbatas dan merupakan kendala yang utama. Kemenangan tersebut di atas merupakan modal, di samping kemenangan-kemenangan lainnya di beberapa kabupaten/kota, menjadi modal yang paling utama untuk kemudian melakukan konsolidasi, membangun jaringan, permodalan dan menghidupkan kembali loyalitas dan jalur komando yang mereka bangun ketika masa pemberontakan dulu. Oleh sebab itu, pada 2009, Partai Aceh dapat memenangkan kursi pemilu legislatif hampir pada semua Kabupaten/Kota (DPRK) dan juga di tingkat Provinsi (DPRA). Paparan di atas merupakan suatu bukti, betapa kemenangan Partai Aceh dan Partai SIRA, walau dalam jumlah kecil di beberapa Kabupaten/Kota adalah karena masyarakat dan rakyat Aceh sudah bosan dengan konflik dan ketidakpastian yang selama ini terjadi di Aceh. Selain itu, dipilihnya Partai Aceh juga karena masyarakat menganggap partai tersebut lebih dekat dengan masyarakat ketimbang partai lain di masa lalu (wawancara dengan Chairul Fahmi, Direktur Eksekutif The Aceh Instutite, pada 21 Januari 2013). Dengan kata lain, Partai Aceh yang mempunyai struktur sampai ke tingkat paling bawah di masa konflik melawan Pemerintah Indonesia, diaktifkan kembali sebagai upaya untuk menjalin komunikasi dan menjadi alat Partai Aceh untuk memenangkan pemilu. Berikut tabel perolehan kursi partai politik lokal dan nasional pada Pemilu legislatif di Aceh pada 2009; 1448 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Tabel 1. Jumlah Anggota Partai Politik Terpilih untuk Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Pemilu 2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Partai Politik Jumlah Partai Aceh Partai Demokrat Partai Golongan Karya Partai Amanat Nasional Partai Keadilan Sejahtera Partai Persatuan Pembangunan Partai Daulat Aceh Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Partai Patriot Partai Kebangkitan Bangsa Partai Bulan Bintang 33 orang 10 orang 8 orang 5 orang 4 orang 3 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang Total Anggota terpilih 69 orang Sumber: Komite Independen Pemilu Aceh, 2009. Mencermati tabel di atas, maka, tampak dengan jelas betapa mayoritas kursi di DPRA maupun DPRK dikuasai oleh Partai Aceh (PA). Hal ini merupakan bukti nyata, Partai Aceh masih amat berpengaruh, dan masyarakat luas masih menaruh harapan besar pada partai yang di masa lalu lebih dikenal sebagai Gerakan Separatis Aceh Merdeka ( Ralla, 2009). Jika kita merunut ke belakang barang sejenak, untuk memenangkan Pemilu 2009, selain menggunakan KPA yang merupakan jaringan kombatan GAM di masa lalu, dalam kampanye yang dilakukan, Partai Aceh selalu “menjual” bahwa MoU Helsinki bakal diimplementasikan dengan sebaik-baiknya jika Pemilu 2009 berhasil dimenangkan. Mengingat, dalam perjalanannya, ada beberapa yang belum diimplementasikan, di antaranya; Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Transparansi Distribusi Pendapatan Minyak dan Gas. Tidak hanya itu, dalam rangka memenangkan Pemilu 2009, pada kenyataannya, oknum Partai Aceh juga menggunakan kekerasan atau ancaman; bila Partai Aceh tidak menang, akan muncul kekacauan (Hilman, 2010). Jika ditinjau dari transformasi konflik dan perdamaian serta transisi demokrasi, maka, kemenangan Partai Aceh memiliki pesan sejarah politik yang kuat. Hal tersebut menunjukkan, betapa tingginya kebutuhan masyarakat untuk membawa Aceh keluar dari krisis politik dan kekerasan --- selain itu, Partai Aceh juga mengusung misi untuk mengurangi ketergantungan terhadap pusat JURNAL POLITIK dengan memperjuangkan self government dalam mengelola Aceh ke depan secara mandiri, ternyata, mendapatkan sambutan yang baik dari masyarakat (Razi, 2012). Dalam proses transisi demokrasi, Partai Aceh dianggap mampu membawa sebuah arah demokrasi baru bagi Aceh dalam memperkenalkan “demokrasi ala Aceh” yang nantinya akan diimplementasikan di parlemen dan dalam sistem politik Aceh. Dengan begitu, kursi mayoritas Partai Aceh di Parlemen, menjadi modal utamanya dalam memperjuangkan segala kepentingan Aceh hari ini. (Razi, 2012). Akan tetapi, sampai saat ini, harapan masyarakat atas Partai Aceh lewat Pemilu 2009 dan Pilkada 2012 belum memberikan sesuatu yang berarti. Arah pembangunan politik Partai Aceh kelihatannya tidak menjurus ke “Aceh Baru” sebagaimana yang dicita-citakan dahulu (wawancara dengan Mochammad Nurhasim, peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI. pada 29 Januari 2013. Menurut Fahrur Razi (2012) yang kemudian menjadi Juru Bicara Partai Aceh, ada beberapa faktor kemenangan Partai Aceh pada pemilu legislatif 2009 lalu. Pertama, strategi politik Partai Aceh yang berbeda dengan partai nasional dan partai lokal lainnya yang masih menggunakan cara-cara konvensional. Kedua, Partai Aceh memiliki mesin politik yang solid dan kuat di masyarakat dari tingkat gampong sampai provinsi. Mesin politik bekerja secara efektif dan cepat tanpa birokrasi yang berbelit-belit. Ketiga, budaya politik masyarakat dalam politik Aceh hari ini masih menunjukkan sikap partisipasi politik yang tinggi. Dalam sistem demokrasi, budaya politik ini dikenal sebagai budaya partisipan. Walau menurut Teuku Kemal Fasya, masyarakat di perdesaan banyak yang dimobilisasi dan diintimidasi untuk memilih PA (wawancara dengan Teuku Kemal Fasya, pengamat Politik dari Universitas Malikussaleh, pada 8 Januari 2013). Keempat, atmosfer politik yang secara konstelasi politik lokal, Partai Aceh mampu menunjukkan sebagai kekuatan politik baru yang dianggap dapat membawa perubahan politik dan ekonomi Aceh ke depan. Hal lain yang menjadi penyebab kemenangan Partai Aceh dan juga kemenangan kandidat Partai Aceh dalam Pemilukada adalah karena kontribusi GAM di masa lalu yang menjadi bagian dari perubahan di Aceh. Partai Aceh melalui GAM di masa lalu dianggap sebagai wadah yang paling berhasil membawa 1449 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Aceh ke dalam era perdamaian. Oleh sebab itu, wajar jika masyarakat yang memiliki hubungan historis dengan GAM di masa lalu memberikan dukungannya kepada Partai Aceh (wawancara dengan Chairul Fahmi, Direktur Ekskutif The Aceh Institute, pada 21 Januari 2013). Sementara survei yang dilakukan oleh Australia Indonesia Governance Research Partnership (AIGRP) menyatakan; kemenangan Partai Aceh dalam pemilu legislatif adalah karena adanya faktor kedaerahan. Yakni, adanya ikatan yang kuat antara partai politik lokal dengan masyarakat, masyarakat memilih partai politik lokal karena merupakan “partai orang Aceh”. partai lokal juga menjadi sarana untuk memperbaiki kehidupan masyarakat yang tidak hanya sebatas salah satu paket dari tawaran damai antara Pemerintah Indonesia dengan Aceh (Pamungkas, 2011). Kinerja Partai Aceh dan Tantangan Pemerintahan di Bawah Kendali Partai Aceh Melihat jumlah kursi dari Partai Aceh di DPRA, sejatinya, kenyataan itu bisa dijadikan alat untuk melakukan berbagai terobosan dalam pembangunan melalui jalur legislatif. Partai Aceh bisa mewarnai politik legislasi, pengawasan dan anggaran yang ada di DPRA. Tetapi kenyataannya, sampai saat ini, produktivitas legislasi Partai Aceh di DPRA termasuk dalam kategori yang rendah. Hal ini tampak dengan jelas, Provinsi Aceh adalah salah satu provinsi yang terlambat dalam mengesahkan APBD. Tabel 2. Produktivitas di Bidang Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Tahun 2000-2012 No Tahun Jumlah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 7 Perda 47 Perda 23 Qonun 14 Qonun 12 Qonun 3 Qonun 6 Qonun 10 Qonun 12 Qonun 6 Qonun 8 Qonun 9 Qonun 12 Qonun Sumber : Media Center DPRA Provinsi Aceh Menurut Chairul Fahmi dan Teuku Kemal Fasya; rendahnya produktivitas DPRA yang mayoritas anggotanya adalah Partai Aceh JURNAL POLITIK disebabkan karena kurangnya kapasitas (lack capacity). Hal ini mengingat, anggota legislatif yang berasal dari Partai Aceh, kebanyakan berasal dari kombatan GAM, sehingga kapasitas dan kemampuan politiknya di bidang legislasi, anggaran dan pengawasan pun sangat rendah (wawancara dengan Teuku Kemal Fasya, pengamat Politik Aceh dari Universitas Malikussaleh, dan Chairul Fahmi, Direktur The Aceh Institute, pada 21 Januari 2013). Peningkatan kapasitas dari anggota DPRA/DPRK bukannya terus dilakukan lewat pelatihan-pelatihan dan building capacity, akan tetapi, ketika up grading, masih ada beberapa anggota legislatif di Aceh yang masih tidak menunjukkan keseriusannya (wawancara dengan Teuku Kemal Fasya, pengamat Politik dari Universitas Malikussaleh, pada 8 Januari 2013 dan hal yang sama juga disampaikan oleh Mochammad Nurhasim). Hal lain yang membuat rendahnya produktivitas DPRA/DPRK adalah karena adanya conflict of interest antara legislatif yang dikuasai oleh Partai Aceh dan eksekutif yang dikuasai oleh Irwandi Yusuf yang mem a n g memiliki hubungan tidak harmonis dengan elitelit GAM (wawancara dengan Chairul Fahmi, Direktur Eksekutif The Aceh Institute, pada 21 Januari 2013). Realitas politik ini memang merupakan tantangan transformasi dari para pelaku yang mulanya pemberontak kemudian menjadi administrator. Sebab, meski Irwandi memiliki mandat yang kuat dan demokratis sebagai Gubernur Aceh, namun, pada saat yang bersamaan ia belum memiliki pengalaman sebagai pejabat publik dan tidak didukung penuh oleh partai politik maupun parlemen Aceh yang terpilih sebelum perjanjian damai. Absennya dukungan ini berimbas pada keterlambatan yang signifikan, contohnya, pada saat mendapatkan persetujuan parlemen untuk mengesahkan rancangan anggaran provinsi yang mengalami keterlambatan. Apalagi dalam tubuh GAM, Irwandi juga masih terus kekurangan dukungan dari pemimpin tingkat atas GAM, terutama mereka yang merupakan orang-orang dekatnya Malik Mahmud (Aguswandi, 2008). Hal ini karena adanya konflik antara GAM Malik Mahmud dengan Irwandi Yusuf yang merupakan faksi Malaysia. Pendapat yang berasal dari faksi Swedia menyatakan; selama ini Irwandi tidak punya kontribusi dalam perjuangan GAM (dianggap sebagai orang baru), akan tetapi, yang paling awal menikmati kekuasaan politik di Aceh 1450 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan (wawancara dengan Mochammad Fahmi, peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI, pada 29 Januari 2013). Tantangan penting bagi perdamaian di Aceh adalah usulan untuk membagi Aceh menjadi dua provinsi baru yang disebut dengan Provinsi ALA (Aceh Leuser Antara) dan ABAS (Aceh Barat Selatan). Tantangan ini menjadi penting mengingat klausul tentang pemekaran provinsi baru di Aceh baik ALA/ABAS tidak dimuat dalam MoU Helsinki maupun di UUPA (Ratnawati, 2007). Para pendukung perubahan ini adalah para elit dari Dataran Tinggi Aceh, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, dan Bener Meriah. Pada 2005, ketika perwakilan pemerintah dan para pemimpin GAM bertemu di Helsinki untuk menelurkan kesepakatan damai, para elit ini bertemu di Jakarta untuk memperkuat tuntutan mereka akan provinsi baru yang disebut Aceh Leuser Antara (ALA). Namun, selanjutnya, tuntutan tentang pemekaran ALA/ABAS kurang memunculkan “gaung” karena kawasan ini bukan merupakan basis GAM --- sehingga, tidak masuk dalam klausul GAM pada perundingan Helsinki yang tetap mempertahankan Aceh sebagai satu provinsi (Ratnawati, 2007). Tuntutan ini berakar dari persepsi bahwa proses yang sedang berlangsung tidak menguntungkan mereka baik secara ekonomi maupun politik. Nota Kesepahaman mendefinisikan batas-batas wilayah Aceh adalah seperti yang ditentukan pada Juli 1950, yang termasuk dataran tinggi tengah sebagai bagian dari teritorial Aceh. Program reintegrasi pemerintah, ketika mengalokasikan jumlah uang yang sangat besar bagi pemberdayaan ekonomi mantan kombatan GAM melalui dana BRA, tidak dapat diakses oleh mereka. Hal ini telah memicu kemarahan, kekecewaan, dan bahkan tuduhan bahwa pemerintah melakukan diskriminasi. Pandangan yang menganggap bahwa sebagian Aceh mengalami ketertinggalan, khususnya yang ada di dataran tinggi tengah memang ada benarnya. Meski dataran tinggi tengah dan pantai barat merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya alam, namun tidak banyak memberikan hasil dan bukti pembangunan. Walau demikian, hal ini tidak menjadi alasan yang cukup untuk adanya pembentukan teritorial baru. Strategi yang efektif untuk memenuhi tuntutan pembangunan di dataran tinggi tengah adalah dengan cara mempercepat pembangunan JURNAL POLITIK kesejahteraan yang lebih luas dan perdamaian Aceh secara utuh menjadi sangat mendesak untuk dimplementasikan. Menurut Mochammad Nurhasim; jika dilihat secara politis, adanya upaya pelepasan ALA/ABAS dari Aceh adalah sesuatu yang sulit mengingat mayoritas di DPRA adalah Partai Aceh. Hal ini mengingat, pemekaran membutuhkan persetujuan dari DPRA. Walau begitu, sesungguhnya secara administratif sangat memungkinkan, mengingat, rentang kendali yang cukup luas tidak mungkin dapat menciptakan pelayanan yang lebih baik (wawancara dengan Mochammad Nurhasim, peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI, pada 29 Januari 2013). Saat ini, persoalan politik lokal di Aceh tidak mungkin bisa dipahami dengan secara sederhana sebagai perebutan penguasaan atas proses pengambilan berbagai kebijakan, baik politik, ekonomi, budaya dan lain-lain, antara elit politik nasional dan elit politik daerah Aceh. Hal ini lebih kompleks daripada persoalan pembagian kewenangan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya di Aceh, atau persoalan penindasan dan ketidakadilan yang ditimpakan pada masyarakat Aceh. Seyogianya, politik lokal di Aceh dalam kerangka partai politik lokal juga berbicara tentang bagaimana partai politik lokal yang dibentuk di Aceh mampu melakukan fungsi agregasi kepentingan. Tujuannya tidak lain, agar Aceh bisa menjadi satu kesatuan yang yang tidak mudah dipecah-belah oleh kepentingan luar, baik itu oleh elit politik nasional maupun kepentingan asing. Pilkada 2006, 2012 dan Perpecahan dalam Internal GAM Beberapa pasangan kandidat dalam pemilihan umum tersebut berasal dari partai politik yang sudah ada di Aceh. Di antaranya, yang paling penting adalah mantan penjabat sementara gubernur; Azwar Abubakar, yang dicalonkan oleh Partai Amanat Nasional (PAN), dan wakilnya, Nasir Djamil, yang dicalonkan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang membentuk pasangan yang berorientasi Islam. Selain itu adalah Malik Raden, politikus terkemuka dari partai Golkar --- bekas partai yang berkuasa di masa rezim Suharto --- yang dianggap memiliki peluang paling besar karena mendapatkan dukungan dari partainya. Pada pemilihan Gubernur 2006, GAM terbelah menjadi dua. Kalangan tua GAM mendukung Ahmad Humam Hamid, tokoh yang bukan bagian dari pergerakan GAM di masa lalu yang merupakan kandidat dan mendapat dukungan dari PPP (wawancara dengan Teuku Kemal Fasya pengamat Politik dari Universitas 1451 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Malikussaleh, pada 8 Januari 2013). Sementara, Hasbi juga mendapatkan dukungan dari para pimpinan GAM generasi tua, termasuk saudara kandungnya, Zaini Abdullah (Menteri Luar Negeri GAM). Kemudian, Perdana Menteri GAM, Malik Mahmud beserta yang lainnya yang telah bergabung dengan gerakan tersebut pada era 1970-an dan membentuk kelompok “darah biru”, lebih mendukung Hasbi, karena alasan-alasan pribadi dan kekhawatiran mereka mengingat para calon GAM tidak siap untuk memegang kekuasaan dengan usaha mereka sendiri. Menurut mereka, koalisi dengan politisi ‘nasional’ akan lebih baik dalam menjaga proses perdamaian. Secara internal, pandangan mereka mendapatkan kritik keras dari pimpinan GAM yang menyatakan bahwa argumen tersebut semata-mata hanya untuk melakukan rasionalisasi (Suksi, 2011). Apalagi, selama masa konflik, GAM sudah benar-benar disatukan dengan disiplin yang tidak seperti banyak perlawanan-perlawanan sejenis. Para komandan militer yang ada di lapangan, tetap setia kepada para pemimpinnya yang terasing di Swedia dan dalam urusan-urusan politik selalu tunduk kepada mereka. Sekarang, dukungan kelompok senior terhadap Hasbi telah menyebabkan kerusakan yang tragis terhadap persatuan ini. Banyak mantan komando lapangan GAM, dan orang-orang muda pada awalnya banyak tergabung dalam Komite Peralihan Aceh (KPA) merasa dipaksa untuk mendukung Hasbi-Humam. Penolakan mereka cerminan dari rasa frustasi terhadap isu-isu yang sudah terbangun sejak dimulainya proses perdamaian dan bercampur dengan kemarahan terhadap apa yang mereka lihat sebagai tingkah laku autokrasi dari para pemimpin tua. Bahkan, mereka juga menganggap hal tersebut sebagai pengkhianatan terhadap ide bahwa GAM sudah memasuki sebuah koalisi dengan calon yang didukung oleh salah satu partai nasional. Perpecahan tersebut muncul sesaat setelah sebuah rapat GAM untuk memilih seorang calon gubernur pada akhir Mei. Dalam sebuah pemilihan terbuka sebagai kandidat gubernur, Hasbi kalah tipis di urutan kedua --- dan pemenangnya adalah Nashruddin Abubakar yang langsung menyatakan tidak mau ikut bertarung, melainkan hanya sebagai pendukung. Pada saat itu, Dewan Pemerintahan GAM yang didominasi oleh para pimpinan tua juga menyatakan secara resmi bahwa gerakan itu tidak akan mendukung calon manapun. Para anggota GAM, bebas untuk mencalonkan diri dalam pemilu. Keputusan ini membebaskan mereka untuk mendukung pasangan Humam-Hasbi, dan itulah yang mereka lakukan. Sehingga, Irwandi Yusuf pun mencalonkan dirinya dari calon independen. Irwandi mendapatkan dukungan dari sebagian besar para komandan KPA di kabupaten dan mayoritas struktur GAM di tingkat desa, sedang pasangannya, Muhammad Nazar, dikenal sebagai sosok kritikus pemerintah yang berani. Oleh JURNAL POLITIK sebab itu, walau tanpa dipengaruhi oleh kerja- sama dengan kekuatan politik nasional, Irwandi-Nazar mampu tampil sebagai pewaris tradisi perjuangan GAM dan merupakan sosok yang paling pantas untuk menghadapi pemerintahan nasional. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemenangan calon pasangan Irwandi Yusuf dengan Nazar dan para kandidat yang didukung oleh GAM serta afiliasinya (Aspinall, 2008). Pertama kekecewaan besar dari para pemilih terhadap partai-partai politik arus utama dan calon-calon mereka. Akibatnya, keadaan ini telah membuat para calon GAM bisa menampilkan diri mereka sebagai agen perubahan yang nyata. Kekecewaan tersebut sudah terakumulasi selama bertahun-tahun ketika para politisi lokal dengan nyatanyata tidak berdaya untuk mempengaruhi jalannya perang, sehingga membuat masyarakat Aceh yang sudah terperosok ke dalam kemiskinan yang sangat dalam akibat konflik. Tidak cukup sampai di situ, Provinsi Aceh, bahkan mendapatkan reputasi sebagai salah satu provinsi yang paling korup di Indonesia. Sehubungan dengan yang tersebut di atas, para calon yang berasal dari eks GAM, dalam kampanyenya juga membuat janji-janji untuk mempercepat perkembangan ekonomi, memperbaiki berbagai prasarana, membuka lapangan pekerjaan dan pelayanan pemerintahan yang lebih baik. Menurut Edwar Aspinall, bagi yang cerdas, janji-janji dalam kampanye tersebut sangatlah tidak kredibel. Hal itu berbeda dengan sebagian besar masyarakat terutama yang mukim di perdesaan, selain masih kentalnya pengaruh GAM di masa lalu, janji-janji yang disampaikan para juru kampanye juga bergaung begitu keras --- sehingga masyarakat pun mendukungnya. Faktor kedua adalah organisasi superior gerakan tersebut. Pada masa konflik, GAM telah membangun organisasi politik-militer yang sangat efektif dan dibutuhkan untuk menjalankan sebuah perlawanan. Di banyak wilayah perdesaan, secara nyata, jaringan GAM sulit dibedakan dari jaringan sosial dan kekeluargaan yang menjiwai kehidupan pedesaan, sehingga seluruh desa pun memberikan dukungan baik aktif maupun pasif terhadap para pejuang tersebut. Jaringan yang terbentuk yang mirip dengan struktur pemerintahan dan militer ini juga membuat mudah GAM bermanuver di tengah masyarkat untuk memenangkan para calonnya (wawancara dengan Mochammad Nurhasim, peneliti dari Pusat Penelitian Politik LIPI, pada 29 Januari 2013). Selama masa pemilu, untuk memobilisasi pemilih, maka, para kandidat yang berafiliasi dengan GAM pun mengandalkan jaringan ini. Sementara, di banyak tempat, hal ini dilakukan dengan sangat sistematis; yakni para anggota ‘tim sukses’ berkampanye dari pintu ke pintu. Pada sisi lain, dengan secara terbuka, para mantan komandan GAM menyatakan kepada 1452 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan masyarakat di lingkungan mereka tinggal tentang kesetiaan yang sudah mereka buktikan selama ini, sehingga, masyarakat pun sering kali memberikan dukungan penuh kepada kandidat yang berafiliasi dengan GAM. Ini terbukti, para kandidat gubernur yang mendapat dukungan dari sebagian besar mantan sayap militer GAM di KPA, yang sukses di hari pemilihan. Terakhir, para calon yang tergabung dalam GAM berhasil dengan baik karena mereka mampu memberikan pesan yang mendukung untuk proses perdamaian dengan penekanan pada kesinambungan dengan perjuangan masa lalunya. Para kandidat GAM sadar, betapa janji untuk tidak merdeka adalah merupakan hal yang utama dalam perjanjian damai Helsinki, oleh sebab itu, selama masa kampanye, mereka pun tidak melanggar janji tersebut. Mereka selalu menyampaikan, MoU Helsinki adalah hasil perjuangan GAM, dengan demikian, maka, hanya GAM tempat yang terbaik untuk menjaganya. Sepertinya, kesuksesan para kandidat yang berafiliasi dengan GAM mampu menjawab sebesar apakah pergerakan tersebut menjadi perlawanan yang populer. Selama masa konflik, para analis memperdebatkan; pada tingkat seperti apa GAM telah mampu mencapai tujuan-tujuannya dengan intimidasi dan kekerasan terhadap masyarakat desa. Ketika kekerasan tentunya membentuk bagian dari perilaku GAM (dan bahkan terdapat laporan di sanasini tentang intimidasi GAM terhadap para pemilih pada 2006), maka, sulit agaknya jika pergerakan tersebut mampu menang dalam pemilu (Aspinall, 2008). Sebaran geografis dari dukungan tersebut juga mengesankan, betapa Irwandi-Nazar memenangkan pemilihan di 15 kabupaten dari 21 kabupaten yang ada di provinsi tersebut. Secara tidak mengejutkan, para kandidat yang berafiliasi dengan GAM berhasil memenangkan suara di wilayah-wilayah tempat pergerakan tersebut kuat pada masa perlawanan. Kabupaten-kabupaten di pantai timur yang merupakan basis GAM sejak 1970 berhasil dimenangkan oleh para kandidat GAM --- Bireun dan Aceh Utara oleh Irwandi-Nazar --- sedangkan Pidie oleh HumamHasbi. Irwandi-Nazar juga menang secara meyakinkan di daerah pantai barat; Aceh Jaya dan Aceh Selatan, yang merupakan titik terpanas konflik sejak akhir 1990 (Aspinall, 2008). Dengan kata lain, secara umum, suara GAM terasa lebih rendah di wilayah perkotaan atau di tempat lemahnya pemberontakan, begitu juga kabupatenkabupaten yang terbelakang, penduduknya jarang, dan terpencil di daerah pedalaman dan di barat daya yang etnis populasinya lebih heterogen ketimbang dengan etnis Aceh yang dominan mendukung GAM. Perpolitikan di daerah-daerah terpencil ini juga cenderung sama dengan daerah-daerah terpencil lainnya di Indonesia yang didominasi oleh para JURNAL POLITIK birokrat lokal yang kuat, pengusaha, dan ‘orang kuat’ lain yang dengan signifikan menguasai pengaruhpengaruh politik di wilayah tersebut (Aspinall, 2008). Di satu sisi, terpilihnya calon independen dari GAM memiliki peluang terjadinya reintegrasi yang lebih mudah --- proses integrasi politik dengan cepat dapat terlaksana karena beberapa mantan GAM langsung memegang posisi kunci dalam pemerintahan di Aceh. Akan tetapi, di sisi lain, terpilihnya mantan GAM bisa saja menimbulkan masalah yang berhubungan dengan kapasitas kepemimpinan yang berkait dengan administrasi kepemerintahan (wawancara dengan Ichwanuddin, dalam Basyar, 2007). Kemenangan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf dan Kekerasan pada Pilkada 2012 Konflik yang terjadi di Aceh menjelang pemilukada 2011 semakin tajam; dengan Irwandi Yusuf yang akan maju lagi sebagai calon gubernur, sementara, di dalam UUPA, calon independen hanya diperbolehkan menjabat satu kali. Irwandi pun mengajukan yudicial review ke Mahkamah Konstitusi; hasilnya, lembaga tersebut memperbolehkan calon independen maju dalam pemilukada yang kedua setelah 2006. Akan tetapi, pada pemilu kedua, Partai Aceh tidak setuju dengan ikut sertanya calon independen. Hal ini ditunjukkan dengan penolakan Partai Aceh yang ada di DPRA atas Qonun yang memperbolehkan calon independen, serta tidak mengajukan calon yang dijadwalkan berlangsung pada 10 Oktober 2011. Merebaknya potensi konflik yang besar atas ketidakikutan Partai Aceh dalam pilkada tersebut, membuat jadwal diundur menjadi 14 November, 24 Desember, kemudian 16 Februari dan akhirnya menjadi 9 April. Pada akhirnya, Partai Aceh memilih 8 Februari 2012 di saat Irwandi mengakhiri masa jabatannya. Pada masa itu, konflik antara Irwandi Yusuf dan Partai Aceh di bawah Malik Mahmud yang merupakan mantan Perdana Menteri GAM di masa lalu menjadi semakin tajam (International Crises Group,2012). Seiring dengan itu, walau mendapatkan penolakan dari Partai Aceh, Irwandi yang berpasangan dengan dr. Muhyan Yunan tetap mencalonkan diri dari calon independen. Sementara, Partai Aceh kemudian menominasikan Zaini Abdullah mantan Menteri Luar Negeri GAM yang berpasangan dengan Muzakir Manaf sebagai Komandan Lapangan GAM. Situasi politik ketika itu pun kian memanas, kolega Irwandi Yusuf, Saiful Husein (Pemimpin Lokal KPA) ditembak dan terbunuh ketika minum kopi di daerah Bireuen. 1453 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Tabel 3. Perolehan Suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Tahun 2012 No 1. Jumlah PersenSuara tasi 3.33 Tgk.H. Ahmad Tajud- 79.330 din, AB Ir.H.Teuku Suriansya, M.Si Nama Kandidat 2. Drh. Irwandi Yusuf dan 694.515 Dr.Ir Muhyan Yunan, M.Sc 29.18 3. Prof. Dr. H . Dami M. 96.767 Daud, MA dan dr. tgk. Ahmad Fauzi, M.ag 4.07 4. H. Muhammad Nazar Ir. Nova Iriansyah, MT Dr. H. Zaini Abdullah Muzakir Manaf Total suara sah Total suara tidak sah Total suara sah dan tidak sah 182.079 7.65 1.327.695 55.78 2.380.386 96.87 3.13 76.810 2.457.196 Pemilih terdaftar 3.244.729 Sumber: Asia Network for Free Election (ANFREL) Aceh 2012: Local Elections, Bangkok: ANFREL, 2012 Melalui tabel di atas, Partai Aceh kembali berhasil memenangkan calon pasangannya Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf dengan mendapatkan suara 55.78 persen. Dukungan terbesar bagi Zaini datang dari pedesaan yang memberikan dukungan dengan kuat terhadap Partai Aceh dan GAM di masa lalu. Secara tegas dapat dikatakan bahwa mesin politik Partai Aceh telah berhasil membuktikan dan memaksa wilayah- wilayah pedesaan untuk mendukung calonnya. Sementara itu, Irwandi banyak mendapatkan dukungan dari daerah perkotaan; di antaranya Pulau Sabang, Banda Aceh, Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Taming, Aceh Tengggara, Aceh Singkil dan Subussalam. Daerah perkotaan yang masyarakatnya lebih berpendidikan dan heterogen serta datang dari berbagai daerah, sehingga, tidak mudah untuk dipengaruhi dan diintimidasi oleh Partai Aceh. Selebihnya, hampir semua kabupaten berhasil dimenangkan oleh pasangan Zaini Absullah-Muzakir Manaf (ANFREL, 2012). Adanya intimidasi dan pengerahan massa terutama daerah pedesaan, kerap dilakukan oleh partai-partai tertentu. Sehingga, partisipasi masyarakat pun menjadi tidak otonom karena cenderung melakukan pilihan atas intimidasi yang sering berujung pada kekerasan. Kekerasan dan intimidasi banyak terjadi JURNAL POLITIK selama menjelang dan setelah Pilkada. Di Gayo Lues, masyarakat memprotes KIP dengan membakar Kantor KIP dan juga 6 kantor lainnya. Begitu juga di Aceh Tengah terkait adanya dugaan manipulasi suara yang berujung pada kekerasan. (ANFREL, Walau di daerah-daerah perdesaan acap 2012). terjadi kekerasan yang masif, akan tetapi, masyarakat enggan untuk berbicara tentang hal itu karena takut membahayakan diri dan keluarganya. Propaganda yang dilakukan oleh Partai Aceh dan pendukungnya terbukti berhasil mempengaruhi pikiran dan juga psikologi masyarakat di pedesaan(ANFREL, 2012). Insiden kekerasan sebelum pemilihan yang dikeluarkan oleh Komisi Hak Azasi Manusia (KOMNAS HAM) di media; pada rentang 14 Oktober 2011 sampai 10 Januari 2012, terdapat 14 kasus penembakan dan kekerasan yang menyebabkan 19 orang terluka dan 123 mati; selanjutnya, pada rentang Februari dan April 2012, penembakan dan kekerasan terus berlanjut sehingga mengakibatkan 30 orang yang sebagian besarnya adalah pendukung kandidat dari calon independen terluka. Sehingga, KOMNAS HAM pun menyimpulkan bahwa Pemilukada 2012 di Aceh adalah pemilu yang tidak adil(ANFREL, 2012). Simpulan Perjalanan transisi demokrasi di Aceh memang tidak bisa disamakan dengan transisi demokrasi di negara-negara lain yang pada umumnya bermula dengan kondisi yang sangat otoriter. Kondisi Aceh sebelum masuk ke transisi bukanlah berada pada pemerintahan yang otoriter, namun hanya berada di bawah kendali pemerintahan pusat. Selanjutnya, penindasan, kekerasan, dan pemberontakan GAM adalah merupakan bentuk perlawanan terhadap pemerintah pusat yang melakukan ”penindasan” terhadap Aceh. Konflik yang terjadi antara GAM yang sudah berlangsung dalam waktu lama itu, dimulai pada 1976 ketika Hasan Tiro memproklamirkan ASNLF --- dan melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Indonesia. Melihat kondisi politik Aceh yang kemudian masih jauh dari keadaan yang ideal untuk menuju demokrasi yang consolidated, di samping tidak jelasnya arah pembangunan politik di Aceh, Samuel P. Huntington mengatakan; apakah suatu negara (dalam hal ini Aceh) sudah mencapai tahap konsolidasi demokrasi, dapat dilihat dalam dua kali masa pemilu setelah transisi dimulai. Dalam konteks Aceh memang boleh dikatakan telah berlangsung 3 kali pemilihan umum, yang pertama adalah Pilkada 2006, Pemilu legislatif 2009 dan Pilkada 2012. Sejatinya, di dalam konteks transisi yang terjadi di Aceh paska konflik, dapat dikatakan semuanya berjalan mengikuti kultur dan sejarah yang pernah 1454 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan terjadi di Aceh. Hal tersebut dapat dilihat dengan nyata, kultur Aceh yang di masa lalu yang cukup heroik dan tidak pernah mau tunduk di bawah penjajahan dan penindasan Belanda, begitu juga dengan kekerasan dan intimidasi di masa rezim Orde Baru berkuasa, ternyata, masih mewarnai kondisi politik di masa transisi. Terima kasih atas bimbingan dan arahan Prof. Nazarudin Syamsudin pada tulisan ini. Kepustakaan Penelitian Politik. Beetham dan Boyle. 1995. Introducing Democracy, 80 Questions and Answers. Paris: UNESCO. Burhanudin, M. dan M. Fajar Marta. 2010 “Paradoks Demokrasi Aceh” Adam http://www.siwah. com/pendidikan/marketing-politik/paradoksdemokrasi-Aceh.html diakses pada Mei 2010. Aguswandi dan Judith Large (Issue Editors). 2008. Rekonfigurasi Politik: ProsesPerdamaian Aceh. London: Conciliation Resources. Djohan, Djohermansyah. 2002. Sistem Kepartaian dan Pemilu, Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka. Ansori, Muhammad Hasan. 2012. “From Insurgency To Bureaucracy: Free Aceh Movement, Aceh Party and The Face of Conflict”, dalam Stability: International Journal Of Security & Development, Vol.1.Issue 1, October/ November. Dahl, Robert A. 1992. Demokrasi Ekonomi, Suatu Pengantar (terjemahan). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ANFREL. 2012. Aceh 2012 : Local Elections. Bangkok: ANFREL. ANFREl. 2012. “Interim Report: International Elecftion Observation Mission Aceh Local Elections: Gubernatorial , Mayoral & Head Of Regency Elections”, dalam Interim Report, Report Date: May 3. Fadjar, A.Muktie. 2006. Partai Politik Dalam Perkembangan Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Malang: Penerbit in-Trans Publishing. Fasya, Teuku Kemal. 2010. “Dari Transisi ke Involusi Demokrasi” dalam http://serambinews.com/news/view/23674/daritransisi-ke-involusi-demokrasi.com diakses pada Mei 2010. Aspinall, Edward. 2005. The Helsinki Agreement: A More Promising Basis for Peace In Aceh. Washington: East-West Center Washington. Feith, Herbert. 1999. Pemilihan Umum 1955 di Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ___________. & Harold Crouch. 2005. The Aceh Peace Process: Why It Failed. Washington: East- West Center Washington. Feith, Pieter. 2007. “The Aceh Peace Process Nothing Less Than Succes” dalam United States Institute Of Peace SpecialReport 184, Maret. ___________. 2005. “Aceh/Indonesia Conflict Analysis and Options For Systemic Conflict Transformation”, Prepared For The Berghof Foundation for Peace Support, Agustus. Gunther, Richard et.al. 1992. Elites and Democratic Consolidation in Latin America and Southern Europe. Cambridge: Cambridge University Press. ___________. 2008. “Report: Peace Without Justice? The Helsinki Peace Process In Aceh”, dalam Center For Humaniraian Dialog, HDC, April. Hilman, Ben. 2010. “Political Parties And Post-Conflict Transition: The Result And Implications Of The 2009 Parliamentary Elections In Aceh” dalam Center For Democratis Institutions PPS 2010/01. Basyar, Hamdan, et.all. 2007. Reintegri Politik Aceh Pasca MoU Helsinki. Jakarta: LIPI Pusat JURNAL POLITIK 1455 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Huber, Konrad. 2004. The HDC in Aceh: Promises and Pitfalls of NGO Mediation Ana Implementation. Washington: East- West Center Washington. Huntington, Samuel P. 2003. Tertib Politik di Tengah Pergeseran Kepentingan Massa (terj. Sahat Simamora). Jakarta: Raja Grafindo Persada. Huntington, Samuel P. 1995. Gelombang Demokratisasi Dunia Ketiga. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Indrayana, Denny. 2008. ”Partai PolitikLokal di Aceh?” dalam http://www2.kompas.com/ kompascetak/0507/19/opini/1909215.htm , diakses pada November 2008. International Crises Group. 2007. Aceh Komplikasi Pasca Konflik: Asia Report No 139-4 Oktober 2007. tanpa tempat: International Crises Group. International Crises Group. 2012. “Indonesia: Averting Election Violence In Aceh”, dalam Update Briefing, Asia Program Briefing N0 135, Jakarta/Brussel, 29 Februari. Karim, Rusli. 1983. Perjalanan Partai Politik di Indonesia,Sebuah Potret Pasang Surut. Jakarta: Rajawali. O’Donnel, Guillermo dan Philippe C. Schmitter. 1993. Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian. Jakarta: LP3ES. Pamungkas, Sigit. 2011. Partai Politik: Teori dan Praktek di Indonesia, Yogyakarta: Institute For Democracy and Walfarism. Piliang, Ratnawati, Tri. 2007. Persepsi Lokal dan Prospek Implementasi Undang_undang Nomor 11 Thuan 2006 Tentang Pemerintahan Aceh: Aspek Kewenangan Pemda dan Keuangan Daerah. Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI. Rustow, Dankwart. 1970. “Transition to Democracy” dalam Comparative Politics. Vol. 2. Razi, Fachrul. 2012. “Ada Lima Faktor Kemenangan PA” dalam http://www.modusAceh.com/weekly/ utama/1453-pengama.com diakses pada Desember 2012. Snyder, Jack. 2000. From Voting to Violence: Democratization and Nationalist Conflict. New York: W.W. Norton & Company. Stange, Gunnar dan Roman Patock. 2010. “From Rebels Too Rulers and Lesgislators: The Political Transformation of the Free Aceh Movement (GAM) in Indonesia” dalam Journal of Current Southeast Asian Affairs, 29, 1, 95-210, GIGA German Institute of Global and Area Studies, Institute of Asian Stuies and Hamburg University Press. Suksi, Markku. 2011. Sub- State Governance Through Territorial Autonomy: A Comparative Study in Constitusional Law od Powers, Procedures and Institutions. Finland: Springer. Sugiyono. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. The Aceh Institute. 2010. Geunap Aceh: Perdamaian Bukan Tanda Tangan. Banda Aceh: The Aceh Institute Press. Indra J. 2003. “Politik Lokal Pasca Amandemen Konstitusi: Mencari Peluang Perubahan”, dalam Analisis CSIS, Terorisme dan Keamanan Manusia , Tahun XXXII/2003 No. 1. Ralla, Aulia Asep. 2009. “Mencermati Situasi Aceh Pasca Pemilu Legislatif” dalam http://www. pewarta-kabarIndonesia.blogspot.com diaksen pada Mei 2009. JURNAL POLITIK 1456 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah Sektor Telekomunikasi di Cilegon The Empowerment of Small and Middle Business in Telecommunication Sector WH. Hardiwinata AbstraK Pengaruh ekonomi politik dalam pemberdayaan UKM di Cilegon yang terlihat dalam sektor telekomunikasi ternyata menemukan banyak kendala dengan alasan efisiensi dan profesionalisme. Melalui metode kualitatif dan pendekatan yang komprehensif,maka, tampak dengan jelas betapa kebijakan yang ada telah dimanfaatkan oleh segelintir kelompok atau kepentingan orang-orang tertentu, sehingga, dalam waktu dekat perlu adanya kebijakan yang tepat dan berpihak kepada Usaha Kecil dan Menengah. Keywords:Ekonomi Politik, Pemberdayaan UKM, Telekomunikasi Abstract The impact of political economy in the empowerment of UKM in Cilegon is can be seen in telecommunication sector yet found a lot of obstacles by making excuses towards efficiency and professionalism. By using qualitative methods and comprehensive approaches, therefore it is clear how is the wisdom have been used by such groups and certain people with interests, hence in short term it needs to have such proper wisdom and sided to the lower and middle business. Keywords: Political Economy, UKM empowerment, Telecommunication Pendahuluan Masalah tenaga kerja di berbagai negara berkembang memang selalu hangat untuk dibicarakan, bahkan menjadi kajian yang serius bagi para ilmuwan. Hal tersebut wajar, mengingat, besarnya angka pengangguran dapat membawa dampak yang buruk, mulai dari meningkatnya angka kriminalitas bukan tidak mungkin menjadi embrio atau lahan yang subur bagi tumbuhnya gerakan separatis. Untuk mengatasi hal; tersebut, di Indonesia, Kementrian Koperasi Usaha Kecil Menengah (K-UKM) RI, selaku Pembina Usaha Mikro Kecil dan Menengah yang selanjutnya disebut sebagai UMKM, secara tegas menyatakan bahwa UMKM adalah suatu lembaga yang sangat penting terutama dalam hal pertumbuhan pendapatan sekaligus penyerap tenaga kerja. Pernyataan itu tentu bukan tanpa alasan, data BPS (2006) menunjukkan bahwa kesempatan kerja yang diciptakan oleh UMKM jauh lebih banyak dibandingkan tenaga kerja yang bisa diserap oleh usaha besar. Menurut BPS (2006) dan Kementrian K-UKM (2006), penyerapan tenaga kerja oleh UMKM terhadap angkatan kerja yang bekerja, sebesar : 99,48 % (2003), 99,49% (2004), dan sebesar 97% (2006). Oleh karena itu, UMKM sangat diharapkan untuk terus bisa berperan secara optimal dalam upaya menanggulangi pengangguran yang jumlahnya terus meningkat pada setiap tahunnya. Dengan penyerapan tenaga kerja seperti itu, berarti, UMKM juga memiliki peran yang strategis dalam mengisi pembangunan di Indonesia dan dalam rangka memerangi kemiskinan (Tulus, 2009). Tulisan ini memiliki urgensi dan relevansi terhadap kebijakan pemerintah dalam Universitas Nasional Jakarta, [email protected] JURNAL POLITIK 1457 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan pemberdayaan UKM, karena selama ini, misalnya, menurut Thee Kian Wie (2007), pada umumnya berbagai program UKM kurang berhasil, hal ini disebabkan karena kebijakan pemberdayaannya ditentukan oleh pejabat pusat ketimbang kebutuhan riil UKM di lapangan. Begitu juga, derajat kerentanan UKM belum terlihat dalam kebijakan pemerintah. Kebijakan yang berorientasi pada “kesejahteraan” akan melenakan UKM sehingga ia tidak akan mampu bersaing dengan baik pada saat persaingan atau ketika harus memasuki pasar ekspor yang tingkat risiko dan guncangannya lebih besar. Oleh karena itu, Thee melihat adanya kebutuhan untuk mengubah orientasi berbagai kebijakan terhadap UKM dari sekadar bagian upaya pengentasan kemiskinan menjadi kebijakan yang memungkinkan penguatan ketahanan usaha UKM dalam arena-arena atau kondisi yang baru. Cilegon, sengaja penulis pilih menjadi lokasi penelitian, karena dari berbagai informasi, misalnya berdasarkan kesepakatan kerja sama (MOU) antara Pemkot Cilegon dengan mitra perusahaan penyedia jasa tower telekomunikasi yang mengacu pada Permen Komifo RI. No.2 Tahun 2008, terdapat pasal yang menunjuk pemberdayaan perusahaan lokal. Khususnya, UKM jasa konstruksi menara. Selain itu, Cilegon sebagai pusat pertumbuhan industri besar telah memacu pertumbuhan UKM sebagai mitra usahanya. Persoalan UKM dalam PPPMBT, menurut sumber pendahuluan yang dapat dipercaya, misalnya dari AK, mantan anggota tim lobi perusahaan Grup PI yang berkantor pusat di Jakarta, bahwa program PPPMBT tersebut sarat praktik perburuan rente dalam rangka mendapatkan kepentingan ekonomi jangka pendek. Oleh karena itu, penulis meyakini, PPPMBT di Cilegon, yang di dalamnya terdapat praktik rent-seeking, relevan untuk dijadikan bahan penelitian dalam perspektif ekonomi politik. Menurut The Kian Wie (2007), KIK/ KMKP mulai diragukan karena tingkat kredit macet makin tinggi sampai lebih dari 27%, hal ini karena berbagai faktor seperti staf perbankan kualitasnya kurang memadai, sogokan (KKN) bagi staf Bank yang korup, pengelolaan dana Bank yang salah, dan sebagainya, akhirnya KIK/ KMKP dihentikan pada Januari 1990. Selanjutnya JURNAL POLITIK pemerintah mengeluarkan paket Januari (Pakjan) 1990, yang intinya perubahan mendasar dalam kebijakan kredit untuk UKM dan Koperasi; dari kebijakan kredit selektif yang disubsidi (subsidised selective credit policy) menjadi kebijakan kredit yang berorientasi pasar (market orientid credit policy). Berdasarkan pertimbangan ini, pemerintah pada Januari 1990 memperkenalkan kebijakan kredit baru bagi UKM dan Koperasi, yaitu kredit usaha kecil (KUK). Program kredit ini pun menurut BI, ternyata menemukan banyak kendala dengan alasan efisiensi dan profesionalisme, sehingga KUK banyak terhambat. Akan tetapi, karena adanya denda, maka, Bank komersial akhirnya tetap menyalurkan kreditnya kepada UKM, meskipun kredit tersebut lebih banyak digunakan untuk keperluan konsumsi ketimbang tujuan usaha UKM. Program lainnya adalah program bantuan teknis; di antara sekian banyak program bantuan teknis untuk UMKM, program pembinaan dan pengembangan industri kecil (BIPIK) yang dimulai pada 1980, adalah program yang terpenting. Program ini memberikan pelatihan dan jasa-jasa penyuluhan bagi UKM, dan dikelola oleh Direktorat Industri Kecil, Departemen Perindustrian RI, yang pada 1970-an telah mendirikan Lingkungan Industri Kecil (LIK) di beberapa daerah sentra UKM. Fasilitas utama dalam LIK adalah tempat pelatihan dan fasilitas untuk perbaikan mutu (Wie, 1996). Pada umumnya, program bantuan teknis ini juga kurang berhasil, yang disebabkan antara lain; karena fasilitas kurang digunakan untuk UKM, pengalaman dan pengetahuan teknis dan bisnis para penyuluh kurang memadai. Lagi pula, pelatihan dan masukan yang disubsidi ditentukan oleh pejabat pusat ketimbang kebutuhan riil UKM di lapangan (Wie, 1996). Oleh karena itu, seyogianya, kebijakan pemerintah harus memperhatikan derajat kerentanan UKM. Menurut Thee (2007), sudah saatnya kebijakan terhadap UKM tidak untuk melindungi UKM dari persaingan, melainkan, melembagakan persaingan yang ada. Cara itu adalah untuk menutup kemungkinan munculnya monopoli di tangan segelintir pelaku usaha tertentu dan diskriminasi bagi pelaku usaha lain yang tidak 1458 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan mempunyai hubungan kolusif dengan pelaksana kebijakan. Dengan kata lain, melembagakan persaingan dipandang perlu untuk meningkatkan daya tahan UKM dalam menghadapi persaingan. Masih lemahnya UKM dapat teridentifikasi dengan jelas, bahwa sejak Orde Baru sampai saat ini (2011), di balik kebijakan pemerintah, masih banyak permasalahan yang membelit UKM. Secara internal misalnya; permodalan, keterampilan manajerial, pemasaran, dan rendahnya tingkat teknologi produksi. Sementara, secara eksternal, nampak jelas adanya “konsistensi” kepentingan implisit dari para aktor. Ketidakberhasilan pemberdayaan UKM di atas, telah mendorong para peneliti melakukan terobosan untuk menjawab permasalahan yang dihadapi. Mengingat penelitian UKM yang ada selama ini, menurut Anas Saidi (2000), jika di telusuri, lebih banyak pada determinasi ekonomi dan hanya beberapa saja dari sudut pandang nonekonomi seperti sosiologi, antropologi, politik, hukum, dan sejarah. Dinamika pemberdayaan UKM di atas menunjukkan, bahwa selama ini, konstruksi realitas pemberdayaan UKM, cenderung dijelaskan dalam variabel tunggal, yaitu determinasi ekonomi. Variabel ekonomi ini memang memiliki beberapa keunggulan dalam memberikan jawaban terhadap kendala UKM secara internal, namun tanpa bermaksud mengabaikan betapa dominannya perspektif ekonomi dalam menjelaskan permasalahan UKM, ternyata, pendekatan semacam ini malahan menghasilkan bias. Bias pertama, menceritakan bahwa lamanya UKM keluar dari krisis dinyatakan oleh sebab eksternalitas; yaitu keputusan politik yang mendalangi konstruksi ekonomi yang penuh KKN. Dengan kata lain, potret ekonomi sekarang lebih merupakan hasil kontrak politik daripada kalkulasi prinsip ekonomi. Bias kedua, di samping akan mengabaikan variabel lain yang justru pada tahapan tertentu lebih dominan, persoalan eksternal, seperti persoalan struktural cenderung tidak tersentuh. Sebaliknya persoalan artifisial menjadi garapan utama. Pendekatan tunggal di atas, akan mengulangi kesalahan lama, oleh sebab itu, untuk melihat persoalan UKM secara menyeluruh, perlu dilakukan pendekatan komprehensif dan tidak JURNAL POLITIK hanya menggunakan perspektif ekonomi (internal) saja, tetapi juga perlu dilihat dari perspektif sosiologi, antropologi, politik dan sejarah (Anas Saidi, 2000). Tulisan ini menggunakan metode kualitatif dan toeri pembangunan ekonomi Galbtaith (1973). Konsep Pembangunan Ekonomi dan Pemberdayaan Kebijakan pemberdayaan UKM yang efektif di Indonesia, kendati dalam tataran teoritis hingga saat ini masih diperdebatkan, namun, semua tetap percaya bahwa kebijakan pemberdayaan UKM adalah suatu keniscayaan dalam dinamika pembangunan ekonomi nasional. Khususnya bagi terwujudnya UKM yang tangguh dan mandiri dalam rangka memberikan kontribusi sebesarbesarnya bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. 1. Konsep Pembangunan Meminjam John Kenneth Galbraith (dalam Pressman, 2000), terutama yang berhubungan dengan kekuatan-kekuatan ekonomi. Dia menuliskan; kecenderungan perusahaan besar adalah selalu mendapatkan kekuasaan ekonomi dan konsekuensi-konsekuensinya, oleh karena itu, pemerintah perlu campur tangan untuk menghadapi kekuatan kepentingan bisnis tersebut dengan memperkuat kepentingan publik. Ketika isu ekonomi dan sosial dipandang sebagai konflik antara dua kekuatan yang bersaing, maka, pemerintah harus melakukan fungsi tambahan; yakni segera membuat kebijakannya yang berpihak pada kepentingan publik sebagai upaya mengimbangi kekuatan perusahaan besar. Dinamika kekuatan perusahaan besar dan perusahaan kecil, dikembangkan Galbraith dalam bukunya: Economics and the Public Purpose (Galbraith 1973), yang menyatakan bahwa perekonomian Amerika Serikat telah terbagi menjadi dua bagian. Perusahaan besar yang disebut Galbraith sebagai “sistem perencanaan” memperoleh kekuasaan ekonomi yang sangat besar, dan mempunyai kekuatan untuk mengontrol harga, mempunyai sumber-sumber untuk membentuk opini publik, serta dapat mempengaruhi proses politik demi keuntungannya. Sebaliknya, perusahaan kecil akan selalu menjadi korban dari kekuatan pasar (Pressman, 2000). 1459 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Menurut Galbraith (dalam Pressman, 2000), kekuatan antara perusahaan besar dan perusahaan kecil (UKM) harus dibuat lebih seimbang. Pendapatan harus didistribusikan dari sistem perencanaan kepada UKM. Di antara kebijakan pemerintah yang diperlukan adalah dukungan untuk usaha skala kecil (UKM). Dalam kasus Indonesia, beberapa ekonom, seperti Prof. Soemitro, sejak 1950-an, mengatakan bahwa proses pembangunan ekonomi bangsa harus merupakan pembebasan dari belenggu kekuatan yang dapat menghambat kemajuan perekonomian rakyat banyak (Deliarnoiv, 2006). Sebagaimana kita ketahui, di antara aktivitas perekonomian yang melibatkan orang banyak tersebut adalah UKM. Hal ini tampak dengan jelas dari hasil sensus ekonomi nasional BPS Tahun 2006, UMKM adalah kelompok ekonomi yang paling banyak dilakukan oleh rakyat Indonesia. Dalam buku “Persoalan ekonomi di Indonesia” (1953), Sumitro juga memperingatkan; jika kegiatan partikelir tidak bertentangan dengan asas-asas yang pokok, maka, merupakan tugas pemerintah untuk memberi bimbingan, bantuan, dan petunjuk kepada inisiatif partikelir. Selanjutnya, Prof. Sumitro dalam bukunya “Indonesia dalam Perkembangan Dunia”, Kini dan Masa Depan (1976), mengatakan; peran, dan campur tangan pemerintah harus dilakukan sewajarnya saja. Dalam masyarakat negara berkembang, negara dan pemerintah harus mengambil peranan utama dalam pembangunan masyarakat secara menyeluruh. Akan tetapi, ha itu tidak berarti bahwa pemerintah harus campur tangan secara langsung dalam segala ragam kegiatan ekonomi melalui berbagai macam peraturan, sebab, cara seperti itu dapat menimbulkan “ekonomi perizinan” yang akibatnya dapat mengekang kegiatan ekonomi masyarakat (Deliarnoiv, 2006). Menurut Swasono (2009), pembangunan ekonomi nasional, harus merupakan pembangunan ekonomi kerakyatan, tegasnya, dalam ekonomi nasional pemerintah harus memiliki keberpihakan; yaitu adanya kemauan politik pemerintah yang kuat terhadap pembangunan sektor ekonomi yang dilakukan oleh mayoritas rakyat Indonesia. Dalam hal ini UKM dan Koperasi seharusnya menjadi sasaran utama pembangunan di Indonesia. Bagaimana UKM sebagai sektor riil telah JURNAL POLITIK menjadi bagian reformasi ekonomi Indonesia? Menurut Sri Adiningsih (dalam Hidayat, 2010); meski banyak yang sudah berubah dalam satu dekade ini, setelah reformasi dan satu abad setelah kebangkitan nasional, namun, masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia masih tetap sama; yaitu kemiskinan dan keterbelakangan. Hal ini mengindikasikan, meski reformasi ekonomi sudah diluncurkan sejak 10 tahun yang lalu, namun sampai sekarang masih belum selesai. Konsolidasi perbankan masih berlangsung, demikian juga reformasi fiskal dan birokrasi. Pemikiran Sri Adiningsih mengisyaratkan, pemberdayaan UKM yang memiliki salah satu tujuan untuk pengentasan kemiskinan belum berhasil, akibat belum selesainya konsolidasi perbankan dan kebijakan fiskal, sehingga cenderung kurang memiliki sikap dan keberpihakan yang jelas terhadap UKM. Sementara, reformasi birokrasi yang belum tuntas juga menunjukkan bahwa aktor terkait belum memiliki maksud dan tujuan yang sama dengan pemberdayaan UKM. Untuk melihat kebijakan pembangunan nasional, menurut Syarif Hidayat (2009), kita perlu melihat benang merah antara mekanisme rancangan awal perencanaan pembangunan nasional dengan realisasi program, termasuk kebijakan pemberdayaan UKM. Menurut Matsui (dalam Hidayat, 2009), telah terjadi “pergeseran” sistem perencanaan pembangunan pada tingkat nasional, sebagai konsekuensi dari diterapkannya Pemilihan Presiden secara langsung, sehingga sistem perencanaan pembangunan nasional pun tidak lagi sepenuhnya merujuk pada pola dasar pembangunan nasional sebagaimana yang dilakukan pada periode sebelumnya, melainkan diturunkan dari visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Logikanya cukup sederhana, karena, Presiden dan Wakil dipilih langsung oleh rakyat, sehingga secara otomatis visi dan misi yang mereka miliki telah mendapat legitimasi sebagai visi dan misi negara --- kendati dalam proses penyusunannya, visi dan misi tersebut lebih merupakan hasil kerja Tim Sukses Presiden dan Wakil Presiden terpilih ketika Pilpres berlangsung. Selanjutnya, menurut Syarif Hidayat (2009), terlepas dari sejumlah kelemahan yang dimiliki, visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden tersebut kemudian dijadikan “landasan berpijak” 1460 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan sistem perencanaan pembangunan nasional. Mekanisme penyusunan rencana pembangunan yang sama, tentunya, juga berlaku pada tingkat pemerintahan daerah sebagai konsekuensi dari diterapkannya sistem pilkada secara langsung. Dalam melihat pemberdayaan UKM nasional, Syarif Hidayat (2009), menyampaikan pentingnya untuk melihat cara pembuatan rancangan pembangunan saat ini, setelah diterapkannya sistem pemilihan langsung Presiden dan Kepala Daerah, yang dalam praktiknya, telah memiliki visi dan misi yang dijadikan sebagai bahan rujukan rancangan pembangunan. Model kebijakan seperti di atas, terkesan, sejak perancangannya, kurang melibatkan partisipasi maksimal masyarakat dan seolah hanya berlandaskan dari visi dan misi Presiden terpilih. 2. Konsep Pemberdayaan Demokratisasi dan semangat civil society telah memberikan tempat yang lebih luas kepada masyarakat dalam menyalurkan aspirasi dan kebutuhannya terhadap kebijakan pembangunan nasional. Dalam konteks ini, pemberdayaan masyarakat perlu mendapatkan prioritas dalam kebijakan pembangunan. Dengan demikian, kebijakan pembangunan nasional tidak hanya menjadi alat acuan memaksa yang menjamin adanya kesempatan yang sama bagi setiap orang, namun, juga memberikan ruang publik bagi pemberdayaan masyarakat sejak mulai perancangan sampai implementasinya di lapangan. Ketidakberdayaan sekelompok masyarakat telah menjadi wacana akademis yang cukup hangat pada dasawarsa ini. Kelompok-kelompok tertentu yang mengalami diskriminasi dalam suatu masyarakat, seperti kelas ekonomi kecil, minoritas etnis, wanita, penyandang cacat dan sebagainya, adalah orang-orang yang mengalami ketidakberdayaan tersebut. Menurut Berger dan Nenhaus (dalam Munandar, 2008), strukturstruktur penghubung (mediating-structures) yang memungkinkan kelompok lemah mengekspresikan aspirasi dan menunjukkan kemampuannya terhadap lingkungan sosial yang lebih luas, kini cenderung melemah. Arus modernisasi dan industrialisasi yang melahirkan spesialisasi profesi, menurut Aris Munandar (2008), cenderung menjadikan JURNAL POLITIK struktur ikatan sosial masyarakat semakin lemah. Relasi sosial antara komunitas masyarakat lemah dengan masyarakat luas, organisasi sosial, lembaga keagamaan, lembaga keluarga, yang secara tradisional merupakan lembaga alamiah yang dapat memberikan solusi dan pemenuhan anggotanya, perannya cenderung semakin lemah. Oleh karena itu, sering kali implementasi sistem ekonomi dalam pembangunan proyek-proyek fisik, selain mampu meningkatkan kualitas hidup sekelompok orang, tidak jarang malah memarginalkan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. Menurut Sennet Cabb dan Conway (dalam Munandar, 2008), ketidakberdayaan disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah ketiadaan jaminan ekonomi, ketiadaan pengalaman dalam arena politik, ketiadaan akses terhadap informasi, ketiadaan dukungan finansial, ketiadaan pelatihan-pelatihan, dan adanya ketegangan fisik maupun emosional. Sejatinya, pemberdayaan (Empowerment), dapat diartikan sebagai pemberian atau peningkatan kekuasaan (power) kepada masyarakat yang lemah atau tidak beruntung (disadvantage). Jim Ife (dalam Munandar, 2008), menyatakan pemberdayaan menunjuk pada usaha realokasi kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial. Swift dan Levin (dalam Munandar, 2008), juga menyatakan pemberdayaan adalah suatu cara sehingga rakyat, organisasi, dan komunitas dapat diarahkan agar mampu menguasai kehidupannya. Selanjutnya, menurut Darwin SB (2003), untuk keberhasilan pemberdayaan UKM di Indonesia, maka, dianggap perlu adanya perbaikan dan penyesuaian model-model pemberdayaan UKM dari sumber aslinya. Sebab, walau berhasil diterapkan di negara asalnya, namun, belum tentu secara sosial ekonomi sesuai dengan kondisi Indonesia. Sehingga, kemungkinan kegagalan pun bakal terjadi. Adapun, salah satu di antara model pemberdayaan UKM yang telah disesuaikan adalah Iptekda LIPI. Berdasarkan hal itu, maka, dirasakan penting untuk mengkaji dan menyebarluaskan model-model pemberdayaan UKM yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Model-model yang dianggap perlu melakukan penyesuaian dalam implementasinya, antara lain; Model Gramen 1461 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Bank, Model inkubator, Model Community Base Development, Model modal ventura, dan Model Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) (Darwin SB, 2003). Pada penelitian Anas Saidi dkk (2000), ternyata, masalah krisis dan penyelesaian permasalahan UKM tidak seluruhnya berkaitan dengan economic capital, tetapi juga dengan social and cultural capital. Dengan kata lain, ada berbagai parameter nonekonomi yang perlu terlibat dalam upaya menyelesaikan krisis yang dihadapi UKM. Beberapa penelitian tersebut telah memetakan relasi antara faktor ekonomi dan perilaku masyarakat serta kebudayaan terhadap perilaku ekonomi. Namun, hal tersebut juga belum memetakan relasi kepentingan antara para aktor dalam pemberdayaan UKM. Dengan menyimak beberapa konsep seperti di atas dan kenyataan UKM sekarang masih lemah dalam berbagai hal, ditengarai, satu di antara faktor penyebab yang memiliki pengaruh signifikan terhadap kondisi tersebut adalah adanya konsistensi kepentingan para aktor. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, fokus utama penelitian ini adalah mengkaji interkorelasi antara praktik rent-seeking dan masalah kegagalan pemberdayaan UKM serta implikasinya. Walau tidak dapat dipungkiri, memang agak sulit untuk memisahkan secara nyata antara kepentingan negara dan para aktor, terutama dari kalangan para politisi dan birokrat. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, perlu adanya dukungan data dan model analisa yang tepat. Secara singkat, relasi kepentingan antara aktor dalam pemberdayaan UKM tersebut dapat di ilustrasikan pada gambar 1, yaitu (1) tingkat pusat, pelaksanaan pemberdayaan UKM oleh Kementrian K-UKM, dan lembaga lain yang terkait; (2) tingkat daerah Kabupaten-Kota, pelaksanaan pemberdayaan oleh Dinas terkait; dan (3) lembaga swasta, pemberdayaan UKM oleh usaha besar, misalnya melalui program CSR atau Commdev. Ilustrasi gambar relasi kepentingan tersebut sebagaimana yang ditunjukkan pada gambar berikut. Apakah kebijakan pemberdayaan UKM telah menjadi bagian dari kepentingan jangka pendek (ekonomi dan politik)? Dan apa implikasi dari kecenderungan itu? Untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut, maka, perlu dipetakan terlebih dahulu relasi kepentingan para aktor dalam kebijakan pemberdayaan UKM berdasarkan perspektif ekonomi politik. Pemberdayaan UKM di Cilegon Sejauh mana relevansi perspektif ekonomi politik untuk dijadikan alat bantu analisa dalam menjelaskan interkorelasi antara program pemberdayaan UKM dan kenyataan UKM saat ini? Dengan asumsi dasar pembangunan ekonomi dengan karakteristik dan sistem politik Indonesia era Reformasi, maka, penulis meyakini bahwa perspektif neo-classical political economy sangat relevan untuk dijadikan sebagai alat bantu analisa dalam menjelaskan masalah pokok penelitian ini. Alasan utamanya adalah, fokus kajian dari perspektif neo-classical political economy lebih mampu memahami dan menjelaskan perilaku dari State dan Society Actor dalam mekanisme pemberdayaan UKM. JURNAL POLITIK Para aktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi; Birokrat pemerintah pusat, Birokrat pemerintah daerah, dan aktor dari lembaga swasta (perusahaan besar, TNC dan MNC). Gambar tersebut, juga menjelaskan, sedikitnya terdapat tiga (3) relasi dan dua variabel utama yang saling mempengaruhi dalam program pemberdayaan UKM, yang secara relatif telah mencerminkan (atau sebaliknya) kebutuhan riil pemasalahan UKM di lapangan. Selanjutnya, tiga relasi yang dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut; Relasi a. Mengilustrasikan hubungan 1462 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pemberdayaan UKM. Untuk memahami dan menganalisis hal ini akan digunakan model analisis rent-seeking bureaucrat. Relasi b. Mengilustrasikan hubungan antara pemerintah daerah dan perusahaan besar (MNC, TNC) dalam pemberdayaan UKM, untuk memahami dan menganalisis hal ini, akan digunakan model analisis rent-seeking Bureaucrat dan rent-seeking society. Selanjutnya relasi c. Mengilustrasikan hubungan antara perusahaan besar dan pemerintah pusat dalam pemberdayaan UKM. Untuk memahami dan menganalisis hal ini akan digunakan model analisis rent-seeking society dan rent seeking bureaucrat. Gambar Proses Pemberdayaan UKM & Relasi Kepentingan Pada tiga relasi tersebut, selalu eksis dua variabel, yaitu; pertama, variabel yang bersifat eksplisit berupa kepentingan publik tentang kebijakan pemberdayaan, seperti kemampuan permodalan, produksi, dan pemasaran. Variabel kedua adalah yang dapat mempengaruhi efektivitas dan realibilitas program; yaitu variabel yang bersifat implisit, berupa kepentingan ekonomipolitik individual dari para aktor. Kedua variabel ini diasumsikan berlaku sama pada tiap unit, dan digunakan untuk melihat variabel eksplisit dalam kebijakan UKM. Rujukan yang digunakan adalah UU RI. No 20 Tahun 2008 tentang UMKM, Keppres RI. No. 85 Tahun 2006 dan Perpres RI. No. 54 Tahun 2010, tentang pelaksanaan pengadaan barang dan jasa proyek pemerintah yang mewajibkan kegiatan pemberdayaan UKM. Dalam studi kasus penelitian ini, juga akan digunakan Perda Kota Cilegon tentang pemberdayaan UKM, Permen Kominfo RI. No. 2 Tahun 2008 dan Perwalikota Cilegon No. 8 Tahun 2008 Tentang PPPMBT Cilegon. Secara keseluruhan, substansi penelitian ini difokuskan pada pola interaksi kedua variabel tersebut di atas yang berisi kepentingan eksplisit dan implisit dalam kebijakan pemberdayaan UKM serta implikasinya terhadap UKM. Dengan melakukan eksplorasi dan analisis terhadap relasi kepentingan tersebut, diharapkan hasil akhir dari penelitian ini akan mampu menyodorkan konsep JURNAL POLITIK pemberdayaan UKM dari perspektif ekonomi politik yang sesuai dengan kondisi riil masa depan di lapangan. Sejalan dengan tiga rumusan masalah penelitian di atas, telah dirancang “alur pikir” penelitian sebagaimana divisualisasikan dalam diagram 1. Dan pada tahap awal, yang akan dilakukan adalah mengidentifikasi varibel yang terkait pemberdayaan UKM. Variabel yang akan menjadi fokus penelitian ini berjumlah 2 (dua) buah; yaitu variabel eksplisit dan variabel implisit. Selanjutnya, definisi dari UKM yang dimaksud mengacu pada Undang-Undang RI. No.20 Tahun 2008 Tentang UMKM. Dalam Bab I (Ketentuan UMUM), Pasal 1, bahwa : Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam UU tersebut. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian, baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam UU tersebut. Sedangkan Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian, baik langsung maupun tidak langsung, dari usaha mikro, usaha kecil, atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha menengah sebagaimana dimaksud dalam UU tersebut. 1463 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan pemerintah seperti Kementrian Perindustrian RI dan Badan Pusat Statistik (BPS), juga menggunakan jumlah pekerja sebagai ukuran untuk membedakan skala usaha antara usaha mikro, usaha kecil dan usaha menengah. Menurut BPS, usaha mikro (disebut juga industri rumah tangga) adalah unit usaha dengan jumlah pekerja tetap hingga 4 orang, usaha kecil 5 hingga 19 pekerja, dan usaha menengah dari 20 sampai dengan 99 orang. Perusahaan dengan jumlah pekerja di atas 99 orang masuk dalam kategori usaha besar. 1. Kebijakan Pemberdayaan UKM di Cilegon Pemberdayaan UKM pada era Orde Baru, memiliki tujuan eksplisit, antara lain pemberdayaan UKM melalui kebijakan pembangunan dengan meningkatkan keterkaitan antara sektor industri dan pertanian, dan peningkatan kualitas SDM. Pemberdayaan ekonomi kerakyatan ini nampak melalui Diagram Alur Pikir Penelitian Dalam UU tersebut, kriteria yang digunakan untuk mendefinisikan UMKM seperti yang tercantum dalam pasal 6, bahwa : Nilai kekayaan bersih atau nilai aset tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau hasil penjualan tahunan. Dengan kriteria ini menurut UU tersebut, Usaha mikro adalah unit usaha yang memiliki nilai aset paling banyak Rp 50 Juta atau hasil penjualan tahunan maksimal Rp 300 juta; Usaha kecil dengan aset lebih dari Rp 50 juta sampai dengan maksimal Rp 500 juta atau memiliki omzet tahunan lebih dari Rp 300 juta hingga maksimum Rp 2,5 miliar; dan Usaha menengah adalah perusahaan dengan aset bersih lebih dari Rp 500 juta hingga maksimum Rp 10 miliar atau memiliki omzet penjualan tahunan di atas Rp 2,5 miliar sampai maksimal Rp 50 miliar. Selain menggunakan nilai moneter sebagai kriteria, selama ini, sejumlah lembaga JURNAL POLITIK berbagai program untuk UKM, seperti : skim kredit KIK dan KMKP, dan program bantuan teknis melalui BIPIK Departemen Perindustrian RI, dan program lain yang dilakukan oleh lembaga swasta. Pada periode ini, komitmen pemerintah lebih jelas dengan ditetapkannya UU RI No: 5 tahun 1995 Tentang Usaha Kecil. Di Cilegon, tujuan eksplisit pemberdayaan UKM mengikuti apa yang menjadi tujuan eksplisit pemerintah pusat. Namun pada era reformasi, tujuan eksplisit pemberdayaan UKM di Cilegon, selain sesuai dengan RKP pusat, juga lebih difokuskan pada upaya pengentasan kemiskinan dan mengurangi pengangguran. Kegiatan pemberdayaan UKM dilaksanakan bersama pemerintah pusat dan lembaga swasta dari industri besar yang ada di wilayah Cilegon. Merujuk laporan akhir tahun Kota Cilegon sampai 2010, tentang program pemberdayaan UKM yang cukup penting dan pernah dilaksanakan di Cilegon, sejak 1999, antara lain aspek : Keterampilan SDM, pemasaran, permodalan, dan bantuan peralatan dari Pemerintah pusat melalui program PUAP Dep. Pertanian RI, dan program PNPM dari Dep. Kelautan dan Perikanan RI. Beberapa program tersebut yang dilaksanakan berdasarkan sumber anggaran APBD Kota 1464 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Cilegon, antara lain : Pelatihan bisnis, Tahun Anggaran (TA) 2005, Pameran produk unggulan TA 2006, Pemetaan potensi UKM di Cilegon TA 2007, Pelatihan manajemen keuangan TA 2008, Peningkatan jaringan usaha dan sertifikasi aset UMKM TA 2009, dan program Review database UMKM Cilegon TA 2010. Pemberdayaan UMKM di Cilegon, selama ini, dilaksanakan oleh Pemkot Cilegon melalui bidang K-UKM Dinas Perindag, program kerja sama dengan Pemerintah pusat, Lembaga Swasta dan Asosiasi Perusahaan; di antaranya melalui CSR dan PKBL industri besar swasta dan BUMN. 2. Program PPPMBT dan Pembangunan Menara Grup PI: Kepentingan Eksplisit VS Kepentingan Implisist. Kenyataan bahwa praktik rent-seeking di balik PPPMBT, seperti diuraikan di atas, menunjukkan bahwa kegiatan pemberdayaan UKM dalam PPPMBT telah diwarnai sejumlah kepentingan implisit. Meski kebijakan PPPMBT tersebut memiliki tujuan publik terkait Keppres RI. No. 85 Tahun 2006, yang kini diperkuat melalui Perpres RI. No. 54 Tahun 2010, namun, secara implisit, di balik PPPMBT terdapat sejumlah kepentingan para elit yang pada prinsipnya adalah seeking economic ends. Di antaranya, Grup PI mendapatkan persetujuan pembangunan menara oleh PT. MSI, sementara, birokrat pelaksana kebijakan mendapatkan sejumlah “fee” dan komisi dari pihak Grup PI. Hasil studi kasus, mengindikasikan, sedikitnya ada lima modus operandi yang dilakukan oleh para elit. Modus pertama, adalah memaksimalkan peluang mendapatkan biaya koordinasi antar instansi terkait dalam operasional Tim gabungan PPPMBT. Praktik rent-seeking ini lebih banyak dilakukan oleh para elit jajaran menengah bawah sebagai pelaksana operasional. Modus ke dua; memaksimalkan peluang mendapatkan bagian dari biaya operasional dan sosialisasi PPPMBT. Praktik rent-seeking ini dilakukan oleh elit jajaran menengah. Modus ketiga; dilakukan dengan cara memanipulasi Master Plan dan atau Cell Plan menara di Cilegon, sehingga dapat menjadi alat negosiasi bagi elit untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Praktik ini utamanya dilakukan oleh elit menengah atas. JURNAL POLITIK Modus keempat; dilakukan oleh elit dengan cara KKN pada pelaksanaan pembangunan konstruksi menara BTS. Tegasnya, elit “menunjuk” dan menyetujui Kontraktor Usaha Besar (UB) PT. MSI sebagai pelaksana, sehingga usaha menara jadi monopoli perusahaan besar. Praktik ini jelas bertentangan dengan maksud dan tujuan dari UU RI. No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dengan UU RI. No. 18 tahun 1999, Tentang Jasa Konstruksi, dan dengan Perpres RI. No. 54 Tahun 2010, bahwa seharusnya dalam PPPMBT, pembangunan menara BTS dilaksanakan dengan memberdayakan UKM dan Koperasi Kecil di lingkungan setempat (perusahaan lokal), yaitu UKM atau Koperasi kecil jasa konstruksi setempat serta menggunakan barang lokal untuk pembangunan ekonomi di daerah tersebut. Modus kelima, hampir serupa dengan modus ketiga namun berbeda aktor; yakni lewat otoritas pejabat teras Pemkot Cilegon untuk memperlancar perizinan dan mendapatkan konsesi titik pembangunan menara BTS sesuai dengan Master Plan menara di Cilegon. Modus ini dilakukan oleh elit jajaran atas di Pemkot Cilegon, di antaranya salah satu birokrat senior Biro Hukum Pemkot Cilegon yang memiliki sejumlah titik lokasi menara BTS lengkap dengan perizinan dan kelayakan teknisnya yang siap untuk dijual kepada perusahaan jasa menara telekomunikasi. Praktik-praktik rent-seeking melalui modus di atas, tentu sangat erat hubungannya dengan pola aliansi dan hubungan antara penguasa dan pengusaha sebagaimana paparan di bawah ini; Pola Organisational Corporatism, hal ini dapat terlihat ketika para pengusaha putra daerah berjuang untuk mendapatkan kesempatan dalam bisnis menara BTS, dengan berupaya menembus aliansi antara Re dengan Grup PI. Perjuangannya dilakukan melalui KADIN, Gapensi, Aspekindo, maupun Paguyuban Pengusaha Putra Daerah. Lobi-lobi pengusaha daerah terhadap Re, meski tidak berhasil, namun pengusaha daerah Cilegon mendapatkan garapan beberapa menara di luar grup PI, di antaranya milik PT. Indonesia Tower. Pola Individual Trianggel Alliance, dalam PPPMBT Cilegon dengan menara milik grup PI; di sini, pimpinan perusahaan Grup PI memiliki akses langsung terhadap salah satu 1465 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Pejabat Dinas Tata Kota yang bertindak sebagai patron dan Pimpinan Grup PI bertindak sebagai client. Dalam kapasitasnya sebagai patron dan client, keduanya berkolaborasi (KKN) untuk mewujudkan kepentingan masing-masing dalam rangka mendapatkan keuntungan ekonomi jangka pendek; dengan cara, menetapkan kontraktor menara Grup PI adalah PT. MSI dari grup PI sendiri. Kenyataan tersebut jelas berdampak pada UKM jasa konstruksi di Cilegon menjadi kehilangan kesempatan untuk berusaha dan alih teknologi. 3. Generalisasi dan Refleksi Teoritis Pembahasan pada bagian ini diharapkan dapat menjelaskan realitas yang terjadi dalam kebijakan pemberdayaan UKM pada tingkat nasional, regional (Cilegon), dan dalam studi kasus PPPMBT di Kota Cilegon sejak Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Lebih spesifiknya, penulis akan melakukan generalisasi tentang apa yang dapat disimpulkan dari temuan penelitian ini. Pertama, kebijakan pemberdayaan UKM yang dilaksanakan oleh pemerintah sejak Orde Lama sampai Orde Reformasi pada penelitian lapangan di Kota Cilegon; walau kebijakan pemberdayaan UKM berjalan, namun tidak luput dari berbagai kepentingan implisit yang secara umum memiliki karakteristik dominan yang sama; yaitu seeking economic end. Fenomena rent-seeking ini merupakan dampak yang tidak dapat terhindarkan dari perilaku aktor yang terkait dalam pelaksanaan kebijakan. Sedang pada kebijakan pemberdayaan UKM era reformasi; di balik kebijakan pemberdayaan UKM, akan tetapi tidak luput dari kepentingan implisit para aktor yang memiliki karakteristik hampir sama dengan periode sebelumnya; seeking economic end. Pemberdayaan UKM di Cilegon yang bersifat Top-down, selain tidak sesuai dengan kebutuhan riil UKM di lapangan juga tidak berkesinambungan, karena, tidak adanya program bersama yang terintegrasi antara Pemerintah Pusat dengan Pemkot Cilegon, dan lembagalembaga swasta. Namun demikian, sesuai temuan di lapangan; program Pemerintah Pusat dan Pemkot Cilegon, serta Pemkot Cilegon dengan lembaga-lembaga swasta, meski bentuknya JURNAL POLITIK hanya sedemikian, namun, pemberdayaan UKM dapat berjalan karena terdapat sejumlah peluang yang dapat dimanfaatkan oleh para elit dalam sebagai bentuk kepentingan implisit; yakni berupa keuntungan ekonomi (fee-komisi) proyek. Selaras dengan itu, program pemberdayaan UKM yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan lembaga-lembaga swasta melalui pelaksanaan program PKBL dan CSR, juga dengan sarat kepentingan implisit --- dan tidak sesuai dengan tujuan kepentingan publik sebagaimana tertulis dalam Keppres RI. No.85 Tahun 2006, dan kini diperkuat dalam Perpres RI. No.54 Tahun 2010, Bab VIII, Pasal 100, tentang kewajiban pemberdayaan UKM dan koperasi kecil. Secara tegas dapat dikatakan bahwa pemberdayaan UKM secara umum di Cilegon baru sampai pada tingkat wacana pemberdayaan; hal ini tampak pada pelaksanaan CSR-PKBL nampak lebih bersifat Charity, sporadis, dan tidak berkesinambungan. Padahal, meski program ini belum memiliki manfaat optimal bagi UKM di Cilegon, akan tetapi, pemberdayaan dapat berjalan karena di dalamnya terdapat kepentingan implisit, atau sejumlah peluang dalam bentuk “komisi” kegiatan. Kedua, faktor yang mempengaruhi tidak efektifnya program pemberdayaan UKM melalui PPPMBT di Cilegon, baik yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Kota Cilegon, maupun oleh Lembaga Swasta; antara lain kegiatan PPPMBT lebih di dasarkan atas hitunghitungan proyek, sehingga pemberdayaan UKM tidak berjalan. Karena, fakta di lapangan menunjukkan, di balik program PPPMBT penuh dengan “kepentingan implisit”. Ketiga, implikasi praktik rent-seeking yang dilakukan oleh para elit Pemerintah Pusat, elit lokal Pemkot Cilegon, dan elit Perusahaan Swasta besar; di antaranya Grup PI, PT. MSI, dan Asosiasi Perusahaan, telah melahirkan ketimpangan dan kegagalan pemberdayaan UKM dalam kebijakan PPPMBT, khususnya bagi UKM jasa konstruksi di Cilegon. Bentuk ketimpangan yang terjadi merupakan pelanggaran terhadap amanat Keppres RI No.85/2006 dan Perpres RI No.54 /2010. Akibatnya, secara internal, sampai saat ini, keberadaan UKM jasa konstruksi di Cilegon belum mampu mandiri dalam hal : akses 1466 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan pasar, akses bahan baku, akses permodalan, dan promosi. Sementara, secara eksternal belum mampu keluar dari kesulitan akibat “di belit” kepentingan implisit para elit. Dengan kata lain, praktik rent-seeking yang terjadi merupakan salah satu faktor penting bagi kegagalan pemberdayaan UKM, khususnya PPPMBT. UKM tetap dalam posisi yang lemah untuk memperoleh kesempatan usaha di tengah maraknya pertumbuhan industri besar saat ini. Sehingga cukup alasan bagi penulis untuk mengajukan proposisi umum; Implementasi kebijakan pemberdayaan UKM pada tingkat nasional, regional, dan dalam PPPMBT, baik oleh Pemerintah Pusat, Pemkot Cilegon, dan Lembaga Swasta yang dilaksanakan sejak Orde Baru sampai Orde Reformasi, baru berhasil sampai tingkat pelaksanaan program saja, belum menyentuh faktor substansial; kebutuhan riil UKM di lapangan. Merujuk pada teori perspektif ekonomi politik neo-klasik, sejatinya, apa yang terjadi di balik kebijakan pemberdayaan UKM tingkat nasional, regional, dan dalam kasus PPPMBT, pada periode Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi, sebagaimana disebutkan dalam ketiga butir simpulan di atas, bahwa : Butir-butir simpulan penelitian ini mendukung teori yang di sebutkan oleh Grindle , para pembuat kebijakan dan penyelenggara pemerintahan lainnya merupakan bagian dari rent seeker. Mengingat, dalam kebijakan pemberdayaan UKM, para birokrat dan aktor swasta tertentu adalah kumpulan dari para pemburu rente (rent seeker groups), yang dimotivasi oleh keinginan untuk akumulasi keuntungan ekonomi dan politik jangka pendek, ketimbang mewujudkan UKM yang tangguh dan mandiri sebagai upaya pencapaian the wealth of the nation. Ketiga butir simpulan di atas juga mendukung teori The Exchange of Wealth (John S. Mill, 1874); setidaknya terdapat dua prasyarat terjadinya pertukaran wealth, pertama dan yang penting adalah “nilai komoditi” untuk dipertukarkan. Kedua, adalah sarana atau alat tukar, artinya pertukaran komoditi akan terjadi JURNAL POLITIK apabila ada “media” yang dapat dijadikan alat tukar universal. Dengan demikian, perilaku para birokrat tingkat pusat, daerah, maupun aktor swasta yang terlibat dalam pemberdayaan UKM yang tersebut di atas dapat memperjelas Exchange Theory (Gindle, 1977), untuk memahami dan menjelaskan perilaku birokrat dan politisi; bahwa reward (ganjaran) diharapkan atau tidak, akan menjadi varibel penting yang mempengaruhi interaksi setiap individu. Dalam interaksinya, setiap individu selalu dimotivasi oleh harapan “keuntungan” dan kalkulasi atas “biaya” yang dikeluarkannya. Selanjutnya, pertukaran akan terjadi ketika seorang individu membutuhkan sumber daya yang tidak dimilikinya, demikian juga pada konteks organisasi, setiap individu akan dimotivasi oleh keinginan akumulasi sumber daya yang tidak dimiliki atau yang dikontrol oleh organisasi lain untuk mendukung tujuan kolektif maupun tujuan individu. Dalam hal ini, secara formal maupun informal, para birokrat pusat, daerah dan aktor swasta terlibat dalam jaringan exchange relationship. Selanjutnya menurut Grindle (dalam Hidayat, 2001), untuk mencapai berbagai tujuan individu, maka, para birokrat dan aktor swasta, cenderung untuk memaksimalkan sumber daya yang dimiliki langsung (uang, informasi, dan otoritas) dan sumber daya tidak langsung (barang dan jasa) yang dimanipulasi sebagai alat tukar dan negosiasi untuk mendapatkan sumber daya yang dikontrol oleh pihak lain. Dalam konteks pemberdayaan UKM di Cilegon, perilaku birokrat seperti yang disebutkan Grandle (1989), yaitu rent-seeking bureaucrats, juga dinyatakan oleh Mauzelis (dalam Hidayat, 2001) dalam Bureaucratic Behaviouur Theory, bahwa ; Birokrat harus dipandang sebagai makhluk yang memiliki emosi, tata nilai, dan tujuan individu yang tidak selamanya sesuai dengan tujuan organisasinya. Tidak dapat dihindari, kepentingan individu birokrat akan mempengaruhi struktur, mekanisme, dan fungsi birokrasi itu sendiri. Selaras dengan itu, meminjam Grindle (dalam Hidayat, 2001), secara umum, kepentingan 1467 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan individu birokrasi adalah akumulasi keuntungan ekonomi jangka pendek, namun dalam banyak kasus, birokrat juga berkepentingan terhadap peningkatan atau paling tidak mempertahankan kedudukan yang dimilikinya. Untuk kepentingan ini, birokrat cenderung memaksimalkan sumber daya yang dimilikinya sebagai alat negosiasi. Sementara, perilaku aktor swasta di balik pemberdayaan UKM di Cilegon, juga seperti apa yang disebutkan oleh Grindle (dalam Hidayat, 2001), yaitu praktik Rent-Seeking Society, dengan argumen dasar sebagai berikut; Individu adalah makhluk rasional, oleh karena itu akan berusaha memaksimalkan sumber daya yang dimiliki untuk akumulasi Wealth, konsekuensinya adalah, tiap individu akan memanfaatkan interaksi sosial ekonomi dan politik untuk pencapaian kepentingannya. Pada gilirannya, yang sulit dihindari, bila individu cenderung memanfaatkan penyelenggara negara untuk kepentingannya. Secara umum, ketiga butir simpulan di atas mendukung teori-teori ekonomi politik neoklasik, sedang secara khusus temuan penelitian ini menyatakan bahwa “kelemahan UKM” telah dijadikan komoditi sebagai exchange value (nilai tukar) oleh para aktor, yang pada kenyataannya disertai dengan kepentingan ekonomi-politik individual jangka pendek. Setidaknya, ada dua peluang yang dipergunakan oleh para aktor di balik pemberdayaan UKM, pertama; “lemahnya UKM” telah dijadikan “nilai komoditi” untuk dipertukarkan. Kedua, APBN, APBD, dan CSR yang menjadi sumber pembiayaan telah dijadikan media atau sarana alat tukar. Selaras dengan itu, terjadi perkembangan bentuk kepentingan dan aktor baru yang menyertai pemberdayaan UKM secara umum. Pertama, bentuk kepentingan implisit yang menyertai pemberdayaan UKM tidak hanya dalam bentuk keuntungan ekonomi individual jangka pendek, namun mengarah pada keuntungan ekonomi dan politik korporasi untuk jangka panjang. Misalnya pada rentang 2011, Conten Internet provider “Google” akan berinvestasi di Indonesia, tidak lain, adalah untuk meraih peluang pemberdayaan UKM Indonesia yang merupakan pasar “google” JURNAL POLITIK terbesar (95%) pemakai media internet marketing. Kedua, Aktor yang terlibat di balik pemberdayaan UKM, tidak hanya birokrat dan aktor swasta nasional, namun, sudah melibatkan aktor internasional korporasi TNC’s seperti “Google”. Hal ini terlihat dengan jelas, menurut Chief Executive, dalam dialog Metro TV (26-6-2011, pkl 10.00 WIB), Google telah meraup 200 milyar rupiah pada 2010 dari UKM Indonesia. Perkembangan yang terjadi di balik pemberdayaan UKM seperti ini, pada akhirnya, akan memunculkan aliansi bisnis model baru dalam perburuan rente di kemudian hari. Simpulan Sejak Orde Baru sampai Orde Reformasi, mekanisme pemberdayan UKM tingkat nasional, regional (Cilegon), dan dalam PPPMBT, terlihat betapa pemberdayaan UKM oleh pemerintah pusat bersifat Top-Down, sehingga kurang sesuai dengan kebutuhan riil UKM di lapangan ditambah di dalamnya telah terjadi praktik rent-seeking atau KKN. Selaras dengan itu, pemberdayaan UKM oleh Pemkot Cilegon juga bersifat in-konsisten sebagaimana yang tertulis dalam laporan akhir kegiatan bidang K-UKM Cilegon; hal ini menunjukan betapa program pemberdayaan UKM belum memiliki Grand design, sehingga dari tahun ke tahun, selain diwarnai oleh praktikpraktik rent-seeking, kegiatan pemberdayaan menjadi tidak berkesinambungan atau dapat dikatakan bersifat kondisional, reaktif, dan tidak menyentuh kebutuhan dasar UKM itu sendiri. Sehingga, program pemberdayaan UKM melalui PPPMBT tidak memberikan manfaat optimal bagi UKM jasa kontruksi dan berdampak negatif bagi masa depan UKM. Oleh karena itu, agar program pemberdayaan UKM di Indonesia kedepan dapat berjalan optimal, kiranya kebijakan pemberdayaan UKM yang ada saat ini perlu dikoreksi dengan memperhitungkan beberapa persoalan terkait, utamanya memperhitungkan aspek ekonomi politik neoklasik dengan model analisis rent-seeking bureaucrats dan rent-seeking society, dan teori pemberdayaan serta teori pembangunan ekonomi. Hal tersebut mengingat; Pertama, hendaknya, dalam pembuatan rencana pemberdayaan UKM melibatkan partisipasi masyarakat secara optimal, 1468 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan sehingga tidak terkesan hanya berasal dari visi dan misi Tim sukses Presiden atau Kepala Daerah terpilih sebagai kosekuensi diterapkannya Pilpres dan Pilkada secara langsung. Revitalisasi Database UKM (jenis dan jumlah), dan pembuatan Grand Disgn yang bermanfaat dalam mengurangi “bias penafsiran” terhadap keberadaan UKM, yang pada gilirannya akan menyamakan persepsi para pemangku kepentingan yang selama ini sangat variatif. Kedua, pemberdayaan UKM sebaiknya dilaksanakan oleh lembaga independen nasional maupun internasional, dengan melibatkan lembaga riset dan Perguruan Tinggi sebagai sumber informasi, sementara, pihak pemerintah hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator. Dengan demikian, jika tidak dapat dihilangkan, namun, praktik rent-seeking dapat dikendalikan, atau dapat dikurangi. Sejatinya, proposisi dari perspektif ekonomi politik pada tulisan ini tidak bermaksud mengecilkan bahkan menghilangkan arti penting pemberdayaan UKM di Indonesia selama ini. Tetapi sebaliknya, untuk mengungkapkan fakta yang terjadi, sehingga, kedepan, dapat dijadikan bahan masukan untuk mencari dan merumuskan konsep maupun implementasi kebijakan yang efektif dalam menciptakan sinergis antara perencanaan program dan implentasi pemberdayaan UKM di Indonesia. Terima kasih atas bimbingan dan arahan Prof. Ibrahim Abdullah pada tulisan ini. Kepustakaan Deliarnoiv. 2006. Ekonomi Politik. Jakarta: Erlangga. Djoyohadikusumo, Sumitro.1953. Indonesia dalam Perkembangan Dunia: Kini dan masa Datang. Jakarta:LP3ES, 1976. _________. 1953. Persoalan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Andira. _________. 1985. Perdagangan dan Industri dalam Pembangunan. Jakarta: LP3ES. _________. 1991. Perkembangan Pemikiran JURNAL POLITIK Ekonomi (1). Jakarta: Y.Obor Ind. Hartarto, S. 2006. Pengembangan UKM termasuk Industri Kecil, dalam Industrialisasi serta Pembangunan Sektor Pertanian, dan Jasa Menuju Visi Indonesia 2030. Jakarta: Gramedia Pustaka. Hetifah, Sj, at.all. 1995. Strategi dan Agenda Pengembangan Usaha Kecil. Bandung: Akatiga. Hidayat, Syarif. 2001. Menyingkap Akar Persoalan Ketimpangan Ekonomi di Daerah. Jakarta: Pamator. _________. 2006. Bisnis dan Politik di Tingkat Lokal: Pengusaha, Penguasa, dan Penyelenggara PemerintahanDaerah Pilkada. Jakarta, LIPI Press, Pasca _________. 2009. Pilkada & Pergeseran, Sistem perencananan pembanguan Daerah. Jakarta: LIPI. _________. 2010. Reformasi Setengan Matang. Jakarta: Teraju. Hudiyanto. 2005. Ekonomi Politik. Jakarta: Bumi Akasara. LIPI. 2008. Buletin IPTEKDA (Edisi Khusus). Jakarta: LIPI. Munandar, Aris. 2008. “Peranan Negara Dalam Penguatan Program Pemberdayaan Masyarakat” dalam Jurnal PoelitikVol.4/1/2008. Jakarta: P4M-S2 Politik Unas. Poot at.all. 1990. Industrialization and Trade in Indonesia. Yogjakarta: Gadjahmada Univ. Press. Pressman, Steven. 2000. Lima Puluh Pemikir Ekonomi Dunia. Jakarta: Raja Grafindo. 1469 VOL. 10 No. 01. 2014 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Saidi, Anas, at.al. 2000. Pengembangan Kewirausahaan Industri Kecil dalam masa Krisis. Jakarta: PMB-LIPI. _________, at.al. 2000. Strategi Adaptasi Industri Kecil Pada Masa Krisis. Jakarta: PMBLIPI. SB, Darwin & Mahmud Thaha. 2003. ModelModel Pemberdayaan UKM, Jakarta: P2ELIPI. Schmit, L.Th. 1991. Rural Credit Between Subsidi and Market: The Adjusment of The Vilage Unit of BRI in Historical Perspective. Leden. Swasono, Sri Edi. 2009. The End Of Laissez-Faire, Krisis Finansial Global dan Ekonomi Indonesia. Jakarta: KNPP. Tambunan, Tulus PH. 2009. UMKM di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. Thoha, Mahmud. 2000. Indonesia Menapak Abad 21, Kajian Ekonomi Politik. Jakarta: Millennium Publisher Tim Akatiga. 2007. “Ketahanan dan Kerentanan Usaha UKM” dalam Jurnal Analisis Sosial. Bandung: AKATIGA. Wie, Thee Kian. 1996. Industrialisasi di Indonesia. Jakarta: LP3ES. Wie, Thee Kian. 2007. “Kebijakan Ekonomi dan Ketahanan Usaha Kecil Menenengah di Indonesia” dalam Jurnal Analisis Sosial. JURNAL POLITIK 1470 VOL. 10 No. 01. 2014