Rahmatan Lil-`Alamin dan Toleransi

advertisement
JURNAL PEMIKIRAN ISLAM REPUBLIKA
25
KAMIS, 15 DESEMBER 2011
WORDPRESS
Rahmatan
Lil-‘Alamin
dan Toleransi
U
Muhammad Idrus Ramli
Pengurus Lajnah Ta’lif wan
Nasyr PWNU Jawa Timur
mat Islam tentu meyakini misi
rahmatan lil-‘alamin sebab
istilah itu telah dinyatakan
oleh Alquran. Istilah rahmatan
lil-‘alamin dipetik dari salah
satu ayat Alquran, “Ma maa
arsalnaaka illaa rahmatan lil-‘aalamiin (Dan
tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam).”
(QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Dalam ayat itu, “rahmatan lil-‘alamin”
secara tegas dikaitkan dengan kerasulan
Nabi Muhammad SAW. Artinya, Allah SWT
tidaklah menjadikan Nabi SAW sebagai
rasul, kecuali karena kerasulan beliau menjadi rahmat bagi semesta alam. Karena
rahmat yang diberikan Allah SWT kepada
semesta alam ini dikaitkan dengan kerasulan
Nabi SAW, maka umat manusia dalam
menerima bagian dari rahmat tersebut
berbeda-beda. Ada yang menerima rahmat
tersebut dengan sempurna dan ada pula yang
menerima rahmat tersebut tidak sempurna.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sahabat Nabi SAW, pakar dalam Ilmu Tafsir
menyatakan, “Orang yang beriman kepada
Nabi SAW, maka akan memperoleh rahmat
Allah SWT dengan sempurna di dunia dan
akhirat. Sedangkan orang yang tidak
beriman kepada Nabi SAW, maka akan diselamatkan dari azab yang ditimpakan
kepada umat-umat terdahulu ketika masih
di dunia seperti diubah menjadi hewan atau
dilemparkan batu dari langit.” Demikian
penafsiran yang dinilai paling kuat oleh alHafizh Jalaluddin al-Suyuthi dalam
tafsirnya, al-Durr al-Mantsur.
Penafsiran di atas diperkuat dengan hadis shahih yang menegaskan bahwa rahmatan lil-‘alamin telah menjadi karakteristik Nabi SAW dalam dakwahnya. Ketika
sebagian sahabat mengusulkan kepada
beliau agar mendoakan keburukan bagi
orang-orang Musyrik, Nabi SAW menjawab,
“Aku diutus bukanlah sebagai pembawa
kutukan, tetapi aku diutus sebagai pembawa
rahmat.” (HR. Muslim).
Penafsiran di atas memberikan gambaran, bahwa karakter rahmatan lil-‘alamin
memiliki keterkaitan sangat erat dengan
kerasulan Nabi SAW. Dalam kitab-kitab
tafsir, tidak ditemukan keterkaitan makna
rahmatan lil-‘alamin dengan sikap toleransi
yang berlebih-lebihan dengan komunitas
non-Muslim. Ini berangkat dari kenyataan
bahwa rahmatan lil-‘alamin sangat erat kaitannya dengan kerasulan Nabi SAW, yakni
penyampaian ajaran Islam kepada umatnya.
Maka seorang Muslim, dalam menghayati
dan menerapkan pesan Islam rahmatan lil‘alamin tidak boleh menghilangkan misi
dakwah yang dibawa oleh Islam itu sendiri.
Misalnya, memberikan khotbah dalam acara
kebaktian agama lain, menjaga keamanan
tempat ibadah agama lain dan acara ritual
agama lain, atau doa bersama lintas agama
dengan alasan itu adalah “Islam rahmatan
J
Asep Sobari
Peneliti INSISTS
lil-‘alamin”. Kegiatankegiatan semacam itu justru mengaburkan makna rahmatan lil-‘alamin
yang berkaitan erat dengan misi dakwah
Islam.
Sebagaimana dimaklumi, selain sebagai
rahmatan lil-‘alamin, Nabi SAW diutus juga
bertugas sebagai basyiiran wa nadziiran lil‘aalamiin (pembawa kabar gembira dan
pemberi peringatan kepada seluruh alam).
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan
al-Furqaan (Alquran) kepada hamba-Nya
agar dia menjadi pemberi peringatan
kepada seluruh alam.” (QS al-Furqan [25]:
1). “Dan, Kami tidak mengutus kamu,
melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan
sebagai pemberi peringatan (basyiiran wa
nadziiran), tetapi kebanyakan manusia
tiada mengetahui.” (QS Saba’ [34] : 28).
Sebagai pengejawantahan dari ayat-ayat
ini, seorang Muslim dalam interaksinya
dengan orang lain, selain harus menerapkan
watak rahmatan lil-‘alamin, juga bertanggung jawab menyebarkan misi basyiran wa
nadziran lil-‘alamin.
Islam tidak melarang umatnya berinteraksi dengan komunitas agama lain. Rahmat
Allah yang diberikan melalui Islam, tidak
mungkin dapat disampaikan kepada umat
lain, jika komunikasi dengan mereka tidak
berjalan baik. Karena itu, para ulama
fuqaha dari berbagai mazhab membolehkan
seorang Muslim memberikan sedekah
sunnah kepada non-Muslim yang bukan
kafir harbi. Demikian pula sebaliknya,
seorang Muslim diperbolehkan menerima
bantuan dan hadiah yang diberikan oleh
non-Muslim. Para ulama fuqaha juga
mewajibkan seorang Muslim memberi
nafkah kepada istri, orang tua, dan anakanak yang non-Muslim.
Di sisi lain, karena seorang Muslim
bertanggung jawab menerapkan basyiran
wa nadziran lil-‘alamin, Islam melarang
umatnya berinteraksi dengan non-Muslim
dalam hal-hal yang dapat menghapus misi
dakwah Islam terhadap mereka. Mayoritas
ulama fuqaha tidak memperbolehkan
seorang Muslim menjadi pekerja tempat
ibadah agama lain, seperti menjadi
tukang kayu, pekerja bangunan, dan lain
sebagainya karena hal itu termasuk menolong orang lain dalam hal kemaksiatan, ciri
khas dan syiar agama mereka yang salah
dalam pandangan Islam. “Dan, tolongmenolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa dan jangan tolongmenolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya.” (QS al-Ma’idah [5]: 2).
Doa lintas agama
Doa bersama lintas agama dewasa ini
juga agak marak dilakukan. Sebagian
beralasan Islam rahmatan lil-‘alamin.
Padahal, karakter rahmatan lil-‘alamin
sebenarnya tidak ada kaitannya dengan doa
bersama lintas agama. Sebagaimana dimaklumi, doa merupakan inti dari pada ibadah
(mukhkhul ‘ibadah) yang dilakukan oleh
seorang hamba kepada Tuhan. Tidak jarang,
seorang Muslim berdoa kepada Allah
dengan harapan memperoleh pertolongan
agar segera keluar dari kesulitan yang
sedang dihadapi. Tentu saja, ketika seseorang berharap agar Allah segera mengabulkan doanya, ia harus lebih berhati-hati,
memperbanyak ibadah, bersedekah,
bertaubat, dan melakukan kebajikan-kebajikan lainnya. Dalam hal ini, semakin baik
jika ia memohon doa kepada orang-orang
saleh yang dekat kepada Allah. Hal ini sebagaimana telah dikupas secara mendalam
oleh para ulama fuqaha dalam bab shalat
istisqa’ (mohon diturunkannya hujan) dalam
kitab-kitab fiqih.
Ada dua pendapat di kalangan ulama
fuqaha tentang hukum menghadirkan kaum
non-Muslim untuk doa bersama dalam
shalat istisqa’. Pertama, menurut mayoritas
ulama (mazhab Maliki, Syafi’i, dan
Hanbali), tidak dianjurkan dan makruh
menghadirkan non-Muslim dalam doa
bersama dalam shalat istisqa’. Hanya saja,
seandainya mereka menghadiri acara tersebut dengan inisiatif sendiri dan tempat
mereka tidak berkumpul dengan umat
Islam, maka itu tidak berhak dilarang.
Kedua, menurut mazhab Hanafi dan
sebagian pengikut Maliki, bahwa nonMuslim tidak boleh dihadirkan atau hadir
sendiri dalam acara doa bersama shalat
istisqa’, karena mereka tidak dapat
mendekatkan diri kepada Allah dengan
berdoa. Doa istisqa’ ditujukan untuk
memohon turunnya rahmat dari Allah,
sedangkan rahmat Allah tidak akan turun
kepada mereka. Demikian kesimpulan pendapat ulama fuqaha dalam kitab-kitab
fiqih. Maka, jika doa diharapkan mendatangkan rahmat dari Allah, sebaiknya
didatangkan orang-orang saleh yang dekat
kepada Allah, bukan mendatangkan orangorang yang yang jauh dari kebenaran.
Forum Bahtsul Masail al-Diniyah alWaqi’iyyah Muktamar NU di PP Lirboyo
Kediri, 21-27 November 1999, menyatakan
bahwa “Doa Bersama Antar Umat
Beragama” hukumnya haram. Diantara
dalil yang mendasarinya, yaitu Kitab
Mughnil Muhtaj, Juz I hal 232: “Wa laa
yajuuzu an-yuammina ‘alaa du’aa-ihim
kamaa qaalahu ar-Rauyani li-anna du’aal
kaafiri ghairul maqbuuli.” (Lebih jauh, lihat:
Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika
Aktual Hukum Islam: Keputusan Muktamar,
Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (19262004), penerbit: Lajtah Ta’lif wan-Nasyr,
NU Jatim, cet ke-3, 2007, hal 532-534).
(Wallahu a’lam). ■
Toleransi Nabi SAW kepada Yahudi
auh sebelum berbagai bangsa mengenal
toleransi, pada awal abad ke-7 Masehi,
Nabi Muhammad SAW telah memberi
contoh toleransi beragama di Madinah.
Termasuk terhadap kaum Yahudi. Di tengah
kondisi Madinah yang cukup akomodatif, Nabi
SAW menetapkan perangkat-perangkat dasar
untuk mewujudkan kehidupan yang harmoni
bagi seluruh unsur masyarakat Madinah. Maka
lahirlah Shahifah al-Madinah atau Piagam Madinah yang menurut Dr M Hamidullah merupakan konstitusi negara tertulis yang pertama di
dunia (the first written constitution in the world).
Piagam Madinah menjelaskan bentuk negara, mengatur hubungan antarkelompok masyarakat, hak dan kewajibannya kepada negara,
kehidupan beragama, asas peradilan dan sumber hukum, dan lain sebagainya. Selain mengejawantahkan konsep kenegaraan baru berupa
al-ummah al-muslimah (umat muslim), isu kemajemukan juga menjadi sorotan utama Piagam
Madinah. Terkait kaum Yahudi, berdasarkan susunan Dr Hamidullah, dari 47 pasal Piagam Madinah, terdapat sekitar 24 pasal yang menyebut
kaum Yuhudi. Pasal-pasal tersebut mencakup
beragam isu, di antaranya, status kewarganegaraan, kebebasan beragama, tanggung jawab
bersama dalam bidang sosial, ekonomi dan keamanan, kebebasan berpendapat, dan keadilan.
Berdasarkan teks Piagam Madinah yang diriwayatkan Ibnu Ishaq dalam as-Sirah an-Nabawiyyah, jilid dua hal 94-96, Nabi SAW menyatakan, “Wa inna yahuda bani `auf ummatun
ma`al mu’minin (sesungguhnya Yahudi Bani
`Auf adalah satu umat bersama kaum Mukmin).” Dengan pengakuan ini, otomatis kaum
Yahudi memperoleh hak-hak selayaknya warga
negara. Salah satu yang terpenting adalah hak
kebebasan beragama, “Lil yahudi dinuhum wa
lil muslimin dinuhum, mawalihim wa anfusuhum
(kaum Yahudi menjalankan agamanya sendiri,
sebagaimana kaum Muslim juga menjalankan
agamanya sendiri. Ini berlaku bagi orang-orang
yang terikat hubungan dengan Yahudi dan diri
Yahudi sendiri).”
Dengan adanya jaminan konstitusi terhadap
kebebasan beragama ini, kaum Yahudi di
Madinah dapat menjalankan kegiatan keagamaan dengan tenang di lingkungannya. Begitu
juga dalam bidang pendidikan, sekolah-sekolah
agama Yahudi yang disebut Bayt al-Midras
beraktivitas sebagaimana biasa, bahkan
semakin giat dari sebelumnya karena terpacu
dengan kehadiran Islam di Madinah. Ibnu Ishaq
menyebutkan, Rasulullah SAW pernah berkunjung dan masuk ke sekolah Yahudi untuk berdialog dengan para Ahbar (pemuka Yahudi). Begitu
juga Abu Bakar RA, dikabarkan pernah masuk
ke dalam Midras dan “mendapati banyak sekali
orang di sana.” (Jilid dua hal 129 dan 134).
Terkait dengan keamanan kota Madinah,
kaum Muslim dan Yahudi harus bahu-membahu
mewujudkannya. Kaum Muslim tidak akan membiarkan Yahudi diserang musuh dari luar dan
begitu juga sebaliknya. Dalam teks Piagam
Madinah, Nabi SAW menyatakan, “Wa inna baynahum an-nashr `ala man dahama Yatsrib
(kaum Muslim dan kaum Yahudi saling menolong dalam mempertahankan Madinah dari
serangan pihak luar).” Karena itu, baik Muslim
maupun Yahudi sama-sama berkewajiban
menanggung beban biaya perang untuk mempertahankan Madinah dari serangan musuh,
“wa innal yahuda yunfiqun ma`al mu’minin ma
damu muharabin (sesunguhnya kaum Yahudi
dan kaum Mukmin sama-sama menanggung
biaya perang bila diserang musuh).”
Dari penjelasan sebagian pasal Piagam Madinah yang menyangkut kaum Yahudi, tampak
sejak awal Rasulullah SAW menghendaki terbangunnya tatanan kehidupan masyarakat yang harmonis di Madinah. Pendekatan persuasif ini
tampak semakin jelas, ketika Nabi SAW menyebut kaum Yahudi (bersama Nasrani) sebagai Ahl
al-Kitab. Dengan sebutan ini, maka dampaknya,
antara lain, lelaki Muslim masih dibolehkan
menikahi wanita Yahudi dan daging hewan sembelihan Yahudi halal dimakan oleh Muslim.
Dalam muamalat, jual beli dan pelbagai bentuk transaksi lainnya yang tidak bertentangan
dengan syariat Islam, kaum Muslim juga dibolehkan melakukannya dengan Yahudi. Faktanya,
setelah kedatangan Nabi SAW ke Madinah,
kaum Muslim tetap melakukan transaksi di
pasar Yahudi. Abdurraman bin `Auf, seorang
sahabat terkemuka, memulai peruntungannya di
hari-hari pertama keberadaannya di Madinah
dengan berdagang di pasar Bani Qainuqa`, milik
Yahudi (Shahih al-Bukhari, no 3780). Ali bin Abu
Thalib, menantu Nabi SAW, sebagian persiapan
walimahnya ditangani oleh seorang dari Bani
Qainuqa` (Shahih Muslim, no 5242). Bahkan,
Nabi SAW menggadaikan baju perangnya dengan 30 Sha` gandum kepada seorang Yahudi
Bani Zhafar bernama Abu Syahm (Ibnu Hajar,
Fathul Bari, Jilid tujuh hal 461).
Batas toleransi Nabi
Jaminan konstitusi dan pendekatan-pendekatan persuasif yang dilakukan Nabi SAW menunjukkan toleransi yang tinggi kepada kaum
Yahudi. Tapi, seiring perjalanan waktu, kaum
Yahudi melihat masyarakat Muslim sebagai ancaman bahkan musuh. Sejumlah individu Yahudi
membuat kericuhan dan menyebarkan permusuhan. Fanhash, seorang Ahbar (Rabbi) Yahudi,
menghina Allah dan Alquran di hadapan Abu
Bakar (Ibnu Ishaq, Jilid dua hal 134); Ka`ab bin
al-Asyraf, pemuka Bani Nadhir, merusak kioskios di pasar baru milik kaum Muslim (as-Samhudi, Wafa al-Wafa, Jilid satu hal 539); Sallam
bin Misykam, pemuka Bani Nadhir, sempat
menjamu Abu Sufyan di rumahnya dalam perang Sawiq dan memberi informasi penting tentang kaum Muslim (Ibnu Ishaq, Jilid tiga hal 4).
Sikap permusuhan yang digalang para pemuka agama dan tokoh masyarakat Yahudi ini
semakin dipertajam oleh para penyair. `Ashma
binti Marwan, Abu `Afak, dan Ka`ab bin al-
Asyraf adalah penyair-penyair terkemuka Yahudi
yang hampir tidak pernah berhenti menggunakan kekuatan lisannya untuk melontarkan baitbait yang menghina Islam dan sosok Nabi SAW.
Nabi SAW menghadapi para penyair ini dengan sikap tegas karena mereka orang-orang
berpengaruh di masyarakat. Nabi SAW memerintahkan mereka dihukum mati. Terlebih Ka`ab
bin al-Asyraf yang menyampaikan simpatinya
secara langsung dan terbuka kepada Quraisy
setelah kekalahan mereka di Badar. Bahkan, ia
terus mengobarkan dendam agar segera bangkit dan menyiapkan perang besar melawan
Madinah. (Prof Dr Muhammad bin Faris, anNaby wa Yahud al-Madinah, hal 101-120)’
Permusuhan Yahudi semakin meluas dan
dilakukan berkelompok. Kasus pelecehan terhadap seorang Muslimah di pasar Bani
Qainuqa` berujung pada terbunuhnya pemuda
Muslim yang membelanya, Bani Qainuqa` menggalang solidaritas dan menantang secara terbuka, “Hai Muhammad, jangan lekas bangga
hanya karena berhasil membunuh beberapa
orang Quraisy. Mereka itu hanyalah orang-orang
liar yang tidak pandai berperang. Demi Allah,
jika kami yang engkau perangi, maka engkau
akan merasakan kehebatan kami. Engkau tidak
akan pernah merasakan lawan sekuat kami!”
(Ibnu Ishaq, Jilid dua hal 129). Dalam kondisi
seperti itu, Nabi SAW pun bersikap tegas.
Tantangan Bani Qainuqa’ dijawab dengan tegas.
Mereka diperangi.
Yahudi Bani Quraizhah melakukan pengkhianatan terhadap negara. Klan terakhir Yahudi ini
berkhianat dengan mendukung pasukan musuh
(Ahzab) dalam perang Khandaq. Menghadapi
permusuhan kolektif ini, Nabi SAW tidak punya
pilihan selain menghukum mereka secara kolektif. Bani Qainuqa` dan Bani Nadhir diusir dari
Madinah. Sedang Bani Quraizhah, semua
lelakinya yang sanggup berperang dieksekusi.
Itulah toleransi Nabi Muhammad SAW terhadap
Yahudi. Wallahu a’lam bil-sahawab. ■
Download