Kajian Terhadap Poligami Nabi - E

advertisement
Nabi, Poligami?
(Membaca Poligami Nabi dengan Kerangka Hermeneutik Wilhelm Dilthey)
oleh
Wahidul Anam, M.Ag
Pengantar
Sejarah peradaban Islam mencatat, paling tidak ada tiga persoalan krusial berkaitan dengan relasi
seksual laki-laki dan perempuan. Masing-masing menyimpan problematikanya sendiri-sendiri dalam
skala yang cukup rumit dan menyulut perdebatan yang tak pernah selesai. Ketiga-tiganya sama-sama
muncul ke permukaan sebagai warisan kebudayaan pra Islam yang sangat akut dan mengakar. Dalam
perjalanannya masing-masing mengalami proses sosio-kultural-politik yang berbeda. Ada yang hilang,
ditolak secara luas, dan diterima secara luas. Tiga masalah tersebut adalah relasi seksual karena milik alyamin (perbudakan), relasi social mut‟ah atau kawin kontrak, dan ta‟adudud al-zaujah atau poligami. Isu
yang pertama, perbudakan, hilang tanpa ada kejelasan status hukumnya dalam bentuknya yang eksplisit.
Isu yang kedua, mut‟ah, ditolak oleh mayoritas ulama sunni. Isu ketiga, ta‟adud al-zaujah, diterima
secara luas,1 walaupun akhir-akhir ini mendapat tantangan baru, karena adanya pembacaan terhadap
agama dengan berbagai metode yang belum pernah muncul pada masa silam.
Poligami, pada saat ini merupakan isu yang menarik dan banyak dibicarakan public, ketika banyak
tokoh-tokoh nasional melakukan poligami. Kasus terakhir adalah ketika A‟agim berpoligami. Reaksi
masyarakat terbelah menjadi dua kelompok. Disatu sisi ada yang mendukung dengan landasan teoligis
surat al-Nisa‟ ayat ke 4 dan fakta historis memang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad pernah
berpoligami, tetapi dipihak lain, juga banyak yang menolak, selain juga berdasarkan penolakan bahwa
surat al-Nisa‟ ayat 3 tidak bicara persoalan poligami secara khusus, tetapi terkait dengan kasus lain, juga,
karena memang secara psyikologis tidak ada seorang wanita pun yang mau dimadu.
Memahami poligami Nabi Muhammad, pada dasarnya kita mempelajari sejarah poligami Nabi.
Didalam memahami poligami Nabi, paling tidak ada dua hal yang harus menjadi perhatian, pertama
adalah wajah eksterior, dimana secara eksterior peristiwa poligami Nabi dilihat dari ruang dan waktu.
Kapan Nabi berpoligami dan dalam situasi bagaimana Nabi berpoligami. Kedua adalah wajah interior,
yaitu menyangkut kondisi kejiwaan Nabi ketika melakukan poligami, atas dasar apa Nabi berpoligami.
Memahami poligami Nabi adalah hal penting, karena ada sebagian umat Islam melakukan poligami
hanya semata-mata melihat fakta sejarah bahwa Nabi Muhammad berpoligami, poligami dilihat sebagai
suatu ibadah ritual karena mengikuti apa yang dilakukan Nabi, tidak mempertimbangkan aspek-aspek
yang lain, misalnya aspek social, ekonomi, politik, psikologis dan lain sebagainya.
Kegelisahan Akademik
Dari uraian diatas ada beberapa pertanyaan akademik untuk memahami hakikat poligami Nabi
Muhammad. Bagaimana poligami Nabi Muhammad terjadi? Mengapa Nabi Muhammad berpoligami,
sedangkan Nabi Muhammad sendiri melarang putrinya, yang juga isrti Ali ra, untuk dimadu? Apa motif
Nabi Muhammad berpoligami?
Kerangka Teori
Didalam memahami poligami Nabi Muhammad, penulis memakai kerangka teori Wilhelm Dilthey.
Didalam bidang hermeneutik filosofis, ia lebih banyak dikenal dengan riset historisnya. Yang menjadi
sasaran hermeneutika Dilthey adalah memahami person yang menyejarah. Dilthey yang mengembangkan
hermeneutika teoretis memiliki pandangan bahwa proses penafsiran digambarkan sebagai peristiwa
sejarah. Penafsiran dipahami secara konseptual sebagai verstehen (memahami) yang dibedakan dari
erkleren (menjelaskan). Menafsirkan dalam pengertian verstehen ini adalah proses untuk memahami teks
sebagai bagian dari ekspresi sejarah. Karena itu, yang perlu direproduksi bukan kondisi batin
pengarangnya, tapi makna-makna dari persitiwa sejarah yang mendorong lahirnya teks.2
Sementara seorang individu merupakan produk dari lingkungan eksternalnya seperti sejarah,
keluarga dan peraturan-peraturan kemasyarakatan, individu ini sekaligus juga merupakan person psikologis yang mampu merusak lingkungan eksternal atas dasar alasan-alasan pribadi. Menurut Dilthey,
lingkungan eksternal maupun kejiwaan internal seorang person harus dilihat secara saksama dengan

Penulis adalah Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Kediri
maksud untuk memahami perilakunya. Dalam hal ini, Dilthey pertama-tama membuat deskripsi,
kemudian mengadakan interpretasi. Psikologinya dimaksudkan untuk memberikan orientasi awal atau
semacam pembiasaan dalam memahami penyelidikan terhadap manusia: Konsep-konsep penting seperti
“pengalaman hidup” dan “prasyarat kedekatan (nexus) psikis” banyak ditekankan oleh Dilthey.3
Peristiwa-peristiwa sejarah telah menunjukkan bahwa jiwa (psyche) manusia berubah dalam alur
waktu dengan cara yang tidak kelihatan. Ini tidak mengherankan karena manusia adalah makhluk yang
hidup dan berevolusi. Manusia tidak pernah bersifat statis, apalagi “terpatri”. Oleb karena itu, semua ilmu
pengetahuan tentang manusia juga tidak pernah bersifat statis.
Dilthey mengatakan bahwa peristiwa sejarah dapat dipahami dalam tiga proses:4
1. Memahami sudut pandang atau gagasan para pelaku asli.
2. Memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka pada hal-hal yang secara langsung
berhubungan dengan peristiwa sejarah.
3. Menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat sejarawan itu
hidup.
Sejarawan membuat interpretasi berdasarkan data yang tersedia, jadi tidak satupun sejarawan yang
gagasannya sepenuhnya objektif. Setiap sejarawan mempunyai perspektif tertentu dan karya-karyanya
diwarnai oleh perspektif ini. Tidak ada satu interpretasipun yang sifatnya bebas pengandaian. Setiap
sejarawan selalu menyibukkan diri dengan tempat tertentu dalam ruang dan waktu dan dalam
kesibukkannya dipengaruhi oleh semangat yang terdapat dalam kurun waktu tertentu. Oleh karena itu,
ketika kita membaca sejarah, kewajiban kita adalah menyusun balik kerangka yang dibuat oleh sejarawan
dengan maksud supaya peristiwa-peristiwa dapat dilihat kembali sesuai dengan kejadian yang
sebenarnya. Metode atau proses semacam inilah yang disebut hermeneutic.
Dengan kerangka teori yang demikian, maka didalam memahami poligami Nabi Muhammad harus
dilihat aspek social yang berkembang pada zaman Nabi dan makna poligami bagi Nabi Muhammad
sendiri. Tidak dibenarkan memahami poligami Nabi hanya berdasarkan teks tanpa melihat mengapa teks
itu muncul. Karenanya teks dinterprstasikan dengan keharusan melihat konteksnya kemudian
dikontekstualisasikan sesuai dengan situasi dan kondisi dimana seorang penafsir hidup.
Pengertian dan Sejarah Poligami
Poligami berasal dari kata poly dan gami. Poly berarti banyak dan gami artinya nikah, artinya
banyak nikah. Istilah ini digunakan bagi kegiatan manusia yang melakukan banyak nikah.5 Menurut
Musdah Mulia, poligami adalah ikatan perkawinan dalam hal mana suami mengawini lebih dari satu istri
dalam waktu yang sama. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat
poligam.6 Sedangkan menurut Khoiruddin Nasution, poligami adalah perkawinan banyak dan bisa jadi
dalam jumlah yang tidak terbatas.7 Dari uraian diatas, maka dapatlah dinyatakan bahwa poligami adalah
apabila seorang suami kawin lagi setelah mempunyai seorang istri yang tidak atau belum diceraikan.
Berabad-abad sebelum Islam datang dan diwahyukan, masyarakat manusia diberbagai belahan
dunia, telah mengenal dan mempraktekkan poligami. Poligami dipraktekkan secara luas dikalangan
masyarakat Yunani, Persia dan Mesir kuno. Di Jazirah Arab sendiri, jauh sebelum Islam, masyarakatnya
telah mempraktekkan poligami, malahan poligami yang tak terbatas. Sejumlah riwayat menceritakan
bahwa rata-rata pemimpin suku ketika itu memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit kepala suku
mempunyai istri sampai ratusan.8
Ketika Islam datang, kebiasaan poligami tidak serta merta dihapuskan. Namun setelah ayat yang
menyinggung soal poligami diturunkan, Nabi lalu melakukan perubahan yang radikal sesuai dengan
petunjuk kandungan al-Qur‟an. Perubahan mendasar yang dilakukan Nabi itu berkaitan dengan dua hal,
pertama : membatasi jumlah bilangan istri dari jumlah yang tak terbatas, hanya sampai pada empat
orang. Kedua : menetapkan syarat yang ketat bagi poligami, yaitu harus mampu berlaku adil
Perkawinan Sebelum Islam
Sebelum mengulas lebih jauh tentang poligami Nabi Muhammad, ada baiknya akan diulas bentukbentuk perkawinan sebelum Islam datang. Sebelum Islam datang, dalam tradisi Arab jahiliyyah paling
tidak dikenal empat macam jenis perkawinan. Keempat macam jenis perkawinan itu adalah :9
Pertama: perkawinan istibda’, yaitu perkawinan seorang laki-laki dan seorang perempuan dan setelah
menikah suami memerintahkan istrinya berhubungan badan dengan laki-laki lain yang
dipandang terhormat karena kebangsawananya dengan maksud mendapatkan anak yang
memiliki sifat-sifat terpuji yang dimiliki bangsawan. Kemudian setelah hamil suami
mengambil istrinya kembali dan bergaul dengannya sebagaimana layaknya suami-istri.
Kedua:
perkawinan al-maqthu’, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dan ibu tirinya, sudah
menjadi tradisi arab sebelum Islam bahwa anak laki-laki mewarisi secara paksa istri-istri
mendiang ayahnya. Dan jika anak laki-laki yang mewarisi itu masih kecil, keluarganya
dapat menahan istri itu sampai sampai anak tersebut dewasa.
Ketiga: perkawinan al-rahthun, yaitu perkawinan poliandri, perkawinan seorang perempuan dengan
beberapa laki-laki. Setelah hamil dan melahirkan, perempuan itu mengundang semua lakilaki yang pernah menggaulinya, lalu menentukan siapa ayah dari bayinya dan laki-laki yang
ditunjuk itu harus mau menerima dan mengakui bahwa bayi itu sebagai anaknya.
Keempat: perkawinan khadan, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan secara
sembunyi-sembunyi tanpa akad yang sah, masyarakat Arab ketika itu menganggap hal yang
demikian bukan kejahatan selama dilakukan secara rahasia.
Kelima:
perkawinan badal, adalah sebuah perkawinan dimana dua orang suami bersepakat tukar
menukar istri tanpa melalui talak, tujuannya semata-mata untuk memuaskan hasrat seksual
mereka.
Keenam: perkawinan al-syigar, yaitu seorang laki-laki mengawinkan anak perempuannya atau saudara
perempuannya dengan laki-laki lain tanpa menerima mahar, tetapi dengan imbalan laki-laki
itu memberikan pula anak perempuan atau saudara perempuannya (tukar menukar anak atau
saudara perempuan).
Memahami praktek pernikahan pra-Islam ini penting, karena pernikahan poligami Nabi Muhammad
mengambil latar belakang masyarakat Arab jahiliyyah. Masyarakat Arab jahiliyyah memiliki sejumlah
kebudayaan dominan, misalnya budaya patriarkhi, budaya konfederasi suku-suku dan lain sebagainya.
Semua bentuk pernikahan pra Islam tersebut sangat terkait dengan situasi antropologi histories
masyarakat saat itu.10 Artinya, hal tersebut ada dan terjadi ditengah nilai-nilai yang berlaku saat itu.
Didalam poligami saat itu, maskulinisme sangat mendominasi. Maskulinisme yang dominan tersebut
membawa implikasi serius bagi perempuan. Perempuan menjadi sangat rentan terhadap tindak kekerasan.
Poligami Nabi : Pendekatan Geografis
Pendekatan ini digunakan dalam rangka mengungkapkan pengalaman Nabi Muhammad selama
berada di Makkah dan Madinah. Karena selama di Makkah dan Madinah, Nabi mempunyai pengalaman
yang berbeda.
Kota Makkah dan Madinah, terletak didaratan jazirah Arab terbentang luas di antara Laut Tengah di
barat laut, Laut Merah di sebelah selatan dan Samudra Hindia di Selatan dan di timur. Lebar wilayah ini
sekitar 1200 mil dengan panjang lebih dari 1500 mil.11 Jazirah Arab, secara topografis tidak istimewa.
Tetapi secara geografis yang bercirikan pantai cukup panjang menghadap ke Laut Merah, Samudra
Hindia dan Teluk Persia, memberi nilai tersendiri dalam dunia perdagangan.12 Daerah arab ini tidak bisa
dilepaskan dari sejarah klasik Mesopotamia.
Posisi geografis jazirah Arab mempunyai daerah cukup luas, yang sebagian besarnya adalah padang
pasir, dan hanya ada beberapa daerah yang subur seperti daerah selatan dan utara, terhindar dari
cengkeraman kedua imperium besar, yaitu Romawi-Bizantium dan Persia. Di jazirah Arab ini berdiam
sejumlah suku bangsa dan memiliki konsep aristokrasi kesukuan, dimana loyalitas seseorang terpusat
kepada kelompok kabilahnya sendiri.
M.M. Pickthall, memberikan ulasan ayat-ayat al-Qur‟an dengan geografis ini. Ia mengurai pada
bagian pengantar suatu penjelasan situasi yang dihadapi oleh Nabi ketika di Makkah dan Madinah. Di
Makkah, Nabi mendapatkan permusuhan dari penduduk Makkah sejak kegiatan dakwah kepada public
dilakukan. Pengikut Nabi mendapatkan penganiayaan sehingga harus pergi hijrah ke Ethiopia, dan Abu
Thalib mendapatkan tindakan boikot serta pemberitahuan ijin untuk membunuh Nabi dari suku Quraish.13
Di kota Makkah Nabi Muhammad menjalani kehidupan sebagai seorang yang dipersiapkan Allah
untuk menjadi penyampai wahyu Allah kepada ummat manusia. Kota Meakkah adalah kota yang
strategis. Kota ini berada dijalur perdagangan internasional.14
Di kota Makkah ini, Nabi Muhammad mendapat wahyu pertama. Kala itu Nabi Muhammad berusia
40 tahun. Nabi mendapatkan wahyu dikala di Gua Hira‟. Sebelum menjadi rasul, Nabi menjalani
kehidupan bersama dengan pamannya. Ia bersama pamannya Abu Thalib menjalani perniagaan. Bahkan
Nabi menjadi orang kepercayaan Khadijah didalam mengurus kegiatan bisnisnya. Karena Nabi, sering
berjumpa dengan Khadijah dalam rangka melaporkan laporan bisnisnya, akhirnya, Nabi menikah dengan
Khadijah. Nabi menikahi Khadijah dikala Nabi berusia 25 tahun, sementara Khadijah berusia 40 tahun.
Data-data sejarah menyebutkan bahwa pasangan Nabi Muhammad dengan Khadijah dikaruniai
empat orang perempuan dan dua orang laki-laki, namun kedua anak laki-laki tersebut meninggal dunia
ketika masih kanak-kanak. Sampai Khadijah wafat, Nabi tidak menikah dengan perempuan lain.15
Dua tahun setelah Khadijah wafat, baru Nabi Muhammad Menikah lagi, yaitu dengan Saudah binti
Zam‟ah. Saudah dinikahi Nabi Muhammad ketika usia Saudah sudah agak lanjut. Dan sebagian riwayat
menyebutkan ia sudah menoupouse.
Dikota Makkah, Nabi mendapatkan sejumlah pengikut. Selain Khadijah, perempuan pertama yang
masuk Islam, ada Ali b. Abi Thalib sebagai pemuda yang pertama kali masuk Islam, selanjutnya terdapat
sejumlah penduduk Makkah yang memeluk Islam atas ajakan Abu Bakr.16Tekanan yang dialami Nabi
Muhammad selama menjalani kenabiannya di Makkah semakin gencar dan beragam bentuknya.
Akhirnya Nabi memutuskan meninggalkan Makkah dan Hijrah ke Madinah bersama dengan para
sahabatnya.
Di Madinah, Nabi menghadapi perpecahan ditengah warga dan ia berhasil memberi jalan keluar bagi
masalah yang dihadapi masyarakat Madinah sehingga ia mendapatkan kepercayaan dari masyarakat dan
berhasil menetapkan suatu peraturan tunggal bagi kehidupan bersama saat itu.17Masyarakat Madinah
terdiri dari berbagai suku dan agama. Sebelum Nabi datang dan menetap di Madinah, masyarakat mereka
mengalami perpecahan diantara suku-suku yang ada disana. Suasana permusuhan dan pertikaian amat
kental disana.18 Nabi Muhammad berhasil mengatasi masalah yang ada ditengah masyarakat, dan kala itu
Nabi menjadi hakim bagi seluruh komunitas yang ada di Madinah.19 Dan dikota ini pula Nabi, menata
Islam sebagai agama dan politik masyarakat Madinah.20
Di kota ini pulalah sebagian besar poligami Nabi dilakukan. Perkawinan Nabi yang ketiga sampai
yang terakhir berlangsung di Madinah dan perkawinan itu terjadi dalam rentang waktu yang relative
pendek, antara tahun kedua sampai tahun ke tujuh hijriyyah.21 Perkawinan poligami yang pertama,
dimulai perkawinan Nabi dengan „Aisyah. Kala itu usia Nabi sudah 54 tahun, sebuah usia dimana
kemampuan seksual laki-laki biasanya sudah mulai turun.
Setelah „Aisyah, Nabi berturut-turut mengawini Hafsah binti „Umar ibn al-Khattab, Umm alSalamah, Umm Habibah, Zainab binti Jahsy, Zainab binti Khuzaimah, Juwayriyyah binti Haris, Safiyyah
binti Huyay, Rayhannah binti Zaid dan terakhir Maimunah binti Haris. Tiga tahun setelah perkawinan
yang terakhir, Nabi Muhammad tidak kawin lagi.22
Dan kala di Madinah, Nabi berusaha keras membentuk suatu masyarakat religius bagi kaum muslim
yang mendasari diri pada nilai-nilai Islam yang dibawa Nabi ditengah kehidupan berdampingan dengan
agama lain. Ini berarti poligami Nabi dapat dilihat sebagai bagian strategis pembentukan ummah.
Tidak diragukan lagi, bahwa keberadaan Nabi di Mekkah, berbeda sekali dengan di Madinnah.
Didalam berdakwah di Makkah, Nabi mengalami berbagai kesulitan, dan ketika di Madinah Nabi tidak
mengalami kesulitan yang berarti.
Fakta inilah yang dapat menyatakan bahwa syi‟ar Islam menjadi salah satu motif kegiatan poligami
Nabi.23 Kala itu poligami dipandang sebagai salah satu bentuk tindakan yang mampu membantu
mengokohkan penyebarluasan Islam sebagai suatu agama baru bagi masyarakat saat itu. Terlebih, banyak
suku-suku baru yang menjadi sekutu bagi Nabi.
Nabi Muhammad menjalani kegiatan poligami ditengah masyarakat yang melihat pernikahan sebagai
hal biasa, hal yang lumrah, sehingga ditengah masyarakat sangat lazim bila ada seorang perempuan
memiliki banyak suami dan seorang pria memiliki banyak istri.24 Bentuk praktik pernikahan semacam ini
mengindikasikan bahwa pernikahan semata hanya persoalan insani.
Didaerah Arab, secara umum, sudah lama dikenal Kode Hammurabi, yang digagas oleh Hammurabi.
Kode ini memiliki pengaruh yang signifikan didalam kehidupan masyarakat Arab. Kode ini adalah
sekumpulan peraturan-peraturan hukum yang muncul dalam rangka penciptaan suasana tertib dan
aman.25
Kode ini juga memberikan inspirasi bagi institusi hukum generasi berikutnya. Didalam kode ini
terdapat ketentuan-ketentuan yang sifatnya membatasi perempuan. Keberadaan perempuan selalu
menjadi jenis kelamin kedua. Misalnya, ayah atau suami dalam suatu keluarga, mempunyai peranan
utama dan kewenangan yang tak terbatas, tidak sah suatu perkawinan tanpa restu dan izin dari ayah
sebagaimana termaktub pada kode Hammurabi pasal 128.26
Ditengah masyarakat Arab terdapat sejumlah pengelompokan yang menunjukkan konotasi kelas
seperti al-hajin (anak yang lahir dari perkawinan campur antara ayah Arab dan ibu bukan Arab. Orangorang hajin dimasa sebelum Islam tidak mendapatkan harta warisan sekalipun laki-laki.
Selain itu dikenal juga pembagian keluarga masyarakat arab era pra Islam atau permulaan Islam yaitu :
1. Kabilah
2. Sub Kabilah
3. Suku
4. Keluarga Besar
5. Keluarga Kecil
Secara umum, masyarakat Arab menganut system patriarkhi (al-mujtama’ al-abawiy). Bapak atau
suamilah yang bertanggungjawa terhadap seluruh keutuhan, keselamatan dan kelangsungan keluarga. Ibu
atau istri hanya ikut terlibat sebagai anggota keluarga dalam suatu rumah tangga.
Dalam masyarakat Arab, pembagian peran sudah jelas, laki-laki berperan mencari nafkah dan
melindngi keluarga dan perempuan berperan dalam urusan reproduksi seperti memelihara anak dan
menyiapkan makanan untuk seluruh anggota keluarga.27
Poligami Nabi : Pendekatan Historiografis
Membaca poligami Nabi dengan pendekatan ini sangat menarik, pendekatan historiografis ini
mengungkapkan adanya dua aspek dalam poligami Nabi, yaitu aspek histories dan aspek religius, atau
dalam bahasa Wilhelm Dilthey ada wajah eksterior dan wajah interior.
Fakta histories menunjukkan bahwa poligami Nabi dilakukan dalam ruang sosial, kultural dan
religius dan waktu yang menyejarah, dan tindakan tersebut terkait dengan melibatkan keutuhan pribadi
Nabi Muhammad. Faktor religius yang terdapat dalam poligami Nabi ialah adanya suatu keyakinan
dalam diri Nabi, bahwa Allah akan menolong dirinya dikala kesusahan.
Dikota Madinah, Nabi tidak sekedar menjadi seorang Nabi dan suami khadijah. Di tempat ini Nabi
menjadi pemimpin kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Ia juga menjadi kepala komunitas agama-politik di
Madinah. Dari Madinah, Nabi mengatur kepemimpinannya baik secara diplomatic maupun militer. Ia
menjadi administrator dan juga pemimpin politik.
Praktek poligami Nabi, sering dijadikan titik tolak pembahasan aktivitas poligami dikalangan Islam.
Terkait dengan hal ini berikut ini akan dipaparkan fakta histories yang terdapat dalam rumah tangga Nabi
sebagaimana dipaparkan oleh Musdah Mulia :28
1. Perkawinan Nabi yang monogamy, dan penuh kebahagiaan berlangsung selama 28 tahun, 17 tahun
dilakukan dimasa disebelum kerasulan dan 11 tahun sesudah masa kerasulan
2. Setelah Khadijah wafat, baru dua tahun kemudian, Nabi menikah lagi dengan Saudah binti Zam‟ah
3. Nabi menikah dengan Saudah dikala Saudah sudah agak lanjut usia, bahkan sebagian riwayat
menyatakan sudah menoupouse
4. Usia Nabi pada saat melakukan poligami usiannya diatas 54 tahun
5. Perkawinan Nabi yang ketiga sampai dengan yang terakhir, berlangsung di Madinah dan berada
dalam waktu yang relative pendek, hanya lima tahun.
Menarik untuk dicatat, bahwa meskipun Nabi mempunyai banyak istri, namun tidak satu pun istri
Nabi diceraikan. Pernah ada gossip, bahwa Nabi telah menceraikan Hafsah, tetapi setelah diklarifikasi
oleh „Umar b. Khattab ternyata gossip itu tidak benar. Nabi memperlakukan para istrinya secara adil dan
bijaksana. Jika salah seorang diantara mereka diikutsertakan dalam suatu perjalanan atau peperangan,
maka Nabi mengundi mereka sehingga tidak menimbulkan rasa cemburu dan iri hati diantara mereka.29
Setelah dua tahun Khadijah wafat dan ketiga anak perempuannya menikah, barulah Nabi
Muhammad berpoligami dengan sebelas istri. Kehidupan Nabi ini diliputi dengan penuh perjuangan dan
pembinaan masyarakat dalam rangka menancapkan fondasi masyarakat Islam di Madinah, sekaligus syiar
Islam keseluruh Jazirah Arab.
Didalam bahtera rumah tangganya, nabi tidak lepas dari berbagai masalah. Masalah yang muncul
berkisar ke persoalan kehidupan ekonomis yang terlihat tidak pantas bagi seorang Nabi hidup dalam
situasi pas-pasan. Bahkan didalam pernikahannya, Nabi pernah mendapati sikap pemboikotan dari para
istrinya terkait dengan kehidupan ekonomis yang tidak pantas sehingga meminta tambahan nafkah.30
Jika ditelusuri satu persatu motif perkawinan Nabi dengan istri-istrinya yang berjumlah sebelas itu,
maka yang mengemuka adalah motif dakwah atau kepentingan penyiaran Islam. Perkawinan Nabi
dengan Saudah binti Zam‟ah dilakukan semata-mata untuk melindungi perempuan tua itu dari
keterlantaran dan tekanan keluarganya yang masih musrik. Saudah menerima lamaran Nabi, karena dia
berharap dibangkitkan di surga bersama-sama istri yang lain.31
Terkait dengan peristiwa poligami Nabi dengan Zainab, turunnya wahyu poligami Nabi Muhammad
berada pada arah mendengar suara tanpa wujud pembicara. Istilah yang digunakan al-Qur‟an, untuk
menjelaskan poligami Nabi dengan Zainab adalah “kami kawinkan kamu dengan dia”. Istilah ini tidak
sekedar bersifat deskriftif kedekatan relasi Allah dengan Nabi, tetapi juga suatu titah.32
Nilai transformasi adalah bagian dari factor religious yang ada didalam poligami Nabi. Misalnya
Nabi menikahi Zainab. Didalam pernikahan ini Nabi berusaha merombak persepsi masyarakat saat itu
yang berpandangan bahwa menikahi mantan istri dari anak angkat adalah tindakan yang haram. Terkait
dengan nilai transformatif ini ditengarahi bahwa proses dialektis dan akomodatif secara persuasif adalah
cara terbaik yang harus dilakukan oleh al-Qur‟an seraya mengarahkan pendengarnya pada upaya-upaya
perubahan secara gradual-progresif kearah terciptanya system social yang humanis.
Wahyu poligami yang terdapat dalam al-Qur‟an surat al-Nisa‟ ayat 3 merupakan ayat yang terkait
dengan penyelematan bagi kalangan janda atau pun anak yatim. Istilah al-Nisa‟ pada surat tersebut
merujuk pada kalangan para janda dan anak yatim yang ada pada saat itu. Kala itu diharapkan ada
seseorang yang dapat berbuat adil yang memungkinkan mereka untuk menikahi para janda atau anak
yatim tersebut. Tindakan menikahi anak yatim atau janda adalah tindakan menyelamatkan kehidupan
mereka dari ganasnya sitsuasi hidup atau orang-orang ganas yang akan memanfaatkan mereka. Namun
demikian, teks tersebut mengingatkan agar bila tidak ada yang mampu berbuat adil, maka tidak
diperkenankan menikahi mereka. Kerena bila perkawinan tetap dilaksanakan maka para janda ataupun
anak yatim tersebut justru semakin menderita ditangan orang yang tidak adil sekaligus telah menikahi
mereka.
Dari segi fisik biologis, satu-satunya istri Nabi Muhammad yang perawan dan berusia muda adalah
Nabi „Aisyah binti Abu Bakar, yang lain rata-rata telah berumur dan punya anak. Data-data ini cukup
menjelaskan bahwa alasan Nabi berpoligami bukanlah tuntutan kepuasan biologis.
Ada satu hal yang menarik, meskipun Nabi berpoligami, tetapi Nabi tidak setuju menantunya
melakukan poligami. Hal ini terjadi ketika Ali bin Abi Thalib meminta izin kepada Nabi untuk memadu
putrinya. Secara lengkap terjemahan hadist tersebut adalah sebagai berikut :
“sesungguh anak-anak Hisyam ibn Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan putrinya
dengan Ali. Ketahuilah bahwa aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, aku tidak
mengizinkannya, kecuali jika Ali bersedia menceraikan putriku dan menikahi anak mereka.
Sesungguhnya Fatimah adalah bagian dari diriku, barang siapa membahagiakannya berarti
membahagiakanku dan barang siapa menyakitinya berarti menyakitiku”33
Poligami dan perbudakan merupakan suatu rangkaian obyek transformasi oleh Nabi yang akan
dihapuskan. Jadi teks-teks itu termasuk kedalam teks yang didalam proses penghapusan. Karena itu, tafsir
tentang pembolehan poligami dikalangan komunitas muslim di Indonesia justru bertentangan dengan
nilai transformasi yang dibawa Nabi Muhammad
Para ulama menggambarkan bahwa banyaknya istri Nabi tidak berarti menjadikan Nabi memuaskan
diri dengan makanan yang berlebih atau menghabiskan waktunya untuk istri-istrinya. Nabi bahkan
sebaliknya memperbanyak puasa, melakukan I‟tikaf dan membaca al-Qur‟an. Bertolak dari pandangan
ini, para ulama melihat pernikahan Nabi dengan sejumlah pemahaman tertentu, pertama, untuk lebih
melihat batinnya orang-orang musyrik yang telah menuduh Muhammad tukang sihir. Kedua, untuk
memuliakan kabilah Arab dengan menjadi bagian dari keluarga mereka. Ketiga, untuk menambah
persahabatan diantara mereka. Keempat, menambah bekal atau beban, karena cinta Nabi tidak
menyibukan atau memalingkan diri dari berdakwah. Kelima, memperbanyak keluarga dari perempuan
yang dikawinnya sehingga bertambahlah pendukung Nabi. Keenam, mentransformasikan hukum-hukum
Islam yang tidak mungkin diketahui laki-laki karena mayoritas yang terjadi pada perempuan tidak
mungkin diketahui oleh laki-laki. Ketujuh, menyingkap moral kebaikan Nabi seperti ketika menikahi
Umm Habibah yang saat itu ayahnya memusuhinya dan ketika Shafiyyah pada saat suami dan ayahnya
terbunuh. Kedelapan, untuk menyingkap keutamaan pribadi Nabi, bahwa Nabi mampu memberi nafkah
batin pada istri-istrinya, walaupun makan dan minumnya sedikit serta banyak berpuasa sebagaimana
Nabi memerintahkan orang yang tidak mampu menikah untuk berpuasa dan kesembilan, Nabi adalah
obat yang menegakkan hak-hak mereka.34
Berikut ini dipaparkan tabel tentang nama-nama istri Nabi berikut penggalan waktu dan tempat
pernikahannya. Tabel dibuat berdasarkan keterangan Ibn Sa‟d sebagaimana di kutip Abraham Silo Wilar
:35
No
1
Khadijah
Keluarga
(Patriarkhi)
Khuwailid
2
Saudah
Zam‟ah
Makkah
-
3
4
„Aisyah
Hafsha
Abu Bakar
„Umar b. Khaththab
Madinah
Madinah
5
Putri Abu Umayyah b.
Mughirah
Harist b. Abi Dhirar
Madinah
6
Ummu
Salamah
Juwayriyyah
7
Zainab
Zaid b. Harithah (suami)
Madinah
8
Zainah
b.
Khuzaimah
Rayhanah
Tufail b. Harith b.
Muthalib (suami)
Hakam dari Bani Nadhir
Madinah
3 H, 2 buln pra
perang uhud
Akhir bulan Syawal
4H
Akhir bulan Syawal
4H
Bulan Dzulqa‟dah 5
H
-
Madinah
5H
10
Ummu
Habibah
Putrid Abu Sufyan b. Harb
Madinah/Etiopia
-
11
Safiyyah
Huyay b. Khaththab
Madinah
7H
12
Maimunah
Harith
Hilaliyah
Fathimah
Dhahak
Sufyan
Kilaliyah
Asma‟
Nu‟man
Jawniyah
b.
Abu Ruhhin b. Abd Uzza
Amiri
Madinah
7H
Dinikahi
berstatus
janda,
suami wafat; tawanan perang;
wafat sewaktu Nabi masih
hidup
Wafat sebagai Kristen setelah
sebelumnya menjadi muslim
waktu menikah
Dinikahi
berstatus
janda
(cerai)
Dinikahi berstatus janda (mati)
b.
b.
-
Madinah
Bulan Dzulqa‟dah 8
H
Dinikahi
(cerai)
b.
-
Madinah
Rabi‟ al-Awwal
-
9
13
14
Nama
Tempat
Tahun
Makkah
-
Madinah
Keterangan
Dinikahi
berstatus
janda;
saudagar
Dinikahi berstatus janda pada
bulan Ramadhan di tahun ke
sepuluh kenabian
Dinikahi pada usia 9 tahun
Dinikahi berstatus janda
Dinikahi berstatus janda
berstatus
janda
Kesimpulan Pembacaan
Banyak orang salah didalam memahami poligami. Poligami dianggap sunnah dimana hal itu
dilakukan Nabi Muhammad supaya diikuti oleh ummatnya. Jika demikian mengapa poligami tidak
dilakukan sejak awal, dalam realitas sejarah Nabi Muhammad berpoligami hanya 7 tahun, selama kurang
lebih 28 tahun Nabi berkeluarga dengan prinsip monogamy.
Nabi Muhammad lebih memilih monogamy ditengah-tengah masyarakat yang memandang
polygamy sebagai hal yang lumrah. Polygamy Nabi juga tidak untuk memenuhi tuntutan biologis atau
hanya untuk memuaskan syahwat dan hasrat seksualnya tetapi hanya semata-mata untuk menunjang
dakwah Nabi Muhammad
Didalam tradisi Arab waktu itu, sangat wajar bila Nabi Muhammad melakukan polygamy. Selain
karena Nabi Muhammad adalah tokoh Quraysyi terkemuka dan mempunyai wajah yang rupawan, Nabi
Muhammad juga tidak mempunyai keturunan laki-laki yang hidup. Karena hasil perkawinannya dengan
Khadijah, Nabi diaugerahi dua anak laki-laki dan meninggal pada waktu keduanya masih kecil. Tetapi
Nabi tidak melakukannya, bahkan Nabi melarang Ali untuk memadu Fatimah putri Nabi.
Implikasi pembacaan poligami dengan pendekatan hermenautika sejarah Wilhelm Dilthey adalah
bahwa polygamy bukanlah anjuran Nabi, poligami bukanlah anjuran Islam, apalagi kewajiban Islam.
Penulis sepakat dengan apa yang tulis Siti Musdah Mulia, bahwa Islam Memilih Monogami.
1
Husein Muhammad, Sebaiknya Memang Tidak Berpoligami, pengantar tulisan Faqihuddin Abdul Qodir,
Memilih Monogami (Yogyakarta : LKiS, 2005), ix.
2
Richard E Palmer, Hermeneutika : Teori Baru Mengenal Interpretasi, terj. Masnur Hery dan Damanhuri
Muhammad (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), 114-5. lihat juga K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX
(Jakarta : Gramedia, 1985), 227.
3
E. Sumaryono, Hermeneutik : Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1999), 50.
4
Ibid., 57.
5
Budhi Rajab, Meninjau Poligami : Perspektif Antropologis dan Keharusan Mengubahnya, dalam gadis
Arivia, et al (ed), Jurnal Perempuan, no 31., 70.
6
Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2004), 43.
7
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), 84.
8
Musdah, Islam Menggugat, 45
9
Abraham Silo Wilar, Poligami Nabi (Yogyakarta : Pustaka Rihlah, 2006), 37-8.
10
Lihat juga Leila Ahmed, Wanita dan Gender Dalam Islam : Akar-akar Historis Perdebatan Modern
(Jakarta : Lentera Basritama, 1992), 45-49.
11
Quraish Shihab, et al, Sejarah dan ‘Ulumul Qur’an (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1999), 7.
12
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender : Perspektif al-Qur’an (Jakarta : Paramadina, 1992), 92.
13
M.M. Pickthall, The Meaning of the Glorious Koran (New York : the New American Library, 1960), ix-xvi
14
M.W. Watt, Muhammad at Mecca (Oxford : Clarendon Press, 1953), 1-4.
15
Musdah, Islam Menggugat, 75.
16
A. Guillaume, The Life of Muhammad : Tranlation of Ibn Ishaq’s Sirat Rasul Allah (London : Oxford
University Press, 1995), 111-114.
17
M.M. Pickthall, The Meaning, ix-xvi.
18
M.W. Watt, Muhammad, Prophet and Statesmen (London : Oxford University Press, 1961), 85.
19
John L. Esposito, Islam the Straigth Path (New York : Oxford University Press, 1988), 11.
20
F.E. Peters, 92
21
Musdah Mulia, Islam Menggugat, 76.
22
Ibid.
23
Ibid., 78
24
Ibid., 11-12.
25
Ibid., 95 – 97.
26
Ibid.
27
Ibid., 128-129.
28
Musdah., Islam Menggugat, 75.
29
Musdah, Islam Menggugat, 77.
30
Lebih jelasnya lihat tulisan „Aisyah Abd Rahman, Istri-istri Rasulullah SAW (Solo : Pustaka Mantiq, 1998)
31
Musdah, 79
32
Lihat Surat al-Ahzab, ayat 37.
33
Lihat al-Bukhary, Shahih al-Bukhary, Kitab al-Nikah, hadits nomor 4829, Muslim, Shahih Muslim, Kitab
Fadhail al-Shahabah, hadist nomor 4482. Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhiy, Kitab al-Manakib, hadist nomor
3802. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Kuffiyin, hadist nomor 18164. Ibn Majah,
Sunan Ibn Majah, hadist nomor 1988. Abu Daud, Sunan Abu Daud, Kitab al-Nikah, hadist nomor 1773.
34
Abraham, Poligami Nabi, 52 - 3.
35
Ibid., 43 - 44
Download