TINDAK PIDANA DAN TANGGUNG JAWAB KORPORASI DI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP Eko Sasmito Abstract The corporation crime was the crime that was done by the legal body that it was identified as the form of the action violated the good law administration, civil, and criminal. Was based on UU No. 23 in 1997 criminal sanctions against the legal body that did pollution could take the form of imprisonment of the prison or the fine. In the corporation's responsibility, that was sentenced the criminal punishment was his company with criminal sanctions the fine, not including the prison and atauorang that gave the order. Gotten by the principle not ias automatically criminal sanctions were shifted from corporate crime became personal crime. Keywords: corporate crime, personal crime, environment crime Pendahuluan Setelah melalui proses persidangan selama 20 bulan, pada tanggal 24 April 2007 majelis hakim PN Manado akhirnya menuntaskan kasus dugaan pencemaran dan perusakan lingkungan di Teluk Buyat. PT Newmont Minahasa Raya (NMR) dan Presiden Direktur PT NMR Richard B. Ness, oleh majelis hakim yang diketuai Ridwan Damanik dijatuhi putusan bebas. (Hukumonline.com, 25 April 2007). PT Newmont Minahasa Raya (NMR) adalah tersangka utama pencemaran di Perairan Teluk Buyat, Kotabunan, Kabupaten Bolang Mongondow Propinsi Sulawesi Utara, mengingat selama 20 tahun perusahaan tersebut melakukan kegiatan eksplorasi pertambangan emas disana. Pembuangan limbah tailing (lumpur sisa penghancuran batu tambang) milik NMR, diduga sebagai penyebab pencemaran. Pencemaran yang terjadi telah mengakibatkan sejumlah ikan (ikan goropa, tato, kuli paser dan nener) mati dan tercemar sejumlah unsur logam berat, seperti Hg, As, Pb, dan Sb. Dimana ikan-ikan yang mati dan tercemar unsur logam berat tersebut ditemukan terapung pada radius 100-150 meter dari ujung pipa tailing PT Newmont Minahasa Raya (NMR). Hasil kajian hukum tim teknis Buyat, ditemukan indikasi bahwa PT Newmont Minahasa Raya Sulawesi Utara telah melakukan pelanggaran izin usaha yang diterbitkan oleh Departemen Pertambangan, pembuangan limbah tailing dan tindakan Newmont dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korporasi. (detiknet, 10 Nopember 2004 ). Unsur pelanggaran pada Rencana Kelola Lingkungan atau Rencana Pemantauan Lingkungan (RKL/RPL). Dari data hasil penelitian Tim Terpadu di Teluk Buyat, telah cukup bukti bahwa PT Newmont Minahasa Raya (MNR) melakukan pelanggaran perizinan pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (syarat perizinan usaha yang melanggar Rencana Kelola Lingkungan (RKL) dan Rencana Pengawasan Lingkungan (RPL)). Pembuangan limbah tailing yang mengandung B3 (bahaya, beracun, berbahaya) tanpa ijin. Yaitu pelanggaran terhadap izin pengelolaan tailing (limbah batuan tambang berbentuk lumpur logam berat) sebagai limbah B3 dan pelanggaran izin pembuangan limbah tambang (dumping tailing) ke laut. Berdasarkan kajian kelayakan pembuangan limbah tailing ke laut di perairan Teluk Buyat, yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam (PPLH-SA UNSRAT) Universitas Sam Ratulangi bekerjasama dengan BAPEDAL-KLH (Agustus 1999-Januari 2000), menyimpulkan adanya ancaman bahaya pembuangan tailing di dasar laut. Bahaya pembuangan limbah tailing tersebut menyebabkan terjadinya perubahan batimetri perairan Teluk Buyat, sehingga mengakibatkan perubahan kemiringan lahan pada perairan Teluk Buyat dari 8,9 % (tahun 1997) menjadi 3,8 % (tahun 1999). Dengan kondisi kelandaian yang ada saat ini sangat memungkinkan terjadi transportasi sedimen pada kedalaman yang lebih dalam. Lapisan termoklin terdapat di perairan teluk Buyat dimulai pada kedalaman 50 m. Namun penempatan limbah tailing PT. NMR tidak tepat, atau berada di awal lapisan termoklin (pada kedalaman 82 m). Keadaan ini memungkinkan tersebarnya partikel-partikel tailing ke perairan teluk Buyat dan sekitarnya, sehingga lokasi penempatan tailing saat ini tidak layak. Belum lagi logam merkuri (Hg) dan kadmium (Cd) sudah terdapat di sedimen kedalaman 20 m dan sudah tersebar pada radius 3,5 km dari mulut pipa pembuangan tailing. Kondisi ini menimbulkan dampak yang cukup besar bagi masyarakat Buyat terutama masyarakat Pantai Buyat-Ratatotok. Disamping telah kehilangan mata pencaharian sebagai nelayan akibat tidak dapat menangkap ikan di perairan teluk Buyat, juga menyebabkan berbagai gangguan kesehatan, seperti kepala pusing-pusing, benjolan di kulit, kram, gatalgatal, dan tubuh gemetar.' Terjadinya tindak pidana lingkungan hidup, baik menyangkut delik formil maupun materiil. Berdasarkan Pasal 43 dan 44 UU No 23 tahun 1997 terjadi delik formil saat pembuangan tailing tanpa izin, tanpa harus dibuktikan akibatnya. Delik formil berkaitan dengan akibat yang telah ditimbulkan pada masyarakat Buyat dan pada lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam pasal 41 dan 42 UU No. 23 tahun 1997. Pencemaran lingkungan dilakukan oleh sebuah perusahaan, maka perbuatan pidana tersebut bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korporasi sebagaimana diatur dalam UU Lingkungan Hidup. Hal tersebut di atas menimbulkan permasalahan, yaitu apakah tindak pidana korporasi diatur dalam hukum pidana ? dan bagaimana tanggung jawab korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup ? Kejahatan dan Tanggung Jawab Korporasi Rumusan dan gagasan tentang kejahatan korporasi berkembang dari hasil kajian E. Sutherland tentang kejahatan kerah putih (1939). Selanjutnya oleh Marshall Clinard dan Peter Yaeger (1979), kejahatan korporasi diidentifikasi sebagai bentuk perbuatan melanggar hukum baik administrasi, perdata, maupun pidana. Menurut Clinard menyusun daftar contoh kejahatan korporasi, mulai dari price fixing dan monopoli sampai ke sumbangan politik ilegal dan pencemaran lingkungan.( Jentera Jurnal Hukum, Hukum Online, Edisi 29 Pebruari - 17 September 1997). Menurut Mardjono Reksodiputro (1994), yang menyatakan bahwa karena pemahaman kita tentang kejahatan korporasi timbul dari analisis tentang kejahatan kerah putih, pelanggaran hukum (pidana) oleh perusahaan atau usaha dagang yang berlingkup skala kecil atau terbatas (small business offences) tidak termasuk ke dalam "kejahatan korporasi" maupun "illegal corporate behavior". Corporate crime atau kejahatan korporasi, pada dasar dan sifat, kejahatan korporasi bukanlah sesuatu barang baru; yang baru adalah kemasan, bentuk serta perwujudannya. Sifatnya boleh dikatakan secara mendasar adalah sama. Bahkan dampak yang mencemaskan dan dirasakan merugikan masyarakat sudah dikenal sejak jaman dahulu J.E.Sahetapy,1993,4). Di Indonesia prinsip pertanggungjawaban korporasi (corporate liability) tidak diatur dalam hukum pidana umum (KUHP), melainkan tersebar dalam hukum pidana khusus. Tidak dikenalnya prinsip pertanggungjawaban korporasi dalam KUHP disebabkan karena subjek tindak pidana yang dikenal dalam KUHP adalah orang dalam konotasi biologis yang alami (natuurlijke persoon). Di samping itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana. Dengan demikian, pemikiran fiksi tentang sifat badan hukum (rechspersoonlijkheid) tidak berlaku dalam bidang hukum pidana. (Jentera Jurnal Hukum, Hukum Online, 16 Pebruari 2005). Prinsip-prinsip pertanggungjawaban korporasi telah diatur dan tersebar dalam peraturan perundangan di luar KUHP. Prinsip ini dapat ditemukan dalam dalam UndangUndang (UU) tentang Penimbunan Barang, dan dikenal secara lebih luas lagi dalam UU No. 71 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi. Selanjutnya dalam perkembangannya, prinsip pertanggungjawaban korporasi dapat ditemukan dalam berbagai peraturan perundangundangan, seperti: UU No. 5/1984 tentang Perindustrian, UU No. 8/1995 tentang Pasar Modal, UU No. 5/1997 tentang Psikotropika, UU No. 22/1997 tentang Narkotika, UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam perkembangannya, penerapan prinsip pertanggungjawaban korporasi ini telah mengalami perkembangan yang demikian pesat sejalan dengan meningkatnya kejahatan korporasi itu sendiri. Pada awalnya, korporasi belum diakui sebagai pelaku dari suatu tindak pidana, karenanya tanggungjawab atas tindak pidana dibebankan kepada pengurus korporasi. Korporasi mulai diakui sebagai pelaku tindak pidana, sementara tanggung jawab atas tindak pidana masih dibebankan kepada pengurusnya, seperti dianut dalam UU No. 12/Drt/1952 tentang Senjata Api. Dalam perkembangan terakhir, selain sebagai pelaku, korporasi juga dapat dituntut pertanggungjawabannya atas suatu tindak pidana. Peraturan perundang-undangan yang menganut model ini diantaranya UU No. 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, UU 6/1984 tentang Pos, UU No. 23/1997 tentang Lingkungan Hidup, UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, dan UU No. 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam konteks hukum internasional, kejahatan korporasi merupakan fenomena baru. Hal ini dapat dilihat dari obyek hukum internasional yang selama ini adalah negara, telah bergeser. Yaitu mulai mengarah pada Trans National Corporations-Multinational Corporation (TNCs/MNC) sebagai suatu lembaga yang dapat dimintai pertanggujawaban dalam kasus kejahatan kerah putih (white collar crime). Kejahatan korporasi dapat disebut kejahatan karena biasanya melanggar aspek pidana, perdata dan prosedur administrative. Adapun cakupan kejahatan korporasi sangatlah luas, mulai dari individu hingga semua kegiatan usaha yang terkait dengan perusahaan yang bersangkutan (supplier, distributor dll). Dalam dokumen yang dikeluarkan Komisi HAM (Commision of Human Right--CHR) Sub Komisi Promosi dan Perlindungan HAM PBB, yang berjudul "Norms on the responsibilities of transnational corporations and other business enterprises with regard to human rights" disebutkan norma tentang tanggungjawab TNCs. Yaitu secara garis besar menyebutkan bahwa, kejahatan korporasi (corporate crime) secara sederhana dapat didefinisikan sebagai kejahatan yang dilakukan korporasi (badan usaha) mencakup kejahatan HAM, humaniter, perburuhan, kejahatan terhadap hak konsumen serta praktik-praktif yang luas dari definisi korupsi. Patra M. Zein, 2004). Sally S. Simpson menyatakan "(c)orporate crime is a type of white-collar crime". Sedangkan Simpson, mengutip John Braithwaite, mengambil the simplest definition dari kejahatan korporasi sebagai "conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law." Selanjutnya Simpson, menyatakan 3 ide kunci dari definisi Braitwaite. Pertama, tindakan illegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan prilaku kriminal kelas sosio-ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi. Korporasi (sebagai "subyek hukum perorangan "legal persons") dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan. Motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional, dan mungkin saja ditopang oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional. Tindak Pidana dan Tanggung Jawab Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup Pasal 46 UU No.23/1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak pidana, maka sanksinya dijatuhkan selain terhadap badan hukum, juga terhadap mereka yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam perbuatan tersebut. Mas Achmad Santosa (Good Governance Hukum Lingkungan: 2001) mengatakan, kejahatan korporasi sebagaimana diatur dalam pasal 45 dan 46 UU No.23/1997 merupakan rumusan kejahatan korporasi sebagaimana diatur dalam KUHP Belanda. Jadi korporasi sebagai legal persoon, dapat dipidana berdasarkan UU No.23/1997. Dalam hal ini, pertanggungjawaban pidana (criminal liability) dari pimpinan korporasi (factual leader) dan pemberi perintah (instrumention giver), keduanya dapat dikenakan hukuman secara berbarengan. Hukuman tersebut bukan karena perbuatan fisik atau nyatanya, akan tetapi berdasarkan fungsi yang diembannya di dalam suatu perusahaan. (Achmad Santosa, 2004). Menurut WALHI (Mei, 2004), subyek dari tindak pidana lingkungan hidup disebut sebagai Penjahat Lingkungan. Adalah Orang atau Lembaga yang melakukan Tindakan Perampasan atau penghilangan Hak Atas Lingkungan dan sumber-sumber kehidupan rakyat yang dilakukan secara langsung melalui pengaruh, kekuatan modal, kekuatan politik dan kekuasaan (posisi-jabatan) di dalam suatu badan usaha/pemerintahan atau TNI – POLRI yang menimbulkan dan mengakibatkan pengrusakan atau pemusnahan, secara terus-menerus, lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat (ecocida) serta ancaman terhadap keamanan hidup manusia (human security). (M. Ridha Saleh2004, 18). Kejahatan lingkungan yang didefinisikan di dalam undang-undang ini hanyalah kerusakan lingkungan hidup yang disebutkan di dalam Pasal 1 ayat 14, yaitu Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. Menurut Sunarwiatai Sartomo juga telah mendefinisikan Kejahatan lingkungan sebagai berikut: "Perbuatan melawan hukum berupa pencemaran dan atau perusakan atas lingkungan hidup baik lingkungan alam/fisik, lingkungan buatan, maupun lingkungan sosial-budaya, yang dilakukan oleh anggota masyarakat atau badan hukum."(Suwarniati Sartono). Dtinjau dari perspektif kriminologi, kejahatan lingkungan cukup unik dibanding dengan jenis kejahatan lain, baik kejahatan konvensional maupun kejahatan kontemporer. Beberapa unsur kajian dalam kriminologi, seperti unsur pelaku, korban, dan reaksi sosial yang selalu menjadi bahasan utama, memperjelas keunikan dari kejahatan lingkungan. Badan hukum adalah juga meliputi perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain. Secara spesifik dalam pasal 45 UUPLH disebutkan bahwa tindak pidana yang dilakukan badan hukum tersebut ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga. Sedangkan pada pasal 46 menentukan bahwa jika tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya. Sedangkan yang mewakili badan hukum, perseroan, perserikatan atau organisasi lain, tersebut adalah pengurusnya. Untuk mempertegas, bahwa korporasi juga merupakan subyek kejahatan lingkungan hidu, maka pasal 47 UUPLH menegaskan bahwa selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa: (1) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau (2) penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau (3) perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau (4) mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau (5) meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau (6) menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun. Menurut Stefanus Hariyanto, yang dijatuhi hukuman pidana adalah perusahaannya. Pengurus atau pempinan juga ikut dipidana maka persoalannya sudah menjadi personal crime. Adapun sanksi pidananya adalah denda, tidak termasuk penjara. Agar individu-individu yang dianggap bertanggung jawab atas pencemaran lingkungan hidup dapat dipidana, maka individu-individu tersebut harus didakwa bukan hanya korporasi. Dalam hukum pidana ada asas kulpabilitas, sehingga harus dibuktikan bahwa seseorang bisa dipidana apabila memang terbukti bersalah. Artinya tidak bisa secara otomatis sanksi pidana dialihkan dari corporate crime menjadi personal crime. Dalam hukum pidana, mutlak harus dibuktikan adanya niat untuk melakukan perbuatan pidana. Inilah yang dimaksud asas mens rea (guilty mind) sebagaimana dikatakan oleh Stevanus.“an act is a crime because the person committing it intended to do something wrong, This mental state is generally referred to as Mens rea”. Simpulan Kejahatan korporasi merupakan kejahatan yang dilakukan oleh badan hukum yang diidentifikasi sebagai bentuk perbuatan melanggar hukum baik administrasi, perdata, dan pidana. Penerapan prinsip pertanggungjawaban korporasi mengalami perkembangan mulai pengurus korporasi maupun korporasi itu sendiri. Berdasarkan Undang-Undang No. 23 tahun 1997 sanksi pidana terhadap badan hukum yang melakukan pencemaran dapat berupa kurungan penjara atau denda. Badan hukum terbukti melakukan tindak pidana, maka sanksi yang dijatuhkan selain terhadap badan hukum, juga terhadap mereka yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam perbuatan tersebut. Pertanggungjawaban pidana dari pimpinan korporasi dan atau pemberi perintah, keduanya dapat dikenakan hukuman secara berbarengan. Hukuman tersebut bukan karena perbuatan fisik atau nyatanya, tetapi berdasarkan fungsi yang diembannya di dalam suatu perusahaan. Pada tanggung jawab korporasi, yang dijatuhi hukuman pidana adalah perusahaannya dengan sanksi pidana denda, tidak termasuk penjara. Apabila individuindividu dianggap bertanggung jawab atas pencemaran lingkungan hidup, maka untuk dapat dipidana individu-individu tersebut harus didakwa. Dalam hal ini tidak bisa secara otomatis sanksi pidana dialihkan dari corporate crime menjadi personal crime. Daftar Pustaka Basri, Muhammad Chatib, Penghapusan Monopoli: Sebuah Ilusi, Jentera Jurnal Hukum, Hukum Online, Edisi 29 Pebruari - 17 September 1997 Koeswadji, Hermien Hadiati, Hukum Pidana Lingkungan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993. Maslan, M. Rizal, Cukup Bukti Pemerintah & Newmont Telah Cemari Buyat, detikInet, 10 Nopember 2004 Rusmana, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Jentera Jurnal Hukum, Hukum Online, 16 Pebruari 2005. Pidana Perikanan, Sahetapy, J.E., Kejahatan Korporasi, Refika Aditama, Bandung, 1993. Saleh, M. Ridha, Lingkungan Hidup: Untuk Kehidupan Tidak Untuk Pembangunan, Kertas Posisi, WALHI, 25 Oktober 2004. Santosa, Mas Achmad, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Perkara Lingkungan, Jentera Jurnal Hukum, Hukum Online, 23 September 2004 Sartono, Suwarniati, Kejahatan Lingkungan Hidup dalam Perspektif Kriminologi, HAM, dan Ilmu Lingkungan, Makalah disampaikan pada acara Groups Discussion: Kerjasama WALHI, JATAM, Kontras, Koalisi EKOSOB, KOMNAS HAM. Zein, Patra M., Kejahatan Korporasi dan Norma tentang Akuntabilitas Korporasi, Makalah, (YLBHI), 7 April 2004. www.hukumonline.com, Terapkan Asas Subsidiaritas, PN Manado Bebaskan PT NMR dan Richard Ness, 25 April 2007.