Kekuasaan dan Dinamika Politik PEMILU

advertisement
POLITIK
Jurnal Enam Bulanan
VOL. 10 No. 01. 2014
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Kekuasaan dan Dinamika
Politik PEMILU
Perubahan Pemilih pada PILKADA DKI Jakarta Putaran Kedua
Boy Ricardo
The Effectivenes of Democratic System’s Embodiment in a Direct
Regional Election in Aceh
Effendi Hasan , Fadhil Ilhamsyah , Ahmad Nidzammuddin Sulaiman
Artikulasi Kekuasaan dalam Masyarakat Nelayan: Potret Patronase
Kontemporer di Kota Makassar
Sudarmono, Junaenah Sulehan dan Noor Rahamah Hj. Abu Bakar
Dinamika Politik Pemilihan Umum 2014
Leo Agustino
Masalah Efektivitas Badan Kehormatan DPR RI
Mohammad Hasyim
Jurnal Enam Bulanan
Partai Aceh dalam Transisi Demokrasi di Aceh
Sahruddin
Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah Sektor Telekomunikasi
di Cilegon
WH. Hardiwinata
VOL. 10 No. 01. 2014
ISSN : 1978-063X
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
POLITIK adalah jurnal kajian politik
dan masalah pembangunan, yang
diterbitkan oleh Pusat Penelitian
Politik dan Pembangunan Masyarakat
(P4M) pada Program Magister
Ilmu Politik Universitas Nasional.
Jurnal ini merupakan media untuk
mengkaji dan mengembangkan ilmu
pengetahuan di kalangan akademisi,
peneliti dan masyarakat umum. Jurnal
POLITIK mempublikasikan hasil-hasil
penelitian, baik penelitian kepustakaan
maupun penelitian lapangan dalam
ilmu hubungan internasional, ilmu
administrasi negara dan masalahmasalah pembangunan.
P4M
JURNAL POLITIK
VOL. 10/NO. 01/2014
ISSN : 1978-063X
Pimpinan Umum
Dr. TB. Massa Djafar
Pemimpin Redaksi
Dr. Diana Fawzia
Redaktur Pelaksana
Dedi Irawan, M.Si
Sekretaris Redaksi
Nurhasanah, M.Kom
Dewan Redaksi
Truly Wangsalegawa, Ph.D
Dr. Mohammad Noer
Aris Munandar, M.Si
Khairul Fuad, MA
Lilik Sofyan Ahmad, MA
Sirkulasi dan Distribusi
Drs. Rochendi
Alamat Redaksi
Jurnal POLITIK
Jl. Bambu Kuning No.1 Jati Padang, Pasar
Minggu Jakarta Selatan 12520
Telp/Fax. 021-78837623
www.unas.ac.id
email : [email protected]
JURNAL POLITIK
i
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Pedoman Penulisan Naskah Untuk Jurnal POLITIK
1. Naskah asli dan belum pernah dipublikasikan
2. Naskah adalah hasil penelitian dan studi kepustakaan yang obyektif, sistematis, analistis dan deskriptif
3. Naskah diketik rapi dengan hurup Times News Roman, 12 pt, berukuran 1,5
spasi, diserahkan berupa print-out dan disimpan dalam disket atau flash disk,
sudah termasuk tabel dan gambar yang disimpan pada folder tersendiri
4. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia, Bahasa Melayu atau Bahasa Inggris
5. Judul naskah singkat sesuai isi. Abstraksi beserta kata kunci menggunakan
Bahasa Inggris. Naskah artikel ilmiah hasil penelitian ditulis dengan rfincian, yaitu
(1) Pendahuluan, mencakup latar belakang, masalah dan metode penulisan
secara tersirat, (2) Teori dan (3) Pembahasan dan temuan hasil penelitian, dan
(4) Simpulan. Kutipan dalam bentuk body note.
6. Pengiriman naskah disertai biodata penulis, termasuk juga dengan alamat email
7. Naskah yang tidak layak terbit tidak dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis
dengan menyerahkan perangko secukupnya
8. Naskah yang telah dimuat dilarang dipublikasikan pada majalah atau jurnal lain
tanpa seizin redaksi
9. Naskah dikirimkan ke redaksi jurnal POLITIK Jl. Bambu Kuning No. 1 Jati Padang,
Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520, Telp/Fax. 021-78837623, atau melalui
email : [email protected]
JURNAL POLITIK
ii
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
K
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Kata Pengantar
ebijakan pemerintah, demokrasi,
dan kemasyarakatan masih menjadi
isu sentral dalam perpolitikan di
Indonesia. Misalnya masalah sistem
pemerintahan, pemilihan umum, DPR RI, dan
kehidupan demurasi di masyarakat, serta isu-isu
lain yang sangat mengemuka untuk dijadikan
sebagai objek penelitian di negeri ini.
Berkait dengan permasalahan Pemilihan
Umum yang mencari calon anggota legesilatif
atau DPR RI, Muhammad Hasyim mengkaji
bagaimana DEwan Kehormatan DPR RI bekerja
dalam mengawasi anggota dewan. Menakar
efektivitas Dewan Kehormatan DPR RI tersebut,
Muhammad Hasyim melihat sejauh mana
efektifnya badan tersebut.
Dalam kaitan itu, jurnal Politik kali ini
mencoba mengetengahkan isu politik negara dan
masalah kebijakan pemerintah. Di mulai dari
tulisan Boy Ricardo yang membahas tentang
Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta putaran
kedua, khususnya pemilih pada saat itu.
Kembali ke Nagroe Aceh Darussalam,
Sahrudin menulis tentang Partai Aceh dalam
kaitannya dengan transisi demokarsi di provinsi
tersebut. Sahrudi melihat pada masa transisi
tersebut banyak hal yang mempengaruihi situasi
demokari dan politik di daerah tersebut, termasuk
terkait dengan partai-partai yang ada di Aceh.
Dalam kajiannya tersebut Boy Ricardo
mengungkapkan bahwa telah terjadi perubahan
pemilih pada PILKADA putaran kedua tersebut.
Hubungan antara mesin partai dalam mengusung
pasangan Jokowi dan Ahok dengan pencitraan
pasangan tersebut sangat mempengaeruhi pemilih
dalam PILKADA DKI Jakarta putaran kedua.
Pada bagian akhir tulisan jurnal ini
mengetengahkan kajian tentang pemberdayaan
Usaha Kecil dan Menengah di Cilegon, khususnya
pada sektor teleokomunikasi. Hardiwinata pada
akhirntya melihat masih banyak usaha kecil dan
menengah di Kota Cilegon masih belum tertangani
dengan baik.
Selanjutnya, isu lain yang terkait dengan
masalah efektivitas demokrasi di Provinsi Aceh.
Effendi Hasan dan kawan-kawan mengkaji seperti
apa efektivitas demokrasi di Aceh dan bagaimana
mengimplementasikannya.
Demikian beberapa isu demokrasi dan
kemasyarakatan yang diketengahkan dalam Jurnal
Politik volume 10 no. 1 ini. Semoga bermanfaat.
Masih soal demokrasi dan bermasyarakat,
terlihat kekuasaan masih berperan dalam
mempengaruhi masyarakat dalam hubungan
dengan patronase di Kota Makasar. Dalam artikel
tersebut, Junaenah dan kawan-kawan mengulas
bagaimana aartikulasi kekuasaan mempengaruhi
patronase kontemporere Kota Makasar, khususnya
pada masyarakat nelayan di sana.
Salam
Redaksi
Kembali ke permasalahan Pemilihan
Umum, Leo Agustino mengungkapkan bagaimana
dinamika Pemilihan Umum 2014 di Indonesia.
Hingar bingar politik ketika PEMILU saat itu
banyak mempengaruhi suhu demokrasi di negeri
ini. Bahkan hingga kini dampak pemilihan umum
terasa dalam kehidupan politik dan demokarasi di
Indonesia.
JURNAL POLITIK
iii
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
JURNAL POLITIK
iv
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Daftar Isi
No
Hal
I.
Kata Pengantar
iii
II.
Perubahan Pemilih pada PILKADA DKI Jakarta Putaran Kedua
Boy Ricardo
1381
III.
The Effectivenes of Democratic System’s Embodiment in a Direct Regional
Election in Aceh
Effendi Hasan , Fadhil Ilhamsyah , Ahmad Nidzammuddin Sulaiman
1395
Artikulasi Kekuasaan dalam Masyarakat Nelayan: Potret Patronase Kontemporer di Kota Makassar
Sudarmono, Junaenah Sulehan dan Noor Rahamah Hj. Abu Bakar
1403
V.
Dinamika Politik Pemilihan Umum 2014
Leo Agustino
1413
VI.
Menakar Efektivitas Badan Kehormatan DPR RI
Mohammad Hasyim
1427
IV.
VII. Partai Aceh dalam Transisi Demokrasi di Aceh
Sahruddin
1441
VIII. Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah Sektor Telekomunikasi di Cilegon
WH. Hardiwinata
1457
JURNAL POLITIK
v
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Perubahan Pemilih pada PILKADA DKI
Jakarta Putaran Kedua
The Changing of Voter in Second Round
PILKADA Jakarta
Boy Richardo
Abstrak
Kemenangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama pada putaran kedua PILKADA DKI
Jakarta merupakam sebuah kejutan yang sangat menarik untuk dikaji. Dengan metode
deskriptif kualitatif dan pendekatan pencitraan calon gubernur dan wakil gubernur, maka
menarik melihat bagaimana para pemilih di DKI Jakarta menentukan pilihan mereka.
Perubahan pemilih inilah yang mengubah hasil PEMILUKADA DKI Jakarta.
Kata Kunci: Perubahan Pemilih, PEMILUKADA, DKI Jakarta
Abstract
The winning of Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama in second round of DKI Jakarta
PILKADA is such an interesting surprise to analyze. By using qualitative descriptive
methods and candidate and vice governor image approaches, therefore it is interesting to
find out how voters in Jakarta decide to choose. It is the changing of voters that changed
over the result of PEMILUKADA.
Keywords: The changing of Voter, PEMILUKADA, DKI Jakarta
Pendahuluan
Berdasarkan hasil rekapitulasi perolehan
suara Pilkada DKI Jakarta 2012 putaran pertama
dari Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta,
pasangan Joko Widodo-Basuki menguasai lebih
dari separuh wilayah DKI Jakarta. Dari 44
kecamatan di enam wilayah Jakarta, Joko Widodo
hanya kalah di 13 kecamatan. Kekalahan paling
telak terjadi di dua kecamatan di Kabupaten
Kepulauan Seribu.
Akan tetapi, Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli
pun tidak dapat menyaingi Joko Widodo-Basuki
di wilayah Jakarta Barat. Dari delapan kecamatan
di wilayah itu, Fauzi Bowo sama sekali tidak
pernah menyalip dukungan warga kepada Joko
Widodo. Maka, Jakarta Barat dapat dikatakan
merupakan basis kekuatan Joko Widodo-Basuki
karena pasangan itu menang di semua kecamatan
di tempat tersebut.
Kecamatan Cengkareng di Jakarta Barat
merupakan lumbung suara terbesar bagi Joko
Widodo-Basuki. Di sini, mereka meraih 101.023
suara. Namun, jika dibandingkan dengan Fauzi
Bowo-Nachrowi Ramli, kekuatan terbesar Joko
Widodo-Basuki justru tampak di Kecamatan
Grogol Petamburan. Di kecamatan tersebut, Joko
Widodo-Basuki meraih lebih dari 60 persen suara,
sedangkan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli hampir
25 persen.
Beralih ke Jakarta Timur, Fauzi BowoNachrowi Ramli nyaris kalah di semua kecamatan.
Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli lebih kuat di
Kecamatan Cipayung dengan selisih suara sekitar
1.200 dan menang sangat tipis di Kramat Jati.
Perolehan suara terbesar Fauzi Bowo di putaran
pertama sebetulnya ada di Cakung (76.986
suara), tetapi jumlahnya sedikit di bawah Joko
Widodo (78.842 suara). Persaingan paling ketat
terjadi di Jatinegara. Selebihnya dimenangi oleh
Joko Widodo-Basuki dengan selisih suara cukup
Universitas Nasional Jakarta, [email protected]
JURNAL POLITIK
1381
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
signifikan, terutama di Pasar Rebo.
Pemilukada DKI Jakarta putaran kedua
Jakarta
Pusat
merupakan
medan dilaksanakan pada 20 September 2012 dengan
persaingan paling sengit bagi kedua kandidat. mempunyai dua kandidat yang bersaing, yaitu
Dari delapan kecamatan di lokasi tersebut, peta pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama
kekuatan Fauzi Bowo tampak di tiga kecamatan. dan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli. Hasil Quick
Fauzi Bowo tak tertandingi oleh Joko Widodo Count Pemilukada DKI Jakarta putaran kedua
di Menteng, di mana Fauzi Bowo menjadi tuan selanjutnya akan dijelaskan melalui tabel berikut.
rumah di lokasi tersebut. Fauzi Bowo juga unggul
Joko Widodo - Basuki
Fauzi BowoNo.
Lembaga
Nachrowi Ramli
di Johar Baru serta unggul tipis di Tanah Abang.
Tjahaja Purnama
Jakarta Utara juga merupakan lumbung No. INES
57,39%
42,61%
Indo Barometer-Metro TV
54,11%
45,89%
terbesar bagi Joko Widodo-Basuki, setelah
LSI-SCTV
53,81%
46,19%
LSI-TV One
68%
46,32%
Jakarta Barat. Dari enam kecamatan di wilayah
LSI
53,68%
46,32%
ini, pasangan ini hanya menyerah di Kecamatan
Jaringan Suara Indonesia
53,28%
46,72%
Litbang Kompas
52,97%
47,03%
Cilincing. Persaingan tidak imbang terjadi di
MNC Media-SMRC
52’63%
47,37%
Kelapa Gading di mana selisih persentase Joko Sumber: www.kompas.com
Widodo dan Fauzi Bowo hampir mencapai 37 Berdasarkan tabel di atas, maka, dapat
persen. Namun, jarak paling besar terjadi di terlihat bahwa pasangan Joko Widodo-Basuki
Penjaringan, di mana Joko Widodo unggul 40.990 Tjahaja Purnama merajai hasil quick count pilkada
suara dibanding pesaingnya.
putaran kedua DKI Jakarta yang dilakukan oleh
Perlawanan
Fauzi
Bowo-Nachrowi sejumlah lembaga survei. Keunggulan yang
Ramli juga tampak sengit di Jakarta Selatan. Di signifikan ini mengulang kemenangan Joko
sini mereka meraih kemenangan di Kecamatan Widodo-Basuki Tjahaja Purnama pada Pilgub
Jagakarsa, Tebet, Pancoran, Mampang Prapatan, putaran pertama, 11 Juli 2012 lalu. Kemenangan
dan Setiabudi. Meski demikian, kemenangan itu Joko Widodo tidak hanya dihitung cepat oleh
maksimal berselisih 5.000 suara di masing-masing lembaga survei, pasangan calon gubernur dalam
kecamatan, tak cukup besar untuk menandingi pilkada DKI Jakarta 2012 ini juga unggul dalam
kekalahan di kecamatan lain.
real count yang dilakukan oleh Cyrus Network.
Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli berkuasa
atas Kepulauan Seribu. Mereka mendapatkan
Hasil Real Count Cyrus Network
suara lebih dari 50 persen di dua
Pilkada Putaran II DKI Jakarta 2011
Fauzi Bowo
Joko Widodo
kecamatan di wilayah tersebut. Adapun
Catatan
Nachrowi Ramli Basuki T Purnama
Foke menang 4 kecamatan: Tanah abang, MenJoko Widodo-Basuki secara total hanya
Jakarta
teng, Senen, Johar Baru. Jokowi menang 4 ke49,34%
50,66%
camatan: Cempaka Putih, Kemayoran, Sawah
Pusat
mendapat 1.300-an suara di tempat ini.
Besar, Gambir.
Persaingan ketat diantara dua
Foke menang 2 kecamatan: Kebon Jeruk.
Jakarta
Jokowi menang 6 kecamatan: Kembangan, Gro55,39%
44,61%
kandidat ini, yaitu Joko Widodo-Basuki
Barat
gol Petamburan, Tambora, Taman Sari, Cengkareng, Kalideres.
Tjahaja Purnama dan Fauzi BowoFoke menang 5 kecamatan: Jagakarsa, MamJakarta
pang Prapatan, Pancoran, Tebet, Setiabudi.
Nachrowi Ramli berlanjut di dalam
47,9%
Selatan
Jokowi menang 5 kecamatan: Pasar Minggu,
Cilandak, Pesanggarahan, Kebayoran Lama,
Pemilukada DKI Jakarta Putaran Kedua.
52,1% Baru.
Kebayoran
Foke menang 1 kecamatan: Cilincing. Jokowi
Jakarta
5 kecamatan: Penjaringan, Kelapa GadUtara
59,24% menang
40,76%
Sistem Pencitraan yang Sukses
ing, Pandemangan, Tanjung Priok, Koja.
Foke menang 2 kecamatan: Kramat Jati, CipaBerdasarkan paparan di atas,
Jakarta
yung. Jokowi menang 8 kecamatan: Pasar
46,54%
53,46% Rebo, Ciracas, Makasar, Jatinegara, Duren
Timur
walau jelas terlihat bahwa pasangan
Sawit, Cakung, Pulogadung, Matraman.
Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama
Total
45,71%
54,29% Data masuk 89,4%
mengungguli pasangan Fauzi BowoNachrowi Ramli di dalam putaran pertama, namun,
Dari perbandingan data hasil perolehan
pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama suara pertama dan kedua, di daerah Jakarta
tidak mendapatkan perolehan suara di atas 50%. Barat, pada putaran pertama, Joko Widodo
Oleh karena itu, diadakanlah Pemilukada DKI memenangkan seluruh kecamatan (delapan
Jakarta putaran kedua.
JURNAL POLITIK
1382
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
kecamatan), tetapi pada putaran kedua, Fauzi
Bowo memenangkan dua kecamatan yaitu Kebon
Jeruk dan Palmerah. Hasil yang relatif sama (tidak
ada perubahan yang signifikan) terjadi di daerah
Jakarta Timur, Fauzi Bowo tetap memenangkan
perolehan suara di Kramat Jati dan Cipayung,
baik pada pemilihan suara pertama, maupun
pemilihan suara yang kedua, dan Joko Widodo
tetap mendapatkan perolehan suara yang terbesar
(delapan kecamatan).
Hal yang berbeda terjadi di daerah Jakarta
Pusat yang pada putaran pertama, di daerah Senen,
Joko Widodo menang tipis dari Fauzi Bowo, tetapi
pada putaran kedua, Fauzi Bowo memenangkan
pemilihan suara di daerah tersebut. Di Jakarta
Utara, Fauzi Bowo hanya memenangkan satu
kecamatan, yaitu Cilincing, baik pada putaran
pertama maupun putaran kedua. Jakarta Selatan,
tetap mendapatkan perolehan suara yang sama,
Joko Widodo tetap memenangkan lima kecamatan
(Pasar Minggu, Cilandak, Pesanggrahan,
Kebayoran Lama, Kebayoran Baru) dan Fauzi
Bowo juga tetap memenangkan lima kecamatan
(Jagakarsa, Mampang Prapatan, Pancoran, Tebet,
Setiabudi).
Dengan demikian, dari pemaparan di atas,
terlihat bahwa pada putaran pertama Fauzi Bowo
masih dapat menyamai perolehan suara dengan
Joko Widodo terutama di daerah Jakarta Pusat dan
Jakarta Selatan. Akan tetapi pada putaran kedua,
Joko Widodo memenangkan perolehan suara yang
lebih unggul di lima wilayah Jakarta dibandingkan
dengan Fauzi Bowo. Hal yang menjadi pusat
perhatian adalah Jakarta Utara tetap menjadi
basis dari pendukung Joko Widodo, yang dapat
dikatakan bahwa hal tersebut juga didukung oleh
banyaknya penduduk dari etnis Cina-Indonesia
yang bermukim di daerah tersebut. Sedangkan
Jakarta Selatan, yang umumnya merupakan basis
dari Fauzi Bowo, mempunyai perolehan suara
yang seimbang bagi kedua kandidat tersebut.
Pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja
Purnama telah memenangkan Pemilukada DKI
Jakarta 2012. Pencitraan, merupakan salah satu
penyebab yang berpengaruh pada kemenangan
pasangan tersebut. Pencitraan mereka sukses
diraih sebelum mencalonkan diri di dalam
pemilihan kepala daerah DKI Jakarta, yang baik
secara langsung atau tidak, menaikkan jumlah
JURNAL POLITIK
dukungan terhadap mereka, seperti pertama,
pemberitaan tentang Esemka. Joko Widodo
muncul dengan mobil karya anak bangsa,
yaitu Esemka. Pemberitaan mengenai Esemka
mengakibatkan Joko Widodo sering terlihat
hampir disemua stasiun televisi baik dalam
pemberitaan maupun dalam wawancara eksklusif
tentang kendaraan dinasnya tersebut. Aktivitas
Joko Widodo saat berangkat dan pulang ke kantor
seringkali mewarnai berita di televisi beberapa
bulan sebelum pilkada DKI. Diakui atau tidak,
Esemka adalah sebuah keberhasilan. Adanya
produk mobil dalam negeri merupakan simbol
kemajuan bangsa. Maka, wajar apabila sebagian
masyarakat ibukota mempercayakan kemajuan
wilayah mereka kepada tokoh yang telah dianggap
membawa kemajuan di wilayah lain itu.
Kedua, dukungan dari para pendatang
Jawa. Joko Widodo, nama tersebut membuat
semua orang pasti sudah dapat menebak jika Joko
Widodo berasal dari suku Jawa. Ditambah dengan
logatnya bicaranya yang khas, tanpa tahu namanya
pun, sudah dapat disimpulkan bahwa beliau
adalah orang Jawa. Jumlah pendatang di kota
Jakarta lebih banyak dari pada penduduk asli, dan
sebagian besar pendatang di Jakarta merupakan
masyakat suku Jawa. Dari hasil sensus pada
rentang 2000, diketahui bahwa etnis Jawa yang
berada di Jakarta 35% dari seluruh warga Jakarta.
Sehingga tidak dapat dipungkiri, hal tersebut
menjadi faktor bertambahnya jumlah dukungan
terhadap pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja
Purnama.
Ketiga, dukungan dari kalangan nonmuslim
dan etnis keturunan. Selama Orde Baru hingga
Reformasi, Jakarta selalu ‘dikuasai’ oleh partaipartai Islam. Barulah pada pemilu 2009 Partai
Demokrat memenangi pemilu legislatif. Latar
belakang sejarah itulah yang memompa semangat
masyarakat non muslim untuk bersatu pada
pemilu gubernur kali ini. Majunya Basuki Tjahaja
Purnama (A Hok) menjadi calon wakil gubernur
merupakan kesempatan emas bagi masyarakat
non muslim untuk memiliki seorang pemimpin
yang mewakili kaum mereka. Jumlah warga non
muslim di DKI Jakarta tentu tidaklah seberapa
jika dibandingkan dengan muslim, hanya sekitar
14 % dari seluruh populasi di Jakarta (data 2005).
Etnis Tionghoa pun hanya berjumlah sekitar 5,5%
1383
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
(data 2000). Meski demikian, kekuatan finansial
dan jaringan media yang dikuasai oleh non muslim
pendukung Joko Widodo sepertinya berperan
besar dalam kesuksesan pasangan tersebut.
Selain ketiga hal yang telah dimiliki oleh
pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama,
sebelumnya, terdapat pula strategi pemasaran
yang baik yang dilakukan oleh pasangan tersebut.
Baju kotak-kotak yang menjadi ciri khas pasangan
Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama bukan
lahir secara kebetulan. Seperti yang dituturkan di
dalam harian Kompas, 19 September 2012, Joko
Widodo mempunyai pengalaman di pemasaran
internasional selama dua puluh tiga tahun,
sehingga Joko Widodo mengenal baik mengenai
brand personalitation. Baju kotak-kotak tersebut
itu awalnya dibeli Joko Widodo di Pasar Tanah
Abang. Setelah berbagai pertimbangan, ternyata
baju tersebut mampu memberi ciri khas tersendiri.
Baju tersebut pun diproduksi secara massal, dan
menjadi tren di dalam masyarakat.
Pemilukada erat kaitannya dengan
kampanye yang dilakukan oleh masing-masing
kandidat. Pemilukada DKI Jakarta 2012 ini juga
mempunyai sebuah fakta, yaitu adanya black
campaign. Riset media yang dilakukan Indonesia
Media Monitoring Center (IMMC) menunjukkan
bahwa isu black campaign pada Pemilukada
Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta 2012 sangat
tinggi, berbeda jauh dengan ajang Pemilukada
DKI periode sebelumnya.
Fauzi Bowo, sebagai kandidat yang
mengusungkan nama besar etnis Betawi, didukung
oleh Bamus Betawi yang merupakan perkumpulan
organisasi Betawi, dan juga didukung oleh Forum
Betawi Rempug (FBR), yang mempunyai 350
basis di Jakarta yang diperkirakan merupakan
organsisasi terbesar di Jakarta. Organisasi kecil
yang berbasis Betawi antara lain Komando Betawi
Raya (Kobra) dan Komunitas Betawi (Kombet).
Fauzi Bowo secara terang-terangan menyatakan
bahwa etnis Betawi sebaiknya tidak mendukung
kandidat yang tidak berasal dari Betawi (http://
www.metrotvnews.com, diakses Januari 2013).
Pernyataan tersebut Fauzi Bowo kemukakan
untuk menyerang Joko Widodo.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
manipulasi politik dengan membawa etnis Betawi
muncul di dalam pemilukada DKI Jakarta. Satu
JURNAL POLITIK
kejadian dapat menjelaskan keuntungan dari
membawa-bawa etnis di dalam pemilukada,
sebagai contoh, di dalam perkumpulan Betawi,
Nahrowi berkata: “Saya mengingatkan kepada
kalian semua untuk membuat Jakarta bersatu.
Silahkan tinggalkan Batavia (Jakarta) jika kalian
tidak memilih Betawi” (Jakarta Post, 15 September
2012).
Etnis Betawi merupakan grup etnis Jakarta
yang berkembang dari percampuran etnis grup dan
secara berkala membentuk suatu identitas baru,
yang berbeda dari lainnya. Secara singkat, etnis
Betawi dapat dikatakan adalah suatu identitas yang
ditemukan (Kanumoyoso, 2011) dan mempunyai
banyak akar etnis (Castles, 1967). Batavia, nama
awal dari Jakarta, merupakan kota pelabuhan yang
menggambarkan populasi penduduk mereka yang
berasal dari berbagai agama, termasuk dari Eropa
dan Cina. Pada 1935, penjajah, membagi Batavia
ke dalam beberapa daerah yang dikenal dengan
Meester Cornelis. Hal tersebut terjadi dengan
munculnya kampongs atau wijken (Castles, 1967).
Asal mula kampongs adalah perkumpulan etnis
yang bergabung dalam VOC yang bekerja sebagai
pasukan (Raben 2000, 95). Mereka di arahkan
untuk bertempat tinggal di daerah yang telah
ditentukan oleh VOC. Etnis-etnis grup tersebut
hidup dengan pemimpin mereka yang disebut
dengan Mayor atau Kapten (Castles, 1967). Meski
terdapat peraturan yang menyatakan bahwa etnisetnis yang berbeda ini harus hidup secara terpisah,
namun pada kenyataannya, etnis tersebut berbaur
di dalam kehidupan sehari-hari (Raben, 2000).
Dan meskipun di bawah penjajahan Belanda
yang memisahkan daerah berdasaran etnis, pada
kenyataannya, Batavia menjadi kota dengan multi
etnis. Maka, dapat dikatakan, bahwa telah terjadi
pernikahan di antara etnis Jawa, Bali, Madura
dengan agama yang sama atau berbeda. Identitas
dari etnis Betawi hanya dapat diidentifikasikan
setelah terjadinya percampuran grup etnis yang
mampu utnuk memunculkan simbol dan identitas
baru. Selain itu terdapat juga bahasa baru yang
berasal dari Malay, perkenalan salam dari Arab,
dan percampuran budaya yang terlihat dari seni,
teater, baju upacara adat pernikahan, dan bentuk
rumah (Tjahjono, 2003).
Oleh karena itu, berdasarkan tempat tinggal
mereka Betawi dapat dikelompokkan menjadi tiga
1384
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
kelompok, yaitu urban, central, dan rural. Betawi
urban hidup di sekitar Jakarta Barat dan Lapangan
Banteng di Jakarta Pusat. Betawi rural adalah
mereka yang hidup di Tangerang dan Bekasi, dan
secara kuat terpengaruh pada budaya Cina. Betawi
central adalah penduduk yang sebagian besar
terpengaruh oleh kebudayaan Arab.
Perubahan kota (Batavia atau Jakarta)
juga mempengaruhi keberadaan Betawi. Batavia
berubah dari kota perdagangan, terlihat dari
adanya toko-toko dan pasar, menjadi kota
modern dengan membangun pusat pemerintahan
dan juga pemukiman penduduk. Gedung
pemerintahan dibangun untuk perkembangan
daerah. Meski demikian, Batavia adalah kota
yang terdiri dari berbagai etnis (Silver, 2008).
Masih berdasarkan pengaruh dari kolonial
Belanda, Jakarta mengembangakan daerah satelit
baru yang dinamakan Kebayoran Baru. Sekitar
1950, Soekarno memperbesar Jakarta dengan
membentuk area yang dinamakan dengan Jakarta
Raya. Dan Soekarno kemudian menerapkan
Jakarta sebagai Ibukota negara.
Di bawah kepemimpinan Soeharto, Orde
Baru membuat Jakarta sebagai kota komersial
dengan bantuan perminyakan dan perusahaanperusahaan swasta.. Hal tersebut ditandai dengan
adanya pembangunan gedung-gedung tinggi
di sepanjangan Jalan Thamrin, Sudirman, dan
Rasuna Said, yang terkenal dengan nama Segitiga
Emas. Pembangunan terbesar Jakarta sebagai
pusat komersial terlihat dengan adanya Bursa Efek
Jakarta dan Jalan Sudirman sebagai pusat bisnis.
Kepentingan dari keberadaan sektor swasta juga
terlihat dari adanya daerah baru, seperti Pondok
Indah, Pluit, dan daerah-daerah lainnya.
Proses pengembangan daerah pada rentang
1970 sampai 1990 memerlukan banyak lahan.
Pemerintahan daerah dan pemilihan lahan swasta
secara langsung memindahkan Betawi dari pusat
kota, seperti contoh di daerah Kuningan yang
terdapat pembangunan gedung-gedung tinggi.
Betawi menggunakan kompensasi uang yang
mereka dapatkan untuk membangun pemukiman
baru di pinggir Jakarta. Pengalaman tersebut
memunculkan persepsi kuat bahwa Betawi hilang
dari pengembangan daerah yang membuat etnis
non-Betawi berperan di Jakarta.
Fauzi Bowo mencoba memanipulasi
JURNAL POLITIK
kesenjangan sosial yang dialami oleh etnis Betawi
di dalam proses untuk memperoleh dukungan dari
etnis Betawi. Dengan skema ini, tidak mengejutkan
jika Fauzi Bowo mendapatkan dukungan dari
FBR. Mereka berbagi perasaan tentang perasaan
tersisihkan. Bagi FBR, Betawi telah dipaksa
untuk meninggalkan kampung halaman mereka,
dan telah gagal untuk memperjuangkan ekonomi
mereka di bawah era Orde Baru (Brown dan
Wilson, 2007). FBR didirikan pada 2001 ketika
terjadi konflik antara Betawi dan Madura di
Jakarta Timur. FBR menyatakan bahwa mereka
mewakili rakyat Betawi di Jakarta, anggota
mereka terutama berasal dari kaum bawah dan
tidak bekerja, serta jumlah anggota mereka
sekitar 80-100.000 orang (Brown dan Wilson
2007, 10). FBR mendukung Fauzi, dan pemimpin
mereka menyatakan untuk menggunakan 500.000
anggota untuk memilih Fauzi. Fajri Husein, juru
bicara dari Garda FBR mengemukakan bahwa
FBR mempunyai hubungan batin dengan FauziNachrowi berdasarkan kesamaan etnis mereka
sebagai Betawi (http://www.fauzibowo.com,
diunduh Januari 2013).
Isu SARA yang merupakan bagian dari
black campaign juga terdapat di pemilukada DKI
Jakarta. Seperti moto dari tim Fauzi Bowo yang
mengemukakan “Orang Cerdas pilih yang jelas!”
yang dapat dikatakan berhubungan dengan agama
yang dianut oleh Joko Widodo yang dianggap
oleh mereka “tidak jelas”. Permasalahan agama
menjadi kampanye vokal yang dikemukakan
secara terang-terangan, sebagai bentuk dari
kompetisi yang semakin tajam. Tidak hanya untuk
menyatakan bahwa Basuki Tjahaja Purnama
adalah seorang yang berasal dari etnis Cina dan
memeluk agama Kristen, isu bahwa ibu Joko
Widodo adalah seorang non-muslim, dinyatakan
sebagai kampanye negatif.
Isu agama menjadi pusat perhatian terutama
ketika pedangdut Rhoma Irama mengatakan di
dalam perkumpulan masjid, bahwa rakyat harus
memilih “seorang pemimpin yang memiliki
keyakinan yang sama”. Rhoma Irama mendukung
Fauzi Bowo dan bahkan muncul di dalam
kampanye TV komersial. Perkataan kontroversial
Rhoma Irama direkam dan di posting di dalam
YouTube dan menyebar di berbagai media massa.
Panitia Pengawasan Pemilu (Panwaslu) kemudian
1385
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
memanggilnya untuk diinvestigasi sebagai terduga pendatang daripada etnis asli, dan etnis Jawa tetap
menjadi etnis yang paling banyak di DKI Jakarta,
dalam memprovokasi diskriminasi agama.
Dalam menanggapi hal tersebut, Joko sebagaimana yang dijelaskan dalam tabel berikut.
Widodo juga menggunakan simbol agama, tetapi
Etnis
1961
2000
dengan jalan yang lebih aman. Joko Widodo sering
Jawa
35,16
25,4 (termasuk Madura)
mengunjungi pasar rakyat, tidak ke masjid, tetapi ia
Betawi
27,65
22,9
membuat simbol dengan menunjukkan foto saat ia
Sunda
15,27
32,85
umroh, tepat setelah pemilukada putaran pertama.
Cina
5,53
10,1
Joko Widodo juga mengunjungi beberapa habib
Batak
3,61
1
pemimpin agama demi menangkis adanya kesan
Minangkabau
3,18
2,1
Malay
1,62
2,8
sekulerisme di dalam dirinya. Joko Widodo dan
Bugis
0,59
0,6
Fauzi Bowo mengunjungi Habib Munzir, habib
Madura
0,57
Na
zikir yang sangat terkenal yang sedang dirawat di
Banten
0,25
Na
rumah sakit, di hari yang sama.
Banjar
0,1
0,2
Berkaitan dengan black campaign yang
Minahasa
Na
0,7
terjadi di Pemilukada DKI Jakarta, riset IMMC
Lainnya
6,47
1,35
menjaring berbagai isu yang muncul dalam Sumber: 1961: Lance Castle: Indonesia 1967, 2000: sensus 2000
pemberitaan Pemilukada DKI 2012 putaran kedua
Kandidat Pemilukada DKI Jakarta tahun
ini. Hasilnya, ada tiga isu besar yang muncul, yaitu: kegiatan masing-masing pasangan cagub, 2012, dapat dibagi berdasarkan etnis yang
diwakilinya, seperti yang terlihat pada tabel berikut.
dinamika di sosial media, dan
black campaign. Dari ketiga
Putaran I Putaran II
Kandidat
Partai
isu itu, black campaign yang No
Etnis
(%)
(%)
paling dominan, yaitu 48%. 1.
34,05
46,18
Betawi
Fauzi Bowo- PD, PAN, PKB,
Sementara kegiatan kedua
Nachrowi Ramli Hanura, PBB,
cagub 43% dan sosial media
PMB, dan
PKNU
8%. Riset IMMC menunjukkan
ada tiga pola black campaign,
42,06
53,87
Jawa dan
PDIP dan
Joko Widodoyaitu
isu
SARA,
isu 2.
Cina
Gerindra
Basuki Tjahaja
tentang
prestasi-prestasi
Purnama
kepemimpinan yang dituduh
tidak valid dan isu tentang 3. Hendardji Soe1,98
Jawa
Independen
pandji-Ahmad
orientasi politik tersembunyi
Riza Patria
yang ingin dicapai seorang
kandidat.
4.
4,98
Jawa dan
PKS
Hidayat NurSeperti yang telah
Madura
wahid-Didik
dijelaskan
sebelumnya,
Rachbini
Fauzi Bowo menggunakan
4,98
Batak dan
isu etnis sebagai cara untuk 5. Faisal Batubara- Independen
Betawi
Biem
Benjamin
memperoleh pendukungnya.
Fauzi Bowo menitikberatkan
6.
4,67
Palembang
Golkar, PPP,
Alex Noerdinkepada etnis Betawi untuk
dan Jawa
PDS, PPKB,
Nono Sampono
mendukungnya.
Meskipun
PKDI
demikian, ketika ditelaah lebih Sumber: 1961: Lance Castle: Indonesia 1967, 2000: sensus 2000
lanjut, DKI Jakarta merupakan
sebuah kota metropolitan dengan berbagai macam
Dari tabel di atas terlihat bahwa terdapat
etnis di dalamnya. Ditambah dengan kuatnya dua putaran di dalam pemilihan Kepala Daerah
arus urbanisasi, menjadikan DKI Jakarta sebagai 2012. Pada putaran pertama lima kandidat saling
sebuah kota yang mempunya lebih banyak etnis berkompetisi, sedangkan pada putaran kedua,
JURNAL POLITIK
1386
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
hanya dua kandidat yang bersaing. Penelitian di
dalam tulisan ini hanya menitik beratkan pada
putaran kedua. Dapat dilihat dari kolom etnis
masing-masing kandidat, terlihat bahwa di dalam
putaran kedua, terdapat kompetisi di antara etnis.
Joko Widodo-Basuki merepresentasikan etnis
Jawa dan Cina-Indonesia, sedangkan FauziNachrowi merepresentasikan Betawi. Maka dapat
juga dikatakan bahwa pemilihan tersebut adalah
pemilihan di antara etnis Betawi dengan Jawa
dan Cina-Indonesia. Dengan menghitung etnis
pendukung, dapat dikemukakan bahwa Joko
Widodo-Basuki Tjahaja Purnama didukung oleh
40% dari populasi penduduk. Fauzi-Nachrowi
merepresentasikan Betawi seutuhnya, karena
mereka dua-duanya berasal dari Betawi. Secara
statistik, etnis Betawi merepresentasikan 27%
dari populasi. Dari contoh ini, dapat disimpulkan
jumlah pendukung Joko Widodo melebihi
Fauzi. berasal dari bahasa Romania “Populis” yang artinya
adalah Rakyat, serta Bahasa Latin “Popus” yang
sama artinya dengan populis. Populisme dalam
praktiknya adalah segala upaya untuk meyakinkan
rakyat entah itu mengenai pemerintahan berjalan
yang kotor atau kurang dapat mewakili rakyat,
menghilangkan jurang perbedaan antara si
kaya dan si miskin, serta populisme juga sering
dikaitkan dengan penyelamat negara.
Sementara itu, dalam kamus sosiologi,
populisme diartikan sebagai “suatu bentuk khas
retorika politik, yang menganggap keutamaan
dan keabsahan politik terletak pada rakyat,
memandang kelompok elit yang dominan sebagai
korup, dan bahwa sasaran-sasaran politik akan
dicapai paling baik melalui cara hubungan
langsung antara pemerintah dan rakyat, tanpa
perantaraan lembaga-lembaga politik yang ada”
(Abercombrie, 1998).
Populisme di dalam tulisan ini mengacu
kepada pendapat Canovan yang menyatakan
Kandi- Jawa Betawi Sunda Cina Batak Minang Lainnya
bahwa di dalam demokrasi modern,
dat
populisme dapat dilihat sebagai keinginan
Fauzi
0,7
0,35
0,23 0,04 0,03
0,12
0,95
penduduk untuk melawan struktur kekuatan,
Bowo
dominasi ide, dan nilai nilai komunitas
Joko
0,34
0,13
0,27 0,49 0,49
0,39
2,11
penduduk. Di era demokrasi, mereka
Widodo
mengakui diri, mereka berbicara untuk
Sumber: SMRC-MNC dan LSI-Tempo (diolah)
mayoritas penduduk biasa atau masyarakat
Berdasarkan tabel di atas terlihat jelas awam, yang memiliki ketertarikan dan opini
bahwa etnis Jawa mendukung Joko Widodo, mereka terbentuk dari elit-elit arogan, tokoh
meskipun terdapat beberapa etnis Jawa yang politik yang korupsi, dan kaum minoritas yang
mendukung Fauzi Bowo, tetapi tetap sebagian tertekan (Margaret Canovan, 1999).
besar dari mereka, mendukung Joko Widodo.
Terdapat beberapa hal yang dapat
Sebaliknya, hal yang terjadi dalam pola yang sama memunculkan populisme di dalam pemilihan
adalah etnis Betawi mendukung Betawi. Meskipun kepala daerah DKI Jakarta. Pertama, kerusuhan
demikian, pola yang sangat kuat terlihat pada etnis dan ketidakpercayan kepada sistem politik di
Cina Indonesia yang sebagian besar mendukung Indonesia. Jakarta, sebagai pusat dari berbaurnya
Joko Widodo. Dengan melihat dari tiga grup etnis etnis atau keturunan, hubungan antara etnis tidak
tersebut, dapat terlihat jelas bahwa masyarakat, selamanya harmonis. Beberapa etnis membuat
dalam hal ini pemilih pilkada, lebih cenderung organisasi dan bisnis baik legal maupun ilegal.
memilih berdasarkan etnis darimana mereka Terdapat berbagai organisasi atau organisasi
berasal. Maka dapat dikatakan bahwa kemenangan muda yang berdasarkan etnis atau keturunan,
Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama diperoleh seperti Forum Betawi Rempug (FBR), Forum
dari dukungan etnis Jawa dan Cina, yang Anak Betawi (FORKABI), Badan Pembina
merupakan etnis pendatang dan mempunyai Potensi Keluarga Besar Banten (BPPKB), Grup
jumlah yang lebih banyak dibandingkan etnis asli. Ambon, Grup Timor atau Grup Flores Ende.
Selain hal tersebut, kemenangan Joko- Perkelahian antar sesama grup etnis pun sering
Widodo-Basuki Tjaha Purnama juga disebabkan terjadi di Jakarta demi mempertahankan urusan
oleh adanya fenomena populisme. Populisme dan aktivitas mereka.
JURNAL POLITIK
1387
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Perkelahian atau tawuran kemudian
menjadi hal yang rutin bagi beberapa siswa pelajar
di Jakarta. Kerusuhan di sekitar kota merupakan
salah satu ciri khas kejadian yang terjadi Jakarta.
Selain itu, juga terdapat banyak penduduk yang
membuang sampah ke sungai, penumpang duduk
di atas kereta api, sepeda motor berjalan di trotoar
untuk pejalan kaki; semua hal tersebut menjadi
pemandangan sehari-hari di Jakarta. Banjir dan
kemacetan juga merupakan masalah utama di
Jakarta, yang menyebabkan Fauzi Bowo sebagai
Gubernur DKI Jakarta saat itu dianggap gagal
untuk menyelesaikan masalah yang ada di Jakarta,
tidak hanya karena anggapan ketidakmampuannya
untuk menyelesaikan masalah, tetapi juga
menurunnya kepercayaan rakyat terhadap
kepemimpinannya.
Seperti yang dikemukakan oleh survei
yang dilakukan untuk mengevaluasi kinerja
pemerintahan Jakarta, di dalam koran Kompas,
sebanyak 23,9% responden pada 2010 dan 35,9%
responden pada 2011, yang puas dengan kinerja
pemerintah Jakarta untuk mengatasi masalah
yang ada di Jakarta. Kinerja yang paling buruk
adalah dalam hal mengatasi banjir dan kemacetan
(Kompas, 2011).
Fauzi Bowo, sebagai Gubernur yang saat
itu mengaku sebagai pakar untuk menyelesaikan
masalah di Jakarta, menemukan kesulitan
menjawab kenyataan bahwa tidak ada perubahan
yang signifikan di dalam kepemimpinannya.
Masalah klasik yang ada di Jakarta menjadi sebuah
rutinitas yang berjalan tanpa adanya solusi.
Kedua, kelelahan akan tradisi politik
dan kemunduran partai politik. Kepercayaan
masyarakat terhadap partai politik sangat rendah.
Berdasarkan survei di dalam koran Kompas
Maret 2012, 80,4% responden menyatakan bahwa
partai politik mempunyai image yang buruk;
meningkat dari 80,1% di 2011 dan 61,13% pada
2010. Hal tersebut sangat bertolak belakang
dengan responden yang menyatakan bahwa partai
politik mempunyai image yang bagus, sebanyak
14,7% pada 2012; menurun dari 15,3% pada 2011
dan 30,4% pada 2010. Kemudian juga terdapat
sebanyak 90,2% responden yang kecewa terhadap
kinerja partai politik; meningkat dari 88,9% pada
2011 dan 81,5% di 2010 (Kompas, 2012).
Dalam dua tahun terakhir, sulit untuk
JURNAL POLITIK
menemukan hari tidak ada berita mengenai kasus
korupsi di dalam lingkungan partai politik. Terdapat
beberapa skandal besar yang melibatkan partai
politik, seperti Century, Wisma Atlet, Hambalang,
dan lain sebagainya. Meski demikian, Sekretaris
Kabinet menunjukkan data resmi pada 2004-2011
yang disetujui oleh Presiden untuk melakukan
pemeriksaan kepada partai-partai politik terkait
kasus korupsi. Golkar menduduki nomor pertama
dengan 64 orang, PDIP 32 orang, dan Partai
Demokrat 20 orang. Hasil tersebut membuat
masyarakat mempunyai pandangan bahwa partai
politik sejalan dengan korupsi. Hal ini juga yang
membuat jumlah pendukung di dalam partai politik
berbeda dengan hasil pemilih. Kemudian, pada
akhirnya, masyarakat cenderung tidak memilih
kandidat yang mempunyai hubungan yang kuat
dengan partai politik, karena mereka mempunyai
pikiran bahwa mungkin terdapat kesepakatan
rahasia di antara kandidat dengan partai politik
pengusungnya. Masyarakat cenderung untuk
mencari figur kuat yang didukung oleh partai
manapun. Joko Widodo mempunyai figur dan
identitas yang kuat meskipun didukung oleh PDIP
dan Gerindra.
Adanya perpindahan pemilih dari kandidat
yang tidak terpilih ikut di dalam putaran kedua,
tidak mencerminkan komitmen dari partai politik.
Meski Fauzi Bowo didukung oleh semua partai
politik, kecuali PDIP dan Gerindra di putaran
kedua, masyarakat tetap cenderung untuk memilih
berdasarkan pilihan mereka.
Pemilih Fauzi Bowo yang masih memilih
Fauzi Bowo di putaran kedua adalah sebanyak
91,6%. Fauzi Bowo juga mendapat pemilih dari
Hendardji (60%), Joko Widodo (7,3%), Hidayat
(66,7%), Faisal (38,1%), dan Alex (43,1%).
Pemilih Joko Widodo yang tetap memilih Joko
Widodo sebanyak 92,7%. Joko Widodo juga
mendapat pemilih dari Fauzi (8,4%), Hendardji
(40%), Hidayat (33,3%), Faisal (61,9%) dan
Alex (43,5%) (SMRC dan MNC Group, 2012).
Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat
mengkritisi partai politik dan kandidat melalui
pemilihan yang otonom beradasarkan pilihan
mereka sendiri.
Ketiga, perubahan di bidang ekonomi,
kultur, dan budaya, seperti proses urbanisasi, dan
modernisasi politik. Meski Betawi adalah etnis
1388
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
yang cukup banyak ada di Jakarta, tetapi etnis
Jawa jauh lebih banyak jumlahnya. Perpindahan
etnis di Jakarta berdasarkan sensus nasional 2010
menunjukkan bahwa etnis jawa sebanyak 36,17%,
Betawi 28,29%, Sunda 14,6%, Cina 6,62%, Batak
3,42%, dan Minangkabau 2.85%.
Mayoritas dari pemilih yang ada di Jakarta
adalah anak muda dan berpendidikan. Sebanyak
3,8 juta pemilih atau 54,98% pemilih berusia 17-35
tahun; 914.000 berusia 17-21 tahun yang memiliki
pengalaman pertama untuk ikut berpartisipasi
di dalam pemilihan. Sebanyak 21,08% pemilih
berusia 36-45 tahun dan 23,94% pemilih
berusia di atas 46 tahun. Mayoritas penduduk
Jakarta (34,4%) berpendidikan SMA dan 12,8%
berpendidikan sarjana (Kompas, 2012).
Joko Widodo berusaha untuk meraih
pemilih dari segmen di atas. Pada masa periode
kampanye, Joko Widodo datang ke 77 kampung
di Jakarta yang termasuk ke dalam kalangan
menengah ke bawah dan mendapatkan pemilih
yang besar. Di dalam kampanyenya, Joko Widodo
berusaha untuk mendengarkan aspirasi rakyat
ketimbang hanya berbicara lantang seperti yang
dilakukan kandidat politik lainnya. Joko Widodo
hanya menyebutkan dua hal dalam kampanyenya,
yang pertama, Kartu Pintar Jakarta sebagai solusi
dari masalah pendidikan dan Kartu Sehat Jakarta
sebagai solusi di dalam masalah kesehatan.
Keempat, kemunculan bentuk politik di
luar dari institusi politik tradisional. Fenomena
populisme selalu ditandai oleh kemunculan media
massa yang mewakili aspirasi rakyat, baik secara
alami maupun direncanakan oleh pemimpin
populis. Gelombang pertama dari pemimpin
populis di Amerika Latin didahului dengan
adanya radio sebagai bentuk dari komunikasi
massa (Panizza, 2005: 15). Pada pemilihan 2001
di Thailand, Thaksin juga menggunakan radio dan
televisi untuk mendukung kampanyenya sebagai
penyelamat Thailand. Televisi membuat drama
mengenai kehidupan Thaksin yang memunculkan
dirinya sebagai orang yang miskin menjadi
pebisnis kaya raya. Media massa memberikan
pesan singkat Thaksin, yaitu: “untuk membawa
kebahagiaan kepada mayoritas warga negara”
(Pongpaichit and Baker, 2009).
Media
Massa
menjadi
“institusi
representatif” yang dapat secara efektif mengiJURNAL POLITIK
rimkan pesan dari pemimpin populis kepada
rakyat. Hal tersebut juga merupakan gambaran
dari kegagalan pemerintahan, termasuk partai
politik, baik di tingkat lokal maupun nasional, di
dalam mengerjakan tugas-tugasnya.
Saat ini media online menjadi salah
satu media terpenting dalam menjadi “institusi
representatif”. Sebagian besar, terutama anak
muda dan kalangan menengah, mampu untuk
mengakses internet secarah muda melalui
handphone maupun warung internet (warnet).
Mereka menggunakan internet sebagai penduduk
dari dunia facebook dan twitter. Oleh karena itu,
mengirimkan pesan politik menggunakan media
tersebut menjadi sangat efektif.
Tim Joko Widodo memasukkan beberapa
video di dalam YouTube, seperti profil Joko
Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, Jakarta Baru,
dan Stand Up Comedy Joko Widodo. Video klip
kampanye Joko Widodo, parody One Direction
“What Make You Beautiful” mempunyai hit (rating)
tertinggi di YouTube, ditonton oleh ratusan ribu
penonton. Facebook dan twitter juga digunakan
di dalam kampanye Joko Widodo-Basuki Tjahaja
Purnama. Hal yang mendapat perhatian lebih
adalah ketika akun twitter @triomacan2000 yang
mempunyai ratusan ribu followers secara penuh
melawan Fauzi Bowo dan mendukung Joko
Widodo serta Hidayat di putaran pertama. Di
putaran kedua, @triomacan2000 tiba-tiba berubah
untuk mendukung Fauzi Bowo, tetapi hal tersebut
tidak mempengaruhi followersnya, karena mereka
curiga akan perubahan drastis @triomacan2000.
Joko Widodo juga merupakan sahabat
media. Masyarakat secara antusias membaca
berita tentang Joko Widodo, di dalam media
konvensional dan juga di media sosial, membuat
Joko Widodo sering diikuti oleh para jurnalis.
Survei dari Penelitian Konsultan Saiful Mujani
(2012), pada putaran kedua Joko Widodo lebih
terdepan di seluruh media massa, kecuali radio.
Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin besar
pemilih mengakses semua media massa, semakin
besar kemungkinan Joko Widodo memenangkan
pemilihan. Sejalan dengan Penelitian Asosiasi
Jurnalis Indonesia (Aliansi Jurnalis Independen
(AJI)) Jakarta, menujukkan bahwa pada 1 Juni13 September 2012, terdapat 810 berita baik dan
172 berita buruk mengenai Joko Widodo. Di sisi
1389
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
lain, terdapat 666 berita baik dan 260 berita buruk
mengenai Fauzi Bowo (http://www.tempo.co.id
diakses tanggal 16 maret 2013).
Kemenangan
Joko
Widodo-Basuki
Tjahaja Purnama pada Pemilukada DKI Jakarta
2012, mengindikasikan adanya perubahan
pemilih. Perubahan pemilih erat kaitannya
dengan perilaku pemilih. Tindakan para pemilih
dalam memberikan suaranya pada pemilu atau
pada pilkada dalam studi-studi politik disebut
sebagai studi perilaku memilih (Voting Behavior).
Menurut Jack C. Plano (1985: 280), studi perilaku
memilih dimaksudkan sebagai suatu studi yang
memusatkan diri pada bidang yang menggeluti
kebiasaan atau kecenderungan pilihan rakyat
dalam pemilihan umum, serta latar belakang
mengapa mereka melakukan pilihan itu.
Pemberian suara pada pilkada secara
langsung menurut Asfar (2005) adalah cara
pemilihan Kepala Daerah dengan memilih “orang”,
artinya menempatkan figur sebagai pertimbangan
utama dalam menentukan pilihan Kepala Daerah.
Dengan demikian, figur calon Kepala Daerah
masih merupakan faktor yang mempengaruhi
pemilih dalam menjatuhkan pilihan politiknya.
Untuk lebih memahami mengenai
kemenangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama
dan adanya perubahan pemilih, diadakanlah studi
kasus dengan menyebarkan kuesioner terhadap
120 responden di wilayah Jakarta Selatan, yang
terbagi dalam 11 daerah, yaitu: Kebayoran Baru,
Kebayoran Lama, Pesanggrahan, Cilandak, Pasar
Minggu, Jagakarsa, Mampang Prapatan, Pancoran,
Tebet, Setiabudi, dan Walikota Jakarta Selatan.
Kuesioner dibagi menjadi 10 pertanyaan,
yaitu.
1. Apakah Anda Memilih pada saat
Pemilukada Jakarta 2012 putaran kedua
berlangsung? (a) Iya; (b) Tidak
2. Apakah Anda Memilih Joko WidodoBasuki Tjahaja Purnama di dalam
Pemilukada Jakarta 2012 putaran kedua?
(a) Iya; (b)Tidak
3. Jika Iya, apakah yang menjadi dasar Anda
Memilih Joko Widodo-Basuki Tjahaja
Purnama? (a) Etnis (suku bangsa); (b)
Agama; (c) Pencitraan
4. Jika Tidak, apakah yang menjadi dasar
Anda Memilih Fauzi Bowo-Nachrowi
JURNAL POLITIK
Ramli? (a) Etnis (suku bangsa); (b) Agama;
(c) Pencitraan
5. Dari etnis manakah Anda berasal (tidak
memunculkan issue SARA)?
(a) Jawa; (b) Betawi; (c) Sunda; (d)
Lainnya
6. Agama apa yang Anda Peluk (tidak
memunculkan issue SARA)?
(a) Islam; (b) Kristen; (c) Hindu; (d)
Lainnya
7. Anda berada di usia berapa? (a) 17-25th;
(b) 25-40th; (c) 40th
8. Menurut Anda, etnis (suku bangsa) dan
agama, berpengaruh atau tidak di dalam
menentukan calon pemenang di dalam
Pemilukada?
(a) Iya; (b) Tidak
9. Jika Iya, apakah yang menjadi dasar
pendapat Anda?
(a) Kriteria untuk memilih calon pemimpin
yang tepat
(b)Keinginan untuk mempunyai pemimpin yang berasal dari etnis (suku
bangsa) dan agama yang sama
(c) Kemampuan memimpin yang lebih
bagus jika berasal dari etnis (suku
bangsa) dan agama yang sama
10.Jika Tidak, apakah yang menjadi dasar
pendapat Anda?
(a) Pemimpin dilihat dari kemampuannya
untuk memimpin bukan dari latar
belakang etnis (suku bangsa) dan
agama
(b)Kampanye politik lebih berpengaruh
daripada melihat etnis (suku bangsa)
dan agama
(c) Belum tentu pemimpin yang berasal
dari etnis (suku bangsa) dan agama
yang sama merupakan calon pemimpin
yang tepat
Dari hasil survei yang dilakukan, berdasarkan responden yang memilih, Pemilukada DKI
Jakarta putaran kedua 2012 ini memiliki antusiasme
yang tinggi, terbukti, di antara 120 responden,
sebanyak 88 responden menyatakan memilih
di dalam Pemilukada DKI Jakarta, sebanyak 29
responden menyatakan tidak memilih, dan hanya
sebanyak 3 responden yang menyatakan abstain.
1390
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Kebayoran Kebayoran Pesang- Cilan- Pasar Jaga- Mampang Pan- Tebet Setia- Walikota JaBaru
Lama
grahan
dak Minggu karsa Prapatan coran
budi karta Selatan
Abstein
Iya
Tidak
3
35
9
2
3
2
2
2
1
1
3
1
2
Hasil quisioner
Abstein
Iya
Tidak
Jumlah Responden
3
88
29
Presentase
2,50%
73,33%
24,17%
Hasil quisioner
Berdasarkan Agama dan Etnis latar
belakang responden, agama Islam menjadi agama
yang dianut terbesar dan etnis Jawa juga menjadi
etnis dominan di antara para responden. Hal
tersebut mendukung penjelasan sebelumnya yang
menyatakan bahwa agama Islam menjadi agama
yang dominan dianut oleh masyarakat Indonesia
dan etnis Jawa merupakan etnis pendatang yang
mempunyai jumlah yang lebih besar dibanding
etnis yang lainnya. Dalam hal pemilihan calon pemimpin,
berdasarkan survei yang dilakukan, berikut
adalah tabel yang memilih dan tidak memilih
Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama dalam
Pemilukada Putaran Kedua 2012.
Abstein
Iya
Tidak
Jumlah Responden
22
34
64
3
28
4
6
4
7
2
Dari hasil tersebut
dapat disimpulkan
bahwa dari 120
responden, lebih
banyak di antara
mereka yang tidak memilih Joko Widodo-Basuki
Tjahaja Purnama.
Pada survei yang telah dilakukan,
responden Kebayoran Baru lebih banyak tidak
memilih Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama,
yaitu sebanyak 31 responden, sedangkan yang
memilih Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama
sebanyak 11 responden, dan yang memilih untuk
abstein sebanyak 5 orang. Hal ini berbeda dengan
hasil quick count yang menyatakan bahwa Joko
Widodo menang di Kabupaten Kebayoran Baru.
Hal tersebut mengindikasikan adanya
perubahan pemilih di daerah Kebayoran Baru
yang cenderung memang berbasis pribumi, dan
juga adanya perubahan cara pandang masyarakat
dalam memilih calon pemimpin mereka
Latar belakang dalam memilih juga menjadi
perhatian di dalam memilih calon pemimpin.
Berdasarakan survei yang telah dilakukan,
sebanyak 66 responden menyatakan tidak melihat
latar belakang etnis dan agama calon pemimpin
dan sebanyak 54 responden menyatakan melihat
latar belakang etnis dan agama calon pemimpin,
yang selanjutnya dapat terlihat dari grafik dan
tabel berikut.
Presentase
18,33%
28,33%
53,33%
Hasil quisioner
Berdasarkan tabel di atas, sebanyak 22
orang menyatakan abstain (18,3%), menyatakan
memilih Joko Widodo sebanyak 34 responden
(28,3%), dan yang menyatakan tidak memilih
Joko Widodo sebanyak 64 responden (53,3%).
JURNAL POLITIK
Abstein
Iya
Tidak
Jumlah Responden
0
54
66
Hasil quisioner
1391
VOL. 10 No. 01. 2014
Presentase
0,00%
45,00%
55,00%
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Responden yang memilih calon pemimpin
berdasarkan etnis dan agama calon pemimpin,
di dalam survei ini memiliki dua alasan yang
seimbang, yaitu: adanya keinginan untuk
mempunyai pemimpin yang berasal dari etnis dan
agama yang sama, yaitu sebanyak 20 responden
(16,67%). Selain itu, juga sebanyak 20 responden
(16,67%) melihat bahwa kemampuan memimpin
calon pemimpin akan lebih bagus jika berasal dari
etnis dan agama yang sama.
Sementara itu, responden yang tidak
memilih calon pemimpin berdasarkan etnis dan
agama calon pemimpin, dapat dijelaskan dalam
tabel berikut.
Jumlah
Responden Presentase
Pemimpin dilihat dari ke43
35,83%
mampuannya untuk memimpin bukan dari latar belakang etnis dan agama
Kampanye politik lebih berpengaruh daripada melihat
etnis dan agama
10
8,33%
Belum tentu pemimpin yang
berasal dari etnis dan agama
yang sama merupakan calon
pemimpin yang tepat
17
14,17%
Hasil quisioner
Sebanyak 43 responden (35,83%)
menyetujui bahwa memimpin lebih dilihat dari
kemampuan untuk memimpin bukan dari etnis dan
agamanya. Hal ini memperlihatkan bahwa pemilih
DKI Jakarta berpikir rasional dengan melihat
sosok kepemimpinan dari kandidat Pemilukada
DKI Jakarta.
Dalam hal dua kandidat yang bersaing di
dalam Pemilukada DKI Jakarta putaran kedua,
responden yang memilih Joko Widodo-Basuki
Tjahaja Purnama memilih pencitraan dari kandidat
tersebut sebagai dasar memilih yaitu sebanyak 24
responden (20%), agama 8 responden (6,67%)
dan etnis 7 responden (5,83%).
Hal tersebut berbeda dengan responden
yang memilih Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli.
Responden yang memilih kandidat tersebut lebih
memilih berdasarkan agama yaitu sebanyak 34
responden (28,33%), pencitraan 23 responden
(28,33%), dan etnis sebanyak 3% (2,50%). Fakta
JURNAL POLITIK
ini menjelaskan bahwa di satu sisi memang
agama masih berperan dalam menentukan calon
pemimpin, tetapi terdapat perubahan yang lebih
signifikan, yaitu munculnya kriteria pencitraan
kandidat yang lebih menonjol daripada hanya
sekadar melihat faktor etnis dan agama calon
pemimpin.
Simpulan
Pada Pemilukada DKI Jakarta 2012, penulis
mengindikasikan adanya pola pikir masyarakat
Indonesia, khususnya DKI Jakarta, yang telah
berkembang. Dengan kata lain, warga DKI Jakarta
tidak hanya terpaku pada unsur konvensional dalam
menggunakan hak politiknya, seperti berpacu pada
partai yang dipilih. Politik bagi warga DKI Jakarta
berkembang menjadi lebih menyenangkan, tidak
tabu, dan kaku lagi. Terbukti dari penggunaan
media massa untuk berkampanye lebih meningkat
(penggunaan youtube, facebook, twitter, dan
sosial media lainnya). Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa pada Pemilukada DKI Jakarta
2012, partisipasi politik menjadi lebih meningkat
dan berhasil menyentuh semua kalangan.
Kampanye politik yang buruk atau black
campaign menjadi sorotan utama, dan semakin
memperjelas bahwa pada kenyataannya, dengan
adanya black campaign warga DKI Jakarta
justru melihat orang yang dijadikan objek dalam
kampanye tersebut jadi lebih meyakinkan untuk
pemilih dalam Pemilukada DKI Jakarta untuk
memilih Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama
dengan dasar prinsip rasional yang tidak menyukai
black campaign.
Karakter dan kampanye yang dilakukan
Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, membuat
banyak simpati masyarakat DKI Jakarta. Meski
pada awalnya banyak yang meragukan kiprah
mereka, karena bersaing dengan incumbent, dan
calon wakil Gubernur (Basuki Tjahaja Purnama)
yang berasal dari etnis non Betawi serta beragama
non Muslim, tapi nyatanya, warga DKI Jakarta
tidak melihat hanya dari etnis dan agama saja.
Dapat dikatakan pula, ketidakpercayaan warga
terhadap kepemimpinan sebelumnya membuat
mereka beralih kepada sesuatu yang baru, dalam
hal ini memilih Joko Widodo-Basuki Tjahaja
Purnama yang mengusung “Jakarta Baru”.
Dalam studi kasus yang dilakukan di
1392
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
wilayah Jakarta Selatan terhadap 120 responden,
dapat dikatakan bahwa etnis, agama, di beberapa
wilayah memang berpengaruh, tetapi terdapat
perubahan pemilih yang tidak hanya melihat
dari unsur tersebut, tetapi juga melihat dari
kemampuan calon pemimpin. Selain hal tersebut,
etnis Betawi yang dikatakan etnis “asli” wilayah
DKI Jakarta, pada kenyataannya lebih banyak
jumlah pendatangnya dan didominasi oleh etnis
Jawa.
Terima kasih atas bimbingan dan arahan
Prof. Syamsudin Haris pada tulisan ini.
Kepustakaan
Huntington, Samuel P dan Joan M Nelson. 1994.
Partisipasi Politik di Negara Berkembang
(trej. Sahat Simamora). Jakarta: Rineka
Cipta.
Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo. 2000.
Metode Penelitian Bisnis. Yogyakarta:
BPFE.
Kanumoyoso, Bondan. 2011. Beyond The City
Wall: Society and Economic Development
in the Ommenlanden of Batavia, 18841740. Disertasi di Universitas Leiden.
Black, James A and Dean J. Champion. 1991.
Method and Issues in Social Research
(trej. E. Koswara, dkk). Jakarta: Eresco.
Kasali, Rhenald. 2000. Membidik Pasar Indonesia
Target Positioning, Segmentas. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Bryant G. White. 1982. Manajemen Pembangunan
Untuk Negara Berkembang.: Jakarta:
LP3ES.
Nasir, Mohamad. 2009. Metode Penelitian.
Jakarta: Bumi Aksara.
Budiardjo, Miriam. 1996. Demokrasi di Indonesia.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
____________. 1999. Dasar-dasar Ilmu Politik.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Cangara, Hafied. 2009. Komunikasi Politik.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Clegg, K. 2008. The Politics of Redefining ethnic
Identity in Indonesia: smothering the fires
in Lombok with democracy” in The State
Development and Identity in Multi-Ethnic
Societies diedit oleh Nicholas Tarling
dan Edmund Terence Gomez. Routledge:
Oxon.
Firmanzah. 2007. Marketing Politik. Yayasan
Obor Indonesia: Jakarta.
JURNAL POLITIK
Nurudin. 2009. Pengantar Komunikasi Massa.
Jakarta: Rajawali.
Pito, Toni Adrianus dan kawan-kawan. 2006.
Mengenal Teori-Teori Politik Dari Sistem
Politik Sampai Korupsi. Bandung: Penerbit
Nuansa.
Plano, Jack. C., Robert E. Riggs dan Helenan,
S. Robbin. 1985. Kamus Analisa Politik.
Jakarta: Rajawali.
Prasojo, Eko, Irfan Ridwan Maksum dan Teguh
Kurniawan. 2006. Desentralisasi &
Pemerintahan Daerah: Antara Model
Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural.
Jakarta: DIA FISIP UI.
Prihatmoko, Joko. 2005. Pemilihan Kepala
Daerah Langsung: Filosofi, Sistem dan
Problema.Penerapan
di
Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
1393
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Raben, Remco. 2000. “Round About Batavia:
Ethnicity
and Authority
in
the
Ommenlanden 1650-1800” di dalam
Jakarta-Batavia: Socio Cultural Essays
(edt. Kees Grijns dan Peter JM Nas).
Leiden: KITLV.
Rauf,
Maswadi. 1991. “Ciri-ciri Teori
Pembangunan Politik: Kasus Partisipasi
Politik” dalam Jurnal Ilmu Politik, No 9.
Jakarta: Gramedia.
Reilly, Ben. 1999. Reformasi Pemilu di Indonesia:
Sejumlah Pilihan, dalam Almanak Parpol
Indonesia. Jakarta: Yayasan API.
Silver, C. 2008. Planning the Megacity: Jakarta
in the Twentieth Century. Routhledge:
Oxfordshire.
Svara, James H., et all. 1994. Facilitative
Leadership in Local Government: Lessons
from Succesful Mayor and Chairperson.
San Francisco: Jossey-Bass Publishers.
Venus, Antar. 2004. Manajemen Kampanye
Panduan Teoritis dan Praktis Dalam
Mengaktifkan Kampanye Komunikasi.
Simbiosa Rekatama: Bandung
Jurnal Politika, Jurnal Pencerahan Politik Untuk
Demokrasi, Volume I No. 1 Mei 2005.
Muhammad Asfar, Beberapa Pendekatan Dalam
Memahami Perilaku Pemilih, Jurnal
Ilmu Politik, Volume 16, Tahun 1996,
Penerbit Kerja Sama Asosiasi Ilmu Politik
Indonesia (AIPI) Dengan PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1989.
Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.
Siraishi, Takashi. 1999. “The Indonesian Military
in Politics” dalam The Politics of Post
Suharto Indonesia, (pny. Adam Schwarz
dan Jonathan Paris). New York: Council of
Foreign Relation.
Sudjana, Nana. 2006. Tuntunan Penyusunan Karya
Ilmiah. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Adminitrasi.
Jakarta: Alfabeta.
Surakhmat, Winarno. 1998. Dasar dan Teknik
Research: Metode Pengantar Ilmiah.
Bandung: Tarsito.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik.
Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
JURNAL POLITIK
1394
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
The Effectivenes of Democratic System’s
Embodiment in a Direct Regional Election in
Aceh
Efektivitas Sebuah Perwujudan Sistem
Demokrasi dalam PEMILUKADA Aceh 20122017
Effendi Hasan , Fadhil Ilhamsyah , Ahmad Nidzammuddin Sulaiman
Abstract
It employed descriptive-qualitative methods, which attempted to unfold the real condition comprehensively.
The result illustrates that Regional Election for Governor and Vice Governor of Aceh in 2012 was merely
succeeded in procedural context, yet not substantially. The inconsistency of legal basis for regional election,
the repeated rescheduling of the election agenda, violence, intimidation, money politics and also lack of
socialization about the Regional Election were contributing factors to the failure.
Keywords: Effectiveness, Democratic System, Regional Election
Abstrak
Riset ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif, yang mana menekankan kepada perkembangan
kondisi aslinya secara menyeluruh. Hasilnya menjelaskan bahwa PEMILUKADA untuk Gubernur dan
Calon Gubernur di Aceh pada tahun 2012 hanyalah berhasil secara prosedur, namun tidak seluruhnya
sempurna. Tidak konsistennya dasar hukum bagi PEMILUKADA, pengulangan dalam pembuatan agenda
PEMILUKADA, kekerasan, intimidasi, politik uang, serta kurangnya sosialisi dalam PEMILUKADA
menambah dampak akan kegagalan sistem tersebut.
Kata Kunci: Efektivitas, Siste, Demokrasi, PEMILUKADA
Introduction
The direct regional election in Aceh is the
embodiment of 1.2.1, 1.2.2 and 1.2.3 points of the
reconciliation agreement stated in Memorandum
of Understanding between Indonesia Government
and Aceh Freedom Movement. Following the
bill No. 11 year 2006 about Aceh Government,
therefore, all election including Governor, vice
governor, Mayor and vice mayor, regent and vice
regent has been executed for two times already.
In the first regional election in 2006,
Drh. Irwandi Yusuf, M.Sc and Muhammad
Nazar, S.Ag won the run attaining 768.745 votes
(38,2%). The elected governor, Drh. Irwandi
represented GAM elite while Muhammad
Nazarwas a former Aceh Referendum prominent
figure from SentralInformasi Referendum
Aceh (Aceh Referendum Information Center)
(RusdionoMukridanMujiyanto,2009:356).
The
second regional election first schedule was in the
end of 2011. However, due to many occurring
problems, Constitutional Court demanded
Independent Election Commission (KIP) to
reschedule the election date four times from
December 24th 2011 to April 9th 2012 (Askalani
dkk, 2012: 14). For this election, dr. Zaini Abdullah
Syiah Kuala University, [email protected]
Syiah Kuala University, [email protected]
National University Of Malaysia, [email protected] / [email protected]
JURNAL POLITIK
1395
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
and Muzakkir Manaf (ZIKIR) from Aceh Party
won by gathering 1.327.695 voters (55,75%)
(Askalani dkk, 2012)
Regarding the 2012 election, there were
many speculations that the 2012 election would
run well with honesty, and justice. Nonetheless
the reality spoke differently as there were many
negative findings contributing to disabilities of
democratic system in Aceh, one of them was
money politic.
Money politic may take form in distributing
money for campaign participants during the
mass campaign period, the tranquil week and
also in the morning of the Election Day (Aceh
PanWaslu data, 2012). In addition to that, a more
concerning issue was intimidation and violence
occurring from 2010 until 2013. According to
SistemNasionalPemantauanKekerasan (National
Violence Monitoring System), there were 200
violent cases, which related to Regional Election
in Aceh. From the 200 cases, seven were
dead, 103 people were injured, and 29 units of
building were damaged (www.snpk-indonesia.
com, accessed on July 16th 2013). The Election
Monitoring Committee also claimed that 37 of
it were administration infringement and crime,
which was found during campaign period. While
there were also 57 cases of violence and intimation
occurred near to the voting day (Askhalani dkk,
2012). Additionally, the non-voter number in
2012 was increased comparing to 2006. There
were only 2.380.386 voters out of 3.244.729
permanent voters list were licit, while 864.343
or 26.6 percent were counted as non-voters or
broken vote. In 2006, the non-voter number was
528.196 (20,06%) from 2.632.935 permanent
voters list (Data of KIP Aceh, 2012). Therefore,
it is important to execute this research in order to
find out the effectiveness of democratic system
embodiment and its obstacles within the direct
regional election for Governor and Vice Governor
of Aceh in 2012.
Theoretical Approach
Democracy Theory as the Basis for Regional
Election
Etymologically, the word “democracy”
was derived from Greek language namely
“demos” which means people or citizen in an
JURNAL POLITIK
area, and “cratein” or “cratos” meaning “power”
or “sovereign”. Consequently Demos Cratein
or Demos Cratos is a condition in which state’s
power relies on the people and the highest power
is on people’s decision. People is the sovereign,
ruled by people (Azyumardi Azra, 2000)
Terminologically, Joseph A. suggests
that democracy is an institutional action to reach
political decision in which every individual has
the right to decide a competitive methodology
upon people’s voice. Sidney Hook asserts that
democracy is state, which its important policy
was derived directly or indirectly from majority
covenant delivered freely.Phillippe C. Schmiller
and Terry Linn Karl declares that democracy is
governmental system, which government must
presents its responsible for its action to public or
citizen through cooperation or competition with
people’s representative. (Azyumardi Azra, 2000).
From the above opinion, it is possible
to draw two concepts of democracy. First is
decentralization. Etymologically decentralization
is derived from “de” and “centerum”. “De” means
to remove, move away from, or to let go as used
in de-colonization, de-bureaucratization, etc. The
word “Centerum” means central or to centralize
power in the capital of a state, consequently
decentralization is a action to move away or fade
away, to let go from central (Koesoemahatmadja,
1979). This means that the power to rule is not
only from the central government yet is also from
lower institutional level either under the same
territory or the same functional institution. The
lower institutions are allowed to manage and
arrange its own mandatory task as part of central
government (Philipus M. Hadjon, 2008)
Decentralization has two perspectives
namely administration and also politic.
Administratively, decentralization is defined
as the transfer of administrative responsibility
from central to local government. Politically,
decentralization is a transfer of power, from to
level to lower level, in a territorial hierarchy,
which could be one of government within a state,
or office within a large organization. (EkoPrasojo
dkk, 2006)
Political decentralization is commonly
related to democratization, which means people
are involved indirectly or directly in every state’s
1396
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
policy making through the House of Parliament.
Basically democratization suggests the changing
process to strengthen the sovereign of people as
according to democratic value. Democratization
also can be defined as a process to a more democratic
action, signed by the ending of authoritarian
realm, constructing a democratic realm and the
occurrence democratic realm’s consolidation (TB.
Massa Djafar, 2008).
The second perspective is local
democratization. This is an implication of
decentralizationrun by local government as the
epitome of democracy system in Indonesia.
The main concept is to involve citizen through
a consensus process to accomplish together
objectives. In Indonesia, local democracy is a
subsystem of democracy for local government
to develop a mutual relationship with its subject
within the territory. Consequently, the governor,
the legislative representation and also the
citizen will have opportunities to formulate and
implement the fittest policies needed by the local
citizen (Deden Faturohman, 2005).
Through decentralization, the power of
state does not rest only on the central government
but also distributed to provinces. This allows local
government to possess a stronger power to arrange
and to decide its domestic policy as needed.
Therefore, the local government has rights to
regulate the implementation of regional election
because central government bestows its province
to select its own local leader directly (Abdul
Muluk Lubis, 2009)
In addition, this research employs
descriptive qualitative approach, which tries
to unfold the realities holistically. Qualitative
research does not only illustrate the single
variables but also to find the correlation among
the variables. Besides revealing the facts, this
research also analyzes the realities based on the
democracy concept and regulation in order to have
a comprehensive result. The expected research
result would present an objective perspective
regarding the realities. Thus, researcher interprets
and analyses the gathered data, which later will be
rationalized to extract the conclusion (Ali Sayuthi
M, 2002).
To gather the informant for this research,
purposive sampling was used. The selected
JURNAL POLITIK
informants are those who were trusted and
possessed deep knowledge regarding the matters.
The total number of sample was 36 informants
consisted of 15 people from two sub-districts and
1 city, which were West Aceh, Pidie Jaya, and
Banda Aceh, 8 informants from regional election
committee, three informants from the candidate
of governor and vice governor, two person from
Aceh Government and Parliament House of
Aceh, three person from political parties joining
regional election, and 5 person from Civil Service
Organization and observer. The data used was
gathered from both library and also field. The
library data was derived from books, documents,
articles and also relevant research result, while
field data was gathered from in-depth interview
and observation. Additionally, triangulation data
was also used to ensure the reliability of the data.
This was done by checking the data source, the
research principles, the applied theory and concept,
and also discussing it with research fellow(Strauss
dan Cobin, 1990; dan Ahmadi, 2005).
The Research Result and Analysis
The Implementation of Regional Election of
2012 in Aceh.
The Aceh Regional Election in 2012 was
the second election event after Aceh Peace and
Reconciliation. The event supposed to happen in
2011 Due to the occurrence of many concerning
issues, however, the election committee delayed
it until April 9th2012. There were five couples
that run for the election. Three of the candidate
came from independent candidacy.They are Tgk.
H. Ahmad Tajuddin and Ir. H. Teuku Suriansyah,
M.Si as the first candidate, drh. Irwandi Yusuf,
M.Sc and Dr. Ir. Muhyan Yunan, M.Sc (Hw.Eng)
as candidate number two, and Prof. Darni M. Daud,
M.A and Dr. Ahmad Fauzi, M.Ag were chosen as
candidate number three. Mean while, the other
two candidates run as Parties’ representative,
namely candidate number four; Muhammad
Nazar, S.Ag, and Ir. Nova Iriansyah, MT from
parties’ coalition including Democrat Party, Unity
and Development Party (PPP) and SIRA Party and
candidate number five; dr. H. Zaini Abdullah and
Tgk. Muzakir Manaf from Aceh Party (KIP Aceh,
2012)
From procedural point of view, the Regional
1397
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Election in 2012 was considered successful, because
Independent Election Committee (KIP) of Aceh
conducted the election phase correctly according
to regulation (Kamaruddin Andalah, Chairman
of Bureaucracy, interview¸ 22 November 2013
and Salamuddin, Citizen of West Aceh, interview,
30 October 2013). According to Abdullah Saleh,
the 2012 Regional Election in Aceh was proceed
democratically, because the election committee
opened opportunities to various type of candidate
including from Independent fraction. Moreover,
the regional election became more democratic also
because there was no candidatefrom the current
ruling incumbent. Hence citizen’s decision to vote
would not be influenced by the running program
held by the incumbent (Abdullah Saleh, Chairman
of Legislation Office and Member of Commission
A of Aceh House of Parliament, interview, 18
November 2013).
Consequently, the couple that won the
election certainly was the citizen’s choice as
according to democratic value. As compiled
by KIP Aceh, following is the recapitulation of
regional election result in 2012:
The table shows that candidate number 5
dr. H. Zaini Abdullah and Tgk. Muzakir Manaf
gained the most vote, which are 1.327.695
(55,78%). Consequently the Regional Election
Committee declared the couple as the elected
governor and vice governor through plenum and
the Home Minister, Gunawan Fauzi, inaugurated
them on 25th June 2012 in Special Plenary Session
of the House of Representatives of Aceh for the
term 2012-2017 (KIP Aceh, 2012)
Moreover, Acehnese political participation
in regional election in 2012 displayed higher
number comparing to other provinces in
Indonesia. Also, opportunities for Acehnese to
involve directly as governor’s candidate in 2012
was opened wider than previous election in 2006,
which the governor candidate was merely available
for those who came from national political parties
and independent candidacy. Meanwhile in 2012,
the candidate was not only opened for national
political parties and independent candidacy but
also for local political parties.
Nonetheless,
unfortunately
regional
election in 2012 had concerning obstacles. The
bill no. 11 year 2006 about Aceh Government
collided with the bill no. 32 year 2004 about
local government. This caused the endorsement
of Aceh amercement regarding the regional
election had to be postponed for 4 times by KIP
(Independent Election Commission) as instructed
by Constitutional Court. Besides, intimidation,
kidnaping, fights and murder before and during the
campaign season had destructed the democracy of
Regional election (Regional Election Supervisor,
Interview, 12 November 2013, Muhammad
Alminto, Team Sucess Seuramoe IrwandiMuhyan, Interview via email, 28 November 2013
and Faisal Ridha, Team Success Muhammad
Nazar-Nova Iriansyah, interview, 23 November
2013).
Referring to the above explanation, this
research has indicated that the implementation
of regional election of 2012 had been success
procedurally as according to democratic value
Tabel 1
No
Candidate’s name
Poll
79.330
%
Candidacy
3,33 Independent
1
Tgk Ahmad Tajuddin
Ir. Suriansyah, M.Si
2
Drh. Irwandi Yusuf, M.Sc
694.515
Dr.MuhyanYunan,M.Sc (Hw-Eng)
3
Prof.Darni M Daud, MA
Dr. Ahmad Fauzi, M.Ag
96.767
4,07 Independent
4
Muhammad Nazar, S.Ag
Ir. Nova Iriansyah, MT
182.079
7,65 Demokrat Party,
PPP, SIRA Party
5
dr. H. Zaini Abdullah
Tgk Muzakir Manaf
1.327.695 55,78 Aceh Party
29,18 Independent
and all the phase executed as stated
in laws. Substantially, however, the
election was not yet effective owing
to many juristic violations, which
potentially destroyed democratic
values in Aceh. Democracy will
only operate effectively when all
democratic values in were applied
comprehensively trough all the
election process. Because it was not
merely about procedural but also
certainly was substantial that ensured
the democracy developed well in
Aceh.
Source : KIP Aceh, 2012
JURNAL POLITIK
1398
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
The 2012 Regional Election in Aceh was not yet
Operated as According to Democratic Values.
There were still many shortcomings
during the regional election in Aceh, such as the
indifferent of legal basis and the rescheduling
of regional election, intimidation, violence
and money politic, which instigated the Aceh
regional election substantially foiled according to
democratic value. The flaws were:
1. The indifferent of Legal Basis and
Rescheduling of Regional Election
The article of 256 number 11 year
2006 stated that independent candidate was
only allowed to join election after the law
no. 11 year 2006 on Aceh Government was
approved and only for regional election in
2006. This regulation was certainly absurd,
because Aceh Government, which was the
initiator of independent candidate’s policy
in Indonesian democracy system, was
allowed to have independent candidate
only for one election. Meanwhile in
national level, the independent candidate
was legal to join in every regional election
in Indonesia. This uncertainty about the
regional election in 2012 was instigated by
the Constitution Court’s decision no. 35/
PUU-VII/2010 dated December 30th 2010
about the revocation of Article 256 number
11 year 2006 about Aceh Government.
The consequence was The Independent
Election Commission (KIP) had to revoke
the article 256 no. 11 year 2006 hence
rescheduling regional election date and
stages also must be done (Interview with
Chairul Fahmi, Executive Director of
The Aceh Institute, and Muhammmad,
Komisioner KIP, Interview, 12 November
2013 and 31 October 2013).
The KIP revocation, which was
based on Aceh regulation no. 7 year 2006,
was conducted because Aceh Government
and Aceh House of Parliament did not
discuss Aceh new regulation for regional
election. However, Aceh Party and also
Aceh House of Parliament rejected KIP
Aceh’s action using the law no. 7 year
2006 as the legal basis. They believed
JURNAL POLITIK
that KIP Aceh’s action to accommodate
Independent candidate was against with
Aceh Government Bill. Constitutional
Court’s decision to repeal article no. 256
of Aceh Government Law was the act of
rifling through the rights of Acehnese
which has been set in Aceh Law, hence
KIP action to accommodate independent
candidate was a mistake (Fachrul Razi,
Aceh Party Speaker, interview via Email,
28 November 2013).
The repeal made by Aceh Party
and Aceh House of Parliament caused
uncertainty on the law basis. Therefore,
KIP Aceh had to reschedule the regional
election for four times. The alteration, was
not only instigated by arguments of legal
basis or regional election’s regulation
between KIP Aceh, Aceh Government and
Aceh House of Parliament, but also because
there was an agreement to “cooling down”
(pause) instructed by Home Ministry.
Additionally, Constitutional Court also
demanded KIP to reopen candidate’s
registration to accommodate all political
element in Aceh and reschedule the
election date (Munawarsyah, Chairman of
KIP Banda Aceh, Interview, 18 November
2013, BahagiaIdris, Chairman of KIP
Aceh Barat, Interview, 31 October 2013,
dan Firmansyah, Commissioner of KIP
Pidie Jaya, Interview, 29 November 2013),
as explained below:
2. Intimidations and Violence
Implementation of Aceh Election in 2012
was expected to be peaceful and executed without
intimidation as a pledge of peace by 5 (five) pair
Candidates for Governor and Deputy Governor
on March 14, 2012 in the courtyard of the Grand
Mosque Baiturrahman. The Election Pledge Peace
announcement was witnessed also by a number
of United Indonesia Cabinet Minister Volume
II, Member of Parliament from Aceh and the
Acehnese senator. The candidates agreed to create
a peaceful Regional Election, free of intimidation
and violence
1399
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
from the direction of the highway.
Witnesses saw the culprit as many as
KIP Aceh Decision Election Schedule Reason of Rescheduling
four young men with faces covered
No. 1 Year 2011
14 November 2011 This timetable was changed owing with black clothe that came from
to a “cooling down” agreement fathe north by twomotorcycles. This
cilitated by Home Minister.
incident caused no casualties, police
No. 17 year 2011 24 December 2011 This schedule change because of the found three bullet points of AK - 47
injunction of Constitutional Court
and a pistol grain projectile (Chairul
(MK) related to a petition of Khalid to sue KIP Aceh for not allowing Fahmi, Executive Director of The Aceh
him to register as candidate due to Institute, Interview, 12 November
the very short time of registration. 2013). Intimidation was also happened
The injunction ordered KIP Aceh to
in the implementation of the Regional
reopen enrolment for a week.
Election in 2012, such as intimidation
No. 26 year 2011 16 February 2012 This schedule was changed again be- of the organizers, community and
cause of the interim decision of the inters Success Team of Candidates for
Constitutional Court (MK) related to
lawsuit against Home Minister KIP Governor and Deputy Governor.Threat
Aceh. Home Minister demanding occurred in the form of a direct threat or
postponement of Aceh Election in threats by phone or through the sending
respect of the political chaotic. The
of short message service (SMS). The
Constitutional Court (MK) rejected
the claim and the interim decision threat was not only the case for the
of the Constitutional Court (MK) individual organizers, community, and
ordered KIP Aceh to reopen the reg- Success Team of Candidates but also to
istration period for a week and to
implement the Regional Election at the families concerned (Rosni Idham,
Former Chairman of Panwaslu Aceh
the latest on 9 April 2012
Barat, Interview, 4 November 2013).
No. 31 year 2012 9 April 2012
Election Day Voting
Likewise, the practice of
Source: Report of the Aceh Monitoring in 2012 Regional Election
intimidation and violence that occurred
However the implementation of elections during the preparation, the campaign, and on
in Aceh in 2012 had taken at least more or less were election dayof the Regional Election in 2012
108 cases of intimidation and violence. Of the 108 was more prominent to the existence of disputes
cases of intimidation and violence, the majority of between supporters of Candidates of Irwandi
cases were related to the election of Governor and Yusuf and MuhyanYunan advancing through
Vice Governor of Aceh. The violence occurred independent candidates than supporters of dr.
in various kinds ranging from small-scale things Zaini Abdullah and Muzakir Manaf from Aceh
like the destruction of the props in the form of Party. This dispute aroused because of the conflict
campaign billboards and posters, sending short between IrwandiYusuf associated with the elites
messages (SMS) to any threatening actions such of Aceh Party regarding independent candidate
as large-scale fights, shootings, kidnappings and existence and the candidacy of Irwandi Yusuf as
car burning of certain campaign team. The security Governor of Aceh for period 2012-2017.
or police had not disclosed most of the violence
(Chairul Fahmi, Executive Director of The Aceh Money Politic
Institute, Interview, 12 November 2013 and Implementation of Regional Election
Asqalani, Chairman of Bawaslu Aceh, Interview, for Governor and Deputy Governor in 2012 in
16 November 2013).
Aceh was still involving the practice of money
Shooting incidents occurred against politic although the evidence was still difficult to
Asnawi Abdul Rahman, member of Team Success reach.The practice of money politics was mostly
ofpair candidates, Yusuf and MuhyanYunan in done by the incumbent couples (Governor and
East Aceh. On February 5th, 2012 at 20:30 pm, his Deputy Governor are still serving). They used the
house was shot several times by unknown person money politics indirectly.The practice of money
Tabel 2
JURNAL POLITIK
1400
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
politics was conducted in the form of promises of
social grants to the community. Based on the study
findings, citizen wererequested to write proposal
by the working group of Governor and vice
governor then give it to them to attract funds and
social assistance budget from Aceh government.
This practice was not revealed directly by the
Supervisory Committee and the Independent
Election Commission (KIP), but what matters
was the budget would be given when regional
election was about to begun (Risman A Rahman’s
perspective, Golkar Party’s Member of DPD
I Aceh,Interview, 10 November 2013, a same
perspective was also delivered by Naidi Faisal,
Aceh Political Analyst, Interview, 7 November
2013).
The practice of money politics was
going on with various motifs, either cash or inkind of provision of groceries, which was not
given directly by the candidates for governor and
vice governor or a candidate’s campaign team but
made ​​by public figures trusted by the candidate
and their Success Team. Community leaders, who
did the action, admitted that he was only giving
alms to his brothers who were less capable and no
relation to the Regional Election of Governor and
Deputy Governor. Thereby such motif made the
practice of money politics was difficult to unfold
(TgkHelmi, Citizen of Aceh Barat, Interview, 1
November 2013 and Almufarid, citizen of Banda
Aceh, interview, 23 November 2013).
The practice of money politics was also
happening at polling stations (TPS) conducted by
the Team Success. They action was done by giving
envelopes containing money to voters. Generally,
the public knew such an event but people just let
the action without reporting to the Supervisory
Committee (Panswalu). The practice of money
politics was also held in private asgiving cash or
giving food for the recipient before the Election
Day,so that this kind of practice was difficult to
prove. Proof of this practice can only be known
after the completion of the Regional Election took
place. In addition, lack of awareness of the public
to report the practice of money politics made it
difficult for Supervisory Committee to trace
evidence.
However, the level of practice of money
JURNAL POLITIK
politics in the Regional Election of Governor and
Vice Governor of Aceh in 2012 was still low,
because the fraud occurred more prominent in the
practice of intimidation and violence. The report
about money politic to Supervisory Committee
was still low. Therefore the practice of money
politics can be said to be not significantly affect
the implementation of the Regional Election of
Governor and Vice Governor of Aceh in 2012. The
practice frequently occurred during the campaign
and at the dawn of voting day.
Conclusion
From the research, it can be concluded
that the implementation of the General Election
of Governor and Vice Governor of Aceh in
2012 was not fully been effective in accordance
with democratic values. The implementation
of regional election in 2012 was success only
inprocedural perspective yet foiled substantially.
This was due to the uncertainty about the legal
basis of the Election, the repeated schedule shifts,
many intimidation and violence, money politics
and lack of socialization of the importance of the
meaning of the Regional Election.
Looking at the facts on the ground
and based on the research results of this study,
there are some recommendations as following:
first, the need for synchronization of the legal
basis of Aceh Election between general and
specific rules the implementation of the General
Election.Consequently, the Election schedule can
run on time. Second, Electionorganizers such as
Election Supervisory Committee (Panswaslu)
and the Independent Election Commission (KIP)
should tighten the rules in the Regional Election
campaign and provide tough sanctions for
violations occurred in every Regional Election.
Third, the need for strict yet applicable regulations
and as well as raising public awareness to reject
the practice of money politics carried out by the
candidate and Success Team.The public should
not only think about short-term profit without
realizing the impact of bad practice of money
politics in the future. Fourth, it is essential to
evaluate the weaknesses in the implementation
of the Election’s system in Aceh and to find the
best solution to these problems so that the Election
1401
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
in Aceh can be accomplished in accordance with
democratic values.
Bibliografi
Agung, Tri Wibowo, et all. 2009. “Pilkada dan
Demokratisasi Lokal, Studi Kasus
Pemilihan Kepala Daerah di Jawa
Timur Periode 2008-2013”. Paper.
FISIP Universitas Indonesia.
Ahmadi, Rulam. 2005. Memahami Penelitian
Kualitatif. Malang: UM Press.
Ali,
Sayuthi M. 2002.MetodologiPenelitian
Agama Pendekatan Teori dan Praktek.
Askhalani, et all. 2012. Rekam Jejak
Demokrasi Aceh. Banda Aceh: GeRAK
Aceh and Yayasan TIFA.
Daerah Di
Binacipta.
Indonesia.
Bandung:
Lubis, Abdul Muluk. 2009. Calon Independen
dalam Pemilihan Kepala Daerah
Di Tinjau dari Undang-Undang
Pemerintah
Daerah.
Skripsi.
Universitas Sumatera Utara.
Prasojo, Eko et al. 2006. Desentralisasi dan
Pemerintahan
Daerah:
Antara
Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi
Struktural. Depok: DIA FISIP UI.
Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. 1990. Basic
of Qualitative Research: Grounded
Theory, Prosedures, and Techniques.
New Delhi: Sage Publications, Inc.
Jakarta: Raja GrafindoPersada.
www.snpk-indonesia.comaccessed on 16 July
2013 at 20.40 WIB
Azra, Azyumardi. 2000. Demokrasi, Hak Asasi
Manusia & Masyarakat Madani.
Jakarta: Prenada Media
Data of Independent Election Commission (KIP)
Aceh year 2012
Djafar, TB. Massa. 2008. “Pilkada dan Demokrasi
Konsosional di Aceh” dalam Jurnal
Poelitik.Vol. IV No.I.
Faturohman, Deden. 2005. “Demokrasi Lokal
Dalam Pemilihan Kepala Daerah
Data
of
Election Supervisor Commission
(PANWASLU) Aceh year 2012
Reports of Aceh Regional Election’s watch, The
Aceh Institute, 2012
Langsung di Indonesia” Jurnal Ilmiah Hukum.
Vol 13 No.3.
Hadjon, Philipus M.. 2008.Pengantar Hukum
Admistrasi Indonesia. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Ikhsan, M. 1979. “Evaluasi Pelaksanaan Pemilihan
Kepala Daerah Secara Langsung di
Kabupaten/Kota” dalam http://www.
scribd.com/doc/26366356/Artikelm-Ikhsan-Evaluasi-PelaksanaanPemilihan-Kepala-Daerah-KabupatenKota.Koesoemahatmadja.
1979.
PengantarKeSistemPemerintah
JURNAL POLITIK
1402
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Artikulasi Kekuasaan dalam Masyarakat
Nelayan: Potret Patronase Kontemporer di
Kota Makassar
Articulation of Power in Fishermen: the
Contemporary Patron Portrait in Makassar
Sudarmono, Junaenah Sulehan dan Noor Rahamah Hj. Abu Bakar
Abstrak
Hubungan patron-klien ini sebagian besar tertanam dalam hubungan sosial produksi antara masyarakat
nelayan Makassar. Artikel ini merupakan upaya untuk menjelaskan artikulasi hubungan patron-klien
yang berimplikasi kehidupan masyarakat nelayan pesisir di Kota Makassar. Sebuah penelitian telah
dilakukan untuk mengeksplorasi dan menyelidiki retlationship kompleks ini dan hasilnya secara eksplisit
menunjukkan bahwa hubungan patron klien tidak hanya penting dalam meningkatkan kegiatan ekonomi
tetapi juga terhadap keberlanjutan lembaga sosial nelayan. Isu-isu kontemporer yang menyangkut
keterbelakangan masyarakat nelayan juga menunjukkan bahwa dinamika memiliki hubungan.
Kata kunci: Patron klien, Makasar, Perikanan Komunitas
Abstract
The relationship of patron-client is mostly built in production social relationship among fishermen in
Makasar. This article is such an effort to explain the articulation of power among fishermen implicated
in the society life near the coast in Makasar. A research was done to explore and do investigation such
complex relationship. The explicit result showed that the relationship between patron-client is not only
to develop the economic matters yet to keep the social establishment. Those contemporary issues which
are involved in the backwardness of fishermen are also showed off.
Keywords: Patron client, Makasar, Fishery Affairs
Pendahuluan
Dinamika masyarakat nelayan tradisional
di beberapa daerah pesisir di negara sedang
berkembang, tidak dapat dilepaskan dari eksistensi
satu bentuk hubungan yang populer disebut sebagai
hubungan patron klien. Hubungan ini ditandai
oleh ikatan emosional dan psikologis yang erat.
Ikatan ini juga mengindikasikan perikatan yang
lebih dari sekadar hubungan ekonomi, akan tetapi
terartikulasi dengan jelas dalam dinamika sosial
masyarakat. Biasanya, ikatan emosional tersebut
juga melibatkan orang-orang terdekat dari salah
satu pihak (bkeluarga klien) dan telah berlangsung
dalam kurun waktu cukup lama (Eisenstadt dan
Roniger, 1984). Hal yang demikian juga dijumpai
di dalam masyarakat nelayan di kawasan pesisir
Kota Makassar. Hubungan semacam ini seringkali
dipandang sangat merugikan bagi nelayan yang
diposisikan sebagai klien. Namun, sebahagian
pihak justeru menganggap bahwa hubungan
semacam ini adalah manifestasi dari jaringan
sosial yang dapat membantu nelayan tradisional
untuk bertahan hidup di tengah arus pembangunan
Kota Makassar yang terbilang sangat pesat.
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis
dinamika dan artikulasi hubungan patronase di
dalam masyarakat nelayan di Kota Makassar,
dan disusun berdasarkan atas sebuah penelitian
lapangan yang dilaksakan sejak minggu pertama
Desember 2011 sampai dengan pertengahan
UKM, [email protected]
JURNAL POLITIK
1403
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Februari 2012. Pengumpulan data dilakukan
dengan pendekatan kualitatif, yaitu dengan
melakukan wawancara mendalam (indepth
interview) dengan beberapa orang informan kunci.
Pemilihan informan tersebut didasarkan atas
keterlibatan informan dalam struktur patron-klien
serta dalam struktur sosial masyarakat di kawasan
penelitian; yakni di Kelurahan Cambayya dan
Kelurahan Tallo, Kota Makassar. Pemerhatian tidak
hanya dibatasi pada dua kelurahan tersebut. Hal
ini disebabkan oleh mobilitias yang tidak terbatas
pada satu wilayah administratif. Pemerhatian
lainnya kerap dilakukan di Tempat Pelelangan Ikan
(TPI) Paotere, Makassar. Kajian ini dibatasi hanya
kepada jenis penangkapan pantai. Mekanisme
panangkapan perikanan pantai tidak melibatkan
organiasi penangkapan yang rumit, artinya tidak
melibatkan banyak buruh. Selain itu, tulisan ini
juga didukung oleh data sekunder yang diperoleh
dari beberapa instansi pemerintah yang berkaitan
dengan dinamika pembangunan kontemporer
Kota Makassar.
Tulisan ini menggunakan metode kualitatif
dengan teori pendekatan sosial Molm dan Cook
(1995).
kekuasaan, penguatan status soial, penguatan status
kepemimpinan serta kewenangan. Pandangan ini
terus disempurnakan oleh Emerson. Analisis yang
dilakukan oleh Emerson mulai melihat bahwa
pertukaran ini tidak hanya berkaitan dengan
pertukaran secara ekonomi dan sosial, namun lebih
dari itu, pertukaran ini juga telah menciptakan
ketidakseimbangan dan ketergantungan. Emerson
juga melihat bahwa hubungan ini telah membentuk
satu jaringan yang menghubungkan pihak-pihak
yang melakukan pertukaran. Selain itu, pertukaran
ini juga melahirkan kekuasaan yang bersumber
dari kedudukan sosial yang lebih tinggi serta
penguatan jaringan sosial yang mencakupi pihakpihak yang lebih rendah kedudukan dalam pranata
sosialnya. Secara jelas, Emerson menyatakan
bahwa hubungan antara kekuasaan dan struktur
sosial adalah kerangka utama yang menyusun
teori pertukaran sosial (Ritzer, 2004).
Pada pertengahan dekade 1990-an,
kerangka pemikiran teori pertukaran sosial
semakin dipertajam oleh Molm dan Cook (1995)
sebagaimana dikutip oleh Ritzer (2004). Menurut
Molm dan Cook (1995), asumsi dasar dari teori ini
adalah sebagaimana kutipan berikut.
Teori Pertukaran Sosial
Pada dasarnya, analisis atas hubungan
patron-klien lebih sering dilakukan dengan
menggunakan pendekatan teori pertukaran sosial.
Teori ini secara fundamental berasal dari beberapa
disiplin, di antaranya psikologi, antropologi,
sosiologi dan mikroekonomi. Dari beberapa
pemikir klasik yang secara rinci mengkaji teori
pertukaran sosial, nampaknya pandangan Homans,
Peter Blau dan Emerson terbilang cukup relevan
untuk digunakan dalam menganalisis kajian
ini. Blau melihat bahwa terbentuknya kerangka
pikir pertukaran sosial didasari atas pertukaran
resiprokatif secara ekonomi yang pada akhirnya
membentuk interaksi sosial dalam konteks yang
lebih mikro (Ritzer, 2004).
Meskipun tidak sepenuhnya berbeda
dengan apa yang diketengahkan oleh Blau, Homans
lebih melihat interaksi sosial dapat terbentuk
sebagai hasil dari simbiosis mutualisme antara dua
pihak yang terlibat dalam sebuah pertukaran yang
bersifat diadik. Pada akhirnya, pertukaran secara
langsung ini berimplikasi terhadap distribusi
“The key assumptions of exchange
theory include the following: (1) Behavior
is motivated by the desire to increase gain
and to avoid loss (or to increase outcomes
that are positively valued and to decrease
outcomes that are negatively valued), (2)
exchange relations develop in structures
of mutual dependence (both parties have
some reason to engage in exchange to
obtain resources of value or there would
be no need to form an exchange relation),
(3) actors engage in recurrent, mutually
contingent
exchanges with specific
partners over time (i.e., they are not
engaged in simple one-shot transactions),
and (4) valued outcomes obey the
economic law of diminishing marginal
utility (or the psychological principle of
satiation).”
JURNAL POLITIK
Berdasarkan asumsi ini, pelbagai prediksi
dapat dikemukakan berkaitan dengan aktor
yang terlibat pertukaran serta dampak yang
berbeda-beda sebagai akibat pertukaran tersebut.
Pada akhirnya, prinsip-prinsip ketergantungan
kekuasaan telah mendorong pihak-pihak yang
1404
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
memiliki kekuasaan untuk menarik surplus yang
berasal dari sumber daya yang dipertukarkan,
termasuk menjamin ketersediaan sumber-sumber
daya dari beberapa sumber yang baru.
Selain itu, hubungan patron-klien dapat
digolongkan sebagai hubungan yang asimetris
antara patron atau atasan dengan beberapa klien.
Klien di sini dapat bermakna sebagai bawahan,
pengikut ataupun pelayan. Pertukaran yang tidak
sejajar ini memiliki makna yang sangat luas.
Patron bergantung kepada para kliennya yang
memberikan pelayanan cuma-cuma melebihi
kewajiban ekonomisnya, tugas-tugas yang
berupah maupun tidak berupah, menjadi prajurit
perang, dukungan politik, dan pelayan lainnya.
Sementara itu, patron juga berperan sebagai
sosok pemimpin bagi kliennya, pemberi bantuan,
termasuk pinjaman uang serta perlindungan sosial
yang disediakan oleh sang patron (Pelras, 1981).
Dalam konteks kekinian, hubungan
yang tidak seimbang ini sangat dimungkinkan
berkaitan erat dengan dimensi kapital, di mana
salah satu pihak juga memerlukan akses modal
yang disediakan oleh pihak lainnya. Lebih dari
itu, hubungan ini juga masih berkaitan erat dengan
konteks politik dan bahkan melembaga dalam
institusi formal pemerintahan (Kausar, 2009). Pada
gilirannya, isu patronase dapat pula dikaji dalam
pandangan teori pembangunan. Menurut Tain
(2010), pendekatan ketergantungan dalam teori
pembangunan adalah kerangka teoretikal yang
sangat relevan dalam melihat dan mengeksplorasi
fenomena kemiskinan nelayan di Indonesia.
Meskipun jargon bottom-up dalam
memberdayakan masyarakat begitu dikedepankan
sejak era desentralisasi, namun kenyataan atas
dinamika pembangunan di Indonesia masih
didominasi oleh pendekatan top-down. Pelbagai
peraturan di daerah secara teknis masih dikawal
oleh pusat melalui juklak-juklak dan peraturanperaturan menteri, seolah-olah pihak pusat enggan
melepas kewenangan pembangunan kepada
pemerintah daerah. Pemerintah pusat sepertinya
enggan melihat konteks lapangan yang sangat
beragam dan memerlukan penjabaran peraturan
mengikut konteks lokal (Junaenah Sulehan, et. al,
2008).
Walhasil, ambiguitas yang terjadi justru
kian mengantar dinamika pembangunan saat
JURNAL POLITIK
ini menjadi salah satu tekanan struktural
bagi nelayan kecil; sementara pada saat yang
bersamaan elit-elit pada peringkat mikro berpeluang mengambil keuntungan lebih dengan
mengatasnamakan “pemberdayaan masyarakat”.
Keadaan ini mempertegas bahwa kemiskinan dan
ketergantungan nelayan sesungguhnya didominasi
oleh tekanan-tekanan yang bersifat struktural, baik
melalui struktur formal yang memberikan peluang
kepada elit lokal di daerah untuk mengeruk
keuntungan melalui kebijakan pembangunan;
maupun melalui struktur sosial yang menempatkan
nelayan kecil sebagai pihak yang memerlukan
modal dan bantuan dari patronnya.
Perkembangan Hubungan Patron-Klien di
Sulawesi Selatan: Sebuah Retrospektif
Apabila membincangkan hal ihwal
tentang patronase di masyarakat Bugis Makassar,
selain yang pernah ditulis oleh Mattulada
(1988), maka, apa yang pernah ditulis oleh
Pelras (1981) masih menjadi salah satu rujukan
yang dapat memberikan gambaran yang cukup
utuh. Meskipun pendekatan antropologi lebih
mendominasi tulisan mereka, namun pendekatan
tersebut telah menjadi pintu masuk untuk
melihat hubungan patronase secara mendalam
dari beberapa dimensi yang berbeda, terutama
dimensi politik dan ekonomi pembangunan.
Dari semua tulisan mereka tentang patronase di
Sulawesi Selatan, pencapaian strata sosial, gengsi
dan pengaruh politik adalah faktor-faktor utama
yang mendorong terbentuknya hubungan patron
klien di dalam masyarakat. Hanya saja, hubungan
tersebut berkembang dan mengalami konfigurasi
yang berbeda-beda mengikut konteks ruang dan
waktu. Dalam kajian ini, perkembangan patronase
akan digambarkan dalam dua kurun sejarah, yaitu
sebelum kemerdekaan (sebelum tahun 1945) dan
setelah kemerdekaan (setelah tahun 1945).
Jazirah Sulawesi Selatan menjadi begitu
diminati oleh bangsa Eropa bukan hanya karena
kekayaan alamnya, tetapi karena wilayah ini juga
memiliki dinamika sosial yang sangat dinamis,
melibatkan dua rumpun
besar(Bugis dan
Makassar), serta perilaku migrasi masyarakatnya
yang semakin membentuk pluralisme dan
keterbukaan di Sulawesi Selatan (Sutherland,
2009). Salah satu khazanah sosialnya adalah
1405
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
organisasi dan struktur sosial Bugis Makassar
tradisional. Struktur sosial masyarakat Bugis
Makassar mencakup stratifikasi sosial yang
mengatur kedudukan dan status sosial di
dalamnya; serta sistem pemerintahan yang
membagi masyarakatnya dalam beberapa wilayah
teritorial. Sementara itu, salah satu pranata sosial
yang memungkinkan terjadinya mobilitas sosial
adalah dengan adanya hubungan patron-klien.
Melalui sistem tersebut, pengaruh kekuasaan dan
pelapisan sosial sederhana menjadi sangat penting
diperjelaskan (Pelras, 1981).
Bagi kalangan aristokrasi di Sulawesi
Selatan pada dekade pra kolonial, memiliki
pengikut yang cukup banyak adalah perkara
yang sangat penting. Pengikut dapat berarti
prajurit atau pasukan dalam angkatan perang
ataupun pelayan yang mengabdi kepada keluarga
bangsawan. Dalam hal ini, hubungan patron
klien lebih nampak sebagai hubungan kekuasaan
secara politik berbanding hubungan ekonomi
yang ditandai pertukaran barang dan jasa. Selain
itu, indikator kekuasaan politik juga tampak pada
sistem kontrol atas tanah-tanah yang berada dalam
wilayah teritorial pemerintahannya. Sistem kontrol
yang dimaksudkan di sini tidak selalu bermakna
kepemilikan. Para bangsawan yang bertindak
sebagai patron menguasai lahan yang sangat luas,
sementara rakyat biasa yang tidak memiliki lahan
biasanya bertindak sebagai petani penggarap atas
tanah-tanah tersebut. Hasil dari garapan tanah
tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan
keluarga petani tersebut dan tentunya juga untuk
membayar pajak atas pemanfaatan tanah tersebut
kepada kalangan bangsawan.
Di dalam masyarakat tradisional Sulawesi
Selatan pada masa pra kolonial, status hukum
pertanahan berdasarkan hukum adat terbilang
sangat beragam. Keberagaman ini berdampak
kepada pola penguasaan, sistem pajak dan sistem
bagi hasil yang melibatkan keluarga bangsawan
sebagai patron dan rakyat jelata sebagai kliennya.
Keberagaman ini juga dengan sendirinya telah
memberikan gambaran bahwa pihak raja beserta
keluarganya memiliki sumber pendapatan yang
cukup banyak dari rakyatnya dan pendapatan ini
kemudian digunakan untuk membiayai semua
aktivitas pemerintahan, termasuk untuk kebutuhan
pangan, bahkan pakaian para pengikut-pengikut
JURNAL POLITIK
di istana, seperti pelayan, dayang-dayang serta
keluarga prajurit. Selain itu, kerabat kerajaan
yang berstatus bangsawan rendah juga biasanya
mendapatkan sebahagian kecil dari pendapatan
kerajaan. Bagi kalangan penguasa atau elit
kerajaan, membiarkan orang-orang di sekitar
kerajaan dalam kemiskinan adalah aib dan sangat
memalukan.
Dengan masuknya pihak kolonial Belanda
di Sulawesi Selatan, kekuasaan atas sumbersumber daya alam perlahan-lahan diambil alih
oleh kaum kolonial, dan dengan sendirinya telah
menyebabkan pengaruh politik kaum bangsawan
juga mengalami penurunan. Sebahagian besar
pendapatan mereka yang bersumber dari fungsifungsi pemerintahan semakin berkurang, dan hal
ini secara langsung berdampak terhadap kekuatan
ekonomi kerajaan yang semakin menurun. Sistem
penguasaan tanah yang tadinya memungkinkan
pihak kerajaan menarik pajak dan pendapatan
lainnya mengalami perubahan, kini, pajak dan
pendapatan kerajaan lainnya diarahkan untuk
mengisi kas pemerintah kolonial. Akan tetapi,
perubahan ini tidak begitu berdampak kepada
rakyat, mereka tetap bekerja menggarap lahan dan
memenuhi kewajibannya membayar pajak kepada
pihak pemerintah kolonial.
Tidak hanya setelah masuknya bangsa
kolonial, perubahan besar juga masih terus terjadi
setelah periode sekitar kemerdekaan. Pemilikan
dan penguasaan lahan oleh kaum bangsawan
mengalami perubahan yang sangat signifikan.
Patron dari kalangan bangsawan tidak lagi
memiliki posisi untuk memberikan lahan kepada
para pengikutnya, sebagaimana yang terjadi pada
jaman dahulu. Kekayaan mereka pun semakin
berkurang, terutama setelah kekayaan tersebut
diwariskan kepada generasi penerusnya. Dalam
kaitan hubungannya dengan para pengikut,
bangsawan harus mengeluarkan banyak biaya
untuk mempertahankan prestise selama mungkin.
Jika masih tetap ingin bertindak sebagai patron,
darah kebangsawanannya tidak cukup untuk
membayar mahalnya gengsi aristokasi yang
harus dipertahankan. Terlebih lagi, mereka
diperhadapkan oleh kemunculan elit-elit baru
dari kalangan masyarakat biasa yang umumnya
berasal dari kalangan militer dan cendekiawan.
Olehnya itu, kalangan aristokrasi terpaksa harus
1406
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
menerapkan strategi baru. Salah satu yang mereka
lakukan adalah dengan menyekolahkan generasigenerasi aristokrasi baru pada institusi yang
memungkinkan mereka tetap meregenarasi fungsi
kendali teritorialnya. Pelras (1981) menyebutkan
bahwa pada dekade 1970-an, kalangan generasi
aristokrat muda umumnya menempuh pendidikan
di Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN)
untuk tetap mempertahankan pengaruhnya pada
pemerintahan tingkat kecamatan.
Secara umum, uraian ini telah
menggambarkan trajektori dan eksistensi patronase
yang telah terbentuk sebelum kedatangan bangsa
kolonial dan masih bertahan sampai beberapa
dekade selepas kemerdekaan. Meskipun sistem
dan pranata sosial masyarakat pasca kemerdekaan
semakin terbuka, akan tetapi hubungan patronase
masih dapat ditemukan, terutama berkaitan dengan
aktivitas ekonomi dan pertanian masyarakat kelas
non aristokrasi.
Pembangunan dan Kemiskinan di Kota
Makassar
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Todaro
(1997), pembangunan tidak hanya berkaitan dengan
pembangunan secara fisik, akan tetapi di dalamnya
berkaitan erat dengan kesejahteraan sosial. Untuk
mengukur tingkat keberhasilan pembangunan
dalam konteks sosial, maka Indeks Pembangunan
Manusia (human development index) adalah
salah satu indikator yang kerap digunakan bagi
mengukur kemajuan pembangunan manusia
dalam satu wilayah. Indeks maksimum yang harus
ditempuh (shortfall) oleh satu kawasan memiliki
nilai maksimum 100. Artinya, bahwa apabila
indeks dalam satu kawasan dapat mendekati angka
100, maka pembangunan manusia di kawasan itu
telah maju. Indeks pembangunan manusia di Kota
Makassar pada tahun 2005 menunjukkan bahwa
Kota Makassar masih berada pada angka 76,63.
Angka ini mengalami peningkatan pada 2006,
di mana indeks pembangunan manusia Kota
Makassar berada pada angka 76,87. Pembangunan
manusia di Kota Makassar senantiasa menunjukkan
peningkatan yang berkelanjutan, di mana pada
tahun 2009, indeks tersebut telah mencapai angka
78.24. Angka ini jauh di atas capaian Provinsi
Sulawesi Selatan yang hanya mencapai 70.94
(Kota Makassar Dalam Angka, 2011).
JURNAL POLITIK
Indeks pembangunan manusia (IPM)
senantiasa diukur dengan merujuk kepada
indeks kesehatan, indeks pendidikan dan indeks
daya beli. Indeks kesehatan di Kota Makassar
mengalami peningkatan rata-rata sebesar 0,79
persen, yaitu dari 78,67 persen pada tahun 2006
menjadi 80,4 persen pada tahun 2009. Sedangkan
indeks pendidikan di Kota Makassar mengalami
peningkatan rata-rata sebesar 0,87 persen, yaitu
dari 87,5 persen pada tahun 2006 menjadi 88,01
persen pada tahun 2009. Selain itu, indeks daya
beli penduduk di Kota Makassar peningkatan ratarata sebesar 0,65 persen, yaitu dari 64,46 persen
pada tahun 2006 menjadi 66,32 persen pada
2009. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
indeks pembangunan manusia di Kota Makassar
sejak 2005 sehingga 2009 mengalami peningkatan
rata-rata sebesar 0,77 peratus, yaitu dari 76,87
persen menjadi 78,24 persen (Kota Makassar
Dalam Angka, 2011).
Pembangunan Kota Makassar sebagaimana halnya kota-kota besar di negara- negara
berkembang tidak pernah lepas dari fenomena
kemiskinan perkotaan. Kemiskinan di Kota
Makassar disebabkan oleh pelbagai faktor,
terutamanya disebabkan oleh urbanisasi (Kota
Makassar Dalam Angka, 2011). Arus urbanisasi
semakin tidak dapat dikendalikan, masyarakat
senantiasa melihat Kota Makassar sebagai satu
kota yang memberikan harapan. Terlebih lagi
jika mencermati pola koordinasi pembangunan
yang sangat semrawut sehingga terkesan bahwa
koordinasi pembangunan adalah ritual kantoran
biasa, tidak lagi melihat kesejahteraan masyarakat
sebagai tujuan akhir dari pembangunan. Hal
tersebut mengakibatkan penanganan masyarakat
miskin semakin sukar dilaksanakan. Selain itu,
kualitas lingkungan perkotaan yang terus menurun
semakin memperparah keadaan yang dialami oleh
warga miskin perkotaan. Model partisipasi dan
pemberdayaan yang dijalankan selama ini tidak
mampu mencakupi semua masyarakat miskin
perkotaan, sehingga kebijakan pemberdayaan
tidak meninggalkan kesan apa-apa. Berkurangnya
jumlah masyarakat miskin sepertinya tidak lebih
dari sekadar laporan angka-angka di atas kertas.
Hasil Kajian dan Pembahasan
Secara umum, realitas hubungan sosial
1407
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
dalam masyarakat nelayan dapat dianalisis melalui
pendekatan moda produksi yang mereka geluti.
Melalui pendekatan ini pulalah, hubungan
patron klien tempat mereka memainkan peranan
masing-masing dapat lebih ditemukenali. Moda
produksi terdiri dari dua komponen dasar, yaitu
variabel kekuatan produksi (force of production)
dan hubungan sosial produksi (social relation of
production) (Hindess dan Hirst, 1975). Meskipun
dinamika sejarah yang telah diuraikan sebelumnya
lebih menekankan pada hubungan kekuasaan, akan
tetapi sesungguhnya, prinsip-prinsip kapitalisme
dan pengumpulan modal juga menjadi pendorong
utama artikulasi moda produksi tesebut. Pada
akhirnya, penguatan kekuasaan dan kapitalisme
Masyarakat (LPM) di Kelurahan Tallo. Dalam
kasus ini, pola hubungan patronase memungkinkan
pihak patron mendapatkan kekuatan secara
politis demi mengukuhkan pengaruhnya di dalam
masyarakat.
Kedudukan LPM terbilang sangat strategis dalam masyarakat. LPM adalah bentuk mutakhir dari lembaga legislatif masyarakat desa
atau kelurahan yang pada masa pemerintahan
orde baru lebih dikenal sebagai LKMD. LPM
beranggotakan sejumlah tokoh-tokoh masyarakat
yang merepresentasikan unit-unit masyarakat
yang lebih kecil (RT dan RW), ataupun kelompokkelompok tertentu dalam masyarakat, misalnya
tokoh agama, tokoh pemuda dan tokoh perempuan.
Kedudukan antara LPM dan pemerintah desa
atau kelurahan adalah sejajar. Secara normatif,
keduanya memainkan fungsi kemitraan, meskipun
pada kenyataannya terkadang kewenangan
LPM seringkali melampaui kewenangan pihak
pemerintah desa atau kelurahan. Oleh sebab itu,
konflik di antara mereka pun sangat mungkin
terjadi.
Oleh karena perannya yang sangat
strategis ini, maka diperlukan sebuah dukungan
yang kuat dari masyarakat untuk merebut
kedudukan sebagai ketua LPM. Dan dengan
tujuan ini pulalah, sering kali pertarungan antara
elit dan unjuk kekuatan massa dalam masyarakat
nelayan menjadi tidak dapat dielakkan. Meski
tidak sampai saling mencederai, namun beberapa
proses peralihan kepengurusan beberapa LPM di
Kota Makassar diwarnai dengan pertikaian antar
elit. Untuk memenangi pertarungan ini, para
JURNAL POLITIK
punggawa ataupun kalangan elit masyarakat akan
mengerahkan segenap nelayan yang merupakan
kliennya, termasuk keluarga nelayan klien
untuk menyatukan kekuatan dan memenangkan
punggawa-nya masing-masing.
Jika pada masa orde baru, pembangunan lebih mengedepankan pendekatan top-down,
maka sejak penerapan prinsip desentralisasi,
paradigma pembangunan saat ini lebih mengedepankan pendekatan bottom-up. Meski begitu,
penerapan kedua pendekatan ini malah menjadi
semakin tidak jelas. Hal ini disebabkan kuatnya
pengaruh strukturalis cenderung tidak melihat
karakteristik masyarakat setempat yang menjadi
objek pembangunan. Selain itu, bias- bias atas
penerapan pendekatan bottom up justeru pada
implementasi program pembangunan fisik, yaitu
pemasangan paving blok di jalan-jalan desa.
Beberapa kasus yang ditemukan di Kota Makassar
menunjukkan bahwa pembangunan fisik dalam
satu lingkungan RT seringkali menimbulkan
permasalahan, baik dalam konteks kualitas hasil
proyek maupun ekses-ekses sosial lainnya.
Bagi kelompok-kelompok yang terlibat
dalam pelaksanaan pembangunan fisik, semua
tahapan-tahapan pembangunan telah dilaksanakan
sesuai prosedur serta berlangsung dengan cukup transparan. Untuk menguatkan pandangan
ini, pihak elit LPM seringkali memanfaatkan
nelayan kliennya untuk menyebarkan opini
bahwa pembangunan tersebut sudah sangat
membantu masyarakat. Sememangnya diakui
bahwa pembangunan tidak mungkin memberikan
kepuasan bagi semua pihak, akan tetapi pandangan
apriori masyarakat menunjukkan bahwa pembangunan cenderung lebih menguntungkan pihak pengambil keputusan dibandingkan masyarakat pada umumnya. Kapasitas sang patron
(punggawa) sebagai pengambil keputusan tidak
dapat dielakkan turut memuluskan penempatan
lokasi proyek sesuai keinginannya. Meskipun
begitu, sebahagian besar masyarakat cenderung
menerima saja hasilnya.
Fenomena Kompradorasi di Cambayya
Jika kedua bentuk artikulasi tersebut
lebih melihat hubungan antara punggawa sebagai
elit yang berpengaruh dengan nelayan sebagai klien
dan anggota masyarakat biasa, maka penjelasan
1408
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
berikut justeru mengetengahkan konfigurasi
baru atas hubungan patron klien. Berdasarkan
pengamatan di lapangan, dinamika patron klien
dalam masyarakat nelayan di Makassar juga
membentuk hubungan antara punggawa sebagai
elit dalam masyarakat nelayan dengan kelompok pemodal yang berasal dari luar masyarakat
nelayan Cambayya. Kelompok pemodal ini
sangat berkepentingan untuk menjalankan investasinya, termasuk mengamankan posisi dan
kepentingan bisnis kelompok pemodal yang
mendapat ancaman dari pemodal yang lainnya.
Sasono dan Sritua Arif (1984) menyebut kelas
elit lokal dari kalangan nelayan seperti ini sebagai
kelas komprador. Sementara itu, Satria (2001)
menyebut bahwa fenomena kompradorasi ditandai
dengan adanya perlindungan kepada pemodal
yang dilakukan oleh elit lokal untuk melancarkan
investasinya serta adanya tukar menukar kekuatan
dan kekuasaan antara kelompok-kelompok yang
terlibat. Perlindungan dan pengamanan dalam
konteks ini sangat penting. Alasan utama yang
kerap dikemukakan oleh masyarakat nelayan
adalah bahwa pola penangkapan yang dijalankan
oleh pemodal dari luar ini adalah lebih didominasi
oleh cara-cara illegal fishing. Salah satu pola
illegal fishing yang diungkap dalam tulisan ini
adalah penggunaan bius ikan.
Penggunaan bius ikan pertama kali di
perairan Makassar dikenalkan oleh nelayannelayan dari Hongkong pada awal-awal dekade
1980-an. Nelayan-nelayan tersebut dibawa oleh
pengusaha lokal yang memiliki afiliasi bisnis
yang kuat dengan beberapa pebisnis di Hongkong.
Mereka mengenalkan cara penangkapan dengan
bius. Cara ini berlangsung cukup berhasil oleh
karena (1) kontur geografis perairan Makassar yang
terdiri atas gugusan pulau-pulau kecil sehingga di
antaranya terdapat banyak terumbu karang; dan
(2) keahlian menyelam yang dimiliki oleh pelautpelaut Makassar yang sangat ulung dan sudah
terkenal sejak beberapa abad silam. Sutherland
(2009) bahkan menyebutkan dalam jurnalnya
bahwa kemunculan Makassar sebagai salah satu
emporium ekonomi paling maju pada abad ke
17 tidak dapat lepas dari peranan pedagang Cina
pendatang yang piawai berdagang dan bermukim
di Makassar berasimilasi dengan kemampuan
penyelam masyarakat Makassar untuk mengambil
JURNAL POLITIK
komoditi di laut, terutama Teripang.
Proses pembiusan ikan dilakukan dengan
menyemburkan zat-zat kimia ke dalam terumbu
karang, tempat terdapat banyak ikan-ikan bernilai
ekonomis sangat tinggi. Jika pembiusan ini
berhasil, ikan-ikan yang terdapat dalam terumbu
karang akan keluar dalam kondisi yang lemas
(mulai terbius). Pada saat seperti ini, ikan-ikan
tersebut akan ditangkap sedemikian rupa dan
diangkat ke atas perahu nelayan. Proses ini
tentunya memerlukan kemampuan penyelaman
secara tradisional, sementara residu zat kimia yang
disemburkan akan tetap bereaksi dan merusak
sebahagian ekosistem dasar laut.
Dinamika patronase tidak luput dari
fenomena ini. Punggawa menjadi figur sentral
dalam hubungan seperti ini. Peran utama
punggawa adalah menyediakan nelayan penyelam
yang bertugas menyemburkan zat kimia ke dalam
terumbu karang. Mendapatkan nelayan penyelam
yang dapat diajak bekerjasama bukan sebuah
perkara yang sulit. Untuk mencari nelayan yang
direkrut, pertimbangan utama tentunya masih
seputar hubungan ekonomi yang menempatkan
nelayan penyelam sebagai pencari kerja dan patron
sebagai pihak yang menghubungkan dengan
pemodal (baca:pengimpor) yang memiliki dana.
Peran yang tak kalah pentingnya adalah
ketika punggawa juga memberikan jaminan
keamanan kepada pengimpor. Jamiman keamanan
ini berkenaan dengan keberadaan kolam pencernihan ikan yang berfungsi untuk menetralisir
sisa-sisa bius yang masih melekat dalam tubuh
ikan, dan membiarkan ikan tersebut untuk dapat
bergerak secara normal kembali. Kolam-kolam
tersebut dibuat di dalam sebuah gedung yang
juga berfungsi sebagai tempat packing ikan-ikan
hidup untuk kemudian diekspor. Untuk menjamin
keamanan gedung ini, punggawa melibatkan
beberapa pihak lainnya, terutama pihak keamanan resmi. Selama penelitian dilaksanakan, tidak
didapatkan bukti nyata mengenai keterlibatan
pihak-pihak tertentu, selain hanya berupa ungkapan-ungkapan beberapa informan yang itupun
tidak lebih dari sekadar informasi yang sulit
mereka buktikan. Namun justeru dengan fenomena
demikian ini, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa
keberadaan mereka tidak diketahui oleh orang
banyak dan tidak diketahui secara pasti siapa
1409
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
pemiliknya, kecuali sang patron yang mengontrol
kegiatan itu.
Jaminan keamanan dalam konteks ini
dapat juga diartikan sebagai kemampuan pihak elit
dalam masyarakat nelayan untuk meredam gejolak
pihak-pihak yang tidak senang atas keberadaan
pola ini. Tentu sesuatu yang ironis ketika di sekitar
lokasi pengamatan terdapat beberapa kolam
penjernihan, akan tetapi tidak semua masyarakat
di situ mengetahui siapa pemilik pastinya.
Terima kasih atas bimbingan dan arahan
Prof. Maswadi Rauf pada tulisan ini.
Simpulan
Eksistensi hubungan patron klien dalam
masyarakat nelayan di Kota Makassar saat ini
adalah sebuah proses panjang yang telah bertahan
selama puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu.
Seiring dengan perkembangannya, patron klien
telah menjadi bagian dari transformasi sosial
ekonomi masyarakat nelayan. Analisis atas sejarah
panjang hubungan patron klien di Sulawesi Selatan
--- hubungan patron klien tidak terbatas hanya
kepada hubungan ekonomi saja, melainkan juga
telah menjadi bagian penting dalam konstalasi
politik kontemporer. Kajian ini mendapati bahwa
hubungan patron klien dalam masyarakat nelayan
telah mengalami konfigurasi dan menemukan satu
bentuk baru. Pada tataran mikro, hubungan patron
klien berkaitan erat dengan tarik ulur pengaruh dan
kekuasaan untuk merebut dan mempertahankan
status sosial yang lebih tinggi.
Transformasi penting yang melingkupi
masyarakat nelayan berkaitan dengan eksistensi
hubungan patron klien saat ini adalah bahwa
artikulasi hubungan patron klien telah memetakan
masyarakat nelayan ke dalam status-status
sosial yang semakin jelas sekatnya. Pada awal
kemunculannya, hubungan ini didominasi oleh
kekentalan sifat tradisional masyarakat nelayan.
Namun, dengan kehadiran teknologi dalam
masyarakat nelayan, masyarakat tidak hanya
terbentuk dalam gugusan strata sosial yang
semakin jelas, akan tetapi juga telah membentuk
kelas sosial yang baru.
JURNAL POLITIK
Kepustakaan
Althusser, Louis dan Balibar, Etiene. 1970.
Reading Capital. London: New Left Book
Arief, S. & Sasono, A. 1981. Indonesia:
Ketergantungan dan Keterbelakangan.
Jakarta: Lembaga Studi Pembangunan.
Biro Pusat Statistik Kota Makassar. 2011. Kota
Makassar Dalam Angka Tahun 2008.
Makassar: BPS.
Christoper Louis Dyer. 1990. Sharing The
Fishing: Resource Utilization and Kinship
Cooperation in
Three Mexican Artisanal Comunity. Ph.D Thesis.
Arizona State University.
Eisenstadt, S. N. Dan Roniger, L. 1984. The Study
of Patron-Client Relation and Recent
Development in Sociological Theory. dlm.
Eisenstadt, S. N. Dan Roniger, L. 1981.
Political Clientelism, Patronage and
Development. London: Sage Publication.
Hindess, Barry dan Hirst, Paul. 1975. PreCapitalist Mode of Production. London:
Routledge & Keegan.
Homans, G.C. 1961. Social Behaviour: Its
Elementary Form. New York: St. Martin’s
Press Ltd.
Junaenah Sulehan, Ong Puay Liu, Yahaya
Ibrahim, Noorahamah Hj. Abubakar, Abd.
Hair Awang & Mohd. Yusof Hj. Abdullah.
2008. “Penyertaan dan Pemerkasaan
Komuniti Desa dan Pembangunan di
Malaysia-Indonesia” dalam Jurnal Kajian
Politik dan Pembangunan 4(2): 281-300.
Kausar. 2009. Sistem Birokrasi Pemerintahan di
Daerah Dalam Bayang-Bayang Budaya
Patron-Klien. Bandung: PT Alumni.
1410
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Mattulada. A. 1995. “Traditional Management
among Bugis-Makassar Enterpreneurs in
South Sulawesi” dalam Lontara. Journal
of Hasanuddin University. Vol. 1. No. 2
hlm. 23-28.
Relationship in Co-Management: An
Interdiciplinary Analysis of Coastal
Resource Management in South Sulawesi,
Indonesia. Ph.D thesis.Faculty of Graduate
Studies. Dalhousie University. Canada.
Mulyadi. 2007. Ekonomi Kelautan. Jakarta. Raja
Grafindo Persada.
Pelras, C.1981. Hubungan Patron-Klien pada
Masyarakat Bugis Makassar. Monograf.
Ujung Pandang.
Ritzer, George. 2004. Encyclopedia of Social
Theory. London: Sage Publication.
Satria, Arif. 2001. Dinamika Modernisasi
Perikanan: Bentukan masyarakat dan
Mobilitas Nelayan. Bandung: Humaniora
Utama Press.
Scott, James C. 2000. Senjatanya Orang-Orang
yang Kalah: Bentuk Perlawanan Seharihari Kaum Tani. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Siswanto, Budi. 2008. Kemiskinan dan
Perlawanan Kaum Nelayan. Malang.
Laksbang Mediatama.
Sutherland, H. Teripang dan Perahu Wangkang
Perdagangan Makassar dengan China pada
Abad ke-18 (kl. 1720-an – 1840-an). Dlm.
Roger Tol et al (editor). 2009. Kuasa dan
Usaha di Masyarakat Sulawesi Selatan.
Jakarta: KITLV.
Suwarsono & So, A. Y. 2000. Perubahan Sosial
dan Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
Tain, A. 2010. Analisis kemiskinan dan adaptasi
rumah tangga nelayan motor tempel
di wilayah tangkap lebih Jawa Timur.
Disertasi Doktor. Universitas Padjadjaran.
Bandung.
Yusran,
Muhammad.
2002.
Ponggawa-Sawi
JURNAL POLITIK
1411
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
JURNAL POLITIK
1412
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Dinamika Politik Pemilihan Umum 2014
Political Dynamic in Election 2014
Leo Agustino
Abstrak
Artikel ini membahas 2014 itu pemilihan umum di Indonesia. Dalam pemilu legislatif, PDIP
menempati urutan pertama, diikuti oleh Golkar dan Gerindra. PD yang pernah menjadi pemenang
pemilu sebelumnya dilemparkan ke empat. Hal ini karena korupsi yang melanda partai. Meskipun
PDIP menjadi pemenang dalam Pileg 2014, tetapi mereka belum tentu bisa mengajukan calon mereka
dalam pemilihan presiden 2014 karena ambang batas presiden memerintah. Oleh karena itu, solusi
yang diambil untuk membangun koalisi antara pihak-pihak yang berpartisipasi dalam pemilu. Melalui
koalisi terbentuk, ada dua koalisi bersaing yang Gerindra, PAN, PPP, PKS, Golkar, dan PBB (Partai
nonparliament) (Koalisi Merah Putih) berurusan dengan koalisi PDIP, Nasdem, PKB, Hanura, dan
PKPI (Partai nonparliament). Hasil pemilihan presiden menunjukkan bahwa membawa koalisi JokowiJK (PDIP, Nasdem, PKB, Hanura, dan PKPI) memenangkan persaingan dengan rasio 53,15% suara:
46,85%.
Kata kunci: pemilihan, partai politik, dinamika politik
Abstract
This article discussed about the Election 2014 in Indonesia. In regional election, PDIP ranks in the
first place, followed by Golkar and Gerindra. PD, who has win in the previous election, now is in the
fourth place. It is because of the party covered by the corruption. Though PDIP became the winner
in Regional Election 2014, it didn’t mean they can put their own candidate in General election since
the time limitation of the president. That is why; the solving solution is to build a coalition among the
participants in election. By the formed coalition, there are two competing coalition; Gerindra, PAN,
PPP, PKS, Golkar, and PBB (nonparliament party) (Koalisi Merah Putih) with the coalition from PDIP,
Nasdem, PKB, Hanura, and PKPI (nonparliament party). The result of general election has shown if
the coalition of koalisi Jokowi-JK (PDIP, Nasdem, PKB, Hanura, and PKPI) won the competition with
ratio 53, 15% voting: 46, 85%.
Keywords: election, political party, political dynamics
Pendahuluan
Pemilihan umum (Pemilu) 2014, baik
pemilihan legislatif (Pileg) maupun pemilihan
presiden (Pilpres), merupakan Pemilu yang
tersengit dan tertegang selepas rezim Orde Baru.
Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya
tidak ada lagi inkumben (incumbent atau petahan)
yang turut bersaing, munculnya kasus-kasus
rasuah sehingga membuat citra beberapa partai
politik tidak lagi diminati pemilih, persaingan
satu-lawan-satu (head to head) pada pemilihan
umum presiden 9 Juli 2014, dan beberapa lagi
lainnya. Oleh karena itu, untuk memahami
dinamika politik pemilihan umum tersebut, artikel
ini akan menitikberatkan pada beberapa pokok
perbincangan. Pertama, menganalisis pemilihan
umum legislatif di Indonesia dengan fokus
perhatian pada naik ataupun turunnya suara-suara
partai tertentu. Kedua, menelaah koalisi partai
politik yang terbentuk karena tidak ada satu
pun partai yang memenuhi syarat presidential
threshold. Koalisi partai menarik dinilai sebab
gabungan sejumlah partai akan menunjukkan
arah dukungan rakyat. Ketiga, menilai pemilihan
umum presiden pada 9 Juli 2014 dengan hanya dua
pasangan kandidat yang bersaing, yaitu Prabowo
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Serang, Banten. [email protected]
JURNAL POLITIK
1413
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Subianto-Hatta Rajasa (Prabowo-Hatta) dan
pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK).
Impaknya, terjadi fragmentasi yang keras di level
elit maupun ‘akar rumput’ sebab kontestasinya
langsung berhadap-hadapan (head to head).
Beberapa poin utama di atas, sebenarnya
berusaha
menjawab
pertanyaan
seperti
bagaimanakah dinamika politik menjelang
pemilihan umum legislatif 9 April 2014? Partai
manakah yang mendapat suara terbanyak dalam
Pileg tersebut? Impak apakah yang terjadi
manakala partai-partai politik tersebut mendapat
suara yang banyak? Seperti apakah koalisi yang
dibentuk jelang Pilpres 9 Juli 2014? Apakah
strategi yang dijalankan oleh masing-masing
koalisi partai untuk mendapatkan dukungan rakyat
pada saat Pilpres diselenggarakan? Pasangan
(atau koalisi partai) manakah yang memenangkan
Pilpres 2014?
Oleh karena itu, untuk menjawab
pertanyaan tersebut, maka, penulis banyak
menggunakan data yang bersumber dari buku,
jurnal, surat kabar, maupun laman web yang
otoritatif. Dengan menggunakan sistematika
dan metode pengumpulan data seperti tersebut
di atas, maka penulis meyakini analisis dalam
artikel ini menjadi jauh lebih valid dan dapat
dipertanggungjawabkan secara akademik.
Pemilihan Legislatif dan Pasang-Surut Suara
Partai
Pemilihan umum legislatif di Indonesia
jatuh pada 9 April 2014. Merujuk data Komisi
Pemilihan Umum (KPU), sebanyak 186.569.233
jiwa terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu
legislatif kala itu (Tempo 12-18 Mei 2014:49).
Kendati begitu, hanya 67,99% atau 124.972.491
orang saja yang suaranya dianggap sah sedangkan
33,01% lainnya (61.596.742 jiwa) dianggap tidak
sah.
Angka di atas menunjukkan penurunan
partisipasi dibandingkan pemilihan-pemilihan
sebelumnya. Angka partisipasi rakyat dalam
Pemilu semakin tahun menunjukkan penurunan
berarti. Pada Pemilu 1999, persentase partisipasi
rakyat dalam Pemilu adalah 90%.
Angka
partisipasi tersebut surut menjadi 80% pada 2004
dan semakin turun pada Pemilu 2009 menjadi
70%. Pada Pemilu legislatif 2014 lalu, persentase
JURNAL POLITIK
partisipasi rakyat malah semakin jatuh di angka
67,99%.
Pada Pemilu 1999 misalnya, persentase
partisipasi rakyat dalam Pemilu adalah 90%.
Angka partisipasi tersebut menurun menjadi 80%
pada tahun 2004 dan semakin turun pada Pemilu
2009 menjadi 70% (Suryadinata, 2002; Agustino,
2009). Salah satu sebab menurunnya tingkat
partisipasi rakyat dalam pemilihan umum adalah
terlalu seringnya pemilihan diselenggarakan,
terutama setelah pemilihan kepala daerah
dilakukan secara langsung. Selain itu, karena tidak
adanya perubahan yang terjadi meskipun rakyat
sudah turut serta dalam setiap pemilihan, sehingga
muncul apatisme rakyat, memilih ataupun tidak
memilih, kehidupan (warga masyarakat) akan
sama saja.
Setidaknya pada Pileg 2014 terdapat
12 partai politik yang bersaing. Keduabelas
partai tersebut adalah Partai Nasional Demokrat
(Nasdem), Partai Kebangkitan Bangksa (PKB),
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan
Karya (Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya
(Gerindra), Partai Demokrat (Demokrat atau PD),
Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat
(Hanura), Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai
Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Dari
keduabelas partai peserta Pemilu legislatif tahun
2014 hanya Partai Nasdem yang merupakan partai
baru—awalnya Nasdem adalah sebuah organisasi
masyarakat yang diprakarsai oleh Surya Paloh
(pemilik MetroTV dan Media Grup).
Secara keseluruhan, Pileg 2014 berjalan
lancar. Kendati terdapat kritik atas masalah
keterlambatan logistik, surat suara yang tertukar,
dan lain sebagainya, namun mayoritas rakyat
Indonesia menerima pelaksanaan pemilihan
umum legislatif tersebut sebagai sebuah peesta
demokrasi yang berhasil.
Tepat sebulan kemudian, pada 9 Mei
2014, KPU mengumumkan hasil rekapitulasi
resmi yang dituangkan dalam Surat Edaran No.
411/kpts/KPU/2014 tentang Penetapan Hasil
Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi,
dan DPRD Kabupaten/Kota. Tabel 1 (di bawah),
menunjukkan partrai politik yang berkontestansi,
perolehan suara, persentase, dan kursi parlemen
1414
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
yang diperoleh. Dari hasil rekapitulasi resmi KPU,
terdapat dua partai yang tidak lolos parliament
threshold. Kedua partai tersebut adalah Partai
Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan
Persatuan Indonesia (PKPI)—yang perolehan
suaranya di bawah 3,5%. Akibatnya, PBB dan
PKPI tidak mendapat kursi di parlemen dan
harus mendaftar ulang lagi jika keduanya hendak
mengikuti Pemilu tahun 2019.
Tabel 1 Hasil Rekapitulasi Resmi KPU
No
P a r t a i P e ro l e h a n Persen- Kursi
Suara
Politik
tase Parlemeen
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Nasdem
PKB
PKS
PDIP
Golkar
Gerindra
Demokrat
PAN
PPP
Hanura
PBB*
PKPI*
Resmi
8.402.812
11.298.957
8.480.204
23.681.471
18.432.312
14.760.371
12.728.913
9.481.621
8.157.488
6.579.498
1.825.750
1.143.094
6,72%
9,04%
6,79%
18,95%
14,75%
11,81%
10,19%
7,57%
6,53%
5,26%
1,46%
0,91%
35
47
40
109
91
73
61
49
39
16
0
0
Sumber: 1961: Lance Castle: Indonesia 1967, 2000: sensus 2000
Tabel 1 di atas menarik untuk dianalisis
sebab politik Indonesia pasca Orde Baru selalu
gagal memunculkan partai dominan. Ini karena
sejak pemilihan umum pertama (era reformasi),
tidak satu pun partai yang mendapatkan suara
lebih dari 50%. Malah, perolehan suara partai
yang memenangi Pemilu legislatif semakin hari
semakin turun persentasenya. Pada Pemilu tahun
1999 misalnya, PDIP hanya memeroleh 33,73%
suara saja (Leo Suryadinata 2002:103). Manakala
pada Pemilu tahun 2004 dan 2009, persentase
suara Partai Golkar dan Partai Demokrat hanya
memeroleh 23,27% pada Pemilu 2004 dan 20,85%
pada Pemilu 2009 (Leo Agustino & Mohammad
Agus Yusoff 2009:574). Pada Pemilu legislatif
tahun 2014, persentase yang diperoleh oleh PDIP
selaku pemeringkat pertama dalam Pileg 2014
hanya mendapat 18,95% (lihat Tabel 1).
Dilihat dari persentase yang diperoleh
masing-masing partai, maka dapatlah dikembangkan beberapa analisis menarik. Pertama, Demokrat gagal mempertahankan perolehan suaranya
berbanding perolehan mereka pada Pemilu
JURNAL POLITIK
2009 (ketika itu PD memeroleh 20,81% suara).
Tidak dapat dipungkiri bahwa PD adalah partai
penuai banyak suara pada Pemilu 2009. Terjadi
peningkatan drastis sebesar 13% berbanding
Pemilu 2004, di mana pada pelibatan mereka
yang pertama pada Pemilu, PD hanya memeroleh
7,45% (Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff
2009:575). Namun, pada Pemilu legislatif 2014,
perolehan suara PD mengalami keterpurukan
menjadi 10,19%. Ini artinya PD kehilangan
hingga 10% lebih suara.
Satu hal yang bisa menjawab penurunan
drastis PD adalah kasus rasuah yang tengah
menerpa partai berlambang berlian ini. Selain
itu, penurun dukungan rakyat kepada PD
mengindikasikan ketidakpuasan rakyat terhadap
kinerja kabinet yang dibentuk oleh PD selama ini.
Dan sebaliknya, meningkatnya suara dukungan
terhadap Gerindra dan PDIP mengindikasikan
harapan baru terhadap dua partai tersebut. Sebab,
Gerindra dan PDIP dianggap sebagai partai
oposisi yang dianggap mampu memberikan solusi
alternatif bagi perbaikan bangsa.
Terkait dengan penurunan perolehan
suara, ternyata bukan hanya PD saja yang ‘terjun
bebas,’ PKS dan PBB juga mengalami penurunan
suara.
Kendati PKS dan PBB mengalami
penurunan, namun turunnya suara mereka tidak
lebih dari 1,5%. PKS misalnya, pada Pemilu 2009
mendapat 7,89% suara sedangkan pada Pemilu
2014 mendapat 6,79% (selisih atau turun 1,1%).
Manakala PBB hanya turun 0,33%, dari 1,79%
pada Pemilu 2009 menjadi 1,46% pada Pemilu
2014.
Penurunan 1,1% bagi PKS boleh dikatakan
akibat pemberitaan buruk yang tengah melanda
partai ini, terutama terkait dengan kasus impor
daging sapi. Kendati begitu, PKS kelihatannya
akan stabil diangka angka 6-7% karena angka ini
adalah captive voters partai berlambang bintang
dan padi. Ini karena sepanjang pemilihan umum
era Reformasi, PKS selalu bertahan di angka
6-7%. Pada Pemilu 2004 sebagai contohnya,
PKS memeroleh 7,34%, lima tahun berikutnya
memeroleh 7,89% dan hasil Pemilu 2014, PKS
memeroleh 6,79%. Sementara itu, turunnya
persentase PBB disebabkan oleh tidak ada lagi
pemilih setia dan simpatisan partai berlambang
bulan dan bintang selain pemilih yang ada pada
1415
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
saat ini. Sehingga perolehan suara mereka (jika
ikut lagi pada kontestasi Pemilu tahun 2019)
sepertinya PBB akan tetap bertahan di angka
1-1,5% saja.
Kedua, terdapat banyak partai politik
yang memerolehan suara lebih tinggi berbanding
pemilihan umum lima tahun sebelumnya—di
luar Nasdem tentunya. Mereka adalah Gerindra
yang naik 7,35% dari 4,46% pada Pemilu 2009 ke
11,81% pada Pemilu 2014; PDIP naik 4,94% dari
14,01% ke 18,95%; PKB naik 4,09% dari 4,95%
ke 9,04%; PAN naik 1,54% dari 6,03% ke 7,57%;
PPP naik 1,2% dari 5,33% ke 6,53%; Hanura naik
1,49% dari 3,77% ke 5,26%; Golkar naik 0,30%
dari 14,45% ke 14,75%; dan PKPI naik 0,01%
dari 0,90% ke 0,91% (lihat Tabel 2). Jika melihat
angka ini, maka kenaikan yang signifikan terjadi
pada Gerindra, PDIP dan PKB --- di luar Nasdem.
Tabel 2 Perbandingan Perolehan Suara Partai Pada Pemilu
2009 dan 2014
Perolehan
Suara (%) Perubahan
Partai
No Politik
Suara (%)
2009
2014
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Nasdem
PKB
PKS
PDIP
Golkar
Gerindra
Demokrat
PAN
PPP
Hanura
PBB
PKPI
6,72
9,04
6,79
18,95
14,75
11,81
10,19
7,57
6,53
5,26
1,46
0,91
0
4,95
7,89
14,01
14,45
4,46
20,81
6,03
5,33
3,77
1,79
0,9
(+) 6,72
(+) 4,09
(-) 1,1
(+) 4,94
(+) 0,30
(+) 7,35
(-) 10,62
(+) 1,54
(+) 1,2
(+) 1,49
(-) 0,33
(+) 0,01
Sumber: Diolah dari pelbagai sumber.
Meningkatnya suara Gerindra yang sangat
besar dikarenakan sosok Prabowo Subianto.
Mayoritas rakyat Indonesia semasa itu begitu
merindukan sosok pemimpin yang tegas dan
mampu menciptakan kestabilan ekonomi serta
politik. Selain itu, ada tendensi untuk menciptakan
kestabilan ekonomi dan politik terlihat pada
platform partai Gerindra yang tertuangkan dalam
Enam Program Aksi Transformasi Bangsa Partai
Gerindra (2014-2019). Keenam program aksi
tersebut, yaitu (1) membangun ekonomi yang kuat
berdaulat, adil dan makmur, (2) melaksanakan
ekonomi kerakyatan, (3) membangun kedaulatan
pangan dan energi serta pengamanan sumber daya
JURNAL POLITIK
air, (4) meningkaykan kualitas pembangunan
manusia Indonesia melalui program pendidikan,
kesehatan, soaisla dan budaya serta olahraga, (5)
membangun infrastruktur dan menjaga kelestarian
alam serta lingkungan hidup, dan (6) membangun
pemerintahan yang bebas korupsi, kuat, tegas dan
efektif. Selain itu, derivasi kegiatan dari enam
program aksi Partai Gerindra yang arahnya sesuai
dengan kehendak rakyat (kembali ‘ke masa lalu’
menciptakan kehidupan yang lebih mudah dan
stabil seperti era Orde Baru) menjadi pembeda
Gerindra berbanding partai politik lain yang
sepertinya tidak memiliki platform yang jelas.
Rakyat awam pada umumnya menghendaki
turunnya harga bahan pokok, naiknya subsidi
bagi rakyat kecil termasuk petani dan nelayan,
gelontoran yang deras dalam bentuk subsidi bagi
bahan bakar minyak (BBM), dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu, sosok Prabowo yang identik dengan
ketegasan (berasal dari latar belakang militernya)
dan selalu dikaitkan dengan dengan ‘keluarga
Cendana’ (meskipun telah bercerai dengan Titiek
Soeharto) menjadi daya tarik pemilih awam di
Indonesia—nuansa ini kemudian dikenal dengan
istilah ‘Prabowo efek.’
Sementara itu, meningkatnya suara PDIP
sudah diprediksikan sebelumnya oleh beberapa
lembaga survei. Ini juga disebabkan oleh karena
partai berkuasa (Demokrat) menuai banyak
masalah terutama atas kasus korupsi wisma
atlet di Hambalang, Bogor. Kekecewaan rakyat
begitu terasa ketika pemilih tidak lagi memilih
PD sebagai pilihannya pada pemilihan umum
legislatif April 2014. Akibatnya, perolehan suara
PD menurun cukup drastis. Keterpurukan tersebut
semakin menjadi-jadi sebab sosok SBY yang
pernah mendongkrak suara PD tidak bisa lagi
dimajukan sebagai calon presiden pada Pilpres
2014 karena terbentur syarat masa jabatan (beliau
telah menjabat jabatan presiden selama dua
periode yaitu pada 2004-2009 dan 2009-2014).
Menariknya, limpahan suara PD nampaknya
mengalir ke Gerindra, PDIP, dan Nasdem.
Hal ini karena ketiga partai tersebut bercorak
sama dengan PD yaitu partai nasionalis. Partai
nasionalis yang dimaksud adalah partai politik
yang tidak memiliki hubungan dengan organisasi
Islam, memperjuangkan tegaknya negara dan
pemerintahan yang netral dari pengaruh agama,
1416
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
dan menolak formalisasi syariah dalam hukum
negara. Penjelasan lebih lanjut mengenai partai
nasionalis, partai Islamis atau partai Islam-inklusif
dan sebagainya (Assyaukanie, 2009).
Manakala peningkatan perolehan suara
PKB pada Pemilu 2014 tidak sepenuhnya dapat
dibaca sebagai pulihnya kepercayaan rakyat
terhadap partai yang diprakarsai oleh Abdurrahmad
Wahid (Gus Dur) almarhum, tetapi juga ada faktor
pendorong lain yaitu keberadaan Mahfud MD
(mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK)) dan
Rhoma Irama. Keduanya disebut-sebut sebagai
calonkan presiden yang diusung oleh PKB pada
masa kampanye Pileg lalu. Dan, keduanya
pula memiliki ‘massa setia’ sehingga berhasil
mendongkrak perolehan suara PKB.
Akan tetapi, jika dilihat ke belakang,
pada Pemilu 1999, suara PKB berada pada
angka 12,66% dan mereka menduduki peringkat
ketiga setelah PDIP dan Golkar. Sementara pada
Pemilu 2004 dan 2009, suara PKB turun menjadi
10,57% dan 4,98% (Leo Suryadinata 2002:103;
Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff
2009:574). Penyebab utama turunnya suara PKB
pada pemilihan-pemilihan umum era Reformasi
disebabkan oleh keterbelahan partai ini menjadi
dua kubu (kubu Muhaimin Iskandar dan kubu
Yeni Wahid). Akibatnya, suara mereka jatuh pada
Pemilu 2009. Namun, setelah penamaan Mahfud
MD dan Rhoma Irama sebagai calon presiden,
maka suara partai berlambang NU ini meningkat
cukup signifikan—selain karena konflik internal
PKB sudah selesai.
Ketiga, Nasdem yang diprediksi oleh
banyak lembaga survei tidak mendapatkan suara
banyak pada Pemilu 2014 ternyata memeroleh
6,72% suara. Kemunculan Nasdem lebih kurang
sama persis dengan kehadiran PD pada Pemilu
2004. PD ketika itu langsung mendapatkan 7,45%,
di mana perolehan tersebut merupakan limpahan
suara dari ‘terjun bebasnya’ suara PDIP pada
Pemilu 2004 (pada Pemilu 1999, PDIP memeroleh
33,73% suara sah nasional sedangkan pada Pemilu
2004 hanya memeroleh 18,53% suara). Semasa
itu PD bukanlah partai yang diperhitungkan, tetapi
dengan mengedepankan figur Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) sebagai calon presiden, maka
partai ini pun mendapat suara yang cukup besar—
sepertimana yang terjadi pada Nasdem sekarang
JURNAL POLITIK
ini. Perolehan PD juga didorong oleh sosok SBY
yang menjadi lambang ‘penindasan oleh penguasa’
setelah beliau dikucilkan oleh Presiden Megawati
Soekarnoputri dari kabinet. Peminggiran SBY
dari kabinet justru membuat SBY mendapat
simpati yang luar biasa dari pemilih sehingga
melonjakkan suara Demokrat ke angka 7,45%.
Keadaan ini sebenarnya merupakan pengulangan
sejarah di mana pada masa pemerintahan
Soeharto, Megawati pernah juga mengalami
peminggiran dan penindasan sehingga beliaupun
menjadi simbol ‘penindasan oleh penguasa’ yang
pada akhirnya membuatnya mendapat simpati dan
dukungan rakyat setelah rejim Orde Baru Soeharto
runtuh. Keadaan seperti inilah di kemudian hari
yang mengantarkan Megawati menjadi presiden
Indonesia pada tahun 2001.
Kendati Surya Paloh tidak identik dengan
‘penindasan oleh penguasa,’ tetapi keadaan politik
pada Pemilu 2014 relatif persis sama seperti pada
Pemilu 2004 di mana PDIP tengah diadili oleh
rakyat akibat kebijakan tidak popular yang diambil
oleh Megawati. Kali ini Demokrat-lah yang
menjadi bulan-bulanan rakyat akibat tindakan
rasuah yang dilakukan oleh anggota-anggotanya.
Impaknya suara Demokrat meluncur turun dari
20,81% pada Pemilu 2009 ke 10,19% pada Pemilu
2014 (lihat Tabel 3). Jika diperhatikan, maka
sirkulasi aliran suara Demokrat sepertinya banyak
mengalir ke Nasdem. Ini karena Nasdem adalah
partai nasionalis yang sama seperti Demokrat
dan dianggap sebagai partai baru yang belum
terkontaminasi virus korupsi yang telah banyak
menjalar pada partai-partai lama (Hasil wawancara
penulis dengan beberapa pemilih pemula --terutama mahasiswa --- di Kota Bandung pada 9,
10, 11 dan 14 April 2014).
Keempat, merujuk pada persyaratan
ambang batas parlemen (parliament threshold),
maka hanya 10 partai saja yang diijinkan aktif
di Senayan untuk mewakili rakyat Indonesia
hingga lima tahun mendatang. Mereka adalah
PDI-P, Golkar, Gerindra, Demokrat, PKB, PAN,
Nasdem, PKS, PPP, dan Hanura. Manakala PBB
dan PKPI tidak lolos ambang batas tersebut.
Kenyataan ini menggambarkan bahwa masyarakat
Indonesia masih terfragmentasi secara politik.
Bertahannya fragmentasi politik sejak Pemilu
pertama Reformasi berdampak negatif terhadap
1417
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
konsolidasi demokrasi di Indonesia. Ini karena
tidak adanya kekuatan politik mayoritas mutlak
di legislatif. Akibatnya, tidak ada satupun partai
yang ‘berani’ menjalankan pemerintahan tanpa
berkoalisi dengan partai lain.
Koalisi Partai Politik Jelang Pemilihan
Presiden
Rekapitulasi Pemilu legislatif menunjukkan tidak ada satu pun partai yang memenuhi
syarat ambang batas minimum bagi mereka untuk
mencalonkan kandidatnya maju dalam pemilihan
presiden (presidential threshold). Sebab jika
merujuk UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden, perundangan
tersebut mengamanatkan setiap partai yang hendak
mengajukan wakilnya sebagai calon presiden,
harus memperoleh minimal 25% suara nasional
atau 20% jumlah kursi di parlemen. Implikasi dari
hasil Pemilu legislatif yang tidak menghadirkan
satu partai pun yang mendapat 25% suara sah
nasional, maka mereka harus berkoalisi untuk
memenuhi syarat yang disyaratkan oleh undangundang. Koalisi partai, secara teoretik, bukan saja
sebagai jalan keluar atas minimnya suara partai
untuk mengajukan kandidat mereka pada bursa
calon pemilihan presiden, tetapi juga sebagai
area bagi penciptaan kestabilan politik—terutama
dalam pemerintahan (Elgie 2005:107). Mengapa
demikian?
Sejak Indonesia melaksanakan sistem
presidensial yang dikombinasikan dengan sistem
multipartai, sebenarnya negara kita masuk ke
dalam arena yang bernama minority government.
Yaitu sebuah mekanisme di mana pemerintah yang
terbentuk tidak pernah mendapat suara mayoritas
mutlak dalam setiap pemilihan umum sebab suara
pemilih terfragmentasi atas banyaknya partai
peserta Pemilu. Pemilihan umum di Indonesia
tahun 1999 misalnya, menghasilkan pemenang
yang hanya memeroleh 33,73% suara saja;
demikian juga dengan Pemilu tahun 2004 dan
2009, di mana partai pemenang hanya mendapat
23,27% dan 20,85% suara sah nasional (Leo
Agustino & Mohammad Agus Yusoff 2009:574,
575). Jika diasumsikan banyak partai tidak berniat
bergabung dengan partai pemenang Pemilu, maka
pemerintah berkuasa akan menjadi pemerintah
yang minoritas (minority government) jika
JURNAL POLITIK
dilihat dari sisi suara dan jumlah pendukungnya
di parlemen. Akibatnya, setiap kali pemerintah
berinteraksi dengan oposisi di parlemen, maka
akan selalu timbul prahara berupa political
deadlock. Ini karena partai oposisi mendapat
dukungan 70-80% suara parlemen sedangkan
partai pemeirntah hanya 20-30% suara saja.
Dampaknya jelas, setiap kebijakan yang diajukan
oleh pemerintah bisa terjengkang karena ditolak
oleh partai oposisi.
Oleh sebab itu, jalan keluar agar tidak
terjadinya goncangan atau ketidakpastian politik
berupa political deadlock, maka partai politik
pemenang pemilihan umum mesti melakukan
kolaborasi dalam bentuk koalisi. Pada Pemilu
1999, kolaborasi itu wujud dalam bentuk ‘Poros
Tengah.’ Pada Pemilu 2004 dan 2009, koalisi
juga menjadi solusi bagi Partai Demokrat yang
tergabung dengan PAN, PKB, PPP, PKS dan
Golkar (lihat Ambardi, 2008, Hanta Yuda AR,
2010, dan Hanan, 2012).
Sebelum koalisi pencalonan presiden tahun
2014 terbentuk, setidaknya ada tiga partai politik
yang berusaha keras untuk mempertahankan jagojagonya menjadi presiden. Ini artinya, ketiga partai
tersebut berencana membangun koalisinya masingmasing. Mereka adalah PDIP yang menjagokan
Jokowi sebagai kandidat presiden dari partai
berlambang banteng, Golkar memajukan Aburizal
Bakrie (ARB), dan Gerindra memajukan Prabowo
Subianto. Konstelasi penamaan calon presiden
ini berbeda dengan masa kampanye. Sebab pada
masa kampanye terdapat beberapa nama lain yang
muncul ke permukaan dan telah dijagokan oleh
partainya masing-masing untuk menjadi kandidat
presiden Indonesia periode 2014-2019. Mereka
ialah Hatta Rajasa (dari PAN), Wiranto (Hanura),
Surya Paloh (Nasdem), Rhoma Irama dan Prof.
Dr. Mahfud Mahmudin (atau lebih dikenal
dengan nama Mahfud MD) (PKB), Anis Matta,
Hidayat Nurwahid atau Ahmad Heryawan (PKS).
Sementara itu, Jusuf Kalla dan Akbar Tandjung
dari Golkar juga santer namanya disebut-sebut
pantas untuk dimajukan sebagai calon presiden.
Abraham Samad (ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi) pun turut mewarnai pencalonan presiden
di masa kampanye sebelum Pileg. Tetapi semua
itu hanyalah gimmick partai untuk mendapatkan
suara dari pemilih yang bersimpati kepada masing-
1418
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
masing tokoh yang diajukan oleh partai politik—
karena ditawarkan pada saat kampanye Pileg.
Konfigurasi nama-nama calon presiden
di atas berubah seiring dengan hasil rekapitulasi
KPU pada 9 Mei 2014. Menariknya, kendati
suara pemilih tersebar di beberapa partai politik,
tetapi PDIP, Golkar dan Gerindra tetap ‘berani’
memajukan kandidatnya dalam bursa pemilihan
presiden 9 Juli 2014. Untuk kepentingan itu,
maka lobi-lobi intensif dilakukan oleh ketiganya.
Tujuannya adalah menggenapi syarat 20% kursi
parlemen atau 25% suara sah nasional. Sementara
itu, sembilan partai politik lainnya (Nasdem,
PKB, PKS, PD, PAN, PPP, Hanura, PBB, dan
PKPI) mengurungkan niatnya untuk memajukan
kandidat mereka dalam kompetisi pemilihan
presiden.
Paling tidak, seminggu setelah pemilihan
legislatif, satu ide muncul ke permukaan di
mana partai-partai Islam berencana untuk
membangun koalisi Poros Islam. Tujuannya
adalah mengajukan calon mereka tanpa harus
berinduk kepada ketiga partai yang telah ‘berani’
memajukan calon-calonnya. Ini karena jika
semua partai Islam (PKB, PKS, PPP, PBB dan
PAN) bergabung dan membentuk koalisi, maka
suara mereka akan mencapai 31,81%, dan angka
tersebut telah memenuhi syarat untuk memajukan
nama calon presiden koalisi mereka sendiri.
Tetapi, kendala muncul ketika Suryadarma Ali
menyatakan kecenderungannya untuk berkoalisi
dengan Gerindra. Akibatnya, terjadi ketegangan
dalam tubuh PPP yang berakhir dengan Islah pada
24 April 2014 (Kompas 25 April 2014:1).
Ketegangan dalam tubuh PPP mencuat
karena Suryadarma Ali hadir dalam kampanye
Partai Gerindra di Gelora Bung Karno. Bagi
sebagian besar elit PPP langkah Suryadarma hadir
dalam kampanye partai lain telah merontokkan
wibawa dan karisma parati berlambang Ka’bah
ini. Oleh karena itu, ketika Suryadarma mengatasnamakan PPP akan berkoalisi dengan Gerindra,
elit-elit PPP yang berseberangan dengannya menentang hal itu sebab dianggap inkonstitusional
(merujuk AD/ART PPP). Akibat lanjutan pada 16
April 2014, Suryadarma Ali memecat beberapa
elit PPP seperti Emron Palupi (Wakil Ketua
Umum DPP PPP), Romahurmuziy (Sekjen
PPP), Rahmat Yasin (Ketua DPW Jawa Barat),
JURNAL POLITIK
Amir Uskara (Ketua DPW Sulawesi Selatan),
Fadli Nursal (Ketia DPW Sumatera Utara) dan
lainnya yang beroposisi dengannya. Sebaliknya,
elit PPP yang menentang Suryadarma Ali pun
mencopot jabatan Suryadarma dari ketua umum
PPP. Namun, kisruh itu menenang setelah pada
Mukernas III PPP, Suryadarma Ali mengakui
kesalahannya (Kompas 25 April 2014). Ayunan
langkah Suryadarma Ali yang mendahului elit-elt
partai Islam mengakibatkan koalisi ‘Poros Islam’
gagal terbentuk.
Gagalnya ‘Poros Islam’ mengakibatkan elit
politik melakukan lobi-lobi panjang dan intensif
untuk membangun koalisi yang lebih realistik
dalam menghadapi Pilpres 9 Juli. Ini terutama
dilakukan oleh PDIP, Golkar, dan Nasdem.
Namun, ‘jiwa zaman’ bergerak kepada dua calon
saja yaitu Joko Widodo (kerap disebut Jokowi)
dari PDIP dan Prabowo Subianto dari Gerindra.
Konfigurasi ini merupakan dampak langsung
dari ‘konstruksi’ lembaga-lembaga survei yang
jauh-jauh hari sudah melabelkan bahwa hanya
dua kandidat yang memiliki ‘daya magis’ dalam
Pilpres 2014.
Hal ini bertolak belakang dengan Golkar.
Meskipun ARB telah ‘menjual’ Golkar sejak
Rapimnas tahun 2012, namun greget partai
berlambang beringin ini hilang oleh dua kandidat
dari PDIP dan Gerindra di atas. Apalagi survei
yang sama juga menunjukkan elektabilitas ARB
tidak pernah meningkat bahkan cenderung stagnan
jika dibanding dengan Jokowi dan Prabowo. Wal
hasil ARB mengambil langkah untuk mundur
setahap demi setahap dan coba menawarkan
dirinya menjadi wakil presiden dari dua koalisi.
Namun maksudnya kembali gagal sebab Prabowo
dan Jokowi telah menetapkan pasangannya untuk
dijadikan wakil presiden.
Dalam pembentukan koalisi partai, paling
tidak hingga 18 Mei 2014 (bersamaan dengan
Rapat Pimpinan Partai Golkar 2014 yang ketika itu
belum menentukan pilihan koalisinya), PDIP dan
Gerindra telah mengantongi beberapa partai yang
bersedia menjalin koalisi dengan mereka. PDIP
(yang mengusung Jokowi) telah mengantongi
dukungan dari Partai Nasdem (menguasai 35
kursi di DPR RI, setara dengan 6,3%), PKB
(47 kursi atau 8,4%) dan Hanura (16 kursi atau
2,9%). Sementara Prabowo mendapatkan ‘tiket
1419
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
dukungan’ dari PAN (49 kursi atau sama dengan
8,8%), PKS (40 kursi atau 7,1%) dan PPP (39 kursi
atau 7%). Jika diakumulasikan, maka koalisi PDIP
menguasai 207 kursi atau setara dengan 37% kursi
parlemen, sementara koalisi Gerindra menguasai
201 kursi atau 35,9%. Maknanya, kedua koalisi
tersebut telah memenuhi syarat dasar UU No. 42
tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden untuk mengajukan jago mereka
dalam Pilpres 2014.
Di lain kesempatan, hingga 18 Mei
2014 tengah hari, Golkar dan Demokrat belum
menentukan sikapnya untuk memberikan dukungan kepada salah satu koalisi seperti tersebut di atas.
Dalam konteks dukungan, Golkar terlihat paling
sibuk mencari ‘kawan’ koalisi. Awalnya mereka
mau berkoalisi dengan Gerindra, tetapi pada 6
Mei 2014, Gerindra dan PAN ternyata sudah
bersepakat untuk memasangkan Probowo dan
Hatta Rajasa sebagai pasangan calon presiden dan
wakil presiden dari koalisi Gerindra. Kesepakatan
tersebut tentu menutup jalan bagi ARB untuk
mendapatkan kursi RI-2. Oleh karena itu, Golkar
dan ARB bermanuver menuju PDIP yang pada
saat bersamaan belum menentukan calon wakil
presiden bagi Jokowi. Harapannya, Megawati
bersedia menyandingkannya dengan Jokowi.
Akan tetapi, kedua partai (PDIP-Golkar)
tidak menemukan kata sepakat, bahkan hingga
18 Mei; padahal paling lambat pada 20 Mei,
semua koalisi partai harus mendaftarkan caloncalon mereka ke KPU. Salah satu sebab gagalnya
koalisi mereka adalah masalah bagi-bagi kursi
kabinet yang tidak bisa diterima oleh PDIP dan
Jokowi. Karenanya, dalam keadaan kalang kabut,
Golkar akhirnya berlabuh ke koalisi Gerindra
dengan biaya mahar sebesar Rp3 triliun. Di balik
mahar tersebut, Gerindra akan menyediakan
kursi Menteri Utama bagi ARB dan menyiapkan
beberapa kursi lainnya di kabinet Prabowo-Hatta.
Untuk perbincangan lebih lanjut, baca Tempo edisi
19-25 Mei 2014 dan 26 Mei-1 Juni 2014.
Akibatnya, muncul spekulasi bahwa
akan lahir poros ketiga yaitu koalisi antara
Golkar dan Demokrat. Seandainya kedua partai
ini bergabung, mereka akan memiliki dukungan
sebanyak 152 anggota parlemen atau setara
dengan 27,1%—yang juga memenuhi syarat UU
No. 42 tahun 2008. Namun, spekulasi tersebut
JURNAL POLITIK
terbantah setelah Golkar bergabung dengan
koalisi Gerindra, PAN, PKS, dan PPP serta PBB
(satu partai nonparlemen)—yang kemudian
menamakan koalisi mereka sebagai Koalisi Merah
Putih.
Jalan berliku menuju koalisi partai
akhirnya berakhir pada 19 Mei, atau sehari sebelum
ditutupnya pandaftaran pengajuan nama calon
presiden dan wakil presiden di KPU. Hanya ada
dua gabungan partai dalam menghadapi Pilpres
tahun 2014. Pertama, koalisi yang terdiri dari
gabungan Gerindra, PAN, PPP, PKS, Golkar, dan
PBB, yang menguasai 292 kursi di DPR RI (52%),
serta memiliki 48,93% suara sah nasional (sama
dengan 61.137.746 suara). Menjelang Pilpres
pada 9 Juli 2014, Partai Demokrat memberikan
dukungan politiknya kepada pasangan PrabowoHatta. Namun hal ini tidaklah mengherankan.
Pertama, adanya ikatan kekeluargaan antara
Hatta Rajasa dengan SBY sehingga merekatkan
kerjasama antara Partai Demokrat dengan
Koalisi Merah Putih. Kedua, pasangan PrabowoHatta dalam setiap kesempatan kampanyenya
selalu mengutarakan niatnya untuk melanjutkan
program pemerintah SBY. Ketiga, sebagian besar
partai kompone Koalisi Merah Putih adalah partai
komponen pendukung pasangan SBY-Boediono,
di luar PKB.
Koalisi ini mengusung pasangan Prabowo
Subianto dan Hatta Rajasa sebagai pasangan calon
presiden dan wakil presiden. Manakala koalisi
kedua, terdiri dari gabungan PDIP, Nasdem, PKB,
Hanura, dan PKPI yang menjagokan Joko Widodo
dan Jusuf Kalla sebagai pasangan calon presiden
dan wakil presiden. Koalisi ini menguasai 207
kursi DPR RI (37%), yang jika dikalkulasi
mengikut dukungan suara sah nasional, maka
mereka memeroleh 39,97% suara (atau sama
dengan 49.962.738 suara) (lihat Tabel 3; bdk.
Kompas 20 Mei 2014:1). Dengan demikian, hanya
Demokrat sajalah yang sampai dengan tengat
akhir pendaftaran pasangan calon masih bersikap
netral, walau perolehan mereka suara mencapai
11% di parlemen (61 kursi).
1420
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Tabel 3 Koalisi Partai Politik Pada Pemilu 2014
No
P a r t a i Perolehan
Suara
Politik
Resmi
Kursi
Parlemen
Total
1
Gerindra
PAN
PPP
PKS
Golkar
14.760.371
9.481.621
8.157.488
8.480.204
18.432.312
73 (13%)
292 (52%)**
49 (8,8%)
39 (7%)
40 (7,1%)
19 (16,3%)
2
PDIP
Nasdem
PKB
Hanura
23.681.471
8.402.812
11.298.957
6.579.498
109 (19,5%) 207 (37%)
35 (6,3%)
47 (8,4%)
16 (2,9%)
Demokrat* 12.728.913 61 (10,9%) 61 (11%)**
Sumber: Diolah dari pelbagai sumber.
Keterangan: Nomor urut disesuaikan dengan nomor yang
ditetapkan KPU.
* = Dalam data KPU, Partai Demokrat tidak termasuk ke dalam
Koalisi Merah Putih karena partai ini baru bergabung menjelang
Pilpres 9 Juli 2014.
** = Angka pembulatan.
Jika melihat konfigurasi Koalisi Merah
Putih, sepertinya gabungan politik ini tidak
jauh berbeda dengan koalisi Partai Demokrat
pada periode 2009-2014. Ini bisa dilihat dari
partai komponen yang aktif di dalamnya. Pada
periode 2009-2014, PD didukung oleh PAN,
PKS, PPP, Golkar, dan PKB; sedangkan pada
periode 2014-2019, Gerindra didukung juga
oleh PAN, PKS, PPP, dan Golkar (relatif sama
dengan koalisi PD lima tahun sebelumnya).
Hanya PKB yang tidak bergabung karena mereka
telah menentukan pilihannya untuk berkoalisi
dengan PDIP. Menariknya, sejak awal, Jokowi
selaku calon presiden dari PDIP telah membuat
rambu penting dalam koalisi partai yang hendak
dibangunnya. Beliau tidak berminat dengan
koalisi yang dibangun dengan kesepakatan bagibagi kursi kabinet—seperti yang terjadi pada era
sebelumnya.
Sejak awal Koalisi Merah Putih telah
terindikasi melakukan kolaborasi politik yang
bercorakan bagi-bagi kursi kabinet. Bergabungnya
Golkar sebagai partai pemeroleh suara terbesar
kedua setelah PDIP akan mendapatkan jatah
8 kursi kabinet, plus 1 kursi ‘Menteri Utama.’
PKS diberi jatah 3-5 kursi menteri, begitu juga
dengan PAN, manakala PPP mendapat jatah 2-3
kursi. Untuk uraian lebih lanjut, baca ‘Transaksi
JURNAL POLITIK
Kursi Pengikat Koalisi’ (Tempo 26 Mei-1 Juni:4244). Konsekuensinya tentu saja koalisi yang
dikehendakinya lebih berdasarkan kesamaan
platform.
Terbentuknya dua koalisi yang bersaing
pada Pilpres 2014 secara head to head, juga
menimbulkan persaingan sengit antara kedunya
untuk mendapatkan ‘tiket dukungan’ dari para
vote getter (tokoh agama, elit karismatik, hingga
artis yang dapat dijadikan pendulang suara bagi
koalisi partai). Penulis menilai, koalisi PrabowoHatta nampak lebih lugas dalam menyambangi
beberapa vote getter. Antaranya ialah Mahfud
MD. (mantan Ketua MK dan calon presiden yang
diajukan oleh PKB) yang didaulat sebagai Ketua
Tim Kampanye Koalisi Merah Putih, Rhoma
Irama (calon presiden yang diajukan oleh PKB
dan seorang artis karismatik), Ahmad Dani (artis),
dan masih banyak lagi lainnya. Elit lain yang
dianggap memiliki banyak pendukung adalah
Ali Masyukur Musa (Anggota Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK)) yang juga menjabat Ketua
Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama.
Sementara pendulang suara bagi koalisi
PDIP antaranya Anies Rasyid Baswedan, PhD
(peserta konvensi Capres Partai Demokrat, Rektor
Paramadina) yang kemudian diangkat menjadi
juru bicara koalisi PDIP, Dahlan Iskan (pemenang
konvensi Capres Partai Demokrat, Menteri
BUMN, mantan Direktur Utama Jawa Pos Group),
Prof. Dr. Syafii Maarif (mantan Ketua Umum
Muhammdiyah), Soetrisno Bachir (mantan Ketua
Umum PAN), grup musik Slank, dan lainnya.
Tujuan utama mendapatkan dukungan dari para
pendulang suara tidak lain dan tidak bukan adalah
untuk mendongkrak perolehan suara pada Pilpres
2014.
Bukan hanya mencari dukungan dari
tokoh dan artis berpengaruh, kedua koalisi partai
peserta Pilpres juga melakukan pendekatan
kepada petinggi Islam, terutama NU dan
Muhammadiyah. Gerindra misalnya, mengangkat
Mahfud MD. sebagai Ketua Tim Kampanye
dan Ali Masyukur Musa sebagai Dewan Pakar
Tim Prabowo-Hatta bukan tanpa alasan; selain
Mahfud MD. memiliki jejak rekam yang tanpa
cela dan Ali Masykur mempunyai pendukung
setia, keduanya juga dikenal sebagai tokoh Islam
yang sangat dekat dengan Nahdlatul Ulama—
1421
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
organisasi Islam terbesar di Indonesia. Langkah
Gerindra ini sangat strategis khususnya dalam
mendapatkan dukungan dari massa Nahdliyin. Ini
mudah dimengerti karena PKB (partainya kaum
Nahdliyin) telah berkoalisi dengan PDIP, padahal
Gerindra menghendaki juga punya pijakan di
organisasi Islam terbesar itu. Karenanya, Gerindra
mengajak sekaligus mendaulat Mahfud sebagai
ketua tim kampanye Koalisi Merah Putih dan Ali
Masyukur Musa sebagai Dewan Pakar dengan
harapan sebagian Nahdliyin memilih PrabowoHatta.
Tidak berhenti di sana. Kepala daerah
yang berasal dari partai pengusung Capres
dan Cawapres juga mendapat tugas untuk
memenangkan suara rakyat di daerahnya masingmasing. Misalnya, Ahmad Heryawan (Gubernur
Jawa Barat), Alex Noerdin (Sumatera Selatan)
dan Soekarwo (Jawa Timur) diarahkan oleh
ketua partai mereka masing-masing untuk terlibat
aktif dalam kampanye Pilpres. Bukan hanya di
tiga provinsi tersebut, Koalisi Merah Putih juga
meminta gubernur di Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Bangka Belitung, Lampung, Bengkulu,
Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara
Timur (NTT), Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara,
dan Papua untuk menyukseskan pasangan calon
Prabowo-Hatta. Ini karena partai pemenang
Pilkada di daerah-daerah seperti tersebut di atas
merupakan partai komponen Koalisi Merah Putih.
Dukungan dari kepala daerah juga mengalir
kepada pasangan Jokowi-JK dari Gubernur Jawa
Tengah, Wali Kota Surabaya dan lainnya. Semua
ini menunjukkan dinamika politik yang sangat
fluaktuatif menjelang pemilihan presiden pada 9
Juli 2014.
Kedinamikan Politik Pemilihan Presiden 9 Juli
2014
Dinamika politik pada pemilihan umum
presiden berlangsung pada masa kampanye dan
selepasnya. Masalah utama yang berlaku pada
masa kampanye adalah maraknya kampanye
hitam. Beberapa isu yang santer ketika itu adalah
merebaknya isu agama dan isu HAM. Kampanye
hitam yang berkait dengan isu agama banyak
diarahkan kepada Jokowi karena beliau dianggap
sebagai non-Muslim (Kristen), keturunan Cina,
dan penghamba ajaran komunis. Kampanye
JURNAL POLITIK
hitam yang ditujukan kepada pasangan Jokowi-JK
(terutama Jokowi) dilancarkan melalui pelbagai
media, termasuk media online maupun offline.
Melalui media online, penyebar kampanye hitam
banyak terjadi pada jagad twitter (antaranya
disebarluaskan oleh akun @TM2000back) dan
facebook.
Sedangkan pada jaringan offline
dilancarkan melalui tabloid Obor Rakyat.
Tabloid Obor Rakyat dipimpin oleh
Setiyadri Budiono, seorang staf di kantor
Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan
Daerah dan Otonomi Daerah, yang dibantu oleh
Darmawan Sepriyossa (redaktur situs Inilah.com)
dalam penulisan artikelnya. Konten tabloid Obor
Rakyat amat mirip dengan analisis yang dibuat
oleh akun @TM2000back, sepertinya memang
kampanye hitam terhadap pasangan JokowiJK sudah terencana dengan rapi. Dan, untuk
mengkaunter black campaign yang disebarluaskan
oleh tabloid Obor Rakyat, tabloid tandingan
seperti Pelayan Rakyat diterbitkan Media Center
Jokowi-JK, Rakmatanlilalamin (diterbitkan oleh
relawan Jokowi-JK yang sebagian besarnya
wartawan Grup Jawa Pos), Jokowi-JK adalah Kita
(diterbitkan oleh Pusat Informasi Relawan) dan
Tabayun Jokowi, yang isinya menangkal semua
propaganda hitam terhadap pasangan Capres
nomor urut 2.
Untuk menangkal kampanye hitam
tersebut, Khofihah Indar Parawansa (Ketua Tim
Kampanye Jokowi-JK), misalnya, pada acara
Muslimat Nahdlatul Ulama (organisasi yang
dipimpinnya) yang diadakan di Asrama Haji
Pondok Gede, pada 27 Mei 2014, menyematkan
gelar baru bagi Jokowi, yaitu: ‘Kyai Haji.’ Ini
dilakukannya agar semua orang tahu bahwa
Jokowi adalah seorang Islam yang sudah haji.
Kampanye hitam tersebut tidak berhenti di situ.
Bahkan mereka yang berseberangan dengan
Jokowi menyebut ‘H’ di depan nama Joko Widodo
bukanlah ‘Haji’ seperti yang dimaksud oleh
Khofifah, tapi ‘Hubertus’ atau ‘Heribertus’—nama
seorang Santo bagi pemeluk agama Kristiani untuk
pengakuan iman. Kelompok lain menyatakannya
‘H’ di depan nama Jokowi adalah nama baptisnya.
Untuk mengatisipasi isu agama tersebut, tim
Jokowi-JK melalui aktivis partainya yang juga
tokoh muda Nahdliyin dan Muhammdiyah seperti
Zuhairi Misrawi (Ketua Pengurus Pusat Baitul
1422
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Muslimin, sayap partai PDIP) dan Hanif Dhakiri
melakukan pendampingan secara langsung dan
intensif kepada Jokowi-JK, maupun terhadap tim
kampanye pasangan tersebut.
Kampanye hitam tidak hanya menerpa
Jokowi. Kampanye serupa juga menerpa sosok
Prabowo Subianto, terutama terkait kasus
penculikan aktivis dan kerusuhan Mei 1998.
Untuk menghadang dakwaan tersebut tim
pemenangan Prabowo-Hatta merangkul beberapa
orang penting salah seorang di antaranya ialah
Marzuki Darusman. Beliau adalah bekas Ketua
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM) periode 1998-2003 dan Ketua Tim
Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998.
Katanya, “Walaupun Prabowo diduga memainkan
peranan yang signifikan, rekomendasi tim kami
tidak menyatakan Prabowo bersalah” (Tempo 2-8
Juni 2014:48). Pernyataan tersebut tentu saja
mementahkan kampanye hitam yang dilontarkan
oleh lawan Prabowo, sebab Marzuki Darusman
pada masa itu adalah ketua lembaga yang
sangat kompeten dan otoritatif untuk atau dalam
menyelidiki kedua kasus yang menerpa Prabowo.
Maka dari itu, melalui pernyataan Marzuki,
seolah-olah Prabowo bersih dan tidak terlibat
dalam kedua kasus yang didakwakan selama ini.
Kendati begitu, suasana justru menjadi
semakin tegang ketika Surat Keputusan Dewan
Kehormatan Perwira No: KEP/03/VIII/1998/
DKP yang ditandatangani Jend. Subagyo Hadi
Siswoyo (ketua), Let.Jend. Fachrul Razi (wakil
ketua), Let.Jend. Djamari Chaniago (sekretaris),
Let.Jend. Susilo Bambang Yudihoyono, Let.Jend.
Yusuf Kartanegara, Let.Jend. Agus Gumelar dan
Let.Jend. Arie J. Kumaat (anggota). Isi Skep
tersebut menjelaskan bahwa Prabowo secara
sengaja melakukan kesalahan analisa tugas
sehinga berdampak pada pemberhentian dirinya
dari dinas keprajuritan. Mengenai kesalahan
Prabowo lihat butir ‘a’ sampai butir ‘h,’ sedangkan
pemberhentiannya lihat bagian ‘Berpendapat’
pada Skep berkenaan.Meski begitu, merujuk
Keputusan Presiden No 62 tahun 1998, Prabowo
tidak dijatuhi pemberhentian ‘tidak terhormat,’
tetapi diberhentikan ‘dengan hormat,’ dengan
alasan untuk menghormati Soeharto selaku
mertuanya.
Keadaan tersebut menyebabkan terjadi
JURNAL POLITIK
pembelahan dukungan yang dilakukan oleh
pensiunan perwira tinggi. Ini berbeda dengan
era Orde Baru, di mana dukungan pensiunan TNI
selalu taat dan setia dan berada di belakang rejim
berkuasa. Keterbelahan dukungan pada saat itu
semakin akut setelah Surat Keputusan Dewan
Kehormatan Perwira yang disebarluaskan untuk
pertama kali oleh Ulin Yusron dalam kultwitnya
(@ulinyuson) pada 7 Juni 2014. Pasangan
Prabowo-Hatta misalnya, mendapat dikungan
dari Moekhlas Sidik (mantan Wakil Kepala Staf
TNI AL), Suryo Prabowo (mantan Kasum TNI),
Kivlan Zein (mantan Kas Kostrad), Gleeny
Kairupan (mantan Wakil Danrem), dan Chairawan
Nusyirwan (mantan Komandan Grup 4 Sandi
Yudha Kopassus). Sementara itu, kubu JokowiJK mendapat sokongan dari Wiranto (mantan
Panglima TNI), Abdullah Mahmud Hendropriyono
(mantan kepala BIN), Agum Gumelar (mantan
Komandan Kopassus dan Menteri Perhubungan),
Luhut Panjaitan (mantan Komandan Kodiklat),
Subagyo H.S. (mantan Kepala Staf TNI AD), dan
Ryamizard Ryacudu (mantan Kepala Staf AD),
yang menyokong pasangan Jokowi-JK.
Walau terjadi fragmentasi dukungan yang
begitu tajam, tapi secara keseluruhan jalannya
pemungutan suara 9 Juli 2014 berlangsung tertib
dan aman. Meski ada sedikit masalah, namun
hal tersebut tidak merusak keseluruhan hajat
besar demokrasi Indonesia. Justru yang menarik
dari Pilreps 2014 adalah hasil hitungan cepat
yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei
menunjukkan hasil yang berbeda secara diametral
(lihat Tabel 4). Dalam arti kata lain, lembaga survei
mencatat hasil yang berkebalikan satu dengan
lainnya. Ada pollsters yang memrediksikan
pasangan Prabowo-Hatta lebih unggul daripada
pasangan Jokowi-JK dan begitu pula sebaliknya.
Lembaga-lembaga survei yang mengunggulkan pasangan Prabowo-Hatta adalah (i)
Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan
Strategis (Puskaptis) dengan rasioa perbandingan
52,05%:47,95%, (ii) Jaringan Suara Indonesia
(JSI) 50,14%:49,86%, (iii) Lembaga Survei
Nasional (LSN) 50,56%:49,44%, dan (iv)
Indonesia Research Center (IRC) 51,11%:48,89%.
Sedangkan lembaga survei yang mengunggulkan
pasangan Jokowi-JK adalah (i) Litbang Kompas
47,66%:52,34%, (ii) Radio Republik Indonesia
1423
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
(RRI) 27,29%, (iii) Saiful Mujani Research and
Consulting (SMRC) 47,09%:52,91%, (iv) CSISCyrus Network 48,9%:52,1%, (v) Lingkaran Survei Indonesia (LSI) 46,43%:53,37%, (vi) Indikator
Politik Indonesia (Indikator) 47,20%:52,47%,
(vii) Poltracking Institute 46,63%:53,37%, dan
(viii) Populi Center 49,05%:50,59%. Hanya dua
lembaga survei yang mengumumkan hasil hitung
cepat mereka dengan data masuk sebesar 100%,
yakni IRC dan Litbang Kompas. Sementara
lembaga survei lainnya, mengumumkan hasil
hitungan cepat mereka dengan data masuk ratarata di atas 90%. Lihat juga Tabel 6.
Akibat perbedaan hasil yang berkebalikan
tersebut menyebabkan wibawa,
integritas
dan kredibilitasnya lembaga survei semakin
dipertanyakan. Sudah bukan rahasia lagi bahwa
ada beberapa lembaga survei yang dibayar untuk
mempengaruhi persepsi masyarakat dan rejim
Pemilu. Dalam konteks Pilpres ini, empat lembaga
survei yang memprediksi pasangan PrabowoHatta mengungguli kandidat lainnya didakwa
tidak independen.
IRC misalnya, dianggap
berafiliasi sangat kuat dengan pasangan PrabowoHatta melalui jaringan RCTI (Rajawali Citra
Televisi Indonesia) sebuah anak perusahaan MNC
yang dimiliki oleh Hary Tanoesoedibjo (Hary
Tanoe)—pendukung pasangan Capres nomor urut
1. Secara kebetulan Direktur Eksekutif IRC adalah
Pemimpin Redaksi RCTI, Arya Sinulingga.
JURNAL POLITIK
Tabel 4 Hasil hitungan cepat Pilpres 2014
Sumber: Kompas (10 Juli 2014:1).
Merujuk Tabel 4 di atas, 4 lembaga survei
mengunggulkan pasangan Prabowo-Hatta dan 8
lembaga survei lainnya mengunggulkan pasangan Jokowi-JK. Merespons hasil hitungan cepat
delapan lembaga survei yang mengunggulkan
pasangan nomor urut 2, maka pasangan JokowiJK langsung menggelar konferensi pers di rumah
Ketua Umum PDIP, Megawati Sukarnoputri di
Kebagusan, Jakarta. Atas dasar quick count empat
lembaga survei lainnya juga, pasangan PrabowoHatta menyampaikan kemenanganannya di
Bidakara, Jakarta. Intinya, setiap kubu mengklaim
bahwa pasangan mereka memenangkan pemilihan
umum presiden 9 Juli 2014.
Impak sikap saling klaim itulah yang
menyebabkan fragmentasi semakin dalam dan
merisaukan. Padahal keterbelahan masyarakat
sudah terjadi sejak masa kampanye Pilpres.
Kerisauan bertambah suram apabila Prabowo
menyatakan, “Dari hasil hitungan cepat sejumlah
1424
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
lembaga survei, ditambah laporan dari ketua-ketua
tim pemenangan Prabowo-Hatta di daerah yang
menghitung suara secara real count, kita unggul“
(Kompas 10 Juli 2014:15). Harapan banyak
pihak punah sebab fragmentasi yang seharusnya
cair selepas Pilpres justru tidak terjadi. Meski
pada kesempatan yang sama, beliau meminta
pendukungnya untuk bersabar menunggu hasil
keputusan KPU pada 22 Juli, tapi klaim Prabowo
bahwa dirinya unggul dalam Pilpres 2014
membuat suasana menjadi semakin tegang.
Walau begitu, tidak dapat dipungkiri
bahwa dampak positif hadir juga dalam situasi
sebegini. Antaranya, kedua kubu sama-sama
mengawal penghitungan suara yang dilakukan
oleh KPU, mulai dari TPS hingga level nasional
(C1, DA1, DB1, dan DC1). Jadwal rekapitulasi
suara di pelbagai tingkatan dimulai pada level
PPS (desa/kelurahan) mulai pada 10-12 Juli 2014,
tingkat PPK (kecamatan) pada 13-15 Juli 2014,
tingkat PPLN (luar negeri) pada 10-14 Juli 2014,
tingkat KPU kabupaten/kota pada 16-17 Juli 2014,
tingkat KPU provinsi pada 18-19 Juli 2014, dan
tingkat KPU pusat pada 20-22 Juli 2014.
Oleh karena partisipasi rakyat begitu
besar terhadap penghitungan suara manual, maka
beberapa keganjilan ataupun kecurangan dapat
segera diketahui dan diselesaikan. Misalnya
kasus di TPS 47, Kelapa Dua, Kecamatan Kelapa
Dua, Kabupaten Tangerang, di mana perolehan
suara pasangan Capres nomor urut 1 mencapai
814, dan pasangan nomor urut 2 memeroleh 366,
padahal total suara hanya 380 (Kompas 14 Juli
2014:1). Setelah diseleidiki oleh KPU, ternyata
angka 814 sebenarnya hanya 014. Kasus seperti
ini didapati juga di tempat pemungutan suara lain.
Sebab itulah, maka masing-masing tim sukses
melakukan monitoring terhadap rejim Pemilu.
Penghitungan suara manual yang dilakukan
oleh KPU dilaksanakan berjenjang mulai dari
tingkat TPS hingga level nasional. Di tingkat
nasional, KPU melakukan penghitungan dengan
sangat hati-hati mulai 20 hingga 22 Juli. Pada
hari terakhir penghitungan, 22 Juli 2014, terjadi
dua peristiwa politik yang dramatis dan penting.
Pertama, Prabowo mengumumkan pengunduran
diri darinya Pilpres 2014 dan menarik mundur
semua saksinya dari KPU, pada pukul 15.30 WIB.
Dalam
konteks
hukum,
Prabowo
JURNAL POLITIK
sebenarrnya telah melanggar Pasal 246 Ayat 1 UU
No 42 tahun 2008 (bandingkan juga dengan pasal
245). Dalam Pasal 246 dan Ayat 1 ditulis: “Setiap
calon Presiden atau Wakil Presiden yang dengan
sengaja mengundurkan diri setelah pemungutan
suara putaran pertama sampai dengan pelaksanaan
pemungutan suara putaran kedua, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan
dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit
Rp50.000.000.000,00 (50 miliar rupiah) dan
paling banyak Rp100.000.000.000,00 (100 miliar
rupiah).” Hingga tulisan ini dibuat polemik ini
masih terus berlanjut. Beliau menyampaikan lima
keberatan, yang kemudian dibacakan oleh salah
seorang anggota tim saksinya, Rambe Kamarul
Zaman, dalam rapat pleno terbuka rekapitulasi
nasional di gedung KPU pada siang itu.
Keberatan pasangan Prabowo-Hatta yang
pertama, proses pelaksanaan Pilpres 2014 yang
diselenggarakan KPU dianggap bermasalah,
tidak demokratis, dan bertentangan dengan UUD
1945. Sebagai pelaksana Pemilu, KPU didakwa
tidak adil dan tidak terbuka. Banyak aturan yang
dibuat justru dilanggar sendiri oleh KPU. Kedua,
rekomendasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
atas segala kelalaian dan penyimpangan di
lapangan di berbagai wilayah diabaikan oleh
KPU. Ketiga, ditemukanya tindakan pidana
Pemilu dengan melibatkan pihak penyelenggara
Pemilu dan asing dengan tujuan tertentu hingga
Pemilu tidak jujur dan adil. Keempat, KPU selalu
mengaitkan masalah ke MK seolah-olah setiap
keberatan dari tim Prabowo-Hatta merupakan
bagian dari sengketa yang hasrus diselesaikan
melalui MK. Padahal, menurut Prabowo-Hatta,
sumber masalah ada pada internal KPU. Kelima,
terakhir, terjadinya kecurangan yang masif,
terstruktur, dan sistematik pada pelaksanaan
Pemilu.
Peristiwa penting kedua, pada pukul 20.00
WIB lebih, KPU mengumumkan penghitungan
suara manual (real count) yang menunjukkan
bahwa pasangan nomor urut 1 (pasangan PrabowoHatta) memeroleh 62.576.4444 suara (atau setara
dengan 46,85%) dan pasangan nomor urut 2
(pasangan Jokowi-JK) memeroleh 70.997.833
suara (53,15%). Ini maknanya pasangan JokowiJK memenangkan kontestasi Pilpres tahun 2014.
Pada malam itu juga, komisioner KPU membuat
1425
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Surat KPU Nomor 535/KPP4/KPU/2014 tentang
Penetapan Hasil Perolehan Suara dan Hasil Pilpres
2014 yang isinya menetapkan pasangan JokowiJK sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia periode 2014-2019.
Penutup
Artikel ini membahas hasil pemilihan
umum legislatif 2014 yang berkenaan dengan
turun-naiknya suara partai peserta pemilihan
umum, menganalisis koalisi partai jelang
pemilihan presiden, dan menilai dinamika politik
saat pemilihan umum presiden 2014. Artikel ini
menunjukkan bahwa Pileg 2014 telah melahirkan
pemenang baru yaitu PDIP yang menggantikan
posisi PD di puncak pemerolah suara terbanyak,
disusul oleh Golkar dan Gerindra di urutan kedua
dan ketiga. Walau PDIP menjadi pemenang
Pileg 2014, tetapi Gerindra dan Nasdem-lah yang
berhasil melonjakkan suaranya lebih dari 6%
sedangkan PDIP hanya melompat 4,94%. Terkait
dengan pasang-surut suara partai, PD mengalami
erosi akut sebesar 10,62%.
Akibat terfragmentasinya suara pada
Pileg April 2014, maka tidak ada satupun partai
yang memenuhi syarat presidential threshold.
Sehingga jalan keluarnya harus dilakukan koalisi.
Merujuk pada perbincangan artikel ini, hanya
dua koalisi partai yang ada pada Pilpres 2014.
Pertama, Koalisi Merah Putih yang terdiri dari
Partai Gerindra, PAN, Golkar, PPP, PKS, dan
PBB. Koalisi ini mengusung pasangan PrabowoHatta sebagai pasangan calon presiden dan wakil
presiden. PD baru bergabung dengan Koalisi
Merah Putih beberapa hari jelang pemungutan
suara pada 9 Juli 2014. Koalisi kedua mengusung
pasnagan Jokowi-JK yang terdiri dari PDIP,
Nasdem, PKB, Hanura dan PKPI.
Akhir sekali, artikel ini menjelaskan
mengenai dinamika politik pada saat Pilpres
berlangsung. Oleh karena hanya dua kandidat
yang bersaing dalam Pemilu presiden, maka
terjadi ketegangan dan persaingan yang sengit
selama masa kampanye. Kampanye tidak selalu
berjalan mulus, karena kampanye hitam yang
terkadang bernuansa fitnah lebih sering muncul
berbanding kampanye politik yang berwibawa dan
bermartabat. Keterbelahan masyarakat menjadi
dua kubu tidak dapat dihindarkan. Namun kendala
JURNAL POLITIK
itu semua, KPU berhasil menyelenggarakan pesta
rakyat lima tahun yang menghadirkan presiden
baru bagi Republik Indonesia. Mereka adalah
pasangan Jokowi-JK yang memeroleh sokongan
70.997.833 suara (atau setara dengan 53,15%),
berbanding 62.576.4444 suara (46,85%) (yang
mendukung pasangan Prabowo-Hatta).
Terima kasih atas bimbingan dan arahan
Prof. Syamsudin Haris pada tulisan ini.
Kepustakaan:
Agustino, Leo dan Mohammad Agus Yusoff.
2009. “Pemilihan umum dan perilaku
pemilih: Analisis pemilihan presiden 2009
di Indonesia” dalam Poelitik 5(10): 555582. Jakarta: Universitas Nasional
Ambardi, Kuskridho. 2008. “The making of the
Indonesian multiparty system: A cartelized
party system and its origin” dalam
Disertasi PhD. Ohio State University.
Assyaukanie, Luthfi. 2009. Islam and the secular
state in Indonesia. Singapore: Institute of
Southeast Asian Studies.
Elgie, R. 2005. From Linz to Tsebelis: Three
waves
of
presidential/parliemnetary
studies. Democratization 32(2): 106-122.
Hanan, Djayadi. 2012. Making presidentialism
work: Legislative and executive interaction
in Indonesia democracy. Disertasi PhD.
Ohio State University.
Suryadinata, Leo. 2002. Elections and politics
in Indonesia. Singapore: Institute of
Southeast Asian Studies.
Yuda AR, Hanta.
2010.
Presidensialisme
setengah hati: Dari dilema ke kompromi.
Jakarta: Gramedia.
1426
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Menakar Efektivitas Badan Kehormatan
DPR RI
Effectiveness Measurement of DPR RI Council
of Honor
Mohammad Hasyim
Abstract
Dalam pengawasan kinerja anggota DPR, Badan Kehormatan menjadi penting untuk mengawasi
anggota DPR dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Akan tetapi, apakah badan tersebut cukup
efektif. Oleh karena itu, isu tentang efetivitas Badan Kehormatan inimenjadi menarik jika dikaji secara
kualitatif, sehingga kita mengetahu jika peran pengawasan bada tersebut perlu penguatan peran dan
kewenangan Badan Kehormatan menjadi kebutuhan mendesak dalam rangka membangun fungsi
kontrol bagi anggota Dewan.
Kata kunci: Badan Kehormatan DPR, pengawasan, efektivitas
Abstract
In monitoring of DPR members’ performance, the honor council becomes important to monitor DPR
members in running their duty and responsibility. Meanwhile, is the council of honor effective enough?
Hence, the issue of the effectiveness of the council of honor becomes very interesting to analyze using
qualitative methods. Therefore, we could find out if the role of monitoring people need the strength
of role and the authority of the council of honor becomes demanding needs in making the function of
control for legislatives.
Keywords: DPR Council of Honor, Monitoring, Effectiveness
Pendahuluan
Potret terakhir sampai Rapat Paripurna
DPR RI untuk penutupan masa sidang III Tahun
Sidang 2012-2013 yang diselenggarakan pada
hari Jumat 12 April 2013, ternyata juga molor satu
jam akibat sulitnya mencapai kuorum dan 174
anggota dinyatakan bolos (http://www.metronews.
com/metronews/read/2013/04/12/1/146079/174Anggota-DPR-Bolos-Paripurna-Penutupan
diakses pada 13 April 2013). Bahkan yang lebih
tragis lagi pada Rapat Paripurna DPR RI untuk
pembukaan masa sidang IV Tahun Sidang 20122013 yang diselenggarakan hari Senin 13 Mei
2013, di mana 230 anggota DPR bolos dalam
rapat paripurna tersebut (http://news.detik.
com/read/2013/05/13/111000/2243944/10/230anggota-dpr-bolos-rapat-paripurna-pembukaan-
masa-sidang diakses pada 14 Mei 2013).
Menanggapi menurunnya aktivitas anggota
DPR dalam rapat paripurna, Badan Kehormatan
akhirnya membuka akses kepada publik untuk
mengetahui hasil rekapitulasi absensi anggota dari
setiap fraksi yang tingkat kehadirannya di bawah
50 persen, tercatat mulai Masa Sidang III Tahun
Sidang 2011-2012 hingga Masa Sidang II Tahun
Sidang 2012-2013.
Rapat paripurna merupakan agenda tunggal
di DPR. Ketika ada agenda paripurna maka rapatrapat atau sidang di komisi-komisi maupun alat
kelengkapan lainnya ditiadakan. Tujuannya untuk
dapat menghadirkan semua anggota DPR dalam
rapat paripurna. Namun jika untuk paripurna saja
banyak yang bolos bagaimana dengan rapat-rapat
komisi atau alat kelengkapan lainnya.
Universitas Padjadjaran, [email protected]
JURNAL POLITIK
1427
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Wakil Ketua Badan Kehormatan Dr. (Hc).
Ir. Siswono Yudhohusodo mengakui bahwa tingkat
kehadiran anggota DPR dalam rapat paripurna
masih rendah. Namun dia tidak ingin menutupnutupi fakta tersebut. Dia lantas mempersilakan
masyarakat untuk melihat secara langsung data
rekapitulasi kehadiran anggota DPR yang ada
di Badan Kehormatan (http://news.detik.com/re
ad/2013/05/14/100948/2245055/10/bk-pegangabsensi-anggota-dpr-persilakan-masyarakatambil diakses pada tanggal 15 Mei 2013).
Namun langkah Badan Kehormatan yang
membuka akses publik untuk mengetahui data
rekapitulasi kehadiran anggota DPR dalam rapat
paripurna itu mendapat penentangan yang keras
dan fraksi-fraksi. Ketua Fraksi Partai Demokrat
Nurhayati Ali Assegaf, misalnya, menyebut
Badan Kehormatan seharusnya memiliki etika
untuk mempublikasikan data tersebut (http://
news.okezone.com/read/2013/05/16/339/808078/
demokrat-sesalkan-sikap-bk-publikasikanabsensi diakses pada tanggal 16 Mei 2013).
Bahkan anggota Fraksi Partai Demokrat
Sutan Bhatoegana, yang dalam data rekapitulasi
absensi itu tercatat memiliki tingkat kehadiran
di bawah 25 persen, berang dengan mengecam
dan mengancam akan membubarkan Badan
Kehormatan
(http://nasional.kompas.com/
read/2013/05/15/1500034/Berang.Absensi.
Rendah.Sutan.Saya.Suruh.Bubar.BK.Catat.
Catat. diakses pada tanggal 15 Mei 2013).
Sebaliknya, pengamat politik Ray Rangkuti
justru memuji Badan Kehormatan yang telah
membuka akses publik untuk mengetahui data
rekapitulasi kehadiran anggota DPR dalam rapat
paripurna. Dia menilai langkah itu sebagai wujud
transparansi dan akuntabilitas pejabat publik
(http://news.liputan6.com/read/590019/publikasibk-absensi-dpr-dinilai-berdampak-positif diakses
pada tanggal 15 Mei 2013).
Apapun perdebatannya, data rekapitulasi
mengenai kehadiran anggota DPR ini
menunjukkan rendahnya kedisiplinan anggota
DPR dalam mengikuti rapat. Data ini sekaligus
merupakan tamparan bagi Badan Kehormatan
yang tak mampu menegakkan Pasal 8 Ayat 2
Kode Etik DPR bahwa “Anggota DPR harus
menghadiri secara fisik setiap rapat yang menjadi
kewajibannya.”
JURNAL POLITIK
Dalam tulisan ini, penulis memakai
pendekatan kekuasaannya Meriam Budiarjo
(2008) dan teori efektivitasnya Gadeian (1991).
Kedisiplinan dan Badan Kehormatan DPR
Selama 1 Oktober 2009 hingga 31
Desember 2012, Badan Kehormatan telah memeriksa 68 perkara dan membuat 28 keputusan,
meliputi sanksi teguran lisan, teguran tertulis;
pemindahan keanggotaan pada alat kelengkapan;
pemberhentian dari jabatan pimpinan DPR dan
pimpinan alat kelengkapan; pemberhentian
sementara; serta pemberhentian sebagai anggota
DPR.
Sanksi terbanyak yang dikeluarkan Badan Kehormatan adalah dari perkara korupsi,
penyalahgunaan kewenangan untuk kepentingan
pribadi atau melakukan hubungan yang tidak
patut dengan mitra kerja (19 perkara), ingkar
janji dan melampaui kewenangan (3 perkara),
persoalan hubungan dalam keluarga (3 perkara),
bolos sidang selama 2 tahun (1 perkara), tidak
mengindahkan panggilan Badan Kehormatan (1
perkara) dan pemalsuan ijazah (1 perkara).
Kasus-kasus yang berkaitan dengan korupsi dan penyalahgunaan kewenangan untuk
kepentingan pribadi atau melakukan hubungan
yang tidak patut dengan mitra kerja merupakan
pelanggaran terbanyak yang ditangani oleh Badan
Kehormatan. Sayangnya, kasus-kasus seperti ini
lebih sering diungkap oleh KPK dibanding Badan
Kehormatan.
Selama ini, Badan Kehormatan cenderung
menunggu KPK, misalnya terhadap sanksi
untuk anggota DPR yang telah menyandang
status tersangka, terdakwa hingga terpidana.
Bahkan, Badan Kehormatan tidak berinisiatif
untuk melaporkan anggota DPR yang diduga
memperkaya diri untuk kepentingan pribadi
atau sekadar bekerja sama dengan KPK untuk
mengawasi anggota DPR agar tidak korupsi.
Benar bahwa KPK merupakan lembaga
yang bertugas untuk memberantas korupsi
dengan kewenangan-kewenangan yang besar,
seperti melakukan penyadapan, pemeriksaan
hingga penangkapan terhadap siapapun tersangka
pelaku tindak pidana korupsi, termasuk anggota
DPR. Namun tentu tidak berarti bahwa Badan
Kehormatan “berpangku tangan.”
1428
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Kasus suap dalam pemilihan Deputy
Senior Gubernur Indonesia Miranda Goeltom
misalnya, yang masih melibatkan anggota
DPR Periode 2009-2014 Panda Nababan dan
Suwarno dari Fraksi PDIP, baru diputus Badan
Kehormatan untuk diberhentikan sementara pada
28 November 2011 setelah keduanya menyandang
status terpidana (http://nasional.kompas.com/
read/2012/07/27/14142639/Panda.Nababan.
Diberhentikan.Tetap.dari.DPR diakses pada
tanggal 10 April 2013).
Begitu juga keputusan Badan Kehormatan
untuk memberhentikan anggota DPR yang lain,
seperti As’ad Syam, Djufri, Amran Daulay,
Muhammad Nazaruddin dan Angelina Sondakh
(semuanya anggota Fraksi Partai Demokrat).
Keputusan Badan Kehormatan berdasarkan
pada proses hukum terhadap mereka yang sudah
menyandang status sebagai terpidana.
As’ad Syam divonis 4 tahun penjara dalam
kasus korupsi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel
(PLTD) Muaro Jambi senilai Rp 4,5 miliar. Djufri
divonis 4 tahun penjara dalam kasus korupsi
pengadaan tanah senilai Rp 1,2 miliar. Daulay
divonis 1,5 tahun dalam korupsi pengadaan mesin
jahit dan sapi di Kementerian Sosial senilai Rp 15
miliar. Begitu pun dengan Muhammad Nazaruddin
dan Angelina Sondakh yang telah divonis di
pengadilan Tipikor dalam kasus korupsi Wisma
Atlet Palembang (http://fokus.news.viva.co.id/
news/read/318491-korupsi--sejumlah-anggotadpr-diberhentikan diakses pada tanggal 10 April
2013).
Artinya, Badan Kehormatan selama ini
lebih banyak mendasarkan keputusannya pada
apa yang sudah menjadi keputusan lembaga lain
(baca: KPK), bukan berdasarkan penyelidikan atau
verifikasi atas dugaan atau potensi penyalahgunaan
kekuasaan oleh anggota DPR. Ini yang kembali
menguatkan asumsi bahwa Badan Kehormatan
hanya melakukan pengawasan yang pasif, tidak
proaktif.
Asumsi ini diperkuat lagi dengan adanya
pengaduan dari Menneg BUMN Dahlan Iskan
tentang dua anggota DPR yang meminta “upeti”
terhadap direksi BUMN (http://jaringnews.com/
politik-peristiwa/wakil-rakyat/26848/dahlaniskan-laporkan-dua-anggota-dpr-peminta-upetibumn diakses pada tanggal 10 April 2013). Dahlan
JURNAL POLITIK
bahkan menambahkan lagi 6 nama kepada Badan
Kehormatan untuk ditindaklanjuti (http://news.
detik.com/read/2012/11/07/155344/2084976/10/
dahlan-iskan-setor-6-nama-anggota-dpr-pemeraske-bk diakses pada tanggal 10 April 2013).
Sekalipun Dahlan sempat mengoreksi dua nama
yang sudah dilaporkan, kasus ini menunjukkan
jika tidak diungkap oleh Dahlan maka tidak
akan pernah diketahui ada empat anggota DPR
yang melanggar etika (http://www.antaranews.
com/berita/347183/empat-anggota-dpr-terbuktilanggar-etika diakses pada tanggal 11 April 2013).
Benar bahwa tidak semua nama yang dilaporkan Dahlan terbukti bersalah atau melanggar
Kode Etik (http://nasional.kontan.co.id/news/takterbukti-memeras-4-anggota-dpr-direhabilitasi
diakses pada tanggal 11 April 2013), tetapi laporan
Dahlan ini mengkonfirmasi bahwa anggota DPR
sangat dekat dengan penyalahgunaan jabatan untuk
kepentingan dirinya, partainya atau kelompoknya.
Anggota Fraksi Demokrat Achsanul Qosasi, misalnya, dikenai teguran lisan oleh Badan
Kehormatan karena terbukti memanfaatkan
jabatannya sebagai anggota Komisi XI untuk
meminta dana sponsorship dari mitra kerjanya,
yakni PT. Merpati Nusantara Airlines, guna
mendanai PSSI—organisasi yang juga dipimpinnya—sebesar Rp 250 juta (http://www.
jurnalparlemen.com/view/1013/achsanul-akuiterima-dana-dari-merpati-rp-250-juta.html
diakses pada tanggal 11 April 2013).
Ada juga anggota DPR yang meminta
jatah 2.000 ton gula dari PT Rajawali Nusantara
Indonesia (RNI) melalui program CSR (corporate
social responsibility) dengan dalih untuk
membiayai konstituen di daerah pemilihannya.
Anggota DPR itu, yang kepada media memberikan
bantahan atas nama Idris Sugeng dari Fraksi
Partai Demokrat (http://www.republika.co.id/
berita/nasional/politik/12/11/12/mddggt-idrissugeng-bantah-minta-jatah-gula-gratis
diakses
pada tanggal 11 April 2013), sudah dikenai sanksi
teguran lisan oleh Badan Kehormatan.
Penyalahgunaan Kekuasaan
DPR sebagai lembaga tinggi negara yang
menjalankan fungsi anggaran memang memiliki
kekuasaan untuk “memberikan persetujuan atau
tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan
1429
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh
Presiden.” DPR melalui alat kelengkapan yang
bernama Badan Anggaran (Banggar) membahas
APBN bersama wakil pemerintah cq Menteri
Keuangan.
Dalam konteks ini Badan Kehormatan
harus dapat mengawasi bahwa penggunaan dana
APBN yang pada tahun 2012 saja senilai Rp
1.500 triliun itu dapat dilakukan secara tepat guna,
tepat sasaran dan terpenting akuntabel. Prioritas
pembiayaan oleh APBN harus berdasarkan skala
yang jelas, terukur dan berpihak pada kepentingan
rakyat banyak.
Kenyataannya apa yang terjadi acap
sebaliknya. Pembahasan APBN, khususnya untuk
peruntukan Dana Alokasi Umum (DAU) dan
Dana Alokasi Khusus (DAK), seringkali menjadi
mainan anggota DPR di Banggar. Dengan dalih
memperjuangkan aspirasi konstituen, sejumlah
anggota DPR memilih memanfaatkan DAK untuk
kepentingan pribadi.
Ambil contoh penggunaan DAK untuk
program Percepatan Pembangunan Infrastruktur
Daerah (PPID) Tahun 2010 senilai Rp 7,7 triliun.
Dana yang diperuntukkan bagi pembangunan
daerah ini menjadi arena “bancakan” pimpinan
dan anggota Banggar. Mereka memainkan
penggunaan dana ini dengan beramai-ramai
mengajukan proposal pembangunan daerah untuk
kemudian disetujui untuk daerah-daerah yang
telah mereka tentukan (http://www.jpnn.com/
read/2012/03/28/122322/Banggar-DicurigaiMainkan-Dana-PPID-2010 diakses pada tanggal
11 April 2013).
Ini yang terjadi pada kasus Waode
Nurhayati. Anggota Banggar dari Fraksi
PAN ini menyampaikan proposal percepatan
pembangunan infrastruktur untuk tiga kabupaten
di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
karena Waode sudah mendapatkan fee miliaran
rupiah. Kasus ini terkuak karena dana PPID yang
dijanjikan tak kunjung cair. Padahal kalau dana
PPID ini cair seperti anggota Banggar yang lain
maka persoalannya mungkin tidak akan berujung
ke KPK.
Dari kasus ini dapat dijelaskan bahwa
penyalahgunaan kekuasaan atau lebih tepatnya
memanfaatkan kedudukan untuk mendapat
keuntungan ekonomi sangat lazim terjadi
JURNAL POLITIK
di kalangan anggota Banggar, baik untuk
kepentingan pribadi anggota Banggar sendiri
maupun kepentingan fraksi, partai atau anggota
DPR yang lain.
Badan Kehormatan ditantang untuk
lebih proaktif mengendus berbagai potensi
penyalagunaan kekuasaan yang bermuara dari
aliran dana yang disepakati di Banggar. Mampu
atau tidak Badan Kehormatan mencegah
kemungkinan terjadinya pelanggaran etika oleh
anggota Banggar, tergantung pada sejauh mana
upaya yang dilakukan Badan Kehormatan untuk
mengantisipasi hal tersebut.
Misalnya,
adakah
upaya
Badan
Kehormatan untuk meminta salinan risalah
atau laporan singkat (lapsing) dalam rapat-rapat
Banggar. Karena belajar dari kasus Waode,
Banggar sebelumnya sudah menggelar rapat dan
mengetuk palu untuk memutuskan bahwa semua
anggota Banggar berhak mengajukan proposal
guna mendapatkan dana PPID.
Di sinilah pentingnya Badan Kehormatan
untuk melakukan pengawasan jangan sampai
anggota Banggar “menjual” kewenangannya
atau melanggar etika demi keuntungan pribadi.
Bagaimana pun perilaku seperti ini telah
melanggar etika dan sumpah jabatan, yakni tidak
menggunakan jabatan dan kedudukan untuk
mendapatkan keuntungan pribadi, famili dan
seterusnya.
Modus memanfaatkan kedudukan sebagai
anggota DPR dan memanfaatkan hubungan
dengan mitra kerja untuk kepentingan pribadi,
partai atau kelompoknya sebetulnya merupakan
pola lama dalam teori kekuasaan. Kekuasaan
dalam teori Harold D. Laswell dan Abraham
Kaplan merupakan kemampuan seseorang atau
suatu kelompok untuk mempengaruhi perilaku
seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan
keinginan para pelaku (Budiardjo, 2008).
Dalam hubungan kekuasaan (power
relationship) selalu ada satu pihak yang lebih kuat
dari pihak lain. Jadi selalu ada hubungan tidak
seimbang atau asimetris. Ketidakseimbangan ini
sering menimbulkan ketergantungan (dependency);
dan lebih timpang hubungan ini maka akan lebih
besar pula sifat ketergantungannya.
Dalam konteks ini, DPR Cq Badan
Anggaran memiliki kekuasaan konstitusional
1430
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
untuk menyetujui atau tidak menyetujui APBN/
APBNP yang diajukan pemerintah. Dengan
demikian ada ketergantungan pemerintah, baik
Kementerian atau Lembaga maupun Pemerintah
Daerah atau Pemda-pemda, terhadap persetujuan
DPR atas APBN/APBNP.
Ketergantungan ini melahirkan posisi
tawar DPR menjadi lebih tinggi dibanding
pemerintah. Posisi tawar yang tinggi inilah yang
sering dimanfaatkan oleh anggota Banggar untuk
menggunakan pengaruhnya dalam memberikan
persetujuan anggaran. Dalam konsep Laswell
dan Kaplan, kekuasaan untuk mempengaruhi
kebijakan-kebijakan orang lain itu dijalankan
dengan sanksi (yang dalam hal ini tidak
disetujuinya anggaran oleh Banggar).
Hal inilah yang terjadi dalam relasi
kekuasaan DPR dengan pemangku kekuasaan
lainnya yang bergantung pada kucuran dana
APBN/APBNP. Kekuasaan DPR terhadap
anggaran seringkali dimanfaatkan oleh anggota
Banggar untuk mengancam tidak akan memberikan
persetujuan jika mereka tidak mendapat fee atau
komisi dari anggaran yang disetujui.
Kekuasaan DPR yang besar juga
tercermin dari relasi antara komisi-komisi dengan
kementerian serta lembaga pemerintah lainnya.
Di tengah atmosfer demokratisasi yang begitu
terbuka, anggota DPR dapat menyuarakan apapun
keinginannya sehingga rapat kerja dengan mitra
kerja sering berlangsung sangat panas.
Bahkan Menkes (Alm) Endang Sri
Rahayu Sedyaningsih (http://www.tribunnews.
com/2010/05/27/menkes-diusir-komisi-ixdpr-ri diakses pada tanggal 6 April 2013),
Wamenkumham Denny Indrayana (http://www.
tribunnews.com/2011/12/07/denny-indrayanajuga-dibentak-dan-diusir-di-rapat-komisi-iii
diakses pada tanggal 6 April 2013) dan sejumlah
Dirut BUMN seperti Dirut PT. Jasa Raharja Diding
S Anwar, Dirut PT. Garam Yulian Lintang, Dirut
PT. PLN Nur Pamudji, Dirut PT. Pertamina Karen
Agustiawan dan Dirut PT. RNI Ismed Hasan Putro
(http://finance.detik.com/read/2013/04/03/08290
6/2209966/68/1/formmegaciphp#bigpic diakses
pada tanggal 6 April 2013) termasuk di antara
mereka yang pernah diusir oleh anggota DPR
dalam rapat kerja di Gedung DPR RI.
Itulah sebabnya kenapa banyak menteri
JURNAL POLITIK
atau pejabat pemerintah yang enggan saat diundang
oleh DPR karena acap menjadi “bulan-bulanan”
kritik dari anggota Dewan. Kritik itu tidak hanya
disampaikan atas dasar kebijakan yang diambil
oleh lembaga, melainkan juga tak jarang dengan
kasar mempersoalkan hal-hal yang bersifat pribadi
dari pejabat yang bersangkutan. Tak heran jika
Menneg BUMN Dahlan Iskan memilih untuk dua
kali menolak panggilan Komisi VII DPR (http://
www.rimanews.com/read/20130206/90956/
dahlan-kembali-tolak-panggilan-dpr diakses pada
tanggal 6 April 2013).
Jika tidak berani seperti Dahlan,
kebanyakan menteri atau pejabat pemerintah
memilih untuk “menuruti” apa saja kemauan
anggota DPR. Hal ini pula yang membuat posisi
tawar anggota DPR semakin tinggi. Makanya
dengan kekuasaan yang besar dan posisi tawar
yang tinggi di depan pejabat-pejabat yang menjadi
mitra kerjanya, anggota DPR mudah sekali
tergoda untuk memanfaatkan jabatannya guna
“menentukan tindakan seseorang atau kelompok
lain agar sesuai dengan tujuannya.”
Kasus pemerasan yang dilakukan anggota
DPR terhadap direksi BUMN, seperti dilaporkan
Menneg BUMN Dahlan Iskan, juga menjadi
indikasi bahwa persoalan memanfaatkan jabatan
demi kepentingan pribadi yang merupakan
pelanggaran terhadap Kode Etik bisa dilakukan
kapan saja dan di mana saja, baik di dalam maupun
di luar gedung DPR.
Dalam konteks pembagian kekuasaan,
DPR juga tergolong surplus kekuasaan dibanding
cabang kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Itu
karena DPR ikut menentukan pejabat di eksekutif
seperti Panglima TNI, Kapolri, Duta Besar dan
sebagainya, serta memilih pejabat yudikatif seperti
Hakim Agung, Hakim Konstitusi dan sebagainya.
Padahal ECS Wade dan Godfrey Phililip
menekankan tiga poin penting dalam konsep
pembagian kekuasaan itu, yakni:
• Bahwa pemegang salah satu dari ketiga
lembaga kekuasaan tersebut tidak menjadi
bagian dari satu atau lebih dari lembaga
kekuasaan yang lainnya.
• Bahwa suatu lembaga pemerintah tidak
mempengaruhi terhadap tugas dan fungsi
yang menjadi milik lembaga lain.
• Bahwa satu lembaga pemerintah tidak
1431
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
menjalankan fungsi lembaga yang lain (Sayuti
Una, 2004).
Dengan demikian jelas bahwa dari konsep
pembagian kekuasaan ini maka kekuasaan
DPR telah menjadi bagian atau menjalankan
fungsi kekuasaan yang lain, atau setidaknya
mempengaruhi fungsi kekuasaan yang lain. Ini
tercermin dari fungsi pengawasan DPR yang ikut
serta dalam menentukan pejabat-pejabat eksekutif
dan yudikatif.
Sejatinya fungsi pengawasan DPR
bertujuan untuk menciptakan mekanisme chekcs
and balances (pengontrolan dan penyeimbangan)
terhadap cabang kekuasaan yang lain, namun
sistem ketatanegaraan yang dibangun saat ini
lebih condong pada pengontrolan pihak legislatif
terhadap eksekutif dan yudikatif tanpa ada
penyeimbangan.
Akibatnya DPR mengalami surplus
kekuasaan dan menjadikan cabang kekuasaan
yang lain bergantung pada kekuasaan parlemen.
Ketika parlemen atau DPR tidak bersepakat
dalam memberikan persetujuan kepada Panglima
TNI yang diajukan Presiden misalnya (http://
www.suaramerdeka.com/harian/0410/28/nas01.
htm diakses pada tanggal 7 April 2013), maka
pergantian Panglima TNI menjadi terhambat dan
bergantung pada lobi-lobi di DPR.
Karena itu dalam konteks pembagian
kekuasaan ini maka DPR bisa dikatakan dapat
mempengaruhi—untuk tidak menentukan—
kekuasaan lembaga lain (baca: Presiden). Presiden
harus bolak-balik mengajukan surat mendapat
persetujuan dari DPR. Begitu pula calon yang
diajukan oleh Presiden harus berbaik-baik hati
kepada DPR.
Dengan demikian pantas jika banyak
calon pejabat eksekutif maupun yudikatif yang
memilih merapat ke anggota atau fraksi di DPR
saat hendak menjalani seleksi (fit and proper
test) di DPR. Akhirnya seleksi pejabat publik
semacam ini menjadi tidak sehat dan yang paling
mengkhawatirkan adalah rawan terhadap adanya
“kongkalikong”, seperti dalam kasus suap Deputy
Senior Gubernur BI Miranda Goeltom (http://
finance.detik.com/read/2010/03/08/141503/1313
623/5/miranda-dan-kemenangan-mutlak-sebagaideputi-gubernur-senior-bi diakses pada tanggal 7
April 2013).
JURNAL POLITIK
Selain itu, hasil pilihan DPR terhadap
pejabat publik ini juga sering tidak sejalan dengan
keinginan publik. Pada saat pemilihan pimpinan
KPK di Komisi III DPR misalnya, banyak pihak
menyesalkan kenapa Bambang Widjojanto yang
terkenal galak itu tidak dipilih sebagai ketua KPK.
Ternyata Komisi III takut jika Bambang menjadi
ketua KPK. Karena jika Bambang terpilih sebagai
ketua KPK maka dia tidak akan tedeng alingaling menyeret anggota DPR yang terlibat korupsi
(http://politik.kompasiana.com/2011/12/02/
abraham-samad-dipilih-dpr-untuk-menghindariterpilihnya-bambang-widjojanto-418393.html
diakses pada tanggal 7 April 2013).
Selain rawan disalahgunakan, atau
setidaknya rentan dijadikan alat kepentingan
politik anggota DPR atau fraksi di DPR, pemilihan
pejabat publik melalui DPR juga dipertanyakan
konstitusionalitasnya, seperti dalam pemilihan
Hakim Agung. Pemilihan Hakim Agung dinilai
bukan domain DPR melainkan Komisi Yudisial
(http://news.detik.com/read/2013/05/16/193612
/2248225/10/soal-pemilihan-hakim-agung-dprdinilai-salahi-konstitusi?9911012 diakses pada
tanggal 8 April 2013).
Maka, sekali lagi, di samping perlu kajian
terhadap seleksi pejabat publik di DPR, terpenting
yang harus dilakukan Badan Kehormatan adalah
memperketat pengawasan di simpul-simpul
kekuasaan DPR yang rawan terhadap potensi
pelanggaran etika, khususnya di Badan Anggaran
(Banggar) DPR. Alat kelengkapan DPR ini
membahas APBN/APBNP yang tahun 2012 lalu
saja mencapai Rp 1.500 triliun. Tak heran jika
keberadaan Banggar ini digugat ke Mahkamah
Konstitusi (http://m.merdeka.com/peristiwa/jadiajang-korupsi-keberadaan-banggar-dpr-digugatke-mk.html diakses pada tanggal 8 April 2013).
Pengawasan Badan Kehormatan
Ibarat fenomena gunung es, penanganan
perkara etik oleh Badan Kehormatan DPR
cenderung hanya menyelesaikan apa yang terjadi
di atas permukaan saja. Itu pun karena adanya
pengaduan atau ramai diberitakan di media
massa. Padahal akar permasalahannya lebih luas
lagi. Akar permasalahannya terletak pada potensipotensi pelanggaran etika yang dilakukan oleh
anggota DPR akibat besarnya kekuasaan yang
1432
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
mereka miliki.
Bagi anggota DPR yang sudah mapan
secara ekonomi, pengusaha multinasional
misalnya, gaji dan tunjangan yang diberikan
negara kepadanya seringkali hanya dilihat sebelah
mata. Anggota DPR semacam ini lebih fokus
untuk mengamankan bisnis-bisnisnya—bahkan
jika perlu menjadikan usahanya lebih ekspansif—
dengan cara memanfaatkan kekuasaan yang
demikian besar di DPR dibanding mengharapkan
gaji yang tidak seberapa untuk ukuran mereka.
Anggota DPR yang memiliki latar
belakang profesi sebagai pengacara/advokat juga
akan lebih tergiur untuk memanfaatkan jabatan
dan kedudukannya di DPR guna memenangkan
perkara dibandingkan dengan mengharapkan gaji.
Meskipun Tata Tertib DPR melarang anggota
DPR melakukan pekerjaan yang ada hubungannya
dengan tugas dan wewenang DPR seperti
pengacara atau advokat, tetapi apakah Badan
Kehormatan bisa memastikan bahwa tidak ada
anggota DPR yang memanfaatkan kedudukannya
untuk mempengaruhi kasus yang sedang ditangani
Mahkamah Agung? Karena ada sedikitnya empat
anggota DPR yang diduga berpraktek sebagai
konsultan hukum (http://www.tempo.co/read/
news/2012/03/08/063388859/Empat-AnggotaDPR-Praktek-Konsultasi-Hukum diakses pada
tanggal 8 April 2013).
Potensi-potensi pelanggaran etika seperti
inilah yang senantiasa harus diawasi oleh Badan
Kehormatan. Karena potensi pelanggaran
semacam ini akan melahirkan keberanian kolektif
apabila tidak dilakukan pengawasan secara
intensif. Bahkan pengawasan yang lemah akan
melahirkan pelanggaran kolektif oleh anggota
DPR.
Dalam teori pengawasan, tugas lembaga
pengawas seperti Badan Kehormatan adalah
memastikan bahwa kegiatan organisasi DPR
berjalan sesuai dengan mandat, visi dan misi
serta tujuan organisasi. Tujuan organisasi DPR,
seperti yang dicantumkan dalam laporan tim
kajian peningkatan kinerja DPR Tahun 2006,
adalah meningkatkan fungsi DPR sejalan dengan
semangat reformasi (http://www.parlemen.net/
privdocs/aeb45269cfbd8d7c573b958086507e07.
pdf diakses pada tanggal 8 April 2013).
Tentu jika tujuannya adalah menjalankan
JURNAL POLITIK
agenda reformasi maka sudah pasti bahwa upaya
memberdayakan DPR dan membebaskannya
dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)
menjadi hal mutlak. Salah satu langkah penting
untuk membebaskan DPR dari KKN adalah
memberdayakan fungsi pengawasan oleh Badan
Kehormatan.
Dalam konteks pengawasan, Badan Kehormatan merupakan alat kelengkapan DPR yang
berfungsi melakukan tugas pengawasan internal
terhadap anggota DPR dalam menjalankan
tugas dan kewajibannya. Pengawasan internal
lebih dikenal dengan pengawasan fungsional.
Pengawasan fungsional adalah pengawasan secara
fungsional oleh lembaga yang dibentuk, yang
kedudukannya merupakan bagian dari lembaga
yang diawasi.
DPR menetapkan susunan dan keanggotaan
Badan Kehormatan dengan memperhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap
fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR
dan permulaan tahun sidang (Pasal 124 Ayat 1 UU
No 27 Tahun 2009 tentang MD3). Anggota Badan
Kehormatan berjumlah 11 (sebelas) orang dan
ditetapkan dalam rapat paripurna pada permulaan
masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun
sidang (Pasal 124 Ayat 1 UU No 27 Tahun 2009
tentang MD3).
Namun justru karena diposisikan sebagai
lembaga pengawas internal maka objektivitas
Badan Kehormatan sering dipertanyakan. Selain bergantung pada kekuasaan fraksi --- yang
notabene merupakan kepanjangan tangan dari
partai politik—keanggotaan Badan Kehormatan
yang berasal dari anggota DPR dinilai menyalahi
prinsip independensi (http://id.wikipedia.org/
wiki/Independen diakses pada tanggal 8 April
2013) dan imparsialitas (http://en.wikipedia.org/
wiki/Impartiality diakses pada tanggal 8 April
2013) atau “prinsip kemandirian dan keadilan
yang berdasarkan pada kriteria objektif, bukan
atas dasar prasangka atau mengambil manfaat
kepada satu orang atas orang lain untuk alasan
yang tidak tepat.”
Dengan komposisi keanggotaan seperti
sekarang, maka tidak ada peluang untuk mengakomodasi anggota Badan Kehormatan dari
luar DPR, seperti Majelis Kehormatan Hakim
Agung, Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi,
1433
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Dewan Pers atau Komite Etik yang dibentuk oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hasil
penyelidikan Komite Etik KPK yang diketuai
oleh akademisi Anis Baswedan, misalnya, yang
mempersalahkan Ketua KPK Abraham Samad
atas kasus pembocoran sprindik atau surat perintah
penyelidikan, dinilai sebagai keputusan yang
memiliki kredibelitas dan tepat (http://nasional.
k o mp a s . c o m /r ead/2013/04/04/08251620/
Keputusan.Komite.Etik.KPK.Sudah.Tepat
diakses pada tanggal 8 April 2013).
Oleh sebab itulah jika keputusan Badan
Kehormatan ingin dinilai lebih kredibel maka
perlu untuk mengakomodasi figur-figur di luar
DPR dan dikombinasikan dengan keanggotaan
Badan Kehormatan yang ada sekarang. Sama
halnya dengan Komite Etik KPK yang diketuai
Anis Baswedan, di mana di situ juga masih ada
unsur pimpinan KPK yang direpresentasikan
oleh Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dan
penasihat KPK Abdullah Hehamahua. Sedangkan
dari unsur eksternal, selain Anis Baswedan, juga
ada mantan pimpinan KPK Tumpak Hatongaran
Panggabean dan mantan Hakim Konstitusi Abdul
Mukti
Fadjar
(http://nasional.kompas.com/
read/2013/02/25/17204867/Ini.Anggota.Komite.
Etik.KPK diakses pada tanggal 8 April 2013)
Efektivitas Badan Kehormatan
Untuk membahas efektivitas peranan Badan
Kehormatan DPR dalam konteks penegakan etika
di kalangan anggota DPR maka harus dijelaskan
terlebih dahulu apa itu efektivitas, peranan, Badan
Kehormatan dan juga etika politik.
Efektivitas (Gedeian dkk, 1991:61) berasal
dari kata efektif yang mengandung pengertian
dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Sementara peranan berasal
dari kata peran. Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2007:845) menjelaskan bahwa peranan adalah
bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan.
Kemudian Badan Kehormatan adalah alat
kelengkapan DPR yang bersifat tetap, sebagaimana
dijelaskan dalam Pasal 123 UU No 27 Tahun
2009 tentang MD3. Tugasnya adalah melakukan
penegakan Kode Etik di kalangan anggota DPR
(http://www.parlemen.net/privdocs/502efa72626
2c314a459b81fab39c3ed.pdf diakses pada tanggal
25 Maret 2013).
JURNAL POLITIK
Sementara etika (Frans Magnis Suseno,
1997:1) adalah keseluruhan norma dan penilaian
yang digunakan oleh masyarakat yang bersangkutan
untuk mengetahui bagaimana seharusnya manusia
menjalankan kehidupannya. Dalam konteks
pengawasan oleh Badan Kehormatan, etika yang
dimaksud adalah Kode Etik DPR RI.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa efektivitas peranan Badan Kehormatan
dalam menegakan etika di kalangan anggota DPR
adalah seberapa jauh tugas utama yang dilakukan
Badan Kehormatan dapat berhasil dalam rangka
mencapai tujuannya yakni menegakkan Kode Etik
DPR RI.
Ukuran-ukuran
efektivitas,
seperti
dijelaskan David Krech, Ricard S. Cruthfied dan
Egerton L. Ballachey dalam bukunya Individual
and Society yang dikutip Sudarwan Danim dalam
bukunya Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas
Kelompok antara lain dengan menggunakan
pendekatan kuantitatif (berdasarkan pada jumlah)
dan kualitatif (berdasarkan pada mutu).
Berdasarkan
pendekatan
kuantitatif,
maka dapat diperoleh angka bahwa selama 1
Oktober 2009 hingga 31 Desember 2012 Badan
Kehormatan telah menangani 68 perkara dan 28
perkara di antaranya sudah berhasil diputuskan
(41 persen).
Perkara yang telah diputus terdiri dari 19
perkara korupsi, penyalahgunaan kewenangan
untuk kepentingan pribadi atau melakukan
hubungan yang tidak patut dengan mitra kerja; 3
perkara ingkar janji dan melampaui kewenangan;
3 perkara persoalan hubungan dalam keluarga;
satu perkara bolos sidang selama 2 tahun; satu
perkara tidak mengindahkan panggilan Badan
Kehormatan; dan satu perkara pemalsuan ijazah.
Dari data ini dapat diungkapkan bahwa
Badan Kehormatan hanya dapat menyelesaikan
perkara yang ditangani sebesar 41 persen (28
perkara) atau masih menunggak penyelesaian
perkara sebanyak 59 persen (40 perkara). Itu
berarti secara kuantitatif Badan Kehormatan
belum bekerja efektif dalam memutuskan perkaraperkara etik.
Kemudian dengan menggunakan pendekatan kualitatif, dari 28 perkara etik yang diputuskan ternyata 8 perkara di antaranya merupakan
kasus korupsi yang sedang ditangani oleh aparat
1434
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
penegak hukum dan/atau Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK).
Perkara-perkara yang dimaksud adalah:
satu perkara tindak pidana korupsi pembangunan
jaringan pembangkit listrik tenaga diesel di
Muaro Jambi; dua perkara dalam pemilihan
Deputy Senior Gubernur Bank Indonesia; satu
perkara korupsi dana Percepatan Pembangunan
Infrastruktur Daerah (PPID); satu perkara korupsi
proyek pengadaan tanah; dua perkara korupsi dan
pencucian uang; serta satu korupsi pengadaan alQur’an.
Artinya secara kualitatif putusan-putusan
itu tidak memiliki bobot apa-apa sebab keputusan
memberhentikan delapan anggota DPR dimaksud
bukan hasil penyelidikan Badan Kehormatan
melainkan merupakan perintah Pasal 213 Ayat 2
UU No 27 Tahun 2009 tentang MD3 yang berbunyi:
“Anggota DPR diberhentikan antarwaktu
apabila dinyatakan bersalah berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih.”
Dari dua pendekatan ini maka dapat
disimpulkan bahwa Badan Kehormatan belum
bekerja efektif dalam memutuskan perkaraperkara yang ditangani, baik dari sisi jumlah
maupun bobotnya. Dari sisi jumlah masih banyak
perkara yang belum diputuskan, dan dari sisi
mutu juga banyak perkara yang diputuskan bukan
atas dasar hasil penyelidikan Badan Kehormatan
melainkan atas dasar keputusan dari lembaga lain
(baca: aparat penegak hukum).
Belum lagi ketika berbicara mengenai
tujuan organisasi Badan Kehormatan. Tujuan
dibentuknya
Badan
Kehormatan
adalah
untuk menegakkan Kode Etik di kalangan
anggota DPR (http://parlemen.net/site/ldetails.
php?docid=kelengkapan diakses pada tanggal
25 Maret 2013). Artinya, jika masih ada
sejumlah anggota DPR yang terlibat kasuskasus pelanggaran hukum atau korupsi, maka
Badan Kehormatan dapat dikatakan belum
efektif menegakan Kode Etik. Karena Pasal 12
Kode Etik DPR menjelaskan, “Pelangggaran
peraturan perundang-undangan oleh anggota DPR
merupakan pelanggaran Kode Etik.”
Jika Badan Kehormatan sudah bekerja
JURNAL POLITIK
efektif menjadi menjaga etika anggota DPR sudah
pasti tidak ada anggota DPR yang tersangkut
kasus pidana. Asumsinya, pelanggaran pidana
sudah pasti merupakan pelanggaran etika tetapi
pelanggaran etika belum tentu merupakan
pelanggaran pidana. Seorang anggota DPR yang
melanggar etika belum tentu melanggar hukum
tetapi anggota DPR yang melanggar hukum sudah
pasti melanggar etika.
Dari data-data di atas dapat juga dijelaskan
bahwa Badan Kehormatan masih kesulitan untuk
bekerja efektif menjadi penegak Kode Etik.
Hal ini bisa jadi tidak terlepas dari kewenangan
Badan Kehormatan yang terbatas, dibuktikan
dengan format lembaga pengawasan yang bersifat
pasif dan keanggotaan Badan Kehormatan yang
menafikan unsur-unsur di luar DPR.
Benar bahwa tugas Badan Kehormatan
untuk menegakkan Kode Etik di kalangan anggota
DPR merupakan tugas yang mahaberat. Selain
dihadapkan pada banyaknya potensi pelanggaran
etika akibat besarnya kekuasaan anggota DPR,
Badan Kehormatan juga mengalami keterbatasan
dalam hal kewenangan.
Dalam hal kewenangan, Badan Kehormatan
dibatasi hanya menjadi lembaga pengawasan yang
bekerja atas dasar pengaduan atau berita di media
massa. Dengan kata lain, jika tidak ada pengaduan
atau tidak ada media massa yang mempersoalkan
pelanggaran etika oleh anggota DPR, maka Badan
Kehormatan dapat mengasumsikan semua anggota
DPR baik-baik saja.
Hal ini tertuang dalam Pasal 127 UU
No 27 Tahun 2009 tentang MD3 bahwa “Badan
Kehormatan bertugas melakukan penyelidikan
dan verifikasi atas pengaduan terhadap
anggota..” Kemudian Pasal 3 Ayat 1 Peraturan
DPR No 2 Tahun 2011 tentang Tata Beracara
Badan Kehormatan juga menjelaskan bahwa
“Pelanggaran yang tidak memerlukan pengaduan
adalah: a) Ketidakhadiran dalam rapat DPR yang
menjadi kewajibannya; b) Tertangkap tangan atas
pelanggaran peraturan perundang-undangan; c)
Dugaan pelanggaran Kode Etik dan Tata Tertib
yang sudah tersiar di beberapa media cetak dan/
atau elektronik; dan d) Terbukti melakukan tindak
pidana dengan ancaman lebih dari 5 (lima) tahun
penjara dan telah mendapatkan putusan yang
berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewisjde/
1435
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
final and binding).”
Untuk pelanggaran ketidakhadiran Badan
Kehormatan bisa meminta salinan absensi dari
Sekretariat Jenderal DPR guna mengetahui apakah
ada anggota DPR yang “tidak melaksanakan
tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap
sebagai anggota DPR selama tiga bulan berturutturut tanpa alasan yang sah; dan tidak menghadiri
rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan
DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya
sebanyak enam kali berturut-turut tanpa alasan
yang jelas.”
Kemudian untuk jenis pelanggaran yang
“tertangkap tangan atas pelanggaran peraturan
perundang-undangan”, Badan Kehormatan juga
tidak perlu repot sebab kasus seperti ini biasanya
ditangani langsung oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) atas kasus-kasus suap atau
gratifikasi yang diterima oleh anggota DPR.
Namun untuk “dugaan pelanggaran
Kode Etik dan Tata Tertib yang sudah tersiar di
beberapa media cetak dan/atau elektronik”, hal
ini menihilkan kewenangan Badan Kehormatan.
Karena itu berarti bahwa Badan Kehormatan
hanya melakukan penyelidikan (tanpa adanya
pengaduan) apabila ada dugaan pelanggaran oleh
anggota DPR yang sudah dimuat di media massa.
Badan Kehormatan didesain menjadi
lembaga pengawasan yang bersifat pasif,
bukan lembaga yang senantiasa proaktif dalam
mengawasi perilaku anggota DPR. Padahal
pelanggaran etika itu bisa datang kapan saja dan
di mana saja, tidak harus menunggu pengaduan ke
Badan Kehormatan atau menjadi trending topic di
media massa.
Jelas ini memunculkan pertanyaan besar,
bagaimana mungkin Badan Kehormatan mampu
menjadi penegak etika anggota DPR apabila
kewenangan penyelidikannya saja dibatasi
hanya jika ada pengaduan atau dimuat di media
massa. Badan Kehormatan seharusnya proaktif
mengawasi perilaku seluruh anggota DPR,
khususnya di simpul-simpul kekuasaan yang
berpotensi melahirkan pelanggaran etika, tanpa
perlu dibatasi oleh adanya pengaduan atau berita
di media massa.
Contohnya, belajar pada kasus suap dalam
proses pemilihan Deputy Senior Gubernur Bank
Indonesia Miranda Goeltom, sudahkah Badan
JURNAL POLITIK
Kehormatan memastikan bahwa proses seleksi
yang melibatkan DPR, seperti pengangkatan
Panglima TNI, Kapolri, Duta Besar, komisioner
KPU, Bawaslu, Hakim Agung, Hakim Konstitusi,
anggota Komisi Yudisial, anggota BPK maupun
pemilihan Gubernur Bank Indonesia terbebas dari
potensi-potensi pelanggaran etika oleh anggota
DPR.
Tanpa bermaksud menuduh, namun
berkaca pada pemilihan Deputy Senior Gubernur
Miranda Goeltom, maka jelas bahwa potensi
pelanggaran etika sangat mungkin terjadi
dalam proses seleksi di DPR. Bagaimanapun,
antara pemilih (anggota DPR) dan yang dipilih
(kandidat) terdapat hubungan kepentingan
yang jika tidak diawasi dapat mengakibatkan
pelanggaran etika. Karenanya sangat penting bagi
Badan Kehormatan untuk bekerja proaktif dalam
melakukan pengawasan preventif pada setiap
proses fit and proper test agar dapat mencegah
pelanggaran-pelanggaran etika oleh anggota DPR.
Namun kewenangan Badan Kehormatan
tidak hanya terbentur pada desain lembaga yang
pasif melainkan keputusannya pun lebih bersifat
rekomendatif. Selama ini Badan Kehormatan hanya
menyampaikan secara langsung sanksi teguran
lisan kepada teradu anggota DPR, tetapi untuk
sanksi teguran tertulis; pemindahan keanggotaan
pada alat kelengkapan; pemberhentian dari jabatan
pimpinan DPR dan pimpinan alat kelengkapan;
pemberhentian sementara; serta pemberhentian
sebagai anggota DPR, Badan Kehormatan
menyampaikan keputusannya kepada Pimpinan
DPR dan pimpinan fraksi.
Benar bahwa untuk pemberhentian sebagai
anggota DPR, Badan Kehormatan melaporkannya
dalam rapat paripura agar diteruskan kepada
partai politik yang bersangkutan dan/atau
Presiden. Namun keputusan ini juga diteruskan
oleh pimpinan DPR dan pimpinan fraksi yang
bersangkutan, bukan dilaksanakan oleh Badan
Kehormatan.
Penyampaian keputusan Badan Kehormatan kepada pimpinan DPR dan pimpinan fraksi
memungkinkan terjadinya deviasi, distorsi atau
juga intervensi terhadap keputusan tersebut.
Selain itu, keputusan Badan Kehormatan
itu juga baru berlaku efektif apabila sudah
ditindaklanjuti oleh pimpinan DPR dan pimpinan
1436
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
fraksi (bersifat rekomendasi atau menganjurkan/
menguatkan)
(http://www.artikata.com/arti347393-rekomendasi.html diakses pada tanggal 9
April 2013), tidak otomatis berlaku (eksekusi atau
pelaksanaan putusan) (http://www.artikata.com/
arti-326015-eksekusi.html diakses pada tanggal 9
April 2013).
Memang keputusan Badan Kehormatan
itu dinyatakan final dan mengikat (final and
binding) seperti dimuat dalam Pasal 37 tentang
Tata Beracara Badan Kehormatan DPR, dengan
diberikan tenggat waktu tertentu baik kepada
pimpinan DPR maupun pimpinan fraksi untuk
melaksanakan keputusan tersebut. Namun
apakah Badan Kehormatan berani mendesak
pimpinan DPR dan/atau pimpinan fraksi apabila
keputusannya tidak ditindaklanjuti. Bagaimana
pun pimpinan DPR dan/atau pimpinan fraksi
adalah pimpinan para anggota Badan Kehormatan
juga.
Hal ini mengakibatkan anggota DPR
lebih takut kepada fraksinya dibanding Badan
Kehormatan. Fraksi memiliki kewenangan yang
sangat besar dalam menjalankan atau tidak
menjalankan keputusan Badan Kehormatan.
Lebih dari itu, fraksi sebagai kepanjangan
tangan partai politik di DPR juga memiliki hak
untuk melakukan recall (Pasal 213 Ayat 2 butir
h UU No 27 Tahun 2009 tentang MD3 bahwa
“Anggota DPR diberhentikan antarwaktu apabila
diberhentikan sebagai anggota partai politik
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”)
terhadap anggota DPR.
Selain itu, hal lainnya yang menjadikan
keputusan Badan Kehormatan kurang dihormati
adalah tidak disebutkannya nama anggota DPR
yang terbukti melanggar Kode Etik, berbeda
dengan anggota yang tidak terbukti melanggar
Kode Etik (Rehabilitasi) di mana nama dan
nomor anggota mereka diumumkan dalam rapat
paripurna DPR.
Badan Kehormatan, di samping rapatrapatnya selalu berlangsung tertutup, selama ini
tidak pernah berani memublikasikan keputusannya
dengan menyebut nama-nama anggota DPR yang
dinyatakan terbukti melanggar Kode Etik. Ini
selain menunjukkan bahwa Badan Kehormatan
cenderung menutupi kesalahan yang dilakukan
oleh anggota DPR, juga tidak akan memberikan
JURNAL POLITIK
efek jera bagi anggota yang terbukti melanggar
Kode Etik.
Badan Kehormatan juga memiliki
keterbatasan dalam hal keanggotaan. Badan
Kehormatan merupakan alat kelengkapan yang
memiliki anggota paling sedikit dibanding alat
kelengkapan yang lain, yakni hanya memiliki 11
anggota—berbeda dengan alat kelengkapan lain
yang rata-rata memiliki anggota 50 orang bahkan
Badan Anggaran beranggotakan 80 orang.
Dengan demikian maka tugas pengawasan
yang dibebankan kepada 11 anggota Badan
Kehormatan ini akan banyak menemui hambatan.
Tanpa didukung dengan jumlah aparatur yang
memadai, akan sangat sulit untuk mengharapkan
11 anggota Badan Kehormatan mampu mengawasi
perilaku 560 anggota DPR di sedikitnya 20 alat
kelengkapan (11 Komisi, Pimpinan, Badan
Musyawarah, Badan Legislasi, Badan Anggaran,
Badan Akuntabilitas Keuangan Negara, Badan
Kerja sama antarparlemen, Badan Urusan Rumah
Tangga dan Panitia Khusus). Akhirnya yang
dilakukan adalah menjadi “pemadam kebakaran”
atau bertindak apabila ada anggota DPR yang
diadukan ke Badan Kehormatan atau sudah ramai
diberitakan media massa.
Apalagi anggota Badan Kehormatan
hanya diisi oleh anggota DPR. Ibarat pepatah
“jeruk makan jeruk”, artinya sulit untuk meyakini
bahwa Badan Kehormatan akan berani “memakan
anggota DPR lainnya” karena sama-sama anggota
DPR. Ini mencederai prinsip independensi
dalam membuat keputusan dan juga melanggar
prinsip imparsialitas atau “prinsip keadilan yang
berdasarkan pada kriteria objektif, bukan atas
dasar prasangka atau mengambil manfaat kepada
satu orang atas orang lain untuk alasan yang tidak
tepat
(http://en.wikipedia.org/wiki/Impartiality
diakses pada tanggal 9 April 2013).
Prinsip ini diabaikan dalam pembentukan
Badan Kehormatan DPR. Artinya, DPR memilih
menetapkan susunan dan keanggotaan Badan
Kehormatan dengan memperhatikan perimbangan
dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi
pada permulaan masa keanggotaan DPR dan
permulaan masa sidang (Pasal 124 Ayat 1 UU
No 27 Tahun 2009 tentang MD3). Tidak ada
peluang untuk mengakomodasi anggota Badan
Kehormatan dari luar DPR, seperti Majelis
1437
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Kehormatan Hakim Agung, Majelis Kehormatan
Hakim Konstitusi, Dewan Pers dan Komite Etik
KPK yang mengandung unsur masyarakat. Hal
ini menguatkan skeptisme publik bahwa Badan
Kehormatan tidak akan berani menindak temannya
sendiri, apalagi yang satu fraksi.
Ambil contoh pimpinan Badan Kehormatan
yang selalu diketuai oleh anggota dari Fraksi PDIP.
Ketika ada anggota Fraksi PDIP yang diadukan
ke Badan Kehormatan karena diduga melanggar
Kode Etik, menjadi pertanyaan besar bagi publik
apakah ketua Badan Kehormatan ini berani secara
objektif menindak kawannya sendiri. Ini terjadi
dalam kasus video asusila yang diduga melibatkan
anggota Fraksi PDIP, yang cenderung dilindungi
oleh Badan Kehormatan (http://www.jpnn.com/
read/2013/04/11/166990/BK-Terkesan-LindungiPemeran-Video-Porno-DPR diakses pada tanggal
9 April 2013).
Dari gambaran di atas dapat dikatakan
bahwa Badan Kehormatan DPR tidak didesain
untuk menjadi lembaga pengawasan yang
berfungsi untuk mengontrol secara obyektif
perilaku 560 anggota DPR. Keputusan-keputusan
Badan Kehormatan terhadap anggota DPR
yang diduga melanggar Kode Etik, apakah bisa
diterapkan atau tidak, sangat bergantung kepada
pimpinan DPR dan pimpinan fraksi.
Contoh bahwa anggota DPR tidak peduli
dengan keputusan Badan Kehormatan bisa dinukil
dari kasus pengaduan terhadap anggota DPR yang
tidak mengakui perkawinannya dan menikah
dengan wanita lain. Sanksi teguran tertulis yang
disampaikan Badan Kehormatan kepada pimpinan
fraksi yang bersangkutan hanya dianggap
sebagai angin lalu (http://www.tribunnews.
com/2012/02/08/ruhut-sitompul-ngapain-rumahtangga-orang-diurusin diakses pada tanggal 9
April 2013)
Maka sudah jelas bahwa fraksifraksi memiliki kekuasaan yang besar dalam
mewujudkan Badan Kehormatan yang kuat,
berani dan kredibel. Karena “nasib” anggotaanggota Badan Kehormatan sendiri tergantung
pada fraksi-fraksi yang bersangkutan, apakah akan
tetap meneruskan keanggotaan yang ada sekarang
atau menggantinya.
Keputusan Fraksi PDIP mengganti ketua
Badan Kehormatan dari M Prakosa kepada
JURNAL POLITIK
Trimedia Pandjaitan pada awal Maret 2013 lalu
(http://www.antaranews.com/print/362024/ketuabk-dpr-ri-diganti-trimedya-panjaitan
diakses
pada tanggal 9 April 2013), kembali menegaskan
besarnya kekuasaan fraksi dalam mempengaruhi
alat kelengkapan Dewan. Artinya Badan
Kehormatan bisa bergonta-ganti personel bukan
karena kebutuhan organisasi melainkan karena
kepentingan fraksi.
Apalagi pergantian personel Badan
Kehormatan ini disebut-sebut karena Prakosa
tidak menuruti instruksi pimpinan Fraksi PDIP
untuk memperjuangkan anggota Fraksi PDIP
yang diadukan ke Badan Kehormatan dengan
tuduhan pelanggaran etika (http://id.berita.
yahoo.com/prakosa-lengser-dari-ketua-bk-dprkarena-melawan-043736988.html diakses pada
tanggal 9 April 2013). Jika ini benar, tentu sangat
menyedihkan karena fungsi alat kelengkapan
dijadikan mainan oleh pimpinan fraksi.
Sebenarnya,
keanggotaan
Badan
Kehormatan yang hanya mengakomodasi anggota
DPR sudah pernah digugat ke Mahkamah
Konstitusi melalui judicial review terhadap
Pasal 124 Ayat (1) UU No 27 Tahun 2009
tentang MD3. Para penggugat, seperti Judilherry
Justam, Chris Siner Key Timu dan M Chozin
Amirullah menghendaki agar keanggotaan Badan
Kehormatan juga menyertakan unsur-unsur
masyarakat seperti akademisi, LSM dan lain
sebagainya untuk mencegah timbulnya konflik
kepentingan (conflict of interest)—sebagaimana
diusulkan oleh Sekretariat Bersama Pokja Petisi
50, Tewas Orba, Gerakan Rakyat Marhaen dan
PB HMI (MPO) kepada Pansus RUU Susduk
(Desmon J Mahesa, 2013).
Dalam putusannya atas Perkara Nomor
59/PUU-IX/2011 yang dibacakan pada tanggal 8
Agustus 2012 Mahkamah Konstitusi menyatakan
menolak permohonan untuk membatalkan
atau menetapkan beberapa pasal dalam UU
MD3 terkait Badan Kehormatan DPR tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menurut
MK, komposisi keanggotaan Badan Kehormatan
yang berasal dari utusan atau perwakilan dari
berbagai Fraksi dan representasi kekuatan politik
akan memiliki kepentingan dan pandangan yang
berbeda-beda sehingga akan terjadi saling kontrol
antara kekuatan yang ada.
1438
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Dengan kondisi seperti itu tidak heran
jika tidak hanya anggota DPR tetapi juga anggota
Badan Kehormatan sekalipun akan takut saat
menghadapi pimpinan fraksi. Pimpinan fraksi
dengan demikian menjadi sangat terbuka untuk
tidak hanya melakukan intervensi terhadap
keputusan Badan Kehormatan melainkan juga
merombak keanggotaan Badan Kehormatan.
Fraksi-fraksi di DPR akan sangat
menentukan postur kelembagaan, termasuk juga
peranan dan kewenangan Badan Kehormatan.
Postur kelembagaan Badan Kehormatan tidak
didesain untuk menjadi lembaga yang otonom dan
bebas dari pengaruh, intervensi atau kepentingan
pihak lain (baca: fraksi) tetapi tergantung pada
keputusan pimpinan fraksi.
Kondisi demikian akan menempatkan
anggota Badan Kehormatan bukan untuk bertugas
menjaga kehormatan DPR melainkan kehormatan
fraksi atau partainya. Lebih jauh lagi, kewenangan
Badan Kehormatan yang bertumpu pada
pimpinan fraksi-fraksi juga dapat menjadikan
Badan Kehormatan sebagai ajang untuk saling
menyandera atau bertukar kepentingan di antara
fraksi-fraksi.
Simpulan
Jadi kembali lagi bahwa Badan Kehormatan
itu tergantung pada kekuasaan yang dimiliki
fraksi-fraksi sebagai kepanjangan tangan partai
politik di DPR. Pada saat fraksi-fraksi bersepakat
untuk memberdayakan kewenangan Badan
Kehormatan maka hal itu akan menjadi pertanda
adanya keinginan untuk mengontrol kekuasaan di
DPR. Namun jika yang terjadi sebaliknya, itulah
yang tengah dihadapi Badan Kehormatan DPR
saat ini.
Badan Kehormatan memiliki banyak
keterbatasan
untuk
benar-benar
menjadi
“Penjaga Etika” bagi anggota DPR. Oleh karena
itu, penguatan peran dan kewenangan Badan
Kehormatan menjadi kebutuhan mendesak dalam
rangka membangun fungsi kontrol bagi anggota
Dewan.
Terima kasih atas bimbingan dan arahan
Dr. Wahyu Wibowo pada tulisan ini.
JURNAL POLITIK
Kepustakaan
Argama, Rizki. 2010. Berharap pada 560, Catatan
Kinerja DPR 2009-2010. Jakarta: Pusat
Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia
(PSHK).
Arinanto, Satya dan Fatmawati. 2009. Menjalin
Hubungan Konstituen dan Keterwakilan.
Jakarta: Sekjen DPR RI dan UNDP.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu
Politik. Jakarta: Gradia Pustaka Utama.
Djamal, Faisal. 2009. Mekanisme Kerja Anggota
dan Parlemen. Jakarta: Sekjen DPR RI
dan UNDP.
Febrian. 2009. Proses Legislasi. Jakarta: Sekjen
DPR RI dan UNDP.
Haryatmoko. 2003. Etika Politik dan Kekuasaan.
Jakarta: Kompas Media Nusantara Mahesa,
Desmon J. 2013. DPR Offside, Otokritik
Parlemen Indonesia. Jakarta: Semesta
Rakyat Merdeka.
Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Canadian
International
Development
Agency
(CIDA). 2000. Peran Parlemen dalam
Memberantas
Korupsi
(Controlling
Corruption:
A
Parliamentarian’s
Handbook. Jakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Irianto, Sulistyowati dan Titik Kartika Hendrastiti.
2009. Gender di Parlemen. Jakarta: Sekjen
DPR RI dan UNDP.Prasodjo, Eko. 2009.
Transparansi dan Akuntabilitas Parlemen.
Jakarta: Sekjen DPR RI dan UNDP.
Salang, Sebastian. 2009. Menghindari Jeratan
Hukum bagi Anggota Dewan. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik.
Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Suseno, Franz-Magnis. 1987. Etika Politik,
Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan.
Jakarta: Gramedia.
1439
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Syafiie, Inu Kencana. 2012. Etika Politik. Jakarta:
Pustaka Reka Cipta.
Tweedie, Steven, Riris Katrina, dan Partogi
Nainggolan. 2009. Penguatan Manajemen
Fraksi, Meningkatkan Kinerja Fraksi dan
Penyusunan Indikator Baseline Kinerja
Fraksi DPR RI. Jakarta: Sekretariat
Jenderal DPR RI.
Zaidun, Muchammad. 2009. Tata Tertib dan Etika
Parlemen. Jakarta: Sekretariat Jenderal
DPR RI dan UNDP.
JURNAL POLITIK
1440
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Partai Aceh dalam Transisi Demokrasi di
Aceh
Aceh Party in the Transition of Democracy in
Aceh
Sahruddin
Abstrak
Dalam tesis ini, ditemukan adanya transisi demokrasi di Aceh yang telah dijalankan dengan baik
berdasarkan sudut pandang terwujudnya institusionalisasi politik. Kami dapat melihat kehadiran
dari partai-partai politik, PEMILU, kehadiran para kandidat mandiri, Wali Nanggroe, partisipasi
masyarakat, namun tidak sepenuhnya melambangkan bahwa kehadiran mereka mengikuti sebuah
proses yang mempercayai banyak unsur demokrasi yang mewakili unsur-unsur yang ada di dalamnya,
seperti legislatif dan pemilihan umum yang masih dipenuhi dengan kekerasan, pelaksana produktivitas
dan badan legislatif dibawah pengawasan Partai Aceh masihlah lemah. Maka perkembangan di Aceh
tidak seluruhnya membawa kesejahteran.
Kata Kunci: Partai Aceh, Transisi Demokrasi, Aceh
Abstract
In this research, it found that the transition of democracy in Aceh has been able to run well from the
point of fulfillment of political institutionalization. We can see the presence of political parties, the
elections, the presence of an independent candidate, Wali Nanggroe, community participation, but not
fully institutionalizing that it follows a process that ensures instruments of democracy presented in it,
such as legislative and local elections were still violent, productivity executive and legislative institutions
under the control of the PA is still low, so that development in Aceh has not fully brought prosperity.
Keywords: Aceh Party, Transition of Democracy, Aceh
Pendahuluan
Sejalan dengan tuntutan masyarakat ketika
memasuki era reformasi, maka, otonomi daerah
merupakan salah satu instrumentasi dalam rangka
memajukan daerah. Mekanisme kepemimpinan
telah dipilih secara langsung oleh masyarakat. Akan
tetapi, otonomi politik itu sesungguhnya belum
terwujud, sebab masih terbuka kemungkinan campur
tangan pemerintah pusat terhadap otonomi politik
di daerah. Campur tangan itu hadir seiring dengan
masih diterapkannya sistem kepartaian yang bersifat
nasional. Akibatnya, partai politik di tingkat nasional
sering mengintervensi partai-partai politik di daerah
dalam mekanisme pemilihan pemilihan kepala daerah
dan juga kebijakan partai politik di tingkat lokal. Hal
tersebut tampak dengan jelas lewat sistem kepartaian
dan pemilu yang terdapat dalam pasal 59 UU No.32
tahun 2004 yang menyatakan; Partai politik atau
gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat mendaftarkan pasangan calon apabila
memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya
15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau
15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara
sah dalam Pemilihan Umum anggota DPRD di daerah
yang bersangkutan. Untuk lebih jelasnya, maka,
lihat juga ketentuan pasal 52 UU No.2 Tahun 2008
Tentang Partai Politik yang menyatakan; Dalam hal
pengajuan calon anggota legislatif berlaku ketentuan
sebagai berikut; (1) Bakal calon dalam pemilihan
umum disusun dalam daftar bakal calon oleh partai
politik masing-masing; (2) Daftar bakal calon untuk
anggota DPR ditetapkan oleh pengurus Partai Politik
di tingkat pusat; (3) Daftar bakal calon anggota DPRD
provinsi ditetapkan oleh pengurus Partai Politik di
tingkat provinsi; (4) Daftar bakal calon anggota DPRD
kabupaten/kota ditetapkan oleh pengurus Partai Politik
di tingkat kabupaten/kota.
Selain terdapat beberapa alasan lain yang
relevan untuk dikemukakan dalam rangka mendukung
gagasan pembentukan partai politik lokal, kemun-
Universitas Nasional, [email protected]
JURNAL POLITIK
1441
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
culan gagasan diperbolehkannya membentuk partai
politik lokal di setiap daerah adalah pengalaman
historis bangsa ini pada 1955. Waktu itu, partai politik
lokal pernah diperkenankan dan mengikuti pemilihan
umum (Fadjar, 2006). Sejalan dengan itu, kemunculan
partai politik lokal di Aceh adalah merupakan konsesi
yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia dalam
rangka otonomi khusus (special autonomy policy)
melalui MoU Helsinki yang merupakan kesepakatan
antara Pemerintahan Indonesia dan Gerakan Aceh
Merdeka yang memperbolehkan partai politik lokal
berdiri di Aceh sebagai sarana pengganti perjuangan
GAM, dari perjuangan bersenjata ke arena politik.
Kemudian, melalui kesepakatan tersebut diatur lebih
lanjut dalam suatu UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh. Lahirnya undang-undang ini
merupakan upaya untuk menerjemahkan kesepakatankesepakatan yang ada dalam MoU Helsinki, termasuk
di dalamnya keberadaan partai politik lokal.
Pembangunan demokrasi dalam tingkatan
lokal sejak diundangkannya undang-undang otonomi
daerah, telah memberikan kesempatan kepada daerah
untuk mengelola pemerintahannya dengan baik.
Kemandirian dan penghargaan terdapat local wisdom
daerah menjadi lebih besar, tidak seperti di zaman
Orde Baru --- melalui undang-undang no. 25 Tahun
1974 --- yang tidak memberikan kewenangan yang
besar kepada daerah sehingga demokrasi lokal tidak
terwujud. Selain itu, adanya upaya penyamaan antara
desa dengan gampoeng, marga dan lain-lain di seluruh
Indonesia, yang pada hakikatnya berbeda antara satu
sama lain. Dalam konteks Demokrasi Aceh, semangat
ini menjadi semakin terlihat setelah perjanjian damai
MoU Helsinki antara GAM dan RI. Bencana tsunami
yang begitu besar menjadi salah satu faktor yang
berkontribusi atas penandatanganan MoU Helsinki
atas pihak-pihak yang bertikai (Pieter Feith, 2007).
Inti dari nota kesepahaman tersebut adalah bagaimana
membangun demokrasi lokal di Aceh. Bagaimana
menyelenggarakan pemerintahan di Aceh, bahkan
Aceh berhak memiliki undang-undang pemerintahan
tersendiri. Kemudian untuk menindaklanjuti hal
tersebut, dibentuk Undang-undang Pemerintahan Aceh
yang mengadopsi kesepakatan-kesepakatan Helsinki
dan kehendak masyarakat selama ini untuk menjadi
lebih mandiri dalam menjalankan pemerintahan yang
boleh mengadopsi nilai-nilai lokal. Walaupun pada
awalnya, dalam hal kemunculan partai politik lokal
mengundang kontroversi dan penolakan dari berbagai
elemen pada saat itu, termasuk Megawati Soekarno
Putri yang tidak setuju dengan keberadaan partai
politik lokal karena menurutnya merupakan ancaman
bagi keutuhan Indonesia. Megawati mengatakan;
di beberapa negara seperti Spanyol dan Kanada,
partai politik lokal menjadi alat sparatist menuju
kemerdekaan (Hilman, 2010).
Dalam undang-undang tersebut (UUPA),
JURNAL POLITIK
Aceh disebutkan berhak memiliki partai politik
lokal, menguasai sumber daya alam, dan mengatur
sendiri prinsip-prinsip hukumnya. Di sinilah letak
demokrasi lokal di Aceh yang berdampak positif.
Namun demikian, dampak negatif bukan berarti tidak
ada. Konflik berkepanjangan yang terjadi selama
sekitar 40 tahun, bisa saja muncul kembali di tengah
perkembangan demokrasi di Aceh. Hal ini bisa kita
lihat dari berbagai kerasan dan konflik yang muncul
sejak dimulainya pesta demokrasi pertama di Aceh
pada 2006. Pemilihan kepala daerah langsung, yang
kemudian memenangkan pasangan Irwandi Yusuf dan
Nazaruddin tidak luput dari konflik dan kekerasan
yang banyak menimbulkan korban. Begitu juga dengan
Pemilu Legislatif 2009 yang dimenangkan oleh Partai
Aceh, juga banyak diwarnai kekerasan dan pemaksaan
kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam
pemilu, yang terakhir adalah Pemilukada 2012 yang
kembali dimenangkan oleh Partai Aceh dengan
nominasi calonnya; Zaini Abdullah dan Muzakir
Manaf. Ironisnya, gaya militer di masa lalu muncul
kembali di dalam iklim demokrasi yang pada satu
sisi adalah merupakan proses pelembagaan politik,
tetapi, di sisi lain, dalam mewujudkannya tetap
muncul kekerasan dan partisipasi masyarakat yang
tidak otonom.
Sesungguhnya, pasca MoU Helsinki,
kemunculan partai politik lokal di dalam sistem politik
Indonesia bukan merupakan yang pertama di Aceh.
Sebab, pada pemilu pertama Indonesia, sudah muncul
partai politik lokal di berbagai daerah di Indonesia
yang ikut serta pada pemilu saat itu. Berdasarkan
Undang Undang No. 7 Tahun 1953, tidak kurang
dari 36 partai politik ikut ambil bagian. Bahkan, di
samping partai politik peserta pemilu juga ada
yang berasal dari organisasi perseorangan (Djohan,
2002; lihat juga Karim, 1983). Hasilnya, walau pemilu
kali ini juga diikuti oleh beberapa partai politik lokal,
namun, ada 28 partai politik yang mendapat kursi di
parlemen (DPR) pusat. Setelah Pemilu 1955, pemilu
berikutnya baru diselenggarakan pada 1971 di era
yang berbeda yang kepemimpinannya sudah berada
pada rezim Soeharto. Pemilu ini diikuti oleh sepuluh
peserta yang terdiri atas sembilan partai politik dan
satu golongan; yakni Partai Katolik, Partai Syarikat
Islam Indonesia, Partai Nahdlatul Ulama, Partai
Muslimin Indonesia, Golongan Karya, Partai Kristen
Indonesia, Partai Musyawarah Rakyat Banyak, Partai
Nasional Indonesia, Partai Islam PERTI, Partai Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia.
Kemunculan
partai politik lokal dalam
sistem politik Indonesia haruslah dimaknai sebagai
bagian dari upaya menuju demokrasi yang seutuhnya.
Hadirnya partai politik lokal di Aceh, mestinya,
tidak hanya karena adanya “paksaan” adanya
Kesepakatan Helshinki semata. Mengingat, partai
politik lokal merupakan hak masyarakat di daerah
1442
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
untuk mewujudkan demokrasi
pada tingkatan
lokal --- secara tegas dapat dikatakan; partai politik
lokal adalah partai berbasis di daerah, untuk
kepentingan daerah, dan terlibat dalam proses
politik daerah. Kekuatan partai politik lokal adalah
kedekatan dengan konstituen dan keberpihakannya
kepada kepentingan seluruh masyarakat yang ada
di daerahnya. Karena itu, di Amerika Serikat, menurut
Joe Garecht (dalam Indrayana, 2008), partai politik
lokal adalah backbone of the American political
system. Karena partai politik lokal di Amerika Serikat
menjadi pendorong dan pejuang aspirasi masyarakat
di tingkat lokal. Partai menunjukkan komitmen
dan berada di pihak masyarakat, sehingga, partai
politik lokal j u g a bisa bersaing dengan partai
politik nasional pada tingkat lokal. Sementara,
di Indonesia, pemikiran tentang perlunya partai
politik lokal karena didorong oleh beberapa hal.
Di ranah nasional, d i s e b a b k a n rendahnya citra
partai di mata publik, sedang secara lokal, karena
diadopsinya sistem pemilihan kepala daerah secara
langsung (Pilkada).
Dalam konteks transisi demokrasi di Aceh,
sejatinya, tidak sepenuhnya dapat disamakan dengan
konsep transisi demokrasi yang secara umum dikenal
oleh masyarakat --- sebelum masuk ke transisi
demokrasi ada suatu keadaan rezim yang otoriter,
kemudian rezim tersebut terguling dan saat itulah
disebut transisi --- yang kemudian bagian dari upaya
menuju konsolidasi demokrasi atau set back kembali ke
zaman otoriter. Melalui MoU Helsinki, maka, muncul
babak baru demokrasi yang dibangun oleh elemenelemen masyarakat dan pemerintah di Aceh. Dalam
perjalanannya, untuk mewujudkan semua kesepakatan
ini, maka, proses pelembagaan demokrasi merupakan
salah satu yang harus dilalui lewat pembangunan
infrastruktur politik yang disepakati dalam MoU
Helsinki dan pemenuhan kebutuhan masyarakat untuk
menjadi lebih sejahtera.
Transisi demokrasi dalam konteks yang
banyak dipakai dalam literatur-literatur politik
yang dimulai dari rezim otoriter, bisa dilihat dari
perkembangan
politik nasional Indonesia masa
kepemimpinan Soeharto yang dianggap sebagai
bagian dari rezim otoriter. Ketika mahasiswa berhasil
menjatuhkan Soeharto, setelah itu, keadaan disebut
dengan transisi demokrasi, sebagai upaya untuk
menuju konsolidasi yang sampai sekarang belum
ada yang mengklaim b a h w a Indonesia sudah
berada di zaman konsolidasi demokrasi. Sepanjang
terjadinya transisi demokrasi, terjadi juga dinamika
politik di Aceh yang kemudian dalam konteks politik
lokal menimbulkan terjadinya perubahan setelah
melewati periode transisi. Dalam konteks Aceh
dan perubahan politik secara nasional, sekarang,
tercipta kebebasan berserikat dan berkumpul dan
terbentuknya partai politik lokal. Bermula, transisi
JURNAL POLITIK
demokrasi di Aceh bisa dimaknai ketika adanya
kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan
Gerakan Aceh Merdeka, kemudian setelah itu,
dilakukan dan dipandang perlu untuk mewujudkan
sejumlah hal yang telah di sepakati dalam MoU, dan
proses inilah yang disebut dengan transisi. Tetapi
untuk hal itu perlu kajian yang lebih mendalam,
seperti kata Samuel P. Huntington; semuanya bisa
dilihat dari dua kali masa pemilu, s e b e r a p a j a u h
instrumen-instrumen konsolidasi demokrasi sudah
tercapai dan terlaksana (Huntington, 1995).
Pasca reformasi, pemilu legislatif 2009
merupakan Pemilu pertama yang diikuti oleh partai
politik lokal. Sebagai hasil Kesepakatan Helsinki,
maka, keikutsertaan partai politik lokal hanya terbatas
di Provinsi Aceh. Pemilu kali ini diikuti oleh enam
partai politik dan dimenangkan oleh Partai Aceh yang
awalnya bernama Partai GAM --- karena didirikan
oleh mantan pejuang GAM ---dengan kemenangan
hampir mencapai 47 persen. Pemilu legislatif 2009 di
Aceh untuk Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)
dimenangkan oleh Partai Aceh dengan nomor urut
39 dan memperoleh suara paling banyak dibanding
dengan partai lain. Partai Aceh mendapatkan suara
1.007.173 atau 46.91 persen dari total 2.266.713 yang
menggunakan hak suara pada saat pemilihan. Suara
Partai Aceh lebih tinggi dari Partai Demokrat yang
memenangkan pemilihan secara nasional. Partai
Demokrat berada pada urutan kedua dengan raihan
suara 232.728 a t a u sekitar 10.84 persen. Suara yang
didapatkan oleh Partai Aceh jauh meninggalkan partai
lokal lainnya, tidak ada satu pun partai politik lokal
yang dapat mencapai lebih dari 2 persen untuk tingkatan
provinsi. Partai Aceh juga meraih suara yang signifikan
untuk kabupaten/kota di Provinsi Aceh, sementara,
partai politik lokal lainnya tetap mendapatkan kursi
walau dalam jumlah yang kecil.
Salah satu kemajuan penataan sistem
kepartaian di Aceh dalam konteks penyederhanaan
partai untuk d a p a t mengikuti pemilihan berikutnya
adalah dengan diterapkannya ambang batas perolehan
suara yang lebih besar dari persentase nasional. Oleh
karena itu, karena Partai Aceh mendapatkan 33 kursi
atau setengah dari jumlah kursi DPRA, 69 kursi, maka,
hanya Partai Aceh yang lulus electoral threshold dan
secara otomatis bisa mengikuti pemilu legislatif pada
2014. Sementara, partai politik lokal lainnya harus
melakukan registrasi ulang dengan nama partai yang
berbeda.
Kemunculan Partai Aceh yang hanya beberapa
tahun sebelum pemilu legislatif dan kemudian
langsung menjadi pemenang, sungguh merupakan
prestasi besar. Keberadaan Partai Aceh merupakan
sesuatu yang menarik untuk diteliti dalam konteks
perannya dalam transisi demokrasi Aceh, mengingat
keberadaannya sebagai salah satu dari partai politik
lokal yang mayoritas dalam parlemen, menguasai
1443
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
eksekutif dan memiliki kekuatan politik di Aceh.
Sehingga peru penelitian yang lebih dalam tentang
peran dari Partai Aceh dalam mengawal transisi
menuju konsolidasi demokrasi sebagaimana butir-butir
kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dan GAM
pada 2005.
Sejatinya, institusionalisasi demokrasi di Aceh
mengalami masalah yang demikian pelik, khususnya
yang terkait dengan peraturan perundang-undangan.
Secara tegas dapat dikatakan, beberapa peraturan
perundangan di Undang-Undang Pemerintahan Aceh
bertentangan dengan perundangan nasional, begitu
juga yang termaktub dalam MoU Helsinki belum
dapat diwujudkan dalam aturan perundang-undangan.
Padahal, semua itu merupakan bagian dari kesepakatan
bersama antara pemerintah Indonesia dengan GAM.
Pandangan yang mengatakan bahwa transisi
demokrasi yang berlangsung di Aceh sebagai sesuatu
yang ahistoris dan paradoks, adalah sesuatu yang patut
untuk dicermati sambil membandingkan dengan
keadaan negara-negara lain yang melalui proses
transisi demokrasi menuju ke arah konsolidasi.
Sebab, keadaan demokrasi di Aceh bukan merupakan
antitesis atas sejarah adanya rezim otoriter yang
dijatuhkan oleh kaum reformis.
Proses pelembagaan politik di Aceh juga
dilakukan dengan hadirnya partai politik lokal, serta
dibukanya ruang calon independen dalam pemilukada
yang secara langsung diatur di dalam Undangundang Pemerintah Aceh. Di samping calon yang
diusung partai politik, tampilnya calon independen
khusus untuk pemilihan kepala daerah di Aceh telah
memperluas sumber pemegang kekuasaan eksekutif.
Diharapkan, dengan melalui proses seleksi yang
transparan dan demokratis, akan lahir calon kepala
daerah yang memiliki integritas moral, kepemimpinan
yang andal, visi dan misi yang aspiratif dan komitmen
kuat untuk memperkokoh NKRI.
Pengaturan calon independen bukan sekadar
berkenaan dengan persyaratan dukungan dan soal-soal
teknis lainnya, tetapi, hendaknya diletakkan sebagai
bagian dari proses konsolidasi demokrasi dalam negara
yang berkedaulatan rakyat sebagaimana diamanatkan
dalam Pembukaan Undang-undang Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Aturan hukum harus mampu
membangun koridor untuk mencegah konflik atau
menyediakan mekanisme penyelesaian konflik yang
adil dan efektif. Selain itu, tingkat kedewasaan para
aktor politik j u g a merupakan faktor yang cukup
penting dalam menciptakan iklim yang kondusif untuk
perluasan partisipasi dan persaingan dalam proses
demokrasi. Sehingga, walau KKR seperti yang di
amanatkan dalam MoU dan merupakan bagian tidak
terpisahkan dari usaha untuk penyelesaian konflik
dan kekerasan di masa lalu belum terwujud, namun,
penerapan Qonun dengan mengadopsi nilai-nilai
lokal yang islami, s e r t a adanya Wali Nangro yang
JURNAL POLITIK
merupakan sistem yang telah dikenal di Aceh sejak
z a m a n dahulu merupakan upaya yang benar-benar
tepat.
Sebelum masuk ke proses transisi demokrasi,
Aceh bukan tidak memiliki instrumen-instrumen
demokrasi. Akan tetapi, dengan adanya kesepakatan
damai, maka, institusionalisasi demokrasi akan
lebih di maksimalkan. Terutama melalui UUPA;
seperti adanya calon independen dalam Pemilukada,
adanya penerapan Qonun
untuk mengadopsi
“demokrasi” islam yang ada di tengah masyarakat
yang menginginkan diterapkannya syariat islam,
dan juga diperbolehkannya partai politik lokal untuk
mengadopsi kepentingan masyarakat lokal di Aceh.
Selanjutnya, dalam perjalanannya, secara
substantif, demokrasi di Aceh juga tidak melahirkan
konsolidasi di tingkat elit. Dalam kasus Aceh, konflik
di antara elit terutama yang dulu merupakan GAM
dan sekarang menjadi penguasa, menjadi salah satu
penyebab perjalanan demokrasi tidak berjalan dengan
mulus. Hiruk-pikuk boleh tidaknya calon independen
telah mengabaikan persoalan substansi demokrasi
yang harus diperhatikan oleh rakyat. Rakyat kembali
diajak untuk memaksakan demokrasi prosedural
(Pilkada); yaitu siapa yang boleh mencalonkan diri
dan siapa yang tidak boleh. Rakyat juga kerap kali
terjebak dalam pusaran konflik elit, rakyat jarang
berteriak ketika hak-hak mereka tidak dipenuhi oleh
negara. Rakyat yang sejatinya pemilik sah Aceh,
sering kali hanya digunakan untuk mengejar tujuan
elit. Rakyat bahkan lupa karena terlalu banyak hal
yang harus diperjuangkan sendiri. Tingkat kemiskinan
yang tinggi, lapangan kerja yang terbatas, dan daya
beli rendah, lupa diperjuangkan oleh rakyat --- rakyat
bahkan asyik memperjuangkan demokrasi prosedural
untuk elit yang terkadang tidak bermanfaat sama sekali
baginya.
Walau begitu, transisi demokrasi pascakonflik
juga telah menghadirkan persoalan baru. Konsolidasi
demokrasi belum benar-benar terwujud dalam
supremasi masyarakat sipil dan alienasi pola
militeristik. Komponen masyarakat sipil, seperti
lembaga swadaya masyarakat (LSM), cendekiawan,
ulama, dan mahasiswa, banyak yang tercerai-berai
dalam alur-alur kepentingan politik. Hal ini terkait
kapitalisasi ekonomi politik yang berkelindan pada
elite politik.
Di pihak lain, Partai Aceh yang merupakan
representasi politik GAM sekaligus kekuatan
politik yang paling dominan di Aceh pada era damai,
justru belum sepenuhnya dapat menunjukkan jati
diri demokratisnya. Bahkan, Partai Aceh kelihatan
tidak memiliki visi yang jelas dalam membawa arah
pembangunan politik, sosial dan ekonomi di Aceh.
Partai ini mempertahankan garis komando
militeristiknya. Paradigma konflik pun lebih
mengemuka dalam pengambilan keputusan politik
1444
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
di partai ini daripada cara pandang politik positif
sebagai basis perjuangan kesejahteraan rakyat.
Banyak kader partai politik lokal yang belum dapat
menerima perbedaan ini. Pendidikan dan pengalaman
politik demokrasi yang minim pun menjadi kendala
untuk mengartikulasikan kepentingan secara lebih
demokratis.
Sesungguhnya, dalam transisi demokrasi
dituntut peran yang maksimal dari semua pihak,
terutama Partai Aceh yang merupakan pemenang
pemilu legislatif pada 2009, sekaligus pemilik
kursi mayoritas dalam parlemen baik itu di DPRA
maupun DPRK. Akan tetapi dalam perjalanannya,
sejak 2009, kinerja partai lokal, terutama Partai
Aceh, dipertanyakan perannya karena dianggap
belum mampu memberikan perubahan yang berarti
untuk merekonstruksi legislatif, bahkan dianggap
kurang mendukung d a l a m m e w u j u d k a n
konsolidasi demokrasi yang seutuhnya di Aceh.
Dalam hal institusionalisasi demokrasi DPRA, politik
legislasinya dianggap masih sangat lemah, sehingga
produktivitas Qonun pun menjadi rendah dan secara
tidak langsung menghambat pembangunan di Aceh.
Hal ini menunjukkan, bahwa kapasitas legislasi DPRA
dalam institusionalisasi demokrasi masih kurang,
walau komposisi terbesar dari anggota DPRA adalah
dari Partai Aceh. Seyogianya, partai lokal yang
menguasai 33 kursi dari 69 kursi di Parlemen Aceh,
mampu mendorong perubahan. Akhirnya, kurangnya
kapasitas eks GAM dalam mengawal pemerintahan
agar lebih produktif, menjadi persoalan yang tersendiri
(Ratnawati, 2007).
Masalah yang menjadi polemik berkepanjangan
adalah Qanun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang
terancam tidak kunjung selesai, karena anggota DPRA
tidak mau memasukkan calon independen dalam
Qanun tersebut kendati Judicial Review terhadap pasal
256 Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) telah
dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Sejalan dengan itu, khususnya dalam
perumusan Qanun, DPRA/DPRK seharusnya
membuka ruang publik dalam Rapat Dengar Pendapat
Umum (RDPU) yang dilakukan secara gradual dan
menyeluruh. Dalam pembahasan di gedung parlemen,
masyarakat yang terkait juga harus diundang untuk
menyaksikan dan memastikan gagasannya dibahas di
tingkat parlemen. Dengan cara-cara yang ditawarkan
di atas, diharapkan, iklim berdemokrasi kita mampu
menjawab segala persoalan yang ada. Sehingga
semangat kolektivitas dan soliditas dapat melandasi
proses demokrasi yang mengarah pada kemajuan.
Partai Politik Lokal
Kehadiran partai politik lokal masih sangat
dibatasi mengingat hanya baru ada di Aceh yang lahir
atas dasar Kesepakatan Helsinki yang dituntut oleh
pihak GAM agar mereka diberikan wadah partai
JURNAL POLITIK
politik lokal sebagai bagian dari perjuangan setelah
lepas dari perjuangan bersenjata. Menurut Sigit
Pamungkas (2011), yang dimaksud dengan partai
politik lokal adalah partai yang jaringannya terbatas
pada suatu daerah tertentu dan tidak mencakup
nasional, namun, dapat berkompetisi pada tingkat
nasional. Lokalitas menjadi kata yang penting
ketika mendefinisikan partai politik yang berbeda
dengan partai nasional karena dibatasi oleh wilayah,
dan hanya ada pada daerah-daerah tertentu.
Keberadaan partai politik lokal diperkuat
dan diatur lebih lanjut dalam UUPA dan diperkuat
lagi dengan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun
2007, yang berbunyi:
Partai politik lokal adalah
organisasi politik yang dibentuk oleh
sekelompok warga negara Indonesia
yang berdomisili di Aceh secara sukarela
atas dasar persamaan kehendak dan citacita untuk memperjuangkan kepentingan
anggota, masyarakat, bangsa dan negara
melalui pemilihan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)/
Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/
Kota (DPRK), Gubernur dan Wakil
Gubernur, serta bupati dan wakil bupati/
walikota dan wakil walikota (Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor
20 Tahun 2007 Tentang Partai Politik,
pasal 1 ayat 2).
Selanjutnya, keikutsertaan partai politik
lokal dalam pemilihan legislatif untuk mendudukkan
anggotanya di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh
(DPRA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/
Kota (DPRK) kemudian diatur dalam suatu aturan yang
lebih rinci dan detail dalam Qonun yang dikeluarkan
oleh DPRA sebagai landasan hukum pemilihan
legislatif Tahun 2009.
Partai politik lokal merupakan
sarana
dalam menumbuhkan demokrasi lokal. Negaranegara yang selama membolehkan adanya partai
politik lokal adalah negara negara federal, karena
berkepentingan dengan isu-isu lokal, yang akan sulit
membentuknya mengingat tak ada dalam ketentuan
konstitusi, konsentrasi penuh sebaiknya mengarah
kepada kapasitas politik lokal (Piliang, 2003). Politik
lokal ini mengarah pada kedua hal: pertama,
seberapa besar kepentingan masyarakat
lokal,
terutama kalangan masyarakat marjinal dan
masyarakat
adat indigenous people diperhatikan
oleh lembaga-lembaga politik di tingkat lokal. Kedua,
seberapa besar kepedulian lembaga-lembaga politik
tingkat nasional terhadap aspek lokal. Dari sini,
perlu dibangun semacam content dan platform politik
yang semata-mata berkaitan dengan kepentingan
1445
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
masyarakat politik lokal, baik di tingkat daerah dan
pusat (Piliang, 2003).
Dalam kasus kemunculan partai politik lokal
di Aceh, terutama PA, Gunner Stange dan Roman
Patock dalam artikel yang ditulis pada Journal Of
Current Southeast Asian Affairs, setelah tsunami,
kemudian adanya kontestasi Pilkada 2006 dan
Pemilu legislatif 2009 telah menggambarkan proses
perdamaian tidak hanya tetap jalur, tetapi juga sebagai
wujud dari partisipasi politik masyarakat melalui
partai politik. Keikutsertaan GAM dan afiliasinya
pada Pemilu 2009 dan juga peran serta Partai Aceh
pada Pemilu legislatif 2009, adalah merupakan bagian
dari integrasi GAM ke masyarakat p a d a transisi
demokrasi di Aceh menuju terwujudnya cita-cita
yang d i s epakati dalam MoU Helsinki. Jadi, bukan
merupakan bagian dari upaya disintegrasi seperti
yang terjadi di beberapa negara (Stange, 2010).
Dalam sejarah kepartaian di Indonesia,
kompetisi partai politik dalam pemilu yang pertama
kali dilakukan adalah pada 1955. Ketika itu, ada empat
kategori besar partai yang dikelompokkan oleh Herbert
Feith; yaitu partai besar, menengah, kelompok kecil
yang bercakupan nasional, dan kelompok kecil yang
bercakupan daerah. Menurut Herbert Feith, kelompok
terakhir ini bisa dikategorikan sebagai partai atau
kelompok yang bersifat kedaerahan dan kesukuan;
misalnya dengan munculnya Partai Rakyat Desa,
Partai Rakyat Indonesia Merdeka, Gerakan Pilihan
Sunda, Partai Tani Indonesia, dan Gerakan Banteng
di Jawa Barat. Tidak hanya itu, di daerah lain juga
ada Gerindra di Yogyakarta, dan Partai Persatuan
Dayak di Kalimantan Barat. Kalau kita hubungkan
dengan konteks politik saat ini, maka, partai dengan
kelompok kecil dengan cakupan daerah sama dengan
partai politik lokal. Perbedaannya adalah, pada 1955,
cukup banyak daerah yang memiliki partai dari
kelompok kecil, sedangkan pada saat ini, hanya ada di
Provinsi Aceh (Herbert Feith, 1999).
Tulisan ini menggunakan metode kualitatif
dengan teori transisi demokrasi (Rustow, 1970).
Teori Transisi Demokrasi
Transisi menuju demokrasi adalah “proses
politik yang melibatkan berbagai kelompok yang
berjuang untuk memperoleh kekuasaan dan untuk
mendukung atau menentang demokrasi serta tujuantujuan lainnya (?). Dalam sejarah perubahan rezim,
hampir semua kasus transisi melibatkan sejumlah
negosiasi yang dilakukan secara eksplisit atau implisit,
secara terang-terangan atau terselubung antara
pemerintah dan kelompok-kelompok oposisi. Arus
utama teoritisasi transisi menuju demokrasi dimulai
pada dekade 1980-an. Secara mencolok dibangun atas
dasar runtuhnya rezim otoritarian-totalitarian yang
tumbuh di kawasan Eropa Selatan dan Amerika
Latin. Perpecahan elit dan munculnya kekuatan sipil
JURNAL POLITIK
baik oposisi maupun masyarakat menjadi pemicu
runtuhnya rezim otoriter dan masuknya suatu negara ke
era transisi. Transformasi dari atas atau lewat negosiasi
(transplacement) antara kubu garis keras dan kubu
garis lunak yang beraliansi dengan barisan oposisi dan
masyarakat sipil. Permulaan jalur-jalur negosiasi itulah
yang membuahkan transisi yang mulus dan sempurna
dari rezim otorirer korporatif, sehingga sangat
mempermudah tugas-tugas konsolidasi demokrasi
berikutnya.
Transisi demokrasi sebagai interval periode
merupakan sesuatu yang kompleks, akan tetapi,
konsolidasi sebagai tahapan setelah transisi juga
merupakan sesuatu yang kompleks, sehingga, bisa
saja terjadi proses arus balik d a n kembali ke
zaman atau era yang sifatnya otoriter dan tidak
demokratis. Di dalamnya selalu diwarnai dengan
proses negosiasi. Pada fase ini, partai politik perlu
melakukan pelatihan terhadap kader-kadernya; media
massa, asosiasi-asosiasi perdagangan; lembagalembaga swadaya masyarakat serta mengembangkan
kapasitasnya untuk bertindak secara mandiri dan
terlepas dari pengaruh negara dan ‘payung’ negara.
Fase ini sering juga disebut sebagai tahap kampanye
yang digerakkan oleh dua kubu secara sekaligus. Di
satu pihak adalah perjuangan melawan kekuatankekuatan anti-demokrasi yang mungkin tidak
pernah mau mengalah, sedang di pihak lain adalah
perjuangan untuk menampung unsur-unsur yang
bersifat memecah belah dari sistem politik itu
sendiri;
misalnya
persaingan memperebutkan
jabatan di pemerintahan dan godaan untuk
memperlakukan politik sebagai sebuah pertandingan,
sehingga, hanya para pemenang yang menguasai
semua hadiah.
Menurut Beetham dan Boyle (1995), minimal
ada empat komponen atau pilar utama dari demokrasi
yang sedang berjalan; pemilihan umum yang bebas
dan adil, pemerintahan yang bertanggung jawab,
hak-hak politis dan sipil, dan suatu masyarakat yang
demokratis atau masyarakat madani. Sementara, Tiga
Tipe Proses Transisi Menuju Demokrasi menurut
Samuel P. Huntington adalah; pertama, transformasi,
terjadi ketika elit yang berkuasa memelopori
proses perwujudan demokrasi; kedua, pergantian
(replacement), terjadi ketika kelompok oposisi
memelopori proses perwujudan demokrasi sehingga
kemudian rezim otoriter tumbang atau digulingkan;
ketiga, transplacement, terjadi jika demokratisasi
merupakan hasil dari tindakan yang dilakukan
secara bersama-sama oleh kelompok pemerintah dan
kelompok oposisi.
Konsistensinya kini mulai dipertanyakan seiring dengan berjalannya waktu, sebab, kekuasaan yang
dipegang oleh Partai Aceh tidak membawa perubahan
yang berarti, padahal, platform yang melekat di masa
lalu a d a l a h melakukan perjuangan demi keadilan
1446
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
di Aceh. Begitu juga dengan konflik internal yang
melanda Partai Aceh; contoh yang terakhir adalah
antara Irwandi Yusuf dengan Partai Aceh, begitu
juga ketergantungannya dengan figur-figur di masa
lalu; seperti Hasan Tiro, Malik Mahmud dan Zaini
Abdullah. Begitu juga dalam konteks suara, sebagai
partai yang memiliki suara paling besar, seharusnya,
Partai Aceh memiliki peluang untuk mewujudkan
ide, program yang selama ini didengung-dengungkan
yang bisa diperjuangkan di legislatif dan juga melalui
pemerintahan.
Dalam perkembangannya, suatu negara
sering berjalan berlawanan dengan prinsip-prinsip
demokrasi yang tidak memberikan kesempatan
kepada semua warga negara dan pemerintahan
yang bertindak dengan secara otoriter. Menurut Dahl
(1992), ada lima kriteria bagi proses demokrasi, di
antaranya adalah hak suara yang merata, partisipasi
yang efektif, pengertian berdasarkan informasi, kontrol
akhir terhadap agenda rakyat dan keinklusifan. Dalam
sejarahnya, semua kepemimpinan yang ada dalam
negara otoriter selalu mendapatkan perlawanan
dari masyarakat dan tantangan dari oposisi. Ketika
kekuasaan suatu rezim berakhir, maka, negara itu
masuk pada masa transisi atau periode antara (interval
period) dari suatu orde otoriter ke orde yang tidak
terlalu jelas sosoknya. Ketidakjelasan ini dipahami
sebagai “rangkaian berbagai kemungkinan” dari
suatu bentuk orde politik (O’Donnel, 1993). Transisi
dapat mengarah pada penciptaan sejenis demokrasi,
kembalinya jenis rezim otoriter yang lain, atau
munculnya suatu alternatif yang lebih revolusioner.
Menurut Rustow (1970), transisi biasanya melewati
tiga tahapan: pertama, terjadinya polarisasi antar
pemain-pemain politik baru; kedua, terjadinya
kompromi dan negosiasi, karena sadar tidak bisa
bermain secara mutlak-mutlakan; dan ketiga, habituasi
(pembiasaan) terhadap aturan-aturan main demokratis
(Rustow, 1970).
Lahirnya berbagai konflik baru setelah
memasuki masa transisi demokrasi adalah sesuatu
yang biasa dalam momen-momen transisi yang dialami
oleh suatu negara. Walau sudah masuk pada masa
transisi selepas dari masa “otoriter”, namun, konflik
bisa muncul karena pelembagaan politik yang belum
sepenuhnya diadopsi dalam tata aturan main, sehingga
konflik bisa saja terjadi di elit lama dengan elit baru,
sesama elit baru atau konflik baru yang antara elit
dengan masyarakat yang merasa terabaikan. Dalam
kajian yang dilakukan oleh Ansori dalam melihat
bagaimana konflik yang terjadi di Aceh setelah
MoU Helsinki, lewat tulisan From Insurgency to
Bureaucracy: Free Aceh Movement, Aceh Party and
The Face of Conflict; konflik di Aceh ternyata tidak
berakhir setelah penandatanganan MoU Helsinki, yang
membedakan adalah; dahulu konflik antara Pemerintah
Indonesia dengan GAM, sedang yang terjadi sekarang
JURNAL POLITIK
adalah konflik dalam bentuk yang lain. Dalam
temuannya, pasca MoU Helsinki, Ansori melihat ada
tiga pola konflik dengan penyebab dan aktor yang
terlibat di dalamnya. Pertama, konflik di antara
mantan elit GAM. Kedua, konflik antara mantan
elit GAM dengan mantan kombatan yang derajatnya
lebih rendah; dan yang ketiga adalah konflik antara
etnik mayoritas Aceh dan etnis-etnis minoritas yang
mukim di Aceh --- sementara, pola yang pertama dan
kedua lebih mengedepankan kepentingan pribadi,
sedang yang ketiga dipicu oleh diskriminasi sosial
politik ( Ansori, 2012).
Hal ini sesuai dengan pendapat Gunter (1992)
yang mengatakan bahwa konflik elit merupakan hal
yang paling krusial demi terciptanya consolidated
democracy, dan pentingnya kesatuan konsensual di
antara para elit Semakin gagal mereka menemukan
kesepakatan-kesepakatan minimal tentang agendaagenda utama transisi, maka, semakin mungkin
liberalisasi politik akan anjlok ke arah pembusukan
politik (Huntington, 2003).
Sesungguhnya, indikator bahwa proses
transisi telah mencapai tahap konsolidasi demokrasi
bisa diukur dengan beberapa parameter. Menurut
Huntington (1995), perlu “two turn over test” atau
percobaan dua putaran sebelum konsolidasi penuh
tercapai, yakni terselenggaranya dua kali pergantian
pemerintahan melalui dua kali Pemilu, sejak Pemilu
pertama dalam fase awal konsolidasi. Sementara,
pakar lain mengatakan, demokrasi dianggap matang
jika prinsip “the only game in town” telah diterima
secara luas; yakni tiadanya kelompok atau partai politik
yang ingin berkuasa selain dengan cara memenangkan
pemilu yang jujur dan bebas. Selanjutnya, pakar
lain juga menandaskan, demokrasi dianggap matang
jika beberapa indikator berikut telah terlembaga; yaitu
politik yang dikompetisikan melalui pemilu reguler,
partisipasi massa yang luas, pembatasan penggunaan
kekuasaan eksekutif yang semena-mena, kebebasan
bicara, dan penghormatan atas kebebasan sipil,
termasuk hak-hak minoritas. Jika suatu negara berhasil
meraih skor yang cukup tinggi di hampir semua unsurunsur tadi, maka ia bisa dikatakan sebagai negara
demokratis yang telah terkonsolidasi (Snyder, 2000).
Transisi Demokrasi Di Aceh Pasca MoU Helsinki
Setelah hampir sepuluh tahun disepakatinya
MoU Helsinki yang merupakan tonggak kesepakatan
antara Pemerintah Indonesia dan GAM, sampai
sekarang, arah dari demokratisasi yang berlangsung di
Aceh dapat dikatakan belum jelas. Perjuangan GAM
di masa lalu di bawah komando Hasan Tiro, kemudian
memasuki perdamaian dan transisi demokrasi,
berlangsungnya pilkada dan pemilu legislatif 2009
yang dimenangkan oleh Partai Aceh --- dan janji-janji
perubahan untuk Aceh ketika masa kampanye, sampai
saat ini, cita-cita tentang Aceh baru yang lebih baik
1447
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
masih sebatas slogan (wawancara dengan Mochammad
Nurhasim, peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI, pada
29 Januari 2013).
Menurut Mochammad Nurhasim salah satu
ketidakjelasan arah dari format politik GAM adalah
karena minimnya pemikir di GAM/Partai Aceh. Hal
ini relatif berbeda dengan Partai SIRA yang sebagian
anggotanya berasal dari kalangan kampus. Hal itu
karena, pada masa lalu, sebagian dari Partai Aceh
merupakan kombatan yang hanya sibuk melakukan
perang dengan TNI, mereka tidak terbiasa untuk
memikirkan persoalan-persoalan pemerintahan, dan
pembangunan yang lebih riil. Selain itu, Partai Aceh
juga tidak mempunyai pembangunan Model Aceh
sebagaimana yang dicita-citakan oleh GAM pada
masa lalu yang kemudian diperjuangkannya pada
lembaga politik formal. Boleh dikata, Partai Aceh tidak
memiliki fotmat yang jelas, apakah pemerintahan
berbasis syariah (Islam), padahal, basis ideologi Partai
Aceh adalah nasionalis; apakah sekuler nasionalis,
walau sementara ada tuntutan dari sebagian masyarakat
akan syariat islam. Hal ini kemudian membuat arah
politik dari Partai Aceh menjadi tidak jelas. Partai
Aceh malahan sibuk dengan politik pragmatis; yakni
pemenuhan kursi kekuasaan dan perebutan kekuasaan
ekonomi di antara elit-elit Aceh, terutama para elit
Partai Aceh (wawancara dengan Chairul Fahmi,
Direktur Eksekutif The Aceh Institute, pada 21 Januari
2013).
Perkembangan politik di antara elit penguasa
masih terjebak pada perebutan kekuasaan. Sementara,
dalam perjalanannya, transisi yang ada di Aceh
dalam rangka menciptakan demokrasi yang seutuhnya
menurut Beetham & Boyle setidaknya harus memenuhi
empat komponen. Yaitu: pemilihan umum yang bebas
dan adil, pemerintahan yang bertanggungjawab,
hak-hak politis dan sipil dan masyarakat madani.
Melihat kondisi perjalanan Aceh selama ini, secara
kelembagaan; pemilihan umum sudah berjalan walau
masih jauh dari bebas, intimidasi dan kekerasan
begitu juga dengan aspek fairness. Pemerintahan yang
berjalan belum sepenuhnya bertanggung jawab atas
kesejahteraan masyarakat, korupsi masih merajalela,
pengangguran masih tinggi, pemerintah sibuk
berkonflik. Selaras dengan itu, pemerintahan yang
dikendalikan oleh Irwandi Yusuf pun malah terjebak
konflik dengan kalangan legislatif yang mayoritas dari
Partai Aceh, sehingga, pembangunan jadi terabaikan.
Hak-hak politis dan sipil belum sepenuhnya
terjamin, mengingat banyaknya kekerasan politik,
penembakan terhadap lawan-lawan politik, yang
disinyalir sebagian dilakukan oleh lawan- lawan
Partai Aceh, atau rivalitas dalam internal partai itu
sendiri. Masyarakat madani yang juga merupakan
salah satu instrumen penting dalam demokrasi,
dimulai dengan adanya kemandirian, kebebasan dan
pertanggungjawaban terhadap masyarakat sipil --- di
JURNAL POLITIK
Aceh civil society belum sepenuhnya mandiri, karena
ketakutan atas intimidasi dan pembunuhan. Walau
begitu tidak ada yang bisa menepis, betapa. Sudah
adanya peningkatan berupa kebebasan masyarakat
sipil, ada ruang kebebasan berwacana, berdiskusi dan
berkumpul yang berbeda ketika masa operasi militer.
Masa Depan Politik di Tangan Partai Aceh
Sejatinya, kemenangan Partai Aceh pada
Pemilu Legislatif 2009 di Aceh sudah banyak diprediksi
oleh berbagai kalangan (Modus Aceh No. 51/Thn VI/
Minggu II/April 2009), termasuk Pemilukada terakhir
yang dimenangkan oleh Zaini Abdullah dan Muzakir
Manaf pada 2012. Apalagi, jauh sebelum itu, elemen
GAM sudah berhasil merebut jabatan 16 Bupati/
Walikota (sebagian gabungan tokoh GAM). Capain
awal dari elemen Gerakan Aceh Merdeka yang
kemudian bermetamorfosa menjadi Partai Aceh
adalah direbutnya posisi Gubernur pada pemilihan
kepala daerah pada 2006, oleh gabungan GAM- SIRA,
Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar. Keberhasilan
pasangan membuktikan, walau dari calon perseorangan
(independen), tetapi keduanya mendapatkan dukungan
penuh dari para mantan anggota GAM yang kemudian
beralih ke Komite Peralihan Aceh (KPA --- setelah
perdamaian). Padahal, waktu itu, faktor logistik masih
terbatas dan merupakan kendala yang utama.
Kemenangan tersebut di atas merupakan
modal, di samping kemenangan-kemenangan lainnya
di beberapa kabupaten/kota, menjadi modal yang
paling utama untuk kemudian melakukan konsolidasi,
membangun jaringan, permodalan dan menghidupkan
kembali loyalitas dan jalur komando yang mereka
bangun ketika masa pemberontakan dulu. Oleh sebab
itu, pada 2009, Partai Aceh dapat memenangkan kursi
pemilu legislatif hampir pada semua Kabupaten/Kota
(DPRK) dan juga di tingkat Provinsi (DPRA).
Paparan di atas merupakan suatu bukti, betapa
kemenangan Partai Aceh dan Partai SIRA, walau
dalam jumlah kecil di beberapa Kabupaten/Kota adalah
karena masyarakat dan rakyat Aceh sudah bosan dengan
konflik dan ketidakpastian yang selama ini terjadi di
Aceh. Selain itu, dipilihnya Partai Aceh juga karena
masyarakat menganggap partai tersebut lebih dekat
dengan masyarakat ketimbang partai lain di masa lalu
(wawancara dengan Chairul Fahmi, Direktur Eksekutif
The Aceh Instutite, pada 21 Januari 2013). Dengan kata
lain, Partai Aceh yang mempunyai struktur sampai
ke tingkat paling bawah di masa konflik melawan
Pemerintah Indonesia, diaktifkan kembali sebagai
upaya untuk menjalin komunikasi dan menjadi alat
Partai Aceh untuk memenangkan pemilu.
Berikut tabel perolehan kursi partai politik
lokal dan nasional pada Pemilu legislatif di Aceh pada
2009;
1448
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Tabel 1. Jumlah Anggota Partai Politik Terpilih
untuk Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Pemilu 2009
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Partai Politik
Jumlah
Partai Aceh
Partai Demokrat
Partai Golongan Karya
Partai Amanat Nasional
Partai Keadilan Sejahtera
Partai Persatuan Pembangunan
Partai Daulat Aceh
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Partai Patriot
Partai Kebangkitan Bangsa
Partai Bulan Bintang
33 orang
10 orang
8 orang
5 orang
4 orang
3 orang
1 orang
1 orang
1 orang
1 orang
1 orang
1 orang
Total Anggota terpilih
69 orang
Sumber: Komite Independen Pemilu Aceh, 2009.
Mencermati tabel di atas, maka, tampak
dengan jelas betapa mayoritas kursi di DPRA
maupun DPRK dikuasai oleh Partai Aceh (PA).
Hal ini merupakan bukti nyata, Partai Aceh masih
amat berpengaruh, dan masyarakat luas masih
menaruh harapan besar pada partai yang di masa
lalu lebih dikenal sebagai Gerakan Separatis
Aceh Merdeka ( Ralla, 2009).
Jika kita merunut ke belakang barang
sejenak, untuk memenangkan Pemilu 2009, selain
menggunakan KPA yang merupakan jaringan
kombatan GAM di masa lalu, dalam kampanye
yang dilakukan, Partai Aceh selalu “menjual”
bahwa MoU Helsinki bakal diimplementasikan
dengan sebaik-baiknya jika Pemilu 2009 berhasil
dimenangkan. Mengingat, dalam perjalanannya,
ada beberapa yang belum diimplementasikan, di
antaranya; Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,
Transparansi Distribusi Pendapatan Minyak dan
Gas. Tidak hanya itu, dalam rangka memenangkan
Pemilu 2009, pada kenyataannya, oknum Partai
Aceh juga menggunakan kekerasan atau ancaman;
bila Partai Aceh tidak menang, akan muncul
kekacauan (Hilman, 2010).
Jika ditinjau dari transformasi konflik
dan perdamaian serta transisi demokrasi, maka,
kemenangan Partai Aceh memiliki pesan sejarah
politik yang kuat. Hal tersebut menunjukkan, betapa
tingginya kebutuhan masyarakat untuk membawa
Aceh keluar dari krisis politik dan kekerasan
--- selain itu, Partai Aceh juga mengusung misi
untuk mengurangi ketergantungan terhadap pusat
JURNAL POLITIK
dengan memperjuangkan self government dalam
mengelola Aceh ke depan secara mandiri,
ternyata, mendapatkan sambutan yang baik
dari masyarakat (Razi, 2012). Dalam proses
transisi demokrasi, Partai Aceh dianggap mampu
membawa sebuah arah demokrasi baru bagi Aceh
dalam memperkenalkan “demokrasi ala Aceh”
yang nantinya akan diimplementasikan di parlemen
dan dalam sistem politik Aceh. Dengan begitu,
kursi mayoritas Partai Aceh di Parlemen, menjadi
modal utamanya dalam memperjuangkan segala
kepentingan Aceh hari ini. (Razi, 2012). Akan
tetapi, sampai saat ini, harapan masyarakat atas
Partai Aceh lewat Pemilu 2009 dan Pilkada 2012
belum memberikan sesuatu yang berarti. Arah
pembangunan politik Partai Aceh kelihatannya
tidak menjurus ke “Aceh Baru” sebagaimana
yang dicita-citakan dahulu (wawancara dengan
Mochammad Nurhasim, peneliti Pusat Penelitian
Politik LIPI. pada 29 Januari 2013.
Menurut Fahrur Razi (2012) yang
kemudian menjadi Juru Bicara Partai Aceh, ada
beberapa faktor kemenangan Partai Aceh pada
pemilu legislatif 2009 lalu. Pertama, strategi
politik Partai Aceh yang berbeda dengan partai
nasional dan partai lokal lainnya yang masih
menggunakan cara-cara konvensional. Kedua,
Partai Aceh memiliki mesin politik yang solid dan
kuat di masyarakat dari tingkat gampong sampai
provinsi. Mesin politik bekerja secara efektif dan
cepat tanpa birokrasi yang berbelit-belit. Ketiga,
budaya politik masyarakat dalam politik Aceh hari
ini masih menunjukkan sikap partisipasi politik
yang tinggi. Dalam sistem demokrasi, budaya
politik ini dikenal sebagai budaya partisipan.
Walau menurut Teuku Kemal Fasya, masyarakat
di perdesaan banyak yang dimobilisasi dan
diintimidasi untuk memilih PA (wawancara
dengan Teuku Kemal Fasya, pengamat Politik dari
Universitas Malikussaleh, pada 8 Januari 2013).
Keempat, atmosfer politik yang secara konstelasi
politik lokal, Partai Aceh mampu menunjukkan
sebagai kekuatan politik baru yang dianggap
dapat membawa perubahan politik dan ekonomi
Aceh ke depan.
Hal lain yang menjadi penyebab
kemenangan Partai Aceh dan juga kemenangan
kandidat Partai Aceh dalam Pemilukada adalah
karena kontribusi GAM di masa lalu yang
menjadi bagian dari perubahan di Aceh. Partai
Aceh melalui GAM di masa lalu dianggap
sebagai wadah yang paling berhasil membawa
1449
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Aceh ke dalam era perdamaian. Oleh sebab itu,
wajar jika masyarakat yang memiliki hubungan
historis dengan GAM di masa lalu memberikan
dukungannya kepada Partai Aceh (wawancara
dengan Chairul Fahmi, Direktur Ekskutif The
Aceh Institute, pada 21 Januari 2013). Sementara
survei yang dilakukan oleh Australia Indonesia
Governance Research Partnership (AIGRP)
menyatakan; kemenangan Partai Aceh dalam
pemilu legislatif adalah karena adanya faktor
kedaerahan. Yakni, adanya ikatan yang kuat antara
partai politik lokal dengan masyarakat, masyarakat
memilih partai politik lokal karena merupakan
“partai orang Aceh”. partai lokal juga menjadi
sarana untuk memperbaiki kehidupan masyarakat
yang tidak hanya sebatas salah satu paket dari
tawaran damai antara Pemerintah Indonesia
dengan Aceh (Pamungkas, 2011).
Kinerja Partai Aceh dan Tantangan Pemerintahan
di Bawah Kendali Partai Aceh
Melihat jumlah kursi dari Partai Aceh
di DPRA, sejatinya, kenyataan itu bisa dijadikan
alat untuk melakukan berbagai terobosan dalam
pembangunan melalui jalur legislatif. Partai Aceh bisa
mewarnai politik legislasi, pengawasan dan anggaran
yang ada di DPRA. Tetapi kenyataannya, sampai
saat ini, produktivitas legislasi Partai Aceh di DPRA
termasuk dalam kategori yang rendah. Hal ini tampak
dengan jelas, Provinsi Aceh adalah salah satu provinsi
yang terlambat dalam mengesahkan APBD.
Tabel 2. Produktivitas di Bidang Legislasi
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Tahun
2000-2012
No
Tahun
Jumlah
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
7 Perda
47 Perda
23 Qonun
14 Qonun
12 Qonun
3 Qonun
6 Qonun
10 Qonun
12 Qonun
6 Qonun
8 Qonun
9 Qonun
12 Qonun
Sumber : Media Center DPRA Provinsi Aceh
Menurut Chairul Fahmi dan Teuku
Kemal Fasya; rendahnya produktivitas DPRA
yang mayoritas anggotanya adalah Partai Aceh
JURNAL POLITIK
disebabkan karena kurangnya kapasitas (lack
capacity). Hal ini mengingat, anggota legislatif
yang berasal dari Partai Aceh, kebanyakan
berasal dari kombatan GAM, sehingga kapasitas
dan kemampuan politiknya di bidang legislasi,
anggaran dan pengawasan pun sangat rendah
(wawancara dengan Teuku Kemal Fasya, pengamat
Politik Aceh dari Universitas Malikussaleh, dan
Chairul Fahmi, Direktur The Aceh Institute, pada
21 Januari 2013). Peningkatan kapasitas dari
anggota DPRA/DPRK bukannya terus dilakukan
lewat pelatihan-pelatihan dan building capacity,
akan tetapi, ketika up grading, masih ada
beberapa anggota legislatif di Aceh yang masih
tidak menunjukkan keseriusannya (wawancara
dengan Teuku Kemal Fasya, pengamat Politik
dari Universitas Malikussaleh, pada 8 Januari
2013 dan hal yang sama juga disampaikan oleh
Mochammad Nurhasim). Hal lain yang membuat
rendahnya produktivitas DPRA/DPRK adalah
karena adanya conflict of interest antara legislatif
yang dikuasai oleh Partai Aceh dan eksekutif
yang dikuasai oleh Irwandi Yusuf yang mem a n g
memiliki hubungan tidak harmonis dengan elitelit GAM (wawancara dengan Chairul Fahmi,
Direktur Eksekutif The Aceh Institute, pada 21
Januari 2013).
Realitas politik ini memang merupakan
tantangan transformasi dari para pelaku yang
mulanya pemberontak kemudian menjadi administrator. Sebab, meski Irwandi memiliki mandat
yang kuat dan demokratis sebagai Gubernur
Aceh, namun, pada saat yang bersamaan ia belum
memiliki pengalaman sebagai pejabat publik dan
tidak didukung penuh oleh partai politik maupun
parlemen Aceh yang terpilih sebelum perjanjian
damai. Absennya dukungan ini berimbas pada
keterlambatan yang signifikan, contohnya, pada
saat mendapatkan persetujuan parlemen untuk
mengesahkan rancangan anggaran provinsi yang
mengalami keterlambatan. Apalagi dalam tubuh
GAM, Irwandi juga masih terus kekurangan
dukungan dari pemimpin tingkat atas GAM,
terutama mereka yang merupakan orang-orang
dekatnya Malik Mahmud (Aguswandi, 2008).
Hal ini karena adanya konflik antara GAM Malik
Mahmud dengan Irwandi Yusuf yang merupakan
faksi Malaysia. Pendapat yang berasal dari
faksi Swedia menyatakan; selama ini Irwandi
tidak punya kontribusi dalam perjuangan GAM
(dianggap sebagai orang baru), akan tetapi, yang
paling awal menikmati kekuasaan politik di Aceh
1450
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
(wawancara dengan Mochammad Fahmi, peneliti
Pusat Penelitian Politik LIPI, pada 29 Januari
2013).
Tantangan penting bagi perdamaian
di Aceh adalah usulan untuk membagi Aceh
menjadi dua provinsi baru yang disebut dengan
Provinsi ALA (Aceh Leuser Antara) dan ABAS
(Aceh Barat Selatan). Tantangan ini menjadi
penting mengingat klausul tentang pemekaran
provinsi baru di Aceh baik ALA/ABAS tidak
dimuat dalam MoU Helsinki maupun di UUPA
(Ratnawati, 2007). Para pendukung perubahan ini
adalah para elit dari Dataran Tinggi Aceh, Aceh
Tengah, Aceh Tenggara, dan Bener Meriah. Pada
2005, ketika perwakilan pemerintah dan para
pemimpin GAM bertemu di Helsinki untuk
menelurkan kesepakatan damai, para elit ini
bertemu di Jakarta untuk memperkuat tuntutan
mereka akan provinsi baru yang disebut Aceh
Leuser Antara (ALA). Namun, selanjutnya,
tuntutan tentang pemekaran ALA/ABAS kurang
memunculkan “gaung” karena kawasan ini bukan
merupakan basis GAM --- sehingga, tidak masuk
dalam klausul GAM pada perundingan Helsinki
yang tetap mempertahankan Aceh sebagai satu
provinsi (Ratnawati, 2007).
Tuntutan ini berakar dari persepsi
bahwa proses yang sedang berlangsung
tidak menguntungkan mereka baik secara
ekonomi maupun politik. Nota Kesepahaman
mendefinisikan batas-batas wilayah Aceh
adalah seperti yang ditentukan pada Juli 1950,
yang termasuk dataran tinggi tengah sebagai
bagian dari teritorial Aceh. Program reintegrasi
pemerintah, ketika mengalokasikan jumlah uang
yang sangat besar bagi pemberdayaan ekonomi
mantan kombatan GAM melalui dana BRA, tidak
dapat diakses oleh mereka. Hal ini telah memicu
kemarahan, kekecewaan, dan bahkan tuduhan
bahwa pemerintah melakukan diskriminasi.
Pandangan yang menganggap bahwa sebagian
Aceh mengalami ketertinggalan, khususnya
yang ada di dataran tinggi tengah memang ada
benarnya. Meski dataran tinggi tengah dan
pantai barat merupakan wilayah yang kaya
akan sumber daya alam, namun tidak banyak
memberikan hasil dan bukti pembangunan. Walau
demikian, hal ini tidak menjadi alasan yang
cukup untuk adanya pembentukan teritorial
baru. Strategi yang efektif untuk memenuhi
tuntutan pembangunan di dataran tinggi tengah
adalah dengan cara mempercepat pembangunan
JURNAL POLITIK
kesejahteraan yang lebih luas dan perdamaian
Aceh secara utuh menjadi sangat mendesak
untuk dimplementasikan. Menurut Mochammad
Nurhasim; jika dilihat secara politis, adanya
upaya pelepasan ALA/ABAS dari Aceh adalah
sesuatu yang sulit mengingat mayoritas di DPRA
adalah Partai Aceh. Hal ini mengingat, pemekaran
membutuhkan persetujuan dari DPRA. Walau
begitu, sesungguhnya secara administratif sangat
memungkinkan, mengingat, rentang kendali yang
cukup luas tidak mungkin dapat menciptakan
pelayanan yang lebih baik (wawancara dengan
Mochammad Nurhasim, peneliti Pusat Penelitian
Politik LIPI, pada 29 Januari 2013).
Saat ini, persoalan politik lokal di Aceh
tidak mungkin bisa dipahami dengan secara
sederhana sebagai perebutan penguasaan atas
proses pengambilan berbagai kebijakan, baik
politik, ekonomi, budaya dan lain-lain, antara
elit politik nasional dan elit politik daerah Aceh.
Hal ini lebih kompleks daripada persoalan
pembagian kewenangan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya di Aceh, atau persoalan
penindasan dan ketidakadilan yang ditimpakan
pada masyarakat Aceh. Seyogianya, politik lokal
di Aceh dalam kerangka partai politik lokal juga
berbicara tentang bagaimana partai politik lokal
yang dibentuk di Aceh mampu melakukan fungsi
agregasi kepentingan. Tujuannya tidak lain, agar
Aceh bisa menjadi satu kesatuan yang yang tidak
mudah dipecah-belah oleh kepentingan luar, baik
itu oleh elit politik nasional maupun kepentingan
asing.
Pilkada 2006, 2012 dan Perpecahan dalam Internal
GAM
Beberapa pasangan kandidat dalam pemilihan umum tersebut berasal dari partai politik yang
sudah ada di Aceh. Di antaranya, yang paling
penting adalah mantan penjabat sementara gubernur;
Azwar Abubakar, yang dicalonkan oleh Partai Amanat
Nasional (PAN), dan wakilnya, Nasir Djamil, yang
dicalonkan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
yang membentuk pasangan yang berorientasi Islam.
Selain itu adalah Malik Raden, politikus terkemuka
dari partai Golkar --- bekas partai yang berkuasa
di masa rezim Suharto --- yang dianggap memiliki
peluang paling besar karena mendapatkan dukungan
dari partainya. Pada pemilihan Gubernur 2006, GAM
terbelah menjadi dua. Kalangan tua GAM mendukung
Ahmad Humam Hamid, tokoh yang bukan bagian dari
pergerakan GAM di masa lalu yang merupakan kandidat
dan mendapat dukungan dari PPP (wawancara dengan
Teuku Kemal Fasya pengamat Politik dari Universitas
1451
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Malikussaleh, pada 8 Januari 2013). Sementara, Hasbi
juga mendapatkan dukungan dari para pimpinan GAM
generasi tua, termasuk saudara kandungnya, Zaini
Abdullah (Menteri Luar Negeri GAM). Kemudian,
Perdana Menteri GAM, Malik Mahmud beserta yang
lainnya yang telah bergabung dengan gerakan tersebut
pada era 1970-an dan membentuk kelompok “darah
biru”, lebih mendukung Hasbi, karena alasan-alasan
pribadi dan kekhawatiran mereka mengingat para calon
GAM tidak siap untuk memegang kekuasaan dengan
usaha mereka sendiri. Menurut mereka, koalisi dengan
politisi ‘nasional’ akan lebih baik dalam menjaga
proses perdamaian. Secara internal, pandangan mereka
mendapatkan kritik keras dari pimpinan GAM yang
menyatakan bahwa argumen tersebut semata-mata
hanya untuk melakukan rasionalisasi (Suksi, 2011).
Apalagi, selama masa konflik, GAM sudah
benar-benar disatukan dengan disiplin yang tidak
seperti banyak perlawanan-perlawanan sejenis. Para
komandan militer yang ada di lapangan, tetap setia
kepada para pemimpinnya yang terasing di Swedia
dan dalam urusan-urusan politik selalu tunduk kepada
mereka. Sekarang, dukungan kelompok senior
terhadap Hasbi telah menyebabkan kerusakan yang
tragis terhadap persatuan ini. Banyak mantan komando
lapangan GAM, dan orang-orang muda pada awalnya
banyak tergabung dalam Komite Peralihan Aceh (KPA)
merasa dipaksa untuk mendukung Hasbi-Humam.
Penolakan mereka cerminan dari rasa frustasi terhadap
isu-isu yang sudah terbangun sejak dimulainya
proses perdamaian dan bercampur dengan kemarahan
terhadap apa yang mereka lihat sebagai tingkah laku
autokrasi dari para pemimpin tua. Bahkan, mereka
juga menganggap hal tersebut sebagai pengkhianatan
terhadap ide bahwa GAM sudah memasuki sebuah
koalisi dengan calon yang didukung oleh salah satu
partai nasional.
Perpecahan tersebut muncul sesaat setelah
sebuah rapat GAM untuk memilih seorang calon
gubernur pada akhir Mei. Dalam sebuah pemilihan
terbuka sebagai kandidat gubernur, Hasbi kalah tipis di
urutan kedua --- dan pemenangnya adalah Nashruddin
Abubakar yang langsung menyatakan tidak mau ikut
bertarung, melainkan hanya sebagai pendukung. Pada
saat itu, Dewan Pemerintahan GAM yang didominasi
oleh para pimpinan tua juga menyatakan secara
resmi bahwa gerakan itu tidak akan mendukung
calon manapun. Para anggota GAM, bebas untuk
mencalonkan diri dalam pemilu. Keputusan ini
membebaskan mereka untuk mendukung pasangan
Humam-Hasbi, dan itulah yang mereka lakukan.
Sehingga, Irwandi Yusuf pun mencalonkan dirinya
dari
calon independen. Irwandi mendapatkan
dukungan dari sebagian besar para komandan KPA
di kabupaten dan mayoritas struktur GAM di tingkat
desa, sedang pasangannya, Muhammad Nazar, dikenal
sebagai sosok kritikus pemerintah yang berani. Oleh
JURNAL POLITIK
sebab itu, walau tanpa dipengaruhi oleh kerja- sama
dengan kekuatan politik nasional, Irwandi-Nazar
mampu tampil sebagai pewaris tradisi perjuangan
GAM dan merupakan sosok yang paling pantas untuk
menghadapi pemerintahan nasional.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan
kemenangan calon pasangan Irwandi Yusuf dengan
Nazar dan para kandidat yang didukung oleh GAM
serta afiliasinya (Aspinall, 2008). Pertama kekecewaan
besar dari para pemilih terhadap partai-partai politik
arus utama dan calon-calon mereka. Akibatnya,
keadaan ini telah membuat para calon GAM bisa
menampilkan diri mereka sebagai agen perubahan yang
nyata. Kekecewaan tersebut sudah terakumulasi selama
bertahun-tahun ketika para politisi lokal dengan nyatanyata tidak berdaya untuk mempengaruhi jalannya
perang, sehingga membuat masyarakat Aceh yang
sudah terperosok ke dalam kemiskinan yang sangat
dalam akibat konflik. Tidak cukup sampai di situ,
Provinsi Aceh, bahkan mendapatkan reputasi sebagai
salah satu provinsi yang paling korup di Indonesia.
Sehubungan dengan yang tersebut di atas,
para calon yang berasal dari eks GAM, dalam
kampanyenya juga membuat janji-janji untuk
mempercepat perkembangan ekonomi, memperbaiki
berbagai prasarana, membuka lapangan pekerjaan dan
pelayanan pemerintahan yang lebih baik. Menurut
Edwar Aspinall, bagi yang cerdas, janji-janji dalam
kampanye tersebut sangatlah tidak kredibel. Hal itu
berbeda dengan sebagian besar masyarakat terutama
yang mukim di perdesaan, selain masih kentalnya
pengaruh GAM di masa lalu, janji-janji yang
disampaikan para juru kampanye juga bergaung begitu
keras --- sehingga masyarakat pun mendukungnya.
Faktor kedua adalah organisasi superior
gerakan tersebut. Pada masa konflik, GAM telah
membangun organisasi politik-militer yang sangat
efektif dan dibutuhkan untuk menjalankan sebuah
perlawanan. Di banyak wilayah perdesaan, secara
nyata, jaringan GAM sulit dibedakan dari jaringan
sosial dan kekeluargaan yang menjiwai kehidupan
pedesaan, sehingga seluruh desa pun memberikan
dukungan baik aktif maupun pasif terhadap para
pejuang tersebut. Jaringan yang terbentuk yang
mirip dengan struktur pemerintahan dan militer
ini juga membuat mudah GAM bermanuver di
tengah masyarkat untuk memenangkan para calonnya
(wawancara dengan Mochammad Nurhasim, peneliti
dari Pusat Penelitian Politik LIPI, pada 29 Januari 2013).
Selama masa pemilu, untuk memobilisasi pemilih,
maka, para kandidat yang berafiliasi dengan GAM
pun mengandalkan jaringan ini. Sementara, di banyak
tempat, hal ini dilakukan dengan sangat sistematis;
yakni para anggota ‘tim sukses’ berkampanye dari
pintu ke pintu.
Pada sisi lain, dengan secara terbuka, para
mantan komandan GAM menyatakan kepada
1452
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
masyarakat di lingkungan mereka tinggal tentang
kesetiaan yang sudah mereka buktikan selama ini,
sehingga, masyarakat pun sering kali memberikan
dukungan penuh kepada kandidat yang berafiliasi
dengan GAM. Ini terbukti, para kandidat gubernur
yang mendapat dukungan dari sebagian besar mantan
sayap militer GAM di KPA, yang sukses di hari
pemilihan. Terakhir, para calon yang tergabung dalam
GAM berhasil dengan baik karena mereka mampu
memberikan pesan yang mendukung untuk proses
perdamaian dengan penekanan pada kesinambungan
dengan perjuangan masa lalunya. Para kandidat GAM
sadar, betapa janji untuk tidak merdeka adalah
merupakan hal yang utama dalam perjanjian damai
Helsinki, oleh sebab itu, selama masa kampanye,
mereka pun tidak melanggar janji tersebut. Mereka
selalu menyampaikan, MoU Helsinki adalah hasil
perjuangan GAM, dengan demikian, maka, hanya
GAM tempat yang terbaik untuk menjaganya.
Sepertinya, kesuksesan para kandidat yang
berafiliasi dengan GAM mampu menjawab sebesar
apakah pergerakan tersebut menjadi perlawanan
yang populer. Selama masa konflik, para analis
memperdebatkan; pada tingkat seperti apa GAM
telah mampu mencapai tujuan-tujuannya dengan
intimidasi dan kekerasan terhadap masyarakat desa.
Ketika kekerasan tentunya membentuk bagian dari
perilaku GAM (dan bahkan terdapat laporan di sanasini tentang intimidasi GAM terhadap para pemilih
pada 2006), maka, sulit agaknya jika pergerakan
tersebut mampu menang dalam pemilu (Aspinall,
2008).
Sebaran geografis dari dukungan tersebut juga
mengesankan, betapa Irwandi-Nazar memenangkan
pemilihan di 15 kabupaten dari 21 kabupaten yang
ada di provinsi tersebut. Secara tidak mengejutkan,
para kandidat yang berafiliasi dengan GAM berhasil
memenangkan suara di wilayah-wilayah tempat
pergerakan tersebut kuat pada masa perlawanan.
Kabupaten-kabupaten di pantai timur yang merupakan
basis GAM sejak 1970 berhasil dimenangkan oleh
para kandidat GAM --- Bireun dan Aceh Utara oleh
Irwandi-Nazar --- sedangkan Pidie oleh HumamHasbi. Irwandi-Nazar juga menang secara meyakinkan
di daerah pantai barat; Aceh Jaya dan Aceh Selatan,
yang merupakan titik terpanas konflik sejak akhir 1990
(Aspinall, 2008).
Dengan kata lain, secara umum, suara GAM
terasa lebih rendah di wilayah perkotaan atau di tempat
lemahnya pemberontakan, begitu juga kabupatenkabupaten yang terbelakang, penduduknya jarang,
dan terpencil di daerah pedalaman dan di barat daya
yang etnis populasinya lebih heterogen ketimbang
dengan etnis Aceh yang dominan mendukung GAM.
Perpolitikan di daerah-daerah terpencil ini juga
cenderung sama dengan daerah-daerah terpencil
lainnya di Indonesia yang didominasi oleh para
JURNAL POLITIK
birokrat lokal yang kuat, pengusaha, dan ‘orang kuat’
lain yang dengan signifikan menguasai pengaruhpengaruh politik di wilayah tersebut (Aspinall, 2008).
Di satu sisi, terpilihnya calon independen
dari GAM memiliki peluang terjadinya reintegrasi
yang lebih mudah --- proses integrasi politik dengan
cepat dapat terlaksana karena beberapa mantan GAM
langsung memegang posisi kunci dalam pemerintahan
di Aceh. Akan tetapi, di sisi lain, terpilihnya mantan
GAM bisa saja menimbulkan masalah yang berhubungan
dengan kapasitas kepemimpinan yang berkait dengan
administrasi kepemerintahan (wawancara dengan
Ichwanuddin, dalam Basyar, 2007).
Kemenangan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf dan
Kekerasan pada Pilkada 2012
Konflik yang terjadi di Aceh menjelang
pemilukada 2011 semakin tajam; dengan Irwandi
Yusuf yang akan maju lagi sebagai calon gubernur,
sementara, di dalam UUPA, calon independen hanya
diperbolehkan menjabat satu kali. Irwandi pun
mengajukan yudicial review ke Mahkamah Konstitusi;
hasilnya, lembaga tersebut memperbolehkan calon
independen maju dalam pemilukada yang kedua setelah
2006. Akan tetapi, pada pemilu kedua, Partai Aceh
tidak setuju dengan ikut sertanya calon independen.
Hal ini ditunjukkan dengan penolakan Partai Aceh
yang ada di DPRA atas Qonun yang memperbolehkan
calon independen, serta tidak mengajukan calon yang
dijadwalkan berlangsung pada 10 Oktober 2011.
Merebaknya potensi konflik yang besar atas
ketidakikutan Partai Aceh dalam pilkada tersebut,
membuat jadwal diundur menjadi 14 November, 24
Desember, kemudian 16 Februari dan akhirnya menjadi
9 April. Pada akhirnya, Partai Aceh memilih 8 Februari
2012 di saat Irwandi mengakhiri masa jabatannya. Pada
masa itu, konflik antara Irwandi Yusuf dan Partai
Aceh di bawah Malik Mahmud yang merupakan
mantan Perdana Menteri GAM di masa lalu menjadi
semakin tajam (International Crises Group,2012).
Seiring dengan itu, walau mendapatkan
penolakan dari Partai Aceh, Irwandi yang berpasangan
dengan dr. Muhyan Yunan tetap mencalonkan diri dari
calon independen. Sementara, Partai Aceh kemudian
menominasikan Zaini Abdullah mantan Menteri Luar
Negeri GAM yang berpasangan dengan Muzakir Manaf
sebagai Komandan Lapangan GAM. Situasi politik
ketika itu pun kian memanas, kolega Irwandi Yusuf,
Saiful Husein (Pemimpin Lokal KPA) ditembak
dan terbunuh ketika minum kopi di daerah Bireuen.
1453
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Tabel 3. Perolehan Suara Pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur Tahun 2012
No
1.
Jumlah PersenSuara
tasi
3.33
Tgk.H. Ahmad Tajud- 79.330
din, AB
Ir.H.Teuku
Suriansya,
M.Si
Nama Kandidat
2.
Drh. Irwandi Yusuf dan 694.515
Dr.Ir Muhyan Yunan,
M.Sc
29.18
3.
Prof. Dr. H . Dami M. 96.767
Daud,
MA dan dr. tgk. Ahmad
Fauzi, M.ag
4.07
4.
H. Muhammad Nazar
Ir. Nova Iriansyah, MT
Dr. H. Zaini Abdullah
Muzakir Manaf
Total suara sah
Total suara tidak sah
Total suara sah dan tidak sah
182.079
7.65
1.327.695 55.78
2.380.386 96.87
3.13
76.810
2.457.196
Pemilih terdaftar
3.244.729
Sumber: Asia Network for Free Election (ANFREL)
Aceh 2012: Local Elections, Bangkok: ANFREL, 2012
Melalui tabel di atas, Partai Aceh kembali
berhasil memenangkan calon pasangannya Zaini
Abdullah dan Muzakir Manaf dengan mendapatkan
suara 55.78 persen. Dukungan terbesar bagi Zaini
datang dari pedesaan yang memberikan dukungan
dengan kuat terhadap Partai Aceh dan GAM di masa
lalu. Secara tegas dapat dikatakan bahwa mesin
politik Partai Aceh telah berhasil membuktikan
dan memaksa wilayah- wilayah pedesaan untuk
mendukung calonnya. Sementara itu, Irwandi banyak
mendapatkan dukungan dari daerah perkotaan; di
antaranya Pulau Sabang, Banda Aceh, Bener Meriah,
Aceh Tengah, Aceh Taming, Aceh Tengggara, Aceh
Singkil dan Subussalam. Daerah perkotaan yang
masyarakatnya lebih berpendidikan dan heterogen
serta datang dari berbagai daerah, sehingga, tidak
mudah untuk dipengaruhi dan diintimidasi oleh Partai
Aceh. Selebihnya, hampir semua kabupaten berhasil
dimenangkan oleh pasangan Zaini Absullah-Muzakir
Manaf (ANFREL, 2012). Adanya intimidasi dan
pengerahan massa terutama daerah pedesaan, kerap
dilakukan oleh partai-partai tertentu. Sehingga,
partisipasi masyarakat pun menjadi tidak otonom
karena cenderung melakukan pilihan atas intimidasi
yang sering berujung pada kekerasan.
Kekerasan dan intimidasi banyak terjadi
JURNAL POLITIK
selama menjelang dan setelah Pilkada. Di Gayo
Lues, masyarakat memprotes KIP dengan membakar
Kantor KIP dan juga 6 kantor lainnya. Begitu juga
di Aceh Tengah terkait adanya dugaan manipulasi
suara yang berujung pada kekerasan. (ANFREL,
Walau di daerah-daerah perdesaan acap
2012).
terjadi kekerasan yang masif, akan tetapi, masyarakat
enggan untuk berbicara tentang hal itu karena takut
membahayakan diri dan keluarganya. Propaganda
yang dilakukan oleh Partai Aceh dan pendukungnya
terbukti berhasil mempengaruhi pikiran dan juga
psikologi masyarakat di pedesaan(ANFREL, 2012).
Insiden kekerasan sebelum pemilihan
yang dikeluarkan oleh Komisi Hak Azasi Manusia
(KOMNAS HAM) di media; pada rentang 14 Oktober
2011 sampai 10 Januari 2012, terdapat 14 kasus
penembakan dan kekerasan yang menyebabkan 19
orang terluka dan 123 mati; selanjutnya, pada rentang
Februari dan April 2012, penembakan dan kekerasan
terus berlanjut sehingga mengakibatkan 30 orang yang
sebagian besarnya adalah pendukung kandidat dari
calon independen terluka. Sehingga, KOMNAS
HAM pun menyimpulkan bahwa Pemilukada 2012
di Aceh adalah pemilu yang tidak adil(ANFREL,
2012).
Simpulan
Perjalanan transisi demokrasi di Aceh
memang tidak bisa disamakan dengan transisi
demokrasi di negara-negara lain yang pada umumnya
bermula dengan kondisi yang sangat otoriter. Kondisi
Aceh sebelum masuk ke transisi bukanlah berada
pada pemerintahan yang otoriter, namun hanya berada
di bawah kendali pemerintahan pusat. Selanjutnya,
penindasan, kekerasan, dan pemberontakan GAM
adalah merupakan bentuk perlawanan terhadap
pemerintah pusat yang melakukan ”penindasan”
terhadap Aceh. Konflik yang terjadi antara GAM yang
sudah berlangsung dalam waktu lama itu, dimulai pada
1976 ketika Hasan Tiro memproklamirkan ASNLF
--- dan melakukan perlawanan terhadap Pemerintah
Indonesia.
Melihat kondisi politik Aceh yang kemudian
masih jauh dari keadaan yang ideal untuk menuju
demokrasi yang consolidated, di samping tidak
jelasnya arah pembangunan politik di Aceh, Samuel P.
Huntington mengatakan; apakah suatu negara (dalam
hal ini Aceh) sudah mencapai tahap konsolidasi
demokrasi, dapat dilihat dalam dua kali masa pemilu
setelah transisi dimulai. Dalam konteks Aceh memang
boleh dikatakan telah berlangsung 3 kali pemilihan
umum, yang pertama adalah Pilkada 2006, Pemilu
legislatif 2009 dan Pilkada 2012.
Sejatinya, di dalam konteks transisi yang terjadi
di Aceh paska konflik, dapat dikatakan semuanya
berjalan mengikuti kultur dan sejarah yang pernah
1454
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
terjadi di Aceh. Hal tersebut dapat dilihat dengan
nyata, kultur Aceh yang di masa lalu yang cukup heroik
dan tidak pernah mau tunduk di bawah penjajahan dan
penindasan Belanda, begitu juga dengan kekerasan dan
intimidasi di masa rezim Orde Baru berkuasa, ternyata,
masih mewarnai kondisi politik di masa transisi.
Terima kasih atas bimbingan dan arahan
Prof. Nazarudin Syamsudin pada tulisan ini.
Kepustakaan
Penelitian Politik.
Beetham dan Boyle. 1995. Introducing Democracy, 80
Questions and Answers. Paris: UNESCO.
Burhanudin, M. dan M. Fajar Marta. 2010 “Paradoks
Demokrasi Aceh” Adam http://www.siwah.
com/pendidikan/marketing-politik/paradoksdemokrasi-Aceh.html diakses pada Mei 2010.
Aguswandi dan Judith Large (Issue Editors). 2008.
Rekonfigurasi Politik: ProsesPerdamaian
Aceh. London: Conciliation Resources.
Djohan, Djohermansyah. 2002. Sistem Kepartaian dan
Pemilu, Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas
Terbuka.
Ansori, Muhammad Hasan. 2012. “From Insurgency
To Bureaucracy: Free Aceh Movement,
Aceh Party and The Face of Conflict”, dalam
Stability: International Journal Of Security
& Development, Vol.1.Issue 1, October/
November.
Dahl, Robert A. 1992. Demokrasi Ekonomi, Suatu
Pengantar (terjemahan). Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
ANFREL. 2012. Aceh 2012 : Local Elections.
Bangkok: ANFREL.
ANFREl. 2012. “Interim Report: International
Elecftion Observation Mission Aceh Local
Elections: Gubernatorial , Mayoral & Head
Of Regency Elections”, dalam Interim Report,
Report Date: May 3.
Fadjar, A.Muktie. 2006. Partai Politik Dalam
Perkembangan
Sistem
Ketatanegaraan
Indonesia. Malang: Penerbit in-Trans
Publishing.
Fasya, Teuku Kemal. 2010. “Dari Transisi ke Involusi
Demokrasi” dalam
http://serambinews.com/news/view/23674/daritransisi-ke-involusi-demokrasi.com diakses
pada Mei 2010.
Aspinall, Edward. 2005. The Helsinki Agreement:
A More Promising Basis for Peace In Aceh.
Washington: East-West Center Washington.
Feith, Herbert. 1999. Pemilihan Umum 1955 di
Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
___________. & Harold Crouch. 2005. The Aceh
Peace Process: Why It Failed. Washington:
East- West Center Washington.
Feith, Pieter. 2007. “The Aceh Peace Process Nothing
Less Than Succes” dalam United States
Institute Of Peace SpecialReport 184, Maret.
___________. 2005. “Aceh/Indonesia Conflict
Analysis and Options For Systemic Conflict
Transformation”, Prepared For The Berghof
Foundation for Peace Support, Agustus.
Gunther, Richard et.al. 1992. Elites and Democratic
Consolidation in Latin America and Southern
Europe. Cambridge: Cambridge University
Press.
___________. 2008. “Report: Peace Without Justice?
The Helsinki Peace Process In Aceh”, dalam
Center For Humaniraian Dialog, HDC, April.
Hilman, Ben. 2010. “Political Parties And Post-Conflict
Transition: The Result And Implications Of
The 2009 Parliamentary Elections In Aceh”
dalam Center For Democratis Institutions PPS
2010/01.
Basyar, Hamdan, et.all. 2007. Reintegri Politik Aceh
Pasca MoU Helsinki. Jakarta: LIPI Pusat
JURNAL POLITIK
1455
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Huber, Konrad. 2004. The HDC in Aceh: Promises and
Pitfalls of NGO Mediation Ana Implementation.
Washington: East- West Center Washington.
Huntington, Samuel P. 2003. Tertib Politik di Tengah
Pergeseran Kepentingan Massa (terj. Sahat
Simamora). Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Huntington, Samuel P. 1995. Gelombang Demokratisasi
Dunia Ketiga. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Indrayana, Denny. 2008. ”Partai PolitikLokal di
Aceh?”
dalam http://www2.kompas.com/
kompascetak/0507/19/opini/1909215.htm ,
diakses pada November 2008.
International Crises Group. 2007. Aceh Komplikasi
Pasca Konflik: Asia Report No 139-4 Oktober
2007. tanpa tempat: International Crises
Group.
International Crises Group. 2012. “Indonesia: Averting
Election Violence In Aceh”, dalam Update
Briefing, Asia Program Briefing N0 135,
Jakarta/Brussel, 29 Februari.
Karim, Rusli. 1983. Perjalanan Partai Politik di
Indonesia,Sebuah
Potret Pasang Surut.
Jakarta: Rajawali.
O’Donnel, Guillermo dan Philippe C. Schmitter.
1993. Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian
Kemungkinan dan Ketidakpastian. Jakarta:
LP3ES.
Pamungkas, Sigit. 2011. Partai Politik: Teori dan
Praktek di Indonesia, Yogyakarta: Institute
For Democracy and Walfarism.
Piliang,
Ratnawati, Tri. 2007. Persepsi Lokal dan Prospek
Implementasi Undang_undang Nomor 11
Thuan 2006 Tentang Pemerintahan Aceh:
Aspek Kewenangan Pemda dan Keuangan
Daerah. Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI.
Rustow, Dankwart. 1970. “Transition to Democracy”
dalam Comparative Politics. Vol. 2.
Razi, Fachrul. 2012. “Ada Lima Faktor Kemenangan
PA” dalam http://www.modusAceh.com/weekly/
utama/1453-pengama.com
diakses
pada
Desember 2012.
Snyder, Jack. 2000. From Voting to Violence:
Democratization and Nationalist Conflict.
New York: W.W. Norton & Company.
Stange, Gunnar dan Roman Patock. 2010. “From
Rebels Too Rulers and Lesgislators: The
Political Transformation of the Free Aceh
Movement (GAM) in Indonesia” dalam
Journal of Current Southeast Asian Affairs, 29,
1, 95-210, GIGA German Institute of Global
and Area Studies, Institute of Asian Stuies and
Hamburg University Press.
Suksi, Markku. 2011. Sub- State Governance Through
Territorial Autonomy: A Comparative Study
in Constitusional Law od Powers, Procedures
and Institutions. Finland: Springer.
Sugiyono. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif.
Bandung: Alfabeta.
The Aceh Institute. 2010. Geunap Aceh: Perdamaian
Bukan Tanda Tangan. Banda Aceh: The Aceh
Institute Press.
Indra J. 2003. “Politik Lokal Pasca
Amandemen Konstitusi: Mencari Peluang
Perubahan”, dalam Analisis CSIS, Terorisme
dan Keamanan Manusia , Tahun XXXII/2003
No. 1.
Ralla, Aulia Asep. 2009. “Mencermati Situasi Aceh
Pasca Pemilu Legislatif” dalam http://www.
pewarta-kabarIndonesia.blogspot.com diaksen
pada Mei 2009.
JURNAL POLITIK
1456
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah
Sektor Telekomunikasi di Cilegon
The Empowerment of Small and Middle
Business in Telecommunication Sector
WH. Hardiwinata
AbstraK
Pengaruh ekonomi politik dalam pemberdayaan UKM di Cilegon yang terlihat dalam sektor
telekomunikasi ternyata menemukan banyak kendala dengan alasan efisiensi dan profesionalisme.
Melalui metode kualitatif dan pendekatan yang komprehensif,maka, tampak dengan jelas betapa
kebijakan yang ada telah dimanfaatkan oleh segelintir kelompok atau kepentingan orang-orang
tertentu, sehingga, dalam waktu dekat perlu adanya kebijakan yang tepat dan berpihak kepada Usaha
Kecil dan Menengah.
Keywords:Ekonomi Politik, Pemberdayaan UKM, Telekomunikasi
Abstract
The impact of political economy in the empowerment of UKM in Cilegon is can be seen in
telecommunication sector yet found a lot of obstacles by making excuses towards efficiency and
professionalism. By using qualitative methods and comprehensive approaches, therefore it is clear how
is the wisdom have been used by such groups and certain people with interests, hence in short term it
needs to have such proper wisdom and sided to the lower and middle business.
Keywords: Political Economy, UKM empowerment, Telecommunication
Pendahuluan
Masalah tenaga kerja di berbagai negara
berkembang memang selalu hangat untuk
dibicarakan, bahkan menjadi kajian yang serius
bagi para ilmuwan. Hal tersebut wajar, mengingat,
besarnya angka pengangguran dapat membawa
dampak yang buruk, mulai dari meningkatnya
angka kriminalitas bukan tidak mungkin menjadi
embrio atau lahan yang subur bagi tumbuhnya
gerakan separatis.
Untuk mengatasi hal; tersebut, di
Indonesia, Kementrian Koperasi Usaha Kecil
Menengah (K-UKM) RI, selaku Pembina Usaha
Mikro Kecil dan Menengah yang selanjutnya
disebut sebagai UMKM, secara tegas menyatakan
bahwa UMKM adalah suatu lembaga yang
sangat penting terutama dalam hal pertumbuhan
pendapatan sekaligus penyerap tenaga kerja.
Pernyataan itu tentu bukan tanpa alasan, data BPS
(2006) menunjukkan bahwa kesempatan kerja
yang diciptakan oleh UMKM jauh lebih banyak
dibandingkan tenaga kerja yang bisa diserap oleh
usaha besar.
Menurut BPS (2006) dan Kementrian
K-UKM (2006), penyerapan tenaga kerja oleh
UMKM terhadap angkatan kerja yang bekerja,
sebesar : 99,48 % (2003), 99,49% (2004), dan
sebesar 97% (2006). Oleh karena itu, UMKM
sangat diharapkan untuk terus bisa berperan
secara optimal dalam upaya menanggulangi
pengangguran yang jumlahnya terus meningkat
pada setiap tahunnya. Dengan penyerapan tenaga
kerja seperti itu, berarti, UMKM juga memiliki
peran yang strategis dalam mengisi pembangunan
di Indonesia dan dalam rangka memerangi
kemiskinan (Tulus, 2009).
Tulisan ini memiliki urgensi dan
relevansi terhadap kebijakan pemerintah dalam
Universitas Nasional Jakarta, [email protected]
JURNAL POLITIK
1457
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
pemberdayaan UKM, karena selama ini, misalnya,
menurut Thee Kian Wie (2007), pada umumnya
berbagai program UKM kurang berhasil, hal ini
disebabkan karena kebijakan pemberdayaannya
ditentukan oleh pejabat pusat ketimbang kebutuhan
riil UKM di lapangan. Begitu juga, derajat
kerentanan UKM belum terlihat dalam kebijakan
pemerintah. Kebijakan yang berorientasi pada
“kesejahteraan” akan melenakan UKM sehingga
ia tidak akan mampu bersaing dengan baik pada
saat persaingan atau ketika harus memasuki pasar
ekspor yang tingkat risiko dan guncangannya
lebih besar. Oleh karena itu, Thee melihat adanya
kebutuhan untuk mengubah orientasi berbagai
kebijakan terhadap UKM dari sekadar bagian
upaya pengentasan kemiskinan menjadi kebijakan
yang memungkinkan penguatan ketahanan usaha
UKM dalam arena-arena atau kondisi yang baru.
Cilegon, sengaja penulis pilih menjadi
lokasi penelitian, karena dari berbagai informasi,
misalnya berdasarkan kesepakatan kerja sama
(MOU) antara Pemkot Cilegon dengan mitra
perusahaan penyedia jasa tower telekomunikasi
yang mengacu pada Permen Komifo RI. No.2
Tahun 2008, terdapat pasal yang menunjuk
pemberdayaan perusahaan lokal. Khususnya,
UKM jasa konstruksi menara. Selain itu, Cilegon
sebagai pusat pertumbuhan industri besar telah
memacu pertumbuhan UKM sebagai mitra
usahanya.
Persoalan UKM dalam PPPMBT, menurut
sumber pendahuluan yang dapat dipercaya,
misalnya dari AK, mantan anggota tim lobi
perusahaan Grup PI yang berkantor pusat di
Jakarta, bahwa program PPPMBT tersebut sarat
praktik perburuan rente dalam rangka mendapatkan
kepentingan ekonomi jangka pendek.
Oleh karena itu, penulis meyakini,
PPPMBT di Cilegon, yang di dalamnya terdapat
praktik rent-seeking, relevan untuk dijadikan
bahan penelitian dalam perspektif ekonomi politik.
Menurut The Kian Wie (2007), KIK/
KMKP mulai diragukan karena tingkat kredit
macet makin tinggi sampai lebih dari 27%, hal
ini karena berbagai faktor seperti staf perbankan
kualitasnya kurang memadai, sogokan (KKN)
bagi staf Bank yang korup, pengelolaan dana
Bank yang salah, dan sebagainya, akhirnya KIK/
KMKP dihentikan pada Januari 1990. Selanjutnya
JURNAL POLITIK
pemerintah mengeluarkan paket Januari (Pakjan)
1990, yang intinya perubahan mendasar dalam
kebijakan kredit untuk UKM dan Koperasi; dari
kebijakan kredit selektif yang disubsidi (subsidised
selective credit policy) menjadi kebijakan kredit
yang berorientasi pasar (market orientid credit
policy).
Berdasarkan pertimbangan ini, pemerintah
pada Januari 1990 memperkenalkan kebijakan
kredit baru bagi UKM dan Koperasi, yaitu kredit
usaha kecil (KUK). Program kredit ini pun
menurut BI, ternyata menemukan banyak kendala
dengan alasan efisiensi dan profesionalisme,
sehingga KUK banyak terhambat. Akan tetapi,
karena adanya denda, maka, Bank komersial
akhirnya tetap menyalurkan kreditnya kepada
UKM, meskipun kredit tersebut lebih banyak
digunakan untuk keperluan konsumsi ketimbang
tujuan usaha UKM.
Program lainnya adalah program bantuan
teknis; di antara sekian banyak program bantuan
teknis untuk UMKM, program pembinaan
dan pengembangan industri kecil (BIPIK)
yang dimulai pada 1980, adalah program yang
terpenting. Program ini memberikan pelatihan
dan jasa-jasa penyuluhan bagi UKM, dan dikelola
oleh Direktorat Industri Kecil, Departemen
Perindustrian RI, yang pada 1970-an telah
mendirikan Lingkungan Industri Kecil (LIK) di
beberapa daerah sentra UKM. Fasilitas utama
dalam LIK adalah tempat pelatihan dan fasilitas
untuk perbaikan mutu (Wie, 1996).
Pada umumnya, program bantuan teknis
ini juga kurang berhasil, yang disebabkan antara
lain; karena fasilitas kurang digunakan untuk
UKM, pengalaman dan pengetahuan teknis dan
bisnis para penyuluh kurang memadai. Lagi pula,
pelatihan dan masukan yang disubsidi ditentukan
oleh pejabat pusat ketimbang kebutuhan riil UKM
di lapangan (Wie, 1996).
Oleh karena itu, seyogianya, kebijakan
pemerintah harus memperhatikan derajat
kerentanan UKM. Menurut Thee (2007), sudah
saatnya kebijakan terhadap UKM tidak untuk
melindungi UKM dari persaingan, melainkan,
melembagakan persaingan yang ada. Cara itu
adalah untuk menutup kemungkinan munculnya
monopoli di tangan segelintir pelaku usaha tertentu
dan diskriminasi bagi pelaku usaha lain yang tidak
1458
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
mempunyai hubungan kolusif dengan pelaksana
kebijakan. Dengan kata lain, melembagakan
persaingan dipandang perlu untuk meningkatkan
daya tahan UKM dalam menghadapi persaingan.
Masih lemahnya UKM dapat teridentifikasi
dengan jelas, bahwa sejak Orde Baru sampai saat
ini (2011), di balik kebijakan pemerintah, masih
banyak permasalahan yang membelit UKM. Secara
internal misalnya; permodalan, keterampilan
manajerial, pemasaran, dan rendahnya tingkat
teknologi produksi. Sementara, secara eksternal,
nampak jelas adanya “konsistensi” kepentingan
implisit dari para aktor.
Ketidakberhasilan pemberdayaan UKM
di atas, telah mendorong para peneliti melakukan
terobosan untuk menjawab permasalahan yang
dihadapi. Mengingat penelitian UKM yang ada
selama ini, menurut Anas Saidi (2000), jika di
telusuri, lebih banyak pada determinasi ekonomi
dan hanya beberapa saja dari sudut pandang
nonekonomi seperti sosiologi, antropologi, politik,
hukum, dan sejarah.
Dinamika pemberdayaan UKM di atas
menunjukkan, bahwa selama ini, konstruksi realitas
pemberdayaan UKM, cenderung dijelaskan dalam
variabel tunggal, yaitu determinasi ekonomi.
Variabel ekonomi ini memang memiliki beberapa
keunggulan dalam memberikan jawaban terhadap
kendala UKM secara internal, namun tanpa
bermaksud mengabaikan betapa dominannya perspektif ekonomi dalam menjelaskan permasalahan
UKM, ternyata, pendekatan semacam ini malahan
menghasilkan bias.
Bias pertama, menceritakan bahwa
lamanya UKM keluar dari krisis dinyatakan oleh
sebab eksternalitas; yaitu keputusan politik yang
mendalangi konstruksi ekonomi yang penuh
KKN. Dengan kata lain, potret ekonomi sekarang
lebih merupakan hasil kontrak politik daripada
kalkulasi prinsip ekonomi. Bias kedua, di samping
akan mengabaikan variabel lain yang justru
pada tahapan tertentu lebih dominan, persoalan
eksternal, seperti persoalan struktural cenderung
tidak tersentuh. Sebaliknya persoalan artifisial
menjadi garapan utama. Pendekatan tunggal di atas, akan
mengulangi kesalahan lama, oleh sebab itu, untuk
melihat persoalan UKM secara menyeluruh, perlu
dilakukan pendekatan komprehensif dan tidak
JURNAL POLITIK
hanya menggunakan perspektif ekonomi (internal)
saja, tetapi juga perlu dilihat dari perspektif
sosiologi, antropologi, politik dan sejarah (Anas
Saidi, 2000).
Tulisan ini menggunakan metode kualitatif
dan toeri pembangunan ekonomi Galbtaith (1973).
Konsep
Pembangunan
Ekonomi
dan
Pemberdayaan
Kebijakan pemberdayaan UKM yang
efektif di Indonesia, kendati dalam tataran teoritis
hingga saat ini masih diperdebatkan, namun, semua
tetap percaya bahwa kebijakan pemberdayaan
UKM adalah suatu keniscayaan dalam dinamika
pembangunan ekonomi nasional. Khususnya bagi
terwujudnya UKM yang tangguh dan mandiri
dalam rangka memberikan kontribusi sebesarbesarnya bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
1. Konsep Pembangunan
Meminjam John Kenneth Galbraith (dalam
Pressman, 2000), terutama yang berhubungan
dengan kekuatan-kekuatan ekonomi. Dia
menuliskan; kecenderungan perusahaan besar
adalah selalu mendapatkan kekuasaan ekonomi
dan konsekuensi-konsekuensinya, oleh karena
itu, pemerintah perlu campur tangan untuk
menghadapi kekuatan kepentingan bisnis tersebut
dengan memperkuat kepentingan publik. Ketika
isu ekonomi dan sosial dipandang sebagai
konflik antara dua kekuatan yang bersaing, maka,
pemerintah harus melakukan fungsi tambahan;
yakni segera membuat kebijakannya yang
berpihak pada kepentingan publik sebagai upaya
mengimbangi kekuatan perusahaan besar.
Dinamika kekuatan perusahaan besar dan
perusahaan kecil, dikembangkan Galbraith dalam
bukunya: Economics and the Public Purpose
(Galbraith 1973), yang menyatakan bahwa
perekonomian Amerika Serikat telah terbagi
menjadi dua bagian. Perusahaan besar yang
disebut Galbraith sebagai “sistem perencanaan”
memperoleh kekuasaan ekonomi yang sangat besar,
dan mempunyai kekuatan untuk mengontrol harga,
mempunyai sumber-sumber untuk membentuk
opini publik, serta dapat mempengaruhi proses
politik demi keuntungannya. Sebaliknya,
perusahaan kecil akan selalu menjadi korban dari
kekuatan pasar (Pressman, 2000).
1459
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Menurut Galbraith (dalam Pressman,
2000), kekuatan antara perusahaan besar dan
perusahaan kecil (UKM) harus dibuat lebih
seimbang. Pendapatan harus didistribusikan dari
sistem perencanaan kepada UKM. Di antara
kebijakan pemerintah yang diperlukan adalah
dukungan untuk usaha skala kecil (UKM).
Dalam kasus Indonesia, beberapa ekonom,
seperti Prof. Soemitro, sejak 1950-an, mengatakan
bahwa proses pembangunan ekonomi bangsa
harus merupakan pembebasan dari belenggu
kekuatan yang dapat menghambat kemajuan
perekonomian rakyat banyak (Deliarnoiv, 2006).
Sebagaimana kita ketahui, di antara aktivitas
perekonomian yang melibatkan orang banyak
tersebut adalah UKM. Hal ini tampak dengan jelas
dari hasil sensus ekonomi nasional BPS Tahun
2006, UMKM adalah kelompok ekonomi yang
paling banyak dilakukan oleh rakyat Indonesia.
Dalam buku “Persoalan ekonomi di
Indonesia” (1953), Sumitro juga memperingatkan;
jika kegiatan partikelir tidak bertentangan dengan
asas-asas yang pokok, maka, merupakan tugas
pemerintah untuk memberi bimbingan, bantuan,
dan petunjuk kepada inisiatif partikelir. Selanjutnya,
Prof. Sumitro dalam bukunya “Indonesia dalam
Perkembangan Dunia”, Kini dan Masa Depan
(1976), mengatakan; peran, dan campur tangan
pemerintah harus dilakukan sewajarnya saja.
Dalam masyarakat negara berkembang, negara
dan pemerintah harus mengambil peranan
utama dalam pembangunan masyarakat secara
menyeluruh. Akan tetapi, ha itu tidak berarti bahwa
pemerintah harus campur tangan secara langsung
dalam segala ragam kegiatan ekonomi melalui
berbagai macam peraturan, sebab, cara seperti itu
dapat menimbulkan “ekonomi perizinan” yang
akibatnya dapat mengekang kegiatan ekonomi
masyarakat (Deliarnoiv, 2006).
Menurut Swasono (2009), pembangunan
ekonomi nasional, harus merupakan pembangunan
ekonomi kerakyatan, tegasnya, dalam ekonomi
nasional pemerintah harus memiliki keberpihakan;
yaitu adanya kemauan politik pemerintah yang
kuat terhadap pembangunan sektor ekonomi yang
dilakukan oleh mayoritas rakyat Indonesia. Dalam
hal ini UKM dan Koperasi seharusnya menjadi
sasaran utama pembangunan di Indonesia.
Bagaimana UKM sebagai sektor riil telah
JURNAL POLITIK
menjadi bagian reformasi ekonomi Indonesia?
Menurut Sri Adiningsih (dalam Hidayat, 2010);
meski banyak yang sudah berubah dalam satu
dekade ini, setelah reformasi dan satu abad setelah
kebangkitan nasional, namun, masalah ekonomi
yang dihadapi Indonesia masih tetap sama;
yaitu kemiskinan dan keterbelakangan. Hal ini
mengindikasikan, meski reformasi ekonomi sudah
diluncurkan sejak 10 tahun yang lalu, namun
sampai sekarang masih belum selesai. Konsolidasi
perbankan masih berlangsung, demikian juga
reformasi fiskal dan birokrasi.
Pemikiran Sri Adiningsih mengisyaratkan,
pemberdayaan UKM yang memiliki salah satu
tujuan untuk pengentasan kemiskinan belum
berhasil, akibat belum selesainya konsolidasi
perbankan dan kebijakan fiskal, sehingga
cenderung kurang memiliki sikap dan keberpihakan
yang jelas terhadap UKM. Sementara, reformasi
birokrasi yang belum tuntas juga menunjukkan
bahwa aktor terkait belum memiliki maksud dan
tujuan yang sama dengan pemberdayaan UKM.
Untuk melihat kebijakan pembangunan
nasional, menurut Syarif Hidayat (2009), kita
perlu melihat benang merah antara mekanisme
rancangan awal perencanaan pembangunan
nasional dengan realisasi program, termasuk
kebijakan pemberdayaan UKM. Menurut Matsui
(dalam Hidayat, 2009), telah terjadi “pergeseran”
sistem perencanaan pembangunan pada tingkat
nasional, sebagai konsekuensi dari diterapkannya
Pemilihan Presiden secara langsung, sehingga
sistem perencanaan pembangunan nasional
pun tidak lagi sepenuhnya merujuk pada pola
dasar pembangunan nasional sebagaimana yang
dilakukan pada periode sebelumnya, melainkan
diturunkan dari visi dan misi Presiden dan Wakil
Presiden terpilih. Logikanya cukup sederhana,
karena, Presiden dan Wakil dipilih langsung oleh
rakyat, sehingga secara otomatis visi dan misi
yang mereka miliki telah mendapat legitimasi
sebagai visi dan misi negara --- kendati dalam
proses penyusunannya, visi dan misi tersebut lebih
merupakan hasil kerja Tim Sukses Presiden dan
Wakil Presiden terpilih ketika Pilpres berlangsung.
Selanjutnya, menurut Syarif Hidayat
(2009), terlepas dari sejumlah kelemahan yang
dimiliki, visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden
tersebut kemudian dijadikan “landasan berpijak”
1460
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
sistem perencanaan pembangunan nasional.
Mekanisme penyusunan rencana pembangunan
yang sama, tentunya, juga berlaku pada tingkat
pemerintahan daerah sebagai konsekuensi dari
diterapkannya sistem pilkada secara langsung.
Dalam melihat pemberdayaan UKM
nasional, Syarif Hidayat (2009), menyampaikan
pentingnya untuk melihat cara pembuatan
rancangan pembangunan saat ini, setelah
diterapkannya sistem pemilihan langsung Presiden
dan Kepala Daerah, yang dalam praktiknya,
telah memiliki visi dan misi yang dijadikan
sebagai bahan rujukan rancangan pembangunan.
Model kebijakan seperti di atas, terkesan, sejak
perancangannya, kurang melibatkan partisipasi
maksimal masyarakat dan seolah hanya
berlandaskan dari visi dan misi Presiden terpilih.
2. Konsep Pemberdayaan
Demokratisasi dan semangat civil society
telah memberikan tempat yang lebih luas kepada
masyarakat dalam menyalurkan aspirasi dan
kebutuhannya terhadap kebijakan pembangunan
nasional. Dalam konteks ini, pemberdayaan
masyarakat perlu mendapatkan prioritas dalam
kebijakan pembangunan. Dengan demikian,
kebijakan pembangunan nasional tidak hanya
menjadi alat acuan memaksa yang menjamin
adanya kesempatan yang sama bagi setiap
orang, namun, juga memberikan ruang publik
bagi pemberdayaan masyarakat sejak mulai
perancangan sampai implementasinya di lapangan.
Ketidakberdayaan sekelompok masyarakat
telah menjadi wacana akademis yang cukup
hangat pada dasawarsa ini. Kelompok-kelompok
tertentu yang mengalami diskriminasi dalam
suatu masyarakat, seperti kelas ekonomi kecil,
minoritas etnis, wanita, penyandang cacat dan
sebagainya, adalah orang-orang yang mengalami
ketidakberdayaan tersebut. Menurut Berger dan
Nenhaus (dalam Munandar, 2008), strukturstruktur penghubung (mediating-structures) yang
memungkinkan kelompok lemah mengekspresikan
aspirasi dan menunjukkan kemampuannya
terhadap lingkungan sosial yang lebih luas, kini
cenderung melemah.
Arus modernisasi dan industrialisasi
yang melahirkan spesialisasi profesi, menurut
Aris Munandar (2008), cenderung menjadikan
JURNAL POLITIK
struktur ikatan sosial masyarakat semakin lemah.
Relasi sosial antara komunitas masyarakat
lemah dengan masyarakat luas, organisasi sosial,
lembaga keagamaan, lembaga keluarga, yang
secara tradisional merupakan lembaga alamiah
yang dapat memberikan solusi dan pemenuhan
anggotanya, perannya cenderung semakin lemah.
Oleh karena itu, sering kali implementasi sistem
ekonomi dalam pembangunan proyek-proyek
fisik, selain mampu meningkatkan kualitas
hidup sekelompok orang, tidak jarang malah
memarginalkan kelompok-kelompok tertentu
dalam masyarakat.
Menurut Sennet Cabb dan Conway
(dalam Munandar, 2008), ketidakberdayaan
disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya
adalah ketiadaan jaminan ekonomi, ketiadaan
pengalaman dalam arena politik, ketiadaan akses
terhadap informasi, ketiadaan dukungan finansial,
ketiadaan pelatihan-pelatihan, dan adanya
ketegangan fisik maupun emosional. Sejatinya,
pemberdayaan (Empowerment), dapat diartikan
sebagai pemberian atau peningkatan kekuasaan
(power) kepada masyarakat yang lemah atau
tidak beruntung (disadvantage). Jim Ife (dalam
Munandar, 2008), menyatakan pemberdayaan
menunjuk pada usaha realokasi kekuasaan
melalui pengubahan struktur sosial. Swift dan
Levin (dalam Munandar, 2008), juga menyatakan
pemberdayaan adalah suatu cara sehingga rakyat,
organisasi, dan komunitas dapat diarahkan agar
mampu menguasai kehidupannya.
Selanjutnya, menurut Darwin SB (2003),
untuk keberhasilan pemberdayaan UKM di
Indonesia, maka, dianggap perlu adanya perbaikan
dan penyesuaian model-model pemberdayaan
UKM dari sumber aslinya. Sebab, walau berhasil
diterapkan di negara asalnya, namun, belum tentu
secara sosial ekonomi sesuai dengan kondisi
Indonesia. Sehingga, kemungkinan kegagalan pun
bakal terjadi. Adapun, salah satu di antara model
pemberdayaan UKM yang telah disesuaikan
adalah Iptekda LIPI.
Berdasarkan hal itu, maka, dirasakan
penting untuk mengkaji dan menyebarluaskan
model-model pemberdayaan UKM yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Model-model
yang dianggap perlu melakukan penyesuaian dalam
implementasinya, antara lain; Model Gramen
1461
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Bank, Model inkubator, Model Community Base
Development, Model modal ventura, dan Model
Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) (Darwin SB, 2003).
Pada penelitian Anas Saidi dkk (2000),
ternyata, masalah krisis dan penyelesaian
permasalahan UKM tidak seluruhnya berkaitan
dengan economic capital, tetapi juga dengan
social and cultural capital. Dengan kata lain,
ada berbagai parameter nonekonomi yang perlu
terlibat dalam upaya menyelesaikan krisis yang
dihadapi UKM. Beberapa penelitian tersebut
telah memetakan relasi antara faktor ekonomi dan
perilaku masyarakat serta kebudayaan terhadap
perilaku ekonomi. Namun, hal tersebut juga
belum memetakan relasi kepentingan antara para
aktor dalam pemberdayaan UKM.
Dengan menyimak beberapa konsep
seperti di atas dan kenyataan UKM sekarang
masih lemah dalam berbagai hal, ditengarai,
satu di antara faktor penyebab yang memiliki
pengaruh signifikan terhadap kondisi tersebut
adalah adanya konsistensi kepentingan para aktor.
Seperti
yang
telah
dikemukakan
sebelumnya, fokus utama penelitian ini adalah
mengkaji interkorelasi antara praktik rent-seeking
dan masalah kegagalan pemberdayaan UKM
serta implikasinya. Walau tidak dapat dipungkiri,
memang agak sulit untuk memisahkan secara
nyata antara kepentingan negara dan para aktor,
terutama dari kalangan para politisi dan birokrat.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini, perlu adanya
dukungan data dan model analisa yang tepat.
Secara singkat, relasi kepentingan antara
aktor dalam pemberdayaan UKM tersebut dapat
di ilustrasikan pada gambar 1, yaitu (1) tingkat
pusat, pelaksanaan pemberdayaan UKM oleh
Kementrian K-UKM, dan lembaga lain yang
terkait; (2) tingkat daerah Kabupaten-Kota,
pelaksanaan pemberdayaan oleh Dinas terkait;
dan (3) lembaga swasta, pemberdayaan UKM oleh
usaha besar, misalnya melalui program CSR atau
Commdev. Ilustrasi gambar relasi kepentingan
tersebut sebagaimana yang ditunjukkan pada
gambar berikut.
Apakah kebijakan pemberdayaan UKM
telah menjadi bagian dari kepentingan
jangka pendek (ekonomi dan politik)?
Dan apa implikasi dari kecenderungan
itu? Untuk menjawab kedua pertanyaan
tersebut, maka, perlu dipetakan terlebih
dahulu relasi kepentingan para aktor
dalam kebijakan pemberdayaan UKM
berdasarkan perspektif ekonomi politik.
Pemberdayaan UKM di Cilegon
Sejauh mana relevansi perspektif
ekonomi politik untuk dijadikan alat
bantu analisa dalam menjelaskan interkorelasi
antara program pemberdayaan UKM
dan
kenyataan UKM saat ini? Dengan asumsi dasar
pembangunan ekonomi dengan karakteristik dan
sistem politik Indonesia era Reformasi, maka,
penulis meyakini bahwa perspektif neo-classical
political economy sangat relevan untuk dijadikan
sebagai alat bantu analisa dalam menjelaskan
masalah pokok penelitian ini. Alasan utamanya
adalah, fokus kajian dari perspektif neo-classical
political economy lebih mampu memahami dan
menjelaskan perilaku dari State dan Society Actor
dalam mekanisme pemberdayaan UKM.
JURNAL POLITIK
Para aktor tersebut dapat dikelompokkan
menjadi; Birokrat pemerintah pusat, Birokrat
pemerintah daerah, dan aktor dari lembaga swasta
(perusahaan besar, TNC dan MNC).
Gambar tersebut, juga menjelaskan,
sedikitnya terdapat tiga (3) relasi dan dua variabel
utama yang saling mempengaruhi dalam program
pemberdayaan UKM, yang secara relatif telah
mencerminkan (atau sebaliknya) kebutuhan riil
pemasalahan UKM di lapangan. Selanjutnya, tiga
relasi yang dimaksud dapat dijelaskan sebagai
berikut;
Relasi a. Mengilustrasikan hubungan
1462
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
dalam pemberdayaan UKM. Untuk memahami
dan menganalisis hal ini akan digunakan model
analisis rent-seeking bureaucrat.
Relasi b. Mengilustrasikan hubungan antara
pemerintah daerah dan perusahaan besar (MNC,
TNC) dalam pemberdayaan UKM, untuk
memahami dan menganalisis hal ini, akan
digunakan model analisis rent-seeking Bureaucrat
dan rent-seeking society. Selanjutnya relasi c.
Mengilustrasikan hubungan antara perusahaan
besar dan pemerintah pusat dalam pemberdayaan
UKM. Untuk memahami dan menganalisis hal
ini akan digunakan model analisis rent-seeking
society dan rent seeking bureaucrat.
Gambar Proses Pemberdayaan UKM & Relasi
Kepentingan
Pada tiga relasi tersebut, selalu eksis dua
variabel, yaitu; pertama, variabel yang bersifat
eksplisit berupa kepentingan publik tentang
kebijakan pemberdayaan, seperti kemampuan
permodalan, produksi, dan pemasaran. Variabel
kedua adalah yang dapat mempengaruhi efektivitas
dan realibilitas program; yaitu variabel yang
bersifat implisit, berupa kepentingan ekonomipolitik individual dari para aktor.
Kedua variabel ini diasumsikan berlaku
sama pada tiap unit, dan digunakan untuk
melihat variabel eksplisit dalam kebijakan UKM.
Rujukan yang digunakan adalah UU RI. No 20
Tahun 2008 tentang UMKM, Keppres RI. No.
85 Tahun 2006 dan Perpres RI. No. 54 Tahun
2010, tentang pelaksanaan pengadaan barang
dan jasa proyek pemerintah yang mewajibkan
kegiatan pemberdayaan UKM. Dalam studi kasus
penelitian ini, juga akan digunakan Perda Kota
Cilegon tentang pemberdayaan UKM, Permen
Kominfo RI. No. 2 Tahun 2008 dan Perwalikota
Cilegon No. 8 Tahun 2008 Tentang PPPMBT
Cilegon.
Secara keseluruhan, substansi penelitian
ini difokuskan pada pola interaksi kedua variabel
tersebut di atas yang berisi kepentingan eksplisit
dan implisit dalam kebijakan pemberdayaan
UKM serta implikasinya terhadap UKM. Dengan
melakukan eksplorasi dan analisis terhadap relasi
kepentingan tersebut, diharapkan hasil akhir dari
penelitian ini akan mampu menyodorkan konsep
JURNAL POLITIK
pemberdayaan UKM dari perspektif ekonomi
politik yang sesuai dengan kondisi riil masa depan
di lapangan.
Sejalan dengan tiga rumusan masalah
penelitian di atas, telah dirancang “alur pikir”
penelitian sebagaimana divisualisasikan dalam
diagram 1. Dan pada tahap awal, yang akan
dilakukan adalah mengidentifikasi varibel yang
terkait pemberdayaan UKM. Variabel yang akan
menjadi fokus penelitian ini berjumlah 2 (dua)
buah; yaitu variabel eksplisit dan variabel implisit.
Selanjutnya, definisi dari UKM yang dimaksud
mengacu pada Undang-Undang RI. No.20 Tahun
2008 Tentang UMKM. Dalam Bab I (Ketentuan
UMUM), Pasal 1, bahwa :
Usaha Mikro adalah usaha produktif
milik orang perorangan dan atau badan
usaha perorangan yang memenuhi
kriteria usaha mikro sebagaimana diatur
dalam UU tersebut. Usaha Kecil adalah
usaha ekonomi produktif yang berdiri
sendiri, yang dilakukan oleh orang
perorangan atau badan usaha yang
bukan merupakan anak perusahaan
atau bukan cabang perusahaan yang
dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian,
baik langsung maupun tidak langsung
dari usaha menengah atau usaha besar
yang memenuhi kriteria usaha kecil
sebagaimana dimaksud dalam UU
tersebut. Sedangkan Usaha Menengah
adalah usaha ekonomi produktif yang
berdiri sendiri, yang dilakukan oleh
orang perorangan atau badan usaha yang
bukan merupakan anak perusahaan atau
bukan cabang perusahaan yang dimiliki,
dikuasai, atau menjadi bagian, baik
langsung maupun tidak langsung, dari
usaha mikro, usaha kecil, atau usaha
besar yang memenuhi kriteria usaha
menengah sebagaimana dimaksud
dalam UU tersebut.
1463
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
pemerintah seperti Kementrian Perindustrian
RI dan Badan Pusat Statistik (BPS), juga
menggunakan jumlah pekerja sebagai ukuran
untuk membedakan skala usaha antara usaha
mikro, usaha kecil dan usaha menengah.
Menurut BPS, usaha mikro (disebut juga
industri rumah tangga) adalah unit usaha
dengan jumlah pekerja tetap hingga 4 orang,
usaha kecil 5 hingga 19 pekerja, dan usaha
menengah dari 20 sampai dengan 99 orang.
Perusahaan dengan jumlah pekerja di atas 99
orang masuk dalam kategori usaha besar.
1. Kebijakan Pemberdayaan UKM di
Cilegon
Pemberdayaan UKM pada era Orde
Baru, memiliki tujuan eksplisit, antara lain
pemberdayaan UKM melalui kebijakan
pembangunan
dengan
meningkatkan
keterkaitan antara sektor industri dan pertanian,
dan peningkatan kualitas SDM. Pemberdayaan
ekonomi kerakyatan ini nampak melalui
Diagram Alur Pikir Penelitian
Dalam UU tersebut, kriteria yang
digunakan untuk mendefinisikan UMKM seperti
yang tercantum dalam pasal 6, bahwa :
Nilai kekayaan bersih atau nilai aset
tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha, atau hasil penjualan
tahunan. Dengan kriteria ini menurut
UU tersebut, Usaha mikro adalah
unit usaha yang memiliki nilai aset
paling banyak Rp 50 Juta atau hasil
penjualan tahunan maksimal Rp 300
juta; Usaha kecil dengan aset lebih dari
Rp 50 juta sampai dengan maksimal
Rp 500 juta atau memiliki omzet
tahunan lebih dari Rp 300 juta hingga
maksimum Rp 2,5 miliar; dan Usaha
menengah adalah perusahaan dengan
aset bersih lebih dari Rp 500 juta
hingga maksimum Rp 10 miliar atau
memiliki omzet penjualan tahunan di
atas Rp 2,5 miliar sampai maksimal
Rp 50 miliar.
Selain menggunakan nilai moneter
sebagai kriteria, selama ini, sejumlah lembaga
JURNAL POLITIK
berbagai program untuk UKM, seperti : skim
kredit KIK dan KMKP, dan program bantuan
teknis melalui BIPIK Departemen Perindustrian
RI, dan program lain yang dilakukan oleh lembaga
swasta. Pada periode ini, komitmen pemerintah
lebih jelas dengan ditetapkannya UU RI No: 5
tahun 1995 Tentang Usaha Kecil.
Di Cilegon, tujuan eksplisit pemberdayaan
UKM mengikuti apa yang menjadi tujuan eksplisit
pemerintah pusat. Namun pada era reformasi,
tujuan eksplisit pemberdayaan UKM di Cilegon,
selain sesuai dengan RKP pusat, juga lebih
difokuskan pada upaya pengentasan kemiskinan
dan mengurangi pengangguran. Kegiatan
pemberdayaan UKM dilaksanakan bersama
pemerintah pusat dan lembaga swasta dari industri
besar yang ada di wilayah Cilegon.
Merujuk laporan akhir tahun Kota Cilegon
sampai 2010, tentang program pemberdayaan
UKM yang cukup penting dan pernah dilaksanakan
di Cilegon, sejak 1999, antara lain aspek :
Keterampilan SDM, pemasaran, permodalan, dan
bantuan peralatan dari Pemerintah pusat melalui
program PUAP Dep. Pertanian RI, dan program
PNPM dari Dep. Kelautan dan Perikanan RI.
Beberapa program tersebut yang dilaksanakan
berdasarkan sumber anggaran APBD Kota
1464
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Cilegon, antara lain : Pelatihan bisnis, Tahun
Anggaran (TA) 2005, Pameran produk unggulan
TA 2006, Pemetaan potensi UKM di Cilegon TA
2007, Pelatihan manajemen keuangan TA 2008,
Peningkatan jaringan usaha dan sertifikasi aset
UMKM TA 2009, dan program Review database
UMKM Cilegon TA 2010.
Pemberdayaan UMKM di Cilegon, selama
ini, dilaksanakan oleh Pemkot Cilegon melalui
bidang K-UKM Dinas Perindag, program kerja
sama dengan Pemerintah pusat, Lembaga Swasta
dan Asosiasi Perusahaan; di antaranya melalui
CSR dan PKBL industri besar swasta dan BUMN.
2. Program PPPMBT dan Pembangunan
Menara Grup PI: Kepentingan Eksplisit
VS Kepentingan Implisist.
Kenyataan bahwa praktik rent-seeking
di balik PPPMBT, seperti diuraikan di atas,
menunjukkan bahwa kegiatan pemberdayaan
UKM dalam PPPMBT telah diwarnai sejumlah
kepentingan implisit. Meski kebijakan PPPMBT
tersebut memiliki tujuan publik terkait Keppres RI.
No. 85 Tahun 2006, yang kini diperkuat melalui
Perpres RI. No. 54 Tahun 2010, namun, secara
implisit, di balik PPPMBT terdapat sejumlah
kepentingan para elit yang pada prinsipnya adalah
seeking economic ends. Di antaranya, Grup PI
mendapatkan persetujuan pembangunan menara
oleh PT. MSI, sementara, birokrat pelaksana
kebijakan mendapatkan sejumlah “fee” dan
komisi dari pihak Grup PI. Hasil studi kasus,
mengindikasikan, sedikitnya ada lima modus
operandi yang dilakukan oleh para elit.
Modus pertama, adalah memaksimalkan
peluang mendapatkan biaya koordinasi antar
instansi terkait dalam operasional Tim gabungan
PPPMBT. Praktik rent-seeking ini lebih banyak
dilakukan oleh para elit jajaran menengah bawah
sebagai pelaksana operasional. Modus ke dua;
memaksimalkan peluang mendapatkan bagian
dari biaya operasional dan sosialisasi PPPMBT.
Praktik rent-seeking ini dilakukan oleh elit jajaran
menengah. Modus ketiga; dilakukan dengan cara
memanipulasi Master Plan dan atau Cell Plan
menara di Cilegon, sehingga dapat menjadi alat
negosiasi bagi elit untuk mendapatkan keuntungan
pribadi. Praktik ini utamanya dilakukan oleh elit
menengah atas.
JURNAL POLITIK
Modus keempat; dilakukan oleh elit dengan
cara KKN pada pelaksanaan pembangunan
konstruksi menara BTS. Tegasnya, elit “menunjuk”
dan menyetujui Kontraktor Usaha Besar (UB) PT.
MSI sebagai pelaksana, sehingga usaha menara
jadi monopoli perusahaan besar. Praktik ini jelas
bertentangan dengan maksud dan tujuan dari UU
RI. No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
dengan UU RI. No. 18 tahun 1999, Tentang
Jasa Konstruksi, dan dengan Perpres RI. No. 54
Tahun 2010, bahwa seharusnya dalam PPPMBT,
pembangunan menara BTS dilaksanakan dengan
memberdayakan UKM dan Koperasi Kecil
di lingkungan setempat (perusahaan lokal),
yaitu UKM atau Koperasi kecil jasa konstruksi
setempat serta menggunakan barang lokal untuk
pembangunan ekonomi di daerah tersebut.
Modus kelima, hampir serupa dengan
modus ketiga namun berbeda aktor; yakni lewat
otoritas pejabat teras Pemkot Cilegon untuk
memperlancar perizinan dan mendapatkan konsesi
titik pembangunan menara BTS sesuai dengan
Master Plan menara di Cilegon. Modus ini
dilakukan oleh elit jajaran atas di Pemkot Cilegon,
di antaranya salah satu birokrat senior Biro
Hukum Pemkot Cilegon yang memiliki sejumlah
titik lokasi menara BTS lengkap dengan perizinan
dan kelayakan teknisnya yang siap untuk dijual
kepada perusahaan jasa menara telekomunikasi.
Praktik-praktik rent-seeking melalui modus
di atas, tentu sangat erat hubungannya dengan
pola aliansi dan hubungan antara penguasa dan
pengusaha sebagaimana paparan di bawah ini;
Pola Organisational Corporatism, hal ini
dapat terlihat ketika para pengusaha putra daerah
berjuang untuk mendapatkan kesempatan dalam
bisnis menara BTS, dengan berupaya menembus
aliansi antara Re dengan Grup PI. Perjuangannya
dilakukan melalui KADIN, Gapensi, Aspekindo,
maupun Paguyuban Pengusaha Putra Daerah.
Lobi-lobi pengusaha daerah terhadap Re, meski
tidak berhasil, namun pengusaha daerah Cilegon
mendapatkan garapan beberapa menara di luar
grup PI, di antaranya milik PT. Indonesia Tower.
Pola Individual Trianggel Alliance, dalam
PPPMBT Cilegon dengan menara milik grup
PI; di sini, pimpinan perusahaan Grup PI
memiliki akses langsung terhadap salah satu
1465
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Pejabat Dinas Tata Kota yang bertindak sebagai
patron dan Pimpinan Grup PI bertindak sebagai
client. Dalam kapasitasnya sebagai patron dan
client, keduanya berkolaborasi (KKN) untuk
mewujudkan kepentingan masing-masing dalam
rangka mendapatkan keuntungan ekonomi jangka
pendek; dengan cara, menetapkan kontraktor
menara Grup PI adalah PT. MSI dari grup PI
sendiri. Kenyataan tersebut jelas berdampak
pada UKM jasa konstruksi di Cilegon menjadi
kehilangan kesempatan untuk berusaha dan alih
teknologi.
3. Generalisasi dan Refleksi Teoritis
Pembahasan pada bagian ini diharapkan
dapat menjelaskan realitas yang terjadi dalam
kebijakan pemberdayaan UKM pada tingkat
nasional, regional (Cilegon), dan dalam studi kasus
PPPMBT di Kota Cilegon sejak Orde Lama, Orde
Baru, dan Orde Reformasi. Lebih spesifiknya,
penulis akan melakukan generalisasi tentang apa
yang dapat disimpulkan dari temuan penelitian
ini. Pertama, kebijakan pemberdayaan UKM yang
dilaksanakan oleh pemerintah sejak Orde Lama
sampai Orde Reformasi pada penelitian lapangan
di Kota Cilegon; walau kebijakan pemberdayaan
UKM berjalan, namun tidak luput dari berbagai
kepentingan implisit yang secara umum memiliki
karakteristik dominan yang sama; yaitu seeking
economic end. Fenomena rent-seeking ini
merupakan dampak yang tidak dapat terhindarkan
dari perilaku aktor yang terkait dalam pelaksanaan
kebijakan.
Sedang pada kebijakan pemberdayaan UKM
era reformasi; di balik kebijakan pemberdayaan
UKM, akan tetapi tidak luput dari kepentingan
implisit para aktor yang memiliki karakteristik
hampir sama dengan periode sebelumnya; seeking
economic end.
Pemberdayaan UKM di Cilegon yang
bersifat Top-down, selain tidak sesuai dengan
kebutuhan riil UKM di lapangan juga tidak
berkesinambungan, karena, tidak adanya program
bersama yang terintegrasi antara Pemerintah
Pusat dengan Pemkot Cilegon, dan lembagalembaga swasta. Namun demikian, sesuai temuan
di lapangan; program Pemerintah Pusat dan
Pemkot Cilegon, serta Pemkot Cilegon dengan
lembaga-lembaga swasta, meski bentuknya
JURNAL POLITIK
hanya sedemikian, namun, pemberdayaan UKM
dapat berjalan karena terdapat sejumlah peluang
yang dapat dimanfaatkan oleh para elit dalam
sebagai bentuk kepentingan implisit; yakni berupa
keuntungan ekonomi (fee-komisi) proyek.
Selaras dengan itu, program pemberdayaan
UKM yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat
dan lembaga-lembaga swasta melalui pelaksanaan
program PKBL dan CSR, juga dengan sarat
kepentingan implisit --- dan tidak sesuai dengan
tujuan kepentingan publik sebagaimana tertulis
dalam Keppres RI. No.85 Tahun 2006, dan
kini diperkuat dalam Perpres RI. No.54 Tahun
2010, Bab VIII, Pasal 100, tentang kewajiban
pemberdayaan UKM dan koperasi kecil.
Secara tegas dapat dikatakan bahwa
pemberdayaan UKM secara umum di Cilegon
baru sampai pada tingkat wacana pemberdayaan;
hal ini tampak pada pelaksanaan CSR-PKBL
nampak lebih bersifat Charity, sporadis, dan tidak
berkesinambungan. Padahal, meski program ini
belum memiliki manfaat optimal bagi UKM di
Cilegon, akan tetapi, pemberdayaan dapat berjalan
karena di dalamnya terdapat kepentingan implisit,
atau sejumlah peluang dalam bentuk “komisi”
kegiatan.
Kedua, faktor yang mempengaruhi tidak
efektifnya program pemberdayaan UKM melalui
PPPMBT di Cilegon, baik yang dilakukan oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Kota Cilegon,
maupun oleh Lembaga Swasta; antara lain
kegiatan PPPMBT lebih di dasarkan atas hitunghitungan proyek, sehingga pemberdayaan
UKM tidak berjalan. Karena, fakta di lapangan
menunjukkan, di balik program PPPMBT penuh
dengan “kepentingan implisit”.
Ketiga, implikasi praktik rent-seeking
yang dilakukan oleh para elit Pemerintah Pusat,
elit lokal Pemkot Cilegon, dan elit Perusahaan
Swasta besar; di antaranya Grup PI, PT. MSI,
dan Asosiasi Perusahaan, telah melahirkan
ketimpangan dan kegagalan pemberdayaan UKM
dalam kebijakan PPPMBT, khususnya bagi UKM
jasa konstruksi di Cilegon. Bentuk ketimpangan
yang terjadi merupakan pelanggaran terhadap
amanat Keppres RI No.85/2006 dan Perpres RI
No.54 /2010. Akibatnya, secara internal, sampai
saat ini, keberadaan UKM jasa konstruksi di
Cilegon belum mampu mandiri dalam hal : akses
1466
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
pasar, akses bahan baku, akses permodalan, dan
promosi. Sementara, secara eksternal belum
mampu keluar dari kesulitan akibat “di belit”
kepentingan implisit para elit.
Dengan kata lain, praktik rent-seeking
yang terjadi merupakan salah satu faktor penting
bagi kegagalan pemberdayaan UKM, khususnya
PPPMBT. UKM tetap dalam posisi yang lemah
untuk memperoleh kesempatan usaha di tengah
maraknya pertumbuhan industri besar saat
ini. Sehingga cukup alasan bagi penulis untuk
mengajukan proposisi umum;
Implementasi kebijakan pemberdayaan
UKM pada tingkat nasional, regional, dan
dalam PPPMBT, baik oleh Pemerintah
Pusat, Pemkot Cilegon, dan Lembaga
Swasta yang dilaksanakan sejak Orde
Baru sampai Orde Reformasi, baru
berhasil sampai tingkat pelaksanaan
program saja, belum menyentuh faktor
substansial; kebutuhan riil UKM di
lapangan.
Merujuk pada teori perspektif ekonomi
politik neo-klasik, sejatinya, apa yang terjadi
di balik kebijakan pemberdayaan UKM tingkat
nasional, regional, dan dalam kasus PPPMBT,
pada periode Orde Lama, Orde Baru, dan Orde
Reformasi, sebagaimana disebutkan dalam ketiga
butir simpulan di atas, bahwa :
Butir-butir
simpulan
penelitian
ini
mendukung teori yang di sebutkan oleh Grindle
, para pembuat kebijakan dan penyelenggara
pemerintahan lainnya merupakan bagian dari rent
seeker. Mengingat, dalam kebijakan pemberdayaan
UKM, para birokrat dan aktor swasta tertentu
adalah kumpulan dari para pemburu rente (rent
seeker groups), yang dimotivasi oleh keinginan
untuk akumulasi keuntungan ekonomi dan
politik jangka pendek, ketimbang mewujudkan
UKM yang tangguh dan mandiri sebagai upaya
pencapaian the wealth of the nation.
Ketiga butir simpulan di atas juga
mendukung teori The Exchange of Wealth
(John S. Mill, 1874); setidaknya terdapat dua
prasyarat terjadinya pertukaran wealth, pertama
dan yang penting adalah “nilai komoditi” untuk
dipertukarkan. Kedua, adalah sarana atau alat
tukar, artinya pertukaran komoditi akan terjadi
JURNAL POLITIK
apabila ada “media” yang dapat dijadikan alat
tukar universal.
Dengan demikian, perilaku para birokrat
tingkat pusat, daerah, maupun aktor swasta
yang terlibat dalam pemberdayaan UKM yang
tersebut di atas dapat memperjelas Exchange
Theory (Gindle, 1977), untuk memahami dan
menjelaskan perilaku birokrat dan politisi; bahwa
reward (ganjaran) diharapkan atau tidak, akan
menjadi varibel penting yang mempengaruhi
interaksi setiap individu. Dalam interaksinya,
setiap individu selalu dimotivasi oleh harapan
“keuntungan” dan kalkulasi atas “biaya” yang
dikeluarkannya. Selanjutnya, pertukaran akan
terjadi ketika seorang individu membutuhkan
sumber daya yang tidak dimilikinya, demikian
juga pada konteks organisasi, setiap individu
akan dimotivasi oleh keinginan akumulasi sumber
daya yang tidak dimiliki atau yang dikontrol oleh
organisasi lain untuk mendukung tujuan kolektif
maupun tujuan individu. Dalam hal ini, secara
formal maupun informal, para birokrat pusat,
daerah dan aktor swasta terlibat dalam jaringan
exchange relationship.
Selanjutnya menurut Grindle (dalam
Hidayat, 2001), untuk mencapai berbagai tujuan
individu, maka, para birokrat dan aktor swasta,
cenderung untuk memaksimalkan sumber daya
yang dimiliki langsung (uang, informasi, dan
otoritas) dan sumber daya tidak langsung (barang
dan jasa) yang dimanipulasi sebagai alat tukar
dan negosiasi untuk mendapatkan sumber daya
yang dikontrol oleh pihak lain. Dalam konteks
pemberdayaan UKM di Cilegon, perilaku birokrat
seperti yang disebutkan Grandle (1989), yaitu
rent-seeking bureaucrats, juga dinyatakan
oleh Mauzelis (dalam Hidayat, 2001) dalam
Bureaucratic Behaviouur Theory, bahwa ;
Birokrat harus dipandang sebagai
makhluk yang memiliki emosi, tata
nilai, dan tujuan individu yang tidak
selamanya sesuai dengan tujuan
organisasinya. Tidak dapat dihindari,
kepentingan individu birokrat akan
mempengaruhi struktur, mekanisme,
dan fungsi birokrasi itu sendiri.
Selaras dengan itu, meminjam Grindle
(dalam Hidayat, 2001), secara umum, kepentingan
1467
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
individu birokrasi adalah akumulasi keuntungan
ekonomi jangka pendek, namun dalam banyak
kasus, birokrat juga berkepentingan terhadap
peningkatan atau paling tidak mempertahankan
kedudukan yang dimilikinya. Untuk kepentingan
ini, birokrat cenderung memaksimalkan sumber
daya yang dimilikinya sebagai alat negosiasi.
Sementara, perilaku aktor swasta di balik
pemberdayaan UKM di Cilegon, juga seperti apa
yang disebutkan oleh Grindle (dalam Hidayat,
2001), yaitu praktik Rent-Seeking Society, dengan
argumen dasar sebagai berikut;
Individu adalah makhluk rasional,
oleh karena itu akan berusaha
memaksimalkan sumber daya yang
dimiliki untuk akumulasi Wealth,
konsekuensinya adalah, tiap individu
akan memanfaatkan interaksi sosial
ekonomi dan politik untuk pencapaian
kepentingannya. Pada gilirannya, yang
sulit dihindari, bila individu cenderung
memanfaatkan penyelenggara negara
untuk kepentingannya.
Secara umum, ketiga butir simpulan di
atas mendukung teori-teori ekonomi politik neoklasik, sedang secara khusus temuan penelitian
ini menyatakan bahwa “kelemahan UKM” telah
dijadikan komoditi sebagai exchange value (nilai
tukar) oleh para aktor, yang pada kenyataannya
disertai dengan kepentingan ekonomi-politik
individual jangka pendek. Setidaknya, ada dua
peluang yang dipergunakan oleh para aktor di
balik pemberdayaan UKM, pertama; “lemahnya
UKM” telah dijadikan “nilai komoditi” untuk
dipertukarkan. Kedua, APBN, APBD, dan CSR
yang menjadi sumber pembiayaan telah dijadikan
media atau sarana alat tukar.
Selaras dengan itu, terjadi perkembangan
bentuk kepentingan dan aktor baru yang menyertai
pemberdayaan UKM secara umum. Pertama,
bentuk kepentingan implisit yang menyertai
pemberdayaan UKM tidak hanya dalam bentuk
keuntungan ekonomi individual jangka pendek,
namun mengarah pada keuntungan ekonomi dan
politik korporasi untuk jangka panjang. Misalnya
pada rentang 2011, Conten Internet provider
“Google” akan berinvestasi di Indonesia, tidak
lain, adalah untuk meraih peluang pemberdayaan
UKM Indonesia yang merupakan pasar “google”
JURNAL POLITIK
terbesar (95%) pemakai media internet marketing.
Kedua, Aktor yang terlibat di balik
pemberdayaan UKM, tidak hanya birokrat
dan aktor swasta nasional, namun, sudah
melibatkan aktor internasional korporasi TNC’s
seperti “Google”. Hal ini terlihat dengan jelas,
menurut Chief Executive, dalam dialog Metro
TV (26-6-2011, pkl 10.00 WIB), Google telah
meraup 200 milyar rupiah pada 2010 dari UKM
Indonesia. Perkembangan yang terjadi di balik
pemberdayaan UKM seperti ini, pada akhirnya,
akan memunculkan aliansi bisnis model baru
dalam perburuan rente di kemudian hari.
Simpulan
Sejak Orde Baru sampai Orde Reformasi,
mekanisme pemberdayan UKM tingkat nasional,
regional (Cilegon), dan dalam PPPMBT, terlihat
betapa pemberdayaan UKM oleh pemerintah
pusat bersifat Top-Down, sehingga kurang sesuai
dengan kebutuhan riil UKM di lapangan ditambah
di dalamnya telah terjadi praktik rent-seeking atau
KKN. Selaras dengan itu, pemberdayaan UKM
oleh Pemkot Cilegon juga bersifat in-konsisten
sebagaimana
yang
tertulis dalam laporan
akhir kegiatan bidang K-UKM Cilegon; hal ini
menunjukan betapa program pemberdayaan
UKM belum memiliki Grand design, sehingga
dari tahun ke tahun, selain diwarnai oleh praktikpraktik rent-seeking, kegiatan pemberdayaan
menjadi tidak berkesinambungan atau dapat
dikatakan bersifat kondisional, reaktif, dan tidak
menyentuh kebutuhan dasar UKM itu sendiri.
Sehingga, program pemberdayaan UKM melalui
PPPMBT tidak memberikan manfaat optimal bagi
UKM jasa kontruksi dan berdampak negatif bagi
masa depan UKM.
Oleh karena itu, agar program pemberdayaan
UKM di Indonesia kedepan dapat berjalan optimal,
kiranya kebijakan pemberdayaan UKM yang ada
saat ini perlu dikoreksi dengan memperhitungkan
beberapa
persoalan
terkait,
utamanya
memperhitungkan aspek ekonomi politik neoklasik dengan model analisis rent-seeking
bureaucrats dan rent-seeking society, dan teori
pemberdayaan serta teori pembangunan ekonomi.
Hal tersebut mengingat; Pertama, hendaknya,
dalam pembuatan rencana pemberdayaan UKM
melibatkan partisipasi masyarakat secara optimal,
1468
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
sehingga tidak terkesan hanya berasal dari visi
dan misi Tim sukses Presiden atau Kepala Daerah
terpilih sebagai kosekuensi diterapkannya Pilpres
dan Pilkada secara langsung. Revitalisasi Database
UKM (jenis dan jumlah), dan pembuatan Grand
Disgn yang bermanfaat dalam mengurangi “bias
penafsiran” terhadap keberadaan UKM, yang
pada gilirannya akan menyamakan persepsi para
pemangku kepentingan yang selama ini sangat
variatif.
Kedua, pemberdayaan UKM sebaiknya
dilaksanakan oleh lembaga independen nasional
maupun internasional, dengan melibatkan
lembaga riset dan Perguruan Tinggi sebagai
sumber informasi, sementara, pihak pemerintah
hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator.
Dengan demikian, jika tidak dapat
dihilangkan, namun, praktik rent-seeking dapat
dikendalikan, atau dapat dikurangi. Sejatinya,
proposisi dari perspektif ekonomi politik pada
tulisan ini tidak bermaksud mengecilkan bahkan
menghilangkan arti penting pemberdayaan UKM
di Indonesia selama ini. Tetapi sebaliknya, untuk
mengungkapkan fakta yang terjadi, sehingga,
kedepan, dapat dijadikan bahan masukan untuk
mencari dan merumuskan konsep maupun
implementasi kebijakan yang efektif dalam
menciptakan sinergis antara perencanaan program
dan implentasi pemberdayaan UKM di Indonesia.
Terima kasih atas bimbingan dan arahan
Prof. Ibrahim Abdullah pada tulisan ini.
Kepustakaan
Deliarnoiv. 2006. Ekonomi Politik. Jakarta:
Erlangga.
Djoyohadikusumo, Sumitro.1953. Indonesia
dalam Perkembangan Dunia: Kini dan
masa Datang. Jakarta:LP3ES, 1976.
_________. 1953. Persoalan Ekonomi Indonesia.
Jakarta: Andira.
_________. 1985. Perdagangan dan Industri
dalam Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
_________. 1991. Perkembangan Pemikiran
JURNAL POLITIK
Ekonomi (1). Jakarta: Y.Obor Ind.
Hartarto, S. 2006. Pengembangan UKM termasuk
Industri Kecil, dalam Industrialisasi serta
Pembangunan Sektor Pertanian, dan Jasa
Menuju Visi Indonesia 2030. Jakarta:
Gramedia Pustaka.
Hetifah, Sj, at.all. 1995. Strategi dan Agenda
Pengembangan Usaha Kecil. Bandung:
Akatiga.
Hidayat, Syarif. 2001. Menyingkap Akar Persoalan
Ketimpangan Ekonomi di Daerah. Jakarta:
Pamator.
_________. 2006. Bisnis dan Politik di Tingkat
Lokal: Pengusaha, Penguasa, dan
Penyelenggara PemerintahanDaerah
Pilkada. Jakarta, LIPI Press,
Pasca
_________. 2009. Pilkada & Pergeseran, Sistem
perencananan pembanguan Daerah.
Jakarta: LIPI.
_________. 2010. Reformasi Setengan Matang.
Jakarta: Teraju.
Hudiyanto. 2005. Ekonomi Politik. Jakarta: Bumi
Akasara.
LIPI. 2008. Buletin IPTEKDA (Edisi Khusus).
Jakarta: LIPI.
Munandar, Aris. 2008. “Peranan Negara Dalam
Penguatan
Program
Pemberdayaan
Masyarakat” dalam Jurnal PoelitikVol.4/1/2008. Jakarta: P4M-S2 Politik
Unas.
Poot at.all. 1990. Industrialization and Trade in
Indonesia. Yogjakarta: Gadjahmada Univ.
Press.
Pressman, Steven. 2000. Lima Puluh Pemikir
Ekonomi Dunia. Jakarta: Raja Grafindo.
1469
VOL. 10 No. 01. 2014
POLITIK
Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan
Saidi,
Anas, at.al. 2000. Pengembangan
Kewirausahaan Industri Kecil dalam
masa Krisis. Jakarta: PMB-LIPI.
_________, at.al. 2000. Strategi Adaptasi Industri
Kecil Pada Masa Krisis. Jakarta: PMBLIPI.
SB, Darwin & Mahmud Thaha. 2003. ModelModel Pemberdayaan UKM, Jakarta: P2ELIPI.
Schmit, L.Th. 1991. Rural Credit Between Subsidi
and Market: The Adjusment of The Vilage
Unit of BRI in Historical Perspective.
Leden.
Swasono, Sri Edi. 2009. The End Of Laissez-Faire,
Krisis Finansial Global dan Ekonomi
Indonesia. Jakarta: KNPP.
Tambunan, Tulus PH. 2009. UMKM di Indonesia.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Thoha, Mahmud. 2000. Indonesia Menapak
Abad 21, Kajian Ekonomi Politik. Jakarta:
Millennium Publisher
Tim Akatiga. 2007. “Ketahanan dan Kerentanan
Usaha UKM” dalam Jurnal Analisis
Sosial. Bandung: AKATIGA.
Wie, Thee Kian. 1996. Industrialisasi di Indonesia.
Jakarta: LP3ES.
Wie, Thee Kian. 2007. “Kebijakan Ekonomi dan
Ketahanan Usaha Kecil Menenengah di
Indonesia” dalam Jurnal Analisis Sosial.
JURNAL POLITIK
1470
VOL. 10 No. 01. 2014
Download